Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 19

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 19


dan membunuh binatang-binatang berbisa itu.
Dalam pada itu, selain Mahisa Murti sibuk membunuh
beberapa ekor ular, ternyata beberapa orang telah berusaha
untuk menjebaknya. Namun ternyata Mahisa Murti
memang memiliki ilmu yang tinggi. Untuk sementara
dilepaskannya ular-ular yang sangat berbisa itu. Meskipun
ia tetap tidak ingin digigit ular walaupun gigitan itu tidak
akan membunuhnya, namun ia lebih dahulu harus
menghadapi beberapa orang yang berusaha untuk
menjebaknya itu. Lima orang telah mengepung Mahisa Murti. Senjata
mereka terayun-ayun mengerikan. Orang-orang padepokan
itu mengenali Mahisa Murti sebagai seorang anak muda
yang memiliki ilmu yang tinggi.
Untuk melawan lima orang sekaligus, Mahisa Murti
memang merasa terlalu berat apabila ia hanya bertopang
kepada kemampuannya olah kanuragan serta tenaga
cadangan yang ada padanya. Karena itu, maka Mahisa
Murti pun kemudian telah terpaksa mempergunakan
ilmunya. Tetapi Mahisa Murti tidak mempergunakan
ilmunya dalam bentuknya yang keras, tetapi dalam
bentuknya yang lunak. Karena itu, maka sejenak kemudian lawan-lawan Mahisa
Murti yang mengepungnya itu telah disentuh oleh udara
dingin. Semakin lama rasa-rasanya menjadi semakin
membeku. Beberapa orang di antara mereka yang mengepung
Mahisa Murti itu merasa tubuh mereka seakan-akan
menjadi hampir membeku. Darah mereka seakan-akan
telah berhenti mengalir dan mengeras di dalam
pembuluhnya. Dalam keadaan yang paling sulit, maka kelima orang itupun
telah berloncatan mundur. Semakin jauh mereka dari
Mahisa Murti, rasa-rasanya udara menjadi semakin hangat.
Namun Mahisa Murti yang marah tidak membiarkan
mereka lepas dari tangannya. Dengan sigapnya Mahisa
Murti pun telah memburu mereka.
Yang kemudian mengakhiri beberapa orang lawannya
bukan kemampuan puncak ilmu Mahisa Murti dalam
bentuknya yang keras. Tetapi di medan itu, ia ingin
membunuh lawannya dengan cara sebagaimana dilakukan
oleh para prajurit yang lain.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menusuk
lawannya dengan pedangnya pada saat lawannya
kehilangan kemampuan untuk menghindar atau menangkis
serangan itu. Dua orang telah terlempar dari arena. Sementara itu,
ketika seorang yang lain berusaha untuk meloncat menjauh,
maka justru punggungnyalah yang tergores oleh pedang
Mahisa Murti. Namun dalam pada itu, ketika Mahisa Murti siap
dengan tusukan pedangnya pada lawan berikutnya,
terdengar seseorang berkata, "Kau lagi anak manis."
Mahisa Murti mengangkat wajahnya ke arah orang itu.
Ternyata orang itu adalah orang bertongkat yang pernah
bertempur melawannya pada saat pasukan Lemah Warah
memasuki padepokan itu beberapa saat berselang.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Marilah Ki Sanak. Kita ternyata mendapat kesempatan
lagi untuk bertemu."
"Bagus," berkata orang bertongkat itu, "marilah kita
bertempur sebagaimana keadaan kita. Kita tidak dapat
bertempur berdesak-desakan dengan para prajurit. Marilah
kita mencari tempat yang lebih luas."
"Aku dapat bertempur di mana saja. Di tempat yang luas
atau di tempat yang sempit. Aku bersedia bertempur dengan
mengandalkan kemampuan menyerang pada jarak jauh.
Tetapi aku pun tidak gentar bertempur beradu senjata,"
jawab Mahisa Murti. "nah kau boleh memilih. Aku tahu,
bahwa kau mempunyai kelemahan. Kau tidak berani
bertempur pada jarak dekat. Mungkin kau tidak cukup
mempunyai ketrampilan menggerakkan tongkatmu yang
kau bangga-banggakan itu."
"Persetan," geram orang itu, "jangan sombong anak
muda. Kau memang luar biasa. Tetapi kau jangan
menyangka bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan
di dunia ini." "Tentu tidak," jawab Mahisa Murti, "aku sadar, bahwa
banyak orang yang memiliki kelebihan dari aku. Tentu ada
beratus, bahkan beribu. Tetapi semuanya itu. yang beribu
itu, tentu tidak termasuk kau."
"Anak iblis," geram orang itu. Tiba-tiba saja ia
mengangkat tongkatnya. Mahisa Murti sadar apa yang akan terjadi. Karena itu,
maka iapun dengan tangkasnya meloncat menghindari
serangan itu. Sebenarnyalah sinar yang tajam memancar dari ujung
tongkat itu menyambar Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti
telah berhasil melepaskan diri dari sasaran.
Sekali ia berguling, namun ketika ia duduk kembali,
maka tangannya telah teracu dan sebelum lawannya
menyerang dengan sinar yang memancar dari ujung
tongkatnya, serangan Mahisa Murti telah meluncur
mendahuluinya. Demikianlah pertempuran sebagaimana pernah terjadi
itu terulang kembali. Segalanya seakan-akan tidak berbeda
dari yang pernah membakar padepokan itu beberapa saat
sebelumnya. Namun ternyata bahwa ular-ular berbisa itu telah banyak
mengganggu. Beberapa orang prajurit memang telah
dipatuk-nya. Sementara itu yang lain lagi telah kehilangan
keseimbangan pertempuran sehingga ujung pedang
lawannya telah menembus jantungnya justru karena seekor
ular. Dalam pada itu, Mahisa Pukat yang masih mempunyai
kesempatan bersama Mahisa Ura dan Tatas Lintang sendiri
telah berusaha untuk membunuh ular itu sebanyakbanyaknya.
Mereka sama sekali tidak gentar akan bisa ular
itu. Namun seorang demi seorang mereka telah bertemu
dengan lawan-lawan mereka, sehingga pertempuran
sebagaimana pernah terjadi telah terulang kembali.
Tetapi ternyata bahwa ular-ular yang dilepaskan itu
sudah tidak lagi terlalu banyak berkeliaran. Meskipun
demikian, namun ular-ular itu tetap merupakan bahaya bagi
para prajurit dari Lemah Warah.
Namun dalam pada itu, sebagaimana yang pernah
terjadi, maka orang terpenting dari padepokan itu telah
melihat dengan ketajaman penglihatan batinnya, apa yang
telah terjadi. Meskipun ia juga melihat ular yang berkeliaran
serta pengaruhnya, namun menurut perhitungannya, para
prajurit Lemah Warah akan dapat menguasai keadaan.
Tetapi dalam pada itu, ternyata bahwa ular-ular masih
saja meluncur dari dalam sebuah bilik, seakan-akan tidak
ada habis-habisnya. Mahisa Pukat yang melihat ular-ular itu menjalar terus
memasuki medan, akhirnya berusaha untuk dapat
menemukan sumbernya. Tetapi Mahisa Pukat tidak yakin, bahwa ular-ular itu
keluar dari bilik yang sama dengan yang pernah
dipergunakannya sebelumnya. Menurut perhitungan
Mahisa Pukat, orang itu tentu telah berpindah tempat.
Namun Mahisa Pukat telah menelusuri jalan yang
ditempuh oleh ular-ular itu. Sekali-sekali ia melihat ular
meluncur dari satu arah, maka iapun telah mengikuti arah
itu setelah ia membunuh ular yang ditemuinya itu. Dengan
demikian maka sedikit demi sedikit Mahisa Pukat berhasil
mendekati bilik yang dicarinya.
Akhirnya Mahisa Pukat memang menemukannya. Ia
melihat dua ekor ular keluar dari pintu bilik itu. Disusul
oleh dua ekor yang lain. Dengan cepat Mahisa Pukat membunuh ular-ular itu.
Kemudian dengan hati-hati ia mendekati pintu yang
terbuka. Mahisa Pukat sadar, bahwa orang yang memiliki ilmu
Gen-dam itu mempunyai kemampuan yang sangat tinggi.
Karena itu, maka demikian ia memasuki bilik itu, jika tidak
berhati-hati. maka ia akan menjadi sasaran ujung keris
orang yang berilmu tinggi dan mampu mempengaruhi
binatang dengan ilmu gendamnya itu.
Selagi ia menunggu, seekor ular yang besar telah
meluncur keluar. Namun ular itu terkejut ketika ia melihat
seseorang berdiri melekat sisi pintu. Dengan serta merta
ular itu telah menyerang Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat terkejut. Ular itu terlalu besar.
Namun sebelum Mahisa Pukat sempat mengelak, ular itu
ternyata telah menyambarnya. Mahisa Pukat memang
dapat bergerak tangkas. Meskipun ia tidak dapat mengelak,
tetapi pedangnya dengan cepat telah menyambar leher ular
itu. Betapapun juga ular itu terhitung ular yang besar,
namun leher ular itu-pun dapat ditebas putus oleh pedang di
tangan Mahisa Pukat. Demikian leher ular itu terputus, pada saat tubuh ular itu
masih menggeliat, Mahisa Pukat telah meloncat memasuki
ruang itu. Tetapi ia tidak melihat seorang pun.
Sesaat ia termangu. Namun orang yang dicarinya tidak
ada lagi di ruang itu. Yang dilihatnya hanyalah ular-ularnya
yang berusaha keluar dari kotak dan menjalar ke medan
perang. "Orang itu termasuk dungu meskipun berilmu tinggi,"
berkata Mahisa Pukat, "ia telah melakukan kerja yang sama
di tempat yang sama."
Namun agaknya barak itu adalah barak yang
diperuntukkan baginya dan para pengikutnya, sehingga ia
memang tidak mempunyai tempat lain untuk
melakukannya. Untuk beberapa saat, Mahisa Pukat membunuh beberapa
ekor ular di dalam bilik itu. Namun tiba-tiba saja ia
mendengar sesuatu. Agaknya beberapa orang berada di luar
bilik itu. Dengan cepat Mahisa Pukat meloncat ke pintu. Namun
yang dilihatnya adalah beberapa orang bersenjata berdiri di
luar pintu. Mahisa Pukat sadar, bahwa ia memang telah terjebak.
Tetapi ia tidak menjadi gentar. Perlahan-lahan ia turun dari
tangga bilik itu yang rendah sambil menggerakkan
pedangnya. "Menyerahlah," berkata seorang yang berwajah garang
dengan beberapa luka di kening dan pelipisnya, "kau masih
terlalu muda untuk mati."
Mahisa Pukat menggeram. Namun ia tidak menjawab.
Ketika Mahisa Pukat bergeser, maka orang-orang itupun
telah bergeser pula. Mereka telah menutup kemungkinan
bagi Mahisa Pukat untuk keluar dari kepungan mereka.
Tetapi Mahisa Pukat sama sekali tidak menjadi gemetar.
Bahkan anak muda itu telah menggeretakkan giginya.
Ketika pedangnya mulai berputar, Mahisa Pukat pun
telah bergerak selangkah maju, justru mendekati orangorang
yang mengepungnya. Orang-orang yang mengepungnya itupun menjadi heran
melihat sikap anak muda itu. Sama sekali ia tidak
menunjukkan keragu-raguan. Apalagi ketakutan.
Namun justru karena itu, maka orang-orang itupun telah
memutuskan untuk membunuh saja anak muda itu tanpa
ampun. Demikianlah sejenak kemudian, maka orang yang
memimpin sekelompok orang itupun telah memerintahkan
untuk dengan segera membunuh anak muda yang sombong
itu. Tetapi Mahisa Pukat pun telah bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Karena itu, maka ketika orang-orang
itu mendekatinya, maka meskipun ia tidak berjanji dengan
Mahisa Murti, maka Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan
ilmunya dalam ujudnya yang lunak.
Semula orang-orang yang mengepung dan bahkan
kemudian mulai menyerang Mahisa Pukat itu tidak
merasakan sesuatu. Namun kemudian gerak mereka terasa
terganggu. Udara terasa menjadi sangat dingin sehingga
gerak mereka pun menjadi sangat lamban.
Mahisa Pukat lah yang kemudian menerjang mereka
tanpa ampun. Justru karena ia sadar, bahwa padepokan itu
merupakan kumpulan dari orang-orang yang sangat
membahayakan. Apalagi mereka berilmu tinggi.
Karena itu, selagi orang-orang itu termangu-mangu
karena udara yang terasa dingin dan bahkan semakin
dingin, maka Mahisa Pukat telah menyerang mereka
dengan segenap kemampuan ilmu pedangnya.
Beberapa orang terlempar dari arena, sementara itu yang
lain pun menjadi kebingungan menghadapi kenyataan itu.
Namun dalam pada itu, kawan-kawannya pun bertempur
dengan gigihnya. Tidak seorang pun yang melarikan diri
dari arena atau melepaskan senjata mereka, betapapun
mereka merasa bahwa ujung pedang lawannya itu akan
segera menghunjam ke dadanya.
Dalam pada itu, selagi di seluruh padepokan itu terjadi
pertempuran, maka atas dasar keterangan Akuwu Tatas
Lintang, Pangeran Singa Narpada bersama Mahendra telah
berusaha untuk menemukan sumber dari ilmu yang
tertinggi itu. Karena itu, maka untuk beberapa saat, mereka
tidak menghiraukan pertempuran. Mereka telah menyusup
di antara barak-barak yang kosong karena para
penghuninya sedang bertempur.
Yang mula-mula mereka dekati adalah bangunan induk
padepokan itu. Namun mereka tidak menemukan apapun
juga. Karena itu, maka mereka pun berniat untuk pergi ke
barak-barak yang lain, untuk dapat bertemu dengan yang
berilmu paling tinggi di antara para penghuni padepokan
itu. Namun untuk beberapa saat, mereka tidak
menemukannya. Bahkan kemudian terjadilah yang mereka


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cemaskan. Orang yang sedang dicari itu memang telah melihat,
bahwa orang-orang padepokan itu tidak akan dapat
memenangkan pertempuran itu. Karena itu, maka seperti
yang telah terjadi, maka tidak ada pilihan lain baginya,
untuk membuat padepokan itu menjadi gelap, sehingga
orang-orang Lemah Warah tidak akan dapat melihat
sesuatu. Seperti yang pernah terjadi, maka mereka pun
dengan segera meninggalkan padepokan itu.
Demikianlah maka orang itupun telah memusatkan nalar
budinya untuk mengetrapkan ilmunya. Seperti yang pernah
terjadi, maka di atas padepokan itu, kabut mulai nampak.
Tipis sekali. Tetapi semakin lama menjadi semakin tebal.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada terkejut. Mereka
tidak melihat sumber dari kabut itu. Mereka tidak melihat
pusat dari kekuatan ilmu yang tersebar di atas padepokan
itu, yang semakin lama semakin memberat dan kemudian
menyelimuti padepokan itu.
"Luar biasa," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Ya, Luar biasa," desis Mahendra, "kita gagal
menemukan pusar dari pelepasan ilmu itu."
"Jadi, apakah yang sebaiknya kita lakukan" Apakah kita
sekedar menyaksikan saja kabut itu menutup padepokan ini
dan anak-anak Lemah Warah itu berloncatan keluar dari
dinding padepokan?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Kita masih mampu mencobanya," berkata Mahendra.
"Mencoba apa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Kita hembus kabut ini," berkata Mahendra. Lalu, "kita
tidak mempunyai ilmu yang mampu menimbulkan prahara.
Tetapi kita memiliki kekuatan yang dapat memancarkan
cahaya panas dan dingin."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian katanya, "Apa maksudmu" Apakah kita
akan melepaskan kemampuan ilmu kita?"
"Ya, Kita lepaskan kemampuan ilmu kita. Kita lawan
kabut ini dengan cara kita masing-masing," berkata
Mahendra. Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun tibatiba
saja ia mengangguk-angguk sambil berkata, "Marilah.
Kita akan membenturkan ilmu kita."
Sejenak kemudian Mahendra dan Pangeran Singa
Narpada telah memusatkan nalar budi mereka pula.
Dengan sikap yang besar, mereka telah mengetrapkan
kemampuan ilmu mereka. Mahendra yang memiliki ilmu yang dapat
dilontarkannya dengan ujud yang keras dan ujud yang
lunak, telah menggeram sambil mengayunkan tangannya.
Dianggapnya kabut itu adalah getaran ilmu seseorang yang
berilmu sangat tinggi. Karena itu, maka iapun telah
melawan getaran itu dengan getaran ilmunya yang dahsyat.
Dalam pemusatan nalar budi, maka rasa-rasanya
tangannya memang menyentuh sesuatu. Memang bukan
wadag seseorang, tetapi kemampuan ilmu yang telah
terlontarkan dari kekuatan ilmu seseorang tetapi
kemampuan ilmu yang telah terlontar dari kekuatan ilmu
seseorang. Begitu dahsyatnya hentakkan ilmu Mahendra. maka
rasa-rasanya kabut yang menyelubungi padepokan itu telah
bergetar seluruhnya. Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
telah melakukan hal yang serupa dengan ilmunya pula. Satu
hentakkan kekuatan dari seseorang yang berilmu sangat
tinggi. Ternyata bahwa usaha kedua orang itupun berhasil.
Getaran yang memancar dari kekuatan ilmu seseorang yang
sangat tinggi telah membentur getaran-getaran dari ilmu
yang sangat tinggi pula. Namun tidak berujud dan tidak
berwarna sebagaimana kabut yang berwarna gelap.
Itulah sebabnya kabut yang semakin tebal memberat
jatuh di atas tanah itu telah menggelepar. Kabut itu seakanakan
telah terangkat ke atas beberapa lapis.
Orang-orang Lemah Warah yang sudah mulai
kebingungan itupun rasa-rasanya sempat bernafas. Mereka
tidak lagi dicekik oleh kegelapan dan tidak ada kesempatan
untuk berbuat sesuatu. Apalagi di bawah kaki mereka,
beberapa ekor ular masih berkeliaran.
Melihat akibat dari hentakkan ilmu mereka, maka
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada itupun telah
melakukannya kembali. Akibatnya menjadi semakin jelas.
Kabut itu terangkat lagi, sebagaimana ada dorongan
kekuatan dari dalam bumi.
"Kita berhasil Pangeran," berkata Mahendra, "kita akan
mencoba lagi." Mahendra telah mengulangi serangannya pula. Ia sadar,
bahwa ia sekedar melontarkan getaran ke udara. Ia
berharap bahwa lontaran getarannya itu akan mengenai dan
membentur getaran yang sudah ada di atas padepokan itu.
Ketika Mahendra dan Pangeran Singa Narpada
mengulanginya beberapa kali, maka terasa seakan-akan di
padepokan itu telah terjadi kekuatan dorong mendorong
antara kekuatan ilmu seseorang tentang kabut yang telah
mapan, melawan kekuatan-kekuatan yang sangat besar,
namun tidak mempunyai jalur yang terbiasa dilakukan
menghadapi ilmu tentang kabut itu.
Meskipun demikian, kekuatan Mahendra dan Pangeran
Singa Narpada itu tetap berpengaruh. Getaran-getarannya
yang sangat besar telah mendorong kabut itu seakan-akan
menjadi semakin ringan dan terbang dibawa angin.
Tetapi karena sumbernya masih juga bekerja keras untuk
menjadikan padepokan itu gelap gulita, maka kabut yang
terangkat perlahan-lahan itu telah menekan kembali jatuh di
atas bumi. Namun Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak
menyerah. Merekapun telah mengerahkan kekuatan
didalam diri mereka untuk mengangkat kabut itu.
Namun akhirnya ternyata bahwa Mahendra dan
Pangeran Singa Narpada berhasil. Meskipun kabut itu tidak
terangkat seluruhnya, namun kabut itu rasa-rasanya
menjadi semakin tipis. Para prajurit Lemah Warah
sebenarnya telah bersiap-siap untuk keluar dari padepokan
itu. Namun mereka masih tetap bertahan.
Apalagi ketika mereka melihat bahwa ada getaran lain
yang telah melawan kabut yang turun di padepokan itu.
Satu hal yang baru yang tidak terjadi pada pertempuran
yang telah berlangsung beberapa saat yang lalu.
Para prajurit Lemah Warah memang berharap, bahwa
para pemimpin mereka menemukan cara untuk melawan
kabut yang terasa sangat mengganggu pertempuran itu.
Dengan demikian maka yang terjadi adalah pertempuran
yang semakin seru. Pertempuran antara para prajurit
Lemah Warah dengan orang-orang seisi padepokan itu, dan
pertempuran ilmu yang tinggi antara kekuatan yang
menebarkan kabut itu dengan kekuatan yang berusaha
mengangkatnya. Namun bagaimanapun juga, para prajurit Lemah Warah
masih tetap mampu mendesak lawannya. Kabut yang turun
dan terangkat naik itu tidak menutup penglihatan para
prajurit itu sepenuhnya. Mereka masih dapat menembusnya
dan menjulurkan pedangnya ke arah jantung.
Orang yang menebarkan kabut itupun merasakan
perlawanan yang kuat sekali atas ilmunya. Ia merasakan
hentakan-hentakan yang rasa-rasanya sampai ke pusat
dadanya. Kekuatannya yang terpancar pada ilmunya di
setiap hentakkan telah menekan kembali ke dalam dirinya.
Untuk beberapa saat orang itu masih mencoba untuk
bertahan. Ia masih tetap pada sikapnya. Meskipun terasa
kekuatan yang mendorong kembali kekuatan ilmunya ke
dalam dirinya sendiri, namun ia masih percaya akan
kemampuannya. Karena itu, maka ia telah mengerahkan segenap
kekuatannya. Sambil duduk bersila dan menyilangkan
tangannya di dada orang itu memusatkan nalar budinya
untuk menekan kekuatan orang-orang yang berusaha
melawan ilmunya. Sementara itu, Pangeran Singa Narpada dan Mahendra
juga masih tetap berjuang untuk menyingkap kabut yang
tebal itu. Demikian dahsyatnya pertempuran antara dua getaran
kekuatan itu, sehingga dari ubun-ubun orang yang
melepaskan kabut itu telah mengepul asap pula.
Namun getaran yang melawan kabutnya itu semakin
lama semakin terasa menekan dadanya. Rasa-rasanya
nafasnya mulai menjadi sesak. Bahkan kemudian getaran
yang menghentak-hentak itu mulai menyusup ke sumber
kekuatannya. Orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Dalam keadaan
yang demikian, orang itupun melihat, bahwa kabutnya
benar-benar telah tersingkap dan para prajurit Lemah
Warah dapat bertempur dengan garangnya. Sisa-sisa
kekuatannya hanyalah hamparan kabut tipis yang tidak
berarti. Ketajaman penglihatan orang itu telah melihat pula
kehadiran orang-orang berilmu tinggi yang mampu
melawan ilmunya. Meskipun yang dilihatnya tidak lebih
dari sekedar bayangan yang buram. Namun orang itu pasti,
bahwa ia akan berhadapan dengan kekuatan yang tidak
dapat diabaikannya. Karena itu, maka orang itupun akhirnya tidak lagi dapat
sekedar melawan orang-orang Lemah Warah dari tempat
persembunyiannya. Karena itu, maka iapun telah
memutuskan untuk melepaskan tebaran ilmu kabutnya dan
langsung menghadapi orang-orang yang mampu melawan
getaran ilmunya itu. Dengan demikian, maka sejenak kemudian kabut itupun
telah lenyap sama sekali. Udara pun menjadi cerah dan
pertempuran pun berlangsung semakin seru. Orang-orang
padepokan yang merasa kehilangan perlindungan itupun
seakan-akan menjadi berputus-asa sehingga dengan
demikian mereka pun justru menjadi semakin garang.
Mereka tidak lagi memperhitungkan apapun juga. Yang
nampak di hadapan mata mereka adalah ujung-ujung
senjata yang akan menghunjam ke dalam diri mereka
sehingga dengan demikian maka mereka tidak mempunyai
pilihan lagi. Karena itu, daripada mereka harus mati
sendiri, maka mereka harus berusaha untuk membawa
lawan mereka mati bersama sebanyak-banyaknya.
Tetapi para prajurit Lemah Warah pun mempunyai
perhitungan yang mapan. Demikian kabut itu terangkat dan
lenyap bagaikan disapu angin, maka mereka pun menjadi
yakin, bahwa mereka akan dapat memenangkan
pertempuran itu. Namun dalam pada itu, seorang yang berambut putih
telah membuka pintu biliknya. Ketika ia keluar dari bilik itu
dan turun ke ruang dalam, maka seorang yang lain telah
mendekatinya sambil berjongkok, "Ampun Panembahan.
Apakah yang akan Panembahan lakukan kemudian?"
"Aku akan turun ke medan," jawab orang berambut
putih itu. "Ampun Panembahan. Apakah Panembahan turun
dengan hati yang gelap?" bertanya orang itu.
"Apa maksudmu?" bertanya orang berambut putih yang
dipanggil Panembahan itu.
"Apakah Panembahan akan menghancurkan lawan
Panembahan seperti menggilas sarang semut dengan
segumpal batu hitam?" bertanya orang itu.
"Aku telah dihinakan," jawab Panembahan itu, "ada
orang yang berhasil mengangkat kabutku."
"Bukan satu penghinaan Panembahan," jawab orang itu,
"di medan pertempuran, seseorang akan berusaha untuk
mengalahkan lawannya. Orang-orang itu sama sekali tidak
ingin menghina Panembahan. Tetapi mereka berusaha
menyelamatkan dirinya sendiri atau menyelamatkan
kelompoknya." "Jadi bagaimana menurut pendapatmu?" bertanya orang
yang disebut Panembahan itu.
"Jangan pergi Panembahan. Jika Panembahan berada di
medan, maka Panembahan akan dapat melakukan satu
kerja yang sangat mengerikan. Panembahan dapat menyapu
lawan itu dengan tanpa kekang sama sekali," minta orang
itu. "Aku tidak akan menghiraukan para prajurit Lemah
Warah. Tetapi aku ingin bertemu dengan dua orang yang
berilmu sangat tinggi," jawab orang itu.
Orang yang menunggui Panembahan yang sudah
berambut putih itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
dengan nada rendah ia berkata, "Panembahan memiliki
sesuatu yang luar biasa. Jika Panembahan turun ke medan
dan bertemu dengan prajurit Lemah Warah yang dengan
serta merta menyerang, maka Panembahan tentu akan
menghapus mereka dengan ilmu yang Panembahan miliki
tanpa dapat dilawan sama sekali."
"Kakek," berkata Panembahan itu, "kau adalah orang
yang memiliki pandangan yang sangat sempit. Kau selalu
menyangka bahwa aku adalah orang yang memiliki ilmu
tertinggi di dunia. Tetapi kau salah. Ada orang-orang yang
memiliki ilmu yang sangat tinggi kini berada di sini. Bahkan
seandainya aku membunuh semua prajurit Lemah Warah
itupun termasuk rangkuman peperangan seperti yang kau
katakan, bahwa di medan pertempuran orang selalu
berusaha untuk mengalahkan lawannya."
Orang yang menunggui Panembahan itu termangumangu
sejenak. Namun kemudian katanya, "Ampun
Panembahan. Hamba selalu dibayangi oleh kecemasan,
bahwa Panembahan akan menyapu orang-orang Lemah
Warah itu tanpa ampun."
"Dan kau melihat bahwa orang-orang padepokan inilah
yang telah disapunya tanpa ampun," jawab Panembahan
itu. "Tetapi mereka berdiri di atas alas kemampuan yang
setingkat Panembahan," jawab orang itu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika aku memiliki kelebihan, apakah itu salah" Aku
melihat orang-orang berilmu dari Lemah Warah pun telah
menyapu lawan-lawan mereka," jawab Panembahan.
"Tetapi Panembahan bukan mereka," orang itu telah
bersujud di kaki orang yang disebutnya Panembahan.
"Aku mengerti kakek," jawab orang yang disebut
Panembahan, "satu isyarat bagiku."
Orang yang bersujud itu mengangkat wajahnya.
"Jika kau melihat saat kematian itu memang akan tiba,
jangan halangi aku. Bukankah lebih baik aku mati di
peperangan dari pada mati di dalam bilik ini?" berkata
orang yang disebut Panembahan itu.
"Tidak Panembahan," orang yang bersujud itu
menjawab gagap, "tetapi setiap kematian akan menambah
beban di hati Panembahan."
Orang berambut putih yang disebut Panembahan itu
berkata perlahan-lahan, "Biarkan aku keluar. Orang-orang
padepokan ini semakin berkurang. Bukan hanya seorang
demi seorang. Tetapi tusukan demi tusukan dari sepasukan
prajurit telah membunuh semakin banyak."
Orang yang bersujud itu tidak dapat lagi menahan
Panembahan yang berambut putih itu. Selangkah demi
selangkah ia bergeser, dan kemudian menuju ke pintu barak
kecil itu. Demikian pintu itu terbuka, maka dilihatnya loronglorong
yang lengang. Yang nampak adalah barak-barak
yang membeku di sekitar barak kecilnya. Namun dari
tempatnya terdengar riuhnya pertempuran di padepokan
itu. Orang yang disebut Panembahan itupun melangkah
keluar. Dengan tergesa-gesa orang yang menemuinya itu
menyusulnya sambil menyerahkan sebilah pedang yang
masih berada di dalam wrangkanya.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, "Aku tidak
memerlukannya. Aku akan mempergunakan bagian dari
tubuhku." "Tetapi Panembahan," berkata orang itu, "pedang ini
akan dapat membatasi kematian yang mungkin
Panembahan timbulkan di peperangan. Tanpa pedang,
Panembahan tidak akan mungkin dapat membatasi diri."
Orang yang disebut Panembahan itu tidak menjawab
lagi. Orang yang membawa pedang itu masih berjalan di
belakangnya. Namun matanya telah menyorotkan keputusasaan
yang mencengkam isi dadanya.
Sejenak kemudian, maka orang yang disebut
Panembahan itu telah turun ke medan. Ketika ia muncul
dari lorong di sela-sela barak, maka dilihatnya prajurit
Lemah Warah sedang mendesak orang-orang padepokan
itu. Panembahan itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika ia
melihat seorang penghuni padepokan itu tertusuk pedang di
dadanya, maka iapun menggeretakkan giginya. Tiba-tiba
saja prajurit yang telah menusuk dengan pedang itupun
bagaikan terlempar dan jatuh di tanah dengan tubuh yang
bagaikan terbakar hangus.
"Panembahan," desis orang yang mengikutinya, "apa
yang Panembahan lakukan?"
"Aku membunuh orang yang memang harus dibunuh,"
jawab Panembahan itu, "ia telah menusuk lawannya
dengan pedang dan mati seketika."
"Panembahan harus membunuhnya dengan cara yang
sama," berkata orang itu, "inilah pedang Panembahan."
Tetapi Panembahan itu menggeleng.
Untuk beberapa saat orang yang disebut Panembahan itu
berdiri di tempatnya. Ia telah membunuh dengan pancaran
api dari matanya jika ia melihat seorang prajurit Lemah
Warah yang membunuh seorang penghuni padepokan itu
dari golongan yang manapun juga.
Orang yang mengikutinya dengan membawa pedang itu
menjadi semakin tegang. Namun ia sudah tidak dapat
mencegah lagi. Panembahan itupun telah membunuh
prajurit Lemah Warah seorang demi seorang.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara,
"Inikah agaknya orang yang tersembunyi itu?"
Suara itu tidak mengejutkan Panembahan yang berambut
putih itu. Tanpa berpaling ia menjawab, "Siapakah yang
kau cari" Aku?"
"Apakah kau orang yang telah bertempur dengan
caramu yang licik itu" Menebarkan kabut tanpa hadir di
medan?" terdengar suara itu bertanya.
"Ya," jawab Panembahan itu.
"Tetapi itu bukan sikap yang licik," jawab orang yang
membawa pedang itu, "dengan demikian Panembahan
telah menghentikan pertempuran tanpa menebarkan
kematian." Orang yang menyapa Panembahan itupun kemudian
menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, "Dengan
siapakah sebenarnya aku berhadapan?"
Panembahan itu baru memutar diri menghadap kepada
orang yang menyapanya. Dua orang yang sudah cukup
masak menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga
gawatnya. Orang yang disebut Panembahan itu menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, "Jadi kalian berdualah yang
telah berhasil melawan ilmuku?"
"Maksudmu, kabut yang menyelimuti padepokan ini?"
bertanya orang yang datang berdua itu.
"Ya Pangeran," jawab orang itu.
"Darimana kau tahu tentang aku?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Aku menerima laporan bahwa Pangeran Singa Narpada
ada di daerah ini," jawab Panembahan itu, "karena itu,
maka dengan serta merta aku menebak, bahwa di antara
kalian berdua tentu terdapat Pangeran Singa Narpada."
"Baiklah," jawab Pangeran Singa Narpada, "aku tidak
akan ingkar. Akulah Singa Narpada dan kawanku ini
adalah Mahendra." "Terima kasih Pangeran," jawab orang yang disebut
Panembahan itu, "jika Pangeran ingin mengenalku, maka
aku mempunyai seribu macam sebutan. Ada yang
memanggilku Panembahan, ada yang memanggilku guru
dan ada yang memanggilku Ki Lurah. Bahkan ada yang
menyebutku Ki Ajar."
"Kau sendiri mengenali dirimu sebagai siapa?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Itu justru tidak penting," jawab Panembahan itu, "bagi
orang lain, aku adalah sebagaimana mereka menyebutnya.
Sedangkan aku tidak mempunyai persoalan dengan diriku
sendiri." "Kau tidak jujur," jawab Pangeran Singa Narpada,
"justru kau merasa ketakutan melihat pada dirimu sendiri
yang sebenarnya, sehingga kau lebih senang menjadi
seseorang bagi orang lain, tetapi tidak dikenal oleh dirinya
sendiri. Ki Sanak, kau tidak akan dapat melarikan diri dari
pengenalanmu atas dirimu. Atau barangkali pernah terjadi
satu peristiwa pada dirimu yang ingin kau lupakan?"
"Sudahlah Pangeran," berkata orang itu, "jangan
mempersoalkan diriku saja. Sekarang kita berada di medan.
Apakah kita akan bertempur?"
"Kami datang untuk menghancurkan padepokan ini,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran," berkata orang berpedang itu, "kenapa
Pangeran mempergunakan cara ini untuk menghentikan
satu kegiatan yang dilakukan oleh padepokan ini" Apakah
tidak ada cara yang lebih baik tanpa saling membunuh?"
"Akuwu Tatas Lintang sudah menawarkan penyelesaian
cara itu," jawab Pangeran Singa Narpada.
"Akuwu hanya menawarkan penyerahan," jawab orang
itu. "Itu adalah satu-satunya kemungkinan yang dapat
dilakukannya," jawab Pangeran Singa Narpada,
"seharusnya isi padepokan ini harus menyerah, karena
Akuwu adalah penguasa tunggal di daerah ini. Baru
kemudian Akuwu akan menentukan langkah-langkah
berikutnya." "Itu tidak adil," jawab orang yang membawa pedang itu.
"Sudahlah," berkata orang yang disebut Panembahan,
"sekarang apa yang kalian kehendaki?"
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "aku
menghendaki seisi padepokan ini menyerah. Kami akan
memilih di antara kalian, siapakah yang bersalah dan
siapakah yang tidak. Siapakah di antara kalian termasuk
perguruan orang-orang bertongkat dan siapa yang tidak."
Orang yang disebut Panembahan itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, "Caramu tidak menarik. Karena
itu, biarlah aku menentang. Aku tidak mau menyerah."
"Jika demikian, maka kita akan bertempur," berkata
Pangeran Singa Narpada. "Baiklah Pangeran," jawab orang itu, "tetapi jika aku
membunuh, bukan salahku. Apalagi yang aku bunuh
adalah orang yang memiliki landasan ilmu yang tinggi,
sehingga tidak ada orang yang dapat menuduhku bertindak
sewenang-wenang." "Ya. Tindak sewenang-wenang sebagaimana yang baru
saja kau lakukan. Membunuh prajurit yang tidak berdaya
menghadapi ilmumu yang nggegirisi itu, yang tidak
terlawan oleh seorang yang berilmu tinggi sekalipun."
"Aku terpaksa membunuh mereka yang telah
membunuh lebih dahulu di hadapan mataku," berkata
Panembahan itu. Lalu, "Tetapi sekarang aku akan
membunuh orang yang memang pantas aku bunuh."
"Apakah yang sebenarnya terjadi antara Panembahan
dan Pangeran Singa Narpada" Apakah persoalannya
sehingga kalian harus saling membunuh?" bertanya orang
yang membawa pedang itu, "apakah tidak dapat
dibicarakan dengan baik dan wajar?"
"Mereka telah menginjak harga diriku, harga diri
padepokan ini dan harga diri seisi Tanah Kediri," berkata
Panembahan itu. "Panembahan berpegangan teguh pada sikap itu?"
bertanya orang yang membawa pedang itu.
"Ya," jawab orang yang disebut Panembahan.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Aku mengerti sekarang. Setiap kali aku
berhadapan dengan mereka yang tersinggung karena Kediri
berada dalam satu keluarga dengan Singasari."
"Singasari sekarang sudah tidak berdaya sepeninggal Sri
Rajasa," berkata Panembahan itu, "dan ternyata yang
menjadi tumpuan harapan di Kediri justru masih tertidur
nyenyak tanpa bangkit kembali untuk mengetrapkan harga
diri seorang kesatria sejati."
"Kau tahu jawabnya," berkata Pangeran Singa Narpada,
"apakah aku harus menjelaskan?"
Orang yang disebut Panembahan itu mengerutkan
keningnya. Dengan nada datar ia berkata, "Pangeran.
Bagaimana mungkin aku tahu jawabnya. Aku menyaksikan
dengan kecewa. Aku menunggu hingga kesabaranku tidak
tersisa lagi. Dan Pangeran mengatakan bahwa aku tahu
jawabnya." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Semua orang yang menentang kebijaksanaan Sri
Baginda berdiri pada alasan yang sama seperti Ki Sanak
katakan. Aku yakin, bahwa Ki Sanak tahu jawaban dari
persoalan yang Ki Sanak kemukakan. Soalnya Ki Sanak
setuju atau tidak setuju?"
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Jika
demikian maka persoalan di antara kita sudah jelas.
Sementara itu, para prajurit Lemah Warah masih saja
membunuhi orang-orang padepokan ini. Karena itu, maka
sebaiknya kita pun segera menyelesaikan persoalan kita dan
kemudian segalanya akan menjadi jelas. Apakah isi
padepokan ini yang akan hancur di sini, atau para prajurit
Lemah Warah yang akan tumpas di padepokan ini."
Pangeran Singa Narpada pun segera mempersiapkan
diri. Sedangkan Mahendra pun telah mengambil tempat
pula. Ia sadar bahwa orang yang disebut Panembahan itu
mampu menyerang dengan sorot matanya dan membakar
lawannya. Ilmu yang juga dimiliki oleh Pangeran Singa
Narpada dengan cara yang sedikit berbeda. Sedangkan
Mahendra menebarkan ilmunya dengan cara yang lain lagi.
Sementara itu, maka orang yang membawa pedang
itupun sekali lagi mencoba memberikan pedangnya kepada
orang yang disebutnya Panembahan. "Panembahan. Inilah
pedang Panembahan." "Terima kasih," jawab Panembahan itu, "untuk
melawan kedua orang ini aku justru tidak memerlukan
pedang itu." "Panembahan harus membatasi diri dengan pedang ini
agar Panembahan tidak kehilangan kendali," minta orang
itu. Orang yang disebut Panembahan itu termangu-mangu.
Namun iapun kemudian menerima pedang itu dan
menariknya dari wrangkanya. Namun kemudian dengan
sorot matanya, maka orang yang disebut Panembahan itu
telah menghancurkan pedangnya sendiri. Dengan tatapan
matanya yang memancarkan ilmunya, maka Panembahan
itu telah meluluhkan daun pedangnya yang terbuat dari besi
baja pilihan itu. "Panembahan," orang yang menyerahkan pedang itu
menjerit dan kemudian jatuh berlutut di hadapan orang
yang disebut Panembahan itu.
"Panembahan telah menghancurkan kendali yang selama
ini mampu menahan gejolak api di dalam diri Panembahan
Tanpa pedang itu, maka Panembahan adalah orang yang
paling berbahaya di muka bumi. Panembahan akan selalu
mempergunakan ilmu Panembahan yang tidak terlawan itu.
Apalagi di dalam perang brubuh. Maka yang akan
Panembahan lakukan akan lebih kejam daripada membakar
sarang semut," berkata orang yang membawa pedang itu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Minggirlah," berkata orang yang disebut Panembahan
itu, "segalanya akan berakhir. Dan kau tidak akan selalu
cemas lagi, bahwa aku akan menghancurkan sasaran
kemarahanku tanpa pertimbangan perasaan."
"Apa maksud Panembahan?" bertanya orang itu.
"Menyingkirlah," berkata orang yang disebut
Panembahan itu, "aku akan menghadapi dua orang yang
memiliki ilmu yang tidak ada duanya di Kediri. Karena itu,
maka jangan ganggu aku."
Orang itu memandangi wajah Panembahan dengan
tatapan mata yang buram. Namun kemudian katanya,
"Panembahan. Panembahan dapat berbuat apa saja."
"Tidak di hadapan kedua orang ini," sahut Panembahan
itu, "karena itu minggirlah."
Orang itu tidak dapat berbuat lain. Dengan ragu-ragu iapun
kemudian bergeser mundur.
"Kita akan berhadapan Pangeran," berkata orang itu,
"aku tahu Pangeran memiliki ilmu yang tinggi. Namun kita
akan menguji, siapakah di antara kita yang akan
memenangkan pertempuran ini. Aku sama sekali tidak
menuntut perang tanding di dalam medan pertempuran.
Karena itu, maka aku siap menghadapi kalian berdua."
Mahendra memang telah mengambil jarak dari Pangeran
Singa Narpada. Keduanya telah siap menghadapi
kemampuan ilmu yang sangat tinggi dari orang yang
disebut Panembahan itu. Sementara itu pertempuran masih saja berlangsung di
seluruh padepokan, terutama di kebun-kebun, di halaman
samping dan di tempat-tempat yang lapang. Kaki-kaki para
prajurit Lemah Warah dan para penghuni padepokan itu
sendiri telah menginjak-injak tanaman yang tumbuh di
kebun padepokan itu, yang biasanya dipelihara dengan
tekun agar pada saatnya dapat menghasilkannya buah yang
baik. Tetapi pada saat perang terjadi di padepokan itu,
maka tanaman-tanaman itupun telah hancur terinjak-injak
kaki. Namun keseimbangan pertempuran masih belum
berubah. Pasukan Lemah Warah masih tetap berhasil
mendesak isi padepokan itu di mana-mana. Meskipun
orang-orang berilmu tinggi dari padepokan itu telah
berjuang dengan sekuat tenaga. Namun mereka masih
dibatasi kemampuannya oleh orang-orang yang berilmu
tinggi dari Lemah Warah. Sementara itu, orang yang disebut Panembahan itupun
ternyata tidak lagi mampu melindungi padepokan itu
dengan kabutnya. Dua orang dari Kediri dan Singasari
berhasil membatasi kemampuannya, sehingga kabut yang
dibangunnya telah terangkat dan tidak berhasil
menghentikan pertempuran sebagaimana pernah terjadi
sebelumnya. Bahkan orang yang disebut Panembahan itu,
telah berhadapan langsung dengan dua orang yang juga
berilmu tinggi, yang telah mampu mengangkat kabut
tebalnya. Untuk beberapa saat orang yang disebut Panembahan itu
berdiri tegak menghadapi dua lawannya yang berdiri pada
jarak yang semakin panjang. Mahendra sadar, bahwa
mereka harus mampu membelah perhatian orang yang
disebutnya Panembahan itu.
Untuk beberapa saat, kedua belah pihak masih belum
mulai berbuat sesuatu. Namun kedua belah pihak telah
bersiap dalam kesiagaan tertinggi.
Ketika terdengar sorak gemuruh di medan pertempuran,
maka orang yang disebut Panembahan itupun menggeram.
Kemudian katanya, "Aku tidak dapat membiarkan orangorang
Lemah Warah membantai orang-orangku. Karena
itu, maaf jika kalian cepat-cepat aku selesaikan."
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra tidak
menjawab. Tetapi keduanya benar-benar telah bersiap.
Sebenarnyalah orang yang disebut Panembahan itu tidak
menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja ia berpaling ke
arah Mahendra yang dianggapnya lebih mudah
dihancurkan karena ia tidak menunjukkan sikap apapun
sebagaimana dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada. Baru
kemudian Panembahan itu akan menghadapi Pangeran
Singa Narpada sepenuhnya, seorang lawan seorang.
Tetapi Mahendra cukup tanggap. Di luar dugaan orang
yang disebut Panembahan itu, maka ketika cahaya yang
memancarkan ilmunya meluncur dari matanya, Mahendra
dengan cepat dan tangkas telah meloncat ke samping,
sehingga serangan itu telah menghantam tiang barak di
belakangnya. Terdengar suara gemeretak. Tiang itu telah patah
berderak dan bahkan nampak menjadi hangus bagaikan
terbakar. Orang yang disebut Panembahan itu terkejut melihat
cara Mahendra menghindar. Ternyata orang itu memiliki
kemampuan jauh lebih tinggi dari yang disangkanya,
sehingga ia tidak dapat dengan serta merta
menghancurkannya dengan ilmunya yang memancar lewat
pandangan matanya. Tetapi orang itu tidak mau melepaskan Mahendra. Ia
akan menyerangnya dengan serangan berikutnya.
Namun orang yang disebut Panembahan itu justru telah
terkejut pula. Ia melihat gerak Pangeran Singa Narpada.
Ketika tangannya terjulur ke depan dengan telapak
tangannya menghadap ke arahnya, maka Panembahan
itupun menyadari, bahwa Pangeran itu mampu juga
melontarkan serangan sebagaimana dilakukan, lewat
telapak tangannya. Karena itu, maka dengan cepat pula Panembahan itu
harus meloncat menghindar. Serangan Pangeran Singa
Narpada ternyata meluncur menyambarnya. Namun ketika
Panembahan itu menghindar dan tidak mengenai
sasarannya, maka serangan itu telah terbang dan
menghantam sebatang pohon yang tumbuh di sela-sela
barak. Terdengar suara gemeretak ranting berpatahan dan
daun pun menjadi hangus pula.
"Bukan main," geram orang yang disebut Panembahan
itu, "inilah agaknya tingkat kemampuan Pangeran Singa
Narpada. Agaknya kawannya itupun memiliki kemampuan
serupa." Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Tetapi ia
berdiri tegak dengan kaki renggang, sementara Mahendra
pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "kami
bersiap melakukan sebagaimana kau lakukan. Cara apapun
yang kau kehendaki, maka aku tidak pernah merasa gentar.
Adalah tugasku untuk mengatasi segala kemelut di Kediri,
termasuk kemelut yang disebabkan oleh orang-orang
padepokan ini." "Bagus Pangeran," berkata orang yang disebut
Panembahan itu, "ternyata pertempuran pada jarak panjang
tidak akan segera mengakhiri pertempuran. Kita akan saling
menyerang dan menghindar. Bahkan barak-barak itulah
yang mungkin akan terbakar dan pepohonan akan menjadi
kering." "Lalu apa maksud Ki Sanak?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Kita bertempur dengan kemampuan ilmu pada wadag
kita," jawab orang yang disebut Panembahan itu.
"Bagus," berkata Pangeran Singa Narpada. "Apakah
kau akan memilih aku atau saudaraku ini untuk
melawanmu?" "Sudah aku katakan," jawab orang itu, "kalian harus
bertempur berdua agar pekerjaanku cepat selesai."
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "aku tidak
merasa tersinggung karenanya, karena aku juga berharap
bahwa pertempuran ini cepat selesai sebelum semua isi
padepokan ini terbunuh."
"Jangan terlalu sombong Pangeran," berkata orang itu,
"jika Pangeran mampu melepaskan serangan sebagaimana
aku lakukan dengan cara yang berbeda, bukan berarti
bahwa kemampuan Pangeran dapat mengimbangi
kemampuanku. Bahkan kalian berdua."
"Marilah kita lihat," berkata Pangeran Singa Narpada
yang kemudian berpaling ke arah Mahendra, "kita akan
bertempur dengan mempergunakan wadag kita."
Mahendra tidak menjawab. Namun iapun sadar, bahwa
orang yang disebut Panembahan itu tentu mempunyai alas
kekuatan ilmu yang luar biasa.
Namun Mahendra pun bukan kanak-kanak lagi di dalam
dunia olah kanuragan. Ia memiliki alas ilmu yang sulit
dicari bandingnya, bukan saja mampu ditebarkan dalam
bentuknya yang keras dan yang lunak, namun ilmunya
mampu juga dibenturkannya langsung ke sasaran.
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra telah menerima tantangan orang yang disebut
Panembahan itu. Merekapun segera bersiap dan memasuki
pertempuran yang mempergunakan alas wadag mereka
yang dilambari dengan ilmu yang sangat tinggi.
Panembahan itu sama sekali memang tidak memerlukan
sebilah pedang untuk menghadapi Pangeran Singa Narpada
dan Mahendra berbareng. Ia yakin bahwa wadagnya yang
telah ditempa dan menjalani laku yang berat akan dapat
mengatasi kemampuan kedua orang lawannya.
Beberapa saat kemudian, maka Mahendra dan Pangeran
Singa Narpada pun telah bergeser mendekati lawannya.
Namun bagaimanapun juga keduanya harus berhati-hati,
jika orang yang disebut Panembahan itu menjadi curang.
Tetapi Panembahan itu benar-benar ingin bertempur
dengan mempergunakan wadagnya dalam lambaran
ilmunya. Karena itu, maka ia memang tidak melepaskan
serangan dengan kemampuan tatapan matanya. Karena ia
menganggap bahwa bertempur dalam jarak jauh tidak akan
segera dapat menentukan siapa yang menang dan siapa
yang kalah, karena lawan-lawannya pun memiliki
kemampuan serupa meskipun dengan cara yang berbeda.
Beberapa saat kedua belah pihak mempersiapkan diri.
Mereka bergeser semakin lama menjadi semakin dekat.
"Bagus," berkata Panembahan itu, "ternyata kalian
benar-benar kesatria Kediri yang tangguh tanggon,
meskipun kalian berdiri di sisi yang lemah."
"Maaf Ki Sanak," sahut Pangeran Singa Narpada, "sisi
yang kau maksudkan adalah sisi sebagaimana kau
bayangkan. Kau melihat kebenaran dari sudut hatimu yang
buram. Karena itu maka sikap yang lahir dari ungkapan
penglihatanmu itupun menjadi buram."
Orang yang disebut Panembahan itu tidak menjawab.
Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang. Ayunan
tangannya bagaikan ayunan bandul timah yang berat dan
didorong oleh tenaga yang tidak terkira besarnya, langsung
mengarah ke dada Pangeran Singa Narpada.
Namun Pangeran Singa Narpada yang telah bersiap
sepenuhnya itu tidak membiarkan dadanya dihancurkan
oleh serangan orang yang disebut Panembahan itu. Karena
itu. maka iapun telah bergeser selangkah menghindarinya.
Ternyata Pangeran Singa Narpada mampu bergerak
secepat ayunan tangan orang yang disebut Panembahan itu,
sehingga karena itu, maka serangan itu tidak mengenainya.
Namun orang yang disebut Panembahan itu telah
meloncat memburunya. Sebelah kakinya melangkah jauh ke
depan sementara tangannya terjulur lurus dan sekali lagi
mengarah dada. Pangeran Singa Narpada melihat pula gerak orang yang
disebut Panembahan itu. Karena itu, maka iapun telah
meloncat ke samping, demikian cepatnya, sehingga tangan
lawannya itu tidak mengenainya.
Tetapi ternyata bahwa tangan Panembahan itu telah
menghantam dinding barak di belakang Pangeran Singa
Narpada yang bergeser. Suaranya berderak dan dinding
bambu itupun telah koyak dan roboh pula ke bagian dalam.
Beberapa buah tiang bambu telah ikut roboh pula menimpa
perabot yang ada di dalam barak.
Pangeran Singa Narpada menjadi berdebar-debar.
Ternyata kekuatan tangannya tidak ubahnya sebagaimana
sorot matanya yang nggegirisi. Karena itu, maka ia harus
sangat berhati-hati menghadapinya.
Sementara itu Mahendra masih belum berbuat sesuatu.
Namun dengan demikian ia telah melihat sebagian dari
kemampuan orang yang disebut Panembahan itu pada
tumpuan wadagnya. Karena itu, maka Mahendra harus benar-benar
mempersiapkan diri menghadapinya.
Namun Mahendra memang merasa canggung bahwa ia
harus bertempur berpasangan dengan Pangeran Singa
Narpada. Ia tidak terbiasa melakukannya. Namun karena
orang yang disebut Panembahan itu menghendakinya dan
nampaknya pertempuran di padepokan itupun telah
berlangsung dalam perang brubuh, maka tidak ada salahnya
jika ia membantu Pangeran Singa Narpada. Tentu saja
dengan satu usaha untuk menangkap orang yang disebut
Panembahan itu hidup-hidup. Meskipun Mahendra sadar,
bahwa kemungkinan yang lebih buruk akan dapat saja
terjadi karena seorang yang memiliki kemampuan ilmu
sebagaimana orang yang disebut Panembahan itu tentu
tidak akan membiarkan dirinya tertangkap hidup.
Dalam pada itu, selagi Mahendra merenung, tiba-tiba
saja ia melihat Pangeran Singa Narpada mulai menyerang,
dengan sigap Pangeran Singa Narpada bergeser selangkah.
Namun kemudian dengan berputar pada sebelah kakinya,
maka kakinya yang lain telah terayun mendatar. Cepat dan
keras sekali, mengarah ke lambung orang yang disebut
Panembahan itu. Orang itupun dengan tangkas pula mengelak. Bahkan
demikian mengejutkan, tiba-tiba saja orang yang disebut
Panembahan itu tidak saja mengelak, tetapi ia telah
menyerang pula Mahendra. Kakinya telah terangkat
menyamping. Serangan kaki datar meluncur dengan
derasnya. Tetapi Mahendra pun cukup cepat menanggapi keadaan,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

iapun sudah siap menghadapi keadaan yang demikian.
Karena itu, maka iapun telah meloncat ke samping,
sehingga serangan lawannya itu meluncur tanpa
menyentuhnya. Bahkan demikian kaki lawannya terjulur di
sebelahnya. Mahendra telah merendahkan dirinya dan
dengan sapuan yang cepat berusaha menjatuhkan lawannya
dengan menyerang kaki lawannya yang sebelah.
Tetapi ternyata orang yang disebut Panembahan itu
cukup tangkas, sapuan kaki Mahendra tidak mengenai
sasarannya, karena sambil menggeliat, maka orang yang
disebut Panembahan itu telah meloncat pula, justru dengan
langkah panjang, karena ia harus juga memperhatikan
Pangeran Singa Narpada. Namun agaknya Pangeran Singa Narpada merasa segan
pula sebagaimana Mahendra. Ia sama sekali tidak
mengganggu ketika orang yang disebut Panembahan itu
tengah bertempur melawan Mahendra.
Sejenak kemudian orang yang disebut Panembahan itu
telah berdiri tegak beberapa langkah dari Mahendra dan
Pangeran Singa Narpada, sementara kedua orang lawannya
itupun berdiri saja termangu-mangu.
Untuk beberapa saat mereka saling memandang. Namun
orang yang disebut Panembahan itupun menyadari, bahwa
kedua lawannya agaknya masih merasa segan untuk
bertempur berpasangan melawannya. Sehingga karena itu
agaknya keduanya telah saling menunggu dan membiarkan
masing-masing bertempur sendiri.
Dalam pada itu Pangeran Singa Narpada menyadari,
bahwa agaknya ia telah berhadapan dengan orang yang
memegang kemudi dari seluruh gerakan dari isi padepokan
itu dari manapun mereka berasal. Apakah mereka orangorang
yang sejak semula penghuni padepokan ini, yang
disebut orang-orang dari perguruan Suriantal dan
mempunyai ciri senjata yang khusus, sebuah tongkat, atau
orang-orang dari perguruan lain yang berdatangan
kemudian. Karena itu, maka bagi Pangeran Singa Narpada orang itu
tentu sangat berharga. Namun Pangeran Singa Narpada
pun menyadari bahwa orang itu berilmu sangat tinggi,
sehingga mungkin justru bukan orang itulah yang
ditangkapnya hidup-hidup, tetapi justru Pangeran Singa
Narpada sendiri. --ooo0dw0ooo- Jilid 037 TETAPI, SEBAGAI seorang prajurit, seandainya
Pangeran Singa Narpada harus mati di medan perang pun
ia tidak akan menyesal. Kemungkinan yang demikian
sudah diperhitungkannya sejak ia menyatakan diri sebagai
seorang prajurit. Apalagi seorang Senopati.
Karena itu, maka ia pun telah bertekad untuk
menangkap orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi itu
hidup-hidup, meskipun nampaknya hal itu sangat mustahil.
Di luar sadarnya, dipandanginya Mahendra yang juga
sudah bersiap. Meskipun keduanya tidak pernah
membicarakannya sebelumnya, namun bagi Mahendra,
apabila mereka mampu menangkap orang yang disebut
Panembahan itu hidup-hidup, maka banyak hal yang akan
dapat diketahui dan banyak teka-teki yang dapat ditebak.
Dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan itu pun
memandangi kedua orang lawannya berganti-ganti. Wajahwajah
yang dalam dan memancarkan kepribadian yang
mantap. Namun orang yang disebut Panembahan itu sama sekali
tidak menjadi gentar. Sejenak ia mengendapkan gejolak
perasaannya, namun sejenak kemudian ia telah siap untuk
bertempur lagi. Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian bergerak
mendekat. Sementara orang yang disebut Panembahan itu
pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan.
Bahkan seolah-olah ia memang menunggu serangan
Pangeran Singa Narpada. Mahendra pun berdiri termangu-mangu. Tetapi ia sama
sekali tidak bergerak. Dibiarkannya Pangeran Singa
Narpada bertempur. Dalam keadaan yang khusus sajalah
Mahendra ingin bergerak. Mungkin pada saat yang paling
tepat untuk mendesak dan mungkin menangkap orang yang
disebut Panembahan itu hidup-hidup.
Sebenarnyalah sejenak kemudian, maka Pangeran Singa
Narpada telah melenting menyerang. Serangannya datang
demikian cepatnya sehingga rasa-rasanya tidak akan
mungkin dapat dihindari. Tetapi ternyata orang yang disebut Panembahan itu
mampu menghindari serangan itu. Ia pun bergerak secepat
gerak Pangeran Singa Narpada, sehingga serangan
Pangeran Singa Narpada tidak menyentuh apapun juga.
Namun dengan tangkas orang yang disebut Panembahan
itulah yang kemudian menyerang. Tidak kalah cepatnya.
Angin yang terayun bersamaan dengan ayunan kakinya
menyambar tubuh Pangeran Singa Narpada meskipun
serangan kaki itu sendiri tidak mengenainya, karena
Pangeran Singa Narpada meskipun sempat bergeser.
Mahendra masih berdiri termangu-mangu. Meskipun ia
sudah bersiap sepenuhnya, namun ia tidak segera berbuat
sesuatu. Namun di luar sadarnya, ia bergeser jika
pertempuran itu telah bergeser pula.
Sejenak kemudian pertempuran antara Pangeran Singa
Narpada dan orang yang disebut Panembahan itu semakin
menjadi cepat. Keduanya telah meningkatkan kemampuan
mereka, karena masing-masing ingin lebih cepat
menyelesaikan pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, dalam kesempatan yang tidak
terduga, Panembahan itu telah meloncat menyerang
Mahendra yang berdiri termangu-mangu. Hampir saja
ayunan tangan orang yang disebut Panembahan itu
menyentuh kening Mahendra. Namun dengan tangkas
Mahendra telah bergerak. Sambil merendahkan diri
Mahendra bergeser selangkah, sehingga dengan demikian
maka serangan itu tidak menyentuhnya. Namun angin yang
bergetar bersama dengan ayunan tangan itu telah
menampar wajah Mahendra, sehingga rasa-rasanya
nafasnya telah menjadi sesak.
"Bukan main," geram Mahendra.
Ia tidak sempat mengagumi serangan itu terlalu lama.
Sekejap kemudian serangan berikutnya pun telah datang
pula. Seperti serangan yang terdahulu, maka angin yang
keras telah menyambar tubuhnya meskipun serangan itu
sendiri tidak mengenainya.
Mahendra tiba-tiba saja menjadi curiga pada angin yang
menerpa tubuhnya itu. Tentu bukan angin biasa yang
didorong oleh ayunan tubuhnya betapapun kuatnya.
Sebenarnyalah ketika serangan berikutnya datang, maka
angin itu rasa-rasanya telah menjadi hangat.
"Inilah tebakan dari teka-teki itu," berkata Mahendra di
dalam dirinya. Angin yang dengan kuat mengikuti ayunan
serangannya itu tentu merupakan bagian dari ilmunya yang
luar biasa. Namun Mahendra tidak akan menghindar dari arena. Iapun
kemudian telah menyerang lawannya dengan
dahsyatnya. Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian berdiri
tegak memperhatikan kedua orang yang sedang bertempur
itu. Dengan ketajaman pengamatannya, maka Pangeran
Singa Narpada pun kemudian dapat mengetahui pula,
bahwa angin yang menyambar berbareng dengan setiap
serangan itu bukan sekedar karena besarnya tenaga ayunan
serangan Panembahan itu, tetapi sebenarnyalah bahwa
angin itu merupakan bagian dari ilmunya yang luar biasa.
Mahendra yang kemudian bertempur dengan
Panembahan itu semakin merasakan kekuatan ilmu
lawannya. Angin itu pun semakin lama terasa semakin
panas. Karena itu, maka Mahendra pun harus berbuat sesuatu.
Ia tidak dapat sekedar bertempur dengan tenaga
cadangannya. Sekedar melawan benturan kekuatan tenaga
cadangan lawan. Atau sekedar meloncat dengan cepat
mengimbangi kecepatan gerak orang yang disebut
Panembahan itu. Tetapi ia harus mampu melawan
kekuatan ilmu Panembahan itu yang mulai dipancarkan
pada setiap serangan wadagnya.
Mahendra adalah seorang yang memiliki ilmu yang
masak pula. Karena itu, maka untuk melawan ilmu
lawannya yang menyerap tenaga api, maka ia tidak
membenturnya dengan kekuatan yang memiliki watak yang
sama. Tetapi ia mulai membangunkan kekuatan ilmunya
dalam ujudnya yang sebaliknya. Mahendra tidak
membentur kekuatan lawan dan kemudian saling menolak
dan beradu kekuatan. Tetapi Mahendra telah menahan
serangan lawannya dengan kekuatannya yang lunak dan
justru menyerap kekuatan ilmu lawannya, menggulungnya
dan kemudian menghapuskannya dengan kekuatan yang
berlawanan itu. Demikianlah, maka dalam benturan ilmu, Mahendra
telah melepaskan ilmunya dalam ujudnya yang lunak.
Dengan ilmu itu, maka Mahendra telah melepaskan satu
kekuatan yang mempunyai pengaruh yang sebaliknya.
Getaran yang terpancar dari dalam dirinya telah
melepaskan udara dingin yang bagaikan bergulung-gulung
di sekitarnya. Memang terjadi benturan dua kekuatan yang saling
berlawanan. Ketika orang yang disebut Panembahan itu
meloncat menyerang Mahendra dengan hembusan udara
panas, maka rasa-rasanya udara itu telah menyusup ke
dalam satu gulungan kekuatan yang menghisap panas itu
dan justru telah membekukannya.
Orang yang disebut Panembahan itu terkejut. Namun ia
mulai merasa udara dingin itu bukan saja telah menghisap
dan menawarkan serangan kekuatan ilmunya yang
disadapnya dari kekuatan api, namun udara dingin itu telah
mempengaruhinya pula. "Gila," geram orang disebut Panembahan itu.
Namun dengan demikian ia semakin terperosok ke
dalam kekuatan ilmu Mahendra yang membuatnya seakanakan
menjadi kedinginan. Namun orang disebut
Panembahan itu tidak mau dikuasai oleh kekuatan ilmu
lawannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah
membentak dengan menghentakkan kekuatan ilmunya.
Udara di sekitarnya telah menggelepar. Ternyata
kekuatan yang disadapnya dari kekuatan api bagaikan
menghentak pula dan membakar menjilat ke sekitarnya.
Mahendra yang tiba-tiba merasa terjilat api telah
meloncat surut. Tetapi api itu tidak dapat membakarnya.
Kekuatan ilmunya benar-benar dahsyat pula, sehingga
panasnya api yang bagaikan menjilat ke sekitarnya itu telah
tertahan, kemudian justru terhisap dan menjadi tawar sama
sekali. Namun bukan berarti bahwa serangan berikutnya tidak
dapat menerpanya, dan barangkali justru semakin dahsyat.
Karena itu, maka Mahendra pun telah bersiap
sepenuhnya. Kekuatan ilmunya masih saja bergulunggulung
mengitarinya sehingga kekuatan api yang betapapun
panasnya akan dapat ditawarkannya.
Sementara itu, agaknya Panembahan itu mempunyai
perhitungan yang lain. Agaknya ia merasa bahwa ia tidak
akan dengan mudah dan cepat mengalahkan lawannya itu.
Karena itu. maka tiba-tiba ia telah berpaling lagi kepada
Pangeran Singa Narpada. Justru pada saat Pangeran Singa
Narpada sedang memperhatikan pertempuran itu dengan
saksama. Pada saat yang demikian, maka tiba-tiba saja orangorang
disebut Panembahan itu telah melenting menyerang
Pangeran Singa Narpada sambil berteriak, "Mari Pangeran.
Kenapa kau diam saja. Sudah aku katakan, kalian dapat
bertempur berpasangan."
Pangeran Singa Narpada tidak menjawab. Namun
dengan tangkas ia harus menghindari serangan itu. Namun
sementara itu, udara panas telah menyambarnya, sehingga
terasa seakan-akan kulitnya akan terkelupas.
Namun Pangeran Singa Narpada telah meningkatkan
daya tahannya sampai ke puncak, sehingga meskipun
tubuhnya bagaikan terbakar, namun ia masih mampu
menahankannya. Untuk menghadapi lawannya, maka Pangeran Singa
Narpada pun harus mempergunakan ilmunya pula. Ia tidak
akan dapat membiarkan dirinya dibakar oleh panasnya ilmu
lawannya. Karena itulah maka betapapun panasnya sentuhan api
dari ilmu yang terpancar dari orang yang disebut
Panembahan itu, namun Pangeran Singa Narpada telah
berusaha untuk membenturkan kekuatan ilmunya yang
sangat besar. Panembahan itu memang merasa heran melihat cara
Pangeran Singa Narpada bertempur. Ia sama sekali tidak
berusaha menghindari serangan-serangannya. Bahkan
Pangeran Singa Narpada selalu berusaha untuk
membenturkan kemampuannya meskipun tubuhnya serasa
bagaikan terkelupas oleh panasnya ilmu lawannya.
Semula Penembahan itu tidak merasakan sesuatu pada
dirinya selain benturan-benturan. Kadang-kadang memang
terasa kulitnya menjadi sakit dalam benturan itu. Namun
kemampuan daya tahannya mampu mengatasinya,
sehingga orang yang disebut Panembahan itu tidak
menghiraukannya. Menurut perhitungannya Pangeran Singa Narpada
memang berusaha untuk menyakitinya dengan seranganserangannya
dan benturan-benturan yang sengaja
dilakukan. Namun sebenarnyalah bahwa Pangeran Singa Narpada
memang menjadi semakin garang. Langkah-langkahnya
yang panjang telah memburu ke mana saja lawannya
menghindar. Bahkan jika lawannyalah yang menyerang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibarengi dengan arus angin panas. Pangeran Singa
Narpada sama sekali tidak berusaha untuk
mengelakkannya. Orang yang disebut Panembahan itu memang menjadi
heran. Setiap kali ia melihat Pangeran Singa Narpada
menyeringai menahan sakit. Tetapi serangan-serangannya
yang cepat dan garang, memang dapat juga membuatnya
sakit, meskipun dengan cepat orang yang disebut
Panembahan itu mampu mengatasinya.
Namun tiba-tiba saja sesuatu telah terjadi didalam
dirinya. Panembahan yang memiliki kemampuan yang
sangat tinggi itu, dengan cepat menyadari, ilmu lawannya
yang bernama Pangeran Singa Narpada itu ternyata ilmu
yang nggegirisi. Karena itu maka tiba-tiba saja orang yang disebut
Panembahan itu meloncat untuk mengambil jarak.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra tidak
memburunya. Mereka berdiri beberapa langkah dari orang
itu sambil menunggu, apa yang akan dilakukannya.
"Bukan main," berkata orang yang disebut Panembahan
itu, "kalian berdua memang orang-orang luar biasa.
Seorang diantara kalian mampu menjadikan udara ini beku
sehingga arus panasku sama sekali tidak berpengaruh
atasnya. Sedangkan yang seorang memiliki ilmu hisap yang
dahsyat sekali. Meskipun kesannya memang agak licik,
tetapi akibatnya bagi lawannya akan terasa menentukan.
Untunglah aku cepat menyadari. Jika aku terlambat maka
aku akan menjadi seonggok tubuh yang tidak berdaya di
pinggir arena ini. Bahkan kemudian menjadi tontonan para
prajurit Lemah Warah dan orang-orangku sendiri di
padepokan ini. Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dengan
tajamnya. Dengan nada tinggi ia berkata, "Apapun yang
aku katakan Panembahan. Tetapi kami sudah siap
bertempur dengan cara apapun juga."
"Aku mengerti bahwa kalian memang sudah siap. Tetapi
kalian akan kecewa jika kalian menganggap bahwa
pertempuran sudah selesai."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun kemudian katanya, "Mungkin pertempuran
diantara kita belum selesai."
Orang yang disebut Panembahan itu mengerutkan
keningnya. Lalu dengan nada rendah ia bertanya, "Apa
maksudmu?" "Wajar saja. Pertempuran diantara kita memang belum
selesai. Karena itu kami masih selalu siap. Jika kami
menganggap bahwa pertempuran sudah selesai, maka kami
tidak perlu mempersiapkan diri," jawab Pangeran Singa
Narpada, "tetapi mungkin yang belum selesai adalah
pertempuran diantara kita saja. Sementara itu pertempuran
di seputar padepokan ini sudah dapat diselesaikan oleh para
prajurit Lemah Warah."
Orang yang disebut Panembahan itu termangu-mangu
sejenak. Namun yang dikatakan oleh Pangeran Singa
Narpada itu memang mungkin saja terjadi. Panembahan itu
sadar, bahwa kekuatan Lemah Warah memang lebih tinggi
dari kekuatan padepokan itu. Sementara para pemimpin
dari Lemah Warah pun memiliki ilmu yang lebih mapan.
Apalagi Akuwu Lemah Warah itu sendiri.
Tetapi orang yang disebut Panembahan itu memang
tidak dapat berbuat terlalu banyak, justru karena kehadiran
kedua orang yang berilmu tinggi itu.
Untuk beberapa saat orang yang disebut Panembahan itu
tercenung. Namun tiba-tiba hatinya telah bergejolak, ia
melihat betapa orang-orang padepokan itu mengalami
kesulitan dan bahkan kehancuran.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain yang dapat
memberikan pertimbangan dari peristiwa itu selain
menghancurkan kedua orang itu. Namun orang yang
disebut Panembahan itu sadar, bahwa kedua lawannya
adalah orang yang berilmu tinggi.
Tetapi tidak ada pilihan lain. Ia harus melakukannya
dengan mengerahkan segenap ilmu yang ada didalam
dirinya. Demikianlah, maka sejenak kemudian Panembahan itu
pun telah bersiap untuk menyingkapkan kemampuan
puncaknya, ia sadar bahwa setiap sentuhan dengan tubuh
Pangeran Singa Narpada akan berarti susutnya
kemampuannya. Sementara itu, ia tidak dapat membiarkan
dirinya membeku karena ilmu lawannya yang seorang lagi
dalam ujudnya yang lunak.
Karena itulah, maka tiba-tiba saja orang yang disebut
Panembahan itu telah bergeser mundur, ia berdiri tegak
pada kedua kakinya yang merenggang, sementara
tangannya pun telah bersilang di dadanya.
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra menyadari, apa
yang sebenarnya tengah terjadi. Orang yang disebut
Panembahan itu tentu sedang memusatkan nalar budinya
untuk melepaskan ilmu puncaknya.
Ada niat Mahendra untuk menyerang lawannya justru
pada saat ia belum siap. Namun Mahendra
mengurungkannya, ia pun kemudian sadar bahwa
lawannya yang berilmu tinggi itu mampu dengan cepat
menguasai diri dan mempersiapkan ilmunya. Jika ia
terlambat barang sekejap maka ialah yang justru akan
menjadi korban pada benturan yang mungkin terjadi.
Karena itu maka lebih baik bagi Mahendra untuk
menunggu, apa yang akan terjadi. Namun Mahendra pun
telah mempersiapkan dirinya pada puncak kemampuannya,
ia siap melepaskan ilmunya dalam ujudnya yang keras atau
yang lunak. Demikian pula Pangeran Singa Narpada. Ia siap dengan
segenap kemampuan yang ada didalam dirinya. Ia sadar
bahwa ia akan menghadapi satu jenis ilmu yang dahsyat
yang mungkin dilontarkan oleh orang yang disebut
Panembahan itu, karena di samping ilmu kabutnya,
sambaran angin yang memancarkan kekuatan apinya, serta
sorot matanya yang membakar, maka orang yang disebut
Panembahan itu tentu masih menyimpan ilmu
pamungkasnya yang dahsyat. Bahkan Pangeran Singa
Narpada itu tidak dapat meramalkan, apakah ia akan
mampu menghadapi ilmu itu atau tidak.
Namun apapun yang terjadi, itu merupakan akibat dan
tanggung-jawab yang tidak dapat dihindarinya. Bahkan
sampai mati pun ia harus menghadapinya.
Beberapa saat lamanya mereka masih saling berdiam
diri. Namun ternyata masing-masing telah membangunkan
puncak-puncak kekuatan di dalam diri mereka.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian orang yang disebut
Panembahan itu telah menarik sebelah kakinya. Kedua
tangannya yang bersilang-pun telah diurainya. Kedua
tangan itu tiba-tiba saja telah terangkat ke depan
menghadap ke arah masing-masing seorang lawan.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada telah bersiap
sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Ketika
mereka melihat sikap orang yang disebut Panembahan itu
maka mereka pun telah bersiap pula melepaskan ilmu
mereka. Sejenak kemudian, telah terdengar suara gemuruh yang
bergulung-gulung tanpa diketahui dari mana asalnya.
Namun kemudian Mahendra dan Pangeran Singa Narpada
telah melihat getar yang mulai bergerak di seputar tubuh
orang yang disebut Panembahan itu.
Getar itu semakin lama menjadi semakin cepat.
Kemudian berputar bergulung-gulung semakin deras.
Ketika udara yang terputar oleh kekuatan ilmu orang
yang disebut Panembahan itu mulai bergerak ke arah kedua
lawannya, maka kedua lawannya pun menjadi semakin
berdebar-debar. Namun ternyata gerak pusaran itu tidak terduga. Semula
pusaran itu maju dengan lambat. Namun tiba-tiba saja
bagaikan meloncat menerkam kedua orang lawannya.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada terkejut. Mereka
tidak menduga bahwa gerak pusaran itu akan berubah dan
dengan tiba-tiba melibat mereka.
Karena itu untuk beberapa saat, kedua orang itu
bagaikan terputar oleh kekuatan yang sulit untuk dilawan.
Kekuatan yang sangat besar telah menelan mereka dalam
cengkaman yang sangat kuat.
Mahendra berusaha untuk menggeliat dan bertahan.
Tetapi pusaran itu rasa-rasanya telah memutarnya dan
melambungkannya ke udara. Semakin lama semakin cepat
dan semakin tinggi. Tetapi Mahendra telah menghentakkan segenap
kemampuannya untuk bertahan. Rasa-rasanya kemampuan
ilmunya telah dihimpunnya untuk menahan tubuhnya agar
tetap melekat di atas tanah. Karena itulah maka rasarasanya
kakinya yang terangkat itu masih juga sekali-sekali
menyentuh tanah. Namun sekali-sekali terlepas dan
terlempar meninggi. Tetapi kemudian perlahan-lahan ia
telah mendekati buminya kembali karena bobot ilmunya.
Yang terjadi atas Pangeran Singa Narpada pun tidak
berbeda. Untuk sekejap Pangeran Singa Narpada memang
merasa kebingungan, sehingga karena itu maka ia pun telah
terlempar dengan kerasnya, naik di puncak pusaran yang
gemuruh. Namun seperti Mahendra akhirnya Pangeran Singa
Narpada mampu memusatkan kekuatan ilmunya untuk
memantapkan bobotnya sehingga seperti Mahendra. ia pun
telah turun perlahan-lahan diberati oleh ilmu yang ada di
dalam dirinya. Untuk beberapa saat keduanya berjuang menentang
kekuatan angin prahara yang memutar dan mengangkat
mereka. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada sadar,
bahwa jika mereka tidak mampu menahan dirinya tetap
melekat pada bumi. maka mereka akan diangkat
dilontarkan tinggi ke udara, kemudian dibanting terhempas
di tanah. Untuk beberapa saat mereka beradu tenaga lewat ilmu
mereka. Orang yang disebut Panembahan itu berusaha untuk
mengangkat mereka dan menghempaskannya sampai
lumat, sementara itu Mahendra dan Pangeran Singa
Narpada bertahan untuk tetap melekat pada bumi sehingga
mereka tidak akan dapat dihempaskan oleh kekuatan angin
pusaran yang dibangunkan oleh kemampuan ilmu lawan.
Namun akhirnya Mahendra dan Pangeran Singa
Narpada tidak dapat untuk hanya sekedar bertahan.
Meskipun mereka tetap berharap bahwa mereka akan
memiliki daya tahan melampaui kekuatan orang yang
disebut Panembahan itu. Namun ternyata bahwa angin
pusaran itu rasa-rasanya menjadi semakin cepat dan keras.
Karena itu, maka baik Mahendra, maupun Pangeran
Singa Narpada merasa perlu untuk memberikan perlawanan
yang lebih berarti daripada sekedar bertahan.
Namun mereka tidak sempat untuk berbicara di antara
mereka. Karena itu, maka mereka tidak dapat melakukan
pada waktu yang sama. Tetapi karena mereka adalah orang-orang yang memiliki
bekal yang tinggi, maka terdapat persamaan perhitungan
dalam usaha mengatasi persoalan yang sama.
Dalam pada itu, Mahendra yang memiliki kemampuan
ilmu mapan pada tataran yang sangat tinggi, sebagaimana
saudara serperguruannya Witantra, telah berusaha untuk
memusatkan kemampuannya yang memang sudah tersusun
sebelumnya. Sementara ia bertahan untuk tetap berjejak di
atas tanah, ia pun telah berusaha menghimpun kekuatan
ilmu puncaknya. Meskipun ia tidak akan mungkin dapat mengenai orang
yang disebut Panembahan itu pada jarak yang panjang,
tetapi pengalamannya mengangkat kabut telah
menuntunnya untuk melakukannya pula atas ilmu yang lain
dari orang yang disebut Panembahan itu.
Karena itu, maka yang akan langsung dikenainya dengan
ilmunya bukan orang yang disebut Panembahan itu sendiri,
tetapi justru kekuatan ilmunya yang berupa angin pusaran
itu. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahendra telah
menghentakkan kekuatan ilmunya, menghantam angin
pusaran yang membelit dirinya dan berusaha
mengangkatnya untuk kemudian dihempaskannya sampai
lumat. Dengan demikian maka terjadi benturan kekuatan ilmu
yang sangat dahsyat. Angin pusaran yang membelit
Mahendra itu telah terguncang dengan dahsyatnya.
Sejenak kemudian, terjadi satu goncangan yang dahsyat.
Pusaran yang membelit tubuh Mahendra itu bagaikan
pecah oleh kekuatan yang dahsyat yang dilepaskan oleh
Mahendra. Dengan demikian maka orang yang disebut Panembahan
itu telah memusatkan kekuatannya condong kepada
Mahendra yang hampir saja berhasil memecahkan angin
pusarannya yang membelit tubuhnya. Perlahan-lahan angin
pusaran itu telah menemukan bentuknya kembali, memutar
tubuh Mahendra dan berusaha mengangkatnya.
Namun Mahendra yang masih tetap menyadari
keadaannya sepenuhnya telah menghimpun kekuatan
kembali. Satu hentakkan yang sangat dahsyat telah
mengguncang pusaran itu sekali lagi. Sehingga dengan
demikian maka perhatian orang yang disebut Panembahan
itu seluruhnya hampir tertuju kepada Mahendra untuk
mempertahankan kekuatan angin pusarannya.
Pada saat yang demikian itulah, maka Pangeran Singa
Narpada telah bertindak. Ia pun telah menghimpun segenap
kekuatan ilmunya. Sebagaimana dilakukan oleh Mahendra,
maka Pangeran Singa Narpada pun telah berusaha untuk
memecahkan pusaran yang membelitnya dan berusaha
melemparkannya ke udara dan menghempaskannya ke
tanah. Dengan segenap kekuatan ilmunya, maka Pangeran


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Singa Narpada itu pun seakan-akan telah meronta dan
bagaikan sebuah ledakkan yang dahsyat, maka kemampuan
ilmu Pangeran Singa Narpada telah mengoyak pusaran
angin yang mengelilinginya.
Karena hampir semua kekuatan ilmu Panembahan itu
ditujukan untuk tetap mengikat Mahendra dengan
pusarannya, maka ledakan yang terjadi pada angin pusaran
yang membelenggu Pangeran Singa Narpada telah
mengejutkannya. Dengan tergesa-gesa Panembahan itu
berusaha untuk memperbaikinya. Namun sebelum ia
sempat berbuat sesuatu, maka hentakkan kedua telah
dilakukan oleh Pangeran Singa Narpada sehingga angin
pusaran yang seakan-akan mengungkungnya itu pun telah
berhasil dikoyakkannya. Panembahan itu pun menjadi cemas melihat keadaan
kedua orang lawannya. Apalagi ketika perhatiannya
terhisap oleh hentakkan ilmu Pangeran Singa Narpada.
Mahendra telah sekali lagi menghantam sisa-sisa angin
yang mengikatnya, sehingga pecahlah kekuatan orang yang
disebut Panembahan itu. Orang yang disebut Panembahan itu menggeram.
Dilepaskannya kekuatan ilmunya yang telah dipecahkan
oleh kedua lawannya. Sekejap ia telah membangunkan
kembali ilmunya itu. Seperti yang dilakukan semula, maka
ia pun telah mengangkat dan mengacukan tangannya ke
arah kedua orang lawannya.
Namun Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak
mau membiarkan diri mereka dibelit lagi oleh kekuatan
ilmu orang yang disebut Panembahan itu. Karena itu maka
mereka pun kemudian telah bersiap untuk menyambut
pusaran angin yang datang kepada mereka.
Dengan pengenalan mereka atas serangan ilmu itu
sebelumnya, maka mereka sadar, bahwa pusaran yang
bergerak perlahan-lahan itu pada saatnya akan meloncat
menerkam mereka berdua. Sebenarnyalah yang terjadi kemudian adalah
sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Angin pusaran
yang kemudian timbul oleh kekuatan ilmu orang yang
disebut Panembahan itu telah meluncur dengan derasnya ke
arah Mahendra dan Pangeran Singa Narpada.
Namun baik Mahendra maupun Pangeran Singa
Narpada telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ketika angin
pusaran itu meluncur cepat ke arah mereka, keduanya tidak
menunggu dirinya terputar didalamnya.
Demikian angin pusaran itu menerkam mereka, maha
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada bersama-sama
telah menghentakkan ilmu mereka menghantam angin
pusaran yang datang untuk melibat mereka dan berusaha
melemparkan ke udara. Benturan yang dahsyat memang terjadi. Kekuatan ilmu
orang yang disebut Panembahan itu langsung berbenturan
dengan kekuatan ilmu Mahendra dan Pangeran Singa
Narpada. Sebenarnyalah bahwa yang kemudian bagaikan meledak
dan melontarkan udara yang panas bukan saja pada
benturan yang terjadi. Tetapi rasa-rasanya benturan itu
telah terjadi pula di dada ketiga orang itu. Mahendra yang
menghantam kekuatan ilmu orang yang disebut
Panembahan itu telah terguncang. Jantungnya bagaikan
terhimpit oleh kekuatan yang sangat besar. Dengan
demikian maka rasa-rasanya dadanya telah menjadi sesak.
Kesulitan yang timbul bukan saja karena benturan yang
terakhir yang terjadi. Tetapi sejak Mahendra berusaha
memecahkan angin pusaran yang mengikatnya, telah mulai
terasa sentuhan-sentuhan itu di dadanya. Dengan demikian
maka benturan yang terakhir terjadi, adalah hentakkan yang
telah menjadikan dadanya semakin sesak.
Demikian kuatnya benturan itu terjadi, sehingga
Mahendra telah terdorong selangkah surut.
Keseimbangannya pun ternyata telah terguncang sehingga
Mahendra itu pun jatuh terduduk.
Namun ketika Mahendra sempat mengangkat wajahnya,
dilihatnya angin pusaran yang datang menyerangnya telah
pecah berserakan. Namun itu bukan berarti bahwa ia telah
terbebas. Orang yang disebut Panembahan itu akan dapat
membangunkan lagi kekuatan ilmunya dan menyerangnya
sekali lagi dan sekali lagi.
Karena itu, maka Mahendra pun telah berusaha untuk
menguasai dirinya. Dihimpunnya sisa kekuatan yang masih
ada didalam dirinya. Dengan sisa kekuatan itu, maka
Mahendra pun telah bangkit berdiri.
Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun telah
mengalami nasib yang sama. Pangeran Singa Narpada yang
telah membentur kekuatan ilmu orang yang disebut
Panembahan itu pun telah kehilangan keseimbangannya
pula. Bahkan Pangeran Singa Narpada itu pun telah
terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Hanya karena ia
tersandar pada sebatang pohon yang besar sajalah maka
Pangeran Singa Narpada itu tidak terjatuh.
Namun dalam pada itu, orang yang disebut Panembahan
itu pun telah dihentakkan oleh kekuatan raksasa yang
seakan-akan telah menghantam dadanya. Pada saat ia
melepaskan ilmunya pada puncak kemampuannya, tiba-tiba
dua kekuatan raksasa telah membentur kekuatannya itu.
Dengan demikian maka seakan-akan hentakkan
kekuatannya itu memental dan menghantam jantungnya
sendiri. Orang yang disebut Panembahan itu tidak terlempar
surut. Ia tetap berdiri di tempatnya. Untuk beberapa saat ia
masih tetap bertahan. Namun kemudian perlahan-lahan
orang yang disebut Panembahan itu menjadi gemetar. Sisasisa
kekuatannya tidak mampu lagi mendukung
kemauannya yang bagaikan tidak pernah surut dalam
keadaan yang manapun juga.
Meskipun ia tetap berdiri, tetapi tubuhnya telah menjadi
sangat lemah. Tubuhnya yang gemetar itu rasa-rasanya
tidak lagi dapat tegak berdiri meskipun orang itu tidak mau
mengakui apa yang telah terjadi pada dirinya.
Pada saat yang demikian, maka orang yang semula
membawakan pedangnya dan kemudian bergeser menjauh
ketika terjadi pertempuran antara orang itu melawan
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada, telah meloncat
berlari dan menangkap tubuh yang hampir saja terjatuh itu.
"Panembahan," desis orang itu.
Tubuh orang yang disebut Panembahan itu memang
sudah menjadi sangat lemah. Karena itu, maka perlahanlahan
tubuh itu pun telah terkulai di tangan orang yang
selalu mengikutinya itu. Bahkan kemudian dengan sangat
hati-hati tubuh itu telah dibaringkannya di tanah.
Dengan wajah yang penuh duka orang itu menatap
kedua mata orang yang disebutnya Panembahan itu yang
menjadi redup. "Panembahan," desis orang itu pula.
Panembahan itu memandanginya. Wajahnya menjadi
sangat pucat, dan seluruh tubuhnya bahkan telah menggigil
seperti orang yang kedinginan.
"Panembahan, Panembahan masih mempunyai
kesempatan," berkata orang itu, "Panembahan dapat
memusatkan nalar budi untuk mengatur pernafasan dan
peredaran darah Panembahan."
Panembahan itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
telah menyeringai menahan pedih di dadanya. Dengan
suara sendat ia berkata, "Dua orang itu benar-benar raksasa
yang besar. Mereka mampu menahan ilmuku dan bahkan
membenturkannya seakan-akan mendorong ilmuku kembali
memental menghantam jantungku sendiri."
"Panembahan masih mempunyai kesempatan," berkata
orang yang berjongkok di sampingnya itu. Lalu katanya,
"Marilah, aku bantu Panembahan duduk dan berusaha
untuk mengatasi kesulitan di dalam diri Panembahan."
Panembahan itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun
menggeleng kecil sambil berkata, "Tidak ada
gunanya." "Tentu ada gunanya Panembahan," berkata orang itu,
"aku akan membantu. Dengan demikian maka keadaan
Panembahan akan segera pulih kembali selagi kedua orang
itu masih belum dapat mengatasi kesulitan di dalam
dirinya." Tetapi nafas Panembahan itu rasa-rasanya menjadi
semakin sulit untuk melalui hidungnya secara wajar.
Dadanya bagaikan terhimpit oleh sebongkah batu karang.
Bahkan darahnya pun tidak lagi mengalir ke seluruh bagian
tubuhnya karena jantungnya yang menjadi semakin lemah.
Sejenak suasana terasa mencengkam. Masing-masing
berada di tempatnya tanpa bergerak. Mahendra dan
Pangeran Singa Narpada benar-benar merasa sangat letih.
Bahkan dada mereka pun serasa menjadi sesak dan pedih.
Keduanya memang berusaha untuk memperbaiki
keadaan diri mereka. Tetapi perkembangan yang terjadi
terasa sangat lamban. Benturan itu merupakan benturan
yang sangat dahsyat, sehingga rasa-rasanya ada yang rusak
di dalam dada mereka. Namun jantung keduanya menjadi semakin cepat
berdetak ketika keduanya melihat orang yang agaknya
merupakan pengikut setia dari orang yang disebut
Panembahan itu memandang mereka dengan tajamnya.
Dalam keadaan yang demikian, maka orang itu mempunyai
kesempatan yang cukup besar untuk menghancurkannya.
"Seandainya ia berilmu meskipun tidak setinggi orang
yang disebut Panembahan itu," berkata Pangeran Singa
Narpada di dalam hatinya, "ia akan dapat berbuat banyak."
Tetapi baik Pangeran Singa Narpada maupun Mahendra
tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan. Meskipun
keadaan mereka tidak cukup baik, tetapi mereka tentu akan
melawan apapun yang akan dapat terjadi.
Untuk beberapa saat lamanya mereka saling berdiam
diri. Orang yang semula membawa pedang Panembahan itu
kemudian berkata, "Kalian berdua memang luar biasa.
Kalian berdua mampu menghantam isi dada Panembahan
sehingga mengalami luka yang tidak akan mungkin
disembuhkan lagi. Seandainya Panembahan masih dapat
tertolong, namun ilmunya tidak akan lagi dapat pulih
kembali sebagaimana dimilikinya sekarang, karena bagian
dari pusat kemampuan ilmunya telah terguncang pada saat
benturan itu terjadi. Beruntunglah kalian bahwa hal itu
tidak terjadi pada kalian, karena kalian berdua bersamasama
ternyata memiliki kekuatan yang lebih besar dari
Panembahan," orang itu berhenti sejenak lalu, "tetapi aku
ingin memperkenalkan diri kepada kalian berdua, meskipun
aku adalah hambanya yang setia yang tidak lebih dari
derajat seorang budak. Tetapi aku adalah saudara
seperguruannya. Dengan demikian aku memiliki ilmu yang
sama dengan yang dimiliki oleh Panembahan. Seandainya
ada selisihnya, maka selisihnya itu tidak ada seujung
rambut." Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi
semakin tegang. Namun mereka masih belum yakin, bahwa
yang dihadapinya itu adalah saudara seperguruan orang
yang disebutnya Panembahan itu.
Namun baik Mahendra maupun Pangeran Singa
Narpada telah dikejutkan sikap orang itu. Sebagaimana
orang yang disebutnya Panembahan orang itu berdiri tegak
sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kemudian
ditariknya sebelah kakinya, sementara tangannya yang
bersilang itu pun telah diurainya. Diagungkannya kedua
tangannya ke dua arah yang berbeda.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada yang masih
dalam keadaan yang sangat lemah, berdiri termangumangu.
Mereka tidak mempunyai sisa kekuatan untuk
melawan jika serangan datang ke arah mereka.
Yang terjadi telah meyakinkan Mahendra dan Pangeran
Singa Narpada bahwa orang itu memang saudara
seperguruan dari orang yang disebutnya Panembahan itu.
Perlahan-lahan udara pun telah bergetar. Kemudian
bergulung-gulung bagaikan angin pusaran. Kemudian
pusaran itu pun telah bergerak perlahan-lahan sebagaimana
yang pernah dilontarkan oleh orang disebutnya
Panembahan. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menjadi
berdebar-debar. Jika angin pusaran itu menggulung mereka,
maka mereka tidak akan mampu bertahan. Mereka akan
terangkat dan terlempar ke udara. Kemudian mereka akan
dihempaskan ke tanah sampai lumat.
Tetapi Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak
akan menyerah begitu saja. Meskipun kekuatan mereka
masih belum dapat dibangunkan kembali, namun mereka
telah menghimpun apa yang tersisa di dalam diri mereka
untuk melawan angin pusaran yang dahsyat itu.
Namun keduanya menjadi heran, bahwa angin pusaran
itu sama sekali tidak mengarah kepada mereka. Angin
pusaran yang terlontar itu telah meluncur beberapa jengkal
dari keduanya. Demikian dahsyatnya, maka ketika angin
pusaran itu menghantam barak yang berada di garis
lintasnya, maka barak itu pun telah menjadi hancur
berkeping-keping. Anyaman kayu, bambu dan atap ijuknya
telah terputar roboh. Kemudian diremasnya dan sebagian
besar telah dilemparkan ke udara.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada memperhatikan
pecahan-pecahan barak yang terlempar itu dengan jantung
yang berdebaran. Kemudian mereka pun menyaksikan
pecahan-pecahan itu terhempas di tanah dan benar-benar
menjadi lumat. "Luar biasa," desis Mahendra.
Orang itu pun kemudian berdiri termangu-mangu.
Dipandanginya Mahendra dan Pangeran Singa Narpada
yang masih lemah. "Nah, Ki Sanak. Bagaimana jika aku menyerang kalian
dengan kekuatan ilmu sebagaimana telah kalian lihat" Ilmu
yang sama sebagaimana dipergunakan oleh Panembahan"
Dan apakah kalian masih belum yakin bahwa aku adalah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudara seperguruannya?" bertanya orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah ia menyahut, "Aku percaya Ki Sanak,
bahwa kau adalah saudara seperguruannya."
"Bagaimana jika aku menyerang kalian dengan ilmu
itu?" bertanya orang itu.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada termangumangu.
Namun kemudian Pangeran itu menjawab, "Silahkan Ki
Sanak. Itu hakmu. Aku akan melawan dengan sisa
kekuatanku. Jika aku hancur oleh ilmumu, itu adalah
tanggung jawab yang memang harus aku pikul."
Orang itu terdiam sejenak. Dipandanginya Mahendra
dan Pangeran Singa Narpada berganti-ganti.
Sementara itu pertempuran di bagian-bagian lain dari
padepokan itu pun telah mereda pula. Para prajurit Lemah
Warah telah benar-benar menguasai keadaan. Betapa
tingginya ilmu orang-orang padepokan itu, namun mereka
tidak mampu melawan kemampuan para pemimpin
Pakuwon Lemah Warah yang dibantu oleh Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura.
Dalam pada itu. orang yang mampu melepaskan ilmu
sebagaimana orang yang disebut Panembahan itu menjadi
ragu-ragu. Agaknya orang itu memang mempunyai watak
dan pandangan hidup yang berbeda dengan orang yang
disebutnya Panembahan itu.
Namun Mahendra dan Pangeran Singa Narpada
memang merasa heran. Dua orang saudara seperguruan,
namun nampaknya tataran hidup mereka jauh berbeda.
Yang seorang nampaknya tidak lebih dari hamba dari yang
lain. Tetapi Mahendra dan Pangeran Singa Narpada tidak
mempunyai banyak kesempatan. Jika orang itu benar-benar
melepaskan ilmunya kepada mereka, maka mereka akan
benar-benar tidak mampu melawannya.
Untuk beberapa saat mereka dicengkam oleh
ketegangan. Namun tiba-tiba orang yang memiliki ilmu
sebagaimana dimiliki oleh Panembahan itu berkata, "Tidak.
Aku tidak berhak membunuh kalian."
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada masih
termangu-mangu. Mereka masih belum yakin bahwa sikap
itu akan tetap dapat dipertahankan. Mungkin pada satu
saat, pendirian itu berubah, dan orang itu akan
menyerangnya dengan kekuatannya yang sangat dahsyat.
Bahkan menurut perhitungan Mahendra dan Pangeran
Singa Narpada, orang itu akan mampu pula melepaskan
kabut dan bahkan membakar sasaran dengan sorot
matanya. Untuk beberapa saat orang itu masih termangu-mangu.
Namun sejenak kemudian sekali lagi ia berkata, "Aku tidak
berhak membunuh kalian meskipun aku dapat
melakukannya." Mahendra dan Pangeran Singa Narpada terkejut, ketika
orang itu kemudian memandang kepingan kayu bambu dan
ijuk yang teronggok di sebelah mereka berdiri. Pecahan
barak yang telah diremasnya dengan angin pusaran,
dilontarkannya ke udara dan dibantingnya lagi di tanah.
Tiba-tiba saja asap telah mengepul dan api pun segera
menjilat. Mahendra dan Pangeran Singa Narpada harus mengakui
bahwa api itu akan dapat membakar mereka jadi
dikehendaki. Sementara itu mereka berdua sedang dalam keadaan
sangat lemah. Tetapi orang itu tidak melakukannya. Justru setiap kali
orang itu berkata; " Aku tidak berhak. Aku tidak berhak."
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada melihat sesuatu
yang sedang bergejolak didalam jiwa orang itu. Karena itu,
maka mereka pun perlahan-lahan bergeser saling mendekat.
Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika orang itu
membentak, "Apa yang akan kau lakukan" Kalian akan
saling mendekat dan menggabungkan sisa kemampuan
yang ada didalam diri kalian" Tidak ada gunanya.
Meskipun kalian akan bersama-sama menyerang aku, maka
sisa kekuatan kalian tidak akan berarti apa-apa lagi."
"Kau benar Ki Sanak," berkata Mahendra, "sisa
kemampuan kami memang tidak akan dapat mengatasi
kemampuan Ki Sanak."
"Jika demikian, apa yang akan kalian lakukan?"
bertanya orang itu. "Sikap Ki Sanak, sangat menarik perhatian," berkata
Pangeran Singa Narpada, "Ki Sanak akan mampu berbuat
apa saja atas diri kami. Tetapi Ki Sanak merasa tidak
berhak melakukannya, justru dalam pertempuran seperti
ini. Apalagi Ki Sanak tahu pasti, bahwa pihak Ki Sanak,
orang-orang Padepokan ini dari perguruan manapun
asalnya telah mengalami kekalahan. Jika Ki Sanak
membunuh kami berdua, maka Ki Sanak akan mendapat
kesempatan untuk menolong orang-orang padepokan ini. Ki
Sanak akan dapat membinasakan orang-orang Lemah
Warah, bahkan termasuk Akuwu dari Lemah Warah dan
para pemimpin yang lain."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
telah berpaling ke arah tubuh orang yang disebutnya
Panembahan itu, yang terbaring diam.
"Hanya orang inilah yang berhak melakukannya atas
Pangeran," berkata orang itu
"Kenapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja
tanpa menghiraukan kedua orang lawannya, maka orang
itu telah berjongkok di sisi orang yang terbaring diam itu.
"Kemarilah," berkata orang itu.
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada termangumangu
sejenak. Namun kemudian mereka pun telah
mendekat. "Lihat," berkata orang itu," betapa ilmu kalian telah
merusakkan jaringan tubuhnya, ia seakan-akan telah
kehilangan kesadarannya meskipun ia masih hidup. Namun
dengan demikian, maka kalian berdua telah terbebas dari
kemungkinan untuk mati di medan perang ini, karena orang
yang berhak membunuh kalian sudah tidak akan mampu
melakukannya." "Aku tidak mengerti," berkata Pangeran Singa Narpada,
"semua orang di medan perang seperti ini mempunyai hak
yang sama atas lawan-lawan mereka."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan
nada rendah, "Aku hanya seorang hamba yang rendah.
Aku tidak patut untuk berdiri berhadapan dengan seorang
Pangeran. Apalagi membunuhnya."
"Kau berpegang pada unggah-ungguh yang kuat. Namun
jarang orang yang masih dapat mengingatnya jika ia berada
di peperangan," berkata Pangeran Singa Narpada, "tetapi
kata-katamu menarik perhatian kami sebagaimana ilmumu.
Kau sebut dirimu saudara seperguruan dengan orang yang
kau panggil Panembahan itu. Namun kemudian kau
nyatakan dirimu tidak lebih dari seorang hamba."
"Aku memang hanya seorang hamba, Pangeran. Hamba
yang rendah," jawab orang itu, "aku memang dapat
menyebut diriku saudara seperguruan dengan Panembahan,
karena aku memiliki ilmu yang sama, bahkan tingkat
kemampuanku pun hampir sama. Tetapi sebenarnya aku
memang hambanya. Aku menjadi saudara seperguruan
diluar pengetahuan Panembahan itu sendiri."
"Bagaimana hal itu mungkin terjadi," bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Aku telah mengantar Panembahan itu berguru," berkata
orang itu, "bahkan demikian besar kepercayaan
Panembahan itu serta gurunya, sehingga aku diperkenankan
ikut berada didalam sanggar. Aku mendengar setiap kata
dari guru Panembahan itu, bagaimana ia mengajarkan ilmu
dan menuntun laku. Diluar pengetahuan Panembahan dan
gurunya, aku telah mendalaminya. Dalam saat-saat
senggang aku telah minta ijin untuk pergi ke sungai atau
pergi kemana pun juga. Namun akhirnya aku tidak dapat
bersembunyi lagi. Guru Panembahan itu melihat dasar
kemampuanku, sehingga akhirnya aku justru telah
mendapat bimbingannya pula. Namun karena aku tidak
lebih dari seorang hamba, maka aku tidak dapat belajar
bersama Panembahan. Bahkan sampai saat berguru
berakhir, Panembahan tetap tidak mengetahui bahwa aku
memiliki kemampuan hampir menyamainya. Sementara itu
guru pun telah berbaik hati untuk tidak mengungkapkan
rahasia itu kepada Panembahan, namun dengan janji,
bahwa aku harus tetap merupakan seorang hamba yang
setia." Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menganggukangguk.
Ia sudah memenuhi janjinya. Bahkan sampai
saatnya Panembahan itu tidak lagi mampu menilai apa
yang terjadi di sekitarnya, orang itu masih tetap seorang
hamba yang setia. Namun dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun
bertanya, "Ki Sanak. Siapakah sebenarnya orang yang kau
sebut Panembahan itu" Siapa pula Ki Sanak yang setia
mengabdi sampai orang yang kau sebut Panembahan itu
kehilangan kesadarannya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan
ragu ia berkata, "Sudahlah Pangeran. Apa gunanya
Pangeran mengetahui siapakah Panembahan itu dan siapa
pula aku ini." "Sikapmu menunjukkan sikap seorang hamba dari
lingkungan tertentu," berkata Pangeran Singa Narpada,
"karena itu, aku ingin mengetahui, meskipun barangkali
aku tidak akan mengenalinya siapakah orang itu dan dari
lingkungan yang mana?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
Pangeran Singa Narpada dengan tajamnya. Namun
kemudian dipandanginya orang yang terbaring diam itu.
Sementara itu, orang itu pun berkata, "Pangeran.
Pertempuran sudah selesai. Isi padepokan ini telah terbunuh
dan yang lain menyerah. Mungkin ada yang sempat
melarikan diri dari arena."
"Akuwu Lemah Warah akan menyelesaikan mereka,"
berkata Pangeran Singa Narpada, "karena itu maka aku
kira aku tidak perlu mencampurinya."
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
bertanya, "Siapakah sebenarnya Ki Sanak yang seorang
itu?" "Ia adalah Mahendra. Seorang keluarga dari kalangan
para pimpinan prajurit Singasari. Tetapi ia sendiri bukan
seorang prajurit," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Tetapi kemampuannya melampaui para Senapati,"
berkata orang itu. "Ia adalah seorang pewaris sebuah perguruan yang besar
dan disegani," berkata Pangeran Singa Narpada.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Aku ingin berkata jujur.
Panembahan sangat membenci orang-orang Singasari."
"Kenapa?" bertanya Mahendra.
"Dalam hubungan Singasari dan Kediri," jawab orang
itu, "pergolakan yang selalu terjadi sejak orang-orang
Singasari merampas kebebasan Kediri."
"Apakah kau sependapat?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. Orang itu termangu-mangu. Sementara itu Pangeran
Singa Narpada berkata pula, "Aku juga orang Kediri. Aku
juga tidak mau jika kebebasan kami dibelenggu. Tetapi
hubungan antara Kediri dan Singasari adalah hubungan
antara keluarga. Singasari mencakup keluarga besar di atas
Tanah ini termasuk Kediri. Namun dalam kehidupan
seharihari, Kediri adalah keluarga yang dewasa. Yang hidup
karena kemampuan diri. Yang bertanggung jawab atas
pakartinya sendiri."
"Pengertian dari yang Pangeran katakan itu dapat
diterjemahkan dalam arti yang berbeda-beda," berkata
orang itu, "Panembahan ternyata mempunyai pengertian
yang berbeda dari Pangeran Singa Narpada. Sebelumnya
pun banyak keluarga Pangeran yang mempunyai pengertian
yang lain, sehingga pertikaian terjadi tidak henti-hentinya."
"Itulah yang harus kita atasi," berkata Pangeran Singa
Narpada. Lalu kemudian katanya, "Tetapi dengan
pembicaraan ini aku mempunyai arah dugaan tentang
kalian." "Kami tidak akan bersembunyi lagi," berkata orang itu.
"Jika demikian, katakan," desis Pangeran Singa
Narpada. "Aku akan mengatakannya," sahut orang itu, "tetapi aku
masih ingin mengatakan sikap Panembahan. Bagi
Panembahan Singasari adalah kuasa yang bukan
seharusnya memimpin Kediri sekarang ini."
"Dengan alasan yang sudah terlalu sering disebut-sebut,"
potong Mahendra, "bahwa Singasari tidak lebih dari
Pakuwon Tumapel. Sedangkan Akuwu Tumapel yang
kemudian atas nama Singasari menyatakan Kediri adalah
seorang keturunan pidak-pedarakan."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
benar. Bukan sekedar keturunan pidak-pedarakan. Tetapi ia
adalah seorang penjahat yang ditakuti di masa mudanya.
Dengan kemampuan seorang penyamun dan perampok
ulung, ia dapat mendesak kedudukan Akuwu Tunggul
Ametung." "Tetapi orang itu bukan orang kebanyakan. Yang terjadi
pada tataran pertama hidupnya bukannya kenyataan
tentang dirinya yang dipilih untuk kemudian memimpin.
Ciri-ciri kebesaran ada pada dirinya, sehingga pada
akhirnya kenyataan itu terjadi, meskipun Ken Arok itu
sekedar perantara," berkata Mahendra.
"Sebagaimana selalu dikatakan oleh orang-orang
Singasari," jawab orang itu.
"Sudahlah," berkata Pangeran Singa Narpada,
"perbedaan yang ada biarlah kita akui adanya. Tetapi sebut,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

siapakah Ki Sanak itu, dan siapakah sebenarnya
Panembahan itu?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "orang inilah yang seharusnya Pangeran
cari untuk menegakkan Kediri."
"Kau belum menyebutnya," sahut Pangeran Singa
Narpada. Orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian katanya,
"Apakah Pangeran benar-benar tidak mengenalnya lagi?"
Pangeran Singa Narpada menjadi bingung. Ia bergeser
mendekat. Dipandanginya wajah yang terbaring diam itu.
Namun rasa-rasanya wajah itu menjadi lain. Meskipun ia
tetap mengenali sebagai orang yang disebut Panembahan,
tetapi ada sesuatu yang berbeda padanya.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Pangeran, apakah Pangeran juga benar-benar telah
melupakan aku?" bertanya orang itu.
Pangeran Singa Narpada menjadi semakin bingung.
Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Namun
Pangeran itu kemudian menggeleng sambil berdesis, "Aku
belum pernah mengenalimu."
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Pangeran. Aku akan menunggu. Jika kemampuan
Pangeran dan Ki Mahendra telah pulih kembali, hancurkan
simpul pengendali ilmuku sebagaimana Panembahan.
Dengan demikian, maka akan terjadi perubahan pada
diriku." Pangeran Singa Narpada masih dibayangi oleh perasaan
bingungnya. Namun orang itu kemudian berkata,
"Pangeran. Amati dengan saksama. Pangeran tentu
mengenal Panembahan."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun
hampir di luar sadarnya ia pun telah bergeser mendekat.
Diamatinya wajah orang yang terbaring diam itu dengan
saksama. Sementara itu, Akuwu Lemah Warah, Mahisa Murti,
Mahisa Pukat dan Mahisa Ura telah mendekati mereka.
Sementara panglima pasukan khusus Lemah Warah berdiri
termangu-mangu beberapa langkah sambil mengamati
keadaan.. Pangeran Singa Narpada memandanginya sambil
berdesis, "Bagaimana dengan para prajurit dan orang-orang
padepokan ini?" "Kita tidak dapat menghindari korban yang berjatuhan
dalam perang yang hampir tidak terkendali, Pangeran.
Namun sebagian dari para penghuni padepokan ini telah
menyerah," sahut Akuwu Lemah Warah.
"Bagaimana dengan para pemimpin mereka?" bertanya
Pangeran itu pula. "Ternyata para pengikutnya merupakan lingkaran
kesetiaan yang sulit untuk ditembus. Dalam keadaan yang
paling gawat, maka beberapa orang di antara mereka
sempat melepaskan diri. Justru orang-orang terpenting di
antara mereka. Selain ilmu mereka yang tinggi, maka para
pengikutnya telah mengorbankan diri untuk memberikan
kesempatan kepada para pemimpinnya melarikan diri dari
medan." "Siapakah yang telah berhasil melarikan diri?" bertanya
orang yang menjadi bayangan kemampuan orang yang
disebut Panembahan itu. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak.
Dipandanginya orang itu dengan saksama. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Siapakah mereka Pangeran?"
"Yang terbaring itu adalah Panembahan yang memegang
pimpinan tertinggi di padepokan ini," jawab Pangeran
Singa Narpada. "Yang seorang?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Saudara seperguruannya," jawab Pangeran Singa
Narpada pula. "Apakah ia sudah menyerah?" bertanya Akuwu itu pula.
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dan
Akuwu Lemah Warah berganti-ganti. Namun kemudian
terdengar suaranya rendah, "Bukan Akuwu. Orang ini sama
sekali tidak menyerah. Tetapi orang ini justru telah
menyelamatkan nyawa kami berdua. Aku dan Mahendra."
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tegang.
"Apa artinya Pangeran?" bertanya Akuwu Lemah
Warah. "Orang ini sebenarnya dapat membunuh kami berdua
jika ia mau. Tetapi ia tidak melakukannya," jawab
Pangeran Singa Narpada. Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian dengan ragu ia bertanya, "Apa yang sebenarnya
telah terjadi Pangeran?"
Pangeran Singa Narpada memandang orang yang
terbaring itu kembali. Namun dengan nada datar ia
bertanya, "Apakah orang yang mampu melepaskan diri dari
wadagnya dan memasuki wadag orang lain itu sempat
melarikan diri?" "Maaf Pangeran. Dalam benturan ilmu orang itu tidak
dapat bertahan. Kami tidak tahu, apakah ia akan dapat
bertahan untuk hidup," jawab Akuwu Lemah Warah.
"Akuwu," berkata Pangeran Singa Narpada kemudian
sambil memandangi orang yang terbaring itu, "kami,
maksudku aku berdua bersama Mahendra telah dengan
untung-untungan membenturkan ilmu kami melawan
kemampuan ilmu orang yang disebut Panembahan ini.
Akibatnya dapat kalian lihat terjadi pada Panembahan.
Namun kami pun telah kehilangan segenap tenaga kami
karena kami telah memaksakan menghentakkan ilmu kami
dalam benturan itu. Sampai saat ini kemampuan kami
masih belum pulih seutuhnya. Pada saat yang demikian,
saudara seperguruan Panembahan ini akan mampu
menghancurkan kami. Tetapi yang terjadi tidak demikian."
"Apa sebabnya Pangeran?" bertanya Akuwu.
"Bertanyalah kepadanya," jawab Pangeran Singa
Narpada. Akuwu itu termangu-mangu.
Namun dalam pada itu orang itu pun berkata sekali lagi,
"Pangeran. Pandang wajah ini dengan saksama."
Pangeran Singa Narpada bergeser lebih mendekat.
Diamatinya wajah itu dengan saksama. Namun ia
menggeleng lemah, "Aku kurang mengenalnya."
"Pengenalan Pangeran terbatas pada masa-masa dekat.
Coba Pangeran mencoba mengenang keluarga terdekat
Pangeran di masa yang sudah agak jauh lewat," berkata
orang itu. Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Dengan suara
bergetar ia berdesis, "Apakah aku berhadapan dengan
pamanda Pangeran Gagak Branang."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan
mengangguk-angguk kecil ia berkata, "Ya. Panembahan
adalah Pangeran Gagak Branang yang menyingkir dari
istana pada saat Tumapel memecah Kediri."
"Singasari maksudmu?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Tumapel," jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian ia berkata, "Jadi aku memang
berhadapan dengan pamanda Pangeran. Tetapi menurut
perhitunganku umur pamanda tentu sudah terlalu tua
sekarang ini, sementara Panembahan itu masih mampu
bertempur dengan kekuatan yang mengagumkan dan
sikapnya pun sama sekali tidak menunjukkan ketuaannya."
"Tetapi wajah itu?" desis orang yang mengaku saudara
seperguruan itu. Ketika Pangeran Singa Narpada memandang wajah itu
lagi, maka ia menjadi heran. Orang itu nampaknya
memang sudah terlalu tua, jauh lebih tua dari
pengenalannya pada saat mereka beradu ilmu."
Karena itu maka dengan wajah yang tegang Pangeran
Singa Narpada bertanya kepada hamba orang yang disebut
Panembahan itu, "Bagaimana mungkin segalanya itu
terjadi?" Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Pangeran. Hal ini memang akan terjadi pada suatu saat.
Juga akan terjadi padaku."
"Kenapa hal itu akan terjadi padamu," bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Pangeran," berkata orang itu, "selama berguru, kami
telah mendapatkan kesempatan yang tidak banyak didapat
Bergaya Sebelum Mati Dua 1 Wiro Sableng 137 Aksara Batu Bernyawa Perguruan Kera Emas 1
^