Pencarian

Imam Tanpa Bayangan 4

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 4


Ia lantas mendehem dan berkata : "Cayhe merasa tidak enak badan dan ingin tidur..." Pek li Cian Cian tertawa hambar.
"Sekarang sudah malam, memang sudah waktunya bagimu untuk beristirahat..." ia bangkit berdiri dari atas pembaringan.
"Apakah kau tidak habiskan dulu kuah teratai ini sebelum pergi tidur?" "Aku rasa tak perlu, terima kasih atas perhatianmu," jawab pemuda itu sembari menggeleng, setelah merandek sejenak tambahnya : "Aku...
apakah aku tidur disini?" "Apa salahnya kau tidur di situ" Kamar ini adalah kamar pribadiku, siapa pun tak akan berani nyelonong masuk kemari secara sembarangan." "Hmm, peduli amat ini adalah kamar pribadimu atau bukan," pikir Pek In Hoei dalam hati, "asal kau sudah pergi dari sini aku segera akan bangun dan berpakaian lalu melarikan diri lewat jendela, bagaimanapun juga aku toh tak akan terlalu lama tidur disini, apa salahnya kalau sekarang berpura-pura dulu?" Karena berpikir demikian maka dengan mulut membungkam dia lantas tarik selimut dan merebahkan diri.
Dengan mesra dan penuh kasih sayang Pek li Cian Cian membongkokkan badannya membetulkan ujung selimut yang tergulung, lalu ujarnya halus : "Mulai besok pagi aku akan berusaha untuk memusnahkan racun ulat emas yang mengeram dalam tubuhnya, sekarang tidurlah dengan nyenyak dan jangan berpikir yang bukan-bukan." "Huuh! mana ada hari esok bagimu?" jengek Pek In Hoei di dalam hati.
"Sebentar lagi aku bakal kabur dari sini!" Tetapi sebelum ingatan tersebut selesai berkelebat dalam benaknya, menggunakan kesempatan di kala membetulkan selimut yang menggulung itulah Pek li Cian Cian telah menotok jalan darah tidurnya.
Seketika itu juga Pek In Hoei merasakan pandangannya jadi kabur dan keadaannya makin berkurang, jeritnya di dalam hati : "Aduuuh celaka, aku sudah terkena tipu muslihat setan cilik ini!" Tetapi ia tak sempat mengerahkan tenaga dalamnya lagi untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, tahu-tahu si anak muda itu sudah tertidur pulas.
Memandang Pek In Hoei yang tertidur dengan nyenyaknya di atas pembaringan, rasa bangga tertera di atas wajah Pek li Cian Cian, pikirnya : "Peduli kau adalah si jago pedang berdarah dingin atau bukan, aku pasti akan berusaha untuk memeluk dirimu ke dalam rangkulanku!"
Ia menghembuskan napas panjang dan berjalan ke depan cermin, di situ perlahan-lahan ia lepaskan baju luarnya, melepaskan gelang emas yang dikenakan di lengannya dan unjukkan senyuman manis ke hadapan cermin gumamnya dengan suara lirih : "Mulai besok, kau telah menjadi Pek hujien!" Dari atas meja ia mengambil seutas kain tipis untuk mengikat rambutnya yang panjang dan lebar, kemudian melepaskan gaun dan pakaian hingga akhirnya tinggal kutang berwarna merah serta celana dalamnya yang tipis..
Diikuti ia menguap keras, memadamkan lampu lentera dalam kamar hingga suasana jadi gelap gulita...
Di tengah kegelapan terdengar kelambu diturunkan serta suara gemericitan di atas pembaringan, setelah itu suasana pulih kembali dalam kesunyian...
Malam itu adalah suatu malam yang lembut dan hangat...
kelembutan yang membawa kemesraan serta keharuan...
membuat orang susah melupakan kenangan manis itu...
..... Sambil berpangku tangan Pek In Hoei berdiri termangu-mangu di pinggir sungai yang membentang di sisi perkampungan Hong Yap Sancung, hatinya terasa amat risau dan diliputi oleh kesedihan.
"Mungkin selama hidupku tak akan kujumpai suatu percintaan yang betul-betul kekal dan abadi...
semua kelembutan, kemesraan serta kehangatan selamanya tak akan bisa berdiam terlalu lama di sisi tubuhku..." pikir di dalam hati.
Kong Yo Siok Peng, Wie Chin Siang serta ibpt semua pernah membakar api cinta yang tersembunyi dalam hatinya, tetapi kobaran api cinta itu hanya kobaran sebentar saja, tidak lama kemudian padam dan musnah dengan sendirinya, kini ia harus berdiam dalam perkampung Hong Yap Sancung dan menerima perawatan serta cinta kasih dari Pek li Cian Cian.
Nasib telah menentukan setiap gerak-geriknya, hidup yang terombang-ambing bagaikan daun kering terhembus angin memaksa dia harus muncul dalam dunia persilatan dan menghadapi pelbagai peristiwa dan kejadian dengan raut wajah yang berbeda.
"Aaaa...! Inilah kesedihan yang terbesar dalam kehidupan seorang manusia," gumamnya dengan kepala tertunduk rendah-rendah.
"Pekerjaan yang paling disukai tak bisa dilakukan, orang yang dicintai tak bisa didapatkan..." Suara gemerincingan merdu berkumandang datang dari arah belakang, tanpa berpaling lagi ia telah mengetahui siapa yang telah datang, tetapi ia pura- pura berlagak pilon, sorot matanya segera dialihkan ke atas mega putih yang melayang-layang di tengah udara.
"Hey!" suara teguran merdu berkumandang datang dari arah belakang diikuti bau harum semerbak berhembus lewat menusuk penciuman, sebuah tangan yang lembut dan halus menepuk bahunya.
Pek In Hoei mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan menoleh ke belakang.
"Hey, apa yang sedang kau pikirkan" Mengapa kau berdiri termangu-mangu di sini?" tegur Pek li Cian Cian dengan senyuman manis menghiasi bibirnya.
"Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa!" sahut si anak muda itu sambil menggeleng.
"Sudahlah kau tak usah membohongi diriku, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan!" "Kau tahu apa yang sedang kupikirkan?" Pek In Hoei tertawa hambar.
"Bukankah kau sedang membenci diriku?" "Membenci dirimu?" si anak muda itu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Tidak... tak nanti aku membenci kepada orang lain, aku hanya membenci kepada diriku sendiri!" "Kenapa"...
Hmmm! sekarang aku tahu sudah, kau tentu sedang memaki diriku, kau maki aku tidak sepantasnya mendapatkan dirimu dengan menggunakan tipu muslihat, bukankah begitu?" Pek In Hoei tidak menjawab, memandang awan putih yang bergerak di tengah udara, otaknya berputar ke sana kemari dengan kacaunya, ia merasa semua jalan yang ditempuh adalah buntu dan ia gagal untuk melepaskan simpul mati yang membelenggu pikirannya.
Dalam waktu yang amat singkat sudah amat banyak...
banyak sekali yang dipikirkan, semua persoalan yang belum pernah ia pikirkan pada masa yang silam atau persoalan yang pernah dipikirkan tetapi belum berhasil diselesaikan, saat ini berkumpul dan berkecamuk semua jadi satu dalam benaknya.
Dengan perasaan penuh penderitaan ia berpikir : "Aku tidak sepantasnya belajar ilmu silat...
sejak aku mengerti persoalan dan tahu urusan aku sudah tidak berminat untuk belajar silat, sungguh tak kusangka saat ini aku bisa menjadi anggota dunia persilatan, aku harus menanggung banyak resiko dan kerepotan..." Dengan tajam ia menyapu sekejap wajah Pek li Cian Cian, kemudian pikirnya lebih jauh : "Kalau tidak tak nanti aku bisa berjumpa dengan dirinya, dan terjebak ke dalam tipu muslihatnya..." Ia gelengkan kepalanya berulang kali dan berpikir kembali.
"Sungguh tak kusangka kecerdikanku selama ini ternyata percuma saja, akhirnya aku masih juga terjerumus ke dalam jebakannya!" Ketika dilihatnya si anak muda itu tidak berbicara, Pek li Cian Cian segera berkata : "meskipun aku tahu bahwa perbuatan aku itu salah besar, tetapi hati kecilku mengatakan bahwa aku benar-benar telah jatuh cinta kepadamu, aku tidak ingin kehilangan dirimu lagi!" "Tetapi...
benarkah perbuatanmu itu" Apakah cinta kasih bisa didapatkan dengan akal dan tipu muslihat?" seru Pek In Hoei tertawa getir.
Dengan mata terbelalak Pek li Cian Cian memandang wajah si anak muda itu tak berkedip, sepatah kata pun tak sanggup diucapkan.
"Tahukah kau" Meskipun kau telah berhasil mendapatkan badanku tetapi kau tak akan memperoleh hatiku," ujar Pek In Hoei lagi dengan gemas bercampur mendongkol.
"Andaikata aku tidak cinta kepadamu, bagaimanapun juga kau tak akan berhasil memaksa aku jatuh cinta kepadamu!" Titik air mata mulai jatuh bercucuran membasahi wajah Pek li Cian Cian, dengan wajah termangu- mangu ia menatap wajah Pek In Hoei, bibirnya bergetar keras dan air mata bercucuran semakin deras...
Melihat gadis itu menangis, Pek In Hoei menghela napas panjang.
"Aaaai...! sudah, sudahlah, anggap saja aku yang tidak benar, tidak sepantasnya kuucapkan kata-kata semacam ini kepadamu!" "Kau...
kalau aku... aku tidak berbuat demikian...
aku... aku tak akan berhasil mendapatkan dirimu," seru Pek li Cian Cian dengan suara sesenggukan.
"Pek In Hoei, kau tak tahu betapa cintanya aku terhadap dirimu, aku rela mengorbankan apa pun juga yang kumiliki demi dirimu...
aku rela mengorbankan jiwa ragaku..." "Kalau begitu mulai sekarang janganlah kau berdandan semacam ini!" tukas si anak muda itu dengan alis berkerut.
"Baik! Aku pasti akan menuruti perkataanmu, aku pasti akan melakukan perbuatan yang menyenangkan hatimu!" "Aaaai...! Aku harus melakukan perjalanan lagi di dalam dunia persilatan, aku masih mempunyai banyak persoalan dan pekerjaan yang belum selesai kulakukan, apakah kau rela mengikuti diriku untuk berkelana dan menjelajahi seluruh penjuru dunia?" Bukankah kau masih punya suhu dan ayah?" Apakah kau tega meninggalkan mereka semua?" "Aku tidak akan mempedulikan mereka lagi, aku tak akan memikirkan mereka lagi, aku bersumpah akan turut serta dirimu walau kau hendak pergi kemana pun juga." "Tapi...
apa gunanya kita berbuat demikian?" seru Pek In Hoei sambil geleng kepala dan tertawa getir.
"Bukankah ilmu silat yang kau miliki sangat lihay" Apakah dengan kemampuan yang kau miliki kau masih jeri terhadap mereka?" pin terkesiap, dengan rasa kaget ia angkat kepala dan menatap tajam wajah gadis itu, mimpi pun ia tak pernah menyangka kalau Pek li Cian Cian bisa memiliki keteguhan imam serta kebulatan tekad yang begitu kukuh.
Pikirnya dalam hati : "Belum pernah kujumpai di kolong langit ini terdapat manusia yang berani menghianati guru dan ayahnya semacam perempuan ini...
ia betul-betul seorang wanita yang berbahaya!" Sementara itu Pek li Cian Cian telah berkata lagi dengan nada sedih : "Aku mengerti kau tak akan mencintai diriku!" Pek In Hoei merasa tidak enak untuk menanggapi perkataan itu maka ia cuma tertawa getir dan membungkam dalam seribu bahasa, dalam hatinya mulai timbul rasa jemu yang tak terkirakan.
Air mata bercucuran dengan derasnya membasahi wajah gadis itu, terdengar ia bergumam kembali : "Andaikata kau mencintai diriku, maka kau pasti dapat berkorban demi diriku!" "Sayang harapanmu itu hanya kosong belaka," sambung Pek In Hoei ketus.
"Selama hidup belum pernah aku mencintai seorang gadispun!" "Aku tidak pernah," jerit Pek li Cian Cian dengan badan bergetar keras, ia tatap wajah pemuda itu tak berkedip.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Bukan saja dahulu tak pernah, mulai detik ini aku pun tak akan mencintai gadis atau perempuan macam apa pun juga, termasuk dirimu, kau boleh legakan hati." Sekujur tujuh Pek li Cian Cian gemetar keras, tanpa sadar ia mundur satu langkah ke belakang dengan nada gemetar serunya : "Kau...
kau... hatimu betul-betul kejam, aku bersikap begitu baik terhadap dirimu, tapi sebaliknya kau...
kau..." "Apa salahnya" Toh kau sudah tahu bahwa aku adalah si jago pedang berdarah dingin, aku adalah manusia yang tak kenal apa artinya cinta!" Pek li Cian Cian tak pernah menyangka hubungan mereka yang baru saja berlangsung hangat tiba-tiba telah berubah jadi dingin dan renggang, bahkan Pek In Hoei menunjukkan sikap begitu ketus dan hambar, Ia gigit bibirnya keras-keras dan berseru : "Apakah kau sudah melupakan sama sekali perbuatanmu kemarin malam..." "Kemarin malam!" Pek In Hoei teringat kembali, ketika pagi tadi ia bangun dari tidurnya telah ditemukan dirinya berbaring dalam keadaan telanjang bulat...
Meskipun Pek li Cian Cian begitu cantik tetapi ia sama sekali tidak tertarik atau pun terangsang olehnya.
Ia masih ingat ketika ia menemukan dirinya berbaring dalam keadaan telanjang bulat di sisi sang gadis yang berada dalam keadaan polos pula, tiada napsu yang merangsang dirinya, tetapi sewaktu selimut yang menutupi badan mereka mereka disingkap, terasa segera ditemukannya titik noda darah di atas pembaringan..." Ia menghela napas panjang, gumamnya : "Siapa tahu apa yang telah kulakukan kemarin malam?" "Hmmm, kau betul-betul manusia berhati keji," teriak Pek li Cian Cian penuh kebencian.
Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak muncul seorang lelaki berusia setengah baya lari menghampiri mereka.
"Hey, apa yang telah terjadi?" tegur gadis itu segera sambil menyeka air mata.
Dengan wajah hijau membesi lelaki itu jatuhkan diri berlutut di atas tanah dan menjawab : "Di luar perkampungan telah kedatangan seorang sastrawan yang mengaku berasal dari luar lautan, ia paksa hamba untuk melaporkan kedatangannya kepada cung-cu..." "Kenap tidak kau katakan kepadanya bahwa Cung cu tidak berada di dalam perkampungan?" maki Pek li Cian Cian gusar.
"Dia... dia bilang apa pun yang terjadi, Cung-cu kami harus ditemui juga..." setelah menelan air ludah tambahnya, "Ia menyebut dirinya Poh Giok cu." "Poh Giok cu?" seru Pek In Hoei terperanjat.
"Apakah tiga dewa dari luar lautan telah datang semua?" "Benar, disamping itu terdapat pula seorang nikouw tua serta seorang dara berbaju merah yang menanti di samping." Pek In Hoei semakin terperanjat dibuatnya, ia segera bertanya : "Apakah kau melihat sesuatu benda yang dicekal nikouw tua itu?" "Hamba melihat di tangannya membawa sebuah seruling yang terbuat dari besi baja." "Ooooh Thiat-Tie Loo-nie telah datang," gumam pemuda she Pek itu.
"Kalau begitu dia pun tentu ikut datang." "Apa" Tiga dewa dari luar lautan telah datang?" sementara itu terdengar Pek li Cian Cian berseru kaget.
Air muka Pek In Hoei berubah hebat, pikirnya : "Andaikata sekarang It-boen Pit Giok menemukan aku berada disini, entah apa yang ia pikirkan, aku rasa lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi saja di dalam kalau tidak..." Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, mendadak dari tengah udara melayang datang sesosok bayangan manusia.
Dari jarak kurang lebih lima tombak di hadapannya dengan sebat dan cepat meluncur datang seorang pelajar berusia pertengahan dan melayang turun tepat di hadapannya.
Dalam pada itu sambil bergendong tangan Pek In Hoei masih berdiri di sisi sungai yang membujur dalam perkampungan Hong Yap San-ceng ketika memandang kehadiran pelajar berusia pertengahan itu hatinya bergetar keras, pikirnya : "Siapakah pelajar berusia pertengahan ini?" Begitu gagah dan agung wajahnya..."
HAMPIR-HAMPIR saja ia tidak percaya kalau pelajar berusia pertengahan yang berdiri di hadapannya sekarang adalah salah satu di antara tiga dewa dari luar lautan yang namanya telah menggetarkan seluruh sungai telaga, menurut kabar yang tersiar dalam Bu lim orang mengatakan bahwa Poh Giok cu telah berusia lanjut, tapi dalam kenyataan keadaannya tidak lebih bagaikan seorang pelajar berusia pertengahan, sudah tentu Pek In Hoei merasa amat terperanjat.
Sebaliknya Poh Giok cu sendiri pun merasa tertegun ketika menyaksikan kegagahan serta keagungan Pek In Hoei, dengan sorot mata berkilat ia awasi wajah pemuda itu sekejap kemudian tegurnya : "Hey bocah cilik, apakah kau adalah anggota perkampungan Hong Yap San cung..." Pek In Hoei melengak, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu Pek li Cian Cian telah membentak nyaring : "Huuh! berapa besar sih usiamu, berani betul menyebut orang lain sebagai bocah cilik!" "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Poh Giok cu mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Nona cilik, kalau usia loohu dibandingkan dengan umur ayahmu, jauh lebih tua, rasanya menyebut kalian sebagai bocah cilik pun tidak terlalu merendahkan derajat kalian bukan..." Pek li Cian Cian semakin gusar dibuatnya, sejak kecil ia dibesarkan dalam wilayah Biauw yang kehidupan serta adat istiadatnya jauh berbeda dengan daratan Tionggoan, pergaulannya dengan suku liar mengakibatkan sifatnya pun banyak terpengaruh oleh mereka.
Dengan wajah berubah hebat segera bentaknya : "Kau berani bicara lagi!" Badannya bergerak maju empat langkah ke depan, sang telapak berkelebat membelah angkasa dan langsung membabat tubuh Poh Giok cu.
"Haaaah... haaaah... haaaah... bocah cili yang tak tahu sopan santun," seru Poh Giok cu sambil tertawa tergelak, cepat ia kebaskan ujung bajunya ke depan.
"Ayoh cepat panggil keluar orang tuamu..." Baru saja angin pukulan dari gadis itu meluncur keluar, mendadak terasalah segulung tenaga yang tak berwujud menghapus seluruh kekuatan tenaga serangannya hingga lenyap tak berbekas, hal ini membuat hatinya sangat terperanjat.
Sebelum ia sempat menarik kembali telapaknya tahu-tahu segulung tenaga pukulan yang tak berwujud kembali menggulung tiba melontarkan badannya meluncur ke belakang.
Cepat-cepat Pek In Hoei maju memayang tubuhnya sehingga tidak sampai jatuh terjengkang ke atas tanah, serunya : "Kau tidak terluka bukan..." Pek li Cian Cian merasa hatinya jadi manis bercampur hangat, seketika itu juga ia melupakan peristiwa terjengkangnya dia oleh dorongan tenaga tak berwujud dari Poh Giok cu, bibirnya bergetar dan sahutnya dengan manja : "Aku sudah dipermainkan orang...
ayoh cepat gebah pergi tua bangka yang suka mencari kemenangan di antara kaum muda itu...
Huuh! aku jemu sekali melihat tampangnya..." Walaupun ia sudah memiliki watak kejam, telengas dan tak kenal budi dari si Dukun Sakti Berwajah Seram, tetapi bagaimanapun sifat kekanak- kanakannya masih belum hilang, kini setelah menjumpai si anak muda itu turun tangan membantu dirinya, seketika itu juga sikap Pek In Hoei yang ketus dan tak berbudi sudah dilupakan sama sekali.
"Aku bukan menolong dirimu," terdengar Pek In Hoei berkata sambil tertawa getir.
"Aku hanya tidak ingin kau bertindak liar seperti itu..." Setelah merandek sejenak, ujarnya lagi dengan nada ketus : "Kau tak akan berhasil mendapatkan diriku, karena aku tak akan mencintai kaum wanita macam apa pun..." Pada saat itu Pek li Cian Cian sedang dimabokkan oleh kehangatan pelukan si anak muda, terhadap apa yang dikatakan sama sekali tidak didengar olehnya, bahkan masih sengaja menggoyang-goyangkan pinggulnya memperlihatkan kepandaiannya untuk menghadapi kaum pria yang paling jitu, sayang Pek In Hoei adalah lelaki nomor satu di kolong langit yang tidak doyang menelan rayuan-rayuan semacam itu, terhadap tingkah laku gadis tersebut ia cuma tertawa getir belaka.
Poh Giok cu yang berdiri di sisi kalangan dapat menangkap setiap perkataan pemuda itu dengan jelas, dengan pandangan tercengang ia awasi si anak muda itu, orang tua ini merasa rada tidak percaya kalau seorang pemuda yang masih muda belia ternyata memandang benci terhadap kaum wanita di kolong langit, hingga terhadap gadis cantik macam Pek li Cian Cian pun tidak tertarik.
Ia gelengkan kepalanya berulang kali sambil bergumam : "Bocah cilik boleh dibilang betul-betul berhati keji sampai dalam perkampungan pun ia tak sungkan- sungkan dan mengerti akan belas kasihan..." Sorot mata Pek In Hoei berkilat.
"Kenapa" Apakah ucapanku telah salah kuutarakan keluar?" tegurnya.
Poh Giok cu terkejut, tiba-tiba ia temukan munculnya bekas telapak merah di antara sepasang alis pemuda itu, kian lama bekas merah itu kian bertambah jadi jelas, dengan kaget orang itu berseru tertahan.
"Sungguhkah di kolong langit terdapat manusia semacam ini..." gumamnya.
Manusia aneh dari luar lautan ini boleh dibilang merupakan seorang jago sakti yang bisa meramalkan kejadian yang akan datang maupun yang bakal terjadi, ia sadar bahwa bekas merah darah di antara sepasang alis Pek In Hoei menandakan bahwa dia adalah lelaki nomor satu di kolong langit yang tidak kenal apa artinya 'cinta'.
Kebanyakan orang semacam ini mempunyai bakat yang bagus serta kecerdikan yang luar biasa, tetapi terhadap persoalan yang menyangkut dendam atau pun sakit hati biasanya teristimewa hapalnya, barangsiapa yang pernah melakukan kesalahan terhadap dirinya maka sebagian besar akan menemui ajalnya di ujung senjata orang itu juga.
Dengan pandangan tertegun orang tua itu berdiri menjublak, sementara otaknya berpikir lebih jauh : "Seandainya bocah ini bertemu dengan guru kenamaan maka ia akan menjadi pendekar paling kosen di kolong langit, sebaliknya andaikata ia salah jalan maka dunia akan diobrak-abrik hingga tiada kehidupan yang tenang setiap harinya, banjir darah bakal melanda di mana-mana, pembunuhan kesadisan serta kebrutalan akan merajalela di seluruh kolong langit..." Berpikir demikian, senyuman yang semula menghiasi bibirnya seketika lenyap tak berbekas, tegurnya : "Hey bocah cilik, siapa namamu?" "Hmmm, apakah kau tidak merasa terlalu cerewet untuk mengajukan pertanyaan semacam itu?"" jengek pemuda kita ketus.
"Pek In Hoei..." mendadak dari tempat kejauhan berkumandang datang suara teriakan nyaring, tampak bayangan merah berkelebat lewat, It-boen Pit Giok laksana bianglala yang membelah bumi tahu-tahu sudah melayang turun di sisi tubuh Poh Giok cu.
Tetapi ketika dilihatnya Pek li Cian Cian sedang menyandarkan diri di dalam pelukan Pek In Hoei, air muka It-boen Pit Giok seketika berubah hebat, seolah- olah terkena gempuran keras untuk beberapa saat lamanya ia berdiri menjublak dan tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Perlahan-lahan Pek In Hoei mendongak, memandang sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin dan berseru ketus : "Ooooh, ternyata kau..." "Kau...
kau... aku benci dirimu sampai mati!" jerit It- boen Pit Giok dengan suara gemetar, ia tarik ujung baju Poh Giok cu dan serunya lebih jauh, "Supek, ayoh kita pergi saja..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... yang ajak datang kemari juga kau, sekarang ajak pergi juga kau, waaah...
sampai aku pun dibikin bingung dan tak habis mengerti oleh sikapmu ini!" omel Poh Giok cu sambil tertawa terbahak-bahak.
Diserobot dengan kata-kata yang tajam seperti itu merah jengah seluruh wajah It-boen Pit Giok yang dingin, sekalipun ia sangat membenci diri Pek In Hoei, tapi sebagai seorang gadis tak urung merasa malu juga setelah rahasia hatinya dibongkar di hadapan orang.
Tanpa sadar ia tundukkan kepalanya rendah-rendah dan mengomel sambil mempermainkan ujung baju : "Supek...
kembali kau mentertawakan diriku..." Menyaksikan gerak-gerik It-boen Pit Giok yang diliputi kesedihan dan kemurungan, suatu bayangan hitam berkelebat dalam benak Poh Giok cu, wajahnya kontan berubah jadi dingin dan perlahan-lahan ia alihkan sinar matanya ke atas tubuh Pek In Hoei.
Dalam pada itu si anak muda tadi sedang mendorong tubuh Pek li Cian Cian dari pelukannya, ia tarik napas dalam-dalam dan suatu perasaan bimbang melintas di atas wajahnya, seakan-akan ia sedang melamunkan kembali kejadian-kejadian yang telah lampau.
Rupanya Pek li Cian Cian tidak mengerti akan maksud pemuda itu mengesampingkan tubuhnya, ia lantas menegur : "Pek In Hoei, mengapa kau tidak peluk tubuhku lagi?" "Ciss, tak tahu malu," maki It-boen Pit Giok sambil meludah ke atas tanah.
Setelah makian itu terlontar keluar, gadis itu baru sadar bahwa ia sudah buka suara padahal dalam hatinya ia sama sekali tidak mengerti apa sebabnya perasaan hatinya segera berubah jadi sangat tak enak setiap kali ia saksikan Pek In Hoei berada bersama-sama perempuan lain, dalam hatinya ia sangat membenci si anak muda itu, tetapi rasa benci itu ternyata bisa bercampur baur dalam rasa cintanya.
"Eeeei... eeei... kau sedang maki siapa?" bentak Pek li Cian Cian dengan mata melotot.
"Hmm di tempat ini kecuali kau seorang siapa lagi yang berbuat tak tahu malu..." Pek li Cian Cian yang dibesarkan di wilayah Biauw sama sekali tidak memahami akan peraturan yang membatasi atas pergaulan kaum pria dan wanita, ia hanya tahu asalkan seorang pria telah jatuh cinta kepada wanita dan sebaliknya pun demikian maka tiada pantangan-pantangan lagi yang membelenggu hubungan mereka apakah mereka mau hubungan senggama atau pun tidak orang lain tiada berhak untuk mencampurinya.
Dengan wajah yang berubah hebat karena menahan gusar, gadis itu berteriak kembali : "Apa salahnya kalau aku bermesraan dengan dirinya" Kau tahu" Setiap bulan tanggal lima belas di wilayah Biauw pasti diadakan pesta bulan purnama, dalam pesta tersebut kalau seseorang telah tertarik pada lawan jenisnya maka mereka boleh langsung melakukan perbuatan tersebut di dalam gua atau pun di balik semak belukar setelah itu berarti pula secara resmi telah disahkan sebagai suami istri..." Ia merandek sejenak, kemudian dengan gusar bentaknya : "Dan kini kenapa kau maki aku" Hmm! kau berani memaki aku berarti menghina diriku.
Nah rasakanlah sebuah bogem mentahku...!" Diiringi bentakan keras tubuhnya menubruk ke depan, telapak tangannya yang putih halus bergetar membentuk tiga lingkaran busur di tengah udara kemudian membabat ke bawah menghajar tubuh It- boen Pit Giok.
Melihat datangnya ancaman gadis cantik yang berasal dari luar lautan ini buru-buru menghindar ke samping, makinya : "Perempuan yang tak tahu malu, rupanya kau memang harus diberi sedikit pelajaran..." Pada saat itu ia memang berada dalam keadaan gusar, maka sewaktu dilihatnya Pek li Cian Cian menerjang datang sambil lancarkan babatan, ia segera tertawa dingin, badannya maju tiga langkah ke depan dan menyambut datangnya serangan tersebut dengan keras lawan keras.
Blaaam... suara ledakan dahsyat bergeletar membelah permukaan bumi, sekujur tubuh Pek li Cian Cian bergetar keras, badannya rontok dari tengah udara dengan wajah pucat pias bagaikan mayat, dengan pandangan mendelong ditatapnya wajah gadis she Ie boen itu tanpa berkedip, rupanya ia tidak percaya seorang gadis yang sebaya usianya dengan dia ternyata memiliki tenaga dalam yang begitu tinggi.
Mendadak tubuhnya meloncat mundur ke belakang, teriaknya setengah menjerit : "Aku mau kau mati konyol disini hingga tak seorang pun berani menolong dirimu..." Seraya berkata perlahan-lahan dia angkat telapak kirinya ke tengah udara kemudian sentilkan ujung jarinya ke muka.
Mengikuti sentilan jari tangannya tadi segulung asap kabut berwarna merah segera menyebar ke seluruh udara.
Mendadak air muka Poh Giok cu berubah hebat, sembari maju ke depan bentaknya : "Kalau kau berani melepaskan ilmu jari Ang Hoa Cie dari wilayah Biauw maka akan kutebas kutung jari tanganmu itu, kau harus tahu bahwa ilmu jari Ang Hoa Cie dari dukun sakti berwajah seram masih belum terhitung ilmu maha sakti di kolong langit..." Ancaman itu ternyata manjur sekali, Pek li Cian Cian benar-benar tidak berani mengeluarkan ilmu simpanannya.
"Kau kenal dengan suhuku?" serunya dengan wajah termangu-mangu.
"Hmm, Dukun Sakti Berwajah Seram terhitung manusia macam apa?" Ia belum pantas untuk menjadi sahabatku..." Pek li Cian Cian tidak tahu sampai di mana kelihayan dari tiga dewa tersebut, mendengar pelajar berusia pertengahan itu berani menghina dan memandang rendah suhunya, timbul rasa gusar dalam hatinya, sambil membentak marah teriaknya : "Kau berani memaki suhuku..." Bayangan jari berkelebat lewat, di tengah udara segera berkelebat selapis kabut merah yang memanjang bagaikan bianglala diiringi desiran tajam bianglala merah tadi langsung menerjang tubuh Poh Giok cu.
Dengan tindakan cepat si orang tua dari luar lautan ini menarik tubuh It-boen Pit Giok mundur ke belakang, seluruh jubah bajunya mendadak menggembung jadi besar, sambil maju selangkah ke depan ia ayunkan telapak tangannya yang segera memancarkan cahaya putih ke empat penjuru.
"Bocah yang tak tahu diri," jengeknya sambil tertawa dingin, "kau benar-benar terlalu jumawa..." Ketika kabut merah yang menggulung tiba itu berjumpa dengan cahaya putih yang meluncur ke udara seketika buyarlah kabut tadi berubah jadi kerlipan-kerlipan cahaya yang menyebar ke empat penjuru kemudian lenyap di tengah udara, bukan begitu saja bahkan desiran angin tajam pun lenyap tak berbekas.
"Kepandaian apakah itu?" jerit Pek li Cian Cian dengan hati terperanjat.
"Sungguh tak bisa mempercayai, sampai ilmu jari Ang Hoa Cie yang lihay dan sukar dicarikan tandingannya pun bisa dihancurkan dengan begitu gampang." Sebelum gadis sempat menarik kembali serangannya Poh Giok cu sudah merangsek ke depan, tangannya berkelebat dan tahu-tahu jari tangan Pek li Cian Cian sudah terjepit di tengah udara.
Seketika itu juga murid Dukun Sakti Berwajah Seram ini tertarik maju ke depan oleh sentakan tenaga lawan.
Dengan wajah adem bagaikan salju Poh Giok cu mendengus dingin hardiknya : "Kau perempuan yang tak tahu diri dan berhati keji, bagaimanapun jari tanganmu ini akan kukutungkan untuk diserahkan kepada gurumu si Dewi Khiem Bertangan Sembilan..."
Ia mengerti sampai dimanakah kelihayan dari ilmu jari Ang Hoa Cie atau ilmu jari bunga merah yang berasal dari wilayah Biauw ini, kepandaian tersebut adalah hasil latihan dari hisapan inti sari pelbagai kabut racun yang ada di wilayah Biauw, setelah ke- sepuluh jarinya direndam di dalam racun kemudian mengisap sari-sari racun itu ke dalam jari tangannya, maka setiap kali kepandaian tersebut digunakan maka korbannya pasti akan mati konyol dengan seluruh tubuh hancur lebur karena membusuk, di samping itu dari mayat sang korban akan menyiarkan bau aneh yang dapat membinasakan setiap orang yang mencium bau itu.
Bukan saja manusia segera mati konyol, sekalipun binatang kecil pun sama-sama nasibnya, boleh dibilang kepandaian ini merupakan kepandaian yang terkeji di kolong langit.
Dalam pada itu Poh Giok cu telah mengambil sebilah pedang kecil berwarna merah keperak-perakan, setelah berkilat di angkasa perlahan-lahan menebas jari tangan Pek li Cian Cian yang terjepit itu.
Waktu itu gadis she Pek-li murid dari Dukun Sakti Berwajah Seram ini sudah ketakutan setengah mati di bawah kekuasaan orang, beberapa kali ia berusaha meronta dan coba melepaskan diri dari jepitan tangan lawannya, namun usahanya selalu gagal saking gelisah bercampur lemasnya keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, kekuatan untuk melawan pun lenyap tak berbekas.
"Pek In Hoei..." jerit Pek li Cian Cian dengan suara keras.
"Apakah kau rela melihat jari tanganku dipotong orang..." Dari balik biji matanya yang sayu Pek In Hoei berhasil menangkap sinar keputusasaan yang dipancarkan gadis itu, hatinya bergetar keras, pelbagai ingatan segera berkelebat dalam benaknya, ia berpikir : "Meskipun aku tidak menaruh rasa senang atau cinta terhadap diri Pek li Cian Cian, rasanya tidak semestinya kalau aku berpeluk tangan belaka menyaksikan ia harus menderita karena jari tangannya ditebas orang, andaikata gadis cantik dan menarik semacam Pek li Cian Cian betul-betul harus kehilangan sebuah jarinya, aku rasa penderitaan yang dideritanya akan jauh lebih hebat daripada jiwanya dicabut.
Biarlah! Memandang di atas budi pertolongannya yang sudah mencabut bibit racun ulat emas dari dalam tubuhku, aku harus cegah perbuatan Poh Giok cu untuk mencelakai dirinya..." Berpikir sampai disini ia lantas meloncat ke depan, bentaknya keras-keras " "Ko loocianpwee, aku minta kau segera melepaskan dirinya..." "Aku rasa lebih baik kau tarik kembali ucapanmu itu," tukas Poh Giok cu Ko Ek dengan suara ketus.
"Tak nanti aku jual muka untuk dirimu..." "Hmmm! Kalau memang begitu maaf kalau boanpwee terpaksa harus berbuat kurang ajar!" Ia tahu Poh Giok cu salah seorang di antara tiga dewa drai luar lautan tak akan memberi kesempatan kepadanya, maka sembari meloncat ke depan secara tiba-tiba telapak kirinya melancarkan sebuah serangan dahsyat menghantam tubuh lawan, sementara telapak kanannya laksana kilat mencengkeram urat nadi orang tua itu.
Poh Giok cu menjengek sinis mendadak ia mengirim satu tendangan kilat untuk memunahkan datangnya ancaman itu.
"Aaaah..." begitu dahsyat serangan ini membuat Pek In Hoei tiada kesempatan untuk menghindarkan diri.
Si anak muda itu membentak keras, badannya berjumpalitan beberapa kali di tengah udara kemudian meloncat ke bawah dan sekali lagi meluncur ke depan.
It-boen Pit Giok yang menyaksikan si anak muda itu terpental ke udara karena serangan si orang tua itu wajahnya seketika berubah hebat, buru-buru tegurnya : "Supek, kau..." "Kau tak usah kuatir," jawab Poh Giok cu sambil tertawa ewa.
"Tak nanti kulukai dirinya..." Sementara kedua orang itu masih bercakap-cakap, Pek In Hoei bagaikan sesosok bayangan telah menubruk kembali, sebelum Poh Giok cu sempat mengeluarkan jurus serangan untuk menghadapi mara bahaya, sebuah serangan telapak si anak muda itu sudah bersarang di atas bahunya.
Sekalipun ilmu silat yang dimiliki Poh Giok cu sangat lihay namun ia tak berani menyambut datangnya serangan dahsyat itu dengan keras lawan keras, tetapi serangan itu datangnya terlalu cepat, tidak sempat lagi bagi Poh Giok cu untuk menangkis dengan memakai jurus gerakan, dalam keadaan kepepet terpaksa ia harus melepaskan Pek li Cian Cian dan memutar telapaknya menerima datangnya serangan itu.
Blaaam...! di tengah suara ledakan dahsyat yang menggetarkan seluruh jagad, tubuh Poh Giok cu bergetar keras tiada hentinya sedangkan Pek In Hoei terpukul mundur tiga langkah ke belakang baru berhasil berdiri tegak.
Setiap langkah mundurnya telah meninggalkan bekas telapak kaki sedalam beberapa coen, hal ini membuktikan sampai dimanakah taraf tenaga dalam yang dimiliki kedua belah pihak.
Poh Giok cu berdiri melengak, rupanya ia tak pernah menyangka kalau Pek In Hoei si pemuda yang lemah lembut itu ternyata sanggup menerima kedahsyatan pukulannya tanpa roboh.
"Hmmm! rupanya kau lihay juga!" seru si orang tua itu dengan suara dalam.
"Dalam kolong langit dewasa ini hanya tiga orang saja yang sanggup menerima pukulanku, sungguh tak nyana kau si bocah cilik pun mempunyai kepandaian sampai ke taraf yang demikian lihay, tidak aneh kalau Pit Giok menggambarkan sedemikian lihaynya!" Ketika itu It-boen Pit Giok sedang mengawasi jalannya pertarungan antara kedua orang itu dengan mata terbelalak, tetapi setelah mendengar ucapan terakhir dari supeknya ini ia lantas tundukkan kepalanya tersipu-sipu, gadis itu tak berani menengok lagi ke arah Pek In Hoei barang sekejappun.
Si anak muda itu sendiri pun melirik sekejap ke arah It-boen Pit Giok, mendadak dalam hatinya timbul perasaan murung, kesal dan kesunyian, ketika ia menangkap setiap lirikan It-boen Pit Giok yang selalu ditujukan kepadanya itu, dengan perasaan termangu- mangu pikirnya : "Kenapa sorot matanya begitu sayu...
begitu murung" Apakah hal ini disebabkan karena aku berada bersama-sama Pek li Cian Cian...
sewaktu berjumpa dalam perkampungan Thay Bie San cung tempo dulu, teringat betapa bencinya dia kepadaku, tapi sekarang ..." Ia tarik napas panjang-panjang lalu ujarnya : "Mungkin nona It-boen terlalu membesar-besarkan diriku dalam kenyataan cayhe masih ketinggalan jauh sekali kalau dibandingkan dengan diri Ko Loocianpwee!" "Hmmm...
" Poh Giok cu mendengus dingin.
"Bocah sekecil kau sudah berani jumawa dan jual aksi, rupanya kalau aku tidak memberi sedikit pelajaran kepadamu, selamanya kau tak akan gunakan otakmu yang jernih untuk berpikir, jauh-jauh dari luar lautan datang kemari aku Poh Giok cu bukan cuma ingin mendengar perkataan semacam itu..." Pek In Hoei segera tertawa dingin.
"Kalau kau menganggap perkataan yang kuucapkan keluar adalah kata-kata yang terlalu congkak atau jumawa, maka aku harap kau sekarang juga meninggalkan perkampungan Hong Yap San cung, di tempat ini tak ada orang yang sedang kau cari..." "Pek In Hoei, kau hendak mengusir kami pergi..." jerit It-boen Pit Giok semakin murung.
Sejak Pek In Hoei tampil ke depan menangani persoalan itu wajah Pek li Cian Cian sudah tidak kelihatan begitu kaget atau takut seperti semula lagi, ia telah melupakan peristiwa yang baru saja berlangsung di mana dirinya terjatuh ke tangan orang dan jari tangannya nyaris dipapas orang sampai putus.
Saat ini dengan bibir tersungging senyuman mengejek serunya ketus : "Kalau kami hendak usir kalian pergi, terus kalian mau apa" Kau harus tahu Pek In Hoei adalah suamiku, perkataan yang diucapkan olehnya sama pula artinya dengan perkataan yang keluar dari mulutku..." Ucapan ini diutarakan dengan nada sungguh-sungguh, seolah-olah dia benar-benar sudah mengikat diri jadi suami istri dengan pin, mendengar ocehan yang kacau balau tidak karuan ini kontan pemuda itu jadi mendongkol, dengan wajah berubah jadi merah padam ia melotot sekejap ke arah gadis itu.
Sementara ia hendak membantah, mendadak dari tempat kejauhan berkumandang datang suara teguran : "Siapa yang bernama Pek In Hoei?" Ucapan itu merdu bagaikan genta, mengalun di angkasa dan menggema tiada hentinya mengikuti datangnya suara tersebut Pek In Hoei menoleh ke samping, tampaklah seorang nikouw tua berjubah abu-abu dengan membawa tasbeh berwarna hitam dan pandangan yang tajam bagaikan pisau belati menatap wajah Pek In Hoei tak berkedip.
Nikouw tua ini meskipun karena dimakan usia, wajahnya telah berkeriputan tetapi kecantikan wajahnya di masa yang lampau masih jelas tertera di atas mukanya, hal ini bisa membuktikan bahwa pada masa mudanya nikouw ini pastilah seorang perempuan yang cantik dan menarik.
Dengan air mata bercucuran membasahi pipi It-boen Pit Giok segera berjalan menghampiri sisi nikouw tua itu, serunya : "Suhu!" Sejak kecil belum pernah Pek In Hoei bertemu dengan seorang nikouw yang berwajah penuh welas kasih seperti ini, begitu agung dan penuh kasih sayang seolah-olah Kwan Im Pouwsat dari Lam Hay.
Diam-diam ia menghela napas panjang dan berpikir : "Nikouw tua ini pastilah Thiat Tie Sin Nie dari luar lautan, kalau dipandang sikapnya yang agung dan penuh wibawa, semestinya tiada angkara murka yang terpendam dalam hatinya...
sungguh aneh sekali! Mengapa begitu berjumpa dengan dirinya napsu marah dan kobaran api berangasan yang terpendam dalam dadaku seketika lenyap tak berbekas..." Dalam pada itu sambil membelai rambut It-boen Pit Giok yang hitam pekat, Thiat Tie Sin Nie berkata lembut : "Anakku, sudah kujelajahi seluruh perkampungan Hong Yap San cung ini tetapi sama sekali tak kutemui bayangan tubuh dari si Pendekar Jantan Berkapak Sakti Chee Thian Gak, ditinjau dari keadaan tersebut membuktikan pula kalau Chee Thian Gak bukanlah melarikan diri kemari..." "Aku bukan mencari dirinya," sahut It-boen Pit Giok sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Menurut kabar dunia kangouw yang tersiar luas, Chee Thian Gak adalah Pek In Hoei, tetapi kalau ditinjau dari bukti yang ada di depan mata sekarang Pek In Hoei dan Chee Thian Gak mungkin adalah dua orang yang berbeda..." Thiat Tie Sin Nie alihkan sinar matanya melirik sekejap ke arah Pek In Hoei kemudian menghela napas panjang, ujarnya : "Pit Giok, antara kening bocah ini terdapat bekas telapak darah, ujung bibirnya menunjukkan ia tak kenal budi dan cinta, urusanmu dengan dirinya di kemudian hari sulit untuk diramalkan mulai sekarang, aku hanya berharap janganlah kau meniru keadaan suhumu sekarang..." Berbicara sampai disini ia tertunduk dengan sedih, di atas wajahnya yang agung dan penuh cinta kasih itu terlintas rasa murung yang tebal.
Dengan sedih It-boen Pit Giok gelengkan kepalanya dan membungkam dalam seribu bahasa.
Dalam benak gadis ini kembali terlintas sikap dingin, ketus, angkuh dan jumawa yang diperlihatkan Pek In Hoei sewaktu ada di depan perkampungan Thay Bie San cung, dia pernah menusuk perasaan halusnya dan menyinggung gengsinya sebagai seorang gadis, ia pernah pula mengacaukan pikiran serta perasaan hatinya yang semula tenang bagaikan permukaan telaga.
Sebelum ia menginjakkan kakinya di daratan Tionggoan belum pernah ada persoalan yang merisaukan hatinya, tapi sekarang ia mulai merasakan penderitaan dan siksaan.
Kesemuanya ini Pek In Hoei lah yang memberikan kepadanya, oleh karena itu ia sangat membenci diri si anak muda itu, tetapi ia pun mencintai dirinya...
Pek li Cian Cian melirik sekejap ke arah nikouw tua itu, mendadak tegurnya : "Hey nikouw tua, benarkah barusan kau telah memasuki perkampungan kami?" "Benar, aku hendak mencari ayahmu karena ada suatu urusan penting..." Belum habis ia berkata, dari dalam perkampungan telah berlari datang seorang lelaki kekar.
Di belakang lelaki itu berjalan mengikuti seorang kakek tua beralis tebal berjenggot hitam serta seorang nenek tua yang membawa tongkat hitam terbuat dari baja.
Lelaki tadi segera menuding kemari sementara kakek beralis tebal serta nenek tua itu laksana kilat meluncur datang.
"Hoooree... ayahku datang!" teriak Pek li Cian Cian kegirangan.
Mendengar seruan itu pin terperanjat, sorot cahaya buas memancar keluar dari balik matanya, di ujung bibirnya yang tipis tersungging senyuman dingin dan sadis, diam-diam pikirnya : "Si kakek tua itu mungkin adalah cung cu dari perkampungan ini...
hmmm! si Dukun Sakti Berwajah Seram hampir saja mencabut selembar jiwaku, tunggu saja saatnya, aku pasti akan memberikan sedikit kepadanya..." Sementara itu terdengar Hong Yap cung cu telah menegur sambil tertawa seram : "Siapa yang sedang mencari aku Pek li Khie..." "Omihtohud!" Thiat Tie Sin Nie merangkap tangannya memuji keagungan Buddha lalu sahutnya, "Pek li sicu, apakah kau masih ingat dengan diri Pin-nie..." Begitu melihat nikouw tua itu, air muka Pek li Khie seketika itu juga berubah hebat.
"Kau... kau adalah Thiat Tie Sin Nie...
" Thiat Tie Sin Nie menghela napas panjang.
"Kedatangan Pin-nie jauh-jauh dari laut timur menuju ke daratan Tionggoan semuanya ada tiga persoalan yang akan kuselesaikan, persoalan yang pertama adalah persoalan yang menyangkut peristiwa pembunuhan terhadap It-boen Kiat pemilik peternakan naga putih di wilayah Say-pak pada lima belas tahun berselang..." Begitu disebutkannya peristiwa itu mendadak sekujur badan Pek li Khie gemetar keras, dengan suara bergetar serunya : "Apa sangkut pautnya antara peristiwa berdarah itu dengan perkampungan Hong Yap San cung kami?" "Sewaktu kau bersama It-boen Kiat mengusahakan peternakan Naga putih di wilayah Say pak dahulu ia pernah menyerahkan sebatang 'Pek Sioe Poo Pit' kumala pusaka gajah putih kepada dirimu.
Pin-nie berharap sicu suka memandang atas hubungan persahabatan kalian dengan It-boen Kiat selama banyak tahun suka menyerahkan batang kumala itu kepadaku..." Makin mendengar Pek li Khie semakin terkejut, sambil meloncat mundur dua langkah ke belakang serunya berulang kali : "Tidak ada, tidak ada..." "Sicu, kalau kau berbuat demikian maka tindakanmu itu adalah keliru besar," kata Thiat Tie Sin Nie dengan nada kurang senang, "batang kumala Pek Siok Poo Pit tersebut mempunyai sangkut paut yang amat besar atas asal usul kelahiran muridku It-boen Pit Giok, meskipun benda itu termasuk suatu jenis benda mustika tetapi..."
"Hmmm! Sama sekali tak ada kejadian seperti ini," tukas si Dukun Sakti Berwajah Seram secara tiba-tiba sambil mendengus dingin.
"Pek li cung cu sama sekali tidak mengambil kumala pusaka gajah putih itu, kau suruh ia dapatkan benda itu dari mana untuk diserahkan kepadamu..." Pek In Hoei yang segera teringat kembali atas perbuatan si dukun sakti yang hampir saja mencabut jiwanya dengan racun ulat emasnya, mendengar dia ikut buka suara hawa amarahnya segera berkobar hebat, mendadak ia maju beberapa langkah ke depan lalu bentaknya keras-keras : "Kioe Boan Toh! Ayo cepat bergelinding kemari..." Dukun Sakti Berwajah Seram melengak, rupanya ia tak menyangka kalau seorang pemuda yang masih muda belia berani membentak dirinya secara kasar sebagai seorang jago yang merajai wilayah Biauw, suku-suku liar di situ pun sama-sama menaruh hormat kepadanya apalagi seorang pemuda macam dia, mendengar teriakan yang begitu jumawa amarahnya seketika memuncak.
Dengan badan gemetar keras saking gusarnya ia berseru : "Keparat cilik yang tak tahu diri, rupanya kau sudah bosan hidup di kolong langit..." Sekali enjot badan ia meloncat ke muka, toya baja berwarna hitamnya langsung diayun ke depan diiringi suara desiran tajam yang membelah bumi, dengan suatu gerakan yang mengerikan dia babat tubuh si anak muda itu.
Buru-buru Pek In Hoei menekuk badannya dan loncat ke udara dengan gerakan cepat bagaikan kilat, dengan suatu gerakan yang manis ia berhasil menghindarkan diri dari ancaman tersebut.
"Kioe Boan Toh!" teriaknya setengah menjerit.
"Dengan racun ulat emas kau telah membinasakan Chee Thian Gak, kau harus tahu aku Pek In Hoei adalah sahabat sehidup semati dengan dirinya, ini hari aku akan menuntut balas bagi kematian sahabatku Chee Thian Gak..." Telapak kirinya laksana kilat meluncur ke depan mengirim satu babatan, segulung angin pukulan yang maha dahsyat seketika menggulung keluar memaksa tubuh si Dukun Sakti Berwajah Seram itu terdesak miring dan harus meloncat mundur ke belakang.
Melihat kehebatan lawannya Dukun Sakti Berwajah Seram itu segera mendongak dan tertawa keras.
"Haaaah... haaaah... haaaah... setelah Chee Thian Gak mati, kini muncul lagi seorang Pek In Hoei.
Andaikata aku si Dukun Sakti Berwajah Seram tak berhasil menahan dirimu di dalam perkampungan Hong Yap San cung ini, mulai ini hari aku tak akan muncul lagi di dalam dunia persilatan..." Watak berangasan dari jago kelas satu yang berasal dari wilayah Biauw ini tidak kalah dengan kaum pemuda, setelah menjerit aneh toya bajanya segera diputar di tengah udara hingga menimbulkan kilatan cahaya yang amat tajam, kemudian langsung menghajar ke muka.
Pek In Hoei tarik napas dalam-dalam, ia hendak menggunakan kesempatan di kala ia belum sempat mengeluarkan segala macam ilmu beracunnya untuk mencabut selembar jiwanya dengan menggunakan ilmu sakti Thay Yang Sam Sie, sebab kalau tidak...
Hawa sakti surya kencana dikerahkan mengelilingi badan satu kali, kemudian dihimpun semuanya ke dalam telapak kanan itu perlahan-lahan diangkat tinggi ke tengah udara.
Pek li Cian Cian adalah orang yang paling gelisah di antara semua yang hadir di situ, ia tak menyangka kalau Pek In Hoei segera turun tangan setelah berjumpa dengan gurunya.
Dalam cemasnya ia takut gurunya si Dukun Sakti Berwajah Seram telah melukai si anak muda itu, segera teriaknya : "Pek In Hoei, kau bukan tandingan suhu ku..
ayoh cepat kembali..." Ia merandek sejenak, kemudian sambil menoleh ke arah gurunya ia berteriak lagi : "Suhu...
dia adalah... dia adalah... janganlah kau melukai dirinya..." Pek In Hoei terkesiap, hampir saja tenaga murni yang telah dihimpun itu buyar kembali, ia segera keraskan hatinya dan mendengus dingin, hawa murni disalurkan keluar mengikuti suatu gerakan serangan yang aneh, hawa panas yang amat menyengat badan berbarengan dengan kilatan cahaya yang menyilaukan mata segera menggulung keluar.
"Aaaah..." Mimpi pun si Dukun Sakti Berwajah Seram tak pernah membayangkan Pek In Hoei berhasil menguasai Thay Yang Sin Kang ilmu maha sakti dari negeri tayli, ia merasakan gelombang hawa panas yang luar biasa hebatnya menghantam sekujur badannya membuat ia menjerit ngeri...
dadanya terhajar hangus oleh kilatan cahaya merah yang membara itu dan tak ampun lagi jiwanya melayang meninggalkan raganya.
Dengan wajah amat terperanjat bercampur tercengang, Thiat Tie Sin Nie berseru keras, ia tak percaya kalau seorang pemuda yang masih demikian mudanya ternyata berhasil melatih ilmu ganas yang maha sakti itu hingga mencapai taraf yang begitu sempurna.
Sementara itu Pek li Cian Cian telah menjerit ngeri dengan penuh kesedihan : "Pek In Hoei, kau betul-betul amat kejam..." Si anak muda itu hanya merasakan darah panas bergolak dalam dadanya, rasa penasaran dan mangkel yang semula menyumbat dadanya segera membuyar dan lenyap, ketika ia saksikan kesedihan serta kesengsaraan dari Pek li Cian Cian timbul rasa sedih dalam hati kecilnya, buru-buru ia melengos kemudian enjotkan badan berlalu dari situ.
Memandang bayangan punggung Pek In Hoei yang kian menjauh dari pandangan, It-boen Pit Giok yang selama ini hanya membungkam saja tiba-tiba merasakan golakan perasaan yang sukar dikendalikan; segera dia pun enjotkan badannya menyusul, teriaknya keras-keras : "Pek In Hoei..." Dalam sekejap mata bayangan tubuh kedua orang itu sudah lenyap di balik kegelapan yang mencekam seluruh jagad.
Pada waktu itu Poh Giok cu maju merangsek dan mencengkeram tangan Pek li Khie, serunya : "Kalau kau tidak serahkan kumala pusaka 'Pek Sioe Poo Pi' kepada kami, perkampungan Hong Yap San cung ini akan kami ratakan dengan tanah..." Dengan penuh penderitaan Pek li Khie berteriak keras : "Bukan aku yang mengambil benda itu...
benda itu betul-betul tidak berada disini...
ketika It-boen Kiat menyerahkan benda itu kepadaku tempo dulu Hoa Pek Tuo telah merampasnya dari tanganku..." "Aaaah, jadi kalau begitu kematian dari It-boen Kiat pun ada sangkut pautnya dengan Hoa Pek Tuo..." seru Thiat Tie Sin Nie dengan hati terkejut.
Air muka Poh Giok cu pun berubah hebat, sambil melepaskan Pek li Khie dari cekalannya ia membentak : "Ayoh berangkat, andaikata Hoa Pek Tuo benar-benar tersangkut dalam kasus pembunuhan terhadap pemilik peternakan naga putih di wilayah Say Pak, sekalipun aku harus keluarkan ilmu 'Poh Giok Chie Sie' dia pasti akan kubunuh sampai mati..." Thiat Tie Sin Nie merangkap tangannya memuji keagungan Buddha, kemudian bersama-sama Poh Giok cu berlalu dari situ dan lenyap di balik kegelapan...
..... Angin malam berhembus lembut membelah kesunyian yang mencekam, di tengah malam yang gelap dua belas buah lampu lentera dengan dibagi dalam delapan sudut bergelantungan di sekeliling sebuah telaga besar, membuat permukaan telaga jadi terang benderang.
Di tepi telaga pada saat itu telah dipenuhi oleh para jago yang berdatangan dari seluruh penjuru kolong langit, mereka berdiri dalam suasana yang hening tak seorang pun yang buka suara atau pun bercakap- cakap, semua pandangan mata tercurahkan pada sebuah pagoda di tengah telaga.
Traaaang...! suara lonceng yang nyaring mendadak berkumandang di tengah udara dan mengalun di sisi telinga para jago...
lama sekali suara itu baru sirap kembali...
suasana mulai gaduh dan suara berbisik mulai terdengar menggema dari antara para jago.
Setelah suara lonceng tadi sirap, dari dalam bangunan pagoda di tengah telaga perlahan-lahan berjalan keluar Chin Tong serta Ku Loei dua orang, setibanya di tepi telaga mereka saling berpisah ke kiri kanan dan memandang sekejap ke arah para jago yang hadir di sana.
Terdengar Ku Loei berkata sambil tertawa : "Saudara-saudara sekalian tentu sudah lama menunggu bukan" Dalam pertemuan para enghiong yang diselenggarakan di tepi telaga malam ini, entah para jago dari delapan perguruan tiga partai lima lembah serta sepuluh benteng sudah pada berkumpul semua atau belum..." Suasana di empat penjuru hening dan sunyi untuk beberapa saat lamanya, tiba-tiba terdengar seorang kakek tua dengan suaranya yang serak : "Kecuali orang-orang dari partai Sauw-lim, partai Bu- tong serta partai Thiam cong, boleh dikata semua anak murid perguruan lain telah hadir disini." Bagian 19 MENDENGAR ucapan itu Ku Loei jadi naik pitam, teriaknya dengan penuh kemarahan : "Apa" Ada anak murid perguruan yang tidak ikut menghadiri pertemuan ini" Bukankah di atas surat undangan sudah kami jelaskan bahwa kecuali ciangbunjien-nya sendiri yang hadir orang lain tidak diperkenan ikut datang kemari." Teriakannya yang disertai oleh hawa amarah ini kontan disambut dengan sikap tidak puas oleh para jago lihay dari pelbagai partai serta perguruan, terdengar dengusan dingin berkumandang simpang siur dari antara gerombolan hadirin, seorang pemuda loncat keluar dari barisan adalah segera berteriak keras : "Apa maksud ucapanmu itu" Ciangbunjien kami toh bukan manusia penganggur yang punya banyak waktu luang, apa salahnya kalau dari partai kami diutus para anak muridnya untuk mewakili" Apakah kecuali ciangbunjien sendiri orang lain tak boleh mewakili?" "Hmmm! Siapa kau?" "Anak murid partai Tiong-lam Loe Liang Jien..." "Aku perintahkan kau saat ini juga enyah dari perkampungan Thay Bie San cung, di tempat ini kekurangan satu partai Tiong Lam masih terhitung seberapa, kalau ciangbunjien kalian di dalam tiga hari tidak datang kemari, mohon maaf, Hmmm...
jangan salahkan kami kalau partai kalian secara mendadak menemui bencana kehancuran total." Dengan diucapkannya perkataan semacam ini sudah jelas kemanakah maksud tujuan orang she Chin ini.
Saking gusarnya air muka Loe Liang Jien seketika berubah jadi hijau membesi, ia melangkah maju setindak ke depan, sambil menuding ke arah Chin Tiong makinya : "Partai Tiong-Lam kami sama sekali tidak butuh menjilat pantat kalian orang-orang dari perkampungan Thay Bie San cung, siapa pun tahu sampai dimanakah ambisi kalian untuk mengundang semua partai ini.
Hmmm! Bukankah kamu hendak mengangkangi dunia persilatan" Huuh! Anak murid partai Tiong Lam kami nomor satu yang tidak setuju dan akan selalu menentang maksud kalian itu." Selesai berkata dingin, ia putar badan dan segera berlalu.
Mengikuti tindakannya tersebut lima enam orang jago lihay dari pelbagai partai segera ikut berlalu pula dengan wajah penuh kegusaran.
Melihat tingkah laku orang-orang itu, Chin Tiong segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak " "Haaaah...
haaaah... haaaah... siapa yang berani berlalu dari sini mengikuti jejak anak murid dari partai Tiong-Lam itu, berarti pula menjadi musuh dari perkampungan Thay Bie San cung kami, asal sesudah melewati malam ini kalian akan tahu sampai dimanakah kelihayan dari kami perkampungan Thay Bie San cung..." Sebagian besar para jago yang diundang untuk menghadiri pertemuan para jago pada malam ini boleh dikata menaruh rasa jeri terhadap pengaruh serta kekuasaan Perkampungan Thay Bie San cung, meskipun di dalam hati mereka merasa tidak puas tetapi teringat akan kelihayan dari sepasang iblis yang berasal dari samudra Seng Sut Hay, terpaksa semua orang harus menekan kobaran hawa amarah serta rasa tidak puas itu di dalam hati saja, tak seorang pun yang buka suara atau pun membantah.
"Ngaco belo! ngaco belo!" Dari dalam bangunan pagoda air di tengah telaga berkumandang suara bentakan nyaring, dengan ketakutan Chin Tiong serta Ku Loei tundukkan kepalanya dengan sikap menghormat, mereka tak berani mendongak lagi...
Bersamaan dengan menggemanya suara bentakan tadi, Si Iblis Sakti Berkaki Telanjang Kong Yo Leng beserta istrinya si Iblis Khiem Kumala Hijau Mie Liok Nio munculkan diri dari balik ruangan.
Ciak Kak Sin Mo menjura lebih dulu ke para jago yang hadir di sisi telaga, kemudian teriaknya dengan suara keras : "Harap saudara-saudara sekalian suka memaafkan diri muridku yang terlalu angseran serta berangasan itu, bilamana sudah menyalahi saudara sekalian mohon dimaafkan sebesar-besarnya, mengenai persoalan diselenggarakannya pertemuan para jago pada malam ini, mungkin sudah terjadi kesalahpahaman di antara kalian..." Ia merandek sejenak, kemudian terusnya : "Ada pun tujuan siauw te mengundang saudara sekalian untuk jauh-jauh berkumpul di dalam perkampungan Thay Bie San cung pada malam ini bukan lain adalah untuk mengajak saudara-saudara sekalian merundingkan satu masalah yang cukup serius, kalian tentu tahu bukan bahwa di dalam tubuh partai besar yang bercokol di dalam dunia persilatan seringkali terjadi pertumpahan darah hanya disebabkan satu persoalan kecil saja, pertumpahan darah itu seringkali menggoncangkan ketenteraman serta ketenangan dunia kangouw, untuk menghindarkan diri dari kekacauan-kekacauan yang tidak diharapkan itu maka sengaja siauwte undang saudara sekalian untuk berkumpul disini membicarakan masalah tersebut, aku berharap agar cuwi sekalian dapat memilih seorang pemimpin untuk menduduki kursi Beng cu khusus untuk menangani masalah yang menyangkut soal pertumpahan darah tersebut."
"UCAPAN Kong-yo heng sedikit pun tidak salah," sahut seseorang di antara para jago yang hadir dengan suara serak bagaikan tong bobrok.
"Aku rasa di daratan Tionggoan dewasa ini tiada seorang pun yang cocok untuk menduduki kursi jabatan tertinggi itu kecuali kalian suami istri berdua..." Ucapan orang ini terlalu terang-terangan dan menyolok sekali, seketika itu juga memancing rasa benci dan tidak puas di kalangan sebagian besar para jago.
Ketika semua orang menoleh ke arah si pembicara tadi, maka segera dikenalilah orang itu sebagai si tangan kilat Im Boe Kie dari partai Khong-tong pay, seorang lelaki kekar berwajah penyakitan segera mendengus dingin, sambil berjalan menghampiri Im Boe Kie si tangan kilat tersebut tegurnya dengan suara keras : "Manusia macam apakah kau ini Hmmm! Berani betul sembarangan kentut disini..." Si Tangan Kilat Im Boe Kie menoleh dan memandang ke atas wajah berwajah penyakitan itu, tapi sedetik kemudian ia sudah gemetar keras karena ketakutan, ia merasa betapa tajam dan seramnya pandangan mata orang itu sehingga membuat jantungnya berdebar keras.
Tapi ia pun tak mau unjuk kelemahan di hadapan orang, segera dengusnya dingin.
"Siapa kau" Berani betul mengutarakan perkataan yang begitu tak tahu diri terhadap diriku?" "Hmmm, terhadap manusia hina seperti kau rasanya aku tak usah tahu diri atau sungkan-sungkan lagi..." Si tangan kilat Im Boe Kie meraung gusar, sebuah telapak tangannya segera dibabat datang.
Dengan julukannya sebagai si tangan kilat, serangannya ini boleh dibilang dilancarkan dengan kecepatan yang luar biasa, sekali berkelebat tahu- tahu angin pukulan sudah melanda datang.
Siapa sangka lelaki kasar yang membungkam selama ini memiliki tenaga lweekang yang amat tinggi, sedikit badannya mengigos tahu-tahu bayangan telapak lawan sudah berhasil dihindar, tangannya menyambar dan kali ini tubuh Im Boe Kie si tangan kilat itulah yang tersambar dan terlempar ke tengah udara, bentaknya : "Enyah kau dari sini..." Di bawah sorot cahaya lampu, tampaklah tubuh si tangan kilat Im Boe Kie meluncur sejajar di tengah udara dan langsung meluncur ke arah bangunan pagoda di tengah telaga itu persis melayang turun di hadapan sepasang iblis dari samudra Seng Sut Hay.
"Im Heng, jangan gugup aku segera datang menolong," bentak Ciak Kak Sin Mo Kong Yo Leng dengan suara keras.
Kakinya bergeser selangkah ke depan diikuti telapak tangannya menyambar ke tengah udara, terhisap oleh segulung tenaga yang maha hebat seluruh tubuh Im Boe Kie si tangan kilat itu sudah meluncur ke arah tangannya.
Dalam pada itu air muka Im Boe Kie telah berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sepatah kata pun tak sanggup ia utarakan keluar.
Sambil menurunkan tubuh si tangan kilat Im Boe Kie ke atas tanah, Kong Yo Leng tertawa seram dan berkata : "Sungguh lihay ilmu silat yang dimiliki Heng-thay ini! Hmmm...hmmm...
kau berani menimbulkan gara-gara di dalam perkampungan Thay Bie San cung kami, bukankah hal itu berarti pula tidak memandang sebelah mata pun terhadap orang-orang yang ada di dalam perkampungan Thay Bie San cung"...
sekarang mumpung berada di hadapan para jago dari kolong langit aku hendak menuntut keadilan dengan dirimu..." "Ciis...! perkampungan Thay Bie San cung terhitung manusia-manusia macam apa?" jengek lelaki kekar itu dengan suara ketus, sedikit pun tidak nampak rasa jeri di atas wajahnya.
"Seandainya toa-ya jeri terhadap kalian sepasang iblis dari samudra Seng Sut Hay, tidak nanti aku bisa datang kemari..." "Criiing...
criiiing..." Dua rentetan sentilan irama khiem bergema memenuhi angkasa, sambil mendengus dingin si Iblis Khiem Kumala Hijau maju dua langkah ke depan, ke- lima jarinya mencekal di atas senar khiem sementara matanya dengan sorot cahaya tajam mengawasi lelaki itu tanpa berkedip serunya : "Siapa kau" Kalau kau berani mencari gara-gara di dalam perkampungan Thay Bie San cung ini berarti kau mencari penyakit buat diri sendiri..." "Kepandaian permainan khiem yang kau miliki dan disebut-sebut sebagai maha sakti dari kolong langit itu sudah lama pernah kucoba kelihayannya," ujar lelaki dengan wajah dingin.
"Huuuh! kalau hanya ingin mengandalkan kekuatan dari kalian sepasang iblis dari samudra Seng Sut Hay, tak nanti bisa mengapa- apakan diriku." Ia merandek sejenak, kemudian hardiknya keras- keras : "Cepat panggil Hoa Pek Tuo suruh keluar..." Sikap serta tingkah lakunya yang sombong serta jumawa ini kontan membuat Chin Tiong yang berdiri di belakang Ciak Kak Sin Mo Kong Yo Leng mencak- mencak saking gusarnya, sambil berkaok-kaok marah teriaknya : "Keparat Cilik, kau anggap nama Hoa Pek Tuo pun bisa kau sebutkan dengan seenaknya..." Sembari berseru badannya menerjang ke depan, dengan melangkah di atas gulungan ombak pada permukaan telaga ia langsung menyerbu tubuh lelaki kekar itu.
Sebuah pukulan diiringi deruan angin serangan yang amat tajam kontan dilancarkan menghajar dada lawan.
"Haaaah... haaaah...

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

haaaah... Chin Tiong, kalau aku tidak membiarkan kau mati disini, maka aku tak akan terhitung manusia berdarah dingin," seru lelaki itu sambil tertawa terbahak-bahak.
Tampak tubuhnya berkelit dengan enteng ke samping lalu mundur lima depa ke belakang sambil mendengus dingin telapaknya membabat keluar, segulung hawa desiran yang luar biasa dahsyatnya dengan cepat menyapu ke arah depan.
Chin Tiong sama sekali tidak memandang sebelah mata pun terhadap lelaki ini, ketika dilihatnya angin pukulan lelaki tersebut kendati sangat dahsyat namun tidak lebih hanya terbatas sebagai seorang jago kelas satu segera tertawa dingin tiada hentinya.
Mendadak tubuhnya menjongkok ke bawah, dari kepalan serangannya berubah jadi pukulan telapak, menyongsong datangnya gulungan angin pukulan itu ia sambut dengan keras lawan keras.
"Blaaam...! Di tengah udara terjadi suara ledakan amat dahsyat yang menggetarkan seluruh permukaan bumi, para jago yang memenuhi tepi telaga itu seketika merasakan telinganya mendengung keras, begitu dahsyat hasil bentrokan tersebut sehingga membuat ujung baju semua orang tertiup kencang dan berkibar tiada hentinya.
Chin Tong mundur dengan sempoyongan, namun sambil tertawa tergelak segera serunya kembali : "Keparat cilik, seranganku kali ini akan mencabut selembar jiwa anjingmu..." Ia tarik napas dalam-dalam, mendadak telapak kanannya diangkat ke tengah udara.
Segera lapat-lapat dari atas telapak tangannya itu muncul selapis hawa hitam yang tebal, kemudian perlahan-lahan ditabokkan ke atas tubuh lelaki tersebut.
Air muka lelaki itu berubah membesi, selintas pikiran dengan cepat berkelebat dalam benaknya,ia berpikir : "Seumpama kata aku hendak membinasakan diri Chin Tiong maka aku harus menggunakan kesempatan di kala ia belum tahu siapakah diriku, melancarkan serangan dengan ilmu Thay Yang sam Sie dengan demikian sebelum ia sadar siapakah aku tubuhnya sudah hangus termakan oleh serangan dahsyatku itu..." Ingatan tersebut bagaikan sambaran kilat cepatnya berkelebat dalam benaknya, buru-buru ia himpun segenap tenaga dalam yang dimilikinya ke atas telapak kanannya, kemudian hawa murni yang ada di dalam tubuh diatur mengelilingi badan sebanyak satu kali, tubuhnya maju tiga langkah ke depan dan telapak kanannya dibabat ke bawah secepat kilat.
Mendadak sekilas cahaya merah membara yang amat menyilaukan mata memancar keluar dari balik telapak lelaki kekar itu, begitu tajam pukulan cahaya merah membara itu sampai membuat pandangan Chin Tiong terasa kabur, ia tak tahu kepandaian apakah yang sedang dipergunakan pihak lawannya.
Kedua belah pihak sama-sama menghimpun segenap kekuatan yang dimilikinya ke atas telapak, kemudian pada saat yang bersamaan mendorongnya ke arah depan.
"Blaaam...!" Segulung aliran hawa panas yang menyengat badan meluncur ke depan menghapuskan gulungan angin serangan Chin Tiong yang dahsyat dan langsung menerjang ke atas dadanya...
Ia menjerit ngeri... suaranya seram menyayatkan hati, tubuhnya yang tinggi besar berkelejotan beberapa kali di atas tanah bagaikan ayam yang baru disembelih kemudian menggeletak tak berkutik dan melayanglah selembar jiwanya menghadap Raja Akhirat.
Segumpal darah kental berwarna merah kehitam- hitaman meleleh keluar dari tujuh lubang inderanya, sebuah bekas telapak tangan yang nyata tertera tepat di atas dadanya, pakaian yang hangus terbakar menyiarkan bau sangit yang memualkan, ditinjau dari tanda-tanda tersebut jelas sekali menunjukkan bila kematiannya adalah disebabkan karena terbakar oleh hawa panas yang luar biasa.
Kematian Chin Tiong dalam keadaan mengerikan ini menggetarkan hati seluruh jago lihay dari pelbagai partai yang hadir di tempat itu, siapa pun tak bisa menduga kepandaian silat apakah yang telah dipergunakan lelaki itu untuk melakukan pembunuhan tersebut, bahkan tak seorang pun yang tahu lelaki kekar itu berasal dari perguruan atau partai mana.
Tapi dalam hati kecilnya pada saat bersamaan mempunyai satu pendapat yang sama, mereka pada berpikir : "Sejak kapan di dalam dunia persilatan telah muncul seorang jago lihay seperti ini..." Baik si Iblis Sakti Berkaki Telanjang Kong Yo Leng maupun si Iblis Khiem Kumala Hijau Mie Liok Nio pada saat yang bersamaan sama-sama dibikin tertegun dan melengak oleh peristiwa yang terjadi di luar dugaan ini, mimpi pun mereka tak pernah menyangka kalau lelaki kekar yang selalu membungkam dan jarang berbicara itu ternyata memiliki kepandaian silat yang maha dahsyat dan maha sakti.
Bibir Kong Yo Leng bergetar tiada hentinya, terdengar ia bergumam seorang diri dengan suara lirih : "Thya Yang sinkang...
Thay Yang Singkang..." "Hey tua bangka sialan, apa kau bilang?" bentak Mie Liok Nio dengan nada gusar.
"Kepandaian tersebut adalah ilmu silat Thay Yang Sam-sie...
" sahut Kong Yo Leng dengan wajah berubah hebat.
"Apa?" Iblis Khiem Kumala Hijau maju selangkah ke depan.
"Kepandaian tersebut adalah ilmu sakti Thay Yang Sam-sie..." Ia tak habis mengerti dan tak dapat menduga manusia kangouw manakah yang sanggup menggunakan ilmu Thay Yang Sin Kang yang tersohor karena keganasan serta kedahsyatannya itu, biji matanya langsung berputar dan dialihkan ke atas tubuh lelaki kekar itu.
Dalam pada itu ketika Ku Loei menyaksikan Chin Tiong menemui ajalnya dalam keadaan mengerikan di tangan kekar itu, bagaikan orang sinting segera berteriak-teriak keras, tanpa berpikir panjang ia segera menerjang ke arah tepi telaga.
"Keparat cilik serahkan nyawamu..." raungnya dengan penuh kegusaran.
Si Iblis Sakti Berkaki Telanjang Kong Yo Leng jadi sangat terperanjat ketika menyaksikan perbuatan Ku Loei, buru-buru hardiknya dengan suara berat : "Ku Loei, ayoh cepat kembali ke sini!" Jago lihay dari laut Seng Sut Hay ini tidak malu disebut gembong iblis yang tersohor di kolong langit, ia tahu kemunculan lelaki kekar secara mendadak di tempat itu pastilah bukan disebabkan oleh karena suatu persoalan yang sederhana, karena itu sambil menekan hawa amarah serta kobaran napsu membunuh yang berulang kali memancar ke dalam benaknya, dengan gesit meloncat ke muka.
Karena dibentak oleh iblis tersebut terpaksa Ku Loei mundur dua langkah ke belakang, sementara sorot matanya dengan penuh diliputi napsu membunuh menatap lelaki kekar itu tanpa berkedip.
"Ku Loei," terdengar lelaki kekar itu menjengek sambil tertawa dingin tiada hentinya.
"Apakah kau pun ingin coba menjajal kepandaian silatku?" Kong Yo Leng segera tertawa dingin, serunya ketus : "Dengan andalkan kepandaian silat yang kau miliki sekarang, tidak sulit bagimu untuk angkat nama di pelbagai tempat, tapi seandainya kau ingin menjual lagak di dalam perkampungan Thay Bie San cung ini...
Hmm... hmmm... maka perhitungan sie-poamu itu merupakan suatu kesalahan yang amat besar..." "Cuuuuh!..." lelaki kekar itu meludah ke atas lantai.
"Kong Yo Leng! terus terang kuberitahukan kepadamu, aku adalah toa suheng dari si Pendekar Jantan Berkapak Sakti Chee Thian Gak, setelah menemui ajalnya terkena tangan keji dari Hoa Pek Tuo serta Kioe Boan Toh si dukun sakti berwajah seram, maka ini hari sengaja aku datang kemari untuk menuntut balas..." Kong Yo Leng melengak, ia tidak menyangka setelah kematian dari Pek In Hoei muncul seorang jago yang bernama Chee Thian Gak, dan sekarang muncul lagi seorang kakak seperguruan dari Chee Thian Gak, di balik peristiwa ini sebenarnya apa yang telah terjadi" Dengan wajah tercengang segera tegurnya : "Kau adalah kakak seperguruan dari Chee Thian Gak..." iblis ini segera tertawa dingin.
"Sekalipun maksud kedatanganmu kemari adalah untuk menuntut balas, sudah semestinya kalau kau datang secara terang-terangan dan blak-blakan, tindakanmu membunuhi manusia yang ada di dalam perkampungan Thay Bie San cung termasuk tindakan dari seorang enghiong hoohan macam apa" Mumpung berada di hadapan para jago dari seluruh kolong langit, aku akan menuntut keadilan dari dirimu..." Mendengar ucapan tersebut lelaki kekar tadi segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak : "Haaaah...
haaaah... haaaah... Kong Yo Leng, siapa pun tahu bahwa kau serta Hoa Pek Tuo mempunyai ambisi besar untuk menguasai seluruh dunia persilatan, ini hari kecuali aku datang untuk menuntut balas di samping itu akan kubeberkan pula semua niat busuk serta rencana busuk kalian kepada seluruh umat Bu-lim..." Sekujur badan Kong Yo Leng bergetar keras, segera pikirnya : "Aaaaah, rupanya persoalan kami yang berhasil diketahui bangsat ini terlalu banyak, malam ini andaikata ia berhasil membeberkan semua rahasia dan rencana besar perguruan Liuw-sah Boen kami ke seluruh dunia, kerja susah payahku selama hampir dua puluh tahun lamanya ini bukankah akan sia-sia belaka" Bahkan mungkin saja malah akan memancing rasa permusuhan dari orang-orang pelbagai partai terhadap diriku.
Bagaimanapun juga aku tak boleh melepaskan keparat cilik ini berlalu dari sini dalam keadaan hidup, tapi aku pun tak dapat membinasakan dirinya di hadapan orang banyak...
lalu... lalu... apa yang harus kulakukan demi menyelamatkan karierku ini..." Sementara gembong iblis ini masih berputar otak untuk mencari jalan bagaimana caranya melenyapkan lelaki kekar ini, mendadak di tengah kegelapan malam yang mencekam seluruh jagad berkumandang datang suara tertawa dingin yang menggidikkan hati, diikuti munculnya seorang manusia berkerudung hitam meluncur ke dalam kalangan.
Begitu munculkan diri manusia berkerudung hitam itu langsung ayunkan telapak tangannya mengirim satu babatan dahsyat ke arah lelaki kekar tersebut.
Menyaksikan munculnya manusia berkerudung itu, Kong Yo Leng jadi sangat kegirangan, pikirnya : "Hoa Pek Tuo benar-benar seorang manusia luar biasa, ia tahu kalau aku tak dapat turun tangan secara terang-terangan, ternyata ia bisa muncul dengan jalan menyaru untuk melenyapkan bangsat sialan ini..." Sementara itu pertarungan di tengah kalangan berlangsung dengan serunya, dalam sekejap mata lelaki kekar itu telah saling bertukar pukulan sebanyak sembilan belas jurus dengan manusia berkerudung hitam itu, tapi untuk beberapa saat lamanya siapa pun tak sanggup untuk membinasakan pihak lawannya.
Mendadak lelaki kekar itu menghindar lalu mundur ke belakang, bentaknya keras : "Kau adalah Hoa Pek Tuo!" Sinar mata manusia berkerudung hitam itu berkilat bengis, sekujur tubuhnya bergetar keras tapi sambil tertawa seram serunya : "Hmmmm...
hmmmmm.... siapakah Hoa Pek Tuo itu?" "Hmmm! Bukankah kau takut aku membongkar niat busuk kalian di hadapan umum maka sekarang berusaha untuk melenyapkan diriku dari muka bumi" Hoa Pek Tuo! dari sorot matamu aku sudah tahu akan perasaan hatimu saat ini..." "Hmm...
keparat cilik, tiada gunanya banyak bacot di tempat ini..." Rupanya manusia berkerudung hitam itu merasa teramat gusar oleh tingkah laku lawannya, sambil membentak keras tubuhnya segera meloncat ke depan, telapak kirinya sambil berputar membentuk satu lingkaran busur segera dihantamkan ke depan, sementara telapak kanannya dengan jurus 'Ngo Teng Kay San' atau Ngo Teng membuka gunung membabat tubuh lawan.
Dengan sebat dan gesit lelaki kekar itu berkelejit ke tengah udara, setelah berhasil menghindarkan diri dari dua buah serangan lawan, tubuhnya berjumpalitan di tengah udara kemudian kaki kiri dan kaki kanannya secara mendadak melancarkan tendangan berantai.
"Aaaah dia..." mendadak si Iblis Khiem Kumala Hijau menjerit lengking.
"Dia adalah Pek In Hoei..." Mendengar jeritan itu lelaki kekar yang sedang melangsungkan pertarungan sengit di kalangan itu seketika bergetar keras tubuhnya, seakan-akan ia merasa terkejut oleh teriakan itu.
Tapi hanya sejenak saja sebab secara tiba-tiba sambil tertawa terbahak- bahak tubuhnya berkelebat ke samping dan mengundurkan diri ke belakang, tangannya dengan cepat menggosok ke atas wajah sendiri dan muncullah raut wajahnya yang tampan menawan hati itu.
Sedikit pun tidak salah, dia bukan lain adalah si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei adanya.
Sambil menarik kembali gelak tertawanya Pek In Hoei berteriak keras : "Seandainya sejak tadi kalian sudah tahu akan kehadiranku, maka tak nanti suasana sedemikian hening dan tenangnya..." Pada saat itulah seorang lelaki berlari datang dengan cepatnya dan membisikkan sesuatu ke sisi telinga Ku Loei dengan suara lirih.
Air muka Ku Loei seketika berubah hebat, dengan wajah penuh kegusaran serunya : "Apa" Tiga dewa dari luar lautan telah datang..." Dalam pada itu manusia berkerudung hitam itu sedang saling menyerang dengan serunya melawan Pek In Hoei ketika secara mendadak bahwasanya Tiga dewa dari luar lautan telah datang, sekilas perasaan aneh muncul dari balik sorot matanya.
Dengan gugup dia melirik sekejap keluar perkampungan, kemudian sambil mengirim satu pukulan memaksa mundur Pek In Hoei serunya : "Hey manusia she Pek, hutang piutang di antara kita baiknya diperhitungkan di kemudian hari saja..." Habis berkata tubuhnya berkelebat melarikan diri dari ke tempat kegelapan, bagaikan suka gentayangan saja dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas, siapa pun tak berhasil melihat jelas dengan cara apakah dia berlalu dari situ.
Serentetan senyuman hambar tersungging di ujung bibir Pek In Hoei, sorot mata penuh napsu membunuh terpancar dari balik matanya sambil memandang wajah Ku Loei yang diliputi hawa amarah jengeknya : "Hey manusia she Ku, bukankah suhengmu telah modar" Apa arti kau hidup seorang diri di kolong langit" Aku lihat lebih baik kau segera menyusul dirinya saja!" Dengan pandangan dingin Ku Loei melirik sekejap ke arahnya tapi sikapnya seolah-olah sama sekali tidak mendengar jengekan tersebut bahkan perlahan-lahan menarik kembali pandangan matanya.
Sikap yang aneh dan di luar dugaan ini seketika membuat Pek In Hoei jadi tertegun, ia tidak menyangka kalau Ku Loei bakal tidak menggubris dirinya.
Sudah tentu si anak muda itu tak pernah menyangka kalau pada saat yang bersamaan orang she Ku ini sedang menggunakan akal serta kecerdikannya untuk membuat suatu rencana keji guna membinasakan dirinya serta membalas dendam bagi kematian Chin Tiong.
Perlahan-lahan Pek In Hoei alihkan sinar matanya menyapu sekejap para jago dari pelbagai partai yang berkumpul di tepi telaga, ia lihat berpuluh-puluh pasang mata saat itu telah tercurahkan semua keluar pintu perkampungan.
Diam-diam ia menghela napas panjang, pikirnya : "Aaaai...! Bagaimanapun juga nama besar dari Hai Gwan Sam San tiga Dewa dari luar lautan jauh berbeda dari siapa pun, terbukti dari sikap para jago lihay ini, begitu mendengar kehadiran dari ketiga orang dewa tersebut seluruh perhatian mereka segera dicurahkan ke situ..." Belum habis berpikir, tampaklah Thiat Tie Sin Nie serta Poh Giok cu di bawah pimpinan seorang lelaki yang membawa jalan perlahan-lahan munculkan diri di tempat itu.
Ketika tiba di tepi telaga, sambil memandang si Iblis Sakti Berkaki Telanjang Kong Yo Leng terdengar Poh Giok cu menegur : "Hey kau si bocah keparat yang tidak suka memakai sepatu, ayoh cepat undang keluar Hoa Pek Tuo,katakanlah aku si Poh Giok cu datang menjenguk dirinya..." Sepanjang hidupnya si Iblis Sakti Berkaki Telanjang Kong Yo Leng selalu bersikap jumawa dan tinggi hati, belum pernah ada orang yang berani memaki dirinya dengan kata-kata seperti itu, tapi setelah menjumpai kehadiran dari Poh Giok cu serta Thiat Tie Sin Nie sikap bengis dan sombongnya itu seketika lenyap tak berbekas, seolah-olah ia berjumpa dengan tandingan yang paling ditakutinya.
Terdengar ia menjawab dan sikap sangat menghormat : "Boanpwee tidak tahu kalau Sian jien berdua telah berkunjung kemari, atas penyambutan kami yang rada terlambat harap Sian Jien berdua suka memaafkan!" S Iblis Khiem Kumala Hijau Mie Liok Nio merasa sangat tidak puas dengan sikap suaminya yang lemah dan tunduk menghormat, ia segera mendengus dingin sambil tegurnya dengan nada aneh : "Tua bangka sialan,siapa suruh kau bersikap jeri macam cucu kura-kura begitu..." Sinar mata Thiat Tie Sin Nie berkilat, ia memandang sekejap perempuan iblis itu lalu serunya sambil menghela napas : "Mie Liok Nio, ternyata hingga kini tabiatmu yang angseran sama sekali tidak berubah!" "Heeeh...
heeeh... heeeh... usiaku sudah begini tuanya, kenapa mesti berubah?" "Taaaang..." Serentetan suara genta yang nyaring dan berat berkumandang di angkasa memecahkan kesunyian yang mencekam malam itu, dari sudut sebelah barat perkampungan Thay Bie San cung tiba-tiba muncul enam bayangan lampu lentera, barisan lampu lentera itu perlahan-lahan bergerak mendekat dan tidak lama kemudian telah tiba di tepi telaga.
Enam orang bocah berbaju putih dengan masing- masing membawa sebuah lentera merah berjalan di paling depan, di belakang mereka adalah sebuah tandu besar yang digotong oleh empat orang lelaki kekar, Hoa Pek Tuo sambil duduk di dalam tandu dengan pandangan dingin melotot sekejap ke arah Thiat Tie Sin Nie.
"Omihtohud... " Nikouw tua itu segera merangkap tangannya memuji keagungan Buddha, senyuman manis tersungging di atas wajahnya, dan ia segera mengangguk perlahan ke arah manusia she Hoa itu.
Hoa Pek Tuo mendengus dingin, ia tidak menggubris atau menegur, mulutnya tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Sedangkan Poh Giok cu segera mendengus dingin, di atas wajahnya yang tenang tiba-tiba muncul suatu perubahan aneh yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, seakan-akan ia menunjukkan kesedihan yang tak terhingga.
Hoa Pek Tuo mencibirkan bibirnya, kepada Pek In Hoei jengeknya ketus : "Hmm, rupanya kau belum modar?" Ucapan ini seketika membuat hawa amarah yang terpendam dalam dada Pek In Hoei terasa hendak menerjang keluar, ia tarik napas panjang-panjang untuk menekan gejolak jiwanya itu, sedangkan pelbagai ingatan terutama pemandangan di kala ia disiksa dan dianiaya oleh Hoa Pek Tuo satu demi satu muncul kembali dalam benaknya.
Si anak muda itu segera mendengus dingin : "Hmmm! Aku si Jago Pedang Berdarah Dingin selamanya tak akan mati, kau pasti merasa amat kecewa bukan..." Hoa Pek Tuo tidak menyahut, ia cuma tersenyum lalu ulapkan tangannya, tandu ia pun segera berhenti di hadapan Poh Giok cu.
Perlahan-lahan kakek she Hoa itu melangkah turun dari dalam tandunya.
Kepada Poh Giok cu sembari menjura memberi hormat, ujarnya sambil tertawa seram : "Suheng, semenjak berpisah di laut Tang Hai hingga kini..." Pek In Hoei terperanjat, ia tidak menyangka Hoa Pek Tuo yang sudah banyak melakukan kejahatan serta perbuatan terkutuk itu ternyata bukan lain adalah saudara seperguruan dari Poh Giok cu, diam-diam ia merasa gelisah sendiri, pikirnya : "Aduuuh celaka, seandainya Poh Giok cu bekerja sama dengan Hoa Pek Tuo untuk menghadapi diriku, malam ini aku pasti akan menemui ajalnya di dalam perkampungan Thay Bie San cung ini..." Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, Poh Giok cu telah mendengus dingin : "Hmmm! Kau masih ingat dengan aku yang menjadi kakak seperguruanmu ini?" Hoa Pek Tuo tertawa seram.
"Haaaah... haaaah... haaaah... perkataan apakah ini" Kendati aku Hoa Pek Tuo sudah melepaskan diri dari perguruan Ciat It-boen, tapi atas budi kebaikan yang pernah Toa suheng limpahkan terhadapku, hingga kini tak pernah kulupakan barang sekejappun, setiap saat aku selalu mengingatnya terus..." Pek In Hoei dapat memahami kelicikan, kekejian serta kesadisan hati Hoa Pek Tuo, mendengar sampai di situ dengan nada menghina segera timbrungnya : "Benar, setiap saat kau selalu teringat bagaimana caranya membinasakan orang-orang yang tidak tunduk kepadamu, agar paku di depan mata bisa cepat-cepat dilenyapkan, bukankah begitu hey manusia she Hoa" Haaaah...
haaaah... haaaah... " Kontan Hoa Pek Tuo melototkan matanya bulat-bulat dan memancarkan cahaya bengis dengan gusar bentaknya : "Kau tahu tempat apakah ini" Hmmm jangan dianggap kau punya hak untuk ikut berbicara..." Pek In Hoei mendengus dingin teriaknya : "Hoa Pek Tuo, aku hendak membinasakan dirimu..." Sembari berbicara...
wwesss! sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke arah kakek tua itu.
Dengan enteng Hoa Pek Tuo berkelit ke samping, serunya ketus : "Lebih baik kau segera enyah dari sini, suatu ketika utang piutang di antara kita berdua pasti akan kubereskan..." "Lebih baik sekarang juga kita bereskan hutang piutang di antara kita berdua itu," seru Pek In Hoei sambil melangkah maju ke depan dengan tindakan lebar.
Si Iblis Sakti Berkaki Telanjang Kong Yo Leng segera mendengus dingin, ia geser badannya dan menerjang ke depan menghadang jalan pergi si anak muda itu, tapi Hoa Pek Tuo keburu goyangkan kepalanya maka terpaksa Iblis Sakti Berkaki Telanjang itu menghentikan gerakan tubuhnya.
Terdengar Poh Giok cu berkata lagi sambil tersenyum : "Sute, setelah bertemu dengan suhengmu, kenapa kau tidak menyambut kedatanganku dengan menuruti adat istiadat perguruan kita..." Air muka Hoa Pek Tuo berubah hebat, buru-buru jawabnya : "Aku telah melepaskan diri dari perguruan Ciat It- boen, menyebut dirimu sebagai Suheng tidak lain karena aku tak pernah melupakan budi kebaikanmu pada masa yang silam, tapi kalau kau hendak maksa diriku untuk menuruti peraturan perguruan...
Hmmm! Hmmm! terpaksa aku pun tak akan mengakui dirimu sebagai Toa Suheng lagi..." Air muka Poh Giok cu berubah menjadi dingin, bentaknya : "Kau hanya diusir dari laut Tang Hay dan belum pernah melepaskan diri dari ikatan perguruan Ciat It- boen, apabila kau bersikeras mengatakan bahwa dirimu sudah bukan anak murid dari perguruan Ciat It- boen lagi, maka terpaksa aku akan mewakili suhu untuk menarik kembali ilmu silat yang telah diwariskan kepadamu dari perguruan kami..." Sinar mata bengis memancar keluar dari balik mata Hoa Pek Tuo, ia melirik sekejap ke arah Thiat Tie Sin Nie kemudian secara tiba-tiba mendongak dan tertawa terbahak-bahak : "Haaaah...
haaaah... haaaah... Toa Suheng," serunya sinis, "keadaanku pada hari ini jauh berbeda dengan keadaan pada masa lampau, aku takut kau belum mempunyai kemampuan sehebat itu..." "Kau terlalu jumawa!" bentak Poh Giok cu gusar.
Kepergiannya meninggalkan luar lautan kali ini tujuan yang terpenting baginya adalah menyelesaikan persoalan pribadi dalam perguruannya, kini setelah menyaksikan Hoa Pek Tuo sama sekali tidak memandang sebelah mata pun terhadap dirinya, hawa amarah kontan memuncak, sambil membentak gusar dari tempat kejauhan ia lancarkan sebuah pukulan dahsyat.
Air muka Hoa Pek Tuo berubah serius, ia mendengus berat : "Toa suheng, apakah kau benar-benar hendak memusuhi diri siauw te?"..." Dia mengerti ilmu pukulan 'Poh Giok Chiet Sih' dari Toa suhengnya adalah kepandaian hawa sakti dari dunia persilatan, manusia yang ada di kolong langit tak ada beberapa orang banyaknya yang sanggup menahan tujuh pukulan berantainya ini, maka ia tak berani bertindak gegabah.
Sambil tarik napas dalam-dalam ia mundur selangkah ke belakang, kemudian ayunkan telapak tangannya melancarkan pula sebuah pukulan! "Blaaam...!" di tengah suara bentrokan yang amat dahsyat, para jago lihay dari pelbagai partai yang ada di sekeliling tempat itu merasakan dadanya seakan- akan terhantam oleh martil besar, beberapa orang jago yang rendah tenaga lweekangnya kontan muntah darah segar saking tak kuat menahan goncangan dahsyat itu.
"Omihtohud!" Thiat Tie Sin Nie merangkap tangannya memuji keagungan sang Buddha, kemudian teriaknya keras-keras : "Para enghiong hoohan dari seluruh kolong langit, inilah ilmu pukulan Poh Giok Chiet Sih yang dapat melukai orang tanpa berwujud.
Bagi mereka yang tak ada urusan di tempat ini segeralah mengundurkan diri dari perkampungan Thay Bie San cung daripada terkena bencana besar yang mengakibatkan kematian."
Walaupun dalam hati kecilnya para jago dari pelbagai partai itu ingin sekali menyaksikan kepandaian maha sakti dari luar lautan, apa lacur tenaga lweekang dari kedua belah pihak terlalu sempurna dan hebat bagi mereka, maka setelah mendengar peringatan tersebut sambil menghela napas panjang karena kecewa orang-orang itu segera mengundurkan diri dari situ dan berlalu dari perkampungan Thay Bie San cung.
Sementara itu setelah Poh Giok cu melancarkan sebuah pukulan maut dengan ilmu Poh Giok Chiet Sih yang memakan banyak kekuatan hasil latihan selama ratusan tahun itu, dari atas ubun-ubunnya segera mengepul keluar selapis asap kabut yang tipis, telapaknya perlahan-lahan diangkat kembali dan dihantamkan ke arah dada Hoa Pek Tuo.
Sebaliknya Hoa Pek Tuo sendiri setelah menerima sebuah pukulan ampuh dari Poh Giok Chiet Sih yang tak berwujud itu, mendadak wajahnya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, rambutnya pada berdiri tegak semua bagaikan landak sedang rasa kaget dan ngeri jelas tercermin di atas raut wajahnya.
Buru-buru ia keluarkan jari tangannya, dari ujung jari yang runcing segera meluncurlah serentetan cahaya berkilauan yang berwarna putih bersih bagaikan susu, sambil membelah angkasa kilatan cahaya itu langsung menotok ke atas tubuh Poh Giok cu.
Kali ini serangan dari kedua belah pihak sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun, hanya terlihat tubuh mereka berdua bergetar pada saat yang bersamaan.
Hoa Pek Tuo segera muntah darah segar, tapi sambil tertawa terbahak-bahak ia sempat berseru : "Suheng ternyata kau menang!" Selapis hawa hijau membesi terlintas di atas wajah Poh Giok cu, hardiknya : "Sungguh keji perbuatanmu..." Nada suaranya rada gemetar, sambil berpaling ke arah Thiat Tie Sin Nie katanya lagi : "Aku berhasil melukai isi perutnya tetapi ia pun berhasil melukai ginjalku, Hoa Pek Tuo telah berhasil melatih ilmu Gien Ciu Ci ilmu jari perak, manusia di kolong langit tak ada yang berhasil menaklukkan dirinya lagi..." Rupanya si orang tua dari luar lautan ini mengerti akan parahnya luka dalam yang diderita, selesai berkata ia putar badan segera berlalu dari tempat.
Thiat Tie Sin Nie menghela napas panjang terhadap diri Hoa Pek Tuo serunya : "Tidak sepantasnya kau turun tangan yang begitu kejinya terhadap toa suhengmu sendiri..." "Nikouw bau! Dengan andalkan apa kau berani mengucapkan kata-kata semacam itu kepadaku?" bentak Hoa Pek Tuo dengan gusarnya.
Thiat Tie Sin Nie gelengkan kepalanya berulang kali.
"Rupanya kau masih membenci pada diriku karena kau pernah kuusir dari istana Hoei-Coe Kiong" Aaaaai...! dari mana kau bisa tahu perasaan hatiku pada waktu itu" Sekarang coba kau pikirkan lagi, kenapa pada waktu itu aku berbuat demikian?" "Tak ada yang perlu dipikirkan lagi..." tukas Hoa Pek Tuo sambil menyeka darah kental yang membasahi ujung bibirnya, mendadak sambil mencabut keluar pedang penghancur sang surya milik Pek In Hoei bentaknya keras-keras : "Apabila tak ada kau yang mengacau, tak nanti aku bisa berpisah dengan Hoo Bong Jien.
Hmmm! Nikouw bau, malam ini masih ada perkataan apa lagi yang hendak kau ucapkan" Aku hendak membinasakan dirimu untuk melenyapkan rasa dendam dan rasa sakit dalam hati..." Pedang sakti itu digetarkan keras-keras sehingga mengeluarkan suara dengungan keras yang memekikkan telinga.
Pek In Hoei segera maju selangkah ke depan, hardiknya : "Hoa Pek Tuo! kembalikan pedang pusaka penghancur sang surya ku..." Thiat Tie Sin Nie melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, tiba-tiba tanya dengan suara lembut : "Ooooh, apakah pedang mustika itu milikmu" Baiklah! Akan kurampaskan kembali..." Tampaklah jago sakti dari laut Tang Hay ini menggerakkan pundaknya dan secara tiba-tiba menggunakan ketiga jari tangannya menjepit pedang mustika penghancur sang surya itu, seketika itu juga terasalah segulung tenaga tekanan yang maha dahsyat menerjang ke arah tubuh Hoa Pek Tuo.
Kendati tenaga lweekang yang dimiliki Hoa Pek Tuo telah mencapai puncak kesempurnaan, apa daya Thiat Tie Sin Nie adalah seorang jago sakti dari luar lautan, bukan saja gerakannya dilaksanakan dengan kecepatan melebihi suara lagi pula Hoa Pek Tuo dalam keadaan terluka tak berani menyambut datangnya hawa pukulan yang sangat hebat itu dengan keras lawan keras.
Wajahnya berubah hebat, sambil melepaskan cekalan pada pedang itu dengan ketakutan ia mengundurkan diri ke belakang.
"Huuuh! Nikouw bau, kau benar-benar tak tahu malu!" maki Hoa Pek Tuo amat gusar.
Thiat Tie Sin Nie sama sekali tidak menggubris makian orang, perlahan-lahan ia serahkan kembali pedang mustika penghancur sang surya itu ke tangan Pek In Hoei sambil pesannya : "Lain kali jangan sampai hilang lagi, senjata tajam mustika semacam ini apabila tidak digunakan pada tempatnya kemungkinan besar malah akan mengakibatkan banjir darah..." "Cianpwee, kau..." seru Pek In Hoei terharu.
Thiat Tie Sin Nie tersenyum.
"Pergilah dengan cepat dari sini! Tempat ini bukan tempat yang cocok bagimu untuk berdiam lebih lama..." Pek In Hoei sendiri pun tahu bahwa ia tak bisa berdiam terlalu lama di situ maka setelah menerima pedang mustikanya ia melirik sekejap ke arah Hoa Pek Tuo dengan pandangan dingin kemudian baru putar badan berlalu dengan langkah lebar.
Menanti pemuda itu sudah berlalu, dengan wajah dingin Thiat Tie Sin Nie baru berpaling ke arah Hoa Pek Tuo sambil tegurnya : "Dengan kedudukanmu ternyata hanya berani merampas senjata tajam milik seorang boanpwee, apakah kau tidak takut memalukan kita orang-orang dari Tang Hay" Aku mengerti betapa benci dan mendendamnya dirimu kepadaku, tapi sekarang aku tak akan bergebrak melawan dirimu di kala kau sedang terluka.
Tiga hari kemudian aku akan menantikan kedatanganmu di puncak Soe Sin Hong, aku rasa pada saat itulah semua persoalan di antara kita berdua boleh diselesaikan..." Berbicara sampai di situ tanpa menantikan jawabannya lagi ia segera berkelebat pergi dari situ, tak seorang pun tahu bagaimana caranya ia berlari dari sana.
*** Cahaya sang surya yang lembut dan hangat memancar di dalam sebuah kuil bobrok yang tinggal puing berserakan, di tengah ruangan kuil yang penuh debu Ouw-yang Gong sambil mencekal huncwee gedenya menyedot tiada hentinya, segulung demi segulung asap putih mengepul ke udara dan menyebar di angkasa...
Di belakang tubuhnya duduk dua orang kakek tua yang mengawasi gerak-geriknya dengan sorot tajam, ditinjau dari tindak tanduk mereka berdua rupanya mereka kuatir kalau si kakek tua ini melarikan diri.
Tampak Ouw-yang Gong menggoyang-goyangkan huncwee gedenya, lalu ia memaki dengan suara gemas : "Hey kamu dua orang bangsat cecunguk ngapain melotot terus ke arahku dengan pandangan bajingan" Sudahlah, tak usah punya pikiran jahat, aku si huncwee gede tidak punya uang barang sepeserpun..." Si kakek tua berperawakan kurus kering yang ada di sebelah kiri segera mengerutkan alisnya setelah mendengar perkataan itu, sahutnya ketus : "Ouw-yang Gong, lebih baik tenang-tenanglah duduk di sana.
Tempo dulu masih ada seorang pendekar jantan berkapak sakti Chee Thian Gak yang datang menolong dirimu, kali ini tak nanti ada panglima penolong yang datang menyelamatkan jiwamu..." "Maknya edan! Rupanya kalian cucu murid dari perguruan Thian Liong Boen pun sudah menjadi prajurit pengawal dari keluarga Kaisar" Hmmm! Anak jadah kumal! Pekerjaan lain yang lebih baik tak sudi dikerjakan, dagangan sepi yang tiada untung malah kalian kerjakan, kalau kalian Ciang Kiam Siang Kiat tiada jalan keluar lagi, lebih baik ikut aku si Ouw- yang Gong saja mencari sesuap nasi..." Kakek tua yang ada di sebelah kanan adalah seorang kakek berbadan gemuk serta memelihara jenggot kambing pada janggutnya, jubah yang dikenakan adalah kain sutera berwarna hijau, pada pinggangnya tersoren sebilah pedang panjang.
Ketika mendengar ocehan dari Ouw-yang Gong barusan, alisnya kontan berkerut, dengan sorot mata berapi-api ia melotot sekejap ke arah kakek tua itu dengan penuh kebencian.
"Hmmm... Hmmm... hey huncwee gede! Kalau berbicara harap berbicaralah yang rada enakan didengar," peringatnya dengan suara dingin.
"Aku Cho Ban Tek dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara bukan manusia lemah yang bisa dipermainkan seenaknya kalau bacotmu bicara kotor dan tidak genah lagi, hati-hati kuhajar mulut anjingmu itu sampai bonyok dan remuk..." Ouw-yang Gong segera mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Cho Ban Tek, sungguh indah kedengarannya namamu itu, kenapa kau si anak jadah kumat tak mau ganti nama menjadi Cho Jiak Tek" Kalau dilihat dari tampangmu yang jelek sudah pasti perangai serta akhlaknya telah bejat..." Disindir dan diolok-olok dengan ucapan seperti ini, Cho Ban Tek si jago pedang dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara ini jadi tak tahan, ia meraung gusar kemudian ayun telapaknya mengirim satu babatan ke atas bahu kakek she Ouw yang itu.
Buru-buru Ouw-yang Gong berkelit ke samping menghindar, kemudian ejeknya lagi : "Anak jadah kumal! Kau betul-betul punya keberanian, sampai bapakmu sendiri pun berani kau gebuk, bagus...
bagus sekali. Sekalipun aku tak bisa menangkan dirimu, untuk lari rasanya masih sanggup.
Jangan sampai kau bangkitkan amarahku yang belum sampai aku jadi nekad dan lari dari sini, akan kulihat kalian mau apakah diriku..." Begitu mendengar si kakek konyol itu mau melarikan diri, dua orang jago lihay dari perguruan Thian Liong Boen aliran Utara ini jadi amat gelisah, buru-buru mereka loncat bangun dari atas tanah dan memencarkan diri masing-masing menjaga di salah satu sudut ruangan untuk menghalangi kepergian kakek tersebut.
Suheng dari Cho Ban Tek yaitu Long Heng Ciang atau si telapak naga Goei Peng dengan wajah berubah hebat serunya : "Ouw-yang Gong, kau punya rasa malu atau tidak..." "Maknya, anak jadah kumal! Duduk dulu, duduk dulu, jangan emosi dan jangan marah dulu," sahut Ouw- yang Gong setelah menghisap beberapa kali huncweenya.
"Kalau aku si huncwee gede benar- benar mau minggat dari sini, tak nanti kuberitahukan dulu kepada kalian.
Hey! Buat apa kamu bersitegang seperti kunyuk jelek..." Tingkah laku yang konyol dari kakek tua ini tentu saja membuat dua orang jago dari perguruan Thian Liong Boen ini jadi mewek saking mendongkolnya, mereka saling bertukar pandangan sambil tertawa getir kemudian perlahan-lahan duduk kembali di atas lantai.
"Asal kau tidak pergi, persoalan apa pun bisa kita rundingkan secara baik-baik..." kata si jago pedang Cho Ban Tek dengan wajah berkerut sedih.
"Sungguh...?"" jerit Ouw-yang Gong tiba-tiba dengan mata melotot gede.
"Hey anak jadah kumal yang bulukan, kalau punya arak bawa sini dulu, kalau suruh aku huncwee gede duduk nongkrong terus disini sambil biarkan pantatku jadi kering, lama kelamaan aku bisa tidak kerasan...
mana araknya" Bawa sini, tenggorokanku sudah mulai kering kerontang..." Dari dalam buntalannya buru-buru si telapak naga Goei Peng ambil keluar sebuah cupu-cupu arak kemudian diangsurkan ke depan, menerima cupu- cupu arak tersebut Ouw-yang Gong langsung meneguknya beberapa tegukan, setelah itu sambil tertawa terbahak-bahak menyeka mulutnya.
Biji mata berputar dan rupanya ia sedang mencari akal lagi untuk menggoda dan mempermainkan dua orang jago lihay dari perguruan Thian Liong Boen ini.
Ia ketukkan huncwee gedenya ke atas lantai, semua ampas tembakaunya dibuang ke situ, setelah itu sambil putar huncwee gede itu di tengah udara serunya lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... Hey, bukankah kamu berdua menyebut dirinya datang dari perguruan Thian Liong Boen yang ada di propinsi Liauw Tang..." Sepanjang jalan entah sudah berapa kali kalian menjual lagak di hadapanku, katanya perguruan Thian Liong Boen kalian bagaimana...
bagaimana lihaynya, sekarang hatiku si huncwee gede sedang gatal, pengin sekali aku melihat sampai di manakah kepandaian silat yang dimiliki perguruan kalian.
Coba kamu dua orang anak jadah kumal masing-masing berlatihlah semacam kepandaian untuk dipertontonkan kepadaku..." "Apa?" Jangan ngaco belo terus menerus..." teriak Cho Ban Tek sambil meraung gusar.
"Nenek bermata codet, edan rupanya semua nenek moyangmu," maki Ouw-yang Gong dengan mata melotot, "kalau kau berani tidak menuruti perkataanku..." Melihat Ouw-yang Gong hendak pergi, saking gelisah dan cemasnya air muka si telapak naga Goei Peng sampai berubah hebat, mereka berdua mendapat tugas dari Song Kim Toa Lhama untuk menjaga Ouw- yang Gong, sepanjang jalan entah sudah berapa banyak rasa dongkol yang harus mereka telan begitu saja, berhubung mereka takut Ouw-yang Gong secara mendadak mengingkari janji dan ngeloyor pergi maka kedua orang itu terpaksa harus bersabar terus menerus, mereka hanya berharap Song Kim Toa Lhama cepat-cepat datang hingga tugas mereka selesai.
Dengan gemas ia mendepakkan kakinya keras-keras, pikirannya di dalam hati : "Menanti Song Kiem Toa Koksu telah datang, aku harus baik-baik memberi pelajaran kepadanya..." Maka dengan wajah setengah mewek karena mendongkol yang tak tersalurkan katanya : "Cho suheng, siapa suruh kita mendapatkan tugas konyol seperti ini" Anggap saja kita lagi sial, mari kita turuti saja permintaannya..." Selesai berkata ia segera mempersiapkan gerakan permulaan dari ilmu telapak Liong heng ciang kemudian sejurus demi sejurus dimainkan dengan teratur.
Si jago pedang Cho Ban Tek mendengus dingin, ia cabut keluar pedangnya dan mulai berlatih pula sejurus demi sejurus.
Menyaksikan kedua orang itu benar-benar mulai berlatih silat, Ouw-yang Gong mengerutkan alis, timbullah niatan untuk memperolok-olok mereka sejadinya.
"Toa Koksu!" terdengar ia berseru dengan suara gemetar.
"Tolong bantulah diriku..." Wajahnya mengenaskan sekali, dari sorot matanya jelas terlihat betapa besarnya harapan jago muda ini untuk memperoleh bantuan dari Koksunya ini.
Menyaksikan keadaan Tauw Meh yang begitu mengenaskan serta bernyali kecil, tanpa terasa Song Kim Toa Lhama tertawa dingin, ia ada maksud mendemonstrasikan kelihayannya di depan orang, telapak tangannya laksana sambaran kilat segera meluncur ke depan melakukan penangkapan.
"Heeeh... heeeeh... heeeeh. makhluk sialan, kau pun berani bikin keonaran di sini.
Di mana jari telapaknya meluncur datang, desiran angin tajam yang memekakkan telinga membelah angkasa, tampak bayangan telapak menyambar lewat dan tahu-tahu ular kecil tadi sudah tercekal dalam genggamannya.
"Hmm! Makhluk jelek seperti ini pun berani kau gunakan untuk menakut-nakuti orang..." kembali Song Kim Toa Lhama mengejek sambil tertawa seram.
Hawa lweekang yang dimilikinya segera dihimpun ke dalam tubuh, sepasang telapaknya mencengkram kepala serta ekor ular tadi kemudian ditariknya ke samping.
Ular hijau itu mencuit nyaring, mendadak tubuhnya menyusut menjadi semakin kecil, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya kekuatan ular tersebut.
Hee Giong Lam yang menyaksikan perbuatan pendeta gundul itu dengan cepat tertawa dingin, jengeknya : "Kalau kau sanggup membetot ular itu hingga patah jadi dua bagian, anggap saja aku Hee Giong Lam yang menderita kalah!" Rupanya Song Kim Toa Lhama tak pernah mengira kalau ular hijau itu mempunyai kekuatan yang demikian besarnya, ia mendengus dingin, segenap kekuatan yang dimilikinya dihimpun ke dalam telapak kemudian sekali lagi dibetotnya keras-keras.
Seketika itu juga ular hijau tadi tertarik hingga lurus bagaikan pena, namun makhluk tadi belum berhasil juga dibetot putus.
"Hmmm..." Mendadak Song Kim Toa Lhama mendengus rendah, segumpal bau amis yang menusuk hidung tersebar di angkasa, titik darah kental berceceran di atas permukaan tanah, dalam suatu sentakan yang amat dahsyat tubuh ular hijau itu tersentak putus jadi beberapa bagian dan rontok ke bawah.
Air muka si Rasul Racun Hee Giong Lam berubah hebat, kembali ayunkan tinjunya ke depan hardiknya : "Bajingan gundul, kau harus dibunuh..." Angin pukulan menderu-deru, pukulan ini disodokkan langsung ke arah dada musuh dengan kekuatan hebat.
Song Kim Toa Lhama geserkan badannya ke samping untuk berkelit, dengan suatu gerakan manis tahu-tahu ia telah meloloskan diri dari ancaman tersebut.
Kemudian sambil tertawa dingin ejeknya : "Kalau terlalu sombong, jumawa dan tidak pandang sebelah mata pun terhadap orang lain, bahkan mau cari gara-gara dengan pihak keluarga Kaisar...
Hmmmm! Hmmmm...! itulah artinya mencari kesulitan bagi diri sendiri!" Ouw-yang Gong yang ikut mendengarkan pembicaraan itu dari samping kalangan mendadak jadi naik pitam sembari sapukan huncwee gedenya ke arah lawan makinya : "Anak jadah cucu monyet...! Kau si bajingan botak pun berani sembarangan melepaskan angin busuk disini..." Tok See segera ayunkan pedangnya dari samping, cahaya tajam yang berkilauan berkelebat memenuhi angkasa, di mana ujung pedang itu bergetar seketika terciptakan berbintik-bintik kilatan cahaya di mana langsung meluncur ke arah Ouw-yang Gong.
"Hey ular asap tua!" serunya sambil tertawa dingin, "kau berani memaki toa Koksu kami dengan kata- kata kotor..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... neneknya! kau si anak kura-kura pun berani kurang ajar kepadaku..." Ouw- yang Gong tertawa terbahak-bahak.
Huncwee gedenya mendadak digetarkan keluar, sekilas cahaya tajam menyapu lewat langsung menghajar tubuh musuh.
"Traaaaang...!" Tok See merasakan pergelangannya bergetar keras, percikan bunga api muncrat ke empat penjuru, termakan oleh totokan senjata lawan pedangnya tersampok miring sehingga hampir saja terlepas dari genggamannya.
Dengan hati terkesiap tercampur ngeri buru-buru badannya mundur lima enam langkah ke belakang lalu menatap wajah si orang tua itu dengan mata mendelong.
Dalam pada itu setelah si huncwee gede Ouw-yang Gong berhasil memukul mundur Tok See dalam sejurus, ia segera mendongak tertawa terbahak- bahak dan menghisap huncweenya berulang kali, asap putih mengepul keluar lewat lubang hidungnya sedang sepasang mata menatap Song Kim Toa Lhama tajam, senyuman mengejek tersungging di ujung bibirnya.
Kiranya pada waktu itu Song Kim Toa Lhama sedang berdiri di tengah kalangan dengan wajah berkerut kencang, kemudian ia meraung keras dengan penuh rasa kesakitan, telapak yang sedang direntangkan secara tiba-tiba menyambar ke atas kakinya sendiri.
Tjeng Hong Kie Su 1 Menuju Titik Nol Towards Zero Karya Agatha Christie Senopati Pamungkas I 22
^