Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 31

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 31


bersalah setelah Akuwu berhasil m embongkar kejahatan yang
dilakukan oleh Kuda Sempati. Beberapa orang Senapati
dengan suka rela telah melaporkan diri, bahwa mereka
memang telah bersalah. Untuk kepentingan langkah-langkah selanjutnya, maka
Akuwu telah mengumpulkan para Senapati itu termasuk Kuda
Sempati dan meny impan mereka untuk sementara.
"Aku tidak akan menghukum kalian y ang t elah dengan
suka rela menyerahkan diri," berkata Akuwu, "tetapi untuk
sementara kalian terpaksa aku simpan sampai saatnya
semuanya dapat aku selesaikan."
Para Senapati yang merasa ber salah itu sama sekali tidak
dapat m engelak lagi. Namun y ang dilakukan oleh Akuwu itu
bagi m ereka adalah sikap y ang paling lunak. Ternyata Akuwu
tidak menjatuhkan hukuman sebagaimana seharusnya
dijatuhkan atas para pengkhianat.
Dengan demikian, maka langkah-langkah y ang
dilakukan oleh Akuwu selanjutnya menjadi semakin lancar.
Satu demi satu, gerombolan-ger ombolan y ang ada di Sangling
pun telah dihancurkannya.
Karena tidak lagi ada seorang pun Senapati yang dapat
menghubungi para pemimpin gerombolan yang menentang
kebijaksanaan Akuwu, serta membocorkan rencana yang
disusun, maka hampir tidak ada gerombolan y ang dapat lolos.
Sebuah gerombolan yang cukup besar setelah
gerombolan Kebo Rancak dihancurkan, memang mencoba
untuk menyusun kekuatan. Tetapi Akuwu telah
memerintahkan seorang Senapati muda untuk menangkapnya
dan menghancurkan para pengikutnya y ang tidak mau
menyerah. Gerombolan y ang bersarang tidak di sebuah padukuhan,
tetapi justru m engasingkan diri dan tinggal di t iga buah g oa
yang letaknya berdekatan. Meskipun mereka mempunyai
rumah dan keluarga di padukuhan, tetapi para pengikut
gerombolan itu jarang sekali berada di rumah dan di antara
keluarga mereka. Namun dengan demikian, justru mempermudah tugas
Senapati muda y ang mendapat perintah untuk
menghancurkan ger ombolan itu. Senapati dan prajuritprajurit
Sangling tidak perlu dengan susah pay ah memburu
para pengikut gerombolan itu dari antara rumah yang satu ke
rumah y ang lain. Atau mencari mereka di bilik-bilik yang
tersembuny i di rumah-rumah yang tertutup. Tetapi para
prajurit itu akan langsung menghadapi para pengikut
gerombolan itu di arena pertempuran.
Tetapi, dugaan para prajurit Sangling itu tidak
seluruhnya benar. Ternyata gerombolan itu menjadi sangat
berhati-hati menghadapi keadaan. Gerombolan itu telah
menempatkan pengawas-pengawas y ang berpengalaman
untuk mengamati pasukan Sangling apabila pasukan itu
mendekati sarang mereka. Sejak Kebo Rancak tertangkap, maka gerombolan itu
telah mengatur diri sebaik-baiknya. Mereka memanfaatkan
ketiga buah goa itu untuk sarang mereka. Namun ternyata
bahwa di belakang goa itu terdapat daerah perbukitan yang
sulit untuk dilalui. Para pengikut gerombolan itu telah
mengenali setiap sudut dari celah-celah bukit itu sebaikbaiknya,
sehingga mereka akan dengan mudah dapat
melarikan diri. Tetapi bagi orang y ang belum mengenali
daerah itu, akan mengalami kesulitan untuk dapat menerobos
celah -celah bukit. Bahkan mungkin akan mengalami kesulitan
untuk menemukan jalan yang dapat mereka lalui. Seorang
yang berlari dihadapannya, tiba-tiba akan dapat hilang di
celah -celah bukit itu. Celah-celah y ang m embingungkan itulah yang menjadi
landasan para pengikut gerombolan itu untuk tetap bertahan
di sarang mereka. Rasa-rasanya mereka memang merasa
aman. Keterasingan tempat mereka bersembuny i agaknya
memberikan perlindungan y ang kuat dari gerombolan itu.
Pada saat pasukan Sangling y ang dipimpin oleh seorang
Senapati muda dan mendekati sarang m ereka itu, maka para
pengawas yang bertugas siang dan malam bergantian itu pun
segera melihat mereka dari atas bukit kecil. Pasukan Sangling
yang merambat perlahan-lahan di jalan setapak menjelang
matahari naik itu pun segera dilaporkan oleh para pengawas
kepada para pemimpin mereka.
"Bagaimana kekuatan mereka?" bertanya pemimpin
gerombolan itu. "Cukup-besar," jawab seorang pengawas, "mungkin kita
akan mengalami kesulitan jika kita harus bertempur melawan
mereka." "Jadi, Bagaimana pendapatmu?" bertanya pemimpin
gerombolan itu. "Mungkin kita akan berhasil jika kita melawan mereka di
celah -celah bukit," jawab pengawas itu.
Pemimpin gerombolan itu pun mengangguk-angguk.
Namun katanya, "Kita tidak perlu m embiarkan korban jatuh.
Kita m emang akan mengganggu m ereka. Tetapi segera saja
mereka kita tinggalkan setelah mereka sedikit kebingungan.
Dengan demikian kita sudah memberi sedikit peringatan
kepada mereka, bahwa mereka tidak akan dapat dengan
mudah mengganggu kita."
"Terserah atas kebijaksanaan Ki Lurah," berkata
pengawas itu pula. Pemimpin gerombolan itu pun segera memberikan
isy arat agar para penghuni goa itu pun bersiap. Penghuni tiga
buah goa y ang terpisah. Namun isyarat yang sudah mereka
kenal dengan baik itu pun memerintahkan kepada mereka
untuk tidak tetap bertempur melawan prajurit Sangling itu.
Korban tidak perlu jatuh. Karena itu, maka mereka
diperintahkan untuk melarikan diri setelah sedikit
mengganggu orang-orang Sangling itu di celah-celah bukit
sebagai tempat y ang paling aman bagi mereka.
Ternyata para pengikut gerombolan itu tidak perlu
tergesa -gesa. Namun mereka telah mempersiapkan diri untuk
mundur ke celah-celah bukit.
Demikianlah ketika kemudian pasukan Sangling itu
menjadi semakin dekat, maka telah didengar isy arat pula yang
hanya diketahui artinya oleh orang -orang dari gerombolan itu.
Sejenak kemudian maka pasukan Sangling itu telah maju
semakin dekat. Sebelum mereka mencapai pelataran tiga buah
goa itu. Maka para pengikut dari gerombolan itulah yang
justru telah meny erangnya lebih dahulu.
Para prajurit Sangling terkejut. Mereka tidak mengira
bahwa gerombolan itu menyambut mereka dengan meriah.
Pertempuran pun segera berkorbar. Para prajurit
Sangling y ang memang sudah bersiap untuk bertempur itu
pun segera berloncatan menyambut lawan-lawan mereka.
Untuk beberapa saat lamanya pertempuran itu
berlangsung. Namun kemudian para prajurit Sangling itu pun
mendengar isy arat berbunyi. Bukan dari pasukan Sangling,
tetapi dari lawan mereka.
Namun para prajurit Sangling itu pun segera menduga
bahwa lawan-lawan mereka itu akan meny ingkir dari arena.
Karena itu, maka para prajurit Sangling itu pun berusaha
untuk mencegahnya. Mereka berusaha untuk tidak membuat
jarak dengan para pengikut dari ger ombolan itu.
Namun ternyata bahwa orang-orang dari ger ombolan itu
memiliki cara y ang cerdik untuk mengundurkan diri. Mereka
bergerak serentak m undur dalam ikatan pasukan y ang utuh.
Namun ketika mereka sudah berada dekat di mulut goa, maka
mereka pun tiba -tiba telah berloncatan berlari cerai berai.
Sebagian di antara mereka telah masuk ke dalam goa. Namun
yang lain justru meloncat ke samping mulut-mulut goa dan
menyelinap di antara pepohonan perdu dan batu-batu padas.
Demikian kisruhnya sehingga untuk sesaat para prajurit
Sangling harus berpikir, apa y ang akan mereka lakukan.
Namun waktu y ang sekejap itu telah memberikan
kesempatan kepada orang-orang dari gerombolan itu untuk
melarikan diri. Tetapi tidak semua orang dapat terlepas dari tangan para
prajurit Sangling. Betapapun mereka telah mengatur diri
dalam kekisruhan itu, tetapi prajurit Sangling yang tangkas
telah berhasil menangkap beberapa orang di antara mereka. Di
antara mereka y ang tertangkap itu ternyata telah terluka pula.
Namun demikian, Senapati muda y ang memimpin
prajurit Sangling itu telah m emerintahkan pa sukannya untuk
mengejar orang-orang dari gerombolan itu, "tetapi berhatihatilah.
Jangan seorang diri."
Para prajurit Sangling pun mematuhinya. Mereka telah
berusaha untuk mengejar orang-orang y ang melarikan diri itu.
Namun mereka pun segera terjerat ke dalam lekuk-lekuk
perbukitan. Mereka memasuki sela-sela batu padas yang
membingungkan. Bahkan sekali-sekali m ereka telah disergap
oleh orang-orang y ang m ereka kejar. Namun y ang kemudian
telah m enghilang pula di sela-sela batu padas dan gerumbulgerumbul
liar di sela-sela bukit. Prajurit Sangling pun kemudian menyadari, bahwa
mereka tidak akan dapat mengatasi kesulitan medan yang
tidak mereka kenal dengan baik. Karena itu, maka mereka pun
segera menghentikan pengejaran. Apalagi ketika Senapati
Sangling itu telah memberikan isyarat dengan panah
sendaren, sehingga para prajurit Sangling itu pun telah
mencari jalan kembali ke plataran goa yang menjadi sarang
gerombolan y ang sedang diburu oleh prajurit Sangling itu.
Ternyata beberapa orang prajurit telah kehilangan jalan.
Mereka hanya melingkar-lingkar saja di sela-sela bukit itu.
Namun prajurit Sangling y ang sudah berada di plataran goa
telah m elepaskan anak panah ke udara berkali-kali, sehingga
para prajurit yang kehilangan jalan itu mampu menemukan
kembali arah plataran goa sarang gerombolan itu, sehinggamereka
dapat kembali ke dalam kelompok mereka m asingmasing.
Dengan cepat, para pemimpin kelompok t elah
mengumpulkan orang-orangnya dan menghitung, apakah
masih ada di-antara mereka y ang masih belum kembali.
Ternyata para prajurit Sangling itu m emerlukan waktu
yang cukup lama untuk menunggu sampai orang y ang terakhir
yang kembali ke kelompoknya.
Meskipun benturan itu hanya terjadi dalam waktu
singkat, namun ada juga di antara prajurit Sangling yang
terluka. Orang-orang yang mereka kejar sampai ke celah-celah
bukit, ternyata telah mempergunakan kesempatankesempatan
yang ada untuk meny ergap dari
persembunyiannya, sehingga m elukai para prajurit Sangling
yang masih belum banyak mengenal medan.
Kegagalan sergapan pasukan Sangling itu telah membuat
Senapati muda y ang memimpin pasukan Sangling itu menjadi
marah. Tetapi Sangling tidak mempunyai banyak kesempatan.
"Kita kehilangan jalan untuk mengejar mereka," berkata
salah seorang pemimpin kelompok.
"Sela -sela bukit berbatu padas itu membingungkan,"
berkata yang lain. Sementara itu yang lain lagi berkata, "Aku telah
kehilangan jalan kembali. Untunglah kalian selalu melepaskan
anak panah, sehingga aku dapat menemukan arah kembali ke
plataran goa ini." Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
kemudian berkata, "Ternyata goa ini mempunyai pintu rahasia
untuk dapat keluar dari dalamnya lewat arah lain. Para
prajurit yang mengejar buruan mereka telah menemukan jalan
itu. Tetapi mereka kehilangan buruan mereka."
"Lalu, apakah yang akan kita lakukan" Kita telah
kehilangan mereka," berkata seorang pemimpin kelompok.
Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kita memang telah gagal. Tetapi kita tidak
mau perjalanan kita ini sekedar perjalanan tamasya sementara
beberapa orang di antara kita luka-luka."
Para pemimpin kelompok mendengarkan keterangan
Senapati itu dengan saksama. Sementara Senapati itu
melanjutkan, "Kita harus memanfaatkan kehadiran kita di
tempat ini. Kita harus mengenal lingkungan ini dengan baik.
Kita akan kembali lagi ke tempat ini. Mungkin Besok, mungkin
lusa mungkin sebulan lagi."
"Kita akan memasuki relung -relung dan sela-sela
perbukitan itu?" bertanya seorang pemimpin kelompok.
"Kita mempunyai penunjuk jalan. Kita bawa para
tawanan untuk menunjukkan kepada kita, sehingga kita dapat
mengenali daerah ini dengan sebaik-baiknya," berkata
Senapati itu, "mungkin hari ini kita dapat menyelesaikan
usaha ini. Tetapi jika perlu kita akan bermalam di sini."
Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk.
Ternyata mereka sependapat dengan Senapati itu, sehingga
jika saatnya tiba, mereka akan kembali dan tidak lagi
kehilangan jejak buruan mereka jika m ereka harus bekerja di
sela -sela batu padas. Demikianlah, maka sejenak kemudian maka Senapati itu
pun telah memerintahkan para pemimpin kelompok dan
sebagian dari para prajurit untuk mengikutinya mengenali
lingkungan yang sulit itu.
Beberapa orang tawanan y ang tidak m engalami cidera
harus menunjukkan kepada mereka, jalur-jalur yang harus
diketahui oleh para prajurit itu di antara celah-celah
perbukitan. Para tawanan itu tidak dapat menolak, meskipun mereka
tahu bahwa usaha itu akan sangat berbahaya bagi kawankawan
m ereka. Tetapi dibawah ancaman ujung senjata, para
tawanan itu tidak dapat berbuat lain.
Untuk mempertajam pengamatan, maka Senapati Sangling
yang memimpin pasukan itu pun telah membagi
kelompoknya menjadi dua, demikian pula para tawanan.
Dengan cermat maka mereka pun telah mengamati
celah -celah bukit itu. Mereka mencoba mengenali jalur-jalur
yang berbelit dan berliku-liku itu. Mereka mengenal dengan
sak sama simpangan-simpangan y ang ada dari jalur-jalur yang
berbelit-belit. Mereka mencoba mengingat ciri -ciri dan tandatanda.
Memang mereka tidak segera dapat mengingat
semuanya. Tetapi Senapati itu telah melintasi jalan-jalan
sempit di celah-celah bukit itu beberapa kali. Demikian pula
kelompok y ang satu lagi.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebagai prajurit y ang terlatih, maka para Senapati dan
pemimpin kelompok serta sebagian dari para prajurit yang
mengikuti usaha pengenalan itu pun agaknya tidak sia -sia.
Sehingga akhirnya Senapati y ang memimpin pasukan itu
memberikan isyarat agar para prajurit segera berkumpul.
"Kita akan mengulanginya sekali lagi," berkata Senapati
itu, "tetapi karena matahari telah m enjadi rendah, maka kita
akan bermalam di tempat ini. Besok kita akan mencoba
mengenalinya sekali lagi. Saat hari masih gelap menjelang
fajar. Jika kita masih bingung karena gelap m aka kita akan
dapat menunggu matahari y ang segera akan terbit."
Memang ada keseganan di antara para prajurit. Namun
keputusan Senapati itu tidak dapat mereka bantah. Karena itu,
maka pasukan itu pun telah bermalam di sarang gerombolan
yang sedang mereka buru, namun berhasil meloloskan diri.
Tetapi justru karena mereka berada di tempat y ang
berbahaya, maka penjagaan di tempat itu pun dilakukan
dengan sebaik-baiknya. Namun ternyata bahwa tiga buah g oa itu tidak mampu
menampung semua orang di dalam pasukan Sangling itu.
Karena itu, maka sebagian dari mereka harus berada di luar.
Malam itu, pasukan Sangling sama sekali tidak
mengalami gangguan. Yang tidur di luar goa harus
menyelimuti dirinya dengan kain panjang mereka, karena
embun y ang menitik membuat malam menjadi sangat dingin.
Tetapi para petugas y ang berjaga-jaga telah membuat perapian
untuk menghangatkan tubuh mereka.
Meskipun demikian, para petugas itu tidak seluruhnya
mengingini beberapa onggok perapian. Tetapi dalam
kesiagaan beberapa orang berjalan hilir mudik di seputar
plataran goa itu. Menj elang fajar, maka para prajurit itu sudah
mempersiapkan diri. S etelah m embagikan sisa bekal m ereka,
maka para prajurit y ang di hari pertama telah mengamati
lingkungan itu, telah menebar pula. Namun mereka masih
juga membawa para tawanan bersama mereka.
Memang sulit untuk mengingat liku -liku jalan setapak di
celah -celah bukit itu. Bahkan kadang-kadang mereka harus
menyusup di bawah gerumbul-gerumbul, kemudian memanjat
dinding padas yang tidak terlalu tinggi, serta kesulitankesulitan
yang lain. Tetapi dengan disertai para tawanan, maka para prajurit
itu pun menjadi semakin mengenali daerah y ang banyak
menyesatkan itu. Demikian matahari naik, maka para prajurit itu telah
sampai di ujung daerah y ang sulit itu, sehingga mereka tinggal
menempuh jalan kembali ke plataran goa.
Senapati yang memimpin pasukan itu pun memutuskan,
bahwa mereka telah dapat mengenali daerah itu dengan baik.
Namun demikian ia pun berkata, "Mudah-mudahan orangorang
dari gerombolan itu tidak menyadari, bahwa kita telah
mengenal daerah pelarian mereka, sehingga dengan demikian
mereka akan kembali lagi ke goa ini."
"Tidak ada lagi yang tertinggal di goa ini," berkata
seorang pemimpin kelompok, "nampaknya harta kekayaan
mereka, sebagaimana biasa dimiliki gerombolan seperti ini,
telah mereka pindahkan."
"Mungkin memang demikian," jawab Senapati, "tetapi
ternyata mereka masih mempergunakan goa ini. Mereka
agaknya menganggap goa ini adalah tempat per sembunyian
yang paling aman, meskipun setiap kali harus mereka
tinggalkan. Tetapi di tempat lain mereka tidak akan
menemukan lingkungan y ang dapat melindungi mereka
seperti di daerah ini. Seandainya mereka tidak berusaha untuk
melawan kehadiran kita, maka mereka akan dengan selamat,
tanpa meninggalkan seorang pun untuk menjadi tawanan."
Para pemimpin kelompok itu pun mengangguk-angguk.
Namun mereka memang mengerti sepenuhnya jalan pikiran
Senapati y ang memimpin pasukan Sangling itu.
Demikianlah, maka mereka pun segera mengemasi diri
untuk kembali ke Sangling. Mereka memang telah gagal.
Tetapi mereka telah mendapatkan kesempatan y ang akan
dapat dipergunakan sebagai bekal dalam tugas mereka
mendatang. "Aku akan memohon kepada Akuwu, agar aku
ditugaskan lagi datang ke tempat ini," berkata Senapati muda
itu ketika mereka meninggalkan sarang gerombolan y ang tidak
berhasil mereka jebak itu.
Ketika pasukan itu tiba di Sangling, m aka Akuwu y ang
menerima mereka memang sudah mengira, bahwa pasukan itu
tidak berhasil menjalankan tugasny a.
Akuwu y ang melihat pasukan Sangling itu datang
dengan hanya membawa sejumlah kecil tawanan, sudah dapat
memperhitungkan. Namun ada juga kecemasan di hati Akuwu,
bahwa para prajurit Sangling telah menghabisi ny awa
sejumlah besar para pengikut gerombolan itu.
Dengan suara yang gemetar oleh perasaan kecewa,
Senapati muda yang bertugas untuk memimpin pasukan
Sangling itu melaporkan gerak pasukannya. Dengan meny esal
Senapati itu mengakui kegagalannya, sehingga orang-orang
dari gerombolan itu telah berhasil meloloskan diri. Hanya
beberapa orang saja di antara mereka yang berhasil ditangkap.
Namun Senapati itu pun telah menyampaikan
permohonannya, "Ampun Akuwu. Hamba mohon, agar hamba
mendapat kesempatan sekali lagi untuk menangkap orangorang
dari gerombolan itu. Dalam kegagalan itu, hamba telah
mempergunakan kesempatan untuk m eneliti lingkungan yang
rumit itu. Hambatan para pemimpin kelompok telah berusaha
untuk mengenali celah-celah bukit y ang memberikan
perlindungan kepada ger ombolan itu untuk melarikan diri.
Jika hamba mendapat kesempatan lagi, m aka hamba y akin,
bahwa hamba akan dapat melakukannya dengan lebih baik."
Akuwu Sangling mengangguk-angguk. Ia melihat
kesungguhan pada wajah Senapati muda itu. Kegagalan itu
ternyata benar-benar karena kecerdikan lawannya, didukung
oleh medan yang sangat rumit.
Karena itu, Akuwu menilai bahwa hal itu sama sekali
bukan karena ketidak -mampuan Senapati muda itu, sehingga
dengan demikian maka Akuwu merasa tidak berkeberatan
untuk memberinya kesempatan sekali lagi. Namun untuk
menjaga segala kemungkinan, maka hal itu masih belum
diucapkannya. "Aku akan memikirkannya, bahwa permohonanmu
masuk akal," berkata Akuwu Sangling, "namun segala
sesuatunya akan aku tentukan kemudian."
Senapati itu memang kecewa. Tetapi ia masih
mempunyai harapan. Akuwu Sangling telah menganggap
bahwa permohonannya itu masuk akal. Mudah-mudahan hal
itu menjadi pertanda bahwa Akuwu akan mengabulkannya.
Ketika Akuwu kemudian memerintahkan untuk
mengembalikan pasukan yang dibawa oleh Senapati muda itu
ke dalam kesatuannya, maka Akuwu pun telah minta agar
Senapati itu mengantarkan dua orang tawanan kepadanya.
Senapati muda itu m emang menjadi heran dan bahkan
berdebar-debar. Apakah dengan demikian Akuwu tidak
mempercayai keterangannya dan mencari bahan dari para
tawanan untuk membuat perbandingan.
Tetapi Senapati itu tidak dapat berbuat banyak. Ia
memang harus meninggalkan kedua orang tawanan itu
bersama Akuwu Sangling. Sebenarnyalah Akuwu Sangling memang ingin
meyakinkan dirinya tentang kebenaran laporan Senapati itu.
Ia bukannya tidak percaya. Tetapi ia ingin mendapatkan
bahan-bahan yang pasti, sehingga ia akan dapat mengambil
keputusan yang tepat. Ternyata bahwa keterangan para tawanan telah
memperkuat laporan Senapati muda itu. Dengan demikian
maka Akuwu pun telah dapat mengambil kesimpulan, bahwa
pada saatnya ia akan memerintahkan sekali lagi Senapati
muda itu untuk m enangkap para pengikut gerombolan yang
bersembunyi di dalam tiga buah goa y ang berdekatan letaknya
itu. Dalam pada itu, para pengikut gerombolan itu pun
merasa bahwa mereka telah memenangkan permainan yang
bagi mereka meny enangkan itu. Meskipun ada beberapa orang
di antara kawan mereka y ang tertangkap, tetapi jumlah
mereka yang cukup besar itu, tidak akan berkurang
kekuatannya. Tiga hari setelah m ereka menyingkir, maka m ereka pun
telah kembali lagi. Mereka menganggap bahwa para prajurit
itu tentu telah jera untuk kembali lagi. Bahkan seandainya
para prajurit itu kembali lagi untuk menangkap mereka, maka
mereka akan dapat mengajak mereka berkejaran lagi di selasela
perbukitan. Bahkan pemimpin kelompok itu pun telah
memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap-siap
bertempur di celah-celah batu-batu padas itu.
"Jika para prajurit Sangling itu berani mengejar terus,
maka mereka akan kita musnahkan di celah-celah batu padas
itu. Akuwu Sangling tentu marah atas kegagalan prajuritnya.
Jika ia m engirim prajurit lagi, mungkin akan lebih banyak.
Tetapi prajurit itu tentu pasukan baru yang belum pernah
melihat medan ini. Mereka tentu baru mendengar dari para
prajurit y ang mengalami kegagalan itu."
Yang merasa selalu dicengkam oleh ketegangan adalah
para tawanan y ang dibawa oleh Senapati muda itu. Mereka
tahu, bahwa prajurit Sangling telah mengadakan pengamatan
atas m edan y ang rumit itu. Meskipun tidak seakrab kawankawannya,
namun para pemimpin kelompok prajurit Sangling
itu telah mengetahui liku-liku dari jalan-jalan sempit yang
kadang-kadang terputus, serta celah-celah batu-batu padas
yang sempit dan hampir mustahil dapat dilalui.
Tetapi mereka tidak m endapat kesempatan sama sekali
untuk memberitahukan hal itu kepada kawan-kawan mereka.
Dalam pada itu, setelah dua pekan lewat tanpa sentuhan
pembicaraan sama sekali tentang goa itu, bahkan seolah-olah
gerombolan itu telah dilupakan, maka jatuhlah perintah
Akuwu y ang tiba-tiba, "berangkatlah ke sasaran. Menjelang
fajar mereka akan menyerang."
Ternyata bahwa Senapati muda itu kembali y ang
mendapat perintah untuk menangkap para pengikut
gerombolan y ang ternyata cukup liat itu.
Perintah y ang tiba-tiba itu memang mengejutkan.
Namun dengan demikian tidak seorang pun y ang mengetahui
akan perintah itu kecuali Senapati muda itu.
Namun demikian, ia menjadi cemas juga bahwa
upayanya akan tidak berhasil, karena ia tidak mempunyai
banyak waktu untuk menyusun rencana peny ergapannya.
Tetapi Senapati muda itu tidak dapat menolak perintah.
Ia-pun kemudian menyiapkan pasukan yang disediakan untuk
tugasnya itu. Pasukan itu m emang lebih besar dari pasukan
yang pernah dipimpinnya untuk tugas y ang sama.
Para prajurit yang mendapat perintah untuk tugas y ang
belum diketahui itu pun merasa terkejut. Apalagi para prajurit
yang belum pernah berada di bawah pimpinannya meny erang
gerombolan y ang berada di dalam goa y ang berjumlah tiga
buah itu. Sedangkan mereka yang pernah menyertainya dalam
tugas itu, agaknya dapat menduga, bahwa mereka harus
mengulangi tugas mereka y ang gagal itu.
Demikianlah, maka pasukan itu pun telah meninggalkan
Sangling dengan tanpa upacara apapun juga, bahkan seakanakan
pasukan itu sengaja berangkat dengan diam-diam.
Senapati y ang mendapat tugas itu pun telah bertekad
untuk tidak gagal lagi. Ia pun telah membawa pasukan dengan
cepat menuju ke sa saran. Sementara itu, Sangling telah
diselubungi gelapnya malam.
Menj elang daerah sasaran, maka Senapati itu telah
mengumpulkan para pemimpin kelompok. Dengan tegas
Senapati itu memberikan pengarahan kepada mereka.
Sebagian dari pasukannya diperintahkannya untuk
memisahkan diri dan mengambil jalan lain. Mereka harus
melingkari perbukitan dan menebar menutup pintu keluar
dari jalan-jalan sempit di celah-celah perbukitan.
"Kita akan m emperhitungkan waktu," berkata Senapati
itu, "tengah malam kita akan sampai ke tempat yang mungkin
untuk berhenti. Sementara kalian berusaha mencapai
seberang bukit. Kita akan beristirahat beberapa saat.
Menj elang fajar kami yang berada di bagian depan akan
bergerak. Tidak ada isyarat apapun juga. Tetapi kita akan
mendengarkan suara ayam jantan y ang berkokok menjelang
pagi. Jangan keliru dengan saat ay am jantan berkokok lewat
tengah m alam. Tugas kalian adalah menunggu. Jika ada di
antara penghuni goa itu y ang luput dari tangan kami m aka
adalah menjadi tugas kalian."
Namun seorang pemimpin kelompok b ertanya, "Apakah
letak goa itu dekat dengan padukuhan?"
"Tidak," jawab Senapati itu.
"Jika demikian, apakah kita akan dapat mendengar
suara ay am jantan yang berkokok?" bertanya pemimpin
kelompok itu pula. Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun
mengangguk-angguk. Katanya, "Kau benar. Tetapi saat yang
demikian dapat kami duga." Senapati itu berhenti sejenak,
lalu, "baiklah. Aku akan berusaha untuk memperhitungkan
waktu sebaik-baiknya. Kami akan meny erang goa itu. Jika
penghuni goa itu kemudian m elarikan diri, m aka baru saat
matahari terbit mereka akan mencapai jalan keluar dari celahcelah
bukit. Karena itu, kalian harus sudah bersiap sebelum
matahari terbit." Senapati yang mendapat perintah untuk memimpin
bagian dari pasukan itu mengangguk sambil menjawab, "Kami
akan melaksanakan dengan sebaik-baiknya."
"Kita sekarang berpisah," berkata Senapati muda itu,
"berhati-hatilah."
Di bawah pimpinan Senapati pendamping, maka bagian
dari pasukan itu telah melingkari daerah perbukitan. Beberapa
orang pemimpin kelompok yang ikut pada serangan yang
pertama ada di antara mereka, sehingga para pemimpin
kelompok itu dapat menunjukkan jalan menuju ke tempat
yang paling baik untuk menunggu gerombolan itu muncul jika


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka terlepas dari tangan prajurit Sangling yang akan
menyergap dari depan. Tetapi ketika mereka mendekati tempat y ang mereka
tuju, ternyata jarak waktu masih cukup panjang, sehingga
pasukan itu pun berhenti di tempat yang agak terlindung oleh
gerumbul-gerumbul perdu untuk sekedar beristirahat.
Namun pesan Senapati yang memimpin seluruh pasukan
Sangling itu adalah, bahwa sebelum m atahari terbit, mereka
harus sudah berada di mulut-mulut lorong -lorong sempit yang
merupakan jalur dari celah-celah batu padas y ang ada di
antara perbukitan, y ang agaknya semula telah dibuat oleh arus
air di musim hujan. Bagi Senapati yang tidak dapat beristirahat itu, waktu
rasa rasanya b erjalan t erlalu lamban. Malam m enjadi sangat
panjang. Namun bagi para prajurit yang jatuh dan tertidur
lelap, m aka m ereka merasa seakan-akan matanya baru saja
terpejam ketika mereka mendapat perintah untuk bersiap.
Di bagian lain, pasukan y ang dipimpin langsung oleh
Senapati muda itu pun telah m enunggu di t empat yang telah
ditentukan. Mereka m empergunakan waktu y ang pendek itu
untuk beristirahat pula, sebelum sampai saatnya mereka
menyergap. Tetapi Senapati itu sendiri sama sekali tidak beristirahat.
Ia benar-benar dicengkam oleh ketegangan. Bukan karena ia
merasa kecil dihadapan gerombolan itu, t etapi ia ju stru
merasa cemas bahwa ia akan gagal lagi, sebagaimana pernah
terjadi. "Tetapi aku sudah berusaha sebaik-baiknya," berkata
Senapati itu kepada diri sendiri.
Menj elang fajar pasukan Sangling itu mulai bergerak.
Pa sukan itu dengan hati-hati menyusuri jalan menuju ke g oa.
Namun Senapati itu sadar, bahwa sebelum mereka mencapai
plataran goa, maka tentu sudah ada pengamat yang melihat
kedatangan mereka. Kemudian akan terjadi dua kemungkinan.
Gerombolan itu akan m engadakan sekedar perlawanan untuk
mengganggu prajurit Sangling untuk kemudian melarikan diri.
Adapun kemungkinan yang lain adalah bahwa m ereka
sama sekali tidak melawan. Mereka langsung melarikan diri ke
daerah perbukitan itu. Perlahan-lahan pasukan Sangling itu merayap
mendekat. Mereka menempuh perjalanan lewat jalan sempit
ke Plataran goa itu. Sebenarnyalah, para pengawas y ang ada di dalam
lingkungan gerombolan itu pun segera melihat kehadiran
pasukan Sangling itu. Dengan serta merta mereka pun segera
berlari untuk memberikan laporan.
Pemimpin gerombolan yang masih tidur itu y ang
kemudian dibangunkan, harus cepat mengambil keputusan.
Apakah mereka akan melawan atau tidak.
Sejenak pemimpin gerombolan itu berpikir. Seorang
pembantunya yang terdekat pun kemudian memberikan
pertimbangan, "Lawan cukup banyak menurut laporan yang
kita t erima. Karena itu, terserah kepada Ki Lurah, apakah
perlu sekedar memberikan perlawanan atau tidak."
Ki Lurah itu pun kemudian berkata, "Baiklah. Kita
tinggalkan daerah peri stirahatan kita ini. Kita tidak perlu
melawan m ereka agar tidak seorang pun di antara kita yang
terbunuh atau tertangkap seperti yang terdahulu. Tetapi
mungkin kita akan mengganggu mereka di celah-celah bukit."
Pembantunya yang terdekat itu pun segera
menyampaikan perintah itu kepada semua pengikutnya dan
memerintahkan mereka segera meninggalkan tempat.
Sejenak kemudian, maka orang-orang yang menghuni
tiga buah goa itu pun segera melarikan diri. Sementara
matahari mulai membayang di langit.
Senapati muda y ang memimpin pasukan Sangling itu
pun segera mengetahui pula bahwa para pengikut gerombolan
itu pun tidak melakukan perlawanan. Dengan demikian maka
mereka akan segera melarikan diri. Karena itu, maka Senapati
muda itu pun memerintahkan pasukan untuk cepat mendesak
dan m engejar memasuki daerah perbukitan. Namun Senapati
muda itu telah memerintahkan kepada para prajurit Sangling,
"jangan seorang diri. Siapapun juga harus berada dalam
kelompok. Mereka mungkin akan memukul kita di jalan-jalan
sempit di celah-celah batu padas perbukitan itu."
Dengan demikian, maka setiap orang di dalam pa sukan
itu harus memilih kawan-kawan mereka yang terdekat untuk
memenuhi perintah Akuwu itu m eskipun sebenarnya m ereka
menganggap hal itu tidak terlalu penting.
Sebenarnya ketika pasukan Sangling itu sampai ke
plataran goa, maka mereka melihat orang-orang y ang terakhir
berlari meninggalkan tempat itu. Orang itu tidak m enyusup
lewat bagian dalam goanya y ang terbuka itu.
Beberapa orang prajurit Sangling yang pernah ikut
dalam tugas serupa sebelumnya telah membawa beberapa
orang kawannya untuk melihat ke dalam goa. Ternyata goa itu
pun telah kosong sebagaimana mereka duga.
Berda sarkan perintah Senapati muda dari Sangling itu,
maka pasukan Sangling harus berusaha mengejar dan
menemukan mereka. Berdasarkan pengamatan yang pernah
mereka lakukan, maka pasukan itu pun kemudian telah
menyusup memasuki celah-celah batu padas di perbukitan
untuk mengejar lawan. Namun karena yang pernah menyusuri celah-celah
padepokan itu tidak semua orang dari pasukan Sangling yang
terdahulu, maka m ereka pun telah b erjalan dalam kelompokkelompok.
Di paling depan adalah mereka yang telah
mengenali daerah y ang rumit itu.
Beberapa kelompok yang mengejar gerombolan itu telah
memencar. Mereka menyusup melalui lintasan y ang berbedabeda
agar pasukan Sangling itu tidak dikelabui oleh lawan
mereka. Jika lawan mereka mengetahui kekosongan di
beberapa jalur, maka mungkin mereka justru akan kembali
lagi ke dalam goa dan melarikan diri lewat jalan di depan
plataran goa itu sebagaimana dipergunakan oleh pasukan
Sangling menuju ke goa itu.
Karena pasukan Sangling berada dalam kelompokkelompok,
maka para pengikut gerombolan y ang mereka buru
itu tidak dapat mengganggu. Mereka tidak berani meny erang
dan kemudian menghilang. Apalagi menurut penglihatan
mereka, maka para prajurit Sangling itu seakan-seakan telah
memenuhi jalur-jalur yang ada di celah -celah perbukitan itu,
sehingga tidak ada lagi tempat yang tersisa.
Karena itu, maka tidak ada jalan lain untuk
menyelamatkan diri dari tangan orang-orang Sangling selain
berlari menjauh dan muncul di bagian lain.
Tetapi gerombolan itu tidak mengira sama sekali, bahwa
menjelang matahari terbit, beberapa kelompok pasukan
Sangling telah menunggu di mulut-mulut lorong.
Sebenarnyalah para pengikut gerombolan itu terkejut
bukan main. Demikian mereka meloncat keluar dari celahcelah
bukit, maka ujung-ujung senjata telah menunggu
mereka. Maka tidak ada jalan lain kecuali menarik senjata
mereka yang tergantung di lambung, serta j enis-jenis senjata
yang lain yang m emang dipergunakan oleh orang-orang dari
gerombolan itu. Seorang y ang b ertubuh tinggi besar ternyata membawa
bindi yang berat. Sedangkan seorang y ang bertubuh kecil agak
pendek telah m empersenjatai dirinya dengan tombak pendek.
Sementara itu ada pula yang membawa canggah, sejenis
tombak y ang bermata rangkap.
Prajurit Sangling telah benar-benar bersiaga. Karena itu,
maka demikian beberapa orang muncul, Senapati yang
diserahi memimpin pasukan itu pun berteriak, "Meny erah
sa jalah." "Bukan watak kami untuk menyerah," jawab salah
seorang di antara mereka yang baru muncul dari celah-celah
bukit itu. Namun kemudian ternyata seorang pemimpin
kelompok dengan cerdik telah berusaha untuk
memperpanjang waktu berbicara.
Jika mereka mempunyai kesempatan untuk berbicara
lebih banyak, maka pasukan Sangling yang mengikuti
gerombolan y ang melarikan diri itu semakin dekat.
Namun tiba-tiba Senapati itu bertanya, "Siapakah
kalian?" Tetapi salah seorang di antara gerombolan itu ganti
bertanya, "Kenapa baru sekarang kau bertanya" Sementara itu
kau sudah mengancam agar kami meny erah?"
"Menilik sikap dan senjata kalian, maka kalian bukan
orang baik-baik," berkata Senapati itu.
"Siapakah kalian" " seorang di antara gerombolan itu
justru bertanya. "Kami adalah prajurit Sangling. Kami m endapat tugas
untuk menunggu orang-orang dari gerombolan yang berada di
dalam goa y ang m enghadap ke arah m atahari terbit," jawab
Senapati itu. "Persetan," geram seorang y ang bersenjata bindi,
"minggirlah. Kami akan lewat. Jika kalian mau tidak m inggir,
maka kami akan menghancurkan kalian di sini."
Senapati itu mengerutkan keningnya. Sementara itu
pasukannya y ang menebar telah menghadapi orang-orang
yang muncul dari celah-celah batu padas di perbukitan itu.
Semakin lama semakin banyak, sehingga akhirnya jumlah
mereka menjadi lebih banyak dari prajurit Sangling yang
menunggu mereka. Senapati itu memang berpikir tentang jumlah itu.
Karena itu, maka ia memang berusaha untuk mengulur waktu.
Meskipun demikian ketika ia sempat berpaling ke arah
pasukannya, maka dilihatnya para prajurit Sangling yang
jumlahnya lebih sedikit itu sudah siap menghadapi segala
kemungkinan. Sama sekali tidak terbayang kecemasan di
wajah mereka. Sementara itu, Senapati y ang memang ingin
memperpanjang waktu itu pun bertanya, "Kenapa kalian
berlari-lari keluar dari celah-celah batu-batu padas itu."
"Persetan," geram seorang di antara gerombolan itu,
"jangan kau kira bahwa kami terlalu bodoh untuk tidak
mengerti usahamu mengulur waktu agar kawan-kawanmu itu
sempat menemukan kami di sini. Tetapi usaha kalian akan siasia.
Kawan-kawanmu yang datang dari arah depan g oa tidak
akan m enemukan jalan di antara c elah-celah batu padas itu.
Dan untuk selama-lamanya mereka tidak akan sampai ke
tempat ini." Namun pemimpin dari ger ombolan itu agaknya
menyadari bahwa orang-orangnya tidak sebaiknya untuk
menunggu terlalu lama. Karena itu, maka ia pun segera
meneriakkan perintah, agar orang-orangnya mulai bergerak,
"Tembus pasukan Sangling yang tidak berarti ini. Jika mereka
tidak mau meny ingkir, maka wewenang kalian untuk
menyingkirkan mereka."
Perintah itu tidak perlu diulangi. Para prajurit pun
segera tanggap akan keadaan. Karena itu, maka mereka pun
segera bersiap sepenuhnya. Mereka akan menghadapi lawan
yang lebih banyak. Orang-orang dari gerombolan itu pun telah mulai
bergerak. Mereka ingin segera bebas dari bay angan prajurit
Sangling. Karena itu, maka mereka pun dengan serentak mulai
menggerakkan senjata mereka y ang beraneka.
Seorang y ang bertubuh raksasa mengayunkan bindiny a
yang besar sehingga terdengar suara bergaung di udara. Yang
lain merundukkan canggahnya yang bertangkai panjang,
sementara seorang y ang bertubuh pendek agak kegemukan
bersenjata pedang dan peri sai kecil di tangan kirinya.
Pertempuran tidak dapat dicegah lagi. Prajurit Sanglingpun
telah bergerak pula. Mereka berusaha agar garis
pertahanan mereka tidak koyak oleh lawan-lawan mereka.
Sebab jika demikian maka gerombolan itu akan sempat
meloloskan diri. Jika sebagian dari mereka lepas, m aka yang
lepas itu akan dapat mengganggu untuk menolong kawankawan
mereka. Karena itu, untuk mempertahankan garis pertahanannya
maka pasukan Sangling terpaksa bergeser surut. Itu lebih baik
daripada pertahanannya dikoyakkan.
Sebenarnyalah bahwa prajurit Sangling adalah prajurit
yang cukup terlatih. Apalagi sejak Akuwu Sangling yang baru
memegang pemerintahan. Sebagai bekas seorang Senapati
besar, maka ia sangat memperhatikan kekuatan dan
kemampuan prajurit Sangling. Baik dalam kelompokkelompok,
pasukan-pasukan dan kesatuan-kesatuan, juga
kemampuan pribadi mereka masing -masing.
Itulah sebabnya maka tidak mudah bagi gerombolan
yang sedang dijebak itu untuk menembus pertahanan.
Namun bagi mereka, soalnya hanyalah soal waktu.
Semakin lama pertahanan prajurit Sangling memang semakin
goyah. Orang-orang dari gerombolan itu menekan dengan
keras dan bahkan kasar. Mereka mengayunkan senjatanya
sambil mengumpat dengan kata-kata kotor.
"Hancurkan mereka jika mereka keras kepala," teriak
pemimpin gerombolan itu, "kita tidak usah cemas, bahwa
kawan-kawannya akan dapat menyusul sampai kemari.
Seandainya mereka menemukan jalan sampai ke tempat ini
juga akhirnya, maka matahari tentu sudah turun, sementara
kawan-kawannya y ang ada di sini telah m enjadi m ayat dan
makanan burung pemakan bangkai y ang banyak terdapat di
sini." "Jangan membual," geram Senapati yang memimpin
pasukan Sangling. "Kami adalah prajurit-prajurit. Janji kami
sebagai prajurit adalah, meny elesaikan tugas sebaik-baiknya
atau mati di peperangan."
"Persetan," sahut pemimpin gerombolan itu, "kalian
akan mati." "Tetapi seperti Kebo Rancak, kalian tidak akan dapat
melepaskan diri lagi," sahut Senapati itu.
Pemimpin gerombolan itu tertawa. Suaranya
menggelegar menggetarkan udara. Sementara itu orangorangnya
telah bertempur dengan kasarnya.
Betapapun juga kemampuan para prajurit Sangling,
namun mereka memang mulai terdesak semakin jauh dari
mulut lorong di celah-celah batu padas perbukitan itu.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senapati yang memimpin pasukan Sangling itu mulai
cemas. Bukan m encemaskan dirinya sendiri atau kematiankematian
y ang dapat terjadi pada prajuritnya. Tetapi yang
dicemaskannya adalah, jika gerombolan itu terlepas lagi dari
tangan mereka. Sementara itu prajurit Sangling yang datang
dari arah depan goa itu masih belum menyusulnya.
Tetapi jiwa keprajuritan y ang mengalir pada setiap orang
didalam pasukan Sangling itu masih mampu menahan
gerombolan itu untuk beberapa saat lamanya.
Namun dalam pada itu, pada saat gerombolan yang kuat
itu semakin mendesak, maka tiba-tiba dua orang prajurit
Sangling muncul dari celah-celah batu padas. Keduanya
adalah orang-orang yang terdahulu menembus celah-celah
batu padas di perbukitan itu.
"He, kami telah datang," berkata salah seorang dari
kedua orang itu. "Bagus," sahut Senapati Sangling, "marilah. Kami sedang
bermain pedang." Kedua prajurit itu termangu-mangu sejenak. Agaknya
dua orang itu tidak akan banyak berpengaruh. Tetapi yang
menggetarkan jantung pemimpin ger ombolan itu adalah,
bahwa kawan-kawannya pun akan segera menyusulnya.
Sebenarnyalah, paling sedikit satu kelompok dengan
kedua orang itu telah muncul berturut-turut. Dalam jumlah
yang semakin banyak, maka para prajurit itu langsung
menerjunkan diri ke dalam api pertempuran.
"Anak iblis," geram pemimpin gerombolan y ang
kemudian menjadi cemas melihat perkembangan keadaan.
Sambil berteriak keras dengan kata-kata kotor ia
memerintahkan orang-orangnya untuk memecahkan barisan
prajurit Sangling. Jika sekelompok prajurit dapat menembus
celah -celah batu padas, maka yang lain pun agaknya akan
dapat pula melakukannya. Namun pemimpin gerombolan itu ternyata telah
terlambat. Sejenak kemudian telah muncul pula prajuritprajurit
Sangling y ang lain, sehingga jumlahnya pun menjadi
semakin banyak, melampaui jumlah gerombolan yang sedang
mereka jebak itu. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi
semakin sengit. Para pemimpin gerombolan y ang putus asa itu
pun telah bertempur dengan kasarnya. Meskipun demikian,
mereka memang tidak akan dapat menembus pertahanan
prajurit Sangling, karena sebagian dari mereka harus berbalik
dan bertempur melawan prajurit Sangling y ang berhasil
mengejar mereka keluar dari daerah y ang dianggap sulit untuk
ditembus. Semakin lama maka pasukan Sangling pun menjadi
semakin lengkap. Karena itu, maka harapan gerombolan itu
untuk lolos pun menjadi semakin sempit. Bahkan akhirnya
mereka menyadari bahwa tidak ada jalan sama sekali untuk
keluar dari kepungan prajurit Sangling.
Senapati y ang sejak semula mendapat tugas untuk
menunggu itu pun telah berusaha untuk menghancurkan
gerombolan itu. Ia tidak lagi meneriakkan peringatan apapun,
karena ia menganggap bahwa kesempatan yang diberikan
sudah cukup luas bagi gerombolan itu. Tetapi gerombolan itu
sama sekali tidak menghiraukannya sehingga ia tidak m erasa
perlu untuk memperingatkan mereka sekali lagi.
Tetapi berbeda dengan Senapati itu, Senapati muda y ang
memimpin seluruh pasukan itu pun tiba-tiba saja berteriak,
"Meny erahlah kalian. Jika tidak, maka pasukan Sangling akan
benar-benar menghancurkan kalian."
Mendengar teriakan itu, Senapati y ang memimpin
pasukan y ang terdahulu bertempur itu pun berkata lantang,
"Aku sudah cukup memberikan peringatan kepada mereka.
Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukan. Bahkan
mereka telah menghina kemampuan prajurit Sangling."
Senapati muda y ang memimpin seluruh pasukan itu
mengerutkan keningnya, ia tidak menduga bahwa Senapati
bawahannya itu akan memberikan tanggapan atas
peringatannya. Namun Senapati muda itu m encoba mengerti
kemarahan Senapati y ang merasa terhina itu.
Tetapi Senapati itu tidak menjawab. Meskipun demikian
sebagai Panglima pasukan itu, m aka jika memang di antara
gerombolan itu ada y ang menyerah, m aka ia terikat kepada
peringatan yang telah diberikan.
Pemimpin gerombolan itu akhirnya memang merasa
bahwa mereka tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk
berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia mulai memikirkan untuk
menyerah saja. Tetapi sikap Senapati yang terdahulu bertempur itu
memang agak meragukan. Namun setelah mereka bertempur semakin lama,
pemimpin gerombolan itu pun menjadi semakin cemas akan
keadaan orang -orangnya. Satu-satu mereka jatuh dan
mencucurkan darah. Karena itu, maka ia pun kemudian telah mengambil
langkah y ang untung-untungan. Jika Senapati y ang datang
kemudian itu lebih berpengaruh, maka ia akan dapat
menyelamatkan sisa orang-orangnya meskipun mungkin
dirinya sendiri akan digantung.
Dengan demikian, maka sesaat kemudian, pemimpin
gerombolan itu pun telah meneriakkan aba-aba, "Lepaskan
senjata. Apapun yang akan terjadi."
Para pengikutnya masih tetap ragu-ragu. Namun
Senapati muda itu pun berteriak pula, "Aku masih memberi
kalian kesempatan. Atas nama pemerintah Sangling."
Perintah itu memang tegas. Namun Senapati yang sejak
semula berada di tempat itu memang merasa kecewa.
Meskipun demikian sebagai seorang prajurit, maka ia tidak
dapat membantah perintah Senapati dalam kedudukan yang
lebih tinggi. Sebenarnyalah, bahwa para pengikut ger ombolan itu
pun tidak lagi melihat kemungkinan lain. Merekapun segera
telah melemparkan senjata-senjata mereka dan bergeser saling
mendekat. Para prajurit Sangling pun telah mengepung mereka
semakin rapat. Namun agaknya mereka sama sekali sudah
tidak ingin melawan lagi.
Dengan demikian maka Senapati itu telah mampu
menyelesaikan tugasnya dengan hasil y ang jauh lebih baik dari
kegagalannya. Senapati itu m erasa bahwa ia telah menebus
kesalahan yang pernah dilakukannya sebelumnya.
Para pengikut gerombolan itu pun kemudian
dikumpulkan menjadi beberapa kelompok dengan penjagaan
yang kuat. Namun sebagian dari mereka telah mendapat
kesempatan untuk mengurus kawan-kawan mereka yang
sudah terlanjur tertusuk pedang. Baik y ang terluka, m aupun
yang terbunuh. "Kumpulkan mereka. Kita akan membawanya ke
Sangling," perintah Senapati itu.
Tetapi ternyata bahwa ada pula di antara para prajurit
Sangling yang terbunuh pula dalam pertempuran itu
meskipun jumlahnya terhitung sedikit sekali dibanding
dengan korban di pihak gerombolan y ang dapat mereka jebak
itu. Karena itulah, maka para prajurit Sangling pun telah
membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan y ang terluka
parah. Mereka tidak mau meny erahkan tubuh itu kepada para
tawanan. Para prajurit Sangling ingin memberikan
penghormatan kepada kawan-kawan mereka dengan
memanggul tubuh-tubuh y ang sudah semakin membeku itu.
Senapati itu pun tidak berlama-lama berada di tempat
itu. Setelah membenahi pasukannya dan mengatur
tawanannya, maka Senapati itu pun segera memerintahkan
pasukannya kembali ke pusat pemerintahan di Sangling.
Sepanjang jalan, iring-iringan itu mendapat perhatian
yang besar dari rakyat Sangling. Tindakan-tindakan tegas yang
dilakukan oleh Akuwu yang baru itu memang memberikan
ketenangan kepada rakyat Sangling, karena dengan demikian,
maka tidak akan sering terjadi lagi kerusuhan-kerusuhan yang
menggelisahkan. Meskipun gerombolan-ger ombolan y ang demikian
jarang sekali melakukan perampokan atau membuat
kerusuhan di Sangling sendiri, namun sikap mereka yang
kasar dan seakan-akan tidak terikat pada paugeran, membuat
orang-orang di sekelilingnya selalu dibay angi oleh kecemasan.
Meskipun orang-orang kasar itu tidak mengambil harta benda,
tetapi kadang-kadang mereka mengambil y ang jauh lebih
berharga, karena pernah terjadi, di antara orang-orang kasar
itu telah mengambil seorang anak gadis y ang meningkat
dewasa. Bagaimanapun ay ah dan ibunya menangisi, serta
gadis itu sendiri pingsan karenanya, tetapi orang-orang kasar
itu sama sekali tidak menghiraukannya.
Dan ternyata pada saat lain telah terjadi pula hal y ang
serupa di padukuhan yang lain.
Karena itu, maka langkah yang diambil dengan tegas
oleh Akuwu itu memberikan ketenangan Kepada rakyat
Sangling. Keberhasilan Senapati muda itu telah disambut dengan
gembira oleh para pemimpin Sangling. Akuwu sendiri
menyatakan selamat kepada Senapati muda y ang telah
membuktikan kata-katanya, bahwa jika ia mendapat
kesempatan sekali lagi, maka hasilnya akan lebih baik dari
yang terdahulu. Ternyata bukan saja lebih baik, tetapi ia benar-benar
telah berhasil. Ia telah menghancurkan ger ombolan itu
sehingga tidak akan mampu untuk bangkit kembali.
Namun keberhasilan itu justru membuat Akuwu
semakin y akin bahwa usahanya akan berhasil. Setelah
gerombolan-ger ombolan terbesar, termasuk gerombolan Kebo
Rancak dan gerombolan yang tinggal didalam goa yang
berjajar tiga itu, maka gerombolan-ger ombolan lain tidak lagi
terdapat kesulitan. Bahkan Akuwu telah memerintahkan
prajurit Sangling dalam satu saat untuk menghancurkan dua
buah gerombolan sekaligus. G erombolan y ang lebih k ecil dari
gerombolan sebelumnya. Langkah-langkah Akuwu itu telah menimbulkan
kepercayaan yang semakin tinggi kepadanya. Ternyata ia
bukan saja seorang y ang mempunyai wibawa yang tinggi,
tetapi Akuwu itu benar-benar memikirkan kesejahteraan
rakyatnya. Dari hari ke hari, maka Akuwu benar-benar telah
berhasil menguasai wilayahnya. Dengan rajin Akuwu
mempergunakan sebagian dari waktunya untuk melihat segala
sudut -sudut Pakuwonnya. Sebagai seorang Akuwu ia harus
mengenal semua tempat dan keadaan hidup rakyatnya.
Akuwu t idak segan-segan menemui rakyatnya y ang
hidup di tempat yang paling terasing pun dan berbicara
dengan mereka tentang kesulitan-kesulitan hidup yang mereka
alami. Akuwu tidak menjadi marah jika ia mendengar laporan
tentang hal-hal yang kurang baik. Justru Akuwu selalu
memerintahkan kepada semua bebahu di padukuhanpadukuhan
untuk memberikan laporan yang benar tentang
padukuhan mereka. "Jika yang aku dengar hanyalah hal-hal y ang baik, maka
laporan y ang demikian tidak akan memacu kita untuk bekerja
lebih keras dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang
disembuny ikan," berkata Akuwu kepada setiap pemimpin di
padukuhan-padukuhan. Pernyataan Akuwu itu bagi para Buyut dan bebahunya
merupakan satu sikap y ang terbuka. Namun dengan demikian
mereka menilai bahwa Akuwu memiliki kepercayaan yang
sangat besar kepada diri sendiri dan para pemimpin Sangling
yang lain. Namun dengan demikian, maka Akuwu Sangling itu
sedikit demi sedikit dapat mencari jalan keluar dari setiap
kesulitan, sehingga semakin lama k ehidupan di Sangling pun
menjadi semakin baik. Akuwu telah memimpin bahkan memberi cont oh kepada
rakyatnya untuk bekerja keras. Bendungan dan parit-parit
yang untuk waktu y ang lama dalam pemerintahan Akuwu yang
lama seolah-olah tidak pernah di singgung, telah diperbaiki.
Jalan-jalan y ang rusak telah bertambah rata. Gardu-gardu di
padukuhan-padukuhan pun menjadi bagaikan hidup di malam
hari. Sejalan dengan kehidupan yang semakin cerah di
Pakuwon Sangling maka di padepokan Suriantal pun rasarasanya
kehidupan menjadi semakin baik. Di padepokan itu
tidak lagi berjejal -jejal orang y ang menghuni barak-barak.
Sejak para tawanan meninggalkan padepokan, maka
padepokan itu pun rasa -rasanya menjadi lapang. Sementara
itu kerja di sawah dan pategalan pun menjadi semakin teratur
sehingga hasilnya pun menjadi semakin bertambah.
Sementara itu, orang-orang y ang sibuk memahat patung
itu pun dari hari ke hari nampak semakin mendekati
peny elesaian. Bentuknya telah terwujud, sehingga tinggal
menyempurnakan saja. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampak semakin
berbangga dengan patungnya y ang sedang diselesaikan itu.
Melihat bentuk y ang sudah berujud itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat y akin, bahwa patung itu akan menjadi patung
yang sangat baik. Sedangkan pecahan batu yang terlontar di
saat -saat para pemahat mengerjakan patung itu telah
dikumpulkan pula oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Pecahan-pecahan itu bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
anak Mahendra yang memang seorang pedagang batu-batu
berharga itu menganggap bahwa pecahan batu itu masih tetap
berharga. Dalam pada itu, hubungan antara padepokan itu baik
dengan Lemah Warah maupun dengan Sangling menjadi
semakin akrab. Baik dari Lemah Warah maupun dari Sangling.
kunjungan-kunjungan sering dilakukan untuk mengetahui
perkembangan padepokan itu.
Apalagi karena menurut perhitungan mereka berdua,
tidak lagi terdapat gangguan y ang berarti pada padepokan itu.
Sehingga dengan demikian m ereka akan dapat m eninggalkan
padepokan itu dengan tenang.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berpesan kepada mereka y ang tinggal di padepokan, agar
mereka tetap berhati-hati.


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikianlah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdua
telah m eninggalkan padepokan Suriantal untuk mengunjungi
kakaknya di Sangling. Kedatangan kedua adikny a itu disambut dengan gembira
oleh Mahisa Bungalan yang disebut Akuwu Sangling. Pada
saat -saat Sangling sedang tumbuh, maka Akuwu Sangling
mempunyai harapan kepada kedua adiknya itu.
Ketika keduanya telah diterima di istana Akuwu, maka
dengan nada tinggi Mahisa Pukat berkata, "Rumah kakang
Mahisa Bungalan menjadi sangat baik."
"Bukan rumahku," jawab Mahisa Bungalan, "ini rumah
rakyat Sangling. Aku hanya menempatinya saja."
" Ini istana Akuwu Sangling," berkata Mahisa Murti, "jika
kelak kau menjadi Akuwu di manapun, maka kau akan
mendapat istana pula seperti ini. Bukankah kita pernah berada
di istana Akuwu Lemah Warah."
Mahisa Pukat terseny um. Sambil mengangguk-angguk ia
menjawab, "Ya. Istana Sangling m emang termasuk besar dan
baik. Bahkan mungkin istana ini lebih besar dari istana di
Lemah Warah." Mahisa Bungalan pun tersenyum. Namun ia pun
kemudian bertanya, "Apakah ayah sudah lama meninggalkan
padepokan pada kunjungan terakhirnya?"
"Belum terlalu lama," jawab Mahisa Murti, "dalam
perjalanan dagangnya, ayah sering singgah. Meskipun yang
sering itu pun berjarak panjang."
"Tetapi bukankah ayah sudah tidak terlalu sering pergi"
Umurnya sudah semakin tua dan mungkin ayah sudah
menjadi jenuh dengan pekerjaan y ang dilakukannya sejak
muda," berkata Mahisa Bungalan.
"Kami sudah siap melanjutkan kerja ayah," berkata
Mahisa Pukat, "Kami sudah mempelajari bagaimana harus
menilai batu-batu berharga atau besi aji."
Mahisa Bungalan tertawa. Tetapi katanya, "Aku
mempunyai pikiran lain."
"Tentang kami?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya. Tentang kalian," jawab Mahisa Bungalan,
"sebagaimana kau lihat, Sangling kini sedang berkembang."
"Memang kami melihatnya," jawab Mahisa Murti.
"Sebenarnyalah bahwa kami, rakyat Sangling
memerlukan bantuanmu berdua," berkata Mahisa Bungalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun untuk sesaat keduanya tidak menjawab.
"Aku sendiri di sini," berkata Mahisa Bungalan, "kadangkadang
aku memerlukan kawan berbincang. Meskipun di sini
terdapat banyak Senapati dan para pemimpin y ang lain, tetapi
kadang-kadang aku tidak dapat berbicara sesuatu tentang
usaha untuk meningkatkan kemampuan para prajurit
Sangling. Jika aku bekerja sendiri, kecuali mungkin tenagaku
tidak akan mampu mencakup tugas itu, waktunya pun t entu
akan terlalu panjang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Keinginan kakaknya itu memang menarik. Tetapi
Mahisa Murti telah menjawab, "Bukan maksudku menolak
tawaran y ang sangat menarik itu. Tetapi untuk sementara
kami ingin tetap berada di padepokan. Patung kami itu hampir
selesai. Sementara itu kami masih tetap harus berjaga-jaga jika
ada pihak lain yang menginginkannya."
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Sementara
Mahisa Pukat berkata, "Maafkan kami. Tetapi jika patung itu
sudah selesai dan sudah berada di Singasari, mungkin kami
akan mempertimbangkannya lebih jauh."
Mahisa Bungalan memang menjadi kecewa. Tetapi ia
dapat m engerti bahwa kedua adiknya itu tentu merasa bahwa
tugasnya belum selesai. Apalagi mereka telah m embawa dua
orang prajurit Singasari untuk tinggal di padepokan itu,
sehingga tidak pantas jika justru prajurit-prajurit itu m ereka
tinggalkan. Namun demikian Akuwu Sangling itu berkata, "Menurut
penilaianku, kemampuan prajurit masih agak jauh dari
kemampuan prajurit Singasari. Demikian pula para
Senapatinya. Tetapi hal itu wajar sekali. Karena itu, maka ada
niatku untuk membangun kekuatan y ang memadai di
Sangling. Aku ingin menempa para prajurit dengan
kemampuan-kemampuan yang khusus. Tetapi kau dapat
membayangkan, sampai kapan aku akan dapat selesai jika aku
hanya sendiri, m eskipun secara bertahap sekalipun. Mungkin
aku akan dapat memilih sepuluh orang terbaik yang akan
dapat aku latih secara khusus untuk kemudian melatih
masing-masing sepuluh orang. Namun y ang sepuluh orang itu
tentu diperlukan waktu yang lama, karena aku mempunyai
tugas y ang bermacam-macam di sini. Berbeda dengan jika
kalian berada di sini. Kalian dapat secara khusus menempa
para prajurit tanpa terganggu dengan tugas-tugas lain yang
menyita banyak sekali waktu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Tetapi mereka tetap terikat pada batu hijaunya yang sudah
hampir selesai itu. Meskipun demikian Mahisa Murti pun berkata, "Kami
akan m emikirkannya. Jika patung itu sudah selesai, agaknya
banyak hal lain yang dapat kami kerjakan di luar padepokan
itu." "Aku mengerti," berkata Mahisa Bungalan, "selama ini
aku melangkah sesuai dengan kemampuan. Para Senapati aku
wajibkan untuk meningkatkan kemampuan prajuritprajuritnya.
Meskipun hasilny a sudah nampak, tetapi belum
memenuhi keinginanku yang sebenarnya. Tetapi dibandingkan
dengan masa-masa y ang lalu, tata keprajuritan Sangling sudah
banyak mendapat kemajuan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada dalam Mahisa Pukat berkata, "Ada keinginanku
untuk ikut terlibat ke dalam gerak keprajuritan. Mudahmudahan
tidak t erlalu lama kami akan dapat melakukannya."
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Baiklah. Pada
saatnya kau akan datang k embali ke Pakuwon ini. Kita akan
bersama-sama membangun agar Pakuwon Sangling dapat
segera menjadi Pakuwon y ang kuat dan besar sebagaimana
Pakuwon Lemah Warah."
"Menurut penglihatanku Sangling tidak kalah dari
Lemah Warah," berkata Mahisa Murti.
"Menilik ujud kewadagannya," berkata Mahisa
Bungalan, "tetapi isinya Sangling bukan apa -apa dibanding
dengan Lemah Warah. Akuwu Lemah Warah adalah seorang
Akuwu y ang matang dalam tugasny a. Agaknya ia adalah
seorang Akuwu yang temurun sejak ayah dan kakeknya,
sehingga sejak kanak-kanak ia sudah mengetahui apa yang
harus dikerjakan oleh seorang Akuwu. Sementara itu aku
menjadi Akuwu saat mulai belajar mengenal tugas-tugas
seorang Akuwu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Murti pun berkata, "Tetapi ada hal lain yang
membuat Sangling lebih lambat dari Lemah Warah sekarang
ini. Kau warisi Pakuwon ini dalam keadaan y ang sulit.
Meskipun nampaknya Sangling waktu itu kuat, tetapi agaknya
lapuk di dalamnya." "Ya. Setelah aku berada di dalam, maka aku melihat
kekurangan itu. Tetapi bukan salah orang-orang Sangling.
Mereka sudah m emberikan semua y ang m ereka miliki. Para
prajurit -pun telah melakukan y ang paling baik y ang dapat
mereka lakukan. Tetapi batas kemampuan mereka memang
tidak cukup tinggi untuk tataran seorang prajurit," sahut
Akuwu Sangling, "namun sekarang aku telah melihat banyak
kemajuan. Namun masih jauh dari yang aku harapkan."
"Tetapi perkembangan itu akan berlanjut," berkata
Mahisa Pukat, "lebih baik lam bat tetapi bergerak daripada
diam sama sekali." "Jika kalian ada di sini maka gerak itu akan menjadi
semakin cepat," berkata Akuwu Sangling.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menjawab.
Mereka mengangguk-angguk kecil. Namun mereka memang
masih belum mempunyai kesempatan itu.
Untuk lebih m ey akinkan kedua adiknya, maka Akuwu
Sangling telah membawa keduanya untuk melihat latihanlatihan
di sore hari. Seorang Senapati yang tengah
memberikan latihan khusus kepada pemimpin kelompok yang
ada dibawah pimpinannya. "Kau lihat," berkata Akuwu Sangling, "tataran itulah
yang baru dapat dicapai. Tetapi itu adalah satu kemajuan yang
sangat besar bagi Sangling dibandingkan dengan masa lewat."
Bukan tentang tingkat ilmunya, tetapi tingkat kesadaran
mereka untuk menempa diri sebagai seorang prajurit.
"Satu b ekal y ang sangat berarti," berkata Mahisa Murti,
"tanpa kemauan yang besar, maka tidak ada yang dapat
dicapai oleh seseorang."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Setelah
berbincang tentang berbagai hal y ang berhubungan dengan
Sangling. maka ternyata kedua adiknya itu telah mendapat
kepercayaan dari Kediri untuk ikut serta mengatasi kesulitan
yang ditimbulkan oleh sanak kadang Sri Baginda sendiri.
Namun u saha y ang untuk menarik perhatian adikadiknya
m emang berhasil meny entuh jantung mereka. Tetapi
keduanya tidak dapat m eninggalkan padepokan Suriantal itu
segera. Meskipun demikian Mahisa Bungalan berhasil menahan
kedua adiknya itu untuk tinggal beberapa hari di Sangling.
Yang beberapa hari itu ternyata telah dimanfaatkan oleh
Mahisa Bungalan. Ia telah memanggil dua puluh orang
perwira terpilih dari antara para Senapati Sangling.
"Ada waktu sepekan," berkata Akuwu Sangling kepada
para perwira itu, "kedua adikku mumpung berada di sini.
Pergunakan waktu y ang sepekan ini sebaik-baiknya untuk
mendapatkan petunjuk-petunjuk y ang paling mula dari ilmu
yang akan menjadi semakin rumit."
Akuwu Sangling telah m enempatkan dua puluh orang
perwira itu dalam satu barak khusus. Mereka tidak boleh
meninggalkan barak itu selagi mereka berada dalam masa
penempaan diri y ang hanya sepekan itu.
"Waktunya sangat sempit," berkata Akuwu, "mungkin
ilmu kalian memang tidak m eningkat dalam waktu sepekan
itu. Tetapi setidak-tidaknya kedua adikku akan dapat
meningkatkan wawasan kalian y ang dapat kalian pergunakan
sebagai bekal untuk meningkatkan ilmu kalian selanjutnya.
Kedua adikku hanya akan membuka selaraknya. Kalian
sendirilah yang harus berusaha membuka pintu dan masuk ke
dalamnya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m emang tidak dapat
menolak permintaan kakak mereka itu. Meskipun hal itu dapat
dilakukan sendiri oleh Mahisa Bungalan, tetapi y ang dilakukan
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu dalam sepekan secara
khusus dan tidak terputus, akan sama hasilny a dengan apa
yang dilakukan oleh Akuwu dalam waktu lebih dari dua bulan,
karena Akuwu tidak akan mungkin dapat meny isihkan
waktunya terlalu banyak. Jika dalam sehari Akuwu hanya
dapat menyisihkan waktunya setelah senja turun sampai
saatnya sirep uwong, maka waktu yang sempit itu tidak akan
banyak m emberikan arti. Sementara itu Akuwu sendiri t entu
sudah merasa letih oleh tugas-tugasnya, sehingga ia tidak akan
dapat memusatkan perhatiannya kepada pembajaan diri bagi
para Senapati itu. Demikianlah, maka tanpa tenggang waktu, dua puluh
orang Senapati telah berada di dalam barak khusus. Mereka
harus bersiap lahir dan batin untuk ditempa oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat y ang masih muda itu.
(Bersambung ke Jilid 48).
Jilid 048 MULA-MULA memang timbul perasaan janggal dari
para Senapati itu. Namun mereka tidak dapat melupakan
apa yang pernah dilakukan oleh kedua orang anak muda itu
di padepokan Suriantal. Beberapa orang di antara para
Senapati itu adalah mereka yang terlibat dalam penyerbuan
padepokan itu yang dipimpin langsung oleh Akuwu
Sangling yang lama. Merekalah saksi yang bukan saja
berada di arena yang sama, tetapi yang menyaksikan betapa
tinggi ilmu kedua orang anak muda itu.
Tetapi ternyata ada dua orang Senapati yang belum
pernah mengenal sendiri kemampuan kedua anak muda itu,
sementara mereka tidak terlalu percaya kepada ceritera
kawan-kawannya, ia pun justru menyalahkan kawankawannya
yang tidak melihat sendiri, tetapi justru yakin
akan kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Bagaimana aku dapat percaya kepada anak-anak itu"
berkata salah seorang Senapati itu.
"Aku melihat sendiri," berkata seorang Senapati,
"betapa tinggi ilmunya. Aku pun pernah ditawan di
padepokan itu dan atas kemurahan para pemimpin
padepokan itu, aku dan para tawanan yang lain telah
dibebaskan." "Kau ingin menjilat, justru karena kedua anak muda
itu adalah adik Akuwu yang sekarang" berkata kedua
Senapati itu. "Apakah kau tidak percaya kepada Akuwu?" bertanya
kawannya yang pernah menyaksikan ilmu Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. "Bukan begitu. Aku adalah prajurit yang setia. Aku
yakin akan kepemimpinan Akuwu yang sekarang. Tetapi
kedua anak muda itu adalah adik-adik Akuwu. Mereka
bukan Akuwu itu sendiri" jawab prajurit itu.
"Tetapi yang menempatkan mereka di sini adalah
Akuwu. Kebijaksanaannya dilakukan atas nama Akuwu itu
sendiri" jawab Senapati yang pernah menyaksikan
kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Baiklah. Terus terang aku ragu-ragu. Betapapun
tingginya kebijaksanaan seseorang, tetapi terhadap
saudaranya sendiri kadang-kadang ada sedikit kekaburan.
Mungkin kedua anak muda itu memang berilmu tinggi.
Tetapi aku belum pernah menyaksikannya" jawab Senapati
itu. "Jadi kau meragukannya?" bertanya kawannya yang
pernah menyaksikan kemampuan kedua adik Akuwu itu.
"Ya" jawabnya.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Baiklah. Aku akan mengusahakan agar mereka
membuktikan kemampuannya dengan memijit keningmu.
Hanya memijit. Sebab jika ia memukul, apalagi dengan
lambaran ilmunya, kau tentu akan mati dengan satu
ayunan." Senapati yang meragukan kemampuan kedua adik
Akuwu itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Bahkan katanya, "Kita akan melihat, apa yang akan
dilakukan selama sepekan."
Demikianlah maka dua puluh orang itu telah
memasuki latihan-latihan khusus yang berat. Sepuluh orang
di bawah bimbingan Mahisa Murti dan sepuluh orang di
bawah bimbingan Mahisa Pukat.
Namun kedua orang itu menyadari, bahwa
membimbing latihan-latihan bagi orang lain adalah tugas
yang berat. Mungkin seseorang memang memiliki
kemampuan yang tinggi. Tetapi belum tentu orang itu
mampu menularkan kemampuannya kepada orang lain.
Meskipun demikian, baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat telah berusaha sebaik-baiknya untuk
memberikan petunjuk-petunjuk tentang ilmu kanuragan
kepada para Senapati Sangling itu. Di samping petunjukpetunjuk
yang diperlukan, maka mereka pun telah
mengadakan latihan-latihan yang berat. Mereka setiap pagi
telah dibawa oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat keluar
dari kota Sangling. Menjelang terang tanah mereka telah
berlari-lari menuruni tebing-tebing sungai dan naik keatas
tanggul dan menyusuri lereng-lereng pegunungan.
Para Senapati itu tidak dapat mengelak. Mereka
memang mengeluh oleh latihan-latihan yang berat. Tetapi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri selalu ikut pula
bersama mereka, sehingga para Senapati itu merasa segan
untuk berhenti di tengah jalan betapapun mereka merasa
letih. Jika kemudian matahari terbit dan mereka telah
berada di barak khusus yang disediakan bagi para Senapati
itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah membawa
sepuluh orang masing-masing untuk memanaskan badan
sebelum mereka memasuki latihan-latihan yang sebenarnya.
Mereka kemudian memang mendapat istirahat sejenak.
Namun kemudian akan segera mulai dengan latihan-latihan
kanuragan yang berat. "Yang aku minta kalian lakukan sekarang adalah
kemungkinan-kemungkinan. Kalian harus
mengembangkannya sendiri kelak, sehingga mudahmudahan
akan berarti" berkata anak-anak muda itu kepada
para Senapati. Para Senapati itu telah mengikuti latihan-latihan
dengan sungguh-sungguh. Pada hari pertama mereka masih
belum tahu pasti, hubungan latihan-latihan yang mereka
jalani dengan memeras keringat itu dengan kemampuan
ilmu mereka. Namun pada hari kedua mereka mulai
mengerti, bahwa yang mereka lakukan itu sangat berarti
bagi tubuh mereka. Di hari berikutnya mereka memang
merasakan bahwa mereka sedang mematangkan landasan
ilmu yang justru telah mereka miliki. Dengan landasan
yang matang, maka mereka pun akan dapat mematangkan
ilmu mereka masing-masing.
"Itulah yang penting bagi kalian," berkata Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat kepada para Senapati, "aku
memang tidak akan memberikan unsur-unsur gerak yang
rumit bagi kalian untuk memahami ilmu yang aku miliki.
Tetapi dengan mematangkan landasannya, maka kalian
akan lebih memahami ilmu yang telah kalian miliki masingmasing
untuk kelak dapat kalian kembangkan."
Para Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka
memang merasakan keuntungan itu, meskipun tubuh
mereka di hari ketiga itu sudah bagaikan remuk.
Tetapi tekad dan kemauan merekalah yang membuat
mereka masih tetap bertahan.
Pada hari berikutnya. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memberikan beberapa peragaan ilmu kepada
para Senapati. Kedua orang anak muda itu telah bertempur
disaksikan oleh para Senapati. Mereka seakan-akan benarbenar
terlibat ke dalam pertempuran yang sengit. Mereka
benar-benar telah mengenai tubuh lawan masing-masing.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
mempergunakan tenaga wadag sewajarnya didukung oleh
sedikit peningkatan tenaga cadangan, namun dengan
demikian maka sentuhan-sentuhannya tidak terlalu
berbahaya. Sedangkan rasa sakit yang ditimbulkannya
masih mampu diatasinya. Pada hari yang keempat itu pula Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memberikan petunjuk-petunjuk untuk
membuka kemungkinan para Senapati itu mempergunakan
tenaga cadangannya. Untuk pertama kali mereka memang
harus mengadakan latihan-latihan pernafasan. Namun
kemudian menguasai urat-urat nadi dan otot-otot yang
menjalar di seluruh tubuh adalah permulaan dari usaha
untuk membuka tenaga cadangan di dalam diri.
Latihan-latihan di hari keempat memang merupakan
latihan yang sangat berat. Di saat malam turun dan
melewati wayah sirep uwong, mereka masih tetap
melakukan latihan-latihan sehingga menjelang tengah
malam. Namun pada saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menghentikan latihan itu, maka para Senapati itu rasarasanya
tidak lagi dapat beranjak dari tempatnya.
"Kalian mendapat kesempatan untuk mandi," berkata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun kemudian,
"Setelah makan, kalian harus berkumpul kembali. Waktu
kita tinggal sehari besok. Karena itu kita akan
mempergunakannya sebaik-baiknya."
Para Senapati itu saling berpandangan. Namun tidak
seorang pun yang berani mengelak. Apalagi mereka telah
menyadari bahwa apa yang mereka dapatkan itu sangat
berarti bagi diri mereka selaku seorang Senapati.
Karena itu seperti yang diperintahkan oleh anak-anak
muda itu. Setelah mereka makan, maka mereka pun telah
berkumpul kembali betapapun punggung mereka serasa
patah. Dalam kesempatan itu, Senapati yang meragukan
kemampuan kedua anak muda itu digamit oleh kawannya
sambil bertanya, "Apakah kau masih ingin mencoba
kemampuannya?" Senapati yang meragukan kemampuan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat itu berkata, "Aku mengagumi caranya
menempa diri. Tetapi keduanya belum menunjukkan
sesuatu yang membuat jantungku berhenti berdenyut,
sebagaimana pernah diperlihatkan oleh kakaknya, Mahisa
Bungalan." "Apakah itu perlu?" bertanya kawannya.
Senapati yang ragu-ragu itu merenung sejenak.
Namun ia-pun kemudian menggeleng. Katanya, "Tidak.
Bagaimanapun juga yang dilakukan ini sangat berarti bagi
kita semuanya." "Tetapi agaknya kau ingin sejenis pangeram-eram"
bertanya Senapati yang meragukan itu tidak menjawab.
Tetapi Senapati itu menjawab, "Tidak."
Kawannya tersenyum. Namun sebenarnyalah bahwa
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat belum menunjukkan
bahwa ilmu mereka benar-benar berada di luar jangkauan
nalar. Namun kawannya itu memang sudah melihat betapa
tingginya ilmu kedua anak muda itu.
Ternyata bahwa lewat tengah malam Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat telah berada kembali diantara para
Senapati itu. Para Senapati dan Mahisa Murti serta Mahisa
Pukat sendiri, malam itu sama sekali tidak akan tidur
barang sekejap pun. Mereka akan bertahan dengan latihanlatihan
yang berat. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang telah menyatukan rencana latihan-latihan mereka
berkata kepada para Senapati di kelompok masing-masing.
"Kita tidak akan tidur malam ini, besok dan malam besok."
Wajah-wajah menjadi tegang. Namun para Senapati
yang telah merasakan manfaat dari latihan-latihan yang
telah mereka lakukan itu berkata di didalam hati, "Jika
kedua anak muda itu dapat tahan, aku pun harus dapat."
Karena itu, maka para Senapati itu tidak mengeluh.
Mereka justru telah mempersiapkan lahir batin mereka
untuk menghadapi saat-saat latihan terakhir yang berat.
Namun dengan latihan-latihan yang telah mereka
lakukan, maka hati mereka memang seolah-olah terbuka.
Mereka mulai melihat makna tata gerak yang pernah
mereka pelajari. Jika sebelumnya mereka seakan-akan
hanya sekedar menirukan dari orang-orang yang
memberikan latihan kepada mereka, maka kemudian
mereka dapat mengerti kenapa hal itu dilakukan. Sehingga
dengan demikian meskipun mereka belum sempat berpikir
dengan sungguh-sungguh, namun mereka pun seakan-akan
melihat satu kemungkinan bahwa yang mereka lakukan itu
dapat mereka kembangkan untuk tujuan dan alasan yang
berbeda-beda. Dalam pada itu, di sisa malam itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah membawa kelompok masing-masing
untuk menempuh perjalanan di malam hari. Tidak dengan
mengerahkan kekuatan. Mereka berjalan saja seperti
mereka sedang melihat-lihat lingkungan Pakuwon Sangling
yang baru itu, meskipun dalam gelapnya malam.
Namun agaknya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
memang ingin menghabiskan sisa malam itu. Mereka
berjalan memutar-mutar, melalui bulak-bulak panjang,
melintasi pategalan dan lereng-lereng pegunungan.
Menyeberangi sungai-sungai dan menuruni lembah.
Betapapun letihnya para Senapati itu, namun mereka
terpaksa berjalan terus. Meskipun ada diantara mereka yang
berjalan dengan mata terpejam oleh kantuk yang hampir
tidak tertahankan. Namun jika mereka harus melintasi
pematang yang sempit atau menuruni lereng batu padas
yang terjal, maka mata mereka pun harus terbuka.
Ketika matahari kemudian terbit, betapapun besarnya
daya tahan para prajurit itu, namun rasa-rasanya kaki
mereka tidak dapat melangkah lagi. Meskipun demikian
mereka harus berjalan sampai ke barak.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian
memerintahkan agar para Senapati itu tidak masuk ke
dalam barak. Mereka harus tetap berada di halaman.
"Ingat," berkata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
kepada kelompok-kelompok Senapati yang menjadi
tanggung jawab masing-masing, "kita tidak akan tidur
semalam, hari ini dan nanti malam."
Para Senapati tidak menjawab. Namun mereka pun
kemudian telah tersebar di halaman dan serambi barak
mereka. Ketika juru masak menghidangkan air panas, maka
rasa-rasanya para Senapati itu mendapatkan titik-titik
kekuatan untuk mengisi kekosongan tenaga di dalam diri
mereka. Namun oleh kelelahan yang sangat, maka meskipun
para Senapati itu tidak masuk ke dalam bilik mereka
masing-masing, namun ada juga diantara mereka yang
tertidur sambil bersandar dinding. Ketika minuman panas
di tangannya tumpah sedikit di kakinya, maka ia pun telah
terkejut. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mempersilahkan para Senapati itu untuk mandi dan
berbenah diri. Setelah makan pagi dan beristirahat sejenak,
mereka akan melakukan latihan-latihan berikutnya.
"Apakah anak-anak itu tidak mempunyai jantung"
desis seorang Senapati yang sangat kelelahan.
"Mungkin mereka mengalami latihan-latihan seberat
ini ketika mereka menempa diri" berkata Senapati yang lain
sambil matanya separuh terpejam.
Mereka memang menjadi agak segar ketika mereka
kemudian makan pagi. Namun sejenak kemudian kantuk
pun semakin menjadi-jadi. Pada saat mereka beristirahat
setelah makan pagi, hampir semua orang telah tertidur
sambil duduk di serambi atau bersandar tiang barak, karena
mereka tetap tidak boleh masuk ke dalamnya. Meskipun
mereka diperbolehkan mandi, tetapi pakaian mereka sama
sekali tidak boleh berganti.
Ketika matahari mulai memanjat langit, maka latihanlatihan
pun akan segera dimulai. Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat akan membawa para Senapati itu ke tempat yang sepi
di luar lingkungan padukuhan-padukuhan di Sangling.
"Kita akan memasuki hutan" berkata Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. "Untuk apa?" tiba-tiba di luar sadar seorang Senapati
yang masih mengantuk bertanya.
Semua orang berpaling kepadanya. Sementara
Senapati itu sendiri terkejut mendengar pertanyaannya.
Namun Mahisa Murti menjawab, "Kita akan
memanfaatkan hari terakhir ini sebaik-baiknya." jawaban
itu membuat para Senapati semakin berdebar-debar.
Namun mereka tidak mempunyai banyak
kesempatan. Mereka pun segera berangkat meninggalkan
barak itu menuju ke daerah yang berhutan lebat.
Para Senapati itu memang menjadi berdebar-debar.
Hutan yang mereka tuju adalah hutan yang jarang sekali
disentuh oleh kaki manusia. Mereka tidak tahu apa yang
terdapat didalam hutan itu. Mungkin binatang buas,
mungkin jenis-jenis binatang yang tidak pernah mereka
kenal sebelumnya. Yang paling mengerikan adalah bukan
harimau atau serigala yang dapat mereka lawan dengan
pedang atau menghindar memanjat pepohonan. Tetapi
yang paling mereka cemaskan adalah ular-ular yang
beracun tajam. Namun ketika mereka berada di tepi hutan yang besar
dan lebat itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berhenti. Demikian pula para Senapati yang datang
bersamanya.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di tepi hutan itu di atas semak-semak dan ilalang
yang tumbuh hampir setinggi tubuh mereka, Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menunjuk ke arah hutan yang lebat itu.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Tatap
hutan itu. Hutan itu adalah satu ujud yang besar dan
mengerikan. Apalagi hutan ini agaknya memang belum
pernah ditempuh oleh manusia. Dihadapan hutan yang
besar ini, kita akan merasa terlalu kecil untuk
menaklukkannya. Tetapi kita harus meyakini diri kita
sendiri. Kita adalah manusia yang diciptakan oleh Yang
Maha Pencipta sebagai makhluk yang berderajad paling
tinggi. Kita diberi wewenang untuk menguasai dan
memanfaatkan alam. termasuk hutan ini. Kita harus dapat
menaklukkannya, meskipun kita tidak boleh bertindak
sewenang-wenang, karena hutan ini merupakan salah satu
jari-jari perputaran roda kehidupan. Jari-jari ini tidak boleh
terputus, sebagaimana kehidupan binatang dari segala jenis.
Memang terasa kengerian menyentuh jantung para
Senapati itu. Pepohonan raksasa, sulur-sulur yang
bergayutan, batang-batang pohon yang roboh silang
melintang, dahan-dahan yang merunduk rendah serta akarakar
yang bergelantung dari dahan-dahan yang berduri.
"Kita akan memasuki hutan itu," berkata Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, "kita harus dapat menunjukkan,
bahwa kita adalah orang-orang yang mampu mengatasi
segala kesulitan dihadapan kita. Di lambung kita ada
pedang. Seandainya kita bertemu dengan binatang buas,
maka kita akan dapat membunuhnya. Dua atau tiga ekor
harimau tidak akan menggetarkan bulu tengkuk kita. Jika
kita menghadapi lawan yang tidak akan dapat kita atasi,
misalnya sekelompok banteng yang jumlahnya lebih dari
jumlah kita, maka kita akan dapat memanjat pepohonan
yang tersedia dalam jumlah yang tidak terbatas."
Para Senapati itu saling berpandangan. Bahkan
seorang Senapati berkata, "Apa hubungannya dengan
peningkatan ilmu kita?"
"Apakah keduanya memberikan tuntutan tata gerak
dan unsur-unsur baru selama ini" Tetapi kita merasakan
manfaatnya" desis yang lain.
"Ya," jawab yang pertama, "Aku memang
merasakannya. Tetapi rasa-rasanya memang segan
memasuki hutan yang demikian lebatnya."
Percakapan mereka pun terputus ketika Mahisa Murti
berkata, "Marilah, kita menguji ketabahan hati kita. Hutan
ini bukan hutan yang asing bagi kalian, karena hutan ini
sudah ada disini sejak kalian belum dilahirkan. Hanya
karena kesombongan kalian, maka kalian tidak mau
memperkenalkan diri kepada hutan ini. Nah, sekarang kita
akan memasukinya dan berusaha untuk menjadi akrab
dengan hutan ini." Memang ada kecemasan diantara para Senapati itu
jika mereka dipatuk ular berbisa. Tetapi mereka tidak
mengatakannya. Demikianlah, maka sejenak kemudian maka para
Senapati itu pun mengikuti Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memasuki hutan yang lebat itu. Dengan
menyibakkan batang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu
mereka melangkah dengan ragu-ragu. Namun karena
mereka melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama
sekali tidak bimbang, maka mereka pun telah mengikuti
mereka pula. Pada langkah-langkah pertama mereka memang
sudah merasakan kesulitan. Mereka harus meloncati
batang-batang raksasa yang roboh. Kemudian merunduk
karena sulur-sulur yang pepat. Seorang Senapati terkejut
bukan kepalang ketika tiba-tiba saja ia melihat kepala seekor
ular terjulur hampir di wajahnya. Dengan pekik tertahan
Senapati itu bergeser mundur. Namun ular itu agaknya
menjadi terkejut dan marah. Hampir saja ular itu mematuk
wajahnya. Namun dengan tangkas Senapati itu ternyata
sempat mencabut pedangnya. Satu sabetan pedang telah
memutuskan leher ular yang sebesar pergelangan tangannya
dan bergayut pada sulur-sulur pepohonan.
Semua orang berpaling ke arahnya. Demikian pula
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ternyata keduanya
tersenyum, ia melihat bahwa para Senapati itu agaknya
menjadi semakin cepat mengambil sikap menghadapi
bahaya yang tiba-tiba. Namun keringat dingin telah membasahi tubuh
Senapati itu. Tetapi ia pun bersyukur, bahwa ternyata ular
itu tidak mematuk hidungnya.
Demikianlah maka mereka pun telah berjalan terus
diantara lebatnya pepohonan hutan. Gerumbul-gerumbul
liar yang berduri tajam, serta binatang-binatang berbisa
yang membuat mereka berdebar-debar.
Perjuangan yang paling berat diantara mereka adalah
keadaan alam itu sendiri. Bukan jenis-jenis binatang yang
terdapat di hutan itu. Sekali-sekali mereka memang melihat
sekelompok binatang yang berlari-larian di gerumbulgerumbul
yang pepat yang belum pernah mereka lihat
sebelumnya. Tiga orang Senapati yang berjalan di paling belakang,
tiba-tiba terkejut mendengar aum seekor harimau. Mereka
pun telah tertegun yang memandang di sekeliling mereka.
Tetapi mereka tidak segera dapat melihat harimau itu.
Namun tiba-tiba mereka mendengar gemerasak di atas
kepala mereka. Ketika mereka sempat mengangkat wajah
mereka, maka dilihatnya seekor harimau kumbang yang
hitam lekam meloncat menerkam salah seorang dari ketiga
Senapati itu. Tetapi Senapati itu cepat meloncat pula menghindar.
Dengan tangkasnya ia menyusup di bawah dahan yang
besar, yang tumbang melintang, sehingga harimau itu tidak
berhasil menerkam kepalanya.
Namun justru harimau itulah yang malang. Demikian
harimau itu menjejakkan kakinya di atas tanah, maka
hampir berbareng dua ujung pedang telah menusuk
lambungnya. Harimau itu meronta dan meloncat tinggi. Sebuah
diantara kedua pedang itu tidak tercabut. Sehingga pedang
itu ikut melenting pada tubuh harimau yang marah itu.
Namun ketika harimau itu jatuh ke tanah. Senapati
yang sempat berlindung itu telah menggenggam pedang
pula. Satu tikaman yang tepat menusuk pada harimau itu.
Terdengar aum yang dahsyat sekali. Harimau itu
hanya sempat menggeliat. Namun harimau itu pun
kemudian mati. Ketiga orang Senapati itu menarik nafas dalam-dalam.
Yang kehilangan pedangnya telah memungut pedangnya
kembali. Ternyata ia menusuk terlalu dalam pada lambung
harimau itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dan beberapa
Senapati yang lain tidak sempat berbuat sesuatu. Peristiwa
itu terjadi demikian cepatnya, sehingga mereka hanya dapat
menyaksikan, bagaimana ketiga orang Senapati itu
membunuh harimau kumbang yang hampir saja menerkam
kepala itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Meskipun demikian ada juga kecemasan di hati mereka.
Agaknya di hutan itu memang banyak sekali bahaya yang
harus diperhitungkan. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun kemudian sepakat untuk berada di depan dan di
belakang iring-iringan dari duapuluh orang Senapati itu.
Mereka merasa bertanggung jawab jika terjadi sesuatu atas
para Senapati yang sedang menempa diri itu.
Sebenarnyalah, di sepanjang perjalanan mereka
bermacam-macam kejadian telah menggetarkan jantung
mereka. Bahkan kadang-kadang membuat darah mereka
bagaikan berhenti. Namun ternyata para Senapati itu
mampu mengatasi segala kesulitan.
Dalam keadaan yang demikian, maka perasaan letih
dan kantuk bagaikan telah dilupakan. Para Senapati itu
dengan penuh kewaspadaan menelusuri pepatnya hutan
yang tidak pernah diambah kaki manusia. Bahkan sekalisekali
terasa kaki mereka terperosok ke dalam lumpur.
"Kita agaknya sudah dekat dengan rawa-rawa"
berkata salah seorang Senapati.
Kawannya mengangguk. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu. Dalam pada itu di paling depan Mahisa Murti tibatiba
memberikan isyarat bagi iring-iringan itu untuk
berhenti. Ternyata mereka sampai kepada sebuah sungai
yang tidak begitu besar, meskipun tebingnya agak terlalu
dalam. "Jangan terperosok masuk kedalamnya" berkata
Mahisa Murti. Tetapi mereka memang ingin melihat apa yang
terdapat di sungai itu. Ketika para Senapati itu termasuk
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjengukkan kepalanya,
maka mereka melihat agak baur diantara tetumbuhan di
tebing sungai itu. Tubuh-tubuh yang bergerak didalam air
yang tergenang. Agaknya air sungai itu mengalir lamban
sekali. "Buaya" desis Mahisa Murti.
Bulu-bulu tengkuk para Senapati itu meremang. Di
bawah mereka memang melihat beberapa ekor buaya yang
mondar-mandir didalam sungai yang membentuk sebuah
kedung. Bahkan di tepian yang berbatu-batu pun mereka
melihat beberapa ekor buaya yang nampaknya sedang
berjemur, meskipun panas matahari sebagian terhalang oleh
dedaunan. "Kita tidak usah menguji ketrampilan kita bermain
pedang dengan terjun ke dalam kedung itu" berkata Mahisa
Murti sambil tersenyum. Para Senapati itu tidak menjawab. Memang ada juga
diantara mereka yang tersenyum. Tetapi senyumnya
membayangkan kekhawatiran di dalam hati.
Demikianlah, maka mereka pun telah melanjutkan
perjalanan. Ketika mereka mendapatkan sebatang pohon
yang roboh menyilang sungai yang bertebing agak dalam
itu. maka Mahisa Murti pun telah melintas.
Beberapa orang Senapati memang merasa ragu. Tetapi
karena Mahisa Murti sudah lebih dahulu melintas, maka
mereka-pun mengikutinya pula. Jantung mereka memang
berdebaran ketika mereka tahu, bahwa di bawah batang
kayu yang melintang itu juga terdapat beberapa ekor buaya.
Namun akhirnya, kelompok para Senapati itu telah
melintasi sungai yang bertebing agak tinggi dan dihuni oleh
buaya-buaya liar yang mendebarkan.
Demikianlah, para Senapati yang dipimpin oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki hutan yang
lebat itu semakin dalam. Ternyata bahwa perjalanan itu
mempunyai arti yang sangat penting bagi para Senapati.
Mereka telah mendapat tempaan lahir dan batin. Sementara
itu mereka pun telah melatih diri untuk menahan lapar dan
haus, karena ternyata mereka tidak membawa bekal.
Lewat tengah hari, menjelang matahari turun, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memutuskan untuk
berhenti sejenak. Mereka beristirahat di bawah pohonpohon
raksasa diantara lebatnya pohon-pohon perdu.
Nyamuk hutan yang garang telah membuat kulit mereka
menjadi gatal. Bahkan beberapa jenis binatang kecil terasa
sangat mengganggu. Namun tiba-tiba saja seorang Senapati menjadi pucat.
Dengan gemetar ia melangkah tergesa-gesa mendekati
Mahisa Murti sambil mengacungkan tangannya.
Mahisa Murti memang terkejut. Demikian pula
Mahisa Pukat. Ternyata Senapati itu telah digigit oleh
seekor laba-laba biru, laba-laba yang beracun dan dapat
membunuh. "Jangan kau kibaskan" berkata Mahisa Murti.
"Tetapi, bagaimana?" suaranya menjadi gemetar.
Mahisa Pukat lah yang kemudian memungut dua
potong dahan kering. Dengan dahan kering itu Ia telah
menjepit dan membunuh laba-laba biru itu.
Tetapi Senapati itu dengan jantung yang berdeguban
bertanya, "Bagaimana dengan racunnya."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "jangan cemas."
Senapati itu tidak mengerti. Tetapi kemudian ia pun
telah menyadari, bahwa baik Mahisa Murti maupun
Mahisa Pukat mempunyai kemampuan untuk menawarkan
racun yang betapapun kuatnya. Karena itu, maka racun
laba-laba biru itu tidak akan membunuh Senapati yang
digigitnya. Dengan demikian maka para Senapati itu pun menjadi
semakin tenang. Mereka tidak lagi merasa ngeri terhadap
binatang-binatang berbisa.
Bahkan seorang Senapati mengatakan, bahwa kedua
anak muda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bisa
sejumlah binatang beracun yang berada di dalam batu yang
telah dibawa ke padepokan Suriantal.
Dalam pada itu, maka setelah matahari turun semakin
rendah, mereka pun telah meninggalkan tempat itu dan
kembali ke Sangling. Namun para Senapati menjadi cemas,
bahwa mereka tidak akan dapat mencapai tepi hutan
sebelum senja. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
dengan sengaja memperhitungkan waktu, bahwa mereka
akan kemalaman di hutan. Tetapi tidak berjarak terlalu jauh
dari tepi hutan itu. Ternyata perjalanan kembali itu pun tidak kalah
beratnya dengan saat-saat mereka berangkat. Apalagi
perasaan haus bagaikan mencekik leher.
Namun agaknya sulit untuk mendapatkan air yang
bersih di dalam hutan itu. Meskipun mereka melintasi
sebuah sungai, tetapi air sungai itu mengandung lumpur
dan apalagi banyak dihuni oleh buaya-buaya yang buas.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mula-mula tidak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhatikan hal itu. Namun akhirnya, mereka pun
mengerti, bahwa para Senapati itu hampir tidak tahan lagi
melawan haus. Mungkin mereka akan dapat mengatasi
perasaan lapar. Tetapi agak berbeda halnya dengan
perasaan haus. Karena itu maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah menunjukkan satu cara untuk mendapatkan air yang
bersih. Para Senapati itu diminta untuk memotong batang
rotan yang terdapat di hutan itu melilit pepohonan.
Ternyata dari batang rotan itu menitik air yang dapat
diminum. "Jika kita dapat menemukan ujungnya, maka dengan
memotong ujungnya air itu akan mengalir lebih deras"
berkata Mahisa Pukat. Ternyata bahwa pedang di lambung para Senapati itu
bukan sekedar senjata untuk berkelahi. Tetapi juga dapat
memberikan titik-titik air kepada mereka, sehingga dengan
demikian, maka perasaan haus pun dapat dikurangi.
Sebenarnyalah ketika mereka meniti batang pohon
yang menyilang diatas sebuah sungai yang berbahaya itu,
langit sudah dibayangi oleh warna merah. Hutan pun sudah
menjadi samar-samar, sehingga mereka harus sangat
berhati-hati. Jika seorang diantara mereka tergelincir masuk
ke dalam sungai itu, maka agaknya sulit untuk dapat
ditolong. Ketika malam menjadi gelap, maka yang tidak
terduga pun telah terjadi. Kelompok itu telah bertemu
dengan gerombolan anjing hutan yang tidak terhitung
jumlahnya. Meskipun para Senapati itu berpedang, namun
agaknya sulit bagi mereka untuk melawan sejumlah besar
anjing hutan di malam hari. Anjing yang hidupnya memang
bergerombol itu, seakan-akan tidak dapat dibendung sama
sekali. Mereka dapat menyerang dari segala arah tanpa
diduga sebelumnya. Apalagi jumlahnya memang tidak
terhitung. Dalam kegelapan maka tiba-tiba saja anjinganjing
hutan akan dapat menerkam tengkuk.
Untuk menghadapi bahaya yang melampaui
kemampuan para Senapati itu, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memang harus bertindak.
Untuk menghindarkan bahaya yang gawat bagi para
Senapati, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
minta para Senapati itu untuk membentuk lingkaran dan
berdiri menghadap keluar. Mereka harus berusaha
mempertajam penglihatan mereka di dalam gelapnya hutan
lebat. Ujung-ujung pedang mereka akan menyambut setiap
anjing hutan yang datang menyerang. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan berdiri di luar
lingkaran, justru agak terpisah.
Sejenak kemudian anjing-anjing liar itu mulai
menggonggong. Yang lain menyalak dan mengelilingi
lingkaran itu. Mulut anjing-anjing hutan itu menyeringai
memperlihatkan taring-taring yang tajam runcing.
Namun dalam gelap yang pekat, betapapun para
Senapati itu mempertajam penglihatan mereka, namun
mereka tidak dapat melihat terlalu jelas.
Tetapi para Senapati itu melihat ketika seekor anjing
tiba-tiba meloncat menyerang. Dengan garang anjing itu
menerkam ke arah seorang Senapati yang bertubuh tinggi.
Namun Senapati itu sudah siap. Ujung pedangnyalah
yang menyambut terkaman anjing hutan itu. Karena
kakinya yang terjulur ke depan, maka seolah-olah anjing
hutan itu telah membuka perut dan dadanya.
Karena itu maka sambil merendah. Senapati itu telah
menikam dada anjing yang meloncat menerkam itu.
Ketika pedang itu menembus dada anjing hutan itu,
maka anjing itu pun berteriak kesakitan. Tubuhnya
terdorong oleh kekuatan tusukan pedang dan terlempar
jatuh ke depan kaki Senapati itu.
Namun agaknya para Senapati itu pun mengerti sifat
binatang liar itu. Darah akan dapat membuat mereka
semakin liar. Karena itu maka dengan serta merta, anjing
yang terjatuh di depan kaki Senapati itu telah dilontarkan
sekuat-kuatnya, sehingga terlempar ke arah gerombolan itu
kembali. Ternyata darah anjing hutan itu telah memanggil
kawan-kawannya. Sebagian dari binatang itu telah berebut
bangkai kawannya sendiri. Namun yang lain masih juga
berusaha menyerang para Senapati.
Karena itu telah terjadi pertarungan yang tidak
sewajarnya antara sekelompok Senapati Sangling melawan
gerombolan yang besar dari anjing-anjing hutan.
Ternyata bahwa jumlah yang sangat banyak itu telah
membuat para Senapati menjadi sangat sibuk. Meskipun
para Senapati itu berusaha untuk membuang bangkaibangkai
anjing itu kepada gerombolannya untuk
menghambat gerak gerombolan anjing itu sendiri.
Yang berdiri terpisah adalah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka berusaha menarik perhatian anjinganjing
hutan itu. Dengan demikian maka mereka akan
mengurangi jumlah anjing yang akan menyerang para
Senapati yang berdiri dalam lingkaran itu.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun
berhasil. Segerombolan dari anjing-anjing hutan itu telah
mengepung mereka. Sementara itu Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berdiri saling membelakangi.
Meskipun gerombolan yang kemudian menyerang
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat cukup banyak, namun
keduanya sama sekali tidak menjadi cemas. Demikian
anjing-anjing itu bergerak mendekat sambil menyalak, maka
kedua orang anak muda itu telah mempergunakan ilmunya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu
mempergunakan ilmunya dengan ujudnya yang keras atau
ujudnya yang lunak. Namun untuk menghadapi anjinganjing
hutan itu, maka keduanya telah memilih
mempergunakan ilmunya dalam ujudnya yang keras.
Itulah sebabnya, maka ketika anjing-anjing itu mulai
menyerang, tiba-tiba saja terdengar lengking yang
mengerikan dari sejumlah anjing hutan yang terbakar oleh
panasnya ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sebagian dari anjing-anjing itu mati terbakar. Yang
lain sempat melarikan diri karena sengatan panas yang
tidak tertahankan. Lengking anjing-anjing liar yang kepanasan itu
ternyata mempengaruhi kawan-kawannya yang sedang
bergerombol menyerang para Senapati. Apalagi ketika
sebagian dari anjing-anjing itu telah terkapar mati. Ayunan
pedang yang berputaran sama sekali tidak memberi
kesempatan anjing-anjing itu menyentuh tubuh para
Senapati. Banyak diantara anjing-anjing liar itu yang terluka
dan berlari menjauh, sehingga akhirnya beberapa ekor
anjing yang tinggal tidak lagi berani menyalak.
Dengan demikian, maka anjing-anjing liar itu pun
akhirnya telah berlari meninggalkan sekelompok Senapati
yang semula disangka mangsa yang lunak dan segar.
Sebagian dari kawanan itu pun telah tergolek mati. Ada
yang tubuhnya dikoyak pedang, namun ada yang hangus
terbakar oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Ketika kemudian anjing-anjing hutan itu telah
melarikan diri, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menyiapkan pasukan kecil itu. Tidak seorang pun yang
mengalami cidera karena serangan anjing hutan itu,
meskipun mereka merasa kengerian yang mencengkam.
"Kita meneruskan perjalanan. Kita akan segera keluar
dari hutan" berkata Mahisa Murti.
Dengan susah payah, maka para Senapati itu pun
telah meninggalkan bangkai anjing yang terserak itu
semakin jauh. Dalam kelamnya malam mereka berusaha
untuk dapat keluar dari hutan.
"Jangan ada yang tertinggal" pesan Mahisa Pukat,
"usahakan agar kita semuanya tidak terpisah."
Para Senapati itu memang berusaha untuk tidak
terpisah yang satu dengan yang lain. Dengan segenap
kemampuan yang ada pada diri mereka, maka mereka
berusaha untuk dapat mengamati keadaan di sekitar
mereka. Kekayuan yang tumbang, pepohonan raksasa yang
bagaikan hantu-hantu malam berdiri mengerikan dihadapan
mereka, pepohonan yang silang melintang, serta sulur-sulur
berdiri tajam. Namun betapa mereka menempuh perjalanan itu
dengan susah payah, akhirnya mereka menguak pohonpohon
perdu terakhir di bagian hutan itu.
Terasa betapa nafas mereka bagaikan terbebas dari
himpitan yang menyesakkan. Ketika mereka
menengadahkan wajah mereka ke langit dan melihat udara
yang terbuka serta bintang-bintang yang tidak terlindung
oleh dedaunan, maka para Senapati itu pun telah menarik
nafas dalam-dalam. Seakan-akan udara di seluruh padang
perdu di luar hutan itu akan dihirupnya seluruhnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memberi kesempatan
kepada para Senapati itu untuk menghitung diri. Tetapi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak memberi
kesempatan kepada mereka untuk beristirahat.
"Jika kita beristirahat sekarang, maka kita akan lelap
dan kehilangan niat untuk menyelesaikan sisa kesempatan
yang ada" berkata Mahisa Murti.
Para Senapati itu tidak dapat membantah. Mereka
pun kemudian membenahi diri untuk melanjutkan
perjalanan kembali ke Sangling.
Seorang diantara para Senapati yang keletihan itu
masih sempat mengganggu kawannya, "Kau masih
meragukan kemampuan kedua anak-anak itu?"
"Persetan" desisnya.
Senapati yang mengganggu itu tertawa. Mereka
semua harus mengakui betapa tinggi ilmu kedua anak muda
itu, sehingga mereka berdua tanpa senjata tidak lumat
dikoyak-koyak oleh segerombolan anjing hutan.
Ketika kemudian angin malam menyentuh tubuhtubuh
yang basah oleh keringat itu, terasa betapa kulit
mereka menjadi pedih. Luka-luka yang tergores di kulit
mereka karena ujung-ujung duri yang tajam, atau kekayuan
yang patah, mulai terasa nyerinya menggigit sampai ke
tulang. Tetapi para Senapati itu berjalan terus.
Lewat tengah malam iring-iringan itu baru memasuki
kota Sangling. Satu perjalanan yang lambat. Bahkan hampir
tidak tercapai oleh beberapa orang diantara para Senapati
itu. Hati para Senapati itu menjadi sejuk bagaikan
tersentuh embun yang menitik di malam yang dingin itu
ketika mereka memasuki halaman barak. Namun sebelum
mereka memasuki bilik-bilik mereka, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun memanggil mereka untuk duduk di
halaman belakang barak itu berjajar.
"Kita masih mempunyai waktu" berkata Mahisa
Murti. Para Senapati itu saling berpandangan. Mereka telah
bertanya di dalam hati, "Apalagi yang harus kami
kerjakan?" Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berjalan selangkah
demi selangkah di seputar para Senapati yang duduk itu.
Baru kemudian Mahisa Murti itu pun berkata, "Marilah
kita mengucap syukur, bahwa kita dapat menyelesaikan
tugas kita masing-masing dengan baik dan rancak.
Kemudian kita mempergunakan kesempatan ini untuk
melihat ke dalam diri kita, seberapa jauh ilmu yang telah
kita miliki. Unsur-unsur apa yang ada di dalam ilmu kita
dan kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat kita
lakukan. Kita pun akan melihat manfaat dari latihan-latihan
dan penempaan diri yang telah kita jalani sepekan.
Mungkinkah kita membuka kemungkinan yang lebih luas
dari ilmu yang telah kita miliki untuk dikembangkan?"
Para Senapati itu mengerutkan keningnya. Kelelahan
yang sangat telah mencengkam diri mereka. Bahkan
kemudian terasa perut mereka menjadi lapar dan leher
mereka terasa kering. Namun mereka tidak menolak.
Demikianlah, maka mereka pun telah duduk dengan
tangan bersilang di dada. Demikian pula Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Ternyata bahwa setiap orang memang
merasa wajib untuk bersyukur kepada Yang Maha Agung.
Mereka telah menyelesaikan satu kerja besar yang akan
sangat berarti bagi masa depan mereka dalam kedudukan
mereka sebagai prajurit. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening. Para
Senapati yang sempat mengingat kembali apa yang terjadi,
terlebih-lebih saat-saat mereka bertemu dengan
segerombolan anjing hutan, benar-benar telah merasa
bersyukur kepada Yang Maha Agung, bahwa mereka masih
sempat meninggalkan hutan yang lebat itu dan selamat
sampai ke barak mereka. Para Senapati itu pun kemudian sebagaimana diminta
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempergunakan saat-saat yang masih tetap diliputi oleh
keheningan untuk melihat kembali ke dalam diri masingmasing.
Melihat kembali tataran ilmu mereka, unsur-unsur
yang dimiliki serta kemungkinan di masa datang.
Ternyata bahwa para Senapati itu seakan-akan telah
melihat pintu yang terbuka. Bukan hanya selaraknya.
Tetapi mereka melihat kesempatan untuk memperluas dan
mengembangkan ilmu mereka itu telah terbuka. Mereka
sudah memahami setiap unsur gerak yang ada pada ilmu
mereka, maknanya, gunanya dan bentuk kewadagannya.
Pada saat-saat keheningan itu, ternyata para Senapati
telah melupakan segala-galanya. Mereka dengan sepenuh
hati menghayati hubungan mereka dengan sumbernya dan
hubungan mereka dengan keberadaan mereka dalam
rangkuman sesamanya. Sehingga tanpa disadari maka mereka pun kemudian
telah merasakan sentuhan sinar matahari pagi.
Para Senapati itu pun terbangun ketika Mahisa Murti


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Mahisa Pukat kemudian memberikan isyarat, agar
mereka menutup masa-masa latihan yang berat. Mereka
masih mendapat kesempatan untuk mengendorkan segala
ketegangan dan kekerasan suasana yang mereka alami
selama sepekan. Dengan mengatur pernafasan maka rasa-rasanya para
Senapati itu telah melepaskan diri dari suasana yang
mencengkam selama sepekan. Namun dengan demikian,
maka segala perasaan letih, lelah dan pedih-pedih karena
goresan-goresan duri dan kekayuan, lapar dan haus,
bagaikan mulai merayapi diri mereka. Semakin lama
semakin mencengkam menggantikan segala macam
perasaan yang terutama di saat-saat terakhir menguasai diri
mereka ketika mereka memasuki hutan yang lebat.
"Nah," berkata Mahisa Murti kemudian, "segala
sesuatunya sudah selesai. Kalian dapat menutup masa-masa
pembajaan diri dengan mandi keramas. Kemudian, kalian
dapat pergi ke dapur untuk menyegarkan tubuh kalian yang
tentu akan menjadi lemah."
Para Senapati itu dengan tertatih-tatih telah bangkit
berdiri. Dengan sisa tenaga yang ada mereka pun telah
mengambil pakaian di dalam bilik masing-masing.
Bergantian mereka pun pergi ke pakiwan untuk mandi
keramas. Agaknya Mahisa Murti sudah mengatur segalagalanya.
Di bak telah disediakan air abu merang yang
biasanya dipergunakan untuk keramas. Cukup untuk dua
puluh orang. Sementara itu di dapur pun telah tersedia
minuman panas. Beberapa orang yang menunggu pakiwan yang masih
terpakai tidak membiarkan dirinya lebih lama lagi
kehausan. Mereka pun telah berada di dapur dan meneguk
minuman hangat yang memang sudah tersedia.
Rasa-rasanya darah mereka yang hampir membeku itu
pun telah mengalir kembali di seluruh tubuh ketika
minuman hangat itu mulai menyentuh bibir mereka.
Setelah semuanya mandi keramas, maka telah
disediakan pula makan yang hangat pula. Beberapa ekor
ayam telah disembelih khusus bagi duapuluh orang
Senapati itu. Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih berpesan agar mereka tidak kehilangan pertimbangan
nalar. "Jika kalian makan dan minum terlalu banyak, maka
akibatnya akan kurang baik meskipun kalian merasa lapar
dan haus sekali. Agaknya juga masih merupakan
pendadaran, apakah kalian dapat menguasai diri atau
tidak." Sebenarnyalah bahwa para Senapati itu pun mengerti,
justru dalam keadaan sangat lapar dan haus mereka tidak
boleh makan dan minum terlalu banyak.
Demikian para Senapati itu selesai makan dan
minum, maka semuanya, dua puluh orang yang ikut dalam
pembajaan diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu telah berada di dalam bilik mereka. Ternyata mereka
tidak lagi dapat bertahan terlalu lama. Justru setelah mandi
Vertical Run 1 Joko Sableng Muslihat Sang Ratu Misteri Bunga Noda 3
^