Pencarian

Si Cantik Berdarah Dingin 2

Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin Bagian 2


pelosok. Betapa gusarnya
sang pembesar kerajaan mengetahui kematian kedua
anak laki-lakinya. Segera menitahkan kepada pengaw-
al Kerajaan untuk menangkap gadis yang ciri-cirinya
telah diketahui. Beberapa maklumat tertulis dengan
huruf-huruf besar untuk menangkap hidup atau mati
wanita bernama Laras Jingga. Yang ciri-cirinya dida-
patnya dari si pelayan penginapan itu. Bahkan bebera-
pa orang yang menginap di penginapan itupun telah
mengenal siapa adanya wanita berbaju hitam itu. Ten-
tu saja ada imbalan besar bagi siapa yang dapat mem-
bawa hidup-hidup atau bangkainya sekalipun.
Demikianlah... Hingga tatkala Roro Centil meli-
hat seorang wanita tengah di kurung oleh belasan
orang bersenjata telanjang itu, Laras Jingga memang
sedang di incar nyawanya demi merebut hadiah bagi
siapa yang dapat menangkap hidup-hidup atau mem-
bawa bangkainya... untuk dipersembahkan pada sang
Pembesar Kerajaan Sriwijaya. Empat orang tampak
mulai menerjang maju. Golok dan pedang meluncur
deras dari beberapa jurusan. Akan tetapi gerakan si
wanita itu memang lincah. Dengan wajah kaku dan
sepasang mata seperti tak berkedip. ia mengegos kesa-
na-kemari. Dibarengi gerakan lengannya berkelebat.
Sekejap saja terdengar teriakan-teriakan ngeri... Dan keempat penyerangnya telah
roboh terjungkal dengan
leher-leher kena dicengkeram hancur. Dalam sesaat
saja keempat penyerangnya itu telah berkelojotan me-
regang nyawa. "Hebat..!" Mendesis Roro Centil dengan suara perlahan. Gerakan wanita berbaju
hitam itu membuat
ia terkejut, karena seperti ia telah mengenal gerakan dari jurus keji itu.
Karena itu adalah salah satu dari jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu pecahan dari
"Sepuluh Jurus Pukulan Kematian".
Ada hubungan apakah wanita muda ini dengan
si Dewa Tengkorak." Berkata Roro dalam hatinya.
Ia sudah menduga bahwa si wanita itu adalah
salah seorang dari musuh besarnya. Karena siapa lagi
yang diwarisi jurus-jurus keji itu kalau bukan gundik-gundiknya si Dewa
Tengkorak.."
Tapi Roro memang berfikir agak panjang. Kare-
na melihat gadis itu masih berusia sangat muda, Roro
jadi ragu. Sekiranya ia adalah salah satu dari gundik si Dewa Tengkorak, sudah
pasti usianya dua kali lipat
usia gadis dihadapannya ini. Mungkin pula gadis ini
murid salah satu gundiknya si Dewa Tengkorak. Tapi
belum dapat dipastikan kalau guru gadis itu adalah
pembunuh dan pengeroyok gurunya. Demikianlah...
Roro Centil belumlah bertindak untuk keluar dari tem-
pat persembunyiannya. Ia cuma perhatikan dari balik
pohon. Sementara itu, melihat lagi-lagi empat orang
kawan dan para pengeroyok itu roboh dan tewas seca-
ra mengerikan, yang lain-lainnya mulai merasa gentar.
Akan tetapi sebaliknya si gadis berbaju hitam itulah
yang menerjang mereka seraya keluarkan bentakan-
bentakan keras yang menggetarkan jantung... Hebat
akibatnya Karena ketujuh orang pengeroyokannya itu
jadi seperti terkesima. Dan belum lagi mereka sadar
akan apa yang terjadi, tahu-tahu tubuh si wanita itu
telah berkelebatan menerjang kesana-kemari. Dan tak
ampun lagi, terdengarlah teriakan-teriakan ngeri yang berkumandang di siang hari
itu. Batang-batang tubuh
mereka bertumbangan bagai batang-batang pohon
yang ditebang. Dan jatuh berkelojotan meregang nya-
wa. Darah memuncrat disana-sini. Di mana bayangan
hitam itu berkelebat, pasti akan terdengar pekik men-
gerikan. Hingga dalam beberapa saat saja, ketujuh
orang pengeroyoknya sudah bergelimpangan tak ber-
nyawa. Roro terpaku di tempatnya. Diam-diam hatinya
membatin... Ada permusuhan apakah si wanita muda
ini dengan para pengeroyoknya.." Aku dapat berpihak
pada siapa-siapa, karena belum mengetahui persoa-
lannya..! Demikian berfikir Roro Centil. Akan tetapi
pada saat itu menoleh ke belakang. Tampak debu
mengepul dari kejauhan. Semakin lama semakin de-
kat. Tiba-tiba sekali memutar tubuh, si gadis berbaju hitam itu sudah berkelebat
pergi ke arah sebelah ti-mur. Roro Centil melompat untuk mengejar. Tapi su-
dah terdengar bentakan, dan disusul oleh berhambu-
rannya anak-anak panah meluruk ke arahnya. Ter-
paksa Roro menggunakan kibasan rambutnya meng-
hantam jatuh puluhan anak-anak panah itu. Yang se-
gera berhamburan terpental, patah-patah.
"Kurang ajar..! Jangan harap kau dapat melari-
kan diri, perempuan siluman..!" Terdengar bentakan keras. Dan disusul oleh
berkelebatnya dua sosok tubuh menghadang di depan Roro.
Kedua orang itu berpakaian perwira Kerajaan.
Yang seorang bertubuh tinggi kekar, dengan kumis
tebal menutupi mulutnya. Seorang lagi berwajah ber-
sih, tanpa kumis dan jenggot. Usianya sekitar 40 ta-
hun. Salah seorang sudah mencabut senjatanya, yaitu
sebuah tombak pendek, dengan ujungnya seperti se-
buah golok tipis, yang pada bagian sisinya terdapat ti-ga lekukan berujung
runcing, mirip mata gergaji, se-
dang pada bagian sebelahnya lagi berbentuk meleng-
kung pipih. Itulah bagian yang tajamnya. Pada pang-
kalnya terdapat seuntai benang-benang merah. Itulah
senjata yang dinamakan Tombak Naga Dewa. Si pemi-
liknya bernama Lembu Sura, seorang panglima kera-
jaan Sriwijaya yang termasyhur. Laki-laki tanpa kumis dan jenggot, bertubuh
jangkung kurus itu sudah
membentak dengan suara dingin.
"He..! Bocah perempuan..! Pantas kau sudah
punya nyali macan. Rupanya ada berilmu juga kau!
Hmm... sebutkan siapa dirimu, sebelum kau kutang-
kap untuk mempertanggungjawabkan perbuatan do-
samu..!" Sementara si kumis tebal itupun sudah mengeluarkan senjatanya sebuah
kebutan, yang bergagang
runcing. Sedang kebutan itu sendiri panjang dan te-
balnya sangat mirip dengan ekor kuda. Orang inipun
bukan orang sembarangan. Karena ialah yang dijuluki
si Kebutan Dewa Maut. Namanya sendiri adalah Datuk
Raja Guru. Roro Centil agaknya ingin tahu juga akan
kedua orang perwira Kerajaan ini. Tentu saja ia tidak takut, karena tak merasa
bersalah. Ia sudah lantas
berkata; "Aku yang rendah bernama Roro Centil..!
Kaum rimba Hijau menyebutku Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan..! Ada urusan apakah gerangan kalian
orang-orang Kerajaan memusuhi ku..." Herannya aku
sendiri tak mengetahui apa kesalahanku..!" Tentu saja kedua orang dihadapannya
itu jadi melengak.
Sementara itu sepuluh orang prajurit berpanah,
telah mengurung Roro, dengan panah-panah siap dile-
paskan dari busurnya. Mereka membentuk lingkaran,
dengan masing-masing berada di atas punggung kuda.
Roro Centil cuma palingkan sedikit kepalanya ke kiri
dan kanan. Dan tampak ia perlihatkan senyum juma-
wa. Lembu Sura yang bersenjatakan tombak Naga De-
wa itu tampak kerutkan alisnya, seraya berujar...
"Roro Centil Pendekar Wanita Pantai Selatan.. "
Hm..." Tampak Lembu Sura manggut-manggut. Dan
teruskan kata-katanya. Juga perkenalkan siapa di-
rinya. "Aku Lembu Sura dan kawanku ini Datuk Raja Gur...!" "Kau dari tanah Jawa,
bukan.." Aku banyak
mengetahui nama-nama di pulau Kelapa itu. Tapi aku
jadi tetap curiga padamu, nona..! Jangan-jangan kau
bersekongkol dengan iblis perempuan yang kucari itu.
Memang dari tanda-tandanya, kau bukanlah wanita
buronan yang sedang dicari hidup atau mati itu. Akan
tetapi kecurigaan ku beralasan..!"
"Apakah alasannya.. "!" Tanya Roro memotong kalimat.
"Di tempat ini hanya ada kau seorang. Dan
bangkai-bangkai manusia ini sudah suatu bukti besar
untuk menuduh mu. Karena mereka ini adalah orang-
orang yang diutus oleh Panglima Kerajaan Sriwijaya,
itu Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Kalau bukan
kau pembunuhnya, bisa juga wanita buronan itu, yang
sengaja kau sembunyikan di belakangmu..!" Berkata Lembu Sura.
Roro Centil jadi melengak juga mendengar tu-
duhan itu. Tapi ia tetap bersabar untuk lakukan per-
tanyaan. Karena akal cerdik Roro segera berkembang.
Keadaan yang membahayakan dirinya itu, justru akan
diambilnya keuntungan hingga ia dapat mengetahui
persoalan sebenarnya.
"Hi hi hi... Alasan itu memang dapat diterima.
Mencurigai orang itu memang boleh. Akan tetapi jan-
gan menuduh dulu sebelum terbukti. Bolehkah aku
tahu, apakah kesalahan wanita buronan itu..?" Tanya Roro. "Hm... kabar sudah
santar terdengar. Masakan kau tak mengetahuinya " Wanita itu telah membunuh
dua orang pemuda bernama Lingga dan Linggih. Kedu-
anya adalah putera Panglima Agung Tunggal Sewu Se-
ta...!" Menyahuti Datuk Raja Gur alias si Kebutan De-wa Maut. Lembu Sura
manggut-manggut, seraya tatap
wajah Roro dengan tajam. Adapun Roro Centil agaknya
belum merasa puas dengan jawaban itu.
"Membunuh orang, tentu ada alasannya. Seper-
ti kalian juga yang mau menangkapku, tentu memakai
alasan atau dalih atas kesalahan dari orang yang akan kalian tangkap. Tentunya
tuan-tuan yang terhormat
dapat membeberkan dengan dalih apakah maka sam-
pai terjadi pembunuhan itu..!" Berkata Roro dengan tandas dan tegar. Tentu saja
wajah kedua orang perwira Kerajaan itu jadi merah. karena mana mungkin me-
reka menceritakan peristiwa di penginapan itu.
Yang tentunya akan menjatuhkan nama pan-
glima Agung Datuk Sewu Seta. Pada saat itulah ter-
dengar suara serak bagai tempayan rengat, diiringi
dengan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he... he he... Siapa yang tidak kepincut
melihat seekor kuda putih bertahi lalat di bawah hi-
dung, untuk menungganginya.. " Dua orang pemburu
yang gagah berani itu telah mengajaknya berlayar ke
pulau Nirwana. Kalaupun harus membayarnya dengan
nyawanya, rasanya juga tidak penasaran...'"
Tentu saja kedua perwira Kerajaan itu jadi ter-
kejut bukan main. Ketika mereka palingkan kepala,
ternyata seorang kakek bertubuh bulat mirip bola se-
dang enak-enak duduk ongkang-ongkang kaki di atas
dahan pohon yang tinggi.
Roro memang sudah mengetahui adanya ma-
nusia di atas pohon itu, sejak ia sembunyi dibalik pohon tadi. Akan tetapi ia
pura-pura tak mengetahui.
Tapi diam-diam sudah waspada. Ada di pihak mana-
kah si manusia yang nangkring di atas dahan itu. Pi-
kirnya. Lembu Sura sudah keluarkan bentakannya.
Walaupun diam-diam hatinya jadi mencelos... karena
ia tak mengetahui akan adanya manusia di atas pohon
didekatnya. Seandainya seorang musuh, dan membo-
kongnya, tentu ia tak dapat berbuat apa-apa. Tapi di-
am-diam ia memaki juga dalam hati, akan ketidak je-
lian mata ke sepuluh prajurit yang di bawahnya, yang
sejak siang-siang juga tak mengetahuinya.
"Kurang ajar...! Turunlah kalau mau bicara...
sobat...!" Tampak Lembu Sura mengangkat tangannya.
Dan serentak sepuluh anak panah berlepasan melun-
cur bersiutan ke atas dahan. Manusia bulat itu meng-
gelinding jatuh bagai nangka busuk dari atas pohon.
Akan tetapi bagaikan bola karet, sepasang kakinya te-
lah menotol tanah... dan di lain kejap ia sudah berdiri tegak dihadapannya.
Dengan melompati dua orang
prajurit berkuda. Sementara kesepuluh anak-anak pa-
nah itu menancap di batang pohon. Roro perhatikan
wajah manusia bulat itu yang memakai jubah warna
hijau, dengan dada terbuka. Menampakkan daging di
dadanya yang menggembung bagai payudara. Ternyata
orang ini berusia sekitar lima puluhan tahun. Kepa-
lanya hampir disebut gundul, karena cuma ada bebe-
rapa helai rambut yang melekat di kulit kepalanya. Ro-ro tak menyangka kalau si
bulat ini menampilkan wa-
tak laki-laki hidung belang. Terbukti sebelah matanya dikerenyitkan genit pada
Roro. Namun Roro Centil me-nanggapinya dengan tersenyum. Sementara itu diam-
diam Roro Centil mengucapkan terimakasih dalam ha-
ti, yang si manusia bulat ini telah membeberkan masa-
lah pembunuhan itu.
"Siapa kau..!" Mengapa kau berani bicara sem-
barangan..!" Bentak Lembu Sura. Si manusia bulat ini cuma cengar-cengir seraya
keluarkan kipas butut clan
anyaman bambu, dan sambil mengipas, ia menjawab
seenaknya. "Ah, aku orang tak penting..! Mengapa harus di-
tanya nama segala. Akan tetapi memandang kipas bu-
tut dan anyaman bambu itu Lembu Sura dapat menge-
tahui siapa orang bertubuh bulat bagai bola itu.
"Hm... kiranya anda yang berjulukan si Dewa
Angin Puyuh itu" Bagus..! Aku ingin bertanya. Apakah
yang membuat anda mencampuri urusan ini..?" Tanya Lembu Sura. Yang ditanya cuma
tersenyum jumawa,
seraya sahutnya;
"Ah, sebenarnya bukan aku mau mencampuri
urusan tuan-tuan sekalian. Akan tetapi mulutku telah
jadi gatal untuk bicara, dan menjelaskan hal yang se-
benarnya. Apakah fakta yang aku katakan tadi menya-
lahi undang-undang" Hal seperti itu sudah tidak aneh
lagi. Jangan kata baru anak seorang Pembesar Kera-
jaan. Walaupun anak Raja sekalipun bisa saja terjadi
berbuat hal yang memalukan. Mengapa harus ditutup-
tutupi.." Mengenai tuduhanmu pada gadis ayu ini,
adalah tidak beralasan tepat menurut pendapatku!
Aku tidak berpihak pada siapa-siapa. Tapi berdasar-
kan fakta dari apa yang kulihat. Karena sedikitpun gadis ini tak ada hubungannya


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan wanita buronan
bernama Laras Jingga itu. Kalau aku mau sejak tadi
sudah kutangkap gadis berdarah dingin yang jadi bu-
ronan pihak Kerajaan itu. Akan tetapi aku memang tak
mau mencampuri urusan siapa-siapa saja. Aku orang
bebas, tak berhak seorang pun mengatur aku. Seperti
juga sesuai dengan nama julukanku si Dewa Angin
Puyuh. Angin puyuh bebas bergerak. Tidak terikat oleh apapun juga... He he
he..!" Melengak Lembu Sura
mendengar kata-kata si Dewa Angin Puyuh. Tampak-
nya Lembu Sura tak mau berurusan dengan manusia
bulat ini. Ia sudah berkata tegas.
"Baik..! Ku cabut tuduhanku..! Akan tetapi ha-
rus ada syarat yang harus dipenuhi!"
"Apakah itu ..?" Bertanya Roro, yang sedari tadi
cuma jadi pendengar saja. Perwira Kerajaan ini berpaling menatap Roro Centil.
"Syarat itu ialah, kau harus buktikan bahwa
kau tidak bersekongkol dengan wanita buronan itu.
Yaitu dengan bertarung melawan kami sampai sepuluh
jurus. Kalau dalam sepuluh jurus itu kau dapat jatuh-
kan senjata kami, barulah kau kuanggap bebas dari
segala macam tuduhan. Dan hal ini tak boleh ada
orang lain yang ikut campur..!" Berkata Lembu Sura.
Ternyata dalam hal main politik, perwira Kerajaan ini sudah terkenal licin dan
lihai. Sehingga pantas saja
kalau ia menjadi orang terkenal. Yang dengan senja-
tanya yang bernama Tombak Naga Dewa itu, pernah
ditakuti lawan, dan dikagumi kawan. Entah berapa
nyawa sudah melayang di dalam setiap peperangan...
"Wah..!" Syarat itu terlalu berat, apakah tidak
bisa diganti..?" Berkata si manusia bulat alias si Angin Puyuh. Akan tetapi Roro
Centil sudah menyahuti.
"Baiklah! Aku terima syarat itu..!". Si Dewa Angin Puyuh jadi garuk-garuk kepala
tanpa bisa berbuat
apa-apa. Lembu Sura perlihatkan senyum dingin, se-
raya berkata; "Bagus..! Tapi ingat, nona..! Kalau kau tak da-
pat lulus dari persyaratan ini, kau harus jadi tawanan kami. Dan bersedia dibawa
ke Kota Raja untuk diha-dapkan pada Panglima Agung Tunggal Sewu Seta..!"
"Baik...!" Menyahut Roro Centil. Dan segera ia sudah melompat mundur dua tindak.
Lingkaran diper-besar. Bahkan si manusia bulat Dewa Angin Puyuh
pun melompat ke sisi.
"Bersiaplah, Nona..!" Berkata Lembu Sura. Dan ia sudah memberi isyarat pada
Datuk Raja Gur alias si Kebutan Dewa Maut. Yang segera bersiap dengan
senjatanya. "Awas serangan..!" Teriak Lembu Sura. Dan
senjata Tombak Naga Dewa telah meluncur deras men-
garah leher. Sedang si Datuk Raja Gur menerjang den-
gan kebutan mautnya. Roro Centil pergunakan keta-
jaman indranya. Serangan mengarah leher itu dapat ia
egoskan dengan lekukkan tubuhnya ke belakang. Tapi
di belakang telah menyambar kebutan si Datuk Raja
Gur. Terpaksa Roro doyongkan tubuh ke samping.
Dengan gerak tarian "Bidadari Mabuk Kepayang". Dan serangan jurus pertama itu
gagal. Tapi di luar dugaan sambaran kebutan si Datuk Raja Gur meluncur lagi
membersit ke arah pinggang. Ujung-ujung dari kebu-
tan ekor kuda itu sekonyong-konyong jadi mengeras
bagai kawat-kawat baja. Merasai adanya angin bersiut
disamping tubuhnya, Roro Centil telah gerakkan kepa-
lanya. Seketika saja rambutnya yang panjang itu telah menyambar bahkan langsung
menggubatnya. Datuk
Raja Gur perlihatkan senyumnya. Ia memang telah li-
hat kehebatan rambut Roro sewaktu menghantam
buyar anak-anak panah. Ia sengaja biarkan gubatan
pada kebutannya. Akan tetapi tiba-tiba ia telah sen-
takkan senjata kebutannya. Ia merasa yakin akan da-
pat menarik jatuh tubuh Roro. Akan tetapi alangkah
terkejutnya. karena justru ia sendiri yang kena ditarik.
Tentu saja ia tak mau lepaskan kebutannya. Hingga
detik itu juga tubuhnya telah terbawa melayang me-
mutar. Lembu Sura ternganga Tombak Naga Dewanya
segera membabat ke arah kaki Roro.
WESSS..! Terpaksa Roro lepaskan gubatan
rambutnya, untuk segera melompat menghindar. Pin-
tar juga si Lembu Sura ini..! Berfikir Roro Centil. Karena kalau ia tak lepaskan
gubatan rambutnya pada ke-
butan si Datuk Raja Gur, bisa-bisa ia jatuh terbanting.
Karena terbawa putaran... Mengetahui gubatannya le-
pas, si Datuk Raja segera imbangi tubuhnya yang me-
layang itu untuk dapat segera jatuh dengan kaki men-
jejak tanah terlebih dulu. Si manusia bulat Dewa An-
gin Puyuh menahan napas. Bahkan kesepuluh prajurit
itu seperti terkesima akan pertarungan tegang baru-
san. "Hebat..!" Desis Lembu Sura. Ia sudah mengi-rim lagi beberapa serangan
beruntun. Ujung mata
tombaknya bagaikan kilatan-kilatan petir yang me-
nyambar, mengurung Roro. Sementara kawannya su-
dah melompat lagi ke tengah kancah pertarungan. Ro-
ro tampaknya agak terdesak, diserang sedemikian ru-
pa. Tubuhnya doyong ke kiri dan ke kanan menghin-
dari rangsakan hebat itu. Tapi anehnya setiap seran-
gan tak ada yang mengena pada tubuhnya. Sementara
si manusia bulat itu diam-diam jadi memuji kagum.
Karena ia sudah mengetahui kalau yang di lakukan
Roro adalah satu jurus tarian yang amat langka. Dan
baru kali ini ia melihatnya. Melihat si gadis itu bergerak sempoyongan tentu
saja membuat girang si Datuk
Raja Gur. Ia sudah sambarkan kebutannya untuk me-
notok dua kali. Tampaknya Roro tak mampu menge-
lak. Dan ia sudah terkena totokan kebutan itu yang
sekonyong-konyong ujung kebutan itu menyatu. Ter-
dengar suara Roro Centil berteriak...
"Tahan..! Aku mengaku kalah..!" Tentu saja
Lembu Sura menghentikan serangan Juga kawannya
si Kebutan Dewa Maut.
"Bagus..! Kini kau tak dapat menolak untuk
menjadi tawanan kami..!" Teriak Lembu Sura. Sedang si Datuk Raja Gur tertawa
terbahak-bahak, seraya katanya... "Ha ha ha... ha ha ... kiranya hanya demikian
saja kehebatan bocah perempuan bernama Roro Cen-
til. Julukannya sih bukan main... Pendekar Wanita
Pantai Selatan..! Tak tahunya dengan totokan Kebutan
Maut ku sudah mengaku menyerah. Ha ha ha... Sean-
dainya aku tak kasihan, dan mematuhi undang-
undang hukum, Pasti sudah kutotok jalan darah ke-
matianmu..!" Sambil sesumbar demikian si Kebutan Dewa Maut ini bertolak pinggang
di hadapan Roro.
Dan ia sudah lantas berpaling pada para prajurit ber-
kuda itu. "Hayo! Tunggu apa lagi..! Ringkus dia..!" Serentak saja dua orang
melompat dari atas punggung
kuda. Salah seorang membawa tali laso. Dan selanjut-
nya Roro sudah diborgol tangannya ke belakang.
Si manusia bulat cuma bisa bengong, menyak-
sikan semua itu. Tadinya ia sudah memuji kehebatan
jurus aneh yang dipertunjukkan gadis ayu itu, akan
tetapi mengapa jadi berbalik ia kena totok dengan mu-
dah.." Ia jadi tak mengerti. Sementara Lembu Sura
cuma mendengus melihat si manusia bulat itu. Dan
tanpa berkata apa-apa segera giring Roro Centil untuk dinaikkan ke atas kuda.
Dan selanjutnya sudah terdengar aba-aba. Derap kaki-kaki kuda segera terden-
gar. Kesepuluh prajurit Kerajaan itu bergerak memutar kuda-kudanya, mengikuti
salah seorang prajurit, yang
naik berdua dengan Roro, yang berada di bagian depan
dengan lengan terikat erat. Lembu Sura dan Datuk Ra-
ja Gur mencemplak kudanya masing-masing. Kemu-
dian memacunya untuk menyusul dari arah samping.
Dan mengapit Roro dari kiri-kanan. Si manusia bulat
itu cuma bisa menatap rombongan pasukan Kerajaan
itu dengan terpaku. Terdengar suaranya mendesis...
"Sayang... sungguh sayang..!" Namun tak bera-pa lama kemudian si Dewa Angin
Puyuh itupun sudah
berkelebat lenyap entah kemana...
Matahari semakin condong ke arah perbukitan,
ketika iring-iringan itu tiba di pintu gapura gedung besar. Ternyata itulah
gedung tempat tinggal Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Roro sudah dibawa masuk
menghadap sang pembesar Kerajaan Sriwijaya itu. Se-
mentara sepuluh orang prajurit itu telah turun dari
kuda-kudanya, untuk beristirahat. Dengan diapit oleh
kedua perwira Kerajaan itu, Roro digiring masuk ruan-
gan. Dua orang penjaga memberinya jalan. Seraya me-
lakukan penghormatan, pada keduanya. Tak berapa
lama Roro sudah berhadapan dengan pembesar Kera-
jaan itu. "Hmm! Bagus..! Inikah gerangan Iblis perem-
puan itu...?" Tanya si Pembesar Kerajaan. Sikapnya
tampak garang. Wajahnya merah padam seperti terba-
kar panas matahari.
"Duli tuan ku Panglima..! Hamba belum dapat
memastikan apakah wanita ini pembunuh berdarah
dingin itu. Akan tetapi hamba curiga padanya. Maka
terpaksa hamba tangkap dan kami bawa menghadap
tuan ku Panglima..!" Sepasang alis pembesar Kerajaan berkerut menyatu. Ia sudah
melangkah dua tindak untuk memperhatikan wajah Roro.
Tiba-tiba ia bertepuk tangan tiga kali. Segera
saja seorang pengawal datang menghadap. "Pengawal..!
Coba bawa kemari tahanan sementara itu!" Berkata sang Pembesar.
"Duli tuan ku..." Dan pengawal itupun cepat beranjak ke ruang dalam. Tak berapa
lama sudah kembali dengan membawa seorang laki-laki berusia
sekitar 35 tahun Ternyata laki-laki ini adalah si pe-
layan penginapan itu
"He..! Pelayan penginapan..! Coba kau lihat dan
perhatikan baik-baik. Apakah wanita ini yang mengi-
nap di tempat penginapan mu..?" Tanya si Pembesar
Kerajaan. Tampak laki-laki itu menghampiri Roro. Lalu dengan seksama
memperhatikan wajahnya. Selang tak
berapa lama ia bungkukkan tubuh pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta, seraya berkata;
"Ampun tuan ku...! Wanita ini bukanlah orang-
nya..! Hamba berani bersumpah dan bersedia menda-
pat hukuman bila hamba berdusta..!" Sang Pembesar Kerajaan ini menatap Lembu
Sura dan Datuk Raja
Gur, kedua bawahannya itu. Akan tetapi Lembu Sura
sudah melangkah tiga tindak menghampiri si Pembe-
sar Kerajaan, seraya berbisik perlahan. Tampak Pan-
glima Agung Tunggal Sewu Seta manggut-manggut. La-
lu perintahkan membawa kembali saksi tahanan se-
mentara itu. Lalu ia perintahkan dua orang pengawal
untuk memasukkan Roro ke dalam kamar tahanan.
Segera Roro Centil diapit untuk digusur ke kamar ta-
hanan. Diam-diam Roro Centil perhatikan setiap ruan-
gan yang dilewatinya. Sementara kedua perwira Kera-
jaan itu segera menuturkan jalannya penangkapan
atas tawanan itu. Ternyata Lembu Sura punya rencana
yang sudah diaturnya. Tampak si atasannya itu mang-
gut-manggut sambil tersenyum, dan menepuk-nepuk
bahu Lembu Sura seraya berujar;
"Bagus..! Bagus...! Kau memang berotak cerdas,
Lembu Sura. Baik..! Sebentar senja segera atur renca-
na itu. Dan aku serahkan semua pekerjaan ini pada-
mu..!" "Hamba yakin pasti akan menampak hasil-nya..!" Berkata Lembu Sura. Sang
Panglima manggut-manggut sambil tersenyum. Dan kedua perwira itupun
mohon diri. Dalam keadaan lengan masih terikat. Roro di-
jebloskan dalam penjara. Gadis pendekar ini tampak-
nya tetap tenang-tenang saja. Ruang penjara itu bera-
da di bagian samping gedung. Dan punya wuwungan
terpisah. Namun sekelilingnya adalah tembok tebal
yang tinggi. Menjelang malam, tampak obor-obor mulai
dipasang. Sementara diam-diam Roro membatin. Hm...
Aku yakin si wanita buronan bernama Laras Jingga itu
akan datang kemari..! Agaknya apa yang aku fikirkan
matang-matang itu, ternyata sama dengan rencana
yang diatur si Lembu Sura, perwira Kerajaan itu. Dan
ia sudah mempersiapkan kedatangannya untuk me-
nangkap wanita buronan itu. Tapi aku terpaksa harus
melindunginya. Karena kalau sampai ia tewas, akan
sulitlah aku mencari jejak musuh besar ku..! Titik-titik terang sudah
kudapatkan. Dan wanita buronan itu
adalah harapanku..! Demikian kata hati Roro.
"TUTUL..! Adakah kau disini..?" Desis suara Ro-ro. Dan terdengar suara menggeram
di belakangnya.
Roro tersenyum, dan berkata perlahan;
" Bagus...! Kelak aku memerlukanmu..! Kini bi-
arlah kau tak perlu menampakkan diri..!" Seraya berkata, Roro sudah salurkan
tenaga dalamnya pada ke-
dua lengan. Dan sekejap rantai belenggu yang mengi-
kat tubuhnya sudah putus. Kiranya tali laso yang
mengikat Roro telah diganti dengan rantai besi agar tidak khawatir ia terlepas.
Tapi nyatanya, sudah diganti pun masih percuma saja.
Keadaan di luar tampak sunyi. Seperti seolah
tak ada seorangpun penjaga di tempat itu. Saat itulah melesat sebuah bayangan
hitam. Yang dengan berin-dap-indap mendekati rumah tahanan tempat Roro
Centil disekap. Gerakannya ringan bagai burung
walet. Kiranya benarlah, yang datang itu tak
lain dari Laras Jingga, si wanita buronan itu. Tampaknya gadis muda ini merasa
aman melihat situasi seki-
tar tempat itu. Akan tetapi begitu ia injakkan kaki di pekarangan yang
berhadapan dengan pintu kamar tahanan. Tiba-tiba berhamburanlah anak-anak panah
meluruk ke arahnya.
Keruan saja Laras Jingga jadi terkesiap. Ia su-
dah segera bergerak melompat menyelamatkan diri.
Akan tetapi anak-anak panah itu bagaikan tiada ha-
bisnya meluruk, walaupun ia sudah berkelebatan
menghindar. Hingga tak urung betisnya kena juga ter-
panggang anak panah. Tak ampun lagi wanita berbaju
hitam itu perdengarkan teriakan tertahan. Dan roboh
terguling, dari atas wuwungan. Tak sempat lagi ia me-
lompat ke dinding tembok untuk melarikan diri. Segera saja terdengar sorak-sorai


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gemuruh. Dan belasan sosok, tubuh berkelebatan keluar memburunya Sesosok
tubuh sudah melompat kehadapannya seraya melem-
parkan jala untuk meringkusnya.
Akan tetapi tiba-tiba asap hitam telah mem-
bumbung dihadapannya. Namun jala sudah dilempar.
Tak urung juga si wanita berbaju hitam itu sudah ter-
jerat dalam kurungan jala. Sorak-sorai semakin men-
jadi. Lebih dari tiga puluh prajurit bersenjata tombak dan panah mengurung sang
korban yang telah masuk
perangkap jala. Akan tetapi mereka semua jadi terbelalak matanya, karena
menyaksikan yang masuk pe-
rangkap jala itu bukannya seorang manusia, akan te-
tapi seekor harimau tutul yang tubuhnya hampir sebe-
sar kerbau. Binatang siluman itu perdengarkan suara
menggeram dahsyat. Tentu saja jala sudah dilepas se-
ketika. Dan berhamburanlah para prajurit itu dengan
ketakutan. Sekonyong-konyong angin berdesir keras.
Dan hampir semua obor-obor yang terpasang telah pa-
dam dengan mendadak. Keadaan menjadi gempar. Tak
seorangpun berani mendekati tempat tahanan itu.
Saat itu terdengar suara bentakan, yang memerintah-
kan untuk memasang obor baru. Berkelebatanlah para
prajurit untuk melaksanakan tugas. Sebentar kemu-
dian keadaan kembali terang. Bahkan puluhan obor
telah terpasang. Namun alangkah kecewanya, mereka
melihat jala telah kosong. Dan serentak mereka me-
nyebar untuk mencari si wanita buronan. Akan tetapi
sia-sia. Ketika memeriksa tempat tahanan, ternyata
tawanan mereka pun telah lenyap tak berbekas. Hanya
tergeletak rantainya saja. Dengan keadaan putus...
"Bodoh...!* Wanita itu telah pergunakan ilmu
sihir..! Mengapa tak kalian bunuh mampus saja hari-
mau itu..!" Memaki Lembu Sura Sedangkan Datuk Ra-ja Gur cuma bisa garuk-garuk
kepala dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah, terkena cahaya api
obor. "Semua tolol..!" Teriaknya menimpali Lembu Sura. Semua para prajurit cuma
menunduk Dan satu
persatu ngeloyor pergi....
* * * Roro Centil berkelebat cepat meninggalkan ge-
dung itu melalui jalan belakang. Gerakan lengannya
yang mengeluarkan angin keras, telah menghembus
padam api-api obor yang menerangi sekitar halaman
rumah tahanan itu. Hingga dalam keadaan gelap gulita
itu telah membawa lari si wanita buronan itu yang te-
lah ditotoknya. Bantuan si Tutul Siluman Harimau
yang telah tunduk padanya itu berhasil baik. Hingga
yang kena diringkus jala, bukanlah wanita buronan
itu. Melainkan asap hitam yang kemudian membentuk
menjadi harimau Tutul. Sedangkan si wanita buronan
itu telah disambar Roro Centil, bersamaan dengan ki-
basan lengan Roro memadamkan api-api obor. Dan se-
lanjutnya sudah menggondolnya pergi.
Malam pun terus merayap... tampaknya waktu
memang berlalu dengan cepat Karena tak berapa lama
kemudian cuaca pun berangsur-angsur menjadi te-
rang. Keadaan di atas perbukitan itu tampak sunyi.
Tapi sepagi itu sudah ada asap mengepul di atas per-
bukitan itu tampak sunyi. Tapi sepagi itu sudah ada
asap mengepul dibalik batu tebing. Terlihatlah seorang gadis ayu tengah asyik
memanggang daging Menjangan
kecil dengan seruas bambu. Gadis ayu itu tak lain dari Roro Centil si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Sementara dibalik batu tebing yang agak menjorok keluar,
tampak tergolek sesosok tubuh wanita di bawahnya.
Tampaknya wanita itu masih pulas mendengkur lirih.
Roro Centil cuma sekali-sekali meliriknya. Baru harum dari panggang Menjangan
itu agaknya membuat pelahan-lahan si wanita muda berbaju hitam itu membuka
kedua kelopak matanya. Kiranya wanita muda itu tak
lain dari si wanita buronan yang bernama Laras Jing-
ga. Roro telah membawanya ke tempat tersembunyi
itu; "Oh... kau... kau... telah menolongku.."!" Gumam si wanita buronan itu.
Sementara ia sudah ge-
rakkan tubuhnya untuk bangkit. Akan tetapi sedikit-
pun ia tak dapat gerakkan tubuhnya. Roro palingkan
wajahnya, dan menatapnya sekilas. Lalu teruskan
memanggang daging Menjangan.
"Harap kau bersabar dulu untuk tidak berge-
rak. Kau telah mengalami keracunan akibat panah
yang mengena di kakimu. Aku telah membuang racun
itu, dan kau masih dalam pengaruh totokanku..!"
"Hm..! Apa maksudmu menolongku..! Dan siapa
kau sebenarnya..," Tanya Laras Jingga. Suaranya ter-
dengar ketus. Akan tetapi Roro menyahuti seenaknya.
"Aku Roro Centil..! Seorang pengembara dari
seberang pulau. Tepatnya dari tanah Jawa atau pulau
Kelapa..! Kau tanya aku begitu, akupun bisa juga ber-
tanya; Apa maksudmu menolongku.. " Bukankah kau
terus menguntit, ketika aku dijadikan tawanan?" Berkata Roro seraya lirikkan
matanya. Wanita muda ini
terdiam. Lalu menghela napas. Seperti merasa mele-
paskan beban yang menghimpit dadanya.
"Entahlah..! Aku sendiri tak tahu, mengapa aku
mau menolong orang yang bukan kawan atau sanak
keluarga yang kukenal. Cuma aku merasa berdosa, ka-
lau membiarkan orang yang tidak bersalah dijebloskan
dalam penjara...!" Berkata lirih si wanita buronan. Sementara tiba-tiba matanya
telah menjadi basah. Diam-
diam Roro Centil terkejut juga, melihat si gadis buronan itu tiba-tiba menangis
dengan sepasang mata me-
natap ke depan dengan pandangan kosong.
"Sudahlah... Mengenai hal itu kita lupakan sa-
ja. Orang yang masih punya rasa berdosa, tentu masih
punya hati bersih..! Kehidupan ini memang pahit. Adik tentu punya rahasia
terpendam yang sukar di utara-kan! Kita bisa bersahabat, kalau kau sudi
menerimaku sebagai sahabatmu..! Mungkin kau memerlukan seo-
rang teman untuk mengadukan nasib atau masalah
yang kau hadapi..!" Berkata Roro seraya letakkan panggangan ke atas batu.
Sementara api unggun itu
masih dibiarkannya menyala. Segera Roro mendekati
wanita muda itu yang telah terisak-isak menahan tan-
gis yang kian menjadi. Roro tercenung sesaat. Lalu gerakkan lengannya membuka
totokan di tubuh wanita
itu. Laras Jingga bangkit berduduk. Ia sudah menyeka
kedua belah pipinya sudah bersimbah air mata. Na-
mun agaknya ia mulai dapat menahan perasaannya.
Roro Centil segera meraih panggangahnya. Daging
Menjangan kecil itu cukup untuk menangsal perut
berdua. Segera ia belah menjadi dua bagian.
"Makanlah..! Aku lapar sekali! Tentu kaupun
lapar..!" Berkata Roro, seraya julurkan lengannya ke depan si Wanita. Laras
Jingga menatap sejenak pada
potongan daging panggang Menjangan itu, lalu mena-
tap Roro. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
"Ayolah..! Bukankah kita telah bersahabat..!" Ujar Ro-ro, seraya tampilkan
senyum manis. Tentu saja Laras
Jingga yang berwajah dingin itu seketika tersenyum
cerah, dan menyambuti pemberian itu.
Tak ayal lagi sudah segera menyantap daging
panggang yang baunya harum itu. Tampaknya benar
dugaan Roro. Wanita itu lapar sekali, sampai terdengar perutnya berkruyukan.
Roro agaknya tak mau membuat wanita itu ter-
ganggu, segera ia beringsut untuk duduk di atas batu
tak berapa jauh dari situ. Sejenak ia menatap langit, lalu sudah pentang mulut
untuk mengganyang daging
panggang Menjangannya.
Matahari sudah keluar dari balik perbukitan.
Cahaya emasnya membersit menerangi alam sekitar-
nya. Kedua wanita ini membasuh wajah, dan rambut
serta kaki dan tangannya di air yang memancur keluar
dari sela-sela batu. Laras Jingga bersingsut untuk segera duduk di atas batu
dekat air pancuran. Ia tak dapat bergerak bebas. Karena sebelah kakinya masih
te- rasa ngilu. Roro memang telah membalut lukanya den-
gan kain sobekan ikat kepalanya.
"Mari kita kembali..!" Ajak Roro. Seraya membimbing Laras Jingga untuk naik dari
tempat batu- batu yang terletak agak ke bawah bukit itu. Wanita
muda berbaju hitam ini tersenyum, ketika telah sam-
pai di atas. "Terima kasih...!" Ucapnya. "Disini tempatnya indah. Bagaimana kalau kita duduk
disini saja sambil
bercakap-cakap.. ?" Sambung Laras Jingga, seraya tatap wajah Roro, dengan
sepasang mata redup.
"Baiklah, adik Laras..! Akupun ingin sekali
mendengar kisah hidupmu..!" Sahut Roro. Seraya
menggeser sebuah batu, untuk duduk berhadapan.
Demikianlah... Laras Jingga ceritakan riwayat hidup
nya yang kelabu. Hingga ia menjadi seorang pembenci
laki-laki. "Apakah belakangan ini kau sudah berjumpa
lagi dengan ibumu..?" Tanya Roro. Laras Jingga gelengkan kepalanya. Tapi ia
sudah berkata lagi...
"Mungkin ibuku akan marah besar, karena aku
telah mencuri catatan Ilmu Silat yang kutemukan di
kamarnya..! Aku memang perlu untuk menjumpainya,
untuk menanyakan tentang ayahku. Apakah Panglima
Kerajaan yang dikatakan selir Raja Bantar Alam seba-
gai ayahku yang sebenarnya itu masih hidup..?"
Terkejut Roro Centil. Tapi ia tidak tertarik men-
genai perihal ayah gadis itu. Melainkan mengenai catatan ilmu silat yang telah
dicuri dari kamar ibunya
"Catatan Ilmu Silat...?" Tanya Roro dengan suara mendesis. Sepasang alisnya
tampak bergerak naik.
"Bolehkan aku melihatnya.." Jangan khawatir.
Aku tak berniat mempelajarinya". Ujar Roro Centil sambil tersenyum. Laras Jingga
tampaknya tak merasa
keberatan. Segera sudah buka lipatan bajunya. Dan
menarik keluar selembar kertas yang sudah agak lu-
suh. Segera diberikannya pada Roro.
"Aku baru mempelajarinya sampai jurus keli-
ma...!" Tutur Laras Jingga. Sengaja benda ini ku sembunyikan dari mata guruku.
Karena aku khawatir ma-
nusia hidung belang itu merampasnya..!" Roro tak menjawab, tapi cuma angguk-
anggukkan kepala seraya membuka lipatan kertas kulit itu. Terkejut Roro, karena
pada catatan itu yang tertera adalah jurus-jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu apa
yang pernah ia pe-
lajari dari dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima,
milik mendiang si Dewa Tengkorak, di dasar tebing
pantai Selatan. Itulah kesepuluh Jurus Pukulan Kema-
tian. Hal itu sudah berlalu sekitar empat tahun yang
silam. Semasa Gurunya masih hidup. Walau Roro
tampak terkejut, tapi ia tak menampakkan pada raut
wajahnya. Ia sudah melipat lagi benda itu dan berikan pada Laras Jingga.
"Sudah berapa lama kau pelajari...?" Tanya Ro-ro.
"Baru sekitar dua bulan ini. Itupun aku pelajari dengan sembunyi-sembunyi, tanpa
setahu guruku..!"
" Siapakah gurumu.. ?" Tanya Roro lagi. Sengaja ia tak tergesa-gesa untuk
menyelidiki lebih lanjut tentang ibunya.
"Beliau bernama Boma Kasura!" Roro manggut-
manggut, seraya mengingat nama itu. Kemudian ber-
tanya lagi; "Ibumu tadi kau katakan bernama Dewi Melur.
Tentunya juga seorang kaum persilatan. Karena memi-
liki catatan ilmu silat yang hebat, yang telah kau curi itu. Siapakah gelar
ibumu di kalangan Rimba Hijau..?"
Kali ini pertanyaan Roro Centil sudah mengarah pada
sasarannya. Diam-diam hati si Pendekar Wanita Pantai
Selatan agak berdebar. Namun buru-buru Roro mene-
nangkan lagi perasaannya. Tapi jawabannya membuat
hati Roro jadi mencelos..
"Aku tak begitu akrab dengan ibuku..! Sayang
sekali, aku tak mengetahui banyak tentang itu. Mung-
kin orang yang mengaku paman ku itu mengetahui
siapa julukan ibuku!" Wajah Roro tampak kembali cerah. Ia sudah cepat bertanya;
"Siapakah orang yang mengaku pamanmu
itu..?" "Dia bernama Warakas..!" Selesai menjawab pertanyaan, tiba-tiba tampak
sepasang mata Laras
kembali memancar tajam bagai membersit sinarnya
seperti sepasang mata serigala. Tampaknya Roro me-
nyadari hal itu. Segera ia alihkan pembicaraan pada
hal-hal lain bahkan jauh menyimpang dari sasaran.
Karena Roro ceritakan masa kanak-kanaknya yang pe-
nuh kelucuan. Hingga terkadang Laras Jingga tertawa geli,
bahkan sampai terpingkal-pingkal. Entah cerita sebe-
narnya, entah Roro cuma mengarang saja. Tapi si Pen-
dekar Wanita ini memang pandai menghibur hati
orang. Tanpa disadari Laras Jingga sudah melupakan
kesedihannya. Kira-kira setanakan nasi, percakapan
mereka tampaknya sudah terasa cukup. Tiba-tiba Roro
teringat akan luka bekas terkena anak panah pada be-
tis si wanita itu. Roro memang pandai dalam hal pen-
gobatan, karena ia pernah belajar dari seorang pendeta asal Nepal di lereng
Gunung Wilis, yaitu Paderi Jayeng Rana. Ia segera beranjak bangkit dari
duduknya, seraya berkata;
"Eh, adik Laras..! Maukah kau tunggu aku se-
bentar. Aku akan mencari daun-daun obat untuk ra-
muan. Luka di kakimu dapat cepat sembuh, nantinya.
Kau percayakanlah padaku untuk ku mengobatinya..!"
Laras Jingga cuma mengangguk, sambil terse-
nyum. Dan setelah menatap sejenak pada wanita mu-
da itu, Roro segera berkelebat pergi. Sebentar saja telah lenyap dibalik tebing
batu yang menonjol dihada-
pannya. Roro berlari-lari menuju sisi hutan di lereng
perbukitan itu. Sementara sepasang matanya berkelia-
ran memandang tempat-tempat rimbun, untuk menca-
ri dedaunan, yang dapat dipergunakan untuk ramuan


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

obat luka. Akan tetapi pada saat itu telah terdengar suara
bentakan-bentakan suara seorang wanita dikejauhan.
Terkejut Roro Centil, karena suara itu datangnya dari arah dimana ia
meninggalkan Laras Jingga. Tampak
Roro kerenyitkan alisnya.
"Suara siapakah..?" Gumam Roro. Dan sekejap kemudian ia telah melompat dan
berkelebat kembali ke
tempat Laras Jingga menunggu.
Sesaat antaranya dari balik batu besar, ia telah
melihat adanya seorang wanita di dekat gadis itu.
Tampak dilihatnya wanita muda itu duduk menekuk
tubuhnya di hadapan seorang wanita berbaju sutera
warna biru. Wanita itu usianya sekitar 40 tahun.
Rambutnya tersanggul rapi. Cuma sedikit saja yang
terlepas beriapan di belakang lehernya. Didengarnya
wanita itu membentak dengan kata-kata kasar;
"Anak tak tahu diri..! Sejak kapan kau belajar
mencuri." Aku tak merasa mengajarimu untuk jadi
maling! Hm, kudengar dari paman mu Warakas, kau
telah berguru dengan si Boma Kasura. Kau ke mana-
kan catatan ilmu silat itu! Apakah kau berikan pada si tua Bangka Gila itu.."!"
Terdengar Laras Jingga berkata lirih dengan suara gemetar...
"Ibu..! Memang ibu tak pernah mengajari ku
mencuri..! Tapi selama ini apakah ibu mengurus diri-
ku" Aku anakmu! Aku butuhkan kasih sayang mu..!
Tapi yang kudapatkan adalah cuma kehinaan bela-
ka..!" "Apa maksud ucapanmu, Laras.." Kau berani
berkata begitu pada ibu yang telah melahirkan mu.. ?"
Membentak wanita itu. Tapi jawaban Laras memang di
luar dugaan. Wanita muda itu tiba-tiba tertawa. Suara tertawanya mirip rintihan
pedih. Walau bibirnya tertawa, tapi sepasang matanya telah bersimbah air mata.
"Hi hi hi... Apakah bila seorang ibu telah mela-
hirkan anaknya, sudah cukup tanpa harus mengurus
dan merawatnya.." Kelihatannya lucu sekali! Adakah
seorang ibu yang rela memberikan kehormatan anak
gadisnya, pada seorang laki-laki hidung belang yang
mengaku ia adalah pamannya.."
Ternyata semua itu adalah atas dasar imbalan
jasa..! Betapa terkutuknya seorang manusia bila
mengharap jasa, tapi cuma untuk memenuhi hawa
nafsunya belaka..! Dan ternyata orang yang seharus-
nya kuhormati, ternyata juga bukan manusia..! Jasad-
nya manusia, tapi hatinya adalah iblis! Dia telah berikan kehormatan dirinya,
juga kehormatan anak gadis-
nya pada manusia terkutuk bernama Warakas itu..!
Sedang aku sendiri adalah anak hasil dan hubungan
gelap! Anak yang sampai dewasa begini tak mengenal
siapa ayahnya. Aku lahir dalam keluarga nista...! Se-
muanya nista..!" Sampai disini si wanita ibu dari Laras Jingga ini sudah tak
kuat menahan kemarahannya.
Plak...! Satu tamparan keras telah hinggap di
pipi gadis itu, yang segera roboh terjungkal. Masih untung sang ibu tak
menggunakan pukulan dengan te-
naga dalam. Hingga pipi gadis itu cuma merah bengap
saja Laras Jingga bangkit untuk duduk, seraya men-
gusap pipinya. Dan Dewi Melur sudah membentak lagi
dengan kata-kata makian... "Bocah keparat..! Mulutmu terlalu lancang..!"
Apa yang terjadi kemudian di hadapan mata
Roro Centil" Laras Jingga telah bangkit berdiri. Rasa sakit pada luka dibetisnya
itu seperti sudah tak dira-sakan lagi. Sepasang matanya tampak berapi-api me-
natap pada wanita dihadapannya. Tiba-tiba ia telah gerakkan tangannya ke dalam
lipatan bajunya. Dan ke-
luarkan secarik kertas kulit. Benda itu sudah disodorkan pada ibunya seraya
berkata; "Inilah catatan ilmu silat yang ku curi itu, ibu..!
Aku tak memerlukannya lagi!" Dewi Melur menatap sejenak pada perubahan wajah
anak perempuannya. La-
lu gerakkan tangan untuk meraih benda di tangan La-
ras Jingga. Akan tetapi pada saat itu juga berkelebat sebuah bayangan, dan
sekejap saja lipatan kertas itu
telah lenyap bagai di sambar alap-alap. Bukan saja
Dewi Melur yang jadi terkesiap. Akan tetapi Roro Centil juga terkejut Segera
terlihat siapa yang telah menyam-barnya. Ternyata seorang laki-laki berbaju dan
berce- lana warna gelap. Bertubuh jangkung. Wajahnya me-
nampilkan senyum, yang seperti tak pernah berubah
walaupun dalam keadaan marah. Tulang pelipisnya
agak menonjol keluar. Laki-laki ini tanpa kumis.
Hanya ada sedikit jenggot didagunya. Mirip jenggot
seekor kambing.
" Ha ha ha... ha ha... Catatan ilmu silat ini kalau sudah tak diperlukan anak
perempuanmu, biarlah
kupinjam dulu, Dewi Melur..!" Terbeliak sepasang mata wanita setengah umur itu.
Ia sudah lantas membentak.
"Setan keparat..! Boma Kasura..! Kembalikan
benda itu!" Seraya berkata, Dewi Melur sudah melompat untuk merampas kembali
catatan ilmu silat itu.
Akan tetapi laki-laki bernama Boma Kasura itu sudah
melesat ke dekat Laras Jingga.
"Ha ha ha.. Sudahlah Dewi Melur. Aku toh cu-
ma meminjam saja. Toh aku tak akan pergi kemana-
mana..!" Selesai berkata, ia berpaling pada Laras Jingga.
"Eh, muridku..! mengapa kau tak bilang-bilang
padaku kalau kau menyimpan catatan ilmu silat ini"
Bukankah aku bisa membantumu kalau kau mau
mempelajari...?" Laras Jingga cuma bisa terdiam, tanpa berkata apa-apa. Melihat
sebelah pipi gadis ini tampak merah bekas kena tamparan, Boma Kasura sudah
berkata lagi. "Aiii... Kau memang keterlaluan Dewi Melur.
Aku amat menyayangi muridku ini. Masakan kau
ibunya demikian tega menamparnya" Kukira tiada sa-
lahnya kalau anakmu ingin mempelajari ilmu silat wa-
risan si Dewa Tengkorak ini. Akupun dapat mem
bantu Laras Jingga mempelajari...!" sambil ber-
kata, Boma Kasura perlihatkan sikap tersenyum. Se-
mentara Dewi Melur cuma plototkan matanya saja. Ta-
pi ia sudah membentak.
"Tidak..! Benda itu tak boleh jatuh ke tangan
siapa-siapa. Walaupun anakku sendiri.. !"Teriaknya seraya kembali melompat tiga
tombak ke depan laki-laki
bernama Boma Kasura ini. Akan tetapi Boma Kasura
bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Haha haha... ha ha ha... Sudah terlambat Peri
Gunung Dempo..! Laras Jingga telah menguasainya
walaupun mungkin belum sempurna! Ilmu warisan
kekasihmu itu memang ilmu yang hebat. Jurus-
jurusnya amat mengerikan. Cuma sayangnya ia masih
terlalu muda, dan belum banyak pengalaman. Kini
anakmu ada dalam bahaya..! Disamping ia menjadi
buronan orang Kerajaan. Ia juga jadi incaran manusia-
manusia yang mengejar hadiah, bagi yang dapat ma-
nangkapnya hidup atau mati..! Kalau aku mau hadiah
besar, dengan mudah saja aku membawanya pada
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta di Kota Raja. Akan
tetapi aku justru mau melindunginya..!" Tentu saja ka-ta-kata itu membuat Dewi
Melur jadi terkesiap, menge-
tahui keadaan anak perempuannya.
"Ada permusuhan apakah anakku dengan
orang-orang Kerajaan?" Tanya Dewi Melur.
"Ha ha ha... Ia telah membunuh dua orang je-
jaka muda, anak Panglima Agung Tunggal Sewu Seta.
Persoalannya tanyakan saja pada Pembesar Kerajaan
Sriwijaya itu. Atau kalau perlu kau dapat
mohonkan pengampunan buat anak perem-
puan mu..!" Selesai berkata, Boma Kasura tiba-tiba gerakkan lengannya untuk
menotok Laras Jingga. Dan
sekejap kemudian telah memondongnya, untuk dibawa
melesat pergi. Terpaku Dewi Melur, hingga tak tahu
akan apa yang harus dilakukannya Sementara lapat-
lapat masih terdengar suara...
"Peri Gunung Dempo..! Kau tak perlu khawatir
pada Laras Jingga. Aku akan melindunginya. Sebaik-
nya kau fikirkan keselamatan dirimu. Karena kuden-
gar ada seorang Pendekar Wanita dari Pulau Jawa
yang telah lama mencari jejak mu..!" Lagi-lagi Dewi Melur terkesiap. Jantungnya
jadi berdetak keras. Hatinya sudah lantas bertanya... Siapakah pendekar wanita
dari pulau Jawa itu.." Akan tetapi wanita ini jadi terkejut bagai disambar
geledek ketika tiba-tiba terdengar sebuah suara yang dingin bagaikan es.
"Akulah yang tengah mencarimu itu, Peri Gu-
nung Dempo...!" Dewi Melur balikkan tubuhnya. Dan tak terasa kakinya telah
mundur dua tindak. Sepasang
matanya telah menatap sesosok tubuh dihadapannya.
Sosok tubuh seorang wanita muda yang berwajah ayu.
Berbaju sutera, warna merah muda. Rambut dan ikat
kepalanya yang cuma sesobek kain kecil itu berkibaran ditiup angin pegunungan
"Siapakah kau..!" Bentak Dewi Melur. Sementa-
ra jantungnya berdetak semakin keras. Yang ditanya
cuma tampilkan senyuman di bibir. Tapi sepasang ma-
tanya menatap tajam, seperti mau menembus jantung
manusia dihadapannya.
"Aku Roro Centil. Yang dijuluki kaum Rimba
Hijau si Pendekar Wanita Pantai Selatan! Hi hi hi...
Akhirnya dapat juga kutemukan manusia pengecut,
yang telah mengeroyok Guruku hingga menemui ajal-
nya..!" Terkejut Dewi Melur mendengar kata-kata itu.
Tapi ia sudah segera tersenyum sinis.
"Hm, jadi kaulah murid si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu... " Heh! Bagus..! Tapi dari mana kau bisa mengetahui aku telah
mengeroyok gurumu. Tanya De-wi Melur alias si Peri Gunung Dempo. Roro Centil
per- dengarkan dengusan di hidung.
"Perbuatan busuk macam apapun pasti akan
tercium. Yang ingin kutanyakan, apakah kesalahan
Guruku, yang sudah menutup diri dari dunia Rimba
Hijau...?" Tanya Roro tanpa harapkan pertanyaan
orang. Walaupun sebenarnya ia tak mengetahui sendiri
pengeroyokan itu di pantai Selatan, karena dapat den-
gar dari Joko Sangit, sahabatnya.
"Kalau hal itu yang kau tanyakan, jawabannya
mudah saja. Gurumu adalah manusia tidak normal!
Lelaki bukan perempuan bukan. Sejak aku ma-
sih berdiam di Pulau Jawa aku memang telah mengen-
al gurumu. Si Dewa Tengkorak adalah boleh dibilang
suamiku. Walaupun dia memang mempunyai banyak
istri. Yang kukenal adalah si Kupu-kupu Emas dan
Dewi Tengkorak. Tapi suamiku itu banyak menyimpan
rahasia. Diantaranya ialah ada berita dari si Kupu-
kupu Emas, bahwa si Dewa Tengkorak menyimpan
harta karun, terdiri dari perhiasan emas dan permata.
Disamping itu juga ada berita ia telah
menyimpan catatan rahasia mengenai ilmu silat
di dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima. Berita
lain yang kudengar dari kalangan Rimba Hijau adalah
si Dewa Tengkorak telah tewas..! Kami tiga orang is-
trinya segera bergabung. Akhirnya mendengar berita
dari salah seorang anggota Partai Pengemis di sisi Kota Raja Kerajaan Medang,
yang mengatakan kematian si
Dewa Tengkorak adalah akibat diperdayai oleh seorang
wanita di Pantai Selatan. Wanita itu sakit hati, karena cintanya ditolak oleh si
Dewa Tengkorak, hingga ia
mendendam sampai bertahun-tahun. Tentu saja kami
jadi gusar. Wanita yang berdiam di Pantai Selatan wak-tu itu tak ada lain,
selain si manusia banci itu. Nah, kami telah berhasil membalas dendam mu..!
Apakah hal itu dapat disalahkan...?" Demikian tutur si Peri Gunung Dempo, yang diakhiri
dengan pertanyaan yang
seolah membela akan kebenaran tindakan mereka.
Akan tetapi Roro telah membentak keras."
"Dusta..! Dewa Tengkorak tewas di depan mata
ku sendiri, ketika ia bertarung dengan si Pendekar
Bayangan. Kematiannya memang dikehendakinya sen-
diri. Ia mempergunakan kesepuluh jurus ciptaannya
yang keji itu. Namun jurus kesepuluh dari 10 Jurus
Pukulan Kematian telah menewaskannya sendiri. Aku
yang menguburkannya di Bukit Kera. Tombak Pusaka
itu memang berada di tangan Guruku. Tapi beliau cu-
ma menyimpannya. Aku memang telah mempelajari
sedikit dari ilmu pukulan 10 Jurus "Pukulan Kematian" itu... Tapi mengenai
adanya ia menyimpan harta karun aku tak mengetahuinya..!"
Tampaknya penjelasan Roro seperti tak digu-
bris oleh Dewi Melur.
"Heh! Kau kira akupun dapat percaya dengan
penjelasan mu itu..." Sudahlah! Hal itu sudah berlalu.
Kini kau mencariku apakah mau membalas den-
dam..?" "Kalau dikatakan memang demikian, mungkin terlalu kasar. Tapi jelasnya,
kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu..!"
"Baik...' Aku akan layani kau. Hm. Kau kira
aku khawatir untuk bertarung dengan bocah kemarin
sore semacam kau.." Walaupun kau telah pelajari ilmu
10 Jurus Pukulan Kematian, aku tak akan mundur
untuk melarikan diri..!" Ujar Dewi Melur dengan suara dingin. "Bagus..! Aku tak
akan menggunakan sejurus-pun dari ilmu si Dewa Tengkorak! Pergunakanlah 10
Jurus Pukulan warisan suamimu itu..! Atau akan per-
gunakan jurus-jurus lainnya yang lebih ampuh.." Hi hi hi... Terserahlah-.!"
Berkata Roro Centil. Dewi Melur alias si Peri Gunung Dempo tertawa hambar.
"Baik..! Kau telah berjanji tak akan mengguna-
kannya! Jangan menyesal kalau kau siang-siang akan
mampus..!" Seraya berkata Peri Gunung Dempo telah lakukan serangan kuat
menghantam Roro dengan telapak tangannya.
Roro Centil sudah waspada, Ia sudah segera
menghindar dengan melompat ke atas batu besar. An-
gin pukulan si Peri Gunung Dempo menghantam tem-
pat kosong. Wanita itu mendengus dan tampakkan se-
nyum sinis. Tiba-tiba ia telah tarik keluar dari dalam lipatan bajunya dua buah
benda bulat. Ternyata dua
buah cermin kecil.
Diam-diam Roro membatin.. Apakah yang akan
dilakukan wanita pembunuh gurunya itu.. " Namun


Roro Centil 08 Si Cantik Berdarah Dingin di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Peri Gunung Dempo telah kembali melompat ke arah-
nya. Dan lakukan serangan-serangan tangan kosong.
Gerakannya amat cepat. Kedua lengannya meluncur
ke beberapa tempat mengarah ke tubuh Roro, dengan
jari-jari lengan terkatup.
Inilah jurus Bangau Sakti, yang telah dipergu-
nakan si wanita itu. Gerakan-gerakan patukan itu
memang berbahaya Karena membersitkan cahaya me-
nyilaukan mata. Barulah Roro mengerti. Kiranya cer-
min kecil yang tergenggam di bawah lengannya itulah
yang membuat ia silau. Roro Centil memang agak ke-
walahan. Dan ia bertarung sambil mundur dengan
pergunakan kegesitannya mengelakkan setiap seran-
gan. Lagi-lagi cahaya silau itu menyambar ke arah ma-
tanya. Roro kembali melompat mundur. Tapi tiba-tiba
ia telah keluarkan bentakan keras. Tubuhnya mencelat
setinggi lima tombak. Dan telapak tangannya telah
menyambar ke bawah. Membersit angin keras melun-
cur ke arah si Peri Gunung Dempo. Wanita ini berge-
rak lincah menghindari. Hingga batu dan pasir beter-
bangan didekatnya.
Roro sudah jejakkan kakinya lagi ke tanah. Ta-
pi lagi-lagi cahaya menyilaukan itu menyambar ma-
tanya. Terpaksa ia gunakan lengannya untuk menutu-
pi matanya, sambil bergerak melompat ke kiri dan ka-
nan. Melihat orang sibuk berlompatan itu, si peri Gu-
nung Dempo tertawa mengikik. Dan mengejek.
"Hi hi hi... Mana kehebatanmu Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan..?" Dan kata-katanya sudah barengi dengan berkelebatan
tubuhnya mengimbangi gerakan
Roro. Sementara kedua cermin itu selalu mengincar
sepasang mata Roro Centil. Keruan Roro jadi men-
dongkol. Tapi justru ia menjadi lengah. Karena tiba-
tiba... BHUK..! Ia telah terkena hantaman tendangan
kaki si Peri Gunung Dempo pada punggungnya. Tak
ampun lagi, Roro sudah jatuh terbanting. namun Pen-
dekar yang sudah cukup banyak pengalaman, Roro
Centil jatuhkan diri dengan cepat berjumpalitan. Hing-ga sekejap ia sudah dapat
berdiri. Beruntung ia sudah waspada sejak semula. Hingga tendangan kilat itu cu-
ma menghantam kulit punggungnya saja. Sedang ge-
rakan berjumpalitan itulah cara yang dipergunakan
Roro untuk menghindari kilatan cahaya yang me-
nyambar matanya. Selama bertarung itu, diam-diam
Roro memikirkan bagaimana caranya menghindari ca-
haya cermin yang selalu menyambar ke arah matanya
itu. Dan segera ia sudah dapatkan caranya. Pertarun-
gan pun kembali berlangsung dengan seru. Roro Centil
telah putarkan sebuah Rantai Genitnya. Suaranya
mendesing bagai ratusan tawon. Gerakan Roro masih
seperti tadi. Yaitu dengan tubuh selalu terhuyung, seperti mau jatuh. Sementara
sepasang mata telah me-
nyaksikan pertarungan seru itu sejak tadi. Kiranya si manusia bulat Alias si
Dewa Angin Puyuh. Entah mengapa sejak pernah bertemu dengan Roro, dan melihat
gadis Pendekar itu tertawan, si manusia bulat ini jadi simpati pada Roro. Diam-
diam ia telah siapkan kipas
bututnya. Saat itu si Pergi Gunung Dempo tengah lan-
carkan lagi jurus-jurus si Dewa Tengkorak. Tubuhnya
berkelebat menerjang Roro Centil. Tiga serangan dah-
syat kembali mengarah pada tempat-tempat berba-
haya. Roro Centil berseru keras. Tiba-tiba ia telah pa-paki ketiga serangan itu.
Gerakan itu membuat kek-
hawatiran si Peri Gunung Dempo. Karena ia sudah
mengetahui akan tenaga dalam lawan yang member-
sitkan angin panas. Keragu-raguan itu tentu saja men-
guntungkan Roro. Padahal Roro sendiri sudah menge-
tahui kalau tiga serangan itu adalah jurus ke enam
yang ia sudah tahu arahnya serta juga mengetahui ke-
lemahannya. Ia hanya gunakan gertak sambal belaka.
Tiba-tiba Roro telah rubah gerakan memapaki itu den-
gan gerakan "Ikan Hiu Menyambar Bayangan". Tubuh Roro tiba-tiba meletik indah ke
arah samping kanan
dan kiri. Lalu semakin maju mendekati sang lawan Se-
konyong-konyong bergerak memutar. Dan saat itulah
ia lancarkan serangan Rantai Genitnya Benda itu me-
luncur menggubat kaki si Peri Gunung Dempo. Sedang
sebuah lagi membersit keras bagai dengungan kum-
bang, meluncur deras ke arah kepala lawan. Terkesiap
Dewi Melur. Ia sudah segera menarik serangan Tiba-
tiba tubuhnya mencelat ke belakang, dengan berjum-
palitan di udara. Itulah jurus Naga Siluman Mengge-
liat. Satu Jurus menyelamatkan diri yang hebat. Akan
tetapi terkesiap sang Peri Gunung Dempo.
Karena ia yang sedianya sudah dapat melompat
jauh tiga tombak, tapi entah dari mana datangnya...
tahu-tahu segelombang angin puyuh telah membuat
tubuhnya oleng, dan terbawa lagi melayang ke depan.
Tak ampun lagi Roro Centil sudah menghantam de-
ras... BLUG! KRAK...! KRAK...!
Tiga serangan beruntun dari si Rantai Genit tak
dapat terelakkan lagi olehnya. Tak ampun lagi terden-
gar jerit si Peri Gunung Dempo. Tubuhnya terlempar
lima enam tombak, dengan dada kena dihantam ban-
dulan si Rantai Genit dengan telak Dan kedua betisnya terhantam sekaligus hingga
remuk, hancur. Kedua potongan kakinya entah melayang kemana.
Roro Centil sendiri sudah melengak. Ia merasa
ada hal yang tidak beres. Akan tetapi ia sudah tak da-
Bende Mataram 39 Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Sepasang Pedang Iblis 3
^