Api Di Bukit Menoreh 20
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 20
ada. Seperti yang dicemaskan oleh Ki Lurah Branjangan itu
memang akan terjadi."
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan Kiai?" bertanya
Untara. Sebenarnya bukan kebiasaan Untara untuk
menyerahkan keputusan kepada orang lain, apalagi di luar
lingkungannya. Tetapi ia bukan orang yang sama sekali tidak
mau mendengarkan pendapat orang lain.
Dan kini ia tidak dapat lagi memusatkan pikirannya kepada
tugasnya melulu. Karena itu, maka ia memang memerlukan
nasehat dari orang-orang yang dipercayanya meskipun ia
berada di luar lingkungan keprajuritan.
"Sudahlah, Anakmas Untara," berkata Kiai Gringsing,
"serahkan semua kepada orang yang kau pereaya. Tetapi aku
minta ijin untuk berbicara dengan orang itu tanpa ada orang
lain, meskipun perwira prajurit Pajang. Aku ingin berbicara
dengan perwira itu di sini bersama Ki Widura. Anakmas tidak
perlu cemas, bahwa kekacauan itu akan dapat mengganggu,
bukan saja perhelatan anakmas, tetapi juga hubungan Pajang
dan Mataram. Kami akan mencoba mengatasinya sebaikbaiknya."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
bertanya, "Dan Kiai tidak memerlukan aku untuk ikut
berbicara?" "Tentu aku tidak dapat menolak jika Anakmas memutuskan
demikian. Tetapi jangan terlalu berpengaruh bagi Anakmas.
Jika Anakmas datang ke rumah pengantin perempuan dengan
kening yang berkerut-merut, maka kesannya akan berbeda.
Mertua Anakmas akan bertanya-tanya, kenapa menantuku
berwajah murung justru di malam pengantin?"
Untara tersenyum. Tetapi sebagai seorang senapati ia
dapat menangkap dengan ketajaman tanggapan, bahwa
persoalan yang sebenarnya bukannya begitu sederhana.
Atas perintah Untara, maka perwira yang tertua, yang
mendapat wewenang melakukan tugas Untara selama Untara
sibuk dengan persoalan pribadinya, segera datang ke rumah
Widura. Perwira itu meskipun rambutnya sudah diselingi oleh
warna-warna putih, namun tatapan matanya yang tajam, serta
tubuhnya yang kuat kekar, masih tetap merupakan seorang
yang pantas disegani. Setelah saling memperkenalkan diri, maka perwira yang
bernama Ki Ranadana itu segera mendapat penjelasan dari
Untara siapakah yang sekarang sedang dihadapi.
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku menyesal, bahwa aku tidak mendapat tugas di Sangkal
Putung saat itu bersama Ki Widura, sehingga aku baru
mengenal Kiai sekarang ini." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
aku akan berdebar-debar juga jika aku bertemu dengan Ki
Sumangkar di medan waktu itu."
Sumangkar hanya tersenyum saja. Meskipun ia belum
mengenal terlalu baik, namun agaknya Ki Ranadana telah
mengetahuinya, siapakah sebenarnya orang yang bernama Ki
Sumangkar itu. "Nah, silahkan," berkata Untara kemudian, "aku akan
menjadi pendengar saja."
"Pendengar yang baik," sahut Kiai Gringsing, "dengan
demikian Anakmas tidak akan selalu memikirkannya."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
tersenyum ia berkata, "Ya, aku akan mencoba melupakannya,
setidak-tidaknya untuk lima hari selama aku berada di
Pengging." Sejenak kemudian mereka pun mulai berbicara tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul. Dengan hatihati
Kiai Gringsing mengatakan apa yang dilihatnya dan apa
yang didengarnya. Rencana yang agaknya telah tersusun dan
hampir merupakan kepastian tentang usaha orang-orang itu
untuk memasuki rumah Untara, dan membunuh beberapa
orang perwira. "Itu bukan persoalan yang dapat dilupakan begitu saja,"
tiba-tiba Untara memotong.
"Anakmas Untara sudah berjanji untuk menjadi pendengar
yang baik, sehingga Anakmas Untara tidak usah ikut
mempersoalkannya. Bukankah Anakmas Untara sudah
diwakili Ki Ranadana?"
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Persoalannya adalah persoalan yang besar. Apakah aku
akan melepaskan persoalan ini berlalu begitu saja"
Sebenamya ini adalah suatu kesempatan untuk mengetahui,
siapakah yang sebenarnya telah membuat jurang yang
semakin dalam antara Pajang dan Mataram."
"Tetapi ada kemungkinan lain," berkata Kiai Gringsing.
"Mungkin Anakmas Untara terlalu berpikir jauh dan
berlandaskan pada masalah-masalah yang besar. Tetapi hal
ini mungkin berpijak pada masalah yang sangat sederhana
meskipun dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan tinggi." "Apakah alasan yang sederhana itu?"
"Orang-orang yang tidak ingin melihat orang lain membuka
Alas Mentaok siapa pun orangnya. Mereka adalah orangorang
yang kecewa, karena mereka sendiri mempunyai
pamrih atas Alas Mentaok. Tidak ada persoalan apa pun yang
ada hubungannya dengan kepemimpinan Sultan Pajang dan
Ki Gede Pemanahan beserta puteranya Raden Sutawijaya."
"Jika demikian maka keadaannya akan menjadi semakin
parah. Seolah-olah kita yang memiliki kemampuan berpikir
sebagai prajurit, akan diadu domba begitu saja oleh orangorang
yang sekedar dikendalikan nafsu ketamakan?"
"Itulah sebabnya kita berhati-hati. Persoalannya memang
cukup gawat, tetapi kita sudah mengetahuinya lebih dahulu.
Apalagi di sini ada Ki Lurah Branjangan yang sekarang berada
di gandok. Ia akan dapat ikut memecahkan masalahnya
apabila kita berhasil menangkap beberapa orang dari
mereka." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Baiklah.
Aku akan menjadi pendengar yang baik."
Kiai Gringsing tersenyum. Dipandanginya wajah Untara
sejenak, lalu wajah Ki Ranadana. Setelah menarik nafas maka
ia pun berkata, "Kita akan membuat rencana untuk menjebak
mereka." "Ya. Dan itu bukan suatu hal yang mudah," sahut
Ranadana. "Besok kita akan menentukan garis pertahanan yang akan
kita susun." "Kenapa besok. Kita tidak boleh lengah. Aku akan
memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakan hal
ini bersama Kiai berdua."
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. "Jangan.
Semakin banyak orang yang mengetahui masalah ini, bahaya
kebocoran pun menjadi semakin besar. Jika orang-orang itu
mengetahuinya, bahwa kita sudah mencium rencana mereka,
maka mereka pasti akan merubah cara mereka untuk
mengacaukan Jati Anom dan memancing kekeruhan.
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi pada pokoknya kita sudah mengetahui, bahwa
sasaran utama yang telah mereka tentukan adalah para
perwira yang ada di Jati Anom, dan yang tentu saja tidak ikut
ke Pengging bersama Anakmas Untara. Tetapi seandainya
mereka berhasil membunuh seorang perwira saja, maka
kemarahan prajurit Pajang tidak akan dapat dibendung lagi."
Untara yang mendengarkan percakapan itu
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara apa pun.
Ia percaya bahwa Kiai Gringsing dan Ki Ranadana pasti akan
menemukan jalan yang paling baik untuk mencegah
pembunuhan itu. Meskipun ada juga kegelisahan di hati Untara, namun ia
mencoba untuk mempercayakan hal itu kepada orang-orang
yang ditinggalkannya di Jati Anom. Selain Kiai Gringsing dan
Ki Ranadana, masih ada pula Widura dan Ki Sumangkar.
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pengalaman
yang cukup dan pikiran yang cerah untuk memecahkan seiap
persoalan. "Aku kira bahan yang aku berikan sudah cukup Ki
Ranadana. Hari ini kita akan merenungkan, apa yang akan
kita lakukan. Sementara itu Anakmas Untara dapat
mempersiapkan dirinya. Besok Anakmas harus pergi ke
Pengging. Bukan saja diiringi oleh keluarga pengantin, tetapi
juga oleh sepasukan prajurit."
Untara tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan
mempersiapkan diriku. Silahkanlah kalian berbicara tentang
usaha kalian untuk menyelamatkan daerah ini dari kekacauan
yang dapat menyeret Pajang dalam suatu keadaan yang
gawat. Aku percaya kepada kalian."
Untara pun kemudian meninggalkan pertemuan itu. Ia
sadar, bahwa kehadirannya memang agak mengganggu, Kiai
Gringsing tidak akan menyebutkan rencana apa pun yang
dapat membuatnya gelisah.
Sepeninggal Untara, maka barulah Kiai Gringsing berkata,
"Kita harus menyelamatkan sasaran itu."
"Ya," jawab Ki Ranadana, "dan itu bukannya yang sulit.
Tetapi bagaimana kita dapat membuktikan bahwa yang
datang itu benar-benar bukan orang-orang Mataram."
"Ki Lurah Branjangan akan menentukan."
"Aku tahu. Tetapi bagaimana kita meyakinkan prajuritprajurit
dan rakyat yang sudah dibekali dengan kecurigaan."
"Kita harus berhasil menangkap beberapa orang di antara
mereka hidup-hidup. Kita hadapkan orang itu kepada Ki Lurah
Branjangan di hadapan beberapa orang prajurit yang paling
berpengaruh." Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi, apakah kita akan menjebak mereka" Menurut
perhitunganku, menahan mereka di luar kademangan adalah
lebih baik. Kita dapat mengurangi ketegangan dan ketakutan."
"Aku sepenapat," sahut Kiai Gringsing, "tetapi aku masih
belum dapat memastikan, apakah pendapat orang-orang yang
berhasil kami ikuti itu diterima. Dalam hal ini, apakah mereka
akan datang dari Barat atau seperti yang mereka katakan,
mereka akan datang dari Timur."
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
"Jika demikian, bagaimana pendapat Kiai?"
"Kita jebak mereka di halaman rumah Anakmas Untara dan
di sepanjang jalan. Menilik rencana yang akan mereka
jalankan, jumlah mereka tidak akan begitu banyak. Tetapi di
antara mereka pasti ada orang-orang yang dapat dipercaya
untuk menghadapi para perwira yang diperkirakan jumlahnya
akan jauh berkurang, karena sebagian telah pergi mengikuti
dan mengawal Anakmas Untara ke Pengging besok."
"Kenapa harus di halaman dan di dalam padukuhan Jati
Anom?" "Kesempatan mereka untuk melarikan diri harus kita tutup
serapat-rapatnya. Di luar padukuhan mereka akan banyak
mendapat kesempatan untuk lari."
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Semuanya itu akan terjadi besok malam menurut perhitungan
mereka, setelah besok Untara berangkat ke Pengging."
"Aku akan memberitahukan masalahnya setelah Untara
berangkat," berkata Ki Ranadana, "agar persiapan pengantin
itu tidak terganggu."
"Ya," sahut Kiai Gringsing. "Kita akan memerlukan prajurit
seperlunya dalam kesiagaan penuh, tanpa menyatakan
persoalannya yang sebenarnya kecuali kepada beberapa
orang pemimpin kelompok. Kita harus menjaga agar
semuanya itu seakan-akan hanyalah kesiagaan karena Jati
Anom menjadi sepi." Demikianlah mereka telah sepakat untuk mengatur
persiapan besok setelah Untara berangkat. Menurut
keputusan terakhir, Untara akan berangkat besok dengan
iring-iringan yang kuat. Beberapa orang keluarga yang
meskipun agak jauh, pergi mengantarkannya. Tetapi Widura
justru tinggal di Banyu Asri karena persoalan yang cukup
gawat yang akan terjadi di padukuhan Jati Anom.
Dengan persetujuan Untara, maka menjelang sore yang
kemudian turun di atas Jati Anom, Kiai Gringsing dan
Sumangkar pergi juga ke Lemah Cengkar. Jika pendapat
orang-orang yang kemarin diikutinya itu disetujui oleh
pimpinan mereka, maka ada kemungkinan satu dua orang
yang lebih tinggi tingkatannya, akan memastikan tempat itu
sebagai landasan gerak mereka. Tetapi kali itu mereka tidak
membawa Agung Sedayu dan Swandaru.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Sumangkar
mendapatkan kepastian itu. Beberapa orang ternyata kembali
ke Lemah Cengkar dan bahkan mereka agaknya telah
menentukan di mana mereka harus berkumpul.
Tetapi Kiai Gringsing dan Sumangkar tidak dapat
mendekati mereka, keduanya hanya dapat melihat dari
kejauhan sambil berjongkok menyabit rumput.
"Mereka benar-benar datang seperti yang mereka
rencanakan," berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya, "Mereka
agaknya telah mapan dengan tempat ini. Yang tinggi itu
agaknya pemimpinnya. Ia mengangguk-angguk mantap
sekali." Kiai Gringsing tidak menyahut. Ketika orang yang tinggi itu
kebetulan berpaling, maka kedua orang tua-tua itu bekerja
semakin tekun, menyabit rumput yang hijau segar.
Tetapi keduanya menjadi berdebar-debar ketika orangorang
itu mendekatinya. Orang yang tinggi itu berdiri beberapa
langkah di samping Ki Sumangkar dan memandang kedua
orang tua itu berganti-ganti.
"He, siapakah kalian?"
Sumangkar mengangkat wajahnya. Tubuhnya yang tidak
ditutup dengan baju itu tampak berkeringat dan terbakar oleh
sinar matahari di sore hari.
"He, siapa kau?"
"Namaku Puji Ki Sanak."
"Dari mana?" "Sendang Gabus."
Orang yang tinggi itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu ia pun bertanya, "Apakah kau bukan orang Jati Anom?"
Sumangkar menggeleng. "Bukan Ki Sanak. Tetapi aku
memang sering pergi ke Jati Anom. Apakah Ki Sanak
memerlukan sesuatu yang dapat kami bantu?"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, tidak," jawab orang itu, lalu, "bukankah di Jati Anom
ada pengantin agung."
"O, maksud Ki Sanak pengantin Senapati Pajang itu?"
"Ya." "Ya. Besok ia akan berangkat ke Pengging. Apakah Ki
Sanak akan mengunjungi perhelatan itu?"
"Ya. Aku akan datang. Tetapi besok, di hari ke lima, jika
Untara membawa isterinya kembali. Aku bukan keluarga
dekat." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
menegang sejenak ketika orang itu bertanya, "Kenapa kau
menyabit rumput di sini dan di sore hari?"
Namun Sumangkar pun segera tersenyum sambil
menjawab, "Seperti yang Ki Sanak lihat, rumput di sini tumbuh
subur. Aku bukan saja menyabit rumput di sini, tetapi di pagi
hari aku kadang-kadang menggembalakan kambing dan
kerbau di tempat ini."
"Jarang sekali ada orang yang menggembalakan ternaknya
di sini. Bukankah Lemah Cengkar terkenal angker karena
Macan Putihnya?" "Tetapi tidak bagi gembala," jawab Sumangkar. "Pohon
Panca Warna yang angker itu memberikan buahnya khusus
bagi para gembala. Selain bagi gembala yang setiap hari
bermain di bawahnya, buahnya dapat menjadi racun. Tetapi
tidak bagi kami. Anak-anak sampai orang yang paling tua
sekalipun." Orang itu mengerutkan keningnya sejenak. Namun tiba-tiba
ia tersenyum sambil berkata, "Itu adalah akal yang licik dari
para gembala. Agar buah itu tidak diambil orang lain, kalian
membuat ceritera begitu?"
"Tidak. Memang tidak ada orang yang berani makan
buahnya." Orang yang tinggi itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia pun berkata kepada kawan-kawannya, "Marilah,
kita tinggalkan tempat ini."
Sumangkar tidak bertanya apa pun kepada mereka,
kenapa mereka berada di tempat itu, namun orang yang tinggi
itulah yang berkata sebelum ia pergi, "Kami adalah pemburu
harimau. Kami sebenarnya ingin melihat Macan Putih di
daerah ini. Jika menurut dugaan kami, macan itu adalah
macan sewajarnya, maka kulitnya akan sangat berharga.
Tetapi jika yang disebut Macan Putih itu menurut ciri-cirinya
adalah harimau jadi-jadian, sudah tentu kami tidak akan berani
berbuat apa-apa." Sumangkar mengangguk-angguk. Jawabnya, "Hanya di
malam hari Macan Putih itu menampakkan diri."
"Menurut kepercayaanmu. Tetapi jika harimau itu benarbenar
harimau, di siang hari kami akan menemukan bekasbekasnya,
sehingga memberikan petunjuk bagi kami untuk
berburu di malam hari."
Sumangkar mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya
Kiai Gringsing tetapi orang tua itu masih tetap sibuk menyabit
rumput. Sejenak kemudian orang-orang itu pun pergi meninggalkan
tempat itu. Sesekali mereka masih berpaling. Salah seorang
dari mereka berpendapat, bahwa kedua orang itu dapat
membahayakan keadaan mereka. Tetapi orang yang tinggi itu
berkata, "Gembala itu tidak mengerti apa-apa. Tetapi jika kita
berbuat sesuatu, maka justru akan dapat menimbulkan
persoalan. Katakanlah jika orang-orang itu tidak pulang ke
rumahnya malam nanti, maka keluarga mereka tentu akan
mengadu. Bukan sekedar kepada bebahu kademangannya,
tetapi kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Nah, hal itu akan
dapat membuat mereka bertanya-tanya dan barangkali justru
menimbulkan kesiagaan yang lebih mantap sepeninggal
Untara." Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
orang tinggi itu berkata lagi, "Kita berpencar, agar kita tidak
menumbuhkan kecurigaan apa pun."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar memandangi orang-orang
itu sampai mereka hilang di balik gerumbul-gerumbul perdu.
Mereka berpencar ke arah yang berbeda, agar orang-orang
yang menjumpai mereka tidak bertanya-tanya tentang
sekelompok orang yang tidak dikenal.
Ketika mereka sudah tidak tampak lagi, Kiai Gringsing dan
Sumangkar pun segera berdiri. Dikibaskannya kain panjang
mereka yang menjadi kotor dan diusapnya keringat yang
membasahi kening. "Agaknya semuanya sudah hampir dapat dipastikan,"
berkata Kiai Gringsing. "Ya. Dan kita harus menyusun rencana sebaik-baiknya
hersama Ki Ranadana. Jika kita masih juga terjebak, maka
kitalah yang ternyata terlampau dungu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Marilah
kita kembali." Mereka pun kemudian meninggalkan Lemah Cengkar dan
meninggalkan keranjang mereka di pinggir belukar ilalang.
Baju yang mereka lilitkan di pinggang pun segera mereka
pakai, sementara keringat mereka masih saja mengalir. Tetapi
keduanya tidak membuang sabit mereka.
Orang Sendang Gabus dan Jati Anom tidak
menghiraukannya sama sekali. Tidak banyak orang yang
mengenal keduanya dan tidak banyak orang yang
menghiraukan mereka seperti juga orang-orang Sendang
Gabus dan Jati Anom tidak menghiraukan orang-orang asing
yang lewat di jalan-jalan padukuhan mereka. Orang-orang Jati
Anom menyangka bahwa mereka adalah penghuni
kademangan dan padukuhan tetangga yang sedang dalam
perjalanan, seperti yang sering terjadi. Berpuluh-puluh kali,
dan bahkan beratus-ratus kali. Setiap hari ada saja orang
yang tidak mereka kenal lewat di sepanjang jalan
kademangan. Dalam pada itu, matahari semakin lama menjadi makin
rendah, sedang di rumah Widura pun tampak menjadi
semakin sibuk. Beberapa orang tua-tua sudah menyiapkan
beberapa buah jodang yang besok akan dibawa serta
bersama pengantin laki-laki. Jodang-jodang yang berisi
pakaian buat pengantin wanita. Sanggan yang terdiri dari
buah-buahan, setangkep pisang dan kelengkapannya.
Di malam berikutnya, pintu rumah Widura sama sekali tidak
pernah tertutup meskipun hanya sekejap. Semalam suntuk,
hilir-mudik orang tua-tua yang mengatur persiapan
keberangkatan Untara besok, sementara di halaman rumah
itu, beberapa orang pembantu juga tampak hilir-mudik
menyiapkan bermacam-macam kebutuhan. Kenapa masih
disini. Cepat ke sana. Namun sebagian dari mereka adalah
petugas-petugas sandi yang mengawasi keamanan rumah
Widura, karena setiap saat dapat terjadi sesuatu yang tidak
terduga-duga. Selama kesibukan itu, Ki Lurah Branjangan dan beberapa
orang pengiringnya, masih saja dipersilahkan tinggal di
pendapa, agar mereka tidak terlibat dalam kesibukan,
sehingga mereka tidak sempat beristirahat. Namun sekalisekali
mereka datang juga ke pendapa dan duduk bercakapcakap
dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Namun
sampai demikian jauh, Kiai Gringsing masih belum
memberitahukan, apa yang pernah didengarnya dari orangorang
yang tidak mereka kenal itu.
Tetapi malam itu Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
memerlukan menemui Ki Ranadana. Semuanya harus diatur
sebaik-baiknya sehingga apabila tiba saatnya, prajurit-prajurit
Pajang tidak terjebak dalam kesulitan, dan terlebih-lebih lagi,
mereka jangan sampai terjerat kedalam suatu kesan, bahwa
orang-orang Mataram telah datang ke Jati Anom dan
mempergunakan saat-saat yang sibuk itu untuk menimbulkan
kekacauan. "Aku akan menyiapkan sekelompok prajurit pilihan," berkata
Ki Ranadana. Lalu, "Untuk sementara aku tidak akan
mengatakan keperluan yang sebenarnya. Di pagi besok
kelompok pilihan itu sekedar aku persiapkan untuk
pengamanan keberangkatan Ki Untara. Tetapi kelompok itu
juga yang akan aku pergunakan di malam hari besok untuk
menjebak orang-orang liar itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
ia masih juga bertanya, "Bagaimana dengan para perwira
yang masih tinggal di rumah itu, karena mereka tidak ikut serta
mengantar Anakmas Untara ke Pengging."
"Sampai gelap mereka akan tetap di rumah itu. Tetapi di
saat berikutnya mereka akan aku persilahkan pergi ke Banyu
Asri, untuk berjaga-jaga dan ikut berdoa agar pengantin yang
pergi ke Pengging selamat sampai ke tujuan dan perkawinan
dapat berlangsung dengan baik."
"Tanpa memberitahukan keadaan yang sebenarnya sama
sekali?" "Beberapa orang akan diberi tahu. Dan yang beberapa
orang itu akan terlibat langsung apabila orang-orang itu benarbenar
telah datang. Sedang yang lain, akan diatur oleh
seorang perwira yang cukup berpengalaman apabila
diperlukan. Demikian juga para prajurit yang ada di banjar.
Aku akan menempatkan tiga orang perwira di Banjar itu untuk
mendengar pertempuran yang dapat timbul apabila mereka
mengatasi kebingungan yang mungkin terjadi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata Ki Ranadana adalah seorang perwira tua yang
berhati-hati. "Sampai Untara berangkat, tidak akan ada seorang, pun
selain kita yang mengetahui, apa yang bakal terjadi. Para
perwira pun tidak. Yang mereka ketahui, kelompok pilihan itu
sekedar untuk berjaga-jaga tanpa sasaran yang pasti," berkata
Ki Ranadana. "Baik sekali. Dengan demikian tidak akan timbul
kegelisahan justru menjelang keberangkatan pengantin ini."
Demikianlah rencana Ki Ranadana berlangsung seperti
yang dikehendakinya, sementara persiapan keberangkatan
Untara pun telah selesai.
Seperti yang telah ditentukan oleh orang tua-tua, maka di
hari berikutnya, berangkatlah Untara bersama pengiringnya ke
Pengging dengan pengawalan yang cukup kuat.
Beberapa orang perwira dari Jati Anom ikut bersamanya
sebagai pengiring. Sebagian lagi adalah kawan-kawannya dan
para perwira yang datang dari Pajang.
Namun ketika iring-iringan itu mulai bergerak, Untara masih
sempat berbisik kepada Widura dan Ki Ranadana yang berdiri
didekatnya, "Jagalah padukuhan ini baik-baik. Jangan sampai
terjadi sesuatu yang dapat memberikan kesan yang jelek
sekali, justru karena aku tidak ada. Bantuan Kiai Gringsing
dan murid-muridnya beserta Ki Sumangkar sangat kita
perlukan." Widura dan Ki Ranadana mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Percayakan saja kepadaku," berkata Ki Ranadana, "jangan
kau pikirkan Jati Anom. Aku dan Ki Widura akan
mengurusnya. Urusanmu adalah pengantin perempuan itu."
"Ah kau," desis Untara sambil tersenyum.
Ki Ranadana dan Ki Widura pun tersenyum pula. Tetapi
hati mereka cukup berdebar-debar. Sepeninggal Untara,
mereka masih harus menyiapkan diri menghadapi persoalan
yang gawat, yang barangkali mempunyai akibat yang sangat
jauh. Agung Sedayu dan Swandaru mengantar pengantin itu
sampai ke regol padukuhan. Kemudian dilepaskannya Untara
pergi di atas punggung kuda. Tetapi mereka tidak dapat
berpacu terlampau cepat. Meskipun beberapa buah pedatipedati
yang memuat jodang-jodang yang berisi bermacammacam
keperluan telah berangkat lebih dahulu menjelang
fajar, namun kuda-kuda mereka pasti akan segera
melampauinya. Tetapi segala sesuatunya telah diatur. Telah disediakan
sebuah rumah khusus buat peristirahatan pengantin laki-laki.
Sebelum pengantin laki-laki pergi ke rumah pengantin
perempuan dengan segala peralatannya, maka pengantin itu
akan tinggal di rumah yang sudah ditentukan sambil
menunggu kedatangan pedati-pedati yang membawa
beberapa buah jodang itu.
Dalam pada itu, sepeninggal Untara, maka Ki Ranadana
pun segera membicarakan tugasnya. Prajurit pilihan yang
dipersiapkan masih tetap di dalam kelompoknya. Karena
sebenarnya prajurit itu memang dipersiapkan untuk
pengamanan Jati Anom di malam yang mendatang.
Tetapi seperti yang telah mereka putuskan, Ki Ranadana
belum memberitahukan hal itu kepada para perwira yang lain.
Ia masih tetap menyimpan hal itu di dalam dirinya.
Sepeninggal pengantin laki-laki, maka rumah Widura
menjadi semakin sepi. Beberapa orang sanak kadangnya
telah minta diri pulang ke rumah masing-masing.
"Besok lusa aku akan kembali menjelang sepasaran
pengantin," berkata salah seorang dari mereka.
Sambil mengucapkan terima kasih Widura mempersilahkan
mereka dan mengantar sampai ke regol halaman. Apalagi di
dalam hati Widura memang mengharap agar mereka segera
meninggalkan rumahnya, agar ia mendapat kesempatan untuk
memikirkan kemungkinan yang bakal terjadi malam nanti.
Meskipun Widura tidak berkata berterus terang, tetapi ia
sudah membayangkan kepada Ki Lurah Branjangan bahwa
sesuatu memang mungkin terjadi, seperti yang
diperhitungkannya. "Mudah-mudahan perhitunganku salah," berkata Ki Lurah
Branjangan. "Aku hanya terlampau curiga, seperti juga Raden
Sutawijaya. Kami, orang-orang Mataram, merasa bahwa
suasana yang meliputi Mataram kini adalah suasana yang
lapuk sekali. Setiap saat dapat terjadi perubahan-perubahan.
Dan banyak sekali pihak yang memang menginginkan
Mataram tenggelam sebelum tumbuh."
"Ah, jangan berprasangka terlampau buruk. Meskipun
kemungkinan itu terjadi, tetapi kau jangan terlampau berkecil
hati. Sudah tentu, para prajurit Pajang akan berusaha untuk
melihat kebenaran sejauh dapat dijangkau. Mereka tidak akan
begitu saja melemparkan kesalahan kepada sesuatu pihak
tanpa bukti-bukti yang meyakinkan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya, "Aku akan tetap di sini sampai hari-hari perkawinan
ini selesai. Aku harus melihat perkembangan suasana.
Alangkah baiknya jika tidak terjadi sesuatu. Tetapi jika ada
persoalan yang tumbuh selama ini dan menyangkut nama
Mataram, aku akan berusaha menyelesaikannya."
Demikianlah, maka Ki Ranadana dan Widura telah mulai
sibuk mengatur diri bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya
dan Ki Sumangkar. Mereka menentukan di mana prajurit
Pajang harus menunggu orang-orang yang akan menyergap
rumah Untara. Adalah tidak menimbulkan kesan apa pun ketika Agung
Sedayu, Swandaru, dan gurunya bersama Ki Sumangkar
memasuki rumah itu diiringi oleh Ki Ranadana, karena rumah
itu memang rumah Agung Sedayu. Bahkan tidak seorang pun
yang curiga ketika ia berjalan-jalan di kebun belakang.
Mengitari sebuah rumah kecil di bagian belakang, yang masih
juga dihuni keluarga yang menunggui rumah itu sejak rumah
itu ditinggalkan oleh Agung Sedayu dan Untara.
Dalam kesempatan itulah Ki Ranadana menentukan
tempat-tempat yang akan mendapat pengawasan dari prajuritprajurit
pilihan. Dan prajurit-prajurit itu baru akan mengetahui
persoalannya setelah senja. Demikian juga para perwira yang
akan dipindahkan ke rumah Widura selain mereka yang
bertugas. Sepeninggal para perwira itu. Kiai Gringsing,
Sumangkar, Ranadana, dan tiga orang perwira yang akan
dipilih sajalah yang akan tinggal di rumah itu, sedang para
perwira yang berada di rumah Widura akan ditempatkan di
bawah pengaruh Widura, meskipun ia bukan prajurit lagi.
"Di dalam saat yang gawat, mereka akan terlibat. Juga para
prajurit di banjar. Tetapi jika keadaan dapat di atasi, maka
kekisruhan akan dibatasi sekecil-kecilnya, sehingga rakyat Jati
Anom tidak akan menjadi bingung karenanya."
Demikianlah semua rencana sudah menjadi matang,
seperti juga beberapa orang yang berada agak jauh dari Jati
Anom. Mereka pun telah menyiapkan suatu rencana yang
matang pula. Dan orang-orang itulah yang dengan sengaja ingin
memancing kekeruhan. Mereka akan menyerang para perwira
di Jati Anom dengan diam-diam. Dan dengan tersamar
mereka ingin meninggalkan kesan seakan-akan mereka
adalah orang-orang Mataram yang dengan menyelubungi diri
membuat keributan di daerah yang berada dekat sekali
dengan batas yang sebenarnya tidak dapat ditentukan dengan
nyata. Dengan demikian, maka semakin jauh matahari menjelajahi
langit di sebelah Barat, maka ketegangan-ketegangan menjadi
semakin nampak. Baik di Jati Anom, maupun di sebuah hutan
kecil di sebelah jalan ke Sangkal Putung.
Sekelompok kecil orang-orang yang tidak dikenal
memasuki hutan itu dan hilang di antara rimbunnya
pepohonan. Mereka tidak datang bersamaan untuk
menghindari kecurigaan orang lain. Kadang-kadang mereka
hanya datang berdua, bertiga dan tidak lebih dari empat orang
setiap kelompok. Namun ternyata mereka berkumpul menjadi sekelompok
orang yang cukup banyak setelah mereka berada di dalam
hutan yang terlindung itu.
"Setelah gelap, kita akan mempersiapkan diri kita di Lemah
Cengkar," berkata salah seorang dari mereka. "Kita akan
melingkar dan memasuki Jati Anom dari Utara."
"Dari Utara?" bertanya salah seorang dari mereka. "Apakah
kita tidak dapat memasuki Jati Anom dari Timur?"
"Sendang Gabus?"
"Ya." Orang yang agaknya merupakan pemimpin mereka ini
menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak. Kita akan
datang dari Utara. Kemarin aku sudah memastikan setelah
aku melihat daerah Lemah Cengkar di sore hari. Daerah itu
memang agak sulit. Gerumbul-gerumbul berduri. Dan jika ada
yang masih percaya, di sana ada seekor harimau putih. Tetapi
kita tidak mempunyai kepetingan apa pun dengan harimau
putih itu, meskipun seandainya harimau itu adalah harimau
jadi-jadian." Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Lewat gerumbul- gerumbul berduri itu kita mendekati Jati
Anom, dan kita akan menyusup di sela-sela para peronda dan
gardu-gardu yang sudah kita kenal letaknya. Kita akan
langsung memasuki halaman rumah Untara. Kita akan
membunuh para perwira yang ada di rumah itu, sambil
mengumpati mereka dan sekali-sekali menyebut nama
Mataram. Tetapi ingat, jangan semua orang dibunuh, agar ada
yang berceritera tentang kita, bahwa kita menyebut-nyebut
nama Sutawijaya dan Pemanahan sebagai orang terbaik.
Hanya itu, seolah-olah kita memang menyembunyikan
kenyataan bahwa kita orang-orang Mataram."
Kawan-kawannya menarik napas dalam-dalam. Pekerjaan
itu memang sulit. Mereka harus berpura-pura menjadi orang
Mataram yang sedang berpura-pura pula.
"Kita akan masuk lewat bagian belakang. Kita harus
menyergap dengan tiba-tiba. Sebagian para penjaga di depan
regol dan yang lain para perwira di dalam rumah itu. Sekali
lagi aku peringatkan, mereka jangan sampai mendapat
kesempatan untuk membunyikan tanda apa pun. Tetapi
mereka jangan ditumpas semuanya. Biarlah satu dua orang
yang telah terluka parah dapat hidup terus untuk
menceriterakan apa yang telah terjadi." Orang itu berhenti
sejenak, lalu, "Yang harus diperhatikan adalah, bahwa para
perwira Pajang bukannya anak-anak. Mereka adalah prajurit
yang mendapat tempaan yang cukup. Mereka memiliki
kemampuan keprajuritan yang tinggi, dan memiliki
kemampuan secara pribadi pula, sehingga jika mereka sempat
bangun, mereka akan memberikan perlawanan yan sangat
berat. Aku sendiri akan berada di antara mereka yang harus
membunuh beberapa orang perwira itu. Aku mendengar
laporan, bahwa sebagian besar dari mereka iku bersama
Untara. Aku kira di dalam rumah itu tidak akan ada lebih dari
lima orang perwira saja."
"Hanya lima?" bertanya seseorang.
"Ya. Yang lain pasti ada di banjar. Sebagian ada di rumah
Widura bersama beberapa orang petugas sandi, dan yang lain
ada di kademangan dan di gardu induk."
"Kita tidak dapat menumpas mereka sekaligus."
"Bodoh kau," bentak pemimpinnya, "kita memang tidak
ingin menumpas mereka. Kita hanya sekedar membuat orangorang
Pajang marah. Jika di antara para perwira itu, dua atau
tiga orang saja yang terbunuh bersama para prajurit pengawal
rumah itu, itu sudah cukup. Pajang akan menjadi marah, dan
kita mengharap, mereka akan mengambil tindakan terhadap
orang-orang Mataram. Apakah kau mengerti?"
"Aku mengerti. Tetapi alangkah baiknya jika keduanya
dapat dilaksanakan bersama-sama."
"Sebuah mimpi yang bagus sekali. Tetapi kemampuan kita
tidak akan mungkin."
Ternyata pemimpinnya masih memberikan beberapa pesan
kepada anak buahnya, agar usaha mereka itu tidak gagal.
Mereka mengharap, bahwa Pajang benar-benar segera
bertindak terhadap Mataram. Jika terjadi demikian, maka
selain dendam mereka terbalas karena kematian orang-orang
mereka yang terpenting di Alas Mentaok, maka Mataram akan
segera dikosongkan. Mereka akan mendapat kesempatan
dengan perlahan-lahan mengisi kekosongan itu. Lewat
beberapa orang perwira dan pemimpin pemerintahan yang
mereka kenal, maka mereka akan mendapat pengesahan atas
penggunaan tanah di Alas Mentaok itu.
Tetapi selagi mereka bersiap, Kiai Gringsing, kedua
muridnya, Sumangkar, dan Ki Ranadana pun telah
menyiapkan penyambutannya pula. Meskipun mereka tidak
tahu pasti, dari mana orang-orang itu akan memasuki halaman
rumah Agung Sedayu itu, namun mereka telah menyiapkan
sepasukan pilihan yang akan menyambut mereka, meskipun
sampai matahari menyentuh pucuk pepohonan di ujung Barat,
mereka masih belum mengetahui apa yang bakal terjadi.
Mereka hanya sekedar mendapat perintah untuk bersiaga.
Dalam pada itu Kiai Gringsing dan Sumangkar masih juga
mempertimbangkan beberapa lama, apakah Agung Sedayu
dan Swandaru lebih baik berada di Banyu Asri saja. Namun
akhirnya mereka mengambil keputusan bahwa biarlah
keduanya berada di rumah yang akan menjadi sasaran itu,
namun keduanya harus berhati-hati dan benar-benar
mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang
berat, karena Kiai Gringsing dan Sumangkar yakin, bahwa
orang-orang yang akan memasuki rumah itu pun adalah
orang-orang pilihan. Demikianlah, matahari pun semakin lama menjadi makin
rendah, sehingga akhirnya wajah langit pun menjadi kemerahmerahan
dan senja pun turun dengan perlahan-lahan.
"Kita harus segera bersiaga," berkata Kiai Gringsing
kepada Ki Ranadana. Perwira prajurit Mataram itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia sudah siap dengan pasukan pilihannya
hingga setelah hari menjadi benar-benar gelap, dipanggilnya
pasukannya itu. "Kau mendapat tugas khusus malam ini," berkata Ki
Ranadana kepada pemimpin prajurit pilihan itu.
Perintah itu sebenarnya tidak begitu mengherankan bagi
mereka. Adalah menjadi kewajiban seorang prajurit untuk
berjaga-jaga di dalam setiap kemungkinan.
"Malam ini adalah malam yang mendebarkan jantung,"
berkata Ki Ranadana kemudian, "karena itu, aku telah memilih
kalian. Karena kalian adalah sekelompok prajurit pilihan."
Pemimpin kelompok prajurit pilihan itu menganggukanggukkan
kepalanya. Ia menyangka, bahwa justru malam itu
Jati Anom akan menjadi sepi, sehingga penjagaan harus
diperkuat. "Nah," berkata Ki Ranadana, "kalian akan bertugas di
rumah ini. Pada saatnya aku akan memberikan perintah lebih
lanjut." Barulah pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya.
Tetapi ia masih belum bertanya apa pun selain bersiap untuk
menjalankan perintah. Para perwira pun tidak kalah heran, ketika mereka
dikumpulkan oleh Ki Ranadana dan mendapat perintah untuk
bermalam di rumah Widura semalam itu.
"Widura memerlukan kawan untuk berjaga-jaga
memanjatkan doa, agar Untara selamat sampai di perjalanan,
dan sejahtera untuk selanjutnya," berkata Ki Ranadana
kepada para perwira. Sejenak para perwira itu saling berpandangan. Namun
kemudian Ki Ranadana melanjutkan, "Aku persilahkan kalian
segera berangkat. Ki Widura tentu sudah menunggu. Bersama
kalian adalah kemanakan Ki Widura yang seorang, adik Ki
Untara, yang akan mengantarkan kalian, tetapi anak itu akan
segera kembali ke rumah ini, rumahnya."
Tidak banyak yang dapat mereka tanyakan. Para perwira
itu pun kemudian berkemas dan pergi meninggalkan rumah
Agung Sedayu menuju ke rumah Widura. Namun demikian, Ki
Ranadana masih berpesan kepada Agung Sedayu, agar
Widura benar-benar mengawasi para perwira itu agar mereka
tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan. Meskipun
Widura sudah bukan prajurit, namun pengaruhnya masih
terasa pada para perwira yang masih muda-muda itu.
Tetapi tidak semua perwira harus bermalam di rumah
Widura, Ki Ranadana masih menahan tiga orang perwira yang
sudah setengah umur bersamanya, tanpa memberikan
penjelasan mengenai persoalan yang sebenarnya.
"Aku akan menjadi kesepian jika kalian semuanya berada
di Banyu Asri," berkata Ki Ranadana. "Biarlah yang tua-tua
berada di sini menunggui rumah ini, dan yang muda-muda
mendapat kesempatan untuk berkelakar dengan gadis-gadis
Jati Anom." Meskipun demikian, perwira-perwira muda itu bertanyatanya
juga di dalam hati, apakah sebenarnya yang telah
mendorong Ki Ranadana mengirim mereka ke rumah Widura.
Memang tidak ada kesan apa pun di rumah Widura.
Mereka disambut dengan ramah dan gembira. Seakan-akan
memang Widura mengharap kedatangan mereka untuk
berjaga-jaga dan beramah-tamah.
Namun demikian, para penjaga yang biasanya bertugas di
rumah Untara pun telah dipindahkan pula ke rumah itu
bersama para perwira, sedang yang bertugas di halaman
rumah Untara telah digantikan oleh para prajurit pilihan.
Meskipun demikian, untuk menjaga setiap kemungkinan
dan barangkali perubahan sasaran, terlebih-lebih lagi apabila
ada pengkhianatan, sehingga orang-orang itu merubah
sasaran ke Banyu Asri, dan menyerang rumah Widura,
Ranadana pun masih tetap menempatkan beberapa orang
petugas sandi di sekitar rumah Widura itu.
Baru setelah Agung Sedayu kembali lagi, dan malam
menjadi semakin larut, Ki Ranadana memanggil setiap orang
yang masih ada di halaman rumah Untara, termasuk
pemimpin kelompok prajurit pilihan itu.
"Malam menjadi semakin jauh," katanya, "sebentar lagi kita
akan menghadapi tugas yang berat dan menegangkan. Kita
tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Mungkin sebentar lagi,
selagi kita masih berbicara ini, tetapi mungkin pula menjelang
fajar." Para perwira dan pemimpin kelompok prajurit pilihan itu
menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan dan dengan sejelas-jelasnya Ki Ranadana
menguraikan apa yang mungkin akan terjadi malam itu. Hasil
pengamatan Kiai Gringsing dan Sumangkar, serta kehadiran
Ki Lurah Branjangan. Hubungan persoalan yang tidak terlepas
yang satu dengan yang lain, serta yang paling akhir adalah
keadaan halaman rumah itu sendiri.
"Penjagaan itu harus diletakkan di tempat yang sudah aku
tentukan. Sebentar lagi kita akan pergi ke halaman, ke kebun
belakang dan tempat-tempat di sekitar rumah ini yang pantas
mendapat pengawasan," berkata Ki Ranadana kemudian.
"Aku sengaja tidak memberitahukan kepada siapa pun juga
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selain kalian." Mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Ranadana itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Terbayang
sekelompok orang-orang yang tentu juga pilihan sedang
merayap mendekati halaman rumah itu. Namun demikian
salah seorang dari ketiga perwira itu bertanya, "Apakah para
peronda di gardu-gardu sudah diberitahukan, setidak-tidaknya
untuk bersiaga?" "Aku tidak memberitahukan tepat apa yang terjadi. Aku
hanya memerintahkan mereka untuk bersiap lebih mantap jika
sesuatu terjadi." Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin kita
tidak dapat menyelesaikan mereka di halaman ini, sehingga
ada di antara mereka yang berhasil lolos. Jika demikian, kita
memerlukan peronda-peronda itu."
"Ya. Bukan saja peronda-peronda itu, tetapi juga prajurit di
banjar dan para perwira di rumah Widura."
"Kenapa mereka tidak diberitahukan saja?"
"Bukan karena kita tidak percaya. Tetapi aku ingin
membatasi persoalan ini sesempit mungkin. Jika kita berhasil,
maka kita akan menangkap mereka di halaman ini tanpa
menimbulkan ketegangan dan keributan. Kita masih harus
ingat, bahwa lima hari lagi, Jati Anom akan ngunduh
pengantin. Supaya kita bersama dapat menyambut pengantin
itu dengan tenang, maka kita akan mencoba membatasi
persoalan ini sejauh mungkin, selain perhitungan kita atas
keamanan persiapan ini sendiri. Semakin banyak orang yang
mengetahui bahwa kita sudah bersiap, maka bahaya tentang
hal itu semakin besar bagi kita, karena mereka tentu memiliki
telinga di sekitar kita."
Para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang, marilah kita mengatur diri. Mungkin orangorang
itu sekarang sudah ada di balik dinding kebun
belakang." Demikianlah mereka segera pergi ke kebun belakang. Ki
Ranadana menunjukkan kepada pemimpin kelompok prajurit
pilihan itu untuk menempatkan orang-orangnya di tempat
terlindung. Bukan saja di bagian belakang, tetapi juga di
samping dan di depan rumah. Sedang mereka yang ada di
gardu, dipersiapkan seperti penjagaan yang biasa dilakukan
setiap hari." "Ingat," berkata Ki Ranadana, "mereka adalah orang-orang
pilihan. Biarkan mereka semuanya masuk. Yang akan mereka
lakukan adalah menyergap para penjaga di depan dan
sebagian yang lebih matang akan memasuki rumah ini.
Biarlah kami yang berada di dalam rumah itu."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, lakukan tugasmu sebaik-baiknya," berkata Ki
Ranadana, lalu katanya kepada para perwira, "Kalian masingmasing
akan mendapat tugas di antara prajurit. Satu di
belakang, satu di sisi kanan dan yang satu di sisi kiri. Ternyata
menurut pertimbanganku, tenaga kalian akan sangat
diperlukan. Jika aku yang ada di dalam memerlukan, aku akan
memberikan isyarat. Pemimpin kelompok itu sendiri akan
berada di gardu sebagai salah satu sasaran utama sergapan
para penyerang itu."
Pemimpin kelompok prajurit pilihan dan para perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka
yang akan ada di dalam rumah itu hanyalah Ki Ranadana
dengan beberapa orang yang sama sekali bukan prajurit,
meskipun ada di antara mereka adalah Agung Sedayu, adik
Senapati Besar yang menguasai daerah Selatan ini.
Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu pun telah
memberikan penjelasan kepada prajurit-prajuritnya. Dengan
cepat ia membagi kelompoknya menjadi empat kelompok
yang lebih kecil yang masing-masing akan dipimpin langsung
oleh seorang perwira, sedang pemimpin kelompok itu sendiri
akan berada di gardu depan, seperti penjagaan yang biasa
dilakukan setiap hari atas rumah Untara yang dipakai sebagai
tempat tinggal para perwira itu.
Tetapi pemimpin kelompok itu tidak mau lengah. Sergapan
itu dapat datang setiap saat dari arah yang tidak terdugaduga.
Tidak dapat dipastikan bahwa para penyerang itu akan
masuk lewat kebun belakang. Mungkin mereka justru masuk
lewat gerbang depan dan langsung menyerang para penjaga
di gardu itu. Karena itu, maka selain mereka yang ada di gardu,
pemimpin kelompok itu telah menempatkan beberapa orang di
tempat yang terlindung, bahkan tiga orang terpencar di luar
halaman, di seberang jalan. Mereka duduk di atas sebatang
dahan yang tidak terlalu tinggi, tetapi cukup terlindung oleh
segerumbul dedaunan di dalam gelapnya malam.
Ketiga orang yang terpencar itu harus mengawasi jalan dan
halaman rumah di seberang jalan. Mungkin para penyerang itu
akan datang lewat halaman itu. Jika tidak, maka mereka akan
dapat menjadi tenaga cadangan apabila dengan tiba-tiba saja
para penyerang itu menyergap gardu.
Selain tiga orang itu, maka ditempatkannya juga dua orang
setiap sudut depan, sehingga ada empat orang yang tidak
berada di gardu selain tiga orang yang berada di seberang
jalan. Demikianlah, mereka memasuki malam yang semakin
dalam dengan dada yang tegang. Setiap kejap rasa-rasanya
terlampau lama berjalan. Dan karena itu, malam menjadi
sangat panjang. Di dalam rumah itu, Ki Ranadana masih duduk sejenak
bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya dan Ki Sumangkar.
Mereka masih berbincang tentang beberapa hal, sebelum
mereka membagi ruangan, di mana mereka akan tidur.
"Aku akan berada di bilik sebelah bersama Ki Sumangkar,"
berkata Ki Ranadana, "sedang Kiai Gringsing bersama kedua
muridnya akan mempergunakan bilik yang satu."
Tiba-tiba saja Agung Sedayu menyahut, "Di dalam bilik itu
pula aku tidur ketika aku masih kanak-kanak."
Kiai Gringsing tersenyum. Demikian pula Ki Ranadana dan
Ki Sumangkar. Sedang Swandaru menyahut, "Bukankah kau
sekarang masih juga kanak-kanak."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. Dipandanginya saja Swandaru yang masih tertawa
kecil. "Kau akan diprimpeni nanti malam," berkata Sedayu
kemudian. "Hati-hatilah di rumah ini."
Swandaru masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah mereka memasuki bilik masing-masing. Kiai
Gringsing dan kedua muridnya berada di satu bilik, sedang Ki
Ranadana dan Ki Sumangkar di bilik yang lain.
"Kita harus seakan-akan tertidur nyenyak jika mereka
datang," berkata Ki Ranadana.
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku
benar-benar mengantuk. Beberapa malam terakhir aku kurang
sekali tidur." "Tetapi orang seperti Ki Sumangkar ini dapat tidak tidur
terus menerus lima hari lima malam."
"Jika memang harus demikian. Tetapi kekuatan seseorang
ada juga batasnya. Aku pernah tidur sambil berjalan selagi
aku masih mengikuti pasukan Tohpati. Tetapi aku dapat
bangun dan berbuat sesuatu setiap saat."
"Itulah kelebihanmu," Ki Ranadana tersenyum. "Jika
demikian silahkan tidur. Ki Sumangkar akan terbangun setiap
saat dan akan segera dapat berbuat sesuatu."
Sumangkar hanya tersenyum saja. Tetapi ia benar-benar
ingin tidur sebelum orang-orang yang ditunggunya itu datang.
Menurut perhitungan Sumangkar, mereka baru akan datang di
sekitar tengah malam. Namun seandainya lebih awal, Ki
Ranadana pasti akan membangunkannya.
Di bilik yang lain, Kiai Gringsing memang menyuruh kedua
muridnya untuk tidur. Mereka pun kurang tidur beberapa
malam terakhir. Mereka tidak dapat tidur nyenyak di rumah
Widura yang sedang sibuk, tetapi juga selagi mereka
mengikuti orang-orang yang akan menyerang Jati Anom itu.
"Aku akan membangunkan kalian jika terjadi sesuatu,"
berkata gurunya Dalam pada itu, di Pengging, sambutan atas kedatangan
Untara ternyata dilakukan dengan megah dan meriah.
Beberapa orang sanak kadang pengantin perempuan telah
siap menunggunya di rumah yang sudah ditentukan. Tidak
jauh dari rumah pengantin perempuan. Hanya karena
keadaan yang mendesak oleh kegawatan dan ketegangan
yang timbul di daerah sekitar Alas Tambak Baya dan Mentaok
sajalah, yang membuat pihak Untara tidak mematuhi
kebiasaan. Ia tidak tinggal selama empat puluh hari empat
puluh malam di rumah bakal mertuanya untuk ngenger. Tetapi
ia datang sehari sebelum upacara perkawinan itu
berlangsung. Di malam hari menjelang hari perkawinan, Untara duduk
dikelilingi oleh sanak keluarga pengantin perempuan. Dan
karena ayah pengantin perempuan adalah seorang Perwira
Pajang pula, maka baik yang mengantar maupun yang
menyambut, selain keluarga mereka, adalah perwira-perwira
prajurit Pajang. Demikianlah mereka berbicara seakan-akan tanpa ujung
dan pangkal. Perwira yang masih muda dengan riuhnya
menggoda Untara yang besok akan mengenakan pakaian
kebesaran seorang pengantin laki-laki.
Dengan tersipu-sipu Untara menanggapi kelakar
kawannya. Meskipun kadang-kadang angan-angannya
terbang kembali ke Jati Anom, namun tampaknya ia selalu
tersenyum dan tertawa. Tetapi kadang-kadang saja ia termenung jika tiba-tiba ia
seolah-olah sadar, bahwa malam itulah Jati Anom akan
mengalami serangan yang sangat berbahaya. Bukan dari segi
pengamanan daerah karena kekuatan penyerang itu tidak
cukup besar, tetapi justru dari segi lain. Dari segi hubungan
antara Pajang dan Mataram.
"Jika ada seorang saja perwira yang terbunuh, maka hal itu
sudah cukup alasan membakar setiap hati prajurit di seluruh
Pajang untuk menyerang Mataram," berkata Untara di dalam
hatinya. Tetapi setiap kali ia seolah-olah terperanjat ketika tiba-tiba
saja seorang perwira muda mengganggunya dengan
kelakarnya yang segar. Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lama. Orang tua-tua
segera memperingatkan, bahwa Untara pasti masih sangat
lelah. Karena itu, pertemuan itu tidak dilanjutkan. Meskipun
masih juga agak kecewa, kawan-kawan Untara pun segera
meninggalkan rumah yang disiapkan bagi Untara. Bagi kawankawannya
yang mengiringkannya dari Jati Anom pun telah
disediakan pula tempat untuk beristirahat.
Namun demikian masih juga ada satu dua orang perwira
yang mengawani Untara duduk sambil menghirup minuman
hangat. Bahkan bakal mertuanya pun memerlukan datang
menyambutnya dan berbicara beberapa lamanya.
Meskipun demikian, kegelisahan Untara rasa-rasanya
semakin dalam menghunjam di jantungnya sejalan dengan
malam yang semakin kelam, sehingga akhirnya ia tidak dapat
menahannya lagi, betapapun ia berusaha.
Apalagi di ruangan itu sudah tidak ada orang lain kecuali
bakal mertuanya dan beberapa orang perwira Pajang yang
terpercaya. "Sebenarnya aku sangat gelisah malam ini," berkata
Untara, "hampir saja aku menunda keberangkatanku."
"Ah," bakal mertuanya berdesis. "Seisi padukuhan ini akan
kecewa. Keluargaku akan kecewa dan kawan-kawan kita para
prajurit pun akan kecewa."
"Tetapi aku mempunyai alasan yang kuat. Justru sebagai
seorang senapati." "Kenapa?" bakal mertuanya mengerutkan keningnya.
Untara ragu-ragu sejenak. Namun menurut
pertimbangannya, tidak akan terjadi sesuatu jika orang-orang
yang ada di sekitarnya itu mengetahui apa yang akan terjadi di
Jati Anom, karena jarak antara Jati Anom dan Pengging tidak
terlalu dekat. Apalagi yang tinggal duduk bersama hanya beberapa orang
yang paling dekat dengan mertuanya saja. Sehingga dengan
demikian, menurut pertimbangan Untara, sama sekali tidak
akan menimbulkan gangguan apa pun bagi para perwira di
Jati Anom. Bahkan dengan demikian ia akan dapat
memberikan gambaran kepada mertuanya yang seolah-olah
dengan mutlak menolak kehadiran Mataram.
Meskipun masih juga ragu-ragu, namun Untara akhirnya
berkata, "Di Jati Anom, ada beberapa orang yang berusaha
meneguk di dalam kekeruhan yang terjadi sekarang ini."
"Kekeruhan yang manakah yang kau maksud" Apakah
sebelum kau berangkat ada sanak kadangmu yang mencoba
mencatatkan atau merubah rencana hari-hari perkawinan ini?"
"Tidak, sama sekali tidak," berkata Untara. "Kekeruhan itu
bukan di dalam rencana keberangkatanku. Tetapi justru
karena rencana itu berjalan lancar."
"Aku kurang mengerti."
"Justru aku berangkat ke Pengging inilah, maka ada
sekelompok orang-orang yang akan mempergunakan
kesempatan. Mengganggu ketenangan Jati Anom."
"Gila," desis Rangga Parasta, "tentu orang Mataram."
"Bukan. Tetapi mereka memang ingin meninggalkan kesan
seolah-olah mereka adalah orang-orang Mataram. Dengan
demikian maka hubungan antara Mataram dan Pajang akan
menjadi kian memburuk bahkan lebih dari itu, mereka
mengharapkan benturan langsung antara Mataram dan
Pajang." "Omong kosong," tiba-tiba Rangga Parasta memotong,
"mereka pasti benar-benar orang Mataram. Aku tidak tahu,
kenapa Sultan Adiwijaya masih terlampau sabar menghadapi
anak angkatnya yang begitu bengal. Sekarang ia
mempergunakan kesempatan kepergianmu itu untuk
mengacaukan keadaan." Rangga Parasta berhenti sejenak,
dan Untara sengaja membiarkan berbicara. Ia mengerti bahwa
jika pembicaraan itu diputus di tengah, ia akan menjadi
semakin bersitegang. Dan Rangga Parasta itu meneruskan,
"Jika kau sudah mengetahui akan hal itu, apakah yang kau
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lakukan?" Untara menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya, "Yang
perlu aku ulangi adalah, mereka bukan orang Mataram."
"Tidak. Tentu orang Mataram."
Akhirnya Untara menjadi jengkel juga. Meskipun Rangga
Parasta adalah bakal mertuanya, tetapi Untara adalah
senapati besar di daerah Selatan sehingga karena itu maka
katanya, "Aku tahu pasti, bahwa mereka bukan orang-orang
Mataram. Aku akan membuktikannya sebagai seorang
senapati yang mendapat kepercayaan langsung dari Sultan
Pajang. Dan aku akan menemukan jawab siapakah mereka
sebenarnya." Rangga Parasta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja
ia menyadari bahwa bakal menantunya itu adalah seorang
senapati, sehingga ia tidak akan dapat berkata lebih pasti
daripadanya meskipun hatinya meyakininya.
Namun demikian, ia masih juga bertanya, "Apakah yang
sudah kau lakukan sebelum kau berangkat?"
"Menyiapkan jebakan. Malam ini semuanya itu akan terjadi,
dan malam ini para perwira yang aku percaya di Jati Anom
akan dapat menarik kesimpulan, siapakah mereka
sebenarnya." Rangga Parasta tidak membantah lagi. Tetapi di dalam hati
ia berkata, "Jika Untara berhasil menangkap satu atau dua
orang di antara mereka dalam keadaan hidup, maka barulah
akan terbuka matanya, bahwa Mataram memang harus
dihadapi dengan kekerasan. Tidak dengan senyum manis
seorang ayah yang terlalu baik hati terhadap seorang anak
yang berkhianat." Namun Rangga Parasta tidak berkata apa pun lagi.
Dalam pada itu, selagi Untara berbicara dengan Rangga
Parasta, seorang perwira yang duduk di antara mereka tibatiba
saja menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tetap berusaha
untuk menghapuskan kesan dari wajahnya. Bahkan ia masih
tetap duduk untuk sesaat, sampai saatnya ia berkata, "Aku
akan ke belakang sebentar, Kakang Rangga."
"Kenapa?" "Ke pakiwan." "O, silahkan." Perwira itu dengan tergesa-gesa meninggalkan lingkaran
pembicaraan itu. Apalagi ketika ia sudah turun ke halaman,
langsung ia menghilang di dalam kegelapan.
Dengan hati yang gelisah, ia berlari-lari kecil mencari
seseorang yang berada tidak begitu jauh dari rumah Rangga
Parasta. "Gila," ia berkata dengan suara gemetar ketika ia berhasil
menemukan kawannya, "orang-orang Jati Anom telah
mencium rencana itu."
"He" Darimana kau tahu?"
"Sebelum berangkat, Untara telah menyusun jebakan."
"Omong kosong. Rahasia itu disimpan cukup rapat."
"Tetapi aku mendengar dari mulut Untara sendiri. Kau
jangan merendahkan Untara. Ia mempunyai kemampuan yang
tidak terduga-duga. Petugas sandinya adalah petugaspetugas
sandi yang terbaik di seluruh Pajang."
"Jadi?" "Batalkan." "Bagaimana mungkin aku harus membatalkan."
"Pergi ke Jati Anom."
"Aku tidak akan dapat mencapai mereka. Mungkin mereka
sekarang sudah mulai bergerak."
"Berusaha. Berusahalah. Pergi ke Jati Anom dengan
seekor kuda yang dapat berlari paling cepat. Ajak seorang
kawan, dan segera kembali."
"Pengging ke Jati Anom bukan jarak yang dekat sekali."
"Pergi. Berusahalah membatalkan rencana itu. Atau, jika
mungkin, hilangkan jejak mereka."
Orang yang diajak berbicara oleh perwira itu masih terdiri
termangu-mangu. Adalah tidak mungkin lagi untuk berusaha
apa pun juga. Apalagi berusaha membatalkan rencana itu,
karena orang-orang yang mendapat tugas untuk melakukan
pembunuhan terhadap para perwira yang masih ada di jati
Anom itu pasti sudah bergerak.
Namun selagi orang itu masih kebingungan perwira itu
membentaknya, "Berangkat sekarang. Apa pun yang dapat
kau lakukan. Cepat."
Orang itu tidak mau berpikir lagi. Meskipun ia sadar, bahwa
tidak banyak yang dapat dilakukan, maka ia pun segera
berlari-lari pergi ke rumah seorang kawannya.
Berkuda keduanya berpacu ke Jati Anom. Mereka
mengharap bahwa kawan-kawannya di Jati Anom terlambat
bergerak sehingga ia masih sempat menggagalkan mereka,
karena ternyata Untara telah memasang sebuah jebakan bagi
mereka. Karena itu, maka mereka pun telah memacu kuda
mereka secepat-cepat dapat dilakukan, dan kuda-kuda itu pun
berlari seperti dikejar hantu.
Malam yang gelap menjadi semakin gelap. Di langit
bintang-bintang bertaburan dari ujung sampai keujung. Angin
malam yang dingin bertiup dari Selatan menyapu hutan-hutan
kecil yang bertebaran. Namun kedua orang yang berkuda itu ternyata telah basah
oleh keringat yang mengembun dari wajah-wajah kulitnya.
Bukan saja karena mereka harus berpacu dengan waktu,
tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam hati.
"Apakah masih ada harapan untuk melakukannya?"
bertanya salah seorang dari mereka.
"Kita berusaha. Apa pun yang akan terjadi atas kuda-kuda
kita. Mungkin kuda-kuda ini akan kehabisan napas."
"Tetapi sia-sia. Mereka pasti sudah mulai bergerak."
Kawannya tidak menyahut. Satu-satunya harapan adalah
jika ada perubahan rencana, sehingga gerakan mereka
mundur sampai jauh lewat tengah malam. Jika tidak, maka
perjalanan yang melelahkan itu akan sia-sia.
Dalam pada itu di Jati Anom, sekelompok orang-orang
yang tidak dikenal justru telah mulai bergerak. Mereka telah
berada di Lemah Cengkar dan berjalan beriringan. Mereka
akan memasuki Jati Anom dari Utara.
Namun tiba-tiba saja dua orang yang mendapat tugas
mengawasi jalan yang akan mereka lalui, memberikan isyarat
kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan bersembunyi.
Dengan memperdengarkan suara burung bence, keduanya
memberikan petunjuk kepada kawan-kawannya bahwa ada
bahaya di depan mereka. Ternyata kedua orang itu melihat sekelompok kecil peronda
prajurit berkuda Pajang lewat.
"Gila," desis pemimpin kelompok para penyerang itu,
"kenapa mereka meronda malam ini" Biasanya mereka tidak
meronda sampai ke daerah ini."
"Justru karena Untara tidak ada. Kiranya Untara telah
berpesan kepada pasukan yang ditinggalkan agar mereka
menjadi semakin berhati-hati dan meningkatkan perondaan di
seluruh Jati Anom. Kemarin ada juga beberapa peronda
berkuda yang sampai ke sebelan hutan di sisi jalan ke
Selatan." "Apakah Untara sudah mencium gerakan kita?"
"Sore tadi dua orang petugas sandi kita lewat daerah Jati
Anom. Tidak ada tanda-tanda pemusatan pasukan yang
berarti. Mereka memang meningkatkan penjagaan, tetapi tidak
lebih dari sikap hati-hati justru karena Untara tidak ada. Jika
mereka telah mencium rencana kita, maka di rumah Untara itu
pasti sudah dipasang pasukan yang kuat dan mungkin di luar
padukuhan. Tetapi prajurit Pajang masih saja berkeliaran di
muka banjar, dan beberapa orang perwira masih berada di
rumah Untara itu." Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Barangkali sekarang Untara sedang
menikmati makan bersama keluarga pengantin perempuan itu.
Di sini beberapa orang kawannya akan mati dibantai orang.
Kita harus berhasil. Beberapa orang kita yang berada
lingkungan keprajuritan malam ini akan selalu mendampingi
Untara, setidak-tidaknya akan mengawasinya di Pengging.
Jika ada perubahan rencana yang mencurigakan, mereka
akan mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan
kepada kita di sini."
"Tidak ada seorang pun yang datang. Tentu rencana
perkawinan itu berlangsung seperti yang telah disusun.
Memang tidak mudah untuk merubah rencana perkawinan apa
pun yang terjadi. Apalagi pengaruh orang-orang kita atas
Rangga Parasta akan menentukan."
"Ya. Kita tidak boleh mengulangi kegagalan yang pernah
terjadi di Alas Mentaok."
"Tentu tidak. Meskipun kita berada di lingkungan prajurit
Pajang, tetapi sebenarnya tugas kita tidak lebih berat dari
tugas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak."
Pemimpin kelompok penyerang itu mengangguk-angguk.
Kemudian dipandanginya seorang yang hampir tidak pernah
berbicara apa pun. Wajahnya yang tegang dan kasar,
melontarkan kesan yang khusus pada orang itu.
"Jangan seorang pun yang salah langkah. Ingat, setidaknya
kau harus berhasil membunuh seorang perwira."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku tidak sebodoh Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar."
"Tentu tidak sia-sia Ki Lurah mengirimkan kau kemari."
Orang itu tidak menyahut.
"Tetapi jangan meremehkan para perwira itu."
"Aku dapat membunuh empat orang sekaligus. Jika kalian
dapat membendung bantuan prajurit-prajurit Pajang yang
bertugas menjaga rumah itu, maka para perwira itu akan aku
bunuh. Aku hanya memerlukan lima enam orang untuk
mengikat mereka dalam perkelahian sebelum aku sempat
membunuh mereka seorang demi seorang."
Pemimpin kelompok penyerang itu mengerutkan
keningnya. Dipandanginya orang berwajah kasar itu. Namun
kemudian katanya, "Itulah kelemahanmu. Kau menganggap
dirimu dapat membunuh empat orang perwira sekaligus
apabila kau mendapat kesempatan. Kau hanya memerlukan
orang lain menahan mereka agar tidak lari, supaya kau dapat
membunuhnya." "Kenapa?" orang itu bertanya.
"Membunuh empat orang perwira sekaligus, meskipun
seorang demi seorang, bukan pekerjaan yang mudah.
Seorang perwira Pajang memiliki nilainya tersendiri."
Orang itu tidak segera menjawab.
"Dan aku memang tidak hanya menyiapkan kau sendiri
untuk menghadapi perwira-perwira itu. Sudah aku katakan,
setidak-tidaknya kau harus membunuh seorang. Aku akan
membunuh seorang di antara mereka. Tetapi kalau kau ingin
menghadapi lebih dari seorang perwira, maka kaulah yang
akan terbunuh." Orang berwajah kasar itu tidak menjawab. Tetapi di dalam
hati ia berkata, "Orang-orang ini belum mengenal siapa aku.
Perwira Pajang bukan orang-orang ajaib. Dan aku akan
membunuh mereka." Sesaat kemudian, dua orang yang berjalan mendahului
mereka pun segera memberikan isyarat, bahwa orang-orang
berkuda itu sudah menjauh. Dengan bunyi yang sama tetapi
dalam irama yang lain, pemimpin kelompok itu segera
mengetahui, bahwa mereka dapat meneruskan perjalanan.
Dengan melewati semak-semak belukar dan kadangkadang
semak-semak berduri mereka merayap mendekati Jati
Anom justru dan arah Utara. Menurut rencana, mereka akan
memasuki padukuhan itu seorang demi seorang, agar para
peronda tidak dengan mudah melihat kehadiran mereka.
Seperti yang sudah mereka rencanakan, mereka akan
berkumpul di kebun di belakang rumah Untara. Selanjutnya
mereka akan memanjat dinding batu yang tidak begitu tinggi
dan memasuki rumah yang dipergunakan oleh para perwiraperwira
itu. "Kami tidak dapat mengetahui dengan pasti, ada berapa
orang yang masih tinggal di rumah itu," desis pemimpin
gerombolan penyerang itu.
"Lima atau enam menurut dugaan terakhir," berkata salah
seorang dari pembantunya.
"Tidak. Tentu kurang dari itu. Tentu di antara mereka ada
yang bertugas menangani para peronda di malam itu, yang
lain bertugas mengawasi para prajurit di banjar dan yang lain
tentu ada yang mengawani Widura," sahut yang lain.
"Tetapi jangan menilai mereka menurut ukuran yang
rendah. Kita anggap saja ada enam orang di dalam rumal itu.
Selain aku dan kepercayaan Ki Lurah itu, kalian yang bertugas
di dalam rumah harus benar-benar mempersiapkan diri.
Meskipun kalian tidak berhasil membunuh, namun kalian
harus berhasil memberi kesempatan kepada kami untuk
membunuh. Kami mengharap semuanya dapat terbunuh,
selain yang sengaja kita hidupi agar ia dapat bercerita tentang
orang-orang Mataram yang menyerang mereka dengan tibatiba,"
berkata pemimpin gerombolan itu.
Mereka terdiam ketika mereka menjadi semakin dekat
dengan padukuhan Jati Anom. Namun sekali, lagi mereka
mendengar isyarat agar mereka berhenti sejenak.
Pemimpin gerombolan itu tidak begitu sabar menunggu.
Karena itu maka ia pun merayap maju mendekati kedua orang
yang ditugaskannya untuk mendahului perjalanan mereka.
"Kenapa?" bertanya pemimpin rombongan itu.
"Api itu," desis salah seorang dari petugas yang
mendahului gerombolannya.
Pemimpin gerombolan itu mengerutkan keningnya.
Kemudian mengumpat, "Kenapa para peronda itu menyalakan
api besar-besar." Kedua petugasnya tidak menjawab.
"Mendekatlah. Lihat apa yang mereka lakukan. Dan kenapa
mereka bercakap-cakap begitu keras dan riuhnya?"
Kedua petugas itu pun kemudian merayap dengan hati-hati
mendekati sebuah gardu peronda. Dari jarak yang tidak terlalu
jauh keduanya melihat para prajurit Pajang yang meronda
bersama beberapa orang anak muda sedang berkelakar
dengan ramainya. Agaknya mereka mendapat kiriman
makanan dari rumah Widura, sehingga mereka menjadi
sangat ribut. Apalagi ada di antara mereka yang dengan diamdiam
membawa sebumbung tuak.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He," pemimpin peronda itu membentak, "kau membawa
tuak?" "Hanya sedikit. Malam terlalu dingin. Marilah, minumlah
lebih dahulu." "Tidak. Aku tidak mau."
"Malam ini adalah malam yang sangat menyenangkan. Ki
Untara menjelang hari-hari yang bahagia di Pengging. Dan
kita ikut merayakannya di sini."
Ternyata para prajurit dan anak-anak muda itu seakanakan
mendapat kesempatan untuk melupakan ketegangan
sehari-hari. Mereka bersuka-ria dan satu dua di antara mereka
meneguk tuak dari bumbung itu.
"Bukankah kita sudah mendapat peringatan, agar kita
berwaspada?" berkata pemimpin peronda itu.
"Kami tidak apa-apa. Kami akan dapat menjalankan tugas
kami dengan baik. Bukankah api itu memberikan penerangan
di sekitar gardu ini, sehingga kita akan dapat melihat apabila
ada orang yang mendekat."
Pemimpin peronda itu tidak menyahut lagi. Tetapi ia tetap
sadar bahwa ia harus berhati-hati.
Ketika pemimpin gerombolan penyerang mendengar
laporan itu, ia pun mengumpat-umpat. Dengan demikian
berarti rencananya harus tertunda, atau mereka mencari jalan
lain untuk memasuki padukuhan itu, justru karena api yang
menyala itu. Tetapi hampir di setiap lorong terdapat gardugardu
peronda semacam itu. "Kita menunggu sejenak sampai api itu redup. Kita akan
tetap memasuki Jati Anom menurut rencana. Seorang demi
seorang akan meloncati dinding batu yang rendah itu," berkata
pemimpin gerombolan itu. Beberapa orang di antara mereka justru menjadi gelisah.
Mereka ingin segera memasuki Jati Anom dan menjajagi
kemampuan prajurit Pajang dan perwira-perwiranya.
Dalam pada itu, dua ekor kuda sedang berpacu seperti
angin. Mereka berusaha untuk secepat-cepatnya mencapai
Jati Anom. Tetapi jarak yang mereka tempuh masih jauh.
Apalagi malam gelapnya bukan kepalang. Sehingga karena
itu, kadang-kadang kuda-kuda itu pun terpaksa memperlambat
langkah kakinya jika jalan yang dilaluinya menjadi sulit.
"Mudah-mudahan mereka tertunda oleh sesuatu hal,"
bergumam salah seorang dari keduanya.
"Hanya apabila terjadi sebuah keajaiban," sahut yang lain.
Keduanya tidak berbicara lagi. Kuda mereka berpacu terus
menembus gelapnya malam yang pekat.
Di Jati Anom gerombolan orang-orang yang akan
menyerang rumah Untara masih harus menunggu sejenak.
Meskipun mereka mulai menjadi jemu dan mengumpat-umpat,
namun pemimpin mereka berkata, "Kita menunggu sejenak.
Kita tidak dapat mencari jalan lain."
"Bukankah ada dua jalan yang kemarin kita
perbincangkan?" berkata salah seorang dari mereka.
"Kenapa dengan dua jalan."
"Yang lain, kita langsung datang dari arah Timur."
Tetapi pemimpinnya menggeleng. Katanya, "Kita sudah
mematangkan rencana kita. Kita tidak dapat merubah begitu
saja. Karena itu, kita harus bersabar sebentar. Justru yang
mereka lakukan itu akan menguntungkan kita. Mereka akan
kelelahan dan langsung menjadi lengah. Mungkin di bagian
lain, penjaga-jaganya lebih berwaspada dari penjaga-jaga
yang tidak menepati perintah itu."
Tidak ada lagi yang membantah. Mereka sadar, bahwa
mereka harus mentaati perintah itu tanpa banyak persoalan.
Karena itu mereka pun segera berpencar dan duduk
bersandar dahan-dahan kayu yang ada sambil menunggu api
itu redup. "Api sudah redup," berkata salah seorang dari kedua
pengawas yang mendahului gerombolan penyerang itu, "kita
akan segera maju." Laporan itu pun segera sampai kepada pemimpin mereka
mengikuti perkembangan di gardu itu dengan saksama.
"Sebentar lagi perapian itu akan padam. Daerah ini akan
menjadi gelap dan kita akan merayap maju mendekati dinding
padukuhan itu. Daerah itulah yang paling ringkih, sehingga
jalan inilah yang paling baik kita lalui. Kita akan langsung
sampai ke jalan kecil yang menuju ke bagian belakang rumah
Untara. Kita akan berkumpul sejenak di halaman rumah di
belakang rumah Untara untuk mematangkan semua rencana."
Orang-orang dari gerombolan itu pun mulai mempersiapkan
diri. Api di dekat gardu itu telah benar-benar menjadi redup
dan hampir padam. Suara gelak tidak lagi terdengar. Agaknya
beberapa orang justru telah menjadi mabuk karenanya.
Pemimpin gerombolan itu masih menunggu sejenak.
Diperintahkannya kedua pengawasnya mendekat lagi dan
melihat perkembangan terakhir di gardu itu.
Sejenak kemudian kedua pengawas itu datang kepadanya
dan berkata, "Hanya anak-anak muda sajalah yang menjadi
mabuk. Para prajurit masih tetap berjaga-jaga, meskipun
dengan lesu. Satu dua di antara mereka masih berjalan hilirmudik.
Tetapi dinding yang kita tandai sebagai tempat yang
paling baik itu agaknya memang paling aman. Gardu yang
paling dekat dari gardu itu, agaknya juga sepi."
"Lihat pula gardu itu untuk meyakinkan."
Kedua orang itu pun segera berangkat. Gardu itu pun tidak
terlalu jauh dari tempat mereka. Dan menurut rencana,
mereka akan menyusup di antara kedua gardu itu. Gardu yang
baru saja ribut, dan gardu lain yang tidak begitu jauh.
"Kenapa kedua orang itu harus melihat pula gardu yang
lain?" desis salah seorang dari gerombolan yang gelisah itu.
"Pemimpin kita terlalu berhati-hati. Adakalanya baik, tetapi,
ada kalanya, kita justru terlambat karenanya," sahut salah
seorang kawannya. Tidak seorang pun lagi yang menyambung. Namun
kegelisahan nampaknya menjadi semakin tajam.
Akhirnya kedua pengawas itu pun datang kepada pemimpin
gerombolan itu dan berkata, "Mereka pun mendapat makanan
dari rumah Widura tampaknya. Tetapi mereka tidak terlalu
ribut seperti gardu yang satu itu."
"Jika demikian, kita dapat melangsungkan rencana kita."
Namun belum lagi mereka bergerak, terdengar suara
kentongan di kejauhan. Meskipun kentongan itu adalah
sekedar isyarat agar para peronda tetap berhati-hati, namun
pemimpin gerombolan itu berkata, "Bersiaplah. Kita tunggu
gema suara kentongan itu lenyap."
Orang-orangnya menarik napas dalam-dalam. Tetapi
mereka tidak berkata apa pun juga.
Di perjalanan, kedua orang yang berpacu dari Pengging
mencoba mempercepat laju kudanya. Tetapi kemampuan
kuda mereka terbatas dan jalan-jalan pun tidak serata yang
mereka harapkan. Meskipun demikian mereka masih
mengharap, bahwa ada keajaiban yang menahan orang-orang
yang akan menyerang itu, sehingga ia mendapat kesempatan
untuk menggagalkan mereka.
"Tetapi kemungkinan itu kecil sekali," gumam yang
seorang. "Aku tidak peduli. Tetapi kita harus sampai ke Jati Anom.
Kita harus menyusur jalan sesuai dengan rencana yang sudah
mereka berikan itu."
Kawannya tidak menjawab. Ia hanya berdesis ketika angin
yang kencang megusap wajahnya. Dingin malam terasa
semakin menggigit kulit. Dan mereka harus berpacu lebih
cepat lagi, agar mereka dapat mencapai Jati Anom sebelum
terlambat. Demikianlah, maka akhirnya malam yang sepi itu menjadi
semakin sepi. Gerombolan penyerang yang sudah bersiap di
sebelah Utara padukuhan Jati Anom itu menjadi semakin
tegang. Dan sejenak kemudian pemimpinnya berkata kepada
pembantunya yang berada di dekatnya, "Apakah semua
sudah siap?" "Sudah sejak lama," jawab pembantunya.
"Baik. Kita akan berangkat sekarang."
"Marilah. Kita jangan membuang waktu."
Tetapi tampaknya pemimpin rombongan itu menjadi raguragu.
Ada sesuatu yang terasa agak menghambat niatnya
untuk segera menyerang. Namun ia tidak tahu, apakah
sebenarnya yang telah terjadi di dalam dirinya, sehingga ia
menjadi ragu-ragu. Ia tidak pernah mengalami hal serupa itu.
Selama ini ia adalah seorang yang tidak pernah gentar
menghadapi apa pun juga. Meskipun ia harus melakukan
tugas yang sangat berat sekalipun, ia dapat menjalankan
tugas itu sambil tertawa. Tetapi rasa-rasanya kali ini ia telah
dibebani oleh sesuatu yang tidak dimengertinya sendiri.
"Persetan," ia menggeram untuk mendapatkan kemantapan
di dalam hati, "tidak ada seorang perwira Pajang yang memiliki
kemampuan seperti Ki Gede Pemanahan sekarang ini. Untara
sendiri masih belum mencapai tingkat itu. Karena itu, aku tidak
harus ragu-ragu. Aku baru boleh ragu-ragu jika Pemanahan
sendiri ada di gardu itu, atau orang-orang yang telah
membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak."
Namun tiba-tiba timbul pertanyaan, "Apakah orang-orang
yang membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu ada di
sini?" Tetapi ia sendiri belum pernah melihat orang yang telah
membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu. Namun
demikian ia harus berhati-hati. Sepeninggal Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak, orang-orang semacam itu pasti tidak akan
mengeram di Alas Mentaok untuk seterusnya, ia meski akan
bertualang. Dan mungkin sampai ke Jati Anom ini.
Dalam pada itu, orang-orang yang berpacu dari Pengging
itu menjadi semakin dekat juga dengan Jati Anom. Meskipun
pengharapan mereka sangat kecil, tetapi mereka masih juga
mencoba dan berpacu sekencang-kencangnya.
"Kita langsung ke Lemah Cengkar," berkata salah seorang
dari mereka. "Menurut laporan terakhir, rencana itu
mengatakan bahwa mereka memasuki Jati Anom dari sebelah
Utara. Kita akan menyusul mereka. Kita tinggalkan kuda kita di
Lemah Cengkar." Kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka berpacu secepat
dapat mereka lakukan. Akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat. Dengan
napas terengah-engah mereka memasuki sebuah hutan perdu
lewat gerumbul-gerumbul dan semak-semak liar mereka
menerobos langsung memasuki daerah Lemah Cengkar.
"Kita sudah sampai di Lemah Cengkar," desis salah
seorang dari mereka. "Tetapi sudah lewat tengah malam. Ternyata daerah ini
sudah sepi. Mereka pasti sudah berangkat."
"Kita tinggalkan kuda kita di sini. Kita mendekat."
Mereka pun segera mengikat kuda mereka di tempat yang
tersembunyi. Kemudian dengan tergesa-gesa mereka
menyusup semak-semak pergi menyusul kawan-kawannya
yang sudah mendahului mereka mendekati Jati Anom. Seperti
pesan yang mereka dengar, pasukan kecil itu akan
menyerang Jati Anom dari sebelah Utara.
"Cepat. Mudah-mudahan mereka masih di sebelah Utara
padukuhan Jati Anom."
Pada saat itulah pemimpin pasukan kecil yang akan
menyerang Jati Anom itu baru mendapat kepastian bahwa
jalan telah aman di hadapan mereka. Karena itu, maka ia pun
segera berkata kepada pembantunya, "Marilah kita masuk."
"Sekarang. Jangan ditunda lagi. Orang kita menjadi gelisah
dan jika terlampau lama kita mendekam di sini, mereka akan
kehilangan napsu dan gairah untuk menumpas prajurit-prajurit
Pajang itu." "Baiklah. Ingat, hanya dengan kecepatan bergerak kita
tidak akan gagal. Kita harus menghancurkan penjaga rumah
itu dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan mereka
memukul tengara. Dan aku bersama orang-orang yang sudah
ditentukan akan membunuh para perwira di dalam rumah itu,
juga tanpa memberi kesempatan mereka berbuat sesuatu.
Tetapi harus ada satu orang yang masih sempat hidup di
antara mereka." "Baik." "Nah, aku akan masuk lebih dahulu. Kemudian biarlah
orang-orang kita mengikuti aku. Sedang kau akan masuk yang
terakhir sekali sambil mengawasi keadaan bersama kedua
pengawas itu." "Baik." Pemimpin gerombolan penyerang itu pun kemudian
merayap di dalam gelapnya malam. Dengan sangat hati-hati ia
mendekati dinding batu. Di kedua gardu sebelah-menyebelah
yang tidak terlampau jauh jaraknya itu sudah tidak terdengar
suara apa pun lagi. Untunglah bahwa malam gelapnya bukan
kepalang, sehingga pemimpin pasukan penyerang itu dapat
merayap tanpa dapat dilihat di antara rerumputan yang tinggi.
Kemudian ia harus menyeberang sawah yang tidak terlampau
luas, menyelusur pematang. Tetapi sawah itu agaknya tidak
terlampau subur, sehingga daerah itu kurang mendapat
perhatian. Bahkan daerah yang bersemak-semak liar itu pun
masih juga tidak pernah disentuh tangan apalagi digarap.
Daerah di sebelah Utara Jati Anom itu memang masih
diperlukan saluran air yang cukup untuk membuatnya menjadi
tanah pertanian. Dalam pada itu, seorang demi seorang merayap mendekati
dinding batu padukuhan Jati Anom, dan seorang demi
seorang telah meloncat masuk dengan sangat hati-hati di
dalam lindungan gelapnya malam.
Sementara itu, kedua orang penghubung dari Pengging
dengan tergesa-gesa mendekati padukuhan itu dari Utara
pula. Tetapi ketika ia sampai di sebelah padukuhan Jati Anom,
ternyata tempat itu telah sepi. Mereka tidak menjumpai
seorang pun juga, karena orang yang terakhir ternyata telah
merayap mendekat dinding dan meloncat masuk pula.
"Terlambat," desis salah seorang dari keduanya, "mereka
sudah memasuki padukuhan itu."
Kawannya menarik napas dalam-dalam. Namun ia
bergumam, "Tetapi aneh. Tidak terdengar keributan sama
sekali. Jika kedatangan mereka sudah diketahui, maka
mereka pasti sudah disergap."
"Prajurit Pajang menunggu di halaman rumah Untara."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu, "Apakah kita
akan menyusul mereka, barangkali mereka masih belum
bertindak." "Atau kita akan masuk ke dalam jebakan itu sama sekali."
"Kita tidak akan memasuki halaman rumah Untara, dan kita
sudah mempersiapkan diri jika benar-benar hal itu terjadi,
sehingga kita tidak boleh memasuki daerah yang tidak akan
mungkin mudah kita tinggalkan."
Kawannya mengangguk-angguk sejenak, lalu, "Apakah kau
mengenal daerah Jati Anom dengan baik."
"Tidak dengan baik, tetapi aku pernah mengelilingi daerah
ini. Barangkali aku masih dapat mengenal satu dua jalur
lorong di dalam padukuhan itu."
"Baiklah. Tetapi bersiaplah untuk mati."
"Ah, aku masih belum ingin mati. Aku mempunyai anak dan
isteri. Jika aku mati, mereka akan bersedih. Dan isteriku akan
menjadi janda muda."
"Ia akan segera kawin lagi. Jangan cemas."
"Persetan," kawannya mengumpat.
Demikianlah keduanya dengan hati-hati merayap
mendekati dinding padukuhan. Sejenak mereka
memperhatikan lampu minyak yang berkeredipan di gardu.
Ternyata bahwa perapian yang dibuat oleh para peronda telah
hampir padam sama sekali.
"Sst, gardu peronda," bisik yang seorang. Sedang yang lain
menunjuk pula ke kejauhan, "Itu juga."
"Hati-hati. Kita menerobos di tengah."
Mereka menjadi semakin hati-hati. Perlahan sekali mereka
maju. Namun akhirnya mereka sampai pula di balik tanggul
parit yang kering di seberang jalan di pinggir padukuhan.
Mereka harus menyeberangi jalan itu dan meloncati dinding.
"Marilah, tidak ada yang memperhatikan kita dari kedua
gardu di sebelah-menyebelah," bisik yang seorang.
Kawannya tidak menyahut. Dengan hati-hati sekali
keduanya pun segera meloncat, memasuki Padukuhan Jati
Anom. Pada saat itulah pemimpin gerombolan yang akan
menyerang rumah Untara itu sedang memberikan beberapa
petunjuk kepada anak buahnya, di kebun yang rimbun di
belakang rumah Untara. Empat orang pemimpin kelompok kecil dari antara mereka
mendapat pesan bagi kelompok masing-masing dengan
seteliti-telitinya. Ke mana mereka harus pergi, dan apa saja
yang harus mereka lakukan. Dan pemimpin kelompok itu
kemudian berkata, "Ingat, kalian harus menyergap seperti
kalian menangkap seekor kepiting. Jika kau tidak sekaligus
mendekap, maka tanganmulah yang justru akan disapitnya.
Jika kepiting itu besar, maka mungkin jari-jari kalian akan
putus. Demikian juga prajurit-prajurit Pajang yang bertugas itu.
Apalagi para perwira. Jika yang bertugas di dalam rumah itu
tidak sempat membunuh mereka, jaga agar mereka tetap
terikat pada perkelahian yang mantap, agar kami dapat
membunuhnya pula kemudian, kecuali seorang dari mereka
akan hidup dan satu dua orang dari para prajurit yang
bertugas di luar." Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, sekarang lakukanlah. Jika kalian gagal maka nasib
kita semuanya tidak akan lebih baik dari nasib Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak. Dan kita pun akan berbuat jantan seperti
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak karena mereka yakin akan
kebenaran perjuangan kita ini."
Para pemimpin kelompok itu pun kemudian kembali ke
kelompok masing-masing. Sebuah isyarat yang kemudian
diberikan oleh pemimpin kelompok itu, telah menggerakkan
orang-orang itu semakin mendekati halaman rumah Untara
dari arah belakang. Dalam pada itu, para prajurit pilihan yang berada di
halaman rumah itu pun hampir menjadi semakin jemu
menunggu. Bahkan ada satu dua di antara mereka yang tanpa
dikehendakinya sendiri, telah terkantuk-kantuk bersandar
sebatang pohon perdu yang rimbun. Dan di dalam biliknya,
ternyata bahwa Swandaru telah benar-benar tidur mendekur.
Namun suara isyarat pemimpin kelompok penyerang yang
tidak begitu keras itu ternyata telah menumbuhkan
kecurigaan. Suara burung hantu itu disekat oleh irama yang
terlampau teratur, sehingga suara itu telah mengingatkan Kiai
Gringsing pada suara burung kedasih di Alas Mentaok.
Ternyata bukan saja Kiai Gringsing yang telah mendengar
suara isyarat itu. Ki Ranadana, Sumangkar, dan bahkan para
prajurit di halaman pun telah menjadi curiga mendengar suara
burung yang aneh itu. Meskipun demikian, ada juga di antara
mereka yang menyangka, bahwa suara itu adalah suara
burung hantu yang sebenarnya.
Tetapi, ternyata bahwa para pemimpin kelompok yang ada
di dalam halaman itu telah memberikan aba-aba pula, dengan
menyentuh seorang yang bertugas di sampingnya, kemudian
sentuhan itu pun menjalar dari yang seorang kepada orang
lain. Bagi mereka yang berada pada jarak beberapa langkah,
maka para prajurit itu pun telah mempergunakan batu-batu
kerikil sebagai isyarat, bahwa mereka harus bersiap.
Pada saat itulah, beberapa orang penyerang mulai
tersembul dari balik dinding halaman di belakang rumah.
Dengan sangat hati-hati, seorang demi seorang telah
meloncat dinding itu. Maka sejenak kemudian, saat-saat yang paling
menegangkan telah terjadi di halaman rumah Untara itu.
Beberapa orang prajurit yang terpencar dan bersembunyi di
balik semak-semak dapat melihat beberapa orang yang
meloncat masuk itu. Tetapi seperti pesan yang mereka terima,
mereka tidak boleh berbuat sesuatu jika belum ada perintah,
kecuali apabila tanpa disengaja mereka telah diketahui oleh
para penyerang itu. Tetapi karena para prajurit itu telah menempatkan diri pada
tempat yang paling baik menurut pilihan mereka, maka orangorang
yang memasuki halaman di dalam gelap itu pun tidak
segera dapat melihat mereka. Bahkan mereka sama sekali
tidak menyangka, bahwa kedatangan mereka telah ditunggu
oleh prajurit-prajurit Pajang justru yang paling baik yang ada di
Jati Anom. Perlahan-lahan orang-orang yang memasuki halaman itu
merayap semakin dalam. Seperti pesan yang telah mereka
terima, maka mereka pun segera mengambil tempat mereka
masing-masing. Dua kelompok dari mereka harus menyergap
para prajurit yang bertugas di gardu depan. Sedang
sekelompok yang lain harus memasuki rumah itu tersama
dengan pemimpin kelompok dan seorang yang dikirim
langsung oleh pemimpin-pemimpin mereka untuk membantu
pemimpin kelompok itu membunuh para perwira yang ada di
dalam rumah. Satu kelompok lagi harus mengawasi suasana,
dan membunuh setiap orang yang berusaha melarikan diri dari
halaman itu. Apakah ia seorang prajurit atau seorang perwira.
Karena itu, maka mereka pun harus dapat bekerja sama
sebaik-baiknya jika yang mereka hadapi adalah seorang
perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Demikianlah, keempat kelompok itu telah berada di
tempatnya masing-masing seperti pesan pemimpinnya.
Mereka menemukan tempat-tempat yang telah ditentukan,
yang agaknya oleh seseorang yang telah mengenal halaman
rumah itu sebaik-baiknya.
Namun mereka tidak menyangka, bahwa di setiap sudut,
bahkan beberapa, langkah dari tempat mereka bersembunyi,
prajurit-prajurit Pajang yang terpilih selalu mengawasi mereka
dengan saksama. Kelompok-kelompok penyerang itu telah siap untuk
melakukan penyergapan. Yang terakhir adalah usaha
memasuki rumah itu tanpa menimbulkan persoalan. Karena
itu, maka pemimpin kelompok itu sendirilah yang akan
melakukannya, sementara kelompok yang lain mengawasi
dengan saksama jika ada di antara mereka yang melarikan
diri. Ternyata pemimpin kelompok itu adalah orang yang
berpengalaman. Dengan hati-hati ia memutus tali-tali pengikat
dinding di sudut rumah Untara yang paling lemah, di sudut
belakang. Hampir tidak menimbulkan desir yang paling lembut
sekalipun ia kemudian membuka dinding-dinding itu, dan
dengan sangat hati-hati ia pun merayap masuk. Seorang dari
anak buahnya dibawanya serta memasuki rumah yang sepi
itu. Sejenak orang-orangnya menunggu. Ternyata bahwa
ketegangan yang menghentak-hentak dada hampir tidak
tertahankan. Rasa-rasanya jantung mereka menjadi semakin
cepat berdentangan. Bukan saja para penyerang, tetapi prajurit-prajurit Pajang
yang menyaksikan itu pun menjadi berdebar-debar pula.
Rasa-rasanya mereka tidak dapat menunggu lagi. Tangan
mereka telah bergetar dan darah mereka menjadi semakin
cepat mengalir. Sejenak kemudian mereka mendengar derit yang lirih
sekali. Ternyata para prajurit Pajang yang berada di sisi rumah
itu melihat bahwa pintu butulan telah terbuka.
Dengan isyarat tangan, maka pemimpin kelompok itu
memanggil orang-orangnya yang bertugas masuk ke dalam
rumah itu bersama seorang yang dipercaya langsung dari
pimpinan mereka. Seorang perwira Pajang yang melihat pintu yang terbuka itu
pun menjadi berdebar-debar pula. Dan ia pun yakin bahwa di
antara para penyerang itu pasti ada satu atau dua orang yang
benar-benar dapat dipercaya melakukan tugas itu.
"Jika saja rencana ini tidak dapat diketahui, maka akulah
yang ada di dalam rumah itu bersama beberapa orang kawan.
Barangkali aku dan beberapa orang kawan itu sama sekali
tidak sempat berbuat sesuatu ketika pedang-pedang mereka
menikam dada ini, selagi kami masih tidur," katanya di dalam
hati. Dan ia pun merasa bersukur bahwa ia sempat
mendengar rencana itu dan kini ia telah siap menghadapi
setiap kemungkinan. "Meskipun seandainya aku akan mati juga malam ini, tetapi
aku mati sambil menggenggam pedang seperti seharusnya
seorang prajurit, bukan mati di pembaringan tanpa berbuat
sesuatu," perwira itu menggeram di dalam hati. Tanpa
disadarinya maka tangannya pun telah meraba hulu
pedangnya. "Apakah Ki Ranadana dan kawan-kawannya yang ada di
dalam rumah itu tidak tertidur, dan mereka mengetahui bahwa
yang mereka tunggu telah datang?" ia bertanya kepada diri
sendiri. Tetapi karena yang ada di dalam rumah itu adalah
orang-orang yang dapat dipercaya, maka ia pun mencoba
untuk menenteramkan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian perwira itu melihat beberapa orang
merayap mendekati pintu butulan itu. Sedang di bagian lain,
beberapa bayangan yang bergerak-gerak menjadi semakin
dekat dengan regol halaman. Mereka harus langsung
menyergap para penjaga yang jumlahnya tidak begitu banyak
itu tanpa memberi kesempatan mereka membunyikan tanda
apa pun juga. Dada setiap orang di halaman rumah Untara itu menjadi
semakin tegang. Bahkan para prajurit yang ada di regol itu
bagaikan duduk di atas bara api. Mereka mengerti, bahwa
beterapa orang sedang merayap untuk menerkam mereka,
namun mereka masih harus duduk di tempatnya. Meskipun
demikian, senjata-senjata mereka telah siap di lambung.
Sekejap saja senjata itu akan berada di genggaman. Demikian
juga kawan-kawannya yang ada di sudut-sudut halaman
depan. Rasa-rasanya mereka sudah ingin meloncat
menyerang bayangan yang merambat semakin dekat dengan
regol itu. Dalam pada itu, orang-orang yang ada di dalam rumah itu
pun segera berdiri di depan bilik yang mereka perkirakan di
pakai oleh para perwira Pajang. Sejenak mereka memusatkan
segenap pikiran dan perhatian mereka kepada tugas yang
akan mereka lakukan. Ketika semuanya menurut perhitungan pemimpin kelompok
nenyerang itu sudah siap, maka terdengarlah dari dalam
rumah itu suara burung hantu yang keras sekali tiga kali.
Hanya tiga kali. Dan yang tiga kali itu adalah perintah bagi
setiap orang di dalam pasukan kecilnya untuk menyerang
semua sasaran yang telah ditentukan.
Pada saat suara burung hantu itu menggema, dua orang
yang dengan napas terengah-engah menyusul mereka dari
Pengging menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka sudah
terlambat. Meskipun mereka sudah berada di belakang rumah
Untara, namun perintah itu sudah diberikan, sehingga mereka
tidak dapat berbuat apa-apa.
"Terlambat," desah yang seorang.
"Tetapi, kenapa mereka masih sempat menunggu perintah
itu" Jika orang-orang Pajang sudah menunggu mereka, maka
demikian mereka memasuki halaman rumah ini, mereka pasti
akan segera diterkam oleh para prajurit Pajang," sahut yang
lain. "Kita menunggu perkembangan," berkata yang lain.
Demikianlah mereka menunggu apa yang terjadi di dalam
rumah Untara dan di halamannya itu.
Dalam pada itu, demikian isyarat itu berbunyi, maka setiap
orang yang ada di dalam rumah itu pun segera mendorong
pintu bilik. Senjata-senjata telanjang yang ada di tangan
mereka telah bergetar. Pemimpin kelompok itu berada di
depan satu bilik bersama beberapa orang kawannya, sedang
orang yang langsung diperbantukan kepadanya oleh
pemimpin mereka itu berada di bilik yang lain bersama
beberapa orang pula. Mereka harus melakukan tugas mereka
dengan cepat dan cermat. Sedang beberapa orang lainnya
berada di bilik yang lain pula, untuk mengawasi jika di dalam
bilik itu ada juga penghuninya.
Bersama dengan gerit pintu-pintu bilik itu, para penyerang
yang sudah siap menunggu di halaman pun segera
berloncatan. Jumlah mereka ternyata cukup banyak untuk
membinasakan beberapa orang yang bertugas di regol itu.
Namun, demikian isyarat itu berbunyi, maka prajurit-prajurit
Pajang yang berada di regol itu pun segera berloncatan
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri. Seakan-akan suara burung hantu itu memang
merupakan perintah bagi mereka untuk bersiap menghadapi
setiap kemungkinan. Sekejap para penyerang itu pun menjadi heran. Namun
mereka tidak menghiraukannya lagi. Seperti banjir bandang
mereka pun segera menyerang. Orang-orang yang ada di
regol itu harus ditumpas.
Tetapi mereka pun terkejut ketika tiba-tiba saja mereka
mendengar gemerisik dedaunan dan semak-semak di sekitar
mereka. Sebelum mereka mencapai gardu itu, mereka
menjadi terpukau karena beberapa orang yang tiba-tiba saja
justru berloncatan menyerang mereka.
Sebelum mereka menyadari keadaan mereka, maka tibatiba
mereka mendengar salah seorang dari prajurit Pajang itu
berkata lantang, "Kalian terjebak. Menyerahlah."
Tetapi para penyerang itu tidak yakin akan kata-kata
prajurit Pajang itu meskipun mereka melihat beberapa orang
berdatangan. Karena itu, maka pemimpin kelompok mereka
pun berkata, "Tumpas mereka. Jangan ada yang tersisa.
Mataram harus menguasai daerah Jati Anom sebelum
menguasai seluruh Pajang."
Kata-kata itu mendebarkan jantung para praiurit Pajang.
Untunglah mereka sudah mengetahui dengan siapa mereka
berhadapan, sehingga mereka pun tidak mudah terpengaruh
oleh kata-kata itu, yang seakan-akan para penyerang itu
adalah orang-orang Mataram.
Ternyata serangan itu telah mendapat sambutan hangat.
Para penjaga di regol halaman pun sudah siap menunggu
mereka menyergap. Namun ternyata bahwa para penyerang
tidak dapat memusatkan kekuatan mereka, kepada para
praturit yang tidak begitu banyak jumlahnya di regol, tetapi
mereka harus melayani prajurit-prajurit Pajang yang
bermunculan seperti laron dimusim hujan. Ternyata bahwa
jumlah prajurit Pajang itu pun cukup banyak sehingga para
penyerang itu pun menjadi berdebar-debar. Apalagi prajurit
Pajang yang mereka hadapi adalah prajurit pilihan.
"Gila," pemimpin kelompok penyerang itu menggeram, "kita
harus memencar. Kita binasakan semua orang yang ada di
halaman ini." Dalam pada itu kelompok cadangan yang harus mengawasi
jika ada di antara para prajurit Pajang yang melarikan diri itu
pun tidak lagi dapat tinggal diam. Mereka pun segera terlibat
pula di dalam perkelahian melawan para prajurit Pajang.
Dalam pada itu, yang ada di dalam rumah pun terkejut
bukan kepalang. Ternyata mereka hanya menjumpai seorang
perwira Pajang di dalam rumah itu. Dan perwira itu adalah Ki
Ranadana. Sedang yang lain sama sekali bukan prajurit
Pajang. Namun justru karena itulah, maka kemudian mereka
menjumpai banyak sekali kesulitan.
Para penyerang yang belum mengenal Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar itu semula tidak begitu menghiraukannya.
Pembunuhan di dalam rumah itu akan tetap berlangsung,
siapa pun yang ada di dalamnya. Perwira yang hanya seorang
itu harus dibunuh pula, sedang salah seorang dari orangorang
yang ada di rumah itu akan dihidupinya.
"Kalian tidak usah melawan," berkata pemimpin
gerombolan itu, "kami datang dengan kekuatan yang tidak
akan terlawan oleh kalian. Marilah kalian berkumpul di ruang
tengah." Ki Ranadana dan Ki Sumangkar memandang pemimpin
kelompok itu sejenak, lalu sambil mengangguk-angguk Ki
Ranadana menjawab, "Apakah yang akan kalian lakukan atas
kami?" "Sayang, kami akan membunuh kalian. Para perwira dan
siapa pun yang ada di dalam rumah ini."
Ki Ranadana dan Ki Sumangkar tidak segera menyahut,
sedang di depan pintu bilik yang lain terdengar seorang dari
para penyerang itu berkata, "Keluar. Kami akan memenggal
lehermu. Lebih baik kau mati di ruang yang agak luas
daripada dibilik yang sempit agar rohmu mendapat jalan yang
agak lapang." Dan terdengar jawab Kiai Gringsing, "Baiklah. Kami akan
keluar ke ruang yang lebih luas. Tetapi apakah kalian benarbenar
akan membunuh kami?"
"Jangan banyak bicara. Sediakan diri untuk mati. Pedang
kami akan memenggal leher kalian."
Tetapi yang terdengar kemudian adalah kata-kata
Swandaru, "Kulit kami amat liat. Apakah pedang kalian cukup
tajam?" Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga oleh orang-orang
yang datang memasuki rumah itu. Karena itu, sejenak mereka
hanya memandang Swandaru dengan tatapan mata yang
aneh. "He, kenapa kalian menjadi heran seperti melihat hantu?"
bertanya Swandaru pula. "Ayo, jawab pertanyaanku. Apakah
pedangmu cukup tajam untuk memotong leherku. Kulitku
cukup liat dan tulangku sangat keras."
"Persetan," orang yang dikirim oleh pemimpin para
penyerang itu menggeram, "kaulah yang akan aku bunuh
pertama-tama." "Aku?" Swandaru membelalakkan matanya. "Kenapa bukan
yang lain" Kau misalnya?"
"Tutup mulutmu," orang itu berteriak.
"Kami adalah para perwira pilihan dari prajurit Pajang,"
berkata Swandaru. "Ketika kami memasuki lingkungan
keprajuritan, kami harus melalui pendadaran yang berat. Nah,
apakah kami yang sudah melalui pendadaran itu harus
menyerahkan leher kami begitu saja?"
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia
menyergap masuk. Agaknya kemarahannya sudah memuncak
sampai ke ubun-ubun. Beberapa orang kawannya pun ikut pula menyergap.
Mereka langsung menyerang kiai Gringsing dan kedua
muridnya dan berusaha membunuh mereka sebelum mereka
sempat berbuat apa pun juga, apalagi memberikan isyarat.
Demikian juga pemimpin kelompok penyerang itu. Mereka
pun telah menyerang Ki Ranadana dan Ki Sumangkar di
dalam biliknya yang sempit.
"Ki Ranadana," berkata Ki Sumangkar, "agak menjauhlah.
Senjataku memerlukan ruang yang agak luas."
"Eh," sahut Ki Ranadana, "apakah aku tidak akan kau beri
sisa tempat di ruang ini" Jika demikian, sebaiknya aku keluar
saja." "Jangan sekarang. Kita memilih tempat yang sempit ini saja
dahulu." Ki Ranadana tidak menjawab, tetapi ia bergeser ke sudut
yang lain menjauhi Sumangkar yang kemudian menggenggam
senjatanya yang aneh. Trisulanya yang berantai di tangan
kanan, dan yang sebuah lagi di tangan kiri langsung
digenggamnya pada tangkainya.
Namun yang paling mengejutkan para penyerang itu, ketika
Swandaru yang langsung diserang telah menarik cambuk
yang membelit di lambungnya. Ketika cambuk itu meledak,
rasa-rasanya meledak pulalah setiap jantung dari para
pemimpin penyerang itu. Sedikit banyak mereka telah pernah
mendengar, bahwa kawan-kawan mereka yang berjuang di
Alas Mentaok, telah gagal sama sekali akibat hadirnya orangorang
yang bersenjata cambuk. Dan kini rumah Untara itu
telah digetarkan pula oleh suara cambuk.
Bukan saja Swandaru yang kemudian telah meledakkan
cambuknya. Namun juga Agung Sedayu dan bahkan Kiai
Gringsing, Karena lawan mereka telah langsung menyerang
mereka dengan pedang ke arah jantung mereka, untuk segera
membunuh apabila mungkin, maka mereka pun telah
mempergunakan senjata mereka pula.
Demikianlah di dalam bilik yang sebelah, tiga buah cambuk
telah meledak bersahut-sahutan.
Di bilik yang lain, trisula Sumangkar telah berputar pula
pada rantai yang mengikatnya. Suaranya berdesing
mengerikan. Sedang Ki Ranadana yang bersenjata pedang
pun telah mulai pula bertempur melawan orang-orang yang
menyerangnya. Betapapun juga, namun putaran trisula di tangan
Sumangkar telah menimbulkan persoalan bagi para
penyerangnya, sehingga beberapa orang terpaksa terdesak
surut oleh kawan-kawan mereka. Dengan lambat laun pasti
Sumangkar telah mendesak lawannya ke pintu keluar dari bilik
itu. "Kita akan mencari jalan keluar," berkata Sumangkar
kepada Ki Ranadana, "supaya kita dapat lebih leluasa
bermain-main." "Aku sependapat," berkata Ki Ranadana. Meskipun ia tidak
mendesak lawannya, namun suara trisula Sumangkar yang
berdesing itu berpengaruh juga, sehingga Ki Ranadana pun
telah mendesak lawannya pula.
Demikianlah maka para penyerang itu tidak mau bertahan
di dalam bilik yang sempit itu pula. Mereka pun segera
berloncatan keluar disusul oleh Sumangkar dengan
senjatanya yang mengerikan.
Yang terakhir keluar dari bilik itu adalah Ki Ranadana.
Tetapi ketika beberapa orang lawan menyambutnya, maka ia
tidak langsung pergi ke ruang tengah yang agak luas, tetapi ia
berhenti saja di pintu sambil bertempur. Jika ia agak terdesak
oleh beberapa orang lawannya maka ia melangkah surut,
sehingga ia langsung menghadapi sebuah pintu yang sempit.
Dengan demikian ia sempat mempergunakan pintu bilik itu
sebagai perisai, sehingga lawannya terpaksa berdiri di satu
arah daripadanya. "Licik," geram salah seorang lawannya, "jangan berdiri di
pintu." Tetapi Ki Ranadana tertawa. Katanya, "Bagaimana
mungkin kau dapat mengatakan aku licik, sedang kau
menyerang dengan pasukan segelar sepapan?"
Lawan-lawannya tidak menjawab. Tetapi mereka berusaha
mendesak Ranadana masuk ke dalam bilik itu kembali dan
beramai-ramai membinasakannya.
Tetapi Ki Ranadana menyadari keadaannya, sehingga
karena itu maka ia pun bertahan mati-matian agar ia tetap
berada di pintu bilik itu.
"Untunglah bahwa kami dapat mengetahui lebih dahulu
serangan ini. Jika tidak, maka kami akan benar-benar dibantai
tanpa perlawanan," berkata Ki Ranadana di dalam hatinya.
Seperti yang tersirat di hati setiap prajurit Pajang. Namun
demikian ia masih juga memikirkan Ki Sumangkar, Kiai
Gringsing dan kedua muridnya.
"Adik Untara adalah seorang yang dapat dipercaya,"
berkata Ki Ranadana, karena ia mengetahui bahwa Agung
Sedayu berhasil mengalahkan seorang perwira muda dari
Pajang pada perselisihan yang tidak dapat dihindarkan, justru
di saat Agung Sedayu baru saja datang di tempat ini.
"Tetapi anak muda yang gemuk itu, apabila orang tua itu,
pasti memiliki kemampuan yang cukup pula," katanya pula
kepada diri sendiri. Sekilas Ki Ranadana melihat bagaimana Sumangkar
bertempur melawan beberapa orang yang menyerangnya.
Putaran trisulanya benar-benar membatasi kemampuan gerak
lawannya. Trisula yang disangkutkan pada ujung rantai itu
tidak saja berputar seperti baling-baling, tetapi kadang
menjulur mematuk seperti seekor ular yang berbisa.
Dalam pada itu, cambuk yang meledak-ledak di bilik
sebelah serasa telah menggetarkan rumah yang besar itu.
Bahkan kemudian seperti Sumangkar, Kiai Gringsing telah
mendesak lawannya ke luar ruangan, sehingga di ruang
tengah yang luas itulah mereka kemudian bertempur.
Swandaru tersenyum melihat Sumangkar telah lebih dahulu
ada di ruang itu. Ketika ia memandang Ki Ranadana, maka
keningnya pun terkerut-merut.
Bukan saja Swandaru, tetapi Kiai Gringsing pun melihat,
bahwa Ki Ranadana mulai menjadi lelah menghadapi lawanlawannya.
Di antaranya adalah pemimpin kelompok
penyerang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.
Hanya dengan mengerahkan segenap kemampuannya
sajalah Ki Ranadana tetap bertahan di depan pintu bilik itu.
Tetapi Ki Ranadana sama sekali tidak mengeluh dan tidak
menjadi cemas. Ia menyadari, bahwa keadaan ini adalah
keadaan yang jauh lebih baik daripada keadaan yang
seharusnya terjadi. Seperti setiap perwira ia berpendapat,
bahwa seandainya ia sendiri menjadi korban, bukanlah
merupakan soal yang memberati perasaannya, namun
dengan suatu keyakinan, bahwa keadaan akan dapat dikuasai
oleh pasukannya. Ternyata bahwa Swandaru-lah yang berasa paling dekat
dengan pintu bilik Ki Ranadana. Itulah sebabnya, maka ia pun
segera berusaha berbuat sesuatu untuk mengurangi tekanan
yang semakin lama menjadi semakin berat.
Tetapi Swandaru tidak segera berhasil. Beberapa orang
berusaha menahannya dan memisahkannya dari Ki
Ranadana. Dalam pada itu, di luar rumah, para penyerang telah terlibat
pula dalam pertempuran yang sengit. Mereka yang
menyerang para prajurit yang tampaknya tidak begitu banyak
di gardu peronda, menjadi berdebar-debar melihat para
prajurit Pajang yang berloncatan dari dalam gelap. Karena
itulah, maka setiap orang yang ada langsung terlibat dalam
perkelahian. Kelompok yang harus mengawasi perkembangan
keadaan di halaman itu sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk tetap berada di tempatnya. Mereka pun
langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang seru.
Tetapi para prajurit Pajang sama sekali tidak membunyikan
tanda apa pun seperti yang sudah dipesankan kepada
mereka. Jika keadaan tidak memaksa, maka mereka harus
menyelesaikan tugas itu tanpa mengganggu ketenteraman
Jati Anom. Mereka tidak boleh menimbulkan kesan bahwa ada
sekelompok orang yang mampu menerobos masuk ke dalam
lingkungan prajurit Pajang, dan lebih daripada itu, ketenangan
hari-hari perkawinan Untara tidak boleh terganggu.
Namun kesiagaan yang cermat telah menempatkan para
prajurit Pajang itu dalam kedudukan yang baik. Apalagi ketika
para prajurit yang ada di halaman belakang pun telah ikut
melibatkan diri pula menyerang orang-orang yang bertugas
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengawasi keadaan di bagian belakang.
Karena jumlah mereka tidak banyak, maka mereka pun
segera bergeser ke halaman depan, bergabung dengan
kawan-kawannya yang sedang bertempur pula.
Dengan demikian maka perkelahian,yang terjadi di
halaman rumah Untara itu menjadi semakin seru. Samarsamar
oleh cahaya lampu minyak di gardu, orang-orang yang
bertempur itu berusaha membedakan, yang manakah kawan
dan manakah lawan. Namun prajurit Pajang ternyata telah
memakai cirri-ciri keprajuritan mereka masing-masing,
sehingga di antara mereka dengan mudah dapat saling
mengenal. Karena prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di halaman
itu adalah prajurit-prajurit pilihan, serta jumlah mereka pun
memadai, maka mereka segera menguasai keadaan. Namun
ternyata lawan-lawan mereka pun adalah orang-orang terpilih
pula, sehingga prajurit-prajurit Pajang itu harus mengerahkan
segenap kemampuan mereka, secara pribadi dan secara
bersama-sama untuk mendesak lawan mereka. Tetapi orangorang
itu sejauh mungkin tidak sampai merembes ke luar,
halaman, agar ketenangan Jati Anom tidak terganggu.
Di luar regol depan, dua orang prajurit pengawas dari
Pajang menyaksikan perkelahian yang bergolak dihalaman.
Setelah mereka yakin, bahwa tidak akan ada lagi orang-orang
yang bakal dating, maka mereka pun segera ikut pula di dalam
perkelahian itu. Namun dalam pada itu. Keadaan Ki Ranadana ternyata
menjadi semakin sulit karena jumlah lawannya yang kuat.
Bagaimanapun juga ia berusaha, namun ternyata bahwa ia
perlahan-lahan terdesak juga, sehingga sedikit demi sedikit ia
bergeser masuk ke dalam bilik.
"Jika aku terdorong masuk," berkata Ki Ranadana, "maka
aku tidak akan dapat menyaksikan akhir dari perkelahian ini
meskipun aku yakin, bahwa prajurit Pajang akan menguasai
keadaan." Dalam pada itu, Swandaru yang berada dekat dengan pintu
bilik itu masih belum dapat berbuat sesuatu untuk membantu
Ki Ranadana, sehingga karena itu, maka ia pun berusaha
sekuat-kuat tenaganya untuk memecahkan kepungan atas
dirinya sendiri. Namun demikian usaha itn bukannya usaha
yang mudah. Ternyata Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun melihat
kesulitan Ki Ranadana. Karena itu, hampir bersamaan mereka
berusaha untuk menolongnya.
Sumangkar yang masih belum mempergunakan segenap
kemampuannya tiba-tiba memutar trisulanya semakin cepat.
Kini ia tidak memperhitungkan lagi korban yang bakal jatuh.
Baginya, orang-orang itu tidak akan banyak dapat
memberikan keterangan, sehingga apabila terpaksa ujung
trisulanya menimbulkan kematian, maka itu adalah sesuatu
hal yang tidak dapat dihindarinya.
Karena itu, sejenak kemudian terdengar salah seorang dari
lawan-lawannya mengeluh tertahan. Namun hampir
bersamaan di lingkaran perkelahian yang lain seseorang
menjerit kesakitan, ketika ujung cambuk Kiai Gringsing
mengenai pelipisnya. Sekilas warna merah seakan-akan
menyala di wajah itu, kemudian darah yang merah mengalir
memenuhi kepalanya. Dua orang sekaligus telah terluka. Yang seorang di
kepalanya, sedang yang lain, trisula Ki Sumangkar langsung
mematuk dada. Ternyata hal itu sangat berpengaruh. Orang-orang yang
mendesak Ki Ranadana pun menjadi ragu-ragu. Tetapi di
antara mereka adalah pemimpin kelompok itu sendiri,
sehingga ia pun segera menguasai keadaan, dan memimpin
kawan-kawannya untuk mendesak lawannya kembali.
Meskipun demikian, hati pemimpin penyerang itu sudah
dihinggapi oleh keragu-raguan. Siapa sajakah yang berada di
dalam rumah ini, sehingga kawan-kawannya sama sekali tidak
segera berhasil membunuh mereka. Bahkan dua orang
kawannya telah terluka parah.
Ketika kemudian sebuah hentakan mendesak Ki
Ranadana, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk
bertahan di depan pintu. Ternyata pemimpin kelompok
penyerang itu berhasil meloncat masuk untuk menyerang Ki
Ranadana dari arah lain. Namun dengan demikian Ki
Ranadana tidak tetap berdiri saja di pintu. Ia pun segera
meloncat masuk dan mundur mendekati dinding agar ia dapat
melawan tanpa mendapat serangan dari belakang.
Empat orang termasuk pemimpin gerombolan penyerang
Tamu Dari Gurun Pasir 11 Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa Nemesis 4
ada. Seperti yang dicemaskan oleh Ki Lurah Branjangan itu
memang akan terjadi."
"Jadi bagaimana menurut pertimbangan Kiai?" bertanya
Untara. Sebenarnya bukan kebiasaan Untara untuk
menyerahkan keputusan kepada orang lain, apalagi di luar
lingkungannya. Tetapi ia bukan orang yang sama sekali tidak
mau mendengarkan pendapat orang lain.
Dan kini ia tidak dapat lagi memusatkan pikirannya kepada
tugasnya melulu. Karena itu, maka ia memang memerlukan
nasehat dari orang-orang yang dipercayanya meskipun ia
berada di luar lingkungan keprajuritan.
"Sudahlah, Anakmas Untara," berkata Kiai Gringsing,
"serahkan semua kepada orang yang kau pereaya. Tetapi aku
minta ijin untuk berbicara dengan orang itu tanpa ada orang
lain, meskipun perwira prajurit Pajang. Aku ingin berbicara
dengan perwira itu di sini bersama Ki Widura. Anakmas tidak
perlu cemas, bahwa kekacauan itu akan dapat mengganggu,
bukan saja perhelatan anakmas, tetapi juga hubungan Pajang
dan Mataram. Kami akan mencoba mengatasinya sebaikbaiknya."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
bertanya, "Dan Kiai tidak memerlukan aku untuk ikut
berbicara?" "Tentu aku tidak dapat menolak jika Anakmas memutuskan
demikian. Tetapi jangan terlalu berpengaruh bagi Anakmas.
Jika Anakmas datang ke rumah pengantin perempuan dengan
kening yang berkerut-merut, maka kesannya akan berbeda.
Mertua Anakmas akan bertanya-tanya, kenapa menantuku
berwajah murung justru di malam pengantin?"
Untara tersenyum. Tetapi sebagai seorang senapati ia
dapat menangkap dengan ketajaman tanggapan, bahwa
persoalan yang sebenarnya bukannya begitu sederhana.
Atas perintah Untara, maka perwira yang tertua, yang
mendapat wewenang melakukan tugas Untara selama Untara
sibuk dengan persoalan pribadinya, segera datang ke rumah
Widura. Perwira itu meskipun rambutnya sudah diselingi oleh
warna-warna putih, namun tatapan matanya yang tajam, serta
tubuhnya yang kuat kekar, masih tetap merupakan seorang
yang pantas disegani. Setelah saling memperkenalkan diri, maka perwira yang
bernama Ki Ranadana itu segera mendapat penjelasan dari
Untara siapakah yang sekarang sedang dihadapi.
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku menyesal, bahwa aku tidak mendapat tugas di Sangkal
Putung saat itu bersama Ki Widura, sehingga aku baru
mengenal Kiai sekarang ini." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi
aku akan berdebar-debar juga jika aku bertemu dengan Ki
Sumangkar di medan waktu itu."
Sumangkar hanya tersenyum saja. Meskipun ia belum
mengenal terlalu baik, namun agaknya Ki Ranadana telah
mengetahuinya, siapakah sebenarnya orang yang bernama Ki
Sumangkar itu. "Nah, silahkan," berkata Untara kemudian, "aku akan
menjadi pendengar saja."
"Pendengar yang baik," sahut Kiai Gringsing, "dengan
demikian Anakmas tidak akan selalu memikirkannya."
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil
tersenyum ia berkata, "Ya, aku akan mencoba melupakannya,
setidak-tidaknya untuk lima hari selama aku berada di
Pengging." Sejenak kemudian mereka pun mulai berbicara tentang
kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul. Dengan hatihati
Kiai Gringsing mengatakan apa yang dilihatnya dan apa
yang didengarnya. Rencana yang agaknya telah tersusun dan
hampir merupakan kepastian tentang usaha orang-orang itu
untuk memasuki rumah Untara, dan membunuh beberapa
orang perwira. "Itu bukan persoalan yang dapat dilupakan begitu saja,"
tiba-tiba Untara memotong.
"Anakmas Untara sudah berjanji untuk menjadi pendengar
yang baik, sehingga Anakmas Untara tidak usah ikut
mempersoalkannya. Bukankah Anakmas Untara sudah
diwakili Ki Ranadana?"
Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Persoalannya adalah persoalan yang besar. Apakah aku
akan melepaskan persoalan ini berlalu begitu saja"
Sebenamya ini adalah suatu kesempatan untuk mengetahui,
siapakah yang sebenarnya telah membuat jurang yang
semakin dalam antara Pajang dan Mataram."
"Tetapi ada kemungkinan lain," berkata Kiai Gringsing.
"Mungkin Anakmas Untara terlalu berpikir jauh dan
berlandaskan pada masalah-masalah yang besar. Tetapi hal
ini mungkin berpijak pada masalah yang sangat sederhana
meskipun dilakukan oleh orang-orang yang memiliki
kemampuan tinggi." "Apakah alasan yang sederhana itu?"
"Orang-orang yang tidak ingin melihat orang lain membuka
Alas Mentaok siapa pun orangnya. Mereka adalah orangorang
yang kecewa, karena mereka sendiri mempunyai
pamrih atas Alas Mentaok. Tidak ada persoalan apa pun yang
ada hubungannya dengan kepemimpinan Sultan Pajang dan
Ki Gede Pemanahan beserta puteranya Raden Sutawijaya."
"Jika demikian maka keadaannya akan menjadi semakin
parah. Seolah-olah kita yang memiliki kemampuan berpikir
sebagai prajurit, akan diadu domba begitu saja oleh orangorang
yang sekedar dikendalikan nafsu ketamakan?"
"Itulah sebabnya kita berhati-hati. Persoalannya memang
cukup gawat, tetapi kita sudah mengetahuinya lebih dahulu.
Apalagi di sini ada Ki Lurah Branjangan yang sekarang berada
di gandok. Ia akan dapat ikut memecahkan masalahnya
apabila kita berhasil menangkap beberapa orang dari
mereka." Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, "Baiklah.
Aku akan menjadi pendengar yang baik."
Kiai Gringsing tersenyum. Dipandanginya wajah Untara
sejenak, lalu wajah Ki Ranadana. Setelah menarik nafas maka
ia pun berkata, "Kita akan membuat rencana untuk menjebak
mereka." "Ya. Dan itu bukan suatu hal yang mudah," sahut
Ranadana. "Besok kita akan menentukan garis pertahanan yang akan
kita susun." "Kenapa besok. Kita tidak boleh lengah. Aku akan
memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakan hal
ini bersama Kiai berdua."
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. "Jangan.
Semakin banyak orang yang mengetahui masalah ini, bahaya
kebocoran pun menjadi semakin besar. Jika orang-orang itu
mengetahuinya, bahwa kita sudah mencium rencana mereka,
maka mereka pasti akan merubah cara mereka untuk
mengacaukan Jati Anom dan memancing kekeruhan.
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi pada pokoknya kita sudah mengetahui, bahwa
sasaran utama yang telah mereka tentukan adalah para
perwira yang ada di Jati Anom, dan yang tentu saja tidak ikut
ke Pengging bersama Anakmas Untara. Tetapi seandainya
mereka berhasil membunuh seorang perwira saja, maka
kemarahan prajurit Pajang tidak akan dapat dibendung lagi."
Untara yang mendengarkan percakapan itu
menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berbicara apa pun.
Ia percaya bahwa Kiai Gringsing dan Ki Ranadana pasti akan
menemukan jalan yang paling baik untuk mencegah
pembunuhan itu. Meskipun ada juga kegelisahan di hati Untara, namun ia
mencoba untuk mempercayakan hal itu kepada orang-orang
yang ditinggalkannya di Jati Anom. Selain Kiai Gringsing dan
Ki Ranadana, masih ada pula Widura dan Ki Sumangkar.
Mereka adalah orang-orang yang mempunyai pengalaman
yang cukup dan pikiran yang cerah untuk memecahkan seiap
persoalan. "Aku kira bahan yang aku berikan sudah cukup Ki
Ranadana. Hari ini kita akan merenungkan, apa yang akan
kita lakukan. Sementara itu Anakmas Untara dapat
mempersiapkan dirinya. Besok Anakmas harus pergi ke
Pengging. Bukan saja diiringi oleh keluarga pengantin, tetapi
juga oleh sepasukan prajurit."
Untara tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku akan
mempersiapkan diriku. Silahkanlah kalian berbicara tentang
usaha kalian untuk menyelamatkan daerah ini dari kekacauan
yang dapat menyeret Pajang dalam suatu keadaan yang
gawat. Aku percaya kepada kalian."
Untara pun kemudian meninggalkan pertemuan itu. Ia
sadar, bahwa kehadirannya memang agak mengganggu, Kiai
Gringsing tidak akan menyebutkan rencana apa pun yang
dapat membuatnya gelisah.
Sepeninggal Untara, maka barulah Kiai Gringsing berkata,
"Kita harus menyelamatkan sasaran itu."
"Ya," jawab Ki Ranadana, "dan itu bukannya yang sulit.
Tetapi bagaimana kita dapat membuktikan bahwa yang
datang itu benar-benar bukan orang-orang Mataram."
"Ki Lurah Branjangan akan menentukan."
"Aku tahu. Tetapi bagaimana kita meyakinkan prajuritprajurit
dan rakyat yang sudah dibekali dengan kecurigaan."
"Kita harus berhasil menangkap beberapa orang di antara
mereka hidup-hidup. Kita hadapkan orang itu kepada Ki Lurah
Branjangan di hadapan beberapa orang prajurit yang paling
berpengaruh." Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi, apakah kita akan menjebak mereka" Menurut
perhitunganku, menahan mereka di luar kademangan adalah
lebih baik. Kita dapat mengurangi ketegangan dan ketakutan."
"Aku sepenapat," sahut Kiai Gringsing, "tetapi aku masih
belum dapat memastikan, apakah pendapat orang-orang yang
berhasil kami ikuti itu diterima. Dalam hal ini, apakah mereka
akan datang dari Barat atau seperti yang mereka katakan,
mereka akan datang dari Timur."
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu,
"Jika demikian, bagaimana pendapat Kiai?"
"Kita jebak mereka di halaman rumah Anakmas Untara dan
di sepanjang jalan. Menilik rencana yang akan mereka
jalankan, jumlah mereka tidak akan begitu banyak. Tetapi di
antara mereka pasti ada orang-orang yang dapat dipercaya
untuk menghadapi para perwira yang diperkirakan jumlahnya
akan jauh berkurang, karena sebagian telah pergi mengikuti
dan mengawal Anakmas Untara ke Pengging besok."
"Kenapa harus di halaman dan di dalam padukuhan Jati
Anom?" "Kesempatan mereka untuk melarikan diri harus kita tutup
serapat-rapatnya. Di luar padukuhan mereka akan banyak
mendapat kesempatan untuk lari."
Ki Ranadana mengangguk-anggukkan kepalanya.
Semuanya itu akan terjadi besok malam menurut perhitungan
mereka, setelah besok Untara berangkat ke Pengging."
"Aku akan memberitahukan masalahnya setelah Untara
berangkat," berkata Ki Ranadana, "agar persiapan pengantin
itu tidak terganggu."
"Ya," sahut Kiai Gringsing. "Kita akan memerlukan prajurit
seperlunya dalam kesiagaan penuh, tanpa menyatakan
persoalannya yang sebenarnya kecuali kepada beberapa
orang pemimpin kelompok. Kita harus menjaga agar
semuanya itu seakan-akan hanyalah kesiagaan karena Jati
Anom menjadi sepi." Demikianlah mereka telah sepakat untuk mengatur
persiapan besok setelah Untara berangkat. Menurut
keputusan terakhir, Untara akan berangkat besok dengan
iring-iringan yang kuat. Beberapa orang keluarga yang
meskipun agak jauh, pergi mengantarkannya. Tetapi Widura
justru tinggal di Banyu Asri karena persoalan yang cukup
gawat yang akan terjadi di padukuhan Jati Anom.
Dengan persetujuan Untara, maka menjelang sore yang
kemudian turun di atas Jati Anom, Kiai Gringsing dan
Sumangkar pergi juga ke Lemah Cengkar. Jika pendapat
orang-orang yang kemarin diikutinya itu disetujui oleh
pimpinan mereka, maka ada kemungkinan satu dua orang
yang lebih tinggi tingkatannya, akan memastikan tempat itu
sebagai landasan gerak mereka. Tetapi kali itu mereka tidak
membawa Agung Sedayu dan Swandaru.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing dan Sumangkar
mendapatkan kepastian itu. Beberapa orang ternyata kembali
ke Lemah Cengkar dan bahkan mereka agaknya telah
menentukan di mana mereka harus berkumpul.
Tetapi Kiai Gringsing dan Sumangkar tidak dapat
mendekati mereka, keduanya hanya dapat melihat dari
kejauhan sambil berjongkok menyabit rumput.
"Mereka benar-benar datang seperti yang mereka
rencanakan," berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya, "Mereka
agaknya telah mapan dengan tempat ini. Yang tinggi itu
agaknya pemimpinnya. Ia mengangguk-angguk mantap
sekali." Kiai Gringsing tidak menyahut. Ketika orang yang tinggi itu
kebetulan berpaling, maka kedua orang tua-tua itu bekerja
semakin tekun, menyabit rumput yang hijau segar.
Tetapi keduanya menjadi berdebar-debar ketika orangorang
itu mendekatinya. Orang yang tinggi itu berdiri beberapa
langkah di samping Ki Sumangkar dan memandang kedua
orang tua itu berganti-ganti.
"He, siapakah kalian?"
Sumangkar mengangkat wajahnya. Tubuhnya yang tidak
ditutup dengan baju itu tampak berkeringat dan terbakar oleh
sinar matahari di sore hari.
"He, siapa kau?"
"Namaku Puji Ki Sanak."
"Dari mana?" "Sendang Gabus."
Orang yang tinggi itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Lalu ia pun bertanya, "Apakah kau bukan orang Jati Anom?"
Sumangkar menggeleng. "Bukan Ki Sanak. Tetapi aku
memang sering pergi ke Jati Anom. Apakah Ki Sanak
memerlukan sesuatu yang dapat kami bantu?"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak, tidak," jawab orang itu, lalu, "bukankah di Jati Anom
ada pengantin agung."
"O, maksud Ki Sanak pengantin Senapati Pajang itu?"
"Ya." "Ya. Besok ia akan berangkat ke Pengging. Apakah Ki
Sanak akan mengunjungi perhelatan itu?"
"Ya. Aku akan datang. Tetapi besok, di hari ke lima, jika
Untara membawa isterinya kembali. Aku bukan keluarga
dekat." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
menegang sejenak ketika orang itu bertanya, "Kenapa kau
menyabit rumput di sini dan di sore hari?"
Namun Sumangkar pun segera tersenyum sambil
menjawab, "Seperti yang Ki Sanak lihat, rumput di sini tumbuh
subur. Aku bukan saja menyabit rumput di sini, tetapi di pagi
hari aku kadang-kadang menggembalakan kambing dan
kerbau di tempat ini."
"Jarang sekali ada orang yang menggembalakan ternaknya
di sini. Bukankah Lemah Cengkar terkenal angker karena
Macan Putihnya?" "Tetapi tidak bagi gembala," jawab Sumangkar. "Pohon
Panca Warna yang angker itu memberikan buahnya khusus
bagi para gembala. Selain bagi gembala yang setiap hari
bermain di bawahnya, buahnya dapat menjadi racun. Tetapi
tidak bagi kami. Anak-anak sampai orang yang paling tua
sekalipun." Orang itu mengerutkan keningnya sejenak. Namun tiba-tiba
ia tersenyum sambil berkata, "Itu adalah akal yang licik dari
para gembala. Agar buah itu tidak diambil orang lain, kalian
membuat ceritera begitu?"
"Tidak. Memang tidak ada orang yang berani makan
buahnya." Orang yang tinggi itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia pun berkata kepada kawan-kawannya, "Marilah,
kita tinggalkan tempat ini."
Sumangkar tidak bertanya apa pun kepada mereka,
kenapa mereka berada di tempat itu, namun orang yang tinggi
itulah yang berkata sebelum ia pergi, "Kami adalah pemburu
harimau. Kami sebenarnya ingin melihat Macan Putih di
daerah ini. Jika menurut dugaan kami, macan itu adalah
macan sewajarnya, maka kulitnya akan sangat berharga.
Tetapi jika yang disebut Macan Putih itu menurut ciri-cirinya
adalah harimau jadi-jadian, sudah tentu kami tidak akan berani
berbuat apa-apa." Sumangkar mengangguk-angguk. Jawabnya, "Hanya di
malam hari Macan Putih itu menampakkan diri."
"Menurut kepercayaanmu. Tetapi jika harimau itu benarbenar
harimau, di siang hari kami akan menemukan bekasbekasnya,
sehingga memberikan petunjuk bagi kami untuk
berburu di malam hari."
Sumangkar mengangguk-angguk. Sekilas dipandanginya
Kiai Gringsing tetapi orang tua itu masih tetap sibuk menyabit
rumput. Sejenak kemudian orang-orang itu pun pergi meninggalkan
tempat itu. Sesekali mereka masih berpaling. Salah seorang
dari mereka berpendapat, bahwa kedua orang itu dapat
membahayakan keadaan mereka. Tetapi orang yang tinggi itu
berkata, "Gembala itu tidak mengerti apa-apa. Tetapi jika kita
berbuat sesuatu, maka justru akan dapat menimbulkan
persoalan. Katakanlah jika orang-orang itu tidak pulang ke
rumahnya malam nanti, maka keluarga mereka tentu akan
mengadu. Bukan sekedar kepada bebahu kademangannya,
tetapi kepada prajurit Pajang di Jati Anom. Nah, hal itu akan
dapat membuat mereka bertanya-tanya dan barangkali justru
menimbulkan kesiagaan yang lebih mantap sepeninggal
Untara." Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
orang tinggi itu berkata lagi, "Kita berpencar, agar kita tidak
menumbuhkan kecurigaan apa pun."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar memandangi orang-orang
itu sampai mereka hilang di balik gerumbul-gerumbul perdu.
Mereka berpencar ke arah yang berbeda, agar orang-orang
yang menjumpai mereka tidak bertanya-tanya tentang
sekelompok orang yang tidak dikenal.
Ketika mereka sudah tidak tampak lagi, Kiai Gringsing dan
Sumangkar pun segera berdiri. Dikibaskannya kain panjang
mereka yang menjadi kotor dan diusapnya keringat yang
membasahi kening. "Agaknya semuanya sudah hampir dapat dipastikan,"
berkata Kiai Gringsing. "Ya. Dan kita harus menyusun rencana sebaik-baiknya
hersama Ki Ranadana. Jika kita masih juga terjebak, maka
kitalah yang ternyata terlampau dungu."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Marilah
kita kembali." Mereka pun kemudian meninggalkan Lemah Cengkar dan
meninggalkan keranjang mereka di pinggir belukar ilalang.
Baju yang mereka lilitkan di pinggang pun segera mereka
pakai, sementara keringat mereka masih saja mengalir. Tetapi
keduanya tidak membuang sabit mereka.
Orang Sendang Gabus dan Jati Anom tidak
menghiraukannya sama sekali. Tidak banyak orang yang
mengenal keduanya dan tidak banyak orang yang
menghiraukan mereka seperti juga orang-orang Sendang
Gabus dan Jati Anom tidak menghiraukan orang-orang asing
yang lewat di jalan-jalan padukuhan mereka. Orang-orang Jati
Anom menyangka bahwa mereka adalah penghuni
kademangan dan padukuhan tetangga yang sedang dalam
perjalanan, seperti yang sering terjadi. Berpuluh-puluh kali,
dan bahkan beratus-ratus kali. Setiap hari ada saja orang
yang tidak mereka kenal lewat di sepanjang jalan
kademangan. Dalam pada itu, matahari semakin lama menjadi makin
rendah, sedang di rumah Widura pun tampak menjadi
semakin sibuk. Beberapa orang tua-tua sudah menyiapkan
beberapa buah jodang yang besok akan dibawa serta
bersama pengantin laki-laki. Jodang-jodang yang berisi
pakaian buat pengantin wanita. Sanggan yang terdiri dari
buah-buahan, setangkep pisang dan kelengkapannya.
Di malam berikutnya, pintu rumah Widura sama sekali tidak
pernah tertutup meskipun hanya sekejap. Semalam suntuk,
hilir-mudik orang tua-tua yang mengatur persiapan
keberangkatan Untara besok, sementara di halaman rumah
itu, beberapa orang pembantu juga tampak hilir-mudik
menyiapkan bermacam-macam kebutuhan. Kenapa masih
disini. Cepat ke sana. Namun sebagian dari mereka adalah
petugas-petugas sandi yang mengawasi keamanan rumah
Widura, karena setiap saat dapat terjadi sesuatu yang tidak
terduga-duga. Selama kesibukan itu, Ki Lurah Branjangan dan beberapa
orang pengiringnya, masih saja dipersilahkan tinggal di
pendapa, agar mereka tidak terlibat dalam kesibukan,
sehingga mereka tidak sempat beristirahat. Namun sekalisekali
mereka datang juga ke pendapa dan duduk bercakapcakap
dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Namun
sampai demikian jauh, Kiai Gringsing masih belum
memberitahukan, apa yang pernah didengarnya dari orangorang
yang tidak mereka kenal itu.
Tetapi malam itu Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
memerlukan menemui Ki Ranadana. Semuanya harus diatur
sebaik-baiknya sehingga apabila tiba saatnya, prajurit-prajurit
Pajang tidak terjebak dalam kesulitan, dan terlebih-lebih lagi,
mereka jangan sampai terjerat kedalam suatu kesan, bahwa
orang-orang Mataram telah datang ke Jati Anom dan
mempergunakan saat-saat yang sibuk itu untuk menimbulkan
kekacauan. "Aku akan menyiapkan sekelompok prajurit pilihan," berkata
Ki Ranadana. Lalu, "Untuk sementara aku tidak akan
mengatakan keperluan yang sebenarnya. Di pagi besok
kelompok pilihan itu sekedar aku persiapkan untuk
pengamanan keberangkatan Ki Untara. Tetapi kelompok itu
juga yang akan aku pergunakan di malam hari besok untuk
menjebak orang-orang liar itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
ia masih juga bertanya, "Bagaimana dengan para perwira
yang masih tinggal di rumah itu, karena mereka tidak ikut serta
mengantar Anakmas Untara ke Pengging."
"Sampai gelap mereka akan tetap di rumah itu. Tetapi di
saat berikutnya mereka akan aku persilahkan pergi ke Banyu
Asri, untuk berjaga-jaga dan ikut berdoa agar pengantin yang
pergi ke Pengging selamat sampai ke tujuan dan perkawinan
dapat berlangsung dengan baik."
"Tanpa memberitahukan keadaan yang sebenarnya sama
sekali?" "Beberapa orang akan diberi tahu. Dan yang beberapa
orang itu akan terlibat langsung apabila orang-orang itu benarbenar
telah datang. Sedang yang lain, akan diatur oleh
seorang perwira yang cukup berpengalaman apabila
diperlukan. Demikian juga para prajurit yang ada di banjar.
Aku akan menempatkan tiga orang perwira di Banjar itu untuk
mendengar pertempuran yang dapat timbul apabila mereka
mengatasi kebingungan yang mungkin terjadi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ternyata Ki Ranadana adalah seorang perwira tua yang
berhati-hati. "Sampai Untara berangkat, tidak akan ada seorang, pun
selain kita yang mengetahui, apa yang bakal terjadi. Para
perwira pun tidak. Yang mereka ketahui, kelompok pilihan itu
sekedar untuk berjaga-jaga tanpa sasaran yang pasti," berkata
Ki Ranadana. "Baik sekali. Dengan demikian tidak akan timbul
kegelisahan justru menjelang keberangkatan pengantin ini."
Demikianlah rencana Ki Ranadana berlangsung seperti
yang dikehendakinya, sementara persiapan keberangkatan
Untara pun telah selesai.
Seperti yang telah ditentukan oleh orang tua-tua, maka di
hari berikutnya, berangkatlah Untara bersama pengiringnya ke
Pengging dengan pengawalan yang cukup kuat.
Beberapa orang perwira dari Jati Anom ikut bersamanya
sebagai pengiring. Sebagian lagi adalah kawan-kawannya dan
para perwira yang datang dari Pajang.
Namun ketika iring-iringan itu mulai bergerak, Untara masih
sempat berbisik kepada Widura dan Ki Ranadana yang berdiri
didekatnya, "Jagalah padukuhan ini baik-baik. Jangan sampai
terjadi sesuatu yang dapat memberikan kesan yang jelek
sekali, justru karena aku tidak ada. Bantuan Kiai Gringsing
dan murid-muridnya beserta Ki Sumangkar sangat kita
perlukan." Widura dan Ki Ranadana mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Percayakan saja kepadaku," berkata Ki Ranadana, "jangan
kau pikirkan Jati Anom. Aku dan Ki Widura akan
mengurusnya. Urusanmu adalah pengantin perempuan itu."
"Ah kau," desis Untara sambil tersenyum.
Ki Ranadana dan Ki Widura pun tersenyum pula. Tetapi
hati mereka cukup berdebar-debar. Sepeninggal Untara,
mereka masih harus menyiapkan diri menghadapi persoalan
yang gawat, yang barangkali mempunyai akibat yang sangat
jauh. Agung Sedayu dan Swandaru mengantar pengantin itu
sampai ke regol padukuhan. Kemudian dilepaskannya Untara
pergi di atas punggung kuda. Tetapi mereka tidak dapat
berpacu terlampau cepat. Meskipun beberapa buah pedatipedati
yang memuat jodang-jodang yang berisi bermacammacam
keperluan telah berangkat lebih dahulu menjelang
fajar, namun kuda-kuda mereka pasti akan segera
melampauinya. Tetapi segala sesuatunya telah diatur. Telah disediakan
sebuah rumah khusus buat peristirahatan pengantin laki-laki.
Sebelum pengantin laki-laki pergi ke rumah pengantin
perempuan dengan segala peralatannya, maka pengantin itu
akan tinggal di rumah yang sudah ditentukan sambil
menunggu kedatangan pedati-pedati yang membawa
beberapa buah jodang itu.
Dalam pada itu, sepeninggal Untara, maka Ki Ranadana
pun segera membicarakan tugasnya. Prajurit pilihan yang
dipersiapkan masih tetap di dalam kelompoknya. Karena
sebenarnya prajurit itu memang dipersiapkan untuk
pengamanan Jati Anom di malam yang mendatang.
Tetapi seperti yang telah mereka putuskan, Ki Ranadana
belum memberitahukan hal itu kepada para perwira yang lain.
Ia masih tetap menyimpan hal itu di dalam dirinya.
Sepeninggal pengantin laki-laki, maka rumah Widura
menjadi semakin sepi. Beberapa orang sanak kadangnya
telah minta diri pulang ke rumah masing-masing.
"Besok lusa aku akan kembali menjelang sepasaran
pengantin," berkata salah seorang dari mereka.
Sambil mengucapkan terima kasih Widura mempersilahkan
mereka dan mengantar sampai ke regol halaman. Apalagi di
dalam hati Widura memang mengharap agar mereka segera
meninggalkan rumahnya, agar ia mendapat kesempatan untuk
memikirkan kemungkinan yang bakal terjadi malam nanti.
Meskipun Widura tidak berkata berterus terang, tetapi ia
sudah membayangkan kepada Ki Lurah Branjangan bahwa
sesuatu memang mungkin terjadi, seperti yang
diperhitungkannya. "Mudah-mudahan perhitunganku salah," berkata Ki Lurah
Branjangan. "Aku hanya terlampau curiga, seperti juga Raden
Sutawijaya. Kami, orang-orang Mataram, merasa bahwa
suasana yang meliputi Mataram kini adalah suasana yang
lapuk sekali. Setiap saat dapat terjadi perubahan-perubahan.
Dan banyak sekali pihak yang memang menginginkan
Mataram tenggelam sebelum tumbuh."
"Ah, jangan berprasangka terlampau buruk. Meskipun
kemungkinan itu terjadi, tetapi kau jangan terlampau berkecil
hati. Sudah tentu, para prajurit Pajang akan berusaha untuk
melihat kebenaran sejauh dapat dijangkau. Mereka tidak akan
begitu saja melemparkan kesalahan kepada sesuatu pihak
tanpa bukti-bukti yang meyakinkan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Katanya, "Aku akan tetap di sini sampai hari-hari perkawinan
ini selesai. Aku harus melihat perkembangan suasana.
Alangkah baiknya jika tidak terjadi sesuatu. Tetapi jika ada
persoalan yang tumbuh selama ini dan menyangkut nama
Mataram, aku akan berusaha menyelesaikannya."
Demikianlah, maka Ki Ranadana dan Widura telah mulai
sibuk mengatur diri bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya
dan Ki Sumangkar. Mereka menentukan di mana prajurit
Pajang harus menunggu orang-orang yang akan menyergap
rumah Untara. Adalah tidak menimbulkan kesan apa pun ketika Agung
Sedayu, Swandaru, dan gurunya bersama Ki Sumangkar
memasuki rumah itu diiringi oleh Ki Ranadana, karena rumah
itu memang rumah Agung Sedayu. Bahkan tidak seorang pun
yang curiga ketika ia berjalan-jalan di kebun belakang.
Mengitari sebuah rumah kecil di bagian belakang, yang masih
juga dihuni keluarga yang menunggui rumah itu sejak rumah
itu ditinggalkan oleh Agung Sedayu dan Untara.
Dalam kesempatan itulah Ki Ranadana menentukan
tempat-tempat yang akan mendapat pengawasan dari prajuritprajurit
pilihan. Dan prajurit-prajurit itu baru akan mengetahui
persoalannya setelah senja. Demikian juga para perwira yang
akan dipindahkan ke rumah Widura selain mereka yang
bertugas. Sepeninggal para perwira itu. Kiai Gringsing,
Sumangkar, Ranadana, dan tiga orang perwira yang akan
dipilih sajalah yang akan tinggal di rumah itu, sedang para
perwira yang berada di rumah Widura akan ditempatkan di
bawah pengaruh Widura, meskipun ia bukan prajurit lagi.
"Di dalam saat yang gawat, mereka akan terlibat. Juga para
prajurit di banjar. Tetapi jika keadaan dapat di atasi, maka
kekisruhan akan dibatasi sekecil-kecilnya, sehingga rakyat Jati
Anom tidak akan menjadi bingung karenanya."
Demikianlah semua rencana sudah menjadi matang,
seperti juga beberapa orang yang berada agak jauh dari Jati
Anom. Mereka pun telah menyiapkan suatu rencana yang
matang pula. Dan orang-orang itulah yang dengan sengaja ingin
memancing kekeruhan. Mereka akan menyerang para perwira
di Jati Anom dengan diam-diam. Dan dengan tersamar
mereka ingin meninggalkan kesan seakan-akan mereka
adalah orang-orang Mataram yang dengan menyelubungi diri
membuat keributan di daerah yang berada dekat sekali
dengan batas yang sebenarnya tidak dapat ditentukan dengan
nyata. Dengan demikian, maka semakin jauh matahari menjelajahi
langit di sebelah Barat, maka ketegangan-ketegangan menjadi
semakin nampak. Baik di Jati Anom, maupun di sebuah hutan
kecil di sebelah jalan ke Sangkal Putung.
Sekelompok kecil orang-orang yang tidak dikenal
memasuki hutan itu dan hilang di antara rimbunnya
pepohonan. Mereka tidak datang bersamaan untuk
menghindari kecurigaan orang lain. Kadang-kadang mereka
hanya datang berdua, bertiga dan tidak lebih dari empat orang
setiap kelompok. Namun ternyata mereka berkumpul menjadi sekelompok
orang yang cukup banyak setelah mereka berada di dalam
hutan yang terlindung itu.
"Setelah gelap, kita akan mempersiapkan diri kita di Lemah
Cengkar," berkata salah seorang dari mereka. "Kita akan
melingkar dan memasuki Jati Anom dari Utara."
"Dari Utara?" bertanya salah seorang dari mereka. "Apakah
kita tidak dapat memasuki Jati Anom dari Timur?"
"Sendang Gabus?"
"Ya." Orang yang agaknya merupakan pemimpin mereka ini
menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak. Kita akan
datang dari Utara. Kemarin aku sudah memastikan setelah
aku melihat daerah Lemah Cengkar di sore hari. Daerah itu
memang agak sulit. Gerumbul-gerumbul berduri. Dan jika ada
yang masih percaya, di sana ada seekor harimau putih. Tetapi
kita tidak mempunyai kepetingan apa pun dengan harimau
putih itu, meskipun seandainya harimau itu adalah harimau
jadi-jadian." Kawan-kawannya hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Lewat gerumbul- gerumbul berduri itu kita mendekati Jati
Anom, dan kita akan menyusup di sela-sela para peronda dan
gardu-gardu yang sudah kita kenal letaknya. Kita akan
langsung memasuki halaman rumah Untara. Kita akan
membunuh para perwira yang ada di rumah itu, sambil
mengumpati mereka dan sekali-sekali menyebut nama
Mataram. Tetapi ingat, jangan semua orang dibunuh, agar ada
yang berceritera tentang kita, bahwa kita menyebut-nyebut
nama Sutawijaya dan Pemanahan sebagai orang terbaik.
Hanya itu, seolah-olah kita memang menyembunyikan
kenyataan bahwa kita orang-orang Mataram."
Kawan-kawannya menarik napas dalam-dalam. Pekerjaan
itu memang sulit. Mereka harus berpura-pura menjadi orang
Mataram yang sedang berpura-pura pula.
"Kita akan masuk lewat bagian belakang. Kita harus
menyergap dengan tiba-tiba. Sebagian para penjaga di depan
regol dan yang lain para perwira di dalam rumah itu. Sekali
lagi aku peringatkan, mereka jangan sampai mendapat
kesempatan untuk membunyikan tanda apa pun. Tetapi
mereka jangan ditumpas semuanya. Biarlah satu dua orang
yang telah terluka parah dapat hidup terus untuk
menceriterakan apa yang telah terjadi." Orang itu berhenti
sejenak, lalu, "Yang harus diperhatikan adalah, bahwa para
perwira Pajang bukannya anak-anak. Mereka adalah prajurit
yang mendapat tempaan yang cukup. Mereka memiliki
kemampuan keprajuritan yang tinggi, dan memiliki
kemampuan secara pribadi pula, sehingga jika mereka sempat
bangun, mereka akan memberikan perlawanan yan sangat
berat. Aku sendiri akan berada di antara mereka yang harus
membunuh beberapa orang perwira itu. Aku mendengar
laporan, bahwa sebagian besar dari mereka iku bersama
Untara. Aku kira di dalam rumah itu tidak akan ada lebih dari
lima orang perwira saja."
"Hanya lima?" bertanya seseorang.
"Ya. Yang lain pasti ada di banjar. Sebagian ada di rumah
Widura bersama beberapa orang petugas sandi, dan yang lain
ada di kademangan dan di gardu induk."
"Kita tidak dapat menumpas mereka sekaligus."
"Bodoh kau," bentak pemimpinnya, "kita memang tidak
ingin menumpas mereka. Kita hanya sekedar membuat orangorang
Pajang marah. Jika di antara para perwira itu, dua atau
tiga orang saja yang terbunuh bersama para prajurit pengawal
rumah itu, itu sudah cukup. Pajang akan menjadi marah, dan
kita mengharap, mereka akan mengambil tindakan terhadap
orang-orang Mataram. Apakah kau mengerti?"
"Aku mengerti. Tetapi alangkah baiknya jika keduanya
dapat dilaksanakan bersama-sama."
"Sebuah mimpi yang bagus sekali. Tetapi kemampuan kita
tidak akan mungkin."
Ternyata pemimpinnya masih memberikan beberapa pesan
kepada anak buahnya, agar usaha mereka itu tidak gagal.
Mereka mengharap, bahwa Pajang benar-benar segera
bertindak terhadap Mataram. Jika terjadi demikian, maka
selain dendam mereka terbalas karena kematian orang-orang
mereka yang terpenting di Alas Mentaok, maka Mataram akan
segera dikosongkan. Mereka akan mendapat kesempatan
dengan perlahan-lahan mengisi kekosongan itu. Lewat
beberapa orang perwira dan pemimpin pemerintahan yang
mereka kenal, maka mereka akan mendapat pengesahan atas
penggunaan tanah di Alas Mentaok itu.
Tetapi selagi mereka bersiap, Kiai Gringsing, kedua
muridnya, Sumangkar, dan Ki Ranadana pun telah
menyiapkan penyambutannya pula. Meskipun mereka tidak
tahu pasti, dari mana orang-orang itu akan memasuki halaman
rumah Agung Sedayu itu, namun mereka telah menyiapkan
sepasukan pilihan yang akan menyambut mereka, meskipun
sampai matahari menyentuh pucuk pepohonan di ujung Barat,
mereka masih belum mengetahui apa yang bakal terjadi.
Mereka hanya sekedar mendapat perintah untuk bersiaga.
Dalam pada itu Kiai Gringsing dan Sumangkar masih juga
mempertimbangkan beberapa lama, apakah Agung Sedayu
dan Swandaru lebih baik berada di Banyu Asri saja. Namun
akhirnya mereka mengambil keputusan bahwa biarlah
keduanya berada di rumah yang akan menjadi sasaran itu,
namun keduanya harus berhati-hati dan benar-benar
mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang
berat, karena Kiai Gringsing dan Sumangkar yakin, bahwa
orang-orang yang akan memasuki rumah itu pun adalah
orang-orang pilihan. Demikianlah, matahari pun semakin lama menjadi makin
rendah, sehingga akhirnya wajah langit pun menjadi kemerahmerahan
dan senja pun turun dengan perlahan-lahan.
"Kita harus segera bersiaga," berkata Kiai Gringsing
kepada Ki Ranadana. Perwira prajurit Mataram itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia sudah siap dengan pasukan pilihannya
hingga setelah hari menjadi benar-benar gelap, dipanggilnya
pasukannya itu. "Kau mendapat tugas khusus malam ini," berkata Ki
Ranadana kepada pemimpin prajurit pilihan itu.
Perintah itu sebenarnya tidak begitu mengherankan bagi
mereka. Adalah menjadi kewajiban seorang prajurit untuk
berjaga-jaga di dalam setiap kemungkinan.
"Malam ini adalah malam yang mendebarkan jantung,"
berkata Ki Ranadana kemudian, "karena itu, aku telah memilih
kalian. Karena kalian adalah sekelompok prajurit pilihan."
Pemimpin kelompok prajurit pilihan itu menganggukanggukkan
kepalanya. Ia menyangka, bahwa justru malam itu
Jati Anom akan menjadi sepi, sehingga penjagaan harus
diperkuat. "Nah," berkata Ki Ranadana, "kalian akan bertugas di
rumah ini. Pada saatnya aku akan memberikan perintah lebih
lanjut." Barulah pemimpin kelompok itu mengerutkan keningnya.
Tetapi ia masih belum bertanya apa pun selain bersiap untuk
menjalankan perintah. Para perwira pun tidak kalah heran, ketika mereka
dikumpulkan oleh Ki Ranadana dan mendapat perintah untuk
bermalam di rumah Widura semalam itu.
"Widura memerlukan kawan untuk berjaga-jaga
memanjatkan doa, agar Untara selamat sampai di perjalanan,
dan sejahtera untuk selanjutnya," berkata Ki Ranadana
kepada para perwira. Sejenak para perwira itu saling berpandangan. Namun
kemudian Ki Ranadana melanjutkan, "Aku persilahkan kalian
segera berangkat. Ki Widura tentu sudah menunggu. Bersama
kalian adalah kemanakan Ki Widura yang seorang, adik Ki
Untara, yang akan mengantarkan kalian, tetapi anak itu akan
segera kembali ke rumah ini, rumahnya."
Tidak banyak yang dapat mereka tanyakan. Para perwira
itu pun kemudian berkemas dan pergi meninggalkan rumah
Agung Sedayu menuju ke rumah Widura. Namun demikian, Ki
Ranadana masih berpesan kepada Agung Sedayu, agar
Widura benar-benar mengawasi para perwira itu agar mereka
tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan. Meskipun
Widura sudah bukan prajurit, namun pengaruhnya masih
terasa pada para perwira yang masih muda-muda itu.
Tetapi tidak semua perwira harus bermalam di rumah
Widura, Ki Ranadana masih menahan tiga orang perwira yang
sudah setengah umur bersamanya, tanpa memberikan
penjelasan mengenai persoalan yang sebenarnya.
"Aku akan menjadi kesepian jika kalian semuanya berada
di Banyu Asri," berkata Ki Ranadana. "Biarlah yang tua-tua
berada di sini menunggui rumah ini, dan yang muda-muda
mendapat kesempatan untuk berkelakar dengan gadis-gadis
Jati Anom." Meskipun demikian, perwira-perwira muda itu bertanyatanya
juga di dalam hati, apakah sebenarnya yang telah
mendorong Ki Ranadana mengirim mereka ke rumah Widura.
Memang tidak ada kesan apa pun di rumah Widura.
Mereka disambut dengan ramah dan gembira. Seakan-akan
memang Widura mengharap kedatangan mereka untuk
berjaga-jaga dan beramah-tamah.
Namun demikian, para penjaga yang biasanya bertugas di
rumah Untara pun telah dipindahkan pula ke rumah itu
bersama para perwira, sedang yang bertugas di halaman
rumah Untara telah digantikan oleh para prajurit pilihan.
Meskipun demikian, untuk menjaga setiap kemungkinan
dan barangkali perubahan sasaran, terlebih-lebih lagi apabila
ada pengkhianatan, sehingga orang-orang itu merubah
sasaran ke Banyu Asri, dan menyerang rumah Widura,
Ranadana pun masih tetap menempatkan beberapa orang
petugas sandi di sekitar rumah Widura itu.
Baru setelah Agung Sedayu kembali lagi, dan malam
menjadi semakin larut, Ki Ranadana memanggil setiap orang
yang masih ada di halaman rumah Untara, termasuk
pemimpin kelompok prajurit pilihan itu.
"Malam menjadi semakin jauh," katanya, "sebentar lagi kita
akan menghadapi tugas yang berat dan menegangkan. Kita
tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Mungkin sebentar lagi,
selagi kita masih berbicara ini, tetapi mungkin pula menjelang
fajar." Para perwira dan pemimpin kelompok prajurit pilihan itu
menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan dan dengan sejelas-jelasnya Ki Ranadana
menguraikan apa yang mungkin akan terjadi malam itu. Hasil
pengamatan Kiai Gringsing dan Sumangkar, serta kehadiran
Ki Lurah Branjangan. Hubungan persoalan yang tidak terlepas
yang satu dengan yang lain, serta yang paling akhir adalah
keadaan halaman rumah itu sendiri.
"Penjagaan itu harus diletakkan di tempat yang sudah aku
tentukan. Sebentar lagi kita akan pergi ke halaman, ke kebun
belakang dan tempat-tempat di sekitar rumah ini yang pantas
mendapat pengawasan," berkata Ki Ranadana kemudian.
"Aku sengaja tidak memberitahukan kepada siapa pun juga
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selain kalian." Mereka yang mendengarkan penjelasan Ki Ranadana itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Terbayang
sekelompok orang-orang yang tentu juga pilihan sedang
merayap mendekati halaman rumah itu. Namun demikian
salah seorang dari ketiga perwira itu bertanya, "Apakah para
peronda di gardu-gardu sudah diberitahukan, setidak-tidaknya
untuk bersiaga?" "Aku tidak memberitahukan tepat apa yang terjadi. Aku
hanya memerintahkan mereka untuk bersiap lebih mantap jika
sesuatu terjadi." Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, "Mungkin kita
tidak dapat menyelesaikan mereka di halaman ini, sehingga
ada di antara mereka yang berhasil lolos. Jika demikian, kita
memerlukan peronda-peronda itu."
"Ya. Bukan saja peronda-peronda itu, tetapi juga prajurit di
banjar dan para perwira di rumah Widura."
"Kenapa mereka tidak diberitahukan saja?"
"Bukan karena kita tidak percaya. Tetapi aku ingin
membatasi persoalan ini sesempit mungkin. Jika kita berhasil,
maka kita akan menangkap mereka di halaman ini tanpa
menimbulkan ketegangan dan keributan. Kita masih harus
ingat, bahwa lima hari lagi, Jati Anom akan ngunduh
pengantin. Supaya kita bersama dapat menyambut pengantin
itu dengan tenang, maka kita akan mencoba membatasi
persoalan ini sejauh mungkin, selain perhitungan kita atas
keamanan persiapan ini sendiri. Semakin banyak orang yang
mengetahui bahwa kita sudah bersiap, maka bahaya tentang
hal itu semakin besar bagi kita, karena mereka tentu memiliki
telinga di sekitar kita."
Para perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang, marilah kita mengatur diri. Mungkin orangorang
itu sekarang sudah ada di balik dinding kebun
belakang." Demikianlah mereka segera pergi ke kebun belakang. Ki
Ranadana menunjukkan kepada pemimpin kelompok prajurit
pilihan itu untuk menempatkan orang-orangnya di tempat
terlindung. Bukan saja di bagian belakang, tetapi juga di
samping dan di depan rumah. Sedang mereka yang ada di
gardu, dipersiapkan seperti penjagaan yang biasa dilakukan
setiap hari." "Ingat," berkata Ki Ranadana, "mereka adalah orang-orang
pilihan. Biarkan mereka semuanya masuk. Yang akan mereka
lakukan adalah menyergap para penjaga di depan dan
sebagian yang lebih matang akan memasuki rumah ini.
Biarlah kami yang berada di dalam rumah itu."
Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, lakukan tugasmu sebaik-baiknya," berkata Ki
Ranadana, lalu katanya kepada para perwira, "Kalian masingmasing
akan mendapat tugas di antara prajurit. Satu di
belakang, satu di sisi kanan dan yang satu di sisi kiri. Ternyata
menurut pertimbanganku, tenaga kalian akan sangat
diperlukan. Jika aku yang ada di dalam memerlukan, aku akan
memberikan isyarat. Pemimpin kelompok itu sendiri akan
berada di gardu sebagai salah satu sasaran utama sergapan
para penyerang itu."
Pemimpin kelompok prajurit pilihan dan para perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan demikian, maka
yang akan ada di dalam rumah itu hanyalah Ki Ranadana
dengan beberapa orang yang sama sekali bukan prajurit,
meskipun ada di antara mereka adalah Agung Sedayu, adik
Senapati Besar yang menguasai daerah Selatan ini.
Sejenak kemudian, maka pemimpin kelompok itu pun telah
memberikan penjelasan kepada prajurit-prajuritnya. Dengan
cepat ia membagi kelompoknya menjadi empat kelompok
yang lebih kecil yang masing-masing akan dipimpin langsung
oleh seorang perwira, sedang pemimpin kelompok itu sendiri
akan berada di gardu depan, seperti penjagaan yang biasa
dilakukan setiap hari atas rumah Untara yang dipakai sebagai
tempat tinggal para perwira itu.
Tetapi pemimpin kelompok itu tidak mau lengah. Sergapan
itu dapat datang setiap saat dari arah yang tidak terdugaduga.
Tidak dapat dipastikan bahwa para penyerang itu akan
masuk lewat kebun belakang. Mungkin mereka justru masuk
lewat gerbang depan dan langsung menyerang para penjaga
di gardu itu. Karena itu, maka selain mereka yang ada di gardu,
pemimpin kelompok itu telah menempatkan beberapa orang di
tempat yang terlindung, bahkan tiga orang terpencar di luar
halaman, di seberang jalan. Mereka duduk di atas sebatang
dahan yang tidak terlalu tinggi, tetapi cukup terlindung oleh
segerumbul dedaunan di dalam gelapnya malam.
Ketiga orang yang terpencar itu harus mengawasi jalan dan
halaman rumah di seberang jalan. Mungkin para penyerang itu
akan datang lewat halaman itu. Jika tidak, maka mereka akan
dapat menjadi tenaga cadangan apabila dengan tiba-tiba saja
para penyerang itu menyergap gardu.
Selain tiga orang itu, maka ditempatkannya juga dua orang
setiap sudut depan, sehingga ada empat orang yang tidak
berada di gardu selain tiga orang yang berada di seberang
jalan. Demikianlah, mereka memasuki malam yang semakin
dalam dengan dada yang tegang. Setiap kejap rasa-rasanya
terlampau lama berjalan. Dan karena itu, malam menjadi
sangat panjang. Di dalam rumah itu, Ki Ranadana masih duduk sejenak
bersama Kiai Gringsing, kedua muridnya dan Ki Sumangkar.
Mereka masih berbincang tentang beberapa hal, sebelum
mereka membagi ruangan, di mana mereka akan tidur.
"Aku akan berada di bilik sebelah bersama Ki Sumangkar,"
berkata Ki Ranadana, "sedang Kiai Gringsing bersama kedua
muridnya akan mempergunakan bilik yang satu."
Tiba-tiba saja Agung Sedayu menyahut, "Di dalam bilik itu
pula aku tidur ketika aku masih kanak-kanak."
Kiai Gringsing tersenyum. Demikian pula Ki Ranadana dan
Ki Sumangkar. Sedang Swandaru menyahut, "Bukankah kau
sekarang masih juga kanak-kanak."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. Dipandanginya saja Swandaru yang masih tertawa
kecil. "Kau akan diprimpeni nanti malam," berkata Sedayu
kemudian. "Hati-hatilah di rumah ini."
Swandaru masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah mereka memasuki bilik masing-masing. Kiai
Gringsing dan kedua muridnya berada di satu bilik, sedang Ki
Ranadana dan Ki Sumangkar di bilik yang lain.
"Kita harus seakan-akan tertidur nyenyak jika mereka
datang," berkata Ki Ranadana.
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku
benar-benar mengantuk. Beberapa malam terakhir aku kurang
sekali tidur." "Tetapi orang seperti Ki Sumangkar ini dapat tidak tidur
terus menerus lima hari lima malam."
"Jika memang harus demikian. Tetapi kekuatan seseorang
ada juga batasnya. Aku pernah tidur sambil berjalan selagi
aku masih mengikuti pasukan Tohpati. Tetapi aku dapat
bangun dan berbuat sesuatu setiap saat."
"Itulah kelebihanmu," Ki Ranadana tersenyum. "Jika
demikian silahkan tidur. Ki Sumangkar akan terbangun setiap
saat dan akan segera dapat berbuat sesuatu."
Sumangkar hanya tersenyum saja. Tetapi ia benar-benar
ingin tidur sebelum orang-orang yang ditunggunya itu datang.
Menurut perhitungan Sumangkar, mereka baru akan datang di
sekitar tengah malam. Namun seandainya lebih awal, Ki
Ranadana pasti akan membangunkannya.
Di bilik yang lain, Kiai Gringsing memang menyuruh kedua
muridnya untuk tidur. Mereka pun kurang tidur beberapa
malam terakhir. Mereka tidak dapat tidur nyenyak di rumah
Widura yang sedang sibuk, tetapi juga selagi mereka
mengikuti orang-orang yang akan menyerang Jati Anom itu.
"Aku akan membangunkan kalian jika terjadi sesuatu,"
berkata gurunya Dalam pada itu, di Pengging, sambutan atas kedatangan
Untara ternyata dilakukan dengan megah dan meriah.
Beberapa orang sanak kadang pengantin perempuan telah
siap menunggunya di rumah yang sudah ditentukan. Tidak
jauh dari rumah pengantin perempuan. Hanya karena
keadaan yang mendesak oleh kegawatan dan ketegangan
yang timbul di daerah sekitar Alas Tambak Baya dan Mentaok
sajalah, yang membuat pihak Untara tidak mematuhi
kebiasaan. Ia tidak tinggal selama empat puluh hari empat
puluh malam di rumah bakal mertuanya untuk ngenger. Tetapi
ia datang sehari sebelum upacara perkawinan itu
berlangsung. Di malam hari menjelang hari perkawinan, Untara duduk
dikelilingi oleh sanak keluarga pengantin perempuan. Dan
karena ayah pengantin perempuan adalah seorang Perwira
Pajang pula, maka baik yang mengantar maupun yang
menyambut, selain keluarga mereka, adalah perwira-perwira
prajurit Pajang. Demikianlah mereka berbicara seakan-akan tanpa ujung
dan pangkal. Perwira yang masih muda dengan riuhnya
menggoda Untara yang besok akan mengenakan pakaian
kebesaran seorang pengantin laki-laki.
Dengan tersipu-sipu Untara menanggapi kelakar
kawannya. Meskipun kadang-kadang angan-angannya
terbang kembali ke Jati Anom, namun tampaknya ia selalu
tersenyum dan tertawa. Tetapi kadang-kadang saja ia termenung jika tiba-tiba ia
seolah-olah sadar, bahwa malam itulah Jati Anom akan
mengalami serangan yang sangat berbahaya. Bukan dari segi
pengamanan daerah karena kekuatan penyerang itu tidak
cukup besar, tetapi justru dari segi lain. Dari segi hubungan
antara Pajang dan Mataram.
"Jika ada seorang saja perwira yang terbunuh, maka hal itu
sudah cukup alasan membakar setiap hati prajurit di seluruh
Pajang untuk menyerang Mataram," berkata Untara di dalam
hatinya. Tetapi setiap kali ia seolah-olah terperanjat ketika tiba-tiba
saja seorang perwira muda mengganggunya dengan
kelakarnya yang segar. Tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lama. Orang tua-tua
segera memperingatkan, bahwa Untara pasti masih sangat
lelah. Karena itu, pertemuan itu tidak dilanjutkan. Meskipun
masih juga agak kecewa, kawan-kawan Untara pun segera
meninggalkan rumah yang disiapkan bagi Untara. Bagi kawankawannya
yang mengiringkannya dari Jati Anom pun telah
disediakan pula tempat untuk beristirahat.
Namun demikian masih juga ada satu dua orang perwira
yang mengawani Untara duduk sambil menghirup minuman
hangat. Bahkan bakal mertuanya pun memerlukan datang
menyambutnya dan berbicara beberapa lamanya.
Meskipun demikian, kegelisahan Untara rasa-rasanya
semakin dalam menghunjam di jantungnya sejalan dengan
malam yang semakin kelam, sehingga akhirnya ia tidak dapat
menahannya lagi, betapapun ia berusaha.
Apalagi di ruangan itu sudah tidak ada orang lain kecuali
bakal mertuanya dan beberapa orang perwira Pajang yang
terpercaya. "Sebenarnya aku sangat gelisah malam ini," berkata
Untara, "hampir saja aku menunda keberangkatanku."
"Ah," bakal mertuanya berdesis. "Seisi padukuhan ini akan
kecewa. Keluargaku akan kecewa dan kawan-kawan kita para
prajurit pun akan kecewa."
"Tetapi aku mempunyai alasan yang kuat. Justru sebagai
seorang senapati." "Kenapa?" bakal mertuanya mengerutkan keningnya.
Untara ragu-ragu sejenak. Namun menurut
pertimbangannya, tidak akan terjadi sesuatu jika orang-orang
yang ada di sekitarnya itu mengetahui apa yang akan terjadi di
Jati Anom, karena jarak antara Jati Anom dan Pengging tidak
terlalu dekat. Apalagi yang tinggal duduk bersama hanya beberapa orang
yang paling dekat dengan mertuanya saja. Sehingga dengan
demikian, menurut pertimbangan Untara, sama sekali tidak
akan menimbulkan gangguan apa pun bagi para perwira di
Jati Anom. Bahkan dengan demikian ia akan dapat
memberikan gambaran kepada mertuanya yang seolah-olah
dengan mutlak menolak kehadiran Mataram.
Meskipun masih juga ragu-ragu, namun Untara akhirnya
berkata, "Di Jati Anom, ada beberapa orang yang berusaha
meneguk di dalam kekeruhan yang terjadi sekarang ini."
"Kekeruhan yang manakah yang kau maksud" Apakah
sebelum kau berangkat ada sanak kadangmu yang mencoba
mencatatkan atau merubah rencana hari-hari perkawinan ini?"
"Tidak, sama sekali tidak," berkata Untara. "Kekeruhan itu
bukan di dalam rencana keberangkatanku. Tetapi justru
karena rencana itu berjalan lancar."
"Aku kurang mengerti."
"Justru aku berangkat ke Pengging inilah, maka ada
sekelompok orang-orang yang akan mempergunakan
kesempatan. Mengganggu ketenangan Jati Anom."
"Gila," desis Rangga Parasta, "tentu orang Mataram."
"Bukan. Tetapi mereka memang ingin meninggalkan kesan
seolah-olah mereka adalah orang-orang Mataram. Dengan
demikian maka hubungan antara Mataram dan Pajang akan
menjadi kian memburuk bahkan lebih dari itu, mereka
mengharapkan benturan langsung antara Mataram dan
Pajang." "Omong kosong," tiba-tiba Rangga Parasta memotong,
"mereka pasti benar-benar orang Mataram. Aku tidak tahu,
kenapa Sultan Adiwijaya masih terlampau sabar menghadapi
anak angkatnya yang begitu bengal. Sekarang ia
mempergunakan kesempatan kepergianmu itu untuk
mengacaukan keadaan." Rangga Parasta berhenti sejenak,
dan Untara sengaja membiarkan berbicara. Ia mengerti bahwa
jika pembicaraan itu diputus di tengah, ia akan menjadi
semakin bersitegang. Dan Rangga Parasta itu meneruskan,
"Jika kau sudah mengetahui akan hal itu, apakah yang kau
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lakukan?" Untara menarik napas dalam-dalam. Lalu katanya, "Yang
perlu aku ulangi adalah, mereka bukan orang Mataram."
"Tidak. Tentu orang Mataram."
Akhirnya Untara menjadi jengkel juga. Meskipun Rangga
Parasta adalah bakal mertuanya, tetapi Untara adalah
senapati besar di daerah Selatan sehingga karena itu maka
katanya, "Aku tahu pasti, bahwa mereka bukan orang-orang
Mataram. Aku akan membuktikannya sebagai seorang
senapati yang mendapat kepercayaan langsung dari Sultan
Pajang. Dan aku akan menemukan jawab siapakah mereka
sebenarnya." Rangga Parasta mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja
ia menyadari bahwa bakal menantunya itu adalah seorang
senapati, sehingga ia tidak akan dapat berkata lebih pasti
daripadanya meskipun hatinya meyakininya.
Namun demikian, ia masih juga bertanya, "Apakah yang
sudah kau lakukan sebelum kau berangkat?"
"Menyiapkan jebakan. Malam ini semuanya itu akan terjadi,
dan malam ini para perwira yang aku percaya di Jati Anom
akan dapat menarik kesimpulan, siapakah mereka
sebenarnya." Rangga Parasta tidak membantah lagi. Tetapi di dalam hati
ia berkata, "Jika Untara berhasil menangkap satu atau dua
orang di antara mereka dalam keadaan hidup, maka barulah
akan terbuka matanya, bahwa Mataram memang harus
dihadapi dengan kekerasan. Tidak dengan senyum manis
seorang ayah yang terlalu baik hati terhadap seorang anak
yang berkhianat." Namun Rangga Parasta tidak berkata apa pun lagi.
Dalam pada itu, selagi Untara berbicara dengan Rangga
Parasta, seorang perwira yang duduk di antara mereka tibatiba
saja menjadi sangat gelisah. Tetapi ia tetap berusaha
untuk menghapuskan kesan dari wajahnya. Bahkan ia masih
tetap duduk untuk sesaat, sampai saatnya ia berkata, "Aku
akan ke belakang sebentar, Kakang Rangga."
"Kenapa?" "Ke pakiwan." "O, silahkan." Perwira itu dengan tergesa-gesa meninggalkan lingkaran
pembicaraan itu. Apalagi ketika ia sudah turun ke halaman,
langsung ia menghilang di dalam kegelapan.
Dengan hati yang gelisah, ia berlari-lari kecil mencari
seseorang yang berada tidak begitu jauh dari rumah Rangga
Parasta. "Gila," ia berkata dengan suara gemetar ketika ia berhasil
menemukan kawannya, "orang-orang Jati Anom telah
mencium rencana itu."
"He" Darimana kau tahu?"
"Sebelum berangkat, Untara telah menyusun jebakan."
"Omong kosong. Rahasia itu disimpan cukup rapat."
"Tetapi aku mendengar dari mulut Untara sendiri. Kau
jangan merendahkan Untara. Ia mempunyai kemampuan yang
tidak terduga-duga. Petugas sandinya adalah petugaspetugas
sandi yang terbaik di seluruh Pajang."
"Jadi?" "Batalkan." "Bagaimana mungkin aku harus membatalkan."
"Pergi ke Jati Anom."
"Aku tidak akan dapat mencapai mereka. Mungkin mereka
sekarang sudah mulai bergerak."
"Berusaha. Berusahalah. Pergi ke Jati Anom dengan
seekor kuda yang dapat berlari paling cepat. Ajak seorang
kawan, dan segera kembali."
"Pengging ke Jati Anom bukan jarak yang dekat sekali."
"Pergi. Berusahalah membatalkan rencana itu. Atau, jika
mungkin, hilangkan jejak mereka."
Orang yang diajak berbicara oleh perwira itu masih terdiri
termangu-mangu. Adalah tidak mungkin lagi untuk berusaha
apa pun juga. Apalagi berusaha membatalkan rencana itu,
karena orang-orang yang mendapat tugas untuk melakukan
pembunuhan terhadap para perwira yang masih ada di jati
Anom itu pasti sudah bergerak.
Namun selagi orang itu masih kebingungan perwira itu
membentaknya, "Berangkat sekarang. Apa pun yang dapat
kau lakukan. Cepat."
Orang itu tidak mau berpikir lagi. Meskipun ia sadar, bahwa
tidak banyak yang dapat dilakukan, maka ia pun segera
berlari-lari pergi ke rumah seorang kawannya.
Berkuda keduanya berpacu ke Jati Anom. Mereka
mengharap bahwa kawan-kawannya di Jati Anom terlambat
bergerak sehingga ia masih sempat menggagalkan mereka,
karena ternyata Untara telah memasang sebuah jebakan bagi
mereka. Karena itu, maka mereka pun telah memacu kuda
mereka secepat-cepat dapat dilakukan, dan kuda-kuda itu pun
berlari seperti dikejar hantu.
Malam yang gelap menjadi semakin gelap. Di langit
bintang-bintang bertaburan dari ujung sampai keujung. Angin
malam yang dingin bertiup dari Selatan menyapu hutan-hutan
kecil yang bertebaran. Namun kedua orang yang berkuda itu ternyata telah basah
oleh keringat yang mengembun dari wajah-wajah kulitnya.
Bukan saja karena mereka harus berpacu dengan waktu,
tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam hati.
"Apakah masih ada harapan untuk melakukannya?"
bertanya salah seorang dari mereka.
"Kita berusaha. Apa pun yang akan terjadi atas kuda-kuda
kita. Mungkin kuda-kuda ini akan kehabisan napas."
"Tetapi sia-sia. Mereka pasti sudah mulai bergerak."
Kawannya tidak menyahut. Satu-satunya harapan adalah
jika ada perubahan rencana, sehingga gerakan mereka
mundur sampai jauh lewat tengah malam. Jika tidak, maka
perjalanan yang melelahkan itu akan sia-sia.
Dalam pada itu di Jati Anom, sekelompok orang-orang
yang tidak dikenal justru telah mulai bergerak. Mereka telah
berada di Lemah Cengkar dan berjalan beriringan. Mereka
akan memasuki Jati Anom dari Utara.
Namun tiba-tiba saja dua orang yang mendapat tugas
mengawasi jalan yang akan mereka lalui, memberikan isyarat
kepada kawan-kawannya untuk berhenti dan bersembunyi.
Dengan memperdengarkan suara burung bence, keduanya
memberikan petunjuk kepada kawan-kawannya bahwa ada
bahaya di depan mereka. Ternyata kedua orang itu melihat sekelompok kecil peronda
prajurit berkuda Pajang lewat.
"Gila," desis pemimpin kelompok para penyerang itu,
"kenapa mereka meronda malam ini" Biasanya mereka tidak
meronda sampai ke daerah ini."
"Justru karena Untara tidak ada. Kiranya Untara telah
berpesan kepada pasukan yang ditinggalkan agar mereka
menjadi semakin berhati-hati dan meningkatkan perondaan di
seluruh Jati Anom. Kemarin ada juga beberapa peronda
berkuda yang sampai ke sebelan hutan di sisi jalan ke
Selatan." "Apakah Untara sudah mencium gerakan kita?"
"Sore tadi dua orang petugas sandi kita lewat daerah Jati
Anom. Tidak ada tanda-tanda pemusatan pasukan yang
berarti. Mereka memang meningkatkan penjagaan, tetapi tidak
lebih dari sikap hati-hati justru karena Untara tidak ada. Jika
mereka telah mencium rencana kita, maka di rumah Untara itu
pasti sudah dipasang pasukan yang kuat dan mungkin di luar
padukuhan. Tetapi prajurit Pajang masih saja berkeliaran di
muka banjar, dan beberapa orang perwira masih berada di
rumah Untara itu." Pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Barangkali sekarang Untara sedang
menikmati makan bersama keluarga pengantin perempuan itu.
Di sini beberapa orang kawannya akan mati dibantai orang.
Kita harus berhasil. Beberapa orang kita yang berada
lingkungan keprajuritan malam ini akan selalu mendampingi
Untara, setidak-tidaknya akan mengawasinya di Pengging.
Jika ada perubahan rencana yang mencurigakan, mereka
akan mengirimkan beberapa orang untuk memberitahukan
kepada kita di sini."
"Tidak ada seorang pun yang datang. Tentu rencana
perkawinan itu berlangsung seperti yang telah disusun.
Memang tidak mudah untuk merubah rencana perkawinan apa
pun yang terjadi. Apalagi pengaruh orang-orang kita atas
Rangga Parasta akan menentukan."
"Ya. Kita tidak boleh mengulangi kegagalan yang pernah
terjadi di Alas Mentaok."
"Tentu tidak. Meskipun kita berada di lingkungan prajurit
Pajang, tetapi sebenarnya tugas kita tidak lebih berat dari
tugas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak."
Pemimpin kelompok penyerang itu mengangguk-angguk.
Kemudian dipandanginya seorang yang hampir tidak pernah
berbicara apa pun. Wajahnya yang tegang dan kasar,
melontarkan kesan yang khusus pada orang itu.
"Jangan seorang pun yang salah langkah. Ingat, setidaknya
kau harus berhasil membunuh seorang perwira."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku tidak sebodoh Kiai Telapak Jalak dan Kiai Damar."
"Tentu tidak sia-sia Ki Lurah mengirimkan kau kemari."
Orang itu tidak menyahut.
"Tetapi jangan meremehkan para perwira itu."
"Aku dapat membunuh empat orang sekaligus. Jika kalian
dapat membendung bantuan prajurit-prajurit Pajang yang
bertugas menjaga rumah itu, maka para perwira itu akan aku
bunuh. Aku hanya memerlukan lima enam orang untuk
mengikat mereka dalam perkelahian sebelum aku sempat
membunuh mereka seorang demi seorang."
Pemimpin kelompok penyerang itu mengerutkan
keningnya. Dipandanginya orang berwajah kasar itu. Namun
kemudian katanya, "Itulah kelemahanmu. Kau menganggap
dirimu dapat membunuh empat orang perwira sekaligus
apabila kau mendapat kesempatan. Kau hanya memerlukan
orang lain menahan mereka agar tidak lari, supaya kau dapat
membunuhnya." "Kenapa?" orang itu bertanya.
"Membunuh empat orang perwira sekaligus, meskipun
seorang demi seorang, bukan pekerjaan yang mudah.
Seorang perwira Pajang memiliki nilainya tersendiri."
Orang itu tidak segera menjawab.
"Dan aku memang tidak hanya menyiapkan kau sendiri
untuk menghadapi perwira-perwira itu. Sudah aku katakan,
setidak-tidaknya kau harus membunuh seorang. Aku akan
membunuh seorang di antara mereka. Tetapi kalau kau ingin
menghadapi lebih dari seorang perwira, maka kaulah yang
akan terbunuh." Orang berwajah kasar itu tidak menjawab. Tetapi di dalam
hati ia berkata, "Orang-orang ini belum mengenal siapa aku.
Perwira Pajang bukan orang-orang ajaib. Dan aku akan
membunuh mereka." Sesaat kemudian, dua orang yang berjalan mendahului
mereka pun segera memberikan isyarat, bahwa orang-orang
berkuda itu sudah menjauh. Dengan bunyi yang sama tetapi
dalam irama yang lain, pemimpin kelompok itu segera
mengetahui, bahwa mereka dapat meneruskan perjalanan.
Dengan melewati semak-semak belukar dan kadangkadang
semak-semak berduri mereka merayap mendekati Jati
Anom justru dan arah Utara. Menurut rencana, mereka akan
memasuki padukuhan itu seorang demi seorang, agar para
peronda tidak dengan mudah melihat kehadiran mereka.
Seperti yang sudah mereka rencanakan, mereka akan
berkumpul di kebun di belakang rumah Untara. Selanjutnya
mereka akan memanjat dinding batu yang tidak begitu tinggi
dan memasuki rumah yang dipergunakan oleh para perwiraperwira
itu. "Kami tidak dapat mengetahui dengan pasti, ada berapa
orang yang masih tinggal di rumah itu," desis pemimpin
gerombolan penyerang itu.
"Lima atau enam menurut dugaan terakhir," berkata salah
seorang dari pembantunya.
"Tidak. Tentu kurang dari itu. Tentu di antara mereka ada
yang bertugas menangani para peronda di malam itu, yang
lain bertugas mengawasi para prajurit di banjar dan yang lain
tentu ada yang mengawani Widura," sahut yang lain.
"Tetapi jangan menilai mereka menurut ukuran yang
rendah. Kita anggap saja ada enam orang di dalam rumal itu.
Selain aku dan kepercayaan Ki Lurah itu, kalian yang bertugas
di dalam rumah harus benar-benar mempersiapkan diri.
Meskipun kalian tidak berhasil membunuh, namun kalian
harus berhasil memberi kesempatan kepada kami untuk
membunuh. Kami mengharap semuanya dapat terbunuh,
selain yang sengaja kita hidupi agar ia dapat bercerita tentang
orang-orang Mataram yang menyerang mereka dengan tibatiba,"
berkata pemimpin gerombolan itu.
Mereka terdiam ketika mereka menjadi semakin dekat
dengan padukuhan Jati Anom. Namun sekali, lagi mereka
mendengar isyarat agar mereka berhenti sejenak.
Pemimpin gerombolan itu tidak begitu sabar menunggu.
Karena itu maka ia pun merayap maju mendekati kedua orang
yang ditugaskannya untuk mendahului perjalanan mereka.
"Kenapa?" bertanya pemimpin rombongan itu.
"Api itu," desis salah seorang dari petugas yang
mendahului gerombolannya.
Pemimpin gerombolan itu mengerutkan keningnya.
Kemudian mengumpat, "Kenapa para peronda itu menyalakan
api besar-besar." Kedua petugasnya tidak menjawab.
"Mendekatlah. Lihat apa yang mereka lakukan. Dan kenapa
mereka bercakap-cakap begitu keras dan riuhnya?"
Kedua petugas itu pun kemudian merayap dengan hati-hati
mendekati sebuah gardu peronda. Dari jarak yang tidak terlalu
jauh keduanya melihat para prajurit Pajang yang meronda
bersama beberapa orang anak muda sedang berkelakar
dengan ramainya. Agaknya mereka mendapat kiriman
makanan dari rumah Widura, sehingga mereka menjadi
sangat ribut. Apalagi ada di antara mereka yang dengan diamdiam
membawa sebumbung tuak.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"He," pemimpin peronda itu membentak, "kau membawa
tuak?" "Hanya sedikit. Malam terlalu dingin. Marilah, minumlah
lebih dahulu." "Tidak. Aku tidak mau."
"Malam ini adalah malam yang sangat menyenangkan. Ki
Untara menjelang hari-hari yang bahagia di Pengging. Dan
kita ikut merayakannya di sini."
Ternyata para prajurit dan anak-anak muda itu seakanakan
mendapat kesempatan untuk melupakan ketegangan
sehari-hari. Mereka bersuka-ria dan satu dua di antara mereka
meneguk tuak dari bumbung itu.
"Bukankah kita sudah mendapat peringatan, agar kita
berwaspada?" berkata pemimpin peronda itu.
"Kami tidak apa-apa. Kami akan dapat menjalankan tugas
kami dengan baik. Bukankah api itu memberikan penerangan
di sekitar gardu ini, sehingga kita akan dapat melihat apabila
ada orang yang mendekat."
Pemimpin peronda itu tidak menyahut lagi. Tetapi ia tetap
sadar bahwa ia harus berhati-hati.
Ketika pemimpin gerombolan penyerang mendengar
laporan itu, ia pun mengumpat-umpat. Dengan demikian
berarti rencananya harus tertunda, atau mereka mencari jalan
lain untuk memasuki padukuhan itu, justru karena api yang
menyala itu. Tetapi hampir di setiap lorong terdapat gardugardu
peronda semacam itu. "Kita menunggu sejenak sampai api itu redup. Kita akan
tetap memasuki Jati Anom menurut rencana. Seorang demi
seorang akan meloncati dinding batu yang rendah itu," berkata
pemimpin gerombolan itu. Beberapa orang di antara mereka justru menjadi gelisah.
Mereka ingin segera memasuki Jati Anom dan menjajagi
kemampuan prajurit Pajang dan perwira-perwiranya.
Dalam pada itu, dua ekor kuda sedang berpacu seperti
angin. Mereka berusaha untuk secepat-cepatnya mencapai
Jati Anom. Tetapi jarak yang mereka tempuh masih jauh.
Apalagi malam gelapnya bukan kepalang. Sehingga karena
itu, kadang-kadang kuda-kuda itu pun terpaksa memperlambat
langkah kakinya jika jalan yang dilaluinya menjadi sulit.
"Mudah-mudahan mereka tertunda oleh sesuatu hal,"
bergumam salah seorang dari keduanya.
"Hanya apabila terjadi sebuah keajaiban," sahut yang lain.
Keduanya tidak berbicara lagi. Kuda mereka berpacu terus
menembus gelapnya malam yang pekat.
Di Jati Anom gerombolan orang-orang yang akan
menyerang rumah Untara masih harus menunggu sejenak.
Meskipun mereka mulai menjadi jemu dan mengumpat-umpat,
namun pemimpin mereka berkata, "Kita menunggu sejenak.
Kita tidak dapat mencari jalan lain."
"Bukankah ada dua jalan yang kemarin kita
perbincangkan?" berkata salah seorang dari mereka.
"Kenapa dengan dua jalan."
"Yang lain, kita langsung datang dari arah Timur."
Tetapi pemimpinnya menggeleng. Katanya, "Kita sudah
mematangkan rencana kita. Kita tidak dapat merubah begitu
saja. Karena itu, kita harus bersabar sebentar. Justru yang
mereka lakukan itu akan menguntungkan kita. Mereka akan
kelelahan dan langsung menjadi lengah. Mungkin di bagian
lain, penjaga-jaganya lebih berwaspada dari penjaga-jaga
yang tidak menepati perintah itu."
Tidak ada lagi yang membantah. Mereka sadar, bahwa
mereka harus mentaati perintah itu tanpa banyak persoalan.
Karena itu mereka pun segera berpencar dan duduk
bersandar dahan-dahan kayu yang ada sambil menunggu api
itu redup. "Api sudah redup," berkata salah seorang dari kedua
pengawas yang mendahului gerombolan penyerang itu, "kita
akan segera maju." Laporan itu pun segera sampai kepada pemimpin mereka
mengikuti perkembangan di gardu itu dengan saksama.
"Sebentar lagi perapian itu akan padam. Daerah ini akan
menjadi gelap dan kita akan merayap maju mendekati dinding
padukuhan itu. Daerah itulah yang paling ringkih, sehingga
jalan inilah yang paling baik kita lalui. Kita akan langsung
sampai ke jalan kecil yang menuju ke bagian belakang rumah
Untara. Kita akan berkumpul sejenak di halaman rumah di
belakang rumah Untara untuk mematangkan semua rencana."
Orang-orang dari gerombolan itu pun mulai mempersiapkan
diri. Api di dekat gardu itu telah benar-benar menjadi redup
dan hampir padam. Suara gelak tidak lagi terdengar. Agaknya
beberapa orang justru telah menjadi mabuk karenanya.
Pemimpin gerombolan itu masih menunggu sejenak.
Diperintahkannya kedua pengawasnya mendekat lagi dan
melihat perkembangan terakhir di gardu itu.
Sejenak kemudian kedua pengawas itu datang kepadanya
dan berkata, "Hanya anak-anak muda sajalah yang menjadi
mabuk. Para prajurit masih tetap berjaga-jaga, meskipun
dengan lesu. Satu dua di antara mereka masih berjalan hilirmudik.
Tetapi dinding yang kita tandai sebagai tempat yang
paling baik itu agaknya memang paling aman. Gardu yang
paling dekat dari gardu itu, agaknya juga sepi."
"Lihat pula gardu itu untuk meyakinkan."
Kedua orang itu pun segera berangkat. Gardu itu pun tidak
terlalu jauh dari tempat mereka. Dan menurut rencana,
mereka akan menyusup di antara kedua gardu itu. Gardu yang
baru saja ribut, dan gardu lain yang tidak begitu jauh.
"Kenapa kedua orang itu harus melihat pula gardu yang
lain?" desis salah seorang dari gerombolan yang gelisah itu.
"Pemimpin kita terlalu berhati-hati. Adakalanya baik, tetapi,
ada kalanya, kita justru terlambat karenanya," sahut salah
seorang kawannya. Tidak seorang pun lagi yang menyambung. Namun
kegelisahan nampaknya menjadi semakin tajam.
Akhirnya kedua pengawas itu pun datang kepada pemimpin
gerombolan itu dan berkata, "Mereka pun mendapat makanan
dari rumah Widura tampaknya. Tetapi mereka tidak terlalu
ribut seperti gardu yang satu itu."
"Jika demikian, kita dapat melangsungkan rencana kita."
Namun belum lagi mereka bergerak, terdengar suara
kentongan di kejauhan. Meskipun kentongan itu adalah
sekedar isyarat agar para peronda tetap berhati-hati, namun
pemimpin gerombolan itu berkata, "Bersiaplah. Kita tunggu
gema suara kentongan itu lenyap."
Orang-orangnya menarik napas dalam-dalam. Tetapi
mereka tidak berkata apa pun juga.
Di perjalanan, kedua orang yang berpacu dari Pengging
mencoba mempercepat laju kudanya. Tetapi kemampuan
kuda mereka terbatas dan jalan-jalan pun tidak serata yang
mereka harapkan. Meskipun demikian mereka masih
mengharap, bahwa ada keajaiban yang menahan orang-orang
yang akan menyerang itu, sehingga ia mendapat kesempatan
untuk menggagalkan mereka.
"Tetapi kemungkinan itu kecil sekali," gumam yang
seorang. "Aku tidak peduli. Tetapi kita harus sampai ke Jati Anom.
Kita harus menyusur jalan sesuai dengan rencana yang sudah
mereka berikan itu."
Kawannya tidak menjawab. Ia hanya berdesis ketika angin
yang kencang megusap wajahnya. Dingin malam terasa
semakin menggigit kulit. Dan mereka harus berpacu lebih
cepat lagi, agar mereka dapat mencapai Jati Anom sebelum
terlambat. Demikianlah, maka akhirnya malam yang sepi itu menjadi
semakin sepi. Gerombolan penyerang yang sudah bersiap di
sebelah Utara padukuhan Jati Anom itu menjadi semakin
tegang. Dan sejenak kemudian pemimpinnya berkata kepada
pembantunya yang berada di dekatnya, "Apakah semua
sudah siap?" "Sudah sejak lama," jawab pembantunya.
"Baik. Kita akan berangkat sekarang."
"Marilah. Kita jangan membuang waktu."
Tetapi tampaknya pemimpin rombongan itu menjadi raguragu.
Ada sesuatu yang terasa agak menghambat niatnya
untuk segera menyerang. Namun ia tidak tahu, apakah
sebenarnya yang telah terjadi di dalam dirinya, sehingga ia
menjadi ragu-ragu. Ia tidak pernah mengalami hal serupa itu.
Selama ini ia adalah seorang yang tidak pernah gentar
menghadapi apa pun juga. Meskipun ia harus melakukan
tugas yang sangat berat sekalipun, ia dapat menjalankan
tugas itu sambil tertawa. Tetapi rasa-rasanya kali ini ia telah
dibebani oleh sesuatu yang tidak dimengertinya sendiri.
"Persetan," ia menggeram untuk mendapatkan kemantapan
di dalam hati, "tidak ada seorang perwira Pajang yang memiliki
kemampuan seperti Ki Gede Pemanahan sekarang ini. Untara
sendiri masih belum mencapai tingkat itu. Karena itu, aku tidak
harus ragu-ragu. Aku baru boleh ragu-ragu jika Pemanahan
sendiri ada di gardu itu, atau orang-orang yang telah
membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak."
Namun tiba-tiba timbul pertanyaan, "Apakah orang-orang
yang membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu ada di
sini?" Tetapi ia sendiri belum pernah melihat orang yang telah
membunuh Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu. Namun
demikian ia harus berhati-hati. Sepeninggal Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak, orang-orang semacam itu pasti tidak akan
mengeram di Alas Mentaok untuk seterusnya, ia meski akan
bertualang. Dan mungkin sampai ke Jati Anom ini.
Dalam pada itu, orang-orang yang berpacu dari Pengging
itu menjadi semakin dekat juga dengan Jati Anom. Meskipun
pengharapan mereka sangat kecil, tetapi mereka masih juga
mencoba dan berpacu sekencang-kencangnya.
"Kita langsung ke Lemah Cengkar," berkata salah seorang
dari mereka. "Menurut laporan terakhir, rencana itu
mengatakan bahwa mereka memasuki Jati Anom dari sebelah
Utara. Kita akan menyusul mereka. Kita tinggalkan kuda kita di
Lemah Cengkar." Kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka berpacu secepat
dapat mereka lakukan. Akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat. Dengan
napas terengah-engah mereka memasuki sebuah hutan perdu
lewat gerumbul-gerumbul dan semak-semak liar mereka
menerobos langsung memasuki daerah Lemah Cengkar.
"Kita sudah sampai di Lemah Cengkar," desis salah
seorang dari mereka. "Tetapi sudah lewat tengah malam. Ternyata daerah ini
sudah sepi. Mereka pasti sudah berangkat."
"Kita tinggalkan kuda kita di sini. Kita mendekat."
Mereka pun segera mengikat kuda mereka di tempat yang
tersembunyi. Kemudian dengan tergesa-gesa mereka
menyusup semak-semak pergi menyusul kawan-kawannya
yang sudah mendahului mereka mendekati Jati Anom. Seperti
pesan yang mereka dengar, pasukan kecil itu akan
menyerang Jati Anom dari sebelah Utara.
"Cepat. Mudah-mudahan mereka masih di sebelah Utara
padukuhan Jati Anom."
Pada saat itulah pemimpin pasukan kecil yang akan
menyerang Jati Anom itu baru mendapat kepastian bahwa
jalan telah aman di hadapan mereka. Karena itu, maka ia pun
segera berkata kepada pembantunya, "Marilah kita masuk."
"Sekarang. Jangan ditunda lagi. Orang kita menjadi gelisah
dan jika terlampau lama kita mendekam di sini, mereka akan
kehilangan napsu dan gairah untuk menumpas prajurit-prajurit
Pajang itu." "Baiklah. Ingat, hanya dengan kecepatan bergerak kita
tidak akan gagal. Kita harus menghancurkan penjaga rumah
itu dengan tiba-tiba tanpa memberi kesempatan mereka
memukul tengara. Dan aku bersama orang-orang yang sudah
ditentukan akan membunuh para perwira di dalam rumah itu,
juga tanpa memberi kesempatan mereka berbuat sesuatu.
Tetapi harus ada satu orang yang masih sempat hidup di
antara mereka." "Baik." "Nah, aku akan masuk lebih dahulu. Kemudian biarlah
orang-orang kita mengikuti aku. Sedang kau akan masuk yang
terakhir sekali sambil mengawasi keadaan bersama kedua
pengawas itu." "Baik." Pemimpin gerombolan penyerang itu pun kemudian
merayap di dalam gelapnya malam. Dengan sangat hati-hati ia
mendekati dinding batu. Di kedua gardu sebelah-menyebelah
yang tidak terlampau jauh jaraknya itu sudah tidak terdengar
suara apa pun lagi. Untunglah bahwa malam gelapnya bukan
kepalang, sehingga pemimpin pasukan penyerang itu dapat
merayap tanpa dapat dilihat di antara rerumputan yang tinggi.
Kemudian ia harus menyeberang sawah yang tidak terlampau
luas, menyelusur pematang. Tetapi sawah itu agaknya tidak
terlampau subur, sehingga daerah itu kurang mendapat
perhatian. Bahkan daerah yang bersemak-semak liar itu pun
masih juga tidak pernah disentuh tangan apalagi digarap.
Daerah di sebelah Utara Jati Anom itu memang masih
diperlukan saluran air yang cukup untuk membuatnya menjadi
tanah pertanian. Dalam pada itu, seorang demi seorang merayap mendekati
dinding batu padukuhan Jati Anom, dan seorang demi
seorang telah meloncat masuk dengan sangat hati-hati di
dalam lindungan gelapnya malam.
Sementara itu, kedua orang penghubung dari Pengging
dengan tergesa-gesa mendekati padukuhan itu dari Utara
pula. Tetapi ketika ia sampai di sebelah padukuhan Jati Anom,
ternyata tempat itu telah sepi. Mereka tidak menjumpai
seorang pun juga, karena orang yang terakhir ternyata telah
merayap mendekat dinding dan meloncat masuk pula.
"Terlambat," desis salah seorang dari keduanya, "mereka
sudah memasuki padukuhan itu."
Kawannya menarik napas dalam-dalam. Namun ia
bergumam, "Tetapi aneh. Tidak terdengar keributan sama
sekali. Jika kedatangan mereka sudah diketahui, maka
mereka pasti sudah disergap."
"Prajurit Pajang menunggu di halaman rumah Untara."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kawannya mengerutkan keningnya. Lalu, "Apakah kita
akan menyusul mereka, barangkali mereka masih belum
bertindak." "Atau kita akan masuk ke dalam jebakan itu sama sekali."
"Kita tidak akan memasuki halaman rumah Untara, dan kita
sudah mempersiapkan diri jika benar-benar hal itu terjadi,
sehingga kita tidak boleh memasuki daerah yang tidak akan
mungkin mudah kita tinggalkan."
Kawannya mengangguk-angguk sejenak, lalu, "Apakah kau
mengenal daerah Jati Anom dengan baik."
"Tidak dengan baik, tetapi aku pernah mengelilingi daerah
ini. Barangkali aku masih dapat mengenal satu dua jalur
lorong di dalam padukuhan itu."
"Baiklah. Tetapi bersiaplah untuk mati."
"Ah, aku masih belum ingin mati. Aku mempunyai anak dan
isteri. Jika aku mati, mereka akan bersedih. Dan isteriku akan
menjadi janda muda."
"Ia akan segera kawin lagi. Jangan cemas."
"Persetan," kawannya mengumpat.
Demikianlah keduanya dengan hati-hati merayap
mendekati dinding padukuhan. Sejenak mereka
memperhatikan lampu minyak yang berkeredipan di gardu.
Ternyata bahwa perapian yang dibuat oleh para peronda telah
hampir padam sama sekali.
"Sst, gardu peronda," bisik yang seorang. Sedang yang lain
menunjuk pula ke kejauhan, "Itu juga."
"Hati-hati. Kita menerobos di tengah."
Mereka menjadi semakin hati-hati. Perlahan sekali mereka
maju. Namun akhirnya mereka sampai pula di balik tanggul
parit yang kering di seberang jalan di pinggir padukuhan.
Mereka harus menyeberangi jalan itu dan meloncati dinding.
"Marilah, tidak ada yang memperhatikan kita dari kedua
gardu di sebelah-menyebelah," bisik yang seorang.
Kawannya tidak menyahut. Dengan hati-hati sekali
keduanya pun segera meloncat, memasuki Padukuhan Jati
Anom. Pada saat itulah pemimpin gerombolan yang akan
menyerang rumah Untara itu sedang memberikan beberapa
petunjuk kepada anak buahnya, di kebun yang rimbun di
belakang rumah Untara. Empat orang pemimpin kelompok kecil dari antara mereka
mendapat pesan bagi kelompok masing-masing dengan
seteliti-telitinya. Ke mana mereka harus pergi, dan apa saja
yang harus mereka lakukan. Dan pemimpin kelompok itu
kemudian berkata, "Ingat, kalian harus menyergap seperti
kalian menangkap seekor kepiting. Jika kau tidak sekaligus
mendekap, maka tanganmulah yang justru akan disapitnya.
Jika kepiting itu besar, maka mungkin jari-jari kalian akan
putus. Demikian juga prajurit-prajurit Pajang yang bertugas itu.
Apalagi para perwira. Jika yang bertugas di dalam rumah itu
tidak sempat membunuh mereka, jaga agar mereka tetap
terikat pada perkelahian yang mantap, agar kami dapat
membunuhnya pula kemudian, kecuali seorang dari mereka
akan hidup dan satu dua orang dari para prajurit yang
bertugas di luar." Para pemimpin kelompok itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, sekarang lakukanlah. Jika kalian gagal maka nasib
kita semuanya tidak akan lebih baik dari nasib Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak. Dan kita pun akan berbuat jantan seperti
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak karena mereka yakin akan
kebenaran perjuangan kita ini."
Para pemimpin kelompok itu pun kemudian kembali ke
kelompok masing-masing. Sebuah isyarat yang kemudian
diberikan oleh pemimpin kelompok itu, telah menggerakkan
orang-orang itu semakin mendekati halaman rumah Untara
dari arah belakang. Dalam pada itu, para prajurit pilihan yang berada di
halaman rumah itu pun hampir menjadi semakin jemu
menunggu. Bahkan ada satu dua di antara mereka yang tanpa
dikehendakinya sendiri, telah terkantuk-kantuk bersandar
sebatang pohon perdu yang rimbun. Dan di dalam biliknya,
ternyata bahwa Swandaru telah benar-benar tidur mendekur.
Namun suara isyarat pemimpin kelompok penyerang yang
tidak begitu keras itu ternyata telah menumbuhkan
kecurigaan. Suara burung hantu itu disekat oleh irama yang
terlampau teratur, sehingga suara itu telah mengingatkan Kiai
Gringsing pada suara burung kedasih di Alas Mentaok.
Ternyata bukan saja Kiai Gringsing yang telah mendengar
suara isyarat itu. Ki Ranadana, Sumangkar, dan bahkan para
prajurit di halaman pun telah menjadi curiga mendengar suara
burung yang aneh itu. Meskipun demikian, ada juga di antara
mereka yang menyangka, bahwa suara itu adalah suara
burung hantu yang sebenarnya.
Tetapi, ternyata bahwa para pemimpin kelompok yang ada
di dalam halaman itu telah memberikan aba-aba pula, dengan
menyentuh seorang yang bertugas di sampingnya, kemudian
sentuhan itu pun menjalar dari yang seorang kepada orang
lain. Bagi mereka yang berada pada jarak beberapa langkah,
maka para prajurit itu pun telah mempergunakan batu-batu
kerikil sebagai isyarat, bahwa mereka harus bersiap.
Pada saat itulah, beberapa orang penyerang mulai
tersembul dari balik dinding halaman di belakang rumah.
Dengan sangat hati-hati, seorang demi seorang telah
meloncat dinding itu. Maka sejenak kemudian, saat-saat yang paling
menegangkan telah terjadi di halaman rumah Untara itu.
Beberapa orang prajurit yang terpencar dan bersembunyi di
balik semak-semak dapat melihat beberapa orang yang
meloncat masuk itu. Tetapi seperti pesan yang mereka terima,
mereka tidak boleh berbuat sesuatu jika belum ada perintah,
kecuali apabila tanpa disengaja mereka telah diketahui oleh
para penyerang itu. Tetapi karena para prajurit itu telah menempatkan diri pada
tempat yang paling baik menurut pilihan mereka, maka orangorang
yang memasuki halaman di dalam gelap itu pun tidak
segera dapat melihat mereka. Bahkan mereka sama sekali
tidak menyangka, bahwa kedatangan mereka telah ditunggu
oleh prajurit-prajurit Pajang justru yang paling baik yang ada di
Jati Anom. Perlahan-lahan orang-orang yang memasuki halaman itu
merayap semakin dalam. Seperti pesan yang telah mereka
terima, maka mereka pun segera mengambil tempat mereka
masing-masing. Dua kelompok dari mereka harus menyergap
para prajurit yang bertugas di gardu depan. Sedang
sekelompok yang lain harus memasuki rumah itu tersama
dengan pemimpin kelompok dan seorang yang dikirim
langsung oleh pemimpin-pemimpin mereka untuk membantu
pemimpin kelompok itu membunuh para perwira yang ada di
dalam rumah. Satu kelompok lagi harus mengawasi suasana,
dan membunuh setiap orang yang berusaha melarikan diri dari
halaman itu. Apakah ia seorang prajurit atau seorang perwira.
Karena itu, maka mereka pun harus dapat bekerja sama
sebaik-baiknya jika yang mereka hadapi adalah seorang
perwira yang memiliki kemampuan yang tinggi.
Demikianlah, keempat kelompok itu telah berada di
tempatnya masing-masing seperti pesan pemimpinnya.
Mereka menemukan tempat-tempat yang telah ditentukan,
yang agaknya oleh seseorang yang telah mengenal halaman
rumah itu sebaik-baiknya.
Namun mereka tidak menyangka, bahwa di setiap sudut,
bahkan beberapa, langkah dari tempat mereka bersembunyi,
prajurit-prajurit Pajang yang terpilih selalu mengawasi mereka
dengan saksama. Kelompok-kelompok penyerang itu telah siap untuk
melakukan penyergapan. Yang terakhir adalah usaha
memasuki rumah itu tanpa menimbulkan persoalan. Karena
itu, maka pemimpin kelompok itu sendirilah yang akan
melakukannya, sementara kelompok yang lain mengawasi
dengan saksama jika ada di antara mereka yang melarikan
diri. Ternyata pemimpin kelompok itu adalah orang yang
berpengalaman. Dengan hati-hati ia memutus tali-tali pengikat
dinding di sudut rumah Untara yang paling lemah, di sudut
belakang. Hampir tidak menimbulkan desir yang paling lembut
sekalipun ia kemudian membuka dinding-dinding itu, dan
dengan sangat hati-hati ia pun merayap masuk. Seorang dari
anak buahnya dibawanya serta memasuki rumah yang sepi
itu. Sejenak orang-orangnya menunggu. Ternyata bahwa
ketegangan yang menghentak-hentak dada hampir tidak
tertahankan. Rasa-rasanya jantung mereka menjadi semakin
cepat berdentangan. Bukan saja para penyerang, tetapi prajurit-prajurit Pajang
yang menyaksikan itu pun menjadi berdebar-debar pula.
Rasa-rasanya mereka tidak dapat menunggu lagi. Tangan
mereka telah bergetar dan darah mereka menjadi semakin
cepat mengalir. Sejenak kemudian mereka mendengar derit yang lirih
sekali. Ternyata para prajurit Pajang yang berada di sisi rumah
itu melihat bahwa pintu butulan telah terbuka.
Dengan isyarat tangan, maka pemimpin kelompok itu
memanggil orang-orangnya yang bertugas masuk ke dalam
rumah itu bersama seorang yang dipercaya langsung dari
pimpinan mereka. Seorang perwira Pajang yang melihat pintu yang terbuka itu
pun menjadi berdebar-debar pula. Dan ia pun yakin bahwa di
antara para penyerang itu pasti ada satu atau dua orang yang
benar-benar dapat dipercaya melakukan tugas itu.
"Jika saja rencana ini tidak dapat diketahui, maka akulah
yang ada di dalam rumah itu bersama beberapa orang kawan.
Barangkali aku dan beberapa orang kawan itu sama sekali
tidak sempat berbuat sesuatu ketika pedang-pedang mereka
menikam dada ini, selagi kami masih tidur," katanya di dalam
hati. Dan ia pun merasa bersukur bahwa ia sempat
mendengar rencana itu dan kini ia telah siap menghadapi
setiap kemungkinan. "Meskipun seandainya aku akan mati juga malam ini, tetapi
aku mati sambil menggenggam pedang seperti seharusnya
seorang prajurit, bukan mati di pembaringan tanpa berbuat
sesuatu," perwira itu menggeram di dalam hati. Tanpa
disadarinya maka tangannya pun telah meraba hulu
pedangnya. "Apakah Ki Ranadana dan kawan-kawannya yang ada di
dalam rumah itu tidak tertidur, dan mereka mengetahui bahwa
yang mereka tunggu telah datang?" ia bertanya kepada diri
sendiri. Tetapi karena yang ada di dalam rumah itu adalah
orang-orang yang dapat dipercaya, maka ia pun mencoba
untuk menenteramkan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian perwira itu melihat beberapa orang
merayap mendekati pintu butulan itu. Sedang di bagian lain,
beberapa bayangan yang bergerak-gerak menjadi semakin
dekat dengan regol halaman. Mereka harus langsung
menyergap para penjaga yang jumlahnya tidak begitu banyak
itu tanpa memberi kesempatan mereka membunyikan tanda
apa pun juga. Dada setiap orang di halaman rumah Untara itu menjadi
semakin tegang. Bahkan para prajurit yang ada di regol itu
bagaikan duduk di atas bara api. Mereka mengerti, bahwa
beterapa orang sedang merayap untuk menerkam mereka,
namun mereka masih harus duduk di tempatnya. Meskipun
demikian, senjata-senjata mereka telah siap di lambung.
Sekejap saja senjata itu akan berada di genggaman. Demikian
juga kawan-kawannya yang ada di sudut-sudut halaman
depan. Rasa-rasanya mereka sudah ingin meloncat
menyerang bayangan yang merambat semakin dekat dengan
regol itu. Dalam pada itu, orang-orang yang ada di dalam rumah itu
pun segera berdiri di depan bilik yang mereka perkirakan di
pakai oleh para perwira Pajang. Sejenak mereka memusatkan
segenap pikiran dan perhatian mereka kepada tugas yang
akan mereka lakukan. Ketika semuanya menurut perhitungan pemimpin kelompok
nenyerang itu sudah siap, maka terdengarlah dari dalam
rumah itu suara burung hantu yang keras sekali tiga kali.
Hanya tiga kali. Dan yang tiga kali itu adalah perintah bagi
setiap orang di dalam pasukan kecilnya untuk menyerang
semua sasaran yang telah ditentukan.
Pada saat suara burung hantu itu menggema, dua orang
yang dengan napas terengah-engah menyusul mereka dari
Pengging menjadi berdebar-debar. Ternyata mereka sudah
terlambat. Meskipun mereka sudah berada di belakang rumah
Untara, namun perintah itu sudah diberikan, sehingga mereka
tidak dapat berbuat apa-apa.
"Terlambat," desah yang seorang.
"Tetapi, kenapa mereka masih sempat menunggu perintah
itu" Jika orang-orang Pajang sudah menunggu mereka, maka
demikian mereka memasuki halaman rumah ini, mereka pasti
akan segera diterkam oleh para prajurit Pajang," sahut yang
lain. "Kita menunggu perkembangan," berkata yang lain.
Demikianlah mereka menunggu apa yang terjadi di dalam
rumah Untara dan di halamannya itu.
Dalam pada itu, demikian isyarat itu berbunyi, maka setiap
orang yang ada di dalam rumah itu pun segera mendorong
pintu bilik. Senjata-senjata telanjang yang ada di tangan
mereka telah bergetar. Pemimpin kelompok itu berada di
depan satu bilik bersama beberapa orang kawannya, sedang
orang yang langsung diperbantukan kepadanya oleh
pemimpin mereka itu berada di bilik yang lain bersama
beberapa orang pula. Mereka harus melakukan tugas mereka
dengan cepat dan cermat. Sedang beberapa orang lainnya
berada di bilik yang lain pula, untuk mengawasi jika di dalam
bilik itu ada juga penghuninya.
Bersama dengan gerit pintu-pintu bilik itu, para penyerang
yang sudah siap menunggu di halaman pun segera
berloncatan. Jumlah mereka ternyata cukup banyak untuk
membinasakan beberapa orang yang bertugas di regol itu.
Namun, demikian isyarat itu berbunyi, maka prajurit-prajurit
Pajang yang berada di regol itu pun segera berloncatan
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berdiri. Seakan-akan suara burung hantu itu memang
merupakan perintah bagi mereka untuk bersiap menghadapi
setiap kemungkinan. Sekejap para penyerang itu pun menjadi heran. Namun
mereka tidak menghiraukannya lagi. Seperti banjir bandang
mereka pun segera menyerang. Orang-orang yang ada di
regol itu harus ditumpas.
Tetapi mereka pun terkejut ketika tiba-tiba saja mereka
mendengar gemerisik dedaunan dan semak-semak di sekitar
mereka. Sebelum mereka mencapai gardu itu, mereka
menjadi terpukau karena beberapa orang yang tiba-tiba saja
justru berloncatan menyerang mereka.
Sebelum mereka menyadari keadaan mereka, maka tibatiba
mereka mendengar salah seorang dari prajurit Pajang itu
berkata lantang, "Kalian terjebak. Menyerahlah."
Tetapi para penyerang itu tidak yakin akan kata-kata
prajurit Pajang itu meskipun mereka melihat beberapa orang
berdatangan. Karena itu, maka pemimpin kelompok mereka
pun berkata, "Tumpas mereka. Jangan ada yang tersisa.
Mataram harus menguasai daerah Jati Anom sebelum
menguasai seluruh Pajang."
Kata-kata itu mendebarkan jantung para praiurit Pajang.
Untunglah mereka sudah mengetahui dengan siapa mereka
berhadapan, sehingga mereka pun tidak mudah terpengaruh
oleh kata-kata itu, yang seakan-akan para penyerang itu
adalah orang-orang Mataram.
Ternyata serangan itu telah mendapat sambutan hangat.
Para penjaga di regol halaman pun sudah siap menunggu
mereka menyergap. Namun ternyata bahwa para penyerang
tidak dapat memusatkan kekuatan mereka, kepada para
praturit yang tidak begitu banyak jumlahnya di regol, tetapi
mereka harus melayani prajurit-prajurit Pajang yang
bermunculan seperti laron dimusim hujan. Ternyata bahwa
jumlah prajurit Pajang itu pun cukup banyak sehingga para
penyerang itu pun menjadi berdebar-debar. Apalagi prajurit
Pajang yang mereka hadapi adalah prajurit pilihan.
"Gila," pemimpin kelompok penyerang itu menggeram, "kita
harus memencar. Kita binasakan semua orang yang ada di
halaman ini." Dalam pada itu kelompok cadangan yang harus mengawasi
jika ada di antara para prajurit Pajang yang melarikan diri itu
pun tidak lagi dapat tinggal diam. Mereka pun segera terlibat
pula di dalam perkelahian melawan para prajurit Pajang.
Dalam pada itu, yang ada di dalam rumah pun terkejut
bukan kepalang. Ternyata mereka hanya menjumpai seorang
perwira Pajang di dalam rumah itu. Dan perwira itu adalah Ki
Ranadana. Sedang yang lain sama sekali bukan prajurit
Pajang. Namun justru karena itulah, maka kemudian mereka
menjumpai banyak sekali kesulitan.
Para penyerang yang belum mengenal Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar itu semula tidak begitu menghiraukannya.
Pembunuhan di dalam rumah itu akan tetap berlangsung,
siapa pun yang ada di dalamnya. Perwira yang hanya seorang
itu harus dibunuh pula, sedang salah seorang dari orangorang
yang ada di rumah itu akan dihidupinya.
"Kalian tidak usah melawan," berkata pemimpin
gerombolan itu, "kami datang dengan kekuatan yang tidak
akan terlawan oleh kalian. Marilah kalian berkumpul di ruang
tengah." Ki Ranadana dan Ki Sumangkar memandang pemimpin
kelompok itu sejenak, lalu sambil mengangguk-angguk Ki
Ranadana menjawab, "Apakah yang akan kalian lakukan atas
kami?" "Sayang, kami akan membunuh kalian. Para perwira dan
siapa pun yang ada di dalam rumah ini."
Ki Ranadana dan Ki Sumangkar tidak segera menyahut,
sedang di depan pintu bilik yang lain terdengar seorang dari
para penyerang itu berkata, "Keluar. Kami akan memenggal
lehermu. Lebih baik kau mati di ruang yang agak luas
daripada dibilik yang sempit agar rohmu mendapat jalan yang
agak lapang." Dan terdengar jawab Kiai Gringsing, "Baiklah. Kami akan
keluar ke ruang yang lebih luas. Tetapi apakah kalian benarbenar
akan membunuh kami?"
"Jangan banyak bicara. Sediakan diri untuk mati. Pedang
kami akan memenggal leher kalian."
Tetapi yang terdengar kemudian adalah kata-kata
Swandaru, "Kulit kami amat liat. Apakah pedang kalian cukup
tajam?" Pertanyaan itu benar-benar tidak diduga oleh orang-orang
yang datang memasuki rumah itu. Karena itu, sejenak mereka
hanya memandang Swandaru dengan tatapan mata yang
aneh. "He, kenapa kalian menjadi heran seperti melihat hantu?"
bertanya Swandaru pula. "Ayo, jawab pertanyaanku. Apakah
pedangmu cukup tajam untuk memotong leherku. Kulitku
cukup liat dan tulangku sangat keras."
"Persetan," orang yang dikirim oleh pemimpin para
penyerang itu menggeram, "kaulah yang akan aku bunuh
pertama-tama." "Aku?" Swandaru membelalakkan matanya. "Kenapa bukan
yang lain" Kau misalnya?"
"Tutup mulutmu," orang itu berteriak.
"Kami adalah para perwira pilihan dari prajurit Pajang,"
berkata Swandaru. "Ketika kami memasuki lingkungan
keprajuritan, kami harus melalui pendadaran yang berat. Nah,
apakah kami yang sudah melalui pendadaran itu harus
menyerahkan leher kami begitu saja?"
Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia
menyergap masuk. Agaknya kemarahannya sudah memuncak
sampai ke ubun-ubun. Beberapa orang kawannya pun ikut pula menyergap.
Mereka langsung menyerang kiai Gringsing dan kedua
muridnya dan berusaha membunuh mereka sebelum mereka
sempat berbuat apa pun juga, apalagi memberikan isyarat.
Demikian juga pemimpin kelompok penyerang itu. Mereka
pun telah menyerang Ki Ranadana dan Ki Sumangkar di
dalam biliknya yang sempit.
"Ki Ranadana," berkata Ki Sumangkar, "agak menjauhlah.
Senjataku memerlukan ruang yang agak luas."
"Eh," sahut Ki Ranadana, "apakah aku tidak akan kau beri
sisa tempat di ruang ini" Jika demikian, sebaiknya aku keluar
saja." "Jangan sekarang. Kita memilih tempat yang sempit ini saja
dahulu." Ki Ranadana tidak menjawab, tetapi ia bergeser ke sudut
yang lain menjauhi Sumangkar yang kemudian menggenggam
senjatanya yang aneh. Trisulanya yang berantai di tangan
kanan, dan yang sebuah lagi di tangan kiri langsung
digenggamnya pada tangkainya.
Namun yang paling mengejutkan para penyerang itu, ketika
Swandaru yang langsung diserang telah menarik cambuk
yang membelit di lambungnya. Ketika cambuk itu meledak,
rasa-rasanya meledak pulalah setiap jantung dari para
pemimpin penyerang itu. Sedikit banyak mereka telah pernah
mendengar, bahwa kawan-kawan mereka yang berjuang di
Alas Mentaok, telah gagal sama sekali akibat hadirnya orangorang
yang bersenjata cambuk. Dan kini rumah Untara itu
telah digetarkan pula oleh suara cambuk.
Bukan saja Swandaru yang kemudian telah meledakkan
cambuknya. Namun juga Agung Sedayu dan bahkan Kiai
Gringsing, Karena lawan mereka telah langsung menyerang
mereka dengan pedang ke arah jantung mereka, untuk segera
membunuh apabila mungkin, maka mereka pun telah
mempergunakan senjata mereka pula.
Demikianlah di dalam bilik yang sebelah, tiga buah cambuk
telah meledak bersahut-sahutan.
Di bilik yang lain, trisula Sumangkar telah berputar pula
pada rantai yang mengikatnya. Suaranya berdesing
mengerikan. Sedang Ki Ranadana yang bersenjata pedang
pun telah mulai pula bertempur melawan orang-orang yang
menyerangnya. Betapapun juga, namun putaran trisula di tangan
Sumangkar telah menimbulkan persoalan bagi para
penyerangnya, sehingga beberapa orang terpaksa terdesak
surut oleh kawan-kawan mereka. Dengan lambat laun pasti
Sumangkar telah mendesak lawannya ke pintu keluar dari bilik
itu. "Kita akan mencari jalan keluar," berkata Sumangkar
kepada Ki Ranadana, "supaya kita dapat lebih leluasa
bermain-main." "Aku sependapat," berkata Ki Ranadana. Meskipun ia tidak
mendesak lawannya, namun suara trisula Sumangkar yang
berdesing itu berpengaruh juga, sehingga Ki Ranadana pun
telah mendesak lawannya pula.
Demikianlah maka para penyerang itu tidak mau bertahan
di dalam bilik yang sempit itu pula. Mereka pun segera
berloncatan keluar disusul oleh Sumangkar dengan
senjatanya yang mengerikan.
Yang terakhir keluar dari bilik itu adalah Ki Ranadana.
Tetapi ketika beberapa orang lawan menyambutnya, maka ia
tidak langsung pergi ke ruang tengah yang agak luas, tetapi ia
berhenti saja di pintu sambil bertempur. Jika ia agak terdesak
oleh beberapa orang lawannya maka ia melangkah surut,
sehingga ia langsung menghadapi sebuah pintu yang sempit.
Dengan demikian ia sempat mempergunakan pintu bilik itu
sebagai perisai, sehingga lawannya terpaksa berdiri di satu
arah daripadanya. "Licik," geram salah seorang lawannya, "jangan berdiri di
pintu." Tetapi Ki Ranadana tertawa. Katanya, "Bagaimana
mungkin kau dapat mengatakan aku licik, sedang kau
menyerang dengan pasukan segelar sepapan?"
Lawan-lawannya tidak menjawab. Tetapi mereka berusaha
mendesak Ranadana masuk ke dalam bilik itu kembali dan
beramai-ramai membinasakannya.
Tetapi Ki Ranadana menyadari keadaannya, sehingga
karena itu maka ia pun bertahan mati-matian agar ia tetap
berada di pintu bilik itu.
"Untunglah bahwa kami dapat mengetahui lebih dahulu
serangan ini. Jika tidak, maka kami akan benar-benar dibantai
tanpa perlawanan," berkata Ki Ranadana di dalam hatinya.
Seperti yang tersirat di hati setiap prajurit Pajang. Namun
demikian ia masih juga memikirkan Ki Sumangkar, Kiai
Gringsing dan kedua muridnya.
"Adik Untara adalah seorang yang dapat dipercaya,"
berkata Ki Ranadana, karena ia mengetahui bahwa Agung
Sedayu berhasil mengalahkan seorang perwira muda dari
Pajang pada perselisihan yang tidak dapat dihindarkan, justru
di saat Agung Sedayu baru saja datang di tempat ini.
"Tetapi anak muda yang gemuk itu, apabila orang tua itu,
pasti memiliki kemampuan yang cukup pula," katanya pula
kepada diri sendiri. Sekilas Ki Ranadana melihat bagaimana Sumangkar
bertempur melawan beberapa orang yang menyerangnya.
Putaran trisulanya benar-benar membatasi kemampuan gerak
lawannya. Trisula yang disangkutkan pada ujung rantai itu
tidak saja berputar seperti baling-baling, tetapi kadang
menjulur mematuk seperti seekor ular yang berbisa.
Dalam pada itu, cambuk yang meledak-ledak di bilik
sebelah serasa telah menggetarkan rumah yang besar itu.
Bahkan kemudian seperti Sumangkar, Kiai Gringsing telah
mendesak lawannya ke luar ruangan, sehingga di ruang
tengah yang luas itulah mereka kemudian bertempur.
Swandaru tersenyum melihat Sumangkar telah lebih dahulu
ada di ruang itu. Ketika ia memandang Ki Ranadana, maka
keningnya pun terkerut-merut.
Bukan saja Swandaru, tetapi Kiai Gringsing pun melihat,
bahwa Ki Ranadana mulai menjadi lelah menghadapi lawanlawannya.
Di antaranya adalah pemimpin kelompok
penyerang yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.
Hanya dengan mengerahkan segenap kemampuannya
sajalah Ki Ranadana tetap bertahan di depan pintu bilik itu.
Tetapi Ki Ranadana sama sekali tidak mengeluh dan tidak
menjadi cemas. Ia menyadari, bahwa keadaan ini adalah
keadaan yang jauh lebih baik daripada keadaan yang
seharusnya terjadi. Seperti setiap perwira ia berpendapat,
bahwa seandainya ia sendiri menjadi korban, bukanlah
merupakan soal yang memberati perasaannya, namun
dengan suatu keyakinan, bahwa keadaan akan dapat dikuasai
oleh pasukannya. Ternyata bahwa Swandaru-lah yang berasa paling dekat
dengan pintu bilik Ki Ranadana. Itulah sebabnya, maka ia pun
segera berusaha berbuat sesuatu untuk mengurangi tekanan
yang semakin lama menjadi semakin berat.
Tetapi Swandaru tidak segera berhasil. Beberapa orang
berusaha menahannya dan memisahkannya dari Ki
Ranadana. Dalam pada itu, di luar rumah, para penyerang telah terlibat
pula dalam pertempuran yang sengit. Mereka yang
menyerang para prajurit yang tampaknya tidak begitu banyak
di gardu peronda, menjadi berdebar-debar melihat para
prajurit Pajang yang berloncatan dari dalam gelap. Karena
itulah, maka setiap orang yang ada langsung terlibat dalam
perkelahian. Kelompok yang harus mengawasi perkembangan
keadaan di halaman itu sama sekali tidak mendapat
kesempatan untuk tetap berada di tempatnya. Mereka pun
langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang seru.
Tetapi para prajurit Pajang sama sekali tidak membunyikan
tanda apa pun seperti yang sudah dipesankan kepada
mereka. Jika keadaan tidak memaksa, maka mereka harus
menyelesaikan tugas itu tanpa mengganggu ketenteraman
Jati Anom. Mereka tidak boleh menimbulkan kesan bahwa ada
sekelompok orang yang mampu menerobos masuk ke dalam
lingkungan prajurit Pajang, dan lebih daripada itu, ketenangan
hari-hari perkawinan Untara tidak boleh terganggu.
Namun kesiagaan yang cermat telah menempatkan para
prajurit Pajang itu dalam kedudukan yang baik. Apalagi ketika
para prajurit yang ada di halaman belakang pun telah ikut
melibatkan diri pula menyerang orang-orang yang bertugas
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengawasi keadaan di bagian belakang.
Karena jumlah mereka tidak banyak, maka mereka pun
segera bergeser ke halaman depan, bergabung dengan
kawan-kawannya yang sedang bertempur pula.
Dengan demikian maka perkelahian,yang terjadi di
halaman rumah Untara itu menjadi semakin seru. Samarsamar
oleh cahaya lampu minyak di gardu, orang-orang yang
bertempur itu berusaha membedakan, yang manakah kawan
dan manakah lawan. Namun prajurit Pajang ternyata telah
memakai cirri-ciri keprajuritan mereka masing-masing,
sehingga di antara mereka dengan mudah dapat saling
mengenal. Karena prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di halaman
itu adalah prajurit-prajurit pilihan, serta jumlah mereka pun
memadai, maka mereka segera menguasai keadaan. Namun
ternyata lawan-lawan mereka pun adalah orang-orang terpilih
pula, sehingga prajurit-prajurit Pajang itu harus mengerahkan
segenap kemampuan mereka, secara pribadi dan secara
bersama-sama untuk mendesak lawan mereka. Tetapi orangorang
itu sejauh mungkin tidak sampai merembes ke luar,
halaman, agar ketenangan Jati Anom tidak terganggu.
Di luar regol depan, dua orang prajurit pengawas dari
Pajang menyaksikan perkelahian yang bergolak dihalaman.
Setelah mereka yakin, bahwa tidak akan ada lagi orang-orang
yang bakal dating, maka mereka pun segera ikut pula di dalam
perkelahian itu. Namun dalam pada itu. Keadaan Ki Ranadana ternyata
menjadi semakin sulit karena jumlah lawannya yang kuat.
Bagaimanapun juga ia berusaha, namun ternyata bahwa ia
perlahan-lahan terdesak juga, sehingga sedikit demi sedikit ia
bergeser masuk ke dalam bilik.
"Jika aku terdorong masuk," berkata Ki Ranadana, "maka
aku tidak akan dapat menyaksikan akhir dari perkelahian ini
meskipun aku yakin, bahwa prajurit Pajang akan menguasai
keadaan." Dalam pada itu, Swandaru yang berada dekat dengan pintu
bilik itu masih belum dapat berbuat sesuatu untuk membantu
Ki Ranadana, sehingga karena itu, maka ia pun berusaha
sekuat-kuat tenaganya untuk memecahkan kepungan atas
dirinya sendiri. Namun demikian usaha itn bukannya usaha
yang mudah. Ternyata Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun melihat
kesulitan Ki Ranadana. Karena itu, hampir bersamaan mereka
berusaha untuk menolongnya.
Sumangkar yang masih belum mempergunakan segenap
kemampuannya tiba-tiba memutar trisulanya semakin cepat.
Kini ia tidak memperhitungkan lagi korban yang bakal jatuh.
Baginya, orang-orang itu tidak akan banyak dapat
memberikan keterangan, sehingga apabila terpaksa ujung
trisulanya menimbulkan kematian, maka itu adalah sesuatu
hal yang tidak dapat dihindarinya.
Karena itu, sejenak kemudian terdengar salah seorang dari
lawan-lawannya mengeluh tertahan. Namun hampir
bersamaan di lingkaran perkelahian yang lain seseorang
menjerit kesakitan, ketika ujung cambuk Kiai Gringsing
mengenai pelipisnya. Sekilas warna merah seakan-akan
menyala di wajah itu, kemudian darah yang merah mengalir
memenuhi kepalanya. Dua orang sekaligus telah terluka. Yang seorang di
kepalanya, sedang yang lain, trisula Ki Sumangkar langsung
mematuk dada. Ternyata hal itu sangat berpengaruh. Orang-orang yang
mendesak Ki Ranadana pun menjadi ragu-ragu. Tetapi di
antara mereka adalah pemimpin kelompok itu sendiri,
sehingga ia pun segera menguasai keadaan, dan memimpin
kawan-kawannya untuk mendesak lawannya kembali.
Meskipun demikian, hati pemimpin penyerang itu sudah
dihinggapi oleh keragu-raguan. Siapa sajakah yang berada di
dalam rumah ini, sehingga kawan-kawannya sama sekali tidak
segera berhasil membunuh mereka. Bahkan dua orang
kawannya telah terluka parah.
Ketika kemudian sebuah hentakan mendesak Ki
Ranadana, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk
bertahan di depan pintu. Ternyata pemimpin kelompok
penyerang itu berhasil meloncat masuk untuk menyerang Ki
Ranadana dari arah lain. Namun dengan demikian Ki
Ranadana tidak tetap berdiri saja di pintu. Ia pun segera
meloncat masuk dan mundur mendekati dinding agar ia dapat
melawan tanpa mendapat serangan dari belakang.
Empat orang termasuk pemimpin gerombolan penyerang
Tamu Dari Gurun Pasir 11 Rajawali Emas 02 Wasiat Malaikat Dewa Nemesis 4