Pencarian

Ratu Dari Kegelapan 3

Rajawali Emas 20 Ratu Dari Kegelapan Bagian 3


menggiurkan! Kali ini Rajawali Emas yang mundur dua tindak.
Lalu menggebrak ke depan.
Dess! Dess! Sosok Dewi Kematian surut tiga langkah. Parasnya
yang tertutup oleh cadar suteranya berubah. Kedua
matanya terpentang lebar tatkala melihat kaki kanan-
nya' membengkak biru.
Di depannya, Rajawali Emas meringis dengan ra-
hang dirapatkan.
"Keparat! Rupanya, ilmu yang dimiliki pemuda ini
semakin bertambah! Tetapi peduli setan! Nyawanya ha-
rus mampus menyusul Lanang dan Manusia Mayat
Muka Kuning! Pemuda celaka inilah yang menggagal-
kan seluruh rencanaku!" makinya dengan kedua tan-
gan direntangkan.
Melihat gerakan yang sangat dikenalnya itu, Tirta
terkesiap hingga mundur satu tindak ke belakang.
"Celaka! Rupanya dia hendak melepaskan jurus Te-
pukan Cabut Sukma'-nya yang dahsyat!" rutuknya dan
segera kerahkan tenaga surya ke kedua telinganya se-
bagai penyumbat.
Apa yang diduga pemuda yang di lengan kanan ki-
rinya terdapat rajahan burung rajawali berwarna kee-
masan ini memang benar. Begitu Dewi Kematian me
rentangkan kedua tangannya, mendadak saja dengan
gerakan cepat kedua tangannya ditepukkan. Jurus
'Tepukan Cabut Sukma' telah dilepaskan. Satu tepu-
kan dahsyat yang bisa bikin hancur pendengaran la-
wan dan secara tidak langsung memunahkan keseim-
bangan lawan. Jurus yang aneh karena lawan yang di-
tujulah yang akan merasakan betapa dahsyatnya te-
pukan itu, sementara bila di tempat itu ada orang lain,
tak akan merasakan apa-apa.
Kendati sudah mempersiapkan diri dengan me-
nyumbat kedua gendang telinganya dengan tenaga
surya, Rajawali Emas kembali terkesiap. Karena geta-
ran dahsyat dari tepukan yang dilakukan si perem-
puan bercadar, lebih kuat dan mengerikan ketimbang
yang pernah diterima beberapa bulan lalu!
Tenaga tepukan dahsyat itu telah menyelinap ma-
suk ke gendang telinganya!
Untuk sesaat pemuda dari Gunung Rajawali ini ter-
sentak ke belakang dengan tubuh bergetar.
"Celaka! Rupanya selama ini si perempuan bercadar
berlatih diri hingga tenaga dalamnya lebih tinggi! Sulit
bagiku untuk menahan gelombang tepukan itu! Gila!
Gendang telingaku seperti dihujam sembilu yang san-
gat kuat!" maki Tirta dalam hati dan sebisanya dia te-
rus alirkan tenaga surya sementara di balik cadar yang
dikenakannya, bibir Dewi Kematian menyunggingkan
seringaian lebar.
Dan perempuan ini terus menepukkan kedua ta-
ngannya lepaskan jurus Tepukan Cabut Sukma'.
"Kini tiba saatnya kau untuk mampus, Rajawali
Emas!" serunya keras.
Masih melancarkan jurus Tepukan Cabut Sukma'
sosok perempuan bercadar yang memperlihatkan
bungkahan payudaranya yang montok dan kedua pa-
hanya yang gempal serta putih mulus ini, sudah mele-
sat cepat sambil lepaskan jotosan ke arah kepala Ra-
jawali Emas. Angin deras mengiringi lesatan tubuhnya.
Dalam keadaan tersiksa seperti itu, naluri kepen-
dekaran Tirta diuji. Begitu mendapati lawan sudah me-
nyerang, dengan susah payah dan menahan sakit pada
kedua telinganya, pemuda ini langsung menghempos
tubuh dan memapaki dengan jurus 'Lima Kepakan Pe-
musnah Rajawali'.
Bummmm! Gerak kelebatan kedua orang ini sama-sama ter-
tahan di udara. Kejap kemudian terdengar ledakan
dahsyat saat terjadi pertemuan serangan keduanya.
Tanah di mana benturan tadi terjadi, langsung
rengkah, muncrat di udara menutupi pandangan.
Tatkala semuanya sirap, terlihat sosok Rajawali Emas
mencelat dua tombak ke belakang. Segera saja dia be-
rusaha untuk menguasai dirinya. Kendati masih
goyah, namun masih bertahan untuk tidak sampai ja-
tuh. Dadanya pun nyeri bukan main, seperti hendak
meledak karena satu dorongan kuat dari dalam.
Di depan, tubuh Dewi Kematian mental balik bela-
kang. Dari mulutnya keluar seruan tertahan bersa-
maan darah yang muncrat keluar. Masih untung karna
begitu terlempar ke belakang cadarnya agak tersing-
kap, hingga darah yang muncrat itu tidak mengenal
cadarnya. Setelah membuat gerakan putar tubuh dua kali pe-
rempuan montok itu hinggap di tanah dengan kaki
agak terhuyung. Nampak jelas kalau dia berusaha agar
tidak jatuh. Namun rupanya, perempuan bercadar yang me-
nyimpan dendam ini tak mau bertindak ayal. Setelah
mengumpulkan tenaga dalamnya lagi, kembali dia le-
paskan jurus 'Tepukan Cabut Sukma'!
Dengan keadaan yang agak terluka dalam, sukar
bagi Tirta untuk menahan suara tepukan yang sangat
keras itu. Tepukan yang hanya menyiksa bagi orang
yang dituju pemiliknya. Masih belum terluka saja Ra-
jawali Emas sudah kesulitan menahan, apalagi seka-
rang" Tanpa ampun lagi sosoknya terbanting ke belakang
dengan mulut muntahkan darah.
Berderai tawa perempuan bercadar melihat pemuda
yang sangat dibencinya berada dalam titik kematian
yang sebentar lagi diturunkannya. Namun dia masih
ingin menyiksanya dulu dan berkali-kali jurus
'Tepukan Cabut Sukma' dilepaskan. Hingga suara yang
terdengar begitu sangat menyakitkan kedua gendang
telinga Rajawali Emas.
"Kau tak akan bisa berbuat banyak, Rajawali Emas!
Kau hidup pun hanya mengganggu orang-orang seper-
tiku untuk bertindak semau hati!"
Mendadak saja Dewi Kematian menghentikan te-
pukan tangannya dengan pandangan tajam. Bersa-
maan dengan itu, tubuh Tirta yang bergulingan akibat
tak kuasa menahan rasa sakit pada kedua telinganya
terhenti. 'Napas pemuda dari Gunung Rajawali ini megap-
megap dengan wajah pias, Matanya dipejamkan rapat-
rapat. Dari kedua telinganya nampak mulai mengalir
darah segar. Di depan, Dewi Kematian menggeram keras dengan
kedua mata dipejamkan. Lalu tampak tubuhnya berge-
tar tanda dia sedang kerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
Sembari membuka kedua matanya yang bersinar
lebih garang, tiba-tiba saja kedua tangan perempuan
bercadar ini didorong ke depan.
Wuussss!! Sinar hitam yang mengeluarkan suara menggidikan
menggebrak. Namun baru saja deruan yang men bawa
hamparan gelombang dahsyat itu melesat, men dadak
saja terdengar orang berseru keras. Lalu satu bayan-
gan melesat di keremangan malam. Bersamaan dengan
itu terdengar lima buah suara seperti membeset udara.
Menyusul satu gelombang angin mengerikan yang
menghantam sinar hitam Dewi Kematian yang seketika
membuyar di udara. Sebagian lagi menghantam tanah
yang langsung rengkah dan menaburkan tanah setelah
menimbulkan suara ledakan.
Belum lagi Dewi Kematian menyadari apa yang ter-
jadi, dia sudah melompat ke belakang menghindar
sambaran lima buah benda yang tadi membeset udara
Dan segera kuasai tubuhnya yang terhuyung-huyung
Bila tidak, tak mustahil dia. akan jatuh terjengkang.
Sepasang mata di balik cadar sutera yang dikena-
kannya membuka lebih lebar. Sesaat dia melengak
tatkala melihat lima buah benda yang ternyata gelang-
gelang warna hitam itu kembali kepada pemiliknya
yang langsung masuk ke kedua tangan kurus yang di-
balut pakaian hitam penuh tambalan. Lalu menyusul
satu sosok tubuh yang melangkah pelan dengan kepa-
la digeleng-gelengkan.
*** BAB 9 SEPASANG kaki mulus Dewi Kematian yang tersingkap
karena pakaian yang dikenakannya membelah hingga
pangkal paha, nampak bergetar. Mulutnya komat-
kamit sambil pandangi orang-orang yang baru datang
itu. Kejap lain dia mendesis pelan, "Peri Gelang Ran-
tai... dan Raja Dewa...."
Rajawali Emas yang masih menahan nyeri di dada-
nya, perlahan-lahan bangkit. Lalu dilihatnya dua sosok
tubuh yang berdiri berjarak dua tombak dari tempat-
nya. Dengan kepala yang masih disiksa pusing me-
nyengat, Rajawali Emas segera bersemadi memulihkan
tenaga dalamnya.
Di depan, Dewi Kematian segera keluarkan benta-
kan tajam, "Peri Gelang Rantai! Kau terlalu lancang
mencampuri urusanku! Mengapa tidak kau urus uru-
sanmu sendiri, hah"! Aku tahu, sejak dulu kau punya
urusan dengan Siluman Kawah Api yang aku yakin
hingga saat ini belum terselesaikan!! Lebih baik mem-
persiapkan diri untuk menyambut kematian yang akan
dikirimkan Siluman Kawah Api! Tetapi... kau akan
mampus di tanganku sebelum bertemu dengannya!"
Si nenek berpakaian hitam tambalan ini bukannya
menjawab omongan orang, justru mengalihkan pan-
dangannya pada Raja Dewa, "Hebat juga telingamu,
Raja Dewa! Kau masih bisa mendengar suara-suara
orang bertarung dari tempat ini padahal kita sudah
melangkah cukup jauh!"
Tetap tanpa mimik yang berubah, Raja Dewa berka-
ta, "Kau terlalu memuji. Peri Gelang Rantai! Aku sendi-
ri tidak tahu mengapa aku bisa mendengar suara-
suara itu" Mungkin karena suara yang satu seperti
kambing mengembik" Atau... seperti orang yang keha-
bisan napas" Aku tidak tahu pasti! Tetapi... rasa-
rasanya, melihat ciri yang melekat pada perempuan
bercadar itu aku seperti pernah mengenalnya!"
"Ya! Siapa pun tahu siapa orang di balik cadar itu
Bukankah dia yang dijuluki orang, Perempuan Muka
Burik Biang Bopeng Biang Panu?" sambar Peri Gelang
Rantai tanpa merasa bersalah. -
"Busyet! Apakah kau sudah melihat wajahnya?"
tanya Raja Dewa tetap dengan mimik tenang.
"Mana aku tahu"! Tetapi....apakah tidak mungkin
orang yang menutupi wajahnya sendiri dikarenakan
dia memiliki wajah yang buruk dan menakutkan?" ka-
ta Peri Gelang Rantai kembali pada pembicaraan se-
mula. Sebelum Raja Dewa menyahut, terdengar satu sua-
ra diiringi tawa yang cukup keras, "Bisa jadi! Karena
kau sendiri tanpa menutupi wajahmu dengan cadar
saja sudah menakutkan ya, Nek?"
Peri Gelang Rantai yang sebelumnya dibuat jengkel
karena Rajawali Emas membenarkan kata-kata Raja
Dewa tentang persetujuannya untuk tidak mempergu-
nakan Anting Mustika Ratu, palingkan kepala ke ka-
nan Dilihatnya Rajawali Emas yang sedang nyengir sete-
lah selesai bersemadi. Perlahan-lahan sosok pemuda
berpakaian keemasan itu berdiri.
Anehnya, bibir si nenek tersenyum.
"Ah! Kau membuatku tidak enak karena jadi saing-
an perempuan bercadar itu dalam hal paling jelek"!"
Meledaklah tawa Tirta mendengar kata-kata si ne-
nek. Sementara dari balik cadar sutera yang dikena-
kannya, wajah Dewi Kematian mengkelap.
"Manusia-manusia hina yang sudah ingin mampus!
Kalian hanya membuang waktuku saja! Lebih baik, ku-
kirim nyawa kalian ke neraka!!" geramnya dalam hati.
Lalu pandangannya menusuk pada Rajawali Emas
yang masih tertawa keras.
Di lain kejap, Dewi Kematian segera meloncat ke
arah Rajawali Emas. Tangan kanannya yang membuka
didorong ke depan!
Tirta yang sadar akan bahaya yang datang, segera
memutus kata-katanya sendiri. Namun sebelum dia
berbuat apa-apa, satu tenaga yang tidak nampak su-
dah mengarah padanya, hingga seperti didorong, tu-
buhnya bergeser ke samping kanan.
Di lain saat dilihatnya si kakek berangkin kuning
kehitaman telah membuang tubuh dan berdiri dengan
kedua tangan yang masih berada di pinggul.
Braaakk! Batu besar yang berada di belakang Rajawali Emas
tadi bergeser. Dan di kejap lain rengkah menjadi kerikil
terhantam pukulan Dewi Kematian yang sekarang
mundur tiga tindak ke belakang dan kertakkan ra-
hangnya. "Keparat! Keinginanku untuk membunuh pemuda
dari Gunung Rajawali itu tertunda sekarang! Dan ke-
dua manusia celaka ini harus sebagai gantinya!" ma-
kinya dalam hati.
Sementara dengan sikap tetap sama. Raja Dewa
berkata pada Tirta, "Aku tak punya kebiasaan men-
campuri urusan orang! Tetapi bukankah kau punya
urusan yang harus kau selesaikan di Bukit Kalimun-


Rajawali Emas 20 Ratu Dari Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tu"! Nah! Pergilah! Biar perempuan bercadar ini ber-
main-main lebih lama disini!"
Untuk sesaat Tirta tampak bimbang. Tetapi begitu
teringat kalau dia harus membuktikan dugaan yang
masih mengambang di benaknya, segera dianggukkan
kepala. "Aku pun tak bermaksud melimpahkan urusanku
dengan perempuan bercadar ini padamu, Kek! Teta-
pi...." "Tidak ada tetapi! Ayo, sana pergi!"
Dewi Kematian yang tak mau membuang waktu,
segera kirimkan serangan ke arah Rajawali Emas den-
gan dikawal teriakan mengguntur.
Tetapi serangannya itu tertahan oleh gebrakan Raja
Dewa yang tanpa menggeser kedua tangannya dari ba-
lik pinggul, telah membuat punah pukulan Dewi Ke-
matian. Sesaat Dewi Kematian tertegun tak mempercayai
apa yang dilihatnya. Dan tatkala dibuka kedua ma-
tanya lebih lebar, sosok Rajawali Emas sudah tidak be-
rada di sana. "Keparat! Manusia-manusia ini memang harus di-
beri pelajaran! Manusia-manusia yang tidak tahu siapa
Dewi Kematian sebenarnya!" makinya geram dalam ha-
ti dengan kedua tinju terkepal. "Tetapi... bagaimana
caranya kakek berpakaian putih kusam ini bisa meng-
halangi seranganku barusan" Sepertinya dia tak mela-
kukan apa-apa, hanya menggeser tempat saja! Jaha-
nam betul! Ingin kulihat sekarang, apakah dia mampu
menahan jurus 'Tepukan Cabut Sukma'"!"
Di lain kejap, si perempuan bercadar yang dari tu-
buhnya menguarkan aroma wangi ini segera meren-
tangkan kedua tangannya kembali. Namun sebelum
ditepukkan dia tertegun tatkala mendengar kata-kata
Raja Dewa, "Jurus 'Tepukan Cabut Sukma'! Jurus
dahsyat yang mematikan gendang telinga titik paling
lemah dalam keseimbangan! Tetapi, bagaimana bila
menahan dengan cara mengalirkan tenaga dalam pada
indera penciuman" Apakah mampu melakukannya"!"
Bukannya meneruskan maksud, sosok perempuan
bercadar sutera ini justru surut dua tindak ke bela-
kang dengan wajah berubah. Dadanya mendadak ber-
debar keras. "Celaka! Lelaki sialan ini rupanya tahu kelemahan
jurus 'Tepukan Cabut Sukma'! Orang yang terhantam
jurus ini memang selalu salah menduga! Mereka men-
coba menahan tenaga gelombang tepukan dengan cara
alirkan tenaga dalam pada gendang telinga! Padahal
yang diserang jurus ini justru indera penciuman yang
akan merangsang putus syaraf-syarat di sekitar otak
Dan secara tidak langsung mematikan tenaga dalam
yang dipergunakan menutupi gendang telinga! Benar-
benar kapiran!!"
Makin mengkelap wajah Dewi Kematian tatkala Ra-
ja Dewa berkata lagi tetap dengan kedua tangan bera-
da di belakang pinggul, "Mengapa mengurungkan niat"
Bukankah kau hendak mempergunakan jurusmu
itu"!"
"Keparat! Dia benar-benar...," sesaat perempuan
bercadar sutera ini memutus kata batinnya sendiri
"Hmmm... bisa jadi dia hanya omong kosong belaka!
Pengerahan tenaga dalam untuk melindungi diri dari
serangan tenaga tepukan yang kumiliki pada indera
penciuman, memiliki cara tersendiri! Bisa jadi dia se-
benarnya hanya mendengar belaka tanpa tahu cara
melakukannya! Jahanam! Akan kubuktikan!!"
Memikir sampai di sana, dengan bulatkan segala
tekad, Dewi Kematian yang sudah geram karena kein-
ginannya untuk membunuh Rajawali Emas gagal dan
pemuda itu sendiri sudah tidak ada di hadapannya,
segera lepaskan jurus 'Tepukan Cabut Sukma'!
Tenaga dahsyat dari tepukan itu mengarah pada
Raja Dewa, orang yang ditujunya. Namun yang me-
ngejutkan, Raja Dewa tampak masih tegak berdiri tan-
pa , kurang suatu apa. Tetap dengan kedua tangan
menyatu di belakang pinggul!
Sementara itu Peri Gelang Rantai sedang bergu-
mam, "Hmmm... apa keistimewaan jurus Tepukan Ca-
but Sukma' yang dimiliki si Perempuan bercadar" Aku
sama sekali tidak merasakan apa-apa" Apakah jurus
itu hanya omong kosong belaka" Tetapi, mengapa tadi
Raja Dewa mengatakan...."
Kata batin si nenek berpakaian hitam penuh tam-
balan itu terputus tatkala terdengar kata-kata Raja
Dewa, "Perempuan bercadar! Aku tak mau memper-
panjang urusan! Kendati kau mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang kau miliki dan lepaskan jurus
'Tepukan Cabut Sukma' kau hanya membuang waktu
dan tenaga percuma! Lebih baik hentikan semua ini!
Dan kau masih bisa selamat!!"
Entah karena mendengar kata-kata orang atau di-
karenakan merasa sia-sia, Dewi Kematian menghenti-
kan serangannya. Dari balik cadar sutera yang dike-
nakannya, dia masih tak percaya dengan apa yang dili-
hatnya. "Celaka betul! Lelaki tua ini ternyata tidak omong
kosong! Dia memang bisa mengerahkan tenaga dalam
pada indera penciuman dengan cara yang sangat tepat!
Tetapi...," mendadak saja Dewi Kematian palingkan ke-
pala pada Peri Gelang Rantai. "Aku tak mau semua ini
sia-sia belaka! Kalau lelaki tua itu berhasil mengatasi
seranganku, belum tentu dengan si nenek keparat ini!
Kalau begitu... biar kuhantam dia!"
Namun sebelum Dewi Kematian melakukan mak-
sud. Raja Dewa sudah berkata tetap dengan sikap tak
berubah, "Peri Gelang Rantai! Jurus 'Tepukan Cabut
Sukma' hanya bisa diatasi dengan cara mengalirkan
tenaga dalam pada indera penciuman, bukan pada in-
dra pendengaran! Tetapi perlu kau ketahui, cara pen-
galiran tenaga dalammu bukan ditahan pada perut,
melainkan pada rongga dada sebelah kiri. Lalu hen-
takkan naik ke leher. Tahan beberapa kejap dan hawa
yang kau tahan itu akan menutup indera penciuman-
mu dari jurus tepukan Cabut Sukma'!"
Mendengar kata-kata Raja Dewa, Dewi Kematian
memaki keras, "Jahanam!"
'Perempuan bercadar sutera ini benar-benar mati
kutu dan mengurungkan niatnya untuk melepaskan
serangan jurus 'Tepukan Cabut Sukma' pada Peri Ge-
lang Rantai! "Keparat! Lelaki tua itu ternyata memang tahu cara
mengalirkan tenaga dalam ke indera penciuman guna
menahan gempuran jurus 'Tepukan Cabut Nyawa'! Su-
dah kepalang basah! Mundur pun percuma! Lebih baik
kuhajar lelaki tua jahanam itu biar dia tahu rasa!"
Perempuan bercadar ini maju dua langkah dengan
kedua tangan terkepal. Dari balik cadar sutera yang
dikenakannya, sepasang matanya membuka besar.
Mendadak tubuhnya melesat dikawal teriakan!
membahana ke arah Raja Dewa yang sekarang sedang
menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kekeras ke-
palaan Dewi Kematian.
Berjarak lima langkah dari Raja Dewa, si perem-
puan bercadar sutera sudah dorongkan kedua tangan-
nya diiringi teriakan yang bertambah keras. Rupanya
Dewi Kematian telah mengerahkan seluruh tenaga da-
lam yang dimilikinya!
Dua gelombang dahsyat nampak menggebrak me-
ngerikan dari kedua tangan Dewi Kematian. Namun
belum lagi dua gelombang angin pukulan Dewi Ke-
matian mengenai sasaran, tiba-tiba terdengar suara
mendengus. Sejenak Dewi Kematian terkesiap tatkala menyadari
dengusan itu keluar dari mulut Raja Dewa yang tetap
tidak bergeming dari tempatnya. Bahkan, kedua tan-
gannya tetap berada di belakang pinggul.
Kejap lain, Dewi Kematian yang masih menyerang
itu keluarkan pekikan tertahan. Tatkala dua gelom-
bang angin pukulan yang dilepaskannya laksana
menghantam tembok tebal. Yang lebih mengejutkan
lagi, dua pukulannya itu mental balik pada pemiliknya
sendiri! Memekik keras Dewi Kematian. Dan karena tak ada
jalan lain untuk meloloskan diri dari dua gelombang
angin pukulannya sendiri yang membalik. sambil me-
layang di udara Dewi Kematian melepaskan pukulan-
nya kembali. Bummmm! Terdengar ledakan keras tatkala pukulan milik De-
wi Kematian yang terpental balik tadi dihantam pu-
kulannya sendiri. Sosok Dewi Kematian kini yang ter-
pental ke belakang. Dan sebelum jatuh ambruk, dia
masih sempat menjejakkan kaki kanannya ke tanah
untuk memutar tubuh. Namun Saat kedua kakinya
hinggap kembali, tubuhnya pun jatuh!
Yang membuat sepasang mata perempuan bercadar
ini terbeliak lebar, karena sosok Raja Dewa tetap berdi-
ri tegak dengan kedua tangan di belakang pinggul.
Sementara itu, diam-diam Peri Gelang Rantai mem-
batin, "Memang sungguh luar biasa ilmu 'Pembalik
Bumi' milik Raja Dewa! Bahkan kurasakan kalau lebih
dahsyat dari yang pernah diperlihatkannya kepadaku
Apakah... sinting! Perempuan bercadar sutera itu ru-
panya benar-benar keras kepala! Dia telah berdiri tega
kembali dan bersiap melancarkan serangan!"
Apa yang dikatakan Peri Gelang Rantai dalam hati
memang benar, karena sosok berpakaian sutera yang
terbuka di bagian dada dan terbelah hingga pangkal
paha itu sudah melesat kembali!
Raja Dewa menggeleng-gelengkan kepala. "Keras
kepala!" Lalu secara diam-diam ditekannya napas pada
perutnya. Dengan pandangan tak berkedip ke depan,
tumit kaki kanannya menjejak bumi. Dan....
Braakkk! Kembali lesatan tubuh Dewi Kematian terpental ke
belakang seperti menghantam tembok besar. Bila saja
saat itu Raja Dewa menjejakkan tumit kirinya ke bumi,
tak mustahil pukulan yang dilepaskan Dewi Kematian-
akan berbalik pada pemiliknya sendiri.
Untuk kedua kalinya Dewi Kematian ambruk ke tanah.
Kali ini dengan mulut keluarkan darah. Rasa nyeri be-
gitu menikam jantung Sukmanya seperti dibetot keras
bersamaan nyali yang ciut. Napasnya kembang kempis
dengan rahang dikertakkan.
"Celaka! Aku tak akan mampu menghadapi ma-
nusia satu ini! Dia benar-benar memiliki ilmu aneh
yang tinggi! Bisa-bisa justru nyawaku yang melayang
sebelum urusanku dengan Rajawali Emas yang seka-
rang entah berada di mana tuntas! Benar-benar jaha-
nam!" desisnya dalam hati dengan wajah pucat di balik
cadar sutera yang dikenakannya.
Di depan, masih tetap dengan kedua tangan berada
di balik pinggul. Raja Dewa berkata, "Perempuan ber-
cadar sutera! Bukan maksudku untuk berkata-kata
tak sopan! Tetapi tindakan yang kau lakukan sebenar-
nya di luar batas kemampuanmu!"
"Keparat! Jangan menganggap enteng!" geram Dewi
Kematian dengan suara menggelegar.
"Seumur hidupku, aku tak pernah menganggap en-
teng sesuatu! Apalagi diri mu yang ku tahu memiliki
kesaktian yang lebih tinggi dari padaku! Hanya karena
kebetulan saja aku bisa mengatasi apa yang kau laku-
kan!" "Keparat! Lelaki tua ini benar-benar harus mampus!
Ejekannya sungguh menyakitkan hatiku!" maki Dewi
Kematian dalam hati. Lalu berseru garang, "Jangan
menjual omongan! Aku akan tetap mengadu jiwa de-
ngan kalian!"
Raja Dewa menggeleng-geleng kepalanya dengan
mimik tak berubah. Lalu katanya, "Hari ini aku tidak
ingin melanjutkan pertarungan! Lebih baik kau berse-
madi dulu hingga tenagamu pulih! Lalu kembalilah ke
asalmu dan jangan membuat onar lagi! Tetapi sayang
kau termasuk manusia yang keras kepala dan merasa
benar melakukan satu tindakan yang salah! Hingga ra-
sanya, tak salah bila kukatakan, bila aku melihat kau
masih berkeliaran, jangan harapkan aku menjadi pe-
murah kembali!"
Bukannya mengikuti kata-kata itu, Dewi Kematian
nampak bersusah payah untuk berdiri. Kendati kedu-
dukannya agak goyah, namun dia berhasil pula berdiri
Dari balik cadar sutera yang dikenakannya, sepasang
matanya membuka lebih lebar. Tangan kanannya me-
nunjuk ke depan dengan suara lantang berkesan ang-
ker, "Jangan kau pikir aku mundur hanya karena ke-
kalahan ini! Pantang bagi Dewi Kematian untuk mela-
kukan tindakan hina seperti itu! Justru aku akan
mengadu jiwa denganmu!!"
"Kau benar-benar keras kepala, Perempuan Berca-
dar! Tetapi sayangnya, aku sedang tidak bernafsu un-
tuk melanjutkan pertarungan bodoh ini! Entahlah ka-
lau nenek berpakaian hitam penuh tambalan itu! Kau
bisa mengumbar segala yang kau punyai bila dia mau!"
kata Raja Dewa sambil pandangi nenek berpakaian hi-
tam penuh tambalan yang berdiri lima tindak di sebe-
lah kanannya. Peri Gelang Rantai yang mengerti maksud Raja De-
wa untuk segera meneruskan perjalanan mencari Se-
ruling Haus Darah berkata jemu, "Aku pun tidak
sedang bernafsu! Apalagi dia sudah dalam keadaan


Rajawali Emas 20 Ratu Dari Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terluka seperti itu! Kalaupun aku memenangkan perta-
rungan ini, tak ada kebanggaan yang datang! Lebih
baik disudahi saja urusan!"
"Jangan jadi orang suci di hadapanku, Orang-orang
Keparat!!" menggembor suara Dewi Kematian seraya
mengalirkan sisa-sisa tenaga dalamnya dan siap meng-
gerakkan kedua tangannya. Namun sebelum dia mela-
kukan serangan yang dengan susah payah dilakukan-
nya, mendadak saja, sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala Raja Dewa membuka mulutnya.
Wrrrr! Angin keras meluncur menghantam tanah di ha-
dapannya yang serta-merta membubung tinggi meng-
halangi pandangan. Dewi Kematian berteriak-teriak ke-
ras berusaha membuka kedua matanya lebih lebar.
Dan begitu tanah tadi luruh kembali, Dewi Ke-
matian sudah hendak melepaskan pukulannya. Na-
mun tangan kanannya yang terangkat seperti tertahan
dengan mulut terkancing rapat! Dia tidak lagi melihat
sosok Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai di hadapan-
nya!. *** Bab 10 TIGA orang lelaki berpakaian keraton yang masing-ma
sing menunggangi tiga ekor kuda hitam itu menghenti-
kan kuda masing-masing di jalan setapak. Dari mulut
ketiga ekor kuda gagah itu keluarkan dengusan napas
yang cepat. Salah seorang dari ketiga penunggang kuda itu
yang bertubuh besar dengan wajah dipenuhi bulu, me-
lompat dengan gerakan yang ringan.
"Kita berhenti dulu di sini!" katanya kemudian
sambil memandang ke depan. Setelah itu, "Bila yang
dikatakan Putri Lebah benar, kemungkinannya bukit
yang terlihat di hadapan kita yang kira-kira masih ber-
jarak ratusan tombak itulah yang dimaksud dengan
Bukit Kalimuntu!"
Dua orang temannya pun melompat turun dan
arahkan pandangan yang sama. Ketiga lelaki yang bu-
kan lain adalah orang-orang Keraton Wedok Mulyo itu
terdiam. Masing-masing orang untuk beberapa saat
tak ada yang membuka mulut.
Seperti diceritakan pada episode sebelumnya, ketiga
lelaki utusan dari Keraton Wedok Mulyo itu sedang'
mencari Ratu Dari Kegelapan yang telah membunuh
Pangeran Wijayaharum. Di sebuah hutan mereka ber-
temu dengan Rajawali Emas dan Ratu Dari Kegelapan
yang saat itu masih menyamar sebagai Putri Lebah.
Sudah tentu di saat Rajawali Emas berada di sisinya,
Ratu Dari Kegelapan tidak bisa berbuat banyak untuk
menghabisi orang-orang. Keraton Wedok Mulyo itu.
Akhirnya dibuatlah cerita palsu di mana Ratu Dari Ke-
gelapan menunggu orang-orang Keraton Wedok Mulyo
di Puncak Kalimuntu.
Kebisuan itu dipecahkan oleh suara yang bertubuh
kurus, "Gandung Pulungan!" katanya memanggil orang
yang bersuara tadi. "Besok adalah hari kedelapan dari
waktu yang dikatakan Putri Lebah di mana perempuan
keparat yang telah membunuh Pangeran Wijayaharum
menunggu kita di Puncak Kalimuntu! Ada baiknya kita
pergunakan kesempatan untuk beristirahat sebelum
memasuki kancah pertarungan!"
Gandung Pulungan alihkan pandangannya ke ka-
nan dan menganggukkan kepalanya. Lalu berkata pa-
da lelaki yang bertubuh agak pendek, "Mangku Langit!
Carilah makanan untuk pengisi perut!"
Lelaki pendek itu menganggukkan kepalanya. Tan-
pa menunggangi kudanya, dia sudah berkelebat den-
gan gerakan yang sangat cepat. Sementara Gandung
Pulungan dan Kerta Sedayu kembali pandangi Bukit
Kalimuntu. "Rasanya... aku tak sabar untuk membawa perem-
puan celaka itu ke hadapan sang Prabu," kata Gan-
dung Pulungan seraya menengadah, menatap langit
senja yang biaskan cahaya merah. Dalam waktu yang
tak terlalu lama, senja indah itu tentunya akan diganti
tugaskan oleh malam yang kelam.
Kerta Sedayu menganggukkan kepalanya. "Begitu
pula denganku! Perempuan keparat itu akan kusiksa
dulu sebelum kuhadapkan pada sang Prabu!"
"Hanya yang membuatku tak pernah mengerti,
mengapa Ratu Dari Kegelapan yang menurut Ki Ageng
Malaya orang yang telah membunuh Pangeran Wijaya-
harum bisa membunuhnya" Adakah sesuatu di balik
semua ini?".
Kerta Sedayu palingkan kepalanya pada Gandung
Pulungan' Setelah beberapa kejap menatapnya, dia
bertanya dengan hati-hati, "Menurutmu... mereka
mempunyai hubungan?"
Tanpa mengalihkan pandangan Gandung Pulungan
menjawab, "Aku tidak sampai hati menduga ke arah
sana. Tetapi sedikit banyaknya mengarah pula ke du-
gaan itu. Hanya saja... bila memang keduanya berhu-
bungan, bagaimana caranya Pangeran bisa bertemu
dengan Ratu Dari Kegelapan" Dan titik persoalannya,
mengapa dia sampai dibunuh?"
Kerta Sedayu tak segera sahuti omongan Gandung
Pulungan. Pandangannya dialihkan kembali pada Bu-
kit Kalimuntu di kejauhan dengan pikiran menera-
wang. Kejap lain dia berkata, pelan, "Bila memang sang
Pangeran memiliki hubungan dan menurutku hubun-
gan birahi dengan Ratu Dari Kegelapan, sungguh me-
rupakan sebuah berita yang sangat mengerikan. Dan
bila memang dugaan ini benar, kuharap kita tak mem-
bocorkannya pada siapa pun. Terutama pada sang
Prabu." "Kau benar," kata Gandung Pulungan. "Tugas kita adalah untuk mencari dan
menyeret Ratu Dari Kegelapan ke hadapan sang Prabu. Menurut Ki Ageng Ma-
laya, perempuan itu memiliki ilmu yang tidak bisa di-
anggap remeh...."
"Peduli setan! Biar bagaimanapun tingginya ilmu
perempuan celaka itu, dia tetap harus mampus! Dan
kita pantang mundur kendati harus bergelimang da-
rah!" satu suara memutus kata-kata Gandung Pulun-
gan. Mangku Langit telah muncul dengan membawa tiga
ekor ayam hutan. Lalu seperti tak mempedulikan apa-
kah Gandung Pulungan hendak menyahuti Kata-kata-
nya atau tidak, Mangku Langit sudah sibuk memang-
gang ayam hutan yang ditangkapnya.
Masing-masing orang terdiam dicekam pikiran yang
sama. Aroma wangi panggang ayam itu rupanya tercium
oleh sepasang remaja yang sedang berkelebat cukup
jauh dari sana. Seperti ditarik oleh daya magis yang
kuat, masing-masing orang menghentikan kelebatan-
nya. Sesaat keduanya saling pandang dengan cuping
hidung yang samar bergerak.
"Kakang! Tidakkah kau mencium aroma daging di-
panggang yang sedap itu?" satu pertanyaan terlontar
dari gadis muda berparas jelita yang tak lain Sri Kunt-
ing adanya. Pemuda yang berdiri di hadapannya mengangguk-
kan kepala. "Ya! Dan perutku jadi lapar!" sahutnya kemudian
sambil menatap si gadis dalam-dalam.
Gadis berpakaian biru muda dan berikat kepala
yang sama itu tertawa, renyah dan enak didengar.
"Kau ini! Mengapa yang kau pikirkan cuma maka-
nan saja?" tanyanya kemudian sementara sepasang
pedang yang terdapat di punggungnya bergerak saat si
gadis tertawa. "Habisnya, apa lagi" Aku tahu, sebenarnya kau pun
sudah sangat lapar, bukan?" sahut si pemuda yang tak
lain Wulung Seta adanya. Lalu sambungnya sambil
tertawa, "Hayo! Jangan berpura-pura! Nanti kau akan
menyesal sendiri bila aku mendapatkan bagian daging
panggang itu sementara kau tidak!"
Setelah diselamatkan oleh seseorang yang berada di
balik angin, yang kemudian diketahui Pendekar Bijak
sana adanya, keduanya pun memutuskan untuk men-
cari Bukit Watu Hatur di mana Seruling Haus Darah
akan tiba di tempat itu pada akhir bulan ini. Namun
sampai saat ini, keduanya belum berhasil menemukan
tempat itu. Dan tanpa disangka, keduanya tiba di tem-
pat ini' menjelang malam tiba.
Sri Kunting berkata lagi, "Kakang Wulung Seta bu-
kankah dengan adanya aroma daging panggang itu be-
rarti bukan hanya kita saja yang berada di tempat ini"''
Wulung Seta terdiam beberapa saat sebelum berka-
ta, "Maksudmu... kita mencoba untuk bertanya pada
orang itu di mana Bukit Watu Hatur berada?"
"Tepat!"
Pemuda tampan berambut panjang yang mengena-
kan pakaian abu-abu terbuka di bagian dada itu diam-
diam membatin, "Selain cantik, dia juga cerdik!" Lalu katanya, "Kalau memang
begitu keputusannya, tak
ada salahnya bila kita mencari! Dan... ya... barangkali
saja kita diberi kesempatan pula untuk menikmati
daging panggang itu!"
Sri Kunting tertawa berderai, memperlihatkan buli-
ran gigi putih yang berbaris dan lorong kemerahan
yang cukup menggiurkan. "Kau ini, Kakang!" Sejenak
Wulung Seta termangu dengan sukma yang seperti di-
betot melihatnya.
Tetapi tatkala mendengar kata-kata Sri Kunting, dia
buru-buru bersikap semula, "Ada apa, Kakang" Men-
gapa kau menatapku seperti itu?"
Wulung Seta jadi gelagapan. Padahal pertanyaan
Sri Kunting adalah sesuatu yang wajar. Bukan ber-
maksud hendak membuatnya gugup.
"Aku... aku... eh! Apa tadi" Apakah... o iya! Ayo, ki-
ta cari orang yang memanggang daging itu!"
Dan tanpa menunggu sahutan si gadis, Wulung Se-
ta sudah berkelebat mendahului. Sesaat Sri Kunting
mengeryitkan keningnya tak mengerti melihat sikap
Wulung Seta. Tetapi di lain saat dia segera berkelebat
menyusul. *** Ketiga orang berpakaian keraton yang kini duduk
di hadapan daging-daging panggang, tak seorang pun
membuka suara. Pun tatkala Mangku Langit yang si-
buk memanggang memberikan masing-masing orang
satu buah ayam hutan yang telah masak dan mene-
barkan aroma yang sangat sedap.
Namun tatkala masing-masing orang hendak nik-
mati ayam hutan panggang itu, mendadak saja mereka
ka mengalihkan pandangan ke arah kanan. Kendati
tak mengubah keadaan, namun ketiganya berwaspada
tinggi. Gandung Pulungan membatin, "Menilik sosoknya
gadis yang di punggungnya terdapat dua buah pedang
bersilangan dan berpakaian biru muda itu bukanlah
Ratu Dari Kegelapan. Tetapi... menurut Ki Ageng Ma-
laya perempuan laknat itu pandai mengubah wajah-
nya. Hmm... kalau memang iya, siapa pemuda tampan
di sisinya" Apakah dia termasuk seorang pemuda ca-
lon korbannya, seperti yang kuduga terhadap sang
Pangeran?"
Merasa hanya akan membuang waktu, Gandung
Pulungan menyodorkan ayam hutan panggangnya pa-
da Kerta Sedayu. Sementara dia sendiri maju selang-
kah Dengan pandangan tak berkedip menatap sepa-
sang remaja yang baru muncul dan tak lain Sri Kunt-
ing dan Wulung Seta adanya, dia berkata,
"Bukan maksudku untuk banyak tanya dan bersi-
kap tak sopan! Tetapi... tak ada salahnya memperke-
nalkan diri"!"
Sesaat Sri Kunting berpandangan dengan Wulung
Seta. Keduanya sama sekali tidak menyangka kalau
orang-orang yang memanggang ayam hutan yang aro-
manya menebar itu lebih dari satu orang. Terlebih-
lebih ketiga orang itu mengenakan pakaian Keraton.
Wulung Seta segera rangkapkan kedua tangan lalu
berkata sopan, "Bukan maksud kami mengganggu ke-
asyikan kalian. Tetapi kami datang untuk satu perta-
nyaan." "Sikapnya begitu Sopan, tanda dia terpelajar." Ha-
bis membatin begitu Gandung Pulungan berkata, "Per-
tanyaan akan dijawab bila sudah memperkenalkan di-
ri." Masih merangkapkan kedua tangannya di depan
dada, Wulung Seta menyebutkan namanya, lantas me-
nyebutkan nama Sri Kunting. Lalu lanjutnya, "Aku
adalah murid tunggal mendiang Ki Alam Gempita. Se-
mentara gadis ini murid tunggal mendiang Pendekar
Pedang." Tatkala kedua nama itu disebutkan, sepasang mata
Gandung Pulungan terbuka lebih lebar.
"Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang?" ulangnya,
lantas dengan suara gemetar dia berkata sambil pan-
dangi Wulung Seta lekat-lekat, "Anak muda... mengapa
kau menyebutkan keduanya 'mendiang'. Apakah...."
Gandung Pulungan sengaja memutus kata-katanya
semata untuk melihat sikap dan mendengar jawaban
pemuda berpakaian abu-abu yang terbuka di dada.
Perlahan-lahan kepala Wulung Seta mengangguk.
"Ya. Guruku tewas di tangan manusia sesat berju-
luk Seruling Haus Darah. Sementara Pendekar Pedang
tewas di tangan orang-orang suruhan Seruling Haus


Rajawali Emas 20 Ratu Dari Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Darah yang membokongnya secara licik."
Gandung Pulungan menarik napas panjang. Se-
mentara Kerta Sedayu dan Mangku Langit saling pan-
dang. Suasana tidak lagi tegang seperti tadi.
Gandung Pulungan mengajak kedua muda-mudi itu
untuk menikmati ayam hutan panggang. Sambil me-
nikmati hidangan itu, mereka meneruskan percaka-
pan. "Wulung Seta, masalah apakah yang hendak kau
tanyakan?" tanya Gandung Pulungan.
Wulung Seta menarik napas dulu sebelum berkata,
"Perjalananku bersama Sri Kunting adalah untuk men-
cari Seruling Haus Darah. Kendati kami tahu apa yang
kami miliki tak akan mampu menandingi manusia se-
sat itu, tetapi kami telah bertekad untuk mengadu jiwa
dengannya. Yang kutanyakan, tahukah kalian di manaBukit Watu Hatur berada?"
"Bukit Watu Hatur?" ulang Gandung Pulungan. La-
lu sembari menggelengkan kepala dia berkata, "Aku ti-
dak tahu tempat yang dinamakan Bukit Watu Hatur.
Tetapi, mengapa kau menanyakan tempat itu?"
"Karena... di sanalah Seruling Haus Darah akan
muncul pada bulan terakhir ini."
Kerta Sedayu berkata, "Anak muda... kami sebenar-
nya pun bermaksud untuk menghentikan sepak ter-
jang manusia sesat itu. Tetapi ada urusan yang tinggal
selangkah lagi harus kami selesaikan. Dan sebelum
pertemuan kita ini, kami telah berjumpa dengan pe-
muda sakti berjuluk Rajawali Emas. Dia...."
"Di manakah Rajawali Emas berada sekarang?" ta-
nya Sri Kunting memotong kata-kata Kerta Sedayu de-
ngan agak terburu-buru.
Sementara Wulung Seta diam-diam menarik napas
panjang mendengar nada tidak sabar dalam perta-
nyaan Sri Kunting, Kerta Sedayu menjawab, "Kami ti-
dak tahu lagi di mana dia berada sekarang. Yang kami
tahu, dia bersama-sama seorang gadis berjuluk Putri
Lebah. Dari gadis itulah kami tahu, di mana kami ha-
rus menyelesaikan urusan yang kami emban."
Wulung Seta yang masih melirik Sri Kunting, diam-
diam menarik napas panjang mendapati perubahan
wajah si gadis.
"Menilik sikapnya, rasa-rasanya dia mencintai Ra-
jawali Emas. Ah, apakah semua ini akan jadi.... Gila!
Mengapa aku jadi berpikir ke arah sana" Urusan dia
mencintai Rajawali Emas bukanlah urusanku, kendati
entah mengapa aku merasa tidak suka bila keadaan
itu memang benar. Dan gadis ini...."
"Kakang Wulung Seta," kata-kata Sri Kunting me-
mutus kata batin murid mendiang Ki Alam Gempita
"Jawaban sudah kita dapatkan. Sementara, orang-
orang ini masih mempunyai urusan lain yang harus
diselesaikan. Apakah tidak sebaiknya kita meneruskan
perjalanan saja?"
Kendati mengerti mengapa sikap Sri Kunting men-
dadak berubah, Wulung Seta berlaku tidak tahu sama
sekali. Ditatapnya gadis itu dengan tatapan teduh dan
mencoba untuk menindih kegalauan yang mendadak
muncul. Setelah menganggukkan kepala pada si gadis, Wu-
lung Seta berkata pada ketiga orang utusan Keraton
Wedok Mulyo, "Memang demikianlah sebaiknya. Ma-
sing-masing orang punya urusan sendiri yang harus
diselesaikan. Gandung Pulungan, Kerta Sedayu, dan
Mangku Langit, perjumpaan ini tak akan pernah kulu-
pakan. Dan semoga kalian bisa menuntaskan urusan
yang menghadang di hadapan kalian."
Gandung Pulungan menganggukkan kepalanya.
"Begitu pula sebaliknya," katanya kemudian. "Bila bertemu dengan Rajawali Emas
dan Putri Lebah, sam-paikan salam kami kepadanya."
"Akan kulakukan...."
Orang-orang itu berdiri. Sri Kunting menutup mu-
lutnya rapat-rapat. Wajahnya nampak kelu dan diam-
diam dia membatin, "Aneh! Mengapa perasaanku men-
jadi tidak enak memikirkan Kang Tirta bersama seo-
rang gadis berjuluk Putri Lebah" Gila! Tak seharusnya
aku bersikap seperti ini! Tidak patut! Kang Tirta bukan
apa-apaku, demikian pula sebaliknya. Ah... mengapa
sikapku jadi keterlaluan seperti ini?"
Tatkala Wulung Seta berpamitan dengan orang-
orang Keraton Wedok Mulyo, Sri Kunting memasang
wajah cerah dengan senyuman di bibir. Lalu katanya,
"Terima kasih atas daging panggangnya. Perutku jadi
lumayan kenyang. Dan soal Kakang Wulung Seta...
sebenarnya dia bukan bermaksud bertanya tentang
Bukit Watu Hatur... tetapi memang ingin diberi daging
panggang itu...."
Wulung Seta tertawa berderai mendengar selorohan
si gadis. Dengan kata lain diyakininya kalau Sri Kun-
ting tidak lagi terbawa arus emosi dalam pikirannya.
Kendati tak berani berpikir lebih jauh, namun Wulung
Seta sudah cukup puas melihatnya kembali ceria se-
perti sediakala.
Beberapa kejap kemudian, sepasang remaja itu pun
segera meninggalkan orang-orang Keraton Wedok
Mulyo. Menyusuri malam dan terus melangkah. Den-
gan harapan, akan berhasil menemukan di mana Bu-
kit Watu Hatur berada.
Di sepanjang perjalanan, Wulung Seta tersenyum
cerah karena mendapati sikap Sri Kunting yang kem-
bali ceria. Sementara itu, orang-orang Keraton Wedok Mulyo, se-
telah Mangku Langit memadamkan api, segera menaiki
kuda masing-masing. Dan menggebraknya menuju ke
Bukit Kalimuntu!
*** Bab 11 SOSOK berpakaian keemasan itu menghentikan la-
rinya di sebelah utara dari Bukit Kalimuntu yang
nampak masih cukup jauh. Pandangannya lekat tanpa
kedip. "Menilik dari tempat ini, tak ada tanda-tanda Bwa-
na di sekitar bukit itu" Hmmm... ke mana Bwana se-
benarnya" Mengapa dia belum tiba di bukit itu?"
Sosok berpakaian keemasan yang tak lain Rajawali
Emas adanya menarik napas panjang. Pandangannya
masih mengarah pada Bukit Kalimuntu.
"Bila yang kuduga benar, berarti akan memancing
masalah dalam. Lantas secara tidak langsung. Raja
Dewa telah memberiku tugas untuk menemukan siapa
pencuri Trisula Mata Empat miliknya" Gila! Urusan
benar-benar sangat sulit dari yang pernah kuhadapi!
Urusan Seruling Haus Darah saja sampai sekarang be-
lum tuntas! Di mana manusia sesat itu sebenarnya be-
rada"!"
Sesaat pemuda dari Gunung Rajawali ini terdiam.
Sinar matahari baru menampakkan bias-biasnya di
ufuk timur. Angin cukup dingin berhembus. Tetesan
embun masih bergelantungan di beberapa helai daun.
"Yang tak pernah kusangka, adalah kemunculan
Dewi Kematian. Apakah masih ada manusia-manusia
lain yang pernah menjadi lawanku bermunculan kem-
bali?" gumam Tirta lagi. "Hmm... aku tidak tahu apa
yang terjadi dengan Dewi Kematian sekarang. Apakah
Raja Dewa dan Peri Gelang Rantai memberikan pelaja-
ran padanya" Atau... keduanya sudah meneruskan
langkah menuju Bukit Watu Hatur" Dan sampai saat
ini, aku pun belum bertemu dengan Sri Kunting dan
Wulung Seta. Kendati menurut Pendekar Bijaksana
keadaan keduanya baik-baik saja, namun entah men-
gapa aku cukup mencemaskan keduanya. Tetapi per-
soalan yang nampak sekarang, ke mana perginya
Bwana" Ada apa dengannya?"
Kembali pemuda tampan dari Gunung Rajawali ini
terdiam. Tangan kanannya yang terdapat rajahan bu-
rung rajawali berwarna keemasan - begitu pula dengan
tangan kirinya - mengusap wajahnya yang dibelai lem-
but angin pagi.
Kejap lain dia sudah menarik napas panjang.
"Sebaiknya, aku cepat menuju Bukit Kalimuntu!"
Setelah itu, dengan mempergunakan ilmu peringan
tubuhnya, pemuda yang di punggungnya terdapat se-
bilah pedang berwarangka yang dipenuhi untaian be-
nang keemasan ini, segera berkelebat menuju Bukit
Kalimuntu. *** Ketiga kuda hitam yang masing-masing membawa
penunggangnya itu, berhenti di jajaran pepohonan dan
semak belukar. Masing-masing penunggangnya me-
mandang Bukit Kalimuntu yang berdiri kokoh dengan
menyimpan berjuta kesombongan.
"Menurut Putri Lebah, Ratu Dari Kegelapan me-
nunggu di Puncak Bukit Kalimuntu. Tetapi menurut
pendapatku, sangat sulit bila kita mendaki bukit ini
untuk tiba di puncaknya dengan menunggang kuda.
Lebih baik, kita berjalan kaki," kata Gandung Pulun-
gan dan segera melompat dari kudanya.
Kerta Sedayu dan Mangku Langit menyetujui usul
itu. Keduanya pun melompat dan sama-sama meman-
dang Bukit Kalimuntu yang berdiri angkuh.
Saat ini hari sudah menjelang siang. Matahari su-
dah sepenggalah. Karena terbit dari arah timur dan
menjalani garis edarnya tiba di barat, sinar matahari
terhalang oleh angkuhnya Bukit Kalimuntu.
Untuk sesaat tak ada yang membuka mulut. Sam-
pai terdengar Gandung Pulungan berkata yang kali ini
sarat dengan kemarahan, "Kita tak boleh membuang
waktu!" 'Habis kata-katanya, dia sudah berkelebat mende-
kati dan mulai mendaki Bukit Kalimuntu yang dipenu-
hi dengan pepohonan dan bebatuan.
Kejap berikutnya, ketiga orang utusan dari Keraton
Wedok Mulyo itu sudah mendaki dengan sikap waspa-
da dan penuh hati-hati. Masing-masing orang tak ada
yang membuka mulut. Beruntunglah mereka karena
berada di balik bukit hingga terhalang oleh sinar ma-
tahari. Karena semakin lama mereka naik menuju
Puncak Kalimuntu, seharusnya keringat sudah banyak
mengalir karena sengatan matahari.
Tetapi mereka tak merasakan panas apa-apa. En-
tahlah bila mereka tiba di Puncak Kalimuntu.
Namun sesuatu yang jatuh bergulung dari atas dan
menebarkan suara bergemuruh kuat, membuat ketiga
orang itu menghentikan pendakian. Dan masing-
masing orang segera mendongak. Wajah mereka men-
dadak pias tatkala menyadari benda apa yang jatuh
dan menimbulkan gemuruh itu.
Sebuah batu besar siap menghantam ketiganya!
"Lompat! Sambar apa saja hingga tidak jatuh!" seru
Gandung Pulungan seraya melempar tubuh ke kanan.
Tangannya menyambar batu cadas yang menonjol ke-
luar. Sementara Kerta Sedayu membuang tubuh ke kiri dan
menyambar sebuah pohon yang tumbuh di dinding
Bukit Watu Hatur. Sedangkan yang dilakukan oleh
Mangku Langit cukup mencengangkan. Dia justru me-
lompat naik setelah melompat ke kiri dan menjadikan
tubuh Kerta Sedayu sebagai tumpuan. Namun bila dia
tidak cekatan dan menyambar pepohonan merambat,
tak ayal lagi tubuhnya akan telak terhantam batu be-
sar yang terus meluncur itu.
Blaaaamm!! Batu besar itu jatuh di tanah dan menimbulkan
suara mengerikan. Dari atas ketiganya melihat kepu-
lan debu membumbung tinggi di udara, sementara ku-
da-kuda yang mereka tunggangi tadi berhamburan en-
tah ke mana begitu mendengar suara bergemuruh.
"Hati-hati! Aku yakin batu itu tidak jatuh dengan
sendirinya! Ada tangan yang mendorong dan menghen-
takkannya sampai jatuh!" seru Gandung Pulungan. Se-
telah menunggu beberapa saat, dia memberi isyarat
untuk kembali meneruskan pendakian.
Perlahan-lahan dengan kewaspadaan yang bertam-
bah melebar, ketiganya terus mendaki. Namun sampai
mereka hendak mencapai Puncak Kalimuntu, tak ada
lagi sesuatu yang jatuh.
Keadaan itu bukannya tidak memancing kecuri-
gaan. Gandung Pulungan yang berpikir ke arah sana,
memberi isyarat untuk tidak meneruskan pendakian.
"Bila memang batu yang jatuh tadi digulingkan oleh
seseorang, sudah tentu orang itu tak ingin diketahui
dia sudah berada dan menunggu di Puncak Kalimun-
tu. Mengingat, tak ada lagi sesuatu yang membahaya-
kan. Dengan kata lain, orang itu tentu berharap agar
kami menganggap batu itu jatuh begitu saja. Hmmm...
apa akal sekarang?"
Gandung Pulungan terdiam beberapa saat. Lalu
tampak dia mendekati kedua temannya dan menyam-
paikan apa yang dipikirkannya. Kemudian sambung-
nya, "Kita mendaki dengan cara berbaris. Bila ada ba-
haya yang datang, kita akan bisa mengambil risiko
dengan menggabungkan tenaga dalam. Saat kalian
mendaki, alirkan tenaga dalam kalian ke dinding bukit
ini dengan pergunakan ilmu 'Sungai Mengalir Membe-
dah Diri'. Bila aku sudah tiba di Puncak Kalimuntu,
kalian langsung bersalto dengan cara menjadikan
tumpuan orang yang berada lebih dulu di atas. Dan
langsung menyebar. Paham?"
Setelah mendapati anggukan dari Kerta Sedayu dan
Mangku Langit, Gandung Pulungan mendaki lebih da-
hulu ke atas. Berjarak masing-masing setengah tom-


Rajawali Emas 20 Ratu Dari Kegelapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bak mereka pun mendaki berbaris.
Mangku Langit yang berada paling bawah, segera
menghempos tubuh tatkala melihat Gandung Pulun-
gan aku segera tiba di puncak Kalimuntu. Dengan
menjadikan Kerta Sedayu sebagai tumpuan dikerah-
kan ilmu peringan tubuhnya dan melompat ke kiri di
atas Puncak Kalimuntu dengan kesiagaan tinggi.
Menyusul Kerta Sedayu melakukan hal yang sama
dengan menjadikan tubuh Gandung Pulungan sebagai
tumpuan dan melompat ke samping kanan. Terakhir,
Gandung Pulungan sendiri yang melompat naik segaris
lurus dengan tumpuan kedua kakinya sendiri.
Dan mata masing-masing orang memperhatikan
sekelilingnya, yang nampak area cukup luas dan bebe-
rapa lubang tanah yang cukup besar. Di Puncak Kali-
muntu, kendati agak diselimuti kabut, namun panas
bukan main menyengat.
"Aneh! Pandangan di sekitar sini masih cukup bisa
ditembus! Dan tak ada tempat yang bisa dijadikan per-
sembunyian! Bila batu besar tadi jatuh disebabkan
oleh tangan seseorang, di manakah orang itu berada?"
gumam Gandung Pulungan dengan tatapan lebih le-
bar. Hal yang sama pun dipikirkan oleh Kerta Sedayu
dan Mangku Langit. Kembali tak ada yang membuka
mulut mendapati keanehan itu.
Sampai kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh
suara Mangku Langit, "Gandung Pulungan! Apakah ti-
dak mungkin orang yang kita tunggu belum tiba di si-
ni"!"
Gandung Pulungan tak segera menjawab. Sepasang
matanya masih memperhatikan sekelilingnya. "Aku ju-
ga menduga seperti itu. Tetapi...." Memutus kata ba-
tinnya sendiri dia berkata tanpa menoleh pada Mangku
Langit sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu menge-
jutkan, "Tidak! Dia sudah tiba di sini! Lebih baik kita
menyebar hingga... aaawwwasss!!" '
Mendadak saja dari balik kabut yang cukup tebal
itu, menyeruak tiga gelombang angin dahsyat ke arah
masing-masing orang.
Dengan serentak ketiga orang dari Keraton Wedok
Mulyo itu bergulingan ke samping masing-masing. Dan
tiga gelombang angin itu terus melesat melewati Pun-
cak Kalimuntu. Seperti membentur sesuatu, tiga ge-
lombang angin itu meledak di udara!
"Perempuan keparat! Mengapa harus bersembunyi
bila sudah tahu kami datang dan siap mencabut nya-
wa keparatmu"!" membentak Gandung Pulungan den-
gan wajah mengkelap.
Suaranya menggebah keras seperti menyapu kabut
yang semakin menguak. Namun tak satu sosok pun
yang nampak di hadapan mereka. Dan hal ini mem-
buat Gandung Pulungan bertambah jengkel.
"Perempuan celaka! Tampakkan batang hidung-
mu!!" geramnya, kali ini dengan mengibaskan kedua
tangannya ke depan.
Wrrrr! Wrrrr! Dua gelombang angin menderu dahsyat ke dua
penjuru. Namun yang terdengar hanyalah suara bese-
tan keras dan ledakan belaka. Tak lebih!
Mendapati Gandung Pulungan sudah melancarkan
serangan pembuka, Kerta Sedayu dan Mangku Langit
pun tak mau bertindak ayal. Mereka segera menghu-
jankan pukulan jarak jauh ke beberapa penjuru. Teta-
pi lagi-lagi tak ada sesuatu yang patut dijadikan pe-
gangan bahwa ada orang lain di sana selain mereka.
Sampai kemudian Gandung Pulungan mengangkat
tangan kanannya tanda agar tak ada lagi yang mem-
buang tenaga sia-sia. Begitu masing-masing orang
menghentikan pukulan jarak jauh yang dilepaskan,
mendadak saja menderu tiga buah gelombang angin
dahsyat yang membuat ketiganya segera berjumpalitan
menghindari serangan itu.
Blaaamm! Blaamm! Blaaamm!
Tiga gelombang angin itu meledak di udara setelah
seperti membentur sesuatu. Baru saja ketiga orang itu
mencoba berdiri, telah menderu kembali tiga gelom-
bang angin sekaligus!
Merasa tak mungkin untuk menghindar lagi, de-
ngan keluarkan makian keras, masing-masing orang
segera menggerakkan kedua tangan dengan cara men-
dorong. Bummm! Bumm! Bummmm!!
Kali ini suara letupan keras itu terjadi akibat ber-
benturannya gelombang angin yang datang dengan
yang dilepaskan orang-orang Keraton Wedok Mulyo itu.
Kabut benar-benar menyeruak sekarang dan
menghilang. Namun tak satu sosok tubuh pun yang
berada di balik kabut yang telah lenyap itu.
Tatkala masing-masing orang berdiri tegak dengan
pandangan mencorong, terdengar satu suara, "Orang-
orang Keraton Wedok Mulyo! Berani lancang memburu
Ratu Dari Kegelapan, berarti mencari mampus...!!"
SELESAI Segera menyusul:
TRISULA MATA EMPAT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Holmes
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dendam Naga Merah 2 Bara Diatas Singgasana Pelangi Di Singosari Karya S H Mintardja Naga Sasra Dan Sabuk Inten 32
^