Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 29

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 29


untuk mendengarkan laporan dari dua pihak yang baru saja
terlibat dalam permusuhan.
"Agaknya Akuwu Lemah Warah telah memberikan
laporan lebih dahulu," berkata para Senapati itu di dalam
hatinya. Namun dalam pada itu, maka Sri Baginda telah
memberikan kesempatan lebih dahulu kepada para utusan
dari Sangling untuk memberikan laporannya.
Dengan hati-hati Senapati y ang untuk sementara
memimpin Sangling itu pun telah bergeser setapak maju. Ialah
yang kemudian memberikan laporan selengkapnya tentang
peristiwa yang terjadi di padepokan Suriantal. Senapati itu
pun melaporkan sikap seorang yang mengaku guru dari
Akuwu Sangling itu sendiri, di saat orang -orang Sangling yang
telah kehilangan keluarganya di medan hampir saja marah dan
tidak terbendung lagi. Sri Baginda mendengarkan laporan itu dengan saksama.
Demikian juga orang-orang y ang hadir dalam pertemuan itu,
termasuk Akuwu Lemah Warah.
Namun ketika Senapati itu sampai pada akhir dari
laporannya ternyata Sri Baginda tidak menanggapinya sendiri.
Ternyata Sri Baginda telah bertanya kepada Akuwu Lemah
Warah, "Bagaimana menurut pendapatmu?"
Akuwu Lemah Warah itu pun meny embah sambil
menjawab, "Ampun Baginda. Menurut pengetahuan hamba
serta pendengaran atas laporan itu, maka hamba menganggap
bahwa Senapati itu telah m emberikan laporan dengan jujur.
Agaknya ia menanggapi peri stiwa y ang terjadi itu dengan
sikap y ang wajar, ia tidak semata-mata dipengaruhi oleh
perasaannya, tetapi penalarannya telah m enuntunnya untuk
menyusun laporan y ang sebenarnya."
Sri Baginda termangu-mangu. Sejenak dipandanginya
Senapati itu. Namun kemudian katanya kepada Senapati itu,
"Laporanmu dibenarkan."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu lagi. Untuk beberapa saat Senapati itu hanya menunduk saja,
sementara Sri Baginda telah m inta pendapat Pangeran Singa
Narpada apakah yang sebaiknya dilakukan atas Pakuwon
Sangling. "Kita wajib memikirkannya Sri Baginda," berkata
Pangeran Singa Narpada, "biarlah Sri Baginda menetapkan
untuk sementara Senapati itu memimpin Sangling sampai
saatnya akan ditunjuk orang lain yang akan menggantikan
kedudukan Akuwu Sangling y ang terbunuh itu."
Sri Baginda mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Baiklah. Aku telah menetapkan Senapati y ang untuk
sementara memimpin Pakuwon itu untuk tetap dalam
tugasnya sampai ada ketentuan lain."
Senapati itu menyembah sambil membungkuk hormat.
Katanya, "Hamba akan menjunjung segala titah Sri Baginda."
Dengan demikian, maka ketiga orang Senapati itu sudah
tidak mempunyai kepentingan lain dengan pertemuan itu.
Karena itu maka Sri Baginda pun kemudian telah
memperkenankan mereka meninggalkan paseban.
Ketika ketiga orang Senapati itu berpacu kembali ke
Sangling, seorang diantara mereka berkata, "Sri Baginda
nampaknya agak berbeda dengan Sri Baginda beberapa saat
yang lampau." "Kenapa?" bertanya kawannya.
"Nampaknya Sri Baginda tidak lagi bergairah dalam
pemerintahan. Segala sesuatunya tergantung kepada Pangeran
Singa Narpada," sahut yang pertama.
Kawannya merenung sejenak. Namun kemudian
katanya, "Nampaknya memang demikian. Mungkin sesuatu
telah t erjadi, atau barangkali hari ini Sri Baginda dalam
keadaan yang tidak begitu gembira."
Para Senapati itu m enarik nafas panjang. Namun tiba -
tiba saja seorang diantara mereka berkata, "Ternyata Akuwu
Lemah Warah benar-benar jujur terhadap kita."
"Ya," sahut kawannya, "ternyata kecemasan kita tidak
beralasan sama sekali."
"Aku malu terhadap dugaan-dugaan atas Akuwu Lemah
Warah sebelumnya," berkata yang seorang lagi.
"Sudahlah," berkata y ang pertama, " sekali lagi kita
mengucapkan terima kasih kepadanya."
Kawan-kawannya hanya mengangguk-angguk saja,
sementara kuda mereka berpacu semakin jauh dari Kota Raja.
Di paseban, Sri Baginda telah menugaskan kepada
Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada untuk
mengamati dengan saksama keadaan di Sangling. Merekalah
yang kemudian diminta untuk memberikan pendapatnya
tentang kemungkinan-kemungkinan y ang dapat diterapkan
bagi Pakuwon y ang kosong itu.
"Sri Baginda," mohon Pangeran Singa Narpada, "jika
demikian maka hamba akan mohon ijin untuk pergi ke
Sangling. Hamba ingin melihat sendiri, apa yang telah terjadi
dan apa pula yang kini berkembang di Sangling. Dengan
demikian maka pendapat hamba tidak sekedar berdasarkan
kepada dugaan atau barangkali perhitungan saja. T etapi juga
atas dasar penglihatan dan pengamatan hamba atas daerah
itu." Sri Baginda tcrmangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Tetapi kau jangan terlalu lama
meninggalkan Kediri."
Demikianlah, maka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu
Lemah Warah pun telah m ohon diri untuk melakukan tugas
mereka. Namun Pangeran Singa Narpada tidak akan langsung
ke Sangling. Tetapi lebih dahulu singgah di Lemah Warah.
Untuk melakukan tugasnya, maka Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Lemah Warah m emang harus berada di
Sangling untuk beberapa lama. Atau setidak-tidaknya berada
di dekat Pakuwon Sangling. Karena itu, m aka Akuwu Lemah
Warah memang harus meninggalkan Pakuwonnya lagi.
Tetapi Akuwu Lemah Warah telah m engajak Pangeran
Singa Narpada untuk singgah di padepokan Suriantal.
Di padepokan itu Pangeran Singa Narpada telah bertemu
lagi dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, y ang telah
beberapa lama tidak bertemu.
"Kami harus pergi ke Sangling," berkata Pangeran Singa
Narpada. "Bersama Akuwu Lemah Warah?" bertanya Mahisa
Murti. "Ya. Mengemban perintah Sri Baginda," jawab Pangeran
Singa Narpada. "Tetapi kami tidak akan lama berada di Sangling,"
berkata Akuwu Lemah Warah, "kami hanya akan mempelajari
keadaan. Kemudian kami harus mengusulkan kepada Sri
Baginda, apa yang sebaiknya dilakukan untuk kepentingan
Sangling." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksudnya.
Karena itu keduanya mengangguk-angguk. Bahkan hampir di
luar sadarnya Mahisa Pukat berdesis, "Untuk mencari
pengganti Akuwu?" "Antara lain," desis Akuwu Lemah Warah. "Namun kami
sa dari, bahwa tugas itu termasuk tugas yang sulit meskipun
kita tinggal menentukan pilihan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
mempersilahkan Pangeran Singa Narpada tinggal beberapa
lama di padepokan itu. Barangkali tugas itu dapat dilakukan
dari padepokan Suriantal.
"Mungkin kita akan dapat melihat lebih jelas dari tempat
yang dipisahkan oleh jarak daripada kita harus berada di
tempat itu," berkata Mahisa Murti.
"Kau benar Mahisa Murti," berkata Akuwu Lemah
Warah, "tetapi untuk beberapa saat, meskipun tidak lama,
kami memang harus berada di Pakuwon Sangling untuk
berbicara dengan beberapa orang di sana. Kami memang
memerlukan bahan-bahan yang cukup. Jika Akuwu Sangling
mempunyai anak, maka persoalannya akan berbeda. Ada calon
yang langsung dapat ditunjuk meskipun memang mungkin
terjadi, bahwa anak seorang Akuwu tidak disetujui oleh Sri
Baginda untuk menggantikan kedudukan ay ahnya. Tetapi
Akuwu tidak mempunyai anak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Agaknya keduanya memang harus pergi ke Sangling. Namun
dengan demikian, kapan keduanya akan pergi untuk m encari
seorang pemahat y ang pandai untuk dapat m embuat sebuah
patung dari batu yang berwarna kehijauan itu.
Akuwu Lemah Warah y ang melihat sikap kedua orang
anak muda itu tiba-tiba saja teringat janjinya, bahwa ia akan
menunggu padepokan itu dan memberi kesempatan kepada
kedua orang anak muda itu untuk pergi ke Singasari.
Akuwu Lemah Warah seakan-akan dapat m embaca isi
hati kedua orang anak itu sehingga ia pun berkata, "Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Tugasku tidak akan memakan waktu
yang berkepanjangan. Aku akan segera dapat menepati
janjiku." "Apa janji Akuwu?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Aku sudah menyatakan kesediaanku menunggui
padepokan ini untuk waktu tertentu Pangeran, sementara
keduanya pergi ke Singasari untuk m encari seorang pemahat
yang bersedia memahat batu y ang berwarna kehijauan itu."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"jadi kau memang sudah merencanakan untuk tinggal di sini
dalam jangka waktu tertentu?"
"Ya Pangeran" jawab Akuwu Lemah Warah.
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, "benar
kata Akuwu Lemah Warah, kami tidak akan lama berada di
Sangling." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Namun Pangeran Singa Narpada pun kemudian ingin melihat
batu itu dari dekat. Diantar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat maka
Pangeran Singa Narpada diiringi Akuwu Lemah Warah telah
melihat batu y ang berwarna kehijauan y ang berada di tengahtengah
padepokan Suriantal, dipagari dengan bambu yang
rapat. Ketika mereka berdiri di batas pagar bambu itu.
Pangeran Singa Narpada dapat melihat beberapa ekor
binatang yang berbisa berada di celah-celah retak bambu itu.
" Itulah sebabnya maka batu itu dianggap keramat,"
berkata Akuwu Lemah Warah, "siapa yang menyentuh batu itu
akan mati." Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Apalagi
ketika semakin lama seakan-akan binatang berbisa itu tumbuh
semakin banyak. "Apakah retak-retak batu itu tidak dalam?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Kami harap tidak," jawab Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, "dengan demikian maka bagian dalam dari batu itu
akan dapat dibuat sebuah patung yang cukup besar dari
sepasang naga di satu sarang."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Dalam waktu dekat, kau akan mendapatkan
kesempatan itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Hampir tidak terdengar Mahisa Murti berdesis, "Terima ka sih
Akuwu serta Pangeran Singa Narpada. Mudah-mudahan kami
berhasil." Akuwu Lemah Warah tersenyum. Katanya, "Kami akan
pergi ke Sangling secepatnya, agar kami pun dapat kembali
secepatnya pula." "Semoga tugas Akuwu serta Pangeran dapat
dilaksanakan dengan baik," sahut Mahisa Murti.
Demikianlah, maka seperti y ang direncanakan, Akuwu
Lemah Warah telah menyertai Pangeran Singa Narpada untuk
pergi ke Sangling. Mereka harus mampu melakukan
sebagaimana diperintahkan oleh Sri Baginda di Kediri.
Menemukan seseorang yang akan mampu m emegang kendali
pemerintahan di Sangling.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
diserahi pimpinan untuk sementara di padepokan Suriantal.
Termasuk para prajurit Lemah Warah yang m asih berada di
padepokan itu. Pasukan yang kuat dari Lemah Warah memang
masih tetap berada di padepokan itu sejak mereka datang
untuk membantu orang-orang padepokan itu menahan
serangan orang-orang Sangling.
Pa sukan itu akan tetap berada di padepokan itu sambil
menunggu tugas Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa
Narpada selesai. Namun ternyata memilih seorang di antara banyak
orang calon bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Karena
itu m aka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
tidak segera kembali ke Suriantal.
Tetapi agaknya memang tidak ada pekerjaan yang tidak
teratasi jika dilakukan dengan tekun dan tidak mengenal
putus-asa. Ternyata akhirnya Akuwu Lemah Warah dan
Pangeran Singa Narpada menemukan juga seorang yang
pantas untuk ditunjuk menjadi Akuwu Sangling.
Meskipun melalui pembicaraan-pembicaraan y ang
panjang, serta memberi dan menerima, bahkan kadangkadang
harus bertegang dengan beberapa orang Senapati dari
Sangling yang merasa menjadi tulang punggung kekuatan
Pakuwon itu, maka akhirnya mereka sepakat untuk menunjuk
seorang y ang sama sekali justru berasal dari luar Sangling
untuk menghindarkan perasaan iri dan saling berebut di
antara orang dalam. "Tetapi kami orang-orang Sangling harus yakin akan
kemampuannya," berkata Senapati dari pasukan ketiga.
"Jika kemampuannya tidak melampaui kemampuan
kami, maka tidak pantas ia memimpin kami," berkata Senapati
tertinggi di Sangling. "Kita akan membuktikannya kelak," berkata Pangeran
Singa Narpada, namun sekali lagi aku katakan, aku belum tahu
sikap orang y ang berkepentingan. Apakah ia bersedia atau
tidak, ia sekarang adalah Senapati besar di Singasari."
"Jadi bagaimana sebaiknya menurut Pangeran?"
bertanya Senapati Sangling itu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami akan m enghubunginya dan m inta agar orang itu
bersedia datang ke Sangling. Ia harus disetujui pula oleh Sri
Baginda di Kediri dan Senapati tertinggi di Singasari,
seandainya orang itu bersedia."
"Segala sesuatunya terserah kepada Akuwu, asal itu akan
membawa kebaikan atas Pakuwon Sangling ini," sahut
Senapati tertinggi di Sangling itu.
"Baiklah," berkata Akuwu Sangling, "Pangeran Singa
Narpada dan aku akan menemuinya dalam waktu dekat.
Kemudian kami akan datang lagi kemari untuk
memberitahukan hasil dari perjalanan kami."
"Tetapi siapakah nama orang itu?" bertanya para
Senapati Sangling. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
menjadi ragu-ragu. Bahkan kemudian Pangeran Singa
Narpada pun bertanya, "Apakah nama itu perlu sekali bagi
kalian?" "Tentu," jawab Senapati itu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Pangeran Singa
Narpada menjawab, "Namanya Mahisa Bungalan."
"Mahisa Bungalan," desis beberapa orang Senapati.
"Ya. Selain ia masih muda, mempunyai wawasan y ang
luas dan m emiliki kemampuan y ang cukup," jawab Pangeran
Singa Narpada. Para Senapati itu termangu -mangu. Tetapi memang
nampak pada wajah mereka, bahwa mereka akan dapat
menerima orang asing itu, asal orang itu mampu mengalahkan
semua Senapati yang ada di Sangling.
Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada y ang seakanakan
mengerti perasaan mereka pun berkata, "Jika orang itu
bersedia, akan dilakukan semacam say embara. Jika ternyata di
antara orang-orang Sangling dapat mengalahkan Mahisa
Bungalan dalam perang seorang lawan seorang, m aka orang
itulah yang akan menjadi Akuwu di Sangling."
"Baiklah Pangeran," berkata Senapati t ertinggi, "kami
akan menunggu." Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun
kemudian minta diri kepada orang-orang Sangling setelah
beberapa hari ia berada di Pakuwon itu untuk mendapat
bahan serta keinginan-keinginan orang-orang Sangling
tentang per sy aratan untuk diangkat menjadi seorang Akuwu.
Demikianlah maka Pangeran Singa Narpada dan Akuwu
Lemah Warah pun telah langsung menuju ke padepokan
Suriantal untuk menemui Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Kau sajalah y ang menyampaikannya kepada kedua
orang adik Mahisa Bungalan itu," berkata Pangeran Singa
Narpada kepada Akuwu Lemah Warah.
"Aku memang akrab dengan anak-anak itu. Tetapi dalam
hal ini apakah tidak sebaiknya Pangeran saja yang
mengatakannya?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
Akhirnya Pangeran Singa Narpada menjawab, "Sama
sa ja. siapa pun y ang akan m enyampaikannya. Yang penting
anak-anak itu mengerti dan menyampaikannya kepada
kakaknya dalam waktu dekat sekaligus dengan rencananya
untuk dapat berhubungan dengan seorang pemahat yang
baik." Ternyata Pangeran Singa Narpada ingin menitipkan
pesan tentang rencana Kediri untuk mengusulkan Mahisa
Bungalan menjadi Akuwu di Sangling. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat berusaha untuk membicarakan
kemungkinan pembuatan patung dari batunya yang berwarna
kehijauan. Beberapa saat kemudian, maka Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah telah berada di padepokan
Suriantal. Sebagaimana mereka rencanakan, maka mereka pun
telah berbicara dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kepada kedua orang anak muda itu Akuwu Lemah
Warah bertanya, "Apakah kau masih berniat untuk mencari
seorang pematung" "
"Ya Akuwu," jawab Mahisa Murti, "kami ingin pergi ke
Singasari untuk menemui seorang pemahat y ang baik, tetapi
juga y ang bersedia bekerja di tempat yang terpencil dan sepi
ini untuk waktu yang cukup lama."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Jika demikian kau dapat pergi untuk waktu tertentu.
Aku akan menunggu padepokan ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun sambil tersenyum Mahisa Murti bertanya,
"Jadi benar Akuwu akan memberi kesempatan kepada kami
dalam waktu dekat ini?"
"Ya. Aku tidak akan ke Lemah Warah lebih dahulu. Kau
dapat berangkat kapan saja," berkata Akuwu Lemah Warah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Pangeran
Singa Narpada sejenak. Namun Pangeran itu pun mengangguk
sambil tersenyum. Katanya, "Akuwu Lemah Warah benar. Kau
dapat berangkat kapan saja kau kehendaki. Akuwu Lemah
Warah akan berada di sini. Aku pun pada waktu tertentu akan
datang lagi kemari, karena tugasku bersama Akuwu Lemah
Warah tentang Akuwu Sangling masih harus aku selesaikan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun dalam pada itu Akuwu Lemah Warah berkata, "Tetapi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Kalian telah aku anggap
sebagai kemanakanku sendiri. Karena itu, maka aku pun tidak
segan-segan memberikan pesan dan bahkan pekerjaan kepada
kalian. Bukankah kalian ber sedia membantu kami" "
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memandang Akuwu
Lemah Warah dengan ragu-ragu. Sementara itu Akuwu pun
berkata, "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Aku ingin berpesan
kepada kalian untuk kalian sampaikan kepada kakak kalian,
Mahisa Bungalan." "Apa" " bertanya Mahisa Murti, "Akuwu mengenalnya" "
"Sudahlah," berkata Pangeran Singa Narpada, "Siapa
tidak m engenal Senapati besar dari Singasari itu." Pangeran
Singa Narpada berhenti sejenak. Lalu, "nah, sampaikan pesan
kami. Kediri mengusulkan, maksudku, aku yang mendapat tugas
dari Kediri, agar Mahisa Bungalan bersedia mengisi kekosongan
jabatan di Sangling."
"Maksud Pangeran, kakang Mahisa Bungalan akan
dicalonkan menjadi seorang Akuwu di Sangling?" bertanya
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir bersamaan.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti pun kemudian bertanya pula,
"Tetapi kakang Mahisa Bungalan bukan orang Sangling.
Bagaimana mungkin kakang Mahisa Bungalan dapat
dicalonkan menjadi Akuwu. Apakah hal itu tidak akan
menimbulkan per soalan di Sangling" Keluarga dekat Akuwu
Sangling akan dapat menuntut haknya."
Akuwu Sangling tidak m empunyai anak. Ia tidak m empunyai
saudara pula. Sementara itu, ia telah melakukan satu
kesalahan y ang dapat dianggap menentang kekuasaan Kediri
dan sudah barang tentu kekuasaan Singasari. Karena itu maka
Kediri t idak memerlukan lagi, demikian pula kerabatnya.
Sangling akan dipegang oleh garis keturunan baru yang
mungkin akan menjadi lebih baik dari garis keturunan Akuwu
Sangling itu." "Tetapi apakah kakang Mahisa Bungalan akan
bersedia?" bertanya Mahisa Murti.
"Karena itu, sampaikan pesan kami. Ia bersedia atau
tidak bersedia, kami m engundangnya ke padepokan ini. Kami
ingin berbicara sementara kau dapat bekerja dengan ahli pahat
itu untuk membuat patung yang kau kehendaki," berkata
Pangeran Singa Narpada. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Pukat pun bertanya, "Kenapa
Pangeran tidak mencari calon dari Sangling sendiri?"
"Sangling telah kehilangan kekuatannya. Tidak seorangpun
y ang pantas untuk memegang jabatan itu ditilik dari segi
kemampuan ilmunya. Karena itu seorang Akuwu bukan saja
pemimpin pemerintahan, tetapi juga seorang Senapati perang,
maka untuk itu harus dipilih orang y ang tepat," berkata
Pangeran Singa Narpada. "Tetapi bukankah Akuwu mempunyai saudara
seperguruan y ang juga memiliki ilmu yang tinggi." bertanya
Mahisa Pukat. "Kami belum mengenalnya. Apakah ia mampu
memimpin pemerintahan atau memimpin pasukan. Secara
pribadi ia m emang m emiliki ilmu yang tinggi. Tetapi belum
tentu, orang-orang y ang secara pribadi m emiliki k emampuan
yang tinggi, akan dapat menjadi seorang pemimpin y ang baik.
Berbeda dengan Mahisa Bungalan. Kedudukannya sudah jelas,
bahwa ia mampu memimpin pasukan dan tentu juga
memimpin pemerintahan," jawab Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mengangguk-angguk saja. Ia hanya mendapat pesan untuk
disampaikan kepada kakaknya. Persoalan y ang timbul
kemudian, terserah kepada kakaknya itu sendiri.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
kemudian telah mempersiapkan diri. Mereka telah bersepakat
untuk segera pergi ke Singasari.
"Lusa, menjelang matahari terbit, kami akan berangkat,"
berkata Mahisa Murti. Akuwu Lemah Warah dan Pangeran Singa Narpada
ternyata tidak berkeberatan.
"Kau dapat membawa pengawal jika kau perlukan,"
berkata Akuwu Lemah Warah.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeleng.
"Kami akan pergi berdua saja," jawab Mahisa Murti.
Demikianlah, di hari berikutnya, kedua anak muda itu
telah mempersiapkan diri. Mereka telah mempersiapkan bekal
yang akan mereka bawa di perjalanan. Mereka pun telah
mempersiapkan kuda y ang akan mereka pergunakan.
Sebenarnyalah, di hari berikutnya pula, menjelang
matahari terbit, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah
bersiap. Mereka akan pergi m enempuh perjalanan panjang.
Singasari. Tetapi keduanya memang sudah mempunyai
pengalaman y ang cukup. Keduanya adalah pengembara yang
pernah menempuh perjalanan y ang sangat panjang dan
mengalami berbagai macam kesulitan dan mengatasi banyak
bahaya di perjalanan. Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mulai dengan perjalanannya pula. Tetapi ternyata bahwa
perjalanan yang ditempuhnya kali ini tidak banyak mengalami
rintangan. Meskipun jaraknya cukup panjang, namun
perjalanan itu ditempuhnya dengan lancar.
Namun demikian, keduanya terpaksa harus bermalam di
perjalanan pula. Tetapi kedua anak muda itu tidak langsung pergi ke
istana Singasari untuk m enemui kakaknya yang bertugas di
sana. Tetapi keduanya lebih dahulu telah pulang untuk
menemui ay ah mereka lebih dahulu. Mereka ingin
menceritakan keinginan mereka sendiri, tentang seorang
pemahat yang baik serta batu y ang kehijau-hijauan itu
sekaligus ingin minta pertimbangan ay ahnya tentang rencana
Pangeran Singa Narpada y ang akan mencalonkan kakaknya
menjadi Akuwu di Sangling.
Ternyata kedatangan kedua anak laki-lakiny a itu
mengejutkan Mahendra. Tetapi kedatangan mereka juga
sangat menggembirakan hatinya. Sudah agak lama ia tidak
mendengar kabarnya. Namun Mahendra y akin bahwa kedua
anaknya tentu selamat. Jika tidak, maka ia tentu akan
mendapat berita, mungkin dari Lemah Warah, mungkin dari
Kediri. Karena itu, maka disambutnya kedua anak dengan
pernyataan syukur kepada Yang Maha Agung.
"Beristirahatlah," berkata Mahendra, "nanti sajalah kau
berceritera tentang perjalananmu dan mungkin peristiwaperistiwa
yang menarik untuk kau ceriterakan kepadaku."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun m enurut. Setelah
membersihkan diri dan berganti pakaian, maka keduanya pun
telah beristirahat. Mereka sempat makan dan m inum, serta
kemudian duduk-duduk di serambi.
Ayahnya memang memberikan kesempatan kepada
keduanya untuk beristirahat. Apalagi nampaknya pada
keduanya memang tidak ada sesuatu yang mendesak.
Baru ketika mereka sempat duduk-duduk di ruang
tengah di malam hari, setelah mereka makan dan minum
minuman panas, ayahnya bertanya, "Apakah kau mendapat
pengalaman yang baru yang lebih menarik daripada yang
pernah aku ketahui sebelumnya?"
"Tidak ayah," jawab Mahisa Murti, "tetapi meskipun
demikian ada juga y ang patut aku ceriterakan."
"Apakah kau menganggap bahwa kau sudah cukup
mendapat pengalaman dari pengembaraanmu, sehingga kau
menganggap sudah waktunya untuk kembali?" bertanya
ay ahnya. Mahisa Murti menggeleng. Ia pun kemudian
menceritakan keinginannya untuk mencari seorang pemahat
yang bukan saja mampu memahat batu yang berwarna
kehijauan itu, tetapi juga y ang bersedia untuk tinggal di
daerah terpencil, jauh dan sepi untuk waktu yang agak lama.
Namun kemudian Mahisa Murti itu pun berkata, "Tetapi ada
persoalan lain yang lebih penting dari itu ayah."
"Tentang apa?" bertanya ayahnya.
"Sebetulnya persoalan yang aku sebut lebih penting itu
justru per soalan y ang datang kemudian. Karena sebelumnya
aku memang sudah merencanakan pulang untuk
menghubungi pemahat itu," berkata Mahisa Murti.
"Apakah persoalan yang kau anggap lebih penting itu?"
desak ay ahnya. Mahisa Murti pun kemudian menceriterakan pesan
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah, bahwa
kakaknya Mahisa Bungalan telah dicalonkan menjadi seorang
Akuwu di Sangling. "Bersedia atau tidak bersedia kakang Mahisa Bungalan
telah diundang ke padepokan Suriantal. Akuwu Lemah Warah
dan Pangeran Singa Narpada ingin berbicara dengan kakang
Mahisa Bungalan." "Mereka mungkin akan memberikan beberapa


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penjelasan tentang pencalonannya itu," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi kenapa y ang dicalonkan adalah kakakmu?"
bertanya Mahendra. Mahisa Murti pun kemudian telah menceriterakan
alasan-alasan yang dikemukakan oleh Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Lemah Warah, kenapa mereka telah
mencalonkan Mahisa Bungalan.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "jadi
seorang calon Akuwu harus datang ke padepokan Suriantal
bersedia atau tidak bersedia. Kenapa Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah tidak datang kemari?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai berpikir. Jika
Mahisa Bungalan memang akan dicalonkan menjadi Akuwu,
maka apakah tidak sebaiknya Pangeran Singa Narpada dan
Akuwu Lemah Warah datang untuk merundingkannya?"
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
teringat, bahwa Akuwu Lemah Warah memang ingin memberi
kesempatan kepadanya untuk meninggalkan padepokan dan
kembali ke Singasari, sementara itu Akuwu Lemah Warah
akan menunggui padepokan itu. Karena itu, maka Mahisa
Murti pun kemudian menjawab, "ayah, agaknya hal itu
dilakukan untuk kepentinganku."
Mahendra mengerutkan keningnya, sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
menceriterakan keinginan mereka untuk meninggalkan
padepokan itu, untuk menemui seorang pemahat yang
bersedia bekerja di tempat terpencil.
Agaknya Mahendra pun dapat mengerti. Tetapi katanya,
"Aku harap kakakmu Mahisa Bungalan pun dapat mengerti
pula." "Apakah ayah bersedia mengantarkan kami menemui
kakang Mahisa Bungalan?" bertanya Mahisa Pukat.
"Baiklah. Aku akan mengantarkan kalian. Sementara itu,
barangkali kakangmu Mahisa Bungalan juga mengenal
seorang pemahat yang m emiliki kemampuan y ang tinggi dan
bersedia bekerja bersama kalian di padepokan itu," berkata
Mahendra. Tetapi Mahendra tidak tergesa-gesa membawa kedua
anaknya ke Kota Raja. Dibiarkannya anaknya beristirahat
barang satu dua hari di rumah, sebelum mereka menemui
Mahisa Bungalan di istana Singasari.
Di rumahnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat
benar-benar beristirahat tanpa kegelisahan apapun. Mereka
dapat tidur ny enyak sepanjang malam.
Namun setelah dua hari beristirahat di rumahnya, maka
Mahendra pun telah mengajak kedua anaknya pergi ke
Singasari untuk menemui kakak mereka, Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan pun merasa sangat bergembira telah
bertemu dengan kedua adiknya y ang telah melakukan
pengembaraan yang lama dan berbahaya.
Beberapa saat mereka saling mempertanyakan
keselamatan masing-masing. Mereka pun kemudian
berceritera tentang pengalaman y ang pernah mereka sandang
selama dalam pengembaraan. Sehingga akhirnya, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat-pun telah berceritera tentang
padepokan Suriantal, batu yang kehijau-hijauan.
"Aku memerlukan seorang pemahat yang pandai,"
berkata Mahisa Murti. "Yang berkemampuan tinggi dan bersedia bekerja di
tempat y ang terpencil untuk waktu yang cukup lama," berkata
Mahisa Pukat pula. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Batu y ang akan
dijadikan patung sepasang ular naga dalam satu sarang itu
batu yang cukup keras. Namun belum ia m enanggapinya, maka Mahisa Murti
sudah menyambungnya dengan persoalan y ang bagi Mahisa
Bungalan lebih penting. Yaitu pesan Akuwu Lemah Warah dan
Pangeran Singa Narpada. Mahisa Bungalan memang terkejut mendengar pesan
itu. Sebelum ia m enanyakan kenapa Pangeran Singa Narpada
atau Akuwu Lemah Warah tidak datang, Mahisa Murti sudah
menjelaskan, bahwa Akuwu Lemah Warah memang sedang
menunggui padepokan Suriantal atas permintaannya.
"Jika kakang tidak berkeberatan, kakang diminta untuk
pergi ke padepokan itu," berkata Mahisa Murti. Lalu, "Di
padepokan itu akan dapat dibicarakan tentang rencana
Pangeran Singa Narpada. Bahkan Pangeran Singa Narpada
berpesan, bersedia atau tidak, kakang diminta datang."
Untuk beberapa saat Mahisa Bungalan tidak menjawab.
Ia nampak merenungi tawaran itu. Namun akhirnya ia
berkata, "Aku akan berbicara dahulu dengan Akuwu Lemah
Warah dan Pangeran Singa Narpada. Apakah ada sy arat-syarat
tertentu atau mungkin jika aku bersedia aku tidak akan
merampas hak orang lain. Karena itu aku ingin tahu lebih
dahulu per soalan y ang ada di Sangling itu sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
mengangguk-angguk saja. Mereka pun sependapat, bahwa
tanpa m engetahui persoalan-per soalan y ang ada di Sangling,
maka mungkin sekali akan dapat timbul benturan-benturan
yang tidak diinginkan. "Jadi kakang akan pergi k e Sangling?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku akan pergi ke Suriantal," jawab Mahisa Bungalan.
"Kebetulan sekali," jawab Mahisa Pukat, "kita pergi
bersama-sama. Aku dan Mahisa Murti ingin membawa
seorang pemahat y ang berkemampuan tinggi."
"Baiklah," berkata Mahisa Bungalan, "aku akan
membantumu menghubungi seorang pemahat yang bersedia
bekerja di tempat terpencil itu."
"Bagaimana dengan ayah?" t iba-tiba Mahisa Murti
bertanya. "Kenapa dengan aku?" bertanya Mahendra.
"Apakah ayah juga akan pergi ke Suriantal?" bertanya
Mahisa Murti. Mahendra tersenyum. Katanya, "Aku kira aku tidak perlu
ikut bersama kalian. Biarlah Mahisa Bungalan menyelesaikan
persoalannya lebih dahulu. Baru k elak aku akan datang, jika
ada kesempatan." "Aku sependapat ay ah," berkata Mahisa Bungalan,
"dalam persoalan ini biarlah kami yang menyelesaikannya."
Dengan demikian maka ketiga kakak beradik itu telah
sepakat untuk pergi bertiga ke padepokan Suriantal. Tetapi
sebelum mereka pergi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
akan lebih dahulu berusaha menghubungi seorang pemahat
yang diperlukan. Dengan kesepakatan itu, maka Mahendra pun merasa
tidak perlu terlalu lama lagi berada di Singasari. Setelah
memberikan beberapa pesan kepada anak-anaknya, maka
Mahendra pun telah minta diri untuk kembali pulang.
"Jika akhirnya kau terima kedudukan itu Mahisa
Bungalan, maka kau jangan lupa pada sangkan paraning
dumadi. Kedudukan itu tidak lebih daripada pakaian yang
pada suatu saat dikenakan, namun pada saat lain harus dilepas
kembali," pesan Mahendra.
Mahisa Bungalan mengangguk kecil. Katanya, "Aku akan
melihat dari beberapa sisi ay ah. Jika aku harus mengorbankan
kepentingan orang lain, maka aku tidak akan menerimanya.
Bagiku kedudukan dan jabatan apa pun dapat aku pergunakan
sebagai jembatan pengabdian. Karena itu, apakah aku
menerima pencalonan itu atau tidak bagiku tidak akan ada
bedanya." Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Hati-hatilah. Tentu kau akan menghadapi beberapa hambatan.
Mungkin percobaan yang cukup berat. Karena itu, kau harus
benar-benar mempersiapkan dirimu lahir dan batin."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam,
sementara ayahnya berkata, "Hubungi kedua pamanmu
Mahisa Agni dan Witantra. Meskipun m ereka sudah tua lebih
tua dari aku, namun pengalaman mereka yang sangat luas
akan dapat memberikan banyak petunjuk kepadamu."
Demikianlah, maka Mahendra pun telah m eninggalkan
istana Singasari dengan meninggalkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pada kakaknya. Mahisa Bungalan akan
membantu mencari seorang pemahat yang pandai dan
berkemampuan tinggi dalam ilmu y ang diperlukan.
Ternyata Mahisa Bungalan tidak terlalu mudah untuk
menemukan orang y ang dimaksudkan. Jika ia menemui
seorang pemahat y ang mulai tertarik akan pekerjaan itu, maka
soal tempat dan waktu pada umumnya merupakan hambatan
yang menentukan. "Sulit bagiku untuk tinggal di tempat y ang jauh dan
untuk waktu y ang lama. Bagaimana dengan anak dan isteriku.
Siapakah y ang akan menjaga mereka sehari -hari di rumah
tanpa aku," jawab mereka.
Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang dapat mengerti. Seorang diantara mereka, bahkan
tidak dapat melakukannya karena isteriny a sedang
mengandung tua. "Kita cari seorang pemahat muda," berkata Mahisa
Pukat. "Sejak semula kita sudah mencarinya, jika kita
menemukannya, "sahut Mahisa Bungalan.
Mahisa Pukat hanya mengerutkan keningnya. Namun ia
tidak menjawab. Betapapun sulitnya, tetapi karena ketiga orang
bersaudara itu mencari dengan tekun dan tidak jemujemunya,
maka akhirnya mereka menemukan seorang yang
masih terhitung muda yang memiliki kemampuan yang
memadai. Justru adalah kawan Mahisa Bungalan sendiri. Juga
seorang prajurit. "Kenapa kau tidak m empunyai tanda-tanda sebelumnya
bahwa kau adalah seorang pemahat?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Kau tidak pernah pergi ke pondokku," berkata prajurit
itu, "jika sekali kau pernah datang ke rumahku, maka kau akan
melihat, bahwa aku adalah seorang pemahat."
"Sekarang aku akan datang ke rumahmu bersama dua
orang adikku," berkata Mahisa Bungalan.
Sebenarnyalah hari itu, Mahisa Bungalan dan kedua
adiknya telah mengunjungi rumah seorang perwira bawahan
Mahisa Bungalan. Mereka memang menyaksikan, di rumah itu
banyak sekali patung-patung y ang terbuat dari berbagai
macam bahan. Batu, batu padas, bahkan juga kayu. Namun
yang terbanyak adalah patung batu.
Ada y ang besar ada y ang kecil dan satu diantaranya,
yang diletakkan di muka rumahnya adalah sebuah patung dari
batu y ang cukup besar. Patung seorang ibu y ang sedang
bermain-main dengan dua orang anaknya.
"Kau buat ini dari batu yang utuh?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Ya. Sebagaimana kau lihat," jawab perwira itu.
"Dari mana kau dapatkan batu sebesar ini?" bertanya
Mahisa Murti. "Di m ana-mana banyak batu berserakan," jawab orang
itu, "batu adalah bahan y ang paling mudah dicari."
"Bagaimana kau membawanya kemari" Dan kenapa aku
tidak mengetahuinya?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Aku membawanya dengan sebuah pedati khusus. Aku
jual dua ekor kuda peninggalan ay ahku dan dua ekor kambing.
Aku membuat pedati yang cukup kuat untuk membawanya
kemari. Aku pahat batu itu di situ. T etapi pada saat itu, aku
belum berada di dalam kesatuanmu," berkata perwira itu.
Mahisa Bungalan pun mengangguk-angguk. Namun ia
pun kemudian bertanya, "Patung siapakah yang kau buat itu"
Isteri dan anak-anakmu?"
"Ah, mana mungkin," jawab perwira itu, "aku tidak
beristeri. Tidak ada seorang perempuan y ang mau menjadi
isteriku. Perempuan itu adalah ibuku y ang mengasihiku dan
adikku." "Adikmu?" bertanya Mahisa Bungalan, "di mana adikmu
sekarang?" " Ia juga m enjadi seorang prajurit," jawab perwira itu,
"tetapi ia t erlalu malas, sehingga pangkatnya tidak pernah
dinaikkan." Mahisa Bungalan tertawa. Katanya, "Apa kau kira kau
tidak terlalu malas" Jika kau pada satu saat naik pangkat itu
hanya karena kebaikan hatiku saja. Apakah hal itu tidak kau
sa dari?" Perwira itu pun tertawa. Katanya, "Terima kasih
Senapati. Mudah-mudahan kenaikan pangkatku dapat
menjadi semakin cepat, karena Senapatiku menjadi semakin
berbaik hati kepadaku."
"Tetapi jangan kau anggap bahwa jika aku m emerlukan
pahatanmu itu dapat kau pergunakan untuk menyuapku,"
desis Mahisa Bungalan. Prajurit itu tertawa berkepanjangan.
Demikianlah Mahisa Bungalan, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah mengamati dengan teliti hasil karya
perwira itu. Menurut pendapat mereka, karya perwira itu
cukup baik. Garis-garis y ang tegas mengungkapkan getaran
dari dalam dirinya pada saat pahatannya bermain diatas
bahan patungnya, membentuk ujud y ang tertuang dari dalam
dunia angannya. "Nah, apa katamu?" bertanya prajurit itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Sementara itu kakaknya berkata, "berterus-teranglah. Jika kau
setuju, maka aku akan menanyakan kepadanya, apakah ia
bersedia bekerjasama dengan kita."
"Tetapi apakah ia akan dapat meninggalkan tugasnya?"
bertanya Mahisa Murti. " Itu tergantung kepadaku," jawab Mahisa Bungalan.
"Apa yang kalian bicarakan?" bertanya perwira itu.
"Baiklah," desis Mahisa Murti tanpa menjawab
pertanyaan itu, "silahkan kakang menanyakannya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya kepada perwira itu, "Kami menganggap
bahwa kau telah berhasil dengan karyamu. Namun kemudian
apakah kau dapat menerima sebuah tawaran untuk bekerja
bersama kami atau tidak, itu terserah kepadamu."
"Untuk apa?" bertanya orang itu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah beberapa orang pemahat y ang kami hubungi.
Namun jawabnya hampir sama. Mereka tidak bersedia t erlalu
lama meninggalkan rumah mereka," berkata Mahisa
Bungalan. "Aku kurang mengerti," desis perwira itu.
Mahisa Bungalan pun kemudian mengatakan kepada
prajurit itu tentang keinginan kedua adiknya untuk m engajak
seorang pemahat, memasuki daerah terpencil di sebuah
padepokan y ang jauh. Dikatakannya pula bahwa di padepokan
itu terdapat sebuah batu yang kerasnya melampaui
kebanyakan batu. "Aku tahu," potong orang itu, "kalian ingin aku memahat
batu itu untuk dijadikan sebuah patung?"
"Benar," jawab Mahisa Bungalan, "tetapi pada umumnya
para pemahat tidak mau melakukan karena pekerjaan itu
tentu akan makan waktu lama. Nah, bagaimana dengan kau?"
"Aku bersedia. Dengan senang hati jika aku diijinkan,"
berkata prajurit itu. "Jika demikian, kita akan membicarakannya dengan
sungguh-sungguh. Bukan kau bersedia hanya karena kau
menjawab dengan serta merta. Tetapi masih ada kesempatan
untuk merenunginya," berkata Mahisa Bungalan.
"Tidak," jawab prajurit itu, "bukan karena aku menjawab
dengan serta merta. Tetapi aku benar-benar bersedia. Aku
senang dengan pekerjaan y ang belum pernah aku lakukan
sebelumnya. Jika aku harus terus menerus gladi perangperangan
atau bermain watangan di alun-alun, aku m enjadi
jemu. Bahkan m enjadi seorang prajurit tugasnya tentu bukan
hanya gladi perang. Juga di bidang seperti yang akan aku
lakukan." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun akhirnya
mereka pun duduk pula untuk berbicara lebih bersungguhsungguh.
Akhirnya mereka menemukan kesepakatan, bahwa
prajurit itu akan berangkat bersama Mahisa Bungalan. Mereka
akan bersama-sama mohon ijin kepada Panglima untuk
meninggalkan tugas mereka beberapa lama.
"Tetapi ajak adikku," berkata prajurit itu tiba-tiba,
"mintakan ijin untuknya. Ia juga memiliki kemampuan
memahat meskipun barangkali masih harus dituntun. Tetapi
ia akan dapat membantuku, setidak-tidaknya meny ediakan
peralatanku." Mahisa Bungalan memandangi kedua adiknya bergantiganti.
Namun Mahisa Murti lah yang menjawab, "Kita tidak
berkeberatan jika memang orang itu mendapat ijin untuk
pergi." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Aku akan mengurusnya. Jika semuanya sudah
selesai, maka kita akan segera berangkat."
Sebenarnyalah, di hari berikutnya maka Mahisa
Bungalan telah menghadap Panglimanya. Ia minta ijin bagi
dirinya sendiri, bagi perwira bawahannya dan adiknya yang
berada dalam kesatuan yang lain.
Meskipun Mahisa Bungalan m asih belum mengatakan
alasan y ang sebenarnya tentang kepergiannya, namun ia
menyinggung serba sedikit, bahwa dalam rangka kepergiannya
itu, agaknya menyangkut juga kepentingan pemerintahan
Singasari dan Kediri. Ternyata Mahisa Bungalan tidak menemui banyak
kesulitan. Sebagai seorang Senapati Besar yang penuh
tanggung jawab, maka ia sepenuhnya dipercaya oleh
Panglimanya, bahwa ia tidak akan melakukan langkahlangkah
y ang bertentangan dengan martabatnya sebagai
seorang prajurit dan meny impang dari watak seorang kesatria
Singasari. Namun Panglima itu berpesan juga, agar Mahisa
Bungalan segera kembali kepada tugasnya.
Persoalan yang terpenting telah terpecahkan oleh
Mahisa Bungalan. Maka menjelang keberangkatannya, maka
ia pun telah membenahi diri dan keluarganya y ang akan
ditinggalkan untuk waktu yang mungkin agak lama. Tetapi
Mahisa Bungalan tidak mencemaskan keluarganya, karena ia
tinggal di dalam barak khusus dalam lingkungan istana
Singasari! Sehingga keamanannya agak lebih baik daripada
jika mereka tinggal di luar lingkungan istana.
Sebelum berangkat, maka Mahisa Bungalan, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah menemui pula Mahisa Agni dan
Witantra. Kepada keduanya Mahisa Bungalan berterus terang,
bahwa Pangeran Singa Narpada telah meny ebut -ny ebut satu
kemungkinan pencalonan baginya untuk memegang jabatan
Akuwu di Sangling. "Apakah kau sudah pernah mengunjungi Sangling?"
bertanya Mahisa Agni. Mahisa Bungalan m enggeleng. Katanya, "belum paman.
Aku belum m engenal daerah itu dengan baik. Apalagi watak
dan sifat orang-orangnya."
"Kau harus mempelajarinya dengan baik," berkata
Witantra, "dengan demikian kau tidak akan m enjadi kecewa
karenanya. Mungkin kau melihat sesuatu di permukaannya
yang menarik. Tetapi ketika kau selami, maka kau temukan
keadaan yang sebalikny a."
"Baik paman," jawab Mahisa Bungalan, "aku akan
melihat keadaan Sangling secara sepintas. Jika aku mendapat
kesempatan untuk mengenali watak rakyatnya, maka aku akan
mendapat bahan y ang sangat berarti bagiku untuk
menentukan keputusan."
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah bercerita
pula tentang Ki Buyut Bapang, y ang masih tetap berada di
padepokan. "Nampaknya Ki Buyut Bapang lah y ang telah
merusakkan wajah orang-orang Sangling termasuk Akuwu,"
berkata Mahisa Murti. "Atau keduanya memang memiliki jalan yang sama dan
secara kebetulan dapat berjalan seiring," sahut Mahisa
Bungalan. "Mungkin juga seperti itu," desis Mahisa Pukat.
"Karena itu," berkata Mahisa Agni, "berhati-hatilah. Kau
harus melihat ujud yang sebenarnya dari masy arakat Sangling.
Bukan hanya sekila s."
"Aku akan berusaha paman," berkata Mahisa Bungalan.
Namun karena itulah, maka timbul satu niat di hati
Mahisa Bungalan untuk menempuh jalan y ang berbeda
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Katanya, "Jika demikian, maka kita akan mengambil
jalan kita masing -masing. Kalian semuanya langsung ke
padepokan itu. Aku akan mengambil jalan lewat Pakuwon
Sangling." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerutkan
keningnya. Namun Witantra berkata, "Ada juga baiknya.
Tetapi kau harus berhati-hati. Kau tidak boleh terjebak ke
dalam satu keadaan yang akan dapat merugikan
kedudukanmu sendiri ke lak jika akhirnya pencalonan itu kau
terima." Mahisa Bungalan m engerti m aksud pamannya. Karena
itu, maka sambil mengangguk ia berkata, "Ya paman. Aku
akan berhati-hati." "Baiklah," berkata Mahisa Agni kemudian, "lakukanlah
semuanya dengan hati-hati, semoga Yang Maha Agung
melindungi kalian." (Bersambung ke Jilid 46 ).
Jilid 046 DALAM PADA ITU, Mahisa Bungalan yang berjalan kaki
memang telah memasuki Pakuwon Sangling. Dengan sengaja
Mahisa Bungalan telah mengenakan pakaian orang
kebanyakan, sehingga orang tidak akan mengenalinya sebagai
seorang Senapati Besar dari Singasari.
Dengan hati-hati Mahisa Bungalan mendengarkan
pembicaraan orang di kedai-kedai atau di pasar-pasar atau di
tempat -tempat y ang ramai lainnya.
Ternyata orang-orang Sangling memang sedang
membicarakan, kemungkinan terpilihnya seorang Akuwu bagi
mereka. Dalam pembicaraan dengan seorang pemilik kedai nasi,
Mahisa Bungalan berkesimpulan, bahwa orang-orang Sangling
tidak lagi mengharapkan keluarga Akuwu y ang lama
menggantikannya. "Kenapa?" bertanya Mahisa Bungalan.
"Tidak ada lagi keluarga dekat Akuwu," jawab orang itu,
"seandainya ada, maka nama Akuwu telah tercemar. Nama itu
harus dihapuskan sama sekali agar darah keturunan Akuwu
Sangling menjadi bersih kembali."
" Jika bukan darah keturunan Akuwu, apakah tidak ada
orang lain di Sangling yang akan dapat menggantikannya?"
bertanya Mahisa Bungalan.
Ternyata jawaban orang itu tidak pasti. Katanya, "Aku
tidak tahu. apakah di antara para Senapati ada y ang pantas
dan mampu menggantikan kedudukan Akuwu."
"Bagaimana menurut perasaanmu?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Tidak ada nama y ang m enonjol di Sangling. Mungkin
justru karena banyak orang yang pantas menjadi Akuwu,"
berkata pemilik kedai itu. Namun kemudian, "Tetapi aku
dengar ada calon dari luar Pakuwon Sangling."
"Oo," Mahisa Bungalan berpura-pura heran, "justru dari
luar" Bagaimana kesan orang Sangling tentang pencalonan
itu?" "Jika ia memang memiliki kelebihan, apa salahnya"
Apalagi m enurut pendengaranku, ia adalah seorang Senapati
Besar dari Singasari," jawab pemilik kedai itu.
Mahisa Bungalan hanya mengangguk-angguk saja. Ia
tidak banyak lagi bertanya. Ketika ada orang lain datang
membeli di kedai itu, dan kebetulan berbicara pula tentang
calon Akuwu mereka, maka pembicaraan mereka tidak jauh
berbeda dengan pendapat pemilik warung itu.
Demikian pula di tempat lain, maka menurut
pengamatan Mahisa Bungalan, orang-orang Sangling tidak
berpendirian, bahwa y ang menggantikan Akuwu Sangling
harus orang Sangling. Sementara itu menurut pengamatan Mahisa Bungalan,
orang-orang Sangling bukanlah orang-orang y ang sukar
didekati. Mereka agaknya terbuka untuk menerima
perkembangan baru bagi kampung halamannya.
Namun pada suatu saat Mahisa Bungalan telah
memasuki lingkungan Kabuyutan Bapang. Mahisa Bungalan
berusaha dengan sangat berhati-hati mendengar pendapat
orang-orang Bapang tentang Buyutnya y ang masih belum
kembali. "Salahnya sendiri," berkata seseorang y ang ditemuinya
didalam kedai pula, "jika ia tidak melakukan sesuatu yang
ternyata melanggar paugeran, maka ia tidak akan mengalami
nasib y ang sangat buruk."
Sementara orang lain lagi berkata, "Ki Buyut bukan
orang Bapang. Hanya karena Akuwu sajalah m aka ia -dapat
menjadi seorang Buyut di sini."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mendapat
gambaran y ang luas tentang sikap orang-orang Sangling,
sehingga nampaknya ia tidak akan mengalami kesulitan
karena ia bukan orang Sangling.
"Mungkin ada beberapa kekuranganku, tetapi orangorang
Sangling nampaknya bersikap baik," berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Ra sa -rasanya tidak ada yang menentang kehadiran
Mahisa Bungalan di Sangling meskipun mereka belum
mengenal siapakah y ang akan menjadi pemimpin mereka.
Agaknya masih akan ada pendadaran-pendadaran lain yang
harus dilakukan. Dalam waktu y ang singkat, Mahisa Bungalan telah
merambah banyak daerah di Sangling. Agaknya orang-orang
yang untuk sementara memimpin Sangling telah
memberitahukan kepada rakyatnya dengan jujur apa yang
telah terjadi, sehingga orang-orang Sangling mendapat
gambaran yang benar tentang keadaan kampung halamannya
itu. Dengan bekal itulah, maka Mahisa Bungalan telah
meninggalkan Sangling menuju ke padepokan Suriantal. Ia
tidak m enutup mata, bahwa masih juga ada satu dua orang
yang agaknya para pengikut Ki Buyut di Bapang yang masih
berkeras kepala. Tetapi jumlah mereka tidak berarti dibanding
dengan sikap keseluruhan rakyat Sangling.
Perjalanan ke padepokan Suriantal memang merupakan
perjalanan yang panjang. Mahisa Bungalan masih harus
bermalam di perjalanan. Namun di hari berikutnya ternyata ia
telah berada di padepokan Suriantal meskipun sudah
menjelang senja. Dengan ketajaman pengamatan seorang pengembara,
maka tanda-tanda dan ancar-ancar y ang diberikan oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa Mahisa
Bungalan datang ke arah yang benar.
Kedatangannya di padepokan Suriantal telah disambut
dengan gembira oleh Pangeran Singa Narpada dan Akuwu
Lemah Warah. Agaknya kedatangannya memang sudah
ditunggu-tunggu oleh mereka yang berada di padepokan,
termasuk dua orang prajurit y ang k ebetulan adalah pemahat
itu. Beberapa saat mereka sempat mempertanyakan tentang
keselamatan masing-masing. Kemudian sebelum mereka
memasuki pembicaraan yang penting, Pangeran Singa
Narpada mempersilahkan Mahisa Bungalan untuk
beristirahat. "Bukankah kita tidak tergesa -gesa. Besok kita
mempunyai waktu y ang panjang," berkata Pangeran Singa
Narpada. "Terima kasih," berkata Mahisa Bungalan, "aku memang
agak letih." Setelah makan malam, maka Mahisa Bungalan pun telah
dipersilahkan untuk memasuki biliknya. Meskipun bukan bilik
yang terlalu baik, tetapi cukup untuk beristirahat dengan baik
semalam suntuk. Jauh lebih baik daripada Mahisa Bungalan
bermalam di pategalan atau di padang perdu, atau barangkali
di dahan sebatang pohon y ang besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengawaninya


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa lama. Tetapi ketika m alam menjadi semakin dalam,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
kembali ke baraknya sendiri. Mereka berada dalam sebuah
bilik bersama dua orang prajurit y ang akan membantunya
membuat sebuah patung dari batu yang berwarna kehijauhijauan
itu. Pagi-pagi benar, seperti biasanya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah terbangun. Demikian pula kedua
orang prajurit Singasari y ang tidur bersama mereka. Namun
ketika mereka keluar, maka mereka telah melihat Mahisa
Bungalan pun telah berada di luar biliknya. Bahkan ternyata
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun telah
terbangun pula. Dalam pada itu, kedua orang prajurit yang akan
memahat batu y ang berwarna kehijauan itu telah menemui
Mahisa Bungalan. Dengan lantang perwira bawahannya itu
pun bertanya, "Apakah Senapati pernah melihat batu itu?"
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara
pemahat itu pun berkata, "Marilah. Kita akan melihatnya
bersama-sama." Mahisa Bungalan mengikutinya. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah pergi pula bersama mereka diikuti oleh
adik pemahat itu pula. Sementara itu langit m enjadi semakin terang. Matahari
mulai melemparkan sinarnya yang kekuning-kuningan di selasela
dedaunan. Merekapun kemudian telah mengerumuni batu y ang
berwarna kehijauan itu, yang dipagari dengan anyaman
bambu yang kuat. Namun prajurit yang akan memahat batu
mulai meraba tengkuknya sambil berkata, "Nah, kau lihat"
Berapa ribu, bahkan berapa ratus ribu jeni s binatang berbisa
yang ada di dalam batu itu. Bagaimana mungkin aku akan
dapat m emahatnya. Setiap sengatan dari satu saja binatang
berbisa itu telah membuat aku tidak akan dapat
meneruskannya untuk selama-lamanya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia pun m elihat
di sela-sela retak batu-batu itu, terdapat ratusan binatang
berbisa dari berbagai jenis. Bahkan terdapat juga jeni s ularular
kecil namun mempunyai bisa y ang sangat tajamnya. Di
samping itu beberapa jenis kala, laba-laba biru dan hijau,
binatang berkaki seribu dan seratus, kelabang dan masih
banyak lagi jeni snya. Ketika Mahisa Bungalan memandang Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka sebelum ia m enanyakan sesuatu. Mahisa
Murti lah yang berkata, "Aku akan m embersihkan batu itu.
Dengan reramuan y ang akan dapat menawarkan bisa
binatang-binatang itu atau bahkan sekaligus membunuh
binatang-binatang itu. Tetapi hal itu baru akan aku lakukan,
jika pekerjaan itu benar-benar sudah akan dimulai. Karena
dengan membunuh binatang-binatang itu, maka salah satu
pengaman dan batu itu telah hilang."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
demikian terserahlah kepadamu. Tetapi kau harus
bertanggung jawab atas keselamatan pemahatnya kemudian.
Jika masih ada satu dua ekor binatang berbisa yang tertinggal,
maka bahaya itu masih selalu mengintainya."
"Aku akan memohon kepada Akuwu Lemah War ah y ang
ternyata seorang ahli di bidang racun dan bisa," berkata
Mahisa Murti. Akuwu Lemah Warah y ang kemudian telah berada di
dekat tempat itu pula bersama Pangeran Singa Narpada hanya
tersenyum saja. "Baiklah," berkata Mahisa Bungalan, "kedua pemahat itu
telah berada di sini. Semuanya terserah kepada kalian berdua."
"Kami akan mengaturnya kakang," sahut Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat mereka masih memperhatikan batu
yang berwarna kehijau-hijauan itu. Batu yang ternyata
dianggap bertuah karena seseorang yang menyentuhnya tidak
akan dapat tetap hidup. Namun y ang ternyata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah berhasil memindahkannya ke
padepokan Suriantal. Hari itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mempunyai
kesibukan sendiri. Keduanya telah m embantu kedua pemahat
itu untuk m empersiapkan peralatannya. Meskipun demikian,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih belum m embersihkan
batu itu dari binatang-binatang berbisa.
Sementara itu, ketika matahari menjadi semakin tinggi,
serta setelah Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah
dan Mahisa Bungalan makan pagi, maka mereka pun sempat
berbicara tentang Pakuwon Sangling.
Beberapa persoalan telah diajukan oleh Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Lemah Warah berdasarkan pada
pembicaraannya dengan orang-orang serta para Senapati
Sangling, sementara Mahisa Bungalan telah berusaha
mencocokkannya dengan pengamatannya secara langsung di
daerah Pakuwon Sangling. Dalam banyak hal keterangan-keterangan mereka
sejalan, sehingga tidak banyak tim bul pertentangan pendapat
diantara mereka. Dalam pada itu, ternyata prajurit y ang kebetulan juga
pemahat itu benar-benar telah bersiap untuk melakukan
pekerjaannya. Namun ia masih belum akan mulai dengan
menyentuhkan pahatnya pada batu itu. Ia harus m enemukan
sesuatu yang akan dipahatkannya pada batu itu. Ia harus
melihat ujud itu bukan di dalam angan-angannya. Baru
kemudian ia dapat mulai dengan membentuk ujud itu
sebagaimana diinginkan oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Malam nanti aku akan melakukannya," berkata
pemahat itu kepada adiknya.
"Apa?" bertanya adiknya.
"Aku harus melakukan samadi," jawab kakaknya, "kau
harus membantuku. Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat agar ujud y ang dikehendaki itu dapat memuaskannya.
Sementara itu pekerjaan yang akan aku lakukan pun akan
dapat selesai dengan selamat."
Adiknya mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku
akan mencoba. Tetapi sejauh dapat aku lakukan."
Kakaknya ter senyum. Katanya, "Kau boleh duduk saja
sambil m enghadapi makanan dan m inuman hangat. Asal kau
tidak tidur." Demikianlah, m aka semua persiapan sudah dilakukan.
Semua peralatan sudah disediakan. Mereka hanya menunggu
satu malam lagi untuk membulatkan semua rencana yang
telah dipersiapkan itu. Pemahat itu harus menemukannya
lebih dahulu keutuhan yang dikehendakinya.
Pa da saat semua persiapan sudah dilakukan, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah m enemui Akuwu
Lemah Warah. Keduanya mohon pertimbangan, apakah yang
sebaiknya dilakukan atas binatang-binatang berbisa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat membersihkannya
tanpa merasa cemas karena tusukan bisa dan racun, meskipun
pekerjaan itu tentu agak lama. Namun jika Akuwu bersedia
memberikan reramuan obat y ang dapat membunuh binatangbinatang
itu dan menawarkan bisanya, maka agaknya akan
lebih cepat dapat diselesaikan.
"Baiklah," berkata Akuwu, "aku akan meny ediakan
ramuan itu beberapa jambangan. Kalianlah yang harus
menyiramkannya pada retak-retak batu itu, sehingga cairan
itu akan dapat masuk sampai ke celah-celahnya. Binatang itu
akan mati dan sekaligus racun dan bisa y ang ada pada
binatang-binatang itu akan menjadi tawar. Tetapi ingat,
kalianlah y ang harus meny iramkannya. Jika ada satu dua ekor
binatang yang luput dari cairan itu, dan sempat m enggigit,
maka kalian telah tawar oleh racun bisa itu."
"Terima kasih Akuwu," berkata Mahisa Murti, "besok,
setelah pemahat itu selesai dengan samadinya, aku akan
melakukannya." Hari itu, menjelang senja, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah menyiapkan reramuan obat dari Akuwu
Lemah Warah yang kemudian dicairkannya dalam tiga buah
jambangan y ang besar. Keduanyalah y ang esok harus
memandikan batu itu sehingga titik-titik cairan itu masuk ke
dalam retak-retak batu itu. Meskipun keduanya yakin, bahwa
mereka tidak akan dapat membersihkan sampai binatang yang
terakhir. Tetapi sebagian besar binatang itu akan mati.
Sementara itu Akuwu akan dapat memberikan obat y ang dapat
menawarkan seseorang dari racun y ang tajam meskipun hanya
berlaku untuk waktu yang tidak terlalu lama.
Namun sebelum mereka memasuki suasana hening itu,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat mendengar dari
kakaknya, bahwa dalam pembicaraan antara Mahisa Bungalan
dan Pangeran Singa Narpada serta Akuwu Lemah Warah,
telah dicapai satu kesepakatan, bahwa Mahisa Bungalan
bersedia dicalonkan untuk memegang jabatan Akuwu di
Sangling. T etapi masih dengan sy arat, apabila Sri Baginda di
Kediri tidak berkeberatan, serta mendapat ijin dari Sri
Maharaja di Singasari. "Syukurlah," berkata Mahisa Murti, "mudah-mudahan
segalanya akan dapat berlangsung dengan baik."
Namun dalam pada itu Mahisa Pukat pun bertanya,
"Pencalonan itu berlangsung begitu saja?"
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Seperti setiap
gegayuhan. Aku tentu akan menempuh beberapa pendadaran.
Itu aku sadari. Mudah-mudahan aku dapat mengatasinya. Jika
aku gagal menempuh pendadaran itu, m aka ternyata bahwa
aku memang belum cukup masak untuk jabatan itu."
"Apakah ujud dari pendadaran itu?" bertanya Mahisa
Pukat. "Aku tidak tahu," jawab Mahisa Bungalan, "hal itu akan
lebih banyak ditentukan oleh orang-orang Sangling, termasuk
para pemimpin dan orang -orang tua."
"Kanuragan" Atau pengetahuan tentang pemerintahan?"
bertanya Mahisa Murti. "Mungkin kedua-duanya," jawab Mahisa Bungalan.
Kedua adiknya mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Murti pun masih bertanya, "Kapan kakang akan pergi
ke Sangling?" "Aku akan pergi ke Sangling bersama-sama dengan
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah. Kami
akan berangkat setelah kau mulai dengan kerjamu. Setelah
pahat dari pemahat itu mulai dikenakannya pada batu itu,"
jawab Mahisa Bungalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Hampir berbareng keduanya berdesis, "Terima
kasih." "Akuwu Lemah Warah lah yang menghendaki demikian.
Mungkin masih diperlukan bantuannya tentang penawaran
racun dan sebagainya," jawab Mahisa Bungalan.
"Oo," kedua adiknya mengangguk-angguk. Mereka
sa dar, bahwa Akuwu Lemah Warah memang sangat
memperhatikan mereka. Ketika kemudian hari mulai gelap, maka perwira y ang
juga seorang pemahat itu mulai menempatkan diri. Duduk di
atas sehelai tikar pandan, diluar pagar bambu yang
mengelilingi batu yang berwarna kehijauan itu. Adiknya ikut
pula duduk di atas tikar itu pula, sementara Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat-pun ikut menunggui keduanya. Jika satu dua
ekor binatang berbisa meninggalkan batu itu dan merayap
keluar pagar, m aka adalah menjadi kewajiban Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat untuk mengembalikannya.
Tetapi pemahat dan adiknya itu memang duduk tidak
terlalu dekat, sehingga kemungkinan untuk disentuh oleh
binatang-binatang berbisa itu kecil sekali.
Beberapa orang prajurit Kediri dan penghuni padepokan
itu m elihat mereka dari kejauhan. Mereka hanya m engikuti
dengan berbagai macam pertanyaan didalam hati. Namun
sebagian dari mereka sudah mengerti, bahwa batu itu akan
dibuat menjadi sebuah patung.
Pa da saatnya, maka perwira y ang kebetulan juga
pemahat itu pun telah mulai dengan samadinya diikuti oleh
adiknya. Seperti yang direncanakan, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah menungguinya pula, meskipun
mereka tidak terikat pada samadi itu sendiri. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan pun menaruh perhatian y ang besar sekali atas usaha
itu. Ternyata bahwa pemahat itu telah berusaha melakukan
tugasnya dengan sungguh-sungguh. Ia tidak hanya
mempercayakan diri kepada kemampuan dan ketrampilannya
sa ja. Tetapi ia pun telah melambari kerja besarnya dengan
pemusatan nalar budi. Kecuali untuk melihat keutuhan ujud
dari patung y ang akan dibuatnya, maka pemahat itu pun telah
memohon kepada Yang Maha Agung, agar pekerjaannya dapat
diselesaikan dengan rancak.
Meskipun para prajurit Kediri dan para penghuni
padepokan itu tidak ikut serta terlibat dalam pemusatan nalar
budi oleh perwira yang akan memahat batu itu, tetapi ternyata
bahwa mereka berusaha untuk dapat membentuk suasana
yang m embantu. Para prajurit y ang b ertugas, telah menahan
diri dengan tidak bergurau berlebihan sebagaimana sering
mereka lakukan untuk mengatasi perasaan kantuk. Demikian
pula para petugas y ang berada di panggungan di atas dinding
padepokan. Sehingga suasana di seluruh padepokan itu
memang menjadi hening. Sebuah lam pu minyak yang kecil telah dinyalakan, tepat
di luar pagar bambu dihadapan pemahat yang sedang samadi
itu, berjarak beberapa langkah.
Ternyata segalanya dapat berlangsung dengan baik.
Tidak ada gangguan yang berarti malam itu. Para prajurit dan
penghuni padepokan itu benar-benar memberikan bantuan
yang sangat b erarti dengan membentuk suasana yang hening,
sehingga rasa-rasanya padepokan Suriantal itu telah
dicengkam oleh suasana y ang belum pernah dialami.
Suasana m enjadi kian menegang ketika malam semakin
dalam. Bahkan ketika tengah malam telah lewat dan berturutturut
ay am jantan berkokok untuk yang pertama, kedua dan
ketiga kalinya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang melayani kedua
orang kakak beradik y ang sedang bersamadi itu menjadi
berdebar-debar ketika mereka melihat langit mulai dibay angi
oleh cahaya dini hari.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukan hanya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan pun menyaksikannya meskipun dari kejauhan.
Ketika fajar kemudian menyingsing, maka terasa betapa
sejuknya titik -titik embun yang membasahi tubuh mereka
yang sedang bersamadi itu. Perlahan-lahan pemahat itu
mengangkat tangannya. Menengadahkannya ke langit dan
kemudian mengusapkannya pada wajahnya.
Demikianlah maka samadi itu pun telah berakhir. Kedua
orang kakak beradik itu telah meny elesaikan satu
penerawangan y ang berhasil. Pemahat itu telah m elihat satu
ujud y ang bulat, bagaimana ia harus menuangkan bentuk
sepasang ular naga di satu sarang.
Ketika pemahat itu kemudian bangkit dari samadinya
bersama adiknya, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih juga menungguinya. Demikianlah maka beberapa orang pun telah
memberikan ucapan selamat kepada kedua kakak beradik itu .
Sementara pemahat itu berkata kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Kita akan membicarakannya kemudian. Pagi ini aku
akan beristirahat. Siang nanti kau dapat memandikan batu itu.
Sebelum matahari turun, aku benar-benar akan mulai, t entu
sa ja setelah kau pun mendapat gambaran y ang lengkap
tentang patung itu."
"Baiklah," berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir bersamaan. Kedua kakak beradik itu pun kemudian telah
dipersilahkan untuk beristirahat, setelah semalam suntuk
bersamadi di dekat batu y ang berwarna kehijauan itu untuk
mendapatkan ujud y ang dikehendaki serta memohon kepada
Yang Maha Agung agar pekerjaan itu dapat diselesaikan
dengan baik. Dalam pada itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang
telah bersiap-siap untuk memandikan batu itu. Para prajurit
Kediri dan para penghuni padepokan itu memang tertarik
untuk menyaksikannya. Mereka tahu, bahwa di celah-celah
retak itu terdapat banyak sekali binatang berbisa dari berbagai
jenis. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
nampaknya agak menjadi ragu-ragu juga. Meskipun binatangbinatang
itu dapat membunuh, tetapi untuk menumpas
seluruhnya tanpa ampun rasa-rasanya jantungnya tergetar
juga. Tetapi Akuwu Lemah Warah pun kemudian berkata,
"Jika kau tidak memulainya, maka kau tidak akan dapat
menyelesaikannya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Akuwu Lemah
Warah, maka jika mereka tidak memulainya, maka mereka
tidak akan pernah meny elesaikannya.
Karena itu, m aka sejenak kemudian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah bersiap. Reramuan yang dibuat oleh
Akuwu Lemah Warah adalah sejenis racun untuk membunuh
binatang-binatang berbisa. Tetapi juga mengandung reramuan
yang dapat melarutkan racun binatang-binatang berbisa itu.
Meskipun agak ragu-ragu, namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah mulai m elakukannya. Mereka sadar,
bahwa akan r ontok ratusan bahkan ribuan binatang berbisa
dari celah-celah retak batu yang kehijau-hijauan itu, yang
menurut pengamatan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya
terdapat di bagian luarnya saja. Di bagian dalam batu itu utuh,
sehingga akan dapat dibuat sebuah patung y ang baik.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah meny iram batu itu dengan reramuan racun
pembunuh binatang berbisa yang dibuat oleh Akuwu Lemah
Warah. Dengan hati-hati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
berdiri di atas bancik bambu telah menyiramkan air reramuan
itu dengan siwur ke atas batu y ang akan dibuat menjadi
patung itu. Sebenarnyalah seperti yang diduga, maka binatangbinatang
berbisa y ang ada di celah-celah batu itu mulai rontok.
Ketika air reramuan itu mulai m enyusup ke retak-retak batu
itu, maka binatang berbisa itu pun mulai berlari -larian
berpencaran. Mereka saling mengamuk, menggigit dan
menyengat. Namun semua tingkahnya itu sama sekali tidak
menolong mereka. Satu-satu binatang itu jatuh di tanah.
Apalagi air y ang disiramkan diatas batu mulai menggenang di
bawah batu itu. Sehingga binatang-binatang y ang berjatuhan
itu pun langsung jatuh ke dalam air larutan reramuan yang
tergenang itu dan mati. Demikian banyaknya binatang y ang kemudian mati,
membuat bulu tengkuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
meremang. Sementara itu pekerjaannya itu pun masih belum
selesai. Ia masih harus meny iramkan air reramuan itu terusmenerus,
agar setiap lekuk dan retak dapat dimasuki cairan
reramuan itu. Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan
waktu cukup lama untuk melakukannya. Beberapa orang yang
mengawasiny a dari kejauhan merasa ngeri melihat betapa
banyaknya binatang y ang telah terbunuh itu.
Akuwu Lemah Warah sendiri pun kulitnya serasa
meremang melihat betapa banyaknya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat harus m embunuh, meskipun binatang-binatang
berbisa. Demikianlah, maka hari itu, batu y ang berwarna
kehijauan itu telah dibersihkan dari binatang berbisa
meskipun semua orang yakin, bahwa ada beberapa
diantaranya yang masih tetap hidup di dalam batu itu. Tetapi
jumlah yang sedikit tidak akan terlalu m engganggu. Pemahat
itu tentu akan dapat membunuhnya. Sementara itu pemahat
itu dapat menelan reramuan obat yang dibuat oleh Akuwu
Lemah Warah y ang dapat menawarkan seseorang untuk waktu
tertentu. Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengumpulkan bangkai binatang berbisa y ang telah terbunuh
itu dan yang kemudian telah dibakarnya. Asap y ang mengepul
melemparkan bau yang tidak sedap. Namun tidak berlangsung
terlalu lama. Akhirnya binatang-binatang berbisa y ang telah
berada di celah batu yang berwarna kehijauan itu untuk waktu
yang lama sehingga batu itu disebut batu bertuah, berakhir
juga. Seperti y ang dikatakan, maka sebelum senja, kedua
kakak beradik pemahat itu telah memahatkan pahatnya untuk
yang pertama kali. Tetapi karena hari kemudian menjadi
gelap, maka pekerjaan y ang sebenarnya akan dilakukan di
keesokan harinya. Malam itu seisi padepokan itu telah ber suka ria. Sedikit
upacara dari kegiatan pembuatan patung yang dilakukan oleh
kakak beradik prajurit Singasari itu. Orang-orang yang
bertugas di dapur telah membuat makanan dan minuman
khusus bagi para penghuni padepokan itu. Lebih baik dari
yang biasa mereka buat sebelumnya. Bahkan mereka telah
memotong lembu dan kambing. Ternyata bahwa Akuwu
Lemah Warah telah memerintahkan para petugas di dapur
untuk membeli seekor lembu khusus untuk m akan bersama
malam itu. Sementara itu padepokan itu memang ada
beberapa ekor kambing y ang dipelihara.
Di hari berikutnya, maka pekerjaan y ang sebenarnya
telah dimulai. Kedua pemahat kakak beradik itu benar-benar
telah bekerja untuk mewujudkan patung yang telah disepakati
oleh para pemahat serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Batu ini keras sekali," berkata perwira prajurit y ang
kebetulan juga pemahat itu, "jika aku sudah membentuk
ujudnya, maka ada baiknya aku memanggil dua tiga orang
kawan untuk meny elesaikannya."
"Apa itu perlu?" bertanya Mahisa Murti.
"Jika kau sependapat. Jika tidak demikian, maka
pekerjaan ini akan memakan waktu yang sangat lama," jawab
pemahat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Baiklah. Kita akan
membicarakannya kemudian jika kau benar -benar telah
memerlukannya." "Ya," jawab pemahat itu, "kelak aku akan
mengatakannya lagi."
Dalam pada itu maka kedua kakak beradik itu telah
bekerja dengan sungguh-sungguh. Seperti dikehendaki oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, pecahan batu y ang rontok
pun telah dikumpulkan. Batu-batu pecahan itu cukup besar
diasah m enjadi sebuah batu akik yang cukup baik. Sehingga
dengan demikian, di samping sebuah patung akan didapatkan
berbagai jenis batu perhiasan dari bahan y ang sama.
Demikianlah, ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mulai dengan pekerjaan besarnya, y ang dilakukan oleh
dua orang prajurit Singasari y ang kebetulan juga pemahat,
maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan
Mahisa Bungalan pun telah bersiap untuk pergi ke Sangling.
Mereka telah mempersiapkan segala sesuatunya y ang akan
mereka bawa ke Sangling. Kali ini Pangeran Singa Narpada
akan datang ke Sangling dalam upacara kebesaran yang
dipersiapkan oleh Akuwu Lemah Warah, meskipun Akuwu
Lemah Warah tidak mengambil pasukan baru dari Lemah
Warah. tetapi dipergunakannya pasukan y ang sudah ada di
padepokan Suriantal. Di hari berikutnya, maka per siapan pun telah dilakukan.
Pa sukan y ang akan ikut pergi ke Sangling memang tidak
terlalu banyak, tetapi sudah menggambarkan satu
kelengkapan kebesaran yang diperlukan.
Mahisa Bungalan pun telah bersiap lahir dan batin, ia
akan menghadapi segala jenis pendadaran y ang mungkin akan
dialaminya di Sangling. Mungkin kewadagan, mungkin ilmu
kanuragan, mungkin kemampuan olah pemerintahan.
"Seperti sebatang pohon," berkata Mahisa Bungalan,
"tunasnya akan selalu tumbuh keatas, m encapai tataran yang
lebih tinggi sesuai dengan kemampuannya. Asal semua itu
dilakukan dengan lambaran yang baik serta peny erahan tulus
kepada Yang Maha Agung."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada datar Mahisa Murti berkata, "Hati-hatilah
kakang." "Aku akan berhati-hati," jawab Mahisa Bungalan.
"Mungkin akan kau hadapi persoalan-per soalan y ang
tidak pernah kau pikirkan sebelumnya," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan tersenyum sambil menepuk bahu
adiknya. Jawabnya, "Mudah-mudahan semua dapat
berlangsung dengan baik. Tetapi aku tidak terpancang pada
keharusan untuk menggapai jabatan itu. Seandainya ternyata
aku masih belum cukup pantas untuk jabatan itu, m aka aku
akan menarik diri dengan senang hati. Aku tidak akan kecewa,
apalagi sakit hati."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun
bagaimanapun juga terasa jantungnya menjadi berdebardebar
ketika ia harus melepaskan Mahisa Bungalan itu pergi.
Demikianlah, maka hampir seisi padepokan itu telah
mengantarkan Mahisa Bungalan sampai ke regol. Sepasukan
yang tidak terlalu besar akan meny ertainya, mengiringi sampai
ke Sangling. Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah
berangkat meninggalkan Padepokan Suriantal. Pangeran Singa
Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan diiringi
pasukan berkuda dalam kelengkapan keprajuritan, menuju ke
Sangling. Sebagaimana sebelumnya, maka perjalanan y ang mereka
tempuh itu pun merupakan perjalanan y ang panjang. Tetapi
karena m ereka tidak terlalu banyak, maka perjalanan mereka
justru terasa menjadi lebih cepat.
Kedatangan mereka di Sangling diterima oleh para
pemimpin yang ada di Sangling dengan kehormatan.
Bagaimanapun juga y ang datang adalah salah seorang calon
Akuwu Sangling. Meskipun seandainya karena sesuatu hal
pencalonan itu batal, namun kedatangannya sudah
sepantasnya diterima dengan sebaik-baiknya.
Di Sangling m ereka telah ditempatkan di tempat y ang
paling pantas. Pangeran Singa Narpada datang mewakili
Kediri, sementara Akuwu Lemah Warah datang sebagai
seorang Akuwu, sementara seorang lagi adalah calon Akuwu
Sangling sendiri. Para tamu itu mendapat waktu beristirahat secukupnya.
Baru di hari berikutnya mereka mulai membicarakan tentang
pencalonan Akuwu Sangling.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "aku sudah
memohon Senopati Besar Mahisa Bungalan dari Singasari
untuk menjadi seorang calon Akuwu di Sangling sebagaimana
sudah kita bicarakan. Ternyata bahwa Senopati Besar Mahisa
Bungalan telah m enyatakan kesediaannya untuk pencalonan
itu. Nah, untuk selanjutnya terserah kepada para pemimpin di
Sangling. Apakah pencalonan itu dianggap memenuhi
keinginan kalian atau belum, karena sebelumnya kalian hanya
mengenal Mahisa Bungalan dari namanya."
Para pemimpin Sangling mengangguk-angguk. Tetapi
tidak seorang pun yang mengatakan sesuatu. Menurut
penglihatan mereka, Mahisa Bungalan adalah seorang yang
mempunyai ujud dan memancarkan wibawa yang cukup.
Untuk meyakinkan orang-orang Sangling maka
Pangeran Singa Narpada pun telah diberi kesempatan untuk
berbicara dengan para Senapati dan para pemimpin yang
menghadap. Mahisa Bungalan adalah seorang Senapati besar. Ia
sudah terbia sa menghadapi para prajurit Singasari y ang besar.
Karena itu menghadapi para Senapati di Sangling, bagi Mahisa
Bungalan sama sekali tidak mengalami kecanggungan.
"Aku telah menerima tawaran Pangeran Singa Narpada,"
berkata Mahisa Bungalan, "bukan karena aku merasa memiliki
kemampuan y ang tinggi. Tetapi semata -mata karena aku ingin
berbuat sesuatu y ang b erarti bagi Tanah ini. Sebagai prajurit
aku memang telah mendapat lapangan pengabdian yang
cukup. Tetapi jika kesempatan yang lebih luas terbuka, maka
apa salahnya aku berusaha memasukinya. Nah, aku datang
untuk pasrah. Mungkin ada sesuatu y ang perlu aku lakukan,


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

agar kalian dapat mey akini, apakah aku pantas atau tidak
untuk memegang jabatan yang sekarang kosong di Sangling
ini." Para Senapati di Sangling termangu-mangu. Sementara
itu Akuwu Lemah Warah berkata kepada Senapati y ang untuk
sementara memimpin Sangling, "Senapati, Mahisa Bungalan
siap memasuki pendadaran."
Namun setelah melihat ujud Mahisa Bungalan, Senapati
itu berkata, "Kami percayakan segalanya kepada Pangeran
Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah y ang tentu telah
mengenal Senapati Mahisa Bungalan dengan baik."
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Ujud Mahisa Bungalan memang cukup meyakinkan, sehingga
karena itu, maka para Senapati di Sangling menganggap
bahwa mereka tidak perlu lagi untuk mencoba kemampuan
Mahisa Bungalan. Karena itu maka Pangeran Singa Narpada pun berkata,
"Nah, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Senapati
Mahisa Bungalan tidak hanya akan menjadi Akuwu sehari ini.
Tetapi jika ia disetujui, maka ia akan m emasuki satu tatanan
urutan darah baru bagi pemimpin Sangling y ang terputus saat
ini karena sesuatu hal."
Para Senapati dan para pemimpin di Sangling tidak ada
yang m enjawab. Memang ada keinginan bagi para pemimpin
Sangling untuk menyaksikan kemampuan Mahisa Bungalan.
Tetapi tidak seorang pun yang merasa memiliki k emampuan
yang memadai sepeninggal Akuwu Sangling y ang lama.
Namun dalam keheningan itu, tiba-tiba seseorang telah
memasuki bangsal itu. Sehingga seorang Senapati Sangling
telah bertanya kepadanya, "Kenapa kau memasuki bangsal
ini." "Seseorang ingin menghadap, apakah diperkenankan?"
bertanya orang itu. "Tunggu," desis Senapati itu.
Dalam pada itu, maka Senapati itupun kemudian
beringsut Sambil menghormat, memberikan isyarat untuk
berbicara. Pangeran Singa Narpada melihat Senapati itu. Maka
iapun segera tanggap. Senapati itu telah berbicara dengan
seorang pengawal yang memasuki bangsal itu. Karena itu
maka katanya, "Silahkan. Mungkin ada sesuatu y ang penting
disampaikan oleh pengawal itu."
"Ampun Pangeran," berkata Senapati itu, "ada seseorang
yang ingin menghadap."
"Siapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Apakah pengawal itu diperkenankan
menyampaikannya?" bertanya Senapati itu pula.
"Silahkan," jawab Pangeran Singa Narpada.
Senapati itupun memberikan isyarat kepada pengawal
itu untuk bergeser maju. Kemudian Pengawal itupun berkata
kepada Pangeran Singa Narpada, "Ampun Pangeran,
seseorang ingin menghadap. Apakah diperkenankan?"
"Siapa?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Hamba kurang tahu Pangeran," jawab orang itu, "tetapi
ada hubungannya dengan pencalonan Akuwu Sangling."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Biarlah orang itu menghadap."
"Terima kasih Pangeran," sahut pengawal itu.
Sejenak kemudian maka pengawal itupun telah
beringsut keluar. Hanya sebentar. Iapun kemudian telah
masuk lagi bersama seorang y ang bertubuh tinggi kekar dan
berwajah garang. Pangeran Singa Narpada mengerutkan keningnya.
Ketika orang itu kemudian sudah duduk diantara para
pemimpin dari Sangling, maka Pangeran Singa Narpada pun
telah bertanya, "Ki Sanak. Siapakah Ki Sanak, dan ada
persoalan apa dengan Ki Sanak, sehingga Ki Sanak memasuki
pertemuan y ang secara khusus sedang membicarakan
pencalonan Akuwu Sangling ini?"
"Apakah aku berbicara dengan Pangeran Singa
Narpada?" bertanya orang itu.
"Ya," jawab Pangeran Singa Narpada sambil
mengerutkan keningnya, "aku adalah Pangeran Singa
Narpada." "Pangeran," berkata orang itu, "aku adalah Jayaraja.
Saudara sepupu Akuwu Sangling yang terbunuh oleh Akuwu
Lemah Warah. Sebenarnya Kediri tidak berhak mencari calon
pengganti Akuwu Sangling, karena masih ada keluarga Akuwu
Sangling dari keturunan darah laki -laki. Karena itu, maka aku
mohon pencalonan itu dibatalkan. Sebaiknya Kediri
menelusur kembali aliran keturunan darah itu, sehingga
akhirnya menetapkan salah seorang di antara m ereka untuk
menjadi Akuwu di Sangling. Namun sebelumnya aku dapat
memberitahukan, bahwa saudara dari Akuwu Sangling dari
keturunan darah laki -laki tinggal aku seorang diri. Karena itu,
maka akhirnya jabatan Akuwu Sangling itu akan jatuh ke
tanganku." "Atas dasar paugeran apa maka kau dapat m engatakan
demikian itu?" bertanya Pangeran Singa Narpada.
"Atas dasar paugeran y ang berlaku turun temurun.
Akuwu adalah jabatan keturunan. Bukan jabatan pilihan,"
jawab yang meny ebut dirinya Jay araja itu.
"Seandainya kau benar, bagaimana dengan kedudukan
seorang Akuwu y ang telah menentang paugeran dan
melanggar tugas y ang seharusnya diembannya?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. "Akuwu itu harus diganti oleh orang y ang mempunyai
darah keturunan lurus dan laki -laki. Seandainya Akuwu itu
mempunyai saudara laki-laki, maka tidak ada per soalan.
Tetapi tanpa saudara laki-laki, maka sepupu laki-laki dari jalur
keturunan darah yang sama, akan dapat menggantikannya
pula," berkata orang itu.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "untuk
mengangkat kedudukan seorang Akuwu itu ada dasarnya yang
tertulis diatas rontal di Kediri. Bukan hanya sekedar paugeran
yang dapat diucapkan dari ingatan seperti itu. Diantaranya
disebutkan, bahwa seorang Akuwu akan kehilangan haknya,
termasuk keturunannya dan saudaranya dalam garis
keturunan sedarah laki-laki, apabila Akuwu itu menentang
kekuasaan Kediri. Nah, hal ini telah dilakukan oleh Akuwu
Sangling. Ia melawan Akuwu Lemah Warah y ang bertindak
dan ternyata dibenarkan oleh Kediri."
"Kesimpulan itu ditentukan atas dasar selera pribadi,"
sahut orang itu, "namun seharusny a justru Akuwu Lemah
Warah lah yang harus dihukum karena membunuh Akuwu
Sangling. Keduanya mempunyai kedudukan sah yang sama."
Pangeran Singa Narpada memandang orang itu dengan
tajamnya. Kemudian dengan nada keras ia bertanya, " Itukah
penilaianmu terhadap kebijaksanaan Kediri" Kau kira para
pemimpin di Kediri sedemikian bodohnya sehingga tidak tahu
mana yang benar dan mana y ang salah" Atau kau ingin
mendengar pengakuan para saksi yang mengetahui tingkah
laku Akuwu Sangling" Satu diantaranya adalah Ki Buyut di
Bapang" Aku kira mustahil jika kau tidak mengetahuinya.
Mungkin kau salah seorang dari pendukungnya. Ingat, bahwa
aku adalah Pangeran Singa Narpada yang mempunyai
wewenang untuk mengusut lebih jauh mengenai tingkah laku
Akuwu Sangling. Aku masih dapat berbicara dengan saksisak
si." Orang itu mengerutkan dahinya. Agaknya sikap
Pangeran Singa Narpada itu berpengaruh pula atas orang itu.
Meskipun demikian ia masih juga berkata, "Pangeran. Tetapi
pada saat persetujuan dibuat dengan orang-orang Sangling
menjelang pencalonan, maka ada satu syarat yang harus
dipenuhi oleh calon Akuwu."
"Sy arat y ang manakah y ang kau maksudkan?" b ertanya
Pangeran Singa Narpada. "Jika m asih ada orang Sangling yang mampu m engatasi
kemampuan ilmunya, maka ia tidak akan m ungkin menjadi
Akuwu di Sangling. Karena jika demikian maka Sangling tidak
akan menjadi tenang. Justru keributan akan selalu terjadi
karena Akuwu y ang m emegang pemerintahan dan pimpinan
keprajuritan tidak memiliki kemampuan y ang cukup untuk
mengatasinya," berkata orang y ang bertubuh tinggi kekar itu.
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"jadi itukah y ang kau maksud" Apakah menurut pendapatmu
hal itu perlu dilakukan?"
"Perlu sekali Pangeran," jawab orang y ang meny ebut
dirinya bernama Jayaraja itu. "Tanpa pendadaran ilmu, maka
sia -sialah segala macam pilihan yang dijatuhkan atas
seseorang." Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Ketika ia berpaling kepada Mahisa Bungalan, maka sambil
tersenyum Mahisa Bungalan berkata, "Baiklah Pangeran. Aku
kira per sy aratan itu wajar sekali. Aku sama sekali tidak
berkeberatan melakukannya."
"Nah, kau dengar jawaban Senapati Mahisa Bungalan
yang telah dicalonkan menjadi Akuwu Sangling itu?" bertanya
Pangeran Singa Narpada. Lalu, "Nah, sekarang, siapakah yang
akan melakukannya. Apakah kau mempunyai seorang saudara,
kawan atau kadang yang akan melakukannya?"
"Aku sendiri," jawab orang y ang meny ebut dirinya
Jayaraja. "Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "hari ini
kita meny impan sebuah nama dari seorang yang merasa
dirinya terganggu oleh pencalonan ini dan siap melakukan
pendadaran. Semuanya akan dilakukan dua hari lagi. Senapati
Mahisa Bungalan m enunggu sampai esok orang-orang yang
ingin melakukan pendadaran serupa. Semuanya akan
dilakukannya esok pula. Kecuali jika pada pendadaran
pertama Mahisa Bungalan sudah gagal."
"Kenapa menunggu sampai waktu y ang berlarut-larut"
Kenapa tidak sekarang saja" Jika kemudian datang orang lain,
biarlah mereka melakukannya esok atau lusa," bertanya orang
itu. "Kita bukan orang-orang y ang kehilangan nalar," jawab
Pangeran Singa Narpada, "kita menentukan paugeran dalam
permainan ini. Jika kau tidak mau mengikuti paugeran,
silahkan." "Tetapi bukankah ini hanya satu cara?" bertanya
Jayaraja. "Satu cara untuk menghindar" Bukankah begitu?"
bertanya Pangeran Singa Narpada.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi matanya tetap
menyala. "Kau tidak usah tergesa -gesa Ki Sanak. Akuwu Sangling
tidak akan diangkat esok pagi. Semuanya masih harus melalui
jalur yang panjang yang mungkin baru akan selesai dalam
waktu satu atau bahkan dua bulan lagi. Kemudian masih harus
menunggu ketetapan hari wisuda y ang akan ditentukan oleh
para pemimpin di Kediri seandainya pencalonan ini diterima
oleh Sri Baginda dan Sri Maharaja di Singasari," berkata
Pangeran Singa Narpada kemudian.
Orang itu tidak berkata sesuatu lagi. Sementara itu
Pangeran Singa Narpada mengatakan, "besok lusa, arena akan
dibuat di alun-alun. Saksi y ang akan hadir tidak akan dibatasi
jumlahnya. Tetapi tentu akan ada saksi y ang ditunjuk. Nah,
silahkan datang pagi-pagi. Kau adalah orang pertama yang
akan memasuki arena."
"Terima kasih Pangeran," jawab orang itu, y ang
kemudian mohon diri, "aku akan datang dua hari lagi. Aku
akan mey akinkan Pangeran bahwa tidak ada orang lain yang
seharusnya memegang jabatan Akuwu Sangling kecuali orang
yang masih mempunyai jalur keturunan darahnya."
Pangeran Singa Narpada lah yang kemudian tidak
menjawab. Dibiarkannya orang itu kemudian meninggalkan
ruangan. Para Senapati Sangling menarik nafas dalam-dalam.
Akhirnya ada juga orang ingin menjajagi kemampuan Mahisa
Bungalan. Hal itu memang sangat penting artinya. Mereka
akan dapat melihat seberapa jauh kemampuan calon Akuwu
mereka. Meskipun ujud lahiriahnya cukup meyakinkan, namun
belum tentu bahwa ilmu y ang dimilikiny a memang benarbenar
ilmu y ang berarti bagi seorang Akuwu.
Dalam pada itu, pertemuan itu pun kemudian
dibubarkan. Seluruh Sangling pun kemudian menunggu
dengan berdebar-debar dua hari lagi, saat-saat akan dilakukan
semacam pendadaran bagi calon Akuwu. Pendadaran yang
dilakukan oleh orang-orang y ang m enyangsikan k emampuan
calon Akuwu yang datang dari Singasari itu.
Namun di hari berikutnya, tidak seorang pun y ang
datang untuk menyatakan dirinya melakukan pendadaran atas
Mahisa Bungalan. Sehingga dengan demikian maka Jayaraja
adalah satu-satunya orang y ang akan turun ke arena untuk
melakukannya. Sampai saat yang ditentukan, ternyata orang itu
dianggap mewakili keraguan orang-orang Sangling. Para
Senapati Sangling hanya akan menilai sampai batas manakah
kemampuan Mahisa Bungalan y ang telah dicalonkan untuk
menjadi Akuwu di Sangling. Apakah itu juga memiliki
kemampuan dan tingkat ilmu sebagaimana Akuwu Sangling
sebelumnya. Atau dibawahnya.
Namun sikap dan pembawaan Mahisa Bungalan y ang
pada dasarnya adalah seorang Senapati Besar telah cukup
meyakinkan para Senapati Sangling, meskipun mereka merasa
beruntung karena dapat menyaksikan serba sedikit
kemampuan calon Akuwu itu.
Dalam pada itu, di alun-alun Sangling telah disiapkan
arena y ang akan dipergunakan untuk melakukan pendadaran.
Arena y ang disekat dengan gawar, persegi empat dan cukup
luas untuk bertempur dengan landasan ilmu yang tinggi.
Pada saat y ang sudah ditentukan, m aka alun -alun itu
telah penuh dengan orang-orang Sangling yang ingin
menyaksikan pendadaran itu. Sementara itu, di pinggir arena
berdiri Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan
tiga orang Senapati Sangling yang akan menjadi saksi dari
pendadaran itu. Mereka akan berada di luar gawar arena
pendadaran. Tetapi mereka akan dapat mencampuri
pendadaran y ang terjadi di dalam gawar apabila diperlukan.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah, maka ketika saatnya telah tiba, maka
orang yang meny ebut dirinya bernama Jayaraja t elah berdiri
di sebelah arena dengan wajah tengadah. Sekali-sekali
dilontarkan pandangan matanya berkeliling arena. Tubuhnya
yang tinggi besar dan wajahnya yang garang, ternyata telah
memanggil perhatian orang-orang di sekitar arena itu.
Tidak banyak upacara y ang dilakukan. Yang penting bagi
semua pihak adalah pendadaran itu sendiri.
Setelah kedua belah pihak siap di arena, serta diucapkan
paugeran y ang harus ditaati sebagaimana berlaku bagi sebuah
pendadaran y ang dibedakan dengan perang tanding, maka
kedua orang y ang berada di arena itu pun telah bersiap.
Pangeran Singa Narpada ternyata masih memberikan
keterangan lebih lanjut, "Pendadaran ini dilakukan tanpa
batas waktu. Jika sehari ini masih belum dapat ditentukan
siapa y ang kalah dan y ang m enang, maka pendadaran dapat
dilanjutkan di hari berikutnya."
Orang yang bernama Jay araja itu tersenyum. Katanya,
"Tidak sampai matahari sepenggalah, semuanya akan menjadi
jelas." "Apapun y ang terjadi, paugeran itu tetap berlaku," jawab
Pangeran Singa Narpada. Jayaraja justru tertawa. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu. Demikianlah kedua orang y ang tidak bersenjata itu
sudah saling berhadapan. Sikap Mahisa Bungalan tetap sikap
seorang Senapati Besar. Ia tidak terlalu banyak melakukan
gerakan di arena sebelum pendadaran itu mulai. Ia lebih
banyak diam. Namun dengan sikap y ang mey akinkan.
Ketika Pangeran Singa Narpada kemudian m emberikan
isy arat, maka pendadaran itu pun resmi dimulai.
Mahisa Bungalan masih saja bersikap tenang. Sementara
Jayaraja dengan cepat bergeser mendekat. Ternyata Jayaraja
tidak m enunggu terlalu lama. Dengan tiba -tiba saja ia telah
mulai meny erang. Mahisa Bungalan bergerak ke samping untuk
menghindari serangan yang tiba-tiba namun sama sekali tidak
berbahaya itu. Jayaraja sendiri menyadari, bahwa serangan y ang
demikian memang tidak banyak berarti. Tetapi orang itu
berdesis, " Jika kita tidak segera mulai, maka aku t idak akan
berhasil sebelum matahari sepenggalah."
Kata -kata itu memang meny inggung perasaan Mahisa
Bungalan. Tetapi ia justru tersenyum. Dengan sepenuhnya
Mahisa Bungalan menguasai dirinya. Ia sadar bahwa ia sedang
menjalani pendadaran. Yang penting dalam pendadaran itu
bukan sekedar m emenangkannya. Tetapi sikapnya pun harus
menunjukkan sikap y ang besar dan terhormat.
Demikianlah maka pertempuran antara kedua orang itu
pun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya
menunjukkan kecepatan dan kemampuan mereka dalam olah
kanuragan. Namun Mahisa Bungalan yang sedang menjajagi
kemampuan lawannya itu nampaknya masih saja m engikuti
tingkat dan tataran kemampuan lawannya, sehingga dengan
demikian, pertempuran itu seakan-akan menjadi seimbang.
Namun sebenarnyalah orang yang bernama Jayaraja itu
memiliki ilmu y ang tinggi pula. Seperti Mahisa Bungalan,
maka ia pun masih berusaha untuk mengetahui sampai di
mana tingkat kemampuan orang yang bernama Mahisa
Bungalan dan y ang dicalonkan menjadi Akuwu di Sangling itu.
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
menyaksikan pertempuran itu dengan berdebar-debar. Namun
rasa-rasanya bagi mereka, pertempuran itu terlalu lamban.
Keduanya tidak segera meningkatkan ilmu mereka dan
berusaha dengan cepat menyelesaikan pertempuran. Tetapi
keduanya maju setapak demi setapak.
"Mereka terlalu berhati-hati," berkata Akuwu Lemah
Warah di dalam hatinya. Namun Pangeran Singa Narpada berkata kepada dirinya
sendiri, "Mahisa Bungalan tidak mau tergesa-gesa. Ia berusaha
untuk berbuat sebaik-baiknya."
Namun betapapun lambatnya, pertempuran itu pun
telah m eningkat semakin cepat. Jay araja y ang berniat untuk
mengalahkan calon Akuwu itu sebelum matahari sepenggalah
mulai mengarahkan pertempuran itu.
Mahisa Bungalan pun merasakannya. Dengan demikian
ia pun harus mempersiapkan diri untuk memasuki
pertempuran y ang tentu akan menjadi semakin sengit.
Jayaraja tentu akan segera memasuki kemampuan ilmunya
yang dibanggakannya. Para saksi y ang berada di luar gawar memperhatikan
perkembangan pertempuran itu dengan hati yang berdebardebar.
Apalagi mereka yang mendengar, bahwa orang itu
berniat mengalahkan Mahisa Bungalan sebelum matahari
sepenggalah. Sementara itu matahari pun sudah naik semakin
tinggi. Karena itu, m aka m enurut perhitungan Pangeran Singa
Narpada, m aka orang y ang bernama Jayaraja itu pun akan
segera berusaha meny elesaikan pendadaran itu untuk
memenuhi apa yang dikatakannya.
Sebenarnyalah bahwa ketika orang itu m elihat matahari
naik semakin tinggi, orang itu seakan-akan telah dikejar oleh
sesumbarnya sendiri. Karena itu, maka ia pun tidak lagi
membuang banyak waktu. Dengan cepat ditingkatkannya kemampuannya, sehingga
tata geraknya pun telah berubah pula. Tangannya tiba-tiba
sa ja meny ilang di dadanya. Hanya sejenak. Namun kemudian
tangan itu mengembang. Juga hanya sejenak. Tetapi yang
sejenak itu bagi mahisa Bungalan merupakan satu isyarat,
bahwa orang itu telah memasuki satu tataran ilmu tertentu.
Dengan demikian maka Mahisa Bungalan pun harus
berhati-hati. Ia t idak tahu sampai dimana tingkat kekuatan
dan kecepatan gerak lawannya. Namun karena itu maka
Mahisa Bungalan pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi.
Dalam saat yang pendek, Mahisa Bungalan telah mulai
menjajagi kemampuan lawannya itu. Ketika dengan cepat
lawannya meloncat m enyerangnya. Tangannya terayun deras
sekali langsung mengarah ke dadanya.
Mahisa Bungalan merasakan bahwa kecepatan gerak
orang itu meningkat dengan tajamnya. Meskipun demikian,
karena Mahisa Bungalan sudah berada dalam kesiagaan
tertinggi, ia pun sempat menghindarinya.
Mula-mula Mahisa Bungalan tidak begitu tertarik
kepada cara lawannya meny erang. Meskipun setiap serangan
masih dapat dihindarinya, namun Mahisa Bungalan
menganggap serangan lawannya itu tidak memiliki
kekhususan selain kecepatan dan kekuatannya.
Namun akhirnya Mahisa Bungalan m engetahui, bahwa
setiap serangan dilakukan dengan ayunan tangan mendatar.
Tangan itu mula-mula mengembang, kemudian terayun
dengan-deras sekali. Mendatar setinggi dada. Atau sebaliknya.
Tangan itu bersilang di dada. Kemudian tangan itu-terayun ke
arah terbuka. Sisi telapak tangan mengarah ke dada lawannya.
Tetapi selain serangan tangannya, agaknya kaki orang
itu t elah m elengkapi gerak tangannya yang agaknya memang
terlalu miskin bagi ketrampilan olah kanuragan.
Tetapi Mahisa Bungalan y akin, bahwa kemiskinan gerak
itu tentu ada imbangannya. Agaknya kekuatan ayunan tangan
itu demikian besarya, sehingga angin yang meny ertainya,
bagaikan hembusan prahara yang menampar tubuh Mahisa
Bungalan. Mahisa Bungalan mulai menilai gerak lawannya.
Kakiny a mampu bergerak cepat dan ke segala arah. Sekalisekali
kaki itu berputar, kemudian mematuk menyamping.
Tetapi sekali-sekali terayun deras sekali ke depan.
Tetapi kekuatan kaki orang itu tidak sebesar kekuatan
tangannya. Jika tangannya mulai terayun, maka Mahisa
Bungalan akan merasakan sambaran angin yang keras
meskipun tangan itu tidak menyentuhnya.
Dengan demikian maka pertempuran di arena
pendadaran itu menjadi semakin dahsy at. Kedua orang yang
bertanding itu sudah mencapai tataran ilmu mereka yang
tertinggi. Arena y ang luas itu ternyata serasa menjadi sempit.
Kedua orang yang bertempur itu berloncatan dengan cepat,
menyerang bagaikan burung sikatan menyambar bilalang.
Namun kemudian mematuk seperti seekor ular naga yang
menyerang mangsanya. Untuk beberapa saat keduanya masih berhasil
menghindari setiap serangan lawannya. Namun ketika
serangan-serangan itu datang semakin cepat silih berganti,
maka mereka pun mulai saling ber sentuhan.
Ternyata bahwa kekuatan tangan lawan Mahisa
Bungalan itu besar sekali. Ketika Mahisa Bungalan melenting
menghindari kaki Jayaraja y ang terjulur lurus ke samping,
maka tiba-tiba saja kakinya y ang lain telah berputar dengan
cepatnya. Hampir saja tumit Jay araja menyambar lambung
Mahisa Bungalan. Namun Mahisa Bungalan masih sempat
bergeser dengan tergesa -gesa menghindari sentuhan tumit
lawannya. Pada saat y ang demikian itulah, Jayaraja mendapat
kesempatan untuk m engayunkan tangannya. Tangannya yang
memang sudah m enyilang di dada itu tiba-tiba mengembang.
Satu ayunan y ang dahsy at sekali.
Mahisa Bungalan tidak sempat menghindarinya. Karena
itu, maka ia pun telah melindungi dadanya dengan kedua
tangannya. Satu benturan y ang dahsyat memang telah terjadi.
Ternyata bahwa kekuatan orang itu luar biasa sekali. Mahisa
Bungalan telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan ia
telah kehilangan keseimbangannya sehingga Mahisa Bungalan
justru telah menjatuhkan diriny a, berputar mundur dan
kemudian melenting berdiri. Pada saat y ang demikian,
lawannya yang berjanji untuk mengakhiri pendadaran itu
menjelang matahari sepenggalah telah memburunya.
Sekali lagi ayunan mendatar dengan arah sebaliknya.
Tangan orang itu mengembang lurus dan tidak bergerak pada
sikunya, tetapi pada bahunya.
Namun Mahisa Bungalan tidak mau terlempar sekali
lagi. Ia ternyata sempat merendahkan diriny a, sehingga
tangan orang itu tidak menyambarnya.
Tetapi ketika Jayaraja menyadari bahwa tangannya tidak
menyentuh lawannya, maka kakinyalah y ang sekali lagi
berputar cepat sekali menyerang Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan memang tidak sempat mengelak.
Karena itu maka Mahisa Bungalan telah membentur kekuatan
kaki orang itu dengan kedua tangannya.
Berbeda dengan benturan tangannya, maka kaki orang
itu memang tidak terlalu kuat. Karena itu, maka ketika
kakinya membentur tangan Mahisa Bungalan yang
mendorongnya dengan kekuatan y ang besar, maka orang itu
telah t erputar sekali dan justru hampir saja jatuh. Namun ia
masih berhasil m eny elamatkan keseimbangannya sehingga ia
masih tetap berdiri tegak.
Tetapi ia sedang berada dalam pertempuran y ang sengit.
Sementara ia berusaha m emperbaiki k eseimbangannya, maka
Mahisa Bungalan lah yang telah m eny erangnya. Dengan kaki
yang terjulur lurus menyamping, Mahisa Bungalan telah
menyerang dada orang itu.
Jayaraja berusaha untuk mengelak. Ia bergeser
selangkah surut. Tangannyalah yang kemudian terjulur,
menghantam ke arah dadanya pula.
Orang itu tidak sempat mengelak. Namun dalam
keseimbangan y ang g oyah dengan tergesa-gesa ia m elindungi
dadanya. Ternyata serangan Mahisa Bungalan cukup keras,
sehingga keseimbangan orang itu benar-benar telah
terguncang. Ketika tangannya y ang bersilang di dada dikenai
pukulan Mahisa Bungalan y ang keras, maka orang itu telah
terdorong surut. Jay araja lah yang kemudian jatuh terlentang.
Ia harus cepat berguling karena Mahisa Bungalan telah
memburunya pula. Namun ia sempat melenting berdiri ketika
serangan Mahisa Bungalan datang pula bagaikan badai.
Dengan demikian pertempuran menjadi semakin lama
semakin seru. Orang y ang menyebut dirinya Jay araja itu
memang mempunyai kekuatan yang sangat besar yang tersalur
pada gerak tangannya. Karena itu, maka Mahisa Bungalan
selalu menghindari serangan tangannya. Berbeda dengan
kakinya. Kaki orang itu memang sangat lincah. Kakinya
mampu bergerak cepat dan tidak terduga. Tetapi orang itu
ternyata tidak mampu menyalurkan kekuatan ilmunya pada
serangan-serangan kakinya, sehingga karena itu, maka
seakan-akan kekuatan kakinya tidak lebih dari kekuatan
kewadagannya saja, dengan sedikit dukungan tenaga
cadangannya. Namun t ernyata ilmu y ang tersalur lewat tangannya itu
menjadi semakin lama semakin berbahaya. Didukung dengan
kecepatan gerak kakinya, maka ayunan tangannya itu setiap
kali hampir saja meremukkan tulang-tulang Mahisa Bungalan.
Sentuhan y ang sekali-sekali mengenainya, meskipun hanya
pada kulitnya, rasa-rasanya telah mememarkan dagingnya.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan yang selalu
berusaha menghindari sentuhan tangannya itu seakan-akan
telah terdesak. Setiap kali ia berloncatan ke samping dan
bergeser surut. Jayaraja menjadi semakin bernafsu untuk segera
menghancurkan lawannya. Matahari memang sudah naik
sepenggalah. Sebagaimana dijanjikannya, maka j ika matahari
sepenggalah, maka ia akan mengalahkan Mahisa Bungalan
yang sedang dalam pendadaran itu.
Tetapi ketika Mahisa Bungalan pada saat-saat matahari
sepenggalah masih belum dapat dijatuhkannya, maka Jayaraja
tidak saja berpijak pada ilmunya y ang tertinggi. Tetapi ia
benar-benar telah memasuki puncak ilmu yang dimilikinya.
Ilmu andalan y ang jarang sekali dipergunakannya. Namun
untuk dapat memenuhi janjinya, maka katanya di dalam hati,
"Apa boleh buat. Jika calon Akuwu ini m enjadi lumat, maka
sama sekali bukan salahku."
Orang y ang bertubuh tinggi kekar itu pun tiba -tiba justru
telah mengambil jarak. Dikatupkannya telapak tangannya.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa kali ia menggosokkan telapak tangan itu, sehingga
dari telapak tangan yang terkatup itu seakan-akan telah keluar
asap y ang kelabu. Meskipun asap itu hanya tipis saja, namun
ketajaman penglihatan Mahisa Bungalan telah menangkapnya.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya
di dalam hati, "Orang ini agaknya ingin bersungguh-sungguh.
Kekuatan tangannya yang tidak terukur itu akan menjadi
semakin besar dan semakin berbahaya. Sentuhan tangan itu
akan dapat membuat tubuhku lumat jika aku tidak
mengimbanginya." Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan memiliki
kemampuan ilmu Mahisa Agni. Bahkan ia telah berhasil
mengembangkannya sampai pada tataran y ang lebih baik.
Mula-mula Mahisa Bungalan memang menjadi raguragu.
Jika ia mengetrapkan ilmunya itu, apakah tidak akan
berakibat sangat buruk bagi lawannya.
Tetapi ketika ia melihat tangan lawannya itu berasap,
maka ia pun y akin bahwa lawannya m emang seorang yang
memiliki ilmu y ang sangat tinggi pula. Jika ia tidak
mempergunakan puncak ilmunya, maka Mahisa Bungalan
menjadi cemas, bahwa dirinyalah yang akan terkapar di arena.
Yang membuatnya meny esal bukannya kedudukan Akuwu itu
akan terlepas dari tangannya, tetapi bahwa ia telah gagal
karena kelengahannya. Karena itu, ketika orang itu telah bersiap dengan
kekuatan ilmu puncak y ang jarang dipergunakannya itu,
Mahisa Bungalan pun telah bersiap pula. Tetapi Mahisa
Bungalan sama sekali tidak berniat meny erang. Ia akan
bertahan m eskipun sudah bulat tekadnya untuk membentur
ilmu lawannya. Jika ia gagal, maka sepantasnyalah bahwa ia
menarik diri dari pencalonan itu atau bahkan ia tidak sempat
lagi melakukannya. Demikianlah, maka kedua orang yang berada di arena itu
benar-benar sudah sampai ke puncak kemampuan mereka.
Jayaraja yang telah melewati janjinya itu menjadi gelisah,
sementara Mahisa Bungalan lebih banyak menunggu dan
bertahan. Sejenak k emudian, m aka orang y ang bernama Jayaraja
itu benar -benar sudah siap. Tangannya y ang berasap itu mulai
bergerak dengan ay unan y ang berbeda pula. Tangan itu tidak
lagi bergerak mendatar, tetapi tangan itu pun kemudian
terangkat tinggi-tinggi. Mahisa Bungalan memang m enunggu. Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Lemah Warah pun melihat bahwa Mahisa
Bungalan sedang menunggu. Demikian pula para Senapati
Sangling. Bukan saja yang menjadi saksi dalam pertempuran
itu, tetapi para Senapati dan juga prajurit y ang berada di
seputar arena, diantara rakyat Sangling yang ingin melihat,
apakah calon Akuwu yang disediakan bagi mereka benarbenar
seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
memang bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Mahisa
Bungalan hanya sekedar menunggu. Kenapa ia tidak meloncat
dan menyerang dengan garang.
Namun sikap Mahisa Bungalan itu menumbuhkan
kekaguman pada para Senapati. Mahisa Bungalan nampak
sebagai seorang y ang sabar dan tidak dengan hati y ang panas
menghadapi lawannya. Memang sikap Mahisa Bungalan itu agak berbeda
dengan sikap Akuwu Lemah Warah dan lebih-lebih adalah
Pangeran Singa Narpada di peperangan. Pangeran Singa
Narpada adalah seorang Senapati perang y ang tegas dan keras.
Menghadapi lawan seperti orang y ang meny ebut dirinya
Jayaraja itu, Pangeran Singa Narpada tidak akan dapat
bersabar dan menunggu. Dalam pada itu, m aka Jay araja itulah tidak sabar lagi.
Apalagi batas yang ditentukan telah lewat. Matahari telah jauh
melampaui batas sepenggalah.
Karena itu, ketika kekuatan ilmu puncaknya telah
terungkap pada telapak tangannya, serta tangan itu telah
terangkat tinggi-tinggi, maka Jayaraja tidak lagi
memperhitungkan apa pun juga. Ia y ang merasa memiliki
kekuatan ilmu tidak terlawan, menganggap bahwa ilmunya itu
tidak akan t ertahankan lagi. Ilmunya itu akan m enghantam
Mahisa Bungalan dan akan menghancurkannya.
Mahisa Bungalan m elihat sikap dan langkah lawannya.
Dalam sekila s Mahisa Bungalan melihat, bahwa lawannya
benar-benar telah berada pada puncak kemampuannya.
Karena itu, maka Mahisa Bungalan pun tidak mau
Memburu Kereta Api Hantu 1 Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan Nurseta Satria Karang Tirta 8
^