Pencarian

Si Cantik Berdarah Dingin 1

Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin Bagian 1


DUA PULUH TAHUN yang lalu.... Sebuah Kera-
jaan kecil di Pulau Andalas bernama Bungo Mambang
tegak berdiri. Tentu saja kerajaan ini berdaulat pada Kerajaan Sriwijaya. Yang
memang adalah sebuah Kerajaan yang paling besar pada masa itu. Raja yang ber-
kuasa disana bernama Sri Baginda Bantar Alam.
Kekuasaannya meliputi tiga wilayah. Yaitu an-
tara sekitar Gunung Kerinci, gunung Sumbing dan gu-
nung Talang. Raja Bantar Alam memang seorang yang
bertindak adil terhadap rakyatnya. Sehingga rakyat
amat menyukainya. Bantar Alam mempunyai seorang
permaisuri dan beberapa selir. Sayang, permaisuri Ra-
ja bijaksana itu tak mempunyai keturunan. Bahkan
dari selir-selirnya sekalipun. Sang permaisuri agaknya merasa takut tersisihkan
oleh Raja, karena lagi-lagi
Raja telah menambah lagi selirnya, seorang gadis can-
tik asal lereng Gunung Kerinci. Terbersit di hati permaisuri untuk mencari akal
agar dapat cepat beroleh
keturunan. Tentu saja hal yang ditempuhnya adalah
jalan kotor. Diam-diam ia berhubungan dengan seo-
rang panglima Kerajaan. Hal itu berlangsung terus
tanpa setahu Raja. Hingga akhirnya benih yang terta-
nam di tubuh permaisuri, tumbuh dengan subur. Per-
maisuri bernama Dewi Melur itupun hamil...
Hal mana tentu saja membuat Raja jadi bergi-
rang hati. Tapi bersamaan dengan itu selir terakhir da-ri Raja Bantar Alam pun
tengah mengandung.
Baginda Raja berpendapat, anak dari permaisu-
ri yang pertamalah yang berhak menggantikannya se-
bagai Raja kelak. Namun sayang... rahasia hubungan
permaisuri dengan Panglima Sobrang tercium oleh Ra-
ja. Marahlah Raja Bantar Alam.. dan serta merta
menghukum Panglima Sobrang dengan hukuman mati.
Dan Dewi Melur diusir keluar dari istana, serta dipe-
rintahkan untuk dibunuh di tengah hutan belantara.
Dua orang perwira Kerajaan segera membawanya den-
gan mengendarai kuda. Dewi Melur tak berdaya. Dan
pada malam yang sunyi itu telah tiba di tengah hutan
belantara. Namun salah seorang dari perwira Kerajaan
tak tega untuk menjalankan tugas. Apalagi Dewi Melur
dalam keadaan hamil. Tentu saja hal itu salah seorang dari perwira Kerajaan itu
menjadi serba salah... Namun kawannya tetap mengambi1 keputusan untuk
membunuh wanita itu. Terjadilah pertengkaran, yang
kemudian beralih menjadi pertarungan seru Karena
masing-masing berlainan pendapat. Salah seorang ter-
luka putus lengannya oleh pedang kawannya. Segera
laki-laki bernama Warakas itu berniat membunuhnya.
Sayang kawan perwira yang terluka itu sempat melari-
kan diri. Dan kembali ke istana... Warakas terpaksa
bertindak mengambil keputusan nekat.
Kembali berarti mati. Dan membunuh Dewi Me-
lur pun sudah terlambat, juga tak mungkin ia tega un-
tuk melakukannya. Maka segera Warakas membawa
Dewi Melur untuk menyembunyikan diri. Raja Bantar
Alam gusar bukan main, mendengar berita itu. Dan
perintahkan lasykarnya untuk mencari kedua orang
itu hidup atau mati. Namun Warakas dan Dewi Melur
telah lenyap bagai ditelan bumi.
Delapan belas tahun kemudian.. Raja Bantar
Alam sakit keras: Agaknya tak ada pilihan lain bagi Ra-ja untuk mengangkat
Kandaga, putera dari selir terak-
hirnya menjadi Raja bagai penggantinya. Kandaga ada-
lah pemuda gagah, yang berparas tampan. Berkulit
coklat dan bertubuh kekar. Dan keputusan pun tak
dapat lagi dibantah! Kandaga memegang tampuk pe-
merintahan di Kerajaan Bungo Mambang! mengganti-
kan ayahandanya. Hal mana sudah berlangsung bebe-
rapa bulan. Bantar Alam ternyata masih berumur pan-
jang. Namun ia memang sudah mengundurkan diri da-
ri kepemimpinannya...
* * * Senja itu berkelebat sesosok tubuh langsing.
Gerakannya amat cepat sekali bagaikan burung walet.
Dan sebentar saja ia telah berada di halaman istana.
Karena ... tubuh itu memasuki halaman dari sisi tem-
bok pagar istana yang tidak terjaga. Maka pengawal-
pengawal Kerajaan tak seorang pun melihatnya.
Sayang... baru saja ia mau berkelebat masuk ke pintu
samping. Dua orang penjaga telah melihatnya.
"Haiii...!" Siapa kau...?" teriak salah seorang seraya melompat menghadang
dengan tombak dan pe-
dang terhunus. Ternyata sosok tubuh itu adalah seo-
rang wanita alias gadis cantik. Hidungnya mancung.
bermata agak sipit. Beralis mata indah melengkung ke
atas. Wajahnya memang boleh dikatakan cantik, den-
gan tahi lalat di bawah hidungnya. Cuma sepasang
matanya tampak bersinar aneh..! Karena tatapannya
mengandung hawa seram. Seperti seakan mau me-
nembus jantung kedua penjaga istana itu.
"Heh..! Aku mau mencari si Kandaga..! Akan
kucincang tubuhnya sampai lumat..!" Mendesis suara wanita itu. Tentu saja hal
itu membuat kedua penjaga
itu jadi terkesiap. Dan sudah lantas membentak.
"Kurang ajar...! Kau mau membunuh baginda
Raja.."! Keparat..! Mampuslah kau..!" Dan segera saja keduanya telah melakukan
serangan. Tombak dan pedang sudah meluncur deras untuk memanggang tu-
buhnya. Akan tetapi...
Plak..! Plak..! Kedua terjangan itu telah disam-
buti dengan hantaman sepasang lengannya. Dan aki-
batnya tombak dan pedang sang penjaga itu sudah
terpental, karena sekonyong-konyong si wanita berbaju hitam itu telah
menggerakkan tangannya cepat sekali.
Belum lagi hilang terkejutnya, si kedua penjaga itu telah perdengarkan teriakan
ngeri. Dan sekejap kedua
tubuh itu roboh terjungkal. Dengan leher di cengkeram kesepuluh jari-jarinya...
Darah segar menyembur
muncrat. Dan dengan tubuh berkelojotan, kedua pen-
jaga itu telah tewas seketika.
Mendengar kegaduhan di halaman istana, be-
berapa penjaga lainnya sudah berdatangan. Dan
alangkah terkejutnya menyaksikan dua orang kawan-
nya tewas secara mengerikan. Segera saja mereka
mengurung si wanita cantik berbaju hitam itu. Tam-
paknya si gadis ini tak merasa gentar. Bahkan dengan
tersenyum sinis memandang orang-orang di sekeliling-
nya. Adapun para penjaga istana sudah segera berte-
riak membentak, dan menerjang manusia di hadapan-
nya. Berkelebatlah tubuh si wanita menghindari. Ge-
rakannya gesit sekali. Hingga yang terlihat hanyalah
bayangan tubuhnya saja. Lagi-lagi terdengar teriakan-
teriakan santar, diiringi ambruknya beberapa penjaga
istana itu. Masing-masing dengan leher kena dicengke-
ram hancur. Hingga beberapa orang sudah tampak
melompat mundur dengan keluarkan keringat dingin,
dan pandangan menatap ngeri. Hati mereka jadi men-
celos terkejut. Melihat betapa tingginya ilmu wanita di hadapannya itu. Tiga
orang panglima Kerajaan sudah
melompat ke hadapan wanita itu.
"Ada permusuhan apakah anda mengamuk di
Kerajaan kami.." Kalau memang ada yang perlu dibica-
rakan, mengapa tidak bicara dengan baik-baik saja...?"
Bertanya salah seorang. Yang tampaknya seorang laki-
laki yang berusia sekitar 45 tahun. Wanita ini menatap pembicara itu dengan
wajah sinis. Senyum dari sepasang bibirnya yang tipis itu bagaikan sepasang mata
pedang yang mau mengiris jantung.
"Heh..! Aku mau bertemu dengan Rajamu! Ma-
na si Kandaga itu..!" Berkata si wanita dengan suara tajam membersit.
"Ada perlu apakah anda menemui beliau.."
Sayang baginda sedang tidak ada. Boleh kami tahu
siapa anda..?" Bertanya lagi panglima tua itu dengan sabar. Sementara diam-diam
hatinya berdebar keras.
Ia tak dapat memastikan siapa adanya wanita itu.
Akan tetapi sinar-matanya mengandung dendam yang
amat hebat. Wanita ini tiba-tiba tertawa mengikik. Suaranya membuat getaran yang
mempengaruhi jantung.
Dan ia sudah berkata dengan suara dingin bagaikan
es. "Hi hi hi... Kandaga anak dari selir baginda Raja Bantar Alam. Mengapa dia bisa
diangkat menjadi putera mahkota" dan menjadi pengganti Baginda Raja Ban-
tar Alam.." Hi hi hi... Aku adalah puteri Baginda Raja Bantar Alam dari
Permaisuri Dewi Melur. Akulah yang
berhak menjadi Raja, atau Ratu pengganti ayahku,
bukan dia..!" Terkejut ketiga perwira itu. Lebih-lebih si panglima tua Karena
panglima itulah yang bernama
Renggana Pati. Dua puluh tahun yang silam ialah yang
diperintahkan oleh Raja Bantar Alam untuk membu-
nuh permaisuri di tengah hutan. Ketika itu permaisuri Dewi Melur tengah hamil.
Akhirnya ia berselisih dengan Warakas, kawannya. Yang waktu itu mereka ma-
sih prajurit. Renggana Pati tak terasa memegang sebe-
lah lengannya yang putus sebatas siku. Warakas ber-
hasil menabas putus sebelah lengannya. Namun tak
berhasil membunuhnya. Renggana Pati melarikan diri
kembali ke istana, dan melaporkan kejadian itu pada
Raja Bantar Alam. Namun Dewi Melur dan Warakas,
lenyap tak berbekas, walaupun telah dicari ke setiap penjuru tempat. Kini
seorang gadis mengakui adalah
puteri dari permaisuri baginda Raja Bantar Alam. Ten-
tu saja hal itu membuat Renggana Pati jadi terkesiap.
Pada saat itulah muncul seorang wanita berparas can-
tik, walaupun usianya telah sekitar empat puluhan ta-
hun. Si wanita itu sudah lantas membentak,
"Kurang ajar..! Iblis perempuan dari mana kau.
datang-datang mengamuk membunuhi orang istana.."
Hai! Para panglima..! Mengapa kalian tidak segera me-
ringkus perempuan ini..!?" Teriak wanita itu seraya menatap tajam pada ketiga
perwira dan si gadis ber-ganti-ganti. Mendengar kata-kata itu si gadis cuma
tertawa sinis. Sepasang matanya membersit tajam mena-
tap wanita di hadapannya.
"Hi hi hi... kau pasti selirnya ayahku, Baginda
Raja Bantar Alam. Dan ibunya si Kandaga..!" Berkata wanita berbaju hitam itu
dengan suara dingin.
"Benar..! Anakku Pangeran Kandaga berhak
penuh atas kerajaan Bungo Mambang ini! Bukan kau.
! Ketahuilah..! Ibumu si Dewi Melur telah main gila
dengan Panglima Sobrang, beberapa tahun yang silam.
Mengapa kau mengakui dirimu anak keturunan Ra-
ja.." Sudah jelas ayahmu si Sobrang itu secuilpun kau tak ada hak untuk menjadi
pewaris Kerajaan..!" Berkata sang selir, yang tampaknya jadi naik darah melihat
kemunculan wanita muda itu. Tentu saja perkataan itu
membuat si wanita berbaju hitam menjadi pucat wa-
jahnya. Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar
merah. Tubuhnya seperti menggigil bahwa gusarnya
mendengar penghinaan ini. Namun ia tak dapat ber-
tindak apa-apa selain tiba-tiba menutup mukanya.
Dan sekonyong-konyong berlari dengan tubuh ter-
huyung-huyung. Dari kejauhan masih terdengar suara
isak tertahan. Dan sesaat kemudian sang gadis itu te-
lah berkelebat lenyap... Ketiga panglima yang menatap tampak sama-sama menghela
nafas. Sementara wanita
istri Bantar Alam itu sudah kembali memasuki istana.
Wanita bernama Gendari itu sudah menjadi ibu suri di
istana Kerajaan Bungo Mambang.
"Untung baginda Pangeran Kandaga sedang ti-
dak ada..!" Berkata salah seorang panglima. Renggana Pati mengangguk-angguk,
lalu beranjak masuk, setelah diperintahkan beberapa pengawal mengurus jena-
zah para penjaga istana yang tewas. Selesai para pen-
gawal membersihkan halaman istana dari ceceran da-
rah, Renggana Pati memerintahkan segenap prajurit
untuk menambah kewaspadaan, dan memperketat
penjagaan. * * * Wanita berbaju hitam itu berlari dan berlari...
dengan hati serasa remuk redam. Sementara hatinya
seperti ditusuk-tusuk oleh jarum. Betapa sakit dan
malunya ia, dikatakan bahwa ia adalah anak hasil dari perbuatan serong ibunya
terhadap seorang panglima
Kerajaan bernama Sobrang.
"Benarkah demikian.." Benarkah aku bukan
anak dari Baginda Raja Bantar Alam?" Mendesis suara tersendat dari
kerongkongannya. Bibirnya bergerak-gerak menahan tangis. Sebaris giginya sudah
segera menggigitnya hingga berdarah. Aku harus tanyakan
pada paman Warakas peristiwa sebenarnya. Atau aku
harus menunggu sampai ibu datang dari seberang..!
Berkata si gadis dalam hatinya. Segera tubuhnya ber-
kelebatan cepat meninggalkan tempat itu. Sementara
malam mulai merayap. Di langit cuma ada sepotong
bulan. Rumah yang ditujunya telah kelihatan. Akan
tetapi gadis ini tidak segera pulang. Disana ia terpaku menata bulan. Ternyata
di hatinya telah timbul peperangan hebat.
Aku tidak mengerti... manakah yang benar"
Penjelasan paman Warakas, ataukah kata-kata selir
baginda Raja Bantar Alam..." Kalau benar aku anak
seorang panglima Kerajaan bernama Sobrang, lalu di
manakah ayahku.. " Apakah aku harus menjumpai
baginda Raja Bantar Alam untuk memohon penjelasan
ini.." Tapi aku telah menanam permusuhan, dengan
membunuh beberapa prajurit Kerajaan. Mana sudi ia
bicara padaku.." Beberapa pertanyaan memenuhi be-
nak si gadis cantik. Akhirnya pelahan-lahan ia bangkit berdiri, dan beranjak
dari situ. "Ah... seandainya ibu sudah datang." Gumamnya. Sampai disini ia sudah berkelebat
cepat untuk mendatangi rumah panggung di kelokan jalan itu.
Akan tetapi lagi-lagi ia hentikan langkahnya. Karena
didengarnya ada suara-suara perlahan terdengar dari
balik dinding. Segera ia pasang telinga. Bahkan, sudah dapat melihat keadaan di
dalam kamar tempat tidur
pamannya. Suara seorang wanita..! Ibukah.." Sepasang


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

matanya sudah terbentur dengan dua sosok tubuh
yang tengah bicara perlahan. Benarlah..! Kedua ibu
dan pamannya. Namun keadaannya bukanlah seperti
dua orang saudara kandung. Atau dua orang kakak
beradik. Karena kedua tubuh mereka saling berhimpi-
tan. Kalau saja dalam keadaan siang hari, tentu akan
terlihat wajah si gadis ini berubah menjadi merah.
Tidak salahkah penglihatannya..." Tapi kenya-
taannya itu memang sudah terpampang di depan ma-
tanya. Segera sudah ia tutup kelopak matanya. Dan
ada terdengar lagi suara lirih ibunya... "Warakas..."
Kau dapat apa yang kau inginkan... sebagai balas jasa atas pertolonganmu padaku.
Sebenarnya aku amat
bersedih, karena walau bagaimana Laras Jingga tetap-
lah anakku..!" Terkejutlah gadis yang sedang mendengarkan memasang telinga itu.
Jantungnya berdetak ke-
ras. Dan ia sudah mendengarkan lagi dengan menahan
nafas. "Ha ha ha... kau memang bekas seorang permaisuri yang tahu membalas budi
Bukan dirimu saja
yang kau berikan padaku. Tapi bahkan anak gadismu
sendiri juga kau korbankan demi balas jasa...! Aku benar-benar mengagumimu, Dewi
Melur." Berkata Warakas. laki-laki bekas prajurit itu Yang kini telah mengin-jak
usia sekitar 40 tahun. Tubuhnya tegap dengan da-
da berbulu. Ia memang seorang laki-laki yang gagah,
berkumis tebal, rambutnya sudah terdapat dua warna,
putih dan hitam. Dewi Melur yang berusia sekitar 35
tahun itu memang masih sangat cantik. Sepasang len-
gan Warakas membelai rambut dan wajah Dewi Melur.
Wanita ini tampak pejamkan matanya. Tiba-tiba ia su-
dah berkata lagi seraya menghela napas.
"Semua itu adalah karena perjanjian yang telah
aku ikrarkan delapan belas tahun yang lalu. Demi
nyawaku. Dan demi anak dalam kandungan ku. Walau
kau adalah bekas hamba sahayaku, seorang prajurit
yang seharusnya menghormatiku sebagai seorang
permaisuri Raja. Akan tetapi aku memang harus men-
gakui kelicikanmu, Warakas..! Dan kau memang telah
membuatku jatuh, walau syarat yang kau berikan itu
amat berat. Kini semuanya telah kau dapatkan. Bu-
kankah kau telah puas..?" Tiba-tiba Warakas memeluk kencang seraya bisikkan di
telinga Dewi Melur "Yah aku telah puas...! Akan tetapi aku sulit menjatuhkan
Laras Jingga. Ia seorang gadis berhati keras..! Kejatu-hannya yang pertama itu
tanpa disadari olehnya. Tapi
ia mulai menjauhi diriku..! Walau tak berani menu-
duhku..! Aku memang telah berjanji membuka rahasia
siapa dirinya sebenarnya. Aku telah katakan padanya
bahwa ia seorang puteri raja yang berhak atas Kera-
jaan Bungo Mambang. Bukankah kau pun mengingin-
kan ia menjadi pengganti baginda Raja Bantar Alam,
dan melenyapkan musuh-musuhmu..?" Berkata Wara-
kas seraya hentikan gerakannya. Dewi Melur sempai
kerutkan keningnya Akan tetapi sepasang lengannya
sudah mencengkram punggung laki-laki itu, seraya
desiskan suara dari bibirnya..
"Ah... sudahlah. jangan bicara lagi kepadaku,
aku pusing. Aku baru saja kembali.." Bisik Dewi Melur lirih. Dan ucapnya lagi.
"Aku rindukan kau Warakas..."
Selanjutnya suara wanita itu sudah lenyap. Karena ia
sudah memagut leher Warakas untuk membenamkan-
nya ke dadanya. Sementara ia sudah perdengarkan ke-
luhan mendesis. Matanya setengah terpejam...
Laras Jingga sudah berlari meninggalkan ru-
mah panggung itu. Hatinya terasa remuk redam meli-
hat apa yang didengar dan dilihatnya... Dunia ini sera-sa gelap. Ia berlari dan
berlari... tanpa arah tujuan, menyibak kelamnya malam. Tubuhnya berkelebat cepat
sekali, hingga yang tampak hanya bayang-bayang
hitam menembus di kegelapan.
Entah beberapa saat ia berlari-lari... hingga ke-
tika rasakan kakinya lelah, barulah ia berhenti. Se-
mentara air matanya tak hentinya bersimbah mengalir
di pipinya. Tempat itu adalah sebuah tebing batu. na-
mun di sebelah baratnya terdapat sebuah bangunan
gedung tidak seberapa besar. Namun tampak gelap gu-
lita. Segera ia berkelebat kesana.
Setelah diperhatikan ternyata adalah sebuah
kuil yang kosong tak berpenghuni. Mendapat tempat
untuk beristirahat, Laras Jingga merasa kebetulan.
Dan ia sudah duduk menggabruk di sudut lantai. Lan-
git-langit bagian depan kuil itu terbuat dari tembok
tebal. Dengan empat buah tiang beton menyangganya.
Dengan menyandarkan tubuhnya di tiang beton, Laras
Jingga termenung memikirkan nasibnya. Seolah ter-
dengar lagi kata-kata pamannya. Kata-kata yang
membuat darahnya jadi bergolak, dan luapkan kema-
rahan yang tak terhingga.
Kini terbuka sudah bahwa Warakas bukanlah
pamannya, melainkan bekas seorang prajurit. Entah
pertolongan apa pada ibunya hingga sampai Warakas
menuntut janji. Dan sang ibu rela memberikan kehor-
matannya pada Warakas. Bukan itu saja, bahkan rela
berikan kehormatan anak gadisnya pada si prajurit
bernama Warakas itu.
Pelupuk mata gadis kembali menjadi basah...
Diantara kelopak matanya masih terbayang jelas keti-
ka sang paman menggaulinya. Saat yang menge-
naskan, dan di malam yang buruk itu, Laras Jingga
seperti biasa meneguk minuman dalam air kendi di
atas meja di dalam kamarnya. Air itu memang tidak
bening seperti biasanya. Akan tetapi ia tidak bercuriga.
Dan karena rasa dahaganya, ia sudah meminumnya
sampai segelas habis. Dan selanjutnya ia sudah re-
bahkan diri di pembaringan. Begitu cepatnya, ia terlelap... hingga sudah tak
tahu apa-apa lagi. Cuma dian-
tara sadar dan tiada, Laras Jingga rasakan benda be-
rat menindih tubuhnya. Selanjutnya ia cuma rasakan
seperti dalam mimpi. Beberapa saat berlalu, ketika ia sadarkan diri ia rasakan
kelainan pada tubuhnya. Sadarlah Laras Jingga akan apa yang terjadi. Dari balik
pintu kamar ia mengintip ke dalam ruangan depan.
Terlihat sang paman masih enak-enak duduk seperti
tak pernah terjadi apa-apa. Laras Jingga bantingkan
tubuhnya ke tempat tidur, dan terisak-isak menekap
wajahnya di bantal. Dan malam itu juga ia telah pergi dari rumah itu. Ia memang
tak dapat berbuat apa-apa.... Namun hatinya jadi membenci sang paman.
Dan diam-diam ia mengancam akan mengadukan hal
itu pada ibunya bila kembali. Kejadian itu berlangsung setengah tahun yang lalu.
Dan sejak saat itu ia jarang pulang ke rumah. Ternyata diam-diam Laras Jingga
telah mempelajari ilmu kedigjayaan dengan seseorang,
yang belakangan telah pula menjerumuskannya pula
ke dalam dekapan sang Guru.
Laras Jingga sudah tak tahu lagi akan dirinya.
Apa lagi sejak ia berusia sepuluh tahun, sang ibu me-
mang jarang berada di rumah. Selama itu memang ia
tak mengenal siapa ayahnya. Untuk kedua kalinya ter-
paksa Laras Jingga menerima kehadiran Warakas.
Dengan janji akan memberitahukan siapa dirinya se-
benarnya. Hingga ia melabrak ke Kerajaan Bungo
Mambang. Di sana ia menumpahkan kejengkelan ha-
tinya. Kini diketahuinya bahwa sang ibu bahkan me-
mang bersedia mengorbankan anak gadisnya, juga se-
mata-mata karena janji memberikan imbalan.
Benar-benar terkutuk...! Jerit hatinya. Betapa
ia telah dilahirkan secara hina... Dari seorang ayah
yang tidak syah menurut hukum. Selama ini yang ter-
pampang di depan mata tak lain dari lingkungan
orang-orang terkutuk. Warakas, ternyata manusia be-
jat Ibunya Dewi juga bukan wanita baik-baik, walau-
pun bekas seorang permaisuri Raja. Gurunya tak lebih
dari manusia durjana, yang memberi ilmu, namun
mengharapkan imbalan..! Gila..! Benar-benar gila..!
Memekik hati Laras Jingga. Dan tiba-tiba di malam
yang sunyi kelam itu ia telah menjerit sekeras-
kerasnya. Hingga bergetaran suaranya seperti mau
meruntuhkan tembok tebal kuil itu. Selanjutnya ia su-
dah kembali menangis terisak-isak menekap wajahnya.
Sepotong bulan yang masih mengambang di langit,
cuma terdiam, seperti juga turut merasakan kekalutan
hati dan hancurnya perasaan si wanita muda itu. Se-
mentara desir angin malam membuat tubuh agak
menggigil. Malampun terus melarut. Laras Jingga ma-
sih tetap duduk terpaku di teras depan kuil seperti ar-ca.
* * * Pertarungan di dasar lembah yang penuh den-
gan kera itu berlangsung seru... Dua sosok tubuh sa-
ma-sama berjenggot dan berkumis panjang, yang ter-
juntai memutih itu saling gebrak dengan hebatnya. Pu-
luhan ekor kera telah bergeletakan di sekelilingnya tak bernyawa. Sementara
sisa-sisanya melarikan diri masuk hutan. Pasir dan debu beterbangan. Batu-batu
di sekitarnya hancur luluh terkena terjangan dari mas-
ing-masing serangan. Tampaknya kekuatan mereka
hampir berimbang. Bentuk tubuh kedua manusia itu
memang agak mirip. Cuma bedanya yang seorang ke-
palanya gundul plontos. Dan seorang lagi berambut
panjang bagai wanita.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat di atas teb-
ing, dan berhenti untuk memandang ke bawah. Ter-
nyata dia seorang wanita muda. Dengan rambut pan-
jang terurai. Wajahnya amat cantik dan ayu rupawan.
Dengan pakaian dari sutera merah jambu. Bermata jeli
dengan alis mata yang melengkung bagai busur panah.
Siapa lagi gadis muda itu kalau bukan Roro Centil. Si Pendekar Wanita Pantai
Selatan. Dari atas tebing itu Roro perhatikan jalannya pertarungan. Segera ia
mengetahui siapa yang bertempur di bawah sana itu. "Bagus..! Jarang aku
menyaksikan pertarungan dua orang
tokoh Rimba Hijau kaum tua seperti ini..! Aku bisa
menontonnya dengan asyik!" Desis Roro seraya berkelebat turun. Gerakannya
lincah, bagai seekor burung
seriti. Yang berkelebat dari ujung-ujung batu tebing
yang menonjol, melompat-lompat seperti tidak merasa
gamang atau ngeri tergelincir. Tentu saja bagi Roro hal semacam itu bukanlah hal
yang aneh lagi. Karena sebagai seorang yang berkepandaian tinggi, jurang da-
lam, bukit dan gunung bukanlah merupakan rintan-
gan lagi baginya.
Sebentar saja ia telah mendapat tempat yang
cocok untuk menikmati pertarungan hebat yang jarang
ada itu. Si kakek berambut panjang berjubah putih
itu, Roro Centil telah mengenalnya. Yaitu si Dewa Si-
luman Kera. Sedang yang seorang lagi, yaitu si kakek
yang bertubuh kurus dan berkepala gundul plontos itu
memang Roro baru mengenalnya sebulan yang lalu.
Yaitu di saat ia singgah di sebuah danau. Dimana Roro melihat seorang kakek
kurus tengah mengail ikan. Ca-ra mengail yang aneh itu tentu saja telah menarik
perhatian Roro. Karena hanya mempergunakan sebuah
bambu kecil, tanpa tali. Tapi bila disentakkan akan
terbawa beberapa ekor ikan meluncur kepermukaan
air. Dengan sebat, ia sudah menangkapnya. Dari meli-
hat keanehan itu Roro sudah dapat pastikan bahwa
kakek aneh itu seorang yang berilmu tinggi. Diam-
diam ia menguntit si kakek aneh itu. Yang membawa
serenceng ikan segar, sambil berkelebat dengan cepat.
Ternyata sang kakek sudah waspada kalau di-
rinya dikuntit orang. Segera ia balikkan tubuh. Dan
tahu-tahu dua ekor ikan telah melesat menyambar Ro-
ro. Terkejut melihat kecepatan dua ekor ikan itu yang menyambar ke arahnya.
Namun dengan kecepatan kilat, ia telah menangkap kedua ekor ikan itu. Seraya
berucap. "Hi hi hi... Terima kasih atas pemberian dua
ekor ikan segar ini, kakek..! Aku memang sedang la-
par. Dan memang berniat meminta beberapa ekor ikan
ini, untuk dipanggang. Tentu akan terasa sedap, dan
dapat mengurangi rasa lapar ku..!" Akan tetapi jawabannya adalah sebuah serangan
hebat menghantam
Roro. Kali ini adalah satu angin pukulan yang berhawa panas menyambar ke arah
sang pendekar Wanita. Terkejut juga Roro, karena angin pukulan itu belum tiba,
hawa panasnya telah menyerang terlebih dulu. Akan
tetapi lagi-lagi Roro berhasil menghindar dengan letikkan tubuhnya. Dan angin
pukulan itu lewat di bawah
kakinya. Terdengarlah suara seperti ledakan...
DHERRRR...! Hantaman dahsyat itu tepat
menghantam pohon di belakangnya. Yang seketika
tumbang hangus. Baru saja ia jejakkan kakinya, telah
datang lagi serangan. Akan tetapi anehnya tidak di tujukan padanya. Melainkan
pada batang pohon yang
tumbang hangus itu. Terdengar suara mengguruh dan
batang pohon itu telah terbakar hangus. Timbulkan
api besar. Roro Centil jadi keheranan.
tapi ketika ia berpaling, si kakek aneh itu telah
lenyap berkelebat. Dalam keheranan itu lapat-lapat
terdengar suara di kejauhan...
"Bocah ayu... Silahkan kau panggang ikan mu.
Kalau kau sudah kenyang menikmati, silahkan datang
ke tempat ku di gubuk reyot, di kaki bukit sebelah barat..!" Tentu saja Roro
jadi melengak. Tapi tiba-tiba ia telah kirim kembali suaranya dengan jarak jauh
dengan mempergunakan tenaga dalamnya.
"Hi hi hi... Terima kasih sekali lagi kakek
aneh..! Aku pasti akan datang menyambangimu..!"
Disamping bergirang hati, namun diam-diam Roro ter-
kejut juga. Karena seandainya ia kena terhantam, da-
pat dibayangkan bagaimana rupa dan bentuk tubuh-
nya. Namun tak berayal lagi ia sudah bersihkan dua
ekor ikan mas yang cukup besar itu. Dan dengan se-
buah ranting, ia sudah mulai memanggang ikannya.
Tak berapa Roro sudah duduk menikmati santapan le-
zatnya. Hingga sampai meram-melek karena nikmat-
nya. Sayang ia belum punya mertua.. Berfikir Roro.
Seandainya sudah pun pasti tak akan ditawari. Karena
memang lezatnya amat luar biasa.
Selesai bersantap, Roro segera beranjak untuk
bangun. Terasa kenyang perutnya. Namun ketika te-
ringat akan janjinya untuk singgah ke tempat si kakek aneh itu, tanpa tunggu


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama-lama lagi Roro sudah cepat tinggalkan tempat itu. Demikianlah... Roro
Centil dapat berkenalan dengan si kakek aneh itu yang ternyata berjulukan si
Mayat Hidup. Ternyata di pondok
kecil itu menetap pula seorang wanita muda yang baru
saja melahirkan seorang jabang bayi. Dan baru berusia beberapa hari. Terkejut
Roro karena mengenali wanita
muda itu lak lain dari gadis yang pernah ditolongnya, yaitu Retno Wulan. Tentu
saja mereka menjadi sangat
akrab. Walaupun Retno Wulan memang sudah agak
lupa siapa penolongnya itu.
Kedatangan Roro seperti memang tengah diha-
rapkan. Karena ia dapat membantu merawat atau
menjaga sang bayi. Yang bagi gadis muda itu belumlah
pandai untuk mengurusnya. Maklum bayi yang perta-
ma kalinya. Dari Retno Wulan itulah Roro mendengar
kisah aneh yang dialami si wanita itu. Hingga mem-
buat Roro Centil tercenung. Kiranya kisahnya demi-
kian... Retno Wulan telah kehilangan seorang suami
bernama Gumarang, di saat kandungannya baru berja-
lan beberapa bulan. Dimana ketika siang hari ia seper-ti biasa duduk dimuka
pondoknya yang menghadap ke
arah danau Sang suami tengah mencari ikan dengan
berperahu di tengah danau itu. Tiba-tiba telah datang seorang wanita berbaju
putih tahu-tahu muncul dimuka pintu pondok. Retno Wulan terkejut sekali. Dan
menanyakan siapa adanya ia, serta apa keperluannya.
Akan tetapi si wanita itu tak menyahutinya. Bahkan
menatap tajam padanya. Lalu alihkan tatapannya ke
arah danau. Setelah perdengarkan tertawanya si wanita itu-
pun kembali lenyap. Retno Wulan benar-benar tak
mengerti siapa adanya wanita itu. Walaupun hatinya
merasa was-was, ia bersyukur karena si wanita aneh
itu tak mengganggunya. Ketika Gumarang ( suaminya )
pulang, Retno menceritakan serta menanyakan ten-
tang wanita itu. Ternyata Gumarang pun tak menge-
nalnya. Sampai jauh malam Retno Wulan tak dapat ti-
dur. Tapi akhirnya ia pulas juga tertidur sampai agak kesiangan. Akan tetapi
alangkah terkejutnya Retno
Wulan ketika mengetahui dirinya telah berada di se-
buah lembah yang curam. Sedang suaminya sama se-
kali tak kelihatan. Retno Wulan cuma bisa menangis,
karena setelah berusaha keluar dari lembah itu, tak
membawa hasil. Hingga tahu-tahu ia telah ditawan
oleh seorang yang mirip kera. Bahkan nyaris saja ia
jadi korban manusia kera itu kalau tak datang si ka-
kek yang bergelar si Mayat Hidup itu menolongnya.
Demikianlah hingga sampai melahirkan bayinya. Na-
mun sampai saat ini suaminya belum juga dapat dite-
mukan. Walaupun si kakek Mayat Hidup sudah beru-
saha mencarinya. Gumarang lenyap tak berbekas. Dan
anggapan Retno Wulan, suaminya sudah tak ada lagi
di dunia ini...
Terenyuh juga hati Roro mendengarnya. Tapi
diam-diam Roro berfikir lain tentang wanita si penculik aneh itu. Karena bisa
saja yang melakukan adalah salah seorang dari musuh besarnya yang tengah dica-
rinya. Karena wanita penculik itu berkepandaian ting-
gi... Demikianlah, sampai satu bulan Roro menetap di
pondok kecil itu, sambil membantu Retno Wulan men-
gurus bayinya. Dan ia berjanji pada Retno Wulan kelak akan membantu mencari
suaminya bernama Gumarang, yang telah lenyap secara misterius itu. Ternyata si
kakek berjuluk si Mayat Hidup itu telah pula berbaik hati mewariskan tiga jurus
ilmu pada Roro. Ternyata
mendengar Roro Centil adalah pernah menjadi murid
Ki Bayu Sela alias si Pendekar Bayangan, orang tua itu amat simpati padanya.
Karena almarhum si Pendekar
Bayangan pernah menjadi sahabatnya ketika semasa
hidupnya puluhan tahun yang silam ketika si Mayat
Hidup masih mengembara di tanah Jawa alias Pulau
Kelapa. Entah mengapa hari itu si Mayat Hidup berpe-
san agar turut menjaga Retno Wulan. Atau setidak-
tidaknya mencarikan tempat yang aman baginya. Si-
kapnya agak aneh. Membuat Roro jadi kepingin tahu.
Ternyata benarlah... ada suatu rahasia yang disembu-
nyikan si kakek itu. Yaitu perjanjian dengan si Dewa
Siluman Kera, untuk bertarung sampai seribu jurus di
lembah yang penuh dengan kera itu. Diam-diam Roro
menguntit. Agaknya si Mayat Hidup tak ingin urusan-
nya dicampuri Roro. Namun Roro Centil mana bisa
berdiam diri. Sifat ingin tahunya membuat ia berhasil mengetahui tempat
pertarungan itu. Walaupun kedatangannya agak terlambat. Karena pertarungan kedua
kakek sakti itu telah berlangsung ratusan jurus. Di
tempat persembunyiannya Roro menyaksikan kedua
tokoh tua Rimba Persilatan itu saling baku hantam.
Satu pukulan telak rupanya tak dapat dihin-
darkan oleh si Dewa Siluman Kera. Ketika di saat si
Dewa Siluman Kera menghantam tempat kosong, hing-
ga batu-batu berhamburan, Pada saat si Mayat Hidup
menerjang dengan dua hantaman sekaligus. Tampak si
Dewa Siluman Kera bergulingan menghindar. Akan te-
tapi ia kecele, karena dua hantaman pukulan itu ada-
lah gerak tipu saja. Dan si Mayat Hidup sudah mendu-
ga Dewa Siluman Kera akan bergerak ke samping. Se-
gera saja jurus Halilintar menyambar Bukit ia pergu-
nakan menghantam tubuh si Dewa Siluman Kera. Aki-
batnya pukulan telak itu tak dapat dihindarkan lagi.
Namun Tubuh si Dewa Siluman Kera memang kuat
bagai dilindungi selapis perisai baja. Hantaman itu
hanya membuat tubuhnya terlempar bergulingan dua
puluh tombak. Akan tetapi telah kembali berdiri den-
gan sebat. Gerakannya bagai seekor kera yang berge-
rak lincah. Tampak si Mayat Hidup melengak. Ia sudah
mengharapkan akan cepat menyudahi pertarungan itu
tak berapa lama lagi.
Karena sekujur tubuhnya telah lelah, dan men-
gucurkan keringat Akan tetapi anehnya si Dewa Silu-
man Kera bahkan semakin lama semakin kuat. Kini
dengan sepasang mata beringas menatap tajam pada
sang lawan, Dewa Siluman Kera perdengarkan suara
menggeram bagai gorila. Sepasang lengannya tiba-tiba
bergerak memutar. Bibirnya berkemak-kemik bagai
membaca mantera. Roro sendiri tertegun melihatnya.
Diam-diam ia sudah membatin... Ilmu apakah geran-
gan yang akan dilakukannya.." Berfikir Roro Centil.
Dilihatnya si Mayat Hidup cuma mengawasi dengan
sepasang matanya yang cekung. Tiba-tiba terdengar
bentakan dahsyat, seperti mau membelah bukit layak-
nya. Segelombang asap hitam bergulung-gulung me-
nyebar disekeliling tubuh si Dewa Siluman Kera yang
tahu-tahu gelombang asap hitam itu meluncur ke arah
si Mayat Hidup yang jadi seperti terpaku di tempatnya.
Sebentar saja lenyap sudah tubuh si Mayat Hidup se-
perti dibungkus gelombang asap hitam itu. Terdengar
si Dewa Siluman Kera berteriak santar...
"HUJAN...! TAUFAN...! PETIR...!" Disertai teriakan-teriakan itu, tubuh si Dewa
Siluman Kera tiba-tiba sudah amblaskan kakinya sampai sebatas betis. Inilah
tenaga dalam yang paling hebat yang tengah ia kum-
pulkan. Sepasang lengannya bergerak bergetaran. Ki-
ranya tenaga dalam itu bercampur dengan saluran il-
mu batin yang sudah mencapai tingkat tinggi. Yang te-
lah disalurkan melalui asap hitam dan lengan serta
suara bentakannya, untuk mempengaruhi si Mayat
Hidup. Hebat akibatnya. Tampak si Mayat Hidup se-
perti terperangah, tubuhnya seperti sudah tak berte-
naga lagi. Roro Centil tiba-tiba telah melompat bangun dan keluar dari tempat
persembunyiannya. Tampak ia
katupkan sepasang matanya agak merapat, setengah
terbuka. Roro tengah menyalurkan segenap ilmu ba-
tinnya untuk menolak kekuatan batin si Dewa Siluman
Kera. Sekejap saja tubuhnya telah berubah kepulkan
uap putih. Hingga sampai ke ubun-ubun rambutnya.
Sepasang kakinya pun telah amblas ke dalam bumi.
Sementara sepasang lengannya disilangkan ke depan
dada. Dan tampak bergetaran dengan hebat. Tiba-tiba
terdengar suara teriakan Roro Centil melengking tinggi.
Dan disusul dengan hentakan hebat yang berkuman-
dang ke sekeliling lembah.
"HUJAN LENYAP...! PETIR LENYAP...!
TAUFAN...!" Hebat sekali kekuatan batin Roro Centil yang disalurkan melalui
getaran suara itu. Seketika
angin taufan yang menghembus. Hujan yang deras dan
petir yang menyambar-nyambar tubuh si Mayat Hidup
itu lenyap. Tampaknya si Mayat Hidup telah tertolong.
Dan ia sudah menyadari akan keadaan dirinya yang
dalam keadaan berbahaya. Tiba-tiba ia sudah mem-
bentak keras, seraya menghantam buyar asap hitam
yang mengelilingi tubuhnya. Terkejut bukan main si
Dewa Siluman Kera. Akan tetapi segenap tenaga dalam
telah ia salurkan pada kedua lengannya. Sebelum si
Mayat Hidup menyadari, ia sudah lakukan hantaman
hebat, disertai lompatan tubuhnya ke arah sang lawan.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan
merah jambu. Yang telah memapaki hantaman tenaga
pukulan si Dewa Siluman Kera. Terdengarlah suara...
BHLARRRRR.....! Asap tebal berwarna putih
dan hitam tampak membumbung ke udara. Terdengar
dua teriakan yang hampir bersamaan. Dan dua sosok
tubuh terlempar belasan tombak. Dewa Siluman Kera
terpental ke belakang dengan deras. Akibatnya fatal...
Karena tepat di belakangnya adalah dinding tebing ba-
tu. Hingga tak ampun lagi terdengar suara...
PRAKKK...! Dan terlihat darah merah dan putih kental,
memuncrat seketika. Dibarengi dengan ambruknya tu-
buh si Dewa Siluman Kera ke bawah. Yang tanpa ber-
kelojotan lagi tubuh si manusia kera itu sudah meng-
geloso bagai sehelai kain, tak berkutik. Ternyata batok kepalanya telah pecah
berantakan... Sedangkan Roro
Centil terlempar beberapa tombak lalu jatuh bergulin-
gan. Tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu ma-
sih bisa bergerak untuk bangkit, tapi detik berikutnya kembali roboh terkapar.
Adapun si Mayat Hidup terkejut bukan main. Ia
sudah segera memburu ke arah tubuh Roro. Sekilas
saja ia telah dapat mengetahui bahwa yang telah me-
nolong jiwanya adalah si gadis pendekar itu. Karena ia telah melihat bayangan
merah jambu berkelebat menahan serangan dahsyat yang tak terduga, dan terlalu
sulit untuk ia dapat menghindar.
"Bocah ayu...!?" Ia sudah bergerak melompat untuk memburunya. Akan tetapi ia
sendiri sudah terjungkal, karena sekonyong-konyong baru terasa tu-
buhnya menjadi terhuyung limbung. Cepat-cepat si
Mayat Hidup bangkit kembali dan duduk
bersila. Sebentar kemudian ia telah kembali
normal. Agaknya pengaruh ilmu batin yang dilontar-
kan si Dewa Siluman Kera telah termakan pada seku-
jur tubuhnya. Beruntung ia mendengar bentakan-
bentakan menggeledek, yang membuat serangan hebat
itu seketika punah. Terbersit seketika di hatinya bah-wa yang menolong dirinya
dari pengaruh serangan il-
mu batin si Dewa Siluman Kera itu juga si bocah wani-
ta di hadapannya. Kali ini si Mayat Hidup sudah putih kembali tubuhnya Dan
sekejap ia telah berada di hadapan Roro Centil. Tak ayal sang kakek tua ini
segera memeriksa pernafasannya. Tampak ia menghela napas. Wajah pucat si kakek
ini kembali agak cerah.
"Dia cuma pingsan..! Akan tetapi bisa memba-
hayakan jiwanya. Aku harus cepat menolongnya sebe-
lum terlambat..!" Desis si Mayat Hidup. Dan sudah
pondong tubuh Roro Centil pada pundaknya. Sepasang
matanya masih sempat melihat ke tubuh si Dewa Si-
luman Kera. Bergidik tubuh si Mayat Hidup, melihat
batok kepala Tokoh Hitam itu yang sudah hancur tak
berbentuk lagi. Sedang di sekelilingnya tampak berge-
limpangan bangkai-bangkai kera yang sudah tak terhi-
tung banyaknya. Binatang-binatang itu adalah korban
terjangan si Mayat Hidup. Karena si Dewa Siluman Ke-
ra mempergunakan binatang-binatang itu sebagai la-
sykarnya. Sesaat antaranya si kakek Mayat Hidup itu su-
dah berkelebat tinggalkan lembah yang telah memba-
wa kisah tragedi kematian si Dewa Siluman Kera, guru
si Siluman Kera Putih. Beberapa kedip berikutnya so-
sok tubuh sang kakek yang memanggul tubuh Roro,
sudah lenyap tak kelihatan lagi Lembah itu kembali
mencekam... Sementara burung-burung pemakan
bangkai berputar-putar di udara membaui bau amis-
nya darah yang memang sangat menusuk hidung....
* * * Roro tergolek di balai-balai bambu di pondok si
Mayat Hidup. Kakek tua itu menggeleng-gelengkan ke-
palanya seraya menggumam.....
"Hebat..! Bocah aneh...!" Dalam usia begini
muda, tetapi telah mempunyai kekuatan tenaga dalam
berlipat ganda. Benar-benar luar biasa...!" Laki-laki tua ini menatap wajah
gadis dihadapannya, yang tampak
mulai mempunyai kekuatan tenaga
yang tampak mulai mengeluarkan butiran-
butiran keringat. Tersenyum si Mayat Hidup. Tadi ia
sudah salurkan tenaga dalam berhawa hangat untuk
membantu memulihkan pernafasan. Tampak nafas Ro-
ro mulai turun naik dengan teratur. Ia sudah suruh
Retno Wulan memasak akar Ginseng. Dan ramuan ob-
at itu sudah disiapkan dalam mangkuk. Sesaat anta-
ranya Roro Centil sudah mengeluh, dan perlahan-
lahan buka kelopak matanya
"Kakek.. kau selamat...!?" Berkata Roro dengan suara lirih. Dan bibirnya
tersungging senyuman, melihat laki-laki tua itu berada dihadapannya. Mayat Hi-
dup mengangguk dengan tak terasa setitik air mata
menggenang di pelupuk matanya. Siapa yang tidak
trenyuh hatinya. Karena gadis dihadapannya itu bu-
kan memikirkan keadaan dirinya, akan tetapi bahkan
masih juga mengkhawatirkan nasib orang lain lagi.
Suara tangis bayi Retno Wulan membuat ia tertawa


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil, Ia berusaha untuk bangun... Akan tetapi ia mengeluh, dan rebahkan lagi
tubuhnya. "Jangan banyak bergerak dulu, bocah ayu....!
Tubuhmu masih lemah. Kau perlu beristirahat lebih
banyak. Sebentar lagi perutmu harus segera diisi den-
gan bubur hangat. Kini minumlah ini dulu..." Ujar si Mayat Hidup, seraya meraih
mangkuk berisi ramuan
akar gingseng. Dan memberikan pada Roro. Sebelah
tangan si kakek itu bergerak membantu mengangkat
punggung Roro. Dan tanpa ayal atau sungkan-
sungkan segera Roro meneguk ramuan akar itu. bau
harum obat itu terasa menyegarkan. Hingga sampai
habis Roro menghirupnya. Selesai minum, perlahan-
lahan Roro kembali rebahkan tubuhnya dibantu oleh
si Mayat Hidup.
Selang tak lama antaranya Retno Wulan masuk
membawa semangkuk bubur hangat. Tampaknya Roro
sudah mulai kuat untuk berbangkit. Dan dibantu Ret-
no Wulan, Roro hanya mandah saja ketika wanita itu
menyuapinya. Bahkan meniupi bubur hangat itu lebih
dulu sebelum disuapkan ke dalam mulutnya. Diam-
diam Roro Centil jadi merasa geli sendiri. Persis seperti anak bayi saja aku
ini..! Berkata Roro dalam hati. Semangkuk bubur hangat telah masuk perut Roro.
Retno Wulan menemaninya duduk sambil membawa bayi
mungilnya. Sementara si kakek Mayat Hidup telah
ngeloyor ke belakang dengan senyum girang terlukis di wajahnya. Agaknya Roro
Centil sudah mulai merasa
pulih lagi kesehatannya. Tubuhnya telah terasa kege-
rahan. Ia pun sudah segera bangkit duduk. Bahkan
berdiri. Lalu gerak-gerakkan tubuhnya, hingga terden-
gar tulang-tulangnya berbunyi klatak-klutuk. Selang
sesaat Roro sudah berjingkrak kegirangan. Ia benar-
benar telah merasa sehat sama sekali. "Eh, adik Retno..! Mari aku yang gendong
bayimu, hi hi hi... lu-
cunya..!" Berkata Roro seraya mau meraih si bayi dari lengan ibunya. Akan tetapi
si bayi sedang menyusu Ketika bibir mungilnya terasa copot dari pentil susu sang
ibu, sudah lantas menangis. Akan tetapi cepat-cepat
Roro menghiburnya.
"Aiiiih, adik manis... diamlah sayang..
Aduuuh, kasihan sekali..! Nang ning nang ning ning
guuuung...! Lekas besar lekas jangkung! Sudah besar
jangan murung. Biar jadi orang beruntung..! Hi hi hi..."
Dinyanyikan sedemikian rupa, agaknya si bayi seperti
mengerti lalu terdiam. Dan selanjutnya sudah tertawa
lucu digoda Roro. Sementara Retno Wulan turut ter-
senyum. Tapi tak terasa sudah linangkan air mata. Ka-
rena sekonyong-konyong ia teringat pada sang suami.
Ah..! seandainya ada Gumarang! betapa akan terasa
bahagianya..! Bisik wanita muda ini dalam hati. Na-
mun cepat-cepat ia sembunyikan kesedihannya. Den-
gan buru-buru seka air matanya. Namun tak urung
Roro sempat melihat
"Kau menangis... adik Retno.. ?" Bertanya Roro dengan kerutkan alisnya.
"Ah..! Tidak kakak Roro..! Aku hanya girang
dan terharu sekali, kau telah kembali sembuh. Tadinya aku amat khawatir akan
keadaanmu. Tahukah kau berapa saat kau tak sadarkan diri...?" Tukas Retno Wulan
seraya perlihatkan wajah gembira.
"Berapa lama aku tak sadar diri..?" Tanya Roro kepingin tahu. Retno Wulan
tersenyum, lalu menjawab; "Hampir satu hari satu malam..!" Roro Centil terkejut.
Sampai-sampai ia jadi ternganga keheranan.
Selama itukah.."Pikirnya. Dan ia dapat membayang-
kan tentu selama itu akan membuat orang menjadi re-
pot mengurusnya. Roro jadi geleng-geleng kepala tapi
diam-diam amat bersyukur sekali dirinya telah sehat
kembali.... Demikianlah... tinggal selama beberapa hari di
tempat terpencil itu, Roro benar-benar merasa keseha-
tannya telah pulih benar-benar. Dari si kakek Mayat
Hidup, Roro dapat mengetahui bahwa si Dewa Siluman
Kera telah tewas, akibat benturan tenaga dalam den-
gannya. Tapi seandainya di belakang si Dewa Siluman
Kera bukan dinding batu tebal, belum dapat dipasti-
kan kematian tokoh hitam yang hebat itu. Agaknya
memang sudah ajal dan hari naas si manusia kera itu
untuk tewas dengan kepala pecah, karena terhantam
batu. Roro cuma menghela nafas panjang... Entah
mengapa ia terlalu berani bertindak demi menyela-
matkan si Mayat Hidup. Padahal belum tentu ia mam-
pu menahan serangan dahsyat itu, mengukur akan
tingkat ilmu tenaga dalamnya yang ia tak tahu mengu-
kur kekuatan lawan. Waktu itu Roro memang bertin-
dak tanpa mau tahu resikonya. Akan tetapi ia sendiri
keheranan, karena toh akhirnya sang lawan si Mayat
Hidup bisa tewas. Barulah ia sadar, bahwa kematian
dan kehidupan manusia adalah di tangan Tuhan. Se-
tinggi-tingginya ilmu manusia, tidaklah ia dapat melawan takdir. Dan tiada
seorangpun yang mampu mela-
wan ajal, bila Tuhan telah menghendaki kematian-
nya... * * * PAGI ITU CUACA CERAH.... Mentari pagi men-
gorak senyum. Butir-butir embun menghias dedaunan,
penaka butiran intan yang berkilauan terkena cahaya
sinar sang Surya. Burung-burung terdengar berkicau
menyambut hadirnya si Raja Siang.
Kala itu Roro Centil sudah lakukan lagi perja-
lanannya. Rasa penasarannya untuk mencari tahu di-
mana adanya si Peri Gunung Dempo dan si Kupu-
Kupu Emas, tetap menggebu di dadanya. Disamping
itu ia perlu mencari dimana adanya Gumarang. Si laki-
laki yang pernah ditolongnya itu. Laki-laki gagah dan tampan yang diharapkan
kehadirannya oleh Retno Wulan.
Setengah hari sudah Roro lakukan perjalanan.
Dua desa telah ia singgahi, namun tak ada tanda-
tanda kedua orang musuh besarnya di tempat itu. Ak-
hirnya Roro memutuskan untuk mengunjungi Kota Ra-
ja, ia punya dugaan, bahwa bagi orang persilatan yang senang hidup bermewah-
mewahan, tentu akan memi-lih tempat yang banyak keramaian. Karena bermacam
hiburan terdapat disana.
Segera ia sudah berkelebat meninggalkan desa
terakhir yang disinggahinya. Akan tetapi baru bebera-
pa kali ia berkelebat, telinganya mendengar suara te-
riakan-teriakan santar dari ujung perkampungan.
Roro kerutkan alisnya, dan secepat itu juga su-
dah memburu ke arah suara itu.
Terkejut Roro Centil melihat seorang gadis ber-
baju hitam tengah dikurung oleh belasan orang ber-
senjata pedang dan golok. Rata-rata para pengurung-
nya adalah laki-laki berambut gondrong. Tampaknya
wanita itu tak bersenjata sama sekali. Akan tetapi sudah terlihat dua orang
tergeletak tak bernyawa ber-
simbah darah, tak jauh dari kaki si gadis muda itu.
Roro menyelinap ke balik pohon dengan cepat. Kini terlihat wajah gadis itu. Ia
seorang gadis yang masih mu-da. Berumur antara 18 tahun. Wajahnya cukup cantik,
tanpa pemoles muka. Dengan sebuah tahi lalat di ba-
wah hidungnya. Ternyata gadis itu adalah Laras Jing-
ga. Entah mengapa sampai terjadi hal demikian ini.
Baiklah kita tengok kisah di belakangnya...
Kiranya sewaktu Laras Jingga semalam-
malaman duduk terpaku di depan kuil tak berpenghu-
ni itu, sepasang mata telah memperhatikannya. Seso-
sok tubuh yang memperhatikan itu sudah lantas ber-
kelebat lenyap. Namun kembali lagi dengan membawa
serta dua orang pemuda. Tampaknya kedua pemuda
itu laki-laki ceriwis dan berhidung belang. Melihat wanita cantik duduk
sendirian, tentu saja jadi berniat
mengganggu. Adapun infonya ia dapatkan dari seorang
anak buahnya. Setelah memberitahu, si pembawa info
sudah cepat-cepat angkat kaki. Tentu saja ia telah menerima persen yang lumayan.
Kala itu hari malam memang semakin melarut.
Tapi cuaca tidak begitu gelap. Kedua pemuda itu su-
dah segera melompat ke hadapan si gadis. Salah seo-
rang sudah menyapa dengan wajah berseri dan se-
nyum menghias bibir.
"Selamat malam, nona..! Aih... kasihan sekali.
Mengapa nona bermalam di tempat seram begini.. "
Kami adalah dua bersaudara Linggah dan Linggih. Se-
nang sekali kalau kami dapat mengajak nona berma-
lam di tempat penginapan kami. Jangan khawatir, ka-
mi adalah orang-orang terhormat. Tentu nona akan
mendapat perlindungan dari kami. Tampak Laras
Jingga palingkan wajahnya. Segera ia sudah dapat me-
lihat wajah kedua pemuda dihadapannya. Walaupun
dalam kesamaran cahaya bulan. Tak dinyana si pemu-
da itu mendapat sambutan. Gadis cantik itu bangkit
berdiri seraya berkata;
"Terima kasih... Kalau anda berdua menawar-
kan jasa baik, mengapa harus kutolak?" Terhenyak seketika kedua pemuda Lingga
dan Linggih. Benar-benar
mereka bernasib mujur malam itu. Karena dapat me-
mancing seorang gadis muda yang cantik, untuk pe-
muas nafsunya. Tentu saja Lingga yang tadi menyapa
jadi girang sekali.
"Bagus..! Siapa yang mau menolak ajakan dua
orang pangeran muda, yang punya kedudukan ter-
hormat.." Ha ha ha... Mari..! Mari nona. Kita segera berangkat..!" Berkata
Lingga seraya saja sudah merang-kul pinggang Laras Jingga, yang tak menolaknya
keti- ka pemuda itu membimbingnya untuk meninggalkan
tempat itu. Dalam beberapa saat saja se
telah memasuki desa Segera terlihat sebuah
penginapan yang masih buka. Tempat itu memang ti-
dak jauh dan pusat kota. Dan merupakan jalan hidup
yang paling ramai. Apa lagi malam itu adalah malam
panjang. Banyak para laki-laki iseng yang berkantong
tebal, mencari hiburan. Kedua orang pemuda itu ada-
lah dua orang anak pembesar Kerajaan. Yang sudah
terkenal sebagai orang-orang yang disegani. Karena be-
rurusan dengan mereka, berarti sama dengan mencari
penyakit. Ketika kedua tuan muda ini kembali memasuki
penginapan, dengan membawa serta seorang gadis
cantik, segera sebuah meja telah cepat dikosongkan.
Kiranya di malam yang sudah larut itu masih banyak
para pengunjung penginapan, yang juga membuka res-
toran sederhana di bagian depannya.
Bau arak dan minuman keras sudah segera
menyambar hidung. Meja kosong itu segera mereka isi.
Seorang pelayan sudah segera menghampiri.
"Berikan dua botol arak Dan... Nona pesan
apa...?" Tanya Lingga seraya memagut lengan Laras Jingga. Yang seperti orang
melamun. "Apapun bolehlah..." Sahutnya. Lingga dan
Linggih tertawa.
"Bagus! Tapi aku khawatir nona... eh, siapa"
Sedari tadi aku sampai lupa menanyakannya...!" Ujar Lingga. Sementara sepasang
mata pemuda ini, tak
hentinya menatap sang gadis dihadapannya.
"Panggil saja Laras..!" Sahut si gadis dengan suara datar. Seperti tiada
berperasaan apa-apa atas
segala sikap kedua pemuda itu.
"Baiklah... ngng... nona Laras, aku khawatir
nona tak menyukai arak. Biarlah ku pesan saja susu
hangat untukmu. Dan juga sediakan makanan kecil
buat kami..!" Ujar si pemuda seraya menatap pada sang pelayan. Tapi ia sudah
kedipkan mata pada laki-laki pelayan itu.
"Baik..! Baik tuan muda..! Tunggulah. Sebentar
kami antarkan..!" Menyahuti si pelayan. Seraya angguk-anggukkan kepalanya. Tentu
saja ia mengerti
akan isyarat Lingga Karena bukan hal aneh lagi ba-
ginya Kedua anak pembesar Kerajaan Sriwijaya itu su-
dah menuang araknya pada gelas masing-masing. Se-
lanjutnya sudah meneguknya. Tak berapa lama sang
pelayan sudah membawa segelas susu hangat dan
makanan kecil. Tanpa ragu-ragu Laras sudah meng-
hangatkan perutnya, menghirup air suguhan dan me-
makan hidangan kecil yang ada di atas meja.
Selang beberapa saat, tetamu satu persatu mu-
lai berkurang. Tapi ada yang menginap di tempat pen-
ginapan itu. Tampaknya Laras Jingga sudah mulai
mengantuk. Karena sudah beberapa kali menguap.
Tentu saja Lingga segera bimbing gadis itu ke kamar-
nya. Sementara Linggih tetap berada di kursinya. Linggih yang mengerti akan
isyarat kakaknya hanya perli-
hatkan senyum serta angggukan perlahan. Dan ia te-
ruskan menghirup araknya hingga sepasang matanya
tampak mulai merah.
Kira-kira sepenanak nasi.... tiba-tiba Laras
Jingga muncul dengan wajah pucat, dan rambut kusut
masai. Sepasang matanya setengah terpejam. Dengan
terhuyung ia menghampiri meja Linggih, pemuda itu
tersenyum, dan sudah bertanya;
"Aii... nona Laras..! Kau belum tidur" Mana ka-
kakku Lingga...!" Bertanya Linggih seraya menuang la-gi araknya pada dua gelas
kecil. "Ah..! Kakakmu itu sudah tidur pulas di ka-
marnya. Biarlah jangan diganggu. Aku belum lagi
mengantuk. Oh, dinginnya malam ini...'" Berkata Laras Jingga seraya membetulkan
baju di dadanya yang tersingkap. Sepasang mata Linggih telah melirik sekilas.
Dan perlihatkan sorot mata binal.
"Kau minumlah arak ini... untuk penghangat
tubuh..!" Berkata Linggih, seraya menyodorkan segelas arak yang baru
dituangkannya. Gadis cantik ini tanpa
segan-segan menyambutnya. Dan langsung memi-
numnya. Ternyata isi gelas kecil itu cuma sekali teguk sudah kosong. Terkejut
juga Linggih. Serta merta ia
sudah mengisinya lagi. Dan hal yang sama pun teru-
langi. Tampaknya Laras Jingga cukup kuat untuk mi-
num beberapa gelas. Hal itu membuat Linggih semakin


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

girang. Hingga beberapa gelas sudah si gadis meneguk
minuman yang ia suguhkan.
"Ha ha ha... Jangan khawatir, nona Laras..!
Uangku masih cukup banyak utuh membeli beberapa
botol arak! Agaknya nona Laras juga menyukai minu-
man keras ini..!" Segera si pemuda tepukkan tangan, memanggil pelayan. Dan pesan
lagi dua botol arak. Sedang kedua botol arak dihadapannya telah kosong tak
berisi sama sekali. Si pelayan mengangguk. Dan cepat
beranjak pergi. Tak berapa lama telah kembali mem-
bawa dua botol arak baru. Tak ayal lagi Linggih segera membuka tutupnya. Dan
langsung tuangkan isinya.
"Ha ha ha... silahkan nona Laras..!" Ujar Linggih. Laras Jingga dengan sepasang
mata semakin me-
redup, menyambar gelas arak yang sudah penuh berisi
itu. Dan langsung menghirupnya, serta menegaknya
sampai habis. Kini tampaknya gadis dihadapannya ini
mulai merasakan kepalanya berdenyutan. Gerakan
lengannya sudah agak gemetar. Dan celotehnya mulai
ngawur. Tapi ia sudah sodorkan lagi gelas kosongnya,
seraya berkata;
"Tambah lagi... hi hi hi... nikmat sekali..! Oh..!
Kau memang hebat Lingga..!" Pemuda bernama Linggih ini kerutkan alisnya, tapi
sudah segera menuangkan
lagi isi botol, yang segera memenuhi gelas kosong itu.
Tapi belum lagi Laras Jingga mengangkat gelasnya,
arak dalam gelas itu telah tumpah membasahi meja.
Tampaknya Laras sudah tak kuat untuk menahan tu-
buhnya yang telah terhuyung ke kiri dan kanan.
"Sudahlah, nona Laras.... Sebaiknya kau beris-
tirahat..!" Berkata Linggih, seraya bangkit dari kursinya. Dan meraih pinggang
Laras Jingga. Untuk se-
lanjutnya sudah dipapah menuju kamar di ruangan
dalam. Satu isyarat kepala membuat si pelayan yang
telah mengerti, segera beranjak ke dalam terlebih dulu untuk menyediakan kamar.
Tentu saja Linggih bergirang hati, karena ternyata masih ada kamar kosong
untuknya. Dan sesaat antaranya mereka sudah me-
masuki ruangan kamar, yang berhadapan agak jauh
dengan kamar tempat Lingga menginap. Memang ta-
dinya mereka menginap berdua dalam satu kamar
dengan kakaknya.
Laras Jingga biarkan Linggih menggerayangi
tubuhnya. Bahkan ketika ia rasakan bibirnya dipagut,
tidaklah Laras Jingga menolaknya.
Detik demi detik terus berlalu... Laras Jingga
cuma dapat mendengar degup jantung Linggih yang
semakin memburu. Terasa hembusan-hembusan angin
bagai mengguruh di telinganya. Sementara samar-
samar dari arah ruangan tamu, terdengar suara orang
mendengkur. Dengan nafasnya yang panjang pendek
mendesah-desah.
Satu persatu benda-benda yang menjadi peng-
halang telah mereka singkirkan. Laras Jingga bagaikan seekor kuda putih yang
jinak namun binal. Pandangan
matanya yang meredup seperti membakar birahi si
pemuda anak pembesar Kerajaan itu.
CRASS..! Kesepuluh jarinya telah membenam
ke dalam leher si pemuda bernama Linggih itu. Tam-
pak pemuda itu beliakkan sepasang matanya. Tubuh-
nya meronta menahan rasa sakit yang luar biasa. Se-
pasang kakinya menggelinjang seperti berusaha mena-
han sesuatu yang mau meronta keluar dari raganya.
Lidahnya sudah segera terjulur. Tidak berapa lama ge-
rakan kaki dan gelinjang tubuhnya mulai mengendur...
dan selanjutnya sudah semakin lemah. Sesaat kemu-
dian tubuh itupun terdiam tak bergeming untuk sela-
ma-lamanya. Laras Jingga lepaskan terkaman jari-jari
tangannya di leher Linggih. Segera memancur deras
darah merah bagaikan menggelegak tiada henti. Seke-
jap saja bantal dan tilam itu telah menjadi merah bersimbah darah. Bibir wanita
muda ini tampilkan se-
nyum dingin. Wajahnya tak berubah sedikit pun. Ke-
mudian dengan cepat ia sudah beringsut turun dari
pembaringan. Dan sambar kain selimut untuk mem-
bersihkan jari-jari lengannya. Sebat sekali ia telah ra-pihkan kembali
pakaiannya. Lalu berdiri dan bereskan
rambutnya. Kelambu sutera segera ia tutupkan menu-
tupi tubuh Linggih yang sudah menjadi mayat itu. Ke-
mudian setelah tatap sebentar tubuh laki-laki itu, ia segera beranjak
menghampiri jendela kamar. Dengan
gerakkan tangannya, jendela sudah segera terbuka.
Sekejap kemudian tubuh wanita muda itu telah berge-
rak melompat keluar, dan berkelebat lenyap dikere-
mangan malam yang semakin melarut...
* * * Menjelang pagi di penginapan itu telah terjadi
kegaduhan. Karena pelayan penginapan telah da-
patkan Lingga dan Linggih kedua anak pembesar Kera-
jaan itu, telah tewas menjadi mayat, dengan keadaan
mengerikan. Dengan leher berlubang serta tulang yang
remuk. Seperti dicengkeram jari-jari tangan. Berita segera menyebar ke setiap
Kampung Setan 8 Gento Guyon 19 Dewa Sinting Bencana Selaput Iblis 2
^