Pencarian

Setan Madat 1

Satria Gendeng 16 Setan Madat Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU PAGI masih muda. Tanda-tanda kehidupan
mulai merangkak menggapai harapan yang belum
pasti. Mayapada seperti tengah dilanda duka. Pagi yang mestinya penuh kecerahan
dan keceriaan kali ini tak nampak di Sedayu. Sebuah desa yang
tak jauh dari perbatasan Kerajaan Demak.
Mestinya pagi ini diisi oleh kegiatan-
kegiatan kehidupan. Tapi kali ini terasa mati. Tak terlihat para petani yang
berangkat menuju sawah ladangnya. Tak terlihat pula para pedagang
yang biasa mangkal di pasar desa. Bocah-bocah
kecil yang biasa berlari-larian di tiap-tiap jalan desa dengan canda rianya,
kini tak terlihat lagi.
Semuanya terlihat sepi.
Mati. Pintu-pintu maupun jendela-jendela di
tiap-tiap rumah tertutup rapat. Bahkan mungkin
terkunci dari dalam. Tak ada suara yang terden-
gar dari rumah-rumah itu. Entah, apa yang terja-
di di Desa Sedayu ini.
Dari mulut desa yang masih terkepung ka-
but, seorang pemuda berusia belasan berjalan te-
nang. Wajahnya tampan. Bergaris rahang jantan.
Bermata sembilu. Berambut panjang kemerahan.
Pakaiannya rompi berwarna putih dari kulit bina-
tang. Celananya pangsi sebatas lutut. Pada kain
putih pengikat pinggangnya ter-selip semacam
tongkat berkeping logam perak ekor naga.
"Aneh.... Sepi sekali desa ini. Seperti mati.
Apa semua penduduknya masih molor" Kebluk
amat" Atau desa ini memang sudah tak berpeng-
huni?" desah si pemuda sambil terus melangkah menuju jantung desa.
Dialah Satria. Sesekali pemuda murid Dongdongka alias
Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan murid Ki
Kusumo alias Tabib Sakti Pulau Dedemit ini ber-
paling ke kiri dan kanan. Dan keningnya berkerut
membentuk lipatan kain wiron saat melihat ke sa-
lah satu rumah yang terletak di sudut jalan.
"Heh"! Jendela rumah di pojokan sana tadi
kulihat terbuka sedikit. Kenapa ketika aku me-
mandang ke sana tiba-tiba tertutup kembali" Pas-
ti ada yang sedang mengintip. Apa yang dita-
kutkannya" Jelas, desa ini ada penghuninya. Tapi
mereka seperti ketakutan. Ada apa, ya" Apa takut
padaku" Masa' pemuda tampan macam aku dita-
kuti" Kalau begitu, hebat amat aku ini, ya?" Satria berkata-kata sendiri dalam
hati. Dan kecuri-
gaan membuat hatinya penasaran. "Ah, sebaiknya kuhampiri saja rumah di sudut
jalan itu."
Tenang, si pemuda melangkah. Wajah su-
mringahnya dipasang. Pandangannya yang seta-
jam sembilu mengarah pada rumah yang dituju.
"Sampurasun...," ucap Satria ketika tiba dua tombak di depan pintu rumah yang
diduga ada penghuninya.
Tak ada jawaban. Hanya saja si pemuda
menangkap suara tarikan napas seseorang di da-
lam rumah itu yang semakin lama semakin mem-
buru. "Sampurasun...," ulang si pemuda tak patah semangat. Bukan Satria namanya
kalau gam- pang patah semangat. Sementara otak cerdik Sa-
tria berputar, mencari cara agar penghuni rumah
di depannya membukakan pintu.
"Walah! Sombong sekali penghuni rumah
ini" Ya! Aku ada cara agar mereka keluar," letus Satria. Bibirnya tersenyum
cerdik. Sejenak Satria celingukan ke kiri dan ka-
nan. Ketika merasa yakin tak ada orang yang
mengintip, kakinya melangkah mundur dua tin-
dak. "Kalau tak mau membuka pintu, ya sudah.
Jalan lagi, ahh.... "
Di ujung kalimatnya, kaki Satria menghen-
tak. Tubuhnya melompat tinggi ke udara, lalu
hinggap di atas rumah yang didatanginya tanpa
menimbulkan suara sedikit pun.
Sejenak si pemuda menunggu di atas atap
sambil tersenyum-senyum.
Benar saja. Tak lama dari rumah yang di-
hinggapinya keluar seorang lelaki setengah baya
bertelanjang dada, memamerkan tubuhnya yang
kurus kering bak papan penggilesan clingukan,
seperti mencari-cari.
Di saat pandangan si lelaki keropos tertuju
ke depan, Satria melompat turun dengan gerakan
ringan. Kembali tanpa suara sedikit pun kakinya
mendarat di belakang lelaki yang tengah celingu-
kan. "Apa yang kau cari, Pak Tua?" tegur Satria polos sambil mencoel bahu lelaki
itu. "Warakadah...!" Lelaki bertelanjang dada itu terjingkat. Untung saja jantungnya
menempel kuat dalam rongganya. Kalau tidak, dia bisa mati
berdiri. Hanya saja tanpa terasa bagian selang-
kangannya telah basah karena terkencing-
kencing. "Tenang, Pak Tua. Aku orang baik-baik.
Aku hanya kebetulan lewat di desa ini. Yah..., ba-rangkali saja kau sudi
menawarkan aku secangkir
kopi dan sepotong singkong rebus," Satria cengar-cengir bagai orang tak punya
dosa. Padahal, dia
hampir saja membuat lelaki di depannya mati
berdiri. "Be..., benar kau orang jauh dari tempat ini" Jangan-jangan kau
orangnya Setan Madat?"
gagap lelaki kurus kering ini. Saking kurusnya,
tulang-tulang tuanya bertonjolan tertutup kulit
keriput berwarna keling.
"Setan Madat" Siapa dia" Seram amat na-
manya?" Satria malah bertanya. Dari kata-
katanya jelas kalau si pemuda memang tak kenal
dengan orang yang disebut si tua ini.
"Dia tokoh sesat yang sekarang menguasai
desa ini. Tapi, tempat tinggalnya di tengah Hutan Sawangan. Kau sendiri siapa,
Anak Muda?" susul lelaki itu.
"Aku" Seperti katamu tadi, aku orang jauh
dari tempat ini. Namaku Satria," sahut si pendekar muda polos.
"Apa kau sendiri tak takut dengan Setan
Madat?" "Takut" Dengar namanya sih, memang me-
nakutkan. Apa orangnya memang berwajah seper-
ti dedemit sawah, Pak Tua" Kalau benar, boleh
jadi aku takut. Hiiyy...!" oceh si pemuda. Kedua bahunya terangkat ke atas.
"O..., jadi kau memang belum tahu.... Ka-
lau begitu, mari cepat masuk. Aku khawatir ada
orang-orangnya Setan Madat yang mengetahui
kehadiranmu. Sebab, lelaki telengas itu akan
membunuh orang asing yang berani memasuki
desa ini," ajak lelaki ini, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya. Satria
mengikuti dari belakang.
* * * "Sesungguhnya, apa yang tengah terjadi di
desa ini, Ki Rembang" Kenapa penduduknya begi-
tu ketakutan?" tanya Satria pada lelaki pemilik rumah yang disinggahinya.
Satria duduk berhadapan dengan lelaki
yang mengaku bernama Ki Rembang. Di atas meja
tersaji dua cangkir kopi dan sepiring singkong rebus. Tiga buah potongan
singkong telah singgah
di perut si pemuda. Sementara di tangan kanan-
nya telah pula tergenggam potongan singkong
yang telah digigitnya.
Ditanya begitu, Ki Rembang malah menun-
dukkan kepala. Sepertinya ada beban berat dalam
dadanya yang hendak dimuntahkan keluar. Ma-
tanya merembang.
Ah, cengeng sekali Pak Tua ini. Belum-
belum sudah seperti gadis yang mau dikawin
paksa, desah si pemuda dalam hati.
"Lho" Kok malah menangis, Ki Rembang.
Kau kan belum cerita apa-apa. Cerita dulu, baru
kau boleh menangis," celetuk si pemuda seenak udelnya.
Terpaksa Ki Rembang membuat senyum
lebar. Buru-buru punggung tangannya mengha-
pus air mala yang siap meluncur ke pipi.
"Aku hanya teringat anak istriku, Satria. istriku tewas dibunuh anak buah Setan
Madat ke- tika menghalangi anakku Ratih yang dibawa me-
reka," tutur Ki Rembang.
Satria baru sadar kalau keadaan rumah ini
memang terlihat sepi. Tadi saja, Ki Rembang sen-
diri yang memasak singkong rebus dan menyeduh
kopi. "Sudah lima purnama Setan Madat men-
guasai desa ini. Dan sejak itu pula semua pendu-
duk harus membayar upeti yang mencekik leher.
Belum lagi, kami juga harus menyerahkan anak-
anak gadis kami pada tiap purnama. Bagi pendu-
duk yang menentang, nyawa taruhannya. Semen-
tara, kami sendiri tak berani mengungsi. Karena,
anak buah Setan Madat menyebar di mana-mana,
memata-matai kegiatan kami. Pendeknya, mereka
telah menebar petaka di desa ini," papar Ki Rem-
bang, penuh kegalauan.
Satria belum berkata-kata. Benaknya ma-
sih membayangkan penderitaan penduduk desa
ini. Naluri kependekarannya terbangkit. Gera-
hamnya bergemelutuk, menyiratkan kemarahan
siap membuncah.
"Tenang, Pak Tua. Akan kuberi pelajaran
orang-orang telengas itu. Kalau perlu, mereka ha-
rus mencium pantatmu dulu, baru kuberi am-
pun," desis Satria, asal keluar saja dari mulutnya.
"Kau mungkin belum tahu, bagaimana
keadaan sebenarnya, sehingga bisa berkata begi-
tu. Jangan dulu kau hadapi Setan Madat. Baru
menghadapi anak buahnya mungkin kau sudah
lari terbirit-birit. Belum lama saja, kudengar ada seorang tokoh persilatan
golongan putih yang
mencoba menolong desa ini dari penderitaan, ha-
rus merelakan nyawanya di tangan anak buah Se-
tan Madat. Kalau tak salah dia bernama Ki Ru-
meksa yang dikenal sebagai Pendekar Kelana," tutur Ki Rembang, seperti
meremehkan tekad mulia
si pendekar muda.
Satria sama sekali tak tersinggung dire-
mehkan begitu. Tapi bukan berarti tekadnya ter-
jegal begitu saja. Apa pun alasannya, dia memang
paling tak sudi harkat manusia diinjak-injak oleh ketidakadilan. Segendeng-
gendengnya Satria
Gendeng, lebih gendeng lagi kalau dia tak turun
tangan. "Ya, aku memang pernah mendengar nama
Pendekar Kelana. Tapi apa benar dia mati di tan-
gan Setan Madat" Bukankah kesaktiannya amat
tinggi?" tanya Satria seperti untuk dirinya sendiri.
"Kabarnya memang belum pasti. Tapi aku
yakin, buktinya Setan Madat masih bercokol dan
makin merajalela. Sementara kabar Pendekar Ke-
lana sudah tidak terdengar lagi. Malah kabar ke-
matiannya yang katanya tercebur ke dalam ju-
rang setelah mendapat pukulan maut dari Setan
Madat sudah santer terdengar di mana-mana,"
tandas Ki Rembang, meyakinkan.
Satria terdiam. Wajah kekarnya menegang.
Suasana terkurung sepi.
Hening. "Sekarang coba ceritakan, bagaimana saja
sepak terjang Setan Madat itu, Pak Tua?" cetus si pemuda, membongkar keheningan.
"Dia bagaikan raja kecil di tengah Hutan
Sawangan. Pemuda-pemuda desa ini dibawa un-
tuk dijadikan prajuritnya. Gadis-gadis diboyong
untuk pemuas nafsu. Sementara orang-orang tua
dan anak-anak dijadikan pekerja paksa di perke-
bunan madat milik Setan Madat. Setiap purnama,
para kaki tangan Setan Madat datang ke sini un-
tuk memungut upeti, sekaligus membawa orang-
orang desa yang ditunjuk."
"Lalu, bagaimana kepala desanya" Apa ti-
dak bertindak?"
"Ah, dia lagi. Semua penduduk sudah tahu
kalau Ki Rengges justru merupakan kaki tangan
Setan Madat pula."
Giris hati Satria mendengar penuturan Ki
Rembang. Menurut si pemuda, sebagai kepala de-
sa mestinya harus melindungi rakyatnya. Apa gu-
nanya dipilih oleh rakyat kalau akhirnya malah
menindas rakyat" Bukankah pemilihan kepala
desa berdasarkan kesepakatan rakyat" Artinya,
rakyat menunjuk seseorang menjadi kepala desa
dengan harapan si kepala desa bisa mengayomi
kepentingan masyarakatnya. Tapi ini"
Kini tak ada lagi yang bersuara. Suasana
kembali terkurung sepi. Di luar sana, angin siang mendesis-desis, meratapi
keadaan desa ini. Namun tiba-tiba, Satria mengangkat tangan kanan-


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya. "Ada beberapa orang di luar sana, Pak Tua.
Dan mereka kini berhenti di depan rumahmu," bisik Satria, memberi tahu.
Baru saja kata-kata Satria tuntas....
"Rembang! Keluar kau! Bawa tamu asing-
mu sekalian!"
Sejenak Ki Rembang terpaku dengan mata
melotot. Hatinya gusar bukan main, karena
orang-orang di luar sana sepertinya telah tahu
apa yang terjadi di rumahnya. Sikapnya jadi serba salah. Antara rasa takut
dengan rasa menyesal telah berani menerima seorang makhluk kelaparan
macam Satria. "Siapakah orang-orang di luar sana?"
*** DUA TEMUILAH mereka dulu, Pak Tua. Biar aku
belakangan. Aku mau tahu dulu, apa mau mere-
ka," kata Satria, tenang. Ki Rembang mengangguk setelah menguasai perasaannya.
Kakinya lantas bergerak menuju pintu rumahnya yang tertutup
rapat dan di kunci dari dalam.
Satria Gendeng memang tak mau gegabah
dalam bertindak. Siapa tahu, orang-orang di luar
sana hanya ingin memastikan siapa yang datang.
Lagian, si pemuda berharap Ki Rembang bisa me-
nyelesaikan masalah tanpa adu urat atau adu jo-
tos. Pintu telah terbuka. Dari celah pintu yang
terbuka pendekar muda ini sempat melihat bebe-
rapa orang berdiri di halaman rumah Ki Rem-
bang. Dua orang berusia sebaya dengan Ki Rem-
bang. Lima orang lainnya bertampang telengas.
Dua orang sudah uzur, sisanya masih muda-
muda. "O, Ki Rengges. Ada apa, Ki?" sapa Ki Rembang ramah, begitu tiba di
halaman. Sementara
hatinya bertanya-tanya heran, mengapa kepala
desanya bisa tahu kalau rumahnya kedatangan
tamu asing. "Jangan berbasa-basi, Rembang! Kau tadi
telah kedatangan tamu asing. Aku tahu, itu. Nah,
cepat suruh keluar tamumu itu!" ujar Ki Rengges kasar. Bentakannya disertai,
semprotan ludah-
nya. Maklum, dua giginya telah tanggal di bagian
depan. "Dia hanya mampir sebentar, Ki. Dia kelaparan dan butuh makan," Ki
Rembang berusaha
menjelaskan. "Persetan dengan alasanmu. Kau telah me-
langgar aturan yang dibuat Setan Madat bahwa
setiap orang yang datang ke desa ini harus lapor
ke rumahku!" sembur Ki Rengges. Urat-urat lehernya mengembung saking ngototnya
menyum- pah serapah. "Jangan mencari bahaya, Ki Rembang,"
timpal lelaki di sebelah Ki Rengges.
"Dia hanya seorang pemuda kelaparan, Ki
Rawit. Tak berarti apa-apa," kilah Ki Rembang.
"Tak berarti apa-apa katamu" Rawit! Ceri-
takan, apa yang kau lihat tadi pagi!" terabas Ki Rengges.
"Tadi pagi aku melihat seorang pemuda
melompat ke atas atap rumah Ki Rembang. Meni-
lik gerakannya, dia pasti tokoh persilatan," jelas lelaki yang bernama Rawit.
Ki Rembang tak bisa berkelit lagi. Usa-
hanya untuk menutupi kehadiran seorang pemu-
da kandas begitu saja. Dalam hati dia hanya bisa
merutuki kepengecutan Ki Rengges, kepala desa
ini. Hanya karena takut mampus, dia rela men-
gorbankan penduduknya demi kepentingan Setan
Madat. "Nah, Rembang. Adakah orang yang tak berarti apa-apa bisa melompat ke
atas atap rumah-
mu. Apa namanya orang itu kalau ternyata memi-
liki kepandaian" Kau tak bisa mungkir lagi, Rem-
bang. Ayo, mana pemuda asing itu"!" tekan Ki Rengges. Mata liarnya lantas
melirik ke arah dua
tokoh persilatan yang merupakan kaki tangan-
kaki tangan Setan Madat. Lalu tatapannya beralih
pada tiga orang yang menjadi keroconya Setan
Madat. Mungkin dengan memandang begitu dia
bermaksud minta dukungan.
Dan harapan lelaki berpakaian surjan itu
terkabul. "Jangan mencari penyakit, Rembang!
Serahkan saja pemuda itu ke hadapan kami. Ma-
ka, nyawamu akan selamat," dukung lelaki berpakaian serba merah.
Dalam hati, Ki Rembang merutuk. Siapa
yang cari penyakit" Penyakit panunya saja belum
sempat diobati, masa' sekarang cari penyakit lagi"
"Cepat, Rembang! Panggil orang it...."
"Tak usah dipanggil aku datang sendiri,
kok." Kata-kata Ki Rengges terpangkas oleh suara dari dalam rumah Ki Rembang.
Dari dalam pintu
keluar seorang pemuda tampan. Garis rahangnya
jantan dengan tatapan setajam sembilu. Satria
namanya. Semua yang bercokol di tempat itu seperti
tertenung oleh tatapan yang seperti mengandung
perbawa kuat milik si pemuda. Kalau pemuda itu
jahil, mungkin dengan bentakannya mereka lang-
sung jatuh terduduk.
Satria sendiri sudah berdiri di sisi Ki Rem-
bang. Sikapnya tetap tenang.
"Sebutkan siapa dirimu, Anak Muda"!"
bentak Ki Rengges berusaha menunjukkan kewi-
bawaannya di hadapan si pemuda. Tapi bagi Sa-
tria sikap lelaki itu tak lebih dari penjilat murahan saja.
"Aku hanya pemuda loyo yang tak berarti
apa-apa. Namaku Satria. Lantas, kenapa aku di-
curigai" Aku ke tempat ini hanya sekadar lewat.
Kebetulan perutku lapar, lalu sekadar minta se-
potong singkong dan secangkir kopi. Apa itu sa-
lah?" cerocos si pemuda.
"Benar, Ki Rengges. Orang itulah yang tadi
kulihat melompat ke atas atap rumah Ki Rem-
bang. Tingkah lakunya patut dicurigai, Ki!" sambar Ki Rawit, berbisik.
Satria yang memiliki pendengaran tajam
tak urung mendengar pula bisikan Ki Rawit baru-
san. Sungguh, di hati pendekar muda ini timbul
rasa menyesal karena telah bertindak ceroboh di
halaman rumah Ki Rembang. Buktinya, tindakan
itu ternyata diintai oleh salah seorang penduduk
desa ini yang menjadi anak buah Ki Rengges. Dan
akibatnya, Ki Rembanglah yang ketiban pulung.
Apa bukan cilaka dua belas itu namanya?"
"Maaf, Pak Tua. Ki Rembang tidak salah.
Akulah yang memaksanya untuk masuk ke ru-
mahnya. Habis, cacing-cacing dalam perutku
nakal-nakal sih. Padahal, semalam sudah kuberi
makan. Tapi tetap saja bandel," oceh si pemuda tak jelas juntrungannya.
"Kau tahu, Anak Muda. Desa ini tertutup
bagi orang asing. Kalau ada orang yang masuk,
harus lapor dulu kepadaku, kepala desa di sini,"
Ki Rengges menepuk dadanya sendiri. Terlalu ke-
ras, membuat dada ringkihnya nyaris jebol. Ham-
pir dia terbatuk, untung cepat ditahannya. Malu
dong kalau menepuk dadanya sendiri sampai ter-
batuk-batuk. Hanya saja mulutnya yang berbibir
kendor cengar-cengir serba salah. Nyesal juga ha-
tinya karena terlalu semangat menunjukkan ke-
galakannya. "Dan kau telah melanggarnya, Anak Muda!"
serobot Ki Rawit ikut-ikutan galak. Siapa tahu
nanti Ki Rengges menaikkan gajinya.
Tak mau memperpanjang urusan, Satria
mencoba mengalah. "Baiklah, aku mengaku sa-
lah. Apa keinginan kalian sekarang" Aku pergi
dari sini" Gampang. Kaki tinggal melangkah, apa
susahnya?" Tenang, kaki si pemuda melangkah.
"Pak Tua Rembang, kuucapkan terima kasih atas sarapan dan keramahanmu," ucapnya
sambil berlalu. Ki Rengges dan Ki Rawit bergeser memberi
jalan pada Satria. Tapi, tidak bagi lima orang kaki tangan-kaki tangan Setan
Madat. Dua orang yang
berusia cukup uzur dengan pakaian hijau dan
merah malah langsung memasang muka garang.
Yang berpakaian hijau kepalanya plontos
pelit rambut. Matanya besar, nyaris keluar dari
rongganya. Bibirnya yang keriput mirip gombal
lecek melepas senyum meremehkan. Dia dikenal
sebagai Laba-laba Hijau. Di tangannya melilit li-
patan jaring seperti Jala.
Sementara yang berpakaian serba merah
adalah lelaki uzur dengan rambut sebahu ber-
warna putih. Kepalanya diikat kain berwarna me-
rah pula. Matanya memerah penuh nafsu mem-
bunuh. Dia dikenal sebagai Jalak Merah.
"Kau boleh pergi setelah jadi mayat, Bo-
cah!" dengus Jalak Merah garang. Kata-katanya terdengar menggetarkan, hendak
meruntuhkan nyali si pemuda.
Tapi bukan Satria namanya kalau digertak
begitu saja sudah kendor semangatnya. Pendekar
muda itu malah tertawa renyah, serenyah krupuk
udang. "Yang benar saja, Pak Tua. Kalau aku jadi mayat, mana bisa pergi dari
sini" Memang aku
mayat hidup" Kalau kau bisa jadi. Karena tanpa
perlu jadi mayat, wajahmu sudah seperti mayat,
sih," oceh Satria.
Memerahlah wajah Jalak Merah. Giginya
langsung bergemelutuk. Pipinya mengembung
dengan urat-urat leher bertonjolan. Kemarahan-
nya siap terbongkar.
"Bocah tengik ini terlalu merendahkanmu,
Jalak Merah. Cari mati rupanya pemuda cacingan
ini!" Laba-laba Hijau mengompori.
"Kau benar, Laba-laba Hijau! Mari kita ha-
bisi dia!"
"Sabar, sabar, Pak Tua. Rasanya kita tak
ada silang sengketa. Jadi, sudahilah persoalan ki-ta. Tak ada gunanya kita
bertarung yang hanya
memperebutkan pepesan kosong," cegah Satria.
"Apa katamu, Kunyuk Kecil"! Kau telah
menghinaku, tahu"!" bentak Jalak Merah, gusar bukan main.
"Lho" Jadi kata-kataku tadi menghinamu.
tho" Waa, mana aku tahu" Nah, sekarang aku
mau tanya, kau mayat apa bukan?" tukas Satria tenang.
"Bukan!"
"Ya, sudah. Kalau kau tak merasa jadi
mayat, kenapa mesti marah?"
"Setan alas! Kau memang patut diberi pela-
jaran, Kunyuk Dekil!"
Terjebak dengan kata-kata Satria, kemara-
han Jalak Merah makin membuncah. Dengan ke-
palanya, dia memberi isyarat pada tiga lelaki yang semuanya berpakaian serba
hitam untuk menyerang pemuda tengil itu.
Tiga orang langsung melompat dengan go-
lok terhunus. "Rupanya kau ingin cepat-cepat mampus,
heh"! Masih muda sudah banyak tingkah!" Me-
luncur serapah susulan salah satu orang berpa-
kaian serba hitam. Dilanjutkan dengan sambaran
golok keras sekaligus deras ke batang leher lawan bau kencurnya.
Wukh! Mata golok besar itu tinggal berjarak satu
jari lagi di sisi Leher Satria. Sebelum benar-benar sampai, dengan gesit pemuda
tengil ini merun-dukkan badan. Lalu sambil melempar tubuh ke
samping, tangan kanannya terjulur lurus ke perut
lawan. Begh! "Ngekh!"
Mata penyerangnya mendelik. Masih di
tempatnya berdiri, lelaki itu terdiam dengan ba-
dan setengah membungkuk. Tangannya menekap
perut yang terasa diaduk-aduk. Raut wajahnya"
Busyet! Menyeramkan sekali untuk dikatakan se-
bagai wajah manusia. Mulutnya meringis begitu
hebat. Monyet beranak pun kalah hebat dengan
ringisannya. Pasti dia merasakan penderitaan la-
hir dan batin Satria Gendeng sudah berdiri kembali. Ter-
lihat senyum nakalnya tersembul samar
Melihat salah seorang kawan mereka dibe-
gitukan dengan mudah oleh pemuda kemarin
sore, dua lelaki lain makin meringis. Dikira, ka-
wan mereka terlalu bertindak ceroboh, sehingga
dengan mudah lawan bau kencur mereka bisa
memperdayai. Dan mereka menganggap, serangan
Satria tadi hanya kebetulan saja bisa mendarat
telak di perut kawan mereka.
Dasar manusia besar kepala, mereka be-
nar-benar tak melihat bagaimana Satria menye-
rang tadi. Dengan kecepatan mengagumkan, si
pemuda mampu berkelit sekaligus mendaratkan
kepalan tangannya. Kecepatan tak terukur si pe-
muda benar-benar tak dianggap oleh orang-orang
itu. Dan mereka menganggapnya hanya sebuah
kebetulan"
"Tak kusangka, rupanya kau punya sedikit
kepandaian juga, Bocah Bau Kencur! Sekarang,
jaga seranganku! Heaaa...!"
Dikawal bentakan garang, si lelaki berpa-
kaian serba hitam menyerang. Ayunan goloknya
membabat dari atas ke bawah secara menyamp-
ing. Dengan begitu dia bermaksud membelah tu-
buh si pemuda. Sungguh suatu serangan keji.
Dua atau tiga jari lagi mata golok memba-
bat, Satria menyambutnya dengan satu sampo-


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan kaki yang terangkat sampai menyentuh hi-
dungnya. Wukh! Kraakk! Ketajaman mata si pemuda mendukung
papakannya tadi tepat mendarat pada pergelan-
gan tangan lawan. Golok itu kontan terpental
amat jauh, lantas nyangsang di atap rumah Ki
Rembang. Si penyerang sendiri berteriak luar bi-
asa. Tak disangkal lagi, sampokan kaki Satria
menyebabkan pergelangan tangannya remuk se-
ketika Sebelum si lelaki serba hitam menikmati
rasa sakitnya, dengan jurus 'Patukan Bunga Ka-
rang', jari-jari Satria telanjur menyodok ke depan.
Buk! "Aaakh...!"
Tangan kokoh si pemuda yang membentuk
patukan elang laut, mendarat telak di ulu hati lawan. Seketika terdengar suara
berdebam menggi-
riskan hati. Tubuh lelaki itu roboh tanpa dapat
bergerak lagi. Mungkin semaput, tak kuat mena-
han rasa nyeri yang melanda ulu hati.
Lawan berpakaian serba hitam yang masih
tersisa tak kunjung menyerang. Entah dibekam
rasa takut luar biasa melihat kehebatan lawan
mudanya, entah kakinya terlalu berat untuk di-
ajak melangkah. Yang jelas, nyalinya memang te-
lah kabur entah ke mana. Wajah pucatnya pun
disimbahi keringat dingin.
Dan Sekali Satria membentak...
"Hiaaa...!"
Lelaki itu kontan ambruk tak sadarkan di-
ri. Padahal, Satria cuma membentak. Sedikit pun
pk menggerakkan tangannya.
Jalak Merah dan Laba-laba hijau tak urung
jadi terpana. Hanya satu dua gebrakan, ternyata
pemuda bau kencur itu bisa menjatuhkan lawan
dengan mudahnya. Sementara, Ki Rengges dan Ki
Rawit sudah sejak tadi bersembunyi di balik se-
mak. Kegalakan mereka tadi pun terusir melihat
kehebatan pemuda yang menjadi tamu asing di
desa ini. "Kau hanya mendapat lawan tikus-tikus
cecurut, Bocah Tengil!" desis Jalak Merah.
"O, jadi yang kuhadapi sekarang ini kuc-
ing-kucing buduk?" sahut Satria seenaknya.
"Bangsat! Kau sudah keterlaluan, Bocah!
Terima seranganku! Heaaa...!"
Jalak Merah menerjang ganas, diikuti La-
ba-laba Hijau. Pertarungan pun tak terelakkan la-
gi. Ki Rembang sendiri sudah beringsut mundur,
memasuki rumahnya. Dia merasa, lebih baik me-
nonton pertarungan dari celah-celah dinding bilik rumahnya saja. Demikian pula
beberapa penduduk yang mendengar suara ribut-ribut itu. Walau
tetap di dalam rumah, mereka berusaha mencari
tahu, apa yang terjadi.
* * * Siang terik di Tanjung Karangbolong. Ki
Kusumo khusuk dengan semadinya. Sedang
Dongdongka alias Dedengkot Sinting Kepala Gun-
dul malah khusuk dengan tidurnya. Di sebuah
tiang, lelaki uzur panjang umur itu menempelkan
begitu saja tubuhnya mirip cicak menempel di
dinding. Memang banyak tingkah aneh para sese-
puh dunia persilatan. Tapi rasanya tak ada yang
sanggup mengalahkan keanehan Dongdongka.
"Sudah lama kita tak bertemu murid kita,
Kusumo," entah sedang mengigau atau sudah
terbangun, kalimat itu meluncur begitu saja dari
bibir lecek Dongdongka.
Semadi Ki Kusumo terampas. Matanya
kontan membuka. Di atas dipan, dia beringsut
sedikit ke bibir dipan. Kakinya yang buntung se-
batas lutut dan disambung dengan logam runcing
diselonjorkan. "Kau benar, Panembahan. Tapi dari kabar
yang kudengar, dia mendapat tugas dari Adipati
Lumajang untuk mengantarkan surat pada Tiga
Pendekar Aneh. Kabarnya, Kadipaten Lumajang
mendapat ancaman dari Tujuh Dewa Kematian.
Itu sebabnya, sang Adipati minta bantuan Dewa
Gila, Pengemis Tuak, dan Arya Wadam. Entah,
apakah urusan itu sudah selesai atau belum.
Mudah-mudahan murid kita berhasil menyam-
paikan amanat sang Adipati pada ketiga pendekar
aneh itu," tutur Ki Kusumo. (Untuk mengetahui tentang kerusuhan di Kadipaten
Lumajang, baca episode : "Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
"Kau tak percaya dengan kemampuan mu-
rid kita, Kusumo?" celetuk Dongdongka.
"Bukan begitu, Panembahan. Aku hanya
khawatir. Karena kudengar Tujuh Dewa Kematian
memiliki ilmu sesat yang susah dicari tandingan-
nya. Kau tahu, Panembahan. Murid kita tak bisa
tinggal diam melihat keangkaramurkaan. Dan ku-
rasa, dia belum sanggup menghadapi Tujuh Desa
Kematian," keluh Ki Kusumo.
"Anak tengik itu jangan terlalu dikhawatir-
kan, Kusumo!" cibir Dongdongka. Jelek sekali wajahnya kalau sedang begini. "Dia
jangan terlalu banyak disuapi. Biar pengalaman yang menem-panya. Kau tahu
maksudku" Pengalaman adalah
guru yang terbaik buat bocah itu. Kita sebagai gurunya hanya memberi sesuatu
yang belum dimili-
kinya, tahu"!"
Ki Kusumo mengiyakan. Tapi dalam ha-
tinya jadi tertawa sendiri. Betapa tidak" Bukan-
kah Dongdongka sendiri yang mengusik sema-
dinya dengan keluh kesah terhadap Satria" Bu-
kankah itu juga menyiratkan kekhawatirannya"
"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada
Bocah Gendeng kita itu. Iya, kan" Tapi kuin-
gatkan, jangan terlalu berlebihan, nanti malah
membuatnya manja. Mengerti maksudku, Kusu-
mo?" Ki Kusumo mengangguk.
Tumben sekali si tua bertabiat sinting ini
bisa berbicara agak waras. Padahal, biasanya ka-
ta-katanya bisa lebih tak jelas juntrungannya ke-
timbang monyet mabuk.
"Benar, Panembahan. Tapi bukankah Pa-
nembahan sendiri yang membuka pembicaraan
tentang Satria" Bukankah itu juga mewakili kek-
hawatiran Panembahan sendiri?"
Di ujung kata-kata Ki Kusumo, Dongdong-
ka malah kembali memejamkan matanya. Di tiang
itu, Dongdongka seperti tertidur.
"Jadi apa salahnya kalau Panembahan
mencari tahu keadaan bocah kita itu?"
Kata-kata Ki Kusumo tak ditanggapi lebih
lanjut oleh Dongdongka. Ki Kusumo segera pamit
keluar gubuk yang ditinggali mereka.
Sepeninggal Ki Kusumo, Dongdongka me-
micingkan mata hati-hati. Sebelah bola matanya
melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki
Kusumo benar-benar telah keluar gubuk.
"Slompret! Dia menyudutkanku!"
Bisa jadi Dongdongka pura-pura tertidur.
Maklum, dia malu disudutkan Ki Kusumo tadi.
Cuma karena gengsi, maaf saja kalau kata-kata
Ki Kusumo tak ingin didengarnya.
Kini si tua bangka bertabiat sinting ini
kembali memejamkan matanya. Aneh sekali cara
lelaki bangkotan ini bersemadi. Dengan menempel
pada tiang tanpa menyentuh tanah sedikit pun,
kedua tangannya bersidakap. Matanya kembali
terpejam. Jika dia sekarang terlihat semadi, bisa jadi
dia tengah mengawasi muridnya dari jarak jauh.
Maka ajian 'Melepas Sukma' yang dimilikinya pun
dikerahkan. Sebuah ajian yang hanya diturunkan
pada dirinya oleh Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Memang, jarang tokoh persilatan yang
mampu memiliki ajian 'Melepas Sukma'. Kalau-
pun ada, pasti bisa dihitung dengan jari. Salah
satunya adalah Satria Gendeng, yang diturunkan
oleh Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Sebenarnya, penurunan ajian 'Melepas
Sukma' pada seorang anak muda bisa dianggap
kejadian luar biasa. Sebab, biasanya hanya tokoh
yang mempunyai kewaskitaan tinggi saja yang
mampu mempelajarinya. Tapi nyatanya, ajian itu
berhasil diturunkan pada Satria Gendeng.
Makin khusuk Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bersemadi, maka dari kepalanya menge-
pul asap tipis membentuk bayangan mirip Dong-
dongka. Lambat laun, bayangan itu utuh lalu ke-
luar dari jasad asli si tua bangka ini. Sejenak bayangan itu menatap jasad
Dongdongka, lalu
melayang keluar gubuk.
TIGA SABETAN golok besar Jalak Merah me-
mangkas udara. Namun si pemuda tengik seperti
tak ingin bergemik. Seolah dia suka rela menye-
diakan tubuhnya untuk dirancah. Hanya saja di
balik diamnya justru dia tengah mengukur, sam-
pai di mana kekuatan lawan.
Dua jari lagi golok lawan menebas leher-
nya, tangan si pemuda bergerak cepat. Dipapak-
nya gerakan golok lawan. Sebuah cara bertahan
yang mengandung bahaya besar.
Pak! Serangan pertama luput.
Jalak Merah makin geram. Serangannya di-
lanjutkan dengan sodokan dengkul ke perut. Pe-
nuh tenaga dan terbalut kebengisan. Tapi sayang,
lawan calon korban dengkulnya telah menge-
nyahkan tubuhnya ke kanan. Malah bersamaan
dengan itu, tangan kanannya yang membentuk
kepala ular menemui sasaran di tubuh Jalak Me-
rah. Begh! Jalak Merah terjajar. Perutnya yang jadi
sasaran seperti teraduk-aduk. Mulutnya merin-
gis-ringis jelek. Kasihan sekali dia. Saking kerasnya sodokan tangan lawan ke
perut, tanpa dapat
ditahan angin sialan berhawa busuk tanpa permi-
si meluncur dari pantatnya.
"Sialan kau, Pak Tua Jelek! Mulas, sih mu-
las. Tapi jangan kentut sembarangan dong!" ejek Satria. Telingannya yang tajam
sempat juga mendengar bunyi sialan tadi.
"Jahanam! Kurancah tubuhmu, Bocah!"
Wukh! Kembali ayunan golok lawan mengincar
dada Satria. Hendak membelah dada bidang si
pemuda dari samping. Satria mengembangkan ju-
rusnya menjadi Jurus 'Mencuri Bunga Karang'.
Lentur, si pemuda membuang tubuhnya ke bela-
kang, sehingga punggungnya sejajar tanah. Lalu
dengan sentakan perutnya, tubuhnya diputar.
Gerakannya mirip lumba-lumba bergulingan di
tengah samudera. Dan pada saat itu pula kaki
kanannya menyampok saat tebasan golok lawan
lewat. Buk! "Heekhh!"
Lagi-lagi kaki kanan Satria mampir di perut
lawan yang sudah telanjur maju dua tindak. Lagi-
lagi, mulut si tua bangka itu meringis-ringis se-
perti orang hendak buang hajat. Lagi-lagi pula
angin sialan kembali meluncur dari perutnya.
Bahkan kali ini dengan sedikit ampasnya.
"Wah, kau pasti cepirit, Pak Tua!" tebak Satria, yakin.
Makin merah wajah Jalak Merah. Sebentuk
kemarahan sebenarnya siap dilampiaskan. Tapi
apa daya, perutnya makin tak terkendali. Tubuh-
nya pun masih menekuk seperti udang. Kedua
tangannya terus memegangi perut.
"Kunyuk keparat! Hadapi aku, Bocah sia-
lan!" Sederet sumpah serapah mengalir deras dari mulut kendor Laba-laba Hijau.
Bahkan pula diiringi tebaran deras jaring yang membelit tan-
gannya. Werrrtt! Jaring mengembang, menyergap si pemu-
da. Tebarannya disertai angin menderu. Tajam,
memangkas udara.
"Hei, hei! Kau kira aku ikan sepat, Pak Ne-
layan! Kau salah alamat kalau menjaring ikan di
sini!" cerocos si bocah tengik berhati baja begitu bangkit berdiri.
Di ujung kalimatnya, justru si pemuda
membuat gerakan luar biasa. Entah kapan me-
nyentak kakinya, tahu-tahu membuat salto bebe-
rapa kali ke samping. Cepat luar biasa. Gerakan
ini sering dibuatnya ketika si pemuda harus be-
renang dari Tanjung Karangbolong ke Pulau De-
demit di Lautan Hindia. Biasanya ketika hampir
mencapai bibir pantai, dia sering berpapasan
dengan nelayan yang tengah menebar jalanya.
Untuk menghindarinya, terpaksa Satria harus
berkelit. (Untuk apa yang dilakukan Satria di Pu-
lau Dedemit, baca episode : Tabib Sakti Pulau
Dedemit").
Jaring Laba-laba Hijau hanya menangkap
angin. Sasarannya sendiri tahu-tahu malah su-


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dah meluncur deras. Sepertinya Satria tak ingin
berlama-lama. Kedua tangannya yang memben-
tuk kepala ular mengebut bertubi-tubi.
Bed! Bed! Laba-laba Hijau tersentak. Terhenyak, nya-
ris tak mampu berbuat apa-apa. Tapi kesadaran-
nya segera bangkit. Kalau tidak begitu, sudah
pasti kebutan tangan lawan akan membuat gi-
ginya rontok. Cepat tubuhnya dibuang ke samp-
ing. Tapi, justru itu yang ditunggu Satria. Cepat sekali pergerakan si bocah
bertabiat sinting ini.
Ketika lawan terlihat membuang tubuh ke samp-
ing, tiba-tiba tubuhnya berputar seraya melepas
tendangan setengah lingkaran.
Dess! Tendangan Satria tepat menghadang laju
tubuh Laba-laba Hijau. Si tua bangka itu kontan
terlempar, dan jatuh mencium tanah. Wajah me-
ringisnya malah lebih mengerikan lagi. Karena bi-
bir kendornya telah bercampur darah. Agaknya,
tendangan Satria yang sedikit disertai tenaga da-
lam itu cukup kuat menggedor dada kerempeng-
nya. Di tengah penderitaannya, Jalak Merah
terperangah melihat kawannya ambruk dalam se-
kali gebrakan di tangan lawan muda bau kencur-
nya. Dia sebenarnya ingin melawan lagi. Tapi, itu lho. Mulas di perutnya tak
kunjung reda. Apalagi, ada sedikit ampas di pantatnya, sehingga membuatnya
terganggu. Malu juga dia kalau baunya
sampai tercium lawan mudanya. Bisa matang wa-
jahnya kalau diejek terus menerus. Mungkin ka-
rena angin saat ini bertiup cukup keras, membuat
baunya tak tercium.
Sok gagah, Jalak Merah menegakkan tu-
buhnya. Seolah, tak terjadi apa-apa terhadap di-
rinya. "Siapa kau sesungguhnya, Pemuda Ten-
gik"! Lama-lama kuperhatikan, jurus-jurusmu
seperti milik Ki Kusumo. Hmm, apa hubunganmu
dengan Tabib Sakti Pulau Dedemit itu?" tanya Jalak Merah lantang ketika matanya
menerjang lu- rus ke pinggang si pemuda yang sudah berhada-
pan dengannya. "Tadi sudah kukatakan, namaku Satria.
Apa kurang jelas?" sahut Satria.
"Maksudku julukanmu, Setan!" bentak Ja-
lak Merah. Ini yang paling sulit. Satria paling kesal ka-
lau jati dirinya diutak-atik. "Satria, ya Satria. Ti-tik!" jawabnya, mangkel.
"Bocah kunyuk! Kau tidak tahu, siapa ka-
mi"!" gertak Jalak Merah. Matanya kian mendelik.
"Tidak," sahut Satria enteng.
"Kami kaki tangan-kaki tangan Setan Ma-
dat, tahu"!"
"Tidak."
"Kalau kau belum tahu, akan kuberi tahu.
Setan Madat adalah salah satu biangnya tokoh
sesat yang bersarang di Hutan Sawangan, tahu"!"
"Tidak."
"Bangsat! Jadi kau tidak takut pada kami,
Kunyuk Tengik"!"
"Tidak."
Mestinya, kemarahan Jalak Merah sudah
terbongkar. Tapi dia berusaha menahannya se-
kuat mungkin. Entah kenapa, ketika melihat
tongkat pendek yang terselip di kain ikat pinggang lawan mudanya, nyalinya
seperti terdepak entah
ke mana. Kail Naga Samudera" Sebut tua bangka ini.
Sebagai tokoh tua, tak heran kalau Jalak Merah
pernah mendengar adanya sebuah senjata pusaka
yang memiliki perbawa luar biasa. Setahunya,
senjata itu dimiliki oleh tokoh putih berkepan-
daian tinggi yang berjuluk Tabib Sakti Pulau De-
demit. Tapi, kenapa senjata itu ada di tangan pe-
muda ini" Apakah dia murid Ki Kusumo" Sehim-
pun pertanyaan memenuhi benak Jalak Merah.
Si pemuda belum mengeluarkan senjata
andalannya. Bagaimana kalau Kail Naga Samude-
ra dikeluarkan" Nyali Jalak Merah kian menguap
ketika menyadari hal itu. Jelas, pemuda ini tidak bisa dianggap main-main.
Masih berusaha menyembunyikan kegenta-
rannya, Jalak Merah membantu Laba-laba Hijau
bangkit berdiri. Ada sejuta dendam membara di
relung hati mereka. Tapi bukan untuk dilam-
piaskan sekarang. Nanti. Terutama bila Setan
Madat ikut turun tangan. Untuk itu mereka me-
rasa harus segera melaporkan hal ini pada Setan
Madat. Rasanya, memang hanya Setan Madat
yang mampu menghadapi pemuda bau kencur
itu. "Kami belum kalah, Bocah Edan! Tunggu-
lah pembalasan kami nanti!" desis Jalak Merah.
"Saatnya nanti kau akan meratap-ratap
minta ampun pada kami, Bocah! Tunggu saja!"
timpal Laba-laba Hijau.
Seperti mendapat kata sepakat mereka se-
gera beranjak dari tempat ini. Tiga orang berbaju hitam yang salah seorang sudah
siuman segera mengikuti. Satria memandang kepergian mereka den-
gan mata tajamnya. Kepalanya menggeleng-geleng
melihat kepengecutan mereka.
Sementara itu, Ki Rengges dan Ki Rawit di-
am-diam juga pergi dari tempat persembunyian-
nya. Melihat kesaktian si pemuda, rasanya mere-
ka tak ingin cari persoalan. Buktinya, Jalak Me-
rah dan Laba-laba Hijau saja sudah pontang-
panting begitu. Apalagi mereka yang baru punya
ilmu olah kanuragan dua-tiga jurus"
Baru saja Satria berbalik hendak melang-
kah menuju rumah Ki Rembang, tiba-tiba....
"Hantu...!"
Ki Rembang pontang-panting keluar dari
rumahnya. Wajahnya pucat. Tubuhnya gemetar
dengan gigi bergemelutuk.
"Tenang, Pak Tua. Tenang. Masa' siang-
siang begini ada hantu" Di mana hantunya?"
Satria berusaha menenangkan lelaki tua
kurus kering itu.
"Cobalah kau masuk ke dalam rumahku.
Ada kakek-kakek tahu-tahu muncul di belakang-
ku. Wajahnya menyeramkan!" lapor Ki Rembang
setelah berusaha menenangkan hatinya.
Satria cepat melangkah menuju rumah Ki
Rembang. Tak urung hati si pemuda jadi tegang keti-
ka dua tombak sebelum tiba di rumah itu, pintu
telah terbuka dengan sendirinya. Hanya saja hati
Satria tak mudah digertak begitu saja. Segera di-
masukinya rumah itu.
"Kakek Dongdongka?" sebut Satria begitu tiba di ambang pintu.
"Slompret! Kutanya baik-baik orang itu ma-
lah aku dikira hantu!" omel seorang lelaki tua bangka berkepala gundul. Tubuhnya
hanya ditu-tupi kulit ular sanca pada bagian terlarangnya.
Dialah lelaki bertabiat sinting. Dongdongka na-
manya. * * * "Kau keterlaluan, Cah! Sudah berapa pur-
nama kau tak pulang ke Tanjung Karangbolong"!"
omel Dongdongka.
"Maaf, Kek. Aku masih ada urusan pent-
ing," sahut Satria tenang.
"Soal perempuan?"
"Begitulah."
"Sudah kau apakan perempuan itu?"
"Jangan ngawur, Kek. Sebetulnya, aku ma-
sih mencari seorang pendekar bertabiat aneh. Dia
seorang perempuan, tapi berpenampilan seperti
lelaki. Namanya Arya Wadam. Di tengah penca-
rianku, aku tiba di desa ini. Dan ternyata, desa
ini sedang tertimpa petaka. Ada seorang tokoh se-
sat yang berjuluk Setan Madat. Dia telah mengu-
asai desa ini dan memaksa rakyat untuk mem-
bayar upeti yang mencekik Leher. Bahkan gadis-
gadis desa ini juga diangkut ke markasnya di Hu-
tan Sawangan. Para pemudanya dijadikan praju-
rit. Sedangkan anak-anak dan orang tua dijadi-
kan pekerja paksa di perkebunan madat milik Se-
tan Madat. Juga, dia te...."
"Sudah, sudah! Puyeng aku mendengar ce-
ritamu! Aku ke sini bukan mau dengar ceritamu,
tahu" Aku cuma mau melihat keadaanmu. Gini-
gini, aku juga mengkhawatirkan keadaanmu, ta-
hu"!" penggal si tua bangka bertabiat aneh itu.
Satria Gendeng terdiam. Bibirnya cemberut
kecewa. "Pokoknya setelah tugasmu selesai, kau
harus pulang ke Tanjung Karangbolong!" susul Dongdongka.
"Kalau aku tak mau?" ledek Satria.
"Harus mau!"
"Kalau tetap tak mau?"
"Slompret! Kau akan kupaksa tahu"!"
Satria tertawa ringan.
"Malah tertawa!" bentak Dongdongka.
"Sejak kapan Kakek jadi pikun?" tukas Satria. "Pikun bagaimana"!"
"Mana bisa Kakek memaksaku, sedangkan
Kakek sedang mengerahkan ajian 'Melepas Suk-
ma'" Kalau begitu, aku sama saja dipaksa sama
lelembut, dong?" sambar Satria.
Alamak! Dongdongka merutuki kebodo-
hannya sendiri. Tentu saja dengan tubuh yang
berupa bayangan dia tak bakal mungkin memak-
sa Satria untuk pulang ke Tanjung Karangbolong.
Habis, bagaimana mungkin sebentuk roh bisa
menjewer telinga pemuda tengik macam Satria"
"Begini saja, Kek," buka Satria lagi.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka, sewot. "Selesai aku menumpas Setan
Madat dan keroco-keroconya, aku mau mencari Arya Wadam
dulu," jelas Satria, tak peduli kemarahan si kakek. "Soal perempuan lagi! Tapi
cantik apa tidak?" Yang begini, ini. Sudah tua bangka bau tanah, pura-pura marah
mendengar muridnya akan
berurusan dengan perempuan, lalu tiba-tiba
tanya cantik apa tidak. Malah wajah marahnya
mendadak sirna, berganti tatapan berbinar-binar.
"Ingat, Kek. Dengkul Kakek sudah keropos.
Lagian, jatah anak muda masih mau disambar
saja!" cibir Satria.
"Bagaimana ciri-cirinya" Biar kucari dia!"
sambar si tua bangka makin berbinar-binar.
"Lho" Lho" Tak kusangka kalau Kakek ma-
sih punya semangat tinggi kalau soal perempuan.
Baru aku ingat sekarang. Ada pepatah bilang,
tua-tua keladi. Makin tua makin menjadi. Ibarat
kelapa, makin tua makin banyak santennya. He
he...." "Dasar bocah gendeng! Aku justru ingin membantumu, Tolol!" sentak
Dongdongka. "Bantu bagaimana, Kek?" tanya Satria, penasaran.
Dongdongka tak menyahut. Bibirnya terse-
nyum-senyum meledek, membuat si pemuda ten-
gil ini makin penasaran. Sekarang baru tahu rasa
kau, Cah Gendeng! Maki si kakek. Kubuat kau
makin penasaran.
"Ayo dong, Kek," desak si pemuda.
Makin hebat saja cengiran si kakek.
Satria makin penasaran. Sementara
bayangan Arya Wadam makin menggila dalam
benaknya. Waktu itu, dia benar-benar penasaran
dengan sikap Arya Wadam. Setelah menumpas
Tujuh Dewa Kematian, gadis itu pergi begitu saja.
Dan ketika Satria mampir di kedai tempat perte-
muan mereka pertama dulu, si bocah pelayan
memberinya surat yang ternyata dari Arya Wa-
dam. Dalam surat itu, Arya Wadam mengung-
kapkan segala isi hatinya. Dan Satria menangkap
isyarat bahwa Arya Wadam menyukainya. Tapi
waktu itu, Satria belum yakin dengan kata ha-
tinya. Siapa tahu itu hanya permainan perasaan-
nya saja. Tapi ketika sekian lama tak bertemu ga-
dis itu, si pemuda merasa ada sesuatu yang hi-
lang dalam hidupnya. Itu sebabnya, dia memu-
tuskan untuk mencari Arya Wadam. (Untuk men-
getahui tentang Arya Wadam, baca episode:
"Penghuni Kuil Neraka" dan "Tumbal Tujuh Dewa Kematian").
"Ayo dong, Kek. Bagaimana caranya kau
membantuku?" desak Satria lagi.
"He he he.... Penasaran juga kau rupanya,
Bocah Kunyuk! Pokoknya, begini saja," kata si kakek. "Tidak, begitu saja!"
potong Satria. "Setan kau! Begini! Suatu saat nanti, kau
pasti akan ketemu Arya Wadam. Nah, makanya
coba ceritakan bagaimana ciri-cirinya!"
Satria tercenung. Dikumpulkannya ingatan
tentang bagaimana wajah Arya Wadam.
"Wajah cantik, Kek," buka Satria, yakin.
"Mana ada seorang gadis berwajah ganteng.
Di mana-mana namanya gadis ya cantik!" potong Dongdongka.
Satria menelan kekecewaan. Dongkolnya
bukan main. Bahkan melebihi kepalan seorang
centeng. "Maksudku, wajahnya begini!" Satria memberi jempol tangannya.
"Lantas?"


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia selalu memakai tudung seperti bakul
nasi. Bila tudungnya dibuka, matanya begitu
memikat. Alis matanya menukik. Tatapan ma-
tanya tajam. Hidungnya mancung dengan bibir
merah merekah. Kebiasaannya selalu makan nasi
dicampur arak. Pakaiannya serba putih. Kau bisa
menemuinya di kedai-kedai, Kek!" papar Satria semangat.
Saking semangatnya, dia tak sadar kalau
gurunya telah menghilang dari tempat ini.
"Sial! Mulutku sampai berbusa, dia tega-
teganya meninggalkan aku sendiri!" rutuk Satria.
Si pemuda tiba-tiba teringat pada Ki Rem-
bang. Cepat dia melangkah keluar rumah gubuk
itu. Dilihatnya lelaki kurus pemilik rumah ini masih berdiri gelisah menunggu.
"Bagaimana, Satria. Benar kan di rumahku
ada hantunya"!" terabas Ki Rembang langsung.
Dia berharap Satria mendukung kata-katanya.
Harapannya terkabul. Kepala Satria terlihat
mengangguk. "Tapi hantu doyan nasi, Pak Tua. Aku ma-
lah sempat berbincang-bincang dengannya," kata Satria seenaknya.
"Kau yang benar, Satria! Mana ada hantu
doyan nasi! Yang ada hantu doyan kembang dan
kemenyan!" sanggah si tua kurus ini.
"Sudahlah, Pak Tua. Tak perlu memper-
soalkan hantu itu lagi. Dia sudah kuusir secara
baik-baik. Dia berjanji tak akan mengganggumu
lagi," bual si pemuda. Dalam hatinya dia tertawa tergelak-gelak. Betapa tidak.
Wajah Dongdongka
bisa jadi memang pantas untuk menakut-nakuti
anak kecil dan lelaki tua macam Ki Rembang.
Karena kata-kata si pemuda terdengar
meyakinkan, maka makin lengkap saja kekagu-
man Ki Rembang terhadap Satria. Bayangkan sa-
ja. Selain bisa mengusir tokoh-tokoh silat berwa-
tak telengas, pemuda itu ternyata juga bisa men-
gusir dedemit! Apa bukan hebat namanya"
"Benar hantu itu bilang begitu, Satria?" Ki Rembang penasaran.
"Benar! Tapi dia akan datang lagi kalau
penduduk di sini masih berjiwa pengecut. Mak-
sudku, takut terhadap keadaan yang terjadi di
desa ini," oceh Satria sok tua.
"Aku tak mengerti?"
"Begini, Pak Tua. Kau bilang, sudah lima
purnama desa ini dikuasai Setan Madat. Tapi ka-
rena kalian terlalu dipengaruhi bayang-bayang
ketakutan, terutama dalam menghadapi para
anak buah Setan Madat, penduduk desa ini jadi
seperti kalah sebelum berperang. Padahal kalau
mau bersatu, aku yakin para anak buah Setan
Madat bisa dicegah. Nah sekarang aku mau
tanya, apa yang menyebabkan penduduk desa ini
begitu gampang dikuasai oleh Setan Madat?"
"Ceritanya panjang, Satria," desah Ki Rembang. "Aku bersedia mendengarkan."
"Baiklah...."
* * * Sebelum Desa Sedayu dikuasai Setan Ma-
dat, desa ini tergolong makmur, aman, tenteram,
gemah ripah loh jinawi. Sebagian besar rakyatnya hidup berkecukupan. Baik dari
hasil sawah la-
dang, peternakan, maupun perdagangan.
Tiga puluh tahun yang lalu, ada seorang
pemuda yang terusir dari desa itu karena keper-
gok berzina dengan istri kepala desa. Si pemuda
pergi entah ke mana. Tapi dua puluh sembilan
tahun kemudian, pemuda yang bernama Wareng-
keh itu datang kembali secara diam-diam. Secara
diam-diam pula, dia menyebar madat dengan me-
nyamar sebagai penjual rokok. Setiap rokok yang
dijualnya telah dicampur madat. Dan bagi si
pembeli, akan ditambah dua batang rokok bila
membeli satu batang.
Karena menganggap rokok milik Wareng-
keh begitu nikmat, bahkan sampai melambung-
kan perasaan ke surga, pelanggan di desa ini ma-
kin melimpah. Akibatnya, hampir semua lelaki di
desa ini berlomba-lomba membeli rokok racikan
Warengkeh. Melihat keadaan penduduk mulai dimabuk
kenikmatan, Warengkeh mulai melancarkan balas
dendamnya yang dipendam selama dua puluh
sembilan tahun. Saat itu pula dia beserta anak
buahnya menyerbu Desa Sedayu.
Tentu saja, tak ada perlawanan berarti dari
penduduk yang telah mabuk madat. Apalagi, ke-
pala desanya juga paling doyan madat. Maka se-
jak itulah Desa Sedayu jatuh ke tangan Wareng-
keh. Usut punya usut, ternyata Warengkeh te-
lah berguru dengan tokoh sesat di Negeri Gajah
Putih, di semenanjung Malaya. Konon, di negeri
itu memang gudangnya madat. Pulang dari negeri
itu, Warengkeh membawa bibit-bibit tanaman
madat yang kemudian dikembangkan di Hutan
Sawangan. Dengan kesaktian dan pengaruhnya, Wa-
rengkeh yang menjuluki dirinya Setan Madat se-
bentar saja sudah banyak memiliki pengikut.
Bahkan setelah Desa Sedayu berhasil dikuasai,
sang Kepala Desa ikut-ikutan jadi pengikutnya.
* * * "Begitulah ceritanya, Satria," kata Ki Rembang menutup ceritanya.
Satria masih bungkam. Hatinya jadi meng-
giris bila melihat keadaan desa ini sekarang. Ternyata sepinya desa ini bukan
saja karena pendu-
duknya banyak diangkut ke Hutan Sawangan, ta-
pi banyak pula yang masih terkulai menikmati
bayangan semu asap-asap madat.
"Anak muda!"
Terdengar panggilan, membegal kata-kata
yang hendak dilontarkan Satria. Si pemuda lang-
sung menoleh ke arah suara tadi.
"Ki Rengges" Ada apa dia ke sini lagi?" tanyanya, heran.
*** EMPAT HARI makin tua. Matahari terpuruk di ufuk
barat. Senja di Desa Karangkemboja Wetan. Ca-
haya merah jingga matahari menciptakan bayan-
gan panjang dari orang-orang yang berlalu lalang.
Sebagian penduduk mengakhiri sisa-sisa waktu
ini dengan beristirahat di rumah masing-masing.
Sebagian lagi lebih memilih cari hiburan di luar
rumah sekalian cuci mata.
Bagi para pendatang atau petualang, mere-
ka lebih memilih sebuah kedai yang cukup ramai
di desa ini. Lima lelaki bertampang kasar duduk
di meja paling tengah. Gelak tawa mereka berde-
rai, seolah mencari perhatian dari para pengun-
jung lainnya. Di sudut ruang kedai, seseorang berpa-
kaian perlente warna putih seperti tak ingin pedu-li melihat kegaduhan itu.
Tudung seperti bakul
nasi yang dikenakannya membuat wajahnya sulit
dikenali. Tapi dari makanan yang terhidang di
mejanya yang mengepulkan asap bercampur aro-
ma arak bisa diduga kalau orang itu tak lain dari Arya Wadam. Salah satu
Pendekar Aneh yang
menjadi sahabat baru bagi Satria Gendeng.
Suasana makin panas. Pengaruh tuak
membuat kelima lelaki berpakaian serba hitam
itu semakin bertindak liar. Sudah sepuluh guci
arak telah habis mereka sikat. Tindakan mereka
makin tak terkendali. Pelayan yang semuanya
wanita mulai diusili.
"Aauuu...!"
Seorang pelayan wanita berparas cantik ja-
di sasaran. Salah satu lelaki kasar itu tiba-tiba meraih pinggang si pelayan.
Begitu jatuh di pangkuannya, bibir dowernya langsung nyosor ke pipi
si pelayan. Si pelayan cantik hanya bisa menjerit nge-
ri. Matanya kontan terpejam penuh ketakutan ke-
tika bibir dower tadi mendarat di pipinya. Selain bau arak, aroma bau jengkol
juga tercium dari
mulut besar si lelaki. Untung si lelaki kasar sege-ra melepaskannya.
Tapi ibarat terlepas dari mulut macan ma-
suk ke mulut buaya, begitu terlepas, lelaki kasar lainnya segera menyambar si
pelayan. Maka kembali pipi halusnya menjadi santapan mengasyik-
kan bagi buaya-buaya darat itu.
"Lepaskan, Tuan.... Aku mohon...," ratap si pelayan.
"Kau akan kulepaskan setelah kami puas.
Sayang, kami tak akan pernah puas melihat pe-
rawan montok macam kau, ha ha ha...!" umbar si lelaki kasar. Lalu dia
menyerahkan perempuan
dalam dekapannya ke lelaki lain.
Mendapat jatah, si lelaki kasar yang dis-
odori perempuan itu terlonjak kegirangan. Mata
merahnya akibat pengaruh arak langsung berbi-
nar mengerikan.
Sementara itu, para pengunjung kedai
lainnya satu persatu mulai meninggalkan kedai.
Mereka merasa lebih baik tak ikut campur ketim-
bang cari penyakit. Juga pelayan-pelayan wanita
lainnya. Sedangkan si pemilik kedai, sudah sejak
tadi melepas tanggung jawabnya terhadap kese-
lamatan para pegawainya. Lebih baik dia bersem-
bunyi dulu ketimbang berurusan dengan kelima
lelaki yang membuat onar di kedainya. Toh kalau
terjadi apa-apa terhadap pegawainya yang semu-
anya wanita, dia dengan cepat bisa menggantinya
dengan pegawai baru"
Inikah sifat manusia"
Mencari keuntungan mau, tapi bertang-
gung jawab nanti dulu"
Sejari lagi bibir kasar lelaki ketiga yang
hendak mencium wanita pelayan itu tiba, sebuah
benda kecil yang berkecepatan tinggi melesat ga-
nas. Nginggg...!
Dikawal lengkingan nyaring akibat gesekan
dengan udara, benda kecil itu langsung menghan-
tam pipi lelaki yang hendak mendaratkan bibir
kasarnya ke pipi si pelayan.
Tak...! "Adaauu...!"
Si lelaki menjerit kesakitan. Pegangannya
terhadap si pelayan dilepaskan. Sementara tan-
gannya langsung memegangi pipi. Begitu tangan
diturunkan, ternyata telah bersimbah darah. Le-
bih gila lagi, pipinya bolong. Menembus dari pipi kanan ke pipi kiri. Di telapak
tangan kirinya yang memegangi pipi kiri, terdapat sebutir nasi yang te-
lah bercampur darah. Hanya sebutir nasi!
Keempat lelaki kasar kawan dari lelaki
yang sedang naas ini menebar pandangan ke se-
keliling. Mata mereka makin beringas. Dan mere-
ka yakin, pengunjung kedai yang ada di sudut
ruangan sebagai pelakunya. Sebab, kedai nyaris
kosong kecuali mereka berlima dan seseorang
memakai tudung itu. Sedangkan pelayan wanita
yang jadi korban kebuasan mereka sudah me-
nyingkir begitu mendapat kesempatan.
"Bangat! Pasti dia yang cari gara-gara den-
gan kita!" tunjuk salah seorang, garang.
"Siapa lagi kalau bukan kunyuk itu. Di da-
lam ruangan ini cuma ada kita dan dia!" timpal yang lainnya.
"Beri pelajaran padanya, Kang! Biar dia ta-
hu, siapa kita sebenarnya!"
Sementara orang yang jadi sasaran kema-
rahan masih terlihat tenang dengan santapannya.
Sedikit pun tidak merasa terusik mendengar
sumpah serapah yang jelas ditujukan buatnya.
Geram, lelaki paling tua di antara kelima
orang kasar meraih satu sendok makan di atas
meja. Langsung dilemparkannya sekuat tenaga ke
arah orang bertudung itu.
Ngungg...! Suara berdengung mengawal luncuran
sendok. Dahsyat juga. Tapi tak sedahsyat luncu-
ran sebutir nasi tadi. Sungguh. Kemarahan mem-
buat mata kelima lelaki ini buta. Sebutir nasi
yang tak seberapa, mampu menembus dinding
pipi salah seorang dari mereka. Bukankah ini be-
rarti si pelempar memiliki tenaga dalam tinggi" Ini yang luput dari perhatian
mereka. Tak ada gerakan apa pun dari orang bertu-
dung saat sebatang sendok siap menghajar leher-
nya. Tapi dua jengkal lagi sang sendok hinggap di sasaran orang bertudung itu
menggerakan tangannya seperti mengibas. Perlahan sekali. Hasilnya, luar biasa!
Bed! Tak! Ngungng...! Sang sendok berbalik arah. Lebih dahsyat
dari sebelumnya. Arahnya, jelas menuju orang
yang melempar tadi. Sebisanya, lelaki kasar itu
menghindar. Sialnya, dia melompat ke arah lelaki
yang tengah dirundung malang akibat pipinya bo-
long tertembus sebutir nasi.
Gabrukk...! "Adaaooo...!"
Maka makin lengkaplah kemalangan lelaki
yang pipinya bolong itu. Tengah dia nungging-
nungging menikmati sakit di pipinya, kali ini ma-
lah tertiban bobot berat temannya.
Sang sendok terus meluncur ganas. Kali ini


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dinding ruangan kedai sasarannya.
Clap! Bukan main! Sang sendok menancap ham-
pir setengahnya di dinding kayu jati yang tebalnya setengah jari! Bagaimana
kalau kepala manusia
yang ditembusnya"
Tiga lelaki kasar mendelik tak percaya ke
arah sendok tadi. Lalu delikan mata mereka
menghujam telak-telak ke arah si orang bertu-
dung. Dasar tak bisa membuka mata, tetap saja
kejadian barusan tak dianggap sebagai pelajaran.
Mereka belum puas kalau belum mencabik-cabik
orang bertudung itu dengan golok.
Srat! Sraat! Sraatt!
Tiga buah golok tercabut sudah dari sa-
rungnya. Berbarengan, ketiga lelaki kasar ini berlompatan mengepung Arya Wadam.
"Hei, Tikus Busuk! Kau mau berurusan
dengan Gerombolan Setan Madat, ya"!" bentak
yang paling kiri.
Di balik tudung bakul nasinya, kening Arya
Wadam berkerut. Setan Madat" Siapa pula dia"
Tanyanya dalam hati.
"Bangsat! Kau tuli, ya"!" bentak lelaki yang berdiri di tengah.
"Kalian tak perlu mengumbar bacot kalau
baru punya kepandaian seujung kuku!" sahut
Arya Wadam, menyakitkan.
Merah padamlah wajah ketiga lelaki kasar
ini. Dari merah, berubah biru. Lalu, berganti hi-
jau. Dengusan napas kegeraman mereka bak sapi
jantan melihat pasangannya. Menderu liar, siap
membuncah "Makanlah ini!"
Berkawal teriakan membelah udara, lelaki
yang berada paling kiri membabatkan goloknya.
Arahnya, hendak menebas tudung yang dikena-
kan Arya Wadam. Sekaligus, hendak membelah
kepala pemiliknya. Ganas dan menggidikkan.
Wukh! Tak ada gerakan yang dibuat Arya Wadam.
Tenang sekali sikapnya. Dua orang teman lelaki
kasar itu malah sudah menduga, darah akan se-
gera memancur. Tapi apa yang terjadi"
"Aaakhh...!"
Sebuah teriakan memilukan terdengar.
Bukan. Bukan terlontar dari mulut Arya Wadam.
Tapi justru dari mulut penyerangnya. Kenapa bisa
begitu" Cerdik sekali Arya Wadam.
Waktu ketiga lelaki kasar tadi menghampi-
rinya, di ujung jari telunjuk tangan kanannya te-
lah disiapkan sebutir nasi. Dan ketika dua jari la-gi golok itu mendarat
ditudungnya, dijentikkan-
nya sebutir nasi itu saat tangannya berada di ba-
wah. Kedahsyatan tenaga dalam milik Arya Wa-
dam membuat butiran nasi itu langsung menem-
bus bagian selangkangan penyerangnya, tepat
mengenai kantong menyannya.
Terlonjak-lonjak lelaki kasar itu menikmati
rasa sakit luar biasa pada daerah terlarangnya.
Goloknya pun mental entah ke mana. Mulutnya
meringis serba salah. Bahkan tubuhnya langsung
berguling-gulingan, menabrak meja dan bangku
di dalam kedai.
Dua orang teman si lelaki kasar terlongo
bengong. Sungguh mereka tak mengerti, apa yang
terjadi terhadap teman mereka itu.
"Bangsat! Kau apakan temanku, heh"!"
semprot lelaki yang tadi berdiri paling tengah.
"Minta disunat kali," sahut Arya Wadam
enteng. "Kambing buduk! Kurang ajar! Terima seranganku!"
Berbarengan, dua lelaki kasar di depan
Arya Wadam membabatkan golok. Dahsyat juga,
tapi tak membuat Arya Wadam bergemik dari
tempatnya. Padahal, babatan golok dari kanan ki-
rinya siap membelah tubuhnya.
"Hup!"
Masih dalam keadaan duduk, Arya Wadam
menarik tubuhnya ke belakang. Bangku yang di-
dudukinya condong ke belakang dengan dua kaki.
Sedangkan kedua kaki wanita ini terangkat cepat,
seraya membawa meja di depannya ke atas.
Traasss! Traasss!
Meja kontan terbelah jadi dua bagian. Satu
bagian jatuh menumpahkan hidangan di atasnya,
sebagian lagi dipergunakan Arya Wadam. Dijejak-
nya potongan meja itu untuk menyampok kedua
penyerangnya sambil melompat bangkit dari du-
duknya. Diegh! Diegh! Pekikan kedua lelaki kasar dipaksa lahir
membelah udara. Sampokan lewat belahan meja
membuat tubuh mereka terdongkel ke atas dan
ambruk di lantai kedai.
Arya Wadam sendiri telah berdiri siap me-
nanti serangan selanjutnya. Tapi kedua lawan
malah mengerang-erang dengan ringisan meme-
las. Kegarangan mereka sirna sudah. Hajaran
yang mendarat di rahang masing-masing mem-
buat mata mereka berkunang-kunang. Sementara
mulut mereka dipenuhi darah. Kalau sudah begi-
ni, mereka persis nenek-nenek mengunyah sirih
sambil buang hajat. Kasihan sekali.
Tertatih-tatih, kedua lelaki kasar itu bang-
kit. Mereka segera menghampiri kawan mereka
yang masih asyik memegangi benda kesayangan-
nya dengan mulut meringis-ringis menggelikan.
"Cepat pergi dari sini sebelum aku bertin-
dak lebih jauh!" ancam Arya Wadam.
Masih terselimut dendam, ketiga lelaki ka-
sar itu segera pergi meninggalkan kedai. Sedang
dua teman mereka yang lain sudah sejak tadi ke-
luar kedai begitu melihat salah seorang terjeng-
kang sambil memegangi benda kesayangannya.
"Hebat..., hebat! Seorang gadis bisa menji-
nakkan lima binatang liar...."
Perhatian Arya Wadam mendadak terpang-
kas oleh suara sember dari belakangnya. Tang-
kas, dia berbalik dengan sikap waspada.
"Siapa kau, Orang Tua?"
"He he he...."
* * * Kenapa Ki Rengges kembali lagi ke rumah
Ki Rembang lagi" Mungkinkah dia masih penasa-
ran pada Satria" Kenapa kali ini kegarangannya
hilang" "Jangan khawatir, Pak Tua. Aku sebentar
lagi akan pamitan dengan Pak Tua Rembang," terabas Satria langsung begitu Ki
Rengges tiba dua
tombak di hadapannya.
Senja saat itu makin tua. Kegelapan mulai
mengurung Desa Sedayu. Ki Rembang telah me-
masang sentir di depan rumahnya. Cahaya lemah
menjelita wajah-wajah mereka.
"Jangan, Anak Muda. Jangan kau tinggal-
kan desa ini," cegah Ki Rengges, membuat Satria jadi bingung.
Apa-apaan ini" Tadi dia penuh semangat
hendak mengusirku. Tapi sekarang" Setan apa
yang merasuki tubuhnya sehingga bisa berubah
demikian cepat. Atau jangan-jangan dia sedang
mengigau. Satria berkata-kata sendiri dalam hati.
"Aku tak mengerti maksudmu. Pak Tua"
Tadi kau begitu bersemangat hendak mengusirku.
Sekarang kau malah menahanku. Kok kau jadi
plin-plan begitu" Jangan-jangan kau kesambet
memedi sawah?" cerocos Satria seenaknya.
"Ya, aku mengaku salah, Anak Muda. Tapi
tolong, Jangan kau tinggalkan desa ini. Aku mo-
hon. Dan kalau bisa, bebaskanlah desa ini dari
tangan Setan Madat serta begundal-
begundalnya...," ratap Ki Rengges.
Setan apa lagi yang membuat Ki Rengges
jadi berubah haluan. Kalau semula selama ini dia
jadi kaki tangan Setan Madat, kenapa sekarang
memusuhinya" Dan kenapa wajahnya demikian
memelas meratap pada Satria"
"Maaf, Pak Tua. Aku tak bisa percaya begi-
tu saja kepadamu," kata Satria, sok jual mahal.
"Lantas, apa yang harus kulakukan agar
kau percaya" Sungguh aku menyesal jadi kaki
tangan mereka, Anak Muda. Se..., Setan Madat
kini malah mengincar anak gadisku satu-
satunya," ratap Ki Rengges. Tak malu-malu, dia mulai menangis meraung-raung.
"Tolong, Anak
Muda. Dia anak gadis satu-satunya. Tak mungkin
aku menyerahkannya pada Setan Madat. Biar aku
kaki tangannya, aku lebih menyayangi putriku.
Bahkan anakku akan bunuh diri bila diserahkan
kepada Setan Madat. Hu hu hu.... Tolong, Anak
Muda...." Beginikah sifat seorang sesepuh desa" Kata
batin Satria. Semula petantang-petenteng di atas
penderitaan orang lain. Sekarang ketika penderi-
taan itu menimpa dirinya, dia meratap-ratap min-
ta tolong. Muak juga si pemuda melihat sifat ke-
pengecutan Ki Rengges. Tapi jiwa kependekaran
pemuda ini berkata lain. Biar bagaimana, Satria
harus menolong.
"Kapan kau tahu kalau anakmu akan di-
minta Setan Madat?" tanya Satria akhirnya.
"Tadi ketika aku pulang dari sini, utusan
Setan Madat datang memberi surat ini," Ki
Rengges memberikan surat pada Satria.
Si pemuda langsung membaca surat dari
Setan Madat. Selesai membaca, bukan diberikan
kembali pada Ki Rengges, tapi diremas-remasnya.
Kini dia yakin dengan kata-kata Ki Rengges.
"Sekarang bagaimana baiknya, Pak Tua?"
tanya Satria. "Lho" Yang jadi pendekar kan kau, bukan
aku. Jadi bagaimana baiknya menurutmu?" balik Ki Rengges. Dihapusnya sisa-sisa
air mata yang membasahi pipinya.
"Menurutku, sebaiknya aku mengisi pe-
rutku dulu," sahut Satria seenaknya. Lalu wajahnya dialihkan ke arah Ki Rembang.
"Pak Tua Rembang, apa masih ada singkong rebus tadi pa-
gi?" tanyanya, enteng. Merasa sebagai orang yang dibutuhkan, besar kepala juga
pendekar satu ini.
"Oh, ada, ada, Satria. Mari kita masuk du-
lu. Kita ngobrol-ngobrol di dalam," jawab Ki Rembang langsung saja. "Mari Ki
Rengges, masuk dalam gubukku," ajaknya kepada kepala desanya.
Sungguh sejak pertama kali menjabat ke-
pala desa, baru kali ini Ki Rengges memasuki ru-
mah Ki Rembang. Menurutnya, bisa jatuh gengsi
bila memasuki gubuk yang mungkin hanya dis-
enggol anjing akan roboh itu.
* * "Aku memang sudah mendengar keadaan
di desa ini dari Pak Tua Rembang. Tapi bolehlah
kalau kau mau menambahkan sedikit," kata Sa-
tria. Saat ini si pendekar muda duduk mengelilin-
gi meja bersama Ki Rembang dan Ki Rengges.
"Terus terang, aku menyatakan permoho-
nan maaf dan penyesalanku pada Ki Rembang. Is-
trinya telah jadi korban kebiadaban Setan Madat.
Juga anak gadisnya. Semua ini gara-garaku. Aku
terlalu mengikuti ajakan setan untuk menghisap
madat. Bahkan hampir semua penduduk desa ini
juga telah terbuai oleh nikmatnya madat. Aku
masa bodoh terhadap rakyatku. Sehingga dengan
mudah Setan Madat bersama anak buahnya bisa
menguasai desa ini. Sampai pada akhirnya, aku
ditekan untuk ikut bergabung dengan mereka.
Katanya kalau aku tidak mau bergabung, anak
gadisku akan di bawa. Aku sendiri akan dibunuh.
Tanpa banyak cincong, aku menuruti ajakan me-
reka. Tapi nyatanya, ketika Setan Madat melihat
anak gadisku dengan mata kepalanya sendiri, ke-
putusannya berubah. Semula, dia hanya meminta
biasa saja. Tapi, lewat surat ini, dia sudah berani mengancamku. Dan ketika hal
ini kuceritakan
pada anakku Ratih, dia mengancam akan bunuh
diri.... Hu hu hu...."
Di akhir ceritanya, Ki Rengges malah mele-
dakkan tangisnya.
"Aku..., aku juga minta maaf pada ra-
kyatku. Entah sudah berapa gadis yang dikirim
ke Hutan Sawangan demi memenuhi nafsu bejad
Setan Madat. Juga, berapa banyak pemuda, orang
tua, serta anak-anak yang menjadi budak-budak
Setan Madat. Hu hu hu.... Padahal kalau dulu
mereka tak terbuai madat, kita bisa bersatu me-
lawan Setan Madat dan anak buahnya. Hu hu
hu...." Terlambat! Maki Satria dalam hati. Nah,
ketahuan, Ki Rengges sendiri juga ikut-ikutan
terbuai madat, walaupun tak begitu parah. Eh,
dia malah menyesali rakyatnya yang sudah men-
jadi budak-budak madat.
"Sudahlah, Pak Tua. Menangis tak akan bi-
sa menyelesaikan masalah. Dan itu hanya pantas
dilakukan oleh perempuan," ujar Satria. Gila juga pendekar muda satu ini.


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berani-beraninya dia
menasihati orang tua. Seorang kepala desa lagi!
Dan anehnya, yang dinasihati malah manggut-
manggut. Seolah, kata-kata Satria keluar dari
mulut seorang resi.
Dan sang Resi Satria dengan enaknya
mengangkat sebelah kakinya ke atas bangku. Di-
ambilnya singkong rebus masakan Ki Rembang
tadi pagi. "Kalau tak salah, seluruh kegiatan anak
buah-anak buah Setan Madat dilakukan pada
saat purnama. Kapan ya, purnama berlangsung?"
cetus Satria, memecah keheningan sejenak.
"Besok, Satria," Ki Rembang yang menja-
wab. "Giliran gadis anak siapa yang akan diangkut?" "Aku!" Ki Rengges mengacung.
"Apa kau tadi tak membaca surat yang kuberikan?"
"Maaf, aku lupa, Pak Tua. Oh, ya. Ke mana
perginya orang-orang Setan Madat yang tadi pagi
bertarung denganku, Pak Tua?" tanya Satria
langsung. "Katanya mereka langsung ke Hutan Sa-
wangan. Pasti mereka hendak melaporkan keja-
dian tadi pagi pada Setan Madat," jelas Ki
Rengges. "Kalau begitu kau perlu menyiapkan hi-
dangan yang enak-enak, Pak Tua."
"Untuk apa"! Untuk mereka"! Maaf saja!
Aku bertekad sekarang untuk melawan mereka!"
lonjak Ki Rengges.
"Siapa bilang untuk mereka" Mendingan
untuk aku saja. Maaf, dari pagi aku belum kena
nasi. Makan singkong terus takut kentut melulu.
He he he...," oceh si pemuda, lalu menoleh ke arah Ki Rembang. "Maaf, Pak Tua
Rembang. Bu-kannya aku tak suka singkongmu. Tapi kebanya-
kan singkong juga tidak baik, lho."
Dasar Satria. Mau makan enak saja, pakai
ngomong ngalor-ngidul. Tapi orang seperti Ki
Rengges sekali-kali memang perlu dikerjai. Biar
rada kapok, gitu.
*** LIMA SIAPAKAH lelaki tua keropos yang ditemui
Arya Wadam di kedai Desa Karangkemboja We-
tan" Siapa lagi kalau bukan Dongdongka" Semu-
la, Arya Wadam tak mau percaya begitu saja. Tapi
ketika teringat cerita Satria tentang gurunya, Arya Wadam baru yakin kalau
lelaki keropos di bela-
kangnya memang Dongdongka alias, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul.
Dari pertemuan singkat itu, Dongdongka
bilang bahwa Satria tengah mencari-cari Arya
Wadam. Dan bocah gendeng itu, kata Dongdong-
ka lagi, kini berada di Desa Sedayu untuk me-
numpas gerombolan Setan Madat.
"Satria mencari-cari aku?" tanya Arya Wadam pada dirinya sendiri. Kini dia
terbaring di sebuah ruangan penginapan, masih di Desa Ka-
rangkemboja Wetan. Malam kian larut, merang-
kak menuju pagi. Di luar sana keadaan telah sepi.
Anjing-anjing liar melolong-lolong manggiriskan.
Saat ini sulit bagi Arya Wadam untuk me-
nutup kelopak matanya. Seolah di matanya ada
sebatang lidi yang mengganjal sehingga kelopak-
nya sulit dipejamkan. Sedangkan bayangan wajah
Satria terus saja menyita benaknya. Menggumpal
jadi satu menjadi sebentuk kerinduan. Padahal,
Arya Wadam sudah menyisihkan angan-angannya
untuk bisa bersama-sama pendekar muda itu.
Arya Wadam merasa tak pantas berdam-
pingan dengan pendekar sakti murid Dongdongka
dan Ki Kusumo itu. Apalagi bila mengingat kea-
daan dirinya. Ada semacam benang merah yang
membuat gadis ini tak meneruskan niatannya
mendekati Satria. Untuk itu dia merasa lebih baik meninggalkan Satria setelah
bersama-sama menghancurkan Tujuh Dewa Kematian di Kuil
Neraka beberapa purnama yang lalu.
"Ada apa Satria mencari-cari aku" Apakah
dia sudah membaca suratku yang kutitipkan pa-
da seorang bocah pelayan kedai di Desa..., ah aku lupa namanya. Tapi yang pasti,
aku yakin kalau
Satria sudah membaca suratku. Hmmm..., men-
gertikah dia akan makna suratku. Ah, aku rasa
pemuda itu tidak sebodoh yang aku duga. Dia
mencari-cari aku, berarti dia mengerti maksud
suratku...."
Wajar kalau seorang gadis seperti Arya
Wadam berharap setinggi gunung. Sebagai tokoh
silat wanita, tentu saja impiannya adalah menda-
patkan kekasih dari kalangan pendekar pula.
Tentu saja dengan kesaktian yang melebihinya.
Dan itu ada pada diri Satria.
Tapi kalau cinta hanya bertepuk sebelah
tangan, apa mau dipaksa" Apakah Arya Wadam
terlalu dipermainkan perasannya sendiri" Jan-
gan-jangan kalau Arya Wadam terus mengejar-
ngejar, Satria malah jadi besar kepala. Atau ma-
lah si pemuda memang tidak mencintainya lanta-
ran keadaan dirinya yang seperti lelaki"
Sulit Arya Wadam untuk menjawabnya.
"Tapi, Satria saat ini pasti butuh bantuan.
Dia ada di Desa Sedayu untuk membantu meng-
hentikan sepak terjang Setan Madat. Oh, ya. Lima
orang lelaki kasar berpakaian serba hitam yang
membuat onar di kedai sore tadi kalau tak salah
mengaku sebagai kaki tangan Setan Madat. Be-
rarti, sepak terjang Setan Madat mulai merambah
desa ini. Ah, aku akan membantu Sa...."
Lamunan Arya Wadam terjegal oleh suara
langkah halus mendekati pintu kamarnya. Kecu-
rigaannya pun terbangkit. Cepat dimatikannya
lampu di sisi pembaringan.
Ruangan gelap. Suara langkah halus makin nyata, berhenti
di pintu kamarnya. Siapa dia" Bisik hati Arya
Wadam. * * * Hutan Sawangan. Sebuah hutan tak terlalu
besar di pinggiran selatan wilayah Demak. Ada
kegiatan membahayakan di dalam hutan itu yang
luput dari perhatian pihak kerajaan.
Di tengah hutan itulah Setan Madat mem-
bangun kerajaan kecilnya. Sebuah kerajaan yang
siap meruntuhkan kedaulatan dan kewibawaan
Kerajaan Demak.
Sebuah bangunan yang dikelilingi perke-
bunan madat di tengah Hutan Sawangan. Begitu
megah walau tak terlalu besar. Empat buah tiang
besar dari kayu gelondongan yang diukir indah
menjadi penyangga bagian depan bangunan dari
kayu jati ukiran Jepara. Semua dinding juga be-
rukir, menggambarkan kegagahan sang Rahwana.
Maklum, Setan Madat pengagum berat tokoh hi-
tam pewayangan dalam lakon Rama-Shinta.
Di sekeliling bangunan berukir itu berjaga-
jaga puluhan pemuda berpakaian serba hitam. Di
dalamnya, Setan Madat sendiri tengah berpesta
pora bersama para pengikutnya.
Di kiri-kanan pangkuan Setan Madat, du-
duk dua gadis berwajah murung. Tak ada kece-
riaan di wajah mereka selain kepasrahan. Lelaki
berusia sekitar setengah abad itu sesekali menci-
umi dua gadis di pangkuannya. Setiap kali ci-
umannya, disambut gelak tawa para pengikutnya.
Sementara kedua gadis itu hanya bisa me-
nyumpah serapah dalam hati tanpa bisa berbuat
apa-apa. Habis, mana sudi mereka dicium lelaki
tua berwajah tirus itu" Matanya saja memerah,
memancarkan kebengisan. Bibirnya kendor ber-
warna hitam. Mulutnya selalu menebarkan bau
madat yang menyesakkan dada. Lelaki berpa-
kaian mirip jubah berwarna hitam ini selalu tak
jauh dari cangklong panjangnya yang selalu berisi tembakau bercampur madat.
Di depan Setan Madat duduk lelaki tua
berpakaian serba merah. Rambutnya putih seba-
hu diikat kain merah. Siapa lagi makhluk telen-
gas itu kalau bukan Jalak Merah. Di pangkuan le-
laki uzur ini tak disinggahi seekor gadis pun.
Maklum, walaupun julukannya memakai nama
burung, tapi sebenarnya burung si kakek telah
lama mati. Dia sudah berusaha berobat ke tabib-
tabib maupun dukun-dukun, tetap saja burung-
nya tak bisa gagah di atas ranjang. Malah saking
putus asanya, dia bertekad hendak memotong sa-
ja burungnya. Lama berpikir, si kakek berpakaian merah
ini akhirnya memutuskan untuk membiarkan bu-
rung sialannya itu. Karena kalau dipikir lebih
panjang, bagaimana kata orang bila dia kepergok
mandi di kali tanpa memiliki burung" Paling ti-
dak, sang burung merupakan tanda kalau dia
adalah seorang lelaki.
Lain halnya dengan lelaki tua berkepala
gundul dengan pakaian serba hijau di sebelah Ja-
lak Merah. Lelaki yang tak lain Laba-laba Hijau
memang dikenal doyan perempuan. Nafsunya
memang kelewat besar, walau tak diimbangi den-
gan kemampuannya di atas ranjang. Saking besar
nafsunya, baru bersanding dengan perempuan
saja sudah bocor duluan. Walhasil, di tempat ti-
dur dia cuma mendengkur saja sambil menikmati
mimpi-mimpi indahnya. Maka tak heran kalau di
pangkuannya juga tak terdapat seekor gadis pun.
Tentu saja dia malu, karena takut bocor di depan
Setan Madat. Karena kalau sampai kejadian, bisa
jadi Setan Madat akan menertawakannya habis-
habisan. Di tempatnya, Laba-laba Hijau hanya me-
mandang penuh minat melihat keasyikan Setan
Madat. Jakunnya turun naik, menelan ludah su-
sah payah membayangkan kenikmatan di depan-
nya. Puas dengan keasyikannya, Setan Madat
mengusir kedua gadis tadi. Dua gadis itu cepat
berlalu dengan wajah menampakkan kengerian
mendalam. Sementara Setan Madat segera meraih
cangklong panjangnya. Dihisapnya dalam-dalam
sumber asap di dalam mangkuk cangklong. Nik-
mat sekali. Lalu bibir hitamnya tersenyum-
senyum sendiri. Mirip monyet ke sambet.
"Kita masih menunggu sahabatku dari Ke-
rajaan Demak. Dia adalah seorang panglima yang
ingin menumbangkan Kerajaan Demak. Tapi
sambil menunggu bolehlah kalian memberi lapo-
ran kepadaku," kata Setan Madat, datar. Tam-
paknya benaknya tengah melayang-layang menu-
ju surga terbuai oleh kenikmatan madat.
"Ketika tadi pagi aku dan Laba-laba Hijau
mengunjungi desa Sedayu untuk menarik seba-
gian upeti, di rumah warga Ki Rengges terdapat
bocah asing. Dia tanpa izin memasuki desa itu,
Ketua," buka Jalak Merah
"Hanya seorang bocah kau repot-repot me-
lapor padaku, Jalak Merah?" tukas Setan Madat kalem.
"Bukan. Maksudku, seorang pemuda," ralat Jalak Merah.
"Hanya seorang pemuda" Tapi kalian bisa
mengatasinya, bukan?"
"Bukan, eh! Maksudku, pemuda itu amat
sakti. Bahkan dia membawa pusaka Kail Naga
Samudera. Kami terpaksa menghindar, mengingat
pusaka itu amat dahsyat."
"Kail Naga Samudera"!" cekat Setan Madat.
Cangklong yang hendak dihisapnya diletakkan
kembali. "Ceritakan tentang pemuda itu!"
"Dia pasti muridnya Ki Kusumo alias Tabib
Sakti Pulau Dedemit. Ciri-cirinya, memakai rompi
dari kulit binatang berwarna putih. Celananya
pangsi berwarna hitam. Rambutnya panjang se-
bahu berwarna kemerahan. Matanya...."
"Cukup! Cukup! Aku sudah tahu siapa
pemuda itu, walau belum pernah bertemu. Ya,
berarti sekarang kita telah berurusan dengan pe-
muda kemarin sore yang saat ini menjadi buah
bibir kaum persilatan. Satria Gendeng keparat!"
Mata Setan Madat mendelik. Warna merah mem-
bara pada dua bola matanya menyiratkan kege-
raman luar biasa.
Jalak Merah dan Laba-laba Hijau sampai
bergidik melihat sinar merah penuh kemarahan di
bola mata Setan Madat. Memang, walaupun ke-
dua lelaki bangkotan itu cukup banyak makan
asam garam dunia persilatan, tapi pengetahuan
mereka tentang tokoh-tokoh saat ini masih ku-
rang. Ditambah lagi, perkembangan ilmu silat me-
reka pun mentok sampai di situ. Tak ada ke-
mauan di hati mereka untuk berguru pada tokoh
sakti yang lebih hebat ilmunya.
Baru setelah Setan Madat menaklukkan
mereka, kedua lelaki bangkotan ini sadar bahwa
menambah ilmu itu suatu hal yang amat penting.
Ketinggian hati mereka yang menganggap diri pal-
ing sakti terkikis oleh kesaktian milik Setan Ma-


Satria Gendeng 16 Setan Madat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dat. Di atas langit, masih ada langit. Begitu ka-ta pepatah.
Kedua lelaki bangkotan itu merasa sadar,
Utusan Iblis 1 Pendekar Naga Putih 18 Dewi Baju Merah Pedang Keadilan 4
^