Hijaunya Lembah Hijaunya 20
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 20
oleh orang lain." "Kesempatan apa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Di dalam tubuh kami mengalir getah pohon yang tidak
ada duanya. Getah itu mempunyai pengaruh yang kuat
sekali pada wadag kami."
"Getah pohon apa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tidak seorang pun tahu," jawab orang itu. "kecuali
guru." "Pengaruhnya?" bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
Orang itu termangu-mangu pula sejenak. Namun
kemudian katanya, "Tidak seorang pun yang tahu
bagaimana terjadinya. Namun getah itu seakan-akan telah
menahan pertumbuhan wadag kami. Pada saat kami
mendapat getah itu, maka seakan-akan kami tidak lagi
bertambah tua." "Kau juga mendapat kesempatan" Bukankah dengan
demikian Pangeran Gagak Branang akan tahu bahwa aku
adalah saudara seperguruannya?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Pangeran Gagak Branang tahu bahwa aku juga
mendapat kesempatan minum getah itu. Tetapi tidak
sebagai saudara seperguruannya. Tetapi sebagai hambanya
yang setia, yang akan mengikutinya ke mana saja Pangeran
Gagak Branang pergi," jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi ia bertanya, "Kau tidak dapat mengenali jenis
getah itu?" Orang itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Pangeran
Gagak Branang pun tidak."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk kecil.
Sementara orang berkata selanjutnya, "Namun pada saatsaat
seperti yang terjadi pada Pangeran Gagal Branang,
maka yang tertahan itu akan datang pula. Demikian juga,
jika aku tidak lagi mampu menguasai kesadaranku oleh
sebab apapun juga, maka aku akan mengalaminya."
Sejenak Pangeran Singa Narpada terdiam. Mahendra
pun mengangguk-angguk pula, sementara yang lain
termangu-mangu. "Sudahlah Pangeran. Agaknya batas itu telah sampai.
Pada saat kekuatan Pangeran Singa Narpada dan Ki
Mahendra pulih kembali, maka antarkan aku menyusul
Pangeran Gagak Branang, agar aku pun kembali ke
keadaan wajarku," berkata orang itu.
"Siapa kau sebenarnya," bertanya Pangeran Singa
Narpada pula. Orang itu tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja
ia berdiri tegak sambil berkata, "Baiklah. Jika kekuatan
ilmu Pangeran belum pulih kembali, demikian pula Ki
Mahendra, maka biarlah Akuwu Lemah Warah dan ketiga
anak muda ini menolongku. Lepaskan ilmu kalian. Biarlah
tubuhku mengalami hentakan yang dapat melumpuhkan
segenap syarafku, sehingga dengan demikian kalian akan
dapat mengenal aku lewat Pangeran Singa Narpada."
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Pangeran Singa Narpada sejenak. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "jangan
memaksa melakukan hal yang tidak perlu. Katakan tanpa
usaha seperti yang kau katakan dari Akuwu Lemah Warah.
Siapakah kau sebenarnya. Jika kau mau menyebut
namamu, maka aku akan segera dapat mengenalimu.
Seandainya aku memang sudah mengenalmu sebelumnya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Pangeran masih teringat benar, siapakah
Pangeran Gagak Branang."
"Ya aku ingat, meskipun umurku terpaut agak banyak,"
jawab Pangeran Singa Narpada.
"Nah, Pangeran tentu ingat, siapakah yang selalu berada
di belakangnya. Orang itu jarang sekali terpisah dari
Pangeran Gagak Branang. Kemana pun Pangeran pergi,
maka orang itu ada," jawab orang itu.
"Yang umurnya sebaya dengan pamanda Pangeran?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Ya. Kira-kira demikian meskipun terpaut sedikit,"
jawab orang itu. Pangeran Singa Narpada mencoba mengingat-ingat.
Siapakah orang yang selalu bersama pamandanya,
Pangeran Gagak Branang. Sejenak Pangeran Singa Narpada sempat
membayangkan pamannya di masa mudanya. Pangeran
yang keras, bahkan agak pemarah. Ia pun ingat saat
pamandanya meninggalkan Kediri tanpa ada yang
mengetahui ke mana perginya.
Sekilas ia berpaling ke arah Mahendra. Pamandanya itu
tentu lebih tua dari Mahendra. Bahkan mungkin terpaut
agak banyak. Orang itu pun tentu lebih tua dari Mahendra,
meskipun ujudnya sebaliknya.
Untuk sejenak Pangeran Singa Narpada memasuki dunia
ingatannya. Namun tiba-tiba saja berdesis, "Apakah aku
berhadapan dengan Ki Permita."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
terdengar suaranya serak, "Ya Pangeran. Hamba yang
rendah ini adalah Permita yang tentu sudah Pangeran
kenal. Karena itu maka tidak ada pilihan lain bagi hamba
ini selain hukuman mati."
"Ooo," Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalamdalam.
Sementara itu orang yang disebut Ki Permita itu pun
telah menjatuhkan dirinya bersimpuh di hadapan Pangeran
Singa Narpada. "Bunuh aku Pangeran. Panembahan pun agaknya tidak
akan mampu mengatasi kesulitan di dalam dirinya,"
berkata orang yang disebut Ki Permita itu, "buat apa aku
hidup terus?" Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam, ia
pun kemudian berdiri tegak. Dipandanginya keadaan di
sekelilingnya. Ia tidak lagi mendengar hiruk pikuk
pertempuran. Yang dilihatnya adalah sisa-sisa api yang mengepul dari
barak yang terbakar oleh kemampuan ilmu Ki Permita yang
ternyata adalah saudara seperguruan dari Pangeran Gagak
Branang. Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada termangumangu.
Di balik pepohonan dan barak-barak yang masih
berdiri, seakan-akan dilihatnya prajurit Lemah Warah yang
tersisa menawan para penghuni padepokan itu yang terdiri
dari beberapa perguruan. Bukan hanya terdiri dari orangorang
bertongkat saja. Memang padepokan ini semula
adalah padepokan orang-orang bertongkat itu. Namun
agaknya dengan kehadiran Pangeran Gagak Branang, maka
padepokan ini telah menjadi tempat penempaan
sekelompok orang dari beberapa perguruan yang berbeda.
"Ki Mahendra dan Akuwu Lemah Warah," berkata
Pangeran Singa Narpada, "setelah aku mengetahui bahwa
yang memimpin padepokan ini adalah pamanda Pangeran
Gagak Branang, maka aku tidak memerlukan lagi seorang
pun yang akan aku sadap keterangannya. Aku tahu pasti
apakah yang telah terjadi. Aku tahu pasti alasan dari orangorang
Suriantal datang ke istana Kediri untuk mengambil
benda yang paling berharga yang menjadi tempat
bersemayam Wahyu Keraton."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Satu
perjuangan yang keras dan berat telah dilakukan. Ternyata
bahwa yang terjadi tidak jauh berbeda dengan apa yang
pernah terjadi sebelumnya. Pangeran Kuda Permati,
Pangeran Lembu Sabdata, dan beberapa orang lain dalam
sikapnya yang sama. "Kau telah kehilangan orang-orang terbaik dari Lemah
Warah," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Karena itu," berkata Ki Permita, "bunuh aku Pangeran.
Aku akan menerima beban hukuman dari Kediri karena
peristiwa ini." "Ki Permita, kau adalah seorang hamba yang setia.
Namun menurut ingatanku, kau adalah orang yang banyak
diminta nasehat dan petunjukmu oleh pamanda Pangeran
Gagak Branang." "Pangeran benar. Tetapi tidak semua pendapatku sesuai
dengan pendapat Pangeran Gagak Branang. Aku sudah
berusaha untuk meyakinkan pamanda Pangeran, bahwa
usaha ini adalah sia-sia," berkata Ki Permita.
"Jadi kau sependapat dengan pamanda Gagak Branang"
Namun kau menganggap bahwa perjuangan pamanda itu
sia-sia. Jadi kau mencoba mencegah usaha pamanda Gagak
Branang bukan karena kau mempunyai keyakinan yang
berbeda," bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran. Aku sudah menyerahkan leherku. Bunuhlah
aku sebagai hukuman atas pengkhianatanku terhadap
Kediri serta kesediaanku untuk memikul hukuman dari isi
padepokan ini, terutama mereka yang sempat melarikan
diri." "Aku bertanya kepadamu Ki Permita," berkata Pangeran
Singa Narpada, "bagaimana sikap batinmu terhadap Kediri
sekarang ini" Kita masih tetap di arena. Kau belum
menyerah dan aku pun belum menyerah meskipun
kemampuanku tentu belum pulih kembali."
"Jangan paksa aku merasa semakin tersiksa Pangeran.
Mungkin Pangeran tidak dapat menyiksaku dalam ujud
kewadagan. Tetapi pertanyaan Pangeran itu telah menyiksa
perasaanku, sebaiknya Pangeran membunuh saja aku.
Kematianku akan mengakhiri segala persoalan yang terjadi
di padepokan ini." berkata Ki Permita.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya, "Bukan maksudku Ki Permita. Baiklah. Jika
kau tidak mau mendengar pertanyaanku itu. Aku tidak
akan memaksamu menjawab."
"Ampun Pangeran," desis Ki Permita, "satu-satunya
kemungkinan terbaik yang dapat Pangeran lakukan dalam
keadaan seperti ini adalah membunuhku."
"Tidak Ki Permita," jawab Pangeran Singa Narpada,
"sebagaimana kau tidak merasa berhak membunuhku,
dalam perang sekalipun, maka aku pun tidak merasa berhak
menghukummu." "Pangeran berhak. Aku menyerah," berkata Ki Permita,
"jika Pangeran menganggap bahwa aku belum menyerah,
maka aku menegaskan, sejak aku menyerahkan mati
hidupku, aku menyerah. Pangeran berhak membunuh
seorang tawanan yang berbahaya, karena sebenarnyalah
bahwa aku akan dapat menjadi sangat berbahaya bagi
Pangeran dan bahkan bagi Kediri."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun kemudian suaranya merendah, "jadi kau
menyerah." "Ya. Dan Pangeran dapat membunuhku," jawab orang
itu. "Baiklah Ki Permita," berkata Pangeran Singa Narpada,
"jika kau memang menyerah, maka kau tentu merasa
berada di bawah kuasaku."
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
bertanya dengan nada tinggi, "Apa maksud Pangeran."
"Aku terima penyerahanmu. Tetapi dengan syarat,"
jawab Pangeran Singa Narpada.
"Justru dengan syarat?" bertanya orang itu, "bukankah
seharusnya akulah yang mengajukan syarat" Dan bukankah
Pangeran seharusnya memerintahkan aku menyerah tanpa
syarat?" "Kali ini tidak," jawab Pangeran Singa Narpada, "aku
sudah menghindari pertanyaanku tentang sikapmu terhadap
Kediri. Karena itu, sebagai syarat penyerahanmu, aku
tuntut kau menangkap orang-orang yang berhasil melarikan
diri. Jika kau yang melakukannya tentu akan jauh lebih
mudah daripada jika aku atau orang-orang Lemah Warah
yang melakukannya. Terutama para pemimpinnya."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, "Yang
dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah sudah terlalu banyak.
Yang dikorbankannya pun telah terlalu banyak pula justru
adalah anak-anaknya yang terbaik."
Ki Permita termangu-mangu sejenak. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, "Ki Permita.
Bukan karena Akuwu Lemah Warah sudah menjadi putus
asa dan tidak akan mampu lagi memburu orang-orang yang
melarikan diri itu. Tetapi apakah kita akan dapat mencari
jalan lain yang lebih singkat dan korban yang lebih kecil."
Orang yang disebut Ki Permita itu menundukkan
kepalanya. Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata,
"Pangeran. Aku selalu berusaha mencegah jika
Panembahan berniat untuk mempergunakan ilmunya di
dalam setiap pertempuran. Sorot matanya dan juga angin
pusaran yang dapat dilontarkan dari dirinya atas dorongan
ilmunya." "Aku mengerti Ki Permita. Dengan demikian kau
berusaha agar pamanda Pangeran Gagak Branang tidak
membantai lawannya sebagaimana membabat batang
ilalang," berkata Pangeran Singa Narpada, "tetapi yang
akan terjadi tentu tidak demikian. Orang-orang yang
melarikan diri itu hanya disertai dengan beberapa orang
pengawal saja. Jika kau harus menghancurkannya, maka
jumlahnya tidak terlalu banyak dan bahkan mungkin kau
dapat mengambil jalan lain. Bukan jalan kekerasan. Tetapi
jika yang datang prajurit Lemah Warah, akan terjadi
pertempuran lagi. Dan korban pun akan jatuh dari kedua
belah pihak. Tentu jauh lebih banyak daripada jika kau
sendiri yang melakukannya. Sementara itu aku yakin
bahwa kau akan mampu mengatasi orang-orang yang telah
melarikan diri itu. karena betapapun tinggi ilmu mereka,
agaknya bukan tandingannya dengan ilmu yang pernah kau
pertunjukkan kepadaku."
Ki Permita masih termangu-mangu. Namun agaknya ia
memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia dapat mengerti
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa yang dimaksud oleh Pangeran Singa Narpada. Namun
bagaimanapun juga ada sesuatu yang masih menghambat
perasaannya. "Ki Permita," berkata Pangeran Singa Narpada, "aku
ingin mendengar kesediaanmu."
Ki Permita mengangkat wajahnya. Dipandanginya
Pangeran Singa Narpada dengan tatapan mata yang lesu.
Namun kemudian katanya, "Baiklah Pangeran. Aku akan
memenuhi syarat penyerahanku. Mudah-mudahan aku
dapat menangkap mereka tanpa mempergunakan
kekerasan, apalagi jatuhnya korban."
"Terima kasih. Untuk sementara kami masih akan
berada di padepokan ini. Jika selama kami masih berada di
padepokan ini Ki Permita dapat memenuhi syarat itu, maka
kami akan merasa sangat beruntung," berkata Pangeran
Singa Narpada. Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Aku hanya dapat berusaha. Tetapi
untuk menemukan mereka aku masih memerlukan waktu.
Apalagi untuk membawa mereka ke padepokan ini."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Aku percaya kepadamu Ki Permita. Kau akan
melakukan tugasmu dengan baik." namun kemudian
terdengar suaranya menurun, "dan aku percaya kepadamu,
bahwa kau mempunyai keyakinan yang berbeda dengan
pamanda Pangeran Gagak Branang. Hanya kesetiaanmu
sajalah yang memaksamu untuk mengikutinya dan berbuat
seolah-olah kau pun berkeyakinan seperti pamanda
Pangeran Gagak Branang."
Orang itu menunduk dalam-dalam. Sesuatu terasa
bergejolak di dalam dadanya. Penilaian Pangeran Singa
Narpada membuat darahnya bagaikan mengalir lebih cepat.
Sebenarnyalah bahwa ia memang mempunyai keyakinan
yang berbeda. Tetapi ia adalah abdi yang setia sehingga ia
telah menimbun keyakinannya sendiri dan menempatkan
dirinya pada sikap dan keyakinan orang lain. Namun orang
yang diikutinya itu sudah tidak mungkin lagi untuk bersikap
dan berkeyakinan. Bahkan agaknya sulit bagi Panembahan
itu untuk dapat tetap bertahan hidup.
Karena itu, maka ia pun merasa telah terlepas dari ikatan
kesetiaannya tentang sikap dan keyakinan, meskipun ia
masih merasa bahwa ia adalah hamba dari Panembahan
itu, dan bahkan terbersit niatnya untuk ikut mati
bersamanya. Namun Pangeran Singa Narpada ternyata memberikan
perintah kepadanya untuk melakukan sesuatu yang
barangkali baik juga dilakukannya. Sebagaimana dikatakan
oleh Pangeran Singa Narpada, bahwa jika ia bersedia
melakukannya, maka korban akan dapat dikurangi sekecilkecilnya.
Karena ia akan dapat melakukannya sendiri tanpa
pasukan dan para pemimpin dari Lemah Warah, sementara
itu, Lemah Warah telah memberikan korban cukup banyak.
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada kemudian,
"kita dapat memikirkan langkah-langkah kita lebih lanjut.
Aku akan melihat suasana medan."
"Silahkan Pangeran. Biarlah aku menunggui
Panembahan di sini. Aku tidak tahu, apakah keselamatan
Panembahan masih dapat diusahakan. Namun
bagaimanapun juga, aku masih akan berusaha."
"Silahkan," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Aku akan membawanya ke barak sebelah," berkata Ki
Permita kemudian. Pangeran Singa Narpada dan para pemimpin Lemah
Warah serta yang lain pun kemudian telah meninggalkan
Pangeran Gagak Branang yang ditunggui oleh hambanya
yang setia. Seperti dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah, maka
pertempuran memang sudah selesai. Namun Pangeran
Singa Narpada harus mengelus dadanya melihat jumlah
korban yang jatuh. Meskipun Pangeran Singa Narpada
adalah seorang prajurit yang keras dan garang, namun
melihat korban yang sedang dikumpulkan, baik dari Lemah
Warah maupun dari padepokan itu sendiri, rasa-rasanya
kulitnya telah meremang. Tetapi rasa-rasanya memang tidak ada jalan lain. Tanpa
pengorbanan yang besar, maka Kediri tidak akan dapat
menyingkap rahasia padepokan itu yang ternyata dipimpin
oleh Pangeran Gagak Branang yang tidak kalah kerasnya
dari Pangeran Singa Narpada.
Akuwu Lemah Warah sendiri setiap kali telah menekan
dadanya melihat anak-anaknya terbaik menjadi korban.
Dalam pada itu, Ki Permita telah membawa tubuh
Pangeran Gagak Branang ke barak sebelah, barak yang
masih terhitung utuh dibanding dengan bark-barak yang
lain. Namun ternyata bahwa keadaan tubuh Pangeran Gagak
Branang itu sudah demikian lemahnya. Jantungnya tidak
lagi berdetak cukup keras untuk mendorong darahnya
mengalir ke seluruh tubuhnya. Sementara itu kekuatan
sejenis getah yang telah mempengaruhi wadagnya, seakanakan
mampu menahan pertumbuhannya, tidak lagi berarti,
sehingga karena itu, maka perubahan pada wadag itu pun
telah terjadi dengan cepat. Namun yang terbaring itu masih
tetap Pangeran Gagak Branang.
Hanya karena pertimbangan usia sajalah maka Pangeran
Singa Narpada tidak memikirkannya sebagai Pangeran
Gagak Branang. Sebenarnya Pangeran Singa Narpada
memang mengenali orang yang disebut Panembahan itu
adalah seorang yang pernah dikenalnya. Tetapi getah yang
diminumnya tentu sudah berselang beberapa puluh tahun
dari saat Pangeran Gagak Branang meninggalkan Kediri,
sementara itu beberapa tahun berikutnya pertumbuhan
wadagnya telah terhenti. Mungkin sepuluh tahun atau
lebih. Ki Permita menunggui tubuh yang terbaring itu dengan
wajah yang suram. Pangeran Gagak Branang memang
sudah terlalu tua. Usianya sudah mendekati seratus tahun.
Namun pertumbuhan wadagnya telah terhenti sekitar
seperempat abad sebelumnya.
Kini tubuh yang terbaring itu benar-benar tubuh seorang
yang berusia seratus tahun. Tua, lemah dan keriput di dahi
dan keningnya. "Panembahan," desis Ki Permita.
Panembahan itu membuka matanya. Namun nafasnya
seakan-akan sudah tidak lagi mengalir dari lubang
hidungnya. Sementara arus darahnya pun serasa sudah
berhenti pula. "Permita," suaranya lemah sekali.
"Ya Panembahan," jawab Permita.
"Aku kagum akan kemampuan Singa Narpada dan
orang yang disebut Mahendra itu," desisnya. Suaranya
lemah, bahkan gemetar. "Ya Panembahan," jawab Ki Permita, "mereka memiliki
ilmu yang sangat tinggi."
"Sementara itu, aku juga mendengar pengakuanmu
Permita, bahwa kau juga memiliki ilmu sebagaimana aku
miliki," berkata Pangeran Gagak Branang, "tetapi itu tidak
mengejutkan aku. Yang mengejutkan aku adalah bahwa
sebenarnya kau mempunyai keyakinan lain dari
keyakinanku." "Ampun Panembahan," jawab Ki Permita, "aku tidak
dapat mengelak lagi dari nuraniku yang sebenarnya. Aku
memang tidak ingin menyembunyikan lagi justru pada saat
Panembahan telah terlempar ke dalam ujud kewajaran. Kita
sudah sama-sama tua. Pada saatnya aku pun akan segera
berubah sebagaimana Panembahan. Jika sampai saat
terakhir Panembahan tidak mengetahui keadaanku
sebenarnya, rasa-rasanya aku masih tetap berhutang kepada
Panembahan. Ada kebohongan yang terasa terbawa tanpa
pengakuan. Karena itu Panembahan, tanpa mengurangi
kesetiaanku kepada Pangeran Gagak Branang, maka aku
telah memberikan pengakuan itu. Dengan demikian aku
merasa tidak lagi berhutang kepada Panembahan dengan
kebohongan yang tidak habis-habisnya."
Pangeran Gagak Branang mengangguk-angguk kecil.
Namun kemudian katanya, "Terima kasih atas
kejujuranmu. Dalam saat-saat terakhir ini, sebaiknya aku
memang mengetahui segala-galanya. Pengakuanmu atas
keyakinanmu yang berbeda, justru memberikan tekanan
akan kesetiaanmu. Hanya orang yang setia sepenuhnya
sajalah yang dapat menyembunyikan nuraninya untuk
waktu yang sekian tahun lamanya. Untuk itu aku harus
berterima kasih kepadamu."
Ki Permita menundukkan wajahnya. Dengan nada
dalam ia berkata, "Pangeran, hamba mohon maaf."
Panembahan yang terluka parah itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menyeringai
menahan sakit di dadanya. Pada usia yang sudah sangat
tua, maka ia tidak akan mampu bertahan lagi, setelah
simpul pengendalian ilmunya terguncang setelah
membentur kekuatan ilmu Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra bersama-sama. Karena itu maka suaranya yang semakin lemah
terdengar pula, "Permita. Meskipun sikapku terhadap
Kediri tidak sama dengan Pangeran Singa Narpada, namun
ia adalah seorang yang luar biasa. Ia adalah seorang
kesatria yang teguh memegang martabat kesatriaannya.
Karena itu, maka kau akan mendapat tumpuan pengabdian
yang baru. Ikutlah anak itu dan justru sikapmu akan sesuai
dengan sikapnya." "Aku mendapat perintah dari Pangeran Singa Narpada,
Panembahan," berkata Ki Permita.
"Lakukan. Aku sudah mendengarnya. Kau akan dapat
memenuhinya tanpa merenggut korban lagi dari orangorang
Lemah Warah," berkata Panembahan itu.
"Tetapi dalam tugas ini, aku ingin menutup lembaranlembaran
ceritera tentang hidup seorang hamba yang setia.
Panembahan, umurku pun sudah terlalu tua. Aku sudah
terlalu lama hidup tanpa ujung pangkal. Maka sepeninggal
Panembahan, maka rasa-rasanya hidup pun tidak akan
berarti lagi. Karena itu maka aku memang ingin mengakhiri
hidup ini dengan cara sebagai seorang prajurit yang mati di
medan perang." "Tidak ada orang yang dapat membunuhmu kecuali
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra itu bersama-sama
sebagaimana dilakukan atas diriku," berkata Panembahan
itu semakin lemah. Permita tidak menyahut lagi. Tetapi ia bergeser semakin
mendekat. Ditatapnya wajah yang menjadi semakin pucat
serta nafas yang semakin sendat.
Tetapi ternyata bahwa Pangeran Gagak Branang itu
masih belum sampai pada batas terakhir. Ia masih tetap
bernafas meskipun keadaannya menjadi sangat parah.
Bahkan Permita telah menyangka bahwa sebelumnya
Pangeran Gagak Branang itu telah meninggal. Namun
ternyata belum. Namun justru karena itu, maka Pangeran Gagak
Branang itu akan menjadi persoalan baginya. Jika ia
melakukan tugas Pangeran Singa Narpada, maka ia harus
meninggalkan Pangeran Gagak Branang dalam keadaan
yang payah. Ki Permita tidak dapat sekedar merenungi keadaan itu.
Karena itu ia harus mengatakannya kepada Pangeran Singa
Narpada apabila ia sudah siap untuk berangkat.
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Pangeran
Singa Narpada maka Pangeran Singa Narpada tidak
mengabaikannya. Pangeran Gagak Branang memang
memerlukan perawatan, sementara itu ia tidak dapat terlalu
lama menunggu sehingga orang-orang yang harus mereka
cari akan bersembunyi semakin jauh.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun
kemudian bertanya kepada Ki Permita, "Bagaimana
menurut pertimbanganmu?"
"Memang harus ada orang khusus yang merawatnya,"
berkata Ki Permita, "sebenarnya orang yang paling tepat
adalah aku. Tetapi Pangeran telah memerintahkan aku
untuk mencari orang-orang yang telah melarikan diri dari
padepokan ini." "Jadi, bagaimana sebaiknya" Tugasmu diurungkan?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tidak Pangeran. Biarlah aku bertanya kepada Pangeran
Gagak Branang, apa yang dikehendakinya," jawab Ki
Permita. "Jika pamanda Gagak Branang menghendaki kau
tinggal, maka aku sama sekali tidak berkeberatan kau
tinggal," berkata Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, maka Mahendra telah berkata,
"Pangeran. Jika Pangeran Gagak Branang setuju, aku
bersedia merawatnya, selama Ki Permita melakukan
tugasnya." Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
menjawab, "Aku akan bertanya kepada Pangeran Gagak
Branang." Seperti yang dikatakannya, maka Ki Permita pun telah
menemui Pangeran Gagak Branang yang terbaring di
sebuah amben di dalam barak yang tidak lagi dihuni oleh
orang lain. Ternyata Ki Permita tidak menolak. Apalagi ketika ia
mendapat keterangan bahwa Mahendra adalah salah
seorang dari kedua orang yang telah membentur ilmunya.
"Ia adalah orang yang luar biasa sebagaimana Singa
Narpada," berkata Pangeran Gagak Branang, "aku akan
merasa beruntung sekali jika ia bersedia mengawani aku di
sini." Demikianlah, maka pada saatnya Ki Permita itu pun
telah minta diri untuk melakukan tugasnya. Sementara itu,
Pangeran Singa Narpada serta Akuwu Lemah Warah serta
pasukannya masih tetap berada di padepokan itu untuk
beberapa saat lamanya. Seperti yang disanggupinya, maka Mahendra lah yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian merawat Pangeran Gagak Branang yang tua dan
lemah. Yang kadang-kadang menjadi sangat gawat sehingga
nampaknya tidak ada lagi harapan baginya untuk bertahan
sampai sepenginang. Namun ternyata bahwa segala dugaan
telah keliru. Pernafasan Pangeran Gagak Branang menjadi
teratur kembali dan keadaannya pun berangsur baik.
Ternyata bahwa Mahendra berusaha untuk merawat
Pangeran Gagak Branang sebaik-baiknya. Ia sama sekali
tidak memberikan kesan bahwa mereka pernah berhadapan
sebagai lawan yang mempertaruhkan hidup mati mereka.
Namun sebaliknya Pangeran Gagak Branang pun tidak lagi
menganggap Mahendra sebagai musuhnya. Dalam
pergaulan mereka yang semakin akrab, maka Pangeran
Gagak Branang telah menganggap Mahendra sebagai
sahabatnya. Bahkan Pangeran Gagak Branang itu pun mulai tertarik
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak Mahendra
yang memiliki kemampuan yang tinggi pada usianya yang
masih muda. "Aku telah mendengar tentang anak-anakmu itu
Mahendra," berkata Pangeran Gagak Branang.
"Mereka memang mulai belajar tentang olah
kanuragan," berkata Mahendra, "tetapi mereka tidak
termasuk anak-anak yang cerdas."
"Kau merendahkan diri," berkata Pangeran Gagak
Branang, "aku tahu, anak-anakmu memiliki kemampuan
yang mengagumkan. Sebelum kau datang, anak-anakmu
telah menunjukkan kelebihannya. Mereka mampu
mengatasi kesulitan-kesulitan yang sebenarnya terlalu berat
bagi anak-anak muda sebayanya."
"Pangeran memuji," desis Mahendra.
Pangeran Gagak Branang tersenyum. Namun ia pun
kemudian terdiam. Seperti sering dilakukan, maka ia pun
kemudian telah merenung. Seakan-akan dipandanginya
satu masa yang tidak dapat disebutkan. Mungkin ia sedang
menerawangi satu kenangan atau mungkin bahkan ia
sedang menyesali keadaannya, atau mengangankan masa
depan yang mungkin akan dialaminya.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahendra mampu
menempatkan dirinya sebagai sahabat Pangeran Gagak
Branang. Sehingga dengan demikian sepeninggal Ki
Permita, Pangeran Gagak Branang tidak merasa sendiri,
tanpa orang lain. Sementara itu, Ki Permita telah meninggalkan
padepokan itu. Sebenarnya ia pun tidak begitu pasti, ke
mana orang-orang itu pergi. Namun ia mempunyai
beberapa dugaan, tempat-tempat yang mungkin didatangi
oleh para pemimpin padepokan itu yang melarikan diri,
sehingga tempat-tempat itu akan dapat dijadikan sasaran
utama dalam melaksanakan tugasnya.
Namun demikian, di sepanjang jalan, Ki Permita
mencoba untuk mendengarkan pembicaraan orang atau
justru ia telah bertanya-tanya apakah ada orang yang
sempat melihat kelompok kecil yang lewat di padukuhan
mereka atau bahkan kepada para penjual di kedai, mungkin
sekelompok orang telah singgah di kedai itu.
Meskipun tidak banyak orang yang bersedia memberikan
keterangan, karena takut terlibat dalam satu tindak
kekerasan, namun ada juga yang tidak dengan maksud
sesuatu, menunjukkan, sekelompok orang yang pernah
lewat di padukuhan mereka, atau singgah di kedai mereka.
Sehingga dengan demikian, meskipun agak sulit, namun Ki
Permita akhirnya yakin bahwa sekelompok kecil orangorang
itu telah menuju ke sebuah padepokan lain yang juga
pernah dikenalnya. Namun Ki Permita itu kadang-kadang menjadi berdebardebar.
Jika ia harus menghadapi orang padepokan, maka ia
tentu akan melakukan sesuatu yang dicemaskannya
dilakukan oleh Pangeran Gagak Branang.
Tetapi untuk menenangkan hatinya sendiri ia berkata,
"Tetapi sasarannya memang berbeda. Pangeran Gagak
Branang akan melakukannya atas para prajurit yang sedang
mengemban tugas, sedangkan aku jika terpaksa akan
melakukannya atas orang-orang yang sedang memberontak
terhadap pemerintah."
Namun Ki Permita tetap berkeinginan bahwa segalanya
akan dapat diselesaikan tanpa kekerasan, tanpa korban dan
akan dicapainya dengan tuntas.
Sementara Ki Permita menelusuri jalan yang dilalui oleh
para pemimpin padepokan yang melarikan diri, maka
keadaan Pangeran Gagak Branang menjadi semakin tidak
menentu. Kadang-kadang keadaannya nampak sulit sekali.
Nafasnya bagaikan tidak dapat lagi mengalir. Namun
kadang-kadang keadaannya nampak baik dan bahkan
semakin segar. Dalam keadaan yang demikian, Pangeran Gagak
Branang telah memanggil Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra. Dengan suara yang bergetar Pangeran itu berkata,
"Pangeran Singa Narpada dan Ki Mahendra. Sebagaimana
kalian lihat, keadaanku ternyata sangat sulit. Aku seperti
berdiri di sebuah pintu. Sekali aku didorong untuk masuk,
namun kadang-kadang aku telah terlempar lagi keluar."
Pangeran Singa Narpada yang duduk dekat dengan
Pangeran Gagak Branang itu kemudian berkata,
"Bagaimana maksud pamanda. Apakah pamanda ingin
melakukan samadi agar keadaan pamanda menjadi semakin
baik" Jika memang pamanda kehendaki, maka biarlah aku
dan Mahendra menolong pamanda. Keadaanku dan
Mahendra sudah berangsur baik, dan bahkan justru telah
pulih kembali." "Aku memang sudah menduga," berkata Pangeran
Gagak Branang, "tetapi nampaknya keadaanku tidak akan
menjadi baik. Aku sudah terlalu tua dan wadagku seperti ini
tidak akan dapat lagi mendukung ilmuku seandainya aku
masih mungkin menyelamatkannya."
"Jadi bagaimana maksud pamanda?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Kemudian
dengan suara sendat ia berkata, "Singa Narpada. Ada
sesuatu yang perlu kau ketahui. Bahwa apapun yang terjadi
atas diriku, aku tidak akan mati. Seandainya kalian berdua,
dalam kemampuan sepenuhnya seperti sekarang ini
menyerang aku, aku memang akan semakin hancur. Tetapi
aku tidak akan mati. Bahkan justru semakin tersiksa.
Tubuhku menjadi semakin rusak. Namun nyawaku akan
tetap berada di dalamnya dengan semua penanggungan."
"Kenapa Pangeran tidak dapat mati?" bertanya
Mahendra. "Itulah yang ingin aku pecahkan," berkata Pangeran
Gagak Branang, "semula aku merasa bangga akan
kekebalan itu. Tetapi pada saat seperti ini, maka kematian
adalah satu-satunya jalan yang paling baik bagiku untuk
melepaskan diri dari penderitaan ini."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia dapat mengerti, bahwa kematian memang
merupakan pelepasan terbaik bagi Pangeran Gagak
Branang. "Singa Narpada, kau jangan merasa segan untuk
membenarkan kata-kataku," berkata Pangeran Gagak
Branang, "aku memerlukan pertolonganmu."
"Apa yang dapat kami lakukan pamanda?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Carilah seutas lawe."
"Lawe?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Ya, lawe. Kemudian usahakan agar kau dapat
melakukan sesuatu untuk melepaskan penderitaan ini,"
berkata Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian telah memerintahkan kepada
Akuwu Lemah Warah untuk mengusahakan seutas lawe.
"Jika perlu, pergi ke padukuhan," berkata Pangeran
Singa Narpada. Sementara prajurit Lemah Warah mencari seutas lawe,
maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata, "Singa
Narpada. Ada sesuatu lagi yang ingin aku beritahukan.
Dalam keadaan yang parah ini, masih ada yang dapat aku
berikan kepada seseorang. Mungkin kau atau Ki Mahendra
atau kedua-duanya. Kalian adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan sisa ilmu
yang ada padaku, maka kalian akan memiliki ilmu yang
lebih baik lagi." "Tetapi dengan akibat, tidak dapat mati sebagaimana
pamanda sekarang ini?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tidak Singa Narpada," jawab Pangeran Gagak
Branang, "bahwa aku terlepas dari kematian bukan karena
ilmu itu. Tetapi karena ilmu yang lain."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian ia pun bertanya, "Pamanda. Apakah ada
syaratnya bagi seseorang yang harus menerima ilmu itu?"
"Memang ada," jawab Pangeran Gagak Branang, "yang
akan menerima ilmu itu harus orang-orang yang memang
sudah berilmu, ia memiliki wadag yang kuat untuk
mendukung kemampuan yang timbul karena ilmu itu.
Selanjutnya, penilaian tentang watak dan tingkah laku."
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra termangumangu
sejenak. Namun kemudian Pangeran Singa Narpada
lah yang bertanya, "Bagaimanakah dasar penilaian tentang
watak dan tingkah laku?"
Pangeran Gagak Branang yang nafasnya terasa menjadi
sesak berkata, "Penilaian watak dan tingkah laku
tergantung orang yang memiliki ilmu itu untuk menentukan
apakah seseorang dianggap pantas untuk menerimanya."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk . Namun
kemudian katanya, "Pamanda. Kami berdua sudah menjadi
semakin tua. Sebentar lagi kami berdua akan segera
menyusul sebagaimana keadaan pamanda sekarang. Karena
itu seandainya ilmu itu pamanda berikan kepada kami
berdua, maka agaknya tidak akan banyak memberikan
manfaat bagi kehidupan."
"Bukankah kalian akan dapat mewariskannya kepada
orang-orang yang kalian percaya?" berkata Pangeran Singa
Narpada. "Sementara itu, kau memiliki syarat yang paling
baik untuk menerima ilmu ini. Kau mampu menghisap
ilmu orang lain sehingga akan berarti bagi dirimu sendiri."
"Tidak pamanda. Aku hanya mampu memperlemah
ilmu orang lain, tetapi tidak menghisapnya dan
memberikan arti bagi kemampuanku," jawab Pangeran
Singa Narpada. "Kau sudah berdiri di ambang pintu. Kau tinggal
melangkah satu langkah lagi untuk sampai pada
kemampuan itu," berkata Pangeran Singa Narpada, "jika
pada saat kau mengetrapkan ilmumu itu kau sertai dengan
laku yang lain, maka kau akan sampai pada kemampuan
itu." "Apakah yang harus aku lakukan seandainya aku
bersedia menerima ilmu pamanda," bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Pangeran. Kau sampai saat ini masih membenturkan
kekuatan dan kemampuan ilmumu sekaligus dan bersamasama.
Yang terjadi dalam pergolakan ilmu itu adalah,
bahwa ilmumu justru telah menyusup ke dalam tubuh
lawanmu, baru terjadi penyusutan kemampuan lawanmu
karena getaran ilmumu yang telah membekukan sebagian
dari ilmu lawanmu di dalam tubuh mereka. Jadi yang
terjadi bukannya satu kemampuan untuk menghisap ilmu
lawanmu." "Hamba mengerti pamanda. Tetapi istilah yang paling
mudah dipergunakan adalah menghisap ilmu lawan
sebagaimana dipergunakan oleh banyak orang. Mereka
menuduh aku mempergunakan ilmu yang licik, karena aku
telah mencuri kemampuan lawan dengan diam-diam. "
jawab Pangeran Singa Narpada.
"Mungkin istilah itu dapat saja dipergunakan, karena
yang terjadi memang seolah-olah demikian," berkata
Pangeran Gagak Branang, "namun untuk memiliki ilmuku
kau dapat berbuat lain. Kau harus benar-benar menghisap.
Kau trapkan ilmumu, tetapi tidak dengan kekuatan
benturan. Kau justru harus membiarkan kekuatan lawan
menusuk ke dalam dirimu, kemudian kau terima dan kau
hisap ke dalam ruang penempatan ilmumu yang tidak
terbatas. Kau biarkan getaran itu bergejolak di dalam
dirimu, namun kau siapkan daya tahanmu untuk
melindungi dirimu jika ilmumu itu ternyata kurang mampu
mewadahi luap getaran ilmu yang akan kau terima itu.
Karena itu, untuk menerima ilmuku, seseorang memang
harus sudah memiliki ilmu yang tinggi, sehingga luapan
kemampuan ilmu ini dapat di atasi dengan kemampuan
daya tahan yang cukup besar."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian dipandanginya Mahendra sejenak.
Kemudian hampir berbisik Pangeran Singa Narpada
berkata, "Bagaimana dengan kedua anakmu. Aku kira itu
akan lebih baik daripada jika kita yang tua-tua ini yang akan
menerimanya." Mahendra nampak ragu-ragu. Namun dalam pada itu
Pangeran Gagak Branang mendengar pertanyaan itu
betapapun lambatnya. Karena itu, maka ia pun bertanya,
"Siapakah yang kau maksud?"
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," jawab Pangeran
Singa Narpada. Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Aku sudah mendapat laporan tentang kedua
anak muda itu. Dan aku pun telah melihat pula meskipun
tidak dengan mata wadagku bagaimana ia bertempur.
Nampaknya anak-anak itu memiliki kemampuan yang
cukup tinggi, sementara itu aku mempunyai penilaian yang
baik bagi watak dan tingkah lakunya. Dalam usianya yang
masih sangat muda mereka telah melakukan satu tugas
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan penuh tanggung jawab tanpa menghiraukan
taruhannya yang sangat besar, yaitu nyawa mereka sendiri.
Bahkan mereka telah mampu mengalahkan orang-orang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula."
"Jadi bagaimana menurut pamanda Pangeran, jika aku
mengusulkan agar ilmu itu dapat disalurkan kepada kedua
anak muda yang masih akan memiliki masa depan yang
panjang itu?" Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Tubuhnya memang benar-benar sudah menjadi kian parah.
Namun ia masih berkata, "Bawa anak itu kemari!"
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberi isyarat
kepada Mahendra untuk menghadapkan kedua anak lakilakinya.
Namun bagaimanapun juga terbersit keragu-raguan
di hati Mahendra. Yang akan dilakukan oleh Pangeran
Gagak Branang itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya.
Jika kedua anaknya tidak mampu menerima dan mengisap
dan meluluhkannya di dalam dirinya, serta ternyata daya
tahannya tidak dapat mengatasi luapan ilmu itu maka ilmu
itu justru akan membahayakannya.
Apalagi apabila dalam keadaan yang gawat itu. Pangeran
Gagak Branang sengaja menyeret orang lain untuk
menyertainya memasuki dunia langgengnya.
Namun ketika Pangeran Singa Narpada memandanginya
dengan tatapan mata yang meyakinkan, maka ia pun telah
melakukannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri masih belum
menentukan sikapnya, apakah ia dapat menerimanya atau
tidak. Mereka ingin melihat dan mengalami satu
pengalaman batin selama bersentuhan dengan sikap
Pangeran Gagak Branang. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di
sisinya, maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata
dengan suara yang bergetar, "Anak-anak muda. Kita
bertemu dalam satu arena pertempuran dan kebetulan kita
berdiri berseberangan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang berkata
selanjutnya, "Tetapi itu bukan merupakan hambatan bagiku
untuk melihat watak dan sikap kalian menghadapi keadaan.
Menurut penglihatanku, baik penglihatan kewadagan
maupun penglihatan khusus, kalian berdua merupakan
anak-anak muda yang pantas untuk mendapat kepercayaan.
Kalian berdua telah menjalankan tugas kalian dengan
sebaik-baiknya. Penuh tanggung jawab dan
mempertaruhkan hidup dan mati meskipun kalian masih
sangat muda. Kalian berpegang pada keyakinan dan tanpa
mengenal gentar dan takut menghadapi apapun juga.
Karena itu, maka aku berpendapat, bahwa kalian adalah
orang yang pantas untuk mendapat kesempatan mencapai
tataran ilmu yang setinggi-tingginya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
hampir berbareng mereka berpaling kepada ayahnya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun menilik
sikap dan kata-kata Pangeran Gagak Branang, rasa-rasanya
Mahendra mempercayainya bahwa ia tidak akan
mencelakakan kedua anaknya.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang itu pun berkata,
"Anak-anak muda. Apakah kalian bersedia menolongku?"
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Mahisa
Murti pun kemudian bertanya, "Apa yang dapat aku
lakukan?" "Mengurangi bebanku menjelang kematianku," berkata
Pangeran Gagak Branang, "ternyata ketamakanku telah
menjeratku dalam keadaan seperti ini di saat terakhirku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu.
Karena itu Pangeran Gagak Branang masih harus
menjelaskan, "Tetapi ilmu ini bukan penghambat utama.
Jika aku melepaskannya, maka sekedar akan mengurangi
beban. Tanpa ilmu yang menurut dugaanku akan dapat
memberikan kebanggaan, kebahagiaan dan kelebihan dari
semua orang, maka aku tidak akan mengalami kesulitan
seperti ini. Aku dapat melepaskan ilmu yang akan aku
wariskan kepada kalian tanpa orang lain. Tetapi yang satu
itu tidak. Harus ada orang yang menolongku. Sementara
aku dibebani oleh perasaan sayang untuk membuang begitu
saja sesuatu yang mungkin akan berarti bagi orang lain.
Bahkan akan berarti bagi kehidupan yang lebih luas. Jauh
lebih besar artinya daripada semasa ilmu itu ada padaku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Mereka masih saja mengharapkan petunjuk dari ayahnya.
Sementara Mahendra pun seolah-olah minta pertimbangan
kepada Pangeran Singa Narpada.
Baru kemudian Pangeran Singa Narpada mengangguk
kecil, sehingga dengan demikian sudah ada isyarat bagi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apakah sebaiknya yang
harus mereka lakukan. "anak-anak muda," berkata Pangeran Gagak Branang
dengan suara bergetar, "katakanlah. Apakah kau siap untuk
mewarisi ilmuku" Baiklah aku beritahukan, apa yang dapat
kau sadap dari aku. Sebenarnya bukan satu ilmu yang
terpisah dari diriku dan dari diri mereka yang akan
mewarisinya. Ilmu itu adalah satu alas yang akan
meningkatkan apa yang sudah ada di dalam diri masingmasing.
Kau tidak akan mendapatkan sesuatu yang baru."
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menarik nafas
dalam-dalam. Dengan demikian maka kecemasan mereka
pun menjadi semakin susut. Getaran yang akan menyusup
ke dalam diri anak-anak muda itu tidak akan mengalami
benturan-benturan yang keras dengan apa yang telah ada di
dalam diri kedua anak muda itu.
"Nah, katakanlah," desis Pangeran Gagak Branang,
"apakah kalian bersedia menerimanya, atau jika tidak,
biarlah ilmu itu aku tumpahkan dan kehilangan arti sama
sekali, meskipun sebenarnya masih akan dapat berarti bagi
kehidupan ini sesuai dengan pengabdian mereka yang
memilikinya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak raguragu.
Namun Pangeran Singa Narpada sekali lagi
memberikan isyarat kepada kedua anak itu dan kepada
Mahendra. sehingga akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun berkata hampir bersamaan, "Baiklah Pangeran."
"Ya Pangeran," jawab Mahisa Murti.
"Baiklah. Kalian akan segera mendapatkannya. Ilmu itu
sudah tidak ada artinya lagi bagiku. Ilmu itu adalah ilmu
yang mendukung ilmuku yang lain. Tetapi dalam benturan
ilmu yang terjadi, maka ilmuku yang didukung oleh alas
kekuatan itu tidak lagi memiliki kemampuan. Sehingga
betapapun besarnya kekuatan yang mendukungnya sudah
tidak akan ada artinya lagi," berkata Pangeran Gagak
Branang. "namun aku sudah tidak memiliki kekuatan lagi
untuk menyusupkan getaran kekuatan ilmu itu ke dalam
tubuh kalian, sehingga kalianlah yang harus menghisapnya
daripadaku. Aku sudah mengetahui bahwa kalian berdua
telah memiliki ilmu itu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran
Singa Narpada. Karena itu untuk selanjutnya, biarlah
Pangeran Singa Narpada memberikan petunjuk laku kepada
kalian." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian telah memberikan beberapa petunjuk kepada
kedua anak muda itu sebagaimana Pangeran Gagak
Branang memberikan petunjuk.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang pun berkata,
"Kita akan segera mulai jika lawe itu sudah ada."
Mahendra lah yang kemudian menghubungi Akuwu
Lemah Warah. Ternyata bahwa seorang di antara
prajuritnya telah mendapatkan lawe itu di padukuhan,
meskipun hanya beberapa depa saja.
Ketika kemudian lawe itu dibawa kepada Pangeran
Gagak Branang, maka katanya, "Lingkarkan lawe itu pada
lambungku." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun iapun
kemudian mengikuti apa yang dikatakan oleh Pangeran
Gagak Branang. Dilingkarkannya lawe itu di lambung
Pangeran Gagak Branang. Pangeran Gagak Branang pun kemudian berkata,
"Terima kasih. Sekarang, biarlah kedua anak muda itu
mengambil ilmu itu daripadaku. Tetapi Pangeran Singa
Narpada, kau harus selalu mendengarkan kata-kataku. Pada
saatnya kau harus menolongku melepaskan nyawaku yang
terikat oleh wadagku yang telah tidak memadai lagi.
Ternyata bahwa apa yang aku anggap akan dapat
memberikan aku kebahagiaan tanpa batas itu justru telah
menyiksaku. Karena ternyata kematian memang tidak akan
dapat dihindari oleh siapapun."
Pangeran Singa Narpada bergeser mendekat sambil
menyahut, "Baiklah pamanda. Aku akan mengikuti segala
perintah pamanda. Tetapi pamanda jangan menganggap
bahwa aku memang menghendaki kematian pamanda."
"Tidak Pangeran. Aku sadar sepenuhnya, bahwa aku
sendirilah yang menghendakinya. Kau justru akan
menolongku untuk melakukannya," jawab Pangeran Gagak
Branang. Pangeran Gagak Branang mengangguk kecil. Kemudian
katanya, "sekarang sudah waktunya anak-anak muda itu
mengambil ilmu itu."
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberikan
isyarat kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya
pun sudah mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu yang
tersisa di dalam tubuh Pangeran Gagak Branang yang
sudah menjadi sangat lemah.
Kedua anak muda itu pun kemudian bergeser mendekat.
Pangeran Gagak Branang yang lemah itu pun telah
mengulurkan kedua tangannya sambil berkata, "Pegang
tanganku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tanggap.
Keduanya memegang tangan Pangeran Gagak Branang
sebelah menyebelah. "Anak-anak," berkata Pangeran Gagak Branang,
"Sekarang pusatkan segala kemampuanmu pada ilmu yang
pernah kau miliki sebagaimana dimiliki oleh Pangeran
Singa Narpada. Lakukan petunjuk yang telah diberikan
kepadamu oleh Pangeran Singa Narpada itu. Aku telah siap
untuk melepaskannya. Kerahkan semua kemampuan yang
ada padamu. Dan kerahkan daya tahan yang kalian miliki,
sehingga seandainya kekuatan getaran ilmuku yang terhisap
di dalam tubuhmu dan terjadi sengatan pada bagian dalam
tubuhmu oleh limpahan kekuatan ilmuku, maka kau tidak
akan mengalami sesuatu. Kemudian ilmu yang terhisap ke
dalam kekuatan serta kemampuan ilmumu itu akan menjadi
landasan peningkatan kemampuan ilmumu selanjutnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun keduanya telah mempersiapkan diri lahir dan batin.
Mereka pun telah mempersiapkan segenap kemampuannya
daya tahan untuk melindungi isi dada mereka andaikata
getaran yang terjadi di dalam dada mereka
mengguncangkan isinya, oleh luapan kekuatan yang
ternyata terlalu besar. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan ilmu mereka.
Seperti yang dikatakan dalam petunjuk yang diberikan oleh
Pangeran Singa Narpada, maka keduanya dalam
mengetrapkan ilmunya tidak mempergunakan kekuatan
benturan wadag mereka. Mereka justru berusaha untuk
melepaskan getaran yang terjadi menusuk ke dalam tubuh
mereka. Demikianlah telah terjadi gejolak di dalam diri Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Mereka merasakan arus yang
deras mengalir ke dalam diri mereka. Arus yang seakanakan
tidak terbendung. Getaran itu semakin lama menjadi semakin keras
mengguncang isi dada mereka, sehingga isi-dada kedua
anak muda itu pun mulai terasa pedih.
Namun kedua anak muda itu telah mengerahkan
segenap kemampuan daya tahan mereka, sehingga dengan
demikian mereka masih mampu mengatasi perasaan sakit di
dalam diri mereka. Pangeran Singa Narpada dan Mahendra yang
menyaksikan peristiwa itu menjadi berdebar-debar. Dengan
cemas keduanya memandang setiap perubahan pada wajah
kedua anak muda itu. Keringat nampaknya mulai
membasahi tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan
kemudian tubuh mereka pun telah menjadi bergetar pula.
Mahendra benar-benar menjadi cemas. Tetapi segalanya
sedang berlangsung, sehingga ia tidak dapat berbuat apaapa.
Namun demikian Mahendra telah bergeser mendekat.
Dalam keadaan yang gawat ia akan dapat membantu
menyalurkan kekuatan ke dalam tubuh kedua anaknya,
untuk ikut serta mendukung beban yang mengalir dari diri
Pangeran Gagak Branang ke dalam diri kedua anaknya.
Bahkan Pangeran Singa Narpada pun telah melakukan
hal yang sama. Ia pun telah bergeser mendekat, siap untuk
memberikan bantuan jika ternyata kemampuan kedua anak
muda itu tidak dapat menampung ilmu yang ingin mereka
warisi dari Pangeran Gagak Branang.
Keduanya semakin berdebar-debar ketika mereka
melihat wajah kedua anak muda itu menjadi semakin pucat,
sementara keringat mereka telah membasahi tubuh mereka
bagaikan orang yang sedang mandi.
Debar di dalam dada Mahendra dan Pangeran Singa
Narpada menjadi semakin memukul-mukul jantung.
Namun mereka masih tetap menunggu. Mahendra dan
Pangeran Singa Narpada menyaksikan kedua anak muda
masih duduk sambil memegangi tangan Pangeran Gagak
Branang sebelah menyebelah.
Namun kedua orang itu benar-benar menjadi sangat
cemas ketika mereka melihat, kepala Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu pun tertunduk dalam-dalam, seolah-olah
tulang lehernya telah patah.
Mahendra bergeser setapak mendekat. Namun kemudian
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia mendengar Pangeran Gagak Branang itu berdesis.
Bahkan kemudian seakan-akan Pangeran itu telah
mengerang. "Pamanda," desis Pangeran Singa Narpada kemudian.
Orang itu menjadi semakin jelas. Sementara Pangeran
Singa Narpada telah bergeser semakin dekat.
"Singa Narpada," terdengar suara Pangeran Gagak
Branang lambat sekali. "Pamanda," desis Pangeran Singa Narpada.
Wajah Pangeran Gagak Branang pun menjadi sangat
pucat pula. Nafasnya terengah-engah dan suaranya menjadi
sangat lambat, "Singa Narpada. Anak-anak itu telah
berhasil menghisap seluruh kekuatan ilmu itu daripadaku.
Bagaimana keadaan mereka sekarang?"
Pangeran Singa Narpada memandang kedua anak muda
yang duduk dengan kepala yang terkulai lemah. Bahkan
kemudian seakan-akan dari ubun-ubun mereka nampak
asap yang tipis menguap perlahan-lahan.
"Pamanda," desis Pangeran Singa Narpada, "aku akan
mencoba melihatnya."
"Lihatlah keadaannya. Bantulah jika mereka
memerlukannya," desis Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada pun kemudian mendekati
Mahisa Pukat, sementara Mahendra berada di dekat
Mahisa Murti. Namun meskipun kedua anak muda itu
menjadi sangat sulit. Namun keduanya masih mampu
berusaha untuk mengatasi kesulitan didalam diri mereka.
Dengan segenap kekuatan tenaga cadangan mereka, maka
mereka telah mengatasi perasaan sakit di dalam diri mereka
oleh luapan ilmu Pangeran Gagak Branang yang mereka
hisap itu. Mereka pun telah berusaha mengatur pernafasan
mereka untuk meredakan gejolak getaran didalam dada
mereka serta untuk mengatur agar peredaran darah mereka
menjadi wajar kembali. Meskipun perlahan-lahan agaknya keduanya akan
mampu mengatasinya tanpa bantuan orang lain.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun telah
bergeser kembali mendekati telinga Pangeran Gagak
Branang yang terbaring diam.
"Pamanda," berkata Pangeran Singa Narpada di telinga
pamandanya, "mereka dalam keadaan baik meskipun
mengalami kesulitan. Namun agaknya mereka akan
mampu mengatasinya."
"Syukurlah," berkata Pangeran Gagak Branang, "aku
memang sudah menduga, bahwa keduanya akan mampu
mengatasinya sendiri." Pangeran Gagak Branang berhenti
sejenak. Kemudian, "Dengar Singa Narpada. Kedua anak itu
akan menjadi dua orang anak muda yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Ilmu mereka yang memang sudah cukup
tinggi, akan terangkat ke atas alas yang dihisapnya
daripadaku. Sejenis ilmu yang tidak berdiri sendiri, tetapi
menopang ilmu yang telah ada didalam dirinya. Namun
pesanku kepadamu, sampaikan kepada anak-anak itu,
bahwa mereka harus menyadari kegunaan ilmu itu. Ilmu itu
merupakan ungkapan dari keyakinannya yang dapat
memberikan arti bagi sesamanya sebagai satu pengabdian
kepada Yang Maha Agung. Kau dapat mengatakan kepada
mereka, bahwa aku bukan contoh yang baik dari seseorang
yang memiliki ilmu itu, karena aku hanya sekedar
berpegang pada keyakinanku sendiri."
Sementara itu, ada keyakinan lain yang berbeda dengan
keyakinanku. Memang sulit untuk menyebutkan kebenaran
yang mutlak sehingga kadang-kadang kita merasa diri kita
adalah yang paling benar tanpa menghiraukan kebenaran
bagi orang lain." Pangeran Singa Narpada mengangguk sambil berkata,
"Aku akan menyampaikannya pamanda. Aku yakin bahwa
kedua anak itu pada dasarnya memang berpegang kepada
satu keyakinan untuk dapat memberikan arti hidup mereka
bagi sesama sebagai satu pengabdian kepada Yang Maha
Agung. Sebagaimana selalu dilakukan oleh ayah mereka
serta saudara tua mereka, Mahisa Bungalan. Juga pamanpaman
mereka, yang dikenal dengan Mahisa Agni dan
Witantra." Wajah Pangeran Gagak Branang nampak berkerut.
Dengan nada lemah ia berkata, "Jadi keduanya mempunyai
sangkut paut dengan kedua orang yang pernah berada di
Kediri atas nama kuasa Tumapel itu?"
"Maksud pamanda, Singasari?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Tumapel," ulang Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Lalu jawabnya, "benar pamanda, keduanya adalah
kemanakan kedua orang itu."
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Aku kagum kepada keduanya meskipun aku
tidak sependapat dengan keyakinannya. Dengan demikian,
maka aku yakin, bahwa kedua anak muda itu akan dapat
memanfaatkannya bagi sesama jika kita dapat melupakan
keyakinan pribadi tentang Tanah Tumpah Darah itu."
"Ya pamanda," berkata Pangeran Singa Narpada, "aku
pun berharap demikian."
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan dalam sekali. "Singa Narpada," berkata Pangeran Gagak Branang
kemudian, "sekarang telah sampai waktunya. Aku tidak
perlu menunggu Permita. Tolong, bantu aku."
"Apa yang harus aku lakukan pamanda?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Singa Narpada," berkata Pangeran Gagak Branang,
"waktu itu memang sudah tiba. Wadagku telah tidak lagi
mampu mendukung keinginanku yang melonjak menggapai
langit. Karena itu, maka aku tidak akan hidup lebih lama
lagi." Nafas Pangeran Gagak Branang menjadi semakin
terengah-engah. Dengan suara yang sendat ia melanjutkan,
"Tolonglah aku Singa Narpada. Lingkarkan Lawe itu pada
lambungku. Kemudian tarik ujung yang berada di sebelah
kiri dari arahku. Perlahan-lahan, jangan sampai putus. Jika
lawe itu putus, kau akan semakin menyiksaku."
"Untuk apa paman?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tolonglah, lakukanlah dengan hati-hati," berkata
Pangeran Gagak Branang kemudian.
Pangeran Singa Narpada menjadi termangu-mangu.
Namun ia pun kemudian telah berdiri, melingkarkan lawe
itu pada lambung Pangeran Gagak Branang dalam
lingkaran penuh. Kemudian, seperti dikatakan oleh
Pangeran Gagak Branang, maka Pangeran Singa Narpada
perlahan-lahan telah menarik tali itu dari arah kiri Pangeran
Gagak Branang. Demikian perhatian Pangeran Singa Narpada
sepenuhnya tertuju kepada benang lawe yang ditariknya
perlahan-lahan itu, sehingga ia tidak sempat
memperhatikan Pangeran Gagak Branang sendiri. Seperti
dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang, maka lawe itu
jangan sampai putus, karena jika lawe itu putus, maka
keadaan Pangeran Gagak Branang akan menjadi semakin
buruk. Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada justru
menahan nafas. Demikian pula Mahendra yang
menyaksikannya. Keringat dingin telah mengalir di
punggungnya. Bahkan Mahendra tidak lagi memperhatikan
kedua anaknya yang sedang berjuang untuk memperbaiki
keadaannya. Ujung lawe itu pun mulai bergerak dan hilang di balik
punggung. Tangan Pangeran Singa Narpada pun menjadi
gemetar. Tetapi karena ia cukup berhati-hati, maka akhirnya ia
berhasil menarik lawe itu ke kiri dari arah Pangeran Gagak
Branang dengan baik. Benang lawe itu tidak putus sama
sekali. Pangeran Gagak Branang tidak menjawab. Bahkan
ketika Pangeran Singa Narpada memperhatikannya, ia pun
menjadi berdebar-debar. Kedua tangan Pangeran Gagak
Branang itu bersilang di dadanya. Matanya terpejam dan
mulutnya sedikit menyungging senyum.
"Pamanda," panggil Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang sama sekali tidak menjawab.
Mahendra pun telah bergeser mendekat. Namun
kemudian dipandanginya Pangeran Singa Narpada yang
termangu-mangu. Dengan nada datar Mahendra berkata,
"Pangeran Gagak Branang sudah sampai kepada batas
kematiannya. Pangeran Singa Narpada agaknya telah
menjadi lantaran." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Ya. Pamanda ternyata telah bebas dari penderitaan
kewadagannya. Mudah-mudahan pamanda menemukan
jalan lurus di dunia abadinya."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Pangeran
Gagak Branang terbujur lurus di pembaringannya. Seperti
yang dikatakannya ia tidak menunggu hamba setianya yang
sedang bertugas untuk menyelesaikan persoalan Kediri
dengan para penghuni padepokan itu yang ternyata berada
di bawah pengaruh Pangeran Gagak Branang yang
dipanggil Panembahan oleh orang-orang padepokan itu.
Dalam pada itu, maka perhatian Mahendra dan
Pangeran Singa Narpada kembali kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Nampaknya perlahan-lahan keduanya
mampu mengatasi persoalan di dalam diri mereka, sehingga
keduanya telah mengangkat kepala mereka yang seakanakan
terkulai pada lehernya tanpa kekuatan sama sekali.
Bahkan kedua anak muda itu telah nampak menguasai diri
mereka sepenuhnya. Pernafasan mereka telah semakin
teratur dan darah pun telah mengalir dengan wajar.
Tetapi untuk beberapa saat Mahendra dan Pangeran
Singa Narpada membiarkan kedua orang anak muda itu
menyelesaikan laku yang baru mereka jalani.
Ternyata beberapa saat kemudian, keduanya telah
merasa bahwa mereka telah berhasil. Namun ternyata
bahwa keadaan mereka masih terlalu lemah. Urat-urat
mereka rasa-rasanya tidak mempunyai tenaga sama sekali,
sementara persendian mereka rasa-rasanya telah terlepas
satu sama lain. Namun demikian Mahendra telah menyapa mereka,
"Bagaimana keadaan kalian?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Atas doa ayah dan restu Pangeran Singa
Narpada, aku telah berhasil."
"Dan kau?" bertanya Mahendra kepada Mahisa Pukat.
"Aku juga telah berhasil ayah," jawab Mahisa Pukat
yang masih sangat lemah. "Syukurlah," berkata Mahendra, "sekarang perhatikan.
Inilah keadaan Pangeran Gagak Branang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
memperhatikan Pangeran Gagak Branang yang terbaring
diam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Apakah
karena aku dan Mahisa Pukat berusaha mewarisi ilmunya
maka Pangeran Gagak Branang telah meninggal?"
"Tidak. Sama sekali tidak," jawab Pangeran Singa
Narpada dengan serta merta, "pamanda Pangeran Gagak
Branang telah menunjuk sendiri jalan kematiannya."
Sambil menunjukkan benang lawe di samping tubuh
Pangeran Gagak Branang Pangeran Singa Narpada berkata,
"benang itulah yang telah membunuhnya. Akulah yang
menjadi perantara, mengantar pamanda Pangeran
menjelang hari-hari tanpa akhir."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera mengerti.
Namun ayahnya berkata, "Memang sulit bagi kalian untuk
mengerti. Apalagi kalian yang sedang menjalani laku. Aku,
yang menyaksikan apa yang terjadi tidak juga dapat
mengerti dengan jelas apa yang terjadi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak
termangu-mangu, sehingga Pangeran Singa Narpada perlu
menjelaskan, "Jangan merasa bersalah. Sudah aku katakan,
bukan kalian yang telah menyebabkan Pangeran Gagak
Branang meninggal." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun
wajah mereka masih menunjukkan keragu-raguan.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
telah menyerahkan tubuh Pangeran Gagak Branang kepada
Akuwu Lemah Warah, agar memerintahkan para
prajuritnya untuk menyelenggarakannya sebaik-baiknya
tanpa menunggu Ki Permita.
"Kita akan memberikan penghormatan yang terakhir,"
berkata Pangeran Singa Narpada, "lepas dari keyakinan
pamanda yang menyimpang menurut penilaian kami, tetapi
pamanda adalah seorang prajurit linuwih."
Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah telah
menyelenggarakan tubuh Pangeran Gagak Branang yang
mendapat penghormatan dari semua orang yang masih
berada di padepokan itu. Mereka tidak menunggu
kedatangan hamba yang setia, Ki Permita yang sedang
menjalankan tugas khususnya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
masih lemah telah mendapat pengamatan dan perlindungan
dari ayahnya, Mahendra dan Pangeran Singa Narpada.
Namun ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang mengganggu
mereka. Setelah segalanya selesai, maka barulah mereka
mendapat kesempatan untuk duduk dan menilai apa yang
telah terjadi. Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Ura yang mengetahui
tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah
berjuang untuk mewarisi ilmu Pangeran Gagak Branang
mengangguk-angguk dengan bangga. Dengan tulus Akuwu
Lemah Warah berkata, "Kalian akan menjadi anak-anak
muda yang jarang ada bandingnya. Berbagai ilmu telah
kalian warisi, sehingga dengan demikian maka untuk
menghadapi masa depan, kalian telah membawa bekal yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cukup lengkap." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Ternyata bahwa orang-orang yang berkumpul itu
telah pernah memberikan sesuatu kepada mereka berdua.
Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Kami mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Kami
berdua telah mendapat bekal ilmu dari ayah. Kemudian
kami mendapat warisan ilmu pula dari Pangeran Singa
Narpada. Di daerah yang asing kami telah bertemu dengan
Akuwu Lemah Warah yang kami kenal dengan nama Tatas
Lintang. Dan yang terakhir kami telah diperkenankan
menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang yang disebut
Panembahan di padepokan ini."
"Itu adalah satu kurnia bagimu," berkata Akuwu Lemah
Warah yang pernah mengaku kedua anak muda itu sebagai
kemanakannya, "namun kalian harus mampu
menempatkan dirimu sebagai manusia yang mempunyai
kelebihan dari orang lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan
kepalanya. Mereka tidak dengan bernafsu berusaha untuk
mencapai tataran ilmu yang setinggi-tingginya. Namun
agaknya keduanya memang mendapat kurnia untuk
memilikinya. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"Justru karena kalian memiliki kemampuan yang sangat
tinggi, maka tanggung jawab kalian pun menjadi sangat
besar pula. Tanggung jawab kepada diri sendiri dan
tanggung jawab kepada Yang Maha Agung."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
menunduk. Bukan saja kepala mereka, tetapi justru hati
mereka. Kurnia itu memang harus disyukuri. Tetapi juga
merupakan beban tanggung jawab yang sangat besar,
karena jika mereka salah mengetrapkan ilmu yang ada pada
diri mereka, maka apa yang mereka peroleh bukannya satu
kurnia bagi sesamanya yang melimpah dari kurnia atas
mereka berdua, namun justru bencana.
Mahendra yang berbangga atas kemajuan ilmu yang
dicapai kedua anaknya itu pun menjadi harap-harap cemas
pula. Namun pengenalannya atas kedua anaknya
membuatnya agak tenang. Namun demikian Mahendra itu
pun berkata, "Apa yang akan kau lakukan kemudian, akan
menjadi bukti dan kenyataan tentang kalian berdua. Nilai
kalian berdua yang sebenarnya bukan terletak kepada ilmu
yang kalian miliki itu saja, tetapi seberapa kau sumbangkan
ilmu kalian bagi sesama. Seberapa besar pengabdianmu dan
kesediaanmu berkorban bagi sesama."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Tetapi semua petunjuk dan nasehat itu telah
menghunjam jauh ke dalam lubuk hati mereka. Meskipun
yang didengarnya itu sebagaimana pernah mereka dengar
sebelumnya, namun tekanan-tekanan yang secara khusus
diberikan oleh orang-orang tua itu, membuat jantung kedua
anak muda itu semakin bergetar.
Demikianlah maka dalam sehari semalam Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat berusaha memulihkan keadaan tubuh
mereka yang menjadi sangat letih setelah mereka menyadap
ilmu dari Pangeran Gagak Branang sebagaimana
dikehendaki oleh Pangeran itu sendiri. Dada mereka yang
terasa bagaikan tersumbat, sementara tulang belulang
mereka yang tidak berdaya sama sekali, berangsur-angsur
telah menjadi pulih kembali.
Karena itu, setelah sehari semalam mereka berusaha
memulihkan keadaan mereka, maka yang terjadi di dalam
diri mereka justru telah berubah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasakan
perubahan itu. Tetapi mereka belum pernah mencoba,
apakah memang benar kemampuan mereka telah
meningkat karena ilmu yang telah mereka sadap itu. Ilmu
yang ternyata tidak berdiri sendiri, tetapi menopang
kekuatan dan kemampuan ilmu yang sudah ada di dalam
diri kedua anak muda itu.
Namun di hari berikutnya, maka Pangeran Singa
Narpada dan Mahendra telah berniat untuk melihat
perkembangan kemampuan kedua anak muda itu. Karena
itu, maka mereka bersama Akuwu Lemah Warah dan
Mahisa Ura, telah meninggalkan padepokan menuju ke
tempat yang terpencil untuk mencoba kemampuan ilmu
kedua anak muda itu. "Hati-hatilah," pesan Akuwu Lemah Warah kepada
Senapati prajurit khususnya, "jika dalam keadaan yang
penting sekali, lepaskan panah sendaren. Mudah-mudahan
kami mendengarnya." "Ke arah mana?" bertanya Senapati itu.
"Ke segala arah. Aku belum tahu, kami akan ke mana?"
jawab Akuwu Lemah Warah. Demikianlah maka sekelompok kecil telah keluar dari
padepokan itu justru menuju ke tempat yang tidak pernah
dirambah kaki manusia. Mereka menuju ke sebuah gumuk
berbatu padas untuk menguji kemampuan ilmu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. -ooo0dw0ooo Sumber DJVU : Dino & Ismoyo
Jilid 038 BEBERAPA saat kemudian, kedua anak muda itu telah
berada di antara batu-batu padas. Pangeran Singa Narpada,
Mahendra dan Akuwu Lemah Warah adalah orang-orang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka akan menjadi
saksi, apakah benar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meningkat karena ilmu yang mereka sadap dari Pangeran
Gagak Branang. "Anak-anak muda" berkata Pangeran Singa Narpada,
"kalian telah memiliki berbagai macam ilmu. Kalian sendiri
tentu merasa seberapa jauh ilmu yang pernah kalian miliki
itu mampu menghancurkan sasaran. Sementara itu, kini
kalian telah menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang.
Jika ilmu itu memang berpengaruh, maka kemampuan
kalian menghancurkan sasaran tentu menjadi lebih besar."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Namun mereka berduapun telah mengangguk.
"Nah" berkata Pangeran Singa Narpada, "menurut
pengetahauanku, kalian memiliki kemampuan untuk
melepaskan serangan dan pukulan pada jarak jauh. Itu
sajalah yang hendaknya kalian coba dengan landasan ilmu
yang kau sadap dari pamanda Pangeran Gagak Branang."
Kedua anak muda itu masih termangu-mangu. Namun
Mahendra lah yang kemudian berkata, "Sekarang, tentukan
sasaran. Pusatkan nalar budi dan lepaskan pukulan itu dari
jarak jauh." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Kata-kata
Mahendra telah sedikit membuka hati mereka, apa yang
harus mereka lakukan. Sejenak kemudian kedua anak muda itu memilih
sasaran. Namun, karena keduanya belum tahu pasti atas
tingkat kemampuan mereka sendiri, maka ukuran sasaran
yang mereka pilih masih saja sebagaimana pada saat ilmu
mereka masih belum meningkat.
Keduanya telah menentukan segumpal batu padas yang
akan mereka hancurkan dengan serangan yang akan mereka
lontarkan dari jarak beberapa langkah.
"Baiklah" berkata Mahendra, "kita akan melihat, apa
yang akan terjadi atas sasaran itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera
mempersiapkan diri. Dipandanginya sasaran itu dengan
saksama. Kemudian mereka telah memusatkan segenap
kemampuan yang ada di dalam diri mereka.
Namun, keduanya memang merasakan kelainan di
dalam diri mereka. Rasa-rasanya getaran di dalam diri
mereka menjadi lebih berat dan mantap. Namun
merekapun merasa bahwa daya lontar yang ada di dalam
diri mereka pun menjadi lebih besar.
Sejenak, keduanya berdiri tegak menghadap ke arah
sasaran yang telah mereka pilih. Perlahan-lahan keduanya
mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan terbuka
mengarah kepada sasaran itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah melepaskan serangan mereka.
Kekuatan yang sangat besar yang terlontar dari diri mereka,
seakan-akan meloncat lewat telapak .tangan mereka yang
terbuka. Orang-orang yang menunggui keduanya seolah-olah
melihat cahaya yang memancar dengan kecepatan yang
sangat tinggi, sebagaimana kecepatan lidah api di udara.
Cahaya itu meluncur dan menyambar sasaran yang telah
ditentukan. Akibatnya memang dahsyat sekali. Sasaran itu bagaikan
telah meledak. Debu yang putih kemerah-merahan telah
berhamburan seperti debu yang dihamburkan oleh angin.
Orang-orang yang menyaksikan kekuatan serangan
kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
Akuwu Lemah Warah pun menekan dadanya dengan
telapak tangannya. Kekuatan itu sedemikian besarnya
sehingga batu padas yang telah mereka pilih menjadi
sasaran serangan mereka tidak pecah menjadi kerikil-kerikil
padas yang memancar ke segala arah. Namun benar-benar
telah menjadi debu yang lembut, mengepul seperti debu
yang dihembus oleh angin yang kencang.
"Luar biasa" gumam Pangeran Singa Narpada,
"sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh pamanda
Pangeran Gagak Branang. Kalian telah memiliki
kemampuan ilmu yang luar biasa. Ilmu yang kalian sadap
dan yang tidak mungkin berdiri sendiri itu ternyata telah
membuat kemampuan menjadi nggegirisi. Bukan hanya
ilmu yang mampu melontarkan kekuatan dari dalam
dirimu, tetapi tentu juga ilmumu yang mampu kau
lontarkan dalam ujudnya yang keras dan yang lunak. Juga
ilmumu yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan
ilmu orang lain pun akan mempunyai daya dan
kemampuan yang berlipat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Namun yang telah mereka coba benar-benar
menakjubkan. Mereka dapat membayangkan, jika serangan
itu mereka tujukan kepada wadag seseorang yang memiliki
daya tahan sewajarnya, maka wadag itupun akan hancur
berkeping-keping. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah
menjadi ngeri sendiri membayangkan apa yang mungkin
terjadi dengan kekuatan ilmu mereka. Namun karena itu,
maka mereka menjadi semakin merasa bertanggung jawab.
Mereka tidak mungkin mempergunakan ilmunya kapan saja
mereka inginkan dengan akibat yang mengerikan itu.
"Marilah anak-anak" berkata Mahendra kemudian, "kita
akan berbicara tentang ilmu kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bagaikan terbangun
dari mimpi. Dengan jantung yang berdegup semakin keras
mereka-pun kemudian beringsut dari tempatnya.
Demikianlah, maka beberapa orang itu telah berkumpul
dan duduk melingkar di atas rerumputan kering. Dengan
nada berat Pangeran Singa Narpada berkata, "Kini lelah
terbukti. Kalian berdua menjadi anak-anak muda yang sulit
dicari imbangannya. Kalian telah memiliki ilmu yang
sangat tinggi, sehingga kalian merupakan kekuatan yang
tidak terlawan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menundukkan
kepala mereka. Beban di pundak mereka terasa semakin
berat sebagaimana ilmu yang tersimpan di dalam diri
mereka. Dengan demikian, maka baik Pangeran Singa Narpada
maupun Mahendra tidak merasa perlu lagi untuk melihat
kemampuan kedua anak muda itu apabila diungkapkan
pada jenis ilmunya yang lain. Mereka sudah dapat
membayangkan, dengan alas ilmu yang disadapnya dari
Pangeran Gagak Branang, maka jika kedua anak muda itu
melepaskan ilmu pamungkasnya dalam ujudnya yang
lunak, maka udara di sekitarnya tentu akan membeku.
Sebaliknya dalam ujudnya yang keras, maka sentuhan
wadagnya akan dapat menggugurkan gunung.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
kemudian berkata, "Marilah. Kita akan kembali ke
padepokan. Kita sudah tahu, seberapa tingginya tingkat
ilmu kedua anak muda itu. Kami yang tua-tua ini agaknya
tidak lagi mampu menjangkaunya."
"Tentu tidak Pangeran" berkata Mahisa Murti, "yang
ada pada kami, belum sebanding dengan bagian kecil dari
kemampuan Pangeran."
"Kita tidak usah berbasi-basi anak-anak muda" berkata
Pangeran Singa Narpada, "sudah waktunya kita memiliki
takaran tentang kemampuan kita masing-masing. Kalian
pun harus menyadari kemampuan yang ada di dalam diri
kalian, karena jika tidak, maka kalian akan luput menilai.
Kalian tidak perlu mempergunakan segenap kemampuan
ilmu yang ada pada kalian seluruhnya apabila kalian
sekedar mengejar seorang yang karena kelaparan terpaksa
mengambil ketela pohon di ladang orang. Kalian tidak perlu
melepaskan ilmu pamungkas dalam ujudnya yang lunak
maupun yang keras jika kalian menghadapi anak nakal
yang melempar kalian dengan kerikil yang tajam."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Sementara itu Mahendra pun berkata, "Itulah akibat
yang harus kalian tanggungkan justru karena kalian
memiliki ilmu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Tetapi keduanya tidak menyahut.
Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun telah
mengajak mereka segera kembali ke padepokan yang telah
ditinggalkan para penghuninya. Mereka harus segera
mengatur persiapan untuk meninggalkan padepokan itu.
Akuwu Lemah Warah-pun sudah terlalu lama
meninggalkan Pakuwonnya sehingga rakyatnya tentu sudah
menunggunya meskipun seorang adiknya yang dipercaya,
mampu mewakilinya memerintah di Pakuwon Lemah
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warah. Namun bagaimanapun juga, akan lebih baik jika
Akuwu Lemah Warah itu sendiri yang berada di
tempatnya. Sejenak kemudian maka mereka pun telah meninggalkan
tempat itu. Mahisa Ura yang berjalan di paling belakang
semakin merasa dirinya kecil. Tetapi ia tidak merasa iri,
karena ia menganggap bahwa yang terjadi itu sudah
sewajarnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah adik
Mahisa Bungalan, seorang Senapati besar yang pilih
tanding. Bahkan mungkin kedua anak muda itu justru
sudah berada di atas tataran kakaknya.
Demikianlah untuk beberapa hari mereka memang
masih akan tinggal di padepokan itu. Namun sementara itu.
mereka telah bersiap-siap untuk pergi ke Lemah Warah.
Yang akan mereka bawa ke Lemah Warah bukan saja alatalat
yang memang mereka miliki, tetapi mereka juga akan
membawa para tawanan bersama mereka.
Sementara itu, Ki Permita masih berada di perjalanan
menelusuri orang-orang yang terlepas dari padepokan vang
telah direbut oleh Akuwu Lemah Warah. Memang satu
pekerjaan yang sulit. Kadang-kadang ia berhasil mendapat
keterangan tentang sekelompok orang yang mereka cari.
Nanum kadang-kadang tidak seorang pun di satu
padukuhan yang mau membantunya. Pada umumnya
mereka merasa takut untuk menyebutkan atau
menunjukkan arah perjalanan sekelompok kecil orangorang
berilmu tinggi itu. Mereka tidak mau terlibat ke
dalam satu persoalan yang tidak akan memberikan
keuntungan apapun kepada mereka.
Namun dengan keterangan yang sedikit itu, Ki Permita
ternyata dapat menduga, kemana orang-orang itu pergi.
Mereka agaknya telah pergi ke satu padepokan yang jauh.
Padepokan asal dari salah seorang di antara mereka yang
melepaskan diri itu. Dengan kesimpulannya itu, maka Ki Permita menjadi
tidak tergesa-gesa. Ia menyusuri perjalanannya dengan
yakin meskipun perlahan-lahan. Bagaimanapun iuga, rasarasanya
hatinya masih terpaut kepada orang yang
ditinggalkannya. Sebagai seorang hamba yang setia, maka
rasa-rasanya langkahnya memang menjadi sangat berat.
Bahkan pada saat-saat terakhir dari Pangeran Gagak
Branang, Ki Permita merasa seakan-akan ia sendiri telah
mengalami sesuatu yang mendebarkan.
Pada saat-saat benang lawe ditarik dari arah kiri di
lambung Pangeran Gagak Branang, jantung Ki Permita
berdetak semakin cepat. Bahkan oleh perasaan nyeri di
dadanya yang tidak diketahui sebabnya. Ki Permita yang
sedang berjalan itupun telah terpaksa berhenti dan duduk di
bawah sebatang pohon yang rindang. Terasa didadanya
betapa isi dadanya itu bagaikan diremas oleh kekuatan yang
tidak terlawan oleh daya tahannya.
Dengan lemah Ki Permita telah bersandar pada pohon
yang rindang itu. Beberapa saat ia merasakan dadanya yang
sakit sekali. Namun perlahan-lahan perasaan sakit itu pun mulai
berkurang. Dengan demikian maka Ki Permita mulai dapat
mengatasi sisa perasaan sakitnya.
Untunglah bagi Ki Permita bahwa jalan yang ditempuh
itu bukan jalan yang ramai sehingga tidak seorang pun yang
melihat apa yang telah dialaminya.
Ketika dadanya terasa lapang. Ki Permita duduk sambil
menarik nafas panjang beberapa kali. Rasa-rasanya ingin ia
menghisap udara sebanyak-banyaknya untuk menyegarkan
jantung di dalam dadanya itu.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Ki Permita di dalam
hatinya. Angan-angannya segera melayang kembali ke padepokan
yang telah ditinggalkannya. Sambil memandang ke
kejauhan ia bergumam kepada diri sendiri, "Agaknya
Pangeran Gagak Branang telah mengakhiri hidupnya."
Namun Ki Permita pun tahu, bahwa Pangeran Gagak
Branang yang disebutnya Panembahan itu telah terjerat
pada satu jenis ilmu yang membuatnya menyimpang dari
tatanan kehidupan sewajarnya. Namun bagaimanapun juga
Ki Permita yakin, bahwa pada saatnya kematian itu tidak
akan dapat dielakkannya. "Mungkin Pangeran Gagak Branang telah mengatakan
rahasianya kepada Pangeran Singa Narpada, karena tidak
mungkin ia menyalahi keharusan untuk kembali kepada
sumbernya. Apapun yang dapat dilakukan dan dirasa
mampu memperpanjang kesempatan hidupnya itu tidak
akan berarti apa-apa apabila saat itu memang telah datang"
berkata Ki Permita. Namun tiba-tiba ia telah memandang kepada dirinya
sendiri. Ia telah minum jenis getah yang sama untuk
menahan pertumbuhan wadagnya. Tetapi itu hanya sekedar
menahan gerak ketuaan dalam ujud lahiriahnya saja.
Namun jiwanva akan tetap menjadi rapuh pada saatnya dan
kematian itu pun akan datang tepat pada waktunya.
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Balikan ia
kemudian berkata kepada diri sendiri, "Menurut isyarat
gelar di dalam diri, agaknya Pangeran Gagak Branang
memang sudah sampai pada saat kematiannya.
Perjalananku ini puii tentu merupakan perjalanan
terakhirku. Apakah di medan pertempuran yang akan aku
hadapi, atau di antara para pemimpin Kediri, agaknya
nyawaku pun sudah tidak akan berlahan lama.
Ki Permita yang nampak ujud wadagnya masih belum
terlalu tua itu sudah merasa bahwa ia sebenarnya bukannya
nampak pada ujudnya wadagnya itu. Sebenarnyalah bahwa
dirinya memang sudah rapuh.
Demikianlah, maka setelah beristirahat beberapa saat
tubuh Ki Permita merasa segar. Perlahan-lahan ia pun telah
bangkit. Sekali ia menggeliat. Kemudian ia telah
meneruskan langkahnya menuju ke sebuah padepokan yang
sudah dikenalnya. Pada saat ia masih menjadi abdi yang
setia dari Panembahan, maka ia memang pernah berada di
padepokan itu sebelum mereka memasuki padepokan
Suriantal. Seperti sebelumnya, maka Ki Permita memang tidak
tergesa-gesa. Ia yakin bahwa orang-orang yang berhasil
lolos dari padepokan Suriantal telah berada di padepokan
itu. Menurut perhitungan Ki Permita, maka orang yang
memiliki ilmu tertinggi di antara mereka adalah seorang
yang memiliki tongkat yang pada pangkalnya terdapat
sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan seperti batu
yang terdapat di pinggir hutan dan penuh dengan binatang
berbisa itu. Kemudian seorang lagi yang memiliki
kemampuan untuk menguasai dan menggerakkan segala
jenis binatang dengan ilmu gendamnya. Sedangkan orang
yang mampu memasuki wadag orang lain agaknya telah
kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup dalam
benturan ilmu yang terjadi di padepokan Suriantal.
Namun betapa lambatnya perjalanan Ki Permita,
akhirnya ia pun semakin lama menjadi semakin dekat
dengan padepokan yang ditujunya.
Tetapi sebelum ia sampai ke tujuan, maka Ki Permita
itu-pun terkejut ketika tiba-tiba seseorang menyapanya,
"He, Ki Palot. Kau mau ke mana?"
Ki Permita yang dikenal dengan nama Ki Palot itu
termangu-mangu. Namun ia pun segera dapat mengenali
orang itu. Salah seorang dari penghuni padepokan. Namun orang
itu bukan berasal dari perguruan Suriantal yang sebagian
besar dari mereka bersenjata tongkat panjang.
Dengan menarik nafas dalam-dalam Ki Permita itu
berkata, "Aku juga terpaksa meninggalkan padepokan itu."
"Kenapa" Bagaimana dengan Panembahan?" bertanya
orang itu. Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia berkata, "Panembahan tidak dapat menyelamatkan
dirinya sendiri" berkata Ki Permita.
"Dan kau yang selama ini dianggapnya sebagai
hambanya yang paling setia itu meninggalkannya?"
bertanya orang itu. "Aku meninggalkan Panembahan setelah aku yakin
bahwa Panembahan tidak mampu melawan kedua orang
lawannya yang berilmu sangat tinggi" berkata Ki Permita.
"Apakah ada orang yang kemampuannya mengimbangi
Panembahan?" bertanya orang itu.
"Ternyata ada" jawab Ki Permita, "aku melihat sendiri
bagaimana Panembahan itu terdesak dan akhirnya
kehilangan kesempatan sama sekali. Ketika terjadi benturan
ilmu melawan kedua orang Kediri itu, maka Panembahan
benar-benar menjadi parah."
"Bagaimana mungkin ada orang yang mampu
mengalahkan Panembahan" gumam orang itu, "pada saat
kami melarikan diri, sebenarnya kami masih mengharap
Panembahan melindungi kami. Tetapi ternyata sampai saat
yang paling gawat. Panembahan tidak lagi dapat berbuat
banyak sebagaimana hari-hari sebelumnya, sehingga
akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan
padepokan itu. Namun kami masih tetap berpengharapan
bahwa kami akan kembali ke padepokan Suriantal setelah
Panembahan menghancurkan lawan lawannya
"Yang terjadi tidak demikian" jawab Ki Permita yang
dikenal sebagai Ki Palot, "Panembahan itu telah
dilumpuhkan." "Bukankah Panembahan itu tidak dapat terbunuh"
Beberapa kali Panembahan menunjukkan kemampuan yang
tidak ada bandingnya itu kepada kami. Beberapa kali
Panembahan menunjukkan kemampuannya untuk
melawan maut. Bahkan menguasai maut" berkata orang
itu, "Panembahan bukankah tidak dapat mati?"
"Waktu aku meninggalkannya. Panembahan memang
belum mati. Tetapi wadagnya tidak mampu lagi
mendukung tingkat ilmunya yang seolah-olah tidak ada
batasnya, sehingga Panembahan itu sudah tidak berdaya
sama sekali. Karena itu, maka tidak ada gunanya lagi aku
menungguinya, karena tidak ada lagi harapan padanya"
jawab Ki Permita. Tetapi Ki Permita itu mengerutkan keningnya ketika
orang itu bertanya kepadanya, "Ki Palot. bagaimana
mungkin kau dapat melepaskan diri dari orang-orang yang
telah mampu mengalahkan Panembahan itu?"
"Sebagaimana kalian juga mampu melepaskan diri"
jawab Ki Permita meskipun agak ragu.
Tetapi orang itu tiba-tiba saja berkata, "Ki Palot. Apakah
kau tidak berkhianat terhadap Panembahan. Dan sekarang
kau berusaha melacak kami dalam rangka
pengkhianatanmu"." "
Ki Permita menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Kau mencurigai aku?"
"Ki Palot" berkata orangitu, "jika kau memang sempat
melarikan diri, kenapa baru sekarang kau sampai ke tempat
ini" Menurut perhitungan kami, seandainya Panembahan
memang tidak mampu mengatasi orang-orang Kediri itu,
kau pun tentu telah tertangkap. Agaknya kau kini telah
mengemban tugas orang-orang Lemah Warah untuk
melacak perjalanan kami dengan janji pengampunan atau
mungkin karena Panembahan kini berada di tangan mereka
maka kau harus tunduk dan melakukan perintah orangorang
Lemah Warah itu." "Kenapa tiba-tiba saja kau mencurigai aku?" bertanya Ki
Permita, "sudah sekian lama kita bekerja sama. Sudah
sekian lama kita merasa satu. Dan kini kalian dengan serta
merta telah menuduh aku berkhianat."
"Ki Palot" berkata orang itu, "seandainya kau tidak
berkhianat, maka sebaiknya kau tidak usah datang kemari.
Kau adalah seorang yang menggolongkan diri pada
kelompok pemimpin. Selama di padepokan itu, kau merasa
lebih berkuasa dari Panembahan itu sendiri."
"Ah" desah Ki Permita, "kenapa kau mencari-cari
perkara. Saat itu Panembahan jarang sekali bersedia keluar
dari barak khususnya. Akulah yang harus melakukan
segalanva. Bahkan menyampaikan perintahnya. Bukan
maksudku untuk memerintah kalian, apalagi melampaui
kuasa Panembahan. Aku memang mendapat tugas untuk
berbuat demikian dari Panembahan."
Orang itu tertawa. Katanya, "Jangan menangis Palot.
Kau sama sekali tidak kami butuhkan di padepokan kami.
Karena itu, kau tidak usah pergi ke padepokan. Apalagi aku
di sini memang mendapat tugas untuk membendung
kehadiran orang-orang yang tidak kami sukai termasuk
kau." "Jangan mengigau" jawab Ki Permita, "aku berhak
bergabung dengan kalian."
"Jangan Palot. Pergilah atau aku akan kehilangan
kesabaran dan mengusirmu seperti mengusir seekor musang
dari kandang ayam" berkata orang itu.
"Jangan begitu Ki Sanak" desis Ki Permita, "kau harus
mengasihani aku. Jika aku tidak bergabung dengan kalian,
lalu aku harus pergi ke mana?"
Orang itu justru tertawa. Katanya, "Itu urusanmu. Ke
mana saja kau mau pergi, aku tidak peduli."
"Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan pergi ke mana-mana.
Aku akan bergabung dengan kalian" berkata Ki Permita.
"Palot" berkata orang itu, "makanan sudah terlalu
sedikit. Selama ini kau bertingkah laku sangat menyakitkan
hati, karena kau merasa lebih berkuasa dari para pemimpin
dari perguruan kami. Karena itu pergilah. Jika tidak, aku
akan memukulimu. Bahkan bukan hanya aku seorang diri.
Di sini aku mempunyai kawan tiga orang yang berada di
rumah di ujung padukuhan sebelah. Jika mereka melihat
aku memukulirnu, maka mereka pun akan melibatkan diri,
ikut memukulimu beramai-ramai."
"Jangan main-main Ki Sanak. Aku sedang kebingungan
sekarang ini. Aku akan pergi ke padepokan. Jika para
pemimpin padepokan itu kemudian mengusirku, apa boleh
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buat. Tetapi jangan hentikan aku di jalan seperti ini"
berkata Ki Permita. "Menangislah Palot. Menangislah seperti anak-anak.
Tetapi kau tidak akan dapat meneruskan perjalananmu
menuju ke padepokan. Jika dahulu kita semuanya menaruh
hormat kepadamu, bahkan merasa ketakutan, karena kau
adalah hamba yang yang paling setia dari Panembahan
yang kita harapkan akan dapat melindungi kita semuanya.
Tetapi ternyata padepokan itu hancur, dan Panembahan
tempat kami bertumpu itu dapat dikalahkan oleh orangorang
Kediri. Jika Panembahan itu sudah dikalahkan,
apalagi kau Palot." "Ya. Apalagi aku. Itulah sebabnya, aku memerlukan
perlindungan, Aku akan pergi ke padepokan." berkata Ki
Permita. Orang itu tiba-tiba membentak, "Cukup. Pergi kau anak
iblis" geram orang itu.
Orang itu agaknya telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba
saja orang itu bersuit nyaring. Satu isyarat bagi kawankawannya
yang ada di rumah di ujung padukuhan.
"Apa yang kau lakukan?" bertanya Ki Permita.
"Aku memanggil kawan-kawanku. Biarlah mereka ikut
memberikan keputusan" berkata orang itu. Namun
kemudian katanya, "Namun jangan menyesal bahwa
mereka akan memukulimu dan mengusirmu lebih kasar dari
yang aku lakukan." Ki Permita termangu-mangu sejenak. Ketika ia
memandang rcgol halaman rumah di ujung padukuhan,
dilihatnya tiga orang bergegas keluar dan dengan tergesagesa
menuju ke tempatnya. Beberapa langkah kemudian salah seorang di antara
mereka telah menyapa, "He kau Palot."
"Ya. Aku datang untuk mohon belas kasihan, agar aku
diperkenankan tinggal bersama kalian di padepokan"
berkata Ki Permita. Orang itu termangu-mangu. Namun orang yang pertama
menjumpai Ki Permita itu pun telah mengatakan sikapnya
dan bahkan telah mengusir orang itu.
Karena itu, maka ketiga orang yang datang kemudian itu
pun segera menyesuaikan sikap mereka. Apalagi mereka
pun telah mendapat perintah, agar tidak seorang pun yang
boleh memasuki lingkungan padepokan itu.
Seorang di antara mereka pun kemudian tertawa pula
sambil berkata, "Palot. Menyesal sekali. Yang sama-sama
kita harapkan ternyata tidak terjadi. Padepokan Suriantal
yang dianggap dapat menjadi landasan perjuangan menuju
ke Kediri itu telah pecah. Panembahanmu telah kehilangan
kuasanya sehingga kita semua telah terusir. Karena itu
Palot, daripada kau menjadi budak kami di padepokan itu,
maka lebih baik kau cari tempat yang lain. Karena kau tidak
akan tetap menjadi penguasa tanpa Panembahan, sehingga
yang kami kenal kemudian adalah derajadmu sebagai
hamba, meskipun selama ini kau merasa dirimu lebih
berkuasa dari Panembahan itu sendiri."
"Ki Sanak" berkata Ki Permita, "kenapa kalian
melupakan hubungan yang pernah terjalin di padepokan
itu. Selama di padepokan kalian selalu merunduk dan minta
perhatianku. Bahkan kadang-kadang kalian berusaha
menjilat untuk sekedar aku sebut nama kalian. Tetapi
kenapa kalian tiba-tiba menjadi garang?"
"Persetan" seorang di antara mereka telah tersinggung,
"jika kau sebut sekali lagi, maka aku akan merobek
mulutmu." Ki Permita mengerutkan keningnya. Dengan nada yang
datar ia bertanya seakan-akan tidak menyadari
kesalahannya, "Kenapa" Bukankah aku mengatakan yang
sebenarnya?" "Cukup" teriak salah seorang diantara orang-orang yang
menghentikannya itu, "Tetapi bukankah kau juga mengatakan cacat celaku"
Bukankah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang
sama?" bertanya Ki Permita kemudian.
Tetapi orang-orang itu sudah kehabisan kesabaran.
Seorang di antara mereka bergeser maju sambil berkata
lantang, "Pergi. Jangan ucapkan sepatah katapun. Jika kau
membuka mulutmu, apapun yang akan kau katakan, maka
aku akan merontokkan gigimu seluruhnya."
Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia memang tidak
menjawab. Tetapi ternyata orang itu menggelengkan
kepalanya tanpa beranjak dari tempatnya.
"Pergi, pergi" orang-orang itu hampir berteriak.
Tetapi Ki Permita itu tetap-berdiri di tempatnya sambil
menggelengkan kepalanya. Orang-orang itu telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba
seorang di antara mereka telah mendekatinya dan
mendorongnya dengan kuat.
Ki Permita memang terdorong surut. Bahkan terhuyunghuyung
ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.
Jangan membantah lagi. Aku dapat berbuat lebih kasar."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun
sikapnya justru berubah. Dengan nada berat ia berkata"
Anak-anak iblis. Kalian sama sekali tidak merasa berterima
kasih atas perlindungan Panembahan selama ini. Tetapi
kalian justru bersikap sebaliknya. Nah, dengarlah, aku tidak
akan pergi. Aku akan melanjutkan niatku menuju ke
padepokan itu untuk mencari perlindungan kepada para
pemimpin kalian. Karena itu; maka aku tidak merasa perlu
untuk berbicara dengan kalian."
Wajah orang-orang itu menjadi merah. Telinga mereka
bagaikan tersentuh bara api. Seorang yang tidak dapat
menahan diri tiba-tiba telah melangkah maju dan
menyerang pelipis orang itu dengan pukulan.
Tetapi orang yang dikenal bernama Palot itu telah
menggeser kepalanya ke samping sehingga pukulan itu
sama sekali tidak menyentuhnya.
Orang yang memukulnya itu terkejut. Ia sama sekali
tidak mengira bahwa hamba yang setia itu mampu
mengelakkan pukulannya yang dilakukannya dengan tibatiba.
Namun dengan demikian kemarahannya pun bagaikan
api dihembus angin. Dadanya bagaikan menyala dan tanpa
dapat mengendalikan diri lagi maka ia pun telah meloncat
pula. Tangannya terjulur lurus ke depan langsung
menyerang dada orang yang dipanggilnya Palot itu.
Ki Permita tidak menghindar lagi. Iapun telah
mengangkat tangannya ke depan dengan telapak tangan
terbuka tepat menerima pukulan lawannya yang mengarah
ke dada. Tidak terjadi benturan yang keras. Bahkan di luar
tangkapan nalar lawannya, bahwa yang terjadi adalah
sebuah benturan yang lunak. Tangan orang yang marah itu
bagaikan menyentuh sasaran yang lunak dan tanpa
menyakitinya. Tetapi pukulannya itu sama sekali tidak
berakibat apapun pada orang yang disebutnya Palot.
"Kau gila" geram orang itu" kau akan memamerkan
kemampuanmu di sini" Palot. Sebenarnya kami hanya
sekedar mengusirmu tanpa ingin mencelakakanmu. Tetapi
jika kau berbuat aneh-aneh, maka kau jangan menyesal,
bahwa kau tidak akan mampu bangkit iagi untuk selamanya
di sini. " "Ki Sanak" berkata Ki Permita, "aku sudah mencoba
mendudukkan sikapku dengan kedudukan sebagai seorang
hamba saja. Tetapi kalian tidak menanggapinya dengan
baik. Justru kalian dengan sombong mengusirku seperti
mengusir seekor anjing. Karena itu, maka aku sama sekali
tidak akan menanggapinya. Aku akan pergi ke padepokan.
Aku akan berbicara dengan para pemimpinmu. Mereka
tentu akari mengerti dan akan menerima aku di antara
mereka." "Persetan" geram salah seorang di antara mereka" Jika
kau keras kepala, maka aku mungkin akan membunuhmu.
"Ki Sanak" berkata Ki Permita" jika aku berani berkeras.
maka akupun akan berani menanggung segala akibatnya.
Aku adalah hamba yang setia dari Panembahan. Karena
itu, maka akupun akan bersikap sebagaimana Panembahan
bersikap. Sikap seorang laki-laki. Jika aku harus mati,
biarlah aku mati setelah berkelahi."
Keempat orang itupun menjadi semakin marah Mereka
tidak lagi dapat menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.
Karena itu, maka keempat orang pun telah meloncat
bersama-sama. Dan tiba-tiba saja orang yang disebutnya
Palot itu telah berada dalam kepungan.
"Kau memang harus mati Palot" geram salah seorang di
antara mereka. "Kalian tidak akan berani membunuhku. Orang-orang
padukuhan itu akan melihat dan segera mengenali kalian.
Mereka akan dapat menyampaikannya kepada para
pemimpin padepokan bahwa kalian telah membunuhku."
berkata Ki Permita yang disebut Palot itu.
"Persetan" geram salah seorang di antara orang-orang
yang mengepungnya itu, "katakan pesanmu terakhir. Kami
sudah memutuskan untuk membunuhmu, menyeret
mayatmu dan melemparkan ke tengah-tengah hutan itu.
Mayatmu akan segera menjadi makanan binatang buas atau
burung-burung pemakan bangkai."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah
siap menghadapi keempat orang itu.
Sebenarnyalah keempat orang yang marah itu tidak
dapat menahan diri lagi. Mereka pun kemudian telah
bergerak hampir bersamaan menyerang orang yang selama
ini dianggapnya tidak lebih dari seorang hamba yang setia.
Karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan perlawanan
yang dilakukan oleh orang itu, meskipun seorang diantara
mereka pernah menjadi heran pada saat tangannya
membentur telapak tangan orang itu tanpa terjadi
hentakkan kekuatan di dalam dirinya.
Namun keempat orang itu sebenarnya tidak merupakan
persoalan yang sulit bagi Ki Permita. Karena itu, maka ia
sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika keempat orang itu
menyerangnya, maka ia pun telah berbuat sesuatu yang
tidak diduga sama sekali oleh lawan-lawannya.
Hampir tanpa diketahui apa yang telah dilakukan, maka
keempat orang itu telah terlempar dari tempat mereka dan
jatuh terlentang. Bahkan seorang di antaranya telah
terbanting demikian kerasnya sehingga tidak sadarkan diri.
Namun dalam pada itu, ketiga orang yang lain sempat
melenting berdiri. Tetapi mereka tidak segera dapat
mengatasi kesulitan di dalam diri masing-masing. Jantung
mereka serasa berdebar semakin cepat dan kenyataan yang
mereka hadapi rasa-rasanya seperti peristiwa di dalam
mimpi. Ketiga orang itu tidak segera dapat mengerti, bagaimana
mungkin hal itu dapat terjadi. Tetapi mereka tidak dapat
ingkar dari kenyataan itu.
Karena itu, maka mereka menjadi ragu-ragu untuk
menyerang orang yang dianggapnya tidak lebih dari seorang
hamba itu. "Nah" berkata Ki Permita" apakah kalian masih tetap
pada pendirian kalian untuk mencegah aku pergi ke
padepokan?" Ketiga orang saling berpandangan. Apapun yang mereka
kehendaki, namun mereka tidak akan dapat mencegah
orang yang sebelumnya dianggap sebagai hamba yang tidak
dapat berbuat apa-apa selain berlindung di balik kuasa
tuannya. "Sekarang" berkata Ki Permita" apakah kalian masih
menganggap bahwa aku merasa berkuasa lebih dari
Panembahan" Seandainya demikian, maka itu adalah
hakku karena aku memang mempunyai kemampuan untuk
berkuasa atas kalian. Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja
Ki Permita membentak, "Jawab. Apakah kalian masih akan
menahan aku di sini?"
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Kenapa kalian diam saja," bentak Ki Permita pula,
mereka kemudian menjawab, "Kami memang bertugas
untuk mencegah siapa saja memasuki padepokan, Palot."
"Jadi aku benar-benar harus menyingkirkan kalian agar
tidak ada lagi orang mengganggu aku " geram Ki Permita.
"Tidak. Kau tidak usah melakukannya" jawab salah
seorang dari mereka" pergilah sekehendakmu. Ternyata
kami tidak mampu mencegahmu."
"Terima kasih. Tinggallah kalian di sini. Lakukan tugas
kalian sebaik-baiknya. Jangan ada orang lain yang
memasuki padepokan ini. Aku sependapat dengan perintah
itu. Tetapi itu tidak berlaku terhadapku" berkata Ki Permita
pula. Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Ki Permita
berkata, "Ketahuilah, bahwa aku memang memiliki kuasa
seperti Panembahan. Semua kata-kataku harus berlaku atas
kalian. Jika aku ingin membunuh kalian, aku dengan
mudah dapat melakukannya. Tetapi aku memang tidak
ingin membunuh. Kawanmu itu pun tidak mati. Rawatlah
orang itu. Ia akan sadar kembali dari pingsannya."
Masih tidak ada jawaban, sehingga orang itu pun
kemudian telah melangkah meninggalkan ketiga orang yang
berdiri termangu-mangu. "Gila" desis salah seorang di antara mereka ketika Ki
Permita telah menjadi semakin jauh.
"Ternyata ia memang memiliki kemampuan itu" sahut
yang lain. "Aku tidak tahu, apa yang telah dilakukannya atas
kami" berkata yang lain pula.
Namun orang yang pertama itu pun segera berkata,"Kita
lihat kawan kita yang pingsan itu."
Ketiga orang itu pun kemudian telah berjongkok di
samping seorang kawannya yang terbaring diam. Ternyata
orang itu memang tidak mati. Tetapi pingsan karena ia
telah keras terbanting di tanah.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika orang yang pingsan itu menjadi sadar, maka Ki
Permita menjadi semakin dekat dengan padepokan yang
ditujunya, la yakin bahwa orang-orang yang dicarinya
memang berada di padepokan itu.
Namun ternyata bahwa jalan ke padepokan yang sudah
menjadi semakin dekat itu justru menjadi semakin banyak
hambatan. Jika yang telah menghentikannya di ujung
padukuhan adalah orang yang pernah dikenalnya di
padepokan Suriantal, karena mereka termasuk orang-orang
yang berhasil melarikan diri, maka Ki Permita telah
bertemu pula dengan orang-orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Dua orang berwajah garang dengan kumis dan
jambang yang panjang. "Siapa kau ?" bertanya salah seorang di antara kedua
orang itu. "Palot" jawab Ki Permita" aku adalah seorang di antara
penghungi padepokan yang pecah oleh pasukan Lemah
Warah. Aku menyusul para pemimpin padepokan yang
berhasil melarikan diri dan kini berada di padepokan
beberapa puluh tonggak lagi di depan padukuhan itu."
"Bagaimana mungkin kau dapat lolos dari pengawasan
empat orang kawan kami di ujung padukuhan ini."." "
bertanya salah seorang diantara keduanya pula.
"Sudah aku katakan bahwa aku berasal dari padepokan
Suriantal sehingga keempat orang itu telah mengenal aku.
Dibiarkannya aku lewat mencari perlindungan kepada para
pemimpin padepokan yang sempat melarikan diri.
"Tidak seorang pun boleh memasuki padepokan"
berkata orang itu, "ini adalah perintah yang tertinggi.
Siapapun tidak boleh karena kemungkinan-kemungkinan
buruk akan. dapat terjadi. Meskipun ia berasal dari
padepokan itu pula."
"Kenapa" Bukankah wajar jika aku mencari
perlindungan di padepokan itu?" bertanya Ki Permita.
"Palot" berkata salah seorang yang berjambang lebat itu,
"kau jangan memaksa. Perintah itu jelas. Jika kau
merupakan pengawal yang setia dari para pemimpin.
kenapa baru sekarang kau menyusul " Semua orang yang
datang kemudian memang pantas dicurigai. Mereka sudah
sempat berbicara dengan para pemimpin di Lemah Warah.
Mereka telah dapat dibujuk dan diberikan janji-janji yang
menarik untuk melakukan pengkhianatan. Nah, jika
keempat orang di ujung padukuhan itu memberi
kesempatan kau memasuki daerah ini, maka aku melarang
kau meneruskan langkahmu menuju ke gerbang padepokan.
Tidak ada gunanya. Seandainya aku memberi ijin. maka
masih ada beberapa lapis lagi lingkaran yang harus kau
lalui. Semakin dalam semakin rapat, sehingga
bagaimanapun juga, kau tidak akan sampai ke pintu
gerbang. "Ki Sanak" berkata Ki Permita, "kalian berdua tentu
bukan sebagian di antara kami yang berada di padepokan
Suriantal. Karena itu kalian tidak dapat membayangkan,
betapa eratnya hubungan kami yang satu dengan yang lain.
Bagaimana kami di padepokan itu menyatu dalam segala
suasana. Seakan-akan kami terikat pada satu janji untuk
mati bersama atau hidup bersama, meskipun ternyata pada
saat-saat terakhir ada di antara kami yang sempat melarikan
diri sementara yang lain mati terbunuh di medan.
"Apa maksudmu ?" bertanya seorang diantara kedua
orang itu. "Tidak apa-apa. Yang melarikan diri itu termasuk aku.
Memang aku harus merasa bahwa seakan-akan aku dan
beberapa orang yang lain termasuk para pemimpin di
padepokan itu tidak setia lagi terhadap kawan-kawan kami.
Namun yang kami lakukan justru dengan satu pengertian,
bahwa dengan melepaskan diri dari maut, kami akan dapat
membalas dendam kematian kawan-kawan kami." berkata
Ki Permita. Kedua orang itu nampak merenung. Namun seorang di
antara mereka berkata, "Tetapi sayang Palot. Perintah itu
telah jatuh. Tidak ada orang baru lagi yang boleh memasuki
padepokan, meskipun bekas kawan sendiri. Ada beberapa
hal yang menyebabkan larangan itu dikeluarkan. Namun
yang terpenting adalah, bahwa mereka yang datang
kemudian itu sudah tidak akan murni lagi. Apalagi jika
orang itu sudah sempat berbicara dengan para pemimpin
Lemah Warah." "Ki Sanak," berkata Ki Permita, "aku bukan orang gila
yang akan menyurukkan kepalaku di bawah roda pedati.
Aku sadar bahwa di padepokan ini berkumpul orang-orang
berilmu tinggi. Apa yang dapat aku lakukan dihadapan
mereka seandainya aku dibiarkan masuk ke padepokan
itu." "Bukan kau sendiri yang akan melakukannya. Tetapi jika
kau sudah berada di dalam, maka kau akan dapat membuat
banyak kesulitan dengan diam-diam. Hingga akhirnya pada
satu saat, kau akan melarikan diri untuk memberikan
keterangan kepada orang-orang yang telah mengupahmu,
atau kau akan membuka pintu gerbang dari dalam agar
orang-orang yang mungkin akan menyusulmu itu dapat
memasuki padepokan dengan cepat."
"Lalu apa keuntunganku untuk berbuat demikian,"
berkata Ki Permita, "aku telah berjuang sekian lamanya
bersama para pemimpin padepokan ini. Aku merasa bahwa
mereka adalah saudara-saudaraku."
Kedua orang itu agaknya menjadi ragu-ragu. Namun
seorang di antara mereka agaknya tetap menjunjung
perintah yang diembannya, "Sayang Ki Sanak, pergilah."
"Para pemimpinmu tentu akan menyesal jika aku pergi,"
berkata Ki Permita. Namun kemudian katanya, "Cobalah,
sampaikan saja kepada pemimpinmu, bahwa Palot akan
mohon perlindungan dan tinggal bersama mereka di
Padepokan ini." Kedua orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Namun
kemudian salah seorang berkata, "Baiklah, seorang di
antara kami akan menyampaikan permohonanmu kepada
para pemimpin padepokan. Merekalah yang akan
menentukan, apakah kau boleh menghadap atau tidak."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun berkata, "Baiklah. Aku akan menunggu."
Memang kesempatan itu adalah kesempatan yang terbaik
baginya untuk memasuki padepokan daripada ia harus
melumpuhkan kedua orang itu dengan kekerasan, sehingga
dengan demikian. maka kesalahannya akan bertambah lagi.
Sesaat kemudian, seorang di antara mereka pun telah
meninggalkan Ki Permita yang dikenalnya sebagai Palot.
Sementara seorang lagi masih menungguinya.
"Kita tunggu di sini," berkata yang seorang itu kepada Ki
Permita sambil duduk di regol halaman rumah sebelah.
Ki Permita pun telah duduk pula. Ketika ia memandang
ke halaman lewat pintu yang sedikit terbuka, dilihatnya
halaman rumah itu nampak kotor. Daun pepohonan yang
kering berjatuhan tanpa dibersihkan. Bukan hanya hari itu.
Namun nampaknya telah sejak beberapa hari berselang.
"Apakah rumah ini kosong?" bertanya Ki Permita.
"Nampaknya begitu," jawab orang itu. "hampir semua
orang di padukuhan ini telah menyingkir. Mereka sadar,
bahwa kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi. Ketika
Misteri Mayat Darah 1 Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Beruang Salju 18
oleh orang lain." "Kesempatan apa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
"Di dalam tubuh kami mengalir getah pohon yang tidak
ada duanya. Getah itu mempunyai pengaruh yang kuat
sekali pada wadag kami."
"Getah pohon apa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tidak seorang pun tahu," jawab orang itu. "kecuali
guru." "Pengaruhnya?" bertanya Pangeran Singa Narpada pula.
Orang itu termangu-mangu pula sejenak. Namun
kemudian katanya, "Tidak seorang pun yang tahu
bagaimana terjadinya. Namun getah itu seakan-akan telah
menahan pertumbuhan wadag kami. Pada saat kami
mendapat getah itu, maka seakan-akan kami tidak lagi
bertambah tua." "Kau juga mendapat kesempatan" Bukankah dengan
demikian Pangeran Gagak Branang akan tahu bahwa aku
adalah saudara seperguruannya?" bertanya Pangeran Singa
Narpada. "Pangeran Gagak Branang tahu bahwa aku juga
mendapat kesempatan minum getah itu. Tetapi tidak
sebagai saudara seperguruannya. Tetapi sebagai hambanya
yang setia, yang akan mengikutinya ke mana saja Pangeran
Gagak Branang pergi," jawab orang itu.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Sekali lagi ia bertanya, "Kau tidak dapat mengenali jenis
getah itu?" Orang itu menggeleng. Jawabnya, "Tidak. Pangeran
Gagak Branang pun tidak."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk kecil.
Sementara orang berkata selanjutnya, "Namun pada saatsaat
seperti yang terjadi pada Pangeran Gagal Branang,
maka yang tertahan itu akan datang pula. Demikian juga,
jika aku tidak lagi mampu menguasai kesadaranku oleh
sebab apapun juga, maka aku akan mengalaminya."
Sejenak Pangeran Singa Narpada terdiam. Mahendra
pun mengangguk-angguk pula, sementara yang lain
termangu-mangu. "Sudahlah Pangeran. Agaknya batas itu telah sampai.
Pada saat kekuatan Pangeran Singa Narpada dan Ki
Mahendra pulih kembali, maka antarkan aku menyusul
Pangeran Gagak Branang, agar aku pun kembali ke
keadaan wajarku," berkata orang itu.
"Siapa kau sebenarnya," bertanya Pangeran Singa
Narpada pula. Orang itu tidak segera menjawab. Namun tiba-tiba saja
ia berdiri tegak sambil berkata, "Baiklah. Jika kekuatan
ilmu Pangeran belum pulih kembali, demikian pula Ki
Mahendra, maka biarlah Akuwu Lemah Warah dan ketiga
anak muda ini menolongku. Lepaskan ilmu kalian. Biarlah
tubuhku mengalami hentakan yang dapat melumpuhkan
segenap syarafku, sehingga dengan demikian kalian akan
dapat mengenal aku lewat Pangeran Singa Narpada."
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Pangeran Singa Narpada sejenak. Namun
kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "jangan
memaksa melakukan hal yang tidak perlu. Katakan tanpa
usaha seperti yang kau katakan dari Akuwu Lemah Warah.
Siapakah kau sebenarnya. Jika kau mau menyebut
namamu, maka aku akan segera dapat mengenalimu.
Seandainya aku memang sudah mengenalmu sebelumnya."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Pangeran masih teringat benar, siapakah
Pangeran Gagak Branang."
"Ya aku ingat, meskipun umurku terpaut agak banyak,"
jawab Pangeran Singa Narpada.
"Nah, Pangeran tentu ingat, siapakah yang selalu berada
di belakangnya. Orang itu jarang sekali terpisah dari
Pangeran Gagak Branang. Kemana pun Pangeran pergi,
maka orang itu ada," jawab orang itu.
"Yang umurnya sebaya dengan pamanda Pangeran?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Ya. Kira-kira demikian meskipun terpaut sedikit,"
jawab orang itu. Pangeran Singa Narpada mencoba mengingat-ingat.
Siapakah orang yang selalu bersama pamandanya,
Pangeran Gagak Branang. Sejenak Pangeran Singa Narpada sempat
membayangkan pamannya di masa mudanya. Pangeran
yang keras, bahkan agak pemarah. Ia pun ingat saat
pamandanya meninggalkan Kediri tanpa ada yang
mengetahui ke mana perginya.
Sekilas ia berpaling ke arah Mahendra. Pamandanya itu
tentu lebih tua dari Mahendra. Bahkan mungkin terpaut
agak banyak. Orang itu pun tentu lebih tua dari Mahendra,
meskipun ujudnya sebaliknya.
Untuk sejenak Pangeran Singa Narpada memasuki dunia
ingatannya. Namun tiba-tiba saja berdesis, "Apakah aku
berhadapan dengan Ki Permita."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
terdengar suaranya serak, "Ya Pangeran. Hamba yang
rendah ini adalah Permita yang tentu sudah Pangeran
kenal. Karena itu maka tidak ada pilihan lain bagi hamba
ini selain hukuman mati."
"Ooo," Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalamdalam.
Sementara itu orang yang disebut Ki Permita itu pun
telah menjatuhkan dirinya bersimpuh di hadapan Pangeran
Singa Narpada. "Bunuh aku Pangeran. Panembahan pun agaknya tidak
akan mampu mengatasi kesulitan di dalam dirinya,"
berkata orang yang disebut Ki Permita itu, "buat apa aku
hidup terus?" Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam, ia
pun kemudian berdiri tegak. Dipandanginya keadaan di
sekelilingnya. Ia tidak lagi mendengar hiruk pikuk
pertempuran. Yang dilihatnya adalah sisa-sisa api yang mengepul dari
barak yang terbakar oleh kemampuan ilmu Ki Permita yang
ternyata adalah saudara seperguruan dari Pangeran Gagak
Branang. Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada termangumangu.
Di balik pepohonan dan barak-barak yang masih
berdiri, seakan-akan dilihatnya prajurit Lemah Warah yang
tersisa menawan para penghuni padepokan itu yang terdiri
dari beberapa perguruan. Bukan hanya terdiri dari orangorang
bertongkat saja. Memang padepokan ini semula
adalah padepokan orang-orang bertongkat itu. Namun
agaknya dengan kehadiran Pangeran Gagak Branang, maka
padepokan ini telah menjadi tempat penempaan
sekelompok orang dari beberapa perguruan yang berbeda.
"Ki Mahendra dan Akuwu Lemah Warah," berkata
Pangeran Singa Narpada, "setelah aku mengetahui bahwa
yang memimpin padepokan ini adalah pamanda Pangeran
Gagak Branang, maka aku tidak memerlukan lagi seorang
pun yang akan aku sadap keterangannya. Aku tahu pasti
apakah yang telah terjadi. Aku tahu pasti alasan dari orangorang
Suriantal datang ke istana Kediri untuk mengambil
benda yang paling berharga yang menjadi tempat
bersemayam Wahyu Keraton."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam. Satu
perjuangan yang keras dan berat telah dilakukan. Ternyata
bahwa yang terjadi tidak jauh berbeda dengan apa yang
pernah terjadi sebelumnya. Pangeran Kuda Permati,
Pangeran Lembu Sabdata, dan beberapa orang lain dalam
sikapnya yang sama. "Kau telah kehilangan orang-orang terbaik dari Lemah
Warah," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Karena itu," berkata Ki Permita, "bunuh aku Pangeran.
Aku akan menerima beban hukuman dari Kediri karena
peristiwa ini." "Ki Permita, kau adalah seorang hamba yang setia.
Namun menurut ingatanku, kau adalah orang yang banyak
diminta nasehat dan petunjukmu oleh pamanda Pangeran
Gagak Branang." "Pangeran benar. Tetapi tidak semua pendapatku sesuai
dengan pendapat Pangeran Gagak Branang. Aku sudah
berusaha untuk meyakinkan pamanda Pangeran, bahwa
usaha ini adalah sia-sia," berkata Ki Permita.
"Jadi kau sependapat dengan pamanda Gagak Branang"
Namun kau menganggap bahwa perjuangan pamanda itu
sia-sia. Jadi kau mencoba mencegah usaha pamanda Gagak
Branang bukan karena kau mempunyai keyakinan yang
berbeda," bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Pangeran. Aku sudah menyerahkan leherku. Bunuhlah
aku sebagai hukuman atas pengkhianatanku terhadap
Kediri serta kesediaanku untuk memikul hukuman dari isi
padepokan ini, terutama mereka yang sempat melarikan
diri." "Aku bertanya kepadamu Ki Permita," berkata Pangeran
Singa Narpada, "bagaimana sikap batinmu terhadap Kediri
sekarang ini" Kita masih tetap di arena. Kau belum
menyerah dan aku pun belum menyerah meskipun
kemampuanku tentu belum pulih kembali."
"Jangan paksa aku merasa semakin tersiksa Pangeran.
Mungkin Pangeran tidak dapat menyiksaku dalam ujud
kewadagan. Tetapi pertanyaan Pangeran itu telah menyiksa
perasaanku, sebaiknya Pangeran membunuh saja aku.
Kematianku akan mengakhiri segala persoalan yang terjadi
di padepokan ini." berkata Ki Permita.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya, "Bukan maksudku Ki Permita. Baiklah. Jika
kau tidak mau mendengar pertanyaanku itu. Aku tidak
akan memaksamu menjawab."
"Ampun Pangeran," desis Ki Permita, "satu-satunya
kemungkinan terbaik yang dapat Pangeran lakukan dalam
keadaan seperti ini adalah membunuhku."
"Tidak Ki Permita," jawab Pangeran Singa Narpada,
"sebagaimana kau tidak merasa berhak membunuhku,
dalam perang sekalipun, maka aku pun tidak merasa berhak
menghukummu." "Pangeran berhak. Aku menyerah," berkata Ki Permita,
"jika Pangeran menganggap bahwa aku belum menyerah,
maka aku menegaskan, sejak aku menyerahkan mati
hidupku, aku menyerah. Pangeran berhak membunuh
seorang tawanan yang berbahaya, karena sebenarnyalah
bahwa aku akan dapat menjadi sangat berbahaya bagi
Pangeran dan bahkan bagi Kediri."
Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Namun kemudian suaranya merendah, "jadi kau
menyerah." "Ya. Dan Pangeran dapat membunuhku," jawab orang
itu. "Baiklah Ki Permita," berkata Pangeran Singa Narpada,
"jika kau memang menyerah, maka kau tentu merasa
berada di bawah kuasaku."
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
bertanya dengan nada tinggi, "Apa maksud Pangeran."
"Aku terima penyerahanmu. Tetapi dengan syarat,"
jawab Pangeran Singa Narpada.
"Justru dengan syarat?" bertanya orang itu, "bukankah
seharusnya akulah yang mengajukan syarat" Dan bukankah
Pangeran seharusnya memerintahkan aku menyerah tanpa
syarat?" "Kali ini tidak," jawab Pangeran Singa Narpada, "aku
sudah menghindari pertanyaanku tentang sikapmu terhadap
Kediri. Karena itu, sebagai syarat penyerahanmu, aku
tuntut kau menangkap orang-orang yang berhasil melarikan
diri. Jika kau yang melakukannya tentu akan jauh lebih
mudah daripada jika aku atau orang-orang Lemah Warah
yang melakukannya. Terutama para pemimpinnya."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, "Yang
dilakukan oleh Akuwu Lemah Warah sudah terlalu banyak.
Yang dikorbankannya pun telah terlalu banyak pula justru
adalah anak-anaknya yang terbaik."
Ki Permita termangu-mangu sejenak. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada berkata selanjutnya, "Ki Permita.
Bukan karena Akuwu Lemah Warah sudah menjadi putus
asa dan tidak akan mampu lagi memburu orang-orang yang
melarikan diri itu. Tetapi apakah kita akan dapat mencari
jalan lain yang lebih singkat dan korban yang lebih kecil."
Orang yang disebut Ki Permita itu menundukkan
kepalanya. Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata,
"Pangeran. Aku selalu berusaha mencegah jika
Panembahan berniat untuk mempergunakan ilmunya di
dalam setiap pertempuran. Sorot matanya dan juga angin
pusaran yang dapat dilontarkan dari dirinya atas dorongan
ilmunya." "Aku mengerti Ki Permita. Dengan demikian kau
berusaha agar pamanda Pangeran Gagak Branang tidak
membantai lawannya sebagaimana membabat batang
ilalang," berkata Pangeran Singa Narpada, "tetapi yang
akan terjadi tentu tidak demikian. Orang-orang yang
melarikan diri itu hanya disertai dengan beberapa orang
pengawal saja. Jika kau harus menghancurkannya, maka
jumlahnya tidak terlalu banyak dan bahkan mungkin kau
dapat mengambil jalan lain. Bukan jalan kekerasan. Tetapi
jika yang datang prajurit Lemah Warah, akan terjadi
pertempuran lagi. Dan korban pun akan jatuh dari kedua
belah pihak. Tentu jauh lebih banyak daripada jika kau
sendiri yang melakukannya. Sementara itu aku yakin
bahwa kau akan mampu mengatasi orang-orang yang telah
melarikan diri itu. karena betapapun tinggi ilmu mereka,
agaknya bukan tandingannya dengan ilmu yang pernah kau
pertunjukkan kepadaku."
Ki Permita masih termangu-mangu. Namun agaknya ia
memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia dapat mengerti
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apa yang dimaksud oleh Pangeran Singa Narpada. Namun
bagaimanapun juga ada sesuatu yang masih menghambat
perasaannya. "Ki Permita," berkata Pangeran Singa Narpada, "aku
ingin mendengar kesediaanmu."
Ki Permita mengangkat wajahnya. Dipandanginya
Pangeran Singa Narpada dengan tatapan mata yang lesu.
Namun kemudian katanya, "Baiklah Pangeran. Aku akan
memenuhi syarat penyerahanku. Mudah-mudahan aku
dapat menangkap mereka tanpa mempergunakan
kekerasan, apalagi jatuhnya korban."
"Terima kasih. Untuk sementara kami masih akan
berada di padepokan ini. Jika selama kami masih berada di
padepokan ini Ki Permita dapat memenuhi syarat itu, maka
kami akan merasa sangat beruntung," berkata Pangeran
Singa Narpada. Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Aku hanya dapat berusaha. Tetapi
untuk menemukan mereka aku masih memerlukan waktu.
Apalagi untuk membawa mereka ke padepokan ini."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Aku percaya kepadamu Ki Permita. Kau akan
melakukan tugasmu dengan baik." namun kemudian
terdengar suaranya menurun, "dan aku percaya kepadamu,
bahwa kau mempunyai keyakinan yang berbeda dengan
pamanda Pangeran Gagak Branang. Hanya kesetiaanmu
sajalah yang memaksamu untuk mengikutinya dan berbuat
seolah-olah kau pun berkeyakinan seperti pamanda
Pangeran Gagak Branang."
Orang itu menunduk dalam-dalam. Sesuatu terasa
bergejolak di dalam dadanya. Penilaian Pangeran Singa
Narpada membuat darahnya bagaikan mengalir lebih cepat.
Sebenarnyalah bahwa ia memang mempunyai keyakinan
yang berbeda. Tetapi ia adalah abdi yang setia sehingga ia
telah menimbun keyakinannya sendiri dan menempatkan
dirinya pada sikap dan keyakinan orang lain. Namun orang
yang diikutinya itu sudah tidak mungkin lagi untuk bersikap
dan berkeyakinan. Bahkan agaknya sulit bagi Panembahan
itu untuk dapat tetap bertahan hidup.
Karena itu, maka ia pun merasa telah terlepas dari ikatan
kesetiaannya tentang sikap dan keyakinan, meskipun ia
masih merasa bahwa ia adalah hamba dari Panembahan
itu, dan bahkan terbersit niatnya untuk ikut mati
bersamanya. Namun Pangeran Singa Narpada ternyata memberikan
perintah kepadanya untuk melakukan sesuatu yang
barangkali baik juga dilakukannya. Sebagaimana dikatakan
oleh Pangeran Singa Narpada, bahwa jika ia bersedia
melakukannya, maka korban akan dapat dikurangi sekecilkecilnya.
Karena ia akan dapat melakukannya sendiri tanpa
pasukan dan para pemimpin dari Lemah Warah, sementara
itu, Lemah Warah telah memberikan korban cukup banyak.
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada kemudian,
"kita dapat memikirkan langkah-langkah kita lebih lanjut.
Aku akan melihat suasana medan."
"Silahkan Pangeran. Biarlah aku menunggui
Panembahan di sini. Aku tidak tahu, apakah keselamatan
Panembahan masih dapat diusahakan. Namun
bagaimanapun juga, aku masih akan berusaha."
"Silahkan," berkata Pangeran Singa Narpada.
"Aku akan membawanya ke barak sebelah," berkata Ki
Permita kemudian. Pangeran Singa Narpada dan para pemimpin Lemah
Warah serta yang lain pun kemudian telah meninggalkan
Pangeran Gagak Branang yang ditunggui oleh hambanya
yang setia. Seperti dikatakan oleh Akuwu Lemah Warah, maka
pertempuran memang sudah selesai. Namun Pangeran
Singa Narpada harus mengelus dadanya melihat jumlah
korban yang jatuh. Meskipun Pangeran Singa Narpada
adalah seorang prajurit yang keras dan garang, namun
melihat korban yang sedang dikumpulkan, baik dari Lemah
Warah maupun dari padepokan itu sendiri, rasa-rasanya
kulitnya telah meremang. Tetapi rasa-rasanya memang tidak ada jalan lain. Tanpa
pengorbanan yang besar, maka Kediri tidak akan dapat
menyingkap rahasia padepokan itu yang ternyata dipimpin
oleh Pangeran Gagak Branang yang tidak kalah kerasnya
dari Pangeran Singa Narpada.
Akuwu Lemah Warah sendiri setiap kali telah menekan
dadanya melihat anak-anaknya terbaik menjadi korban.
Dalam pada itu, Ki Permita telah membawa tubuh
Pangeran Gagak Branang ke barak sebelah, barak yang
masih terhitung utuh dibanding dengan bark-barak yang
lain. Namun ternyata bahwa keadaan tubuh Pangeran Gagak
Branang itu sudah demikian lemahnya. Jantungnya tidak
lagi berdetak cukup keras untuk mendorong darahnya
mengalir ke seluruh tubuhnya. Sementara itu kekuatan
sejenis getah yang telah mempengaruhi wadagnya, seakanakan
mampu menahan pertumbuhannya, tidak lagi berarti,
sehingga karena itu, maka perubahan pada wadag itu pun
telah terjadi dengan cepat. Namun yang terbaring itu masih
tetap Pangeran Gagak Branang.
Hanya karena pertimbangan usia sajalah maka Pangeran
Singa Narpada tidak memikirkannya sebagai Pangeran
Gagak Branang. Sebenarnya Pangeran Singa Narpada
memang mengenali orang yang disebut Panembahan itu
adalah seorang yang pernah dikenalnya. Tetapi getah yang
diminumnya tentu sudah berselang beberapa puluh tahun
dari saat Pangeran Gagak Branang meninggalkan Kediri,
sementara itu beberapa tahun berikutnya pertumbuhan
wadagnya telah terhenti. Mungkin sepuluh tahun atau
lebih. Ki Permita menunggui tubuh yang terbaring itu dengan
wajah yang suram. Pangeran Gagak Branang memang
sudah terlalu tua. Usianya sudah mendekati seratus tahun.
Namun pertumbuhan wadagnya telah terhenti sekitar
seperempat abad sebelumnya.
Kini tubuh yang terbaring itu benar-benar tubuh seorang
yang berusia seratus tahun. Tua, lemah dan keriput di dahi
dan keningnya. "Panembahan," desis Ki Permita.
Panembahan itu membuka matanya. Namun nafasnya
seakan-akan sudah tidak lagi mengalir dari lubang
hidungnya. Sementara arus darahnya pun serasa sudah
berhenti pula. "Permita," suaranya lemah sekali.
"Ya Panembahan," jawab Permita.
"Aku kagum akan kemampuan Singa Narpada dan
orang yang disebut Mahendra itu," desisnya. Suaranya
lemah, bahkan gemetar. "Ya Panembahan," jawab Ki Permita, "mereka memiliki
ilmu yang sangat tinggi."
"Sementara itu, aku juga mendengar pengakuanmu
Permita, bahwa kau juga memiliki ilmu sebagaimana aku
miliki," berkata Pangeran Gagak Branang, "tetapi itu tidak
mengejutkan aku. Yang mengejutkan aku adalah bahwa
sebenarnya kau mempunyai keyakinan lain dari
keyakinanku." "Ampun Panembahan," jawab Ki Permita, "aku tidak
dapat mengelak lagi dari nuraniku yang sebenarnya. Aku
memang tidak ingin menyembunyikan lagi justru pada saat
Panembahan telah terlempar ke dalam ujud kewajaran. Kita
sudah sama-sama tua. Pada saatnya aku pun akan segera
berubah sebagaimana Panembahan. Jika sampai saat
terakhir Panembahan tidak mengetahui keadaanku
sebenarnya, rasa-rasanya aku masih tetap berhutang kepada
Panembahan. Ada kebohongan yang terasa terbawa tanpa
pengakuan. Karena itu Panembahan, tanpa mengurangi
kesetiaanku kepada Pangeran Gagak Branang, maka aku
telah memberikan pengakuan itu. Dengan demikian aku
merasa tidak lagi berhutang kepada Panembahan dengan
kebohongan yang tidak habis-habisnya."
Pangeran Gagak Branang mengangguk-angguk kecil.
Namun kemudian katanya, "Terima kasih atas
kejujuranmu. Dalam saat-saat terakhir ini, sebaiknya aku
memang mengetahui segala-galanya. Pengakuanmu atas
keyakinanmu yang berbeda, justru memberikan tekanan
akan kesetiaanmu. Hanya orang yang setia sepenuhnya
sajalah yang dapat menyembunyikan nuraninya untuk
waktu yang sekian tahun lamanya. Untuk itu aku harus
berterima kasih kepadamu."
Ki Permita menundukkan wajahnya. Dengan nada
dalam ia berkata, "Pangeran, hamba mohon maaf."
Panembahan yang terluka parah itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menyeringai
menahan sakit di dadanya. Pada usia yang sudah sangat
tua, maka ia tidak akan mampu bertahan lagi, setelah
simpul pengendalian ilmunya terguncang setelah
membentur kekuatan ilmu Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra bersama-sama. Karena itu maka suaranya yang semakin lemah
terdengar pula, "Permita. Meskipun sikapku terhadap
Kediri tidak sama dengan Pangeran Singa Narpada, namun
ia adalah seorang yang luar biasa. Ia adalah seorang
kesatria yang teguh memegang martabat kesatriaannya.
Karena itu, maka kau akan mendapat tumpuan pengabdian
yang baru. Ikutlah anak itu dan justru sikapmu akan sesuai
dengan sikapnya." "Aku mendapat perintah dari Pangeran Singa Narpada,
Panembahan," berkata Ki Permita.
"Lakukan. Aku sudah mendengarnya. Kau akan dapat
memenuhinya tanpa merenggut korban lagi dari orangorang
Lemah Warah," berkata Panembahan itu.
"Tetapi dalam tugas ini, aku ingin menutup lembaranlembaran
ceritera tentang hidup seorang hamba yang setia.
Panembahan, umurku pun sudah terlalu tua. Aku sudah
terlalu lama hidup tanpa ujung pangkal. Maka sepeninggal
Panembahan, maka rasa-rasanya hidup pun tidak akan
berarti lagi. Karena itu maka aku memang ingin mengakhiri
hidup ini dengan cara sebagai seorang prajurit yang mati di
medan perang." "Tidak ada orang yang dapat membunuhmu kecuali
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra itu bersama-sama
sebagaimana dilakukan atas diriku," berkata Panembahan
itu semakin lemah. Permita tidak menyahut lagi. Tetapi ia bergeser semakin
mendekat. Ditatapnya wajah yang menjadi semakin pucat
serta nafas yang semakin sendat.
Tetapi ternyata bahwa Pangeran Gagak Branang itu
masih belum sampai pada batas terakhir. Ia masih tetap
bernafas meskipun keadaannya menjadi sangat parah.
Bahkan Permita telah menyangka bahwa sebelumnya
Pangeran Gagak Branang itu telah meninggal. Namun
ternyata belum. Namun justru karena itu, maka Pangeran Gagak
Branang itu akan menjadi persoalan baginya. Jika ia
melakukan tugas Pangeran Singa Narpada, maka ia harus
meninggalkan Pangeran Gagak Branang dalam keadaan
yang payah. Ki Permita tidak dapat sekedar merenungi keadaan itu.
Karena itu ia harus mengatakannya kepada Pangeran Singa
Narpada apabila ia sudah siap untuk berangkat.
Ketika hal itu kemudian disampaikan kepada Pangeran
Singa Narpada maka Pangeran Singa Narpada tidak
mengabaikannya. Pangeran Gagak Branang memang
memerlukan perawatan, sementara itu ia tidak dapat terlalu
lama menunggu sehingga orang-orang yang harus mereka
cari akan bersembunyi semakin jauh.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada itu pun
kemudian bertanya kepada Ki Permita, "Bagaimana
menurut pertimbanganmu?"
"Memang harus ada orang khusus yang merawatnya,"
berkata Ki Permita, "sebenarnya orang yang paling tepat
adalah aku. Tetapi Pangeran telah memerintahkan aku
untuk mencari orang-orang yang telah melarikan diri dari
padepokan ini." "Jadi, bagaimana sebaiknya" Tugasmu diurungkan?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tidak Pangeran. Biarlah aku bertanya kepada Pangeran
Gagak Branang, apa yang dikehendakinya," jawab Ki
Permita. "Jika pamanda Gagak Branang menghendaki kau
tinggal, maka aku sama sekali tidak berkeberatan kau
tinggal," berkata Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, maka Mahendra telah berkata,
"Pangeran. Jika Pangeran Gagak Branang setuju, aku
bersedia merawatnya, selama Ki Permita melakukan
tugasnya." Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
menjawab, "Aku akan bertanya kepada Pangeran Gagak
Branang." Seperti yang dikatakannya, maka Ki Permita pun telah
menemui Pangeran Gagak Branang yang terbaring di
sebuah amben di dalam barak yang tidak lagi dihuni oleh
orang lain. Ternyata Ki Permita tidak menolak. Apalagi ketika ia
mendapat keterangan bahwa Mahendra adalah salah
seorang dari kedua orang yang telah membentur ilmunya.
"Ia adalah orang yang luar biasa sebagaimana Singa
Narpada," berkata Pangeran Gagak Branang, "aku akan
merasa beruntung sekali jika ia bersedia mengawani aku di
sini." Demikianlah, maka pada saatnya Ki Permita itu pun
telah minta diri untuk melakukan tugasnya. Sementara itu,
Pangeran Singa Narpada serta Akuwu Lemah Warah serta
pasukannya masih tetap berada di padepokan itu untuk
beberapa saat lamanya. Seperti yang disanggupinya, maka Mahendra lah yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian merawat Pangeran Gagak Branang yang tua dan
lemah. Yang kadang-kadang menjadi sangat gawat sehingga
nampaknya tidak ada lagi harapan baginya untuk bertahan
sampai sepenginang. Namun ternyata bahwa segala dugaan
telah keliru. Pernafasan Pangeran Gagak Branang menjadi
teratur kembali dan keadaannya pun berangsur baik.
Ternyata bahwa Mahendra berusaha untuk merawat
Pangeran Gagak Branang sebaik-baiknya. Ia sama sekali
tidak memberikan kesan bahwa mereka pernah berhadapan
sebagai lawan yang mempertaruhkan hidup mati mereka.
Namun sebaliknya Pangeran Gagak Branang pun tidak lagi
menganggap Mahendra sebagai musuhnya. Dalam
pergaulan mereka yang semakin akrab, maka Pangeran
Gagak Branang telah menganggap Mahendra sebagai
sahabatnya. Bahkan Pangeran Gagak Branang itu pun mulai tertarik
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, anak Mahendra
yang memiliki kemampuan yang tinggi pada usianya yang
masih muda. "Aku telah mendengar tentang anak-anakmu itu
Mahendra," berkata Pangeran Gagak Branang.
"Mereka memang mulai belajar tentang olah
kanuragan," berkata Mahendra, "tetapi mereka tidak
termasuk anak-anak yang cerdas."
"Kau merendahkan diri," berkata Pangeran Gagak
Branang, "aku tahu, anak-anakmu memiliki kemampuan
yang mengagumkan. Sebelum kau datang, anak-anakmu
telah menunjukkan kelebihannya. Mereka mampu
mengatasi kesulitan-kesulitan yang sebenarnya terlalu berat
bagi anak-anak muda sebayanya."
"Pangeran memuji," desis Mahendra.
Pangeran Gagak Branang tersenyum. Namun ia pun
kemudian terdiam. Seperti sering dilakukan, maka ia pun
kemudian telah merenung. Seakan-akan dipandanginya
satu masa yang tidak dapat disebutkan. Mungkin ia sedang
menerawangi satu kenangan atau mungkin bahkan ia
sedang menyesali keadaannya, atau mengangankan masa
depan yang mungkin akan dialaminya.
Namun dalam pada itu, ternyata Mahendra mampu
menempatkan dirinya sebagai sahabat Pangeran Gagak
Branang. Sehingga dengan demikian sepeninggal Ki
Permita, Pangeran Gagak Branang tidak merasa sendiri,
tanpa orang lain. Sementara itu, Ki Permita telah meninggalkan
padepokan itu. Sebenarnya ia pun tidak begitu pasti, ke
mana orang-orang itu pergi. Namun ia mempunyai
beberapa dugaan, tempat-tempat yang mungkin didatangi
oleh para pemimpin padepokan itu yang melarikan diri,
sehingga tempat-tempat itu akan dapat dijadikan sasaran
utama dalam melaksanakan tugasnya.
Namun demikian, di sepanjang jalan, Ki Permita
mencoba untuk mendengarkan pembicaraan orang atau
justru ia telah bertanya-tanya apakah ada orang yang
sempat melihat kelompok kecil yang lewat di padukuhan
mereka atau bahkan kepada para penjual di kedai, mungkin
sekelompok orang telah singgah di kedai itu.
Meskipun tidak banyak orang yang bersedia memberikan
keterangan, karena takut terlibat dalam satu tindak
kekerasan, namun ada juga yang tidak dengan maksud
sesuatu, menunjukkan, sekelompok orang yang pernah
lewat di padukuhan mereka, atau singgah di kedai mereka.
Sehingga dengan demikian, meskipun agak sulit, namun Ki
Permita akhirnya yakin bahwa sekelompok kecil orangorang
itu telah menuju ke sebuah padepokan lain yang juga
pernah dikenalnya. Namun Ki Permita itu kadang-kadang menjadi berdebardebar.
Jika ia harus menghadapi orang padepokan, maka ia
tentu akan melakukan sesuatu yang dicemaskannya
dilakukan oleh Pangeran Gagak Branang.
Tetapi untuk menenangkan hatinya sendiri ia berkata,
"Tetapi sasarannya memang berbeda. Pangeran Gagak
Branang akan melakukannya atas para prajurit yang sedang
mengemban tugas, sedangkan aku jika terpaksa akan
melakukannya atas orang-orang yang sedang memberontak
terhadap pemerintah."
Namun Ki Permita tetap berkeinginan bahwa segalanya
akan dapat diselesaikan tanpa kekerasan, tanpa korban dan
akan dicapainya dengan tuntas.
Sementara Ki Permita menelusuri jalan yang dilalui oleh
para pemimpin padepokan yang melarikan diri, maka
keadaan Pangeran Gagak Branang menjadi semakin tidak
menentu. Kadang-kadang keadaannya nampak sulit sekali.
Nafasnya bagaikan tidak dapat lagi mengalir. Namun
kadang-kadang keadaannya nampak baik dan bahkan
semakin segar. Dalam keadaan yang demikian, Pangeran Gagak
Branang telah memanggil Pangeran Singa Narpada dan
Mahendra. Dengan suara yang bergetar Pangeran itu berkata,
"Pangeran Singa Narpada dan Ki Mahendra. Sebagaimana
kalian lihat, keadaanku ternyata sangat sulit. Aku seperti
berdiri di sebuah pintu. Sekali aku didorong untuk masuk,
namun kadang-kadang aku telah terlempar lagi keluar."
Pangeran Singa Narpada yang duduk dekat dengan
Pangeran Gagak Branang itu kemudian berkata,
"Bagaimana maksud pamanda. Apakah pamanda ingin
melakukan samadi agar keadaan pamanda menjadi semakin
baik" Jika memang pamanda kehendaki, maka biarlah aku
dan Mahendra menolong pamanda. Keadaanku dan
Mahendra sudah berangsur baik, dan bahkan justru telah
pulih kembali." "Aku memang sudah menduga," berkata Pangeran
Gagak Branang, "tetapi nampaknya keadaanku tidak akan
menjadi baik. Aku sudah terlalu tua dan wadagku seperti ini
tidak akan dapat lagi mendukung ilmuku seandainya aku
masih mungkin menyelamatkannya."
"Jadi bagaimana maksud pamanda?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Kemudian
dengan suara sendat ia berkata, "Singa Narpada. Ada
sesuatu yang perlu kau ketahui. Bahwa apapun yang terjadi
atas diriku, aku tidak akan mati. Seandainya kalian berdua,
dalam kemampuan sepenuhnya seperti sekarang ini
menyerang aku, aku memang akan semakin hancur. Tetapi
aku tidak akan mati. Bahkan justru semakin tersiksa.
Tubuhku menjadi semakin rusak. Namun nyawaku akan
tetap berada di dalamnya dengan semua penanggungan."
"Kenapa Pangeran tidak dapat mati?" bertanya
Mahendra. "Itulah yang ingin aku pecahkan," berkata Pangeran
Gagak Branang, "semula aku merasa bangga akan
kekebalan itu. Tetapi pada saat seperti ini, maka kematian
adalah satu-satunya jalan yang paling baik bagiku untuk
melepaskan diri dari penderitaan ini."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun ia dapat mengerti, bahwa kematian memang
merupakan pelepasan terbaik bagi Pangeran Gagak
Branang. "Singa Narpada, kau jangan merasa segan untuk
membenarkan kata-kataku," berkata Pangeran Gagak
Branang, "aku memerlukan pertolonganmu."
"Apa yang dapat kami lakukan pamanda?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. Pangeran Gagak Branang termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, "Carilah seutas lawe."
"Lawe?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Ya, lawe. Kemudian usahakan agar kau dapat
melakukan sesuatu untuk melepaskan penderitaan ini,"
berkata Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian telah memerintahkan kepada
Akuwu Lemah Warah untuk mengusahakan seutas lawe.
"Jika perlu, pergi ke padukuhan," berkata Pangeran
Singa Narpada. Sementara prajurit Lemah Warah mencari seutas lawe,
maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata, "Singa
Narpada. Ada sesuatu lagi yang ingin aku beritahukan.
Dalam keadaan yang parah ini, masih ada yang dapat aku
berikan kepada seseorang. Mungkin kau atau Ki Mahendra
atau kedua-duanya. Kalian adalah orang-orang yang
memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dengan sisa ilmu
yang ada padaku, maka kalian akan memiliki ilmu yang
lebih baik lagi." "Tetapi dengan akibat, tidak dapat mati sebagaimana
pamanda sekarang ini?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tidak Singa Narpada," jawab Pangeran Gagak
Branang, "bahwa aku terlepas dari kematian bukan karena
ilmu itu. Tetapi karena ilmu yang lain."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Namun kemudian ia pun bertanya, "Pamanda. Apakah ada
syaratnya bagi seseorang yang harus menerima ilmu itu?"
"Memang ada," jawab Pangeran Gagak Branang, "yang
akan menerima ilmu itu harus orang-orang yang memang
sudah berilmu, ia memiliki wadag yang kuat untuk
mendukung kemampuan yang timbul karena ilmu itu.
Selanjutnya, penilaian tentang watak dan tingkah laku."
Pangeran Singa Narpada dan Mahendra termangumangu
sejenak. Namun kemudian Pangeran Singa Narpada
lah yang bertanya, "Bagaimanakah dasar penilaian tentang
watak dan tingkah laku?"
Pangeran Gagak Branang yang nafasnya terasa menjadi
sesak berkata, "Penilaian watak dan tingkah laku
tergantung orang yang memiliki ilmu itu untuk menentukan
apakah seseorang dianggap pantas untuk menerimanya."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk . Namun
kemudian katanya, "Pamanda. Kami berdua sudah menjadi
semakin tua. Sebentar lagi kami berdua akan segera
menyusul sebagaimana keadaan pamanda sekarang. Karena
itu seandainya ilmu itu pamanda berikan kepada kami
berdua, maka agaknya tidak akan banyak memberikan
manfaat bagi kehidupan."
"Bukankah kalian akan dapat mewariskannya kepada
orang-orang yang kalian percaya?" berkata Pangeran Singa
Narpada. "Sementara itu, kau memiliki syarat yang paling
baik untuk menerima ilmu ini. Kau mampu menghisap
ilmu orang lain sehingga akan berarti bagi dirimu sendiri."
"Tidak pamanda. Aku hanya mampu memperlemah
ilmu orang lain, tetapi tidak menghisapnya dan
memberikan arti bagi kemampuanku," jawab Pangeran
Singa Narpada. "Kau sudah berdiri di ambang pintu. Kau tinggal
melangkah satu langkah lagi untuk sampai pada
kemampuan itu," berkata Pangeran Singa Narpada, "jika
pada saat kau mengetrapkan ilmumu itu kau sertai dengan
laku yang lain, maka kau akan sampai pada kemampuan
itu." "Apakah yang harus aku lakukan seandainya aku
bersedia menerima ilmu pamanda," bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Pangeran. Kau sampai saat ini masih membenturkan
kekuatan dan kemampuan ilmumu sekaligus dan bersamasama.
Yang terjadi dalam pergolakan ilmu itu adalah,
bahwa ilmumu justru telah menyusup ke dalam tubuh
lawanmu, baru terjadi penyusutan kemampuan lawanmu
karena getaran ilmumu yang telah membekukan sebagian
dari ilmu lawanmu di dalam tubuh mereka. Jadi yang
terjadi bukannya satu kemampuan untuk menghisap ilmu
lawanmu." "Hamba mengerti pamanda. Tetapi istilah yang paling
mudah dipergunakan adalah menghisap ilmu lawan
sebagaimana dipergunakan oleh banyak orang. Mereka
menuduh aku mempergunakan ilmu yang licik, karena aku
telah mencuri kemampuan lawan dengan diam-diam. "
jawab Pangeran Singa Narpada.
"Mungkin istilah itu dapat saja dipergunakan, karena
yang terjadi memang seolah-olah demikian," berkata
Pangeran Gagak Branang, "namun untuk memiliki ilmuku
kau dapat berbuat lain. Kau harus benar-benar menghisap.
Kau trapkan ilmumu, tetapi tidak dengan kekuatan
benturan. Kau justru harus membiarkan kekuatan lawan
menusuk ke dalam dirimu, kemudian kau terima dan kau
hisap ke dalam ruang penempatan ilmumu yang tidak
terbatas. Kau biarkan getaran itu bergejolak di dalam
dirimu, namun kau siapkan daya tahanmu untuk
melindungi dirimu jika ilmumu itu ternyata kurang mampu
mewadahi luap getaran ilmu yang akan kau terima itu.
Karena itu, untuk menerima ilmuku, seseorang memang
harus sudah memiliki ilmu yang tinggi, sehingga luapan
kemampuan ilmu ini dapat di atasi dengan kemampuan
daya tahan yang cukup besar."
Pangeran Singa Narpada termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian dipandanginya Mahendra sejenak.
Kemudian hampir berbisik Pangeran Singa Narpada
berkata, "Bagaimana dengan kedua anakmu. Aku kira itu
akan lebih baik daripada jika kita yang tua-tua ini yang akan
menerimanya." Mahendra nampak ragu-ragu. Namun dalam pada itu
Pangeran Gagak Branang mendengar pertanyaan itu
betapapun lambatnya. Karena itu, maka ia pun bertanya,
"Siapakah yang kau maksud?"
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," jawab Pangeran
Singa Narpada. Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Aku sudah mendapat laporan tentang kedua
anak muda itu. Dan aku pun telah melihat pula meskipun
tidak dengan mata wadagku bagaimana ia bertempur.
Nampaknya anak-anak itu memiliki kemampuan yang
cukup tinggi, sementara itu aku mempunyai penilaian yang
baik bagi watak dan tingkah lakunya. Dalam usianya yang
masih sangat muda mereka telah melakukan satu tugas
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan penuh tanggung jawab tanpa menghiraukan
taruhannya yang sangat besar, yaitu nyawa mereka sendiri.
Bahkan mereka telah mampu mengalahkan orang-orang
yang memiliki ilmu yang sangat tinggi pula."
"Jadi bagaimana menurut pamanda Pangeran, jika aku
mengusulkan agar ilmu itu dapat disalurkan kepada kedua
anak muda yang masih akan memiliki masa depan yang
panjang itu?" Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Tubuhnya memang benar-benar sudah menjadi kian parah.
Namun ia masih berkata, "Bawa anak itu kemari!"
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberi isyarat
kepada Mahendra untuk menghadapkan kedua anak lakilakinya.
Namun bagaimanapun juga terbersit keragu-raguan
di hati Mahendra. Yang akan dilakukan oleh Pangeran
Gagak Branang itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya.
Jika kedua anaknya tidak mampu menerima dan mengisap
dan meluluhkannya di dalam dirinya, serta ternyata daya
tahannya tidak dapat mengatasi luapan ilmu itu maka ilmu
itu justru akan membahayakannya.
Apalagi apabila dalam keadaan yang gawat itu. Pangeran
Gagak Branang sengaja menyeret orang lain untuk
menyertainya memasuki dunia langgengnya.
Namun ketika Pangeran Singa Narpada memandanginya
dengan tatapan mata yang meyakinkan, maka ia pun telah
melakukannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri masih belum
menentukan sikapnya, apakah ia dapat menerimanya atau
tidak. Mereka ingin melihat dan mengalami satu
pengalaman batin selama bersentuhan dengan sikap
Pangeran Gagak Branang. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah berada di
sisinya, maka Pangeran Gagak Branang itu pun berkata
dengan suara yang bergetar, "Anak-anak muda. Kita
bertemu dalam satu arena pertempuran dan kebetulan kita
berdiri berseberangan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang berkata
selanjutnya, "Tetapi itu bukan merupakan hambatan bagiku
untuk melihat watak dan sikap kalian menghadapi keadaan.
Menurut penglihatanku, baik penglihatan kewadagan
maupun penglihatan khusus, kalian berdua merupakan
anak-anak muda yang pantas untuk mendapat kepercayaan.
Kalian berdua telah menjalankan tugas kalian dengan
sebaik-baiknya. Penuh tanggung jawab dan
mempertaruhkan hidup dan mati meskipun kalian masih
sangat muda. Kalian berpegang pada keyakinan dan tanpa
mengenal gentar dan takut menghadapi apapun juga.
Karena itu, maka aku berpendapat, bahwa kalian adalah
orang yang pantas untuk mendapat kesempatan mencapai
tataran ilmu yang setinggi-tingginya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi
hampir berbareng mereka berpaling kepada ayahnya.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Namun menilik
sikap dan kata-kata Pangeran Gagak Branang, rasa-rasanya
Mahendra mempercayainya bahwa ia tidak akan
mencelakakan kedua anaknya.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang itu pun berkata,
"Anak-anak muda. Apakah kalian bersedia menolongku?"
Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun Mahisa
Murti pun kemudian bertanya, "Apa yang dapat aku
lakukan?" "Mengurangi bebanku menjelang kematianku," berkata
Pangeran Gagak Branang, "ternyata ketamakanku telah
menjeratku dalam keadaan seperti ini di saat terakhirku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja ragu-ragu.
Karena itu Pangeran Gagak Branang masih harus
menjelaskan, "Tetapi ilmu ini bukan penghambat utama.
Jika aku melepaskannya, maka sekedar akan mengurangi
beban. Tanpa ilmu yang menurut dugaanku akan dapat
memberikan kebanggaan, kebahagiaan dan kelebihan dari
semua orang, maka aku tidak akan mengalami kesulitan
seperti ini. Aku dapat melepaskan ilmu yang akan aku
wariskan kepada kalian tanpa orang lain. Tetapi yang satu
itu tidak. Harus ada orang yang menolongku. Sementara
aku dibebani oleh perasaan sayang untuk membuang begitu
saja sesuatu yang mungkin akan berarti bagi orang lain.
Bahkan akan berarti bagi kehidupan yang lebih luas. Jauh
lebih besar artinya daripada semasa ilmu itu ada padaku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Mereka masih saja mengharapkan petunjuk dari ayahnya.
Sementara Mahendra pun seolah-olah minta pertimbangan
kepada Pangeran Singa Narpada.
Baru kemudian Pangeran Singa Narpada mengangguk
kecil, sehingga dengan demikian sudah ada isyarat bagi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, apakah sebaiknya yang
harus mereka lakukan. "anak-anak muda," berkata Pangeran Gagak Branang
dengan suara bergetar, "katakanlah. Apakah kau siap untuk
mewarisi ilmuku" Baiklah aku beritahukan, apa yang dapat
kau sadap dari aku. Sebenarnya bukan satu ilmu yang
terpisah dari diriku dan dari diri mereka yang akan
mewarisinya. Ilmu itu adalah satu alas yang akan
meningkatkan apa yang sudah ada di dalam diri masingmasing.
Kau tidak akan mendapatkan sesuatu yang baru."
Mahendra dan Pangeran Singa Narpada menarik nafas
dalam-dalam. Dengan demikian maka kecemasan mereka
pun menjadi semakin susut. Getaran yang akan menyusup
ke dalam diri anak-anak muda itu tidak akan mengalami
benturan-benturan yang keras dengan apa yang telah ada di
dalam diri kedua anak muda itu.
"Nah, katakanlah," desis Pangeran Gagak Branang,
"apakah kalian bersedia menerimanya, atau jika tidak,
biarlah ilmu itu aku tumpahkan dan kehilangan arti sama
sekali, meskipun sebenarnya masih akan dapat berarti bagi
kehidupan ini sesuai dengan pengabdian mereka yang
memilikinya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak raguragu.
Namun Pangeran Singa Narpada sekali lagi
memberikan isyarat kepada kedua anak itu dan kepada
Mahendra. sehingga akhirnya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun berkata hampir bersamaan, "Baiklah Pangeran."
"Ya Pangeran," jawab Mahisa Murti.
"Baiklah. Kalian akan segera mendapatkannya. Ilmu itu
sudah tidak ada artinya lagi bagiku. Ilmu itu adalah ilmu
yang mendukung ilmuku yang lain. Tetapi dalam benturan
ilmu yang terjadi, maka ilmuku yang didukung oleh alas
kekuatan itu tidak lagi memiliki kemampuan. Sehingga
betapapun besarnya kekuatan yang mendukungnya sudah
tidak akan ada artinya lagi," berkata Pangeran Gagak
Branang. "namun aku sudah tidak memiliki kekuatan lagi
untuk menyusupkan getaran kekuatan ilmu itu ke dalam
tubuh kalian, sehingga kalianlah yang harus menghisapnya
daripadaku. Aku sudah mengetahui bahwa kalian berdua
telah memiliki ilmu itu sebagaimana dimiliki oleh Pangeran
Singa Narpada. Karena itu untuk selanjutnya, biarlah
Pangeran Singa Narpada memberikan petunjuk laku kepada
kalian." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam. Iapun
kemudian telah memberikan beberapa petunjuk kepada
kedua anak muda itu sebagaimana Pangeran Gagak
Branang memberikan petunjuk.
Sementara itu Pangeran Gagak Branang pun berkata,
"Kita akan segera mulai jika lawe itu sudah ada."
Mahendra lah yang kemudian menghubungi Akuwu
Lemah Warah. Ternyata bahwa seorang di antara
prajuritnya telah mendapatkan lawe itu di padukuhan,
meskipun hanya beberapa depa saja.
Ketika kemudian lawe itu dibawa kepada Pangeran
Gagak Branang, maka katanya, "Lingkarkan lawe itu pada
lambungku." Pangeran Singa Narpada termangu-mangu. Namun iapun
kemudian mengikuti apa yang dikatakan oleh Pangeran
Gagak Branang. Dilingkarkannya lawe itu di lambung
Pangeran Gagak Branang. Pangeran Gagak Branang pun kemudian berkata,
"Terima kasih. Sekarang, biarlah kedua anak muda itu
mengambil ilmu itu daripadaku. Tetapi Pangeran Singa
Narpada, kau harus selalu mendengarkan kata-kataku. Pada
saatnya kau harus menolongku melepaskan nyawaku yang
terikat oleh wadagku yang telah tidak memadai lagi.
Ternyata bahwa apa yang aku anggap akan dapat
memberikan aku kebahagiaan tanpa batas itu justru telah
menyiksaku. Karena ternyata kematian memang tidak akan
dapat dihindari oleh siapapun."
Pangeran Singa Narpada bergeser mendekat sambil
menyahut, "Baiklah pamanda. Aku akan mengikuti segala
perintah pamanda. Tetapi pamanda jangan menganggap
bahwa aku memang menghendaki kematian pamanda."
"Tidak Pangeran. Aku sadar sepenuhnya, bahwa aku
sendirilah yang menghendakinya. Kau justru akan
menolongku untuk melakukannya," jawab Pangeran Gagak
Branang. Pangeran Gagak Branang mengangguk kecil. Kemudian
katanya, "sekarang sudah waktunya anak-anak muda itu
mengambil ilmu itu."
Pangeran Singa Narpada pun kemudian memberikan
isyarat kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Keduanya
pun sudah mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu yang
tersisa di dalam tubuh Pangeran Gagak Branang yang
sudah menjadi sangat lemah.
Kedua anak muda itu pun kemudian bergeser mendekat.
Pangeran Gagak Branang yang lemah itu pun telah
mengulurkan kedua tangannya sambil berkata, "Pegang
tanganku." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menjadi tanggap.
Keduanya memegang tangan Pangeran Gagak Branang
sebelah menyebelah. "Anak-anak," berkata Pangeran Gagak Branang,
"Sekarang pusatkan segala kemampuanmu pada ilmu yang
pernah kau miliki sebagaimana dimiliki oleh Pangeran
Singa Narpada. Lakukan petunjuk yang telah diberikan
kepadamu oleh Pangeran Singa Narpada itu. Aku telah siap
untuk melepaskannya. Kerahkan semua kemampuan yang
ada padamu. Dan kerahkan daya tahan yang kalian miliki,
sehingga seandainya kekuatan getaran ilmuku yang terhisap
di dalam tubuhmu dan terjadi sengatan pada bagian dalam
tubuhmu oleh limpahan kekuatan ilmuku, maka kau tidak
akan mengalami sesuatu. Kemudian ilmu yang terhisap ke
dalam kekuatan serta kemampuan ilmumu itu akan menjadi
landasan peningkatan kemampuan ilmumu selanjutnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun keduanya telah mempersiapkan diri lahir dan batin.
Mereka pun telah mempersiapkan segenap kemampuannya
daya tahan untuk melindungi isi dada mereka andaikata
getaran yang terjadi di dalam dada mereka
mengguncangkan isinya, oleh luapan kekuatan yang
ternyata terlalu besar. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat pun telah mengetrapkan ilmu mereka.
Seperti yang dikatakan dalam petunjuk yang diberikan oleh
Pangeran Singa Narpada, maka keduanya dalam
mengetrapkan ilmunya tidak mempergunakan kekuatan
benturan wadag mereka. Mereka justru berusaha untuk
melepaskan getaran yang terjadi menusuk ke dalam tubuh
mereka. Demikianlah telah terjadi gejolak di dalam diri Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Mereka merasakan arus yang
deras mengalir ke dalam diri mereka. Arus yang seakanakan
tidak terbendung. Getaran itu semakin lama menjadi semakin keras
mengguncang isi dada mereka, sehingga isi-dada kedua
anak muda itu pun mulai terasa pedih.
Namun kedua anak muda itu telah mengerahkan
segenap kemampuan daya tahan mereka, sehingga dengan
demikian mereka masih mampu mengatasi perasaan sakit di
dalam diri mereka. Pangeran Singa Narpada dan Mahendra yang
menyaksikan peristiwa itu menjadi berdebar-debar. Dengan
cemas keduanya memandang setiap perubahan pada wajah
kedua anak muda itu. Keringat nampaknya mulai
membasahi tubuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Bahkan
kemudian tubuh mereka pun telah menjadi bergetar pula.
Mahendra benar-benar menjadi cemas. Tetapi segalanya
sedang berlangsung, sehingga ia tidak dapat berbuat apaapa.
Namun demikian Mahendra telah bergeser mendekat.
Dalam keadaan yang gawat ia akan dapat membantu
menyalurkan kekuatan ke dalam tubuh kedua anaknya,
untuk ikut serta mendukung beban yang mengalir dari diri
Pangeran Gagak Branang ke dalam diri kedua anaknya.
Bahkan Pangeran Singa Narpada pun telah melakukan
hal yang sama. Ia pun telah bergeser mendekat, siap untuk
memberikan bantuan jika ternyata kemampuan kedua anak
muda itu tidak dapat menampung ilmu yang ingin mereka
warisi dari Pangeran Gagak Branang.
Keduanya semakin berdebar-debar ketika mereka
melihat wajah kedua anak muda itu menjadi semakin pucat,
sementara keringat mereka telah membasahi tubuh mereka
bagaikan orang yang sedang mandi.
Debar di dalam dada Mahendra dan Pangeran Singa
Narpada menjadi semakin memukul-mukul jantung.
Namun mereka masih tetap menunggu. Mahendra dan
Pangeran Singa Narpada menyaksikan kedua anak muda
masih duduk sambil memegangi tangan Pangeran Gagak
Branang sebelah menyebelah.
Namun kedua orang itu benar-benar menjadi sangat
cemas ketika mereka melihat, kepala Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu pun tertunduk dalam-dalam, seolah-olah
tulang lehernya telah patah.
Mahendra bergeser setapak mendekat. Namun kemudian
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ia mendengar Pangeran Gagak Branang itu berdesis.
Bahkan kemudian seakan-akan Pangeran itu telah
mengerang. "Pamanda," desis Pangeran Singa Narpada kemudian.
Orang itu menjadi semakin jelas. Sementara Pangeran
Singa Narpada telah bergeser semakin dekat.
"Singa Narpada," terdengar suara Pangeran Gagak
Branang lambat sekali. "Pamanda," desis Pangeran Singa Narpada.
Wajah Pangeran Gagak Branang pun menjadi sangat
pucat pula. Nafasnya terengah-engah dan suaranya menjadi
sangat lambat, "Singa Narpada. Anak-anak itu telah
berhasil menghisap seluruh kekuatan ilmu itu daripadaku.
Bagaimana keadaan mereka sekarang?"
Pangeran Singa Narpada memandang kedua anak muda
yang duduk dengan kepala yang terkulai lemah. Bahkan
kemudian seakan-akan dari ubun-ubun mereka nampak
asap yang tipis menguap perlahan-lahan.
"Pamanda," desis Pangeran Singa Narpada, "aku akan
mencoba melihatnya."
"Lihatlah keadaannya. Bantulah jika mereka
memerlukannya," desis Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada pun kemudian mendekati
Mahisa Pukat, sementara Mahendra berada di dekat
Mahisa Murti. Namun meskipun kedua anak muda itu
menjadi sangat sulit. Namun keduanya masih mampu
berusaha untuk mengatasi kesulitan didalam diri mereka.
Dengan segenap kekuatan tenaga cadangan mereka, maka
mereka telah mengatasi perasaan sakit di dalam diri mereka
oleh luapan ilmu Pangeran Gagak Branang yang mereka
hisap itu. Mereka pun telah berusaha mengatur pernafasan
mereka untuk meredakan gejolak getaran didalam dada
mereka serta untuk mengatur agar peredaran darah mereka
menjadi wajar kembali. Meskipun perlahan-lahan agaknya keduanya akan
mampu mengatasinya tanpa bantuan orang lain.
Sementara itu, Pangeran Singa Narpada pun telah
bergeser kembali mendekati telinga Pangeran Gagak
Branang yang terbaring diam.
"Pamanda," berkata Pangeran Singa Narpada di telinga
pamandanya, "mereka dalam keadaan baik meskipun
mengalami kesulitan. Namun agaknya mereka akan
mampu mengatasinya."
"Syukurlah," berkata Pangeran Gagak Branang, "aku
memang sudah menduga, bahwa keduanya akan mampu
mengatasinya sendiri." Pangeran Gagak Branang berhenti
sejenak. Kemudian, "Dengar Singa Narpada. Kedua anak itu
akan menjadi dua orang anak muda yang memiliki ilmu
yang sangat tinggi. Ilmu mereka yang memang sudah cukup
tinggi, akan terangkat ke atas alas yang dihisapnya
daripadaku. Sejenis ilmu yang tidak berdiri sendiri, tetapi
menopang ilmu yang telah ada didalam dirinya. Namun
pesanku kepadamu, sampaikan kepada anak-anak itu,
bahwa mereka harus menyadari kegunaan ilmu itu. Ilmu itu
merupakan ungkapan dari keyakinannya yang dapat
memberikan arti bagi sesamanya sebagai satu pengabdian
kepada Yang Maha Agung. Kau dapat mengatakan kepada
mereka, bahwa aku bukan contoh yang baik dari seseorang
yang memiliki ilmu itu, karena aku hanya sekedar
berpegang pada keyakinanku sendiri."
Sementara itu, ada keyakinan lain yang berbeda dengan
keyakinanku. Memang sulit untuk menyebutkan kebenaran
yang mutlak sehingga kadang-kadang kita merasa diri kita
adalah yang paling benar tanpa menghiraukan kebenaran
bagi orang lain." Pangeran Singa Narpada mengangguk sambil berkata,
"Aku akan menyampaikannya pamanda. Aku yakin bahwa
kedua anak itu pada dasarnya memang berpegang kepada
satu keyakinan untuk dapat memberikan arti hidup mereka
bagi sesama sebagai satu pengabdian kepada Yang Maha
Agung. Sebagaimana selalu dilakukan oleh ayah mereka
serta saudara tua mereka, Mahisa Bungalan. Juga pamanpaman
mereka, yang dikenal dengan Mahisa Agni dan
Witantra." Wajah Pangeran Gagak Branang nampak berkerut.
Dengan nada lemah ia berkata, "Jadi keduanya mempunyai
sangkut paut dengan kedua orang yang pernah berada di
Kediri atas nama kuasa Tumapel itu?"
"Maksud pamanda, Singasari?" bertanya Pangeran
Singa Narpada. "Tumapel," ulang Pangeran Gagak Branang.
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Lalu jawabnya, "benar pamanda, keduanya adalah
kemanakan kedua orang itu."
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Aku kagum kepada keduanya meskipun aku
tidak sependapat dengan keyakinannya. Dengan demikian,
maka aku yakin, bahwa kedua anak muda itu akan dapat
memanfaatkannya bagi sesama jika kita dapat melupakan
keyakinan pribadi tentang Tanah Tumpah Darah itu."
"Ya pamanda," berkata Pangeran Singa Narpada, "aku
pun berharap demikian."
Pangeran Gagak Branang menarik nafas dalam-dalam.
Bahkan dalam sekali. "Singa Narpada," berkata Pangeran Gagak Branang
kemudian, "sekarang telah sampai waktunya. Aku tidak
perlu menunggu Permita. Tolong, bantu aku."
"Apa yang harus aku lakukan pamanda?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Singa Narpada," berkata Pangeran Gagak Branang,
"waktu itu memang sudah tiba. Wadagku telah tidak lagi
mampu mendukung keinginanku yang melonjak menggapai
langit. Karena itu, maka aku tidak akan hidup lebih lama
lagi." Nafas Pangeran Gagak Branang menjadi semakin
terengah-engah. Dengan suara yang sendat ia melanjutkan,
"Tolonglah aku Singa Narpada. Lingkarkan Lawe itu pada
lambungku. Kemudian tarik ujung yang berada di sebelah
kiri dari arahku. Perlahan-lahan, jangan sampai putus. Jika
lawe itu putus, kau akan semakin menyiksaku."
"Untuk apa paman?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Tolonglah, lakukanlah dengan hati-hati," berkata
Pangeran Gagak Branang kemudian.
Pangeran Singa Narpada menjadi termangu-mangu.
Namun ia pun kemudian telah berdiri, melingkarkan lawe
itu pada lambung Pangeran Gagak Branang dalam
lingkaran penuh. Kemudian, seperti dikatakan oleh
Pangeran Gagak Branang, maka Pangeran Singa Narpada
perlahan-lahan telah menarik tali itu dari arah kiri Pangeran
Gagak Branang. Demikian perhatian Pangeran Singa Narpada
sepenuhnya tertuju kepada benang lawe yang ditariknya
perlahan-lahan itu, sehingga ia tidak sempat
memperhatikan Pangeran Gagak Branang sendiri. Seperti
dikatakan oleh Pangeran Gagak Branang, maka lawe itu
jangan sampai putus, karena jika lawe itu putus, maka
keadaan Pangeran Gagak Branang akan menjadi semakin
buruk. Untuk beberapa saat Pangeran Singa Narpada justru
menahan nafas. Demikian pula Mahendra yang
menyaksikannya. Keringat dingin telah mengalir di
punggungnya. Bahkan Mahendra tidak lagi memperhatikan
kedua anaknya yang sedang berjuang untuk memperbaiki
keadaannya. Ujung lawe itu pun mulai bergerak dan hilang di balik
punggung. Tangan Pangeran Singa Narpada pun menjadi
gemetar. Tetapi karena ia cukup berhati-hati, maka akhirnya ia
berhasil menarik lawe itu ke kiri dari arah Pangeran Gagak
Branang dengan baik. Benang lawe itu tidak putus sama
sekali. Pangeran Gagak Branang tidak menjawab. Bahkan
ketika Pangeran Singa Narpada memperhatikannya, ia pun
menjadi berdebar-debar. Kedua tangan Pangeran Gagak
Branang itu bersilang di dadanya. Matanya terpejam dan
mulutnya sedikit menyungging senyum.
"Pamanda," panggil Pangeran Singa Narpada.
Pangeran Gagak Branang sama sekali tidak menjawab.
Mahendra pun telah bergeser mendekat. Namun
kemudian dipandanginya Pangeran Singa Narpada yang
termangu-mangu. Dengan nada datar Mahendra berkata,
"Pangeran Gagak Branang sudah sampai kepada batas
kematiannya. Pangeran Singa Narpada agaknya telah
menjadi lantaran." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Ya. Pamanda ternyata telah bebas dari penderitaan
kewadagannya. Mudah-mudahan pamanda menemukan
jalan lurus di dunia abadinya."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Tubuh Pangeran
Gagak Branang terbujur lurus di pembaringannya. Seperti
yang dikatakannya ia tidak menunggu hamba setianya yang
sedang bertugas untuk menyelesaikan persoalan Kediri
dengan para penghuni padepokan itu yang ternyata berada
di bawah pengaruh Pangeran Gagak Branang yang
dipanggil Panembahan oleh orang-orang padepokan itu.
Dalam pada itu, maka perhatian Mahendra dan
Pangeran Singa Narpada kembali kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Nampaknya perlahan-lahan keduanya
mampu mengatasi persoalan di dalam diri mereka, sehingga
keduanya telah mengangkat kepala mereka yang seakanakan
terkulai pada lehernya tanpa kekuatan sama sekali.
Bahkan kedua anak muda itu telah nampak menguasai diri
mereka sepenuhnya. Pernafasan mereka telah semakin
teratur dan darah pun telah mengalir dengan wajar.
Tetapi untuk beberapa saat Mahendra dan Pangeran
Singa Narpada membiarkan kedua orang anak muda itu
menyelesaikan laku yang baru mereka jalani.
Ternyata beberapa saat kemudian, keduanya telah
merasa bahwa mereka telah berhasil. Namun ternyata
bahwa keadaan mereka masih terlalu lemah. Urat-urat
mereka rasa-rasanya tidak mempunyai tenaga sama sekali,
sementara persendian mereka rasa-rasanya telah terlepas
satu sama lain. Namun demikian Mahendra telah menyapa mereka,
"Bagaimana keadaan kalian?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Atas doa ayah dan restu Pangeran Singa
Narpada, aku telah berhasil."
"Dan kau?" bertanya Mahendra kepada Mahisa Pukat.
"Aku juga telah berhasil ayah," jawab Mahisa Pukat
yang masih sangat lemah. "Syukurlah," berkata Mahendra, "sekarang perhatikan.
Inilah keadaan Pangeran Gagak Branang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
memperhatikan Pangeran Gagak Branang yang terbaring
diam. Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Apakah
karena aku dan Mahisa Pukat berusaha mewarisi ilmunya
maka Pangeran Gagak Branang telah meninggal?"
"Tidak. Sama sekali tidak," jawab Pangeran Singa
Narpada dengan serta merta, "pamanda Pangeran Gagak
Branang telah menunjuk sendiri jalan kematiannya."
Sambil menunjukkan benang lawe di samping tubuh
Pangeran Gagak Branang Pangeran Singa Narpada berkata,
"benang itulah yang telah membunuhnya. Akulah yang
menjadi perantara, mengantar pamanda Pangeran
menjelang hari-hari tanpa akhir."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera mengerti.
Namun ayahnya berkata, "Memang sulit bagi kalian untuk
mengerti. Apalagi kalian yang sedang menjalani laku. Aku,
yang menyaksikan apa yang terjadi tidak juga dapat
mengerti dengan jelas apa yang terjadi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih nampak
termangu-mangu, sehingga Pangeran Singa Narpada perlu
menjelaskan, "Jangan merasa bersalah. Sudah aku katakan,
bukan kalian yang telah menyebabkan Pangeran Gagak
Branang meninggal." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Namun
wajah mereka masih menunjukkan keragu-raguan.
Dalam pada itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
telah menyerahkan tubuh Pangeran Gagak Branang kepada
Akuwu Lemah Warah, agar memerintahkan para
prajuritnya untuk menyelenggarakannya sebaik-baiknya
tanpa menunggu Ki Permita.
"Kita akan memberikan penghormatan yang terakhir,"
berkata Pangeran Singa Narpada, "lepas dari keyakinan
pamanda yang menyimpang menurut penilaian kami, tetapi
pamanda adalah seorang prajurit linuwih."
Demikianlah, maka Akuwu Lemah Warah telah
menyelenggarakan tubuh Pangeran Gagak Branang yang
mendapat penghormatan dari semua orang yang masih
berada di padepokan itu. Mereka tidak menunggu
kedatangan hamba yang setia, Ki Permita yang sedang
menjalankan tugas khususnya.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
masih lemah telah mendapat pengamatan dan perlindungan
dari ayahnya, Mahendra dan Pangeran Singa Narpada.
Namun ternyata bahwa tidak ada sesuatu yang mengganggu
mereka. Setelah segalanya selesai, maka barulah mereka
mendapat kesempatan untuk duduk dan menilai apa yang
telah terjadi. Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Ura yang mengetahui
tentang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah
berjuang untuk mewarisi ilmu Pangeran Gagak Branang
mengangguk-angguk dengan bangga. Dengan tulus Akuwu
Lemah Warah berkata, "Kalian akan menjadi anak-anak
muda yang jarang ada bandingnya. Berbagai ilmu telah
kalian warisi, sehingga dengan demikian maka untuk
menghadapi masa depan, kalian telah membawa bekal yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
cukup lengkap." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Ternyata bahwa orang-orang yang berkumpul itu
telah pernah memberikan sesuatu kepada mereka berdua.
Sehingga karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata,
"Kami mengucapkan terima kasih kepada semuanya. Kami
berdua telah mendapat bekal ilmu dari ayah. Kemudian
kami mendapat warisan ilmu pula dari Pangeran Singa
Narpada. Di daerah yang asing kami telah bertemu dengan
Akuwu Lemah Warah yang kami kenal dengan nama Tatas
Lintang. Dan yang terakhir kami telah diperkenankan
menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang yang disebut
Panembahan di padepokan ini."
"Itu adalah satu kurnia bagimu," berkata Akuwu Lemah
Warah yang pernah mengaku kedua anak muda itu sebagai
kemanakannya, "namun kalian harus mampu
menempatkan dirimu sebagai manusia yang mempunyai
kelebihan dari orang lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menundukkan
kepalanya. Mereka tidak dengan bernafsu berusaha untuk
mencapai tataran ilmu yang setinggi-tingginya. Namun
agaknya keduanya memang mendapat kurnia untuk
memilikinya. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"Justru karena kalian memiliki kemampuan yang sangat
tinggi, maka tanggung jawab kalian pun menjadi sangat
besar pula. Tanggung jawab kepada diri sendiri dan
tanggung jawab kepada Yang Maha Agung."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
menunduk. Bukan saja kepala mereka, tetapi justru hati
mereka. Kurnia itu memang harus disyukuri. Tetapi juga
merupakan beban tanggung jawab yang sangat besar,
karena jika mereka salah mengetrapkan ilmu yang ada pada
diri mereka, maka apa yang mereka peroleh bukannya satu
kurnia bagi sesamanya yang melimpah dari kurnia atas
mereka berdua, namun justru bencana.
Mahendra yang berbangga atas kemajuan ilmu yang
dicapai kedua anaknya itu pun menjadi harap-harap cemas
pula. Namun pengenalannya atas kedua anaknya
membuatnya agak tenang. Namun demikian Mahendra itu
pun berkata, "Apa yang akan kau lakukan kemudian, akan
menjadi bukti dan kenyataan tentang kalian berdua. Nilai
kalian berdua yang sebenarnya bukan terletak kepada ilmu
yang kalian miliki itu saja, tetapi seberapa kau sumbangkan
ilmu kalian bagi sesama. Seberapa besar pengabdianmu dan
kesediaanmu berkorban bagi sesama."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Tetapi semua petunjuk dan nasehat itu telah
menghunjam jauh ke dalam lubuk hati mereka. Meskipun
yang didengarnya itu sebagaimana pernah mereka dengar
sebelumnya, namun tekanan-tekanan yang secara khusus
diberikan oleh orang-orang tua itu, membuat jantung kedua
anak muda itu semakin bergetar.
Demikianlah maka dalam sehari semalam Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat berusaha memulihkan keadaan tubuh
mereka yang menjadi sangat letih setelah mereka menyadap
ilmu dari Pangeran Gagak Branang sebagaimana
dikehendaki oleh Pangeran itu sendiri. Dada mereka yang
terasa bagaikan tersumbat, sementara tulang belulang
mereka yang tidak berdaya sama sekali, berangsur-angsur
telah menjadi pulih kembali.
Karena itu, setelah sehari semalam mereka berusaha
memulihkan keadaan mereka, maka yang terjadi di dalam
diri mereka justru telah berubah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasakan
perubahan itu. Tetapi mereka belum pernah mencoba,
apakah memang benar kemampuan mereka telah
meningkat karena ilmu yang telah mereka sadap itu. Ilmu
yang ternyata tidak berdiri sendiri, tetapi menopang
kekuatan dan kemampuan ilmu yang sudah ada di dalam
diri kedua anak muda itu.
Namun di hari berikutnya, maka Pangeran Singa
Narpada dan Mahendra telah berniat untuk melihat
perkembangan kemampuan kedua anak muda itu. Karena
itu, maka mereka bersama Akuwu Lemah Warah dan
Mahisa Ura, telah meninggalkan padepokan menuju ke
tempat yang terpencil untuk mencoba kemampuan ilmu
kedua anak muda itu. "Hati-hatilah," pesan Akuwu Lemah Warah kepada
Senapati prajurit khususnya, "jika dalam keadaan yang
penting sekali, lepaskan panah sendaren. Mudah-mudahan
kami mendengarnya." "Ke arah mana?" bertanya Senapati itu.
"Ke segala arah. Aku belum tahu, kami akan ke mana?"
jawab Akuwu Lemah Warah. Demikianlah maka sekelompok kecil telah keluar dari
padepokan itu justru menuju ke tempat yang tidak pernah
dirambah kaki manusia. Mereka menuju ke sebuah gumuk
berbatu padas untuk menguji kemampuan ilmu Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. -ooo0dw0ooo Sumber DJVU : Dino & Ismoyo
Jilid 038 BEBERAPA saat kemudian, kedua anak muda itu telah
berada di antara batu-batu padas. Pangeran Singa Narpada,
Mahendra dan Akuwu Lemah Warah adalah orang-orang
yang memiliki ilmu yang tinggi. Mereka akan menjadi
saksi, apakah benar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
meningkat karena ilmu yang mereka sadap dari Pangeran
Gagak Branang. "Anak-anak muda" berkata Pangeran Singa Narpada,
"kalian telah memiliki berbagai macam ilmu. Kalian sendiri
tentu merasa seberapa jauh ilmu yang pernah kalian miliki
itu mampu menghancurkan sasaran. Sementara itu, kini
kalian telah menyadap ilmu dari Pangeran Gagak Branang.
Jika ilmu itu memang berpengaruh, maka kemampuan
kalian menghancurkan sasaran tentu menjadi lebih besar."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebardebar.
Namun mereka berduapun telah mengangguk.
"Nah" berkata Pangeran Singa Narpada, "menurut
pengetahauanku, kalian memiliki kemampuan untuk
melepaskan serangan dan pukulan pada jarak jauh. Itu
sajalah yang hendaknya kalian coba dengan landasan ilmu
yang kau sadap dari pamanda Pangeran Gagak Branang."
Kedua anak muda itu masih termangu-mangu. Namun
Mahendra lah yang kemudian berkata, "Sekarang, tentukan
sasaran. Pusatkan nalar budi dan lepaskan pukulan itu dari
jarak jauh." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk. Kata-kata
Mahendra telah sedikit membuka hati mereka, apa yang
harus mereka lakukan. Sejenak kemudian kedua anak muda itu memilih
sasaran. Namun, karena keduanya belum tahu pasti atas
tingkat kemampuan mereka sendiri, maka ukuran sasaran
yang mereka pilih masih saja sebagaimana pada saat ilmu
mereka masih belum meningkat.
Keduanya telah menentukan segumpal batu padas yang
akan mereka hancurkan dengan serangan yang akan mereka
lontarkan dari jarak beberapa langkah.
"Baiklah" berkata Mahendra, "kita akan melihat, apa
yang akan terjadi atas sasaran itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera
mempersiapkan diri. Dipandanginya sasaran itu dengan
saksama. Kemudian mereka telah memusatkan segenap
kemampuan yang ada di dalam diri mereka.
Namun, keduanya memang merasakan kelainan di
dalam diri mereka. Rasa-rasanya getaran di dalam diri
mereka menjadi lebih berat dan mantap. Namun
merekapun merasa bahwa daya lontar yang ada di dalam
diri mereka pun menjadi lebih besar.
Sejenak, keduanya berdiri tegak menghadap ke arah
sasaran yang telah mereka pilih. Perlahan-lahan keduanya
mengangkat tangan mereka dengan telapak tangan terbuka
mengarah kepada sasaran itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah melepaskan serangan mereka.
Kekuatan yang sangat besar yang terlontar dari diri mereka,
seakan-akan meloncat lewat telapak .tangan mereka yang
terbuka. Orang-orang yang menunggui keduanya seolah-olah
melihat cahaya yang memancar dengan kecepatan yang
sangat tinggi, sebagaimana kecepatan lidah api di udara.
Cahaya itu meluncur dan menyambar sasaran yang telah
ditentukan. Akibatnya memang dahsyat sekali. Sasaran itu bagaikan
telah meledak. Debu yang putih kemerah-merahan telah
berhamburan seperti debu yang dihamburkan oleh angin.
Orang-orang yang menyaksikan kekuatan serangan
kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
Akuwu Lemah Warah pun menekan dadanya dengan
telapak tangannya. Kekuatan itu sedemikian besarnya
sehingga batu padas yang telah mereka pilih menjadi
sasaran serangan mereka tidak pecah menjadi kerikil-kerikil
padas yang memancar ke segala arah. Namun benar-benar
telah menjadi debu yang lembut, mengepul seperti debu
yang dihembus oleh angin yang kencang.
"Luar biasa" gumam Pangeran Singa Narpada,
"sebenarnyalah apa yang dikatakan oleh pamanda
Pangeran Gagak Branang. Kalian telah memiliki
kemampuan ilmu yang luar biasa. Ilmu yang kalian sadap
dan yang tidak mungkin berdiri sendiri itu ternyata telah
membuat kemampuan menjadi nggegirisi. Bukan hanya
ilmu yang mampu melontarkan kekuatan dari dalam
dirimu, tetapi tentu juga ilmumu yang mampu kau
lontarkan dalam ujudnya yang keras dan yang lunak. Juga
ilmumu yang mampu menyusut kekuatan dan kemampuan
ilmu orang lain pun akan mempunyai daya dan
kemampuan yang berlipat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Namun yang telah mereka coba benar-benar
menakjubkan. Mereka dapat membayangkan, jika serangan
itu mereka tujukan kepada wadag seseorang yang memiliki
daya tahan sewajarnya, maka wadag itupun akan hancur
berkeping-keping. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah
menjadi ngeri sendiri membayangkan apa yang mungkin
terjadi dengan kekuatan ilmu mereka. Namun karena itu,
maka mereka menjadi semakin merasa bertanggung jawab.
Mereka tidak mungkin mempergunakan ilmunya kapan saja
mereka inginkan dengan akibat yang mengerikan itu.
"Marilah anak-anak" berkata Mahendra kemudian, "kita
akan berbicara tentang ilmu kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bagaikan terbangun
dari mimpi. Dengan jantung yang berdegup semakin keras
mereka-pun kemudian beringsut dari tempatnya.
Demikianlah, maka beberapa orang itu telah berkumpul
dan duduk melingkar di atas rerumputan kering. Dengan
nada berat Pangeran Singa Narpada berkata, "Kini lelah
terbukti. Kalian berdua menjadi anak-anak muda yang sulit
dicari imbangannya. Kalian telah memiliki ilmu yang
sangat tinggi, sehingga kalian merupakan kekuatan yang
tidak terlawan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru menundukkan
kepala mereka. Beban di pundak mereka terasa semakin
berat sebagaimana ilmu yang tersimpan di dalam diri
mereka. Dengan demikian, maka baik Pangeran Singa Narpada
maupun Mahendra tidak merasa perlu lagi untuk melihat
kemampuan kedua anak muda itu apabila diungkapkan
pada jenis ilmunya yang lain. Mereka sudah dapat
membayangkan, dengan alas ilmu yang disadapnya dari
Pangeran Gagak Branang, maka jika kedua anak muda itu
melepaskan ilmu pamungkasnya dalam ujudnya yang
lunak, maka udara di sekitarnya tentu akan membeku.
Sebaliknya dalam ujudnya yang keras, maka sentuhan
wadagnya akan dapat menggugurkan gunung.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun
kemudian berkata, "Marilah. Kita akan kembali ke
padepokan. Kita sudah tahu, seberapa tingginya tingkat
ilmu kedua anak muda itu. Kami yang tua-tua ini agaknya
tidak lagi mampu menjangkaunya."
"Tentu tidak Pangeran" berkata Mahisa Murti, "yang
ada pada kami, belum sebanding dengan bagian kecil dari
kemampuan Pangeran."
"Kita tidak usah berbasi-basi anak-anak muda" berkata
Pangeran Singa Narpada, "sudah waktunya kita memiliki
takaran tentang kemampuan kita masing-masing. Kalian
pun harus menyadari kemampuan yang ada di dalam diri
kalian, karena jika tidak, maka kalian akan luput menilai.
Kalian tidak perlu mempergunakan segenap kemampuan
ilmu yang ada pada kalian seluruhnya apabila kalian
sekedar mengejar seorang yang karena kelaparan terpaksa
mengambil ketela pohon di ladang orang. Kalian tidak perlu
melepaskan ilmu pamungkas dalam ujudnya yang lunak
maupun yang keras jika kalian menghadapi anak nakal
yang melempar kalian dengan kerikil yang tajam."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Sementara itu Mahendra pun berkata, "Itulah akibat
yang harus kalian tanggungkan justru karena kalian
memiliki ilmu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Tetapi keduanya tidak menyahut.
Dalam pada itu, Pangeran Singa Narpada pun telah
mengajak mereka segera kembali ke padepokan yang telah
ditinggalkan para penghuninya. Mereka harus segera
mengatur persiapan untuk meninggalkan padepokan itu.
Akuwu Lemah Warah-pun sudah terlalu lama
meninggalkan Pakuwonnya sehingga rakyatnya tentu sudah
menunggunya meskipun seorang adiknya yang dipercaya,
mampu mewakilinya memerintah di Pakuwon Lemah
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Warah. Namun bagaimanapun juga, akan lebih baik jika
Akuwu Lemah Warah itu sendiri yang berada di
tempatnya. Sejenak kemudian maka mereka pun telah meninggalkan
tempat itu. Mahisa Ura yang berjalan di paling belakang
semakin merasa dirinya kecil. Tetapi ia tidak merasa iri,
karena ia menganggap bahwa yang terjadi itu sudah
sewajarnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat adalah adik
Mahisa Bungalan, seorang Senapati besar yang pilih
tanding. Bahkan mungkin kedua anak muda itu justru
sudah berada di atas tataran kakaknya.
Demikianlah untuk beberapa hari mereka memang
masih akan tinggal di padepokan itu. Namun sementara itu.
mereka telah bersiap-siap untuk pergi ke Lemah Warah.
Yang akan mereka bawa ke Lemah Warah bukan saja alatalat
yang memang mereka miliki, tetapi mereka juga akan
membawa para tawanan bersama mereka.
Sementara itu, Ki Permita masih berada di perjalanan
menelusuri orang-orang yang terlepas dari padepokan vang
telah direbut oleh Akuwu Lemah Warah. Memang satu
pekerjaan yang sulit. Kadang-kadang ia berhasil mendapat
keterangan tentang sekelompok orang yang mereka cari.
Nanum kadang-kadang tidak seorang pun di satu
padukuhan yang mau membantunya. Pada umumnya
mereka merasa takut untuk menyebutkan atau
menunjukkan arah perjalanan sekelompok kecil orangorang
berilmu tinggi itu. Mereka tidak mau terlibat ke
dalam satu persoalan yang tidak akan memberikan
keuntungan apapun kepada mereka.
Namun dengan keterangan yang sedikit itu, Ki Permita
ternyata dapat menduga, kemana orang-orang itu pergi.
Mereka agaknya telah pergi ke satu padepokan yang jauh.
Padepokan asal dari salah seorang di antara mereka yang
melepaskan diri itu. Dengan kesimpulannya itu, maka Ki Permita menjadi
tidak tergesa-gesa. Ia menyusuri perjalanannya dengan
yakin meskipun perlahan-lahan. Bagaimanapun iuga, rasarasanya
hatinya masih terpaut kepada orang yang
ditinggalkannya. Sebagai seorang hamba yang setia, maka
rasa-rasanya langkahnya memang menjadi sangat berat.
Bahkan pada saat-saat terakhir dari Pangeran Gagak
Branang, Ki Permita merasa seakan-akan ia sendiri telah
mengalami sesuatu yang mendebarkan.
Pada saat-saat benang lawe ditarik dari arah kiri di
lambung Pangeran Gagak Branang, jantung Ki Permita
berdetak semakin cepat. Bahkan oleh perasaan nyeri di
dadanya yang tidak diketahui sebabnya. Ki Permita yang
sedang berjalan itupun telah terpaksa berhenti dan duduk di
bawah sebatang pohon yang rindang. Terasa didadanya
betapa isi dadanya itu bagaikan diremas oleh kekuatan yang
tidak terlawan oleh daya tahannya.
Dengan lemah Ki Permita telah bersandar pada pohon
yang rindang itu. Beberapa saat ia merasakan dadanya yang
sakit sekali. Namun perlahan-lahan perasaan sakit itu pun mulai
berkurang. Dengan demikian maka Ki Permita mulai dapat
mengatasi sisa perasaan sakitnya.
Untunglah bagi Ki Permita bahwa jalan yang ditempuh
itu bukan jalan yang ramai sehingga tidak seorang pun yang
melihat apa yang telah dialaminya.
Ketika dadanya terasa lapang. Ki Permita duduk sambil
menarik nafas panjang beberapa kali. Rasa-rasanya ingin ia
menghisap udara sebanyak-banyaknya untuk menyegarkan
jantung di dalam dadanya itu.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Ki Permita di dalam
hatinya. Angan-angannya segera melayang kembali ke padepokan
yang telah ditinggalkannya. Sambil memandang ke
kejauhan ia bergumam kepada diri sendiri, "Agaknya
Pangeran Gagak Branang telah mengakhiri hidupnya."
Namun Ki Permita pun tahu, bahwa Pangeran Gagak
Branang yang disebutnya Panembahan itu telah terjerat
pada satu jenis ilmu yang membuatnya menyimpang dari
tatanan kehidupan sewajarnya. Namun bagaimanapun juga
Ki Permita yakin, bahwa pada saatnya kematian itu tidak
akan dapat dielakkannya. "Mungkin Pangeran Gagak Branang telah mengatakan
rahasianya kepada Pangeran Singa Narpada, karena tidak
mungkin ia menyalahi keharusan untuk kembali kepada
sumbernya. Apapun yang dapat dilakukan dan dirasa
mampu memperpanjang kesempatan hidupnya itu tidak
akan berarti apa-apa apabila saat itu memang telah datang"
berkata Ki Permita. Namun tiba-tiba ia telah memandang kepada dirinya
sendiri. Ia telah minum jenis getah yang sama untuk
menahan pertumbuhan wadagnya. Tetapi itu hanya sekedar
menahan gerak ketuaan dalam ujud lahiriahnya saja.
Namun jiwanva akan tetap menjadi rapuh pada saatnya dan
kematian itu pun akan datang tepat pada waktunya.
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Balikan ia
kemudian berkata kepada diri sendiri, "Menurut isyarat
gelar di dalam diri, agaknya Pangeran Gagak Branang
memang sudah sampai pada saat kematiannya.
Perjalananku ini puii tentu merupakan perjalanan
terakhirku. Apakah di medan pertempuran yang akan aku
hadapi, atau di antara para pemimpin Kediri, agaknya
nyawaku pun sudah tidak akan berlahan lama.
Ki Permita yang nampak ujud wadagnya masih belum
terlalu tua itu sudah merasa bahwa ia sebenarnya bukannya
nampak pada ujudnya wadagnya itu. Sebenarnyalah bahwa
dirinya memang sudah rapuh.
Demikianlah, maka setelah beristirahat beberapa saat
tubuh Ki Permita merasa segar. Perlahan-lahan ia pun telah
bangkit. Sekali ia menggeliat. Kemudian ia telah
meneruskan langkahnya menuju ke sebuah padepokan yang
sudah dikenalnya. Pada saat ia masih menjadi abdi yang
setia dari Panembahan, maka ia memang pernah berada di
padepokan itu sebelum mereka memasuki padepokan
Suriantal. Seperti sebelumnya, maka Ki Permita memang tidak
tergesa-gesa. Ia yakin bahwa orang-orang yang berhasil
lolos dari padepokan Suriantal telah berada di padepokan
itu. Menurut perhitungan Ki Permita, maka orang yang
memiliki ilmu tertinggi di antara mereka adalah seorang
yang memiliki tongkat yang pada pangkalnya terdapat
sebuah batu yang berwarna kehijau-hijauan seperti batu
yang terdapat di pinggir hutan dan penuh dengan binatang
berbisa itu. Kemudian seorang lagi yang memiliki
kemampuan untuk menguasai dan menggerakkan segala
jenis binatang dengan ilmu gendamnya. Sedangkan orang
yang mampu memasuki wadag orang lain agaknya telah
kehilangan kesempatan untuk bertahan hidup dalam
benturan ilmu yang terjadi di padepokan Suriantal.
Namun betapa lambatnya perjalanan Ki Permita,
akhirnya ia pun semakin lama menjadi semakin dekat
dengan padepokan yang ditujunya.
Tetapi sebelum ia sampai ke tujuan, maka Ki Permita
itu-pun terkejut ketika tiba-tiba seseorang menyapanya,
"He, Ki Palot. Kau mau ke mana?"
Ki Permita yang dikenal dengan nama Ki Palot itu
termangu-mangu. Namun ia pun segera dapat mengenali
orang itu. Salah seorang dari penghuni padepokan. Namun orang
itu bukan berasal dari perguruan Suriantal yang sebagian
besar dari mereka bersenjata tongkat panjang.
Dengan menarik nafas dalam-dalam Ki Permita itu
berkata, "Aku juga terpaksa meninggalkan padepokan itu."
"Kenapa" Bagaimana dengan Panembahan?" bertanya
orang itu. Ki Permita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia berkata, "Panembahan tidak dapat menyelamatkan
dirinya sendiri" berkata Ki Permita.
"Dan kau yang selama ini dianggapnya sebagai
hambanya yang paling setia itu meninggalkannya?"
bertanya orang itu. "Aku meninggalkan Panembahan setelah aku yakin
bahwa Panembahan tidak mampu melawan kedua orang
lawannya yang berilmu sangat tinggi" berkata Ki Permita.
"Apakah ada orang yang kemampuannya mengimbangi
Panembahan?" bertanya orang itu.
"Ternyata ada" jawab Ki Permita, "aku melihat sendiri
bagaimana Panembahan itu terdesak dan akhirnya
kehilangan kesempatan sama sekali. Ketika terjadi benturan
ilmu melawan kedua orang Kediri itu, maka Panembahan
benar-benar menjadi parah."
"Bagaimana mungkin ada orang yang mampu
mengalahkan Panembahan" gumam orang itu, "pada saat
kami melarikan diri, sebenarnya kami masih mengharap
Panembahan melindungi kami. Tetapi ternyata sampai saat
yang paling gawat. Panembahan tidak lagi dapat berbuat
banyak sebagaimana hari-hari sebelumnya, sehingga
akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan
padepokan itu. Namun kami masih tetap berpengharapan
bahwa kami akan kembali ke padepokan Suriantal setelah
Panembahan menghancurkan lawan lawannya
"Yang terjadi tidak demikian" jawab Ki Permita yang
dikenal sebagai Ki Palot, "Panembahan itu telah
dilumpuhkan." "Bukankah Panembahan itu tidak dapat terbunuh"
Beberapa kali Panembahan menunjukkan kemampuan yang
tidak ada bandingnya itu kepada kami. Beberapa kali
Panembahan menunjukkan kemampuannya untuk
melawan maut. Bahkan menguasai maut" berkata orang
itu, "Panembahan bukankah tidak dapat mati?"
"Waktu aku meninggalkannya. Panembahan memang
belum mati. Tetapi wadagnya tidak mampu lagi
mendukung tingkat ilmunya yang seolah-olah tidak ada
batasnya, sehingga Panembahan itu sudah tidak berdaya
sama sekali. Karena itu, maka tidak ada gunanya lagi aku
menungguinya, karena tidak ada lagi harapan padanya"
jawab Ki Permita. Tetapi Ki Permita itu mengerutkan keningnya ketika
orang itu bertanya kepadanya, "Ki Palot. bagaimana
mungkin kau dapat melepaskan diri dari orang-orang yang
telah mampu mengalahkan Panembahan itu?"
"Sebagaimana kalian juga mampu melepaskan diri"
jawab Ki Permita meskipun agak ragu.
Tetapi orang itu tiba-tiba saja berkata, "Ki Palot. Apakah
kau tidak berkhianat terhadap Panembahan. Dan sekarang
kau berusaha melacak kami dalam rangka
pengkhianatanmu"." "
Ki Permita menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Kau mencurigai aku?"
"Ki Palot" berkata orangitu, "jika kau memang sempat
melarikan diri, kenapa baru sekarang kau sampai ke tempat
ini" Menurut perhitungan kami, seandainya Panembahan
memang tidak mampu mengatasi orang-orang Kediri itu,
kau pun tentu telah tertangkap. Agaknya kau kini telah
mengemban tugas orang-orang Lemah Warah untuk
melacak perjalanan kami dengan janji pengampunan atau
mungkin karena Panembahan kini berada di tangan mereka
maka kau harus tunduk dan melakukan perintah orangorang
Lemah Warah itu." "Kenapa tiba-tiba saja kau mencurigai aku?" bertanya Ki
Permita, "sudah sekian lama kita bekerja sama. Sudah
sekian lama kita merasa satu. Dan kini kalian dengan serta
merta telah menuduh aku berkhianat."
"Ki Palot" berkata orang itu, "seandainya kau tidak
berkhianat, maka sebaiknya kau tidak usah datang kemari.
Kau adalah seorang yang menggolongkan diri pada
kelompok pemimpin. Selama di padepokan itu, kau merasa
lebih berkuasa dari Panembahan itu sendiri."
"Ah" desah Ki Permita, "kenapa kau mencari-cari
perkara. Saat itu Panembahan jarang sekali bersedia keluar
dari barak khususnya. Akulah yang harus melakukan
segalanva. Bahkan menyampaikan perintahnya. Bukan
maksudku untuk memerintah kalian, apalagi melampaui
kuasa Panembahan. Aku memang mendapat tugas untuk
berbuat demikian dari Panembahan."
Orang itu tertawa. Katanya, "Jangan menangis Palot.
Kau sama sekali tidak kami butuhkan di padepokan kami.
Karena itu, kau tidak usah pergi ke padepokan. Apalagi aku
di sini memang mendapat tugas untuk membendung
kehadiran orang-orang yang tidak kami sukai termasuk
kau." "Jangan mengigau" jawab Ki Permita, "aku berhak
bergabung dengan kalian."
"Jangan Palot. Pergilah atau aku akan kehilangan
kesabaran dan mengusirmu seperti mengusir seekor musang
dari kandang ayam" berkata orang itu.
"Jangan begitu Ki Sanak" desis Ki Permita, "kau harus
mengasihani aku. Jika aku tidak bergabung dengan kalian,
lalu aku harus pergi ke mana?"
Orang itu justru tertawa. Katanya, "Itu urusanmu. Ke
mana saja kau mau pergi, aku tidak peduli."
"Tidak Ki Sanak. Aku tidak akan pergi ke mana-mana.
Aku akan bergabung dengan kalian" berkata Ki Permita.
"Palot" berkata orang itu, "makanan sudah terlalu
sedikit. Selama ini kau bertingkah laku sangat menyakitkan
hati, karena kau merasa lebih berkuasa dari para pemimpin
dari perguruan kami. Karena itu pergilah. Jika tidak, aku
akan memukulimu. Bahkan bukan hanya aku seorang diri.
Di sini aku mempunyai kawan tiga orang yang berada di
rumah di ujung padukuhan sebelah. Jika mereka melihat
aku memukulirnu, maka mereka pun akan melibatkan diri,
ikut memukulimu beramai-ramai."
"Jangan main-main Ki Sanak. Aku sedang kebingungan
sekarang ini. Aku akan pergi ke padepokan. Jika para
pemimpin padepokan itu kemudian mengusirku, apa boleh
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buat. Tetapi jangan hentikan aku di jalan seperti ini"
berkata Ki Permita. "Menangislah Palot. Menangislah seperti anak-anak.
Tetapi kau tidak akan dapat meneruskan perjalananmu
menuju ke padepokan. Jika dahulu kita semuanya menaruh
hormat kepadamu, bahkan merasa ketakutan, karena kau
adalah hamba yang yang paling setia dari Panembahan
yang kita harapkan akan dapat melindungi kita semuanya.
Tetapi ternyata padepokan itu hancur, dan Panembahan
tempat kami bertumpu itu dapat dikalahkan oleh orangorang
Kediri. Jika Panembahan itu sudah dikalahkan,
apalagi kau Palot." "Ya. Apalagi aku. Itulah sebabnya, aku memerlukan
perlindungan, Aku akan pergi ke padepokan." berkata Ki
Permita. Orang itu tiba-tiba membentak, "Cukup. Pergi kau anak
iblis" geram orang itu.
Orang itu agaknya telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba
saja orang itu bersuit nyaring. Satu isyarat bagi kawankawannya
yang ada di rumah di ujung padukuhan.
"Apa yang kau lakukan?" bertanya Ki Permita.
"Aku memanggil kawan-kawanku. Biarlah mereka ikut
memberikan keputusan" berkata orang itu. Namun
kemudian katanya, "Namun jangan menyesal bahwa
mereka akan memukulimu dan mengusirmu lebih kasar dari
yang aku lakukan." Ki Permita termangu-mangu sejenak. Ketika ia
memandang rcgol halaman rumah di ujung padukuhan,
dilihatnya tiga orang bergegas keluar dan dengan tergesagesa
menuju ke tempatnya. Beberapa langkah kemudian salah seorang di antara
mereka telah menyapa, "He kau Palot."
"Ya. Aku datang untuk mohon belas kasihan, agar aku
diperkenankan tinggal bersama kalian di padepokan"
berkata Ki Permita. Orang itu termangu-mangu. Namun orang yang pertama
menjumpai Ki Permita itu pun telah mengatakan sikapnya
dan bahkan telah mengusir orang itu.
Karena itu, maka ketiga orang yang datang kemudian itu
pun segera menyesuaikan sikap mereka. Apalagi mereka
pun telah mendapat perintah, agar tidak seorang pun yang
boleh memasuki lingkungan padepokan itu.
Seorang di antara mereka pun kemudian tertawa pula
sambil berkata, "Palot. Menyesal sekali. Yang sama-sama
kita harapkan ternyata tidak terjadi. Padepokan Suriantal
yang dianggap dapat menjadi landasan perjuangan menuju
ke Kediri itu telah pecah. Panembahanmu telah kehilangan
kuasanya sehingga kita semua telah terusir. Karena itu
Palot, daripada kau menjadi budak kami di padepokan itu,
maka lebih baik kau cari tempat yang lain. Karena kau tidak
akan tetap menjadi penguasa tanpa Panembahan, sehingga
yang kami kenal kemudian adalah derajadmu sebagai
hamba, meskipun selama ini kau merasa dirimu lebih
berkuasa dari Panembahan itu sendiri."
"Ki Sanak" berkata Ki Permita, "kenapa kalian
melupakan hubungan yang pernah terjalin di padepokan
itu. Selama di padepokan kalian selalu merunduk dan minta
perhatianku. Bahkan kadang-kadang kalian berusaha
menjilat untuk sekedar aku sebut nama kalian. Tetapi
kenapa kalian tiba-tiba menjadi garang?"
"Persetan" seorang di antara mereka telah tersinggung,
"jika kau sebut sekali lagi, maka aku akan merobek
mulutmu." Ki Permita mengerutkan keningnya. Dengan nada yang
datar ia bertanya seakan-akan tidak menyadari
kesalahannya, "Kenapa" Bukankah aku mengatakan yang
sebenarnya?" "Cukup" teriak salah seorang diantara orang-orang yang
menghentikannya itu, "Tetapi bukankah kau juga mengatakan cacat celaku"
Bukankah dengan demikian kita sudah melakukan hal yang
sama?" bertanya Ki Permita kemudian.
Tetapi orang-orang itu sudah kehabisan kesabaran.
Seorang di antara mereka bergeser maju sambil berkata
lantang, "Pergi. Jangan ucapkan sepatah katapun. Jika kau
membuka mulutmu, apapun yang akan kau katakan, maka
aku akan merontokkan gigimu seluruhnya."
Ki Permita mengerutkan keningnya. Ia memang tidak
menjawab. Tetapi ternyata orang itu menggelengkan
kepalanya tanpa beranjak dari tempatnya.
"Pergi, pergi" orang-orang itu hampir berteriak.
Tetapi Ki Permita itu tetap-berdiri di tempatnya sambil
menggelengkan kepalanya. Orang-orang itu telah kehilangan kesabaran. Tiba-tiba
seorang di antara mereka telah mendekatinya dan
mendorongnya dengan kuat.
Ki Permita memang terdorong surut. Bahkan terhuyunghuyung
ia berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.
Jangan membantah lagi. Aku dapat berbuat lebih kasar."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun
sikapnya justru berubah. Dengan nada berat ia berkata"
Anak-anak iblis. Kalian sama sekali tidak merasa berterima
kasih atas perlindungan Panembahan selama ini. Tetapi
kalian justru bersikap sebaliknya. Nah, dengarlah, aku tidak
akan pergi. Aku akan melanjutkan niatku menuju ke
padepokan itu untuk mencari perlindungan kepada para
pemimpin kalian. Karena itu; maka aku tidak merasa perlu
untuk berbicara dengan kalian."
Wajah orang-orang itu menjadi merah. Telinga mereka
bagaikan tersentuh bara api. Seorang yang tidak dapat
menahan diri tiba-tiba telah melangkah maju dan
menyerang pelipis orang itu dengan pukulan.
Tetapi orang yang dikenal bernama Palot itu telah
menggeser kepalanya ke samping sehingga pukulan itu
sama sekali tidak menyentuhnya.
Orang yang memukulnya itu terkejut. Ia sama sekali
tidak mengira bahwa hamba yang setia itu mampu
mengelakkan pukulannya yang dilakukannya dengan tibatiba.
Namun dengan demikian kemarahannya pun bagaikan
api dihembus angin. Dadanya bagaikan menyala dan tanpa
dapat mengendalikan diri lagi maka ia pun telah meloncat
pula. Tangannya terjulur lurus ke depan langsung
menyerang dada orang yang dipanggilnya Palot itu.
Ki Permita tidak menghindar lagi. Iapun telah
mengangkat tangannya ke depan dengan telapak tangan
terbuka tepat menerima pukulan lawannya yang mengarah
ke dada. Tidak terjadi benturan yang keras. Bahkan di luar
tangkapan nalar lawannya, bahwa yang terjadi adalah
sebuah benturan yang lunak. Tangan orang yang marah itu
bagaikan menyentuh sasaran yang lunak dan tanpa
menyakitinya. Tetapi pukulannya itu sama sekali tidak
berakibat apapun pada orang yang disebutnya Palot.
"Kau gila" geram orang itu" kau akan memamerkan
kemampuanmu di sini" Palot. Sebenarnya kami hanya
sekedar mengusirmu tanpa ingin mencelakakanmu. Tetapi
jika kau berbuat aneh-aneh, maka kau jangan menyesal,
bahwa kau tidak akan mampu bangkit iagi untuk selamanya
di sini. " "Ki Sanak" berkata Ki Permita, "aku sudah mencoba
mendudukkan sikapku dengan kedudukan sebagai seorang
hamba saja. Tetapi kalian tidak menanggapinya dengan
baik. Justru kalian dengan sombong mengusirku seperti
mengusir seekor anjing. Karena itu, maka aku sama sekali
tidak akan menanggapinya. Aku akan pergi ke padepokan.
Aku akan berbicara dengan para pemimpinmu. Mereka
tentu akari mengerti dan akan menerima aku di antara
mereka." "Persetan" geram salah seorang di antara mereka" Jika
kau keras kepala, maka aku mungkin akan membunuhmu.
"Ki Sanak" berkata Ki Permita" jika aku berani berkeras.
maka akupun akan berani menanggung segala akibatnya.
Aku adalah hamba yang setia dari Panembahan. Karena
itu, maka akupun akan bersikap sebagaimana Panembahan
bersikap. Sikap seorang laki-laki. Jika aku harus mati,
biarlah aku mati setelah berkelahi."
Keempat orang itupun menjadi semakin marah Mereka
tidak lagi dapat menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu.
Karena itu, maka keempat orang pun telah meloncat
bersama-sama. Dan tiba-tiba saja orang yang disebutnya
Palot itu telah berada dalam kepungan.
"Kau memang harus mati Palot" geram salah seorang di
antara mereka. "Kalian tidak akan berani membunuhku. Orang-orang
padukuhan itu akan melihat dan segera mengenali kalian.
Mereka akan dapat menyampaikannya kepada para
pemimpin padepokan bahwa kalian telah membunuhku."
berkata Ki Permita yang disebut Palot itu.
"Persetan" geram salah seorang di antara orang-orang
yang mengepungnya itu, "katakan pesanmu terakhir. Kami
sudah memutuskan untuk membunuhmu, menyeret
mayatmu dan melemparkan ke tengah-tengah hutan itu.
Mayatmu akan segera menjadi makanan binatang buas atau
burung-burung pemakan bangkai."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia telah
siap menghadapi keempat orang itu.
Sebenarnyalah keempat orang yang marah itu tidak
dapat menahan diri lagi. Mereka pun kemudian telah
bergerak hampir bersamaan menyerang orang yang selama
ini dianggapnya tidak lebih dari seorang hamba yang setia.
Karena itu, maka mereka tidak terlalu banyak
memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan perlawanan
yang dilakukan oleh orang itu, meskipun seorang diantara
mereka pernah menjadi heran pada saat tangannya
membentur telapak tangan orang itu tanpa terjadi
hentakkan kekuatan di dalam dirinya.
Namun keempat orang itu sebenarnya tidak merupakan
persoalan yang sulit bagi Ki Permita. Karena itu, maka ia
sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika keempat orang itu
menyerangnya, maka ia pun telah berbuat sesuatu yang
tidak diduga sama sekali oleh lawan-lawannya.
Hampir tanpa diketahui apa yang telah dilakukan, maka
keempat orang itu telah terlempar dari tempat mereka dan
jatuh terlentang. Bahkan seorang di antaranya telah
terbanting demikian kerasnya sehingga tidak sadarkan diri.
Namun dalam pada itu, ketiga orang yang lain sempat
melenting berdiri. Tetapi mereka tidak segera dapat
mengatasi kesulitan di dalam diri masing-masing. Jantung
mereka serasa berdebar semakin cepat dan kenyataan yang
mereka hadapi rasa-rasanya seperti peristiwa di dalam
mimpi. Ketiga orang itu tidak segera dapat mengerti, bagaimana
mungkin hal itu dapat terjadi. Tetapi mereka tidak dapat
ingkar dari kenyataan itu.
Karena itu, maka mereka menjadi ragu-ragu untuk
menyerang orang yang dianggapnya tidak lebih dari seorang
hamba itu. "Nah" berkata Ki Permita" apakah kalian masih tetap
pada pendirian kalian untuk mencegah aku pergi ke
padepokan?" Ketiga orang saling berpandangan. Apapun yang mereka
kehendaki, namun mereka tidak akan dapat mencegah
orang yang sebelumnya dianggap sebagai hamba yang tidak
dapat berbuat apa-apa selain berlindung di balik kuasa
tuannya. "Sekarang" berkata Ki Permita" apakah kalian masih
menganggap bahwa aku merasa berkuasa lebih dari
Panembahan" Seandainya demikian, maka itu adalah
hakku karena aku memang mempunyai kemampuan untuk
berkuasa atas kalian. Ketiga orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja
Ki Permita membentak, "Jawab. Apakah kalian masih akan
menahan aku di sini?"
Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Kenapa kalian diam saja," bentak Ki Permita pula,
mereka kemudian menjawab, "Kami memang bertugas
untuk mencegah siapa saja memasuki padepokan, Palot."
"Jadi aku benar-benar harus menyingkirkan kalian agar
tidak ada lagi orang mengganggu aku " geram Ki Permita.
"Tidak. Kau tidak usah melakukannya" jawab salah
seorang dari mereka" pergilah sekehendakmu. Ternyata
kami tidak mampu mencegahmu."
"Terima kasih. Tinggallah kalian di sini. Lakukan tugas
kalian sebaik-baiknya. Jangan ada orang lain yang
memasuki padepokan ini. Aku sependapat dengan perintah
itu. Tetapi itu tidak berlaku terhadapku" berkata Ki Permita
pula. Tidak ada yang menjawab. Sementara itu Ki Permita
berkata, "Ketahuilah, bahwa aku memang memiliki kuasa
seperti Panembahan. Semua kata-kataku harus berlaku atas
kalian. Jika aku ingin membunuh kalian, aku dengan
mudah dapat melakukannya. Tetapi aku memang tidak
ingin membunuh. Kawanmu itu pun tidak mati. Rawatlah
orang itu. Ia akan sadar kembali dari pingsannya."
Masih tidak ada jawaban, sehingga orang itu pun
kemudian telah melangkah meninggalkan ketiga orang yang
berdiri termangu-mangu. "Gila" desis salah seorang di antara mereka ketika Ki
Permita telah menjadi semakin jauh.
"Ternyata ia memang memiliki kemampuan itu" sahut
yang lain. "Aku tidak tahu, apa yang telah dilakukannya atas
kami" berkata yang lain pula.
Namun orang yang pertama itu pun segera berkata,"Kita
lihat kawan kita yang pingsan itu."
Ketiga orang itu pun kemudian telah berjongkok di
samping seorang kawannya yang terbaring diam. Ternyata
orang itu memang tidak mati. Tetapi pingsan karena ia
telah keras terbanting di tanah.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika orang yang pingsan itu menjadi sadar, maka Ki
Permita menjadi semakin dekat dengan padepokan yang
ditujunya, la yakin bahwa orang-orang yang dicarinya
memang berada di padepokan itu.
Namun ternyata bahwa jalan ke padepokan yang sudah
menjadi semakin dekat itu justru menjadi semakin banyak
hambatan. Jika yang telah menghentikannya di ujung
padukuhan adalah orang yang pernah dikenalnya di
padepokan Suriantal, karena mereka termasuk orang-orang
yang berhasil melarikan diri, maka Ki Permita telah
bertemu pula dengan orang-orang yang sama sekali tidak
dikenalnya. Dua orang berwajah garang dengan kumis dan
jambang yang panjang. "Siapa kau ?" bertanya salah seorang di antara kedua
orang itu. "Palot" jawab Ki Permita" aku adalah seorang di antara
penghungi padepokan yang pecah oleh pasukan Lemah
Warah. Aku menyusul para pemimpin padepokan yang
berhasil melarikan diri dan kini berada di padepokan
beberapa puluh tonggak lagi di depan padukuhan itu."
"Bagaimana mungkin kau dapat lolos dari pengawasan
empat orang kawan kami di ujung padukuhan ini."." "
bertanya salah seorang diantara keduanya pula.
"Sudah aku katakan bahwa aku berasal dari padepokan
Suriantal sehingga keempat orang itu telah mengenal aku.
Dibiarkannya aku lewat mencari perlindungan kepada para
pemimpin padepokan yang sempat melarikan diri.
"Tidak seorang pun boleh memasuki padepokan"
berkata orang itu, "ini adalah perintah yang tertinggi.
Siapapun tidak boleh karena kemungkinan-kemungkinan
buruk akan. dapat terjadi. Meskipun ia berasal dari
padepokan itu pula."
"Kenapa" Bukankah wajar jika aku mencari
perlindungan di padepokan itu?" bertanya Ki Permita.
"Palot" berkata salah seorang yang berjambang lebat itu,
"kau jangan memaksa. Perintah itu jelas. Jika kau
merupakan pengawal yang setia dari para pemimpin.
kenapa baru sekarang kau menyusul " Semua orang yang
datang kemudian memang pantas dicurigai. Mereka sudah
sempat berbicara dengan para pemimpin di Lemah Warah.
Mereka telah dapat dibujuk dan diberikan janji-janji yang
menarik untuk melakukan pengkhianatan. Nah, jika
keempat orang di ujung padukuhan itu memberi
kesempatan kau memasuki daerah ini, maka aku melarang
kau meneruskan langkahmu menuju ke gerbang padepokan.
Tidak ada gunanya. Seandainya aku memberi ijin. maka
masih ada beberapa lapis lagi lingkaran yang harus kau
lalui. Semakin dalam semakin rapat, sehingga
bagaimanapun juga, kau tidak akan sampai ke pintu
gerbang. "Ki Sanak" berkata Ki Permita, "kalian berdua tentu
bukan sebagian di antara kami yang berada di padepokan
Suriantal. Karena itu kalian tidak dapat membayangkan,
betapa eratnya hubungan kami yang satu dengan yang lain.
Bagaimana kami di padepokan itu menyatu dalam segala
suasana. Seakan-akan kami terikat pada satu janji untuk
mati bersama atau hidup bersama, meskipun ternyata pada
saat-saat terakhir ada di antara kami yang sempat melarikan
diri sementara yang lain mati terbunuh di medan.
"Apa maksudmu ?" bertanya seorang diantara kedua
orang itu. "Tidak apa-apa. Yang melarikan diri itu termasuk aku.
Memang aku harus merasa bahwa seakan-akan aku dan
beberapa orang yang lain termasuk para pemimpin di
padepokan itu tidak setia lagi terhadap kawan-kawan kami.
Namun yang kami lakukan justru dengan satu pengertian,
bahwa dengan melepaskan diri dari maut, kami akan dapat
membalas dendam kematian kawan-kawan kami." berkata
Ki Permita. Kedua orang itu nampak merenung. Namun seorang di
antara mereka berkata, "Tetapi sayang Palot. Perintah itu
telah jatuh. Tidak ada orang baru lagi yang boleh memasuki
padepokan, meskipun bekas kawan sendiri. Ada beberapa
hal yang menyebabkan larangan itu dikeluarkan. Namun
yang terpenting adalah, bahwa mereka yang datang
kemudian itu sudah tidak akan murni lagi. Apalagi jika
orang itu sudah sempat berbicara dengan para pemimpin
Lemah Warah." "Ki Sanak," berkata Ki Permita, "aku bukan orang gila
yang akan menyurukkan kepalaku di bawah roda pedati.
Aku sadar bahwa di padepokan ini berkumpul orang-orang
berilmu tinggi. Apa yang dapat aku lakukan dihadapan
mereka seandainya aku dibiarkan masuk ke padepokan
itu." "Bukan kau sendiri yang akan melakukannya. Tetapi jika
kau sudah berada di dalam, maka kau akan dapat membuat
banyak kesulitan dengan diam-diam. Hingga akhirnya pada
satu saat, kau akan melarikan diri untuk memberikan
keterangan kepada orang-orang yang telah mengupahmu,
atau kau akan membuka pintu gerbang dari dalam agar
orang-orang yang mungkin akan menyusulmu itu dapat
memasuki padepokan dengan cepat."
"Lalu apa keuntunganku untuk berbuat demikian,"
berkata Ki Permita, "aku telah berjuang sekian lamanya
bersama para pemimpin padepokan ini. Aku merasa bahwa
mereka adalah saudara-saudaraku."
Kedua orang itu agaknya menjadi ragu-ragu. Namun
seorang di antara mereka agaknya tetap menjunjung
perintah yang diembannya, "Sayang Ki Sanak, pergilah."
"Para pemimpinmu tentu akan menyesal jika aku pergi,"
berkata Ki Permita. Namun kemudian katanya, "Cobalah,
sampaikan saja kepada pemimpinmu, bahwa Palot akan
mohon perlindungan dan tinggal bersama mereka di
Padepokan ini." Kedua orang itu menjadi semakin ragu-ragu. Namun
kemudian salah seorang berkata, "Baiklah, seorang di
antara kami akan menyampaikan permohonanmu kepada
para pemimpin padepokan. Merekalah yang akan
menentukan, apakah kau boleh menghadap atau tidak."
Ki Permita menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun berkata, "Baiklah. Aku akan menunggu."
Memang kesempatan itu adalah kesempatan yang terbaik
baginya untuk memasuki padepokan daripada ia harus
melumpuhkan kedua orang itu dengan kekerasan, sehingga
dengan demikian. maka kesalahannya akan bertambah lagi.
Sesaat kemudian, seorang di antara mereka pun telah
meninggalkan Ki Permita yang dikenalnya sebagai Palot.
Sementara seorang lagi masih menungguinya.
"Kita tunggu di sini," berkata yang seorang itu kepada Ki
Permita sambil duduk di regol halaman rumah sebelah.
Ki Permita pun telah duduk pula. Ketika ia memandang
ke halaman lewat pintu yang sedikit terbuka, dilihatnya
halaman rumah itu nampak kotor. Daun pepohonan yang
kering berjatuhan tanpa dibersihkan. Bukan hanya hari itu.
Namun nampaknya telah sejak beberapa hari berselang.
"Apakah rumah ini kosong?" bertanya Ki Permita.
"Nampaknya begitu," jawab orang itu. "hampir semua
orang di padukuhan ini telah menyingkir. Mereka sadar,
bahwa kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi. Ketika
Misteri Mayat Darah 1 Pendekar Hina Kelana 9 Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Beruang Salju 18