Hijaunya Lembah Hijaunya 30
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 30
membiarkan dirinya dilumatkan oleh lawannya itu, sehingga
ia pun benar-benar telah bersiap sepenuhnya. Bahkan
kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari Mahisa Agni pun
telah dipersiapkannya. Dalam sikapnya y ang bertahan, maka
Mahisa Bungalan telah menyilangkan tangannya. Namun daya
tahannya y ang dilandasi dengan ilmunya, bagaikan tegaknya
batu karang yang tidak tergoy ahkan oleh benturan gelombang
dan prahara. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu
menahan nafas mereka. Ketegangan benar-benar
mencengkam ketika orang-orang yang menyaksikan itu
melihat, bahwa Mahisa Bungalan sama sekali tidak berusaha
untuk menghindar, tetapi langsung membentur serangan
lawannya. Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka benturan y ang
dahsy at itu akan terjadi. Tangan Jayaraja terayun dengan
derasnya langsung mengarah ke dahi Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan pun telah mengangkat tangannya
yang bersilang. Dengan demikian, maka tangan Jay araja yang terayun
itu telah membentur tangan Mahisa Bungalan yang bersilang.
Dengan sengaja Jayaraja tidak m enggeser arah serangannya,
meskipun ia m elihat tangan Mahisa Bungalan yang bersilang
itu m elindungi dahinya. Menurut perhitungan Jayaraja, maka
serangannya itu akan dapat menghancurkan tangan yang
bersilang itu. dan sekaligus dahi Mahisa Bungalan.
Di dalam hatinya ia berkata, "Bukan salahku jika tulang
tengkorakmu pecah. Kau sudah berani mencalonkan dirimu
menjadi Akuwu Sangling dan membuka say embara bagi
pendadaranmu. Karena itu kau harus sudah
memperhitungkan akibat seperti ini."
Demikianlah maka sejenak kemudian, benturan y ang
dahsy at itu telah terjadi. Tangan Jayaraja y ang diay unkan itu
benar-benar t elah m embentur tangan Mahisa Bungalan yang
bersilang. Namun y ang tidak diduga oleh Jay araja adalah alas ilmu
yang dipergunakan oleh Mahisa Bungalan adalah ilmu
Gundala Sasra. Meskipun Mahisa Bungalan tidak meloncat
dan m engayunkan ilmu itu, namun dalam ungkapannya yang
lain, i lmu itu telah menjadi perisai y ang tidak tertembus oleh
kekuatan ilmu Jay araja. Bahkan tangan Jayaraja yang
membentur kekuatan ilmu Mahisa Bungalan yang telah
dilepaskan lewat tangannya yang bersilang itu bagaikan
membentur dinding baja. Kekuatan yang ter salur lewat
ayunan tangannya itu bagaikan berbalik memukul bagian
dalam tubuh Jay araja sendiri.
Terdengar keluhan tertahan, Mahisa Bungalan memang
berguncang dan terdorong surut. Tetapi keadaannya tidak
menyulitkannya. Meskipun ia harus berusaha untuk
mempertahankan keseimbangannya dan berusaha mengatasi
rasa sakit y ang m enghentak sampai k e dada. Namun Mahisa
Bungalan masih tetap berdiri di atas kedua kakinya.
Sementara itu lawan Mahisa Bungalan itu bagaikan
terlempar dan terbanting jatuh ke tanah. Kekuatan yang
memental di dalam dirinya benar-benar menghentak di dalam
dadanya, serasa meruntuhkan jantungnya. Jika ia memang
melenting surut, maka Jayaraja memang berusaha untuk
mengurangi akibat benturan y ang terjadi, meskipun agak
terlambat. Namun demikian, ia masih juga t idak dapat
mempertahankan keseimbangannya dan jatuh di tanah.
Perasaan sakit di dalam dadanya bagaikan tidak
tertahankan. Bagaimanapun juga ia berusaha mengatasi rasa
sakitny a, namun dari bibir Jay araja itu akhirnya meleleh juga
darah y ang merah. Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Ia melihat
Jayaraja menggeliat. Tetapi di wajahnya nampak betapa ia
bertahan dari rasa sakit yang mencengkam.
Beberapa saat Mahisa Bungalan m enunggu. Ia sendiri
perlahan-lahan telah berhasil mengatasi rasa sakit di dadanya.
Sementara itu Jayaraja dengan susah pay ah berusaha untuk
bangkit. Namun ia hanya mampu berdiri pada lututnya.
Tubuhnya rasa-rasanya tidak kuat lagi untuk berdiri tegak
pada kedua kakinya. Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan para
Senapati yang menjadi saksi dari pendadaran itu telah
memasuki arena. Dengan nada rendah Pangeran Singa
Narpada berkata, "Ki Sanak. Menurut pengamatan para saksi,
pertempuran ini sudah dianggap selesai."
"Tidak," jawab Ki Jayaraja, "aku masih mampu
mengalahkannya. Aku akan memilin lehernya sampai patah."
"Apakah kau tidak mengakui keny ataan ini?" bertanya
Akuwu Lemah Warah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia
memandang Mahisa Bungalan, maka Mahisa Bungalan masih
tetap berdiri tegak bahkan sempat tersenyum dan berkata, "Ki
Sanak. Apakah pendadaran ini sudah selesai?"
"Persetan." geram orang itu.
Tetapi ia memang tidak dapat mengingkari keny ataan.
Mahisa Bungalan nampaknya masih tetap tegar. Sementara itu
senyumnya membuat hatinya semakin panas.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "Menurut
penilaian kami, Ki Sanak ternyata tidak mampu mengatasi
kemampuan Mahisa Bungalan. Jika kalian m elakukan perang
tanding, maka Mahisa Bungalan masih mempunyai
kesempatan untuk meny elesaikannya justru pada saat kau
tidak berdaya. Karena ia mempunyai hak untuk menentukan,
apakah lawannya akan mati atau dibiarkan hidup. Tetapi
karena kali ini kalian tidak sedang melakukan perang tanding,
maka kau akan tetap hidup meskipun kau sudah tidak mampu
lagi mengadakan perlawanan."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Berpegangan
pada tiang gawar maka ia pun telah bangkit berdiri. Namun
rasa-rasanya dadanya memang bagaikan retak. Sementara itu,
di sudut bibirnya nampak titik -titik darah yang merah.
"Luka dalammu berdarah," berkata Pangeran Singa
Narpada, "kau harus segera mendapat pengobatan. Jika tidak,
maka keadaanmu mungkin akan dapat menjadi semakin
berbahaya." Orang itu memang merasakan titik -titik hangat di
mulutnya. Ketika mengusap dengan punggung telapak
tangannya, maka ia memang melihat darah.
"Nah," berkata Pangeran Singa Narpada, "apakah kau
masih belum y akin akan kemenangan Senapati Mahisa
Bungalan?" Orang itu termangu -mangu. Karena ia tidak segera
menjawab, maka Akuwu Lemah Warah y ang mulai tidak sabar
berkata, "Kami menentukan Ki Sanak telah kalah. Senapati
Mahisa Bungalan m emenangkan pertempuran dalam rangka
pendadaran ini. Namun jika Ki Sanak tidak mengakui
kekalahan ini dan masih akan meneruskan pertempuran,
maka y ang terjadi adalah tanggung jawab Ki Sanak sendiri.
Nah, aku tidak mempunyai waktu untuk m enjadi saksi dari
kelanjutan pendadaran ini y ang akan menjadi perang
tanding." Jayaraja termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata,
"Sebelum kekuatanmu pulih kembali. Sri Baginda di Kediri
sudah mengambil keputusan. Jika Akuwu yang baru sudah
diwisuda, maka setiap orang yang menentangnya adalah
seorang pemberontak."
Jayaraja tidak segera menjawab. Namun ia memang
tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia berbicara dihadapan
sak si-saksi yang telah mengambil keputusan.
Karena itu, m aka katanya, "Baiklah. Aku akan tunduk
kepada para sak si yang m emimpin pendadaran ini. Namun
ingat, bahwa aku tidak pernah mengakui kekalahan ini."
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bagi mereka dan
para saksi yang lain pendadaran itu sudah selesai.
Para Senapati dan para prajuritku menganggap bahwa
pendadaran itu m emang sudah selesai. Orang y ang mengaku
Jayaraja itu ternyata tidak mampu membatalkan pencalonan
Mahisa Bungalan. Bahkan pada saat terakhir nampak bahwa
Mahisa Bungalan memiliki ilmu pada tataran y ang jauh lebih
tinggi dari ilmu Jayaraja, meskipun sebelumnya Mahisa
Bungalan sempat membuat orang-orang y ang menyaksikan
pendadaran itu menjadi berdebar-debar.
"Seorang y ang luar biasa," desis seorang Senapati
Sangling, "ia memang pantas untuk menduduki jabatan yang
kosong di Sangling meskipun barangkali ia masih harus
membentuk dirinya dan meny esuaikan dengan keadaan
Sangling y ang barangkali berbeda dengan Singasari."
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Kelihatannya
ia sama sekali tidak kehilangan tenaganya untuk mengalahkan
orang y ang bernama Jayaraja y ang semula cukup
mendebarkan jantung."
Seorang perwira y ang lain lagi berkata, "Senapati Mahisa
Bungalan ternyata bukan saja seorang y ang memiliki ilmu
yang tinggi, tetapi ia pun seorang pemimpin y ang berwibawa."
Dalam pada itu, maka orang y ang menyebut dirinya
Jayaraja itu pun telah menyelinap keluar dari arena. Dua
orang meny ongsongnya dan membawa pergi.
Sepeninggal orang itu, m aka Pangeran Singa Narpada
pun menyatakan bahwa pendadaran sudah selesai, karena
tidak ada orang lain yang menolak pencalonan Mahisa
Bungalan dengan cara seperti yang baru saja terjadi.
Orang-orang Sangling, termasuk para prajurit dan para
Senopati memang sudah merasa puas dengan sikap Mahisa
Bungalan, selain ilmunya y ang tinggi. Pendadaran yang
meskipun hanya satu kali itu cukup membuktikan, bahwa
Mahisa Bungalan pantas untuk menjadi Akuwu Sangling.
Namun dalam pada itu selagi orang-orang Sangling
termasuk para prajurit dan Senapati mengagumi Mahisa
Bungalan, maka seseorang telah hadir pula di pinggir arena
itu. Seorang yang membuat para prajurit dan Senapati
Sangling menjadi berdebar-debar. Bahkan Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Sangling pun menjadi berdebar-debar
pula. "Sang Akuwu," berkata orang itu, "apakah Sang Akuwu
mengenal aku?" Akuwu Lemah Warah termangu -mangu. Sementara
orang itu berkata, "Aku adalah guru Akuwu Sangling yang
telah terbunuh di padepokan Suriantal. Aku adalah orang yang
telah mengambil saudara seperguruannya. Ingat?"
Akuwu Lemah Warah menjadi berdebar-debar. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Kaulah y ang mengaku
guru Akuwu Sangling. Sekarang, apakah kepentinganmu
datang kemari justru pada saat ini?"
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "jangan cemas.
Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan m emasuki
arena y ang m embatalkan pencalonan ini. Aku m elihat orang
yang dicalonkan untuk memegang jabatan Akuwu Sangling itu
memiliki ilmu Gundala Sasra. Karena itu maka ia adalah orang
yang pantas sekali menjadi Akuwu di Sangling. Karena
menurut pengamatanku, orang-orang yang memiliki i lmu itu
adalah orang-orang y ang memiliki landasan bukan saja
kewadagan, tetapi juga kejiwaan y ang pantas bagi seorang
pemimpin. Karena itu maka aku guru Akuwu Sangling yang
telah terbunuh itu ikut serta mendukung keputusan
pendadaran ini, bahwa Mahisa Bungalan Senapati Besar dari
Singasari ditetapkan menjadi Akuwu di Sangling. Namun
segala sesuatunya tergantung kepada penguasa di Kediri dan
Singasari. Apalagi Mahisa Bungalan masih cukup muda,
sehingga aku yakin bahwa ilmu dan kemampuannya akan
dapat berkembang jauh."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Terima kasih. Kami berharap bahwa Ki Sanak akan
dapat membantu kami, ikut serta menegakkan pemerintahan
di Sangling untuk selanjutnya."
"Aku mengerti Akuwu," berkata orang itu, "tetapi aku
berkata dengan tulus, bahwa aku akan berusaha membantu
Akuwu Sangling yang baru. Syukurlah jika Mahisa Bungalan
yang memiliki jalur ilmu Gundala Sasra itu akan benar-benar
diangkat m enjadi Akuwu Sangling. Aku akan m embantunya
jauh lebih besar daripada saat muridku menjadi Akuwu,
karena aku tahu, bahwa sebenarnya secara jiwani muridku
masih belum pantas untuk menduduki jabatan itu. Hanya
karena jalur keturunan sajalah maka ia dapat mencapai
jenjang kedudukan y ang seharusnya tidak dijabatnya."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Kami sangat berharap kebenaran kata-kata Ki Sanak."
"Aku bukan orang yang bercabang lidah," berkata orang
itu, "karena itu, kalian akan melihat kebenaran kata-kataku."
Akuwu Lemah Warah hanya mengangguk-angguk saja,
sementara orang itu berkata kepada Mahisa Bungalan, "Orang
muda. Mudah-mudahan kau mendapatkan kesempatan itu."
"Terima kasih," jawab Mahisa Bungalan.
Orang itu pun kemudian berkata, "Aku minta diri. Segala
sesuatunya terserah kepada Akuwu Lemah Warah dan kepada
Pangeran Singa Narpada yang bertindak atas nama
pemerintahan di Kediri."
Dengan demikian, maka orang itu pun segera
meninggalkan alun-alun Sangling y ang masih dipenuhi oleh
rakyat Sangling serta para prajurit dan para Senapati.
Sepeninggal orang itu. maka Akuwu Lemah Warah pun
menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia
bergumam, "Aku percaya kepadanya. Ia tentu benar-benar
akan membantu tegaknya pemerintahan di Sangling. Orang
itu, yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling yang lama
memang memiliki ilmu yang luar bia sa."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Jika demikian maka upacara ini dapat diakhiri."
"Ya Pangeran," berkata Akuwu Sangling, "pertemuan
khusus ini memang sudah dapat diakhiri."
Demikianlah m aka Pangeran Singa Narpada pun telah
memerintahkan para Senapati Sangling untuk m embubarkan
upacara itu. Agaknya pencalonan Mahisa Bungalan sudah
berhasil melangkahi satu tahap. Selanjutnya persoalannya
akan ditentukan di Kediri dan di Singasari. Jika Sri Baginda
Kediri tidak berkeberatan, maka persoalannya akan m enjadi
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih rancak. Sri Baginda di Singasari tentu tidak akan
berkeberatan jika Mahisa Bungalan memohon kesempatan
untuk menduduki jabatan itu. Sedangkan Sri Baginda di Kediri
sebagian terbesar tergantung kepada Pangeran Singa Narpada.
Ketika para pemimpin dari Kediri, dari Lemah Warah
dan Mahisa Bungalan kembali ke istana Akuwu Sangling,
maka sambutannya pun menjadi semakin baik. Tahap yang
sudah dilalui oleh Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah cukup
menentukan. Karena itu hampir pasti bahwa Mahisa Bungalan
akan menjadi Akuwu di Sangling.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak ingin tinggal di Sangling
terlalu lama. Ia m asih harus kembali ke Singasari. Tetapi ia
masih akan singgah di padepokan Suriantal, melihat kedua
adiknya y ang sedang sibuk dengan batunya yang kehijauhijauan
itu. "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan ikut
bergembira mendengar keputusan itu," berkata Mahisa
Bungalan. "Ya," jawab Akuwu Lemah Warah, "namun agaknya
mereka masih saja asyik dengan batunya itu."
Dalam pada itu ternyata rakyat Sangling telah
mendapatkan calon pemimpinnya yang baru, yang menurut
pengamatan mereka cukup meyakinkan. Bahkan guru Akuwu
Sangling yang lama pun menyatakan bahwa Senapati Mahisa
Bungalan adalah calon y ang tepat. Orang y ang meny ebut
dirinya guru Akuwu Sangling itu justru berjanji untuk
membantu Mahisa Bungalan jika ia berada dalam kesulitan.
Dengan demikian, maka menurut dugaan orang-orang
Sangling termasuk para prajurit dan Senapatinya, bahwa masa
depan Sangling akan menjadi lebih baik. Menurut dugaan
mereka. Senapati Mahisa Bungalan bukan seorang y ang tamak
dan mementingkan diri sendiri. Bahkan nampak pada sorot
matanya dan tingkah lakunya, bahwa ia memiliki kesabaran.
Dalam pada itu setelah bermalam di Sangling semalam
lagi, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan
Mahisa Bungalan minta diri kepada Senapati yang untuk
sementara memerintah di Sangling. Mereka akan pergi ke
Kediri. Namun mereka akan singgah di padepokan Suriantal.
Dengan para pengawal yang dibawa oleh Akuwu Lemah
Warah dari padepokan, maka mereka telah meninggalkan
Pakuwon Sangling. Satu perjalanan yang cukup panjang.
Tetapi mereka menempuh jarak itu dengan berkuda, sehingga
waktu y ang diperlukannya memang tidak sepanjang jika
mereka berjalan kaki, meskipun kadang-kadang kuda-kuda
mereka pun harus merangkak tidak lebih cepat dari orangorang
y ang berjalan kaki. Namun pada kesempatan lain kuda
mereka sempat berpacu dengan cepat.
Kedatangan mereka di padepokan telah disambut
dengan gembira oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sebelum Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa yang
terjadi di Sangling. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mengajak Mahisa Bungalan dan bahkan bersama
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah untuk
melihat batu hijaunya. Untuk tidak m engecewakan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka ketiganya, bahkan beberapa orang prajurit
pengawalnya telah mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
ke tengah-tengah padepokan, tempat mereka meletakkan batu
yang sedang digarap untuk menjadi sebuah patung y ang besar
dan baik, y ang menggambarkan sepasang ular naga di satu
sarang. Sebenarnyalah Mahisa Bungalan menjadi kagum.
Demikian pula Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah
Warah. Dalam waktu y ang pendek, kerja itu sudah nampak
memberikan batasan bentuk.
"Kakak beradik itu m emang luar biasa," berkata Mahisa
Bungalan. Namun Mahisa Murti berkata, "Mereka dibantu oleh dua
orang penghuni padepokan ini. Meskipun mereka tidak
setrampil kedua orang prajurit itu, namun kerja mereka cukup
dapat membantu kedua orang prajurit itu. Sebelumnya tidak
ada y ang pernah m engatakan kemampuan kedua orang itu.
Namun ketika keduanya melihat kedua pemahat itu bekerja,
maka mereka menyatakan kesediaan mereka untuk
membantu. Ketika Mahisa Bungalan mendekat, maka memang
dilihatnya di samping dua orang pemahat dari Singasari, dua
orang lain telah membantunya meskipun hanya sekedar
melakukan sebagaimana bentuk yang telah ditentukan oleh
perwira Singasari y ang kebetulan juga seorang pemahat.
"Mudah-mudahan dengan demikian patungmu akan
lebih cepat selesai," berkata Mahisa Bungalan.
"Ya. Kakang," jawab Mahisa Murti, "aku segera ingin
membawa ke Singasari dan mempersembahkannya kepada Sri
Maharaja." Mahisa Bungalan tertawa. Namun kemudian katanya,
"Apakah kami tidak kau per silahkan duduk" Demikian kami
datang, maka kami langsung kau bawa kemari."
"O"," kedua anak muda itu tiba-tiba menyadari. Karena
itu maka Mahisa Murti pun berkata, "Marilah, silahkan duduk
di pendapa." Baru kemudian, ketika telah dihidangkan minuman
panas bagi mereka yang baru datang dari Sangling, kedua anak
itu bertanya tentang pendadaran bagi Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan terseny um. Katanya, "Yang Maha
Agung telah memberikan kesempatan kepadaku untuk
mengatasi pendadaran itu."
"Jadi kakang ditetapkan sebagai calon itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Ya," jawab Mahisa Bungalan, "namun seterusnya
tergantung kepada Kediri dan Singasari."
Namun Mahisa Pukat bergumam hampir di luar
sa darnya, "Semuanya akan teratasi. Kediri akan tergantung
kepada Pangeran Singa Narpada, sementara Singasari dapat
berbicara dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra."
"Kau kira semudah itu?" bertanya Mahisa Bungalan,
"bagaimanapun juga Pangeran Singa Narpada harus
menunggu keputusan Sri Baginda di Kediri, sedangkan paman
Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai wewenang
menentukan apa -apa, meskipun keduanya wenang
menyampaikan pendapatnya."
"Ya. y a," dengan serta merta Mahisa Pukat menyahut,
"maksudku juga demikian."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, "Aku
mengerti maksudmu. Mudah-mudahan pendapatku akan
mempunyai arti dihadapan Sri Baginda di Kediri."
"Ya Pangeran," desis Mahisa Pukat sambil
menganggukkan kepalanya. "Mudah-mudahan."
Pangeran Singa Narpada tertawa pendek. Tetapi ia tibatiba
saja bertanya, "berapa pekan patungmu akan siap."
"Aku tidak tahu Pangeran," jawab Mahisa Murti,
"tergantung sekali kepada kemungkinan-kemungkinan yang
akan t erjadi pada saat mereka meny elesaikan pekerjaan itu.
Jika tidak ada hambatan dan kesulitan, maka patung itu akan
selesai dalam waktu satu bulan lebih sedikit."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Nampaknya para pemahat itu telah bekerja tanpa m engenal
waktu. Bahkan kadang-kadang mereka bekerja sampai malam
dengan mempergunakan lampu-lampu obor.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah memperingatkan
mereka, agar tidak perlu bekerja terlalu keras. Mereka tidak
dikejar oleh waktu, karena y ang mereka kerjakan itu
tergantung sekali kepada mereka sendiri.
"Aku ingin mencapai bentuknya lebih dahulu," berkata
perwira prajurit Singasari yang memimpin pembuatan patung
itu, "baru kemudian aku akan dapat bekerja lebih lam ban."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat
mencegahnya. Para pemahat y ang lain pun nampaknya
bekerja pula dengan mantap tanpa mengenal lelah. Agaknya
mereka memang ingin mencapai satu bentuk dasar dari
pembuatan patung itu lebih dahulu.
Ketika hal itu disampaikannya kepada Pangeran Singa
Narpada, maka Pangeran itu m enyahut, "Kadang-kadang kita
memang tidak dapat mengekang kemauan mereka
menumpahkan gejolak yang ada didalam diri m ereka. Namun
pada saatnya mereka akan mengatur diri mereka sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Agaknya ia pun memperlakukan para pemahat itu
sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah
menyatakan pula maksudnya untuk membawa sebagian
prajurit Lemah Warah y ang masih ada di padepokan itu
kembali. Meskipun demikian, di padepokan itu akan
ditinggalkan sekelompok prajurit y ang akan dapat membantu
isi padepokan itu termasuk pengamanan batu yang sedang
dipahat untuk dijadikan patung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
menyerahkan segalanya kepada Akuwu Lemah Warah. Namun
agaknya di padepokan itu memang terdapat cukup banyak
prajurit Lemah Warah. Terutama untuk menghadapi sikap
Sangling, pada waktu itu.
"Sementara itu, Ki Buyut Bapang akan aku bawa.
Demikian pula beberapa orang tawanan yang lain y ang masih
tersisa disini," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Terima kasih Akuwu," berkata Mahisa Murti, "dengan
demikian maka pekerjaan kami disini akan menjadi jauh
berkurang." "Tetapi kalian m asih mempunyai tanggungan," berkata
Akuwu Lemah Warah, "kita tidak tahu, apakah orang-orang
yang mengingini batu itu masih belum membatalkan niatnya."
"Kami akan tetap berhati-hati," berkata Mahisa Murti.
Malam itu Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah
Warah dan Mahisa Bungalan sempat memberikan beberapa
pesan. Di hari berikutnya mereka memang masih akan berada
di padepokan itu sehari. Namun mereka akan sibuk dengan
persiapan-persiapan. Sebagian dari prajurit Lemah Warah
akan mengikuti Akuwu kembali ke Lemah Warah, sedangkan
sekelompok di antara mereka akan tetap ditinggalkan di
padepokan itu, untuk membantu jika padepokan kecil itu
mendapat kesulitan. Meskipun orang-orang y ang ada
dipadepokan itu, y ang bukan saja orang Suriantal tetapi
agaknya sudah bercampur baur. namun dengan susah payah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatukan mereka
menjadi satu keluarga besar, yang bersama-sama bertanggung
jawab atas padepokan itu.
Demikianlah, m aka seperti yang sudah diperhitungkan
sebelumnya, maka di hari berikutnya. Akuwu Lemah Warah
telah sibuk mempersiapkan pasukannya. Senapati prajurit
Lemah Warah harus membagi pasukannya, dengan
meninggalkan sekelompok prajurit di padepokan itu.
Pa da hari yang ditentukan, di hari berikutnya, maka
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan akan meninggalkan padepokan itu diiringi oleh
sebagian dari prajurit Lemah Warah y ang masih ada di
padepokan itu. Menurut rencana prajurit Lemah Warah itu
sedikit demi sedikit akan dikurangi. Pa sukan y ang akan
mengganti pa sukan yang telah ada di padepokan akan selalu
disusut, sehingga akhirnya padepokan Suriantal itu akan
mampu menjaga dirinya sendiri. Apalagi jika batu yang
berwarna kehijauan itu sudah tidak lagi berada di padepokan
itu, maka padepokan itu agaknya tidak akan diganggu lagi oleh
orang lain. Ketika matahari kemudian mulai memanjat naik, sebuah
iring-iringan telah meninggalkan padepokan itu. Dari pintu
gerbang y ang terbuka, pasukan Lemah Warah beriringan
keluar diantar oleh para penghuni sampai diluar pintu
gerbang. Sepeninggal mereka, maka di hati para penghuni
padepokan itu justru telah tumbuh rasa tanggung jawab yang
lebih besar. Padepokan itu pada satu saat akan ditinggalkan
oleh seluruh prajurit Lemah Warah, sehingga semua tanggung
jawab berada di pundak mereka masing-masing.
Karena itu maka para penghuni padepokan Suriantal itu
harus segera berbenah diri. Mereka harus benar-benar
menjadi dewasa dan tidak mempercayakan perlindungan diri
kepada orang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berpikir
demikian pula. Karena itu, maka di hari-hari berikutnya, di
samping kesibukan dengan patung batu hijaunya, maka ia pun
mulai membicarakan kemungkinan untuk menempa isi
padepokan itu. Agar jika terjadi sesuatu, mereka akan dapat
berbuat lebih baik dari y ang pernah mereka lakukan.
"Kalian sudah cukup baik," berkata Mahisa Murti,
"tetapi yang baik itu akan dapat menjadi semakin baik."
Ternyata para penghuni padepokan itu menyambut
sikap itu dengan gairah y ang tinggi. Ternyata sebagian besar
dari mereka mempunyai landasan berpikir seperti Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian maka
mereka pun telah berusaha membantu dengan sekuat-kuat
tenaga mereka. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berusaha untuk meningkatkan kemampuan para
penghuni padepokan itu. Dengan sungguh-sungguh pula
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m enghilangkan jarak antara
mereka y ang satu dengan yang lain, sehingga para penghuni
itu semakin merasa satu. Meskipun mereka masih mempergunakan ragam senjata
yang berbeda, namun mereka tidak lagi merasa bahwa mereka
memang berasal dari banyak perguruan.
Untuk memberikan tuntunan yang semakin mantap,
maka Mahisa Murti telah m embagi penghuni padepokan itu
menjadi kelompok-kelompok y ang dengan sengaja telah
dicampur baurkan. Setiap kelompok mendapat penilikan
secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dibagi
menurut-urutan, maka mereka setiap hari mendapat
kesempatan untuk secara langsung ditangani oleh kedua anak
itu, bergantian. Meskipun tidak dengan serta merta, namun usaha itu
menunjukkan hasilny a juga. Perlahan-lahan namun para
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghuni itu merasa bahwa kemampuan mereka memang
semakin meningkat. Ketrampilan mereka mempergunakan
senjata menjadi semakin tinggi pula.
Namun untuk masa depan yang lebih panjang, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan orang-orang
yang dapat membantunya, menempa para penghuni
padepokan itu. Karena itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memilih dua puluh lima orang y ang mendapat
tuntunan secara khusus. Setiap hari mereka ditempa oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menjelang matahari t erbit
kedua puluh lima orang itu harus sudah siap. Mereka harus
sudah berada di sanggar terbuka, di bagian belakang
padepokan mereka. Keduapuluh lima orang itu mendapat latihan-latihan
yang berat di setiap pagi sejak terang tanah sampai matahari
sepenggalah. Sedangkan di sore hari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mengadakan latihan-latihan bagi kelompok-kelompok
yang ada di padepokan itu.
Perwira prajurit Singasari y ang kebetulan juga pemahat
itu heran melihat ketrampilan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menangani isi padepokan y ang semula berasal dari beberapa
perguruan. Meskipun keduanya masih muda, namun ternyata
bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk mengatur
padepokan itu dengan baik, selain keduanya memang berilmu
tinggi. Sementara itu, isi padepokan itu sendiri telah berusaha
keras untuk mengikuti petunjuk dan usaha Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, karena mereka pun merasa ikut bertanggung
jawab atas padepokan itu.
"Jika musuh darimana pun asalnya datang, maka kita
semuanya bertanggung jawab. Jika mereka berhasil memasuki
padepokan ini, sa sarannya adalah kita semua. Mereka tidak
akan m emilih satu dua orang di antara kita. Tetapi semua,
karena kita memang menjadi satu keluarga." Dengan demikian
maka keluarga yang ada di dalam padepokan itu semakin lama
menjadi semakin luluh, sehingga mereka tidak lagi merasa
berasal dari beberapa perguruan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berniat
merubah nama padepokan itu. Agar tidak berkesan bahwa
padepokan itu terdiri dari banyak padepokan, maka namanya
Suriantal harus tidak dipergunakan lagi. Karena nama itu akan
selalu mengingatkan bagian dari seluruh isi padepokan itu.
"Tetapi kita sebaiknya mengadakan pembicaraan dengan
Akuwu," berkata Mahisa Murti kepada penghuni padepokan
itu y ang setelah sependapat pula untuk mengganti nama
padepokan itu dengan nama yang lebih sesuai dengan
keadaannya kemudian. Karena itu, maka mereka tidak tergesa-gesa menetapkan
nama baru bagi padepokannya, meskipun ada juga di antara
orang-orang padepokan itu y ang mulai mereka-reka nama
baru. Sementara para penghuni padepokan itu sibuk dengan
usaha mereka menempa diri, empat orang telah sibuk dengan
kerja m ereka sendiri. Seorang perwira prajurit Singasari yang
kebetulan adalah seorang pemahat tengah membentuk ujud
dasar dari patungnya dibantu oleh tiga orang lainnya.
Keempat orang itu nampaknya tidak menghiraukan apa yang
terjadi di padepokan itu. Mereka sama sekali tidak
mempedulikan latihan-latihan yang berat, penempaan diri di
setiap hari dan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan
yang lain. Mereka telah tenggelam dalam kerja m ereka yang
memang memerlukan pemusatan nalar budi.
Nampak pada saat-saat senggang, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sempat juga menunggui kerja mereka. Jika satu
dua masih juga terdapat binatang berbisa, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat lah y ang harus membunuh beberapa ekor
binatang berbisa yang terdapat di celah-celah batu yang besar
itu. Perlahan-lahan namun pasti bentuk yang dikehendaki
oleh pematung itu pun mulai nampak.
"Dalam beberapa hari ini, kau akan melihatnya," berkata
pemahat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Kami tidak
tergesa -gesa. Karena itu kau tidak perlu bekerja terlalu keras."
Tetapi pemahat itu tersenyum. Katanya, "jangan
risaukan kami. Sudah menjadi kebiasaan kami bekerja seperti
ini. Selagi hati kami terbuka. Namun jika suatu saat kami ingin
berhenti dan tidur, maka kami akan tidur berhari-hari, tanpa
menyentuh batu ini sama sekali."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat mengatur
apalagi memaksa cara kerja para pemahat itu.
Sementara itu, perjalanan Akuwu Lemah Warah,
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah sampai
ke Pakuwon Lemah Warah. Mereka masih akan meneruskan
perjalanan ke Kediri, untuk menyampaikan pencalonan
Mahisa Bungalan kepada Sri Baginda di Kediri.
Namun mereka telah beristirahat di Pakuwon Lemah
Warah. Dua malam mereka telah meneruskan perjalanan
menuju ke Kediri. Kehadiran mereka di Kediri, telah diterima dengan baik
oleh Sri Baginda. Demikian seorang Pelayan Dalam
menyampaikan kehadiran Pangeran Singa Narpada, maka Sri
Baginda telah memberi kesempatan untuk menghadap.
Pangeran Singa Narpada telah menghadap bersama
Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan.
"Bagaimana dengan usahamu?" bertanya Sri Baginda.
"Ampun Sri Baginda," berkata Pangeran Singa Narpada,
"atas restu Sri Baginda, maka usaha hamba sudah berhasil.
Hamba telah m embawa seorang calon bagi Akuwu Sangling.
Bahkan telah kami hubungi pula rakyat Sangling."
"Kau sudah melangkah begitu jauh?" bertanya Sri
Baginda. Pangeran Singa Narpada pun telah menceriterakan apa
yang sudah dilakukan. Sampai batas pendadaran yang
dilakukan di Sangling serta kehadiran orang y ang mengaku
guru dari Akuwu Sangling yang terbunuh itu.
Sri Baginda hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Nampaknya semuanya telah disiapkan dengan baik. Tidak
mungkin lagi untuk merubahnya.
Satu lagi kekuasaan dari Singasari terhunjam di Kediri.
Akuwu Sangling yang akan diangkat adalah seorang Senapati
dari Singasari. Memang menurut penalaran, tidak ada bedanya, apakah
ia berasal dari Kediri atau Singasari. Yang penting Sangling
akan tumbuh dengan baik serta semakin berkembang.
Namun bagaimanapun juga, ketika ditetapkan bahwa
Akuwu Sangling adalah seorang Senapati dari Singasari, rasarasanya
Sri Baginda telah kehilangan lagi sebuah daerah yang
menjadi alas kebesaran kerajaan Kediri.
Pangeran Singa Narpada y ang menganggap Kediri
bagian dari keluarga besar Singasari, tidak
memperhitungkannya. Pangeran Singa Narpada adalah
seorang y ang menganggap luluhnya Kediri dalam Singasari
adalah wajar. Meskipun Pangeran Singa Narpada sadar,
bahwa banyak sentuhan-sentuhan perasaan yang harus
dihadapinya. Namun baginya, Sri Baginda di Kediri selama ini
telah membenarkan sikapnya. Bahkan merestui usahanya
untuk meny ingkirkan saudara-saudaranya y ang menentang
kebijaksanaan itu, bahkan telah memberontak melawan
Kediri. Namun ternyata Pangeran Singa Narpada tidak dapat
menghapuskan perasaan itu sampai ke hati nurani saudarasaudaranya
meskipun kelihatannya Kediri m emang menjadi
tenang. Bahkan Pangeran Singa Narpada tidak berhasil
menerawang memasuki lubuk hati Sri Baginda di Kediri. Yang
dibaca oleh Pangeran Singa Narpada adalah sikap Sri Baginda
tentang u sahanya menumpas setiap pemberontakan, yang
kadang-kadang harus dilakukannya dengan keras. Beberapa
orang Pangeran harus disingkirkan.
Meskipun sekali-sekali terasa sikap janggal Sri Baginda
atas saudara-saudaranya y ang dianggapnya telah
memberontak, namun Pangeran Singa Narpada tidak melihat
cukup jauh tentang isi hati Sri Baginda.
Sementara itu, Sri Baginda memang tidak dapat banyak
berbuat. Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati
yang terlalu kuat baginya. Mau tidak m au, ia harus mengikuti
jalan pikiran Pangeran Singa Narpada.
Demikian pula dalam hubungannya dengan pencalonan
Akuwu Sangling. Ketika Pangeran Singa Narpada memberikan
beberapa keterangan y ang bernada keputusan, maka Sri
Baginda pun tidak dapat menolaknya.
Namun demikian Sri Baginda masih juga bertanya,
"Apakah Mahisa Bungalan telah mendapat ijin dari Sri
Maharaja di Singasari?"
"Belum Sri Baginda," jawab Pangeran Singa Narpada,
"tetapi hamba sendiri akan menghadap Sri Maharaja di
Singasari, memohon agar Mahisa Bungalan diperkenankan
memegang jabatan Akuwu di Sangling. Apalagi Mahisa
Bungalan adalah anak Mahendra dan murid Mahisa Agni dan
Witantra. Kedua orang tua itu adalah orang yang berpengaruh
di Singasari. Bukan saja karena umurnya y ang sudah terlalu
banyak, tetapi karena keduanya memang orang-orang pilihan.
Bukankah keduanya pernah berada di Kediri sebagai wakil Sri
Maharaja Singasari?"
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak
dapat menolak pendapat Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, maka Sri Baginda pun telah memberikan
restu dengan syarat, apabila Sri Maharaja di Singasari
mengijinkan. Demikianlah Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan telah bermalam di istana Pangeran Singa Narpada
selama mereka berada di Kediri. Pada saatnya, setelah
bermalam dua m alam, maka m ereka pun telah m elanjutkan
perjalanan menuju ke Singasari. Mereka tidak saja diiringi
oleh sekelompok prajurit Lemah Warah, tetapi Pangeran Singa
Narpada telah membawa beberapa orang prajurit Kediri,
sementara sebagian prajurit Lemah Warah telah ditinggalkan
di Kediri. Mereka telah diperintahkan untuk menunggu Akuwu
kembali ke Kediri. Dengan ciri -ciri kebesaran dan pertanda keprajuritan
Kediri maka kelompok itu pun telah berangkat menuju ke
Singasari untuk menyelesaikan pencalonan Akuwu di
Sangling. Kedatangan sekelompok prajurit Kediri dan Lemah
Warah dengan tanda-tanda kebesaran memang telah
mengejutkan Singasari. Tetapi karena y ang datang itu hanya
sekelompok kecil, maka para petugas di Singasari tidak
mempunyai prasangka buruk terhadap pasukan yang datang
itu. Apalagi di dalam kelompok kecil itu terdapat seorang
Senapati dari Singasari, Mahisa Bungalan.
Ketika kelompok itu sampai di pintu gerbang istana,
maka Mahisa Bungalan lah yang kemudian mengurus segalagalanya,
sehingga Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah
Warah serta para pengiringnya mendapat tempat untuk
beristirahat. Mereka telah ditempatkan di sebuah bangsal y ang
memang disediakan bagi tamu-tamu terhormat y ang datang
mengunjungi Singasari. Ketika Sri Maharaja di Singasari mendengar
permohonan Pangeran Singa Narpada dari Kediri serta Akuwu
Lemah Warah untuk menghadap, maka Sri Maharaja pun
telah menentukan waktu untuk menerima mereka.
Sementara Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah
Warah menunggu, maka Mahisa Bungalan telah sempat
menemui Mahisa Agni dan Witantra.
"Baru besok Pangeran Singa Narpada diterima oleh Sri
Maharaja," berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun
kemudian Mahisa Agni pun bertanya tentang pencalonan
Mahisa Bungalan, "Apakah semuanya berjalan lancar?"
Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa y ang
sudah terjadi atas dirinya. Memang ada seorang y ang agaknya
menolak pencalonannya. Namun orang yang menyebut guru
Akuwu Sangling telah datang pula justru untuk memberikan
dukungan kepadanya. Menurut Akuwu Lemah Warah, orang
yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling itu adalah orang
yang berilmu sangat tinggi."
"Siapakah namanya?" bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak seorang pun y ang pernah mendengarnya. Orang-orang
Sangling pun agaknya masih belum mengenalnya dengan
baik." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantrapun
bertanya, "Apakah tidak seorang pun y ang mengenal ciri
perguruannya?" "Tidak paman. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu
Lemah Warah tidak meny ebut ciri -cirinya. Nampaknya
mereka juga tidak mengenal ciri perguruan Akuwu Sangling
yang lama itu," jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun
dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa
pencalonan Mahisa Bungalan telah mendapat dukungan yang
cukup kuat. Baik oleh Kediri, maupun oleh orang-orang
Sangling sendiri. Bahkan guru Akuwu Sangling y ang lama
yang mampu menilik sifat muridnya telah menyatakan
dukungannya pula. Karena itu, maka Mahisa Agni pun berkata, "Mahisa
Bungalan. Agaknya kau m emang mendapat kesempatan yang
cukup baik. Karena itu, maka kau harus memanfaatkannya
sebaik-baiknya. Jika Sri Maharaja di Singasari tidak
berkeberatan, maka kau akan dapat mulai dengan satu babak
baru dalam kehidupanmu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, "Aku akan mencobanya paman. Mudah-mudahan aku
berhasil. Kesempatan ini merupakan satu kurnia bagiku, yang
sudah tentu tidak akan aku sia -siakan."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus Mahisa Bungalan," berkata Witantra, "namun
bukan sekedar kau jalani. Tetapi kau harus mampu membawa
diri. Sudah barang tentu, pendadaran y ang sebenarnya akan
terjadi justru setelah kau menjadi Akuwu di Sangling. Karena
pendadaran y ang akan terjadi kemudian akan jauh lebih berat
dari pendadaran y ang sudah kau jalani di alun-alun Sangling
itu." Mahisa Bungalan m enarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata, "Aku mengerti paman. Yang paman
maksud bukan saja di bidang pemerintahan, tetapi juga dalam
olah kanuragan. Aku harus mematangkan ilmuku dan
mengembangkannya, sehingga aku akan benar-benar menjadi
seorang pemimpin dan sekaligus pelindung bagi Sangling,"
"Ya," jawab Witantra, "jika itu sudah kau sadari, maka
kau telah menempuh jalan y ang benar."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Aku mohon doa paman
berdua." Mahisa Agni terseny um. Katanya, "Kami akan selalu
berdoa buat kau dan keluargamu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Meskipun
kedua orang itu rasa-rasanya sudah menjadi semakin tua,
namun keduanya adalah orang yang sangat berarti dalam
hidupnya di samping ay ahnya sendiri.
Dalam pada itu, ketika saat-saat y ang ditunggu telah
datang, maka Sri Maharaja di Singasari telah berkenan
menerima Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan
Mahisa Bungalan untuk menghadap.
Ternyata bahwa Sri Maharaja di Singasari telah
mengadakan paseban khusus untuk menerima tamu dari
Kediri. Karena itu, maka tidak semua pemimpin dan Senapati
prajurit Singasari hadir di paseban.
Ketika Sri Maharaja Singasari sudah m emperkenankan
Pangeran Singa Narpada untuk menyampaikan
kepentingannya, maka Pangeran Singa Narpada pun segera
mengatakan rencana Kediri untuk mengangkat Mahisa
Bungalan menjadi Akuwu di Sangling jika Sri Maharaja tidak
berkeberatan. Baik karena Mahisa Bungalan adalah seorang
Senapati Besar di Singasari, m aupun tentang pencalonannya
itu. Sri Maharaja di Singasari memang belum pernah
mendengar rencana itu sebelumnya, karena itu maka
dimintanya Pangeran Singa Narpada menjelaskan segalanya.
Pangeran Singa Narpada pun telah menceritakan apa
yang sudah terjadi di Sangling. Kemudian bagaimana ia
merintis seorang calon yang akan mampu mengisi kekosongan
itu. Akhirnya pilihannya telah jatuh kepada seorang Senapati
dari Singasari y ang bernama Mahisa Bungalan.
Segala sesuatunya telah dilakukan. Langkah demi
langkah telah dilewatinya, sehingga akhirnya langkah terakhir
adalah mohon ijin dan restu kepada Sri Maharaja di Singasari.
Sri Maharaja di Singasari mengangguk-angguk. Ia tidak
melihat keberatan apapun juga jika ia mengijinkan Mahisa
Bungalan untuk meninggalkan tugas keprajuritannya dan
kemudian berada di Sangling sebagai Akuwu.
Namun demikian ternyata Sri Maharaja masih juga
berbicara dengan para pemimpin Singasari y ang ada di
paseban. "Ternyata tidak seorang pun yang mempunyai
keberatan," berkata Sri Maharaja kemudian. Lalu, "Karena itu,
maka aku pun tidak berkeberatan pula. Aku ijinkan Mahisa
Bungalan meninggalkan tugasnya dan kemudian menerima
jabatan Akuwu di Sangling."
Dengan demikian, m aka tidak ada hambatan lagi y ang
berarti bagi Mahisa Bungalan. Segala jalan sudah dilewatinya
tanpa kesulitan karena pencalonan Mahisa Bungalan memang
didukung oleh unsur-unsur yang memadai.
Ketika Sri Maharaja kemudian berkenan menutup
pertemuan khusus itu maka Pangeran Singa Narpada telah
menyampaikan terima kasihnya y ang tidak terhingga k epada
Sri Maharaja atas ijinnya dan restunya kepada Mahisa
Bungalan. Demikianlah, maka di hari berikutnya. Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Lemah Warah t elah m enemui beberapa
pihak y ang berhubungan dengan rencana Mahisa Bungalan
meninggalkan kota Raja Singasari. Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah telah menemui Mahisa Agni dan
Witantra. Mereka telah menyampaikan rencana pengangkatan
Mahisa Bungalan menjadi Akuwu Sangling.
"Semua pihak telah memberikan per setujuan. Rakyat
Sangling, Sri Baginda di Kediri dan Sri Maharaja di Singasari,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Syukurlah," berkata Mahisa Agni, "semoga semuanya
dapat berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Kami
yang tua-tua tentu ikut bergembira atas kesempatan bagi
Mahisa Bungalan tersebut."
"Aku mohon doa dan restu paman," berkata Mahisa
Bungalan, " semoga Yang Maha Agung selalu melimpahkan
perlindungan dan tuntunannya kepadaku. Aku merasa jika aku
benar-benar diwisuda m enjadi Akuwu di Sangling, maka aku
akan menyandang beban y ang sangat berat. Satu tugas yang
akan menyangkut satu lingkungan y ang cukup luas."
"Tetapi kau harus berani melangkah ke jenjang y ang
lebih tinggi," berkata Witantra, "kesempatan itu t idak boleh
kau sia-siakan. Tetapi bukan untuk diterima dengan semenamena."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra sempat memberikan
banyak petunjuk kepada Mahisa Bungalan, yang dapat
dipergunakannya sebagai bekal. Bahkan akhirnya Mahisa
Bungalan merasa dirinya cukup kuat untuk menerima jabatan
itu. "Mahisa Bungalan," berkata Mahisa Agni, "untuk harihari
pertama, m aka aku dan pamanmu Witantra tentu tidak
berkeberatan untuk berada di Sangling. Mudah-mudahan
kami akan dapat membantu meskipun mungkin hanya sekedar
petunjuk-petunjuk. Orang -orang tua seperti kami memang
tidak m empunyai apapun yang dapat aku berikan kepadamu
selain petunjuk-petunjuk."
"Apakah yang lebih berharga dari nasehat dan petunjuk
serta ilmu yang pernah paman berikan?" berkata Mahisa
Bungalan, "Harta benda akan dengan mudah dapat hilang.
Mungkin dicuri orang, mungkin dalam peri stiwa yang lain.
Tetapi ilmu y ang telah dimiliki seseorang, akan sulit hilang
daripadanya." Demikianlah maka kesediaan Mahisa Agni dan Witantra
untuk berada di Sangling pada hari-hari pertama telah
membuat Mahisa Bungalan semakin mantap.
"Beritahukan kepada kami, kapan kau akan berada di
Sangling. Setelah kau benar-benar diwisuda, maka aku akan
berada di Sangling bersama pamanmu Witantra. Aku tidak
tahu, apakah kelak ay ahmu juga akan berada di Sangling
untuk sementara," berkata Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya,
"Mungkin ayah tidak akan berada di Sangling. Justru karena
akulah yang akan menjadi Akuwu Sangling."
Mahisa Agni dan Witantra tersenyum, sementara
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
mengangguk-angguk. Keduanya mengerti arti kata-kata
Mahisa Bungalan. Kesempatan berikutnya, selagi Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah berada di Singasari, telah menemui
Mahendra pula. Mahendra dengan rendah hati berkata, "Aku
mengucapkan terima kasih y ang sebesar-besarnya atas
perkenan Pangeran dan Akuwu Lemah Warah memilih anakku
untuk dicalonkan menjadi Akuwu."
"Satu pilihan y ang tepat," berkata Pangeran Singa
Narpada, "ternyata semua pihak m enyetujuinya. Terakhir, Sri
Maharaja di Singasari telah memberikan restunya."
"Syukurlah," berkata Mahendra, "tetapi anakku masih
memerlukan tuntunan. Pengalamannya masih terlalu sempit.
Apalagi jabatan yang harus dipegangnya adalah jabatan yang
besar dan berat." "Ki Mahendra terlalu m erendahkan diri," sahut Akuwu
Lemah Warah. "Ki Mahendra dapat berbangga bahwa anak Ki
Mahendra telah menjadi orang y ang berilmu tinggi. Bahkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu pun memiliki
ilmu y ang mengagumkan pula."
"Akuwu bercanda," berkata Mahendra, "bukankah
sebagian dari padanya adalah atas kemurahan Akuwu."
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Kemudian ia pun berkata, "Yang aku lakukan adalah sekedar
membantunya untuk melepaskan lontaran ilmu yang memang
sudah ada padanya. Ilmu yang tinggi dan memiliki kekuatan
yang luar bia sa." Mahendra t ertawa kecil. Katanya, "Satu peningkatan
yang luar bia sa." Akuwu Lemah Warah tertawa pula. Tetapi katanya, "Jika
keduanya tidak mempunyai bekal y ang cukup, maka
penggandaan berapa pun akan tidak berarti apa-apa."
"Agaknya m emang demikian," berkata Pangeran Singa
Narpada, "kedua anak-anak Ki Mahendra yang muda itu
memang mempunyai bekal yang cukup."
"Kepada Pangeran pun aku harus mengucapkan terima
kasih y ang sangat besar. Pangeran sudah memberikan terlalu
banyak kepada anak-anakku itu, sehingga anakku itu dapat
disebut namanya diantara orang-orang berilmu," berkata
Mahendra. Sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada dan Akuwu
Lemah Warah adalah orang-orang y ang sudah sangat banyak
memberikan tuntunan kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah m ohon
restu kepada ayahnya. Ternyata jalan y ang akan ditempuhnya
masih sangat panjang. Jika ia nanti diwi suda menjadi Akuwu
Sangling, maka itu-berarti kesulitan-kesulitan yang
sesungguhnya baru akan mulai.
Setelah beberapa hari Pangeran Singa Narpada dan
Akuwu Lemah Warah serta para pengawal mereka berada di
Singasari, maka m ereka pun telah m enghadap Sri Maharaja
sekali lagi untuk mohon diri.
Menj elang matahari terbit di keesokan harinya, maka
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan y ang sudah mendapat ijin dan restu dari Sri
Maharaja itu, meninggalkan Singasari. Seperti pada saat
mereka datang, maka pada saat mereka meninggalkan
Singasari, maka m ereka pun telah ditandai dengan pertanda
kelengkapan prajurit Kediri dan Lemah Warah.
Karena itu, meskipun pengawal Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah tidak terlalu banyak, namun
pertanda kebesarannya telah m emberikan kesan k emampuan
yang tinggi pada pasukan kecil itu.
Seperti yang direncanakan semula, maka pasukan itu
langsung m enuju ke Kediri. Mereka langsung m enyampaikan
hasil perjalanan mereka ke Singasari kepada Sri Baginda dan
memohon agar wisuda bagi Mahisa Bungalan segera
dilaksanakan. Ternyata Sri Baginda di Kediri pun tidak mau menundanunda
pekerjaan yang memang harus dilakukan. Betapapun
keragu-raguan masih tetap m embayangi perasaannya, namun
Sri Baginda telah menetapkan bahwa wisuda akan segera
dilakukan. "Jika semua persiapan sudah selesai, maka aku akan
melantik Akuwu Sangling itu," berkata Sri Baginda,
"pelantikan itu akan aku lakukan di sini, di istana Kediri."
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
terkejut. Hal seperti itu tidak pernah dilakukan oleh Sri
Baginda sebelumnya. Sri Baginda selalu melantik para Akuwu
di tempat para Akuwu itu akan menjalankan tugasnya,
memimpin sebuah Pakuwon. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun bertanya,
"Kenapa Sri Baginda tidak melakukannya di Sangling?"
"Kesehatanku tidak m engijinkan Singa Narpada," jawab
Sri Baginda, "kecuali jika kalian bersedia menunggu sampai
aku menjadi benar-benar sehat. Padahal untuk kali ini
agaknya kalian sangat tergesa -gesa."
Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Namun ia tidak
dapat mengatakan sesuatu.
"Sri Baginda," berkata Pangeran Singa Narpada, "kami
tidak tergesa -gesa. Saat ini pun di Sangling telah ada orang
yang untuk sementara melakukan tugas seorang Akuwu."
Tetapi Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak mau digelisahkan oleh tugas-tugas yang tertunda.
Karena itu aku akan melantiknya disini. Bagiku, tempat tidak
menjadi rintangan dan juga tidak akan mengurangi
kewibawaan." Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak
dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka segala
sesuatunya terserah kepada Sri Baginda. Mereka hanya akan
mempersiapkan keputusan Baginda untuk mewisuda Mahisa
Bungalan sebagai Akuwu Sangling di Kediri.
Pa da saat yang ditentukan, serta setelah segala persiapan
selesai, maka saat wisuda pun ditetapkan. Segala macam
upacara dilakukan sebagaimana jika wisuda itu dilakukan di
Sangling sendiri. Ternyata y ang bertanya-tanya didalam diri bukan hanya
para pemimpin di istana Kediri. Para Senapati Sangling pun
merasa heran bahwa kali ini upacara wisuda itu dilakukan
tidak di tempat Akuwu itu akan menjalankan tugasnya.
Namun penjelasan y ang diberikan kepada mereka
adalah sebagaimana dikatakan oleh Sri Baginda di Kediri.
Karena itu, justru pada saat wisuda, para Senapati dan
para pemimpin Sangling lah y ang datang ke Kediri. Mereka
untuk pertama kaliny a menghadiri Wisuda yang dilakukan di
istana Kediri. Ternyata pada saat wisuda dilakukan, maka Mahisa Agni
dan Witantra pun telah datang pula ke Kediri. Namun mereka
bukan sekedar m engunjungi wisuda itu. Tetapi m ereka telah
membawa pertanyaan dari Sri Maharaja di Singasari. Karena
itu, ketika Mahisa Agni dan Witantra y ang pernah bertugas di
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kediri sebagai penghubung dan m engalirkan kuasa Singasari,
segera menyampaikan pertanyaan itu kepada Sri Baginda.
"Sri Baginda," berkata Mahisa Agni, "apakah maksud Sri
Baginda melakukan wisuda di istana Kediri" Bukankah hal ini
bukan kebiasaan Sri Baginda."
Pertanyaan itu m emang telah mengguncang jantung Sri
Baginda di Kediri. Sri Baginda tidak mengira, bahwa perhatian Sri
Maharaja di Singasari akan sampai pada persoalan yang
dianggap tidak menentukan itu.
Namun justru itu, maka Sri Baginda merasa bahwa
Singasari telah semakin banyak mencampuri persoalan Kediri.
"Aku sudah menduga," berkata Sri Baginda di dalam
hatinya, "calon Akuwu Sangling itu adalah orang Singasari. Ini
tentu merupakan satu lagi kuku kekuasaan Singasari yang
menghunjam menusuk bumi Kediri."
Tetapi Sri Baginda tidak dapat ingkar, bahwa memang
Singasari telah pernah menaklukkan Kediri. Justru ketika Ken
Arok masih memegang jabatan Akuwu di Tumapel. Akuwu
Tumapel lah y ang telah m enaklukkan Kediri dan kemudian
mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari dan
bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bumi.
Namun Sri Baginda masih saja berpegang pada
keterangan y ang sudah dikatakan kepada orang -orang yang
sebelumnya sudah bertanya kepadanya. Katanya, "Aku m inta
disampaikan kepada Sri Maharaja di Singasari. Aku sama
sekali tidak berniat melakukan perubahan-perubahan atau
perbedaan langkah dalam upacara semacam ini. Tetapi karena
aku memang sedang sakit, sementara aku tidak mau menunda
wisuda ini. Sangling harus segera mendapat seorang yang
pantas untuk memerintah. Karena itu, maka aku telah
mengambil satu, kebijaksanaan. Aku akan mewisuda Akuwu
Sangling itu disini. Ju stru di istanaku. Istana Kediri."
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Meskipun bagi keduanya, alasan itu agaknya kurang wajar,
namun keduanya tidak akan mempersoalkannya lagi. Yang
penting w isuda itu berlangsung dengan tertib dan baik. Tidak
ada hambatan-hambatan yang berarti. Apalagi y ang dapat
mengurungkan pengangkatan itu sendiri.
Demikianlah, ketika semua persiapan sudah dilakukan,
maka upacara itu pun telah dilangsungkan pada hari yang
sudah dipilih. Namun tidak banyak orang Sangling y ang dapat
menyaksikan, kecuali hanya beberapa orang Senapati dan
beberapa orang pemimpin Sangling saja.
Namun begitu, ternyata bahwa wisuda itu berlangsung
dengan lancar dan bahkan khidmat. Orang-orang yang
menghadiri upacara itu merasa tercengkam. Sikap Mahisa
Bungalan ternyata memang meyakinkan. Ia tidak bersikap
berlebih-lebihan, meskipun tetap menunjukkan sosok seorang
pemimpin y ang mumpuni. Para Senapati Sangling merasa bahwa Sangling akan
mendapat seorang pemimpin y ang m ungkin akan lebih baik
dari Akuwu yang lama. Akuwu y ang baru kemudian dapat
mereka nilai. "Mudah-mudahan apa yang nampak ini bukan sekedar
bay angan semu karena kerinduan kami untuk mendapatkan
seorang pemimpin y ang baik," berkata para Senapati itu di
dalam hati. Ketika wisuda itu kemudian selesai, maka orang-orang
yang hadir telah menyampaikan pernyataan selamat kepada
Mahisa Bungalan yang telah sah menjadi Akuwu di Sangling.
Tunggul kebesaran Sangling sebelum wisuda telah
diserahkan kepada Sri Baginda untuk kemudian oleh Sri
Baginda di Kediri diserahkan kepada Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan telah berhak
memerintah Sangling sebagai seorang Akuwu. Ia bukan lagi
seorang Senapati di Singasari. Tetapi ia adalah seorang Akuwu
yang akan memerintah Sangling turun temurun, asal saja ia
tidak membuat kesalahan. Tidak berkhianat dan tidak terjadi
perubahan atas pemerintahan y ang lebih tinggi.
(Bersambung ke Jilid 47 ).
--ooo0dw0ooo- Jilid 047 DENGAN demikian, maka jika pada saatnya Mahisa
Bungalan datang ke Sangling, maka ia akan memasuki
Sangling sebagai Akuwu dan akan tinggal di istana Akuwu
Sangling bersama keluarga kecilny a.
Namun Mahisa Bungalan tidak segera pergi ke Sangling.
Ia m asih akan bermalam di Kediri. Besok ia akan bersamasama
ke Sangling bersama para Senopati Sangling yang
menghadiri wisuda itu. Namun mereka akan meninggalkan
Kediri bersama-sama dengan Akuwu Lemah Warah. Atas
permintaan Akuwu Lemah Warah, maka Mahisa Bungalan
yang kemudian disebut Akuwu Sangling akan bermalam di
Lemah Warah meskipun hanya semalam.
Tetapi dalam waktu semalam di Kediri, ternyata telah
timbul satu gagasan dari Pangeran Singa Narpada. Agar rakyat
Sangling dapat mengikuti satu upacara tersendiri atas
pengangkatan Akuwu mereka y ang baru, maka Pangeran Singa
Narpada berniat untuk mengadakan upacara khusus di
Sangling. "Upacara apa?" bertanya Mahisa Agni, "bukankah tidak
ada upacara selain wisuda."
"Wisuda sudah dilakukan," berkata Pangeran Singa
Narpada, "Akuwu Sangling yang baru telah sah menduduki
jabatannya. Karena itu Akuwu Sangling akan dapat melakukan
upacara apa saja m enurut keinginannya asal maknanya tidak
bertentangan dengan wisuda y ang telah dilakukan oleh Sri
Baginda." "Misalnya?" bertanya Witantra.
"Semacam peresmian dan sekedar m engundangkan isi
wisuda Sri Baginda kepada Rakyat Sangling. Dengan demikian
rakyat Sangling akan sedikit mendapat obat kekecewaan
mereka, bahwa wisuda tidak dilakukan di Sangling sehingga
mereka tidak dapat menyaksikan," jawab Pangeran Singa
Narpada. Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Namun
Mahisa Agni pun bertanya, "Lalu apa yang akan dilakukan
dalam upacara khusus itu?"
"Apa saja asal tidak sama dengan wisuda y ang
sebenarnya, "jawab Pangeran itu pula.
"Apakah akan lahir satu kebiasaan baru dalam upacara
pengangkatan dan wisuda Akuwu di Sangling" Apakah hal
serupa juga akan dilakukan atas anak Mahisa Bungalan
kelak?" bertanya Witantra.
Namun akhirnya para Senapati Sangling pun
mengetahui, darimana Akuwu Sangling yang lama
mendapatkan barang-barang berharga itu, y ang ternyata dari
usahanya yang tidak mapan. Hubungannya dengan Ki Buyut
Bapang yang akrab dan perlindungannya terhadap Ki Buyut
itu, telah memberikan sebagian dari jawaban atas a sal dari
barang-barang berharga itu, atau uang yang dipergunakan
untuk membelinya. Dengan demikian, maka nilai kewibawaan Akuwu
Sangling y ang lama itu pun menjadi semakin menurun.
Berda sarkan atas keny ataan itu, maka Mahisa Bungalanpun
seakan-akan telah mendapat satu peringatan, bahwa ia
tidak boleh menyalahgunakan kedudukannya sebagai Akuwu.
Ia harus berbuat bagi Pakuwon Sangling sejauh dapat
dilakukan. Bukan bagi dirinya sendiri.
Berbekal petunjuk-petunjuk dari Mahisa Agni dan
Witantra serta ayahnya Mahendra, maka Mahisa Bungalan
memerintah Pakuwon Sangling dengan hati-hati. Ia masih
mengharap kesediaan Mahisa Agni dan Witantra untuk berada
di Pakuwon Sangling, untuk waktu y ang cukup lama, agar
mereka dapat memberikan tuntunan kepadanya dalam
mengendalikan pemerintahan. Tetapi Mahisa Agni dan
Witantra harus memberitahukan lebih dahulu kepada Sri
Maharaja di Singasari, karena meskipun keduanya telah
berumur lanjut, tetapi keduanya masih sangat diperlukan di
Singasari karena nasehat dan petunjuk mereka.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
berada di padepokannya pun merasa lebih tenang. Di satu sisi
terletak Pakuwon Lemah Warah y ang pimpinannya telah
menganggapnya sebagai kemenakan. Sementara di sisi lain,
Pakuwon Sangling yang dipimpin oleh kakak kandungnya
sendiri. Ketika Mahendra kemudian berada di padepokannya,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan juga pergi
ke Sangling m eskipun hanya beberapa hari, karena ia tidak
dapat meninggalkan batu mereka terlalu lama.
Demikianlah maka untuk beberapa saat lamanya,
Mahisa Bungalan telah mendapat kesempatan untuk
membangun pemerintahan Sangling y ang namanya telah cacat
karena tingkah laku Akuwu Sangling y ang lama.
Dengan bijaksana Mahisa Bungalan mulai m engadakan
perubahan-perubahan. Tetapi tidak dengan serta merta. Ia
mulai menghambat kebiasaan y ang menurut pendapatnya
kurang baik. Pemborosan dan tingkah laku y ang kasar dan
keras. Tidak jarang Mahisa Bungalan harus memasuki
lingkungan y ang sebelumnya jarang dijamah, baik oleh orangorang
Sangling sendiri bahkan oleh para prajurit sekalipun.
Daerah y ang dibay angi oleh kehidupan yang kasar dan
keras sebagaimana Kabuyutan Bapang. Sebenarnya Akuwu
Sangling y ang lama bukannya tidak memiliki kemampuan
untuk mengatasi setiap kekerasan, karena Akuwu Sangling
yang lama adalah seorang y ang berkemampuan tinggi. Namun
Akuwu memang tidak ingin menghapuskan tata kehidupan
seperti itu y ang berada di Sangling. Justru kehidupan yang
suram itu dapat memberikan banyak kesenangan kepada
Akuwu. Sehingga sebenarnyalah Akuwu Sangling seakan-akan
memiliki dua wajah kehidupan.
Berbeda dengan Akuwu y ang lama, maka Mahisa
Bungalan berusaha untuk dengan perlahan-lahan menghapus
sisi kehidupan yang kelam itu dari Sangling. Tetapi ia tidak
dapat melakukannya dengan serta merta, karena dengan
demikian ia akan dapat mengguncang tata kehidupan di
Sangling. Namun sikap Mahisa Bungalan itu bukannya tidak
mendapat perlawanan. Orang-orang yang untuk waktu yang
cukup lama mendapat kesempatan untuk berkuasa karena
kekuatan kanuragan atas lingkungannya, tidak mau dengan
suka rela melepaskan kekuasaannya. Orang-orang yang
demikian telah berusaha untuk melakukan perlawanan atas
tindakan y ang dilakukan oleh Akuwu Sangling y ang baru.
Tetapi justru karena Mahisa Bungalan bertindak hatihati,
maka orang-orang yang merasa diriny a memiliki
kekuatan itu menganggap, bahwa Mahisa Bungalan adalah
orang yang lemah, meskipun ia ingin berbuat bertentangan
dengan kebiasaan yang sudah berlangsung cukup lama di
Sangling. Sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh Mahisa
Bungalan barulah sekedar penjajagan. Dengan para Senapati
yang ternyata mempunyai pikiran yang sejalan dengan
pikirannya, Mahisa Bungalan telah berusaha untuk mengupas
perkembangan keadaan di Pakuwon Sangling. Tetapi satu dua
orang juga Senapati y ang ternyata mempunyai pendapat yang
lain. Sudah cukup lama ia melayani Akuwu Sangling yang
lama. Sudah cukup lama pula ia selalu m endapat bagian dari
langkah-langkah gelap Akuwu Sangling itu. Satu sisi
kehidupan y ang hitam dari sisi lain dari kehidupan seorang
Akuwu y ang besar. Dengan demikian maka para Senapati itu m enganggap
bahwa kesempatan yang selama ini terbuka bagi mereka, telah
ditutup oleh Akuwu Sangling yang baru itu, sehingga m ereka
tidak akan mungkin lagi mendapat apapun juga dari orangorang
y ang hidup dari kekelaman hatinya itu.
Ternyata bahwa satu dua Senapati y ang ternyata
berpihak kepada orang-orang y ang dianggap berdiri di luar
paugeran Pakuwon Sangling itu telah membuat banyak
kesulitan. Banyak rencana y ang dirahasiakan ternyata telah
didengar oleh orang-orang yang berdiri di luar paugeran itu.
Tetapi rencana Mahisa Bungalan berjalan terus. Bahkan
setiap peri stiwa yang menimbulkan pertanyaan di dalam
hatinya, telah dicatatnya pada r ontal yang akan dapat selalu
dibacanya kembali serta diurai untuk dinilai sebab dan
akibatnya. Namun akhirnya benturan-benturan kecil tidak dapat
dihindari lagi. Meskipun setiap rencana dilakukan dengan
hati-hati, namun kadang-kadang justru prajurit Sangling yang
mendapat kesulitan dengan jebakan-jebakan y ang dibuat oleh
orang-orang y ang dengan sengaja ingin mengacaukan
pemerintahan yang baru itu.
Seorang Senapati yang pada gelar sehari-hari dihormati
oleh kawan-kawannya, ternyata justru menjadi salah seorang
yang telah m emburamkan pemerintahan Sangling, karena ia
telah membuat hubungan dengan sekelompok orang yang
menentang kekuasaan Sangling atas mereka.
Bahkan tidak jarang Senapati y ang bernama Kuda
Sempati itu berada di antara gerombolan y ang dipimpin oleh
Kebo Rancak. Dengan pengetahuannya atas rencana-rencana
para prajurit dan Senapati Sangling, ia berhasil beberapa kali
menyelamatkan gerombolan Kebo Rancak itu.
Mahisa Bungalan y ang masih terhitung baru di Sangling
memang menjadi heran, bahwa usahanya tidak berjalan
dengan wajar. Namun ia pun kemudian menduga, bahwa
memang ada orang-orang y ang berniat buruk terhadap
usahanya itu dan dengan sengaja menggagalkannya.
Untuk beberapa lama Mahisa Bungalan masih belum
dapat memecahkan persoalannya. Gerombolan-gerombolan
yang sudah jelas sarangnya, tiba -tiba luput dari kepungan.
Bahkan tiba -tiba saja di tempat yang tidak terduga,
gerombolan itu telah meny erang pasukan Sangling sehingga
menimbulkan korban yang parah. Namun dengan serta merta
orang-orang dari gerombolan itu telah lenyap bagaikan ditelan
bumi. Beberapa kali Mahisa Bungalan berbicara dengan para
Senapati. Beberapa orang Senapati pun telah mencoba
memberikan saran pemecahan. Namun hasilnya ternyata tidak
memberikan harapan yang cerah.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa orang Senapati y ang sempat berbincang di
antara mereka pun m erasa sangat heran akan kesulitan yang
mereka hadapi. Namun ternyata beberapa orang Senapati
berpendapat bahwa saatnya belum tiba untuk melakukan
tindakan seperti itu. Bahkan seorang di antara mereka berkata, "Akuwu
terlalu tergesa -gesa mengambil keputusan. Orang-orang itu
telah hidup dengan caranya untuk waktu y ang sangat lama.
Sejak ayahanda Akuwu Sangling y ang lama. Akuwu Sangling
yang lama yang telah m emerintahkan beberapa puluh tahun
pun tidak berani m engambil tindakan tegas. Apalagi Akuwu
Mahisa Bungalan yang masih baru."
"Memang agak berbeda kakang," sahut seorang Senapati
muda, "kita semua tahu, bahwa Akuwu Sangling yang lama
justru memberi kesempatan kepada orang-orang yang
melanggar paugeran itu. Mereka seakan-akan justru mendapat
perlindungan, seperti misalnya Ki Buyut Bapang y ang dapat
ditangkap di padepokan Suriantal, yang ternyata adalah
seorang buron dari Lemah Warah."
"Aku mengerti," jawab Senapati y ang pertama, "tetapi
apakah artinya langkah-langkah tegas jika tidak membawa
hasil sama sekali, bahkan hanya menyerahkan korban?"
"Kita harus merasa malu," berkata Senapati m uda itu,
"kenapa kita dapat meny elesaikan persoalan yang kecil ini.
Apalagi jika kita menghadapi musuh yang besar."
Senapati yang lebih tua itu mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak menjawab. Namun pada bibirnya nampak
bahwa Senapati itu tidak sependapat, bahkan meremehkan
pikiran Senapati muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan memang mengurangi
langkah-langkah yang tidak menguntungkan itu. Ia telah
memerintahkan para Senapati untuk menunda setiap rencana
untuk mengepung dan menangkap para pemimpin
gerombolan yang ada di Sangling. Termasuk gerombolan Kebo
Rancak. Tetapi Akuwu Sangling itu tidak tinggal diam. Sebagai
seorang Senapati yang memanjat kedudukannya dari anak
tangga y ang paling bawah, maka Akuwu Sangling telah
mengambil kebijak sanaan sendiri.
Di malam hari, ketika para prajurit dan pengawal
istananya yang bertugas memusatkan perhatiannya pada
kemungkinan seseorang dari luar memasuki dinding istana,
maka justru orang dari dalamlah yang telah m eloncat k eluar
dinding istana itu. Hanya seorang diri.
Dalam kegelapan Akuwu Sangling meny elinap di antara
pedukuhan-pedukuhan untuk mengamati keadaan
lingkungannya. Ternyata bahwa belum banyak perubahan yang terjadi.
Gardu-gardu perondaan masih kosong di malam hari.
Meskipun Akuwu menduga, bahwa hal itu disebabkan karena
gerombolan-ger ombolan liar y ang ada di Sangling telah
menggertak mereka y ang meronda, sehingga anak-anak muda
merasa ketakutan untuk berada di gardu-gardu.
Yang dilakukan oleh Akuwu Sangling itu tidak hanya
satu dua kali. Tetapi berkali-kali, sehingga semakin lama,
Akuwu Sangling semakin memahami persoalan yang
dihadapinya. Ketika dengan diam-diam Akuwu Sangling berhasil
menyelinap di sebuah padukuhan y ang dihuni oleh
gerombolan Kebo Rancak, maka ia sempat menyaksikan,
betapa gerombolan itu memiliki kekuasaan y ang besar bagi
lingkungannya. "Tentu ada orang dalam y ang mempunyai hubungan
dengan mereka. Agaknya Akuwu Sangling y ang lama tidak
berdiri sendiri. Ada satu dua orang Senapati yang berdiri
disisiny a," berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Karena itu, ia tidak saja harus mempergunakan kekuatan
prajurit Sangling. Tetapi ia harus m empergunakan akal untuk
menjebak orang-orang dalam yang telah mempermainkan
kuasa pemerintahannya. Karena itulah, maka pada satu saat, Akuwu Sangling
telah memerintahkan beberapa orang Senapatinya berkumpul.
Dengan lantang Akuwu memerintahkan mereka bersiaga.
"Setelah agak lama kita beristirahat, maka sudah
waktunya kita melakukan penertiban itu kembali," berkata
Mahisa Bungalan kepada para Senapatinya.
Para Senapati memang merasa heran, bahwa tiba -tiba
sa ja Akuwu telah memberikan perintah. Apalagi ketika Akuwu
berkata selanjutnya, "Dalam waktu dua hari ini kita siapkan
pasukan. Di hari ketiga kita akan meny ergap sebuah
gerombolan y ang selama ini kita kenal dipimpin oleh Kebo
Rancak." Tidak seorang pun yang memberikan tanggapan.
Senapati y ang bernama Kuda Sempati itu pun terkejut pula.
Langkah y ang akan diambil oleh Akuwu itu demikian tiba -tiba.
Namun ia pun kemudian berkata di dalam hatinya, "Masih ada
kesempatan." Tetapi, Akuwu itu pun kemudian berkata, "Untuk
memimpin pasukan y ang akan m eny ergap ger ombolan Kebo
Rancak masih akan aku tentukan kemudian. Karena itu, maka
kalian semua harus tetap berada di rumah hari ini. Baru sore
nanti aku akan memerintahkan seorang di antara kalian
memimpin pasukan itu."
Para Senapati itu m enarik nafas dalam-dalam. Perintah
Akuwu itu memang terdengar agak aneh di telinga para
Senapati. Namun y ang m enjadi semakin gelisah adalah Kuda
Sempati. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk
menyembuny ikan kegelisahannya. Kepada diri sendiri ia
berkata, "Malam nanti aku akan sempat menemuinya."
Akuwu Sangling tidak t erlalu lama berbincang dengan
Senapatinya. Setelah ia memberikan perintah itu dan sedikit
pesan kepada para Senapati untuk mengatasi kesulitan yang
sedang mereka hadapi, maka pertemuan itu pun
dibubarkannya. Namun sekali lagi ia berkata, "Jangan ada
yang meninggalkan rumah hari ini. Sore nanti menjelang
senja, kita akan berbicara lagi."
Sambil meninggalkan pertemuan itu, beberapa orang
Senapati telah berbincang. Beberapa orang ternyata melihat,
bahwa Akuwu Sangling yang baru itu sudah mulai dengan
langkah-langkah y ang lebih keras.
"Agaknya Akuwu y ang baru, yang pernah menjadi
Senapati besar di Singasari itu mulai kehilangan kesabaran,"
berkata seorang di antara para Senapati.
"Lalu apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Kuda
Sempati, "kemampuan kita memang sangat terbatas. Mungkin
tidak demikian y ang ada di Singasari. Singasari akan dapat
mengerahkan prajurit y ang jauh lebih banyak. Tetapi tidak di
Sangling ini." Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi para
Senapati itu menyadari, bahwa rencana-rencana mereka selalu
diketahui oleh ger ombolan -gerombolan y ang akan mereka
sergap. Sebagaimana diperintahkan oleh Akuwu Sangling, maka
tidak seorang pun di antara para Senapati y ang meninggalkan
rumahnya. Mereka masih harus kembali menjelang senja.
Sebagaimana yang lain, maka Kuda Sempati pun tidak
meninggalkan rumahnya. Ia akan menghubungi Kebo Rancak
di malam harinya. Tetapi ketika pada sore harinya, para Senapati itu
berkumpul, Akuwu Sangling masih belum menjatuhkan
perintah dengan tegas. Ia memang menunjuk dua orang
Senapati. Tetapi baru dalam tataran mempersiapkan diri.
"Aku akan membuat ketentuan lebih jauh," berkata
Akuwu, "ada beberapa keterangan y ang tidak sejalan. Aku-pun
ternyata masih harus m empelajari kekuatan y ang sebenarnya
yang dimiliki oleh Sangling. Terutama kemampuan para
prajurit." Memang ada semacam kekecewaan di hati para
Senapati. Seakan-akan Akuwu Sangling sudah menjadi
kebingungan menghadapi orang-orang y ang tidak mau tunduk
kepada paugeran. Namun hal seperti itulah yang memang dikehendaki
oleh Akuwu Sangling. Karena dengan demikian, maka ia akan
mendapat kesempatan untuk melihat lebih jauh tentang watak
para Senapatinya. Demikianlah, ketika malam turun, maka Akuwu pun
telah masuk ke dalam biliknya, lebih cepat dari hari -hari
sebelumnya. Para pelayan dalam memang m enduga, bahwa
Akuwu dalam kebingungan. Sebagai orang baru ia sudah
dihadapkan pada kesulitan y ang tidak teratasi.
Namun di luar penglihatan semua orang di istananya,
maka Akuwu telah meny elinap keluar. Ia meloncati dinding
dan hilang dalam kegelapan.
Dengan tergesa-gesa, Akuwu telah pergi ke padukuhan
tempat Kebo Rancak bersarang. Dengan sungguh-sungguh
Akuwu menunggui tempat itu untuk melihat, apakah yang
akan terjadi. Sebenarnyalah, dalam kegelapan, Akuwu melihat
sesosok tubuh yang mengendap-endap menuju ke sebuah
rumah yang menjadi arena pertemuan Kebo Rancak dengan
para pemimpin y ang lain dari gerombolannya. Ternyata di
regol halaman, orang itu telah dihentikan. Namun kemudian
tanpa banyak persoalan, orang itu memasuki reg ol halaman
yang gelap. Kemudian adalah giliran Akuwu untuk memasuki
halaman itu. Tetapi Akuwu tidak dapat masuk lewat regol.
Karena itu, maka ia pun harus mengendap-endap pula.
Dengan kemampuannya y ang tinggi, m aka akhirnya Akuwu
Sangling itu berhasil masuk ke bagian belakang kebun rumah
itu. Dengan hati-hati Akuwu berusaha untuk dapat
mendekati dinding, sehingga akhirnya Akuwu pun berhasil
mendengarkan pembicaraan orang-orang yang berada
didalam rumah itu. Sebenarnyalah Akuwu m emang terkejut. Ia m endengar
seseorang mengatakan rencananya. Hal itu memang disengaja
dan sudah diperhitungkan. Tetapi bahwa yang datang ke
sarang itu adalah Senapati Kuda Sempati itulah yang telah
mengejutkannya. "Aku tidak menyangka," berkata Akuwu didalam
hatinya. Bahkan Akuwu pun telah mendengar pula rencana
mereka untuk menjebak pasukan Sangling di lereng bukit.
"Siapakah yang harus memimpin pasukan?" bertanya
Kebo Rancak. "Belum ada ketegasan. Akuwu agaknya sudah
kebingungan," jawab Kuda Sempati.
Dengan sangat berhati-hati Mahisa Bungalan semakin
melekatkan telinganya. Namun demikian, ia cukup waspada
seandainya ada penjaga y ang mengelilingi rumah yang
dipergunakan untuk pertemuan itu.
Dari tempatnya Akuwu itu mendengar Kuda Sempati
berkata, "Mudah-mudahan besok Akuwu berganti perhitungan
dan memerintahkan aku memimpin pasukan itu."
"Mungkin sekali. Dua orang Senapati y ang sudah disebut
namanya nampaknya tidak meyakinkannya," berkata Kuda
Sempati. "Tetapi kenapa justru kau sendiri?" bertanya Kebo
Rancak pula. "Aku dapat membawa pasukan itu m elalui mana saja.
Menj erumuskan mereka dalam jebakanmu. Tetapi kau harus
berhati-hati, agar aku tidak ikut mati. Mungkin beberapa
orang prajuritku memang harus tetap hidup dan melarikan
diri dari neraka yang kau ciptakan itu," berkata Kuda Sempati.
"Bagus. Kau atau bukan kau, kami siap untuk
menyergap. Kami akan m eny ediakan bebatuan di atas bukit
itu. Demikian pasukan itu lewat, maka kami akan menutup
jalan. Sementara bebatuan kami lemparkan dari atas bukit
menimpa pasukan yang kebingungan itu. Sebagian di antara
mereka akan mati tertimpa batu, sebagian lagi tertusuk ujung
pedang dan t ombak, sementara y ang kebingungan akan mati
terjerumus ke dalam jurang di sisi lain dari jalan itu," berkata
Kebo Rancak sambil tertawa.
Kuda Sempati pun tertawa pula. Demikian juga beberapa
pengikut Kebo Rancak yang hadir di rumah itu.
Sementara itu, tiba -tiba saja Akuwu Sangling telah
mendengar langkah mendekat. Dengan sigapnya ia pun
bergeser dan berjongkok di balik sebuah gerumbul perdu di
kegelapan. Ketika Akuwu mengamati sudut rumah itu, maka ia
melihat dua orang yang bergerak sambil membawa tombak.
Tetapi agaknya kedua orang itu lebih asyik berbicara di antara
mereka. Agaknya ada persoalan y ang melibatkan keduanya
dalam pembicaraan y ang bersungguh-sungguh.
Dengan demikian maka kedua orang itu sama sekali
tidak berpaling dan memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Mereka berjalan saja sambil berbicara tidak putus-putusnya.
Namun dalam pada itu, Akuwu Sangling merasa sudah
cukup lama berada di tempat itu. Apalagi ketika ia k emudian
mendekat sekali lagi, pembicaraan orang-orang y ang ada di
rumah itu sudah berubah. Mereka tidak lagi berbicara tentang
rencana sergapan itu lagi. Tetapi mereka sudah membicarakan
tentang burung y ang mereka pelihara.
Karena itu, maka Akuwu pun segera meninggalkan
tempat itu. Dengan agak tergesa -gesa Akuwu pun kembali ke
istananya dan meny elinap memasuki biliknya setelah
meloncati dinding halaman. Tidak seorang pun yang
melihatnya, sehingga karena itu, maka tidak seorang pun yang
mengetahui apa yang sudah dilakukannya.
Di hari berikutnya, ternyata Akuwu telah memanggil
kembali para Senapatinya. Ia telah m emantapkan rencananya
untuk meny ergap ger ombolan y ang termasuk berpengaruh.
Gerombolan Kebo Rancak "Rencana itu harus dilaksanakan. Tetapi aku berharap
bahwa tidak seorang pun diluar lingkungan ini yang
mengetahuinya. Para prajurit pun tidak," berkata Akuwu.
Ketika Akuwu sempat memandang wajah Kuda Sempati
sekilas, maka ia melihat secercah senyum di bibirnya.
Namun Akuwu berusaha untuk tidak nampak
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikannya. Sehingga dengan demikian maka Akuwu
pun segera melemparkan pandangan m atanya kepada orang
lain. Namun dalam pada itu, Akuwu pun telah berkata lebih
lanjut, "Disamping memantapkan rencana ini, maka aku pun
telah menentukan Senapati y ang akan memimpin pasukan
yang akan berangkat itu. Bukan nama-nama y ang pernah aku
sebut sebelumnya. Tetapi menilik kedewasaan sikap dan
waktu pengabdian, maka pasukan itu akan aku percayakan
kepada Senapati Kuda Sempati."
Semua orang berpaling ke arah Kuda Sempati. Tidak
seorang pun di antara mereka tersinggung karena k eputusan
itu. Dua orang y ang pernah disebut namanya pun sama sekali
tidak kecewa pula, karena mereka merasa bahwa Senapati
yang bernama Kuda Sempati adalah Senapati y ang memiliki
kelebihan dari mereka. Selain umurnya yang memang lebih
tua, juga kedudukan dan lebih-lebih lagi kemampuannya.
Kuda Sempati sendiri memang terkejut mendengar
keputusan itu. Tetapi ia pun menjadi gembira, ia memang
mengharapkannya. Tetapi k eputusan itu begitu tiba-tiba saja
seperti Akuwu melihat keinginan itu.
Tetapi Kuda Sempati dengan cepat menguasai
perasaannya. Dengan nada dalam ia berkata, "Jika perintah itu
yang hamba terima, maka hamba akan melaksanakan sebaikbaiknya."
"Terima kasih," berkata Akuwu Sangling, "mudahmudahan
kali ini kita berhasil, sehingga aku tidak benar-benar
menjadi putus asa." "Hamba akan menjunjung titah ini sebatas kemampuan
hamba," berkata Senapati Kuda Sempati itu.
"Aku percaya kepadamu," berkata Akuwu.
Demikianlah, maka keputusan itu pun telah berlaku.
Sepasukan prajurit memang telah diper siapkan. Sementara
itu, belum seorang pun di antara para prajurit itu y ang tahu,
apa y ang harus mereka lakukan.
Sebagaimana perintah Akuwu, maka Kuda Sempati pun
sama sekali tidak meny ebut tugas apa yang akan dipikul oleh
pasukannya itu. Dengan demikian maka seakan-akan Akuwu Sangling
memang mengharap bahwa rencana itu tidak akan merembes
sampai ke telinga Kebo Rancak.
"Akuwu y ang baru itu memang seorang y ang berilmu
tinggi. Tetapi Akuwu memang agak bodoh," berkata Kuda
Sempati di dalam hatinya. "Ia mengira bahwa rencananya itu
akan dapat berjalan sebagaimana diharapkan, Akuwu yang
bodoh itu tidak belajar dari pengalaman. Berapa kali sergapan
yang dilakukan oleh prajurit Sangling tidak pernah berhasil.
Apalagi atas gerombolan y ang cukup besar dari Kebo Rancak."
Namun dihadapan Akuwu, Senapati y ang termasuk
seorang y ang dianggap mempunyai kelebihan itu telah
menunjukkan sikapnya yang patuh.
Demikianlah pada saat y ang ditentukan menjelang fajar,
maka Senapati yang bernama Kuda Sempati itu pun telah
meninggalkan Sangling. Ia harus meny ergap sebuah
padukuhan yang dipergunakan oleh Kebo Rancak sebagai
landasan kekuatannya. Hampir semua orang di padukuhan itu
adalah pengikutnya. Namun mereka dapat menjadikan diri
mereka dua ujud. Sebagai petani y ang lugu dan bekerja di
sawah dengan cangkul, mereka sama sekali tidak
mencerminkan kegarangan seorang perampok di malam hari.
Namun setiap peny ergapan tentu berharap untuk dapat
menangkap Kebo Rancak itu sendiri.
Para prajurit yang dibawanya masih belum tahu ke mana
mereka akan pergi. Beberapa perwira y ang lebih rendah dari
Kuda Sempati, telah berada dalam pa sukan itu pula. Mereka
memang merasa heran, bahwa Kuda Sempati benar-benar
telah memegang rahasia sampai saat terakhir.
Baru ketika mereka memasuki jalan menuju langsung ke
padukuhan yang dipergunakan sebagai landasan kekuatan
Kebo Rancak, Kuda Sempati memberitahukan kepada para
perwira dan prajurit, bahwa mereka harus mengepung
padukuhan itu. "Tidak boleh seorang pun lolos dari kepungan. Semua
orang harus mendapat pengamatan dengan saksama. Karena
menurut pendengaranku, Kebo Rancak dapat berubah
menjadi seribu ujud. Karena itu, m eskipun ujudnya seorang
pengembara y ang cacat sekalipun, tidak boleh meninggalkan
padukuhan itu." perintah Kuda Sempati.
Para prajurit dan para perwira pun telah bersiaga
sepenuhnya. Menurut perhitungan mereka, demikian rapatnya
Kuda Sempati memegang rahasia, sehingga rahasia itu tidak
mungkin bocor. Dengan demikian maka mereka akan benarbenar
bertempur dengan para pengikut Kebo Rancak.
Namun dalam pada itu, sekelompok orang yang berada
di atas bukit di sebelah jalan y ang dilewati oleh prajurit
Sangling itu tertawa berkepanjangan. Mereka melihat pasukan
yang kuat menuju ke padukuhan mereka. Namun
sebenarnyalah Kebo Rancak telah mempersiapkan para
pengikutnya di bukit itu sebagaimana telah dibicarakan
dengan Kuda Sempati. Sementara itu, di dalam pasukan Sangling, tidak
seorang-pun yang menduga bahwa Kuda Sempati telah
berkhianat. Sebelum pasukan itu benar-benar menyergap,
maka Kuda Sempati sendirilah y ang telah membocorkan
rahasia yang seakan-akan dipegangnya dengan erat itu.
Ketika pasukan Sangling dengan garang mengepung
padukuhan yang dipakai sebagaimana landasan gerombolan
Kebo Rancak, saat matahari terbit, maka Kebo Rancak sendiri
telah mempersiapkan bebatuan, padas dan bahwa potonganpotongan
kayu yang akan dipergunakan untuk menyergap
pasukan Kuda Sempati jika pa sukan itu kembali ke Sangling.
Dalam pada itu, pasukan Sangling memang telah
mengepung padukuhan Kebo Rancak itu dengan rapat. Tidak
seorang pun yang akan dapat lolos dari kepungan itu. Bahkan
seekor kelinci pun tidak.
Sementara pasukannya mengepung, maka Kuda Sempati
sendiri bersama beberapa orang perwira dan prajurit telah
memasuki padukuhan itu. Dengan garangnya ia telah
menghardik setiap orang y ang dijumpainya.
Tetapi Kuda Sempati dan orang-orangnya sama sekali
tidak menemui seorang bersenjata pun di padukuhan itu.
Bahkan rasa-rasanya padukuhan itu justru sepi. Jarang sekali
mereka menemui seorang laki-laki y ang masih muda dan kuat.
Namun Kuda Sempati tidak pernah bertanya ke m ana
laki -laki di padukuhan itu. Bahkan kepada para perwira ia
bergumam, "Agaknya laki -laki di padukuhan ini baru berada
di sawah." Para perwira yang meny ertainya tidak bertanya lagi,
meskipun di dalam hati m ereka kurang sependapat, bahwa
dalam waktu y ang masih sepagi itu, orang-orang telah pergi ke
sawah. Mungkin ada di antara m ereka y ang pergi ke sawah
justru di malam hari. Tetapi t entu hanya satu dua orang yang
sedang menelusuri air untuk membasahi tanamannya yang
haus. Ketika Kuda Sempati mendekati rumah Kebo Rancak itu
sendiri, maka ia pun telah bersiaga sepenuhnya. Dengan
sangat hati-hati bersama pengiringnya ia telah m emecahkan
pintu regol dan memasuki halaman. Namun rumah itu
memang sepi. Benar-benar sepi. Seorang perempuan tua yang
ada di rumah itu hanya dapat menjawab, bahwa Kebo Rancak
dan keluarganya sedang pergi ke rumah adiknya yang sedang
mempunyai keperluan mengawinkan anaknya.
"Kemenakan Kebo Rancak itu sudah seperti anaknya
sendiri," berkata perempuan tua itu, "sehingga dengan
demikian Kebo Rancak telah memerlukan untuk datang di hari
perkawinannya. Apalagi anak itu adalah anak perempuan."
"Setan, iblis jelek," Kuda Sempati mengumpat. Tetapi
tiba -tiba ia berteriak, "Geledah seisi rumahnya. Mungkin ia
hanya bersembunyi di bawah amben. Ia orang y ang sangat
licik, tetapi hati-hatilah."
Beberapa orang prajurit segera m elaksanakan perintah
itu. Merekapun segera membuka pintu rumah itu dengan
paksa. Kemudian dengan senjata siap di tangan mereka
memasuki setiap ruangan y ang ada di rumah itu. Mereka
melihat ke dalam setiap kolong amben dan bahkan sampai ke
dapur. Namun mereka tidak menemukan Kebo Rancak.
Kuda Sempati berteriak-teriak memberikan aba dengan
sikap marah. Namun ia ter senyum di dalam hati, bahwa Kebo
Rancak telah berhasil melakukan rencananya. Setidaktidaknya
ia telah berhasil meny elamatkan diri. Akan lebih baik
jika rencananya dalam keseluruhannya dapat berhasil dengan
baik. Maka Kebo Rancak tentu akan semakin percaya
kepadanya. Dengan demikian maka pemberiannya pun akan
mengalir semakin deras. Ketika para prajurit sudah yakin bahwa di rumah itu
tidak terdapat Kebo Rancak, maka pencaharian itu diteruskan
di rumah-rumah y ang lain.
Bahkan Kuda Sempati pun akhirnya memerintahkan
prajuritnya berpencar. Namun ternyata di padukuhan itu sama sekali tidak
diketemukan Kebo Rancak. Ketika semua prajurit yakin bahwa mereka tidak akan
dapat m enemukannya di padukuhan itu, maka Kuda Sempati
pun telah mengumpulkan prajuritnya. Dengan kemarahan
yang nampaknya meluap dan membakar jantungnya, Kuda
Sempati membawa pasukannya kembali ke Sangling.
Ketika pasukannya mendekati bukit, maka jantung Kuda
Sempati pun menjadi berdebar-debar. Ia harus dapat berbuat
sebaik-baiknya, sehingga tidak seorang pun akan
mencurigainya. Ia harus berhasil menjerumuskan pasukannya
ke dalam maut. Tetapi ia sendiri harus beba s dari kematian
meskipun ada kesan bahwa ia pun telah mengalami
perjuangan yang berat dan bahkan hampir merenggut
nyawanya. Perlahan-lahan Kuda Sempati telah bergeser dari orang
yang berada di paling depan, sehingga akhirnya ia berada di
paling belakang. Memang tidak seorang pun yang menjadi
curiga, karena Kuda Sempati y ang berjalan di sisi pasukannya
ini dapat saja bergerak ke bagian depan m aupun ke bagian
belakang. Untuk sama sekali menghilangkan perhatian para
prajurit, m aka setiap kali ia berbicara dengan prajurit atau
pemimpin kelompok dari yang paling depan sampai k e yang
paling belakang. Sejenak kemudian, maka ujung pasukan Sangling itu
pun telah mulai dibayangi oleh lereng bukit yang disebut-sebut
oleh Kebo Rancak. Beberapa isy arat seperti y ang dijanjikan
telah dilihatnya. Tanpa menarik perhatian, maka beberapa
buah batu y ang besar diatur berjajar dengan jarak y ang cukup
jarang. Namun jika batu-batu itu meluncur, agaknya batu-batu
yang lain-pun akan segera menyusul. Diatas bukit itu akan
muncul orang-orang yang bukan saja melontarkan batu, tetapi
juga lembing dan senjata-senjata yang lain. Mereka akan
bersorak-sorak untuk membuat pasukan Sangling semakin
bingung, sementara sekelompok orang-orang y ang m encegat
perjalanan kembali pasukan Sangling itu akan m enutup jalan
terus sedang yang lain akan m enutup jalan kembali. Dengan
demikian maka prajurit Sangling akan menjadi semakin
bingung. Kuda Sempati menarik nafas dalam-dalam. Di sisi y ang
lain dari lereng bukit itu adalah jurang y ang terjal. Prajurit
yang mencoba untuk mengungsikan nyawanya turun ke
jurang, maka ia pun tentu akan terjerumus dan tidak akan
keluar lagi selama-lamanya.
Ketika pasukannya menjadi semakin dalam memasuki
bay angan bukit, maka debar di jantung Kuda Sempati itu pun
menjadi semakin cepat. Ia harus mampu meloncat dengan
sigap, seandainya sebuah di antara bebatuan itu akan
menimpa kepalanya. Tetapi Kuda Sempati menjadi semakin berdebar-debar.
Orang y ang berada di ujung pasukannya, hampir keluar dari
bay angan lereng bukit itu.
Tetapi tiba -tiba saja Kuda Sempati terkejut. Yang
kemudian meloncat dari balik batu-batu padas bukannya
orang-orang y ang menjadi pengikut Kebo Rancak. Namun
yang kemudian berdiri dihadapan mereka adalah Akuwu di
Sangling. "Gila," geram Kuda Sempati, bagaimana hal ini dapat
terjadi. Namun orang seperti Kuda Sempati itu sama sekali tidak
menghiraukan harga diri. Ketika ia merasa jalan ke depan
telah tertutup, maka ia pun berusaha untuk berlari kembali.
Namun yang hadir kemudian memang sebuah pasukan.
Tetapi bukan para pengikut Kebo Rancak. Yang kemudian
menghadang di tengah jalan adalah pasukan Sangling sendiri.
Para prajurit Sangling y ang datang bersama Kuda
Sempati menjadi bingung. Namun kemudian terdengar suara
lantang dari seorang Senapati yang ditugaskan oleh Akuwu
Sangling yang kemudian berdiri di sebelah Akuwu itu,
"saudara-saudaraku, para prajurit Sangling. Kalian telah
terjerumus ke dalam pasukan yang tidak terpuji. Tetapi itu
bukan salah kalian. Segala-galanya adalah tanggung jawab
Senapati Kuda Sempati."
"Apa y ang telah terjadi" " seorang Senapati muda
berteriak bertanya. Senapati y ang berdiri di sisi Mahisa Bungalan itulah
yang kemudian menjawab setiap pertanyaan. Bahkan
kemudian orang itu pun telah menjelaskan apa yang
sesungguhnya telah terjadi.
"Para pengikut Kebo Rancak telah kami sergap. Kami
telah menawan sebagian besar dari mereka. Sekarang ternyata
Kuda Sempati yang harus bertanggung jawab."
Kebingungan telah terjadi di antara para prajurit
Sangling y ang semula dipimpin oleh Kuda Sempati itu. Namun
mereka tidak segera dapat mengambil sikap.
Sementara itu Akuwu Sangling itu pun berkata, "Dengar
perintahku. Aku adalah Akuwu Sangling. Tinggalkan Kuda
Sempati. Pasukannya akan berada dibawah pimpinanku
sendiri." Kuda Sempati menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja ia
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berteriak kepada pasukannya, "ber siaplah. Kita adalah
pasukan yang terpilih. Kita akan tetap merupakan pasukan
yang utuh dan mampu m enentukan sikap sendiri. Jika kita
dijebak sekarang, maka ini tentu satu pengkhianatan."
Para prajurit m emang bertambah bingung. Sementara
Kuda Sempati berkata lebih lanjut, "Ingat para prajurit terpilih
dari Sangling. Bukankah kita baru saja mengemban tugas
untuk menumpas gerombolan Kebo Rancak. Sebagai prajurit
bersenjata kita tidak akan dapat menyerah kepada siapapun."
"Tetapi aku adalah Akuwu Sangling," berkata Akuwu,
"perintahku mengatasi semua orang di Sangling. Karena itu
aku perintahkan, tinggalkan Kuda Sempati atau kalian akan
dihitung terlibat dalam pengkhianatannya" Perintahku akan
aku ulang sekali lagi. Siapa yang melanggar perintahku, tidak
akan ada ampun lagi."
Tiba-tiba saja Kuda Sempati itu meloncat sambil
menarik pedangnya yang di samping pasukan. Dengan suara
lantang ia berkata, "Siapa yang meninggalkan barisan, akan
aku habisi nyawanya." Wajah Kuda Sempati menjadi m erah
oleh kemarahan yang membara di dadanya, "Kita berangkat
bersama, melakukan kewajiban bersama dan kita memang
harus bersama untuk seterusnya."
Tetapi suara Akuwu bagaikan bergema, "Per soalannya
telah menjadi lain. Jika para prajurit tidak meninggalkan Kuda
Sempati adalah karena Kuda Sempati telah mengancam.
Karena itu, aku ingin mempertemukan Kuda Sempati dan
seorang sahabatnya."
Senapati y ang berdiri di sebelah Akuwu itu pun telah
membunyikan isy arat dengan tepuk tangan.
Sejenak kemudian, t iga orang prajurit telah muncul dari
balik gerumbul sambil membawa Seorang yang terikat
tangannya. Kebo Rancak. Darah Kuda Sempati bagaikan berhenti mengalir.
Dengan nada berat ia bergumam, "Kebo Rancak."
Kuda Sempati termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia berkata, "Apa yang telah kau katakan Kebo
Rancak, sehingga Akuwu telah menganggap aku berkhianat"
Apakah kau telah memfitnah aku dan m elaporkan apa saja
yang dapat menjerat aku bersamamu?"
"Aku tidak mengatakan apa-apa," jawab Kebo Rancak.
"Nah, jika demikian, kenapa Akuwu menuduh aku
berkhianat" Apakah ada orang lain y ang memfitnah aku
dengan cara y ang licik ini?" teriak Kuda Sempati.
"Sudahlah Kuda Sempati," jawab Akuwu lantang, "tidak
ada y ang melaporkanmu. Tetapi aku sendiri mendengarkan
pembicaraanmu di rumah Kebo Rancak. Ketika aku
memberikan perintah kepada kalian untuk mulai lagi
penertiban, maka di malam harinya aku sengaja berada di
rumah Kebo Rancak. Akhirnya aku sempat mendengarkan
persetujuan kalian. Karena itu, kau tidak dapat m emberikan
alasan apapun juga, karena kesalahan yang kau lakukan
adalah dihadapanku sendiri. Langsung."
Kuda Sempati menjadi makin tegang. Tiba-tiba saja
nalarnya menjadi buntu. Ia tidak melihat jalan keluar selain
dua kemungkinan. Mati atau meninggalkan tempat itu dengan
terhormat. Karena itu, maka Kuda Sempati itu justru berteriak,
"Akuwu. Baiklah. Aku akui perbuatanku itu. Tetapi ju stru
karena itu, maka aku akan mempertanggung jawabkannya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan tidak pantas m enjadi
Akuwu di Sangling. Karena itu aku tantang kau berperang
tanding sekarang, jika kau memang memiliki kemampuan
yang tinggi." "Kau belokkan per soalannya untuk membayangi
kesalahan y ang sudah kau lakukan," berkata Akuwu,
"sebenarnya pengumuman sudah jelas. Pengkhianatan.
Hukuman bagi pengkhianat adalah mati."
"Aku akan berperang tanding sampai mati atau
membunuhmu," berkata Kuda Sempati.
"Kau tahu, bahwa aku telah memasuki pendadaran.
Kenapa kau tidak ikut dalam pendadaran itu, sehingga kau
mempunyai kemungkinan untuk menjadi seorang Akuwu?"
bertanya Akuwu Sangling. "Cukup," bentak Kuda Sempati, "tetapi bahwa aku tidak
memasuki pendadaran itu bukan karena kami takut
menghadapimu. Tetapi aku rasa bahwa kematianmu m emang
belum saatnya. Namun aku tidak peduli. Yang penting
sekarang kita akan berperang tanding. Rasa-rasanya aku
seperti orang yang sedang menagih hutang. Kematian Akuwu
Sangling y ang lama telah membuat hidupku semakin
menderita, karena limpahan kemurahan Akuwu tidak lagi
dapat aku tunggu." "Besok sajalah kau berceritera tentang pribadimu,"
berkata Pangeran Mahisa Bungalan, "pertimbangkan baikbaik.
Tetapi apakah benar kau menantang aku berperang
tanding?" Kuda Sempati menjadi semakin merah di sorot matanya.
Namun ia pun menjawab dengan keras, "Aku menghendaki
perang tanding itu sekarang. Di sini. Semua orang harus
menjauh dan hanya para saksi sajalah y ang akan dapat
mendekat." Mahisa Bungalan mendengar tantangan itu. Untuk
sesaat ia berpikir, apakah ia harus menerima tantangan itu
atau tidak. Pantas atau tidak pantas.
Namun ternyata darah mudanya masih saja
menggelegak sampai ke kepala.
Karena itu, maka dengan menggeretakkan giginya
Mahisa Bungalan m elangkah maju sambil berkata, "Menepi.
Beri kesempatan orang itu untuk berperang tanding."
"Akuwu," desis Senapati yang mendampinginya, "dalam
persoalan seperti ini Akuwu dapat m emerintahkan orang lain
untuk melayaninya. Jika Akuwu berkenan, perintahkan
kepada hamba untuk memasuki arena mewakili Akuwu,"
Senapati itu berhenti sejenak, lalu, "Atau bahkan Akuwu dapat
mengambil kebijaksanaan lain tanpa menyentuh harga diri
Akuwu. Karena Senapati Kuda Sempati sudah jela s berkhianat,
maka Akuwu dapat memerintahkan pasukan Sangling untuk
menangkapnya dan menghukum mati dengan mengabaikan
tantangannya untuk berperang tanding."
"Terima kasih," desis Akuwu Sangling, "aku akan segera
menerima tantangannya. Juga orang lain y ang melakukan
kesalahan serupa." Wajah Kuda Sempati menjadi merah padam. Namun
dalam pada itu, ternyata ada juga Senapati yang lain yang
menjadi berdebar-debar. Mereka tidak mengira bahwa Akuwu
Sangling y ang baru, dengan caranya sendiri ju stru telah
berhasil menjebak Senapati Kuda Sempati, Senapati yang
dianggap memiliki wibawa dan kelebihan di antara para
Senapati sebay anya. Sementara itu Akuwu Sangling telah berdiri beberapa
langkah dari Kuda Sempati. Dengan wajah y ang tegang Akuwu
itu berkata, "bersiaplah. Aku akan mulai."
Kuda Sempati memang agak gugup m enghadapi sikap
Akuwu yang baru itu. Ternyata Akuwu itu seorang yang dapat
bertingkah laku lembut dan sabar, namun pada satu saat
Akuwu itu dapat bertindak keras dan tegas.
Para prajurit Sangling y ang semula berada dibawah
pimpinan Kuda Sempati pun telah bergeser menjauh.
Sementara itu beberapa orang Senapati dari tataran yang
tertinggi di Sangling telah bergeser m endekat. Di luar sadar,
mereka telah berdiri m enutup jalan, sehingga orang tidak lagi
dapat bergerak ke arah y ang berlawanan sekalipun. Sedangkan
di sebelah kiri jalan terdapat tebing y ang cukup tinggi, yang
dipergunakan untuk menjebak pasukan Sangling dengan
menggulingkan batu dan potongan-potongan kayu. Sedangkan
di sebelah lain terdapat sebuah jurang y ang dalam dan terjal.
Sejenak kemudian, Akuwu Sangling telah bersiap
berhadapan dengan Kuda Sempati. Keduanya adalah orangorang
yang berilmu. Dan keduanya pun pada saat itu adalah
orang-orang y ang sedang marah.
Keduanya pun kemudian telah bersiap. Selangkah
mereka bergeser: Kuda Sempati dengan cerdik telah
melangkah ke arah tebing. Dengan demikian, maka Akuwu
Sangling berada di arah jurang yang dalam.
Para Senapati yang berdiri memagari arena itu pun
menjadi berdebar-debar. Demikian para prajurit y ang berdiri
di belakang para Senapati itu. Jika Kuda Sempati berhasil
memanfaatkan kedudukannya yang lebih baik dari Akuwu
Sangling, maka ia akan dapat melemparkan Akuwu ke jurang
yang dalam itu. Namun setiap prajurit dari tataran yang paling tinggi
sampai tataran yang paling rendah mengetahui, bahwa Akuwu
adalah seorang y ang memiliki ilmu y ang tinggi.
Demikianlah, maka Kuda Sempati pun telah bergeser
pula semakin merapat tebing. Ketika ia bergerak maju, maka
Akuwu Sangling telah berdiri dihadapannya, benar-benar
membelakangi tebing. Pa da saat yang demikian, Kuda Sempati telah bergerak
dengan hati-hati setapak demi setapak maju. Kedua tangannya
telah siap bergerak menyambar lawannya. Sementara Akuwu
Sangling pun telah bergerak maju pula.
Namun m ereka berada di jalan y ang tidak terlalu l ebar,
sehingga dengan demikian, maka jarak mereka pun m enjadi
semakin pendek. Kuda Sempati ternyata benar-benar ingin
mempergunakan kesempatan itu. Karena itu, maka tiba-tiba
sa ja ia pun telah meloncat meny erang dengan kakinya
mengarah ke dada lawannya.
Para prajurit Sangling memang menjadi semakin tegang.
Namun Akuwu Sangling sendiri menyadari, bahwa di
belakangnya menganga jurang yang terjal. Karena itu, maka ia
harus berhati-hati. Baru beberapa lama ia tinggal di istana
Akuwu Sangling. Jika ia gagal dan terlempar ke dalam jurang,
maka ia akan tercatat dalam sejarah Sangling sebagai Akuwu
yang memiliki masa jabatan y ang paling pendek.
Karena itu, maka Akuwu Sangling tidak m eninggalkan
kewaspadaan. Meskipun serangan Kuda Sempati itu belum
mampu mendesaknya, tetapi ia harus memperhitungkan
segala kemungkinan. Ketika kaki Kuda Sempati itu terjulur ke dadanya, maka
Akuwu Sangling itu pun sempat memiringkan tubuhnya. Tidak
terlalu sulit untuk menghindarinya. Namun Akuwu pun telah
memperhitungkan serangan-serangan berikutnya.
Sebenarnyalah, bahwa Kuda Sempati telah menarik
serangannya. Tetapi dengan cepat ia memutar tubuhnya.
Serangan berikutnya dilakukan dengan putaran kakinya.
Tumitnyalah y ang menyambarnya.
Namun Akuwu telah bergeser mundur selangkah.
Karena itu, serangan lawannya sama sekali tidak
menyentuhnya. Tetapi Kuda Sempati tidak ingin memberi kesempatan
kepada Akuwu. Ia pun telah bergerak dengan cepat pula.
Demikian kakinya yang berputar ia meny entuh tanah, m aka
kakinya y ang lain telah terlontar maju dengan langkah yang
panjang. Tangannyalah yang bergerak menyamping,
menghantam ke arah kening lawannya.
Tetapi Akuwu melihat serangan itu. Dengan cepat
Akuwu itu pun merendahkan diriny a, sehingga sambaran
tangan Kuda Sempati itu terayun diatas kepalanya.
--------------------------------
Sepertinya ada yang hilang diantara dua paragraf (di atas dan di
bawah). Tetapi, memang dari buku aslinya juga begitu.
--------------------------------
Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian melangkah menjauhi Kuda Sempati sambil
berdesis, "Yang penting bagimu adalah m embuktikan bahwa
kau benar-benar telah meny esali perbuatanmu. Bukan sekedar
mempertunjukkan peny esalan dihadapan banyak orang, tetapi
tingkah lakumu sama sekali tidak berubah."
"Ampun Akuwu," berkata Kuda Sempati, "hamba akan
melakukan apa saja yang Akuwu perintahkan untuk
membuktikan kesetiaan hamba kepada janji hamba saat ini."
Akuwu tidak menjawab. Namun tiba -tiba ia memberikan
perintah, "Kembali ke Sangling. Bawa semua tawanan, para
pengikut Kebo Rancak."
Para Senapati pun menjadi termangu-mangu sejenak.
Demikian pula dengan Kuda Sempati. Namun sejenak
kemudian seorang Senapati y ang lain telah m engambil alih
pimpinan pasukan yang semula dipimpin oleh Kuda Sempati
itu. Kuda Sempati sendiri t idak dapat berpikir lagi, apakah
harus dilakukannya. Sementara itu Akuwu Sangling seolaholah
tidak menghiraukannya lagi.
Sejenak kemudian, maka pasukan Sangling itu pun
sudah mulai bergerak. Yang semula dipimpin oleh Kuda
Sempati pun telah bergerak pula, sementara pasukan y ang lain
telah mendahuluinya sambil membawa para tawanan
termasuk Kebo Rancak sendiri. Sementara itu, beberapa orang
yang terluka telah ditolong oleh kawan-kawannya.
Ternyata bahwa Kuda Sempati kemudian mengikut pula
di belakang. Memang ada niatnya untuk melarikan diri saja,
apalagi Akuwu sudah tidak menghiraukannya lagi. Tetapi ada
semacam hambatan di dalam hatinya untuk melakukannya.
Karena itu, maka ia pun telah berjalan saja di belakang
pasukan Sangling yang seolah-olah juga tidak
menghiraukannya seperti Akuwu y ang berjalan di paling
depan. Sementara itu, beberapa orang prajurit Sangling y ang
semula mengikuti Kuda Sempati mengepung padukuhan Kebo
Rancak telah memperbincangkan peristiwa yang baru saja
terjadi. Seorang prajurit muda berdesis, "Memang
membingungkan." "Tidak ada yang membingungkan," jawab kawannya,
"kenapa kau menjadi bingung" Hanya orang-orang yang
nalarnya buram sajalah y ang bingung."
"Jangan berkata begitu. Itu meny inggung perasaan,"
sahut prajurit yang pertama.
"Maaf, tetapi menurut penilaianku m emang demikian.
Bukankah sudah jelas, bahwa Akuwu Sangling ternyata dapat
mengetahui rencana Senapati Kuda Sempati karena sempat
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengikuti Kuda Sempati dan mendengarkan pembicaraannya
dengan Kebo Rancak. Kemudian Akuwu yang tahu bahwa
Kebo Rancak akan menjebak pasukan Sangling di sini atas
persetujuan Kuda Sempati, telah mengambil langkah sendiri.
Akuwu lah y ang kemudian menjebak Kebo Rancak dan
berhasil m enangkapnya, sekaligus menangkap Senapati Kuda
Sempati. Nah, apa y ang membingungkan?"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
berkata, "Aku tahu. Tetapi jangan m eny inggung perasaanku
lagi. Jika kau masih berani meny inggung perasaanku, aku
tidak tahu, jika akibatnya akan membuatmu menyesal."
Tetapi prajurit y ang lain itu tertawa. Katanya, "Sudahlah.
Tenanglah. Kita bebas dari jebakan Kebo Rancak."
Keduanya pun kemudian terdiam. Pasukan itu berjalan
terus langsung menuju ke Sangling.
Dalam pada itu, maka keberhasilan Akuwu Sangling
menghancurkan gerombolan Kebo Rancak memberikan
harapan yang cerah bagi Sangling. Menurut perhitungan
Akuwu, maka ger ombolan-gerombolan yang lain pun akan
segera dapat dihancurkan pula.
Ternyata bahwa Kuda Sempati benar-benar menepati
janjinya. Dengan sangat menyesal ia telah berbuat apa saja
yang dapat dilakukan bagi kepentingan Sangling. Ketika
Akuwu memanggilnya, maka ia pun telah memberikan banyak
sekali keterangan tentang beberapa orang Senapati yang lain
yang berbuat sebagaimana dilakukannya.
Dengan demikian maka Akuwu Sangling telah mendapat
banyak kesempatan untuk menangkap para Senapati yang
telah berkhianat. Ternyata bahwa Akuwu Sangling telah bertindak dengan
cepat. Namun sebelumnya Akuwu masih juga berusaha untuk
menghindari tindak k ekerasan atas para Senapatinya sendiri.
Karena itu, maka sebelum ia melakukan penangkapanpenangkapan,
Akuwu telah mengeluarkan m aklumat, bahwa
mereka y ang merasa bersalah harus melaporkan diri.
Ternyata seruan itu ditaati oleh para Senapati y ang
Tantangan Mesra 1 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 9
membiarkan dirinya dilumatkan oleh lawannya itu, sehingga
ia pun benar-benar telah bersiap sepenuhnya. Bahkan
kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari Mahisa Agni pun
telah dipersiapkannya. Dalam sikapnya y ang bertahan, maka
Mahisa Bungalan telah menyilangkan tangannya. Namun daya
tahannya y ang dilandasi dengan ilmunya, bagaikan tegaknya
batu karang yang tidak tergoy ahkan oleh benturan gelombang
dan prahara. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu
menahan nafas mereka. Ketegangan benar-benar
mencengkam ketika orang-orang yang menyaksikan itu
melihat, bahwa Mahisa Bungalan sama sekali tidak berusaha
untuk menghindar, tetapi langsung membentur serangan
lawannya. Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka benturan y ang
dahsy at itu akan terjadi. Tangan Jayaraja terayun dengan
derasnya langsung mengarah ke dahi Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan pun telah mengangkat tangannya
yang bersilang. Dengan demikian, maka tangan Jay araja yang terayun
itu telah membentur tangan Mahisa Bungalan yang bersilang.
Dengan sengaja Jayaraja tidak m enggeser arah serangannya,
meskipun ia m elihat tangan Mahisa Bungalan yang bersilang
itu m elindungi dahinya. Menurut perhitungan Jayaraja, maka
serangannya itu akan dapat menghancurkan tangan yang
bersilang itu. dan sekaligus dahi Mahisa Bungalan.
Di dalam hatinya ia berkata, "Bukan salahku jika tulang
tengkorakmu pecah. Kau sudah berani mencalonkan dirimu
menjadi Akuwu Sangling dan membuka say embara bagi
pendadaranmu. Karena itu kau harus sudah
memperhitungkan akibat seperti ini."
Demikianlah maka sejenak kemudian, benturan y ang
dahsy at itu telah terjadi. Tangan Jayaraja y ang diay unkan itu
benar-benar t elah m embentur tangan Mahisa Bungalan yang
bersilang. Namun y ang tidak diduga oleh Jay araja adalah alas ilmu
yang dipergunakan oleh Mahisa Bungalan adalah ilmu
Gundala Sasra. Meskipun Mahisa Bungalan tidak meloncat
dan m engayunkan ilmu itu, namun dalam ungkapannya yang
lain, i lmu itu telah menjadi perisai y ang tidak tertembus oleh
kekuatan ilmu Jay araja. Bahkan tangan Jayaraja yang
membentur kekuatan ilmu Mahisa Bungalan yang telah
dilepaskan lewat tangannya yang bersilang itu bagaikan
membentur dinding baja. Kekuatan yang ter salur lewat
ayunan tangannya itu bagaikan berbalik memukul bagian
dalam tubuh Jay araja sendiri.
Terdengar keluhan tertahan, Mahisa Bungalan memang
berguncang dan terdorong surut. Tetapi keadaannya tidak
menyulitkannya. Meskipun ia harus berusaha untuk
mempertahankan keseimbangannya dan berusaha mengatasi
rasa sakit y ang m enghentak sampai k e dada. Namun Mahisa
Bungalan masih tetap berdiri di atas kedua kakinya.
Sementara itu lawan Mahisa Bungalan itu bagaikan
terlempar dan terbanting jatuh ke tanah. Kekuatan yang
memental di dalam dirinya benar-benar menghentak di dalam
dadanya, serasa meruntuhkan jantungnya. Jika ia memang
melenting surut, maka Jayaraja memang berusaha untuk
mengurangi akibat benturan y ang terjadi, meskipun agak
terlambat. Namun demikian, ia masih juga t idak dapat
mempertahankan keseimbangannya dan jatuh di tanah.
Perasaan sakit di dalam dadanya bagaikan tidak
tertahankan. Bagaimanapun juga ia berusaha mengatasi rasa
sakitny a, namun dari bibir Jay araja itu akhirnya meleleh juga
darah y ang merah. Mahisa Bungalan berdiri termangu-mangu. Ia melihat
Jayaraja menggeliat. Tetapi di wajahnya nampak betapa ia
bertahan dari rasa sakit yang mencengkam.
Beberapa saat Mahisa Bungalan m enunggu. Ia sendiri
perlahan-lahan telah berhasil mengatasi rasa sakit di dadanya.
Sementara itu Jayaraja dengan susah pay ah berusaha untuk
bangkit. Namun ia hanya mampu berdiri pada lututnya.
Tubuhnya rasa-rasanya tidak kuat lagi untuk berdiri tegak
pada kedua kakinya. Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan para
Senapati yang menjadi saksi dari pendadaran itu telah
memasuki arena. Dengan nada rendah Pangeran Singa
Narpada berkata, "Ki Sanak. Menurut pengamatan para saksi,
pertempuran ini sudah dianggap selesai."
"Tidak," jawab Ki Jayaraja, "aku masih mampu
mengalahkannya. Aku akan memilin lehernya sampai patah."
"Apakah kau tidak mengakui keny ataan ini?" bertanya
Akuwu Lemah Warah. Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia
memandang Mahisa Bungalan, maka Mahisa Bungalan masih
tetap berdiri tegak bahkan sempat tersenyum dan berkata, "Ki
Sanak. Apakah pendadaran ini sudah selesai?"
"Persetan." geram orang itu.
Tetapi ia memang tidak dapat mengingkari keny ataan.
Mahisa Bungalan nampaknya masih tetap tegar. Sementara itu
senyumnya membuat hatinya semakin panas.
"Ki Sanak," berkata Pangeran Singa Narpada, "Menurut
penilaian kami, Ki Sanak ternyata tidak mampu mengatasi
kemampuan Mahisa Bungalan. Jika kalian m elakukan perang
tanding, maka Mahisa Bungalan masih mempunyai
kesempatan untuk meny elesaikannya justru pada saat kau
tidak berdaya. Karena ia mempunyai hak untuk menentukan,
apakah lawannya akan mati atau dibiarkan hidup. Tetapi
karena kali ini kalian tidak sedang melakukan perang tanding,
maka kau akan tetap hidup meskipun kau sudah tidak mampu
lagi mengadakan perlawanan."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Berpegangan
pada tiang gawar maka ia pun telah bangkit berdiri. Namun
rasa-rasanya dadanya memang bagaikan retak. Sementara itu,
di sudut bibirnya nampak titik -titik darah yang merah.
"Luka dalammu berdarah," berkata Pangeran Singa
Narpada, "kau harus segera mendapat pengobatan. Jika tidak,
maka keadaanmu mungkin akan dapat menjadi semakin
berbahaya." Orang itu memang merasakan titik -titik hangat di
mulutnya. Ketika mengusap dengan punggung telapak
tangannya, maka ia memang melihat darah.
"Nah," berkata Pangeran Singa Narpada, "apakah kau
masih belum y akin akan kemenangan Senapati Mahisa
Bungalan?" Orang itu termangu -mangu. Karena ia tidak segera
menjawab, maka Akuwu Lemah Warah y ang mulai tidak sabar
berkata, "Kami menentukan Ki Sanak telah kalah. Senapati
Mahisa Bungalan m emenangkan pertempuran dalam rangka
pendadaran ini. Namun jika Ki Sanak tidak mengakui
kekalahan ini dan masih akan meneruskan pertempuran,
maka y ang terjadi adalah tanggung jawab Ki Sanak sendiri.
Nah, aku tidak mempunyai waktu untuk m enjadi saksi dari
kelanjutan pendadaran ini y ang akan menjadi perang
tanding." Jayaraja termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata,
"Sebelum kekuatanmu pulih kembali. Sri Baginda di Kediri
sudah mengambil keputusan. Jika Akuwu yang baru sudah
diwisuda, maka setiap orang yang menentangnya adalah
seorang pemberontak."
Jayaraja tidak segera menjawab. Namun ia memang
tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia berbicara dihadapan
sak si-saksi yang telah mengambil keputusan.
Karena itu, m aka katanya, "Baiklah. Aku akan tunduk
kepada para sak si yang m emimpin pendadaran ini. Namun
ingat, bahwa aku tidak pernah mengakui kekalahan ini."
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
sama sekali tidak menghiraukannya lagi. Bagi mereka dan
para saksi yang lain pendadaran itu sudah selesai.
Para Senapati dan para prajuritku menganggap bahwa
pendadaran itu m emang sudah selesai. Orang y ang mengaku
Jayaraja itu ternyata tidak mampu membatalkan pencalonan
Mahisa Bungalan. Bahkan pada saat terakhir nampak bahwa
Mahisa Bungalan memiliki ilmu pada tataran y ang jauh lebih
tinggi dari ilmu Jayaraja, meskipun sebelumnya Mahisa
Bungalan sempat membuat orang-orang y ang menyaksikan
pendadaran itu menjadi berdebar-debar.
"Seorang y ang luar biasa," desis seorang Senapati
Sangling, "ia memang pantas untuk menduduki jabatan yang
kosong di Sangling meskipun barangkali ia masih harus
membentuk dirinya dan meny esuaikan dengan keadaan
Sangling y ang barangkali berbeda dengan Singasari."
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Kelihatannya
ia sama sekali tidak kehilangan tenaganya untuk mengalahkan
orang y ang bernama Jayaraja y ang semula cukup
mendebarkan jantung."
Seorang perwira y ang lain lagi berkata, "Senapati Mahisa
Bungalan ternyata bukan saja seorang y ang memiliki ilmu
yang tinggi, tetapi ia pun seorang pemimpin y ang berwibawa."
Dalam pada itu, maka orang y ang menyebut dirinya
Jayaraja itu pun telah menyelinap keluar dari arena. Dua
orang meny ongsongnya dan membawa pergi.
Sepeninggal orang itu, m aka Pangeran Singa Narpada
pun menyatakan bahwa pendadaran sudah selesai, karena
tidak ada orang lain yang menolak pencalonan Mahisa
Bungalan dengan cara seperti yang baru saja terjadi.
Orang-orang Sangling, termasuk para prajurit dan para
Senopati memang sudah merasa puas dengan sikap Mahisa
Bungalan, selain ilmunya y ang tinggi. Pendadaran yang
meskipun hanya satu kali itu cukup membuktikan, bahwa
Mahisa Bungalan pantas untuk menjadi Akuwu Sangling.
Namun dalam pada itu selagi orang-orang Sangling
termasuk para prajurit dan Senapati mengagumi Mahisa
Bungalan, maka seseorang telah hadir pula di pinggir arena
itu. Seorang yang membuat para prajurit dan Senapati
Sangling menjadi berdebar-debar. Bahkan Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Sangling pun menjadi berdebar-debar
pula. "Sang Akuwu," berkata orang itu, "apakah Sang Akuwu
mengenal aku?" Akuwu Lemah Warah termangu -mangu. Sementara
orang itu berkata, "Aku adalah guru Akuwu Sangling yang
telah terbunuh di padepokan Suriantal. Aku adalah orang yang
telah mengambil saudara seperguruannya. Ingat?"
Akuwu Lemah Warah menjadi berdebar-debar. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Kaulah y ang mengaku
guru Akuwu Sangling. Sekarang, apakah kepentinganmu
datang kemari justru pada saat ini?"
Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, "jangan cemas.
Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan m emasuki
arena y ang m embatalkan pencalonan ini. Aku m elihat orang
yang dicalonkan untuk memegang jabatan Akuwu Sangling itu
memiliki ilmu Gundala Sasra. Karena itu maka ia adalah orang
yang pantas sekali menjadi Akuwu di Sangling. Karena
menurut pengamatanku, orang-orang yang memiliki i lmu itu
adalah orang-orang y ang memiliki landasan bukan saja
kewadagan, tetapi juga kejiwaan y ang pantas bagi seorang
pemimpin. Karena itu maka aku guru Akuwu Sangling yang
telah terbunuh itu ikut serta mendukung keputusan
pendadaran ini, bahwa Mahisa Bungalan Senapati Besar dari
Singasari ditetapkan menjadi Akuwu di Sangling. Namun
segala sesuatunya tergantung kepada penguasa di Kediri dan
Singasari. Apalagi Mahisa Bungalan masih cukup muda,
sehingga aku yakin bahwa ilmu dan kemampuannya akan
dapat berkembang jauh."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, "Terima kasih. Kami berharap bahwa Ki Sanak akan
dapat membantu kami, ikut serta menegakkan pemerintahan
di Sangling untuk selanjutnya."
"Aku mengerti Akuwu," berkata orang itu, "tetapi aku
berkata dengan tulus, bahwa aku akan berusaha membantu
Akuwu Sangling yang baru. Syukurlah jika Mahisa Bungalan
yang memiliki jalur ilmu Gundala Sasra itu akan benar-benar
diangkat m enjadi Akuwu Sangling. Aku akan m embantunya
jauh lebih besar daripada saat muridku menjadi Akuwu,
karena aku tahu, bahwa sebenarnya secara jiwani muridku
masih belum pantas untuk menduduki jabatan itu. Hanya
karena jalur keturunan sajalah maka ia dapat mencapai
jenjang kedudukan y ang seharusnya tidak dijabatnya."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya,
"Kami sangat berharap kebenaran kata-kata Ki Sanak."
"Aku bukan orang yang bercabang lidah," berkata orang
itu, "karena itu, kalian akan melihat kebenaran kata-kataku."
Akuwu Lemah Warah hanya mengangguk-angguk saja,
sementara orang itu berkata kepada Mahisa Bungalan, "Orang
muda. Mudah-mudahan kau mendapatkan kesempatan itu."
"Terima kasih," jawab Mahisa Bungalan.
Orang itu pun kemudian berkata, "Aku minta diri. Segala
sesuatunya terserah kepada Akuwu Lemah Warah dan kepada
Pangeran Singa Narpada yang bertindak atas nama
pemerintahan di Kediri."
Dengan demikian, maka orang itu pun segera
meninggalkan alun-alun Sangling y ang masih dipenuhi oleh
rakyat Sangling serta para prajurit dan para Senapati.
Sepeninggal orang itu. maka Akuwu Lemah Warah pun
menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia
bergumam, "Aku percaya kepadanya. Ia tentu benar-benar
akan membantu tegaknya pemerintahan di Sangling. Orang
itu, yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling yang lama
memang memiliki ilmu yang luar bia sa."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Jika demikian maka upacara ini dapat diakhiri."
"Ya Pangeran," berkata Akuwu Sangling, "pertemuan
khusus ini memang sudah dapat diakhiri."
Demikianlah m aka Pangeran Singa Narpada pun telah
memerintahkan para Senapati Sangling untuk m embubarkan
upacara itu. Agaknya pencalonan Mahisa Bungalan sudah
berhasil melangkahi satu tahap. Selanjutnya persoalannya
akan ditentukan di Kediri dan di Singasari. Jika Sri Baginda
Kediri tidak berkeberatan, maka persoalannya akan m enjadi
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lebih rancak. Sri Baginda di Singasari tentu tidak akan
berkeberatan jika Mahisa Bungalan memohon kesempatan
untuk menduduki jabatan itu. Sedangkan Sri Baginda di Kediri
sebagian terbesar tergantung kepada Pangeran Singa Narpada.
Ketika para pemimpin dari Kediri, dari Lemah Warah
dan Mahisa Bungalan kembali ke istana Akuwu Sangling,
maka sambutannya pun menjadi semakin baik. Tahap yang
sudah dilalui oleh Mahisa Bungalan rasa-rasanya sudah cukup
menentukan. Karena itu hampir pasti bahwa Mahisa Bungalan
akan menjadi Akuwu di Sangling.
Tetapi Mahisa Bungalan tidak ingin tinggal di Sangling
terlalu lama. Ia m asih harus kembali ke Singasari. Tetapi ia
masih akan singgah di padepokan Suriantal, melihat kedua
adiknya y ang sedang sibuk dengan batunya yang kehijauhijauan
itu. "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu akan ikut
bergembira mendengar keputusan itu," berkata Mahisa
Bungalan. "Ya," jawab Akuwu Lemah Warah, "namun agaknya
mereka masih saja asyik dengan batunya itu."
Dalam pada itu ternyata rakyat Sangling telah
mendapatkan calon pemimpinnya yang baru, yang menurut
pengamatan mereka cukup meyakinkan. Bahkan guru Akuwu
Sangling yang lama pun menyatakan bahwa Senapati Mahisa
Bungalan adalah calon y ang tepat. Orang y ang meny ebut
dirinya guru Akuwu Sangling itu justru berjanji untuk
membantu Mahisa Bungalan jika ia berada dalam kesulitan.
Dengan demikian, maka menurut dugaan orang-orang
Sangling termasuk para prajurit dan Senapatinya, bahwa masa
depan Sangling akan menjadi lebih baik. Menurut dugaan
mereka. Senapati Mahisa Bungalan bukan seorang y ang tamak
dan mementingkan diri sendiri. Bahkan nampak pada sorot
matanya dan tingkah lakunya, bahwa ia memiliki kesabaran.
Dalam pada itu setelah bermalam di Sangling semalam
lagi, maka Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan
Mahisa Bungalan minta diri kepada Senapati yang untuk
sementara memerintah di Sangling. Mereka akan pergi ke
Kediri. Namun mereka akan singgah di padepokan Suriantal.
Dengan para pengawal yang dibawa oleh Akuwu Lemah
Warah dari padepokan, maka mereka telah meninggalkan
Pakuwon Sangling. Satu perjalanan yang cukup panjang.
Tetapi mereka menempuh jarak itu dengan berkuda, sehingga
waktu y ang diperlukannya memang tidak sepanjang jika
mereka berjalan kaki, meskipun kadang-kadang kuda-kuda
mereka pun harus merangkak tidak lebih cepat dari orangorang
y ang berjalan kaki. Namun pada kesempatan lain kuda
mereka sempat berpacu dengan cepat.
Kedatangan mereka di padepokan telah disambut
dengan gembira oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sebelum Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa yang
terjadi di Sangling. maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah mengajak Mahisa Bungalan dan bahkan bersama
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah untuk
melihat batu hijaunya. Untuk tidak m engecewakan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka ketiganya, bahkan beberapa orang prajurit
pengawalnya telah mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
ke tengah-tengah padepokan, tempat mereka meletakkan batu
yang sedang digarap untuk menjadi sebuah patung y ang besar
dan baik, y ang menggambarkan sepasang ular naga di satu
sarang. Sebenarnyalah Mahisa Bungalan menjadi kagum.
Demikian pula Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah
Warah. Dalam waktu y ang pendek, kerja itu sudah nampak
memberikan batasan bentuk.
"Kakak beradik itu m emang luar biasa," berkata Mahisa
Bungalan. Namun Mahisa Murti berkata, "Mereka dibantu oleh dua
orang penghuni padepokan ini. Meskipun mereka tidak
setrampil kedua orang prajurit itu, namun kerja mereka cukup
dapat membantu kedua orang prajurit itu. Sebelumnya tidak
ada y ang pernah m engatakan kemampuan kedua orang itu.
Namun ketika keduanya melihat kedua pemahat itu bekerja,
maka mereka menyatakan kesediaan mereka untuk
membantu. Ketika Mahisa Bungalan mendekat, maka memang
dilihatnya di samping dua orang pemahat dari Singasari, dua
orang lain telah membantunya meskipun hanya sekedar
melakukan sebagaimana bentuk yang telah ditentukan oleh
perwira Singasari y ang kebetulan juga seorang pemahat.
"Mudah-mudahan dengan demikian patungmu akan
lebih cepat selesai," berkata Mahisa Bungalan.
"Ya. Kakang," jawab Mahisa Murti, "aku segera ingin
membawa ke Singasari dan mempersembahkannya kepada Sri
Maharaja." Mahisa Bungalan tertawa. Namun kemudian katanya,
"Apakah kami tidak kau per silahkan duduk" Demikian kami
datang, maka kami langsung kau bawa kemari."
"O"," kedua anak muda itu tiba-tiba menyadari. Karena
itu maka Mahisa Murti pun berkata, "Marilah, silahkan duduk
di pendapa." Baru kemudian, ketika telah dihidangkan minuman
panas bagi mereka yang baru datang dari Sangling, kedua anak
itu bertanya tentang pendadaran bagi Mahisa Bungalan.
Mahisa Bungalan terseny um. Katanya, "Yang Maha
Agung telah memberikan kesempatan kepadaku untuk
mengatasi pendadaran itu."
"Jadi kakang ditetapkan sebagai calon itu?" bertanya
Mahisa Pukat. "Ya," jawab Mahisa Bungalan, "namun seterusnya
tergantung kepada Kediri dan Singasari."
Namun Mahisa Pukat bergumam hampir di luar
sa darnya, "Semuanya akan teratasi. Kediri akan tergantung
kepada Pangeran Singa Narpada, sementara Singasari dapat
berbicara dengan paman Mahisa Agni dan paman Witantra."
"Kau kira semudah itu?" bertanya Mahisa Bungalan,
"bagaimanapun juga Pangeran Singa Narpada harus
menunggu keputusan Sri Baginda di Kediri, sedangkan paman
Mahisa Agni dan Witantra tidak mempunyai wewenang
menentukan apa -apa, meskipun keduanya wenang
menyampaikan pendapatnya."
"Ya. y a," dengan serta merta Mahisa Pukat menyahut,
"maksudku juga demikian."
Pangeran Singa Narpada tersenyum. Katanya, "Aku
mengerti maksudmu. Mudah-mudahan pendapatku akan
mempunyai arti dihadapan Sri Baginda di Kediri."
"Ya Pangeran," desis Mahisa Pukat sambil
menganggukkan kepalanya. "Mudah-mudahan."
Pangeran Singa Narpada tertawa pendek. Tetapi ia tibatiba
saja bertanya, "berapa pekan patungmu akan siap."
"Aku tidak tahu Pangeran," jawab Mahisa Murti,
"tergantung sekali kepada kemungkinan-kemungkinan yang
akan t erjadi pada saat mereka meny elesaikan pekerjaan itu.
Jika tidak ada hambatan dan kesulitan, maka patung itu akan
selesai dalam waktu satu bulan lebih sedikit."
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk.
Nampaknya para pemahat itu telah bekerja tanpa m engenal
waktu. Bahkan kadang-kadang mereka bekerja sampai malam
dengan mempergunakan lampu-lampu obor.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah memperingatkan
mereka, agar tidak perlu bekerja terlalu keras. Mereka tidak
dikejar oleh waktu, karena y ang mereka kerjakan itu
tergantung sekali kepada mereka sendiri.
"Aku ingin mencapai bentuknya lebih dahulu," berkata
perwira prajurit Singasari yang memimpin pembuatan patung
itu, "baru kemudian aku akan dapat bekerja lebih lam ban."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat
mencegahnya. Para pemahat y ang lain pun nampaknya
bekerja pula dengan mantap tanpa mengenal lelah. Agaknya
mereka memang ingin mencapai satu bentuk dasar dari
pembuatan patung itu lebih dahulu.
Ketika hal itu disampaikannya kepada Pangeran Singa
Narpada, maka Pangeran itu m enyahut, "Kadang-kadang kita
memang tidak dapat mengekang kemauan mereka
menumpahkan gejolak yang ada didalam diri m ereka. Namun
pada saatnya mereka akan mengatur diri mereka sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Agaknya ia pun memperlakukan para pemahat itu
sebagaimana dikatakan oleh Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, Akuwu Lemah Warah telah
menyatakan pula maksudnya untuk membawa sebagian
prajurit Lemah Warah y ang masih ada di padepokan itu
kembali. Meskipun demikian, di padepokan itu akan
ditinggalkan sekelompok prajurit y ang akan dapat membantu
isi padepokan itu termasuk pengamanan batu yang sedang
dipahat untuk dijadikan patung itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat
menyerahkan segalanya kepada Akuwu Lemah Warah. Namun
agaknya di padepokan itu memang terdapat cukup banyak
prajurit Lemah Warah. Terutama untuk menghadapi sikap
Sangling, pada waktu itu.
"Sementara itu, Ki Buyut Bapang akan aku bawa.
Demikian pula beberapa orang tawanan yang lain y ang masih
tersisa disini," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Terima kasih Akuwu," berkata Mahisa Murti, "dengan
demikian maka pekerjaan kami disini akan menjadi jauh
berkurang." "Tetapi kalian m asih mempunyai tanggungan," berkata
Akuwu Lemah Warah, "kita tidak tahu, apakah orang-orang
yang mengingini batu itu masih belum membatalkan niatnya."
"Kami akan tetap berhati-hati," berkata Mahisa Murti.
Malam itu Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah
Warah dan Mahisa Bungalan sempat memberikan beberapa
pesan. Di hari berikutnya mereka memang masih akan berada
di padepokan itu sehari. Namun mereka akan sibuk dengan
persiapan-persiapan. Sebagian dari prajurit Lemah Warah
akan mengikuti Akuwu kembali ke Lemah Warah, sedangkan
sekelompok di antara mereka akan tetap ditinggalkan di
padepokan itu, untuk membantu jika padepokan kecil itu
mendapat kesulitan. Meskipun orang-orang y ang ada
dipadepokan itu, y ang bukan saja orang Suriantal tetapi
agaknya sudah bercampur baur. namun dengan susah payah
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menyatukan mereka
menjadi satu keluarga besar, yang bersama-sama bertanggung
jawab atas padepokan itu.
Demikianlah, m aka seperti yang sudah diperhitungkan
sebelumnya, maka di hari berikutnya. Akuwu Lemah Warah
telah sibuk mempersiapkan pasukannya. Senapati prajurit
Lemah Warah harus membagi pasukannya, dengan
meninggalkan sekelompok prajurit di padepokan itu.
Pa da hari yang ditentukan, di hari berikutnya, maka
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan akan meninggalkan padepokan itu diiringi oleh
sebagian dari prajurit Lemah Warah y ang masih ada di
padepokan itu. Menurut rencana prajurit Lemah Warah itu
sedikit demi sedikit akan dikurangi. Pa sukan y ang akan
mengganti pa sukan yang telah ada di padepokan akan selalu
disusut, sehingga akhirnya padepokan Suriantal itu akan
mampu menjaga dirinya sendiri. Apalagi jika batu yang
berwarna kehijauan itu sudah tidak lagi berada di padepokan
itu, maka padepokan itu agaknya tidak akan diganggu lagi oleh
orang lain. Ketika matahari kemudian mulai memanjat naik, sebuah
iring-iringan telah meninggalkan padepokan itu. Dari pintu
gerbang y ang terbuka, pasukan Lemah Warah beriringan
keluar diantar oleh para penghuni sampai diluar pintu
gerbang. Sepeninggal mereka, maka di hati para penghuni
padepokan itu justru telah tumbuh rasa tanggung jawab yang
lebih besar. Padepokan itu pada satu saat akan ditinggalkan
oleh seluruh prajurit Lemah Warah, sehingga semua tanggung
jawab berada di pundak mereka masing-masing.
Karena itu maka para penghuni padepokan Suriantal itu
harus segera berbenah diri. Mereka harus benar-benar
menjadi dewasa dan tidak mempercayakan perlindungan diri
kepada orang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berpikir
demikian pula. Karena itu, maka di hari-hari berikutnya, di
samping kesibukan dengan patung batu hijaunya, maka ia pun
mulai membicarakan kemungkinan untuk menempa isi
padepokan itu. Agar jika terjadi sesuatu, mereka akan dapat
berbuat lebih baik dari y ang pernah mereka lakukan.
"Kalian sudah cukup baik," berkata Mahisa Murti,
"tetapi yang baik itu akan dapat menjadi semakin baik."
Ternyata para penghuni padepokan itu menyambut
sikap itu dengan gairah y ang tinggi. Ternyata sebagian besar
dari mereka mempunyai landasan berpikir seperti Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, sehingga dengan demikian maka
mereka pun telah berusaha membantu dengan sekuat-kuat
tenaga mereka. Dengan sungguh-sungguh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berusaha untuk meningkatkan kemampuan para
penghuni padepokan itu. Dengan sungguh-sungguh pula
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m enghilangkan jarak antara
mereka y ang satu dengan yang lain, sehingga para penghuni
itu semakin merasa satu. Meskipun mereka masih mempergunakan ragam senjata
yang berbeda, namun mereka tidak lagi merasa bahwa mereka
memang berasal dari banyak perguruan.
Untuk memberikan tuntunan yang semakin mantap,
maka Mahisa Murti telah m embagi penghuni padepokan itu
menjadi kelompok-kelompok y ang dengan sengaja telah
dicampur baurkan. Setiap kelompok mendapat penilikan
secara khusus oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dibagi
menurut-urutan, maka mereka setiap hari mendapat
kesempatan untuk secara langsung ditangani oleh kedua anak
itu, bergantian. Meskipun tidak dengan serta merta, namun usaha itu
menunjukkan hasilny a juga. Perlahan-lahan namun para
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penghuni itu merasa bahwa kemampuan mereka memang
semakin meningkat. Ketrampilan mereka mempergunakan
senjata menjadi semakin tinggi pula.
Namun untuk masa depan yang lebih panjang, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan orang-orang
yang dapat membantunya, menempa para penghuni
padepokan itu. Karena itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memilih dua puluh lima orang y ang mendapat
tuntunan secara khusus. Setiap hari mereka ditempa oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Menjelang matahari t erbit
kedua puluh lima orang itu harus sudah siap. Mereka harus
sudah berada di sanggar terbuka, di bagian belakang
padepokan mereka. Keduapuluh lima orang itu mendapat latihan-latihan
yang berat di setiap pagi sejak terang tanah sampai matahari
sepenggalah. Sedangkan di sore hari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mengadakan latihan-latihan bagi kelompok-kelompok
yang ada di padepokan itu.
Perwira prajurit Singasari y ang kebetulan juga pemahat
itu heran melihat ketrampilan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menangani isi padepokan y ang semula berasal dari beberapa
perguruan. Meskipun keduanya masih muda, namun ternyata
bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk mengatur
padepokan itu dengan baik, selain keduanya memang berilmu
tinggi. Sementara itu, isi padepokan itu sendiri telah berusaha
keras untuk mengikuti petunjuk dan usaha Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, karena mereka pun merasa ikut bertanggung
jawab atas padepokan itu.
"Jika musuh darimana pun asalnya datang, maka kita
semuanya bertanggung jawab. Jika mereka berhasil memasuki
padepokan ini, sa sarannya adalah kita semua. Mereka tidak
akan m emilih satu dua orang di antara kita. Tetapi semua,
karena kita memang menjadi satu keluarga." Dengan demikian
maka keluarga yang ada di dalam padepokan itu semakin lama
menjadi semakin luluh, sehingga mereka tidak lagi merasa
berasal dari beberapa perguruan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian berniat
merubah nama padepokan itu. Agar tidak berkesan bahwa
padepokan itu terdiri dari banyak padepokan, maka namanya
Suriantal harus tidak dipergunakan lagi. Karena nama itu akan
selalu mengingatkan bagian dari seluruh isi padepokan itu.
"Tetapi kita sebaiknya mengadakan pembicaraan dengan
Akuwu," berkata Mahisa Murti kepada penghuni padepokan
itu y ang setelah sependapat pula untuk mengganti nama
padepokan itu dengan nama yang lebih sesuai dengan
keadaannya kemudian. Karena itu, maka mereka tidak tergesa-gesa menetapkan
nama baru bagi padepokannya, meskipun ada juga di antara
orang-orang padepokan itu y ang mulai mereka-reka nama
baru. Sementara para penghuni padepokan itu sibuk dengan
usaha mereka menempa diri, empat orang telah sibuk dengan
kerja m ereka sendiri. Seorang perwira prajurit Singasari yang
kebetulan adalah seorang pemahat tengah membentuk ujud
dasar dari patungnya dibantu oleh tiga orang lainnya.
Keempat orang itu nampaknya tidak menghiraukan apa yang
terjadi di padepokan itu. Mereka sama sekali tidak
mempedulikan latihan-latihan yang berat, penempaan diri di
setiap hari dan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan
yang lain. Mereka telah tenggelam dalam kerja m ereka yang
memang memerlukan pemusatan nalar budi.
Nampak pada saat-saat senggang, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sempat juga menunggui kerja mereka. Jika satu
dua masih juga terdapat binatang berbisa, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat lah y ang harus membunuh beberapa ekor
binatang berbisa yang terdapat di celah-celah batu yang besar
itu. Perlahan-lahan namun pasti bentuk yang dikehendaki
oleh pematung itu pun mulai nampak.
"Dalam beberapa hari ini, kau akan melihatnya," berkata
pemahat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Kami tidak
tergesa -gesa. Karena itu kau tidak perlu bekerja terlalu keras."
Tetapi pemahat itu tersenyum. Katanya, "jangan
risaukan kami. Sudah menjadi kebiasaan kami bekerja seperti
ini. Selagi hati kami terbuka. Namun jika suatu saat kami ingin
berhenti dan tidur, maka kami akan tidur berhari-hari, tanpa
menyentuh batu ini sama sekali."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi mereka tidak dapat mengatur
apalagi memaksa cara kerja para pemahat itu.
Sementara itu, perjalanan Akuwu Lemah Warah,
Pangeran Singa Narpada dan Mahisa Bungalan telah sampai
ke Pakuwon Lemah Warah. Mereka masih akan meneruskan
perjalanan ke Kediri, untuk menyampaikan pencalonan
Mahisa Bungalan kepada Sri Baginda di Kediri.
Namun mereka telah beristirahat di Pakuwon Lemah
Warah. Dua malam mereka telah meneruskan perjalanan
menuju ke Kediri. Kehadiran mereka di Kediri, telah diterima dengan baik
oleh Sri Baginda. Demikian seorang Pelayan Dalam
menyampaikan kehadiran Pangeran Singa Narpada, maka Sri
Baginda telah memberi kesempatan untuk menghadap.
Pangeran Singa Narpada telah menghadap bersama
Akuwu Lemah Warah dan Mahisa Bungalan.
"Bagaimana dengan usahamu?" bertanya Sri Baginda.
"Ampun Sri Baginda," berkata Pangeran Singa Narpada,
"atas restu Sri Baginda, maka usaha hamba sudah berhasil.
Hamba telah m embawa seorang calon bagi Akuwu Sangling.
Bahkan telah kami hubungi pula rakyat Sangling."
"Kau sudah melangkah begitu jauh?" bertanya Sri
Baginda. Pangeran Singa Narpada pun telah menceriterakan apa
yang sudah dilakukan. Sampai batas pendadaran yang
dilakukan di Sangling serta kehadiran orang y ang mengaku
guru dari Akuwu Sangling yang terbunuh itu.
Sri Baginda hanya dapat menarik nafas dalam-dalam.
Nampaknya semuanya telah disiapkan dengan baik. Tidak
mungkin lagi untuk merubahnya.
Satu lagi kekuasaan dari Singasari terhunjam di Kediri.
Akuwu Sangling yang akan diangkat adalah seorang Senapati
dari Singasari. Memang menurut penalaran, tidak ada bedanya, apakah
ia berasal dari Kediri atau Singasari. Yang penting Sangling
akan tumbuh dengan baik serta semakin berkembang.
Namun bagaimanapun juga, ketika ditetapkan bahwa
Akuwu Sangling adalah seorang Senapati dari Singasari, rasarasanya
Sri Baginda telah kehilangan lagi sebuah daerah yang
menjadi alas kebesaran kerajaan Kediri.
Pangeran Singa Narpada y ang menganggap Kediri
bagian dari keluarga besar Singasari, tidak
memperhitungkannya. Pangeran Singa Narpada adalah
seorang y ang menganggap luluhnya Kediri dalam Singasari
adalah wajar. Meskipun Pangeran Singa Narpada sadar,
bahwa banyak sentuhan-sentuhan perasaan yang harus
dihadapinya. Namun baginya, Sri Baginda di Kediri selama ini
telah membenarkan sikapnya. Bahkan merestui usahanya
untuk meny ingkirkan saudara-saudaranya y ang menentang
kebijaksanaan itu, bahkan telah memberontak melawan
Kediri. Namun ternyata Pangeran Singa Narpada tidak dapat
menghapuskan perasaan itu sampai ke hati nurani saudarasaudaranya
meskipun kelihatannya Kediri m emang menjadi
tenang. Bahkan Pangeran Singa Narpada tidak berhasil
menerawang memasuki lubuk hati Sri Baginda di Kediri. Yang
dibaca oleh Pangeran Singa Narpada adalah sikap Sri Baginda
tentang u sahanya menumpas setiap pemberontakan, yang
kadang-kadang harus dilakukannya dengan keras. Beberapa
orang Pangeran harus disingkirkan.
Meskipun sekali-sekali terasa sikap janggal Sri Baginda
atas saudara-saudaranya y ang dianggapnya telah
memberontak, namun Pangeran Singa Narpada tidak melihat
cukup jauh tentang isi hati Sri Baginda.
Sementara itu, Sri Baginda memang tidak dapat banyak
berbuat. Pangeran Singa Narpada adalah seorang Senapati
yang terlalu kuat baginya. Mau tidak m au, ia harus mengikuti
jalan pikiran Pangeran Singa Narpada.
Demikian pula dalam hubungannya dengan pencalonan
Akuwu Sangling. Ketika Pangeran Singa Narpada memberikan
beberapa keterangan y ang bernada keputusan, maka Sri
Baginda pun tidak dapat menolaknya.
Namun demikian Sri Baginda masih juga bertanya,
"Apakah Mahisa Bungalan telah mendapat ijin dari Sri
Maharaja di Singasari?"
"Belum Sri Baginda," jawab Pangeran Singa Narpada,
"tetapi hamba sendiri akan menghadap Sri Maharaja di
Singasari, memohon agar Mahisa Bungalan diperkenankan
memegang jabatan Akuwu di Sangling. Apalagi Mahisa
Bungalan adalah anak Mahendra dan murid Mahisa Agni dan
Witantra. Kedua orang tua itu adalah orang yang berpengaruh
di Singasari. Bukan saja karena umurnya y ang sudah terlalu
banyak, tetapi karena keduanya memang orang-orang pilihan.
Bukankah keduanya pernah berada di Kediri sebagai wakil Sri
Maharaja Singasari?"
Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak
dapat menolak pendapat Pangeran Singa Narpada.
Karena itu, maka Sri Baginda pun telah memberikan
restu dengan syarat, apabila Sri Maharaja di Singasari
mengijinkan. Demikianlah Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan telah bermalam di istana Pangeran Singa Narpada
selama mereka berada di Kediri. Pada saatnya, setelah
bermalam dua m alam, maka m ereka pun telah m elanjutkan
perjalanan menuju ke Singasari. Mereka tidak saja diiringi
oleh sekelompok prajurit Lemah Warah, tetapi Pangeran Singa
Narpada telah membawa beberapa orang prajurit Kediri,
sementara sebagian prajurit Lemah Warah telah ditinggalkan
di Kediri. Mereka telah diperintahkan untuk menunggu Akuwu
kembali ke Kediri. Dengan ciri -ciri kebesaran dan pertanda keprajuritan
Kediri maka kelompok itu pun telah berangkat menuju ke
Singasari untuk menyelesaikan pencalonan Akuwu di
Sangling. Kedatangan sekelompok prajurit Kediri dan Lemah
Warah dengan tanda-tanda kebesaran memang telah
mengejutkan Singasari. Tetapi karena y ang datang itu hanya
sekelompok kecil, maka para petugas di Singasari tidak
mempunyai prasangka buruk terhadap pasukan yang datang
itu. Apalagi di dalam kelompok kecil itu terdapat seorang
Senapati dari Singasari, Mahisa Bungalan.
Ketika kelompok itu sampai di pintu gerbang istana,
maka Mahisa Bungalan lah yang kemudian mengurus segalagalanya,
sehingga Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah
Warah serta para pengiringnya mendapat tempat untuk
beristirahat. Mereka telah ditempatkan di sebuah bangsal y ang
memang disediakan bagi tamu-tamu terhormat y ang datang
mengunjungi Singasari. Ketika Sri Maharaja di Singasari mendengar
permohonan Pangeran Singa Narpada dari Kediri serta Akuwu
Lemah Warah untuk menghadap, maka Sri Maharaja pun
telah menentukan waktu untuk menerima mereka.
Sementara Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah
Warah menunggu, maka Mahisa Bungalan telah sempat
menemui Mahisa Agni dan Witantra.
"Baru besok Pangeran Singa Narpada diterima oleh Sri
Maharaja," berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun
kemudian Mahisa Agni pun bertanya tentang pencalonan
Mahisa Bungalan, "Apakah semuanya berjalan lancar?"
Mahisa Bungalan sempat menceriterakan apa y ang
sudah terjadi atas dirinya. Memang ada seorang y ang agaknya
menolak pencalonannya. Namun orang yang menyebut guru
Akuwu Sangling telah datang pula justru untuk memberikan
dukungan kepadanya. Menurut Akuwu Lemah Warah, orang
yang mengaku sebagai guru Akuwu Sangling itu adalah orang
yang berilmu sangat tinggi."
"Siapakah namanya?" bertanya Mahisa Agni.
Mahisa Bungalan menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak seorang pun y ang pernah mendengarnya. Orang-orang
Sangling pun agaknya masih belum mengenalnya dengan
baik." Mahisa Agni mengangguk-angguk. Sementara Witantrapun
bertanya, "Apakah tidak seorang pun y ang mengenal ciri
perguruannya?" "Tidak paman. Pangeran Singa Narpada dan Akuwu
Lemah Warah tidak meny ebut ciri -cirinya. Nampaknya
mereka juga tidak mengenal ciri perguruan Akuwu Sangling
yang lama itu," jawab Mahisa Bungalan.
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk. Namun
dengan demikian mereka mendapat gambaran, bahwa
pencalonan Mahisa Bungalan telah mendapat dukungan yang
cukup kuat. Baik oleh Kediri, maupun oleh orang-orang
Sangling sendiri. Bahkan guru Akuwu Sangling y ang lama
yang mampu menilik sifat muridnya telah menyatakan
dukungannya pula. Karena itu, maka Mahisa Agni pun berkata, "Mahisa
Bungalan. Agaknya kau m emang mendapat kesempatan yang
cukup baik. Karena itu, maka kau harus memanfaatkannya
sebaik-baiknya. Jika Sri Maharaja di Singasari tidak
berkeberatan, maka kau akan dapat mulai dengan satu babak
baru dalam kehidupanmu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Kemudian
katanya, "Aku akan mencobanya paman. Mudah-mudahan aku
berhasil. Kesempatan ini merupakan satu kurnia bagiku, yang
sudah tentu tidak akan aku sia -siakan."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus Mahisa Bungalan," berkata Witantra, "namun
bukan sekedar kau jalani. Tetapi kau harus mampu membawa
diri. Sudah barang tentu, pendadaran y ang sebenarnya akan
terjadi justru setelah kau menjadi Akuwu di Sangling. Karena
pendadaran y ang akan terjadi kemudian akan jauh lebih berat
dari pendadaran y ang sudah kau jalani di alun-alun Sangling
itu." Mahisa Bungalan m enarik nafas dalam-dalam. Dengan
nada dalam ia berkata, "Aku mengerti paman. Yang paman
maksud bukan saja di bidang pemerintahan, tetapi juga dalam
olah kanuragan. Aku harus mematangkan ilmuku dan
mengembangkannya, sehingga aku akan benar-benar menjadi
seorang pemimpin dan sekaligus pelindung bagi Sangling,"
"Ya," jawab Witantra, "jika itu sudah kau sadari, maka
kau telah menempuh jalan y ang benar."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata, "Aku mohon doa paman
berdua." Mahisa Agni terseny um. Katanya, "Kami akan selalu
berdoa buat kau dan keluargamu."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Meskipun
kedua orang itu rasa-rasanya sudah menjadi semakin tua,
namun keduanya adalah orang yang sangat berarti dalam
hidupnya di samping ay ahnya sendiri.
Dalam pada itu, ketika saat-saat y ang ditunggu telah
datang, maka Sri Maharaja di Singasari telah berkenan
menerima Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan
Mahisa Bungalan untuk menghadap.
Ternyata bahwa Sri Maharaja di Singasari telah
mengadakan paseban khusus untuk menerima tamu dari
Kediri. Karena itu, maka tidak semua pemimpin dan Senapati
prajurit Singasari hadir di paseban.
Ketika Sri Maharaja Singasari sudah m emperkenankan
Pangeran Singa Narpada untuk menyampaikan
kepentingannya, maka Pangeran Singa Narpada pun segera
mengatakan rencana Kediri untuk mengangkat Mahisa
Bungalan menjadi Akuwu di Sangling jika Sri Maharaja tidak
berkeberatan. Baik karena Mahisa Bungalan adalah seorang
Senapati Besar di Singasari, m aupun tentang pencalonannya
itu. Sri Maharaja di Singasari memang belum pernah
mendengar rencana itu sebelumnya, karena itu maka
dimintanya Pangeran Singa Narpada menjelaskan segalanya.
Pangeran Singa Narpada pun telah menceritakan apa
yang sudah terjadi di Sangling. Kemudian bagaimana ia
merintis seorang calon yang akan mampu mengisi kekosongan
itu. Akhirnya pilihannya telah jatuh kepada seorang Senapati
dari Singasari y ang bernama Mahisa Bungalan.
Segala sesuatunya telah dilakukan. Langkah demi
langkah telah dilewatinya, sehingga akhirnya langkah terakhir
adalah mohon ijin dan restu kepada Sri Maharaja di Singasari.
Sri Maharaja di Singasari mengangguk-angguk. Ia tidak
melihat keberatan apapun juga jika ia mengijinkan Mahisa
Bungalan untuk meninggalkan tugas keprajuritannya dan
kemudian berada di Sangling sebagai Akuwu.
Namun demikian ternyata Sri Maharaja masih juga
berbicara dengan para pemimpin Singasari y ang ada di
paseban. "Ternyata tidak seorang pun yang mempunyai
keberatan," berkata Sri Maharaja kemudian. Lalu, "Karena itu,
maka aku pun tidak berkeberatan pula. Aku ijinkan Mahisa
Bungalan meninggalkan tugasnya dan kemudian menerima
jabatan Akuwu di Sangling."
Dengan demikian, m aka tidak ada hambatan lagi y ang
berarti bagi Mahisa Bungalan. Segala jalan sudah dilewatinya
tanpa kesulitan karena pencalonan Mahisa Bungalan memang
didukung oleh unsur-unsur yang memadai.
Ketika Sri Maharaja kemudian berkenan menutup
pertemuan khusus itu maka Pangeran Singa Narpada telah
menyampaikan terima kasihnya y ang tidak terhingga k epada
Sri Maharaja atas ijinnya dan restunya kepada Mahisa
Bungalan. Demikianlah, maka di hari berikutnya. Pangeran Singa
Narpada dan Akuwu Lemah Warah t elah m enemui beberapa
pihak y ang berhubungan dengan rencana Mahisa Bungalan
meninggalkan kota Raja Singasari. Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah telah menemui Mahisa Agni dan
Witantra. Mereka telah menyampaikan rencana pengangkatan
Mahisa Bungalan menjadi Akuwu Sangling.
"Semua pihak telah memberikan per setujuan. Rakyat
Sangling, Sri Baginda di Kediri dan Sri Maharaja di Singasari,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
"Syukurlah," berkata Mahisa Agni, "semoga semuanya
dapat berlangsung sesuai dengan yang direncanakan. Kami
yang tua-tua tentu ikut bergembira atas kesempatan bagi
Mahisa Bungalan tersebut."
"Aku mohon doa dan restu paman," berkata Mahisa
Bungalan, " semoga Yang Maha Agung selalu melimpahkan
perlindungan dan tuntunannya kepadaku. Aku merasa jika aku
benar-benar diwisuda m enjadi Akuwu di Sangling, maka aku
akan menyandang beban y ang sangat berat. Satu tugas yang
akan menyangkut satu lingkungan y ang cukup luas."
"Tetapi kau harus berani melangkah ke jenjang y ang
lebih tinggi," berkata Witantra, "kesempatan itu t idak boleh
kau sia-siakan. Tetapi bukan untuk diterima dengan semenamena."
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu Mahisa Agni dan Witantra sempat memberikan
banyak petunjuk kepada Mahisa Bungalan, yang dapat
dipergunakannya sebagai bekal. Bahkan akhirnya Mahisa
Bungalan merasa dirinya cukup kuat untuk menerima jabatan
itu. "Mahisa Bungalan," berkata Mahisa Agni, "untuk harihari
pertama, m aka aku dan pamanmu Witantra tentu tidak
berkeberatan untuk berada di Sangling. Mudah-mudahan
kami akan dapat membantu meskipun mungkin hanya sekedar
petunjuk-petunjuk. Orang -orang tua seperti kami memang
tidak m empunyai apapun yang dapat aku berikan kepadamu
selain petunjuk-petunjuk."
"Apakah yang lebih berharga dari nasehat dan petunjuk
serta ilmu yang pernah paman berikan?" berkata Mahisa
Bungalan, "Harta benda akan dengan mudah dapat hilang.
Mungkin dicuri orang, mungkin dalam peri stiwa yang lain.
Tetapi ilmu y ang telah dimiliki seseorang, akan sulit hilang
daripadanya." Demikianlah maka kesediaan Mahisa Agni dan Witantra
untuk berada di Sangling pada hari-hari pertama telah
membuat Mahisa Bungalan semakin mantap.
"Beritahukan kepada kami, kapan kau akan berada di
Sangling. Setelah kau benar-benar diwisuda, maka aku akan
berada di Sangling bersama pamanmu Witantra. Aku tidak
tahu, apakah kelak ay ahmu juga akan berada di Sangling
untuk sementara," berkata Mahisa Agni.
Tetapi Mahisa Bungalan menggeleng. Katanya,
"Mungkin ayah tidak akan berada di Sangling. Justru karena
akulah yang akan menjadi Akuwu Sangling."
Mahisa Agni dan Witantra tersenyum, sementara
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
mengangguk-angguk. Keduanya mengerti arti kata-kata
Mahisa Bungalan. Kesempatan berikutnya, selagi Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah berada di Singasari, telah menemui
Mahendra pula. Mahendra dengan rendah hati berkata, "Aku
mengucapkan terima kasih y ang sebesar-besarnya atas
perkenan Pangeran dan Akuwu Lemah Warah memilih anakku
untuk dicalonkan menjadi Akuwu."
"Satu pilihan y ang tepat," berkata Pangeran Singa
Narpada, "ternyata semua pihak m enyetujuinya. Terakhir, Sri
Maharaja di Singasari telah memberikan restunya."
"Syukurlah," berkata Mahendra, "tetapi anakku masih
memerlukan tuntunan. Pengalamannya masih terlalu sempit.
Apalagi jabatan yang harus dipegangnya adalah jabatan yang
besar dan berat." "Ki Mahendra terlalu m erendahkan diri," sahut Akuwu
Lemah Warah. "Ki Mahendra dapat berbangga bahwa anak Ki
Mahendra telah menjadi orang y ang berilmu tinggi. Bahkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang muda itu pun memiliki
ilmu y ang mengagumkan pula."
"Akuwu bercanda," berkata Mahendra, "bukankah
sebagian dari padanya adalah atas kemurahan Akuwu."
Akuwu Lemah Warah mengerutkan keningnya.
Kemudian ia pun berkata, "Yang aku lakukan adalah sekedar
membantunya untuk melepaskan lontaran ilmu yang memang
sudah ada padanya. Ilmu yang tinggi dan memiliki kekuatan
yang luar bia sa." Mahendra t ertawa kecil. Katanya, "Satu peningkatan
yang luar bia sa." Akuwu Lemah Warah tertawa pula. Tetapi katanya, "Jika
keduanya tidak mempunyai bekal y ang cukup, maka
penggandaan berapa pun akan tidak berarti apa-apa."
"Agaknya m emang demikian," berkata Pangeran Singa
Narpada, "kedua anak-anak Ki Mahendra yang muda itu
memang mempunyai bekal yang cukup."
"Kepada Pangeran pun aku harus mengucapkan terima
kasih y ang sangat besar. Pangeran sudah memberikan terlalu
banyak kepada anak-anakku itu, sehingga anakku itu dapat
disebut namanya diantara orang-orang berilmu," berkata
Mahendra. Sebenarnyalah Pangeran Singa Narpada dan Akuwu
Lemah Warah adalah orang-orang y ang sudah sangat banyak
memberikan tuntunan kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun telah m ohon
restu kepada ayahnya. Ternyata jalan y ang akan ditempuhnya
masih sangat panjang. Jika ia nanti diwi suda menjadi Akuwu
Sangling, maka itu-berarti kesulitan-kesulitan yang
sesungguhnya baru akan mulai.
Setelah beberapa hari Pangeran Singa Narpada dan
Akuwu Lemah Warah serta para pengawal mereka berada di
Singasari, maka m ereka pun telah m enghadap Sri Maharaja
sekali lagi untuk mohon diri.
Menj elang matahari terbit di keesokan harinya, maka
Pangeran Singa Narpada, Akuwu Lemah Warah dan Mahisa
Bungalan y ang sudah mendapat ijin dan restu dari Sri
Maharaja itu, meninggalkan Singasari. Seperti pada saat
mereka datang, maka pada saat mereka meninggalkan
Singasari, maka m ereka pun telah ditandai dengan pertanda
kelengkapan prajurit Kediri dan Lemah Warah.
Karena itu, meskipun pengawal Pangeran Singa Narpada
dan Akuwu Lemah Warah tidak terlalu banyak, namun
pertanda kebesarannya telah m emberikan kesan k emampuan
yang tinggi pada pasukan kecil itu.
Seperti yang direncanakan semula, maka pasukan itu
langsung m enuju ke Kediri. Mereka langsung m enyampaikan
hasil perjalanan mereka ke Singasari kepada Sri Baginda dan
memohon agar wisuda bagi Mahisa Bungalan segera
dilaksanakan. Ternyata Sri Baginda di Kediri pun tidak mau menundanunda
pekerjaan yang memang harus dilakukan. Betapapun
keragu-raguan masih tetap m embayangi perasaannya, namun
Sri Baginda telah menetapkan bahwa wisuda akan segera
dilakukan. "Jika semua persiapan sudah selesai, maka aku akan
melantik Akuwu Sangling itu," berkata Sri Baginda,
"pelantikan itu akan aku lakukan di sini, di istana Kediri."
Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah
terkejut. Hal seperti itu tidak pernah dilakukan oleh Sri
Baginda sebelumnya. Sri Baginda selalu melantik para Akuwu
di tempat para Akuwu itu akan menjalankan tugasnya,
memimpin sebuah Pakuwon. Karena itu, maka Pangeran Singa Narpada pun bertanya,
"Kenapa Sri Baginda tidak melakukannya di Sangling?"
"Kesehatanku tidak m engijinkan Singa Narpada," jawab
Sri Baginda, "kecuali jika kalian bersedia menunggu sampai
aku menjadi benar-benar sehat. Padahal untuk kali ini
agaknya kalian sangat tergesa -gesa."
Wajah Mahisa Bungalan menjadi merah. Namun ia tidak
dapat mengatakan sesuatu.
"Sri Baginda," berkata Pangeran Singa Narpada, "kami
tidak tergesa -gesa. Saat ini pun di Sangling telah ada orang
yang untuk sementara melakukan tugas seorang Akuwu."
Tetapi Sri Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak mau digelisahkan oleh tugas-tugas yang tertunda.
Karena itu aku akan melantiknya disini. Bagiku, tempat tidak
menjadi rintangan dan juga tidak akan mengurangi
kewibawaan." Pangeran Singa Narpada dan Akuwu Lemah Warah tidak
dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka segala
sesuatunya terserah kepada Sri Baginda. Mereka hanya akan
mempersiapkan keputusan Baginda untuk mewisuda Mahisa
Bungalan sebagai Akuwu Sangling di Kediri.
Pa da saat yang ditentukan, serta setelah segala persiapan
selesai, maka saat wisuda pun ditetapkan. Segala macam
upacara dilakukan sebagaimana jika wisuda itu dilakukan di
Sangling sendiri. Ternyata y ang bertanya-tanya didalam diri bukan hanya
para pemimpin di istana Kediri. Para Senapati Sangling pun
merasa heran bahwa kali ini upacara wisuda itu dilakukan
tidak di tempat Akuwu itu akan menjalankan tugasnya.
Namun penjelasan y ang diberikan kepada mereka
adalah sebagaimana dikatakan oleh Sri Baginda di Kediri.
Karena itu, justru pada saat wisuda, para Senapati dan
para pemimpin Sangling lah y ang datang ke Kediri. Mereka
untuk pertama kaliny a menghadiri Wisuda yang dilakukan di
istana Kediri. Ternyata pada saat wisuda dilakukan, maka Mahisa Agni
dan Witantra pun telah datang pula ke Kediri. Namun mereka
bukan sekedar m engunjungi wisuda itu. Tetapi m ereka telah
membawa pertanyaan dari Sri Maharaja di Singasari. Karena
itu, ketika Mahisa Agni dan Witantra y ang pernah bertugas di
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kediri sebagai penghubung dan m engalirkan kuasa Singasari,
segera menyampaikan pertanyaan itu kepada Sri Baginda.
"Sri Baginda," berkata Mahisa Agni, "apakah maksud Sri
Baginda melakukan wisuda di istana Kediri" Bukankah hal ini
bukan kebiasaan Sri Baginda."
Pertanyaan itu m emang telah mengguncang jantung Sri
Baginda di Kediri. Sri Baginda tidak mengira, bahwa perhatian Sri
Maharaja di Singasari akan sampai pada persoalan yang
dianggap tidak menentukan itu.
Namun justru itu, maka Sri Baginda merasa bahwa
Singasari telah semakin banyak mencampuri persoalan Kediri.
"Aku sudah menduga," berkata Sri Baginda di dalam
hatinya, "calon Akuwu Sangling itu adalah orang Singasari. Ini
tentu merupakan satu lagi kuku kekuasaan Singasari yang
menghunjam menusuk bumi Kediri."
Tetapi Sri Baginda tidak dapat ingkar, bahwa memang
Singasari telah pernah menaklukkan Kediri. Justru ketika Ken
Arok masih memegang jabatan Akuwu di Tumapel. Akuwu
Tumapel lah y ang telah m enaklukkan Kediri dan kemudian
mengangkat dirinya menjadi Maharaja di Singasari dan
bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwa Bumi.
Namun Sri Baginda masih saja berpegang pada
keterangan y ang sudah dikatakan kepada orang -orang yang
sebelumnya sudah bertanya kepadanya. Katanya, "Aku m inta
disampaikan kepada Sri Maharaja di Singasari. Aku sama
sekali tidak berniat melakukan perubahan-perubahan atau
perbedaan langkah dalam upacara semacam ini. Tetapi karena
aku memang sedang sakit, sementara aku tidak mau menunda
wisuda ini. Sangling harus segera mendapat seorang yang
pantas untuk memerintah. Karena itu, maka aku telah
mengambil satu, kebijaksanaan. Aku akan mewisuda Akuwu
Sangling itu disini. Ju stru di istanaku. Istana Kediri."
Mahisa Agni dan Witantra mengangguk-angguk.
Meskipun bagi keduanya, alasan itu agaknya kurang wajar,
namun keduanya tidak akan mempersoalkannya lagi. Yang
penting w isuda itu berlangsung dengan tertib dan baik. Tidak
ada hambatan-hambatan yang berarti. Apalagi y ang dapat
mengurungkan pengangkatan itu sendiri.
Demikianlah, ketika semua persiapan sudah dilakukan,
maka upacara itu pun telah dilangsungkan pada hari yang
sudah dipilih. Namun tidak banyak orang Sangling y ang dapat
menyaksikan, kecuali hanya beberapa orang Senapati dan
beberapa orang pemimpin Sangling saja.
Namun begitu, ternyata bahwa wisuda itu berlangsung
dengan lancar dan bahkan khidmat. Orang-orang yang
menghadiri upacara itu merasa tercengkam. Sikap Mahisa
Bungalan ternyata memang meyakinkan. Ia tidak bersikap
berlebih-lebihan, meskipun tetap menunjukkan sosok seorang
pemimpin y ang mumpuni. Para Senapati Sangling merasa bahwa Sangling akan
mendapat seorang pemimpin y ang m ungkin akan lebih baik
dari Akuwu yang lama. Akuwu y ang baru kemudian dapat
mereka nilai. "Mudah-mudahan apa yang nampak ini bukan sekedar
bay angan semu karena kerinduan kami untuk mendapatkan
seorang pemimpin y ang baik," berkata para Senapati itu di
dalam hati. Ketika wisuda itu kemudian selesai, maka orang-orang
yang hadir telah menyampaikan pernyataan selamat kepada
Mahisa Bungalan yang telah sah menjadi Akuwu di Sangling.
Tunggul kebesaran Sangling sebelum wisuda telah
diserahkan kepada Sri Baginda untuk kemudian oleh Sri
Baginda di Kediri diserahkan kepada Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan telah berhak
memerintah Sangling sebagai seorang Akuwu. Ia bukan lagi
seorang Senapati di Singasari. Tetapi ia adalah seorang Akuwu
yang akan memerintah Sangling turun temurun, asal saja ia
tidak membuat kesalahan. Tidak berkhianat dan tidak terjadi
perubahan atas pemerintahan y ang lebih tinggi.
(Bersambung ke Jilid 47 ).
--ooo0dw0ooo- Jilid 047 DENGAN demikian, maka jika pada saatnya Mahisa
Bungalan datang ke Sangling, maka ia akan memasuki
Sangling sebagai Akuwu dan akan tinggal di istana Akuwu
Sangling bersama keluarga kecilny a.
Namun Mahisa Bungalan tidak segera pergi ke Sangling.
Ia m asih akan bermalam di Kediri. Besok ia akan bersamasama
ke Sangling bersama para Senopati Sangling yang
menghadiri wisuda itu. Namun mereka akan meninggalkan
Kediri bersama-sama dengan Akuwu Lemah Warah. Atas
permintaan Akuwu Lemah Warah, maka Mahisa Bungalan
yang kemudian disebut Akuwu Sangling akan bermalam di
Lemah Warah meskipun hanya semalam.
Tetapi dalam waktu semalam di Kediri, ternyata telah
timbul satu gagasan dari Pangeran Singa Narpada. Agar rakyat
Sangling dapat mengikuti satu upacara tersendiri atas
pengangkatan Akuwu mereka y ang baru, maka Pangeran Singa
Narpada berniat untuk mengadakan upacara khusus di
Sangling. "Upacara apa?" bertanya Mahisa Agni, "bukankah tidak
ada upacara selain wisuda."
"Wisuda sudah dilakukan," berkata Pangeran Singa
Narpada, "Akuwu Sangling yang baru telah sah menduduki
jabatannya. Karena itu Akuwu Sangling akan dapat melakukan
upacara apa saja m enurut keinginannya asal maknanya tidak
bertentangan dengan wisuda y ang telah dilakukan oleh Sri
Baginda." "Misalnya?" bertanya Witantra.
"Semacam peresmian dan sekedar m engundangkan isi
wisuda Sri Baginda kepada Rakyat Sangling. Dengan demikian
rakyat Sangling akan sedikit mendapat obat kekecewaan
mereka, bahwa wisuda tidak dilakukan di Sangling sehingga
mereka tidak dapat menyaksikan," jawab Pangeran Singa
Narpada. Kedua orang tua itu mengangguk-angguk. Namun
Mahisa Agni pun bertanya, "Lalu apa yang akan dilakukan
dalam upacara khusus itu?"
"Apa saja asal tidak sama dengan wisuda y ang
sebenarnya, "jawab Pangeran itu pula.
"Apakah akan lahir satu kebiasaan baru dalam upacara
pengangkatan dan wisuda Akuwu di Sangling" Apakah hal
serupa juga akan dilakukan atas anak Mahisa Bungalan
kelak?" bertanya Witantra.
Namun akhirnya para Senapati Sangling pun
mengetahui, darimana Akuwu Sangling yang lama
mendapatkan barang-barang berharga itu, y ang ternyata dari
usahanya yang tidak mapan. Hubungannya dengan Ki Buyut
Bapang yang akrab dan perlindungannya terhadap Ki Buyut
itu, telah memberikan sebagian dari jawaban atas a sal dari
barang-barang berharga itu, atau uang yang dipergunakan
untuk membelinya. Dengan demikian, maka nilai kewibawaan Akuwu
Sangling y ang lama itu pun menjadi semakin menurun.
Berda sarkan atas keny ataan itu, maka Mahisa Bungalanpun
seakan-akan telah mendapat satu peringatan, bahwa ia
tidak boleh menyalahgunakan kedudukannya sebagai Akuwu.
Ia harus berbuat bagi Pakuwon Sangling sejauh dapat
dilakukan. Bukan bagi dirinya sendiri.
Berbekal petunjuk-petunjuk dari Mahisa Agni dan
Witantra serta ayahnya Mahendra, maka Mahisa Bungalan
memerintah Pakuwon Sangling dengan hati-hati. Ia masih
mengharap kesediaan Mahisa Agni dan Witantra untuk berada
di Pakuwon Sangling, untuk waktu y ang cukup lama, agar
mereka dapat memberikan tuntunan kepadanya dalam
mengendalikan pemerintahan. Tetapi Mahisa Agni dan
Witantra harus memberitahukan lebih dahulu kepada Sri
Maharaja di Singasari, karena meskipun keduanya telah
berumur lanjut, tetapi keduanya masih sangat diperlukan di
Singasari karena nasehat dan petunjuk mereka.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
berada di padepokannya pun merasa lebih tenang. Di satu sisi
terletak Pakuwon Lemah Warah y ang pimpinannya telah
menganggapnya sebagai kemenakan. Sementara di sisi lain,
Pakuwon Sangling yang dipimpin oleh kakak kandungnya
sendiri. Ketika Mahendra kemudian berada di padepokannya,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memerlukan juga pergi
ke Sangling m eskipun hanya beberapa hari, karena ia tidak
dapat meninggalkan batu mereka terlalu lama.
Demikianlah maka untuk beberapa saat lamanya,
Mahisa Bungalan telah mendapat kesempatan untuk
membangun pemerintahan Sangling y ang namanya telah cacat
karena tingkah laku Akuwu Sangling y ang lama.
Dengan bijaksana Mahisa Bungalan mulai m engadakan
perubahan-perubahan. Tetapi tidak dengan serta merta. Ia
mulai menghambat kebiasaan y ang menurut pendapatnya
kurang baik. Pemborosan dan tingkah laku y ang kasar dan
keras. Tidak jarang Mahisa Bungalan harus memasuki
lingkungan y ang sebelumnya jarang dijamah, baik oleh orangorang
Sangling sendiri bahkan oleh para prajurit sekalipun.
Daerah y ang dibay angi oleh kehidupan yang kasar dan
keras sebagaimana Kabuyutan Bapang. Sebenarnya Akuwu
Sangling y ang lama bukannya tidak memiliki kemampuan
untuk mengatasi setiap kekerasan, karena Akuwu Sangling
yang lama adalah seorang y ang berkemampuan tinggi. Namun
Akuwu memang tidak ingin menghapuskan tata kehidupan
seperti itu y ang berada di Sangling. Justru kehidupan yang
suram itu dapat memberikan banyak kesenangan kepada
Akuwu. Sehingga sebenarnyalah Akuwu Sangling seakan-akan
memiliki dua wajah kehidupan.
Berbeda dengan Akuwu y ang lama, maka Mahisa
Bungalan berusaha untuk dengan perlahan-lahan menghapus
sisi kehidupan yang kelam itu dari Sangling. Tetapi ia tidak
dapat melakukannya dengan serta merta, karena dengan
demikian ia akan dapat mengguncang tata kehidupan di
Sangling. Namun sikap Mahisa Bungalan itu bukannya tidak
mendapat perlawanan. Orang-orang yang untuk waktu yang
cukup lama mendapat kesempatan untuk berkuasa karena
kekuatan kanuragan atas lingkungannya, tidak mau dengan
suka rela melepaskan kekuasaannya. Orang-orang yang
demikian telah berusaha untuk melakukan perlawanan atas
tindakan y ang dilakukan oleh Akuwu Sangling y ang baru.
Tetapi justru karena Mahisa Bungalan bertindak hatihati,
maka orang-orang yang merasa diriny a memiliki
kekuatan itu menganggap, bahwa Mahisa Bungalan adalah
orang yang lemah, meskipun ia ingin berbuat bertentangan
dengan kebiasaan yang sudah berlangsung cukup lama di
Sangling. Sebenarnyalah bahwa yang dilakukan oleh Mahisa
Bungalan barulah sekedar penjajagan. Dengan para Senapati
yang ternyata mempunyai pikiran yang sejalan dengan
pikirannya, Mahisa Bungalan telah berusaha untuk mengupas
perkembangan keadaan di Pakuwon Sangling. Tetapi satu dua
orang juga Senapati y ang ternyata mempunyai pendapat yang
lain. Sudah cukup lama ia melayani Akuwu Sangling yang
lama. Sudah cukup lama pula ia selalu m endapat bagian dari
langkah-langkah gelap Akuwu Sangling itu. Satu sisi
kehidupan y ang hitam dari sisi lain dari kehidupan seorang
Akuwu y ang besar. Dengan demikian maka para Senapati itu m enganggap
bahwa kesempatan yang selama ini terbuka bagi mereka, telah
ditutup oleh Akuwu Sangling yang baru itu, sehingga m ereka
tidak akan mungkin lagi mendapat apapun juga dari orangorang
y ang hidup dari kekelaman hatinya itu.
Ternyata bahwa satu dua Senapati y ang ternyata
berpihak kepada orang-orang y ang dianggap berdiri di luar
paugeran Pakuwon Sangling itu telah membuat banyak
kesulitan. Banyak rencana y ang dirahasiakan ternyata telah
didengar oleh orang-orang yang berdiri di luar paugeran itu.
Tetapi rencana Mahisa Bungalan berjalan terus. Bahkan
setiap peri stiwa yang menimbulkan pertanyaan di dalam
hatinya, telah dicatatnya pada r ontal yang akan dapat selalu
dibacanya kembali serta diurai untuk dinilai sebab dan
akibatnya. Namun akhirnya benturan-benturan kecil tidak dapat
dihindari lagi. Meskipun setiap rencana dilakukan dengan
hati-hati, namun kadang-kadang justru prajurit Sangling yang
mendapat kesulitan dengan jebakan-jebakan y ang dibuat oleh
orang-orang y ang dengan sengaja ingin mengacaukan
pemerintahan yang baru itu.
Seorang Senapati yang pada gelar sehari-hari dihormati
oleh kawan-kawannya, ternyata justru menjadi salah seorang
yang telah m emburamkan pemerintahan Sangling, karena ia
telah membuat hubungan dengan sekelompok orang yang
menentang kekuasaan Sangling atas mereka.
Bahkan tidak jarang Senapati y ang bernama Kuda
Sempati itu berada di antara gerombolan y ang dipimpin oleh
Kebo Rancak. Dengan pengetahuannya atas rencana-rencana
para prajurit dan Senapati Sangling, ia berhasil beberapa kali
menyelamatkan gerombolan Kebo Rancak itu.
Mahisa Bungalan y ang masih terhitung baru di Sangling
memang menjadi heran, bahwa usahanya tidak berjalan
dengan wajar. Namun ia pun kemudian menduga, bahwa
memang ada orang-orang y ang berniat buruk terhadap
usahanya itu dan dengan sengaja menggagalkannya.
Untuk beberapa lama Mahisa Bungalan masih belum
dapat memecahkan persoalannya. Gerombolan-gerombolan
yang sudah jelas sarangnya, tiba -tiba luput dari kepungan.
Bahkan tiba -tiba saja di tempat yang tidak terduga,
gerombolan itu telah meny erang pasukan Sangling sehingga
menimbulkan korban yang parah. Namun dengan serta merta
orang-orang dari gerombolan itu telah lenyap bagaikan ditelan
bumi. Beberapa kali Mahisa Bungalan berbicara dengan para
Senapati. Beberapa orang Senapati pun telah mencoba
memberikan saran pemecahan. Namun hasilnya ternyata tidak
memberikan harapan yang cerah.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beberapa orang Senapati y ang sempat berbincang di
antara mereka pun m erasa sangat heran akan kesulitan yang
mereka hadapi. Namun ternyata beberapa orang Senapati
berpendapat bahwa saatnya belum tiba untuk melakukan
tindakan seperti itu. Bahkan seorang di antara mereka berkata, "Akuwu
terlalu tergesa -gesa mengambil keputusan. Orang-orang itu
telah hidup dengan caranya untuk waktu y ang sangat lama.
Sejak ayahanda Akuwu Sangling y ang lama. Akuwu Sangling
yang lama yang telah m emerintahkan beberapa puluh tahun
pun tidak berani m engambil tindakan tegas. Apalagi Akuwu
Mahisa Bungalan yang masih baru."
"Memang agak berbeda kakang," sahut seorang Senapati
muda, "kita semua tahu, bahwa Akuwu Sangling yang lama
justru memberi kesempatan kepada orang-orang yang
melanggar paugeran itu. Mereka seakan-akan justru mendapat
perlindungan, seperti misalnya Ki Buyut Bapang y ang dapat
ditangkap di padepokan Suriantal, yang ternyata adalah
seorang buron dari Lemah Warah."
"Aku mengerti," jawab Senapati y ang pertama, "tetapi
apakah artinya langkah-langkah tegas jika tidak membawa
hasil sama sekali, bahkan hanya menyerahkan korban?"
"Kita harus merasa malu," berkata Senapati m uda itu,
"kenapa kita dapat meny elesaikan persoalan yang kecil ini.
Apalagi jika kita menghadapi musuh yang besar."
Senapati yang lebih tua itu mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak menjawab. Namun pada bibirnya nampak
bahwa Senapati itu tidak sependapat, bahkan meremehkan
pikiran Senapati muda itu.
Dalam pada itu, Mahisa Bungalan memang mengurangi
langkah-langkah yang tidak menguntungkan itu. Ia telah
memerintahkan para Senapati untuk menunda setiap rencana
untuk mengepung dan menangkap para pemimpin
gerombolan yang ada di Sangling. Termasuk gerombolan Kebo
Rancak. Tetapi Akuwu Sangling itu tidak tinggal diam. Sebagai
seorang Senapati yang memanjat kedudukannya dari anak
tangga y ang paling bawah, maka Akuwu Sangling telah
mengambil kebijak sanaan sendiri.
Di malam hari, ketika para prajurit dan pengawal
istananya yang bertugas memusatkan perhatiannya pada
kemungkinan seseorang dari luar memasuki dinding istana,
maka justru orang dari dalamlah yang telah m eloncat k eluar
dinding istana itu. Hanya seorang diri.
Dalam kegelapan Akuwu Sangling meny elinap di antara
pedukuhan-pedukuhan untuk mengamati keadaan
lingkungannya. Ternyata bahwa belum banyak perubahan yang terjadi.
Gardu-gardu perondaan masih kosong di malam hari.
Meskipun Akuwu menduga, bahwa hal itu disebabkan karena
gerombolan-ger ombolan liar y ang ada di Sangling telah
menggertak mereka y ang meronda, sehingga anak-anak muda
merasa ketakutan untuk berada di gardu-gardu.
Yang dilakukan oleh Akuwu Sangling itu tidak hanya
satu dua kali. Tetapi berkali-kali, sehingga semakin lama,
Akuwu Sangling semakin memahami persoalan yang
dihadapinya. Ketika dengan diam-diam Akuwu Sangling berhasil
menyelinap di sebuah padukuhan y ang dihuni oleh
gerombolan Kebo Rancak, maka ia sempat menyaksikan,
betapa gerombolan itu memiliki kekuasaan y ang besar bagi
lingkungannya. "Tentu ada orang dalam y ang mempunyai hubungan
dengan mereka. Agaknya Akuwu Sangling y ang lama tidak
berdiri sendiri. Ada satu dua orang Senapati yang berdiri
disisiny a," berkata Mahisa Bungalan di dalam hatinya.
Karena itu, ia tidak saja harus mempergunakan kekuatan
prajurit Sangling. Tetapi ia harus m empergunakan akal untuk
menjebak orang-orang dalam yang telah mempermainkan
kuasa pemerintahannya. Karena itulah, maka pada satu saat, Akuwu Sangling
telah memerintahkan beberapa orang Senapatinya berkumpul.
Dengan lantang Akuwu memerintahkan mereka bersiaga.
"Setelah agak lama kita beristirahat, maka sudah
waktunya kita melakukan penertiban itu kembali," berkata
Mahisa Bungalan kepada para Senapatinya.
Para Senapati memang merasa heran, bahwa tiba -tiba
sa ja Akuwu telah memberikan perintah. Apalagi ketika Akuwu
berkata selanjutnya, "Dalam waktu dua hari ini kita siapkan
pasukan. Di hari ketiga kita akan meny ergap sebuah
gerombolan y ang selama ini kita kenal dipimpin oleh Kebo
Rancak." Tidak seorang pun yang memberikan tanggapan.
Senapati y ang bernama Kuda Sempati itu pun terkejut pula.
Langkah y ang akan diambil oleh Akuwu itu demikian tiba -tiba.
Namun ia pun kemudian berkata di dalam hatinya, "Masih ada
kesempatan." Tetapi, Akuwu itu pun kemudian berkata, "Untuk
memimpin pasukan y ang akan m eny ergap ger ombolan Kebo
Rancak masih akan aku tentukan kemudian. Karena itu, maka
kalian semua harus tetap berada di rumah hari ini. Baru sore
nanti aku akan memerintahkan seorang di antara kalian
memimpin pasukan itu."
Para Senapati itu m enarik nafas dalam-dalam. Perintah
Akuwu itu memang terdengar agak aneh di telinga para
Senapati. Namun y ang m enjadi semakin gelisah adalah Kuda
Sempati. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk
menyembuny ikan kegelisahannya. Kepada diri sendiri ia
berkata, "Malam nanti aku akan sempat menemuinya."
Akuwu Sangling tidak t erlalu lama berbincang dengan
Senapatinya. Setelah ia memberikan perintah itu dan sedikit
pesan kepada para Senapati untuk mengatasi kesulitan yang
sedang mereka hadapi, maka pertemuan itu pun
dibubarkannya. Namun sekali lagi ia berkata, "Jangan ada
yang meninggalkan rumah hari ini. Sore nanti menjelang
senja, kita akan berbicara lagi."
Sambil meninggalkan pertemuan itu, beberapa orang
Senapati telah berbincang. Beberapa orang ternyata melihat,
bahwa Akuwu Sangling yang baru itu sudah mulai dengan
langkah-langkah y ang lebih keras.
"Agaknya Akuwu y ang baru, yang pernah menjadi
Senapati besar di Singasari itu mulai kehilangan kesabaran,"
berkata seorang di antara para Senapati.
"Lalu apa yang dapat kita lakukan?" bertanya Kuda
Sempati, "kemampuan kita memang sangat terbatas. Mungkin
tidak demikian y ang ada di Singasari. Singasari akan dapat
mengerahkan prajurit y ang jauh lebih banyak. Tetapi tidak di
Sangling ini." Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Tetapi para
Senapati itu menyadari, bahwa rencana-rencana mereka selalu
diketahui oleh ger ombolan -gerombolan y ang akan mereka
sergap. Sebagaimana diperintahkan oleh Akuwu Sangling, maka
tidak seorang pun di antara para Senapati y ang meninggalkan
rumahnya. Mereka masih harus kembali menjelang senja.
Sebagaimana yang lain, maka Kuda Sempati pun tidak
meninggalkan rumahnya. Ia akan menghubungi Kebo Rancak
di malam harinya. Tetapi ketika pada sore harinya, para Senapati itu
berkumpul, Akuwu Sangling masih belum menjatuhkan
perintah dengan tegas. Ia memang menunjuk dua orang
Senapati. Tetapi baru dalam tataran mempersiapkan diri.
"Aku akan membuat ketentuan lebih jauh," berkata
Akuwu, "ada beberapa keterangan y ang tidak sejalan. Aku-pun
ternyata masih harus m empelajari kekuatan y ang sebenarnya
yang dimiliki oleh Sangling. Terutama kemampuan para
prajurit." Memang ada semacam kekecewaan di hati para
Senapati. Seakan-akan Akuwu Sangling sudah menjadi
kebingungan menghadapi orang-orang y ang tidak mau tunduk
kepada paugeran. Namun hal seperti itulah yang memang dikehendaki
oleh Akuwu Sangling. Karena dengan demikian, maka ia akan
mendapat kesempatan untuk melihat lebih jauh tentang watak
para Senapatinya. Demikianlah, ketika malam turun, maka Akuwu pun
telah masuk ke dalam biliknya, lebih cepat dari hari -hari
sebelumnya. Para pelayan dalam memang m enduga, bahwa
Akuwu dalam kebingungan. Sebagai orang baru ia sudah
dihadapkan pada kesulitan y ang tidak teratasi.
Namun di luar penglihatan semua orang di istananya,
maka Akuwu telah meny elinap keluar. Ia meloncati dinding
dan hilang dalam kegelapan.
Dengan tergesa-gesa, Akuwu telah pergi ke padukuhan
tempat Kebo Rancak bersarang. Dengan sungguh-sungguh
Akuwu menunggui tempat itu untuk melihat, apakah yang
akan terjadi. Sebenarnyalah, dalam kegelapan, Akuwu melihat
sesosok tubuh yang mengendap-endap menuju ke sebuah
rumah yang menjadi arena pertemuan Kebo Rancak dengan
para pemimpin y ang lain dari gerombolannya. Ternyata di
regol halaman, orang itu telah dihentikan. Namun kemudian
tanpa banyak persoalan, orang itu memasuki reg ol halaman
yang gelap. Kemudian adalah giliran Akuwu untuk memasuki
halaman itu. Tetapi Akuwu tidak dapat masuk lewat regol.
Karena itu, maka ia pun harus mengendap-endap pula.
Dengan kemampuannya y ang tinggi, m aka akhirnya Akuwu
Sangling itu berhasil masuk ke bagian belakang kebun rumah
itu. Dengan hati-hati Akuwu berusaha untuk dapat
mendekati dinding, sehingga akhirnya Akuwu pun berhasil
mendengarkan pembicaraan orang-orang yang berada
didalam rumah itu. Sebenarnyalah Akuwu m emang terkejut. Ia m endengar
seseorang mengatakan rencananya. Hal itu memang disengaja
dan sudah diperhitungkan. Tetapi bahwa yang datang ke
sarang itu adalah Senapati Kuda Sempati itulah yang telah
mengejutkannya. "Aku tidak menyangka," berkata Akuwu didalam
hatinya. Bahkan Akuwu pun telah mendengar pula rencana
mereka untuk menjebak pasukan Sangling di lereng bukit.
"Siapakah yang harus memimpin pasukan?" bertanya
Kebo Rancak. "Belum ada ketegasan. Akuwu agaknya sudah
kebingungan," jawab Kuda Sempati.
Dengan sangat berhati-hati Mahisa Bungalan semakin
melekatkan telinganya. Namun demikian, ia cukup waspada
seandainya ada penjaga y ang mengelilingi rumah yang
dipergunakan untuk pertemuan itu.
Dari tempatnya Akuwu itu mendengar Kuda Sempati
berkata, "Mudah-mudahan besok Akuwu berganti perhitungan
dan memerintahkan aku memimpin pasukan itu."
"Mungkin sekali. Dua orang Senapati y ang sudah disebut
namanya nampaknya tidak meyakinkannya," berkata Kuda
Sempati. "Tetapi kenapa justru kau sendiri?" bertanya Kebo
Rancak pula. "Aku dapat membawa pasukan itu m elalui mana saja.
Menj erumuskan mereka dalam jebakanmu. Tetapi kau harus
berhati-hati, agar aku tidak ikut mati. Mungkin beberapa
orang prajuritku memang harus tetap hidup dan melarikan
diri dari neraka yang kau ciptakan itu," berkata Kuda Sempati.
"Bagus. Kau atau bukan kau, kami siap untuk
menyergap. Kami akan m eny ediakan bebatuan di atas bukit
itu. Demikian pasukan itu lewat, maka kami akan menutup
jalan. Sementara bebatuan kami lemparkan dari atas bukit
menimpa pasukan yang kebingungan itu. Sebagian di antara
mereka akan mati tertimpa batu, sebagian lagi tertusuk ujung
pedang dan t ombak, sementara y ang kebingungan akan mati
terjerumus ke dalam jurang di sisi lain dari jalan itu," berkata
Kebo Rancak sambil tertawa.
Kuda Sempati pun tertawa pula. Demikian juga beberapa
pengikut Kebo Rancak yang hadir di rumah itu.
Sementara itu, tiba -tiba saja Akuwu Sangling telah
mendengar langkah mendekat. Dengan sigapnya ia pun
bergeser dan berjongkok di balik sebuah gerumbul perdu di
kegelapan. Ketika Akuwu mengamati sudut rumah itu, maka ia
melihat dua orang yang bergerak sambil membawa tombak.
Tetapi agaknya kedua orang itu lebih asyik berbicara di antara
mereka. Agaknya ada persoalan y ang melibatkan keduanya
dalam pembicaraan y ang bersungguh-sungguh.
Dengan demikian maka kedua orang itu sama sekali
tidak berpaling dan memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Mereka berjalan saja sambil berbicara tidak putus-putusnya.
Namun dalam pada itu, Akuwu Sangling merasa sudah
cukup lama berada di tempat itu. Apalagi ketika ia k emudian
mendekat sekali lagi, pembicaraan orang-orang y ang ada di
rumah itu sudah berubah. Mereka tidak lagi berbicara tentang
rencana sergapan itu lagi. Tetapi mereka sudah membicarakan
tentang burung y ang mereka pelihara.
Karena itu, maka Akuwu pun segera meninggalkan
tempat itu. Dengan agak tergesa -gesa Akuwu pun kembali ke
istananya dan meny elinap memasuki biliknya setelah
meloncati dinding halaman. Tidak seorang pun yang
melihatnya, sehingga karena itu, maka tidak seorang pun yang
mengetahui apa yang sudah dilakukannya.
Di hari berikutnya, ternyata Akuwu telah memanggil
kembali para Senapatinya. Ia telah m emantapkan rencananya
untuk meny ergap ger ombolan y ang termasuk berpengaruh.
Gerombolan Kebo Rancak "Rencana itu harus dilaksanakan. Tetapi aku berharap
bahwa tidak seorang pun diluar lingkungan ini yang
mengetahuinya. Para prajurit pun tidak," berkata Akuwu.
Ketika Akuwu sempat memandang wajah Kuda Sempati
sekilas, maka ia melihat secercah senyum di bibirnya.
Namun Akuwu berusaha untuk tidak nampak
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikannya. Sehingga dengan demikian maka Akuwu
pun segera melemparkan pandangan m atanya kepada orang
lain. Namun dalam pada itu, Akuwu pun telah berkata lebih
lanjut, "Disamping memantapkan rencana ini, maka aku pun
telah menentukan Senapati y ang akan memimpin pasukan
yang akan berangkat itu. Bukan nama-nama y ang pernah aku
sebut sebelumnya. Tetapi menilik kedewasaan sikap dan
waktu pengabdian, maka pasukan itu akan aku percayakan
kepada Senapati Kuda Sempati."
Semua orang berpaling ke arah Kuda Sempati. Tidak
seorang pun di antara mereka tersinggung karena k eputusan
itu. Dua orang y ang pernah disebut namanya pun sama sekali
tidak kecewa pula, karena mereka merasa bahwa Senapati
yang bernama Kuda Sempati adalah Senapati y ang memiliki
kelebihan dari mereka. Selain umurnya yang memang lebih
tua, juga kedudukan dan lebih-lebih lagi kemampuannya.
Kuda Sempati sendiri memang terkejut mendengar
keputusan itu. Tetapi ia pun menjadi gembira, ia memang
mengharapkannya. Tetapi k eputusan itu begitu tiba-tiba saja
seperti Akuwu melihat keinginan itu.
Tetapi Kuda Sempati dengan cepat menguasai
perasaannya. Dengan nada dalam ia berkata, "Jika perintah itu
yang hamba terima, maka hamba akan melaksanakan sebaikbaiknya."
"Terima kasih," berkata Akuwu Sangling, "mudahmudahan
kali ini kita berhasil, sehingga aku tidak benar-benar
menjadi putus asa." "Hamba akan menjunjung titah ini sebatas kemampuan
hamba," berkata Senapati Kuda Sempati itu.
"Aku percaya kepadamu," berkata Akuwu.
Demikianlah, maka keputusan itu pun telah berlaku.
Sepasukan prajurit memang telah diper siapkan. Sementara
itu, belum seorang pun di antara para prajurit itu y ang tahu,
apa y ang harus mereka lakukan.
Sebagaimana perintah Akuwu, maka Kuda Sempati pun
sama sekali tidak meny ebut tugas apa yang akan dipikul oleh
pasukannya itu. Dengan demikian maka seakan-akan Akuwu Sangling
memang mengharap bahwa rencana itu tidak akan merembes
sampai ke telinga Kebo Rancak.
"Akuwu y ang baru itu memang seorang y ang berilmu
tinggi. Tetapi Akuwu memang agak bodoh," berkata Kuda
Sempati di dalam hatinya. "Ia mengira bahwa rencananya itu
akan dapat berjalan sebagaimana diharapkan, Akuwu yang
bodoh itu tidak belajar dari pengalaman. Berapa kali sergapan
yang dilakukan oleh prajurit Sangling tidak pernah berhasil.
Apalagi atas gerombolan y ang cukup besar dari Kebo Rancak."
Namun dihadapan Akuwu, Senapati y ang termasuk
seorang y ang dianggap mempunyai kelebihan itu telah
menunjukkan sikapnya yang patuh.
Demikianlah pada saat y ang ditentukan menjelang fajar,
maka Senapati yang bernama Kuda Sempati itu pun telah
meninggalkan Sangling. Ia harus meny ergap sebuah
padukuhan yang dipergunakan oleh Kebo Rancak sebagai
landasan kekuatannya. Hampir semua orang di padukuhan itu
adalah pengikutnya. Namun mereka dapat menjadikan diri
mereka dua ujud. Sebagai petani y ang lugu dan bekerja di
sawah dengan cangkul, mereka sama sekali tidak
mencerminkan kegarangan seorang perampok di malam hari.
Namun setiap peny ergapan tentu berharap untuk dapat
menangkap Kebo Rancak itu sendiri.
Para prajurit yang dibawanya masih belum tahu ke mana
mereka akan pergi. Beberapa perwira y ang lebih rendah dari
Kuda Sempati, telah berada dalam pa sukan itu pula. Mereka
memang merasa heran, bahwa Kuda Sempati benar-benar
telah memegang rahasia sampai saat terakhir.
Baru ketika mereka memasuki jalan menuju langsung ke
padukuhan yang dipergunakan sebagai landasan kekuatan
Kebo Rancak, Kuda Sempati memberitahukan kepada para
perwira dan prajurit, bahwa mereka harus mengepung
padukuhan itu. "Tidak boleh seorang pun lolos dari kepungan. Semua
orang harus mendapat pengamatan dengan saksama. Karena
menurut pendengaranku, Kebo Rancak dapat berubah
menjadi seribu ujud. Karena itu, m eskipun ujudnya seorang
pengembara y ang cacat sekalipun, tidak boleh meninggalkan
padukuhan itu." perintah Kuda Sempati.
Para prajurit dan para perwira pun telah bersiaga
sepenuhnya. Menurut perhitungan mereka, demikian rapatnya
Kuda Sempati memegang rahasia, sehingga rahasia itu tidak
mungkin bocor. Dengan demikian maka mereka akan benarbenar
bertempur dengan para pengikut Kebo Rancak.
Namun dalam pada itu, sekelompok orang yang berada
di atas bukit di sebelah jalan y ang dilewati oleh prajurit
Sangling itu tertawa berkepanjangan. Mereka melihat pasukan
yang kuat menuju ke padukuhan mereka. Namun
sebenarnyalah Kebo Rancak telah mempersiapkan para
pengikutnya di bukit itu sebagaimana telah dibicarakan
dengan Kuda Sempati. Sementara itu, di dalam pasukan Sangling, tidak
seorang-pun yang menduga bahwa Kuda Sempati telah
berkhianat. Sebelum pasukan itu benar-benar menyergap,
maka Kuda Sempati sendirilah y ang telah membocorkan
rahasia yang seakan-akan dipegangnya dengan erat itu.
Ketika pasukan Sangling dengan garang mengepung
padukuhan yang dipakai sebagaimana landasan gerombolan
Kebo Rancak, saat matahari terbit, maka Kebo Rancak sendiri
telah mempersiapkan bebatuan, padas dan bahwa potonganpotongan
kayu yang akan dipergunakan untuk menyergap
pasukan Kuda Sempati jika pa sukan itu kembali ke Sangling.
Dalam pada itu, pasukan Sangling memang telah
mengepung padukuhan Kebo Rancak itu dengan rapat. Tidak
seorang pun yang akan dapat lolos dari kepungan itu. Bahkan
seekor kelinci pun tidak.
Sementara pasukannya mengepung, maka Kuda Sempati
sendiri bersama beberapa orang perwira dan prajurit telah
memasuki padukuhan itu. Dengan garangnya ia telah
menghardik setiap orang y ang dijumpainya.
Tetapi Kuda Sempati dan orang-orangnya sama sekali
tidak menemui seorang bersenjata pun di padukuhan itu.
Bahkan rasa-rasanya padukuhan itu justru sepi. Jarang sekali
mereka menemui seorang laki-laki y ang masih muda dan kuat.
Namun Kuda Sempati tidak pernah bertanya ke m ana
laki -laki di padukuhan itu. Bahkan kepada para perwira ia
bergumam, "Agaknya laki -laki di padukuhan ini baru berada
di sawah." Para perwira yang meny ertainya tidak bertanya lagi,
meskipun di dalam hati m ereka kurang sependapat, bahwa
dalam waktu y ang masih sepagi itu, orang-orang telah pergi ke
sawah. Mungkin ada di antara m ereka y ang pergi ke sawah
justru di malam hari. Tetapi t entu hanya satu dua orang yang
sedang menelusuri air untuk membasahi tanamannya yang
haus. Ketika Kuda Sempati mendekati rumah Kebo Rancak itu
sendiri, maka ia pun telah bersiaga sepenuhnya. Dengan
sangat hati-hati bersama pengiringnya ia telah m emecahkan
pintu regol dan memasuki halaman. Namun rumah itu
memang sepi. Benar-benar sepi. Seorang perempuan tua yang
ada di rumah itu hanya dapat menjawab, bahwa Kebo Rancak
dan keluarganya sedang pergi ke rumah adiknya yang sedang
mempunyai keperluan mengawinkan anaknya.
"Kemenakan Kebo Rancak itu sudah seperti anaknya
sendiri," berkata perempuan tua itu, "sehingga dengan
demikian Kebo Rancak telah memerlukan untuk datang di hari
perkawinannya. Apalagi anak itu adalah anak perempuan."
"Setan, iblis jelek," Kuda Sempati mengumpat. Tetapi
tiba -tiba ia berteriak, "Geledah seisi rumahnya. Mungkin ia
hanya bersembunyi di bawah amben. Ia orang y ang sangat
licik, tetapi hati-hatilah."
Beberapa orang prajurit segera m elaksanakan perintah
itu. Merekapun segera membuka pintu rumah itu dengan
paksa. Kemudian dengan senjata siap di tangan mereka
memasuki setiap ruangan y ang ada di rumah itu. Mereka
melihat ke dalam setiap kolong amben dan bahkan sampai ke
dapur. Namun mereka tidak menemukan Kebo Rancak.
Kuda Sempati berteriak-teriak memberikan aba dengan
sikap marah. Namun ia ter senyum di dalam hati, bahwa Kebo
Rancak telah berhasil melakukan rencananya. Setidaktidaknya
ia telah berhasil meny elamatkan diri. Akan lebih baik
jika rencananya dalam keseluruhannya dapat berhasil dengan
baik. Maka Kebo Rancak tentu akan semakin percaya
kepadanya. Dengan demikian maka pemberiannya pun akan
mengalir semakin deras. Ketika para prajurit sudah yakin bahwa di rumah itu
tidak terdapat Kebo Rancak, maka pencaharian itu diteruskan
di rumah-rumah y ang lain.
Bahkan Kuda Sempati pun akhirnya memerintahkan
prajuritnya berpencar. Namun ternyata di padukuhan itu sama sekali tidak
diketemukan Kebo Rancak. Ketika semua prajurit yakin bahwa mereka tidak akan
dapat m enemukannya di padukuhan itu, maka Kuda Sempati
pun telah mengumpulkan prajuritnya. Dengan kemarahan
yang nampaknya meluap dan membakar jantungnya, Kuda
Sempati membawa pasukannya kembali ke Sangling.
Ketika pasukannya mendekati bukit, maka jantung Kuda
Sempati pun menjadi berdebar-debar. Ia harus dapat berbuat
sebaik-baiknya, sehingga tidak seorang pun akan
mencurigainya. Ia harus berhasil menjerumuskan pasukannya
ke dalam maut. Tetapi ia sendiri harus beba s dari kematian
meskipun ada kesan bahwa ia pun telah mengalami
perjuangan yang berat dan bahkan hampir merenggut
nyawanya. Perlahan-lahan Kuda Sempati telah bergeser dari orang
yang berada di paling depan, sehingga akhirnya ia berada di
paling belakang. Memang tidak seorang pun yang menjadi
curiga, karena Kuda Sempati y ang berjalan di sisi pasukannya
ini dapat saja bergerak ke bagian depan m aupun ke bagian
belakang. Untuk sama sekali menghilangkan perhatian para
prajurit, m aka setiap kali ia berbicara dengan prajurit atau
pemimpin kelompok dari yang paling depan sampai k e yang
paling belakang. Sejenak kemudian, maka ujung pasukan Sangling itu
pun telah mulai dibayangi oleh lereng bukit yang disebut-sebut
oleh Kebo Rancak. Beberapa isy arat seperti y ang dijanjikan
telah dilihatnya. Tanpa menarik perhatian, maka beberapa
buah batu y ang besar diatur berjajar dengan jarak y ang cukup
jarang. Namun jika batu-batu itu meluncur, agaknya batu-batu
yang lain-pun akan segera menyusul. Diatas bukit itu akan
muncul orang-orang yang bukan saja melontarkan batu, tetapi
juga lembing dan senjata-senjata yang lain. Mereka akan
bersorak-sorak untuk membuat pasukan Sangling semakin
bingung, sementara sekelompok orang-orang y ang m encegat
perjalanan kembali pasukan Sangling itu akan m enutup jalan
terus sedang yang lain akan m enutup jalan kembali. Dengan
demikian maka prajurit Sangling akan menjadi semakin
bingung. Kuda Sempati menarik nafas dalam-dalam. Di sisi y ang
lain dari lereng bukit itu adalah jurang y ang terjal. Prajurit
yang mencoba untuk mengungsikan nyawanya turun ke
jurang, maka ia pun tentu akan terjerumus dan tidak akan
keluar lagi selama-lamanya.
Ketika pasukannya menjadi semakin dalam memasuki
bay angan bukit, maka debar di jantung Kuda Sempati itu pun
menjadi semakin cepat. Ia harus mampu meloncat dengan
sigap, seandainya sebuah di antara bebatuan itu akan
menimpa kepalanya. Tetapi Kuda Sempati menjadi semakin berdebar-debar.
Orang y ang berada di ujung pasukannya, hampir keluar dari
bay angan lereng bukit itu.
Tetapi tiba -tiba saja Kuda Sempati terkejut. Yang
kemudian meloncat dari balik batu-batu padas bukannya
orang-orang y ang menjadi pengikut Kebo Rancak. Namun
yang kemudian berdiri dihadapan mereka adalah Akuwu di
Sangling. "Gila," geram Kuda Sempati, bagaimana hal ini dapat
terjadi. Namun orang seperti Kuda Sempati itu sama sekali tidak
menghiraukan harga diri. Ketika ia merasa jalan ke depan
telah tertutup, maka ia pun berusaha untuk berlari kembali.
Namun yang hadir kemudian memang sebuah pasukan.
Tetapi bukan para pengikut Kebo Rancak. Yang kemudian
menghadang di tengah jalan adalah pasukan Sangling sendiri.
Para prajurit Sangling y ang datang bersama Kuda
Sempati menjadi bingung. Namun kemudian terdengar suara
lantang dari seorang Senapati yang ditugaskan oleh Akuwu
Sangling yang kemudian berdiri di sebelah Akuwu itu,
"saudara-saudaraku, para prajurit Sangling. Kalian telah
terjerumus ke dalam pasukan yang tidak terpuji. Tetapi itu
bukan salah kalian. Segala-galanya adalah tanggung jawab
Senapati Kuda Sempati."
"Apa y ang telah terjadi" " seorang Senapati muda
berteriak bertanya. Senapati y ang berdiri di sisi Mahisa Bungalan itulah
yang kemudian menjawab setiap pertanyaan. Bahkan
kemudian orang itu pun telah menjelaskan apa yang
sesungguhnya telah terjadi.
"Para pengikut Kebo Rancak telah kami sergap. Kami
telah menawan sebagian besar dari mereka. Sekarang ternyata
Kuda Sempati yang harus bertanggung jawab."
Kebingungan telah terjadi di antara para prajurit
Sangling y ang semula dipimpin oleh Kuda Sempati itu. Namun
mereka tidak segera dapat mengambil sikap.
Sementara itu Akuwu Sangling itu pun berkata, "Dengar
perintahku. Aku adalah Akuwu Sangling. Tinggalkan Kuda
Sempati. Pasukannya akan berada dibawah pimpinanku
sendiri." Kuda Sempati menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja ia
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berteriak kepada pasukannya, "ber siaplah. Kita adalah
pasukan yang terpilih. Kita akan tetap merupakan pasukan
yang utuh dan mampu m enentukan sikap sendiri. Jika kita
dijebak sekarang, maka ini tentu satu pengkhianatan."
Para prajurit m emang bertambah bingung. Sementara
Kuda Sempati berkata lebih lanjut, "Ingat para prajurit terpilih
dari Sangling. Bukankah kita baru saja mengemban tugas
untuk menumpas gerombolan Kebo Rancak. Sebagai prajurit
bersenjata kita tidak akan dapat menyerah kepada siapapun."
"Tetapi aku adalah Akuwu Sangling," berkata Akuwu,
"perintahku mengatasi semua orang di Sangling. Karena itu
aku perintahkan, tinggalkan Kuda Sempati atau kalian akan
dihitung terlibat dalam pengkhianatannya" Perintahku akan
aku ulang sekali lagi. Siapa yang melanggar perintahku, tidak
akan ada ampun lagi."
Tiba-tiba saja Kuda Sempati itu meloncat sambil
menarik pedangnya yang di samping pasukan. Dengan suara
lantang ia berkata, "Siapa yang meninggalkan barisan, akan
aku habisi nyawanya." Wajah Kuda Sempati menjadi m erah
oleh kemarahan yang membara di dadanya, "Kita berangkat
bersama, melakukan kewajiban bersama dan kita memang
harus bersama untuk seterusnya."
Tetapi suara Akuwu bagaikan bergema, "Per soalannya
telah menjadi lain. Jika para prajurit tidak meninggalkan Kuda
Sempati adalah karena Kuda Sempati telah mengancam.
Karena itu, aku ingin mempertemukan Kuda Sempati dan
seorang sahabatnya."
Senapati y ang berdiri di sebelah Akuwu itu pun telah
membunyikan isy arat dengan tepuk tangan.
Sejenak kemudian, t iga orang prajurit telah muncul dari
balik gerumbul sambil membawa Seorang yang terikat
tangannya. Kebo Rancak. Darah Kuda Sempati bagaikan berhenti mengalir.
Dengan nada berat ia bergumam, "Kebo Rancak."
Kuda Sempati termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia berkata, "Apa yang telah kau katakan Kebo
Rancak, sehingga Akuwu telah menganggap aku berkhianat"
Apakah kau telah memfitnah aku dan m elaporkan apa saja
yang dapat menjerat aku bersamamu?"
"Aku tidak mengatakan apa-apa," jawab Kebo Rancak.
"Nah, jika demikian, kenapa Akuwu menuduh aku
berkhianat" Apakah ada orang lain y ang memfitnah aku
dengan cara y ang licik ini?" teriak Kuda Sempati.
"Sudahlah Kuda Sempati," jawab Akuwu lantang, "tidak
ada y ang melaporkanmu. Tetapi aku sendiri mendengarkan
pembicaraanmu di rumah Kebo Rancak. Ketika aku
memberikan perintah kepada kalian untuk mulai lagi
penertiban, maka di malam harinya aku sengaja berada di
rumah Kebo Rancak. Akhirnya aku sempat mendengarkan
persetujuan kalian. Karena itu, kau tidak dapat m emberikan
alasan apapun juga, karena kesalahan yang kau lakukan
adalah dihadapanku sendiri. Langsung."
Kuda Sempati menjadi makin tegang. Tiba-tiba saja
nalarnya menjadi buntu. Ia tidak melihat jalan keluar selain
dua kemungkinan. Mati atau meninggalkan tempat itu dengan
terhormat. Karena itu, maka Kuda Sempati itu justru berteriak,
"Akuwu. Baiklah. Aku akui perbuatanku itu. Tetapi ju stru
karena itu, maka aku akan mempertanggung jawabkannya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan tidak pantas m enjadi
Akuwu di Sangling. Karena itu aku tantang kau berperang
tanding sekarang, jika kau memang memiliki kemampuan
yang tinggi." "Kau belokkan per soalannya untuk membayangi
kesalahan y ang sudah kau lakukan," berkata Akuwu,
"sebenarnya pengumuman sudah jelas. Pengkhianatan.
Hukuman bagi pengkhianat adalah mati."
"Aku akan berperang tanding sampai mati atau
membunuhmu," berkata Kuda Sempati.
"Kau tahu, bahwa aku telah memasuki pendadaran.
Kenapa kau tidak ikut dalam pendadaran itu, sehingga kau
mempunyai kemungkinan untuk menjadi seorang Akuwu?"
bertanya Akuwu Sangling. "Cukup," bentak Kuda Sempati, "tetapi bahwa aku tidak
memasuki pendadaran itu bukan karena kami takut
menghadapimu. Tetapi aku rasa bahwa kematianmu m emang
belum saatnya. Namun aku tidak peduli. Yang penting
sekarang kita akan berperang tanding. Rasa-rasanya aku
seperti orang yang sedang menagih hutang. Kematian Akuwu
Sangling y ang lama telah membuat hidupku semakin
menderita, karena limpahan kemurahan Akuwu tidak lagi
dapat aku tunggu." "Besok sajalah kau berceritera tentang pribadimu,"
berkata Pangeran Mahisa Bungalan, "pertimbangkan baikbaik.
Tetapi apakah benar kau menantang aku berperang
tanding?" Kuda Sempati menjadi semakin merah di sorot matanya.
Namun ia pun menjawab dengan keras, "Aku menghendaki
perang tanding itu sekarang. Di sini. Semua orang harus
menjauh dan hanya para saksi sajalah y ang akan dapat
mendekat." Mahisa Bungalan mendengar tantangan itu. Untuk
sesaat ia berpikir, apakah ia harus menerima tantangan itu
atau tidak. Pantas atau tidak pantas.
Namun ternyata darah mudanya masih saja
menggelegak sampai ke kepala.
Karena itu, maka dengan menggeretakkan giginya
Mahisa Bungalan m elangkah maju sambil berkata, "Menepi.
Beri kesempatan orang itu untuk berperang tanding."
"Akuwu," desis Senapati yang mendampinginya, "dalam
persoalan seperti ini Akuwu dapat m emerintahkan orang lain
untuk melayaninya. Jika Akuwu berkenan, perintahkan
kepada hamba untuk memasuki arena mewakili Akuwu,"
Senapati itu berhenti sejenak, lalu, "Atau bahkan Akuwu dapat
mengambil kebijaksanaan lain tanpa menyentuh harga diri
Akuwu. Karena Senapati Kuda Sempati sudah jela s berkhianat,
maka Akuwu dapat memerintahkan pasukan Sangling untuk
menangkapnya dan menghukum mati dengan mengabaikan
tantangannya untuk berperang tanding."
"Terima kasih," desis Akuwu Sangling, "aku akan segera
menerima tantangannya. Juga orang lain y ang melakukan
kesalahan serupa." Wajah Kuda Sempati menjadi merah padam. Namun
dalam pada itu, ternyata ada juga Senapati yang lain yang
menjadi berdebar-debar. Mereka tidak mengira bahwa Akuwu
Sangling y ang baru, dengan caranya sendiri ju stru telah
berhasil menjebak Senapati Kuda Sempati, Senapati yang
dianggap memiliki wibawa dan kelebihan di antara para
Senapati sebay anya. Sementara itu Akuwu Sangling telah berdiri beberapa
langkah dari Kuda Sempati. Dengan wajah y ang tegang Akuwu
itu berkata, "bersiaplah. Aku akan mulai."
Kuda Sempati memang agak gugup m enghadapi sikap
Akuwu yang baru itu. Ternyata Akuwu itu seorang yang dapat
bertingkah laku lembut dan sabar, namun pada satu saat
Akuwu itu dapat bertindak keras dan tegas.
Para prajurit Sangling y ang semula berada dibawah
pimpinan Kuda Sempati pun telah bergeser menjauh.
Sementara itu beberapa orang Senapati dari tataran yang
tertinggi di Sangling telah bergeser m endekat. Di luar sadar,
mereka telah berdiri m enutup jalan, sehingga orang tidak lagi
dapat bergerak ke arah y ang berlawanan sekalipun. Sedangkan
di sebelah kiri jalan terdapat tebing y ang cukup tinggi, yang
dipergunakan untuk menjebak pasukan Sangling dengan
menggulingkan batu dan potongan-potongan kayu. Sedangkan
di sebelah lain terdapat sebuah jurang y ang dalam dan terjal.
Sejenak kemudian, Akuwu Sangling telah bersiap
berhadapan dengan Kuda Sempati. Keduanya adalah orangorang
yang berilmu. Dan keduanya pun pada saat itu adalah
orang-orang y ang sedang marah.
Keduanya pun kemudian telah bersiap. Selangkah
mereka bergeser: Kuda Sempati dengan cerdik telah
melangkah ke arah tebing. Dengan demikian, maka Akuwu
Sangling berada di arah jurang yang dalam.
Para Senapati yang berdiri memagari arena itu pun
menjadi berdebar-debar. Demikian para prajurit y ang berdiri
di belakang para Senapati itu. Jika Kuda Sempati berhasil
memanfaatkan kedudukannya yang lebih baik dari Akuwu
Sangling, maka ia akan dapat melemparkan Akuwu ke jurang
yang dalam itu. Namun setiap prajurit dari tataran yang paling tinggi
sampai tataran yang paling rendah mengetahui, bahwa Akuwu
adalah seorang y ang memiliki ilmu y ang tinggi.
Demikianlah, maka Kuda Sempati pun telah bergeser
pula semakin merapat tebing. Ketika ia bergerak maju, maka
Akuwu Sangling telah berdiri dihadapannya, benar-benar
membelakangi tebing. Pa da saat yang demikian, Kuda Sempati telah bergerak
dengan hati-hati setapak demi setapak maju. Kedua tangannya
telah siap bergerak menyambar lawannya. Sementara Akuwu
Sangling pun telah bergerak maju pula.
Namun m ereka berada di jalan y ang tidak terlalu l ebar,
sehingga dengan demikian, maka jarak mereka pun m enjadi
semakin pendek. Kuda Sempati ternyata benar-benar ingin
mempergunakan kesempatan itu. Karena itu, maka tiba-tiba
sa ja ia pun telah meloncat meny erang dengan kakinya
mengarah ke dada lawannya.
Para prajurit Sangling memang menjadi semakin tegang.
Namun Akuwu Sangling sendiri menyadari, bahwa di
belakangnya menganga jurang yang terjal. Karena itu, maka ia
harus berhati-hati. Baru beberapa lama ia tinggal di istana
Akuwu Sangling. Jika ia gagal dan terlempar ke dalam jurang,
maka ia akan tercatat dalam sejarah Sangling sebagai Akuwu
yang memiliki masa jabatan y ang paling pendek.
Karena itu, maka Akuwu Sangling tidak m eninggalkan
kewaspadaan. Meskipun serangan Kuda Sempati itu belum
mampu mendesaknya, tetapi ia harus memperhitungkan
segala kemungkinan. Ketika kaki Kuda Sempati itu terjulur ke dadanya, maka
Akuwu Sangling itu pun sempat memiringkan tubuhnya. Tidak
terlalu sulit untuk menghindarinya. Namun Akuwu pun telah
memperhitungkan serangan-serangan berikutnya.
Sebenarnyalah, bahwa Kuda Sempati telah menarik
serangannya. Tetapi dengan cepat ia memutar tubuhnya.
Serangan berikutnya dilakukan dengan putaran kakinya.
Tumitnyalah y ang menyambarnya.
Namun Akuwu telah bergeser mundur selangkah.
Karena itu, serangan lawannya sama sekali tidak
menyentuhnya. Tetapi Kuda Sempati tidak ingin memberi kesempatan
kepada Akuwu. Ia pun telah bergerak dengan cepat pula.
Demikian kakinya yang berputar ia meny entuh tanah, m aka
kakinya y ang lain telah terlontar maju dengan langkah yang
panjang. Tangannyalah yang bergerak menyamping,
menghantam ke arah kening lawannya.
Tetapi Akuwu melihat serangan itu. Dengan cepat
Akuwu itu pun merendahkan diriny a, sehingga sambaran
tangan Kuda Sempati itu terayun diatas kepalanya.
--------------------------------
Sepertinya ada yang hilang diantara dua paragraf (di atas dan di
bawah). Tetapi, memang dari buku aslinya juga begitu.
--------------------------------
Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian melangkah menjauhi Kuda Sempati sambil
berdesis, "Yang penting bagimu adalah m embuktikan bahwa
kau benar-benar telah meny esali perbuatanmu. Bukan sekedar
mempertunjukkan peny esalan dihadapan banyak orang, tetapi
tingkah lakumu sama sekali tidak berubah."
"Ampun Akuwu," berkata Kuda Sempati, "hamba akan
melakukan apa saja yang Akuwu perintahkan untuk
membuktikan kesetiaan hamba kepada janji hamba saat ini."
Akuwu tidak menjawab. Namun tiba -tiba ia memberikan
perintah, "Kembali ke Sangling. Bawa semua tawanan, para
pengikut Kebo Rancak."
Para Senapati pun menjadi termangu-mangu sejenak.
Demikian pula dengan Kuda Sempati. Namun sejenak
kemudian seorang Senapati y ang lain telah m engambil alih
pimpinan pasukan yang semula dipimpin oleh Kuda Sempati
itu. Kuda Sempati sendiri t idak dapat berpikir lagi, apakah
harus dilakukannya. Sementara itu Akuwu Sangling seolaholah
tidak menghiraukannya lagi.
Sejenak kemudian, maka pasukan Sangling itu pun
sudah mulai bergerak. Yang semula dipimpin oleh Kuda
Sempati pun telah bergerak pula, sementara pasukan y ang lain
telah mendahuluinya sambil membawa para tawanan
termasuk Kebo Rancak sendiri. Sementara itu, beberapa orang
yang terluka telah ditolong oleh kawan-kawannya.
Ternyata bahwa Kuda Sempati kemudian mengikut pula
di belakang. Memang ada niatnya untuk melarikan diri saja,
apalagi Akuwu sudah tidak menghiraukannya lagi. Tetapi ada
semacam hambatan di dalam hatinya untuk melakukannya.
Karena itu, maka ia pun telah berjalan saja di belakang
pasukan Sangling yang seolah-olah juga tidak
menghiraukannya seperti Akuwu y ang berjalan di paling
depan. Sementara itu, beberapa orang prajurit Sangling y ang
semula mengikuti Kuda Sempati mengepung padukuhan Kebo
Rancak telah memperbincangkan peristiwa yang baru saja
terjadi. Seorang prajurit muda berdesis, "Memang
membingungkan." "Tidak ada yang membingungkan," jawab kawannya,
"kenapa kau menjadi bingung" Hanya orang-orang yang
nalarnya buram sajalah y ang bingung."
"Jangan berkata begitu. Itu meny inggung perasaan,"
sahut prajurit yang pertama.
"Maaf, tetapi menurut penilaianku m emang demikian.
Bukankah sudah jelas, bahwa Akuwu Sangling ternyata dapat
mengetahui rencana Senapati Kuda Sempati karena sempat
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengikuti Kuda Sempati dan mendengarkan pembicaraannya
dengan Kebo Rancak. Kemudian Akuwu yang tahu bahwa
Kebo Rancak akan menjebak pasukan Sangling di sini atas
persetujuan Kuda Sempati, telah mengambil langkah sendiri.
Akuwu lah y ang kemudian menjebak Kebo Rancak dan
berhasil m enangkapnya, sekaligus menangkap Senapati Kuda
Sempati. Nah, apa y ang membingungkan?"
Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia
berkata, "Aku tahu. Tetapi jangan m eny inggung perasaanku
lagi. Jika kau masih berani meny inggung perasaanku, aku
tidak tahu, jika akibatnya akan membuatmu menyesal."
Tetapi prajurit y ang lain itu tertawa. Katanya, "Sudahlah.
Tenanglah. Kita bebas dari jebakan Kebo Rancak."
Keduanya pun kemudian terdiam. Pasukan itu berjalan
terus langsung menuju ke Sangling.
Dalam pada itu, maka keberhasilan Akuwu Sangling
menghancurkan gerombolan Kebo Rancak memberikan
harapan yang cerah bagi Sangling. Menurut perhitungan
Akuwu, maka ger ombolan-gerombolan yang lain pun akan
segera dapat dihancurkan pula.
Ternyata bahwa Kuda Sempati benar-benar menepati
janjinya. Dengan sangat menyesal ia telah berbuat apa saja
yang dapat dilakukan bagi kepentingan Sangling. Ketika
Akuwu memanggilnya, maka ia pun telah memberikan banyak
sekali keterangan tentang beberapa orang Senapati yang lain
yang berbuat sebagaimana dilakukannya.
Dengan demikian maka Akuwu Sangling telah mendapat
banyak kesempatan untuk menangkap para Senapati yang
telah berkhianat. Ternyata bahwa Akuwu Sangling telah bertindak dengan
cepat. Namun sebelumnya Akuwu masih juga berusaha untuk
menghindari tindak k ekerasan atas para Senapatinya sendiri.
Karena itu, maka sebelum ia melakukan penangkapanpenangkapan,
Akuwu telah mengeluarkan m aklumat, bahwa
mereka y ang merasa bersalah harus melaporkan diri.
Ternyata seruan itu ditaati oleh para Senapati y ang
Tantangan Mesra 1 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Golok Halilintar 9