Pencarian

Pendekar Bijaksana 1

Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah
lindungan undang-undang
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bab l BEGITU mendengar teriakan yang cukup keras, Rajawali Emas segera mengangkat
kepalanya dengan dada
dibuncah perasaan tak menentu.
"Celaka! Apakah aku tak salah mendengar?"
desisnya tertahan dengan pandangan diedarkan.
Sementara itu, suara tawa dahsyat yang mena-
han gempuran dari alunan suara seruling seketika terhenti setelah terdengar
teriakan tadi. Menyusul suara seruling yang sebelumnya sempat membuat pemuda
dari Gunung Rajawali ini tersiksa, yang mendadak le-
nyap begitu saja.
Sebagai gantinya, terdengar suara geraman
yang sangat kuat, bernada amarah tetapi melecehkan,
"Ternyata yang kuduga selama ini hanya kabar dari
orang-orang dungu yang tak tahu segala persoalan!
Rajawali Emas bukanlah lawan sepadan! Dan sebagai
gantinya, orang lancang yang mencoba menolongmu
akan putus nyawanya hari ini juga!"
Seperti diceritakan pada episode sebelumnya,
saat itu Tirta sedang menuju ke Bukit Watu Hatur, di mana Seruling Haus Darah
dikabarkan akan muncul
di bukit itu pada akhir bulan. Di samping rasa penasaran sekaligus berkeinginan
kuat untuk menghentikan
sepak terjang Seruling Haus Darah, Tirta juga cukup
dibuat heran dengan tidak munculnya Bwana, burung
rajawali raksasa berwarna keemasan yang menjadi pe-
liharaannya, di Puncak Kalimuntu. Bahkan saat dibe-
rikan isyarat memanggilnya, Bwana tetap tidak mun-
cul. Selagi dia berlari menuju ke Bukit Watu Hatur,
sesuatu yang tak diduganya ditemukan. Di sebuah pa-
dang rumput yang luas didapatinya keadaan yang cu-
kup kacau balau. Yang kemudian menjadi perhatian-
nya, adalah tapak kaki besar yang sangat dikenalnya
sebagai tapak kaki Bwana. Memang, selang beberapa
penanakan nasi sebelum Rajawali Emas tiba di padang
rumput itu, Bwana telah muncul dan menolong Wu-
lung Seta serta Sri Kunting dari maut yang diturunkan oleh Siluman Kawah Api.
Menyadari Bwana pernah mendatangi padang
rumput itu, Tirta memutuskan untuk memanggilnya
karena dia masih penasaran ke mana perginya Bwana
selama ini, sehingga beberapa perintah yang diberi-
kannya tak dilaksanakan Bwana. Namun sebelum di-
lakukan isyarat memanggil Bwana, mendadak saja ter-
dengar alunan seruling yang sangat menyakitkan.
Dalam keadaan kritis itu, mendadak terdengar
tawa keras yang mencoba menahan sekaligus menga-
lahkan alunan seruling itu. Cukup lama dua getaran
suara yang mengandung tenaga dahsyat bertarung di
udara. Namun kemudian terdengar suara seseorang
yang tertawa menjerit tertahan.
Sekarang, Rajawali Emas berdiri tegak dengan
kedua mata dibuka lebih lebar. Semenjak terdengar
tawa keras yang kemudian menindih getaran tenaga
seruling yang pada akhirnya bentrok di udara, Tirta telah mempergunakan
kesempatan itu untuk memulih-
kan keadaannya yang sempat terhantam oleh getaran
dahsyat dari alunan seruling.
Begitu mendengar suara melecehkan tadi, pe-
muda dari Gunung Rajawali ini diam-diam telah alir-
kan tenaga surya ke seluruh tubuhnya. Bahkan dia
sudah mempersiapkan jurus 'Lima Kepakan Pemusnah
jiwa', bila sesuatu yang tak diduganya terjadi.
"Suara orang barusan, semakin memperkuat
dugaanku kalau dialah peniup seruling yang mengan-
dung kekuatan dahsyat itu yang berasal dari Seruling Gading. Dan manusia yang
merampas Seruling Gading
dari Raja Seruling berjuluk Seruling Haus Darah. Lantas, siapakah orang yang
tadi tertawa dan menahan
tenaga seruling" Kudengar pula dia menjerit. Apakah
saat ini orang itu sedang terluka akibat tak kuasa menahan getaran suara
seruling?" batin pemuda tampan bersenjatakan Pedang Batu Bintang ini penuh
kewas-padaan tinggi.
Sementara itu, suara orang yang entah berada
di mana terdengar lagi, "Huh! Alam Gempita ternyata hanya omong kosong belaka!
Kukira Rajawali Emas
yang dimaksudkan oleh Alam Gempita sebelum tewas,
adalah sosok yang menakutkan! Ternyata, hanya me-
miliki taring tumpul belaka!!"
Kalau sebelumnya Tirta dibuat kesakitan dan
sedikit ngeri, namun mendengar orang berbicara see-
nak perutnya, pemuda berpakaian keemasan ini pun
mulai mengkelap.
Sambil menggeser kaki kanannya sedikit ke
samping, dia berseru keras, suaranya seperti mengge-
ma di padang rumput itu, "Jangan hanya asal berucap!
Bila kau ingin meyakinkan diri siapakah aku sebenar-
nya, sebaiknya tampakkan wajah burukmu, Seruling
Haus Darah!"
"Hebat!" terdengar suara itu kembali entah dari mana, "Kau rupanya sudah tahu
siapa aku! Dan kau beruntung, karena kau sekarang tak masuk lagi dalam
hitungan orang-orang yang sepadan menjadi lawanku
dan harus kubunuh! Memilih lawan berilmu rendah
bagiku hanya membuat harga diri jatuh! Hari ini kau selamat, Rajawali Emas!
Lebih baik tinggalkan tempat ini sebelum aku berubah pikiran"!"
"Sinting! Justru engkaulah yang kuminta me-
nampakkan diri sebelum ku ubah keputusanku!!" balas Rajawali Emas dengan suara
garang. Terdengar suara menggeram, "Tadi kukatakan
tinggalkan tempat ini!!"
Mendengar ancaman itu, Tirta yang sudah ka-
lap sekaligus penasaran ingin mengetahui seperti apa tampang orang yang berada
di balik pembunuhan tokoh-tokoh rimba persilatan, berkata melecehkan,
"Atau... sebenarnya engkaulah yang jeri berhadapan denganku hingga belum
menampakkan batang hidung,
hah"! Kenapa harus menutupi yang sebenarnya"!"
Kalau tadi selalu terdengar suara menggeram,
kali ini berkumandang tawa menggelegar. Menyusul
suara tinggi, "Omong kosong! Orang yang sudah mau mampus biasanya berlaku
demikian guna menutupi
kekosongan dirinya!"
"Begitu pula dengan orang pengecut yang cuma
berani jual sesumbar tanpa berani menampakkan ba-
tang hidungnya, yang justru, lebih mencerminkan jiwa banci belaka!" sambar Tirta
cepat dengan bibir sung-gingkan seringaian melecehkan.
"Orang muda keparat! Kukubur nyawamu seka-
rang juga!!" makian itu terdengar keras, bersamaan
menghamparnya satu gelombang angin yang keluarkan
suara bergemuruh.
Tirta yang memang sudah persiapkan diri den-
gan tenaga surya dan jurus 'Lima Kepakan Pemusnah
Jiwa' segera menghentakkan kedua tangannya ke mu-
ka dengan cara mendorong.
Blaaammm!! Saat itu pula terdengar suara letupan keras
tatkala gelombang angin yang menderu dari satu tem-
pat itu ambyar tertahan jurus 'Lima Kepakan Pemus-
nah Jiwa'. Seketika tempat itu seperti bergetar dan di-naungi hawa panas yang
keluar dari tenaga surya yang dilepaskan Rajawali Emas.
Yang mengejutkan memang terjadi. Sosok pe-
muda berajah burung rajawali keemasan di lengan ka-
nan-kiri-nya, surut dua tindak dengan kedua tangan
bergetar. "Gila! Sungguh luar biasa orang itu!!" desisnya dalam hati. Kendati demikian,
wajahnya tak menunjukkan kepiasan. Setelah mengalirkan tenaga dalam-
nya hingga kedua tangannya tidak bergetar, Rajawali Emas berkata lagi, "Apakah
hanya begitu saja kepandaian tokoh sesat yang ternyata justru ditertawakan
orang"! Apakah kau tak memiliki ilmu lainnya, hah"!"
"Setan keparat! Kau akan menyesali ucapanmu
itu barusan, Rajawali Emas"!"
"O ya?" balas Tirta mengejek. "Atau... justru kau yang akan datang meminta maaf
dengan cara menjilat telapak kakiku"!"
Sebagai jawaban atas ejekan Tirta, dua suara
dahsyat menggelegar, menyusul menggebraknya dua
gelombang angin yang menyeret tanah dan rerumpu-
tan. Sejenak pemuda berpakaian keemasan ini ter-
kesiap mendapati apa yang terjadi. Segera dia mem-
buang tubuh ke belakang. Masih berada di udara, di-
gerakkannya kembali kedua tangannya ke depan.
Dan untuk kedua kalinya terdengar suara letu-
pan yang lebih keras dari pertama. Kalau tadi sebe-
lumnya Tirta surut dua tindak ke belakang, kali ini dia terlempar sebelum
akhirnya kembali memacak kedua
kakinya di atas tanah.
Pandangannya menyipit. "Celaka! Kalau aku
tak bisa tahu di mana manusia sesat itu berada, bisa jadi aku akan menjadi
bulan-bulanannya! Sebaiknya,
kupancing saja agar dia muncul!"
Memutuskan demikian, penuh ejekan Rajawali
Emas berkata, "Rupanya cuma segini saja kebisaan orang buruk berjuluk Seruling
Haus Darah! Apakah tidak ada kemampuan lain yang kau miliki" Kalau me-
mang kau..."
"Jangan gegabah. Dia bukanlah tandingan-
mu...," satu suara menyelinap ke telinga Rajawali Emas hingga pemuda ini
menghentikan ejekannya.
Sesaat wajah Tirta nampak berubah. Dan sebe-
lum dia celingukan mencari orang yang berbicara itu, kembali terdengar suara di
telinganya, "Tetap bersikap biasa Jangan menampakkan sesuatu apa pun juga.
Anak muda... lebih baik segera tinggalkan tempat ini.
Aku tahu, kau belum mendapatkan Trisula Mata Em-
pat. Satu-satunya senjata yang bisa menandingi kehe-
batan Seruling Gading di tangan manusia sesat itu,
hanyalah Trisula Mata Empat. Jangan pertimbangkah
lagi kata-kataku . ini, karena sedikit saja kau lengah, berarti kau akan menjadi
korban sia-sia.... Lebih baik, mengalah untuk menang...."
Sepasang mata Rajawali Emas masih menatap
ke depan, sementara didengarnya suara itu baik-baik.
Lalu dia membatin, "Rasanya... sekarang aku bisa menebak siapa orang yang
mengeluarkan tawa dahsyat
barusan untuk menahan alunan Seruling Gading. Su-
dah tentu dia adalah Pendekar Bijaksana. Dan... oh!
Apakah saat ini dia terluka akibat tak kuasa menahan getaran tenaga seruling
tadi?" Selagi Rajawali Emas membatin, terdengar sua-
ra keras menggema, "Rajawali Emas... keputusanku belum kuubah! Tinggalkan tempat
ini! Kembali wajah Tirta mengkelap. Kedua tangan-
nya bergetar tanda dia sedang berusaha menindih
amarah. Kemudian tampak kedua kakinya mundur per-
lahan-lahan, tatkala teringat kata-kata orang yang diyakini Pendekar Bijaksana
adanya Kendati demikian,
dia tetap berseru dengan sepasang mata mendelik gu-
sar, "Wah! Kau begitu ketakutan sekali ya, hingga menyuruhku pergi"! Baik-baik!
Ketimbang kau akan
kencing di celana, sebaiknya aku pergi hingga kau merasa aman dan tak khawatir
lagi! Tetapi, tak lama lagi kau akan terkejut mengetahui siapa aku sebenarnya"!"
"Kau benar!" sahut suara itu penuh kebengisan. "Aku memang terkejut mengetahui
siapa kau sebenarnya, yang tak lain adalah bangsa keroco dan tak mungkin
kujadikan sebagai lawanku karena tak sepadan! Tetapi yang perlu kau ketahui
sekarang... apakah kau tidak ingin melihat kematian orang yang menahan
getaran suara serulingku tadi"!"
Seketika sepasang kaki Tirta tertahan. Tubuh-
nya tegak dengan mata mencorong tajam.
"Celaka! Bila sudah begini... tak mungkin aku menghindar!" desisnya pelan.
"Jangan kau pikirkan tentang diriku! Pergilah!
Aku masih bisa bertahan!" suara itu kembali menyeli-
nap di gendang telinga Rajawali Emas. "Ingat... ada sesuatu yang harus kau
lakukan. Tetapi, bukan saat
ini...." Karena sekarang sudah memutuskan untuk tidak meninggalkan tempat itu,
Tirta tak menghiraukan
suara orang di telinganya Bahkan tanpa sadar pemuda
ini menggelengkan kepala dan bersuara tegas, "Tidak!
Apa pun yang terjadi, manusia keparat itu akan kuha-
dapi!!" Belum lagi suara di telinga Tirta terdengar kembali, mendadak saja
gemuruh angin menderu keras. Bahkan terlihat rerumputan rebah dan tercabut
Perubahan itu cukup membuat Tirta melengak
dan mundur satu langkah. Pandangannya diarahkan
pada rerumputan yang beterbangan. Tatkala semua-
nya sirap, berjarak tiga tombak dari hadapannya, telah berdiri satu sosok tubuh
tinggi besar berpakaian merah-merah!
*** BAB 2 KEDUA kaki orang yang baru muncul ini terpentang lebar di atas tanah. Sepasang
matanya terbuka lebar.
Rambutnya panjang hingga pinggang dan botak tepat
di bagian tengah kepalanya. Di tangan kanan orang
yang tak lain Seruling Haus Darah ini, tergenggam sebuah seruling terbuat dari
gading berwarna bening
yang berlubang tujuh.
Mendapati kemunculan orang yang selama ini
dicarinya, Tirta memandang tanpa kedip.
"Orang yang lama kucari telah muncul di hada-
panku! Bila aku mundur berarti hanya membuang se-
luruh waktu percuma! Apa pun yang terjadi, akan ku-
hadapi orang celaka ini kendati aku tak memiliki Trisula Mata Empat!"
Habis membatin begitu, dengan langkah was-
pada dan kepala agak terangkat, pemuda dari Gunung
Rajawali ini maju tiga tindak ke muka, lalu berseru
sambil tertawa, "Jadi engkaulah orangnya yang berjuluk Seruling Haus Darah"!
Wah! Kupikir menyeramkan
seperti naga" Tetapi ternyata tak lebih dari seekor tikus! Tidak terlalu aneh


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebenarnya Dengan sikap konyol Tirta menggeleng-
gelengkan kepala. Mulutnya membentuk kerucut den-
gan pipi dikembungkan. Lalu dihembuskannya udara
yang memintal di mulutnya seperti orang sedang
buang angin. Preeett! Wajah lelaki tua berpakaian merah-merah itu
mengkelap. Sepasang matanya menyipit hingga kelo-
pak matanya seperti menciut Kejap kemudian terden-
gar suaranya angker, "Aku tak akan menghadapi lawan yang tak sebanding denganku,
Orang muda yang
mau mampus! Nama besarmu yang menjadi pembica-
raan orang ternyata hanya olok-olok belaka!"
Dan mendadak saja Seruling Haus Darah alih-
kan pandangan ke kanan diiringi bentakannya yang
menggebah keras, "Orang tua berkalung oyot pohon yang berajut! Silakan keluar!
Sikapmu yang mencoba
tandingi kehebatan seruling di tanganku ini, cukup
memaksaku untuk menurunkan tangan!!"
Begitu mendengar seruan lelaki berambut pan-
jang sepinggang dan botak di bagian tengah, tanpa sadar Tirta ikut-ikutan
mengalihkan pandangannya ke
kanan. "Hmm... bukankah Pendekar Bijaksana selalu
mengenakan kalung dari oyot pohon seperti yang dika-
takan manusia sesat itu?" desisnya dalam hati. Lalu sambungnya sambil menatap
tajam pada Seruling
Haus Darah yang sedang mengalihkan pandangan ke
kanan, "Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki manusia celaka ini, aku tak akan
mundur sejengkal pun!"
Menyusul kemudian terdengar orang bersyair,
Bersembunyi bukanlah tindakan pengecut
kalau memang itu harus dituntut
tetapi angkara murka terus berbuntut
hingga tangan pun jadi ingin turut
Bila nyata sudah tak ada lagi
yang tersisa justru keinginan dalam
berarti jalan harus dipaksa lagi
kendati coba kubur masa silam
Rajawali Emas yang sedang menatap ke arah
Seruling Haus Darah, dapat melihat perubahan wajah
lelaki itu tatkala mendengar syair yang berlantun.
"Aneh! Sepertinya dia kena 'tembak' oleh syair
yang tentunya diucapkan oleh Pendekar Bijaksana.
Ada apa ini?" katanya dalam hati.
Sementara itu, lelaki berwajah cedok mengena-
kan pakaian semerah darah sudah keluarkan benta-
kan, "Jangan banyak cingcong lagi! Keluar kau!!"
Mengiringi makian kerasnya, tangan kirinya
bergerak ke depan.
Wusss!! Seketika menghampar gelombang angin keras
yang menimbulkan suara menggidikkan. Menyusul
suara letupan tatkala angin yang keluar dari sentakan
tangan Seruling Haus Darah menghantam rumput ber-
jarak lima tombak dari hadapannya.
Rajawali Emas yang mencoba untuk menahan
bila Seruling Haus Darah melancarkan serangannya
lagi, menjadi urung, tatkala dilihatnya satu sosok tubuh bongkok tanpa pakaian
berjalan dengan tenang.'
Kakek berusia lanjut yang memiliki kulit tipis dan dipenuhi tonjolan tulang ini
melangkah sambil terse-
nyum. Rambutnya putih dikepang. Mengenakan celana
pangsi warna hitam kusam. Matanya kelabu, jernih
dan tenang. Yang menarik perhatian, di lehernya ter-
gantung sebuah kalung terbuat dari oyot pohon yang
dirajut, agak menjuntai karena sosoknya yang bong-
kok. "Pendekar Bijaksana...," desis Tirta sambil menatap si kakek dalam-dalam.
Ada kekaguman yang
mencuat di dada pemuda dari Gunung Rajawali ini me-
lihat kehadiran Pendekar Bijaksana. "Ilmu-ilmu yang ada di dunia ini memang
aneh. Tak ada batu besar
atau pun pepohonan tinggi di padang rumput ini. Te-
tapi sosok Pendekar Bijaksana dan Seruling Haus Da-
rah bisa tak kelihatan. Begitu pula sebelumnya dengan Ratu Dari Kegelapan....
Ah, ternyata aku memang masih harus belajar banyak....' Tetapi, sebelumnya ku-
dengar kalau Pendekar Bijaksana menjerit tatkala terjadi bentrok tenaga dalam
antara tawa dahsyatnya
yang mencoba menandingi getaran tenaga dari Serul-
ing Gading. Hanya saja... mengapa kulihat dia nampak segar bugar?"
Sosok kakek bongkok itu menghentikan lang-
kahnya dengan kaki sedikit dipentangkan. Kepalanya
agak menengadah memandang Seruling Haus Darah
yang kendati tersenyum aneh, namun sorot matanya
tajam mencorong.
"Hanya seorang yang kuketahui memiliki ilmu
'Tawa Saketi'!"serunya kemudian. "Kendati aku tak pernah mengenal wujud orang
itu, tetapi aku tahu, kalau pemilik ilmu 'Tawa Saketi' dijuluki orang Pendekar
Bijaksana!" ' ,
Pendekar Bijaksana hanya tersenyum.
"Hanya seorang yang kuketahui memiliki den-
dam tinggi pada Dewa Tanpa Nama! Dan orang itu ber-
juluk Raja Setan! Tidak mengherankan bila ternyata
mengubah julukan menjadi Seruling Haus Darah! Te-
tapi, julukan semula tetaplah abadi kendati dicoba untuk mengubur dalam-dalam
hilangkan kenangan bu-
ruk dari tangan Dewa Tanpa Nama!!"
Lelaki tua berpakaian semerah darah itu ter-
diam mendengar kata-kata si kakek.
"Keparat ini rupanya tahu siapa aku! Hmm...
kesaktian yang diperlihatkannya tadi cukup lumayan!
Dia pantas menjadi lawanku sekaligus mati di tangan-
ku!" Habis membatin begitu, Seruling Haus Darah merandek dingin. "Tak perlu
banyak ucap! Kematianmu sudah berada di tanganku, Pendekar Bijaksana!!"
"Mati hanya sebuah nama pengganti sebutan
tidur panjang selama-lamanya! Dan tentunya kusam-
but dengan suka cita apa yang kau tawarkan tadi! Te-
tapi, kupikir, kita bisa tunda semua keinginan itu
sampai akhir bulan ini!"
"Jangan banyak mulut!"
"Kematian para tokoh rimba persilatan di tan-
ganmu hanyalah sebuah geger kecil yang terjadi kare-
na tak ada yang menyaksikan! Biarlah orang-orang
berkumpul pada akhir bulan ini untuk menyaksikan
pertempuran kita! Kupilih tempatnya di Bukit Watu
Hatur!" Sesaat terlihat wajah lelaki berkepala botak di
tengah itu terdiam. Sepasang matanya tetap bersorot
tajam. Di lain kejap dia berkata dingin, "Bagus! Bila kau sudah kubunuh, maka
tuntaslah semua keingi-nanku! Berarti, tak seorang pun yang mampu menga-
lahkan aku!!"
"Takabur!" sengat Tirta dengan pandangan sengit Sungguh, dia sudah tidak tahan
untuk melabrak lelaki itu. Namun masih ditindihnya keinginan yang
mendera di dada. Entah mengapa dia merasa kalau
Pendekar Bijaksana memiliki rencana lain.
Seruling Haus Darah palingkan kepala dengan
rahang dikertakkan. Lalu dengan suara melecehkan
dia berkata, "Kau bukanlah tandinganku!!"
Kejap lain, dengan tawa membahana dia balik-
kan tubuh dan mulai melangkah. Ingin sekali Rajawali Emas untuk menggebrak maju.
Namun lagi-lagi ditahannya.
Selang beberapa saat, sosok berpakaian seme-
rah darah itu sudah lenyap dari pandangan. Rajawali
Emas segera mendekati Pendekar Bijaksana.
Setelah memandanginya beberapa saat, dengan
hati-hati Tirta berkata, "Orang tua.. aku menduga kau mempunyai sebuah rencana
dari kata-katamu tadi Bila
aku boleh tahu, tolong jelaskan rencanamu itu...."
Pendekar Bijaksana mengusap rambutnya yang
jatuh di kening ke belakang.
"Kau benar. Aku memang mempunyai rencana."
"Maksudmu... kau mencoba untuk menda-
patkan Trisula Mata Empat milik Raja Dewa yang hi-
lang dicuri orang?" tanya Tirta dengan pandangan lurus ke depan.
Apa yang diduga Tirta ternyata berlawanan. Ka-
rena justru Pendekar Bijaksana menggelengkan kepa-
la. "Tidak."
"Tidak" Mengapa?"
"Karena... bukan aku yang akan menghada-
pinya. Tetapi, engkaulah satu-satunya yang bisa me-
nandingi manusia sesat itu, Anak Muda."
*** Tirta sampai melengak dengan kepala tegak
mendengar kata-kata Pendekar Bijaksana. Sambil
pandangi kakek di hadapannya yang memiliki sepa-
sang mata bersorot jernih, pemuda ini berkata dalam
hati, "Aneh! Tadi dia mengatakan kalau aku tak akan sanggup menandinginya tanpa
Trisula Mata Empat
yang bisa menandingi kehebatan Seruling Gading di
tangan manusia sesat itu. Bahkan dia menyuruhku
mundur. Tetapi, mengapa sekarang justru dia menga-
takan kalau akulah yang sanggup menghadapinya"
Bahkan tanpa Trisula Mata Empat. Ada apa ini?"
Masih tak bisa menyembunyikan keheranan-
nya, pemuda yang di lengan kanan dan kirinya terda-
pat rajahan burung rajawali keemasan dan di sanalah
mendekam sebuah ilmu langka bernama 'Inti Roh Ra-
jawali' berkata, "Orang tua... sungguh kata-katamu itu membingungkanku."
Pendekar Bijaksana hanya tersenyum.
"Aku pun sudah menduga demikian."
"Lantas... mengapa kau belum menjelaskan-
nya?" aju Tirta seperti menuntut.
Kepala kakek tanpa pakaian yang memperli-
hatkan tonjolan tulang di badannya, menggeleng.
"Tak perlu kujelaskan. Karena kau akan tahu
apa yang akan terjadi."
"Bagaimana aku bisa mengetahuinya sementa-
ra aku masih bingung dengan apa yang kau katakan?"
"Menunggu sedikit adalah tindakan yang sangat
bijaksana ketimbang mengetahui lebih dulu yang pada
akhirnya akan membawa pada jalan yang salah. Yang
pasti, kau tetaplah mendatangi Bukit Watu Hatur," ka-ta kakek bongkok berkalung
dari oyot pohon yang agak menjuntai itu. '
Mendengar jawaban si kakek, diam-diam Tirta
menarik napas pendek.
"Aneh sekali. Aku benar-benar tak habis men-
gerti," katanya dalam hati. Lalu sambungnya, "Bagaimana dengan Trisula Mata
Empat?" "Menurut penglihatanku, senjata mustika milik
Raja Dewa itu berada di tangan seorang perempuan
tua cabul yang merupakan musuh bebuyutanmu, Ra-
jawali Emas."
"Nenek Cabul," desis Tirta sejenak. Masih men-garahkan pandangan tidak mengerti
dia menyambung,
"Lantas... apa yang mesti kulakukan terhadap rencanamu itu, Orang Tua?"
"Kau akan tahu dengan sendirinya. Karena aku
tahu, kau memiliki rangkaian kecerdikan yang patut
diperhitungkan," sahut Pendekar Bijaksana.
Diam-diam Tirta mendengus. "Huh! Rangkaian
kecerdikan! Aku sendiri masih bingung dengan apa
yang dimaksudnya! Bagaimana aku bisa tahu?" Lalu katanya, "Baiklah! Biar aku
bisa mengetahui apa yang akan terjadi, aku akan ke Bukit Watu Hatur seperti
niatku semula!"
"Bagus! Dengan begitu tak ada yang perlu dibi-
carakan lagi," kata Pendekar Bijaksana sambil melang-
kah. Tirta membalikkan tubuh dan berseru, "Kau hendak kemana, Kek"!"
"Seperti kataku semula, aku datang hanya un-
tuk membuktikan kebenaran. Dan semuanya sudah
terbukti. Tetapi percayalah... aku akan hadir di Bukit Watu Hatur," sahut Pendekar
Bijaksana tanpa menghentikan langkahnya.
Dan sekarang, kau hendak ke mana?" ulang
Tirta tidak puas.
"Aku tidak tahu...."
Kali ini Tirta terdiam sambil pandangi sosok
bongkok yang terus melangkah menjauh. Dalam bebe-
rapa tarikan napas, sosok Pendekar Bijaksana sudah
lenyap dari pandangan si pemuda.
"Sungguh aneh sikap para tokoh rimba persila-
tan ini. Terkadang ucapan mereka masih diselubungi
misteri. Hmm... ikatan janji pertarungan sudah dika-
takannya pada Seruling Haus Darah. Dan masih ada
waktu sebelum tiba di Bukit Watu Hatur. Sebaiknya,
kucoba untuk melacak Nenek Cabul, yang ternyata di-
alah orangnya yang mencuri Trisula Mata Empat."
Memutuskan demikian, pemuda dari Gunung
Rajawali ini segera berkelebat meninggalkan tempat
itu. Dan untuk sementara dia melupakan keinginan-
nya untuk memanggil Bwana.
*** BAB 3 PAGI kembali menghampar dalam udara yang cukup sejuk. Bayang-bayang pepohonan
tinggi hanya seten-
gah saja dari tingginya pepohonan itu. Burung-burung beterbangan seperti
menyambut pagi Hinggap di satu
dahan ke dahan lain, lalu mencoba menjejakkan kedua
kaki di ranggasan semak yang menjuntai turun. Dan
terbang kembali seolah menyadari kalau ranggasan
semak itu tak mampu menahan tubuhnya.
Di sebuah jalan setapak, dari balik gerumbulan
semak, terdengar suara yang cukup keras, "Keparat!!
Rupanya manusia sialan itu membohongiku! Benar-
benar kapiran! Bila bertemu lagi dengannya, akan ku-
bunuh dia!!"
"Kau benar! Dia hanya memancingmu untuk
menyerahkan Trisula Mata Empat itu dengan menga-
takan...!!"
Suara sahutan itu terputus tatkala terdengar
suara yang pertama tadi memotong sengit, "Jangan banyak omong! Dan jangan jual


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagak di hadapanku!
Kau telah menjadi cacing begitu menghadapi Peri Ge-
lang Rantai!! Tak seharusnya kau kubiarkan hidup se-
karang!" Menyusul suara hardikan tadi, satu sosok tu-
buh muncul dari ranggasan semak belukar dengan wa-
jah ditekuk dan bibir dirapatkan tanda kegeraman
menyelimutinya. Sosok yang tak lain Nenek Cabul itu
alihkan pandangan pada lelaki kurus berkepala lon-
jong dengan rambut yang dapat dihitung yang kemu-
dian menyusul keluar dan berdiri di sebelah kanannya.
Wajah lelaki berpakaian gombrang warna hitam
bergaris merah itu nampak mengkelap dengan pan-
dangan tajam, tanda tidak suka mendengar kata-kata
perempuan yang mengenakan pakaian panjang kuning
kebiruan terbuka di bagian dadanya, hingga memper-
lihatkan bungkahan payudaranya yang besar namun
sudah kendor itu. Tetapi nampak pula kalau dia beru-
saha untuk menindih segala kejengkelannya.
Lalu dengan hati-hati dia berkata, "Kau sangat
cerdik sekali hingga tak termakan oleh kata-kata Raja Dewa tentang Trisula Mata
Empat yang kini kau miliki!
Bila tidak...."
"Diam!!" menghardik Nenek Cabul dengan pandangan tajam. "Jangan mencoba
menjilat! Sosokmu sangat memalukan diriku, Iblis Lembah Ular!"
"Keparat! Perempuan cabul ini benar-benar in-
gin dihajar! Tetapi aku tahu kesaktian yang dimili-
kinya, terutama setelah dia memiliki Trisula Mata Empat!" maki Iblis Lembah Ular
dalam hati sambil menindih amarahnya. "Dan bila aku nekat menghajarnya, justru
nyawaku yang lepas dari jasad!"
Seperti diketahui, sebelumnya Nenek Cabul dan
Iblis Lembah Ular bertemu dengan Raja Dewa dan Peri
Gelang Rantai. Peri Gelang Rantai yang sebenarnya ju-ga sedang mencari Iblis
Lembah Ular karena telah
membunuh adik seperguruannya di Danau Mati, sege-
ra menyerang lelaki berkepala lonjong itu yang ternya-ta tak mampu berbuat
banyak menghadapinya. Di saat
dia hendak menurunkan tangan, mendadak saja terta-
han karena Nenek Cabul telah menghalanginya.
Serangan demi serangan Peri Gelang Rantai
pun diarahkan pada Nenek Cabul, sampai kemudian
mencuat empat buah sinar merah dari balik pakaian
perempuan cabul itu tatkala terdesak. Raja Dewa yang hanya diam memperhatikan
tersentak tatkala mengenali sinar merah itu yang ternyata berasal dari Trisula
Mata Empat. Baru diketahuinya sekarang, siapa orang
yang telah membunuh Ratu Iblis dan merampas Trisu-
la Mata Empat. Merasa tak akan sanggup menghadapi senjata
mustika miliknya sendiri, Raja Dewa mengatur siasat
dengan cara membuat jeri Nenek Cabul. Sembari me-
nekan Nenek Cabul dengan kata-katanya, diam-diam
Raja Dewa kerahkan tenaga melalui ilmu 'Pembalik
Bumi' hingga tangan kiri Nenek Cabul berwarna me-
rah. Dikatakannya kalau hal itu berakibat dari Trisula Mata Empat yang memiliki
tenaga magis yang dapat
menyerang pemegangnya bila tak mengetahui bagai-
mana cara mengendalikannya. Namun sayangnya, Ra-
ja Dewa gagal menakut-nakuti Nenek Cabul karena pe-
rempuan itu sudah melarikan diri disusul Iblis Lembah Ular (Untuk lebih
jelasnya, silakan baca : "Trisula Mata Empat").
Sudah tentu Nenek Cabul yang sebelumnya ti-
dak mengetahui apa yang direncanakan Raja Dewa ke-
takutan. Dia berusaha kerahkan seluruh tenaga da-
lamnya untuk menghilangkan pengaruh gaib dari Tri-
sula Mata Empat. Kendati demikian, dia gagal melaku-
kannya. Sampai lima kali penanakan nasi telah lewat.
Dan tenaga dari ilmu 'Pembalik Bumi' yang dikerahkan Raja Dewa akhirnya hilang
dengan sendirinya. Mulailah Nenek Cabul sadar kalau semuanya terjadi bukan
dikarenakan Trisula Mata Empat, karena senjata mus-
tika itu selalu berada di balik pakaiannya!
Dalam keadaan tubuh yang normal dan rasa
ketakutan yang lenyap, si nenek palingkan kepala pa-
da Iblis Lembah Ular. Pandangannya tajam. Dia mera-
sa tak suka pada lelaki berkepala lonjong yang bebera-pa waktu lamanya menjadi
temannya bercinta tepat-
nya, menjadi tempat pelampiasan nafsu sesatnya si
nenek berkata, "Saat aku hampir saja termakan oleh kata-kata Raja Dewa, kau
sepertinya hendak meninggalkan aku karena tak mau terkena akibat dari Trisula
Mata Empat! Lantas... mengapa kau masih berada di
sini, hah"!"
Hampir saja Iblis Lembah Ular melupakan sia-
pa perempuan berpayudara besar namun kendor ini
mendengar kata-katanya barusan. Namun dia masih
tetap menindih kegeramannya.
Lalu dengan suara merayu dan dipaksanya un-
tuk tersenyum dia berkata, "Lupakan persoalan lalu.
Bukan maksudku untuk meninggalkanmu. Sebenar-
nya aku bermaksud...."
"Tutup mulutmu!! Mulai sekarang, jangan sam-
pai aku melihatmu lagi!!"
"Tetapi...."
"Apakah harus kubuktikan apa yang barusan
kukatakan"!" putus Nenek Cabul meradang.
Mendapati kata-kata yang tak main-main dan
tatapan mengkelap itu, Iblis Lembah Ular urungkan
niat untuk menyahut. Sesaat tubuh lelaki berkepala
lonjong ini bergetar dengan pandangan tajam. Kedua
tangannya terkepal kuat. Di lain saat, setelah mendengus keras Iblis Lembah Ular
segera balikkan tubuh dan berlalu dari Sana dengan dendam yang mulai naik.
"Perempuan keparat! Satu saat, akan kubalas
penghinaan yang kau berikan ini!! Sebaiknya, kucari
saja Maut Tangan Satu!! Lelaki berlengan kiri kutung itu telah bertindak kurang
ajar mengintip dan mencuri dengar apa yang telah direncanakan oleh Nenek Cabul!
Keparat betul! Semua manusia di dunia ini keparat!!"
Sepeninggal Iblis Lembah Ular, Nenek Cabul
mendengus. "Aku tak membutuhkan lelaki itu lagi!
Tindakan pengecutnya telah bikin darahku mendidih!
Tetapi yang terpenting sekarang, aku telah tahu kalau Trisula Mata Empat tak
menyerang balik pemegangnya! Dan satu hal lagi... aku telah tahu di mana
Seruling Haus Darah berada! Aku harus pergunakan ke-
sempatan ini untuk mendapatkan Seruling Gading dari
tangan manusia sesat itu!"
Sesaat perempuan setengah baya yang masih
montok ini terdiam. Kepalanya ditengadahkan, mena-
tap arakan awan putih di langit cerah.
"Sekaranglah saat yang tepat!" desisnya kemudian. Namun tiba-tiba saja Nenek
Cabul mengurung-
kan niatnya. Kepalanya segera dialihkan ke kanan. Da-ri kejauhan dilihatnya satu
sosok tinggi berpakaian hitam sambung menyambung berkelebat ke arahnya.
"Hmmm... siapa lagi yang datang" Kali ini aku
tak peduli! Bila berlaku sebagai kawan, maka akan
mendapat persahabatan! Bila berlaku sebagai lawan,
berarti akan mampus sekarang juga!"
Lalu ditunggunya sosok berpakaian hitam
sambung menyambung yang berkelebat ke arahnya
dengan kedua kaki dipentangkan dan sepasang mata
dipicingkan. *** Dalam tiga kejapan mata saja, lelaki berpakaian
hitam itu telah berdiri berjarak satu tombak di hadapan Nenek Cabul. Seperti
melihat setan di tengah hari, wajah lelaki itu nampak pias sesaat.
"Celaka! Mengapa aku harus bertemu dengan
perempuan berdada besar tetapi sudah kendor ini?"
diam-diam dia membatin. Sejenak matanya diedarkan,
lalu diarahkan kembali pada perempuan cabul yang
berdiri tegak di hadapannya. "Hmm... aku tak melihat sosok Iblis Lembah Ular di
sini. Ke mana dia" Bila manusia keparat itu tidak berada di sini, untuk sementa-
ra aku akan aman. Masih kuingat apa yang dikata-
kannya saat menolongku waktu itu."
Sosok berpakaian hitam penuh tambalan yang
lengan kirinya buntung itu tak lain adalah Maut Tan-
gan Satu. Memang, setelah dihajar oleh Peri Gelang
Rantai, Maut Tangan Satu ditolong oleh Iblis Lembah
Ular yang langsung menyatakan kalau Maut Tangan
Satu harus tunduk kepadanya mengingat budi yang
ditanam (Baca serial Rajawali Emas dalam episode:
"Memburu Nyawa Sang Pendekar").
Dan lelaki berpakaian sambung menyambung
inilah yang mengintip pembicaraan Nenek Cabul dan
Iblis Lembah Ular (Baca serial Rajawali Emas dalam
episode "Trisula Mata Empat").
Sementara itu, Nenek Cabul pun membatin,
"Aku paling tidak suka mendapati pandangan seperti itu! ingin rasanya kukepruk
kepala orang sialan ini!!"
Seraya maju satu langkah, Nenek Cabul berka-
ta, "Tak perlu banyak buang waktu! Katakan... siapakah kau adanya"!"
Lelaki berpakaian hitam sambung menyam-
bung ini berkata dalam hati, "Menilik sikapnya, dia sepertinya tidak tahu siapa
aku. Mudah-mudahan pula
dia tidak menyadari kalau aku yang mengintipnya saat dia bersama Iblis Lembah
Ular. Kalau begitu, aku harus coba unjuk gigi."
Memutuskan demikian, lelaki berlengan kiri
buntung ini berkata, "Mengapa tidak berbalik kaulah yang lebih dulu
memperkenalkan diri?"
"Setan keparat! Rasanya aku akan kembali
membuang waktu percuma! Akhir bulan ini tinggal se-
bentar lagi! Kalau dapat, aku harus bertemu dengan
Seruling Haus Darah sebelum akhir bulan tiba."
Habis membatin begitu, Nenek Cabul berkata,
"Bila tak ada yang mau memulai, lebih baik saling berlalu!!"
"Begitu pun lebih baik!" sahut Maut Tangan Sa-tu cepat. Memang, baginya
menghindari Nenek Cabul
adalah keputusan yang tepat Terutama dia tak men-
ginginkan untuk bertemu dengan Iblis Lembah Ular.
Namun karena dia merasa harus unjuk gigi, diurung-
kan niatnya untuk meninggalkan tempat itu. Sambil
petangkan kedua matanya dia berkata, "Tetapi sebelum masing-masing orang
berlalu, ada satu pertanyaan dariku! Tahukah kau di mana Rajawali Emas berada"!"
"Aneh! Lelaki berlengan buntung ini menanya-
kan Rajawali Emas"! Ada urusan apa dia dengan pe-
muda celaka itu?" gumam Nenek Cabul dalam hati. La-lu katanya, "Pertanyaan bisa
kujawab bila kau lebih dulu menjawab pertanyaanku! Katakan, ada urusan
apa kau dengannya"!"
Wajah Maut Tangan Satu berubah. Sambil me-
nindih kegeramannya karena tak suka mendapat per-
tanyaan balik dia berkata, "Seperti kataku tadi, jawab pertanyaanku!!"
Ganti wajah Nenek Cabul yang mengkelap se-
karang. Tetapi dia berpikir lain, "Menilik sikapnya, nampaknya lelaki ini
memiliki dendam pada Rajawali
Emas. Tak ada salahnya bila kujawab kendati aku ti-
dak tahu di mana pemuda itu berada. Paling tidak,
Bukit Watu Hatur adalah jawaban yang tepat. Barang-
kali saja lelaki berlengan buntung ini tahu di mana le-tak Bukit Watu Hatur itu,
sehingga aku tak perlu ber-susah payah di mana tempat itu berada. Setelah kude-
pak Iblis Lembah Ular dari hadapanku!"
Memutuskan demikian, Nenek Cabul berkata,
"Orang yang kau tanyakan saat ini sedang menuju ke Bukit Watu Hatur!"
Di luar dugaan si perempuan cabul, lelaki di
hadapannya mundur satu tindak dengan kepala tegak.
Kejap lain terdengar bentakannya, "Jangan asal bicara!!" "Setan! Pertanyaanmu
sudah kujawab dan kau tetap berlaku kurang ajar!!" hardik Nenek Cabul dingin.
Kali ini dia benar-benar tak bisa menindih kejengkelannya. Tetapi segera
disambung kata-katanya,
"Mengapa kau tak percaya dengan yang kukatakan, hah?" Sesaat Maut Tangan Satu
terdiam. Lalu berkata dalam hati, "Kalau yang dikatakan perempuan berdada besar
ini benar, ini mungkin sebuah keberuntungan."
Karena pertanyaannya tak disahuti orang, Ne-
nek Cabul berkata lagi, "Apakah kediamanmu sekarang ini menandakan kau
mempercayai kata-kataku?"
Untuk sesaat Maut Tangan Satu terdiam. Lalu
katanya, "Aku belum membuktikannya. Sebaiknya...."
"Siapakah kau sebenarnya?" putus Nenek Ca-
bul, keras. Kali ini Maut Tangan Satu melengak. Disada-
rinya kalau bahaya mulai mengancam. Secara diam-
diam di-alirkan tenaga dalam pada lengan kanannya,
bersiap bila terjadi sesuatu yang tak diinginkannya.
Lalu katanya dengan suara dihentak,
"Aku dikenal orang sebagai Maut Tangan Satu!"
Kepala Nenek Cabul menegak. "Jahanam! Jadi
manusia inilah yang mengintip dan mencuri dengar
pembicaraanku dengan Iblis Lembah Ular waktu itu!
Keparat betul! Bisa kupastikan sekarang kalau dia
adalah salah seorang cecunguk Seruling Haus Darah!
Hmm... dengan kata lain, dia pun tentunya tahu di
mana Bukit Watu Hatur berada! Bagus, dia bisa kuja-
dikan kambrat! Dan untuk sementara kulupakan ke-
lancangannya yang berani mencuri dengar pembica-
raanku dengan Iblis Lembah Ular!"
Memutuskan demikian, Nenek Cabul berkata,
"Hmmm... aku pernah mendengar pula julukan itu.
Julukan yang cukup menggetarkan orang!"
"Aneh! Sikapnya tak berubah sama sekali. Jan-
gan-jangan... dia memang tidak tahu kalau aku men-
gintipnya waktu itu" Bagus! Dengan begitu, aku tidak perlu terlalu tegang. Hanya
saja, di mana Iblis Lembah Ular berada?" tanya Maut Tangan Satu dalam hati. La-
lu dengan suara tegas, lelaki berpakaian hitam sam-
bung menyambung ini melanjutkan, "Kalau memang
benar yang kau katakan tentang keberadaan Rajawali
Emas di Bukit Watu Hatur, aku akan menuju ke sana."
"Tunggu! Salahkah bila kukatakan kau mem-
punyai dendam pada pemuda itu?" tahan Nenek Cabul berlagak tidak tahu apa yang
dimaksud oleh lelaki di hadapannya.
"Jangan campuri urusanku!!" maki Maut Tan-
gan Satu gusar.
"Jahanam betul! Tak seharusnya aku berlagak
seperti ini!" maki Nenek Cabul dalam hati mendengar bentakan orang. Lalu katanya
dengan pandangan terbuka lebih lebar, "Terus terang, aku punya urusan dendam
dengan pemuda keparat itu! Bila kau menginginkan bergabung, aku bersedia
melakukannya."


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maut Tangan Satu tersenyum penuh ejekan.
"Apakah kau pikir aku mau melakukannya?"
serunya keras dan menyambung dalam hati, "Apa yang ditawarkan perempuan berdada
besar ini sebenarnya
sebuah keberuntungan. Jalan yang paling baik untuk
membunuh Rajawali Emas dan membawanya ke hada-
pan Seruling Haus Darah. Tetapi, aku juga tak ingin
hadiah yang dijanjikan Seruling Haus Darah kubagi
dua dengannya. Satu hal yang paling penting lagi, aku tak mau berjumpa dengan
Iblis Lembah Ular."
"Tergantung kau sendiri. Yang pasti... kau tak
akan menyesal bila bergabung denganku," sahut Nenek Cabul menyeringai dan
menyambung dalam hati,
"Iblis Lembah Ular telah berlalu. Tak ada salahnya bila kumulai mencari
pengganti lelaki itu! Kendati lelaki ini pernah berlaku lancang, tetapi lumayan
sebagai peng-hibur!" Maut Tangan Satu terdiam dengan pandangan lurus. Matanya
berkali-kali melirik ke arah dada Nenek Cabul. "Sulit bagiku untuk memutuskan
tawaran itu! Tetapi yang tetap tak kuinginkan, berjumpa dengan Iblis Lembah Ular. Bisa saja
sebenarnya kuterima tawa-
ran itu dan kuperalat Nenek Cabul untuk membunuh
Iblis Lembah Ular yang kata-kata keparatnya masih
terngiang di benakku. Tetapi, Iblis Lembah Ular adalah kambratnya."
Sementara itu, mendapati arah pandangan
Maut Tangan Satu, perempuan berpakaian panjang
warna kuning kebiruan yang rendah di bagian dada,
diam-diam tersenyum.
"Hmmm... siapa pun orangnya, pasti akan tak-
luk bila sudah diberi gairah. Apalagi, lelaki seperti ini.... Baiknya,
kurangsang saja dia...."
Berpikir sampai di sana, dengan gerakan yang
benar-benar memancing perhatian siapa pun yang me-
lihat-nya, Nenek Cabul berkata dengan suaranya yang
penuh desahan, "Apa yang kau pikirkan lagi" Selain kau mendapatkan tenaga
tambahan untuk mengalahkan Rajawali Emas... kau pun akan mendapatkan gai-
rah hidup yang lebih."
Kali ini sorot mata Maut Tangan Satu menatap
lekat pada dada montok Nenek Cabul. Dan ini semakin
membuat Nenek Cabul makin keras mencoba menak-
lukkan lelaki berlengan buntung itu.
Seraya maju tiga langkah ke muka, Nenek Ca-
bul berkata, "Mengapa harus berpikir panjang lagi"
Apa yang kau hendaki, aku bersedia memberikan. Bu-
kankah ini jalan yang terbaik bagi kita agar...."
Tidak!!" suara tegas Maut Tangan Satu memu-
tus pancingan Nenek Cabul, yang membuat perem-
puan itu melengak tak percaya. Lalu dengan ejekan
dalam, Maut Tangan Satu melanjutkan kata, "Mungkin... aku termasuk lelaki yang
tak pernah menolak
daging mentah, apa lagi yang disodorkan seperti itu.
Tetapi... menerima sodoran kenikmatan dari orang se-
pertimu, hanya membuat harga diriku jatuh ke dalam
kubangan!"
Rahang Nenek Cabul mengembung dengan pe-
lipis kiri kanan bergerak-gerak. Hampir saja dia le-
paskan satu pukulan ke arah Maut Tangan Satu. Na-
mun, lelaki itu sudah berlalu dengan cepat. Karena dia tetap tak mengharapkan
bertemu dengan Iblis Lembah
Ular. "Kurang ajar! Manusia itu rupanya sudah ingin mampus!!" geramnya sengit.
"Huh! Tak kubutuhkan sama sekali agar dia bergabung denganku kecuali
menghajarnya karena berlaku lancang waktu itu! Yang
kuinginkan hanyalah mendapatkan petunjuk mudah
menuju ke Bukit Watu Hatur! Dan sudah tentu manu-
sia itu tahu di mana Bukit Watu Hatur berada! Se-
baiknya, kubuntuti saja lelaki berlengan buntung itu!!"
Memutuskan demikian, sambil tindih kemara-
hannya karena mendengar ejekan dan gagalnya men-
jadikan Maut Tangan Satu bertekuk lutut di bawah
kakinya, perempuan berdada besar namun sudah
kendor itu segera berkelebat menyusul.
Diam-diam amarahnya karena kelancangan
Maut Tangan Satu waktu itu pun naik ke permukaan.
*** Bab 4 PEREMPUAN berpakaian warna kuning cemerlang itu menghentikan kelebatannya
tatkala siang sudah tiba
di tengah kepala, di sebuah tempat yang dipenuhi pe-
pohonan. Sepasang matanya yang diselubungi topeng
perak guna menutupi wajahnya, memandang kejau-
han. Rambutnya hitam panjang bergerai dimainkan
angin. Perempuan yang tak lain adalah Dewi Topeng
Perak adanya, berkata pelan setelah menghembuskan
napas panjang, "Hmmm... masih cukup jauh jarak Bukit Watu Hatur kendati sudah
kelihatan dari sini.
Sungguh sial, setelah berputar terlalu jauh akhirnya harus kembali ke bukit itu!
Huh! Persetan dengan Rajawali Emas sekarang! Yang pasti, aku akan menda-
tangi bukit itu! Karena kupikir... di sanalah semuanya akan berakhir!"
Setelah memutuskan berpisah dari Nenek Ca-
bul dan Iblis Lembah Ular, Dewi Topeng Perak terus
berkelebat. Tujuannya sekarang adalah Bukit Watu
Hatur (Baca serial Rajawali Emas dalam episode : "Ra-tu Dari Kegelapan").
Selama berlari menuju ke tempat itu, perem-
puan bertopeng perak ini mencoba menghibur diri, ka-
lau Ratu Dari Kegelapan yang menyamar sebagai Putri
Lebah telah menjalankan tugasnya. Dengan kata lain,
dia tidak terlalu memusingkan lagi bagaimana caranya untuk membalas dendam pada
Rajawali Emas. Kendati demikian, Dewi Topeng Perak belum
merasa puas bila dia belum mendapatkan keterangan
yang benar tentang dugaannya. Sedikit banyaknya, dia
meragukan kemampuan Ratu Dari Kegelapan menja-
lankan tugas untuk membunuh Rajawali Emas. Kare-
na selain memiliki kesaktian yang tinggi, pemuda dari Gunung Rajawali itu
memiliki otak yang cerdik.
"Huh! Kalau dia ternyata masih hidup, ke-
mungkinan besar dia akan menuju ke Bukit Watu Ha-
tur!" desis perempuan bergincu ini penuh kegeraman.
"Ya! Tak mungkin dia tak mendengar kabar di mana Seruling Haus Darah berada!!
Hmm... sebaiknya aku
menuju ke Sana sekarang juga!!"
Sebelum perempuan bertopeng perak ini me-
laksanakan niat, terdengar satu suara cukup keras,
"Tak kusangka kita bertemu di sini, Perempuan bertopeng perak! Menilik gelagat,
sepertinya kau belum bertemu dengan Rajawali Emas!!"
Seketika Dewi Topeng Perak menengadah. Dili-
hatnya satu sosok tubuh mengenakan pakaian dan
berjubah hitam sedang duduk menguncang kaki di se-
buah dahan pohon. Bibir lelaki yang di pipi kanannya terdapat codetan bekas luka
ini tersenyum aneh.
Melihat orang yang dikenalnya itu, Dewi Topeng
Perak mendengus. Diam-diam dia membatin dalam ha-
ti, "Terakhir kali aku bertemu dengan manusia ini di Bukit Watu Hatur, dia
berdiri tegak. Tetapi sekarang mengapa tubuhnya nampak bongkok seperti itu"
apakah ada...persetan bila ternyata benar tubuhnya yang mendadak menjadi bongkok
seperti itu!" Menyusul bentakannya yang terdengar keras, "Sejak kapan kau
menjadi tukang intip seperti itu, hah"!"
Lelaki yang bertubuh agak bongkok dan tak
lain adalah Maung Kumayang tertawa berderai, lalu
melompat ringan dan berdiri di hadapan Dewi Topeng
Perak. "Kalau pun aku mengintip, tak mungkin aku
akan kelihatan seperti ini, bukan"!"
"Setan keparat! Kalau omongannya barusan itu
benar, berarti dia sejak tadi duduk menguncang kaki di dahan pohon itu. Anehnya,
aku tak mengetahuinya
sama sekali. Setahuku, lelaki berlengan buntung ini
memiliki ilmu peringan tubuh di bawah kepandaian-
ku!" maki , Dewi Topeng Perak dalam hati. Lalu katanya, "Bagaimana dengan kau
sendiri" Apakah' kau sudah bertemu dan menangkap pemuda dari Gunung
Rajawali itu?"
Maung Kumayang menggeram. Tubuhnya tidak
lagi tegak seperti dulu, tetapi agak membongkok. Ini disebabkan tulang
punggungnya telah patah dua buah
akibat serangan Rajawali Emas. Dan lelaki bercodet itu masih beruntung karena
dia tidak lumpuh total setelah ditolong oleh Siluman Kawah Api.
"Tidak! Bahkan aku pernah dipecundanginya!"
Dewi Topeng Perak menyeringai. Lalu terdengar
kata-katanya tajam, "Kau tak perlu mengatakannya lebih lanjut! Tubuhmu yang
mendadak bongkok itu pasti
akibat ulah Rajawali Emas! Apa yang bisa kau lakukan kalau begitu" Betul-betul
membingungkan bila Seruling Haus Darah sampai memilihmu menjadi kaki tan-
gannya!" kata Dewi Topeng Perak penuh ejekan. Sungguh, dia tak mengharapkan
bertemu dengan Maung
Kumayang, kendati memiliki tujuan yang sama.
Kendati marah mendengar ejekan perempuan
berpakaian kuning cemerlang itu, Maung Kumayang
mencoba menganggap sebagai angin lalu belaka.
Kemudian katanya, "Kita satu jalan dan satu
golongan. Tak perlu pusing memikirkan segala urusan.
Mengapa kita tak bersatu sekarang?"
Dewi Topeng Perak tak segera membuka mulut.
Dari balik topeng perak yang dikenakannya, sepasang
matanya menatap tajam ke depan.
"Usul lelaki yang tubuhnya telah jadi bongkok
ini boleh juga. Memang tak ada salahnya bila berga-
bung dengannya. Tetapi... jangan-jangan dia bermak-
sud lain. Aku harus mengorek keterangan lebih lanjut dulu sebelum mengiyakan."
Memutuskan demikian, Dewi Topeng Perak
berkata, "Dengan kata lain, kau tak sanggup mengatasi Rajawali Emas, bukan"
Atau... kau tak ingin nya-
wamu putus di tangannya setelah dia memberi tanda
mata di punggungmu yang telah jadi bongkok"!"
Maung Kumayang menyipitkan sepasang ma-
tanya. "Kau salah menduga tentang aku!" serunya dingin. "Apakah aku masih salah
menduga bila melihat keadaanmu seperti itu, hah"!"
"Tak kubantah apa yang kau katakan! Tulang
punggungku memang pernah patah akibat perbuatan
Rajawali Emas!"
"Juga dengan kata lain kau tak mampu untuk
mengalahkannya bukan, hingga kau mengajukan usul
yang benar-benar memancing tawaku!!"
"Kita belum berbicara lebih lanjut!" sahut Maung Kumayang tajam.
"Baiklah!" Dewi Topeng Perak menganggukkan kepalanya. "Katakan kepadaku...
adakah keuntungan yang bisa kudapatkan dari tawaranmu itu?"
"Itu kembali pada dirimu sendiri! Bila kau ka-
takan aku mencoba untuk mengangkangi hadiah yang
diberikan Seruling Haus Darah, kau salah besar!"
"Lantas apa yang kau inginkan?"
Maung Kumayang memasang senyum aneh.
"Sudahkah kau berjumpa dengan Iblis Lembah Ular?"
Mendengar nama itu disebutkan, seketika ke-
pala Dewi Topeng Perak menegak. Kali ini suaranya
dingin, "Mau apa kau bertanya soal itu, hah?"
"Aneh! Perubahan nada suaranya begitu cepat
sekali. Ada apakah ini?" tanya Maung Kumayang dalam hati. "Bila kau mengiyakan
untuk bergabung denganku, maka akan kukatakan penyebabnya."
"Katakan!"
"Apakah dengan begitu secara tidak langsung
kau menyetujui usulku?"
Di balik topeng perak yang dikenakan, wajah
perempuan berpakaian kuning cemerlang itu mengke-
lap. Tetapi di lain kejap dianggukkan kepalanya.
Maung Kumayang tersenyum dulu sebelum
berkata, "Terus terang, kendati kita termasuk Iblis Lembah Ular adalah kaki
tangan Seruling Haus Darah,
tetapi aku tidak menyukai lelaki berkepala lonjong itu.
Bahkan..."
"Mengapa?" putus Dewi Topeng Perak dengan
nada menyentak.
"Kau tak perlu menanyakan soal itu! Bagaima-
na dengan kau sendiri?" sahut Maung Kumayang.
Dewi Topeng Perak menarik napas pendek. .
"Begitu pula denganku!"
"Bagus! Berarti, kita punya keinginan yang sa-
ma untuk menghajar lelaki itu, bukan?" Lalu dengan mimik serius, lelaki
berpakaian dan berjubah hitam itu melanjutkan kata, "Nah! Sekarang dengarkan
kelanju-tan kata-kataku! Menurutku, inilah yang paling pent-
ing! Dewi Topeng Perak, pernahkah timbul keinginan
dalam hatimu untuk menguasai Seruling Gading yang
berada di tangan Seruling Haus Darah?"
"Gila! Apa maksud lelaki ini berkata begitu" Sedikit banyaknya, aku tahu kalau
Nenek Cabul pun
menginginkan hal yang sama." Habis membatin begitu, Dewi Topeng Perak berkata,
"Aku belum paham maksudmu."
"Mudah saja. Dan aku yakin kau bukanlah pe-
rempuan yang bodoh."
"Tetapi hari ini aku mengaku bodoh!" sahut Dewi' Topeng Perak menindih jengkel.
"Keparat! Dia sepertinya mempermainkanku!
Tetapi dia mau bergabung denganku! Dengan tenaga
ramuan dari Daun Naga Merah dan Lendir Kodok Api
yang diberikan Siluman Kawah Api, aku yakin aku
memiliki sesuatu yang lebih. Hanya saja, aku sempat
melihat perubahan wajah Siluman Kawah Api tatkala
kusebutkan julukan Seruling Haus Darah. Entah apa
yang menyebabkannya demikian. Apakah dia termasuk
salah seorang yang hendak menghentikan sepak ter-
jang Seruling Haus Darah, atau justru hendak berga-
bung, atau hendak merampas Seruling Gading dari
tangan Seruling Haus Darah" Sukar ditebak. Dan se-
karang... aku memiliki keinginan untuk mendapatkan
Seruling Gading. Sebaiknya biar kukatakan saja."
Lalu dengan wajah dipasang serius, Maung
Kumayang berkata, "Aku sudah cukup bosan menjadi kaki tangan Seruling Haus Darah
tanpa mendapatkan
sesuatu yang lebih berarti! Apakah salah bila sekarang kuinginkan Seruling
Gading yang telah diubah namanya menjadi Seruling Haus Darah dan dipakai se-
bagai julukannya itu menjadi milikku" Dengan kata
lain, urusan terhadap Rajawali Emas bisa ditunda se-
mentara waktu! Bila kita sudah mendapatkan Seruling
Gading, kemungkinan besar untuk membunuh Raja-
wali Emas bukanlah soal yang sulit!"


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Lantas, apa yang kau andalkan untuk merebut
Seruling Gading dari tangan Seruling Haus Darah"!"
ejek Dewi Topeng Perak. "Jangan terlalu banyak tidur di siang hari sehingga kau
banyak bermimpi!"
"Hmmm... dia belum tahu siapa aku sekarang.
Akan kubuktikan biar dia tahu!!"
Memikir demikian, tanpa banyak suara, men-
dadak saja Maung Kumayang menggerakkan tangan
kanannya dengan cara mendorong.
Wusss!! Seketika menghampar satu gelombang angin
berhawa panas yang timbulkan suara bergemuruh.
Sejenak Dewi Topeng Perak terkejut mendapati
apa yang dilakukan oleh lelaki bercodet di pipi kanan itu. Lebih terkejut lagi
tatkala gelombang angin mengandung hawa panas yang gagal pada sasarannya,
menghantam sebatang pohon yang langsung menger-
ing. Di saat angin berhembus, pohon yang telah han-
gus itu terbawa menjadi serpihan.
"Gila!" desis Dewi Topeng Perak tertegun. Tetapi hanya sekejap. Karena di kejap
lain perempuan berpakaian kuning cemerlang ini sudah melompat ke samp-
ing seraya berseru, "Keparat! Apa yang kau lakukan, hah"!" "Satu pembuktian
bahwa kau salah menduga tentangku, Dewi Topeng Perak!" seru Maung Kumayang
sambil menggerakkan tangan kirinya.
Wuuutttt!! Mengkelap sudah perempuan bertopeng perak
ini. Setelah melompat ke samping dan begitu kakinya menjejak tanah, tubuh
perempuan ini sudah mencelat
ke depan. Satu jotosan dilepaskan dengan cepat.
Namun bersamaan dengan itu, Maung Ku-
mayang segera mendorong tangan kanannya.
Segera menderu satu gelombang angin mengandung
hawa panas tinggi. Terdengar pekikan Dewi Topeng Pe-
rak dan segera membuang tubuh ke belakang bila tak
ingin tubuhnya tersambar hawa panas dari pukulan
Maung Kumayang.
"Gila! Betul-betul mencengangkan"! Bagaimana
lelaki ini bisa memiliki tenaga dalam tinggi dan pukulan yang mengandung hawa
panas luar biasa" Apa-
kah...." "Mengapa kau hanya bisa menghindar belaka"!
Bukankah ini yang kau inginkan"!" sambar Maung
Kumayang memutus kata batin perempuan bertopeng
perak itu sambil tertawa dingin.
Mendengar kata-kata itu, kemarahan Dewi To-
peng Perak semakin naik. Mulailah kemudian dia
membalas setiap serangan yang dilakukan oleh Maung
Kumayang. Namun pembalasan yang dilakukan Dewi To-
peng Perak hanya bisa dilakukan dalam lima gebrakan
saja. Karena gebrakan berikutnya, justru dia yang
menjadi sasaran setiap serangan Maung Kumayang.
Terutama menyadari betapa setiap serangan
yang dilancarkan Maung Kumayang mengandung ha-
wa panas tinggi. Hawa panas itulah yang cukup mem-
buat Dewi Topeng Perak harus menjaga jarak Dan di-
karenakan harus menjaga jarak, serangannya jadi tak
bisa dilakukan sebagaimana mestinya.
Sedangkan tempat itu sudah porak poranda.
Begitu banyaknya ranggasan semak belukar dan pepo-
honan yang hangus. Bahkan di beberapa bagian, ta-
nah telah rengkah dan terbongkar. Bahkan dari lubang yang terbentuk akibat
labrakan serangan masing-masing orang, mengeluarkan asap yang menebarkan
bau sangit "Benar-benar mengejutkan! Bagaimana dia bisa
berubah secepat itu" Apakah ada seseorang yang men-
gajarinya" Atau... hmm, bisa kutebak sekarang. Tak
mungkin dia bisa berdiri kendati agak bongkok seka-
rang karena tulang punggungnya patah! Pasti ada yang telah membantunya dan
sekaligus mengajarkan ilmu
yang cukup hebat ini...."
Sementara Dewi Topeng Perak membatin begi-
tu, Maung Kumayang berseru sambil tertawa, "Apakah kini kau percaya dengan
kemampuanku" Apakah kau
masih ingin membuktikannya lagi sampai kau mam-
pus"!" "Keparat!!" maki Dewi Topeng Perak. "Kendati serangannya begitu
mengerikan, tetapi kupikir aku
masih bisa mengatasinya dengan jurus...." Memutus kata batinnya sendiri,
perempuan bertopeng perak ini berkata, "Baik! Kini aku percaya dengan kemampuan-
mu!!" Mendengar kata-kata Dewi Topeng Perak,
Maung Kumayang segera hentikan serangannya. Dia
melompat ke belakang dan berdiri dengan kedua kaki
terpacak di atas tanah, agak bongkok. Pandangannya
tajam penuh sinar mengejek. .
"Suatu keputusan yang tepat! Ini bukan sebuah
pertarungan, tetapi hanya sedikit pembuktian dari eje-kanmu!!" katanya sambil
tersenyum aneh.
Di seberang, Dewi Topeng Perak yang telah ber-
diri tegak mendengus dingin, "Kalau memang begitu adanya, aku menyetujui
ajakanmu! Tetapi... ada satu
pertanyaan yang masih singgah di benakku"!"
"Bila kau bertanya mengapa aku menjadi hebat
seperti ini, kau tak akan menemukan jawabannya! Te-
tapi yang boleh kau ingat dan ketahui, kalau kau tak akan bisa mengalahkanku!"
"Setan bongkok! Bila ada kesempatan kurobek
pecah mulutnya!!" Sambil menindih kegeramannya, Dewi Topeng Perak berkata,
"Siapakah yang berhak untuk mendapatkan Seruling Gading kelak, bila kita
mendapatkannya"!"
Senyum aneh di bibir Maung Kumayang sema-
kin mengembang. Lalu dengan kata-kata bernada ting-
gi dan ejekan yang benar-benar tak ditutupinya dia
berseru, "Urusan itu, bisa kita pikiran lagi! Paling tidak, kita akan bertarung
untuk membuktikan siapa
yang berhak memilikinya!!"
Dewi Topeng Perak hampir saja melabrak ke
depan mendengar kata-kata yang menyakitkan telin-
ganya. Tetapi ditahannya. Lalu dengan suara geram
dia berkata tegas, "Baik! Tantangan itu kuterima!!"
Maung Kumayang tertawa berderai. Lalu ka-
tanya tetap dengan nada meremehkan, "Baiknya, kita menuju ke Bukit Watu Hatur
sekarang! Siapa tahu, selain mendapatkan Seruling Gading' dari tangan Serul-
ing Haus Darah, kita juga akan berhasil membunuh
Rajawali Emas!!"
Dewi Topeng Perak hanya terdiam dengan pan-
dangan sengit ke arah lelaki bercodet di pipi kanan itu yang sedang tertawa.
Bukan main geramnya perempuan ini.
"Kali ini aku mengalah. Tetapi... kelak kau akan terkejut mengetahui
sebenarnya."
Dan selagi Dewi Topeng Perak menggeram da-
lam hati sementara lelaki berpakaian dan berjubah hitam itu tertawa berderai,
terdengar satu suara keras dan dingin, "Bila kalian sudah memutuskan bergabung,
aku pun ingin turut serta dalam keramaian niat ini! Tetapi bukan untuk
mendapatkan Seruling Gading
dari tangan Seruling Haus Darah! Melainkan... mem-
bunuh Rajawali Emas!!"
*** Bab 5 PADA saat yang bersamaan, Rajawali Emas yang saat itu berkelebat menuju ke Bukit
Watu Hatur masih
memikirkan sikap dan kata-kata Pendekar Bijaksana.
Pemuda dari Gunung Rajawali ini masih tak habis
mengerti. Dicobanya untuk mencernakan maksud
Pendekar Bijaksana.
Namun sampai sejauh itu, dia masih tak bisa
menemukan jawaban yang menurutnya tepat.
"Benar-benar memusingkan kepalaku!" desis-
nya seraya terus berkelebat. Kendati sudah cukup la-
ma dia berlari, namun tak sebutir keringat pun yang
menetes di tubuhnya. Ini dikarenakan dia telah pergunakan tenaga surya sebagai
pembantu ilmu peringan
tubuhnya. Namun mendadak pemuda ini menghentikan
larinya. Dari mulutnya terdengar kata-kata, "Aku harus memecahkan dulu maksud
dari Pendekar Bijaksa-
na sebelum tiba di Bukit Watu Hatur! Kesaktian Seruling Haus Darah jelas tak
bisa dipandang enteng! Bila aku..." Belum habis kata-kata Tirta, ranggasan semak
belukar berjarak lima tombak dari tempatnya berdiri
bergerak-gerak.
Pemuda yang di lengan kanan-kirinya terdapat
rajahan burung rajawali keemasan ini tersentak dan
cepat palingkan kepala. Tak ingin sesuatu yang tak
mengenakan terjadi, dia segera kerahkan tenaga da-
lamnya. Namun hanya sesaat dilakukannya, karena ke-
jap lain Tirta sudah menarik napas panjang, tatkala
melihat dari gerumbulan semak itu melompat dua ekor
kelinci gemuk yang seperti sedang bercanda dan berke-jaran. "Ah, bila saja
kehidupan ini seperti yang dilakukan oleh dua ekor kelinci itu, sungguh suatu
hal yang sangat menyenangkan," kata Tirta sambil memandang kedua ekor kelinci itu
yang terus menjauh.
Saat itulah tiba-tiba telinganya menangkap ke-
lebatan orang ke arahnya. "Hmmm... menilik kelebatannya, jelas mereka berjumlah
tiga orang. Tak ingin aku membuang waktu sekarang untuk meladeni
orang-orang itu. Tetapi... aku harus tahu dulu siapa mereka...."
Tirta segera berkelebat ke samping dan menye-
linap di balik ranggasan semak setinggi dada. Sedikit dikuak-kan semak belukar
itu. Sepasang matanya dipentangkan lebih lebar. Tetapi pemuda dari Gunung
Rajawali ini justru terkejut tatkala menyadari kalau dia tak mendengar lagi
suara kelebatan orang-orang itu.
"Aneh!" desisnya. Kendati demikian, Tirta tidak bermaksud untuk segera keluar
dari persembunyiannya. Dia justru lebih membuka telinga dan matanya
lebar-lebar. Namun setelah ditunggu beberapa lamanya tak
seorang pun yang muncul di tempat itu, akhirnya Tirta memutuskan untuk keluar
dari persembunyiannya.
Saat itulah langkahnya tertahan tatkala men-
dadak saja terdengar suara bergemuruh keras dari de-
pan. Menyusul serangkum angin dahsyat melabrak ke
arahnya! Sambil berseru tertahan, pemuda dari Gunung
Rajawali ini cepat membuang tubuh menyelamatkan
diri. Bersamaan dengan itu terdengar suara letupan
yang keras. Di kejap lain, ranggasan semak di mana
tadi dia bersembunyi rengkah terseret gelombang an-
gin itu. Sementara tanahnya terbongkar!
Belum lagi Tirta berdiri tegak, terlihat tiga
bayangan berkelebat cepat dan tahu-tahu telah berdiri tiga sosok tubuh berjajar
dengan jarak sepuluh langkah dari hadapannya.
Untuk sesaat Rajawali Emas terdiam. Kendati
demikian mulutnya terbuka dengan mata melebar.
"Luar biasa! Tiga gadis jelita! Siapakah mereka"
Apakah gadis-gadis ini sebangsa makhluk jejadian"
Atau... mereka kesasar" Tetapi menilik pakaian yang
masing-masing orang kenakan, mereka nampaknya
orang-orang rimba persilatan...," gumam Tirta sambil mengawasi gadis itu satu
per satu. Gadis yang berdiri dengan kedua kaki sedikit
dipentangkan paling kiri, berparas jelita dengan rambut lurus tergerai hingga
punggung. Matanya jernih
dengan sorot tajam dan dingin. Lekukan bibirnya se-
benarnya bagus dan cukup mengundang, bila saja dia
tidak merapatkannya seperti itu. Gadis ini mengena-
kan jubah panjang berwarna putih. Sementara di sebe-
lah kanannya, gadis yang mengenakan jubah warna
biru pekat pun tak kalah jelitanya. Wajahnya berben-
tuk bulat telur dengan hidung bangir. Rambut pan-
jangnya diikat, diberi pita yang berwarna sama dengan jubah yang dikenakannya.
Tetapi raut wajahnya dingin dan tak bersahabat. Sementara yang berdiri paling
kanan, berparas jelita pula mengenakan jubah warna hi-
tam. Sosoknya lebih tinggi dari kedua gadis lainnya.
Hidungnya mancung dengan pipi yang agak merona
merah. Masing-masing gadis itu berkulit putih dan
mengenakan pakaian berwarna coklat dengan celana
pangsi warna hitam.
Gadis berjubah biru pekat membatin, "Menilik
cirinya, pemuda inilah yang dikatakan Guru. Tetapi,
bisa jadi salah. Untuk lebih jelasnya, lebih baik kutanyakan saja."
Lalu dengan suara lantang dan dingin, gadis
berjubah biru pekat berseru, "Pemuda berpakaian keemasan! Kami tak punya banyak
waktu! Cepat katakan siapa kau adanya"! Bila kau orang yang kami cari, cepat
membunuh diri! Bila ternyata bukan, segera
enyah dari sini sebelum celaka!!"
Orang yang ditanya bukannya segera menja-
wab, justru arahkan pandangan pada gadis yang
membentak tadi, yang seketika mengkelap.
Kembali dia bertanya sengit. Tetapi Rajawali
Emas masih belum membuka mulut. Diam-diam pe-
muda ini justru membatin, "Mendengar kata-katanya, ada sesuatu yang mulai
terkuak. Mereka nampaknya
sedang mencari seseorang, dan bisa jadi akulah
orangnya. Sebaiknya, kujawab saja dulu sehingga bisa kudapati apa yang membuatku
cukup bertanya-tanya
ini." Memutuskan demikian, Rajawali Emas berkata,
"Baru kali ini kudengar orang bertanya seperti naga marah keluar dari kawah!
Apakah tidak ada cara
yang lebih sopan?"
Gadis berjubah biru pekat kertakkan rahang-
nya. "Berani mengucapkan lagi kata-kata itu, kuki-rim nyawamu ke neraka! Cepat
jawab pertanyaanku!!"
"Kalau kau mau tahu, namaku Lolo Bodong.
Nah, kau mungkin heran mendengar namaku yang
cukup antik itu, bukan" Tetapi... pusarku memang
bodong, kok! Baiklah... biar kalian tidak penasaran...
akan kuperlihatkan pusarku ini...."
Tahan!" seru si gadis dingin dengan tangan te-
rangkat. Tirta segera mengangkat kepalanya dengan wa-
jah dibuat bodoh. Lalu katanya, "Mengapa" Bukankah aku hendak memperlihatkan
sebuah bukti" Bila kalian
ingin melihatnya tak mengapa."
"Jahanam! Aku tak percaya pemuda ini berna-


Rajawali Emas 22 Pendekar Bijaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ma Lolo Bodong! Aku sangat hafal sekali mendengar
penjelasan Guru terhadap pemuda berjuluk Rajawali
Emas yang harus mampus bila dia tak mau mengata-
kan di mana Kitab Pamungkas, lanjutan dari Kitab
Pemanggil Mayat berada!"
Habis membatin begitu, si gadis berkata, "Jan-
gan berlaku bodoh di hadapan kami! Katakan, siapa-
kah kau sesungguhnya"!"
"Heran! Tadi sudah kukatakan namaku, bu-
kan" Mengapa kalian tak percaya" Atau... kalian ingin memberi nama kepadaku"
Ayo, katakan saja! Nama
apa pun yang kalian berikan akan kuterima! Tahu ke-
napa" Karena kalian gadis-gadis jelita yang enak di-
pandang!" Kesabaran gadis cantik berjubah biru pekat ru-
panya sudah putus. Seraya keluarkan bentakan keras,
gadis ini melompat ke depan. Kaki kanannya diangkat
tinggi-tinggi tanda bersiap melepaskan tendangan ke-
ras. Tirta pun menduga demikian. Karena. dia sen-
diri mulai merasa tak senang dengan kehadiran tak
bersahabat dari tiga orang gadis itu, serta-merta dido-rong-kan perlahan tangan
kanannya. Gerakan kaki
kanan si gadis tertahan. Bila gadis itu tidak sigap, bisa dipastikan dia akan
jatuh terjengkang.
Seraya mundur satu langkah, gadis ini pen-
tangkan kedua matanya.
"Setan keparat! Siapa pemuda yang mengaku
bernama Lolo Bodong ini sebenarnya" Dari sikapnya,
sungguh menjengkelkan! Dia seperti memandang sebe-
lah mata padaku!" maki gadis itu dan diam-diam dili-patgandakan tenaga dalamnya.
"Gadis cantik berjubah biru pekat! Sikapmu
nampaknya memang tak pernah bersahabat! Apa uru-
sanmu dengan namaku ini" Aku sudah mengatakan
namaku tadi pada kalian! Boleh kutahu siapa kalian
adanya"!" ujar Tirta yang mencoba mengorek apa yang sedang dicari ketiga gadis
ini. Kalau tadi gadis yang berjubah biru pekat yang
selalu menyahut, kali ini yang berjubah hitam sudah berkata, tak kalah
dinginnya, "Dengar! Kami bertiga adalah orang yang akan menurunkan tangan maut
pa-da Rajawali Emas! Namaku Dayang Kemilau! Yang
mengenakan jubah biru pekat bernama Dayang Ha-
rum! Sedangkan yang mengenakan jubah warna putih
bernama Dayang Pandan! Kami berjuluk Dayang-
dayang Dasar Neraka!"
"Hmmm... lantas, mengapa kalian hendak me-
nurunkan tangan maut pada orang berjuluk Rajawali
Emas?" "Tak usah balik tanya! Dayang Harum sudah bertanya siapa kau adanya!
Baiknya kau jawab dengan
jujur!" "Jadi masih persoalan nama" Bukankah ta-di...." "Tunggu!! Kami sangat
hafal ciri-ciri Rajawali Emas! Dan sayangnya... ciri-ciri itu melekat pada tu-
buhmu!" "Maksudmu... karena aku sama tampannya
dengan pemuda yang kalian maksud?" Tirta menyeringai. Lalu sambil menggeleng-
gelengkan kepala dia berkata, "Aneh! Kalian sendiri belum pernah bertemu dengan
Rajawali Emas, lalu mengapa sekarang kalian
menyamakan ketampananku dengannya" Jangan-
jangan, pemuda itu jelek bin menakutkan! Kok enak-
nya menyamakan wajah tampanku ini dengannya!!"
"Pemuda jahanam! Jangan menjual lagak!!"
hardik Dayang Kemilau keras.
"Aku mengatakan yang sebenarnya!"
Dayang Pandan berbisik pelan, "Dayang Kemi-
lau...menghadapi manusia yang rada gendeng ini ku-
pikir tak bisa dilakukan hanya dengan bercakap-cakap belaka. Sebaiknya, kita
paksa orang ini mengaku siapa dia sebenarnya."
Perlahan-lahan terlihat kepala Dayang Kemilau
mengangguk. Kejap lain, dia segera kirimkan pukulan
ke arah Rajawali Emas.
Seketika terdengar deruan luar biasa keras. Ke-
jap itu juga melesat satu gelombang angin laksana ba-dai menghantam pesisir.
Karena melihat bagaimana
tadi si pemuda bisa menggagalkan niat Dayang Harum,
Dayang Kemilau langsung kirimkan pukulan dengan
tenaga dalam tinggi.
Di seberang sana, mendapati betapa ganasnya
serangan gadis berjubah hitam, pemuda dari Gunung
Rajawali ini mendengus sekejap. Menyusul segera di-
angkat kedua tangannya.
Wuuuttt! Wuuutttt!!
Dua rangkum angin berkelebat angker dan per-
dengarkan suara menderu kencang.
Blaaammm!! Terdengar ledakan keras saat dua serangan itu
bentrok di udara. Sosok gadis berjubah hitam terlihat surut tiga langkah dengan
wajah berubah pucat pasi
dan dada bergetar. Di depan sana, Rajawali Emas ter-
jajar ke belakang dan bersandar di sebatang pohon
dengan kedua kaki tak goyah sedikit pun.
Dayang Kemilau kertakkan rahangnya. Dari
mulutnya terdengar seruan keras. Begitu kaki kanan-
nya disentakkan di atas tanah yang seketika mem-
buyar mengepul, sosoknya sudah berkelebat kembali
ke depan. Kali ini kedua tangannya digerakkan sekaligus! Mendadak saja suasana
di tempat itu meredup.
Angin seolah berhenti bertiup. Menyusul deruan keras yang menggelegar, sebongkah
kabut hitam melesat dan
mengeluarkan hawa dingin yang luar biasa menderu
mengerikan. "Bagus! Pemuda itu akan tahu rasa sekarang!"
desis Dayang Harum dengan seringaian lebar. "Jarang orang yang mampu menahan
pukulan 'Kabut Gurun
Es' yang dahsyat itu."
Tetapi seringaian di bibir gadis berjubah biru
pekat lenyap seketika, tatkala dari arah depan sana
melesat hawa panas keras luar biasa yang nampaknya
berhasil mengimbangi hawa dingin yang dilepaskan
dari pukulan Dayang Kemilau. Menyusul sentakan ke-
dua tangan yang menjelma menjadi bayangan raksasa
berkekuatan tinggi. Rupanya, Tirta sendiri tak mau
nyawanya putus di tengah jalan. Makanya dia segera
kerahkan tenaga surya yang dipadukan dengan jurus
'Lima Kepakan Pemusnah Rajawali'.
Blaarrr!! Untuk kedua kalinya tempat itu diguncang he-
bat. Tanahnya bergetar dan beberapa batang pohon
ambruk berdebam. Sementara itu, tanah di mana per-
temuan dua serangan dahsyat itu terjadi, rengkah dan menerbangkan debu-debunya
ke udara. Tatkala semuanya sirap, terlihat sosok Dayang
Kemilau yang terhuyung ke belakang dengan dada te-
rasa nyeri luar biasa. Bila saja Dayang Pandan tidak
bersikap sigap, bisa dipastikan tubuh gadis berjubah hitam itu akan terbanting
ambruk di atas tanah!
"Jahanam! Siapa pemuda ini semakin memper-
kuat dugaanku kalau dialah orang yang dimaksudkan
Guru, orang yang telah mendapatkan Kitab Pemanggil
Mayat, yang merupakan kitab pertama untuk mene-
mukan jejak kitab kedua! Keparat betul! Aku harus
Naga Pembunuh 7 Dendam Iblis Seribu Wajah Karya Khu Lung Mahligai Cinta Sepasang Pendekar 1
^