Api Di Bukit Menoreh 27
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27
sekedar menakut-nakuti. Tetapi kalau ia menjawab tidak,
maka anak itu tentu tidak percaya karena hatinya sudah
dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka akhirnya Pandan
Wangi menjawab, "Aku tidak tahu. Hutan ini terlampau lebat,
sehingga aku tidak dapat melihat, apa yang tersembunyi di
balik dedaunan dan pepohonan. Mungkin harimau itu ada,
mungkin pula tidak. Tanpa dapat menyebutkan kepastian apa
pun." Rudita memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata
yang aneh. Tetapi bagaimana pun juga ia merasa, bahwa
Pandan Wangi tidak mau menjawab pertanyaannya dengan
baik. Itulah sebabnya hatinya menjadi semakin kecut. Hampir
saja ia menangis dan bahkan berteriak. Tetapi ia masih tetap
berusaha untuk bertahan. Seandainya di dalam keadaan
serupa itu ia ada di antara ayah dan ibunya, maka ia pasti
sudah memekik dan berteriak keras-keras tanpa
menghiraukan perasaan ayah dan ibunya.
Pandan Wangi akhirnya menjadi iba juga melihat keadaan
Rudita. Sebenarnyalah anak itu memang pantas untuk
dikasihani. Hidupnya dan hari depannya adalah suatu masa
yang sangat suram jika tidak terjadi perubahan yang mantap
pada anak itu. Umurnya yang sudah menginjak dewasa tidak
berkembang sejalan dengan sifat, watak, dan kematangan
jiwanya. Sejenak Pandan Wangi masih berdiam diri, sedang Rudita
berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak. Kini
ia harus melihat kenyataan bahwa di luar rumahnya, orang
lain tidak dapat diperlakukannya seperti ibunya, ayahnya, dan
pelayan-pelayan di rumahnya. Di luar rumah setiap orang
mempunyai sikap sendiri, kepentingan sendiri, dan
tindakannya didasarkan kepada suatu keyakinan mereka
masing-masing. Karena itulah maka hati Rudita menjadi kuncup. Kini ia
merasa terlampau kecil di antara anak-anak muda yang lain.
Yang ternyata memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu,
setidak-tidaknya untuk diri mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang menjadi semakin iba
itu pun berkata, "Rudita, bagaimana dengan kita sekarang?"
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Lalu,
"Terserah kepadamu, Pandan Wangi."
Pandan Wangi mendekatinya. Katanya seperti kepada
anak-anak yamg sedang merajuk, "Kita tetap di sini Rudita.
Kita menunggu Kakang Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa." Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Tetapi bagaimana jika sampai malam hari?"
"Kita tetap di sini. Kita membuat perapian di malam hari
agar kita tidak diganggu oleh binatang buas."
"Apakah binatang buas takut perapian?"
"Mereka tidak mau mendekati api di malam hari."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya
wajah Pandan Wangi sejenak seperti anak-anak yang
memelas menatap wajah ibunya yang marah.
"Sudahlah. Jangan takut. Sebentar lagi kita akan
mempunyai banyak kawan berbincang. Kakang Agung
Sedayu dan yang lain tidak akan pergi terlalu jauh."
Sekali lagi Rudita mengangguk.
Pandan Wangi pun kemudian duduk di atas akar sebatang
kayu yang besar sambil memperhatikan pengiringnya yang
sedang sibuk menguliti ular raksasa itu. Salah seorang dari
mereka sudah cukup berpengalaman. Tetapi yang pernah
dilakukan adalah menguliti ular yang belum sebesar ular yang
terbunuh itu. Dalam pada itu, sejenak kemudian seperti yang dikatakan
oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa pun telah kembali ke tempat itu. Mereka pun segera
duduk beristirahat sambil melihat bagaimana ular raksasa itu
sedang dikupas. Ternyata bahwa ketiga orang pengiring Pandan Wangi itu
dapat menyelesaikan pekerjaannya tidak sampai malam hari.
Dengan demikian maka mereka masih sempat keluar dari
hutan itu, dan pergi ke perkemahan mereka.
Rudita hampir tidak dapat lagi berjalan menembus
gerumbul liar di hutan itu, karena badannya yang sangat lelah
dan lapar. Tetapi ia mencoba untuk menahannya tanpa
mengatakan kepada orang lain, meskipun Pandan Wangi
sudah menduganya. Ketika mereka kemudian sampai ke perkemahan mereka
di luar hutan itu, maka Rudita pun langsung merebahkan
dirinya pada sebuah tikar yang memang sudah dibentangkan.
Rasa-rasanya nafasnya sudah hampir putus di perjalanan
ketika mereka harus meloncati batang-batang kayu yang
rebah dan merunduk di bawah sulur-sulur kayu.
Bagaimana pun juga namun Rudita tetap bertahan untuk
tidak menangis, meskipun matanya terasa menjadi sangat
panas. Dan ia sama sekali tidak mengerti, kenapa di dalam
keadaan seperti itu, Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan
bahkan Pandan Wangi yang seorang gadis, masih juga dapat
sekali-sekali tertawa berkepanjangan.
"Kita memerlukan air," berkata Pandan Wangi tiba-tiba.
"Ada sebuah mata air kecil di dekat tempat ini," berkata
seorang pengiringnya yang tinggal di kemah mereka. "Aku
sudah menemukannya ketika aku sedang mencari kayu bakar
dan juga mencari air. Bahkan ada sebuah saluran yang
membuang luapan air dari sebuah sendang kecil pada mata
air itu." "Di mana?" bertanya Pandan Wangi. "Mumpung belum
gelap." "Pergilah ke pohon besar yang tampak dari sini itu. Di
bawah pohon itu terdapat sebuah mata air."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sambil membenahi pedangnya ia menyandang busur dan
endong anak panahnya. "Aku akan pergi ke mata air itu sebentar."
Tiba-tiba Rudita yang sedang berbaring itu bangkit sambil
berkata, "Aku ikut bersamamu Pandan Wangi."
"Ah," desis Pandan Wangi, "kau nanti pergi bersama-sama
dengan anak-anak muda yang lain. Aku akan pergi sendiri
lebih dahulu." "Tidak. Aku pergi bersamamu."
"Itu tidak mungkin. Jika kau seorang bayi dan aku ibumu,
maka kau dapat aku bawa. Tetapi sekarang ini dalam keadaan
ini tentu tidak." Rudita menjadi kecewa, tetapi ia tidak dapat memaksanya,
karena ia pun kemudian menyadari keberatan Pandan Wangi.
Sehingga karena itu dengan lemahnya ia berbaring kembali di
atas tikar itu. Namun hatinya justru menjadi semakin pahit.
Tentu tidak akan ada yang menghiraukannya selama Pandan
Wangi tidak ada. Dan tentu orang-orang yang ada itu justru
akan menyakiti hatinya dengan sikap mereka yang sengaja
dibuat-buat. Tetapi ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan sendiri
sekali lagi bangkit dan bertanya, "Pandan Wangi. Apakah kau
akan pergi sendiri dalam keadaan yang berbahaya ini?"
Langkah Pandan Wangi tertegun. Ia berpaling sejenak.
Dipandanginya wajah Rudita yang cemas. Kemudian sambil
tersenyum ia berkata, "Bukankah belik itu hanya beberapa
puluh langkah saja dari tempat ini" Hanya di bawah pohon
yang besar itu?" "Tetapi sebentar lagi hari akan menjadi gelap," sahut
Rudita, "Itu lebih baik."
Rudita tidak menyahut lagi. Dengan hati yang kecut ia pun
berbaring kembali. Sekilas dilihatnya anak-anak muda yang
lain berdiri dalam satu lingkaran memandanginya.
"Mereka tentu membicarakan aku," berkata Rudita di
dalam hatinya, "mereka menjadi iri melihat Pandan Wangi
selalu bersamaku. Terutama anak yang gemuk itu. Tetapi aku
tidak peduli." Dan Rudita pun kemudian benar-benar mencoba untuk
tidak mempedulikan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa
yang memang sedang bercakap-cakap. Tetapi mereka sama
sekali tidak mempercakapkan Rudita. Mereka bahkan sedang
memperhatikan Pandan Wangi yang pergi sendiri.
"Jangan kalian susul aku sebelum aku kembali," berkata
Pandan Wangi kepada ketiga anak-anak muda itu.
Swandaru hanya tertawa saja. Prastawa-lah yang
menyahut, "Tetapi jangan tidur di belik itu. Kami pun ingin
segera membersihkan diri."
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia berjalan terus melewati
beberapa gerumbul perdu, dan hilang di balik rimbunnya
dedaunan. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa pun duduk pula di antara beberapa orang pengiring
yang ingin juga beristirahat, sementara mereka yang tidak ikut
berburu ular raksasa, dengan asyiknya mengamat-amati kulit
ular yang dibawa oleh kawan-kawan mereka sambil bertanya
tidak henti-hentinya tentang perburuan yang mendebarkan itu.
Namun tiba-tiba mereka yang sedang beristirahat itu pun
terkejut ketika di kejauhan terdengar aum seekor harimau.
Hampir di luar sadarnya mereka berloncatan berdiri,
sementara Rudita pun bangkit pula dengan tergesa-gesa.
Dengan cemas ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil
bergumam dengan suara gemetar, "Harimau, apakah itu suara
harimau?" Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya. Itu
suara harimau." "Apakah harimau itu akan datang kemari?"
Agung Sedayu yang sudah mengenal serba sedikit tabiat
dan sifat Rudita menjawab dengan tegas, "Tidak. Harimau itu
tidak menghadap kemari."
"Darimana kau tahu?"
"Dari getaran suaranya. Harimau itu mengaum sambil
membelakangi kita. Aku tahu pasti. Jika harimau itu
menghadap kita dan mencium bau kita, suaranya akan
berbeda." Jawaban yang seakan-akan pasti dan yakin itu telah
berhasil membuat Rudita diam, meskipun masih ada keraguraguan
di dalam hatinya. Namun Rudita sudah tidak bertanya
lagi, meskipun ia masih saja tetap berdiri di dekat Agung
Sedayu. Swandaru dan Prastawa yang mendengar jawaban Agung
Sedayu itu terpaksa menahan senyum mereka sambil
membelakangi Rudita. Namun mereka menjadi heran juga
bahwa Agung Sedayu sendiri sama sekali tidak tertawa
karena jawabannya itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketiga anak-anak muda itu
juga menjadi cemas. Mereka sama sekali tidak dapat
memperhitungkan, ke mana harimau itu akan pergi. Meskipun
Agung Sedayu seolah-olah menjawab dengan yakin, tetapi
sebenarnya ia pun menjadi cemas karena aum harimau itu.
"Pandan Wangi tentu mendengarnya juga," berkata Agung
Sedayu di dalam hatinya, "dan tentu ia akan menyiapkan
dirinya menghadapi setiap kemungkinan."
Lebih dari Agung Sedayu, adalah Swandaru. Tetapi ia
tidak dapat melanggar pesan Pandan Wangi, agar tidak
seorang pun yang mendekatinya. Dan sudah barang tentu
Swandaru pun tidak akan mendekatinya selagi Pandan Wangi
berada di belik itu. Tetapi bagaimana jika seekor harimau
sedang merunduk di belakang gadis yang sedang
membersihkan diri itu dan meletakkan senjatanya di tepi belik"
Beberapa lamanya mereka berdiri termangu-mangu.
Mereka tidak mendengar suara apa pun lagi, sehingga langit
menjadi samar-samar. Ketika mereka mulai menjadi cemas karena Pandan Wangi
masih belum tampak, maka Rudita pun mulai kebingungan.
Tetapi ia ragu-ragu untuk bertanya kepada anak-anak muda
yang lain. Namun akhirnya ia tidak dapat menekan perasaannya lagi
dan berkata, "Kenapa kalian tidak menengok Pandan Wangi?"
"O," Prastawa berpaling kepadanya, "kami tidak boleh
mendekati belik itu sebelum ia datang."
"Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu atasnya?"
Sebelum Prastawa menjawab, Agung Sedayu mendahuluinya,
"Kami juga sedang berpikir, apakah yang dapat kami
lakukan." "Pergilah. Lihatlah Pandan Wangi."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab agar ia tidak mengucapkan kata-kata yang
menyakitkan hati di luar sadarnya.
Tetapi mereka tidak perlu cemas terlalu lama. Sejenak
kemudian mereka melihat Pandan Wangi berjalan di sela-sela
gerumbul liar di pinggir hutan itu.
"Kau terlalu lama, Pandan Wangi," Rudita-lah yang mulamula
berteriak sebelum Pandan Wangi mendekat.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Baru setelah ia
dekat ia berkata, "Aku tidak segera dapat membersihkan diri.
Aum harimau itu agaknya tidak begitu jauh dari belik itu."
Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pandan
Wangi sejenak, kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa berganti-ganti. "Pandan Wangi," berkata Rudita kemudian, "harimau itu
tidak akan datang ke mari."
"Dari mana kau tahu?" bertanya Pandan Wangi.
"Ia tidak menghadap ke arah kita. Ia membelakangi kita."
"Ya, darimana kau tahu?"
"Dari getaran suaranya. Jika ia menghadap kemari, getar
suaranya tentu akan berbeda."
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Mungkin.
Mungkin kau dapat menangkap perbedaan itu. Tetapi aku
tidak. Mudah-mudahan harimau itu benar-benar tidak akan
datang kemari. Maksudku, jika ia tidak menghadap kemari,
mudah-mudahan ia berjalan langsung maju sehingga justru
akan menjadi semakin jauh dari tempat ini."
Prastawa hampir tidak dapat menahan tertawanya. Karena
itu maka tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah, kita pergi ke belik
itu bersama-sama." Ternyata, Swandaru yang sudah lebih dahulu melangkah
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjauh menyahut, "Marilah. Mumpung belum terlampau
malam." "Malam masih belum mulai," berkata Agung Sedayu.
"Sudah. Lihat, dilangit sudah ada bintang."
"O ya. Malam memang sudah mulai. Marilah kita pergi ke
belik." "Nah," sahut Pandan Wangi kemudian, "bawalah Rudita
serta." "Tidak. Aku tidak akan mandi," jawab Rudita.
"O, kenapa?" "Sudah terlampau malam. Aku biasa mandi dengan air
panas di rumah." Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Sambil
menarik nafas dalam-dalam Prastawa berkata, "Baiklah, jika
demikian kami akan pergi bertiga. Kemudian para pengiring
pun akan bergantian pergi ke belik itu sesudah kami."
Pandan Wangi hanya dapat menggigit bibirnya. Katanya
kemudian, "Jika kau tidak akan pergi bersama mereka,
baiklah, duduk sajalah di tikar itu."
"Apakah kau akan pergi lagi Pandan Wangi?" bertanya
Rudita. "Tidak, aku tidak akan pergi."
Demikianlah maka Rudita dan Pandan Wangi itu pun
kemudian duduk di atas tikar sambil menghirup minuman
hangat yang sudah disediakan oleh para pengiringnya.
Bahkan kemudian bekal makanan yang mereka bawa. Jadah
yang dipanasi di atas bara dan jenang alot yang manis.
"Pandan Wangi," bertanya Rudita tiba-tiba, "kenapa kau
bersikap terlampau baik terhadap ketiga anak-anak bengal
itu?" Pandan Wangi memandang anak muda itu sejenak, lalu
jawabnya, "Kita harus baik terhadap siapa pun juga. Apalagi
kepada tamu-tamu kita. Kita harus menghormatinya apa pun
yang sebenarnya ada di dalam hati."
"Jadi apakah sebenarnya kau membenci mereka, sehingga
sikapmu itu hanya berpura-pura?"
"Ah, pertanyaanmu aneh. Marilah kita berbicara tentang
hal lain. Lihat, hutan itu seperti hilang ditelan gelap."
"Mengerikan sekali. Tetapi bukankah di sini ada banyak
orang?" "Ya. Para pengiring lengkap ada di sini."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Tetapi
bagaimanakah sebenarnya tanggapanmu terhadap
Swandaru" Bukankah Swandaru itu melamarmu?"
Meskipun bagi Pandan Wangi, Rudita tidak lebih dari
seorang anak kecil meskipun ujudnya besar, namun sepercik
warna merah telah membayang di pipinya. Hanya karena
keremangan malam yang baru saja menyelubungi Tanah
Perdikan Menoreh, maka warna itu tidak tampak oleh Rudita.
Apalagi ketika Rudita itu kemudian mendesak,
"Bagaimana, Pandan Wangi?"
Karena gadis itu mendapatkan kesulitan untuk menjawab
maka katanya kemudian, "Terserah kepada ayah. Bukankah
aku seorang gadis" Ayahlah yang wajar menentukan siapakah
jodohku kelak." "Benar begitu?" bertanya Rudita dengan serta merta.
"Kenapa?" Pandan Wangi ganti bertanya.
"Bagaimana jika ayahku menjumpai ayahmu, dan ayahmu
lebih setuju dengan pendapat ayahku daripada Ki Demang di
Sangkal Putung itu."
"Ah, itu tidak mungkin," jawab Pandan Wangi yang sama
sekali tidak menyangka bahwa Rudita akan berkata demikian.
"Tetapi bukankah Paman Argapati yang akan menentukan
hari depanmu." "Sudahlah, kita berbicara tentang yang lain. Kita harus
berhati-hati selama kita berada di sini. Mungkin binatang buas
itu sedang merunduk kita. Jika kita diterkamnya maka kita
tidak akan dapat berbicara lagi tentang ayah kita masingmasing."
"Apakah ada seekor harimau di sini?"
"Aku tidak tahu," jawab Pandan Wangi tegas, agar tidak
menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia
berdesah, "Aku akan berbaring. Apakah api perapian itu akan
dipadamkan sesudah nasi masak?"
"Tidak, api itu akan diperbesar," jawab Pandan Wangi
begitu saja terloncat dari bibirnya. Ternyata bahwa pertanyaan
Rudita yang seolah-olah seperti pertanyaan kanak-kanak itu
menjadi persoalan di hati Pandan Wangi, karena mungkin
sekali Rudita akan menyampaikannya kepada orang tuanya.
Karena itu untuk beberapa lamanya. Pandan Wangi
merenungi pertanyaan-pertanyaan Rudita itu. Ia sudah
terlanjur mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung
kepada ayahnya. Jika kemudian ayah dan ibu Rudita salah
menafsirkan keterangan Rudita, akibatnya akan dapat
berkepanjangan. Seandainya ayahnya tetap pada
pendiriannya, karena pembicaraan dengan Ki Demang
Sangkal Putung sudah dilakukan, maka tentu ada sesuatu
yang akan tetap terasa mengganggu hubungan antara
ayahnya dan ayah Rudita, apalagi Rudita adalah, saudaranya
dari saluran darah ibunya yang sudah agak jauh.
"Tentu ayah Rudita cukup bijaksana," berkata Pandan
Wangi di dalam hatinya. Dalam pada itu nasi pun segera masak. Aum harimau
justru terdengar semakin jauh di tengah-tengah hutan yang liar
itu sehingga orang-orang yang mendengarnya menarik nafas
dalam-dalam. Mereka tidak perlu memperhatikannya lagi,
meskipun mereka tidak boleh lengah, karena dapat saja terjadi
seekor harimau yang lain tiba-tiba saja menerkam kuda
mereka yang terikat. "Tetapi biasanya kuda mempunyai naluri yang tajam jika
ada bahaya yang mendekat. Mereka akan berteriak dengan
rebut," berkata salah seorang pengiring itu kepada kawannya.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa pun telah kembali ke perkemahan. Badan mereka
terasa menjadi segar. Karena itulah, maka terasa betapa
mereka menjadi lapar ketika tercium bau nasi yang hangat.
Tetapi mereka tidak segera makan. Para pengiring itulah
yang kemudian pergi ke belik untuk mandi, sedang anak-anak
muda itu dengan penuh kewaspadaan mengawasi keadaan di
sekitar mereka. Dengan beberapa potong kayu Prastawa membuat
perapian yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak
itu semakin besar. Nyala api yang merah melonjak semakin
lama semakin tinggi, sedang dedaunan yang merunduk
diatasnya bagaikan menggeliat kepanasan.
Cahaya merah itu membuat pepohonan dan batang perdu
menjadi sewarna bara. Angin yang semilir telah mengguncang
lidah api itu, sehingga bayangan dedaunan bagaikan
bergerak-gerak. Sejenak Rudita memandangi bayangan yang ikut
berguncang perlahan-lahan. Semakin lama rasa-rasanya
bagaikan raksasa yang sedang menari-nari mengelilinginya
diiring oleh irama suara cengkerik dan bilalang. Bahkan
kemudian suara anjing hutan yang menyalak di kejauhan,
namun yang segera terbungkam oleh aum seekor harimau.
"O," Rudita tiba-tiba menelungkup sambil
menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
Pandan Wangi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam,
sedang Prastawa bergeser setapak mendekatinya. Tetapi
Swandaru menggamitnya sambil berkata perlahan-lahan
sekali, "Biarkan saja. Aku menjadi semakin kasihan
kepadanya. Mudah-mudahan ia dapat segera menenangkan
hatinya." "Sebaiknya ia segera tidur," sahut Agung Sedayu berbisik,
"dengan demikian ia akan dapat melepaskan dirinya dari
siksaan ketakutan." Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya Rudita yang masih saja menelungkup. Sambil
bergeser kembali ia berkata, "Aku pun kasihan sekali
kepadanya." Pandan Wangi tidak begitu mendengar kata-kata mereka
yang sedang berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan ia dapat
mengerti maksud mereka itu.
Demikianlah tidak seorang pun yang mengganggu Rudita
yang sedang menelungkup. Mereka bahkan berharap anak
muda itu segera dapat tertidur nyenyak.
Ketika mereka sudah berkumpul lagi dengan para
pengiring yang bergantian mandi, maka mereka pun kemudian
mulai makan dengan lahapnya. Rudita ternyata tidak mau
bangun lagi. Ia menggelengkan kepalanya ketika Pandan
Wangi mengajaknya makan. "Biarlah ia tidur," desis Agung Sedayu sekali lagi.
Setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, barulah
mereka menempatkan diri masing-masing di tempat yang
mereka pilih sebagai pembaringan. Ternyata mereka tidak
cukup banyak membawa tikar, sehingga sebagian dari mereka
harus menimbun rerumputan kering di pinggir perapian itu.
Beberapa orang bertugas untuk berjaga-jaga sampai
menjelang tengah malam. Kemudian kelompok yang lain akan
berganti bertugas. Sedang kelompok terakhir adalah Agung
Sedayu, Swandaru dan Prastawa,
Kelompok pertama yang terdiri dari separo daripada para
pengiring itu pun kemudian duduk di pinggir perapian. Sambil
memanasi telapak tangan mereka di udara malam yang dingin
mereka masih saja membicarakan tentang ular naga yang
berhasil mereka bunuh. Ternyata sejenak kemudian, perkemahan itu menjadi sepi.
Mereka yang akan berganti bertugas, segera berusaha untuk
tidur. Sedang Pandan Wangi yang tidak termasuk dalam
kelompok-kelompok yang akan berjaga-jaga, merasa dirinya
menjadi pemomong Rudita secara khusus, sehingga justru
karena itu ia tidak dapat meninggalkannya, meskipun anak itu
pernah berbicara kepadanya tentang lamaran seorang anak
muda. Setiap kali Pandan Wangi yang berbaring tidak jauh dari
Rudita itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali
ia harus melihat apakah Rudita masih tetap dalam
keadaannya. Namun akhirnya, karena Pandan Wangi sendiri pun
merasa letih, maka akhirnya ia pun tertidur juga.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka para penjaga
yang bertugas pun mulai mengisi waktunya untuk melawan
kantuk. Mereka tidak lagi berkumpul duduk di sekitar perapian.
Tetapi dua di antara mereka berjalan mengelilingi perkemahan
itu dan melihat-lihat keadaan kuda mereka.
Ternyata bahwa di bagian pertama dari malam itu tidak
terjadi sesuatu. Tanpa membangunkan orang-orang lain,
maka kelompok petugas pertama telah membangunkan
kelompok kedua dan menyerahkan tugas mereka kepada
kelompok berikutnya. Seperti kelompok pertama, maka setiap kali dua orang dari
para petugas itu berjalan-jalan berkeliling perkemahan. Selain
untuk mengawasi keadaan, sebenarnya mereka memang
berusaha untuk melawan kantuk yang hampir tidak
tertahankan, justru karena terasa udara sangat segar di
malam hari. Namun agaknya para peronda itu tidak menemukan
sesuatu yang mencurigakan. Kuda-kuda mereka sama sekali
tidak terganggu, dan yang sedang tidur pun masih tetap tidur
dengan nyenyaknya. Dalam pada itu sebenarnyalah bahwa para petugas, tidak
mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang
mengawasi mereka. Bukan mata harimau yang garang, bukan
pula sepasang mata ular naga yang liar. Tetapi beberapa
pasang mata manusia. Ketika para petugas itu sedang bercakap-cakap setelah
dua orang di antara mereka baru saja berkeliling, ternyata
beberapa orang telah merayap mendekati perkemahan itu.
"Tentu mereka yang sedang kita cari," desis salah seorang
dari mereka. "Mudah-mudahan," sahut yang lain, seorang anak muda.
Tetapi agaknya ialah yang memimpin kelompok yang sedang
merunduk mendekati perkemahan itu.
Demikianlah mereka merayap semakin lama menjadi
semakin dekat. Dengan isyarat anak muda yang memimpin
kelompok itu pun kemudian memberikan perintah, agar anak
buahnya segera memencar. Dengan diam-diam, maka beberapa orang itu pun
memencar mengepung perkemahan itu. Semakin lama
kepungan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, para petugas yang sedang meronda
malam itu sama sekali tidak menduga, bahwa di sekitar
perkemahan itu ternyata telah bertebaran beberapa orang
yang tidak mereka kenal. Setelah mereka tidak merasa
kantuk, maka mereka justru duduk saja mengitari perapian
yang masih menyala karena setiap kali para petugas telah
melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalamnya.
"Rasa-rasanya malam terlampau sepi," desis salah
seorang peronda. "Ya, malam memang terlalu sepi. Rasa-rasanya kita tidak
sedang berada di pinggir hutan liar."
"Harimau itu tentu sudah mendapatkan mangsanya
sehingga karena itu tidak lagi berteriak-teriak."
"Apakah hanya ada seekor harimau di hutan yang lebat
itu?" "Tentu tidak. Tetapi semuanya sudah kenyang, dan
semuanya tidak mengaum."
Kawan-kawannya tertawa. Sebenarnya mereka pun masih
mendengar auman harimau. Tetapi jauh sekali sehingga
mereka tidak perlu menghiraukannya. Namun demikian,
ternyata bahwa para penjaga itu, selain menyandang pedang
di lambung, mereka mempersiapkan busur dan anak panah,
jika pada suatu saat mereka perlukan. Tetapi bukan saja untuk
melawan harimau, karena dimalam hari pun kadang-kadang
mereka melihat seekor kijang berlari-lari apabila seekor
harimau lewat dekat persembunyiannya.
Tetapi malam itu, tidak ada seekor binatang pun yang
mendekati perkemahan mereka. Sedang orang-orang yang
berusaha mendekat itu, ternyata cukup berhati-hati, sehingga
langkah mereka tidak segera didengar oleh para penjaga itu.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apalagi mereka yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
Sejenak para peronda itu masih saja duduk di sekitar
perapian. Baru ketika kantuk mulai meraba mata mereka lagi,
dua orang di antara mereka berdiri dan berjalan mengelilingi
perkemahan itu. Namun mereka masih belum menyadari bahwa ada
beberapa orang yang sedang mengepung mereka. Karena itu,
maka kedua orang itu pun kemudian kembali lagi ke tepi
perapian dan duduk pula di antara mereka.
Dalam pada itu, orang-orang yang sedang mengepung itu
pun merayap semakin maju. Beberapa orang terpenting
berada di tempat yang terpencar. Semakin lama semakin
dekat, sehingga anak muda yang memimpin mereka itu pun
sempat memperhatikan kuda yang tertambat.
"Hitung, berapa ekor kuda yang ada," desisnya perlahanlahan
sehingga kawannya berbicara pun hampir tidak
mendengarnya. "Banyak," sahut kawannya, "kira-kira sepuluh ekor."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap
kali ia mengerutkan keningnya memperhatikan para peronda.
Jika dua orang di antara para peronda itu berdiri dan berjalan
melingkar, maka orang-orang yang mengepung itu pun
seakan-akan membeku di tempatnya, bahkan menarik nafas
pun rasa-rasanya tidak mereka lakukan. Karena itulah maka
para peronda itu tidak segera dapat mengetahui kehadiran
mereka yang masih bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul
liar itu. Namun ternyata, bahwa kuda-kuda yang tertambat itulah
yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang itu.
Salah seekor dari kuda-kuda itu pun tiba-tiba meringkik keraskeras
dengan gelisahnya disusul oleh beberapa ekor yang
lain. Dan ringkik kuda itu telah mengejutkan orang-orang yang
sedang bertugas mau pun yang sedang tidur nyenyak. Karena
itulah maka mereka pun segera terbangun pula.
Dengan tangkasnya para peronda itu pun segera
mempersiapkan senjata sambil berpencar menatap ke segala
arah membelakangi api. Demikian juga mereka yang sedang
tertidur pun bangkit dan duduk sambil meraba senjata masingmasing
sambil menunggu apakah yang terjadi sebenarnya.
Namun secepat itu pula pemimpin kelompok yang
mengepung itu pun memberikan isyarat kepada anak buahnya
dengan suatu suitan nyaring. Secepat para pengiring itu
bersiap dan orang-orang yang tertidur itu bangun, maka
perkemahan itu sudah terkepung rapat. Di dalam keremangan
cahaya api yang kemerah-merahan, mereka melihat
bayangan-bayangan hitam di sela-sela dedaunan dengan
senjata telanjang di tangan.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat
kematian kalian," desis anak muda yang memimpin kelompok
itu. Para peronda menjadi termangu-mangu. Ternyata jumlah
orang-orang yang mengepung perkemahan itu cukup banyak.
"Lepaskan senjata kalian," berkata suara itu pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan
Wangi, dan Prastawa pun telah terbangun pula. Tetapi mereka
masih tetap berada di tempat masing-masing. Meskipun
demikian tangan mereka sudah menggenggam tangkai
senjata masing-masing. "Kalian harus menyerah sebelum kami mengambil sikap
yang lebih kasar," berkata anak muda yang memimpin orangorang
yang telah mengepung perkemahan.
Para peronda menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa
Pandan Wangi yang mereka anggap sebagai pemimpin
mereka telah terbangun, sehingga mereka hanya menunggu
perintah daripadanya. Jika Pandan Wangi memerintahkan
untuk bertempur, maka apa pun yang terjadi mereka akan
bertahan mati-matian. "Cepat, lakukan perintah kami. Letakkan senjata kalian."
Tetapi para peronda masih ragu-ragu karena Pandan
Wangi masih belum mengucapkan perintah apa pun.
Dalam pada itu Rudita yang sudah terbangun pula segera
menyadari apa yang terjadi. Ialah yang mula-mula bangkit
berdiri memandang keadaan di sekelilingnya.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa kami
melepaskan senjata," terdengar lagi suara anak muda yang
memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan
itu. Rudita pun kemudian melihat bayangan kehitaman di
antara dedaunan. Bahkan samar-samar ia melihat beberapa
buah senjata yang berkilat-kilat.
Tiba-tiba ketakutan yang sangat telah menerkam
jantungnya, seperti ketika ia melihat ular naga yang hampir
saja menelannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata,
"Aku tidak apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak
bersenjata dan aku menyerah."
"Tidak," Prastawa-lah yang tidak dapat menahan hatinya
setelah ia meyakini keadaan, bahwa sebenarnyalah
sekelompok orang-orang yang tidak dikenalnya telah
mengepung perkemahan itu. "Kami bukan cucurut yang dapat
ditakut-takuti dengan senjata."
Suasana yang tegang itu menjadi bertambah tegang.
"Kau tidak akan berdaya," jawab suara pemimpin
kelompok itu dengan tenang, "kami bukan sekedar menakutnakuti.
Tetapi jika perlu kami pun dapat bertindak keras dan
kasar." "Kami adalah laki-laki seperti kalian," sahut Prastawa.
"Tidak," tidak tiba-tiba Rudita berteriak, "kau memang
bodoh sekali. Kita memang harus menyerah. Bukankah itu
lebih baik." Lalu dengan suara yang gemetar, "Aku menyerah.
Jangan kalian sakiti aku. Aku tidak tahu apa-apa."
"Pengecut," bentak Prastawa, "menyerahlah jika kau ingin
menyerah." Sebelum Rudita menyahut, maka yang terdengar adalah
suara Agung Sedayu, "Siapakah sebenarnya kalian, dan
apakah kepentingan kalian dengan kami?"
Tidak segera terdengar jawaban, Sedang Agung Sedayu
pun kemudian telah berdiri pula membelakangi api
menghadap kepada orang-orang yang mengepungnya,
disusul oleh Swandaru yang berdiri pula di sampingnya.
Pemimpin kelompok orang-orang yang mengepung
perkemahan itu melihat dua bayangan hitam di depan
perapian. Tetapi mereka tidak melihat wajah kedua orang itu
justru karena mereka menjadi silau oleh nyala api yang
kemerah-merahan itu. "Lepaskan senjata kalian," suara itu terdengar lagi.
Agung Sedayu mencoba memperhatikan beberapa
bayangan di sela-sela dedaunan, tetapi ia pun tidak dapat
melihat mereka dengan jelas, karena mereka tidak berdiri
cukup dekat. "Sebaiknya berterus teranglah," berkata Agung Sedayu,
"dengan demikian kita menjadi pasti, apakah yang akan kita
lakukan." "Kami akan berbicara setelah kalian melemparkan senjata
kalian." "Cepat!" Rudita pun ikut membentak. "Jangan terlalu
sombong. Apakah sulitnya melemparkan senjata dari tangan,
tetapi kemudian kita selamat" Bukankah kita memang tidak
berhasrat untuk pergi berperang?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
sama sekali tidak menanggapi kata-kata Rudita. Sekali lagi ia
berkata lantang, "Sebut namamu atau gelarmu atau apa pun
yang dapat memberikan ciri atau sebutan bagimu."
"Sekali lagi aku mengulangi, lemparkan senjata kalian.
Baru kita berbicara. Dan kalian akan segera mengenal aku."
Tiba-tiba Swandaru menggeram, "Kami tidak akan
melemparkan senjata kami. Itu adalah keputusan kami.
Terserah, apa yang akan kalian lakukan. Kalian tidak bersedia
untuk berbicara dalam kedudukan yang sama. Itu suatu
penghinaan. Karena itu, kami akan mempertahankan harga
diri kami." Sejenak tidak terdengar jawaban. Bayangan di antara
semak-semak itu masih berdiri ditempatnya, sedang senjata
mereka seakan-akan telah siap untuk menerkam. Orangorang
yang mengepung perkemahan itu tinggal menunggu
perintah dari pimpinan mereka untuk meloncat maju
menyerang orang-orang yang tidak bersedia melemparkan
senjata mereka. Dalam pada itu, Rudita yang semakin ketakutan berteriak
dengan suara serak, "Gila! Gila! Lemparkan senjata-senjata
itu. Cepat! Jika tidak, kita semua akan binasa sekedar karena
kesombonganmu." Swandaru yang berusaha untuk menyabarkan dirinya,
menggeretakkan giginya. Tetapi ia mencoba tidak
menghiraukan lagi anak yang menggigil ketakutan itu. Ketika
kemudian ia menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya
para pengiring Pandan Wangi pun telah siap menghadapi
segala kemungkinan. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian
bangkit berdiri dan berkata dengan nada tinggi, "Jangan
mencoba menundukkan hati kami. Kami berada di daerah
kami sendiri. Kalianlah yang harus menyerah dan kalian
terpaksa kami bawa menghadap ayah, Kepala Tanah
Perdikan Menoreh karena kalian telah melanggar hak atas
daerah kami." Masih belum ada jawaban. "He, siapakah kalian?" Prastawa-lah yang berteriak
kemudian. "Gila, kalian semua sudah gila," potong Rudita, "kenapa
kalian berniat untuk berkelahi. Bukankah kita hanya akan
sekedar berburu." Tetapi hati Rudita yang dicengkam oleh ketakutan yang
menjadi semakin kuncup karena tidak seorang pun yang
menghiraukannya. Bahkan Pandan Wangi yang kemudian maju beberapa
langkah sambil menggenggam hulu pedangnya yang masih
ada di dalam sarungnya berkata, "Kalian jangan mencoba
bukan saja menghinakan kami, tetapi kalian telah mencoba
pula menghinakan kekuasaan yang ada di atas Tanah
Perdikan ini. Apa pun juga yang akan terjadi, kamilah yang
akan memaksa kalian menyerah, bukan sebaliknya."
Masih tidak ada jawaban, sehingga dengan demikian
Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di dalam kepungan
itu menjadi ragu-ragu. Yang terdengar kemudian adalah suara Agung Sedayu,
"Kenapa kalian diam saja" Jika kalian ingin bertindak kasar,
lakukanlah. Tetapi jika kalian ingin berbicara, kami akan
berbicara dengan senjata di tangan seperti kalian."
Tiba-tiba pemimpin dari orang-orang yang mengepung
perkemahan itu melangkah maju. Di dalam kegelapan
tampaklah seorang yang berperawakan sedang sambil
membawa sebatang tombak pendek. Tetapi tombak itu kini
berdiri tegak di bahu kanannya.
"Maafkan kami," itulah yang pertama-tama diucapkannya
setelah beberapa saat ia berdiam diri.
Semua orang yang menyaksikannya menjadi termangumangu.
Bukan saja di pihak Pandan Wangi dan kawankawannya,
tetapi orang-orang yang sedang mengepung
perkemahan itu pun menjadi heran.
"Bukan maksud kami mengejutkan kalian," berkata orang
yang membawa tombak pendek itu.
Agung Sedayu yang membelakangi api mengerutkan
keningnya. Kemudian dilihatnya orang yang melangkah itu
semakin dekat, sehingga cahaya api yang kemerah-merahan
mulai menjangkaunya. "Apakah kalian mengenal aku?" bertanya orang itu.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian
hampir berbareng terdengar suara Agung Sedayu dan
Swandaru, "Raden Sutawijaya.",
Orang itu tertawa. Ia melangkah semakin dekat lagi.
Katanya, "Aku pun tidak segera mengenal kalian, karena
kalian membelakangi api, sehingga yang tampak hanyalah
wajah-wajah yang hitam. Tetapi suara seorang gadis dan
apalagi ketika ia menyebut dirinya dan menghubungkan
dengan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku pun
yakin bahwa tubuh yang gemuk di dalam bayangan api itu
adalah Swandaru Geni. Meskipun yang tampak hanyalah
bayang-bayang yang hitam, tetapi tidak ada bayang-bayang
yang bulat dan begitu gagahnya selain putera dari Sangkal
Putung." "Ah," Swandaru berdesah, "aku tidak menyangka bahwa
Raden ada di sini." "Aku ingin minta maaf kepada Pandan Wangi, bahwa aku
sudah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kini Raden
Sutawijaya berada hanya beberapa langkah saja di hadapan
dirinya. "Tetapi apakah yang Raden kehendaki di Tanah Perdikan
ini?" "Kami sedang mencari sekelompok orang-orang yang tidak
kami kenal. Mereka telah menyeberangi sungai Praga dan
hilang di dalam hutan ini."
"Apakah Raden menduga bahwa mereka orang-orang
Menoreh?" "Tidak. Bukan maksudku. Aku sama sekali tidak menduga
demikian." Pandan Wangi adalah putera Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, sehingga ia pun menyadari hak dan wewenangnya.
Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, "Apakah Raden
tidak dapat menempuh cara lain daripada memasuki daerah
ini tanpa setahu ayah atau orang-orang yang berwenang di
atas Tanah Perdikan ini."
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan Raden
Sutawijaya. Karena untuk sesaat ia berdiam diri. Ia mengerti,
bahwa orang yang berkuasa di atas Tanah ini tentu
tersinggung karena kehadirannya tanpa memberitahukan atau
minta ijin lebih dahulu. Apalagi ketika Pandan Wangi berkata,
"Raden, sebenarnyalah bahwa kami pun sedang berusaha
menangkap orang-orang bersenjata yang tidak kami
kehendaki berkeliaran di daerah kami."
Raden Sutawijaya tidak segera menjawab. Dipandanginya
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandan Wangi yang berdiri tegak di dalam cahaya api yang
kemerah-merahan. Namun Raden Sutawijaya tidak dapat ingkar. Katanya
kemudian, "Pandan Wangi. Baiklah aku minta maaf atas hal
ini. Tetapi baiklah kau mendengar alasanku. Aku sedang
mencari sekelompok orang-orang bersenjata. Mereka baru
saja membuat sesuatu yang merugikan Mataram. Ketika
mereka menyeberang Kali Praga, kami masih mengejar
mereka. Tetapi malam segera turun sehingga kami tidak
berhasil menangkapnya. Meskipun demikian kami tidak
berhenti. Kami maju terus menembus hutan liar ini. Adalah
kebetulan sekali kami melihat perapian di sini, sehingga kami
menyangka bahwa kalian adalah orang yang sedang kami
cari." "Seharusnya Tuan berhenti di seberang Kali Praga," sahut
Pandan Wangi, "jika Tuan tidak menduga bahwa mereka
orang-orang Menoreh, maka Raden tidak akan mengejarnya
sampai ke seberang. Raden harus mempercayakannya
kepada kami, kepada orang-orang Menoreh."
"Kami tidak mempunyai waktu lagi," jawab Sutawijaya.
"Tentu waktu masih cukup panjang. Raden harus
menyerahkan kepada kami untuk menangkapnya. Raden
dengan sepasukan pengawal tidak dapat dibenarkan berada
di daerah Tanah Perdikan Menoreh tanpa ijin kami. Bukan
karena Raden sudah mengejutkan kami sehingga kami
menjadi jengkel karenanya. Tetapi seharusnyalah bahwa
Raden mengetahui hal itu."
"Ya, ya," jawab Sutawijaya, "sudah aku akui. Dan aku
sudah minta maaf." "Tidak kepadaku, karena bukan akulah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh." Sepercik ketegangan tampak di wajah Raden Sutawijaya.
Karena itu ia tidak segera menjawab. Ditatapnya saja Pandan
Wangi berganti-ganti dengan Agung Sedayu dan Swandaru.
Kedua anak muda murid Kiai Gringsing itu menjadi
bingung. Ia sebenarnya tidak ingin terjadi ketegangan itu.
Tetapi mereka pun dapat mengerti bahwa Pandan Wangi
merasa tersinggung karena orang lain telah memasuki
wilayahnya tanpa ijin. Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berkata, "Baiklah aku minta maaf
kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukankah
aku dapat minta kepadamu untuk mewakilinya?"
Pandan Wangi-lah yang kemudian termangu-mangu.
Sejenak ia berpaling kepada Swandaru, seakan-akan minta
pertimbangannya. Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak
sedang memandang ke arah Pandan Wangi.
Raden Sutawijaya menunggu dengan hati yang berdebardebar.
Ia sedang berdiri di antara dua kepentingan. Yang
sebelah, adalah harga dirinya, sedang yang lain adalah
hubungan antara Tanah Mataram yang sedang tumbuh
dengan Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa kepentingan Mataram-lah yang paling
utama bagi Sutawijaya. Ia tidak mau merusak hubungan
antara daerah yang sedang dibuka dengan daerah di
sekitarnya. Bahwa ia sudah menyeberang Kali Praga di
malam hari, adalah karena terdorong oleh keinginannya
menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang setiap kali
selalu mengganggu pertumbuhan Mataram.
Sejenak mereka dikuasai oleh ketegangan. Semua orang
memandang kepada Pandan Wangi untuk menunggui
jawabannya Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya.
Terserahlah tanggapan ayah terhadap hal ini."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan ia pun
bertanya, "Apakah maksudmu, Pandan Wangi."
"Jika ayah menghendaki Raden datang sendiri kepadanya,
terserahlah kepada ayah. Mungkin Raden segera akan
kembali ke Mataram. Namun jika ayah menghendaki, kami
dapat mengirimkan utusan untuk menyampaikan keputusan
ayah kepada Raden." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
Katanya, "Baiklah. Aku mengerti bahwa kalian benar-benar
merasa tersinggung. Tetapi jika kau menyampaikan persoalan
ini kepada Ki Gede Menoreh, aku berharap agar dapat kau
sampaikan dengan lengkap. Salam permintaan maaf, juga
alasanku kenapa aku dengan terpaksa sekali menyeberangi
sungai itu di malam hari. Aku sama sekali tidak ingin
melanggar hak atas Tanah Perdikan ini, tetapi semata-mata
karena terdorong oleh keinginan untuk menangkap mereka.
Kami sudah dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali
lagi, sehingga kami telah melanggar batas Tanah Perdikan
Menoreh." "Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya kepada
ayah dengan lengkap."
"Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh dapat mengerti, dan
tidak usah mengirimkan utusan mencari aku ke Mataram dan
memanggil aku. Karena mungkin sekali aku tidak sedang
berada di Mataram. Sebagai Putera Sultan Pajang aku
kadang-kadang mendapat tugas khusus juga, tugas untuk
melihat-lihat daerah Pajang yang tersebar luas di atas Tanah
ini. Dari pasisir Utara sampai pasisir Selatan. Dari ujung Timur
sampai ke ujung Barat. Dan untuk itu kadang-kadang aku
memerlukan waktu yang panjang."
Pandan Wangi tercenung sejenak. Sedang Agung Sedayu
dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar,
bahwa Sutawijaya masih ingin juga menunjukkan
kekuasaannya, kekuasaan yang memang ada padanya
sebagai putera angkat Sultan Pajang yang sebelum
meninggalkan istana, bagaikan puteranya sendiri.
Dan kekuasaan Pajang itu sampai saat terakhir masih
diakui meliputi daerah yang luas, termasuk Tanah Perdikan
Menoreh. Karena itulah maka Pandan Wangi tidak segera
menjawabnya. Pengakuan atas Pajang, dan pengakuan atas
kekuasaan para pemimpin di Pajang masih dihormatinya,
seperti ayahnya juga masih tetap menghormatinya.
Agung Sedayu yang menyadari bahwa Pandan Wangi
berada di dalam kesulitan perasaan berusaha menolongnya.
Katanya mengalihkan pembicaraan, "Jika demikian,
silahkanlah, Raden. Marilah kita berbicara seenaknya sambil
duduk mengelilingi perapian ini. Mungkin pembantu kami
dapat merebus air dan memanasi jadah ketan dengan
memanggangnya di atas bara. Kita akan dapat berbicara
tentang orang-orang bersenjata yang tidak dikenal itu. Dan
tentu pembicaraan akan menjadi sangat menarik."
"Terima kasih," jawab Sutawijaya
Pandan Wangi pun kemudian sambil mencoba
menenangkan hatinya berkata, "Baiklah, silahkan Raden
duduk." Raden Sutawijaya pun kemudian memberikan isyarat
kepada orang-orangnya. Mereka pun kemudian bermunculan
dari balik gerumbul. Dan ternyata bahwa mereka pun tidak
begitu banyak. Tidak lebih dari lima belas orang.
Namun ternyata bahwa anak buah Raden Sutawijaya itu
cukup berhati-hati. Meskipun mereka kemudian duduk pula di
perkemahan itu, namun mereka tetap terpencar. Masingmasing
berkelompok antara empat atau lima orang.
Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru menaruh
kepercayaan sepenuhnya bahwa Raden Sutawijaya tentu
tidak akan berbuat sesuatu dengan cara yang tidak terpuji.
Karena itulah maka mereka sama sekali tidak mencurigainya.
Mereka sama sekali tidak menaruh banyak perhatian terhadap
anak buahnya yang duduk di dalam gerombol-gerombol yang
terpisah. Tetapi ternyata bahwa Prastawa yang kurang mengenal
Raden Sutawijaya berpendirian lain. Karena itulah maka ia
duduk memisahkan diri dari mereka yang kemudian
mengelilingi perapian. Ternyata Prastawa lebih senang duduk
bersama para pengiring yang tidak sedang sibuk menyiapkan
minuman dan makanan yang dapat menghangatkan mereka di
malam hari. Dalam pada itu Rudita menjadi kebingungan. Ia kurang
mengerti, kenapa suasana tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi
heran kenapa orang-orang yang mengepung mereka itu
segera menjadi lunak. "Agaknya mereka sudah berkenalan sebelumnya," katanya
di dalam hati. Dan ternyata bahwa pembicaraan mereka yang duduk di
perapian itu pun menjadi lancar.
Dalam pada itu, Rudita yang masih termangu-mangu itu
dan yang kemudian duduk di atas tikar di arah belakang
Pandan Wangi mencoba memperhatikan pembicaraan
mereka. Setiap kali ia mendengar nama anak muda yang
bersenjata tombak pendek itu disebut-sebut sebagai Raden
Sutawijaya. Dan nama itu memang pernah didengarnya.
Hanya didengarnya. "Ia menyebut dirinya sebagai putera Sultan Pajang.
Apakah Raden Sutawijaya itulah yang dimaksud sebagai
putera angkat Sultan Pajang seperti yang sering aku dengar?"
ia bertanya kepada diri sendiri.
Akhirnya Rudita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari pembicaraan yang didengarnya tentang orang-orang
bersenjata yang membuat Mataram menjadi kisruh, ia yakin
bahwa orang itulah yang dimaksudkannya.
Karena itu maka tiba-tiba saja ia bergeser maju. Ketika ia
sudah duduk di sebelah Pandan Wangi, maka ia pun berkata,
"Raden Sutawijaya. Ternyata Raden Sutawijaya adalah orang
yang selama ini baru aku dengar namanya lewat ceriteraceritera.
Kedatangan Raden sangat mengejutkan kami dan
agaknya perbawa Raden telah membuat aku ketakutan.
Tetapi sebenarnyalah bahwa kami tidak akan berani berbuat
apa pun terhadap Raden, Putera Sultan Pajang."
Sutawijaya berpaling. Dilihatnya Rudita dengan herannya.
Apalagi ketika dilihatnya anak muda itu tertawa-tawa sambil
meremas-remas tangannya sendiri.
"Raden," berkata Rudita kemudian, "aku minta maaf akan
kelancangan kawan-kawanku, juga Pandan Wangi. Meskipun
agaknya mereka sudah mengenal Raden, dan barangkali
bahkan sudah mengetahui kedudukan Raden, namun mereka
tentu belum tahu, betapa tinggi sebenarnya kedudukan Raden
itu. Sebenarnya kami sama sekali tidak pantas duduk
bersama-sama dengan Raden seakan-akan kami mempunyai
kedudukan yang sama dengan Raden."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sejenak
dipandanginya Agung Sedayu yang menarik nafas dalamdalam.
Kemudian Swandaru yang justru termangu-mangu.
Ketika Rudita masih akan berbicara lagi, Pandan Wangi
telah menggamitnya, sehingga niat itu diurungkannya. Namun
wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan ketika Rudita
justru bertanya kepada Pandan Wangi, "Kenapa?"
"Sst," Pandan Wangi berdesis.
"Bukankah kau menggamit aku" Kenapa?"
Sutawijaya terpaksa menahan senyumnya. Dalam sekilas
ia dapat mengenal sifat anak muda itu. Anak muda itu pulalah
yang menjadi ketakutan ketika ia mengepung perkemahan itu.
Dan anak muda ini pula yang justru ingin agar kawankawannya
melepaskan senjatanya. Namun dengan demikian,
maka Rudita tidak menjadi persoalan lagi bagi Raden
Sutawijaya. Ia tahu ada sedikit kekurangan pada anak muda
itu. Mungkin pengalaman atau mungkin tuntunan di dalam
keluarganya yang tidak banyak memperkenalkan anak muda
itu dengan sifat dunia yang keras.
Dalam pada itu Pandan Wangi masih dikejar oleh
kebingungan karena Rudita masih saja bertanya kepadanya,
"Kenapa kau menggamit aku he" Apakah ada sesuatu yang
akan kau katakan?" Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak. Tidak ada yang akan aku katakan."
"Tetapi kau menggamit aku."
"Tidak sengaja. Aku hanya menyentuhmu karena aku
bergeser sedikit." "O," Rudita mengangguk-angguk, "kau membuat aku
kehilangan kata-kataku. Aku masih ingin berbicara dengan
Raden Sutawijaya, tetapi aku lupa kata-kata yang sudah ada
di ujung lidah." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Dan tiba-tiba saja Rudita berkata pula, "Ha, sekarang aku
ingat. Aku ingin berkata tentang diri kita kepada Raden
Sutawijaya." Lalu sambil menghadap kepada Raden
Sutawijaya ia berkata, "Raden, tentu kami tidak akan dapat
menghalang-halangi apa yang akan Raden katakan. Sama
sekali tidak dapat. Pandan Wangi terlampau berbangga diri
karena jabatan ayahnya. Tetapi dibandingkan dengan Raden,
maka jabatan ayahnya sama sekali tidak berarti. Apalagi anakanak
Sangkal Putung itu. Mereka tidak lebih dari anak seorang
Demang kecil." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kata-nya, "Kami sudah lama berkenalan. Di antara kami tidak
ada lagi persoalan jabatan atau pangkat. Kami berkenalan
seperti anak-anak muda berkawan satu sama lain."
"O. Tentu karena Raden berjiwa besar. Tetapi kamilah
yang harus menyadari keadaan kami. Kekecilan diri kami.
Adalah sikap deksura yang tidak dapat dimaafkan, jika kami
tidak menyadari keadaan kami masing-masing."
"Terima kasih," lalu kepada Rudita ia bertanya, "siapa
namamu?" "Rudita." "Terima kasih, Rudita. Kau adalah anak muda yang tahu
diri. Tetapi biarlah kami bersikap seperti yang kami lakukan.
Aku lebih senang berbicara dengan bebas dalam sikap yang
bebas." "O, betapa besar jiwa Raden. Dan karena itulah kami
merasa lebih kecil lagi. Seharusnya anak-anak Sangkal
Putung itu bergeser mundur dan duduk bersila di atas tanah
sambil menundukkan kepalanya."
Raden Sutawijaya akhirnya menjadi jemu juga melayani.
Karena itu katanya, "Terima kasih. Sebaiknya kau tidur, Anak
Manis. Hari sudah terlampau malam."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Swandaru-lah yang kemudian hampir tidak dapat menahan
tertawanya. Tetapi dengan susah payah dan sambil
memalingkan kepalanya, ia berhasil menyembunyikan
perasaannya. Rudita pun kemudian terdiam. Tetapi ia tidak mengerti
sikap Raden Sutawijaya. Apakah kata-katanya itu sebenarnya
dimaksudkan seperti yang diucapkan, atau ia mempunyai
maksud lain. Karena itu maka Rudita itu pun menjadi
termangu-mangu. Namun demikian, maka ia pun terdiam
karenanya. Dalam pada itu, Prastawa yang duduk di antara para
pengiringnya lamat-lamat mendengar juga percakapan antara
Rudita dan Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat
membungkam mulut Rudita. Tetapi dengan menahan diri ia
terpaksa tetap duduk di tempatnya.
Meskipun demikian, ia masih saja tetap mengawasi
kelompok-kelompok orang-orang Mataram yang duduk
terpencar. Namun semakin lama kecurigaannya itu pun
menjadi semakin tipis. Sementara itu, Sutawijaya sudah terlibat lagi dalam
pembicaraan yang lancar dengan Agung Sedayu, Swandaru,
dan Pandan Wangi. Mereka masih saja membicarakan orangorang
bersenjata yang tidak mereka kenal.
"Raden," berkata Agung Sedayu, "jika demikian, maka
sebenarnya Mataram telah terkepung."
"Ya. Mataram memang sudah dikepung oleh orang-orang
yang tidak kita kenal itu. Sejak hantu-hantuan itu dapat kita
ketahui rahasianya, maka mereka telah mengambil cara yang
lebih kasar. Aku sudah mendengar laporan yang terperinci
dari Ki Lurah Branjangan tentang kekacauan yang timbul di
Jati Anom. Sebenarnyalah bahwa kami harus mengucapkan
terima kasih kepada Kiai Gringsing dan murid-muridnya
beserta Ki Sumangkar."
"Ah. Itu sudah menjadi kuwajiban kami."
"Juga kepada Ki Ranadana dan para prajurit Pajang di Jati
Anom. Tetapi kami belum sempat melakukannya."
"Kita semuanya berkepentingan."
"Juga semua bantuan yang telah kalian berikan kepada
kami selama ini." "Ah, kami tidak berbuat apa-apa," jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru berkata, "Raden, bukan maksud kami
untuk menunjukkan jasa kami kepada Raden dan Mataram.
Tetapi agaknya perlu Raden ketahui, bahwa jalan masuk ke
Mataram dari arah Timur seakan-akan benar-benar telah
tertutup." "Ya, kami sudah mengetahui bahwa gangguan meningkat
di bagian Timur Alas Mentaok, bahkan di Alas Tambak Baya."
"Ya. Kami menemukan seseorang yang menyebut dirinya
panembahan tidak bernama."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
"Kami terpaksa bertempur melawan orang itu bersama
anak buahnya." "Ya, ya. Aku juga sudah mendengar laporan tentang
mereka. Aku juga sudah mendengar, siapakah yang telah
berhasil menyingkirkan orang yang menyebut dirinya
panembahan tidak bernama itu."
"Bukan maksud kami untuk menyatakan diri kami."
"Aku mengerti. Kau tentu sekedar memberikan peringatan
bahwa hal itu telah terjadi."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tentu pengawalpengawal
dari Mataram itulah yang menyampaikan laporan
mengenai panembahan tidak bernama itu.
"Semuanya itu membuat aku yakin, bahwa ada kekuatan
yang sebenarnya berbahaya bagi Mataram, sehingga kami
tidak dapat menunggu saja," berkata Sutawijaya kemudian.
"Dan itu pulalah sebabnya yang mendorong aku
memberanikan diri menyeberangi Kali Praga. Dan untuk itu
aku sudah minta maaf."
"Raden tidak perlu minta maaf," tiba-tiba saja Rudita, telah
menyela, "Menoreh adalah bagian dari Pajang. Dan Raden
adalah Putera Sultan Pajang. Apa pun yang akan Raden
lakukan, tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya."
Raden Sutawijaya berpaling. Dipandanginya Rudita
sejenak, lalu kepalanya pun terangguk-angguk, "Ya, ya. Aku,
memang dapat berbuat begitu meskipun itu tidak bijaksana."
"Kebijaksanaan Raden yang melimpah-limpah itulah yang
membuat Raden benar-benar seorang besar yang berjiwa
besar." "Terima kasih," sahut Raden Sutawijaya. Lalu katanya
kepada Swandaru, "Sebenarnyalah bahwa kami di Mataram,
sedang diprihatinkan oleh persoalan-persoalan yang seakanKang
Zusi - http://kangzusi.com/
akan tidak henti-hentinya itu."
Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, "Mudahmudahan
Raden segera menemukan jalan yang paling baik
untuk menyelesaikannya."
Sutawijaya tidak segera menyahut. Dipandanginya api
yang menyala semakin besar karena beberapa potong kayu
yang dilemparkan ke dalamnya. Sepercik bunga api meloncat
ke udara dan hilang dibawa angin yang bertiup ke Utara.
"Raden dapat menemui Ki Gede Menoreh," berkata Agung
Sedayu tiba-tiba. Sutawijaya mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan
Wangi pun memandang anak muda itu dengan dahi yang
berkerut-merut. "Maksudmu?" bertanya Raden Sutawijaya.
Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Rudita sudah
mendahului, "Kau jangan mencampuri persoalan Tanah
Perdikan Menoreh. Pandan Wangi sudah menyadari
kekeliruannya. Raden Sutawijaya adalah Putera Sultan
Pajang. Buat apa ia menemui Ki Gede Menoreh" Jika Raden
Sutawijaya memerlukan, ialah yang akan memanggil Ki Gede
menghadap. Baik di Mataram mau pun di Pajang. Bukan
sebaliknya." Agung Sedayu hanya memandangnya sekilas. Namun ia
berbicara terus, seakan-akan tidak ada seorang pun yang
berbicara, "Raden. Jika Raden berhasil mengadakan
semacam persetujuan dan semayan untuk bersama-sama
menjaga perbatasan masing-masing, maka gerak orang-orang
itu akan menjadi sangat terbatas. Apalagi apabila dapat
disusun semacam pasukan pengawal gabungan. Baik dengan
Tanah Perdikan Menoreh, mau pun dengan Kademangan
Mangir." Raden Sutawijaya merenung sejenak. Pendapat itu
memang sangat menarik. Agaknya memang tidak akan
terdapat kesulitan dengan Tanah Perdikan Menoreh jika ia
benar-benar menemui Ki Argapati. Tetapi yang masih menjadi
pertanyaan bagi Raden Sutawijaya adalah Mangir dan bagian
Timur Alas Tambak Baya. Daerah Cupu Watu adalah daerah
yang kurang dikenalnya. Kemudian Kademangan Prambanan
yang kadang-kadang mempunyai sikap yang kurang
dimengertinya justru karena daerah itu jarang sekali
dijamahnya. Kemudian jika Swandaru mempunyai pengaruh
yang cukup terhadap ayahnya dan kademangannya, maka
Sangkal Putung dapat diharapkannya. Namun di bawah
bayangan kaki Gunung Merapi terletak daerah Jati Anom,
daerah yang menjadi pusat kekuasaan senapati di daerah
Selatan ini, Untara. "Tetapi untuk membinasakan orang-orang yang sengaja
mengeruhkan suasana itu, Jati Anom dapat dibawa bekerja
bersama," berkata Sutawijaya di dalam hatinya. Meskipun
demikian ia tidak ingkar bahwa sebenarnya ada beberapa
orang perwira Pajang yang langsung atau tidak langsung,
berjalan sejajar dengan orang-orang yang menghalangi
pertumbuhan Mataram. "Tidak mustahil bahwa otak dari gerakan yang gila itu
sebenarnya justru ada di Pajang," desis Sutawijaya di dalam
hatinya pula. Dalam pada itu, Agung Sedayu masih menunggu jawaban
anak muda yang memiliki kelebihan dari orang-orang
kebanyakan itu. Sejenak Sutawijaya masih merenung. Lalu
jawabnya kemudian, "Pendapatmu baik sekali. Tetapi apakah
orang-orang yang berkuasa di sekitar Mataram dapat mengerti
maksud itu. Aku yakin, tidak ada persoalan lagi bagi Menoreh.
Tetapi aku tidak tahu, apakah Ki Demang di Mangir tidak
justru menjadi marah-marah kepadaku seakan-akan aku
sudah memerintahnya."
"Tetapi hal itu dapat dicoba."
"Ya. Memang dapat dicoba. Dan aku akan
menyampaikannya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan."
Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "Tetapi sebelum
dengan resmi aku menemui Ki Gede Menoreh, aku minta agar
Pandan Wangi menyampaikan persoalan ini, dan terlebih lagi
untuk waktu yang terlampau pendek ini. Bagaimana jika kita
mulai saja dengan kerja sama itu sekarang?"
"Maksud Raden?"
"Aku sedang mengejar orang-orang yang tidak aku ketahui
dari mana asalnya itu. Mereka menyeberangi sungai dan
hilang di dalam hutan ini."
"Kapan?" bertanya Swandaru.
"Belum lama." "Sesudah malam"
"Ya, sesudah malam."
Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya sambil
menjawab, "Sulit sekali untuk menemukan mereka. Bukannya
kami tidak bersedia. Tetapi untuk mencari mereka di tengahtengah
hutan liar itu di malam hari, adalah pekerjaan yang
sangat sulit." (***) Buku 72 RADEN Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
telah mencoba menerobos hutan itu, tetapi memang
terlampau sulit, sehingga lebih cepat baginya untuk melingkar
di sebelah hutan liar ini. Namun dengan demikian ia telah
kehilangan buruannya dan justru menemukan perkemahan
Pandan Wangi di pinggir hutan itu.
"Memang sulit sekali," berkata Sutawijaya, "tetapi jika aku
menunggu sampai besok, maka aku akan kehilangan lagi."
"Sama saja bagi Raden," berkata Pandan Wangi, "Raden
tidak akan menemukannya, meskipun Raden berusaha
mencarinya malam ini."
Sekali lagi Sutawijaya mengangguk sambil berkata, "Tetapi
sama saja artinya. Dan arti itu adalah, aku kehilangan lagi
buruanku." Pandan Wangi melihat kekecewaan yang dalam di wajah
Raden Sutawijaya. Tetapi tentu tidak ada yang dapat
menolongnya. Hutan yang liar itu menyimpan seribu
kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan. Apalagi di
malam hari. Sejenak mereka saling berdiam diri. Rudita yang duduk
mendengarkan percakapan itu menjadi ngeri. Seandainya
mereka benar-benar akan memasuki hutan itu di malam hari,
maka ia akan menjadi beku karenanya.
Rudita itu terkejut ketika ia mendengar aum harimau di
tengah-tengah hutan. Sejengkal ia bergeser mendekati
Pandan Wangi. Sedang Prastawa yang mendengar suara itu
juga justru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak pergi dari
tempat duduknya. Ia lebih senang duduk di antara para
pengiringnya daripada duduk bersama-sama dengan Rudita,
meskipun ia sudah tidak curiga lagi terhadap para pengawal
Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, maka mereka pun sempat juga menghirup
minuman panas yang dihidangkan oleh para pengiring dan
bahkan makanan yang sudah dihangatkan. Nikmat sekali.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "aku akan
ikut berstirahat di sini. Besok pagi-pagi benar, aku akan
menyerahkan arah perjalananku kepada kalian. Apakah aku
akan kembali atau aku akan mencari terus orang-orang yang
selalu membuat kerusuhan di Mataram itu."
Dan hampir di luar sadarnya Swandaru berkata,
"Bagaimana jika kita pergi bersama mencarinya di seluruh
hutan ini. Mungkin mereka memang bersarang di dalam hutan
ini." "Tergantung kepada Pandan Wangi. Jika aku diizinkan,
aku masih akan mencarinya di dalam hutan ini. Alangkah
berterima kasihnya Mataram jika kalian pergi bersamaku."
Sejenak tidak ada yang menyahut. Rudita yang duduk di
sebelah Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Lalu
katanya, "Raden, tetapi bukankah orang-orang itu sudah tidak
berada di Mataram lagi?"
"Siapa?" bertanya Sutawijaya pula.
"Orang-orang yang Raden cari."
"Sudah aku katakan, mereka telah menyeberang sungai
itu, dan berada di atas Tanah Perdikan Menoreh."
"Jika demikian sebenarnya Raden sudah tidak perlu
bersusah payah lagi. Biar sajalah mereka pergi ke mana
mereka kehendaki. Tetapi bukankah dengan demikian berarti
mereka sudah tidak mengganggu daerah Mataram lagi?"
"Ya, sekarang mereka memang tidak mengganggu daerah
Mataram lagi. Tetapi entahlah besok pagi. Atau bahkan
mungkin, sekarang ini mereka telah menyeberang ke Timur
dan mulai lagi mengganggu orang-orang yang tinggal di
daerah yang masih agak sepi."
Rudita mengerutkan keningnya. Katanya, "Tentu tidak,
Raden. Mereka tentu sudah lari ketakutan, jika mereka
mengetahui Raden sedang mengejarnya."
Sutawijaya memandang Rudita sejenak. Jawabnya
kemudian, "Ya. Mereka tentu akan lari ketakutan."
Rudita tidak mengerti tanggapan Raden Sutawijaya yang
sebenarnya. Kenapa tiba-tiba saja ia mengiakan kata-katanya.
Namun dengan demikian ia menjadi terdiam.
Dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang berkata, "Jika
Pandan Wangi menyetujui, aku bersedia besok pagi
memasuki hutan ini untuk mencari jejak. Sekaligus berburu
binatang buas. Bukankah tidak banyak bedanya" Namun jika
kita kurang hati-hati, kitalah yang justru akan diburu oleh
orang-orang itu, seperti kita hampir saja menjadi mangsa
seekor ular naga." Swandaru memandang Pandan Wangi pula seolah-olah
sedang menunggu. Ialah yang paling berwenang menentukan,
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apakah ia sependapat atau tidak.
Setelah merenung sejenak, maka Pandan Wangi pun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Baiklah.
Kita besok pergi bersama-sama."
"Jangan pergi," Rudita mencoba mencegahnya, "biarlah
mereka pergi, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kita
menunggu di sini bersama para pengiring."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
seperti kepada adiknya yang kecil ketika merengek minta
mainan, "Kau sajalah yang tinggal di sini bersama beberapa
orang pengiring yang akan menunggui kuda kita dan
menyediakan makan kita seperti sekarang ini."
"Tetapi sebaiknya kau tidak pergi."
"Aku ingin pergi, Rudita. Akulah tuan rumah di sini. Akulah
yang paling pantas mengantarkan tamu-tamu yang
menjelajahi daerah Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi mereka bukan tamu. Mereka adalah orang-orang
yang ingin berperang."
"Dan kita adalah orang-orang yang sedang berburu. Kita
sudah sepakat untuk berburu di hutan liar itu," jawab Pandan
Wangi, "dan kita sekarang mendapat kawan yang cukup
banyak. Bukankah semakin banyak kawan kita, perjalanan kita
akan menjadi semakin aman?"
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan gelisah.
Agaknya Pandan Wangi pun sudah tidak mau mendengarkan
kata-katanya lagi. Ia menyesal, bahwa ia sudah ikut di dalam
rombongan, bukan saja berburu di daerah yang liar, tetapi
orang-orang itu rasa-rasanya seperti orang-orang liar juga,
yang sedang berkelahi melawan alam di jaman-jaman
manusia hidup di daerah hutan-hutan yang lebat. Hidup di
dalam jaman perburuan tiada henti-hentinya. Membunuh dan
dibunuh binatang buas dan sesama manusia.
"Kini mereka pun sedang berburu manusia," berkata
Rudita di dalam hatinya. Namun Rudita tidak akan dapat mencegah orang-orang
yang masih saja suka berburu itu. Sedang untuk tinggal di
perkemahan itu pun rasa-rasanya terlalu ngeri. Beberapa
orang pengiring yang tinggal tentu tidak setangkas Pandan
Wangi. Dan tentu tidak akan dapat membidik mata ular
dengan lemparan tombak. "Di daerah yang buas memang sebaiknya berada di antara
orang-orang yang garang seperti mereka itu untuk
menyelamatkan diri," berkata Rudita di dalam hatinya.
"Pandan Wangi," berkata Rudita kemudian, "baiklah jika
demikian. Jika kau pergi, aku pun akan pergi. Apalagi jika
menurut penilaianmu semakin banyak orangnya, akan menjadi
semakin aman." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi jalan terlalu
sulit di tengah-tengah hutan itu."
"Itulah yang menyenangkan, Rudita. Kita sudah terlalu
lama hidup dalam kesenangan. Hampir tidak pernah berbuat
apa-apa, sehingga sekali-sekali kita harus melatih diri kita
sendiri mengatasi kesulitan jasmaniah. Berburu di hutan liar ini
adalah cara yang baik untuk itu."
"Kalian memang mencari kesulitan. Jika kalian ingin, kalian
tentu dapat menyediakan uang untuk mengupah beberapa
orang untuk mendapatkan binatang buruan yang kalian
kehendaki. Kijang, rusa atau kancil. Bahkan harimau loreng
sekalipun asal uang itu cukup banyak."
"Juga dapat untuk berburu orang-orang bersenjata
sekalipun. Tetapi kita tidak yakin bahwa usaha itu akan dapat
hasil baik seperti yang kita harapkan," potong Sutawijaya.
"Tentu itu bukan persoalan kita, Raden. Jika kita sudah
mengadakan pembicaraan, maka itu harus berhasil. Jika tidak,
kita tidak usah membayarnya."
"Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan di dalam
perburuan binatang. Sebelum kita mendapat macan loreng,
kita tidak akan memberikan upahnya," sahut Sutawijaya.
"Tetapi tidak bagi perburuan orang-orang bersenjata."
"Apa bedanya, Raden?" bertanya Rudita. "Tentu kita juga
tidak akan membayar upahnya, jika mereka tidak berhasil
menangkap orang yang kita cari."
"Memang kita tidak usah membayar upahnya. Tetapi
kehilangan buruan, nilainya belipat dari upah yang harus kita
bayarkan," jawab Raden Sutawijaya. "Bukan sekedar seperti
binatang buruan yang banyak jumlahnya."
Rudita tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Raden
Sutawijaya sejenak, lalu kepalanya pun tertunduk, namun
agaknya Rudita itu masih belum mengerti maksud Sutawijaya.
"Rudita," berkata Sutawijaya seperti seorang guru yang
sabar mengajari muridnya yang terlampau bebal, "setiap
binatang yang sama nilainya dapat dikatakan sama bagi kita.
Macan loreng yang satu akan sama saja nilainya dengan
macan loreng yang lain. Seekor rusa tidak banyak berbeda
dengan rusa yang lain pula. Tetapi tentu tidak orang-orang
bersenjata itu. Sekelompok orang bersenjata yang aku cari
akan sangat berbeda nilainya dengan sekelompok yang
bersenjata di sekitar perapian ini, meskipun aku hampir saja
keliru. Dan tentu berbeda pula dengan sekelompok yang lain
lagi yang mungkin akan kita jumpai di sepanjang perjalanan
kita. Karena itu, sulit bagi kita untuk mengupah orang-orang
yang sanggup berburu manusia bersenjata seperti pemburupemburunya
itu sendiri, meskipun hal itu dapat juga sekalisekali
terjadi. Tetapi sudah tentu tidak dalam kedudukan
seperti kita sekarang ini."
Rudita tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga, ia tidak
akan dapat mencegah perburuan yang menegangkan itu.
Meskipun demikian, ia pun tidak berani tinggal di perkemahan
itu tanpa Pandan Wangi. "Bagaimana jika justru orang-orang yang diburu itu yang
akan memburu aku dan para pengiring yang tugas di sini,"
berkata Rudita di dalam hati. Namun demikian sama sekali
tidak berkata apa pun juga.
Ketika Rudita kemudian terdiam, maka yang lain mulai
berbicara. Swandaru yang sudah menahan hati terlampau
lama itu berkata, "Baiklah kita mempergunakan sisa malam ini
untuk beristirahat sebelum kita besok menyelusuri hutan
belukar yang lebat itu. Dengan orang-orang bersenjata yang
tidak kita kenal, maka hutan lebat di pinggir Praga ini tentu
tidak akan kalah berbahayanya dari Mentaok, meskipun hutan
ini tidak terlalu luas."
"Aku sependapat," berkata Raden Sutawija. "Kita dapat
tidur sejenak. Mudah-mudahan bukan kita yang kemudian
dikepung oleh sepasukan orang-orang bersenjata itu. Dan
baru akan kita cari besok pagi."
"Kuda-kuda kami adalah penjaga yang paling baik. Mereka
akan segera membangunkan kami jika ada seseorang yang
datang." "Orang-orangku akan berjaga-jaga," berkata Sutawijaya.
"Bagus sekali. Giliranku adalah berjaga-jaga menjelang
pagi. Jika demikian, maka aku tidak perlu lagi melakukannya.
Aku akan menitipkannya saja kepada para pengikut Raden
Sutawijaya dan kuda-kuda kami itu," gumam Swandaru.
"Sst," Agung Sedayu berdesis.
Swandaru berpaling. Dipandanginya Agung Sedayu
sejenak tanpa mengerti maksudnya, kenapa ia berdesis.
"Kau samakan saja mereka dengan kuda-kuda kita," bisik
Agung Sedayu. "O," Swandaru menutup mulutnya, seakan-akan ingin
menahan kata-katanya yang tersisa.
Demikianlah, maka mereka pun segera mencari tempat
untuk beristirahat. Sebagaimana orang-orang yang biasa
bertualang, maka Sutawijaya pun segera mendapatkan tempat
di atas rerumputan yang kering.
"Raden," berkata Rudita, "kenapa Raden berbaring di
tempat yang kotor itu. Marilah, silahkan Raden berbaring di
atas tikar ini bersama aku, dan biarlah Pandan Wangi
mempergunakan yang selembar lainnya. Biarlah anak-anak itu
mencari tempat mereka masing-masing."
Swandaru hanya memandang Rudita sejenak. Tetapi ia
tidak menghiraukannya lagi, karena ia pun sama sekali tidak
mempergunakan sehelai tikar pun. Demikian juga Agung
Sedayu, dan apa lagi Prastawa.
Tetapi ternyata bahwa Sutawijaya menolak, katanya, "Aku
biasa tidur di mana pun juga tanpa lambaran, rumput kering
adalah alas yang lebih hangat dari sehelai tikar pandan.
Karena itu, biarlah aku tidur di sini saja bersama-sama dengan
yang lain." "Ah," desah Rudita, "tetapi tidak enak bagiku. Seakan-akan
aku berderajat lebih tinggi dari Raden. Karena itu silahkan
Raden tidur di sini."
Sutawijaya tertawa. Katanya, "Kau terlalu baik hati. Kau
mencoba untuk menghormati orang lain yang menurut
pendapatmu pantas dihormati. Tetapi biarlah aku di sini. Itu
bukan salahmu. Aku sendirilah yang menentukan."
Rudita tidak menyahut lagi. Tetapi untuk beberapa
lamanya ia mengawasi saja Raden Sutawijaya yang berbaring
di rerumputan kering dekat perapian. Demikian juga para
pengiringnya yang segera bertebaran mencari tempat masingmasing.
Namun demikian beberapa orang masih tetap duduk
di tempatnya untuk berjaga-jaga, karena bahaya dapat datang
setiap saat, selagi mereka tidur dengan nyenyak.
Malam itu ternyata tidak ada sesuatu yang menarik
perhatian. Agung Sedayu dan Swandaru tidak perlu lagi
bertugas di akhir malam. Bahkan keduanya sempat tidur
dengan pulasnya, karena di perkemahan itu rasa-rasanya
menjadi semakin aman dengan kehadiran Raden Sutawijaya
bersama para pengiringnya.
Namun dalam pada itu Rudita-lah yang ternyata tidak
dapat memejamkan matanya sama sekali. Bukan saja karena
ia merasa segan kepada Raden Sutawijaya, yang menurut
gambarannya adalah seorang putera sultan yang berkuasa di
seluruh Pajang, namun hatinya juga digelisahkan karena
besok mereka harus melanjutkan perburuan mereka. Bukan
saja berburu binatang buas, tetapi juga berburu manusia.
Manusia yang bersenjata lebih tajam dari taring harimau yang
paling ganas. Ketika kemudian fajar menyingsing, maka mereka pun
segera bangkit dan membenahi diri. Beberapa orang dari
mereka pun segera memperbesar nyala perapian dan
menjerang air untuk minum.
Sementara itu. Pandan Wangi pun mendahului orangorang
lain pergi ke belik di bawah pohon yang besar itu.
Kemudian baru yang lain berturut-turut membersihkan diri
mereka. "Apakah kau tidak akan mandi?" bertannya Pandan Wangi
kepada Rudita. "Aku tidak dapat pergi sendiri. Aku belum mengetahui
letaknya." "He, kenapa sendiri" Bukankah semua juga pergi ke belik
itu?" "Aku tidak mau bersama dengan mereka."
"Kenapa?" Rudita menggelengkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia
bertanya, katanya, "Pandan Wangi, apakah setelah semuanya
selesai, kau mau mengantarkan aku?"
"Ah," Pandan Wangi tidak dapat menahan senyumnya,
katanya, "apakah kau tidak malu ditertawakan oleh orangorang
lain?" "Mereka tidak akan mentertawakan. Aku tidak dapat
berbuat lain daripada itu."
Pandan Wangi menjadi iba juga kepada anak manja itu.
Karena itu maka katanya, "Baiklah. Marilah, agaknya
semuanya sudah hampir selesai. Jika kita sampai di tempat
itu, maka semuanya tentu sudah kembali ke perkemahan ini.
Tetapi sudah barang tentu aku tidak dapat mendekati belik itu
apabila yang lain baru mandi."
"Ah, jika begitu, nanti saja setelah mereka selesai sama
sekali." "Itu akan membuang waktu."
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan
mata yang sayu, sehingga akhirnya Pandan Wangi berkata,
"Baiklah. Kita menunggu sejenak."
Demikianlah, setelah langit semakin terang barulah
semuanya selesai mandi. Dan barulah Pandan Wangi
mengantarkan Rudita pergi ke belik itu. Seperti seorang ibu
mengantar anaknya ke pakiwan di malam hari.
Ternyata Rudita hanya mencuci mukanya. Namun
demikian badannya merasa segar dan rasa-rasanya
kekuatannya menjadi bertambah-tambah.
Tetapi ia menjadi heran melihat Pandan Wangi yang sama
sekali tidak memperhatikannya. Yang diperhatikan justru
rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu di sekitar belik itu.
"Apa yang menarik perhatianmu, Pandan Wangi?"
bertanya Rudita. Pandan Wangi tidak menyabut. Tetapi sesuatu memang
sangat menarik perhatiannya.
Sejenak Rudita menjadi termangu-mangu. Dipandanginya
saja Pandan Wangi yang kadang-kadang berjongkok, kadangkadang
menyibakkan dedaunan perdu.
Akhirnya Rudita justru menjadi khawatir, sehingga sekali
lagi ia bertanya, "Pandan Wangi, apa yang kau lihat?"
Pandan Wangi hanya berpaling sejenak, namun kemudian
ia kembali merenungi gerumbul-gerumbul di sekitarnya.
Rudita meniadi semakin cemas. Bahkan ia bertanya
kepada diri sendiri, "Apakah Pandan Wangi telah kesurupan
demit belik itu?" Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu
memanggilnya, "Rudita, kemarilah."
Dengan tergesa-gesa Rudita mendekat, meskipun
beberapa langkah dari Pandan Wangi ia berhenti sambil
memperhatikan gadis itu. Tetapi agaknya gadis itu tidak
sedang kemasukan hantu. "Apa yang kau perhatikan?"
"Kemarilah, lihatlah."
"Apa?" "Rerumputan ini."
"He, kemana kau?" bertanya Rudita ketika ia melihat
Pandan Wangi menyelusuri sesuatu.
"Telapak kaki di atas rerumputan. Ranting-ranting perdu
yang berpatahan."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, tentu orang-orang yang pergi ke belik ini lebih dahulu
dari kita." "Mereka tidak akan sampai sejauh ini. Semula aku
menduga demikian. Tetapi ketika aku perhatikan, maka ada
sebuah jalur yang panjang. Tentu segerombolan orang telah
lewat melalui tempat ini. Dari dalam hutan dan berbelok
menyelusuri hutan perdu ini."
"Ah, darimana kau tahu."
"Lihat. Bekas-bekas kaki dan ranting yang patah ini
datangnya dari arah itu dan kemudian menuju ke arah ini.
Lihat, jalur ini adalah jalur yang panjang. Memang mungkin
satu dua orang di antara mereka singgah ke belik itu, karena
ada jalur yang pergi ke sana dan meninggalkan belik itu.
Tetapi aku yakin, tentu bukan telapak kaki orang-orang kita
sendiri, yang datang kemari setelah gelap semalam dan pagi
tadi mereka pergi ke belik ini selagi masih gelap. Mereka tidak
akan menyelusuri tempat ini dalam jalur yang panjang. Tetapi
mereka juga tidak sempat melihat bekas-bekas ini karena
gelap." "Ah, sudahlah, Pandan Wangi. Kau telah mencari
persoalan. Jika kau yakin demikian, kau tidak perlu
mengatakan kepada siapa pun."
"Kenapa?" "Tentu hal-hal yang sebenarnya bukan persoalan kita,
akan dikupas, diurai dan dibicarakan panjang lebar, kemudian
mereka akan segera memburunya."
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Dan karena
Pandan Wangi masih terdiam, Rudita bertanya, "Pandan
Wangi, kenapa manusia harus saling memburu, tidak ubahnya
seperti binatang buas di hutan" Siapa yang paling kuat, ialah
yang berhak menentukan kehendaknya. Apakah itu masih
harus berlaku di dalam jaman ini?"
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Seharusnya memang tidak, Rudita. Kita tidak boleh saling
bertengkar dan apalagi saling memburu. Tetapi bahwa
manusia mempunyai sifat mempertahankan dirinya itu adalah
wajar sekali. Seperti halnva dengan kita sekarang. Tentu kita
tidak akan mencampuri persoalan orang-orang bersenjata itu,
jika mereka tidak melanggar hak kita. Kita tidak tahu, akibat
apa yang dapat timbul karena pelanggaran yang mereka
lakukan di atas Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sudah tentu
akibat yang tidak kita inginkan. Nah, kita sekarang sedang
mempertahankan diri."
"Mungkin keteranganmu dapat dimengerti Pandan Wangi.
Tetapi bagaimana dengan Raden Sutawijaya" Orang-orang
yang mungkin dianggapnya melanggar haknya telah
meninggalkan daerah Malaram. Kenapa ia masih juga
mengejarnya, dan karena itu kau pun merasa hakmu
dilanggar?" "Rudita," jawab Pandan Wangi, "apa yang dilakukan itu
pun sebenarnya salah satu bentuk pula dari pembelaan diri.
Menurut Raden Sutawijaya, jika ia tidak berhasil menangkap
orang-orang itu, maka pelanggaran-pelanggaran masih akan
terus terjadi. Orang-orang itu masih saja akan menusuk
Mataram dengan caranya setiap saat yang tidak terdugaduga.
Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya mencari
mereka sebagai satu cara untuk membela dirinya, membela
daerah yang sedang dibukanya itu."
"Dan kau tidak berbuat apa-apa atas pelanggaran yang
dilakukan olehnya pula?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Lalu ia pun
bertanya, "Jadi, bagaimana menurut pendapatmu" Apakah
aku harus bertindak atas Raden Sutawijaya?"
"Tentu tidak, Pandan Wangi. Jangan. Ia adalah putera
Sultan Pajang, meskipun putera angkat."
"Jadi bagaimana?"
"Kau dapat berbuat serupa terhadap orang-orang lain itu.
Mereka tidak mengganggu Tanah Perdikan Menoreh.
Persoalannya adalah persoalan Mataram dengan orang-orang
itu. Kita tidak usah mencampurinya."
Pandan Wangi memandang Rudita sejenak, lalu, "Sayang
Rudita, aku berpendapat, mereka dapat mengganggu kita di
sini. Itulah sebabnya, aku bersedia ikut mencari mereka dan
jika mungkin menyelesaikan semua persoalannya, sehingga
tidak berkepanjangan."
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan
mata yang suram. Namun ia tidak dapat memaksa Pandan
Wangi untuk mengurungkan niatnya.
Pandan Wangi sebenarnya merasa kasian juga melihat
tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun
untuk menolongnya. Apalagi ia yakin, bahwa ia sedang
melakukan sesuatu yang dianggapnya bermanfaat bagi Tanah
Perdikan Menoreh. Karena itu, agar Rudita tidak
mempersoalkannya berkepanjangan, maka Pandan Wangi
pun kemudian berkata, "Rudita, mungkin kita tidak usah pergi
ke mana pun." Rudita memandang Pandan Wangi sambil bertanya,
"Maksudmu?" "Aku mengharap orang-orang itu hanya sekedar bermalam
di tempat yang tersembunyi. Pagi ini mereka akan segera
kembali lewat jalan ini pula."
"He," tiba-tiba saja wajah Rudita menjadi tegang, "apakah
mereka akan lewat jalan ini pula?"
"Mungkin sekali."
Rudita menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah
kita kembali ke perkemahan kita, Pandan Wangi."
"Kita menunggu sebentar. Jika mereka lewat, kita tidak
perlu mencarinya lagi."
"Kita berdua?" "Bukankah kita mempunyai banyak kawan?"
"Tetapi mereka tidak berada di sini."
"Aku akan memanggil kawan-kawan kita, sementara kau
bertempur melawan mereka, agar mereka tidak meninggalkan
tempat ini." "Tidak. Aku tidak ingin berkelahi. Aku tidak sampai hati
melukai apalagi membunuh sesama."
"Jadi, kau sajalah yang memanggil mereka. Aku yang
berkelahi." "Jangan, jangan. Sebaiknya kita kembali saja ke
perkemahan." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Jika kau menghendaki demikian, apa boleh buat."
Keduanya pun kemudian segera kembali ke perkemahan.
Rudita yang cemas, bahwa orang-orang yang lewat itu akan
kembali lagi, berjalan dengan tergesa-gesa. Setiap kali ia
berpaling dan berkata, "Cepatlah sedikit, Pandan Wangi."
Pandan Wangi harus menahan senyumnya melihat tingkah
laku Rudita. Tetapi ia tidak mau membuat anak muda itu
menjadi semakin sakit hati.
Demikianlah, akhirnya mereka pun sampai ke perkemahan
ketika orang-orang yang ada diperapian yang masih menyala
itu sudah menghirup air minum mereka yang hangat.
Pandan Wangi dan Rudita pun kemudian duduk pula di
antara mereka. Setiap kali Rudita memandang sikap
Swandaru dan Agung Sedayu yang dianggapnya tidak pantas
di hadapan seorang putera Sultan Pajang. Bahkan Pandan
Wangi pun agaknya menganggap Raden Sutawijaya itu kawan
bermain saja. Namun ia masih menahan hatinya dan karena
itu, ia masih berdiam diri saja.
Seperti yang diduga oleh Rudita, bahwa Pandan Wangi
memang senang mencari persoalan, maka gadis itu pun
kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya itu kepada
orang-orang yang ada di sekitar perapian itu.
"Kau memang ingin mencari perkara," desis Rudita,
"seharusnya kau diam saja."
"Ah, aku harus mengatakannya. Bukankah sudah menjadi
keputusan kita untuk mencarinya. Jika aku tidak mengatakan,
bahwa aku melihat jejak itu, kita nanti akan pergi ke arah yang
salah." "Itu lebih baik. Jika kita tidak menemukannya, maka kita
tidak akan berselisih dengan mereka."
Pandan Wangi yang mengetahui perasaan Rudita itu,
hanya tersenyum saja. Namun diteruskannya ceriteranya
tentang jejak yang dilihatnya itu.
"Aku ingin melihatnya," tiba-tiba saja Raden Sutawijaya
berkata. "Nanti sajalah," cegah Swandaru, "kita menghangatkan
badan kita dengan makanan dan minuman panas ini.
Kemudian kita tidak hanya sekedar melihat jejak itu. Tetapi
kita sudah siap untuk berangkat mencarinya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kita mempersiapkan diri. Kita akan berangkat dan
langsung memburu orang-orang itu."
Demikianlah orang-orang yang ada di perkemahan itu pun
segera mempersiapkan diri. Mereka makan minum
secukupnya karena mereka sadar, bahwa mereka akan
melakukan sebuah perburuan yang gawat.
"Makanlah, Rudita," berkata Pandan Wangi, "jika kau ingin
ikut bersama kami. Mungkin malam hari kita baru kembali ke
perkemahan ini, atau bahkan besok atau lusa."
"Ah," desah Rudita, "ayah dan ibu tentu menanti
kedatanganku dengan cemas."
"Apakah kau ingin pulang lebih dahulu" Biarlah seorang
pengiring mengantarkanmu."
"Kau sajalah, Pandan Wangi. Antarkan aku pulang
dahulu." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Tidak mungkin, Rudita, aku sudah siap berangkat bersama
sekelompok kecil ini. Mudah-mudahan aku segera dapat
kembali." Rudita termangu-mangu. Katanya kemudian, "Jika kau
pergi, aku pun ikut bersamamu."
Swandaru mengangkat bahunya. Tetapi ia tidak berkata
apa pun juga. Prastawa yang menjadi semakin jemu melihat
sikap anak muda itu hanya dapat berdesis perlahan-lahan.
"Jika demikian, bersiaplah. Kita akan segera berangkat."
Sementara itu, para pengiring Pandan Wangi dan
pengawal dari Mataram pun segera bersiap. Hanya tiga orang
saja yang tinggal di perkemahan menunggui kuda-kuda yang
tertambat dan menyiapkan makan dan minum apabila setiap
saat kelompok kecil itu datang.
Sejenak kemudian, maka sekelompok pengawal dari
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera
berangkat meninggalkan perkemahan kecil di pinggir hutan
yang lebat. Kini bagi mereka yang penting tidak lagi ingin
berburu binatang, tetapi mereka akan berburu manusia.
Namun tentu saja bukan sekedar untuk melepaskan hasrat
untuk membunuh, atau perbuatan kejahatan yang serupa.
Yang penting bagi mereka adalah memelihara kedamaian di
daerah masing-masing. Tetapi bahwa yang damai itu masih
harus diperjuangkan dengan cara yang keras adalah suatu
keadaan yang masih harus di tempuh.
Yang mula-mula mereka datangi adalah belik kecil tempat
mereka mengambil air dan membersihkan diri. Mereka ingin
melihat jejak yang telah dilihat oleh Pandan Wangi.
Ternyata seperti Pandan Wangi, mereka mengambil
kesimpulan, bahwa jejak itu benar-benar jejak sekelompok
orang-orang yang berjalan menyusup di antara hutan perdu.
Tentu merekalah orang yang sedang dicari oleh Sutawijaya.
Jika orang-orang itu bukan orang-orang yang dengan sengaja
melalui jalan yang tidak diketahui orang lain, maka mereka
tidak akan mengambil jalan itu.
"Kita sudah menemukan jejaknya," berkata Raden
Sutawijaya, kemudian, "jagalah agar kita tidak kehilangan.
"Tetapi mereka tentu sudah jauh sekali," sahut Swandaru.
"Kita akan mencobanya. Tetapi jika kita kehilangan jejak
ini, kita benar-benar tidak akan dapat menduga sama sekali,
ke mana mereka akan pergi." Sutawijaya berhenti sejenak,
lalu, "Seandainya kita tidak menemukan orang-orangnya, asal
kita dapat menggambarkan jalur jalan yang mereka tempuh,
sehingga mereka dapat menimbulkan kekacauan di pinggirpinggir
tanah yang sedang kami garap itu, maka kami akan
dapat mengambil sikap."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
Sutawijaya itu berkata seterusnya, "Nah, mumpung masih
pagi. Kita sebaiknya berangkat sekarang. Aku mempunyai
beberapa orang yang ahli di dalam menyelusuri jejak."
Demikianlah, maka dua orang pengawal Sutawijaya yang
dianggap cukup berpengalaman di dalam hal menyelusuri
jejak telah berjalan di depan. Mereka mengikuti bekas-bekas
kaki di rerumputan yang berpatahan. Kemudian ranting-ranting
perdu yang disibakkan, dan bekas-bekas yang lain yang dapat
diketemukan. Di belakang kedua orang penyelusur jejak itu berjalan
Sutawijaya bersama Agung Sedayu, sedang di belakangnya
Swandaru bersama Prastawa. Di belakang Swandaru, Rudita
berjalan dekat di sebelah Pandan Wangi. Seakan-akan ia
tidak dapat berpisah lagi dengan gadis itu. Tetapi pada saat
itu, perasaan Rudita sama sekali tidak sedang menilai
kecantikan gadis itu, namun ia merasa paling aman berada di
dekat Pandan Wangi. Di belakang mereka berjalanlah para pengawal Raden
Sutawijaya dan beberapa orang pengiring dari Tanah Perdikan
Menoreh. Ternyata bahwa mereka tidak terlalu sulit untuk mengikuti
jejak itu. Agaknya orang-orang yang menyingkir dari Mataram
karena tekanan yang berat dari para pengawal tanah yang
baru tumbuh itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa mereka
akan diikuti jejaknya, ternyata mereka sama sekali tidak
berusaha melakukan penyamaran atas jejak mereka. Bahkan
ada di antara mereka yang dengan senjata tajam, menyentuh
pohon-pohon perdu, sehingga bekasnya tampak jelas sekali.
Luka-luka baru pada pohon perdu itu masih mengembun
getah. Demikianlah mereka berjalan terus. Karena mereka tidak
menerobos hutan yang lebat, maka perjalanan mereka agak
lebih cepat daripada apabila mereka berjalan, di dalam hutan
yang masih liar itu. "Mereka berjalan sepanjang pinggiran hutan ini," berkata
salah seorang dari kedua orang yang mengenal jejak
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerombolan itu. "Ya. Itulah yang aneh," sahut Pandan Wangi yang
mendengar kata-kata itu. "Kenapa aneh?" bertanya Sutawijaya.
"Jika kita berjalan terus dengan arah ini, kita akan sampai
ke bukit padas yang keputih-putihan itu. Tidak ada sebuah
desa pun yang terletak di kaki bukit itu."
"Jika kita berbelok ke Timur?"
"Kita akan menerobos ujung hutan ini dan kita akan
sampai ke tepi Kali Praga."
"Apakah hutan itu memotong bukit yang membujur ke
Timur itu?" "Bukit itu tidak sampai ke pinggir Kali Praga."
"Apakah yang ada di antaranya?"
"Tidak pernah disentuh oleh kaki manusia. Tetapi itu
adalah kelanjutan hutan yang liar ini."
"Itulah yang sangat menarik. Di tempat yang jarang
disentuh kaki manusia. Aku justru ingin melihatnya. Mungkin di
tempat itu terdapat sarang dari gerombolan yang sedang kita
cari." "Aku kira tidak," sahut Pandan Wangi, "daerah itu sulit
sekali didapatkan air bersih. Jika kita menggali tanah, maka
akan keluar airnya juga. Tetapi air itu berwarna kemerahmerahan
dan berbau tanah kapur."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Air adalah kebutuhan
pokok bagi kehidupan. Mungkin air berbau tanah kapur itu
dapat menyegarkan pepohonan yang sesuai, tetapi tentu tidak
bagi manusia. Ia tidak akan dapat hidup dengan air yang
kotor, apabila di daerah lain masih dapat diketemukan air yang
jernih dengan mudah. Namun demikian, iring-iringan itu masih berjalan terus.
Jejak yang mereka ikuti justru menjadi semakin jelas. Agaknya
orang-orang itu menjadi semakin yakin, bahwa tidak akan ada
orang lain yang akan lewat jalan itu.
Karena itulah, maka jalan mereka pun menjadi semakin
cepat menuju ke daerah yang belum mereka kenal sama
sekali. Namun tiba-tiba Agung Sedayu yang memperhatikan
kaadaan tempat itu dengan saksama mulai berpikir. Semakin
lama justru dilihatnya jalur yang seakan-akan sebuah jalan
setapak. Rerumputan bagaikan menyibak sebelahmenyebelah
dan kadang-kadang didapatkannya seakan-akan
sebuah tangga batu cadas.
Tetapi belum lagi ia mengatakan sesuatu, Raden
Sutawijaya telah menggamitnya sambil berkata, "Kau melihat
sesuatu yang kurang wajar di daerah ini."
Belum lagi Agung Sedayu menjawab, hampir berbareng
Swandaru dan Pandan Wangi berdesis, "Ya. Ada sesuatu
yang perlu mendapat perhatian."
"Jalur ini," sambung Agung Sedayu.
Ternyata anak-anak muda itu hampir berbareng
merasakan sesuatu yang mereka anggap tidak pada
tempatnya. Seharusnya semakin jauh mereka berjalan, maka
daerah itu menjadi semakin sulit dilalui dan jejak pun menjadi
semakin sukar ditelusuri. Tetapi ternyata yang mereka temui
adalah sebaliknya. Karena itulah, maka mereka pun segera berhenti. Raden
Sutawijaya memberi isyarat kepada dua orang
kepercayaannya untuk mendekat bersama dua orangnya vang
berjalan di depan. Selain mereka, maka Agung Sedayu,
Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun berkerumun
pula mengelilinginya. "Kita bersama-sama telah melihat sesuatu yang
mencurigakan," berkata Raden Sutawijaya. "Sudah barang
tentu, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam perangkap
mereka." Orang-orang yang mengerumuninya menganggukanggukkan
kepala. "Apakah salah seorang dari kalian mengetahui makna dari
keadaan ini?" bertanya Sutawijaya lebih lanjut.
Sejenak orang-orang yang mengerumuninya berdiam diri.
Orang-orang yang mengawal Sutawijaya itu tampaknya raguragu
meskipun agaknya ada juga yang akan mereka katakan.
"Raden Sutawijaya," berkata Agung Sedayu kemudian,
"agaknya kita memang sedang berjalan ke suatu tempat yang
meskipun jarang sekali, tetapi sekali-sekali pernah juga dilalui
orang." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun di luar sadarnya, ia memandang kepada Pandan
Wangi yang sedang merenungi jejak yang sedang diikutinya.
"Agaknya memang demikian," katanya kemudian, "tetapi
aku belum pernah mendengar laporan tentang daerah ini,
tentang orang-orang yang sering melalui jalan ini menuju ke
tempat yang agaknya belum aku kenal. Pegunungan itu
merupakan batas dari jarak jelajah para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Daerah seberang pegunungan itu, dan
hutan yang liar yang menyilang pegunungan itu adalah daerah
tidak bertuan. Maksudku, daerah itu bukan lagi termasuk
daerah Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sudah tentu
masih termasuk di dalam kekuasaan Pajang. Sedangkan
hutan yang liar itu pun demikian juga kedudukannya. Itulah
sebabnya, kami tidak dapat mengatakan sesuatu yang
mungkin ada di balik pegunungan itu dan di dalam hutan yang
masih sangat liar dan buas. Yang mungkin tidak kalah liarnya
dengan Alas Mentaok."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya. Hutan itu tentu masih selebat dan seliar, dan
barangkali melampaui Alas Mentaok, karena Alas Mentaok
sekarang sudah mulai digarap. Dan agaknya hutan itu
bukannya hutan yang sempit menjelujur sepanjang Kali Praga.
Menurut pengamatanku, kita sekarang sudah menjadi
semakin jauh dari Kali Praga. Karena jalan yang kita tempuh
bukannya sejajar dengan arus Kali Praga itu."
"Raden benar," sahut seorang pengawal Pandan Wangi,
"kita memang menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Dan
pegunungan itu pun terletak semakin jauh pula."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya
beberapa ujung pegunungan yang mencuat melebihi pumcakpuncak
yang lain. Agaknya pegunungan itu pun benar-benar
masih liar, meskipun merupakan jalur pegunungan yang tidak
terlalu tinggi. "Kita tidak akan sampai ke pegunungan itu," berkata
Raden Sutawijaya, "tetapi kita juga tidak akan segera kembali.
Kita masih akan maju mengikuti jejak ini. Tetapi kita harus
lebih berhati-hati."
"Maksud Raden?" bertanya Swandaru.
"Kita tidak boleh terjebak. Karena itu, kita harus memecah
iring-iringan ini menjadi dua atau tiga kelompok kecil. Jika
salah satu dari kelompok ini masuk dalam jebakan, yang lain
masih sempat berusaha menolongnya."
Agung Sedayu yang mengerutkan keningnya menyahut,
"Bagus sekali. Kita memang sedang memasuki daerah yang
aku kira cukup berbahaya."
"Nah, marilah kita membagi seluruh pasukan kecil kita,"
berkata Raden Sutawijaya, "menjadi dua atau tiga?"
"Dua kelompok," sahut Swandaru.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya, "yang sekelompok
akan aku pimpin sendiri. Aku akan berjalan di depan. Sedang
kelompok yang kedua?"
"Biarlah dipimpin oleh Pandan Wangi," sahut Agung
Sedayu. "Kenapa aku?" "Kaulah yang membawa beberapa orang pengiring
bersamamu." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ia
adalah puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang juga
berkepentingan seperti Raden Sutawijaya. Karena itu, maka ia
pun kemudian menyahut, "Baiklah. Aku akan berada di
kelompok kedua." Namun tiba-tiba saja Rudita berkata, "Kau tidak usah turut
campur Pandan Wangi. Bawalah pengiringmu kembali ke
perkemahan. Bukankah kita sekedar akan pergi berburu?"
Semua orang memandang wajah Rudita yang pucat
karena ketakutan. Anak muda itu tentu sudah membayangkan
berbagai macam bahaya yang akan mereka hadapi.
Sebenarnya setiap orang di dalam pasukan kecil itu pun
membayangkannya. Mereka sependapat, bahwa mereka akan
masuk ke dalam suatu jebakan. Tetapi mereka pun akan
berusaha untuk memecahkan jebakan itu dan mengetahui
isinya. "Pandan Wangi," desis Rudita, "kenapa kau diam saja?"
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Sebenarnyalah,
bahwa Rudita baginya hanya akan menjadi beban saja. Di
dalam perkelaian yang seru, tentu hampir tidak ada waktunya
untuk mengurusi anak cengeng itu. Tetapi untuk menyuruhnya
kembali, ia harus menyediakan dua atau tiga orang pengiring.
Bahkan di jalan kembali itu pun Rudita dapat setiap saat
diterkam oleh bahaya. Mungkin binatang buas, mungkin
orang-orang yang justru melampaui binatang buas.
"Pandan Wangi," Rudita mengulang. Bahkan ia pun
melangkah mendekati Pandan Wangi dengan lutut gemetar
dan merengek seperti kanak-kanak.
"Rudita," berkata Pandan Wangi, "kau tidak mempunyai
pilihan lagi. Kita akan pergi terus. Kau pun akan pergi terus
bersama dengan kami. Jika sesuatu terjadi di perjalanan ini,
sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Kau tidak usah ikut
berkelahi jika kita harus berkelahi. Tetapi kau juga jangan
mengganggu kami jika kami sedang berkelahi.
"Apakah kau akan berkelahi?"
"Hanya satu kemungkinan. Lebih baik lagi jika kita tidak
bertemu dengan siapa pun, meskipun dengan demikian berarti
perjalanan ini sia-sia."
Rudita tidak menyahut. Seperti kata Pandan Wangi, ia
memang tidak mempunyai pilihan lagi. Ia harus berjalan terus,
apa pun yang akan terjadi. Karena itu, maka hatinya pun
menjadi semakin kecut. Bahkan kemudian setitik air matanya
mengambang di pelupuknya. Perlahan-lahan terdengar ia
berkata, "Aku sudah tersesat di antara orang-orang yang tidak
saja berburu binatang, tetapi ternyata juga berburu manusia."
"Nasibmu memang jelek, Rudita," Prastawa yang tidak
tahan lagi menjawab. "Diam kau!" Rudita masih juga membentak.
"Kenapa kau tidak minta mayat lawan kita yang pertama
sebagai hadiah buat Pandan Wangi," sahut Prastawa
kemudian. Mendengar pertanyaan itu, terasa segenap bulu-bulu
Rudita berdiri, sehingga ia tidak dapat menjawabnya. Namun
Pandan Wangi-lah yang menyahut, "Sudahlah, Prastawa. Jika
demikian, maka kau pun menjadi seorang yang dikuasai oleh
perasaanmu saja tanpa pertimbangan nalar. Anak ini benarbenar
sedang dicengkam ketakutan yang luar biasa."
Prastawa tidak menjawab, meskipun ia berkata di dalam
hatinya, "Kenapa ia masih juga dapat menyombongkan
dirinya, seolah-olah ia adalah orang yang paling berkuasi di
sini." Namun ketika ia melihat wajah anak itu semakin pucat, ia
pun berkata pula di dalam hatinya, "Sebenarnya kasihan juga
Rudita itu." Demikianlah, maka kemudian mereka benar-benar telah
membagi seluruh pasukan kecil itu menjadi dua kelompok.
Sekelompok dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri
dengan seluruh anak buahnya, sedang kelompok yang lain
dipimpin oleh Pandan Wangi, dan terdiri atas Agung Sedayu,
Swandaru, Prastawa, dan para pengiring yang dibawanya dari
Menoreh. Sedangkan Rudita justru menjadi beban kelompok
kedua, apabila mereka benar-benar terlibat di dalam
pertempuran. Yang sekelompok, yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya
itu pun kemudian berjalan mendahului dengan meninggalkan
cirri-ciri baru agar kelompok berikutnya tidak kehilangan jejak.
Di samping jejak yang agaknya sengaja ditinggalkan oleh
orang-orang yang sedang mereka ikuti, maka Raden
Sutawijaya pun memberikan tanda yang sudah saling mereka
setujui. Selain tanda-tanda itu, maka beberapa orang di dalam
kelompok pertama akan memberikan tanda-tanda khusus,
apabila mereka telah terlibat di dalam kesulitan.
"Kami membawa panah sendaren," berkata Pandan Wangi
ketika mereka berpisah, "adalah kebiasaan kami di dalam
perburuan. Jika kami saling berpisah maka kami saling
memberikan tanda dengan panah sendaren."
"Baiklah," jawab Sutawijaya, "kami akan membawa
panahmu yang dapat bersiul itu. Mungkin kami
memerlukannya." Maka kedua kelompok itu pun maju perlahan-lahan dalam
jarak yang agak jauh, sehingga bagi orang lain tidak segera
diketahui, bahwa di belakang kelompok yang dipimpin oleh
Sutawijaya itu terdapat kelompok yang lain lagi.
Di sepanjang jalan sempit yang ditelusuri, Sutawijaja
melihat tanda yang memang semakin jelas, sehingga ia pun
yakin, bahwa ada kesengajaan dari orang-orang yang sedang
dicarinya itu untuk memancing mereka.
Dengan demikian, maka Sutawijaya pun menjadi semakin
berhati-hati. Apalagi ketika mereka sampai ke tempat yang
terbuka. "Kelompok di belakang kita itu pun tidak akan dapat
menyembunyikan diri, apabila mereka melintasi tempat
terbuka ini," berkata Sutawijaya kepada pengiringnya,
"sehingga dengan demikian, orang-orang yang akan menjebak
kita itu pun segera akan melihat, bahwa kita terdiri dari dua
kelompok." Pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
salah seorang daripada mereka pun berkata, "Kita dapat
memberikan tanda, agar mereka berhenti di sini."
"O," Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Kita pun akan berhenti pula di tempat yang terbuka itu.
Jika benar mereka menjebak kita, mereka tidak akan telaten
menunggu. Merekalah yang akan memasuki daerah terbuka
ini menyerang kita, sedang kelompok orang-orang Menoreh itu
tetap terlindung di sini."
Sutawijaya mengangguk-angguk sambil memandangi
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
medan di hadapannya. Sebuah tempat yang terbuka,
meskipun tidak terlalu luas. Sedangkan tanda-tanda yang
dapat dilihatnya adalah tapak-tapak kaki di atas rerumputan
dan batang-batang ilalang yang berpatahan.
"Baiklah," berkata Sutawiiaya, "berilah tanda agar
kelompok orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung itu
berhenti di sini. Kita akan berjalan terus dan kita akan
berusaha memancing mereka keluar dan menyerang kita di
tempat yang terbuka. Sementara itu orang-orang Menoreh
dapat memperhatikan pertempuran itu langsung dari tempat
ini, jika kehadiran mereka tidak segera diketahui."
Demikianlah, maka salah seorang dari pengiring Raden
Sutawijaya itu pun segera memberikan tanda. Di jalur sempit
itu diletakkannya sebuah ranting yang menyilang. Seperti yang
sudah mereka setujui, tanda itu adalah suatu isyarat agar
Pandan Wangi berhenti sejenak. Jika tidak ada isyarat lain,
maka beberapa saat kemudian mereka dapat melanjutkan
perjalanan. Setelah tanda itu siap, maka Sutawijaya pun kemudian
membawa orang-orangnya maju beberapa langkah lagi
dengan hati-hati, sehingga mereka benar-benar sampai ke
mulut lorong yang bermuara di tempat terbuka itu.
Namun sebelum mereka melanjutkan perjalanan yang
dengan sengaja memasuki daerah terbuka itu, salah seorang
yang memiliki ketajaman pengamatan terhadap jejak-jejak
berbisik, "Raden. Tidak semua orang di dalam kelompok yang
sedang kita ikuti itu pergi melalui tempat terbuka ini."
"Darimana kau tahu?"
"Sebagian dari mereka telah memisahkan diri. Aku dapat
melihat jejak mereka, meskipun mereka berusaha
menyamarkannya. Sedang jejak di tempat terbuka itu sengaja
mereka buat agar menjadi jelas."
"Dugaan kita benar. Mereka telah menjebak kita."
"Ya. Dan kita pun harus berusaha menjebak mereka."
"Bersiaplah. Kita agaknya benar-benar harus bertempur.
Orang itu memancing kita sampai ke tempat yang jauh. Tentu
mereka mempunyai alas kekuatan di daerah ini."
"Tetapi kenapa justru di daerah Menoreh?"
"Di sini, di daerah sulit yang terpencil. Tetapi mungkin juga
dengan maksud, agar kita terjerumus ke dalam benturan
senjata dengan para pengawal Menoreh. Jika itu tidak terjadi,
mereka sudah menyiapkan jebakan buat kita."
Para pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka akan segera
sampai ke medan yang cukup berat. Sedang beberapa orang
di antara mereka, masih belum mengetahui kemampuan
orang-orang Menoreh dan anak-anak muda dari Sangkal
Putung itu, sehingga sebagian dari mereka sama sekali tidak
memperhitungkan kehadiran orang-orang Menoreh yang
mereka anggap sebagai pengawal-pengawal Tanah Perdikan,
yang dilakukan sekedar selingan dari kerja mereka di sawah
dan ladang. Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya pun
membawa para pengiringnya memasuki tempat terbuka itu.
Namun mereka memusatkan perhatian mereka ke arah jejak
yang lain, yang menyimpang dari jejak yang sengaja mereka
tinggalkan. Jika benar orang-orang itu akan menjebak mereka,
maka mereka tentu akan datang dari arah itu.
Demikianlah, dengan hati-hati pasukan kecil itu merayap
maju. Dua orang yang berjalan di paling depan masih saja
berpura-pura mencari jejak, meskipun sebenarnya jejak itu
terlampau jelas untuk dilihat.
Namun tiba-tiba kedua, orang itu berhenti hampir di
tengah-tengah tempat terbuka itu. Dengan kerut-merut
dikeningnya salah seorang dari mereka berkata, "Kita benarbenar
telah dijebak. Kini tentu bukan lagi sekedar dugaan.
Karena itu, kita harus bersiap. Sebentar lagi kita akan terlibat
di dalam perkelahian."
Raden Sutawijaya mendekati orang itu sambil bertanya,
"Apakah kau melihat suatu pertanda yang lebih pasti?"
"Jejak itu hilang di sini."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya,
"Bagaimana mungkin, jejak itu dapat hilang di tengah-tengah
tempat terbuka ini" Jika mereka menepi, maka tentu ada jejak
yang bagaimanapun juga mereka usahakan untuk
dihilangkan." "Tidak ada jejak ke jurusan lain. Benar-benar tidak ada.
Penyamaran tidak akan dapat dilakukan demikian
sempurnanya." "Jadi bagaimana mungkin. Apakah mereka dapat terbang
atau melenting sampai ke tepi tempat terbuka ini?"
"Tentu tidak, Raden."
"Jadi?" "Jalan satu-satunya adalah melangkah mundur."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun
kemudian kepalanya itu pun terangguk-angguk. Bahkan
sekilas senyum membayang di bibirnya. Katanya perlahanlahan,
"Aku memang bodoh sekali. Aku harus lebih banyak
memperhatikan jejak-jejak yang kadang-kadang tampaknya
mengandung rahasia, tetapi sebenarnya persoalannya terlalu
sederhana." Para pengiringnya pun ikut tersenyum pula, meskipun
mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
"Baiklah," berkata Sutawijaya kemudian, "kita harus
menjadi bingung di sini beberapa lama. Sementara itu kita
berharap agar orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh
Pandan Wangi itu telah berada di tempatnya dan dapat
melihat kita di sini dari sela-sela dedaunan. Mudah-mudahan
mereka mengerti, bahwa mereka harus berlindung dan tidak
berdiri berderet-deret melihat kebingungan kita di pinggir
tempat terbuka ini."
"Mudah-mudahan mereka cukup cerdas," berkata salah
seorang pengiringnya, "tetapi karena mereka adalah pemburupemburu
yang biasa berburu binatang, mungkin mereka
mempunyai sikap yang lain."
Sutawijaya memandang pengiringnya sejenak. Tetapi
pendapat itu adalah wajar, karena pengiringnya itu sama
sekali belum mengenal siapakah Pandan Wangi.
Namun demikian, ia berusaha untuk memberikan sedikit
gambaran tentang orang-orang yang berada di dalam
kelompok kedua itu. Katanya, "Mereka memang pemburupemburu
di hutan liar. Tetapi mereka pun pemburu-pemburu
orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, karena sudah
beberapa lama Menoreh mengadakan pengawasan di
sepanjang Kali Praga."
"Tetapi mereka belum pernah menghasilkan apa-apa.
Mereka belum pernah berhasil menangkap seorang pun."
"Orang-orang bersenjata itu selalu berhasil melarikan diri.
Tetapi pernah juga terjadi dua orang yang berusaha melarikan
diri dengan menyeberang kembali ke Timur berhasil mereka
kenai dengan anak panah dan keduanya tidak pernah berhasil
mencapai tepi Kali Praga. Mayat mereka hanyut dalam arus
sungai yang kebetulan sedang deras waktu itu."
"Darimana Raden tahu?"
"Seorang tukang perahu melihat peristiwa itu, dan
kemudian menceriterakan kepada para peronda dari
Mataram." Para pengiringnya, mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan demikian, maka mereka mendapat sedikit gambaran,
bahwa orang-orang Menoreh pun jika keadaan memaksa,
dapat juga bertempur dengan caranya.
Sejenak kemudian kelompok kecil itu masih melingkarlingkar
di tempat terbuka itu. Meskipun nampaknya mereka
sedang kebingungan, namun sebenarnya mereka sedang
menunggui serangan yang setiap saat dapat datang.
Dalam pada itu, kelompok yang dipimpin oleh Pandan
Wangi pun menjadi semakin dekat pula dengan tempat yang
Legenda Yang Hilang 2 Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga Sumpah Si Durjana 2
sekedar menakut-nakuti. Tetapi kalau ia menjawab tidak,
maka anak itu tentu tidak percaya karena hatinya sudah
dicengkam oleh ketakutan. Karena itu, maka akhirnya Pandan
Wangi menjawab, "Aku tidak tahu. Hutan ini terlampau lebat,
sehingga aku tidak dapat melihat, apa yang tersembunyi di
balik dedaunan dan pepohonan. Mungkin harimau itu ada,
mungkin pula tidak. Tanpa dapat menyebutkan kepastian apa
pun." Rudita memandang Pandan Wangi dengan tatapan mata
yang aneh. Tetapi bagaimana pun juga ia merasa, bahwa
Pandan Wangi tidak mau menjawab pertanyaannya dengan
baik. Itulah sebabnya hatinya menjadi semakin kecut. Hampir
saja ia menangis dan bahkan berteriak. Tetapi ia masih tetap
berusaha untuk bertahan. Seandainya di dalam keadaan
serupa itu ia ada di antara ayah dan ibunya, maka ia pasti
sudah memekik dan berteriak keras-keras tanpa
menghiraukan perasaan ayah dan ibunya.
Pandan Wangi akhirnya menjadi iba juga melihat keadaan
Rudita. Sebenarnyalah anak itu memang pantas untuk
dikasihani. Hidupnya dan hari depannya adalah suatu masa
yang sangat suram jika tidak terjadi perubahan yang mantap
pada anak itu. Umurnya yang sudah menginjak dewasa tidak
berkembang sejalan dengan sifat, watak, dan kematangan
jiwanya. Sejenak Pandan Wangi masih berdiam diri, sedang Rudita
berusaha untuk menahan perasaannya yang bergejolak. Kini
ia harus melihat kenyataan bahwa di luar rumahnya, orang
lain tidak dapat diperlakukannya seperti ibunya, ayahnya, dan
pelayan-pelayan di rumahnya. Di luar rumah setiap orang
mempunyai sikap sendiri, kepentingan sendiri, dan
tindakannya didasarkan kepada suatu keyakinan mereka
masing-masing. Karena itulah maka hati Rudita menjadi kuncup. Kini ia
merasa terlampau kecil di antara anak-anak muda yang lain.
Yang ternyata memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu,
setidak-tidaknya untuk diri mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Pandan Wangi yang menjadi semakin iba
itu pun berkata, "Rudita, bagaimana dengan kita sekarang?"
Rudita memandang Pandan Wangi sejenak. Lalu,
"Terserah kepadamu, Pandan Wangi."
Pandan Wangi mendekatinya. Katanya seperti kepada
anak-anak yamg sedang merajuk, "Kita tetap di sini Rudita.
Kita menunggu Kakang Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa." Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Tetapi bagaimana jika sampai malam hari?"
"Kita tetap di sini. Kita membuat perapian di malam hari
agar kita tidak diganggu oleh binatang buas."
"Apakah binatang buas takut perapian?"
"Mereka tidak mau mendekati api di malam hari."
Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya
wajah Pandan Wangi sejenak seperti anak-anak yang
memelas menatap wajah ibunya yang marah.
"Sudahlah. Jangan takut. Sebentar lagi kita akan
mempunyai banyak kawan berbincang. Kakang Agung
Sedayu dan yang lain tidak akan pergi terlalu jauh."
Sekali lagi Rudita mengangguk.
Pandan Wangi pun kemudian duduk di atas akar sebatang
kayu yang besar sambil memperhatikan pengiringnya yang
sedang sibuk menguliti ular raksasa itu. Salah seorang dari
mereka sudah cukup berpengalaman. Tetapi yang pernah
dilakukan adalah menguliti ular yang belum sebesar ular yang
terbunuh itu. Dalam pada itu, sejenak kemudian seperti yang dikatakan
oleh Pandan Wangi, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa pun telah kembali ke tempat itu. Mereka pun segera
duduk beristirahat sambil melihat bagaimana ular raksasa itu
sedang dikupas. Ternyata bahwa ketiga orang pengiring Pandan Wangi itu
dapat menyelesaikan pekerjaannya tidak sampai malam hari.
Dengan demikian maka mereka masih sempat keluar dari
hutan itu, dan pergi ke perkemahan mereka.
Rudita hampir tidak dapat lagi berjalan menembus
gerumbul liar di hutan itu, karena badannya yang sangat lelah
dan lapar. Tetapi ia mencoba untuk menahannya tanpa
mengatakan kepada orang lain, meskipun Pandan Wangi
sudah menduganya. Ketika mereka kemudian sampai ke perkemahan mereka
di luar hutan itu, maka Rudita pun langsung merebahkan
dirinya pada sebuah tikar yang memang sudah dibentangkan.
Rasa-rasanya nafasnya sudah hampir putus di perjalanan
ketika mereka harus meloncati batang-batang kayu yang
rebah dan merunduk di bawah sulur-sulur kayu.
Bagaimana pun juga namun Rudita tetap bertahan untuk
tidak menangis, meskipun matanya terasa menjadi sangat
panas. Dan ia sama sekali tidak mengerti, kenapa di dalam
keadaan seperti itu, Agung Sedayu, Swandaru, Prastawa, dan
bahkan Pandan Wangi yang seorang gadis, masih juga dapat
sekali-sekali tertawa berkepanjangan.
"Kita memerlukan air," berkata Pandan Wangi tiba-tiba.
"Ada sebuah mata air kecil di dekat tempat ini," berkata
seorang pengiringnya yang tinggal di kemah mereka. "Aku
sudah menemukannya ketika aku sedang mencari kayu bakar
dan juga mencari air. Bahkan ada sebuah saluran yang
membuang luapan air dari sebuah sendang kecil pada mata
air itu." "Di mana?" bertanya Pandan Wangi. "Mumpung belum
gelap." "Pergilah ke pohon besar yang tampak dari sini itu. Di
bawah pohon itu terdapat sebuah mata air."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sambil membenahi pedangnya ia menyandang busur dan
endong anak panahnya. "Aku akan pergi ke mata air itu sebentar."
Tiba-tiba Rudita yang sedang berbaring itu bangkit sambil
berkata, "Aku ikut bersamamu Pandan Wangi."
"Ah," desis Pandan Wangi, "kau nanti pergi bersama-sama
dengan anak-anak muda yang lain. Aku akan pergi sendiri
lebih dahulu." "Tidak. Aku pergi bersamamu."
"Itu tidak mungkin. Jika kau seorang bayi dan aku ibumu,
maka kau dapat aku bawa. Tetapi sekarang ini dalam keadaan
ini tentu tidak." Rudita menjadi kecewa, tetapi ia tidak dapat memaksanya,
karena ia pun kemudian menyadari keberatan Pandan Wangi.
Sehingga karena itu dengan lemahnya ia berbaring kembali di
atas tikar itu. Namun hatinya justru menjadi semakin pahit.
Tentu tidak akan ada yang menghiraukannya selama Pandan
Wangi tidak ada. Dan tentu orang-orang yang ada itu justru
akan menyakiti hatinya dengan sikap mereka yang sengaja
dibuat-buat. Tetapi ketika ia melihat Pandan Wangi berjalan sendiri
sekali lagi bangkit dan bertanya, "Pandan Wangi. Apakah kau
akan pergi sendiri dalam keadaan yang berbahaya ini?"
Langkah Pandan Wangi tertegun. Ia berpaling sejenak.
Dipandanginya wajah Rudita yang cemas. Kemudian sambil
tersenyum ia berkata, "Bukankah belik itu hanya beberapa
puluh langkah saja dari tempat ini" Hanya di bawah pohon
yang besar itu?" "Tetapi sebentar lagi hari akan menjadi gelap," sahut
Rudita, "Itu lebih baik."
Rudita tidak menyahut lagi. Dengan hati yang kecut ia pun
berbaring kembali. Sekilas dilihatnya anak-anak muda yang
lain berdiri dalam satu lingkaran memandanginya.
"Mereka tentu membicarakan aku," berkata Rudita di
dalam hatinya, "mereka menjadi iri melihat Pandan Wangi
selalu bersamaku. Terutama anak yang gemuk itu. Tetapi aku
tidak peduli." Dan Rudita pun kemudian benar-benar mencoba untuk
tidak mempedulikan Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa
yang memang sedang bercakap-cakap. Tetapi mereka sama
sekali tidak mempercakapkan Rudita. Mereka bahkan sedang
memperhatikan Pandan Wangi yang pergi sendiri.
"Jangan kalian susul aku sebelum aku kembali," berkata
Pandan Wangi kepada ketiga anak-anak muda itu.
Swandaru hanya tertawa saja. Prastawa-lah yang
menyahut, "Tetapi jangan tidur di belik itu. Kami pun ingin
segera membersihkan diri."
Pandan Wangi tidak menjawab. Ia berjalan terus melewati
beberapa gerumbul perdu, dan hilang di balik rimbunnya
dedaunan. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa pun duduk pula di antara beberapa orang pengiring
yang ingin juga beristirahat, sementara mereka yang tidak ikut
berburu ular raksasa, dengan asyiknya mengamat-amati kulit
ular yang dibawa oleh kawan-kawan mereka sambil bertanya
tidak henti-hentinya tentang perburuan yang mendebarkan itu.
Namun tiba-tiba mereka yang sedang beristirahat itu pun
terkejut ketika di kejauhan terdengar aum seekor harimau.
Hampir di luar sadarnya mereka berloncatan berdiri,
sementara Rudita pun bangkit pula dengan tergesa-gesa.
Dengan cemas ia berlari mendekati Agung Sedayu sambil
bergumam dengan suara gemetar, "Harimau, apakah itu suara
harimau?" Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, "Ya. Itu
suara harimau." "Apakah harimau itu akan datang kemari?"
Agung Sedayu yang sudah mengenal serba sedikit tabiat
dan sifat Rudita menjawab dengan tegas, "Tidak. Harimau itu
tidak menghadap kemari."
"Darimana kau tahu?"
"Dari getaran suaranya. Harimau itu mengaum sambil
membelakangi kita. Aku tahu pasti. Jika harimau itu
menghadap kita dan mencium bau kita, suaranya akan
berbeda." Jawaban yang seakan-akan pasti dan yakin itu telah
berhasil membuat Rudita diam, meskipun masih ada keraguraguan
di dalam hatinya. Namun Rudita sudah tidak bertanya
lagi, meskipun ia masih saja tetap berdiri di dekat Agung
Sedayu. Swandaru dan Prastawa yang mendengar jawaban Agung
Sedayu itu terpaksa menahan senyum mereka sambil
membelakangi Rudita. Namun mereka menjadi heran juga
bahwa Agung Sedayu sendiri sama sekali tidak tertawa
karena jawabannya itu. Tetapi sebenarnyalah, bahwa ketiga anak-anak muda itu
juga menjadi cemas. Mereka sama sekali tidak dapat
memperhitungkan, ke mana harimau itu akan pergi. Meskipun
Agung Sedayu seolah-olah menjawab dengan yakin, tetapi
sebenarnya ia pun menjadi cemas karena aum harimau itu.
"Pandan Wangi tentu mendengarnya juga," berkata Agung
Sedayu di dalam hatinya, "dan tentu ia akan menyiapkan
dirinya menghadapi setiap kemungkinan."
Lebih dari Agung Sedayu, adalah Swandaru. Tetapi ia
tidak dapat melanggar pesan Pandan Wangi, agar tidak
seorang pun yang mendekatinya. Dan sudah barang tentu
Swandaru pun tidak akan mendekatinya selagi Pandan Wangi
berada di belik itu. Tetapi bagaimana jika seekor harimau
sedang merunduk di belakang gadis yang sedang
membersihkan diri itu dan meletakkan senjatanya di tepi belik"
Beberapa lamanya mereka berdiri termangu-mangu.
Mereka tidak mendengar suara apa pun lagi, sehingga langit
menjadi samar-samar. Ketika mereka mulai menjadi cemas karena Pandan Wangi
masih belum tampak, maka Rudita pun mulai kebingungan.
Tetapi ia ragu-ragu untuk bertanya kepada anak-anak muda
yang lain. Namun akhirnya ia tidak dapat menekan perasaannya lagi
dan berkata, "Kenapa kalian tidak menengok Pandan Wangi?"
"O," Prastawa berpaling kepadanya, "kami tidak boleh
mendekati belik itu sebelum ia datang."
"Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu atasnya?"
Sebelum Prastawa menjawab, Agung Sedayu mendahuluinya,
"Kami juga sedang berpikir, apakah yang dapat kami
lakukan." "Pergilah. Lihatlah Pandan Wangi."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab agar ia tidak mengucapkan kata-kata yang
menyakitkan hati di luar sadarnya.
Tetapi mereka tidak perlu cemas terlalu lama. Sejenak
kemudian mereka melihat Pandan Wangi berjalan di sela-sela
gerumbul liar di pinggir hutan itu.
"Kau terlalu lama, Pandan Wangi," Rudita-lah yang mulamula
berteriak sebelum Pandan Wangi mendekat.
Pandan Wangi tidak segera menjawab. Baru setelah ia
dekat ia berkata, "Aku tidak segera dapat membersihkan diri.
Aum harimau itu agaknya tidak begitu jauh dari belik itu."
Rudita mengerutkan keningnya. Dipandanginya Pandan
Wangi sejenak, kemudian Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa berganti-ganti. "Pandan Wangi," berkata Rudita kemudian, "harimau itu
tidak akan datang ke mari."
"Dari mana kau tahu?" bertanya Pandan Wangi.
"Ia tidak menghadap ke arah kita. Ia membelakangi kita."
"Ya, darimana kau tahu?"
"Dari getaran suaranya. Jika ia menghadap kemari, getar
suaranya tentu akan berbeda."
Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, "Mungkin.
Mungkin kau dapat menangkap perbedaan itu. Tetapi aku
tidak. Mudah-mudahan harimau itu benar-benar tidak akan
datang kemari. Maksudku, jika ia tidak menghadap kemari,
mudah-mudahan ia berjalan langsung maju sehingga justru
akan menjadi semakin jauh dari tempat ini."
Prastawa hampir tidak dapat menahan tertawanya. Karena
itu maka tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah, kita pergi ke belik
itu bersama-sama." Ternyata, Swandaru yang sudah lebih dahulu melangkah
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjauh menyahut, "Marilah. Mumpung belum terlampau
malam." "Malam masih belum mulai," berkata Agung Sedayu.
"Sudah. Lihat, dilangit sudah ada bintang."
"O ya. Malam memang sudah mulai. Marilah kita pergi ke
belik." "Nah," sahut Pandan Wangi kemudian, "bawalah Rudita
serta." "Tidak. Aku tidak akan mandi," jawab Rudita.
"O, kenapa?" "Sudah terlampau malam. Aku biasa mandi dengan air
panas di rumah." Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Sambil
menarik nafas dalam-dalam Prastawa berkata, "Baiklah, jika
demikian kami akan pergi bertiga. Kemudian para pengiring
pun akan bergantian pergi ke belik itu sesudah kami."
Pandan Wangi hanya dapat menggigit bibirnya. Katanya
kemudian, "Jika kau tidak akan pergi bersama mereka,
baiklah, duduk sajalah di tikar itu."
"Apakah kau akan pergi lagi Pandan Wangi?" bertanya
Rudita. "Tidak, aku tidak akan pergi."
Demikianlah maka Rudita dan Pandan Wangi itu pun
kemudian duduk di atas tikar sambil menghirup minuman
hangat yang sudah disediakan oleh para pengiringnya.
Bahkan kemudian bekal makanan yang mereka bawa. Jadah
yang dipanasi di atas bara dan jenang alot yang manis.
"Pandan Wangi," bertanya Rudita tiba-tiba, "kenapa kau
bersikap terlampau baik terhadap ketiga anak-anak bengal
itu?" Pandan Wangi memandang anak muda itu sejenak, lalu
jawabnya, "Kita harus baik terhadap siapa pun juga. Apalagi
kepada tamu-tamu kita. Kita harus menghormatinya apa pun
yang sebenarnya ada di dalam hati."
"Jadi apakah sebenarnya kau membenci mereka, sehingga
sikapmu itu hanya berpura-pura?"
"Ah, pertanyaanmu aneh. Marilah kita berbicara tentang
hal lain. Lihat, hutan itu seperti hilang ditelan gelap."
"Mengerikan sekali. Tetapi bukankah di sini ada banyak
orang?" "Ya. Para pengiring lengkap ada di sini."
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Tetapi
bagaimanakah sebenarnya tanggapanmu terhadap
Swandaru" Bukankah Swandaru itu melamarmu?"
Meskipun bagi Pandan Wangi, Rudita tidak lebih dari
seorang anak kecil meskipun ujudnya besar, namun sepercik
warna merah telah membayang di pipinya. Hanya karena
keremangan malam yang baru saja menyelubungi Tanah
Perdikan Menoreh, maka warna itu tidak tampak oleh Rudita.
Apalagi ketika Rudita itu kemudian mendesak,
"Bagaimana, Pandan Wangi?"
Karena gadis itu mendapatkan kesulitan untuk menjawab
maka katanya kemudian, "Terserah kepada ayah. Bukankah
aku seorang gadis" Ayahlah yang wajar menentukan siapakah
jodohku kelak." "Benar begitu?" bertanya Rudita dengan serta merta.
"Kenapa?" Pandan Wangi ganti bertanya.
"Bagaimana jika ayahku menjumpai ayahmu, dan ayahmu
lebih setuju dengan pendapat ayahku daripada Ki Demang di
Sangkal Putung itu."
"Ah, itu tidak mungkin," jawab Pandan Wangi yang sama
sekali tidak menyangka bahwa Rudita akan berkata demikian.
"Tetapi bukankah Paman Argapati yang akan menentukan
hari depanmu." "Sudahlah, kita berbicara tentang yang lain. Kita harus
berhati-hati selama kita berada di sini. Mungkin binatang buas
itu sedang merunduk kita. Jika kita diterkamnya maka kita
tidak akan dapat berbicara lagi tentang ayah kita masingmasing."
"Apakah ada seekor harimau di sini?"
"Aku tidak tahu," jawab Pandan Wangi tegas, agar tidak
menimbulkan persoalan yang berkepanjangan.
Rudita menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia
berdesah, "Aku akan berbaring. Apakah api perapian itu akan
dipadamkan sesudah nasi masak?"
"Tidak, api itu akan diperbesar," jawab Pandan Wangi
begitu saja terloncat dari bibirnya. Ternyata bahwa pertanyaan
Rudita yang seolah-olah seperti pertanyaan kanak-kanak itu
menjadi persoalan di hati Pandan Wangi, karena mungkin
sekali Rudita akan menyampaikannya kepada orang tuanya.
Karena itu untuk beberapa lamanya. Pandan Wangi
merenungi pertanyaan-pertanyaan Rudita itu. Ia sudah
terlanjur mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung
kepada ayahnya. Jika kemudian ayah dan ibu Rudita salah
menafsirkan keterangan Rudita, akibatnya akan dapat
berkepanjangan. Seandainya ayahnya tetap pada
pendiriannya, karena pembicaraan dengan Ki Demang
Sangkal Putung sudah dilakukan, maka tentu ada sesuatu
yang akan tetap terasa mengganggu hubungan antara
ayahnya dan ayah Rudita, apalagi Rudita adalah, saudaranya
dari saluran darah ibunya yang sudah agak jauh.
"Tentu ayah Rudita cukup bijaksana," berkata Pandan
Wangi di dalam hatinya. Dalam pada itu nasi pun segera masak. Aum harimau
justru terdengar semakin jauh di tengah-tengah hutan yang liar
itu sehingga orang-orang yang mendengarnya menarik nafas
dalam-dalam. Mereka tidak perlu memperhatikannya lagi,
meskipun mereka tidak boleh lengah, karena dapat saja terjadi
seekor harimau yang lain tiba-tiba saja menerkam kuda
mereka yang terikat. "Tetapi biasanya kuda mempunyai naluri yang tajam jika
ada bahaya yang mendekat. Mereka akan berteriak dengan
rebut," berkata salah seorang pengiring itu kepada kawannya.
Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Swandaru, dan
Prastawa pun telah kembali ke perkemahan. Badan mereka
terasa menjadi segar. Karena itulah, maka terasa betapa
mereka menjadi lapar ketika tercium bau nasi yang hangat.
Tetapi mereka tidak segera makan. Para pengiring itulah
yang kemudian pergi ke belik untuk mandi, sedang anak-anak
muda itu dengan penuh kewaspadaan mengawasi keadaan di
sekitar mereka. Dengan beberapa potong kayu Prastawa membuat
perapian yang sudah tidak dipergunakan lagi untuk memasak
itu semakin besar. Nyala api yang merah melonjak semakin
lama semakin tinggi, sedang dedaunan yang merunduk
diatasnya bagaikan menggeliat kepanasan.
Cahaya merah itu membuat pepohonan dan batang perdu
menjadi sewarna bara. Angin yang semilir telah mengguncang
lidah api itu, sehingga bayangan dedaunan bagaikan
bergerak-gerak. Sejenak Rudita memandangi bayangan yang ikut
berguncang perlahan-lahan. Semakin lama rasa-rasanya
bagaikan raksasa yang sedang menari-nari mengelilinginya
diiring oleh irama suara cengkerik dan bilalang. Bahkan
kemudian suara anjing hutan yang menyalak di kejauhan,
namun yang segera terbungkam oleh aum seekor harimau.
"O," Rudita tiba-tiba menelungkup sambil
menyembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.
Pandan Wangi hanya dapat menarik nafas dalam-dalam,
sedang Prastawa bergeser setapak mendekatinya. Tetapi
Swandaru menggamitnya sambil berkata perlahan-lahan
sekali, "Biarkan saja. Aku menjadi semakin kasihan
kepadanya. Mudah-mudahan ia dapat segera menenangkan
hatinya." "Sebaiknya ia segera tidur," sahut Agung Sedayu berbisik,
"dengan demikian ia akan dapat melepaskan dirinya dari
siksaan ketakutan." Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dipandanginya Rudita yang masih saja menelungkup. Sambil
bergeser kembali ia berkata, "Aku pun kasihan sekali
kepadanya." Pandan Wangi tidak begitu mendengar kata-kata mereka
yang sedang berbisik-bisik. Tetapi seakan-akan ia dapat
mengerti maksud mereka itu.
Demikianlah tidak seorang pun yang mengganggu Rudita
yang sedang menelungkup. Mereka bahkan berharap anak
muda itu segera dapat tertidur nyenyak.
Ketika mereka sudah berkumpul lagi dengan para
pengiring yang bergantian mandi, maka mereka pun kemudian
mulai makan dengan lahapnya. Rudita ternyata tidak mau
bangun lagi. Ia menggelengkan kepalanya ketika Pandan
Wangi mengajaknya makan. "Biarlah ia tidur," desis Agung Sedayu sekali lagi.
Setelah mereka makan sekenyang-kenyangnya, barulah
mereka menempatkan diri masing-masing di tempat yang
mereka pilih sebagai pembaringan. Ternyata mereka tidak
cukup banyak membawa tikar, sehingga sebagian dari mereka
harus menimbun rerumputan kering di pinggir perapian itu.
Beberapa orang bertugas untuk berjaga-jaga sampai
menjelang tengah malam. Kemudian kelompok yang lain akan
berganti bertugas. Sedang kelompok terakhir adalah Agung
Sedayu, Swandaru dan Prastawa,
Kelompok pertama yang terdiri dari separo daripada para
pengiring itu pun kemudian duduk di pinggir perapian. Sambil
memanasi telapak tangan mereka di udara malam yang dingin
mereka masih saja membicarakan tentang ular naga yang
berhasil mereka bunuh. Ternyata sejenak kemudian, perkemahan itu menjadi sepi.
Mereka yang akan berganti bertugas, segera berusaha untuk
tidur. Sedang Pandan Wangi yang tidak termasuk dalam
kelompok-kelompok yang akan berjaga-jaga, merasa dirinya
menjadi pemomong Rudita secara khusus, sehingga justru
karena itu ia tidak dapat meninggalkannya, meskipun anak itu
pernah berbicara kepadanya tentang lamaran seorang anak
muda. Setiap kali Pandan Wangi yang berbaring tidak jauh dari
Rudita itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali
ia harus melihat apakah Rudita masih tetap dalam
keadaannya. Namun akhirnya, karena Pandan Wangi sendiri pun
merasa letih, maka akhirnya ia pun tertidur juga.
Ketika malam menjadi semakin malam, maka para penjaga
yang bertugas pun mulai mengisi waktunya untuk melawan
kantuk. Mereka tidak lagi berkumpul duduk di sekitar perapian.
Tetapi dua di antara mereka berjalan mengelilingi perkemahan
itu dan melihat-lihat keadaan kuda mereka.
Ternyata bahwa di bagian pertama dari malam itu tidak
terjadi sesuatu. Tanpa membangunkan orang-orang lain,
maka kelompok petugas pertama telah membangunkan
kelompok kedua dan menyerahkan tugas mereka kepada
kelompok berikutnya. Seperti kelompok pertama, maka setiap kali dua orang dari
para petugas itu berjalan-jalan berkeliling perkemahan. Selain
untuk mengawasi keadaan, sebenarnya mereka memang
berusaha untuk melawan kantuk yang hampir tidak
tertahankan, justru karena terasa udara sangat segar di
malam hari. Namun agaknya para peronda itu tidak menemukan
sesuatu yang mencurigakan. Kuda-kuda mereka sama sekali
tidak terganggu, dan yang sedang tidur pun masih tetap tidur
dengan nyenyaknya. Dalam pada itu sebenarnyalah bahwa para petugas, tidak
mengetahui bahwa beberapa pasang mata sedang
mengawasi mereka. Bukan mata harimau yang garang, bukan
pula sepasang mata ular naga yang liar. Tetapi beberapa
pasang mata manusia. Ketika para petugas itu sedang bercakap-cakap setelah
dua orang di antara mereka baru saja berkeliling, ternyata
beberapa orang telah merayap mendekati perkemahan itu.
"Tentu mereka yang sedang kita cari," desis salah seorang
dari mereka. "Mudah-mudahan," sahut yang lain, seorang anak muda.
Tetapi agaknya ialah yang memimpin kelompok yang sedang
merunduk mendekati perkemahan itu.
Demikianlah mereka merayap semakin lama menjadi
semakin dekat. Dengan isyarat anak muda yang memimpin
kelompok itu pun kemudian memberikan perintah, agar anak
buahnya segera memencar. Dengan diam-diam, maka beberapa orang itu pun
memencar mengepung perkemahan itu. Semakin lama
kepungan itu pun rasa-rasanya menjadi semakin sempit.
Dalam pada itu, para petugas yang sedang meronda
malam itu sama sekali tidak menduga, bahwa di sekitar
perkemahan itu ternyata telah bertebaran beberapa orang
yang tidak mereka kenal. Setelah mereka tidak merasa
kantuk, maka mereka justru duduk saja mengitari perapian
yang masih menyala karena setiap kali para petugas telah
melemparkan potongan-potongan kayu bakar ke dalamnya.
"Rasa-rasanya malam terlampau sepi," desis salah
seorang peronda. "Ya, malam memang terlalu sepi. Rasa-rasanya kita tidak
sedang berada di pinggir hutan liar."
"Harimau itu tentu sudah mendapatkan mangsanya
sehingga karena itu tidak lagi berteriak-teriak."
"Apakah hanya ada seekor harimau di hutan yang lebat
itu?" "Tentu tidak. Tetapi semuanya sudah kenyang, dan
semuanya tidak mengaum."
Kawan-kawannya tertawa. Sebenarnya mereka pun masih
mendengar auman harimau. Tetapi jauh sekali sehingga
mereka tidak perlu menghiraukannya. Namun demikian,
ternyata bahwa para penjaga itu, selain menyandang pedang
di lambung, mereka mempersiapkan busur dan anak panah,
jika pada suatu saat mereka perlukan. Tetapi bukan saja untuk
melawan harimau, karena dimalam hari pun kadang-kadang
mereka melihat seekor kijang berlari-lari apabila seekor
harimau lewat dekat persembunyiannya.
Tetapi malam itu, tidak ada seekor binatang pun yang
mendekati perkemahan mereka. Sedang orang-orang yang
berusaha mendekat itu, ternyata cukup berhati-hati, sehingga
langkah mereka tidak segera didengar oleh para penjaga itu.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Apalagi mereka yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
Sejenak para peronda itu masih saja duduk di sekitar
perapian. Baru ketika kantuk mulai meraba mata mereka lagi,
dua orang di antara mereka berdiri dan berjalan mengelilingi
perkemahan itu. Namun mereka masih belum menyadari bahwa ada
beberapa orang yang sedang mengepung mereka. Karena itu,
maka kedua orang itu pun kemudian kembali lagi ke tepi
perapian dan duduk pula di antara mereka.
Dalam pada itu, orang-orang yang sedang mengepung itu
pun merayap semakin maju. Beberapa orang terpenting
berada di tempat yang terpencar. Semakin lama semakin
dekat, sehingga anak muda yang memimpin mereka itu pun
sempat memperhatikan kuda yang tertambat.
"Hitung, berapa ekor kuda yang ada," desisnya perlahanlahan
sehingga kawannya berbicara pun hampir tidak
mendengarnya. "Banyak," sahut kawannya, "kira-kira sepuluh ekor."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Setiap
kali ia mengerutkan keningnya memperhatikan para peronda.
Jika dua orang di antara para peronda itu berdiri dan berjalan
melingkar, maka orang-orang yang mengepung itu pun
seakan-akan membeku di tempatnya, bahkan menarik nafas
pun rasa-rasanya tidak mereka lakukan. Karena itulah maka
para peronda itu tidak segera dapat mengetahui kehadiran
mereka yang masih bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul
liar itu. Namun ternyata, bahwa kuda-kuda yang tertambat itulah
yang lebih dahulu mengetahui kehadiran orang-orang itu.
Salah seekor dari kuda-kuda itu pun tiba-tiba meringkik keraskeras
dengan gelisahnya disusul oleh beberapa ekor yang
lain. Dan ringkik kuda itu telah mengejutkan orang-orang yang
sedang bertugas mau pun yang sedang tidur nyenyak. Karena
itulah maka mereka pun segera terbangun pula.
Dengan tangkasnya para peronda itu pun segera
mempersiapkan senjata sambil berpencar menatap ke segala
arah membelakangi api. Demikian juga mereka yang sedang
tertidur pun bangkit dan duduk sambil meraba senjata masingmasing
sambil menunggu apakah yang terjadi sebenarnya.
Namun secepat itu pula pemimpin kelompok yang
mengepung itu pun memberikan isyarat kepada anak buahnya
dengan suatu suitan nyaring. Secepat para pengiring itu
bersiap dan orang-orang yang tertidur itu bangun, maka
perkemahan itu sudah terkepung rapat. Di dalam keremangan
cahaya api yang kemerah-merahan, mereka melihat
bayangan-bayangan hitam di sela-sela dedaunan dengan
senjata telanjang di tangan.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempercepat
kematian kalian," desis anak muda yang memimpin kelompok
itu. Para peronda menjadi termangu-mangu. Ternyata jumlah
orang-orang yang mengepung perkemahan itu cukup banyak.
"Lepaskan senjata kalian," berkata suara itu pula.
Dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru, Pandan
Wangi, dan Prastawa pun telah terbangun pula. Tetapi mereka
masih tetap berada di tempat masing-masing. Meskipun
demikian tangan mereka sudah menggenggam tangkai
senjata masing-masing. "Kalian harus menyerah sebelum kami mengambil sikap
yang lebih kasar," berkata anak muda yang memimpin orangorang
yang telah mengepung perkemahan.
Para peronda menjadi ragu-ragu. Mereka sadar bahwa
Pandan Wangi yang mereka anggap sebagai pemimpin
mereka telah terbangun, sehingga mereka hanya menunggu
perintah daripadanya. Jika Pandan Wangi memerintahkan
untuk bertempur, maka apa pun yang terjadi mereka akan
bertahan mati-matian. "Cepat, lakukan perintah kami. Letakkan senjata kalian."
Tetapi para peronda masih ragu-ragu karena Pandan
Wangi masih belum mengucapkan perintah apa pun.
Dalam pada itu Rudita yang sudah terbangun pula segera
menyadari apa yang terjadi. Ialah yang mula-mula bangkit
berdiri memandang keadaan di sekelilingnya.
"Jangan berbuat sesuatu yang dapat memaksa kami
melepaskan senjata," terdengar lagi suara anak muda yang
memimpin orang-orang yang telah mengepung perkemahan
itu. Rudita pun kemudian melihat bayangan kehitaman di
antara dedaunan. Bahkan samar-samar ia melihat beberapa
buah senjata yang berkilat-kilat.
Tiba-tiba ketakutan yang sangat telah menerkam
jantungnya, seperti ketika ia melihat ular naga yang hampir
saja menelannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata,
"Aku tidak apa-apa. Aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak
bersenjata dan aku menyerah."
"Tidak," Prastawa-lah yang tidak dapat menahan hatinya
setelah ia meyakini keadaan, bahwa sebenarnyalah
sekelompok orang-orang yang tidak dikenalnya telah
mengepung perkemahan itu. "Kami bukan cucurut yang dapat
ditakut-takuti dengan senjata."
Suasana yang tegang itu menjadi bertambah tegang.
"Kau tidak akan berdaya," jawab suara pemimpin
kelompok itu dengan tenang, "kami bukan sekedar menakutnakuti.
Tetapi jika perlu kami pun dapat bertindak keras dan
kasar." "Kami adalah laki-laki seperti kalian," sahut Prastawa.
"Tidak," tidak tiba-tiba Rudita berteriak, "kau memang
bodoh sekali. Kita memang harus menyerah. Bukankah itu
lebih baik." Lalu dengan suara yang gemetar, "Aku menyerah.
Jangan kalian sakiti aku. Aku tidak tahu apa-apa."
"Pengecut," bentak Prastawa, "menyerahlah jika kau ingin
menyerah." Sebelum Rudita menyahut, maka yang terdengar adalah
suara Agung Sedayu, "Siapakah sebenarnya kalian, dan
apakah kepentingan kalian dengan kami?"
Tidak segera terdengar jawaban, Sedang Agung Sedayu
pun kemudian telah berdiri pula membelakangi api
menghadap kepada orang-orang yang mengepungnya,
disusul oleh Swandaru yang berdiri pula di sampingnya.
Pemimpin kelompok orang-orang yang mengepung
perkemahan itu melihat dua bayangan hitam di depan
perapian. Tetapi mereka tidak melihat wajah kedua orang itu
justru karena mereka menjadi silau oleh nyala api yang
kemerah-merahan itu. "Lepaskan senjata kalian," suara itu terdengar lagi.
Agung Sedayu mencoba memperhatikan beberapa
bayangan di sela-sela dedaunan, tetapi ia pun tidak dapat
melihat mereka dengan jelas, karena mereka tidak berdiri
cukup dekat. "Sebaiknya berterus teranglah," berkata Agung Sedayu,
"dengan demikian kita menjadi pasti, apakah yang akan kita
lakukan." "Kami akan berbicara setelah kalian melemparkan senjata
kalian." "Cepat!" Rudita pun ikut membentak. "Jangan terlalu
sombong. Apakah sulitnya melemparkan senjata dari tangan,
tetapi kemudian kita selamat" Bukankah kita memang tidak
berhasrat untuk pergi berperang?"
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
sama sekali tidak menanggapi kata-kata Rudita. Sekali lagi ia
berkata lantang, "Sebut namamu atau gelarmu atau apa pun
yang dapat memberikan ciri atau sebutan bagimu."
"Sekali lagi aku mengulangi, lemparkan senjata kalian.
Baru kita berbicara. Dan kalian akan segera mengenal aku."
Tiba-tiba Swandaru menggeram, "Kami tidak akan
melemparkan senjata kami. Itu adalah keputusan kami.
Terserah, apa yang akan kalian lakukan. Kalian tidak bersedia
untuk berbicara dalam kedudukan yang sama. Itu suatu
penghinaan. Karena itu, kami akan mempertahankan harga
diri kami." Sejenak tidak terdengar jawaban. Bayangan di antara
semak-semak itu masih berdiri ditempatnya, sedang senjata
mereka seakan-akan telah siap untuk menerkam. Orangorang
yang mengepung perkemahan itu tinggal menunggu
perintah dari pimpinan mereka untuk meloncat maju
menyerang orang-orang yang tidak bersedia melemparkan
senjata mereka. Dalam pada itu, Rudita yang semakin ketakutan berteriak
dengan suara serak, "Gila! Gila! Lemparkan senjata-senjata
itu. Cepat! Jika tidak, kita semua akan binasa sekedar karena
kesombonganmu." Swandaru yang berusaha untuk menyabarkan dirinya,
menggeretakkan giginya. Tetapi ia mencoba tidak
menghiraukan lagi anak yang menggigil ketakutan itu. Ketika
kemudian ia menebarkan tatapan matanya, maka dilihatnya
para pengiring Pandan Wangi pun telah siap menghadapi
segala kemungkinan. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian
bangkit berdiri dan berkata dengan nada tinggi, "Jangan
mencoba menundukkan hati kami. Kami berada di daerah
kami sendiri. Kalianlah yang harus menyerah dan kalian
terpaksa kami bawa menghadap ayah, Kepala Tanah
Perdikan Menoreh karena kalian telah melanggar hak atas
daerah kami." Masih belum ada jawaban. "He, siapakah kalian?" Prastawa-lah yang berteriak
kemudian. "Gila, kalian semua sudah gila," potong Rudita, "kenapa
kalian berniat untuk berkelahi. Bukankah kita hanya akan
sekedar berburu." Tetapi hati Rudita yang dicengkam oleh ketakutan yang
menjadi semakin kuncup karena tidak seorang pun yang
menghiraukannya. Bahkan Pandan Wangi yang kemudian maju beberapa
langkah sambil menggenggam hulu pedangnya yang masih
ada di dalam sarungnya berkata, "Kalian jangan mencoba
bukan saja menghinakan kami, tetapi kalian telah mencoba
pula menghinakan kekuasaan yang ada di atas Tanah
Perdikan ini. Apa pun juga yang akan terjadi, kamilah yang
akan memaksa kalian menyerah, bukan sebaliknya."
Masih tidak ada jawaban, sehingga dengan demikian
Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di dalam kepungan
itu menjadi ragu-ragu. Yang terdengar kemudian adalah suara Agung Sedayu,
"Kenapa kalian diam saja" Jika kalian ingin bertindak kasar,
lakukanlah. Tetapi jika kalian ingin berbicara, kami akan
berbicara dengan senjata di tangan seperti kalian."
Tiba-tiba pemimpin dari orang-orang yang mengepung
perkemahan itu melangkah maju. Di dalam kegelapan
tampaklah seorang yang berperawakan sedang sambil
membawa sebatang tombak pendek. Tetapi tombak itu kini
berdiri tegak di bahu kanannya.
"Maafkan kami," itulah yang pertama-tama diucapkannya
setelah beberapa saat ia berdiam diri.
Semua orang yang menyaksikannya menjadi termangumangu.
Bukan saja di pihak Pandan Wangi dan kawankawannya,
tetapi orang-orang yang sedang mengepung
perkemahan itu pun menjadi heran.
"Bukan maksud kami mengejutkan kalian," berkata orang
yang membawa tombak pendek itu.
Agung Sedayu yang membelakangi api mengerutkan
keningnya. Kemudian dilihatnya orang yang melangkah itu
semakin dekat, sehingga cahaya api yang kemerah-merahan
mulai menjangkaunya. "Apakah kalian mengenal aku?" bertanya orang itu.
Sejenak tidak terdengar jawaban. Namun kemudian
hampir berbareng terdengar suara Agung Sedayu dan
Swandaru, "Raden Sutawijaya.",
Orang itu tertawa. Ia melangkah semakin dekat lagi.
Katanya, "Aku pun tidak segera mengenal kalian, karena
kalian membelakangi api, sehingga yang tampak hanyalah
wajah-wajah yang hitam. Tetapi suara seorang gadis dan
apalagi ketika ia menyebut dirinya dan menghubungkan
dengan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku pun
yakin bahwa tubuh yang gemuk di dalam bayangan api itu
adalah Swandaru Geni. Meskipun yang tampak hanyalah
bayang-bayang yang hitam, tetapi tidak ada bayang-bayang
yang bulat dan begitu gagahnya selain putera dari Sangkal
Putung." "Ah," Swandaru berdesah, "aku tidak menyangka bahwa
Raden ada di sini." "Aku ingin minta maaf kepada Pandan Wangi, bahwa aku
sudah berada di daerah Tanah Perdikan Menoreh."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kini Raden
Sutawijaya berada hanya beberapa langkah saja di hadapan
dirinya. "Tetapi apakah yang Raden kehendaki di Tanah Perdikan
ini?" "Kami sedang mencari sekelompok orang-orang yang tidak
kami kenal. Mereka telah menyeberangi sungai Praga dan
hilang di dalam hutan ini."
"Apakah Raden menduga bahwa mereka orang-orang
Menoreh?" "Tidak. Bukan maksudku. Aku sama sekali tidak menduga
demikian." Pandan Wangi adalah putera Kepala Tanah Perdikan
Menoreh, sehingga ia pun menyadari hak dan wewenangnya.
Karena itu, maka ia pun kemudian bertanya, "Apakah Raden
tidak dapat menempuh cara lain daripada memasuki daerah
ini tanpa setahu ayah atau orang-orang yang berwenang di
atas Tanah Perdikan ini."
Pertanyaan itu ternyata telah mengejutkan Raden
Sutawijaya. Karena untuk sesaat ia berdiam diri. Ia mengerti,
bahwa orang yang berkuasa di atas Tanah ini tentu
tersinggung karena kehadirannya tanpa memberitahukan atau
minta ijin lebih dahulu. Apalagi ketika Pandan Wangi berkata,
"Raden, sebenarnyalah bahwa kami pun sedang berusaha
menangkap orang-orang bersenjata yang tidak kami
kehendaki berkeliaran di daerah kami."
Raden Sutawijaya tidak segera menjawab. Dipandanginya
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandan Wangi yang berdiri tegak di dalam cahaya api yang
kemerah-merahan. Namun Raden Sutawijaya tidak dapat ingkar. Katanya
kemudian, "Pandan Wangi. Baiklah aku minta maaf atas hal
ini. Tetapi baiklah kau mendengar alasanku. Aku sedang
mencari sekelompok orang-orang bersenjata. Mereka baru
saja membuat sesuatu yang merugikan Mataram. Ketika
mereka menyeberang Kali Praga, kami masih mengejar
mereka. Tetapi malam segera turun sehingga kami tidak
berhasil menangkapnya. Meskipun demikian kami tidak
berhenti. Kami maju terus menembus hutan liar ini. Adalah
kebetulan sekali kami melihat perapian di sini, sehingga kami
menyangka bahwa kalian adalah orang yang sedang kami
cari." "Seharusnya Tuan berhenti di seberang Kali Praga," sahut
Pandan Wangi, "jika Tuan tidak menduga bahwa mereka
orang-orang Menoreh, maka Raden tidak akan mengejarnya
sampai ke seberang. Raden harus mempercayakannya
kepada kami, kepada orang-orang Menoreh."
"Kami tidak mempunyai waktu lagi," jawab Sutawijaya.
"Tentu waktu masih cukup panjang. Raden harus
menyerahkan kepada kami untuk menangkapnya. Raden
dengan sepasukan pengawal tidak dapat dibenarkan berada
di daerah Tanah Perdikan Menoreh tanpa ijin kami. Bukan
karena Raden sudah mengejutkan kami sehingga kami
menjadi jengkel karenanya. Tetapi seharusnyalah bahwa
Raden mengetahui hal itu."
"Ya, ya," jawab Sutawijaya, "sudah aku akui. Dan aku
sudah minta maaf." "Tidak kepadaku, karena bukan akulah Kepala Tanah
Perdikan Menoreh." Sepercik ketegangan tampak di wajah Raden Sutawijaya.
Karena itu ia tidak segera menjawab. Ditatapnya saja Pandan
Wangi berganti-ganti dengan Agung Sedayu dan Swandaru.
Kedua anak muda murid Kiai Gringsing itu menjadi
bingung. Ia sebenarnya tidak ingin terjadi ketegangan itu.
Tetapi mereka pun dapat mengerti bahwa Pandan Wangi
merasa tersinggung karena orang lain telah memasuki
wilayahnya tanpa ijin. Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berkata, "Baiklah aku minta maaf
kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi bukankah
aku dapat minta kepadamu untuk mewakilinya?"
Pandan Wangi-lah yang kemudian termangu-mangu.
Sejenak ia berpaling kepada Swandaru, seakan-akan minta
pertimbangannya. Tetapi anak muda yang gemuk itu tidak
sedang memandang ke arah Pandan Wangi.
Raden Sutawijaya menunggu dengan hati yang berdebardebar.
Ia sedang berdiri di antara dua kepentingan. Yang
sebelah, adalah harga dirinya, sedang yang lain adalah
hubungan antara Tanah Mataram yang sedang tumbuh
dengan Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata bahwa kepentingan Mataram-lah yang paling
utama bagi Sutawijaya. Ia tidak mau merusak hubungan
antara daerah yang sedang dibuka dengan daerah di
sekitarnya. Bahwa ia sudah menyeberang Kali Praga di
malam hari, adalah karena terdorong oleh keinginannya
menangkap orang-orang yang tidak dikenal yang setiap kali
selalu mengganggu pertumbuhan Mataram.
Sejenak mereka dikuasai oleh ketegangan. Semua orang
memandang kepada Pandan Wangi untuk menunggui
jawabannya Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya.
Terserahlah tanggapan ayah terhadap hal ini."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan ia pun
bertanya, "Apakah maksudmu, Pandan Wangi."
"Jika ayah menghendaki Raden datang sendiri kepadanya,
terserahlah kepada ayah. Mungkin Raden segera akan
kembali ke Mataram. Namun jika ayah menghendaki, kami
dapat mengirimkan utusan untuk menyampaikan keputusan
ayah kepada Raden." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya,
Katanya, "Baiklah. Aku mengerti bahwa kalian benar-benar
merasa tersinggung. Tetapi jika kau menyampaikan persoalan
ini kepada Ki Gede Menoreh, aku berharap agar dapat kau
sampaikan dengan lengkap. Salam permintaan maaf, juga
alasanku kenapa aku dengan terpaksa sekali menyeberangi
sungai itu di malam hari. Aku sama sekali tidak ingin
melanggar hak atas Tanah Perdikan ini, tetapi semata-mata
karena terdorong oleh keinginan untuk menangkap mereka.
Kami sudah dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali
lagi, sehingga kami telah melanggar batas Tanah Perdikan
Menoreh." "Baiklah, Raden. Aku akan menyampaikannya kepada
ayah dengan lengkap."
"Mudah-mudahan Ki Gede Menoreh dapat mengerti, dan
tidak usah mengirimkan utusan mencari aku ke Mataram dan
memanggil aku. Karena mungkin sekali aku tidak sedang
berada di Mataram. Sebagai Putera Sultan Pajang aku
kadang-kadang mendapat tugas khusus juga, tugas untuk
melihat-lihat daerah Pajang yang tersebar luas di atas Tanah
ini. Dari pasisir Utara sampai pasisir Selatan. Dari ujung Timur
sampai ke ujung Barat. Dan untuk itu kadang-kadang aku
memerlukan waktu yang panjang."
Pandan Wangi tercenung sejenak. Sedang Agung Sedayu
dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar,
bahwa Sutawijaya masih ingin juga menunjukkan
kekuasaannya, kekuasaan yang memang ada padanya
sebagai putera angkat Sultan Pajang yang sebelum
meninggalkan istana, bagaikan puteranya sendiri.
Dan kekuasaan Pajang itu sampai saat terakhir masih
diakui meliputi daerah yang luas, termasuk Tanah Perdikan
Menoreh. Karena itulah maka Pandan Wangi tidak segera
menjawabnya. Pengakuan atas Pajang, dan pengakuan atas
kekuasaan para pemimpin di Pajang masih dihormatinya,
seperti ayahnya juga masih tetap menghormatinya.
Agung Sedayu yang menyadari bahwa Pandan Wangi
berada di dalam kesulitan perasaan berusaha menolongnya.
Katanya mengalihkan pembicaraan, "Jika demikian,
silahkanlah, Raden. Marilah kita berbicara seenaknya sambil
duduk mengelilingi perapian ini. Mungkin pembantu kami
dapat merebus air dan memanasi jadah ketan dengan
memanggangnya di atas bara. Kita akan dapat berbicara
tentang orang-orang bersenjata yang tidak dikenal itu. Dan
tentu pembicaraan akan menjadi sangat menarik."
"Terima kasih," jawab Sutawijaya
Pandan Wangi pun kemudian sambil mencoba
menenangkan hatinya berkata, "Baiklah, silahkan Raden
duduk." Raden Sutawijaya pun kemudian memberikan isyarat
kepada orang-orangnya. Mereka pun kemudian bermunculan
dari balik gerumbul. Dan ternyata bahwa mereka pun tidak
begitu banyak. Tidak lebih dari lima belas orang.
Namun ternyata bahwa anak buah Raden Sutawijaya itu
cukup berhati-hati. Meskipun mereka kemudian duduk pula di
perkemahan itu, namun mereka tetap terpencar. Masingmasing
berkelompok antara empat atau lima orang.
Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru menaruh
kepercayaan sepenuhnya bahwa Raden Sutawijaya tentu
tidak akan berbuat sesuatu dengan cara yang tidak terpuji.
Karena itulah maka mereka sama sekali tidak mencurigainya.
Mereka sama sekali tidak menaruh banyak perhatian terhadap
anak buahnya yang duduk di dalam gerombol-gerombol yang
terpisah. Tetapi ternyata bahwa Prastawa yang kurang mengenal
Raden Sutawijaya berpendirian lain. Karena itulah maka ia
duduk memisahkan diri dari mereka yang kemudian
mengelilingi perapian. Ternyata Prastawa lebih senang duduk
bersama para pengiring yang tidak sedang sibuk menyiapkan
minuman dan makanan yang dapat menghangatkan mereka di
malam hari. Dalam pada itu Rudita menjadi kebingungan. Ia kurang
mengerti, kenapa suasana tiba-tiba saja berubah. Ia menjadi
heran kenapa orang-orang yang mengepung mereka itu
segera menjadi lunak. "Agaknya mereka sudah berkenalan sebelumnya," katanya
di dalam hati. Dan ternyata bahwa pembicaraan mereka yang duduk di
perapian itu pun menjadi lancar.
Dalam pada itu, Rudita yang masih termangu-mangu itu
dan yang kemudian duduk di atas tikar di arah belakang
Pandan Wangi mencoba memperhatikan pembicaraan
mereka. Setiap kali ia mendengar nama anak muda yang
bersenjata tombak pendek itu disebut-sebut sebagai Raden
Sutawijaya. Dan nama itu memang pernah didengarnya.
Hanya didengarnya. "Ia menyebut dirinya sebagai putera Sultan Pajang.
Apakah Raden Sutawijaya itulah yang dimaksud sebagai
putera angkat Sultan Pajang seperti yang sering aku dengar?"
ia bertanya kepada diri sendiri.
Akhirnya Rudita itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dari pembicaraan yang didengarnya tentang orang-orang
bersenjata yang membuat Mataram menjadi kisruh, ia yakin
bahwa orang itulah yang dimaksudkannya.
Karena itu maka tiba-tiba saja ia bergeser maju. Ketika ia
sudah duduk di sebelah Pandan Wangi, maka ia pun berkata,
"Raden Sutawijaya. Ternyata Raden Sutawijaya adalah orang
yang selama ini baru aku dengar namanya lewat ceriteraceritera.
Kedatangan Raden sangat mengejutkan kami dan
agaknya perbawa Raden telah membuat aku ketakutan.
Tetapi sebenarnyalah bahwa kami tidak akan berani berbuat
apa pun terhadap Raden, Putera Sultan Pajang."
Sutawijaya berpaling. Dilihatnya Rudita dengan herannya.
Apalagi ketika dilihatnya anak muda itu tertawa-tawa sambil
meremas-remas tangannya sendiri.
"Raden," berkata Rudita kemudian, "aku minta maaf akan
kelancangan kawan-kawanku, juga Pandan Wangi. Meskipun
agaknya mereka sudah mengenal Raden, dan barangkali
bahkan sudah mengetahui kedudukan Raden, namun mereka
tentu belum tahu, betapa tinggi sebenarnya kedudukan Raden
itu. Sebenarnya kami sama sekali tidak pantas duduk
bersama-sama dengan Raden seakan-akan kami mempunyai
kedudukan yang sama dengan Raden."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sejenak
dipandanginya Agung Sedayu yang menarik nafas dalamdalam.
Kemudian Swandaru yang justru termangu-mangu.
Ketika Rudita masih akan berbicara lagi, Pandan Wangi
telah menggamitnya, sehingga niat itu diurungkannya. Namun
wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan ketika Rudita
justru bertanya kepada Pandan Wangi, "Kenapa?"
"Sst," Pandan Wangi berdesis.
"Bukankah kau menggamit aku" Kenapa?"
Sutawijaya terpaksa menahan senyumnya. Dalam sekilas
ia dapat mengenal sifat anak muda itu. Anak muda itu pulalah
yang menjadi ketakutan ketika ia mengepung perkemahan itu.
Dan anak muda ini pula yang justru ingin agar kawankawannya
melepaskan senjatanya. Namun dengan demikian,
maka Rudita tidak menjadi persoalan lagi bagi Raden
Sutawijaya. Ia tahu ada sedikit kekurangan pada anak muda
itu. Mungkin pengalaman atau mungkin tuntunan di dalam
keluarganya yang tidak banyak memperkenalkan anak muda
itu dengan sifat dunia yang keras.
Dalam pada itu Pandan Wangi masih dikejar oleh
kebingungan karena Rudita masih saja bertanya kepadanya,
"Kenapa kau menggamit aku he" Apakah ada sesuatu yang
akan kau katakan?" Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak. Tidak ada yang akan aku katakan."
"Tetapi kau menggamit aku."
"Tidak sengaja. Aku hanya menyentuhmu karena aku
bergeser sedikit." "O," Rudita mengangguk-angguk, "kau membuat aku
kehilangan kata-kataku. Aku masih ingin berbicara dengan
Raden Sutawijaya, tetapi aku lupa kata-kata yang sudah ada
di ujung lidah." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Dan tiba-tiba saja Rudita berkata pula, "Ha, sekarang aku
ingat. Aku ingin berkata tentang diri kita kepada Raden
Sutawijaya." Lalu sambil menghadap kepada Raden
Sutawijaya ia berkata, "Raden, tentu kami tidak akan dapat
menghalang-halangi apa yang akan Raden katakan. Sama
sekali tidak dapat. Pandan Wangi terlampau berbangga diri
karena jabatan ayahnya. Tetapi dibandingkan dengan Raden,
maka jabatan ayahnya sama sekali tidak berarti. Apalagi anakanak
Sangkal Putung itu. Mereka tidak lebih dari anak seorang
Demang kecil." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kata-nya, "Kami sudah lama berkenalan. Di antara kami tidak
ada lagi persoalan jabatan atau pangkat. Kami berkenalan
seperti anak-anak muda berkawan satu sama lain."
"O. Tentu karena Raden berjiwa besar. Tetapi kamilah
yang harus menyadari keadaan kami. Kekecilan diri kami.
Adalah sikap deksura yang tidak dapat dimaafkan, jika kami
tidak menyadari keadaan kami masing-masing."
"Terima kasih," lalu kepada Rudita ia bertanya, "siapa
namamu?" "Rudita." "Terima kasih, Rudita. Kau adalah anak muda yang tahu
diri. Tetapi biarlah kami bersikap seperti yang kami lakukan.
Aku lebih senang berbicara dengan bebas dalam sikap yang
bebas." "O, betapa besar jiwa Raden. Dan karena itulah kami
merasa lebih kecil lagi. Seharusnya anak-anak Sangkal
Putung itu bergeser mundur dan duduk bersila di atas tanah
sambil menundukkan kepalanya."
Raden Sutawijaya akhirnya menjadi jemu juga melayani.
Karena itu katanya, "Terima kasih. Sebaiknya kau tidur, Anak
Manis. Hari sudah terlampau malam."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Swandaru-lah yang kemudian hampir tidak dapat menahan
tertawanya. Tetapi dengan susah payah dan sambil
memalingkan kepalanya, ia berhasil menyembunyikan
perasaannya. Rudita pun kemudian terdiam. Tetapi ia tidak mengerti
sikap Raden Sutawijaya. Apakah kata-katanya itu sebenarnya
dimaksudkan seperti yang diucapkan, atau ia mempunyai
maksud lain. Karena itu maka Rudita itu pun menjadi
termangu-mangu. Namun demikian, maka ia pun terdiam
karenanya. Dalam pada itu, Prastawa yang duduk di antara para
pengiringnya lamat-lamat mendengar juga percakapan antara
Rudita dan Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia ingin meloncat
membungkam mulut Rudita. Tetapi dengan menahan diri ia
terpaksa tetap duduk di tempatnya.
Meskipun demikian, ia masih saja tetap mengawasi
kelompok-kelompok orang-orang Mataram yang duduk
terpencar. Namun semakin lama kecurigaannya itu pun
menjadi semakin tipis. Sementara itu, Sutawijaya sudah terlibat lagi dalam
pembicaraan yang lancar dengan Agung Sedayu, Swandaru,
dan Pandan Wangi. Mereka masih saja membicarakan orangorang
bersenjata yang tidak mereka kenal.
"Raden," berkata Agung Sedayu, "jika demikian, maka
sebenarnya Mataram telah terkepung."
"Ya. Mataram memang sudah dikepung oleh orang-orang
yang tidak kita kenal itu. Sejak hantu-hantuan itu dapat kita
ketahui rahasianya, maka mereka telah mengambil cara yang
lebih kasar. Aku sudah mendengar laporan yang terperinci
dari Ki Lurah Branjangan tentang kekacauan yang timbul di
Jati Anom. Sebenarnyalah bahwa kami harus mengucapkan
terima kasih kepada Kiai Gringsing dan murid-muridnya
beserta Ki Sumangkar."
"Ah. Itu sudah menjadi kuwajiban kami."
"Juga kepada Ki Ranadana dan para prajurit Pajang di Jati
Anom. Tetapi kami belum sempat melakukannya."
"Kita semuanya berkepentingan."
"Juga semua bantuan yang telah kalian berikan kepada
kami selama ini." "Ah, kami tidak berbuat apa-apa," jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru berkata, "Raden, bukan maksud kami
untuk menunjukkan jasa kami kepada Raden dan Mataram.
Tetapi agaknya perlu Raden ketahui, bahwa jalan masuk ke
Mataram dari arah Timur seakan-akan benar-benar telah
tertutup." "Ya, kami sudah mengetahui bahwa gangguan meningkat
di bagian Timur Alas Mentaok, bahkan di Alas Tambak Baya."
"Ya. Kami menemukan seseorang yang menyebut dirinya
panembahan tidak bernama."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya.
"Kami terpaksa bertempur melawan orang itu bersama
anak buahnya." "Ya, ya. Aku juga sudah mendengar laporan tentang
mereka. Aku juga sudah mendengar, siapakah yang telah
berhasil menyingkirkan orang yang menyebut dirinya
panembahan tidak bernama itu."
"Bukan maksud kami untuk menyatakan diri kami."
"Aku mengerti. Kau tentu sekedar memberikan peringatan
bahwa hal itu telah terjadi."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tentu pengawalpengawal
dari Mataram itulah yang menyampaikan laporan
mengenai panembahan tidak bernama itu.
"Semuanya itu membuat aku yakin, bahwa ada kekuatan
yang sebenarnya berbahaya bagi Mataram, sehingga kami
tidak dapat menunggu saja," berkata Sutawijaya kemudian.
"Dan itu pulalah sebabnya yang mendorong aku
memberanikan diri menyeberangi Kali Praga. Dan untuk itu
aku sudah minta maaf."
"Raden tidak perlu minta maaf," tiba-tiba saja Rudita, telah
menyela, "Menoreh adalah bagian dari Pajang. Dan Raden
adalah Putera Sultan Pajang. Apa pun yang akan Raden
lakukan, tidak ada seorang pun yang dapat mencegahnya."
Raden Sutawijaya berpaling. Dipandanginya Rudita
sejenak, lalu kepalanya pun terangguk-angguk, "Ya, ya. Aku,
memang dapat berbuat begitu meskipun itu tidak bijaksana."
"Kebijaksanaan Raden yang melimpah-limpah itulah yang
membuat Raden benar-benar seorang besar yang berjiwa
besar." "Terima kasih," sahut Raden Sutawijaya. Lalu katanya
kepada Swandaru, "Sebenarnyalah bahwa kami di Mataram,
sedang diprihatinkan oleh persoalan-persoalan yang seakanKang
Zusi - http://kangzusi.com/
akan tidak henti-hentinya itu."
Swandaru mengangguk-angguk pula. Katanya, "Mudahmudahan
Raden segera menemukan jalan yang paling baik
untuk menyelesaikannya."
Sutawijaya tidak segera menyahut. Dipandanginya api
yang menyala semakin besar karena beberapa potong kayu
yang dilemparkan ke dalamnya. Sepercik bunga api meloncat
ke udara dan hilang dibawa angin yang bertiup ke Utara.
"Raden dapat menemui Ki Gede Menoreh," berkata Agung
Sedayu tiba-tiba. Sutawijaya mengerutkan keningnya. Bahkan Pandan
Wangi pun memandang anak muda itu dengan dahi yang
berkerut-merut. "Maksudmu?" bertanya Raden Sutawijaya.
Namun sebelum Agung Sedayu menjawab, Rudita sudah
mendahului, "Kau jangan mencampuri persoalan Tanah
Perdikan Menoreh. Pandan Wangi sudah menyadari
kekeliruannya. Raden Sutawijaya adalah Putera Sultan
Pajang. Buat apa ia menemui Ki Gede Menoreh" Jika Raden
Sutawijaya memerlukan, ialah yang akan memanggil Ki Gede
menghadap. Baik di Mataram mau pun di Pajang. Bukan
sebaliknya." Agung Sedayu hanya memandangnya sekilas. Namun ia
berbicara terus, seakan-akan tidak ada seorang pun yang
berbicara, "Raden. Jika Raden berhasil mengadakan
semacam persetujuan dan semayan untuk bersama-sama
menjaga perbatasan masing-masing, maka gerak orang-orang
itu akan menjadi sangat terbatas. Apalagi apabila dapat
disusun semacam pasukan pengawal gabungan. Baik dengan
Tanah Perdikan Menoreh, mau pun dengan Kademangan
Mangir." Raden Sutawijaya merenung sejenak. Pendapat itu
memang sangat menarik. Agaknya memang tidak akan
terdapat kesulitan dengan Tanah Perdikan Menoreh jika ia
benar-benar menemui Ki Argapati. Tetapi yang masih menjadi
pertanyaan bagi Raden Sutawijaya adalah Mangir dan bagian
Timur Alas Tambak Baya. Daerah Cupu Watu adalah daerah
yang kurang dikenalnya. Kemudian Kademangan Prambanan
yang kadang-kadang mempunyai sikap yang kurang
dimengertinya justru karena daerah itu jarang sekali
dijamahnya. Kemudian jika Swandaru mempunyai pengaruh
yang cukup terhadap ayahnya dan kademangannya, maka
Sangkal Putung dapat diharapkannya. Namun di bawah
bayangan kaki Gunung Merapi terletak daerah Jati Anom,
daerah yang menjadi pusat kekuasaan senapati di daerah
Selatan ini, Untara. "Tetapi untuk membinasakan orang-orang yang sengaja
mengeruhkan suasana itu, Jati Anom dapat dibawa bekerja
bersama," berkata Sutawijaya di dalam hatinya. Meskipun
demikian ia tidak ingkar bahwa sebenarnya ada beberapa
orang perwira Pajang yang langsung atau tidak langsung,
berjalan sejajar dengan orang-orang yang menghalangi
pertumbuhan Mataram. "Tidak mustahil bahwa otak dari gerakan yang gila itu
sebenarnya justru ada di Pajang," desis Sutawijaya di dalam
hatinya pula. Dalam pada itu, Agung Sedayu masih menunggu jawaban
anak muda yang memiliki kelebihan dari orang-orang
kebanyakan itu. Sejenak Sutawijaya masih merenung. Lalu
jawabnya kemudian, "Pendapatmu baik sekali. Tetapi apakah
orang-orang yang berkuasa di sekitar Mataram dapat mengerti
maksud itu. Aku yakin, tidak ada persoalan lagi bagi Menoreh.
Tetapi aku tidak tahu, apakah Ki Demang di Mangir tidak
justru menjadi marah-marah kepadaku seakan-akan aku
sudah memerintahnya."
"Tetapi hal itu dapat dicoba."
"Ya. Memang dapat dicoba. Dan aku akan
menyampaikannya kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan."
Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "Tetapi sebelum
dengan resmi aku menemui Ki Gede Menoreh, aku minta agar
Pandan Wangi menyampaikan persoalan ini, dan terlebih lagi
untuk waktu yang terlampau pendek ini. Bagaimana jika kita
mulai saja dengan kerja sama itu sekarang?"
"Maksud Raden?"
"Aku sedang mengejar orang-orang yang tidak aku ketahui
dari mana asalnya itu. Mereka menyeberangi sungai dan
hilang di dalam hutan ini."
"Kapan?" bertanya Swandaru.
"Belum lama." "Sesudah malam"
"Ya, sesudah malam."
Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya sambil
menjawab, "Sulit sekali untuk menemukan mereka. Bukannya
kami tidak bersedia. Tetapi untuk mencari mereka di tengahtengah
hutan liar itu di malam hari, adalah pekerjaan yang
sangat sulit." (***) Buku 72 RADEN Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
telah mencoba menerobos hutan itu, tetapi memang
terlampau sulit, sehingga lebih cepat baginya untuk melingkar
di sebelah hutan liar ini. Namun dengan demikian ia telah
kehilangan buruannya dan justru menemukan perkemahan
Pandan Wangi di pinggir hutan itu.
"Memang sulit sekali," berkata Sutawijaya, "tetapi jika aku
menunggu sampai besok, maka aku akan kehilangan lagi."
"Sama saja bagi Raden," berkata Pandan Wangi, "Raden
tidak akan menemukannya, meskipun Raden berusaha
mencarinya malam ini."
Sekali lagi Sutawijaya mengangguk sambil berkata, "Tetapi
sama saja artinya. Dan arti itu adalah, aku kehilangan lagi
buruanku." Pandan Wangi melihat kekecewaan yang dalam di wajah
Raden Sutawijaya. Tetapi tentu tidak ada yang dapat
menolongnya. Hutan yang liar itu menyimpan seribu
kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan. Apalagi di
malam hari. Sejenak mereka saling berdiam diri. Rudita yang duduk
mendengarkan percakapan itu menjadi ngeri. Seandainya
mereka benar-benar akan memasuki hutan itu di malam hari,
maka ia akan menjadi beku karenanya.
Rudita itu terkejut ketika ia mendengar aum harimau di
tengah-tengah hutan. Sejengkal ia bergeser mendekati
Pandan Wangi. Sedang Prastawa yang mendengar suara itu
juga justru mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak pergi dari
tempat duduknya. Ia lebih senang duduk di antara para
pengiringnya daripada duduk bersama-sama dengan Rudita,
meskipun ia sudah tidak curiga lagi terhadap para pengawal
Raden Sutawijaya. Dalam pada itu, maka mereka pun sempat juga menghirup
minuman panas yang dihidangkan oleh para pengiring dan
bahkan makanan yang sudah dihangatkan. Nikmat sekali.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "aku akan
ikut berstirahat di sini. Besok pagi-pagi benar, aku akan
menyerahkan arah perjalananku kepada kalian. Apakah aku
akan kembali atau aku akan mencari terus orang-orang yang
selalu membuat kerusuhan di Mataram itu."
Dan hampir di luar sadarnya Swandaru berkata,
"Bagaimana jika kita pergi bersama mencarinya di seluruh
hutan ini. Mungkin mereka memang bersarang di dalam hutan
ini." "Tergantung kepada Pandan Wangi. Jika aku diizinkan,
aku masih akan mencarinya di dalam hutan ini. Alangkah
berterima kasihnya Mataram jika kalian pergi bersamaku."
Sejenak tidak ada yang menyahut. Rudita yang duduk di
sebelah Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Lalu
katanya, "Raden, tetapi bukankah orang-orang itu sudah tidak
berada di Mataram lagi?"
"Siapa?" bertanya Sutawijaya pula.
"Orang-orang yang Raden cari."
"Sudah aku katakan, mereka telah menyeberang sungai
itu, dan berada di atas Tanah Perdikan Menoreh."
"Jika demikian sebenarnya Raden sudah tidak perlu
bersusah payah lagi. Biar sajalah mereka pergi ke mana
mereka kehendaki. Tetapi bukankah dengan demikian berarti
mereka sudah tidak mengganggu daerah Mataram lagi?"
"Ya, sekarang mereka memang tidak mengganggu daerah
Mataram lagi. Tetapi entahlah besok pagi. Atau bahkan
mungkin, sekarang ini mereka telah menyeberang ke Timur
dan mulai lagi mengganggu orang-orang yang tinggal di
daerah yang masih agak sepi."
Rudita mengerutkan keningnya. Katanya, "Tentu tidak,
Raden. Mereka tentu sudah lari ketakutan, jika mereka
mengetahui Raden sedang mengejarnya."
Sutawijaya memandang Rudita sejenak. Jawabnya
kemudian, "Ya. Mereka tentu akan lari ketakutan."
Rudita tidak mengerti tanggapan Raden Sutawijaya yang
sebenarnya. Kenapa tiba-tiba saja ia mengiakan kata-katanya.
Namun dengan demikian ia menjadi terdiam.
Dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang berkata, "Jika
Pandan Wangi menyetujui, aku bersedia besok pagi
memasuki hutan ini untuk mencari jejak. Sekaligus berburu
binatang buas. Bukankah tidak banyak bedanya" Namun jika
kita kurang hati-hati, kitalah yang justru akan diburu oleh
orang-orang itu, seperti kita hampir saja menjadi mangsa
seekor ular naga." Swandaru memandang Pandan Wangi pula seolah-olah
sedang menunggu. Ialah yang paling berwenang menentukan,
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apakah ia sependapat atau tidak.
Setelah merenung sejenak, maka Pandan Wangi pun
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Baiklah.
Kita besok pergi bersama-sama."
"Jangan pergi," Rudita mencoba mencegahnya, "biarlah
mereka pergi, Pandan Wangi. Tetapi sebaiknya kita
menunggu di sini bersama para pengiring."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya
seperti kepada adiknya yang kecil ketika merengek minta
mainan, "Kau sajalah yang tinggal di sini bersama beberapa
orang pengiring yang akan menunggui kuda kita dan
menyediakan makan kita seperti sekarang ini."
"Tetapi sebaiknya kau tidak pergi."
"Aku ingin pergi, Rudita. Akulah tuan rumah di sini. Akulah
yang paling pantas mengantarkan tamu-tamu yang
menjelajahi daerah Tanah Perdikan Menoreh."
"Tetapi mereka bukan tamu. Mereka adalah orang-orang
yang ingin berperang."
"Dan kita adalah orang-orang yang sedang berburu. Kita
sudah sepakat untuk berburu di hutan liar itu," jawab Pandan
Wangi, "dan kita sekarang mendapat kawan yang cukup
banyak. Bukankah semakin banyak kawan kita, perjalanan kita
akan menjadi semakin aman?"
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan gelisah.
Agaknya Pandan Wangi pun sudah tidak mau mendengarkan
kata-katanya lagi. Ia menyesal, bahwa ia sudah ikut di dalam
rombongan, bukan saja berburu di daerah yang liar, tetapi
orang-orang itu rasa-rasanya seperti orang-orang liar juga,
yang sedang berkelahi melawan alam di jaman-jaman
manusia hidup di daerah hutan-hutan yang lebat. Hidup di
dalam jaman perburuan tiada henti-hentinya. Membunuh dan
dibunuh binatang buas dan sesama manusia.
"Kini mereka pun sedang berburu manusia," berkata
Rudita di dalam hatinya. Namun Rudita tidak akan dapat mencegah orang-orang
yang masih saja suka berburu itu. Sedang untuk tinggal di
perkemahan itu pun rasa-rasanya terlalu ngeri. Beberapa
orang pengiring yang tinggal tentu tidak setangkas Pandan
Wangi. Dan tentu tidak akan dapat membidik mata ular
dengan lemparan tombak. "Di daerah yang buas memang sebaiknya berada di antara
orang-orang yang garang seperti mereka itu untuk
menyelamatkan diri," berkata Rudita di dalam hatinya.
"Pandan Wangi," berkata Rudita kemudian, "baiklah jika
demikian. Jika kau pergi, aku pun akan pergi. Apalagi jika
menurut penilaianmu semakin banyak orangnya, akan menjadi
semakin aman." Ia berhenti sejenak, lalu, "Tetapi jalan terlalu
sulit di tengah-tengah hutan itu."
"Itulah yang menyenangkan, Rudita. Kita sudah terlalu
lama hidup dalam kesenangan. Hampir tidak pernah berbuat
apa-apa, sehingga sekali-sekali kita harus melatih diri kita
sendiri mengatasi kesulitan jasmaniah. Berburu di hutan liar ini
adalah cara yang baik untuk itu."
"Kalian memang mencari kesulitan. Jika kalian ingin, kalian
tentu dapat menyediakan uang untuk mengupah beberapa
orang untuk mendapatkan binatang buruan yang kalian
kehendaki. Kijang, rusa atau kancil. Bahkan harimau loreng
sekalipun asal uang itu cukup banyak."
"Juga dapat untuk berburu orang-orang bersenjata
sekalipun. Tetapi kita tidak yakin bahwa usaha itu akan dapat
hasil baik seperti yang kita harapkan," potong Sutawijaya.
"Tentu itu bukan persoalan kita, Raden. Jika kita sudah
mengadakan pembicaraan, maka itu harus berhasil. Jika tidak,
kita tidak usah membayarnya."
"Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan di dalam
perburuan binatang. Sebelum kita mendapat macan loreng,
kita tidak akan memberikan upahnya," sahut Sutawijaya.
"Tetapi tidak bagi perburuan orang-orang bersenjata."
"Apa bedanya, Raden?" bertanya Rudita. "Tentu kita juga
tidak akan membayar upahnya, jika mereka tidak berhasil
menangkap orang yang kita cari."
"Memang kita tidak usah membayar upahnya. Tetapi
kehilangan buruan, nilainya belipat dari upah yang harus kita
bayarkan," jawab Raden Sutawijaya. "Bukan sekedar seperti
binatang buruan yang banyak jumlahnya."
Rudita tidak menyahut lagi. Dipandanginya saja Raden
Sutawijaya sejenak, lalu kepalanya pun tertunduk, namun
agaknya Rudita itu masih belum mengerti maksud Sutawijaya.
"Rudita," berkata Sutawijaya seperti seorang guru yang
sabar mengajari muridnya yang terlampau bebal, "setiap
binatang yang sama nilainya dapat dikatakan sama bagi kita.
Macan loreng yang satu akan sama saja nilainya dengan
macan loreng yang lain. Seekor rusa tidak banyak berbeda
dengan rusa yang lain pula. Tetapi tentu tidak orang-orang
bersenjata itu. Sekelompok orang bersenjata yang aku cari
akan sangat berbeda nilainya dengan sekelompok yang
bersenjata di sekitar perapian ini, meskipun aku hampir saja
keliru. Dan tentu berbeda pula dengan sekelompok yang lain
lagi yang mungkin akan kita jumpai di sepanjang perjalanan
kita. Karena itu, sulit bagi kita untuk mengupah orang-orang
yang sanggup berburu manusia bersenjata seperti pemburupemburunya
itu sendiri, meskipun hal itu dapat juga sekalisekali
terjadi. Tetapi sudah tentu tidak dalam kedudukan
seperti kita sekarang ini."
Rudita tidak menjawab lagi. Bagaimanapun juga, ia tidak
akan dapat mencegah perburuan yang menegangkan itu.
Meskipun demikian, ia pun tidak berani tinggal di perkemahan
itu tanpa Pandan Wangi. "Bagaimana jika justru orang-orang yang diburu itu yang
akan memburu aku dan para pengiring yang tugas di sini,"
berkata Rudita di dalam hati. Namun demikian sama sekali
tidak berkata apa pun juga.
Ketika Rudita kemudian terdiam, maka yang lain mulai
berbicara. Swandaru yang sudah menahan hati terlampau
lama itu berkata, "Baiklah kita mempergunakan sisa malam ini
untuk beristirahat sebelum kita besok menyelusuri hutan
belukar yang lebat itu. Dengan orang-orang bersenjata yang
tidak kita kenal, maka hutan lebat di pinggir Praga ini tentu
tidak akan kalah berbahayanya dari Mentaok, meskipun hutan
ini tidak terlalu luas."
"Aku sependapat," berkata Raden Sutawija. "Kita dapat
tidur sejenak. Mudah-mudahan bukan kita yang kemudian
dikepung oleh sepasukan orang-orang bersenjata itu. Dan
baru akan kita cari besok pagi."
"Kuda-kuda kami adalah penjaga yang paling baik. Mereka
akan segera membangunkan kami jika ada seseorang yang
datang." "Orang-orangku akan berjaga-jaga," berkata Sutawijaya.
"Bagus sekali. Giliranku adalah berjaga-jaga menjelang
pagi. Jika demikian, maka aku tidak perlu lagi melakukannya.
Aku akan menitipkannya saja kepada para pengikut Raden
Sutawijaya dan kuda-kuda kami itu," gumam Swandaru.
"Sst," Agung Sedayu berdesis.
Swandaru berpaling. Dipandanginya Agung Sedayu
sejenak tanpa mengerti maksudnya, kenapa ia berdesis.
"Kau samakan saja mereka dengan kuda-kuda kita," bisik
Agung Sedayu. "O," Swandaru menutup mulutnya, seakan-akan ingin
menahan kata-katanya yang tersisa.
Demikianlah, maka mereka pun segera mencari tempat
untuk beristirahat. Sebagaimana orang-orang yang biasa
bertualang, maka Sutawijaya pun segera mendapatkan tempat
di atas rerumputan yang kering.
"Raden," berkata Rudita, "kenapa Raden berbaring di
tempat yang kotor itu. Marilah, silahkan Raden berbaring di
atas tikar ini bersama aku, dan biarlah Pandan Wangi
mempergunakan yang selembar lainnya. Biarlah anak-anak itu
mencari tempat mereka masing-masing."
Swandaru hanya memandang Rudita sejenak. Tetapi ia
tidak menghiraukannya lagi, karena ia pun sama sekali tidak
mempergunakan sehelai tikar pun. Demikian juga Agung
Sedayu, dan apa lagi Prastawa.
Tetapi ternyata bahwa Sutawijaya menolak, katanya, "Aku
biasa tidur di mana pun juga tanpa lambaran, rumput kering
adalah alas yang lebih hangat dari sehelai tikar pandan.
Karena itu, biarlah aku tidur di sini saja bersama-sama dengan
yang lain." "Ah," desah Rudita, "tetapi tidak enak bagiku. Seakan-akan
aku berderajat lebih tinggi dari Raden. Karena itu silahkan
Raden tidur di sini."
Sutawijaya tertawa. Katanya, "Kau terlalu baik hati. Kau
mencoba untuk menghormati orang lain yang menurut
pendapatmu pantas dihormati. Tetapi biarlah aku di sini. Itu
bukan salahmu. Aku sendirilah yang menentukan."
Rudita tidak menyahut lagi. Tetapi untuk beberapa
lamanya ia mengawasi saja Raden Sutawijaya yang berbaring
di rerumputan kering dekat perapian. Demikian juga para
pengiringnya yang segera bertebaran mencari tempat masingmasing.
Namun demikian beberapa orang masih tetap duduk
di tempatnya untuk berjaga-jaga, karena bahaya dapat datang
setiap saat, selagi mereka tidur dengan nyenyak.
Malam itu ternyata tidak ada sesuatu yang menarik
perhatian. Agung Sedayu dan Swandaru tidak perlu lagi
bertugas di akhir malam. Bahkan keduanya sempat tidur
dengan pulasnya, karena di perkemahan itu rasa-rasanya
menjadi semakin aman dengan kehadiran Raden Sutawijaya
bersama para pengiringnya.
Namun dalam pada itu Rudita-lah yang ternyata tidak
dapat memejamkan matanya sama sekali. Bukan saja karena
ia merasa segan kepada Raden Sutawijaya, yang menurut
gambarannya adalah seorang putera sultan yang berkuasa di
seluruh Pajang, namun hatinya juga digelisahkan karena
besok mereka harus melanjutkan perburuan mereka. Bukan
saja berburu binatang buas, tetapi juga berburu manusia.
Manusia yang bersenjata lebih tajam dari taring harimau yang
paling ganas. Ketika kemudian fajar menyingsing, maka mereka pun
segera bangkit dan membenahi diri. Beberapa orang dari
mereka pun segera memperbesar nyala perapian dan
menjerang air untuk minum.
Sementara itu. Pandan Wangi pun mendahului orangorang
lain pergi ke belik di bawah pohon yang besar itu.
Kemudian baru yang lain berturut-turut membersihkan diri
mereka. "Apakah kau tidak akan mandi?" bertannya Pandan Wangi
kepada Rudita. "Aku tidak dapat pergi sendiri. Aku belum mengetahui
letaknya." "He, kenapa sendiri" Bukankah semua juga pergi ke belik
itu?" "Aku tidak mau bersama dengan mereka."
"Kenapa?" Rudita menggelengkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia
bertanya, katanya, "Pandan Wangi, apakah setelah semuanya
selesai, kau mau mengantarkan aku?"
"Ah," Pandan Wangi tidak dapat menahan senyumnya,
katanya, "apakah kau tidak malu ditertawakan oleh orangorang
lain?" "Mereka tidak akan mentertawakan. Aku tidak dapat
berbuat lain daripada itu."
Pandan Wangi menjadi iba juga kepada anak manja itu.
Karena itu maka katanya, "Baiklah. Marilah, agaknya
semuanya sudah hampir selesai. Jika kita sampai di tempat
itu, maka semuanya tentu sudah kembali ke perkemahan ini.
Tetapi sudah barang tentu aku tidak dapat mendekati belik itu
apabila yang lain baru mandi."
"Ah, jika begitu, nanti saja setelah mereka selesai sama
sekali." "Itu akan membuang waktu."
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan
mata yang sayu, sehingga akhirnya Pandan Wangi berkata,
"Baiklah. Kita menunggu sejenak."
Demikianlah, setelah langit semakin terang barulah
semuanya selesai mandi. Dan barulah Pandan Wangi
mengantarkan Rudita pergi ke belik itu. Seperti seorang ibu
mengantar anaknya ke pakiwan di malam hari.
Ternyata Rudita hanya mencuci mukanya. Namun
demikian badannya merasa segar dan rasa-rasanya
kekuatannya menjadi bertambah-tambah.
Tetapi ia menjadi heran melihat Pandan Wangi yang sama
sekali tidak memperhatikannya. Yang diperhatikan justru
rerumputan dan gerumbul-gerumbul perdu di sekitar belik itu.
"Apa yang menarik perhatianmu, Pandan Wangi?"
bertanya Rudita. Pandan Wangi tidak menyabut. Tetapi sesuatu memang
sangat menarik perhatiannya.
Sejenak Rudita menjadi termangu-mangu. Dipandanginya
saja Pandan Wangi yang kadang-kadang berjongkok, kadangkadang
menyibakkan dedaunan perdu.
Akhirnya Rudita justru menjadi khawatir, sehingga sekali
lagi ia bertanya, "Pandan Wangi, apa yang kau lihat?"
Pandan Wangi hanya berpaling sejenak, namun kemudian
ia kembali merenungi gerumbul-gerumbul di sekitarnya.
Rudita meniadi semakin cemas. Bahkan ia bertanya
kepada diri sendiri, "Apakah Pandan Wangi telah kesurupan
demit belik itu?" Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu
memanggilnya, "Rudita, kemarilah."
Dengan tergesa-gesa Rudita mendekat, meskipun
beberapa langkah dari Pandan Wangi ia berhenti sambil
memperhatikan gadis itu. Tetapi agaknya gadis itu tidak
sedang kemasukan hantu. "Apa yang kau perhatikan?"
"Kemarilah, lihatlah."
"Apa?" "Rerumputan ini."
"He, kemana kau?" bertanya Rudita ketika ia melihat
Pandan Wangi menyelusuri sesuatu.
"Telapak kaki di atas rerumputan. Ranting-ranting perdu
yang berpatahan."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, tentu orang-orang yang pergi ke belik ini lebih dahulu
dari kita." "Mereka tidak akan sampai sejauh ini. Semula aku
menduga demikian. Tetapi ketika aku perhatikan, maka ada
sebuah jalur yang panjang. Tentu segerombolan orang telah
lewat melalui tempat ini. Dari dalam hutan dan berbelok
menyelusuri hutan perdu ini."
"Ah, darimana kau tahu."
"Lihat. Bekas-bekas kaki dan ranting yang patah ini
datangnya dari arah itu dan kemudian menuju ke arah ini.
Lihat, jalur ini adalah jalur yang panjang. Memang mungkin
satu dua orang di antara mereka singgah ke belik itu, karena
ada jalur yang pergi ke sana dan meninggalkan belik itu.
Tetapi aku yakin, tentu bukan telapak kaki orang-orang kita
sendiri, yang datang kemari setelah gelap semalam dan pagi
tadi mereka pergi ke belik ini selagi masih gelap. Mereka tidak
akan menyelusuri tempat ini dalam jalur yang panjang. Tetapi
mereka juga tidak sempat melihat bekas-bekas ini karena
gelap." "Ah, sudahlah, Pandan Wangi. Kau telah mencari
persoalan. Jika kau yakin demikian, kau tidak perlu
mengatakan kepada siapa pun."
"Kenapa?" "Tentu hal-hal yang sebenarnya bukan persoalan kita,
akan dikupas, diurai dan dibicarakan panjang lebar, kemudian
mereka akan segera memburunya."
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Dan karena
Pandan Wangi masih terdiam, Rudita bertanya, "Pandan
Wangi, kenapa manusia harus saling memburu, tidak ubahnya
seperti binatang buas di hutan" Siapa yang paling kuat, ialah
yang berhak menentukan kehendaknya. Apakah itu masih
harus berlaku di dalam jaman ini?"
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Seharusnya memang tidak, Rudita. Kita tidak boleh saling
bertengkar dan apalagi saling memburu. Tetapi bahwa
manusia mempunyai sifat mempertahankan dirinya itu adalah
wajar sekali. Seperti halnva dengan kita sekarang. Tentu kita
tidak akan mencampuri persoalan orang-orang bersenjata itu,
jika mereka tidak melanggar hak kita. Kita tidak tahu, akibat
apa yang dapat timbul karena pelanggaran yang mereka
lakukan di atas Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sudah tentu
akibat yang tidak kita inginkan. Nah, kita sekarang sedang
mempertahankan diri."
"Mungkin keteranganmu dapat dimengerti Pandan Wangi.
Tetapi bagaimana dengan Raden Sutawijaya" Orang-orang
yang mungkin dianggapnya melanggar haknya telah
meninggalkan daerah Malaram. Kenapa ia masih juga
mengejarnya, dan karena itu kau pun merasa hakmu
dilanggar?" "Rudita," jawab Pandan Wangi, "apa yang dilakukan itu
pun sebenarnya salah satu bentuk pula dari pembelaan diri.
Menurut Raden Sutawijaya, jika ia tidak berhasil menangkap
orang-orang itu, maka pelanggaran-pelanggaran masih akan
terus terjadi. Orang-orang itu masih saja akan menusuk
Mataram dengan caranya setiap saat yang tidak terdugaduga.
Itulah sebabnya, maka Raden Sutawijaya mencari
mereka sebagai satu cara untuk membela dirinya, membela
daerah yang sedang dibukanya itu."
"Dan kau tidak berbuat apa-apa atas pelanggaran yang
dilakukan olehnya pula?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Lalu ia pun
bertanya, "Jadi, bagaimana menurut pendapatmu" Apakah
aku harus bertindak atas Raden Sutawijaya?"
"Tentu tidak, Pandan Wangi. Jangan. Ia adalah putera
Sultan Pajang, meskipun putera angkat."
"Jadi bagaimana?"
"Kau dapat berbuat serupa terhadap orang-orang lain itu.
Mereka tidak mengganggu Tanah Perdikan Menoreh.
Persoalannya adalah persoalan Mataram dengan orang-orang
itu. Kita tidak usah mencampurinya."
Pandan Wangi memandang Rudita sejenak, lalu, "Sayang
Rudita, aku berpendapat, mereka dapat mengganggu kita di
sini. Itulah sebabnya, aku bersedia ikut mencari mereka dan
jika mungkin menyelesaikan semua persoalannya, sehingga
tidak berkepanjangan."
Rudita memandang wajah Pandan Wangi dengan tatapan
mata yang suram. Namun ia tidak dapat memaksa Pandan
Wangi untuk mengurungkan niatnya.
Pandan Wangi sebenarnya merasa kasian juga melihat
tingkah laku Rudita. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa pun
untuk menolongnya. Apalagi ia yakin, bahwa ia sedang
melakukan sesuatu yang dianggapnya bermanfaat bagi Tanah
Perdikan Menoreh. Karena itu, agar Rudita tidak
mempersoalkannya berkepanjangan, maka Pandan Wangi
pun kemudian berkata, "Rudita, mungkin kita tidak usah pergi
ke mana pun." Rudita memandang Pandan Wangi sambil bertanya,
"Maksudmu?" "Aku mengharap orang-orang itu hanya sekedar bermalam
di tempat yang tersembunyi. Pagi ini mereka akan segera
kembali lewat jalan ini pula."
"He," tiba-tiba saja wajah Rudita menjadi tegang, "apakah
mereka akan lewat jalan ini pula?"
"Mungkin sekali."
Rudita menjadi gelisah. Tiba-tiba saja ia berkata, "Marilah
kita kembali ke perkemahan kita, Pandan Wangi."
"Kita menunggu sebentar. Jika mereka lewat, kita tidak
perlu mencarinya lagi."
"Kita berdua?" "Bukankah kita mempunyai banyak kawan?"
"Tetapi mereka tidak berada di sini."
"Aku akan memanggil kawan-kawan kita, sementara kau
bertempur melawan mereka, agar mereka tidak meninggalkan
tempat ini." "Tidak. Aku tidak ingin berkelahi. Aku tidak sampai hati
melukai apalagi membunuh sesama."
"Jadi, kau sajalah yang memanggil mereka. Aku yang
berkelahi." "Jangan, jangan. Sebaiknya kita kembali saja ke
perkemahan." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Jika kau menghendaki demikian, apa boleh buat."
Keduanya pun kemudian segera kembali ke perkemahan.
Rudita yang cemas, bahwa orang-orang yang lewat itu akan
kembali lagi, berjalan dengan tergesa-gesa. Setiap kali ia
berpaling dan berkata, "Cepatlah sedikit, Pandan Wangi."
Pandan Wangi harus menahan senyumnya melihat tingkah
laku Rudita. Tetapi ia tidak mau membuat anak muda itu
menjadi semakin sakit hati.
Demikianlah, akhirnya mereka pun sampai ke perkemahan
ketika orang-orang yang ada diperapian yang masih menyala
itu sudah menghirup air minum mereka yang hangat.
Pandan Wangi dan Rudita pun kemudian duduk pula di
antara mereka. Setiap kali Rudita memandang sikap
Swandaru dan Agung Sedayu yang dianggapnya tidak pantas
di hadapan seorang putera Sultan Pajang. Bahkan Pandan
Wangi pun agaknya menganggap Raden Sutawijaya itu kawan
bermain saja. Namun ia masih menahan hatinya dan karena
itu, ia masih berdiam diri saja.
Seperti yang diduga oleh Rudita, bahwa Pandan Wangi
memang senang mencari persoalan, maka gadis itu pun
kemudian menceriterakan apa yang dilihatnya itu kepada
orang-orang yang ada di sekitar perapian itu.
"Kau memang ingin mencari perkara," desis Rudita,
"seharusnya kau diam saja."
"Ah, aku harus mengatakannya. Bukankah sudah menjadi
keputusan kita untuk mencarinya. Jika aku tidak mengatakan,
bahwa aku melihat jejak itu, kita nanti akan pergi ke arah yang
salah." "Itu lebih baik. Jika kita tidak menemukannya, maka kita
tidak akan berselisih dengan mereka."
Pandan Wangi yang mengetahui perasaan Rudita itu,
hanya tersenyum saja. Namun diteruskannya ceriteranya
tentang jejak yang dilihatnya itu.
"Aku ingin melihatnya," tiba-tiba saja Raden Sutawijaya
berkata. "Nanti sajalah," cegah Swandaru, "kita menghangatkan
badan kita dengan makanan dan minuman panas ini.
Kemudian kita tidak hanya sekedar melihat jejak itu. Tetapi
kita sudah siap untuk berangkat mencarinya."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Kita mempersiapkan diri. Kita akan berangkat dan
langsung memburu orang-orang itu."
Demikianlah orang-orang yang ada di perkemahan itu pun
segera mempersiapkan diri. Mereka makan minum
secukupnya karena mereka sadar, bahwa mereka akan
melakukan sebuah perburuan yang gawat.
"Makanlah, Rudita," berkata Pandan Wangi, "jika kau ingin
ikut bersama kami. Mungkin malam hari kita baru kembali ke
perkemahan ini, atau bahkan besok atau lusa."
"Ah," desah Rudita, "ayah dan ibu tentu menanti
kedatanganku dengan cemas."
"Apakah kau ingin pulang lebih dahulu" Biarlah seorang
pengiring mengantarkanmu."
"Kau sajalah, Pandan Wangi. Antarkan aku pulang
dahulu." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Tidak mungkin, Rudita, aku sudah siap berangkat bersama
sekelompok kecil ini. Mudah-mudahan aku segera dapat
kembali." Rudita termangu-mangu. Katanya kemudian, "Jika kau
pergi, aku pun ikut bersamamu."
Swandaru mengangkat bahunya. Tetapi ia tidak berkata
apa pun juga. Prastawa yang menjadi semakin jemu melihat
sikap anak muda itu hanya dapat berdesis perlahan-lahan.
"Jika demikian, bersiaplah. Kita akan segera berangkat."
Sementara itu, para pengiring Pandan Wangi dan
pengawal dari Mataram pun segera bersiap. Hanya tiga orang
saja yang tinggal di perkemahan menunggui kuda-kuda yang
tertambat dan menyiapkan makan dan minum apabila setiap
saat kelompok kecil itu datang.
Sejenak kemudian, maka sekelompok pengawal dari
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera
berangkat meninggalkan perkemahan kecil di pinggir hutan
yang lebat. Kini bagi mereka yang penting tidak lagi ingin
berburu binatang, tetapi mereka akan berburu manusia.
Namun tentu saja bukan sekedar untuk melepaskan hasrat
untuk membunuh, atau perbuatan kejahatan yang serupa.
Yang penting bagi mereka adalah memelihara kedamaian di
daerah masing-masing. Tetapi bahwa yang damai itu masih
harus diperjuangkan dengan cara yang keras adalah suatu
keadaan yang masih harus di tempuh.
Yang mula-mula mereka datangi adalah belik kecil tempat
mereka mengambil air dan membersihkan diri. Mereka ingin
melihat jejak yang telah dilihat oleh Pandan Wangi.
Ternyata seperti Pandan Wangi, mereka mengambil
kesimpulan, bahwa jejak itu benar-benar jejak sekelompok
orang-orang yang berjalan menyusup di antara hutan perdu.
Tentu merekalah orang yang sedang dicari oleh Sutawijaya.
Jika orang-orang itu bukan orang-orang yang dengan sengaja
melalui jalan yang tidak diketahui orang lain, maka mereka
tidak akan mengambil jalan itu.
"Kita sudah menemukan jejaknya," berkata Raden
Sutawijaya, kemudian, "jagalah agar kita tidak kehilangan.
"Tetapi mereka tentu sudah jauh sekali," sahut Swandaru.
"Kita akan mencobanya. Tetapi jika kita kehilangan jejak
ini, kita benar-benar tidak akan dapat menduga sama sekali,
ke mana mereka akan pergi." Sutawijaya berhenti sejenak,
lalu, "Seandainya kita tidak menemukan orang-orangnya, asal
kita dapat menggambarkan jalur jalan yang mereka tempuh,
sehingga mereka dapat menimbulkan kekacauan di pinggirpinggir
tanah yang sedang kami garap itu, maka kami akan
dapat mengambil sikap."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
Sutawijaya itu berkata seterusnya, "Nah, mumpung masih
pagi. Kita sebaiknya berangkat sekarang. Aku mempunyai
beberapa orang yang ahli di dalam menyelusuri jejak."
Demikianlah, maka dua orang pengawal Sutawijaya yang
dianggap cukup berpengalaman di dalam hal menyelusuri
jejak telah berjalan di depan. Mereka mengikuti bekas-bekas
kaki di rerumputan yang berpatahan. Kemudian ranting-ranting
perdu yang disibakkan, dan bekas-bekas yang lain yang dapat
diketemukan. Di belakang kedua orang penyelusur jejak itu berjalan
Sutawijaya bersama Agung Sedayu, sedang di belakangnya
Swandaru bersama Prastawa. Di belakang Swandaru, Rudita
berjalan dekat di sebelah Pandan Wangi. Seakan-akan ia
tidak dapat berpisah lagi dengan gadis itu. Tetapi pada saat
itu, perasaan Rudita sama sekali tidak sedang menilai
kecantikan gadis itu, namun ia merasa paling aman berada di
dekat Pandan Wangi. Di belakang mereka berjalanlah para pengawal Raden
Sutawijaya dan beberapa orang pengiring dari Tanah Perdikan
Menoreh. Ternyata bahwa mereka tidak terlalu sulit untuk mengikuti
jejak itu. Agaknya orang-orang yang menyingkir dari Mataram
karena tekanan yang berat dari para pengawal tanah yang
baru tumbuh itu, sama sekali tidak menyangka, bahwa mereka
akan diikuti jejaknya, ternyata mereka sama sekali tidak
berusaha melakukan penyamaran atas jejak mereka. Bahkan
ada di antara mereka yang dengan senjata tajam, menyentuh
pohon-pohon perdu, sehingga bekasnya tampak jelas sekali.
Luka-luka baru pada pohon perdu itu masih mengembun
getah. Demikianlah mereka berjalan terus. Karena mereka tidak
menerobos hutan yang lebat, maka perjalanan mereka agak
lebih cepat daripada apabila mereka berjalan, di dalam hutan
yang masih liar itu. "Mereka berjalan sepanjang pinggiran hutan ini," berkata
salah seorang dari kedua orang yang mengenal jejak
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gerombolan itu. "Ya. Itulah yang aneh," sahut Pandan Wangi yang
mendengar kata-kata itu. "Kenapa aneh?" bertanya Sutawijaya.
"Jika kita berjalan terus dengan arah ini, kita akan sampai
ke bukit padas yang keputih-putihan itu. Tidak ada sebuah
desa pun yang terletak di kaki bukit itu."
"Jika kita berbelok ke Timur?"
"Kita akan menerobos ujung hutan ini dan kita akan
sampai ke tepi Kali Praga."
"Apakah hutan itu memotong bukit yang membujur ke
Timur itu?" "Bukit itu tidak sampai ke pinggir Kali Praga."
"Apakah yang ada di antaranya?"
"Tidak pernah disentuh oleh kaki manusia. Tetapi itu
adalah kelanjutan hutan yang liar ini."
"Itulah yang sangat menarik. Di tempat yang jarang
disentuh kaki manusia. Aku justru ingin melihatnya. Mungkin di
tempat itu terdapat sarang dari gerombolan yang sedang kita
cari." "Aku kira tidak," sahut Pandan Wangi, "daerah itu sulit
sekali didapatkan air bersih. Jika kita menggali tanah, maka
akan keluar airnya juga. Tetapi air itu berwarna kemerahmerahan
dan berbau tanah kapur."
Sutawijaya mengerutkan keningnya. Air adalah kebutuhan
pokok bagi kehidupan. Mungkin air berbau tanah kapur itu
dapat menyegarkan pepohonan yang sesuai, tetapi tentu tidak
bagi manusia. Ia tidak akan dapat hidup dengan air yang
kotor, apabila di daerah lain masih dapat diketemukan air yang
jernih dengan mudah. Namun demikian, iring-iringan itu masih berjalan terus.
Jejak yang mereka ikuti justru menjadi semakin jelas. Agaknya
orang-orang itu menjadi semakin yakin, bahwa tidak akan ada
orang lain yang akan lewat jalan itu.
Karena itulah, maka jalan mereka pun menjadi semakin
cepat menuju ke daerah yang belum mereka kenal sama
sekali. Namun tiba-tiba Agung Sedayu yang memperhatikan
kaadaan tempat itu dengan saksama mulai berpikir. Semakin
lama justru dilihatnya jalur yang seakan-akan sebuah jalan
setapak. Rerumputan bagaikan menyibak sebelahmenyebelah
dan kadang-kadang didapatkannya seakan-akan
sebuah tangga batu cadas.
Tetapi belum lagi ia mengatakan sesuatu, Raden
Sutawijaya telah menggamitnya sambil berkata, "Kau melihat
sesuatu yang kurang wajar di daerah ini."
Belum lagi Agung Sedayu menjawab, hampir berbareng
Swandaru dan Pandan Wangi berdesis, "Ya. Ada sesuatu
yang perlu mendapat perhatian."
"Jalur ini," sambung Agung Sedayu.
Ternyata anak-anak muda itu hampir berbareng
merasakan sesuatu yang mereka anggap tidak pada
tempatnya. Seharusnya semakin jauh mereka berjalan, maka
daerah itu menjadi semakin sulit dilalui dan jejak pun menjadi
semakin sukar ditelusuri. Tetapi ternyata yang mereka temui
adalah sebaliknya. Karena itulah, maka mereka pun segera berhenti. Raden
Sutawijaya memberi isyarat kepada dua orang
kepercayaannya untuk mendekat bersama dua orangnya vang
berjalan di depan. Selain mereka, maka Agung Sedayu,
Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa pun berkerumun
pula mengelilinginya. "Kita bersama-sama telah melihat sesuatu yang
mencurigakan," berkata Raden Sutawijaya. "Sudah barang
tentu, bahwa kita tidak boleh terjebak dalam perangkap
mereka." Orang-orang yang mengerumuninya menganggukanggukkan
kepala. "Apakah salah seorang dari kalian mengetahui makna dari
keadaan ini?" bertanya Sutawijaya lebih lanjut.
Sejenak orang-orang yang mengerumuninya berdiam diri.
Orang-orang yang mengawal Sutawijaya itu tampaknya raguragu
meskipun agaknya ada juga yang akan mereka katakan.
"Raden Sutawijaya," berkata Agung Sedayu kemudian,
"agaknya kita memang sedang berjalan ke suatu tempat yang
meskipun jarang sekali, tetapi sekali-sekali pernah juga dilalui
orang." Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun di luar sadarnya, ia memandang kepada Pandan
Wangi yang sedang merenungi jejak yang sedang diikutinya.
"Agaknya memang demikian," katanya kemudian, "tetapi
aku belum pernah mendengar laporan tentang daerah ini,
tentang orang-orang yang sering melalui jalan ini menuju ke
tempat yang agaknya belum aku kenal. Pegunungan itu
merupakan batas dari jarak jelajah para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh. Daerah seberang pegunungan itu, dan
hutan yang liar yang menyilang pegunungan itu adalah daerah
tidak bertuan. Maksudku, daerah itu bukan lagi termasuk
daerah Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sudah tentu
masih termasuk di dalam kekuasaan Pajang. Sedangkan
hutan yang liar itu pun demikian juga kedudukannya. Itulah
sebabnya, kami tidak dapat mengatakan sesuatu yang
mungkin ada di balik pegunungan itu dan di dalam hutan yang
masih sangat liar dan buas. Yang mungkin tidak kalah liarnya
dengan Alas Mentaok."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya. Hutan itu tentu masih selebat dan seliar, dan
barangkali melampaui Alas Mentaok, karena Alas Mentaok
sekarang sudah mulai digarap. Dan agaknya hutan itu
bukannya hutan yang sempit menjelujur sepanjang Kali Praga.
Menurut pengamatanku, kita sekarang sudah menjadi
semakin jauh dari Kali Praga. Karena jalan yang kita tempuh
bukannya sejajar dengan arus Kali Praga itu."
"Raden benar," sahut seorang pengawal Pandan Wangi,
"kita memang menjadi semakin jauh dari Kali Praga. Dan
pegunungan itu pun terletak semakin jauh pula."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya
beberapa ujung pegunungan yang mencuat melebihi pumcakpuncak
yang lain. Agaknya pegunungan itu pun benar-benar
masih liar, meskipun merupakan jalur pegunungan yang tidak
terlalu tinggi. "Kita tidak akan sampai ke pegunungan itu," berkata
Raden Sutawijaya, "tetapi kita juga tidak akan segera kembali.
Kita masih akan maju mengikuti jejak ini. Tetapi kita harus
lebih berhati-hati."
"Maksud Raden?" bertanya Swandaru.
"Kita tidak boleh terjebak. Karena itu, kita harus memecah
iring-iringan ini menjadi dua atau tiga kelompok kecil. Jika
salah satu dari kelompok ini masuk dalam jebakan, yang lain
masih sempat berusaha menolongnya."
Agung Sedayu yang mengerutkan keningnya menyahut,
"Bagus sekali. Kita memang sedang memasuki daerah yang
aku kira cukup berbahaya."
"Nah, marilah kita membagi seluruh pasukan kecil kita,"
berkata Raden Sutawijaya, "menjadi dua atau tiga?"
"Dua kelompok," sahut Swandaru.
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya, "yang sekelompok
akan aku pimpin sendiri. Aku akan berjalan di depan. Sedang
kelompok yang kedua?"
"Biarlah dipimpin oleh Pandan Wangi," sahut Agung
Sedayu. "Kenapa aku?" "Kaulah yang membawa beberapa orang pengiring
bersamamu." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa ia
adalah puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang juga
berkepentingan seperti Raden Sutawijaya. Karena itu, maka ia
pun kemudian menyahut, "Baiklah. Aku akan berada di
kelompok kedua." Namun tiba-tiba saja Rudita berkata, "Kau tidak usah turut
campur Pandan Wangi. Bawalah pengiringmu kembali ke
perkemahan. Bukankah kita sekedar akan pergi berburu?"
Semua orang memandang wajah Rudita yang pucat
karena ketakutan. Anak muda itu tentu sudah membayangkan
berbagai macam bahaya yang akan mereka hadapi.
Sebenarnya setiap orang di dalam pasukan kecil itu pun
membayangkannya. Mereka sependapat, bahwa mereka akan
masuk ke dalam suatu jebakan. Tetapi mereka pun akan
berusaha untuk memecahkan jebakan itu dan mengetahui
isinya. "Pandan Wangi," desis Rudita, "kenapa kau diam saja?"
Pandan Wangi menjadi termangu-mangu. Sebenarnyalah,
bahwa Rudita baginya hanya akan menjadi beban saja. Di
dalam perkelaian yang seru, tentu hampir tidak ada waktunya
untuk mengurusi anak cengeng itu. Tetapi untuk menyuruhnya
kembali, ia harus menyediakan dua atau tiga orang pengiring.
Bahkan di jalan kembali itu pun Rudita dapat setiap saat
diterkam oleh bahaya. Mungkin binatang buas, mungkin
orang-orang yang justru melampaui binatang buas.
"Pandan Wangi," Rudita mengulang. Bahkan ia pun
melangkah mendekati Pandan Wangi dengan lutut gemetar
dan merengek seperti kanak-kanak.
"Rudita," berkata Pandan Wangi, "kau tidak mempunyai
pilihan lagi. Kita akan pergi terus. Kau pun akan pergi terus
bersama dengan kami. Jika sesuatu terjadi di perjalanan ini,
sebaiknya kau tidak usah ikut campur. Kau tidak usah ikut
berkelahi jika kita harus berkelahi. Tetapi kau juga jangan
mengganggu kami jika kami sedang berkelahi.
"Apakah kau akan berkelahi?"
"Hanya satu kemungkinan. Lebih baik lagi jika kita tidak
bertemu dengan siapa pun, meskipun dengan demikian berarti
perjalanan ini sia-sia."
Rudita tidak menyahut. Seperti kata Pandan Wangi, ia
memang tidak mempunyai pilihan lagi. Ia harus berjalan terus,
apa pun yang akan terjadi. Karena itu, maka hatinya pun
menjadi semakin kecut. Bahkan kemudian setitik air matanya
mengambang di pelupuknya. Perlahan-lahan terdengar ia
berkata, "Aku sudah tersesat di antara orang-orang yang tidak
saja berburu binatang, tetapi ternyata juga berburu manusia."
"Nasibmu memang jelek, Rudita," Prastawa yang tidak
tahan lagi menjawab. "Diam kau!" Rudita masih juga membentak.
"Kenapa kau tidak minta mayat lawan kita yang pertama
sebagai hadiah buat Pandan Wangi," sahut Prastawa
kemudian. Mendengar pertanyaan itu, terasa segenap bulu-bulu
Rudita berdiri, sehingga ia tidak dapat menjawabnya. Namun
Pandan Wangi-lah yang menyahut, "Sudahlah, Prastawa. Jika
demikian, maka kau pun menjadi seorang yang dikuasai oleh
perasaanmu saja tanpa pertimbangan nalar. Anak ini benarbenar
sedang dicengkam ketakutan yang luar biasa."
Prastawa tidak menjawab, meskipun ia berkata di dalam
hatinya, "Kenapa ia masih juga dapat menyombongkan
dirinya, seolah-olah ia adalah orang yang paling berkuasi di
sini." Namun ketika ia melihat wajah anak itu semakin pucat, ia
pun berkata pula di dalam hatinya, "Sebenarnya kasihan juga
Rudita itu." Demikianlah, maka kemudian mereka benar-benar telah
membagi seluruh pasukan kecil itu menjadi dua kelompok.
Sekelompok dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri
dengan seluruh anak buahnya, sedang kelompok yang lain
dipimpin oleh Pandan Wangi, dan terdiri atas Agung Sedayu,
Swandaru, Prastawa, dan para pengiring yang dibawanya dari
Menoreh. Sedangkan Rudita justru menjadi beban kelompok
kedua, apabila mereka benar-benar terlibat di dalam
pertempuran. Yang sekelompok, yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya
itu pun kemudian berjalan mendahului dengan meninggalkan
cirri-ciri baru agar kelompok berikutnya tidak kehilangan jejak.
Di samping jejak yang agaknya sengaja ditinggalkan oleh
orang-orang yang sedang mereka ikuti, maka Raden
Sutawijaya pun memberikan tanda yang sudah saling mereka
setujui. Selain tanda-tanda itu, maka beberapa orang di dalam
kelompok pertama akan memberikan tanda-tanda khusus,
apabila mereka telah terlibat di dalam kesulitan.
"Kami membawa panah sendaren," berkata Pandan Wangi
ketika mereka berpisah, "adalah kebiasaan kami di dalam
perburuan. Jika kami saling berpisah maka kami saling
memberikan tanda dengan panah sendaren."
"Baiklah," jawab Sutawijaya, "kami akan membawa
panahmu yang dapat bersiul itu. Mungkin kami
memerlukannya." Maka kedua kelompok itu pun maju perlahan-lahan dalam
jarak yang agak jauh, sehingga bagi orang lain tidak segera
diketahui, bahwa di belakang kelompok yang dipimpin oleh
Sutawijaya itu terdapat kelompok yang lain lagi.
Di sepanjang jalan sempit yang ditelusuri, Sutawijaja
melihat tanda yang memang semakin jelas, sehingga ia pun
yakin, bahwa ada kesengajaan dari orang-orang yang sedang
dicarinya itu untuk memancing mereka.
Dengan demikian, maka Sutawijaya pun menjadi semakin
berhati-hati. Apalagi ketika mereka sampai ke tempat yang
terbuka. "Kelompok di belakang kita itu pun tidak akan dapat
menyembunyikan diri, apabila mereka melintasi tempat
terbuka ini," berkata Sutawijaya kepada pengiringnya,
"sehingga dengan demikian, orang-orang yang akan menjebak
kita itu pun segera akan melihat, bahwa kita terdiri dari dua
kelompok." Pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
salah seorang daripada mereka pun berkata, "Kita dapat
memberikan tanda, agar mereka berhenti di sini."
"O," Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Kita pun akan berhenti pula di tempat yang terbuka itu.
Jika benar mereka menjebak kita, mereka tidak akan telaten
menunggu. Merekalah yang akan memasuki daerah terbuka
ini menyerang kita, sedang kelompok orang-orang Menoreh itu
tetap terlindung di sini."
Sutawijaya mengangguk-angguk sambil memandangi
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
medan di hadapannya. Sebuah tempat yang terbuka,
meskipun tidak terlalu luas. Sedangkan tanda-tanda yang
dapat dilihatnya adalah tapak-tapak kaki di atas rerumputan
dan batang-batang ilalang yang berpatahan.
"Baiklah," berkata Sutawiiaya, "berilah tanda agar
kelompok orang-orang Menoreh dan Sangkal Putung itu
berhenti di sini. Kita akan berjalan terus dan kita akan
berusaha memancing mereka keluar dan menyerang kita di
tempat yang terbuka. Sementara itu orang-orang Menoreh
dapat memperhatikan pertempuran itu langsung dari tempat
ini, jika kehadiran mereka tidak segera diketahui."
Demikianlah, maka salah seorang dari pengiring Raden
Sutawijaya itu pun segera memberikan tanda. Di jalur sempit
itu diletakkannya sebuah ranting yang menyilang. Seperti yang
sudah mereka setujui, tanda itu adalah suatu isyarat agar
Pandan Wangi berhenti sejenak. Jika tidak ada isyarat lain,
maka beberapa saat kemudian mereka dapat melanjutkan
perjalanan. Setelah tanda itu siap, maka Sutawijaya pun kemudian
membawa orang-orangnya maju beberapa langkah lagi
dengan hati-hati, sehingga mereka benar-benar sampai ke
mulut lorong yang bermuara di tempat terbuka itu.
Namun sebelum mereka melanjutkan perjalanan yang
dengan sengaja memasuki daerah terbuka itu, salah seorang
yang memiliki ketajaman pengamatan terhadap jejak-jejak
berbisik, "Raden. Tidak semua orang di dalam kelompok yang
sedang kita ikuti itu pergi melalui tempat terbuka ini."
"Darimana kau tahu?"
"Sebagian dari mereka telah memisahkan diri. Aku dapat
melihat jejak mereka, meskipun mereka berusaha
menyamarkannya. Sedang jejak di tempat terbuka itu sengaja
mereka buat agar menjadi jelas."
"Dugaan kita benar. Mereka telah menjebak kita."
"Ya. Dan kita pun harus berusaha menjebak mereka."
"Bersiaplah. Kita agaknya benar-benar harus bertempur.
Orang itu memancing kita sampai ke tempat yang jauh. Tentu
mereka mempunyai alas kekuatan di daerah ini."
"Tetapi kenapa justru di daerah Menoreh?"
"Di sini, di daerah sulit yang terpencil. Tetapi mungkin juga
dengan maksud, agar kita terjerumus ke dalam benturan
senjata dengan para pengawal Menoreh. Jika itu tidak terjadi,
mereka sudah menyiapkan jebakan buat kita."
Para pengiringnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka akan segera
sampai ke medan yang cukup berat. Sedang beberapa orang
di antara mereka, masih belum mengetahui kemampuan
orang-orang Menoreh dan anak-anak muda dari Sangkal
Putung itu, sehingga sebagian dari mereka sama sekali tidak
memperhitungkan kehadiran orang-orang Menoreh yang
mereka anggap sebagai pengawal-pengawal Tanah Perdikan,
yang dilakukan sekedar selingan dari kerja mereka di sawah
dan ladang. Sejenak kemudian, maka Raden Sutawijaya pun
membawa para pengiringnya memasuki tempat terbuka itu.
Namun mereka memusatkan perhatian mereka ke arah jejak
yang lain, yang menyimpang dari jejak yang sengaja mereka
tinggalkan. Jika benar orang-orang itu akan menjebak mereka,
maka mereka tentu akan datang dari arah itu.
Demikianlah, dengan hati-hati pasukan kecil itu merayap
maju. Dua orang yang berjalan di paling depan masih saja
berpura-pura mencari jejak, meskipun sebenarnya jejak itu
terlampau jelas untuk dilihat.
Namun tiba-tiba kedua, orang itu berhenti hampir di
tengah-tengah tempat terbuka itu. Dengan kerut-merut
dikeningnya salah seorang dari mereka berkata, "Kita benarbenar
telah dijebak. Kini tentu bukan lagi sekedar dugaan.
Karena itu, kita harus bersiap. Sebentar lagi kita akan terlibat
di dalam perkelahian."
Raden Sutawijaya mendekati orang itu sambil bertanya,
"Apakah kau melihat suatu pertanda yang lebih pasti?"
"Jejak itu hilang di sini."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Katanya,
"Bagaimana mungkin, jejak itu dapat hilang di tengah-tengah
tempat terbuka ini" Jika mereka menepi, maka tentu ada jejak
yang bagaimanapun juga mereka usahakan untuk
dihilangkan." "Tidak ada jejak ke jurusan lain. Benar-benar tidak ada.
Penyamaran tidak akan dapat dilakukan demikian
sempurnanya." "Jadi bagaimana mungkin. Apakah mereka dapat terbang
atau melenting sampai ke tepi tempat terbuka ini?"
"Tentu tidak, Raden."
"Jadi?" "Jalan satu-satunya adalah melangkah mundur."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun
kemudian kepalanya itu pun terangguk-angguk. Bahkan
sekilas senyum membayang di bibirnya. Katanya perlahanlahan,
"Aku memang bodoh sekali. Aku harus lebih banyak
memperhatikan jejak-jejak yang kadang-kadang tampaknya
mengandung rahasia, tetapi sebenarnya persoalannya terlalu
sederhana." Para pengiringnya pun ikut tersenyum pula, meskipun
mereka tidak kehilangan kewaspadaan.
"Baiklah," berkata Sutawijaya kemudian, "kita harus
menjadi bingung di sini beberapa lama. Sementara itu kita
berharap agar orang-orang Menoreh yang dipimpin oleh
Pandan Wangi itu telah berada di tempatnya dan dapat
melihat kita di sini dari sela-sela dedaunan. Mudah-mudahan
mereka mengerti, bahwa mereka harus berlindung dan tidak
berdiri berderet-deret melihat kebingungan kita di pinggir
tempat terbuka ini."
"Mudah-mudahan mereka cukup cerdas," berkata salah
seorang pengiringnya, "tetapi karena mereka adalah pemburupemburu
yang biasa berburu binatang, mungkin mereka
mempunyai sikap yang lain."
Sutawijaya memandang pengiringnya sejenak. Tetapi
pendapat itu adalah wajar, karena pengiringnya itu sama
sekali belum mengenal siapakah Pandan Wangi.
Namun demikian, ia berusaha untuk memberikan sedikit
gambaran tentang orang-orang yang berada di dalam
kelompok kedua itu. Katanya, "Mereka memang pemburupemburu
di hutan liar. Tetapi mereka pun pemburu-pemburu
orang-orang bersenjata yang tidak kita kenal, karena sudah
beberapa lama Menoreh mengadakan pengawasan di
sepanjang Kali Praga."
"Tetapi mereka belum pernah menghasilkan apa-apa.
Mereka belum pernah berhasil menangkap seorang pun."
"Orang-orang bersenjata itu selalu berhasil melarikan diri.
Tetapi pernah juga terjadi dua orang yang berusaha melarikan
diri dengan menyeberang kembali ke Timur berhasil mereka
kenai dengan anak panah dan keduanya tidak pernah berhasil
mencapai tepi Kali Praga. Mayat mereka hanyut dalam arus
sungai yang kebetulan sedang deras waktu itu."
"Darimana Raden tahu?"
"Seorang tukang perahu melihat peristiwa itu, dan
kemudian menceriterakan kepada para peronda dari
Mataram." Para pengiringnya, mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan demikian, maka mereka mendapat sedikit gambaran,
bahwa orang-orang Menoreh pun jika keadaan memaksa,
dapat juga bertempur dengan caranya.
Sejenak kemudian kelompok kecil itu masih melingkarlingkar
di tempat terbuka itu. Meskipun nampaknya mereka
sedang kebingungan, namun sebenarnya mereka sedang
menunggui serangan yang setiap saat dapat datang.
Dalam pada itu, kelompok yang dipimpin oleh Pandan
Wangi pun menjadi semakin dekat pula dengan tempat yang
Legenda Yang Hilang 2 Si Tolol 4 Perebutan Patung Dewi Kalingga Sumpah Si Durjana 2