Pencarian

Memburu Manusia Makam Keramat 2

Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat Bagian 2


"Dasar gendut bedebah!" maki Dewi Melati, berang. "Semua ini gara-gara kau,
manusia bau bawang!!!"
Gendut Tangan Tunggal bangkit mendelik-
delik. Tak sudi dia disalahkan sewenang-wenang.
"Kau bilang apa, kuntilanak, genderuwo,
dukun beranak!" semburnya gencar. "Kalau kau tadi tak mengatakan sesuatu
padanya, mana mungkin dia jadi kalap begitu," omelnya lagi, membela diri seraya menunjuk
sembunyi sembunyi ke arah orang tua cebol yang masih mena-
tapnya bulat-bulat.
"Katakan padaku, kau mengatakan apa
padanya" Apa kau bilang, aku menganggapnya jin
penunggu sumur" Sandal jepit" Manusia ajaib da-
ri pinggir empang" Apa" Apa"!!" Makin sengit saja mulut Gendut Tangan Tunggal.
"Kau baru saja mengatakannya, bukan"!"
Wajah Gendut Tangan Tunggal memucat,
memerah, memucat, memerah, lalu membiru.
"Apa maksudmu"!" tanyanya dengan lo-
bang hidung kuncup-mekar.
Dewi Melati mencibir.
"Akan kukatakan semua ucapanmu tadi!"
ancamnya. "Jangan!!!" sergah Gendut Tangan Tunggal.
"Kalau begitu, akui bahwa semua ini kare-
na salahmu!"
Gendut Tangan Tunggal menggaruk-garuk
kesal perutnya.
"Kau memang sialan," gerutunya.
"Katakan!"
"Baik... baik. Semuanya gara-gara aku!"
"Katakan juga; aku memang manusia bau!"
"Apaaa"!!"
"Katakan!"
"Iya-iya, sialan. Aku memang manusia...."
"Katakan!"
"Bau!"
"Bagus!"
"Dasar genderuwo!"
Pertengkaran mulut itu tak akan selesai
sampai kiamat kalau saja tak ada yang menghen-
tikan. "Cukup!" bentak Pendekar Muka Bengis.
Wajahnya sekarang benar-benar jadi bengis asli.
Dia sudah pegal hati dengan segala pertengkaran
memperebutkan pepesan kosong Dewi Melati dan
Gendut Tangan Tunggal. Didekatinya si orang tua
berperut boros. Dipelototinya seram-seram.
"Gendut. Sudah waktunya kau mengatakan
padaku apa yang kau ketahui tentang orang itu!"
tegasnya seraya memberi isyarat mata ke arah
Penjaga Gerbang Neraka.
"Dia 'suami angkat'-ku!" serobot Dewi Melati.
"Aku tak tanya kau! Tunggu giliranmu!"
bentak Pendekar Muka Bengis tambah seram.
Sambil memain-mainkan ujung kuku dan
tak berani menatap kembali lelaki sewot di depannya, Gendut Tangan Tunggal
mengatakan, "Kau memang tolol, Bengis. Masa' kau tak ingat pada
orang persilatan bertubuh cebol, bisu, dan tuli?"
"Jangan bertele-tele!"
Gendut Tangan Tunggal mendekatkan wa-
jah ke telinga kawannya. Dia berbisik.
"Sssstt-suttt-sst!"
"Hah"!!"
"Aku tahu kau pasti akan terkejut menden-
garnya, bukan?"
"Bukan itu! Mulutmu bau bawang!"
"Sialan kau! Dia itu.... Penjaga Gerbang Neraka!" kata Gendut Tangan Tunggal
nyaris berseru. Dia tak sabaran.
"Hah"!!"
"Bau bawang lagi?"?" tanya orang tua buncit kebodohan.
ENAM BAYANGKAN betapa usilnya Dewi Melati
pada Gendut Tangan Tunggal karena dia telah
mengatakan pada Penjaga Gerbang Neraka bahwa
orang tua gendut itu telah lancang meminangnya"
Bayangkan pula bagaimana mengkelapnya si tua
bangka cebol sebagai 'suami angkatnya'" (Biarpun masih tak jelas apa maksud Dewi
Melati dengan istilah 'suami angkat'!) Tahu sendiri, Dewi Melati dianggap Penjaga Gerbang
Neraka sebagai peng-ganti pendekar wanita yang membuatnya merasa-
kan cinta sekali sepanjang hidupnya"
Tinggalkan dulu segala keruwetan tokoh-
tokoh rada-rada sinting dunia persilatan itu. Kini, tengok dulu satu daerah yang
masih termasuk da-
lam wilayah Kerajaan Pajajaran. Daerah di mana
terdapat sebuah muara sungai yang bersambung
dengan pantai. Hari terik. Panas yang demikian menyengat
memaksa seorang penduduk desa untuk beristira-
hat sejenak di tepi muara. Seharian tadi dia pergi ke kotapraja Kerajaan
Pajajaran untuk menjual
beberapa ternaknya. Tak sampai tengah hari, bi-
natang dagangannya sudah laku terjual. Haus
menjadi jadi di tenggorokan. Seraya menyapu pe-
luh, lelaki muda berkulit coklat gelap itu mendekati tepian sungai.
Pada batu besar di tepi sungai, dia ber-
jongkok untuk menciduk air dengan tangan. Bebe-
rapa teguk, diminumnya air sungai berair jernih.
Puas memberantas rasa haus, dia hendak melan-
jutkan perjalanan kembali. Sebelum niatnya ter-
laksana, dilihatnya lobang besar yang mencekung
dalam di tepian sungai tak jauh dari tempatnya
berjongkok. Dari atas tadi, lobang berbentuk goa kecil itu tak terlihat karena
terhalang oleh tanaman liar.
Semula lelaki muda itu tak terlalu tertarik.
Lobang seperti itu memang sering ditemui di tepi sungai. Mungkin akibat kikisan
arus. Namun, lain perkara kalau dia menyaksikan samar-samar sesuatu sebesar
manusia bergerak-gerak di dalam
sana. Dari tempatnya kini, tak begitu jelas. Perut lobang agak gelap. Sulit
menentukan benda apa
gerangan. Kalau belut, tak mungkin sebesar itu.
Ular" Bukankah ular Sanca ada yang sebesar
orang" Duganya was was
Penasaran, hatinya ingin mencari tahu.
Namun, rasa takut membuatnya mengurungkan
niat. Akhirnya dia naik kembali ke tepian.
Baru saja hendak beranjak, langkahnya
segera dihentikan manakala disaksikannya sehelai pakaian perempuan terhanyut
dari dalam lobang.
Timbul lagi kecurigaannya. Jangan-jangan yang
kulihat dalam lobang memang benar manusia, pi-
kirnya. Siapa tahu ada perempuan kampung yang
hanyut ketika sedang mencuci di pinggir sungai.
Lelaki muda itu akhirnya kembali ke atas
batu besar. Sebelumnya, dia mencari dahan pohon
kering panjang. Dengan dahan itu, dikorek-
koreknya lobang tadi. Beberapa saat kemudian,
kecurigaannya terbukti. Dahan di tangannya ter-
sangkut sesuatu. Ketika ditarik, ternyata rambut manusia, menyusul mayat seorang
perempuan muda dari dalam lobang! Sekujur tubuhnya sudah
agak membengkak. Kulitnya pucat kebiruan.
"Astaga, perempuan dari kampung mana
ini" Malang sekali nasibnya...," gumam lelaki mu-da itu. Karena berpikir mayat
yang ditemukannya
cuma seorang perempuan malang yang hanyut
oleh arus sungai, si lelaki muda berusaha men-
gangkatnya. Sebelum sempat melaksanakan itu,
dia dikejutkan oleh mayat perempuan lain yang
keluar dari dalam lobang karena terseret arus.
Matanya belum sempat berkedip ketika
berturut-turut keluar lagi mayat-mayat lain. Ada lebih dari sepuluh mayat telah
keluar dan terbawa arus sungai, dan itu belum juga berakhir. Semuanya perempuan!
Semuanya dalam keadaan men-
genaskan! Wajahnya yang semula tenang, sekarang
berubah memucat. Seumur-umur, tak pernah di-
dengarnya ada orang hanyut ramai-ramai. Mana
perempuan semua. Kalau bukan mimpi siang bo-
long, pasti dia sedang mabuk. Air sungainya beracun" Atau....
Lelaki muda itu bergidik. Sudut bibirnya
terungkit tinggi. Matanya jelalatan. Aku pasti sedang berdiri di tengah-tengah
kerajaan siluman
sungai, pikirnya. Siluman yang biasa memangsa
jiwa perempuan untuk sarapan!
Tak lama kemudian....
"Tuolooooooong!"
Lintang-pukang, da melarikan diri. Uang
hasil menjual ternaknya berceceran, dia tak pedu-li. Anak bininya tak makan
seminggu pun, dia tak peduli. Daripada dirinya ikut jadi bangkai di sungai,
lebih baik secepatnya minggat! Sepanjang jalan menuju desa, terus saja dia
berteriak-teriak sampai serak.
* * * Sekarang masalahnya jadi terang bende-
rang buat Pendekar Muka Bengis. Kawan tengik-
nya, Gendut Tangan Tunggal memang pantas ciut
nyali ketika menyadari siapa sesungguhnya tua
bangka cebol berwajah seperti perempuan.
"Jadi, dia itu Penjaga Gerbang Neraka"!"
Terperangah-perangah, Pendekar Muka
Bengis mengulang bisikan Gendut Tangan Tung-
gal. Penjaga Gerbang Neraka untuk orang seang-
katan Gendut Tangan Tunggal adalah momok.
Kendati berusia lebih muda, Pendekar Muka Ben-
gis pun masih amat kenal dengan julukan besar
itu. Julukan besar yang patut disejajarkan dengan seorang sesepuh dunia
persilatan tanah Jawa, Dedengkot Sinting Kepala Gundul, guru Satria Gen-
deng! Sebenarnya, manusia cebol sakti itu tak
perlu ditakuti oleh siapa pun. Penyebabnya karena dia tak pernah menurunkan
tangan kejam pada
siapa pun. Namun kalau sedikit saja ada orang
mengusiknya, maka tak pandang dari golongan
sesat atau lurus orang itu akan dihabisinya tanpa ampun. Sekali dia bertindak,
maka akan jatuh
korban nyawa. Sekecil apa pun kesalahan, baya-
rannya tetap nyawa!
Kesaktian Penjaga Gerbang Neraka pada
zamannya sulit dicari tandingan. Hanya ada bebe-
rapa orang yang dianggap setingkat dengannya.
Termasuk Manusia Makam Keramat. Biarpun ke-
duanya tak pernah sekali pun bertarung, kalangan persilatan tetap yakin akan
perimbangan kesaktian mereka.
Tampaknya, kisah-kisah para tokoh man-
draguna sezaman dengan Dedengkot Sinting Kepa-
la Gundul sudah menjadi cerita yang terus terse-
bar dari mulut ke mulut, dari satu keturunan ke
keturunan berikutnya.
Sementara usia mereka sudah demikian
tua dan jarang menampakkan diri lagi, kebesaran
nama mereka tetap menggetarkan nyali orang-
orang persilatan yang satu-dua generasi lebih mu-da. Seperti Gendut Tangan
Tunggal yang mewakili
tokoh generasi kedua Pendekar Muka Bengis me-
wakili generasi ketiga. Tak heran Gendut Tangan
Tunggal langsung kelabakan setengah edan ketika
Penjaga Gerbang Neraka mulai mengamuk.
"Kenapa kau tak bilang sejak tadi kalau dia adalah Penjaga Gerbang Neraka"!"
bentak Pendekar Muka Bengis.
"Aku juga baru menyadari ketika perem-
puan kaleng rombeng itu berbicara dengan bahasa
isyarat tangan padanya! Seingatku, hanya ada sa-
tu tokoh bertubuh cebol, tuli, dan bisu. Ya, Penjaga Gerbang Neraka itu!"
"Mampuslah kau, Gendut!"
"Apa maksudmu?"
"Apa kau lupa, Penjaga Gerbang Neraka tak
pernah mau ada orang lain berbuat salah pa-
danya. Sekali dia gusar, hanya nyawa yang akan
bisa mendinginkan darahnya...."
Gendut Tangan Tunggal meringis ngeri.
Dengan suara berdesis-desis dia berkata, "Itulah makanya aku jadi kelimpungan
tadi. Jadi, bagaimana sekarang?"
Pendekar Muka Bengis melirik Penjaga
Gerbang Neraka. Naga-naganya, tua bangka sakti
mandraguna siap melancarkan serbuan ganasnya
"Kau lihat bola matanya itu, Gendut," ucap Pendekar Muka Bengis. "Kilat matanya
begitu me-nyeramkan. Aku bisa merasakan bagaimana dia
begitu berselera menyedot otakmu," lanjutnya tegang, nadanya seperti menakut-
nakuti. Apalagi
paras wajahnya dibuat amat tegang. Matanya
mendelik-delik setiap kali berkata.
Kontan Gendut Tangan Tunggal meraba-
raba ubun-ubun. Wajahnya sudah seperti orang
kelupaan buang air sebulan penuh.
"Dan dia pun tampaknya begitu bernafsu
untuk mengaduk-ngaduk isi perutmu dengan ja-
rinya!" susul Pendekar Muka Bengis, nada bica-ranya kian menakut-nakuti.
Seketika Gendut Tangan Tunggal mende-
kap perutnya. "Dia juga begitu ingin mencabut benda ra-
hasiamu lalu mengunyahnya"
Detik itu juga, Gendut Tangan Tunggal jadi
pelanga-pelongo.
"Benda rahasia apa maksudmu?" tanyanya.
Pendekar Muka Bengis melirik selangkan-
gan orang tua rakus itu.
"Mak!" jerit Gendut Tangan Tunggal sambil
mendekap 'benda rahasia'nya erat-erat.
"Di samping itu, tampaknya dia pun begitu
berhasrat untuk...."
"Diam diam diam! Kau sama sekali tidak


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membantuku menyelesaikan urusan ini, Bengis
Sialan!" potong Gendut Tangan Tunggal, uring-uringan.
"Jadi apa yang harus kulakukan" Memban-
tumu berkelahi menghadapinya" Ah, terima kasih
banyak! Aku masih mau hidup lebih lama."
"Jadi bagaimana?" tanya Gendut Tangan
Tunggal, suaranya sudah terdengar memelas.
"Mampuslah kau, Gendut!"
Sebelum Penjaga Gerbang Neraka telanjur
'memporak-porandakan' si manusia kelebihan le-
mak, dari arah lain terdengar suara teriakan serabutan seseorang.
"Tuoo...looooong! Ada bangkai-bangkai pe-
rempuan di muara sungai! Ada perempuan-
perempuan bangkai! Bangkai di muaranya perem-
puan, eh anu... ada banyak bangkai perempuan di
muara!" Tangan Tunggal, Pendekar Muka Bengis, atau pun Dewi Melati sama-sama
menoleh ke asal
teriakan. Mereka menemukan seorang lelaki desa
muda sedang berlari pontang-panting. Penjaga
Gerbang Neraka sendiri turut menoleh. Bukannya
dia mendengar teriakan tadi, melainkan karena
kepekaan kulitnya yang sanggup untuk menang-
kap getaran suara dari jarak yang terbilang jauh.
Demi mendengar teriakan lelaki itu, Dewi
Melati langsung terpikir pada beberapa perempuan yang diculik oleh Pasukan
Kelelawar. Dia bersalto cepat. Dihadangnya si lelaki
desa. "Ada apa"!" tanyanya bernada menghardik
seraya mencengkeram leher baju lelaki desa itu.
"Bu... bukan aku yang membunuh mereka.
Sumpah mampus, Nona! Me... mereka sudah ku-
temukan menjadi bang... kai. Pas... pas... pasti semua itu perbuatan siluman-
siluman sungai.
Percaya saja, Nona!" gagap si lelaki desa.
"Aku tak menanyakan itu, Tolol! Yang ku-
tanyakan, apa yang telah kau lihat di muara sun-
gai"!" "Bang... bang... bangkai Nona!"
"Aku masih hidup, kunyuk!"
"Maksudku, ada banyak bangkai perem-
puan di muara sungai, No... na!"
Dewi Melati melepaskan cengkeramannya
pada leher baju lelaki itu.
"Aku yakin, mereka adalah tumbal Manu-
sia Makam Keramat yang hari-hari terakhir diculik oleh Pasukan Kelelawar...,"
gumamnya. "Bukan kelelawar, Nona! Tapi bangkai-
bangkai perempuan. Percaya saja, Nona!"
"Ah, pergi sajalah kau!" hardik Dewi Melati.
Si lelaki desa ngacir lagi.
Dewi Melati sendiri langsung menggenjot
ilmu lari cepatnya menuju muara sungai. Menyak-
sikan 'istri angkat'nya beranjak pergi dengan ter-gesa-gesa, Penjaga Gerbang
Neraka langsung
membuntuti. "Fhuahhh...," hembus Gendut Tangan
Tunggal, lega. "Selamat... selamat," gumamnya sambil mengurut dada, setelah
kepergian si tua
bangka cebol. Pendekar Muka Bengis lebih penasaran
dengan berita tadi. Dia segera menyusul Dewi Me-
lati dan Penjaga Gerbang Neraka. Disambarnya tas besar yang tergantung di bahu
Gendut Tangan Tunggal, diseretnya untuk ikut. Kalau cuma dis-
uruh, mana dia mau" Itu sama saja mendekati lagi Penjaga Gerbang Neraka. Ular
mencari penggebuk!
TUJUH SEPENINGGALAN empat tokoh persilatan
yang bertabiat aneh-aneh tadi, tempat yang mere-
ka tinggalkan menjadi sepi. Tak ada Lagi keribu-
tan yang membuat telinga pekak.
Di dekat semak-belukar lebat yang tumbuh
di tanah agak melandai ke bawah, sesosok tubuh
tergeletak diam. Ada luka dalam cukup parah
mendekam dalam tubuhnya. Hal itu yang menye-
babkannya tak bergerak kehilangan kesadaran.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Mu-
ka Bengis memang keterlaluan! Bagaimana mung-
kin dua manusia 'angot-angotan' itu melupakan
begitu saja Satria di sana" Pemuda itu memang
Satria Gendeng. Jatuh pingsan sekian lama sete-
lah terhajar pukulan Penjaga Gerbang Neraka.
Alasan yang paling mungkin, Gendut Tan-
gan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis lupa pada
Satria Gendeng. Mereka tentu terlalu bernafsu untuk membuktikan berita yang
dibawa pemuda de-
sa sebelumnya. Saking bernafsu, mereka jadi lupa teman sendiri. Tidak sekalian
lupa pada dengkul
sendiri! Sendiri, Satria masih tergeletak. Posisi tubuhnya setengah
tertelungkup. Tak ada gerak se-
kecil apa pun. Hanya tampak turun naik pung-
gungnya. Napas yang lemah.
Waktu beringsut bergandengan dengan se-
pi. Beberapa satwa memperdengarkan bunyi.
Sebagian mengendap-endap dalam persembu-
nyian. Semak-semak bergerak terusik mereka.
Namun, tak cuma satwa yang mengendap-endap
di semak-semak. Di sisi lain sekitar tiga puluh de-pa ke tenggara dari tempat
Satria Gendeng tergeletak, muncul sembilan kepala kecil dari belukar lebat.
Kepala-kepala itu bersembulan bergiliran.
Mata setajam sembilu, segarang kelelawar penghi-
sap darah menatapi tubuh Satria Gendeng tanpa
kedip. Tanpa menimbulkan suara, satu persatu
para pengintai tadi melompat dari tempat persem-
bunyian. Bahkan semak pun tak menimbulkan
suara berarti. Hanya dengan sekali lompatan saja, kesembilan sosok itu berhasil
mencapai tempat
Satria Gendeng tergeletak. Mereka melayang me-
lewati jarak sejauh itu seolah terbang!
Sebentar kemudian, kesembilan sosok yang
tak lain Pasukan Kelelawar itu sudah mengelilingi tubuh pemuda sakti tanah Jawa.
Salah seorang dari mereka membalikkan tubuh Satria Gendeng.
Manakala menyaksikan wajah Satria, kesembilan
bocah menampakkan perubahan mimik. Ada ke-
san keterkejutan bercampur girang. Seolah paras
wajah bocah kecil yang menemukan peti gula-gula.
Sejenak mereka saling bertukar pandang. Dengan
isyarat mata, seolah mereka sedang berbicara satu dengan yang lain. Hanya
dimengerti oleh mereka,
para bocah ajaib itu berbicara.
"Bukankah orang ini yang telah mengusik
tempat semadi kita waktu itu?" tanya seorang bocah. Yang lain membenarkan.
"Ini kesempatan kita untuk membawanya
kepada Eyang!" usul satu bocah.
"Bukankah Eyang menyuruh kita untuk
melaksanakan tugas kita saja. Soal orang ini,
Eyang yang nanti akan mengurusnya. Begitu pe-
san Eyang dulu!" sergah yang lain.
"Tapi, bukankah Eyang menginginkan sen-
jata milik orang ini"!" tukas bocah sebelumnya sambil menunjuk pada Kail Naga
Samudera yang terselip diikat pinggang Satria Gendeng.
Kesembilan bocah itu saling menatap kem-
bali. Mereka mengamati senjata pusaka Satria
Gendeng bagai menatapi sesuatu yang begitu
aneh. Seorang bocah yang tampaknya menjadi
pemimpin di antara Pasukan Kelelawar, mulai
berkata kembali.
"Kita memang tahu Eyang pernah bilang
kalau dirinya menginginkan benda pusaka itu.
Cuma kita tidak tahu, apakah Eyang menghendaki
benda itu saja atau sekaligus dengan pemilik-
nya...." "Jadi?"
"Ku putuskan, sebaiknya kita pakai ke-
sempatan ini, selagi orang itu masih tak sadarkan diri. Kalian berdua, sebaiknya
membawa orang ini kepada Eyang. Sementara, aku dan yang lain akan
mencari perempuan lain. Eyang Guru harus sece-
patnya dibebaskan dari kematiannya!"
Delapan bocah yang lain mengangguk setu-
ju. Setelah itu, dua bocah yang ditunjuk untuk
membawa Satria Gendeng segera mendekati tubuh
lunglai pemuda itu. Diangkatnya tubuh si pemu-
da. Bersama-sama, keduanya membopong Satria.
Bocah yang mengangguk sebelumnya,
mengeluarkan suara. Seperti geraman, tapi beri-
rama. Dua bocah pembopong Satria Gendeng
mengangguk. Keduanya lalu meninggalkan tempat
tersebut. Sedangkan sisanya pergi meninggalkan
tempat itu ke arah berbeda.
* * * Sore kehilangan kegarangan sinar mataha-
ri. Kendati begitu, bumi masih memendam panas.
Debu masih cukup ringan untuk diterbangkan an-
gin. Melayap kian kemari. Terlebih ketika satu kereta kuda membelah jalan
berkerikil dan berdebu.
Dari kejauhan kepulan debu terlihat. Ter-
bangun tinggi dan rapuh. Kecepatan kereta kuda
itu demikian menggila. Seolah sedang mengejar
atau dikejar oleh segerombolan hantu pemakan
manusia. Dari bentuknya, kereta kuda itu bukan
sembarang kendaraan. Melainkan sebuah kereta
kencana yang tergolong indah. Berwarna hitam
dengan sepuhan emas pada logamnya di beberapa
bagian. Ada dua kuda jantan putih perkasa meng-
hela di depan. Kaisnya tak henti melepas lecutan cemeti
ke udara. Cletar cletar! Kaisnya sendiri adalah seorang berpakaian
hitam-hitam. Potongan pakaiannya bergaya nin-
grat Pajajaran. Mengenakan blangkon parahiyan-
gan. Anehnya, wajah orang itu ditutup oleh sema-
cam topeng ukiran kayu seperti tokoh pewayan-
gan. Ke arah barat, kereta kencana terus menu-
ju. Liar larinya. Ditingkahi ringkik jalang sepasang kuda.
Kepulan debu membanggakan diri.
Sepanjang angin sanggup menggebah. Ada
sesuatu. Yang diburu.
Kereta kencana tiba di satu bukit yang ta-
nahnya melandai. Bukit tandus berumput. Kusir
bertopeng berteriak lantang, menyemangati dua
hewan di depannya untuk terus melaju.
Bukit didaki. Kuda meringkik-ringkik, ber-
kutat naik mengangkut beban.
Tiba di puncak bukit, kusir bertopeng
menghentikan keretanya. Dia menggulung cemeti
di tangan kanan. Lalu melompat turun ringan.
Di samping kereta kudanya, kusir tadi ber-
diri. Pandangannya terlepas bebas ke bawah sana.
Seakan elang angkuh tengah mengintai mangsa di
angkasa. Menanti. Caranya mengawasi seperti telah begitu
yakin pada apa atau siapa yang dinantinya. Sekian menit terlewat.
Tidak lama, matanya tertumbuk pada pe-
mandangan di kejauhan. Dua bocah kecil yang
berlari seperti dua macan gurun membopong se-
seorang. Terdengar hempasan napas kusir berto-
peng. Merekalah yang dinantinya.
Sesaat orang itu meremas gagang cemeti di
tangan kanannya.
"Saatnya bertindak," ucapnya, di antara dengus angin mengguliri bukit.
Dan tubuhnya mencelat tinggi-tinggi. Cam-
buknya menggelepar di udara. Ketika cambuk
membuat satu sabetan ke belakang, terciptalah
dorongan amat kuat yang meluncurkan tuannya
seperti anak panah lepas dari busur.
Melayang. Satu tenaga dorongan cambuknya sanggup
melemparnya hingga ke tepi bukit. Tubuhnya me-
layang turun. Kaki menjejak sekali.
"Heaa!"
Berteriak dia. Seiring dengan itu, tubuhnya
mencelat deras kembali ke angkasa. Tindakan
yang sama diulangi. Cambuk bergeletar. Udara di-
belah. Gelegar angker terdengar.
Cletarr! Tubuh lelaki itu pun melayang untuk ke-
dua kalinya. Beberapa kali tindakan itu diulang, sampai
akhirnya jarak dengan dua bocah terpangkas ha-
bis. Dia menjejakkan kaki, tepat delapan depa di depan dua buruannya.
"Berhenti kalian!" hardiknya.
Dua bocah yang tak lain anggota Pasukan
Kelelawar terpaksa menghentikan lari. Mereka se-
benarnya telah berusaha untuk melepaskan diri
kejaran kusir bertopeng di udara. Namun, kecepa-
tan lesatan tubuh pemburunya ternyata jauh lebih hebat. Dua bocah yang membopong
Satria Gendeng menggeram penuh gusar karena ada orang
yang telah melancangi mereka.
Bola mata keduanya yang telah memerah,
kian memerah. "Lepaskan!" perintah kusir bertopeng.
Hanya dengan satu kata, perintahnya cu-
kup jelas bagi kedua bocah. Mereka harus mele-
paskan orang yang mereka bopong. Tapi, mereka


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali tak menggubris. Tidak untuk satu ke-
dipan mata pun!
Cletar! "Lepaskan!!!" ulang kusir bertopeng. Sekali ini dibayangi oleh salakan
cemetinya. Dua bocah sakti tak sudi begitu saja menu-
ruti. Keduanya tersurut mundur.
"Kalian memang makhluk 'buatan' si ma-
nusia durjana yang patut dikasihani," ucap kusir
dari balik topeng kakunya. "Namun, aku tak bisa membiarkan kalian membawa pemuda
itu kepada Eyang Busuk kalian!"
Kendati diucapkan dengan landai, kata-
kata kusir bertopeng tetap menandaskan satu ke-
putusan. Bahwa kedua bocah di depannya harus
melepaskan Satria Gendeng. Jika tidak, maka tan-
gan akan berbicara!
DELAPAN EMPAT orang sampai di muara sungai.
Siapa lagi kalau bukan Gendut Tangan Tunggal,
Pendekar Muka Bengis, Dewi Melati, dan Penjaga
Gerbang Neraka"
Seperti kata pemuda desa, mereka mene-
mukan mayat-mayat yang mulai digiring arus itu
berasal dari sebuah lobang di tepian sungai yang tanahnya agak tinggi. Bernafsu,
Penjaga Gerbang
Neraka segera melompat ke sungai. Ada batu be-
sar dekat lobang yang bisa dijadikan tempat hinggap, tapi dia tak ke sana.
Sebaliknya, seperti sengaja tubuhnya malah menuju permukaan sungai.
Dalam hati Gendut Tangan Tunggal mem-
bodoh-bodohi tua bangka kerdil itu. Bagaimana
manusia tolol macam dia bisa menjadi momok
menakutkan sampai sekarang" Setelah itu, Gen-
dut Tangan Tunggal berubah kagum. Bagaimana
tidak" Penjaga Makam Keramat telah hinggap di
atas permukaan air sungai! Tepat di depan lobang berbentuk goa tadi. Lebih
mengagumkan dari itu,
tubuhnya tak turut terbawa arus, seakan tak per-
nah benar-benar menyentuh permukaan sungai.
Pendekar Muka Bengis pun tak kalah ter-
kagum-kagum. Tak percuma orang tua cebol ini
seangkatan dengan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul, pujinya membatin.
Penjaga Gerbang Neraka mulai mengawasi
lobang. Di dalam sana gelap. Sulit untuk bisa menentukan kedalamannya. Bangkai
wanita terakhir
sudah pula keluar dan terbawa arus laut. Tampak
kalau dia sudah lupa pada persoalan dengan Gen-
dut Tangan Tunggal. Karena urusan baru yang di-
hadapi kini diyakini berhubungan erat dengan
Manusia Makam Keramat.
Tangan kecil berjari-jari pendek Penjaga
Gerbang Neraka menyiapkan senjata. Nalurinya
memperingati ada sesuatu di dalam sana yang
mengandung bahaya maut.
Tiga orang di atas tepian sungai menatap-
nya dengan tegang.
Seperti bayangan, tubuh Penjaga Gerbang
Neraka mulai maju. Tak sedikit pun terlihat orang kerdil berjiwa raksasa itu
menggerakkan bagian
tubuhnya. Bagi pemilik mata jeli dan terlatih seperti Gendut Tangan Tunggal dan
Pendekar Muka Bengis, hal itu dapat dipahami. Kesempurnaan pe-
ringan tubuh Penjaga Gerbang Neraka menyebab-
kan dia mampu memanfaatkan angin halus untuk
menggeser posisinya di atas permukaan sungai.
Sungguh satu unjuk kebolehan langka!
Selagi Penjaga Gerbang Neraka tiba tepat di
depan mulut lobang, Pendekar Muka Bengis men-
dadak teringat sesuatu.
"Astaga, kita telah lupa pada anak muda
itu...," gumamnya pada Gendut Tangan Tunggal.
Tanpa mengalihkan pandangan takjub ke
arah Penjaga Gerbang Neraka, Gendut Tangan
Tunggal menyahut segan-segan, "Anak muda siapa maksudmu?"
Pendekar Muka Bengis gusar juga dengan
jawaban berkesan kosong itu.
"Satria! Kau pikir siapa lagi"! Kau memang
manusia kerbau! Apa kau lupa, pemuda itu mem-
pertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkanmu
dari senjata tua bangka cebol itu"!"
Mendapat semburan 'sambar geledek' ma-
cam itu, barulah Gendut Tangan Tunggal tersadar.
Kepalanya menoleh. Ditatapnya Pendekar Muka
Bengis. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya, kebodohan.
Apa yang kita lakukan" Ulang Pendekar
Muka Bengis dalam hati, menggerutu. Sekali lagi
dan seterusnya, Gendut Tangan Tunggal memang
manusia kerbau! Rutuknya, masih tetap memba-
tin. Merasa ikut tolol kalau menjawab pertanyaan amat tolol kawannya, Pendekar
Muka Bengis tak
menunggu lebih lama. Segera digenjot tubuh,
kembali ke tempat sebelumnya.
"Kau hendak ke mana, Bengis?" teriak
Gendut Tangan Tunggal. Dibuntutinya lelaki ber-
wajah tak sedap dipandang itu.
Satu pertanyaan amat tolol lagi! Kenapa
dengan manusia satu ini" Apa karena kehabisan
persediaan makanan di kantong besarnya dia
menjadi agak ling-lung" Atau karena belum sem-
pat menyikat makanan lagi, lalu cacing-cacing pe-liharaan dalam perutnya hijrah
ke kepala lalu memangsa otaknya"
Dasar manusia kerbau!
Tiba di tempat tujuan, Pendekar Muka
Bengis dibuat tertegun. Satria Gendeng sudah tak ada lagi di tempatnya terjatuh.
Lelaki itu hanya menemukan bercak-bercak darah yang belum
sempat mengering. Besar kemungkinan akibat lu-
ka dalam yang dideritanya.
"Ke mana pendekar muda itu?" bisik Pendekar Muka Bengis gamang. Menyelinap cepat
kekhawatiran dalam dirinya. Kekhawatirannya
bukan tak beralasan. Terakhir, diketahui bahwa
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul itu ter-
lempar oleh hantaman Penjaga Gerbang Neraka.
Mungkinkah pendekar muda tanah Jawa
itu telah meninggalkan tempat tersebut tanpa di-
ketahui yang lain" Pendekar Muka Bengis tak be-
gitu yakin. Kalau seandainya Satria masih sang-
gup bangkit, tentu dia tak akan pergi ke mana-
mana. Dan tentu pula dia akan mengikuti yang
lain menuju muara sungai.
Ada kemungkinan lain. Satria Gendeng
menyaksikan sesuatu atau seseorang yang dicuri-
gai lalu meninggalkan tempat itu untuk menyeli-
diki. Untuk kemungkinan satu ini, Pendekar Muka
Bengis tak bisa memastikan. Tak ada sedikit pun
petunjuk yang bisa menjelaskan kemungkinan
tersebut. Gendut Tangan Tunggal tergopoh-gopoh
sampai dan langsung bertanya.
"Dia ada?"
Pendekar Muka Bengis cuma bisa mengge-
leng. "Tidak ada" Jadi ke mana?" susul Gendut Tangan Tunggal.
Jawaban Pendekar Muka Bengis gelengan
lagi. "Aku khawatir, ketika pendekar muda itu tak sadarkan diri, ada seseorang
yang membawanya," gumamnya kemudian.
"Kalau yang membawanya perawan desa
denok, montok, ayu, dan mulusssss, aku juga
mau!" "Jangan bergurau, Gendut! Yang ku kha-
watirkan, jika salah seorang dari Pasukan Kelelawar kembali dan membawanya
pergi!" Gendut Tangan Tunggal mengerutkan ken-
ing. Kepalanya mengangguk-anggguk berirama.
"Iya, juga ya...," gumamnya. "Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?"
tanyanya kemudian.
"Kita harus mencarinya?"
"Aku setuju. Tapi...."
"Tapi, apa?"
Sebelum menjawab pertanyaan Pendekar
Muka Bengis, orang tua buncit itu cengar-cengir
tanpa dosa. "Tapi, bisakah kita mencari perbekalan
makanan dulu" Kantong ku ini sudah bures," ka-tanya seraya mengangkat tas besar
hitam dari be- lakang punggungnya.
* * * Kembali ke muara sungai.
Saat itu, Penjaga Gerbang Neraka sedang
terdera detik-detik menegangkan. Dia sudah men-
capai mulut lobang. Dengan segenap serat tubuh
yang mengejang. Penyebabnya cuma satu. Tua
bangka kerdil itu yakin bahwa lobang tepat dite-
mukannya bangkai para perempuan berhubungan
dengan manusia iblis yang diburunya selama ini,
Manusia Makam Keramat! Sesakti apa pun di-
rinya, tak bisa dipungkiri bahwa lawannya, Manu-
sia Makam Keramat memiliki kesaktian sulit teru-
kur. Satu buktinya adalah penyematan sebutan
Sang Dewa Petaka pada dirinya!
Lobang yang hanya setinggi paha dan sele-
bar lengan manusia sudah pasti tak akan cukup
untuk memuat belasan bangkai. Kecuali jika lo-
bang itu berbentuk lorong panjang. Lorong pan-
jang yang mungkin terbentuk oleh aliran sungai
bawah tanah itu tentu dimanfaatkan pihak lawan
untuk membuang bangkai-bangkai perempuan
yang telah mereka culik. Jika benar begitu, maka besar kemungkinan lorong
panjang aliran sungai
bawah tanah berhubungan langsung dengan tem-
pat persemayaman Manusia Makam Keramat dan
Pasukan Kelelawar-nya. Hal itu diyakini benar-
benar oleh Penjaga Gerbang Neraka.
Semak-belukar dan alang-alang di mulut
lobang tersingkap ketika tubuh Penjaga Gerbang
Neraka terus mengapung maju di atas permukaan
air. Tinggi Penjaga Gerbang Neraka memungkin-
kan dia tak perlu merunduk untuk dapat melewati
lobang. Sampai batas itu, tak ada kejadian apa-
apa. Bahkan sampai tubuh manusia kecil itu
tertelan lobang.
Dewi Melati di tepian, tepat di atas lobang,
makin tenggelam dalam ketercekaman. Sampai
cukup lama dia tak mendengar suatu suara pun,
serta tak menyaksikan kemunculan Penjaga Ger-
bang Neraka. Dewi Melati waswas.
Apakah sudah saatnya dia harus melompat
turun ke sungai dan menyusul tua bangka cebol
itu ke dalam lobang" Apa manfaatnya kalau dia
ikut masuk, sementara lawan yang akan dihadapi
kenyataannya tak mungkin ditandingi kesaktian-
nya, kecuali oleh gurunya sendiri"
"Ah, peduli setan!" tuntasnya. Dia tak bisa membiarkan lelaki cebol itu
mengalami kesulitan
sendiri! Sudah terlalu banyak jasanya pada Dewi
Melati. Terlalu banyak. Kalaupun Dewi Melati
mengorbankan nyawa untuknya, mungkin masih
pantas! Tak menimbang untuk kesekian kali, pe-
rempuan cantik setengah baya itu melemparkan
dua helai daun dari pohon di dekatnya.
Di atas sungai, daun mengapung. Dewi Me-
lati meloncat. Tepat di atas kedua helai daun, dia berdiri. Tangannya membuat
kipasan ke belakang.
Tubuhnya pun mulai meluncur perlahan menuju
lobang. Jauh di ujung lorong sana, sesuatu sedang terjadi. Dan dua orang itu,
sama sekali tak menyadari....
* * * Ke mana hendak mencari si pendekar mu-
da tanah Jawa, Satria Gendeng, bukan jadi perka-
ra gampang buat Gendut Tangan Tunggal dan
Pendekar Muka Bengis. Pasalnya, mereka sama
sekali belum menemukan satu petunjuk berarti.
Keputusan sudah diambil. Mereka harus
tetap mencari Satria. Tinggal bagaimana cara me-
reka mencari tahu tanda-tanda sebagai petunjuk
untuk memulai pencarian. Kalau benar Satria di-
larikan seseorang ketika sedang tak sadarkan diri, setidaknya mereka dapat
menemukan jejak. Begitu pikir Pendekar Muka Bengis. Karenanya dia
mulai meneliti tanah di sekitar tempat tersebut.
Dia melangkah merunduk-runduk.
Gendut Tangan Tunggal turut melangkah
merunduk-runduk di sampingnya. Badan yang
sudah sulit sedikit saja 'dilipat' karena besar perut yang kelewatan, membuat
napas Gendut Tangan
Tunggal tersengal-sengal. Belum lagi cukup lama
mencari. "Ngik... hhhh... ngik... hhhh."
Manusia satu itu akhirnya tak tahan Lagi.
Dia menegakkan badan. Melakukan tindakan tadi,
terasa sedang dicekik selusin genderuwo baginya.
Tolol sekali dia sudi menyiksa diri. Dengan wajah bersungut-sungut merah padam,
dia membentak Pendekar Muka Bengis.
"Sejak tadi kita berjalan merunduk-
runduk. Sebenarnya ada apa, sih?"
Tobat! Kalau tak tahu alasan berjalan me-
runduk-runduk seperti maling ayam kesiangan,
kenapa 'bayi ajaib' itu pakai ikut-ikutan segala"


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa malas dia sedikit berpikir untuk mencari
pemecahan masalah hilangnya Satria Gendeng.
Bahkan sekadar untuk mengetahui alasan ka-
wannya merunduk-runduk.
Jengkel, Pendekar Muka Bengis tak me-
nyahut. Terus saja dia meneliti. Tak memakan
waktu begitu lama, Pendekar Muka Bengis berha-
sil menemukan ceceran darah di antara semak.
"Ketemu!" seru Pendekar Muka Bengis tertahan. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa
permisi sama sang empunya, langsung leher baju Gendut
Tangan Tunggal ditariknya.
"Lihat. Kita harus mengikuti tetesan darah
itu!" ujar Pendekar Muka Bengis seraya menunjuk ke arah semak-semak. "Kau
mengerti"! Gendut, apa kau mengerti"!"
Percuma bentakan sesengit apa pun. Kare-
na, orang yang ditanya sedang mendelik dengan
lidah menjulur keluar. Rupanya, Pendekar Muka
Bengis terlalu bernafsu menarik leher baju Gendut Tangan Tunggal!
"Kau mencekik ku, sialan!" maki Gendut Tangan Tunggal setelah Pendekar Muka
Bengis melepaskan cekalannya. Dalam hati, lelaki ber-
tampang berangasan itu sebenarnya ingin lebih
lama melakukannya. Kalau perlu sampai isi perut
si manusia gentong keluar semua! Mampus, mam-
pus sekalian! Untung Pendekar Muka Bengis masih
punya prike'kerbau'an!
"Baiknya, kita cepat ikuti saja ceceran da-
rah itu!" sergah Pendekar Muka Bengis ketika tangan Gendut Tangan Tunggal
teracung geram hen-
dak menitipkan bogem.
"Bagaimana?" cecarnya, tak memberi ke-
sempatan Gendut Tangan Tunggal untuk memba-
las. Gendut Tangan Tunggal jadi 'geregetan'
sendiri. Karena terlalu ngotot ditahan-tahan, akhirnya keluar dari 'belakang'.
"Bagus!" ujar Pendekar Muka Bengis, mendapat jawaban pun belum. Apa dikiranya
ucapan Gendut Tangan Tunggal memang lebih mirip ken-
tut" Atau kentut Gendut Tangan Tunggal sebenar-
nya memang mirip ucapan"
* * * Ancaman tengah mendatangi Penjaga Ger-
bang Neraka dan Dewi Melati. Dari satu ujung lo-
rong sungai bawah tanah. Mendekat, semakin de-
kat. Bentuknya berupa sinar merah benderang.
Laksana segumpal bara yang meluncur langsung
dari dasar terdalam neraka. Warna sangar yang
menyapu dinding tanah di sisi-sisi lorong. Seakan menggarangnya.
Melesat. Melahirkan suara halus, namun pekat.
Mirip desisan. Juga mirip dengung.
Di atas permukaan air, riaknya turut me-
merah. Berkelindan dalam setiap kelokan.
Sampai tiba. Mata Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi
Melati dipaksa membelalak terlalu besar demi me-
nyaksikan kedatangan cahaya merah dari arah
depan mereka. Seketika, lorong menjadi amat te-
rang. Kejap yang sama, mata kedua orang itu se-
perti dibutakan secara mendadak. Tanpa sadar,
keduanya mengangkat tangan ke depan wajah un-
tuk menghalangi terjangan cahaya teramat menyi-
laukan. Sudah pasti, akan terlalu sulit bagi tokoh sesakti apa pun menghindar di
tempat yang terlampau sempit. Mengelak ke dinding lorong, sera-
pat apa pun tak menjamin akan berhasil meng-
hindar dari terjangan cahaya merah menyala.
Hanya ada satu tindakan bisa dilakukan.
Melepas hantaman balik ke arah cahaya tak di-
kenal. Jika berhasil, maka terjangan cahaya akan terhalau ke belakang kembali.
Dengan satu syarat, tenaga hantaman yang dilepas harus lebih kuat.
Jika tidak, maka sia-sia. Untung-untungan me-
mang. Tapi, lebih baik berusaha ketimbang tidak
sama sekali. "Wuuuuuukhhh!"
Seraya berteriak amat mengguntur, tua
bangka cebol menyentak sepasang telapak tan-
gannya ke depan. Ketika itu pula, mencelat dua larik sinar berwarna ungu.
Besarnya tak melebihi
cahaya merah tak dikenal. Namun, kekuatannya
belum bisa disebut lebih lemah. Itu ditentukan
nanti, ketika keduanya bertumbukan.
Bagi Dewi Melati, tidak ada satu tindakan
pun dapat dilakukan, kecuali terperangah dengan
mulut dan mata terpentang lebar-lebar. Kalaupun
hendak melakukan hantaman balik, dia harus
mempertimbang posisi Penjaga Gerbang Neraka di
depannya. Ssssss! Dua larik cahaya dari telapak tangan si
manusia cebol tak kalah garang memperdengar-
kan deru. Menggebu. Dinding, langit-langit lorong, dan permukaan air menjadi
medan cahaya ungu
dan merah. Pada satu titik, dua cahaya berbeda itu
bertemu. Satu menyerap yang lain. Melebur. Sunyi meringkus. Tanpa ada lagi
desis, tanpa ada lagi
deru, tanpa dengung. Hanya ada sebentuk warna
baru perpaduan keduanya. Benderang berdenyut-
denyut nyalang. Sebentar ungu meraja. Sebentar
merah berkuasa. Hanya berselang dua tarikan na-
pas.... Glar! Lorong digoncangkan. Air dihamburkan.
Dinding dan langit-langit tanah bergugu-
ran. Tubuh Penjaga Gerbang Neraka dan Dewi
Melati terpental keluar. Ramai, bersama dengan
pecahan tanah kering, batu, dan air. Dari mulut
lobang, mereka tak berhenti meluncur.
Cara mereka terpelanting keluar sungguh
menggetarkan hati. Keduanya bagai dihempas oleh
kekuatan badai samudera! Dari tepian sungai di
mana lobang berada, mereka meluncur keluar,
menyeberangi sungai dan menghajar beberapa ba-
tang pohon yang terbilang besar di tepian seberang hingga tumbang! Belum cukup
sampai di situ, tubuh mereka bergulingan deras sampai semak be-
lukar lebar menahan laju gulingan tubuh mereka.
Akan cukup beralasan kalau dikatakan pa-
sangan guru-murid itu akan menggalami luka pa-
rah. Dewi Melati yang jatuh lebih jauh di belakang Penjaga Gerbang Neraka, saat
itu juga kehilangan
kesadaran. Setelah sebelumnya dia mengeluh be-
rat dan memuntahkan cairan merah kehitaman
dari mulutnya. Berbeda dengan perempuan kaleng rom-
beng itu, si tua bangka cebol nyatanya punya cu-
kup andalan untuk menghadapi terjangan tenaga
amat dahsyat tadi. Terbukti, dengan amat sigap
dan tak kehilangan kelincahan setelah terhantam
keras tubuhnya mencelat dari atas tanah.
"Huuuukh!"
Satu hal lain yang patut dikagumi, lelaki
cebol itu sama sekali tak mengalami luka!
Di udara, tubuh kerdil Penjaga Gerbang
Neraka berpusingan layaknya gasing. Amat cepat.
Karena terlampau cepat, bentuk tubuhnya jadi tak jelas Lagi. Bisa dibilang, yang
nampak saat itu
cuma seperti putaran lonjong berwarna ungu sa-
mar, warna pakaian yang dikenakannya. Bunyinya
menderu-deru. Arahnya kembali menuju lobang di
seberang. Sementara itu, dari mulut lobang sendiri
telah mencelat keluar cahaya merah menyala bi-
ang keladi kejadian sebelumnya. Sampai detik itu, tak jelas bagi Penjaga Gerbang
Neraka apa gerangan yang tengah dihadapi. Seperti sengaja hendak menantang
pusingan menggila tubuh Penjaga
Gerbang Neraka, cahaya tadi turut menerjang me-
lewati sungai. Tepat di atas sungai, keduanya berbentro-
kan. Timbul ledakan sengit.
Suasana tercabik.
Sanggup merejam gendang telinga siapa
saja yang mendengarnya!
Menyusul kemudian dalam senggang wak-
tu yang demikian cepat, pusingan tubuh tua
bangka cebol tertahan di udara. Di lain pihak, cahaya merah menyilaukan menjadi
terburai-burai menjelajah udara.
Tubuh Penjaga Gerbang Neraka lalu menu-
kik turun. Menuju sungai. Sementara, cahaya
yang semula menjadi serpihan kecil, mendapat ke-
sempatan untuk menyatu kembali.
Dengan kali ini, berarti telah dua kali Pen-
jaga Gerbang Neraka bertumbukan langsung den-
gan cahaya menyilaukan tadi. Dua kali harus ber-
hadapan dengan sebentuk tenaga amat dahsyat
seperti itu, tentu akan membuat tua bangka itu
kehilangan banyak tenaga. Bukan tak mungkin
pula, benturan terakhir akan menikamkan luka
dalam parah. Lagi-lagi, manusia sakti bertubuh cebol itu
patut mendapat acungan jempol. Meski tubuhnya
menukik deras, dia tak pernah kehilangan ke-
seimbangan. Dengan amat ringan, kakinya menje-
jak kembali di atas permukaan sungai! Kalaupun
ada hal yang membuat tubuhnya agak oleng, ka-
rena setelah itu dia memuntahkan darah kehita-
man. Sementara, cahaya merah telah berhasil
merangkum kembali serpihan-serpihannya. Ben-
tuknya kembali utuh. Melayang sesaat di atas
permukaan sungai, bagai mengintai lawan. Setelah itu, dia menukik tajam ke
tepian. SEMBILAN GENDUT Tangan Tunggal dan Pendekar
Muka Bengis tiba di suatu tempat. Tepatnya di
suatu hamparan padang Malang jangkung setinggi
melebihi manusia. Di sana mereka kehilangan je-
jak. Bukan karena ceceran darah sudah tak ada
Lagi. Melainkan karena sudah sulit untuk menca-
rinya di tempat seperti itu.
Besar kemungkinan, orang yang membawa
lari Satria Gendeng sengaja melewati tempat ter-
sebut untuk menghilangkan jejak. Dan dia berha-
sil. "Sialan!" kutuk Gendut Tangan Tunggal
sambil menyampoki ilalang, melampiaskan kegu-
saran. "Cerdik juga!" puji Pendekar Muka Bengis.
"Orang tolol dari negeri paling tolol juga bi-sa melakukan apa yang kulakukan,
Tolol!" sergah Gendut Tangan Tunggal, salah sambung. Disang-kanya si kawan
bertampang garong memuji tinda-
kannya barusan. Dilampiaskannya lagi kegusaran
pada ilalang di depan. Berkali-kali.
Pendekar Muka Bengis cuma bisa geleng-
geleng kepala. Tapi dia tak mau berdiam diri terus.
Harus ada tindakan lain diambil segera. Sayang
dia belum tahu.
Gendut Tangan Tunggal yang sedang sera-
butan mengamuki ilalang, mendadak terdiam. Dia
berdiri tanpa bergerak. Pandangannya melompong.
Wajahnya berubah. Sulit untuk menjelaskan apa
yang sedang terjadi pada dirinya.
"Ada apa, Gendut?" tanya Pendekar Muka Bengis, keheranan.
Tak ada jawaban.
Pendekar Muka Bengis mencoba menepuk
punuknya. Sekali. Dua kali. Makin keras dan ke-
ras. Tapi, tetap saja Gendut Tangan Tunggal diam seperti orang tolol.
Lama kelamaan, Pendekar Muka Bengis
mulai mengendusi sesuatu yang mencurigakan.
Pasti ada sesuatu yang terjadi pada diri si gendut,
pikirnya. Seperti ada seseorang yang menotok ja-
lan darahnya. Tapi, itu tak mungkin. Kalau ada,
tentunya Pendekar Muka Bengis bisa menyaksi-
kan orang usil itu. Sementara yang dialami Gen-
dut Tangan Tunggal begitu mendadak dan terjadi
begitu saja. Selain itu, manusia berbadan boros
yang dikenalnya selama ini tak pernah berkela-
kuan seperti itu sebelumnya.
Tapi, tetap ada kemungkinan seseorang
menotoknya dari jarak jauh. Kalau benar begitu,
pasti kesaktiannya amat tinggi, sampai Pendekar
Muka Bengis tak pernah mengetahui tindakannya.
Untuk meyakinkan dugaan, tindakan ter-
baik yang harus dilakukan Pendekar Muka Bengis
adalah memeriksa sekitar padang ilalang. Sampai
beberapa saat memeriksa, tetap tak ditemukan
seorang pun. Akhirnya, dia kembali ke tempat semula.
Gendut Tangan Tunggal masih di sana. Masih pula
terdiam dengan keadaan yang terlihat amat tolol.
Sekarang teka-teki bertambah, rutuk Pen-
dekar Muka Bengis dalam hati. Belum lagi diketa-
hui ke mana Satria Gendeng, sekarang sudah ter-
jadi sesuatu lagi pada diri kawannya. Kalau semua kejadian itu saling berkait
dengan pihak lawan,
semakin sulit saja bagi Pendekar Muka Bengis un-
tuk mengukur kesaktiannya.
Sementara Pendekar Muka Bengis kepu-
singan sendiri, Gendut Tangan Tunggal mengalami
kejadian ganjil dalam dirinya. Kendati tubuhnya
terdiam kosong, dia merasakan hal lain yang ber-


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentangan sama sekali.
Dalam pandangannya, dia sedang mema-
suki suatu lingkungan yang asing sama sekali.
Tak ada lagi Pendekar Muka Bengis menemani.
Kawannya dalam pandangannya telah lenyap dite-
lan pusaran kabut yang memupus ke dalam satu
lobang yang tak lebih besar dari ujung jarum di
tempatnya berpijak. Suasana tempat yang diala-
minya kini tak pernah disaksikan di mana pun di
belahan jagat ini.
Ada warna-warni menyilaukan mata.
Menggerayang. Mengapung, menari-nari, serta melayang.
Berserat-serat.
Panas menjilat-jilat.
Ke mana pun mata memandang, dite-
muinya suasana yang hampir serupa. Sepertinya
dia telah terdampar dalam taman tanpa batas
yang ditumbuhi tanaman ajaib.
Gendut Tangan Tunggal terpaku, seperti
terpakunya dia di alam nyata.
Tata cahaya menyiksa makin kalap.
Kala berikutnya, datang sibakan gelap.
Warna menggidikkan nan kental.
Disusupi simbahan merah darah meng-
gumpal-gumpal. Sebutlah Gendut Tangan Tunggal sebagai
salah satu bangkotan penghuni papan atas dunia
persilatan. Sebutlah dia sebagai kawakan yang
kenyang makan asam garam. Namun, tak bisa di-
pungkiri rasa ngeri menghampiri. Dia tetap manu-
sia yang memiliki rasa takut. Sifat ngaconya tak berarti dia benar-benar
sinting, hingga tak memiliki rasa takut lagi.
Gendut Tangan Tunggal tersurut mundur.
Walau sudah melangkah beberapa tindak ke bela-
kang, dirasa dirinya tak beranjak dari tempat semula. Tanah tempatnya melangkah
seperti berges-
er ke arah berlawanan.
"Sialan. Ada di mana aku ini" Mana si Ben-
gis Sialan itu" Kenapa aku jadi sendiri?"" ceracau
Gendut Tangan Tunggal, lintang-pukang. Keringat
sebesar biji jagung terasa membanjir. Anehnya,
ketika dia menyeka peluh, tangannya tak basah.
"Bengiiiiiisssss!! Di mana kau, Ben-
giiiiissss!" teriak Gendut Tangan Tunggal, parau.
Suaranya memantul kembali. Terulang-ulang. Ti-
dak seperti menjauh. Sebaliknya, malah seperti
mendekati dirinya, jauh lebih keras.
Dunia yang dimasukinya benar-benar ber-
tentangan sama sekali dengan kenyataan!
Perasaan Gendut Tangan Tunggal makin
tak karuan. Apa lagi ketika dia merasa kakinya
menginjak lobang di belakang. Keseimbangannya
oleng. Dia berjuang untuk bersalto. Pengerahan
peringan tubuh yang terbilang sempurna sebagai
salah seorang tokoh kawakan tak membantu. Le-
bih buruk lagi, dia merasa kehilangan kemam-
puan peringan tubuh.
Tubuhnya jadi demikian memberat.
Tak kuasa bertahan lagi, dia pun terjatuh
ke dalam lobang.
Gelap melingkupi.
Meluncur dia dalam lorong tegak lurus.
Laksana sumur tak berdasar. Lagi-lagi keadaan
bertolak belakang dengan kenyataan. Jatuh, bu-
kan berarti tubuhnya meluncur ke bawah. Seba-
liknya, dia merasa dirinya melayang bagai dihem-
pas kuat-kuat ke angkasa. Deg!
Sesuatu menjegal geraknya. Tepat di atas
kepala. Gendut Tangan Tunggal ingin tahu. Ma-
tanya melirik waswas. Dia terperanjat seperempat mampus. Kalau masih bocah,
kepingin sekali saat
itu dia kencing di celana. Yang dilihatnya adalah telapak tangan raksasa
menjegal laju tubuhnya!
Raksasa, ya raksasa. Besarnya empat kali ukuran
tubuh Gendut Tangan Tunggal. Gendut Tangan
Tunggal saja sudah berbadan boros, tapi masih
kalah besar. Kalau telapak tangan saja sebesar
itu, bagaimana lagi pemiliknya"
Gendut Tangan Tunggal ingin menjerit se-
jadi-jadinya. Ingin mendelik sejadi-jadinya. Jika perlu, ingin 'kecepirit'
sejadi-jadinya. Tapi kesempatan tak ada. Tangan raksasa itu sudah men-
cengkeram sengit. Tubuh buntal Gendut Tangan
Tunggal hendak diremasnya. Mungkin jadi perke-
del. Senaas-naasnya, menjadi kentut!
"Maaak, mampus juga aku!!!" teriak Gendut Tangan Tunggal, tak malu-malu lagi
pada na- ma besarnya selama ini. Lagi pula, mau malu sa-
ma siapa lagi" Di sana tak ada manusia sepotong
pun. Gendut Tangan Tunggal merentangkan
tangan. Ajian pamungkas yang dimilikinya dike-
rahkan dalam satu hentakan. Malang, seperti ke-
mampuan peringan tubuhnya, seluruh ajian pa-
mungkasnya pun menghilang. Dia tak punya apa-
apa lagi. Bagaimana bisa begitu"
Di lain keadaan, Pendekar Muka Bengis
menyaksikan tubuh kawannya yang semula berdi-
ri mematung, mendadak roboh ke tanah. Cara
ambruknya tak kurang hebat dari buah nangka
satu kebon runtuh berbarengan. (Padahal kalau
Pendekar Muka Bengis mau berusaha menyam-
barnya, tentu tak akan jadi begitu. Barangkali, ha-ti lelaki itu masih tetap
menyimpan sisa kemang-
kelan pada sikap tengik Gendut Tangan Tunggal).
"Gendut! Gendut! Apa yang terjadi pada di-
rimu"!" Ditampar-tamparnya pipi empuk Gendut Tangan Tunggal keras-keras. Orang
yang terjatuh telentang mendelik. Bola matanya membeliak ke
atas. Wajahnya pucat. Tak ada darah sedikit pun
di wajahnya. Tubuhnya dingin.
"Kau jangan mampus dulu, Biang Kerbau!
Tugas kita belum selesai!" rutuk Pendekar Muka Bengis sambil menotok beberapa
jalan darah yang
bisa melancarkan peredaran darah ke kepala Gen-
dut Tangan Tunggal.
Hasilnya nihil.
Gendut Tangan Tunggal makin kaku.
Kian dingin. Geram, Pendekar Muka Bengis mengancing
rahang. Tangannya mengepal teramat keras. Urat-
urat lehernya mengencang, bersembulan.
Semua kejadian beruntun akhir-akhir ini
membuat dia tak bisa menahan kemarahan lagi.
"Manusia Makam Keramat! Hadapi aku,
Laknat! Jangan hanya berani main kucing-
kucingan seperti ini!!!" teriaknya, menggoncang.
Kekuatan suaranya, menebas ilalang.
Tumbuhan jangkung itu bagai ditebas oleh arit
raksasa sepanjang terjangan gelombang suara
mengandung tenaga dalam tinggi. Ledakan kema-
rahan seperti itu, tak pernah disangka sedikit pun olehnya akan mengundang satu
bahaya. Bahaya yang sebelumnya mengganyang Gendut Tangan
Tunggal. Pendekar Muka Bengis merasakan sesuatu
yang tak biasa menjalari segenap aliran darahnya.
Amat bising. Tanpa menelan waktu lama, badan-
nya tiba-tiba kaku di tempat.
Tak disangsikan, lagi sebentar lagi dia pun
akan terdampar dalam dunia gaib menakutkan.
Dunia yang melemparnya terlampau jauh dari ke-
nyataan.... *** SEPULUH SATRIA Gendeng tak tahu apa yang terjadi
pada dirinya. Terakhir diingatnya dia terkena hantaman Penjaga Gerbang Neraka
ketika berusaha
menyelamatkan Gendut Tangan Tunggal.
Dia baru saja siuman. Matanya masih be-
rat untuk dibuka. Terutama akibat pening dan
nyeri yang menggumpal-gumpal di kepala. Di
samping itu, terasa sakit yang terus berdenyut-
denyut hebat di bagian dadanya. Ada terpaan an-
gin di wajah dan beberapa bagian badannya. Keti-
ka mulai dapat menyadari posisi kepalanya yang
menjuntai-juntai ke bawah, sadarlah pemuda sak-
ti tanah Jawa itu bahwa dirinya sedang dibopong
seseorang. Pembopongnya sendiri sedang berlari
dengan mengerahkan peringan tubuh tingkat ting-
gi. Satria tahu itu. Cukup menilainya dari kekuatan terpaan angin di wajahnya.
Masalahnya sekarang, siapa orang ini"
Tanya Satria Gendeng membatin.
Lamat-lamat, hidung Satria mencium bau
sesuatu. Seperti bau orang yang tak pernah mandi setahun penuh.
Ah, tidak. Lebih mirip bau kambing bandot!
Slompret sekali! Tapi, bau badan orang ini seperti pernah kukenal, bisik Satria
dalam hati. Penasaran, dibukanya kelopak mata.
Hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengenali
orang satu ini. Begitu pandangannya lepas, Satria langsung disuguhkan
pemandangan tak sedap.
Yang dilihatnya ternyata bagian bokong orang itu.
Mending kalau bagus. Sudah bau minta tobat, ru-
panya mirip moncong makhluk ajaib lagi! Naas ju-
ga. Pasti orang itu bongkok. Pasti sudah amat tua.
Tua" Bongkok" Bau"
Satria makin yakin bahwa dia benar-benar
kenal dengan ciri-ciri manusia satu ini. Bukan
cuma kenal, tapi 'hafal'. Dan satu-satunya orang yang pernah dikenal dengan
ciri-ciri serba 'rusak'
seperti itu....
"Kau sudah bangun, Cah Gendeng"!"
Semua tanda tanya di hati si pemuda dipo-
tong teguran keras minta ampun.
Hey, suara itu! Sergah hati Satria. Seka-
rang, dia tak perlu lagi menyaksikan langsung
'tongkrongan' wajah pembopongnya. Semuanya
sudah jelas. Dia benar-benar kenal dengan manu-
sia satu ini! Belum sempat Satria kegirangan karena
merasa mengenal dekat (bahkan amat dekat!)
pembopongnya, tahu-tahu tubuhnya melayang ke
depan. Belum lagi jatuh ke tanah, pantatnya tera-sa pedas terkena tamparan.
"Iyau!"
Satria memekik di udara.
Hebat juga cara pembopongnya menampar
pantat Satria Gendeng. Padahal Satria sendiri sebelumnya telah dilempar cukup
deras. Belum lagi hilang rasa pedas tadi, pantat-
nya sudah tertimpa musibah susulan. Pantatnya
jatuh meninju tanah berbatu menonjol seperti ke-
palan jawara pasar burung! Masa' iya, anak didik dua tokoh besar tanah Jawa tak
bisa mengatasi hal kecil macam itu. Mau berjumpalitan" Mana bi-
sa kalau dia dalam keadaan tertotok"
Malangnya, totokan itu baru dibebaskan si
pembopong misterius setelah Satria Gendeng terjatuh telak bagai nangka matang.
Ini yang namanya
orang brengsek.
Satria bangkit. Meringis-ringis sudah pasti.
Tangannya mengurut-urut tulang ekornya yang
ngilu. Untung bagian itu tak turut menimpa tonjolan batu. Kalau sempat terjadi,
bisa-bisa dia mencret di celana. Lalu, besoknya dia bakal jadi lumpuh seumur hidup!
Sambil menggerutu mengutuki perbuatan
orang misterius yang membawanya, Satria menca-
ri-cari orang itu. Tak ada. Celinguk sana-celinguk sini percuma. Orang itu tak
ditemukan. "Ke mana dia?" bisik Satria sambil menggaruk-garuk kepala. Kecepatan geraknya
sungguh luar biasa. Dia telah melakukan tiga tindakan beruntun dalam satu gerak cepat.
Pertama melempar
tubuh Satria. Kedua menampar pantatnya, dan te-
rakhir membebaskan totokannya. Sekarang, tahu-
tahu saja orang itu sudah menghilang pula.
Satria Gendeng makin dibuat penasaran.
Meski belum sempat menyaksikan 'congor'nya,
pemuda itu tetap yakin mengenal orang itu.
Sampai suatu ketika ubun-ubunnya dijotos
dari belakang. Tak! Telak! Sakitnya terasa sampai ke lipatan ketiak!
Satria Gendeng berbalik gesit. Tangannya
dengan refleks siap melakukan hajaran balasan.
Sebelum sampai ke sasaran, tangannya langsung
berhenti. Persis di depan wajahnya, sudah ter-
pampang sepotong wajah jelek, keriput, dan serba bikin mulas.
"Apa lihat-lihat!" bentak orang itu.
Satria terbengong. Orang satu itu bukan
sekadar dikenalnya. Bisa dibilang, Satria malah
pernah hampir sableng selama bersamanya.
"Kakek Gundul?"
Pemuda itu meringis. Kalau ada orang yang
disebutnya 'kakek gundul' sambil meringis, ya
cuma Dedengkot Sinting Kepala Gundul, guru sin-
tingnya! "Mau apa Kakek menemuiku?" tanya Sa-
tria. Maksudnya cuma mau berbasa-basi. Tapi di
telinga Dedengkot Sinting Kepala Gundul, kali-
matnya benar-benar terasa 'basi'.


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bocah slompret! Bukannya menanyakan
kabar ku, kau malah bertanya seperti aku perlu
sama kau saja!" sembur si tua keropos berkepala botak, sengit.
Satria garuk-garuk kepala. Gatal sih tidak.
"Ngomong yang enak! Jangan cuma garuk-
garuk kepala seperti biang monyet!"
"Kenapa Kakek ada di sini?" coba Satria la-gi. Mudah-mudahan sekali ini tidak
keliru di telinga si bangkotan.
"Karena aku tidak ada di seberang laut,
makanya aku di sini!"
Ampun, masih keliru juga!
"Maksudku, Kakek tentu punya tujuan
meninggalkan Tanjung Karangbolong, bukan?"
"Tentu saja!"
Satria menunggu kalimat gurunya lebih
lanjut. Dia ingin dengar apa tujuannya 'keluar sa-rang'. "Tanya! Tanya aku,
kenapa aku meninggalkan Tanjung Karangbolong, begitu! Kau ini murid-
ku apa bukan, hah" Masa' tidak ada perhatian se-
dikit sama gurunya"!"
Ampun dua kali! Manusia ini kenapa selalu
saja membuat orang jadi serba salah!
"Jadi apa, Kek?"
"Aku masih 'jadi' orang! Kau pikir aku telah menjelma menjadi apa" Tokek?"
Satria geleng-geleng kepala. Kalimat tak
lengkap saja disalahkan seperti dirinya sudah me-
nyambar jemuran orang satu kampung.
"Jadi, apa tujuan Kakek pergi dari Tanjung
Karangbolong?" ulang Satria dengan kalimat kom-plit. Ditariknya napas, menyabar-
nyabarkan diri.
"Pakai tanya segala! Sudah tahu aku da-
tang karena mencarimu. Semenjak kau berurusan
dengan si Sulut dan si Jonggrang Jelek, (Kisah
dua tokoh ini dapat dibaca pada episode sebelum-
nya : "Iblis Dari Neraka" dan "Perempuan Pengum-pul Bangkai"!) kau tak pernah
pulang ke Tanjung Karangbolong, tahu! Kau tidak mau menengoki
aku" Menengoki si Kusumo juga" (Tentang tokoh
ini, baca pula episode : "Tabib Sakti Pulau Dedemit"!) Kalau sudah bosan dengan
tampang kami berdua, bilang!" sembur Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak putus-
putus, biarpun nafasnya sudah
soak. "Aku... aku...." Satria kehabisan kata-kata.
Berondongan omelan dari bacot kendor bangkotan
di depannya membuat dia mati kutu.
"Kau sudah merasa jago, ya" Sudah mera-
sa jago?" Satria menggeleng. Mukanya terlipat.
Dan tahu-tahu, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul sudah mengirimkan jotosan keras ke ji-
datnya. Sekali ini, Satria tak mau membiarkan sa-ja tangan kurus gurunya mampir
tanpa permisi. Bukan karena mau kurang ajar. Cuma, jotosan si
bangkotan kerasnya tak kepalang. Kalau punya
niat geger otak, sebaiknya diam saja.
"Ampun, Kakek!" teriak si anak muda seraya berkelit ke bawah.
"Eh, berani berkelit kau, ya"!"
Mata Dedengkot Sinting Kepala Gundul
mendelik. "Bukan begitu, Kakek!" sergah Satria Gen-
deng kelabakan sambil melangkah mundur. Tela-
pak tangannya diacungkan ke depan.
Sambil menaikkan cuping hidung, Dedeng-
kot Sinting Kepala Gundul melanjutkan terjangan.
Kalau tak bisa mendaratkan jotosannya ke jidat
sang murid, sepertinya dia akan mati berdiri penasaran. Wukh!
Satria Gendeng berhasil mencegah jidatnya
tertimpa musibah. Sekarang dengan cara menang-
kis. Gurunya tak hanya sampai di situ, tangannya yang lain sudah main pula.
Wukh! Deru yang dihasilkan jotosan Dedengkot
Sinting Kepala Gundul makin santer. Satria makin membelalak. Gila, apa guruku
mau membuat aku
mampus" rutuknya dalam hati.
Satria makin dikelimpungkan ketika gu-
runya mengeluarkan jurus-jurus ampuh, terma-
suk 'Dedengkot Sinting Kegirangan'
"Kakek, berhenti! Jangan macam-macam,
ya"! Aku ini muridmu, bukan musuh bebuyutan
mu. Berhenti, Kakek! Aku tidak mau main-main
lagi. Apa kau tak tahu, seorang guru tak patut
menyerang muridnya seperti ini. Apalagi murid teladan macam aku! Cukup cukup
cukup! Oiiii, aku
bilang cukup!"
Penyakit si pemuda lugu pun kambuh lagi.
Terserang kegugupan sedikit saja, mulutnya lang-
sung 'nyerocos' lebih seru dari sekarung mercon.
Jangan lagi gurunya, nenek moyang Dongdongka
pun akan disemburnya.
"Murid teladan tai kucing kau! Jangan ba-
nyak bacot, tahu! Layani aku saja, Cah Gendeng!"
bentak Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Satria Gendeng bersalto beberapa kali men-
jauh. Gurunya terus mengejar. Dengan susah
payah, akhirnya dia berhasil membuat jarak. Dia
berdiri sambil memelototi gurunya sendiri.
"Apa maksud Kakek dengan 'melayani'"!"
tanyanya setengah ngotot. Urat lehernya sampai
hampir mencelat keluar.
Dongdongka, si Dedengkot Sinting Kepala
Gundul mengacungkan tinjunya.
"Layani, ya layani. Kalau aku raja kau ha-
rus mencium telapak kakiku, tak peduli kakiku
bau tai kerbau sekalipun. Karena aku bukan raja, melainkan seorang pendekar,
maka kau harus me-layaniku layaknya pendekar! Tunjukkan keheba-
tanmu kalau kau adalah murid seorang sesepuh
persilatan tanah Jawa!" lanjutnya, sama-sama ngotot. Mendengar omelan terakhir
gurunya, Satria sekarang mulai bisa membaca kemauan bang-
kotan rada-rada sinting itu. Pasti Dongdongka
hanya ingin menguji kepandaiannya setelah lama
tak bertemu. Yang namanya guru, tentu saja kha-
watir muridnya tak mengasah kepandaian yang te-
lah diturunkan selama Satria di luar pengawasan-
nya. Kalau cuma itu, boleh-boleh saja, bisik Satria Gendeng dalam hati. Tapi,
tentu saja tak bisa asal melayani. Tahu sendiri siapa Dedengkot Sinting Kepala
Gundul. Untuk bisa mendaratkan pu-
kulan sekali saja, mungkin harus bertukar jurus
satu harian penuh. Ah, memangnya tak ada ker-
jaan lain apa" Jadi harus ada sedikit siasat untuk mengecoh tua bangka brengsek
ini, pikir Satria.
"Baik!" seru Satria kemudian.
"Baik apa"!"
"Aku akan melayanimu!"
"Bagus!"
"Tapi harus ada aturan mainnya, Kakek!"
"Aturan main, tai kucing! Kau pikir aku se-
dang main-main, hah"!"
"Lho, bukankah Kakek cuma mau menguji
aku"!" "Menguji tai kucing! Aku mau 'ngamuk' padamu, Cah Gendeng!! 'Nguamuk'!"
Ngamuk" Pusing lagi Satria sekarang. Ka-
lau bukan hendak mengujinya, kenapa tak ada
angin tak ada hujan bangkotan rada sinting ini
mau mengamukinya" Apa salahnya"
"Jadi Kakek benar-benar marah padaku?"
tanya si pemuda, kebodoh-bodohan.
"Pakai tanya lagi! Lihat tampangku. Keliha-
tan seperti orang sedang marah atau sedang mu-
las"!" "Tapi... tapi, kenapa, Kek?"
"Dasar tolol, perhatikan dirimu! Pikir apa
yang kurang!"
Disuruh memperhatikan 'diri'nya, Satria
Gendeng benar-benar menuruti. Dipelototi dirinya dari ujung kaki sampai dada.
Kalau biji matanya
bisa dilepas sementara, tentu akan diperhatikan
sampai ubun-ubun.
"Aku tak kurang apa-apa, Kek...," gumamnya, tetap tak merasa ada yang salah.
Dongdongka mulai angot. Kepalanya diji-
tak-jitak sendiri.
"Murid tolol, tolol, tolol! Ih ih ih!"
Tuk-tak-tuk-bletak!
Ramai. Seru. Dan... garing! Satria meringis-ringis. Perasaan dia yang
sedang dijitaki begitu.
"Sekarang begini saja, Cah Tolol! Aku tanya
kau...." "Sungguh Kakek, aku tak kurang apa-apa!"
"Belum! Aku belum bertanya! Sekarang kau
siap, aku mau bertanya. Mana senjata pusaka
mu!!!" Kail Naga Samudera" Buru-buru Satria melepas pandangan ke ikat
pinggangnya. Tobat!
Senjata pusaka itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Satria curiga. Diliriknya
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Siapa tahu, penyakit sinting
bangkotan itu sedang kambuh. Bisa saja dia se-
dang mengerjai ku, duganya sambil cengengesan.
Pikiran orang macam Dongdongka, biasanya gam-
pang ditebak olehnya. Terutama karena dia per-
nah 'kenyang' belajar menjadi sinting langsung da-ri tua bangka itu!
"Jangan melirik ku seperti itu. Aku sudah
terlalu tua untuk main genit-genitan! Lagi pula...
ih, amit-amit!"
Satria tambah cengengesn. "Kakek sengaja
menyembunyikannya, kan?" todongnya, yakin sekali. "Kualat! Masuk neraka kau!
Apa-apaan kau menuduhku macam itu!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul makin
uring-uringan. Cengengesan Satria langsung terpental en-
tah ke mana. "Jadi, Kakek tidak menyembunyikannya?"
"Kau pikir, aku tolol" Kalau senjata itu ada padaku, untuk apa kutanyakan lagi
padamu, ta-hu!" "Iya, juga ya...."
"Pakai 'iya juga, ya' segala!"
"Jadi ke mana senjata itu, Kek?"
"Mana aku tahu! Kau tahu tidak"!"
Satria Gendeng menggeleng, pasrah.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-
garuk kepala sendiri, menebarkan kulit kering dari kepalanya ke mana-mana.
"Sial. Kalau kau tak tahu, buat apa aku
bertanya!" rutuknya sebal sendiri.
Sesaat kemudian, mulut bangkotan itu su-
dah berkicau lagi. Dia bertanya pada muridnya
apa yang terjadi selama ini. Satria pun menceritakan apa adanya. Sampai dia
dibuat jatuh pingsan
oleh pukulan Penjaga Gerbang Neraka. Setelah itu, dia tak tahu lagi apa yang
telah terjadi. Tahu-tahu, dia sudah di alas bopongan gurunya (tahu-
tahu dia terkena 'musibah'!).
"Lalu bagaimana Kakek menemukan ku?"
Satria Gendeng balik tanya.
Dongdongka mengingat-ingat sebentar.
"Aku mendapat firasat buruk di Tanjung
Karangbolong. Jadi aku keluar 'kandang' dan pergi mencarimu. Kau kutemukan,
sudah tak sadarkan
diri di jalan setapak. Kau luka dalam. Aku cuma
bisa menyalurkan hawa murni ke tubuhmu, biar
kekuatan tubuhmu pulih. Tapi, aku tak bisa me-
nyembuhkan luka dalammu. Kau terkena pukulan
langka. Rasanya aku kenal dengan pukulan itu.
Karena itu, aku hendak membawamu ke si Kusu-
mo. Dia kan tahu banyak soal penyembuhan. Dari
luka akibat pukulan sampai kurap. Aku yakin Ku-
sumo bisa menyembuhkan luka dalammu. Aku
sendiri sumpah mampus tak tahu apa-apa soal
pengobatan. Paling-paling...."
"Kakek kakek! Ceritanya jangan mulur ke
sana kemari!"
"O, iya. Jadi aku hendak membawamu ke
Kusumo. Sampai di sini, kau sadar. Cuma begitu
saja. Masih mau tambah?"
Siapa ya, yang telah menyelamatkan Satria
dari Pasukan Kelelawar" Kok, Kail Naga Samudera
hilang" Tangan siapa yang usil"
Soal dua manusia tengik, Gendut Tangan
Tunggal dan Pendekar Muka Bengis, kenapa me-
reka jadi begitu, ya" Ngomong-ngomong juga, apa
Manusia Makam Keramat berhasil melepaskan ke-
ris keramat dari tubuhnya"
Ayo, siapa yang bakal memiliki keris sang
Prabu Pajajaran itu" Tebak sendiri!
SELESAI Segera tunggu lanjutannya!!! Serial
Satria Gendeng dalam episode:
BANGKITNYA DEWA PETAKA
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Pusaka Buntung 5 Pendekar Naga Geni 23 Arca Ikan Biru Setan Rawa Bangkai 1
^