Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 24

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 24


orang itu bangkit. Tetapi Akuwu Lemah Warah telah
menahannya. Katanya, "Sudahlah. Ia sudah tidak
berdaya." Prajurit itu tertegun. Namun ia pun kemudian
melangkah surut ketika ia sadar, bahwa Akuwu telah
berdiri beberapa langkah dari lawannya itu.
Perlahan-lahan orang yang pernah memimpin
sebuah perguruan itu bangkit. Kemudian dipandanginya
Akuwu Lemah Warah itu dengan sorot mata bagaikan
membakarnya. "Kau licik," geram orang itu.
"Kenapa?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Kau rusakkan kemampuan ilmuku dengan
merusakkan simpul-simpul perbendaharaan ilmuku di
punggungku," geram orang itu, "sehingga aku sama sekali
tidak mampu lagi melepaskan ilmuku, karena ilmuku itu
telah terhapus dari perbendaharaan kemampuanku. Ilmu
yang aku pelajari bertahun-tahun, kini telah kau
hancurkan. Semula aku mengira bahwa hal itu hanya
karena tubuhku masih lemah. Tetapi ketika ternyata
bahwa sama sekali tidak terungkap ilmuku itu. Serta
punggungku yang terasa sakit, maka barulah aku sadar,
bahwa ketika aku pingsan, kau telah berbuat licik. Sangat
licik. Tidak layaknya dilakukan oleh seorang laki-laki.
Apalagi seorang kesatria seperti kau Akuwu."
Akuwu mengerutkan keningnya. Namun kemudian
jawabnya, "Kau benar Ki Sanak, jika persoalannya kau
lepaskan dari tingkah laku serta sikapmu. Tetapi kau
harus ingat, bahwa aku melakukannya setelah aku
mengenali tingkah laku serta sikapmu seutuhnya."
"Bagaimana dengan sikapku?" bertanya orang itu.
"Jika kau bersikap wajar dan tidak mengingkari
kenyataan, maka aku tidak akan berbuat sebagaimana
aku lakukan," berkata Akuwu Lemah Warah, "coba
bayangkan apa yang telah terjadi di padepokan Suriantal.
Kemudian bagaimana pula sikapmu ketika kau dibawa
kemari. Bagaimana pula sikapmu setelah kau berada di
sini, dihadapan Akuwu yang berkuasa di Lemah Warah,
maka aku mengambil kesimpulan, bahwa orang seperti
kau tidak pantas untuk mendapat perlakuan yang baik
sebagaimana aku memperlakukan seorang kesatria,
bahkan memperlakukan seorang hamba yang mengenal
dirinya dan menerima kenyataan tentang dirinya itu."
"Persetan," geram orang itu.
"Nah, kau masih juga tidak tahu diri. Aku dapat
memanggil prajurit-prajuritku untuk memperlakukan
kau lebih buruk lagi. Kau sudah tidak memiliki ilmu
apapun juga, kecuali sedikit ketrampilan berkelahi
seperti anak-anak di Pakuwon ini. Kau tidak dapat lagi
membangunkan tenaga cadangan di dalam dirimu,
apalagi ilmumu yang mampu menyadap kekuatan api.
Nah, apa lagi yang akan kau pergunakan untuk
menyombongkan diri dengan sikap kasar dan umpatanumpatan
tidak pantas." Orang itu termenung sejenak. Berbagai perasaan
telah bergejolak di dalam dirinya. Marah, kecewa, cemas
dan bahkan ketakutan bercampur, baur. Namun dalam
gejolak yang tidak dapat dikendalikannya maka tiba-tiba
saja ia bangkit berdiri sambil berteriak, "Bunuh aku. Ay o,
siapakah di antara kalian yang cukup jantan berani
membunuhku he" Siapa?"
Para prajurit yang berkerumun termangu-mangu.
Mereka sekali-sekali memandang Akuwu Lemah Warah
yang berdiri di tempatnya tanpa berbuat sesuatu.
Sementara itu, orang itu pun masih saja berteriak,
"Bunuh aku." Baru beberapa saat kemudian Akuwu Lemah Warah
itu berkata, "Ki Sanak. Tidak ada orang yang akan
bersedia membunuhmu di sini. Tetapi jika kau cukup
mempunyai keberanian maka bunuhlah dirimu sendiri.
Kau dapat meminjam pedang, keris atau jenis senjata
lainnya yang kau inginkan. Nah, lakukanlah. Para
prajurit akan menjadi saksi bahwa seorang laki-laki yang
putus asa karena tidak mampu lagi menegakkan ilmunya
yang nggegirisi telah membunuh diri."
"Persetan," orang itu masih menggeram.
Sementara itu Akuwu Lemah Warah berkata, "Nah,
apakah sebenarnya yang kau inginkan sekarang."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia-pun telah menundukkan kepalanya.
Agaknya ia tidak lagi merasa perlu untuk mengingkari
kenyataan yang terjadi atas dirinya. Bahkan ia pun
merasa kecewa, bahkan dirinya telah mengalami
perlakuan yang pahit justru karena sikapnya sendiri. Ia
telah kehilangan segenap kemampuannya, sehingga ia
tidak lebih dari seorang prajurit kebanyakan. Bahkan
ketika ia berkelahi melawan prajurit pengawal itu terasa
bahwa tenaganya tidak lagi mampu mengimbangi
kekuatan prajurit itu. Karena itu, maka orang itu tidak lagi berniat untuk
berbuat apapun juga. Ia pun telah pasrah seandainya ia
harus menjalani hukuman mati, atau perlakuan apa pun
juga. Akuwu yang melihat sikap orang itu pun kemudian
melihat perubahan di dalam dirinya. Karena itu, maka
Akuwu pun kemudian berkata kepada prajurit yang telah
berkelahi melawan orang itu, "Bawa kembali ke biliknya."
Prajurit yang telah bertempur melawan tawanan itu
memang menjadi heran terhadap dirinya sendiri, bahwa
ia mampu melawan dan bahkan mengimbangi
kemampuan orang yang menurut keterangan yang
diterimanya, berilmu sangat tinggi.
Namun akhirnya orang-orang termasuk para
prajurit di istana Lemah Warah itu mengetahui, bahwa
kemampuan orang yang berbahaya itu telah dihancurkan
oleh Akuwu, sehingga orang itu tidak lagi m emiliki ilmu
yang nggegirisi. Karena itu, maka tawanan itu tidak memerlukan
pengawalan yang khusus lagi. Ia dimasukkan ke dalam
biliknya yang kuat dan diselarak dari luar. Ia tidak lagi
memiliki kemampuan untuk keluar dari bilik itu.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak terlalu lama berada di Lemah Warah. Ia berjanji
akan segera kembali kepada Ki Bekel yang akan
menyediakan kerbau yang dikehendakinya.
Karena itu, setelah menyerahkan tawanannya yang
tidak memiliki kemampuan lagi untuk menengadahkan
kepalanya dan menuntut agar padepokan Suriantal
diserahkan, maka kedua anak muda itu telah minta diri.
"Baiklah," berkata Akuwu Lemah Warah, "tetapi
jika kau perlukan bantuan, aku tidak berkeberatan.
Seandainya sepuluh ekor kerbau itu kau bawa dari sini,
maka kau tidak perlu mencari di padukuhan itu."
"Terima kasih. Tetapi untuk membawa sepuluh ekor
kerbau dari Lemah Warah agaknya terlalu sulit karena
jarak yang panjang," berkata Mahisa Murti.
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia pun bertanya, "Anak-anak muda, apakah
rencanamu selanjutnya dengan batu hijau itu" Seperti
yang kalian katakan, kalian ingin membentuk sesuatu
dengan batu itu. Jika batu itu berada di padepokan
Suriantal, maka agaknya untuk mengamankannya
diperlukan kekuatan yang cukup besar. Apalagi jika batu
itu akan dibentuk di padepokan itu."
"Jadi bagaimana sebaiknya menurut Akuwu?"
bertanya Mahisa Murti. "Apakah tidak sebaiknya batu itu kalian bawa
kemari saja. kemudian dikerjakan di sini sebagaimana
kalian inginkan" Di sini batu itu akan lebih aman, karena
kita akan mampu melindunginya. Tetapi di padepokan
itu, kekuatan yang tertinggal tidak lagi cukup besar jika
ada kekuatan yang ingin merampas batu itu. Apalagi
nanti, jika ujud batu itu sudah dibentuk."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Mereka mengerti keterangan Akuwu itu. Namun
anak-anak muda itu agaknya mempunyai keinginan
untuk melakukan sesuatu yang berarti. Karena itu, maka
Mahisa Murti pun berkata, "Akuwu. Kami mohon kali ini
diijinkan untuk melakukan itu sendiri. Kami akan
berbuat sesuatu yang barangkali akan dapat menjadi
semacam kebanggaan di hati kami. Kami akan
mempersembahkan sebuah patung dari batu yang
berwarna kehijauan itu."
Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, "Baiklah
anak-anak. Lakukanlah jika kau memang
menginginkannya. Aku sependapat, bahwa hal itu akan
menjadi satu kebanggaan bagi kalian. Patung itu akan
dapat kalian persembahkan kepada orang yang paling
kalian hormati." "Kami ingin mempersembahkan kepada Sri
Maharaja di Singasari," berkata Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat hampir berbareng.
"Bagus," jawab Akuwu, "kau dapat membuat sebuah
patung yang indah dari Sepasang Ular di Satu Sarang."
"Ya," desis Mahisa Pukat, "Sepasang Ular Naga di
Satu Sarang." "Sebutan bagi Sri Maharaja dan Ratu Angabaya,"
sahut Mahisa Murti. Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Jika demikian rencana kalian itu merupakan
rencana yang bagus sekali. Aku akan membantu apa pun
yang dapat aku berikan. Mungkin kau memerlukan
sekelompok prajurit yang akan dapat membantu menjaga
batu itu. Atau mungkin bekal atau bahkan uang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling
berpandangan. Namun kemudian Mahisa Murti itu pun
berkata, "Kami mengucapkan terima kasih Akuwu. Kami
memang memerlukan bantuan yang barangkali cukup
banyak. Jika kami kelak mengundang seorang pemahat
yang mumpuni, maka kami akan memerlukan
perlindungan Akuwu dan barangkali juga uang. Jika
Akuwu berkenan bermurah hati memberikannya kepada
kami, maka kami tidak perlu mencarinya atau mengambil
pulang ke Singasari."
"Katakan apa yang kau perlukan," berkata Akuwu,
"kalian berdua adalah kemenakanku. Aku sudah
mengaku kalian sebagai kemenakanku sejak kita
bersama-sama bertugas di padepokan Suriantal itu."
Demikianlah, maka ketika Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat bersiap-siap kembali ke padepokan
Suriantal, maka Akuwu telah menugaskan duapuluh lima
orang prajurit pilihan untuk menyertai mereka berdua.
Para prajurit pilihan itu bertugas untuk membantu
mengamankan batu yang akan disimpan di padepokan
untuk selanjutnya dipahat menjadi sebuah patung yang
akan dipersembahkan kepada Sri Maharaja di Singasari.
Di hari berikutnya, ketika fajar menyingsing, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah meninggalkan
Pakuwon Lemah Warah bersama duapuluh orang
prajurit yang akan bertugas bergantian dalam waktu
sebulan. Sekelompok pasukan berikutnya akan
menggantikan para prajurit itu susul menyusul sampai
mereka tidak diperlukan lagi. Atau justru malahan
sepasukan yang lebih besar untuk mengawal patung yang
akan dibawa ke Singasari.
Demikianlah, sebuah iring-iringan telah
meninggalkan Lemah Warah memasuki perjalanan yang
cukup panjang. Mereka memang harus bermalam di
perjalanan. Baru di hari berikutnya mereka memasuki
padepokan Suriantal. Kedatangan sepasukan prajurit itu memang
mengejutkan. Seisi padepokan itu dengan serta merta
telah mempersiapkan diri. Namun ternyata yang datang
adalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Meskipun demikian pemimpin padepokan itu
menjadi agak ragu juga. Ketika regol padepokan itu
dibuka, maka pemimpin padepokan itu telah berdiri di
pintu. Beberapa orang pemimpin kelompok telah bersiap
di belakangnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di
paling depan dari iring-iringan itu tersenyum. Kemudian
Mahisa Murti berkata, "Aku sudah menitipkan tawanan
kita di Lemah Warah. Sementara itu Akuwu Lemah
Warah telah mengirimkan beberapa orang prajurit yang
akan membantu kita. Setiap kelompok akan berada di
padepokan ini untuk sebulan. Mereka akan diganti oleh
kelompok yang lain, berurutan di setiap bulan."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk.
Tetapi masih nampak keragu-raguan di wajahnya.
"Kau cemas bahwa kami telah berubah sikap?"
bertanya Mahisa Pukat, "setelah kami menyingkirkan
orang yang berniat untuk memiliki padepokan ini, maka
kami datang untuk menggantikannya?"
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalamdalam.
Sementara itu Mahisa Murti berkata, "Kelompok
ini adalah prajurit Lengah Warah. Jika hal yang demikian
itu kami kehendaki, maka kami akan membawa kekuatan
yang lebih meyakinkan. Atau Akuwu Lemah Warah tidak
akan meninggalkan padepokan setelah padepokan ini
dipecahkannya dahulu."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk.
Karena itu, maka kemudian katanya, "Aku minta maaf.
Aku telah diajar oleh pengalaman untuk berhati-hati."
"Satu sikap yang baik," berkata Mahisa Murti, "aku
tidak berkeberatan atas sikapmu itu."
Dengan demikian maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun telah dipersilahkan masuk bersama duapuluh
lima orang prajurit yang datang bersamanya. Orangorang
padepokan itu dengan tergesa-gesa telah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membersihkan barak yang untuk beberapa lama sudah
tidak dipergunakan lagi. Di barak itulah ke-dua puluh
lima prajurit itu kemudian ditempatkan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah memberikan
pesan-pesan khusus kepada para prajurit itu, agar
mereka berusaha untuk menyesuaikan diri hidup di
lingkungan yang berbeda dari lingkungan mereka
sebelumnya. Tetapi Senapati yang memimpin sekelompok
prajurit itu berkata, "Kami sudah ditempa untuk
menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga. Kami
akan berusaha untuk menjadikan diri kami bagian dari
padepokan ini." "Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "kita akan
membina bersama-sama. Bukan saja kehidupan dan
kesejahteraan di padepokan ini, tetapi juga kemampuan
dari orang-orang yang tinggal di padepokan ini."
"Kami akan mencoba," berkata Senapati itu.
Demikianlah, sejak hari itu, penghuni padepokan
itu pun telah bertambah. Namun seperti yang dikatakan oleh Senapati
prajurit Lemah Warah, bahwa para prajurit itu akan
segera menyesuaikan dirinya dengan para penghuni
padepokan itu. Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun telah menemui Ki Bekel sebagaimana pernah
dikatakannya sebelumnya bersama beberapa orang
penghuni padepokan itu untuk mengambil sepuluh ekor
kerbau dan membawanya ke padepokan.
Meski pun dengan agak ragu, namun Ki Bekel telah
melepaskan sepuluh ekor kerbau yang cukup kuat itu
sebagaimana dijanjikan. Bahkan beberapa orang Bekel
yang lain telah mengatakan bahwa seandainya kerbaukerbau
itu terpaksa tidak kembali, maka mereka tidak
akan menuntutnya. "Kenapa?" bertanya salah seorang Bekel.
"Mereka dapat berbuat apa saja. Sampai saat ini
orang-orang padepokan itu tidak pernah secara sungguhsungguh
mengganggu kita. Karena itu, kita jangan
membuat mereka kecewa, sehingga mereka akan
melakukan apa yang tidak pernah mereka lakukan,"
jawab Ki Bekel yang merelakan kerbaunya.
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka memang
menyadari bahwa kekuatan yang ada di padepokan itu
memang tidak akan terlawan. Mereka mengerti bahwa
telah terjadi beberapa pergolakan di padepokan itu.
Namun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Yang mereka ketahui bahwa di padepokan itu masih
terdapat kekuatan yang dapat memaksakan kehendak
mereka kepada orang-orang di padukuhan jika mereka
kehendaki. Dengan sepuluh ekor kerbau itulah, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah merencanakan untuk
menarik batu yang berwarna kehijau-hijauan itu ke
padepokan. Untuk itu maka ia memang harus berbicara
dengan pemimpin padepokan itu, para pemimpin
kelompok dan Senapati prajurit Lemah Warah.
Dari sorot matanya. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat dapat melihat kecemasan di hati pemimpin
padepokan itu. Karena itu maka Mahisa Murti pun telah bertanya,
"Apakah yang membuatmu nampak ragu-ragu?"
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalamdalam.
Dengan ragu-ragu ia berkata, "Batu itu adalah
batu yang penuh dengan rahasia. Tidak setiap orang
dapat menyentuhnya. Bahkan kadang-kadang orang yang
berani menyentuhnya akan mati."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti
berkata, "Aku mengenal watak jenis-jenis bebatuan.
Mudah-mudahan kita tidak mengalami sesuatu."
"Bukan hanya itu," berkata pemimpin padepokan
itu, "tetapi banyak pihak yang mengingini batu itu.
Karena itu, jika batu itu berhasil kita bawa ke padepokan
ini, maka mereka merasa bahwa batu itu sudah tidak lagi
berbahaya. Mereka akan datang untuk mengambilnya
dari padepokan ini. Bahkan dengan kekerasan."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Itulah sebabnya
aku telah memohon bantuan Akuwu Lemah Warah
dengan sekelompok prajurit yang kini ada bersama kita."
Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalamdalam.
Namun ia menyadari, jika benar kedua anak
muda itu akan mengambil batu yang berwarna kehijauan
itu, maka mereka tidak dapat berharap bahwa padepokan
itu akan menjadi tenang. Setiap saat akan datang orangorang
yang akan mengambil batu itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat
kegelisahan itu. Bukan saja pada pemimpin padepokan,
tetapi juga pada para pemimpin kelompok.
Karena itu Mahisa Murti pun berkata, "Aku
berharap kalian tidak akan cemas. Para prajurit Lemah
Warah akan berada di sini selama batu itu masih ada di
sini." Pemimpin padepokan itu menarik nafas dalamdalam.
Kehadiran para prajurit Lemah Warah itu
memang memberikan ketenangan, karena meskipun
yang ada di padepokan itu hanya dua puluh lima orang,
tetapi mereka adalah lambang keterlibatan seluruh
Pakuwon Lemah Warah. Jika terjadi sesuatu dengan para
prajurit itu, maka Akuwu tentu tidak akan tinggal diam.
Karena itu, maka pemimpin padepokan itu pun
kemudian berkata, "Baiklah. Kami akan melakukan apa
yang baik bagi kalian."
Demikianlah, maka segala persiapan pun telah
dilakukan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dibantu oleh
orang-orang padepokan itu telah membuat tali dari
sabut. Mereka telah mengumpulkan sabut kelapa bukan
saja dari padepokan itu, tetapi mereka telah datang pula
ke padukuhan untuk minta agar sabut kelapa yang ada di
padukuhan itu dikumpulkan.
Dengan sabut kelapa itu mereka telah membuat
tali-tali yang besar dan kuat. Bukan hanya satu dua depa,
tetapi panjang sekali. Beberapa puluh gulung.
Sebelum usaha menarik batu itu dilakukan, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sekali lagi datang
ke tempat batu yang kehijau-hijauan itu.
Mereka telah merencanakan cara yang paling baik
untuk menarik batu itu. Mereka sadar, jika batu itu
berguncang, maka binatang-binatang berbisa yang ada di
celah-celah batu itu dalam jumlah yang tidak terhitung
akan berjatuhan di sepanjang jalan. Binatang-binatang
itu memang akan dapat berbahaya bagi orang lain.
Namun agaknya binatang-binatang berbisa itulah yang
telah menumbuhkan ceritera seolah-olah batu itu
menjadi keramat dan dikeramatkan. Bahkan orang yang
berani menyentuh batu itu akan mati.
Agaknya orang yang menyentuh batu itu telah
disengat atau dipatuk oleh binatang berbisa yang ada di
dalam dan di sekitar batu itu.
"Memang sulit," berkata Mahisa Pukat.
"Binatang berbisa yang terjatuh di sepanjang jalan
tentu akan segera berlari bersembunyi," berkata Mahisa
Murti, "hanya setelah mendekati padepokan kita harus
berhati-hati terhadap binatang itu."
"Orang-orang yang membantu menarik batu itu?"
bertanya Mahisa Pukat. "Agaknya kita harus bekerja keras dengan penawar
racun itu. Tetapi agaknya kita sendirilah yang harus
mengikat batu itu, agar sentuhan bisa itu tidak
mengambil korban," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Nampaknya
mereka berdua memang harus bekerja keras, sehingga
batu itu sampai di padepokan.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih berada di tempat itu. Mereka mengamati
tempat itu dengan saksama. Mereka mulai meneliti ke
arah mana batu itu akan ditarik dan dibawa ke luar dari
lingkungan hutan yang penuh dengan binatang berbisa
itu. Setelah keduanya mendapatkan kepastian tentang
batu itu, maka keduanya pun segera kembali ke
padepokan. "Besok kita akan mulai," berkata Mahisa Murti
kepada Senapati prajurit dari Lemah Warah. Lalu
katanya, "Salah satu hambatan adalah binatang berbisa."
Tetapi Senapati itu berkata, "Kami dibekali dengan
obat penawar racun meskipun hanya berlaku untuk
sementara. Tetapi setidak-tidaknya dapat mencegah kami
dibunuh oleh bisa apa pun juga dalam waktu satu hari.
Karena itu, maka kami akan dapat melakukan tugas itu
tanpa merasa takut terhadap berjenis-jenis binatang yang
ada pada batu itu. Namun mungkin kulit kami memang
akan dapat meremang jika kami menyaksikan retak-retak
batu besar itu penuh dengan binatang yang bergerakgerak
dan siap menyerang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Dengan nada dalam Mahisa Pukat berkata,
"Syukurlah. Pekerjaan kita akan jauh bertambah r ingan.
Ternyata Akuwu Lemah Warah mempunyai pandangan
jauh ke depan. Apa yang tidak kita mohon, telah
diberikannya." Dengan demikian, maka di malam hari, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah mengumpulkan semua isi
padepokan itu termasuk para prajurit. Dengan singkat
tetapi pasti, Mahisa Murti mengatakan kepada mereka,
bahwa besok mereka akan mulai dengan kerja besar.
Bukan saja mengambil batu itu. Tetapi tugas yang
kemudian harus mereka lakukan adalah
mempertahankan batu itu jika ada pihak lain yang
menghendakinya. Dengan nada berat Mahisa Murti berkata, "Aku
mempercayakan batu itu kepada kalian semuanya.
Dengan harapan bahwa batu itu kelak akan dapat
menjadi sebuah patung yang berharga yang akan kita
persembahkan kepada Sri Maharaja di Singasari."
Bagaimanapun juga seisi padepokan itu merasa ikut
berkewajiban untuk mempertahankan batu itu.
Penjelasan yang diberikan oleh Mahisa Murti telah
meyakinkan mereka. Termasuk para prajurit dari Lemah
Warah. Di keesokan harinya, sebelum matahari terbit,
semua orang telah dipersiapkan. Jarak antara padepokan
itu sampai ke batu yang berwarna kehijauan itu memang
tidak terlalu dekat. Sehingga karena itu mereka harus
mempersiapkan sebuah perjalanan.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memutuskan bahwa semua orang harus ikut serta. Jika
ada sebagian yang tinggal, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sebagaimana pemimpin padepokan itu justru
mencemaskan keselamatan mereka.
Sementara itu, maka telah dipersiapkan pula bekal
untuk mereka makan di perjalanan. Bahkan bahan
mentah yang mungkin diperlukan! Lembu-lembu yang
masih belum dipergunakan itu dapat membantu
membawa bekal bagi mereka.
Ternyata sambil menggiring sepuluh ekor lembu di
perjalanan yang berat, mereka maju sangat lamban.
Namun mereka tidak m engeluh. Orang-orang yang
ikut bersama mereka adalah orang-orang yang terlatih
dan ditempa oleh pengalaman yang sangat berat pula.
Karena itu, maka mereka tidak dapat melakukan
tugas mereka itu dalam sehari. Malam hari mereka harus
bermalam tidak terlalu jauh dari batu yang kehijauhijauan
itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menasehatkan agar mereka membuat kelompokkelompok
dan menyalakan api. "Biasanya binatang melata banyak di tempat ini,"
berkata Mahisa Pukat, "kalian harus berhati-hati."
Ternyata atas nasehat para prajurit, mereka telah
membuat api di sekitar tempat mereka beristirahat
kelompok-kelompok. Dengan demikian jika binatang
melata seperti ular tidak akan melangkahi abu yang
hangat dan menghindar. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat selalu siap untuk melakukan pertolongan jika tibatiba
saja salah seorang di antara mereka telah dipatuk
ular. Ketika fajar menyingsing, maka mereka pun telah
menjadi sibuk. Para prajurit telah menelan obat yang
diberikan kepada mereka untuk menawarkan racun dan
bisa meskipun hanya untuk sementara.
Sementara itu, mereka yang bertugas untuk
menyiapkan makan dan minum pun telah melakukannya
dengan cermat dan mencukupi kebutuhan.
Hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berusaha membuat sebuah jaring raksasa dengan
berpuluh-puluh gulung tambang sabut kelapanya. Jaring
itu akan berisi batu yang berwarna kehijau-hijauan itu.
Memang satu pekerjaan yang sulit. Namun
beberapa orang prajurit yang telah menelan obat
penawar bisa telah membantunya. Namun demikian,
tengkuk mereka pun meremang jika mereka melihat
jenis-jenis binatang berbisa di celah-celah batu itu. Di
antara retak di kulit batu itu, bersembunyi berbagai jenis
binatang yang bukan saja dapat membuat kulit tengkuk
meremang, tetapi juga dapat membunuh dengan kejinya.
"Jangan hiraukan jika kau memang sudah menelan
obat penawar bisa itu. Yakinkan dirimu, bahwa obat itu
mempunyai arti bagi kalian," berkata Mahisa Pukat.
Para prajurit itu mengangguk-angguk. Mereka pun


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi semakin meningkatkan kerja mereka, justru
karena mereka semakin yakin bahwa mereka tidak akan
dibunuh oleh bisa. Namun orang-orang padepokan yang lain sama
sekali tidak berani mendekati batu itu. Satu dua orang
yang melihat-lihat dari jarak yang terhitung dekat,
tubuhnya bagaikan menggigil melihat binatang-binatang
berbisa yang bergerak dan berdesakan di relung dan di
retak-retak batu hijau itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
selalu mengingatkan kepada mereka, agar mereka
memegang senjata mereka di tangan.
"Bukan karena kita akan diserang musuh," berkata
Mahisa Murti, "tetapi ular berbisa banyak berkeliaran di
tempat ini. Jika kalian melihatnya mendekati siapa saja,
jangan menunggu lebih lama lagi. Ular itu harus
dibunuh." Demikianlah kerja itu memerlukan waktu yang
lama. Namun akhirnya batu itu dapat juga diselubungi
oleh jaring tambang sabut.
Dengan hati-hati tali itu disangkutkan pada bahu
sepuluh ekor kerbau yang kuat. Menurut perhitungan
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orang-orang yang ikut
bersamanya, sepuluh ekor kerbau itu akan dapat
menariknya dengan tidak terlampau banyak mengalami
kesulitan. Namun jalan yang akan mereka tempuhlah yang
sulit. Karena itu maka untuk dapat membawa batu itu
sampai ke padepokan memang diperlukan waktu yang
lama. Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan para
penghuni padepokan termasuk para prajurit kemudian
berusaha menarik batu itu, ternyata tiga orang tengah
mengawasi dengan wajah berkerut-kerut.
Seorang di antara mereka berkata, "Gila orangorang
Suriantal itu." "Tidak semuanya orang Suriantal," desis yang lain,
"hitung saja di antara mereka yang membawa tongkat.
Yang lain datang dari berbagai perguruan. Namun
ternyata bahwa Suriantal telah pernah dihancurkan oleh
Lemah Warah. Tetapi agaknya padepokan itu kini akan
bangkit lagi. Agaknya Akuwu Lemah Warah
meninggalkan padepokan itu begitu saja."
"Tetapi tentu sudah tidak mempunyai kekuatan,"
desis orang ketiga. "Namun anehnya, justru sekarang mereka berani
mengambil batu hijau itu," berkata orang yang pertama.
Kawan-kawannya mengangguk. Dengan nada dalam
seorang di antara mereka berkata, "Bagaimana mungkin
mereka dapat mengatasi bisa dari binatang yang ada di
batu itu." "Kedua orang anak muda itu sudah beberapa kali
melakukannya. Menyentuh batu itu tanpa cidera.
Keduanya tentu mempunyai penawar bisa," berkata yang
lain. "Mungkin. Tetapi yang membantunya cukup
banyak. Apakah mereka semua mempunyai penawar bisa
seperti kedua orang anak muda itu?" bertanya kawannya.
Yang lain termangu-mangu. Namun ia tidak
menjawab. Bahkan ia berdesis, "Satu kerja gila-gilaan
yang dilakukan oleh anak-anak muda. Tetapi kita dapat
bersyukur bahwa ada orang yang mengeluarkan batu itu
dari lingkungan yang sangat berbisa. Mudah-mudahan
batu itu kelak menjadi tawar di padepokan Suriantal,
sehingga kita akan dapat mengambilnya dengan cara
yang lebih mudah." "Aku tidak tahu, kenapa anak muda itu tidak
memecah saja batu itu lebih dahulu," berkata seorang
yang lain. Kedua kawannya tidak menjawab.
Demikianlah, maka kerja besar Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu pun berlanjut. Hanya para prajurit yang
berjumlah duapuluh lima orang itu sajalah yang
membantunya dengan jarak yang pendek. Bahkan satu
dua diantara mereka telah ikut menyentuh batu itu.
Sementara itu orang-orang padepokan itu sendiri
membantunya dari jarak yang agak jauh dengan
menempatkan kerbau-kerbau itu berjajar dan berurutan.
Meskipun demikian ada saja diantara mereka, yang
harus mempergunakan pedang atau tombaknya untuk
membunuh ular yang berkeliaran.
Sejenak kemudian, dengan jaring raksasa dari
tambang sabut yang sudah terpasang, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun selalu memberikan aba-aba.
Sejenak kemudian terdengar cambuk meledak-ledak.
Sepuluh ekor lembu yang besar itu pun bergerak terus.
Ternyata batu itu memang berat. Selain sepuluh
ekor lembu itu beberapa puluh orang telah ikut pula
menariknya. Sehingga lambat laun batu yang berwarna
kehijauan itu pun mulai bergerak.
Namun dalam pada itu, setiap kali Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat selalu memperingatkan bahaya yang
mungkin dapat mematuk mereka, terutama orang-orang
padepokan. Bahkan para prajurit itu pun telah
memperingatkan mereka pula.
Dengan demikian maka sejenak kemudian, bagian
pinggiran hutan itu telah dipekakkan oleh teriakanteriakan
yang menggema. Teriakan-teriakan mereka yang
menggerakkan kerbau untuk mau berjalan sambil
menarik batu itu, tetapi juga teriakan-teriakan orangorang
padepokan yang ikut menarik batu itu pula.
Diseling oleh teriakan-teriakan para prajurit yang
memperingatkan binatang-binatang berbisa yang
berkeliaran. Ketika batu itu mulai berguling untuk pertama
kalinya, maka ternyata tengkuk Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah meremang pula. Ternyata di
bawah batu itu terdapat berpuluh-puluh ekor ular yang
saling membelit dengan jenis-jenis binatang berbisa yang
lain. Demikian batu itu berkisar, maka binatang-binatang
itu telah berhambur ke segenap arah.
"Hati-hati," teriak Mahisa Pukat.
Yang paling dekat dengan batu itu selain Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat adalah para prajurit. Meskipun
mereka telah makan obat penawar bisa untuk sementara,
tetapi ternyata mereka lebih merasa aman dengan
membunuh binatang berbisa yang mendekat.
Para prajurit itu pun merasa jantungnya berdebaran
melihat berjenis-jenis binatang yang bergulat di bawah
batu itu. Demikianlah, setapak demi setapak batu itu
beringsut terus. Orang-orang yang mencambuk kerbaukerbau
itu masih saja berteriak sementara kawankawannya
membantu menarik batu itu pula.
Tiga orang yang memandang dari kejauhan dan dari
tempat yang terlindung itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Mereka tidak melihat jelas, binatang-binatang
yang berada di bawah itu. Namun yang menjadi
perhatian terbesar mereka adalah binatang berbisa yang
ada di dalam batu itu. Demikianlah, perlahan-lahan, namun batu itu
ternyata bergerak. Dengan sangat berhati-hati Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan para prajurit mengarahkan
gerak batu itu agar tidak masuk ke dalam lereng yang
agak dalam, sehingga sulit untuk mengangkatnya keluar.
Tiga orang yang mengawasi kerja itu masih saja
menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka seakan-akan
melihat satu yang mustahil terjadi, namun ternyata telah
terjadi. "Tetapi satu keuntungan bagi kita," berkata orang
itu, "kita tidak harus bekerja keras seperti itu. Kita tinggal
memasuki padepokan Suriantal dan mengambil batu itu."
"Tetapi kau lihat, orang Suriantal terlalu banyak
untuk dilawan," berkata salah seorang di antara mereka.
"Tentu orang-orang Suriantal itu telah
mengerahkan pula orang-orang padukuhan dengan
paksa." menyahut yang lain, "tetapi Suriantal sendiri kini
telah menjadi lemah setelah dihancurkan oleh Lemah
Warah. Sebagian dari orang-orangnya, terutama yang
datang dari padepokan lain, telah meninggalkan
padepokan itu. Sebagian lagi, justru orang-orang penting,
telah dibawa ke Lemah Warah. Sekarang Suriantal tidak
mempunyai pemimpin yang kuat. Agaknya kedua anak
muda itulah yang kemudian memegang pimpinan."
"Tetapi kedua anak muda itu harus
diperhitungkan," desis yang lain.
Ketiga orang itu kemudian mengangguk-angguk.
Kedua orang anak muda itu nampaknya memang
meyakinkan, sehingga atas mereka tidak dapat
diperlakukan sebagaimana orang lain.
Sejenak kemudian ketiga orang itu pun telah
meninggalkan tempat mereka itu. Mereka menyusuri
pinggir hutan yang tidak terlalu lebat. Namun mereka
mengambil arah lain dari yang ditempuh oleh orangorang
dari padepokan Suriantal itu.
Ternyata batu itu bergeser perlahan-lahan. Sepuluh
ekor kerbau itu telah berusaha dengan sekuat tenaga.
Beberapa kali punggungnya merasa sakit karena cambuk.
Namun orang-orang padepokan itu tidak hanya
mencambuki kerbau-kerbau itu saja. Tetapi m ereka ikut
pula menarik dengan sekuat tenaga.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemimpin
padepokan Suriantal, bahwa jika mereka mengambil batu
itu, banyak perhatian akan tertuju kepada mereka.
Kerja yang dilakukan itu, adalah kerja yang
memerlukan bukan saja kemauan dan ketekunan. Tetapi
juga tenaga dan waktu. Batu itu hanya mampu bergeser
perlahan-lahan. Dalam pada itu di setiap jengkal,
binatang berbisa yang ada di batu itu berjatuhan satu
demi satu. Namun sementara itu yang lain berpegangan
sekuat tenaga di dalam retak dan relung-relung batu yang
berwarna kehijauan itu. Meskipun demikian, batu itu bergerak juga ke arah
padepokan. Betapapun lambatnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan orang-orang
yang membantunya itu kemudian yakin, bahwa batu itu
pada akhirnya akan sampai di padepokan. Namun setelah
itu, maka banyak hal yang akan dapat terjadi.
Tetapi kemajuan yang mereka capai ternyata sangat
sendat. Baru beberapa ratus patok, maka mereka telah
merasa terlalu payah. Demikian pula kerbau-kerbau yang
menarik batu itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cukup bijaksana, ia
memang tidak terlalu tergesa-gesa. Bahkan kerbaukerbau
itu pun dapat dikembalikan agak lambat dengan
menambah uang sewanya jika itu dikehendaki oleh
orang-orang padukuhan. Karena itu, maka orang-orang yang bertugas untuk
menyiapkan makan dan minuman bagi orang-orang yang
bekerja keras itu pun telah melakukan tugas mereka pula.
Di samping iring-iringan itu beristirahat, maka mereka
telah menyiapkan air minum yang hangat dan jika
mereka menemukan tempat untuk bermalam, maka telah
disiapkan pula makan bagi mereka. Di pagi hari
kemudian, orang-orang yang bertugas itu pun telah
menyiapkan makan mereka, bukan saja untuk pagi h ari.
Tetapi mereka juga menyiapkan makan untuk siang hari
yang mereka bawa sepanjang perjalanan itu.
Itulah sebabnya, jarak yang tidak terlalu panjang itu
harus ditempuh dalam beberapa hari.
Namun dalam pada itu, tiga orang seakan-akan
selalu membayangi kerja yang besar itu. Bahkan ternyata
bukan hanya ketiga orang itu saja. Dari arah lain, dua
orang telah mengamati pula kerja Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Namun agaknya kedua orang itu tidak
merasa perlu untuk mengikuti gerak iring-iringan itu
setiap hari. Tetapi mereka hanya menyaksikannya dua
kali. Setelah itu, maka mereka menganggap bahwa segala
sesuatunya akan dapat diselesaikan di padepokan
Suriantal. "Kita tinggal datang mengambilnya," berkata
seorang diantara mereka, "meskipun demikian, kita
merasa kasihan juga kepada orang-orang yang telah
dipaksa untuk ikut dalam kerja keras dan bodoh itu."
"Tetapi padepokan itu memang padepokan yang
besar," sahut yang lain.
"Sebelum padepokan itu dihancurkan oleh Akuwu
Lemah Warah. Beberapa perguruan yang bergabung
menjadi satu, merupakan kekuatan yang sangat besar."
"Tetapi kekuatan itu dihancurkan juga oleh Lemah
Warah," berkata kawannya.
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian mereka pun telah meninggalkan tempat itu.
Seorang diantara mereka bergeremang, "Kita akan
datang pada waktunya langsung di padepokan."
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih tenggelam dalam kerja mereka. Namun
bagaimanapun juga, keduanya yakin bahwa batu itu akan
sampai juga ke padepokan.
Sebenarnyalah, dari hari ke hari berikutnya batu itu
telah bergeser. Namun untuk sampai ke jalan yang agak
rata menuju ke padepokan, diperlukan waktu lima hari.
Namun Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan orangorang
padepokan itu sempat menarik nafas dalam-dalam.
Mereka yakin, bahwa dalam waktu sehari lagi, mereka
akan dapat memasuki padepokan.
Rencana itu benar-benar dapat terpenuhi. Orangorang
yang bekerja keras menggeser batu itu, menjadi
berdebar-debar ketika mereka mendekati pintu gerbang
meskipun hari sudah senja.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah kita akan menunda kerja ini sampai
besok?" bertanya Mahisa Murti.
"Tidak," terdengar jawaban pemimpin padepokan,
"kita akan menyelesaikannya malam ini juga meskipun
sampai pagi." Beberapa orang telah mendahului memasuki
padepokan untuk mengambil obor. Dengan obor-obor
itu, maka orang-orang padepokan itu telah meneruskan
kerja mereka, memasukkan batu yang berwarna
kehijauan itu ke dalam padepokan.
Demikian batu kehijauan itu bergeser melalui pintu
gerbang, maka orang-orang padepokan itu telah bersorak
gemuruh. Satu kerja besar telah mereka selesaikan.
Meskipun kemudian batu telah masuk regol, tetapi
mereka masih belum berhenti bekerja. Mereka telah
menempatkan batu itu di tengah-tengah padepokan
mereka. Baru setelah batu itu ditempatkan di tempat yang
mereka anggap paling baik, maka kerja itu baru dianggap
selesai. Namun orang-orang padepokan itu tidak segera
beristirahat. Orang-orang yang bertugas, telah
menyiapkan makanan dan minuman untuk menyatakan
kegembiraan mereka, bahwa satu kerja yang besar telah
mereka lakukan. Tetapi ketika mereka mulai makan dan minumminuman
panas, maka Mahisa Murti berkata, "Satu kerja
telah kita lakukan. Tetapi kerja lain yang tidak kalah
beratnya masih menunggu. Mungkin ada pihak lain yang
menginginkan batu itu. Tugas kita berikutnya adalah
mempertahankannya." Seisi padepokan itu mengangguk-angguk. Tetapi
mereka-pun memang bertekad untuk
mempertahankannya pula. Tetapi di samping itu, Mahisa Pukat selalu
memperingatkan kepada orang-orang padepokan, bahwa
batu itu dihuni oleh binatang-binatang berbisa yang
sangat berbahaya. Demikianlah, sejak saat itu, batu yang berwarna
kehijauan itu telah berpindah dari tempatnya ke
padepokan Suriantal. Orang-orang Suriantal dengan
sepenuh hati menjaga batu itu. Bahkan mereka telah
membuat pagar bambu di seputar batu itu. Bukan
maksudnya bahwa pagar itu dapat melindungi batu itu
dari kekerasan. Namun sekedar tanda dan peringatan,
bahwa batu itu cukup berbahaya.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
dapat meyakinkan pemimpin padepokan itu, bahwa batu
itu tidak membunuh. "Agaknya binatang-binatang itulah yang telah
membunuhnya," berkata pemimpin padepokan itu.
"Yaa," jawab Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir berbareng. Kemudian Mahisa Pukat lah yang
meneruskannya, "Agaknya orang yang menyentuh batu
itu telah dipatuk oleh binatang-binatang berbisa itu,
sehingga nyawanya tidak dapat diselamatkannya."
Pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk.
Namun katanya, "Tetapi biarlah kepercayaan tentang
keramatnya batu itu tetap melindunginya, sehingga
orang yang akan mengambilnya berpikir ulang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
berkeberatan. Namun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun tidak boleh menjadi lengah. Seisi padepokan itu
benar-benar harus berjaga-jaga, karena setiap saat
kekuatan asing akan datang menyerang padepokan itu.
Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah menyerahkan sepuluh ekor kerbau yang
dipinjamnya. Bahkan kemudian mereka pun membayar
sebagaimana yang dijanjikan, sewa bagi kesepuluh ekor
kerbau itu. Ki Bekel memang merasa sangat beruntung bahwa
kerbau yang sepuluh itu telah kembali. Karena itu, ketika
ia ditanya oleh Mahisa Murti dan berapa ia harus
membayar sewa, apalagi ia telah membawa kerbau itu
melampaui waktu yang telah ditentukan.
Ki Bekel termangu-mangu. Namun kemudian
katanya, "Segalanya terserah kepada kalian anak-anak
muda. Aku belum pernah menyewakan kerbau-kerbau
seperti ini." "Aku pun belum pernah menyewanya," berkata
Mahisa Murti. Tetapi Ki Bekel sudah merasa berbahagia bahwa
kerbau-kerbau itu telah kembali, maka ia tetap tidak mau
menyebut jumlah tertentu.
Karena itu, maka Mahisa Murti telah memberinya
upah itu seberapa saja ia mau.
Namun ternyata Ki Bekel telah terkejut melihat
uang itu. Dengan suara bergetar ia berkata, "Sedemikian
banyak?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum.
Sementara itu Mahisa Murti berkata, "Sudah cukup?"
"Terlalu banyak tuan," jawab Ki Bekel.
Namun kedua anak muda itu hanya tersenyum saja.
Demikianlah maka orang-orang padukuhan itu
merasa semakin tenang. Orang-orang padepokan itu
sama sekali tidak mengganggu mereka, meskipun Ki
Bekel dan Bekel-bekel yang lain mempunyai prasangka
buruk pula terhadap isi padepokan itu. Mereka mengira
bahwa uang yang cukup banyak itu didapat dengan
mudah oleh orang-orang padepokan itu. Mereka
menganggap bahwa orang-orang padepokan itu di
tempat yang jauh sering melakukan kekerasan untuk
merampas dan memiliki uang milik orang lain.
"Tetapi itu adalah dosa mereka," berkata salah
seorang Bekel, "kami mendapatkan uang ini dengan
sewajarnya. Kami telah meminjamkan milik kami, dan
kami mendapat imbalan dari mereka."
Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya
mereka pun sependapat bahwa uang itu dapat mereka
terima dengan baik. Dengan demikian, maka orang-orang padukuhan
itu justru mengharap bahwa lain kali orang-orang di
padepokan itu memerlukan sesuatu lagi dari mereka.
Dalam pada itu, padepokan Suriantal telah
meningkatkan penjagaan di lingkungan padepokan itu.
Para prajurit Lemah Warah pun telah ikut pula berjagajaga
di malam hari. Tiga orang di antara mereka ikut
serta bertugas di malam hari bergantian. Sementara itu
panggungan yang ada di dinding padepokan telah
disempurnakan pula. Mereka yang bertugas, tidak akan
mudah dapat diintai dan diterkam lawan yang dengan
diam-diam mendekat, meskipun di malam hari yang
gelap sekalipun. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang ingin
membuat batu itu menjadi patung, tidak dengan tergesagesa
meninggalkan padepokan itu untuk mencari seorang
pemahat. Mereka-pun menunggu sampai keadaan
mengijinkan. Sebenarnyalah pada saat itu, padepokan Suriantal
memang menjadi gawat, justru karena batu berwarna
kehijauan itu ada di dalamnya.
Tiga orang yang selalu mengawasi saat-saat Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat mengambil batu itu, masih
selalu saja membayangi padepokan itu.
Namun dari arah lain, dua orang telah mengamati
padepokan itu pula. Namun sulit bagi mereka untuk mengetahui isi dari
padepokan itu. Dinding yang kuat, yang mengelilingi
padepokan itu telah melindungi pengamatan orang lain
terhadapnya. Yang nampak dari orang-orang itu adalah
justru panggungan tempat isi padepokan itu berjaga-jaga
menatap keluar. Sedangkan di sebelah menyebelah pintu
gerbang juga terdapat panggungan serupa. Justru dua
buah, di sebelah menyebelah pintu gerbang.
"Sangat rapi," desis salah seorang dari ketiga orang
yang selalu mengamati orang-orang Suriantal itu.
"Sisa kewaspadaan orang-orang Suriantal," sahut
yang lain. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka
memang melihat penjagaan yang rapat dan tertib.
Seakan-akan tidak ada seujung duri pun di sekitar
padepokan itu yang terlepas dari pengamatan. Karena
itulah maka ketiga orang itu sama sekali tidak berusaha
untuk mendekat. Tetapi ketiga orang itu berkepentingan untuk dapat
menduga, seberapa besar kekuatan yang ada di dalam
padepokan itu. Sehingga meskipun dari kejauhan,
beberapa kali mereka memerlukan untuk melihat-lihat
padepokan itu. Hal itu selalu mereka lakukan di malam
hari, karena kemungkinan buruk akan dapat terjadi jika
mereka datang di siang hari.
Sementara itu, orang-orang padepokan itu memang
selalu meningkatkan kewaspadaan mereka. Semakin
lama menjadi semakin ketat, bukan sebaliknya.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat masih harus menunggu, kapan mereka mendapat
kesempatan untuk menghubungi seorang pemahat.
Keduanya masih belum sampai hati itu untuk
meninggalkan padepokan itu. Jika justru pada saat
keduanya pergi, datang pihak lain merampas batu itu,
maka ia akan menjadi sangat kecewa.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akan berada di padepokan itu sampai batas waktu
pasukan Lembah Warah kelompok berikutnya datang. Ia
akan minta agar kelompok yang pertama tidak
meninggalkan padepokan itu lebih dahulu. Kedua
kelompok yang ada di padepokan itu akan merupakan
perlindungan yang kuat atas batu hijau itu, sementara ia
akan pergi ke Singasari untuk mencari kemungkinan
mendapat seorang atau lebih pemahat yang bersedia
untuk waktu cukup lama tinggal di padepokan itu.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus menunggu untuk waktu hampir sebulan.
Sementara itu, maka orang-orang padepokan itu telah
menyadap pengalaman dari kehadiran sekelompok
prajurit dari Lemah Warah. Orang-orang padepokan itu
melihat betapa para prajurit itu melakukan tugasnya
dengan ikatan paugeran yang kuat. Namun sama sekali
tidak nampak tekanan yang membuat mereka kehilangan
pribadi mereka masing-masing.
Para pemimpin kelompok dari orang-orang
padepokan itu telah mencoba untuk mengetrapkan tata
cara kehidupan para prajurit itu bagi orang-orang
padepokan itu. Meskipun tidak sepenuhnya, namun
usaha itu ternyata membuat tatanan kehidupan di
padepokan itu menjadi semakin baik.
Ternyata bahwa dalam waktu-waktu menunggu,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk
membuat hubungan yang lebih rapat dengan orangorang
padukuhaan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berusaha untuk meyakinkan, bahwa orang-orang
padepokan itu tidak akan mengganggu orang-orang
padukuhan. "Sekelompok prajurit Lemah Warah akan
mengambil tindakan jika mereka sekali saja mengganggu
orang-orang padepokan," berkata Mahisa Murti. Tetapi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mengatakan
bahwa sekelompok prajurit Lemah Warah telah berada di
padepokan itu. Namun dalam pada itu, kehadiran Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat di padukuhan, serta orang-orang
padepokan yang kadang-kadang juga datang ke
padukuhan untuk membeli kebutuhan sehari-hari yang
tidak dapat dihasilkan oleh padepokan itu sendiri, tidak
terlepas dari pengamatan beberapa pihak. Tiga orang
yang selalu mengamati padepokan itu telah mengetahui
hubungan antara isi padepokan itu dengan orang-orang
padukuhan. Mereka mengetahui orang-orang padepokan
yang kadang-kadang berada di pasar.
Tetapi di samping ketiga orang itu, ternyata dua
orang dari pihak lain telah mengamati pula kehidupan
orang-orang padepokan. Bahkan mereka berusaha untuk
mendapat beberapa keterangan tentang padepokan itu.
Tetapi tidak banyak yang dapat disadap oleh orang-orang
itu. Bahkan tidak sepatah kata pun yang terluncur dari
mulut orang-orang padepokan, bahwa sekelompok
prajurit Lemah Warah ada di dalam padepokan itu. Yang
justru terdengar adalah ungkapan yang bernada
merendah dari orang-orang padepokan. Kadang-kadang
justru mereka merasa seolah-olah cemas menghadapi
kekerasan yang dapat timbul.
Bahkan seorang penjual gula kelapa berkata,
"Sebenarnya salah mereka sendiri. Jika mereka tidak
bernafsu memiliki batu keramat itu, mereka tidak akan
selalu dicengkam oleh kecemasan. Agaknya kutuk dari
batu itu akan menimpa mereka."
Dengan demikian, maka orang-orang di luar
padepokan itu berkesimpulan bahwa kekuatan
padepokan itu tidak cukup besar untuk melindungi batu
yang berwarna kehijauan itu.
Dalam pada itu, hari pun berjalan demi hari. Pada
saatnya, maka sekelompok prajurit dari Lemah Warah
telah datang, untuk menggantikan prajurit Lemah Warah
yang berada di padepokan itu. Pada kesempatan itu,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengutarakan
niatnya kepada kedua orang Senapati yang memimpin
kedua kelompok pasukan Lemah Warah.
"Aku tidak akan terlalu lama," berkata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua Senopati itu ternyata tidak berkeberatan.
Terutama Senapati yang memimpin pasukan yang datang
lebih dahulu. Di padepokan itu ia justru merasa
beristirahat. Tidak banyak persoalan yang harus
diperhatikan selain berjaga-jaga.
Namun demikian Senapati itu berkata, "Tetapi kau
harus singgah di Lemah Warah, agar Akuwu tidak
menjadi cemas, karena pasukan ini tidak kembali pada
waktunya." Namun dalam pada itu, selagi Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berniat untuk meninggalkan padepokan,
mereka mendapat laporan bahwa ada beberapa orang
tengah mengamati padepokan itu.
Laporan itu sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.
Orang-orang padepokan itu sudah mengira bahwa
kemungkinan itu akan terjadi. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berharap bahwa jika terjadi juga, jangan
terlalu cepat. Mereka sebenarnya memerlukan waktu
untuk menghubungi seorang pemahat yang baik untuk
mengerjakan batu yang berwarna kehijauan itu.
Namun jika mereka memang sudah datang, maka
apa boleh buat. Dalam pada itu seorang penghuni padukuhan itu
telah datang kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
untuk memberitahukan bahwa orang itu telah melihat
kelainan yang terjadi di padukuhan.
"Kelainan apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Rasa-rasanya aku melihat orang-orang asing di
padukuhan itu. Meskipun aku tidak terlalu banyak
mengenal orang-orang padukuhan itu, tetapi rasarasanya
aku melihat orang-orang yang belum pernah aku
lihat berkeliaran di pasar. Bahkan aku merasa seseorang
telah mengikuti dan mengamati aku beberapa lama,"
jawab orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganggukangguk.
Dalam pada itu Mahisa Murti pun berkata,
"Tentu ada hubungannya dengan laporan tentang
beberapa orang yang mengamati padepokan ini. Jika
demikian maka tentu mereka berusaha mencari
keterangan lewat beberapa cara. Dengan mengamati
padepokan ini secara langsung, dan dengan cara mencari
keterangan di padukuhan, karena mereka tahu bahwa
ada di antara kita yang sering datang ke padukuhan
untuk beberapa macam keperluan."
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Agaknya memang demikian. Karena itu, maka
kemungkinan-kemungkinan yang lebih keras akan dapat
terjadi di padepokan ini."
"Kita akan siap menghadapinya dengan cara apa
pun juga," berkata Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka pemimpin padepokan itu
pun telah mengumpulkan para pemimpin kelompok dan
dua orang Senapati dari Lemah Warah.
Mereka telah mendengarkan keterangan yang
diberikan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk
menanggapi perkembangan terakhir dari usaha beberapa
perguruan yang ingin mengambil batu yang berwarna
kehijauan itu. "Nampaknya suasananya telah menjadi semakin
panas. Karena itu aku telah menunda kepergianku. Setiap
saat keadaan akan dapat meledak dan membakar
padepokan ini," berkata Mahisa Murti. "karena itu, kita
harus meningkatkan kewaspadaan. Meningkatkan
kesiagaan jika setiap saat, kita mengalami tekanan
kekerasan." Para pemimpin kelompok itu pun menganggukangguk.
Mereka pun telah mendengar dari beberapa
orang kawan mereka, tentang beberapa orang yang
dianggap asing yang berkeliaran di padukuhan terdekat.
Namun yang terakhir, beberapa orang penghuni
padepokan itu melihat beberapa orang yang berkeliaran
di sekitar lingkungan padepokan yang pernah disebut
padepokan Suriantal itu. Ternyata bahwa yang diperhitungkan oleh orangorang
padepokan itu tidak jauh dari kenyataan yang
terjadi. Dalam waktu dekat, kesibukan di luar padepokan
itu menjadi semakin jelas. Di padukuhan orang-orang
yang dianggap asing semakin banyak. Ketika seorang di
antara orang-orang padepokan itu membeli garam di
pasar, maka ia pun telah berbicara dengan penjual garam
itu. "Apakah kau juga melihat orang-orang yang
nampaknya tidak biasa berada di pasar ini?" bertanya
orang padepokan itu. "Ya," jawab penjual garam itu, "semula aku mengira
bahwa mereka adalah kawan-kawanmu, penghuni
padepokan yang belum kami kenal. Namun agaknya
menilik cara mereka berpakaian, agak berbeda dengan
cara kalian berpakaian."
"Hanya soal pakaian?" bertanya orang padepokan
itu. "Tidak. Juga tentang sikap dan tingkah laku," jawab
penjual garam itu. Orang padepokan itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian ia melihat seorang yang nampak asing berdiri
beberapa langkah dari padanya. Meskipun orang itu tidak
menghadap ke arahnya, tetapi orang padepokan itu
menyadari bahwa orang itu sedang mengawasinya.
"Kau kenal orang itu?" bertanya orang padepokan
itu kepada penjual garam.
Penjual garam itu menggeleng. Katanya, "Tidak.
Tetapi nampaknya memang menarik perhatian."
Orang padepokan itu kemudian berdesis, "orang itu
tentu mengikuti aku."
"Agaknya memang demikian," jawab penjual garam
itu. "tetapi salah kalian sendiri. Kenapa kalian telah
mengambil batu itu dan membawanya ke dalam
padepokan" Banyak orang yang menginginkan batu itu.
Tetapi batu keramat itu tidak pernah dapat beringsut dari
tempatnya. Bahkan beberapa orang korban memang
telah jatuh di antara mereka yang ingin memiliki batu itu.
Namun kini batu itu sudah berkisar dari tempatnya dan
berpindah ke padepokan kalian, agaknya orang-orang itu
berpikir bahwa batu itu sudah tidak keramat lagi. Dengan
demikian, maka nafsu mereka untuk memilikinya telah
timbul kembali." "Darimana kau tahu tentang batu itu?" bertanya
orang padepokan itu. "Semua orang tahu. Dua orang anak muda dari
padepokan itu telah menyewa kerbau-kerbau dari
padukuhan. Seekor diantaranya adalah kerbauku. Dan
aku pun telah mendengar apa yang terjadi di tempat batu
hijau itu bersemayam untuk waktu yang tidak terhitung
lamanya," berkata penjual garam itu.
"Bagaimana dengan kerbaumu sekarang?" bertanya
orang padepokan itu. "Nampaknya sehat-sehat saja," jawab penjual garam
itu. Namun kemudian katanya, "Apakah kau memerlukan
garam di tempat-tempat kecil lainnya?"
Orang padepokan itu pun kemudian telah membeli
beberapa bungkus garam untuk keperluan beberapa hari.
Sementara itu, orang yang mengikutinya masih saja
berdiri sambil bersilang tangan di dada.
Namun agaknya orang padepokan itu cukup cerdik
juga. Selagi orang itu memandang ke arah lain. ia justru
menyelinap di belakangnya dan menuju ke arah yang
sama sekali tidak diperhitungkannya.
Itulah sebabnya, maka orang yang mengikutinya itu
justru kehilangan, sehingga untuk beberapa saat ia
mencarinya. Tetapi sama sekali tidak diketemukannya
lagi. Namun dalam pada itu, maka di dalam padepokan
itu persiapan dan kesiagaan benar-benar sudah sampai
pada tataran tertinggi. Itulah sebabnya, maka ketika
seorang pengamat melihat sekelompok orang lewat tidak
terlalu jauh dari padepokan itu, telah melontarkan panah
sendaren. Orang-orang yang lewat itu terkejut. Panah
sendaren biasanya merupakan isyarat bagi sasarannya.
Tetapi yang dilakukan oleh pengamat itu sekedar
memberitahukan bahwa orang-orang yang lewat itu telah
dilihat oleh pengamat di padepokan.
Sekelompok orang yang lewat itu memang berhenti.
Mereka melihat seorang petugas di atas panggungan.
Namun yang seorang itu pun kemudian telah
bertambah menjadi dua, tiga, empat dan lima orang.
Orang-orang padepokan yang mendengar panah
sendaren itu pun telah keluar pula dengan senjata di
tangan masing-masing. "Aku baru memberi peringatan kepada mereka,"
berkata pengawal yang melepaskan anak panah sendaren
itu, "biarlah mereka mengetahui bahwa kami tidak
senang akan kehadiran mereka di sekitar padepokan ini."
Yang lain mengangguk-angguk. Mereka pun
kemudian melihat sekelompok orang itu memang
bergeser pergi menjauhi padepokan itu.
"Gila," geram salah seorang di antara orang-orang
yang berjalan tidak jauh dari padepokan itu, "isi
padepokan itu memang sekelompok orang-orang
sombong." "Mereka telah menghina kita," berkata yang lain.
"Besok kita akan datang lagi dan menghancurkan
mereka. Kita memerlukan batu itu," berkata seorang yang
nampaknya adalah pemimpin dari sekelompok orang itu.
Sebenarnyalah, orang-orang itu berniat untuk
mengambil batu yang berwarna kehijauan itu. Tetapi
mereka tahu, bahwa untuk membawa batu itu diperlukan
sepuluh ekor kerbau, tenaga manusia yang cukup banyak
dan waktu yang panjang. Tetapi pemimpin dari sekelompok orang itu
berpendirian, bahwa mereka harus menduduki
padepokan itu lebih dahulu baru memikirkan untuk
menyingkirkan batu yang kehijauan itu.
Dari orang-orangnya yang disebar di padukuhan,
maka diambil kesimpulan bahwa isi padepokan itu sama
sekali tidak mengerahkan orang-orang padukuhan pada
saat mereka mengambil batu itu. Karena itu, maka
mereka berkesimpulan bahwa orang-orang yang
mengambil batu itu sepenuhnya adalah orang-orang
padepokan." "Padepokan itu memang termasuk sebuah
padepokan yang besar," berkata seorang di antara para
pemimpinnya, "karena itu kita pun harus datang dengan
kekuatan yang besar pula."
"Jumlah kawan kita tidak akan sebanyak isi
padepokan itu," berkata salah seorang di antara mereka.
"Kita harus bekerja bersama dengan kelompok yang
lain. Jika kita bergabung maka kekuatan kita akan
melampaui kekuatan mereka. Kita akan dapat membagi
hasil kerja keras kita yang mungkin akan menelan
beberapa orang korban."
Yang lain mengangguk-angguk, sehingga mereka
pun kemudian sepakat untuk mengadakan hubungan
dengan kelompok lain yang juga mengingini batu yang
berwarna kehijauan itu. Demikianlah, maka tiga orang yang selalu
mengamati padepokan itu ternyata telah membuat
hubungan dengan dua orang lainnya yang juga pernah
melihat-lihat kegiatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ternyata dua kelompok itu memang memiliki
kepentingan yang sama, sementara mereka merasa
bahwa masing-masing kelompok itu tidak akan mampu
mengalahkan padepokan yang pernah dihancurkan oleh
kekuatan dari Lemah Warah.
Meskipun kelompok itu masing-masing mempunyai
pengikut yang mungkin tidak kalah jumlahnya dari
orang-orang padepokan itu, tetapi dengan demikian
mereka tidak akan yakin akan dapat memenangkan
pertempuran seandainya mereka harus menyerang dan
memecahkan dinding padepokan itu.
"Kita harus memberikan korban yang cukup banyak
pada saat-saat kita akan memasuki padepokan itu.
Karena itu, maka kita harus yakin akan kekuatan kita,"
berkata salah seorang dari ketiga orang pemimpin
kelompok yang satu kepada para pemimpin kelompok
yang lain. Demikianlah maka kedua gerombolan itu telah
menyusun satu kekuatan yang sangat besar menurut
perhitungan mereka. Dengan kekuatan itu mereka yakin,
bahwa mereka akan dapat menduduki padepokan
Suriantal dan menguasai batu yang berwarna kehijauan
itu. Tetapi satu hal yang tidak mereka perhitungkan,
bahwa sekelompok prajurit Lemah Warah yang akan
menggantikan sekelompok prajurit yang terdahulu telah
datang, sementara kelompok yang lama masih tetap
berada di padepokan itu. Demikianlah, dua gerombolan yang garang telah
menentukan rencana mereka. Sesuai dengan imbangan
kekuatan mereka, maka mereka akan membagi batu yang
berwarna kehijauan itu. "Orang-orang Suriantal telah menghilangkan
keramat yang melekat pada batu itu. Agaknya orangorang
Suriantal lah yang akan terkena kutuk dan tumpas
oleh kekuatan kita. Korban itu tentu sudah cukup,
sehingga kita akan memiliki batu itu dengan aman dan
tenang," berkata salah seorang pemimpin di antara
mereka. Para pemimpin dari kedua belah pihak nampaknya
sependapat bahwa mereka akan segera melakukan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rencana mereka. Semakin cepat agaknya akan semakin
baik. Kemudian mereka akan mencari jalan untuk
menyingkirkan batu itu dari padepokan Suriantal.
Mungkin dengan cara yang telah ditempuh oleh orangorang
padepokan itu. "Untuk sementara kita dapat menyimpan batu itu di
padepokan yang sebentar lagi akan kita duduki. Tetapi
untuk selanjutnya batu itu harus disingkirkan. Jika
Lemah Warah ikut campur, maka akibatnya akan
berbeda," berkata salah seorang diantara para pemimpin
itu. Yang lain mengangguk-angguk. Yang penting bagi
mereka adalah menguasai batu itu lebih dahulu. Setelah
itu mereka baru akan memikirkan, bagaimana mereka
menyingkirkan batu itu. "Jejak penyingkiran batu itu tentu akan mudah
ditelusuri," berkata seorang diantara mereka, "apalagi
dengan cara sebagaimana ditempuh oleh orang-orang
padepokan itu. "Kita tidak mempunyai pilihan lain," jawab
pemimpin yang lain, "tetapi setidak-tidaknya kita dapat
berusaha untuk menjauhkan batu itu dari padepokan,
serta berusaha untuk menghapuskan jejaknya. Jika
kemudian orang-orang Lemah Warah itu mencari kita
juga akhirnya, maka apaboleh buat."
Yang lain mengangguk-angguk. Memang tidak ada
pilihan lain. Bahkan seorang diantara mereka berkata,
"Lemah Warah terlalu jauh dari tempat ini. Jika para
pemimpin Lemah Warah tertarik pada batu itu, maka
sejak semula mereka tentu sudah berusaha untuk
mengambilnya dengan cara apa pun juga. Jika mereka
datang, tentu hanya untuk melindungi padepokan yang
pernah dihancurkannya itu."
Para pemimpin lainnya nampaknya memang
sependapat. Karena itu, maka yang penting bagi m ereka
adalah menduduki padepokan itu dan kemudian baru
memikirkan bagaimana mereka membawa batu itu pergi.
Dengan demikian, maka kedua gerombolan yang
sepakat untuk bekerja bersama itu, telah mempersiapkan
pasukan mereka untuk benar-benar memecahkan
dinding padepokan itu. Mereka menyadari bahwa untuk
melakukan hal itu, mereka akan memberikan korban
yang tidak sedikit. Tetapi dengan jumlah yang dua kali
lipat, maka mereka yakin akan dapat menghancurkan
padepokan itu dan menguasai batu yang berwarna
kehijauan itu. Batu yang tidak diketahui asal usulnya,
yang bahkan ada yang mengatakan bahwa batu itu jatuh
dari langit. Pada hari-hari yang sudah ditentukan, maka orangorang
dari kedua gerombolan itu telah berada di sekitar
padepokan. Mereka mengepung padepokan itu dari
segala penjuru. Kepungan itu merupakan lingkaran yang
rapat sehingga tidak mungkin seorang pun yang dapat
lolos. Demikian orang-orang itu muncul di saat matahari
terbit, maka para pengawas di panggungan segera
memberikan isyarat bahwa mereka telah melihat
pasukan yang kuat telah mengepung padepokan itu.
Beberapa orang pemimpin dari padepokan itu pun
kemudian telah naik pula keatas panggungan di sebelah
menyebelah regol, termasuk Mahisa Murti, Mahisa Pukat
dan dua orang Senapati dari kedua pasukan Lemah
Warah selain beberapa orang pemimpin kelompok dari
padukuhan itu. "Mereka benar-benar datang," berkata Mahisa
Murti. "Jumlah mereka cukup banyak," desis Mahisa
Pukat. "Memang cukup banyak," sahut Mahisa Murti,
"tetapi kita dalam kedudukan yang lebih baik. Apalagi
kebetulan sekali bahwa sekelompok pasukan Lemah
Warah sudah datang untuk menggantikan kedudukan
pasukan yang ternyata masih tetap tinggal di sini."
"Jumlah prajurit Lemah Warah tidak begitu banyak
dibanding dengan jumlah mereka," berkata Senapati
yang datang kemudian. "Tetapi jumlah seluruh isi padepokan ini cukup
memadai," berkata Mahisa Pukat. Lalu, "Seperti yang
dikatakan oleh Mahisa Murti, kedudukan kita lebih baik.
Kita akan mengurangi jumlah lawan kita pada saat
mereka berusaha untuk memasuki padepokan ini."
Para pemimpin di padepokan itu serta kedua orang
Senapati prajurit Lemah Warah mengangguk-angguk.
Mereka memang harus memanfaatkan saat-saat yang
menguntungkan itu. Karena itu, maka Mahisa Murti pun
telah memerintahkan untuk dengan cepat
mempersiapkan busur dan anak panah.
"Agaknya mereka belum akan menyerang hari ini,"
berkata Mahisa Murti, "menilik susunan pasukan
mereka. Tetapi tidak ada salahnya jika kita sudah siap
dengan busur dan anak panah itu."
Sebenarnyalah dalam waktu yang singkat, orangorang
yang sudah diatur sebelumnya untuk menahan
arus pasukan lawan dengan busur dan anak panah telah
bersiap. Tetapi Mahisa Murti masih belum
memerintahkan mereka untuk naik ke panggungan di
sebelah menyebelah pintu gerbang dan di sudut-sudut
dinding padepokan. Seperti yang diperhitungkan oleh Mahisa Murti,
orang-orang yang mengepung padepokan itu masih
belum siap untuk menyerang pada hari itu. Namun
mereka agaknya masih ingin melihat dengan lebih pasti,
sasaran yang akan mereka kuasai kemudian.
Karena itulah, maka dengan dada tengadah, para
pemimpin mereka telah berjalan mengelilingi padepokan
itu pada jarak yang cukup dekat, seolah-olah mereka
tidak menghiraukan para penjaga yang berada di
panggungan. Mereka berjalan dengan langkah yang pasti
sambil mengamati dinding padepokan itu.
Sikap itu memang telah menggelitik para penjaga
dipadepokan itu. Karena itulah, maka para penjaga itu
pun seolah-olah tidak melihat mereka lewat. Bahkan dua
orang dengan serta merta telah duduk sambil
membelakangi mereka, seolah-olah tidak ada seorang
pun yang nampak, apalagi dalam keadaan berbahaya.
Sikap itu memang telah menyinggung perasaan
orang-orang yang mengelilingi padepokan itu. Karena
itulah maka seorang diantara mereka berteriak, "He,
apakah kalian menjadi ketakutan melihat kami lewat."
Dua orang penjaga itu berpaling. Namun mereka
hanya tertawa saja tanpa menjawab teriakan itu.
"Setan," orang yang lewat itu berteriak pula, "aku
bunuh kau besok." Seorang diantara penjaga itu justru melambaikan
tangannya tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Keduanya masih saja tertawa seolah-olah semua yang
dihadapi itu sekedar permainan saja.
Orang-orang yang mengelilingi padepokan itu
melanjutkan langkah mereka. Beberapa diantara mereka
mengumpat. Tetapi yang lain berkata, "Mereka pun
merasa tersinggung melihat sikap kita. Seolah-olah kita
sedang berjalan di pematang sawah kita untuk melihatlihat
apakah padi sudah cukup tua untuk dipotong."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Namun di luar
sadar mereka, maka langkah mereka pun menjadi
semakin cepat. Namun, demikian mereka selesai dengan
mengelilingi padepokan itu, maka mereka mulai
membicarakan penyerangan yang benar-benar akan
mereka lakukan. Para pemimpin sependapat, bahwa usaha
memasuki padepokan itu bukannya satu-satunya jalan
lewat pintu gerbang dengan memecahkan pintu gerbang
itu. "Sebagian dari kita harus memasuki padepokan itu
dengan meloncati dinding atau memecahkan pintu
butulan," berkata salah seorang diantara para pemimpin
dari kedua gerombolan yang akan memasuki padepokan
untuk menguasai batu yang berwarna kehijau-hijauan
itu. Dengan demikian, maka para pemimpin padepokan
itu pun telah memberikan beberapa petunjuk kepada
para pengikutnya, agar mereka mempersiapkan diri
untuk memasuki padepokan lewat segala jalan.
"Memang kita akan menugaskan sebagian dari
orang-orang kita untuk berusaha memecahkan pintu,"
berkata seorang diantara para pemimpin itu, "tetapi, kita
harus benar-benar bersiap dengan perlindungan yang
baik, karena orang-orang padepokan itu tentu akan
menghujani mereka yang berusaha memecahkan pintu
gerbang dengan anak panah."
Nampaknya memang tidak ada perbedaan pendapat
antara para pemimpin dari kedua gerombolan itu.
Banyak hal yang menurut perhitungan mereka ternyata
harus diatasi dengan cara yang sesuai menurut pendapat
para pemimpin dari kedua belah pihak.
Namun dalam pada itu, selagi mereka
memperbincangkan rencana mereka itu, maka telah
dikejutkan kehadiran seorang yang sudah menginjak
hari-hari tuanya. Namun masih nampak tegap dan kekar.
Rambutnya nampak hitam seperti jambangnya.
Ketiga orang pemimpin dari salah satu gerombolan
yang bergabung itu tiba-tiba saja bergumam dengan serta
merta, "Guru." Orang yang berkumis dan berjambang tebal itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Aku telah mendengar
rencanamu." "Silahkan guru," salah seorang dari ketiga orang
muridnya itu mempersilahkan.
Kepada kedua orang pemimpin dari gerombolan
yang lain salah seorang dari ketiga murid orang
berjambang itu memperkenalkan, "Guru kami. Empu
Sepada." Kedua orang pemimpin dari gerombolan yang lain
itu pun mengangguk. Seorang diantara mereka berkata,
"Nama itu sudah pernah kami dengar. Mungkin Empu
mengenal pula guru kami."
"Siapa nama guru kalian?" bertanya Empu Sepada.
"Ki Buyut Bapang," jawab seorang dari kedua orang
itu. "Ooo," desis Empu Sepada," jadi kau adalah murid
Ki Buyut Bapang yang terkenal itu" Adalah kebetulan
sekali kalian bekerja sama dengan muridku. Aku
mengenal Ki Buyut Bapang, meskipun tidak terlalu rapat.
Tetapi apakah gurumu tidak akan datang kemari?"
"Kami tidak m ohon kepada Ki Buyut Bapang untuk
datang," jawab orang itu.
"Ketiga muridku ini juga tidak minta kepadaku,"
berkata Empu Sepada, "tetapi demikian aku mendengar
rencananya untuk menguasai batu itu, maka aku telah
datang menemuinya." "Tetapi agaknya guru tidak datang," jawab orang
itu, "mungkin guru tidak mengetahui rencana kami."
"Menurut pendapatku, sebaiknya kau panggil
gurumu," berkata Empu Sepada, "persoalan yang kalian
hadapi adalah persoalan yang gawat. Jika seseorang
mampu memindahkan batu itu, maka orang itu tentu
bukan orang kebanyakan. Karena itu kita harus berhatihati
menghadapinya. Aku pun akan memberi peringatan
kepada murid-muridku untuk tidak melakukan
kesalahan seperti ini. Meskipun ia mempunyai pengikut
yang cukup, apalagi bergabung dengan kalian, namun
belum tentu kalian akan berhasil."
"Tetapi kami memerlukan waktu paling sedikit dua
hari untuk memanggil guru. Itu pun jika guru bersedia,"
jawab salah seorang dari murid Ki Buyut itu.
"Aku tahu, bahwa kedudukan gurumu berbeda
dengan kedudukanku. Aku adalah orang yang tidak
terikat oleh kewajiban tertentu, sementara gurumu
adalah seorang Buyut yang memerintah di satu
lingkungan. Tetapi sebaiknya kalian mencoba. Katakan,
bahwa Empu Sepada ada di padepokan Suriantal."
"Dan kita akan kehilangan waktu lagi," jawab
seorang yang lain. "Tidak apa-apa. Mundur dua atau tiga hari akan
lebih baik jika kita mempunyai kepastian daripada kita
lakukan hari ini tetapi gagal," berkata Empu Sepada.
Kedua orang pemimpin gerombolan itu menjadi
ragu-ragu. Namun Empu Sepada mendesaknya agar
mereka menghubungi guru mereka. Dengan demikian
maka mereka akan menjadi yakin, bahwa usaha mereka
akan berhasil. Kedua orang itu memang ragu-ragu. Gurunya
adalah seorang Buyut yang memerintah satu lingkungan
yang luas. Memang beberapa orang yang ada di dalam
gerombolannya adalah orang-orang padukuhan yang
termasuk daerah yang dipimpin oleh gurunya. Namun
apakah gurunya akan bersedia langsung turun ke medan
itulah yang masih dipertanyakan.
Namun Empu Sepada berkata, "Kalian dapat
mencoba." Akhirnya kedua orang itu setuju. Mereka akan
menghubungi gurunya dan minta agar gurunya datang ke
padepokan Suriantal untuk mengambil batu yang
berwarna kehijauan. Sebenarnyalah bahwa salah seorang
yang menganjurkan untuk mengambil batu itu adalah
memang gurunya itu. Demikianlah, di hari berikutnya, sebelum matahari
terbit, keduanya telah berangkat menuju ke Kabuyutan
Bapang. Mereka harus mencapai Kabuyutan itu hari itu


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga meskipun mungkin mereka akan menyelesaikan
perjalanan mereka menjelang tengah malam.
Ternyata keduanya tidak menemui hambatan apa
pun di perjalanan. Mereka sampai di Kabuyutan Bapang
setelah malam turun, meskipun tidak sampai dekat
tengah malam. Keduanya seakan-akan tidak beristirahat
di perjalanan selain berhenti untuk makan di sebuah
kedai dan sejenak duduk-duduk sambil minum minuman
hangat. Ki Buyut Bapang memang terkejut. Ia memang
sudah mendengar usaha kedua muridnya untuk
menguasai batu yang berwarna kehijauan yang menurut
banyak orang, adalah batu yang jatuh dari langit itu.
Kepada gurunya, kedua muridnya berkata langsung
tentang pesan Empu Sepada, agar gurunya bersedia hadir
di padepokan Suriantal. Ki Buyut itu tersenyum, Katanya, "Aku tahu. Empu
Sepada hanya ingin melakukannya beramai-ramai. Ia
dapat berbuat apa saja karena ia tidak mempunyai
tanggung jawab sebagaimana tanggung jawabku atas
Kabuyutan ini." "Tetapi Empu berpesan dengan sangat, agar guru
bersedia datang," berkata muridnya.
"Aku mengenal Empu Sepada," jawab Ki Buyut,
sejenak ia merenung. Namun kemudian katanya,
"Baiklah. Aku akan datang. Besok kita pergi bersama.
Tetapi aku tidak dapat terlalu lama berada di padepokan
Suriantal. Aku harus kembali di tengah-tengah orang
Kabuyutan ini agar persoalan Kabuyutan ini dengan
orang luar tidak menyulitkan kedudukan Kabuyutan ini."
Demikianlah, maka Ki Buyut pun telah
mempersiapkan dirinya untuk meninggalkan Kabuyutan
itu beberapa lama. Malam itu juga dipanggilnya beberapa
orang bebahu yang sebagian terbesar adalah orang-orang
yang berpikiran sejalan dengan Ki Buyut itu sendiri.
Sehingga sebenarnyalah bahwa seisi Kabuyutan itu
sebagian besar adalah orang-orang yang mengikuti jejak
Ki Buyut. Selain mengerjakan sawah ladang mereka
sebagaimana kebiasaan orang-orang lain di lingkungan
sebuah Kabuyutan, namun ternyata bahwa Ki Buyut dan
terutama murid-muridnya adalah orang yang kadangkadang
melakukan tindakan tercela.
Tetapi karena hal itu dilakukan dengan tertib, maka
persoalannya memang tidak banyak diketahui oleh orang
lain. Ternyata Ki Buyut tidak menunda
keberangkatannya pada hari-hari berikutnya. Malam itu
kedua muridnya diperintahkannya untuk segera
beristirahat dan tidur nyenyak. Besok pagi-pagi sekali
mereka akan berangkat kembali ke padepokan Suriantal.
Ternyata kedua muridnya adalah orang-orang yang
memiliki ketahanan tubuh yang sangat tinggi. Ketika
pagi-pagi mereka harus bangun dan berjalan kembali ke
padepokan Suriantal, mereka tidak merasa terlalu letih.
Mereka berjalan dengan langkah yang tetap sebagaimana
mereka menempuh perjalanan sebaliknya sehari
sebelumnya. Seperti yang ditempuh di hari sebelumnya, maka
mereka sampai di padepokan Suriantal menjelang tengah
malam. Mereka disambut oleh Empu Sepada sebagai
kawan yang telah lama tidak bertemu. Terasa
kegembiraan di hati kedua orang tua itu. Dalam
pembicaraan yang singkat, keduanya telah menemukan
kesepakatan. Mereka berdua akan ikut serta memasuki
padepokan untuk memastikan, bahwa usaha mereka
akan berhasil. Dalam pada itu, orang-orang padepokan Suriantal
yang menjadi gelisah. Ternyata padepokannya yang telah
dikepung untuk dua hari itu, masih belum disentuh sama
sekali. Para penjaga memang melihat orang-orang yang
hilir mudik. Tetapi mereka tidak menunjukkan tandatanda
untuk menyerang. Tetapi Mahisa Murti agaknya melihat satu gejala
yang dapat memberinya sedikit arah perhitungan.
Dengan ragu ia berkata kepada Mahisa Pukat, "Agaknya
masih ada yang mereka tunggu."
"Maksudmu, saat yang baik atau perhitungan hari?"
bertanya Mahisa Pukat. "Bukan. Tetapi agaknya mereka menunggu satu
atau sekelompok orang," jawab Mahisa Murti, "mereka
masih belum yakin bahwa mereka akan berhasil
memecahkan padepokan ini."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya,
"Perlawanan kita tentu akan sangat berat. Kita harus
mampu memanfaatkan saat-saat mereka berusaha
memasuki dinding padepokan."
"Agaknya jumlah busur, anak panah dan lembing
cukup banyak untuk menahan mereka dan mengurangi
kekuatan mereka," jawab Mahisa Murti.
"Aku sependapat. Ketrampilan mereka pun
nampaknya bertambah-tambah pula. Sementara itu telah
disediakan pula obor-obor yang mungkin dapat
dipergunakan menahan arus mereka."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Tetapi ia masih
memperingatkan, "Hati-hatilah dengan obor-obor itu.
Api obor itu memang mungkin akan dapat menahan
gerak mereka, namun dapat juga menimbulkan niat di
hati mereka untuk membakar dinding halaman dan
apalagi barak-barak yang ada di padepokan itu."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Kita akan mengutamakan
penggunaan busur dan anak panah serta lembinglembing
yang sudah dipersiapkan di atas panggungan."
Sebenarnyalah semua persiapan memang sudah
dilakukan. Bahkan orang-orang padepokan itu hampir
tidak sabar menunggu. Tetapi Mahisa Murti berkata, "Kejemuan itu
merupakan salah satu diantara senjata yang
dipergunakan oleh orang-orang yang mengepung
padepokan ini. Mereka memang menunggu agar kita
kehabisan kesabaran dan tidak lagi dapat berpikir
bening." Namun sebenarnyalah orang-orang yang
mengepung itu sendiri menjadi hampir tidak sabar
menunggu. Mereka sudah terlalu lama berkeliaran di
sekitar padepokan itu tanpa berbuat apa-apa.
Demikianlah, akhirnya orang-orang di luar
padepokan itu-pun mulai bergerak. Namun bukan
seluruh pasukan bergerak memperpadat kepungan,
tetapi hanya beberapa orang diantara mereka yang
melangkah menuju pintu gerbang.
Para petugas di pintu gerbang pun segera
memberikan isyarat kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat,
pemimpin padepokan itu dan para Senapati dari Lemah
Warah. Sejenak kemudian mereka telah berdiri di
panggungan menunggu kehadiran beberapa orang
pemimpin dari gerombolan yang mengepung padepokan
itu. Beberapa langkah dari gerbang, orang-orang itu
berhenti, sementara para pemimpin padepokan itu telah
siap di panggungan. "Selamat bertemu Ki Sanak," berkata orang yang
bernama Empu Sepada itu, "perkenankanlah aku
memperkenalkan diri. Namaku Empu Sepada, sementara
sahabatku ini adalah Ki Buyut dari Bapang. Jika
berkenan kami ingin berkenalan dengan pemimpin
padepokan itu." Pemimpin padepokan itu menjadi ragu. Ia ingin
mendorong Mahisa Murti atau Mahisa Pukat untuk
mengaku sebagai pemimpin padepokan itu. Namun
Mahisa Murti sudah menggamitnya lebih dahulu.
Pemimpin padepokan itu terpaksa bergerak maju
dan menjawab, "Akulah pemimpin padepokan ini. Aku
terima salam perkenalan Ki Sanak. Tetapi
perkenankanlah aku bertanya, apakah artinya tingkah
laku Ki Sanak bersama para pengikut Ki Sanak itu."
Empu Sepada tersenyum. Katanya, "Aku kira kau
sudah mengetahuinya. Namun biarlah aku
mengucapkannya. " ia berhenti sejenak, lalu, "Ki Sanak.
Kalian telah melanggar hak orang-orang yang
mengagumi batu yang berwarna kehijauan itu, karena
batu itu telah kalian bawa memasuki padepokan ini."
"Ooo," jawab pemimpin padepokan itu, "siapakah
yang sebenarnya berhak atas batu itu" Kami atau kalian
atau siapa" Karena batu itu sudah bertahun-tahun
terletak di situ dan tidak ada orang yang berminat, maka
apa salahnya jika kami mengambilnya. Kami memang
tidak pernah berbicara tentang hak atas batu itu. Nah,
jika kalian menginginkannya, kenapa tidak kalian ambil
sebelumnya?" "Ki Sanak," berkata Ki Buyut, "batu itu memberikan
kesejahteraan kepada lingkungannya. Jika batu itu kau
ambil, maka lingkungan ini akan menjadi berubah.
Sungai-sungai akan kering dan tanaman-tanaman di
sekitarnya akan mati. Daerah ini akan menjadi gersang
dan tanah menjadi cengkar."
"Ooo," pemimpin padepokan itu menjawab,
"apakah begitu" Baiklah kita menunggu. Kita akan
membuktikannya bahwa yang kalian katakan itu tidak
benar. Batu itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Tetapi seandainya demikian, maka alangkah senangnya
kami, karena batu itu akan berpengaruh baik bagi
padepokan ini." "Kau terlalu mementingkan diri sendiri, Ki Sanak,"
berkata Empu Sepada, "sebaiknya batu itu kalian
serahkan saja kepada kami."
"Kalian akan mengambil batu itu?" bertanya
pemimpin padepokan itu. Empu Sepada berpaling ke arah Ki Buyut Bapang
sejenak. Namun kemudian katanya: "Ki Sanak. Maafkan
kami. Tetapi hal ini terpaksa kami katakan karena kami
memang tidak mempunyai jalan lain."
"Tentang apa?" bertanya pemimpin padepokan itu.
"Kami memang menghendaki batu itu. Tetapi kami
tidak ingin dengan tergesa-gesa membawanya pergi,"
jawab Empu Sepada. "Kalian titipkan kepada kami?" bertanya pemimpin
padepokan itu. "Juga tidak. Kami ingin batu itu beserta padepokan
ini sekaligus. Kami ingin mempersilahkan kalian
meninggalkan padepokan ini dan mencari tempat baru.
Satu hukuman yang paling ringan yang dapat kami
berikan kepada kalian, karena seharusnya kalian
mendapat hukuman yang jauh lebih berat," berkata
Empu Sepada. Pemimpin padepokan itu termangu-mangu. Sejenak
ia berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ketika keduanya mengangguk kecil maka pemimpin
padepokan itu pun berkata, "Ki Sanak. Kau tidak berhak
menghukum kami. Seandainya kami berbuat salah
dengan menyingkirkan batu itu, biarlah Akuwu Lemah
Warah atau Sri Baginda di Kediri atau bahkan Sri
Maharaja di Singasari menghukumku. Tetapi bukan kau."
"Persetan," Empu Sepada menjadi marah, "jadi
kalian telah mengecilkan arti Empu Sepada dan Ki Buyut
Bapang?" geram Empu Sepada.
"Daerah ini bukan daerah Kabuyutan Bapang.
Karena itu, maka aku tidak tunduk kepada Kabuyutan
Bapang. Sementara Ki Buyut yang memiliki lingkungan
ini sebagai daerahnya tidak mempersoalkannya," jawab
pemimpin padepokan itu. Kedua orang pemimpin itu benar-benar menjadi
marah. Dengan suara lantang Ki Buyut berkata, "Aku
adalah Buyut di Bapang. Sudah terbiasa perintahku
dilaksanakan oleh siapa pun juga. Tidak peduli apakah ia
orang dari daerah Kabuyutan Bapang atau bukan. Karena
itu, maka lakukan perintahku. Keluar dari padepokan ini
atau kami akan memaksa kalian keluar."
Jantung pemimpin padepokan itu memang menjadi
berdenyut semakin cepat. Namun kemudian jawabnya
memang menyakitkan hati Ki Buyut dan Empu Sepada,
katanya, "Nah, kenapa kau tidak berkata begitu sejak
semula. Sebenarnya kalian tidak usah berputar-putar.
Aku sudah tahu bahwa pasukan kalian sudah siap dan
pasukanku pun sudah siap sejak tiga hari yang lalu.
Karena itu, marilah, datanglah mendekat. Kalian akan
kami hancurkan di pintu gerbang ini."
Ki Buyut Bapang menggeram. Dengan nada berat ia
berkata, "Bagus. Aku hancurkan kalian. Padepokan ini
akan kami miliki dengan memusnahkan kalian
semuanya." "Marilah Ki Sanak. Kami sudah jemu menunggu,"
geram pemimpin padepokan itu pula.
Ki Buyut itu pun kemudian mengumpat kasar.
Bersama Empu Sepada mereka segera meninggalkan
gerbang padepokan itu. Hari itu mereka telah menyiapkan seluruh pasukan
mereka yang ada. Jumlah mereka memang lebih banyak
dari jumlah isi padepokan itu. Dengan demikian maka
mereka yakin akan dapat menghancurkan isi padepokan
itu. Tetapi hari itu mereka masih belum menyerang.
Pasukan yang mengepung padepokan itu masih
mempunyai kesempatan untuk beristirahat semalam
suntuk. Besok pagi-pagi mereka akan benar-benar
menyerang dan menghancurkan padepokan itu.
Namun orang-orang di padepokan itu pun telah
mempersiapkan diri. Busur dan anak panah serta
lembing telah disiapkan. Mereka tidak perlu


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghematnya jika pasukan itu datang. Mereka
mempunyai persediaan cukup banyak dan sudah terletak
di panggungan-panggungan di sekeliling halaman
padepokan itu. Bukan hanya di sebelah menyebelah pintu
gerbang. Di malam hari, penjagaan memang ditingkatkan.
Tetapi kedua belah pihak memberi kesempatan kepada
pasukan masing-masing untuk beristirahat sebanyakbanyaknya,
agar besok mereka dapat turun ke medan
dengan kekuatan penuh dan tidak mudah menjadi letih
seandainya mereka harus bertempur sehari penuh.
Menjelang dini hari, maka mereka yang bertugas
untuk menyediakan makan dan minum telah dahulu
bangun dan menyalakan perapian, makanan dan
minuman itu harus siap sebelum matahari terbit, karena
pada saat matahari terbit pasukan dari kedua belah pihak
tentu sudah bergerak. Sebenarnyalah, demikian pasukan di dalam
padepokan itu selesai, maka mereka telah mendengar
suara isyarat dari pasukan yang berada di sekitar
padepokan itu. Karena itu, maka mereka pun harus
segera mempersiapkan diri.
Para pemimpin kelompok segera dikumpulkan.
Mahisa Murti masih memberikan beberapa pesan.
Demikian juga para Senapati dari Lemah Warah telah
menjatuhkan beberapa macam perintah kepada para
pemimpin kelompok. Meskipun jumlah mereka hanya
sedikit, tetapi mereka harus menunjukkan sikap sebagai
prajurit Lemah Warah meskipun mereka tidak perlu
menunjukkan diri sebagai seorang prajurit.
Sementara itu, ketika terdengar isyarat yang kedua
di luar padepokan, maka para pemimpin kelompok itu
pun diperintahkan untuk segera kembali ke pasukan
masing-masing. Sejenak kemudian, maka para pemimpin kelompok
itu telah membawa pasukan masing-masing ke tempat
yang sudah ditentukan. Sementara itu para penjaga pun
telah memberikan isyarat, bahwa pasukan lawan telah
mulai bergerak. Tetapi pada saatnya, maka para prajurit dan isi
padepokan itu pun telah berada di atas panggungan,
sementara itu sekelompok prajurit yang lain tetap berada
di halaman, karena mereka harus menyambut pasukan
yang mungkin akan menyusup masuk setelah mereka
berhasil memecahkan pintu regol.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah
memperhitungkan, bahwa Empu Sepada dan Ki Buyut
Bapang itu akan dapat memecahkan pintu padepokan itu
meskipun pintu itu sudah diperbaiki dan diperkuat.
Selarak pintu itu pun telah diperbaharui dan beberapa
batang untuk penahan desakan dari luar. Tetapi kedua
orang pemimpin itu tentu akan memecahkan pintu itu
dengan cara mereka sendiri.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang
mengepung padepokan itu telah bergerak merapat.
Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan
dinding padepokan. Ternyata orang-orang itu pun telah
memperhitungkan bahwa mereka tentu akan diserang
oleh orang-orang padepokan itu dengan anak panah dan
lembing. Karena itu, maka sebagian di antara mereka pun
telah mempersiapkan perisai secukupnya, terutama yang
berada di paling depan. Demikianlah, ketika jarak orang-orang itu menjadi
semakin dekat dengan jarak jangkau anak panah, maka
orang-orang padepokan itu pun telah menyiapkan busur
dan anak panah mereka. Seperti yang diperhitungkan oleh orang-orang yang
mendekati padepokan itu, maka sejenak kemudian, maka
anak panah pun mulai berhamburan.
Orang-orang yang mendekat itu telah melindungi
diri mereka dengan perisai. Namun ternyata bahwa
orang-orang padepokan itu mempunyai cara tersendiri.
Mereka melontarkan anak panah tinggi-tinggi, sehingga
anak panah itu seolah-olah meluncur dari langit. Dengan
demikian mereka telah mengangkat perisai mereka
hampir di atas kepala. Namun ternyata bahwa padepokan itu telah
menyiapkan pembidik-pembidik terbaik. Mereka
mempergunakan busur dan anak panah yang khusus.
Dengan bidikan yang mapan dan terarah, maka mereka
telah menusuk dada orang-orang yang mendekat itu
langsung menyentuh jantung.
Dengan demikian, maka serangan anak panah oleh
orang-orang padepokan itu bukan sekedar untuk
menahan gerak maju. Tetapi satu-satu korban telah jatuh
diantara mereka yang telah menyerang itu.
Para pemimpin kelompok dari dua gerombolan
yang menyerang padepokan itu mengumpat. Tetapi
sebenarnyalah orang-orang padepokan itu telah
mempergunakan cara yang sulit untuk diatasi. Jika
mereka melindungi diri dari sasaran bidikan yang lurus
dari para pembidik, maka anak panah yang bagaikan
hujan itu tidak kurang berbahayanya. Seorang diantara
mereka yang dipatuk ubun-ubunnya, ternyata tidak
mampu melanjutkan langkahnya sampai ke dinding
padepokan sebagaimana mereka yang tertusuk
jantungnya. Orang-orang padepokan itu telah menebarkan anak
panah semakin banyak. Anak panah yang telah
memungut korban bukan hanya satu dua.
Namun pasukan lawan itu tidak menghentikan
gerak mereka. Mereka maju terus dengan meninggalkan
korban yang telah jatuh. Namun ketika mereka menjadi semakin dekat,
bukan saja anak panah yang menghujan dari langit.
Tetapi lembing-lembing pun mulai dilontarkan. Lembing
yang terbuat dari pring cendani berujung bedor besi.
Memang sederhana. Tetapi jika mengenai sasaran, maka
yang dikenai lembing itu pun akan mati.
Tetapi orang-orang yang mengepung padepokan itu
tidak menjadi gentar. Mereka yang tidak membawa
perisai berusaha menangkis setiap anak panah dan
lembing yang mengarah ke tubuhnya. Tetapi usaha itu
tidak selalu berhasil, sehingga semakin lama maka
mereka pun menjadi semakin berkurang.
Tetapi yang jatuh di tengah usaha mendekati
dinding padepokan itu memang tidak terhitung banyak.
Kekuatan mereka rasa-rasanya masih tetap utuh.
Sehingga karena itu, maka mereka sama sekali tidak
merasa cemas bahwa usaha mereka tidak akan berhasil.
Bahkan yang terjadi itu telah menumbuhkan
dendam di hati. Orang-orang itu seakan-akan telah
berjanji di dalam diri, bahwa jika mereka nanti
memasuki padepokan itu, maka setiap orang akan
dibantainya, sehingga orang yang terakhir.
"Aku tidak peduli," geram seorang pemimpin
kelompok, "dua orang di kelompokku telah terbunuh
hampir bersamaan ketika ujung anak panah menembus
dadanya." Dengan demikian maka kepungan itu semakin lama
menjadi semakin rapat. Pasukan induk yang dipimpin
langsung oleh Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang telah
mendekati pintu gerbang. Seperti di tempat-tempat lain,
maka perlawanan para penghuni padepokan itu pun telah
menghambat gerak maju mereka. Korban pun telah jatuh
pula satu-satu diantara mereka yang mendekati pintu
gerbang itu. Namun ternyata hal itu membuat Empu Sepada
marah. Demikian pula Ki Buyut Bapang. Ketika anak
panah itu masih saja menghujani orang-orangnya, maka
Empu Sepada itu pun telah mengetrapkan ilmunya untuk
melindungi orang-orangnya.
Sejenak ia bagaikan membeku. Namun kemudian,
tiba-tiba saja ia telah mengangkat kedua tangannya
merentang ke samping. Dengan gerak yang khusus, maka
ia telah memutar tangannya dan kemudian menjulurkan
kedua tangannya lurus ke depan.
Ternyata kekuatan yang besar telah berhembus dari
telapak tangannya yang menghadap ke arah pasukan dari
padepokan yang melontarkan anak panah mereka.
Dengan kekuatan angin, maka Empu Sepada itu
menyapu anak panah dan lembing sehingga terhembus
dan terlempar jauh dari sasaran.
"Luar biasa," geram pemimpin padepokan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerutkan
keningnya. Ternyata lawannya telah mempergunakan
ilmunya yang tinggi. Karena itu, maka kedua orang anak
muda itu pun telah bersiap-siap untuk berbuat yang
sama jika diperlukan. Dalam pada itu, selagi Empu Sepada menyapu
serangan anak panah yang tertuju kepada pasukannya,
maka Ki Buyut Bapang lebih memperhatikan pintu
gerbang padepokan itu sebagai sasaran.
Pada saat-saat anak panah dan lembing terhembus
oleh kekuatan ilmu Empu Sepada, maka Ki Buyut tibatiba
saja telah menghentakkan pula kekuatannya. Dengan
cepat ia meloncat ke pintu gerbang itu. Tangannya yang
sudah mulai berkeriput itu terayun dengan derasnya.
Kemudian menghantam daun pintu gerbang yang
tertutup diselarak itu. Yang terdengar adalah derak yang keras sekali.
Selarak yang besar itu pun tiba-tiba telah retak. Karena
itu, ketika Ki Buyut mengulangi lagi ayunan tangannya,
maka selarak itu pun benar-benar telah patah. Demikian
pula congkok-congkok kayu yang sekedar untuk
menambah kekuatan selarak yang telah patah itu.
Pada hantaman yang ketiga, maka pintu gerbang itu
berderak dan bukan saja terbuka, tetapi beberapa lembar
papan pintunya telah berpatahan dan terlepas.
Dengan demikian, maka pintu gerbang itu pun telah
terbuka. Sementara itu, Mahisa Pukat pun telah meloncat
turun dari panggungan di sisi pintu gerbang itu. Jika Ki
Buyut langsung memasuki arena dengan ilmu puncaknya
itu, maka Mahisa Pukat tidak akan tinggal diam.
Namun ternyata yang menghambur masuk ke
dalam padepokan adalah justru orang-orangnya. Mereka
berdesakan memasuki pintu gerbang tanpa
menghiraukan, apa yang ada di dalam pintu gerbang itu.
Ternyata demikian mereka menghambur, maka
telah menghambur pula anak panah dan lembing yang
dilontarkan oleh para prajurit Lemah Warah yang
memang sudah menunggu. Orang-orang itu memang terkejut. Namun
segalanya telah terjadi. Beberapa orang langsung jatuh
tersungkur. Mati. Bahkan terinjak oleh mereka yang ada
di belakangnya, yang terdorong pula oleh orang-orang
yang tidak sabar lagi menunggu di luar.
Beberapa orang yang berperisai segera mengambil
alih medan. Mereka menyibak kawan-kawannya dan
berdiri di paling depan. Sehingga dengan demikian, maka
korban pun dapat dikurangi.
Dalam pada itu, mereka yang berdiri di panggungan
pun tidak tinggal diam. Ketika pintu pecah, dan
gelombang orang-orang yang mengepung padepokan itu
meluncur masuk, maka mereka pun telah melempari
mereka dengan lembing. Sementara itu, serangan anak
panah yang mereka lontarkan keluar, bagaikan telah
dihembus angin karena kekuatan ilmu Empu Sepada.
Namun ketika kedua pasukan itu kemudian
berbenturan, maka Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang,
tidak dapat lagi mempergunakan ilmunya begitu saja.
Kedua pasukan telah bertempur dalam perang brubuh,
sehingga keduanya harus berhati-hati agar bukan justru
menyambar para pengikut mereka sendiri.
Sementara itu, pecahnya pintu gerbang, nampaknya
juga mempengaruhi pasukan yang mengepung
padepokan itu. Ketika mereka menyadari bahwa sebagian
dari kawan-kawan mereka telah memasuki padepokan
lewat pintu gerbang, maka mereka pun justru telah
kehilangan perhitungan. Mereka ingin dengan cepat
memasuki pula padepokan itu. Karena itu, maka mereka
pun telah mendesak maju dengan cepat tanpa
menghiraukan tubuh-tubuh yang kemudian tersungkur
jatuh di tanah. Orang-orang padepokan telah memanfaatkan
keadaan sebaik-baiknya. Ternyata seperti yang
diperhitungkan, untuk memasuki padepokan itu memang
harus ditaburkan korban yang tidak sedikit jumlahnya.
Namun demikian, betapa banyak korban jatuh,
akhirnya orang-orang itu berhasil memanjat dinding
padepokan dan meloncat-masuk.
Seperti yang diperintahkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat serta petunjuk dari para Senapati dan
prajurit Lemah Warah, maka jika orang-orang yang
mengepung padepokan itu mulai memanjat naik, maka
para pengawal harus segera berloncatan turun dan
menarik diri. Karena demikian orang pertama dari
mereka yang mengepung itu meloncat turun, maka
orang-orang padepokan yang sudah dipersiapkan akan
menyerang mereka dengan anak panah dan lembing.
Namun demikian, sejenak kemudian pertempuran
pun telah terjadi di seluruh sudut padepokan. Seperti
yang pernah terjadi sebelumnya, maka pertempuran itu
pun menjadi semakin seru.
Meskipun orang-orang padepokan itu berhasil
mengurangi jumlah lawan cukup banyak, namun jumlah
mereka tetap lebih banyak dari orang-orang padepokan
itu.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun di dalam padepokan itu terdapat prajurit
Lemah Warah yang tangguh tanggon. Prajurit yang telah
ditempa bukan saja oleh latihan-latihan yang berat,
tetapi juga oleh pengalaman yang cukup luas, sehingga
dengan demikian maka prajurit Lemah Warah benarbenar
merupakan prajurit yang pilih tanding.
Karena itu, ketika terjadi benturan kekuatan, orangorang
yang menyerang padepokan itu terkejut. Mereka
ternyata membentur sekelompok orang yang memiliki
ilmu yang mapan serta kerja sama yang tertib.
Untuk beberapa saat, Empu Sepada dan Ki Buyut
Bapang hanya menyaksikan saja pertempuran yang
terjadi. Mereka yang merasa bahwa jumlah orangorangnya
lebih banyak, akan mampu dengan cepat
menguasai padepokan itu. Namun ternyata bahwa yang terjadi agak berbeda
dengan perhitungan itu. Ternyata tidak terlalu mudah
untuk menguasai padepokan itu. Ada kekuatan yang sulit
untuk ditembus oleh orang-orang mereka.
Tetapi Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang adalah
dua orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Itulah
sebabnya maka mereka-pun segera mengetahui, menilik
sikap dan cara mereka bertempur, bahwa sebagian dari
isi padepokan itu adalah prajurit.
Karena itu, maka Empu Sepada pun tiba-tiba telah
berteriak, "Hati-hatilah. Ternyata kalian telah dijebak
oleh sekelompok prajurit. Tetapi agaknya mereka tidak
sempat minta bantuan, sehingga jumlah mereka tidak
begitu banyak." Meskipun tidak begitu banyak, namun ternyata para
pengikut Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang harus
berjuang dengan sekuat kemampuan mereka untuk dapat
menekan orang-orang padepokan itu.
Tetapi orang-orang padepokan itu bertempur
seperti banteng ketaton. Mereka telah berjuang dengan
segenap kemampuan mereka untuk mempertahankan
padepokan itu. Apalagi mereka telah berusaha untuk
waktu yang meskipun terbatas, namun dengan langkahlangkah
mapan meningkatkan ilmu mereka dalam olah
kanuragan. Itulah sebabnya meskipun jumlah mereka
lebih kecil, tetapi mereka mampu bertahan.
Dengan demikian maka pertempuran pun
berlangsung dengan sengitnya. Meskipun jumlahnya
tidak seimbang, tetapi ternyata orang-orang yang
menyerang padepokan itu tidak mampu dengan serta
merta menghancurkan penghuninya sebagaimana
mereka inginkan. Mereka tidak dapat dengan serta merta
membantai isi padepokan itu untuk membalaskan
dendam sakit hati atas kematian kawan-kawan mereka
pada saat mereka menyerang dan berusaha memasuki
padepokan itu. Bahkan yang terjadi, korban pun telah bertambahtambah.
Semakin lama semakin banyak.
Namun bukan berarti bahwa penghuni padepokan
itu tidak memberikan pengorbanan pula. Orang-orang
padepokan itu, bahkan prajurit Lemah Warah pun satu
demi satu gugur dan jatuh di tanah setelah berjuang
dengan segenap kemampuan mereka mempertahankan
padepokan itu dari ketamakan para pengikut Empu
Sepada dan Ki Buyut Bapang.
Demikianlah pertempuran itu pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Ternyata bahwa kemampuan
orang-orang padepokan itu, apalagi para prajurit Lemah
Warah, berada di atas kemampuan para pengikut Empu
Sepada dan Ki Buyut Bapang.
Karena itu, maka korban pun jatuh lebih banyak
dari para penyerangnya daripada mereka yang
mempertahankan. Apalagi jika dihitung sejak mereka
mendekati dinding padepokan.
Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang yang
menyaksikan pertempuran itu menjadi gelisah. Ternyata
yang terjadi itu tidak seperti yang diduganya. Keduanya
menyangka bahwa dalam waktu dekat mereka akan
segera menguasai padepokan itu. Membunuh orangorang
yang melawan dan kemudian pada saatnya
mengambil batu yang kehijauan itu.
Namun ternyata rencana itu tidak mudah
dilakukan. Orang-orangnya telah tertahan oleh
kemampuan para penghuni padepokan itu meskipun
jumlah mereka lebih sedikit. Karena itu, setiap kali
keduanya memperingatkan orang-orangnya, bahwa
mereka memang harus berhati-hati memilih lawan,
karena di antara mereka terdapat beberapa orang
prajurit. "Kalian harus melawan setiap prajurit
berpasangan," berkata Empu Sepada.
Namun ternyata bahwa mereka pun harus melawan
setiap orang yang bukan prajurit juga berpasangan.
Karena itulah, maka Empu Sepada dan Ki Buyut
Bapang telah bersepakat untuk ikut langsung dalam
pertempuran itu. Dengan suara lantang Ki Buyut berkata,
"Bukan salahku jika akan terjadi kematian yang tidak
terhitung. Kalian telah memaksa aku untuk terjun ke
medan. Karena itu maka yang akan terjadi adalah
pembantaian sebagaimana aku membabat batang
ilalang." Orang-orang padepokan itu menjadi berdebardebar.
Apalagi mereka yang mengetahui bahwa Ki Buyut
itu telah mampu memecahkan pintu gerbang padepokan
itu, sementara Empu Sepada mampu menyapu serangan
anak panah seperti angin menyapu dedaunan kering.
Namun ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak mau terlambat. Jika mereka membiarkan kedua
orang berilmu tinggi itu bertindak atas para penghuni
padepokan itu, maka yang terjadi tentu benar-benar
sebagaimana dikatakan. Isi padepokan itu akan
dibabatnya habis dengan ilmu mereka yang tinggi.
Karena itu, ketika Empu Sepada dan Ki Buyut
Bapang siap untuk bertindak lebih jauh, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah mendekati mereka.
Dengan lantang pula Mahisa Murti bertanya, "Apa
yang akan kalian lakukan Ki Sanak?"
Empu Sepada dan Ki Buyut Bapang berpaling
kepada kedua orang anak muda itu. Keduanya tidak
terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit itu.
Bahkan dengan sengaja mendatanginya.
"Apa yang akan kalian lakukan anak-anak muda,"
bertanya Empu Sepada. Mahisa Murti lah yang menjawab, "Ki Sanak. Kami
tidak akan dapat membiarkan kalian membantai isi
padepokan ini tanpa berbuat sesuatu."
Ki Buyut lah yang kemudian mengangguk-angguk
sambil berkata, "Agaknya kalianlah yang dikatakan
sebagai anak-anak muda yang mengagumkan, yang
memimpin pengambilan batu itu dari tempatnya dan
membawanya kemari. Dengan demikian, maka dapat
dipastikan bahwa kalian adalah anak-anak muda yang
merasa berilmu tinggi dan mampu menghadapi kami.
Memang mungkin kalian adalah anak-anak muda yang
kebal bisa, bahkan mampu melepaskan diri dari kutuk
batu kehijauan itu atas tingkah laku kalian. Namun
ketahuilah, bahwa kedatangan kami termasuk dari
rangkaian kutuk itu sendiri. Kalian akan mati."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "apapun yang
kau, katakan. Tetapi kami berdua berniat mencegah
kalian ikut melibatkan diri secara langsung dalam arena
pertempuran ini. Kalian telah menunjukkan betapa tinggi
ilmu kalian dengan menghembus anak panah yang
menghujani para pengikut kalian seperti menghembus
lembaran-lembaran kapuk randu. Sementara itu, pintu
gerbang itu telah kalian pecahkan seperti mencabik
selembar daun pisang. Karena itu jika kalian melibatkan
diri, maka akibatnya dapat dibayangkan bagi seisi
padepokan ini." "Aku mengerti," berkata Empu Sepada, "kalian akan
berusaha menghadapi kami. Sayang, kalian terlalu
merasa diri kalian besar hanya kalian berhasil
memindahkan batu itu."
"Apa salahnya jika kami mencobanya. Murid-murid
kalian telah mendapat lawannya masing-masing.
Meskipun ada di-antara para penghuni padepokan ini
harus bertempur berpasangan. Tetapi ternyata para
pengikutmu yang lain sama sekali tidak berarti apa-apa
di sini. Kesalahan dan tanggung jawab atas kematian
yang tidak terhitung ini terletak pada kalian berdua."
berkata Mahisa Pukat. Empu Sepada menggeram. Katanya, "Baiklah. Jika
demikian, maka kalian berdualah yang memang harus
dimusnahkan lebih dahulu, maka baru kemudian
menunjukkan bangkai kalian kepada isi padepokan ini.
Apakah mereka akan bertempur terus atau akan
menyerah." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
telah melangkah saling menjauhi. Mereka telah bersiap
menghadapi kedua orang yang berilmu tinggi itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah
mengamati pertempuran di seluruh arena itu,
menganggap bahwa seisi padepokan bersama dengan dua
kelompok prajurit Lemah Warah akan mampu mengatasi
para pengikut kedua orang berilmu tinggi itu.
Demikianlah sejenak kemudian Mahisa Murti telah
berdiri berhadapan dengan Empu Sepada, sedangkan
Mahisa Pukat bersiap untuk melawan Ki Buyut Bapang.
Diantara perang yang menelan semua sudut
padepokan itu, Empu Sepada dan Mahisa Murti telah
bersiap untuk bertempur. Sementara itu Mahisa Pukat
pun telah bergeser untuk mengambil tempat yang
memadai. Di tengah-tengah padepokan itu, sekelompok
prajurit Lemah Warah dan beberapa orang padepokan itu
tengah bertempur dengan gigihnya dan di sekitar batu
yang berwarna kehijauan itu.
Namun dalam pada itu, karena jumlah orang-orang
yang menyerang padepokan itu jumlahnya lebih banyak,
maka beberapa orang di antara mereka sempat
menyusup dan dengan sengaja merusak pagar di seputar
batu yang berwarna kehijauan itu. Pagar itu memang
bukan pagar yang terlalu kuat, sehingga dengan mudah
mereka merusak pagar itu.
Beberapa orang tanpa menghiraukan apa pun juga,
telah menghambur berlari mendekat dan dengan jantung
berdebaran mereka telah meraba batu yang berwarna
kehijauan itu. Batu yang menjadi rebutan dari beberapa
pihak. Namun tiba-tiba terdengar dua orang yang meraba
batu itu memekik keras-keras. Mereka dengan serta
merta telah berlari seperti orang gila. Namun beberapa
saat kemudian, mereka pun telah terjatuh dan bergulingguling
sambil berteriak-teriak. Para prajurit Lemah Warah dan penghuni
padepokan itu segera mengetahui, bahwa kedua orang itu
telah disengat oleh binatang-binatang yang berbisa tajam
yang ada di sela-sela retak batu-batu itu. Meskipun
sebagian telah berjatuhan ketika batu itu diseret dengan
sepuluh ekor kerbau, tetapi yang tersembunyi di celahcelah
retak batu itu masih tetap berpegangan erat-erat.
Jumlahnya masih tetap menegakkan bulu tengkuk.
Beberapa orang dengan tergesa-gesa telah berlarilari
ke arah kedua orang yang terjatuh itu. Namun ketika
mereka sedang berusaha untuk melihat apa yang terjadi,
seorang di antara mereka telah menjerit pula. Ternyata
beberapa ekor binatang berbisa itu telah melekat di
tangan kedua orang itu. Orang ketiga yang meraba tubuh
mereka, telah disengat pula oleh binatang yang melekat
di tangan kedua orang itu.
Yang lain pun segera bangkit dan bergeser surut
menjauhi kawan kawannya yang kemudian menjadi
pingsan. Namun agaknya memang tidak ada kesempatan
pada mereka untuk tetap hidup setelah mereka menjadi
korban bisa binatang berbisa di batu yang kehijauan itu.
Sementara itu pertempuran pun masih berlangsung
Pendekar Patung Emas 11 Roro Centil 06 Lima Wajah Seribu Dendam Raja Iblis Tanpa Tanding 1
^