Pencarian

Si Cantik Berdarah Dingin 3

Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin Bagian 3


pat lagi. Karena. gerakan reflek itu telah terjadi dengan cepat. Tubuh si Peri
Gunung Dempo telah terbanting
keras ke atas tanah hingga sampai hampir melesak di
tanah yang agak becek itu. Ia menyeringai menahan
sakit yang amat sangat. Saat itu tiba-tiba terdengar
suara tertawa berkakakan. Dan si manusia bulat alias
si Dewa Angin Puyuh telah melejit keluar dari balik ba-tu. Melengak Roro Centil.
Ia sudah segera membentak;
"Dewa Angin Puyuh..! Siapa suruh kau ikut
campur urusan orang..?" Namun si manusia bulat ini sambil cengar-cengir
mengipasi dadanya yang telanjang dengan kipas bututnya, seraya berkata;
"Ha ha ha... Aku memang sebal dengan si wani-
ta tengik itu. Biasanya ia selalu menyambangiku. Tapi sejak ia menyimpan seorang
pemuda gagah yang masih punya tenaga kuda, ia mulai melupakan diriku. Ka-
lau aku ikut campur rasanya juga tak dapat disalah-
kan..!" Sambil bicara, sebelah mata si manusia bulat itu selalu memain pada
Roro, dengan dikedipkan. Sikapnya memang genit, tapi boleh juga di katakan lucu.
Karena dengan potongan tubuh yang bulat bagai bola
itu, masih juga bermata keranjang pada wanita yang
bukan timpalannya.
Sementara itu si Peri Gunung Dempo menam-
pakkan wajah yang menyeramkan. Sepasang matanya
membeliak, karena gusarnya. Giginya telah ditekan
kuat pada bibirnya hingga mengalirkan darah Sepa-
sang lengannya tampak terentang ke arah Roro dan si
Dewa Angin Puyuh. Tampak asap tipis bagai menguap
dari sepasang lengannya.
Terkejut Roro Centil, karena itulah jurus kese-
puluh dari ilmu pukulan si Dewa Tengkorak. Belum
lagi ia sempat berkedip, Dewi Melur alias si Peri Gu-
nung Dempo telah lancarkan serangan dahsyat itu ke
arahnya. Dalam pada itu si Dewa Angin Puyuh dalam
keadaan membelakangi.
BHLARRRR...! Terdengar suara menggeledek
Tanah tempat Roro berpijak telah menyemburat ke
atas. Debu mengepul tebal. Batu-batu beterbangan ke
udara. Terdengar seketika suara-suara teriakan terta-
han. Tubuh Roro Centil dan si manusia bulat melam-
bung tinggi ke udara. Ketika asap tebal itu perlahan-
lahan lenyap, segera terlihat keadaan yang mengeri-
kan. Tubuh si Peri Gunung Dempo masih dalam posisi
menekuk lutut. Dengan sepasang betis yang putus
hancur. Wajahnya menyeringai menyeramkan. Dengan
sepasang lengannya terpentang kaku. Namun wanita
itu sudah tak menampakkan gerak kehidupan. Roro
Centil telah berdiri di atas tempat ketinggian. Di hadapan wanita itu tampak
sebuah lubang besar dan da-
lam. Dengan tanah sekelilingnya menghitam- hangus.
Suasana tampak sepi mencekam. Perlahan-lahan Roro
Centil mendekati si Peri Gunung Dempo. Akan tetapi
wanita memang sudah tak bergerak-gerak lagi. Kea-
daannya dalam keadaan posisi menyerang. Tahulah
Roro, kalau si Peri Gunung Dempo telah tewas. Dalam
keadaan tercenung itu, sebuah benda bulat mengge-
lundung kehadapannya Ternyata si Dewa Angin
Puyuh. Kiranya manusia bulat ini sudah berhasil me-
nyelamatkan diri dengan melompat tinggi ke atas. Dan
hinggap di dahan pohon pada jarak lima tombak dari
tempat itu. Laki-laki bulat inipun cuma memandang pada
si wanita yang telah menjadi mayat itu dengan sepa-
sang mata seperti tak berkedip. Akan tetapi sudah terdengar suaranya dibarengi
dengan helaan napas.
"Hebat..! Tapi amat mengerikan..! Jurus dari
ilmu pukulan itu telah menyedot seluruh tenaga dalam
dan nyawanya. Agaknya kematian baginya memang le-
bih baik. Seandainya ia dapat hidup pun, akan menja-
di manusia yang tanpa daksa. Yang cuma membuat ia
menderita..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh.
Agaknya Roro Centil malas memberi komentar.
Ia cuma lirik laki-laki bulat itu. Setelah simpan
sepasang senjatanya, Roro telah segera berlalu... Dewa Angin Puyuh sudah cepat
palingkan kepalanya, seraya
berteriak; "Heiiii..!" Nona Pendekar! Tungguuuu...!" Namun Roro terus berkelebat tanpa
menoleh. Dewa Angin
Puyuh terus mengintil di belakang Roro. Agaknya ia
seperti benar-benar kepincut hatinya pada si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu.
* * * Laras Jingga dengan sepasang mata menatap
hampa cuma manda saja, ketika tubuhnya dibawa
berkelebat oleh Boma Kasura Selang tak berapa lama,
segera saja sudah terlihat tempat tinggal sang Gurunya itu. Yaitu sebuah pondok
ditengah-tengah hutan jati.
"Muridku yang cantik..! Tampaknya kau telah
terluka pada kakimu. Sebaiknya kau menetap saja dis-
ini..!" Berkata Boma Kasura setelah lepaskan totokan-nya Mereka sudah duduk di
lantai papan, dalam ruan-
gan tengah. Laras Jingga hanya anggukkan kepala
tanpa membuka suara. Selang sesaat, ia sudah rebah-
kan tubuhnya di lantai papan dengan berbantalkan
lengannya. Sepasang matanya dipejamkan.
"Yah..! Sebaiknya kau beristirahat dulu. Aku
akan cari makanan. Tak ada kau di tempat ini, sega-
lanya menjadi sepi. Tak ada yang menemaniku untuk
bercakap-cakap..!" Boma Kasura lanjutkan kata-
katanya, seraya beranjak bangkit. Dan langkahkan
kaki ke ruang belakang. Tak berapa lama telah kembali lagi sambil membawa
setandan pisang.
"Makanlah, untuk menangsal perutmu. Seben-
tar lagi malam tiba. Sebentar aku buatkan kau ramuan
obat untuk mengobati luka di kakimu..!" Ujar Boma Kasura, ketika melihat Laras
Jingga membuka kelopak
matanya. Gadis muda ini bangkit berduduk. Dan ge-
rakkan tangannya untuk memotes buah pisang yang
baru masak itu. Mengupasnya, lalu masukkan ke da-
lam mulutnya untuk segera mengunyahnya perlahan-
lahan. Boma Kasura tersenyum memandang. Tampak-
nya ia begitu amat memperhatikan akan keadaan sang
murid wanitanya.
Laki-laki berusia sekitar 50 tahun ini tampak
sudah bangkit lagi beranjak untuk membawa sekendi
air minum, serta dua buah cangkir kosong. Ia letakkan di hadapan Laras Jingga.
Seraya mengisi kedua cangkir kosong. Ia letakkan di hadapan Laras Jingga Se-
raya mengisi kedua cangkir kosong itu, ia kembali berkata; "Sudahlah muridku.
Jangan kau fikirkan sikap ibumu. Aku telah lama mengenal ibumu, dan mengetahui
wataknya. Dia memang beradat keras sepertimu.
Besok kita pelajari catatan ilmu silat ini. Bukankah
kau belum menamatkannya?"
"Aku tak berniat mempelajarinya lagi. Cukup-
lah sudah apa yang telah kumiliki!" Tiba-tiba Laras Jingga buka suara, seraya
lengannya bergerak menyambar cangkir dihadapannya. Dan segera meneguk-
nya habis. Boma Kasura kerutkan alisnya. Tapi ia su-
dah tak berikan komentarnya. Iapun meneguk habis
isi cangkirnya.
Malam itu suasana agak mencekam perasaan.
Karena dikejauhan terdengar suara lolong srigala, yang sayup-sayup terbawa
angin. Jengkerik dan binatang-binatang malam sebangsanya seperti membisu atau
agak enggan membunyikan suaranya. Walau sesekali
terkadang kedengaran di tempat kejauhan. Sementara
suara burung hantu di atas dahan jati menyibak len-
gannya sang malam. Terkadang membaur dengan sua-
ra kepak sayap-sayap kelelawar dikerimbunan pohon
jambu, di belakang pondok terpencil itu. Boma Kasura
duduk ditikar bersih di lantai papan ruangan tengah.
Sepasang lengannya membolak-balik lipatan kertas
kulit itu, dengan sepasang matanya memperhatikan
setiap tulisan yang tertera disana. Sementara sesekali biji matanya bergerak
melirik ke sisi tirai kain yang tersingkap di ruangan kamar disebelahnya.
Duduknya tampak gelisah. Tulisan yang tertera
di secarik kertas kulit itu seperti tak terlihat jelas. Bo-ma Kasura memang
tengah mempelajari gerakan-
gerakan dari jurus-jurus ilmu pukulan si Dewa Teng-
korak. Tapi yang terbayang dipelupuk matanya adalah
jurus-jurus ciptaannya sendiri. Jurus demi jurus yang diciptakan melalui
otaknya, semakin menggebu untuk
segera disatukan dengan indra tubuhnya. Selang tak
lama ia keluarkan desahan nafasnya. Lalu melipat lagi kertas kulit itu dan
selipkan disaku bajunya. Lalu
bangkit berdiri. Kakinya melangkah tiga tindak men-
dekati meja. Sementara sepasang matanya menatap
cangkir berisi obat ramuan yang tadi telah ia sediakan buat muridnya. Senja tadi
ia telah balurkan tumbukan
daun-daun obat dibetis si cantik, muridnya Dan sedia-
kan pula secangkir ramuan untuk di minum menjelang
tidur. Sudah diminumkah.." Bertanya hatinya Ia su-
dah gerakkan kepalanya melongok ke atas cangkir itu.
Ternyata isinya sudah kosong.
Bagus..! Berkata hatinya. Seakan-akan terden-
gar lagi suara kata-katanya senja tadi... "Kau harus cepat sembuh, muridku..!
Ramuan ini akan menghan-gatkan tubuhmu. Juga mampu menolak setiap racun
yang masih tersisa di setiap saluran darah..!" Laras Jingga telah pasrah dalam
penantian. Sepasang kelopak matanya setengah terkatup. Ia seperti sudah men-
dambakan kehadirannya sang matahari. Bibirnya se-
tengah terbuka keluarkan desahan-desahan kecil. Ra-
sa sakit pada luka dibetisnya sudah tak terasa. Akan
tetapi pengaruh minuman yang telah diminumnya,
membuat tidurnya seperti gelisah. Hawa dingin di ma-
lam sepi itu seperti sudah berubah menjadi panas. Se-
kujur tubuhnya sudah terbasuh oleh peluh. Di luar
masih terdengar suara lolong srigala, yang suaranya
seperti tangisan yang merintih. Tapi Laras Jingga se-
perti sudah terhanyut dalam mimpi.
Ramuan pemberian Boma Kasura telah mem-
biusnya, hingga ia terbawa dalam mimpi aneh yang
menakutkan. Jelas kini dilihatnya di pembaringan
yang alas kainnya sudah kusut masai itu, tergolek
sang Guru seperti seorang bayi lemah yang menunggu
sang ibu untuk menyelimutinya Sekujur ku88 lit tu-
buhnya bermandikan peluh. Sepasang matanya terpe-
jam. Hidungnya terlihat kembang kempis dengan sua-
ra napas yang menggeros. Sadarlah Laras Jingga,
bahwa ia telah berikan kehangatan tubuhnya pada
manusia di hadapannya itu, untuk yang kesekian ka-
linya. Betapa ia amat membencinya. Betapa nistanya.
Betapa terkutuknya..! Tiba-tiba Laras sudah rasakan
dirinya bagai seekor raja rimba yang buas. Dan dengan menggerung keras, ia telah
menerkam manusia dihadapannya. Sepasang lengannya meluncur deras ke
arah leher Boma Kasura Terdengarlah suara...
KRRAAKKK.! Darah segera saja memuncrat
memercik ke bantal dan tilam.
Boma Kasura perdengarkan suara bagai kerbau
digorok. Sepasang matanya membeliak, seperti mau
melejit keluar dan kelopaknya. Lidahnya terjulur men-
gerikan. Sementara sepasang kakinya menggelinjang
berkelojotan. Sekejap antaranya tubuh Boma Kasura
telah diam tak bergeming. Nyawanya telah berpindah
ke alam akhirat. Dengan sepasang mata tak berkedip.
Laras saksikan kematian gurunya tanpa berubah sedi-
kit mimik wajahnya. Tampak wanita muda ini lepaskan
cengkeramannya, pada leher Boma Kasura yang telah
hancur. Setelah memandang sejenak pada sepasang
lengan yang kesepuluh jarinya bersimbah darah, Laras
Jingga segera menyekanya dengan kain selimut.
Selanjutnya ia telah kenakan kembali pakaian-
nya... Suara lolong srigala dikejauhan telah berhenti.
Namun suara burung hantu masih sesekali ter-
dengar, namun semakin menjauh. Lalu lenyap. Cuma
desah angin malam yang menyibak dedaunan dan
membuat beberapa helai daun Jati itu rontok jatuh ke
tanah. Tetapi dalam senyapnya malam, sesosok tubuh
sudah keluar dari pondok terpencil ditengah hutan jati itu dengan berjingkat-
jingkat. Lalu lenyap di kegelapan malam...
* * * Beberapa pekan kemudian sejak kejadian di-
tengah hutan jati itu... tiga sosok tubuh tampak men-
datangi sebuah rumah dikelokkan jalan desa Sekar
Wangi. Ketiganya tampak berjalan dengan bergegas.
Salah seorang yang diapit oleh kedua orang yang ma-
sih muda-muda itu adalah Kepala Desa Sekar Wangi.
Laki-laki berusia sekitar 45 tahun itu bernama Klobot.
Sedang kedua orang yang mengapitnya adalah dua
orang yang berpakaian seperti perwira Kerajaan.
Sebentar saja mereka telah tiba di depan pintu,
di bawah anak tangga rumah panggung itu. Salah seo-
rang sudah segera melangkah menaiki tangga unda-
kan. Dan pergunakan tangannya mengetuk pintu.
Akan tetapi tiba-tiba pintu itu telah menjeblak keluar bagai diterjang dari
dalam sampai engselnya terlepas.
Tak ampun lagi si perwira Kerajaan itu telah terlempar menggelinding ke bawah
tangga batu, disertai teriakan mengaduh kesakitan. Dan sebuah bayangan hitam
telah melompat keluar dari dalam... Kepala Desa berna-
ma Klobot itu jadi terkejut dan ternganga. Sementara
perwira Kerajaan yang seorang lagi di bawah tangga
sudah mengejar bayangan itu.
"Haiiii..! Berhenti..!" Teriaknya seraya melompat mengejar. Akan tetapi bayangan
hitam itu sudah lenyap dibalik semak. Perwira ini sudah segera tiba di
tempat itu. Pedangnya segera dicabut keluar dari se-
rangkanya di pinggang. Berindap-indap ia mendekati
semak lebat itu. Sementara Klobot pak Kepala Desa
cuma memperhatikan dari depan rumah panggung.
Perwira Kerajaan yang sial itu sudah bangkit berdiri sambil memegangi kepalanya
yang serasa pecah terhantam daun pintu. Tampak keningnya benjol sebesar
telur angsa Laki-laki inipun sudah pentang sepasang
matanya melihat ke arah kawannya. Sang Perwira Ke-
rajaan yang sudah mencabut pedangnya itu terus me-
langkah hati-hati dengan sepasang matanya jelalatan
mencari jejak bayangan hitam itu. Jelas sekali bayan-
gan itu adalah sesosok tubuh wanita.


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keluarlah kau wanita ss... si... siluman..!?"
Bentakan si Perwira Kerajaan ini jadi kendur separoh
suaranya. Karena dihadapannya telah berdiri orang
yang dicarinya. Tapi dalam keadaan membugil bagian
atas tubuhnya. Sehingga sepasang benda yang menon-
jol mulus itu membuat sepasang matanya jadi terbe-
liak. Satu suara dingin bagaikan es telah terdengar...
"Kau mau membunuhku Perwira Kerajaan.."
Atau kau mau menangkapku hidup-hidup" Hi hi hi...
Hayo! Kau tangkaplah aku..!" Seraya berkata wanita cantik yang menggiurkan itu
telah melangkah menghampiri. Anehnya si Perwira Kerajaan itu Cuma terpa-
ku di tempatnya menatap si wanita, yang sepasang
matanya membersit tajam seperti sepasang mata sriga-
la yang mau menerkam mangsanya.
Detik selanjutnya secepat kilat, tahu-tahu se-
pasang lengan si wanita cantik itu telah terjulur men-cengkeram lehernya.
Terdengar seperti suara tulang
yang remuk. Darah segar sudah memuncrat memba-
sahi semak. Perwira ini tak sempat bersuara lagi. Keti-ka tiba-tiba tubuhnya
telah terlempar keluar dari se-
mak belukar, dan jatuh berdebuk di tanah. Selanjut-
nya tampak sang tubuh berkelojotan sejenak, lalu di-
am terkulai. Terkejut si Kepala Desa dan perwira ka-
wannya itu. Mereka sudah berlompatan menghampiri.
Namun dapatkan si Perwira Kerajaan itu telah tewas.
Pucatlah seketika wajah keduanya. Si Perwira Kerajaan ini sudah melangkah ke
belakang dua tindak. Dan sudah cabut pedangnya di pinggang. Namun sekonyong-
konyong angin keras telah menyambar tengkuknya.
Dan kembali terdengar suara tulang leher yang remuk.
Ketika itu juga ia sudah keluarkan teriakan parau.
Namun sebentar kemudian tubuhnya telah jatuh ber-
debuk, disertai lenyapnya si bayangan itu. Tinggal si Kepala Desa yang terpaku
dengan sepasang mata ter-
belalak menyaksikan tubuh si Perwira Kerajaan, yang
berkelojotan bagai ayam yang baru disembelih. Namun
sekejap kemudian Perwira itu pun tewas. Sang Kepala
Desa ini sebentar saja telah putar tubuhnya, untuk
angkat langkah seribu. Keringat dingin sudah mengu-
cur deras di sekujur tubuhnya. Sementara si wanita
berbaju hitam itu telah berkelebat pergi dengan cepat.
Sekejap antaranya bayangan tubuhnya telah
lenyap. Rumah panggung dikelokkan jalan desa itu
kembali sunyi mencekam. Namun tak berapa lama
kemudian telah datang dua orang Perwira Kerajaan la-
gi dengan mengendarai kuda. Segera mereka sudah
hentikan kedua kudanya di depan rumah panggung
itu. Sigap sekali gerakannya. Salah seorang sudah me-
lompat menghampiri kedua mayat Perwira bawahan-
nya yang tergeletak bersimbah darah Kematiannya
amat mengerikan, bagai habis diterkam binatang buas.
Sementara seorang lagi telah melompat masuk dengan
menjebolkan daun pintu. Terdengar suara bergedubra-
kan. Dan seraya mencabut senjata nya Perwira atasan
itu telah melompat ke tengah ruangan.
"Wanita siluman..! Keluarlah kau..! Aku Lembu
Sura yang akan mencincang tubuhmu..!" Akan tetapi setelah menanti sekian lama
tak ada tanda-tanda
mencurigakan kalau wanita yang dicarinya berada di
dalam ruangan kamar. Sementara si Datuk Raja Gur
telah pula melompat masuk. Tampaknya ia bernyali
besar. Karena dengan berani ia telah langsung menen-
dang pintu kamar, yang segera menjeblak terbuka.
Dan ia sudah melompat ke dalam, diikuti Lembu Sura.
Akan tetapi kedua perwira ini jadi keluarkan teriakan tertahan. Kedua pasang
mata mereka jadi terbeliak
dan mulut ternganga Karena melihat sesosok tubuh
membugil tergeletak di pembaringan dalam keadaan
terlentang tak bernyawa, dengan keadaan tulang leher
remuk. Dan darah kental menggenang bermuncratan
membasahi bantal dan tilam. Keadaannya sangat men-
gerikan. ternyata sosok tubuh yang sudah menjadi
mayat itu tak lain dari Warakas.
"Kita terlambat datang, kanda Lembu Sura..!
Laki-laki bernama Warakas ini, sudah tewas dibunuh
si wanita cantik berdarah dingin itu..!"
"Heh..! Sial! Kita tak bisa tahu asal usul wanita siluman itu. Karena hanya
Warakas yang mengetahui..!" Berkata Lembu Sura.
"Ha ha ha... Jangan keburu putus asa, kanda
Lembu Sura! Masih ada wanita yang tahu siapa
adanya si wanita berdarah dingin itu. Yaitu Roro Cen-
til, si Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Tutur si Datuk Raja Gur. Lembu Sura
kerutkan alisnya.
"Heh! Pendekar itu bersekongkol dengan wanita
siluman itu. Mana mungkin ia bisa memberitahu.."
Lagi pula mencari wanita pengembara itu amatlah su-
lit!" Ujar Lembu Sura seraya beranjak keluar dari kamar yang timbulkan bau anyir
darah. Tiba-tiba terden-
gar satu suara wanita di luar...
"Hi hi... Tak perlu mencari Roro Centil. Wanita
itu adalah bagianku untuk membunuhnya..! Kalau
mau mengetahui siapa adanya si wanita berdarah din-
gin itu, akupun dapat menceritakannya..!" Keruan saja kedua Perwira Kerajaan
Sriwijaya itu jadi terkejut, dan segera sudah melompat keluar. Segera di
lihatnya seorang wanita berusia antara 40 tahun. Memakai ikat
kepala berwarna kuning. Bahkan pakaiannya pun
berwarna kuning keemasan. Lembu Sura segera ber-
tanya; "Siapakah anda.." Kami akan berterima kasih bila anda mau membantu
kami..!" "Aku dijuluki si Kupu-kupu Emas..! Marilah ki-
ta cari tempat yang enak dan teduh. Agar aku dapat le-luasa bercerita.."
Menyahuti si wanita.
Tentu saja kedua perwira Kerajaan Sriwijaya itu
mengangguk gembira. Dan segera tuntun kudanya,
untuk mengikuti di belakang si Kupu-kupu Emas. Tak
berapa lama mereka sudah dapatkan tempat teduh,
dan duduk di bawah pohon rindang, beralaskan rum-
put tebal. Di hadapan mereka adalah sebuah danau
kecil berair jernih.
"Nan, kalian dengarkanlah ceritaku..." Berkata si Kupu-kupu Emas memulai
pembicaraan. Selanjutnya si Kupu-kupu Emas telah ceritakan bahwa wanita
berdarah dingin itu bernama Laras Jingga. Ibunya
bernama Dewi Melur, permaisuri dari Kerajaan Bungo
Mambang yang masih berdaulat pada Kerajaan Sriwi-
jaya. Sang Raja yang bernama Bantar Alam, mem-
punyai beberapa orang selir. Namun baik permaisuri
dan para selirnya tak mempunyai keturunan. Hingga
ada berita kehamilan sang Permaisuri yang ternyata telah hamil bukan oleh
baginda Raja Bantar Alam, me-
lainkan oleh seorang Panglima Kerajaan bernama Pan-
glima Sobrang..! Lahirlah Laras Jingga. Akan tetapi ia lahir di tempat
pengungsian. Karena sewaktu hamil,
sang permaisuri telah disuruh bunuh oleh dua orang
prajurit Kerajaan. Akan tetapi salah seorang prajurit bernama Warakas itu telah
melindunginya. Hingga terjadi pertengkaran dengan kawannya yang bernama
Renggana Pati, yang diakhiri dengan pertarungan
Renggana Pati terluka putus sebelah lengannya, na-
mun ia berhasil melarikan diri ke istana. Baginda Raja Bantar Alam gusar, dan
perintahkan mencari sang
permaisuri dan perwira Kerajaan itu. Akan tetapi me-
reka tak dapat ditemukan. Laras Jingga terperangkap
dalam janji ibunya, untuk membalas jasa pada Wara-
kas. Hingga ia diserahkan kehormatan anak gadisnya
pada Warakas yang telah menolongnya. Bahkan ia
sendiri sudah berhubungan sejak lama dengan sang
Prajurit itu. Ternyata sang Permaisuri bernama Dewi Melur
itu bukan wanita baik-baik. Ia tak pernah mengurus
anak gadisnya. Hingga Laras Jingga tubuh dan dibe-
sarkan dalam lingkungan yang tidak baik. Bahkan ia
telah berguru dengan seorang yang juga bejat moral-
nya, yang juga menodainya sebagai imbalan yang di
tuntutnya. Hal tersebut telah membuatnya membenci
pada laki-laki. Hingga setiap lelaki hidung belang pasti di bunuhnya. Dengan
memberikan lebih dulu kehangatan tubuhnya Demikianlah, hingga ia menjadi buro-
nan orang Kerajaan Sriwijaya. Ia memang telah mem-
pelajari ilmu keji yang hebat, dari catatan ilmu silat milik ibunya. Hingga ia
menjadi seorang gadis buronan yang sukar ditangkap. Bahkan gurunya sendiri telah
dibunuhnya. Kini menyusul Warakas, orang yang pal-
ing dibencinya. Demikianlah si Kupu-kupu Emas tu-
turkan perihal si wanita buronan itu. Kedua perwira
Kerajaan itu jadi manggut-manggut mendengarnya
"Mengenai Roro Centil si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu, tak ada hubungannya sama sekali den-
gan tindakan si wanita buronan bernama Laras Jing-
ga...! Harap kalian dari pihak kerajaan membebaskan-
nya dari segala tuduhan..! Dia adalah bagian ku! Aku
yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri..!"
"Persoalan apakah gerangan yang terjadi den-
gan anda..?" Tanya Lembu Sura. Akan tetapi si wanita bergelar Kupu-kupu Emas itu
cuma perdengarkan tertawanya.
"Hal itu adalah rahasia pribadiku..!" Sahutnya datar. Lembu Sura kembali
manggut-manggut Tapi ia
sudah cepat berkata;
"Baiklah..! Mengenai urusanmu aku tak akan
ikut campur. Akan tetapi aku perlu bantuanmu me-
nangkap wanita buronan itu. Kalau bisa menangkap-
nya hidup-hidup. Karena ada perintah mendadak dari
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta, untuk tidak
membunuhnya..! Mengenai hal itu tentu saja ada im-
balannya. Harap anda tidak perlu khawatir..!"
"Hm! Tentang itu dapat ku pikirkan nanti.
Sampaikan saja salamku pada atasanmu itu..!" Ujar si Kupu-kupu Emas. Kemudian
segera sudah bangkit
berdiri. "Nah! Aku tak dapat berlama-lama disini! Kau tunggu saja kelak
kedatanganku..!" Selesai berkata, wanita bergelar Kupu-kupu Emas itu sudah
segera berkelebat pergi. Dan sekejap saja sudah lenyap dian-
tara pepohonan. Kedua perwira Kerajaan ini cuma bisa
menatapnya kagum. Tapi mereka pun segera beranjak
menuju kuda-kudanya. Kemudian tak berapa lama an-
taranya kedua perwira itu pun sudah tinggalkan tem-
pat itu. Sementara si Kupu-kupu Emas telah perguna-
kan lari yang luar biasa. Hingga yang terlihat adalah sinar kuning keemasan.
Berkelebat melewati beberapa
dusun. Selang tak berapa lama wanita ini sudah hen-
tikan larinya, dan berjalan tak begitu cepat. Agaknya ia sudah hampir tiba di
tempat yang dituju. Sebuah tugu
perbatasan pun dijumpai. Disana ada tiga jalanan ber-
cagak. Wanita ini hentikan langkahnya untuk menen-
tukan pilihan arah jalan yang bakal ditujunya. Setelah termenung sesaat, ia
mengambil arah jalan yang sebelah kanan. Dan teruskan melangkah. Ternyata si Ku-
pu-kupu Emas ini seorang wanita yang bertubuh pa-
dat dan sempurna. Disamping pakaiannya yang me-
nonjolkan bentuk tubuhnya, juga memperlihatkan se-
bagian pahanya, bila melangkah. Karena baju berwar-
na kuning keemasan itu mempunyai sobekan atau be-
lahan memanjang di bagian sisi pinggangnya. Ram-
butnya hitam berkilat, panjang terjuntai sampai ke
punggung. Walaupun wajahnya menampakkan kelan-
jutan usianya, akan tetapi wanita ini memang masih
mempunyai kulit yang lembut dan mempesona.
Tiba-tiba dari kejauhan telah terlihat tiga orang
mendatangi. Ternyata ketiganya adalah laki-laki yang
tampak masih muda-muda. Salah seorang sudah ber-
kata; "Selamat datang sang Ratu Kuning..!" Seraya ketiganya menjura hormat.
Wanita ini mengangguk
jumawa, dan tatap ketiga pemuda dihadapannya. Se-
mentara langkah si wanita ini tiba-tiba menjadi gontai seperti mau jatuh. Tentu
saja hal itu membuat ketiga
pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapakah kau Ratu..?" Bertanya salah seo-
rang seraya maju setindak seperti mau jatuh. Tentu
saja hal itu membuat ketiga pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapa kau Ratu..?" Bertanya salah seorang seraya maju setindak seperti mau
membantu menolong. "Ah..! Tidak apa-apa. Aku hanya terluka dalam... Tapi baru
terasa sekarang..! Tapi... aku perlu bantuan kalian untuk memondong ku sampai ke
rumah..!" Berkata si Kupu-kupu Emas alias Sang Ratu Kuning. Tentu saja dengan
sigap si pemuda yang maju
setindak itu sudah bicara, dengan wajah menampilkan
kekhawatiran. "Oh..!" Biarlah aku yang memondong mu Ra-
tu..!" Seraya berkata, pemuda yang bertubuh tegap ini
sudah melompat ke hadapan si Kupu-kupu Emas. Dan
dengan sedikit bungkukkan tubuh, sepasang lengan-
nya sudah terjulur untuk meraih pinggang wanita itu.
Sesaat kemudian sang Ratu Kuning sudah dalam pon-
dongannya. "Ayo, kita kembali..!" Berkata si pemuda tegap itu pada kedua kawannya. Dan ia
sudah mendahului
berjalan cepat setengah berlari, kembali ke arah belakang. Kedua pemuda kawannya
segera saja mengikuti
dengan menampakkan wajah cemas.
Sebentar saja di hadapannya mereka telah ter-
lihat sebuah bangunan gedung yang cukup besar.
Wuwungan terbuat dari genting yang sudah berlumut.
Tampaknya gedung itu sudah dibangun sejak lama. Di
kiri kanan bangunan itu terdapat empat buah area.
Memang mirip sebuah tempat pemujaan. Akan tetapi
gedung itu ternyata ditempati sebagai tempat berdiam.
Memasuki ruangan gedung itu, dua orang penjaga
memberinya jalan untuk lewat seraya menatap dengan
terkejut pada. wanita dalam pondongan. Langsung saja
pemuda tegap itu membawanya meniti tangga batu, ke
bawah, ditengah ruangan. Sedang kawannya berhenti
di pintu depan Di bawah bertemu lagi dengan dua pen-
jaga. Yang setelah menjura, dengan terkejut salah seorang sudah mengikuti. Untuk
selanjutnya mendahului
berlari ke arah sebuah ruangan. Di ruangan ini terda-
pat sebuah kamar yang pintunya tertutup. Segera ia
membukanya. Sementara sepasang matanya menatap


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan terkejut pada si wanita.
"Kenapa sang Ratu..!" Bertanya penjaga ini.
"Beliau terluka dalam.." Menyahuti si pemuda kekar. Seraya langsung memasuki
kamar. Dan rebahkan tubuh sang Ratu di pembaringan.
"Apakah titah Ratu selanjutnya?" Bertanya si
pemuda. Sang Ratu membuka kelopak matanya, dan
tatap wajah si pemuda itu. Tubuhnya tiba-tiba bagai
diserang demam hebat. Dan tampak menggigil seperti.
kedinginan. Pemuda ini terkejut. Lengannya sudah
bergerak meraba sekujur tubuh sang Ratu, yang terasa
panas. Wanita ini tiba-tiba mengeluh seraya pegangi
kepalanya "Oh..! Pergilah tinggalkan aku. Eh..! Siapa na-
mamu..?" Tanya sang Ratu tiba-tiba "Hamba... Kata Bendana..!" Sahut si pemuda
seraya kerutkan
alisnya. Agak aneh ia melihat sikap sang Ratu,
yang tak mengenali siapa dirinya. Akan tetapi ia sadar kalau sang Ketuanya
sedang dalam keadaan terluka
yang kelihatannya parah, hingga mempengaruhi jalan
fikirannya. Apa lagi sejak tadi ia lihat wajah ratunya yang tampak pucat sekali.
"Aih..! Aku sampai lupa. Kau tak perlu khawa-
tir, malam nanti aku sudah bisa sembuh. Cuma inga-
tanku mendadak jadi sukar mengingat. Agaknya hawa
pukulan musuhku mengandung uap beracun, yang
mempengaruhi syaraf ku...!
"Hm! Kala Bendana. Coba kau sebutkan siapa-
siapa saja orang yang menghamba padaku..! Terkejut
Kala Bendana. Baru ia sadar kalau keadaan otak sang
Ratu sedang kacau. Segera saja ia sebutkan satu-satu
dari semua penghuni gedung itu
"Kesemuanya ada delapan belas orang. Yang te-
rakhir menghamba adalah seorang pemuda bernama
Gumarang. Mungkin Ratu memang belum mengeta-
huinya, karena pemuda itu baru sebulan yang lalu di-
antarkan oleh sahabat baik Ratu. Yaitu yang berjulu-
kan Peri Gunung Dempo. Memang beliau ada mena-
nyakan Ratu. Tapi telah hamba katakan bahwa Ratu
berada di Kota Raja..!" Tutur Kala Bendana. Si Kupu-
kupu Emas ini manggut-manggut, seraya bertanya la-
gi. "Bagaimana dengan pemuda Gumarang itu"
Apa ia baik-baik saja?"
"Ia kami penjarakan sementara di ruang bawah
tanah. Dia dalam keadaan baik. Karena Peri Gunung
Dempo perintahkan kami untuk menjaganya sampai
kedatangan Ratu..!" Ujar Kala Bendana.
"Bagus..! Sebentar senja, kau bawa ia mengha-
dap padaku..!" Perintah si Kupu-kupu Emas. Lalu perintahkan Kala Bendana keluar,
karena ia akan segera
memulai bersemadi untuk memulihkan luka dalam-
nya. Pemuda itu menjura hormat, lalu beranjak keluar
kamar, serta tutupkan pintunya. Kemudian terdengar
langkahnya berlalu menjauh. Sementara si Kupu-kupu
Emas telah bangkit untuk duduk. Terdengar suara he-
laan napas lega dari mulutnya. Sang Ratu gerakkan
sepasang tangannya untuk meraba wajahnya. Lalu
singkapkan rambut. Dan entah apa yang dilakukan-
nya, ketika tiba-tiba ia telah sentakan jari-jari tangannya... Aneh! Kulit
wajahnya telah terbawa mengelupas.
Dan tersembulah sebuah wajah ayu... Siapa lagi kalau
bukan Roro Centil. Ternyata ia telah menyaru sebagai
si Kupu-kupu Emas. Dan berhasil memasuki sarang-
nya. Apa yang terjadi dengan si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan ini" Baiklah kita putar kisah belakangan ini... Kiranya waktu Roro
berlalu tinggalkan mayat si Peri Gunung Dempo yang dalam keadaan tewas dengan
posisi menyerang, ia terus dibuntuti si Dewa Angin Puyuh. Ternyata diam-diam
Roro Centil mengetahui,
namun membiarkan saja si manusia bulat itu mengi-
kutinya. Ternyata kemudian Roro menjumpai sebuah
kuil tua yang tak berpenghuni. Disana Roro sengaja
berhenti untuk duduk beristirahat. Dewa Angin Puyuh
tentu saja sudah segera melompat menyusul... dan se-
kejap ia sudah tiba di depan kuil.
"Nona Pendekar..! Harap sudilah kau bersaha-
bat denganku, si Dewa Angin Puyuh..! Aku bukan dari
golongan hitam. Tapi aku juga bukan golongan kaum
putih, karena tak pernah orang menyebutku sebagai
Pendekar. Walaupun sesekali aku juga suka menolong
orang..! He he he..." Tak angin tak hujan, si Dewa Angin Puyuh sudah pentang
suara dengan lebih perke-
nalkan dirinya.
"Hm! Siapa yang melarang orang untuk bersa-
habat" Di dunia ini mencari sahabat amat sulit. Seper-ti mencari jarum di dalam
laut..!" Ujar Roro tanpa menoleh. "Bagus! Bagus! Betul begitu..! Ah, senang
sekali kalau nona menerimaku..!" Berteriak si Dewa Angin Puyuh dengan wajah
girang. Cuma saja ia tak ber-jingkrakan saking senangnya dapat mendekati sang
Pendekar Wanita yang ayu rupawan.
"Tapi sahabat sejati amat sukar dicari. Banyak
orang mengaku sahabat, bila dirinya memang amat
membutuhkan orang itu. Atau tepatnya ada maunya..!
Hal itulah yang aku tak ingin. Biasanya sahabat sema-
cam itu bagaikan seekor musang berbulu ayam. Bila
ayam lengah, si musang bisa menerkamnya..!" Berkata lagi Roro Centil dengan
kata-kata yang tanpa tedeng
aling-aling. Tentu saja kata-kata itu membuat si ma-
nusia bulat jadi melengak. Tapi ia sudah berubah wa-
jah jadi tersenyum.
"He he he... Jangan Khawatir, nona Pendekar.
Orang semacam ku bukan semacam... semacam ayam
yang berbulu mu... mu.." Eh, maksudku Musang yang
berbulu Ayam..!" Ujar si Dewa Angin Puyuh agak ki-kuk. Dan lanjutnya lagi.
"Aku memang termasuk manusia segala doyan.
Akan tetapi aku bisa lihat-lihat mana yang brengsek
dan mana yang tidak brengsek..!"
"Kalau yang brengsek itu yang bagaimana..?"
Tanya Roro. "Yang brengsek adalah yang mempermainkan
cinta laki-laki..!" Jawab si manusia bulat. "Kalau yang tidak brengsek... ?"
Tanya Roro lagi.
"Yang tidak brengsek adalah yang cintanya su-
ci. Dan ditujukan pada satu orang saja..!" Ujar si Dewa Angin Puyuh, seraya
keluarkan kipasnya. Dan sambil
meram-melek ia duduk menyandar di tiang penyangga
wuwungan Kuil. Roro Centil kerutkan alisnya.
"Jadi aku, kau masukkan dalam golongan yang
mana.. ?" Bertanya Roro.
"Entahlah..! Rasanya diantara kedua golongan
itu, nona tidak termasuk dalam kamus catatan di
otakku..!" Roro tersenyum, manggut-manggut. Agaknya ia mengerti.
"Hm! Jadi kau baru bisa menilai, kalau aku su-
dah meladeni kau seperti seorang istri terhadap sua-
minya... Begitukah maksudmu..?" Tanya Roro seraya palingkan wajahnya pada si
manusia bulat, yang masih enak-enak duduk bersandar sambil mengipasi da-
danya dengan kipas bututnya.
"He he he... Betul! Betul..!" Jawab si Dewa Angin Puyuh.
"Tapi kalau aku tidak bertepuk sebelah tan-
gan..!" Sambungnya lagi, dengan senyum simpul. "Bagaimana kalau kau bertepuk
sebelah tangan" Apakah
akan kau batalkan persahabatan mu dengan ku..?"
Tanya Roro menegasi. Si manusia bulat itu terdengar
menghela napas, namun wajahnya menampilkan ke-
gembiraan... "Yah..! Apa boleh buat, karena sudah ter-
lanjur..!" Ia telah menjawab seenaknya. Tapi entah mengapa dalam bertukar jawab
itu, si Dewa Angin
Puyuh tampak senang. Karena baru kali ini ia temui
seorang dara cantik dan ayu yang kenes dan pintar bi-
cara. Membuat ia betah untuk mengobrol. Bahkan se-
lanjutnya si Dewa Angin Puyuh jadi merasa sungkan,
ia menghormati si Pendekar Wanita itu. Dan semakin
bersimpati manusia yang berwatak agak ugal-ugalan
itu terhadap Roro.
Demikianlah... Beberapa hari kemudian, tam-
pak keduanya sudah akrab. Bahkan selama itu dima-
na ada Roro, pasti ada si Dewa Angin Puyuh. Sepintas
orang menebaknya sebagai seorang paman dengan ke-
ponakannya. Ternyata Roro pun telah memanggilnya
dengan sebutan paman terhadap si Dewa Angin Puyuh
itu. Yang tampaknya mempunyai rasa kebahagiaan
tersendiri bagi si manusia bulat itu. Siapa yang tak
bangga punya keponakan secantik dan seayu Roro
Centil, yang selalu menjadi incaran mata kaum muda-
muda bahkan tua bangka yang mata keranjang...
Hal itu memang terjadi, ketika suatu ketika si
Dewa Angin Puyuh mengajak Roro memasuki desa
yang ramai. Dan mengajaknya singgah di sebuah ru-
mah makan yang paling laris dikunjungi orang. Den-
gan bangga si manusia bulat telah sebutkan Roro se-
bagai keponakannya, bila bertemu dengan setiap orang
yang dikenalnya.
Dari si Dewa Angin Puyuh itulah, Roro Centil
mengetahui tentang siapa adanya wanita kaum Rimba
Hijau yang bernama julukan si Kupu-kupu Emas. Se-
perti diketahui si Kupu-kupu Emas adalah orang yang
tengah dicarinya. Dan terlibat dalam pengeroyokan
atas gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan Yang
berakhir dengan kematian sang Guru yang dicintainya
itu. Berita itu ia dapatkan dari Joko Sangit, sahabat baiknya.
Ternyata si Dewa Angin Puyuh juga suka ber-
hubungan dengan Sang Ratu Kuning, alias si Kupu-
kupu Emas itu. Bahkan ia memiliki topeng kulit ma-
nusia, yang sering dipakai wanita Rimba Hijau itu. Entah bagaimana si Dewa Angin
Puyuh berhasil mencu-
rinya. Demikianlah. Hingga Roro Centil dapat menge-
tahui sarang si Kupu-kupu Emas, dan bahkan dapat
mengelabuhi ketujuh belas orang-orang bawahannya,
yang mengabdi padanya. Bahkan tanpa sengaja usaha
mencari Gumarang, laki-laki muda suami Retno Wulan
yang hilang tak tentu rimbanya itu dapat diketahui kalau ternyata berada di
sarang si Kupu-kupu Emas. Se-
telah entah beberapa bulan disekap oleh si Peri Gu-
nung Dempo untuk melayani wanita cabul itu memua-
skan hawa nafsunya.
* * * Senja telah tiba, ketika pintu kamar Roro Centil
diketuk orang. Roro cepat-cepat pergunakan cadar dari saputangannya untuk
menutupi wajahnya. Hingga
yang tampak adalah sepasang matanya saja.
"Masuklah..!" Berkata Roro Centil, seraya bu-kakan pintu. Dan seorang pemuda
diantar dua pen-
gawal, segera melangkah masuk. Ternyata Kala Ben-
dana tak ada bersamanya. Pemuda bernama Guma-
rang ini berhenti untuk menatap pada Roro yang wa-
jahnya terlihat sepasang matanya saja berkilatan me-
mandangnya. Roro sudah segera tutupkan kembali
pintu kamarnya. Gumarang melangkah lesu... Kea-
daannya amat mengenaskan. Karena tubuhnya tam-
pak agak kurus. Dengan sepasang mata yang agak ce-
kung ke dalam. Wajahnya tak menampilkan gairah hi-
dup. Tapi Roro harus mengakui akan ketampanan wa-
jahnya. Pantas si Peri Gunung Dempo menggilainya,
karena Gumarang memang punya daya tarik luar bi-
asa untuk digandrungi kaum wanita. Demikian pikir
Roro dalam hati. Tiba-tiba laki-laki muda ini balikkan tubuhnya, seraya berkata
dengan suara parau.
"Kaukah sang Ratu Kuning itu.." Hm! Lebih
baik kau bunuh saja aku..! Aku telah tak punya gairah untuk wanita-wanita cabul
macam kalian. Sudah cukup aku tersiksa oleh si Peri Gunung Dempo, wanita
siluman itu, mengapa kau masih memelihara aku
sampai saat ini.." Dan baru sekarang kau panggil aku
untuk menghadap?" Seraya berkata itu, sepasang mata Gumarang tampak menyorot
tajam berapi-api. Betapa
ia sudah merasa bosan hidup dalam tawanan. Dan ki-
ni lagi-lagi harus berhadapan dengan manusia-
manusia bermoral bejat Yang tak pernah merasa
puas..! Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil telah membu-ka cadar penutup wajahnya.
Dan tempelkan jari telun-
juknya di atas bibir. Tentu saja Gumarang jadi terke-
jut. Dan isyarat itu membuat Gumarang kerutkan
alisnya hingga menyatu. Roro sudah tarik pemuda itu
ke sisi pembaringan.
"Masih ingatkah kau padaku.." Aku wanita
yang telah kalian anggap Dewi Laut itu..?" Tanya Roro bersisik. Gumarang bagai
tak berkedip menatap Roro.
Dan segera teringat ia akan peristiwa setahun lebih
yang lalu, ketika ia dan Retno Wulan dalam keadaan
dicengkeram maut. Karena ketika sepasang sejoli ini
melarikan diri dengan menggunakan perahu berlayar
di laut lepas, tahu-tahu perahunya telah bocor berlu-
bang. Ternyata adalah perbuatan begundalnya Tirta
Menggala. Saat Tirta Menggala muncul dengan perahu be-
sar menyusulnya, mereka berdua cuma bisa menanti-
kan datangnya maut Karena perahunya semakin
membenam, tanpa seorangpun berniat menolong. Apa
lagi Tirta Menggala memang menginginkan kematian
mereka. Karena ia memang menginginkan Retno Wu-
lan, sang kekasihnya itu untuk jadi istrinya. Tapi ditolak oleh sang gadis. Dan
gadis itu melarikan diri bersamanya.
Pada saat kegaduhan di perahu besar yang di
tumpangi Tirta Menggala. karena sekonyong-konyong
perahu Tirta Menggala berderak bagai dihantam benda
keras. Dan sekejap sudah miring mau tenggelam. Ka-
rena dinding perahunya telah jebol. Saat itulah, se-
buah bayangan merah jambu berkelebat menyambar
Gumarang dan Retno Wulan. Ternyata Roro Centil
yang telah menyelamatkan jiwanya. Dan dibawa mele-
sat ke arah pantai. Yang akhirnya mereka terhindar
dari kematian ditelan ombak. Gumarang tak dapat
berkata apa-apa selain bersujud di hadapan Roro Cen-
til, namun mendesis juga ucapannya perlahan...


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pendekar Wanita Pantai Selatan... Nona Roro
Centil..! Aku masih mengenalimu. Oh, maafkan aku
yang salah menyangka..!" Namun Roro sudah segera angkat bahunya dan bisikkan
beberapa kalimat tentang kedatangannya. Gumarang mengangguk-angguk
mengerti. Lalu sekejap kemudian Roro telah salurkan
hawa hangat ke sekujur tubuh Gumarang, dengan
menempelkan telapak tangannya pada punggung pe-
muda itu. Selang sesaat Kekuatan Gumarang telah pu-
lih kembali. Bahkan tenaga dalamnya telah ditambah
oleh Roro Centil, dengan menyalurkannya. tanpa
sungkan-sungkan.
Segera saja Roro pakai lagi kedok mukanya.
Dan beranjak keluar diikuti Gumarang. Tentu saja ke-
dua penjaga cuma tundukkan kepala dengan menjura
hormat pada Roro. Akan tetapi, sekali lengan wanita
ini bergerak kedua penjaga itu telah berdiri kaku dengan keadaan tubuh tertotok
juga tanpa dapat kelua-
rkan suara lagi. Cuma sepasang matanya saja yang
menatap lantai dengan berkedip-kedip keheranan.
Selanjutnya beberapa penjaga semuanya telah
juga ditotok oleh Roro. Bahkan tiga orang yang datang kehadapannya, termasuk
Kala Bendana, telah juga
mengalami nasib yang sama. Tentu saja, dengan mu-
dah mereka segera keluar dari gedung tempat sarang si Kupu-kupu Emas itu. Akan
tetapi ketika mereka tiba
di pelataran, telah terdengar bentakan disertai terjangan hebat dari dua sosok
tubuh. Roro Centil perguna-
kan sepasang lengannya untuk menyambuti. Terden-
garlah suara teriakan tertahan. Dan dua sosok tubuh
itu telah terpental tiga tombak ke belakang. Segera dapat dilihat siapa adanya
kedua orang itu. Ternyata mereka adalah dua orang wanita. Yang satu seorang wa-
nita muda berbaju hitam, yang tak lain dari si wanita buronan Laras Jingga.
Sedang yang seorang lagi adalah seorang wanita berusia sekitar 40 tahun.
Wajahnya mempunyai bekas tanda luka menggores. Akan tetapi
dapat diakui wanita ini dulunya berwajah cantik. Wa-
nita ini bangkit berdiri, seraya gulung lengan bajunya, yang berwarna kuning
keemasan, hampir mirip dengan
pakaian Roro. "Manusia kurang ajar..! Buka topengmu..!" Bentaknya. Seraya cabut senjatanya
dari balik pakaian.
Yaitu sebuah kipas tipis dari baja berkilat, berwarna kuning emas, berbentuk
sayap kupu-kupu. Tahulah
Roro Centil, kalau wanita dihadapannya ini adalah si
Kupu-kupu Emas. Segera ia telah tarik robek kedok
mukanya. Sepasang mata si Ratu Kupu-kupu Emas itu
mendelik gusar. Ia memang sudah mengetahui kalau
orang yang menyaru dirinya itu adalah Roro Centil.
Akan tetapi baru kali ini ia melihat wajahnya. Adapun si wanita buronan, Laras
Jingga jadi terkesiap. Tapi
juga merasa kebetulan. Wajahnya tampak menampil-
kan kemarahan luar biasa terhadap Roro. "Manusia keparat Roro Centil! Bagus!
kiranya kau berada disini.
Kau harus tebus kematian ibuku dengan nyawamu..!"
Bentakannya telah diiringi terjangan hebat ke arah Ro-ro. Ternyata ia telah
pergunakan jurus-jurus si Dewa
Tengkorak. Akan tetapi dengan pergunakan jurus Ta-
rian Bidadari Mabuk Kepayang, Roro Centil sudah
berhasil menghindari. Bahkan tampaknya Roro tak
mau berlama-lama untuk menjatuhkan lawan. Ia su-
dah maklumi kemarahan Laras Jingga akan kematian
ibunya alias si Peri Gunung Dempo. Tiba-tiba tubuh
Roro telah berkelebat lenyap dari pandangan wanita
muda itu. Akan tetapi tahu-tahu Laras Jingga kelua-
rkan keluhan pendek. Tubuhnya roboh terkulai kena
ditotok Roro. Dan dengan sigap, Roro telah menyambu-
tinya. Kemudian dengan memondongnya, Roro cepat
melompat ke arah Gumarang. Kejap berikutnya, ia te-
lah berikan gadis yang telah tertotok pingsan itu untuk dipondong si pemuda.
Betapa gusarnya si Kupu-kupu Emas. Memang
ia telah mengetahui adanya Roro Centil dari kedua
orang Perwira Kerajaan Sriwijaya, yaitu Lembu Sura
dan Datuk Raja Gur. Yaitu adanya orang yang menya-
ru dirinya. Ia baru saja keluar dari gedung Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Yang memang ada hubun-
gan baik padanya. Saat ia lakukan pembicaraan seje-
nak dengan Panglima itu, muncullah Lembu Sura dan
Datuk Raja Gur. Mereka segera laporkan pertemuan-
nya dengan si Kupu-kupu Emas. Tentu saja Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta jadi terkejut. Terlebih-lebih si wanita itu, karena
Kupu-kupu Emas adalah dirinya
sendiri. Pada saat itulah muncul si Dewa Angin Puyuh, yang mengatakan bahwa si
Kupu-kupu Emas itu adalah samaran dari Roro Centil, yang tengah menyatroni
sarangnya. Kiranya si manusia bulat itu memang sen-
gaja memancing wanita musuh besar Roro itu untuk
kembali ke sarangnya. Bahkan si Dewa Angin Puyuh
yang telah berpihak pada Roro, berpura-pura mau
membantu wanita itu. Segera saja mereka minta diri.
Dan berdua dengan si Dewa Angin Puyuh, mereka se-
gera angkat kaki untuk segera berangkat menuju tem-
pat Kediaman si Kupu-kupu Emas.
Diperjalanan mereka bertemu dengan Laras
Jingga. Lantas saja si Kupu-kupu Emas mengajaknya
turut serta, serta merasa kebetulan sekali mendapat
teman untuk menempur Roro Centil. Karena Laras
Jingga memang tengah mencari pendekar wanita itu,
untuk membalas dendam atas kematian ibunya. Ter-
nyata semua itu adalah hasil rencana si Dewa Angin
Puyuh. Yang sudah mengatur adanya pertemuan itu.
Demikianlah... Ketika terjadi pertarungan, dan
berakhir sekejapan saja Laras Jingga kena tertotok
oleh Roro Centil. Saat itu si Dewa Angin Puyuh, cuma
asyik duduk menyandar di dahan pohon sambil men-
gipas dengan kipas bututnya. Kupu-kupu Emas sudah
berteriak membentaknya...
"Hei! Manusia bola..! Mengapa kau tak turun
tangan membantuku.."!" Teriaknya. Akan tetapi si manusia bulat itu bahkan
pentang mulutnya lebar-lebar,
alias menguap. "Hoaeeemmm... Aku mengantuk sekali,
Kupu-kupu Emas. Sebaiknya aku tidur dulu. Nanti bi-
la kau terdesak, dan sudah dekat mau mampus, kau
bangunkanlah aku..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh, seraya kipas bututnya sudah
diselipkan disela jubah-nya. Kemudian setelah menguap sekali lagi, sudah se-
gera pejamkan matanya untuk tidur mendengkur.
"Setan..! Kunyuk..!" Memaki si Kupu-kupu
Emas, seraya sudah arahkan senjata kipas bersayap
Kupu-kupu itu ke atas tempat si manusia bulat men-
dengkur. Tiba-tiba dari batang kipasnya telah mem-
bersit belasan batang jarum halus. Itulah senjata ra-
hasia yang mengandung racun. Akan tetapi, dengan
cepat si manusia bulat itu tarik keluar lagi kipas bututnya, seraya berkata
keras-keras... "Hoaeeemmm..! Panasnya bukan main..!" Hebat akibatnya. Karena bam dengan gerakan
mengeluarkan kipasnya saja, belasan batang jarum itu telah buyar
kena hempasan angin kipas bututnya. Dan ketika mu-
lutnya menguap. Belasan batang jarum itu sudah ter-
hembus lenyap. Selanjutnya ia sudah mengipas lagi.
Anehnya selama ia menghantam buyar senjata-senjata
rahasia itu, ia tak pernah membuka kelopak matanya.
Kupu-kupu Emas sudah tak memperdulikan
lagi manusia bulat itu. Akan tetapi ia telah palingkan kepala pada Roro Centil
seraya membentak dengan
suara dingin. "Bagus..! Kiranya murid si Manusia Aneh alias
si banci gila asmara itu, memang mencariku untuk
membalas dendam..! He he he... kau hanya mengantar
nyawa saja, bocah bau kencur..!"
Dan kata-katanya telah dibarengi bentakan
dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke arah Roro, dengan
kelebatkan senjata kipas Kupu-kupunya. Membersit
senjata yang bersisi tajam itu. Bahkan ujungnya me-
matuk ke arah leher. Roro Centil sudah berkelebat
menghindar. Tentu saja ia telah waspada akan adanya
jarum di ujung gagang kipasnya. Tampaknya Roro
Centil ingin mencoba menggunakan jurus pemberian si
Mayat Hidup. Yang cuma terdiri dari tiga jurus. Ketiga jurus ilmu pemberian si
Mayat hidup itu adalah bernama jurus Kucing Kurus Sambar Ikan Asin. Segera
saja Roro lakukan lompatan-lompatan bagai seekor
kucing. Ternyata membawa hasil memuaskan Jurus-
jurus si Kupu-kupu Emas selanjutnya semakin hebat.
Dan Roro Centil selalu dapat menghindar dengan lom-
patan-lompatannya.
Membuat wanita ini jadi jengkel. Tiba-tiba ki-
pasnya bergerak menyambar, menimbulkan hempasan
dahsyat. Berbareng dengan kelebatan tubuhnya me-
mutari Roro. Dan di saat yang sudah ditentukan, ja-
rum-jarum mautnya sudah membersit berkali-kali me-
luruk ke arah Roro. Namun dengan kibaskan rambut-
nya, Roro berhasil menghalaunya.
Tiba-tiba Roro gerakkan tubuh untuk menyam-
bar kaki. Lagi-lagi ia pergunakan jurus Kucing Kurus
Sambar Ikan Asin warisan si Mayat Hidup. membuat si
Kupu-kupu Emas melompat dua tombak. Namun ge-
rakan Roro sudah mendahului. Karena ia telah men-
duga kalau si wanita itu akan berbuat demikian. Dan
begitu tubuh si Kupu-kupu Emas tiba didekatnya, se-
kali lengan Roro bergerak... lepaslah senjata Kipas Ku-pu-kupu si wanita itu.
Untuk selanjutnya sebuah ge-
rakkan dari jurus Ikan Hiu Menampar Ombak. Tak
ampun lagi wanita itu sudah perdengarkan teriakan-
nya. Karena sebuah tendangan telak telah menghan-
tam punggungnya di udara. Tubuh Roro sudah kemba-
li menjejak tanah. Sementara tubuh lawannya baru
saja menyentuh ke bumi, Roro Centil telah lemparkan
deras senjata kipas Kupu-kupu itu ke arah si pemilik-
nya. Terkesiap si Ratu Kuning itu. Namun sudah ter-
lambat... Karena benda itu telah menabas langsung ke
arah dadanya, hingga lenyap tak kelihatan lagi. Dan
tanpa dapat berteriak lagi, si Kupu-kupu Emas cuma
menggeliatkan tubuhnya. Dan nyawanya pun me-
layang seketika. Senjata Kipas Kupu-kupu itu telah
membelah dadanya dan terus melesak amblas ke da-
lam tanah. Pertarungan maut itupun berakhir sudah.
Si Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-gelak. Dan
melompat turun dari atas dahan. Sementara cuaca
semakin gelap. Karena malam akan segera tiba.
* * * Menjelang beberapa hari kemudian, tampak ti-
ga sosok tubuh berlari dengan tak tergesa-gesa, di atas perbukitan yang
menghijau itu. Mereka adalah Roro
Centil, Gumarang dan si Dewa Angin Puyuh. Ketiganya
dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal si Mayat
Hidup. Kiranya mereka baru saja membereskan uru-
sannya menyerahkan si wanita buronan alias Laras
Jingga, si cantik berdarah dingin itu pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Ternyata di dalam ruangan
gedung itu tengah ada tetamu dari Kerajaan Bungo
Mambang. Diantaranya terdapat Raja Bantar Alam ser-
ta putra mahkota Pangeran Kandaga. Serta juga seo-
rang panglima yang putus sebelah tangannya, berna-
ma Renggana Pati. Terbukalah tirai terselubung di hati Panglima Agung Tunggal
Sewu Seta. Karena sebenarnya ia adalah seorang panglima di Kerajaan Bungo
Mambang, bernama Sobrang. Yang sebenarnya bukan
dihukum mati oleh Raja Bantar Alam. Melainkan di-
pindahkan ke Kerajaan Sriwijaya. Dan menjadi Pan-
glima di Kerajaan besar itu.
Laras Jingga adalah puteri angkatnya yang te-
lah dicuri oleh Warakas. Sedang kehamilan Dewi Melur
adalah perbuatan Warakas. Anak hasil perbuatan me-
reka, ternyata tak berumur panjang. Dan meninggal
ketika dilahirkan. Warakas akhirnya dapat diketahui
tempat persembunyiannya. Namun ketika Panglima
Sobrang alias Panglima Agung Tunggal Sewu Seta itu
menyuruh menangkapnya. Ternyata telah tewas oleh
Laras Jingga. Adapun kedua orang anak pembesar Ke-
rajaan itu, yang bernama Lingga dan Linggih, adalah
tipuan belaka. Karena Linggah dan Linggih sebenarnya
tak ada hubungan apa-apa dengan si Panglima. Perin-
tah membunuh mati itu ternyata dihembuskan oleh
Warakas. Karena ia khawatir wanita berdarah dingin
itu menyusahkannya kelak.
Tentu saja penuturan dari semua orang-orang
Kerajaan Bungo Mambang itu telah menguak kisah ri-
wayat hidup Laras Jingga. Si cantik berdarah dingin
ini memeluk ayah angkatnya dengan terharu dan mo-
hon maaf pada Roro Centil, yang telah dianggapnya te-
lah membunuh ibunya. Padahal Dewi Melur alias si
Peri Gunung Dempo itu tidaklah ada hubungannya
sama sekali dengannya. Akhirnya setelah mereka sa-
ma-sama saling maafkan, Roro, Gumarang dan si De-
wa Angin Puyuh berangkat untuk mengunjungi tempat
si mayat hidup. Akhir kisah, Roro Centil dan si Dewa
Angin Puyuh cuma bisa memandang terharu atas per-
temuan Gumarang kembali dengan istrinya, Retno Wu-
lan. "Dewa Angin Puyuh..! Kapan kau akan kawin.."
Apa kau belum bosan membujang sampai tua..!" Berkata si Mayat Hidup.
Manusia bulat ini hanya menyengir, sambil
mengipas dengan kipas bututnya. Ia sudah lantas me-
nyahuti; Seraya tertawa gelak-gelak...
"He he he... ha ha ha... Kawin sih aku sudah
sering...! Cuma menikah yang aku belum merasakan-
nya..!" Tentu saja semua jadi tertawa geli. Roro Centil sudah menggamit pundak
si manusia bulat itu seraya
berkata, "Bagaimana kalau kau kawin saja denganku..!"
"Ha...?" Si Dewa Angin Puyuh jadi plototkan matanya pada Roro. Tapi sudah
menyahuti; "Boleh..!
Boleh..! Tapi aku ingin tahu dulu apa mas kawin-


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya..?" Sambil tersenyum Roro menjawab;
"Tak perlu pakai mas kawin..! Kalau kau mau
menungguku sampai 100 tahun, biarlah kuterima la-
maranmu..!" Tentu saja si manusia bulat ini sudah tertawa terbahak-bahak. "Ha ha
ha... Saat itu kau sudah jadi nenek-nenek bungkuk, dan aku sudah jadi makanan
cacing di dalam kubur! Ha ha ha..." Kembali si Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-
gelak. Diikuti semua
orang. Adapun tiba-tiba wajah Roro jadi cemberut.
"Aku jadi nenek-nenek bungkuk.." Huh! Siapa
bilang kalau aku sudah tua akan jadi nenek-nenek
bungkuk..?" Sambil berkata dengan wajah cemberut, Roro Centil sudah balikkan
tubuh untuk berlalu. Terkejut si Dewa Angin Puyuh. Segera ia sudah mengejar,
dan berkata; "Aiih... Keponakanku yang manis, sudahlah,
jangan marah..!"
"Tidak sudi! Aku memang marah..!" Ujar Roro.
Keruan saja si Dewa Angin Puyuh jadi garuk-
garuk kepala, yang tidak gatal. Akan tetapi ia sudah
berkata dengan suara agak keras.
"Marah, ni yeeee.....!".
TAMAT E-Book by Abu Keisel Pedang Ular Mas 10 Dewa Arak 04 Raksasa Rimba Neraka Pendekar Kidal 15
^