Pencarian

Tumbal Tujuh Dewa Kematian 2

Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian Bagian 2


plang dulu."
"He he he... Ya terserah kaulah. Tapi bagaimana
caranya" Karena bajumu harus dibuka dulu," tanya si pemuda. Di otaknya langsung
saja terbayang punggung mulus Arya Wadam.
Arya Wadam tercenung sejenak.
"Begini saja. Tambahkan lagi obat pulung milikmu
dulu, agar aku bisa bertahan sampai bertemu kedua
pamanku. Kurasa setelah aku menelan lagi obat dari-
mu, lalu mendapat hawa murni dari kedua pamanku,
luka dalamku bisa pulih kembali," cetus Arya Wadam akhirnya.
Ya, tidak jadi. Satria menggerutu dalam hati. Pa-
dahal jantungnya sudah dad-dig-dug bakalan melihat
punggung mulus Arya Wadam. Sayang harapannya
pupus. Lesu, Satria memberikan obat pulung untuk
menahan luka dalam Arya yang diderita akibat bentro-
kan tenaga dalam saat bertarung melawan Raja Pencu-
ri Dari Selatan.
Tak percuma Satria menjadi murid Ki Kusumo
yang berjuluk Tabib Sakti Pulau Dedemit. Begitu Arya
menelan obat yang diberikan si pemuda, dadanya tera-
sa enteng lagi. Bahkan sebenarnya perlahan-lahan
menuju kesembuhan, tanpa penyaluran hawa murni
lagi. "Kau menyesal ya, tidak jadi mengobati luka dalamku?" celetuk Arya Wadam.
Matanya melirik sedikit.
Bibirnya sedikit ditarik.
"Siapa bilang?" tukas Satria.
"Kok diam saja?" sindir Arya Wadam.
"Lho" Apa kalau aku diam tidak boleh?"
"Siapa bilang tidak boleh" Hanya saja tampangmu
tampak asem."
"Mau asem, kek. Mau manis, kek. Mau pahit, kek.
Tampangku sendiri," sahut Satria.
"Lho" Kok makin sewot sendiri?"
"Siapa yang tidak sewot kalau sampai menjelang
dini hari ini, kedua paman sialanmu itu belum juga ke-
temu" Lihat! Di depan sana ada sebuah desa, setelah
kita keluar dari hutan tadi. Bila kedua pamanmu tak
ada di sana, terpaksa kita harus langsung menuju Ka-
dipaten Lumajang!" semprot Satria.
Memang, sejak tadi sore, Satria dan Arya Wadam
sudah masuk desa keluar desa. Tapi yang dicari tak
ketahuan juntrungannya. Menjelang tengah malam,
mereka memasuki sebuah hutan. Dan kini, agak jauh
di depan mereka terlihat kelap-kelip lampu yang me-
nandakan ada sebuah desa.
Rupanya, itu pula yang membuat uring-uringan
Satria. Sejak tadi perasaan itu ditahannya. Dan kega-
galannya melihat punggung mulus Arya Wadam men-
jadi pemicu ledakan amarahnya. Aneh juga pemuda
satu ini. "Bagaimana kalau kita adu cepat menuju desa
itu?" tantang Arya Wadam untuk mencairkan kemara-
han Satria. "Duluanlah kau sana," sahut Satria.
Lesu. "Kau marah padaku?"
"Tidak."
"Kok jawabanmu begitu?"
"Habis aku mau jawab apa?"
"Katanya kau mau cepat-cepat menuju Kadipaten
Lumajang?" pancing Arya Wadam.
"Aku memang mau cepat-cepat menuju Kadipaten
Lumajang, tidak ke desa itu," sahut Satria, ketus.
"Tapi kan kita akan melewati desa di depan sana?"
tukas si wanita.
"Siapa tahu aku berbelok kiri," sahut Satria tetap berjalan kalem.
"Belok kiri ada sungai lebar."
"Aku belok kanan."
"Belok kanan ada jurang lebar."
Satria terdiam. Keras juga hati wanita ini, pikir-
nya. "Ayo, mau ngomong apa lagi?" ledek Arya Wadam, makin berani menggoda si
pemuda. Entah sejak berjalan bersama pemuda ini, Arya
Wadam merasa makin dekat dengan Satria Gendeng.
Semuanya terjadi begitu saja. Bukankah itu sesu-
atu yang wajar" Yang tidak wajar adalah, penampilan
wanita itu sendiri yang mirip lelaki. Padahal kalau tudungnya dibuka, lelaki
mana yang tidak kepincut"
Hati Arya Wadam makin tertarik setelah melihat
kemampuan Satria dalam menaklukkan Raja Pencuri
Dari Selatan. Berwajah tampan, punya kesaktian. Itu
memang cita-cita Arya Wadam dalam memilih lelaki.
Dalam hal ini, dia menemukannya pada diri Satria
Gendeng. Akankah Satria Gendeng menerima cintanya" Itu
memang sulit terjawab. Apalagi, Arya merasa minder
karena penampilannya selama ini. Bisa jadi pemuda
itu jengah melihatnya sebagai lelaki.
Tanpa terasa, Satria Gendeng dan Arya Wadam te-
lah mendekati desa di depan sana. Dari sini keadaan
desa terlihat ramai. Lampu terang benderang terpa-
sang di mana-mana. Ada apa di desa itu.
"Kok menjelang dini hari desa itu masih terlihat
ramai?" tanya Arya Wadam, memecahkan kebisuan
yang terjadi. "Sepertinya memang ada keramaian. Paling ada
wayang kulit atau ronggeng," sahut Satria. Nadanya mulai bersahabat lagi. Pemuda
ini memang gampang
melupakan kemarahannya. Seolah apa yang terjadi di
antara mereka telah lenyap entah ke mana.
"Siapa yang punya hajatan, ya?" sambung Arya Wadam.
"Tanya saja pada dedemit yang lewat," sahut Satria seenak dengkul.
"Kok tanya sama dedemit?"
"Ya, habis mana aku tahu" Ketahuan sejak kema-
rinan aku berjalan bersamamu. Sekarang kau malah
tanya aku. Lagian aku juga bukan penduduk desa itu."
Arya Wadam terdiam.
Kini mereka telah memasuki desa. Suara gamelan
mulai mengusik mereka untuk memanggut-
manggutkan kepala. Ada sebaris senyum di bibir Sa-
tria. Dia paling suka kalau disuruh nonton wayang ku-
lit. Lengkingan merdu sinden makin membuat lang-
kah Satria melebar. Telinganya makin dipertajam,
mencari arah suara gamelan yang ditingkahi tetem-
bangan sinden. Ketika suara sang dalang terdengar, Satria makin
yakin kalau itu adalah suara sebuah pertunjukan
wayang kulit. Dan arahnya, ke timur desa ini.
Benar saja. Ketika mereka berbelok ke kanan, ke-
rumunan orang menghebat. Kaki Satria makin mantap
melangkah. Tapi belum sepuluh tombak Satria dan
Arya Wadam sampai di dekat kerumunan....
"Berhenti! Orang bertudung, kau masih punya
utang padaku!"
Ngung..., werrr!
Sebuah suara bentakan disusul luncuran sebuah
bandul baja berduri menjegal langkah mereka. Satria
tersentak kaget. Tapi Arya Wadam tidak. Bila Satria
langsung memiringkan tubuhnya, maka Arya Wadam
tetap tenang. Seolah dia tak pernah menyadari adanya
bahaya besar mengancam.
Begitu bandul berduri yang terkait rantai panjang
itu tinggal sejengkal lagi meremukkan batok kepa-
lanya, Arya Wadam menggeser tubuhnya. Dan tangan-
nya bergerak cepat seolah hendak menangkap nya-
muk. Tap! Hebat. Bandul berduri terhenti seketika di depan
wajahnya. "Kuno! Gerakanmu itu-itu saja, Arya Wadam! Ma-
las aku menyerangmu seperti itu lagi!" omel seseorang seraya mendekati Arya
Wadam. "Mana janjimu?"
Orang itu langsung merengkuh bahu Arya. Penuh
persahabatan. Tinggal Satria yang melongo tak men-
gerti. "Apa kabar, Raman Remeng" Mana Paman Po-
leng?" sambut Arya Wadam.
"Kau beri dua kepeng uang perak pun dia tak ba-
kalan sudi meninggalkan pertunjukan itu," sahut lelaki bercambang lebat yang
dipanggil Paman Remeng oleh
Arya Wadam. "Oh, ya." Arya Wadam lantas menoleh pada Satria yang masih terbengong-bengong,
walaupun mulai tahu
siapa lelaki ini. "Kenalkan, ini Paman Remeng yang kuceritakan itu."
Satria menyodorkan tangannya mengajak berjaba-
tan tangan, "Tak perlu berbasa-basi denganku, Satria Gen-
deng. Justru aku yang harus memberi salam peng-
hormatan padamu," tolak Remeng. Namun kaki segera ditekuk dengan lutut kanan
menyentuh tanah.
"Eh, eh, apa-apaan ini, Paman Remeng" Jangan
terlalu berlebihan. Biasa-biasa saja," ujar Satria, tak menyangka kalau jati
dirinya telah diketahui Paman
Remeng. Segera diraihnya bahu Remeng.
Mereka kini sama-sama berdiri.
"Begini, Paman. Berhubung aku sudah bertemu
denganmu, maka kuserahkan pedang ini padamu,"
buka Arya Wadam. Dicabutnya sebuah pedang pendek
dari ikat pinggangnya.
"Jadi kau telah berhasil mendapatkan pedang ini"!
Kau apakan Raja Pencuri Dari Selatan" Pasti telah kau
remas-remas, bukan"!" sontak Remeng. Diambilnya
pedang dari tangan Arya Wadam. Kasar. Bukan karena
kesal, tapi saking gembiranya.
"Bukan, bukan aku yang mendapatkannya. Tapi,
Satria. Dia pula yang mengalahkan Raja Pencuri Dari
Selatan," tunjuk Arya Wadam, terus terang.
"Ah, sungguh Kuhormati pengorbananmu, Satria
Gendeng. Bagaimana aku dapat membalasmu?"
"Gampang," sahut Satria.
"Apa?"
"Jangan terlalu berbasa-basi dan banyak peristia-
datan padaku."
Paman Remeng terpana. Sungguh dia amat men-
gagumi kepribadian luar biasa Satria. Semuda itu su-
dah memiliki hati yang luhur.
"Nah, Arya," sambung Satria. "Sekarang aku me-nagih janjimu."
Arya Wadam tersenyum di balik tudungnya.
"Kita pergi sekarang?" tanyanya.
"Jangan, tahun depan saja. Ya, sekarang!" sentak
Satria gemas. "Paman Remeng, aku dan Satria permisi dulu
hendak melanjutkan perjalanan. Ada tugas penting da-
ri Adipati Wisnu Bernawa yang harus kuemban." kata Arya Wadam.
"Ya, mestinya aku memang tak boleh menahanmu
berlama-lama, sekadar melepas rindu. Aku mengerti,
tugasmu amat berat pergilah. Jalankan tugas dari adi-
pati dengan sebaik-baiknya."
"Baik. Kami pergi, Paman Remeng," sambar Satria Gendeng seraya meraih lengan
Arya Wadam. Dia memang tak ingin berlama-lama lagi. Sebab waktu telah
mengejar. Sementara, Arya Wadam masih saja suka
berbasa-basi. *** ENAM WAKTU kian merambat. Matahari mengintip malu-
malu di sebelah timur. Sinarnya menerobos dedaunan,
membentuk bias-bias kemilau. Sebagian sinarnya ma-
lah jatuh tepat di alas wajah Bergola Ijo yang tidur di atas sebuah dahan pohon.
Di atasnya lagi, Joyolelono
tidur tengkurap mengeloni dahan pohon.
Bukan main bocah berkumis ini. Di setiap tidur-
nya selalu mengumbar cairan bau dari mulutnya. Sial-
nya lagi sebagian cairan itu jatuh tepat di pipi Bergola Ijo. Merasakan dingin-
dingin di pipinya, Bergola Ijo
terbangun. Tangannya langsung meraba pipi, lalu ber-
gerak ke hidung.
"Bah! Sialan! Bocah tengik ini mengirimi ku cairan
bau!" rutuk Bergola Ijo begitu tahu kalau cairan barusan berasal dari mulut
Joyolelono. Seperti tanpa dosa, terus saja si bocah berkumis
tenggelam dalam mimpinya. Malah desiran kasar ter-
sembur dari mulutnya yang maju beberapa jari.
"Kebluk! Hei. Bocah! Bangun! Sialan kau! Kau beri aku setetes embun pagi dari
mulutmu!" maki Bergola Ijo lagi.
Joyolelono tetap asyik dengan mimpinya.
Bukan main kesalnya Bergola Ijo. Dihantamnya
dahan tempat tidur bocah berkumis itu.
Prak! Sungguh suatu perbuatan bodoh. Dahan itu me-
mang hancur. Tapi....
Brukkk! Gusrakkk!
Tentu saja dahan itu langsung patah, sehingga
tubuh Joyolelono langsung meniban tubuh Bergola Ijo.
Tak mampu menahan beban, keduanya langsung jatuh
di atas tanah. Keras sekali.
Bergola Ijo langsung mengomel-omel. Tidak den-
gan Joyolelono. Bocah ini tak puas kalau tidak menan-
gis. "Hu hu hu.... Kau sengaja ingin membunuhku, ya..." Ayo, bilang terus
terang.... Hu hu hu...!" isak si bocah berkumis.
"Wah..., urusan lagi. Mimpi apa aku semalam"
Kenapa jadi bertemu bocah aneh seperti ini?" gumam Bergola Ijo begitu bangkit
berdiri. "Hu hu hu...!" tangis Joyolelono makin gila-gilaan.
Bahkan tubuhnya berguling-guling. "Kulaporkan per-buatanmu pada ayahku, baru
tahu rasa!"
"Eh, jangan! Aku dan ayahmu bersahabat baik.
Nanti hanya gara-gara masalah sepele, hubungan
ayahmu denganku akan pecah," sergah Bergola Ijo.
"Kau bilang masalah sepele"!" sentak si bocah berkumis. "Kau hendak membunuhku
kau bilang sepele"!"
"Siapa yang hendak membunuhmu" Aku hanya


Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesal, lalu memukul dahan yang kau tiduri," kilah lelaki bercawat hijau itu.
"Dahan itu ambruk, berikut tubuhku. Hu hu
hu...!" sambar si bocah berkumis, merutuk.
"Ya, sudah.... Aku minta maaf," Bergola Ijo mengalah. "Maaf" Tidak! Kau tidak
kumaafkan, kecuali
menggendongku sampai Gunung Arjuna!"
"Apa"! Kau gila, Bocah!" cekat lelaki bulat ini.
"Tidak! Aku tidak gila! Hu hu hu...."
Bergola Ijo mengurut dadanya sendiri. Baru kali
ini dia menghadapi makhluk aneh seperti itu. Apa yang
mesti diperbuatnya"
Tidak! Harga diriku tak serendah itu dengan
menggendong bocah ini! Teriak hati Bergola Ijo. Wa-
laupun dia takut terhadap Dewa Gila, tapi kalau dis-
uruh menjual harga diri, nanti dulu. Bertarung boleh
kalah tapi harga diri terinjak-injak, lebih baik mati.
Begitu sikap tegas Bergola Ijo.
"Lebih baik laporkan saja pada orangtua mu dari-
pada aku disuruh menggendongmu sampai Gunung
Arjuna!" tegas Bergola Ijo.
"Benar kau ingin dilaporkan?" tangis Joyolelono mendadak berhenti.
"Ya, laporkan saja!"
"Ayah...! Orang ini menantangmu....!" teriak Joyolelono.
Bergola Ijo malah terpingkal-pingkal. Bodoh seka-
li, bocah ini. Dari jarak yang sangat jauh, bahkan terlalu jauh dari tempat ini,
mana mungkin Dewa Gila
mendengar" Bukankah lelaki bernama asli Ki Jerang-
kong itu tinggal di Lembah Pangrango" Begitu kata ha-
ti Bergola Ijo.
Tapi dasar dia sedang apes....
"Manusia dekil itu yang mengganggumu, Anak-
ku?" Sebuah suara sarat kemarahan terdengar. Kepala Bergola Ijo yang tadi
mendongak karena tertawa terpingkal-pingkal langsung diturunkan. Matanya kontan
mendelik, hampir copot dari rongganya.
"Dewa Gila" Tidak mungkin!" sentaknya.
Di sebelah Joyolelono tahu-tahu telah berdiri seo-
rang kakek bungkuk. Hidungnya berwarna ungu kehi-
jauan. Matanya besar sebelah. Rambutnya kasar awut-
awutan berwarna kelabu. Pakaiannya berwarna biru
tua. Siapa lagi orang tua itu kalau bukan Ki Jerang-
kong alias Dewa Gila"
"Katanya kau mau menantangku, Bergola" Kau
belum kapok, ya?" sindir Dewa Gila. Kalem saja suaranya.
"Siapa yang bilang" Aku tidak bilang begitu"
Anakmu saja yang mengada-ada!" kilah Bergola Ijo.
"Alaaahh.... Ngaku saja, Bergola!"
Seperti ingin meledek Bergola Ijo habis-habisan,
Joyolelono memelet-meletkan lidahnya. Tengik sekali
lagaknya. Ingin rasanya Bergola Ijo menampar wajah
menyebalkan itu.
"Begini, Dewa Gila. Terus terang, aku tadi kesal
terhadap anakmu. Sudah wajahku ditetesi iler, kusu-
ruh bangun dia tidak mau. Saking kesalnya, aku me-
mukul dahan pohon yang ditidurinya. Dan kami jatuh
bersama-sama dari pohon itu," jelas Bergola Ijo.
"Bohong, Ayah! Dia ingin membunuhku!" serobot si bocah berkumis.
"Bukankah kau telah berjanji tak akan menggang-
gu keluargaku, Bergola?"
"Sumpah mampus kalau aku sampai mengganggu
keluargamu. Justru saat ini aku sedang mengantar
anakmu menuju Gunung Arjuna. Dia tersesat kemarin.
Lalu kuantar dia, dan bermalam di sini," jelas Bergola Ijo lagi. Agaknya, dia
memang tidak ingin memperpan-jang urusan dengan Dewa Gila. Selagi masih bisa
dije- laskan, kenapa tidak"
"Benar apa yang dikatakan Bergola Ijo, Anakku!
Kau tersesat, lalu diantar olehnya?" tanya Ki Jerangkong pada anaknya.
"Benar, Ayah. Untung ada Bergola Ijo. Kalau tidak, aku bisa jadi orang hutan,"
sahut si bocah berkumis lugu, Bergola Ijo siap-siap meledakkan amarahnya bila
Joyolelono berdusta. Tapi ternyata dengan keluguan-
nya, si bocah berkata jujur. Bergola Ijo jadi tak habis pikir, setan apa yang
bisa merubah bocah berkumis itu
dengan begitu cepat. Orang mencret mungkin bisa ka-
lah cepat dengan perubahan itu.
"Nah, ternyata anakku sudah berkata jujur. Aku
percaya padamu, Bergola," kata si tua bangka bungkuk itu.
Sial! Orang aku yang berkata jujur, malah anak-
nya yang dibilang berkata jujur. Bergola merutuk da-
lam hati. Walau hatinya merutuk, lelaki bulat ini boleh merasa lega. Sepertinya,
Dewa Gila sudah melupakan
kemarahannya. "Nah, sekarang kau boleh pergi, Bergola. Biar aku yang mengantar anakku ke
Gunung Arjuna," ujar De-wa Gila.
"Baiklah kalau begitu. Aku permisi, Dewa Gila,"
ucap Bergola Ijo, lalu meninggalkan tempat ini. Lega
sekali rasanya hari ini. Seolah dia baru saja mengalami mimpi buruk.
* * * "Apa"! Mereka menculik Pitaloka"!" sentak Satria Gendeng begitu tiba di depan
pintu gerbang Kadipaten
Lumajang bersama Arya Wadam pada pagi ini. Tak
puas dengan kagetnya, dicengkeramnya kerah pakaian
prajurit yang melapor padanya barusan.
Baru ketika si prajurit mengerjap-ngerjap berusa-
ha mencari napas, Satria tersadar dengan kekeliruan-
nya. Matanya yang mendelik pun redup kembali. Dile-
pasnya cengkeraman pada baju si prajurit.
"Kejadiannya empat hari yang lalu," lanjut si prajurit. "Kanjeng adipati terlalu
pagi ke Gunung Arjuna bersama Pengemis Tuak dan Joyolelono."
Satria menatap Arya Wadam di sebelahnya. "Ka-
pan purnama muncul, Arya?"
"Nanti malam," sahut Arya Wadam.
"Slompret! Kita harus secepatnya menyusul mere-
ka di Gunung Arjuna. Kasihan Adipati Wisnu Bernawa.
Ayo, Arya!" ajak Satria langsung saja.
"Sabar, Satria. Kita bisa sampai sana sore nanti
jika menunggang kuda disertai ilmu meringankan tu-
buh. Kita masih punya waktu sedikit," ujar Arya Wadam, tenang.
Satria mendelik.
"Punya waktu katamu?" tukasnya. "Nyawa Pitaloka terancam. Dia bakal dijadikan
tumbal untuk ilmu
sesat keparat yang dianut Tujuh Dewa Kematian. Dan
kau malah tenang-tenang saja!" semburnya, lebih
mendelik lagi. Dari nada suara Satria, Arya Wadam menangkap
seolah pemuda itu benar-benar mengkhawatirkan pu-
tri sang adipati. Artinya, bisa jadi Satria tengah mabuk asmara terhadap gadis
itu. Kalau itu benar..."
Gombal! Kenapa aku jadi gede rasa" Rutuk Arya
Wadam. Kenapa tiba-tiba hatiku tersaput rasa cembu-
ru" Cepat, Arya Wadam mengusir rasa tak enak dalam
hatinya. Wanita berpenampilan seperti lelaki ini jadi
minder sendiri bila menyadari keadaannya.
"Kenapa kau diam, Arya! Waktu kita sudah habis,"
usik Satria. "Bukan begitu, Satria. Aku yakin, Tujuh Dewa
Kematian tak akan membiarkan begitu saja diserang
oleh Adipati Wisnu Bernawa dan yang lainnya. Mereka
pasti punya persiapan. Nah, itu yang mesti dipikirkan.
Kita perlu siasat pula untuk menghadapinya," papar Arya, setelah bisa menguasai
perasaannya. Ganti Satria yang terdiam.
"Kau punya rencana?" susulnya.
"Kau?" balik Arya Wadam.
Satria menggeleng.
"Aku ada. Tapi sebaiknya nanti saja kujelaskan.
Sekarang sebaiknya kita meminjam kuda kadipaten
dulu," kata Arya Wadam.
Segaris senyum tercipta di bibir Satria. Kepalanya
langsung berpaling pada prajurit yang memberi lapo-
ran tadi. Tangannya cepat memberi isyarat.
Memanggil. "Tolong pinjami kami kuda. Cepat!" ujar Satria.
"Baik," sahut si prajurit, lalu cepat berbalik dan berlari menuju halaman
kadipaten. Satria kembali menatap Arya Wadam. Yang dita-
tap malah menghadap ke arah lain. Entah, apa yang
ada di balik wanita berpenampilan lelaki itu.
"Ada apa, Arya. Kau sudah menemukan siasat
yang bakal kita jalankan?" usik Satria.
"Kau suka gadis itu, Satria?" Tak menjawab, Arya malah bertanya.
"Suka," sahut Satria pendek.
"Cantik, ya?"
"Cantik."
"Sudah berapa lama berkenalan?"
"Baru beberapa hari ini," Satria terus terang. Tetap tanpa menoleh, Arya Wadam
mendesah. Lirih seka-
li. Sungguh. Keluguan Satria terhadap soal perem-
puan menyebabkannya tak mengerti maksud arah
pembicaraan Arya Wadam. Pemuda itu menganggap
pertanyaan yang diajukan wajar-wajar saja.
Justru jawaban-jawaban yang diberikan Satria
malah makin membuat Arya Wadam tersudut dalam
kekecewaan. Makin meringis dan menjerit dalam ke-
hampaan. "Bagaimana dengan siasatmu, Arya?" Satria malah mengalihkan pembicaraan. Kuper
sekali bocah itu. Ingin rasanya Arya Wadam meninju wajah pemuda itu.
Sebelum Arya Wadam menjawab, si prajurit yang
disuruh mengambil kuda telah datang. Di kanan-
kirinya mengikuti dua ekor kuda yang cukup gagah.
"Ini kudanya, Anak Muda," kata si prajurit.
"Terima kasih." Satria mengambil dua tali kekang kuda. Diseretnya kedua kuda
itu. Satu tali kekang lantas diberikan Arya Wadam.
Tanpa kata, Arya Wadam menerima tali kekang
kuda. Segera dinaikinya kuda berwarna coklat itu.
"Ayo kita berangkat," katanya, bergegas.
Satria juga menaiki kudanya. Tapi, tak segera di-
gebah. "Ada apa, Satria?" tanya Arya Wadam, heran meli-
hat Satria tak segera menggebah kuda.
"Kau belum menjelaskan siasatmu," sahut Satria.
"Gampang, nanti di perjalanan."
"Betul?"
Tak menyahut, Arya Wadam segera menggebah
kudanya. Juga Satria.
*** TUJUH MATAHARI terpuruk di batas kaki langit. Bulan
bulat penuh di langit timur sana mulai menampakkan
sinar keperakannya. Inilah purnama yang ditunggu-
tunggu Tujuh Dewa Kematian.
Di sekitar Kuil Neraka keadaan mencekam. Angin
semilir berhembus, berusaha menyibak kabut yang
mengepung sekitar bangunan mirip candi.
Hening. Tak terdengar suara apa-apa. Binatang malam
pun seolah malas menembangkan suara-suara mer-
dunya. Belum ada kegiatan apa-apa di sekitar bangunan
candi. Mestinya, malam ini Tujuh Dewa Kematian akan
melangsungkan suatu upacara tumbal demi ilmu sesat
yang mereka anut. Tapi persiapan-persiapan untuk itu
belum terlihat. Siasat apa lagi yang akan digelar Tujuh Dewa Kematian"
Sepuluh tombak di luar wilayah Kuil Neraka, Adi-
pati Wisnu Bernawa, Sukma Sukanta, dan Pengemis
Tuak telah berdiri mematung. Mata tak berkedip mere-
ka menghujam langsung ke arah pintu gerbang candi.
Hati waswas mereka menduga-duga, apa yang tengah
dikerjakan Tujuh Dewa Kematian. Mereka khawatir,
jangan-jangan Pitaloka telah dijadikan tumbal demi il-
mu sesat keparat.
"Bagaimana, Kanjeng" Apakah kita menyerbu se-
karang?" tanya Sukma Sukanta, memecah kebisuan.
"Kau tidak merasakan keanehan di Kuil Neraka
itu?" balik sang Adipati.
"Ya, kelihatannya sepi-sepi saja. Seperti tak ada kegiatan yang berlangsung. Aku
jadi curiga," sela Ki Dagul alias Pengemis Tuak.
"Kita harus berhati-hati. Sebab, tak mungkin Tu-
juh Dewa Kematian membiarkan kita memasuki Kuil
Neraka," ingat Adipati Wisnu Bernawa.
Ketiga orang ini terdiam. Benak masing-masing
menduga, siasat apa yang akan dibuat Tujuh Dewa
Kematian. "Kalau begitu, biar aku yang memasuki kuil itu.
Kanjeng Adipati dan Pengemis Tuak bisa melindungiku
dari belakang," cetus Sukma Sukanta. Merasa pernah memasuki kuil itu, lelaki ini
paling tidak sudah punya gambaran tentang keadaan sekitarnya.
Selangkah demi selangkah. Perlahan tapi pasti.
Sukma Sukanta mendekati halaman bangunan ber-
bentuk candi itu. Dadanya dipenuhi detak jantungnya.
Ketika matanya tertuju ke arah halaman yang dipenu-
hi puluhan tengkorak kepala manusia, hatinya terce-
kat. Dia tahu, di antara tengkorak-tengkorak kepala
itu terdapat tengkorak kepala kakak-kakak kembaran-
nya. Entah, di mana jasad mereka.
Miris hati Sukma Sukanta bila melihat tengkorak-
tengkorak kepala itu. Hatinya terpukul. Setangguh-
tangguhnya dia sebagai pendekar, trenyuh hatinya bila
mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Di mana
saat itu kakak-kakak kembarannya menyuruhnya me-
nyelamatkan diri di saat para Pendekar Kembar ter-
bantai satu demi satu di tangan Tujuh Dewa Kematian.
Kegeraman membuncah dadanya. Perasaan lelaki
ini larut dalam keharuan bercampur dendam. Dan
tanpa terasa, pedangnya yang terselip di pinggang di-
cabutnya. Sratt...! Kewaspadaan penuh ditingkatkan. Mata nyalang
beredar ke sekeliling. Adipati Wisnu Bernawa dan Pen-
gemis Tuak mengikuti dari belakang, siap melindungi
Sukma Sukanta.

Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kini, mereka telah menginjak halaman depan can-
di. Keadaan tetap sepi. Mencekam. Sekitar lima tom-
bak mereka berdiri di depan pintu gerbang yang mirip
gapura. Ketajaman mata mereka berusaha menghujam
kepekatan kabut yang mengepung sekitar Kuil Neraka.
"Aku jadi curiga. Jangan-jangan...."
"Awass...!"
Wuosss...! Kata-kata Ki Dagul terjegal oleh suara peringatan
Adipati Wisnu Bernawa. Juga oleh lesatan beberapa
bola api yang meluncur, langsung mengurung mereka.
Dahsyat bukan main. Ketiga orang itu langsung
melempar diri masing-masing, menghindari terjangan
lima buah bola api berhawa panas.
Wusss! Baru saja bangkit, ketiga orang itu harus pontang-
panting lagi. Lima bola api panas seperti memiliki ma-
ta. Berputar-putar, lalu menyambar lagi. Lebih ganas, lebih berbahaya.
"Setan buduk! Wisnu! Tinggalkan tempat ini. Biar
aku yang menghadapi bola-bola api itu!" teriak Ki Dagul, sambil berlompatan
menghindar. Sia-sia Pengemis Tuak berteriak begitu. Tetap saja
Adipati Wisnu Bernawa tak mampu keluar dari seran-
gan bola api. Jangankan untuk keluar. Untuk meng-
hindar saja harus berjuang mati-matian.
Di tempatnya, Sukma Sukanta pun harus pon-
tang-panting menyelamatkan diri. Dua bola api yang
menyerangnya seperti tak memberi ampun padanya.
Baru saja bangkit, satu bola api yang lainnya telah me-rangseknya.
"Ha ha ha...! Selamat datang di Kuil Neraka, Para Pecundang! Sebentar lagi nasib
kalian sama dengan
tumpukan tengkorak-tengkorak itu!"
Suara tanpa wujud terdengar memenuhi sekitar
tempat ini. Kendati dalam keadaan kewalahan begitu,
ketiga orang yang diserang lima bola api masih bisa
mendengarnya. Bisa jadi, suara itu berasal dari mulut
satu dari Tujuh Dewa Kematian.
"Tampakkan diri kalian, Pengecut!" teriak Ki Dagul. Lelaki tua bangka ini terus
berkelit menghindar.
"Nanti, kalau kami selesai melangsungkan upaca-
ra. Sebentar lagi, upacara akan digelar. Tepatnya, pada tengah malam nanti.
Bersenang-senanglah kalian dulu
dengan bola-bola kematian kami! Toh, walaupun ka-
lian terbebas dari bola-bola api itu, tak bakalan bisa memasuki candi tempat
upacara, karena telah kami
pagari dengan setan-setan dari neraka! Ha ha ha...!"
Ki Dagul, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Su-
kanta tercekat. Diserang bola-bola api saja mereka be-
lum berhasil melepaskan diri. Sekarang, mereka telah
dihadapi kenyataan tak bakalan bisa masuk candi.
Kalau sudah begini, apa yang harus diperbuat"
Buntu! Buntu pikiran Ki Dagul menghadapi serangan tak
terduga bola-bola api itu. Sebab, jelas kalau bola-bola
api itu dikendalikan dari jarak jauh. Yang perlu dima-
tikan adalah si pengendali. Nah, kalau si pengendali
tak jelas ada di mana, bagaimana bisa menghada-
pinya" Bahkan untuk keluar dari terjangan-terjangan
bola-bola api itu saja, Pengemis Tuak merasa kewala-
han. Bagi Ki Dagul, lebih baik berhadapan dengan la-
wan. Kalau sudah berhadapan, tinggal adu kesaktian
dan ilmu olah kanuragan. Tapi menghadapi lawan gaib
seperti itu, apa yang harus diperbuatnya"
Sama seperti Adipati Wisnu Bernawa dan Sukma
Sukanta. Mereka merasa lebih baik menghadapi lawan
nyata ketimbang seperti ini. Lawan yang menggunakan
tenaga batin, harus dilawan dengan batin pula. Inilah
yang tak disangka-sangka mereka. Artinya, ilmu keba-
tinan Tujuh Dewa Kematian bisa jadi memang telah
sangat tinggi. Satu-satunya tokoh yang bisa melawan dengan
ilmu kebatinan adalah Dewa Gila. Tapi, tokoh itu di-
wakili oleh anaknya yang bernama Joyolelono. Begitu
yang terlintas di benak sang Adipati.
Memang bisa saja Pengemis Tuak melawan den-
gan pukulan jarak jauh yang dilambari tenaga dalam.
Tapi menurutnya, hal itu akan sia-sia saja. Toh bola-
bola api itu bisa bergerak sendiri, seperti memiliki ma-ta. Kalau nanti diserang
dengan pukulan jarak jauh,
bisa saja bola-bola api itu menghindar. Bahkan bisa
jadi, pukulan jarak jauhnya akan nyasar, mengenai
Adipati Wisnu Bernawa atau Sukma Sukanta.
Di dalam candi sendiri, sebuah kegiatan aneh ten-
gah berlangsung. Tiga dari Tujuh Dewa Kematian ten-
gah bersiap-siap melakukan upacara tumbal. Di ujung
peti di atas batu pipih, pedupaan telah dinyalakan.
Asap kemenyan berlenggak-lenggok tertiup angin semi-
lir. Tak jauh dari peti mati, gadis bernama Pitaloka
masih dalam keadaan pingsan di tiang salib.
Dua Dewa Kematian lainnya tengah duduk berse-
madi. Khusuk sekali, Mereka duduk menghadap pintu
gerbang candi, tak jauh dari tiang salib. Sementara
dua orang lainnya menembangkan mantera-mantera
yang tak jelas artinya.
Sebuah upacara gila segera dimulai. Apa yang ter-
jadi selanjutnya"
* * * "Ayah, lihat! Lima kembang api bagus sekali, ber-
lenggak-lenggok di udara!" tunjuk Joyolelono begitu ti-ba tak jauh dari Kuil
Neraka. Yang diajak bicara malah asyik dengan sema-
dinya. Dialah Dewa Gila. Begitu melihat keadaan Pen-
gemis Tuak, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Su-
kanta terancam bahaya, lelaki bungkuk ini langsung
duduk bersila. Segala kekuatan batinnya dikerahkan.
Hasilnya.... "Heh" Bola-bola api itu berhenti menyerang!" teriak Ki Dagul, tak percaya.
Matanya kontan mendelik,
ingin memastikan. Pada kenyataannya, bola-bola api
sebesar kelapa itu malah berkumpul menjadi satu,
membentuk bola api sebesar kambing bunting.
Dan.... Wusss...! Blaarr...! Bola api sebesar kambing bunting itu melesat ke
arah bagian dalam Kuil Neraka, lalu meledak dahsyat.
Dari balik tembok kuil terlihat bunga-bunga api ber-
pentalan ke segala arah di udara. Selanjutnya....
"Aaaakh...! Aaaa...!"
Dua teriakan merobek angkasa terdengar me-
nyayat, menyentak Pengemis Tuak, Adipati Wisnu Ber-
nawa, dan Sukma Sukanta. Mereka saling pandang tak
mengerti. Yang bisa dilakukan hanya menduga-duga,
apa yang terjadi di dalam halaman candi.
Dan keheranan mereka pun terbegal oleh sebuah
suara menyebalkan dari belakang.
"Horeee.... Bagus, ya kembang apinya!" sorak Joyolelono seraya menghampiri
ketiga orang itu.
"Joyolelono!" sambut Ki Dagul, Adipati Wisnu Bernawa, dan Sukma Sukanta dengan
wajah kagum. "Kau hebat, Joyolelono. Tak kusangka kau memi-
liki ilmu kebatinan yang begitu tinggi," puji sang Adipati. Joyolelono malah
cengengesan salah tingkah. Ke-
dua tangannya malah digoyang-goyangkan manja. Ke-
palanya miring ke kiri dan ke kanan.
"Hei, Bocah Kampret! Barusan kau yang mengusir
bola-bola api itu?" tanya Ki Dagul, seolah kurang percaya. "Kalau dia bocah
kampret, bapaknya apa, Dagul!"
Terjawab sudah pertanyaan dalam hati Pengemis
Tuak. Kini dia yakin, yang mengusir bola-bola api itu
adalah orang yang barusan bertanya dengan nada
nyindir. "Ki Jerangkong...! Tak kusangka kau sudi meme-
nuhi undanganku," sambut Adipati Wisnu Bernawa.
"Siapa yang sudi?" tukas lelaki tua bungkuk yang memang Ki Jerangkong alias Dewa
Gila. Seperti biasa,
sikapnya selalu seenak udel. Padahal yang dihadapi
seorang adipati. "Aku ke sini bukan memenuhi undanganmu. Aku mengantar anakku,
tahu?" Kalau telinga orang lain mungkin akan panas
mendengar semprotan Dewa Gila yang semaunya. Tapi
tidak sang Adipati. Tarikan senyumnya justru meman-
carkan kematangannya dalam bersikap. Wajahnya te-
tap memancarkan perbawa mengagumkan.
"Bukankah kau mengundangku ke Kadipaten Lu-
majang, bukan ke tempat sialan ini?" sambungnya, enteng. "Akhirnya kau keluar
dari sarang juga, Jerangkong!" sela Ki Dagul.
"Kau kira aku anjing kurap dibilang keluar sa-
rang!" sembur Ki Jerangkong. Lalu tatapannya beralih ke sang Adipati.
"Wisnu! Mana Tujuh Dewa Kematian yang kau ce-
ritakan dalam surat itu?"
"Mereka ada di dalam kuil itu, Ki!" tunjuk sang Adipati.
"O, jadi yang di dalam itu mereka" Bagus! Berarti dua dari mereka telah terkapar
tak berdaya. Mungkin
telah mampus. Tenaga batin mereka belum ada apa-
apanya. Kalau begitu, mari kita serang kuil itu!"
"Tunggu!"
Gerakan Ki Jerangkong yang hendak berkelebat
menuju dalam kuil terjegal oleh cegahan sang Adipati.
"Mereka telah memagari kuil ini dengan tenaga
gaib pula. Menurut Tujuh Dewa Kematian, iblis-iblis
dari neraka yang menjaga kuil itu," sambungnya.
"Wisnu, Wisnu. Setua ini kau masih saja bisa di-
kadali orang-orang sialan itu. Buktinya tenaga gaibku
bisa menembus kuil itu. Mereka hanya menggertak
sambal saja. Ayo, maju!"
Merah padamlah wajah Adipati Wisnu Bernawa.
Kenapa dia bisa begitu percaya dengan pepesan ko-
song Tujuh Dewa Kematian"! Saat itu juga langkah le-
barnya bergerak. Pedangnya pun telah tak sabar lagi
untuk keluar dari sarungnya.
"Ayah, aku takut...," kata Joyolelono tiba-tiba.
"Apa yang kau takutkan, Anakku?" tanya Dewa
Gila, kalem. "Itu...," tunjuk Joyolelono pada tumpukan tengkorak kepala manusia yang
berserakan di halaman can-
di. "Kepalamu pun bisa seperti itu kalau kau tak hati-hati di dalam kuil itu,"
kata Dewa Gila, enteng.
Takut-takut, si bocah berkumis mengikuti lang-
kah ayahnya menuju Kuil Neraka bersama yang lain-
nya. Baru saja mereka tiba di depan pintu gerbang mi-
rip gapura di kuil itu, sebuah suara tanda dimulainya
pertarungan terdengar. Bukan, suara itu bukan suara
serangan yang ditujukan kepada mereka. Tapi, kepada
Tujuh Dewa Kematian. Dan lagi, bukan pula mereka
yang menyerang. Lantas siapa"
"Kenapa Satria dan Arya Wadam sudah ada di
tempat ini" Dari mana mereka muncul" Kapan da-
tangnya" Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan sang
Adipati. Semuanya terpatri dalam keheranan. Setan
apa yang memasuki bocah tengik itu hingga berani
menyatroni tempat ini bersama Arya Wadam"
Sebetulnya, itu adalah bagian dari siasat Arya
Wadam. Di perjalanan menuju Kuil Neraka, Arya Wadam
bercerita kalau sebelum kuil itu ditempati Tujuh Dewa
Kematian, dulunya adalah tempat peribadatan guru
Arya Wadam sendiri. Sang Guru pernah bercerita, se-
belum menemukan Arya Wadam di tengah hutan, dia
masih bertempat tinggal di sekitar kuil, sampai sua-
minya meninggal. Abu sang suami lantas disimpannya
di sebuah ruang bawah tanah di dalam kuil, yang ber-
hubungan dengan lorong bawah tanah menuju puncak
bagian selatan Gunung Arjuna.
Karena tak ingin terus menerus teringat suaminya
di dalam kuil, akhirnya dia pergi, sampai kemudian
menemukan bayi perempuan di tengah hutan. Bayi itu
tak lain dari Arya Wadam.
Arya Wadam sengaja membawa Satria Gendeng
menuju puncak bagian selatan Gunung Arjuna. Ingat
cerita gurunya tentang letak lorong yang berhubungan
dengan ruang bawah tanah di Kuil Neraka, mereka
lantas mencari sebuah batu berbentuk kepala manusia
di sekitar puncak bagian selatan. Karena, di situlah
pintu masuk menuju lorong.
Sebentar saja, Arya Wadam dan Satria Gendeng
telah menemukan batu yang dimaksud, yang ternyata
terletak tak jauh dari bibir kawah. Begitu batu digeser, terlihat sebuah goa nan
pekat. Tanpa ragu, mereka
langsung memasuki lorong.
Benar. Ternyata di ujung lorong terdapat sebuah
ruangan gelap tempat menyimpan abu jenazah. Di atas
ruangan, terlihat sebuah lubang yang tertutup papan,
tertimbun semak-semak belukar. Begitu mereka mem-
buka papan dan melesat masuk dari lubang itu, ter-
nyata mereka telah berada di dalam kuil.
Satria Gendeng dan Arya Wadam sempat melihat,
bagaimana dua dari Tujuh Dewa Kematian yang ten-
gah khusuk dengan ilmu kebatinannya tiba-tiba ter-
pental disertai teriakan menyayat, tak lama kemudian
setelah terjadi ledakan bola api di dalam kuil.
Sejenak perhatian lama dari Tujuh Dewa Kema-
tian terusik. Namun seperti tak peduli, mereka segera
melanjutkan upacara yang akan mengorbankan Pitalo-
ka. Tepat ketika Pitaloka diturunkan dari tiang salib
dan direbahkan di samping peti mati, Satria Gendeng
dan Arya Wadam bergerak menyerang. Pertarungan
pun tergelar sudah.
* * *

Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, Bocah Tengik! Setan mana yang membawa-
mu kemari"!" teriak Ki Jerangkong seraya memilih lawan. Langsung dirangseknya
satu dari Tujuh Dewa
Kematian yang kini tinggal lima orang itu.
"Bau tubuhmu yang membuatku kemari, Pak
Tua" Kau tak keberatan, bukan?" sahut Satria, langsung berkelebat menuju tempat
Pitaloka berbaring.
Sial betul nasib Tujuh Dewa Kematian. Mereka tak
bisa lagi menggunakan senjata peti mati, karena tak
lengkap tujuh orang. Bisa saja mereka menggunakan-
nya, tapi keampuhannya tak seberapa.
Lima dari Tujuh Dewa Kematian telah menemu-
kan lawan masing-masing tanpa bisa menggabungkan
kekuatan, ini kelemahan mereka. Sebab, perhatian
mereka selalu terpecah oleh lawan-lawan yang dihada-
pi. Sukma Sukanta tampak menghadapi Karpa. Ki
Jerangkong menghadapi Karta. Ki Dagul menghadapi
Karsa. Arya Wadam menghadapi Karba. Sang Adipati
menghadapi Karma. Sedangkan Joyolelono malah
asyik-asyikan bermain dengan sebuah tengkorak kepa-
la manusia. Semula bocah berkumis ini amat takut.
Tapi lama kelamaan terbiasa juga, dan bahkan dibuat
main-mainan. Satria Gendeng sendiri sudah cepat berkelebat ke-
luar kuil untuk membawa Pitaloka ke tempat yang
aman. Dan secepat itu pula tubuhnya melesat, menuju
ke dalam kuil lagi.
Begitu tiba, matanya kontan mendelik.
Dess.... Sukma Sukanta terpental. Satu pukulan dari Kar-
pa mendarat mulus di dadanya. Dan sebelum lawan
menyerang kembali, Satria telah berdiri menghadang.
"Aku lawanmu, Gundul!" sembur Satria.
Si calon lawan menatap tajam. Sinar matanya
membersitkan nafsu membunuh. "Kau yang mengga-
galkan upacara tumbal kami, Bocah Keparat! Kau ha-
rus menerima akibatnya!" ancamnya, mengerikan.
Tak gentar dengan ancaman tadi, si pemuda ten-
gik ini malah ganti menatap. Menerkam, tak kalah ta-
jam dari tatapan rajawali yang tengah mengincar
mangsa. Mengancam, perkasa, dan berpancar sekuat
karang. Sesaat lelaki gundul bernama Karpa yang memiliki
nafsu membunuh paling besar dibuat terhenyak oleh
tatapan Satria. Sungguh. Tak pernah ditemukannya
tatapan seorang pemuda tanggung yang menggidikkan
seperti itu. Bahkan tatapan itu seperti menikam lang-
sung ke ulu hatinya.
"Kau ingin menghukumku karena nafsu keparat
kalian kugagalkan" Silakan. Lakukanlah hukuman itu,
Gundul!" Karpa menyadari ada satu kekuatan dalam suara
dan tatapan pemuda tanggung ini. Biasanya, suara
dan tatapan seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh tua
yang batinnya bersih. Entah bagaimana pemuda satu
ini bisa memilikinya.
Tak ingin terperangkap dalam kekuatan pancaran
mata si pemuda, dia langsung menggebrak. Sebagai
tokoh tua, Karpa tak sudi terpengaruh oleh kekuatan
tatapan calon lawan bau kencurnya. Maka sebelum
tersurut mundur, dia harus mendahului.
"Mampus kau, Bocah!"
*** DELAPAN SISA Tujuh Dewa Kematian benar-benar dibuat
mati kutu kali ini. Sungguh mereka tak menduga se-
banyak ini lawan-lawan yang dihadapi. Dan semuanya
mempunyai kepandaian tinggi. Malah dua dari mereka
telah terkapar tak berdaya, setelah adu kekuatan batin dengan Dewa Gila, salah
satu dedengkotnya dunia persilatan.
Dewa Gila sendiri sepertinya berada di atas angin
dalam menghadapi Karta. Setiap serangan lawan selalu
dihindarinya dengan gerakan-gerakan tubuhnya yang
bungkuk. Bed! Bed! Bed! Tiga hantaman telapak tangan Karta yang meng-
gunakan jurus pukulan 'Selaksa Racun' dihindari Ki
Jerangkong dengan meliuk-liukkan tubuhnya yang
tampak ringkih. Sulit dipercaya. Tubuh yang kelihatan
lemah itu begitu gemulai melenggak-lenggok. Akibat-
nya hantaman telapak tangan itu hanya menyambar
angin saja. "He he he.... Gerakanmu masih terlalu lemah, Bo-
tak. Baru punya ilmu seujung kuku saja sudah petan-
tang-petenteng," ledek Ki Jerangkong.
Makin murka saja Karta. Mata memerahnya kian
nyalang. Dadanya yang bergemuruh diledek sedemi-
kian rupa. "Kau harus mampus, Dewa Gila! Kau telah men-
campuri urusan kami, maka hanya kematian yang kau
cari!" desis Karta.
"O, silakan. Silakan kalau kau mau membunuh-
ku. Dikira kau saja yang bisa membunuh" Asal kau
tahu, sejak lama aku kesal dengan kalian yang selalu
membuat onar. Semula aku sengaja mengutus anakku
dalam membantu adipati untuk mencincang kalian.
Tapi lama-lama aku tak tega pada anakku. Maka ku-
putuskan untuk menyusul anakku," kata Dewa Gila,
tenang. "Setan! Aku tak peduli dengan ceritamu. Seka-
rang, makanlah yang satu ini. Heaah...!"
Dibarengi teriakannya, pada jarak tiga tombak
Karta melepaskan pukulan jarak jauh. Penuh kekua-
tan, membuat angin menderu tajam. Dewa Gila men-
ganggapnya tidak main-main lagi.
"Shaaa...!"
Kuat sekali Dewa Gila menghentakkan tangan ka-
nannya. Deru angin keras pun terdengar. Arahnya,
luncuran angin yang dilepaskan Karta. Selanjutnya....
Blap! Tak ada suara. Yang ada, tubuh Karta yang ter-
pental dengan dada seperti mau ambrol. Dua tombak
lelaki botak itu jatuh di tanah. Bahkan dari mulutnya
tersembur darah segar.
"Mau lagi, hah"! Ayo, katanya mau membunuh-
ku"!" bentak Dewa Gila, galak.
Si botak Karta tak menyahut. Dadanya turun
naik. Selain menahan kemarahan yang membuncah,
juga merasakan nyeri yang mengaduk-aduk dadanya.
Kalau sudah begini, rasanya tak ada jalan lain kecuali adu nyawa. Begitu
tekadnya. Dengan semangat banteng terluka, Karta bangkit
berdiri. Kedua cuping hidungnya kembang kempis. Ke-
dua tangannya segera membuat gerakan di depan dada
dengan kuda-kuda kokoh.
"Hiaaahhh...!"
Teriakan orang kejepit pintu masih kalah keras
dengan teriakan Karta yang dilambari semangat ban-
teng terlukanya. Seketika, tubuhnya melesat ke arah
Ki Jerangkong. Di tempatnya, Ki Jerangkong malah tengah mem-
perhatikan anaknya yang sedang bermain-main den-
gan tengkorak kepala manusia. Secuil perhatian seper-
tinya tak ditujukan pada datangnya bahaya.
Setengah tombak langit serangan datang, Dewa
Gila melenting ke atas. Tepat ketika Karta berada di
bawahnya, tubuhnya meluncur turun. Kedua kakinya
yang merenggang langsung menghantam ke sisi dalam.
Praakk! Kepala Karta yang dihantam kaki dan kiri dan ka-
nan langsung pecah. Tubuhnya ambruk, tergenang da-
rahnya sendiri yang mengucur deras dari kepala.
Di ajang pertarungan lain, Arya Wadam terus me-
nekan lawan botaknya. Luka dalamnya akibat pukulan
Raja Pencuri Dari Selatan telah sembuh seluruhnya.
Kini dia tak ragu-ragu lagi untuk mengerahkan tenaga
dalam untuk menjatuhkan lawan.
Plak! Bentrokan tangan terjadi. Arya Wadam terjajar
mundur dua langkah. Sedangkan lawannya empat
langkah. Dan sebelum sang lawan bersiap, wanita ber-
penampilan lelaki itu telah menerjang dengan tendan-
gan terbangnya,
"Hiaaat...!"
Lelaki botak bernama Karba yang menjadi lawan
Arya Wadam cepat membuat pertahanan dengan ke-
dua tangan menyilang di atas kepala. Kedua kakinya
dipantek di atas tanah membentuk kuda-kuda kokoh.
Tunggu punya tunggu, tendangan tak jadi datang.
Tepat ketika Karba membuat pertahanan tadi, Arya
Wadam dengan kecepatannya telah memutar tubuh-
nya di udara. Dilewatinya kepala lawan, lalu mendarat
di belakangnya.
Dicoleknya bahu Karba, lalu....
Dess...! Tepat ketika Karba menoleh, jotosan tangan Arya
Wadam telah bersarang di wajahnya. Lelaki botak itu
kontan tersuruk jatuh ke belakang. Keras sekali pan-
tatnya mencium tanah.
Sebelum Karba sempat berbuat sesuatu, satu ten-
dangan Arya Wadam kembali menghajar dadanya.
Bukk! "Ngek!"
Mungkin itu suara nyawa yang dicabut tiba-tiba.
Tendangan Arya Wadam yang disertai tenaga dalam
penuh itu telah mengakhiri riwayat lawan. Dadanya
tampak melesak. Jelas, tulang dadanya hancur dan
langsung menusuk jantung. Dari mulutnya mengalir
darah segar. * * * Pertarungan Pengemis Tuak dengan lawannya
makin gila-gilaan. Keduanya telah mengerahkan ke-
pandaian pada tingkat yang cukup tinggi. Seperti kata
Ki Dagul, kali ini dia sudah mengerahkan jurus dan
ilmu barunya. "Fruhh...!"
Semburan tuak Ki Dagul meluncur, menerabas
udara. Arahnya, wajah Karsa, sang calon korban. Itu-
lah ilmu barunya, 'Pengemis Meludah'. Setiap luncu-
rannya selalu diiringi asap yang mengepul.
Jungkir balik lelaki botak itu menyelamatkan diri.
Kena sedikit saja, bukan mustahil daging tubuh-
nya akan terbakar. Kalau hanya melepuh saja masih
ringan. Tapi kalau sampai menembus tulang"
Begitu mendapat kesempatan, lelaki botak itu me-
lepaskan pukulan jarak jauh. Kali ini ganti Ki Dagul
yang pontang-panting. Dan begitu mendapat kesempa-
tan, dipapaknya pukulan jarak jauh lawan.
Blashhh! Keduanya sama-sama tergempur mundur. Kaki-
kaki mereka tergeser beberapa tombak dari tempat
semula. Kini mereka sama-sama saling menatap, siap
berbentrokan lagi.
"Sekarang saatnya kita mengadu nyawa!" desis Karsa.
"Sejak tadi pun kita sudah mengadu nyawa, Setan
Buduk! Kita bertarung ini apa namanya kalau bukan
mengadu nyawa" Apa kau lebih suka lari terbirit-birit
dari hadapanku. Ayo, lakukan saja!" maki Ki Dagul geram bukan main. Masalahnya,
dulu dia tak pernah
menang melawan Tujuh Dewa Kematian. Maklum saja,
dulu dia dikeroyok bertujuh. Dan sekarang, satu lawan
satu. Maka inilah saatnya untuk melampiaskan keke-
salannya. "Heaa..!"
"Hiaaah..!"
Keduanya telah sama-sama bergerak menerjang.
Ganas dan liar.
Di tempat lain, Joyolelono telah bosan dengan
mainannya. Dengan tenaga dalam, dilemparkannya
tengkorak kepala manusia di tangannya. Sekuat tena-
ga. Arahnya, tepat menuju kepala Karsa yang tengah
meluncur. Dan....
Bletakk! Brukk!
Karsa kontan ambruk.
Sambil memejamkan mata, Ki Dagul terus melun-
cur. Tak sadar dia kalau sang lawan telah ambruk di
tanah. Ketika merasa sudah mencapai sasaran, Ki Da-
gul membuka matanya.
"Hah"!"
Kaget bukan main tua bangka ini ketika menyada-
ri lawannya sudah tidak ada lagi. Sementara tubuhnya
yang meluncur begitu cepat tak tertahankan lagi. Pa-
dahal di depannya pada jarak satu tombak telah
menghadang tiang salib. Hingga....
Gubraakk! Tubuh Pengemis Tuak menabrak tiang salib hing-
ga patah. Bahkan langsung menghantam peti mati di
atas batu hingga hancur berantakan.
"Setan belang! Siapa yang merobohkan calon kor-
banku, heh"!" bentak Ki Dagul sambil meringis kesakitan. Perlahan-lahan dia
bangkit sambil mengedarkan
pandangan. "Hebat...! Lemparanku kena! Lemparanku kena....
Pak Tua! Lihat. Lawanmu roboh oleh lemparanku!" teriak Joyolelono, tanpa dosa.
"Keparat buntung kau, Bocah! Kuremas-remas ba-
ru tahu rasa kau!" maki Pengemis Tuak, kalap.
Betapa tidak kalap" Ki Dagul yang sudah lama in-
gin mengalahkan Tujuh Dewa Kematian, walau hanya
seorang yang dihadapi, terpaksa kembali gagal. Lawan
telah keburu roboh oleh orang lain. Dan si orang lain


Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu adalah pemuda berotak kebocahan yang amat me-
nyebalkannya. Baru saja Ki Dagul hendak melabrak, Ki Jerang-
kong telah berdiri menghadang.
"Kalau berani jangan sama anak kecil! Aku lawan
seimbang!" bentaknya. Dewa Gila memang paling pan-
tang bila anaknya disakiti orang lain.
Pengemis Tuak tersurut mundur. Cepat dipen-
damnya kemarahan hingga sampai ke ujung pantat.
Tak puas dengan itu, ditenggaknya tuak dari guci be-
sarnya. "Anakmu selalu menyebalkan, Jerangkong! Selalu
ikut campur urusan orang," Ki Dagul berkilah.
"Bukannya terima kasih dibantu, malah maki-
maki anakku!"
"Masalahnya bukan di situ, Jerangkong! Sejak du-
lu aku selalu dikalahkan Tujuh Dewa Kematian. Seka-
rang begitu mendapat kesempatan satu lawan satu,
anakmu malah ikut campur. Siapa yang tidak kesal?"
"Pelampiasan kekesalanmu jangan pada anakku,
tapi pada aku. Sebab aku yang mencetaknya!" bentak Ki Jerangkong.
"Baik, baik. Aku minta maaf. Aku terlalu dibawa
arus dendam. Sebaiknya, kita tak perlu bersitegang.
Kasihan Adipati Wisnu Bernawa," akhir Ki Dagul mengalah.
Masih dengan wajah cemberut, Ki Jerangkong
menghampiri anaknya. Sementara perhatian Ki Dagul
telah beralih pada pertarungan Adipati Wisnu Bernawa
melawan sisa Tujuh Dewa Kematian.
Sepertinya pertarungan sudah tak menarik lagi.
Karena begitu menyadari saudara-saudaranya berja-
tuhan, Karma yang menjadi lawan sang Adipati mulai
cemas. Sebentar-sebentar kepalanya melihat ke kiri
dan kanan seperti mencari peluang. Masalahnya, dia
kini sudah mendalami jurus baru, yakni jurus
'Langkah Seribu'. Artinya, bila ada kesempatan, lari
secepatnya. Begitu kesempatan itu ada, tanpa buang-buang
waktu lagi Karma membuang tubuh ke belakang. Dan
saat menjejak tanah, tubuhnya telah berkelebat lagi,
meninggalkan tempat ini.
Kabur. Tak terasa, pertarungan antara Satria dengan la-
wannya telah bergeser ke luar Kuil Neraka. Makin seru
dan ganas. Sebagian pepohonan telah tumbang terma-
kan pukulan nyasar. Tanah membuncah dan bergetar.
"Heaaa...!"
Lelaki berkepala plontos lawan Satria menerjang.
Dia berlari beringas. Kedua kakinya berdebam berat di
atas tanah. Hal itu sengaja dilakukan dengan menya-
lurkan tenaga dalam pada setiap jejakan kakinya. Tu-
juannya jelas. Untuk menggedor nyali lawan bau ken-
curnya. Tapi bukan Satria namanya kalau begitu saja su-
dah melorot nyalinya.
"Hiaaaahhh...!"
Dikawal oleh teriakan bak naga terluka, Satria
malah menyambut serangan dengan maju ke depan
pula. Pada saat itulah tenaga sakti dalam dirinya men-
galir deras ke kedua lengannya.
Sebelum terjadi bentrokan, lelaki plontos bernama
Karsa menghantamkan tangan kanannya. Cepat seka-
li. Arahnya dada Satria.
Bed! Mata tajam Satria patut dipuji. Nalurinya menga-
takan kalau dia harus mengenyahkan tubuhnya ke
samping. Kerja sama antara mata dengan naluri,
membuat serangan lewat di depan dada. Begitu seran-
gan lewat, patukan Satria telah menerjang punggung
lawan. Dighh! Karsa tersuruk maju. Lenguh tertahan meluncur
dari mulutnya. Untung dia cepat mencari keseimban-
gan. Kalau tidak, bisa dipastikan tubuhnya mencium
tanah. Tapi tanpa begitu pun, dia sudah merasakan
punggungnya berdenyar-denyar. Kuat sekali tanda
hantaman lawan. Untungnya, dia sudah melapisinya
dengan tenaga dalam.
"Bangsat! Siapa kau sebenarnya, Bocah"!" dengus si tua bangka satu dari Tujuh
Dewa Kematian ini.
"Aku Satria," sahut Satria enteng.
"Kulihat kau menggunakan jurus 'Patukan Bunga
Karang'. Apa hubunganmu dengan Ki Kusumo, heh"!"
"Yang jelas bukan hubungan suami-istri," sahut Satria, kambuh penyakitnya.
"Setan! Aku yakin, kau murid tua bangka dari Pu-
lau Dedemit itu."
"Kenapa memangnya" Kau mulai takut padaku"!"
Sebenarnya Satria paling tak suka jika jati dirinya
diutak-atik orang. Apalagi sampai membawa-bawa
nama gurunya. Itu sebabnya suaranya makin meninggi
dengan mata melotot.
"Bangsat! Kau benar-benar tak menganggap siapa
aku, Bocah! Terima kematianmu! Heaaah!"
Dihina demikian rupa, makin membuncah saja
kemarahan lelaki tua bangka itu. Kembali diterjangnya
Satria. Ganas penuh kekuatan. Kali ini dia tidak lagi
melangkah berdebam, tapi meluncur dengan ilmu me-
ringankan tubuhnya. Kedua kepalanya mengibas-
ngibaskan. Amat cepat.
"Hup! Heaaa...!"
Satria melakukan hal yang sama. Lalu....
Plak! Plak! Benturan tangan terjadi. Si lelaki plontos terpental
mundur. Sementara Satria mendarat di tanah. Dan se-
belum lawan mampu menyeimbangkan tubuhnya, si
pemuda telah meluncur kembali bak ikan hiu me-
nyambar mangsa.
Diegh! Desss! Berturut-turut dua jotosan tangan Satria berisi
tenaga sakti bersarang di rahang dan dada lawan.
Si lelaki plontos terjungkal ke tanah. Wajahnya
makin kelam. Matanya kian beringas. Saking geramnya
dipecundangi begitu, kedua tangannya menegang den-
gan jari-jari mencengkeram tanah.
"Whuaahh!"
Seiring bentakannya, lelaki tua bangka ini bangkit
berdiri. Masih sempoyongan, diterjangnya Satria den-
gan membabi-buta. Kenekatan telah mengisi dadanya.
Tak ada kata menyerah dalam hidupnya. Benar-benar
keras kepala dia!
Selang beberapa kedipan, kedua tangan lelaki
plontos ini menyusul cengkeraman bengis ke wajah
dan dada lawan. Tubuh si pemuda hendak dirancah-
nya. Terlalu mudah bagi Satria untuk mengelak. Apa-
lagi si lawan hanya mengandalkan sisa-sisa tenaganya.
Nalurinya yang terlatih cepat menyuruhnya untuk
membuang tubuh ke belakang dengan kaki menjejak
ke depan. Lagi-lagi...
Desss...! Kembali tubuh si tua bangka itu terpental mun-
dur. Perutnya yang lowong jadi sasaran kedua kaki Sa-
tria. Mulut jeleknya langsung meringis menahan mual.
Tak kepalang tanggung, langsung saja terlontar darah
segar dari mulutnya yang berbibir keriput mirip gom-
bal lecek. Sungguh! Daya tahan lelaki tua ini patut diacungi
jempol. Walau dengan mata berkunang-kunang, dia
masih berusaha berdiri. Matanya kian memerah. Ke-
nekatannya benar-benar membuat dirinya jadi mata
gelap. Yang ada di benaknya hanyalah membunuh bo-
cah lawannya. "Bangsattt...! Kucincang kau, Bocah!" desis si tua bangka. Saat mendesis begitu
dari mulutnya tersembur percikan darah merah.
Sebenarnya tawa Satria mau meledak. Bagaimana
tidak" Disenggol dengan jarinya saja, lelaki tua plontos itu pasti akan roboh.
Eh, dia pakai mau mencincang
tubuh Satria. "Sudahlah, Pak Tua Plontos! Sudahi saja perta-
rungan ini. Kembalilah ke ja...."
Kata-kata si pemuda terpenggal oleh terjangan la-
wan, Satria hanya menggeleng-gelengkan kepala. Si-
kapnya tetap tenang.
"Kau terlalu memaksa, Pak Tua...! Heaaah...!"
Setengah tombak lagi serangan tiba, Satria memu-
tar tubuhnya. Dilepaskannya tendangan berputar, sa-
lah satu jurus dasar olah kanuragan yang dipelaja-
rinya di Kerajaan Demak.
Desss...! "Aaa...!"
Teriakan kematian terdengar. Tendangan Satria
tepat mendarat di dada kiri lawan. Tulang dada si tua
bangka langsung berpatahan. Sebagian patahannya
menjotos jantung. Tendangan tadi sekaligus mengakhi-
ri riwayat manusia tua keras kepala itu.
Tujuh tombak si tua itu terpental dari tempatnya
itu. Dalam luncurannya, tetesan darah merah berjatu-
han, mengotori bumi. Sampai di tanah, tubuhnya su-
dah melejang-lejang dan diam seketika.
Satria berbalik ketika mendengar suara-suara
langkah kaki di belakangnya.
"Hei, Bocah Tengik! Di mana Pitaloka kau sembu-
nyikan"!" sambar Pengemis Tuak, langsung saja.
Tak langsung menjawab, Satria malah mencari-
cari. "Ke mana Arya Wadam?" tanyanya dalam hati.
"Hei, Bocah Budek! Sejak kapan telingamu tuli"!"
sambung Dewa Gila.
Di tempat itu memang telah berdiri Adipati Wisnu
Bernawa, Sukma Sukanta, Joyolelono. Pengemis Tuak,
dan Dewa Gila. Tapi di mana Arya Wadam"
"Kalian lihat Arya Wadam?" Satria malah balik bertanya.
"Busyeett..., ini bocah! Ditanya malah balik ber-
tanya. Di mana kau sembunyikan Pitaloka. Ayo, ja-
wab!" maki Ki Dagul, naik pitam.
"Tenang. Dia aman-aman saja. Yang panting, di
mana Arya Wadam. Apa kalian melihatnya?" sahut Satria kalem.
"Dia telah pergi, Satria. Tadi waktu kau berta-
rung," Sang Adipati yang menjawab.
"Ke mana?"
"Entah, dia tidak bilang."
Satria Gendeng tercenung sejenak. Tapi tak lama
bibirnya tersenyum.
"Ayo, kita jemput Pitaloka." susulnya, mengajak.
Bisa jadi Satria tersenyum. Bukankah kalau ingin
bertemu Arya Wadam mudah saja. Datangi tiap-tiap
kedai makan. Kalau beruntung dia pasti ada di salah
satu sudut ruangan kedai. Biasa, makan nasi dicam-
pur arak! *** SEMBILAN SATRIA Gendeng menghentikan langkahnya sepu-
luh tombak di dekat pintu gerbang Kadipaten Luma-
jang. Di tempat yang sama, di bawah pohon beringin,
Pitaloka berdiri, ini yang membuat langkah si pemuda
terhenti. "Sedang apa Putri di sini?"
Pertanyaan ini pernah diajukan si pemuda sewak-
tu pertama kali menginjakkan kakinya di wilayah ka-
dipaten. "Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu,
Tuan Pendekar," ucap Pita halus.
"Lho" Kok pakai Tuan segala" Namaku Satria. Itu
saja," kata si pemuda ini.
"Terima kasih kuucapkan padamu, Satria. Kau te-
lah membebaskan aku dari Tujuh Dewa Kematian,"
ulang sang Putri.
"Jangan pada hamba, Putri. Berterimakasihlah
pada Ki Dagul, Ki Jerangkong, Joyolelono, Arya Wa-
dam, Paman Sukma Sukanta, dan Kanjeng Adipati
sendiri," tukas Satria.
"Tapi tanpa kau, mana mungkin mereka datang
membantu?" balik Pitaloka.
"Ya, itu hanya kebetulan saja. Nah, sekarang
hamba permisi untuk pergi dari sini," elak Satria. Terus terang, Satria pun
ingin berlama-lama dengan Pita-
loka. Kecantikan si gadis yang membuatnya betah. Ta-
pi keadaanlah yang memaksanya untuk pergi.
"Tidakkah kau bersedia menginap barang sehari
dua hari?" aju Pitaloka.
"Aku" Menginap di sini?" si pemuda malah tercekat. "Ya, kenapa" Kau tak sudi"
Apa pelayanan di sini kurang memuaskanmu?"
"Bu..., bukan begitu, Putri. Justru hamba malah
merasa mendapat kehormatan yang begitu berlebihan.
Hanya saja...."
"Ada gadis yang menantimu?" potong Pitaloka.
"Ada," sahut Satria pendek.
"Siapa?"
"Putri sendiri."
"Kapan aku menantimu?"
"Wah, masih muda sudah pelupa. Lantas Putri
berdiri di sini menanti siapa?" Satria menyudutkan.
Wajah Pitaloka memerah. Kepalanya langsung di-
tundukkan. "Maksudku, apa ada gadis lain yang menantimu,"
rapat Pitaloka.
"Kalau itu tidak ada. Hanya saja aku harus me-
nemui seseorang," jelas Satria.
"Seorang gadis?" tuntut Pitaloka.
"Bisa iya, bisa tidak," Satria berteka-teki.
"Aku tak mengerti maksudmu?"
"Yang akan kutemui memang seorang gadis, tapi
berpenampilan seperti lelaki. Dia tak lain adalah Arya Wadam, yang ikut


Satria Gendeng 15 Tumbal Tujuh Dewa Kematian di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membebaskanmu, Putri," Jelas Satria lagi.
"Tapi, tetap saja seorang gadis, kan?" tukas Pitaloka. Kalau Satria pandai soal
perempuan, dia sudah
bisa menangkap suara Pitaloka. Jelas gadis itu cembu-
ru. Tapi dasar si pemuda berotak awam terhadap pe-
rempuan, tetap saja hanya cengar-cengir yang diperli-
hatkan. "Ya, dia tetap seorang gadis. Aku suka padanya,"
aku si pemuda, polos.
"Kau suka padanya!" sentak Pitaloka.
"Habis dia...."
Kata kata Satria terpenggal. Pitaloka sudah kebu-
ru berlalu menuju bangunan kadipaten.
"Lho" Kenapa dia, ya?" tanya si pemuda, lugu.
Sangat lugu. Saking lugunya lagi, bukannya menyusul Pitaloka
malah melanjutkan langkahnya menuju luar kadipa-
ten. * * * Satria memasuki kedai, tempat dia bertemu Arya
Wadam secara tak sengaja, sewaktu ditugasi Adipati
Wisnu Bernawa mencari Tiga Pendekar Aneh. Dan ba-
ru saja pantatnya dihenyakkan di bangku kedai, bocah
pelayan datang menghampiri.
"Bukankah Aden teman dari orang bertudung
yang waktu itu ribut dengan empat lelaki kasar di
tempat ini?" tanya si bocah pelayan, langsung.
"Benar. Ada apa?" sahut si pemuda.
"Aden bernama Satria Gendeng?" sambung si bocah. "Sudahlah, ada apa?" kejar
Satria Gendeng, jengah julukan lengkapnya disebut-sebut.
"Ini ada surat untuk Aden," si bocah pelayan segera menyerahkan sepucuk surat
dari balik sabuknya.
Satria membuka surat. Langsung dibacanya.
"Dari Arya Wadam," desah si pemuda.
"Dari siapa, Den?" tanya si bocah, ingin tahu. Matanya melirik ke arah surat di
tangan Satria. "Hushh! Kau anak kecil mau tahu saja. Sudah sa-
na sediakan aku teh panas dan kue-kue," usir Satria, lalu segera melanjutkan
membacanya. Satria Gendeng,
Sejak bertemu dan berjalan denganmu, ada sesua-
tu yang hilang dari diriku. Aku tak tahu, apa itu. Yang
jelas, aku seperti menemukan jati diriku lagi sebagai seorang wanita.
Kau adalah orang yang mampu membuat aku ber-
pikir kembali, siapa aku sebenarnya. Ternyata, aku memang tak bisa memungkiri
kodratku sebagai wanita.
Tapi sayang, apa yang kuharapkan jauh dari ke-
nyataan. Aku menyadari penampilanku. Tapi di sisi hatiku yang paling dalam, aku
adalah orang yang tak bisa memungkiri keadaan.
Nah, Satria Gendeng. Mulai sekarang, Arya Wadam
tidak ada lagi di muka bumi ini. Dia telah terkubur bersama cintanya pada
seorang pemuda yang sama sekali tak mencintainya. Sekian.
Salam, Arya Wadam
"O, jadi selama ini Arya Wadam sedang jatuh cinta pada seorang pemuda.... Siapa
pemuda itu, ya" Kenapa bodoh betul bila tak mencintai wanita secantik Arya
Wadam?" Saking lugunya, justru ucapan menyebalkan yang
keluar dari mulut Satria. Mungkin kalau Arya Wadam
ada di depannya, pasti mulut comel Satria sudah di
gamparnya. SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Kisah Sepasang Rajawali 30 Dewi Ular 48 Perempuan Penghisap Darah Anak Pendekar 25
^