Pencarian

Memburu Manusia Makam Keramat 1

Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat Bagian 1


Episode I: PASUKAN KELELAWAR
Episode II: MEMBURU M. MAKAM KERAMAT
Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU JIKA ada pertanyaan, kenapa ada pertum-
pahan darah" Jawabannya tak pernah berubah
dari awal peradaban manusia. Bahwa, angkara se-
lalu menyulut hati manusia untuk melakukannya.
Iblis Durjana tak pernah lalai untuk menjalani
janji ingkarnya pada Tuhan untuk menyesatkan
insan. Perkelahian, peperangan atau pertempuran
yang menjadi awal pertumpahan darah pun terus
bergulir dari waktu ke waktu. Tak pernah menge-
nai batas perhentian kecuali dunia berakhir nanti.
Seperti halnya satu pertarungan yang se-
dang berlangsung di sebuah tempat dalam wilayah
kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Satu pertarungan
sengit dan ganjil antara dua pihak. Ganjil, karena kedua belah pihak berseteru
bertaut usia amat
jauh. Dua tokoh dunia persilatan berusia tua me-
lawan delapan bocah berusia tak lebih dari enam
tahun! Satu di antaranya lawan para bocah adalah seorang tua bangka berusia
menjelang senja. Kendati dari usia terbilang keropos, namun badannya subur.
Perutnya hampir sebesar gentong. Punuknya tebal seperti Sapi Benggala. Dengan
tubuh seperti itu, lehernya nyaris tak kentara. Berwajah bulat. Berambut tipis
kemerahan seperti rambut
jagung. Tingginya kurang dari orang kebanyakan,
membuatnya makin tampak buntal saja. Lelaki
gemuk itu mengenakan pakaian berwarna kuning-
kuning. Julukan angker disematkan untuknya;
Gendut Tangan Tunggal.
Yang lain adalah seorang lelaki lebih muda.
Tampangnya berangasan. Kentara jelas dari ma-
tanya yang besar berkilat-kilat. Sepertinya tak
pernah berhenti melotot. Dagunya kasar. Kesan
pada dirinya jadi lebih sangar dengan mengenakan pakaian serba hitam hingga ke
ikat kepala. Dia
adalah Pendekar Muka Bengis.
Dari penampilan, keduanya memang tak
mencirikan seorang ksatria sejati. Bertarung dengan bocah-bocah ingusan pun
bukan sikap ksa-
tria. Bukan dengan begitu mereka orang-orang se-
sat. Sebaliknya Pendekar Muka Bengis dan Gen-
dut Tangan Tunggal justru orang-orang golongan
lurus. (Cerita lengkapnya dapat dibaca pada epi-
sode sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!).
Lawan mereka, biarpun masih bau kencur
ternyata tak bisa dipandang sebelah mata sedikit pun. Kelewat mudanya usia
delapan bocah itu tak
menjamin kemenangan mudah akan didapat oleh
dua seterunya. Padahal kenyataannya, kedua la-
wan dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh papan
atas dunia persilatan.
Bukti akan hal itu adalah pertarungan
yang sudah mencapai puncaknya. Masing-masing
pihak sudah menjajaki keandalan jurus-jurus
maut masing-masing. Sudah pula menjajaki tena-
ga dalam atau peringan tubuh yang begitu sering
diandalkan untuk mementahkan serangan. Sam-
pai sejauh itu, luka telah mereka derita. Namun, pertarungan tak kunjung usai.
Dua tokoh tua terlalu sulit untuk menumbangkan delapan bocah
lawan mereka. Lebih buruk dari itu, mereka bah-
kan mulai menerima desakan-desakan dari para
bocah yang di hari-hari belakangan meledakkan
kegemparan dengan julukan Pasukan Kelelawar
(Bacalah episode sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!). Perkembangan buruk dalam
pertarungan seperti itu tentu merisaukan. Termasuk bagi dua
tokoh yang telah banyak menelan asam garam.
Dengan menderita luka dalam tak ringan, mereka
tahu gelagat. Jika tak segera mengambil langkah
tepat, mereka bisa mati konyol. Satu risiko paling berat yang dapat menimpa
mereka dalam kancah
garang dunia persilatan.
Karenanya mereka bersepakat untuk men-
gambil jarak dan mulai mengerahkan kesaktian
andalan. Keduanya kini berdiri berjajar dalam jarak empat-lima tombak. Mereka
sama-sama siap dengan kuda-kuda garang. Pendekar Muka Bengis
berdiri dengan dua telapak tangan bertemu di de-
pan dada. Dengan cara itu, dia hendak mengerah-
kan pukulan 'Puting Beliung'. Satu pukulan jarak jauh langka yang menjadi satu
kebanggaannya. Pukulan jarak jauh yang berwujud pusaran-
pusaran angin sebesar kepala manusia dan men-
celat tak terduga bagai mengejar lawan.
Gendut Tangan Tunggal menyiapkan kuda-
kuda dengan gaya agak gila. Tak karuan. Dia ber-
jongkok dengan gaya seekor katak bunting atau
seperti seorang yang hendak buang hajat. Entah
mana lebih mirip. Perut buncitnya terjepit di antara paha, menyebabkan pusarnya
bertambah me- nonjol keluar. Kedua tangannya menyentuh bumi.
Tak mau kalah dengan Pendekar Muka Bengis, dia
pun hendak mengerahkan kepandaian kebang-
gaannya 'Dewa Katak Bumi'
Di pihak Pasukan Kelelawar, delapan bo-
cah membentuk barisan setengah lingkaran. Den-
gan langkah satu-satu yang demikian teratur, me-
reka mempersempit jarak dengan kedua lawan.
"Bocah-bocah tak pernah diajar sopan!" gerutu Gendut Tangan Tunggal setelah
terbatuk dan mengeluarkan darah kehitaman.
"Hei Gendut, apa kau yakin bisa menge-
rahkan ilmu andalanmu?" tanya Pendekar Muka
Bengis. Dia sendiri mengalami luka dalam tak ringan. Biar penampilannya tak
kurang telengas dari siluman darah tinggi, Pendekar Muka Bengis bukan orang yang
hanya mau memikirkan kepentin-
gan sendiri. Bukankah tak segala sesuatu yang
ber'kulit' buruk akan memiliki 'isi' buruk pula"
Tak jarang, malah ada orang ber'kulit' bagus, namun 'isi'nya tak lebih dari
kotoran busuk. Dasarnya, dia memang khawatir pada keadaan Gendut
Tangan Tunggal. Hanya karena cara bertanyanya
kurang mengena, jadi terdengar mengejek.
Gendut Tangan Tunggal mendengus.
"Sialan sekali.... Seperti kau tak menderita luka dalam saja!" gerutunya.
"Bagaimana" Apa kita akan serang mereka
berbarengan?" seru Pendekar Muka Bengis kembali.
"Terserah! Tapi, aku bersedia mengalah,
kendati usiaku lebih tua darimu!"
"Apa maksudmu?"
"Dengan segala hormat, ku persilakan kau
duluan!" "Gendut.... Gendut.... Bilang saja kau mu-
lai gentar?"
"Sudah jangan banyak omong. Bocah-
bocah sialan itu sudah mau melabrak kita lagi,
tuh! Cepat kau maju. Nanti aku menyusul!" hardiknya kalang-kabut, menyaksikan
delapan lawan kecil mereka mulai melangkah dengan tatapan
buas. Cara melangkah mereka seperti sekawanan
serigala lapar mengintai mangsa. Mata mereka
nyalang meradang. Mereka pun sebenarnya telah
mengalami luka-luka tak ringan. Anehnya, dela-
pan bocah itu seperti tak pernah menderita kare-
nanya. Meski dengan merutuk lelaki berwajah be-
rangasan yang juga menderita luka dalam itu ma-
ju merangsak. "Heaaa!!"
Melompat garang, diterjangnya jarak den-
gan para bocah sakti yang tinggal enam-tujuh de-
pa. Kedua belah kakinya tertekuk. Sedangkan ke-
dua kepalan tangannya mencecar di udara.
Deb deb deb deb!
Empat kali pukulan 'Puting Beliung' dilepas
oleh Pendekar Muka Bengis. Masing-masing tan-
gannya melepas dua pukulan jarak jauh. Seketika
itu pula tercipta empat gumpalan angin berputar, seukuran kepala manusia. Ada
delapan lawan di
depan. Namun, masih sulit untuk menentukan
siapa empat orang yang akan menjadi sasaran,
mengingat pukulan 'Puting Beliung' bergerak tak
terduga. Melesat. Cepat. Keempat gumpalan angin berpusar mende-
ru. Memburu. Dua pukulan 'Puting Beliung' yang berasal
dari tangan kirinya menyempong ke kanan. Seba-
liknya, yang berasal dari tangan kanan malah me-
nyempong ke kiri.
Saling menyilang.
Meradang. Delapan anggota Pasukan Kelelawar seperti
tak merasa gentar dengan ancaman pukulan
'Puting Beliung'. Menilik wajah mereka yang demikian dingin, boleh jadi mereka
bahkan tak gentar menghadapi malaikat maut!
"Sialan! Terbuat dari apa bocah-bocah ini,
sampai-sampai mereka tak bergeming menanti
pukulan ampuh si Bengis!" Sempat-sempatnya
Gendut Tangan Tunggal berkomentar sambil me-
nyapu keringat sebesar biji jagung di kening. Dia sendiri, selaku salah seorang
tokoh jajaran atas masih segan untuk menjajal pukulan 'Puting Beliung'. Asal
tahu saja, pukulan 'Puting Beliung' jarang luput menelan korban. Sekali
terlepas, akan ada korban terkapar. Untuk orang-orang berilmu
kedigdayaan tinggi sekalipun, pukulan jarak jauh itu tak bisa dianggap main-
main. Setidaknya mereka akan mengalami kesulitan besar untuk
menghindari. Sebabnya sekali lagi, karena puku-
lan 'Puting Beliung' sama sekali tak terduga. Bergerak seperti punya nyawa dan
mata sendiri! Pukulan 'Puting Beliung' makin dekat ke
sasaran. Sudah tak diragukan, akan terlempar
empat tubuh kecil. Arahnya makin jelas menuju
dua orang di sisi kiri dan dua orang di sisi kanan barisan setengah lingkaran
lawan. Keempat bocah seakan dituju maut!
Wajah keempatnya mengeras. Rahang ber-
taut Tapi, tetap dengan paras dingin. Mimik tak kenal takut.
Boleh dikata, keempat bocah yang merasa
dirinya akan menjadi sasaran pukulan jarak jauh
lawan, telah bersiap sepenuhnya. Ketajaman pan-
dangan mereka demikian mengagumkan. Me-
mungkinkan mereka sanggup menangkap kecepa-
tan laju pukulan 'Puting Beliung'. Seakan tukikan kilat dari langit pun dapat
ditangkap. Kendati begitu, tak bisa dengan mudah
mereka menduga dengan pasti arah pukulan
'Puting Beliung' selanjutnya. Dan hal itu terbukti kemudian. Dalam jarak yang
sudah demikian dekat, gumpalan angin bertenaga dahsyat itu men-
dadak berubah arah. Amat cepat. Jauh lebih gesit dari gerakan burung walet di
udara. Empat pusa-
ran yang sebelumnya bergerak dengan arah men-
gembang, kini berbalik menciut. Dengan begitu,
sasaran pun berubah. Yang dituju kini empat bo-
cah di barisan tengah.
Keempat bocah yang kini menjadi sasaran
memperdengarkan pekikan berbareng. Mereka
berjuang untuk menghindar dengan melompat
tinggi-tinggi ke udara.
Pukulan 'Puting Beliung' mengejar mereka!
Sekuat bagaimanapun mereka berusaha
menghindar, jarak sudah terlampau dekat. Tak
mungkin lagi menghindar.
Pyar pyar pyar pyar!
Seperti menerima komando yang sama,
empat pukulan 'Puting Beliung' sama-sama meng-
hantam dada sasaran masing-masing. Keempat
bocah berteriak tertahan di udara. Napas mereka
seperti dipancung seketika. Mereka berpentalan.
Jauh. Sekitar dua puluh tombak terlempar, baru-
lah mereka jatuh berdebam.
"Sialan lagi! Bagaimana mereka masih bisa
berdiri"!"
Di kejauhan, Gendut Tangan Tunggal di-
paksa berkomentar Lagi menyaksikan keempat
bocah itu bangkit kembali. Mestinya, mereka telah mampus. Mestinya dada mereka
telah remuk re-dam. Mana ada manusia yang masih bisa berta-
han hidup kalau dada beserta isinya hancur"
Tapi, yang disaksikan Gendut Tangan
Tunggal sungguh membuatnya sulit berkedip.
Keempat bocah hanya mengeluarkan darah dari
mulut dan hidungnya. Namun keadaan tubuh me-
reka tak menunjukkan kalau mereka baru saja
terhajar salah satu pukulan terampuh di tanah
Jawa. Kenyataan seperti itu lebih mengejutkan
bagi Pendekar Muka Bengis, pemilik pukulan
'Puting Beliung' sendiri. Hatinya bertanya-tanya, antara tercengang dan
kegusaran. Bagaimana
mungkin mereka bisa bertahan dari pukulanku"
Dalam ketercengangannya, sisa Pasukan
Kelelawar menyerbu Pendekar Muka Bengis diba-
rengi pekikan melengking yang menggebrak nyali.
"Aaaiiiikh!!"
Selaku warga persilatan yang kenyang ma-


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan asam garam, Pendekar Muka Bengis tentu sa-
ja terbiasa menyambut serangan mendadak. Gerak
refleksnya sudah terlatih. Dalam ketercengangan
ditambah serangan datang dari empat penjuru,
keadaan jadi berbeda. Dia mencoba menghindar
dengan kecepatan puncak ke sebelah kanan.
Sambaran cakar dua lawan dari arah kiri berhasil lolos. Sayangnya, dari arah
kanan dua lawan lain siap menghajarnya.
Pendekar Muka Bengis mati langkah!
Sebelum hantaman dua lawan mendarat di
tubuhnya, Gendut Tangan Tunggal mencelat dari
posisi berjongkoknya. Dia tak bisa tinggal diam terus.
"Krookhh!"
Mengagumkan, dengan badan seberat dua
orang dewasa, orang tua itu sanggup melayang
tinggi dan gesit di angkasa. Tinggi. Tepat satu tindak di depan dua bocah
penyerang, Gendut Tan-
gan Tunggal menghadang dengan posisi berjong-
kok kembali. Dihentakkannya telapak tangan ka-
nan ke depan. Sebelah tangan yang disegani ba-
nyak orang dari golongan lurus serta ditakuti banyak orang dari golongan sesat.
Sedangkan tangan kiri menyentuh bumi, seakan hendak menyedot
kekuatan lahar dasar bumi ke dalam tubuhnya.
Sekejapan tubuhnya bergetar. Telapak tangan ka-
nannya seketika berubah warna. Hitam. Di sekeliling telapak tangan menghitam itu
berpendar tipis cahaya kebiruan.
Dash! Terjadi bentrokan hebat dengan dua bocah
penyerang. Kekuatan perut bumi yang mengem-
bang membentuk benteng tenaga dahsyat dari te-
lapak Gendut Tangan Tunggal, memapak serangan
keduanya. Seketika, tubuh kelebihan bobot Gendut
Tangan Tunggal terpental ke belakang. Keras. De-
ras. Sederas pentalan tubuh dua lawannya. Da-
ri tempat bentrokan, masing-masing pihak me-
layang sejauh dua puluh lima tombak!
Pendekar Muka Bengis makin dibuat ter-
cengang. Bertambah lagi ketika menyaksikan dua
bocah yang terpental telah bangkit tanpa kurang
satu apa pun seperti empat bocah sebelumnya.
Hanya ada bekas biru di bagian yang terhantam
ajian 'Dewa Katak Bumi'.
Di lain pihak, Gendut Tangan Tunggal tak
bangun Lagi. Bukan karena terjengkang terlalu
keras. Melainkan karena tenaga hantaman tenaga
sakti dua bocah tadi.
Pendekar Muka Bengis bergidik. Dia tahu
bagaimana kehebatan ajian 'Dewa Katak Bumi' mi-
lik Gendut Tangan Tunggal. Ajian yang tidak
hanya menjadi penghancur ampuh, namun juga
dapat menjadi salah satu benteng tenaga terkuat
di dunia persilatan tanah Jawa!
"Apa si Gendut mampus?" desisnya. Semakin tak bisa dipercayainya saja
ketangguhan bo-
cah-bocah yang tengah dihadapi. "Mereka bukan manusia. Mereka anak-anak dedemit
yang keluar dari kerak neraka!" serapahnya.
Sekarang, dia tinggal sendiri. Harus meng-
hadapi delapan bocah berkesaktian siluman seka-
ligus" Pendekar Muka Bengis mengerang. Garang.
Membakar keberanian.
Menghembuskan api tarung penghabisan.
"Peduli setan!" sentaknya seraya menerjang ke depan.
DUA CUKUP jauh dari kancah pertarungan hi-
dup-mati Pendekar Muka Bengis dan Gendut Tan-
gan Tunggal, masih di wilayah kekuasaan Kera-
jaan Pajajaran, tiga orang terlihat di sekitar daerah persawahan terbengkalai.
Dua lelaki dan satu perempuan cantik.
Satu lelaki adalah seorang pemuda beram-
but panjang kemerahan. Tampan, namun juga ke-
lugu-luguan. Mengenakan rompi bulu putih kea-
buan dari kulit hewan. Pada kain ikat pinggangnya terselip satu benda panjang
hitam seperti toya
pendek. Di dunia persilatan, hari-hari belakangan mulai dikenal dengan julukan
Satria Gendeng,
anak muda sakti murid dua tokoh kenamaan ta-
nah Jawa, Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan
Tabib Sakti Pulau Dedemit.
Lelaki lain terlalu bertolak belakang dengan
pemuda tadi. Tubuhnya cebol, tak lebih tinggi dari belukar. Wajahnya mirip-mirip
perempuan. Berambut keriting. Kulit hitam. Dilengkapi dengan
mata berkilat bengis, makin tak sedap saja lelaki itu untuk dipandang. Sementara
kedua tangannya
menggenggam logam berbentuk cakar. Julukan
sangarnya Penjaga Gerbang Neraka.
Orang ketiga, adalah seorang wanita paruh
baya. Tak sedikit pun kehilangan kecantikan di
usianya yang terbilang tua. Sekujur tubuhnya se-
perti sengaja disolek begitu apik. Mungkin dari
ubun-ubun hingga ujung kaki. Rambutnya tertata
lurus, panjang dan menebarkan aroma wangi me-
nusuk hidung. Ada ronce bunga melati menghiasi.
Perempuan dengan gerak-gerik mata genit itu
mengenakan gaun putih panjang. Yang membuat
dada kaum lelaki 'gedebak-gedebuk' adalah bela-
han memanjang di bagian bawah gaun, memperli-
hatkan kulit paha seputih susu! Sesuai dengan sikap dan tindak-tanduknya,
perempuan ini digelari Dewi Melati oleh kalangan persilatan.
(Tentang asal-muasal pertemuan ketiganya,
bacalah episode sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!). "Siapa dia sebenarnya, Dewi
Melati?" tanya Satria Gendeng pada si perempuan setengah baya.
Ada kecurigaan pada diri anak muda itu menyak-
sikan bagaimana cara Dewi Melati melirik si lelaki cebol. Bersit matanya sama
sekali tak memancar-kan ketakutan. Padahal si orang cebol sudah jelas bersikap
tak bersahabat pada Satria Gendeng sejak pertama kali bertemu. Kalau penyebabnya
hanya karena si orang cebol selalu memusuhi
orang asing, semestinya Dewi Melati pun akan
menerima perlakuan serupa. Apakah mungkin
Dewi Melati mempunyai hubungan dengan manu-
sia cebol berwajah dingin"
Dewi Melati tersenyum-senyum genit. Me-
nyebalkan untuk dilihat di saat-saat menegangkan seperti dihadapi Satria Gendeng
setelah mendapat serangan amat menggidikkan dari si cebol. Sebentar mata bulat
indah mengandung daya pikat kuat
mengerling pada si pemuda sakti. Sebentar kemu-
dian, ditolehnya lelaki cebol.
Wajah lelaki cebol tak berubah. Tetap din-
gin. Tapi juga tak menampakkan perubahan. Iba-
rat karang yang tak bergeming ditanduki gelom-
bang. Namun, sekali lagi Satria bisa menilai tak ada sinar permusuhan pada mata
bengisnya. "Perkenalkan, lelaki cebol ini bernama Patigeni...," tukas Dewi Melati,
memperkenalkan si lelaki cebol. Sekarang menjadi jelas dugaan Satria.
"Sayang kau belum cukup lama turun ke
dunia persilatan. Setidaknya, kalau kau seangka-
tan Pendekar Muka Bengis, tentu kau akan men-
dengar satu cerita tentang tokoh berjuluk Penjaga Gerbang Neraka. Dialah
orangnya. Tokoh seangkatan dengan gurumu Dedengkot Sinting Kepala
Gundul," sambung Dewi Melati. "Dan yang harus kau tahu dari semua itu, dia
adalah guruku...."
Satria dibuat agak terkejut mendengar
pengakuan Dewi Pemikat. Karena Dewi Melati me-
nyebut orang yang diperkenalkan dengan sebutan
yang tak sopan. Satria mengira, tentu Dewi Melati sudah kenal cukup lama. Tapi,
tak sedikit pun ada dugaan kalau orang kerdil berjuluk Penjaga Gerbang Neraka
adalah gurunya. Betapa tak punya
adat Dewi Melati!
"O, ya satu hal lagi yang perlu kau tahu. Di samping guruku, dia juga... suami
angkatku. Hi hi hi...." Satria merengut. Suami angkat apa ada"
Kalau anak angkat atau ayah angkat, dia sudah
sering dengar. Lagi pula, bagaimana mungkin De-
wi Melati mau dijadikan 'istri angkat' oleh orang yang seangkatan dengan
Dedengkot Sinting Kepala
Gundul" Setahu Satria, gurunya saja sudah demi-
kian tua, sampai-sampai mengharap-harapkan
kematian segera datang. Dewi Melati sudah ku-
rang waras atau terlalu rakus"
"Ah, kau tak perlu pusing-pusing memikir-
kan perkataan ku yang terakhir itu. Aku juga su-
dah tak memusingkannya lagi. Bukan begitu, Pan-
geran ku?"
"Kenapa kau menyerangku, Pak Tua?"
tanya Satria. Dia merasa harus bersikap sedikit
hormat pada si lelaki cebol ketika tahu kalau Penjaga Gerbang Neraka seangkatan
dengan gurunya,
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Ah, maafkan saja dia, Satria. Manusia ke-
cil satu ini memang suka bertindak seenaknya.
Tingkahnya suka aneh-aneh. Maklum dia agak...,"
sambil menuntaskan kalimat, telunjuk Dewi Mela-
ti menyilang keningnya.
Astaga, jadi guru dan murid sama-sama
sinting" Perangah Satria dalam hati. Pantas saja kalau begitu. Kalau orang
sinting memang tak perlu alasan untuk menyerang orang. Namanya juga
sinting! Sepertinya, sial sekali Satria seharian ini, bertemu dengan dua manusia
kurang waras sekaligus! Apakah semua itu hanya karena zaman
memang sudah edan dan manusianya banyak jadi
ikut edan" Atau sebaliknya, karena sudah terlalu banyak orang tak waras, lalu
zaman pun menjelma menjadi edan" Gurunya saja sangat keranjin-
gan dengan sepak terjang kesinting-sintingan. Belum lagi terhitung Pendekar Muka
Bengis dan Gendut Tangan Tunggal yang sepak terjangnya
pun sulit untuk bisa disebut waras. Kalau besok-
besok dia bertemu kembali dengan manusia sema-
cam mereka, jangan-jangan semua orang memang
sudah sinting semua! Tak salah ucapan gurunya
dulu; bahwa dunia memang sudah terlalu sumpek
dengan orang edan. Disadari atau tidak keeda-
nannya. Jadi apa salahnya kalau kita berseru pa-
da dunia; 'Mari kita bersama-sama edan-edanan'!
Gendeng! "Hei, kenapa kau malah jadi bengong"!"
sentak Dewi Melati.
Satria tersadar dari renungan singkatnya.
"Ah, tidak. Kupikir tadi dia gembong Pasu-
kan Kelelawar," kelit Satria.
"O, tidak begitu...," kata Dewi Melati sambil mendekati Penjaga Gerbang Neraka.
Digandengnya lelaki cebol itu mesra. Dengan agak merundukkan
badan, dirangkulnya pula mesra-mesra. Dici-
uminya, dielus-elus....
Satria jadi jengah. Ada juga perasaan iri.
Coba kalau dirinya yang jadi lelaki cebol itu. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi
bagaimana sesungguhnya
sifat Dewi Melati, Satria malah jadi merinding.
"Selama ini, dia tak pernah muncul dari sa-
rangnya di puncak Gunung Krakatau. Sekarang
dia keluar. Kau tahu sebabnya?" lanjut Dewi Melati.
Satria menggeleng. Sudah tahu dia belum
cukup lama turun ke dunia persilatan, pakai
tanya segala! "Karena dia punya hutang satu urusan
dengan Manusia Makam Keramat?"
Siapa Manusia Makam Keramat" Tanya Sa-
tria membatin. Satu orang sinting Lagi"
* * * Tak peduli apakah akan mengalami nasib
serupa dengan Gendut Tangan Tunggal, Pendekar
Muka Bengis menggebrak kembali. Tak ada lagi
pertimbangan lain, selain menguras segenap ke-
saktian pamungkasnya. Mengerahkan hingga
penghabisan. Jika perlu, sampai nyawa terperah!
Baginya, semua itu cuma persoalan bagaimana
memperjuangkan kebenaran. Tak ada kebenaran
yang ditegakkan dengan pengorbanan yang terlalu
remeh. Kebenaran memang pahit. Dan pengorba-
nan nyawa tak lebih dari puncaknya segenap ke-
pahitan. Namun begitu, untuk apa mempersoal-
kan kepahitan kalau kehormatan serta kebang-
gaan tertinggi bagi seorang ksatria sejati adalah mengorbankan miliknya yang
paling berharga dan
tak akan pernah dimiliki untuk kedua kali"
Nyawa! Mengadu jiwa pun menjadi pilihan terbaik
bagi Pendekar Muka Bengis. Untuk menghadapi
lawan satu persatu, dia tak yakin mampu berta-
han lebih lama. Tenaganya sudah banyak terkuras
selama pertarungan panjang sebelumnya. Luka
dalam yang diderita pun sudah tak memungkin-
kan dia untuk meningkatkan serangan seperti se-
mula. Jalan satu-satunya, harus ada satu gebra-
kan sekaligus yang bisa menghajar seluruh lawan.
Terbetik satu taktik di kepalanya.
Setelah mengudara, tubuh lelaki berwajah
berangasan itu hinggap di tengah-tengah posisi
para lawan. Satu tempat yang sebenarnya terlalu
banyak mengundung risiko. Dengan posisi seka-
rang, lawan justru memiliki kesempatan untuk
mengucurkan serangan dari berbagai penjuru.
Pendekar Muka Bengis tidak bodoh. Bukan
pula sekadar nekat. Gusar memang, tapi tak per-
nah gelap mata. Dia punya perhitungan sendiri.
Dengan perhitungannya, setidaknya pengorbanan
nyawanya tak akan sia-sia.
Ketika delapan anggota Pasukan Kelelawar
menyaksikan lawan menempatkan diri di tengah-
tengah, mereka langsung membentuk kepungan


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rapat. Tujuannya agar lawan terperangkap di ten-
gah dan tak dapat lagi meloloskan diri.
Di lain pihak, tindakan seperti itu justru
diharapkan oleh Pendekar Muka Bengis. Itulah tu-
juannya sengaja menempatkan diri di tengah posi-
si lawan. Satu pancingan cerdik!
Dengan rapatnya kepungan lawan, Pende-
kar Muka Bengis akan mempunyai kesempatan
besar untuk mendaratkan sekaligus satu ajian
pamungkasnya ke arah delapan lawan. Rapatnya
kepungan, berarti memendek pula jarak antara di-
rinya dengan delapan Pasukan Kelelawar. Memen-
deknya jarak, berarti memperkecil kesempatan ba-
gi para lawan untuk menghindar jika dilepasnya
serangan cepat dan mendadak.
"Cakram Mata Delapan!!!"
Dibarengi teriakan menggeledek, Pendekar
Muka Bengis memutar tubuh. Tangannya terkatup
di dada. Saat putaran menjadi cepat, tangannya
membentang. Ketika itulah membersit cahaya pu-
tih kemilau laksana sinar matahari. Memanjang
dan menyebar ke delapan penjuru angin. Karena
dilepas dengan tubuh berputar, maka bersit sinar putih itu membentuk cakram.
Zzzuiiiinnng! Perhitungan Pendekar Muka Bengis sejauh
itu tak meleset. Kedelapan lawan tak bisa lagi
menghindar. Terlampau sulit untuk jarak sedekat
itu. Blar blar blar blar!
Nyaris beruntun amat cepat, terdengar su-
ara menggelegar bagai ada delapan lidah petir
memangkas angkasa. Tak terdengar teriakan ka-
rena hantam-an ajian 'Cakram Mata Delapan' ter-
lalu hebat menghajar. Kerongkongan setiap bocah
ajaib seperti tercekat rasa sakit teramat sangat.
Bahkan, mungkin saja mereka tak pernah mera-
sakan sakit itu jika ditilik bagaimana akibat ajian
'Cakram Mata Delapan'.
Di udara, tubuh mereka langsung menge-
pulkan debu pekat. Belum lagi sempat meninju
tanah, tubuh mereka menghitam hangus.
Bergulingan mereka jatuh!
Panas, asap menggelepar penuh. Laksana
benda langit runtuh. Menggebuk tanah dan men-
jelma rapuh. Ketika guliran terhenti, tubuh delapan bocah itu pun diam tanpa
geming. Senyap be-
rucap. Satu demi satu, mata Pendekar Muka Ben-
gis menatapi tubuh para lawan. Nafasnya teren-
gah. Seluruh bagian tubuhnya seperti luruh satu-
satu ke tanah. Dia lunglai.
Selesai sudah, pikirnya lega. Sayang tak
begitu kejadian selanjutnya. Hanya berselang lima tarikan napas, tubuh kedelapan
bocah Pasukan Kelelawar mendadak bercelatan bangkit. Geraknya
seperti sentakan ulat-ulat buah jambu. Tiba-tiba saja mereka sudah tegak
kembali. Dengan sekujur tubuh menghangus, siapa
yang percaya mereka masih punya nyawa" Dalam
warna menghitam arang, kegarangan bersit bola
mata mereka semakin kentara. Meski tubuh mere-
ka masih mengepulkan asap. Mereka tatap Pende-
kar Muka Bengis. Layaknya menghujamkan tom-
bak kasatmata ke nyali si lelaki yang kehabisan
tenaga. Pendekar Muka Bengis kaku di tempat.
Jangan lagi untuk membangun serangan
lanjutan, menggerakkan kaki saja sudah tak
mampu. Kelopak matanya pun terasa diganjal
tiang besar, membuatnya sama sekali tak bisa
berkedip. Selanjutnya, kedelapan bocah yang sudah
terpentalan jauh dari posisi masing-masing men-
gumandangkan jeritan. Berbareng, menumpuk ge-
taran maha dahsyat di lapis demi lapis angkasa.
Tubuh Pendekar Muka Bengis sampai ter-
goncang. Detik selanjutnya, kejadian mencengang-
kan kembali disaksikan Pendekar Muka Bengis.
Menyusul terentangnya tangan dengan telapak
terbuka, membersit cahaya kuning memanjang.
Setiap ujung cahaya dari telapak tangan mereka
bertemu. Cincin raksasa terbentuk.
Ganjil. Ajaib. Perlahan-lahan, kulit gesang mereka men-
galami kesembuhan. Bermula dari bagian kepala,
berlanjut ke wajah, leher, dada, perut, hingga akhirnya seluruh tubuh mereka
tuntas pulih kemba-
li! Tak ada sisa bekas hangus. Sama sekali. Hanya bagian yang tumbuh rambut saja
tampak botak. Dengan tenggorokan seperti disumpal ga-
bah, susah payah Pendekar Muka Bengis meru-
tuk. "Mmmmereka bbennar-benar anak ded...
demith!" Bola matanya mendelik ke atas. Latin....
Bruk! Dia ambruk. Kalau dia masih sempat sadar sebentar sa-
ja, mungkin dia akan mengira dirinya sedang ber-
mimpi. Mimpi apes yang sumpah mampus tak
pernah ingin dialaminya lagi!
*** TIGA LEBIH dari seratus tahun lalu, hidup seo-
rang lelaki muda kurang waras berbadan cebol.
Nama aslinya Patigeni. Dia seorang pendekar. Sulit diduga jalan hidupnya.
Kerjanya mengembara dari
satu tempat ke tempat lain. Tak pernah suka pada keramaian. Karena itu dia lebih
sering terlihat di tempat-tempat sepi.
Menurut beberapa kalangan persilatan
yang pernah mengetahui asal-usulnya, ketidakwa-
rasannya disebabkan karena dia pernah terjatuh
dari satu jurang. Kala itu, Patigeni hanya dikenal terbatas oleh warga desa
tempatnya tinggal sebagai pemuda yang selalu mengucilkan diri. Ketika
ditemukan di dasar jurang oleh seorang penduduk
desa, dia sudah dianggap mati. Seorang tabib ahli di desa sekitar bahkan dengan
yakin menyatakan
dia sudah benar-benar mati. Tak ada degup jan-
tung selemah apa pun. Seperti tak ada lagi denyut nadinya.
Penduduk desa lalu mengurus mayatnya.
Dengan peradatan sederhana, dia hendak dike-
bumikan. Menjelang masuk liang lahat, para pen-
gantar jenazah dibuat terkejut setengah modar.
Mayat si pemuda cebol bergerak dan bangkit lagi
Acara lari tunggang-langgang pun berlang-
sung. Bahkan ada yang sempat pakai acara tam-
bahan pula kencing di celana!
Kata orang-orang 'pintar', Patigeni telah
mengalami mati suri. Biasanya, orang yang men-
galami mati suri akan mengalami perubahan besar
dalam kehidupannya. Caranya memandang hidup
berubah. Termasuk perbuatan dan tingkah la-
kunya. Penyebabnya karena mereka telah me-
nyaksikan sendiri rahasia kematian. Kematian, sa-
tu kenyataan yang akan dihadapi setiap orang
nanti, cepat atau lambat. Dengan kata lain, mere-ka telah mengalami salah satu
kebenaran sejati
dari hidup, yakni kematian itu sendiri. Ada yang mengalami perubahan yang baik.
Namun tak jarang mengalami perubahan buruk. Sepak-
terjangnya jadi terlihat aneh, akibat goncangan ji-wa.
Salah seorang yang mengalami kegoncan-
gan jiwa setelah mati suri adalah si pemuda cebol.
Sejak saat itu, dia menjadi kurang waras. Apa
yang dipikirkannya terlalu sulit dimengerti. Tingkahnya begitu ganjil di mata
orang lain. Yang tak kalah aneh Lagi, enam purnama
setelah mengalami mati suri, tahu-tahu Patigeni
yang semula hanya dikenal sebagai pemuda desa
yang mengucilkan diri karena cacat tubuhnya,
menjelma menjadi tokoh sakti. Entah bagaimana,
pada dirinya terdapat kesaktian. Padahal sepan-
jang sepengetahuan warga desa, tak pernah Pati-
geni berguru pada siapa pun.
Semula tak pernah ada yang menyadari
kemunculan kesaktian si pemuda cebol. Sampai
suatu saat, ketika dia tengah duduk menyendiri di satu kuburan tua, datang empat
orang perampok.
Keempat perampok yang terkenal kejam di desa-
desa sekitar itu menyembunyikan harta panasnya
di salah satu kuburan. Kebetulan sekali kuburan
tersebut adalah tempat Patigeni duduk.
Keempat perampok dengan kasar mengu-
sirnya. Patigeni tak beranjak. Kekalapan para perampok menanjak. Salah seorang
perampok pun mencabut senjata. Sebuah golok besar yang tak
pernah lupa diasah dan dimandikan dengan air
kembang tujuh rupa, minyak wangi, dan dupa (As-
taga, mau mengasah golok apa mau mengundang
dedemit kendurian") Tak ada pikiran lain dalam
benaknya dan benak rekannya yang lain selain
mengirim si pengacau barbarian kerdil ke neraka!
Ketika golok besar terayun beringas ke ke-
pala pemuda cebol,
Klang! Golok ajimat warisan nenek moyang si pe-
rampok terpatah dua. Sebagian mata golok som-
pal! Sementara itu, ubun-ubun calon korbannya
tak mengalami lecet sedikit pun. Keempat peram-
pok lari serabutan. Kembali lagi dengan rombon-
gan lebih besar, lebih banyak dari rombongan le-
nong kampung. Gila juga, menghadapi satu orang
saja seperti hendak ikut perang Baratayuda!
Rombongan itu dalam sekejap kandas. Se-
bagian mati bergelimpangan seperti ikan asin di-
jemur. Sisanya lari kocar-kacir. Sekali ini, mereka tak kembali. Mereka kapok.
Sudah bawa 'modal'
banyak-banyak, 'tekor' pula!
Lalu kejadian demi kejadian pun berlang-
sung. Si pemuda cebol semakin diperhatikan oleh
kalangan persilatan. Tak lama berselang, sudah
tersebar desas-desus tentang julukan yang diberikan untuknya; Penjaga Gerbang
Neraka! Disebut begitu, karena setiap orang yang
setor nyawa kepadanya menjadi bangkai gosong.
Seperti dicelup-celup ke dalam neraka. (Celup"
Memangnya teh apa")
Sulit menganggapnya sebagai orang golon-
gan lurus. Sama sulitnya dengan menganggap di-
rinya sebagai golongan sesat. Orang golongan pu-
tih tak ingin mendekati atau menganggapnya se-
kutu. Tak pula menganggapnya seteru. Begitu juga orang golongan sesat. Dia hanya
asyik dengan diri sendiri. Kalau memperhatikan keadaannya sekilas,
orang akan salah sangka terhadapnya. Patigeni
terlihat begitu lemah. Cara jalannya kuyu. Sikapnya selalu layu. Selonong sana-
selonong sini, seolah tak pernah makan lebih dari sekepal nasi se-
hari, seolah tai kucing pun tak gepeng terkena pi-jakannya. Tapi, jangan coba-
coba mengusiknya.
Jika aturan itu dilanggar, jangan lagi orang, lalat, kecoa, kutu busuk, sampai
kutu di kepala dukun
pun diinjak-injak sampai tak berbentuk!
Orang begitu yang disebut diam-diam sam-
buk. Jangan menggebuk kalau tak ingin kena ge-
buk. Jangan makan sabun kalau tak ingin menc-
ret! Suatu kali si cebol berjuluk Penjaga Ger-
bang Neraka bertemu dengan seorang perempuan
sebayanya. Cantik. Cinta memang tak pernah bisa
ditebak kedatangannya. Begitu beradu pandang
untuk pertama kali, Patigeni langsung jatuh cinta.
Masalah waras atau tidak, tak menjadi soal. Me-
mangnya cuma orang waras saja yang punya hak
untuk jatuh cinta"
Si perempuan ternyata adalah seorang
pendekar wanita. Berasal dari satu perguruan silat terpencil di Mataram. Dia
mengembara ke tanah
Pajajaran karena mengejar seorang pelarian Mata-
ram yang telah membunuh orangtuanya.
Aneh, tidak aneh. Patigeni yang selama ini
dianggap tidak waras oleh penduduk desa tempat-
nya, justru bisa bersikap layaknya seorang lelaki yang mencintai seorang
perempuan pada pendekar
wanita tadi. Kata orangtua, cinta memendam ke-
kuatan amat hebat. Dengan kekuatannya, cinta
bahkan bisa mengendalikan arahnya sejarah. Per-
caya tidak" Itu kata orangtua. Yang jelas, bagi Patigeni si Penjaga Gerbang
Neraka, cinta telah
memberi semangat untuk keluar dari kesunyian-
nya. Sayang, dia merasa cintanya laksana pu-
nuk merindukan bulan. Biarpun ada kekuatan da-
lam dirinya, biarpun ada api menggelora dalam
hatinya, kekuatan dan api itu ternyata tak dapat mengubah kenyataan bahwa si
pendekar wanita
tak dapat membalas cintanya.
Namun, berani sumpah mampus disambar
kucing garong, (Memangnya Patigeni sejenis den-
deng kering") cintanya pada si pendekar wanita
tulus murni. Cinta tulus murni tak pernah ingin
menguasai. Mencintai, ya mencintai. Tak perlu di-permasalahkan apakah orang yang
dicintai mem- balas cintanya.
Beruntung, si pendekar wanita berhati


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

emas. Tahu tak bisa membalas cinta Patigeni, dia membayarnya dengan cara lain.
Dijadikannya Patigeni sebagai saudara angkat.
Sejak saat itu, Patigeni yang kesepian ser-
ing terlihat bersama si pendekar wanita. Si pendekar wanita sendiri memberikan
perhatian yang tak kalah tulus padanya layaknya seorang saudara
kandung sejati. Semua kebaikan si pendekar wani-
ta, cukup untuk menghibur Patigeni. Sekaligus,
mengenyahkan kesepian yang beku sekian lama.
Mereka dekat. Hati keduanya lekat.
Berbagi rasa dengan cara masing-masing.
Sayang, selagi menikmati rasa cinta yang
terpenjara, si pendekar wanita ditemukan tewas di sekitar pesisir tanah Jawa.
Kejadian itu meluluh-lantakkan hati Patigeni. Tak apa tak mendapatkan cintanya,
asal jangan orangnya mati terbunuh secara mengenaskan. Ke mana lagi cintanya
harus ditujukan kalau sang pujaan hati telah tiada" Kepada perempuan lain" Dunia tak
selebar daun ko-
lor, eh kelor, kan" Bagi Patigeni, tak akan datang cinta yang lain, seakan dunia
sudah kebelet mau
kiamat. Bukan main murkanya Patigeni pada si
pembunuh. Apalagi menyaksikan bagaimana me-
nyedihkannya keadaan si perempuan pujaan. Dia
pun bersumpah, kalau perlu kepala dijadikan pan-
tat, pantat dijadikan jidat, jidat dijadikan dengkul dan seterusnya, akan
dituntutnya kematian perempuan itu!
Selidik punya selidik, dengar punya den-
gar, Patigeni pun mengetahui pembunuhnya ada-
lah pelarian yang dicari oleh si pendekar wanita.
Rupanya pendekar wanita itu telah menemukan
orang yang dicarinya selama ini. Terjadi pertarungan. Dia tak sanggup
mengungguli kesaktian la-
wan. Matilah dia. Semuanya di luar sepengeta-
huan Patigeni. Seandainya dari dulu perempuan itu men-
gatakan pada Patigeni untuk mencari sekaligus
membunuh pembantai orangtuanya, tentu Patige-
ni akan melaksanakan.
Sayang, nasi telanjur jadi bubur. Kini, cu-
ma tinggal persoalan hutang nyawa antara dirinya dengan si pelarian dari
Mataram. Terakhir diketa-huinya kalau pembunuh perempuan pujaannya
itu dikenal dengan julukan Manusia Makam Ke-
ramat! Mulai saat itu, Patigeni terus mencari dan memburu Manusia Makam Keramat.
* * * Dewi Melati selesai memaparkan cerita pa-
da Satria. Panjang-lebar. Sudah bertele-tele, mem-bosankan pula. Untung Satria
termasuk pemuda
yang sabar. Kalau tidak, sudah ditinggal lari perempuan bermulut kaleng rombeng
itu! Heran, mendengarkan saja dia sudah merasa capek sen-
diri. Bagaimana mulut perempuan itu tidak meni-
ran" "Tapi aku tak pernah menemukan hubun-
gan antara kisah gurumu dan Pasukan Kelela-
war?" tanya Satria. Sudah hilir-mudik bercerita, tapi belum juga ketahuan
juntrungannya. Memangnya dia mau ikut sinting seperti Dewi Melati dan manusia
cebol itu"
"Begini, menurut Patigeni Cebol ini," mulai Dewi Melati lagi, tetap dengan kata-
kata yang tidak tahu adat. Dia dapat mengerti cerita gurunya yang bisu dengan
bahasa isyarat yang sudah biasa mereka lakukan. "Sepak terjang Pasukan Kelelawar
sangat mirip dengan Manusia Makam Keramat
sebelum dia di buat mampus oleh seorang Prabu
Pajajaran beberapa puluh tahun silam."
Satria terperangah.
"Jadi manusia yang tengah kita bicarakan
sudah mati"! Kalau sudah mati, apa gunanya di-
hubung-hubungkan dengan Pasukan Kelelawar?"
Satria mulai sebal.
"Makanya dengarkan aku dulu, Sayang....
Aku belum selesai bicara, kau sudah memotong.
Kalau urusan lain, aku setuju kau bernafsu begi-
tu," goda Dewi Melati sambil mengerling mesum.
Satria meringis. Urusan lain apa" Buang
hajat"! gerutunya.
"Kata Patigeni pula, dia yakin bahwa Pasu-
kan Kelelawar mempunyai hubungan dengan Ma-
nusia Makam Keramat. Bisa jadi mereka murid-
nya. Bisa jadi cuma sekadar bocah-bocah yang di-
peralat." "Kau jangan ngaco, Dewi Melati! Bagaima-
na mungkin orang yang sudah mati dapat mempe-
ralat orang lain" Kalaupun Pasukan Kelelawar
murid orang itu, bagaimana caranya mereka ber-
guru sementara Manusia Makam Keramat sendiri
sudah ke neraka puluhan tahun silam?"
Dewi Melati tertawa.
"Dia belum sampai di neraka," sanggahnya.
"Apa maksudmu?"
"Jasadnya memang sudah mati, tapi roh
jahatnya sendiri belum. Dia terkungkung di batas dua alam. Sementara kesaktian
durjananya tetap
dia miliki. Kalau perkiraan Patigeni Cebol benar, maka sudah bisa dipastikan
Manusia Makam Keramat mengambil murid atau memperalat bocah-
bocah itu dengan cara gaib. Tujuannya tentu saja untuk bisa kembali ke alam
nyata." Satria tercenung. Sekali lagi, kalau perki-
raan si cebol sakti benar, lantas lawan sesakti apa yang bakal dihadapinya"
Setidaknya kesaktian
Manusia Makam Keramat sebanding dengan gu-
runya sendiri, Dedengkot Sinting Kepala Gundul!
Celaka dua betas kali dua belas!
EMPAT DALAM pergantian waktu, terjadi pergan-
tian peristiwa. Hari kemarin tertinggal. Hari baru datang. Mengiring sang hari
baru, peristiwa lain terjadi. Namun dari waktu ke waktu, semuanya
tak lebih dari pengulangan peristiwa yang telah la-lu.
Layaknya dunia persilatan yang mengenal
garis tegas antara kebatilan dan kebenaran (meski banyak juga kebatilan mengabur
sebagai kebenaran dan kebenaran mengabur dalam kebatilan.)
Kebatilan menjangkit dan kebenaran berkutat
bangkit. Semua terulang dari hari ke hari, dari itu ke itu juga. Hanya dengan
'warna' dan 'bentuk'
yang berbeda. Dalam pergulatan tua dua kekuatan alam
itu, berlaku kemenangan dan kekalahan. Kebena-
ran tak selalu harus menang. Namun, kebatilan
pasti musnah. Hari baru. Matahari, bumi, udara, angkasa
tetap yang dulu. Ada peristiwa lain mengisi hari ini. Dua sosok tubuh terlihat
tergantung di atas dahan pohon tinggi besar. Tubuh mereka terbalik, lunglai tak
berdaya. Kaki keduanya diikat dengan oyot pada dahan pohon.
Dua orang itu tak lain Pendekar Muka
Bengis dan Gendut Tangan Tunggal. Dalam perta-
rungan penentuan terakhir, kehebatan mereka se-
laku dua tokoh ternama dunia persilatan ditum-
bangkan oleh delapan bocah Pasukan Kelelawar.
Kematian belum waktunya menjemput. Entah apa
maksud delapan bocah laknat itu tidak menghabi-
si mereka. Kehangatan sinar mata hari mengusap se-
bagian tubuh mereka. Salah seorang dari mereka
mulai siuman. Terdengar keluh berat Pendekar
Muka Bengis. Matanya terbuka. Tak lama, Gendut
Tangan Tunggal menyusul.
"Bagaimana aku bisa tidur terbalik seperti
ini?" keluh Gendut Tangan Tunggal, seperti lengu-han sapi kekenyangan. "Kau
menjahili aku, Bengis"!" tudingnya sembarangan.
"Tidur"! Apa kau tak ingat kita bertarung
dengan Pasukan Kelelawar. Kita dipencundangi!"
hardik Pendekar Muka Bengis.
Telunjuk Gendut Tangan Tunggal menyen-
tuh kening. Kerutan wajahnya merapat, mengin-
gat-ingat. "O, iya.... Pantas saja badanku terasa re-
muk semua. Lalu kenapa kita jadi begini?" ka-tanya. "Mana aku tahu!"
Pendekar Muka Bengis tak betah berlama-
lama digantung terbalik. Setelah merutuk, dia menyentak sedikit otot kakinya.
Oyot sebesar perge-langan tangan terputus. Biarpun tubuhnya masih
mengeram luka dalam, lelaki itu masih cukup
mampu berjumpalitan ringan. Dia berdiri agak
oleng. Ketika dadanya terasa bagai hendak dile-
dakkan dari dalam, cepat-cepat Pendekar Muka
Bengis duduk bersila. Dia harus segera memulih-
kan tenaga dan meringankan luka dalamnya den-
gan bersemadi. "Mau apa kau?" tanya Gendut Tangan
Tunggal. Dibanding Pendekar Muka Bengis, luka
dalamnya tak begitu parah.
"Kau pikir apa" Cari wangsit"!" sewot Pendekar Muka Bengis, menyahut.
"Bagaimana dengan aku?" susul Gendut
Tangan Tunggal.
Pendekar Muka Bengis melirik dongkol.
"Apa maksudmu?" ucapnya, balik bertanya.
"Jangan gila kau, ya! Bantu aku turun! Apa
kau tega membiarkan aku tergantung seperti ini"!
Apa kau mau semua isi perutku pindah ke jidat"!"
semprot Gendut Tangan Tunggal.
"Kau bisa melakukan sendiri, Gendut. Jan-
gan seperti anak kecil!"
"Tak bisa! Tak bisa! Darah di kakiku sudah
mengalir ke mana-mana. Kalau sudah begitu, aku
tak bisa menggerakkan kaki seperti kau lakukan.
Itu memang penyakit bawaanku sejak bocah."
"Pergunakan tanganmu, Otak Udang!"
"Aku bisa menggerakkan tanganku. Tapi
bagaimana dengan perutku" Perut ini menghalan-
gi gerak tanganku untuk melepaskan oyot. Pikir
kenapa"!"
Dengan kejengkelan yang mencelat ke
tenggorokan, Pendekar Muka Bengis bangkit dari
silanya. Kalau saja bukan kawan, sudah dihan-
tamnya perut gentong Gendut Tangan Tunggal
dengan batang pohon.
"Buang-buang tenaga! Kenapa pakai bang-
kit segala"! Ambil saja batu kerikil lalu lemparkan... tes! Beres, bukan"!" omel
Gendut Tangan Tunggal.
"Kalau aku nekat mengerahkan tenaga da-
lam lagi, aku bakal mampus. Kau memang mau
aku mampus, ya"!"
"Ah, bilang-bilang sejak dulu, kenapa?"
"Sudah jangan banyak mulut!"
Seperti orang awam yang tak menguasai
tenaga dalam, akhirnya Pendekar Muka Bengis
terpaksa membuka ikatan oyot di kaki Gendut
Tangan Tunggal dengan tangannya.
Gedebuk! Tubuh si tua berperut gentong jatuh telak
menghantam tanah.
"Sialan! Bilang-bilang kenapa kalau ika-
tannya sudah kau lepas"!" gerutunya sambil me-mijat-mijat bokong yang terhantam
akar pohon merangas. Pendekar Muka Bengis sudah 'sakit perut'
melayani omongan kawan menjengkelkannya. Dia
bersila kembali. Belum-belum, Gendut Tangan
Tunggal sudah bercuap lagi.
"Bengis, kenapa kau tak sekalian bantu
aku berdiri" Kakiku masih belum bisa kugerak-
kan...," rengeknya.
Pendekar Muka Bengis 'geregetan'. Ra-
hangnya bergemelutuk. Matanya melotot.
Selang beberapa saat kemudian, pasangan
pendekar aneh itu sudah agak segar kembali. Tu-
buh mereka telah pulih. Setelah usaha pengobatan sendiri melalui semadi yang
cukup berat, dibantu dengan obat milik Pendekar Muka Bengis.
"Sekarang, kita harus menemukan pende-
kar muda itu," mulai Pendekar Muka Bengis.
"Siapa maksudmu?"
"Satria," jawab Pendekar Muka Bengis dengan sumpah serapah di hati.
"Wah, iya! Bukankah dia sedang mengejar
salah satu bocah Pasukan Kelelawar?"
"Makanya, kita harus segera mencarinya!!"
"Ke mana?"
"Yang pasti bukan ke kedai," sindir Pendekar Muka Bengis sambil 'ngeloyor'
begitu saja meninggalkan kawan menyebalkannya.
Kedai" Gendut Tangan Tunggal bergumam
sendiri. Terbayang nasi sambal terasi lengkap
dengan lauk-pauknya. Lidahnya bersilap-silap.
Ikan bakar, kerupuk jengkol, jengkol muda, semur jengkol....
"Cepat, Gendut!!!" bentak Pendekar Muka Bengis tak sabaran.
"Eh jengkol... jengkol!" Gendut Tangan Tunggal terperanjat setengah modar.
Setelah itu, barulah diikuti langkah Pendekar Muka Bengis.
Tak lama, keduanya sudah terlihat me-
langkah ke arah barat. Di kejauhan masih terden-
gar sayup-sayup ocehan Gendut Tangan Tunggal.
"Usulmu untuk ke kedai cukup bagus! Ka-
pan kita hendak ke sana?"
* * * "Satriaaaaa! Hoi, Anak Muda! Kita berjum-
pa lagi!" Dari kejauhan, Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Muka Bengis
terlihat. Mereka berhasil menemukan Satria Gendeng yang masih ber-
sama Dewi Melati dan Penjaga Gerbang Neraka.
Belum lagi sampai, manusia kelebihan lemak su-
dah teriak-teriak tak karuan, bikin rusuh suasana saja. Saat itu, Satria masih
harus mendengarkan lanjutan cerita Dewi Melati yang sumpah
mampus membuat dia mengantuk.
Dengan ucapan dilebih-lebihkan untuk
mengambil hati si pemuda tampan, Dewi Melati
berkata, Manusia Makam Keramat berniat kembali
lagi dari kematian. Itulah berita yang dibawa Penjaga Gerbang Neraka pada Satria
Gendeng khu-

Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

susnya. Dan pada dunia persilatan tanah Jawa
umumnya. Andaikan niatnya itu terlaksana, maka du-
nia persilatan terancam mara bahaya besar. Mara
bahaya mungkin belum cukup tepat untuk meng-
gambarkannya. Yang lebih tepat; bencana! Melebi-
hi keganasan letusan gunung merapi, badai rak-
sasa, atau angin ribut! Karena kesaktian Manusia Makam Keramat yang telah
berhasil kembali ke
alam nyata, adalah kesaktian Dewa Petaka!
Seperti diceritakan oleh Dewi Melati pada
Satria Gendeng, gurunya (sekaligus 'suami angkatnya', entah apa maksudnya dengan
istilah itu) selama ini mempunyai piutang nyawa pada Manusia
Makam Keramat. Menurut cerita perempuan genit
bermulut ceriwis itu lagi, selama memburu Manu-
sia Makam Keramat, Penjaga Gerbang Neraka tak
pernah berhasil berhadapan langsung. Dia selalu
kehilangan jejak. Waktu sekian lama yang dibuang untuk memburu manusia keji
berkesaktian tinggi
itu akhirnya sia-sia. Didengar kabar bahwa Manu-
sia Makam Keramat telah mati di tangan seorang
Prabu Pajajaran.
Merasa dirinya tak bisa melaksanakan
sumpah pada mendiang pendekar wanita dam-
baannya, si lelaki cebol pun lalu mengasingkan di-ri, Berpuluh-puluh tahun dia
tak pernah beranjak dari puncak Gunung Krakatau. Di sana dia menjalani tapa
geni. Tubuhnya sudah sulit dikenali. Sekujur badannya ditumbuhi jamur dan
tumbuhan rambat. Rupanya sudah seperti arca batu.
Sampai suatu hari, seseorang datang ke
tempat pertapaannya. Dia adalah seorang perem-
puan pelarian dari suatu desa di sekitar Krakatau.
Penduduk desa menuduhnya telah melakukan
perbuatan mesum dengan beberapa pemuda. Pa-
dahal justru dirinya yang telah diperkosa di se-
buah ladang pada malam buta. Kebenaran me-
mang lahan yang dapat diputarbalikkan oleh ke-
busukan lidah. Bukannya berhasil menuntut per-
buatan para lelaki keparat itu, dirinya malah ditu-duh sebagai wanita pembawa
sial. Lalu penduduk
desa hendak membunuhnya. Perempuan itu lari
dari kejaran penduduk ke sekitar Gunung Kraka-
tau. Tanpa sengaja, dia tiba di tempat pertapaan Penjaga Gerbang Neraka.
Satu hal yang menyebabkan si cebol sakti
menyudahi tapa geninya adalah karena perem-
puan yang datang amat mirip dengan wanita pu-
jaannya. Sejak saat itu, si perempuan yang me-
nyimpan dendam pada penduduk desa dan kaum
lelaki berguru pada Penjaga Gerbang Neraka.
"Jadi kau mirip dengan pendekar wanita
yang dibunuh oleh Manusia Makam Keramat,"
gumam Satria ketika Dewi Melati menyambung ce-
ritanya yang diputus waktu lalu. "Bagus!" sentaknya. "Apa yang bagus?" tanya
Dewi Melati. "Entahlah. Aku merasa mendapat satu ga-
gasan untuk memancing kedatangan Pasukan Ke-
lelawar." Mata berbulu lentik Dewi Melati membela-
lak, indah terlihat. Satria jadi bisa sedikit menikmati pesona itu. Ada getaran
terasa manakala ma-
tanya mencoba melalap garis dan warna mata De-
wi Melati. "Apa maksudmu" Kau jangan punya gaga-
san macam-macam, Anak Muda!" sergahnya nya-
ris memekik. "Tapi itu cuma gagasan," kilah Satria. "Lagi pula, aku pun belum menjelaskan
padamu men-genai gagasan ku itu, bukan" Memangnya aku
memiliki gagasan apa?"
"Apa kau hendak menjadikan aku umpan?"
tanya Dewi Melati, ragu.
"Tidak," Satria nyengir kuda. "Maksudku,
'tidak salah'."
Mata perempuan itu kian membelalak. Sa-
tria makin menikmati mata itu. Tak lama kemu-
dian wajah Dewi Melati mulai tampak jelek. Dia
kelewatan 'manyun' mendengar perkataan Satria
terakhir. "Lebih baik aku tersambar geledek bingung
daripada harus diumpankan kepada Manusia Ma-
kam Keramat!!!" raung Dewi Melati, memekakkan telinga. Demi melihat istri
angkatnya uring-uringan, Penjaga Gerbang Neraka tak bisa diam.
Dia ber-a-a-uk-uk mengomeli Satria habis-
habisan. Satria bengong.
Gendut Tangan Tunggal dan Pendekar Mu-
ka Bengis tiba. Keduanya jadi ikut bengong men-
dengar omelan 'sambar geledek' macam itu dari
mulut seorang lelaki cebol. Perasaan, keduanya
belum pernah berbuat kekeliruan apa-apa. Lalu
apa yang salah"
* * * Hujan deras melimpahi bumi malam itu.
Menggebu. Kilat meranggasi angkasa. Guntur me-
nyalak, sambut menyambut Angkasa pekat. Tak
ada yang bisa dipandang kecuali timbunan awan
hitam di mana-mana.
Serbuan titik hujan tampaknya tak kun-
jung reda. Padahal hujan sudah berlangsung cu-
kup lama. Suatu ketika, kilat membersit, bagai re-takan langit malam bercahaya.
Bumi seolah di-
gempa sekejapan. Ubun-ubun satu pohon besar
tersambar. Tak jauh dari tempat petir menukik, terda-
pat sebentang tanah kuburan. Di antara tonggak-
tonggak nisan dingin dan beku, terdapat makam
berukuran paling besar. Nisannya terbuat dari ba-tu wadas sebesar kerbau
berbentuk tengkorak
manusia. Di bawah tanah makam, terkubur ke-
rangka seorang pengacau besar yang pernah me-
rongrong kekuasaan seorang Prabu Pajajaran.
Seorang berkesaktian mandraguna yang pernah
menjadi pembunuh paling dingin sekian tokoh
disegani di bumi Pajajaran.
Di permukaan nisan, terpahat sebaris ka-
limat; Manusia Makam Keramat. Hidup sebagai
durjana! Mati sebagai durjana. Satu baris kalimat yang diberikan oleh sang Prabu
Pajajaran yang te-
lah membunuhnya.
Saat kilat berkelebat, nisan menggidikkan
dalam sekedipan menjadi benderang. Guruh men-
gamuk. Lalu kilat menoreh kembali. Lagi dan lagi.
Guruh tak tinggal diam, terus menguntit. Malam
jadi seperti pesta awal petaka.
Dari kepekatan malam dan rapatnya ser-
buan hujan, satu sosok kecil berlari lincah me-
nembus semua itu. Bahunya membopong seorang
wanita. Karena bertubuh kecil, sosok itu jadi terlihat tak seimbang dengan
bebannya. Bukan den-
gan begitu dia mengalami kesulitan berarti. Tanpa pernah kehilangan kelincahan,
sosok kecil itu
bahkan mencelat-celat dari satu pucuk nisan ke
pucuk lain. Sampai sosok itu tiba di makam bernisan
tengkorak. Bertepatan dengan mengerjapnya kilat,
mencelat suara gemuruh. Bukan berasal dari gu-
ruh, melainkan dari gundukan tanah makam.
Gemuruh menanjak makin keras.
Merangas beringas.
Deru hujan terlibas.
Salakan guntur dilindas.
Perlahan-lahan, gundukan tanah makam
menjadi retak. Retakan merekah. Dari dalam re-
kahan, menyembur asap pekat, bergumpal-gumpal
bagai kabut tengah malam. Lobang tercipta. Besar dan kian membesar. Di dalam
liang lahat mengan-ga, terbujur mayat seorang lelaki kurus berambut putih
panjang menumpuk di sekitar bahunya.
Kumis dan jenggotnya pun demikian panjang, me-
nutupi sekujur dada. Juga kuku-kuku di jari kaki serta tangan. Karena sudah
terlalu panjang, kuku hitam itu melingkar-lingkar di sekujur lengan dan telapak
kaki. Tepat di dada kanannya, tertancap
sebatang keris kecil berukuran sejengkal berwarna keperakan. Sebagian ujung mata
keris menembus dadanya. Senjata itu milik salah seorang Prabu
Pajajaran yang berhasil membunuh, sekaligus
membangun prasasti kematian di makamnya. Pra-
sasti untuk peringatan bagi setiap durjana yang
mencoba membangun petaka!
Asap tersapu angin. Menipis. Bersamaan
dengan menipisnya asap, perlahan tampak sosok
seseorang di tepi kuakan lebar gundukan makam.
Lelaki tua. Wajahnya sepucat mayat. Tirus dan
kurus. Berkumis putih tebal. Berambut panjang
sebatas pinggang sewarna dengan kumisnya. Ber-
sidekap dia, bertelanjang dada. Tubuhnya hanya
ditutupi cawat kain berwarna hitam. Sepasang
matanya seperti tak memiliki kelopak. Biji ma-
tanya putih menyeluruh. Kulit di seputar mata
berwarna hitam.
Ada suatu keanehan. Wajah dan perawa-
kan lelaki yang baru muncul amat serupa dengan
mayat di liang lahat. Perbedaannya cuma pada
panjangnya rambut, jenggot, dan kuku.
Di dalam liang lahat, sudah jelas terbujur
Manusia Makam Keramat, sesuai dengan pahatan
pada nisan. Dan orang tua yang baru muncul pun
Manusia Makam Keramat! Yang satu jasadnya.
Yang lain arwahnya.
Jasad lelaki sakti yang pada zamannya
pernah dianggap sebagai Sang Dewa Petaka itu tak pernah diterima bumi semenjak
kematiannya, akibat kutukan salah seorang guru yang dibunuhnya.
(Baca kisah sebelumnya: "Pasukan Kelelawar"!) Hal itu menyebabkan rambut dan
kukunya tetap tumbuh kendati arwahnya telah terpisah dari ra-
ga. Penyebab yang pasti tidak diterimanya ja-
sad Manusia Makam Keramat oleh bumi sebenar-
nya bukan semata karena kutukan. Melainkan,
karena manusia setengah dewa itu telah keliru
mempelajari satu kitab sesat yang tak memiliki
halaman terakhir. Karena kekeliruan itu, arwah-
nya terus terpenjara di batas dua alam.
"Kau telah datang muridku?" tanya Manusia Makam Keramat dengan bahasa gaib.
"Benar, Eyang. Tapi delapan orang dari
kami...," lapor si bocah tanpa terlihat gerakan mulut sekecil apa pun. Sebelum
kalimatnya selesai, sang guru sudah memotong.
"Apa yang terjadi dengan mereka?"
"Kami dihadang oleh seorang lelaki berwa-
jah garang. Ketika kami sedang menggempurnya,
datang tiga orang lain. Satu orang bertubuh ge-
muk buncit, satu orang wanita cantik yang dulu
gagal kami culik dan seorang pemuda yang pernah
mengusik tapa kami di goa. Lalu aku memutuskan
untuk membawa perempuan ini dulu kepada
Eyang." Wajah arwah Manusia Makam Keramat terlihat keruh. Matanya membersitkan
sinar murka. "Aku sudah tahu pemuda itu. Tapi aku be-
lum tahu dua orang yang lain...," geramnya.
"Aku ingin sekali memperlihatkan bayan-
gan semu lelaki gendut buncit dan perempuan
cantik itu pada Eyang. Tapi tentu Eyang tahu aku tak bisa melakukannya tanpa
melengkapi jumlah
kami menjadi sembilan orang."
"Ya. Tunggu saudara seperguruanmu yang
lain. Sekarang, kau lemparkan dulu perempuan
itu ke dalam makam ku!" perintah arwah Manusia Makam Keramat.
"Baik, Eyang."
Usai menyahut, si bocah yang sebelumnya
berhasil meloloskan diri dari kejaran Satria Gendeng, segera melaksanakan
perintah eyang gu-
runya. Perempuan di bahunya dicampakkan begi-
tu saja layaknya bangkai binatang.
Ketika tubuh perempuan malang tadi terja-
tuh tepat di atas jasad Manusia Makam Keramat,
mendadak petir kembali menyalak. Beberapa de-
tik, kembali berlangsung sahut-sahutannya. Sea-
kan, sedang berlangsung peperangan sengit para
makhluk angkasa!
Jasad Manusia Makam Keramat member-
sitkan cahaya merah dari setiap lobang pori-
porinya. Membersit lurus. Halus.
Menyatu di segenap ruang liang.
Membangun benderang.
Seakan ada tumpukan bara, dari dasar ne-
raka! Tubuh si perempuan malang perlahan-
lahan tertelan cahaya merah itu. Bentuknya men-
gabur, mengabur, seperti diurai menjadi serpihan debu tertembus larik-larik
cahaya halus. Di ujung semua itu, wujud perempuan malang tadi memupus, "Ha ha ha
ha!!!!" Mencelat tawa Manusia Makam Keramat.
Garang. Lantang. Menyalipi deru hujan dan gelegak langit ke-
lam. Bersamaan dengan itu, keris kecil di dada jasad Manusia Makam Keramat
bergetaran jalang.
Getaran halus, namun cepat. Sebagian ujungnya
kemudian terangkat. Setelah itu, keris beku kem-
bali. "Perempuan kedua puluh satu! Sepuluh orang lagi akan membuat keris laknat
itu tercabut dari jasadku, dan aku akan bebas untuk bangkit
kembali!!!!" raung Manusia Makam Keramat, ber-kawal kabut putih pekat yang


Satria Gendeng 08 Memburu Manusia Makam Keramat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menelannya. LIMA MENEMUKAN Gendut Tangan Tunggal dan
Pendekar Muka Bengis datang, Dewi Melati terse-
nyum samar. Ini dia, pikirnya sambil melirik si
orang tua buncit dengan tatapan usil, sekaligus
mengancam. "Rupanya kau di sini juga, Dewi. Kupikir
kau sudah diculik salah seorang bocah Pasukan
Kelelawar!" celoteh Gendut Tangan Tunggal, pan-tang melihat wanita setengah baya
cantik itu. Kalau bertemu, mereka sudah seperti kucing dengan
anjing bengkak. "Kuharap kau akan dijemput oleh mereka. Siapa tahu, perempuan
sejenis dirimu memang diminati sekali oleh bocah-bocah itu," cecar Gendut Tangan Tunggal, tak
puas. "Kau hendak memuji" Siapa yang tak ber-
minat padaku?" tangkis Dewi Melati sambil me-lenggokkan pinggul padat menantang
dan me mir- ing-miringkan wajah genit.
"Bukan begitu. Aku pikir, otak mesum mu
mungkin cukup gurih untuk disedot oleh mereka,
siapa tahu. Hi hi hi!"
"Diam kau gendut bau!" Dewi Melati mendengus sinis. Wajahnya memerah. Hidungnya
kembang-kempis macam kelinci betina. Penghi-
naan seperti itu tidak bisa dibiarkan, sumpahnya.
Lalu terbetiklah pikiran brengseknya.
Sambil mendekati 'suami angkatnya' den-
gan wajah tertekuk macam dompet tanggung bu-
lan, dia menggerak-gerakkan tangan. Gelagatnya,
dia sedang menyampaikan sesuatu pada Penjaga
Gerbang Neraka dengan bahasa isyarat yang
hanya dimengerti oleh mereka.
Gendut Tangan Tunggal terkikik geli. Dia
tak pernah tahu bahwa si lelaki cebol bisu tuli.
Dan dasarnya dia memang rada-rada telat mikir,
dia pun tak menyadari hal itu. Yang diperhatikannya cuma gerak-gerik Dewi Melati
yang dianggap lucu. Wajah Satria merengut. Apa maunya Dewi
Melati sekarang"
Pertanyaan serupa itu baru terjawab ke-
mudian, ketika wajah mungil mirip perempuan si
Penjaga Gerbang Neraka mendadak merah padam.
Matanya berkilat-kilat menerkam Gendut Tangan
Tunggal, Rahangnya mengeras. Gigi bergemeletu-
kan. Melihat manusia kecil itu, Gendut Tangan
Tunggal jadi ngeri juga. Bibirnya sebentar-
sebentar tersenyum, mencoba menjinakkan lelaki
cebol yang mulai mendidih tanpa sebab yang dike-
tahuinya. Sialnya, senyumnya itu lebih mirip cen-giran mengajak. Dan wajah
Penjaga Gerbang Ne-
raka makin kebakaran. Saking serba salahnya,
Gendut Tangan Tunggal menyikut kawan di sebe-
lahnya. "Apa salahku, Bengis?" tanyanya pada Pendekar Muka Bengis.
Pendekar Muka Bengis angkat bahu. Apa
peduliku" gerutunya dalam hati. Kalaupun aku
tahu, aku pun tak akan ambil peduli! Sebaliknya, aku malah berharap kalau kau
sedikit diacak-acak oleh manusia kerdil itu. Biar kau tahu rasa! Pendekar Muka
Bengis membatin. Dia sebenarnya
masih agak kesal dengan Gendut Tangan Tunggal.
"Pasti kerjaannya si Dewi Kaleng Rom-
beng," gumam Gendut Tangan Tunggal, menduga-
duga. Tak mungkin ada asap kalau tak ada api!
Dia baru sadar sekarang apa maksud Dewi Melati
dengan gerak-gerakan tangan tadi... Bukankah itu bahasa orang bisu-tuli"
"Bisu-tuli"!" desis Gendut Tangan Tunggal tiba-tiba. Mendadak saja dia teringat
sesuatu. Ingat 'seseorang' tepatnya. Lalu ditelitinya Penjaga Gerbang Neraka,
dari ubun-ubun sampai ke ujung
kaki, lalu balik ke ubun-ubun lagi....
"Waduh!" keluhnya. Wajahnya yang biasa selalu bersemu kemerahan tiba-tiba pula
memucat. Mulutnya membulat. Serba salah sikapnya.
Garuk sini salah, garuk sana salah. Tak digaruk, juga salah.
"Kenapa?" tanya Pendekar Muka Bengis,
penasaran melihat tingkah Gendut Tangan Tung-
gal. "Kau tanya kenapa"!" bentak Gendut Tangan Tunggal dengan mata mendelik.
Ngototnya minta ampun. "Iya, kenapa"!" balas Pendekar Muka Bengis, tak kalah sengit. Pertanyaannya
sebelumnya tidak pakai acara bentak-bentakan segala, kenapa mesti dijawab dengan kasar"
Cuma manusia con-gek, tolol, dan pikun yang tak tersinggung dibegi-tukan!
"Manusia cebol itu...," bisik Gendut Tangan Tunggal. Tanpa menyelesaikan ucapan,
si orang tua gendut melirik Penjaga Gerbang Neraka takut-
takut dengan sudut mata.
"Kenapa dengan dia?"
Pendekar Muka Bengis makin penasaran.
Gendut Tangan Tunggal baru mau berbisik
lagi, tapi terpancung dengan terjangan gila-gilaan Penjaga Gerbang Neraka. Ya,
gila kecepatannya.
Ya, gila tenaga dalamnya. Ya, gila sangarnya. Ya,
gila... orangnya!
Orang tua gendut itu seketika berteriak se-
jadi-jadinya. Melolong-lolong seperti bocah bongsor takut disunat!
Gila, kenapa si gendut ini" Pendekar Muka
Bengis terbengong-bengong. Heran juga dia. Sebe-
narnya, apa yang begitu ditakuti tokoh kawakan
macam Gendut Tangan Tunggal dari manusia se-
kecil itu" Dewi Melati terkikik-kikik geli. Badannya sampai terbungkuk-bungkuk
sambil mendekap
perut. Satria Gendeng lain lagi. Dia menepak jidat sendiri. Ampun, kegilaan
macam apa lagi dilakukan orang-orang sinting ini" Gerutunya dalam ha-
ti. "Tunggu! Tahan, oi-oi, tahan!" teriak Gendut Tangan Tunggal kelimpungan dalam
kucuran serangan lawan cebolnya. Apalagi ketika Penjaga
Gerbang Neraka sudah menggunakan senjata ber-
bentuk cakarnya. Seolah begitu bernafsu dengan
perut gentong lawan, Penjaga Gerbang Neraka
mencecarkan senjatanya pada bagian tersebut.
Wukh wukh! Kendati kelihatan ketakutan, Gendut Tan-
gan Tunggal tak bodoh membiarkan sambaran
senjata lawan 'menggaruk' habis perutnya. Ga-
danya bergerak sekejapan, menghadang senjata
lawan. Trang! Bentrokan terjadi. Gendut Tangan Tunggal
mengaduh keras. Tangannya terasa seperti baru
dibenturkan ke benteng baja. Gada di tangan ka-
nan pasti terpental, kalau saja orang tua buncit itu menentang tenaga sentakan
senjata lawan. Kendati berhasil mempertahankan senjatanya,
Gendut Tangan Tunggal harus menerima akibat
lain. Tubuhnya terpental amat jauh. Badan sebun-
tal dia seperti cuma berisi kentut!
Sekarang, mata Pendekar Muka Bengis ba-
ru mulai terbuka. Sekarang, lelaki berwajah tak
bersahabat tapi berhati mulia itu mulai dapat
membaca alasan kawan tengiknya bertingkah tak
karuan. Yang tetap belum jelas baginya, siapa
orang cebol itu"
Di kancah pertarungan, Penjaga Gerbang
Neraka bahkan tak membiarkan lawan menjauh
akibat dorongan tenaganya sendiri. Dia benar-
benar kalap. Entah apa yang dikatakan Dewi Me-
lati padanya sampai orang kecil berusia amat tua itu jadi mengamuk.
"Huuuk!"
Dibayangi sentakan suara aneh, Penjaga
Gerbang Neraka melempar sepasang cakar logam-
nya Ke arah layangan tubuh Gendut Tangan
Tunggal. Dua senjata itu melayang deras. Jauh lebih
cepat dari tubuh Gendut Tangan Tunggal hingga
dalam sekejapan cepat menyusulnya.
Di udara, sepasang cakar logam itu berpu-
tar bagai sepasang kincir maut. Kecepatan puta-
rannya menyebabkan kedua benda terlihat seperti
cakram kembar. Posisi sulit bagi Gendut Tangan
Tunggal. Saat terpental deras seperti itu, geraknya tentu saja jadi mati.
Kalaupun masih dapat dilakukan, tak akan sanggup melebihi kecepatan laju
senjata kembar lawan.
Ancaman maut bagi si gendut!
Pendekar Muka Bengis tak bisa membiar-
kan begitu saja kawannya berada dalam bahaya.
Biarpun Gendut Tangan Tunggal sering membuat
otaknya jadi mendidih dengan tingkah tengiknya.
Di lain pihak, Satria Gendeng berpikir serupa.
"Heaa!"
"Haaaiiiiih!"
Berbarengan keduanya mencelat, memang-
kas udara. Layaknya sepasang rajawali.
Satu cakar logam maut untuk satu orang.
Jarak yang tak begitu jauh dengan laju
senjata Penjaga Gerbang Neraka memungkinkan
mereka untuk bisa mengejarnya. Berhasil tidaknya mereka, sama sekali tidak ada
jaminan! Sebab ketika mereka bersiap menghantamkan sampokan
tangan ke senjata kembar, sang pemilik turut pula menggenjot tubuh. Arahnya sama
dengan laju senjata kembar tadi. Satu-satunya tujuan, menghan-
tam datangnya dua orang yang mencoba memang-
kas cakar logamnya.
Tiga manusia meluncur ke satu titik.
Ada pilihan berat untuk Satria Gendeng
dan Pendekar Muka Bengis. Pertama, meneruskan
niat untuk menyelamatkan Gendut Tangan Tung-
gal. Untuk itu, mereka harus berani mengambil risiko diserang oleh Penjaga
Gerbang Neraka. Ter-
kena hajarannya, bisa berarti membuang nyawa.
Setidaknya luka dalam amat parah. Akibat itu tak bisa disangsikan jika menilai
bagaimana seorang
kawakan macam Gendut Tangan Tunggal terpental
deras hanya bentrokan senjata olehnya. Kedua,
menyiapkan tangkisan terhadap serangan si orang
tua cebol. Untuk itu, mereka akan kehilangan
Gendut Tangan Tunggal. Mungkin dia bisa sela-
mat, namun dengan luka yang akan membuatnya
cacat seumur hidup!
Pendekar Muka Bengis tak kehilangan ca-
ra. Dia memiliki satu pukulan yang memungkin-
kannya mengambil kedua pilihan sekaligus. Sebe-
lum tiba di dekat luncuran senjata, dilepasnya
pukulan jarak jauh, pukulan 'Puting Beliung' ke
dua arah sekaligus. Satu ke arah senjata. Yang
lain ke arah Penjaga Gerbang Neraka.
Satria Gendeng sendiri, sejak mencelat dari
muka bumi tak berpikir apa-apa kecuali menyela-
matkan nyawa Gendut Tangan Tunggal. Dia tak
peduli betapa hebat tingkat tenaga lawan. Bahkan dia tak peduli pada keselamatan
dirinya. Dirinya nomor dua! Maklum, dia masih tergolong hijau.
Dan sifat ksatria dalam gelegak darah mudanya
cenderung mempengaruhinya melakukan itu.
Nekat, Satria menjegal laju satu cakar lo-
gam. Menyaksikan bahaya besar siap melalap si
pemuda tampan yang membuat dirinya
'kegatalan', Dewi Melati menyetop kikik ramainya.
Wajahnya berganti menegang.
"Guruuuu, jangan!" pekiknya melengking.
Dia lupa kalau Penjaga Gerbang Neraka tak akan
pernah mendengar teriakannya itu. Kalaupun bi-
sa, dia tak akan mengerti.
Dan akhirnya....
Wrrrrr... Dash!
Pekikan, teriakan deru pukulan jarak jauh,
gaung senjata, dan suara hantaman bertindihan
jadi satu dalam satu kejapan singkat.
Menyusul jatuhnya tubuh Gendut Tangan
Tunggal, dua bayangan terpental ke dua arah ber-
beda. Satu bayangan berputaran ringan dan hing-
gap tanpa kurang satu apa. Sementara kedua sen-
jata berbentuk cakar nyasar ke tempat lain, men-
cabik dua pohon besar hingga menjadi serpihan
serat halus! Dua bayangan yang terpental adalah si
pendekar muda Satria Gendeng, terhantam senta-
kan telapak tangan orang tua cebol. Bayangan lain adalah Penjaga Gerbang Neraka
sendiri. Tepat ketika telapak tangannya menghantam tubuh Satria,
pukulan 'Puting Beliung' menghantamnya pula.
Satria jatuh berdebam dan bergulingan liar
hampir sejauh tiga puluh tombak. Belum jelas se-
berapa parah luka dideritanya. Sedangkan Penjaga Gerbang Neraka memperlihatkan
unjuk peringan tubuh tingkat tinggi. Dengan memanfaatkan do-
rongan angin saja, dia sanggup menyeimbangkan
tubuh di udara dan mendarat empuk seperti see-
kor kumbang hinggap di atas bunga!
"Fhuiiih!"
Gendut Tangan Tunggal menghela napas.
Keringat dingin di keningnya sebesar biji jagung.
Tangannya mengurut-urut dada lega.
Pedang Naga Kemala 8 Pendekar Slebor 27 Rahasia Sang Geisha Empu Jangkar Bumi 1
^