Hijaunya Lembah Hijaunya 14
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 14
terkejut. "Ya. Tiga ekor. Milikku satu, milik orang tua itu satu
dan milik Ki Bekel satu." jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut
kemenakannya itu untuk melihat-lihat apa yang terjadi.
Mereka memang melihat sisa bangkai kambing yang
sebagian besar tubuhnya telah dimakan oleh harimau yang
memasuki padukuhan itu. "Satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya," berkata
Ki Bekel ketika mereka sampai ke rumah Ki Bekel,
"memang dahulu, beberapa waktu yang lalu, ada seekor
harimau nampak memasuki padukuhan. Tetapi harimau itu
tidak banyak menimbulkan kerugian. Seekor kambing
pernah menjadi korban. Tetapi bekasnya tidak terlalu
mengerikan seperti kali ini. Apalagi sekaligus tiga ekor
kambing." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Yang terjadi itu
memang mendebarkan. Tentu ada hubungannya dengan
tiga ekor harimau yang datang ke pondok mereka.
"Memang sangat memprihatinkan," berkata Tatas
Lintang kemudian. "Apakah pendapat Ki Sanak tentang hal ini" Mungkin
Ki Sanak melihat jalan keluar untuk mengatasinya?"
bertanya Ki Bekel. Tatas Lintang merenung sejenak. Namun Tatas Lintang
tidak dapat menyebut apa yang pernah terjadi di pondok
mereka sebelum mereka meyakinkan apa yang sebenarnya
terjadi. Agaknya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun tidak mendahului Tatas Lintang sehingga mereka
pun hanya berdiam diri saja.
Karena Tatas Lintang tidak segera menjawab, maka Ki
Bekel itupun mendesaknya, "Ki Sanak. Agaknya di seluruh
padukuhan ini tidak ada orang yang dapat menolong kami.
Kami tidak tahu apakah maksud sebenarnya Ki Sanak
tinggal di padukuhan kami setelah kami mengetahui
kelebihan Ki Sanak. Namun justru karena kelebihan itulah
maka kami berharap bahwa Ki Sanak akan dapat menolong
kami." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
tatapan mata Ki Bekel mempunyai nada yang
mendebarkan. Meskipun ia minta agar Tatas Lintang
menolongnya, namun agaknya ada juga semacam
kecurigaan. Karena itu, untuk menghilangkan segala prasangka yang
kurang baik dalam hubungannya dengan orang-orang
padukuhan itu, Tatas Lintang pun berkata, "Ki Bekel.
Baiklah, Kami akan mempelajari dan mengamati apa yang
terjadi. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu
mengatasi persoalan yang kini timbul di padukuhan ini.
Agaknya harimau-harimau itu bukannya secara kebetulan
memasuki padukuhan ini. Biasanya hanya harimau yang
telah menjadi tua dan tersisih dari pergaulan di antara
sesama harimau sajalah yang memasuki padukuhan untuk
mencari mangsanya. Tetapi sudah tentu tidak sampai tiga
ekor sekaligus." "Ya Ki Sanak," jawab Ki Bekel, "memang ada tiga ekor
kambing yang diterkamnya. Tetapi apakah dengan
demikian harimau yang menerkamnya juga berjumlah tiga
ekor?" Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Yang
diketahuinya memang tiga ekor harimau yang datang ke
pondoknya. Meskipun demikian ia menjawab, "Maksudku
korbannya adalah tiga ekor kambing. Memang aku
menduga bahwa harimaunya tentu tidak hanya seekor.
Betapa besar dan rakusnya harimau itu tetapi harimau itu
tentu tidak akan menerkam tiga ekor kambing sekaligus
dalam satu malam." Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.
Mereka sependapat dengan Tatas Lintang, bahwa seekor
harimau tidak akan menerkam tiga ekor kambing dalam
satu malam. Sementara itu maka Ki Bekel pun kemudian berkata, "Ki
Sanak. Kami akan menyerahkan segala sesuatunya kepada
Ki Sanak serta ketiga orang kemanakan Ki Sanak. Seperti
sudah kami katakan, kami mengetahui bahwa Ki Sanak
memiliki kelebihan. Meskipun agaknya kami agak
terlambat menyadari hal itu. Kami mengira bahwa Ki
Sanak bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi
sebagaimana Ki Sanak perlihatkan dalam perkelahian di
dekat pasar itu. Sebagai penghuni padukuhan ini maka Ki
Sanak tentu tidak akan berkeberatan."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam, katanya,
"Baiklah ki Bekel. Kami akan berusaha. Tetapi kami tidak
dapat mengatakan dengan pasti bahwa kami akan berhasil."
"Kami tidak dapat memaksakan sesuatu terhadap ki
Sanak," berkata Ki Bekel, "sudah tentu kami tidak akan
dapat menentukan keberhasilan usaha Ki Sanak. Tetapi jika
Ki Sanak bersedia berusaha, berhasil atau tidak berhasil,
kami akan mengucapkan terima kasih yang tiada
terhingga." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Ki Bekel. Untuk melakukan pekerjaan ini aku akan mohon
bantuan seluruh penghuni padukuhan ini. Bergantian kita
semuanya akan berjaga-jaga, tegasnya para peronda
mendapat tugas tambahan, mengawasi kandang-kandang
kambing di seluruh padukuhan. Sudah barang tentu kami
tidak akan dapat melihat seluruh padukuhan ini pada satu
saat. Karena itu maka kami mohon setiap orang yang
mendapat giliran meronda, jika melihat kedatangan
harimau itu harus memberikan isyarat. Dengan demikian
kami akan dapat segera datang. Jika mungkin kami akan
berusaha untuk membunuh harimau itu. Meskipun aku
sadar, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat
berbahaya. Mungkin bukan aku yang membunuh harimau
itu, tetapi nasibku tidak lebih baik dari seekor kambing yang
telah dikoyak-koyak oleh harimau itu."
"Kalian memiliki kelebihan. Meskipun segala
kemungkinan dapat terjadi, namun aku mempunyai satu
keyakinan, bahwa kalian akan berhasil, sementara itu kami
semuanya akan membantu sesuai dengan kemampuan
kami." berkata Ki Bekel.
"Terima kasih," jawab Tatas Lintang, "tanpa aku pun
seluruh laki-laki di padukuhan ini tentu akan mampu
membunuh seekor, bahkan dua ekor harimau. Tetapi
karena kita sudah mendapat kesan tentang kegarangan
seekor harimau, maka kita pada umumnya telah menjadi
ketakutan demikian kita mendengar aumnya atau melihat
taringnya." Ki Bekel mengangguk-angguk. Jawabnya, "Karena itu
agaknya mereka memerlukan satu dua orang yang dapat
membangkitkan keberanian mereka."
Sekali lagi Tatas Lintang mengangguk-angguk.
Jawabnya, "Kami akan melakukannya sebaik-baiknya. Dan
kami pun percaya bahwa semua laki-laki di padukuhan ini
akan membantu kami sebaik-baiknya."
"Baiklah. Sejak nanti malam, kami semuanya akan
berjaga-jaga. Mudah-mudahan Ki Sanak pun akan dapat
bersama kami malam nanti," berkata Ki Bekel.
"Kami akan berada di pondok kami," berkata Tatas
Lintang, "dari pondok kami, kami akan mengamati
padukuhan ini. Mungkin kami akan mengintai di satu
tempat tertentu. Mungkin kami berempat akan berada di
satu tempat. Tetapi mungkin kami akan berpencar. Sekali
lagi kami pesan, jika peronda atau siapapun yang melihat
harimau memasuki padukuhan ini. kami harap dapat
memberikan isyarat dengan kentongan. Kami akan segera
datang. Sudah tentu dengan ciri-ciri khusus yang dapat
menunjukkan tempat harimau itu.
Akhirnya Ki Bekel tidak berkeberatan. Merekapun telah
membicarakan tanda-tanda yang khusus sehingga Tatas
Lintang akan dapat dengan segera tahu arah harimau yang
memasuki padukuhan itu. Demikianlah, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan
kepada semua laki-laki untuk ikut merasa bertanggung
jawab atas ketenteraman padukuhan mereka. Bergiliran
mereka telah mengatur diri untuk berjaga-jaga. Di setiap
sudut, simpang tiga dan simpang empat, bahkan tempattempat
yang dianggap dapat menjadi jalur jalan yang
ditempuh oleh harimau-harimau untuk memasuki
padukuhan itu telah mendapat pengawasan.
Tetapi di malam berikutnya, ternyata di padukuhan itu
tidak terdapat seekor harimau pun. Para peronda tidak
menemukan yang mereka cari. Sementara itu. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang di tengah malam berjalan
berkeliling padukuhan, serta singgah di antara orang-orang
yang meronda, juga tidak melihat apapun juga.
Namun Tatas Lintang tidak segera mengambil
keputusan. Katanya kemudian, "Mungkin di malam
berikutnya." "Dan kita terus menunggu pagi sampai kita dapat
menangkap atau membunuh harimau itu?" bertanya
Mahisa Murti. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang sulit bagi kita untuk menolak permintaan Ki
Bekel itu. Namun demikian, kita akan melakukan
pengamatan sekaligus melihat apakah ada hubungan antara
harimau itu dengan padepokan yang ingin kita lihat.
Menilik keterangan yang kalian berikan kepadaku
sebelumnya, maka agaknya memang ada hubungan antara
harimau itu dengan padepokan dari yang kau sebut orangorang
bertongkat itu." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
mengerti bahwa sulit untuk menolak permintaan Ki Bekel.
Meskipun mereka dapat saja pergi dan tidak kembali ke
padukuhan itu tetapi mereka, terutama Tatas Lintang yang
sudah lebih lama tinggal di padukuhan itu. akan merasa
sangat berat. Ia tidak akan sampai hati membiarkan
padukuhan itu dalam kecemasan.
Karena itu, maka ketiga orang yang disebut kemanakan
Tatas Lintang itupun akhirnya harus menyesuaikan diri.
Dengan berbagai pertimbangan mereka pun harus
menunggu sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Tetapi jika benar harimau-harimau itu adalah harimauharimau
sebagaimana pernah menyerang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka penantian mereka itupun agaknya
akan ada gunanya. Demikianlah, di malam berikutnya, bukan saja Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang ikut bersama-sama
dengan orang-orang padukuhan itu, tetapi Tatas Lintang
dan Mahisa Ura pun telah keluar pula dari pondok mereka
dan bersama-sama dengan yang lain pergi meronda di
seluruh padukuhan itu. Namun seperti malam yang lewat, mereka tidak
menjumpai apapun juga, sehingga menjelang fajar, Tatas
Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya
itupun minta diri kepada Ki Bekel dan kembali ke pondok
mereka yang kosong. Tetapi Tatas Lintang tidak perlu cemas, karena ia tidak
memiliki apapun yang berharga yang dapat menjadi sasaran
pencurian atau perampokan. Ia memang mempunyai bekal
yang cukup. Tetapi Tatas Lintang telah
menyembunyikannya di tempat yang tidak mudah
diketahui orang. Sedangkan bekal Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura, selalu dibawanya pada kantong ikat
pinggangnya dan pada kampil kecil yang selalu tergantung
di lambung. Namun bagaimanapun juga, ketika mereka memasuki
pondok kecil mereka, jantung mereka pun menjadi
berdebaran. Ternyata isi pondok kecil itu telah menjadi
berserakan. "Gila," geram Tatas Lintang, "baru berapa hari ini kita
membenahi isi rumah kita. Kini keadaan itu telah terulang."
Tetapi Mahisa Murti melihat keadaan yang berbeda.
Karena itu maka katanya kemudian, "Aku kira kita
menghadapi keadaan yang berbeda."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Sementara itu
Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, "Lihat. Jalan inilah
yang dipergunakan oleh mereka yang merusak isi rumah
kita." Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah
mendekati sebuah lubang yang besar pada dinding bambu
yang tidak terlalu kuat di bagian belakang dari pondok kecil
itu. Namun mereka pun segera mengetahui bahwa bekasbekasnya
menunjukkan bahwa yang telah memasuki
pondok kecil itu adalah bukan manusia, tetapi harimau.
Mungkin seekor, mungkin lebih.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Memang kitalah yang menjadi sasaran.
Jika harimau-harimau itu membunuh kambing, itu
hanyalah salah satu cara untuk mengganggu kita juga."
Mahisa Pukat pun menggeram. Katanya, "Kita memang
harus menemukannya. Kita harus menunjukkan, bahwa
harimau-harimau itu tidak banyak berarti jika kita sempat
menemukannya." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Ia pun berkata
dalam nada rendah, "Kita akan mencari sampai ketemu.
Karena itu. maka biarlah kita tidak bersama-sama
meninggalkan pondok ini. Besok kita beritahukan kepada
orang-orang padukuhan tentang pondok ini. Jika hanya dua
orang diantara kita yang keluar rumah, bukan karena kita
tidak bersungguh-sungguh membantu mereka. Tetapi
karena justru rumah kitalah yang menjadi sasaran."
"Ya. Tetapi kita pun harus mempunyai alat untuk
mengirimkan isyarat, sehingga dalam keadaan tertentu kita
akan berkumpul menghadapi harimau-harimau itu. Mereka
harus dihabiskan tanpa ampun, karena dengan demikian
maka kita akan dapat membangkitkan kesan kepada orangorang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menggerakkan harimau itu bahwa kita siap
menghadapinya." berkata Mahisa Murti.
Tatas Lintang mengangguk-angguk, ia sadar bahwa sikap
itu justru didorong oleh kemarahan yang telah
mengguncang isi dadanya. Tatas Lintang serta ketiga orang yang disebut
kemanakannya itu sama sekali tidak membenahi isi rumah
yang berserakan itu. Dinding yang koyak oleh kuku-kuku
yang tajam. Ajug-ajug yang roboh dan amben mereka yang
baru itupun telah rusak pula.
Keempat orang itu melihat seakan-akan harimau yang
merusak isi rumah mereka itupun mampu melakukannya
sebagaimana seseorang melakukannya. Seolah-olah
harimau-harimau itu tahu yang manakah yang harus
mereka rusakkan dari isi rumah yang hanya sedikit itu.
Ketika kemudian pagi turun serta matahari mulai naik,
beberapa orang telah menyaksikan apa yang terjadi di
pondok kecil itu. Ki Bekel yang mendapat pemberitahuan
itupun segera telah datang pula. Iapun melihat isi rumah
Tatas Lintang yang tidak berarti itu telah berserakan.
"Kita akan menggantinya," berkata Ki Bekel.
"Terima kasih Ki Bekel," berkata Tatas Lintang, "Jika
ada yang harus diganti. Kami akan memperbaiki barangbarang
kami yang rusak ini. Kami pun akan dapat menutup
dinding bambu yang berlubang karena dikoyak oleh kukukuku
harimau itu." Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian, "Baiklah. Aku kira kami memang tidak perlu
menggantinya, karena yang kita lihat ini bukanlah yang
sebenarnya." "Apa maksud Ki Bekel?" bertanya Tatas Lintang.
Ki Bekel itu tersenyum. Jawabnya, "Tidak apa-apa."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun mengerti maksud Ki Bekel, sebagaimana ketiga orang
yang disebut kemenakannya itu.
Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata, "Ki
Bekel, dengan peristiwa ini kami akan memohon bahwa di
malam-malam berikutnya, hanya dua orang sajalah di
antara kami yang akan membantu Ki Bekel mencari
harimau itu di setiap sudut padukuhan ini, sedangkan dua
di antara kami akan tetap berada di rumah ini."
"Kami mengerti," jawab Ki Bekel, "dan kami pun tidak
akan berkeberatan." Ki Bekel pun kemudian minta diri. Beberapa orang
masih tinggal di sekitar pondok itu. Bahkan seorang di
antara mereka berkata, "Ki Sanak. Sebaiknya kalian
mengungsi saja ke banjar daripada kalian akan dikoyak oleh
harimau itu sebagaimana dinding rumahmu itu."
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, "Biarlah aku
menunggu gubugku ini. Mudah-mudahan harimau itu
dapat aku jinakkan."
"Betapapun kuatnya seseorang, namun melawan seekor
harimau liar tentu akan mengalami kesulitan. Karena itu,
bukankah rumahmu itu tidak berisi barang-barang
berharga" Karena itu, tinggalkan saja dan tinggallah di
banjar. Jika harimau itu datang lagi ke rumah ini, ia tidak
akan menjumpai apa-apa sebagaimana semalam. Jika dua
tiga kali terjadi seperti itu, maka harimau itu tentu akan
menjadi jemu dan tidak akan datang lagi ke pondok ini.
Nah, jika demikian maka kalian akan dapat kembali lagi."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun ia
menjawab, "Kami akan mencoba mempertahankan rumah
ini. Bukan karena harta benda yang ada di dalamnya.
Tetapi kami akan belajar mempertahankan hak kami.
Mungkin seekor harimau akan dapat membunuh seseorang.
Tetapi seseorang mempunyai kesempatan lebih banyak dari
seekor harimau, karena seseorang mampu mempergunakan
akalnya untuk melawan seekor harimau, sedang seekor
harimau tidak mampu mempergunakan akal serta
nalarnya." Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Terserahlah kepadamu. Tetapi seandainya aku
menjadi kalian, maka aku tidak akan mencari kesulitan
dengan menunggu seekor harimau. Lebih baik kalian
berada di antara kami jika kalian tidak mau berada di
banjar." Tatas Lintang tidak menjawab lagi meskipun ia masih
saja tersenyum. Namun orang-orang itupun akhirnya meninggalkan
rumah Tatas Lintang. Orang yang menasehatkan agar ia
pergi ke banjar itupun bergumam di antara kawankawannya,
"Orang itu memang sombong."
"Kenapa?" bertanya kawannya.
"Aku sarankan agar ia tidur saja di banjar," jawab orang
itu, "tetapi ia menolak. Ia merasa mampu melawan seekor
harimau." "Ia orang yang berilmu," desis kawannya, "ia sudah
menunjukkan bahwa ia mampu mengalahkan orang-orang
yang ditakuti di padukuhan ini serta orang yang garang di
dekat pasar." "Tetapi orang-orang itu bukan harimau," berkata orang
itu. Kawannya tidak menjawab lagi. Memang menurut
gambarannya harimau jauh lebih menakutkan daripada
seseorang betapapun besar tenaganya.
Ketika orang-orang yang datang ke rumahnya sudah
pulang semuanya, maka Tatas Lintang pun berkata, "Kita
akan memperbaiki isi rumah kita yang rusak."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
kemudian telah bekerja untuk membenahi isi rumah itu,
sementara Tatas Lintang memperbaiki dinding yang telah
koyak dengan menutupnya dengan belahan-belahan bambu.
"Kita tidak akan membiarkan siapapun merusak isi
rumah ini lagi," berkata Mahisa Pukat, "agar kita tidak
usah memperbaikinya lagi."
Tatas Lintang yang mendengarnya pun tertawa. Namun
kemudian katanya, "Kita akan menjaganya. Kita tidak akan
meninggalkan pondok ini lagi di malam hari. Dua orang di
antara kita akan berada di rumah, jika yang lain ikut
meronda bersama anak-anak muda padukuhan ini."
Sebenarnyalah ketika kemudian malam turun, maka
yang keluar dari pondok itu hanyalah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka berdua telah ikut bersama-sama
anak-anak muda padukuhan itu mengamati keadaan di
seputar padukuhan. Namun mereka sama sekali tidak
menjumpai seekor harimau pun.
Namun Tatas Lintang dan Mahisa Ura yang tinggal di
rumah, ternyata telah mendengar dengus harimau di
belakang pondok itu. Dengan isyarat Tatas Lintang minta Mahisa Ura bersiapsiap
menghadapi segala kemungkinan. Jika harimau itu
sekali lagi mengoyak dinding dan memasuki rumah itu,
maka mereka harus membinasakannya tanpa ampun.
Bukan saja karena harimau itu pernah merusakkan pondok
mereka. Tetapi mereka harus memberikan kesan bahwa
harimau-harimau itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tatas Lintang dan Mahisa Ura berusaha untuk tidak
mengejutkan dan mengusir harimau itu. Mereka dengan
hati-hati telah berada di bagian belakang pondok mereka.
Dari tempat mereka menunggu, mereka dapat mendengar
dengan jelas dengus harimau yang kemudian mencoba
untuk mengorek dinding yang baru saja diperbaiki itu.
Tatas Lintang bergeser mendekat. Namun ternyata
bahwa hidung harimau itu cukup tajam. Agaknya harimau
itu telah mencium bau seseorang di dalam pondok itu,
sehingga karena itu, maka harimau itu telah menggeram.
Tatas Lintang sadar, bahwa kehadirannya telah
diketahui oleh harimau itu. Karena itu, maka iapun tidak
lagi mengendap-endap. Demikian Tatas Lintang berdiri, iapun telah memberikan
isyarat agar Mahisa Ura pun tidak perlu lagi menahan
nafasnya. Tetapi sejenak kemudian tiba-tiba mereka mendengar
harimau itu mengaum. Suaranya memang tidak begitu
keras. Namun auman harimau itu seakan-akan pertanda
sesuatu bagi kawan-kawannya atau bagi seseorang.
Sejenak Mahisa Ura dan Tatas Lintang menunggu.
Namun agaknya Mahisa Ura tidak sabar, sehingga iapun
berdesis, "Aku akan keluar. Kita tidak dapat menunggu
terlalu lama." Tetapi ketika Mahisa Ura benar-benar melangkah, maka
Tatas Lintang telah menahannya sambil berdesis, "Kita
tidak tahu, apa yang ada di luar. Karena itu, biarlah kita
menunggu." "Tetapi kita akan kehilangan harimau-harimau itu lagi,"
jawab Mahisa Ura. Tetapi Tatas Lintang berkata, "Harimau-harimau itulah
yang merunduk kita. Karena itu, mereka tidak akan pergi.
Mereka akan masuk dan akan menerkam kita , Namun
apakah benar bahwa yang datang itu hanya seekor atau dua
ekor atau tiga ekor harimau saja."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun iapun telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan jika harimau itu
benar-benar akan menerobos masuk ke dalam pondok itu.
Sebenarnyalah yang terdengar dari dalam rumah itu
telah mendebarkan jantung. Ternyata sejenak kemudian
mereka mendengar dengus bukan hanya seekor. Tetapi
lebih dari dua ekor. Seekor sedang mengorek-ngorek sudut
pondok itu, yang lain telah mendorong-dorong pintu
butulan, sementara seekor lagi terdengar menggoreskan
kukunya di dinding. Namun selain itu, masih juga terdengar
seekor mengaum di depan pondok kecil itu.
"Memang beberapa ekor harimau," berkata Tatas
Lintang, "kita akan menerkam tamu kita dengan meriah. "
"Apakah kita tidak mengundang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat untuk ikut dalam permainan yang
menyenangkan ini?" bertanya Mahisa Ura, "bukankah
mereka telah berpesan?"
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Tetapi iapun
kemudian bertanya, "Bagaimana cara kita memanggil
mereka" Jika kita memukul kentongan, maka mungkin seisi
padukuhan akan datang. Dengan demikian maka harimauharimau
itu akan pergi, atau yang terjadi justru sebaliknya.
Akan jatuh korban karena harimau itu dengan liar dan
kasar menyerang mereka."
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Aku akan mencari mereka."
"Itu berbahaya sekali," berkata Tatas Lintang, "sekali
lagi peringatkan aku."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian Tatas Lintang itupun kemudian berkata,
"Baiklah. Aku akan mencobanya dengan Aji Pameling.
Mudah-mudahan ia dapat menangkapnya."
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah
memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan Aji
Pameling. Ketajaman perasaan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat diharapkannya akan dapat tersentuh oleh getaran
ilmunya. Ternyata bahwa tingkat ilmu Tatas Lintang cukup tinggi.
Aji Pamelingnya dengan tajam telah memancarkan getaran
yang akan dapat memanggil mereka kembali ke pondok
kecil itu. Ternyata bahwa perasaan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat cukup peka untuk menerima sentuhan getaran Aji
Pameling. Karena itulah maka tiba-tiba saja keduanya
merasa bahwa mereka harus segera kembali.
"Ada semacam kekuatan yang memanggil kita kembali
ke pondok kecil itu," berkata Mahisa Murti yang sedang
berada di sebuah simpang tiga di pinggir padukuhan.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga
merasakannya. Tentu bukan sekedar kebetulan."
"Aku mendapat isyarat yang cukup jelas bagiku. Kita
memang harus segera kembali," sahut Mahisa Murti.
"Tentu Tatas Lintang yang memiliki bermacam-macam
ilmu telah memanggil kita," desis Mahisa Pukat.
"Aku juga menduga demikian," sahut Mahisa Murti.
Dengan demikian maka keduanya pun segera menemui
orang yang cukup berpengaruh di tempat itu. Dengan hatihati
keduanya menjelaskan bahwa keduanya ingin melihat
pondok mereka. "Kenapa dengan pondok kalian" Bukankah pamanmu
dan kakakmu ada?" jawab orang yang berpengaruh itu.
"Ya. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu terjadi," jawab
Mahisa Murti, "tetapi biarlah kami berdua sajalah yang
melihatnya." "Baiklah," berkata orang itu, "tetapi segera saja kembali
kemari." Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tergesa-gesa menuju ke pondok kecilnya. Mereka sengaja
berusaha untuk tidak melewati gardu-gardu pengawas, agar
mereka tidak tertahan oleh anak-anak muda dan orangorang
yang berada di gardu-gardu.
Sementara itu, Tatas Lintang yang telah melepaskan Aji
Pameling itu menjadi berdebar-debar. Ia masih belum yakin
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat
menangkapnya. Namun apapun yang terjadi, maka mereka
yang ada di pondok itu harus menghadapi harimau-harimau
yang agaknya memang berusaha untuk memasuki rumah
itu. Beberapa saat kemudian, Mahisa Ura yang
memperhatikan gerak harimau-harimau itu selama Tatas
Lintang memusatkan nalar budinya untuk melepaskan Aji
Pamelingnya, melihat dinding di sudut rumah itu sudah
mulai bergetar. Ketika sepotong bambu patah, maka
Mahisa Ura itupun segera mempersiapkan diri untuk
dengan pukulan pertama menghancurkan harimau itu.
Namun Mahisa Ura itu terkejut ketika ia mendengar
derak di sisi pondok itu. Ternyata seekor di antara harimauharimau
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu berusaha untuk memasuki rumah kecil itu
lewat tutup keyong yang memang agak lemah. Dinding
rumah di sebelah sisi itu bergetar ketika seekor di antara
harimau-harimau itu memanjat.
Mahisa Ura memang agak bingung. Yang manakah di
antara kedua harimau itu yang lebih dahulu akan memasuki
pondok kecil itu. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah selesai.
Dengan nada rendah ia berkata, "Biarlah yang memanjat
dinding itu aku selesaikan."
Mahisa Ura menarik nafas-nafas dalam-dalam. Yang
dihadapinya kemudian adalah harimau yang akan merusak
dinding di sudut rumah itu.
Tetapi ternyata di bagian lain, dinding pun mulai koyak.
Bahkan ketika Mahisa Ura berpaling, dilihatnya kuku-kuku
harimau itu mematahkan bambu-bambu yang dianyam
menjadi dinding, dan sebelah kaki depannya pun telah
menembus masuk menggapai-gapai.
Mahisa Ura menggeram. Tetapi ia telah bergeser. Ia
berdiri di tengah-tengah di antara dua ekor harimau yang
berebut dahulu memasuki rumah kecil itu. Sementara itu
Tatas Lintang sudah siap menerima jika harimau yang
memanjat dinding itu akan menembus memasuki tutup
keyong. Pada saat yang demikian itulah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memasuki halaman pondok kecil itu.
Keduanya terkejut melihat seekor harimau berkeliaran di
halaman. "Apakah hanya seekor?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun
bergerak mendekati harimau itu sambil berdesis, "Lihat di
bagian lain dari halaman ini."
Mahisa Pukat pun kemudian bergeser ke samping.
Ketika harimau di halaman itu berpaling ke arahnya,
Mahisa Murti telah mendekatinya sambil berdesis, "Lawan
aku, he?" Harimau itu tiba-tiba mengaum tidak terlalu keras.
Dihadapinya Mahisa Murti dengan mata yang menyala.
Yang ada di dalam rumah itu mendengar suara di
halaman. Dengan serta merta Mahisa Ura bertanya dengan
lantang, "Siapa di halaman depan?"
"Aku. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," jawab Mahisa
Murti. Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Murti berkata, "Di sini ada seekor harimau."
"Di belakang ada beberapa ekor yang sudah siap untuk
menerobos dinding," berkata Mahisa Ura.
"Pukat akan melihatnya," jawab Mahisa Murti.
"Berhati-hatilah," tiba-tiba terdengar suara Tatas
Lintang, "ada yang memanjat."
Sejenak suasana menjadi tegang. Mahisa Pukat yang
telah berada di halaman samping tertegun melihat beberapa
ekor harimau di belakang rumah itu. Bahkan seekor di
antaranya telah memanjat dinding dan siap meloncat
masuk ke dalam rumah. Dalam keadaan yang demikian, maka Tatas Lintang
telah memberikan isyarat kepada Mahisa Ura. Justru ketika
seekor harimau dapat memecah dinding dan menerobos
masuk, serta yang menembus tutup keyong pun telah
meloncat turun di dalam pondok kecil itu, Tatas Lintang
dan Mahisa Ura telah meloncat keluar lewat pintu depan.
"Kau Mahisa Murti," sapa Mahisa Ura.
Mahisa Murti bergeser ke samping. Harimau
dihadapannya telah merunduk dan siap untuk menerkam.
Tetapi ketika Mahisa Ura dan Tatas Lintang meloncat
keluar, maka harimau itu telah berpaling.
Tetapi hanya sesaat. Kemudian iapun telah kembali
memandang Mahisa Murti dengan sorot matanya yang
membara. Mahisa Pukat yang berada di sisi rumah itu agak ke
belakang, telah bergeser pula ke halaman depan. Dengan
demikian maka keempat orang itupun telah lengkap berada
di depan pondok kecilnya.
Harimau yang telah berada di dalam rumah itu menjadi
sangat marah. Mereka sempat merusak isi rumah itu.
Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, "Ternyata kita
tidak mencegah harimau-harimau itu merusak rumah kita."
"Kita akan menyambutnya di sini," berkata Mahisa
Murti. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka dua ekor
harimau telah keluar lewat pintu dengan marahnya.
Sementara yang lain berlari melingkari rumah itu. karena
harimau itu belum berhasil masuk. Namun ternyata ketika
harimau-harimau itu telah berada di halaman, maka
jumlahnya adalah lima ekor.
"Lima ekor," berkata Tatas Lintang.
"Aku akan menghancurkan mereka," berkata Mahisa
Murti. "Ya," sahut Tatas Lintang dengan suara yang lebih
keras, "kita harus menunjukkan bahwa harimau-harimau
ini tidak berarti apa-apa."
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura termangumangu
sejenak. Namun mereka pun segera menyadari,
bahwa Tatas Lintang telah mengatakannya dengan suara
lantang bukannya tanpa maksud.
"Tentu ada orang lain yang mendengarnya," berkata
ketiganya di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka kata-kata Tatas Lintang itu
merupakan perintah untuk membunuh harimau-harimau itu
dengan segera. Mahisa Murti lah yang telah bersiap lebih dahulu.
Karena itu, maka iapun berkata, "Aku sudah siap.
Minggirlah." Dalam pada itu, maka harimau yang berhadapan dengan
Mahisa Murti telah siap untuk menerkam. Harimau itu
bergeser sambil merunduk, sehingga perutnya hampir
melekat di tanah. Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang pun telah
bergeser. Harimau-harimau yang lain pun telah mengikuti
mereka. Dua ekor harimau telah merangkak dengan hatihati
ke arah Tatas Lintang. Yang lain pun telah mulai merunduk sambil menggeram
pula. Mereka nampaknya digerakkan oleh satu perintah
untuk menyerang lawannya bersama-sama.
Mahisa Murti sebagaimana yang lain memang ingin
menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar siap. Karena
itu, maka ketika harimau yang merunduk Mahisa Murti itu
meloncat menyerang, maka Mahisa Murti telah siap
menerimanya dengan ilmunya yang dahsyat dalam
bentuknya yang keras. Demikianlah, maka harimau yang tidak menduga bahwa
ia akan membentur satu ilmu yang dahsyat itu telah
mengaum dan menerkam Mahisa Murti. Kuku-kukunya
terjulur ke depan siap mengoyak tubuh sasarannya. Bahkan
taring-taringnya yang tajam pun telah siap pula
dipergunakannya. Namun yang terjadi kemudian telah mengakhiri
kegarangan harimau itu. Sebelum kuku-kuku harimau itu
menyentuh kulit Mahisa Murti, maka Mahisa Murti telah
mengayunkan tangannya menyongsong tubuh harimau
yang menerkamnya itu. Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Kekuatan ilmu
puncak yang dilambari Aji Pamungkas yang terpusat di
tangan Mahisa Murti bagaikan hentakan kekuatan yang
memancar dari letusan Gunung Merapi yang meledak.
Demikian besar kekuatan yang terpancar pada benturan
tangan Mahisa Murti yang telah mengenai kepala Harimau
itu, maka harimau yang perkasa serta ditakuti oleh
penghuni hutan yang lain itu tidak berdaya untuk bertahan.
Yang terdengar kemudian adalah harimau itu mengaum
keras sekali. Jauh berbeda dengan auman sebelumnya yang
hanya terdengar dari jarak yang dekat. Namun ketika
kepalanya membentur kekuatan ilmu Mahisa Murti, maka
harimau itu telah berteriak sekeras-kerasnya.
Demikian harimau itu jatuh di tanah, maka tubuhnya
tidak lagi bergerak sama sekali. Mati. Tulang kepalanya
telah retak dan otaknya pun telah terguncang.
Suara harimau itu memang mengejutkan. Yang
mendengar suara itu bukan saja orang-orang yang berada di
halaman itu. Tetapi orang-orang yang berada di padukuhan
pun telah mendengarnya pula.
Beberapa orang yang mendengar aum yang dahsyat itu
terkejut. Terkejut kulit mereka meremang. Meskipun
mereka mengharap Tatas Lintang dan ketiga orang yang
disebut kemanakannya itu bersedia untuk membantu
mereka, tetapi jantung mereka telah berdebaran juga
mendengar aum yang menggetarkan itu.
"Di mana anak-anak muda itu?" bertanya seseorang.
"Entahlah," jawab yang lain, "mungkin mereka baru
berkeliling." Tetapi seorang yang lain menyahut, "Aku dari regol.
Anak itu baru menengok pondoknya."
Orang yang pertama itupun berkata pula, "Pada saat kita
mendengar aum harimau itu, anak-anak itu tidak ada di
antara kita." "Tetapi mereka tentu mendengarnya juga," jawab yang
lain, "bahkan menurut pendengaranku, suara harimau itu
berasal justru dari arah pondok kecil itu, atau sekitarnya."
"Mudah-mudahan, bagaimanapun juga mereka
mempunyai kelebihan."
Namun seorang yang berjambang lebat berkata, "Ada
atau tidak ada, kita semuanya akan membunuh harimau itu
beramai-ramai." Yang lain-lain pun mengangguk-angguk pula. Seorang di
antara mereka berkata, "Marilah. Kita akan mencari
harimau itu." Tetapi orang berjambang lebat itu termangu-mangu.
Katanya kemudian, "Kenapa kita harus mencarinya " Kita
tunggu saja di sini."
"Jika harimau itu tidak kemari ?" bertanya kawannya.
"Kita mendapat tugas di sini," berkata orang berjambang
lebat itu, "karena itu kita jangan pergi ke mana-mana."
Kawannya tersenyum. Karena ia sudah mengetahui sifatsifat
orang berjambang itu, maka katanya, "Marilah. Kita
berdua melihatnya lebih dahulu. Jika kita bertemu, maka
kita akan memukul isyarat dengan kentongan."
Orang berjambang itu menjadi tegang. Beberapa orang
yang lain yang sudah mengenalinya pula menyahut hampir
bersamaan, "Pergilah. Kita menunggu di sini."
Orang berjambang lebat dan bertampang seram itu
menjadi pucat. Orang yang mengajaknya itu telah berdiri
dan melangkah. Katanya, "Marilah."
Tetapi orang yang berjambang lebat itu berkata gagap,
"Tidak ada gunanya. Harimau itu tentu sudah lari. Aku
menunggu di sini saja. Mungkin harimau itu justru akan lari
kemari." Namun belum lagi kawannya menjawab, tiba-tiba telah
terdengar lagi seekor harimau mengaum sekeras yang
pernah mereka dengar. Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Pukat pun telah
menyelesaikan lawannya pula. Ketika seekor harimau
menerkamnya, maka Mahisa Pukat telah melakukan hal
yang sama, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti.
Tetapi agaknya Mahisa Ura ingin berbuat lain. Ia tidak
menunggu harimau itu menerkamnya. Tetapi Mahisa Ura
lah yang lebih dahulu menyerang. Justru pada saat harimau
itu merunduk, maka Mahisa Ura telah mengerahkan
segenap kemampuannya untuk menyerang harimau itu dari
jarak beberapa langkah. Mahisa Ura ingin membuktikan
apakah ia benar-benar telah memiliki warisan ilmu dari
Tatas Lintang. Karena itu, menyusul aum harimau yang terbunuh oleh
Mahisa Pukat, maka Mahisa Ura pun telah menyerang
harimau yang merunduknya.
Harimau yang sedang merunduk, itu terkejut bukan
buatan ketika sekilas sinar menyambarnya. Harimau itu
mengaum dan melonjak tinggi sekali. Namun ketika
harimau itu terjatuh di tanah, maka harimau itu justru
menjadi seakan-akan gila. Ia tidak merunduk lagi untuk
menerkam, tetapi harimau itu dengan serta merta telah
berlari untuk menggapai tubuh Mahisa Ura.
Namun Mahisa Ura sempat mengelak dengan loncatan
panjang menyamping. Sekali lagi ia sempat melontarkan
pukulan itu dari jarak yang lebih dekat.
Sekali lagi harimau itu mengaum. Tetapi pukulan dari
samping yang langsung mengenai kepalanya itu agaknya
telah menentukan. Harimau itu menggeliat kesakitan. Serangan Mahisa Ura
yang bagaikan sinar menyambarnya dari samping itu terasa
bagaikan sentuhan segumpal batu padas yang menimpa
kepalanya. Ternyata bahwa serangan itu telah menentukan.
Harimau itu tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali
harimau itu berguling. Namun kemudian harimau itupun
diam. Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
serangannya tidak mematikan seketika sebagaimana
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun ia merasa bangga
juga, bahwa ia telah mewarisi sejenis ilmu yang jarang ada
bandingnya sesuai dengan alas kekuatan ilmunya sendiri.
"Jika aku sempat kembali ke tugasku, maka ilmu ini
akan sangat berarti," berkata Mahisa Ura didalam hatinya.
Sebagai prajurit dalam tugas sandi, maka ilmu kanuragan
dan kelengkapannya merupakan modal yang sangat penting
baginya. Aum harimau yang berurutan terdengar oleh orangorang
padukuhan itu memang sangat mendebarkan jantung.
Orang-orang yang berjaga-jaga di padukuhan itupun
menjadi berdebar-debar. Mereka telah mempersiapkan
senjata mereka masing-masing. Orang-orang yang tidak
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlalu berani, menjadi gemetar meskipun di tangannya
tergenggam senjata. Bahkan ada orang yang menjadi
hampir pingsan dan keringatnya bagaikan terperas dari
tubuhnya. "Apa yang harus kita lakukan," bertanya seseorang.
Kawan-kawannya tidak tahu juga apa yang harus mereka
lakukan. Karena itu, maka seorang di antara mereka
menjawab. "Kita menunggu perintah Ki Bekel."
Sebenarnyalah bahwa Ki Bekel pun menjadi bingung.
Beberapa orang bebahu telah dipanggilnya di gardu di ujung
lorong. Dengan gelisah Ki Bekel itupun telah minta
pendapat para bebahu itu.
"Anak-anak muda itu baru pulang sebentar untuk
melihat pondok mereka yang pernah dirusak oleh harimauharimau
itu," berkata salah seorang bebahu.
"Suara itu berasal dari pondok kecil itu. Agaknya
pondok kecil itu memang menjadi sasaran harimau,"
berkata bebahu yang lain.
"Tetapi harimau itu tentu tidak hanya seekor," berkata
Ki Bekel, "sebenarnya kita harus menengoknya. Anak-anak
itu sudah bersedia membantu kita. Jika mereka sendiri
mengalami kesulitan, apakah kita tidak datang
membantunya?" Para bebahu itu termangu-mangu. Namun seorang di
antara mereka berkata, "Marilah. Kita beramai-ramai
melihatnya." Ki Bekel itupun kemudian berkata kepada sejumlah lakilaki
dan anak-anak muda yang ada di sekitar gardu itu,
"Saudara-saudaraku. Marilah kita pergi ke pondok kecil
itu." Beberapa orang nampak termangu-mangu. Karena itu
maka Ki Bekel pun berkata, "Hanya mereka yang tidak
merasa ketakutan. Kita wajib melihat apa yang terjadi. Kita
sudah mendengar aum beberapa ekor harimau. Sementara
di pondok itu hanya tinggal Tatas Lintang dengan ketiga
orang kemanakannya. Sekali lagi, hanya mereka yang
memiliki keberanian. Sementara itu, kita yakin bahwa kita
memiliki kelebihan dari seekor harimau, karena kita
mempunyai akal. Kita akan dapat membunuh seekor
harimau. Dengan sepuluh ujung pedang, harimau itu akan
dapat kita bunuh." Beberapa orang termangu-mangu. Namun akhirnya
ketika Ki Bekel dan para bebahu mulai bergerak, sejumlah
laki-laki dan anak-anak muda pun mengikutinya. Bahkan di
sepanjang jalan yang mereka lalui, maka kelompok itu
jumlahnya bertambah-tambah.
Namun seorang di antara mereka berbisik kepada
kawannya, "Harimau itu lebih dari seekor."
"Ya, Aumnya menunjukkan kepada kita," jawab yang
lain. Tetapi mereka tidak berhenti. Mereka tetap mengikuti Ki
Bekel yang berjalan menuju ke pategalan di sisi padukuhan.
Sementara itu, orang yang memiliki tanah itupun telah
pergi bersama Ki Bekel itu. Pemilik tanah itupun sudah
mendengar apa yang pernah terjadi dan dilakukan oleh
Tatas Lintang. Baik terhadap yang dengan serakah ingin
merampas kerja yang sudah diterimanya dari pemilik tanah
itu, maupun apa yang telah terjadi di dekat pasar.
Namun ketika tiba-tiba terdengar harimau itu mengaum
sekali lagi, lebih keras, maka iring-iringan itupun berhenti.
"Dua ekor harimau," gumam seorang bebahu.
"Ya, kita mendengar aum dua ekor harimau. Tetapi
dengan demikian tentu lebih dari dua ekor yang berada di
pondok itu," sahut Ki Bekel, "betapapun kuatnya keempat
orang itu, namun jiwa mereka ada dalam bahaya."
Meskipun jantung mereka menjadi semakin cepat
berdebar, tetapi mereka pun kemudian melanjutkan langkah
mereka menuju ke pondok kecil di sudut pategalan di luar
dinding padukuhan itu. Dalam pada itu, setelah ketiga harimau yang lain
terbunuh, dua di antaranya yang merunduk bersama untuk
menerkam Tatas Lintang, harus berhadapan dengan
keempat orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Dua ekor harimau itu tidak mempunyai banyak
kesempatan. Sebelum keduanya meloncat menerkam Tatas
Lintang, maka keduanya telah mengalami nasib buruk.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura lah yang
telah mendahului menyerang keduanya.
Namun Justru pada saat kedua ekor harimau itu
mengaum sambil menggeliat sebelum mati, Tatas Lintang
telah berlari ke arah yang berlawanan dari arah harimau itu
merunduk. Dengan satu hentakkan ia telah melepaskan
serangannya dari jarak jauh ke arah sudut lawannya.
Serangan itu memang dahsyat sekali. Sekilat sinar
memancar dari telapak tangannya yang mengembang
menyambar sasaran. Namun yang terdengar adalah sebatang pohon yang
berderak dan kemudian terguncang keras sekali. Sejenak
kemudian pohon yang tidak terlalu besar itupun telah roboh
dengan suara gemeresak. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dari Mahisa Ura kemudian
melangkah pula cepat-cepat ke arah Tatas Lintang yang
berdiri termangu-mangu. "Siapa?" bertanya Mahisa Ura.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku gagal, setidak-tidaknya mengikatnya dalam
perkelahian." "Tetapi siapa?" desak Mahisa Ura.
"Aku tidak yakin, siapakah orang itu. Tetapi aku
merasakan kehadirannya di tempat itu. Ketika aku
melepaskan serangan, aku memang melihat bayangan yang
lenyap dalam kegelapan."
Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang menegang. Keduanya lebih memperhatikan dua
ekor harimau yang merunduk dan hampir menerkam Tatas
Lintang. Kemudian keduanya telah membunuh harimau itu
bersama Mahisa Ura. Karena itu mereka tidak
memperhatikan bayangan yang dilihat oleh Tatas Lintang.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura pun semakin menyadari kelebihan
Tatas Lintang dalam beberapa segi daripada mereka.
"Sudahlah," berkata Tatas Lintang, "Aku kira orang
itulah yang mengendalikan harimau-harimau itu."
"Tetapi harimau-harimau itu semula tidak seluruhnya
berada di satu pihak dari pondok kita," jawab Mahisa
Pukat. "Itu tidak perlu," berkata Tatas Lintang kemudian,
"orang itu dapat mengendalikan harimau-harimau itu tanpa
melihatnya. Tetapi mengetahui tempatnya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, maka
mereka pun telah mendengar suara gemeresak. Sejenak
kemudian mereka pun menjadi jelas, suara itu adalah suara
sekelompok orang yang datang ke pondok itu.
"Siapa?" bertanya Mahisa Ura.
"Entahlah. Tetapi mungkin orang-orang padukuhan
yang mendengar aum harimau itu," jawab Tatas Lintang.
Ternyata dugaan itu benar. Beberapa saat kemudian,
maka mereka pun melihat beberapa orang mendatangi
halaman rumah itu. Ada di antara mereka yang membawa
obor. Tatas Lintang lah yang kemudian menyongsong mereka
di pagar halaman. Sambil membungkuk hormat ia berkata,
"Marilah Ki Bekel. Silahkan."
Beberapa orang telah memasuki halaman, sementara
yang lain menunggu di luar.
Namun seorang di antara mereka yang membawa obor
berteriak sambil meloncat ke arah Ki Bekel.
"Ada apa?" bertanya Ki Bekel.
"Harimau," jawab orang itu dengan suara gemetar.
Beberapa orang pun kemudian melihat, lima bangkai
harimau terkapar di halaman itu.
"Lima ekor harimau," teriak seseorang dengan mata
terbelalak. Sebenarnyalah di halaman rumah itu bertebaran lima
bangkai harimau yang besar. Harimau loreng.
Justru karena itu maka orang-orang yang berada di luarpun
telah berlari-larian masuk. Mereka ingin melihat,
apakah benar ada lima ekor harimau terbunuh di halaman
itu. "Siapakah yang membunuh?" bertanya Ki Bekel.
"Kami," jawab Tatas Lintang singkat.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah mengira. Namun aku pun merasa cemas sebelumnya
oleh auman harimau-harimau itu, sehingga aku mengajak
beberapa orang kemari. Tetapi seandainya kelima harimau
itu masih hidup, maka tidak seorang pun yang akan berani
memasuki halaman." Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka
bertanya, "Bagaimana mungkin kalian berempat mampu
membunuh lima ekor harimau."
Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Biasa saja. Kami
mempunyai kesempatan lebih baik daripada harimau itu,
karena kami memiliki akal dan kemampuan
memperhitungkan sesuatu. Sedangkan harimau tidak."
"Tentu bukan karena itu," jawab seseorang, "kalian
tentu mempunyai ilmu yang tidak kami ketahui."
"Salah satu kecerdikan manusia adalah mempelajari
ilmu. Itu memang termasuk kelebihan kita seperti yang
sudah aku katakan, karena harimau tidak akan mampu
mempelajari ilmu apapun juga."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab. Sementara itu maka Tatas Lintang pun telah bertanya
kepada Ki Bekel, "Apakah yang sebaiknya kita lakukan
dengan harimau-harimau itu?"
"Apa rencanamu?" bertanya Ki Bekel pula.
"Terserah kepada Ki Bekel," jawab Tatas Lintang, "kami
tidak memerlukan harimau-harimau itu. Mungkin Ki Bekel
atau orang-orang padukuhan ini memerlukan kulitnya."
"Menarik sekali," desis seseorang.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Apakah kira-kira harimau ini tidak ada yang lain
lagi?" "Seandainya ada lagi sudah aku katakan, kita memiliki
banyak kelebihan dari harimau-harimau itu. Kita dapat
mempergunakan tombak, pedang atau senjata-senjata yang
lain. Apalagi kita melawannya dalam kelompok yang besar.
Maka harimau itu tentu tidak berarti apa-apa. "jawab Tatas
Lintang. Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Bawalah
ke banjar. Besok kita akan mengulitinya. Kulit harimau
termasuk barang yang mahal harganya."
Beberapa orang pun kemudian telah membawa harimau
itu ke banjar. Karena harimau itu berat, maka mereka telah
mencari batang-batang bambu untuk menggotong harimauharimau
itu. Namun demikian sepanjang jalan, orang-orang itupun
masih saja berdebar-debar. Mereka berada di jalan di luar
dinding padukuhan. Jika masih ada kawanan harimau itu,
maka mereka tentu akan datang menyerang karena mereka
mencium bau bangkai. Bangkai harimau yang mereka
bahwa ke banjar itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang.
Mereka berjumlah banyak. Apalagi karena orang-orang
yang berada di tempat-tempat lain di padukuhan itu telah
datang pula untuk melihat harimau-harimau yang mati itu.
"Luar biasa," desis seseorang, "hampir tidak masuk akal.
Empat orang mampu membunuh lima ekor harimau
sebesar itu." "Tetapi itu sudah terjadi," sahut yang lain.
"Ya. Mungkin akalku lah yang terlalu pendek." jawab
yang pertama. Merekapun terdiam. Namun mereka ikut pula dalam
iring-iringan menuju ke banjar itu.
Ketika mereka memasuki regol padukuhan, maka
mereka pun menjadi agak tenang. Meskipun harimauharimau
itu ternyata dengan mudah dapat memasuki
dinding padukuhan, namun rasa-rasanya masih ada batas
yang melindungi mereka dari harimau-harimau itu.
Demikian mereka sampai di banjar, maka harimau
itupun telah mereka letakkan begitu saja di halaman banjar.
Orang-orang yang membawa harimau-harimau itu
meskipun bergantian, merasa letih juga karena harimau itu
memang berat. "Tinggallah saja di situ," berkata Ki Bekel, "besok kita
akan mengulitinya. Sekarang kalian dapat kembali dengan
tenang. Malam ini tidak akan ada harimau yang menerkam
kambing. Meskipun begitu, penjagaan di gardu-gardu serta
pengawasan di regol-regol butulan padukuhan harus tetap
dilakukan." Orang-orang yang berkerumun di banjar itupun seorang
demi seorang telah pergi. Bahkan kemudian kelompokkelompok
kecil telah keluar dari banjar itu dengan penuh
kekaguman. "Besok, harimau-harimau itu akan menjadi tontonan
anak-anak yang sangat menarik," berkata salah seorang di
antara mereka. "Kita akan dapat menunjukkan kepada anak-anak kita
bahaya di luar dinding padukuhan. Jika mereka bermain di
terang bulan, jangan bersembunyi di luar dinding
padukuhan, karena harimau-harimau itu akan dapat
mengintai mereka. Bukan hanya seekor. Malam ini lima
ekor sekaligus. "Jawab yang lain.
Perlahan-lahan halaman banjar itupun menjadi kosong.
Ki Bekel lah yang kemudian meninggalkan halaman itu
terakhir bersama dua orang bebahu. Karena itulah, maka
banjar itupun telah menjadi kosong. Yang terisi kemudian
ada gardu di luar regol banjar itu, meskipun pintu regol itu
tidak pernah ditutup dan diselarak.
"Berjagalah baik-baik," berkata Ki Bekel ketika ia
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melalui pintu regol itu. "Mungkin masih ada harimau yang
ingin mencari kawan-kawannya dan menuju ke banjar ini."
Anak-anak muda yang berjaga-jaga di gardu itu menjadi
berdebar-debar. Tetapi beberapa orang hampir berbareng
menjawab, "Baik Ki Bekel."
Namun sepeninggal Ki Bekel seorang di antara mereka
berkata, "Apakah mungkin masih ada harimau yang lain?"
"Tentu tidak," jawab kawannya, "semuanya sudah
terbunuh." "Apakah di hutan itu hanya ada lima ekor harimau?"
bertanya yang pertama pula.
Kawannya tidak menjawab. Namun ketegangan
membayang di wajah anak itu. Jika benar seekor saja
harimau sebesar itu datang ke regol banjar, apakah yang
dapat mereka lakukan" Meskipun mereka tidak hanya dua
atau tiga orang, tetapi lebih banyak lagi. Namun
menghadapi seekor harimau tentu akan mengalami
kesulitan. Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang
diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di dalam
pondok mereka yang telah berserakan pula. Namun amben
mereka ternyata tidak rusak seperti yang pernah terjadi.
Mereka masih dapat tidur di atas amben itu, meskipun
mereka sepakat untuk bergantian.
"Mungkin tidak akan ada harimau lagi datang kemari.
Setidak-tidaknya untuk malam ini," berkata Tatas Lintang,
"tetapi bayangan yang aku rasakan kehadirannya itu rasarasanya
selalu mengganggu saja. Mungkin ia masih berada
di sekitar pondok ini. Mungkin ia akan datang mendekat
dan membakar pondok ini. Jika tidak dengan api akan
dapat dilakukannya dengan ilmunya."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk-angguk. Karena itu, maka mereka sepakat
untuk mempergunakan sisa malam itu bergantian.
Karena itu, waktu mereka memang sangat pendek.
Bahkan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mendapat
giliran beristirahat tidur nyenyak, Mahisa Murti dan Tatas
Lintang tidak membangunkannya, karena sisa malam
tinggal terlalu pendek. Baru ketika matahari membayang, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura telah terbangun sendiri. Sementara itu Tatas
Lintang-pun berkata, "Kita tidak mempunyai kerja apa-apa
hari ini." "Besok kita baru akan mulai bekerja di sawah di ujung
padukuhan ini. Karena itu, aku akan tidur pagi ini.
Mungkin Mahisa Murti pun akan tidur juga."
"Ya," jawab Mahisa Murti, "meskipun tidur di saat
matahari sudah terbit, rasa-rasanya tidak menyegarkan
badan. Tetapi aku memang letih."
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang
itu-pun justru pergi tidur sementara Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura telah merebus air.
Namun sejenak kemudian, mereka pun telah dikejutkan
oleh beberapa orang yang datang berlari-lari ke pondok itu.
Sebelum mereka memasuki halaman, mereka sudah
berteriak-teriak memanggil nama Tatas lintang.
Tatas Lintang yang sudah berbaring di amben besar di
dalam pondoknya terkejut. Dengan serta merta iapun telah
meloncat turun disusul oleh Mahisa Murti. Ketika mereka
berdua keluar dari pondoknya, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun telah berlarian pula ke halaman depan.
Tatas Lintang yang menyongsong mereka pun menjadi
berdebar-debar. Sementara itu. seorang di antara mereka
yang berlari di paling depan berhenti dua langkah
dihadapan Tatas Lintang. Dengan nafas yang memburu, orang itu berkata terbatabata,
"Harimau itu." "Harimau itu kenapa?" bertanya Tatas Lintang.
"Yang di banjar," orang itu masih saja nampak bingung.
"Tenanglah," berkata Tatas Lintang, "katakan dengan
jelas apa yang telah terjadi."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
menenangkan dirinya. Kemudian katanya meskipun masih
juga dengan suara bergetar, "Bangkai-bangkai harimau itu
hilang." "Hilang?" Tatas Lintang benar-benar terkejut. Demikian
pula Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
"Bagaimana mungkin bangkai-bangkai harimau itu dapat
hilang" Bukankah ada beberapa orang yang berjaga-jaga di
banjar?" bertanya Tatas Lintang.
"Ya. Ada beberapa orang anak muda yang berjaga-jaga
di gardu di depan regol banjar," jawab orang itu.
"Jadi, bagaimana dengan para penjaga itu" Apakah
mereka tidak mampu mencegah orang yang mengambil
bangkai-bangkai harimau itu atau mereka memang tidak
tahu, bagaimana bangkai-bangkai harimau itu hilang.
Apakah para penjaga itu mengalami cidera?" bertanya
Tatas Lintang pula. "Mereka tidak apa-apa," jawab orang itu dengan nafas
yang masih terengah-engah.
Tatas Lintang termenung sejenak. Namun kemudian
katanya kepada ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu, "Marilah kita pergi ke banjar."
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya
itupun dengan tergesa-gesa membenahi diri. Tetapi mereka
tidak sempat mandi. Dengan tergesa-gesa keempat orang itu telah pergi ke
banjar diikuti oleh-beberapa orang yang datang ke
rumahnya. Mereka sama sekali tidak sempat berbicara
apapun di perjalanan. Rasanya jantung mereka telah
menjadi tegang. Ketika mereka sampai di halaman banjar, maka Ki Bekel
dan beberapa orang bebahu telah berada di banjar itu pula.
Merekapun nampak tegang dan gelisah.
"Siapakah yang semalam bertugas di banjar?" bertanya
Tatas Lintang kepada Ki Bekel.
Ki Bekel kemudian memanggil seorang anak muda yang
semalam bertanggung jawab atas penjagaan banjar
padukuhan itu. "Katakanlah, apa yang telah terjadi," berkata Ki Bekel
kepada anak muda itu. Anak muda itupun kemudian telah menceriterakan
kepada Tatas Lintang, apa yang dialaminya bersama
kawan-kawannya semalam. "Kami tidak tahu apa yang telah membuat kami
semuanya kehilangan penguasaan diri," berkata anak muda
itu, "ketika kami sadar, ternyata bahwa kami semuanya
telah tertidur di gardu. Dua orang awan kami yang sedang
berada di banjar pun telah tidur pula dengan nyenyak
sekali. Baru ketika kami dibangunkan oleh orang yang
lewat di depan regol banjar, kami baru terbangun dan
menyadari apa yang telah terjadi."
"Sirep," terdengar Mahisa Pukat berdesis.
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Dengan nada datar
ia berkata kepada Ki Bekel, "Sirep, Ki Bekel. Sirep yang
sangat tajam, sehingga anak-anak itu tertidur sampai
matahari terbit." "Sementara itu mereka tidak tahu apa yang telah terjadi
di halaman banjar. Mereka tidak tahu, bahwa bangkaibangkai
harimau itu sudah dicuri orang."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Luar biasa.
Berapa orang yang telah datang mencuri di banjar itu. Lima
ekor harimau yang cukup besar. Bagaimana mereka
membawa kelima ekor harimau itu" Bagaimana mereka
membawa keluar dari padukuhan ini, sementara di regolregol
padukuhan pun telah dijaga" Anak-anak yang berjagajaga
di regol-regol padukuhan itu tidak terkena sirep.
Mereka tetap berjaga-jaga semalam suntuk."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang pernah mendapat
pengalaman yang sama masih tetap berdiam diri. Keduanya
pernah meninggalkan bangkai harimau di dekat batu yang
berwarna kehijau-hijauan itu. Ketika mereka bersama-sama
dengan orang-orang padukuhan akan mengambilnya,
ternyata bangkai harimau itupun telah hilang pula.
Namun bangkai harimau itu berada di tempat terbuka,
sehingga tidak terlalu sulit untuk mengambilnya dan
membawanya pergi. Tidak banyak orang yang sampai ke
tempat itu, sehingga karena itu, kecil sekali
kemungkinannya untuk diketahui atau dilihat orang.
Berbeda dengan bangkai-bangkai harimau yang berada di
banjar itu. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dapat menduga bahwa orang yang mengambil bangkai
harimau itu berapa pun jumlahnya, adalah orang-orang
yang memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat masih
belum mengatakannya dalam hubungannya dengan
hilangnya lima bangkai harimau di halaman banjar itu.
Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun berkata, "Ki
Bekel. Ternyata bahwa harimau itu mempunyai hubungan
dengan peristiwa-peristiwa yang masih terselubung. Karena
itu, biarlah kami berusaha untuk memecahkannya.
Meskipun mungkin kami benar-benar akan kehilangan
jejak. Tetapi kami akan tetap berusaha. Namun tidak
mustahil bahwa kami akan mengalami kegagalan."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
datar ia berkata, "Aku percaya Ki Sanak. Kalian telah
berbuat sejauh-jauh dapat kalian lakukan. Kalian pun telah
membuat pangeram-eram di sini. Menurut perhitungan
kami mustahil bahwa empat orang akan dapat membunuh
lima ekor harimau sebesar itu."
"Sudah berkali-kali aku katakan, bahkan kita seharusnya
mempunyai lebih banyak kesempatan dari harimauharimau
itu, karena kita mempunyai akal." jawab Tatas
Lintang. Namun kemudian katanya, "Meskipun demikian,
kita tidak boleh mengingkari bahwa harimau memang
memiliki kekuatan yang luar biasa."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Ki Bekel, "kami minta
kalian untuk tetap berada di padukuhan ini. Mungkin masih
akan ada bencana yang akan menerkam padukuhan ini.
Seandainya bukan berujud harimau, mungkin dalam ujud
yang lain." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
dengan nada datar ia berkata, "Ada sesuatu yang akan aku
katakan kepada Ki Bekel."
"Apa ?" bertanya Ki Bekel.
"Aku akan mengatakannya pada kesempatan lain,"
jawab Tatas Lintang. Ki Bekel mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti,
bahwa yang akan dikatakan oleh Tatas Lintang itu tidak
perlu didengar oleh banyak orang. Karena itu, maka
katanya, "Marilah, kita pergi ke rumahku."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Sebaiknya Ki Bekel memberikan pesan kepada
para petugas di banjar ini. Mereka harus mempunyai
pegangan, meskipun menurut perhitunganku, harimau itu
tidak akan datang di siang hari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka pernah mengalami, bahwa harimau itu
datang di siang hari. Namun mereka tidak dengan tergesagesa
menyahut. Mereka akan mengatakan pengalaman
mereka jika mereka mendapat kesempatan untuk berbicara
khusus dengan Ki Bekel. Ki Bekel pun kemudian memberikan pesan, agar
penjagaan dilakukan meskipun di siang hari. Jika mereka
merasakan sesuatu yang asing, apapun juga, agar mereka
membunyikan isyarat. Sejenak kemudian Ki Bekel pun
kembali ke rumahnya diiringi oleh Tatas Lintang dan ketiga
orang yang diakuinya sebagai kemanakannya, sementara
dua orang bebahu telah tinggal di banjar bersama orangorang
yang masih diganggu oleh perasaan heran, karena
peristiwa yang baru saja terjadi.
Di rumah Ki Bekel, maka Tatas Lintang pun telah
berkata, "Ki Bekel. Sebenarnya kami tidak berkeberatan
untuk tetap berada di padukuhan ini. Tetapi sebagaimana
Ki Bekel ketahui, agaknya kamilah yang menjadi sasaran
dari kelima ekor harimau itu. Bukan padukuhan ini. Karena
itu, selama kami masih berada di padukuhan ini, maka
justru padukuhan ini masih akan selalu diganggu oleh
harimau-harimau. Atau mungkin justru oleh peristiwaperistiwa
lain yang akan dapat menyulitkan rakyat
padukuhan ini." Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi bukankah kau sudah cukup lama berada di
padukuhan ini" Jika benar kaulah yang menyebabkannya,
kenapa baru sekarang" Bukankah sejalan dengan
pikiranmu, maka yang menyebabkan kehadiran harimauharimau
itu tentu ketiga orang kemanakanmu itu."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun Mahisa Murti
lah yang menjawab, "Mungkin benar Ki Bekel. Sebelum
kami datang agaknya paman Tatas Lintang tidak pernah
diganggu oleh siapapun atau oleh apapun. Namun setelah
kami berada di sini, maka harimau-harimau itupun telah
berdatangan." Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu,
"Sebenarnyalah bahwa kami pun pernah mengalami
gangguan harimau seperti ini. Justru di siang hari, di tepi
hutan." "Tetapi di tepi hutan," jawab Ki Bekel, "bukankah itu
wajar sekali. Namun sebenarnyalah kami tidak ingin
menyalahkan kalian karena kehadiran harimau-harimau
itu." "Aku mengerti," jawab Mahisa Murti, "tetapi aku ingin
mencoba mencari sebab sebenarnya dari kehadiran
harimau-harimau ini. Ketika kami berhasil membunuh
harimau-harimau yang datang mengganggu kami, maka di
sore harinya, ketika kami berusaha mengambil bangkai
harimau itu untuk dikuliti, harimau-harimau itupun telah
hilang pula." Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata, "Mungkin kau benar. Harimau-harimau itu
memang mencarimu." "Mungkin Ki Bekel," berkata Tatas Lintang. Namun
katanya kemudian, "Tetapi sebelumnya, tidak seorang pun
yang memperhatikan kehadiranku di sini. Tetapi setelah
kami kehilangan kesabaran dan mulai berkelahi, maka
kehadiran kami di sini sangat menarik perhatian banyak
orang. Banyak orang yang menyangka bahwa kami
memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mungkin sekelompok
orang menganggap perlu menjajagi kemampuan kami
dengan harimau-harimau itu."
Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Namun katanya, "Ki
Sanak. Kau sudah aku anggap keluarga sendiri di sini.
Demikian pula ketiga orang kemanakanmu itu. Karena itu
biarlah kalian tinggal di sini. Apapun yang akan terjadi.
Bahkan ternyata aku telah dapat mengatasi kesulitanmu
sendiri." "Tetapi tiga ekor kambing sudah dikorbankan." jawab
Tatas Lintang. "Apa artinya tiga ekor kambing dari satu persahabatan
yang akrab. Jangan hiraukan." jawab Ki Bekel, "pemilik
kambing itu pun telah melupakannya."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Kami mengucapkan terima kasih Ki Bekel.
Tetapi sebenarnyalah bahwa pada suatu saat kami harus
meninggalkan pondok kami. Tetapi kami tidak tahu,
apakah kami akan kembali akan kembali atau tidak."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Aku mengerti Ki Sanak. Sejak semula
aku memang sudah menduga, bahwa padukuhan ini hanya
sekedar tempat untuk singgah bagi Ki Sanak. Aku pun
sudah menduga, bahwa apa yang kami lihat, bukanlah
sebenarnya." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak akan ingkar Ki Bekel. Karena itulah maka aku
harus mohon diri meskipun mungkin aku dapat
menyesuaikan diri. Tidak sekarang atau besok. Mungkin
dua tiga hari lagi. Aku masih akan menanam beberapa jenis
pepohonan buah-buah di pategalan yang terletak di ujung
padukuhan. Aku sudah berjanji."
"Masihkah itu perlu kau lakukan?" bertanya Ki Bekel.
"Aku kira aku masih akan melakukannya. Sekaligus
untuk mengamati keadaan setelah kami membunuh lima
ekor harimau itu." berkata Tatas Lintang.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun ia tentu akan
kehilangan Tatas Lintang dan tiga orang yang diakunya
sebagai kemenakannya itu. Agaknya bagaimanapun juga ia
menahan, tetapi keempat orang itu tentu akan pergi juga
dari padukuhannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Tatas Lintang pun
telah minta diri kepada Ki Bekel. Dengan nada dalam ia
berkata, "Masih ada sesuatu yang harus aku lakukan Ki
Bekel." "Ya. Aku mengerti," jawab Ki Bekel.
Tatas Lintang hanya menarik nafas dalam-dalam tanpa
mengatakan sesuatu lagi. Mereka berempat pun kemudian
telah meninggalkan rumah Ki Bekel itu.
Di jalan kembali ke pondok kecil mereka, Mahisa Pukat
berkata, "Kita jangan dihambat lagi. Kami sudah terlalu
lama pergi dan ingin segera melakukan tugas kami sebaikbaiknya.
Berhasil atau tidak berhasil."
"Aku mengerti," jawab Tatas Lintang, "Tetapi kita tidak
boleh tergesa-gesa."
"Aku tidak tergesa-gesa," jawab Mahisa Pukat, "tetapi
waktuku sudah terlalu lama terbuang."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
melakukannya. Tetapi apakah kita tidak ingin mengetahui
serba sedikit rahasia di dalam dinding padepokan itu"
Mereka sudah mulai datang kepada kita, meskipun baru
harimau-harimaunya. Aku gagal berhubungan dengan salah
seorang di antara mereka. Agaknya orang itulah yang
mengendalikan harimau-harimau itu."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Tetapi ingat, langkah kita masih belum sampai ke
tujuan meskipun kita sudah mendekat."
"Sebenarnyalah kita mempunyai kepentingan yang sama
dan dalam keadaan yang sama pula. Aku pun merasa
bahwa aku telah terlalu lama berada di sini. Karena itu,
maka kita akan berusaha untuk secepatnya melakukan
tugas kita," berkata Tatas Lintang.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi justru terbersit
satu pertanyaan di hatinya, "Apakah ada kesengajaan orang
ini untuk menghambat tugas kami?"
Mahisa Murti tidak menyambung. Tetapi ia justru mulai
mengenang pangeran Singa Narpada. Apakah Pangeran
Singa Narpada menganggap bahwa tugasnya sudah gagal.
Bahkan ia-pun mulai memikirkan ayahnya. Mungkin
ayahnya sudah mulai menjadi gelisah karena ia sudah
terlalu lama pergi. Bahkan kakaknya pun tentu
memikirkannya pula. "Tetapi kakang Mahisa Bungalan pada waktu
pengembaraannya kadang-kadang juga memerlukan waktu
yang cukup lama," berkata Mahisa Murti di dalam hati.
Mahisa Ura pun tidak berkata apa-apa. Tetapi
sebenarnyalah iapun sudah memikirkan, bahwa ia sudah
pergi terlalu lama. Dengan demikian iapun telah terlalu lama meninggalkan
tugas-tugasnya. Namun yang dilakukannya itu juga
termasuk salah satu tugas dari kedudukannya sebagai
petugas sandi Singasari. Ketika keempat orang itu sampai ke pondoknya, sama
sekali tidak terjadi perubahan apapun juga. Tidak ada orang
yang mengganggu rumah kecilnya dan tidak ada tandatanda
yang mencurigakan. Namun demikian, agaknya Tatas Lintang masih juga
menunggu. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak menanyakannya, agaknya ada firasat bahwa orang
yang sedang ditunggunya itu akan datang.
"Jika sikap Tatas Lintang jujur, agaknya ia masih
menunggu orang yang pernah datang bersama harimauharimaunya
itu," berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
"Mudah-mudahan ia tidak mempunyai kepentingan lain.
Atau sekedar berhati-hati karena umurnya yang sudah
mendekati masa-masa tuanya."
Senja yang kemudian datang, setelah keempat orang itusempat
beristirahat dan menyiapkan makan dan minum,
membuat pondok kecil itu menjadi lengang. Mahisa Murti
dan Tatas Lintang merasa bahwa merekalah yang harus
berjaga-jaga di belahan malam yang pertama, telah
menyiapkan minuman hangat dan jagung bakar.
"Jika kalian nanti memerlukan, siapkan perapian yang
akan kau nyalakan malam nanti," berkata Tatas Lintang
kepada Mahisa Pukat. Tetapi jawab Mahisa Pukat, "sisakan saja minuman dan
makanan kalian." Tatas Lintang hanya tertawa kecil. Tetapi Mahisa Murti
lah yang menjawab, "Bukan salah kami jika semuanya
sudah habis sebelum kalian terbangun."
Tetapi Mahisa Pukat tetap saja duduk di amben bersama
Mahisa Ura, sementara Mahisa Murti dan Tatas Lintang
telah keluar dari pondok mereka dan duduk di lincak di
serambi depan. Malam yang turun perlahan-lahan rasa-rasanya memang
sangat sepi. Gelap menjadi semakin pekat, karena di langit
tidak ada bulan. Tatas Lintang dan Mahisa Murti pun kemudian bangkit
dan berpindah tempat duduk. Mereka tidak lagi berada di
serambi, karena dengan demikian mereka akan
menempatkan diri mereka sebagai sasaran yang mapan jika
ada orang yang dengan licik menyerang mereka dari jarak
yang agak jauh. "Lebih baik kita duduk di dalam," berkata Tatas
Lintang. "Ya. Udara mulai dingin. Minuman kita pun akan segera
menjadi dingin jika tidak segera kita minum," berkata
Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Ura dan Mahisa Pukat masih sempat
menjawab, "Biarlah kami sajalah yang minum. Kalian
berjaga-jaga di luar."
"Tidur, cepat. Nanti jika waktunya kalian dibangunkan,
kalian hanya menggeliat saja. Tetapi segera tertidur lagi."
jawab Mahisa Murti. Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia membalikkan
badannya menghadap dinding.
Mahisa Murti dan Tatas Lintang menarik nafas dalamdalam.
Namun mereka pun hanya tersenyum saja tanpa
menjawab. Beberapa saat mereka duduk sambil meneguk minuman
mereka. Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, "Apakah
menurut pendapatmu, orang itu akan datang kembali
menemui kita?" "Ya," jawab Tatas Lintang, "aku yakin mereka akan
kembali. Namun aku tidak tahu, dengan cara apa mereka
akan datang lagi. Mungkin tidak dengan harimau-harimau
itu." "Akhirnya bukan kita yang datang kepada mereka, tetapi
merekalah yang datang kepada kita." berkata Mahisa
Murti. "Itu lebih baik daripada kita berselisih jalan. Kita datang
kepada mereka, sementara mereka datang kepada kita,"
jawab Tatas Lintang. "Agaknya mereka memang berkeberatan untuk
menerima tamu di padepokan mereka," berkata Mahisa
Murti, "sebenarnya terserah kepada kita. Apakah kita
memang benar-benar memasuki padepokan itu atau tidak.
Jika kita memang ingin masuk, kita tidak perlu
memikirkannya, apakah kita akan berselisih jalan atau
tidak." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Mungkin pikiranku sudah terlalu tua bagi kalian.
Tetapi aku ingin berbuat dengan hati-hati. Jika satu dua
orang datang kepada kita, maka kita akan dapat menjajagi
kemampuan-mereka sebelum kita terjerumus ke dalam satu
lingkungan yang akan dapat menjerat kita."
"Tetapi bukankah kita pernah datang ke tempat itu?"
"Kami pernah, dan kau pun pernah," berkata Mahisa
Murti, "bukankah kita bertemu di dekat padepokan itu
pula." "Ya," jawab Tatas Lintang, "tetapi aku sekedar
mengamat-amati keadaan dan melihat kemungkinankemungkinannya.
Waktu itu aku memang belum siap untuk
meloncat masuk. Itulah sebabnya kita bertemu dan aku pun
berusaha menjajagi kemampuan kalian meskipun sejak
semula aku yakin bahwa kalian mengemban satu tugas
tertentu. Bukan hanya sekedar dendam di antara
padepokan. Di antara orang-orang berilmu yang
mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbenturan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun
terdiam. Dilihatnya Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menjadi
gelisah. Agaknya mereka ingin untuk tidur barang sebentar,
namun mereka pun ingin mendengarkan pembicaraan itu.
Tatas Lintang pun agaknya mengerti juga. Karena itu
maka iapun tidak berbicara lagi. Namun iapun justru
bangkit dan pergi ke bagian belakang pondok kecilnya yang
dipergunakannya untuk dapur.
Tetapi Tatas Lintang itupun tertegun. Ia mendengar
sesuatu di belakang pondok kecil itu. Sebuah desir lembut.
Tatas Lintang tidak dengan serta merta menanggapinya.
Iapun justru melanjutkan langkahnya dengan hati-hati dan
duduk di depan perapian meskipun perapian itu tidak
menyala. Demikian juga lampu minyak di dapur itupun memang
tidak dinyatakannya sejak hari menjadi gelap.
Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun duduk di
dalam kegelapan. Justru dari tempat itu Tatas Lintang ingin
mengetahui apa yang akan terjadi.
Dengan mempergunakan kemampuannya, maka Tatas
Lintang itupun telah berusaha untuk menyerap bunyi
pernafasannya serta sentuhan-sentuhan tubuhnya. Ia
berharap bahwa jika ada seseorang di luar tidak
mengetahuinya bahwa ia berada di dapur.
"Jika ia berada didekat dinding sejak semula, maka ia
tentu mendengar langkahku masuk ke dapur ini, meskipun
ia tidak sempat melihat," berkata Tatas Lintang di dalam
hatinya. Tetapi ternyata bahwa kehadiran Tatas Lintang ke dapur
itu tidak diketahui. Ternyata Tatas Lintang masih
mendengar langkah-langkah di bagian belakang pondok
kecilnya. Bahkan kemudian ia juga mendengar geseran
pada dinding pondok kecil itu.
Tatas Lintang termangu-mangu. Ia tidak tahu apakah
orang-orang yang ada di amben besar di ruang dalam itu
juga mendengarnya. Namun demikian Tatas Lintang masih tetap duduk di
tempatnya. Pada saat yang demikian, seseorang tengah merunduk di
belakang pondok kecil itu. Tetapi kemudian orang itu telah
bergeser ke samping. Orang itu ternyata tidak mengetahui
bahwa Tatas Lintang telah pergi ke dapur. Ia memang
mendengar desir langkah Tatas Lintang. Namun ketika ia
berusaha untuk mengintip, justru Tatas Lintang pun
mendengar kehadirannya dan mengatur langkahlangkahnya
sehingga orang di luar dinding itu telah
kehilangan pengamatannya.
Namun orang di luar dinding pondok itu telah
mengetahui, bahwa orang di dalam pondok itu telah
bergeser dari tempatnya semula meskipun ia tidak
mengetahui, dimanakah orang-orang di dalam pondok itu
kemudian berada.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk beberapa saat orang di luar dinding itu berusaha
untuk mendengar suara-suara di dalam pondok. Namun
yang didengarnya kemudian adalah justru dengkur Mahisa
Ura dan Mahisa Pukat yang telah tertidur nyenyak.
Mahisa Murti yang masih duduk di amben memang
mendengar desir pada dinding pondoknya. Apalagi ketika
ia mendengar langkah Tatas Lintang yang masuk ke dalam
dapur. Iapun mengira bahwa di luar tentu ada sesuatu.
Mungkin seseorang, mungkin seekor binatang yang
meskipun bukan seekor harimau, namun yang telah
dicengkam oleh ilmu gendam.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti bagaikan membeku.
Ia tidak bergerak sama sekali, sehingga tempat duduknya
tidak berderit. Namun sejenak kemudian, Mahisa Murti telah
mendengar suara yang asing. Bukan desir langkah
seseorang, bukan pula derak kuku harimau di dinding.
Mahisa Murti itupun memasang telinganya baik-baik. Ia
berusaha untuk mengetahui suara apakah yang telah
didengarnya itu. Namun ia tidak segera mengetahuinya.
Sementara itu, ketika Mahisa Murti sempat
memperhatikan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, maka
dilihatnya kedua orang itu tidurnya sangat nyenyak.
Agaknya keduanya memang merasa letih. Bukan saja
tubuhnya, tetapi nalarnya, justru karena peristiwa yang baru
saja terjadi di padukuhan itu.
Namun selagi Mahisa Murti masih berangan-angan, tibatiba
suara yang aneh itu terdengar di bawah amben yang
besar itu di arah dinding. Ia mendengar pula seakan-akan
dinding itu berderik kecil. Tentu bukan seekor harimau
yang masuk. Sejenak kemudian terasa tengkuk Mahisa Murti
meremang, ia tidak menjadi ketakutan, tetapi rasa-rasanya
ngeri juga menghadapi peristiwa yang terjadi itu.
Sejenak Mahisa Murti masih tetap duduk di tempatnya.
Suara di bawah amben bambu yang besar itu menjadi
semakin jelas. Tetapi Mahisa Murti tidak menduga, bahwa
yang terjadi itu adalah demikian cepatnya. Tiba-tiba saja ia
melihat sesuatu yang bergerak naik ke amben tempatnya
duduk sekaligus tempat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
tertidur nyenyak. -ooo0dw0oooKolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- Jilid 033 SEBUAH kepala dengan lidah yang bercabang terjulur
naik ke atas amben itu langsung menuju ke arah kaki
Mahisa Ura. Seekor ular belang. Seekor ular belang yang
cukup besar. Jantung Mahisa Murti berdesir. Jika ular itu menyerang
Mahisa Pukat, Mahisa Murti tidak terlalu gugup, karena
Mahisa Pukat, sebagaimana dirinya, mempunyai kekuatan
untuk menangkal bisa yang betatapapun tajamnya. Tetapi
Mahisa Ura tidak. Karena itu maka Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain.
Setelah memusatkan kemampuannya sejenak, maka tibatiba
iapun telah mengangkat tangannya ke arah kepala
seekor ular yang besar, yang merambat ke arah kaki Mahisa
Ura dan tangan Mahisa Murti itu telah memancar secercah
sinar yang menyambar kepala ular itu. Namun bukan saja
kepala ular itu yang pecah, tetapi amben besar itupun telah
berderak pula. Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang yang
berada di dapur itupun terkejut. Bahkan Mahisa Murti pun
telah terkejut pula. Ketika Mahisa Pukat, Mahisa Ura
terbangun, serta Tatas Lintang meloncat ke ruang dalam,
maka mereka telah melihat seekor ular belang yang besar
sedang menggeliat di lantai. Namun sejenak kemudian
maka ular itupun telah terdiam. Mati.
"Ular," berkata Tatas Lintang dengan tegang, "mereka
telah mempergunakan cara baru."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara itu
Mahisa Pukat memandangi bangkai ular itu dengan
termangu-mangu. "Hampir saja," desis Mahisa Ura, "mungkin ular itu
tidak berbahaya bagi kalian berdua, tetapi berbahaya
bagiku." "Bagi kami pun berbahaya," sahut Mahisa Pukat, "ular
itu cukup besar untuk membelit dan mencekik leherku."
Namun Mahisa Murti pun berkata, "Agaknya memang
ada maksud tertentu. Orang-orang itu tahu, bahwa ular-ular
di dekat batu yang berwarna kehijauan itu tidak mampu
membunuhku. Tetapi mereka mempergunakan ular juga
untuk menyerang kita."
"Mungkin akulah yang diancamnya," berkata Tatas
Lintang. "Katakan, apakah kau tidak mempunyai penawar bisa?"
bertanya Mahisa Murti. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya," beruntunglah aku ... " namun suaranya
terputus. Ia menjadi ragu-ragu sambil memandangi dinding
pondoknya. Tetapi sejenak kemudian iapun mengangguk
kecil. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
mengetahui, bahwa Tatas Lintang pun mempunyai
penawar bisa. Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk dengan
peristiwa yang baru saja terjadi, terdengar suara isyarat
kentongan. Merekapun segera mengetahui, bahwa suara
kentongan itu adalah kentongan banjar padukuhan, yang
kemudian disahut oleh yang lain.
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Apakah kita akan pergi ke banjar?"
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "kita akan pergi ke
banjar." Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berkemas dan
membenahi diri mereka masing-masing. Sejenak kemudian,
mereka pun telah siap untuk meninggalkan pondok mereka.
Tetapi mereka tidak keluar lewat pintu depan. Mereka
telah keluar dari pondok itu lewat pintu dapur. Namun
mereka pun telah berhati-hati, karena masih mungkin
sesuatu terjadi pada diri mereka. Mungkin serangan yang
tiba-tiba dari orang-orang tersembunyi, atau seekor ular
raksasa yang akan mampu mematahkan tulang belakang
mereka dengan belitannya.
Ternyata tidak ada apapun di luar. Tidak ada serangan
yang tiba-tiba dan tidak ada seekor ular yang dapat
mengganggu mereka. Namun sementara itu suara kenthongan pun telah
bergema di seluruh padukuhan. Semakin lama semakin
banyak dan merata. Tetapi mereka sudah mengetahui
bahwa sumber isyarat itu adalah suara kentongan di banjar
padukuhan. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya
sebagai kemanakannya itu sampai di banjar, mereka
melihat banyak orang sudah berkerumun.
Mereka yang berkerumun itupun segera menyibak ketika
mereka melihat Tatas Lintang itu datang. Meskipun
sebelumnya Tatas Lintang tidak lebih dari seorang yang
hanya sekedar mendapat tempat di sudut pategalan untuk
membangun sebuah pondok kecil dan tidak termasuk orang
yang dibicarakan, namun kemudian Tatas Lintang telah
berubah menjadi orang yang mendapat tempat yang
terhormat karena beberapa hal yang telah dilakukannya,
termasuk membunuh kelima ekor harimau, meskipun
bangkainya yang telah diletakkan di banjar itu hilang.
Ketika Tatas Lintang memasuki halaman banjar, maka
Ki Bekel telah menyongsongnya. Dengan nada rendah ia
berkata, "Satu bencana baru telah terjadi. Justru akan
membawa kematian. Bukan sekedar tiga ekor kambing,
tetapi beberapa orang anak muda terbaik dari padukuhan
ini." "Apa yang terjadi?" bertanya Tatas Lintang.
"Entahlah. Tetapi tiba-tiba saja beberapa ekor ular telah
mematuk anak-anak muda yang berada di gardu di depan
banjar ini. Kini mereka dalam keadaan gawat di ruang
dalam banjar itu." sahut Ki Bekel.
"Mereka dipatuk ular?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Tidak seekor ular pun tertangkap. Ular-ular itu
seakan-akan mengetahui dengan pasti, apa yang harus
mereka lakukan. Mematuk dan melarikan diri." jawab Ki
Bekel. "Apakah mereka tidak diobati?" bertanya Mahisa Pukat.
"Seorang yang kami anggap paling pandai dalam ilmu
pengobatan di padukuhan ini sedang mencoba." jawab Ki
Bekel, "tetapi menurut keterangannya, bisa ular itu terlalu
tajam, sehingga sulit untuk mengatasinya. Ular itu adalah
ular sejenis bandotan hitam dan ular weling."
Mahisa Pukat menggeram. Namun kemudian bertanya,
"Marilah. Kita melihatnya."
Ki Bekel pun telah membawa empat orang itu masuk ke
ruang dalam banjar padukuhan itu. Tiga orang terbaring
sambil merintih dalam keputus-asaan. Dua orang yang lain
agaknya lebih tabah menghadapi bencana itu. Namun
meskipun mereka hanya berdiam diri, tetapi ketakutan
memang membayang di wajah mereka.
Ketika Tatas Lintang mendekati seorang tua yang
berusaha mengobati kelima anak muda itu, maka orang tua
itupun telah menggelengkan kepalanya sambil berkata,
"Aku telah mencoba. Aku sudah memberi obat menurut
pengetahuanku. Tetapi agaknya kita hanya dapat
menunggu, apakah obat itu akan berhasil atau tidak."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun agaknya anakanak
muda yang dipatuk ular itu keadaannya menjadi
semakin gawat. "Ada satu kesalahan yang pokok," berkata orang tua itu.
"demikian anak-anak ini digigit ular, seharusnya mereka
tidak dibawa masuk ke bawah atap banjar ini. Tetapi ketika
aku datang, mereka sudah ada di dalam, sehingga
keadaannya menjadi parah. Merekapun tidak dengan segera
diberi penawar pelepah pisang yang perahannya
diminumkan kepada mereka."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya, ia belum pernah
mendengar syarat yang demikian agar orang yang digigit
ular tidak menjadi semakin parah. Namun agaknya obat
orang tua itu-pun kurang tajam untuk melawan bisa ular
bandotan hitam dan sejenis ular weling.
Karena itu, maka iapun kemudian berbisik kepada
Mahisa Murti, "Apakah kita akan mengobatinya?"
Mahisa Murti mengangguk. "Apakah kau mempunyai obatnya ?" bertanya Tatas
Lintang. "Aku mempunyai sejenis batu akik, sedangkan Pukat
memiliki gelang sejenis akar yang mampu menawarkan
racun." desis Mahisa Murti pula.
"Bagus," berkata Tatas Lintang, "tetapi agaknya lebih
mudah jika kepada mereka diberikan serbuk obat saja. Aku
membawanya." Mahisa Murti mengangguk kecil. Tetapi ia tidak
menjawab. Dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah minta diri
kepada Ki Bekel agar memerintahkan seseorang untuk
mengambil air di sumur di samping banjar, serta mengambil
sebuah mangkuk bersih. Ki Bekel mengangguk. Iapun cepat memerintahkan
seseorang untuk melakukannya. Namun agaknya orang itu
tidak berani pergi sendiri. Ia telah membawa dua orang
kawan yang membawa obor, karena di lingkungan pakiwan
dan sumur yang gelap itu akan dapat bersembunyi ular-ular
berbisa pula. Namun ternyata mereka tidak dipatuk ular sehingga
mereka pun dengan cepat telah membawa mangkuk bersih
serta air dari sumur. Tatas Lintang pun bekerja cepat. Ia telah menaburkan
obat ke dalam air di dalam mangkuk, kemudian berturutturut
anak-anak muda yang digigit ular itu telah disuruhnya
minum obat itu masing-masing beberapa teguk. Sedangkan
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah
membantu menaburkan obat yang lain pada luka-luka bekas
gigitan ular itu. Orang tua yang telah mengobatinya lebih dahulu itupun
mengerutkan keningnya. Agaknya ia kurang senang melihat
tingkah laku Tatas Lintang. Namun Tatas Lintang tidak
begitu menghiraukannya. Ia lebih memperhatikan
keselamatan anak-anak yang telah digigit ular itu daripada
sikap dan harga diri orang tua yang telah memberikan obat,
namun agaknya tidak akan banyak menolong itu.
Ternyata obat yang diberikan oleh Tatas Lintang itu jauh
lebih baik dari obat yang diberikan oleh orang tua
sebelumnya. Tetapi obat yang diberikan oleh orang tua itu
bukannya tidak bermanfaat. Karena obat orang tua itulah
maka laju arus bisa ular itu terhambat meskipun tidak
mampu menghentikannya. Namun karena terhambat, maka
anak-anak muda yang digigit ular itu sempat menunggu
kedatangan Tatas Lintang. Sedangkan jika arus bisa itu
sama sekali tidak terhambat, maka anak-anak muda itu
tentu sudah tidak akan tertolong lagi.
Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun kemudian
berkata, "Anak-anak muda ini tentu akan berterima kasih
kepada Ki Sanak. Tanpa bantuan Ki Sanak, maka mereka
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak akan sempat menelan obat yang aku berikan."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia
mengerti maksud Tatas Lintang. Meskipun demikian, tetapi
orang itu masih saja merasa tersinggung oleh sikap Tatas
Lintang yang ternyata mempunyai kemampuan pengobatan
yang lebih baik. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Adalah satu
kenyataan bahwa obatnya tidak banyak menolong anakanak
muda itu, bahkan jiwa anak-anak muda itu tetap
terancam. Namun bahwa orang yang tinggal di sudut
pategalan itulah yang telah mengobatinya, iapun merasa
harga dirinya telah tersentuh.
Namun dalam pada itu perlahan-lahan keadaan anakanak
muda itu nampak berangsur baik. Mereka yang sudah
mulai dicengkam oleh kebekuan karena bisa yang tajam,
mulai merasa darahnya mengalir lagi. Bahkan kemudian
seakan-akan hambatan-hambatan serta perasaan sakit di
dalam tubuh anak-anak muda itu telah terhisap ke arah luka
bekas gigitan ular itu. Panas yang bagaikan membakar di
luka itupun mulai susut dan keringat yang dingin rasarasanya
menjadi hangat Harapan pun mulai tumbuh lagi di dada anak-anak
muda yang sudah menjadi putus asa itu. Jiwa mereka yang
sudah terdesak sampai ke ubun-ubun itupun seakan-akan
telah mapan lagi di dalam diri mereka.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
iapun berkata. "Terima kasih. Kau sudah menyelamatkan
anak-anak itu." "Mudah-mudahan mereka menjadi baik," berkata Tatas
Lintang, "marilah kita berdoa, semoga Yang Maha Agung
memperkenankan mereka sembuh kembali."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
semua akan berdoa. Namun kau sudah melakukan satu
usaha. Agaknya usahamu menjadi perkenan-Nya."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah keadaan anak-anak muda yang dipatuk ular
itu menjadi kian membaik.
Wajah mereka tidak lagi nampak sangat pucat.
Bahkan seorang di antara mereka mulai berdesis, "Aku
haus." Tatas Lintang yang mendengar desis itupun bergumam,
"Air." Seorang pun kemudian pergi ke belakang untuk
mengambil air yang sudah masak di dapur. Air masak yang
disediakan untuk para peronda di gardu, yang ternyata
masih tersisa. Beberapa titik air masak itu diteguknya. Terasa betapa
segarnya. "Biarlah di situ," berkata Ki Bekel, "mungkin yang lain
juga memerlukan nanti."
Mangkuk air itu tidak disingkirkan. Tetapi diletakkannya
saja di amben itu. Dalam pada itu maka beberapa orang mulai berdesis.
Mereka merasa lukanya itu menjadi pedih lagi. Namun
justru karena itu, maka Tatas Lintang pun yakin, bahwa
pengobatannya akan menolong.
Ketika Tatas Lintang mengamati luka-luka di tubuh
anak-anak muda itu, maka nampak darah mulai mengalir
dari luka-luka itu. Karena itu maka Tatas Lintang itupun
berkata kepada tiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya, "Bantu aku mengobati mereka dengan obat
yang berikutnya." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
kemudian telah membantu Tatas Lintang membersihkan
darah yang keluar dari luka-luka di tubuh anak-anak muda
itu dan menaburkan obat yang lain. Agaknya obat itu terasa
sangat pedih sehingga terdengar mereka menyeringai dan
mengeluh. Namun Tatas Lintang berkata, "Memang terasa
pedih. Tetapi itu justru satu harapan, bahwa kalian akan
sembuh." Anak-anak muda itu masih saja menahan pedih. Tetapi
mereka-pun menjadi semakin berpengharapan, bahwa
mereka akan sembuh dan jiwa mereka pun akan tertolong.
Dalam pada itu, ketika anak-anak muda itu sudah
menjadi berangsur baik maka Ki Bekel pun telah
meninggalkan mereka bersama Tatas Lintang dan ketiga
orang yang disebutnya kemanakannya itu. Beberapa orang
yang lain masih berada di dalam menunggui anak-anak
muda itu. Bahkan orang tua di antara anak-anak muda yang
terluka itu ada pula yang sudah datang untuk menunggui
anaknya. Ki Bekel dan Tatas Lintang serta ketiga orang yang
diakunya sebagai kemanakannya itupun telah pergi ke
gardu. Mereka mulai bertanya-tanya kepada anak-anak
muda yang sedang meronda dan menyaksikan apa yang
telah terjadi dengan kawan-kawannya yang telah dipatuk
ular itu. Namun tidak seorang pun yang dapat berceritera dengan
jelas. Pada umumnya mereka tidak tahu tepat apa yang
telah terjadi. Yang mereka ketahui adalah, bahwa tiba-tiba
saja beberapa ekor ulat telah mematuk kawan-kawannya
yang menjerit kesakitan. Namun sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu, ular-ular itu telah meluncur dan seakanakan
hilang begitu saja dalam kegelapan sebelum anak-anak
muda yang lain sempat berbuat sesuatu.
Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun telah memperhatikan tempat itu dengan seksama.
Mereka berusaha untuk melihat kemungkinan dari
peristiwa yang telah terjadi. Orang-orang yang melepaskan
ular itu tentu tidak akan berada jauh dari peristiwa yang
terjadi itu. "Agaknya telah terjadi dalam waktu yang bersamaan,"
berkata Tatas Lintang, "namun karena kita mempunyai
kesempatan untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada
waktu itu, karena kita belum tidur, maka kita tidak
mengalami sesuatu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya,
"yang terjadi pada kita agaknya sekedar mengikat agar kita
tetap tinggal. Sementara itu mereka telah melakukan
rencana mereka di gardu ini."
Ki Bekel yang kurang jelas tentang apa yang dibicarakan
itu bertanya, "Apakah yang telah terjadi di pondok kalian?"
"Seekor ular. Tetapi cukup besar untuk mematahkan
punggung, jawab Tatas Lintang.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Agaknya padukuhan ini telah dibayangi oleh satu
kekuatan yang mendebarkan. Bukan saja orang-orang yang
berilmu tinggi, tetapi mereka mampu menguasai dan
menggerakkan berjenis-jenis binatang untuk menyerang
lawan. Yang sudah terjadi adalah beberapa ekor harimau.
Kemudian ular dan yang lebih mengerikan, apabila mereka
berhasil menguasai sekelompok anjing hutan atau kera-kera
liar di hutan itu. Jumlahnya tidak terhitung. Mereka akan
dapat merusak apa saja yang terdapat di padukuhan ini.
Seandainya mereka tidak berani menyerang orang-orang di
padukuhan ini, maka sawah dan pategalan akan dapat
dihancurkan. Sementara itu akibatnya pun akan sangat
mengerikan." Tatas Lintang itupun mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun berkata, "Ki Bekel. Seperti yang sudah aku
katakan. Agaknya kamilah yang menjadi sasaran. Tetapi
karena mereka gagal menyerang kami, apakah dengan
seekor harimau atau ular-ular berbisa, maka orang-orang
padukuhan inilah yang kemudian tertimpa akibatnya.
Mereka harus menanggung beban kemarahan orang-orang
yang gagal membunuh kami itu."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
wajahnya nampak dibayangi oleh kebimbangan
perasaannya. Dengan nada rendah ia berkata, "Manakah
yang lebih baik. Kalian meninggalkan padukuhan ini atau
kalian tetap berada di sini" Mungkin mula-mula kalianlah
yang menjadi sasaran. Tetapi ternyata bahwa tanpa bantuan
kalian padukuhan ini benar-benar mengalami malapetaka.
Apalagi jika benar-benar datang jenis-jenis binatang yang
lain menyerang padukuhan ini."
"Ki Bekel," sahut Tatas Lintang, "memang setiap
langkah mengandung kemungkinan-kemungkinan. Tetapi
jika kami sudah tidak ada di padukuhan ini, aku kira
mereka tidak akan mengganggu padukuhan ini lagi."
Ki Bekel memandang Tatas Lintang dengan tajamnya.
Jawabnya, "Semuanya masih teka-teki. Seperti yang kau
katakan, setiap langkah akan mengandung kemungkinankemungkinan."
Tatas Lintang tidak menyahut. Tetapi iapun
mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Obor yang
ada di gardu dan di regol banjar tidak dapat menggapai
jarak yang jauh. Karena itu, maka di belakang dinding dan
pepohonan yang terdekat, malam masih tetap berwarna
kelam. Namun Tatas Lintang tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan. Bahkan iapun masih belum tahu, dari mana
ular-ular berbisa itu dapat mencapai gardu tanpa diketahui
oleh para peronda sebelumnya. Bahkan serentak memanjat
gardu dan menggigit beberapa orang peronda, justru yang
berada di gardu. Namun sejenak kemudian Tatas Lintang itupun berkata,
"Sudahlah Ki Bekel. Kami akan mohon diri. Mudahmudahan
tidak terjadi lagi sesuatu di sini. Langit sudah
mulai menjadi terang. Agaknya fajar akan segera
menyingsing. Namun satu peringatan bagi Ki Bekel, bahwa
semua orang di padukuhan ini harus siap. Jika benar, pada
satu saat datang menyerbu padukuhan ini sepasukan anjing
liar atau kera, maka semua orang, laki-laki perempuan, para
remaja dan orang-orang tua harus melawannya. Kecuali
anak-anak. Karena itu, maka semua orang harus
menyediakan senjata apa saja. Mereka yang tidak siap
dengan apapun dapat membuat senjata dengan bahan yang
ada. Bambu diruncingkan atau sepotong kayu yang cukup
berat, atau apapun. Sudah aku katakan, kita mempunyai
akal, sementara binatang tidak."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun terbayang
kengerian di sorot matanya. Bahkan kemudian iapun
bergumam, "Bagaimana jika yang datang itu beberapa jenis
binatang bersama-sama. Ular, harimau, serigala, anjing
hutan kera" Bahkan bagaimana akibatnya jika binatangbinatang
peliharaan kita sendiri menjadi gila dan
menyerang kita" Kerbau, sapi, kambing dan apa saja?"
"Ahh," sahut Tatas Lintang, "bayangan yang terlalu
buram. Tidak akan terjadi. Karena itu, kita jangan terlalu
dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan. Seperti yang
sudah aku katakan berkali-kali. Kita semuanya, seisi
padukuhan harus bersiap. Kita akan dapat melawan apa
saja jika kita memang siap melakukannya."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kami
seisi padukuhan ini akan mempersiapkan diri. Tetapi beri
kami waktu. Sebelum kami siap benar, kalian jangan
meninggalkan padukuhan ini."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, Mahisa Pukat lah yang nampak menjadi gelisah. Tetapi
Tatas Lintang tidak sampai hati untuk menolak permintaan
itu, meskipun ia tahu, bahwa Mahisa Pukat agaknya tidak
telaten lagi tinggal di padukuhan itu, karena tugasnya yang
mendesak. "Baiklah Ki Bekel. Kami akan memikirkannya," berkata
Tatas Lintang dengan ragu-ragu.
Ki Bekel mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia
berkata, "Terima kasih. Tanpa kalian, anak-anak itupun
sudah mati." Tatas Lintang pun mengangguk-angguk pula. Lalu
katanya, "Kami mohon diri Ki Bekel."
Ki Bekel tidak menahan mereka. Apalagi langit telah
menjadi semakin cerah. Matahari mulai menerangi sudutsudut
mega yang mengambang ke Utara.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itupun kemudian meninggalkan banjar itu
kembali ke pondok mereka.
Sebagaimana diduga oleh Tatas Lintang, maka Mahisa
Pukat pun bergeremang, "Kita jangan kehilangan
kesempatan. Jika kita tertahan lagi di sini, maka akhirnya
kita akan melupakan tugas kita yang sebenarnya."
"Aku tahu. Tetapi aku tidak sampai hati menolak
permintaan Ki Bekel. Tanpa kita anak-anak itu memang
akan mati. Sementara itu kitalah yang menjadi sebab,
sehingga padukuhan ini menjadi sasaran dendam orangorang
yang tidak kita kenal. Sementara itu, jika yang datang
orang-orang padepokan yang kita tuju, agaknya memang
kebetulan sekali. Kita dapat mengurangi lawan. Justru
tanpa kita kehendaki, kita sudah memancingnya keluar."
jawab Tatas Lintang, "namun kita tidak mengesampingkan
kemungkinan bahwa ada pihak-pihak lain yang memang
melibatkan diri ke dalam persoalan ini, karena sebagaimana
kita ketahui, bahwa peristiwa yang terjadi di warung itu
bukannya satu hal yang disengaja oleh kedua belah pihak.
Kita tidak tahu siapa mereka, dan mereka pun belum
mengetahui siapa kita."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia dapat mengerti
keterangan Tatas Lintang itu. Karena itu maka ia tidak
menolak lagi untuk tetap tinggal barang satu dua hari.
Agaknya di samping sikap berhati-hati, maka Tatas
Lintang melihat satu keuntungan, jika mereka berhasil
memancing keluar orang-orang dari padepokan itu.
Ketika keempat orang itu sampai di pondok mereka,
mereka tidak menjumpai sesuatu yang lain. Sehingga
karena itu. maka mereka tidak mendapat bahan-bahan baru
dalam persoalan yang sedang mereka hadapi.
Setelah membenahi rumah kecilnya, maka keempat
orang itupun telah datang ke rumah pemilik tanah
pategalan itu. Sebagaimana mereka sanggupkan, bahwa
mereka akan menanam bibit pepohonan di pategalan di
ujung padukuhan. Tetapi tanggapan pemilik tanah itu sudah lain sekali.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sikapnya, kata-katanya dan tentang rencana penanaman
bibit pohon buah-buahan itu.
"Kami sekeluarga minta maaf atas sikap kami," berkata
pemilik tanah itu, "betapa bodohnya kami, namun kami
dapat menangkap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
sebagai satu pernyataan, bahwa yang aku hadapi bukannya
seorang yang membutuhkan pekerjaan di padukuhan ini."
"Jangan salah memberikan arti dari sikap dan tingkah
laku kami," berkata Tatas Lintang, "mungkin kami
memang memiliki kemampuan sedikit dalam olah
kanuragan. Tetapi itu bukannya berarti bahwa kami sudah
memiliki sesuatu yang berharga di dalam hidup kami
sehari-hari. Karena dengan bekal ilmu kanuragan kami
telah pergi merantau untuk menempuh satu kehidupan yang
barangkali akan dapat memberikan pengalaman yang baik
bagi masa depan kami. Sementara itu untuk hidup kami
sehari-hari, kami memang memerlukan kerja."
"Aku menjadi sangsi," berkata pemilik tanah itu,
"apakah benar kalian memerlukan kerja sebagaimana
kalian lakukan itu?"
"Jangan ragu-ragu," berkata Tatas Lintang, "jika kerja
itu diurungkan, maka kami akan kehilangan penghasilan
yang akan dapat kami pergunakan untuk hidup kami dalam
beberapa hari sambil menunggu kerja yang akan kami
dapatkan pada kesempatan berikutnya."
Pemilik tanah itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Tatas
Lintang mendesak, "Tanpa kerja, kami tidak akan mungkin
dapat hidup lebih lama di padukuhan ini."
Meskipun ragu pemilik tanah itu akhirnya tidak dapat
menolak. Diserahkannya bibit pohon buah-buahan yang
telah diusahakannya untuk ditanam di pategalan di ujung
padukuhan. Pemilik tanah itupun telah menyiapkan sebuah gerobag
kecil untuk membawa bibit-bibit pohon itu ke ujung
padukuhan. Gerobag kecil yang ditarik oleh seekor kuda.
Sebenarnyalah yang dilakukan oleh Tatas Lintang
bersama ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu memang sangat menarik perhatian.
Orang-orang padukuhan itupun merasa heran, bahwa
keempat orang itu masih tetap melakukan kerja
sebagaimana mereka lakukan sebelumnya.
Karena itulah, maka beberapa orang anak muda telah
menyatakan diri untuk membantu melakukan kerja itu.
"Terima kasih," berkata Tatas Lintang, "yang kami
lakukan sekarang adalah kerja bagi hidup kami. Memang
agak berbeda dari apa yang kami lakukan bagi kalian.
Tetapi bukankah kami memerlukan kerja yang dapat
menopang hidup kami."
"Tanpa kerja kasar seperti ini pun kalian akan dapat
dipenuhi kebutuhan kalian sehari-hari," berkata seorang
anak muda. "Bukan maksudku," jawab Tatas Lintang, "kami
bukannya orang-orang yang memiliki kekhususan. Kami
sebagaimana orang lair, harus bekerja untuk hidup kami."
Anak-anak muda itu tidak dapat memaksa. Tetapi ada di
antara mereka yang datang kepada pemilik tanah dan
menanyakannya, kenapa ia memperlakukan keempat orang
itu dengan cara sebagaimana dilakukannya sebelum
padukuhan itu mengetahui kemampuan mereka yang
melebihi orang kebanyakan.
"Itu adalah kehendak mereka sendiri," jawab pemilik
tanah itu, "aku sudah mencoba mencegahnya. Tetapi
mereka tetap saja pada pendiriannya. Karena itu, aku tidak
dapat berbuat apa-apa lagi."
Anak-anak muda itu tidak puas. Seorang diantara
mereka berkata, "Seandainya kau tidak memberikan
pekerjaan itu, apakah yang akan mereka lakukan. Kau
berikan bibit pepohonan kepada mereka sehingga mereka
mendapat kesempatan untuk mengerjakannya."
"Perjanjian kerja itu sudah berlangsung sebelum
peristiwa-peristiwa itu terjadi," jawab pemilik tanah itu,
"namun seperti sudah aku katakan, aku mencoba untuk
mencegahnya." pemilik tanah itu berhenti sebentar, lalu,
"tetapi aku pun memikirkannya, bagaimana jika mereka
benar-benar memerlukan kerja itu. Darimana mereka dapat
hidup sedangkan mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Bukankah jika mereka menjadi kelaparan, akibatnya akan
dapat berbalik mengenai diri kita sendiri?"
Anak-anak muda itu merenung sejenak. Namun merekapun
kemudian mengangguk-angguk. Tetapi seorang di
antara mereka berkata, "Bukankah Ki Bekel akan dapat
memberikan apa saja yang mereka butuhkan sehingga
mereka tidak akan pernah merasa kekurangan?"
"Aku tidak yakin jika mereka begitu saja menerima
pemberian orang lain. Karena itu, akhirnya aku
memutuskan untuk memberi mereka kerja. Upah yang akan
aku berikan, tentu lain dari upah yang sebenarnya harus
mereka terima." berkata pemilik tanah itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Merekapun
kemudian meninggalkan rumah pemilik tanah itu tanpa
dapat mengerti apa yang sebenarnya bergejolak di dalam
hati mereka masing-masing tentang orang-orang yang
bekerja di ujung padukuhan itu.
Sementara itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang
diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di
pategalan di ujung padukuhan. Merekapun mulai
melakukan kerja mereka. Menanam beberapa bibit
pepohonan di pategalan itu. Mereka harus menggali lubanglubang
yang cukup besar sebelum bibit-bibit itu ditanam. Di
lubang-lubang itupun harus ditaburi dahulu dengan rabuk
yang didapat dari kandang-kandang ternak.
Karena itu, untuk menanam bibit-bibit pohon buahbuahan
yang tersedia, Tatas Lintang serta ketiga orang anak
muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu
memerlukan waktu beberapa hari.
Di hari pertama mereka dapat bekerja tanpa gangguan
sesuatu. Bahkan di malam harinya pun tidak pula terjadi
peristiwa yang dapat menimbulkan goncangan-goncangan
pada padukuhan itu. Sementara itu, di hari berikutnya, Tatas Lintang telah
pergi pula ke pategalan di ujung padukuhan untuk
melanjutkan kerja mereka menanam bibit pohon buahbuahan.
Namun mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat
lubang-lubang yang telah mereka gali untuk menanam
pohon buah-buahan itu. Mereka melihat hampir di semua
lubang, asap yang mengepul tipis.
Tatas Lintang yang berdiri di paling depan itupun
tertegun. Kemudian dengan nada berat ia berkata, "berhatihatilah.
Tentu ada sesuatu yang tidak wajar."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
berhenti. Mereka memang menjadi berdebar-debar. Asap
yang tipis itu masih saja mengepul dari lubang-lubang yang
telah mereka buat, seolah-olah di setiap lubang itu terdapat
bara api yang panas. "Tunggulah," berkata Tatas Lintang yang kemudian
melangkah maju. Tangannya meraba sebentuk cincin di
jari-jarinya. Agaknya ia memang sudah curiga, bahwa asap
itu ditimbulkan oleh kekuatan racun yang sangat tajam,
karena ia melihat beberapa jenis pohon perdu di dekat
lubang-lubang itu menjadi layu.
Dengan sangat berhati-hati Tatas Lintang telah
menjenguk ke salah sebuah lubang yang masih
mengepulkan asap tipis itu. Meskipun ia memiliki penawar
bisa, namun ia masih juga menutup hidungnya dengan
ujung kain panjangnya. Tatas Lintang itu mengerutkan keningnya. Ia mencium
bau yang sangat tajam meskipun hidungnya sudah tertutup
sehelai kain. Di dalam lubang-lubang itu ia melihat bekas cairan yang
dituangkan. Cairan itulah yang telah menimbulkan asap
yang tipis dan berbau tajam itu.
Tatas Lintang pun mengangguk-angguk ketika ia melibat
bangkai seekor ayam yang agaknya terlepas dari
kandangnya dan tersesat sampai ke pategalan itu dari
lingkungannya di ujung padukuhan. Bahkan beberapa ekor
binatang yang lain-pun terdapat mati di lubang itu pula.
Seekor kadal, seekor tikus tanah dan sejumlah binatangbinatang
kecil lainnya. Bahkan ketika Tatas Lintang
menjenguk lubang yang lain, dilihatnya seekor ular pun
telah mati. Tatas Lintang itupun kemudian melangkah menjauhi
lubang-lubang itu menuju ke arah Mahisa Murti. Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura menunggu. Sambil membuka tutup
hidungnya ia kemudian berkata, "Memang racun. Racun
yang sangat tajam. Seekor ular dan beberapa jenis binatang
telah terbunuh di lubang-lubang itu."
"Apakah ujud dari racun itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Cairan yang agaknya dituangkan di setiap lubang,"
Misteri Pulau Neraka 18 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Pendekar Pedang Pelangi 12
terkejut. "Ya. Tiga ekor. Milikku satu, milik orang tua itu satu
dan milik Ki Bekel satu." jawab orang itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang disebut
kemenakannya itu untuk melihat-lihat apa yang terjadi.
Mereka memang melihat sisa bangkai kambing yang
sebagian besar tubuhnya telah dimakan oleh harimau yang
memasuki padukuhan itu. "Satu hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya," berkata
Ki Bekel ketika mereka sampai ke rumah Ki Bekel,
"memang dahulu, beberapa waktu yang lalu, ada seekor
harimau nampak memasuki padukuhan. Tetapi harimau itu
tidak banyak menimbulkan kerugian. Seekor kambing
pernah menjadi korban. Tetapi bekasnya tidak terlalu
mengerikan seperti kali ini. Apalagi sekaligus tiga ekor
kambing." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Yang terjadi itu
memang mendebarkan. Tentu ada hubungannya dengan
tiga ekor harimau yang datang ke pondok mereka.
"Memang sangat memprihatinkan," berkata Tatas
Lintang kemudian. "Apakah pendapat Ki Sanak tentang hal ini" Mungkin
Ki Sanak melihat jalan keluar untuk mengatasinya?"
bertanya Ki Bekel. Tatas Lintang merenung sejenak. Namun Tatas Lintang
tidak dapat menyebut apa yang pernah terjadi di pondok
mereka sebelum mereka meyakinkan apa yang sebenarnya
terjadi. Agaknya Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun tidak mendahului Tatas Lintang sehingga mereka
pun hanya berdiam diri saja.
Karena Tatas Lintang tidak segera menjawab, maka Ki
Bekel itupun mendesaknya, "Ki Sanak. Agaknya di seluruh
padukuhan ini tidak ada orang yang dapat menolong kami.
Kami tidak tahu apakah maksud sebenarnya Ki Sanak
tinggal di padukuhan kami setelah kami mengetahui
kelebihan Ki Sanak. Namun justru karena kelebihan itulah
maka kami berharap bahwa Ki Sanak akan dapat menolong
kami." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
tatapan mata Ki Bekel mempunyai nada yang
mendebarkan. Meskipun ia minta agar Tatas Lintang
menolongnya, namun agaknya ada juga semacam
kecurigaan. Karena itu, untuk menghilangkan segala prasangka yang
kurang baik dalam hubungannya dengan orang-orang
padukuhan itu, Tatas Lintang pun berkata, "Ki Bekel.
Baiklah, Kami akan mempelajari dan mengamati apa yang
terjadi. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu
mengatasi persoalan yang kini timbul di padukuhan ini.
Agaknya harimau-harimau itu bukannya secara kebetulan
memasuki padukuhan ini. Biasanya hanya harimau yang
telah menjadi tua dan tersisih dari pergaulan di antara
sesama harimau sajalah yang memasuki padukuhan untuk
mencari mangsanya. Tetapi sudah tentu tidak sampai tiga
ekor sekaligus." "Ya Ki Sanak," jawab Ki Bekel, "memang ada tiga ekor
kambing yang diterkamnya. Tetapi apakah dengan
demikian harimau yang menerkamnya juga berjumlah tiga
ekor?" Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Yang
diketahuinya memang tiga ekor harimau yang datang ke
pondoknya. Meskipun demikian ia menjawab, "Maksudku
korbannya adalah tiga ekor kambing. Memang aku
menduga bahwa harimaunya tentu tidak hanya seekor.
Betapa besar dan rakusnya harimau itu tetapi harimau itu
tentu tidak akan menerkam tiga ekor kambing sekaligus
dalam satu malam." Orang-orang yang mendengarnya mengangguk-angguk.
Mereka sependapat dengan Tatas Lintang, bahwa seekor
harimau tidak akan menerkam tiga ekor kambing dalam
satu malam. Sementara itu maka Ki Bekel pun kemudian berkata, "Ki
Sanak. Kami akan menyerahkan segala sesuatunya kepada
Ki Sanak serta ketiga orang kemanakan Ki Sanak. Seperti
sudah kami katakan, kami mengetahui bahwa Ki Sanak
memiliki kelebihan. Meskipun agaknya kami agak
terlambat menyadari hal itu. Kami mengira bahwa Ki
Sanak bukan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi
sebagaimana Ki Sanak perlihatkan dalam perkelahian di
dekat pasar itu. Sebagai penghuni padukuhan ini maka Ki
Sanak tentu tidak akan berkeberatan."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam, katanya,
"Baiklah ki Bekel. Kami akan berusaha. Tetapi kami tidak
dapat mengatakan dengan pasti bahwa kami akan berhasil."
"Kami tidak dapat memaksakan sesuatu terhadap ki
Sanak," berkata Ki Bekel, "sudah tentu kami tidak akan
dapat menentukan keberhasilan usaha Ki Sanak. Tetapi jika
Ki Sanak bersedia berusaha, berhasil atau tidak berhasil,
kami akan mengucapkan terima kasih yang tiada
terhingga." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Ki Bekel. Untuk melakukan pekerjaan ini aku akan mohon
bantuan seluruh penghuni padukuhan ini. Bergantian kita
semuanya akan berjaga-jaga, tegasnya para peronda
mendapat tugas tambahan, mengawasi kandang-kandang
kambing di seluruh padukuhan. Sudah barang tentu kami
tidak akan dapat melihat seluruh padukuhan ini pada satu
saat. Karena itu maka kami mohon setiap orang yang
mendapat giliran meronda, jika melihat kedatangan
harimau itu harus memberikan isyarat. Dengan demikian
kami akan dapat segera datang. Jika mungkin kami akan
berusaha untuk membunuh harimau itu. Meskipun aku
sadar, bahwa pekerjaan itu adalah pekerjaan yang sangat
berbahaya. Mungkin bukan aku yang membunuh harimau
itu, tetapi nasibku tidak lebih baik dari seekor kambing yang
telah dikoyak-koyak oleh harimau itu."
"Kalian memiliki kelebihan. Meskipun segala
kemungkinan dapat terjadi, namun aku mempunyai satu
keyakinan, bahwa kalian akan berhasil, sementara itu kami
semuanya akan membantu sesuai dengan kemampuan
kami." berkata Ki Bekel.
"Terima kasih," jawab Tatas Lintang, "tanpa aku pun
seluruh laki-laki di padukuhan ini tentu akan mampu
membunuh seekor, bahkan dua ekor harimau. Tetapi
karena kita sudah mendapat kesan tentang kegarangan
seekor harimau, maka kita pada umumnya telah menjadi
ketakutan demikian kita mendengar aumnya atau melihat
taringnya." Ki Bekel mengangguk-angguk. Jawabnya, "Karena itu
agaknya mereka memerlukan satu dua orang yang dapat
membangkitkan keberanian mereka."
Sekali lagi Tatas Lintang mengangguk-angguk.
Jawabnya, "Kami akan melakukannya sebaik-baiknya. Dan
kami pun percaya bahwa semua laki-laki di padukuhan ini
akan membantu kami sebaik-baiknya."
"Baiklah. Sejak nanti malam, kami semuanya akan
berjaga-jaga. Mudah-mudahan Ki Sanak pun akan dapat
bersama kami malam nanti," berkata Ki Bekel.
"Kami akan berada di pondok kami," berkata Tatas
Lintang, "dari pondok kami, kami akan mengamati
padukuhan ini. Mungkin kami akan mengintai di satu
tempat tertentu. Mungkin kami berempat akan berada di
satu tempat. Tetapi mungkin kami akan berpencar. Sekali
lagi kami pesan, jika peronda atau siapapun yang melihat
harimau memasuki padukuhan ini. kami harap dapat
memberikan isyarat dengan kentongan. Kami akan segera
datang. Sudah tentu dengan ciri-ciri khusus yang dapat
menunjukkan tempat harimau itu.
Akhirnya Ki Bekel tidak berkeberatan. Merekapun telah
membicarakan tanda-tanda yang khusus sehingga Tatas
Lintang akan dapat dengan segera tahu arah harimau yang
memasuki padukuhan itu. Demikianlah, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan
kepada semua laki-laki untuk ikut merasa bertanggung
jawab atas ketenteraman padukuhan mereka. Bergiliran
mereka telah mengatur diri untuk berjaga-jaga. Di setiap
sudut, simpang tiga dan simpang empat, bahkan tempattempat
yang dianggap dapat menjadi jalur jalan yang
ditempuh oleh harimau-harimau untuk memasuki
padukuhan itu telah mendapat pengawasan.
Tetapi di malam berikutnya, ternyata di padukuhan itu
tidak terdapat seekor harimau pun. Para peronda tidak
menemukan yang mereka cari. Sementara itu. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang di tengah malam berjalan
berkeliling padukuhan, serta singgah di antara orang-orang
yang meronda, juga tidak melihat apapun juga.
Namun Tatas Lintang tidak segera mengambil
keputusan. Katanya kemudian, "Mungkin di malam
berikutnya." "Dan kita terus menunggu pagi sampai kita dapat
menangkap atau membunuh harimau itu?" bertanya
Mahisa Murti. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang sulit bagi kita untuk menolak permintaan Ki
Bekel itu. Namun demikian, kita akan melakukan
pengamatan sekaligus melihat apakah ada hubungan antara
harimau itu dengan padepokan yang ingin kita lihat.
Menilik keterangan yang kalian berikan kepadaku
sebelumnya, maka agaknya memang ada hubungan antara
harimau itu dengan padepokan dari yang kau sebut orangorang
bertongkat itu." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun
mengerti bahwa sulit untuk menolak permintaan Ki Bekel.
Meskipun mereka dapat saja pergi dan tidak kembali ke
padukuhan itu tetapi mereka, terutama Tatas Lintang yang
sudah lebih lama tinggal di padukuhan itu. akan merasa
sangat berat. Ia tidak akan sampai hati membiarkan
padukuhan itu dalam kecemasan.
Karena itu, maka ketiga orang yang disebut kemanakan
Tatas Lintang itupun akhirnya harus menyesuaikan diri.
Dengan berbagai pertimbangan mereka pun harus
menunggu sampai waktu yang tidak dapat ditentukan.
Tetapi jika benar harimau-harimau itu adalah harimauharimau
sebagaimana pernah menyerang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka penantian mereka itupun agaknya
akan ada gunanya. Demikianlah, di malam berikutnya, bukan saja Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat sajalah yang ikut bersama-sama
dengan orang-orang padukuhan itu, tetapi Tatas Lintang
dan Mahisa Ura pun telah keluar pula dari pondok mereka
dan bersama-sama dengan yang lain pergi meronda di
seluruh padukuhan itu. Namun seperti malam yang lewat, mereka tidak
menjumpai apapun juga, sehingga menjelang fajar, Tatas
Lintang dan ketiga orang yang disebut kemanakannya
itupun minta diri kepada Ki Bekel dan kembali ke pondok
mereka yang kosong. Tetapi Tatas Lintang tidak perlu cemas, karena ia tidak
memiliki apapun yang berharga yang dapat menjadi sasaran
pencurian atau perampokan. Ia memang mempunyai bekal
yang cukup. Tetapi Tatas Lintang telah
menyembunyikannya di tempat yang tidak mudah
diketahui orang. Sedangkan bekal Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura, selalu dibawanya pada kantong ikat
pinggangnya dan pada kampil kecil yang selalu tergantung
di lambung. Namun bagaimanapun juga, ketika mereka memasuki
pondok kecil mereka, jantung mereka pun menjadi
berdebaran. Ternyata isi pondok kecil itu telah menjadi
berserakan. "Gila," geram Tatas Lintang, "baru berapa hari ini kita
membenahi isi rumah kita. Kini keadaan itu telah terulang."
Tetapi Mahisa Murti melihat keadaan yang berbeda.
Karena itu maka katanya kemudian, "Aku kira kita
menghadapi keadaan yang berbeda."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya. Sementara itu
Mahisa Pukat tiba-tiba saja berkata, "Lihat. Jalan inilah
yang dipergunakan oleh mereka yang merusak isi rumah
kita." Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun telah
mendekati sebuah lubang yang besar pada dinding bambu
yang tidak terlalu kuat di bagian belakang dari pondok kecil
itu. Namun mereka pun segera mengetahui bahwa bekasbekasnya
menunjukkan bahwa yang telah memasuki
pondok kecil itu adalah bukan manusia, tetapi harimau.
Mungkin seekor, mungkin lebih.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Memang kitalah yang menjadi sasaran.
Jika harimau-harimau itu membunuh kambing, itu
hanyalah salah satu cara untuk mengganggu kita juga."
Mahisa Pukat pun menggeram. Katanya, "Kita memang
harus menemukannya. Kita harus menunjukkan, bahwa
harimau-harimau itu tidak banyak berarti jika kita sempat
menemukannya." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Ia pun berkata
dalam nada rendah, "Kita akan mencari sampai ketemu.
Karena itu. maka biarlah kita tidak bersama-sama
meninggalkan pondok ini. Besok kita beritahukan kepada
orang-orang padukuhan tentang pondok ini. Jika hanya dua
orang diantara kita yang keluar rumah, bukan karena kita
tidak bersungguh-sungguh membantu mereka. Tetapi
karena justru rumah kitalah yang menjadi sasaran."
"Ya. Tetapi kita pun harus mempunyai alat untuk
mengirimkan isyarat, sehingga dalam keadaan tertentu kita
akan berkumpul menghadapi harimau-harimau itu. Mereka
harus dihabiskan tanpa ampun, karena dengan demikian
maka kita akan dapat membangkitkan kesan kepada orangorang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang menggerakkan harimau itu bahwa kita siap
menghadapinya." berkata Mahisa Murti.
Tatas Lintang mengangguk-angguk, ia sadar bahwa sikap
itu justru didorong oleh kemarahan yang telah
mengguncang isi dadanya. Tatas Lintang serta ketiga orang yang disebut
kemanakannya itu sama sekali tidak membenahi isi rumah
yang berserakan itu. Dinding yang koyak oleh kuku-kuku
yang tajam. Ajug-ajug yang roboh dan amben mereka yang
baru itupun telah rusak pula.
Keempat orang itu melihat seakan-akan harimau yang
merusak isi rumah mereka itupun mampu melakukannya
sebagaimana seseorang melakukannya. Seolah-olah
harimau-harimau itu tahu yang manakah yang harus
mereka rusakkan dari isi rumah yang hanya sedikit itu.
Ketika kemudian pagi turun serta matahari mulai naik,
beberapa orang telah menyaksikan apa yang terjadi di
pondok kecil itu. Ki Bekel yang mendapat pemberitahuan
itupun segera telah datang pula. Iapun melihat isi rumah
Tatas Lintang yang tidak berarti itu telah berserakan.
"Kita akan menggantinya," berkata Ki Bekel.
"Terima kasih Ki Bekel," berkata Tatas Lintang, "Jika
ada yang harus diganti. Kami akan memperbaiki barangbarang
kami yang rusak ini. Kami pun akan dapat menutup
dinding bambu yang berlubang karena dikoyak oleh kukukuku
harimau itu." Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian, "Baiklah. Aku kira kami memang tidak perlu
menggantinya, karena yang kita lihat ini bukanlah yang
sebenarnya." "Apa maksud Ki Bekel?" bertanya Tatas Lintang.
Ki Bekel itu tersenyum. Jawabnya, "Tidak apa-apa."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
iapun mengerti maksud Ki Bekel, sebagaimana ketiga orang
yang disebut kemenakannya itu.
Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata, "Ki
Bekel, dengan peristiwa ini kami akan memohon bahwa di
malam-malam berikutnya, hanya dua orang sajalah di
antara kami yang akan membantu Ki Bekel mencari
harimau itu di setiap sudut padukuhan ini, sedangkan dua
di antara kami akan tetap berada di rumah ini."
"Kami mengerti," jawab Ki Bekel, "dan kami pun tidak
akan berkeberatan." Ki Bekel pun kemudian minta diri. Beberapa orang
masih tinggal di sekitar pondok itu. Bahkan seorang di
antara mereka berkata, "Ki Sanak. Sebaiknya kalian
mengungsi saja ke banjar daripada kalian akan dikoyak oleh
harimau itu sebagaimana dinding rumahmu itu."
Tatas Lintang tersenyum. Katanya, "Biarlah aku
menunggu gubugku ini. Mudah-mudahan harimau itu
dapat aku jinakkan."
"Betapapun kuatnya seseorang, namun melawan seekor
harimau liar tentu akan mengalami kesulitan. Karena itu,
bukankah rumahmu itu tidak berisi barang-barang
berharga" Karena itu, tinggalkan saja dan tinggallah di
banjar. Jika harimau itu datang lagi ke rumah ini, ia tidak
akan menjumpai apa-apa sebagaimana semalam. Jika dua
tiga kali terjadi seperti itu, maka harimau itu tentu akan
menjadi jemu dan tidak akan datang lagi ke pondok ini.
Nah, jika demikian maka kalian akan dapat kembali lagi."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun ia
menjawab, "Kami akan mencoba mempertahankan rumah
ini. Bukan karena harta benda yang ada di dalamnya.
Tetapi kami akan belajar mempertahankan hak kami.
Mungkin seekor harimau akan dapat membunuh seseorang.
Tetapi seseorang mempunyai kesempatan lebih banyak dari
seekor harimau, karena seseorang mampu mempergunakan
akalnya untuk melawan seekor harimau, sedang seekor
harimau tidak mampu mempergunakan akal serta
nalarnya." Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Terserahlah kepadamu. Tetapi seandainya aku
menjadi kalian, maka aku tidak akan mencari kesulitan
dengan menunggu seekor harimau. Lebih baik kalian
berada di antara kami jika kalian tidak mau berada di
banjar." Tatas Lintang tidak menjawab lagi meskipun ia masih
saja tersenyum. Namun orang-orang itupun akhirnya meninggalkan
rumah Tatas Lintang. Orang yang menasehatkan agar ia
pergi ke banjar itupun bergumam di antara kawankawannya,
"Orang itu memang sombong."
"Kenapa?" bertanya kawannya.
"Aku sarankan agar ia tidur saja di banjar," jawab orang
itu, "tetapi ia menolak. Ia merasa mampu melawan seekor
harimau." "Ia orang yang berilmu," desis kawannya, "ia sudah
menunjukkan bahwa ia mampu mengalahkan orang-orang
yang ditakuti di padukuhan ini serta orang yang garang di
dekat pasar." "Tetapi orang-orang itu bukan harimau," berkata orang
itu. Kawannya tidak menjawab lagi. Memang menurut
gambarannya harimau jauh lebih menakutkan daripada
seseorang betapapun besar tenaganya.
Ketika orang-orang yang datang ke rumahnya sudah
pulang semuanya, maka Tatas Lintang pun berkata, "Kita
akan memperbaiki isi rumah kita yang rusak."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
kemudian telah bekerja untuk membenahi isi rumah itu,
sementara Tatas Lintang memperbaiki dinding yang telah
koyak dengan menutupnya dengan belahan-belahan bambu.
"Kita tidak akan membiarkan siapapun merusak isi
rumah ini lagi," berkata Mahisa Pukat, "agar kita tidak
usah memperbaikinya lagi."
Tatas Lintang yang mendengarnya pun tertawa. Namun
kemudian katanya, "Kita akan menjaganya. Kita tidak akan
meninggalkan pondok ini lagi di malam hari. Dua orang di
antara kita akan berada di rumah, jika yang lain ikut
meronda bersama anak-anak muda padukuhan ini."
Sebenarnyalah ketika kemudian malam turun, maka
yang keluar dari pondok itu hanyalah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka berdua telah ikut bersama-sama
anak-anak muda padukuhan itu mengamati keadaan di
seputar padukuhan. Namun mereka sama sekali tidak
menjumpai seekor harimau pun.
Namun Tatas Lintang dan Mahisa Ura yang tinggal di
rumah, ternyata telah mendengar dengus harimau di
belakang pondok itu. Dengan isyarat Tatas Lintang minta Mahisa Ura bersiapsiap
menghadapi segala kemungkinan. Jika harimau itu
sekali lagi mengoyak dinding dan memasuki rumah itu,
maka mereka harus membinasakannya tanpa ampun.
Bukan saja karena harimau itu pernah merusakkan pondok
mereka. Tetapi mereka harus memberikan kesan bahwa
harimau-harimau itu sama sekali tidak berarti apa-apa.
Tatas Lintang dan Mahisa Ura berusaha untuk tidak
mengejutkan dan mengusir harimau itu. Mereka dengan
hati-hati telah berada di bagian belakang pondok mereka.
Dari tempat mereka menunggu, mereka dapat mendengar
dengan jelas dengus harimau yang kemudian mencoba
untuk mengorek dinding yang baru saja diperbaiki itu.
Tatas Lintang bergeser mendekat. Namun ternyata
bahwa hidung harimau itu cukup tajam. Agaknya harimau
itu telah mencium bau seseorang di dalam pondok itu,
sehingga karena itu, maka harimau itu telah menggeram.
Tatas Lintang sadar, bahwa kehadirannya telah
diketahui oleh harimau itu. Karena itu, maka iapun tidak
lagi mengendap-endap. Demikian Tatas Lintang berdiri, iapun telah memberikan
isyarat agar Mahisa Ura pun tidak perlu lagi menahan
nafasnya. Tetapi sejenak kemudian tiba-tiba mereka mendengar
harimau itu mengaum. Suaranya memang tidak begitu
keras. Namun auman harimau itu seakan-akan pertanda
sesuatu bagi kawan-kawannya atau bagi seseorang.
Sejenak Mahisa Ura dan Tatas Lintang menunggu.
Namun agaknya Mahisa Ura tidak sabar, sehingga iapun
berdesis, "Aku akan keluar. Kita tidak dapat menunggu
terlalu lama." Tetapi ketika Mahisa Ura benar-benar melangkah, maka
Tatas Lintang telah menahannya sambil berdesis, "Kita
tidak tahu, apa yang ada di luar. Karena itu, biarlah kita
menunggu." "Tetapi kita akan kehilangan harimau-harimau itu lagi,"
jawab Mahisa Ura. Tetapi Tatas Lintang berkata, "Harimau-harimau itulah
yang merunduk kita. Karena itu, mereka tidak akan pergi.
Mereka akan masuk dan akan menerkam kita , Namun
apakah benar bahwa yang datang itu hanya seekor atau dua
ekor atau tiga ekor harimau saja."
Mahisa Ura mengangguk-angguk. Namun iapun telah
bersiap menghadapi segala kemungkinan jika harimau itu
benar-benar akan menerobos masuk ke dalam pondok itu.
Sebenarnyalah yang terdengar dari dalam rumah itu
telah mendebarkan jantung. Ternyata sejenak kemudian
mereka mendengar dengus bukan hanya seekor. Tetapi
lebih dari dua ekor. Seekor sedang mengorek-ngorek sudut
pondok itu, yang lain telah mendorong-dorong pintu
butulan, sementara seekor lagi terdengar menggoreskan
kukunya di dinding. Namun selain itu, masih juga terdengar
seekor mengaum di depan pondok kecil itu.
"Memang beberapa ekor harimau," berkata Tatas
Lintang, "kita akan menerkam tamu kita dengan meriah. "
"Apakah kita tidak mengundang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat untuk ikut dalam permainan yang
menyenangkan ini?" bertanya Mahisa Ura, "bukankah
mereka telah berpesan?"
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Tetapi iapun
kemudian bertanya, "Bagaimana cara kita memanggil
mereka" Jika kita memukul kentongan, maka mungkin seisi
padukuhan akan datang. Dengan demikian maka harimauharimau
itu akan pergi, atau yang terjadi justru sebaliknya.
Akan jatuh korban karena harimau itu dengan liar dan
kasar menyerang mereka."
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Aku akan mencari mereka."
"Itu berbahaya sekali," berkata Tatas Lintang, "sekali
lagi peringatkan aku."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian Tatas Lintang itupun kemudian berkata,
"Baiklah. Aku akan mencobanya dengan Aji Pameling.
Mudah-mudahan ia dapat menangkapnya."
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah
memusatkan nalar budinya untuk mengetrapkan Aji
Pameling. Ketajaman perasaan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat diharapkannya akan dapat tersentuh oleh getaran
ilmunya. Ternyata bahwa tingkat ilmu Tatas Lintang cukup tinggi.
Aji Pamelingnya dengan tajam telah memancarkan getaran
yang akan dapat memanggil mereka kembali ke pondok
kecil itu. Ternyata bahwa perasaan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat cukup peka untuk menerima sentuhan getaran Aji
Pameling. Karena itulah maka tiba-tiba saja keduanya
merasa bahwa mereka harus segera kembali.
"Ada semacam kekuatan yang memanggil kita kembali
ke pondok kecil itu," berkata Mahisa Murti yang sedang
berada di sebuah simpang tiga di pinggir padukuhan.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Aku juga
merasakannya. Tentu bukan sekedar kebetulan."
"Aku mendapat isyarat yang cukup jelas bagiku. Kita
memang harus segera kembali," sahut Mahisa Murti.
"Tentu Tatas Lintang yang memiliki bermacam-macam
ilmu telah memanggil kita," desis Mahisa Pukat.
"Aku juga menduga demikian," sahut Mahisa Murti.
Dengan demikian maka keduanya pun segera menemui
orang yang cukup berpengaruh di tempat itu. Dengan hatihati
keduanya menjelaskan bahwa keduanya ingin melihat
pondok mereka. "Kenapa dengan pondok kalian" Bukankah pamanmu
dan kakakmu ada?" jawab orang yang berpengaruh itu.
"Ya. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu terjadi," jawab
Mahisa Murti, "tetapi biarlah kami berdua sajalah yang
melihatnya." "Baiklah," berkata orang itu, "tetapi segera saja kembali
kemari." Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tergesa-gesa menuju ke pondok kecilnya. Mereka sengaja
berusaha untuk tidak melewati gardu-gardu pengawas, agar
mereka tidak tertahan oleh anak-anak muda dan orangorang
yang berada di gardu-gardu.
Sementara itu, Tatas Lintang yang telah melepaskan Aji
Pameling itu menjadi berdebar-debar. Ia masih belum yakin
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat
menangkapnya. Namun apapun yang terjadi, maka mereka
yang ada di pondok itu harus menghadapi harimau-harimau
yang agaknya memang berusaha untuk memasuki rumah
itu. Beberapa saat kemudian, Mahisa Ura yang
memperhatikan gerak harimau-harimau itu selama Tatas
Lintang memusatkan nalar budinya untuk melepaskan Aji
Pamelingnya, melihat dinding di sudut rumah itu sudah
mulai bergetar. Ketika sepotong bambu patah, maka
Mahisa Ura itupun segera mempersiapkan diri untuk
dengan pukulan pertama menghancurkan harimau itu.
Namun Mahisa Ura itu terkejut ketika ia mendengar
derak di sisi pondok itu. Ternyata seekor di antara harimauharimau
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu berusaha untuk memasuki rumah kecil itu
lewat tutup keyong yang memang agak lemah. Dinding
rumah di sebelah sisi itu bergetar ketika seekor di antara
harimau-harimau itu memanjat.
Mahisa Ura memang agak bingung. Yang manakah di
antara kedua harimau itu yang lebih dahulu akan memasuki
pondok kecil itu. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah selesai.
Dengan nada rendah ia berkata, "Biarlah yang memanjat
dinding itu aku selesaikan."
Mahisa Ura menarik nafas-nafas dalam-dalam. Yang
dihadapinya kemudian adalah harimau yang akan merusak
dinding di sudut rumah itu.
Tetapi ternyata di bagian lain, dinding pun mulai koyak.
Bahkan ketika Mahisa Ura berpaling, dilihatnya kuku-kuku
harimau itu mematahkan bambu-bambu yang dianyam
menjadi dinding, dan sebelah kaki depannya pun telah
menembus masuk menggapai-gapai.
Mahisa Ura menggeram. Tetapi ia telah bergeser. Ia
berdiri di tengah-tengah di antara dua ekor harimau yang
berebut dahulu memasuki rumah kecil itu. Sementara itu
Tatas Lintang sudah siap menerima jika harimau yang
memanjat dinding itu akan menembus memasuki tutup
keyong. Pada saat yang demikian itulah, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memasuki halaman pondok kecil itu.
Keduanya terkejut melihat seekor harimau berkeliaran di
halaman. "Apakah hanya seekor?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu-mangu. Namun kemudian iapun
bergerak mendekati harimau itu sambil berdesis, "Lihat di
bagian lain dari halaman ini."
Mahisa Pukat pun kemudian bergeser ke samping.
Ketika harimau di halaman itu berpaling ke arahnya,
Mahisa Murti telah mendekatinya sambil berdesis, "Lawan
aku, he?" Harimau itu tiba-tiba mengaum tidak terlalu keras.
Dihadapinya Mahisa Murti dengan mata yang menyala.
Yang ada di dalam rumah itu mendengar suara di
halaman. Dengan serta merta Mahisa Ura bertanya dengan
lantang, "Siapa di halaman depan?"
"Aku. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," jawab Mahisa
Murti. Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahisa Murti berkata, "Di sini ada seekor harimau."
"Di belakang ada beberapa ekor yang sudah siap untuk
menerobos dinding," berkata Mahisa Ura.
"Pukat akan melihatnya," jawab Mahisa Murti.
"Berhati-hatilah," tiba-tiba terdengar suara Tatas
Lintang, "ada yang memanjat."
Sejenak suasana menjadi tegang. Mahisa Pukat yang
telah berada di halaman samping tertegun melihat beberapa
ekor harimau di belakang rumah itu. Bahkan seekor di
antaranya telah memanjat dinding dan siap meloncat
masuk ke dalam rumah. Dalam keadaan yang demikian, maka Tatas Lintang
telah memberikan isyarat kepada Mahisa Ura. Justru ketika
seekor harimau dapat memecah dinding dan menerobos
masuk, serta yang menembus tutup keyong pun telah
meloncat turun di dalam pondok kecil itu, Tatas Lintang
dan Mahisa Ura telah meloncat keluar lewat pintu depan.
"Kau Mahisa Murti," sapa Mahisa Ura.
Mahisa Murti bergeser ke samping. Harimau
dihadapannya telah merunduk dan siap untuk menerkam.
Tetapi ketika Mahisa Ura dan Tatas Lintang meloncat
keluar, maka harimau itu telah berpaling.
Tetapi hanya sesaat. Kemudian iapun telah kembali
memandang Mahisa Murti dengan sorot matanya yang
membara. Mahisa Pukat yang berada di sisi rumah itu agak ke
belakang, telah bergeser pula ke halaman depan. Dengan
demikian maka keempat orang itupun telah lengkap berada
di depan pondok kecilnya.
Harimau yang telah berada di dalam rumah itu menjadi
sangat marah. Mereka sempat merusak isi rumah itu.
Sementara itu Tatas Lintang pun berkata, "Ternyata kita
tidak mencegah harimau-harimau itu merusak rumah kita."
"Kita akan menyambutnya di sini," berkata Mahisa
Murti. Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka dua ekor
harimau telah keluar lewat pintu dengan marahnya.
Sementara yang lain berlari melingkari rumah itu. karena
harimau itu belum berhasil masuk. Namun ternyata ketika
harimau-harimau itu telah berada di halaman, maka
jumlahnya adalah lima ekor.
"Lima ekor," berkata Tatas Lintang.
"Aku akan menghancurkan mereka," berkata Mahisa
Murti. "Ya," sahut Tatas Lintang dengan suara yang lebih
keras, "kita harus menunjukkan bahwa harimau-harimau
ini tidak berarti apa-apa."
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura termangumangu
sejenak. Namun mereka pun segera menyadari,
bahwa Tatas Lintang telah mengatakannya dengan suara
lantang bukannya tanpa maksud.
"Tentu ada orang lain yang mendengarnya," berkata
ketiganya di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka kata-kata Tatas Lintang itu
merupakan perintah untuk membunuh harimau-harimau itu
dengan segera. Mahisa Murti lah yang telah bersiap lebih dahulu.
Karena itu, maka iapun berkata, "Aku sudah siap.
Minggirlah." Dalam pada itu, maka harimau yang berhadapan dengan
Mahisa Murti telah siap untuk menerkam. Harimau itu
bergeser sambil merunduk, sehingga perutnya hampir
melekat di tanah. Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang pun telah
bergeser. Harimau-harimau yang lain pun telah mengikuti
mereka. Dua ekor harimau telah merangkak dengan hatihati
ke arah Tatas Lintang. Yang lain pun telah mulai merunduk sambil menggeram
pula. Mereka nampaknya digerakkan oleh satu perintah
untuk menyerang lawannya bersama-sama.
Mahisa Murti sebagaimana yang lain memang ingin
menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar siap. Karena
itu, maka ketika harimau yang merunduk Mahisa Murti itu
meloncat menyerang, maka Mahisa Murti telah siap
menerimanya dengan ilmunya yang dahsyat dalam
bentuknya yang keras. Demikianlah, maka harimau yang tidak menduga bahwa
ia akan membentur satu ilmu yang dahsyat itu telah
mengaum dan menerkam Mahisa Murti. Kuku-kukunya
terjulur ke depan siap mengoyak tubuh sasarannya. Bahkan
taring-taringnya yang tajam pun telah siap pula
dipergunakannya. Namun yang terjadi kemudian telah mengakhiri
kegarangan harimau itu. Sebelum kuku-kuku harimau itu
menyentuh kulit Mahisa Murti, maka Mahisa Murti telah
mengayunkan tangannya menyongsong tubuh harimau
yang menerkamnya itu. Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Kekuatan ilmu
puncak yang dilambari Aji Pamungkas yang terpusat di
tangan Mahisa Murti bagaikan hentakan kekuatan yang
memancar dari letusan Gunung Merapi yang meledak.
Demikian besar kekuatan yang terpancar pada benturan
tangan Mahisa Murti yang telah mengenai kepala Harimau
itu, maka harimau yang perkasa serta ditakuti oleh
penghuni hutan yang lain itu tidak berdaya untuk bertahan.
Yang terdengar kemudian adalah harimau itu mengaum
keras sekali. Jauh berbeda dengan auman sebelumnya yang
hanya terdengar dari jarak yang dekat. Namun ketika
kepalanya membentur kekuatan ilmu Mahisa Murti, maka
harimau itu telah berteriak sekeras-kerasnya.
Demikian harimau itu jatuh di tanah, maka tubuhnya
tidak lagi bergerak sama sekali. Mati. Tulang kepalanya
telah retak dan otaknya pun telah terguncang.
Suara harimau itu memang mengejutkan. Yang
mendengar suara itu bukan saja orang-orang yang berada di
halaman itu. Tetapi orang-orang yang berada di padukuhan
pun telah mendengarnya pula.
Beberapa orang yang mendengar aum yang dahsyat itu
terkejut. Terkejut kulit mereka meremang. Meskipun
mereka mengharap Tatas Lintang dan ketiga orang yang
disebut kemanakannya itu bersedia untuk membantu
mereka, tetapi jantung mereka telah berdebaran juga
mendengar aum yang menggetarkan itu.
"Di mana anak-anak muda itu?" bertanya seseorang.
"Entahlah," jawab yang lain, "mungkin mereka baru
berkeliling." Tetapi seorang yang lain menyahut, "Aku dari regol.
Anak itu baru menengok pondoknya."
Orang yang pertama itupun berkata pula, "Pada saat kita
mendengar aum harimau itu, anak-anak itu tidak ada di
antara kita." "Tetapi mereka tentu mendengarnya juga," jawab yang
lain, "bahkan menurut pendengaranku, suara harimau itu
berasal justru dari arah pondok kecil itu, atau sekitarnya."
"Mudah-mudahan, bagaimanapun juga mereka
mempunyai kelebihan."
Namun seorang yang berjambang lebat berkata, "Ada
atau tidak ada, kita semuanya akan membunuh harimau itu
beramai-ramai." Yang lain-lain pun mengangguk-angguk pula. Seorang di
antara mereka berkata, "Marilah. Kita akan mencari
harimau itu." Tetapi orang berjambang lebat itu termangu-mangu.
Katanya kemudian, "Kenapa kita harus mencarinya " Kita
tunggu saja di sini."
"Jika harimau itu tidak kemari ?" bertanya kawannya.
"Kita mendapat tugas di sini," berkata orang berjambang
lebat itu, "karena itu kita jangan pergi ke mana-mana."
Kawannya tersenyum. Karena ia sudah mengetahui sifatsifat
orang berjambang itu, maka katanya, "Marilah. Kita
berdua melihatnya lebih dahulu. Jika kita bertemu, maka
kita akan memukul isyarat dengan kentongan."
Orang berjambang itu menjadi tegang. Beberapa orang
yang lain yang sudah mengenalinya pula menyahut hampir
bersamaan, "Pergilah. Kita menunggu di sini."
Orang berjambang lebat dan bertampang seram itu
menjadi pucat. Orang yang mengajaknya itu telah berdiri
dan melangkah. Katanya, "Marilah."
Tetapi orang yang berjambang lebat itu berkata gagap,
"Tidak ada gunanya. Harimau itu tentu sudah lari. Aku
menunggu di sini saja. Mungkin harimau itu justru akan lari
kemari." Namun belum lagi kawannya menjawab, tiba-tiba telah
terdengar lagi seekor harimau mengaum sekeras yang
pernah mereka dengar. Sebenarnyalah, bahwa Mahisa Pukat pun telah
menyelesaikan lawannya pula. Ketika seekor harimau
menerkamnya, maka Mahisa Pukat telah melakukan hal
yang sama, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Murti.
Tetapi agaknya Mahisa Ura ingin berbuat lain. Ia tidak
menunggu harimau itu menerkamnya. Tetapi Mahisa Ura
lah yang lebih dahulu menyerang. Justru pada saat harimau
itu merunduk, maka Mahisa Ura telah mengerahkan
segenap kemampuannya untuk menyerang harimau itu dari
jarak beberapa langkah. Mahisa Ura ingin membuktikan
apakah ia benar-benar telah memiliki warisan ilmu dari
Tatas Lintang. Karena itu, menyusul aum harimau yang terbunuh oleh
Mahisa Pukat, maka Mahisa Ura pun telah menyerang
harimau yang merunduknya.
Harimau yang sedang merunduk, itu terkejut bukan
buatan ketika sekilas sinar menyambarnya. Harimau itu
mengaum dan melonjak tinggi sekali. Namun ketika
harimau itu terjatuh di tanah, maka harimau itu justru
menjadi seakan-akan gila. Ia tidak merunduk lagi untuk
menerkam, tetapi harimau itu dengan serta merta telah
berlari untuk menggapai tubuh Mahisa Ura.
Namun Mahisa Ura sempat mengelak dengan loncatan
panjang menyamping. Sekali lagi ia sempat melontarkan
pukulan itu dari jarak yang lebih dekat.
Sekali lagi harimau itu mengaum. Tetapi pukulan dari
samping yang langsung mengenai kepalanya itu agaknya
telah menentukan. Harimau itu menggeliat kesakitan. Serangan Mahisa Ura
yang bagaikan sinar menyambarnya dari samping itu terasa
bagaikan sentuhan segumpal batu padas yang menimpa
kepalanya. Ternyata bahwa serangan itu telah menentukan.
Harimau itu tidak mampu bertahan lagi. Beberapa kali
harimau itu berguling. Namun kemudian harimau itupun
diam. Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Meskipun
serangannya tidak mematikan seketika sebagaimana
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun ia merasa bangga
juga, bahwa ia telah mewarisi sejenis ilmu yang jarang ada
bandingnya sesuai dengan alas kekuatan ilmunya sendiri.
"Jika aku sempat kembali ke tugasku, maka ilmu ini
akan sangat berarti," berkata Mahisa Ura didalam hatinya.
Sebagai prajurit dalam tugas sandi, maka ilmu kanuragan
dan kelengkapannya merupakan modal yang sangat penting
baginya. Aum harimau yang berurutan terdengar oleh orangorang
padukuhan itu memang sangat mendebarkan jantung.
Orang-orang yang berjaga-jaga di padukuhan itupun
menjadi berdebar-debar. Mereka telah mempersiapkan
senjata mereka masing-masing. Orang-orang yang tidak
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terlalu berani, menjadi gemetar meskipun di tangannya
tergenggam senjata. Bahkan ada orang yang menjadi
hampir pingsan dan keringatnya bagaikan terperas dari
tubuhnya. "Apa yang harus kita lakukan," bertanya seseorang.
Kawan-kawannya tidak tahu juga apa yang harus mereka
lakukan. Karena itu, maka seorang di antara mereka
menjawab. "Kita menunggu perintah Ki Bekel."
Sebenarnyalah bahwa Ki Bekel pun menjadi bingung.
Beberapa orang bebahu telah dipanggilnya di gardu di ujung
lorong. Dengan gelisah Ki Bekel itupun telah minta
pendapat para bebahu itu.
"Anak-anak muda itu baru pulang sebentar untuk
melihat pondok mereka yang pernah dirusak oleh harimauharimau
itu," berkata salah seorang bebahu.
"Suara itu berasal dari pondok kecil itu. Agaknya
pondok kecil itu memang menjadi sasaran harimau,"
berkata bebahu yang lain.
"Tetapi harimau itu tentu tidak hanya seekor," berkata
Ki Bekel, "sebenarnya kita harus menengoknya. Anak-anak
itu sudah bersedia membantu kita. Jika mereka sendiri
mengalami kesulitan, apakah kita tidak datang
membantunya?" Para bebahu itu termangu-mangu. Namun seorang di
antara mereka berkata, "Marilah. Kita beramai-ramai
melihatnya." Ki Bekel itupun kemudian berkata kepada sejumlah lakilaki
dan anak-anak muda yang ada di sekitar gardu itu,
"Saudara-saudaraku. Marilah kita pergi ke pondok kecil
itu." Beberapa orang nampak termangu-mangu. Karena itu
maka Ki Bekel pun berkata, "Hanya mereka yang tidak
merasa ketakutan. Kita wajib melihat apa yang terjadi. Kita
sudah mendengar aum beberapa ekor harimau. Sementara
di pondok itu hanya tinggal Tatas Lintang dengan ketiga
orang kemanakannya. Sekali lagi, hanya mereka yang
memiliki keberanian. Sementara itu, kita yakin bahwa kita
memiliki kelebihan dari seekor harimau, karena kita
mempunyai akal. Kita akan dapat membunuh seekor
harimau. Dengan sepuluh ujung pedang, harimau itu akan
dapat kita bunuh." Beberapa orang termangu-mangu. Namun akhirnya
ketika Ki Bekel dan para bebahu mulai bergerak, sejumlah
laki-laki dan anak-anak muda pun mengikutinya. Bahkan di
sepanjang jalan yang mereka lalui, maka kelompok itu
jumlahnya bertambah-tambah.
Namun seorang di antara mereka berbisik kepada
kawannya, "Harimau itu lebih dari seekor."
"Ya, Aumnya menunjukkan kepada kita," jawab yang
lain. Tetapi mereka tidak berhenti. Mereka tetap mengikuti Ki
Bekel yang berjalan menuju ke pategalan di sisi padukuhan.
Sementara itu, orang yang memiliki tanah itupun telah
pergi bersama Ki Bekel itu. Pemilik tanah itupun sudah
mendengar apa yang pernah terjadi dan dilakukan oleh
Tatas Lintang. Baik terhadap yang dengan serakah ingin
merampas kerja yang sudah diterimanya dari pemilik tanah
itu, maupun apa yang telah terjadi di dekat pasar.
Namun ketika tiba-tiba terdengar harimau itu mengaum
sekali lagi, lebih keras, maka iring-iringan itupun berhenti.
"Dua ekor harimau," gumam seorang bebahu.
"Ya, kita mendengar aum dua ekor harimau. Tetapi
dengan demikian tentu lebih dari dua ekor yang berada di
pondok itu," sahut Ki Bekel, "betapapun kuatnya keempat
orang itu, namun jiwa mereka ada dalam bahaya."
Meskipun jantung mereka menjadi semakin cepat
berdebar, tetapi mereka pun kemudian melanjutkan langkah
mereka menuju ke pondok kecil di sudut pategalan di luar
dinding padukuhan itu. Dalam pada itu, setelah ketiga harimau yang lain
terbunuh, dua di antaranya yang merunduk bersama untuk
menerkam Tatas Lintang, harus berhadapan dengan
keempat orang yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.
Dua ekor harimau itu tidak mempunyai banyak
kesempatan. Sebelum keduanya meloncat menerkam Tatas
Lintang, maka keduanya telah mengalami nasib buruk.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura lah yang
telah mendahului menyerang keduanya.
Namun Justru pada saat kedua ekor harimau itu
mengaum sambil menggeliat sebelum mati, Tatas Lintang
telah berlari ke arah yang berlawanan dari arah harimau itu
merunduk. Dengan satu hentakkan ia telah melepaskan
serangannya dari jarak jauh ke arah sudut lawannya.
Serangan itu memang dahsyat sekali. Sekilat sinar
memancar dari telapak tangannya yang mengembang
menyambar sasaran. Namun yang terdengar adalah sebatang pohon yang
berderak dan kemudian terguncang keras sekali. Sejenak
kemudian pohon yang tidak terlalu besar itupun telah roboh
dengan suara gemeresak. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dari Mahisa Ura kemudian
melangkah pula cepat-cepat ke arah Tatas Lintang yang
berdiri termangu-mangu. "Siapa?" bertanya Mahisa Ura.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku gagal, setidak-tidaknya mengikatnya dalam
perkelahian." "Tetapi siapa?" desak Mahisa Ura.
"Aku tidak yakin, siapakah orang itu. Tetapi aku
merasakan kehadirannya di tempat itu. Ketika aku
melepaskan serangan, aku memang melihat bayangan yang
lenyap dalam kegelapan."
Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang menegang. Keduanya lebih memperhatikan dua
ekor harimau yang merunduk dan hampir menerkam Tatas
Lintang. Kemudian keduanya telah membunuh harimau itu
bersama Mahisa Ura. Karena itu mereka tidak
memperhatikan bayangan yang dilihat oleh Tatas Lintang.
Namun dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura pun semakin menyadari kelebihan
Tatas Lintang dalam beberapa segi daripada mereka.
"Sudahlah," berkata Tatas Lintang, "Aku kira orang
itulah yang mengendalikan harimau-harimau itu."
"Tetapi harimau-harimau itu semula tidak seluruhnya
berada di satu pihak dari pondok kita," jawab Mahisa
Pukat. "Itu tidak perlu," berkata Tatas Lintang kemudian,
"orang itu dapat mengendalikan harimau-harimau itu tanpa
melihatnya. Tetapi mengetahui tempatnya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu, maka
mereka pun telah mendengar suara gemeresak. Sejenak
kemudian mereka pun menjadi jelas, suara itu adalah suara
sekelompok orang yang datang ke pondok itu.
"Siapa?" bertanya Mahisa Ura.
"Entahlah. Tetapi mungkin orang-orang padukuhan
yang mendengar aum harimau itu," jawab Tatas Lintang.
Ternyata dugaan itu benar. Beberapa saat kemudian,
maka mereka pun melihat beberapa orang mendatangi
halaman rumah itu. Ada di antara mereka yang membawa
obor. Tatas Lintang lah yang kemudian menyongsong mereka
di pagar halaman. Sambil membungkuk hormat ia berkata,
"Marilah Ki Bekel. Silahkan."
Beberapa orang telah memasuki halaman, sementara
yang lain menunggu di luar.
Namun seorang di antara mereka yang membawa obor
berteriak sambil meloncat ke arah Ki Bekel.
"Ada apa?" bertanya Ki Bekel.
"Harimau," jawab orang itu dengan suara gemetar.
Beberapa orang pun kemudian melihat, lima bangkai
harimau terkapar di halaman itu.
"Lima ekor harimau," teriak seseorang dengan mata
terbelalak. Sebenarnyalah di halaman rumah itu bertebaran lima
bangkai harimau yang besar. Harimau loreng.
Justru karena itu maka orang-orang yang berada di luarpun
telah berlari-larian masuk. Mereka ingin melihat,
apakah benar ada lima ekor harimau terbunuh di halaman
itu. "Siapakah yang membunuh?" bertanya Ki Bekel.
"Kami," jawab Tatas Lintang singkat.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
sudah mengira. Namun aku pun merasa cemas sebelumnya
oleh auman harimau-harimau itu, sehingga aku mengajak
beberapa orang kemari. Tetapi seandainya kelima harimau
itu masih hidup, maka tidak seorang pun yang akan berani
memasuki halaman." Namun dalam pada itu, seorang di antara mereka
bertanya, "Bagaimana mungkin kalian berempat mampu
membunuh lima ekor harimau."
Tatas Lintang tertawa. Katanya, "Biasa saja. Kami
mempunyai kesempatan lebih baik daripada harimau itu,
karena kami memiliki akal dan kemampuan
memperhitungkan sesuatu. Sedangkan harimau tidak."
"Tentu bukan karena itu," jawab seseorang, "kalian
tentu mempunyai ilmu yang tidak kami ketahui."
"Salah satu kecerdikan manusia adalah mempelajari
ilmu. Itu memang termasuk kelebihan kita seperti yang
sudah aku katakan, karena harimau tidak akan mampu
mempelajari ilmu apapun juga."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab. Sementara itu maka Tatas Lintang pun telah bertanya
kepada Ki Bekel, "Apakah yang sebaiknya kita lakukan
dengan harimau-harimau itu?"
"Apa rencanamu?" bertanya Ki Bekel pula.
"Terserah kepada Ki Bekel," jawab Tatas Lintang, "kami
tidak memerlukan harimau-harimau itu. Mungkin Ki Bekel
atau orang-orang padukuhan ini memerlukan kulitnya."
"Menarik sekali," desis seseorang.
Ki Bekel mengerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Apakah kira-kira harimau ini tidak ada yang lain
lagi?" "Seandainya ada lagi sudah aku katakan, kita memiliki
banyak kelebihan dari harimau-harimau itu. Kita dapat
mempergunakan tombak, pedang atau senjata-senjata yang
lain. Apalagi kita melawannya dalam kelompok yang besar.
Maka harimau itu tentu tidak berarti apa-apa. "jawab Tatas
Lintang. Ki Bekel mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Bawalah
ke banjar. Besok kita akan mengulitinya. Kulit harimau
termasuk barang yang mahal harganya."
Beberapa orang pun kemudian telah membawa harimau
itu ke banjar. Karena harimau itu berat, maka mereka telah
mencari batang-batang bambu untuk menggotong harimauharimau
itu. Namun demikian sepanjang jalan, orang-orang itupun
masih saja berdebar-debar. Mereka berada di jalan di luar
dinding padukuhan. Jika masih ada kawanan harimau itu,
maka mereka tentu akan datang menyerang karena mereka
mencium bau bangkai. Bangkai harimau yang mereka
bahwa ke banjar itu. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Tatas Lintang.
Mereka berjumlah banyak. Apalagi karena orang-orang
yang berada di tempat-tempat lain di padukuhan itu telah
datang pula untuk melihat harimau-harimau yang mati itu.
"Luar biasa," desis seseorang, "hampir tidak masuk akal.
Empat orang mampu membunuh lima ekor harimau
sebesar itu." "Tetapi itu sudah terjadi," sahut yang lain.
"Ya. Mungkin akalku lah yang terlalu pendek." jawab
yang pertama. Merekapun terdiam. Namun mereka ikut pula dalam
iring-iringan menuju ke banjar itu.
Ketika mereka memasuki regol padukuhan, maka
mereka pun menjadi agak tenang. Meskipun harimauharimau
itu ternyata dengan mudah dapat memasuki
dinding padukuhan, namun rasa-rasanya masih ada batas
yang melindungi mereka dari harimau-harimau itu.
Demikian mereka sampai di banjar, maka harimau
itupun telah mereka letakkan begitu saja di halaman banjar.
Orang-orang yang membawa harimau-harimau itu
meskipun bergantian, merasa letih juga karena harimau itu
memang berat. "Tinggallah saja di situ," berkata Ki Bekel, "besok kita
akan mengulitinya. Sekarang kalian dapat kembali dengan
tenang. Malam ini tidak akan ada harimau yang menerkam
kambing. Meskipun begitu, penjagaan di gardu-gardu serta
pengawasan di regol-regol butulan padukuhan harus tetap
dilakukan." Orang-orang yang berkerumun di banjar itupun seorang
demi seorang telah pergi. Bahkan kemudian kelompokkelompok
kecil telah keluar dari banjar itu dengan penuh
kekaguman. "Besok, harimau-harimau itu akan menjadi tontonan
anak-anak yang sangat menarik," berkata salah seorang di
antara mereka. "Kita akan dapat menunjukkan kepada anak-anak kita
bahaya di luar dinding padukuhan. Jika mereka bermain di
terang bulan, jangan bersembunyi di luar dinding
padukuhan, karena harimau-harimau itu akan dapat
mengintai mereka. Bukan hanya seekor. Malam ini lima
ekor sekaligus. "Jawab yang lain.
Perlahan-lahan halaman banjar itupun menjadi kosong.
Ki Bekel lah yang kemudian meninggalkan halaman itu
terakhir bersama dua orang bebahu. Karena itulah, maka
banjar itupun telah menjadi kosong. Yang terisi kemudian
ada gardu di luar regol banjar itu, meskipun pintu regol itu
tidak pernah ditutup dan diselarak.
"Berjagalah baik-baik," berkata Ki Bekel ketika ia
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melalui pintu regol itu. "Mungkin masih ada harimau yang
ingin mencari kawan-kawannya dan menuju ke banjar ini."
Anak-anak muda yang berjaga-jaga di gardu itu menjadi
berdebar-debar. Tetapi beberapa orang hampir berbareng
menjawab, "Baik Ki Bekel."
Namun sepeninggal Ki Bekel seorang di antara mereka
berkata, "Apakah mungkin masih ada harimau yang lain?"
"Tentu tidak," jawab kawannya, "semuanya sudah
terbunuh." "Apakah di hutan itu hanya ada lima ekor harimau?"
bertanya yang pertama pula.
Kawannya tidak menjawab. Namun ketegangan
membayang di wajah anak itu. Jika benar seekor saja
harimau sebesar itu datang ke regol banjar, apakah yang
dapat mereka lakukan" Meskipun mereka tidak hanya dua
atau tiga orang, tetapi lebih banyak lagi. Namun
menghadapi seekor harimau tentu akan mengalami
kesulitan. Sementara itu, Tatas Lintang dan ketiga orang yang
diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di dalam
pondok mereka yang telah berserakan pula. Namun amben
mereka ternyata tidak rusak seperti yang pernah terjadi.
Mereka masih dapat tidur di atas amben itu, meskipun
mereka sepakat untuk bergantian.
"Mungkin tidak akan ada harimau lagi datang kemari.
Setidak-tidaknya untuk malam ini," berkata Tatas Lintang,
"tetapi bayangan yang aku rasakan kehadirannya itu rasarasanya
selalu mengganggu saja. Mungkin ia masih berada
di sekitar pondok ini. Mungkin ia akan datang mendekat
dan membakar pondok ini. Jika tidak dengan api akan
dapat dilakukannya dengan ilmunya."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
mengangguk-angguk. Karena itu, maka mereka sepakat
untuk mempergunakan sisa malam itu bergantian.
Karena itu, waktu mereka memang sangat pendek.
Bahkan ketika Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mendapat
giliran beristirahat tidur nyenyak, Mahisa Murti dan Tatas
Lintang tidak membangunkannya, karena sisa malam
tinggal terlalu pendek. Baru ketika matahari membayang, Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura telah terbangun sendiri. Sementara itu Tatas
Lintang-pun berkata, "Kita tidak mempunyai kerja apa-apa
hari ini." "Besok kita baru akan mulai bekerja di sawah di ujung
padukuhan ini. Karena itu, aku akan tidur pagi ini.
Mungkin Mahisa Murti pun akan tidur juga."
"Ya," jawab Mahisa Murti, "meskipun tidur di saat
matahari sudah terbit, rasa-rasanya tidak menyegarkan
badan. Tetapi aku memang letih."
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang
itu-pun justru pergi tidur sementara Mahisa Pukat dan
Mahisa Ura telah merebus air.
Namun sejenak kemudian, mereka pun telah dikejutkan
oleh beberapa orang yang datang berlari-lari ke pondok itu.
Sebelum mereka memasuki halaman, mereka sudah
berteriak-teriak memanggil nama Tatas lintang.
Tatas Lintang yang sudah berbaring di amben besar di
dalam pondoknya terkejut. Dengan serta merta iapun telah
meloncat turun disusul oleh Mahisa Murti. Ketika mereka
berdua keluar dari pondoknya, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun telah berlarian pula ke halaman depan.
Tatas Lintang yang menyongsong mereka pun menjadi
berdebar-debar. Sementara itu. seorang di antara mereka
yang berlari di paling depan berhenti dua langkah
dihadapan Tatas Lintang. Dengan nafas yang memburu, orang itu berkata terbatabata,
"Harimau itu." "Harimau itu kenapa?" bertanya Tatas Lintang.
"Yang di banjar," orang itu masih saja nampak bingung.
"Tenanglah," berkata Tatas Lintang, "katakan dengan
jelas apa yang telah terjadi."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
menenangkan dirinya. Kemudian katanya meskipun masih
juga dengan suara bergetar, "Bangkai-bangkai harimau itu
hilang." "Hilang?" Tatas Lintang benar-benar terkejut. Demikian
pula Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
"Bagaimana mungkin bangkai-bangkai harimau itu dapat
hilang" Bukankah ada beberapa orang yang berjaga-jaga di
banjar?" bertanya Tatas Lintang.
"Ya. Ada beberapa orang anak muda yang berjaga-jaga
di gardu di depan regol banjar," jawab orang itu.
"Jadi, bagaimana dengan para penjaga itu" Apakah
mereka tidak mampu mencegah orang yang mengambil
bangkai-bangkai harimau itu atau mereka memang tidak
tahu, bagaimana bangkai-bangkai harimau itu hilang.
Apakah para penjaga itu mengalami cidera?" bertanya
Tatas Lintang pula. "Mereka tidak apa-apa," jawab orang itu dengan nafas
yang masih terengah-engah.
Tatas Lintang termenung sejenak. Namun kemudian
katanya kepada ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu, "Marilah kita pergi ke banjar."
Ketiga orang yang diakunya sebagai kemanakannya
itupun dengan tergesa-gesa membenahi diri. Tetapi mereka
tidak sempat mandi. Dengan tergesa-gesa keempat orang itu telah pergi ke
banjar diikuti oleh-beberapa orang yang datang ke
rumahnya. Mereka sama sekali tidak sempat berbicara
apapun di perjalanan. Rasanya jantung mereka telah
menjadi tegang. Ketika mereka sampai di halaman banjar, maka Ki Bekel
dan beberapa orang bebahu telah berada di banjar itu pula.
Merekapun nampak tegang dan gelisah.
"Siapakah yang semalam bertugas di banjar?" bertanya
Tatas Lintang kepada Ki Bekel.
Ki Bekel kemudian memanggil seorang anak muda yang
semalam bertanggung jawab atas penjagaan banjar
padukuhan itu. "Katakanlah, apa yang telah terjadi," berkata Ki Bekel
kepada anak muda itu. Anak muda itupun kemudian telah menceriterakan
kepada Tatas Lintang, apa yang dialaminya bersama
kawan-kawannya semalam. "Kami tidak tahu apa yang telah membuat kami
semuanya kehilangan penguasaan diri," berkata anak muda
itu, "ketika kami sadar, ternyata bahwa kami semuanya
telah tertidur di gardu. Dua orang awan kami yang sedang
berada di banjar pun telah tidur pula dengan nyenyak
sekali. Baru ketika kami dibangunkan oleh orang yang
lewat di depan regol banjar, kami baru terbangun dan
menyadari apa yang telah terjadi."
"Sirep," terdengar Mahisa Pukat berdesis.
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Dengan nada datar
ia berkata kepada Ki Bekel, "Sirep, Ki Bekel. Sirep yang
sangat tajam, sehingga anak-anak itu tertidur sampai
matahari terbit." "Sementara itu mereka tidak tahu apa yang telah terjadi
di halaman banjar. Mereka tidak tahu, bahwa bangkaibangkai
harimau itu sudah dicuri orang."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Luar biasa.
Berapa orang yang telah datang mencuri di banjar itu. Lima
ekor harimau yang cukup besar. Bagaimana mereka
membawa kelima ekor harimau itu" Bagaimana mereka
membawa keluar dari padukuhan ini, sementara di regolregol
padukuhan pun telah dijaga" Anak-anak yang berjagajaga
di regol-regol padukuhan itu tidak terkena sirep.
Mereka tetap berjaga-jaga semalam suntuk."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang pernah mendapat
pengalaman yang sama masih tetap berdiam diri. Keduanya
pernah meninggalkan bangkai harimau di dekat batu yang
berwarna kehijau-hijauan itu. Ketika mereka bersama-sama
dengan orang-orang padukuhan akan mengambilnya,
ternyata bangkai harimau itupun telah hilang pula.
Namun bangkai harimau itu berada di tempat terbuka,
sehingga tidak terlalu sulit untuk mengambilnya dan
membawanya pergi. Tidak banyak orang yang sampai ke
tempat itu, sehingga karena itu, kecil sekali
kemungkinannya untuk diketahui atau dilihat orang.
Berbeda dengan bangkai-bangkai harimau yang berada di
banjar itu. Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dapat menduga bahwa orang yang mengambil bangkai
harimau itu berapa pun jumlahnya, adalah orang-orang
yang memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat masih
belum mengatakannya dalam hubungannya dengan
hilangnya lima bangkai harimau di halaman banjar itu.
Dalam pada itu, maka Tatas Lintang pun berkata, "Ki
Bekel. Ternyata bahwa harimau itu mempunyai hubungan
dengan peristiwa-peristiwa yang masih terselubung. Karena
itu, biarlah kami berusaha untuk memecahkannya.
Meskipun mungkin kami benar-benar akan kehilangan
jejak. Tetapi kami akan tetap berusaha. Namun tidak
mustahil bahwa kami akan mengalami kegagalan."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
datar ia berkata, "Aku percaya Ki Sanak. Kalian telah
berbuat sejauh-jauh dapat kalian lakukan. Kalian pun telah
membuat pangeram-eram di sini. Menurut perhitungan
kami mustahil bahwa empat orang akan dapat membunuh
lima ekor harimau sebesar itu."
"Sudah berkali-kali aku katakan, bahkan kita seharusnya
mempunyai lebih banyak kesempatan dari harimauharimau
itu, karena kita mempunyai akal." jawab Tatas
Lintang. Namun kemudian katanya, "Meskipun demikian,
kita tidak boleh mengingkari bahwa harimau memang
memiliki kekuatan yang luar biasa."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Ki Bekel, "kami minta
kalian untuk tetap berada di padukuhan ini. Mungkin masih
akan ada bencana yang akan menerkam padukuhan ini.
Seandainya bukan berujud harimau, mungkin dalam ujud
yang lain." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
dengan nada datar ia berkata, "Ada sesuatu yang akan aku
katakan kepada Ki Bekel."
"Apa ?" bertanya Ki Bekel.
"Aku akan mengatakannya pada kesempatan lain,"
jawab Tatas Lintang. Ki Bekel mengerutkan keningnya. Tetapi ia mengerti,
bahwa yang akan dikatakan oleh Tatas Lintang itu tidak
perlu didengar oleh banyak orang. Karena itu, maka
katanya, "Marilah, kita pergi ke rumahku."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Sebaiknya Ki Bekel memberikan pesan kepada
para petugas di banjar ini. Mereka harus mempunyai
pegangan, meskipun menurut perhitunganku, harimau itu
tidak akan datang di siang hari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka pernah mengalami, bahwa harimau itu
datang di siang hari. Namun mereka tidak dengan tergesagesa
menyahut. Mereka akan mengatakan pengalaman
mereka jika mereka mendapat kesempatan untuk berbicara
khusus dengan Ki Bekel. Ki Bekel pun kemudian memberikan pesan, agar
penjagaan dilakukan meskipun di siang hari. Jika mereka
merasakan sesuatu yang asing, apapun juga, agar mereka
membunyikan isyarat. Sejenak kemudian Ki Bekel pun
kembali ke rumahnya diiringi oleh Tatas Lintang dan ketiga
orang yang diakuinya sebagai kemanakannya, sementara
dua orang bebahu telah tinggal di banjar bersama orangorang
yang masih diganggu oleh perasaan heran, karena
peristiwa yang baru saja terjadi.
Di rumah Ki Bekel, maka Tatas Lintang pun telah
berkata, "Ki Bekel. Sebenarnya kami tidak berkeberatan
untuk tetap berada di padukuhan ini. Tetapi sebagaimana
Ki Bekel ketahui, agaknya kamilah yang menjadi sasaran
dari kelima ekor harimau itu. Bukan padukuhan ini. Karena
itu, selama kami masih berada di padukuhan ini, maka
justru padukuhan ini masih akan selalu diganggu oleh
harimau-harimau. Atau mungkin justru oleh peristiwaperistiwa
lain yang akan dapat menyulitkan rakyat
padukuhan ini." Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Tetapi bukankah kau sudah cukup lama berada di
padukuhan ini" Jika benar kaulah yang menyebabkannya,
kenapa baru sekarang" Bukankah sejalan dengan
pikiranmu, maka yang menyebabkan kehadiran harimauharimau
itu tentu ketiga orang kemanakanmu itu."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun Mahisa Murti
lah yang menjawab, "Mungkin benar Ki Bekel. Sebelum
kami datang agaknya paman Tatas Lintang tidak pernah
diganggu oleh siapapun atau oleh apapun. Namun setelah
kami berada di sini, maka harimau-harimau itupun telah
berdatangan." Mahisa Murti berhenti sejenak, lalu,
"Sebenarnyalah bahwa kami pun pernah mengalami
gangguan harimau seperti ini. Justru di siang hari, di tepi
hutan." "Tetapi di tepi hutan," jawab Ki Bekel, "bukankah itu
wajar sekali. Namun sebenarnyalah kami tidak ingin
menyalahkan kalian karena kehadiran harimau-harimau
itu." "Aku mengerti," jawab Mahisa Murti, "tetapi aku ingin
mencoba mencari sebab sebenarnya dari kehadiran
harimau-harimau ini. Ketika kami berhasil membunuh
harimau-harimau yang datang mengganggu kami, maka di
sore harinya, ketika kami berusaha mengambil bangkai
harimau itu untuk dikuliti, harimau-harimau itupun telah
hilang pula." Ki Bekel mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata, "Mungkin kau benar. Harimau-harimau itu
memang mencarimu." "Mungkin Ki Bekel," berkata Tatas Lintang. Namun
katanya kemudian, "Tetapi sebelumnya, tidak seorang pun
yang memperhatikan kehadiranku di sini. Tetapi setelah
kami kehilangan kesabaran dan mulai berkelahi, maka
kehadiran kami di sini sangat menarik perhatian banyak
orang. Banyak orang yang menyangka bahwa kami
memiliki ilmu yang tinggi, sehingga mungkin sekelompok
orang menganggap perlu menjajagi kemampuan kami
dengan harimau-harimau itu."
Ki Bekel mengangguk-angguk pula. Namun katanya, "Ki
Sanak. Kau sudah aku anggap keluarga sendiri di sini.
Demikian pula ketiga orang kemanakanmu itu. Karena itu
biarlah kalian tinggal di sini. Apapun yang akan terjadi.
Bahkan ternyata aku telah dapat mengatasi kesulitanmu
sendiri." "Tetapi tiga ekor kambing sudah dikorbankan." jawab
Tatas Lintang. "Apa artinya tiga ekor kambing dari satu persahabatan
yang akrab. Jangan hiraukan." jawab Ki Bekel, "pemilik
kambing itu pun telah melupakannya."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Kami mengucapkan terima kasih Ki Bekel.
Tetapi sebenarnyalah bahwa pada suatu saat kami harus
meninggalkan pondok kami. Tetapi kami tidak tahu,
apakah kami akan kembali akan kembali atau tidak."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Aku mengerti Ki Sanak. Sejak semula
aku memang sudah menduga, bahwa padukuhan ini hanya
sekedar tempat untuk singgah bagi Ki Sanak. Aku pun
sudah menduga, bahwa apa yang kami lihat, bukanlah
sebenarnya." Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak akan ingkar Ki Bekel. Karena itulah maka aku
harus mohon diri meskipun mungkin aku dapat
menyesuaikan diri. Tidak sekarang atau besok. Mungkin
dua tiga hari lagi. Aku masih akan menanam beberapa jenis
pepohonan buah-buah di pategalan yang terletak di ujung
padukuhan. Aku sudah berjanji."
"Masihkah itu perlu kau lakukan?" bertanya Ki Bekel.
"Aku kira aku masih akan melakukannya. Sekaligus
untuk mengamati keadaan setelah kami membunuh lima
ekor harimau itu." berkata Tatas Lintang.
Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun ia tentu akan
kehilangan Tatas Lintang dan tiga orang yang diakunya
sebagai kemenakannya itu. Agaknya bagaimanapun juga ia
menahan, tetapi keempat orang itu tentu akan pergi juga
dari padukuhannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Tatas Lintang pun
telah minta diri kepada Ki Bekel. Dengan nada dalam ia
berkata, "Masih ada sesuatu yang harus aku lakukan Ki
Bekel." "Ya. Aku mengerti," jawab Ki Bekel.
Tatas Lintang hanya menarik nafas dalam-dalam tanpa
mengatakan sesuatu lagi. Mereka berempat pun kemudian
telah meninggalkan rumah Ki Bekel itu.
Di jalan kembali ke pondok kecil mereka, Mahisa Pukat
berkata, "Kita jangan dihambat lagi. Kami sudah terlalu
lama pergi dan ingin segera melakukan tugas kami sebaikbaiknya.
Berhasil atau tidak berhasil."
"Aku mengerti," jawab Tatas Lintang, "Tetapi kita tidak
boleh tergesa-gesa."
"Aku tidak tergesa-gesa," jawab Mahisa Pukat, "tetapi
waktuku sudah terlalu lama terbuang."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Kita akan
melakukannya. Tetapi apakah kita tidak ingin mengetahui
serba sedikit rahasia di dalam dinding padepokan itu"
Mereka sudah mulai datang kepada kita, meskipun baru
harimau-harimaunya. Aku gagal berhubungan dengan salah
seorang di antara mereka. Agaknya orang itulah yang
mengendalikan harimau-harimau itu."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Baiklah. Tetapi ingat, langkah kita masih belum sampai ke
tujuan meskipun kita sudah mendekat."
"Sebenarnyalah kita mempunyai kepentingan yang sama
dan dalam keadaan yang sama pula. Aku pun merasa
bahwa aku telah terlalu lama berada di sini. Karena itu,
maka kita akan berusaha untuk secepatnya melakukan
tugas kita," berkata Tatas Lintang.
Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi justru terbersit
satu pertanyaan di hatinya, "Apakah ada kesengajaan orang
ini untuk menghambat tugas kami?"
Mahisa Murti tidak menyambung. Tetapi ia justru mulai
mengenang pangeran Singa Narpada. Apakah Pangeran
Singa Narpada menganggap bahwa tugasnya sudah gagal.
Bahkan ia-pun mulai memikirkan ayahnya. Mungkin
ayahnya sudah mulai menjadi gelisah karena ia sudah
terlalu lama pergi. Bahkan kakaknya pun tentu
memikirkannya pula. "Tetapi kakang Mahisa Bungalan pada waktu
pengembaraannya kadang-kadang juga memerlukan waktu
yang cukup lama," berkata Mahisa Murti di dalam hati.
Mahisa Ura pun tidak berkata apa-apa. Tetapi
sebenarnyalah iapun sudah memikirkan, bahwa ia sudah
pergi terlalu lama. Dengan demikian iapun telah terlalu lama meninggalkan
tugas-tugasnya. Namun yang dilakukannya itu juga
termasuk salah satu tugas dari kedudukannya sebagai
petugas sandi Singasari. Ketika keempat orang itu sampai ke pondoknya, sama
sekali tidak terjadi perubahan apapun juga. Tidak ada orang
yang mengganggu rumah kecilnya dan tidak ada tandatanda
yang mencurigakan. Namun demikian, agaknya Tatas Lintang masih juga
menunggu. Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak menanyakannya, agaknya ada firasat bahwa orang
yang sedang ditunggunya itu akan datang.
"Jika sikap Tatas Lintang jujur, agaknya ia masih
menunggu orang yang pernah datang bersama harimauharimaunya
itu," berkata Mahisa Murti di dalam hatinya.
"Mudah-mudahan ia tidak mempunyai kepentingan lain.
Atau sekedar berhati-hati karena umurnya yang sudah
mendekati masa-masa tuanya."
Senja yang kemudian datang, setelah keempat orang itusempat
beristirahat dan menyiapkan makan dan minum,
membuat pondok kecil itu menjadi lengang. Mahisa Murti
dan Tatas Lintang merasa bahwa merekalah yang harus
berjaga-jaga di belahan malam yang pertama, telah
menyiapkan minuman hangat dan jagung bakar.
"Jika kalian nanti memerlukan, siapkan perapian yang
akan kau nyalakan malam nanti," berkata Tatas Lintang
kepada Mahisa Pukat. Tetapi jawab Mahisa Pukat, "sisakan saja minuman dan
makanan kalian." Tatas Lintang hanya tertawa kecil. Tetapi Mahisa Murti
lah yang menjawab, "Bukan salah kami jika semuanya
sudah habis sebelum kalian terbangun."
Tetapi Mahisa Pukat tetap saja duduk di amben bersama
Mahisa Ura, sementara Mahisa Murti dan Tatas Lintang
telah keluar dari pondok mereka dan duduk di lincak di
serambi depan. Malam yang turun perlahan-lahan rasa-rasanya memang
sangat sepi. Gelap menjadi semakin pekat, karena di langit
tidak ada bulan. Tatas Lintang dan Mahisa Murti pun kemudian bangkit
dan berpindah tempat duduk. Mereka tidak lagi berada di
serambi, karena dengan demikian mereka akan
menempatkan diri mereka sebagai sasaran yang mapan jika
ada orang yang dengan licik menyerang mereka dari jarak
yang agak jauh. "Lebih baik kita duduk di dalam," berkata Tatas
Lintang. "Ya. Udara mulai dingin. Minuman kita pun akan segera
menjadi dingin jika tidak segera kita minum," berkata
Mahisa Murti. Ternyata Mahisa Ura dan Mahisa Pukat masih sempat
menjawab, "Biarlah kami sajalah yang minum. Kalian
berjaga-jaga di luar."
"Tidur, cepat. Nanti jika waktunya kalian dibangunkan,
kalian hanya menggeliat saja. Tetapi segera tertidur lagi."
jawab Mahisa Murti. Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia membalikkan
badannya menghadap dinding.
Mahisa Murti dan Tatas Lintang menarik nafas dalamdalam.
Namun mereka pun hanya tersenyum saja tanpa
menjawab. Beberapa saat mereka duduk sambil meneguk minuman
mereka. Namun kemudian Mahisa Murti pun bertanya, "Apakah
menurut pendapatmu, orang itu akan datang kembali
menemui kita?" "Ya," jawab Tatas Lintang, "aku yakin mereka akan
kembali. Namun aku tidak tahu, dengan cara apa mereka
akan datang lagi. Mungkin tidak dengan harimau-harimau
itu." "Akhirnya bukan kita yang datang kepada mereka, tetapi
merekalah yang datang kepada kita." berkata Mahisa
Murti. "Itu lebih baik daripada kita berselisih jalan. Kita datang
kepada mereka, sementara mereka datang kepada kita,"
jawab Tatas Lintang. "Agaknya mereka memang berkeberatan untuk
menerima tamu di padepokan mereka," berkata Mahisa
Murti, "sebenarnya terserah kepada kita. Apakah kita
memang benar-benar memasuki padepokan itu atau tidak.
Jika kita memang ingin masuk, kita tidak perlu
memikirkannya, apakah kita akan berselisih jalan atau
tidak." Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Mungkin pikiranku sudah terlalu tua bagi kalian.
Tetapi aku ingin berbuat dengan hati-hati. Jika satu dua
orang datang kepada kita, maka kita akan dapat menjajagi
kemampuan-mereka sebelum kita terjerumus ke dalam satu
lingkungan yang akan dapat menjerat kita."
"Tetapi bukankah kita pernah datang ke tempat itu?"
"Kami pernah, dan kau pun pernah," berkata Mahisa
Murti, "bukankah kita bertemu di dekat padepokan itu
pula." "Ya," jawab Tatas Lintang, "tetapi aku sekedar
mengamat-amati keadaan dan melihat kemungkinankemungkinannya.
Waktu itu aku memang belum siap untuk
meloncat masuk. Itulah sebabnya kita bertemu dan aku pun
berusaha menjajagi kemampuan kalian meskipun sejak
semula aku yakin bahwa kalian mengemban satu tugas
tertentu. Bukan hanya sekedar dendam di antara
padepokan. Di antara orang-orang berilmu yang
mempunyai kepentingan-kepentingan yang berbenturan."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun iapun
terdiam. Dilihatnya Mahisa Pukat dan Mahisa Ura menjadi
gelisah. Agaknya mereka ingin untuk tidur barang sebentar,
namun mereka pun ingin mendengarkan pembicaraan itu.
Tatas Lintang pun agaknya mengerti juga. Karena itu
maka iapun tidak berbicara lagi. Namun iapun justru
bangkit dan pergi ke bagian belakang pondok kecilnya yang
dipergunakannya untuk dapur.
Tetapi Tatas Lintang itupun tertegun. Ia mendengar
sesuatu di belakang pondok kecil itu. Sebuah desir lembut.
Tatas Lintang tidak dengan serta merta menanggapinya.
Iapun justru melanjutkan langkahnya dengan hati-hati dan
duduk di depan perapian meskipun perapian itu tidak
menyala. Demikian juga lampu minyak di dapur itupun memang
tidak dinyatakannya sejak hari menjadi gelap.
Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun duduk di
dalam kegelapan. Justru dari tempat itu Tatas Lintang ingin
mengetahui apa yang akan terjadi.
Dengan mempergunakan kemampuannya, maka Tatas
Lintang itupun telah berusaha untuk menyerap bunyi
pernafasannya serta sentuhan-sentuhan tubuhnya. Ia
berharap bahwa jika ada seseorang di luar tidak
mengetahuinya bahwa ia berada di dapur.
"Jika ia berada didekat dinding sejak semula, maka ia
tentu mendengar langkahku masuk ke dapur ini, meskipun
ia tidak sempat melihat," berkata Tatas Lintang di dalam
hatinya. Tetapi ternyata bahwa kehadiran Tatas Lintang ke dapur
itu tidak diketahui. Ternyata Tatas Lintang masih
mendengar langkah-langkah di bagian belakang pondok
kecilnya. Bahkan kemudian ia juga mendengar geseran
pada dinding pondok kecil itu.
Tatas Lintang termangu-mangu. Ia tidak tahu apakah
orang-orang yang ada di amben besar di ruang dalam itu
juga mendengarnya. Namun demikian Tatas Lintang masih tetap duduk di
tempatnya. Pada saat yang demikian, seseorang tengah merunduk di
belakang pondok kecil itu. Tetapi kemudian orang itu telah
bergeser ke samping. Orang itu ternyata tidak mengetahui
bahwa Tatas Lintang telah pergi ke dapur. Ia memang
mendengar desir langkah Tatas Lintang. Namun ketika ia
berusaha untuk mengintip, justru Tatas Lintang pun
mendengar kehadirannya dan mengatur langkahlangkahnya
sehingga orang di luar dinding itu telah
kehilangan pengamatannya.
Namun orang di luar dinding pondok itu telah
mengetahui, bahwa orang di dalam pondok itu telah
bergeser dari tempatnya semula meskipun ia tidak
mengetahui, dimanakah orang-orang di dalam pondok itu
kemudian berada.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Untuk beberapa saat orang di luar dinding itu berusaha
untuk mendengar suara-suara di dalam pondok. Namun
yang didengarnya kemudian adalah justru dengkur Mahisa
Ura dan Mahisa Pukat yang telah tertidur nyenyak.
Mahisa Murti yang masih duduk di amben memang
mendengar desir pada dinding pondoknya. Apalagi ketika
ia mendengar langkah Tatas Lintang yang masuk ke dalam
dapur. Iapun mengira bahwa di luar tentu ada sesuatu.
Mungkin seseorang, mungkin seekor binatang yang
meskipun bukan seekor harimau, namun yang telah
dicengkam oleh ilmu gendam.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti bagaikan membeku.
Ia tidak bergerak sama sekali, sehingga tempat duduknya
tidak berderit. Namun sejenak kemudian, Mahisa Murti telah
mendengar suara yang asing. Bukan desir langkah
seseorang, bukan pula derak kuku harimau di dinding.
Mahisa Murti itupun memasang telinganya baik-baik. Ia
berusaha untuk mengetahui suara apakah yang telah
didengarnya itu. Namun ia tidak segera mengetahuinya.
Sementara itu, ketika Mahisa Murti sempat
memperhatikan Mahisa Pukat dan Mahisa Ura, maka
dilihatnya kedua orang itu tidurnya sangat nyenyak.
Agaknya keduanya memang merasa letih. Bukan saja
tubuhnya, tetapi nalarnya, justru karena peristiwa yang baru
saja terjadi di padukuhan itu.
Namun selagi Mahisa Murti masih berangan-angan, tibatiba
suara yang aneh itu terdengar di bawah amben yang
besar itu di arah dinding. Ia mendengar pula seakan-akan
dinding itu berderik kecil. Tentu bukan seekor harimau
yang masuk. Sejenak kemudian terasa tengkuk Mahisa Murti
meremang, ia tidak menjadi ketakutan, tetapi rasa-rasanya
ngeri juga menghadapi peristiwa yang terjadi itu.
Sejenak Mahisa Murti masih tetap duduk di tempatnya.
Suara di bawah amben bambu yang besar itu menjadi
semakin jelas. Tetapi Mahisa Murti tidak menduga, bahwa
yang terjadi itu adalah demikian cepatnya. Tiba-tiba saja ia
melihat sesuatu yang bergerak naik ke amben tempatnya
duduk sekaligus tempat Mahisa Pukat dan Mahisa Ura
tertidur nyenyak. -ooo0dw0oooKolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : Uploader di Indozone : Dino
--ooo0dw0ooo- Jilid 033 SEBUAH kepala dengan lidah yang bercabang terjulur
naik ke atas amben itu langsung menuju ke arah kaki
Mahisa Ura. Seekor ular belang. Seekor ular belang yang
cukup besar. Jantung Mahisa Murti berdesir. Jika ular itu menyerang
Mahisa Pukat, Mahisa Murti tidak terlalu gugup, karena
Mahisa Pukat, sebagaimana dirinya, mempunyai kekuatan
untuk menangkal bisa yang betatapapun tajamnya. Tetapi
Mahisa Ura tidak. Karena itu maka Mahisa Murti tidak dapat berbuat lain.
Setelah memusatkan kemampuannya sejenak, maka tibatiba
iapun telah mengangkat tangannya ke arah kepala
seekor ular yang besar, yang merambat ke arah kaki Mahisa
Ura dan tangan Mahisa Murti itu telah memancar secercah
sinar yang menyambar kepala ular itu. Namun bukan saja
kepala ular itu yang pecah, tetapi amben besar itupun telah
berderak pula. Mahisa Pukat, Mahisa Ura dan Tatas Lintang yang
berada di dapur itupun terkejut. Bahkan Mahisa Murti pun
telah terkejut pula. Ketika Mahisa Pukat, Mahisa Ura
terbangun, serta Tatas Lintang meloncat ke ruang dalam,
maka mereka telah melihat seekor ular belang yang besar
sedang menggeliat di lantai. Namun sejenak kemudian
maka ular itupun telah terdiam. Mati.
"Ular," berkata Tatas Lintang dengan tegang, "mereka
telah mempergunakan cara baru."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, sementara itu
Mahisa Pukat memandangi bangkai ular itu dengan
termangu-mangu. "Hampir saja," desis Mahisa Ura, "mungkin ular itu
tidak berbahaya bagi kalian berdua, tetapi berbahaya
bagiku." "Bagi kami pun berbahaya," sahut Mahisa Pukat, "ular
itu cukup besar untuk membelit dan mencekik leherku."
Namun Mahisa Murti pun berkata, "Agaknya memang
ada maksud tertentu. Orang-orang itu tahu, bahwa ular-ular
di dekat batu yang berwarna kehijauan itu tidak mampu
membunuhku. Tetapi mereka mempergunakan ular juga
untuk menyerang kita."
"Mungkin akulah yang diancamnya," berkata Tatas
Lintang. "Katakan, apakah kau tidak mempunyai penawar bisa?"
bertanya Mahisa Murti. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya," beruntunglah aku ... " namun suaranya
terputus. Ia menjadi ragu-ragu sambil memandangi dinding
pondoknya. Tetapi sejenak kemudian iapun mengangguk
kecil. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
mengetahui, bahwa Tatas Lintang pun mempunyai
penawar bisa. Namun dalam pada itu, selagi mereka sibuk dengan
peristiwa yang baru saja terjadi, terdengar suara isyarat
kentongan. Merekapun segera mengetahui, bahwa suara
kentongan itu adalah kentongan banjar padukuhan, yang
kemudian disahut oleh yang lain.
Tatas Lintang termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Apakah kita akan pergi ke banjar?"
"Baiklah," berkata Mahisa Murti, "kita akan pergi ke
banjar." Sejenak kemudian, maka mereka pun telah berkemas dan
membenahi diri mereka masing-masing. Sejenak kemudian,
mereka pun telah siap untuk meninggalkan pondok mereka.
Tetapi mereka tidak keluar lewat pintu depan. Mereka
telah keluar dari pondok itu lewat pintu dapur. Namun
mereka pun telah berhati-hati, karena masih mungkin
sesuatu terjadi pada diri mereka. Mungkin serangan yang
tiba-tiba dari orang-orang tersembunyi, atau seekor ular
raksasa yang akan mampu mematahkan tulang belakang
mereka dengan belitannya.
Ternyata tidak ada apapun di luar. Tidak ada serangan
yang tiba-tiba dan tidak ada seekor ular yang dapat
mengganggu mereka. Namun sementara itu suara kenthongan pun telah
bergema di seluruh padukuhan. Semakin lama semakin
banyak dan merata. Tetapi mereka sudah mengetahui
bahwa sumber isyarat itu adalah suara kentongan di banjar
padukuhan. Ketika Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya
sebagai kemanakannya itu sampai di banjar, mereka
melihat banyak orang sudah berkerumun.
Mereka yang berkerumun itupun segera menyibak ketika
mereka melihat Tatas Lintang itu datang. Meskipun
sebelumnya Tatas Lintang tidak lebih dari seorang yang
hanya sekedar mendapat tempat di sudut pategalan untuk
membangun sebuah pondok kecil dan tidak termasuk orang
yang dibicarakan, namun kemudian Tatas Lintang telah
berubah menjadi orang yang mendapat tempat yang
terhormat karena beberapa hal yang telah dilakukannya,
termasuk membunuh kelima ekor harimau, meskipun
bangkainya yang telah diletakkan di banjar itu hilang.
Ketika Tatas Lintang memasuki halaman banjar, maka
Ki Bekel telah menyongsongnya. Dengan nada rendah ia
berkata, "Satu bencana baru telah terjadi. Justru akan
membawa kematian. Bukan sekedar tiga ekor kambing,
tetapi beberapa orang anak muda terbaik dari padukuhan
ini." "Apa yang terjadi?" bertanya Tatas Lintang.
"Entahlah. Tetapi tiba-tiba saja beberapa ekor ular telah
mematuk anak-anak muda yang berada di gardu di depan
banjar ini. Kini mereka dalam keadaan gawat di ruang
dalam banjar itu." sahut Ki Bekel.
"Mereka dipatuk ular?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Tidak seekor ular pun tertangkap. Ular-ular itu
seakan-akan mengetahui dengan pasti, apa yang harus
mereka lakukan. Mematuk dan melarikan diri." jawab Ki
Bekel. "Apakah mereka tidak diobati?" bertanya Mahisa Pukat.
"Seorang yang kami anggap paling pandai dalam ilmu
pengobatan di padukuhan ini sedang mencoba." jawab Ki
Bekel, "tetapi menurut keterangannya, bisa ular itu terlalu
tajam, sehingga sulit untuk mengatasinya. Ular itu adalah
ular sejenis bandotan hitam dan ular weling."
Mahisa Pukat menggeram. Namun kemudian bertanya,
"Marilah. Kita melihatnya."
Ki Bekel pun telah membawa empat orang itu masuk ke
ruang dalam banjar padukuhan itu. Tiga orang terbaring
sambil merintih dalam keputus-asaan. Dua orang yang lain
agaknya lebih tabah menghadapi bencana itu. Namun
meskipun mereka hanya berdiam diri, tetapi ketakutan
memang membayang di wajah mereka.
Ketika Tatas Lintang mendekati seorang tua yang
berusaha mengobati kelima anak muda itu, maka orang tua
itupun telah menggelengkan kepalanya sambil berkata,
"Aku telah mencoba. Aku sudah memberi obat menurut
pengetahuanku. Tetapi agaknya kita hanya dapat
menunggu, apakah obat itu akan berhasil atau tidak."
Tatas Lintang termangu-mangu. Namun agaknya anakanak
muda yang dipatuk ular itu keadaannya menjadi
semakin gawat. "Ada satu kesalahan yang pokok," berkata orang tua itu.
"demikian anak-anak ini digigit ular, seharusnya mereka
tidak dibawa masuk ke bawah atap banjar ini. Tetapi ketika
aku datang, mereka sudah ada di dalam, sehingga
keadaannya menjadi parah. Merekapun tidak dengan segera
diberi penawar pelepah pisang yang perahannya
diminumkan kepada mereka."
Tatas Lintang mengerutkan keningnya, ia belum pernah
mendengar syarat yang demikian agar orang yang digigit
ular tidak menjadi semakin parah. Namun agaknya obat
orang tua itu-pun kurang tajam untuk melawan bisa ular
bandotan hitam dan sejenis ular weling.
Karena itu, maka iapun kemudian berbisik kepada
Mahisa Murti, "Apakah kita akan mengobatinya?"
Mahisa Murti mengangguk. "Apakah kau mempunyai obatnya ?" bertanya Tatas
Lintang. "Aku mempunyai sejenis batu akik, sedangkan Pukat
memiliki gelang sejenis akar yang mampu menawarkan
racun." desis Mahisa Murti pula.
"Bagus," berkata Tatas Lintang, "tetapi agaknya lebih
mudah jika kepada mereka diberikan serbuk obat saja. Aku
membawanya." Mahisa Murti mengangguk kecil. Tetapi ia tidak
menjawab. Dalam pada itu, Tatas Lintang pun telah minta diri
kepada Ki Bekel agar memerintahkan seseorang untuk
mengambil air di sumur di samping banjar, serta mengambil
sebuah mangkuk bersih. Ki Bekel mengangguk. Iapun cepat memerintahkan
seseorang untuk melakukannya. Namun agaknya orang itu
tidak berani pergi sendiri. Ia telah membawa dua orang
kawan yang membawa obor, karena di lingkungan pakiwan
dan sumur yang gelap itu akan dapat bersembunyi ular-ular
berbisa pula. Namun ternyata mereka tidak dipatuk ular sehingga
mereka pun dengan cepat telah membawa mangkuk bersih
serta air dari sumur. Tatas Lintang pun bekerja cepat. Ia telah menaburkan
obat ke dalam air di dalam mangkuk, kemudian berturutturut
anak-anak muda yang digigit ular itu telah disuruhnya
minum obat itu masing-masing beberapa teguk. Sedangkan
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah
membantu menaburkan obat yang lain pada luka-luka bekas
gigitan ular itu. Orang tua yang telah mengobatinya lebih dahulu itupun
mengerutkan keningnya. Agaknya ia kurang senang melihat
tingkah laku Tatas Lintang. Namun Tatas Lintang tidak
begitu menghiraukannya. Ia lebih memperhatikan
keselamatan anak-anak yang telah digigit ular itu daripada
sikap dan harga diri orang tua yang telah memberikan obat,
namun agaknya tidak akan banyak menolong itu.
Ternyata obat yang diberikan oleh Tatas Lintang itu jauh
lebih baik dari obat yang diberikan oleh orang tua
sebelumnya. Tetapi obat yang diberikan oleh orang tua itu
bukannya tidak bermanfaat. Karena obat orang tua itulah
maka laju arus bisa ular itu terhambat meskipun tidak
mampu menghentikannya. Namun karena terhambat, maka
anak-anak muda yang digigit ular itu sempat menunggu
kedatangan Tatas Lintang. Sedangkan jika arus bisa itu
sama sekali tidak terhambat, maka anak-anak muda itu
tentu sudah tidak akan tertolong lagi.
Karena itulah, maka Tatas Lintang itupun kemudian
berkata, "Anak-anak muda ini tentu akan berterima kasih
kepada Ki Sanak. Tanpa bantuan Ki Sanak, maka mereka
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak akan sempat menelan obat yang aku berikan."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia
mengerti maksud Tatas Lintang. Meskipun demikian, tetapi
orang itu masih saja merasa tersinggung oleh sikap Tatas
Lintang yang ternyata mempunyai kemampuan pengobatan
yang lebih baik. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Adalah satu
kenyataan bahwa obatnya tidak banyak menolong anakanak
muda itu, bahkan jiwa anak-anak muda itu tetap
terancam. Namun bahwa orang yang tinggal di sudut
pategalan itulah yang telah mengobatinya, iapun merasa
harga dirinya telah tersentuh.
Namun dalam pada itu perlahan-lahan keadaan anakanak
muda itu nampak berangsur baik. Mereka yang sudah
mulai dicengkam oleh kebekuan karena bisa yang tajam,
mulai merasa darahnya mengalir lagi. Bahkan kemudian
seakan-akan hambatan-hambatan serta perasaan sakit di
dalam tubuh anak-anak muda itu telah terhisap ke arah luka
bekas gigitan ular itu. Panas yang bagaikan membakar di
luka itupun mulai susut dan keringat yang dingin rasarasanya
menjadi hangat Harapan pun mulai tumbuh lagi di dada anak-anak
muda yang sudah menjadi putus asa itu. Jiwa mereka yang
sudah terdesak sampai ke ubun-ubun itupun seakan-akan
telah mapan lagi di dalam diri mereka.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
iapun berkata. "Terima kasih. Kau sudah menyelamatkan
anak-anak itu." "Mudah-mudahan mereka menjadi baik," berkata Tatas
Lintang, "marilah kita berdoa, semoga Yang Maha Agung
memperkenankan mereka sembuh kembali."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
semua akan berdoa. Namun kau sudah melakukan satu
usaha. Agaknya usahamu menjadi perkenan-Nya."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Namun
sebenarnyalah keadaan anak-anak muda yang dipatuk ular
itu menjadi kian membaik.
Wajah mereka tidak lagi nampak sangat pucat.
Bahkan seorang di antara mereka mulai berdesis, "Aku
haus." Tatas Lintang yang mendengar desis itupun bergumam,
"Air." Seorang pun kemudian pergi ke belakang untuk
mengambil air yang sudah masak di dapur. Air masak yang
disediakan untuk para peronda di gardu, yang ternyata
masih tersisa. Beberapa titik air masak itu diteguknya. Terasa betapa
segarnya. "Biarlah di situ," berkata Ki Bekel, "mungkin yang lain
juga memerlukan nanti."
Mangkuk air itu tidak disingkirkan. Tetapi diletakkannya
saja di amben itu. Dalam pada itu maka beberapa orang mulai berdesis.
Mereka merasa lukanya itu menjadi pedih lagi. Namun
justru karena itu, maka Tatas Lintang pun yakin, bahwa
pengobatannya akan menolong.
Ketika Tatas Lintang mengamati luka-luka di tubuh
anak-anak muda itu, maka nampak darah mulai mengalir
dari luka-luka itu. Karena itu maka Tatas Lintang itupun
berkata kepada tiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya, "Bantu aku mengobati mereka dengan obat
yang berikutnya." Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
kemudian telah membantu Tatas Lintang membersihkan
darah yang keluar dari luka-luka di tubuh anak-anak muda
itu dan menaburkan obat yang lain. Agaknya obat itu terasa
sangat pedih sehingga terdengar mereka menyeringai dan
mengeluh. Namun Tatas Lintang berkata, "Memang terasa
pedih. Tetapi itu justru satu harapan, bahwa kalian akan
sembuh." Anak-anak muda itu masih saja menahan pedih. Tetapi
mereka-pun menjadi semakin berpengharapan, bahwa
mereka akan sembuh dan jiwa mereka pun akan tertolong.
Dalam pada itu, ketika anak-anak muda itu sudah
menjadi berangsur baik maka Ki Bekel pun telah
meninggalkan mereka bersama Tatas Lintang dan ketiga
orang yang disebutnya kemanakannya itu. Beberapa orang
yang lain masih berada di dalam menunggui anak-anak
muda itu. Bahkan orang tua di antara anak-anak muda yang
terluka itu ada pula yang sudah datang untuk menunggui
anaknya. Ki Bekel dan Tatas Lintang serta ketiga orang yang
diakunya sebagai kemanakannya itupun telah pergi ke
gardu. Mereka mulai bertanya-tanya kepada anak-anak
muda yang sedang meronda dan menyaksikan apa yang
telah terjadi dengan kawan-kawannya yang telah dipatuk
ular itu. Namun tidak seorang pun yang dapat berceritera dengan
jelas. Pada umumnya mereka tidak tahu tepat apa yang
telah terjadi. Yang mereka ketahui adalah, bahwa tiba-tiba
saja beberapa ekor ulat telah mematuk kawan-kawannya
yang menjerit kesakitan. Namun sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu, ular-ular itu telah meluncur dan seakanakan
hilang begitu saja dalam kegelapan sebelum anak-anak
muda yang lain sempat berbuat sesuatu.
Tatas Lintang, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Ura pun telah memperhatikan tempat itu dengan seksama.
Mereka berusaha untuk melihat kemungkinan dari
peristiwa yang telah terjadi. Orang-orang yang melepaskan
ular itu tentu tidak akan berada jauh dari peristiwa yang
terjadi itu. "Agaknya telah terjadi dalam waktu yang bersamaan,"
berkata Tatas Lintang, "namun karena kita mempunyai
kesempatan untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada
waktu itu, karena kita belum tidur, maka kita tidak
mengalami sesuatu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya,
"yang terjadi pada kita agaknya sekedar mengikat agar kita
tetap tinggal. Sementara itu mereka telah melakukan
rencana mereka di gardu ini."
Ki Bekel yang kurang jelas tentang apa yang dibicarakan
itu bertanya, "Apakah yang telah terjadi di pondok kalian?"
"Seekor ular. Tetapi cukup besar untuk mematahkan
punggung, jawab Tatas Lintang.
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Agaknya padukuhan ini telah dibayangi oleh satu
kekuatan yang mendebarkan. Bukan saja orang-orang yang
berilmu tinggi, tetapi mereka mampu menguasai dan
menggerakkan berjenis-jenis binatang untuk menyerang
lawan. Yang sudah terjadi adalah beberapa ekor harimau.
Kemudian ular dan yang lebih mengerikan, apabila mereka
berhasil menguasai sekelompok anjing hutan atau kera-kera
liar di hutan itu. Jumlahnya tidak terhitung. Mereka akan
dapat merusak apa saja yang terdapat di padukuhan ini.
Seandainya mereka tidak berani menyerang orang-orang di
padukuhan ini, maka sawah dan pategalan akan dapat
dihancurkan. Sementara itu akibatnya pun akan sangat
mengerikan." Tatas Lintang itupun mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun berkata, "Ki Bekel. Seperti yang sudah aku
katakan. Agaknya kamilah yang menjadi sasaran. Tetapi
karena mereka gagal menyerang kami, apakah dengan
seekor harimau atau ular-ular berbisa, maka orang-orang
padukuhan inilah yang kemudian tertimpa akibatnya.
Mereka harus menanggung beban kemarahan orang-orang
yang gagal membunuh kami itu."
Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
wajahnya nampak dibayangi oleh kebimbangan
perasaannya. Dengan nada rendah ia berkata, "Manakah
yang lebih baik. Kalian meninggalkan padukuhan ini atau
kalian tetap berada di sini" Mungkin mula-mula kalianlah
yang menjadi sasaran. Tetapi ternyata bahwa tanpa bantuan
kalian padukuhan ini benar-benar mengalami malapetaka.
Apalagi jika benar-benar datang jenis-jenis binatang yang
lain menyerang padukuhan ini."
"Ki Bekel," sahut Tatas Lintang, "memang setiap
langkah mengandung kemungkinan-kemungkinan. Tetapi
jika kami sudah tidak ada di padukuhan ini, aku kira
mereka tidak akan mengganggu padukuhan ini lagi."
Ki Bekel memandang Tatas Lintang dengan tajamnya.
Jawabnya, "Semuanya masih teka-teki. Seperti yang kau
katakan, setiap langkah akan mengandung kemungkinankemungkinan."
Tatas Lintang tidak menyahut. Tetapi iapun
mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Obor yang
ada di gardu dan di regol banjar tidak dapat menggapai
jarak yang jauh. Karena itu, maka di belakang dinding dan
pepohonan yang terdekat, malam masih tetap berwarna
kelam. Namun Tatas Lintang tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan. Bahkan iapun masih belum tahu, dari mana
ular-ular berbisa itu dapat mencapai gardu tanpa diketahui
oleh para peronda sebelumnya. Bahkan serentak memanjat
gardu dan menggigit beberapa orang peronda, justru yang
berada di gardu. Namun sejenak kemudian Tatas Lintang itupun berkata,
"Sudahlah Ki Bekel. Kami akan mohon diri. Mudahmudahan
tidak terjadi lagi sesuatu di sini. Langit sudah
mulai menjadi terang. Agaknya fajar akan segera
menyingsing. Namun satu peringatan bagi Ki Bekel, bahwa
semua orang di padukuhan ini harus siap. Jika benar, pada
satu saat datang menyerbu padukuhan ini sepasukan anjing
liar atau kera, maka semua orang, laki-laki perempuan, para
remaja dan orang-orang tua harus melawannya. Kecuali
anak-anak. Karena itu, maka semua orang harus
menyediakan senjata apa saja. Mereka yang tidak siap
dengan apapun dapat membuat senjata dengan bahan yang
ada. Bambu diruncingkan atau sepotong kayu yang cukup
berat, atau apapun. Sudah aku katakan, kita mempunyai
akal, sementara binatang tidak."
Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun terbayang
kengerian di sorot matanya. Bahkan kemudian iapun
bergumam, "Bagaimana jika yang datang itu beberapa jenis
binatang bersama-sama. Ular, harimau, serigala, anjing
hutan kera" Bahkan bagaimana akibatnya jika binatangbinatang
peliharaan kita sendiri menjadi gila dan
menyerang kita" Kerbau, sapi, kambing dan apa saja?"
"Ahh," sahut Tatas Lintang, "bayangan yang terlalu
buram. Tidak akan terjadi. Karena itu, kita jangan terlalu
dibayangi oleh kegelisahan dan ketakutan. Seperti yang
sudah aku katakan berkali-kali. Kita semuanya, seisi
padukuhan harus bersiap. Kita akan dapat melawan apa
saja jika kita memang siap melakukannya."
Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Kami
seisi padukuhan ini akan mempersiapkan diri. Tetapi beri
kami waktu. Sebelum kami siap benar, kalian jangan
meninggalkan padukuhan ini."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, Mahisa Pukat lah yang nampak menjadi gelisah. Tetapi
Tatas Lintang tidak sampai hati untuk menolak permintaan
itu, meskipun ia tahu, bahwa Mahisa Pukat agaknya tidak
telaten lagi tinggal di padukuhan itu, karena tugasnya yang
mendesak. "Baiklah Ki Bekel. Kami akan memikirkannya," berkata
Tatas Lintang dengan ragu-ragu.
Ki Bekel mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia
berkata, "Terima kasih. Tanpa kalian, anak-anak itupun
sudah mati." Tatas Lintang pun mengangguk-angguk pula. Lalu
katanya, "Kami mohon diri Ki Bekel."
Ki Bekel tidak menahan mereka. Apalagi langit telah
menjadi semakin cerah. Matahari mulai menerangi sudutsudut
mega yang mengambang ke Utara.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itupun kemudian meninggalkan banjar itu
kembali ke pondok mereka.
Sebagaimana diduga oleh Tatas Lintang, maka Mahisa
Pukat pun bergeremang, "Kita jangan kehilangan
kesempatan. Jika kita tertahan lagi di sini, maka akhirnya
kita akan melupakan tugas kita yang sebenarnya."
"Aku tahu. Tetapi aku tidak sampai hati menolak
permintaan Ki Bekel. Tanpa kita anak-anak itu memang
akan mati. Sementara itu kitalah yang menjadi sebab,
sehingga padukuhan ini menjadi sasaran dendam orangorang
yang tidak kita kenal. Sementara itu, jika yang datang
orang-orang padepokan yang kita tuju, agaknya memang
kebetulan sekali. Kita dapat mengurangi lawan. Justru
tanpa kita kehendaki, kita sudah memancingnya keluar."
jawab Tatas Lintang, "namun kita tidak mengesampingkan
kemungkinan bahwa ada pihak-pihak lain yang memang
melibatkan diri ke dalam persoalan ini, karena sebagaimana
kita ketahui, bahwa peristiwa yang terjadi di warung itu
bukannya satu hal yang disengaja oleh kedua belah pihak.
Kita tidak tahu siapa mereka, dan mereka pun belum
mengetahui siapa kita."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Namun ia dapat mengerti
keterangan Tatas Lintang itu. Karena itu maka ia tidak
menolak lagi untuk tetap tinggal barang satu dua hari.
Agaknya di samping sikap berhati-hati, maka Tatas
Lintang melihat satu keuntungan, jika mereka berhasil
memancing keluar orang-orang dari padepokan itu.
Ketika keempat orang itu sampai di pondok mereka,
mereka tidak menjumpai sesuatu yang lain. Sehingga
karena itu. maka mereka tidak mendapat bahan-bahan baru
dalam persoalan yang sedang mereka hadapi.
Setelah membenahi rumah kecilnya, maka keempat
orang itupun telah datang ke rumah pemilik tanah
pategalan itu. Sebagaimana mereka sanggupkan, bahwa
mereka akan menanam bibit pepohonan di pategalan di
ujung padukuhan. Tetapi tanggapan pemilik tanah itu sudah lain sekali.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sikapnya, kata-katanya dan tentang rencana penanaman
bibit pohon buah-buahan itu.
"Kami sekeluarga minta maaf atas sikap kami," berkata
pemilik tanah itu, "betapa bodohnya kami, namun kami
dapat menangkap peristiwa-peristiwa yang telah terjadi
sebagai satu pernyataan, bahwa yang aku hadapi bukannya
seorang yang membutuhkan pekerjaan di padukuhan ini."
"Jangan salah memberikan arti dari sikap dan tingkah
laku kami," berkata Tatas Lintang, "mungkin kami
memang memiliki kemampuan sedikit dalam olah
kanuragan. Tetapi itu bukannya berarti bahwa kami sudah
memiliki sesuatu yang berharga di dalam hidup kami
sehari-hari. Karena dengan bekal ilmu kanuragan kami
telah pergi merantau untuk menempuh satu kehidupan yang
barangkali akan dapat memberikan pengalaman yang baik
bagi masa depan kami. Sementara itu untuk hidup kami
sehari-hari, kami memang memerlukan kerja."
"Aku menjadi sangsi," berkata pemilik tanah itu,
"apakah benar kalian memerlukan kerja sebagaimana
kalian lakukan itu?"
"Jangan ragu-ragu," berkata Tatas Lintang, "jika kerja
itu diurungkan, maka kami akan kehilangan penghasilan
yang akan dapat kami pergunakan untuk hidup kami dalam
beberapa hari sambil menunggu kerja yang akan kami
dapatkan pada kesempatan berikutnya."
Pemilik tanah itu masih saja ragu-ragu. Tetapi Tatas
Lintang mendesak, "Tanpa kerja, kami tidak akan mungkin
dapat hidup lebih lama di padukuhan ini."
Meskipun ragu pemilik tanah itu akhirnya tidak dapat
menolak. Diserahkannya bibit pohon buah-buahan yang
telah diusahakannya untuk ditanam di pategalan di ujung
padukuhan. Pemilik tanah itupun telah menyiapkan sebuah gerobag
kecil untuk membawa bibit-bibit pohon itu ke ujung
padukuhan. Gerobag kecil yang ditarik oleh seekor kuda.
Sebenarnyalah yang dilakukan oleh Tatas Lintang
bersama ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu memang sangat menarik perhatian.
Orang-orang padukuhan itupun merasa heran, bahwa
keempat orang itu masih tetap melakukan kerja
sebagaimana mereka lakukan sebelumnya.
Karena itulah, maka beberapa orang anak muda telah
menyatakan diri untuk membantu melakukan kerja itu.
"Terima kasih," berkata Tatas Lintang, "yang kami
lakukan sekarang adalah kerja bagi hidup kami. Memang
agak berbeda dari apa yang kami lakukan bagi kalian.
Tetapi bukankah kami memerlukan kerja yang dapat
menopang hidup kami."
"Tanpa kerja kasar seperti ini pun kalian akan dapat
dipenuhi kebutuhan kalian sehari-hari," berkata seorang
anak muda. "Bukan maksudku," jawab Tatas Lintang, "kami
bukannya orang-orang yang memiliki kekhususan. Kami
sebagaimana orang lair, harus bekerja untuk hidup kami."
Anak-anak muda itu tidak dapat memaksa. Tetapi ada di
antara mereka yang datang kepada pemilik tanah dan
menanyakannya, kenapa ia memperlakukan keempat orang
itu dengan cara sebagaimana dilakukannya sebelum
padukuhan itu mengetahui kemampuan mereka yang
melebihi orang kebanyakan.
"Itu adalah kehendak mereka sendiri," jawab pemilik
tanah itu, "aku sudah mencoba mencegahnya. Tetapi
mereka tetap saja pada pendiriannya. Karena itu, aku tidak
dapat berbuat apa-apa lagi."
Anak-anak muda itu tidak puas. Seorang diantara
mereka berkata, "Seandainya kau tidak memberikan
pekerjaan itu, apakah yang akan mereka lakukan. Kau
berikan bibit pepohonan kepada mereka sehingga mereka
mendapat kesempatan untuk mengerjakannya."
"Perjanjian kerja itu sudah berlangsung sebelum
peristiwa-peristiwa itu terjadi," jawab pemilik tanah itu,
"namun seperti sudah aku katakan, aku mencoba untuk
mencegahnya." pemilik tanah itu berhenti sebentar, lalu,
"tetapi aku pun memikirkannya, bagaimana jika mereka
benar-benar memerlukan kerja itu. Darimana mereka dapat
hidup sedangkan mereka memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Bukankah jika mereka menjadi kelaparan, akibatnya akan
dapat berbalik mengenai diri kita sendiri?"
Anak-anak muda itu merenung sejenak. Namun merekapun
kemudian mengangguk-angguk. Tetapi seorang di
antara mereka berkata, "Bukankah Ki Bekel akan dapat
memberikan apa saja yang mereka butuhkan sehingga
mereka tidak akan pernah merasa kekurangan?"
"Aku tidak yakin jika mereka begitu saja menerima
pemberian orang lain. Karena itu, akhirnya aku
memutuskan untuk memberi mereka kerja. Upah yang akan
aku berikan, tentu lain dari upah yang sebenarnya harus
mereka terima." berkata pemilik tanah itu.
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Merekapun
kemudian meninggalkan rumah pemilik tanah itu tanpa
dapat mengerti apa yang sebenarnya bergejolak di dalam
hati mereka masing-masing tentang orang-orang yang
bekerja di ujung padukuhan itu.
Sementara itu Tatas Lintang dan ketiga orang yang
diakunya sebagai kemanakannya itu telah berada di
pategalan di ujung padukuhan. Merekapun mulai
melakukan kerja mereka. Menanam beberapa bibit
pepohonan di pategalan itu. Mereka harus menggali lubanglubang
yang cukup besar sebelum bibit-bibit itu ditanam. Di
lubang-lubang itupun harus ditaburi dahulu dengan rabuk
yang didapat dari kandang-kandang ternak.
Karena itu, untuk menanam bibit-bibit pohon buahbuahan
yang tersedia, Tatas Lintang serta ketiga orang anak
muda yang diakunya sebagai kemanakannya itu
memerlukan waktu beberapa hari.
Di hari pertama mereka dapat bekerja tanpa gangguan
sesuatu. Bahkan di malam harinya pun tidak pula terjadi
peristiwa yang dapat menimbulkan goncangan-goncangan
pada padukuhan itu. Sementara itu, di hari berikutnya, Tatas Lintang telah
pergi pula ke pategalan di ujung padukuhan untuk
melanjutkan kerja mereka menanam bibit pohon buahbuahan.
Namun mereka menjadi terkejut ketika mereka melihat
lubang-lubang yang telah mereka gali untuk menanam
pohon buah-buahan itu. Mereka melihat hampir di semua
lubang, asap yang mengepul tipis.
Tatas Lintang yang berdiri di paling depan itupun
tertegun. Kemudian dengan nada berat ia berkata, "berhatihatilah.
Tentu ada sesuatu yang tidak wajar."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
berhenti. Mereka memang menjadi berdebar-debar. Asap
yang tipis itu masih saja mengepul dari lubang-lubang yang
telah mereka buat, seolah-olah di setiap lubang itu terdapat
bara api yang panas. "Tunggulah," berkata Tatas Lintang yang kemudian
melangkah maju. Tangannya meraba sebentuk cincin di
jari-jarinya. Agaknya ia memang sudah curiga, bahwa asap
itu ditimbulkan oleh kekuatan racun yang sangat tajam,
karena ia melihat beberapa jenis pohon perdu di dekat
lubang-lubang itu menjadi layu.
Dengan sangat berhati-hati Tatas Lintang telah
menjenguk ke salah sebuah lubang yang masih
mengepulkan asap tipis itu. Meskipun ia memiliki penawar
bisa, namun ia masih juga menutup hidungnya dengan
ujung kain panjangnya. Tatas Lintang itu mengerutkan keningnya. Ia mencium
bau yang sangat tajam meskipun hidungnya sudah tertutup
sehelai kain. Di dalam lubang-lubang itu ia melihat bekas cairan yang
dituangkan. Cairan itulah yang telah menimbulkan asap
yang tipis dan berbau tajam itu.
Tatas Lintang pun mengangguk-angguk ketika ia melibat
bangkai seekor ayam yang agaknya terlepas dari
kandangnya dan tersesat sampai ke pategalan itu dari
lingkungannya di ujung padukuhan. Bahkan beberapa ekor
binatang yang lain-pun terdapat mati di lubang itu pula.
Seekor kadal, seekor tikus tanah dan sejumlah binatangbinatang
kecil lainnya. Bahkan ketika Tatas Lintang
menjenguk lubang yang lain, dilihatnya seekor ular pun
telah mati. Tatas Lintang itupun kemudian melangkah menjauhi
lubang-lubang itu menuju ke arah Mahisa Murti. Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura menunggu. Sambil membuka tutup
hidungnya ia kemudian berkata, "Memang racun. Racun
yang sangat tajam. Seekor ular dan beberapa jenis binatang
telah terbunuh di lubang-lubang itu."
"Apakah ujud dari racun itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Cairan yang agaknya dituangkan di setiap lubang,"
Misteri Pulau Neraka 18 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Pendekar Pedang Pelangi 12