Hijaunya Lembah Hijaunya 15
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 15
berkata Tatas Lintang. "Dengan demikian, jika kita
menanam pohon di lubang-lubang itu, maka pohon itu akan
mati." "Bukan hanya pohon-pohonnya yang mati. Seandainya
aku yang menanaminya, maka aku pun akan mati juga,"
berkata Mahisa Ura. Tatas Lintang pun mengangguk sambil bergumam, "Ya.
Karena itu, kau harus minum obat penawar racun lebih
dahulu. Meskipun hanya berlaku untuk beberapa lama,
namun agaknya kita akan dapat menunjukkan, bahwa kita
tidak akan dapat diganggu oleh racun-racun itu."
"Jika orang yang memasang racun itu sama dengan
orang yang menyerang kami di dekat batu hijau itu, mereka
tahu, bahwa kami tawar akan racun." berkata Mahisa
Murti. "Tetapi mungkin orang lain tidak," jawab Tatas Lintang.
"Karena itu maka harus kita buktikan bahwa orang lain
itupun benar-benar tawar racun pula."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka sependapat dengan Tatas Lintang. Tetapi mereka
pun tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa orangorang
itu memang akan menggagalkan kerja mereka
berempat atau jika keempat orang itu tawar akan racun dan
tidak menghiraukan apa yang mereka lihat, maka setiap
batang pohon yang ditanam dengan susah payah, akan mati
layu. Dalam pada itu Tatas Lintang pun berkata, "Aku yakin
bahwa orang-orang yang menuangkan cairan beracun itu
akan datang lagi melihat hasil kerja mereka, atau sekarang
ini mereka justru mengamati dari kejauhan, apa yang kita
kerjakan." "Baiklah," berkata Mahisa Murti, "Marilah kita berbuat
sesuatu. Namun apakah Mahisa Ura harus mencari air
untuk mencairkan obat penawar itu lebih dahulu ke
padukuhan?" Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Kita mencari cara lain. Aku akan
mendapat sepucuk duri di pategalan ini."
"Duri salak?" bertanya Mahisa Pukat.
"Duri apapun," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Pukat pun kemudian mengambil beberapa pucuk
duri dari sebatang pohon salak yang tumbuh di pagar
pategalan itu. Tatas Lintang pun kemudian minta mereka berempat
berdiri rapat. Katanya, "Agar jika orang yang mengawasi
kita, mereka tidak mengetahui apa yang kita lakukan."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura berdiri
mendekat, hampir melekat yang satu dengan yang lain.
"Berikan jari tengah tangan kirimu," berkata Tatas
Lintang kepada Mahisa Ura.
Mahisa Ura ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
telah memberikan jari tengah tangan kirinya.
Dengan ujung duri salak yang tajam maka Tatas Lintang
telah menusuk ujung jari itu. Tidak terlalu dalam, tetapi
cukup untuk memeras darahnya keluar dari bekas tusukan
itu. Tatas Lintang pun kemudian menempelkan akik pada
cincinnya sambil berkata, "benda-benda penawar racun
milik kalian dapat juga dipergunakan untuk mencegah
keracunan dengan cara seperti ini. Tetapi kekuatannya
untuk menawarkan racun tidak lebih dari setengah hari.
Jika lewat setengah hari, maka ia harus menghindarkan diri
dari kemungkinan baru. Seorang yang dipatuk ular akan
dapat sembuh dengan menempelkan benda ini di mulut
luka, tetapi untuk penawar racun sebagai pencegahan, maka
benda ini harus bersentuhan dengan arus darah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Ura perhatiannya tertuju sepenuhnya
kepada jari-jarinya yang berdarah dan ditempeli dengan
batu akik pada cincin Tatas Lintang itu.
Namun sejenak kemudian Mahisa Ura pun berdesis
menahan sakit. Ujung jarinya itu rasa-rasanya bagaikan disentuh bara
api. Tetapi Tatas Lintang berkata, "Itu adalah pertanda
bahwa di dalam tubuhmu mulai mengalir penawar racun
itu, untuk kurang lebih setengah hari."
Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi perasaan sakit itu
perlahan-lahan telah berkurang sehingga akhirnya lenyap
sama sekali. "Nah," berkata Tatas Lintang, "darahmu pun sudah
pampat. Kau sekarang tawar akan racun meskipun hanya
untuk setengah hari."
Demikianlah, maka keempat orang itupun segera
menebar membawa alat mereka masing-masing.
Merekapun kemudian telah dengan sengaja memasuki
lubang-lubang yang masih berasap tipis itu. Meskipun
baunya menusuk hidung, bahkan Mahisa Pukat hampir saja
muntah-muntah karenanya. Memang terasa pada tubuh mereka, serangan racun yang
tajam mencengkam. Tetapi mereka berempat memiliki
penawar racun itu tidak berpengaruh terhadap mereka,
kecuali justru baunya sajalah yang membuat kepala mereka
menjadi pening. Tetapi keempat orang itu tetap bekerja di lubang-lubang
yang berasap tipis itu. Mereka membuat lubang itu lebih
dalam meskipun sebenarnya sudah cukup. Namun mereka
tidak dapat segera menanam pohon buah-buahan karena
pengaruh racun itu akan dapat membunuh.
Namun dalam pada itu, tanah yang mereka lemparkan
naik pada saat mereka memperdalam lubang itupun masih
juga mengandung racun. Pepohonan yang ada di sekitar
lubang itu yang tersentuh oleh tanah itupun terpengaruh
pula karenanya. Beberapa batang pohon-pohon kecil
menjadi layu dan merunduk.
Beberapa saat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah
meloncat naik. Sambil melangkah ke tepi ia berkata lantang
kepada ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai
kemanakannya itu, "Marilah kita beristirahat."
Ketiga orang anak muda itupun dengan serta merta telah
meloncat naik. Rasa-rasanya mereka memang tersiksa oleh
bau yang sangat tajam itu.
Ketika mereka duduk di bawah sebatang pohon, maka
Mahisa Ura pun berkata, "Apakah pengaruh racun itu tidak
akan membunuh beberapa jenis pepohonan buah-buahan
yang sudah ada " Akar pohon itu mungkin akan menjalar
sampai agak jauh dan menjangkau cairan yang dituangkan
ke dalam lubang-lubang itu, apalagi jika cairan itu sudah
meresap ke dalam tanah."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Kau
benar. Cairan itulah yang seharusnya ditawarkan. Lihat,
tanah yang kita naikkan dari lubang yang kita gali itu
berpengaruh pula pada tetumbuhan."
"Apakah yang dapat kita lakukan?" bertanya Mahisa
Murti. Tatas Lintang termangu-mangu. Namun sebelum ia
menjawab, mereka berempat dikejutkan oleh suara tertawa
yang melingkar-lingkar di pategalan itu.
Keempat orang itu tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu.
Mereka memusatkan indra mereka untuk mengetahui arah
suara yang menggetarkan dada mereka.
"Jangan menyerah," bisik Mahisa Murti kepada Mahisa
Ura yang masih saja merasa dirinya terlalu kecil di antara
mereka berempat. "Kau mempunyai kemampuan yang
cukup untuk mempertahankan dirimu."
Mahisa Ura tersentuh oleh kata-kata itu. Ketika mulamula
ia mendengar suara tertawa itu, hatinya sudah mulai
kecut. Sehingga dengan demikian maka pertahanannya pun
menjadi goyah sebelum terbentur oleh kekuatan yang
sebenarnya. Kata-kata Mahisa Murti itu seolah-olah telah mendorong
kekuatan yang besar ke dalam dirinya, sehingga iapun
kemudian telah menghentakkan kekuatan di dalam
tubuhnya. Mengerahkan daya tahannya untuk melawan
suara tertawa yang mengguncang isi dadanya itu.
Ternyata bahwa Mahisa Ura berhasil mengerahkan
tenaga cadangan di dalam dirinya untuk meningkatkan
daya tahannya, sehingga suara tertawa yang menghentakhentak
itu tidak merontokkan isi dadanya.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu tidak segera berbuat sesuatu meskipun
mereka berada dalam kesiagaan tertinggi. Namun mereka
masih tetap duduk di tempatnya.
Meskipun demikian, mereka perlahan-lahan berhasil
menangkap getaran arah suara tertawa itu. Meskipun
suaranya seakan-akan masih tetap melingkar-lingkar,
namun keempat orang itu sama sekali tidak lagi menjadi
kebingungan. Mereka mampu bertahan dari hentakkan
suara tertawa yang mengetuk-ngetuk jantung itu dan
bahkan telah mengetahui arah sumbernya.
Justru karena itu, maka Tatas Lintang pun sama sekali
tidak menunjukkan perhatiannya, ia masih saja duduk dan
bahkan seakan-akan ia tidak mendengar sesuatu.
Untuk beberapa saat kemudian, suara itu masih tetap
menggetarkan udara pategalan itu. Bahkan semakin keras.
Tetapi keempat orang itu seakan-akan tidak terpengaruh
sama sekali oleh suara itu. Mereka masih duduk tanpa
bergeser sama sekali. "Bukan main," terdengar suara itu berubah nadanya.
Bukan lagi suara tertawa, "Kalian memang orang-orang
berilmu sangat tinggi."
Tatas Lintang berpaling ke arah sumber suara yang
sudah diketahuinya itu. Sejenak ia termangu-mangu.
Namun kemudian jawabnya dengan suara wajar, "Marilah
Ki Sanak. Silahkan duduk bersama kami. Kami sedang
menunggu kiriman makanan dan minuman hangat dari
rumah pemilik pategalan ini."
Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian
terdengar suara yang menggetarkan jantung itu, "Ki Sanak
memang merendahkan diri. Kenapa Ki Sanak tidak
membalas?" "Membalas apa?" Tatas Lintang masih tetap
mempergunakan suara wajarnya. "Aku tidak merasa
mendapat serangan dari siapapun dan serangan macam
apapun. Entahlah jika serangan itu terlalu lemah sehingga
aku tidak merasakannya. Atau daya tahan kami terlalu
tinggi dibanding dengan serangan itu."
"Gila," terdengar geram yang menggetarkan udara,
"ternyata kalian bukannya orang yang rendah hati
sebagaimana aku duga. Tetapi kalian ternyata seorang yang
sangat sombong. Mungkin demikian pula orang-orang lain
yang bersamamu itu?"
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang kemudian,
"kemarilah. Duduklah. Kita dapat berbicara dengan baik.
Apakah sebenarnya keperluan kalian. Agaknya kalian
bukan sekedar datang hari ini. Sebelumnya kalian telah
berulang kali datang dengan cara yang berbeda-beda."
"Mungkin kau benar Ki Sanak. Aku memang
mempunyai kepentingan dengan kalian. Kalian telah
membuat kami merasa terganggu. Untuk apa sebenarnya
kalian berkeliaran di tempat ini?"
"Kenapa kau merasa terganggu Ki Sanak?" Tatas
Lintang justru bertanya, "bukankah kami tidak pernah
mengganggumu" Bahkan kami pun masih akan bertanya,
siapakah kau sebenarnya?"
"Jangan berpura-pura Ki Sanak," berkata suara itu, "aku
kira permainanku selama ini sudah cukup baik. Namun
kalian sama sekali tidak merasa gentar karenanya. Aku
sudah mengirimkan beberapa ekor harimau dan bahkan
sempat menakut-nakuti padukuhan ini. Demikian pula
dengan beberapa ekor ular dan permainan racunku hari ini.
Kalian sama sekali tidak terusik karenanya. Karena itu,
maka sekarang kami tidak akan mempergunakan binatangbinatang
apapun juga, tetapi kami ingin langsung berbicara
dan memberikan beberapa peringatan langsung kepada
kalian." "Oo, begitu," bertanya Tatas Lintang, "karena itu
silahkan Ki Sanak. Kita berbicara dengan wajar."
Tidak terdengar jawaban. Namun tiba-tiba terasa angin
yang semilir bertiup di pategalan itu. Kemudian terasa
sesuatu yang kurang wajar pada diri keempat orang yang
tersentuh angin yang semakin sejuk itu.
Tatas Lintang yang tertua di antara mereka dan memiliki
pengalaman terbanyak tiba-tiba saja berdesis perlahan,
"berhati-hatilah. Sesuatu tengah menyerang kita. Lebih
dahsyat dari suara tertawa itu. Tetapi aku tidak dapat
mengatakan, bentuk ilmu apa lagi yang dipergunakannya."
Mereka berempat kemudian telah berusaha untuk
bertahan. Sementara itu Tatas Lintang berbisik,
"Sasarannya bukan wadag kita. Tetapi ketahanan jiwa kita.
Berhati-hatilah." Keempat orang itupun menjadi semakin dalam
memusatkan nalar budi mereka. Apalagi ketika kemudian
mereka seakan-akan merasakan angin pusaran yang
membelit udara di sekitar tempat mereka duduk. Tidak
terlalu besar, tetapi pengaruhnya terasa sekali menusuk ke
dada. Keempat orang itupun bertahan dengan sekuat-kuatnya
Mereka berusaha menolak getaran yang seakan-akan
menusuk nusuk berusaha menyusup ke dalam diri mereka.
Justru ke dalam pribadi mereka.
Tatas Lintang yang duduk sambil menyilangkan
tangannya di dadanya, merasa sesuatu bergejolak di dalam
dirinya. Terasa seakan-akan kesadarannya mulai dibayangi
oleh kabut tebal. Kemudian seolah-olah paruh dari angin
pusaran itu telah mematuk ubun-ubunnya menyusup ke
dalam dirinya. Demikian cepatnya pusaran itu berputar
seakan-akan mempunyai kekuatan menghisap yang sulit
dilawan. Kesadarannya serasa mulai goyah, terhisap oleh
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angin pusaran yang berputar di atas ubun-ubunnya yang
paruhnya menyusup ke dalam dirinya itu.
Tatas Lintang harus mengerahkan segenap kekuatan
jiwani untuk melawan hisapan yang sangat besar terhadap
kesadarannya itu. Kekuatan pribadinya ternyata mampu
mengatasinya sehingga kesadarannya masih tetap utuh di
dalam dirinya, ia tetap menyadari apa yang terjadi.
Sehingga karena itu, ketika terjadi kekuatan lain dari
pusaran di atas ubun-ubun itu, Tatas Lintang masih tetap
siap untuk melawan. Karena sejenak kemudian, tidak lagi terasa kekuatan
yang menghisap itu. Tetapi justru sebaliknya. Ada kekuatan
yang berusaha memasuki pribadinya, mempengaruhi
penalarannya. Sesaat terjadi kegoncangan di dalam diri
Tatas Lintang. Namun sekali terjadi kegoncangan di dalam
diri Tatas Lintang. Namun sekali lagi kekuatan pribadinya
mampu mengatasinya, sehingga Tatas Lintang masih tetap
berdiri di atas kesadaran dan pribadinya.
Demikian pula terjadi atas Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura. Mereka masih belum berpengalaman
sebanyak Tatas Lintang. Namun mereka pun berusaha
untuk melawan, justru karena Tatas Lintang telah
memperingatkan mereka. Dengan menghentakkan kekuatannya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berusaha mempertahankan kesadarannya.
Mereka sudah terlatih untuk pemusatan nalar budinya
dalam pengerahan ilmu puncak. Karena itu, maka mereka
pun seakan-akan mampu menutup dirinya sehingga
kesadarannya tidak terhisap. Demikian pula ketika terjadi
sebaliknya, ketika kekuatan yang tidak dikenal seolah-olah
menyusup ke dalam diri dan pribadi mereka.
Untuk mempertahankan pemusatan nalar budinya, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa berjanji telah
bersama-sama mempergunakan kemampuannya dalam
pemusatan kekuatan ilmu puncaknya, meskipun ilmu itu
tidak akan dilontarkannya.
Ternyata bahwa usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah berhasil. Meskipun mereka masih muda tetapi
kekuatan pribadi mereka ternyata mampu mengatasi
kesulitan yang timbul karena paruh pusaran yang seakanakan
menusuk menyusup ke dalam diri mereka. Landasan
ilmu dan tempaan lahir batin yang pernah mereka alami,
ternyata sangat membantu keduanya mengatasi kekuatan
yang berusaha menyusup ke dalam pribadi mereka.
Yang mengalami kesulitan adalah Mahisa Ura. Ketika
ujung pusaran itu menyusup menusuk ke dalam ubunubunnya,
menghisap kesadarannya, Mahisa Ura telah
mengalami kesulitan itu. Betapapun ia bertahan, namun
agaknya ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
mempertahankannya. Karena itulah, maka perlahan-lahan
kesadarannya mulai goncang. Terasa yang kemudian
berputar bukan saja udara di atas ubun-ubunnya tetapi
dirinya pun seakan-akan telah hanyut pula oleh arus angin
pusaran itu. Pengalamannya atas dirinya dan
lingkungannya mulai kabur, sehingga akhirnya iapun
merasa telah terlepas dari dirinya sendiri, pada saat
kesadarannya benar-benar telah hilang.
Itulah sebabnya Mahisa Ura tidak mampu melawan
kekuatan yang masuk menyusup ke dalam dirinya. Mahisa
Ura sama sekali tidak tahu, apa yang dilakukannya. Ia
benar-benar telah kehilangan kesadaran dan
kepribadiannya. Sejenak kemudian terdengar Mahisa Ura itupun
menggeram. Kemudian terdengar iapun telah tertawa
perlahan-lahan. Semakin lama menjadi semakin keras.
Berbareng dengan itu, maka angin pusaran yang
memutar udara di pategalan itupun mulai susut, dan
akhirnya lenyap sama sekali. Pusaran-pusaran kecil yang
menyerang setiap pribadi dari keempat orang itupun telah
lenyap. Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mulai melepaskan diri dari pemusatan nalar budinya.
Namun mereka-pun telah dikejutkan oleh suara tertawa
Mahisa Ura yang hanya beberapa langkah saja dari mereka.
Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meloncat bangkit dan bergeser mundur. Mereka
memandang tingkah laku Mahisa Ura dengan heran.
Mahisa Ura yang juga sudah berdiri tegak itu masih saja
tertawa. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya telah
berhenti. Dengan tajam Mahisa Ura itupun memandang
ketiga orang yang berdiri di depannya itu berganti-ganti.
Bahkan tatapan dan sorot matanya yang aneh itu membuat
ketiga orang itu seakan-akan tidak dapat mengenalinya lagi.
"Mahisa Ura," desis Mahisa Murti.
Mahisa Ura memandanginya. Tetapi tiba-tiba saja iapun
menggeram sambil bergeser maju.
Mahisa Murti justru bergeser surut, ia melihat
ketidakwajaran pada Mahisa Ura. Sementara itu Mahisa
Pukat pun telah memanggilnya, "Mahisa Ura, kenapa kau
?" Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Pukat. Sejenak ia
memandang dengan sorot yang menyala. Namun tiba-tiba
saja Mahisa Ura telah menerkamnya dengan garangnya.
Kedua tangannya teracu ke depan dengan jari-jari yang
mengembang. "Pukat, " teriak Mahisa Murti memperingatkan
saudaranya. Untunglah Mahisa Pukat bergerak cepat. Dengan
tangkas ia meloncat ke samping. Hampir saja jari-jari
Mahisa Ura berhasil menyambar keningnya. Sementara itu
jantungnya menjadi berdebaran.
"Apa yang terjadi pada dirinya," Mahisa Pukat hampir
berteriak pula. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang menjadi
sangat tegang. Sementara itu Mahisa Ura memandang
mereka berganti-ganti dengan tatapan mata yang liar.
Dengan nada dalam dan bagaikan gaung di relung goa
yang dalam terdengar Mahisa Ura berkata, "Marilah. Aku
tantang kalian bertiga. Aku tidak lagi mempergunakan
binatang yang dungu untuk melawan kalian. Kini lawan
aku. Aku datang langsung kepada kalian."
Tatas Lintang menggeram. Kemarahannya memuncak
sampai ke ubun-ubun. Dengan suara bergetar ia berkata,
"Kau licik. Licik sekali. Kau pergunakan wadag salah
seorang di antara kami."
Mahisa Ura itu tertawa. Namun suara tertawa itu
memang bukan suara Mahisa Ura sendiri.
Di sela-sela derai suara tertawanya yang bergema di
seluruh pategalan itu, terdengar ia berkata dengan suara
yang bergulung-gulung, "Siapa yang licik he" Salah kalian
sendiri. Seorang di antara kalian ternyata tidak mampu
mempertahankan dirinya, sehingga ia memberi kesempatan
dan bahkan bersedia membantuku membunuh kalian."
Tatas Lintang bergeser selangkah surut ketika wadag
Mahisa Ura yang telah kehilangan kepribadiannya itu
bergeser mendekatinya. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas
Lintang telah mengetahui dengan pasti, apakah yang
terjadi. Namun mereka dihadapkan pada satu keadaan yang
sulit. Tubuh yang mereka hadapi adalah tubuh Mahisa Ura.
Jika mereka melawan langsung dalam benturan ilmu, maka
jika terjadi sesuatu atas lawannya itu, maka wadag Mahisa
Ura lah yang akan menderita. Jika mereka berusaha
membunuh lawannya, maka wadag itulah yang rusak, dan
Mahisa Ura pun terbunuh pula, sementara pribadi yang
menguasai seluruh pribadi Mahisa Ura itu dapat meloncat
meninggalkan wadag itu. "Ayo," terdengar gaung suara Mahisa Ura, "siapakah
yang akan mati lebih dahulu, atau kalian akan membunuh
aku" Marilah. Majulah bertiga."
Tatas Lintang lah yang menjawab, "Kenapa kau begitu
pengecut, licik dan tidak tahu diri" Kenapa kau tidak
mencoba untuk bertempur dengan jantan. Barangkali kau
tidak berani menghadapi kami berempat. Ada banyak cara
dapat kau tempuh. Kau dapat memanggil kawan-kawanmu
di padepokanmu. Bukankah kau mempunyai banyak
pengikut" Jika tidak ada orang yang memiliki kemampuan
yang kau anggap cukup, kau dapat menantang kami perang
tanding. Kau dapat memilih seorang di antara kami
bertiga." "Aku sudah memilih dan aku sudah mengalahkannya.
Anggaplah kawanmu yang seorang ini sudah mati. Karena
itu jangan segan-segan bertempur. Nanti, dalam keadaan
letih, aku akan dapat mengambil seorang yang lain di
antara kalian dan mempergunakannya pula, sehingga
akhirnya, jika kalian bersisa dua orang, akan terjadi perang
tanding yang seru dan menarik." berkata mulut Mahisa Ura
itu. Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
menjadi bingung. Mereka tidak segera dapat menemukan
jalan untuk mengatasinya.
Namun sementara itu wadag Mahisa Ura itupun tertawa
semakin keras. Dan tiba-tiba saja tubuh itu telah melenting
menyerang Tatas Lintang. Serangan itu datang begitu cepat. Namun Tatas Lintangpun
memiliki kemampuan yang sangat besar sehingga ia
mampu mengelakkan serangan itu.
Namun tubuh itupun segera meloncat menyerang
Mahisa Murti. Seperti Tatas Lintang, maka Mahisa Murti
pun hanya dapat mengelakkan dirinya tanpa berusaha
untuk menyerang kembali. Demikian pula Mahisa Pukat
meskipun sambil mengumpat dengan sangat marah.
Wadag Mahisa Ura itu tertawa pula. Katanya, "Kenapa
kalian tidak membalas menyerangku. Kau takut tubuh ini
menjadi rusak" Sudah aku katakan, anggap saja seorang
kawanmu ini telah terbunuh. Jika tidak demikian, maka
akulah yang akan membunuh kalian bertiga. Cara ini
memang menyenangkan sekali."
"Gila," geram Tatas Lintang. Namun iapun terdiam
ketika wadag Mahisa Ura itu telah menyerang pula.
Meskipun Tatas Lintang masih dapat mengelakkan diri,
tetapi sambaran angin yang dihentakkan oleh ayunan
serangan tubuh Mahisa Ura itu memberikan isyarat
kepadanya, bahwa lawannya itu memang mempunyai
kekuatan yang besar sekali.
Ternyata seseorang yang telah mempergunakan wadag
Mahisa Ura itupun telah mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia berloncat menyerang
ketiga orang lawannya bergantian, sementara itu Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang masih menjaga
agar mereka tidak menyakiti tubuh Mahisa Ura yang telah
dipergunakan oleh lawannya itu.
Karena itu, maka pertempuran pun menjadi berat
sebelah. Dengan tangkasnya wadag Mahisa Ura itu
menyerang tanpa takut mendapat serangan balasan.
Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Tatas Lintang pun hanya berloncatan
menghindar. Namun bagaimanapun juga ketiga orang itu menjaga diri
untuk tidak menyakiti apalagi melukai wadag Mahisa Ura,
namun sekali-sekali dalam keadaan yang sulit, mereka tidak
sempat untuk mengelak, sehingga mereka harus menangkis
serangan-serangan yang datang bahkan beruntun.
Mahisa Pukat yang terdesak ke sudut pategalan, terpaksa
membentur serangan lawannya. Keduanya terdorong
selangkah surut, sehingga Mahisa Pukat membentur pagar.
Namun dalam keadaan yang demikian lawannya
berkata, "Bagus. Kau telah menyakiti tubuh saudaramu he"
Aku berharap agar kau melakukannya sekali lagi dan sekali
lagi." Mahisa Pukat menggeram, ia berada dalam keadaan
yang serba sulit sebagaimana Mahisa Murti dan Tatas
Lintang. Yang akan dilakukan kemudian adalah sekedar
melepaskan diri dari tempat yang hampir terkurung.
Tetapi lawannya agaknya tidak memberinya
kesempatan. Dengan hati-hati wadag Mahisa Ura itu maju.
Bukan karena ia takut mengalami serangan. Tetapi ia
menjaga agar Mahisa Pukat tidak dapat terlepas. Dengan
demikian maka Mahisa Pukat itu akan terpaksa melawan
dan menyakiti tubuh Mahisa Ura. Demikian juga jika
kedua orang yang lain ingin menolongnya.
Karena itu, sambil tertawa lawannya itu berkata, "kau
akan terjebak di sudut pategalan. Aku akan menyerangmu,
membunuhmu dan mencincangmu menjadi sewalangwalang.
Melawan lah agar kau tidak mati. Biarlah tubuh ini
sajalah yang mati dan hancur sama sekali. Sebaiknya kedua
orang saudaramu yang lain itu berusaha menolongmu."
Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia memang tidak
melihat jalan keluar selain melakukan perlawanan dengan
membenturkan ilmu mereka. Namun dengan demikian,
tubuh Mahisa Ura itu memang akan dapat menjadi cidera.
Jika orang itu meninggalkannya dan membiarkan pribadi
Mahisa Ura kembali, maka Mahisa Ura itu akan berada
dalam keadaan yang gawat.
Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun menjadi bingung
pula. Mereka mengerti apa yang mungkin terjadi.
Namun mereka tidak segera menemukan jalan untuk
membantu membebaskan Mahisa Pukat. Sedangkan
Mahisa Murti menjadi semakin cemas karena ia mengenal
watak dan tabiat Mahisa Pukat. Pada saat yang terjepit,
kadang-kadang ia tidak berpikir terlalu panjang. Sehingga
menurut dugaan Mahisa Murti. Mahisa Pukat yang marah
akan dapat berbuat sesuatu yang membahayakan tubuh
Mahisa Ura. Sementara itu tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah
pengaruh lawan itu maju lagi selangkah sambil
memperdengarkan suara tertawa yang menjengkelkan.
Tetapi pada saat yang demikian, Tatas Lintang harus
bertindak. Dengan segenap kekuatan yang ada di dalam
dirinya. Tatas Lintang telah mencoba menyerang.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diacukannya tangannya serta dikembangkannya telapak
tangannya. Seberkas sinar memancar dari telapak
tangannya itu menyambar tanah sejengkal dari tempat
Mahisa Ura berpijak. Serangan yang tiba-tiba itu ternyata memang
mengejutkan. Tanah yang dikenai serangan itu bagaikan
meledak. Dan ledakan itu telah membuat pribadi yang
mempengaruhi wadag Mahisa Ura itu terkejut pula dan
dengan gerak naluriah meloncat ke samping.
Mahisa Pukat ternyata mampu menanggapi peristiwa itu.
Pada saat wadag Mahisa Ura itu melenting ke samping,
maka Mahisa Pukat pun telah mempergunakan kesempatan
itu, meloncat, melepaskan diri dari keadaan yang tidak
menguntungkannya. Menjauhi sudut pategalan itu.
Namun demikian Mahisa Pukat benar-benar menjadi
marah sehingga tubuhnya bergetar. Justru karena ia tidak
mendapat kesempatan untuk melawan.
"Gila," geram Mahisa Pukat, "licik, pengecut.
Pergunakan wadagmu sendiri. Kita berperang tanding."
Tetapi orang yang telah berhasil mempengaruhi pribadi
Mahisa Ura itupun menjadi marah juga. Ternyata ia telah
dapat dikejutkan oleh lawannya sehingga Mahisa Pukat
sempat melepaskan dirinya tanpa harus benar-benar
membenturkan ilmunya, sehingga wadag yang
dipergunakannya itu mengalami cidera.
"Baiklah," geram orang itu, "kau berhasil melepaskan
dirimu. Tetapi keadaan yang serupa akan terulang kembali,
justru karena kalian tidak berani melawan aku. Mungkin
kau mungkin kau dan mungkin kau."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Memang sulit untuk melawan seorang
yang licik seperti kau. Tetapi baiklah. Jika memang
terpaksa, apa boleh buat. Mungkin aku atau kedua
kemanakanku yang lain akan menyakiti wadag yang kau
pergunakan. Tetapi aku pun yakin, bahwa aku akan dapat
mengobatinya." "Omong kosong," geram orang itu, "jika tubuh ini sudah
berada pada tataran mati, tidak seorang pun akan dapat
mengobatinya. Aku akan meninggalkannya, dan tubuh ini
akan terkapar dengan darah yang membeku. Apa yang akan
kau lakukan?" Tatas Lintang hanya dapat mengumpat di dalam hati.
Yang dikatakan orang itu memang benar. Sementara itu, ia
tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian, maka tubuh Mahisa Ura itupun telah
kembali berloncatan menyerang ketiga orang lawannya.
Suara tertawa berderai mengiringi geraknya yang cepat
cekatan. Untunglah ketiga lawannya memiliki kemampuan
bergerak yang melampaui kebanyakan orang, sehingga
karena itu, mereka sempat menghindari serangan-serangan
itu. "Ayo," berkata Mahisa Ura di bawah ketidak sadaran
pribadinya sendiri, "sampai kapan kalian mampu
berloncatan, berlari-lari dan menghindari seranganseranganku
he?" Tidak ada jawaban, sementara mereka masih saja
berkejar-kejaran di pategalan itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Tatas Lintang
menemukan satu cara yang mungkin akan dapat
memecahkan persoalan mereka. Meskipun ia masih belum
yakin, namun tiba-tiba saja ia berteriak, "Hambat orang itu,
meskipun kita harus mengorbankan tubuh Mahisa Ura.
Tetapi jaga agar tubuh itu tidak kalian rusakkan. Aku akan
memecahkan rahasia keadaan yang memusingkan kepala
kita ini." "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Mahisa Murti
sambil menghindari serangan lawannya.
"Lakukan yang aku katakan. Tahan orang itu agar tidak
mencegah langkah-langkah yang akan aku ambil," jawab
Tatas Lintang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat bertanya
lebih banyak lagi. Mereka melihat Tatas Lintang berlari
meninggalkan medan yang berat sebelah itu.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat adalah, melakukan sebagaimana
dikatakan oleh Tatas Lintang meskipun hal itu akan sangat
sulit dilakukan. Sementara itu, tubuh Mahisa Ura itupun berteriak
nyaring, "He, akan lari ke mana kau?"
Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Tetapi ia justru
berlari semakin cepat. Sejenak Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh
pribadi seseorang itu menggeram. Katanya lantang,
"Jangan lari. Berhenti, atau aku hancurkan tubuh ini."
Tatas Lintang berlari terus tanpa berpaling.
Tubuh Mahisa Ura itupun tiba-tiba telah meloncat pula
mengejar Tatas Lintang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk
menghalanginya. Mereka telah berusaha untuk
menghentikan langkahnya dengan mencegatnya.
Tetapi tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah
pengaruh pribadi orang lain tidak menghiraukannya.
Dengan kuat tubuh itu membentur Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang berada di garis derap langkah kakinya.
Ketiga orang itu ternyata telah terpental dan jatuh
berguling. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tangkas
telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya. Namun
ternyata wadag Mahisa Ura itupun telah bangkit pula
berdiri. Bahkan tubuh itu telah siap untuk berlari mengejar
Tatas Lintang. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membiarkannya. Dengan tangkas Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah meloncat mendekatinya.
Wadag Mahisa Ura itu tertegun. Pribadi yang
mempengaruhinya itupun menjadi sangat marah. Terdengar
ia menggeram sambil berkata, "Jangan halangi aku, atau
aku akan membinasakan kalian berdua atau wadag yang
aku pergunakan." "Aku melakukan perintah pamanku. Kami berdua harus
menghambatmu jika kau akan mengejarnya," jawab Mahisa
Murti. Tubuh itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia telah
menyerang dengan dahsyatnya. Sama sekali tanpa raguragu
meskipun ia sadar bahwa lawannya pun memiliki ilmu
yang tinggi. karena pribadi di dalam diri Mahisa Ura itu
memang dengan sengaja ingin membenturkan wadag yang
dipergunakannya. Tetapi Mahisa Murti tidak membentur kekuatan itu.
Dengan tangkas pula ia menghindar meskipun hampir saja
keningnya disambar oleh tangan tubuh Mahisa Ura yang
berada di luar kepribadiannya sendiri.
Ternyata bahwa orang yang mempengaruhi pribadi
Mahisa Ura itu tidak menghiraukannya, iapun dengan
cepat meloncat berlari mengejar Tatas Lintang. Namun
Tatas Lintang telah menjadi semakin jauh.
"Berhenti," teriak orang yang mempergunakan wadag
Mahisa Ura, "jika kau tidak berhenti, aku benturkan kepala
tubuh ini pada sebatang pohon cangkring yang berduri
tajam itu." Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Ia berlari
semakin kencang. Sementara itu Mahisa Pukat telah meloncat menerkam
tubuh Mahisa Ura itu. Ternyata yang dapat ditangkapnya
hanyalah kakinya. Namun dengan demikian Mahisa Ura
itu telah jatuh terjerembab.
Ternyata yang terjadi telah mengejutkan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Ketika keduanya meloncat dan
mempersiapkan diri ternyata tubuh Mahisa Ura itu tidak
segera bangkit berdiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ragu-ragu sejenak.
Mereka terkejut ketika mereka kemudian melihat tubuh itu
bergerak sambil berdesah. Perlahan-lahan Mahisa Ura itu
menggeliat. Diusapnya matanya sambil bertanya lirih, "Apa
yang telah terjadi?"
Mahisa Ura terengah-engah. Nafasnya terasa belum
mengalir wajar. Namun iapun kemudian bangkit sambil
memegangi pinggangnya, "Aku kehilangan kesadaranku.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diriku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Agaknya Mahisa Ura telah kembali kepada
kepribadiannya sendiri. Karena itu, maka Mahisa Murti
pun berkata, "Mahisa Ura. Wadagmu memang telah
terlepas dari kuasa pribadimu sendiri. Kau baru saja berada
di bawah pengaruh lawan kita."
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun iapun kemudian
berdesis sambil berkata, "Pinggangku sakit sekali. Juga
lenganku bagaikan retak. Tetapi apakah yang sebenarnya
telah terjadi." "Tidak banyak waktu yang tersedia," berkata Mahisa
Murti, "marilah kita lihat, apa yang terjadi dengan Tatas
Lintang." Ketiganya pun kemudian telah bersiap untuk menyusuri
arah langkah Tatas Lintang yang sudah tidak nampak lagi,
karena terlindung oleh dedaunan dan pepohonan di
pategalan itu. Namun ketika mereka mulai berlari, Mahisa Ura masih
harus mengeluh lagi, karena tubuhnya terasa sangat sakit di
beberapa tempat. "Pergilah dahulu," berkata Mahisa Ura.
"Marilah, agar tidak terjadi sesuatu lagi dengan kau,"
sahut Mahisa Murti. Mahisa Ura pun kemudian telah memaksa dirinya berlari
mengikuti arah Tatas Lintang menghilang.
"Apa yang dilakukannya ?" bertanya Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
agaknya mereka mulai mengerti apa yang dilakukan oleh
Tatas Lintang. Namun mereka tidak mempunyai
kesempatan untuk lebih banyak berbicara, karena mereka
harus dengan cepat menyusul Tatas Lintang dan
mengetahui lebih banyak, apa yang telah terjadi kemudian.
Ternyata mereka tidak terlalu sulit untuk menemukan
Tatas Lintang. Ketika mereka menyelinap di belakang
beberapa jenis pohon buah-buahan di pategalan itu maka
mereka melihat Tatas Lintang tengah bertempur dengan
seseorang. Pertempuran itu memang merupakan pertempuran yang
luar biasa. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi.
Demikian ketiga orang itu mendekat, maka terdengar
suara lawan Tatas Lintang itu, "Ayo apakah kalian
berempat akan bertempur melawan aku?"
Namun Tatas Lintang lah yang menjawab, "Aku akan
bertempur seorang diri melawan kau seorang diri pula.
Betapapun tinggi ilmumu, aku tidak akan gentar, karena
ilmumu yang terutama adalah ilmu yang sangat licik
sebagaimana baru saja kau tunjukkan kepada kami."
"Persetan," geram orang itu, "ternyata kalian berhasil
menyelematkan seorang di antara kalian. Sayang aku tidak
sempat membenturkan kepalanya pada sebatang pohon
cangkring, sehingga pecah karenanya."
"Satu cara membunuh yang tidak terhormat," berkata
Tatas Lintang sambil bertempur, "jika kau memang seorang
berilmu tinggi, bunuhlah aku sekarang."
Lawannya tidak menjawab. Namun serangannya pun
menjadi semakin berbahaya mengejar Tatas Lintang yang
masih selalu memperhitungkan kemampuan lawan.
Pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama
menjadi semakin seru. Mereka semakin meningkatkan ilmu
mereka masing-masing sehingga kekuatan dan kecepatan
gerak mereka pun menjadi semakin meningkat pula.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya
dapat menyaksikan saja pertempuran itu. Tatas Lintang
sudah memberikan isyarat bahwa ia berada dalam keadaan
perang tanding, sehingga ia tidak mengharapkan bantuan
dari siapapun juga. Apapun yang mungkin terjadi atas
dirinya. Mahisa Ura menyaksikan pertempuran itu dengan wajah
yang tegang. Kemarahannya benar-benar membakar
dadanya karena peristiwa yang telah terjadi atas dirinya.
Meskipun ia masih belum mengetahui sepenuhnya, tetapi ia
sudah dapat mengerti, bahwa orang yang bertempur
melawan Tatas Lintang itu telah berhasil mempengaruhi
pribadinya dan mempergunakan wadagnya. Namun
agaknya Tatas Lintang telah memburu ke arah tubuh
lawannya itu ditinggalkannya, sehingga lawannya itu telah
meninggalkan wadagnya dan kembali ke dalam dirinya
sendiri. Pada saat yang demikian maka pribadinya sendiri
telah muncul kembali di dalam wadagnya, meskipun wadag
itu terasa lemah dan kesakitan.
"Untunglah Tatas Lintang mengambil langkah yang
tepat untuk menyelamatkan tubuhku," berkata Mahisa Ura
di dalam hatinya. Tetapi betapapun kemarahan bergejolak di dalam
dirinya, tetapi yang disaksikannya adalah pertempuran yang
sengit dari dua orang yang berilmu sangat tinggi.
Dalam pada itu, Tatas Lintang yang bertempur itupun
telah merambah kepada ilmunya yang jarang ada duanya.
Namun lawannya pun memiliki ilmu andalannya pula yang
mengagumkan. Karena itu, maka keduanya benar-benar
telah terlibat dalam pertempuran yang sulit dimengerti oleh
orang kebanyakan. Bahkan Mahisa Ura pun mulai
dibingungkan oleh sikap dan gerak yang tidak diduganya
sama sekali yang berhubungan dengan ilmu kedua orang itu
masing-masing. Sebenarnyalah bahwa lawan Tatas Lintang itupun
memiliki kemampuan untuk menyerang dari jarak jauh.
Meskipun dengan landasan ilmu yang lain, namun
akibatnya tidak jauh berbeda. Lawan Tatas Lintang itupun
mampu menghentakkan tangannya mengarah ke tubuh
lawannya, sehingga semacam sinar telah terlontar dan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambar. Sementara itu Tatas Lintang pun telah
melakukannya pula. Telapak tangannya yang terbuka telah
melontarkan cahaya yang menyambar sasaran dengan
kekuatan yang sulit diperhitungkan.
Karena itulah, maka ketiga orang yang menyaksikan
pertempuran itu harus mengambil jarak. Mereka harus
berada di tempat yang paling baik. Mungkin lawan Tatas
Lintang yang memang licik itu dengan sengaja
mengarahkan ilmunya kepada salah seorang di antara
mereka. Sehingga karena itu, maka mereka pun telah
berusaha berdiri di sebelah sebatang pohon yang cukup
besar. Ternyata yang mereka perhitungkan itu memang terjadi.
Pada satu saat yang tiba-tiba, ternyata orang itu telah
mengarahkan serangannya kepada Mahisa Murti yang
memang berada dekat dengan garis serangannya. Orang itu
mengira, bahwa Mahisa Murti tidak menyadari, justru
karena perhatiannya tertuju kepada pertempuran itu sendiri.
Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ketika ia
melihat arah tangan orang itu agak bergeser dengan garis
serangannya atas Tatas Lintang, justru mengarah
kepadanya, maka iapun cepat bergeser ke balik sebatang
pohon. Terdengar batang pohon itu bagaikan meledak. Namun
pohon itu ternyata tidak tumbang meskipun berguncang
dengan kerasnya. Terdengar orang itu mengumpat. Ia telah gagal
membunuh setidak-tidaknya menghancurkan tubuh seorang
yang lain karena Tatas Lintang telah mengambil satu
langkah yang semula tidak diduganya.
Namun serangan itu telah memperingatkan Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura. Karena itulah maka mereka pun
tidak beranjak dari sisi sebatang pohon yang cukup dapat
melindungi dirinya apabila serangan itu datang dengan tibatiba.
Dalam pada itu, maka pertempuran itupun telah
berlangsung semakin sengit. Serangan datang silih berganti
semakin lama semakin cepat dan semakin dahsyat.
Keduanya pun berloncatan menghindari serangan demi
serangan yang datang beruntun. Keduanya berebut
kesempatan dan beradu kecepatan.
Pepohonan di sekitar mereka pun telah menjadi
berpatahan. Batang-batang kayu yang besar telah menjadi
hangus oleh ledakan-ledakan serangan berjarak di antara
mereka. Pohon-pohon perdu pun bagaikan telah ditebas
berserakan dan berhamburan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih
tetap berusaha untuk berada di dekat batang-batang pohon
yang besar, yang akan dapat melindungi mereka dari
serangan-serangan lawan. Sengaja atau tidak sengaja.
Namun dalam pada itu. beberapa saat kemudian,
ternyata keseimbangan pertempuran itupun telah berubah.
Kecepatan gerak Tatas Lintang yang tinggi agaknya telah
mampu membuat lawannya menjadi agak terdesak. Selain
kemampuannya bergerak cepat, ternyata Tatas Lintang
memiliki ketahanan tubuh yang lebih tinggi. Karena
mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu, maka
ketahanan tempur lawan Tatas Lintang itupun mulai
menjadi susut. Karena itulah."maka setiap kali orang itu
berusaha mengambil jarak dan berusaha berlindung di balik
pepohonan untuk dapat sekedar beristirahat meskipun
hanya sekejap. "Jangan licik," berkata Tatas Lintang.
Orang itu sama sekali tidak menghiraukannya, ia masih
saja bertempur dengan caranya. Menyerang, kemudian
meloncat jauh dan menghindar.
Dengan demikian maka Tatas Lintang pun telah
mendesaknya semakin jauh, sehingga arena itupun telah
bergeser pula. Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah
bergerak pula mengikuti arena yang bergeser. Tetapi mereka
masih selalu berusaha untuk berada di dekat batang-batang
pohon yang cukup besar. Tetapi ternyata orang itu tidak bertahan lebih lama lagi.
Sebelum ia benar-benar kehabisan nafas, maka iapun telah
mengambil satu ke-putusan. Meninggalkan pertempuran
itu. Demikianlah, selagi mereka masih berada di antara
batang-batang pohon buah-buahan, maka lawan Tatas
Lintang itupun telah mengambil satu kesempatan. Pada
saat Tatas Lintang memburunya, selagi lawannya itu
berhasil menyelinap di balik sebatang pohon, maka orang
itupun telah mendahuluinya menyerang dengan satu
hentakkan yang memancarkan semacam berkas-sinar yang
menyambar Tatas Lintang. Tetapi Tatas Lintang cukup tangkas untuk
menghindarinya. Namun diluar dugaan, bahwa pada saat
Tatas Lintang meloncat menghindar orang itu telah
meloncat pula. justru menjauhinya. Berlari menyusup di
antara pohon-pohon buah-buahan pategalan itu.
"Jangan lari," teriak Tatas Lintang.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Yang terdengar
kemudian adalah suara tertawanya berderai menggetarkan
dada orang-orang yang mendengarnya.
Namun Tatas Lintang yang marah itupun menyahut
tidak dengan suara tertawanya, tetapi dengan teriakan yang
menggetarkan dinding jantung " Baiklah. Ternyata
kemenanganmu terletak pada kemampuanmu berlari
dengan licik meninggalkan arena.
Suara tertawa itu terhenti. Yang terdengar kemudian
adalah geram yang menyeramkan, "Persetan. Jika kau
mampu, tangkap aku."
"Aku merasa kasihan kepadamu. Justru karena kau
melarikan diri dari arena," jawab Tatas Lintang dengan
suaranya yang bagaikan guruh.
Tetapi tidak ada jawaban lagi. Agaknya orang itu telah
menjadi semakin jauh. "Ia memang memiliki kemampuan melarikan diri,"
berkata Tatas Lintang. "Tetapi kau memiliki kecepatan gerak yang lebih tinggi,"
sahut Mahisa Murti. Mungkin, tetapi aku tidak mampu menangkapnya
karena ia memiliki kesempatan beberapa kejap lebih
dahulu," sahut Tatas Lintang.
Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekati Tatas
Lintang pula sebagaimana Mahisa Murti. Namun tiba-tiba
Mahisa Pukat itu bertanya, "Di mana Mahisa Ura?"
Ketika mereka mengedarkan pandangan mereka di
sekitar pategalan itu, maka mereka melihat Mahisa Ura
yang melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dengan tergesa-gesa
mendekatinya. Namun Mahisa Ura masih sempat
tersenyum sambil berkata, "Aku sudah berusaha. Tetapi
keadaan tubuhku yang masih lemah, membuat daya
tahanku agak menurun."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku melupakan keadaannya, sehingga aku telah
mempergunakan kemampuanku untuk menjawab serangan
orang itu dengan getaran suaranya. Tetapi ternyata kaulah
yang paling menderita karena suara-suara itu."
"Aku sudah berusaha mengatasinya," jawab Mahisa Ura
yang mendekat dibantu oleh Mahisa Pukat.
"Duduklah," berkata Tatas Lintang, "kau dapat
memperbaiki keadaanmu. Mungkin karena benturan suara
ini, tetapi juga mungkin karena tubuhmu yang telah
dipergunakan oleh orang yang belum kita kenal itu."
Mahisa Ura pun kemudian duduk di atas seonggok
dedaunan perdu yang terserak di tanah akibat pertempuran
yang baru saja terjadi untuk menenangkan gejolak
jantungnya serta mengatur pernafasannya.
"Aku menyesal, bahwa orang itu sempat terlepas dari
tangan kita," berkata Tatas Lintang kemudian.
"Aku tidak dapat mencampurinya, karena agaknya kau
memang ingin menyelesaikannya sendiri," sahut Mahisa
Murti. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ya. Aku memang ingin menghadapinya sendiri. Bukan
karena kesombonganku, tetapi aku memang ingin
menunjukkan, bahwa kita bukan orang yang mudah
dipermainkan." Namun di luar dugaan Mahisa Ura berkata dengan nada
rendah, "Maaf. Aku benar-benar tidak mampu
menyesuaikan diriku. Agaknya aku telah menghambat
kalian menghadapi orang itu."
Tatas Lintang memandanginya sejenak. Lalu katanya,
"Jangan menyesali diri sendiri. Bagaimanapun juga kami
memerlukanmu. Setiap orang yang bersedia membantu kita
akan kita hargai. Apalagi kita sendiri. Mungkin memang
ada kekurangan padamu. Tetapi itu bukan berarti bahwa
kau telah mengganggu tugas-tugas kita dalam keseluruhan."
Mahisa Ura tidak menjawab. Sementara Tatas Lintang
pun berkata, "Sudahlah. Usahakan agar keadaanmu
menjadi semakin baik."
Mahisa Ura tidak menjawab. Ia masih duduk di atas
seonggok dedaunan untuk menenangkan dirinya dan
mengatur pernafasannya. Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas
Lintang mulai memperhatikan keadaan. Pategalan itu
memang menjadi rusak. Banyak tanaman yang berpatahan.
Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan yang
disambar oleh serangan-serangan kedua orang yang
bertempur itu, akan menjadi layu dan mungkin mati karena
batangnya menjadi hangus.
"Apakah pemiliknya akan marah?" desis Mahisa Murti.
"Kita akan memberikan laporan sesuai dengan
keadaan," jawab Tatas Lintang, "mudah-mudahan pemilik
pategalan ini akan dapat mengerti."
Ketiga orang itupun kemudian telah membersihkan
pategalan itu. Mereka telah menimbun dedaunan dan
ranting-ranting yang berpatahan di pagar pategalan itu.
Sementara itu keadaan Mahisa Ura pun menjadi
berangsur baik. Dengan demikian, maka mereka pun telah
kembali ke tempat mereka bekerja. Namun sekali lagi
Mahisa Ura memperingatkan, bahwa mereka masih
berhadapan dengan racun yang telah disebarkan oleh orang
yang tidak dikenal itu. Mahisa Murti pun kemudian telah pergi ke padukuhan di
sebelah pategalan itu. Setelah melewati beberapa tonggak,
barulah ia sampai ke batas pategalan dan memasuki jalan
sempit menuju ke padukuhan.
Dari padukuhan Mahisa Murti mendapatkan sebuah
kelenting. Namun Mahisa Murti pun telah mengatakan
bahwa kelenting itu tidak akan dikembalikan, karena
kelenting itu akan dipergunakan untuk mencairkan racun.
Namun air sekelenting itu agaknya tidak cukup, sehingga
karena itu, maka ia harus mendapatkan kelenting yang lain
untuk mengambil dan membawa air ke pategalan.
Demikianlah, maka Tatas Lintang telah mencoba untuk
melawan racun yang telah dituangkan ke setiap lubang yang
telah dibuat bersama-sama itu. Tetapi ia memerlukan bahan
yang agak banyak, sehingga karena itu, maka ia tidak dapat
menyelesaikannya pada hari itu. Penawar racun yang ada
padanya terlalu sedikit. Namun ia telah mencoba untuk
menawarkan racun pada salah satu lubang yang ada di
pategalan itu. Setelah lubang itu disiramnya dengan
penawar racun yang dicairkannya di dalam kelenting, maka
ternyata bahwa kekuatan racun itu menjadi jauh susut.
Tanah dari lubang itu ketika dibaurkan pada sebatang
pohon, ternyata pohon perdu itu tidak menjadi layu.
Karena itu, maka penawar yang tersedia itupun
kemudian telah dicairkannya pula dan disiramkannya ke
lubang-lubang yang ada meskipun baru sebagian.
"Aku harus mengusahakan penawar racun itu lagi,"
berkata Tatas Lintang. "Bagaimana kita akan mendapatkannya?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku harus membuatnya. Jika tidak, maka lubanglubang
itu akan tetap berbahaya. Bukan saja jika kita
menanam pohon di dalamnya yang akan mati, tetapi jika
seseorang atau seekor binatang yang terperosok ke
dalamnya, tentu akan terbunuh pula." Jawab Tatas
Lintang. "Bagaimana kau dapat membuatnya?" bertanya Mahisa
Pukat, "kapan lagi kau akan melakukannya?"
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia bertanya, "Manakah yang lebih baik. Apakah
kita akan membiarkan lubang-lubang ini merupakan
lubang-lubang bisa yang dapat membunuh, atau kita
mengorbankan waktu sedikit untuk menawarkannya?"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata,
"Bagaimanapun juga kita harus memberitahukan hal. ini
kepada Ki Bekel dan pemilik tanah ini. Tempat ini harus
menjadi tempat tertutup, sementara kita belum dapat
menawarkan racun dalam keseluruhan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa dengan demikian mereka harus mengorbankan
waktu lagi. Tetapi ia tidak akan dapat mengingkari tugas
yang tidak kalah pentingnya, menyelamatkan lingkungan
itu dari kerasnya racun yang berbahaya.
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "ternyata kita telah
mendapat beban baru. Aku minta dua orang di antara kita
menemui Ki Bekel dan pemilik tanah ini, sementara dua
yang lain menjaga agar lubang-lubang yang tersisa ini tidak
membunuh." "Siapakah yang akan pergi?" bertanya Mahisa Murti.
"Pergilah bersama Mahisa Ura," jawab Tatas Lintang,
"aku dan Mahisa Pukat akan menjaga tempat ini."
Mahisa Murti mengangguk. Ketika ia berpaling ke arah
Mahisa Ura, maka Mahisa Ura pun telah bersiap.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana keadaanmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku sudah baik," jawab Mahisa Ura, "aku siap untuk
pergi menghadap Ki Bekel."
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, "Marilah. Kita
akan melaporkannya."
Keduanya pun kemudian meninggalkan pategalan itu.
Mereka langsung menuju ke rumah Ki Bekel sebelum
mereka melaporkannya kepada pemilik pategalan itu.
Sementara itu, di pategalan. Tatas Lintang telah
berusaha untuk mengamati jenis raeun yang dituangkan ke
dalam lubang-lubang yang telah mereka buat untuk
menanam pepohonan. Diambilnya segenggam tanah yang
telah dituangi bisa itu. Kemudian dengan takir-takir daun
pisang ia mencairkan tanah itu dengan air dan dicobanya
pula meneteskan cairan penawarnya dengan kadar yang
berbeda-beda. Dengan demikian Tatas Lintang ingin
mengetahui, apa yang harus dibuatnya untuk menawarkan
racun itu, karena obat penawar racun yang dimilikinya
terlalu sedikit untuk menawarkan racun yang banyak
dituangkan di lubang-lubang yang disiapkan untuk
menanam pohon buah-buahan itu.
Ternyata keahlian Tatas Lintang telah memberikan jalan
kepadanya untuk menentukan ramuan apakah yang paling
baik dipergunakannya untuk menawarkan racun itu. Dan
reramuan itu masih harus dibuatnya.
Sementara itu. Mahisa Murti dan Mahisa Ura telah
menghadap Ki Bekel, di rumahnya. Laporannya memang
membuat Ki Bekel itu terkejut.
"Bukan main," berkata Ki Bekel, "orang itu benar-benar
melakukan apa saja tanpa menghiraukan pertimbanganpertimbangan
sama sekali untuk mencapai maksudnya.
Untunglah kalian masih mampu mengatasinya. Namun
tentu bukan untuk yang terakhir kalinya."
"Mungkin Ki Bekel. Kami pun harus mempersiapkan
diri menghadapi masa-masa mendatang. Aku memang
menduga, bahwa langkahnya itu bukan langkah yang
terakhir," jawab Mahisa Murti.
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "aku akan pergi ke
pategalan itu. Aku akan membawa beberapa orang untuk
menutup pategalan itu agar tidak dimasuki oleh seseorang,
sampai segalanya dapat diatasi."
"Terima kasih Ki Bekel," sahut Mahisa Murti, yang
kemudian minta diri untuk pergi menemui pemilik tanah
itu. "Pergilah. Mudah-mudahan pemilik tanah itu dapat
mengerti. Juga tentang kerusakan yang telah terjadi di
pategalan itu," jawab Ki Bekel, "jika terjadi salah paham,
maka aku akan berusaha menyelesaikannya, karena akulah
yang telah menahan kalian untuk tinggal lebih lama di
padukuhan ini." Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun
telah menemui pemilik tanah itu, meskipun dengan sedikit
berdebar-debar. Jika terjadi salah paham karena kerusakan
bukan saja tanahnya, tetapi juga tanaman-tanamannya
karena perkelahian yang terjadi, maka persoalannya akan
semakin berkepanjangan. Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak terjadi.
Pemilik tanah itu sama sekali tidak merasa dirugikan.
Bahkan dengan nada menyesal ia berkata, "Seharusnya aku
tidak membiarkan kalian melakukan kerja itu. Aku sama
sekali tidak menyesali tanah dan pepohonan yang ada di
pategalan itu, tetapi aku justru menyesali peristiwa itu.
Seandainya kalian tidak melakukan kerja di pategalan itu.
agaknya kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun
kalian dapat mengatasinya."
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "bukan karena kami
bekerja di pategalan itu. Seandainya kami tidak berada di
pategalan itu, maka mereka pun akan tetap menyerang
kami di manapun kami berada dan apapun yang kami
lakukan." "Aku akan pergi ke pategalan," berkata pemilik tanah
itu, "tanah itu memang harus ditutup untuk sementara."
"Ki Bekel akan melakukannya," jawab Mahisa Murti,
"Ki Bekel akan membawa beberapa orang. Tetapi
seharusnya kami pun dapat melakukannya. Bukankah kami
memang telah melakukan kerja untuk menerima upah."
Pemilik tanah itu menarik nafas. Namun kemudian
katanya, "Aku akan pergi ke pategalan itu."
Pemilik tanah itupun kemudian berkemas untuk pergi ke
pategalan dengan membawa dua orang pembantu laki-laki
di rumahnya. Keduanya membawa parang dan cangkul,
yang barangkali akan dapat dipergunakan di pategalan itu.
"Kami telah membawa alat-alat ke pategalan itu,"
berkata Mahisa Murti. "Biarlah mereka juga membawa," jawab pemilik tanah
itu. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Ura dan pemilik tanah itu
sampai di pategalan, ternyata di pategalan itu telah terdapat
banyak orang. Namun Ki Bekel telah menarik gawar lawe
melingkari lingkungan yang ternyata masih beracun keras
itu. "Tidak seorang pun boleh melintasi gawar ini," berkata
Ki Bekel kepada orang-orang yang berkerumun.
Namun ternyata bahwa gawar lawe saja tidak cukup.
Karena itu, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan orangorangnya
untuk membuat pagar yang kuat di sekitar tempat
yang berbahaya itu. Sementara itu Tatas Lintang telah menentukan reramuan
yang agaknya paling baik untuk menawarkan racun itu.
Ada beberapa jenis binatang berbisa yang akan dapat
dipergunakannya untuk menawarkan racun, diramu dengan
getah dari pepohonan tertentu. Yang harus dilakukannya
kemudian adalah mencari jenis binatang dan getah pohon
yang diperlukan itu. Karena itu, ketika orang-orang mulai melakukan kerja
mereka, membuat pagar yang kuat dan cukup tinggi untuk
menutup pategalan itu, maka Tatas Lintang dan ketiga
orang yang diakunya kemanakannya. telah minta diri untuk
mencari reramuan yang mungkin akan dapat menjadi
penawar racun yang tersebar di pategalan itu.
"Kami harus segera mendapatkannya," berkata Tatas
Lintang. Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengikut
saja kemana Tatas Lintang pergi. Namun ketika mereka
sudah keluar dari pategalan dan tidak memasuki
padukuhannya. Mahisa Murti bertanya, "Kita akan ke
mana?" "Kita harus menemukan bahan reramuan obat penawar
racun itu," jawab Tatas Lintang.
"Bahan yang kita perlukan terdapat di mana" Apakah
kau sudah mempunyai gambaran, di mana kita akan
mendapatkannya?" bertanya Mahisa Murti pula.
"Aku memerlukan sejenis binatang beracun dan getah
sejenis pohon nyamplung berbuah panjang yang sulit dicari.
Tetapi aku kira aku akan dapat mempergunakan cairan
pelepah pisang kering sebagai penggantinya meskipun kadar
kekuatannya berbeda. Tetapi dengan mengentalkan cairan
itu bersama bisa dari binatang-binatang yang akan kita
dapatkan itu. maka aku kira akan mendapatkan obat
penawar racun. Di pondok kita aku masih mempunyai buah
dari sebangsa nyamplung berbuah panjang itu, yang akan
dapat menentukan ketajaman obat penawar yang akan kita
buat," berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya
mengangguk-angguk saja. Mereka kurang mengerti jenisjenis
bahan yang disebut oleh Tatas Lintang.
Sepengetahuan mereka, nyamplung buahnya selalu bulat.
Tetapi Tatas Lintang tentu memiliki pengetahuan yang
jauh lebih luas dari mereka, sehingga apa yang
diketahuinya, tidak diketahui oleh ketiga orang yang
disebutnya sebagai kemenakannya itu.
Dalam pada itu. maka Mahisa Pukat pun bertanya, "Kita
sekarang akan pergi ke mana?"
"Kita akan pergi ke batu yang berwarna kehijauan itu,"
jawab Tatas Lintang. "Untuk apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mencari bahan yang kita perlukan. Memang kita akan
berjalan agak panjang. Tetapi harus kita lakukan jika kita
akan menolong orang-orang dari padukuhan itu," jawab
Tatas Lintang. "Bahan apa" Batu itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Di celah-celah batu itu," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. Meskipun demikian ia berkata kepada diri
sendiri, "Jadi Tatas Lintang juga sudah mengamati batu
yang berwarna kehijauan itu?"
Ternyata Mahisa Murti pun berpikir demikian. Karena
Tatas Lintang mengetahui, bahwa di celah-celah batu yang
berwarna kehijauan itu terdapat beratus bahkan beribu
binatang beracun sejenis kala dalam beberapa macamnya.
Ada yang jenisnya kecil dan yang besar.
Demikianlah mereka berempat telah berjalan langsung
menuju ke tempat batu yang berwarna kehijauan, yang
letaknya tidak terlalu dekat dari padukuhan itu.
Namun ternyata bahwa Tatas Lintang memang memiliki
ketajaman penggraita melampaui orang kebanyakan.
Karena itulah, maka iapun berkata, "Kita akan mendekati
batu itu pada malam hari."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita akan menghindari kemungkinan buruk yang dapat
terjadi atas kita." berkata Tatas Lintang, "setidak-tidaknya
kita akan mempunyai kesempatan untuk bersiap-siap
menghadapi kemungkinan dihadapan kita."
"Apakah ada sesuatu yang akan terjadi menurut
perhitunganmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku kira, orang yang menaburkan racun itupun telah
memperhitungkan bahwa kita akan mencari bahan penolak
racun. Orang itupun tentu mengetahui bahwa bahan
penawar racun yang banyak diketemukan adalah pada
celah-celah batu hijau itu," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat Mahisa Ura pun
mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun
berkata, "Akhirnya kita akan berbenturan dengan kekuatan
di dalam padepokan itu justru di luar padepokan. Namun
jika pekerjaan ini dapat kita selesaikan, maka tugas
selanjutnya bukannya tugas yang berat. Kita akan dapat
memasuki padepokan itu seolah-olah kitalah pemimpin dari
padepokan itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah dengan demikian
mereka sudah dapat dikatakan menyelesaikan tugas
mereka. Apakah dengan demikian mereka akan dapat
menjawab, apakah alasan orang-orang bertongkat itu untuk
menguasai Mahkota yang dianggap menjadi lambang
tempat bermukim Wahyu Keraton itu.
Namun keduanya sama sekali tidak mengatakan sesuatu.
Mereka masih akan melihat apa yang terjadi kemudian.
Tetapi mereka merasa sulit untuk dapat berprasangka
buruk terhadap Tatas Lintang yang telah memberikan
kemampuan baru pada pelepasan ilmu mereka.
Demikianlah mereka berjalan menuju ke tempat batu
berwarna kehijauan itu. Namun mereka tidak langsung
mengambil arah. Tetapi mereka telah menempuh jalanjalan
sempit yang agak menyimpang. Sebagaimana
dikatakan oleh Tatas Lintang, mereka baru akan mendekati
sasaran pada malam hari. Dengan demikian mereka akan
mendapat kesempatan untuk menilai, apakah mereka akan
dapat melakukan dengan aman atau mereka harus
melakukan langkah kekerasan.
Namun apapun yang harus mereka lakukan, mereka
semuanya telah bersiap. Meskipun seandainya mereka
harus bertempur menghadapi lawan yang lebih besar dari
mereka. Mungkin dalam jumlah, tetapi mungkin juga pada
tingkat kemampuan. Karena itu. maka mereka berempat memang tidak
tergesa-gesa. Karena mereka memang menunggu hari
menjadi gelap di perjalanan.
Dengan singgah di sebuah kedai maka mereka telah
banyak membuang waktu, sehingga akhirnya, malam pun
telah turun. "Kita akan mendekat," berkata Tatas Lintang, "berhatihatilah.
Mungkin kita diamati oleh orang-orang yang telah
menuangkan racun itu."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
menyadari hal itu. Karena itu maka mereka pun telah
berada dalam kesiapan tertinggi ketika mereka mulai
mendekati batu yang berwarna kehijauan itu.
Namun Tatas Lintang memang berhati-hati. Mereka
tidak langsung mendekati batu itu. Tetapi Tatas Lintang
telah membawa ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu untuk menunggu dan mengamati
keadaan. "Biasanya kita terlambat mengetahui orang yang
mengamati kita," berkata Tatas Lintang, "beberapa kali
terjadi, merekalah yang menyapa kita lebih dahulu.
Menyapa dengan serangan-serangannya."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak
membantah. Mereka memang menganggap bahwa Tatas
Lintang memiliki pengamatan yang sangat tajam, sehingga
ia akan dapat memilih kesempatan yang paling baik untuk
melakukan rencana mereka.
Beberapa saat lamanya mereka menunggu. Tetapi
mereka sama sekali tidak melihat atau mendengar apapun
juga, selain gelapnya malam dan desir angin di hutan
sebelah. Namun sejenak kemudian Mahisa Murti pun terkejut
ketika Tatas Lintang menggamitnya sambil memberi isyarat
bahwa ia mendengar sesuatu.
Mahisa Murti pun kemudian telah menggamit Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura dan memberi isyarat yang sama
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula. Keempat orang itupun kemudian memperhatikan
keadaan dengan saksama. Mereka memang mendengar
langkah berdesir. Semakin lama terdengar semakin dekat,
sehingga mereka-pun telah menahan nafas mereka.
Dalam keremangan malam maka mereka pun telah
melihat beberapa orang berjalan menuju ke batu berwarna
kehijauan itu. Tiga di antara mereka langsung mendekati
batu itu, sementara tiga orang yang lain berdiri mengawasi
keadaan di sekitar mereka.
"Orang-orang bertongkat," berkata keempat orang itu di
dalam hati. Sebenarnyalah keenam orang itu membawa tongkat yang
agak panjang. Namun keempat orang itupun segera mengetahui
gunanya, ketika seorang di antara mereka telah
merundukkan tongkatnya dan ketika ia menghentakkan
tongkatnya, maka nampak samar-samar sesuatu yang
menggeliat. Agaknya orang itu telah menekan kepala seekor ular
yang mendekatinya. Karena di tempat itu memang banyak
terdapat ular-ular yang berbisa.
Tetapi bagi keempat orang itu, agaknya tongkat itu
bukan hanya khusus untuk membunuh ular saja. Tetapi
tongkat itu tentu juga merupakan senjata mereka.
Namun dengan demikian memang telah timbul pula satu
pertanyaan, "Apakah memang ada hubungannya antara
orang-orang bertongkat ini dengan orang yang telah
menuang cairan beracun di lubang-lubang yang telah dibuat
oleh keempat orang itu di pategalan. Sementara menurut
penglihatan keempat orang itu, orang yang bertempur
melawan Tatas Lintang di pategalan itu tidak
mempergunakan senjata tongkat.
Tetapi agaknya tongkat bukannya ciri yang memastikan.
Mungkin di dalam padepokan itu memang terisi oleh orangorang
yang bersenjata tongkat dan orang-orang yang tidak
mempergunakan tongkat sebagai senjata mereka. Menurut
perhitungan keempat orang itu. maka orang-orang yang
datang ke dekat batu itu agaknya memang ada
hubungannya dengan peristiwa yang telah terjadi di
pategalan. Sejenak tiga orang yang mendekati batu yang berwarna
kehijauan itu mengamati-amatinya. Namun kemudian
terdengar suara salah seorang di antara mereka, "belum ada
perubahan. Binatang itu masih berada di celah-celah retakretak
batu itu." "Mungkin mereka tidak datang kemari," sahut yang lain.
"Binatang-binatang seperti itu terdapat di banyak tempat.
Mungkin mereka mempunyai persediaan yang mereka
pelihara di satu tempat yang tersembunyi, sehingga setiap
kali mereka membutuhkan, mereka tidak perlu mencarinya
lagi." berkata yang lain lagi.
Namun terdengar suara yang agaknya mempunyai
pengaruh di antara mereka, "Kita akan menunggu beberapa
lama. Jika mereka datang, kita akan menghancurkannya.
Tetapi ingat, mereka memiliki ilmu yang tinggi."
"Mereka tidak akan mampu berbuat banyak," jawab
seseorang di antara mereka, "seorang di antara mereka
memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang lain bukan
apa-apa." "Jangan pura-pura. Justru yang lain itulah yang pernah
menghancurkan perlawanan beberapa ekor harimau di
tempat ini. Jika kau pura-pura tidak mengetahui bahwa
mereka berilmu tinggi, maka kita sudah mulai dengan satu
kesalahan yang akan dapat menjerat diri kita sendiri.
Namun kita pun tidak akan menjadi ketakutan karenanya.
Kita adalah orang-orang terpercaya." berkata suara orang
yang agaknya memimpin keenam orang itu.
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Namun merekapun
kemudian telah menebar. Mereka memandang ke
segenap arah. Namun agaknya mereka pun tidak lengah
terhadap ular-ular yang banyak terdapat di tempat itu.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Iapun
mempersilahkan Mahisa Ura berada di antara ketiga orang
yang lain dengan isyarat, agar seekor ular tidak sempat
menggigitnya. Tanpa mengatakan sesuatu Tatas Lintang telah
memberikan segelintir obat penawar racun yang mampu
melindunginya untuk beberapa lama kepada Mahisa Ura.
Sedangkan Mahisa Ura pun agaknya mengerti pula
kekuatan obat itu sebagaimana pernah diterimanya dari
Tatas Lintang. Karena itu, maka dengan serta merta maka
iapun telah menelan obat penawar itu.
Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama, enam
orang itu masih juga tetap berada di tempatnya meskipun
beberapa kali mereka harus membunuh beberapa ekor ular
yang merambat mendekati mereka, maka Mahisa Pukat
pun mulai menjadi jemu. Ia menjadi gelisah dan sekalisekali
berdesah. Mahisa Murti yang mengenal saudara laki-lakinya itu
dengan baik mengerti pula perasaannya. Mahisa Pukat
tentu sudah mulai menjadi jemu menunggu. Bahkan Tatas
Lintang dan Mahisa Ura pun merasakan kegelisahan itu.
Karena itu. Tatas Lintang pun kemudian bertanya,
"Apakah yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kita akan banyak kehilangan waktu di sini," desis
Mahisa Pukat. Tatas Lintang yang sudah mengira bahwa Mahisa Pukat
sudah tidak sabar lagi menyahut, "Apakah kita akan
mengambilnya sekarang?"
"Apa salahnya," berkata Mahisa Pukat, "kita akan dapat
menjajagi kemampuan orang-orang bertongkat itu."
"Kita pernah bertempur dengan orang-orang itu di sini."
berkata Mahisa Murti, "sebelum kita bertempur dengan
harimau-harimau yang dikuasai oleh ilmu gendam.
Bukankah pernah ada orang-orang yang menyebut dirinya
satu dengan ular-ular yang ada di tempat ini?"
"Mungkin. Tetapi tentu orang lain yang hadir sekarang.
Orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi untuk
menebus kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Bahkan
mungkin seorang diantaranya adalah lawan Tatas Lintang
itu. Mereka tentu bukan orang-orang dungu yang tidak
mengenal perbandingan ilmu setelah mereka berusaha
menjajaginya beberapa kali dengan beberapa macam cara.
Tetapi bukan berarti bahwa kita harus tetap bersembunyi di
sini," sahut Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata Tatas Lintang. Lalu, "Lihat, agaknya
ada di antara mereka yang mendengar suara kita. Ternyata
pendengaran mereka pun cukup tajam, meskipun mereka
belum menemukan tempat kita."
"Kita akan mempergunakan cara sebagaimana dilakukan
oleh kawan-kawan mereka," desis Mahisa Pukat.
"Bagaimana?" bertanya Tatas Lintang.
"Kita sapa mereka. Tetapi sebaiknya kita berpisah dan
berlindung di tempat yang berbeda," jawab Mahisa Pukat.
Tatas Lintang mengerti maksud Mahisa Pukat. Karena
itu, maka iapun menggamit Mahisa Ura dan dengan isyarat
mengajaknya meninggalkan tempat itu.
Dengan hati-hati keduanya bergeser dari tempat mereka.
Berlindung di balik gelapnya rimbunnya dedaunan dan
pohon-pohon perdu, mereka mengambil jarak dari dekat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersembunyi.
"Beberapa saat kemudian, setelah Tatas Lintang berada
beberapa puluh langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, mereka mulai mempersiapkan diri untuk menyapa
orang-orang yang berada di sekitar batu yang kehijauan itu.
Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata
kepada Mahisa Ura perlahan-lahan, "Kerahkan daya
tahanmu. Yakinkah dirimu, bahwa kau tidak terpengaruh
sama sekali oleh getaran suaraku. Justru karena kau berada
di sebelahku." Mahisa Ura mengangguk. Iapun segera memusatkan
nalar budinya untuk mengerahkan daya tahannya. Ia
mengerti apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Pukat,
Mahisa Murti dan Tatas Lintang.
Sebenarnyalah, sebelum Tatas Lintang berbuat sesuatu,
telah terdengar suara yang menggetarkan udara di sekitar
batu yang berwarna kehijauan itu.
"Selamat malam Ki Sanak. Agaknya kalian sedang
menunggu seseorang."
Orang-orang yang berdiri di sekitar batu yang berwarna
kehijauan itu nampaknya terkejut. Dalam kegelapan
malam, ketajaman penglihatan Tatas Lintang dan ketiga
orang yang disebut kemanakannya itu mampu melihat,
keenam orang itu telah bergeser selangkah saling mendekat.
Namun agaknya mereka tidak segera mengerti dari mana
arah suara yang terdengar itu. Ternyata keenam orang itu
telah menghadap ke arah yang berbeda-beda.
Sejenak kemudian telah terdengar lagi suara yang
menggelarkan udara, "Siapakah sebenarnya yang kalian
tunggu" Coba, sebutkan, apakah kau menunggu
pemimpinmu orang yang bertongkat dengan kepala yang
terbuat dari pecahan batu di sebelahmu itu" Atau mungkin
orang yang mampu menguasai binatang dengan ilmu
gendamnya, atau barangkali siapa lagi?"
"Persetan," geram pemimpin dari keenam orang itu.
"Kemarilah jika kau jantan. Jangan bersembunyi."
"Carilah, di mana sumber suara yang kau dengar itu,"
getaran itu bergulung lagi di sekitar batu berwarna
kehijauan itu. "Pengecut. Kenapa kami harus mencari" Jika kalian
benar-benar memiliki keberanian, marilah." teriak
pemimpin dari keenam orang itu.
Namun ketika sekali terdengar suara itu menggetarkan
udara, terdengar orang itu berdesah.
"Aku akan dapat datang kepada kalian setiap saat.
Tetapi ternyata kalian tidak tahu di mana kami berada,"
jawab suara itu yang disusul oleh suara tertawa yang
menggelegar mengguncang isi dada.
Keenam orang itu harus berjuang untuk menahan
goncangan di dadanya. Sementara itu. mereka masih belum
mengetahui dari mana arah suara yang telah menggetarkan
dadanya itu. Suara tertawa itu bagaikan bergulung-gulung dari segala
penjuru. Menyusup dan kemudian mengguncang-guncang
isi dada. Sehingga dengan demikian maka keenam orang itu
benar-benar harus memusatkan segala perhatiannya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin dari keenam
orang itu telah berteriak, "berhati-hatilah. Kita akan
melakukannya sekarang."
Suara itu memang menarik perhatian. Sejenak kemudian
suara tertawa yang bergulung-gulung itupun telah mereda.
Orang-orang yang bersembunyi itu agaknya telah tertarik
untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh keenam
orang itu. Ternyata keenam orang itu telah menelan sesuatu.
Orang-orang yang bersembunyi itu tidak melihat dengan
jelas, apakah yang telah mereka telan itu. Namun Tatas
Lintang telah berdesis, "Agaknya mereka telah menelan
semacam penawar racun."
"Kenapa baru sekarang?" bertanya Tatas Lintang.
"Mereka merasa bahwa ular yang ada di padang di
sekitar batu itu tidak berbahaya bagi mereka, karena mereka
mempunyai kemampuan untuk membunuh ular-ular itu.
Tetapi dalam keadaan yang sulit karena mereka harus
mempertahankan diri maka mereka tidak akan sempat lagi
untuk memperhatikan ular yang mungkin menyerang
mereka, sehingga mereka harus mempersiapkan diri.
"jawab Tatas Lintang.
"Aku mengerti. Tetapi kenapa tidak sejak mereka
memasuki lingkungan ini?" bertanya Tatas Lintang pula.
"Mungkin penawar racun itu tidak dapat bekerja cukup
lama, sehingga mereka harus memperhatikan waktu. Hanya
apabila keadaan mereka benar-benar menjadi gawat mereka
telah melindungi diri dengan penawar racun itu. Agaknya
mereka memperhitungkan, bahwa persoalan yang mereka
hadapi tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat,"
berkata Tatas Lintang. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Iapun agaknya telah
melihat kepada dirinya sendiri. Penawar racun yang
diterima dari Tatas Lintang hanya mampu berpengaruh
dalam waktu yang terbatas, kurang lebih setengah hari atau
setengah malam. Tatas Lintang agaknya dapat menangkap perasaan
Mahisa Ura. Karena itu maka katanya, "Jika lebih panjang
dari setengah malam, maka kau pun memerlukan penawar
itu lagi. Tetapi kau tidak dapat mempergunakannya
sekarang sekaligus, karena dengan demikian, maka penawar
itu tidak akan berlaku lebih dari setengah hari pula,
sehingga karena itu, tentu hanya sekedar kelebihan yang
tidak bermanfaat, karena kelebihan kekuatannya tidak akan
diperlukan. Dengan demikian maka jika tiba saatnya,
sebaiknya kau harus menelan penawar berikutnya."
"Dengan demikian maka kau tidak akan diganggu olehular-
ular dan jenis binatang berbisa lainnya. Kau dapat
memusatkan perhatianmu terhadap kemungkinan lain yang
mengancammu." Mahisa Ura mengangguk-angguk.
Sementara itu Tatas Lintang pun telah mengambil sebutir
penawar racun dan diberikannya kepada Mahisa Ura yang
kemudian menyimpannya di kantong ikat pinggangnya.
Dalam pada itu, maka terdengar lagi suara yang
menggelegar bergulung-gulung. Agaknya Mahisa Murti
lelah mulai lagi mengganggu keenam orang itu dengan
suara tertawanya. Untuk beberapa saat keenam orang itu berusaha dengan
segenap kemampuan mereka untuk menemukan arah suara
tertawa yang telah mengguncang jantung mereka. Keenam
orang yang menyebar itu perlahan-lahan telah bergeser
saling mendekat. Bahkan kemudian mereka telah membuat
lingkaran dan saling bergandengan tangan, dengan tongkat
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka yang tegak dalam pegangan.
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Mahisa Ura.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Mereka telah menghubungkan diri. Mereka
berusaha untuk menyatukan kemampuan mereka. Dengan
demikian mereka berharap untuk mampu mengatasi
kebingungan mereka menemukan arah suara tertawa yang
menggetarkan jantung mereka."
Mahisa Lira mengangguk-angguk. Dilihatnya orangorang
itu mulai bergeser melingkar. Namun agaknya
pegangan mereka semakin lama menjadi semakin menjadi
kuat. Sehingga lingkaran itu benar-benar merupakan satu
kesatuan yang kokoh. Dengan demikian mereka telah menyatukan pula
pemusatan nalar budi untuk menemukan arah suara yang
agaknya telah menyakiti dada mereka, sekaligus untuk
menyusun lapisan-lapisan perisai yang melindungi mereka.
Untuk beberapa saat keenam orang itu bergeser perlahanlahan.
Namun mereka mulai yakin bahwa mereka akan
dapat menemukan arah suara yang telah mengganggu isi
dada mereka itu Ternyata kebingungan memang telah terjadi. Keenam
orang yang telah menyatukan diri itu. telah kehilangan arah
suara yang menggetarkan jantung mereka. Suara itu seakanakan
telah berpindah pada saat mereka hampir
menemukannya. "Gila," geram pemimpin dari keenam orang itu.
Sementara itu suara tertawa itu benar-benar telah
menghentak-hentak jantung mereka.
Demikianlah, Tatas Lintang berganti-ganti dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah membuat
keenam orang itu semakin kebingungan. Namun akhirnya
pemimpin dari keenam orang itu berkata, "Kita tidak usah
mencarinya. Kita akan melawannya."
Keenam orang itupun kemudian telah duduk di dalam
lingkaran. Mereka meletakkan tongkat-tongkat mereka di
dalam lingkaran, sementara tangan mereka pun telah
bergandengan dengan erat.
Keenam orang itu telah memusatkan kekuatan daya
tahan mereka. Namun mereka tidak menunduk dan
menajamkan mata. Mereka justru mengamati langsung ke
dalam kegelapan di arah pandangan masing-masing.
Dengan mengerahkan daya tahan di dalam diri masingmasing,
maka mereka berhasil mengurangi hentakanhentakan
di dalam dada mereka. Dengan bergandengan
tangan erat-erat. mereka memang benar-benar telah menjadi
satu dan saling mengisi. Tatas Lintang akhirnya menghentikan serangannya,
iapun sadar bahwa dalam sikapnya keenam orang itu akan
mampu melindungi diri mereka meskipun harus menahan
sakit. Namun agaknya dengan cara itu. mereka tidak akan
dapat segera menyelesaikan persoalan.
Sejenak kemudian Tatas Lintang pun berbisik kepada
Mahisa Ura, "Kita kembali kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat." Namun sebelum Tatas Lintang benar-benar mendekati
kedua anak muda itu maka Mahisa Pukat telah sampai
kepadanya dan berkata, "Aku tidak telaten. Apakah kita
akan bermain-main seperti ini semalam suntuk. Atau
bahkan tiga hari tiga malam."
"Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya
Tatas Lintang. "Mahisa Murti setuju kita mengambil jalan yang paling
pasti. Berhasil atau tidak berhasil," berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "kita akan mendekati
mereka." Dengan demikian, maka Tatas Lintang pun kemudian
telah minta mereka berkumpul dan bersama-sama
mendekati keenam orang yang telah menyatukan diri itu.
Mahisa Pukat kemudian telah memanggil Mahisa Murti.
Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah keluar
dari rimbunnya pohon perdu dan berjalan menuju ke arah
keenam orang yang sedang duduk memusatkan
kemampuan mereka untuk mengerahkan daya tahan di
dalam diri untuk melawan suara tertawa yang menggelegar.
Kehadiran keempat orang itu memang telah
mengejutkan. Keenam orang itu sama sekali tidak
menduga, bahwa orang itu akan muncul dari arah itu,
karena menurut pengamatan mereka arah timbulnya
getaran dari suara yang menggelepar itu bukannya dari arah
itu. Melihat kehadiran keempat orang itu, maka keenam
orang itupun segera menguraikan lingkaran mereka.
Dengan cepat mereka pun bangkit sambil meraih tongkat
mereka masing-masing. Beberapa langkah di hadapan keenam orang itu. Tatas
Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itupun telah berhenti Tatas Lintang yang
berdiri di paling depan pun kemudian berkata, "Selamat
malam Ki Sanak. Apakah kerja kalian malam-malam begini
di sini?" Pemimpin dari keenam orang itupun maju selangkah
sambil menjawab, "Kami tidak berbuat apa-apa. Kami
sekedar berhenti di sini."
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "Jika kalian memang
tidak berbuat apa-apa biarlah aku saja yang berbuat sesuatu
di sini." "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya pemimpin dari
keenam orang itu. "Kami adalah pemburu binatang-binatang beracun,"
jawab Tatas lintang, "kami ingin berburu di tempat ini
kecuali ular. Kami tidak memerlukan lagi, karena kami
mempunyai persediaan cukup banyak."
"Apa yang kalian cari?" bertanya pemimpin dari keenam
orang itu. "Kala segala jenis, babak salu, rena, laba-laba hijau,
kelabang dan jenis-jenisnya," jawab Tatas Lintang.
"Di mana kalian akan mencari?" bertanya pemimpin itu.
Tatas Lintang ternyata telah menjawab sebenarnya,
"Kami akan mencari di celah-celah retak-retak batu hijau
itu." Jawaban yang berterus terang itu justru membuat orangorang
itu agak kebingungan. Namun pemimpin mereka pun
kemudian menjawab, "Sayang sekali. Kami tidak
mengijinkan kalian melakukannya."
"Kenapa" Apakah batu hijau itu milikmu?" bertanya
Tatas Lintang. "Ya," jawab orang itu dengan serta merta.
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "Aku tidak percaya.
Tetapi seandainya benar, apa salahnya aku mengambil
binatang-binatang berbisa itu" Bukankah sama sekali tidak
merugikanmu?" "Batu itu milik kami. Semua yang melekat pada batu itupun
milik kami," jawab pemimpin dari keenam orang itu,
"termasuk binatang-binatang yang ada di celah-celah retakretaknya."
"Baiklah. Tetapi apakah binatang berbisa itu bagi kalian
ada gunanya selain sekedar untuk menakut-nakuti orang,"
bertanya Tatas Lintang. Pemimpin dari keenam orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Apapun yang kami
lakukan bukan persoalanmu. Aku mempunyai hak untuk
menolak atau mengijinkan permintaanmu."
"Baiklah," jawab Tatas Lintang, "aku mohon kalian
mengijinkan. Kami memerlukan sekali binatang-binatang
itu. Aku harus menyelamatkan beberapa kotak pategalan
yang telah dikotori dengan racun, sehingga tanah pategalan
itu menjadi sangat berbahaya jika tidak ditawarkannya.
Dengan biadab seseorang atau sekelompok orang telah
menuangkan cairan racun ke dalam lubang-lubang yang
sedianya untuk ditanami pohon buah-buahan. Bukan hanya
pohon buah-buahan yang akan ditanam di lubang-lubang
itu sajalah yang akan mati, tetapi seseorang yang terperosok
ke dalam lubang itupun akan mati. Bahkan seluruh tanah
pategalan itupun akan bernafaskan racun yang mampu
membunuh seseorang yang memasukinya."
Orang-orang yang bersenjata tongkat itu menegang.
Pemimpin mereka pun kemudian menjawab, "Itu
persoalanmu. Kalau kau ingin menjadi pahlawan bagi
orang-orang yang memiliki pategalan itu lakukanlah. Tetapi
kau tidak akan dapat memperalat kami."
"Kami tidak akan memperalat. Kami hanya minta
binatang-binatang berbisa itu. Bukankah dengan demikian
batu kalian justru akan menjadi bersih," sahut Tatas
Lintang. "Dengan demikian maka seseorang akan dengan sangat
mudah mengambil batu itu. Tetapi jika binatang-binatang
berbisa itu masih tetap berada di celah-celah retak-retaknya,
maka sulit bagi seseorang untuk mengambilnya," berkata
pemimpin dari keenam orang itu.
"Kau salah Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "jika kami
berniat mengambilnya, maka binatang-binatang itu sama
sekali tidak berarti bagi kami. Bahkan seandainya batu itu
dililit oleh seribu ekor ular bandotan sekalipun."
"Aku percaya," jawab pemimpin itu, "karena itu jika
kalian yang datang, yang akan mencegah bukan binatangbinatang
berbisa itu. Tetapi kami."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "apakah kalian
masih ingin mengulangi kegagalan kalian pada waktu yang
lewat?" "Tidak Ki Sanak," jawab pemimpin itu, "sekarang kami
sudah dilengkapi oleh pengalaman. Kami sudah dibekali
dengan penawar racun. Sementara itu, kami memiliki ilmu
yang lebih baik dari orang-orang yang pernah kalian
kalahkan itu." "Tetapi jumlah kami pun bertambah," berkata Mahisa
Murti, "karena itu, apakah salahnya jika kita tidak usah
bertengkar. Berilah kesempatan kepadaku untuk mengambil
binatang-binatang berbisa itu. Agar batu itu tidak diambil
orang, maka aku berjanji bahwa aku tidak akan mengambil
binatang-binatang itu sampai habis. Kami hanya akan
mengambil separuhnya atau lebih sedikit. Dengan
demikian, maka pada batu itu masih terdapat banyak sekali
binatang yang akan mampu melindunginya dari tangantangan
yang akan berniat buruk."
"Sudahlah," berkata orang itu, "jangan banyak bicara.
Pergilah. Kalian tidak boleh mengambil seekor pun
binatang yang ada pada batu-batu hijau itu. Seekor dari
binatang itu kalian ambil, maka sebagai gantinya satu jiwa
diantara kalian melayang. Apakah kalian mengerti?"
"Kita akan mencari jalan keluar," jawab Mahisa Pukat,
"jangan dengan serta merta menutup kemungkinan itu."
"Cukup," bentak orang itu, "sekarang pergilah. Atau
kami akan memaksa kalian pergi."
"Baiklah," sahut Mahisa Pukat, "kami akan memaksa.
Kami akan mengambil binatang-binatang itu sekarang.
Pergilah, jangan halangi kami."
Wajah-wajah pun menjadi tegang. Sementara itu,
keenam orang itupun telah bergeser merenggang. Sekalisekali
seekor ular berdesis di bawah kaki. Tetapi sepuluh
orang yang ada di dekat batu yang berwarna kehijauan itu
tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ketika seorang di
antara keenam orang itu menginjak seekor ular tanpa
sengaja dan digigitnya, maka orang itu hanyalah sekedar
memukul kepala ular itu sehingga mati. Orang itu tidak lagi
menjadi kebingungan karena racun ular itu di dalam
tubuhnya. Mahisa Pukat agaknya tidak sabar lagi. Dengan lantang
ia berkata, "Jadi apakah kami harus memaksa. Kami akan
melakukannya jika diperlukan."
"Mulailah," geram pemimpin kelompok itu, "bukankah
kalian memang datang dengan niat buruk" Sebelum kita
berbicara apapun juga, kalian telah mulai menyerang.
Untunglah kami mampu mempertahankan diri."
"Kami memang sengaja ingin menunjukkan, bahwa
kami memiliki ilmu yang cukup tinggi," jawab Mahisa
Pukat sambil mengangkat wajahnya, "nah, apakah kalian
tidak takut" Baru dengan suara dan suara tertawa kalian
sudah kebingungan. Apalagi jika kami benar-benar
bertempur dengan wadag kami."
"Kami bukan pengecut," jawab pemimpin dari keenam
orang itu, "kami siap bertarung beradu dada. Kami sama
sekali tidak takut akan getaran suara kalian yang tidak
berbobot sama sekali itu."
Mahisa Pukat pun telah bergeser pula, siap untuk
menyerang. Dengan demikian maka Mahisa Murti. Tatas
Lintang dan Mahisa Ura pun harus segera mempersiapkan
diri. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat benar-benar
telah mulai dengan serangannya langsung ke arah
pemimpin dari keenam orang itu. Namun orang itupun
dengan tangkas telah bergeser menghindari serangan
Mahisa Pukat. Demikianlah, maka kedua belah pihak pun segera
mempersiapkan diri sepenuhnya. Mahisa Murti pun mulai
bergerak mendekati mereka, diikuti oleh Tatas Lintang dan
Mahisa Ura. Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur melawan
pemimpin dari keenam orang itu. Keduanya justru telah
beringsut menjauh. Sementara itu, seorang di antara
keenam orang itupun telah meloncat pula menyerang
Mahisa Ura yang bergeser mundur.
Sejenak kemudian maka pertempuran di antara merekapun
terjadi dengan sengitnya.
Mahisa Pukat melawan pemimpin dari keenam orang
itu, sementara Mahisa Ura melawan orang yang telah
menyerangnya. Mahisa Murti lah yang kemudian berusaha
untuk memancing dua orang diantara mereka untuk
melawannya sebagaimana dilakukan oleh Tatas Lintang,
agar dengan demikian Mahisa Ura akan tetap berhadapan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan seorang saja di antara keenam orang itu.
Demikianlah, maka di dekat batu yang berwarna
kehijauan itu telah terjadi lagi pertempuran yang sengit.
Namun agaknya Tatas Lintang memang menghendaki
demikian. Ia akan dapat menjajagi isi dari padepokan yang
memang akan mereka masuki. Jika sebagian dari isi
padepokan itu telah dapat dipancingnya keluar, maka jika
saatnya mereka memasuki padepokan itu, mereka tidak
akan terkejut lagi. Bahkan mungkin yang tinggal di
padepokan tidak akan berbahaya lagi bagi mereka.
Mahisa Ura yang berhadapan dengan salah seorang dari
kelima orang itu, telah bergeser agak menjauh untuk
mendapat kesempatan bertempur dengan baik sebagaimana
dilakukan oleh Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa lawan Mahisa Ura itupun memiliki ilmu
yang baik sebagai bekalnya menghadapi lawannya, yang
sebenarnya adalah seorang petugas sandi dari Singasari itu.
Karena itu, maka Tatas Lintang pun harus mengerahkan
kemampuannya pula. Untunglah bahwa Mahisa Ura
memiliki pengalaman yang sangat luas, sementara itu ia
telah membekali dirinya pula dengan ilmu yang memadai.
Ketika keduanya mulai mempergunakan tenaga
cadangan di dalam diri masing-masing, maka pertempuran
pun menjadi semakin seru. Keduanya bergerak semakin
cepat dan benturan-benturan yang terjadi pun menjadi
semakin sering. Namun akhirnya tongkat lawan Mahisa
Ura itupun ikut menentukan.
Karena itulah, maka Mahisa Ura pun telah menarik
sepasang pisau belati panjangnya dari balik kainnya.
Dengan sepasang pisau belati panjang itu ia berusaha untuk
dapat melawan tongkat lawannya. Tongkat yang dengan
kemampuan yang tinggi diputar, diayunkan dan kadangkadang
mematuk dengan cepatnya. Namun sepasang pisau belati panjang Mahisa Ura pun
agaknya mampu mengimbangi tongkat itu. Meskipun pisau
itu jauh lebih pendek dibanding dengan tongkat lawannya,
tetapi ternyata bahwa kemampuan Mahisa Ura
mempergunakannya, telah mampu sekali-sekali
mengejutkan lawannya. Mahisa Ura mampu menangkis
serangan lawannya dengan sebelah pisau belati panjangnya,
kemudian dengan cepat meloncat maju dan mematuk
dengan pisaunya yang lain.
Tetapi lawannya pun mampu bergerak cepat pula. Jika
tongkatnya terhentak menyamping, maka dengan cepat
pula ia menariknya dan memutarnya secepat baling-baling
untuk melindungi dirinya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Tatas Lintang masingmasing
bertempur melawan dua orang. Dua orang yang
bersenjata tongkat, sementara Mahisa Murti dan Tatas
Lintang tidak bersenjata apapun juga.
Namun Mahisa Murti dan Tatas Lintang memiliki
kemampuan untuk menghambat gerak lawannya. Jika
kedua orang lawannya mulai mendesak dengan putaran
tongkatnya dan bahkan berusaha menggiringnya ke dalam
keadaan yang sulit, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang
mampu menghambat gerak lawannya. Dengan serangan
berjarak mereka berusaha untuk menghentikan desakan
kedua lawan masing-masing.
Tetapi agaknya Tatas Lintang memang tidak bermainmain.
Ia justru ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya
bahwa mereka tidak akan mampu berbuat banyak.
Meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang, namun
dalam waktu singkat, ia segera dapat melumpuhkannya.
Karena itu, maka Tatas Lintang tidak sekedar
menghentikan lawannya dengan meledakkan tanah yang
akan dipijaknya, tetapi ia telah benar-benar menyerang
dengan hentakkan ilmunya itu.
Karena itu, ketika dua orang bertongkat itu
menyerangnya bersama-sama dari dua arah, Tatas Lintang
telah mengambil jarak. Ia justru meloncat menjauh. Namun
demikian kedua orang lawannya siap untuk meloncat
menyerangnya, kedua tangan Tatas Lintang telah
mengembang. Sekilat cahaya meluncur dan menyambar
salah seorang dari lawannya.
Terdengar pekik tertahan. Sasaran itupun kemudian
terhuyung-huyung sejenak. Orang itu masih sempat
mengumpat sebelum ia terjatuh, bahkan sempat pula
melemparkan tongkatnya ke arah Tatas Lintang. Namun
tongkat itu tidak mengenai sasarannya. Bahkan ketika
kawannya yang lain ingin mempergunakan kesempatan itu
untuk menyerang, Tatas Lintang telah mempergunakan
ilmu yang sama, menyerang orang itu dengan hentakkan
ilmunya, sehingga sekali lagi seberkas kilat menyambar.
Orang itu bagaikan terdorong surut. Namun kemudian
ia-pun terjatuh di tanah.
Kedua orang itu tidak mati. Tetapi keduanya telah
kehilangan kemampuannya untuk melawan. Tubuh mereka
rasa-rasanya menjadi panas sedangkan tulang belulangnya
bagaikan terlepas dari sendi-sendinya.
Perlawanan mereka ternyata hanya terjadi dalam waktu
singkat. Tatas Lintang telah menyelesaikan perkelahiannya.
Sementara itu Mahisa Murti telah mempergunakan
kemampuan ilmunya yang lain. Dengan tangkasnya ia
selalu berusaha menyusup putaran tongkat kedua
lawannya. Sentuhan-sentuhan kecil telah terjadi beberapa
kali. Namun kemudian kedua lawannya itu bagaikan
kehilangan segenap kekuatannya. Demikian cepatnya susut
tanpa mereka sadari. Mereka seakan-akan telah kehilangan sebagian besar dari
tenaga dan kemampuan mereka, sehingga mereka merasa
tidak mungkin lagi untuk meneruskan perlawanan.
Kedua orang lawan Mahisa Murti itu menjadi heran.
Mereka mempunyai pengalaman yang luas. Mereka pernah
berkelahi untuk waktu yang lama tanpa merasa bahwa
kemampuan dan kekuatan mereka susut. Namun
menghadapi anak muda itu, seakan-akan kekuatan dan
ilmunya telah terperas bersama keringatnya.
Sebelum mereka mengerti apa yang terjadi, maka Mahisa
Murti pun menjadi semakin sering berhasil menyentuh
kedua lawannya berganti-ganti, sehingga akhirnya, kedua
lawannya itu benar-benar menjadi tidak berdaya dan pada
saat-saat terakhir, Mahisa Murti tidak sekedar
menyentuhnya untuk mengetrapkan ilmunya, namun
dengan sentuhan terakhirnya, maka kedua orang lawannya
itupun telah terjatuh dan menjadi pingsan karenanya.
Yang masih bertempur adalah Mahisa Ura dan Mahisa
Pukat. Lawan Mahisa Pukat, pemimpin dari keenam orang
itu, memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Ia
memiliki kemampuan bergerak dengan kecepatan yang luar
biasa. Sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat memang
mengalami kesulitan karena lawannya itu bersenjata
tongkat. Namun dalam keadaan yang mendesak, tibia-tiba saja
Mahisa Pukat telah meloncat memungut tongkat dari salah
seorang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti.
Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur itu
masing-masing telah bersenjata tongkat.
Ternyata Mahisa Pukat pun memiliki kemampuan untuk
mempergunakan tongkat yang jarang dilakukannya.
Sehingga karena itu maka pertempuran antara dua orang
yang bersenjata tongkat itupun semakin seru.
Pemimpin dari keenam orang itu agaknya memang
memiliki ilmu yang tinggi dan kekuatan yang sangat besar.
Jauh melampaui lima orang lainnya.
Karena itulah maka agaknya Mahisa Pukat tidak segera
mampu mengatasi lawannya.
Namun ketika Mahisa Pukat telah mempergunakan
sebatang tongkat panjang, maka keseimbangan dari
pertempuran itupun telah berubah. Perlahan-lahan Mahisa
Pukat telah berhasil mendesak lawannya.
Bahkan ketika Mahisa Pukat menjadi semakin mapan, ia
telah mampu mengetrapkan ilmunya pula. Pada saat ia
sempat menangkis serangan lawan, maka iapun telah
menyerang dengan kakinya langsung menyentuh tubuh
lawannya. Yang terjadi kemudian adalah sebagaimana telah terjadi
atas lawan Mahisa Murti. Perlahan-lahan, namun pasti,
kekuatan lawannya itupun menjadi susut. Tongkatnya pun
menjadi semakin lambat berputar dan kecepatan geraknya
pun telah dengan cepat menurun.
Orang itu mengumpat di dalam hati. Ia tidak mengerti,
apa yang apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.
Namun akhirnya ia mengerti juga. Pengenalannya atas
berbagai macam ilmu melampaui kelima orang yang
dipimpinnya, sehingga iapun kemudian dapat mengenali
ilmu lawannya itu. "Gila," geram orang itu, "kau memiliki ilmu iblis itu,
sehingga kau dapat dengan licik mencuri kekuatan dan
kemampuanku." "Apapun yang terjadi Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat,
"menyerahlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa selain
mengambil binatang-binatang itu."
"Persetan. Selagi belum terlambat, aku akan
membunuhmu," geram orang itu.
Namun sebenarnyalah bahwa ia sudah terlambat
menyadari apa yang sudah terjadi. Ia tidak lagi mampu
bergerak cepat dan tenaganya tidak lagi dapat mengimbangi
kekuatan tenaga lawannya. Bahkan kemudian, Mahisa
Pukat telah berhasil mengenainya dengan tongkat
panjangnya beberapa kali. Meskipun ia tidak lagi
menghisap kekuatan lawannya, tetapi pukulan-pukulan
tongkatnya yang tidak terelakkan, telah benar-benar
menyakitinya. Bahkan benturan-benturan yang terjadi pun
seakan-akan telah menggetarkan genggaman tangannya.
Sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat telah menjadi
jemu, maka pukulan tongkatnyalah yang kemudian
menentukan. Dengan ayunan yang keras maka Mahisa
Pukat telah berhasil menghantam tongkat lawan sehingga
tongkat itu terlepas dari tangannya. Sebelum lawannya itu
mampu berbuat apa-apa, maka ujung tongkat Mahisa Pukat
telah mematuk lambungnya.
Orang itu menyeringai menahan kesakitan yang sangat
yang menyengat lambungnya itu. Bahkan rasa-rasanya
tenaganya telah menjadi lumpuh sama sekali. Matanya
menjadi suram dan kabur meskipun ia masih memiliki
kesadarannya. "Aku dapat meremukkan kepalamu," geram Mahisa
Pukat yang menyentuh tengkuk orang itu dengan
tongkatnya. "Mengakulah bahwa kau menyerah."
Tetapi orang itu menggeram. Katanya, "Hanya kematian
yang dapat memaksaku untuk menyerah."
"Kau terlalu sombong," geram Mahisa Pukat.
"Seorang laki-laki akan memilih mati daripada
menyerah," katanya. Kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat dibendung lagi.
Karena itu maka tiba-tiba saja iapun telah melepaskan
tongkatnya. Dengan geram Mahisa Pukat telah menangkap lengan
orang itu dengan kerasnya.
Orang itu tidak menyadari apa yang akan terjadi dengan
dirinya. Ia mengira bahwa dengan marah Mahisa Pukat
akan mengguncang tubuhnya memukulnya atau
memperlakukannya dengan kasar.
Namun akhirnya iapun menyadari, bahwa Mahisa Pukat
telah menyerap semua tenaganya. Dengan demikian ketika
Mahisa Pukat itu melepaskannya, maka orang itu benarbenar
sudah tidak berdaya. Mahisa Pukat kemudian berdiri tegak di samping
pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itu. Dengan
geram ia berkata, "Apakah kau masih akan membunuh
aku?" Pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itupun
berkata dengan lemah tetapi masih dengan getar kemarahan
yang bergejolak di dalam dadanya, "Kau licik. Jika kau
jantan, kita akan bertempur dalam keadaan sewajarnya.
Kau pergunakan ilmu iblismu yang mampu mencuri
kekuatan dari lawanmu."
"Itu adalah satu kemampuan ilmu untuk melawan
kecuranganmu. Aku tidak bersenjata, dan kau
mempergunakan senjatamu," jawab Mahisa Pukat.
"Jika kau sekarang tidak membunuhku, kau akan
menyesal, karena akulah yang kelak akan membunuhmu."
geram orang itu. Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi. Namun iapun
kemudian berpaling ke arah Mahisa Ura yang masih
bertempur dengan mempergunakan sepasang pisau
belatinya. Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun kemudian juga
memperhatikan pertempuran itu. Namun mereka pun
segera mengetahui bahwa Mahisa Ura akan dapat
memenangkan pertempuran itu. Dengan sepasang pisau
belati panjangnya, Mahisa Ura ternyata dapat melawan
kegarangan tongkat panjang lawannya.
"Ternyata ia mempunyai senjata yang baik," desis Tatas
Lintang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Keduanya pun terbiasa juga membawa pisau belati panjang.
Tetapi saat itu keduanya memang tidak membawanya.
Mereka lebih percaya kepada kemampuan yang telah
mereka miliki daripada pisau belati panjang. Menurut
perhitungan mereka, maka mereka akan dapat
memanfaatkan ilmu yang mereka terima dari Tatas Lintang
jika sangat diperlukan. Namun ternyata tanpa
mempergunakan ilmu itupun mereka telah mampu
mengalahkan lawan-lawannya.
Dalam pada itu, Mahisa Ura benar-benar telah mendesak
lawannya sehingga lawannya itu tidak mampu lagi bertahan
lebih lama lagi. Tongkatnya seakan-akan tidak lagi banyak
berarti, karena pisau belati Mahisa Ura yang sepasang itu
mampu mengimbangi kecepatan putaran tongkatnya.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, ketika Mahisa Ura melihat semuanya telah
menyelesaikan tugas masing-masing, maka iapun segera
mengerahkan kemampuannya pula. Ketika menangkis
patukan tongkat lawannya dengan pisau belati panjang di
tangan kiri sambil meloncat mendekat. Demikian cepatnya
sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya. Sehingga
karena itu, maka ujung pisau itu telah tergores di
pundaknya. Orang itu menyeringai kesakitan. Bahkan dengan
demikian, maka sebelah tangannya pun menjadi bagaikan
lumpuh. Meskipun demikian, orang itu sama sekali tidak berniat
untuk menyerah. Karena itu, maka dengan sebelah
tangannya ia masih juga melawan Mahisa Ura dengan sisa
tenaganya. Mahisa Ura lah yang kemudian merasa diburu oleh
waktu karena ia harus menyelesaikan pertempuran itu yang
terakhir sementara ia hanya melawan seorang saja.
Meskipun Mahisa Pukat juga hanya melawan satu orang
saja, tetapi lawannya adalah pemimpin dari sekelompok
orang bertongkat itu, yang memiliki ilmu paling tinggi di
antara mereka. Karena itu, maka Mahisa Ura pun telah kehilangan
perhitungannya. Asal saja ia ingin cepat mengalahkan
orang bertongkat itu. Karena itulah, maka iapun telah mempergunakan
kesempatan yang terbuka itu untuk mengakhiri perlawanan
orang bertongkat itu. Dengan sebelah tangan, maka tongkat
itu tidak lagi dapat berputar, berayun dan mematuk
sebagaimana digerakkan oleh kedua tangannya.
Mahisa Ura lah yang kemudian menguasai medan.
Dengan tangkasnya ia telah menyusup di antara putaran
tongkat itu dengan sebelah pisaunya dan seperti yang sudah
dilakukannya, menusuk lawannya dengan pisaunya yang
lain. Namun lawannya tidak membiarkan tubuhnya
dilukainya lagi. Karena itu, maka dengan cepat ia meloncat
surut. Tetapi agaknya Mahisa Ura telah memperhitungkannya.
Dengan cepat ia memburunya dan sekali lagi ia
menikamkan pisaunya langsung ke arah dada.
Orang itu tidak sempat meloncat lagi. Iapun tidak sempat
menangkis karena ia hanya menggerakkan tongkatnya
dengan sebelah tangan. Karena itulah, maka pisau itu benar-benar telah
menikam dadanya menghunjam sampai ke jantung.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Tatas Lintang sempat
melihat pisau itu menghunjam ke dada orang bertongkat
itu. Merekapun melihat orang itu terkulai jatuh dan tidak
akan sempat bangkit kembali.
Mereka hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Mahisa Ura pun berdiri termangu-mangu
ketika ia berpaling kepada Tatas Lintang, iapun berkata,
"Maafkan aku. Aku memang tidak mampu melakukan
sebagaimana kalian lakukan. Agaknya aku telah
membunuh lawanku." Ketiga orang yang termangu-mangu itu tidak menjawab.
Sementara Mahisa Ura pun berkata pula, "Aku tidak dapat
berbuat lain. Tetapi apakah lawan-lawan kalian tidak
terbunuh?" Mahisa Murti lah yang menjawab, "Terbunuh atau tidak,
tergantung kepada keadaannya. Kami tidak menyalahkan
seandainya lawanmu itu terbunuh. Kemungkinan itu
memang dapat terjadi dalam pertempuran. Karena itu,
jangan disesali." Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Tatas Lintang pun berkata, "Marilah. Kita lakukan
kewajiban kita." Keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan
tubuh-tubuh yang terbaring lemah dan seorang diantaranya
telah terbunuh. Sambil melangkah menuju ke batu yang berwarna
kehijauan itu Tatas Lintang berkata, "Nanti kita akan
mengurusnya jika kerja kita sudah selesai, sementara itu
mereka yang pingsan sudah mulai sadar."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak
menjawab. Mereka mengikuti saja Tatas Lintang menuju ke
batu yang berwarna kehijauan itu.
Meskipun malam gelap tetapi dengan ketajaman
penglihatan mereka, maka mereka melihat apa yang mereka
cari. Namun terasa tengkuk mereka pun meremang.
Meskipun mereka telah memiliki kemampuan untuk
menawarkan racun, tetapi pada malam hari berjenis-jenis
binatang beracun itu seolah-olah telah keluar dari celahcelah
retak batu yang berwarna kehijauan itu merambat di
wajah batu yang besar itu dalam jumlah yang tidak
terhitung. Tatas Lintang pun kemudian menarik nafas dalamdalam.
Ia merasa beruntung bahwa akhirnya ia akan
mendapatkan apa: yang mereka cari. Dengan demikian ia
akan dapat membantu orang-orang padukuhan itu untuk
mengamankan salah satu lingkungan di padukuhan mereka
yang telah dicemarkan dengan racun.
Namun dalam pada itu, maka iapun berkata kepada
Mahisa Ura, "Telanlah penawar itu. Meskipun saat ini kau
masih dilindungi oleh penawarmu yang pertama, tetapi
sebentar lagi, kekuatannya akan susut. Jika kau terlupa,
maka kau akan mengalami akibat yang buruk. Karena itu,
lakukanlah sekarang."
Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi ia telah mengambil
sebutir penawar racun dari kantong ikat pinggangnya dan
kemudian menelannya. Sebentar kemudian, maka mereka berempat pun telah
memungut binatang-binatang beracun yang berada di batu
besar yang berwarna kehijauan itu. Binatang-binatang itu
memang menyengat, menggigit dan menusuk dengan duridurinya
yang beracun. Tetapi keempat orang itu tidak
menghiraukannya. Mereka telah mempergunakan ikat
kepala mereka untuk membungkus binatang-binatang itu.
"Tetapi ada juga benarnya alasan orang-orang yang
mencegah kita," berkata Tatas Lintang, lalu katanya,
"tanpa binatang-binatang ini maka batu ini pun akan cepat
lenyap. Karena itu, kita harus membiarkan sebagian dari
binatang-binatang ini untuk tetap berada di celah-celah
retak batu-batu itu."
"Jumlah binatang ini tidak terhitung," berkata Mahisa
Murti ketika ia kemudian mengetuk-ketuk batu itu, maka
bermunculanlah binatang sejenis lebih banyak lagi.
Namun Tatas Lintang itupun kemudian berkata, "Kita
akan mengambil secukupnya."
Ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai
kemanakannya itupun tidak menyahut. Namun kemudian
Tatas Lintang memberikan isyarat, bahwa yang telah
mereka ambil agaknya telah cukup banyak.
Dengan demikian, maka mereka pun telah berhenti
memunguti binatang-binatang berbisa itu dan kemudian
membungkusnya dengan ikat kepala mereka.
"Marilah." berkata Tatas Lintang, "tetapi kita akan
melihat orang-orang itu. Mudah-mudahan mereka telah
menjadi baik dan dapat meninggalkan tempat ini sambil
merawat seorang yang terbunuh di antara mereka
berenam." Keempat orang itupun kemudian meninggalkan batu itu
dan mendekati tubuh-tubuh itu, maka mereka pun terkejut.
Pemimpin dari kelompok itu telah mampu bangkit.
Namun yang lain tidak akan dapat bangkit untuk
selamanya. "Kenapa mereka mati" " justru Tatas Lintang lah yang
bertanya. Si Pemanah Gadis 3 Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Eldest 11
berkata Tatas Lintang. "Dengan demikian, jika kita
menanam pohon di lubang-lubang itu, maka pohon itu akan
mati." "Bukan hanya pohon-pohonnya yang mati. Seandainya
aku yang menanaminya, maka aku pun akan mati juga,"
berkata Mahisa Ura. Tatas Lintang pun mengangguk sambil bergumam, "Ya.
Karena itu, kau harus minum obat penawar racun lebih
dahulu. Meskipun hanya berlaku untuk beberapa lama,
namun agaknya kita akan dapat menunjukkan, bahwa kita
tidak akan dapat diganggu oleh racun-racun itu."
"Jika orang yang memasang racun itu sama dengan
orang yang menyerang kami di dekat batu hijau itu, mereka
tahu, bahwa kami tawar akan racun." berkata Mahisa
Murti. "Tetapi mungkin orang lain tidak," jawab Tatas Lintang.
"Karena itu maka harus kita buktikan bahwa orang lain
itupun benar-benar tawar racun pula."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka sependapat dengan Tatas Lintang. Tetapi mereka
pun tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa orangorang
itu memang akan menggagalkan kerja mereka
berempat atau jika keempat orang itu tawar akan racun dan
tidak menghiraukan apa yang mereka lihat, maka setiap
batang pohon yang ditanam dengan susah payah, akan mati
layu. Dalam pada itu Tatas Lintang pun berkata, "Aku yakin
bahwa orang-orang yang menuangkan cairan beracun itu
akan datang lagi melihat hasil kerja mereka, atau sekarang
ini mereka justru mengamati dari kejauhan, apa yang kita
kerjakan." "Baiklah," berkata Mahisa Murti, "Marilah kita berbuat
sesuatu. Namun apakah Mahisa Ura harus mencari air
untuk mencairkan obat penawar itu lebih dahulu ke
padukuhan?" Tatas Lintang termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Kita mencari cara lain. Aku akan
mendapat sepucuk duri di pategalan ini."
"Duri salak?" bertanya Mahisa Pukat.
"Duri apapun," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Pukat pun kemudian mengambil beberapa pucuk
duri dari sebatang pohon salak yang tumbuh di pagar
pategalan itu. Tatas Lintang pun kemudian minta mereka berempat
berdiri rapat. Katanya, "Agar jika orang yang mengawasi
kita, mereka tidak mengetahui apa yang kita lakukan."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura berdiri
mendekat, hampir melekat yang satu dengan yang lain.
"Berikan jari tengah tangan kirimu," berkata Tatas
Lintang kepada Mahisa Ura.
Mahisa Ura ragu-ragu sejenak. Namun iapun kemudian
telah memberikan jari tengah tangan kirinya.
Dengan ujung duri salak yang tajam maka Tatas Lintang
telah menusuk ujung jari itu. Tidak terlalu dalam, tetapi
cukup untuk memeras darahnya keluar dari bekas tusukan
itu. Tatas Lintang pun kemudian menempelkan akik pada
cincinnya sambil berkata, "benda-benda penawar racun
milik kalian dapat juga dipergunakan untuk mencegah
keracunan dengan cara seperti ini. Tetapi kekuatannya
untuk menawarkan racun tidak lebih dari setengah hari.
Jika lewat setengah hari, maka ia harus menghindarkan diri
dari kemungkinan baru. Seorang yang dipatuk ular akan
dapat sembuh dengan menempelkan benda ini di mulut
luka, tetapi untuk penawar racun sebagai pencegahan, maka
benda ini harus bersentuhan dengan arus darah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Ura perhatiannya tertuju sepenuhnya
kepada jari-jarinya yang berdarah dan ditempeli dengan
batu akik pada cincin Tatas Lintang itu.
Namun sejenak kemudian Mahisa Ura pun berdesis
menahan sakit. Ujung jarinya itu rasa-rasanya bagaikan disentuh bara
api. Tetapi Tatas Lintang berkata, "Itu adalah pertanda
bahwa di dalam tubuhmu mulai mengalir penawar racun
itu, untuk kurang lebih setengah hari."
Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi perasaan sakit itu
perlahan-lahan telah berkurang sehingga akhirnya lenyap
sama sekali. "Nah," berkata Tatas Lintang, "darahmu pun sudah
pampat. Kau sekarang tawar akan racun meskipun hanya
untuk setengah hari."
Demikianlah, maka keempat orang itupun segera
menebar membawa alat mereka masing-masing.
Merekapun kemudian telah dengan sengaja memasuki
lubang-lubang yang masih berasap tipis itu. Meskipun
baunya menusuk hidung, bahkan Mahisa Pukat hampir saja
muntah-muntah karenanya. Memang terasa pada tubuh mereka, serangan racun yang
tajam mencengkam. Tetapi mereka berempat memiliki
penawar racun itu tidak berpengaruh terhadap mereka,
kecuali justru baunya sajalah yang membuat kepala mereka
menjadi pening. Tetapi keempat orang itu tetap bekerja di lubang-lubang
yang berasap tipis itu. Mereka membuat lubang itu lebih
dalam meskipun sebenarnya sudah cukup. Namun mereka
tidak dapat segera menanam pohon buah-buahan karena
pengaruh racun itu akan dapat membunuh.
Namun dalam pada itu, tanah yang mereka lemparkan
naik pada saat mereka memperdalam lubang itupun masih
juga mengandung racun. Pepohonan yang ada di sekitar
lubang itu yang tersentuh oleh tanah itupun terpengaruh
pula karenanya. Beberapa batang pohon-pohon kecil
menjadi layu dan merunduk.
Beberapa saat kemudian, maka Tatas Lintang pun telah
meloncat naik. Sambil melangkah ke tepi ia berkata lantang
kepada ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai
kemanakannya itu, "Marilah kita beristirahat."
Ketiga orang anak muda itupun dengan serta merta telah
meloncat naik. Rasa-rasanya mereka memang tersiksa oleh
bau yang sangat tajam itu.
Ketika mereka duduk di bawah sebatang pohon, maka
Mahisa Ura pun berkata, "Apakah pengaruh racun itu tidak
akan membunuh beberapa jenis pepohonan buah-buahan
yang sudah ada " Akar pohon itu mungkin akan menjalar
sampai agak jauh dan menjangkau cairan yang dituangkan
ke dalam lubang-lubang itu, apalagi jika cairan itu sudah
meresap ke dalam tanah."
Tatas Lintang mengangguk-angguk. Katanya, "Kau
benar. Cairan itulah yang seharusnya ditawarkan. Lihat,
tanah yang kita naikkan dari lubang yang kita gali itu
berpengaruh pula pada tetumbuhan."
"Apakah yang dapat kita lakukan?" bertanya Mahisa
Murti. Tatas Lintang termangu-mangu. Namun sebelum ia
menjawab, mereka berempat dikejutkan oleh suara tertawa
yang melingkar-lingkar di pategalan itu.
Keempat orang itu tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu.
Mereka memusatkan indra mereka untuk mengetahui arah
suara yang menggetarkan dada mereka.
"Jangan menyerah," bisik Mahisa Murti kepada Mahisa
Ura yang masih saja merasa dirinya terlalu kecil di antara
mereka berempat. "Kau mempunyai kemampuan yang
cukup untuk mempertahankan dirimu."
Mahisa Ura tersentuh oleh kata-kata itu. Ketika mulamula
ia mendengar suara tertawa itu, hatinya sudah mulai
kecut. Sehingga dengan demikian maka pertahanannya pun
menjadi goyah sebelum terbentur oleh kekuatan yang
sebenarnya. Kata-kata Mahisa Murti itu seolah-olah telah mendorong
kekuatan yang besar ke dalam dirinya, sehingga iapun
kemudian telah menghentakkan kekuatan di dalam
tubuhnya. Mengerahkan daya tahannya untuk melawan
suara tertawa yang mengguncang isi dadanya itu.
Ternyata bahwa Mahisa Ura berhasil mengerahkan
tenaga cadangan di dalam dirinya untuk meningkatkan
daya tahannya, sehingga suara tertawa yang menghentakhentak
itu tidak merontokkan isi dadanya.
Tatas Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu tidak segera berbuat sesuatu meskipun
mereka berada dalam kesiagaan tertinggi. Namun mereka
masih tetap duduk di tempatnya.
Meskipun demikian, mereka perlahan-lahan berhasil
menangkap getaran arah suara tertawa itu. Meskipun
suaranya seakan-akan masih tetap melingkar-lingkar,
namun keempat orang itu sama sekali tidak lagi menjadi
kebingungan. Mereka mampu bertahan dari hentakkan
suara tertawa yang mengetuk-ngetuk jantung itu dan
bahkan telah mengetahui arah sumbernya.
Justru karena itu, maka Tatas Lintang pun sama sekali
tidak menunjukkan perhatiannya, ia masih saja duduk dan
bahkan seakan-akan ia tidak mendengar sesuatu.
Untuk beberapa saat kemudian, suara itu masih tetap
menggetarkan udara pategalan itu. Bahkan semakin keras.
Tetapi keempat orang itu seakan-akan tidak terpengaruh
sama sekali oleh suara itu. Mereka masih duduk tanpa
bergeser sama sekali. "Bukan main," terdengar suara itu berubah nadanya.
Bukan lagi suara tertawa, "Kalian memang orang-orang
berilmu sangat tinggi."
Tatas Lintang berpaling ke arah sumber suara yang
sudah diketahuinya itu. Sejenak ia termangu-mangu.
Namun kemudian jawabnya dengan suara wajar, "Marilah
Ki Sanak. Silahkan duduk bersama kami. Kami sedang
menunggu kiriman makanan dan minuman hangat dari
rumah pemilik pategalan ini."
Sejenak tidak terdengar sesuatu. Namun kemudian
terdengar suara yang menggetarkan jantung itu, "Ki Sanak
memang merendahkan diri. Kenapa Ki Sanak tidak
membalas?" "Membalas apa?" Tatas Lintang masih tetap
mempergunakan suara wajarnya. "Aku tidak merasa
mendapat serangan dari siapapun dan serangan macam
apapun. Entahlah jika serangan itu terlalu lemah sehingga
aku tidak merasakannya. Atau daya tahan kami terlalu
tinggi dibanding dengan serangan itu."
"Gila," terdengar geram yang menggetarkan udara,
"ternyata kalian bukannya orang yang rendah hati
sebagaimana aku duga. Tetapi kalian ternyata seorang yang
sangat sombong. Mungkin demikian pula orang-orang lain
yang bersamamu itu?"
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang kemudian,
"kemarilah. Duduklah. Kita dapat berbicara dengan baik.
Apakah sebenarnya keperluan kalian. Agaknya kalian
bukan sekedar datang hari ini. Sebelumnya kalian telah
berulang kali datang dengan cara yang berbeda-beda."
"Mungkin kau benar Ki Sanak. Aku memang
mempunyai kepentingan dengan kalian. Kalian telah
membuat kami merasa terganggu. Untuk apa sebenarnya
kalian berkeliaran di tempat ini?"
"Kenapa kau merasa terganggu Ki Sanak?" Tatas
Lintang justru bertanya, "bukankah kami tidak pernah
mengganggumu" Bahkan kami pun masih akan bertanya,
siapakah kau sebenarnya?"
"Jangan berpura-pura Ki Sanak," berkata suara itu, "aku
kira permainanku selama ini sudah cukup baik. Namun
kalian sama sekali tidak merasa gentar karenanya. Aku
sudah mengirimkan beberapa ekor harimau dan bahkan
sempat menakut-nakuti padukuhan ini. Demikian pula
dengan beberapa ekor ular dan permainan racunku hari ini.
Kalian sama sekali tidak terusik karenanya. Karena itu,
maka sekarang kami tidak akan mempergunakan binatangbinatang
apapun juga, tetapi kami ingin langsung berbicara
dan memberikan beberapa peringatan langsung kepada
kalian." "Oo, begitu," bertanya Tatas Lintang, "karena itu
silahkan Ki Sanak. Kita berbicara dengan wajar."
Tidak terdengar jawaban. Namun tiba-tiba terasa angin
yang semilir bertiup di pategalan itu. Kemudian terasa
sesuatu yang kurang wajar pada diri keempat orang yang
tersentuh angin yang semakin sejuk itu.
Tatas Lintang yang tertua di antara mereka dan memiliki
pengalaman terbanyak tiba-tiba saja berdesis perlahan,
"berhati-hatilah. Sesuatu tengah menyerang kita. Lebih
dahsyat dari suara tertawa itu. Tetapi aku tidak dapat
mengatakan, bentuk ilmu apa lagi yang dipergunakannya."
Mereka berempat kemudian telah berusaha untuk
bertahan. Sementara itu Tatas Lintang berbisik,
"Sasarannya bukan wadag kita. Tetapi ketahanan jiwa kita.
Berhati-hatilah." Keempat orang itupun menjadi semakin dalam
memusatkan nalar budi mereka. Apalagi ketika kemudian
mereka seakan-akan merasakan angin pusaran yang
membelit udara di sekitar tempat mereka duduk. Tidak
terlalu besar, tetapi pengaruhnya terasa sekali menusuk ke
dada. Keempat orang itupun bertahan dengan sekuat-kuatnya
Mereka berusaha menolak getaran yang seakan-akan
menusuk nusuk berusaha menyusup ke dalam diri mereka.
Justru ke dalam pribadi mereka.
Tatas Lintang yang duduk sambil menyilangkan
tangannya di dadanya, merasa sesuatu bergejolak di dalam
dirinya. Terasa seakan-akan kesadarannya mulai dibayangi
oleh kabut tebal. Kemudian seolah-olah paruh dari angin
pusaran itu telah mematuk ubun-ubunnya menyusup ke
dalam dirinya. Demikian cepatnya pusaran itu berputar
seakan-akan mempunyai kekuatan menghisap yang sulit
dilawan. Kesadarannya serasa mulai goyah, terhisap oleh
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
angin pusaran yang berputar di atas ubun-ubunnya yang
paruhnya menyusup ke dalam dirinya itu.
Tatas Lintang harus mengerahkan segenap kekuatan
jiwani untuk melawan hisapan yang sangat besar terhadap
kesadarannya itu. Kekuatan pribadinya ternyata mampu
mengatasinya sehingga kesadarannya masih tetap utuh di
dalam dirinya, ia tetap menyadari apa yang terjadi.
Sehingga karena itu, ketika terjadi kekuatan lain dari
pusaran di atas ubun-ubun itu, Tatas Lintang masih tetap
siap untuk melawan. Karena sejenak kemudian, tidak lagi terasa kekuatan
yang menghisap itu. Tetapi justru sebaliknya. Ada kekuatan
yang berusaha memasuki pribadinya, mempengaruhi
penalarannya. Sesaat terjadi kegoncangan di dalam diri
Tatas Lintang. Namun sekali terjadi kegoncangan di dalam
diri Tatas Lintang. Namun sekali lagi kekuatan pribadinya
mampu mengatasinya, sehingga Tatas Lintang masih tetap
berdiri di atas kesadaran dan pribadinya.
Demikian pula terjadi atas Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan Mahisa Ura. Mereka masih belum berpengalaman
sebanyak Tatas Lintang. Namun mereka pun berusaha
untuk melawan, justru karena Tatas Lintang telah
memperingatkan mereka. Dengan menghentakkan kekuatannya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berusaha mempertahankan kesadarannya.
Mereka sudah terlatih untuk pemusatan nalar budinya
dalam pengerahan ilmu puncak. Karena itu, maka mereka
pun seakan-akan mampu menutup dirinya sehingga
kesadarannya tidak terhisap. Demikian pula ketika terjadi
sebaliknya, ketika kekuatan yang tidak dikenal seolah-olah
menyusup ke dalam diri dan pribadi mereka.
Untuk mempertahankan pemusatan nalar budinya, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tanpa berjanji telah
bersama-sama mempergunakan kemampuannya dalam
pemusatan kekuatan ilmu puncaknya, meskipun ilmu itu
tidak akan dilontarkannya.
Ternyata bahwa usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah berhasil. Meskipun mereka masih muda tetapi
kekuatan pribadi mereka ternyata mampu mengatasi
kesulitan yang timbul karena paruh pusaran yang seakanakan
menusuk menyusup ke dalam diri mereka. Landasan
ilmu dan tempaan lahir batin yang pernah mereka alami,
ternyata sangat membantu keduanya mengatasi kekuatan
yang berusaha menyusup ke dalam pribadi mereka.
Yang mengalami kesulitan adalah Mahisa Ura. Ketika
ujung pusaran itu menyusup menusuk ke dalam ubunubunnya,
menghisap kesadarannya, Mahisa Ura telah
mengalami kesulitan itu. Betapapun ia bertahan, namun
agaknya ia tidak mempunyai cukup kekuatan untuk
mempertahankannya. Karena itulah, maka perlahan-lahan
kesadarannya mulai goncang. Terasa yang kemudian
berputar bukan saja udara di atas ubun-ubunnya tetapi
dirinya pun seakan-akan telah hanyut pula oleh arus angin
pusaran itu. Pengalamannya atas dirinya dan
lingkungannya mulai kabur, sehingga akhirnya iapun
merasa telah terlepas dari dirinya sendiri, pada saat
kesadarannya benar-benar telah hilang.
Itulah sebabnya Mahisa Ura tidak mampu melawan
kekuatan yang masuk menyusup ke dalam dirinya. Mahisa
Ura sama sekali tidak tahu, apa yang dilakukannya. Ia
benar-benar telah kehilangan kesadaran dan
kepribadiannya. Sejenak kemudian terdengar Mahisa Ura itupun
menggeram. Kemudian terdengar iapun telah tertawa
perlahan-lahan. Semakin lama menjadi semakin keras.
Berbareng dengan itu, maka angin pusaran yang
memutar udara di pategalan itupun mulai susut, dan
akhirnya lenyap sama sekali. Pusaran-pusaran kecil yang
menyerang setiap pribadi dari keempat orang itupun telah
lenyap. Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
mulai melepaskan diri dari pemusatan nalar budinya.
Namun mereka-pun telah dikejutkan oleh suara tertawa
Mahisa Ura yang hanya beberapa langkah saja dari mereka.
Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meloncat bangkit dan bergeser mundur. Mereka
memandang tingkah laku Mahisa Ura dengan heran.
Mahisa Ura yang juga sudah berdiri tegak itu masih saja
tertawa. Namun tiba-tiba saja suara tertawanya telah
berhenti. Dengan tajam Mahisa Ura itupun memandang
ketiga orang yang berdiri di depannya itu berganti-ganti.
Bahkan tatapan dan sorot matanya yang aneh itu membuat
ketiga orang itu seakan-akan tidak dapat mengenalinya lagi.
"Mahisa Ura," desis Mahisa Murti.
Mahisa Ura memandanginya. Tetapi tiba-tiba saja iapun
menggeram sambil bergeser maju.
Mahisa Murti justru bergeser surut, ia melihat
ketidakwajaran pada Mahisa Ura. Sementara itu Mahisa
Pukat pun telah memanggilnya, "Mahisa Ura, kenapa kau
?" Mahisa Ura berpaling ke arah Mahisa Pukat. Sejenak ia
memandang dengan sorot yang menyala. Namun tiba-tiba
saja Mahisa Ura telah menerkamnya dengan garangnya.
Kedua tangannya teracu ke depan dengan jari-jari yang
mengembang. "Pukat, " teriak Mahisa Murti memperingatkan
saudaranya. Untunglah Mahisa Pukat bergerak cepat. Dengan
tangkas ia meloncat ke samping. Hampir saja jari-jari
Mahisa Ura berhasil menyambar keningnya. Sementara itu
jantungnya menjadi berdebaran.
"Apa yang terjadi pada dirinya," Mahisa Pukat hampir
berteriak pula. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang menjadi
sangat tegang. Sementara itu Mahisa Ura memandang
mereka berganti-ganti dengan tatapan mata yang liar.
Dengan nada dalam dan bagaikan gaung di relung goa
yang dalam terdengar Mahisa Ura berkata, "Marilah. Aku
tantang kalian bertiga. Aku tidak lagi mempergunakan
binatang yang dungu untuk melawan kalian. Kini lawan
aku. Aku datang langsung kepada kalian."
Tatas Lintang menggeram. Kemarahannya memuncak
sampai ke ubun-ubun. Dengan suara bergetar ia berkata,
"Kau licik. Licik sekali. Kau pergunakan wadag salah
seorang di antara kami."
Mahisa Ura itu tertawa. Namun suara tertawa itu
memang bukan suara Mahisa Ura sendiri.
Di sela-sela derai suara tertawanya yang bergema di
seluruh pategalan itu, terdengar ia berkata dengan suara
yang bergulung-gulung, "Siapa yang licik he" Salah kalian
sendiri. Seorang di antara kalian ternyata tidak mampu
mempertahankan dirinya, sehingga ia memberi kesempatan
dan bahkan bersedia membantuku membunuh kalian."
Tatas Lintang bergeser selangkah surut ketika wadag
Mahisa Ura yang telah kehilangan kepribadiannya itu
bergeser mendekatinya. Dalam pada itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas
Lintang telah mengetahui dengan pasti, apakah yang
terjadi. Namun mereka dihadapkan pada satu keadaan yang
sulit. Tubuh yang mereka hadapi adalah tubuh Mahisa Ura.
Jika mereka melawan langsung dalam benturan ilmu, maka
jika terjadi sesuatu atas lawannya itu, maka wadag Mahisa
Ura lah yang akan menderita. Jika mereka berusaha
membunuh lawannya, maka wadag itulah yang rusak, dan
Mahisa Ura pun terbunuh pula, sementara pribadi yang
menguasai seluruh pribadi Mahisa Ura itu dapat meloncat
meninggalkan wadag itu. "Ayo," terdengar gaung suara Mahisa Ura, "siapakah
yang akan mati lebih dahulu, atau kalian akan membunuh
aku" Marilah. Majulah bertiga."
Tatas Lintang lah yang menjawab, "Kenapa kau begitu
pengecut, licik dan tidak tahu diri" Kenapa kau tidak
mencoba untuk bertempur dengan jantan. Barangkali kau
tidak berani menghadapi kami berempat. Ada banyak cara
dapat kau tempuh. Kau dapat memanggil kawan-kawanmu
di padepokanmu. Bukankah kau mempunyai banyak
pengikut" Jika tidak ada orang yang memiliki kemampuan
yang kau anggap cukup, kau dapat menantang kami perang
tanding. Kau dapat memilih seorang di antara kami
bertiga." "Aku sudah memilih dan aku sudah mengalahkannya.
Anggaplah kawanmu yang seorang ini sudah mati. Karena
itu jangan segan-segan bertempur. Nanti, dalam keadaan
letih, aku akan dapat mengambil seorang yang lain di
antara kalian dan mempergunakannya pula, sehingga
akhirnya, jika kalian bersisa dua orang, akan terjadi perang
tanding yang seru dan menarik." berkata mulut Mahisa Ura
itu. Tatas Lintang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
menjadi bingung. Mereka tidak segera dapat menemukan
jalan untuk mengatasinya.
Namun sementara itu wadag Mahisa Ura itupun tertawa
semakin keras. Dan tiba-tiba saja tubuh itu telah melenting
menyerang Tatas Lintang. Serangan itu datang begitu cepat. Namun Tatas Lintangpun
memiliki kemampuan yang sangat besar sehingga ia
mampu mengelakkan serangan itu.
Namun tubuh itupun segera meloncat menyerang
Mahisa Murti. Seperti Tatas Lintang, maka Mahisa Murti
pun hanya dapat mengelakkan dirinya tanpa berusaha
untuk menyerang kembali. Demikian pula Mahisa Pukat
meskipun sambil mengumpat dengan sangat marah.
Wadag Mahisa Ura itu tertawa pula. Katanya, "Kenapa
kalian tidak membalas menyerangku. Kau takut tubuh ini
menjadi rusak" Sudah aku katakan, anggap saja seorang
kawanmu ini telah terbunuh. Jika tidak demikian, maka
akulah yang akan membunuh kalian bertiga. Cara ini
memang menyenangkan sekali."
"Gila," geram Tatas Lintang. Namun iapun terdiam
ketika wadag Mahisa Ura itu telah menyerang pula.
Meskipun Tatas Lintang masih dapat mengelakkan diri,
tetapi sambaran angin yang dihentakkan oleh ayunan
serangan tubuh Mahisa Ura itu memberikan isyarat
kepadanya, bahwa lawannya itu memang mempunyai
kekuatan yang besar sekali.
Ternyata seseorang yang telah mempergunakan wadag
Mahisa Ura itupun telah mempergunakan kesempatan itu
sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia berloncat menyerang
ketiga orang lawannya bergantian, sementara itu Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Tatas Lintang masih menjaga
agar mereka tidak menyakiti tubuh Mahisa Ura yang telah
dipergunakan oleh lawannya itu.
Karena itu, maka pertempuran pun menjadi berat
sebelah. Dengan tangkasnya wadag Mahisa Ura itu
menyerang tanpa takut mendapat serangan balasan.
Sehingga dengan demikian, maka Mahisa Murti, Mahisa
Pukat dan Tatas Lintang pun hanya berloncatan
menghindar. Namun bagaimanapun juga ketiga orang itu menjaga diri
untuk tidak menyakiti apalagi melukai wadag Mahisa Ura,
namun sekali-sekali dalam keadaan yang sulit, mereka tidak
sempat untuk mengelak, sehingga mereka harus menangkis
serangan-serangan yang datang bahkan beruntun.
Mahisa Pukat yang terdesak ke sudut pategalan, terpaksa
membentur serangan lawannya. Keduanya terdorong
selangkah surut, sehingga Mahisa Pukat membentur pagar.
Namun dalam keadaan yang demikian lawannya
berkata, "Bagus. Kau telah menyakiti tubuh saudaramu he"
Aku berharap agar kau melakukannya sekali lagi dan sekali
lagi." Mahisa Pukat menggeram, ia berada dalam keadaan
yang serba sulit sebagaimana Mahisa Murti dan Tatas
Lintang. Yang akan dilakukan kemudian adalah sekedar
melepaskan diri dari tempat yang hampir terkurung.
Tetapi lawannya agaknya tidak memberinya
kesempatan. Dengan hati-hati wadag Mahisa Ura itu maju.
Bukan karena ia takut mengalami serangan. Tetapi ia
menjaga agar Mahisa Pukat tidak dapat terlepas. Dengan
demikian maka Mahisa Pukat itu akan terpaksa melawan
dan menyakiti tubuh Mahisa Ura. Demikian juga jika
kedua orang yang lain ingin menolongnya.
Karena itu, sambil tertawa lawannya itu berkata, "kau
akan terjebak di sudut pategalan. Aku akan menyerangmu,
membunuhmu dan mencincangmu menjadi sewalangwalang.
Melawan lah agar kau tidak mati. Biarlah tubuh ini
sajalah yang mati dan hancur sama sekali. Sebaiknya kedua
orang saudaramu yang lain itu berusaha menolongmu."
Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia memang tidak
melihat jalan keluar selain melakukan perlawanan dengan
membenturkan ilmu mereka. Namun dengan demikian,
tubuh Mahisa Ura itu memang akan dapat menjadi cidera.
Jika orang itu meninggalkannya dan membiarkan pribadi
Mahisa Ura kembali, maka Mahisa Ura itu akan berada
dalam keadaan yang gawat.
Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun menjadi bingung
pula. Mereka mengerti apa yang mungkin terjadi.
Namun mereka tidak segera menemukan jalan untuk
membantu membebaskan Mahisa Pukat. Sedangkan
Mahisa Murti menjadi semakin cemas karena ia mengenal
watak dan tabiat Mahisa Pukat. Pada saat yang terjepit,
kadang-kadang ia tidak berpikir terlalu panjang. Sehingga
menurut dugaan Mahisa Murti. Mahisa Pukat yang marah
akan dapat berbuat sesuatu yang membahayakan tubuh
Mahisa Ura. Sementara itu tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah
pengaruh lawan itu maju lagi selangkah sambil
memperdengarkan suara tertawa yang menjengkelkan.
Tetapi pada saat yang demikian, Tatas Lintang harus
bertindak. Dengan segenap kekuatan yang ada di dalam
dirinya. Tatas Lintang telah mencoba menyerang.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Diacukannya tangannya serta dikembangkannya telapak
tangannya. Seberkas sinar memancar dari telapak
tangannya itu menyambar tanah sejengkal dari tempat
Mahisa Ura berpijak. Serangan yang tiba-tiba itu ternyata memang
mengejutkan. Tanah yang dikenai serangan itu bagaikan
meledak. Dan ledakan itu telah membuat pribadi yang
mempengaruhi wadag Mahisa Ura itu terkejut pula dan
dengan gerak naluriah meloncat ke samping.
Mahisa Pukat ternyata mampu menanggapi peristiwa itu.
Pada saat wadag Mahisa Ura itu melenting ke samping,
maka Mahisa Pukat pun telah mempergunakan kesempatan
itu, meloncat, melepaskan diri dari keadaan yang tidak
menguntungkannya. Menjauhi sudut pategalan itu.
Namun demikian Mahisa Pukat benar-benar menjadi
marah sehingga tubuhnya bergetar. Justru karena ia tidak
mendapat kesempatan untuk melawan.
"Gila," geram Mahisa Pukat, "licik, pengecut.
Pergunakan wadagmu sendiri. Kita berperang tanding."
Tetapi orang yang telah berhasil mempengaruhi pribadi
Mahisa Ura itupun menjadi marah juga. Ternyata ia telah
dapat dikejutkan oleh lawannya sehingga Mahisa Pukat
sempat melepaskan dirinya tanpa harus benar-benar
membenturkan ilmunya, sehingga wadag yang
dipergunakannya itu mengalami cidera.
"Baiklah," geram orang itu, "kau berhasil melepaskan
dirimu. Tetapi keadaan yang serupa akan terulang kembali,
justru karena kalian tidak berani melawan aku. Mungkin
kau mungkin kau dan mungkin kau."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Memang sulit untuk melawan seorang
yang licik seperti kau. Tetapi baiklah. Jika memang
terpaksa, apa boleh buat. Mungkin aku atau kedua
kemanakanku yang lain akan menyakiti wadag yang kau
pergunakan. Tetapi aku pun yakin, bahwa aku akan dapat
mengobatinya." "Omong kosong," geram orang itu, "jika tubuh ini sudah
berada pada tataran mati, tidak seorang pun akan dapat
mengobatinya. Aku akan meninggalkannya, dan tubuh ini
akan terkapar dengan darah yang membeku. Apa yang akan
kau lakukan?" Tatas Lintang hanya dapat mengumpat di dalam hati.
Yang dikatakan orang itu memang benar. Sementara itu, ia
tidak dapat berbuat apa-apa.
Sejenak kemudian, maka tubuh Mahisa Ura itupun telah
kembali berloncatan menyerang ketiga orang lawannya.
Suara tertawa berderai mengiringi geraknya yang cepat
cekatan. Untunglah ketiga lawannya memiliki kemampuan
bergerak yang melampaui kebanyakan orang, sehingga
karena itu, mereka sempat menghindari serangan-serangan
itu. "Ayo," berkata Mahisa Ura di bawah ketidak sadaran
pribadinya sendiri, "sampai kapan kalian mampu
berloncatan, berlari-lari dan menghindari seranganseranganku
he?" Tidak ada jawaban, sementara mereka masih saja
berkejar-kejaran di pategalan itu.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Tatas Lintang
menemukan satu cara yang mungkin akan dapat
memecahkan persoalan mereka. Meskipun ia masih belum
yakin, namun tiba-tiba saja ia berteriak, "Hambat orang itu,
meskipun kita harus mengorbankan tubuh Mahisa Ura.
Tetapi jaga agar tubuh itu tidak kalian rusakkan. Aku akan
memecahkan rahasia keadaan yang memusingkan kepala
kita ini." "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Mahisa Murti
sambil menghindari serangan lawannya.
"Lakukan yang aku katakan. Tahan orang itu agar tidak
mencegah langkah-langkah yang akan aku ambil," jawab
Tatas Lintang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sempat bertanya
lebih banyak lagi. Mereka melihat Tatas Lintang berlari
meninggalkan medan yang berat sebelah itu.
Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat adalah, melakukan sebagaimana
dikatakan oleh Tatas Lintang meskipun hal itu akan sangat
sulit dilakukan. Sementara itu, tubuh Mahisa Ura itupun berteriak
nyaring, "He, akan lari ke mana kau?"
Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Tetapi ia justru
berlari semakin cepat. Sejenak Mahisa Ura yang berada di bawah pengaruh
pribadi seseorang itu menggeram. Katanya lantang,
"Jangan lari. Berhenti, atau aku hancurkan tubuh ini."
Tatas Lintang berlari terus tanpa berpaling.
Tubuh Mahisa Ura itupun tiba-tiba telah meloncat pula
mengejar Tatas Lintang. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk
menghalanginya. Mereka telah berusaha untuk
menghentikan langkahnya dengan mencegatnya.
Tetapi tubuh Mahisa Ura yang berada di bawah
pengaruh pribadi orang lain tidak menghiraukannya.
Dengan kuat tubuh itu membentur Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat yang berada di garis derap langkah kakinya.
Ketiga orang itu ternyata telah terpental dan jatuh
berguling. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan tangkas
telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya. Namun
ternyata wadag Mahisa Ura itupun telah bangkit pula
berdiri. Bahkan tubuh itu telah siap untuk berlari mengejar
Tatas Lintang. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
membiarkannya. Dengan tangkas Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah meloncat mendekatinya.
Wadag Mahisa Ura itu tertegun. Pribadi yang
mempengaruhinya itupun menjadi sangat marah. Terdengar
ia menggeram sambil berkata, "Jangan halangi aku, atau
aku akan membinasakan kalian berdua atau wadag yang
aku pergunakan." "Aku melakukan perintah pamanku. Kami berdua harus
menghambatmu jika kau akan mengejarnya," jawab Mahisa
Murti. Tubuh itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia telah
menyerang dengan dahsyatnya. Sama sekali tanpa raguragu
meskipun ia sadar bahwa lawannya pun memiliki ilmu
yang tinggi. karena pribadi di dalam diri Mahisa Ura itu
memang dengan sengaja ingin membenturkan wadag yang
dipergunakannya. Tetapi Mahisa Murti tidak membentur kekuatan itu.
Dengan tangkas pula ia menghindar meskipun hampir saja
keningnya disambar oleh tangan tubuh Mahisa Ura yang
berada di luar kepribadiannya sendiri.
Ternyata bahwa orang yang mempengaruhi pribadi
Mahisa Ura itu tidak menghiraukannya, iapun dengan
cepat meloncat berlari mengejar Tatas Lintang. Namun
Tatas Lintang telah menjadi semakin jauh.
"Berhenti," teriak orang yang mempergunakan wadag
Mahisa Ura, "jika kau tidak berhenti, aku benturkan kepala
tubuh ini pada sebatang pohon cangkring yang berduri
tajam itu." Tatas Lintang tidak menghiraukannya. Ia berlari
semakin kencang. Sementara itu Mahisa Pukat telah meloncat menerkam
tubuh Mahisa Ura itu. Ternyata yang dapat ditangkapnya
hanyalah kakinya. Namun dengan demikian Mahisa Ura
itu telah jatuh terjerembab.
Ternyata yang terjadi telah mengejutkan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Ketika keduanya meloncat dan
mempersiapkan diri ternyata tubuh Mahisa Ura itu tidak
segera bangkit berdiri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ragu-ragu sejenak.
Mereka terkejut ketika mereka kemudian melihat tubuh itu
bergerak sambil berdesah. Perlahan-lahan Mahisa Ura itu
menggeliat. Diusapnya matanya sambil bertanya lirih, "Apa
yang telah terjadi?"
Mahisa Ura terengah-engah. Nafasnya terasa belum
mengalir wajar. Namun iapun kemudian bangkit sambil
memegangi pinggangnya, "Aku kehilangan kesadaranku.
Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan diriku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Agaknya Mahisa Ura telah kembali kepada
kepribadiannya sendiri. Karena itu, maka Mahisa Murti
pun berkata, "Mahisa Ura. Wadagmu memang telah
terlepas dari kuasa pribadimu sendiri. Kau baru saja berada
di bawah pengaruh lawan kita."
Mahisa Ura termangu-mangu. Namun iapun kemudian
berdesis sambil berkata, "Pinggangku sakit sekali. Juga
lenganku bagaikan retak. Tetapi apakah yang sebenarnya
telah terjadi." "Tidak banyak waktu yang tersedia," berkata Mahisa
Murti, "marilah kita lihat, apa yang terjadi dengan Tatas
Lintang." Ketiganya pun kemudian telah bersiap untuk menyusuri
arah langkah Tatas Lintang yang sudah tidak nampak lagi,
karena terlindung oleh dedaunan dan pepohonan di
pategalan itu. Namun ketika mereka mulai berlari, Mahisa Ura masih
harus mengeluh lagi, karena tubuhnya terasa sangat sakit di
beberapa tempat. "Pergilah dahulu," berkata Mahisa Ura.
"Marilah, agar tidak terjadi sesuatu lagi dengan kau,"
sahut Mahisa Murti. Mahisa Ura pun kemudian telah memaksa dirinya berlari
mengikuti arah Tatas Lintang menghilang.
"Apa yang dilakukannya ?" bertanya Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
agaknya mereka mulai mengerti apa yang dilakukan oleh
Tatas Lintang. Namun mereka tidak mempunyai
kesempatan untuk lebih banyak berbicara, karena mereka
harus dengan cepat menyusul Tatas Lintang dan
mengetahui lebih banyak, apa yang telah terjadi kemudian.
Ternyata mereka tidak terlalu sulit untuk menemukan
Tatas Lintang. Ketika mereka menyelinap di belakang
beberapa jenis pohon buah-buahan di pategalan itu maka
mereka melihat Tatas Lintang tengah bertempur dengan
seseorang. Pertempuran itu memang merupakan pertempuran yang
luar biasa. Keduanya memiliki ilmu yang tinggi.
Demikian ketiga orang itu mendekat, maka terdengar
suara lawan Tatas Lintang itu, "Ayo apakah kalian
berempat akan bertempur melawan aku?"
Namun Tatas Lintang lah yang menjawab, "Aku akan
bertempur seorang diri melawan kau seorang diri pula.
Betapapun tinggi ilmumu, aku tidak akan gentar, karena
ilmumu yang terutama adalah ilmu yang sangat licik
sebagaimana baru saja kau tunjukkan kepada kami."
"Persetan," geram orang itu, "ternyata kalian berhasil
menyelematkan seorang di antara kalian. Sayang aku tidak
sempat membenturkan kepalanya pada sebatang pohon
cangkring, sehingga pecah karenanya."
"Satu cara membunuh yang tidak terhormat," berkata
Tatas Lintang sambil bertempur, "jika kau memang seorang
berilmu tinggi, bunuhlah aku sekarang."
Lawannya tidak menjawab. Namun serangannya pun
menjadi semakin berbahaya mengejar Tatas Lintang yang
masih selalu memperhitungkan kemampuan lawan.
Pertempuran antara kedua orang itupun semakin lama
menjadi semakin seru. Mereka semakin meningkatkan ilmu
mereka masing-masing sehingga kekuatan dan kecepatan
gerak mereka pun menjadi semakin meningkat pula.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya
dapat menyaksikan saja pertempuran itu. Tatas Lintang
sudah memberikan isyarat bahwa ia berada dalam keadaan
perang tanding, sehingga ia tidak mengharapkan bantuan
dari siapapun juga. Apapun yang mungkin terjadi atas
dirinya. Mahisa Ura menyaksikan pertempuran itu dengan wajah
yang tegang. Kemarahannya benar-benar membakar
dadanya karena peristiwa yang telah terjadi atas dirinya.
Meskipun ia masih belum mengetahui sepenuhnya, tetapi ia
sudah dapat mengerti, bahwa orang yang bertempur
melawan Tatas Lintang itu telah berhasil mempengaruhi
pribadinya dan mempergunakan wadagnya. Namun
agaknya Tatas Lintang telah memburu ke arah tubuh
lawannya itu ditinggalkannya, sehingga lawannya itu telah
meninggalkan wadagnya dan kembali ke dalam dirinya
sendiri. Pada saat yang demikian maka pribadinya sendiri
telah muncul kembali di dalam wadagnya, meskipun wadag
itu terasa lemah dan kesakitan.
"Untunglah Tatas Lintang mengambil langkah yang
tepat untuk menyelamatkan tubuhku," berkata Mahisa Ura
di dalam hatinya. Tetapi betapapun kemarahan bergejolak di dalam
dirinya, tetapi yang disaksikannya adalah pertempuran yang
sengit dari dua orang yang berilmu sangat tinggi.
Dalam pada itu, Tatas Lintang yang bertempur itupun
telah merambah kepada ilmunya yang jarang ada duanya.
Namun lawannya pun memiliki ilmu andalannya pula yang
mengagumkan. Karena itu, maka keduanya benar-benar
telah terlibat dalam pertempuran yang sulit dimengerti oleh
orang kebanyakan. Bahkan Mahisa Ura pun mulai
dibingungkan oleh sikap dan gerak yang tidak diduganya
sama sekali yang berhubungan dengan ilmu kedua orang itu
masing-masing. Sebenarnyalah bahwa lawan Tatas Lintang itupun
memiliki kemampuan untuk menyerang dari jarak jauh.
Meskipun dengan landasan ilmu yang lain, namun
akibatnya tidak jauh berbeda. Lawan Tatas Lintang itupun
mampu menghentakkan tangannya mengarah ke tubuh
lawannya, sehingga semacam sinar telah terlontar dan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyambar. Sementara itu Tatas Lintang pun telah
melakukannya pula. Telapak tangannya yang terbuka telah
melontarkan cahaya yang menyambar sasaran dengan
kekuatan yang sulit diperhitungkan.
Karena itulah, maka ketiga orang yang menyaksikan
pertempuran itu harus mengambil jarak. Mereka harus
berada di tempat yang paling baik. Mungkin lawan Tatas
Lintang yang memang licik itu dengan sengaja
mengarahkan ilmunya kepada salah seorang di antara
mereka. Sehingga karena itu, maka mereka pun telah
berusaha berdiri di sebelah sebatang pohon yang cukup
besar. Ternyata yang mereka perhitungkan itu memang terjadi.
Pada satu saat yang tiba-tiba, ternyata orang itu telah
mengarahkan serangannya kepada Mahisa Murti yang
memang berada dekat dengan garis serangannya. Orang itu
mengira, bahwa Mahisa Murti tidak menyadari, justru
karena perhatiannya tertuju kepada pertempuran itu sendiri.
Namun Mahisa Murti cukup berhati-hati. Ketika ia
melihat arah tangan orang itu agak bergeser dengan garis
serangannya atas Tatas Lintang, justru mengarah
kepadanya, maka iapun cepat bergeser ke balik sebatang
pohon. Terdengar batang pohon itu bagaikan meledak. Namun
pohon itu ternyata tidak tumbang meskipun berguncang
dengan kerasnya. Terdengar orang itu mengumpat. Ia telah gagal
membunuh setidak-tidaknya menghancurkan tubuh seorang
yang lain karena Tatas Lintang telah mengambil satu
langkah yang semula tidak diduganya.
Namun serangan itu telah memperingatkan Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura. Karena itulah maka mereka pun
tidak beranjak dari sisi sebatang pohon yang cukup dapat
melindungi dirinya apabila serangan itu datang dengan tibatiba.
Dalam pada itu, maka pertempuran itupun telah
berlangsung semakin sengit. Serangan datang silih berganti
semakin lama semakin cepat dan semakin dahsyat.
Keduanya pun berloncatan menghindari serangan demi
serangan yang datang beruntun. Keduanya berebut
kesempatan dan beradu kecepatan.
Pepohonan di sekitar mereka pun telah menjadi
berpatahan. Batang-batang kayu yang besar telah menjadi
hangus oleh ledakan-ledakan serangan berjarak di antara
mereka. Pohon-pohon perdu pun bagaikan telah ditebas
berserakan dan berhamburan.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura masih
tetap berusaha untuk berada di dekat batang-batang pohon
yang besar, yang akan dapat melindungi mereka dari
serangan-serangan lawan. Sengaja atau tidak sengaja.
Namun dalam pada itu. beberapa saat kemudian,
ternyata keseimbangan pertempuran itupun telah berubah.
Kecepatan gerak Tatas Lintang yang tinggi agaknya telah
mampu membuat lawannya menjadi agak terdesak. Selain
kemampuannya bergerak cepat, ternyata Tatas Lintang
memiliki ketahanan tubuh yang lebih tinggi. Karena
mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu, maka
ketahanan tempur lawan Tatas Lintang itupun mulai
menjadi susut. Karena itulah."maka setiap kali orang itu
berusaha mengambil jarak dan berusaha berlindung di balik
pepohonan untuk dapat sekedar beristirahat meskipun
hanya sekejap. "Jangan licik," berkata Tatas Lintang.
Orang itu sama sekali tidak menghiraukannya, ia masih
saja bertempur dengan caranya. Menyerang, kemudian
meloncat jauh dan menghindar.
Dengan demikian maka Tatas Lintang pun telah
mendesaknya semakin jauh, sehingga arena itupun telah
bergeser pula. Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun telah
bergerak pula mengikuti arena yang bergeser. Tetapi mereka
masih selalu berusaha untuk berada di dekat batang-batang
pohon yang cukup besar. Tetapi ternyata orang itu tidak bertahan lebih lama lagi.
Sebelum ia benar-benar kehabisan nafas, maka iapun telah
mengambil satu ke-putusan. Meninggalkan pertempuran
itu. Demikianlah, selagi mereka masih berada di antara
batang-batang pohon buah-buahan, maka lawan Tatas
Lintang itupun telah mengambil satu kesempatan. Pada
saat Tatas Lintang memburunya, selagi lawannya itu
berhasil menyelinap di balik sebatang pohon, maka orang
itupun telah mendahuluinya menyerang dengan satu
hentakkan yang memancarkan semacam berkas-sinar yang
menyambar Tatas Lintang. Tetapi Tatas Lintang cukup tangkas untuk
menghindarinya. Namun diluar dugaan, bahwa pada saat
Tatas Lintang meloncat menghindar orang itu telah
meloncat pula. justru menjauhinya. Berlari menyusup di
antara pohon-pohon buah-buahan pategalan itu.
"Jangan lari," teriak Tatas Lintang.
Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Yang terdengar
kemudian adalah suara tertawanya berderai menggetarkan
dada orang-orang yang mendengarnya.
Namun Tatas Lintang yang marah itupun menyahut
tidak dengan suara tertawanya, tetapi dengan teriakan yang
menggetarkan dinding jantung " Baiklah. Ternyata
kemenanganmu terletak pada kemampuanmu berlari
dengan licik meninggalkan arena.
Suara tertawa itu terhenti. Yang terdengar kemudian
adalah geram yang menyeramkan, "Persetan. Jika kau
mampu, tangkap aku."
"Aku merasa kasihan kepadamu. Justru karena kau
melarikan diri dari arena," jawab Tatas Lintang dengan
suaranya yang bagaikan guruh.
Tetapi tidak ada jawaban lagi. Agaknya orang itu telah
menjadi semakin jauh. "Ia memang memiliki kemampuan melarikan diri,"
berkata Tatas Lintang. "Tetapi kau memiliki kecepatan gerak yang lebih tinggi,"
sahut Mahisa Murti. Mungkin, tetapi aku tidak mampu menangkapnya
karena ia memiliki kesempatan beberapa kejap lebih
dahulu," sahut Tatas Lintang.
Mahisa Pukat pun kemudian telah mendekati Tatas
Lintang pula sebagaimana Mahisa Murti. Namun tiba-tiba
Mahisa Pukat itu bertanya, "Di mana Mahisa Ura?"
Ketika mereka mengedarkan pandangan mereka di
sekitar pategalan itu, maka mereka melihat Mahisa Ura
yang melangkah tertatih-tatih sambil memegangi dadanya.
Mahisa Pukat dan Mahisa Murti dengan tergesa-gesa
mendekatinya. Namun Mahisa Ura masih sempat
tersenyum sambil berkata, "Aku sudah berusaha. Tetapi
keadaan tubuhku yang masih lemah, membuat daya
tahanku agak menurun."
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku melupakan keadaannya, sehingga aku telah
mempergunakan kemampuanku untuk menjawab serangan
orang itu dengan getaran suaranya. Tetapi ternyata kaulah
yang paling menderita karena suara-suara itu."
"Aku sudah berusaha mengatasinya," jawab Mahisa Ura
yang mendekat dibantu oleh Mahisa Pukat.
"Duduklah," berkata Tatas Lintang, "kau dapat
memperbaiki keadaanmu. Mungkin karena benturan suara
ini, tetapi juga mungkin karena tubuhmu yang telah
dipergunakan oleh orang yang belum kita kenal itu."
Mahisa Ura pun kemudian duduk di atas seonggok
dedaunan perdu yang terserak di tanah akibat pertempuran
yang baru saja terjadi untuk menenangkan gejolak
jantungnya serta mengatur pernafasannya.
"Aku menyesal, bahwa orang itu sempat terlepas dari
tangan kita," berkata Tatas Lintang kemudian.
"Aku tidak dapat mencampurinya, karena agaknya kau
memang ingin menyelesaikannya sendiri," sahut Mahisa
Murti. Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Ya. Aku memang ingin menghadapinya sendiri. Bukan
karena kesombonganku, tetapi aku memang ingin
menunjukkan, bahwa kita bukan orang yang mudah
dipermainkan." Namun di luar dugaan Mahisa Ura berkata dengan nada
rendah, "Maaf. Aku benar-benar tidak mampu
menyesuaikan diriku. Agaknya aku telah menghambat
kalian menghadapi orang itu."
Tatas Lintang memandanginya sejenak. Lalu katanya,
"Jangan menyesali diri sendiri. Bagaimanapun juga kami
memerlukanmu. Setiap orang yang bersedia membantu kita
akan kita hargai. Apalagi kita sendiri. Mungkin memang
ada kekurangan padamu. Tetapi itu bukan berarti bahwa
kau telah mengganggu tugas-tugas kita dalam keseluruhan."
Mahisa Ura tidak menjawab. Sementara Tatas Lintang
pun berkata, "Sudahlah. Usahakan agar keadaanmu
menjadi semakin baik."
Mahisa Ura tidak menjawab. Ia masih duduk di atas
seonggok dedaunan untuk menenangkan dirinya dan
mengatur pernafasannya. Sementara itu, Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Tatas
Lintang mulai memperhatikan keadaan. Pategalan itu
memang menjadi rusak. Banyak tanaman yang berpatahan.
Bahkan beberapa batang pohon buah-buahan yang
disambar oleh serangan-serangan kedua orang yang
bertempur itu, akan menjadi layu dan mungkin mati karena
batangnya menjadi hangus.
"Apakah pemiliknya akan marah?" desis Mahisa Murti.
"Kita akan memberikan laporan sesuai dengan
keadaan," jawab Tatas Lintang, "mudah-mudahan pemilik
pategalan ini akan dapat mengerti."
Ketiga orang itupun kemudian telah membersihkan
pategalan itu. Mereka telah menimbun dedaunan dan
ranting-ranting yang berpatahan di pagar pategalan itu.
Sementara itu keadaan Mahisa Ura pun menjadi
berangsur baik. Dengan demikian, maka mereka pun telah
kembali ke tempat mereka bekerja. Namun sekali lagi
Mahisa Ura memperingatkan, bahwa mereka masih
berhadapan dengan racun yang telah disebarkan oleh orang
yang tidak dikenal itu. Mahisa Murti pun kemudian telah pergi ke padukuhan di
sebelah pategalan itu. Setelah melewati beberapa tonggak,
barulah ia sampai ke batas pategalan dan memasuki jalan
sempit menuju ke padukuhan.
Dari padukuhan Mahisa Murti mendapatkan sebuah
kelenting. Namun Mahisa Murti pun telah mengatakan
bahwa kelenting itu tidak akan dikembalikan, karena
kelenting itu akan dipergunakan untuk mencairkan racun.
Namun air sekelenting itu agaknya tidak cukup, sehingga
karena itu, maka ia harus mendapatkan kelenting yang lain
untuk mengambil dan membawa air ke pategalan.
Demikianlah, maka Tatas Lintang telah mencoba untuk
melawan racun yang telah dituangkan ke setiap lubang yang
telah dibuat bersama-sama itu. Tetapi ia memerlukan bahan
yang agak banyak, sehingga karena itu, maka ia tidak dapat
menyelesaikannya pada hari itu. Penawar racun yang ada
padanya terlalu sedikit. Namun ia telah mencoba untuk
menawarkan racun pada salah satu lubang yang ada di
pategalan itu. Setelah lubang itu disiramnya dengan
penawar racun yang dicairkannya di dalam kelenting, maka
ternyata bahwa kekuatan racun itu menjadi jauh susut.
Tanah dari lubang itu ketika dibaurkan pada sebatang
pohon, ternyata pohon perdu itu tidak menjadi layu.
Karena itu, maka penawar yang tersedia itupun
kemudian telah dicairkannya pula dan disiramkannya ke
lubang-lubang yang ada meskipun baru sebagian.
"Aku harus mengusahakan penawar racun itu lagi,"
berkata Tatas Lintang. "Bagaimana kita akan mendapatkannya?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku harus membuatnya. Jika tidak, maka lubanglubang
itu akan tetap berbahaya. Bukan saja jika kita
menanam pohon di dalamnya yang akan mati, tetapi jika
seseorang atau seekor binatang yang terperosok ke
dalamnya, tentu akan terbunuh pula." Jawab Tatas
Lintang. "Bagaimana kau dapat membuatnya?" bertanya Mahisa
Pukat, "kapan lagi kau akan melakukannya?"
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia bertanya, "Manakah yang lebih baik. Apakah
kita akan membiarkan lubang-lubang ini merupakan
lubang-lubang bisa yang dapat membunuh, atau kita
mengorbankan waktu sedikit untuk menawarkannya?"
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
tidak menjawab. Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata,
"Bagaimanapun juga kita harus memberitahukan hal. ini
kepada Ki Bekel dan pemilik tanah ini. Tempat ini harus
menjadi tempat tertutup, sementara kita belum dapat
menawarkan racun dalam keseluruhan."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti,
bahwa dengan demikian mereka harus mengorbankan
waktu lagi. Tetapi ia tidak akan dapat mengingkari tugas
yang tidak kalah pentingnya, menyelamatkan lingkungan
itu dari kerasnya racun yang berbahaya.
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "ternyata kita telah
mendapat beban baru. Aku minta dua orang di antara kita
menemui Ki Bekel dan pemilik tanah ini, sementara dua
yang lain menjaga agar lubang-lubang yang tersisa ini tidak
membunuh." "Siapakah yang akan pergi?" bertanya Mahisa Murti.
"Pergilah bersama Mahisa Ura," jawab Tatas Lintang,
"aku dan Mahisa Pukat akan menjaga tempat ini."
Mahisa Murti mengangguk. Ketika ia berpaling ke arah
Mahisa Ura, maka Mahisa Ura pun telah bersiap.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagaimana keadaanmu?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku sudah baik," jawab Mahisa Ura, "aku siap untuk
pergi menghadap Ki Bekel."
Mahisa Murti mengangguk. Katanya, "Marilah. Kita
akan melaporkannya."
Keduanya pun kemudian meninggalkan pategalan itu.
Mereka langsung menuju ke rumah Ki Bekel sebelum
mereka melaporkannya kepada pemilik pategalan itu.
Sementara itu, di pategalan. Tatas Lintang telah
berusaha untuk mengamati jenis raeun yang dituangkan ke
dalam lubang-lubang yang telah mereka buat untuk
menanam pepohonan. Diambilnya segenggam tanah yang
telah dituangi bisa itu. Kemudian dengan takir-takir daun
pisang ia mencairkan tanah itu dengan air dan dicobanya
pula meneteskan cairan penawarnya dengan kadar yang
berbeda-beda. Dengan demikian Tatas Lintang ingin
mengetahui, apa yang harus dibuatnya untuk menawarkan
racun itu, karena obat penawar racun yang dimilikinya
terlalu sedikit untuk menawarkan racun yang banyak
dituangkan di lubang-lubang yang disiapkan untuk
menanam pohon buah-buahan itu.
Ternyata keahlian Tatas Lintang telah memberikan jalan
kepadanya untuk menentukan ramuan apakah yang paling
baik dipergunakannya untuk menawarkan racun itu. Dan
reramuan itu masih harus dibuatnya.
Sementara itu. Mahisa Murti dan Mahisa Ura telah
menghadap Ki Bekel, di rumahnya. Laporannya memang
membuat Ki Bekel itu terkejut.
"Bukan main," berkata Ki Bekel, "orang itu benar-benar
melakukan apa saja tanpa menghiraukan pertimbanganpertimbangan
sama sekali untuk mencapai maksudnya.
Untunglah kalian masih mampu mengatasinya. Namun
tentu bukan untuk yang terakhir kalinya."
"Mungkin Ki Bekel. Kami pun harus mempersiapkan
diri menghadapi masa-masa mendatang. Aku memang
menduga, bahwa langkahnya itu bukan langkah yang
terakhir," jawab Mahisa Murti.
"Baiklah," berkata Ki Bekel, "aku akan pergi ke
pategalan itu. Aku akan membawa beberapa orang untuk
menutup pategalan itu agar tidak dimasuki oleh seseorang,
sampai segalanya dapat diatasi."
"Terima kasih Ki Bekel," sahut Mahisa Murti, yang
kemudian minta diri untuk pergi menemui pemilik tanah
itu. "Pergilah. Mudah-mudahan pemilik tanah itu dapat
mengerti. Juga tentang kerusakan yang telah terjadi di
pategalan itu," jawab Ki Bekel, "jika terjadi salah paham,
maka aku akan berusaha menyelesaikannya, karena akulah
yang telah menahan kalian untuk tinggal lebih lama di
padukuhan ini." Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Ura pun
telah menemui pemilik tanah itu, meskipun dengan sedikit
berdebar-debar. Jika terjadi salah paham karena kerusakan
bukan saja tanahnya, tetapi juga tanaman-tanamannya
karena perkelahian yang terjadi, maka persoalannya akan
semakin berkepanjangan. Tetapi ternyata dugaan itu sama sekali tidak terjadi.
Pemilik tanah itu sama sekali tidak merasa dirugikan.
Bahkan dengan nada menyesal ia berkata, "Seharusnya aku
tidak membiarkan kalian melakukan kerja itu. Aku sama
sekali tidak menyesali tanah dan pepohonan yang ada di
pategalan itu, tetapi aku justru menyesali peristiwa itu.
Seandainya kalian tidak melakukan kerja di pategalan itu.
agaknya kalian tidak akan mengalami kesulitan meskipun
kalian dapat mengatasinya."
"Tidak," jawab Mahisa Murti, "bukan karena kami
bekerja di pategalan itu. Seandainya kami tidak berada di
pategalan itu, maka mereka pun akan tetap menyerang
kami di manapun kami berada dan apapun yang kami
lakukan." "Aku akan pergi ke pategalan," berkata pemilik tanah
itu, "tanah itu memang harus ditutup untuk sementara."
"Ki Bekel akan melakukannya," jawab Mahisa Murti,
"Ki Bekel akan membawa beberapa orang. Tetapi
seharusnya kami pun dapat melakukannya. Bukankah kami
memang telah melakukan kerja untuk menerima upah."
Pemilik tanah itu menarik nafas. Namun kemudian
katanya, "Aku akan pergi ke pategalan itu."
Pemilik tanah itupun kemudian berkemas untuk pergi ke
pategalan dengan membawa dua orang pembantu laki-laki
di rumahnya. Keduanya membawa parang dan cangkul,
yang barangkali akan dapat dipergunakan di pategalan itu.
"Kami telah membawa alat-alat ke pategalan itu,"
berkata Mahisa Murti. "Biarlah mereka juga membawa," jawab pemilik tanah
itu. Ketika Mahisa Murti, Mahisa Ura dan pemilik tanah itu
sampai di pategalan, ternyata di pategalan itu telah terdapat
banyak orang. Namun Ki Bekel telah menarik gawar lawe
melingkari lingkungan yang ternyata masih beracun keras
itu. "Tidak seorang pun boleh melintasi gawar ini," berkata
Ki Bekel kepada orang-orang yang berkerumun.
Namun ternyata bahwa gawar lawe saja tidak cukup.
Karena itu, maka Ki Bekel pun telah memerintahkan orangorangnya
untuk membuat pagar yang kuat di sekitar tempat
yang berbahaya itu. Sementara itu Tatas Lintang telah menentukan reramuan
yang agaknya paling baik untuk menawarkan racun itu.
Ada beberapa jenis binatang berbisa yang akan dapat
dipergunakannya untuk menawarkan racun, diramu dengan
getah dari pepohonan tertentu. Yang harus dilakukannya
kemudian adalah mencari jenis binatang dan getah pohon
yang diperlukan itu. Karena itu, ketika orang-orang mulai melakukan kerja
mereka, membuat pagar yang kuat dan cukup tinggi untuk
menutup pategalan itu, maka Tatas Lintang dan ketiga
orang yang diakunya kemanakannya. telah minta diri untuk
mencari reramuan yang mungkin akan dapat menjadi
penawar racun yang tersebar di pategalan itu.
"Kami harus segera mendapatkannya," berkata Tatas
Lintang. Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Mahisa Ura mengikut
saja kemana Tatas Lintang pergi. Namun ketika mereka
sudah keluar dari pategalan dan tidak memasuki
padukuhannya. Mahisa Murti bertanya, "Kita akan ke
mana?" "Kita harus menemukan bahan reramuan obat penawar
racun itu," jawab Tatas Lintang.
"Bahan yang kita perlukan terdapat di mana" Apakah
kau sudah mempunyai gambaran, di mana kita akan
mendapatkannya?" bertanya Mahisa Murti pula.
"Aku memerlukan sejenis binatang beracun dan getah
sejenis pohon nyamplung berbuah panjang yang sulit dicari.
Tetapi aku kira aku akan dapat mempergunakan cairan
pelepah pisang kering sebagai penggantinya meskipun kadar
kekuatannya berbeda. Tetapi dengan mengentalkan cairan
itu bersama bisa dari binatang-binatang yang akan kita
dapatkan itu. maka aku kira akan mendapatkan obat
penawar racun. Di pondok kita aku masih mempunyai buah
dari sebangsa nyamplung berbuah panjang itu, yang akan
dapat menentukan ketajaman obat penawar yang akan kita
buat," berkata Tatas Lintang.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura hanya
mengangguk-angguk saja. Mereka kurang mengerti jenisjenis
bahan yang disebut oleh Tatas Lintang.
Sepengetahuan mereka, nyamplung buahnya selalu bulat.
Tetapi Tatas Lintang tentu memiliki pengetahuan yang
jauh lebih luas dari mereka, sehingga apa yang
diketahuinya, tidak diketahui oleh ketiga orang yang
disebutnya sebagai kemenakannya itu.
Dalam pada itu. maka Mahisa Pukat pun bertanya, "Kita
sekarang akan pergi ke mana?"
"Kita akan pergi ke batu yang berwarna kehijauan itu,"
jawab Tatas Lintang. "Untuk apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Mencari bahan yang kita perlukan. Memang kita akan
berjalan agak panjang. Tetapi harus kita lakukan jika kita
akan menolong orang-orang dari padukuhan itu," jawab
Tatas Lintang. "Bahan apa" Batu itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Di celah-celah batu itu," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. Meskipun demikian ia berkata kepada diri
sendiri, "Jadi Tatas Lintang juga sudah mengamati batu
yang berwarna kehijauan itu?"
Ternyata Mahisa Murti pun berpikir demikian. Karena
Tatas Lintang mengetahui, bahwa di celah-celah batu yang
berwarna kehijauan itu terdapat beratus bahkan beribu
binatang beracun sejenis kala dalam beberapa macamnya.
Ada yang jenisnya kecil dan yang besar.
Demikianlah mereka berempat telah berjalan langsung
menuju ke tempat batu yang berwarna kehijauan, yang
letaknya tidak terlalu dekat dari padukuhan itu.
Namun ternyata bahwa Tatas Lintang memang memiliki
ketajaman penggraita melampaui orang kebanyakan.
Karena itulah, maka iapun berkata, "Kita akan mendekati
batu itu pada malam hari."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Kita akan menghindari kemungkinan buruk yang dapat
terjadi atas kita." berkata Tatas Lintang, "setidak-tidaknya
kita akan mempunyai kesempatan untuk bersiap-siap
menghadapi kemungkinan dihadapan kita."
"Apakah ada sesuatu yang akan terjadi menurut
perhitunganmu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku kira, orang yang menaburkan racun itupun telah
memperhitungkan bahwa kita akan mencari bahan penolak
racun. Orang itupun tentu mengetahui bahwa bahan
penawar racun yang banyak diketemukan adalah pada
celah-celah batu hijau itu," jawab Tatas Lintang.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat Mahisa Ura pun
mengangguk-angguk. Sementara itu Tatas Lintang pun
berkata, "Akhirnya kita akan berbenturan dengan kekuatan
di dalam padepokan itu justru di luar padepokan. Namun
jika pekerjaan ini dapat kita selesaikan, maka tugas
selanjutnya bukannya tugas yang berat. Kita akan dapat
memasuki padepokan itu seolah-olah kitalah pemimpin dari
padepokan itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka tidak mengerti, apakah dengan demikian
mereka sudah dapat dikatakan menyelesaikan tugas
mereka. Apakah dengan demikian mereka akan dapat
menjawab, apakah alasan orang-orang bertongkat itu untuk
menguasai Mahkota yang dianggap menjadi lambang
tempat bermukim Wahyu Keraton itu.
Namun keduanya sama sekali tidak mengatakan sesuatu.
Mereka masih akan melihat apa yang terjadi kemudian.
Tetapi mereka merasa sulit untuk dapat berprasangka
buruk terhadap Tatas Lintang yang telah memberikan
kemampuan baru pada pelepasan ilmu mereka.
Demikianlah mereka berjalan menuju ke tempat batu
berwarna kehijauan itu. Namun mereka tidak langsung
mengambil arah. Tetapi mereka telah menempuh jalanjalan
sempit yang agak menyimpang. Sebagaimana
dikatakan oleh Tatas Lintang, mereka baru akan mendekati
sasaran pada malam hari. Dengan demikian mereka akan
mendapat kesempatan untuk menilai, apakah mereka akan
dapat melakukan dengan aman atau mereka harus
melakukan langkah kekerasan.
Namun apapun yang harus mereka lakukan, mereka
semuanya telah bersiap. Meskipun seandainya mereka
harus bertempur menghadapi lawan yang lebih besar dari
mereka. Mungkin dalam jumlah, tetapi mungkin juga pada
tingkat kemampuan. Karena itu. maka mereka berempat memang tidak
tergesa-gesa. Karena mereka memang menunggu hari
menjadi gelap di perjalanan.
Dengan singgah di sebuah kedai maka mereka telah
banyak membuang waktu, sehingga akhirnya, malam pun
telah turun. "Kita akan mendekat," berkata Tatas Lintang, "berhatihatilah.
Mungkin kita diamati oleh orang-orang yang telah
menuangkan racun itu."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura pun
menyadari hal itu. Karena itu maka mereka pun telah
berada dalam kesiapan tertinggi ketika mereka mulai
mendekati batu yang berwarna kehijauan itu.
Namun Tatas Lintang memang berhati-hati. Mereka
tidak langsung mendekati batu itu. Tetapi Tatas Lintang
telah membawa ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itu untuk menunggu dan mengamati
keadaan. "Biasanya kita terlambat mengetahui orang yang
mengamati kita," berkata Tatas Lintang, "beberapa kali
terjadi, merekalah yang menyapa kita lebih dahulu.
Menyapa dengan serangan-serangannya."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak
membantah. Mereka memang menganggap bahwa Tatas
Lintang memiliki pengamatan yang sangat tajam, sehingga
ia akan dapat memilih kesempatan yang paling baik untuk
melakukan rencana mereka.
Beberapa saat lamanya mereka menunggu. Tetapi
mereka sama sekali tidak melihat atau mendengar apapun
juga, selain gelapnya malam dan desir angin di hutan
sebelah. Namun sejenak kemudian Mahisa Murti pun terkejut
ketika Tatas Lintang menggamitnya sambil memberi isyarat
bahwa ia mendengar sesuatu.
Mahisa Murti pun kemudian telah menggamit Mahisa
Pukat dan Mahisa Ura dan memberi isyarat yang sama
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pula. Keempat orang itupun kemudian memperhatikan
keadaan dengan saksama. Mereka memang mendengar
langkah berdesir. Semakin lama terdengar semakin dekat,
sehingga mereka-pun telah menahan nafas mereka.
Dalam keremangan malam maka mereka pun telah
melihat beberapa orang berjalan menuju ke batu berwarna
kehijauan itu. Tiga di antara mereka langsung mendekati
batu itu, sementara tiga orang yang lain berdiri mengawasi
keadaan di sekitar mereka.
"Orang-orang bertongkat," berkata keempat orang itu di
dalam hati. Sebenarnyalah keenam orang itu membawa tongkat yang
agak panjang. Namun keempat orang itupun segera mengetahui
gunanya, ketika seorang di antara mereka telah
merundukkan tongkatnya dan ketika ia menghentakkan
tongkatnya, maka nampak samar-samar sesuatu yang
menggeliat. Agaknya orang itu telah menekan kepala seekor ular
yang mendekatinya. Karena di tempat itu memang banyak
terdapat ular-ular yang berbisa.
Tetapi bagi keempat orang itu, agaknya tongkat itu
bukan hanya khusus untuk membunuh ular saja. Tetapi
tongkat itu tentu juga merupakan senjata mereka.
Namun dengan demikian memang telah timbul pula satu
pertanyaan, "Apakah memang ada hubungannya antara
orang-orang bertongkat ini dengan orang yang telah
menuang cairan beracun di lubang-lubang yang telah dibuat
oleh keempat orang itu di pategalan. Sementara menurut
penglihatan keempat orang itu, orang yang bertempur
melawan Tatas Lintang di pategalan itu tidak
mempergunakan senjata tongkat.
Tetapi agaknya tongkat bukannya ciri yang memastikan.
Mungkin di dalam padepokan itu memang terisi oleh orangorang
yang bersenjata tongkat dan orang-orang yang tidak
mempergunakan tongkat sebagai senjata mereka. Menurut
perhitungan keempat orang itu. maka orang-orang yang
datang ke dekat batu itu agaknya memang ada
hubungannya dengan peristiwa yang telah terjadi di
pategalan. Sejenak tiga orang yang mendekati batu yang berwarna
kehijauan itu mengamati-amatinya. Namun kemudian
terdengar suara salah seorang di antara mereka, "belum ada
perubahan. Binatang itu masih berada di celah-celah retakretak
batu itu." "Mungkin mereka tidak datang kemari," sahut yang lain.
"Binatang-binatang seperti itu terdapat di banyak tempat.
Mungkin mereka mempunyai persediaan yang mereka
pelihara di satu tempat yang tersembunyi, sehingga setiap
kali mereka membutuhkan, mereka tidak perlu mencarinya
lagi." berkata yang lain lagi.
Namun terdengar suara yang agaknya mempunyai
pengaruh di antara mereka, "Kita akan menunggu beberapa
lama. Jika mereka datang, kita akan menghancurkannya.
Tetapi ingat, mereka memiliki ilmu yang tinggi."
"Mereka tidak akan mampu berbuat banyak," jawab
seseorang di antara mereka, "seorang di antara mereka
memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi yang lain bukan
apa-apa." "Jangan pura-pura. Justru yang lain itulah yang pernah
menghancurkan perlawanan beberapa ekor harimau di
tempat ini. Jika kau pura-pura tidak mengetahui bahwa
mereka berilmu tinggi, maka kita sudah mulai dengan satu
kesalahan yang akan dapat menjerat diri kita sendiri.
Namun kita pun tidak akan menjadi ketakutan karenanya.
Kita adalah orang-orang terpercaya." berkata suara orang
yang agaknya memimpin keenam orang itu.
Kawan-kawannya tidak menjawab lagi. Namun merekapun
kemudian telah menebar. Mereka memandang ke
segenap arah. Namun agaknya mereka pun tidak lengah
terhadap ular-ular yang banyak terdapat di tempat itu.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Iapun
mempersilahkan Mahisa Ura berada di antara ketiga orang
yang lain dengan isyarat, agar seekor ular tidak sempat
menggigitnya. Tanpa mengatakan sesuatu Tatas Lintang telah
memberikan segelintir obat penawar racun yang mampu
melindunginya untuk beberapa lama kepada Mahisa Ura.
Sedangkan Mahisa Ura pun agaknya mengerti pula
kekuatan obat itu sebagaimana pernah diterimanya dari
Tatas Lintang. Karena itu, maka dengan serta merta maka
iapun telah menelan obat penawar itu.
Sementara itu, setelah menunggu beberapa lama, enam
orang itu masih juga tetap berada di tempatnya meskipun
beberapa kali mereka harus membunuh beberapa ekor ular
yang merambat mendekati mereka, maka Mahisa Pukat
pun mulai menjadi jemu. Ia menjadi gelisah dan sekalisekali
berdesah. Mahisa Murti yang mengenal saudara laki-lakinya itu
dengan baik mengerti pula perasaannya. Mahisa Pukat
tentu sudah mulai menjadi jemu menunggu. Bahkan Tatas
Lintang dan Mahisa Ura pun merasakan kegelisahan itu.
Karena itu. Tatas Lintang pun kemudian bertanya,
"Apakah yang akan kita lakukan sekarang?"
"Kita akan banyak kehilangan waktu di sini," desis
Mahisa Pukat. Tatas Lintang yang sudah mengira bahwa Mahisa Pukat
sudah tidak sabar lagi menyahut, "Apakah kita akan
mengambilnya sekarang?"
"Apa salahnya," berkata Mahisa Pukat, "kita akan dapat
menjajagi kemampuan orang-orang bertongkat itu."
"Kita pernah bertempur dengan orang-orang itu di sini."
berkata Mahisa Murti, "sebelum kita bertempur dengan
harimau-harimau yang dikuasai oleh ilmu gendam.
Bukankah pernah ada orang-orang yang menyebut dirinya
satu dengan ular-ular yang ada di tempat ini?"
"Mungkin. Tetapi tentu orang lain yang hadir sekarang.
Orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi untuk
menebus kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi. Bahkan
mungkin seorang diantaranya adalah lawan Tatas Lintang
itu. Mereka tentu bukan orang-orang dungu yang tidak
mengenal perbandingan ilmu setelah mereka berusaha
menjajaginya beberapa kali dengan beberapa macam cara.
Tetapi bukan berarti bahwa kita harus tetap bersembunyi di
sini," sahut Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata Tatas Lintang. Lalu, "Lihat, agaknya
ada di antara mereka yang mendengar suara kita. Ternyata
pendengaran mereka pun cukup tajam, meskipun mereka
belum menemukan tempat kita."
"Kita akan mempergunakan cara sebagaimana dilakukan
oleh kawan-kawan mereka," desis Mahisa Pukat.
"Bagaimana?" bertanya Tatas Lintang.
"Kita sapa mereka. Tetapi sebaiknya kita berpisah dan
berlindung di tempat yang berbeda," jawab Mahisa Pukat.
Tatas Lintang mengerti maksud Mahisa Pukat. Karena
itu, maka iapun menggamit Mahisa Ura dan dengan isyarat
mengajaknya meninggalkan tempat itu.
Dengan hati-hati keduanya bergeser dari tempat mereka.
Berlindung di balik gelapnya rimbunnya dedaunan dan
pohon-pohon perdu, mereka mengambil jarak dari dekat
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersembunyi.
"Beberapa saat kemudian, setelah Tatas Lintang berada
beberapa puluh langkah dari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, mereka mulai mempersiapkan diri untuk menyapa
orang-orang yang berada di sekitar batu yang kehijauan itu.
Namun dalam pada itu, Tatas Lintang pun berkata
kepada Mahisa Ura perlahan-lahan, "Kerahkan daya
tahanmu. Yakinkah dirimu, bahwa kau tidak terpengaruh
sama sekali oleh getaran suaraku. Justru karena kau berada
di sebelahku." Mahisa Ura mengangguk. Iapun segera memusatkan
nalar budinya untuk mengerahkan daya tahannya. Ia
mengerti apa yang akan dilakukan oleh Mahisa Pukat,
Mahisa Murti dan Tatas Lintang.
Sebenarnyalah, sebelum Tatas Lintang berbuat sesuatu,
telah terdengar suara yang menggetarkan udara di sekitar
batu yang berwarna kehijauan itu.
"Selamat malam Ki Sanak. Agaknya kalian sedang
menunggu seseorang."
Orang-orang yang berdiri di sekitar batu yang berwarna
kehijauan itu nampaknya terkejut. Dalam kegelapan
malam, ketajaman penglihatan Tatas Lintang dan ketiga
orang yang disebut kemanakannya itu mampu melihat,
keenam orang itu telah bergeser selangkah saling mendekat.
Namun agaknya mereka tidak segera mengerti dari mana
arah suara yang terdengar itu. Ternyata keenam orang itu
telah menghadap ke arah yang berbeda-beda.
Sejenak kemudian telah terdengar lagi suara yang
menggelarkan udara, "Siapakah sebenarnya yang kalian
tunggu" Coba, sebutkan, apakah kau menunggu
pemimpinmu orang yang bertongkat dengan kepala yang
terbuat dari pecahan batu di sebelahmu itu" Atau mungkin
orang yang mampu menguasai binatang dengan ilmu
gendamnya, atau barangkali siapa lagi?"
"Persetan," geram pemimpin dari keenam orang itu.
"Kemarilah jika kau jantan. Jangan bersembunyi."
"Carilah, di mana sumber suara yang kau dengar itu,"
getaran itu bergulung lagi di sekitar batu berwarna
kehijauan itu. "Pengecut. Kenapa kami harus mencari" Jika kalian
benar-benar memiliki keberanian, marilah." teriak
pemimpin dari keenam orang itu.
Namun ketika sekali terdengar suara itu menggetarkan
udara, terdengar orang itu berdesah.
"Aku akan dapat datang kepada kalian setiap saat.
Tetapi ternyata kalian tidak tahu di mana kami berada,"
jawab suara itu yang disusul oleh suara tertawa yang
menggelegar mengguncang isi dada.
Keenam orang itu harus berjuang untuk menahan
goncangan di dadanya. Sementara itu. mereka masih belum
mengetahui dari mana arah suara yang telah menggetarkan
dadanya itu. Suara tertawa itu bagaikan bergulung-gulung dari segala
penjuru. Menyusup dan kemudian mengguncang-guncang
isi dada. Sehingga dengan demikian maka keenam orang itu
benar-benar harus memusatkan segala perhatiannya.
Karena itu, maka tiba-tiba saja pemimpin dari keenam
orang itu telah berteriak, "berhati-hatilah. Kita akan
melakukannya sekarang."
Suara itu memang menarik perhatian. Sejenak kemudian
suara tertawa yang bergulung-gulung itupun telah mereda.
Orang-orang yang bersembunyi itu agaknya telah tertarik
untuk mengetahui apa yang akan dilakukan oleh keenam
orang itu. Ternyata keenam orang itu telah menelan sesuatu.
Orang-orang yang bersembunyi itu tidak melihat dengan
jelas, apakah yang telah mereka telan itu. Namun Tatas
Lintang telah berdesis, "Agaknya mereka telah menelan
semacam penawar racun."
"Kenapa baru sekarang?" bertanya Tatas Lintang.
"Mereka merasa bahwa ular yang ada di padang di
sekitar batu itu tidak berbahaya bagi mereka, karena mereka
mempunyai kemampuan untuk membunuh ular-ular itu.
Tetapi dalam keadaan yang sulit karena mereka harus
mempertahankan diri maka mereka tidak akan sempat lagi
untuk memperhatikan ular yang mungkin menyerang
mereka, sehingga mereka harus mempersiapkan diri.
"jawab Tatas Lintang.
"Aku mengerti. Tetapi kenapa tidak sejak mereka
memasuki lingkungan ini?" bertanya Tatas Lintang pula.
"Mungkin penawar racun itu tidak dapat bekerja cukup
lama, sehingga mereka harus memperhatikan waktu. Hanya
apabila keadaan mereka benar-benar menjadi gawat mereka
telah melindungi diri dengan penawar racun itu. Agaknya
mereka memperhitungkan, bahwa persoalan yang mereka
hadapi tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu dekat,"
berkata Tatas Lintang. Mahisa Ura mengangguk-angguk. Iapun agaknya telah
melihat kepada dirinya sendiri. Penawar racun yang
diterima dari Tatas Lintang hanya mampu berpengaruh
dalam waktu yang terbatas, kurang lebih setengah hari atau
setengah malam. Tatas Lintang agaknya dapat menangkap perasaan
Mahisa Ura. Karena itu maka katanya, "Jika lebih panjang
dari setengah malam, maka kau pun memerlukan penawar
itu lagi. Tetapi kau tidak dapat mempergunakannya
sekarang sekaligus, karena dengan demikian, maka penawar
itu tidak akan berlaku lebih dari setengah hari pula,
sehingga karena itu, tentu hanya sekedar kelebihan yang
tidak bermanfaat, karena kelebihan kekuatannya tidak akan
diperlukan. Dengan demikian maka jika tiba saatnya,
sebaiknya kau harus menelan penawar berikutnya."
"Dengan demikian maka kau tidak akan diganggu olehular-
ular dan jenis binatang berbisa lainnya. Kau dapat
memusatkan perhatianmu terhadap kemungkinan lain yang
mengancammu." Mahisa Ura mengangguk-angguk.
Sementara itu Tatas Lintang pun telah mengambil sebutir
penawar racun dan diberikannya kepada Mahisa Ura yang
kemudian menyimpannya di kantong ikat pinggangnya.
Dalam pada itu, maka terdengar lagi suara yang
menggelegar bergulung-gulung. Agaknya Mahisa Murti
lelah mulai lagi mengganggu keenam orang itu dengan
suara tertawanya. Untuk beberapa saat keenam orang itu berusaha dengan
segenap kemampuan mereka untuk menemukan arah suara
tertawa yang telah mengguncang jantung mereka. Keenam
orang yang menyebar itu perlahan-lahan telah bergeser
saling mendekat. Bahkan kemudian mereka telah membuat
lingkaran dan saling bergandengan tangan, dengan tongkat
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka yang tegak dalam pegangan.
"Apa yang mereka lakukan?" bertanya Mahisa Ura.
Tatas Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Mereka telah menghubungkan diri. Mereka
berusaha untuk menyatukan kemampuan mereka. Dengan
demikian mereka berharap untuk mampu mengatasi
kebingungan mereka menemukan arah suara tertawa yang
menggetarkan jantung mereka."
Mahisa Lira mengangguk-angguk. Dilihatnya orangorang
itu mulai bergeser melingkar. Namun agaknya
pegangan mereka semakin lama menjadi semakin menjadi
kuat. Sehingga lingkaran itu benar-benar merupakan satu
kesatuan yang kokoh. Dengan demikian mereka telah menyatukan pula
pemusatan nalar budi untuk menemukan arah suara yang
agaknya telah menyakiti dada mereka, sekaligus untuk
menyusun lapisan-lapisan perisai yang melindungi mereka.
Untuk beberapa saat keenam orang itu bergeser perlahanlahan.
Namun mereka mulai yakin bahwa mereka akan
dapat menemukan arah suara yang telah mengganggu isi
dada mereka itu Ternyata kebingungan memang telah terjadi. Keenam
orang yang telah menyatukan diri itu. telah kehilangan arah
suara yang menggetarkan jantung mereka. Suara itu seakanakan
telah berpindah pada saat mereka hampir
menemukannya. "Gila," geram pemimpin dari keenam orang itu.
Sementara itu suara tertawa itu benar-benar telah
menghentak-hentak jantung mereka.
Demikianlah, Tatas Lintang berganti-ganti dengan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang telah membuat
keenam orang itu semakin kebingungan. Namun akhirnya
pemimpin dari keenam orang itu berkata, "Kita tidak usah
mencarinya. Kita akan melawannya."
Keenam orang itupun kemudian telah duduk di dalam
lingkaran. Mereka meletakkan tongkat-tongkat mereka di
dalam lingkaran, sementara tangan mereka pun telah
bergandengan dengan erat.
Keenam orang itu telah memusatkan kekuatan daya
tahan mereka. Namun mereka tidak menunduk dan
menajamkan mata. Mereka justru mengamati langsung ke
dalam kegelapan di arah pandangan masing-masing.
Dengan mengerahkan daya tahan di dalam diri masingmasing,
maka mereka berhasil mengurangi hentakanhentakan
di dalam dada mereka. Dengan bergandengan
tangan erat-erat. mereka memang benar-benar telah menjadi
satu dan saling mengisi. Tatas Lintang akhirnya menghentikan serangannya,
iapun sadar bahwa dalam sikapnya keenam orang itu akan
mampu melindungi diri mereka meskipun harus menahan
sakit. Namun agaknya dengan cara itu. mereka tidak akan
dapat segera menyelesaikan persoalan.
Sejenak kemudian Tatas Lintang pun berbisik kepada
Mahisa Ura, "Kita kembali kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat." Namun sebelum Tatas Lintang benar-benar mendekati
kedua anak muda itu maka Mahisa Pukat telah sampai
kepadanya dan berkata, "Aku tidak telaten. Apakah kita
akan bermain-main seperti ini semalam suntuk. Atau
bahkan tiga hari tiga malam."
"Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu?" bertanya
Tatas Lintang. "Mahisa Murti setuju kita mengambil jalan yang paling
pasti. Berhasil atau tidak berhasil," berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "kita akan mendekati
mereka." Dengan demikian, maka Tatas Lintang pun kemudian
telah minta mereka berkumpul dan bersama-sama
mendekati keenam orang yang telah menyatukan diri itu.
Mahisa Pukat kemudian telah memanggil Mahisa Murti.
Sejenak kemudian maka keempat orang itupun telah keluar
dari rimbunnya pohon perdu dan berjalan menuju ke arah
keenam orang yang sedang duduk memusatkan
kemampuan mereka untuk mengerahkan daya tahan di
dalam diri untuk melawan suara tertawa yang menggelegar.
Kehadiran keempat orang itu memang telah
mengejutkan. Keenam orang itu sama sekali tidak
menduga, bahwa orang itu akan muncul dari arah itu,
karena menurut pengamatan mereka arah timbulnya
getaran dari suara yang menggelepar itu bukannya dari arah
itu. Melihat kehadiran keempat orang itu, maka keenam
orang itupun segera menguraikan lingkaran mereka.
Dengan cepat mereka pun bangkit sambil meraih tongkat
mereka masing-masing. Beberapa langkah di hadapan keenam orang itu. Tatas
Lintang dan ketiga orang yang diakunya sebagai
kemanakannya itupun telah berhenti Tatas Lintang yang
berdiri di paling depan pun kemudian berkata, "Selamat
malam Ki Sanak. Apakah kerja kalian malam-malam begini
di sini?" Pemimpin dari keenam orang itupun maju selangkah
sambil menjawab, "Kami tidak berbuat apa-apa. Kami
sekedar berhenti di sini."
"Baiklah," berkata Tatas Lintang, "Jika kalian memang
tidak berbuat apa-apa biarlah aku saja yang berbuat sesuatu
di sini." "Apa yang akan kau lakukan?" bertanya pemimpin dari
keenam orang itu. "Kami adalah pemburu binatang-binatang beracun,"
jawab Tatas lintang, "kami ingin berburu di tempat ini
kecuali ular. Kami tidak memerlukan lagi, karena kami
mempunyai persediaan cukup banyak."
"Apa yang kalian cari?" bertanya pemimpin dari keenam
orang itu. "Kala segala jenis, babak salu, rena, laba-laba hijau,
kelabang dan jenis-jenisnya," jawab Tatas Lintang.
"Di mana kalian akan mencari?" bertanya pemimpin itu.
Tatas Lintang ternyata telah menjawab sebenarnya,
"Kami akan mencari di celah-celah retak-retak batu hijau
itu." Jawaban yang berterus terang itu justru membuat orangorang
itu agak kebingungan. Namun pemimpin mereka pun
kemudian menjawab, "Sayang sekali. Kami tidak
mengijinkan kalian melakukannya."
"Kenapa" Apakah batu hijau itu milikmu?" bertanya
Tatas Lintang. "Ya," jawab orang itu dengan serta merta.
"Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "Aku tidak percaya.
Tetapi seandainya benar, apa salahnya aku mengambil
binatang-binatang berbisa itu" Bukankah sama sekali tidak
merugikanmu?" "Batu itu milik kami. Semua yang melekat pada batu itupun
milik kami," jawab pemimpin dari keenam orang itu,
"termasuk binatang-binatang yang ada di celah-celah retakretaknya."
"Baiklah. Tetapi apakah binatang berbisa itu bagi kalian
ada gunanya selain sekedar untuk menakut-nakuti orang,"
bertanya Tatas Lintang. Pemimpin dari keenam orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Apapun yang kami
lakukan bukan persoalanmu. Aku mempunyai hak untuk
menolak atau mengijinkan permintaanmu."
"Baiklah," jawab Tatas Lintang, "aku mohon kalian
mengijinkan. Kami memerlukan sekali binatang-binatang
itu. Aku harus menyelamatkan beberapa kotak pategalan
yang telah dikotori dengan racun, sehingga tanah pategalan
itu menjadi sangat berbahaya jika tidak ditawarkannya.
Dengan biadab seseorang atau sekelompok orang telah
menuangkan cairan racun ke dalam lubang-lubang yang
sedianya untuk ditanami pohon buah-buahan. Bukan hanya
pohon buah-buahan yang akan ditanam di lubang-lubang
itu sajalah yang akan mati, tetapi seseorang yang terperosok
ke dalam lubang itupun akan mati. Bahkan seluruh tanah
pategalan itupun akan bernafaskan racun yang mampu
membunuh seseorang yang memasukinya."
Orang-orang yang bersenjata tongkat itu menegang.
Pemimpin mereka pun kemudian menjawab, "Itu
persoalanmu. Kalau kau ingin menjadi pahlawan bagi
orang-orang yang memiliki pategalan itu lakukanlah. Tetapi
kau tidak akan dapat memperalat kami."
"Kami tidak akan memperalat. Kami hanya minta
binatang-binatang berbisa itu. Bukankah dengan demikian
batu kalian justru akan menjadi bersih," sahut Tatas
Lintang. "Dengan demikian maka seseorang akan dengan sangat
mudah mengambil batu itu. Tetapi jika binatang-binatang
berbisa itu masih tetap berada di celah-celah retak-retaknya,
maka sulit bagi seseorang untuk mengambilnya," berkata
pemimpin dari keenam orang itu.
"Kau salah Ki Sanak," berkata Tatas Lintang, "jika kami
berniat mengambilnya, maka binatang-binatang itu sama
sekali tidak berarti bagi kami. Bahkan seandainya batu itu
dililit oleh seribu ekor ular bandotan sekalipun."
"Aku percaya," jawab pemimpin itu, "karena itu jika
kalian yang datang, yang akan mencegah bukan binatangbinatang
berbisa itu. Tetapi kami."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "apakah kalian
masih ingin mengulangi kegagalan kalian pada waktu yang
lewat?" "Tidak Ki Sanak," jawab pemimpin itu, "sekarang kami
sudah dilengkapi oleh pengalaman. Kami sudah dibekali
dengan penawar racun. Sementara itu, kami memiliki ilmu
yang lebih baik dari orang-orang yang pernah kalian
kalahkan itu." "Tetapi jumlah kami pun bertambah," berkata Mahisa
Murti, "karena itu, apakah salahnya jika kita tidak usah
bertengkar. Berilah kesempatan kepadaku untuk mengambil
binatang-binatang berbisa itu. Agar batu itu tidak diambil
orang, maka aku berjanji bahwa aku tidak akan mengambil
binatang-binatang itu sampai habis. Kami hanya akan
mengambil separuhnya atau lebih sedikit. Dengan
demikian, maka pada batu itu masih terdapat banyak sekali
binatang yang akan mampu melindunginya dari tangantangan
yang akan berniat buruk."
"Sudahlah," berkata orang itu, "jangan banyak bicara.
Pergilah. Kalian tidak boleh mengambil seekor pun
binatang yang ada pada batu-batu hijau itu. Seekor dari
binatang itu kalian ambil, maka sebagai gantinya satu jiwa
diantara kalian melayang. Apakah kalian mengerti?"
"Kita akan mencari jalan keluar," jawab Mahisa Pukat,
"jangan dengan serta merta menutup kemungkinan itu."
"Cukup," bentak orang itu, "sekarang pergilah. Atau
kami akan memaksa kalian pergi."
"Baiklah," sahut Mahisa Pukat, "kami akan memaksa.
Kami akan mengambil binatang-binatang itu sekarang.
Pergilah, jangan halangi kami."
Wajah-wajah pun menjadi tegang. Sementara itu,
keenam orang itupun telah bergeser merenggang. Sekalisekali
seekor ular berdesis di bawah kaki. Tetapi sepuluh
orang yang ada di dekat batu yang berwarna kehijauan itu
tidak memperhatikannya lagi. Bahkan ketika seorang di
antara keenam orang itu menginjak seekor ular tanpa
sengaja dan digigitnya, maka orang itu hanyalah sekedar
memukul kepala ular itu sehingga mati. Orang itu tidak lagi
menjadi kebingungan karena racun ular itu di dalam
tubuhnya. Mahisa Pukat agaknya tidak sabar lagi. Dengan lantang
ia berkata, "Jadi apakah kami harus memaksa. Kami akan
melakukannya jika diperlukan."
"Mulailah," geram pemimpin kelompok itu, "bukankah
kalian memang datang dengan niat buruk" Sebelum kita
berbicara apapun juga, kalian telah mulai menyerang.
Untunglah kami mampu mempertahankan diri."
"Kami memang sengaja ingin menunjukkan, bahwa
kami memiliki ilmu yang cukup tinggi," jawab Mahisa
Pukat sambil mengangkat wajahnya, "nah, apakah kalian
tidak takut" Baru dengan suara dan suara tertawa kalian
sudah kebingungan. Apalagi jika kami benar-benar
bertempur dengan wadag kami."
"Kami bukan pengecut," jawab pemimpin dari keenam
orang itu, "kami siap bertarung beradu dada. Kami sama
sekali tidak takut akan getaran suara kalian yang tidak
berbobot sama sekali itu."
Mahisa Pukat pun telah bergeser pula, siap untuk
menyerang. Dengan demikian maka Mahisa Murti. Tatas
Lintang dan Mahisa Ura pun harus segera mempersiapkan
diri. Sejenak kemudian, maka Mahisa Pukat benar-benar
telah mulai dengan serangannya langsung ke arah
pemimpin dari keenam orang itu. Namun orang itupun
dengan tangkas telah bergeser menghindari serangan
Mahisa Pukat. Demikianlah, maka kedua belah pihak pun segera
mempersiapkan diri sepenuhnya. Mahisa Murti pun mulai
bergerak mendekati mereka, diikuti oleh Tatas Lintang dan
Mahisa Ura. Dalam pada itu, Mahisa Pukat telah bertempur melawan
pemimpin dari keenam orang itu. Keduanya justru telah
beringsut menjauh. Sementara itu, seorang di antara
keenam orang itupun telah meloncat pula menyerang
Mahisa Ura yang bergeser mundur.
Sejenak kemudian maka pertempuran di antara merekapun
terjadi dengan sengitnya.
Mahisa Pukat melawan pemimpin dari keenam orang
itu, sementara Mahisa Ura melawan orang yang telah
menyerangnya. Mahisa Murti lah yang kemudian berusaha
untuk memancing dua orang diantara mereka untuk
melawannya sebagaimana dilakukan oleh Tatas Lintang,
agar dengan demikian Mahisa Ura akan tetap berhadapan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan seorang saja di antara keenam orang itu.
Demikianlah, maka di dekat batu yang berwarna
kehijauan itu telah terjadi lagi pertempuran yang sengit.
Namun agaknya Tatas Lintang memang menghendaki
demikian. Ia akan dapat menjajagi isi dari padepokan yang
memang akan mereka masuki. Jika sebagian dari isi
padepokan itu telah dapat dipancingnya keluar, maka jika
saatnya mereka memasuki padepokan itu, mereka tidak
akan terkejut lagi. Bahkan mungkin yang tinggal di
padepokan tidak akan berbahaya lagi bagi mereka.
Mahisa Ura yang berhadapan dengan salah seorang dari
kelima orang itu, telah bergeser agak menjauh untuk
mendapat kesempatan bertempur dengan baik sebagaimana
dilakukan oleh Mahisa Pukat.
Ternyata bahwa lawan Mahisa Ura itupun memiliki ilmu
yang baik sebagai bekalnya menghadapi lawannya, yang
sebenarnya adalah seorang petugas sandi dari Singasari itu.
Karena itu, maka Tatas Lintang pun harus mengerahkan
kemampuannya pula. Untunglah bahwa Mahisa Ura
memiliki pengalaman yang sangat luas, sementara itu ia
telah membekali dirinya pula dengan ilmu yang memadai.
Ketika keduanya mulai mempergunakan tenaga
cadangan di dalam diri masing-masing, maka pertempuran
pun menjadi semakin seru. Keduanya bergerak semakin
cepat dan benturan-benturan yang terjadi pun menjadi
semakin sering. Namun akhirnya tongkat lawan Mahisa
Ura itupun ikut menentukan.
Karena itulah, maka Mahisa Ura pun telah menarik
sepasang pisau belati panjangnya dari balik kainnya.
Dengan sepasang pisau belati panjang itu ia berusaha untuk
dapat melawan tongkat lawannya. Tongkat yang dengan
kemampuan yang tinggi diputar, diayunkan dan kadangkadang
mematuk dengan cepatnya. Namun sepasang pisau belati panjang Mahisa Ura pun
agaknya mampu mengimbangi tongkat itu. Meskipun pisau
itu jauh lebih pendek dibanding dengan tongkat lawannya,
tetapi ternyata bahwa kemampuan Mahisa Ura
mempergunakannya, telah mampu sekali-sekali
mengejutkan lawannya. Mahisa Ura mampu menangkis
serangan lawannya dengan sebelah pisau belati panjangnya,
kemudian dengan cepat meloncat maju dan mematuk
dengan pisaunya yang lain.
Tetapi lawannya pun mampu bergerak cepat pula. Jika
tongkatnya terhentak menyamping, maka dengan cepat
pula ia menariknya dan memutarnya secepat baling-baling
untuk melindungi dirinya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Tatas Lintang masingmasing
bertempur melawan dua orang. Dua orang yang
bersenjata tongkat, sementara Mahisa Murti dan Tatas
Lintang tidak bersenjata apapun juga.
Namun Mahisa Murti dan Tatas Lintang memiliki
kemampuan untuk menghambat gerak lawannya. Jika
kedua orang lawannya mulai mendesak dengan putaran
tongkatnya dan bahkan berusaha menggiringnya ke dalam
keadaan yang sulit, maka Mahisa Murti dan Tatas Lintang
mampu menghambat gerak lawannya. Dengan serangan
berjarak mereka berusaha untuk menghentikan desakan
kedua lawan masing-masing.
Tetapi agaknya Tatas Lintang memang tidak bermainmain.
Ia justru ingin menunjukkan kepada lawan-lawannya
bahwa mereka tidak akan mampu berbuat banyak.
Meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang, namun
dalam waktu singkat, ia segera dapat melumpuhkannya.
Karena itu, maka Tatas Lintang tidak sekedar
menghentikan lawannya dengan meledakkan tanah yang
akan dipijaknya, tetapi ia telah benar-benar menyerang
dengan hentakkan ilmunya itu.
Karena itu, ketika dua orang bertongkat itu
menyerangnya bersama-sama dari dua arah, Tatas Lintang
telah mengambil jarak. Ia justru meloncat menjauh. Namun
demikian kedua orang lawannya siap untuk meloncat
menyerangnya, kedua tangan Tatas Lintang telah
mengembang. Sekilat cahaya meluncur dan menyambar
salah seorang dari lawannya.
Terdengar pekik tertahan. Sasaran itupun kemudian
terhuyung-huyung sejenak. Orang itu masih sempat
mengumpat sebelum ia terjatuh, bahkan sempat pula
melemparkan tongkatnya ke arah Tatas Lintang. Namun
tongkat itu tidak mengenai sasarannya. Bahkan ketika
kawannya yang lain ingin mempergunakan kesempatan itu
untuk menyerang, Tatas Lintang telah mempergunakan
ilmu yang sama, menyerang orang itu dengan hentakkan
ilmunya, sehingga sekali lagi seberkas kilat menyambar.
Orang itu bagaikan terdorong surut. Namun kemudian
ia-pun terjatuh di tanah.
Kedua orang itu tidak mati. Tetapi keduanya telah
kehilangan kemampuannya untuk melawan. Tubuh mereka
rasa-rasanya menjadi panas sedangkan tulang belulangnya
bagaikan terlepas dari sendi-sendinya.
Perlawanan mereka ternyata hanya terjadi dalam waktu
singkat. Tatas Lintang telah menyelesaikan perkelahiannya.
Sementara itu Mahisa Murti telah mempergunakan
kemampuan ilmunya yang lain. Dengan tangkasnya ia
selalu berusaha menyusup putaran tongkat kedua
lawannya. Sentuhan-sentuhan kecil telah terjadi beberapa
kali. Namun kemudian kedua lawannya itu bagaikan
kehilangan segenap kekuatannya. Demikian cepatnya susut
tanpa mereka sadari. Mereka seakan-akan telah kehilangan sebagian besar dari
tenaga dan kemampuan mereka, sehingga mereka merasa
tidak mungkin lagi untuk meneruskan perlawanan.
Kedua orang lawan Mahisa Murti itu menjadi heran.
Mereka mempunyai pengalaman yang luas. Mereka pernah
berkelahi untuk waktu yang lama tanpa merasa bahwa
kemampuan dan kekuatan mereka susut. Namun
menghadapi anak muda itu, seakan-akan kekuatan dan
ilmunya telah terperas bersama keringatnya.
Sebelum mereka mengerti apa yang terjadi, maka Mahisa
Murti pun menjadi semakin sering berhasil menyentuh
kedua lawannya berganti-ganti, sehingga akhirnya, kedua
lawannya itu benar-benar menjadi tidak berdaya dan pada
saat-saat terakhir, Mahisa Murti tidak sekedar
menyentuhnya untuk mengetrapkan ilmunya, namun
dengan sentuhan terakhirnya, maka kedua orang lawannya
itupun telah terjatuh dan menjadi pingsan karenanya.
Yang masih bertempur adalah Mahisa Ura dan Mahisa
Pukat. Lawan Mahisa Pukat, pemimpin dari keenam orang
itu, memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Ia
memiliki kemampuan bergerak dengan kecepatan yang luar
biasa. Sehingga karena itu, maka Mahisa Pukat memang
mengalami kesulitan karena lawannya itu bersenjata
tongkat. Namun dalam keadaan yang mendesak, tibia-tiba saja
Mahisa Pukat telah meloncat memungut tongkat dari salah
seorang yang telah dikalahkan oleh Mahisa Murti.
Dengan demikian maka kedua orang yang bertempur itu
masing-masing telah bersenjata tongkat.
Ternyata Mahisa Pukat pun memiliki kemampuan untuk
mempergunakan tongkat yang jarang dilakukannya.
Sehingga karena itu maka pertempuran antara dua orang
yang bersenjata tongkat itupun semakin seru.
Pemimpin dari keenam orang itu agaknya memang
memiliki ilmu yang tinggi dan kekuatan yang sangat besar.
Jauh melampaui lima orang lainnya.
Karena itulah maka agaknya Mahisa Pukat tidak segera
mampu mengatasi lawannya.
Namun ketika Mahisa Pukat telah mempergunakan
sebatang tongkat panjang, maka keseimbangan dari
pertempuran itupun telah berubah. Perlahan-lahan Mahisa
Pukat telah berhasil mendesak lawannya.
Bahkan ketika Mahisa Pukat menjadi semakin mapan, ia
telah mampu mengetrapkan ilmunya pula. Pada saat ia
sempat menangkis serangan lawan, maka iapun telah
menyerang dengan kakinya langsung menyentuh tubuh
lawannya. Yang terjadi kemudian adalah sebagaimana telah terjadi
atas lawan Mahisa Murti. Perlahan-lahan, namun pasti,
kekuatan lawannya itupun menjadi susut. Tongkatnya pun
menjadi semakin lambat berputar dan kecepatan geraknya
pun telah dengan cepat menurun.
Orang itu mengumpat di dalam hati. Ia tidak mengerti,
apa yang apa yang sebenarnya telah terjadi pada dirinya.
Namun akhirnya ia mengerti juga. Pengenalannya atas
berbagai macam ilmu melampaui kelima orang yang
dipimpinnya, sehingga iapun kemudian dapat mengenali
ilmu lawannya itu. "Gila," geram orang itu, "kau memiliki ilmu iblis itu,
sehingga kau dapat dengan licik mencuri kekuatan dan
kemampuanku." "Apapun yang terjadi Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat,
"menyerahlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa selain
mengambil binatang-binatang itu."
"Persetan. Selagi belum terlambat, aku akan
membunuhmu," geram orang itu.
Namun sebenarnyalah bahwa ia sudah terlambat
menyadari apa yang sudah terjadi. Ia tidak lagi mampu
bergerak cepat dan tenaganya tidak lagi dapat mengimbangi
kekuatan tenaga lawannya. Bahkan kemudian, Mahisa
Pukat telah berhasil mengenainya dengan tongkat
panjangnya beberapa kali. Meskipun ia tidak lagi
menghisap kekuatan lawannya, tetapi pukulan-pukulan
tongkatnya yang tidak terelakkan, telah benar-benar
menyakitinya. Bahkan benturan-benturan yang terjadi pun
seakan-akan telah menggetarkan genggaman tangannya.
Sehingga akhirnya, ketika Mahisa Pukat telah menjadi
jemu, maka pukulan tongkatnyalah yang kemudian
menentukan. Dengan ayunan yang keras maka Mahisa
Pukat telah berhasil menghantam tongkat lawan sehingga
tongkat itu terlepas dari tangannya. Sebelum lawannya itu
mampu berbuat apa-apa, maka ujung tongkat Mahisa Pukat
telah mematuk lambungnya.
Orang itu menyeringai menahan kesakitan yang sangat
yang menyengat lambungnya itu. Bahkan rasa-rasanya
tenaganya telah menjadi lumpuh sama sekali. Matanya
menjadi suram dan kabur meskipun ia masih memiliki
kesadarannya. "Aku dapat meremukkan kepalamu," geram Mahisa
Pukat yang menyentuh tengkuk orang itu dengan
tongkatnya. "Mengakulah bahwa kau menyerah."
Tetapi orang itu menggeram. Katanya, "Hanya kematian
yang dapat memaksaku untuk menyerah."
"Kau terlalu sombong," geram Mahisa Pukat.
"Seorang laki-laki akan memilih mati daripada
menyerah," katanya. Kemarahan Mahisa Pukat tidak dapat dibendung lagi.
Karena itu maka tiba-tiba saja iapun telah melepaskan
tongkatnya. Dengan geram Mahisa Pukat telah menangkap lengan
orang itu dengan kerasnya.
Orang itu tidak menyadari apa yang akan terjadi dengan
dirinya. Ia mengira bahwa dengan marah Mahisa Pukat
akan mengguncang tubuhnya memukulnya atau
memperlakukannya dengan kasar.
Namun akhirnya iapun menyadari, bahwa Mahisa Pukat
telah menyerap semua tenaganya. Dengan demikian ketika
Mahisa Pukat itu melepaskannya, maka orang itu benarbenar
sudah tidak berdaya. Mahisa Pukat kemudian berdiri tegak di samping
pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itu. Dengan
geram ia berkata, "Apakah kau masih akan membunuh
aku?" Pemimpin kelompok yang sudah tidak berdaya itupun
berkata dengan lemah tetapi masih dengan getar kemarahan
yang bergejolak di dalam dadanya, "Kau licik. Jika kau
jantan, kita akan bertempur dalam keadaan sewajarnya.
Kau pergunakan ilmu iblismu yang mampu mencuri
kekuatan dari lawanmu."
"Itu adalah satu kemampuan ilmu untuk melawan
kecuranganmu. Aku tidak bersenjata, dan kau
mempergunakan senjatamu," jawab Mahisa Pukat.
"Jika kau sekarang tidak membunuhku, kau akan
menyesal, karena akulah yang kelak akan membunuhmu."
geram orang itu. Mahisa Pukat tidak menghiraukan lagi. Namun iapun
kemudian berpaling ke arah Mahisa Ura yang masih
bertempur dengan mempergunakan sepasang pisau
belatinya. Mahisa Murti dan Tatas Lintang pun kemudian juga
memperhatikan pertempuran itu. Namun mereka pun
segera mengetahui bahwa Mahisa Ura akan dapat
memenangkan pertempuran itu. Dengan sepasang pisau
belati panjangnya, Mahisa Ura ternyata dapat melawan
kegarangan tongkat panjang lawannya.
"Ternyata ia mempunyai senjata yang baik," desis Tatas
Lintang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Keduanya pun terbiasa juga membawa pisau belati panjang.
Tetapi saat itu keduanya memang tidak membawanya.
Mereka lebih percaya kepada kemampuan yang telah
mereka miliki daripada pisau belati panjang. Menurut
perhitungan mereka, maka mereka akan dapat
memanfaatkan ilmu yang mereka terima dari Tatas Lintang
jika sangat diperlukan. Namun ternyata tanpa
mempergunakan ilmu itupun mereka telah mampu
mengalahkan lawan-lawannya.
Dalam pada itu, Mahisa Ura benar-benar telah mendesak
lawannya sehingga lawannya itu tidak mampu lagi bertahan
lebih lama lagi. Tongkatnya seakan-akan tidak lagi banyak
berarti, karena pisau belati Mahisa Ura yang sepasang itu
mampu mengimbangi kecepatan putaran tongkatnya.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu, ketika Mahisa Ura melihat semuanya telah
menyelesaikan tugas masing-masing, maka iapun segera
mengerahkan kemampuannya pula. Ketika menangkis
patukan tongkat lawannya dengan pisau belati panjang di
tangan kiri sambil meloncat mendekat. Demikian cepatnya
sehingga lawannya tidak sempat menghindarinya. Sehingga
karena itu, maka ujung pisau itu telah tergores di
pundaknya. Orang itu menyeringai kesakitan. Bahkan dengan
demikian, maka sebelah tangannya pun menjadi bagaikan
lumpuh. Meskipun demikian, orang itu sama sekali tidak berniat
untuk menyerah. Karena itu, maka dengan sebelah
tangannya ia masih juga melawan Mahisa Ura dengan sisa
tenaganya. Mahisa Ura lah yang kemudian merasa diburu oleh
waktu karena ia harus menyelesaikan pertempuran itu yang
terakhir sementara ia hanya melawan seorang saja.
Meskipun Mahisa Pukat juga hanya melawan satu orang
saja, tetapi lawannya adalah pemimpin dari sekelompok
orang bertongkat itu, yang memiliki ilmu paling tinggi di
antara mereka. Karena itu, maka Mahisa Ura pun telah kehilangan
perhitungannya. Asal saja ia ingin cepat mengalahkan
orang bertongkat itu. Karena itulah, maka iapun telah mempergunakan
kesempatan yang terbuka itu untuk mengakhiri perlawanan
orang bertongkat itu. Dengan sebelah tangan, maka tongkat
itu tidak lagi dapat berputar, berayun dan mematuk
sebagaimana digerakkan oleh kedua tangannya.
Mahisa Ura lah yang kemudian menguasai medan.
Dengan tangkasnya ia telah menyusup di antara putaran
tongkat itu dengan sebelah pisaunya dan seperti yang sudah
dilakukannya, menusuk lawannya dengan pisaunya yang
lain. Namun lawannya tidak membiarkan tubuhnya
dilukainya lagi. Karena itu, maka dengan cepat ia meloncat
surut. Tetapi agaknya Mahisa Ura telah memperhitungkannya.
Dengan cepat ia memburunya dan sekali lagi ia
menikamkan pisaunya langsung ke arah dada.
Orang itu tidak sempat meloncat lagi. Iapun tidak sempat
menangkis karena ia hanya menggerakkan tongkatnya
dengan sebelah tangan. Karena itulah, maka pisau itu benar-benar telah
menikam dadanya menghunjam sampai ke jantung.
Mahisa Murti. Mahisa Pukat dan Tatas Lintang sempat
melihat pisau itu menghunjam ke dada orang bertongkat
itu. Merekapun melihat orang itu terkulai jatuh dan tidak
akan sempat bangkit kembali.
Mereka hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Mahisa Ura pun berdiri termangu-mangu
ketika ia berpaling kepada Tatas Lintang, iapun berkata,
"Maafkan aku. Aku memang tidak mampu melakukan
sebagaimana kalian lakukan. Agaknya aku telah
membunuh lawanku." Ketiga orang yang termangu-mangu itu tidak menjawab.
Sementara Mahisa Ura pun berkata pula, "Aku tidak dapat
berbuat lain. Tetapi apakah lawan-lawan kalian tidak
terbunuh?" Mahisa Murti lah yang menjawab, "Terbunuh atau tidak,
tergantung kepada keadaannya. Kami tidak menyalahkan
seandainya lawanmu itu terbunuh. Kemungkinan itu
memang dapat terjadi dalam pertempuran. Karena itu,
jangan disesali." Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Tatas Lintang pun berkata, "Marilah. Kita lakukan
kewajiban kita." Keempat orang itupun kemudian telah meninggalkan
tubuh-tubuh yang terbaring lemah dan seorang diantaranya
telah terbunuh. Sambil melangkah menuju ke batu yang berwarna
kehijauan itu Tatas Lintang berkata, "Nanti kita akan
mengurusnya jika kerja kita sudah selesai, sementara itu
mereka yang pingsan sudah mulai sadar."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Ura tidak
menjawab. Mereka mengikuti saja Tatas Lintang menuju ke
batu yang berwarna kehijauan itu.
Meskipun malam gelap tetapi dengan ketajaman
penglihatan mereka, maka mereka melihat apa yang mereka
cari. Namun terasa tengkuk mereka pun meremang.
Meskipun mereka telah memiliki kemampuan untuk
menawarkan racun, tetapi pada malam hari berjenis-jenis
binatang beracun itu seolah-olah telah keluar dari celahcelah
retak batu yang berwarna kehijauan itu merambat di
wajah batu yang besar itu dalam jumlah yang tidak
terhitung. Tatas Lintang pun kemudian menarik nafas dalamdalam.
Ia merasa beruntung bahwa akhirnya ia akan
mendapatkan apa: yang mereka cari. Dengan demikian ia
akan dapat membantu orang-orang padukuhan itu untuk
mengamankan salah satu lingkungan di padukuhan mereka
yang telah dicemarkan dengan racun.
Namun dalam pada itu, maka iapun berkata kepada
Mahisa Ura, "Telanlah penawar itu. Meskipun saat ini kau
masih dilindungi oleh penawarmu yang pertama, tetapi
sebentar lagi, kekuatannya akan susut. Jika kau terlupa,
maka kau akan mengalami akibat yang buruk. Karena itu,
lakukanlah sekarang."
Mahisa Ura tidak menjawab. Tetapi ia telah mengambil
sebutir penawar racun dari kantong ikat pinggangnya dan
kemudian menelannya. Sebentar kemudian, maka mereka berempat pun telah
memungut binatang-binatang beracun yang berada di batu
besar yang berwarna kehijauan itu. Binatang-binatang itu
memang menyengat, menggigit dan menusuk dengan duridurinya
yang beracun. Tetapi keempat orang itu tidak
menghiraukannya. Mereka telah mempergunakan ikat
kepala mereka untuk membungkus binatang-binatang itu.
"Tetapi ada juga benarnya alasan orang-orang yang
mencegah kita," berkata Tatas Lintang, lalu katanya,
"tanpa binatang-binatang ini maka batu ini pun akan cepat
lenyap. Karena itu, kita harus membiarkan sebagian dari
binatang-binatang ini untuk tetap berada di celah-celah
retak batu-batu itu."
"Jumlah binatang ini tidak terhitung," berkata Mahisa
Murti ketika ia kemudian mengetuk-ketuk batu itu, maka
bermunculanlah binatang sejenis lebih banyak lagi.
Namun Tatas Lintang itupun kemudian berkata, "Kita
akan mengambil secukupnya."
Ketiga orang anak muda yang diakunya sebagai
kemanakannya itupun tidak menyahut. Namun kemudian
Tatas Lintang memberikan isyarat, bahwa yang telah
mereka ambil agaknya telah cukup banyak.
Dengan demikian, maka mereka pun telah berhenti
memunguti binatang-binatang berbisa itu dan kemudian
membungkusnya dengan ikat kepala mereka.
"Marilah." berkata Tatas Lintang, "tetapi kita akan
melihat orang-orang itu. Mudah-mudahan mereka telah
menjadi baik dan dapat meninggalkan tempat ini sambil
merawat seorang yang terbunuh di antara mereka
berenam." Keempat orang itupun kemudian meninggalkan batu itu
dan mendekati tubuh-tubuh itu, maka mereka pun terkejut.
Pemimpin dari kelompok itu telah mampu bangkit.
Namun yang lain tidak akan dapat bangkit untuk
selamanya. "Kenapa mereka mati" " justru Tatas Lintang lah yang
bertanya. Si Pemanah Gadis 3 Pendekar Sakti Karya Kho Ping Hoo Eldest 11