Pencarian

Rahasia Bwana 1

Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit pada dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bab l WULUNG Seta dan Sri Kunting seketika mengarahkan
pandangan ke depan. Kendati malam begitu gelap dan
sinar rembulan di atas tak mampu tembusi gumpalan
awan-awan hitam, samar-samar keduanya melihat satu
sosok tubuh tinggi berdiri berjarak sepuluh langkah dari
mereka. Orang yang berdiri dengan kedua kaki agak
dibuka lebih lebar itu tak tampak wajahnya. Bukan
dikarenakan kegelapan menyelimuti wajahnya, melainkan
karena diselubungi kain warna merah. Sosoknya begitu
gagah, dibalut pakaian warna merah yang memperlihatkan tonjolan otot di dadanya yang dipenuhi
bulu lebat. Kedua tangannya bersedekap di dada.
Untuk sejenak Wulung Seta dan Sri Kunting tak
membuka mulut. Sementara itu, Bwana yang tadi mendadak seperti mengamuk dengan
mengepakkan kedua
sayapnya dan keluarkan kirikan berulang kali, kali ini
terdiam kendati kirikannya masih terdengar namun pelan. Kedua bola matanya yang
bulat memerah itu tak
berkedip pada sosok tubuh berpakaian merah.
Seperti kita ketahui, saat itu Wulung Seta dan Sri
Kunting sedang bercakap-cakap mengapa Bwana tiba-tiba
justru menukik dan mendekap di hamparan padang
rumput yang luas itu. Mereka juga membicarakan
mengapa Rajawali Emas justru menyuruh mereka
mengikuti Bwana tanpa menjelaskan lebih rinci. Selagi
keduanya bercakap-cakap itulah terdengar satu suara
yang keras. (Untuk mengetahui lebih jelas tentang hal ini,
silakan baca serial Rajawali Emas dalam episode:
"Dayang-dayang Dasar Neraka").
Sementara itu, kendati cukup ngeri dengan
potongan orang dan sinar mata angker yang tampak dari
dua buah lubang di selubung kain merah, Wulung Seta
segera buka mulut seraya maju dua tindak, "Orang
berselubung kain merah! Siapakah kau adanya" Dan
mengapa kemunculanmu nampaknya berbau permusuhan"!"
Orang yang berdiri gagah itu keluarkan dengusan
keras. Menyusul kata-katanya, "Kalian sudah ditakdirkan
untuk mati di tanganku! Sementara kuku-kuku kedua
kaki burung rajawali raksasa itu akan menjadi senjata
sakti untukku! Bersiaplah menerima kematian sekarang!"
"Tunggu!" seru Wulung Seta keras. Rasa jerinya
mendadak lenyap tatkala mendengar cjekan orang
berpakaian merah. Sambil tindih kegeramannya dia
berkata, "Sungguh aneh! Kau tentunya tak mengenal
kami! Begitu pula sebaliknya! Mengapa harus buka
urusan macam begini"!"
"Apa yang kau katakan mungkin benar! Tetapi,
telah lama aku menghendaki kuku-kuku dari kedua kaki
burung rajawali raksasa itu! Dan ini sudah menjadi
jaminan untuk mencabut nyawa kalian! Kendati kalian
merelakannya begitu saja!" sahut orang berselubung kain
merah. "Ucapanmu sungguh tak enak didengar samasekali! Bahkan kau membuat kami muak!" seru
Wulung Seta dengan rahang mengembung dan pelipis
bergerak-gerak.
"Kemuakan kalian akan tuntas sudah malam ini
juga, karena kalian tak akan sempat merasakan
hangatnya sinar matahari esok pagi!"
"Burung rajawali keemasan ini bukan milik kami!
Kendati demikian, apa pun yang akan kau lakukan
terhadapnya, kami akan mempertahankan sekuat
tenaga!" sahut Wulung Seta gagah, sementara Sri Kunting
sudah bersiaga penuh.
"Aku tahu burung rajawali itu bukan milik kalian!
Melainkan, milik Rajawali Emas! Tetapi, karena saat ini
kalian yang berada di hadapanku, maka nyawa kalianlah
yang akan kucabut!"
Sebelum Wulung Seta berkata lagi, Sri Kunting
maju mendekati Wulung Seta dan berbisik, "Kakang
Wulung... aku sudah sangat muak dengan manusia satu
ini." "Tahan kemarahanmu, Rayi. Orang ini nampaknya
tidak main-main dengan ucapannya."
"Kau benar! Aku memang tidak main-main!"
sambar orang berselubung kain merah yang mengejutkan
Wulung Seta dan Sri Kunting.
"Hati-hati," bisik Wulung Seta. "Jelas orang ini
bukan orang sembarangan. Terbukti dia bisa mendengar
apa yang kita bisikkan dalam jarak yang lumayan."
"Berhati-hati memang boleh! Tetapi, nyawa kalian
tetap milikku!"
Belum selesai ucapan itu terdengar, sosok
berpakaian merah itu sudah menggerakkan tangan
kanannya dengan cara menjentik. Satu hamparan angin
lembut tanpa keluarkan suara meluncur. Tetapi di kejap
lain, mendadak saja berubah menjadi gelombang angin
yang sangat ganas!
Tersentak bukan alang kepalang Wulung Seta.
Segera saja dia dorong kedua tangannya ke depan.
Wussss! Blaaarrrr! Bersamaan pukulan jarak jauh Wulung Seta
memapaki serangan aneh orang berselubung kain merah,
terdengar teriakan tertahan dari mulut murid mendiang
Ki Alam Gempita ini. Tubuhnya mencelat ke belakang
seperti dibetot setan. Bila saja Sri Kunting tak segera
menangkapnya, bisa dipastikan tubuhnya akan ambruk.
Sementara itu, di depan sana, orang berselubung
kain merah berkata dingin tanpa bergeser dari tempatnya,
"kalian ternyata keras kepala! Sekarang terimalah
kematiaaan!"
Habis berseru begitu, orang berselubung kain
merah ini sudah menggerakkan kedua tangannya tanpa
bergeser dari tempatnya. Satu gelombang angin dahsyat
yang mencelat dari tangan kanannya mengarah pada
Wulung Seta, sementara satu gelombang angin lainnya
menderu ke arah Sri Kunting.
Kedua remaja ini segera berjumpalitan cepat.
Namun sebelum masing-masing orang menjejakkan
kakinya di tanah, sambil tertawa berderai, orang
berselubung kain merah ini terus mencecar.
Padang rumput yang tadi sempat dibuat ramai
oleh Bwana, kini mulai kembali diusik oleh keributan.
Beberapa bagian tanah di sana pecah dan membentuk
lubang yang keluarkan asap. Rumput-rumput berhamburan di udara dan luruh kembali.
Seraya menghindari gempuran itu, Wulung Seta
menggeram, "Sri Kunting! Aku masih belum bisa menduga siapa orang berselubung
kain merah ini! Lebih baik
kau menyingkir dari sini! Ajak Bwana berlalu!"
"Tidak! Kita akan menghadapinya bersama-sama
apa pun yang terjadi! Aku tak pernah suka dia mengejek
seperti tadi! Terutama bermaksud untuk mendapatkan
kuku-kuku kedua kaki Bwana sebagai senjata!"
Wulung Seta merasa tak perlu berdebat sekarang.
Sambil membuang tubuh menghindari serangan orang
berselubung merah ini, pemuda berpakaian abu-abu
terbuka di dada ini segera menggerakkan kedua
tangannya, melepaskan pukulan 'Gerbang Marakahyangan'!
Namun justru terdengar seruan Wulung Seta
sendiri. Karena begitu dikerahkan tenaga dalam pada
kedua lengannya, mendadak saja tubuhnya telah
terhantam satu tenaga tak nampak yang membuatnya
terjajar ke belakang dan muntah darah!
Menyusul terdengar suara keras dan dingin,
"Kini giliranmu, Gadis manis!"
Sri Kunting yang kembali menahan luncuran
tubuh Wulung Seta, tercekat mendengar seruan itu. Lebih
tercekat lagi tatkala dirasakan satu gelombang angin
menderu dari orang berselubung kain merah yang tetap
tak bergeser dari tempatnya!
Mendapati gelagat tak menguntungkan, sambil
menyentak tubuh Wulung Seta menjauh, Sri Kunting
segera meloloskan sepasang pedangnya yang bersilangan
di balik punggungnya. Dengan gerakan yang cepat
dimainkan jurus 'Pedang Membelah Langit'.
Dua buah pedang yang terus menerus bergerak ke
atas dan menimbulkan suara menggidikkan keras,
mencoba mencecar orang berselubung kain merah. Tetapi
tak sekalipun orang berselubung merah itu bergeser dari
tempatnya. Justru dalam satu gebrak berikutnya, kedua
pedang di tangan Sri Kunting terlepas disertai suara
mengaduh yang keras.
Di depan, orang berselubung merah merandek
dingin. Entah apa yang kemudian dilakukannya,
mendadak saja tempat itu seperti didera panas yang
sungguh luar biasa. Sosok Wulung Seta dan Sri Kunting
yang sama-sama telah terluka dalam, mundur beberapa
tindak ke belakang dengan wajah pias.
Kejap itu pula terdengar teriakan orang
berselubung kain merah yang sangat keras tetap dengan
kedudukan tak bergeser. Menyusul menggebraknya hawa
panas yang langsung membuat rerumputan mengering ke
arah Wulung Seta dan Sri Kunting.
Namun bersamaan dengan itu, mendadak saja
satu gelombang angin laksana topan badai mengarah
pada sosok orang berselubung kain merah yang
melengak. Dan untuk pertama kalinya dia bergeser dari
tempat berdirinya dengan cara melompat ke samping!
Rumput di padang itu langsung tercabut dan
beterbangan entah ke mana! Kejap lain, terdengar
teriakan mengguntur, membahana dahsyat, "Kraaghhh!"
Menyusul ledakan keras. Blammmm!
*** Wulung Seta dan Sri Kunting dengan sisa-sisa
tenaganya melompat ke samping kanan Bwana yang tadi
menggerakkan sayap kanannya untuk menahan serangan
orang berselubung kain merah.
"Terima kasih, Bwana...," sahut keduanya
bersamaan. Di depan, orang berpakaian merah nampak berdiri
tegak dengan sepasang mata mencorong dari balik kain
merah yang dipergunakan untuk menutupi wajahnya.
"Luar biasa! Sambaran kepakan sayapnya sudah
begitu menakjubkan! Aku harus memilikinya! Harus!
Kuku-kuku hewan raksasa ini harus kudapatkan dan
kujadikan sebagai senjata sakti yang langka!" kata orang
ini dalam hati. Lalu berkata, ''Kalian cukup beruntung
sekarang! Tetapi seperti niatku semula, bukan nyawa
kalian saja yang putus hari ini, melainkan juga nyawa
burung rajawali raksasa itu!"
Kejap itu pula tanpa keluarkan suara, orang
berpakaian dan berkain selubung merah ini, sudah
lepaskan serangan. Kali ini sosoknya mencelat ke depan.
Bersamaan dengan itu angin bergemuruh keras
mengiringi lesatan tubuhnya.
Sepasang remaja itu segera palingkan kepala
tatkala dirasakan hawa panas dahsyat menghampar.
Namun belum lagi keduanya bertindak, mendadak saja
satu gelombang angin menggebah dari arah samping.
Begitu dahsyatnya hingga suara yang ditimbulkan
gebahan angin itu laksana alam yang sedang marah!
Menyusul rengkahnya tanah yang Segera menebarkan
debu-debu dan terpentalnya rerumputan!
Orang berselubung kain merah itu cepat memutar
tubuh ke samping kanan.
Blarrr! Pukulan yang dilepaskannya tadi, tersambar dan
terseret deras akibat kepakan sayap Bwana. Rupanya,
burung rajawali raksasa itu kali ini tak mau menunggu
serangan lawan. Karena, sosoknya telah mencelat ke
angkasa disertai teriakan yang mengguntur.
Begitu tubuhnya berada di udara, dengan kedua
kaki ditekuk ke belakang dan paruh tajamnya
disorongkan ke depan, Bwana menukik ke arah kepala
orang berselubung kain merah yang terkesiap.
Orang berselubung kain merah itu menggeram


Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keras. Serentak kedua tangannya diangkat. Saat itu pula
meluncur sinar hitam pekat namun memercikkan warna
merah ke arah Bwana.
Teriakan Bwana keras terdengar. Namun tubuhnya terus meluncur. Begitu sinar hitam yang
memercikkan warna merah siap menghantamnya, dengan
gerakan yang luar biasa burung rajawali berwarna
keemasan itu seketika membelokkan arah terbangnya.
Sayap kanannya dikepakkan!
Blaaamm! Sinar hitam yang memercikkan warna merah itu
putus di tengah jalan. Gulungan angin yang ditimbulkan
oleh kepakan sayap Bwana terus menderu ke arah orang
berselubung kain merah.
Desss! Tubuh orang itu telak terhantam. Namun yang
mengejutkan, jangankan tubuhnya terluka, pakaian yang
dikenakannya saja tidak robek! Bahkan, .sosoknya hanya
surut tiga tindak!
Terdengar suara terperangah dari Wulung Seta.
"Gila! Gelombang angin yang ditimbulkan oleh sayap
Bwana dapat membuat rumput rebah dalam jarak lima
puluh kaki, sementara orang itu masih .segar bugar pada
hal telak terhantam!"
"Kakang Wulung... apa yang mesti kita lakukan"
Menilik keadaan. nampaknya Bwana tak akan sanggup
menghadapinya," kata Sri Kunting cemas.
Di udara, Bwana kembali menukik. Kali ini lesatan
tubuhnya lebih cepat dari yang pertama. Namun lagi-lagi
orang berselubung kain merah itu melepaskan pukulan
yang keluarkan sinar hitam dan memercikkan warna
merah. Untuk kedua kalinya Bwana lakukan gerakan yang sama.
Namun kali ini tanpa disangka, orang berpakaian merah
itu sudah menghempos tubuh ke atas sembari gerakkan
tangan kanannya.
Bukkk! Tubuh Bwana di bagian belakang terhantam telak.
Dan sosok burung rajawali raksasa itu jatuh berdebam
disertai teriakan keras.
"Kraaaghhhh!"
Di balik kain merah yang menyelubungi wajahnya,
orang itu tersenyum. "Telah lama kuimpikan kuku-kuku
kedua kaki burung rajawali ini! Dan nampaknya...
perjalananku tak sia-sia! Kini, tiba saatnya untuk
membunuh burung raksasa itu!"
Memikir demikian, orang berselubung kain merah ini
menggerakkan kedua tangannya ke atas. Terlihat
kemudian telapak tangannya memancarkan sinar hitam
yang dibaluri sinar merah.
Sementara itu, dengan susah payah dan tubuh
agak goyah, Bwana berusaha berdiri. Naluri burung ini
mengatakan, kalau bahaya yang mengerikan akan siap
menyambutnya. Sebelum orang berpakaian merah itu
menjalankan maksud, Bwana sudah mencelat ke angkasa
dan berputaran.
"Burung keparat! Kuhabisi kau!"
Di angkasa, Bwana terus berputaran dengan
teriakan-teriakan keras, ibarat guntur di siang bolong!
Orang berselubung kain merah ini yang gagal
menjalankan maksud, mendadak saja arahkan pandangan pada Wulung Seta dan Sri Kunting.
Tanpa sadar kedua remaja itu bergetar hebat.
Wajah Sri Kunting mulai diliputi kepiasan. Sementara
Wulung Seta seolah merasakan luka dalamnya semakin
bertambah nyeri. Tetapi pemuda ini tetap menunjukkan
kegagahannya. "Peduli setan! Siapa pun dia dan apa pun yang
akan dilakukannya, aku harus melindungi Sri Kunting
kendati nampaknya akan sia-sia! Huh! Kendati nyawaku
akan putus, gadis ini harus selamat!"
Habis membatin begitu, Wulung Seta berkata
sementara pandangannya tak berkedip mengarah pada
orang yang wajahnya diselubungi kain merah, "Rayi... kali
ini kau jangan membantah! Cepat tinggalkan tempat ini!"
"Tidak!" sahut Sri Kunting tegas. "Apa pun yang
akan terjadi, aku akan...."
Mendadak saja kata-kata Sri Kunting terputus
tatkala terdengar koakan Bwana yang bernada gembira.
Berulang-ulang dan sangat keras bertalu-talu.
Bukan hanya Wulung Seta dan Sri Kunting yang
dongakkan wajah. Orang berselubung kain merah itu pun
mengangkat wajahnya. Untuk sejenak dipandanginya
Bwana yang terbang berputar dengan suara-suara
menggelegar. "Keparat! Menilik suara yang diteriakan burung
itu, ada seseorang yang datang! Dan bisa dipastikan
kalau dia mengenal orang ini! Hm... baiknya, kutunggu
saja siapa yang datang!" kata orang berselubung kain
merah ini dalam hati.
Sementara itu Wulung Seta dan Sri Kunting yang
tidak mengerti apa maksud Bwana, saling pandang
sejenak. Kejap lain arahkan pandangan pada orang
berselubung kain merah yang terdiam dengan tatapan
waspada! "Mengapa dia seolah menghentikan niat?" bisik
Wulung Seta pelan.
"Aku tidak tahu! Kalau memang kita tak bisa
menghadapinya dan Bwana juga kelihatan tidak sanggup,
sebaiknya kita menyelamatkan diri saja. Dalam ilmu silat,
bila kita tak mampu bukankah lebih baik mundur" Itu
tandanya kita sadar akan kemampuan yang kita miliki."
"Kau benar. Itu lebih baik... heiii!" suara Wulung
Seta terputus, tatkala pandangannya menangkap satu
bayangan melangkah ringan ke arah mereka.
Sementara di udara, Bwana terus berteriak-teriak
keras, "Kraaaggghhh"
*** Bab 2 SEORANG lelaki berusia lanjut dengan tubuh tinggi kurus
berpakaian putih, melangkah dengan gerakan yang
sangat ringan. Bibirnya nampak tersenyum saat dia
melangkah. Berjarak dua tombak dari hadapan Wulung
Seta dan Sri Kunting serta berada di sebelah kanan
berjarak tujuh langkah dari orang berselubung kain
merah, si kakek yang mengenakan selempang kain putih
dari bahu kanan ke pinggang kiri, berhenti melangkah.
Orang tua berselempang kain putih yang seluruh
tubuhnya dipenuhi bulu memutih, memandang orangorang di sana satu persatu.
Wajahnya begitu tenang
sekali, penuh kelembutan. Begitu pula saat dia berkata
pada orang yang wajahnya diselubungi kain merah, "Tak
pernah kusangka kalau kau yang sudah setua ini
ternyata masih disibukkan oleh urusan dunia, Rantak
Ganggang! Apakah tak ada kegiatan lain yang bisa kau
lakukan selain mengikuti nafsu duniawi?"
Orang berselubung kain merah yang dipanggil
dengan nama Rantak Ganggang menggeram. Kedua
tinjunya dikepalkan kuat-kuat. Dari balik kain merah
yang menyelubungi wajahnya, sepasang matanya tajam
tak berkedip. "Dan tak kusangka kalau kau yang sudah tua
bangka itu masih berlaku seperti seorang malaikat!
Jangan coba-coba berkhotbah di hadapanku karena kau
pasti tahu hal itu justru akan membuatku bertambah
muak! Lebih baik kau menyingkir dari sini sebelum
kubuka urusan denganmu, Raja Lihai Langit Bumi!"
serunya keras. Wulung Seta dan Sri Kunting saling berpandangan
tatkala orang berselubung kain merah menyebutkan
julukan kakek yang baru datang.
Wulung Seta membatin, "Menilik perubahan sikap
Bwana tadi, jelas kalau dia mengenal si kakek berjuluk
Raja Lihai Langit Bumi. Jangan-jangan... inilah maksud
Bwana mengapa dia hinggap di tempat terbuka ini.
Tentunya, menunggu kemunculan Raja Lihai Langit
Bumi." Si kakek yang memang Raja Lihai Langit Bumi
menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapan orang
berselubung kain merah. Lalu dengan suara yang tetap
terdengar lembut tanpa kesan tersinggung dengan ucapan
orang, dia berkata, "Tak seharusnya kau berkata seperti
itu. Karena, siapa pun tahu, kehidupan di dunia ini tak
abadi. Bila kita telah bertindak salah, seharusnya kita
memperbaiki diri agar tidak terlalu jauh salah melangkah.
Bila kita sudah berjalan di jalur lurus, sudah seharusnya
kita pertahankan. Semakin bertambah usia yang
menggayuti diri kita, sudah seharusnya kita merenung
dan insyaf diri dari apa yang pernah kita lakukan...."
"Tutup mulutmu!" putus Rantak Ganggang keras.
Tinju kanannya semakin kuat dikepalkan. Lalu dengan
penuh kegusaran dia menyambung, "Lebih baik
menyingkir dari tempat ini sebelum kucabut nyawamu!"
"Adakah hal lain dalam pikiranmu kecuali berniat
untuk mencabut nyawa sesamamu?"
"Karena... aku sangat suka melihat orang yang
mau mampus dan dalam keadaan sekarat!"
"Pernahkah terpikir olehmu, bagaimana bila kau yang
dalam keadaan sekarat, Rantak Ganggang!"
"Diam!"
"Bila kau mau sedikit berpikir, tentunya kau akan
sadar kalau kau merasa tak memiliki kekuatan apa-apa
di saat maut akan menjemput. Kesadaran mungkin selalu
datang terlambat. Dan untuk bertobat, masih terbuka
jalan di hadapanmu."
Kata-kata Raja Lihai Langit Bumi bukannya
membuat Rantak Ganggang mau mengerti. Dengan
teriakan mengguntur, orang berselubung kain merah ini
langsung gerakkan kedua tangannya dengan cara
mendorong ke depan.
Merasakan orang sudah lepaskan serangan, Raja
Lihai Langit Bumi tampak hanya menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku tak ingin bertarung dengan sesama. Bahkan
aku sudah tak berminat sama sekali untuk melakukan
pertarungan. Tetapi nampaknya kau terlalu dibutakan
oleh segala urusan."
Habis kata-katanya, segera Raja Lihai Langit Bumi
mengangkat kedua tangannya ke atas. Lalu menggerakkannya ke depan.
Gelombang angin menderu keras menghantam
serangan Rantak Ganggang.
Bummm! Rantak Ganggang mundur lima tindak ke
belakang. Kedua kakinya nampak agak goyah. Kepalanya
digeleng-gelengkan dengan gusar. Nampak selubung kain
merahnya membasah. Tanda ada darah yang keluar
entah dari hidung atau mulut.
Di seberang, Raja Lihai Langit Bumi hanya surut
dua tindak dengan kedua tangan yang dirasakan cukup
ngilu. "Apakah perlu kita teruskan masalah seperti ini?"
tanyanya dengan suara lembut. "Rantak Ganggang...
bukankah seharusnya kita berada pada jalan lurus
hingga tidak semakin terjemurus dalam jurang
kenistaan?"
"Kau adalah orang yang kesekian yang akan
kubunuh!" seru Rantak Ganggang dengan tangan kanan
menuding, agak gemetar.
`"Terlalu mengerikan kata-kata yang kau ucapkan
itu! Tidakkah kau sadari, kalau kita sudah sama-sama
bertambah tua" Keinginanmu membunuh kedua remaja
itu sungguh perbuatan yang tak patut! Juga,
keinginanmu mendapatkan kuku-kuku dari burung
rajawali raksasa berwarna keemasan! Seharusnya kau
menyadari, kalau apa yang kau lakukan adalah tindakan
yang menyesatkan!"
"Jangan mengajariku! Sekarang, bersiaplah untuk
menerima kematian!"
Raja Lihai Langit Bumi menggeleng-gelengkan
kepala. Dan belum lagi Rantak Ganggang melakukan
maksud, Raja Lihai Langit Bumi sudah lepaskan satu
pukulan. Saat itu pula menderu sinar warna biru yang
cukup lerang. Memekik keras Rantak Ganggang
melompat mundur dan bersiap lepaskan pukulan. Tetapi
ternyata dia salah menduga. Karena yang dihantam oleh
gelombang angin dari pukulan Raja Lihai Langit Bumi,
justru menghantam tanah di hadapannya.
Blaaarr! ' Seketika tanah terbongkar muncrat ke udara.
Tanah yang muncrat itu menghalangi pandangan Rantak
Ganggang yang berteriak-teriak gusar.
Dan alangkah terkejutnya dia, tatkala tanah yang
muncrat itu sirap, tak dilihatnya lagi sosok Raja Lihai
Langit Bumi. Diedarkan pandangan dengan rahang


Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengembung. Amarahnya makin meluap tatkala tak
didapatinya sosok Wulung Seta dan Sri Kunting. Terlebihlebih tak dilihatnya pula
Bwana yang tadi berputaran di
angkasa. "Jahanam!" geram orang ini gusar.
Yang jadi sasaran kemarahannya kemudian,
adalah tanah-tanah di sana. Yang langsung terbongkar
rengkah membentuk beberapa buah lubang terhantam
pukulan demi pukulannya.
Di sela-sela letupan demi letupan yang terdengar
dan memuncratkan tanah ke udara, terdengar teriakannya yang keras, "Aku
bersumpah demi langit dan bumi...
akan kubunuh kau. Raja Lihai Langit Bumi!"
Tatkala semua sirap dan kembali pada keheningan, sosok Rantak Ganggang sudah tak nampak
di depan mata. *** Pada saat yang bersamaan, di sebuah tempat yang
jauh dari sana, pemuda berpakaian keemasan nampak
melompat dari balik ranggasan semak. Begitu kedua
kakinya dijejakkan di tanah, segera diedarkan pandangan
ke sekelilingnya.
"Wah! Ke mana lagi harus kususuri jejak Ayu
Wulan" Ke mana dia sebenarnya" Apakah gadis itu
marah padaku hingga memutuskan untuk meninggalkanku, atau ada sebab-sebab lain?"
Pemuda yang tak lain Rajawali Emas adanya ini
terdiam sejenak. Lalu dicabutnya sebatang rumput dan
mulai dihisap-hisapnya.
Sambil menghisap-hisap rumput itu dia kembali
bergumam, "Menilik tempat di mana sebelumnya aku dan
Ayu Wulan berada, tak ada tanda-tanda di tempat itu
telah terjadi pertarungan. Semuanya seperti saat kutinggalkan. Lalu, ke mana
gadis itu pergi?"
Memang, saat ini Rajawali Emas terpaksa
mengurungkan niatnya untuk menjumpai gurunya, Raja
Lihai Langit Bumi, sehubungan dengan kabar Kitab
Pamungkas yang mulai santer. Ini dikarenakan dia harus
mencari Ayu Wulan yang mendadak saja tak ada lagi di
tempatnya. Sebelumnya, Tirta memang bertemu dengan
Ayu Wulan, Lalu memintanya menunggu sementara dia
mencari makanan untuk pengisi perut.
Tatkala dia sudah mendapatkan dua ekor kelinci
gemuk, pendengarannya menangkap suara orang
bertarung. Yang ternyata Dewi Awan Putih yang sedang
di-serang oleh seseorang yang entah berada di mana.
Tirta pun turut membantu lantas mencoba mengorek
keterangan sebab-sebab Dewi Awan Putih menyerangnya
beberapa hari yang lalu. Tetapi gagal. Lalu diputuskan
untuk kembali ke tempat Ayu Wulan. Yang membuatnya
terkejut, karena Ayu Wulan tak ada di tempat. (Baca
serial Rajawali Emas dalam episode: "Dayang-dayang
Dasar Neraka").
Kendati sebelumnya Tirta tak menghendaki Ayu
Wulan bersama dengannya mengingat urusan yang harus
diselesaikan dipenuhi intaian maut, hati pemuda ini
merasa tidak tenang juga.
"Aku akan merasa bersalah bila tak menemukan
murid Manusia Pemarah itu. Terlebih lagi bila dia
ternyata kenapa-kenapa. Ah, mengapa harus berjumpa
dengannya selagi urusan yang kuhadapi ini masih
merupakan bayang-bayang" Dan mengapa tahu-tahu dia
tidak ada di tempat?"
Pemuda ini kembali terdiam. Lalu terdengar
suaranya, "Urusanku dengan Dewi Awan Putih sampai
saat ini masih gelap. Aku belum bisa menebak mengapa
gadis itu menyerangku habis-habisan hanya karena tak
dapat mengatakan ke mana perginya Hantu Gaping Baja.
Apakah kemunculannya berkaitan pula dengan usahanya
untuk mencari Kitab Pamungkas"'Ah, semuanya masih
berada dalam bayang-bayang belaka."
Pemuda yang di lengan kanan dan kirinya
terdapat rajahan burung rajawali keemasan ini mencoba
dugaan lain. Namun semuanya buntu.
Kehadiran Dayang-dayang Dasar Neraka sudah
membuat kepalanya mumet. Menyusul kemunculan
Hantu Caping Baja yang menyerangnya habis-habisan
hanya dikarenakan hendak mengujinya saja. Ditambah
lagi dengan serangan Dewi Awan Putih. Lalu tak disangka
dia akan bertemu dengan Ayu Wulan yang secara tak
langsung menyatakan cintanya dan kini menghilang tak
tahu ke mana. Tirta menarik napas panjang.
"Semua persoalan yang ada di hadapanku cukup
memusingkan kepala. Hingga saat ini belum terangkai
penjelasan yang kubutuhkan. Semua persoalan tak
terlalu membuatku khawatir, kecuali lenyapnya Ayu
Wulan. Biar bagaimanapun juga, aku harus bertanggung
jawab atas keselamatan murid Manusia Pemarah itu. Bila
terjadi apa-apa yang lak kuinginkan, aku tak akan
pernah memaafkan diriku sendiri."
Selagi Tirta kebingungan memikirkan persoalan
demi persoalan yang menghadang di depannya,
mendadak saja terdengar satu suara bersamaan satu
.sosok tubuh berpakaian putih kusam telah berdiri di
hadapan Tirta, "Apakah kau sudah mengambil dan
membaca kembali Kitab Pemanggil Mayat sebagai
petunjuk di mana Kitab Pamungkas berada?"
Cepat Tirta arahkan pandangan ke depan.
Kejap lain dia tersenyum dan berkata dalam hati.
"Bagus! Ternyata aku bertemu kembali dengan nenek ini.
Mudah-mudahan saja dia bisa menjelaskan apa yang
mengganjal di hatiku tentang kehadiran Dewi Awan
Putih." Sembari melangkah dua tindak ke depan pemuda
dari Gunung Rajawali ini berkata, "Dan apakah
kehadiranmu sekarang ini untuk mengujiku kembali"!"
*** Bab 3 SOSOK putih yang baru muncul dan perdengarkan suara
tadi berkata, "Kau membuatku malu, Rajawali Emas!
Sudah tentu kemunculanku kembali di hadapanmu ini
tidak seperti yang pertama! Dan nampaknya kau tak bisa
melupakan soal itu, bukan" Sekarang, bagaimana dengan
pertanyaanku tadi?"
Tirta berusaha untuk melihat wajah si nenek yang
sebagian terhalang oleh lebarnya caping baja yang
dikenakan. Yang membuat pemuda dari Gunung Rajawali
ini kembali takjub, karena si nenek tak merasa keberatan
sedikit pun mengenakan caping baja yang tentunya berat.
Lalu katanya, "Aku belum mengambil kembali
Kitab Pemanggil Mayat!"
Si nenek yang di kedua tangannya terdapat gelang
warna putih menggeleng-gelengkan
kepalanya. Rambutnya yang putih bergerak-gerak.
"Kau terlalu menunda urusan. Padahal seharusnya kau menyelamatkan dulu Kitab Pemanggil
Mayat dari jarahan orang-orang serakah."
"Tak perlu dikatakannya seperti itu aku memang
bermaksud untuk mengambil Kitab Pemanggil Mayat dari
tangan Guru. Tetapi karena urusan Ayu Wulan, terpaksa
kutunda dulu," kata Tirta dalam hati. Lalu katanya, "Tak
ada maksudku untuk menunda urusan. Karena, apa yang
kelak kuhadapi sedikit banyaknya sudah tergambar."
"Bila memang demikian, ayo, aku akan menemanimu untuk mengambilnya! Sekaligus membantu
bila ada orang-orang seperti Dayang-dayang Dasar Neraka
yang menghendaki Kitab Pamungkas," kata si nenek yang
bukan lain Hantu Caping Baja tegas.
Tirta merasakan ada nada memerintah di
dalamnya. Tetapi dia tak mempedulikan kendati dia
membenarkan apa yang dikatakan Hantu Caping Baja.
Justru sekarang yang diinginkan, mencari kejelasan
tentang kehadiran Dewi Awan Putih yang mencari si
nenek yang berdiri di hadapannya.
Memutuskan demikian, Tirta berkata, "Nek!
Kenalkah kau dengan seorang gadis berpakaian ringkas
warna jingga yang berjuluk Dewi Awan Putih?"
Sejenak terlihat kepala Hantu Caping Baja
menegak. Kendati demikian, Tirta tetap sulit untuk
melihat seperti apa rupa si nenek.
"Dewi Awan Putih...," ulang si nenek pelan. Lalu
katanya, "Mengapa kau menanyakan tentang gadis itu?"
"Aku hanya ingin tahu."
'Tak mungkin kau hanya ingin tahu tanpa ada
persoalan. Lebih baik jelaskan biar aku bisa menjawab
setiap pertanyaan."
Tirta terdiam dulu sebelum kemudian menceritakan apa yang dilakukan Dewi Awan Putih
padanya (Untuk mengetahui Dewi Awan Putih menyerang
Rajawali Emas secara tiba-tiba, silakan baca serial
Rajawali Emas dalam episode: "Dayang-dayang Dasar
Neraka"). Sejenak tak ada yang bersuara. Masing-masing
orang seperti dibuncah perasaan sendiri-sendiri. Sampai
kemudian terdengar suara Hantu Caping Baja, "Ya... kini
aku ingat gadis celaka itu...."
"Apa yang kau ketahui tentangnya?" tanya Tirta.
Hantu Caping Baja arahkan pandangan ke kanan.
Kedua tangannya bersedekap di depan dada. Lalu
terdengar kata-katanya, "Kalau tidak salah, gadis itu
bernama Ratna Sari, atau yang berjuluk Dewi Awan
Putih. Pada suatu ketika, aku pernah berjumpa
dengannya. Dia banyak sekali menanyakan persoalan
hidup di dunia ini. Persoalan yang ternyata membuatku
jadi banyak bicara dan menjawab setiap pertanyaannya.
Sampai kemudian, secara tak sengaja aku menyinggung
tentang Kitab Pamungkas. Ini juga bermula karena aku
tak sadar kalau dia menjebakku dengan pertanyaan aku
hendak ke mana. Mungkin pula karena tuturnya yang
lembut dan sikapnya yang santun, aku jadi mengatakan
tentang Kitab Pamungkas. Lalu dengan cerdiknya gadis
itu menjebakku terus hingga banyak yang kuceritakan
tentang Kitab Pamungkas. Saat itu, memang tidak terjadi
apa-apa." Hantu Caping Baja terdiam sejenak sebelum
melanjutkan, "Tetapi entah sengaja atau tidak, aku
bertemu lagi dengan gadis itu tiga hari kemudian. Dan
mulailah terlihat secara jelas keculasan yang ada di hati
gadis itu. Dia menghendaki Kitab Pamungkas. Saat itu
aku mengutuki diriku sendiri yang begitu bodoh terjebak
dalam kata-katanya waktu itu. Karena dia terlalu
memaksa dan akhirnya menyerangku, pertarungan
terjadi. Tak kusangka kalau ilmunya ternyata cukup
tinggi. Kendati demikian aku bisa mengalahkannya.
Tetapi kuharapkan agar dia sadar dari keinginan kejinya
itu. Gadis itu kemudian berlalu dengan membawa luka
dalamnya. Dan tak kusangka, kalau ternyata dia begitu
mendendam dan berambisi sekali mendapatkan Kitab
Pemungkas."
Tak ada yang bersuara. Sementara itu diam-diam
Tirta membatin, "Dugaanku ternyata benar. Kalau gadis
berjuluk Dewi Awan Putih itu menghendaki Kitab
Pamungkas. Urusan benar-benar jadi panjang sekarang."
Kemudian katanya, "Apa yang hendak kau
lakukan sekarang?"
Hantu Caping Baja arahkan pandangan pada
Tirta. Dari balik caping lebar terbuat dari baja, dia
berkata, "Justru yang kuminta agar kau cepat bertindak."
"Maksudmu... aku harus mengambil Kitab
Pemanggil Mayat.",
"Tepat! Yang kukhawatirkan, bila ternyata tempat
penyimpananmu itu sudah diketahui orang. Bisa jadi
akan ada orang yang lebih dulu mengangkangi Kitab
Pamungkas."
Tirta berkata dalam hati, "Yang tahu kalau Kitab
Pemanggil Mayat ada di tangan Raja Lihai Langit Bumi,
hanya orang-orang yang kupercaya. Dan nenek ini belum
tahu kalau sesungguhnya aku tidak memegang kitab itu."
Lalu Tirta berkata, "Sebenarnya, aku memang
hendak mengambil Kitab Pemanggil Mayat. Aku sungguh
penasaran sekali, karena sepertinya aku tidak melihat
tulisan apa-apa pada lembaran terakhir Kitab Pemanggil
Mayat." "Coba kau ingat-ingat!"


Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untuk kedua kalinya Tirta berusaha mengingat isi
lembaran terakhir Kitab Pemanggil Mayat. Lantas terlihat
kepalanya menggeleng.
"Gagal."
"Jangan putus asa! Kau harus melakukannya
lagi!" kata Hantu Caping Baja memberi semangat. Dan
nada suaranya begitu bernafsu .sekali.
Kembali Tirta mencoba menguras seluruh
ingatannya. Dan lagi-lagi dia menggelengkan kepala.
"Maafkan aku. Nek... aku sama sekali tidak bisa
mengingatnya...."
Hantu Caping Baja terdiam. Lalu katanya,
"Sudahlah. Tidak jadi masalah. Padahal bila kau
mengingatnya dengan kata lain kau tak perlu bersusah
payah untuk mengambil Kitab Pemanggil Mayat di tempat
penyimpananmu. Karena, kau akan langsung melacak di
mana Kitab Pamungkas berada."
Tirta membenarkan kata-kata Hantu Caping Baja.
Tetapi apa hendak dikata, karena dia sama sekali
memang tidak bisa mengingatnya. Yang teringat olehnya.
kalau dia merasa tak melihat tulisan pada lembaran
terakhir Kitab Pemanggil Mayat tentang keberadaan Kitab
Pamungkas. "Maafkan aku. Nek."
"Lantas, apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan mengambil Kitab Pemanggil Mayat."
"Bagus! Aku bisa mengiringimu," kata Hantu
Caping Baja, lalu buru-buru menyambung, "Itu pun bila
tak memberatkanmu tentunya...."
Tirta cuma tersenyum.
"Bukan maksudku untuk tidak mengizinkan
permintaanmu itu. Bukan pula karena aku tidak percaya
kepadamu. Tetapi, biarlah aku mengurus masalah ini.
Karena kuharapkan, kau bisa memulihkan hubungan
baikmu dengan Dewi Awan Putih. Paling tidak, kau bisa
memulai kembali persahabatan dengannya seperti
sebelumnya."
Hantu Caping Baja terdiam sebelum berkata, "Itu
pun bila dia mau menerimanya. Karena sesungguhnya,
sangat kusayangkan sekali, gadis itu masih sedemikian
muda dan telah memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi, dia
berada dalam jalan sesat yang justru akan menjerumuskannya ke lembah kehancuran."
"Kau benar, Nek," sahut Tirta. Lalu berkata dalam
hati, "Apakah tidak sebaiknya kutanyakan pada nenek ini
tentang lenyapnya Ayu Wulan. Barangkali saja dia pernah
berjumpa dengan murid Manusia Pemarah itu" Hm...
.sebaiknya kutanyakan saja padanya...."
Memutuskan demikian, Tirta berkata, "Nek...
dalam waktu dekat ini, pernahkah kau bertemu dengan
seorang gadis berpakaian putih bersih yang di atas dada
sebelah kanannya terdapat sulaman bunga mawar dan di
pinggangnya melilit sebuah cambuk?"
Hantu Caping Baja tak segera menjawab
pertanyaan Tirta. Justru dia balik bertanya, "Siapakah
gerangan gadis itu?"
Untuk mendapatkan jawaban yang pasti, mau tak
mau Tirta mengatakan siapa adanya Ayu Wulan. Lalu
didengarnya jawaban Hantu Caping Baja, "Tidak...
seingatku aku tidak pernah berjumpa dengan gadis itu.
Apakah kau tidak tahu apa yang terjadi dengannya?"
Tirta menggelengkan kepala.
"Itu salah satu urusan yang harus kuhadapi. Biar
bagaimanapun juga, aku harus bertanggung jawab atas
keselamatannya."
"Kalau begitu, biar masalah kita tanggung
bersama. Kau meneruskan untuk mengambil Kitab
Pemanggil Mayat, sementara aku membantumu mencari
gadis bernama Ayu Wulan itu."
Tirta tersenyum. "Terima kasih atas kesediaanmu.
Tetapi biarlah ini menjadi urusanku."
Hantu Caping Baja mengangkat kedua bahunya,
"Terserah apa yang hendak kau lakukan. Yang
pasti, kuharapkan secepatnya kau untuk mengambil
Kitab Pemanggil Mayat. Karena aku tak mau rimba
persilatan ini akan dipenuhi oleh kubangan darah...."
Tirta cuma menganggukkan kepala dan berkata
dalam hati, "Sambil lalu, aku akan melacak ke mana
perginya Ayu Wulan."
Lalu katanya, "Terima kasih atas saranmu.
Kuharap, kita bisa bertemu lagi...."
"Begitu pula denganku."
Kedua orang yang berbeda usia ini kemudian
meninggalkan tempat itu pada arah yang berlawanan.
Sunyi kembali meraja.
*** Bab 4 SEBENARNYA, apa yang terjadi dengan Ayu Wulan"
Sebaiknya kita tengok dulu kejadian beberapa hari yang
lalu. Setelah Tirta meninggalkannya untuk mencari
pengisi perut, murid Manusia Pemarah ini menarik napas
dalam-dalam. Lamat-lamat dihembuskan napasnya
hingga terasa sedemikian segar.
"Aku tak tahu apakah yang kulakukan tadi salah
atau tidak," katanya bagai bisikan. "Tak seharusnya aku
menolak larangan Kang Tirta. Kemungkinan yang
dikatakannya memang benar. Urusan yang sedang
dihadapinya begitu panjang membentang dan belum ada
kepastian. Tetapi bersama-sama dengannya, tak ada yang
perlu kutakutkan. Menyeberangi lautan api sekalipun
asalkan bersamanya, tetap akan kulakoni. Tadi
kelihatannya Kang Tirta agak sedikit gelisah. Mungkin
pula kecewa karena aku tetap bersikeras mengikutinya.
Biar bagaimanapun juga, aku sangat mencintainya dan
ingin selalu bersamanya." (Untuk mengetahui secara
langsung kejadian sebelumnya silakan baca serial
Rajawali Emas dalam episode: "Dayang-dayang Dasar
Neraka"). Lalu perlahan-lahan gadis jelita berhidung
mancung ini duduk di atas rumput. Kedua kakinya
ditekuk ke dada dan dirangkul agak erat.
Teringat pula betapa malunya dia tatkala gurunya
memaksa Tirta untuk berjodoh dengannya. Kendati saat
itu hati Ayu Wulan gembira bukan main, tetapi dia tak
mau menunjukkannya. Dan dia diam-diam kecewa
tatkala mendengar jawaban Tirta yang nampaknya mainmain tetapi kelihatan menolak
permintaan atau boleh
dikatakan, paksaan, gurunya.
Ayu Wulan mendesah pendek. Setelah berpisah
dengan Rajawali Emas, dia kembali ke tempat asalnya.
Tetapi karena tak kuasa menahan rindu terlalu lama, di
samping itu gurunya belum kembali juga, diputuskan
untuk mencari pemuda yang dicintainya. Tak sengaja dia
bertemu dengan pemuda itu. Namun yang tak disangka,
pemuda itu tetap kelihatan membingungkan.
"Mungkin... sekali waktu orang bercinta itu akan
mendapat balasan yang hangat. Mungkin sekali waktu,
orang bercinta itu tak mendapatkan apa-apa kecuali
berusaha mengerti. Barangkali, nasib cintaku ini ada
pada kemungkinan yang kedua," kata gadis itu gundah.
"Ah... apa pun yang akan terjadi, aku tetap akan bersikap
tegar kendati aku tahu Kang Tirta nampaknya
merangkulku hanya karena merasa kasihan...."
Berpikir begitu, Ayu Wulan menegakkan tubuh
dan menyelonjorkan kedua kakinya. Lalu ditarik napas
dan dihembuskan perlahan-lahan.
"Bila Kang Tirta kembali ke sini, aku akan
memperlihatkan wajah ceria. Juga akan kuterima apa
yang dimintanya agar aku tidak mengikutinya. Paling
tidak, aku akan kembali ke tempat asal...," katanya
kemudian, Gadis ini pun memutuskan untuk menunggu
Rajawali Emas. Tetapi setelah beberapa saat berlalu,
bukan pemuda dari Gunung Rajawali itu yang muncul,
melainkan seorang pemuda berpakaian hitam pekat yang
nampak terhuyung.
Serentak Ayu Wulan bangkit berdiri. Sejenak
kedua orang itu saling pandang sebelum kemudian,
pemuda berpakaian hitam itu ambruk dengan erangan
pelan. Pada dasarnya Ayu Wulan memiliki hati yang jujur
dan polos. Tak menghiraukan kalau dia belum pernah
mengenal pemuda berpakaian hitam itu, terburu-buru
Ayu Wulan mendekatinya.
"Kau kenapa?" tanyanya agak cemas mendapati
pemuda itu banyak keluarkan keringat. Erangannya
terdengar berulang-ulang.
"Aku... aku...," desisnya parau sambil memegangi
dadanya. Ayu Wulan tersadar kalau dia agak tegang hingga
lupa segera memeriksa tubuh si pemuda. Perlahan-lahan
Ayu Wulan mengangkat kedua tangan si pemuda itu dan
menurunkannya. Lalu dibukanya pakaian di bagian dada
si pemuda. Dia menahan napas melihat luka yang agak
menghitam di dada si pemuda.
"Kau terluka dan nampak parah...."
"Aku...."
'Tak usah banyak bicara dulu. Aku akan
membantumu.... Sekarang, usahakan kau tahan napasmu. Jangan terlalu dipaksakan. Bila kau tak
sanggup menahan agak lama, lepaskan saja. Kau
mengerti?"
Pemuda berpakaian hitam itu menganggukkan
kepala. Lalu mulailah Ayu Wulan mengalirkan tenaga
dalamnya melalui kedua ibu jari kaki si pemuda.
Menyusul tangan kanannya diletakkan di dada pemuda
itu yang seketika merasakan hawa hangat masuk ke
tubuhnya. Namun tanpa disadari oleh Ayu Wulan, sepasang
mata si pemuda yang tadi menyipit karena menahan
sakit, kini membuka agak lebar. Sorotnya dipenuhi
dengan binaran nafsu sementara bibirnya menyeringai
lebar. Tetapi dia kembali pada sikap asal tatkala Ayu
Wulan mengangkat tangannya dari dadanya.
"Bagaimana" Apakah kau sudah lebih baik
sekarang?" tanya Ayu Wulan pelan. Sekujur tubuhnya
dipenuhi keringat.
Pemuda berpakaian hitam yang tak lain Handaka
atau yang menjuluki dirinya Pangeran Pencabut Nyawa,
mengangguk-angguk lemah.
"Lebih baik kau beristirahat dulu sementara aku
bersemadi," kata Ayu Wulan lagi.
Kembali Pangeran Pencabut Nyawa menganggukanggukkan kepala. Lalu dilihatnya Ayu
Wulan melangkah
agak menjauh. Berjarak delapan langkah dari tempatnya
si gadis duduk bersila dengan rangkapkan kedua tangan
didepan dada. Begitu Ayu Wulan mulai bersemadi, seringaian
nampak kembali di bibir Handaka.
"Setelah bertarung dengan gadis-gadis berjuluk
Dayang-dayang Dasar Neraka, tak kusangka akan
bertemu dengan kelinci montok seperti ini. Ini rezeki
namanya dan setiap rezeki pantang kutolak."
Memang, setelah gagal memaksa Dayang-dayang
Dasar Neraka untuk mengatakan di mana Rajawali Emas
berada, Handaka alias Pangeran Pencabut Nyawa segera
meninggalkan mereka dengan membawa luka dalam
akibat serangan Dayang Pandan lalu menyusul serangan
Dayang Harum. Murid Iblis Tanpa Jiwa yang sedang
melacak keberadaan Kitab Pamungkas ini memang
terluka dalam. Tetapi di satu tempat dia telah mengobati
luka-lukanya sendiri. Kemudian dilanjutkan perjalanannya. Yang tak disangka, kalau dia akan melihat seorang
gadis yang nampak sedang merenung seorang diri.
Handaka yang memiliki otak kotor seolah menemukan
tambang emas yang tak bisa dilewatkan. Otaknya yang
licik. pun memainkan sandiwara yang bagus. Dengan
berlagak terhuyung karena luka dalam, akhirnya dia
mulai berhasil mendekati gadis itu.
Pandangan pemuda berpakaian hitam ini lekat
pada sosok Ayu Wulan yang tengah bersemadi dengan
memejamkan kedua matanya.
"Gila! Baru kali ini kulihat ada gadis secantik dia.
Sudah tentu kesempatan ini tak akan kusia-siakan.
Hmmm... sebaiknya kusergap saja dan kunikmati secara
paksa di saat dia sedang bersemadi seperti itu," kata
Handaka dalam hati. Lalu melanjutkan setelah terdiam
beberapa lama, 'Tidak! Aku tidak ingin memaksanya. Aku
ingin dia pasrah melayaniku. Hmm... kalau begitu, biar
kutunggu saja kesempatan itu...."
Kembali dibuat wajahnya meringis menahan sakit.
Sementara itu, Ayu Wulan telah selesai bersemadi.
Keringat yang mengalir tadi telah lenyap dan dirasakan
tubuhnya mulai segar kembali. Begitu kedua matanya
dibuka, yang pertama kali dilihatnya adalah sosok


Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemuda berpakaian hitam.
Buru-buru murid Manusia Pemarah ini mendckat.
Sambil berlutut dia berkata, "Bagaimana keadaanmu?"
Dengan berlagak masih kesakitan, Pangeran
Pencabut Nyawa membuka kedua matanya. Sejenak
dipandanginya wajah si gadis yang sedang tersenyum.
"Luar biasa! Kecantikannya sungguh luar biasa!
Aku ingin menikmatinya sekarang, tetapi tidak dengan
cara memaksa!" kata Handaka dalam hati. Lalu dengan
suara dibuat parau dia berkata, "Terima kasih atas bantuanmu...."
"Ayu Wulan."
"Ayu Wulan."
"Sudahlah. Tak perlu berbasa-basi seperti itu.
Lebih baik kau bersandar saja di bawah pohon itu. Ayo,
kubantu kau...."
Gairah Pangeran Pencabut Nyawa semakin naik,
tatkala mencium aroma alami yang menguar dari tubuh
perawan itu. Disesalinya mengapa jarak pohon yang dituju Ayu Wulan begitu dekat.
Setelah bersandar, kembali
dia berkata, 'Terima kasih atas pertolonganmu, Ayu
Wulan...."
"Sebagai sama-sama makhluk Tuhan, kita
memang harus tolong menolong, bukan?" kata Ayu Wulan
sambil tersenyum.
"Gila! Lama menunggu seperti ini bisa-bisa aku
tak kuat menahan gairah! Tetapi, aku ingin dia
melayaniku secara pasrah! Bukan dengan paksaan!" maki
Pangeran Pencabut Nyawa dalam hati.
Lalu didengarnya suara Ayu Wulan, "Sebenarnya,
apa yang telah terjadi...."
"Namaku Handaka."
"Handaka."
Pangeran Pencabut Nyawa menahan napas. Sudah
dikarangnya sebuah cerita yang menurutnya menarik.
Tetapi sebelum dia berkata, Ayu Wulan sudah
mendahului, "Maafkan pertanyaanku itu. Tentunya kau
lapar, bukan" Lebih baik kau beristirahat dulu, karena
sebentar lagi Kang Tirta pasti akan kembali...."
Deg! Dada Pangeran Pencabut Nyawa seolah
berhenti. "Hmm... rupanya dia tidak sendiri. Kalau orang
yang barusan disebutkan namanya itu kembali lebih
cepat, bisa-bisa apa yang kuinginkan laksakan tercapai.
Aku harus bertindak cepat kalau begitu. Bila tidak, akan
sia-sia saja semuanya."
Lalu katanya, "Siapakah orang yang bernama Tirta
itu, Ayu Wulan" Temanmu" Adikmu" Kakakmu" Atau...
kekasihmu?"
Ayu Wulan menggelengkan kepalanya. "Dia
sahabatku yang paling baik."
"Ah, aku jadi ingin berkenalan dengannya."
"Aku yakin, Kang Tirta pasti akan senang
berkenalan denganmu," sahut Ayu Wulan senang. Dia
memang bangga bila bercakap-cakap dengan Tirta.
Karena rasa bangga itulah dia berkata, "Dia sangat baik
pada siapa saja. Tetapi, hidupnya selalu penuh intaian
maut." Kening Pangeran Pencabut Nyawa berkerut.
"Mengapa?"
"Apakah kau pernah mendengar julukan Rajawali
Emas?" Untuk kedua kalinya Pangeran Pencabut Nyawa
merasa jantungnya berhenti berdetak. Julukan itu sangat
tak asing baginya. Karena dia memang sedang mencari
pemuda berjuluk Rajawali Emas.
"Sudah tentu aku pernah mendengarnya."
"Nah! Sahabat yang sedang kutunggu ini adalah
Rajawali Emas...."
"Gila! Rajawali Emas sahabat gadis ini" Sungguh
kebetulan sekali! Ini kesempatanku untuk memancing
Rajawali Emas muncul hingga aku tak perlu bersusah
payah mencarinya. Nyawa gadis ini akan kutukarkan
dengan Kitab Pemanggil Mayat."
Seperti menemukan durian runtuh, Pangeran
Pencabut Nyawa membuat dirinya seperti menyesali
keadaan. Dan ditariknya napas dalam- dalam.
Perubahan sikap pemuda berpakaian hitam pekat
itu memancing keheranan Ayu Wulan. Dia bertanya, "Ada
apa?" Handaka terdiam sejenak sebelum berkata,
"Apakah kau masih berkeinginan untuk mengetahui
mengapa aku sampai luka seperti ini?"
"Aneh. Mengapa cuma soal itu saja dia seperti
mendapatkan beban berat. Ah, aku jadi tidak enak," kata
Ayu Wulan dalam hati. Lalu sambil tersenyum dia
berkata, "Bila kau tak mau menceritakannya tak
mengapa. Aku malah jadi sungkan karena sepertinya
terlalu memaksa."
"Tidak. Kau tidak memaksaku. Malah, aku akan
mengatakannya kepadamu. Karena... ini juga berkaitan
dengan sahabatmu yang berjuluk Rajawali Emas...."
Kali ini Ayu Wulan tak segera membuka mulut.
Kepalanya menegak dengan pandangan tak berkedip.
Dengan napas memburu dia bertanya, "Apa
maksudmu, Handaka" Kau membuatku cemas."
"Maafkan aku." Handaka terdiam sejenak karena
dia senang mempermainkan perasaan si gadis. Kemudian
katanya, "Luka dalam yang kuderita ini, karena aku
membantu seorang pemuda berpakaian keemasan yang
sedang dikeroyok oleh tiga orang gadis yang berjuluk
Dayang-dayang Dasar Neraka. Kulihat sahabatmu itu
terdesak hebat. Dan bantuan yang kuberikan ternyata tak
banyak membawa arti. Aku berhasil dikalahkan oleh
salah seorang dari mereka. Karena merasa tak sanggup,
aku akhirnya meninggalkan tempat itu setelah mengajak
Rajawali Emas ikut serta. Tetapi Rajawali Emas menolak
dan terus menghadapi mereka dengan gagah. Melihat
ketegarannya aku jadi malu sendiri. Akhirnya aku
berbalik kembali ke tempat itu. Dan yang kulihat, kalau
Rajawali Emas pingsan dan diseret oleh salah seorang
dari Dayang-dayang Dasar Neraka. Terus terang, ada
keinginanku untuk mengadu jiwa dengan mereka. Tetapi,
ternyata aku begitu pengecut hingga tak berani
melakukannya. Maafkan aku, Ayu Wulan...."
Hati murid Manusia Pemarah ini berdebar luar
biasa. Kecemasan begitu nampak di sepasang matanya
yang indah. Diam-diam dia berkata dalam hati, "Celaka!
Pantas dia cukup lama belum kembali. Rupanya dia
bertemu lagi dengan Dayang-dayang Dasar Neraka.
Mungkin ketiga gadis jahanam itu tak lagi mempercayai
Kang Tirta yang mengaku bernama Lolo Bodong. Oh! Aku
harus menolongnya!"
Lalu terburu-buru dia berkata, "Handaka...
apakah kau sudah merasa baikan sekarang?"
Handaka memasang wajah tak mengerti. "Ya?"
"Antar aku ke tempat Kang Tirta dibawa oleh
Dayang-dayang Dasar Neraka."
"Tetapi...."
"Bila kau menolak, aku bisa pergi sendiri!"
Handaka merasa bintang itu akan jatuh di
hadapannya. Tetapi dia berkata, "Ayu Wulan... kesaktian
ketiga gadis itu sangat tinggi. Sementara aku masih
dalam keadaan terluka seperti ini."
"Aku akan berusaha untuk mengatasinya!" seru
Ayu Wulan tegas dengan kecemasan luar biasa. "Kau tak
perlu melakukan apa-apa, hanya menunjukkan padaku
tempat pertarungan itu terjadi! Setelah itu, kau boleh
meninggalkan aku!"
"Kau sendiri?"
"Aku akan menyusuri jalan untuk menyelamatkan
Kang Tirta!" sahut Ayu Wulan keras bercampur gemas.
Pangeran Pencabut Nyawa memasang wajah
bimbang. Diam-diam dia berkata dalam hati, "Ternyata
begitu mudah mengelabuinya. Ada dua keuntungan yang
kudapatkan. Pertama, aku akan mendapatkan gadis ini
tanpa susah payah. Kedua, gadis ini akan menjadi barang
berharga untuk barter dengan Kitab Pemanggil Mayat,
sebagai petunjuk untuk menemukan Kitab Pamungkas.
Dan aku tak percaya kalau Kitab Pemanggil Mayat berada
di tangan perempuan berjuluk Dewi Topeng Perak dan
Buang Totang Samudero, seperti yang dikatakan Dayangdayang Dasar Neraka."
Lalu katanya, "Baiklah. Mengingat kau telah
menolongku, aku akan membalas semuanya."
"Aku tidak mengharapkan balasan apa-apa! Tetapi
kali ini aku butuh bantuanmu agar aku dapat
menyelamatkan Kang Tirta!"
Pangeran Pencabut Nyawa mengangguk dan
perlahan-lahan berdiri, "Kita berangkat sekarang!"
Dengan kecemasan yang menggayuti dadanya,
Ayu Wulan mengangguk dan mendahului. Di belakang,
Pangeran Pencabut Nyawa menyeringai lebar. Pandangannya tertuju pada pinggul Ayu Wulan yang
bergerak indah saat gadis itu melangkah bergegas.
"Ternyata, semuanya begitu mudah. Sangat mudah
sekali...."
Lalu dia pun menyusul murid Manusia Pemarah
dengan bayangan-bayangan yang mengasyikan!
*** Bab 5 PAGI sudah kembali menghampar dalam naungan udara
sejuk yang agak dingin. Di kejauhan, suara kokok ayam
hutan terdengar berulangkali. Embun-embun berjatuhan
perlahan-lahan. Betapa alam begitu riang dan indah.
Pesona demi pesona yang ditaburkan dari hari ke hari tak
pernah surut. Selalu membuat orang akan terpana. Tetapi
sayangnya, masih banyak orang yang tak bisa mengagumi
keindahan alam hingga mereka selalu merusaknya.
Di sebuah hutan yang cukup lebat, terdengar
suara lembut bersama angin yang mendesir, "Itulah yang
dapat kuceritakan kepada kalian. Mungkin, sesuatu yang
mengejutkan, tetapi bi.sa pula tidak mengejutkan.
Tergantung bagaimana kalian bisa menerima ceritaku
itu." Kejap kemudian tak ada yang bersuara. Wulung
Seta dan Sri Kunting yang mendengarkan kata-kata Raja
Lihai Langit Bumi hanya mengunci mulut rapat-rapat.
Sedikit banyaknya, kini mulai tergambar apa yang selama
ini membuat mereka selalu bertanya-tanya.
Setelah melepaskan pukulan ke arah tanah agar
menghalangi pandangan. Raja Lihai Langit Bumi segera
berkelebat menyambar tubuh Wulung Seta dan Sri
Kunting yang sejenak terkejut. Tetapi tatkala menyadari
orang berselempang kain putih yang membawa mereka,
keduanya pun diam saja.
Bobot tubuh Wulung Seta dan Sri Kunting cukup
berat, tetapi Raja Lihai Langit Bumi membawanya seolah
tanpa beban. Ini memang sebagian dari rencana Raja
Lihai Langit Bumi. Baginya, melayani Rantak Ganggang
hanya akan membuang waktu belaka. Bila Raja Lihai
Langit Bumi ingin menurunkan tangan, sudah pasti dia
akan mudah menguasai Rantak Ganggang. Karena,
kesaktiannya berada dua tingkat di atas Rantak
Ganggang. Sementara itu, Bwana yang berputaran di angkasa
bisa menangkap gelagat yang dijalankan oleh Raja Lihai
Langit Bumi. Burung yang cerdik itu seolah mengetahui
apa yang diinginkan salah seorang guru dari Rajawali
Emas yang sangat dikenalnya ini. Segera saja tubuhnya
meluncur tanpa keluarkan suara.
Di hutan itulah Raja Lihai Langit Bumi
menurunkan sosok Wulung Seta dan Sri Kunting.
Sedangkan Bwana berputaran di angkasa tanpa
keluarkan suara koakan sedikit pun.
Raja Lihai Langit Bumi telah menanyakan siapa
Wulung Seta dan Sri Kunting sebenarnya. Lalu
diceritakan berita tentang kemunculan Kitab Pamungkas.
Kesunyian yang meraja itu dipecahkan oleh Raja
Lihai Langit Bumi, "Mungkin, kalian sudah mengerti apa
yang tadi kukatakan, bukan?"
"Kalau boleh kami tahu, siapakah orang
berselubung kain merah yang berjuluk Rantak
Ganggang?" tanya Wulung Seta.
Raja Lihai Langit Bumi tersenyum. "Bila kalian
menanyakan kepadaku bagaimana rupa orang itu, aku
sendiri tidak tahu. Karena aku memang belum pernah
melihat seperti apa rupanya. Rantak Ganggang muncul di
rimba persilatan ini lima puluh tahun yang lalu. Saat itu
dengan bermodalkan kesaktian tinggi, dia banyak
melakukan pembunuhan. Kegemarannya adalah mengumpulkan benda-benda pusaka. Tak peduli benda
itu dimiliki orang lain atau tidak, pasti akan direbutnya.
Bahkan tak segan-segan dia membunuh orang yang
memiliki benda pusaka namun menolak memberikannya.
Dulu, aku pernah bertarung dua kali dengannya dan
kemenangan berada di pihakku. Pada kekalahannya yang
kedua, dia menghilang begitu saja tak tahu rimbanya.
Entah kemudian dia mendapat kabar dari siapa,
kalau kuku-kuku kaki Bwana bisa dijadikan senjata sakti
tiada banding. Aku tidak tahu apakah berita itu benar
atau tidak. Kudengar pula dia muncul kembali ke rimba
persilatan ini untuk memburu Bwana. Dan pertemuan
yang terakhir antara aku dengannya, yang seperti kalian
lihat. Aku sudah tua. Sudah tak bersemangat bertarung


Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya untuk membuktikan siapa yang lebih kuat. Tetapi,
Rantak Ganggang ternyata masih memiliki sifat seperti
dulu dan kesukaannya memiliki benda-benda pusaka."
"Tetapi... mengapa tadi tak kulihat sebuah pun
benda pusaka padanya?" tanya Wulung Seta pula.
Si kakek yang selalu berkata, bersikap dan
bertindak lembut itu tersenyum. "Ini disebabkan, karena
dia merasa lebih hebat dari segala benda pusaka yang
dimilikinya. Terutama, dikarenakan dia begitu yakin,
senjata pusaka tiada banding adalah kuku-kuku kaki
Bwana. Sekarang, kalian dengarkan baik-baik apa yang
kukatakan. Segera tinggalkan hutan ini. Kalau bisa,
usahakan bertemu dengan muridku, si Rajawali Emas.
Aku tahu, saat ini dia sedang menghadapi tantangan
demi tantangan yang bukan hanya dapat membuatnya
luka, tetapi bila tak bersiaga agak kehilangan nyawa.
Tolong beri tahukan padanya, agar dia mendatangi Bulak
Batu Bulan."
"Di manakah tempat itu berada, Kek?" Sri Kunting
yang bertanya untuk pertama kalinya.
"Katakan saja padanya seperti itu. Aku yakin, dia
akan menjumpaiku di sana. Juga ceritakan pula tentang
orang yang bernama Rantak Ganggang."
Gadis yang di punggungnya terdapat dua buah
pedang bersilangan ini, menganggukkan kepalanya dan
bertanya, "Kau sendiri hendak ke mana, Kek?"
"Hari ini juga aku akan berangkat ke Bulak Batu
Bulan. Karena, ada misteri yang cukup mencekam dan
tak bisa kudiamkan di sana. Kalian mengerti?"
Kendati sepasang remaja itu penasaran hendak
mengetahui misteri apa yang ada di Bulak Balu Bulan,
tetapi mereka hanya menganggukkan kepala tanda
mengerti. Raja Lihai Langit Bumi tersenyum. Seperti
mengetahui pikiran orang dia berkata, "Kalian kelak akan
mengetahui misteri apa yang ada di Bulak Batu Bulan.
Karena aku merasa, kalian pun akan hadir di sana."
Habis kata-katanya, si kakek berselempang kain
putih dari bahu kanan hingga ke pinggang kiri itu
perlahan-lahan bangkit. Lalu dengan ringan melangkah
lembut ke sebuah tanah yang cukup luas.
Sri Kunting berkata, "Kakang Wulung... apakah
kita ikuti Kakek itu atau tidak?"
Wulung Seta menggelengkan kepalanya.
"Kurasa jangan, karena sepertinya tak ada tandatanda agar kita mengikutinya.
Kakek itu penuh keterusterangan, tetapi mengapa sepertinya masih ada yang tak
diberitahukannya kepada kita?"
"Dan bagaimana menurutmu dengan misteri di
Bulak Batu Bulan?"
"Aku tidak tahu sama sekali. Tetapi, aku cukup
dibuat kaget tadi karena kakek sakti itu tahu jalan
pikiran kita. Dan kuharap, apa yang dikatakannya tadi
kalau kita juga akan tiba di Bulak Batu Bulan, akan
menjadi kenyataan. Saat ini, entah mengapa dendamku
pada Seruling Haus Darah yang membunuh guruku telah
lenyap...."
"Hei!" Sri Kunting terkejut. "Begitu pula denganku,
Kakang Wulung. Aku seolah sudah melupakan segala
dendam yang ada di hatiku."
Pemuda berpakaian abu-abu yang terbuka di
bagian dada dan memperlihatkan dadanya yang bidang
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin... masalah dendam ini juga yang
membuat Rajawali Emas menyuruh kita menjauhi Bukit
Watu Hatur. Karena... semakin kita memendam dendam,
maka mau tak mau kita akan berada dalam pusaran
pikiran keji."
Berjarak dua puluh langkah dari tempat Wulung
Seta dan Sri Kunting, Raja Lihai Langit Bumi mengangkat
kedua tangannya disertai senyuman yang tak putus.
Kepalanya ditengadahkan. Dilihatnya Bwana yang
terbang berputaran menukik turun tanpa suara. Ketika
kedua kakinya menginjak tanah, barulah terdengar
kirikannya. Seraya melangkah mendekati burung rajawali
raksasa keemasan itu, Raja Lihai Langit Bumi berkata,
"Untuk kedua kalinya kita berjumpa, Bwana.
Terus terang, aku tidak mengerti bahasa yang kau
gunakan selain muridku. Tetapi tentunya kau mengerti
bahasa manusia bukan" Kalau memang iya, berikanlah
isyarat kepadaku. Kau paham?"
Bwana mengangguk-anggukkan kepalanya disertai
kirikan yang cukup keras.
Raja Lihai Langit Bumi tersenyum, "Tadi
kukatakan kepadamu, aku tidak mengerti apa yang kau
katakan. Tetapi sudahlah. Sekarang kau dengar baik-baik
apa yang akan kukatakan padamu ini...."
Lalu terdengar Raja Lihai Langit Bumi berkata
panjang lebar. Dan terlihat kepala Bwana mengangguk
dan menggeleng. Cukup lama kedua makhluk berbeda
wujud itu saling tatap. Yang satu berkata-kata, yang satu
lagi memberikan isyarat.
Setelah itu, "Kau sudah paham semua yang
kukatakan ini, bukan?"
Bwana mengangguk-angguk.
"Bila kau bertemu dengan majikanmu, katakan
aku minta maaf karena mempergunakanmu tanpa
meminta izin darinya lagi. Dan perlu kau ingat, Bwana...
apa yang kukatakan ini menjadi rahasia yang kita
pendam untuk sementara dan kelak akan kita buka. Kau
paham, bukan?"
Bwana mengangguk-angguk lagi disertai kirikan.
"Kalau begitu... bawalah kembali murid mendiang
Pendekar Pedang dan murid mendiang Ki Alam Gempita.
Aku minta padamu, agar kau dapat bertemu dengan
majikanmu kurang dari dua puluh hari mulai sekarang."
Habis kata-katanya. Raja Lihai Langit Bumi
melangkah ke depan. Terus melangkah tanpa menoleh
dan tahu-tahu sosoknya telah lenyap dari pandangan.
Wulung Seta dan Sri Kunting yang tak menyangka
kalau Raja Lihai Langit Bumi langsung pergi, segera
berkelebat mendekati Bwana.
"Kakang Wulung, mau ke mana kakek itu
sebenarnya?" tanya Sri Kunting.
"Seperti yang dikatakannya, dia segera menuju ke
Bulak Batu Bulan."
Sri Kunting arahkan pandangan pada Bwana dan
bergumam pelan, "Aku yakin... Raja Lihai Langit Bumi
mengatakan sesuatu pada Bwana. Ah, kendati Bwana
mau mengatakannya, tetap saja aku tak mengerti apa
yang diucapkannya."
Wulung Seta berkata, "Seperti yang dikatakan oleh
Raja Lihai Langit Bumi, kita harus secepatnya mencari
Rajawali Emas, Rayi. Kupikir, keadaan ini sangat
mendesak sekali. Tak kusangka sedikit juga kalau
permintaan Rajawali Emas pada kita untuk mengikuti ke
mana Bwana pergi, dikarenakan akan munculnya sebuah
kitab pusaka tiada tanding. Kitab Pamungkas."
"Kau betul. Tadi kakek itu mengatakan, Kitab
Pamungkas merupakan kitab kedua dari Kitab Pemanggil
Mayat. Lantas, mengapa dia tak menyinggung lebih
banyak tentang Kitab Pemanggil Mayat?" tanya Sri
Kunting. Wulung Seta tertegun mendengar kata-kata gadis
itu. Sembari anggukkan kepalanya dia berkata, "Kau
benar, Rayi. Baru kusadari hal itu. Ya, ya... mengapa
justru Kitab Pamungkas yang merupakan kitab kedua
yang dibicarakannya?" Wulung Seta menghentikan katakatanya sebelum melanjutkan,
"Jangan-jangan... ini ada
hubungannya dengan Tirta."
"Apa maksudmu?"
Wulung Seta arahkan pandangan dalam-dalam
pada Sri Kunting. Seolah dengan menatap wajah jelita di
hadapannya, dia dapat berpikir lebih jernih. Lalu katanya,
"Raja Lihai Langit Bumi menyuruh kita menemui Rajawali
Emas, agar Rajawali Emas menemuinya di Bulak Batu
Bulan. Kita juga belum tahu misteri apa yang ada di sana
seperti yang dikatakannya. Tetapi, satu pikiran singgah
dibenakku. Bisa jadi... Kitab Pemanggil Mayat sesungguhnya berada di tangan Rajawali Emas."
Sri Kunting terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya.
"Bisa jadi dugaanmu ini benar. Hmm... sebaiknya
kita segera... oh!"
Kata-kata Sri Kunting terputus tatkala melihat
Bwana menggerak-gerakkan kepalanya ke belakang
disertai kirikan lembut. Isyarat semacam itu sudah tidak
membuat keduanya keheranan. Karena pertama kali
berjumpa dengan Bwana, Bwana pun memberikan isyarat
seperti itu. "Menilik gelagatnya, Bwana telah tahu semuanya,
Kakang Wulung."
"Seperti yang kau katakan tadi, tentunya dia
banyak mendapatkan wejangan atau dengan kata lain
pemberitahuan yang lebih lengkap dari Raja Lihai Langit
Bumi." "Sayangnya, kita tidak tahu bahasa Bwana."
"Kalaupun kita tahu, belum tentu Bwana mau
mengatakannya," sahut Wulung Seta.
Gadis berpakaian biru muda itu lamat-lamat
menganggukkan kepalanya. Baru disadari kemungkinan
pendapat Wulung Seta. Lalu didengarnya Wulung Seta
berkata, "Sudahlah! Lebih baik kita naik saja ke
punggungnya! Aku yakin, Bwana akan membawa kita
untuk mencari Rajawali Emas."
Habis kata-katanya, Wulung Seta segera melompat
ke punggung Bwana. Menyusul Sri Kunting yang duduk
di depannya. Satu kejap berikutnya, Bwana berdiri dan
merentangkan kedua sayapnya yang besar dan lebar.
Lalu dengan hentakan kedua kaki yang
menimbulkan bekas pada tanah, tubuhnya meluncur ke
angkasa. Meninggalkan rerumputan yang tercabut dan
sebagian tanah yang rengkah.
*** Bab 6 SETELAH meninggalkan Hantu Caping Baja, Rajawali
Emas meneruskan perjalanan. Dua tujuan kini dimilikinya. Mencari Raja Lihai
Langit Bumi dan Ayu Wulan. Dan
untuk menemukan kedua orang yang tidak tahu berada
di mana, sangat sulit sekali dilakukan oleh Tirta. Kendati
demikian, pemuda dari Gunung Rajawali ini tak
mempedulikan semuanya. Terutama, dia masih dibingungkan dengan lenyapnya Ayu Wulan.
Bahkan dia menolak tawaran baik dari Hantu
Caping Baja yang berniat membantunya untuk mencari
Ayu Wulan. Ingatan pemuda dari Gunung Rajawali ini
mendadak kembali pada Bwana yang diperintahnya
untuk membawa Wulung Seta dan Sri Kunting menjauh.
Sambil terus berkelebat melewati jalan setapak, Tirta
berkata dalam hati, "Mudah-mudahan Bwana sudah
bertemu dengan Guru dan mendapatkan keterangan lebih
lanjut mengenai persoalan yang membentang ini." Masih
terus berkelebat, Tirta menghentikan kata batinnya.
Lamat-lamat dia menyambung, "Tetapi... bisa jadi kalau
ternyata dia belum bertemu dengan Guru."
Karena memikirkan yang kedua itulah Tirta belum
memutuskan untuk memanggil Bwana.
Pemuda ini terus berkelebat. Baginya, dia harus
melawan waktu. Kendati seluruh ilmu peringan tubuhnya
dipergunakan, tetap saja tak ada keringat yang mengalir.
Ini disebabkan karena kekuatan tenaga surya pada
tubuhnya. Benaknya dipenuhi bermacam pikiran yang coba
dirangkaikan. Semuanya seperti tumpang tindih. Sambil
berkelebat, kali ini Tirta coba mengosongkan diri. Namun,
begitu dia hampir mencapai penghujung jalan setapak
itu, mendadak saja dihentikan kelebatannya.
Sekarang kedua kakinya berdiri tegak di atas
tanah. Pandangannya agak dibuka lebih lebar ke depan.
Berjarak delapan langkah dari hadapannya, telah berdiri
seorang lelaki berusia lanjut berpakaian coklat gombrang
yang kusam dengan kedua tangan bersedekap di dada.
Orang yang berdiri seperti menghadang itu
pentangkan seringaian kejam. Rambutnya yang putih
memanjang dibiarkan jatuh tergerai menutupi sebagian
bahu dan wajahnya yang pucat dan berkulit tipis.
Sepasang kelopak matanya yang masuk ke rongga yang
dalam, tak berkedip memandang ke arah Tirta.
"Hmmm... siapa kakek bertampang setan dengan
seringaian kejam itu" Apa-apaan sikapnya yang seperti
menghadangku" Kalau dia berada dalam golongan lurus,
urusan tak terlalu rumit. Tetapi bagaimana kalau tidak"
Benar-benar kapiran!" kata Tirta dalam hati.
Ditariknya napas sejenak. Menghindari orang itu
jelas tak mungkin, karena dia telah melalui jalan hampir


Rajawali Emas 25 Rahasia Bwana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

separo hari. Jalan yang ditujunya tetap ke depan. Jadi,
mau tak mau dia memang harus menghadapinya.
Lalu dengan langkah tenang, pemuda yang di
lengan kanan dan kirinya terdapat rajahan burung
rajawali keemasan ini melangkah ke depan. Bibirnya
tersenyum. Berjarak empat langkah dari si kakek
berpakaian coklat gombrang kusam yang masih
memandangnya tajam, dihentikan langkahnya.
Dengan suara sopan Tirta berkata, "Kakek tak
dikenal. Menilik sikapmu, nampaknya kau memang
sengaja menghadangku. Adakah urusan yang harus kau
selesaikan denganku" Juga... siapakah kau adanya?"
Si kakek makin perlihatkan seringaian kejamnya.
Lalu terdengar suaranya, dalam dan dingin, "Jawab dulu
pertanyaanku! Apakah kau orang yang berjuluk Rajawali
Emas"!"
"Menilik nada pertanyaannya, kakek ini nampak
gusar alang kepalang. Apakah harus kujawab dan
kukatakan yang sebenarnya" Benar-benar berabe
sekarang. Tetapi, aku tak boleh dulu mencurigai orang
sebelum melihat keadaan. Kecuali seperti yang dilakukan
Dayang-dayang Dasar Neraka."
Memutuskan demikian Tirta berkata, "Benar.
Akulah orang yang berjuluk Rajawali Emas."
Dari seringaian kejam yang dipcrlihatkan,
mendadak si kakek tertawa keras. Saking kerasnya,
bukan hanya dedaunan yang berguguran, tetapi rantingranting pohon patah dan
beterbangan, lalu bertabrakan
satu sama lain.
Sejenak Tirta berdebar juga merasakan perubahan
angin yang diakibatkan oleh tawa si kakek.
"Hmmm... apakah tawanya itu bernada basa-basi
atau berkait di ujung" Baiknya, aku berhati-hati
sekarang. Dari tawa yang dikeluarkannya jelas dia
memiliki tenaga dalam tinggi," kata Tirta dalam hati.
Tawa yang keluar sangat keras itu mendadak
terputus. Mata si kakek mendelik besar dengan mulut
terkatup rapat. Pelipisnya bergerak-gerak.
"Bagus!" suaranya lantang dan dingin. "Berarti,
memang ada urusan yang harus diselesaikan!"
Tirta menyipitkan sepasang matanya. Lalu
katanya, "Urusan" Urusan apakah sementara aku tidak
mengenalmu?"
"Kau sedang berhadapan dengan Iblis Tanpa
Jiwa!!" sahut si kakek garang.
Tirta makin menyipitkan sepasang matanya. "Iblis
Tanpa Jiwa?" ulangnya dalam hati. "Dari julukannya saja
sudah begitu angker dan terasa kekejamannya." Lalu
katanya, "Sungguh menyenangkan sekali berjumpa
dengan seorang tokoh yang baru kukenal! Tetapi sangat
tak menyenangkan kalau ternyata sikapmu justru
mengundang banyak pertanyaan!"
Si kakek yang memang Iblis Tanpa Jiwa adanya,
guru dari Handaka alias Pangeran Pencabut Nyawa
tertawa keras. Menyusul suaranya, "Yang perlu kau
ketahui sekarang, bersiap untuk menerima kematian!
Kecuali... kau berikan apa yang kuhendaki!"
"Hmmm... nampaknya dia tidak main-main
dengan ucapannya. Bila aku harus menghadapi kakek
ini, berarti banyak waktuku yang terbuang- untuk
mencari Ayu Wulan. Ah, seharusnya aku tak
meninggalkannya seorang diri. Tetapi, bahaya yang
hendak diturunkan kakek ini nampaknya sudah ada di
depan mata. Aku harus bersiaga."
Lalu dengan memasang mimik lugu Rajawali Emas
berkata, "Tidak ada badai dan hujan, mengapa tahu-tahu
kau menginginkan nyawaku, Kek?"
"Siapa pun orangnya akan menginginkan nyawamu!" "Busyet! Apa mereka kekurangan nyawa?" sahut
Tirta sambil menekap mulutnya. Lalu dengan suara lucu
dia berkata, "Kalau memang kekurangan, kenapa tidak
pakai nyawa kambing" Atau bisa saja membelinya di
kotapraja. Kali saja ada yang menjual nyawa. Eh, kalau
kau mendapatkannya, tolong belikan aku sebuah ya,
Kek!" Menggeram Iblis Tanpa Jiwa mendengar ucapan
konyol Tirta. Dengan rahang mengembung dia berseru,
"Serahkan Kitab Pemanggil Mayat kepadaku!"
Seketika tawa Tirta terputus. Kedua matanya
dibuka lebih lebar memandang ke depan. Diam-diam dia
berkata dalam hati, "Hmmm... jadi urusan kakek ini
menghadangku, juga urusan Kitab Pemanggil Mayat"
Jelas kalau ini ada hubungannya dengan Kitab
Pamungkas. Berarti, aku tidak bisa main-main sekarang.
Menghindar pun percuma."
Kali ini, agak berhati-hati dan penuh kesiagaan
Tirta berkata, "Kitab Pemanggil Mayat" Apa maksudmu
dengan meminta seperti itu, Kek?"
"Jahanam! Cepat berikan kitab itu kepadaku!"
"Lho, aku tidak mengerti apa yang kau
maksudkan" Kitab Pemanggil Mayat tidak ada padaku!"
"Jangan dusta!"
"Mana mungkin aku berdusta pada orang yang
lebih tua?" kata Tirta enteng tetapi tetap bersiaga. Dia
memang tidak berdusta, karena sesungguhnya Kitab
Pemanggil Mayat berada di tangan Raja Lihai Langit
Bumi. "Kalau kau tidak percaya... kupersilakan untuk
menggeledahku! Tetapi awas, kalau tanganmu berani
masuk ke dalam celana!"
Bergetar tubuh Iblis Tanpa Jiwa menahan
kemarahan yang menggelegak. Dengan suara mengguntur
dia berseru, "Kuberi kesempatan padamu tiga kali
bernapas untuk berkata yang sebenarnya!"
"Yang kukatakan itu sudah yang sebenarnya!
Kitab yang kau hendaki tidak berada di tanganku!"
Iblis Tanpa Jiwa merapatkan mulutnya. Matanya
berputar liar dengan kegusaran tinggi. Rahangnya
mengembung mengempis. Dadanya yang kurus turun
naik dengan kemarahan.
Sampai kemudian dia menghardik keras tatkala
sadar kalau dia tengah dipermainkan pemuda di
hadapannya. "Keparat! Terimalah kematianmu!"
Habis kata-katanya, serta-merta digerakkan kedua
tangannya. Serangan angin deras menggebrak dahsyat ke
arah Rajawali Emas. Saking cepatnya serangan angin itu
menderu, membuat Tirta sejenak terkesiap. Dan seperti
baru disadarinya, kalau dia tak mungkin menghindari
karena gelombang angin itu sudah begitu dekat
dengannya. Berarti, jalan satu-satunya hanya memapaki!
Duel Di Puncak Lawu 2 Pendekar Bayangan Sukma 9 Racun Kelabang Putih Si Rase Hitam 6
^