Pencarian

Rahasia Pesan Serigala 2

Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala Bagian 2


dak langsung telah kudengar. dari orang tua berpa-
kaian abu-abu ala seorang imam. Sementara Raja Ular
Baja Putih sendiri datang, hanya dikarenakan kebia-
saan Manusia Serigala pada setiap purnama keempat
dalam setiap tahun selalu mendatangi tempat ini. Jan-
gan-jangan... ada orang lain yang hendak disampaikan
oleh pesan itu?"
Rajawali Emas terdiam kembali dengan pan-
dangan tetap lekat pada orang penuh bulu yang kali
ini menggereng dengan cara berdiri. Lalu merangkak
kembali tak ubahnya seekor serigala. Dan anehnya,
sosok dalam bopongannya tak jatuh. Seiring sosoknya
merangkak, terdengar gerengannya yang panjang.
"Grrrrhhhhh!!"
"Hmmm... gerengannya lain dengan yang per-
tama kudengar tadi. Seperti kebanyakan gerengan se-
rigala. Tetapi... bernada penuh kecemasan. Apakah
cemas karena dia ketakutan" Atau satu sebab lainnya"
Kalau memang orang itu sedang ketakutan, apa atau
siapa yang ditakutinya" Hhh! Daripada aku dibikin
penasaran yang jadi menjengkelkan, baiknya ku coba
untuk menemuinya. Hanya saja, apakah dia bisa di-
ajak berbicara dan dapat mengerti setiap ucapan
orang?" Tetapi sebelum pemuda ini melakukannya justru dia sendiri yang menahan
keinginannya itu. Ke-
ningnya benar-benar dikernyitkan tanda dia sedang
berpikir keras.
"Aneh!" gumamnya mengusap-usap kedua tan-
gannya. "Mengapa aku sepertinya terbiasa mendengar gerengan Manusia Serigala
yang pertama tadi" Seolah
aku mengerti apa yang hendak dikatakannya melalui
gerengan itu. Apakah dikarenakan aku terbiasa men-
dengar Bwana berkata-kata dalam bahasanya sendiri"
Sebenarnya jelas berbeda. Tetapi nada iramanya seper-
ti tak berbeda banyak dengan Bwana. Apakah...."
Keheranan Tirta terputus, tatkala matanya me-
nangkap satu kelebatan warna biru tua berkelebat ke
tempat itu. Segera dialihkan kepala dan ditajamkan
pandangan pada orang yang baru datang.
"Dewi Segala Impian. Rupanya dia belum be-
nar-benar meninggalkan tempat ini," desis Rajawali Emas. Sosok berpakaian biru
tua yang memang Dewi
Segala Impian, menghentikan kelebatannya. Sepasang
matanya yang jernih dan segala wujud dalam dirinya
yang memancarkan pesona yang sukar ditepiskan,
memandang tegang pada orang berbulu hitam lebat
yang masih keluarkan gerengan keras dengan satu so-
sok tubuh dalam bopongannya.
"Gila! Ini benar-benar terjadi!!" desis perempuan jelita itu menghembuskan
ketegangannya. Kedua
matanya membesar seraya menggeleng-gelengkan ke-
palanya. "Kemungkinan besar yang dikatakan oleh Ra-ja Ular Baja Putih itu memang
benar. Berpikir seperti itulah aku sengaja bersembunyi, karena entah mengapa aku
merasa pasti kalau Manusia Serigala akan
men-datangi tempat ini seperti kebiasaannya yang di-
katakan Raja Ular Baja Putih. Tak kusangka... tak ku-
sangka kalau dugaanku benar. Keadaan yang sebe-
narnya ternyata begitu mengerikan. Tetapi... akan ku-
buktikan dulu dengan melihat kalung yang sekilas ku-
lihat saat orang penuh bulu itu melompat dari satu
tempat." Memikir sampai di sana, dengan perasaan te-
gang dan sedikit kerinduan yang mendadak muncul,
perempuan yang menebarkan sejuta pesona ini mele-
sat ke arah Manusia Serigala yang masih mengelua-
rkan gerengan. Sementara Rajawali Emas yang tadi bermaksud
untuk menemui Manusia Serigala hanya memperhati-
kan dari balik batu besar.
"Apa yang hendak dilakukannya" Apakah pe-
rempuan itu hendak meyakinkan dirinya sendiri kalau
orang penuh bulu itu adalah anak dari hubungannya
dengan Hantu Seribu Tangan" Apakah... oh!!Kulihat
ada api bergulung dahsyat menerjang ke arah Dewi
Segala Impian!!"
Berjarak lima belas tombak dari tempat di ma-
na Tirta berada, Dewi Segala Impian membuang tubuh
ke samping dengan seruan tertahan. Di lain kejap dia
langsung memutar tubuh ke belakang dan hinggap di
atas sebuah batu. Gulungan api yang hampir saja me-
nerpa tubuhnya membakar rumput-rumput kecil yang
tumbuh di sela-sela batu.
Mengkelap Dewi Segala Impian sambil memba-
likkan badan diiringi makian keras. Lebih geram pe-
rempuan ini tatkala dilihatnya sosok penuh bulu yang
hendak diyakininya siapa orang itu sebenarnya meng-
hentikan gerengan panjangnya dan memandang ke
arahnya. Begitu tajam.
Lalu mendadak saja orang itu melompat lantas
menghilang seraya mengeluarkan gerengan berirama
seperti yang didengar oleh Rajawali Emas pertama kali.
Mendapati orang yang membuat perasaannya
tak menentu menghilang, Dewi Segala Impian segera
menghamburkan makian yang suaranya segera dipan-
tulkan oleh dinding-dinding Bukit Wampar Pupu yang
dipenuhi tanaman merambat.
"Jahanam keparat!! Kubunuh siapa orang yang
menggagalkan rencanaku"! Keluar kau manusia sia-
lan!!" Tempat itu untuk beberapa saat kembali dire-
jam sepi. Matahari semakin merambat naik. Dewi Se-
gala Impian masih mengeluarkan makian dan benta-
kannya yang keras.
Selang beberapa kejap kemudian, muncullah
satu sosok tubuh dari satu tempat. Sosok tubuh se-
tengah baya yang masih menyisakan kecantikan di wa-
jahnya. Pakaian panjang perempuan yang baru datang
ini berwarna merah, terbuka di bagian dada hingga
memperlihatkan bagian atas payudaranya yang masih
kencang. Dan terbelah hingga ke pangkal paha yang
memperlihatkan bongkahan kedua pahanya yang putih
mulus tatkala angin nakal mempermainkan pakaian-
nya. Perempuan berambut sebahu dengan bibir yang
diberi pemoles dan mengenakan ikat kepala warna me-
rah yang sama dengan pakaiannya, membuka mulut,
dingin dan penuh getaran kemarahan, "Dewi Segala Impian! Atau... kau masih perlu
kupanggil dengan sebutan Sandang Kutung" Perempuan busuk yang me-
nyamar sebagai laki-laki dengan cara menutupi wajah
dengan pupur putih tebal! Bagus! Ternyata tak terlalu lama kutunggu saat
perjumpaan kita berdua!"
Dewi Segala Impian mendelik. Wajahnya mem-
besi. "Ratu Api! Anjing geladak! Gara-gara perempuan celaka ini Manusia Serigala
melarikan diri dan
memupus segala keingintahuan ku! Dia harus mem-
bayar kesalahannya dengan nyawanya!!" Habis mem-
batin geram seperti itu, Dewi Segala Impian berseru,
'Tak perlu ku-tunggu! Kau pasti akan datang menjum-
pai ku untuk menyerahkan nyawamu! Bagus! Kau
mempunyai dua kesalahan! Kesalahan pertama, berani
muncul di sini menantangku! Kesalahan kedua, kau
terlalu lancang hingga urusan yang siap ku tuntaskan
kini jadi berantakan!!
Perempuan berpakaian merah terbuka di ba-
gian dada dan terbelah hingga pangkal paha itu terta-
wa pendek seraya maju dua tindak.
"Tak kusangka kalau selama ini perempuan
yang selalu menjadi dambaan dan impian setiap laki-
laki ternyata hanya serigala betina lapar yang tak tahan melihat sang pejantan,
hingga melupakan orang
yang pernah dicintai dan masih mencintai hanya un-
tuk memuaskan nafsu busuk! Tak bedanya dengan pe-
lacur-pelacur yang kehausan melihat laki-laki! Uru-
sanku sebenarnya adalah dengan Mata Malaikat! Teta-
pi kau terlalu lancang mencampurinya! Bahkan den-
gan sengaja kau mencabut nyawa sahabatku si Bocah
Maut! (Untuk jelasnya baca episode: "Hantu Seribu Tangan").
Berarti, nyawamulah sebagai penggantinya!!"
Mendapati kata-kata Ratu Api wajah Dewi Se-
gala Impian seketika berubah. Amarah membuncah
dalam dadanya. Kedua tangannya mengepal. Tanpa
banyak bicara lagi, kejap itu pula dia telah mencelat ke muka dengan tendangan
lurus mengarah pada wajah
Ratu Api diiringi teriakan dingin, "Lancang mencampuri urusanku, siapa pun pasti
akan mampus!"
Sudah tentu Ratu Api yang dibaluri dendam
atas kematian Bocah Maut tak mau dirinya dijadikan
sasaran empuk serangan perempuan berpakaian biru
tua. Kendati dia tahu ilmunya berada satu tingkat di
bawah Dewi Segala Impian, dia tak mau bertindak ay-
al. Kedua tangannya segera digerakkan ke muka.
Pukulan 'Api Jahanam'-nya mencelat. Api menderu,
menimbulkan suara angin laksana besetan pisau di
udara. Hawa dingin yang sebelumnya melingkupi seki-
tar Bukit Wampar Pupu segera ditindih oleh hawa pa-
nas dari api-api yang dikeluarkan perempuan berpa-
kaian merah. Perempuan jelita berpakaian biru tua ini segera
menghentikan serangannya dan secepat kilat me-
nyingkir. Hanya sekejap karena mendadak saja dia
memutar tubuhnya dua kali sebelum akhirnya berke-
lebat ke arah belakang Ratu Api. Angin menderu-deru
yang berasal dari kedua tangan Dewi Segala Impian
yang berputar-putar terdengar hebat.
Ratu Api terkesiap. Dan cepat membalikkan tu-
buh seraya melepaskan lagi pukulan 'Api Jaha-
nam'nya. Dengan serangan balasan yang mendadak di-
lakukan, perempuan berpakaian merah itu berhasil
menghindari serangan Dewi Segala Impian.
Namun hanya sekejap dia mampu melakukan-
nya. Karena di kejap lain, Dewi Segala Impian sudah
mencelat ke muka dengan kedua tangan terentang.
Breett! Brreett!!
Ratu Api yang mencoba menahan dengan men-
gangkat kedua tangannya memekik tertahan. Masih
untung dia sempat melompat mundur kendati pakaian
di bagian dadanya robek. Kalau tidak, justru dadanya
yang sobek! Kedua tangannya cepat menutupi payudaranya
yang sebelumnya sudah terbuka dan sekarang sema-
kin terbuka."Pandangannya sangat geram.
Dewi Segala Impian tertawa pendek sambil
memandangi wajah Ratu Api yang membesi dengan
memegangi dadanya yang terbuka. Tiba-tiba dia me-
mutus tawanya dan menggeram.
"Kesalahan yang kau lakukan tak pernah ku
maafkan! Terutama kesalahan kedua!!"
Habis bentakannya, seketika Dewi Segala Im-
pian mengangkat kedua tangannya ke atas, lalu tan-
gan kanannya dipentangkan lurus ke depan.
Bukan alang kepalang ketegangan yang melan-
da Ratu Api. Dia jelas-jelas bimbang sekarang.
"Celaka! Aku tak mungkin bisa menghindari se-
rangan perempuan hina ini dengan kedua tangan ma-
sih menutupi dada. Tetapi bila kuhadapi, jelas dadaku akan terpentang lebar.
Jahanam betul! Apa boleh buat!
Tak ada orang lain di sekitar sini kecuali aku dengan perempuan sialan itu!
Berarti...."
Memikir demikian, perlahan-lahan Ratu Api
menurunkan tangannya dari dadanya yang kini benar-
benar terbuka, membusung menantang. Segera dis-
iapkan pukulan 'Api Jahanam'-nya.
Dewi Segala Impian tertawa pendek melihat
yang dilakukan lawannya. Lalu terdengar suaranya
penuh ejekan. "Perempuan hina yang selalu menghalalkan se-
gala cara untuk tidur dengan laki-laki! Mengapa harus ragu menutupi dadamu yang
entah sudah berapa banyak bibir laki-laki yang singgah di sana"! Busuk tetap
busuk." Ratu Api menggeram lalu tertawa sinis.
"Apakah kau pikir kau lebih mulia dari pada-
ku" Kehinaan jenis apa yang tak bisa melekat pada di-
rimu, hah"! Tampangmu demikian suci, tetapi hatimu
tak ubahnya sampah kotor! Aku tak pernah melaku-
kan perbuatan menjijikkan meninggalkan seorang le-
laki untuk berpindah pada lelaki lain! Hhhh! Seluruh
kehinaan yang ada di muka bumi ini layak ditumpah-
kan padamu, Perempuan celaka!"
Dewi Segala Impian benar-benar tak mau ber-
tindak ayal lagi. Diiringi dengan makian setinggi langit, perempuan ini
menerjang ke depan.
Ratu Api sendiri yang telah menyiapkan puku-
lan 'Api Jahanam'-nya segera bertindak pula. Saat
menggerakkan kedua tangannya yang segera melun-
curkan gulungan api dahsyat menebar hawa panas
yang tinggi, kedua payudaranya yang putih montok itu
bergoyang laksana bandul jam.
Blaaammm! Terdengar ledakan keras saat dua pukulan tadi
berbenturan. Gulungan api yang menerjang ke arah
Dewi Segala Impian buyar seketika dan mencelat
membakar di beberapa tempat.
Sosok Dewi Segala Impian terhuyung dua tin-
dak ke belakang dan kejap lain telah berdiri tegak tan-pa kurang suatu apa. Di
depan, sosok perempuan ber-
pakaian merah yang payudaranya telah terbuka lebar
menantang terlempar dengan derasnya dan terjeng-
kang jatuh menabrak sebuah batu besar yang bergeser
sedikit. Seketika dirasakan pusing yang sangat me-
nyengat dan membuat tubuhnya bergetar. Dari mulut
dan hidungnya merembes darah segar. Keluhan kesa-


Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kitan terdengar lirih berkali-kali.
Dewi Segala Impian yang berada dalam puncak
kemarahan karena keinginannya untuk mengetahui
siapa Manusia Serigala itu sesungguhnya, tak mau
memberi kesempatan lagi. Dia cepat berkelebat semba-
ri mengirimkan pukulan.
Sepasang mata Ratu Api terbeliak dengan mu-
lut terbuka. Sebisanya dia mengangkat kedua tangan-
nya. Namun dalam keadaan tak menguntungkan, su-
dah tentu usahanya hanya sia-sia belaka.
Tanpa ampun lagi pukulan Dewi Segala Impian
melabraknya dengan keras. Tubuhnya terpental lagi.
Batu besar yang berada di belakangnya tertabrak dan
terbelah dua. Sosok Ratu Api tersungkur jatuh dalam
keadaan telentang dengan tulang punggung patah lima
ruas! Dewi Segala Impian tertawa berderai.
"Hhh! Tak mungkin kau bisa selamat sekarang!
Tetapi ketahuilah, aku bukan orang yang kejam! Kau
masih kubiarkan hidup, Ratu Api!"
Kendati sakit bukan alang kepalang, perem-
puan berpakaian merah yang telentang dengan me-
nampakkan dua payudaranya yang menghadap ke atas
membuka mulut, "Bunuh aku! Bunuh aku bija kau berani!!" Dewi Segala Impian hanya
menyambut dengan tawa. Tetapi jelas dia menindih kegeramannya mendengar ucapan
orang. "Tanpa kubunuh pun kau akan mati dengan
sendirinya! Aku tahu tulang punggungmu telah patah
beberapa ruas! Dan berarti, kau tak akan sanggup lagi untuk berdiri!" Lalu
disambungnya dengan ejekan
yang semakin kentara, "Kau seharusnya berterima kasih kepadaku karena aku masih
membiarkan kau me-
nikmati kehidupan ini!! Berada di bawah teriknya ma-
tahari yang sebentar lagi akan membesarkan sinarnya,
kau akan merasa nyaman, Ratu Api!! Dan satu lagi...."
Tuk! Tuk! Tangan kanan Dewi Segala Impian bergerak ce-
pat, menotok kedua pangkal paha Ratu Api yang saat
itu juga tak bisa digerakkan.
Habis mengumbar ejekannya dan menotok Ra-
tu Api, perempuan berpakaian biru tua ini mengalih-
kan pandangan ke arah batu besar di mana sebelum-
nya Manusia Serigala berada di sana tanpa menghi-
raukan makian dan sumpah serapah Ratu Api yang
benar-benar sudah tak berdaya.
"Aku tak boleh membuang waktu," ujar Dewi
Segala Impian dalam hati. "Biar bagaimanapun juga, aku harus membuktikan siapa
Manusia Serigala itu
kendati sedikit banyaknya aku yakin kalau dia adalah
bayi yang ku lahirkan. Terutama setelah mendengar
penjelasan Raja Ular Baja Putih. Hmmm... siapa sosok
tubuh yang berada dalam bopongannya tadi" Persetan
dengan orang dalam bopongannya! Yang pasti... aku
akan membuktikan semuanya. Dan... tiba saatnya un-
tuk membunuhnya! Karena bayi yang telah tumbuh
menjadi dewasa yang kemungkinannya Manusia Seri-
gala adanya itu, termasuk darah daging manusia jaha-
nam berjuluk Hantu Seribu Tangan!!"
Lalu tanpa menghiraukan teriakan dan makian
Ratu Api yang tersiksa dalam keadaan mau tak hidup
pun sulit, perempuan berpakaian biru tua itu segera
berlari ke arah perginya Manusia Serigala.
Lantas, ke mana Rajawali Emas"
*** Bab 5 BEGITU melihat gulungan api menahan kelebatan De-wi Segala Impian, Rajawali Emas
masih sempat me-
nangkap kelebatan Manusia Serigala dari batu besar.
Untuk sesaat Rajawali Emas memikirkan dari mana
asalnya api itu.
Namun di saat lain, pemuda dari Gunung Ra-
jawali ini merasa lebih berkepentingan untuk menge-
tahui siapa Manusia Serigala sesungguhnya, terutama
tentang sosok berpakaian biru kehitaman yang berada
dalam bopongan orang penuh bulu hitam lebat itu da-
ripada menduga-duga atau menunggu dari mana asal-
nya api yang menahan gerakan Dewi Segala Impian.
Makanya, dia segera melesat mengejar Manusia Seriga-
la. Namun yang tak disangkanya, larinya Manusia
Serigala demikian cepat. Beban di pundaknya bukan
merupakan halangan. Keadaan ini disebabkan karena
nampaknya Manusia Serigala telah memahami dan
hafal betul seluk beluk jalan yang dilaluinya. Tidak seperti halnya Rajawali
Emas yang buta sama sekali dae-
rah yang berjarak sekitar dua ratus tombak dari Bukit Wampar Pupu.
Dalam beberapa kejap saja, Rajawali Emas te-
lah kehilangan jejak Manusia Serigala. Pemuda ini
memaki-maki sendiri sambil menghentakkan kaki ka-
nannya ke tanah yang langsung jebol dan membenam-
kan kakinya hingga ke lutut.
Setelah diangkat kembali kakinya dan bergeser
dua tindak ke samping kanan, Rajawali Emas meman-
dangi sekelilingnya yang dipenuhi jajaran pepohonan
dan semak belukar.
"Menakjubkan! Dia bisa berlari sedemikian ce-
patnya!" desisnya sambil memandang sekeliling. "Aku mulai yakin siapa Manusia
Serigala itu sebenarnya.
Dewi Segala Impian meneriakkan nama 'Baruna'. Jan-
gan-jangan, Manusia Serigala bernama Baruna. Ah,
keadaan memang bikin pusing kepala. Tapi aku tetap
mencarinya. Banyak seperti yang bisa kuduga dalam
hal ini. Gulungan api panas yang menghalangi gerakan
Dewi Segala Impian, mengingatkan ku pada Ratu Api.
Apakah memang perempuan itu yang melakukannya"
Dan sosok tubuh berpakaian biru kehitaman dan ram-
but menjuntai ke bawah dikepang dua mengingatkan
ku pada... hei!!"
Pemuda yang di lengan kanan kirinya terdapat
rajahan burung rajawali keemasan itu menghentikan
desisannya, tatkala matanya menangkap satu keleba-
tan "bayangan hijau berjarak sepuluh tombak di hadapannya.
"Siapa orang yang berkelebat itu" Melihatnya
barusan kendati hanya sekilas, rasanya aku mengenal
orang itu. Baiknya, kulihat siapa dia."
Berpikir demikian, Rajawali Emas kembali ke-
lebatkan tubuh. Tetapi kali ini dia tak perlu mencaricari seperti halnya pada
Manusia Serigala. Karena,
orang berpakaian hijau itu telah berhenti dan berdiri membelakanginya.
Rajawali Emas segera menghentikan larinya.
Dipandanginya orang yang berdiri membelakanginya
itu yang sepertinya juga mendengar gerakannya dan
sengaja menunggu dirinya.
"Pakaiannya hijau penuh tambalan. Rambutnya
putih. Di tangan kanannya terdapat sebuah tongkat
putih. Hmmm... pasti orang ini memejamkan kedua
matanya." Lalu seraya mendekat, Tirta berseru, "Mata Malaikat!!"
Orang yang berdiri membelakangi membalikkan
tubuh. Kepalanya ditelengkan seperti hendak menden-
gar lebih jelas dengan bibir mengulas senyuman.
"Hmm... mendengar suaramu, aku yakin kau
adalah Rajawali Emas."
Tirta tertawa. "Dugaanmu benar," desisnya.
Berjarak dua tombak, si pemuda menghentikan lang-
kahnya di hadapan orang tua yang selalu memejamkan
kedua matanya dan tak lain Mata Malaikat. "Sedang apa kau di sini, Kek?"
Mata Malaikat sunggingkan senyum.
"Seharusnya pertanyaan itu kutujukan kepa-
damu, Rajawali Emas."
"Maafkan kalau aku lancang bertanya barusan.
Terus terang, aku datang ke sini karena sebelumnya
aku melihat Dewi Segala...." Mendadak saja Tirta memutus kata-katanya dengan
kedua mata melebar.
Mata Malaikat mengulapkan tangan kirinya.
"Mengapa harus kau hentikan kata-katamu
itu" Kendati kau sebut nama itu beratus kali, aku tak bermaksud mencarinya lagi.
Dan bukan suatu hal
yang bisa membangkitkan seluruh ingatan bila kau
menyebut nama itu lagi."
"Aku tahu kalau Mata Malaikat meninggalkan
gugusan batu kapur tatkala mendengar kata-kata
Hantu Seribu Tangan. Bisa kubayangkan betapa pedih
sebenarnya hati orang tua yang selalu memejamkan
kedua matanya ini." Tak mau membuat Mata Malaikat seperti terbawa ingatannya,
Rajawali Emas berkata,
"Sebelumnya, aku melihat Dewi Segala Impian yang menuju Bukit Wampar Pupu.
Lantas, kulihat Manusia
Serigala yang berlari sambil membopong satu sosok
tubuh." "Kata-katamu yang terakhir itulah yang membuatku tiba di tempat ini
pula. Tetapi, orang yang berlari dengan sesekali mengeluarkan suara seperti
gerengan seekor serigala itu demikian cepat menghilang.
Mendengar perkataan mu tadi, jadi orang itu adalah
Manusia Serigala" Hmmm... siapa orang itu sebenar-
nya?" Untuk sesaat Mata Malaikat menghentikan kata-katanya. Lalu melanjutkan
sambil menegakkan kepala.
Kedua matanya masih tetap terpejam, "Orang muda...
kau tentunya maklum dengan segala urusan lalu ku
yang kini telah terbuka. Dapatkah kau menyampaikan
satu amanat?"
Rajawali Emas menganggukkan kepalanya sete-
lah menatap beberapa kejap.
Herannya, seperti tahu kalau Rajawali Emas
mengangguk dan berarti mengabulkan permintaannya,
orang tua yang selalu memejamkan kedua matanya,
memindahkan tongkat dari tangan kanannya ke tan-
gan kiri. Sementara tangan kanannya masuk ke balik
pakaian hijaunya yang penuh tambalan. Tatkala dita-
rik keluar, nampaklah beberapa daun lontar yang war-
na hijaunya sudah pudar dan sangat kusam tergulung
menjadi satu. "Sampaikan gulungan daun lontar ini pada De-
wi Segala Impian," katanya kemudian seraya menjulurkan benda di tangannya. "Dan
karena kau telah tiba di sini hendak mengikuti orang penuh bulu itu, kupikir
tiba saatnya aku meninggalkan tempat ini. Untuk sementara, aku ingin menenangkan
pikiran seperti yang
kukatakan pada Dewi Bulan."
Tirta menerima gulungan daun lontar yang dis-
odorkan Mata Malaikat dan mengamatinya sejenak.
Lantas arahkan lagi pandangan pada orang tua di ha-
dapannya. "Mungkin terlalu lancang bila aku berbicara.
Tetapi ada perasaan ingin tahu apa isi gulungan daun
lontar ini?"
Mata Malaikat menggelengkan kepalanya sam-
bil tersenyum. "Yang kuketahui gulungan daun lontar itu beri-
si tulisan-tulisan. Tetapi terus terang, aku tak pernah membacanya."
"Lalu mengapa kau meminta ku menyerahkan-
nya pada Dewi Segala Impian?" tanya Tirta dengan kening berkerut.
"Karena, dialah pemilik gulungan daun lontar
ini." Tirta sampai surut satu langkah mendengar ja-
waban yang tak diduganya. Diperhatikan lagi gulungan
daun lontar di tangannya. Tatkala diangkat lagi kepa-
lanya, dilihatnya Mata Malaikat sudah melangkah,
menuju arah tenggara.
Rajawali Emas yang masih dibaluri penasaran,
urung untuk membuka mulut. Hanya kedua matanya
yang memperhatikan lelaki tua yang dibaluri beribu
ma-salah cinta yang terus melangkah. Melihat Mata
Malaikat telah berlalu, Tirta memutuskan untuk me-
ninggalkan tempat itu pula. Namun sebelum pemuda
ini melakukannya, mendadak saja terdengar suara
berdebam. Blaaaammm! Berjarak lima belas tombak di depan, orang tua
berpakaian hijau penuh tambalan telah melompat ke
belakang tatkala merasakan satu tenaga dahsyat tanpa
suara melabrak ke arahnya dan sekarang menghantam
ranggasan semak belukar yang langsung tercabut
hingga akarnya. Sementara itu Mata Malaikat telah
berdiri tegak dengan kepala ditelengkan. Sedangkan
Rajawali Emas, terburu-buru memasukkan gulungan
daun lontar itu ke balik pakaian keemasannya.
Kejap lain, dia sudah berdiri di sisi kanan Mata
Malaikat. "Siapa yang melakukan serangan?" tanyanya
segera. Mata Malaikat menelengkan kepalanya. Lalu
berujar, "Tidakkah kau menangkap suara bergemerincing menuju ke tempat ini,
Tirta?" Tirta sejenak menajamkan pendengarannya.
Lalu menganggukkan kepalanya. Didengarnya lagi su-
ara Mata Malaikat.
"Hanya seorang yang setiap kali kemunculan-
nya selalu diiringi bunyi gemerincing yang ramai.
Hmmm... kalau memang betul dia adanya, kita harus
bersikap waspada. Bahkan kalau bisa, jangan membu-
ka urusan dengannya."
*** Beberapa saat berlalu dalam keheningan. Ke-
dua orang yang berbeda usia itu tak satu pun yang
membuka mulut. Masing-masing menunggu dengan
perasaan tak menentu. Sementara suara bergemerinc-
ing itu semakin keras terdengar, berarti orang yang
memilikinya semakin mendekat.
Di kejap lain, terdengar satu suara bernada
nyaring diiringi suara gemerincing, "Hik... hik... hik...
tak kusangka di tempat sepi ini berjumpa lagi dengan
manusia! Bahkan ada dua! Bagus, bagus... bila berla-
ku kurang ajar, maka nyawa akan melayang! Bila ber-
laku sopan tanpa bisa jawab pertanyaan, nyawa tetap


Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayang!"
Rajawali Emas mendengus mendengar suara
keras namun orang yang bersuara itu belum tampak
batang hidungnya. "Enak saja bicara! Apakah dia pikir...." Tangan kanan Mata
Malaikat bergerak, tanda agar Tirta menghentikan ucapan. Dengan rasa jengkel
pemuda dari Gunung Rajawali itu menurut.
Tiga kali tarikan napas kemudian, muncullah
satu sosok tubuh berpakaian batik warna ungu dari
jalan setapak di sebelah kanan. Orang yang baru da-
tang ini langsung membuka mulut, "Hik... hik... hik...
Tak kusangka kalau aku berjumpa dengan Upas ara.
Orang bodoh yang tenggelam dalam persoalan cinta.
Mengapa harus larut dalam keadaan tak berdaya" Le-
bih baik datang kepadaku untuk ku putuskan nyawa!"
Rajawali Emas melirik Mata Malaikat. Dipikir-
nya orang tua itu akan mengkelap, tetapi justru sung-
gingkan senyuman.
'Tak pernah pula kusangka akan berjumpa
dengan Nyi Polong atau yang berjuluk Naga Selatan.
Apakah yang membuatmu meninggalkan kediaman di
Pesisir Selatan?"
Sosok berpakaian ungu yang ternyata memang
Naga Selatan adanya, berhenti melangkah. Mulutnya
masih keluarkan tawa nyaring.
"Menyenangkan. Tatkala baru saja datang su-
dah disuguhi satu pertanyaan. Kau benar, Upasara.
Kau benar sekali. Tanya akan segera kujawab. Tetapi
kau harus menjawab pertanyaan yang ku ajukan. Ku
tinggalkan Pesisir Selatan untuk mencari Iblis Cadas Siluman. Nah! Katakan di
mana nenek bertelinga sebelah itu berada bila kau masih ingin menghirup udara
segar?" Justru Rajawali Emas yang mengkelap men-
dengar ejekan orang yang sepertinya asal bersuara
tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Tetapi Mata
Malaikat berbisik, "Jangan cari urusan dengannya. Ke-saktiannya hanya bisa
ditandingi oleh Malaikat Dewa,
Manusia Agung Setengah Dewa dan Pendekar Bijaksa-
na. Bukan maksudku untuk mengecilkan dirimu. Te-
tapi menahan diri untuk saat ini tak ada salahnya."
Tirta segera menindih kejengkelannya. Diden-
garnya Mata Malaikat berujar, "Pertanyaan mudah tetapi sulit menjawabnya.
Kehadiran Naga Selatan ter-
nyata untuk mencari Iblis Cadas Siluman. Urusan
apakah yang memaksa Naga Selatan mencari nenek
bertelinga sebelah itu?"
"Hik... hik... hik... kagum aku dibuat oleh kebe-
ranianmu, Mata Malaikat. Tak seharusnya aku mem-
biarkan kau bernapas lebih lama. Tetapi mengingat
siapa gurumu, aku masih bisa pandang dua mata ke-
padamu. Hanya saja, jangan terlalu lancang mengu-
capkan pertanyaan!"
Mata Malaikat kelihatan serba salah. Kepalanya
kembali ditelengkan. "Bila pertanyaan tak berkenan di hati, harap maafkan. Orang
yang kau cari memang
pernah berjumpa denganku di gugusan batu kapur...."
"Hik... hik... hik.... Dan kau akan mengatakan
nenek bertelinga sebelah itu telah pergi dari sana bukan" Seperti jawaban yang
kudengar dari orang berke-
pala plontos yang berjuluk Beruang Mambang. Karena
pertanyaan mendapat jawaban yang sama, berarti aku
hanya membuang waktu percuma dan sia-sia. Berarti
pula, untuk menutupi waktuku yang terbuang, kau
harus membayar dengan nyawamu, Mata Malaikat!"
Lagi-lagi justru Rajawali Emas yang tak dapat
menahan diri, kendati dia terkejut mendengar kata-
kata si nenek tentang Beruang Mambang.
Sungguh, sebenarnya Tirta bukan orang yang
tidak sabaran. Tetapi dia sangat tak menyukai kata-
kata yang bernada hinaan dari orang. Terlebih-lebih,
saat ini Tirta menghormati Mata Malaikat seperti dia
menghormati kedua gurunya, Bidadari Hati Kejam dan
Raja Lihai Langit Bumi.
Pemuda ini pun segera maju tiga langkah ke
depan. "Naga Selatan! Bukan maksudku bersikap lancang, tetapi apakah kau tak
pernah berlaku sopan"
Kau umbar ancaman seperti menabur benih. Kau ca-
but nyawa seperti kau memetik padi! Apakah tak bisa
kau tutup sementara...."
"Hik... hik... hik... kau sungguh berani, Anak
Muda. Tadi pilihan ku jatuh pada Mata Malaikat. Kali
ini, nyawa kalian berdua yang akan ku cabut!"
Sementara itu Mata Malaikat menarik napas
pendek. "Celaka! Apa yang terjadi sekarang" Naga Selatan memang sulit ditebak
kemauannya. Bahkan tak
diketahui dia dari golongan mana" Tetapi bila seseo-
rang bersikap tak mengenakan hatinya, siapa pun
orang itu, dia tak segan-segan membunuh. Tindakan
yang dilakukan murid Bidadari Hati Kejam ini sesung-
guhnya sangat wajar. Hanya saja, dia tak tahu siapa
orang." Sedangkan saat ini Rajawali Emas sedang menatap tak berkedip pada nenek
berpakaian batik warna
ungu dengan tongkat hitam berkepala naga,
"Aku tidak tahu tindakanku ini salah atau be-
nar. Hanya saja...." ,
Kata-kata hati Tirta terputus tatkala merasakan
hawa panas tanpa menimbulkan suara menerjang ke
arah nya. Mengeluarkan pekikan tertahan pemuda
berpakaian keemasan ini melompat ke samping. Na-
mun anehnya, hawa panas yang berhasil dihindarinya
itu mengejarnya terus.
"Hik... hik... hik... kau hendak menjadi badut
rupanya, Bocah Lancang?" seru Naga Selatan sambil tertawa-tawa senang melihat
Tirta seperti monyet ke-bakaran buntutnya.
Sementara sambil menghindari hawa panas itu,
Rajawali Emas membatin, "Aneh! Kalau serangan hawa panas ini berasal dari si
nenek berpakaian batik ungu, tentunya dia tengah menahan napas atau
mengendalikannya. Namun dia kelihatan tenang saja, seperti
hawa panas ini bukan berasal dari dirinya. Hhh! Aku
bisa celaka kalau begini terus menerus. Baiknya ku
tahan hawa panas ini dan meminta maaf padanya!!"
Tak mau urusan menjadi panjang dan seperti
menyesali kelancangannya, Rajawali Emas menarik
napas pendek yang segera dibawanya ke perut. Dan
mendadak saja perutnya bergolak. Tenaga surya yang
berasal dari Rumput Selaksa Surya yang tak sengaja
dihisapnya, menerjang keluar. Bersamaan dengan itu
kedua tangannya digerakkan ke depan.
Wussss! Cahaya yang cukup terang berpendar dan se-
perti menabrak dinding tebal, terdengar suara letupan yang keras. Seketika saja
tempat itu ditindih hawa panas yang luar biasa. Bahkan beberapa ranggasan se-
mak mengering! Sementara Rajawali Emas terhuyung ke bela-
kang dengan dada yang seperti terhantam godam be-
sar, Naga Selatan tertawa.
"Hik... hik... hik... hebat! Kau hebat sekali,
Anak Muda! Hawa panas yang baru sebagian kecil ku
keluarkan itu berhasil kau hindarkan sekaligus kau
pupuskan! Aku senang, aku senang pada orang yang
berlaku pamer ilmu di hadapanku!"
"Sinting!" maki Tirta kebat-kebit. "Tenaga surya yang ku keluarkan hampir
sepenuhnya sementara dia
mengatakan hawa panas yang dilepaskannya hanya
sebagian kecil. Apakah aku harus berdiam sekarang
sementara orang bersikap penuh hinaan?"
Sebelum Naga Selatan berbuat apa-apa, Mata
Malaikat telah berkata, "Naga Selatan... tolong kau ampuni selembar nyawa yang
dimiliki muridku ini. Ta-di kau katakan, kau masih memandang guruku. Lan-
tas mengapa kau berkeinginan mencabut nyawaku dan
nyawa muridku ini hanya gara-gara jawaban yang ku-
berikan pernah kau dengar dari Beruang Mambang?"
Naga Selatan terkikik lagi. Berulang kali hingga
pipinya yang dipenuhi timbunan keriput dan tanpa gi-
gi, masuk lebih ke dalam.
"Jadi Bocah Lancang itu adalah muridmu" Ba-
gus, bagus sekali! Itu sudah menandakan aku layak
untuk mencabut nyawamu dan nyawanya! Bukankah
kau gurunya?"
"Tadi kau katakan kalau kau menghormati gu-
ruku," sahut Mata Malaikat tanpa pedulikan ucapan perempuan berpakaian batik
warna ungu itu.
"Hik... hik... hik... kau benar. Aku menghormati Pendekar Bijaksana, tetapi
hanya sebelah mata."
Rajawali Emas menindih geramnya mendengar
si nenek merendahkan Pendekar Bijaksana. Lalu den-
gan suara ditekan dia berseru, "Aku bisa menjawab pertanyaanmu itu, Naga
Selatan!" "Terlambat!"
Tirta tak peduli. Dia tahu kalau nampaknya
Naga Selatan sangat ingin bertemu dengan Iblis Cadas
Siluman. Dengan seenak jidatnya saja dia berucap,
"Hmm... kau bisa berkata Seperti itu padahal hatimu ingin sekali tahu apa yang
hendak kukatakan. Kalau
aku salah, silakan tinggalkan tempat ini."
"Hik-.. hik... hik... keparat muda! Kau mengan-
camku dengan pepesan kosong seperti itu"!" sahut Na-ga Selatan yang setiap kali
berucap selalu diiringi kikikan-nya sehingga sulit menduga apakah saat itu dia
sedang marah atau tidak.
Tirta makin bersikap seenaknya. Bahkan den-
gan santainya dia mencabut sebatang rumput dan mu-
lai menghisap-hisapnya.
"Bila kau membunuhku, sudah tentu kau tak
akan mengetahui di mana Iblis Cadas Siluman berada.
Berarti, kau akan semakin banyak membuang waktu
mencarinya. Lagi pula, siapa orang yang mau menga-
takannya bila sudah ketakutan karena kau ancam
hendak dibunuh?"
Naga Selatan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Keparat muda! Hik... hik... hik... sungguh be-
rani kau berlaku lancang kepadaku! Baik, baik! Aku
senang! Tetapi bila kau bisa menjawab pertanyaanku,
aku akan membebaskan nyawamu dan nyawa gurumu
itu!" Hampir saja Tirta berteriak, "Dia bukan guruku!" tetapi segera diurungkan
karena dia tahu maksud Mata Malaikat. Lalu seraya maju satu langkah pemuda
ini berkata, "Orang yang kau cari kulihat di sekitar Bukit Wampar Pupu sedang
bersemadi. Saat aku datang, dia menghentikan semadinya. Malah dia ber-
tanya kepadaku apakah aku melihat seorang nenek
bongkok, jelek, mengenakan pakaian batik warna ungu
yang telah kusam, tanpa gigi hingga mulutnya jadi se-
makin kempot dipenuhi keriput yang banyak, yang
berjuluk Naga Selatan" Lantas kujawab tidak. Setelah
itu dia kembali meneruskan semadinya."
"Hik... hik... hik... sungguh keparat bicaramu
itu, Anak Muda. Kau hebat, hebat sekali! Untuk saat
ini kuampuni nyawamu dan nyawa gurumu! Tetapi"
Entah apa yang terjadi, mendadak saja Tirta
melengak ke depan. Seperti tubuhnya didorong dari
belakang. Saat melengak mulutnya agak terbuka. Be-
lum lagi dia kembali pada keadaan semula, mendadak
saja dirasakannya sebuah benda kecil berbentuk bula-
tan warna hitam masuk ke mulutnya. Anehnya, mu-
lutnya yang terbuka tadi seperti digerakkan menutup
rapat. Padahal Tirta tak ingin melakukannya!
Mata Malaikat yang sebenarnya langsung me-
rasa yakin akan terjadi sesuatu pada Rajawali Emas di saat pemuda itu mendadak
melengak ke depan, cuma
menarik napas. "Aku terlambat."
Naga Selatan membuka mulut tetap dengan ta-
wanya yang nyaring, "Hik... hik... hik... kuharap apa yang kau katakan tadi
benar. Cuma sayangnya, aku
tak percaya sepenuhnya. Jadi kupikir, lebih baik
memberimu sebuah oleh-oleh. Anak muda, bila uca-
panmu itu hanya dusta belaka, maka kau. akan mati
dalam waktu tiga puluh hari! Tetapi bila benar adanya, aku akan datang kembali
untuk mengobatimu!!"
Habis kata-katanya, Naga Selatan berbalik ke
arah dari mana dia datang. Suara bergemerincing dari
gelang-gelang di kakinya saat dia melangkah terdengar ramai. Bahkan sampai
wujudnya tak nampak lagi, suara gemerincing itu masih terdengar.
Sepeninggal perempuan tua bertongkat kepala
naga, Mata Malaikat membungkuk.
"Kau tidak apa-apa, Tirta?"
Tirta menggelengkan kepalanya. Lalu sambil
nyengir sekadar menutupi keterkejutannya mendengar
kata-kata Naga Selatan sebelum nenek bongkok itu
pergi, pemuda ini berucap dengan nada bercanda,
"Yang ku tahu... usiaku hanya tinggal tiga pu-
luh hari lagi...."
Mata Malaikat mendengus.
"Kurang asem! Dia masih bisa bercanda kebluk
seperti itu! Tetapi, kupuji keberaniannya tadi. Apa
yang dilakukannya memang benar. Tak seharusnya ki-
ta mendiamkan orang yang telah menghina melampaui
batas. Tetapi akibat dari keberaniannya... dia benar-
benar hanya memiliki waktu tiga puluh hari. Ah, kein-
ginanku untuk melupakan segala urusan nampaknya
akan terhambat. Tetapi aku tak hendak mengambil
kembali gulungan daun lontar yang telah kuberikan
pada Rajawali Emas."
*** Bab 6 DI Bukit Wampar Pupu, Ratu Api yang sudah dua hari dua malam tergolek tanpa daya
mengeluarkan makian
pendek. Keadaannya semakin lama bertambah payah.
Terutama di bagian punggungnya yang setiap kali dia
bergerak terasa sakit begitu menyiksa. Sementara ke-
dua pangkal pahanya yang ditotok Dewi Segala Impian
benar-benar seperti mati.
Kedua matanya yang bagus namun kerap ber-
sinar licik kali ini benar-benar tak memancarkan sinar apa-apa kecuali


Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepasrahan. Dua hari dia dipanggang
terik-nya matahari. Dua malam dia dihembusi angin
dingin dan digayuti butiran embun. Masih untung hu-
jan tidak turun.
Dikarenakan beberapa tulang punggungnya pa-
tah itulah Ratu Api tak bisa berbuat apa-apa. Bila saja dia tak mendapat celaka
seperti itu, sebulan lamanya
berada di bawah air terjun pun keadaannya masih se-
gar bugar! "Keparat betul perempuan berpakaian biru tua
yang membuatku seperti ini! Bila saja aku tahu akan
terjadi begini, sudah tentu dia kubunuh di saat me-
nyamar sebagai orang yang bernama Sandang Kutung
bersama Bocah Maut! Kurang ajar! Aku bukan hanya
gagal membalaskan kematian Bocah Maut, tetapi juga
menderita begini! Hhh! Bila umurku masih panjang,
akan kukorek jantungnya dan ku makan mentah-
mentah!" geram perempuan yang pakaian di bagian
dadanya robek dan memperlihatkan dua busungan
payudara yang mulus dan montok dengan kedua tan-
gan terkepal. Lalu terdengar lagi makiannya, "Setan keparat!
Mengapa justru aku yang harus mengalami kesialan
seperti ini" Sungguh jahanam!!"
Selagi Ratu Api memaki-maki seraya menindih kepu-
tusasaannya, terdengar satu suara, "Tak kusangka! Ti-ba di bukit yang indah ini,
juga mendapati pemandan-
gan yang indah! Benar-benar bertanda keberuntun-
gan!" Seketika Ratu Api menolehkan kepala seraya menggerakkan kedua tangannya
menutupi payudaranya. Di kejap lain, dia sudah membentak pada orang
yang baru datang dengan pancaran mata penuh kila-
tan birahi, "Manusia botak yang berani lancang! Tinggalkan tempat ini bila tak
ingin mendapat celaka!!"
Orang tinggi besar berkepala plontos dan men-
genakan pakaian warna putih terbuat dari kulit be-
ruang yang bersuara tadi tertawa berderai. Sambil
memandang pada Ratu Api yang tergeletak tanpa daya
dia berucap penuh ejekan, "Seorang anak kecil yang tidak tahu tentang kesaktian
pun mengerti kalau kau
sudah tak bisa berbuat apa-apa. Tetapi, aku masih
berbaik hati kepadamu. Silakan kau lakukan ancaman
itu." Paras Ratu Api membesi mendengar ucapan
orang yang tak lain Beruang Mambang adanya. Ru-
panya lelaki tinggi besar berkepala plontos ini tiba tak sengaja di Bukit Wampar
Pupu untuk mencari hilang-nya Manusia Serigala dan Angin Racun Barat. Teruta-
ma untuk melampiaskan kemarahannya pada Naga
Selatan. "Tinggalkan tempat ini!!" geram Ratu Api tinggi namun tak mampu menyembunyikan
segala kecema- san yang mendadak membuncah di dadanya. Teruta-
ma mendapati kilatan birahi di kedua mata orang ber-
kepala plontos itu.
Bukannya menuruti perintah sekaligus anca-
man orang, Beruang Mambang justru melangkah men-
dekat. Dalam keadaan terbaring tanpa daya seperti itu, Ratu Api melihat betapa
tinggi dan besarnya orang
yang baru datang ini.
Beruang Mambang menggeleng-gelengkan ke-
pala sambil tersenyum sinis.
"Menyenangkan. Sangat menyenangkan. Pa-
rasmu boleh dibilang masih jelita. Tubuhmu juga ma-
sih menggiurkan. Ah, paha mulus yang kau miliki itu
apakah sengaja kau gelar" Atau... jangan-jangan kau
sudah tahu akan kedatanganku di sini" Bisa jadi se-
benarnya kau sedang menungguku!"
"Ucapan gila" maki Ratu Api seraya menggerakkan tangannya untuk menutupi aurat
bagian bawah- nya yang terpentang lebar kendati tertutup oleh seca-
rik kain warna merah. Tetapi karena pakaiannya yang
terbelah hingga pangkal paha, tetap saja terbuka dan
memperlihatkan bongkahan kedua pahanya yang mu-
lus itu. Namun mendadak saja perempuan ini terbela-
lak mendengar orang berkepala plontos itu semakin
kuat tertawa. Perempuan yang sudah tak berdaya ini kembali
mengangkat tangannya untuk menutupi payudaranya.
Wajahnya benar-benar tak mampu menyembunyikan
rasa takutnya. Beruang Mambang tertawa menikmati permai-
nan yang mendadak didapatkannya.
"Benar dugaanku, bukan" Kau sengaja mem-
pertontonkan paha mu untuk ku nikmati!"
"Setan botak! Kurobek mulutmu!"
Tak menghiraukan bentakan Ratu Api, Beruang
Mambang meneruskan kata, "Tetapi aku tak menyukai kedua paha mu yang mulus itu.
Aku lebih menyukai
yang ada di atasnya. Tetapi untuk kali ini, yang lebih memikat ku justru benda
di dadamu. Hanya sayangnya, mengapa harus kau tutupi?"
"Jahanaaammmm"
"Perempuan jelita yang dalam sengsara, tak
perlu mengumbar amarah yang sebenarnya kau yakini
kau tak akan mampu melakukan apa-apa.... Aku ber-
sedia menolong dan mengobatimu. Tetapi sayangnya
aku bukan orang yang suka memberikan pertolongan
cuma-cuma."
"Aku tak perlu pertolongan! Lebih-lebih dari
orang semacam kau! Lebih baik tinggalkan tempat
ini!!" geram Ratu Api dan diam-diam disalurkannya pukulan 'Api Jahanam'-nya pada
kedua tangannya.
Hatinya benar-benar dibuncah rasa ngeri yang datang.
Beruang Mambang melirik sekilas. Lalu berkata
dalam hati, "Hmm... rupanya kau. menyiapkan satu serangan. Hahaha... kau tak
tahu siapa aku rupanya.
Niatku untuk menggeluti perawan yang kuculik itu
memang gagal. Tetapi sekarang, perempuan ini pun bi-
sa kujadikan sebagai pemuas nafsuku."
Lalu katanya seraya memandang tak berkedip
pada Ratu Api, "Bila kau tak membutuhkan pertolongan, jangan salahkan aku yang
sudah bersikap baik."
"Sejak tadi kukatakan, lebih baik tinggalkan
tempat ini!!" geram Ratu Api.
Beruang Mambang tertawa pendek. "Baik, baik!
Aku bukan orang jahat yang suka memanfaatkan ke-
sempatan! Justru nampaknya engkaulah yang tak me-
nyukai orang memberi pertolongan!"
Habis kata-katanya Beruang Mambang me-
langkah meninggalkan Ratu Api yang sekarang bisa
menarik napas lega seraya melepaskan kedua tangan-
nya yang menutupi payudaranya yang terbuka menan-
tang. "Hampir saja aku dihina habis-habisan oleh lelaki celaka itu! Huh! Bila
aku menginginkannya, sudah tentu bukan dengan orang celaka berkepala plontos
itu!" Dan kembali makiannya terdengar mengingat
keadaan dirinya yang tak berdaya sama sekali. "Jahanam betul! Sampai kapan aku
terus menerus berada di
sini" Tak mungkin aku bisa menerima pertolongan dari
orang yang tak kukenal seperti orang berkepala plon-
tos itu. Bisa-bisa justru aku yang diterkamnya. Dalam keadaan seperti ini jelas
aku tak bisa berbuat apa-apa, Benar-benar celaka! Sebentar lagi malam akan
datang! Berarti aku akan berteman udara sedingin es di tempat ini." Ratu Api menarik
napas panjang. Kedua matanya kali ini benar-benar berada dalam kepasrahan.
Perasaannya yang dibuncahi rasa tegang tadi, perla-
han-lahan mulai tenang Kendati demikian, dia berusa-
ha untuk bersikap waspada. Karena tak ingin menga-
lami nasib sial. Tempat semacam ini, bisa jadi menarik perhatian orang-orang
jahat untuk bersembunyi.
Terdengar desahan pendek perempuan ini, "Ba-
gaimana aku bisa waspada kalau keadaanku seperti
ini" Menghadapi orang yang tak berilmu saja aku bisa
dikalahkan dengan mudah. Benar-benar celaka!"
Perempuan ini kembali memaki-maki dirinya
sendiri yang tak berdaya. Dan dia hampir saja menge-
luarkan suara lagi, tatkala mendadak saja lehernya
mengejang. Mulutnya yang tadi terbuka tak bisa dika-
tupkan. Belum lagi kekagetannya sirna, mendadak sa-
ja kedua tangannya yang tadi masih bisa digerakkan
menjadi kaku. Kejap lain, terdengar suara tawa di be-
lakangnya. "Aku merasa kasihan meninggalkanmu di sini,
Perempuan Cantik. Apalagi udara sangat dingin. Kau
akan kuberi kehangatan yang luar biasa dan tak akan
pernah kau lupakan pengalaman yang sudah tentu tak
akan pernah kau dapatkan dari orang lain!"
Ratu Api mendelik. Dilihatnya orang berkepala
plontos itu berdiri tertawa di belakangnya.
"Celaka! Kali ini aku benar-benar tak bisa ber-
buat apa-apa!" maki Ratu Api dalam hati dengan ketegangan luar biasa. Lebih-
lebih tatkala melihat Beruang Mambang berlutut. Tangan kanannya yang besar
dipenuhi bulu-bulu dan dilingkari gelang yang terbuat dari untaian taring
diulurkan ke arah dadanya.
Hendak berteriak setinggi langit Ratu Api meli-
hat kehinaan yang akan dialaminya. Dia berusaha be-
rontak, namun tak bisa menggerakkan apa-apa. Beru-
saha berteriak, tetapi suaranya seperti lenyap begitu saja. Hanya kedua matanya
yang membesar gusar
tatkala kedua tangan orang berkepala plontos mere-
mas-remas payudaranya seraya tertawa-tawa. Dan Ra-
tu Api benar-benar hendak pingsan tatkala melihat
orang berkepala plontos itu mulai membuka pakaian-
nya sendiri....
*** Hamparan sinar matahari kembali muncul den-
gan keceriaan yang indah. Bukit Wampar Pupu tersa-
pu sinar lembut yang akan menjadi garang. Burung-
burung beterbangan. Rerumputan berlenggak-lenggok
dihembus angin.
Lalu terdengar suara bergemerincing di kejau-
han. Dan semakin lama semakin keras terdengar me-
nuju ke Bukit Wampar Pupu. Dari gelang kaki perem-
puan bongkok tanpa gigi yang mengenakan kain ke-
baya batik warna ungu itulah bunyi gemerincing tadi
terdengar. Dan orang yang tak lain Naga Selatan
adanya telah tiba di sana. Sepasang matanya yang ma-
suk ke dalam menyapu sekelilingnya.
"Hhhh! Kalau pemuda sialan itu membohongi-
ku, aku akan benar-benar membunuhnya! Tetapi biar-
lah dia mati direjam oleh racun 'Naga Merah'.' Hmm...
tak kulihat seorang pun berada di sekitar bukit ini.
Dari orang yang kutanyai, bukit inilah yang disebut
Bukit Wampar Pupu. Keparat! Tak kulihat ada orang
lain di sekitar sini kecuali diriku dan bayangan! Hik...
hik... hik... sungguh berani bila pemuda berpakaian
keemasan. itu memang membohongi ku. Sungguh be-
rani dia bermain-main dengan Naga Selatan."
Perempuan tua ini kembali mengedarkan pan-
dangan. "Hik.. hik... hik... yang ada cuma rerumputan
dan bebatuan belaka tanpa ada manusia kecuali aku!
Berani benar dia... hik... hik.. hik... sungguh berani!"
Lalu masih tertawa mengikik, Nyi Polong alias Naga Selatan berucap, "Mataku tak
salah menangkap. Ya, ya...
kulihat ada satu sosok tubuh tergeletak di ujung sana.
Hik... hik... hik... sedang apa orang itu di sana" Pingsan ataukah sudah mampus"
Lebih gila lagi jangan-
jangan dia sedang berjemur di bawah matahari...."
Lalu terdengar suara bergemerincing saat pe-
rempuan bertongkat hitam yang di ujungnya terdapat
ukiran kepala naga melangkah.
Beberapa tombak dari satu sosok tubuh yang
tergolek itu dia keluarkan suara, "Hik... hik... hik... dia bukan menjemur diri
rupanya. Tetapi sudah merat ke
alam neraka! Malang nian! Siapa dia... hik... hik...
hik...." Suara gemerincing itu terus terdengar sampai perempuan tua ini tiba di
sisi sosok tubuh yang ternyata Ratu Api yang telah menjadi mayat.
"Malang benar... malang benar. Ada orang pa-
mer kesaktian rupanya. Sayang aku terlambat datang.
Di aurat perempuan ini seperti terdapat darah kering, begitu pula di bagian
pahanya. Hik... hik... hik... sudah pasti dia habis digauli secara paksa.
Waaauuu! Apakah dia menjerit kesakitan atau malah keenakan?" Lalu seperti
menyesali dirinya sendiri Naga Selatan berkata,
"Malang sekali kau, Polong, .Kau belum pernah merasakan artinya hubungan lelaki
dan perempuan. Hik...
hik... hik... kalau aku, sudah tentu aku akan menjerit keenakan. Tetapi siapa
yang mau menggauli ku"
Kambing pun tidak mau... Melihat kepalanya yang ter-
golek ke kanan, jelas kalau kematiannya dengan cara
dipatahkan lehernya. Malang nian... malang sekali....
Sungguh jahanam orang yang melakukannya! Hik...
hik... hik. laki-laki memang orang jahat, tetapi herannya banyak perempuan yang
mau terjerat. Ini gara-
gara bandul jam yang dimiliki setiap laki-laki...."
Lalu tanpa mempedulikan mayat Ratu Api yang
setelah diperkosa oleh Beruang Mambang lantas dibu-
nuh, perempuan berkain kebaya ungu yang bersifat
angin-anginan itu melangkah yang menimbulkan sua-
ra bergemerincing seraya berucap, "Tak bisa orang lain, bersembunyi dari diriku.
Tetapi aku yakin kalau Iblis Cadas Siluman tidak berada di sekitar bukit ini.
Ke mana perempuan celaka itu" Bisa-bisa urusanku
akan semakin lama. Apakah dia menyadari kalau dia
memiliki sebuah benda sakti yang bila dicelupkan ke
dalam air dapat mengobati jenis luka maupun sakit
apa pun" Mudah-mudahan dia tak menyadarinya
hingga aku masih punya kesempatan memilikinya. Te-
tapi di mana perempuan celaka itu?"
Mendadak perempuan tua ini berhenti melang-
kah. Lalu membalikkan tubuhnya ke arah mayat Ratu
Api. "Hik... hik... hik... aku mau bermurah hati un-
tuk menguburmu, Perempuan Malang! Kau beruntung
karena di akhir ajalmu kau masih bisa merasakan


Rajawali Emas 13 Rahasia Pesan Serigala di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kantong menyan dari seorang laki-laki!!"
Lalu tanpa terlihat dia menggerakkan bagian
mana dari anggota tubuhnya, mendadak saja salah sa-
tu batu besar yang berada di sana bergeser. Di tanah
bekas batu itu membentuk lubang setengah tombak.
Kali ini terlihat Naga Selatan menggerakkan tangan kirinya. Mendadak saja mayat
Ratu Api berguling masuk
ke dalam lubang di mana bekas batu besar tadi bera-
da. Setelah itu terlihat Naga Selatan menggerak-
gerakkan tangannya. Dan ratusan kerikil serta gumpa-
lan tanah berlompatan menguruk mayat Ratu Api.
Perempuan yang tengah mencari Iblis Cadas Si-
luman ini terkikik lagi.
"Hik... hik... hik... ternyata aku memiliki hati yang mulia! Kau beruntung
berjumpa denganku kendati kau sudah menjadi mayat, Perempuan Malang!
Oh! Bodoh-nya aku ini! Justru aku yang malang! Se-
kian lama mencari jejak Iblis Cadas Siluman, tetapi
hingga hari ini belum nampak batang hidungnya!
Hanya kabar belaka yang kudengar. Pertama dari
orang berkepala plontos yang mengatakan Iblis Cadas
Siluman berada di sekitar Goa Seratus Laknat, tetapi
sudah meninggalkan tempat itu. Lalu pemuda pembe-
rani yang nekat membohongi ku. Hik... hik...hik... aku
ingin melihat apa yang akan dilakukannya menerima
racun milikku itu. Masih beruntung nasibnya kuberi-
kan racun yang masih membuatnya hidup selama tiga
puluh hari. Kalau yang kuberikan hanya sekejap saja,
sudah tentu pemuda sialan itu tak akan sempat kawin.
Hik... hik... hik... tiga puluh hari pun dia tak akan sempat kawin. Tetapi siapa
tahu dia mau melakukannya dengan kambing?"
Sambil bercekikikan panjang, Naga Selatan
meninggalkan Bukit Wampar Pupu. Suara bergeme-
rincing dari gelang di kedua kakinya yang kurus masih terdengar untuk beberapa
lama. *** Bab 7 SEMINGGU setelah Rajawali Emas terkena racun me-matikan dari Naga Selatan.
Pemuda berpakaian keemasan ini menghenti-
kan langkahnya di sebuah pedataran luas yang dipe-
nuhi rumput liar setinggi paha. Angin senja berhembus demikian sejuknya. Untuk
sesaat, pemuda ini teringat
pada masa kecilnya, di mana pedataran rumput seperti
ini terdapat tak jauh dari dusun tempat tinggalnya. Di mana dulu dia
menggembalakan kambing milik Jura-gan Lanang, yang ternyata adalah orang busuk
yang datang ke dusunnya.
Tak mau larut dalam kenangan indah sekaligus
pahit karena kedua orangtuanya tewas, si pemuda me-
lirik Mata Malaikat yang berdiri di sisi kanannya.
Sebelum dia berucap, Mata Malaikat telah ber-
tanya, "Bagaimana keadaanmu, Tirta?"
Untuk sejenak Tirta mengerutkan keningnya.
Tapi sejurus kemudian dia berkata dengan suara pe-
lan, "Aku merasa payah, Kek. Tubuh ku terasa bergetar terus menerus." Lalu
sambungnya dalam hati,
"Maaf Kek, suatu saat kau pasti akan kuberitahukan kalau racun 'Naga Merah'
milik Naga Selatan yang masuk dalam tubuhku tertolak oleh ilmu 'Penolak Sejuta
Racun' warisan Manusia Agung setengah dewa."
Tanpa tahu apa yang ada di hati Tirta, Mata
Malaikat berkata penuh kecemasan.
"Kau sudah kuperingatkan untuk menahan di-
ri. Naga Selatan bukan orang berilmu kacangan, ken-
dati kau berhasil mengelabuinya!"
"Aku terpaksa berbohong sebab tak ada jalan
lain, bukan?" sahut Tirta dengan suara pelan tetapi bibirnya tersungging
senyuman. "Aku sudah mencoba membuang racun dari da-
lam tubuhmu. Tetapi gagal karena begitu cepat racun
itu larut dalam darah."
"Tidak apa-apa, Kek. Aku masih bisa hidup tiga
minggu lagi, bukan?"
Mata Malaikat menelengkan kepalanya.
"Takutkah kau akan mati, Tirta?"
Kali ini Tirta terdiam mendengar pertanyaan
orang tua berpakaian hijau tambalan di sebelahnya.
"Aku tidak tahu, karena aku mempunyai dua
jawaban. Yang pertama aku tidak takut mati, karena
ajal yang telah digariskan Yang Maha Kuasa sudah
tentu telah tercatat untukku. Hingga biar bagaimana-
pun kuatnya seseorang atau di mana pun dia bersem-
bunyi, kematian akan selalu datang. Jawaban yang
kedua, aku takut mati. Bukan dikarenakan aku tak
mempercayai takdir. Tetapi, aku tak rela mati sebelum kulihat dunia ini damai.
Bukan berarti aku merasa
memiliki kesaktian yang mampu menangani kezaliman
ini. Tetapi paling tidak, aku merasa terpanggil untuk mencegah segala
keangkaramurkaan."
"Jawabanmu pun sama dengan jawabanku."
Mata Malaikat terdiam. Setelah menghembuskan na-
pas dia berkata lagi, "Tiga minggu waktu yang singkat bagimu untuk menemui
kematian. Kalau begitu, biarlah aku yang mencari Naga Selatan. Sementara kau se-
lesaikan urusan tentang Manusia Serigala dan Be-
ruang Mambang. Dan ingat amanat yang kuberikan
padamu, Tirta."
Tirta cuma mengangguk saja. Dirabanya ping-
gangnya di mana terdapat gulungan daun lontar.
"Aku pun tak memaksa kita untuk berjalan
bersama. Kau sendiri yang memaksaku untuk mengi-
kutimu karena kau khawatir tentang racun yang telah
menyatu dengan darahku."
"Bagus.'"
Hanya itu yang diucapkan Mata Malaikat, ka-
rena kedua kakinya sudah melangkah dengan tongkat
putih yang seolah menjadi alat pembantu.
Rajawali Emas memandangi kepergian Mata
Malaikat. "Orang tua... sebenarnya aku kagum atas keta-
bahan mu menghadapi semua ini."
Dalam beberapa tarikan napas saja, sosok Mata
Malaikat sudah menghilang dari pandangan. Tinggal
Rajawali Emas yang kembali mengedarkan pandangan-
nya. "Urusan tentang Manusia Serigala dan Beruang Mambang memang tak dapat
dihindari. Hmmm... di
manakah Angin Racun Barat yang dibawa lari oleh Be-
ruang Mambang yang ternyata musuh besar guruku"
Lantas siapa sosok tubuh berpakaian biru kehitaman
yang berada dalam bopongan Manusia Serigala" Segala
sesuatunya nampak rumit untuk dipecahkan. Apa-
kah...." Kata-kata Tirta terputus tatkala didengarnya suara gerengan bernada
panjang, lembut, menyentak
dan bertalu-talu.
Seketika si pemuda menoleh ke belakang. Ber-
jarak sekitar tiga puluh tombak, dilihatnya satu sosok penuh bulu dalam keadaan
merangkak layaknya seekor serigala, bersuara nyaring berirama seperti tadi.
"Gila! Yang dicari muncul sendiri! Tetapi, ke
mana perginya sosok tubuh berpakaian biru kehita-
man yang waktu lalu ada dalam bopongan orang pe-
nuh bulu itu?" batin Rajawali Emas dengan sepasang mata dipicingkan. Perlahan-
lahan terlihat keningnya
berkerut. Kejap lain dia mendesis tegang, "Sinting!
Mengapa aku seperti mengerti gerengan yang mirip se-
buah pesan itu" Tapi... ah, baiknya kudengar lagi biar lebih jelas."
Di depan sana, Manusia Serigala kembali men-
geluarkan gerengan seperti semula. Rajawali Emas
mencabut sebatang rumput dan menghisap-hisapnya.
Kepalanya terangguk-angguk seperti menimbang sesu-
atu. Kejap lain, dengan mendadak dibuangnya rumput
Beruang Salju 16 Si Rajawali Sakti Karya Kho Ping Hoo Bajingan Gunung Merapi 2
^