Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 3

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 3


Pada saat itu Pin-nie sedang sedih bercampur gusar, sama sekali tak terlintas dalam benakku untuk menemukan gurumu dan mengembalikan benda-benda mustika tadi kepadanya, hingga akhirnya..." "Bagaimanapun juga aku tetap tidak percaya," tiba- tiba Loe Peng menukas.
Hwie Kak Nikouw mengerutkan sepasang alisnya, sedangkan Hee Siok Peng mendadak meloncat bangun sambil membentak : "Kau ingin keadaan yang bagaimana baru mau mempercayai perkataan ibuku?" Tangannya segera digetarkan, di antara lengannya yang putih mulus perlahan-lahan merambat keluar seekor ular kecil bersisik kembang-kembang, sambil melotot ke arah Loe Peng dengan sinar mata buas, lidahnya yang merah mendesis-desis...
Loe Peng menyusut mundur beberapa langkah ke belakang, sambil mencekal toyanya erat-erat ia berseru : "Aku...
aku minta bukti!" "Di atas telapak kaki kanan Kong Yo Leng terdapat sebuah andeng-andeng merah, sedang di telapak kaki kanan Siok Peng pun terdapat andeng-andeng yang sama..." "Ibu kalau begitu ayahku bukan she Hee melainkan Kong Yo?" teriak Hee Siok Peng dengan mata terbelalak.
Satu ingatan dengan cepat berkelebat dalam benak Chee Thian Gak, ia teringat kembali tatkala Ciak Kak Sin Mo melancarkan sebuah jurus serangan yang aneh waktu ada di perkampungan Thay Bie San cung, secara tidak sengaja ia telah melihat andeng-andeng merah di telapak kaki gembong iblis itu.
Maka dengan cepat berseru : "Cayhe bisa membuktikan kalau di atas kaki Kong Yo Leng benar-benar ada andeng-andeng merahnya." "Aaaah, di atas telapak kakiku pun terdapat andeng- andeng..." seru Hee Siok Peng dengan wajah berubah.
"Kalau begitu sudah pasti benar bahwa aku tidak she Hee melainkan she Kong Yo?" Hwie Kak Nikouw menghela napas panjang, ia merasakan badannya jadi lemas tak bertenaga, seakan-akan ucapan yang telah diutarakan tadi telah menyumbat peredaran darah dalam tubuhnya sehingga membuat ia merasa enggan untuk berbicara lebih banyak, ia mengangguk.
Wajah Kong Yo Siok Peng segera berubah jadi riang, dengan penuh kegembiraan gumamnya : "Kalau begitu aku sudah bukan merupakan musuh besar dari Pek In Hoei lagi, sejak kini ia pun bisa bersikap lebih baik terhadap diriku..." Chee Thian Gak yang mendengar gumaman dara itu, dalam hatinya segera timbul suatu perasaan yang sukar dilukiskan dengan kata-kata, pada saat ini pikirannya terasa buntu, ia terbayang kembali akan wajah dari Wie Jien Siang...
baru saja bayangan itu lenyap, dalam benaknya terbayang kembali bayangan tubuh dari It-boen Pit Giok.
Untuk beberapa lamanya ia berdiri termangu-mangu di situ tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
"Hey!" tiba-tiba Kong Yo Siok Peng menegur sambil memandang ke arahnya dengan pandangan mesra.
"Menurut pendapatmu dapatkah Pek In Hoei mencintai diriku?" Chee Thian Gak melengak, tapi dengan cepat ia menyahut : "Ooooh, dari mana cayhe bisa tahu perasaan hati orang?" Kong Yo Siok Peng maju dua langkah ke depan, katanya lagi sambil tersenyum : "Seandainya kau adalah Pek In Hoei, dapatkah kau mencintai diriku"..." Rupanya Chee Thian Gak tidak menyangka kalau dara bersifat polos yang mula-mula dijumpainya ini sekarang bisa berubah jadi begitu berani, alisnya kontan berkerut.
"Cayhe percaya Pek In Hoei adalah mencintai gadis- gadis yang jujur dan bersifat polos, ia tak akan sudi bergaul dengan gadis-gadis yang suka berjual lagak." Kong Yo Siok Peng melengak, air mukanya berubah hebat.
"Siapa yang kau maksudkan sebagai gadis yang suka berjual lagak?" Loe Peng benar-benar orang yang tak tahu diri, sambil usap kepalanya mendadak ia menimbrung : "Hey, bolehkah aku memeriksa sebentar telapak kakimu?" Kong Yo Siok Peng mencibirkan bibirnya, ular kecil yang berada di lengan kanannya tiba-tiba meluncur ke depan, laksana kilat memagut tubuh Loe Peng.
Gerakan ular itu cepat bukan kepalang, baru saja lidahnya yang merah mendesis keluar tahu-tahu ia sudah tiba di hadapan jago Sauw lim ini.
Loe Peng membentak keras, sepasang telapaknya buru-buru didorong ke depan melancarkan sebuah babatan.
Segulung angin pukulan yang kencang menghadang jalan perginya ular tadi, siapa tahu tiba-tiba tubuh sang binatang yang panjang dan lencir itu membelok ke bawah lalu berputar ke samping, dari jarak lima coen di bawah ancaman angin pukulannya ia terobos menggigit leher lawan.
Perubahan yang dilakukan dengan gerakan cepat ini sungguh berada di luar dugaan Loe Peng, ia membentak, tubuh bagian atasnya dibuang ke belakang sementara telapak kanannya segera mencengkeram tubuh ular tadi.
Dengan gerakannya ini justru sang telapak telah memapaki datangnya moncong ular tadi...
tidak ampun lagi telapaknya terpagut sekali, seluruh lengan jadi kaku dan hawa murni pun tak sanggup dikerahkan keluar.
Chee Thian Gak tidak menyangka kalau dara manis itu bakal mencelakai sahabatnya, dengan cepat ia loncat ke depan, ke-lima jarinya direntangkan bagaikan sebuah gunting laksana kilat mencengkeram bagian tujuh coen dari ular itu, jari telunjuk serta ibu jarinya ditekan ke dalam menjepit ular tadi kemudian sekali tarik ia cabut gigi-gigi taring sang ular yang telah menembusi kulit tubuh Loe Peng.
"Nona Peng!" tegurnya dengan sepasang alis berkerut, "kenapa kau lukai orang dengan ularmu?" "Jangan lukai siauw hoa ku..." teriak Kong Yo Siok Peng sambil meloncat ke depan, tapi ketika mendengar teguran dari Chee Thian Gak ia segera merandek, badannya gemetar keras dan tak tahan ia berseru : "Kau adalah Pek In Hoei..." Belum habis ia berseru, dari dalam kuil tiba-tiba berkelebat keluar sesosok bayangan tubuh, dia adalah Ouw-yang Gong, sambil membopong sesosok tubuh kakek itu menangis tersedu-sedu...
Sedari dulu dalam ingatannya belum pernah melihat Ouw-yang Gong menangis seperti kali ini, tentu saja tingkah laku orang itu membuat dara manis she Kong Yo ini jadi tertegun.
"Hey Ular asap tua!" tegurnya.
Ouw-yang Gong berhenti, sambil menoleh dan mengucurkan air matanya ia berbisik lirih : "Uuuuh...
Uuuuuh... dia telah mati!" Sekarang Kong Yo Siok Peng baru dapat melihat bahwa orang yang dibopong manusia aneh itu bukan lain adalah suhunya Ko In Nikouw, ia jadi sangat terperanjat.
"Suhu!" teriaknya.
"Huuuu... uuuuh... nenek moyang sialan, siapakah suhumu" Dia adalah sayangku...
Uuuuh... uuuuuh..." Di tengah isak tangis yang amat sedih, orang itu melayang ke tengah angkasa dan meluncur ke bawah bukit Cing Shia, dalam waktu yang singkat badannya sudah lenyap di tengah kegelapan.
"Ooooh Ko In... Ko In..." bisik Hwie Kak Nikouw sambil menghela napas.
"Apa gunanya kau bunuh diri hanya disebabkan persoalan ini"..." Sebaliknya Chee Thian Gak jadi terperanjat, sambil melemparkan ular kecil tadi ke atas tanah serunya : "Celaka, Ouw-yang Gong telah jadi gila..." sinar matanya berputar sekejap, tambahnya...
"Cepat kau cabut keluar sisa racun ular yang mengeram dalam tubuh Loe Peng, aku segera akan pergi menyusul si ular asap tua!" Dipandang dengan begitu tajam oleh Chee Thian Gak, air mata yang semula sudah hampir meleleh keluar dari kelopak mata Kong Yo Siok Peng segera terdesak masuk lagi, dengan termangu-mangu ia memandang bayangan tubuh pemuda itu lenyap di tengah kegelapan, lama sekali ia berdiri mematung disini.
"Omihtohud..." bisi Hwie Kak Nikouw licik.
"Ko In... Ko In... bukankah kau sudah hampir dua puluh tahun lamanya berdoa setiap hari" Mengapa kau gagal juga menembusi kesulitan tentang 'cinta'?" Aaaai...
samudra cinta luas tak terhingga, dimanakah adalah tepian?"..." Dengan kepala tertunduk, muka murung selangkah demi selangkah ia kembali ke ruang dalam, di tengah kegelapan hanya terdengar gumamnya berkumandang di angkasa : "Peristiwa menyedihkan banyak di dunia...
siksaan batin banyak di orang yang mabok oleh cinta..." .....
Fajar baru saja menyingsing, kabut tipis menyelimuti bukit dan permukaan bumi...
mengikuti angin kabut tadi makin mengumpul jadi satu...
Gunung Cing Shia masih dikelilingi oleh kabut yang tebal, di tengah kesunyian yang mencekam, suasana di sekeliling situ terasa semakin menyeramkan...
Mendadak terdengar isak tangis yang amat sedih muncul di balik kesunyian, tangisan itu seolah-olah muncul bagaikan kabut sukar dicari dari mana asalnya...
dan lenyap tiada berbekas.
Jubah merah yang dikenakan Chee Thian Gak berkelebat muncul di tengah kabut, kemudian lenyap pula di balik kumpulan kabut lain yang jauh lebih tebal, dengan alis berkerut pikirnya : "Sudah dua hari dua malam aku mengejar diri Ouw- yang Gong, tapi dia hanya selalu berputar di sekeliling Gunung Cing Shia, andaikata syarafnya tidak beres, tak mungkin ia bisa berbuat demikian!" "Dari balik kabut kembali berkumandang suara isak tangis yang lirih, sebentar suara itu muncul sebentar lagi lenyap tak berbekas...
seakan-akan suara itu muncul dari dalam impian...
tapi mirip pula sebagai kenyataan...
Chee Thian Gak berseru tertahan, badannya dengan cepat berkelebat meloncat sejauh empat tombak ke depan, bergerak menuju ke arah mana berasalnya suara tadi.
Kabut tebal menggulung ke sana kemari, suara tadi lenyap tak tahu ujung pangkalnya, dalam keadaan begitu terpaksa jago she Chee itu berdiri tak berkutik di tempat semula sambil diam-diam menantikan kemunculan isak tangis tadi sekali lagi.
Sedikit pun tidak salah, beberapa saat kemudian suara tangisan itu muncul lagi dari balik kabut, mengikuti hembusan angin buyar di angkasa...
seakan-akan bunga yang rontok di atas tanah...
Chee Thian Gak tarik napas dalam-dalam badannya melayang tiga tombak ke depan dan melayang turun di mana berasalnya suara tadi.
Gerakan tubuhnya ringan, sewaktu mencapai permukaan tanah pun tidak menimbulkan sedikit suara pun tapi suara itu belum berhasil juga dikejarnya...
Meski begitu, kali ini Chee Thian Gak bertindak jauh lebih cerdik, ia tidak bergeser dari tempat semula sebaliknya malah berdiri tak berkutik di situ.
Sedikit pun tidak salah, ia segera mendengar dengusan napas napas di sekeliling sana.
Bagi seorang jago silat yang sudah berpengalaman luas, penemuan itu memberikan perasaan baginya bahwa ia sudah berada di dalam kepungan segi enam yang sangat kuat.
Ia tidak mengerti, apakah ke-enam orang jago itu sejak semula sudah bersembunyi di sana, ataukah dirinya yang tidak beruntung telah meloncat masuk ke dalam kepungan mereka, setelah berpikir sejenak akhirnya ia menahan pernapasan, kapaknya dipersiapkan dan dengan tenang menantikan perubahan selanjutnya.
Dengusan napas di sekitar sana sebentar memanjang, sebentar lirih dan lemah sekali seakan-akan mereka sedang mengintai sesuatu, gerak-geriknya sangat berhati-hati dan dijaga dengan sangat agar jangan sampai menimbulkan sedikit suarapun.
Waktu berlalu dengan cepatnya, sudah beberapa saat Chee Thian Gak menanti di sana tetapi sama sekali tiada suatu gerakan apa pun, kian lama hatinya kian bertambah curiga, segera pikirnya : "Apakah ada jago yang begitu berharga sehingga ke- enam tujuh orang jago lihay itu mau menanti dengan sabar..." Belum habis dia berpikir, tiba-tiba dari sisi tubuhnya berkumandang datang suara isak tangis yang amat lirih.
Sekarang Chee Thian Gak baru mengerti, ternyata isak tangis tadi adalah tangisan yang sengaja diperdengarkan untuk memancing perhatian seseorang, otaknya dengan cepat berputar, batinnya : "Rupanya orang itu sedang memancing kedatangan seseorang dengan suara tangisan tersebut, siapa sih yang bisa dipancing datang dengan suara isak tangis..." Tapi dengan cepat pikiran itu dicabut dari dalam benaknya, sebab secara tiba-tiba ia teringat bukankah dia sendiri pun terpancing datang ke situ karena mendengar suara-suara isak tangis tadi" Dari tempat kejauhan berkumandang datang suara suitan yang aneh diikuti suara Ouw-yang Gong yang serak-serak nyaring bagaikan tong bobrok itu berkumandang ke angkasa : "Maknya, anak setan cucu monyet...
siapa sih yang menangis tersedu-sedu di pagi buta seperti ini" Apakah kalian sudah kematian seseorang?" "Aaach, rupanya orang-orang yang sedang bersembunyi di sekitar sini bukan lain adalah gerombolan dari Song Kim Toa Lhama sekalian," satu ingatan berkelebat dalam benak Chee Thian Gak.
"Tapi apa sebabnya mereka hendak menangkap diri Ouw-yang Gong" Jangan-jangan karena dia telah mengetahui rahasia atau rencana besar mereka maka manusia itu akan dibunuh" aaaaaai...
ketika aku menolong dirinya dari hutan tempo dulu, sudah sepantasnya kalau kutanyai alasannya sampai jelas..." Dalam kenyataan tiada kesempatan sama sekali baginya untuk menyesal atau berpikir lebih jauh, dari balik kabut terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya diikuti enam sosok bayangan manusia berkelebat lewat dari balik kabut, meninggalkan orang yang masih menangis terisak itu.
Dengan badan setengah merangkak perlahan-lahan Chee Thian Gak bergerak maju ke depan, laksana kilat ia dekap mulut orang itu dengan telapak tangannya.
Meskipun gerakan ini dilakukan dengan kecepatan luar biasanya, tapi rupanya orang itu pun merasakan adanya ancaman bahaya yang sedang mengintai dirinya, dengan cepat badannya berputar sementara sikut kirinya disodokkan ke depan menghajar jalan dara So Sim Hiat di atas dadanya.
Chee Thian Gak melengak, cepat lengan kirinya dirangkul ke depan melalui tekukan lengan musuh kemudian memeluk tubuhnya kencang-kencang.
Jari tangannya ditekuk dari depan siap mencengkeram jalan darah bisu di tubuh orang tadi.
Siapa sangka ketika telapak tangannya bergesek lewat di depan dada orang itu, ia rasakan sebuah perasaan empuk yang padat berisi dan kenyal bergelora masuk lewat pori-pori jari tangannya membuat jantung berdebar dan badannya gemetar keras.
Sekarang dia baru mendusin bahwa orang yang sedang didekapnya sekarang adalah seorang perempuan dan benda yang disenggolnya barusan bukan lain adalah sepasang tetek dari gadis itu.
Sebelum dia sempat bertindak sesuatu, gadis itu sudah menjerit kaget dengan kerasnya.
Jeritan lengking itu berkumandang menembusi kabut dan menyebar di angkasa, dalam keadaan begini Chee Thian Gak tidak bisa tidak harus meneruskan gerakannya.
Sambil menggigit bibir ia segera sodok jalan darah bisu perempuan itu dengan ujung gagak kapaknya.
Angin desiran tajam menyambar lewat dari belakang, tahu-tahu sebilah pedang sudah disodok ke arah tubuhnya dari sayap kanan.
Sungguh tajam serangan itu, bukan saja ganas bahkan dahsyat, buru-buru Chee Thian Gak menggeserkan tubuh bagian atasnya ke samping, senjata kapak segera dipancarkan ke depan menyongsong datangnya babatan lawan.
Cring....! di tengah suara dentingan nyaring, pedang itu patah jadi dua bagian dan rontok ke atas tanah.
Chee Thian Gak putar kapaknya membentuk ke arah lain, kebetulan orang itu sedang memapaki kedatangannya dengan gagang pedang, tidak ampun lagi sambil menjerit kesakitan kutungan pedang itu pun mencelat ke angkasa.
Chee Thian Gak mengerti gerakan serangan yang barusan digunakan adalah salah satu jurus yang terampuh di antara sembilan kapak pembelah langit, tulang tangan orang itu kemungkinan besar sudah retak.
Dari balik kabut berkumandang keluar suara teriakan Ouw-yang Gong yang serak : "Neneknya anjing geledak, siap ayg suruh kalian ribut terus disini" Siauw Hong sedang tidur tahu?" "Ouw-yang Gong si ular asap tua, cepat lari," teriak Chee Thian Gak memberi peringatan.
"Siapa yang memanggil aku?" Dari balik kabut berkumandang datang suara bentakan dari Kiam Leng Koen Pay Boen Hay, sekilas cahaya pedang menembusi kabut putih yang tebal dan langsung menusuk darah Thian To hiat di atas tenggorokan musuhnya...
Chee Thian Gak segera ayun kapak saktinya dengan jurus 'Kay Thian Pit Teh' atau Membelah langit membacok bumi, ujung senjatanya yang tajam membelah angkasa hingga menimbulkan gulungan hawa tekanan dan menyapu ke arah luar.
Tiiiing.... ujung pedang Pay Boen Hay terbabat sampai kutung sebagian kecil.
Jurus pedangnya terbendung dan gerakan badannya pun terhenti di tengah jalan, tatkala merasakan tenaga serangannya lenyap tak berbekas, buru-buru ia meloncat mundur ke belakang dengan hati terkesiap.
"Siapakah kau?" tegurnya keras.
"Haaaah... haaaah... haaaah... si Pendekar Jantan Berkapak Sakti Chee Thian Gak berada disini!" Dengan langkah lebar ia maju ke depan, kapaknya diputar sedemikian rupa di tengah udara, dengan jurus 'Koen Toen Jut Hoen' atau Alam Semesta pertama Berpisah yaitu jurus ketiga dari sembilan jurus pembelah langit, ia membentuk berlaksa bayangan kapak yang mana secara berbareng dengan diiringi angin pukulan yang hebat menyapu ke muka.
Baru saja Pay Boen Hay membabat pedangnya ke depan, seluruh tubuhnya tahu-tahu sudah tergulung oleh hawa serangan yang maha dahysat itu sehingga sama sekali tak berkutik, keadaannya mirip dengan teruruk di dalam guguran gunung thay-san...
Dadanya kontan terasa sakit, hampir saja ia jatuh semaput saking tak tahan, air mukanya berubah hebat, sambil berteriak keras segenap kekuatan yang dimilikinya dihimpun dan melancarkan sebuah serangan lagi.
Angin tajam menyambar lewat di atas pipinya, pedang yang sedang terayun segera kutung jadi enam bagian, belum sempat ia bertindak, sesuatu dari sisi kiri kembali menyambar lewat segulung angin tajam membuat ia jadi ketakutan setengah mati, seakan-akan sukmanya telah melayang, dengan sekuat tenaga badannya meloncat ke belakang.
Meskipun semua gerakan itu dilaksanakan dengan sangat cepat, sayang kapak lawan sudah mampir di atas lengan kirinya, seketika cipratan darah segar muncrat ke empat penjuru, di tengah jeritan ngeri yang menyayatkan hati lengan kirinya terbabat kutung sebatas bahu dan mencelat jauh dari kalangan.
Melihat lengan lawan berhasil disambar kutung, diam- diam Chee Thian Gak merasa sangat girang, pikirnya : "Dendam satu babatan pedang sewaktu berada di gunung Cing Shia dua tahun berselang, hitung-hitung berhasil kubalas pada saat ini!" Criiit...! Criiit...! hawa pedang membumbung di angkasa, ujung pedang yang tajam kembali menyerang datang dari belakang punggung laksana sambaran kilat.
Chee Thian Gak mendengus berat, seluruh tubuhnya berputar satu lingkaran besar, kapak sakti di tangannya dengan disertai gerakan ke-lima dari sembilan jurus pembelah langit yaitu 'Hoen Thian An Teh' atau langit berpusing bumi menggelap meluncur keluar.
Gerakan kapak beterbangan di angkasa membawa desiran angin tajam yang berpusing, begitu dahsyatnya serangan itu sampai-sampai kabut putih di sekitar delapan depa di sekeliling tempat itu tersapu lenyap dan menggulung keluar.
Menggunakan kesempatan itu Chee Thian Gak berhasil melihat jelas wajah lawannya, dia adalah seorang pemuda beralis tebal, berkening lebar dan bersikap gagah sedang memutar pedangnya menyambar datang.
Jurus-jurus serangan yang digunakan kebanyakan merupakan gerakan terbuka, tetapi di mana ujung pedangnya mengancam selalu diiringi getaran yang kencang membuat seluruh gerakan itu terlihat jadi aneh dan di luar dugaan.
Ketika serangan kapak meluncur tiba, serangan pedang orang itu segera termakan oleh serangan yang sangat kuat, ujung pedang mencelat ke angkasa sementara kakinya bergeser dua langkah ke samping.
Dengan perputaran itulah, si anak muda tadi segera dapat menyaksikan diri Chee Thian Gak yang berdiri keren di situ sambil mengepit tubuh seorang dara.
"Aaaah!" ia berseru tertahan, air mukanya berubah hebat, "Siok Cian...
kenapa kau"..." Menggunakan kesempatan di kala pihak lawan sedang tertegun, cahaya kapak laksana kilat telah meluncur tiba meluruk masuk ke dalam lingkaran gerakan pedang lawan.
"Aaah, inilah sembilan jurus pembelah langit!" teriak pemuda itu dengan wajah berubah jadi hijau membesi.
Pedangnya segera diputar, ia bermaksud membendung datangnya serangan lawan yang maha dahsyat itu, sayang keadaan sudah tidak sempat lagi.
"Traaang...! termakan oleh benturan senjata lawan yang berat dan mantap pedangnya seketika patah jadi dua bagian.
Pada saat itulah, dari tengah hutan berkumandang datang jeritan kesakitan dari Ouw-yang Gong : "Aduuuh...
Song Kim Toa Lhama... bagus... bagus sekali perbuatanmu, rupanya kau hendak mencabut jiwaku!" Chee Thian Gak terkejut, ia berusaha mendekati arah berasalnya suara tadi, tapi dua bilah pedang tahu-tahu sudah mengancam tiba dari sisi kiri dan sisi kanan, serangannya ganas dan telengas, membuat orang mau tak mau harus menghadapinya dengan serius.
Sekilas pandang jago kita segera kenali kedua orang itu sebagai si Pedang Kilat Pelangi Terbang Tok See serta pdpn Tauw Meh, ia segera tertawa terbahak- bahak, langkah kaki bergeser ke samping, dalam sehembusan napas dia telah melancarkan dua buah serangan maut.
Cahaya tajam memancar menyilaukan mata, jurus yang rapat sambung menyambung bagaikan mata rantai, tubuh kedua orang itu pun segera terkurung dalam kepungan itu.
Dalam pada itu si anak muda tadi pun tidak berdiam diri saja, ia buang kutungan pedangnya ke atas tanah kemudian sepasang telapaknya dipisahkan dan mengirim dua babatan kosong menghantam ke arah gulungan cahaya kapak yang rapat.
Blaaam... Blaaam... pergelangan tangan Chee Thian Gak bergetar keras, termakan oleh pukulan tersebut, ia rasakan tenaga serangannya tersumbat dan dengan sendirinya gerakan kapak pun ikut terganggu.
Meskipun si anak muda itu memakai baju yang perlente dan berdandan bagaikan seorang kongcu ya tapi kekuatan dua buah serangannya benar-benar lebih lihay dari jagoan kelas satu.
Diam-diam Chee Thian Gak merasa terperanjat, ia tak tahu siapakah orang itu, badannya dengan cepat berputar berulang kali, mengikuti perubahan gerakan jurus itu dalam waktu singkat kembali ia lancarkan tiga buah babatan kilat.
Bayangan kapak selembar demi selembar menggulung ke angkasa, serangan yang dipancarkan bagaikan hujan taupan ini membuat ketiga orang yang terkurung itu terasa tergencet hingga keringat dingin pun mulai mengucur keluar membasahi jidat mereka.
Seandainya bukan dialami sendiri mungkin ketiga orang itu tidak akan percaya bahwa gabungan tiga orang jago pedang yang sangat lihay ternyata tidak sanggup menandingi seorang lelaki aneh berjubah merah yang tidak tersohor namanya dalam dunia persilatan.
Chee Thian Gak sendiri berhasil melebur tenaga sin kang dari Ie Cin Keng ke dalam jurus serangan ilmu Surya kencananya hingga membuat ia memperoleh hasil di luar dugaan, kesempurnaan tenaga lweekangnya saat ini boleh dibilang tiada taranya.
Oleh karena itu ketika ia menggunakan sembilan jurus pembelah langit yang diciptakan Thian Liong Toa Lhama dari jurus saktinya Thian Liong Cap Kan Pian, daya pengaruhnya benar-benar sangat mengejutkan, bukan sembarangan jago kelas satu yang sanggup menahannya.
Diam-diam pemuda berbaju perlente itu merasa terperanjat, pikirnya dalam hati : "Sembilan jurus ilmu pembelah langit adalah kepandaian ciptaan dari Thay Koksu Thian Liong Toa Lhama, tapi ketika digunakan oleh orang ini bukan saja lebih sempurna gerakannya bahkan jauh lebih lihay dari Thian Liong Toa Lhama sendiri, entah siapakah orang ini" Dan apa sebabnya ia menangkap Siok Cian?" Satu ingatan belum lenyap, ingatan lain telah muncul di dalam benaknya, ketika ia teringat akan keselamatan Siok Cian, hawa amarahnya segera berkobar, ia ingin sekali membinasakan diri Chee Thian Gak dalam dua tiga jurus saja.
Pada saat pikirannya sedang rumet itulah mendadak Chee Thian Gak membentak keras, kapaknya bergerak dengan jurus ke-delapan 'Jiet Gwat Boe Kong' atau Rembulan dan sang surya sirna dari semesta.
Si Pedang Sakti Pembunuh Naga Tauw Meh menjerit kaget, pedangnya terpapas kutung jadi beberapa bagian, pakaian bagian dadanya tersambar robek sedangkan darah segar segera mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Si Pedang Kilat Pelangi Terbang Tok See yang ada dekat Tauw Meh kontan termakan oleh tumbukan badan rekannya, buru-buru bahu kanannya direndahkan ke bawah coba menolong orang she Tauw itu dari ancaman.
Siapa sangka baru saja tubuhnya merendah ke bawah, pedangnya tahu-tahu sudah terpapas kutung jadi beberapa bagian oleh sambaran senjata Chee Thian Gak.
Dengan meluncur tibanya babatan tersebut maka dadanya segera terbuka dari perlindungan, desiran angin tajam yang menyengat badan pun menerjang masuk ke dalam, dalam keadaan begini tiada harapan lagi baginya untuk meloloskan diri dari ancaman mau.
Berada di ambang kematian, wajahnya berubah kaget, ngeri dan ketakutan setengah mati, air mukanya jadi pucat pias bagaikan mayat, memandang kapak sakti yang sedang menyambar tiba, ia cuma bisa berdiri termangu-mangu dengan sorot mata sayu.
Semua perubahan wajah orang she Tok ini dapat dilihat jelas oleh Chee Thian Gak, mendadak hatinya bergetar dan pelbagai ingatan berkelebat memenuhi benaknya.
Ia teringat beberapa kali nyawanya berada di ujung tanduk, ia selalu berada dalam harapan untuk melancarkan perlawanan, ia bisa merasakan betapa tersiksa batinnya pada saat itu.
Tiada siksaan batin lain yang jauh lebih berat daripada siksaan batin di kala seseorang berada di depan maut, di ambang kematian yang akan menghapus namanya dari muka bumi.
Begitu ingatan tadi berkelebat masuk dalam benaknya, sang pergelangan segera dimiringkan ke samping, sementara kaki kirinya mengirim satu tendangan kilat membuat tubuh Tok See terpental sejauh enam depa dan terbanting keras-keras di atas tanah.
Pemuda berbaju perlente itu bukan manusia sembarangan, sudah tentu ia pun bisa mengikuti tingkah laku lawannya, menyaksikan sikap Chee Thian Gak, ia segera merasa bahwa inilah satu kesempatan baik baginya untuk bertindak.
Tangan kanannya segera diluruskan ke depan kemudian membabat dengan satu gerakan yang aneh, sementara tangan kirinya mencengkeram lengan Siok Cian dengan maksud merampasnya kembali.
Chee Thian Gak berseru tertahan, rupanya dia pun tidak menyangka kalau kepandaian silat dari pemuda itu sangat lihay, sebelum tubuhnya sempat berkelit tahu-tahu lengan kirinya termakan pula oleh hajaran lawan.
Ploook! di tengah bentrokan keras ia mendengus dingin, badan bagian atas miring ke samping, sedang kapaknya digulung balik keluar, sekejap mata bayangan kapak telah memenuhi angkasa.
Jurus yang ia gunakan barusan adalah jurus terakhir dari sembilan jurus ilmu pembelah langit yaitu ' Thian Teh Ke Hoei' atau Bumi dan langit hancur berantakan, daya dan pengaruh mengerikan dan cukup untuk merobohkan sebuah bukit.
Sementara itu pemuda berbaju perlente tadi sedang merasa terkesiap karena serangannya yang bersarang dengan telah di tubuh lawan bukan saja tidak berhasil merobohkan lawannya, sebaliknya ia seolah-olah menghantam baja yang kuat sehingga membuat tangannya jadi kaku.
Segera pikirnya di dalam hati : "Jurus serangan yang aku gunakan barusan sanggup menjebolkan perut seekor banteng, tapi apa sebabnya sama sekali tak berguna baginya" Jangan- jangan ia telah berhasil melatih ilmu Kim Kong Sinkang yang kebal terhadap pelbagai macam ilmu pukulan!" Baru saja ingatan itu muncul dalam benaknya, desiran angin tajam sudah menyapu tiba,tidak sempat lagi baginya untuk berpikir panjang, buru-buru ia enjotkan badannya berusaha meloloskan diri dari kurungan bayangan kapak lawan.
Bekas telapak merah yang ada di atas jidat Chee Thian Gak kian lama kian bertambah nyata, senyuman dingin yang menghiasi bibirnya menunjukkan kesadisan serta kekejaman hatinya.
Hmmm! Kau anggap aku sudi memberi kesempatan bagimu untuk melarikan diri dari sini?" jengeknya ketus.
Baru saja lelaki berbaju perlente itu loncat ke samping, ia segera rasakan daya tekanan yang maha berat menekan datang dari sekeliling tubuhnya membuat ia seolah-olah terjerumus ke dalam lumpur, sama sekali tak berhasil lari dari situ.
"Addduhh...! habis sudah jiwaku!" teriaknya keras- keras dengan wajah pucat pias bagaikan mayat.
"Pangeran kedua, jangan gugup, Song Kiem segera datang!" bentakan nyaring laksana suara benda mendengung tiba dari balik kabut putih yang menutupi pemandangan sekeliling tempat itu.
Sekilas bayangan merah bergerak membelah angkasa, segulung tenaga pukulan yang berat laksana tindihan bukit thay san menekan ke bawah.
Blaaam! di tengah ledakan dahsyat bagaikan guntur membelah bumi di siang hari bolong, bayangan kapak yang memenuhi angkasa seketika sirap, di tengah membuyarnya kabut putih di sekeliling sana tampak Chee Thian Gak dengan mata melotot bulat dan alis berkerut kencang sedang menatap wajah Song Kim Toa Lhama yang berada di hadapannya tanpa berkedip.
Pakaian yang dikenakan Song Kim Toa Lhama terbelah jadi beberapa bagian, di atas jubahnya yang lebar dengan nyata terlihat sebuah bekas mulut luka yang amat panjang, darah segar mengucur keluar dengan derasnya dari mulut luka tadi dan membasahi seluruh tubuhnya...
Dengan wajah hijau membesi karena belum berhasil menguasai golakan darah panas dalam rongga dadanya, sorot mata yang tajam menatap cambang lebat di atas wajah lawan serta bekas merah darah yang nampak sangat menyolok di atas dahinya.
Dalam ingatannya dari daerah Tibet belum pernah didengar ada manusia yang memiliki kepandaian silat demikian lihaynya bahkan berani menyambut pukulan 'Thay Chioe Eng' suatu kepandaian maha sakti yang mengerikan dengan keras lawan keras tanpa mengalami cedera apa pun.
Bukan begitu saja, dalam dunia persilatan di daratan Tionggoan pun ia belum pernah bertemu dengan seorang jago yang berdandan demikian aneh serta memiliki ilmu silat begitu anehnya macam Chee Thian Gak.
Tatkala sorot mata Song Kim Toa Lhama terbentur dengan napsu membunuh yang bergelora di balik kerutan alis lawan, mendadak hatinya jadi bergidik, tanpa sadar seluruh bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Chee Thian Gak tertawa dingin, sambil melirik sekejap ke arah lelaki berbaju perlente yang saat itu lupa berdiri dan masih saja duduk mendeprok di atas tanah jengeknya : "Ooooh....
kiranya kau masih mempunyai kedudukan sebagai seorang pangeran kedua...
Hmmm! Hmmm! kalau begitu aku harus minta maaf..." Lelaki perlente itu tetap membungkam sementara hatinya sedih dan pedih bagaikan diiris-iris dengan beribu-ribu batang pedang, ia hanya merasakan bahwa pandangan di hadapannya hanya warna kelabu belaka, ilmu pedang yang dilatihnya dengan susah payah selama sepuluh tahun dan dipersiapkan untuk membesarkan namanya di kemudian hari, saat ini harus hancur berantakan terlebih dahulu sebelum impiannya terwujud.
Ia merintih lirih, pikirnya : "Dapatkah aku disebut sebagai jago pedang lainnya yang baru muncul di dalam dunia persilatan" Tenaga gabungan kami bertiga ternyata masih belum sanggup untuk menghadapi seorang manusia kasar model dia..." Kabut putih perlahan-lahan membuyar dari sekeliling tempat itu, secara lapat-lapat tampaklah Chee Thian Gak sambil mengepit seorang gadis cantik sedang berdiri keren di tengah kalangan, sikap maupun gerak-geriknya cukup membuat orang merasa bergidik...
Menyaksikan kesemuanya itu, pangeran kedua kembali berpikir dalam hatinya : "Oooooh Lie Peng...
Lie Peng... kau sebagai keluarga Kaisar mempunyai kedudukan yang maha tinggi dan maha mulia...
apakah kau rela dihina dan dipermalukan orang seperti hal ini" Untuk mempertahankan kekasih pun tak sanggup"...
Dimanakah kekuasaan serta kehormatanmu pada hari-hari biasa..." Belum habis dia berpikir, terdengar Chee Thian Gak telah berkata dengan suara dingin : "Song Kiem, kau bukannya menikmati kehidupan yang serba mewah dan serba menyenangkan dalam istana kaisar, mengapa malah datangi tempat yang gersang dan rudin seperti ini?" Song Kim Toa Lhama tidak langsung menjawab, ditatapnya wajah lelaki she Chee itu beberapa saat lamanya, kemudian baru menjawab : "Sicu! Besar amat nyali anjingmu, berani menculik calon permaisuri kami.
Hmmm! Rupanya kau sudah bosan hidup di kolong langit?" "Di mana Ouw-yang Gong" Apa yang telah kalian lakukan terhadap dirinya?" "Persoalan yang ia ketahui terlalu banyak, bagaimanapun juga kami tak akan biarkan dia tetap hidup di kolong langit." "Hmmm! Kalau memang begitu keinginan kalian, maka permaisuri kalian pun tak akan hidup lebih dari esok pagi!" "Hmmm! Kau masih ingin tinggalkan tempat ini?" hardik Song Kim Toa Lhama.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Siapakah manusia yang ada di kolong langit dewasa ini sanggup menghalangi kepergian dari aku Chee Thian Gak...?" "Chee Thian Gak?" pikir Song Kim Toa Lhama, tapi ia merasa belum pernah kenal dengan nama tersebut, dengan pandangan sangsi bercampur curiga diliriknya sekejap senjata kapak di tangan pihak lawan, kemudian tegurnya dengan suara berat : "Apa hubunganmu dengan Thian Liong toa suheng?" Mendengar padri itu mengungkap soal nama Thian Liong Toa Lhama, untuk beberapa saat Chee Thian Gak merasa sangsi, lagi katanya juga : "Thian Liong si Buddha Hidup adalah guru yang mewariskan kepandaian silat kepadaku!" "Aaaaach!" Song Kim Toa Lhama berseru terperanjat, "Kau adalah anak murid dari Thian Liong Toa suheng" Sekarang dia berada di mana?" "Dunia penuh ketenangan di langit barat." "Ooooh...
dia sudah wafat?" seru Song Kiem, sekilas rasa sedih terlintas di atas wajahnya, "Ia meninggal dunia di mana?" "Kenapa harus kukatakan kepadamu?" Song Kim Toa Lhama mengerti bahwasanya semasa kakak seperguruannya masih memangku jabatan sebagai Toa Koksu, ia pernah melarikan sejumlah besar benda-benda pusaka dari gudang mustika dalam istana terlarang, sekarang walaupun orangnya sudah mati tapi benda-benda mustika itu pasti masih berada di kolong langit.
Oleh sebab itu dengan nada menyelidik tanyanya lagi : "Chee Sutit, tahukah kau bahwa semasa hidupnya ia pernah memiliki sejumlah benda-benda mustika..." Chee Thian Gak mengerti bahwa ucapan barusan diutarakan Song Kim Toa Lhama adalah dimaksudkan benda-benda mustika yang banyak berserakan dalam meja kuno di gunung Cing Shia, diam-diam ia lantas tertawa dingin.
"Cisss... siapakah sih yang menjadi keponakan muridmu?" ia menjengek.
Sepasang alis Song Kim Toa Lhama kontan berkerut kencang, jubah lebarnya tiba-tiba menggelembung besar, diikuti bergetarnya ujung baju, segulung angin pukulan yang maha dahsyat laksana hembusan angin taupan menggulung ke depan.
"Keparat cilik yang tak tahu diri," makinya kalang kabut.
"Kau berani memandang hina angkatan tuamu.
Hmmm! Rasakanlah sebuah pukulanku..." Chee Thian Gak ayunkan kapak saktinya ke tengah udara, lalu maju selangkah ke depan, dengan sebelah telapak tangan ia sambut datangnya serangan dahsyat dari Song Kim Toa Lhama.
Blaaaam... ledakan dahsyat bergeletar di tengah udara, pasir dan debut beterbangan ke angkasa, di tengah raungan keras Song Kim Toa Lhama telapak kanannya perlahan-lahan diayun keluar menghantam tubuh lawan...
Segulung desiran angin tajam yang aneh dan kuat memancar keluar membelah angkasa, telapak tangan yang barusan diulur keluar dari balik ujung bajunya itu mendadak berubah jadi besar dan merah padam bagaikan darah...
"Thay Chiu Eng," bisik Chee Thian Gak sambil tarik napas dalam-dalam, telapak kanannya disendat lalu ditumpahkan keluar hawa sakti aliran panas disalurkan ke segenap tubuh, dengan jurus 'Yang Kong Phu Ciauw' atau Cahaya Sang Surya Memancar Terang ia sambut datangnya ancaman lawan.
Deruan angin puyuh yang maha dahsyat mengiringi suara desiran yang memekikkan telinga, hawa kabut di udara seketika buyar ke empat penjuru terdesak oleh hawa pukulan berhawa panas membara itu dan berubah jadi titik embun...
Bluuuummm... Song Kim Toa Lhama mendengus berat, beberapa puluh lembar terbakar hangus...
dengan tubuh sempoyongan ia mundur satu langkah ke belakang.
Di tengah udara tercium bau sangit yang amat menusuk hidung, bibirnya bergeletar keras dan akhirnya tak tahan lagi ia muntahkan darah segar...
Sebaliknya wajah Chee Thian Gak berubah jadi kelabu gelap, sepasang kakinya sudah terbenam ke dalam tanah namun badannya tetap gemilang atau pun tidak bergeser dari tempat semula...
Chee Thian Gak kerutkan alisnya, perlahan-lahan ia hembuskan napas panjang kemudian bergeser dua langkah ke samping melepaskan diri dari benaman tanah.
Ditatapnya wajah Song Kim Toa Lhama yang penuh berlepotan darah dengan pandangan tajam, sekilas hawa napsu membunuh melintas di atas wajahnya, dengan nada berat ia menegur : "Song Kiem toa Kok su, bagaimana kalau sekarang rasakan lagi sebuah pukulanku?"?"
SONG KIEM TOA LHAMA membuka matanya yang terkancing rapat, memandang sekejap ke arah musuhnya lalu menyahut dengan suara lirih : "Chee Thian Gak, kepandaian silat apakah yang barusan kau gunakan untuk menghadapi diriku ?"" Chee Thian Gak masih ingat, setelah ia berhasil menyalurkan tenaga sakti dari kitab 'Ie Cin Keng' ke dalam jurus serangan Thay Yang sam Sie sudah beberapa orang mengajukan pertanyaan yang sama.
Sekilas senyuman tersungging di ujung bibirnya.
"Itulah kepandaian maha sakti yang tiada tandingannya di kolong langit sejak jaman dahulu kala !" "Hmmm ! bocah keparat yang bermulut besar, Thian Liong toa suheng sendiri pun tidak berani mengutarakan perkataan semacam itu, apalagi kau hanya memperoleh warisan kepandaian silat darinya...
hmmm, bebar-benar......" Chee Thian Gak mendongak dan tertawa terbahak- bahak, begitu keras suara gelak tertawanya sampai sampai ranting dan daun ikut bergetar keras, dengan sombong katanya : "Ilmu Thay yang Sinkang yang kumiliki saat ini sama sekali bukan warisan dari Thian Liong Toa Lhama." "Apa?" Thay Yang Sin-kang ?"" dengan amat terperanjat Lie Peng meloncat bangun dari atas tanah.
"Kalau begitu kau berasal dari negeri Tay-li di Propinsi In lam?"" "Darimana kau bisa menduga kalau aku datang dari negeri Tayli di propinsi In lam?" "Kaisar Toan dari negeri Tayli telah mengutus pangeran ketiga Toan Hong datang keibu kota, dalam suatu kesempatan ia telah membicarakan soal ilmu silat ilmu silat yang terdapat dalam negerinya, aku masih ingat ia pernah meayebutkan nama Thay yang Sin-kang tersebut!" Sorot matanya beralih ke arah jubah merah yang dikenakan Chee Than Gak, kemudian katanya lagi : "Dan kini terbukti kau memiliki ilmu sakti Thay Yang Sin kang, bukankah hal ini menunjukkan kalau kau berasal dari negeri Tayli"......" "Chee Thian Gak menjengek dingin.
"Hmmmmm, kau anggap di kolong langit ini kecuali keluarga Toan dari negeri Tayli lantas tiada orang lain yang mengerti akan ilmu sakti Thay-yang Sin-kang?" Hmmmm...
cayhe justru bukan berasal dari propinsi In Lam!" "Lalu sebenarnya siapakah kau?" tanya Lie Peng dengan sorot mata sangsi, "Haaaah ....haaaah....
cayhe bukan lain adalah si Pendekar Jantan Berkapak sakti Chee Thian Gak adanya !" Ia merandek sejenak, lalu menambahkan.
"Barusan saja cayhe berpisah dengan sepasang iblis dari samudra Seng Sut Hay dan sejak tiba disini sudah tiga kali kulaporkan namaku, apakah kau tidak ingatnya sama sekali ?"......" "Apa" sepasang iblis dari Seng-sut-hay ?" jerit Lie Peng dengan air muka berubah hebat.
"Apakah orang yang kau maksudkan itu adalah jago paling kosen dari kalangan sesat pada masa silam ?"" "Ehmmmm...
sedikit pun tidak salah!" "Aaaaah, jadi sepasang iblis dari samudra Seng Sut Hay itu belum modar ?"" seru Song Kim Toa Lhama pula dengan hati terkesiap.
"Sampai sekarang mereka masih..." "Heeeeh ....
heeeh .... heeeh.... menurut hemat cayhe, justru kaulah yang sepantasnya modar lebih dulu," tukas Chee Thian Gak sambil tertawa dingin.
"Bagi manusia yang berhasil melatih ilmu silatnya hingga mencapai puncak kesempurnaan, air api tak perlu ditakutkan lagi hidup sampai usia tujuh delapan puluh tahun bukan terhitung seberapa!" Disemprot oleh kata-kata yang begitu tajam Song Kim Toa Lhama seketika bungkam dalam seribu bahasa, sepatah kata pun tak sanggup diucapkan lagi.
"Aaaaah, tidak benar ucapan itu" tiba-tiba Lie Peng berseru tertahan, "andaikata sepasang iblis itu masih hidup hingga kini, usianya tak mungkin baru mencapai tujuh delapan puluh tahun, semestinya mereka telah berusia seratus tahun ke atas." Sambil tertawa dingin segera jengeknya: "Dengan kepandaian silat yang kau miliki masih cukup untuk mensejajarkan diri diantara jago jago kosen di kolong langit, apa gunanya kau sebut-sebut nama besar sepasang iblis dari samudra Seng Sut Hay untuk meninggikan derajat sendiri?" Berbicara sampai di situ, dengan sikap menghina ia meludah ke atas tanah.
"Keparat sialan!" hardik Chee Thian Gak dengan sepasang matanya memancarkan cahaya menggidikkan hati.
"Kalau kau berani meludah sekali lagi, jiwamu akan segera kubereskan !" Dipandang dengan sorot yang mata begitu tajam dan menggidikkan, hati Lie Peng tak berani mengucapkan kata-katanya lagi, dengan wajah tertegun ia berdiri kaku ditempat semula.
"Che Thian Gak!" bentak Song Kim Toa Lhama dengan nada gusar.
"Berani benar kau menggunakan kata- kata sekasar itu berbicara dengan jie thay-cu kami, Hmmm, rupanya kau sudah tidak ingin keluar dari hutan ini dalam keadaan utuh ?"" "Hmmmm, selama aku orang Chee berkelana mengarungi seluruh jagad belum pernah aku merasa jeri atau takut terhadap siapa pun juga, dengan andalkan kekuatan kamu beberapa orang ini dianggapnya sudah sanggup untuk menghalangi kepergianku." Biji mata Song Kim Toa Lhama berputar kencang, tiba- tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera bertanya : "Pada tengah malam tempo dulu, apakah kau juga orang yang telah menolong Ouw-yang Gong?"" Chee hian Gak mengerti yang dimaksudkan si padri ini adalah peristiwa sewaktu berada di belakang gunung Tay bie-sancung tempo dulu, di mana setelah tubuhnya terhajar masuk jurang oleh pukulan Poh Giok Kang dari Hoa Pek Tuo.
Waktu itu dengan membawa luka ia masuk ke dalam sebuah hutan lebat, di situ ditemuinya Ouw-yang Gong sedang dikurung oleh Song Kim Toa lhama serta empat jago pedang dari dunia persilatan.
Pada saat itulah dengan salurkan sisa tenaga yang dimilikinya ia sambit selembar daun kering dengan ilmu Hoei Hoa Sat Jien untuk merontokkan semangat lawan.
Kini mendengar teguran tersebut, pemuda itu tertawa getir dan gelengkan kepalanya.
"Orang itu bukanlah cayhe melainkan Jago Naga Emas It-boen Chiu !" "Siapa itu si jago naga emas It-boen Chiu ?"" tanya Song Kim Toa Lhama tertegun.
"Dia adalah kakak seperguruan cayhe!" sahut Chee Thian Gak dengan lagak penuh rasa hormat.
Rupanya Song Kim Toa Lhama tak pernah menyangka kalau toa suhengnya sudah menerima begitu banyak murid, bahkan semuanya memiliki kepandaian silat yang maha sakti.
Diam-diam lantas gumamnya : "Dia pasti sudah berhasil menemukan kitab rahasia ilmu silat yang maha sakti, kalau tidak tak nanti murid-muridnya begitu lihay sehingga hampir menandingi kemampuanku..." Lie Peng sendiri pun sementara itu sedang berpikir dalam hati kecilnya : "Aaai...
aku masih mengira di daerah Kwan Tiong dan Seek Siok dua tempat tidak terdapat jago-jago berkepandaian lihay, sungguh tak nyana begitu banyak jago kosen yang tersebar disini.
Aaai... kalau dipikir tujuh jago pedang dari dunia persilatan belum termasuk manusia ampuh dalam kolong langit..." Tatkala dilihatnya beberapa orang jago yang ada di dalam hutan itu sebagian besar sudah terpengaruh oleh siasat licik yang sengaja diaturnya itu, diam-diam Chee Thian Gak tertawa dingin pikirnya : "Setiap kali aku bertemu dengan mereka, selalu saja orang-orang ini sedang berkumpul di dalam hutan lebat, jangan-jangan mereka sedang menjalankan suatu siasat licik yang lihay" Kalau ditinjau dari ocehan Ouw-yang Gong, rupanya persoalan ini mempunyai hubungan dengan soal penjualan..." Berpikir sampai disini hatinya kontan jadi terkesiap, pikirnya lebih jauh : "Kalau aku belum tahu akan persoalan ini masih mendingan, setelah mengetahuinya aku harus mencampurinya hingga jadi beres!" Dalam pada itu pelbagai ingatan telah berkelebat dalam benak Lie Peng, sambil memandang jago yang berperawakan tinggi kekar di hadapannya ini ia berpikir kembali : "Andaikata aku berhasil mendapatkan bantuan dari jago yang begini lihaynya, tidak sulit rasanya bagiku untuk mengalahkan kakakku, apalagi dia masih mempunyai seorang suheng!" Sambil menengok sekejap ke arah Chee Thian Gak, pikirnya lebih jauh : "Andaikata aku dapat mengetahui kegemaran serta kebiasaannya, dengan menyerang titik kelemahannya itu mungkin dia sudi membaktikan tenaganya untukku, kalau tidak seandainya ia sampai berpihak kepada toakoku dan memusuhi diriku meski Hoat su dari negeri Tarta dan Raja dari negeri Turfan datang membantu pun belum tentu bisa menandingi dirinya, terhadap manusia lihay seperti dia bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk mendapatkannya." Untuk sesaat suasana dalam hutan berubah jadi sunyi...
hening... dan sepi, kecuali deruan angin pagi yang menggoyangkan ranting serta dedaunan tiada suara lain yang kedengaran.
Sementara itu Chee Thian Gak sudah mengambil keputusan dalam hatinya, ia letakkan tubuh Siok Cian ke atas tanah kemudian ujung jarinya berkelebat membebaskan jalan darah bisu yang tertotok di tubuh dara itu.
Siok Cian menghembuskan napas panjang, lalu dengan nada terkejut serunya : "Aku berada?"...
engkoh Peng..." "Cian Cian...
aku... aku berada disini," sahut Lie Peng dengan suara gemetar, ia segera melangkah maju setindak ke depan.
"Engkoh Peng, kau..." "Cian Cian...
kenapa kau?"" Lie Peng semakin gelisah.
Mendadak dengan wajah membesi Chee Thian Gak silangkan tangan kanannya menghadang jalan pergi orang, bentaknya : "Hey orang she Lie, jangan mencoba maju ke sini!" "Kau mau apa?"" teriak Lie Peng gusar, tetapi setelah ucapan itu meluncur keluar dari mulutnya ia jadi menyesal, pikirnya : "Demi suksesnya seluruh rencana besar yang sedang kususun, sekalipun aku harus Cian-Cian juga tidak mengapa, asal Chee Thian Gak suka dengan dirinya, kenapa aku harus merasa keberatan untuk menghadiahkan kepada dia?"?" Tapi begitu ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, segera ia merasa malu dan menyesal sendiri, kenapa bisa mempunyai ingatan seperti itu, sembari menggigit bibir pikirnya lebih jauh : "Aku telah berkasih-kasihan selama dua tahun dengan Cian Cian mana boleh kujual dirinya dan menghina dirinya hanya disebabkan oleh keinginan untuk mendapat penghargaan belaka?" andaikata seorang lelaki harus menjual istri sendiri demi suksesnya pekerjaan yang dicita-citakan, sekalipun akhirnya usaha itu berhasil, aku pun bakal menyesal dan kecewa sepanjang masa." Pelbagai ingatan berkelebat dalam benaknya, membuat ia jadi gelisah bercampur cemas, tanpa sadar perasaan tersebut terlintas di atas wajahnya.
Mendadak Chee Thian Gak membentak lagi dengan sepasang mata melotot bulat : "Kalau kau berani maju lagi, segera akan kubacok tubuhnya jadi beberapa bagian!" "Apa yang kau inginkan?"" jerit Lie Peng dengan wajah menunjukkan siksaan batin yang tak terhingga.
"Bagaimanakah sikap kalian terhadap Ouw-yang Gong, dengan cara itu pula akan kuhadapi dirinya..." Tiba-tiba biji mata Siok Cian berputar, menggunakan kesempatan di kala Chee Thian Gak sedang bercakap- cakap dengan Lie Peng, pergelangan tangannya berkelebat meloloskan sebilah pedang lemas dari pinggangnya.
Lie Peng dapat mengikut gerak-gerik kekasihnya dengan jelas, ketika dilihatnya Chee Thian Gak sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap perbuatan Siok Cian yang meloloskan senjata tajam di belakang tubuhnya, dengan mata melotot segera teriaknya : "Akan kubunuh dirinya sekarang juga!" "Heeh...
heeeeh... heeeh... kalau begitu, jangan harap setiap manusia yang ada di dalam hutan hari ini bisa lolos dari sini dalam keadaan hidup...!" sahut Chee Thian Gak sambil tertawa dingin.
Ucapan itu begitu tegas dan meyakinkan, sekalipun Lie Peng berkata demikian hanya bertujuan untuk membuyarkan konsentrasi Chee Thian Gak saja sehingga Siok Cian yang siap melancarkan serangan bokongan bisa berhasil sukses tak urung terpengaruh juga oleh perkataan itu sehingga untuk sesaat tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
"Chee Thian Gak!" bentak Song Kim Toa Lhama dengan suara berat, "kau tak usah begitu jumawa dan sombong..." Mendadak perkataannya merandek di tengah jalan, pada saat itulah Siok Cian menggerakkan pergelangan tangannya, cahaya pedang segera berkilauan membelah angkasa.
Jarak antara Chee Thian Gak dengan gadis itu hanya terpaut satu depa belaka, bacokan tadi langsung mengancam punggung orang itu.
Bersama dengan datangnya bacokan tersebut, Lie Peng segera menubruk ke depan, sepasang kepalannya diayun berulang kali mengirim serangan dahsyat ke arah dada Chee Thian Gak.
Jago kosen berkapak sakti ini mendengus dingin, tiba- tiba telapak kanannya diputar balik, hawa pukulan segera menderu-deru dan menggulung balik ke depan, tubuh Lie Peng terhajar telak sehingga tidak ampun badannya terjengkang mundur tiga langkah ke belakang.
Siok Cian menjerit keras, sebelum ujung senjatanya sempat mampir di tubuh lawan tahu-tahu orang she- Chee itu sudah putar badannya mengirim satu pukulan kilat menghajar di atas gagang pedang lawan, pedang lemas itu segera terhajar dan lepas dari cekalan.
Ketika melihat ujung pedang Siok Cian telah menempel di atas punggung lawan tadi, Song Kim Toa Lhama diam-diam sedang merasa bergirang hati, tapi ia tidak menyangka kalau reaksi orang she Chee itu bisa demikian cepat dan tajamnya.
Dengan hati bergidik pikirnya : "Aaaah sungguh tak nyana ilmu 'Baudi Pu Tong Ciat Eng' dari aliran Mie Tiong pun berhasil ia kuasai dengan begitu sempurna, kehebatannya benar-benar mengerikan sekali..." Sementara itu perlahan-lahan Chee Thian Gak sudah putar badan, katanya dengan nada menyeramkan : "Apakah antara kau dengan aku sudah terikat dendam sakit hati sedalam lautan" Mengapa kau hendak tusuk badanku sampai mati?" Sepasang mata Siok Cian terbelalak lebar-lebar, dengan wajah ketakutan ia menutupi mulutnya sendiri kemudian memandang wajah Chee Thian Gak tanpa berkedip.
Si Pendekar Jantan Berkapak Sakti ini mendengus dingin, dengan ujung kakinya ia menjejak permukaan tanah, pedang lemas yang menggeletak di tanah itu segera mencelat ke udara, sekali tangan kanannya digape, tahu-tahu senjata tadi sudah digenggamnya di tangan.
Matanya melirik seram, diiringi suitan panjang, pedang tersebut dengan memancarkan cahaya berkilauan tiba meleset ke tengah udara dan meluncur ke muka.
Termakan oleh getaran hawa murninya pedang lemas tadi berubah jadi kaku bagaikan tombak, membawa desiran tajam yang memekikkan telinga, senjata itu meluncur ke dalam hutan berkelebat meninggalkan cahaya bulat kemudian meluncur ke arah sebuah pohon besar di hadapannya.
Pedang itu meluncur menembusi dahan kemudian bergetar tiada hentinya sambil meninggalkan desingan tajam yang memekikkan telinga.
Di tengah gugurnya daun dan ranting, Chee Thian Gak berseru lantang : "Pernahkah kalian menjumpai ilmu pedang macam begini?" Saking terperanjatnya wajah Lie Peng berubah jadi hijau membesi, ia berdiri tertegun di tengah kalangan sambil memandang ke arah lawannya dengan pandangan bodoh, sepatah kata pun tak sanggup ia ucapkan.
To-Liong It-Kiam si Pedang sakti Pembunuh Naga Tauw Meh menjerit histeris, dengan wajah penuh ketakutan teriaknya : "Haaah"...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmu pedang terbang..." Sudah tentu Chee Thian Gak tidak kenal dengan apa yang disebut sebagai ilmu pedang terbang itu, dia hanya tahu hasil itu didapatkan karena konsentrasi segenap perhatian dan kekuatannya pada ujung senjata.
Ia sendiri pun tak pernah menyangka kalau hasil himpunan semangat dan kekuatannya bisa menghasilkan daya perputaran yang kuat pada senjata tajam itu, semakin tak pernah disangka kalau kekuatan semacam itu bisa digunakan untuk membunuh orang dari jarak ratusan tombak...
"Ilmu pedang terbang!...ilmu pedang..." gumamnya berulang kali.
"Inikah yang disebut sebagai ilmu pedang terbang"..." Setiap manusia yang hadir dalam hutan saat itu rata- rata merupakan jago Bu-lim yang lihay dalam ilmu pedang namun belum pernah mereka menyangka kalau kehebatan dari ilmu pedang terbang itu dalam kenyataannya begitu dahsyat...
Chee Thian Gak tertawa terbahak-bahak...
sepasang mata yang tajam menatap di atas pedang lemas pada dahan pohon dua tombak di hadapannya tanpa berkedip.
Seluruh perhatian dan kekuatannya kembali dihimpun jadi satu, menurut cara yang pernah digunakannya barusan perlahan-lahan dia angkat tangan kanannya ke atas.
Melihat perbuatan si anak muda itu Siok Cian menjerit kaget, segera ia meloncat ke sisi Lie Peng dan menubruk ke dalam pelukannya.
Tauw Meh serta Tok See pun tanpa sadar mundur empat langkah ke belakang dan bersembunyi di belakang dahan pohon, dengan pandangan ketakutan mereka ngintip ke arah lawannya.
Air muka Song Kim Toa Lhama berubah hebat, sepasang telapaknya disilangkan di depan dada, sementara kakinya bergeser di depan tubuh Lie Peng serta Siok Cian sambil berjaga-jaga terhadap serangan bokongan dari Chee Thian Gak.
Suasana di dalam hutan seketika berubah jadi sunyi senyap...
Begitu sepi sehingga suara napas pun secara lapat-lapat kedengaran...
Mendadak terdengar Ouw-yang Gong berteriak keras : "Aduuuuh sakitnya...
aduuuh biyung..." "Aaaah," Chee Thian Gak tersadar kembali dari lamunannya.
"Ouw-yang Gong kau..." Ucapannya terputus, tangan kanannya yang berada di angkasa menggurat beberapa kali, seketika itu juga hatinya tergerak dan seolah-olah dia telah menemukan sesuatu.
Tapi cahaya kilat itu hanya sekejap mata, sebelum dia sempat jelas apakah itu kegelapan telah menyelimuti kembali seluruh jagad...
Perlahan-lahan ia turunkan tangannya kembali dan berpikir : "Aaaai...
dalam waktu yang singkat aku tak akan bisa menemukannya kembali..." Pada saat itulah dengan badan sempoyongan Ouw- yang Gong bangkit berdiri kemudian berjalan ke arah hutan, sambil bergerak mulutnya berteriak tiada hentinya : "Siauw Hong...
Siauw Hong...!" Chee Thian Gak enjotkan badannya, sang tubuh melayang satu tombak di udara dan cabut kembali kapaknya yang tertancap di atas dahan pohon.
Ia tarik napas dalam-dalam, katanya : "Dalam lima hari kemudian cayhe akan tetap berada dalam propinsi Su cuan, andaikata kalian ada yang merasa tidak puas, setiap saat boleh datang mencari diriku." Siok Cian yang masih berdiri tertegun, tiba-tiba menoleh lalu bertanya dengan suara bimbang : "Peng ko, sebenarnya siapakah orang itu?" "Cayhe adalah si Pendekar Jantan Berkapak Sakti Chee Thian Gak!" jawab si anak muda itu dengan suara lantang.
"Chee Thian Gak" Benarkah kau bernama Chee Thian Gak?" "Hey Lie Peng!" seru si anak muda itu lagi dengan suara berat, "Cayhe hendak memperingatkan dirimu! Andaikata kau mempunyai niat jahat untuk menghianati kerajaan, dan aku mengetahui akan rencana busukmu ini..." Sekilas napsuf membunuh terlintas di atas wajahnya.
"Hmmm! Saat itu aku akan suruh kau merasakan siksaan yang paling berat dan paling mengerikan...
akan kusuruh kau rasakan bagaimana akibatnya bagi seseorang yang menghianati negaranya." Suara itu mendengung tiada hentinya di udara, memberikan keangkeran dan keseraman bagi yang ada dalam hutan berdiri termangu dan membungkam dalam seribu bahasa.
Tak seorang manusia pun yang berani bertindak ketika ia perlahan-lahan meninggalkan hutan tersebut.
Menanti bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan, pertama-tama Tok See lah yang menghembuskan napas panjang lebih dahulu.
"Aaaah... aku benar-benar tidak mengerti manusia macam apakah dia itu!" serunya.
"Tenaga lweekang yang dimiliki orang ini telah mencapai pada puncak kesempurnaan yang tiada taranya di kolong langit," Tauw Meh menambahkan.
"Sudah tak seberapa banyak orang lagi dalam dunia persilatan dewasa ini yang sanggup menandingi dirinya." "Tak pernah kusangka sama sekali, dia yang tersohor di dalam Bu lim karena kesaktiannya dalam permainan kapak, ternyata mempunyai kelebihan yang tak kalah hebatnya dalam ilmu pedang..." dengan perasaan bergidik orang she Tok ini memandang sekejap luka-luka di tubuhnya, lalu bergumam kembali : "Ilmu pedang terbang...
ilmu pedang terbang... untung dia menghadapi diriku hanya menggunakan senjata kapaknya, kalau tidak selembar jiwaku pasti sudah melayang sejak tadi-tadi..." "Hey Tok See, jangan terlalu memuji kehebatan orang..." bentak Song Kim Toa Lhama.
"Song Kim Koksu," sela Lie Peng, "ucapannya sedikit pun tidak salah, andaikata Chee Thian Gak menghadapi kita dengan menggunakan ilmu pedang terbangnya, aku percaya tak seorang pun di antara kita yang berhasil tinggalkan tempat ini dalam keadaan selamat." Teringat akan kehebatan serta keampuhan ilmu pedang sakti yang diperlihatkan Chee Thian Gak barusan, diam-diam Song Kim Toa Lhama pun merasa terkesiap, pikirnya : "Benar juga perkataannya ini, cukup dengan andalkan ilmu 'Toa Budhi Put Tong Ciat Eng' yang dimilikinya itu, boleh dibilang tak seorang manusia pun yang ada di kolong langit bisa melukai dirinya..." Diikuti dia pun berpikir lebih jauh : "hal ini membuktikan pula sebelum Thian Long toa suhengku berangkat menuju ke daratan Tionggoan, ia telah memperoleh lebih dahulu ilmu warisan dari Kauw Tong cauwsu, kalau tidak tak nanti kedua orang muridnya bisa memiliki kepandaian silat yang demikian dahsyatnya, bahkan tiada berbeda jauh dengan kehebatan dari Buddha hidup..." Setelah termenung sesaat lamanya, diam-diam dalam hatinya dia mengambil keputusan.
Sementara itu Lie Peng sambil memandang kabut yang kian menipis di pagi hari yang cerah itu bergumam seorang diri : "Ternyata pelajaran ilmu pedang begitu luasnya hingga tak bertepian, rupanya untuk mencapai ilmu pedang terbang seperti apa yang berhasil dia capai, aku harus berlatih giat dan tekun selama dua puluh tahun lagi..." Ucapan ini membawa rasa kecewa dan murung yang tak terhingga, menunjukkan betapa sedih dan kesalnya hati pangeran kedua ini.
Siok Cian yang berada di sisinya buru-buru menghibur sambil meraba dadanya : "Engkoh Peng, kau sebagai seorang pangeran suatu kerajaan, tidak sepantasnya kalau ikut menerjunkan diri ke dalam dunia persilatan, kau harus tahu manusia semacam itu berjiwa besar, berhati lapang dan berkeliaran tiada menentu dalam dunia persilatan, seluruh perhatian serta tenaganya hanya dicurahkan kepada ilmu silat belaka, sudah tentu dalam keadaan seperti ini ilmu silatnya bisa peroleh kemajuan pesat yang mengejutkan dalam waktu singkat..." Ia mengerdipkan bulu matanya yang indah, kemudian melanjutkan : "Sebaliknya kau mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap keselamatan serta keutuhan negara, seluruh perhatian, semangat serta tenagamu hanya kau curahkan kepada urusan Kerajaan dan rakyatmu, sudah tentu keadaanmu lain kalau dibandingkan dengan manusia-manusia liar macam mereka..." Mendengar perkataan itu, Lie Peng tundukkan kepalanya rendah-rendah, tak sepatah kata pun berhasil dilontarkan keluar dari mulutnya.
"Engkoh Peng," ujar Siok Cian kembali, "bagaimana perkataanku barusan, ada bagian yang tidak benar, harap kau jangan marah kepadaku!" Perlahan-lahan Lie Peng mendorong tubuhnya, lalu sambil menatap wajahnya tajam-tajam ia berseru memuji : "Cian Cian, ucapanmu sedikit pun tidak salah, perkataanmu ini terlalu bagus sekali hingga membuat aku tersadar kembali." Dengan tersipu-sipu Siok Cian menghindarkan diri dari pandangan mata kekasihnya, setelah merandek sejenak ia berkata : "Sayang seribu kali sayang keparat tua itu berhasil lagi meloloskan diri, hingga membuat pekerjaan kita sejak pagi buta tadi menemui kegagalan total." "Aaaaai...
hal ini tak bisa menyalahkan dirimu," bisik Pangeran kedua sambil merangkul tubuh kekasihnya.
"Andaikata Chee Thian Gak tidak datang kemari, mana mungkin ia bisa lari dari sini?" "Jie Thay cu, kau tak usah kuatir," ujar Song Kim Toa Lhama dari sisi kalangan.
"Ouw-yang Gong tak nanti bisa lolos dari pengejaran kita, pinceng telah melakukan sedikit permainan setan di atas nadi Jien Meh serta Tok Meh-nya, tanggung ia tak akan sanggup hidup melebihi lima hari..." "Tapi...
bukankah Chee Thian Gak memahami pelbagai macam kepandaian sakti yang maha dahsyat" Apakah ia tak bisa membebaskan rekannya dari pengaruh totokanmu?" tanya Tauw Meh dengan nada tercengang.
"Tentu saja ia tak akan berhasil membebaskannya, sebab aku telah membuat sedikit permainan setan di atas tubuh Ouw-yang Gong dengan ilmu Ciat meh Ciat Kim aliran negeri Thian Tok, coba pikirkan masa ia mampu untuk membebaskan pengaruh totokanku?" "Aaaaai...
sayang Pay Boen Hay heng telah terluka di tangan Chee Thian Gak..." keluh Tok See.
"Oooooh! Aku telah melupakan diri Pay heng..." seru Lie Peng sambil mendorong tubuh Siok Cian.
Cepat ia berjalan menghampiri anak buahnya yang sementara itu perlahan-lahan sedang merangkak bangun.
"Pay Boen Hay," tegur Song Kim Toa Lhama dengan sepasang alis berkerut.
"Kalau memang lukamu tidak terlalu parah, mengapa kau terus menerus..." Belum habis padri itu menyelesaikan kata-katanya, sebagai manusia yang cerdik Pay Boen Hay bisa menebak apa yang sedang dimaksudkan hweesio itu, dengan sorot mata dingin segera timbrungnya : "Toa koksu, lengan cayhe telah patah termakan pukulan lawan, apakah kau menaruh curiga terhadap diriku?" Song Kim Toa Lhama mendehem ringan.
"Loo ceng sedang merasa heran kenapa setiap kali kami sedang berhasil menangkap Ouw-yang Gong manusia yang menamakan dirinya Chee Thian Gak itu pasti muncul pula disini" Jangan-jangan ada orang yang sengaja membocorkan berita ini..." Pay Boen Hay segera mendengus dingin.
"Cayhe adalah cucu murid Ciak Kak Sin Mo, apakah kau pandang diriku sealiran dengan Ouw-yang Gong?" serunya.
Wajah yang semula berwarna putih kepucat-pucatan seketika berubah jadi merah padam saking gusarnya.
Buru-buru Lie Peng menengahi persoalan itu serunya : "Song Kim Toa Koksu, kalian tak usah cekcok..." "Tahukah kalian siapakah sebenarnya Chee Thian Gak itu?" teriak Pay Boen Hay keras-keras.
"Chee Thian Gak yah Chee Thian Gak, dia bilang berasal dari Gurun Pasir, apa kau tahu siapa dia yang sebenarnya?" tanya Tauw Meh tercengang.
"Dia adalah si jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei!" "Apa?" teriak Lie Peng.
"Dia adalah si jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei yang menduduki urutan ke-empat dalam tujuh jago pedang dunia persilatan?" "Dia masih berhutang dendam satu bacokan dengan diriku, maka ia telah memenggal lenganku!" ujar Pay Boen Hay sambil tertawa sedih.
"Aku sendiri pun tidak tahu apa hubungannya dengan Ouw-yang Gong, hanya saja sebelum ia pandai ilmu silat orang itu sudah berada bersama-sama Ouw-yang Gong, oleh karena itu setiap kali si tua bangka sialan itu menghadapi kesulitan, dia tentu akan datang untuk menolong..." "Aaaah, tak mungkin...
tak mungkin terjadi... aku tidak percaya dengan perkataanmu...
ucapanmu tak bisa dipercayai..." gumam Lie Peng tiada hentinya.
Siok Cian pun berseru dengan nada sangsi : "Menurut kabar yang tersiar dalam Bu lim, orang bilang Pek In Hoei mempunyai wajah yang ganteng dan tingkah laku yang halus, masa manusia macam begitu adalah Pek In Hoei" Aku tidak percaya!" Dengan pandangan mendalam Pay Boen Hay melirik sekejap ke arah gadis itu kemudian tertawa getir.
"Kalau cuwi sekalian tidak percaya, aku pun tak bisa berbuat apa-apa..." perlahan-lahan ia berjalan menghampiri pangeran kedua, kemudian ujarnya lebih jauh : "Jie Thay cu, sungguh mohon maaf yang sebesar- besarnya, aku tak dapat membaktikan diri lagi dengan dirimu..." "Apakah kau ada urusan penting?" "Aku hendak pergi ke perkampungan Thay Bie San cung dan menjumpai sucouwku Ciak Kak Sin Mo." "Oooouw...
kau hendak ke situ" Dengan kepergianmu ini, andaikata Toa Hoat su dari negeri Tu fan dan Raja negeri Tartar datang ke sini, siapa yang akan bertindak sebagai penterjemah?" Sinar mata Pay Boen Hay berkilat, lalu menjawab : "Andaikata Jie Thay cu merasa kuatir, bagaimana kalau kita bersama-sama berangkat ke perkampungan Thay Bie San cung dan sementara waktu berdiam di situ" Rasanya di situ keadaan kita akan jauh lebih aman." Rupanya Lie Peng tidak menyangka kalau dalam waktu singkat ia bisa bertemu dengan Ciak Kak Sin Mo, dengan hati penuh kegirangan pikirnya : "Seandainya aku bisa memperoleh bantuan dari Ciak Kak Sin Mo, maka aku tak usah takuti engkohku lagi...
saat itu..." Ia segera mengangguk.
"Baiklah, menanti Raja Tartar telah tiba disini, maka aku beserta mereka segera akan berangkat menuju ke perkampungan Thay Bie San cung." "Kalau begitu cayhe mohon diri terlebih dahulu," ujar Pay Boen Hay kemudian setelah melirik sekejap ke arah lengannya yang telah kutung.
Sekali enjotkan badannya, bagaikan serentetan cahaya kilat tubuh orang itu lenyap di balik kerimbunan hutan belukar yang lebat.
Menanti bayangan tubuh orang she Pay itu sudah lenyap dari pandangan, Lie Peng baru berkata : "Dewasa ini kekuatan kita kian lama kian bertambah besar dan kuat, rasanya kesempatan bagiku untuk menumbangkan kekuasaan engkohku kian hari kian mendekat.
Haaaah... haaaah... haaaah... Koksu, terima kasih atas bantuanmu, andaikata kau tidak memanasi hatinya, belum tentu ia bisa berbuat demikian dan mengundang kita mengunjungi perkampungan Thay Bie San cung..."
"Haaaah... haaaah... haaaah... Jie Thay cu, pinceng harus mengucapkan kiong hie lebih dahulu kepadamu...
Haaaah... haaaah... haaaah... " seru Song Kim Toa Lhama sambil tertawa tergelak.
Begitu keras suara tertawa itu hingga membumbung tinggi ke angkasa dan berkumandang ke tempat kejauhan.
** SEMENTARA ITU Chee Thian Gak yang sedang melakukan perjalanannya tiba-tiba merasakan dadanya amat sakit, begitu perih dan tersiksa rasanya membuat ia terguling-guling di atas tanah.
"Nenek tua keparat..." teriaknya dengan penuh kebencian.
"Hal ini pastilah hasil perbuatan dari nenek keparat itu...
Ooooh racun ulat sutera emas..." Sambil memegang perutnya ia mengerang kesakitan, si anak muda itu bergumam lebih jauh : "Kalau aku berhasil menemui dirinya lagi, pasti akan kucabut selembar jiwa anjingnya..." Sorot matahari di tengah hari yang panas terik begitu menyengat badan, namun Chee Thian Gak hanya merasakan rasa dingin yang menusuk tulang menggigilkan seluruh tubuhnya, ditambah pula sakit bagaikan diiris-iris dengan pisau tajam, membuat ia tak tahan dan berteriak-teriak seperti orang gila.
Dengan langkah sempoyongan selangkah demi selangkah pemuda itu berusaha mencapai hutan di sebelah depan, pandangannya terasa kabur...
ia sudah tak dapat membedakan lagi jalan yang dilalui adalah jalan raya ataukah jalan gunung yang sempit...
Ranting pohon menghalangi jalan perginya, mencengkeram bajunya membuat ia tergaet dan jatuh terpelanting di atas tanah.
"Ooooh...!" rintihan penuh kesakitan terbisik lirih dari ujung bibirnya...ia merasa tulang belulang dalam tubuhnya seakan-akan telah retak dan hancur berantakan, lambung terasa sakit seperti dipuntir- puntir...
hawa murni dalam tubuhnya seketika buyar entah kemana...
Dengan wajah basah penuh keringat ia menghela napas panjang.
"Aaaaai... sungguh tak nyana aku Pek In Hoei harus merasakan pelbagai siksaan dan penderitaan selama hidupnya...
percuma aku belajar ilmu silat yang demikian lihaynya...
toh akhirnya aku tak berhasil mempertahankan hidupku...
Ia merintih lirih... pandangannya terasa kian lama kian menggelap...
bayangan kematian kembali terlintas di atas wajahnya, sambil merintih ia coba meronta bangun kemudian merangkak...
dan bergerak menuju keluar hutan.
Belum beberapa jauh ia merangkak ke depan, sorot matahari yang tajam menyilaukan matanya, membuat ia tak sanggup membuka matanya lebar- lebar.
Sambil menutupi wajahnya dengan sepasang tangan, ia bergumam kembali : "Tiga hari...
ucapan si dukun sakti berwajah seram sedikit pun tidak salah, dalam tiga hari racun ulat sutera emas yang mengeram dalam tubuhku akan mulai bekerja...
isi perutku akan mulai membusuk dan mataku akan jadi buta..." Teringat akan matanya yang bakal jadi buta, pemuda itu merasa semakin sedih dan tersiksa batinnya, suatu perasaan tekanan batin yang berat seolah-olah menindihi tubuhnya, membuat keringat sebesar kacang kedele mengucur keluar tiada hentinya...
Ia meraung gusar, teriaknya kalang kabut.
"Kenapa aku bisa jadi begini" Oooooh Thian, mengapa kau bersikap begitu kejam terhadap diriku" Mengapa kau selalu menyiksa diriku dan membuat aku menderita"..." Suara raungan keras itu bergema di tanah pegunungan yang sunyi dan mendengung tiada hentinya mengikuti hembusan angin...
Chee Thian Gak benar-benar tak sanggup menahan diri, pandangannya jadi gelap dan ia roboh menggeletak di atas tanah.
Pada saat itulah... dari tempat kejauhan berkumandang datang suara keleningan yang lirih tapi nyaring...
kian lama suara itu kian mendekat...
Dari bawah bukit yang hijau, dari balik jalan kecil yang membujur jauh ke depan muncul seekor kuda berwarna merah darah, seorang gadis berpakaian ringkas berwarna hijau, berkaki telanjang dan berlengan pendek perlahan-lahan bergerak mendekat.
Wajahnya cantik dan polos, di atas lengannya yang telanjang tergantung sepasang gelang emas yang saling membentur tiada hentinya hingga menimbulkan irama yang amat merdu...
Tiba-tiba... kuda merah itu meringkik dan meloncat naik ke tengah udara.
Gadis di atas kuda menjerit kaget, belum sempat lengannya memeluk leher kudanya sang tubuh telah mencelat jatuh ke atas tanah.
Namun... rupanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki dara ayu itu cukup tangguh, sesaat sebelum badannya mencium permukaan tanah ia berhasil melejit dan melayang kembali ke tengah udara.
Atas peristiwa yang terjadi di luar dugaan ini, dengan wajah merah padam gadis itu memaki kudanya kalang kabut.
Tetapi sang kuda tetap meringkik panjang sambil berjingkrak-jingkrak.
"Hey, apa yang sedang kau lakukan?" tegur dara ayu itu dengan nada mendongkol.
Tapi pada saat itulah ia telah menemukan tubuh Chee Thian Gak yang menggeletak di atas tanah.
Jubah merah berkibar terhembus angin, mula-mula gadis itu mengira seorang perempuan yang menggeletak di situ, tapi setelah ia berjongkok untuk memeriksa lebih seksama tiba-tiba ia menjerit kaget : "Aaaaah!" Rupanya wajah Chee Thian Gak yang penuh bercambang serta kening yang dilapisi cahaya keemas-emasan telah mengejutkan hati gadis itu, sambil memegang dada sendiri ia loncat mundur tiga langkah ke belakang dan tidak berani memandang lagi.
Jantung berdebar keras, lama sekali ia baru berhasil mententeramkan hatinya, perlahan-lahan ia mendekati kembali tubuh si anak muda itu.
"Ooooh, racun ulat emas!" serunya keras-keras, "Ia sudah terkena racun Ulat emas!" Waktu wajah Chee Thian Gak telah berubah pucat keemas-emasan, di antara sepasang alisnya tersisa bekas merah yang samar, pada bekas merah itu secara lapat-lapat terlintas pula cahaya emas yang tajam.
"Siapakah orang ini?" pikir gadis itu sambil memutar biji matanya berulang kali.
"Secara bagaimana ia bisa terkena racun ulat emas dari suhuku?" Sinar matanya kembali dialihkan ke atas wajah Chee Thian Gak yang penuh bercambang, pikirnya lebih jauh: "Potongan wajahnya sangat gagah, cambang yang lebat memenuhi seluruh wajahnya, keadaannya tiada berbeda dengan ayahku.
Ahai.... sudah banyak tahun aku mengikuti suhu belajar silat, selama ini aku harus menetap di wilayah Biauw yang gersang dan jelek pemandangan alamnya, kali ini aku bisa pulang ke rumah...
ooooh, sebentar lagi aku bakal berjumpa dengan ayah..." Belum habis ingatan itu berkelebat dalam benaknya, dari balik hutan berkumandang kembali suara derap kaki kuda disertai suara seruan berulang kali : "Siaocia...
Siaocia.." "Sialan!" maki dara berbaju hijau itu di dalam hati.
Perlahan-lahan ia berjongkok dan mendorong tubuh Chee Thian Gak.
"Budak sialan... siapa sih suruh kau menguntit diriku terus macam suka gentayangan...
dianggapnya aku sudah mati!" Dengan hati gemas ia meloncat bangun lalu makinya : "Sioe To, kenapa sih kau berkaok-kaok terus?" Seekor kuda berwarna abu meluncur datang dengan cepatnya, di tengah suara derap kaki kuda yang nyaring, sesosok bayangan hijau melesat ke tengah udara dan melayang turun di sisi gadis itu.
"Eeeei... kau takut aku tersesat yaah?" tegur gadis bergelang emas itu sambil mendorong tubuh gadis yang baru saja datang itu ke samping.
"Siapa sih yang suruh kau menguntit aku terus seperti sukma gentayangan, berkaok-kaok melulu sepanjang jalan!" Gadis yang baru tiba adalah seorang dara berusia lima enam belas tahun yang rambutnya berkepang dua, mendengar teguran itu diam-diam ia menjulurkan lidahnya.
"Baik... baik, siaocia, lain kali budak tidak berani berkaok-kaok lagi...
maafkanlah aku siaocia." "Hmmmm, budak sialan, lain kali kau berani berkaok- kaok lagi, lihat saja akan kukutungkan kakimu itu!" Sioe To mencibirkan bibirnya dan pura-pura menunjukkan wajah mau menangis, katanya dengan suara lirih : "Kata looya, siaocia belum lama kembali dari wilayah Biauw, terhadap jalanan di sekitar sini tentu belum begitu paham, maka beliau suruh aku baik-baik menjaga siaocia.
Siapa suruh kau lari begitu cepat...
budak takut siaocia tersesat di tengah gunung maka sepanjang jalan berteriak memanggil, eeei, siapa tahu..." Mimik wajahnya yang patut dikasihani ini seketika membuat dara bergelang emas itu tertawa cekikikan.
"Baik... baiklah, anggap saja aku yang salah.
Ayoh, sudahlah, jangan tunjukkan mimik wajah seperti orang mati, janganlah aku tertawa kegelian..." "Waaah...
kalau siaocia sampai tertawa berat hingga giginya terlepas...
budak semestinya dijebloskan ke dalam neraka tingkat ke delapan belas..." "Budak sialan, siapa suruh kau membahasai dirimu sebagai budak...
budak melulu" Ayoh panggil aku enci Cen..." "Atuuuuh...
tentang soal ini, budak mana berani...
kalau sampai kedengaran oleh loo ya, mulut budak bisa jadi dirobek robek." Wajah gadis bergelang emas itu segera berubah membeku, makinya : "Budak sialan, kalau kau berani menyebut dirimu sebagai budak lagi, hati hati kugaplok pipimu !" Cepat-cepat Sioe To mundur dua langkah ke belakang, katanya sambil tertawa : "Siaocia, aku..." Sinar matanya berkelebat, tiba-tiba ia menemukan tubuh Chee Thian Gak yang menggeletak di atas tanah, seketika itu juga ia menjerit kaget : "Siaocia, coba lihat, di situ ada orang..." Rupanya saat itulah gadis bergelang emas itu baru teringat akan diri Chee Thian Gak yang keracunan racun ulat emas, ia menjerit tertahan dan segera memaki : "Huh, semua ini adalah gara-gara kau si budak sialan sehingga membuang tenaga ku, kalau orang ini sampai tidak tertolong, hati-hati kau, akan kusuruh kau ganti selembar jiwanya." Dari dalam sakunya dia ambil keluar sebuah botol porselen, kemudian katanya : "Sioe To, ayoh cepat payang bangun orang itu." Sioe To maju menghampiri, mendadak dengan nada terperanjat serunya : "Siaocia, siapakah orang ini" hiiih...
menyeramkan sekali wajahnya..." "Kau tak usah banyak bicara!" bentak gadis itu sambil membuka botol porselen itu dia mengambil keluar sedikit bubuk yang ditaruh di atas telapak kirinya.
"Ayoh cepat angkat kepalanya!" Sioe To menurut, dia angkat kepala orang dan dipandang lagi dengan wajah tercengang, ia lihat seluruh tubuh Chee Thian Gak telah basah oleh keringat, sepasang alisnya berkerut kencang, ditambah cambangnya yang lebat membuat gadis itu bertanya kembali : "Siaocia...
coba kau lihat, di antara alisnya terdapat cahaya keemas-emasan..." Gadis bergelang emas itu tidak langsung menjawab, bubuk yang berada di atas telapaknya segera dihembuskan ke dalam lubang hidung pemuda she Chee itu, setelah itu sambil membereskan rambutnya yang awut-awutan katanya : "Aku sendiri pun tidak kenal dengan orang ini, tapi menurut dugaanku dia pastilah seorang jago Bu lim yang sangat lihay, kalau tidak tak nanti suhuku harus menggunakan racun saktinya untuk menghadapi orang ini..." "Siaocia, apakah kau bersedia untuk menyelamatkan jiwanya?" tanya dayang itu.
Gadis bergelang emas itu segera tertawa dingin.
"Dia adalah musuh tangguh dari suhuku, sudah tentu aku tak akan menolong jiwanya, akan kucelakai jiwanya agar cepat-cepat modar." "Mencelakai dirinya?" seru Sioe To dengan mata terbelalak.
"Lalu apa gunanya kau memberi obat kepadanya?" "Kau tidak tahu, racun ulat emas yang dimiliki suhuku semuanya berjumlah tiga macam, ini adalah jenis yang paling kecil, semestinya seluruh darah segar dalam tubuhnya baru akan terhisap kering di dalam lima jam, siapa tahu ternyata orang ini berhasil memaksa racun ulat emas itu terdesak ke arah otak..." "Dengan begitu apakah kematiannya akan datang jauh lebih cepat lagi"..."
GADIS BERGELANG EMAS itu segera menggeleng.
"Dengan kejadian ini maka racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhnya, dalam waktu dua jam lagi bakal mati semua..." Ia merandek sejenak, lalu katanya lagi : "Sebab ulat-ulat emas itu adalah binatang pemakan darah, andaikata tak ada darah yang dimakan maka racun ulat emas itu bakal mati dengan sendirinya." "Ooooh karena itulah siaocia hendak mendesak ulat- ulat emas itu kembali ke jantung?" seru Sioe To menjadi paham.
"Sedikit pun tidak salah, aku memang hendak berbuat demikian! Coba lihat bukankah di atas wajahnya sudah tidak terlihat tanda-tanda warna emas lagi bukan?" "Aaaah....!" mendadak Chee Thian Gak merintih, kemudian merangkak bangun dari atas tanah.
Rupanya gadis bergelang emas itu tidak menyangka kalau pemuda she chee itu bisa mendusin demikian cepatnya, ia terperanjat dan segera serunya : "Kau...
kau bisa merangkak bangun?" Perlahan-lahan Chee Thian Gak membuka matanya, ketika menjumpai seorang gadis bergelang emas dengan dandanan yang aneh sedang berdiri di hadapannya, ia segera menegur dengan nada tercengang : "Siapa kau" Tempat manakah ini?" "Aku bernama Pek-li Cien Cien, dan siapa kau?" "Cayhe..." Mendadak ia rasakan perutnya teramat sakit seolah- olah ada seekor ular yang sedang menggigit ususnya, ucapannya seketika merandek.
Sambil tarik napas dalam-dalam ia segera salurkan hawa murninya mengelilingi seluruh badan dan mulai bersemedi.
Dalam waktu singkat wajahnya telah berubah jadi merah padam, jubah merah yang dikenakan perlahan-lahan ikut mengembung, himpunan hawa murni yang amat dahsyat dengan mengikuti peredaran darahnya menyerang ke arah bagian tubuhnya yang terasa amat sakit.
Pek-li Cien Cien yang menyaksikan keadaan itu dalam hati merasa amat terperanjat, ia tak menyangka kalau tenaga lweekang yang dimiliki lelaki berjubah merah itu demikian dahsyatnya.
Gadis itu segera berpikir : "Mimpi pun aku tak pernah menyangka setelah tubuhnya terkena racun ulat emas dari suhu, dia masih mampu untuk mengerahkan tenaga dalamnya...
ia betul-betul hebat..." Beberapa saat kemudian dari atas batok kepalanya mengepul kabut berwarna putih, makin lama makin menebal hingga akhirnya seluruh batok kepalanya terlapis oleh kabut berwarna putih itu.
"Siaocia," seru Sioe To dengan nada terkesiap.
"Dia jauh lebih hebat dari loo-ya kita..." "Sstt, jangan bicara!" seru Pek-li Cien Cien sambil merapatkan jari tangannya di atas bibir.
Kemudian dengan wajah penuh napsu membunuh selangkah demi selangkah ia maju mendekati tubuh si anak muda itu, jari tangannya dipertegang siap-siap melancarkan totokan.
Andaikata totokan tersebut bersarang di tubuh si anak muda itu, maka niscaya Chee Thian Gak bakal mengalami jalan api menuju neraka, hawa murninya seketika akan buyar dan tubuhnya jadi Pan-swie.
Desiran angin tajam menderu-deru ujung jari gadis itu telah merobek jubah merah yang dikenakan Chee Thian Gak dan menotok jalan darah Beng-bun hiat di atas punggung lawan.
Pada detik terakhir sebelum jarinya mengenai sasaran mendadak pemuda she Chee itu menggeser sedikit tubuhnya ke samping, tanpa menunjukkan reaksi apa pun ia meneruskan semedinya mengatur pernapasan.
Air muka Pek-li Cien Cien berubah hebat, ia merasakan kedua jari tangannya seakan menotok di atas papan baja yang keras membuat tangannya jadi linu dan kaku.
Dengan hati terkesiap ia mundur satu langkah ke belakang, pikirnya : "Tidak aneh kalau suhu terpaksa harus melepaskan racun ulat emas untuk menghadapi dirinya, dalam mengatur pernapasan untuk menyembuhkan lukanya pun ia masih mampu untuk melindungi diri sendiri, kepandaian dahsyat seperti ini boleh dibilang jauh melebihi kemampuan suhuku sendiri..." Ia gigit ujung bibirnya lalu berpikir lebih jauh : "Andaikata aku berhasil menangkap dirinya, betapa senang dan gembiranya suhu, waktu itu dia pasti akan memuji diriku jauh lebih mengerti akan urusan." Dalam pada itu Chee Thian Gak telah berhasil menyudutkan racun ulat emas yang dilepaskan si Dukun sakti berwajah jelek di dlm jalan darah Ci Tong hiat dengan andalkan hawa murni aliran panasnya, setelah itu semua jalan darahnya ditutup rapat-rapat.
Ia menghembuskan napas panjang dan siap meloncat bangun.
Menggunakan kesempatan itulah Pek-li Cien Cien tiba-tiba meloncat ke depan, telapaknya segera ditekankan ke atas batok kepala si anak muda itu.
"Jangan berdiri!" bentaknya dengan wajah penuh napsu membunuh.
Chee Thian Gak melengak, segera tegurnya : "Eeeei...
apa yang hendak kau lakukan?" *** Bagian 18 "APAKAH KAU bermusuhan dengan si Dukun sakti berwajah jelek dari wilayah Biauw sehingga ia melepaskan racun ulat emas ke dalam tubuhmu?" tegur Pek-li Cien Cien.
Dalam hati Chee Thian Gak sadar bahwa ia telah bertemu lagi dengan musuh tangguh, ia hanya heran bahwa dirinya sama sekali tidak kenal dengan dara berdandan aneh ini, apa sebabnya sekarang ia malah diancam" Maka sahutnya : Sedikit pun tidak salah, siapa kau ?" "Kau tak usah mengurusi siapakah aku!" "Haaaah...
haaaah... haaaah... sudah lama cayhe berkelana di dalam dunia persilatan, tapi belum pernah kujumpai ada orang berani mengancam keselamatanku dengan cara begini." "Sekarang akan kusuruh kau rasakan bagaimanakah rasanya kalau diancam orang..." sahut Pek-li Cien Cien sambil tertawa dingin.
Chee Thian Gak tersenyum.
"Sebenarnya apa yang hendak kau lakukan terhadap diriku?" "Putar wajahmu menghadap kemari!" "Seandainya aku tidak mau mendengarkan perkataanmu?" jengek Chee Thian Gak diam-diam merasa geli.
"Kalau kau berani membangkang maka sekali tepuk kuhajar jalan darah 'Pek Hoei hiat'mu, kau tentu tahu bukan bagaimana akibatnya?" "Hingga detik belum pernah aku diancam orang dengan cara seperti ini," pikir pemuda she Chee ini di dalam hati.
"Pengin kulihat siapakah sebenarnya orang ini?" Perlahan-lahan ia menoleh, tampaklah seraut wajah yang amat cantik terpancang di depan matanya, meski ayu rupawan sayang matanya membawa napsu membunuh dan bibirnya tersungging senyuman yang amat dingin, membuat hati orang yang melihat merasa bergidik.
Pek-li Cien Cien sendiri diam-diam mengerutkan dahinya sewaktu menyaksikan cambang serta rambut Chee Thian Gak yang awut-awutan, tegurnya dengan nada jengkel : "Hey, sudah berapa lama sih kau belum mandi?" Pertanyaan ini bukan saja lucu bahkan menunjukkan wataknya yang polos da bersifat kekanak-kanakan, membuat Chee Thian Gak yang mendengar mau tertawa tak bisa mau menangis pun sungkan, ia tertawa getir : "Apa maksudmu mengajukan pertanyaan seperti ini" Apakah kau hendak ajak dirimu mandi bersama?" "Sebelum kukirim dirimu menghadap suhu, kau pasti akan kumandikan lebih dahulu!" Haruslah diketahui sejak kecil gadis ini telah dibawa si dukun sakti berwajah seram pindah ke wilayah Biauw, pergaulannya dengan bangsa Biauw membuat dara ini terbiasa pula mengikuti tata cara mereka untuk mandi tiga kali setiap harinya.
Kini menyaksikan keadaan tubuh Chee Thian Gak yang dekil dan kotor, badannya tanpa terasa jadi ikut gatal hingga timbul niatnya untuk memandikan tubuh si anak muda itu.
Sebaliknya bagi Chee Thian Gak sendiri, ketika dilihatnya sifat kekanak-kanakan gadis itu belum hilang, bahkan bicara pun blak-blakan tanpa tedeng aling-aling, niatnya untuk menusuk telapak tangan gadis itu dengan rambutnya kemudian menawan dirinya segera dibatalkan.
Setelah hidup dalam ketegangan selama beberapa tahun, timbul keinginan dalam hati si pemuda ini untuk mencari sedikit hiburan.
Ia mendehem lalu bertanya : "Sungguhkah kau hendak memandikan diriku?" "Apakah kau merasa keberatan untuk menghilangkan kotoran serta dekil yang melekat tubuhmu?" Pek-li Cien Cien balik bertanya dengan mata terbelalak besar.
"Kau hendak mandikan diriku, apakah tidak takut dimarahi gurumu?" Untuk sesaat Pek-li Cien Cien tak dapat menangkap makna sebenarnya dari ucapan itu, dengan nada serius sahutnya : "Suhuku dia orang tua paling suka akan kebersihan, tentu saja dia tak akan memarahi diriku." "Haaaah...
haaaah... haaaah... dengan keadaan suhumu yang dekil dan kotor masa ia suka akan kebersihan?" "Kau berani memaki suhuku" Hati-hati, kubunuh dirimu!" ancam Pek-li Cien Cien dengan mata melotot.
Chee Thian Gak berhenti tertawa, tanyanya : "Benarkah suhumu adalah si dukun sakti berwajah seram?" "Sedikit pun tidak salah, kali ini aku telah mengikuti dia orang tua kembali ke daratan Tionggoan." Chee Thian Gak melirik sekejap ke arah gadis berbaju hijau yang berdiri di samping itu, kemudian katanya lagi : "Kalau begitu rumahmu pastilah berada di sekitar sini"...
Siapakah ayahmu?" Pek-li Cien Cien tidak menjawab, sebaliknya menatap sepasang mata si anak muda itu pujinya : "Ooooh, sungguh indah sepasang matamu!" Sioe To yang berdiri di samping, ketika dilihatnya secara tiba-tiba nona majikannya memegang batok kepala lelaki setengah baya itu dengan tangan telanjang kemudian bergurau dan bercakap-cakap dengan bebasnya, dalam hati segera berpikir : "Sungguh besar nyali siaocia ini, bukan saja tangan dan kakinya telanjang bahkan bergurau dan bercakap-cakap seenaknya dengan seorang pria asing...
tidak aneh kalau orang bilang manusia- manusia dari wilayah Biauw adalah manusia-manusia liar..." Ketika ia mendengar pujian dari siaocia-nya barusan, tanpa terasa gadis itu ikut alihkan sinar matanya ke arah sepasang mata Chee Thian Gak, tapi begitu sorot matanya terbentur dengan sorot mata lawan, jantungnya kontan berdebar keras, buru-buru ia melengos ke samping.
Tampak Chee Thian Gak tersenyum, ujarnya : "Eeei...
aku toh sedang bertanya siapakah nama ayahmu, mengapa kau alihkan pembicaraan ke situ?" "Looya kami adalah setengah kilat Pek li Sie yang amat tersohor namanya di daerah sekitar Su cuan," buru-buru Sioe To menjawab.
"Hey," tiba-tiba terdengar Pek-li Cien Cien berseru lagi dengan nada kesemsem, "Secara mendadak kutemukan bahwa gigimu rapi dan putih, waktu tertawa nampak sangat indah dan menarik.
Hey, seandainya cambangmu dicukur mungkin wajahmu kelihatan semakin menarik!" Chee Thian Gak mengerutkan alisnya.
"Apakah ayahmu juga tidak mengurusi dirimu?" serunya.
"Hey, Pek-li Cien Cien, apakah ia setuju kalau kau mandikan diriku?" Rupanya pada saat itulah Sioe To baru menyadari maksud lain dari ucapan Chee Thian Gak barusan, ia segera berteriak : "Siaocia, kau tertipu, ia sudah mengejek dan menghina dirimu!" Pek-li Cien Cien termenung dan berpikir sebentar, akhirnya dia pun menyadari akan maksud lain daripada ucapan itu, merah jengah selembar wajahnya.
"Ciiss, berani benar kau bermaksud jelek terhadap diriku," makinya kalang kabut.
Hawa murninya segera disalurkan ke dalam telapak, dalam gusar dan malunya ia telah himpun segenap kemampuannya untuk melancarkan sebuah tabokan.
Chee Thian Gak sendiri baru menyesal setelah ucapan itu meluncur keluar, ia merasa tidak sepantasnya kalau mengucapkan kata-kata serendah itu, tapi ia tak pernah menyangka kalau Pek-li Cien Cien secara tiba-tiba bisa melancarkan serangan.
Dalam keadaan tidak bersiap sedia, hawa murninya segera buyar, kepalanya terasa pusing tujuh keliling dan seketika itu juga pemuda tersebut jatuh tak sadarkan diri.
Andaikata peristiwa ini diketahui oleh Song Kim Toa Lhama atau Hoa Pek Tuo sekalian jago-jago lihay, mereka pasti tak akan percaya dengan kemampuan silat yang dimiliki Chee Thian Gak ternyata berhasil dihajar pingsan oleh seorang gadis cilik, andaikata Oorchad mengetahui akan hal ini maka ia pasti tak akan mempercayai pandangan matanya sendiri.
Melihat musuhnya roboh tak sadarkan diri, Pek-li Cien Cien segera berseru sambil tertawa dingin : "Hmmm, aku masih mengira dia punya kemampuan yang begitu hebat sehingga berani mengucapkan kata-kata semacam itu terhadap diriku.
Hmmm! Sekarang akan coba kulihat perkataan apa lagi yang sanggup dia utarakan keluar!" "Siaocia, apa yang hendak kau lakukan terhadap dirinya?" "Boyong di pulang ke rumah, kemudian cari orang suruh mandikan dirinya, setelah itu menunggu sampai suhu pulang.
Akan kuserahkan keparat ini pada suhu." "Tapi siaocia...
bagaimana caranya kita boyong lelaki ini pulang ke dalam perkampungan?" Sioe To merengek kesulitan.
"Goblok, gotong saja dia keatas kuda kemudian kita masuk melalui pintu belakang perkampungan, bukankah beres sudah persoalannya?" Bicara sampai di situ sinar matanya dialihkan ke atas wajah Chee Thian Gak, di antara bibirnya yang terbungkam terlintas rasa penyesalan yang tebal, apakah ia sedang menyesal karena telah melakukan perbuatan salah" .....
Entah berapa saat lamanya telah lewat, Chee Thian Gak mendusin kembali, ia merasa dirinya berada di sebuah taman bunga yang sedang mekar dan menyiarkan bau harum...
Mendadak... ia mendengar ada orang memanggil dirinya, suara itu seolah-olah datang dari suatu tempat yang sangat jauh tapi terasa dekat pula di sisi tubuhnya.
Ia lari menuju ke tengah kebun, mencari sumber asal mulanya suara tadi...
akhirnya dia benar-benar mendusin.
"Thian... terima kasih atas kemurahanmu, akhirnya aku sadar kembali!" Serentetan suara yang merdu berkumandang dari sisi telinganya, si anak muda itu terperanjat, sekarang ia baru sadar bahwa dirinya bukan berada dalam impian.
Mengikuti arah berasalnya suara tadi, ia saksikan Pek- li Cien Cien sedang berdiri di sisi pembaringan sambil memandang ke arahnya dengan wajah berseri-seri, dua buah lampu lentera tergantung di kedua belah samping menyoroti wajahnya yang cantik.
Hanya sekejap saja, ia segera teringat bagaimana mungkin dirinya bisa berbaring di atas pembaringan yang menyiarkan bau wangi ini, pemuda itu berseru tertahan kemudian meloncat bangun dari atas ranjang.
Ketika selimut tersingkap, pemuda itu bertambah kaget lagi sebab ditemuinya ia berbaring hanya memakai celana dalam dan pakaian dalam saja, baru ia tarik kembali selimut itu untuk menutupi tubuhnya.
Menyaksikan tingkah lakunya yang gugup dan lucu, Pek-li Cien Cien tak dapat menahan rasa gelinya lagi, ia tertawa cekikikan.
"Apa yang sedang kau tertawakan?" tegur Chee Thian Gak dengan nada mendongkol bercampur gusar.
Sinar matanya berkelebat, ia temukan sebuah cermin besar tergantung di situ dan dari cermin ia dapat menyaksikan wajahnya yang telah berubah memerah.
"Aaaah...!" kembali pemuda itu berteriak kaget, ia temukan jenggot dan cambangnya entah sejak kapan telah dicukur orang hingga bersih, rambutnya yang awut-awutan telah disisir pula dengan rapi.
"Eeeei... dimanakah cambangku?" jeritnya.
"Hiiih... hiiiih... hiiih... cambangmu sudah dicukur sampai licin!" Chee Thian Gak jadi mendongkol bercampur kecewa...
ia tak mengira kalau janggut dan cambang yang dipeliharanya selama banyak tahun dengan harapan bisa digunakan untuk menyaru sebagai Chee Thian Gak dan merusak rencana busuk dari Hoa Pek Tuo untuk merajai Bu lim telah dicukur habis oleh orang lain sewaktu ia tak sadarkan diri.
Teringat bahwa raut wajahnya telah pulih kembali seperti sedia kala, Pek In Hoei menghela napas panjang dan menggeleng tiada hentinya.
"Heeeei.... sungguh aneh kau ini," seru Pek-li Cien Cien sambil tertawa.
"Rupamu begitu tampan dan menarik, kenapa sih malah suka berdandan begitu kotor dan dekil" Kalau dilihat dari gerak gerikmu, rupanya kau sedang menyesal dan kecewa karena jenggotmu kucukur licin..." pin tertawa getir, pikirnya : "Mana kau bisa tahu akan kesulitanku?" Pek-li Cien Cien tanpa malu dan sungkan-sungkan segera duduk di sisi tubuhnya, ia menegur sambil tertawa : "Hey siapa sih namamu?" Melihat gadis cantik ini bukan saja berlengan dan berkaki telanjang bahkan tanpa sungkan-sungkan dan malu duduk di sisi tubuhnya, Pek In Hoei jadi kaget, buru-buru ia menyingkir lebih ke dalam.
Menyaksikan tingkah laku si anak muda itu Pek-li Cien Cien tertawa cekikikan, saking gelinya sampai tak tahan lagi ia menubruk ke atas tubuh pemuda itu.
"Eeeei... nona... kau... kau..." teriak pin kelabakan.
"Kau ini... sungguh menyenangkan sekali!" seru Pek-li Cien Cien sambil menowel pipi pemuda itu.
"Menyenangkan?" pin betul-betul dibikin menangis tak bisa tertawa pun susah, dengan wajah serius serunya, "nona, aku minta kau sedikit tahu diri,haruslah kau ketahui bahwa hubungan antara pria dan wanita ada batasnya." "Apa itu batas-batas antara kaum pria dan wanita?" jengek Pek-li Cien Cien.
"Bagi kita yang biasa hidup di wilayah Biauw, tarik menarik tangan, rangkul merangkul adalah suatu kejadian yang umum dan biasa, apakah kau tidak tahu setiap tahun di kala orang menari di bawah sinar rembulan, acara pasti diakhiri dengan masuknya pasangan pria dan wanita ke dalam gua atau semak belukar yang gelap, toh mereka tidak apa-apa dan tidak dianggap kelewat batas?" Diam-diam Pek In Hoei dibikin terkejut juga oleh keberanian gadis manis ini, segera tanyanya : "Siapakah yang kau maksudkan dengan mereka?" "Suku Pay I, suku Lolo, dan suku Biauw, mereka semua berbuat demikian!..." "Hmmm, tidak aneh kalau mereka berbuat begitu tak tahu diri, rupanya kau maksudkan suku-suku liar yang belum beradab itu.
Hmmm... mana bisa adat istiadat mereka dibandingkan dengan tata kesopanan dari daratan Tionggoan kita?" Pek-li Cien Cien mengerutkan dahinya dan mendengus dingin.
"Andaikata seseorang telah menyintai pihak yang lain, kenapa mereka harus sembunyikan rasa cinta dan kasih mereka satu sama lain" Apakah saling jatuh cinta adalah suatu perbuatan yang keliru" Hmmm, adat istiadat, tata cara kesopanan kolot yang ditetapkan oleh setan-setan tua bangka yang sudah mendekati liang kubur, di luarnya saja mereka suruh orang pegang adat dan jaga diri, padahal dalam kenyataannya mereka sendiri toh main kasak kusuk dan melanggar kesusilaan..." "Nona, seandainya di kolong langit tiada peraturan serta tata cara kesopanan yang mengikat satu sama lainnya, maka perbuatan tiap manusia tentu akan jadi liar tak tahu malu dan brutal, akan berubah jadi apakah jagad kita ini" Bagaimanapun juga toh manusia tak bisa kau samakan dengan binatang liar! Bukan begitu?" seru Pek In Hoei dengan wajah serius.
Sorot mata yang tajam mendadak memancar keluar dari balik kelopak matanya, ia berkata lebih jauh : "Sedangkan mengenai tuduhan nona yang mengatakan penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan para pujangga...
hal ini harus diingatkan pula bahwa manusia bukanlah makhluk yang super sempurna, suatu saat mungkin saja seseorang melakukan kesalahan, karena itu aku minta agar kau jangan sembarangan mencerca atau pun menghina para cianpwee dan pujangga besar..." "Aduuuh mak! Sungguh tak nyana dengan usiamu yang masih begini muda, ternyata otaknya telah dipenuhi dengan segala macam peraturan yang kolot dan kuno," seru Pek-li Cien Cien sambil tertawa merdu.
Ia merandek sebentar kemudian katanya lagi : "Bukankah Khong Coe pernah berkata bahwa Cinta adalah perasaan yang dimiliki setiap insan manusia" Apakah rasa cinta antara seorang pria terhadap seorang wanita adalah suatu perbuatan yang melanggar susila"..." Diam-diam Pek In Hoei tarik napas dingin, ia tak menyangka sama sekali kalau gadis cili yang datang dari wilayah Biauw ini ternyata mengerti banyak akan urusan, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup membentak atau pun mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya setelah termenung beberapa saat lamanya terpaksa ia berkata : "Sudah...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudahlah... anggap saja apa yang kau ucapkan barusan adalah benar.
Tetapi bagaimanapun juga kau toh harus memberi kesempatan bagiku untuk bangun!" Merah padam selembar wajah gadis manis itu.
"Beritahu dulu kepadaku, siapa namamu" Setelah itu aku akan melepaskan dirimu untuk bangun." Pek In Hoei tidak langsung menjawab, ia termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian baru jawabnya : "Baiklah, akan kuberitahukan siapa namaku, tapi kau harus janji jangan katakan kepada suhumu lho!" "Suhu dan ayah sedang keluar rumah, mungkin tiga empat hari lagi baru akan pulang ke sini..." kata Pek-li Cien Cien, dengan lidahnya ia membasahi ujung bibirnya yang kering lalu terusnya, "Hayo cepat toh beritahu namamu, kemudian aku akan lenyapkan racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhmu kalau tidak...
awas, tak akan kupedulikan lagi mati hidupmu!" "Cayhe Pek In Hoei bukanlah manusia yang takut akan mati!" kata pemuda itu sambil tertawa hambar.
"Sekarang tolong nona keluar dahulu sebab aku mau berpakaian, masa kau suruh aku berada dalam keadaan telanjang terus?" "Pek In Hoei" Ooooh...! Sungguh indah dan menarik namamu itu!...
Hey, Pek In Hoei, coba katakanlah apakah namaku pun enak didengar dan menarik?"" "Menarik, menarik sekali," jawab si anak muda tak sabaran, "Nah! Sekarang harap nona keluar dahulu!" "Huuh...
kenapa aku mesti keluar?" Pakaianmu toh aku yang lepaskan semua...
rasanya kau pun tak usah malu-malu lagi terhadap diriku, sebab seluruh badanmu sudah kulihat semua ketika aku melepaskan pakaianmu tadi..." ia tatap wajah pemuda itu tajam-tajam dan menambahkan, "Hey, halus amat kulit badanmu...
aduh... bukan saja putih bersih bagaikan salju bahkan keras berotot...
waah dipegang dan diraba...
syuuur nikmat sekali!" Merah padam selembar wajah Pek In Hoei mendengar perkataan itu, batinya di dalam hati : "Eeei...
eei... eei... perempuan macam apakah orang ini" Kalau dilihat rupa serta gerak-geriknya semestinya dia sudah mengerti akan hubungan antara laki dan perempuan, kenapa sih tingkah lakunya begitu tak tahu malu dan tebal muka?" Huuuh! tidak sepantasnya kalau aku anggap perbuatannya ini karena sifatnya yang masih polos dan lincah..." Sementara ia masih membatin mendadak pintu terbuka dan muncullah seorang gadis berbaju hijau yang membawa sebuah nampan di tangannya, tatkala sorot matanya terbentur dengan raut wajah Pek In Hoei yang ganteng tanpa sadar merah jengah pipinya, sorot mata cinta dan sayang terpancar keluar dari balik matanya.
"Sioe To!" tegur Pek-li Cien Cien dengan nada tidak senang.
"Bukankah aku melarang kau masuk kemari" Kenapa tanpa mengetuk pintu kau langsung nyelonong masuk ke dalam kamar?" "Nona, bukankah tadi kau suruh aku yang buatkan kuah bunga teratai untuk sauw ya ini menangsal perut" Nih, aku bawakan kuah bunga teratai..." "Hmm, letakkan saja di atas meja!" perintah Pek-li Cien Cien ketus.
Sementara itu Pek In Hoei sedang duduk di balik selimut dengan wajah tersipu-sipu ketika sinar matanya menyapu sekejap wajah Sioe To tadi, diam- diam hatinya merasa terkejut, pikirnya : "Aduuuh celaka! Rupanya dayang cilik ini pun sudah ikut kesurupan setan..." Ia sadar bahwa wajahnya terlalu tampan dan terlalu menarik bagi pandangan kaum gadis, apabila ia tak sanggup merahasiakan perasaan hatinya dan baik- baik menjaga diri, maka sedikit meleng saja akan mengakibatkan banyak gadis cantik tergila-gila kepadanya.
Ia telah memperoleh banyak pengalaman dari gadis- gadis yang pernah dijumpainya pd masa lampau, seperti Kong Yo Siok Peng, Wie Chin Siang, It-boen Pit Giok...
ia berhasil mengetahui perasaan kagum dan cinta mereka dari sorot mata yang jeli itu...
Dan kini dari sorot mata Pek li Cian Cian serta Sioe To kembali ia temukan pancaran sinar cinta yang sama seperti yang lain...
Timbul perasaan gentar dalam hati kecilnya, diam- diam ia membatin : "Dendam kesumat sedalam lautan yang masih kutanggung sama sekali belum berhasil dituntut balas, mana boleh aku terjerumus ke dalam belaian kasih serta pelukan mesra kaum gadis muda" Malam ini bagaimanapun juga aku harus berusaha untuk melarikan diri dari sini." Sinar matanya berkilat, setelah merandek beberapa saat ia bertanya : "Eeeei! Kau simpan di mana itu kapak sakti serta kutang pelindung badanku?" Sementara itu Sioe To sedang memandang wajah Pek In Hoei dengan termangu-mangu, tatkala mendengar pertanyaan tersebut, buru-buru ia letakkan sebuah kotak ke atas meja sembari ujarnya : "Kutang pelindung badan serta kapak saktimu itu telah kusimpan semua dalam almari..." "Sioe To siapa suruh kau ikut usil disini" Ayoh cepat enyah dari dalam kamar ini!" hardik Pek li Cian Cian semakin mendongkol.
Dengan perasaan berat dan tidak rela serta bibir yang dicibirkan terpaksa dayang berbaju hijau itu mengundurkan diri dari kamar, sesaat sebelum meninggalkan pintu ruangan dengan pandangan mendalam dan berat kembali ia lirik sekejap wajah si anak muda.
Pek li Cian Cian bukanlah seorang gadis yang bodoh, dari gerak-gerik yang ditunjukkan Sioe To ia telah berhasil menebak isi hatinya, maka seraya mendengus dingin tegurnya : "Hey budak sialan, kalau kau berani berebutan lelaki ini dengan diriku...
awas! Selembar jiwamu bisa kucabut tanpa mengenal kasihan." Berbicara sampai di situ ia lantas berpaling kembali dan tertawa merdu.
"In Hoei!" serunya.
"Kau tak usah bangun, biarkanlah aku yang menyuapkan kuah teratai itu untukmu..." "Hmmm! Selama hidup belum pernah kujumpai perempuan yang tak tahu malu seperti dia..." pikir Pek In Hoei dengan alis berkerut, wajahnya segera berubah membesi, serunya : "Terima kasih atas maksud baik dari nona, cayhe tidak ingin mendahar makanan apa pun juga." "Apakah racun ulat emas itu kembali sudah kambuh?" pin menggeleng.
"Selama beberapa hari ini cayhe merasa luar biasa lelahnya, sekarang aku kepengin sekali tidur dengan nyenyaknya...
lagi pula kepala cayhe terasa rada pening, oleh sebab itu aku berharap agar nona jangan mengganggu diriku lagi." "Aduuuh...
! Apakah badanmu panas" Coba...
coba biar kuraba keningmu..." Sembari berkata ia lantas ulurkan tangannya bermaksud meraba kening si anak muda itu, tetapi Pek In Hoei telah mengingos ke samping dengan perasaan jemu.
Melihat rabaannya dihindari, Pek li Cian Cian melengak, pikirnya : "Jangan-jangan ia benci dan muak kepadaku karena gerak-gerikku yang terlalu bebas?" Pada dasarnay ia memang seorang gadis yang cerdik, hanya cukup meninjau dari sikap serta perubahan wajah si anak muda itu saja ia lantas mengerti dimanakah letak kesalahan dirinya.
Setelah termenung berpikir sejenak batinnya : "Baiklah mulai besok pagi, aku harus menarik kembali sikap serta tingkah lakuku yang terlalu bebas ini, aku tak boleh menggunakan tata cara yang biasa berlaku di wilayah Biauw untuk menghadapi dirinya, karena bagaimanapun juga dia tetap seorang bangsa Han dan bukan orang dari suku Biauw..." Sebaliknya ketika Pek In Hoei melihat gadis itu membungkam dan tidak berbicara lagi timbul rasa menyesal dalam hati kecilnya.
Pendekar Elang Salju 10 Fear Street - Sagas X Kebangkitan Roh Jahat The Awakening Evil Pendekar Pedang Pelangi 15
^