Hijaunya Lembah Hijaunya 32
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 32
keramas, makan dan minum, mata mereka menjadi
semakin lekat. Meskipun demikian, ada juga diantara mereka yang
tidak segera dapat tertidur. Mereka masih sempat
merenungkan apa yang telah mereka lakukan. Namun
akhirnya mereka pun telah kehilangan kesadaran diri ketika
mata mereka terpejam. Desah nafas yang teratur
menyatakan bahwa mereka telah tertidur pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah ikut
mandi dan keramas pula, tidak segera tertidur seperti para
Senapati. Mereka mempergunakan kesempatan untuk
menghadap Akuwu Sangling untuk memberikan laporan
tentang kedua puluh Senapati yang telah menempa diri itu.
"Terima kasih," berkata Mahisa Bungalan, "jika aku
sendiri yang harus melakukannya, mungkin aku
memerlukan waktu yang berlipat ganda. Mungkin jika
keadaan Pakuwon ini sudah mapan seperti Sangling, aku
mempunyai banyak kesempatan. Tetapi dalam keadaan
sekarang, waktuku rasa-rasanya sangat sempit."
"Sekaligus untuk menguji ketahanan tubuh kami
berdua kakang" berkata Mahisa Pukat.
Akuwu Sangling itu tersenyum. Katanya kemudian,
"Lewat tengah hari aku akan pergi ke barak itu. Aku akan
melihat keadaan para Senapati yang mengalami keletihan
yang sangat itu." "Silahkan," berkata Mahisa Murti, "sekarang, biarlah
mereka beristirahat. Agaknya mereka telah memaksa diri
untuk dapat sampai pada bagian terakhir dari latihanlatihan
ini." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Mungkin kalian berdua juga
memerlukan istirahat. Beristirahatlah di sini."
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeleng.
"Biarlah kami berada di barak bersama mereka"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah ia-pun sependapat dengan kedua adiknya,
bahwa mereka sebaiknya memang berada di barak, diantara
para Senapati yang kelelahan itu.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun kemudian telah kembali lagi ke barak dan seperti para
Senapati, maka keduanya pun telah berbaring pula.
Sebenarnyalah bahwa keduanya pun merasa letih seperti
para Senapati. Tetapi karena keduanya telah mengalami
latihan-latihan dan pembajaan diri yang sangat berat, maka
keduanya tidak nampak terlalu letih seperti para Senapati
yang untuk pertama kalinya mengalami. Meskipun mereka
telah terbiasa melakukan latihan-latihan yang berat sebagai
prajurit, namun latihan itu sama sekali tidak sebanding
dengan latihan-latihan yang baru saja mereka jalani
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ketika matahari melewati puncaknya, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah terbangun. Meskipun
mereka belum cukup lama beristirahat, tetapi bagi
keduanya, waktu yang sedikit itupun-telah memadai.
Setelah keduanya membenahi diri, maka mereka
mulai membangunkan para Senapati, karena menurut pesan
Akuwu Sangling, lewat tengah hari Akuwu akan pergi ke
barak. Sebenarnya para Senapati itu masih merasa sangat
segan untuk bangun. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memberitahukan kepada mereka, bahwa Akuwu
akan datang ke barak itu.
Sebenarnyalah bahwa Akuwu telah datang ke barak
itu, justru pada saat para Senapati masih belum siap
seluruhnya. Karena itu, maka para Senapati itu pun dengan
tergesa-gesa telah mempersiapkan diri untuk menerima
kehadiran Akuwu. Para Senapati itu pun kemudian telah bersiap di
halaman barak, sementara Akuwu berada di ruang khusus
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa orang
pengawal yang datang bersama Akuwu menunggu di regol
halaman barak itu. Ketika para Senapati sudah siap, maka Akuwu pun
telah menemui mereka di halaman barak.
Sekilas Akuwu melihat kelesuan di wajah para
Senapati itu. Agaknya sebagian dari mereka masih merasa
sangat letih, sehingga mata mereka masih terasa berat.
Namun sikap mereka sebagai prajurit telah membuat
mereka berdiri tegap ketika Akuwu mendekati mereka
seorang demi seorang. Dengan sikap seorang Senapati besar Akuwu Sangling
memperhatikan para Senapati itu. Sekali-sekali ia
menyentuh bahu seorang diantara para Senapati itu. Sekalisekali
mengguncangnya dan bahkan sekali-sekali ia
mendorongnya. Namun Akuwu pun itu pun kemudian menganggukangguk
sambil berkata kepada para Senapati itu, "Ternyata
kalian adalah orang-orang yang paling pantas untuk
menjadi benteng bagi Sangling. Apa yang telah kalian
lakukan telah memberikan kebanggaan bagi seluruh rakyat
Sangling." Para Senapati itu menjadi semakin mantap. Pujian itu
rasa-rasanya telah meningkatkan hasrat pengabdian.
Meskipun sebenarnya mereka tidak menginginkan pujian
atas tugas-tugas yang mereka selesaikan, karena itu
memang sudah menjadi kewajiban mereka. Namun pujian
yang tulus memang dapat menyentuh perasaan mereka.
Akuwu Sangling itu pun kemudian masih
memberikan beberapa pesan kepada para Senapati yang
baru saja menyelesaikan tugas mereka itu.
"Aku sengaja tidak sekedar menunggu kalian datang
melaporkan diri. Tetapi aku datang kepada kalian untuk
melihat sendiri keadaan kalian yang sangat letih setelah
mengalami pembajaan diri yang berat" berkata Akuwu.
Para Senapati itu mendengarkan semua pesan dengan
kesungguhan hati. Dalam pada itu Akuwu pun berkata pula, "Hari ini
kalian masih berada di sini bersama-sama dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Kalian masih akan dapat
memperbincangkan beberapa masalah dengan mereka.
Namun keduanya besok akan meninggalkan Sangling dan
kembali ke padepokan kecilnya yang sepi itu."
Para Senapati itu telah berpaling ke arah kedua anak
muda itu tanpa sadar. Rasa-rasanya hati mereka memang
berat untuk melepaskan mereka pergi.
"Nah," berkata Mahisa Bungalan, "hari ini adalah
kesempatan bagi kalian untuk yang terakhir. Meskipun
bukan berarti bahwa keduanya tidak akan pernah datang
lagi ke Sangling. Pada saat-saat yang senggang, maka kita
semuanya berharap keduanya akan sempat berada di antara
kita lagi." Para Senapati itu mengangguk kecil. Tetapi rasarasanya
kedua anak muda itu telah menjadi keluarga bagi
mereka. Akuwu masih berbicara beberapa lama lagi, sehingga
akhirnya Akuwu pun berkata, "Nah, kalian tentu masih
lelah. Aku kira aku sudah cukup melihat keadaan kalian
dekat dengan saat-saat kalian selesai menempa diri. Kalian
semuanya memang nampak agak kurus dan pucat. Tetapi
dari sorot mata kalian, aku melihat bahwa kalian memiliki
kemungkinan yang jauh lebih baik bagi masa depan.
Demikian pula Sangling."
Siang itu Akuwu telah makan bersama-sama dengan
para Senapati. Tidak seperti saat-saat para Senapati itu
makan setelah mereka menjadi sangat haus dan lapar,
sehingga justru sangat dibatasi. Tetapi siang itu mereka
mendapat kesempatan untuk makan seberapa mereka
inginkan. "Semakin banyak kalian makan, maka kekuatan
kalian akan semakin pulih kembali," berkata para pelayan
di dapur, karena itu, kalian harus menghabiskan semua
makanan dan minuman yang kami sediakan."
"Sst," desis seorang Senapati, "Akuwu makan
bersama kita. Mana mungkin kami akan makan sekehendak
kami." "Akuwu tidak memperhatikan kalian," jawab pelayan
itu, "Akuwu agaknya sedang menikmati masakanku yang
memang jarang ada tandingannya."
Senapati itu tersenyum. Katanya, "Masakanmu
memang jarang ada tandingannya. He, kau buat sayur apa
hari ini" Mirip dengan jamu cabe puyang."
Pelayan itu membelalakkan matanya. Tetapi Senapati
itu cepat berkata, "jangan marah. Bukan rasanya. Tetapi
akibatnya pada tubuhku yang letih. Hangat dan segar."
Tetapi pelayan itu tidak menjawab lagi. Sambil
mengerutkan dahinya ia pun meninggalkan Senapati itu.
Demikianlah Akuwu berusaha untuk meyakinkan
kepada para Senapatinya, bahwa apa yang telah mereka
lakukan itu akan memberikan banyak arti.
Setelah beberapa lama Akuwu berada di barak itu,
maka Akuwu Sangling pun telah minta diri. Namun ia
berpesan kepada kedua adiknya, bahwa sebelum mereka
meninggalkan Sangling, maka mereka diminta untuk
datang ke istana Akuwu. "Malam ini biarlah kami berada di barak," berkata
Mahisa Murti kepada kakaknya, "kami masih minta agar
para Senapati itu tetap berada di barak malam ini.
Meskipun saat-saat menempa diri itu sudah lewat, namun
mungkin masih ada yang perlu kami bicarakan. Sementara
itu, biarlah para Senapati mendapat kesempatan untuk
menyesuaikan diri mereka kembali dengan suasana seharihari
mereka." Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Datang sajalah besok pagi-pagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sejenak kemudian maka Akuwu Sangling itu pun
telah meninggalkan barak para Senapati itu diikuti oleh
beberapa orang pengawalnya kembali ke istana.
Sepeninggal Akuwu Sangling, para Senapati pun
kembali mendapat waktu beristirahat. Namun beberapa saat
kemudian, maka mereka pun telah bergantian pergi ke
pakiwan yang terdapat di beberapa tempat di halaman
belakang barak itu. Setelah mereka mandi maka tubuh
mereka pun menjadi segar.
Menjelang senja para Senapati itu masih berkumpul di
halaman barak. Mereka memang masih merasakan suasana
pembajaan diri yang berat. Namun ketika Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sikapnya sudah jauh berbeda dengan
saat-saat mereka mendapat tugas untuk menempa para
Senapati itu, maka para Senapati pun telah menyesuaikan
diri pula. "Kita masih sempat berbincang-bincang," berkata
Mahisa Murti, "meskipun kita tidak usah bersikap tegang."
Para Senapati menarik nafas dalam-dalam. Memang
ada beberapa hal yang akan mereka tanyakan. Namun para
Senapati itu harus menyesuaikan diri dengan sikap Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu.
Meskipun demikian, suasana itu tidak mengurangi
bobot pembicaraan mereka. Justru sikap Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu telah memberikan keleluasaan dan
kebebasan para Senapati untuk berbincang tentang banyak
hal. Terutama tentang kerja keras yang baru saja mereka
lakukan. "Kami mengharap bahwa dengan demikian kerja itu
akan ada gunanya" berkata Mahisa Murti.
"Tentu," sahut seorang Senapati yang kemudian
bertanya, "namun apakah untuk selanjutnya kami dapat
mengembangkan ilmu kami tanpa batas?"
"Apa maksudmu tanpa batas" Bukankah ilmu yang
kau kuasai itu sangat terbatas" Jika yang kau maksud tanpa
batas adalah kemungkinan-kemungkinan yang dapat kau
jangkau kemudian dengan perkembangan penalaranmu
terhadap ilmunya, memang demikian. Tetapi tentu ada
batasnya. Bukankah pada dasarnya nalar budi kita itu
sangat terbatas?" sahut Mahisa Murti.
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Mungkin angan-anganku yang melambung terlalu tinggi.
Aku mengerti." Mahisa Murti tersenyum, sementara itu Mahisa Pukat
pun berkata, "Pada dasarnya ilmu kalian tentu mempunyai
landasan yang berbeda-beda sebelum kalian menjadi
seorang prajurit. Namun dalam lingkungan keprajuritan
kalian mendapat pengetahuan baru tentang olah kanuragan.
Mungkin dalam hal perang gelar, kesatuan sikap dan
penalaran serta hal-hal yang harus diketahui bersama-sama,
sehingga setiap kesatuan prajurit dapat bergerak serempak.
Namun bukan berarti bahwa secara pribadi kalian tidak
diperkenankan memiliki bekal. Karena itu, maka yang kita
lakukan selama ini adalah mencari kemungkinan itu. Baik
secara pribadi maupun dalam kelompok dan kesatuan kita
masing-masing. Secara pribadi kalian akan mengenali
kembali unsur-unsur gerak yang pernah kalian kenal.
Kalian akan menilainya kembali. Bukan sekedar bentuk dan
ujudnya, tetapi isi dan makna dari setiap unsur gerak itu.
Kemudian berusaha menemukan perpanjangan dan
pengembangan dari makna yang ada di dalamnya untuk
menemukan unsur-unsur baru yang memiliki makna yang
serupa namun memiliki tingkat kekuatan yang lebih besar."
Para Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka pun
menjadi semakin jelas. Bahkan beberapa orang Senapati
telah berhasil melihat kembali apa yang ada di dalam diri
mereka masing-masing. Kemudian mulai membayangkan
nilai-nilai baru yang akan dicapainya. Meskipun seperti
yang dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa mereka
bukannya dapat berbuat tanpa batas, karena pada dasarnya
setiap orang penalaran dan budinya justru sangat terbatas.
Ternyata bahwa pembicaraan itu telah berkembang
pula. Para Senapati telah mengemukakan persoalanpersoalan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang belum dapat dipecahkannya sendiri dalam
renungan-renungan yang mereka lakukan sebelumnya.
Dengan demikian maka para Senapati itu pun telah
memanfaatkan kesempatan terakhir mereka berada bersama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Bahkan para Senapati itu pun telah memerintahkan
para pelayan di barak itu untuk memasang obor, agar
mereka tidak perlu berpindah tempat. Bahkan makan
malam pun mereka tetap berada di halaman.
Namun dengan demikian, mereka benar-benar merasa
bahwa kesempatan terakhir itu pun sangat berarti bagi
mereka. Dalam pembicaraan yang terasa lebih bebas daripada
saat-saat mereka melakukan penempaan diri itu ternyata
sangat menarik bagi para Senapati, sehingga mereka telah
melupakan waktu dan keletihan yang mereka alami.
Bahkan malam pun terasa berlangsung sangat cepat.
Sehingga para Senapati itu terkejut ketika mereka
mendengar kokok ayam jantan di tengah malam.
"Malam telah larut" berkata Mahisa Murti.
"Sayang sekali," berkata seorang Senapati, "ternyata
bahwa masih banyak yang akan kita tanyakan."
"Kalian dapat membicarakan diantara kalian," sahut
Mahisa Murti, "Tanpa kami, bukan berarti bahwa kalian
tidak akan mampu menemukan jawabnya."
Para Senapati itu pun kemudian mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Sebaiknya kita
beristirahat." "Sekaligus kami mohon diri," berkata Mahisa Pukat
pula, "besok kami akan meninggalkan barak ini dan bahkan
meninggalkan Sangling. Kami akan kembali ke padepokan
kecil kami, karena kami masih mempunyai tugas yang
harus kami lakukan di padepokan itu."
"Apakah sangat penting?" bertanya seorang Senapati.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Sama pentingnya
sebagaimana Kakang Akuwu berada di Sangling."
Para Senapati itu mengangguk-angguk. Sebagian dari
para Senapati itu memang pernah melihat padepokan
Suriantal. Karena itu maka mereka dapat membayangkan,
kenapa kedua anak muda itu ingin segera kembali ke
padepokan. Batu yang kehijau-hijauan itu memang dapat
mengundang orang-orang yang tamak untuk berusaha
memilikinya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah mempersilahkan para Senapati untuk kembali
memasuki bilik mereka. "Beristirahatlah, agar kalian besok sudah tidak merasa
letih lagi. Bukankah besok kalian sudah diperkenankan
kembali pulang" Dengan kehadiran Akuwu ke barak ini,
maka kalian telah dibebaskan dari kewajiban untuk
melaporkan diri setelah kalian menjalani penempaan diri.
Sehingga dengan demikian, maka kalian mulai besok dapat
menikmati hari-hari yang bebas dari segala tugas. Bukankah
kalian mendapat istirahat selama tiga hari?" bertanya
Mahisa Murti. "Ya," jawab salah seorang diantara para Senapati itu,
"Tetapi kami tentu tidak akan sempat mempergunakan
waktu yang tiga hari itu untuk beristirahat."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Rasa-rasanya kami tidak mau kehilangan hubungan
dengan saat-saat yang sangat berharga ini" jawab Senapati
itu. Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Mudahmudahan
kalian berhasil." Para Senapati itu hanya dapat menarik nafas. Namun
mereka memang ingin berbuat sesuatu terhadap ilmu yang
sudah mereka miliki. Dengan demikian, maka pertemuan itu pun segera
diakhiri. Para Senapati itu pun segera kembali ke dalam
bilik mereka masing-masing. Namun ternyata para Senapati
itu tidak segera dapat tertidur. Meskipun tubuh mereka
masih terasa letih, tetapi gejolak didalam jiwa mereka
mampu mengatasi keletihan itu.
Bahkan hampir semuanya telah menemukan satu
kesadaran yang sebenarnya bukan kesadaran baru karena
sebelumnya me-reka pun sudah mengetahui, bahwa
dorongan kejiwaan mereka akan sangat berpengaruh atas
daya dan kekuatan wadag mereka.
Namun yang telah terjadi atas diri mereka itu pun
rasa-rasa-nya merupakan peringatan atas mereka tentang
kesadaran itu. Namun demikian, tidak seorang pun dapat menolak
keterbatasan diri masing-masing. Baik kewadagan maupun
kejiwaan . Sehingga karena itu, maka para Senapati itu pun
akhirnya telah tertidur pula.
Pagi-pagi benar para Senapati itu sudah bangun.
Mereka tidak mau ketinggalan tanpa dapat melihat
kepergian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun
keduanya masih sangat muda, bahkan diantara para
Senapati itu tidak ada lagi yang semuda keduanya, namun
keduanya telah dianggap sebagai guru oleh para Senapati
itu. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pagi itu meninggalkan barak para Senapati yang selama
sepekan mengalami penempaan diri yang berat. Bagi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka yang dilakukan itu
bukan saja memberikan arti bagi para Senapati
sebagaimana diinginkan oleh kakaknya, tetapi juga berarti
bagi diri mereka sendiri.
Para Senapati yang telah mengikuti penempaan diri
itu telah mengantar keduanya sampai ke regol halaman
barak mereka. Bahkan ketika Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah meninggalkan pintu barak itu, mereka masih
berdiri sambil melambaikan tangan mereka.
Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
berpaling. Mereka pun merasa berat pula meninggalkan
para Senapati yang seakan-akan merupakan kawan berlatih
yang sangat baik, meskipun dengan cara yang khusus.
Namun mereka pun kemudian melangkah semakin
jauh dan hilang di kelok jalan.
Para Senapati yang ditinggalkan itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Satu-satu mereka bergerak masuk
kembali ke halaman barak dan bahkan ke dalam bilik
masing-masing. Barak itu menjadi tidak menarik lagi bagi
mereka, sehingga mereka pun segera berkemas karena
mereka pun akan meninggalkan barak itu pula.
Hari itu para Senapati yang mengikuti penempaan diri
itu pun kembali ke rumah masing-masing. Rasa-rasanya
mereka seperti kembali dari medan perang dengan
membawa kemenangan. Mereka melakukan penempaan
diri itu hanya sepekan. Tetapi rasa-rasanya mereka telah mempergunakan
waktu yang berlipat. Yang sepekan itu ternyata dapat
mereka manfaatkan sebaik-baiknya.
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, mereka memang tidak mempelajari unsur-unsur
gerak dari perguruan manapun juga selain beberapa contoh
yang diberikan oleh kedua anak muda itu. Atau pengenalan
ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunjukkan
kepada mereka satu peragaan pertempuran dalam tataran
ilmu yang tinggi. Namun yang mereka lakukan telah
membuka kemungkinan yang jauh lebih luas lagi bagi para
Senapati itu berlandaskan ilmu mereka masing-masing.
Ketika para Senapati itu sampai di rumah, maka para
keluarga mereka pun rasa-rasanya melihat perubahan pada
para Senapati itu dilihat dari ujud kewadagannya. Sebagian
besar dari mereka kulitnya nampak jauh lebih hitam dibakar
terik matahari. Sebagian besar pula diantara mereka
menjadi agak kurus. Tetapi setelah mereka beristirahat
semalam, maka mereka tidak kelihatan pucat lagi.
Bahkan keluarga mereka pun dapat melihat keletihan
yang membebani para Senapati itu.
Keluarga para Senapati itu pun ternyata telah
menyambut mereka sebagaimana mereka pulang dari
medan pertempuran. Isteri-isteri mereka pun telah
menyediakan minuman hangat dan menyiapkan makan
yang paling baik bagi suami-suami mereka yang pulang dari
masa penempaan diri yang sangat berat.
Namun ketika mereka kemudian makan siang, para
Senapati itu sempat menceriterakan dengan senyum di bibir
mereka, apa yang telah mereka dapatkan dari Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Bahkan masih juga terdapat kecemasan bahwa ada
beberapa pihak yang masih menginginkan batu yang
memang jarang diketemukan itu. Apalagi setelah menjadi
sebuah patung yang menarik.
"Kedua adik akuwu itu masih sangat muda," berkata
seorang Senapati kepada isterinya, "namun ternyata bahwa
mereka telah memiliki ilmu yang luar biasa. Keduanya
telah menguasai dan mampu menyerap dan
mempergunakan kekuatan yang terdapat di dalam alam
sekitarnya. Tenaga cadangan yang tidak terhitung besarnya
dan kecerdasan berpikir yang sangat tinggi."
Isteri-isteri mereka pun mengangguk-angguk
keheranan. Karena dengan demikian maka mereka pun
menganggap bahwa Akuwu tentu memiliki kemampuan
ilmu yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian maka
Sangling benar-benar telah diperintah oleh seorang yang
memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah berada di istana Akuwu Sangling. Mereka minta diri
untuk kembali ke padepokan mereka yang terpencil.
Keduanya merasa bahwa mereka telah terlalu lama
meninggalkan Suriantal. Rasa-rasanya mereka ingin segera
melihat, sejauh mana para pemahat menyelesaikan patung
batu hijau itu. Akuwu Sangling tidak berhasil menahan keduanya
untuk tinggal lebih lama lagi di Sangling. Karena itu, maka
kedua adiknya itu pun kemudian telah dilepaskan untuk
pergi. Namun Mahisa Bungalan itu pun masih juga
berpesan, "Tetapi aku minta sekali-sekali kau datang
kembali. Jika usahamu kali ini menunjukkan hasil yang
sangat baik, maka aku kira beberapa orang Senapati yang
lain akan dapat melakukan penempaan diri dengan cara
yang sama." "Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku akan dapat
datang lagi" berkata Mahisa Murti.
"Patung itu tidak lama lagi akan selesai. Kami akan
memberitahukan kepada kedua orang Akuwu yang banyak
berhubungan dengan kami. Akuwu Sangling dan Akuwu
Lemah Warah." sambung Mahisa Pukat.
Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Baiklah. Jika kalian memerlukan sesuatu,
katakanlah, sebagaimana aku memerlukan bantuanmu
menempa para Senapati itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk.
Sementara itu matahari pun menjadi semakin tinggi,
sehingga kedua anak muda itu segera mohon diri untuk
meninggalkan Sangling. Bagaimanapun juga, waktu yang sepekan itu berkesan
di hati kedua anak muda itu. Ketika mereka berkuda
menelusuri jalan-jalan yang menjadi semakin rapi, maka
mereka pun masih juga membicarakan usaha mereka untuk
membuka kemungkinan para Senapati meningkatkan
kemampuan mereka. Sebenarnyalah bahwa para Senapati yang mendapat
kesempatan bersama-sama dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat menempa diri itu tidak dapat
mempergunakan hari-hari istirahat mereka sepenuhnya.
Mereka masih dipengaruhi oleh usaha yang keras yang
mereka lakukan selama menempa diri. Rasa-rasanya
mereka tidak ingin pintu yang telah terbuka itu tertutup
kembali. Karena itu justru selama waktu-waktu istirahat itu
telah dipergunakan oleh para Senapati itu untuk
mempertegas ujud dari ilmu mereka masing-masing.
Memberikan arti dari setiap unsur gerak sesuai dengan
perhitungan dan pertimbangan yang lebih masak.
Hubungan antara gerak dan dorongan dari dalam diri
mereka. Mereka tidak lagi bergerak karena mereka telah
diperkenalkan kepada gerak itu tanpa mengetahui
maknanya. Karena itulah, maka dalam saat-saat beristirahat itu,
sebagian besar waktu dari para Senapati itu justru
dipergunakan untuk berada di dalam sanggar. Namun
usaha itu bukannya tidak ada hasilnya. Para Senapati yang
memanfaatkan saat-saat pintu pengembangan ilmu mereka
terbuka, maka mereka telah mempergunakan sebaikbaiknya.
Dengan demikian, maka kemampuan para Senapati
itu-pun telah meningkat dengan cepat. Usaha mereka untuk
membangunkan tenaga cadangan dan kemudian
meningkatkannya, serta kemampuan mereka bermain
senjata. Ketrampilan mereka memang menjadi sangat
mengagumkan dibandingkan dengan saat-saat mereka
belum menempa diri dengan keras.
"Aku tidak mau membiarkan pintu yang terbuka itu
tertutup kembali sebelum aku lewati" berkata seorang
Senapati kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang sudah mendekati padepokan mereka pun tibatiba
terpikir pula untuk melakukan hal yang sama
sebagaimana mereka lakukan di Sangling atas para
penghuni padepokan kecilnya, sehingga dengan demikian
maka padepokan Suriantal itu akan menjadi padepokan
yang kuat. Meskipun yang menghuni padepokan itu bukan
lagi orang-orang Suriantal yang utuh.
"Kita dapat mencobanya" berkata Mahisa Murti.
"Tempat di sekitar padepokan itu mempunyai
kemungkinan yang lebih baik daripada Sangling " sahut
Mahisa Pukat. "Kita akan mencobanya. Kita akan memilih duapuluh
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang terbaik diantara mereka. Tidak hanya sepekan, tetapi
kita mempunyai waktu yang lebih luas" berkata Mahisa
Murti pula. "Tetapi kita harus berbuat sesuatu sehingga terjadi
semacam pacuan yang berat atas mereka yang menempa
diri itu" desis Mahisa Pukat kemudian.
"Aku setuju. Kita akan menempa mereka dengan
keras selama sepekan. Kemudian setelah sepuluh hari
beristirahat dan berusaha meningkatkan kemampuan
mereka masing-masing sesuai dengan tangkapan mereka
atas penempaan diri itu, kita akan mulai lagi dengan usaha
berikutnya atas orang yang sama," sahut Mahisa Murti.
Lalu katanya pula, "Jika kita sempat mengulanginya
sampai tiga kali, maka setidak-tidaknya mereka akan dapat
membantu kita mempertahankan padepokan ini jika terjadi
sesuatu kelak." Keduanya pun kemudian mengangguk-angguk.
Ternyata apa yang mereka lakukan di Sangling akan dapat
memberikan arti pula bagi padepokan mereka.
Demikianlah, maka ketika keduanya memasuki regol
padepokan, terasa bahwa mereka memang kembali ke
rumah mereka sendiri setelah mereka berada di Sangling
untuk beberapa hari. Apa yang mereka lihat, memang jauh
berbeda dari apa yang nampak di istana kakaknya. Tetapi
yang jauh lebih sederhana itu rasa-rasanya telah membuat
hati keduanya menjadi sejuk. Apalagi karena sambutan
yang ramah dan cerah dari seisi padepokan itu.
"He, aku kira kau tidak kembali lagi kemari dan
meninggalkan batu itu bersama kami yang jauh-jauh kau
panggil kemari." Mahisa Murti dan. Mahisa Pukat tersenyum. Namun
senyum itu menjadi semakin lebar ketika mereka melihat
patung yang benar-benar sudah hampir siap itu.
"Bagus sekali" di luar sadarnya Mahisa Pukat
memuji. "Apa yang bagus?" bertanya prajurit Singasari yang
juga pemahat itu. "Patungmu" jawab Mahisa Pukat.
"Terima kasih atas pujian itu," desis pemahat itu
sambil berpaling kepada kawan-kawannya yang
mengerjakan patung itu, "Kita mendapat pujian. Namun
sebenarnya bagi kita akan lebih berarti menyembelih empat
ekor ayam dan masing-masing kita mendapat seekor."
"Hanya itu?" bertanya Mahisa Murti.
Pemahat itu tiba-tiba berpikir. Lalu katanya, "Bukan
hanya itu. Kami memang terlalu mementingkan diri sendiri.
Lebih baik menyembelih seekor lembu. Kita seisi
padepokan ini akan ikut andrawina."
"Bukan satu hal yang mustahil," berkata Mahisa
Murti, "jika nanti patung itu siap, kita akan menyembelih
seekor lembu." "Kau berkata sesungguhnya?" bertanya pemahat itu.
"Aku berkata sesungguhnya" jawab Mahisa Murti.
Pemahat itu tiba-tiba bertepuk tangan. Kawankawannya
yang ikut memahat itu pun bertepuk tangan pula.
Bahkan kemudian orang-orang yang ada di sekitar tempat
itu pun bertepuk tangan pula.
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah kembali ke dalam kehidupan padepokan yang sepi
namun terasa lebih tenang daripada di Sangling yang riuh.
Keduanya telah merencanakan untuk benar-benar
mewujudkan pikiran mereka tentang penempaan diri yang
akan memberikan banyak arti bagi padepokan itu.
"Setidak-tidaknya bagi kita berdua" berkata Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Kita sendiri memerlukan latihan-latihan seperti itu."
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesagesa
melakukannya. Mereka menunggu barang dua tiga
pekan setelah mereka berdua beristirahat dan kembali
menghayati kehidupan yang tenang di padepokan itu.
Namun dalam pada itu, kehidupan keprajuritan di
Sang-ling pun menjadi semakin bergelora. Duapuluh orang
yang pernah melakukan penempaan diri itu adalah
Senapati-senapati terbaik di Sangling yang memegang
jabatan-jabatan tertinggi. Dengan demikian maka mereka
akan mendapat kesempatan untuk membimbing para
prajurit Sangling dengan laku yang keras meskipun tidak
sepenuhnya sebagaimana mereka lakukan.
Di samping tugas-tugas yang dilakukannya dengan
bersungguh-sungguh, maka para Senapati itu masih selalu
berusaha untuk meningkatkan diri. Mereka telah membuat
satu lingkaran latihan diantara mereka. Sehingga dengan
demikian maka kemampuan dan ketrampilan mereka pun
menjadi semakin meningkat.
Sementara itu ketika mereka dipanggil menghadap
Akuwu Sangling, mereka pun telah mendapat perintah
untuk menyempurnakan diri sejauh dapat mereka lakukan.
"Memang tidak ada yang sempurna di permukaan
bumi yang terbentang ini," berkata Akuwu Sangling, "tetapi
setidak-tidaknya kita dapat berusaha membuat lebih baik
dari yang sudah ada pada diri kita."
Para Senapati itu menundukkan kepala. Tetapi
mereka mendengarkan setiap kata Akuwu itu dengan
bersungguh-sungguh. Dalam pada itu Akuwu itu pun berkata selanjutnya,
"agaknya kalian sudah menyadari, bahwa peningkatan
kemampuan kalian itu tidak akan kalian miliki sendiri.
Kalian yang bertugas untuk membina susunan keprajuritan
serta peningkatan kemampuan para prajurit itu secara
pribadi, mempunyai kewajiban untuk melimpahkan
kemampuan dan ketrampilan kalian kepada para prajurit
meskipun dengan cara berjenjang. Tetapi aku tidak akan
memerintahkan kalian untuk melakukannya dengan
tergesa-gesa. Kalian mempunyai waktu untuk mencapai
satu kesepakatan, apa yang sebaiknya kalian lakukan, agar
apa yang kemudian ditentukan benar-benar akan berarti dan
tidak simpang siur. Setiap langkah yang kalian ambil harus
sejalan, sehingga tidak menumbuhkan kebingungan
diantara para prajurit. Karena itu, kalian mempunyai waktu
untuk menyusun satu rancangan langkah-langkah yang
akan kalian ambil bagi pembinaan kekuatan di Sangling.
Jika perencanaan itu kalian susun sebaik-baiknya dan cukup
masak, maka pelaksanaannya pun akan berlangsung dengan
baik, sementara itu, kalian masih dapat mematangkan pula
bahan-bahan yang kalian perlukan."
Para Senapati itu pun menyadari, bahwa perintah itu
adalah cara yang paling baik untuk meningkatkan
kemampuan para prajurit di Sangling dengan teratur dan
berencana. Sehingga dengan demikian maka tahaptahapnya
akan dapat jelas diamati dan dipertimbangkan
hasilnya. Dengan demikian maka para Senapati itu berusaha
dengan sebaik-baiknya untuk melakukan tugas yang
dibebankan kepada mereka, sejalan dengan kedudukan
mereka. Dalam waktu-waktu tertentu yang disepakati, di selasela
tugas mereka, maka para Senapati itu selalu
berkumpul. Mereka mencoba menilai hasil kerja keras
mereka bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam
hubungannya dengan usaha mereka untuk menyusun
rencana pembenahan pasukan Sangling dalam keseluruhan.
Setelah bekerja keras dan memerlukan waktu yang
cukup, maka para Senapati itu telah berhasil menyusun
rancangan yang masak untuk melakukan pembinaan bagi
para prajurit Sangling dari segala tataran, menurut jenjang
yang bersusun. Ketika rencana itu kemudian diajukan kepada
Akuwu, maka Akuwu tidak terlalu banyak membenahinya.
Rencana yang disusun oleh para Senapati itu ternyata
cukup cermat, apalagi karena para Senapati itu menyusun
didasari dengan pengalaman mereka yang cukup luas serta
kerja keras meskipun hanya sepekan.
Dengan perintah Akuwu, maka rencana itu telah
dapat di-trapkan di Sangling. Dengan demikian, maka
mulailah satu babak baru bagi tata keprajuritan di Sangling.
Latihan-latihan telah dilakukan dengan lebih keras dan
keterikatan yang lebih ketat. Meskipun tidak sekeras yang
dilakukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun para
Senapati itu mempunyai waktu yang lebih banyak, sehingga
dengan demikian maka usaha Sangling untuk
meningkatkan kemampuan para prajuritnya, perlahan-lahan
dapat dilakukannya. Namun ada di luar perhitungan Akuwu Sangling,
bahwa di satu tempat, sekelompok orang telah menyusun
kekuatan pula. Keluarga Akuwu Sangling yang lama,
ternyata benar-benar tidak dapat menerima kenyataan
tentang pergeseran kekuasaan dari darah keturunan sampai
kepada Akuwu yang telah kehilangan haknya dan bahkan
nyawanya itu. Karena itu, maka mereka berusaha untuk membalas
sakit hati karena kekuasaan Akuwu telah berpindah kepada
aliran darah yang berbeda.
Dengan mempergunakan sisa pengaruh yang ada,
maka mereka dengan sengaja mengobarkan kebencian
terhadap pimpinan pemerintahan yang baru.
Betapapun juga usaha Akuwu Sangling yang baru
untuk memperbaiki tata cara pemerintahan, kesejahteraan
rakyatnya dan kerja keras bagi kebesaran Pakuwon
Sangling, namun mereka yang ingin membalas dendam itu
pun masih saja mendapat bahan untuk mencela dan
mengobarkan kebencian. Ada saja yang dapat disebut lebih
buruk dari masa pemerintahan akuwu yang lama.
Dengan demikian, maka orang-orang yang dibakar
oleh dendam itu masih juga berhasil mengumpulkan
sekelompok orang Sangling sendiri untuk melawan Akuwu
yang baru. Namun mereka ternyata dapat juga
berhubungan dengan gerombolan-gerombolan di luar
Pakuwon. Ternyata bahwa diantara keluarga Akuwu Sangling
yang lama itu, ada juga yang mampu mengatur kelompok
yang berhasil mereka pengaruhi itu. Orang-orang itu
dengan cermat tengah mengatur satu gerakan yang akan
dapat mengguncangkan ketenangan Sangling yang sedang
tumbuh itu. Namun yang tidak disadari oleh orang-orang yang
menentang kenyataan yang terjadi di Sangling itu adalah,
bahwa Sangling telah berhasil membenahi diri.
Meskipun orang-orang itu mendengar dan bahkan
pernah melihat latihan-latihan yang diadakan oleh
Sangling, namun mereka menganggap bahwa yang
dilakukan itu sekedar menetapi kewajiban.
Demikianlah, maka orang yang mengendalikan
gerakan itu benar-benar yakin bahwa pada saatnya ia akan
dapat merebut kembali kedudukan yang terlepas dari darah
keturunannya. "Aku adalah sepupu Akuwu Sangling dari darah
keturunan laki-laki" setiap kali orang itu menggeram.
Sementara itu, beberapa orang-memang masih
percaya kepada Ki Jayaraja. Seorang yang dianggap
memiliki ilmu yang tinggi, pengetahuan yang dalam, dan
wawasan yang jauh. Sementara itu hubungannya yang luas
telah memungkinkannya untuk berhubungan dengan
beberapa pihak. Ternyata bahwa kawan-kawannya telah bersedia
membantunya, menegakkan kembali kekuasaan darah
Akuwu Sangling. Apalagi mereka yang merasa pernah
berhubungan dan mendapat keuntungan daripadanya.
Ternyata bahwa kumpulan kelompok-kelompok yang
dapat dipengaruhinya itu semakin lama memang menjadi
semakin kuat. Apalagi ketika pengaruhnya berhasil
menyusup ke Kabuyutan Bapang. Ternyata orang-orang
Kabuyutan Bapang terlalu mudah untuk dibakar hatinya.
Meskipun sebelumnya mereka menganggap bahwa sikap
Akuwu yang baru terlalu baik terhadap mereka, tetapi
ketika api dinyalakan diatas sekam yang masih teronggok di
dalam hati mereka, maka api itu pun dengan cepat
membakar. Sampai beberapa lama rencana yang disusun dengan
tertib itu tidak tercium oleh prajurit Sangling. Namun
beruntunglah, bahwa Jayaraja pun tidak menyadari, bahwa
para Senapati baru saja melakukan penempaan diri.
Seandainya Jayaraja bergerak pada saat para Senapati itu
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di hutan,
maka mungkin Sangling akan mengalami kesulitan.
Namun setelah itu, Sangling justru menjadi semakin
kokoh. Dengan tertib dan berencana Sangling
meningkatkan kemampuan para prajurit. Meskipun cara
yang ditempuh oleh para prajurit Sangling tidak terlalu
menarik perhatian, namun hasilnya cukup memuaskan.
Tetapi betapapun cermatnya Jayaraja mengatur
gerakannya, namun akhirnya, serba sedikit telah tercium
pula oleh para petugas sandi bahwa telah timbul satu
gerakan yang perlu mendapat perhatian.
"Bukan sekedar sebuah gerombolan yang melakukan
perampokan dan membuat kerusuhan sebagaimana yang
selama ini telah kita bersihkan. Tetapi satu kekuatan yang
tersusun rapi untuk melawan kekuatan Akuwu Sangling"
berkata seorang petugas sandi kepada seorang perwira yang
menjadi pimpinan langsung para petugas sandi itu.
"Kau yakin?" bertanya perwira itu.
"Kami, beberapa orang, sedang berusaha
meyakinkan," jawab petugas sandi itu, "dalam waktu dekat,
kami berusaha untuk dapat menyampaikan laporan
selengkapnya." Perwira yang ditugaskan untuk memimpin pasukan
sandi itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, "Hatihati.
Jangan sampai terjebak ke dalam lingkungan mereka."
Petugas itu pun kemudian mohon diri untuk
melakukan penyelidikan lebih jauh.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, maka perwira yang menjadi
Panglima dari pasukan sandi itu pun telah menyampaikan
laporan itu kepada Akuwu Sangling, yang terkejut
karenanya. "Kenapa mereka berusaha untuk menyingkirkan
aku?" bertanya Akuwu Sangling, "apakah yang aku
lakukan selama ini tidak sesuai dengan keinginan rakyat
Sangling?" "Kami belum dapat memberikan laporan terperinci
Akuwu. Para petugas sandi sedang berusaha untuk
mendapatkan kepastian" jawab Panglima pasukan sandi itu.
"Baiklah," berkata Akuwu Sangling, "ikuti
perkembangan keadaan. Tetapi usahakan agar rakyat
Sangling tidak menjadi gelisah."
"Hamba Akuwu" jawab Panglima itu.
"Siapkan jaringan pengamatan serapi-rapinya,"
berkata Akuwu kemudian, "jangan sampai terjadi, justru
karena kelengahan kita, maka mereka berhasil membuat
kekacauan. Karena betapapun juga, goncangan yang terjadi
akan sangat mempengaruhi kepercayaan rakyat Sangling."
Panglima pasukan sandi itu pun mengangguk hormat
sambil menjawab, "Hamba tuanku. Hamba akan
berusaha." Sementara itu maka Akuwu pun telah memerintahkan
para Senapati untuk bersiaga sepenuhnya. Kepada
Panglima pasukan Sangling Akuwu memberikan perintah,
"Siapkan pasukan yang dapat digerakkan dengan cepat.
Tetapi juga jangan menimbulkan kegelisahan. Mungkin
sebagian pasukan berkuda dapat dipusatkan di barak
khusus." "Hamba Akuwu," sahut Panglima prajurit Sangling,
lalu, "bagaimana dengan rencana yang sudah tersusun?"
"Rencana itu dapat dilaksanakan terus," jawab
Akuwu, "justru mereka yang sedang mendapat giliran
latihan itu akan dapat digerakkan dengan secepatnya di
samping pasukan berkuda."
Panglima itu mengangguk hormat pula sambil
menjawab, "Hamba Akuwu. Hamba mengerti."
Demikianlah, maka Sangling pun telah bersiap-siap
menghadapi sikap yang keras dari keluarga Akuwu yang
lama, yang dipimpin oleh sepupu Akuwu yang lama itu
yang merasa masih keturunan darah dari jalur laki-laki.
Sementara itu, persiapan-persiapan yang dilakukan
oleh Jayaraja pun menjadi semakin masak. Dengan cermat
pula gerakan itu menempatkan orang-orangnya pada
tempat-tempat yang penting. Ternyata banyak pula orangorang
masih dapat dipengaruhi untuk ikut terlibat dalam
gerakan itu dengan membiarkan halaman dan rumahnya
menjadi gardu-gardu pengamatan oleh Jayaraja dan para
pengikutnya. Apalagi mereka yang merasa bahwa pada masa
kekuasaan Akuwu yang lama mereka mendapat banyak
kesempatan untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Agaknya mereka masih berharap bahwa saat-saat seperti itu
akan dapat mereka alami kembali. Dengan janji-janji yang
memberikan harapan tentang keadaan seperti itu, maka
mereka telah rela membantu kegiatan gerakan yang
dipimpin oleh Jayaraja itu.
Pada saat kekuatan Jayaraja telah terhimpun, maka
mere-ka pun telah mematangkan rencana mereka. Mereka
akan mulai dengan membuat Sangling diliputi suasana yang
tidak menentu. Dalam kegelisahan itulah, maka
pasukannya akan bergerak untuk menghancurkan Sangling
dan memaksa rakyat Sangling berpihak kepada mereka.
"Diantara para prajurit Sangling, tentu masih banyak
yang akan dapat mengenang kebesaran Akuwu yang lama,"
berkata Jayaraja, "mereka tentu akan segera berpaling dan
membantu gerakan kita."
Memang sebenarnyalah Jayaraja berusaha untuk
membuat hubungan dengan prajurit Sangling di tempattempat
terpencil. Memang masih ada beberapa orang
prajurit yang kadang-kadang ingin mengenang kembali saatsaat
kekuasaan Akuwu yang lama. Mereka seakan-akan
dapat berbuat sekehendak hati mereka. Namun di bawah
kekuasaan Akuwu yang baru, maka ia tidak mempunyai
kesempatan untuk bergerak sama sekali. Semua paugeran
diberlakukan, sehingga yang dapat mereka lakukan adalah
sangat terbatas. Hubungan dan sentuhan-sentuhan kecil dengan para
prajurit di tempat-tempat terpencil itu telah meyakinkan
Jayaraja, bahwa ia akan berhasil dengan usahanya untuk
mengusir Akuwu yang baru itu.
"Didalam masa pendadaran aku memang tidak dapat
mengalahkannya. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak
mempunyai kemampuan untuk menghancurkannya. Aku
akan dapat mengatur satu cara yang akan dapat
menghancurkan Akuwu yang sombong itu. Dengan dua
atau tiga orang terpilih aku akan membunuhnya dalam
pertempuran yang bakal terjadi kelak" berkata Jayaraja.
Namun kemudian ternyata bahwa Jayaraja itu,
mendapat juga laporan dari para petugas sandinya bahwa
nampaknya Sangling pun telah bersiap-siap.
"Kenapa kau dapat mengatakan hal itu?" bertanya
Jayaraja. "Di mana-mana diadakan latihan-latihan yang keras,"
jawab petugas sandi itu, "nampaknya penjagaan di Sudutsudut
Pakuwon ini pun menjadi semakin ditingkatkan
pula." "Itu belum menunjukkan bahwa Sangling memang
sudah bersiap. Tetapi kita pun tidak boleh mengabaikan
tanda-tanda yang mungkin akan menghambat gerakan kita.
Karena itu, lakukan pengamatanmu lebih baik. Menurut
perhitunganku, Sangling sedang berusaha untuk
memperkuat dirinya, karena Akuwu yang baru itu selalu
merasa ketakutan. Tetapi memang tidak mustahil bahwa
rencana kita sudah tercium oleh petugas sandi Sangling.
Tetapi seandainya demikian tidak mengapa. Kita benarbenar
sudah siap. Dengan sekali berteriak mengucapkan
aba-aba, maka aku akan dapat menggerakkan kekuatan
yang sudah kita persiapan."
Petugas sandi itu pun berkata, "Segalanya memang
sudah siap. Karena itu, kita tidak perlu menunggu terlalu
lama. Kita akan segera bergerak. Bagaimanapun juga kita
akan memperoleh apa yang kita inginkan."
Jayaraja mengangguk-angguk. Katanya, "Memang,
kita harus segera bergerak. Kita harus mengejutkan
Sangling." Demikianlah, maka Jayaraja telah memanggil
beberapa orang pengikutnya yang terpilih. Mereka pun
telah membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Ternyata bahwa semua orang yang diajaknya
berbincang menyetujui untuk bergerak secepatnya. Seorang
diantara mereka berkata, "Selagi Sangling belum benarbenar
bersiap." "Baik," berkata Jayaraja, "aku akan bersiap dalam
waktu dekat dan akan menyerang Sangling dari beberapa
jurusan. Kita akan mengerahkan semua kekuatan yang kita
miliki untuk mengejutkan rakyat Sangling. Kemudian kita
akan melakukan pendekatan dengan rakyat agar mereka
bersedia berpihak kepada kita. Beberapa tempat kita yakin
akan dukungan yang kuat. Namun di tempat lain kita masih
harus mempertanyakannya."
"Kapan kita akan bergerak?" bertanya seseorang.
"Aku akan memberikan perintah pada saatnya.
Semua harus bersiap sejak besok malam. Kita akan
membenahi persiapan itu dalam waktu sehari berikutnya.
Menjelang fajar di hari ketiga, akan terdengar suara panah
sendaren yang akan mengaum di seluruh langit Sangling.
Nah, saat itu kita bergerak sesuai dengan rencana. Tetapi
sebelum terdengar panah sendaren, maka kalian jangan
bertindak sendiri-sendiri. Meskipun di hari ketiga, jika
isyarat itu belum terdengar, maka berarti serangan akan
ditunda berhubung dengan sesuatu alasan tertentu."
Semua pengikutnya yang ikut dalam pembicaraan itu
mengangguk-angguk. Sementara itu Jayaraja berkata,
"Hanya kita yang boleh tahu rencana ini. Para pengikut
yang tersusun dalam kelompok-kelompok pasukan tidak
perlu diberi tahu lebih dahulu. Asal mereka sudah
dipersiapkan maka setiap saat mereka akan dapat kita
gerakkan." Demikianlah, maka para pengikutnya itu pun telah
memahami semua pesannya. Karena itu, maka ketika
mereka kembali kepada kelompok-kelompoknya, maka
mereka pun segera bersiap-siap meskipun tidak sematamata.
Dengan demikian, maka dua kekuatan telah bersiap.
Seperti bumbung-bumbung bambu yang terbakar di dalam
nyala api, maka pada saatnya tentu akan terjadi ledakan.
Saat-saat yang ditentukan itu merupakan saat yang
sangat tegang bagi orang-orang yang menentang
kebijaksanaan Akuwu Sangling itu. Mereka berusaha
mempersiapkan pasukan mereka sebaik-baiknya tanpa
menarik perhatian didalam lingkungan yang nampaknya
tetap tenang. Namun dalam pada itu, pasukan sandi Sangling telah
bekerja dengan cermat pula. Mereka berhasil menyadap
rencana yang dibuat dengan sangat rahasia itu, meskipun
tidak seluruhnya. Kesalahan Jayaraja adalah justru karena ia
menyangka, bahwa ia akan dapat mempergunakan sebagian
prajurit Sangling untuk kepentingannya.
Ternyata bahwa diantara orang-orang yang dianggap
dapat dipengaruhi oleh Jayaraja dan para pengikutnya,
terdapat juga para petugas sandi itu sendiri. Dengan
demikian maka para petugas sandi itu dapat memberikan
laporan-laporan yang sangat berarti.
Satu hal yang dapat diketahui oleh pimpinan petugas
sandi Sangling adalah, bahwa Jayaraja telah menyiapkan
kekuatan bukan saja di tempat tertentu. Tetapi Jayaraja
telah mempersiapkan kekuatan di beberapa tempat.
"Mereka sudah siap untuk menunggu perintah"
Panglima pasukan sandi itu memberikan laporan kepada
Panglima prajurit Sangling.
"Kita siapkan semua kekuatan," berkata Panglima
prajurit Sangling itu. Lalu, "Kita tempatkan pasukan
Sangling di tempat-tempat yang memungkinkan mereka
berada di segala tempat terutama pada garis-garis utama
untuk memasuki kota."
"Semua sudah pada tempatnya menurut pengamatan
kami. Namun kami sudah belum mendapat kepastian saatsaat
mereka mulai bergerak" berkata pimpinan pasukan
sandi itu. "Baiklah. Aku akan mengatur segalanya. Kapan pun
mereka bergerak, pasukan Sangling siap untuk
menghadapinya. Para prajurit akan melakukan latihan yang
memungkinkan mereka untuk berbuat cepat" berkata
Panglima prajurit itu. Ternyata rencana Panglima itu disetujui oleh Akuwu
Sangling. Bahkan Akuwu itu pun memerintahkan " Siapkan
sekelompok pasukan berkuda. Aku akan memimpin
pasukan Sangling yang langsung akan menghadapi
pimpinan mereka. Demikian kita mendapat keterangan
dimana pimpinan pasukan itu berada, maka aku dan
pasukan berkuda yang dipersiapkan itu akan langsung
menuju ke medan. "Hamba Akuwu," jawab Panglima prajurit Sangling,
"hamba akan berusaha berbuat sebaik-baiknya."
Sebagaimana dikatakannya, maka Panglima itu telah
berusaha keras untuk menyiapkan pertahanan sebaikbaiknya.
Di hari berikutnya, pasukan Sangling memang
mengadakan latihan beberapa ratus tonggak di luar kota.
Namun yang mengadakan latihan itu adalah pasukan yang
benar-benar siap untuk bertempur kapan pun juga. Jumlah
mereka yang sedikit, namun bergerak dalam jaringan
medan yang luas, nampak seakan-akan pasukan Sangling
telah keluar semua ke medan latihan, sehingga di bagian
lain menjadi kosong. Jayaraja telah menugaskan petugas-petugas sandinya
untuk mengikuti latihan itu. Esok sebagaimana telah
direncanakan, mereka akan bergerak.
"Satu kebetulan," berkata Jayaraja, "orang-orang
Sangling memang bodoh. Nampaknya mereka sudah
mencium gerakan kita. Tetapi satu kesalahan besar telah
dilakukan. Mereka mengadakan latihan di satu tempat."
"Mereka berusaha menakuti-nakuti kita," berkata
seorang pengikutnya yang dipercaya, "dengan latihan itu,
mereka ingin menunjukkan kekuatan pasukan Sangling.
Namun dengan demikian mereka telah membuka beberapa
jalur penyerangan ke dalam kota dan menduduki istana.
Kita harus berusaha dapat menangkap Akuwu yang
bernama Mahisa Bungalan itu hidup atau mati."
"Jika pasukan yang sedang latihan itu mendengar,
mereka tentu akan segera mengambil peranan" pengikutnya
itu menjawab. "Harus kita perhitungkan," jawab Jayaraja, "kita akan
menjebak mereka di gerbang masuk."
Pengikutnya yang terpercaya itu mengangguk-angguk.
Nampaknya mereka memang yakin akan dapat menduduki
kota dan istana, serta membunuh Akuwu Sangling. Jika
demikian, maka pengaruhnya akan sangat besar. Jika
Akuwu terbunuh, maka para prajurit Sangling akan
kehilangan gairah perjuangan untuk melawannya, sehingga
mereka pun akan segera tunduk kepadanya, sebagai Akuwu
yang baru, namun merupakan darah keturunan yang sama
dengan Akuwu Sangling yang lama dari garis keturunan
laki-laki. Malam menjelang hari yang ditetapkan, orang-orang
yang sudah dipersiapkan oleh para pengikut Jayaraja
menjadi semakin tegang. Menjelang pagi mereka akan
mendengar isyarat. Namun jika panah sendaren itu tidak
mereka dengar, maka serangan dibatalkan. Sementara itu
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan telah terbuka seluas-luasnya karena para
prajurit Sangling berada di luar kota.
Namun lewat tengah malam, seorang petugas sandi
telah berpacu diatas punggung kuda. Ternyata prajurit sandi
itu telah mendapat petunjuk bahwa Jayaraja akan bergerak
menjelang matahari terbit dengan sergapan dari banyak
arah. Dengan tergesa-gesa petugas itu menemui Panglima
pasukan sandi untuk memberikan laporan.
Malam itu juga, Panglima pasukan sandi itu telah
menghubungi Panglima prajurit Sangling dan bersamasama
menghadap Akuwu. "Jika demikian gerakkan pasukan. Siapkan pasukan
yang berada di luar kota untuk menjebak pasukan yang
berusaha memasuki kota. Mereka akan menyerang pasukan
yang berusaha memasuki kota itu dari belakang. Namun
mereka pun harus berada di beberapa arah agar
pertempuran menjadi seimbang. Sementara itu pasukan
didalam kota harus mulai mendekati pintu-pintu gerbang."
perintah Akuwu. Para pemimpin prajurit Sangling itu pun telah
bergerak dengan cepat. Akuwu yang terbangun dilewat
tengah malam itu, telah memerintahkan pasukan pengawal
pribadinya untuk menyiapkan kuda. Para pengawal itu pun
akan ikut serta ke mana Akuwu pergi dengan berkuda pula.
Sekelompok pasukan berkuda yang terpilih telah berada di
halaman belakang istana dan siap ikut pula mengawal
Akuwu jika Akuwu memasuki medan.
Namun Akuwu memang memperhitungkan bahwa
gerakan itu akan dilakukan menjelang fajar. Sehingga
karena itu, maka Akuwu sama sekali tidak merasa tergesagesa.
Bahkan Akuwu itu masih sempat kembali ke
pembaringan untuk berbaring beberapa saat tanpa
menunjukkan kegelisahan sama sekali.
Para Senapatinya pun menjadi tenang pula seperti
Akuwu. Mereka memang bergerak cepat. Tetapi tidak
dengan gelisah dan apalagi dengan kecemasan.
Menjelang dini hari, memang belum ada pertanda apa
pun yang menarik perhatian. Namun seorang petugas sandi
telah datang menghadap Akuwu untuk meyakinkan, bahwa
pasukan yang akan memberontak itu memang mulai
bergerak. Akuwu yang diberitahu akan kehadiran petugas sandi
itu pun berkata, "Baiklah. Nampaknya kita pun sudah siap
menghadapi keadaan."
"Nampaknya gerakan mereka memang merata
Akuwu" bertanya Akuwu.
"Para penghubung telah ditugaskan menebar" jawab
petugas sandi itu. Akuwu pun kemudian telah berbenah diri. Ia pun
memanggil Senapati yang memimpin pasukan pengawal
pribadinya dan Senapati yang memimpin pasukan berkuda,
yang disiapkan untuk menyertai Akuwu jika ia turun ke
medan. "Kita bersiap-siap," berkata Akuwu, "menurut
perhitunganku, jika mereka mulai bergerak, maka mereka
akan bergerak menjelang pagi hari."
"Hamba Akuwu" kedua Senapati itu menjawab
hampir berbareng. "Kuda-kuda pun harus siap. Setiap saat kita akan
bergerak. Kita menunggu laporan, di mana pemimpin
pemberontak itu berada. Aku harus menemuinya."
"Kami, seluruh pasukan sudah siap," jawab Senapati
pengawal pribadi Akuwu Sangling itu. Meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mereka adalah orangorang
pilihan. Mereka adalah orang-orang yang mendapat
kesempatan melakukan latihan-latihan di bawah
pengawasan para Senapati yang telah melakukan
pembajaan diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu, pasukan berkuda Sangling pun merupakan
pasukan pilihan pula. Sejak sebelum dilakukan peningkatan
sejak tataran pertama, pasukan berkuda Sangling memang
merupakan pasukan pilihan.
Menjelang pagi hari, Akuwu sudah berada di tangga
pendapa istananya dengan kesiagaan penuh untuk turun ke
medan perang. Akuwu memang nampak membawa pedang
yang tergantung di lambungnya. Namun ilmu yang ada di
dalam dirinya kekuatannya memang melampaui pedangnya
itu. Sementara itu, di seluruh pusat pemerintahan
Pakuwon Sangling telah bertebaran pasukan Sangling yang
kuat. Sedangkan di luar kota, pasukan Sangling yang
sedang mengadakan latihan itu pun telah bergerak dengan
diam-diam. Mereka membagi diri ke jurusan yang berbedabeda.
Mereka mempunyai tugas-tugas tertentu yang sudah
diperintahkan oleh Senapati yang memimpin langsung
latihan itu. Di lain pihak, pasukan yang dihimpun oleh Jayaraja
pun telah bersiap pula. Seorang petugas sandi memang
memberikan laporan, bahwa nampaknya kesiagaan di
Sangling ditingkatkan. Ia melihat beberapa kelompok
prajurit bergerak ke jurusan yang tidak diketahui.
"Apa pun yang mereka persiapkan, kita tidak akan
gentar. Kita akan dengan cepat menguasai kota. Pada saat
pasukan yang ada di dalam kota menyadari kelengahannya,
maka kita sudah mapan dan Akuwu telah terbunuh.
Kematian Akuwu akan melumpuhkan perlawanan para
prajurit Sangling. Sementara itu sebagian dari para prajurit
memang sudah dapat kita kendalikan" berkata Jayaraja.
Petugas sandi itu pun kemudian melaporkan juga, "Ki
Jayaraja. Kita telah kehilangan hubungan dengan beberapa
orang prajurit yang ternyata tidak berada lagi di tempatnya.
Agaknya para prajurit Sangling telah mengalami
pergeseran. Namun yang lain masih sempat
memberitahukan, bahwa prajurit Sangling memang
disiagakan." "Tidak peduli di manapun prajurit itu dipindahkan,"
berkata Jayaraja, "namun mereka akan tetap berpihak
kepada kita. Dalam setiap kesempatan mereka akan
melakukan gerakan yang menghambat perlawanan para
prajurit Sangling. Sehingga dengan demikian maka kita
akan mendapat kesempatan untuk menghancurkan
mereka." Pengikutnya yang paling terpercaya yang selalu dekat
dengan Jayaraja itu pun mengangguk-angguk. Katanya,
"Tetapi bagaimanapun juga kita harus berhati-hati."
"Kita sudah sangat berhati-hati," berkata Jayaraja,
"tetapi kita cukup kuat. Di samping orang-orang Sangling
sendiri, maka kita mendapat bantuan dari sahabatsahabatku
di luar Sangling. Apalagi yang harus kita
cemaskan dengan gerakan ini?"
Pengikutnya itu masih mengangguk-angguk.
Sementara Jayaraja itu pun berkata, "Nah, fajar hampir
menyingsing. Siapkan para petugas yang akan melontarkan
panah sendaren dan panah api. Langit Sangling akan penuh
dengan anak-anak panah yang bersambaran. Api akan
melonjak-lonjak mengabarkan berita kematian bagi mereka
yang tidak tunduk kepadaku."
Demikianlah, maka mereka yang ditugaskan untuk
melontarkan isyarat itu pun telah bersiap. Panah sendaren
telah berada di busurnya. Karena itu, ketika perintah jatuh,
dalam waktu sekejap, maka panah-panah sendaren itu telah
meluncur ke langit. Suaranya meraung-raung memenuhi
udara Sangling. Bahkan kemudian disusul dengan panah
api yang bagaikan membakar langit.
Isyarat itu merupakan perintah bagi para pengikut
Jayaraja. Baik mereka orang Sangling sendiri, terutama dari
Kabuyutan Bapang, maupun orang-orang dari luar Sangling
yang bekerja sama dengan janji yang telah menggetarkan
harapan mereka. Namun sebenarnyalah bahwa panah sendaren dan
panah api itu telah pula membangunkan semua prajurit
Sangling di manapun mereka berada. Bahkan mereka yang
berada di luar kota pun telah melihat api yang meloncatloncat
di atas kota Sangling. Para prajurit yang masih beristirahat pun segera
disiapkan. Mereka memang sudah berada dalam persiapan
yang matang. Karena itu, dengan cepat mereka berada dalam
barisan. Setelah mendapat pengarahan sejenak dari setiap
pemimpin kelompok, maka setiap pasukan yang telah
terbagi di luar kota pun telah bergerak.
Demikian pula para prajurit yang ada di dalam kota.
Mere-ka pun telah bersiap pula. Ketika sendaren dan panah
api terbang di udara, maka bagi para prajurit Sangling
merupakan isyarat pula bahwa mereka harus bersiap.
Prajurit yang duduk terkantuk-kantuk di bawah
teritisan, bahkan mereka yang masih tempat tidur bersandar
tiang, telah dengan cepat memasuki barisan masing-masing.
"Kita harus segera bersiap di tempat-tempat yang
telah ditentukan" berkata para pemimpin kelompok.
Para Senapati pun segera menghimpun prajuritprajuritnya.
Kemudian memerintahkan para pemimpin
kelompok untuk bergerak sebagaimana telah direncanakan.
Para Senapati itu masih belum mendapat keterangan
yang pasti tentang jalur gerakan lawan. Namun setiap pintu
gerbang dan butulan telah dijaga dengan ketat.
Tetapi hal itu memang sudah diperhitungkan oleh
Jayaraja. Karena itu, maka orang-orangnya memang tidak
akan memasuki kota lewat pintu gerbang maupun pintupintu
butulan dari dinding kota.
Demikian perintah jatuh, maka orang-orang mereka
yang memang sudah berada di tempat-tempat yang
ditentukan di dalam kota mulai bergerak. Sementara itu,
yang berada di luar kota pun telah memasuki kota dengan
meloncati dinding. Ternyata mereka telah mempersiapkan
tangga-tangga bambu yang mampu menjangkau tingginya
dinding kota. Dengan beberapa tangga yang disandarkan
pada dinding kota di beberapa arah dari kota Sangling,
maka mereka pun telah berloncatan memasuki kota.
Ketika pasukan yang meronda melihat, maka dengan
serta merta mereka pun telah memberikan isyarat. Bukan
dengan panah sendaren, tetapi di gardu terdekat peronda itu
telah memukul kentongan dengan nada titir.
Suara kentongan itu memang menarik. Namun ketika
orang-orang padukuhan itu terbangun, maka prajurit itu
pun justru memerintahkan mereka masuk kembali ke dalam
rumahnya. "Cepat, masuk kembali. Beritahu semua orang. Yang
datang bukan perampok. Tetapi sebuah pemberontakan"
teriak prajurit peronda itu.
Namun demikian ada juga yang sempat memukul
kentongan pula di gardu yang lain dengan nada yang sama.
Suara titir itu memang memanggil para prajurit yang
berada di tempat terdekat. Sehingga dengan cepat pula cara
yang ditempuh oleh para pengikut Ki Jayaraja itu diketahui.
Dalam waktu sekejap, para penghubung telah
berlarian ke semua pemusatan pasukan dan
memberitahukan bahwa pasukan lawan tidak akan melalui
pintu gerbang, tetapi mereka akan memasuki kota lewat
dinding dengan tangga-tangga yang sudah terpasang.
Para prajurit pun segera menebar. Mereka memang
tidak mengira bahwa para pemberontak itu akan meloncati
dinding. Mereka mengira bahwa para pemberontak itu akan
menyerang dan memecahkan pintu-pintu gerbang,
sementara yang lain memang sudah diketahui akan
bergerak dari dalam kota.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera
menyala di seluruh kota dan dinding-dinding kota. Para
prajurit Sangling yang berloncatan melewati dinding telah
ditunggu oleh para prajurit Sangling yang bersiap.
Sementara itu, maka pasukan yang berada di luar kota
pun mulai bergerak mendekati kota. Setiap pasukan telah
berusaha untuk mengamati keadaan dengan seksama.
Bahkan pasukan-pasukan itu telah memerintahkan petugaspetugasnya
untuk melihat, di manakah pertempuran terjadi.
Apakah di pintu-pintu gerbang, atau di pintu butulan.
Tetapi mereka tidak melihat pertempuran di pintu
gerbang atau di pintu butulan.
Namun akhirnya beberapa petugas melihat juga
bahwa pasukan pemberontak itu telah berada di bayangan
dinding kota, justru yang paling jauh dari pintu gerbang dan
butulan. Mereka berusaha memanjat naik dinding dan
meloncat masuk. Tetapi beberapa orang Senapati telah menahan
pasukannya untuk tidak tergesa-gesa menyerang. Bahkan
mereka pun dapat menduga bahwa suara kentongan di
dalam dinding kota itu merupakan isyarat bahwa para
pengikut Jayaraja telah memasuki kota dengan meloncati
dinding. "Biarlah jumlah mereka berkurang. Jangan cemas,
bahwa di dalam kota, prajurit Sangling akan mengalami
kesulitan. Jumlah mereka cukup banyak. Kita akan
bergerak jika jumlah para pemberontak yang tinggal,
seimbang dengan jumlah kita."
Para prajurit itu ternyata mampu mengendalikan diri.
Mereka sempat membuat perhitungan-perhitungan,
sehingga mereka tidak terjebak dalam langkah-langkah yang
tergesa-gesa namun tidak menguntungkan.
Karena itu maka untuk beberapa saat kelompokkelompok
prajurit yang terbagi di beberapa sisi kota itu pun
dengan sabar menunggu saat-saat yang paling tepat untuk
bergerak. Para Senapati yang memimpin kelompokkelompok
itu dapat menduga bahwa orang-orang datang
menyerang itu tentu memiliki bekal yang memadai.
Dalam pada itu, maka bersamaan dengan gerak para
pengikut Jayaraja pasukan yang telah bersiap di dalam kota
pun telah bergerak pula, Dengan cepat para-prajurit itu
mengambil tempat sebagaimana telah diperhitungkan.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun sebagian yang lain telah bergeser menyongsong
para pengikut Jayaraja yang telah meloncati dinding,
sebagaimana diberitahukan oleh para penghubung.
Memang tidak semua tempat yang dipergunakan oleh
para pengikut Jayaraja untuk memasuki kota segera
diketahui oleh para Senapati. Beberapa kelompok pengikut
Jayaraja telah berhasil menyusup ke dalam padukuhanpadukuhan
di dalam kota. Namun demikian, ternyata prajurit Sangling yang
tersebar itu pun segera mengetahuinya. Kelompokkelompok
kecil yang meronda itu pun segera membunyikan
isyarat, sehingga para prajurit yang ditempatkan di tempattempat
tertentu segera berdatangan.
Dengan demikian maka hampir di seluruh kota telah
terjadi pertempuran. Bahkan pada jarak yang tidak terlalu
jauh dari istana pun telah terjadi pertempuran pula.
Karena itulah, maka para pengawal khusus Akuwu
Sang-ling pun telah berjaga-jaga sepenuhnya. Sementara itu
sekelompok pasukan berkuda telah berada di halaman
istana pula. Di pendapa, Akuwu Sangling memang menjadi
gelisah. Bukan karena ia cemas akan dirinya sendiri. Tetapi
ia mendapat laporan bahwa memang terjadi di mana-mana.
Ternyata Jayaraja masih mampu memanfaatkan para
pengikut Akuwu yang lama serta gerombolan-gerombolan
di luar Pakuwon Sangling untuk berusaha menghancurkan
pemerintahan Mahisa Bungalan.
Sementara itu, ternyata Jayaraja telah menyusun
sekelompok pasukan terpilih. Dengan cermat ia telah
memperhitungkan satu gerakan yang tiba-tiba untuk
menembus semua pertahanan menusuk langsung ke istana
Akuwu Sangling. Menurut perhitungan Jayaraja, maka
betapa pun ketatnya penjagaan atas istana Sangling, namun
kemampuan pasukannya yang dipilihnya sebagai pasukan
khusus itu tentu akan dapat memasuki istana dan sekaligus
menangkap Akuwu Sangling, hidup atau mati.
Dengan kelompok khususnya Jayaraja telah
menyelinap langsung menuju ke istana. Dendam yang
membakar jantungnya, serta nafsunya untuk menguasai
Sangling benar-benar telah membuatnya bergelora.
Sebenarnyalah pasukan Jayaraja adalah pasukan yang
sangat kuat. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak,
namun orang-orang yang ada di dalamnya adalah orangorang
yang memang benar-benar memiliki kemampuan
yang tinggi. Ketika pasukannya bertemu dengan sekelompok
prajurit Sangling maka dengan kekuatan yang mengejutkan,
pasukan itu mampu menerobosnya. Pasukan itu memang
tidak terpancang untuk bertempur pada garis perang. Tetapi
pasukan itu telah dengan sengaja membuat gerakan yang
dapat mengelabui lawan mereka. Dalam keadaan yang
kalut itu, maka pasukan khusus itu telah menerobos
membelah pasukan lawan. Pasukan Sangling memang terkejut melihat gerak
sekelompok pasukan khusus dari antara para pengikut
Jayaraja itu. Mereka seakan-akan baru sadar, ketika
pasukan khusus itu telah menghilang lepas dari kejaran
mereka. Bahkan beberapa orang diantara prajurit Sangling
itu justru telah terluka.
"Ke mana mereka?" bertanya Senapati yang
memimpin pasukan Sangling yang menerobos prajuritprajuritnya
itu. "Entahlah" jawab seorang pemimpin kelompok.
"Kita harus menyusul mereka" berkata Senapati itu.
"Mereka akan bertemu dengan pasukan Sangling yang
lain" jawab pemimpin kelompok itu.
"Tetapi yang terjadi adalah sebagaimana telah terjadi
atas pasukan kita," berkata Senapati itu, "bahkan mungkin
mereka akan menuju ke istana."
"Mereka tidak berjalan ke arah istana" desis
pemimpin kelompok yang ragu-ragu.
Senapati itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia
memutuskan untuk melacak pasukan yang menerobos
pasukannya itu. "Kita harus menemukan mereka," berkata Senapati
itu, "Kita tidak dapat membiarkan mereka melakukan cara
yang licik seperti itu."
Tetapi orang-orang Sangling kurang menyadari,
bahwa pasukan itu telah dipimpin langsung oleh Jayaraja,
yang pernah memasuki arena pendadaran, tetapi telah
dikalahkan oleh Akuwu, meskipun ia tidak mau mengakui.
Sekelompok pasukan khusus dari para pengikut
Jayaraja itu memang dengan sengaja memberikan kesan
bahwa mereka tidak menuju ke istana. Tetapi beberapa
orang yang tahu dengan baik jalan-jalan dalam kota, telah
membawa pasukan itu menembus jalan-jalan sempit yang
memang menuju ke istana Akuwu Sangling.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan khusus itu
memang menjadi semakin dekat dengan istana. Karena itu,
maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Jayaraja yang mempunyai pengamatan tajam itu pun
sudah memperhitungkan, bahwa untuk memasuki istana
agaknya pasukan khususnya itu harus bertempur dengan
keras. Pasukan pengawal istana tentu tidak akan dapat
ditembus dengan mudah sebagaimana ia menembus
sepasukan prajurit Sangling di perjalanan.
Karena itu, maka ketika mereka mendekati alun-alun
di hadapan istana, maka Jayaraja memperingatkan
pasukannya sekali lagi, bahwa tugas yang mereka pikul
adalah tugas yang sangat berat.
"Kita tidak boleh ragu-ragu," berkata Ki Jayaraja.
"Kita tidak boleh gentar melihat darah. Berapa pun kita
membunuh, itu adalah karena panggilan tugas dan
perjuangan kita. Sebaliknya, berapa banyak diantara kita
yang gugur, tidak akan menggoyahkan tekad kita untuk
menghancurkan kedudukan Akuwu Sangling yang
sekarang. Tujuan kita adalah memasuki istana dan
menangkap Akuwu hidup atau mati."
Dengan singkat Jayaraja pun kemudian memberikan
petunjuk arah kepada pasukannya. Ia menegaskan kembali
jalur yang harus ditempuh. Mereka akan memasuki istana
lewat beberapa jalan. "Sekelompok pasukan terpilih akan siap di belakang
istana. Beberapa kelompok akan menyerang lewat pintu
gerbang. Jika perhatian para prajurit Sangling sudah
sepenuhnya tertuju ke pintu gerbang, maka pasukan terpilih
itu akan memasuki halaman istana dari belakang. Aku
sendiri akan memimpin pasukan itu untuk dapat
berhadapan sekali lagi dengan Akuwu Sangling" berkata
Jayaraja. Demikianlah, maka Jayaraja telah memisahkan
sekelompok pasukan terpilihnya. Sementara itu, yang lain
akan mendekati istana dari depan. Mereka akan
memancing perhatian para pengawal Akuwu. Namun yang
datang dari depan itu pun harus berusaha benar-benar
memecahkan pintu gerbang dan memasuki halaman istana.
Setelah para pemimpin kelompok memahami perintah
Jayaraja, maka pasukan itu pun mulai bergerak. Yang
sebagian memisahkan diri untuk melingkari sasaran dan
mendekati istana dari belakang.
Sementara itu, pertempuran pun telah menjadi
semakin sengit hampir di seluruh kota. Rakyat Sangling
yang tidak begitu mengerti apa yang terjadi telah menutup
pintu rumah mereka dan berlindung di dalamnya. Namun
mereka menjadi tenang jika mereka mendengar di jalanjalan
pedukuhan para prajurit Sangling meneriakkan
perintah agar mereka tidak menjadi kebingungan.
"Kami, prajurit Sangling siap melindungi kalian.
Jangan takut dan jangan kebingungan " terdengar setiap
kali orang berteriak di jalan-jalan.
Meskipun demikian, orang-orang Sangling pun
mengetahui, bahwa pertempuran telah berkorbar di manamana.
Pasukan Sangling yang berada di luar kota pun telah
mulai bergerak pula. Ketika sebagian dari para pengikut
Jayaraja telah memasuki dinding kota, maka mereka pun
telah menyergap dengan garangnya. Mereka yang semula
berusaha untuk berlindung di balik pepohonan di pategalanpategalan
atau di padukuhan-padukuhan kecil, dengan
tangkasnya telah berlari sambil mengayun-ayunkan senjata
mereka, demikian mereka mendapat perintah atau isyarat
untuk menyerang. Para pengikut Jayaraja yang masih tertinggal di luar
kota itu pun terkejut karenanya. Tetapi mereka tidak akan
dapat bersama-sama memanjat tangga-tangga yang tersedia.
Karena itu, maka mereka pun justru bersiap untuk
menghadapi pasukan Sangling yang datang itu.
Dengan demikian maka pertempuran memang telah
terjadi dimana-mana. Seperti yang direncanakan oleh
Jayaraja, maka tujuan utamanya adalah menguasai kota.
Baru kemudian ia akan mengembangkan kuasanya di
seluruh Pakuwon Sangling. Menurut perhitungan Jayaraja,
maka menguasai Kota Raja adalah langkah yang akan
menentukan dari langkah-langkah berikutnya.
Namun ternyata bahwa Sangling benar-benar sudah
siap menghadapi keadaan. Di luar pengetahuan Jayaraja,
maka Sangling telah menyiapkan segenap kekuatannya.
Bahkan sebagian prajuritnya yang ada di luar kota pun telah
ditarik masuk ke dalam, sementara sekelompok yang lain
justru telah diletakkan di luar kota dengan maksud tertentu,
meskipun ujudnya sebagai satu kegiatan latihan bagi para
prajurit. (Bersambung ke Jilid 49).
--ooo0dw0ooo- Jilid 049 SEBENARNYALAH bahwa para pengikut Jayaraja
terkejut menghadapi kesiagaan yang sangat tinggi dari
pasukan Sangling. Dengan demikian maka para pengikut
Jayaraja itu harus m engerahkan segenap kemampuan mereka
untuk mendesak kekuatan prajurit Sangling y ang telah siap
menunggu kedatangan mereka.
Sementara itu, maka pasukan yang mendapat tugas
khusus untuk meny erang istana telah berusaha untuk
mendekati pintu gerbang. Mereka dengan berani dan tanpa
ragu-ragu meny ergap prajurit Sangling yang bertugas di pintu
gerbang. Namun kedatangan pasukan itu telah menurunkan
perintah Senapati pasukan pengawal istana untuk menutup
pintu gerbang itu. Sedangkan para prajurit Sangling telah
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Bukan saja yang
berada di halaman depan, tetapi Senapati pasukan pengawal
telah memerintahkan untuk bersiaga di segala tempat.
Sementara itu pa sukan y ang secara khusus telah diatur
oleh Jayaraja untuk m eny ergap pintu gerbang itu mendekati
sa saran, maka sekelompok orang-orang terpilih bersama
Jayaraja sendiri telah mendekati dinding belakang istana pula.
Mereka berhasil menyusup jalan-jalan sempit untuk
menghindari pasukan Sangling y ang nampaknya berada di
segala tempat di dalam kota itu.
"Perhatian mereka akan tertuju pada pasukan y ang
datang dari depan," berkata Jay araja.
Sebenarnyalah sebagian besar dari para pengawal
Akuwu telah berada di halaman depan istana. Mereka agaknya
memang terpancing oleh pasukan para pengikut Jayaraja yang
datang dari arah depan menuju ke pintu gerbang.
Hanya sebagian kecil sajalah yang masih berada di
beberapa bagian dari istana Akuwu itu. Sementara Akuwu
sendiri juga berada di pendapa istananya.
Ketika seorang melaporkan bahwa sepa sukan pengikut
Jayaraja m eny erang istana, maka Akuwu berkata, "Kita akan
menghalau mereka. Beritahukan kepadaku segera jika kalian
melihat Jay araja itu ada di antara mereka."
"Hamba Akuwu," jawab penghubungnya y ang
melaporkan itu, "kami akan selalu memberikan laporanlaporan."
"Bagaimana dengan jumlah mereka?" bertanya Akuwu.
"Agaknya jumlah mereka cukup banyak," jawab
penghubung itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi pasukan
pengawal ini cukup kuat untuk menahan mereka."
"Bagaimana dengan pasukan berkuda?" bertanya
Akuwu. "Mereka sudah siap menerima perintah," jawab
penghubung itu, "sampai saat ini mereka masih belum
dilibatkan. Pasukan pengawallah yang akan mempertahankan
istana ini, kecuali jika ada perintah lain dari Akuwu atau
keadaan yang memaksa."
"Panggil para Panglima," perintah Akuwu.
Sejenak kemudian dua orang Panglima telah
menghadap. Panglima pasukan Pengawal Khusus dan
panglima pasukan berkuda. Dua pasukan pilihan di Sangling.
Sementara itu para Panglima itu termasuk duapuluh orang
Senapati terbaik di Sangling yang pernah ikut menempa diri
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Akuwu pun masih sempat memberikan beberapa
petunjuk kepada kedua Panglima itu. Mereka harus bekerja
bersama dalam keadaan tertentu, tetapi mereka jangan t erlalu
cepat mengambil kesimpulan dari keadaan y ang mereka
hadapi. "Karena itu, sebelum sangat diperlukan, biarlah pasukan
berkuda tidak melibatkan diri. Kecuali jika terpaksa. Mungkin
aku memerlukan pasukan berkuda justru di luar istana ini atau
di manapun dapat aku temui Jay araja y ang menjadi otak dari
gerakan ini," Akuwu menegaskan.
Kedua panglima itu mengangguk-angguk. Sementara itu,
mereka telah mendengar satu isy arat, bahwa para pengikut
Jayaraja telah berada di depan pintu gerbang.
"Kembalilah ke pasukanmu," perintah akuwu kepada
kedua Panglima itu. Dengan tergesa-gesa keduanya meninggalkan Akuwu
dan kembali ke pasukan masing-masing.
Sebenarnyalah bahwa para pengikut Jay araja telah mulai
berusaha memecahkan pintu gerbang yang tertutup rapat.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu beberapa orang prajurit Sangling telah berada
diatas tangga y ang disandarkan pada dinding di dalam
halaman. Mereka m embawa busur dan anak panah. Dengan
senjata itu mereka berusaha menghambat gerakan para
pengikut Jay araja yang berusaha memecahkan pintu gerbang.
Beberapa anak panah memang mengenai sasaran. Tetapi
mereka y ang berada di depan pintu gerbang itu pun telah
berusaha melindungi diri mereka dengan peri sai dan berusaha
menghalau para prajurit itu dengan mempergunakan senjata
yang sama. Para pengikut Jayaraja itu telah meny erang orangorang
yang berada diatas tangga didalam dinding itu dengan
anak panah pula. Korban-korban yang pertama memang telah jatuh di
antara kedua belah pihak. Namun dalam pada itu, para
pengikut Jayaraja memang berusaha untuk memecahkan
dinding. Ternyata mereka telah mendapat sepotong kayu yang
besar dan diangkat bersama-sama. Mereka membuat ancangancang.
Namun kemudian mereka berlari untuk menghantam
pintu gerbang itu dengan ujung kayunya.
Pa da hentakkan pertama m ereka belum berhasil. Tetapi
usaha itu diulanginya terus-menerus. Sementara itu, korbankorban
berikutnya telah jatuh pula. Tidak semua anak sempat
ditangkis atau dihalau. Tetapi ada juga di antara anak panah
itu y ang menusuk dada sampai ke jantung.
Namun beberapa saat kemudian selarak pintu gerbang
pun mulai retak. Para prajurit Sangling sadar, bahwa sebentar
lagi pintu itu akan terbuka.
Sebenarnyalah, maka dua kali hentakkan pada pintu
gerbang itu telah dapat mematahkan selarak yang besar di
dalam pintu gerbang itu. Karena itu, maka pintu itu pun segera
terbuka. Sepasukan pengikut Jay araja itu pun segera berlari-lari
memasuki pintu gerbang. Namun sambutan pertama adalah
anak-anak panah yang bagaikan pasir y ang dibaurkan ke arah
mereka. Beberapa pucuk anak panah berhasil m engenai para
prajurit itu dan bahkan membunuhnya. Tetapi y ang lain telah
berhasil dihalau atau ditangkis dengan pedang atau tombak.
Meskipun satu dua orang terkapar mati, namun y ang
lain maju seperti gelombang lautan. Agaknya mereka sudah
tidak dapat lagi dicegah. Karena itu, maka para prajurit
Sangling itu-pun telah bergerak m undur untuk m emperluas
arena. Sementara itu anak panah pun masih saja berterbangan
mengerikan. Tetapi pasukan y ang mempergunakan busur dan anak
panah itu tidak dapat bertahan lama. Ketika pasukan lawan
dengan serta merta menyergap mereka, maka orang-orang
yang berdiri di belakang pasukan panah itulah yang kemudian
mengambil alih deretan pertama menghadapi lawan,
sementara pasukan anak panah dan busur mendapat
kesempatan untuk meletakkan busur, pendog dan
menggenggam pedang di arena pertempuran.
Sejenak kemudian, maka pertempuran telah terjadi
dengan sengitnya. Mereka tidak lagi mempergunakan anak
panah dan busur. Tetapi kedua belah pihak telah
mempergunakan pedang dan senjata-senjata di genggaman
yang lain. Tombak pendek, parang, bindi, trisula dan jenisjenis
senjata y ang lain. Orang-orang yang meny erang istana itu pun telah
mendesak pasukan Sangling dengan dahsy atnya. Bagaikan
gelombang y ang datang beruntun susul menyusul, mereka
setapak demi setapak m endesak para prajurit y ang berada di
halaman itu. Sebenarnyalah pasukan pengawal istana itu telah
dikerahkan untuk melawan para pengikut Jay araja. Karena
jumlah pengikut Jayaraja itu cukup banyak, maka hampir
semua orang dari pasukan pengawal telah berada di halaman.
Meskipun demikian masih juga ada satu dua orang y ang
bertugas di halaman belakang dan halaman samping untuk
mengawasi keadaan. Sementara itu Akuwu Sangling sendiri masih berada di
pendapa. Ia m enunggu laporan, di m ana Jayaraja berada. Ia
harus bergerak dengan cepat menuju ke tempat pimpinan
pemberontak itu berada. Tetapi ternyata untuk beberapa saat masih belum ada
laporan yang diberikan kepadanya.
Dalam pada itu, pertempuran pun telah terjadi di manamana.
Keseimbangan setiap benturan tidak sama. Di satu
tempat prajurit Sangling terdesak, namun di bagian lain para
pengikut Sangling itu telah menggulung lawan-lawannya.
Betapapun para prajurit Sangling berusaha
menenangkan rakyat Sangling, namun sebagian dari mereka
menjadi sangat gelisah. Tetapi jika mereka ber siap untuk pergi
mengungsi, prajurit Sangling yang melihatnya selalu berkata,
"Tidak ada bedanya. Di mana-mana terjadi pertempuran
seperti ini. Karena itu jangan mengungsi. Tinggal di dalam
rumah kalian masing-masing."
Tetapi pertempuran itu benar-benar telah
menggelisahkan seluruh rakyat Sangling, terutama yang
tinggal di dalam kota. Namun dalam pada itu, dengan kecepatan gerak para
penghubung, maka akhirnya prajurit Sangling itu pun mulai
merata sebagaimana keadaan lawan. Di tempat yang
mendapat tekanan berat dari para pemberontak, telah
diperkuat dengan bantuan beberapa kelompok prajurit.
Sementara di tempat-tempat yang tidak sangat berbahaya
telah ditinggalkan oleh sebagian prajurit Sangling.
Di halaman istana pertempuran telah menyala semakin
besar. Kedua pasukan y ang kuat itu pun bagaikan saling
mendesak. Sekali-sekali pasukan Sangling lah yang terdesak.
Namun kemudian para pemberontak itulah y ang terdesak
mundur. Namun untuk itu Sangling telah mengerahkan
segenap prajurit dan pasukan khususnya, sehingga pada
dasarnya, kekuatan pasukan pengawal itu telah terhisap
seluruhnya di halaman itu.
Dengan demikian maka rencana Jayaraja agaknya akan
dapat diujudkannya. Sebenarnyalah Jayaraja memang telah mengirimkan
penghubungnya. Ketika penghubung itu melihat pertempuran
yang sengit di halaman, maka ia telah mencoba mengamati
keadaan di sekitar pertempuran itu. Ra sa-rasanya ia tidak
melihat kelebihan dari pasukan Sangling. Sehingga jika masih
ada prajurit di istana itu, maka prajurit itu tentu akan
digerakkan untuk membantu prajurit khusus yang mengawal
istana itu. Karena itu, maka penghubung itu pun kemudian telah
memberanikan diri untuk melingkari halaman istana dari luar
dinding. Ketika ia berada di samping, maka dengan hati-hati ia
melenting meloncat keatas dinding.
Memang tidak ada prajurit Sangling y ang ter sisa. Ketika
ia sempat melihat ke dalam, maka di dalam halaman istana itu
nampak sepi. Namun ia melihat dua orang prajurit agak
dikejauhan berjaga-jaga. "Prajurit Sangling tentu menganggap bahwa semua
kekuatan kami telah berada di pintu gerbang," berkata orang
itu di dalam hatinya. Karena itu, maka ia pun dengan tergesa -gesa telah
menyampaikan laporan itu kepada Jay araja.
"Di mana akuwu?" bertanya Jayaraja, "apakah kau
sempat melihatnya pula."
"Akuwu berada di pendapa," jawab orang itu, "ketika aku
mendekati pasukan kita di halaman y ang berhasil mendesak
pasukan Sangling, aku lihat Akuwu itu berdiri bertolak
pinggang di pendapa."
Jayaraja tertawa. Katanya, "Hari ini adalah hari terakhir
bagi Mahisa Bungalan. Aku akan datang lagi untuk
membunuhnya, sebentar prajurit-prajuritnya pun akan
dibantai di halaman. Mereka akan habis lenyap sampai orang
terakhir." Sejenak kemudian, maka Jay araja pun telah
menggerakkan pasukannya. Dengan sangat berhati-hati ia
memerintahkan orang-orangnya untuk memasuki halaman
belakang istana dengan meloncati dinding. Tetapi mereka
harus sangat berhati-hati. Mereka tidak boleh mengejutkan
satu dua orang y ang masih meronda di bagian belakang istana
itu. Sebenarnyalah dengan sangat berhati-hati sekelompok
kuat pasukan pemberontak itu memasuki halaman. Dengan
kemampuan mereka yang tinggi, maka seorang demi seorang
mereka telah meloncat masuk.
Ternyata sekelompok pemberontak itu memang tidak
menimbulkan suara yang menarik perhatian, sehingga prajurit
yang bertugas di halaman belakang pun tidak melihat mereka
yang berloncatan seorang demi seorang.
Bahkan Jayaraja telah memerintahkan orangnya y ang
terpilih untuk membunuh saja dua orang prajurit yang
bertugas di halaman belakang itu.
Para pengikutnya m emang ragu-ragu. Namun Jayaraja
telah m enunjuk dua orang untuk merunduknya dan menusuk
lambung mereka dengan pedang. Kemudian memerintahkan
dua orang y ang lain membayanginya.
"Jika mereka mengetahui kedatangan kalian, maka cepat
meloncat dan hunjamkan pedang kalian tepat di jantung.
Jangan beri kesempatan mereka berteriak," desis Jay araja.
Para petugas y ang mendapat tugas itu merasa ragu-ragu.
Jarak untuk menjangkau mereka cukup panjang. Bahkan
mereka harus menempuhnya lewat tempat terbuka sampai
beberapa langkah. Tetapi mereka tidak berani membantah, sehingga karena
itu, maka m ereka berempat pun telah bergerak ke arah kedua
orang prajurit Sangling itu.
Tetapi mereka berhenti ketika orang yang berjalan di
paling depan memberikan isy arat kepada mereka untuk
berhenti. "Kenapa?" bertanya kawannya.
"Apakah mungkin untuk mendekati mereka berdua
tanpa mereka ketahui?" bertanya orang y ang berjalan di paling
depan. Kawannya menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Memang tidak mungkin."
"Karena itu, maka biarlah Ki Jay araja bergerak lebih
dahulu. Baru kemudian kita bertindak. Seandainya kita gagal,
maka Ki Jayaraja telah sampai ke sasarannya," berkata
prajurit itu. Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi jika mereka
bergerak terus maka kedua prajurit itu tentu akan melihatnya.
Dengan demikian m aka akibatnya akan dapat m enggagalkan
gerak Ki Jayaraja dan para pengikutnya.
Adalah satu kebetulan, bahwa jalan yang mereka tempuh
bertentangan tempatnya dengan sisi jalan y ang dipergunakan
oleh pasukan berkuda yang menunggu perintah. Karena itu,
maka tidak seorang prajurit pun yang melihatnya.
Dalam pada itu, maka Ki Jayaraja dan pengikutnya
memang sudah m endekati bagian depan dari istana Akuwu.
Menurut laporan y ang mereka terima, Akuwu berada di
pendapa. Karena itu, maka mereka pun telah merayap dengan
hati-hati ke pendapa. Seorang prajurit y ang bertugas di dekat regol butulan,
tanpa dapat melawan sama sekali telah disergap dengan
tusukan langsung ke arah jantung.
Dengan hati-hati Jayaraja membawa pasukannya
meninggalkan longkangan di sisi istana itu untuk mencapai
seketheng. Namun agaknya seorang prajurit y ang bertugas di
seketheng itu telah melihat mereka. Ketika dua orang
berusaha meny ergapnya, maka ia sempat meloncat
menyelinap di balik seketheng dan b erlari ke halaman depan
sambil berteriak, "Akuwu. Berhati-hatilah sepasukan lawan
telah meny elinap lewat seketheng."
Akuwu mendengar teriakan itu. Dengan sigap ia pun
bersiap. Dengan cepat ia memperhitungkan keadaan. Pasukan
Sangling di halaman sudah mengalami tekanan yang berat.
Karena itu, maka agaknya Akuwu tidak lagi dapat m emanggil
sebagian dari mereka. Karena itu, maka satu -satunya jalan
adalah memanggil pasukan berkuda yang masih ada di
longkangan samping dan bersiap untuk melakukan semua
perintah Akuwu. "Panggil pasukan berkuda," perintah Akuwu.
Prajurit itu berlari dengan cepat. Sebatang tombak telah
dilontarkan kepadanya. Untunglah bahwa tombak itu tidak
mengenainya meskipun telah mengejutkannya.
Pa da saat prajurit itu berlari ke longkangan y ang lain,
maka Jayaraja telah meloncat keluar dari longkangan yang
satu lagi. Dengan garangnya ia berteriak, "Tangkap Akuwu,
hidup atau mati." Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat sekelompok pasukan telah menebar. Perlahan-lahan
mereka mendekati pendapa.
Dengan dahi yang berkerut, Akuwu telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Jika mereka naik ke
pendapa sebelum pasukan berkuda datang, m aka tidak ada
jalan bagi Akuwu untuk dengan serta merta mempergunakan
kemampuan puncaknya untuk menghalaukan mereka.
"Jika m ereka akan mati seperti tebasan ilalang, bukan
salahku," berkata Akuwu kepada diri sendiri.
Selangkah demi selangkah mereka memang m endekat.
Sementara itu Jay araja telah meloncat naik ke pendapa sambil
berkata lantang, "jangan menyesal Akuwu, bahwa aku telah
datang lagi untuk mengadakan pendadaran. Tetapi sekarang,
akulah y ang m enentukan cara dan syaratnya. Tidak seorang
pun y ang akan dapat menghambat keputusanku ini."
Namun Jay araja menjadi marah k etika ia tidak melihat
Akuwu menjadi ketakutan. Akuwu Sangling masih tetap
bersikap sebagaimana seorang Senapati besar. Bahkan
kemudian katanya, "Cara dan syarat apakah yang kau ajukan
Jayaraja?" "Sy aratnya, kau berdiri sendiri, sedangkan aku akan
bertempur bersama-sama dengan sekelompok pengikutku.
Mereka adalah orang-orang terpilih, sehingga kau tidak akan
mempunyai kesempatan untuk mempertahankan dirimu.
Kemudian kau mati dan seisi Sangling akan tunduk
kepadaku," Jayaraja itu pun kemudian tertawa. Katanya
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selanjutnya, "jangan meny esal. Bagaimanapun juga namamu
akan tetap dicatat oleh sejarah, bahwa kau pernah terselip
dalam daftar nama para Akuwu di Sangling meskipun hanya
untuk waktu y ang pendek."
Akuwu Sangling terseny um. Tanpa menunjukkan
kegelisahan sedikit pun ia menjawab, "Marilah, siapakah yang
akan maju paling depan?"
Tantangan itu justru membuat para pengikut Jayaraja
menjadi ragu -ragu untuk melangkah maju.
Jayaraja sendiri menjadi ragu-ragu pula. Ia tidak melihat
sama sekali kesan kecemasan pada Akuwu Sangling meskipun
dihadapannya bertebaran sekelompok orang terpilih yang siap
membunuhnya. Namun k eragu-raguan Jay araja dan orang-orangnya itu
ternyata telah menjebak mereka ke dalam kesulitan yang
semakin tinggi. Baru beberapa saat kemudian Jay araja lah yang mulamula
meloncat m endekat sambil m emberi isy arat kepada dua
orang y ang paling baik di antara orang-orangnya. Mereka telah
mendekati Akuwu Sangling dari arah y ang berbeda.
Tetapi pada saat y ang demikian, muncul dari
longkangan y ang lain dari yang dilalui oleh para pengikut
Jayaraja itu, sekelompok prajurit Sangling, justru dari pasukan
berkuda. Para pengikut Jay araja memang menjadi berdebar-debar
melihat kehadiran sekelompok prajurit itu. Namun yang
datang tidak mempunyai banyak kesempatan. Pasukan
berkuda y ang datang itu tanpa banyak persoalan telah
menyerang mereka. Para pengikut Jayaraja tidak mempunyai pilihan lain
kecuali bertempur melawan pasukan berkuda yang
sekelompok itu, yang memang telah dipersiapkan oleh Akuwu
untuk meny ertainya menghadapi Jay araja jika laporan tentang
orang itu telah sampai kepadanya.
Jayaraja pun menjadi berdebar-debar pula. Namun
ketika para pengikutnya telah bertempur, Jayaraja
berpendapat, bahwa ia harus cepat meny elesaikan Akuwu itu,
agar ia dapat membantu para pengikutnya menghadapi
pasukan berkuda yang tentu sebuah pasukan y ang kuat.
Namun didalam hati Jayaraja itu masih juga
mengumpat, " Iblis licik itu m asih juga menyimpan pasukan
cadangan meskipun hanya sedikit."
Demikianlah pertempuran di halaman istana Akuwu
Sangling itu menjadi semakin sengit. Para prajurit dari
pasukan pengawal khusus telah bertempur menghadapi
sepasukan pengikut Jay araja y ang kuat, sementara itu
sekelompok pasukan berkuda harus menghadapi sekelompok
orang-orang y ang paling baik dari para pengikut Jay araja.
Dalam pada itu, Akuwu Sangling sendiri telah
berhadapan dengan tiga orang terbaik dari orang-orang yang
telah meny erang istananya itu.
"Jay araja," berkata Akuwu, "jangan kecewa bahwa
sekelompok prajurit telah m engikat para pengikutmu dalam
pertempuran sehingga hanya kau bertiga sajalah y ang harus
aku layani." "Akuwu Sangling," berkata Jay araja, "kau sangka bahwa
kau akan dapat lepas dari tangan kami. Pada saat kau
mengadakan say embara m enjelang pengangkatanmu m enjadi
Akuwu, maka kau berhasil mengalahkan aku. Tetapi waktu itu
aku hanya sendiri. Sekarang kau tidak akan m ampu berbuat
banyak, karena aku datang bertiga. Biarlah kita tidak
menghiraukan apa yang terjadi di halaman. Mungkin orangorangku
akan terbunuh, tetapi mungkin pula para prajuritmu
akan habis dibantai oleh para pengikutku. Tetapi y ang jelas,
bahwa kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk
lolos." Mahisa Bungalan y ang kemudian disebut Akuwu
Sangling itu tersenyum. Katanya, "Aku tidak pernah
mengadakan say embara. Tetapi aku mengerti yang kau
maksudkan. Sementara itu kini kau datang untuk mengulangi
kekalahanmu. Justru lebih parah meskipun kalian bertiga. Aku
di sini tidak terikat oleh paugeran apapun. Aku dapat
membunuhmu dan kedua orang kawanmu."
"Persetan," geram Jay araja.
Ternyata ia tidak menunggu lagi. Ia pun segera meloncat
menyerang diikuti oleh kedua orang yang bersamanya
mengepung Akuwu Sangling itu.
Tetapi serangan yang pertama itu dapat dielakkannya.
Meskipun kemudian kedua orang pengikut Jayaraja itu
menyerang pula bersama-sama, namun Akuwu sama sekali
belum merasakan tekanan yang menentukan dari ketiga orang
itu. Tetapi ternyata ketiga orang itu pun telah meningkatkan
kemampuannya. Mereka meny erang Akuwu Sangling semakin
garang, seperti badai yang mengamuk tanpa dapat dikekang
lagi. Akuwu Sangling mulai m erasakan tekanan ketiga orang
yang telah m eningkatkan serangan mereka. Karena itu, maka
Akuwu pun harus berbuat hal y ang sama. Akuwu pun telah
meningkatkan ilmunya, sehingga ia masih mampu
mengimbangi kemampuan ketiga orang lawannya.
Namun karena arah serangan ketiga orang lawannya itu
berbeda dan datang susul menyusul, maka rasa-rasanya
Akuwu harus menentukan sikap secepatnya untuk melawan
ketiga orang y ang bergerak semakin cepat dan kuat itu.
Beberapa saat kemudian Akuwu tidak mau lagi
dipusingkan oleh ketiga orang lawannya. Karena itu, maka ia
pun telah menghentakkan kekuatannya ke satu arah. Justru ke
arah Jay araja sendiri. Jayaraja m emang terkejut mengalami serangan Akuwu
yang seru itu. Sekilas ia teringat saat-saat ia mengikuti
pendadaran atas Akuwu Sangling itu. Serangannya y ang cepat
dan kuat sehingga tidak mampu diatasinya lagi.
Demikian pula, serangan-serangan Akuwu saat itu,
sehingga Jayaraja sendiri t elah terdesak beberapa saat surut.
Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh Akuwu sebaikbaiknya.
Ia menekan Jay araja semakin berat.
Jayaraja memang telah terdesak. Tetapi kedua orang
pengikutnya telah siap untuk meloncat dan membantunya.
Tetapi ketika kedua orang itu memburu Akuwu untuk
membantu Jay araja, maka tiba-tiba saja Akuwu telah
melenting keluar dari kepungan mereka.
Jayaraja mengumpat. Tetapi ia mendapat kesempatan
untuk bernafas. Sementara kedua orang pengikutnya berada di
sebelah meny ebelah. Akuwu Sangling kemudian berdiri tegak dihadapan
mereka bertiga. Ia pun telah bersiap menghadapi
kemungkinan y ang lebih keras dalam pertempuran itu.
Sementara itu, di halaman telah terjadi pertempuran
yang keras pula. Para pengikut Jay araja telah berusaha untuk
menekan para prajurit Sangling. Namun pengawal khusus
Akuwu itu ternyata telah berjuang sekuat-kuat m ereka untuk
mempertahankan diri. Tetapi para pengikut Jayaraja ternyata jauh lebih banyak
sehingga mereka berhasil mendesak pasukan pengawal.
Berbeda dengan para pengawal khusus y ang terdesak,
maka pasukan berkuda Sangling y ang bersiap untuk mengikuti
Akuwu melawan pemimpin tertinggi dari pemberontakan itu,
mendapat kesempatan lebih baik. Merekalah yang m endesak
para pengikut Jay araja y ang terpilih, karena jumlah mereka
ternyata seimbang. Karena itu, maka Panglima pasukan berkuda itu telah
mengambil sikap untuk membuat keseimbangan di halaman
istana itu. Karena itu, maka ia pun telah m emutuskan untuk
memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk bergeser
dan bertempur bersama para pengawal khusus.
Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran
itu-pun segera berubah. Usaha Panglima pasukan berkuda itu
ternyata berhasil. Para pengikut Jayaraja yang memasuki
pintu gerbang dan bertempur melawan pasukan khusus itu
tidak lagi berhasil mendesaknya. Mereka telah tertahan dan
harus mengerahkan tenaga untuk berusaha mendesak kembali
para prajurit. Tetapi mereka tidak segera berhasil. Dengan kemarahan
yang membakar jantung, maka prajurit Sangling itu telah
bertempur dengan garang. Diluar halaman istana itu, pertempuran m emang telah
terjadi pula dimana-mana. Semakin lama semakin seru.
Apalagi ketika kedua belah pihak telah berkeringat. Tangantangan
yang basah itu membuat senjata mereka semakin cepat
berputar. Namun kemudian ternyata bahwa pasukan Sangling
perlahan-lahan mengatasi keadaan. Mereka pun telah
berusaha untuk menarik semua kekuatan ke titik -titik
pertempuran. Para prajurit yang masih berada di tempattempat
y ang terpisah dari pertempuran, telah mendapat
isy arat untuk bergeser ke daerah pertempuran y ang semakin
sengit. Dengan demikian maka prajurit Sangling yang semakin
terkumpul itu, telah berhasil m enekan lawan-lawan mereka.
Meskipun di satu dua tempat, terjadi juga bahwa para
pengikut Jay araja lah y ang mendesak pasukan Sangling.
Pa da saat yang demikian, diluar dinding kota prajurit
Sangling benar-benar telah menguasai para pengikut Jayaraja.
Bahkan sebagian besar di antara mereka justru telah
menyerah. Mereka telah diikat pada batang-batang pohon.
Beberapa di antara prajurit harus menjaga para tawanan itu,
sementara y ang lain telah menyusul m emasuki gerbang kota,
dan menggabungkan diri dengan para prajurit Sangling yang
lain yang sedang berjuang untuk melawan para pemberontak
yang berusaha menguasai kota.
Dengan kehadiran para prajurit dari luar kota itu, maka
kedudukan para prajurit Sangling menjadi semakin kuat.
Perlahan-lahan tetapi pasti, maka para prajurit Sangling
telah mulai menguasai para pemberontak.
Sementara itu di halaman istana Akuwu Sangling para
prajurit Sangling pun menjadi semakin mapan. Para pengikut
Jayaraja sama sekali tidak lagi dapat mendesak mereka.
Bahkan semakin lama merekalah y ang semakin terdesak.
Ketika korban mulai jatuh di kedua belah pihak, maka
prajurit Sangling pun menjadi semakin garang pula.
Di pendapa, Akuwu Sangling masih bertempur melawan
tiga orang. Jay araja bersama dua orang kepercayaannya.
Namun ternyata bahwa gabungan kekuatan mereka
bertiga benar -benar telah memaksa Akuwu Sangling harus
meningkatkan kekuatan dan kemampuannya pula. Dengan
cepat dan tangkas k etiga orang itu meny erang berganti-ganti.
Susul menyusul seperti arus gelombang di laut.
Meskipun demikian, Akuwu Sangling tidak menjadi
gentar. Iapun menjadi semakin keras pula menghadapi
lawannya. Ilmunya semakin meningkat, sehingga akhirnya,
sampai pada satu batas yang mengguncangkan jantung ketiga
orang lawannya. Betapapun ketiga orang lawannya itu mengerahkan
segenap kemampuan y ang ada didalam dirinya, namun bagi
mereka Akuwu Sangling bagaikan karang yang berdiri tegak
menghadapi deru gelombang yang bagaimanapun dahsyatnya.
Tetapi Jayaraja dan kedua orang pengikutnya, y ang
terpilih itu pun tidak dengan cepat menjadi putus a sa. Mereka
pun merasa orang-orang berilmu, sehingga pada tataran
tertentu, kemampuan mereka akan mencapai puncaknya,
sehingga dengan demikian, maka mereka bertiga akan
menjadi kekuatan yang tidak akan terlawan oleh siapa pun
juga. Apalagi ketika Jay araja kemudian melihat sekilas-sekilas
para pengikutnya yang bertempur di halaman menjadi
semakin terdesak. Dengan demikian maka kegelisahannya pun
menjadi semakin mencengkam jantung.
Bagi Jay araja, maka tidak ada pilihan lain daripada
dengan cepat membinasakan Akuwu Sangling itu.
Dalam keadaan yang demikian maka Jayaraja itu pun
telah berteriak, "Marilah, jangan dihambat oleh perasaan belas
kasihan lagi. Siapa pun yang mungkin dibunuh, bunuh sajalah.
Kami yang di pendapa ini pun akan segera membunuh Akuwu
Sangling yang sebenarnya tidak berhak untuk memerintah di
Sangling ini." Suara Jay araja itu memang memberikan dor ongan pada
para pengikutnya. Tetapi mereka adalah orang-orang berada
dalam keterbatasan. Betapapun niat mereka bergelora di
dalam dada mereka, namun kemampuan mereka memang
terbatas, sehingga karena itu, maka betapapun mereka
mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan, tetapi m ereka
tidak berhasil m endesak para pengawal khusus Sangling yang
sudah diperkuat oleh pasukan berkuda.
Dalam pada itu, Jayaraja pun telah memerintahkan
kedua orang kawannya mengerahkan kemampuan mereka.
Kepada kedua orang itu Jay araja telah berkata, "Marilah.
Kesempatan kita hampir habis. Kita harus dapat
menghancurkan orang ini sebelum pasukan kita pecah."
Kedua orang kawannya tidak menjawab. Namun
mereka-pun kemudian telah meningkatkan kemampuan
mereka. Seperti Jay araja mereka menyadari, bahwa jika
mereka terlalu lama bertempur, maka keadaan pasukan
Jayaraja di halaman itu akan mengalami banyak kesulitan.
Akuwu Sangling sendiri memang telah siap menghadapi
segala kemungkinan. Akuwu telah menjajagi kemampuan
Jayaraja sepenuhnya karena ia memang pernah bertempur
melawannya. Tetapi kemampuan sebenarnya dari kedua orang
itu masih diragukannya. Mungkin tidak perlu dicemaskan,
sebagaimana yang diny atakan dalam pertempuran itu. Namun
mungkin juga mereka dengan sengaja menyimpan
kemampuan mereka yang sangat tinggi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, pertempuran pun
menjadi semakin cepat. Ternyata kedua orang itu masih belum
sampai ke puncak kemampuan mereka. Keduanya setapak
demi setapak telah meningkatkan ilmu mereka masingmasing.
Jayaraja menunjukkan kelimpatannya sebagaimana
dikenal oleh Akuwu pada saat pendadaran. Namun pada saat
itu pun Jayaraja tidak mampu mengatasiny a, bahkan sebelum
ilmunya sampai ke puncak.
Tetapi saat itu, Jay araja tidak sendiri, sehingga karena
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
Demikianlah maka pertempuran antara Akuwu Sangling
melawan Jayaraja dan kedua orang kawannya itu pun menjadi
semakin sengit. Ternyata bahwa kedua orang kawan Jayaraja
itu juga orang -orang yang ilmunya tidak dapat diabaikan.
Dengan sepenuh kemampuannya, Jay araja telah
menyerang Akuwu. Sementara itu kedua orang kawannya
telah ber siap pula untuk berbuat sesuatu jika Akuwu berhasil
mengelak. Sebenarnyalah Akuwu Sangling sempat mengelakkan
serangan Jayaraja. Demikian kaki Akuwu menyentuh tanah,
maka kedua orang itu sudah meloncat dengan cepat,
menyerang Akuwu dari dua arah.
Tetapi Akuwu memang cukup tangkas. Ia pun segera
bergeser sambil menggeliat. Dua serangan dari arah yang
berlawanan berhasil dielakkannya.
Namun pada saat yang demikian, Jay araja telah
menyerangnya pula, demikian dahsyatnya, sehingga ay unan
tangannya telah mengalirkan angin y ang menampak
tubuhnya. Meskipun Akuwu berhasil menghindar, tetapi angin
yang menyambarnya itu membuat kulitnya menjadi pedih.
"Gila, ilmu apa pula ini?" bertanya Akuwu Sangling itu.
Tetapi Akuwu tidak sempat merenunginya terlalu lama.
Dalam saat yang sekejap, kedua orang kawan Jayaraja itu telah
menyerang. Hampir berbareng mereka menjulurkan kakinya,
sehingga hampir saja Akuwu telah dikenainya.
Namun usaha kedua orang itu sia -sia. Dengan tangkas
Akuwu menghindarinya. Sambil m erendahkan diri sedikit, iapun
telah berputar, sehingga kedua serangan itu sama sekali
tidak meny entuhnya. Akuwu tidak membiarkan dirinya menjadi sa saran
serangan terus-menerus. Ia pun kemudian telah melenting
dengan cepat. Kakinya terjulur lurus. Namun karena Jayaraja
sempat m elihat serangan itu dan m engelak, maka serangan
Akuwu beralih. Tiba-tiba saja ia telah memutar tubuhnya.
Dengan sekali ay unan, kakinya menyambar seorang kawan
Jayaraja. Tetapi orang itu pun sempat m engelak pula. Demikian
cepatnya, sehingga ayunan kaki Akuwu tidak meny entuhnya.
Namun Akuwu tidak menghentikan serangannya. Di luar
dugaan bahwa tiba -tiba Akuwu telah menyilangkan kakinya
sambil merendah. Demikian cepat, Akuwu telah meloncat
miring dengan kakinya yang terjulur lurus.
Kawan Jay araja yang seorang lagi tidak mempunyai
kesempatan untuk m engelak. Karena itu, ia berusaha untuk
menyilangkan tangannya menangkis serangan Akuwu yang
keras itu. Sebuah benturan memang telah terjadi. Ternyata orang
itu pun memiliki ilmu yang tinggi. Terasa kaki Akuwu memang
bagaikan tergetar oleh kekuatan y ang sangat besar.
Tetapi pada saat yang bersamaan, lawan Akuwu itu telah
terlempar beberapa langkah, bahkan kemudian jatuh
berguling keluar dari pendapa itu.
Jayaraja dan seorang kawannya sempat
menyaksikannya. Jantung mereka pun telah berdebaran.
Serangan Akuwu itu tentu serangan yang luar biasa kerasny a.
Untuk beberapa saat, Jay araja dan seorang kawannya
justru termangu-mangu. Namun m ereka pun telah m enarik
nafas dalam-dalam ketika mereka melihat kawannya yang
terbanting di halaman itu pun telah bangkit.
Orang itu m emang meny eringai menahan sakit. Namun
kemudian ia pun telah berdiri tegak. Wajahnya
membayangkan dendam yang membara sementara giginya
gemeretak menahan gejolak di jantungnya.
Dengan segenap kemampuannya orang itu berusaha
untuk mengatasi perasaan sakit. Kemudian dengan lantang ia
berkata, "Akuwu, jangan tergesa-gesa merasa bahwa kau akan
menang, kami ketiga orang yang melawanmu, sama sekali
belum sampai ke puncak kemampuan ilmu kami. Jika kami
terpaksa melepaskan ilmu puncak itu, maka kau tentu akan
menyesal." Akuwu tersenyum. Katanya, "Aku tahu, bahwa kalian
masih belum melepaskan ilmu puncak kalian. Aku tahu,
bahwa Jay araja mampu meningkatkan ilmunya sampai ke
tataran yang sangat tinggi. Aku pernah bertempur
melawannya pada saat Jayaraja mencoba untuk membatalkan
pencalonanku. Pada puncak ilmunya, tangannya dapat
berasap. Nah, aku belum melihat tangannya berasap sekarang
ini, sehingga karena itu aku tahu, bahwa kemampuannya
belum sampai ke puncak."
"Persetan," geram Jay araja, "kau ingin mengatakan,
bahwa dalam pendadaran itu, kau telah m enang. Tetapi kau
tahu, bahwa penilaian itu tidak jujur. Aku belum benar-benar
sampai ke puncak ilmuku. Aku belum mempergunakan
senjataku." Akuwu Sangling termangu -mangu. Ia mulai
memperhatikan senjata ketiga orang y ang siap bertempur
kembali. Jika mereka mempergunakan senjata m ereka, maka
Akuwu pun harus mengimbanginya. Ia harus juga
mempergunakan senjata. Senjata di tangan-tangan orang
berilmu itu tentu akan sangat berbahaya baginya. Apalagi
mereka bertiga akan mampu bekerja sama dengan sangat
mapan. Namun demikian, untuk beberapa orang tertentu,
senjata justru terasa akan mengganggu. Kekuatan ilmu mereka
Raja Silat 2 Dendam Asmara Karya Okt Bagus Sajiwo 11
keramas, makan dan minum, mata mereka menjadi
semakin lekat. Meskipun demikian, ada juga diantara mereka yang
tidak segera dapat tertidur. Mereka masih sempat
merenungkan apa yang telah mereka lakukan. Namun
akhirnya mereka pun telah kehilangan kesadaran diri ketika
mata mereka terpejam. Desah nafas yang teratur
menyatakan bahwa mereka telah tertidur pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah ikut
mandi dan keramas pula, tidak segera tertidur seperti para
Senapati. Mereka mempergunakan kesempatan untuk
menghadap Akuwu Sangling untuk memberikan laporan
tentang kedua puluh Senapati yang telah menempa diri itu.
"Terima kasih," berkata Mahisa Bungalan, "jika aku
sendiri yang harus melakukannya, mungkin aku
memerlukan waktu yang berlipat ganda. Mungkin jika
keadaan Pakuwon ini sudah mapan seperti Sangling, aku
mempunyai banyak kesempatan. Tetapi dalam keadaan
sekarang, waktuku rasa-rasanya sangat sempit."
"Sekaligus untuk menguji ketahanan tubuh kami
berdua kakang" berkata Mahisa Pukat.
Akuwu Sangling itu tersenyum. Katanya kemudian,
"Lewat tengah hari aku akan pergi ke barak itu. Aku akan
melihat keadaan para Senapati yang mengalami keletihan
yang sangat itu." "Silahkan," berkata Mahisa Murti, "sekarang, biarlah
mereka beristirahat. Agaknya mereka telah memaksa diri
untuk dapat sampai pada bagian terakhir dari latihanlatihan
ini." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun
kemudian katanya, "Mungkin kalian berdua juga
memerlukan istirahat. Beristirahatlah di sini."
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menggeleng.
"Biarlah kami berada di barak bersama mereka"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah ia-pun sependapat dengan kedua adiknya,
bahwa mereka sebaiknya memang berada di barak, diantara
para Senapati yang kelelahan itu.
Karena itulah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun kemudian telah kembali lagi ke barak dan seperti para
Senapati, maka keduanya pun telah berbaring pula.
Sebenarnyalah bahwa keduanya pun merasa letih seperti
para Senapati. Tetapi karena keduanya telah mengalami
latihan-latihan dan pembajaan diri yang sangat berat, maka
keduanya tidak nampak terlalu letih seperti para Senapati
yang untuk pertama kalinya mengalami. Meskipun mereka
telah terbiasa melakukan latihan-latihan yang berat sebagai
prajurit, namun latihan itu sama sekali tidak sebanding
dengan latihan-latihan yang baru saja mereka jalani
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ketika matahari melewati puncaknya, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah terbangun. Meskipun
mereka belum cukup lama beristirahat, tetapi bagi
keduanya, waktu yang sedikit itupun-telah memadai.
Setelah keduanya membenahi diri, maka mereka
mulai membangunkan para Senapati, karena menurut pesan
Akuwu Sangling, lewat tengah hari Akuwu akan pergi ke
barak. Sebenarnya para Senapati itu masih merasa sangat
segan untuk bangun. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat memberitahukan kepada mereka, bahwa Akuwu
akan datang ke barak itu.
Sebenarnyalah bahwa Akuwu telah datang ke barak
itu, justru pada saat para Senapati masih belum siap
seluruhnya. Karena itu, maka para Senapati itu pun dengan
tergesa-gesa telah mempersiapkan diri untuk menerima
kehadiran Akuwu. Para Senapati itu pun kemudian telah bersiap di
halaman barak, sementara Akuwu berada di ruang khusus
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Beberapa orang
pengawal yang datang bersama Akuwu menunggu di regol
halaman barak itu. Ketika para Senapati sudah siap, maka Akuwu pun
telah menemui mereka di halaman barak.
Sekilas Akuwu melihat kelesuan di wajah para
Senapati itu. Agaknya sebagian dari mereka masih merasa
sangat letih, sehingga mata mereka masih terasa berat.
Namun sikap mereka sebagai prajurit telah membuat
mereka berdiri tegap ketika Akuwu mendekati mereka
seorang demi seorang. Dengan sikap seorang Senapati besar Akuwu Sangling
memperhatikan para Senapati itu. Sekali-sekali ia
menyentuh bahu seorang diantara para Senapati itu. Sekalisekali
mengguncangnya dan bahkan sekali-sekali ia
mendorongnya. Namun Akuwu pun itu pun kemudian menganggukangguk
sambil berkata kepada para Senapati itu, "Ternyata
kalian adalah orang-orang yang paling pantas untuk
menjadi benteng bagi Sangling. Apa yang telah kalian
lakukan telah memberikan kebanggaan bagi seluruh rakyat
Sangling." Para Senapati itu menjadi semakin mantap. Pujian itu
rasa-rasanya telah meningkatkan hasrat pengabdian.
Meskipun sebenarnya mereka tidak menginginkan pujian
atas tugas-tugas yang mereka selesaikan, karena itu
memang sudah menjadi kewajiban mereka. Namun pujian
yang tulus memang dapat menyentuh perasaan mereka.
Akuwu Sangling itu pun kemudian masih
memberikan beberapa pesan kepada para Senapati yang
baru saja menyelesaikan tugas mereka itu.
"Aku sengaja tidak sekedar menunggu kalian datang
melaporkan diri. Tetapi aku datang kepada kalian untuk
melihat sendiri keadaan kalian yang sangat letih setelah
mengalami pembajaan diri yang berat" berkata Akuwu.
Para Senapati itu mendengarkan semua pesan dengan
kesungguhan hati. Dalam pada itu Akuwu pun berkata pula, "Hari ini
kalian masih berada di sini bersama-sama dengan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Kalian masih akan dapat
memperbincangkan beberapa masalah dengan mereka.
Namun keduanya besok akan meninggalkan Sangling dan
kembali ke padepokan kecilnya yang sepi itu."
Para Senapati itu telah berpaling ke arah kedua anak
muda itu tanpa sadar. Rasa-rasanya hati mereka memang
berat untuk melepaskan mereka pergi.
"Nah," berkata Mahisa Bungalan, "hari ini adalah
kesempatan bagi kalian untuk yang terakhir. Meskipun
bukan berarti bahwa keduanya tidak akan pernah datang
lagi ke Sangling. Pada saat-saat yang senggang, maka kita
semuanya berharap keduanya akan sempat berada di antara
kita lagi." Para Senapati itu mengangguk kecil. Tetapi rasarasanya
kedua anak muda itu telah menjadi keluarga bagi
mereka. Akuwu masih berbicara beberapa lama lagi, sehingga
akhirnya Akuwu pun berkata, "Nah, kalian tentu masih
lelah. Aku kira aku sudah cukup melihat keadaan kalian
dekat dengan saat-saat kalian selesai menempa diri. Kalian
semuanya memang nampak agak kurus dan pucat. Tetapi
dari sorot mata kalian, aku melihat bahwa kalian memiliki
kemungkinan yang jauh lebih baik bagi masa depan.
Demikian pula Sangling."
Siang itu Akuwu telah makan bersama-sama dengan
para Senapati. Tidak seperti saat-saat para Senapati itu
makan setelah mereka menjadi sangat haus dan lapar,
sehingga justru sangat dibatasi. Tetapi siang itu mereka
mendapat kesempatan untuk makan seberapa mereka
inginkan. "Semakin banyak kalian makan, maka kekuatan
kalian akan semakin pulih kembali," berkata para pelayan
di dapur, karena itu, kalian harus menghabiskan semua
makanan dan minuman yang kami sediakan."
"Sst," desis seorang Senapati, "Akuwu makan
bersama kita. Mana mungkin kami akan makan sekehendak
kami." "Akuwu tidak memperhatikan kalian," jawab pelayan
itu, "Akuwu agaknya sedang menikmati masakanku yang
memang jarang ada tandingannya."
Senapati itu tersenyum. Katanya, "Masakanmu
memang jarang ada tandingannya. He, kau buat sayur apa
hari ini" Mirip dengan jamu cabe puyang."
Pelayan itu membelalakkan matanya. Tetapi Senapati
itu cepat berkata, "jangan marah. Bukan rasanya. Tetapi
akibatnya pada tubuhku yang letih. Hangat dan segar."
Tetapi pelayan itu tidak menjawab lagi. Sambil
mengerutkan dahinya ia pun meninggalkan Senapati itu.
Demikianlah Akuwu berusaha untuk meyakinkan
kepada para Senapatinya, bahwa apa yang telah mereka
lakukan itu akan memberikan banyak arti.
Setelah beberapa lama Akuwu berada di barak itu,
maka Akuwu Sangling pun telah minta diri. Namun ia
berpesan kepada kedua adiknya, bahwa sebelum mereka
meninggalkan Sangling, maka mereka diminta untuk
datang ke istana Akuwu. "Malam ini biarlah kami berada di barak," berkata
Mahisa Murti kepada kakaknya, "kami masih minta agar
para Senapati itu tetap berada di barak malam ini.
Meskipun saat-saat menempa diri itu sudah lewat, namun
mungkin masih ada yang perlu kami bicarakan. Sementara
itu, biarlah para Senapati mendapat kesempatan untuk
menyesuaikan diri mereka kembali dengan suasana seharihari
mereka." Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Baiklah. Datang sajalah besok pagi-pagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sejenak kemudian maka Akuwu Sangling itu pun
telah meninggalkan barak para Senapati itu diikuti oleh
beberapa orang pengawalnya kembali ke istana.
Sepeninggal Akuwu Sangling, para Senapati pun
kembali mendapat waktu beristirahat. Namun beberapa saat
kemudian, maka mereka pun telah bergantian pergi ke
pakiwan yang terdapat di beberapa tempat di halaman
belakang barak itu. Setelah mereka mandi maka tubuh
mereka pun menjadi segar.
Menjelang senja para Senapati itu masih berkumpul di
halaman barak. Mereka memang masih merasakan suasana
pembajaan diri yang berat. Namun ketika Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sikapnya sudah jauh berbeda dengan
saat-saat mereka mendapat tugas untuk menempa para
Senapati itu, maka para Senapati pun telah menyesuaikan
diri pula. "Kita masih sempat berbincang-bincang," berkata
Mahisa Murti, "meskipun kita tidak usah bersikap tegang."
Para Senapati menarik nafas dalam-dalam. Memang
ada beberapa hal yang akan mereka tanyakan. Namun para
Senapati itu harus menyesuaikan diri dengan sikap Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu.
Meskipun demikian, suasana itu tidak mengurangi
bobot pembicaraan mereka. Justru sikap Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu telah memberikan keleluasaan dan
kebebasan para Senapati untuk berbincang tentang banyak
hal. Terutama tentang kerja keras yang baru saja mereka
lakukan. "Kami mengharap bahwa dengan demikian kerja itu
akan ada gunanya" berkata Mahisa Murti.
"Tentu," sahut seorang Senapati yang kemudian
bertanya, "namun apakah untuk selanjutnya kami dapat
mengembangkan ilmu kami tanpa batas?"
"Apa maksudmu tanpa batas" Bukankah ilmu yang
kau kuasai itu sangat terbatas" Jika yang kau maksud tanpa
batas adalah kemungkinan-kemungkinan yang dapat kau
jangkau kemudian dengan perkembangan penalaranmu
terhadap ilmunya, memang demikian. Tetapi tentu ada
batasnya. Bukankah pada dasarnya nalar budi kita itu
sangat terbatas?" sahut Mahisa Murti.
Senapati itu mengangguk-angguk. Katanya,
"Mungkin angan-anganku yang melambung terlalu tinggi.
Aku mengerti." Mahisa Murti tersenyum, sementara itu Mahisa Pukat
pun berkata, "Pada dasarnya ilmu kalian tentu mempunyai
landasan yang berbeda-beda sebelum kalian menjadi
seorang prajurit. Namun dalam lingkungan keprajuritan
kalian mendapat pengetahuan baru tentang olah kanuragan.
Mungkin dalam hal perang gelar, kesatuan sikap dan
penalaran serta hal-hal yang harus diketahui bersama-sama,
sehingga setiap kesatuan prajurit dapat bergerak serempak.
Namun bukan berarti bahwa secara pribadi kalian tidak
diperkenankan memiliki bekal. Karena itu, maka yang kita
lakukan selama ini adalah mencari kemungkinan itu. Baik
secara pribadi maupun dalam kelompok dan kesatuan kita
masing-masing. Secara pribadi kalian akan mengenali
kembali unsur-unsur gerak yang pernah kalian kenal.
Kalian akan menilainya kembali. Bukan sekedar bentuk dan
ujudnya, tetapi isi dan makna dari setiap unsur gerak itu.
Kemudian berusaha menemukan perpanjangan dan
pengembangan dari makna yang ada di dalamnya untuk
menemukan unsur-unsur baru yang memiliki makna yang
serupa namun memiliki tingkat kekuatan yang lebih besar."
Para Senapati itu mengangguk-angguk. Mereka pun
menjadi semakin jelas. Bahkan beberapa orang Senapati
telah berhasil melihat kembali apa yang ada di dalam diri
mereka masing-masing. Kemudian mulai membayangkan
nilai-nilai baru yang akan dicapainya. Meskipun seperti
yang dikatakan oleh Mahisa Murti, bahwa mereka
bukannya dapat berbuat tanpa batas, karena pada dasarnya
setiap orang penalaran dan budinya justru sangat terbatas.
Ternyata bahwa pembicaraan itu telah berkembang
pula. Para Senapati telah mengemukakan persoalanpersoalan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang belum dapat dipecahkannya sendiri dalam
renungan-renungan yang mereka lakukan sebelumnya.
Dengan demikian maka para Senapati itu pun telah
memanfaatkan kesempatan terakhir mereka berada bersama
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Bahkan para Senapati itu pun telah memerintahkan
para pelayan di barak itu untuk memasang obor, agar
mereka tidak perlu berpindah tempat. Bahkan makan
malam pun mereka tetap berada di halaman.
Namun dengan demikian, mereka benar-benar merasa
bahwa kesempatan terakhir itu pun sangat berarti bagi
mereka. Dalam pembicaraan yang terasa lebih bebas daripada
saat-saat mereka melakukan penempaan diri itu ternyata
sangat menarik bagi para Senapati, sehingga mereka telah
melupakan waktu dan keletihan yang mereka alami.
Bahkan malam pun terasa berlangsung sangat cepat.
Sehingga para Senapati itu terkejut ketika mereka
mendengar kokok ayam jantan di tengah malam.
"Malam telah larut" berkata Mahisa Murti.
"Sayang sekali," berkata seorang Senapati, "ternyata
bahwa masih banyak yang akan kita tanyakan."
"Kalian dapat membicarakan diantara kalian," sahut
Mahisa Murti, "Tanpa kami, bukan berarti bahwa kalian
tidak akan mampu menemukan jawabnya."
Para Senapati itu pun kemudian mengangguk-angguk.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata, "Sebaiknya kita
beristirahat." "Sekaligus kami mohon diri," berkata Mahisa Pukat
pula, "besok kami akan meninggalkan barak ini dan bahkan
meninggalkan Sangling. Kami akan kembali ke padepokan
kecil kami, karena kami masih mempunyai tugas yang
harus kami lakukan di padepokan itu."
"Apakah sangat penting?" bertanya seorang Senapati.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Sama pentingnya
sebagaimana Kakang Akuwu berada di Sangling."
Para Senapati itu mengangguk-angguk. Sebagian dari
para Senapati itu memang pernah melihat padepokan
Suriantal. Karena itu maka mereka dapat membayangkan,
kenapa kedua anak muda itu ingin segera kembali ke
padepokan. Batu yang kehijau-hijauan itu memang dapat
mengundang orang-orang yang tamak untuk berusaha
memilikinya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah mempersilahkan para Senapati untuk kembali
memasuki bilik mereka. "Beristirahatlah, agar kalian besok sudah tidak merasa
letih lagi. Bukankah besok kalian sudah diperkenankan
kembali pulang" Dengan kehadiran Akuwu ke barak ini,
maka kalian telah dibebaskan dari kewajiban untuk
melaporkan diri setelah kalian menjalani penempaan diri.
Sehingga dengan demikian, maka kalian mulai besok dapat
menikmati hari-hari yang bebas dari segala tugas. Bukankah
kalian mendapat istirahat selama tiga hari?" bertanya
Mahisa Murti. "Ya," jawab salah seorang diantara para Senapati itu,
"Tetapi kami tentu tidak akan sempat mempergunakan
waktu yang tiga hari itu untuk beristirahat."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Rasa-rasanya kami tidak mau kehilangan hubungan
dengan saat-saat yang sangat berharga ini" jawab Senapati
itu. Mahisa Pukat tersenyum. Katanya, "Mudahmudahan
kalian berhasil." Para Senapati itu hanya dapat menarik nafas. Namun
mereka memang ingin berbuat sesuatu terhadap ilmu yang
sudah mereka miliki. Dengan demikian, maka pertemuan itu pun segera
diakhiri. Para Senapati itu pun segera kembali ke dalam
bilik mereka masing-masing. Namun ternyata para Senapati
itu tidak segera dapat tertidur. Meskipun tubuh mereka
masih terasa letih, tetapi gejolak didalam jiwa mereka
mampu mengatasi keletihan itu.
Bahkan hampir semuanya telah menemukan satu
kesadaran yang sebenarnya bukan kesadaran baru karena
sebelumnya me-reka pun sudah mengetahui, bahwa
dorongan kejiwaan mereka akan sangat berpengaruh atas
daya dan kekuatan wadag mereka.
Namun yang telah terjadi atas diri mereka itu pun
rasa-rasa-nya merupakan peringatan atas mereka tentang
kesadaran itu. Namun demikian, tidak seorang pun dapat menolak
keterbatasan diri masing-masing. Baik kewadagan maupun
kejiwaan . Sehingga karena itu, maka para Senapati itu pun
akhirnya telah tertidur pula.
Pagi-pagi benar para Senapati itu sudah bangun.
Mereka tidak mau ketinggalan tanpa dapat melihat
kepergian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Meskipun
keduanya masih sangat muda, bahkan diantara para
Senapati itu tidak ada lagi yang semuda keduanya, namun
keduanya telah dianggap sebagai guru oleh para Senapati
itu. Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pagi itu meninggalkan barak para Senapati yang selama
sepekan mengalami penempaan diri yang berat. Bagi
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka yang dilakukan itu
bukan saja memberikan arti bagi para Senapati
sebagaimana diinginkan oleh kakaknya, tetapi juga berarti
bagi diri mereka sendiri.
Para Senapati yang telah mengikuti penempaan diri
itu telah mengantar keduanya sampai ke regol halaman
barak mereka. Bahkan ketika Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah meninggalkan pintu barak itu, mereka masih
berdiri sambil melambaikan tangan mereka.
Sekali-sekali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
berpaling. Mereka pun merasa berat pula meninggalkan
para Senapati yang seakan-akan merupakan kawan berlatih
yang sangat baik, meskipun dengan cara yang khusus.
Namun mereka pun kemudian melangkah semakin
jauh dan hilang di kelok jalan.
Para Senapati yang ditinggalkan itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Satu-satu mereka bergerak masuk
kembali ke halaman barak dan bahkan ke dalam bilik
masing-masing. Barak itu menjadi tidak menarik lagi bagi
mereka, sehingga mereka pun segera berkemas karena
mereka pun akan meninggalkan barak itu pula.
Hari itu para Senapati yang mengikuti penempaan diri
itu pun kembali ke rumah masing-masing. Rasa-rasanya
mereka seperti kembali dari medan perang dengan
membawa kemenangan. Mereka melakukan penempaan
diri itu hanya sepekan. Tetapi rasa-rasanya mereka telah mempergunakan
waktu yang berlipat. Yang sepekan itu ternyata dapat
mereka manfaatkan sebaik-baiknya.
Seperti yang dikatakan oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, mereka memang tidak mempelajari unsur-unsur
gerak dari perguruan manapun juga selain beberapa contoh
yang diberikan oleh kedua anak muda itu. Atau pengenalan
ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menunjukkan
kepada mereka satu peragaan pertempuran dalam tataran
ilmu yang tinggi. Namun yang mereka lakukan telah
membuka kemungkinan yang jauh lebih luas lagi bagi para
Senapati itu berlandaskan ilmu mereka masing-masing.
Ketika para Senapati itu sampai di rumah, maka para
keluarga mereka pun rasa-rasanya melihat perubahan pada
para Senapati itu dilihat dari ujud kewadagannya. Sebagian
besar dari mereka kulitnya nampak jauh lebih hitam dibakar
terik matahari. Sebagian besar pula diantara mereka
menjadi agak kurus. Tetapi setelah mereka beristirahat
semalam, maka mereka tidak kelihatan pucat lagi.
Bahkan keluarga mereka pun dapat melihat keletihan
yang membebani para Senapati itu.
Keluarga para Senapati itu pun ternyata telah
menyambut mereka sebagaimana mereka pulang dari
medan pertempuran. Isteri-isteri mereka pun telah
menyediakan minuman hangat dan menyiapkan makan
yang paling baik bagi suami-suami mereka yang pulang dari
masa penempaan diri yang sangat berat.
Namun ketika mereka kemudian makan siang, para
Senapati itu sempat menceriterakan dengan senyum di bibir
mereka, apa yang telah mereka dapatkan dari Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Bahkan masih juga terdapat kecemasan bahwa ada
beberapa pihak yang masih menginginkan batu yang
memang jarang diketemukan itu. Apalagi setelah menjadi
sebuah patung yang menarik.
"Kedua adik akuwu itu masih sangat muda," berkata
seorang Senapati kepada isterinya, "namun ternyata bahwa
mereka telah memiliki ilmu yang luar biasa. Keduanya
telah menguasai dan mampu menyerap dan
mempergunakan kekuatan yang terdapat di dalam alam
sekitarnya. Tenaga cadangan yang tidak terhitung besarnya
dan kecerdasan berpikir yang sangat tinggi."
Isteri-isteri mereka pun mengangguk-angguk
keheranan. Karena dengan demikian maka mereka pun
menganggap bahwa Akuwu tentu memiliki kemampuan
ilmu yang lebih tinggi lagi. Dengan demikian maka
Sangling benar-benar telah diperintah oleh seorang yang
memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah berada di istana Akuwu Sangling. Mereka minta diri
untuk kembali ke padepokan mereka yang terpencil.
Keduanya merasa bahwa mereka telah terlalu lama
meninggalkan Suriantal. Rasa-rasanya mereka ingin segera
melihat, sejauh mana para pemahat menyelesaikan patung
batu hijau itu. Akuwu Sangling tidak berhasil menahan keduanya
untuk tinggal lebih lama lagi di Sangling. Karena itu, maka
kedua adiknya itu pun kemudian telah dilepaskan untuk
pergi. Namun Mahisa Bungalan itu pun masih juga
berpesan, "Tetapi aku minta sekali-sekali kau datang
kembali. Jika usahamu kali ini menunjukkan hasil yang
sangat baik, maka aku kira beberapa orang Senapati yang
lain akan dapat melakukan penempaan diri dengan cara
yang sama." "Mudah-mudahan dalam waktu dekat aku akan dapat
datang lagi" berkata Mahisa Murti.
"Patung itu tidak lama lagi akan selesai. Kami akan
memberitahukan kepada kedua orang Akuwu yang banyak
berhubungan dengan kami. Akuwu Sangling dan Akuwu
Lemah Warah." sambung Mahisa Pukat.
Akuwu Sangling itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Baiklah. Jika kalian memerlukan sesuatu,
katakanlah, sebagaimana aku memerlukan bantuanmu
menempa para Senapati itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk.
Sementara itu matahari pun menjadi semakin tinggi,
sehingga kedua anak muda itu segera mohon diri untuk
meninggalkan Sangling. Bagaimanapun juga, waktu yang sepekan itu berkesan
di hati kedua anak muda itu. Ketika mereka berkuda
menelusuri jalan-jalan yang menjadi semakin rapi, maka
mereka pun masih juga membicarakan usaha mereka untuk
membuka kemungkinan para Senapati meningkatkan
kemampuan mereka. Sebenarnyalah bahwa para Senapati yang mendapat
kesempatan bersama-sama dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat menempa diri itu tidak dapat
mempergunakan hari-hari istirahat mereka sepenuhnya.
Mereka masih dipengaruhi oleh usaha yang keras yang
mereka lakukan selama menempa diri. Rasa-rasanya
mereka tidak ingin pintu yang telah terbuka itu tertutup
kembali. Karena itu justru selama waktu-waktu istirahat itu
telah dipergunakan oleh para Senapati itu untuk
mempertegas ujud dari ilmu mereka masing-masing.
Memberikan arti dari setiap unsur gerak sesuai dengan
perhitungan dan pertimbangan yang lebih masak.
Hubungan antara gerak dan dorongan dari dalam diri
mereka. Mereka tidak lagi bergerak karena mereka telah
diperkenalkan kepada gerak itu tanpa mengetahui
maknanya. Karena itulah, maka dalam saat-saat beristirahat itu,
sebagian besar waktu dari para Senapati itu justru
dipergunakan untuk berada di dalam sanggar. Namun
usaha itu bukannya tidak ada hasilnya. Para Senapati yang
memanfaatkan saat-saat pintu pengembangan ilmu mereka
terbuka, maka mereka telah mempergunakan sebaikbaiknya.
Dengan demikian, maka kemampuan para Senapati
itu-pun telah meningkat dengan cepat. Usaha mereka untuk
membangunkan tenaga cadangan dan kemudian
meningkatkannya, serta kemampuan mereka bermain
senjata. Ketrampilan mereka memang menjadi sangat
mengagumkan dibandingkan dengan saat-saat mereka
belum menempa diri dengan keras.
"Aku tidak mau membiarkan pintu yang terbuka itu
tertutup kembali sebelum aku lewati" berkata seorang
Senapati kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat yang sudah mendekati padepokan mereka pun tibatiba
terpikir pula untuk melakukan hal yang sama
sebagaimana mereka lakukan di Sangling atas para
penghuni padepokan kecilnya, sehingga dengan demikian
maka padepokan Suriantal itu akan menjadi padepokan
yang kuat. Meskipun yang menghuni padepokan itu bukan
lagi orang-orang Suriantal yang utuh.
"Kita dapat mencobanya" berkata Mahisa Murti.
"Tempat di sekitar padepokan itu mempunyai
kemungkinan yang lebih baik daripada Sangling " sahut
Mahisa Pukat. "Kita akan mencobanya. Kita akan memilih duapuluh
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang terbaik diantara mereka. Tidak hanya sepekan, tetapi
kita mempunyai waktu yang lebih luas" berkata Mahisa
Murti pula. "Tetapi kita harus berbuat sesuatu sehingga terjadi
semacam pacuan yang berat atas mereka yang menempa
diri itu" desis Mahisa Pukat kemudian.
"Aku setuju. Kita akan menempa mereka dengan
keras selama sepekan. Kemudian setelah sepuluh hari
beristirahat dan berusaha meningkatkan kemampuan
mereka masing-masing sesuai dengan tangkapan mereka
atas penempaan diri itu, kita akan mulai lagi dengan usaha
berikutnya atas orang yang sama," sahut Mahisa Murti.
Lalu katanya pula, "Jika kita sempat mengulanginya
sampai tiga kali, maka setidak-tidaknya mereka akan dapat
membantu kita mempertahankan padepokan ini jika terjadi
sesuatu kelak." Keduanya pun kemudian mengangguk-angguk.
Ternyata apa yang mereka lakukan di Sangling akan dapat
memberikan arti pula bagi padepokan mereka.
Demikianlah, maka ketika keduanya memasuki regol
padepokan, terasa bahwa mereka memang kembali ke
rumah mereka sendiri setelah mereka berada di Sangling
untuk beberapa hari. Apa yang mereka lihat, memang jauh
berbeda dari apa yang nampak di istana kakaknya. Tetapi
yang jauh lebih sederhana itu rasa-rasanya telah membuat
hati keduanya menjadi sejuk. Apalagi karena sambutan
yang ramah dan cerah dari seisi padepokan itu.
"He, aku kira kau tidak kembali lagi kemari dan
meninggalkan batu itu bersama kami yang jauh-jauh kau
panggil kemari." Mahisa Murti dan. Mahisa Pukat tersenyum. Namun
senyum itu menjadi semakin lebar ketika mereka melihat
patung yang benar-benar sudah hampir siap itu.
"Bagus sekali" di luar sadarnya Mahisa Pukat
memuji. "Apa yang bagus?" bertanya prajurit Singasari yang
juga pemahat itu. "Patungmu" jawab Mahisa Pukat.
"Terima kasih atas pujian itu," desis pemahat itu
sambil berpaling kepada kawan-kawannya yang
mengerjakan patung itu, "Kita mendapat pujian. Namun
sebenarnya bagi kita akan lebih berarti menyembelih empat
ekor ayam dan masing-masing kita mendapat seekor."
"Hanya itu?" bertanya Mahisa Murti.
Pemahat itu tiba-tiba berpikir. Lalu katanya, "Bukan
hanya itu. Kami memang terlalu mementingkan diri sendiri.
Lebih baik menyembelih seekor lembu. Kita seisi
padepokan ini akan ikut andrawina."
"Bukan satu hal yang mustahil," berkata Mahisa
Murti, "jika nanti patung itu siap, kita akan menyembelih
seekor lembu." "Kau berkata sesungguhnya?" bertanya pemahat itu.
"Aku berkata sesungguhnya" jawab Mahisa Murti.
Pemahat itu tiba-tiba bertepuk tangan. Kawankawannya
yang ikut memahat itu pun bertepuk tangan pula.
Bahkan kemudian orang-orang yang ada di sekitar tempat
itu pun bertepuk tangan pula.
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah kembali ke dalam kehidupan padepokan yang sepi
namun terasa lebih tenang daripada di Sangling yang riuh.
Keduanya telah merencanakan untuk benar-benar
mewujudkan pikiran mereka tentang penempaan diri yang
akan memberikan banyak arti bagi padepokan itu.
"Setidak-tidaknya bagi kita berdua" berkata Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Kita sendiri memerlukan latihan-latihan seperti itu."
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak tergesagesa
melakukannya. Mereka menunggu barang dua tiga
pekan setelah mereka berdua beristirahat dan kembali
menghayati kehidupan yang tenang di padepokan itu.
Namun dalam pada itu, kehidupan keprajuritan di
Sang-ling pun menjadi semakin bergelora. Duapuluh orang
yang pernah melakukan penempaan diri itu adalah
Senapati-senapati terbaik di Sangling yang memegang
jabatan-jabatan tertinggi. Dengan demikian maka mereka
akan mendapat kesempatan untuk membimbing para
prajurit Sangling dengan laku yang keras meskipun tidak
sepenuhnya sebagaimana mereka lakukan.
Di samping tugas-tugas yang dilakukannya dengan
bersungguh-sungguh, maka para Senapati itu masih selalu
berusaha untuk meningkatkan diri. Mereka telah membuat
satu lingkaran latihan diantara mereka. Sehingga dengan
demikian maka kemampuan dan ketrampilan mereka pun
menjadi semakin meningkat.
Sementara itu ketika mereka dipanggil menghadap
Akuwu Sangling, mereka pun telah mendapat perintah
untuk menyempurnakan diri sejauh dapat mereka lakukan.
"Memang tidak ada yang sempurna di permukaan
bumi yang terbentang ini," berkata Akuwu Sangling, "tetapi
setidak-tidaknya kita dapat berusaha membuat lebih baik
dari yang sudah ada pada diri kita."
Para Senapati itu menundukkan kepala. Tetapi
mereka mendengarkan setiap kata Akuwu itu dengan
bersungguh-sungguh. Dalam pada itu Akuwu itu pun berkata selanjutnya,
"agaknya kalian sudah menyadari, bahwa peningkatan
kemampuan kalian itu tidak akan kalian miliki sendiri.
Kalian yang bertugas untuk membina susunan keprajuritan
serta peningkatan kemampuan para prajurit itu secara
pribadi, mempunyai kewajiban untuk melimpahkan
kemampuan dan ketrampilan kalian kepada para prajurit
meskipun dengan cara berjenjang. Tetapi aku tidak akan
memerintahkan kalian untuk melakukannya dengan
tergesa-gesa. Kalian mempunyai waktu untuk mencapai
satu kesepakatan, apa yang sebaiknya kalian lakukan, agar
apa yang kemudian ditentukan benar-benar akan berarti dan
tidak simpang siur. Setiap langkah yang kalian ambil harus
sejalan, sehingga tidak menumbuhkan kebingungan
diantara para prajurit. Karena itu, kalian mempunyai waktu
untuk menyusun satu rancangan langkah-langkah yang
akan kalian ambil bagi pembinaan kekuatan di Sangling.
Jika perencanaan itu kalian susun sebaik-baiknya dan cukup
masak, maka pelaksanaannya pun akan berlangsung dengan
baik, sementara itu, kalian masih dapat mematangkan pula
bahan-bahan yang kalian perlukan."
Para Senapati itu pun menyadari, bahwa perintah itu
adalah cara yang paling baik untuk meningkatkan
kemampuan para prajurit di Sangling dengan teratur dan
berencana. Sehingga dengan demikian maka tahaptahapnya
akan dapat jelas diamati dan dipertimbangkan
hasilnya. Dengan demikian maka para Senapati itu berusaha
dengan sebaik-baiknya untuk melakukan tugas yang
dibebankan kepada mereka, sejalan dengan kedudukan
mereka. Dalam waktu-waktu tertentu yang disepakati, di selasela
tugas mereka, maka para Senapati itu selalu
berkumpul. Mereka mencoba menilai hasil kerja keras
mereka bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dalam
hubungannya dengan usaha mereka untuk menyusun
rencana pembenahan pasukan Sangling dalam keseluruhan.
Setelah bekerja keras dan memerlukan waktu yang
cukup, maka para Senapati itu telah berhasil menyusun
rancangan yang masak untuk melakukan pembinaan bagi
para prajurit Sangling dari segala tataran, menurut jenjang
yang bersusun. Ketika rencana itu kemudian diajukan kepada
Akuwu, maka Akuwu tidak terlalu banyak membenahinya.
Rencana yang disusun oleh para Senapati itu ternyata
cukup cermat, apalagi karena para Senapati itu menyusun
didasari dengan pengalaman mereka yang cukup luas serta
kerja keras meskipun hanya sepekan.
Dengan perintah Akuwu, maka rencana itu telah
dapat di-trapkan di Sangling. Dengan demikian, maka
mulailah satu babak baru bagi tata keprajuritan di Sangling.
Latihan-latihan telah dilakukan dengan lebih keras dan
keterikatan yang lebih ketat. Meskipun tidak sekeras yang
dilakukan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun para
Senapati itu mempunyai waktu yang lebih banyak, sehingga
dengan demikian maka usaha Sangling untuk
meningkatkan kemampuan para prajuritnya, perlahan-lahan
dapat dilakukannya. Namun ada di luar perhitungan Akuwu Sangling,
bahwa di satu tempat, sekelompok orang telah menyusun
kekuatan pula. Keluarga Akuwu Sangling yang lama,
ternyata benar-benar tidak dapat menerima kenyataan
tentang pergeseran kekuasaan dari darah keturunan sampai
kepada Akuwu yang telah kehilangan haknya dan bahkan
nyawanya itu. Karena itu, maka mereka berusaha untuk membalas
sakit hati karena kekuasaan Akuwu telah berpindah kepada
aliran darah yang berbeda.
Dengan mempergunakan sisa pengaruh yang ada,
maka mereka dengan sengaja mengobarkan kebencian
terhadap pimpinan pemerintahan yang baru.
Betapapun juga usaha Akuwu Sangling yang baru
untuk memperbaiki tata cara pemerintahan, kesejahteraan
rakyatnya dan kerja keras bagi kebesaran Pakuwon
Sangling, namun mereka yang ingin membalas dendam itu
pun masih saja mendapat bahan untuk mencela dan
mengobarkan kebencian. Ada saja yang dapat disebut lebih
buruk dari masa pemerintahan akuwu yang lama.
Dengan demikian, maka orang-orang yang dibakar
oleh dendam itu masih juga berhasil mengumpulkan
sekelompok orang Sangling sendiri untuk melawan Akuwu
yang baru. Namun mereka ternyata dapat juga
berhubungan dengan gerombolan-gerombolan di luar
Pakuwon. Ternyata bahwa diantara keluarga Akuwu Sangling
yang lama itu, ada juga yang mampu mengatur kelompok
yang berhasil mereka pengaruhi itu. Orang-orang itu
dengan cermat tengah mengatur satu gerakan yang akan
dapat mengguncangkan ketenangan Sangling yang sedang
tumbuh itu. Namun yang tidak disadari oleh orang-orang yang
menentang kenyataan yang terjadi di Sangling itu adalah,
bahwa Sangling telah berhasil membenahi diri.
Meskipun orang-orang itu mendengar dan bahkan
pernah melihat latihan-latihan yang diadakan oleh
Sangling, namun mereka menganggap bahwa yang
dilakukan itu sekedar menetapi kewajiban.
Demikianlah, maka orang yang mengendalikan
gerakan itu benar-benar yakin bahwa pada saatnya ia akan
dapat merebut kembali kedudukan yang terlepas dari darah
keturunannya. "Aku adalah sepupu Akuwu Sangling dari darah
keturunan laki-laki" setiap kali orang itu menggeram.
Sementara itu, beberapa orang-memang masih
percaya kepada Ki Jayaraja. Seorang yang dianggap
memiliki ilmu yang tinggi, pengetahuan yang dalam, dan
wawasan yang jauh. Sementara itu hubungannya yang luas
telah memungkinkannya untuk berhubungan dengan
beberapa pihak. Ternyata bahwa kawan-kawannya telah bersedia
membantunya, menegakkan kembali kekuasaan darah
Akuwu Sangling. Apalagi mereka yang merasa pernah
berhubungan dan mendapat keuntungan daripadanya.
Ternyata bahwa kumpulan kelompok-kelompok yang
dapat dipengaruhinya itu semakin lama memang menjadi
semakin kuat. Apalagi ketika pengaruhnya berhasil
menyusup ke Kabuyutan Bapang. Ternyata orang-orang
Kabuyutan Bapang terlalu mudah untuk dibakar hatinya.
Meskipun sebelumnya mereka menganggap bahwa sikap
Akuwu yang baru terlalu baik terhadap mereka, tetapi
ketika api dinyalakan diatas sekam yang masih teronggok di
dalam hati mereka, maka api itu pun dengan cepat
membakar. Sampai beberapa lama rencana yang disusun dengan
tertib itu tidak tercium oleh prajurit Sangling. Namun
beruntunglah, bahwa Jayaraja pun tidak menyadari, bahwa
para Senapati baru saja melakukan penempaan diri.
Seandainya Jayaraja bergerak pada saat para Senapati itu
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di hutan,
maka mungkin Sangling akan mengalami kesulitan.
Namun setelah itu, Sangling justru menjadi semakin
kokoh. Dengan tertib dan berencana Sangling
meningkatkan kemampuan para prajurit. Meskipun cara
yang ditempuh oleh para prajurit Sangling tidak terlalu
menarik perhatian, namun hasilnya cukup memuaskan.
Tetapi betapapun cermatnya Jayaraja mengatur
gerakannya, namun akhirnya, serba sedikit telah tercium
pula oleh para petugas sandi bahwa telah timbul satu
gerakan yang perlu mendapat perhatian.
"Bukan sekedar sebuah gerombolan yang melakukan
perampokan dan membuat kerusuhan sebagaimana yang
selama ini telah kita bersihkan. Tetapi satu kekuatan yang
tersusun rapi untuk melawan kekuatan Akuwu Sangling"
berkata seorang petugas sandi kepada seorang perwira yang
menjadi pimpinan langsung para petugas sandi itu.
"Kau yakin?" bertanya perwira itu.
"Kami, beberapa orang, sedang berusaha
meyakinkan," jawab petugas sandi itu, "dalam waktu dekat,
kami berusaha untuk dapat menyampaikan laporan
selengkapnya." Perwira yang ditugaskan untuk memimpin pasukan
sandi itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, "Hatihati.
Jangan sampai terjebak ke dalam lingkungan mereka."
Petugas itu pun kemudian mohon diri untuk
melakukan penyelidikan lebih jauh.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dalam pada itu, maka perwira yang menjadi
Panglima dari pasukan sandi itu pun telah menyampaikan
laporan itu kepada Akuwu Sangling, yang terkejut
karenanya. "Kenapa mereka berusaha untuk menyingkirkan
aku?" bertanya Akuwu Sangling, "apakah yang aku
lakukan selama ini tidak sesuai dengan keinginan rakyat
Sangling?" "Kami belum dapat memberikan laporan terperinci
Akuwu. Para petugas sandi sedang berusaha untuk
mendapatkan kepastian" jawab Panglima pasukan sandi itu.
"Baiklah," berkata Akuwu Sangling, "ikuti
perkembangan keadaan. Tetapi usahakan agar rakyat
Sangling tidak menjadi gelisah."
"Hamba Akuwu" jawab Panglima itu.
"Siapkan jaringan pengamatan serapi-rapinya,"
berkata Akuwu kemudian, "jangan sampai terjadi, justru
karena kelengahan kita, maka mereka berhasil membuat
kekacauan. Karena betapapun juga, goncangan yang terjadi
akan sangat mempengaruhi kepercayaan rakyat Sangling."
Panglima pasukan sandi itu pun mengangguk hormat
sambil menjawab, "Hamba tuanku. Hamba akan
berusaha." Sementara itu maka Akuwu pun telah memerintahkan
para Senapati untuk bersiaga sepenuhnya. Kepada
Panglima pasukan Sangling Akuwu memberikan perintah,
"Siapkan pasukan yang dapat digerakkan dengan cepat.
Tetapi juga jangan menimbulkan kegelisahan. Mungkin
sebagian pasukan berkuda dapat dipusatkan di barak
khusus." "Hamba Akuwu," sahut Panglima prajurit Sangling,
lalu, "bagaimana dengan rencana yang sudah tersusun?"
"Rencana itu dapat dilaksanakan terus," jawab
Akuwu, "justru mereka yang sedang mendapat giliran
latihan itu akan dapat digerakkan dengan secepatnya di
samping pasukan berkuda."
Panglima itu mengangguk hormat pula sambil
menjawab, "Hamba Akuwu. Hamba mengerti."
Demikianlah, maka Sangling pun telah bersiap-siap
menghadapi sikap yang keras dari keluarga Akuwu yang
lama, yang dipimpin oleh sepupu Akuwu yang lama itu
yang merasa masih keturunan darah dari jalur laki-laki.
Sementara itu, persiapan-persiapan yang dilakukan
oleh Jayaraja pun menjadi semakin masak. Dengan cermat
pula gerakan itu menempatkan orang-orangnya pada
tempat-tempat yang penting. Ternyata banyak pula orangorang
masih dapat dipengaruhi untuk ikut terlibat dalam
gerakan itu dengan membiarkan halaman dan rumahnya
menjadi gardu-gardu pengamatan oleh Jayaraja dan para
pengikutnya. Apalagi mereka yang merasa bahwa pada masa
kekuasaan Akuwu yang lama mereka mendapat banyak
kesempatan untuk kepentingan diri mereka sendiri.
Agaknya mereka masih berharap bahwa saat-saat seperti itu
akan dapat mereka alami kembali. Dengan janji-janji yang
memberikan harapan tentang keadaan seperti itu, maka
mereka telah rela membantu kegiatan gerakan yang
dipimpin oleh Jayaraja itu.
Pada saat kekuatan Jayaraja telah terhimpun, maka
mere-ka pun telah mematangkan rencana mereka. Mereka
akan mulai dengan membuat Sangling diliputi suasana yang
tidak menentu. Dalam kegelisahan itulah, maka
pasukannya akan bergerak untuk menghancurkan Sangling
dan memaksa rakyat Sangling berpihak kepada mereka.
"Diantara para prajurit Sangling, tentu masih banyak
yang akan dapat mengenang kebesaran Akuwu yang lama,"
berkata Jayaraja, "mereka tentu akan segera berpaling dan
membantu gerakan kita."
Memang sebenarnyalah Jayaraja berusaha untuk
membuat hubungan dengan prajurit Sangling di tempattempat
terpencil. Memang masih ada beberapa orang
prajurit yang kadang-kadang ingin mengenang kembali saatsaat
kekuasaan Akuwu yang lama. Mereka seakan-akan
dapat berbuat sekehendak hati mereka. Namun di bawah
kekuasaan Akuwu yang baru, maka ia tidak mempunyai
kesempatan untuk bergerak sama sekali. Semua paugeran
diberlakukan, sehingga yang dapat mereka lakukan adalah
sangat terbatas. Hubungan dan sentuhan-sentuhan kecil dengan para
prajurit di tempat-tempat terpencil itu telah meyakinkan
Jayaraja, bahwa ia akan berhasil dengan usahanya untuk
mengusir Akuwu yang baru itu.
"Didalam masa pendadaran aku memang tidak dapat
mengalahkannya. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak
mempunyai kemampuan untuk menghancurkannya. Aku
akan dapat mengatur satu cara yang akan dapat
menghancurkan Akuwu yang sombong itu. Dengan dua
atau tiga orang terpilih aku akan membunuhnya dalam
pertempuran yang bakal terjadi kelak" berkata Jayaraja.
Namun kemudian ternyata bahwa Jayaraja itu,
mendapat juga laporan dari para petugas sandinya bahwa
nampaknya Sangling pun telah bersiap-siap.
"Kenapa kau dapat mengatakan hal itu?" bertanya
Jayaraja. "Di mana-mana diadakan latihan-latihan yang keras,"
jawab petugas sandi itu, "nampaknya penjagaan di Sudutsudut
Pakuwon ini pun menjadi semakin ditingkatkan
pula." "Itu belum menunjukkan bahwa Sangling memang
sudah bersiap. Tetapi kita pun tidak boleh mengabaikan
tanda-tanda yang mungkin akan menghambat gerakan kita.
Karena itu, lakukan pengamatanmu lebih baik. Menurut
perhitunganku, Sangling sedang berusaha untuk
memperkuat dirinya, karena Akuwu yang baru itu selalu
merasa ketakutan. Tetapi memang tidak mustahil bahwa
rencana kita sudah tercium oleh petugas sandi Sangling.
Tetapi seandainya demikian tidak mengapa. Kita benarbenar
sudah siap. Dengan sekali berteriak mengucapkan
aba-aba, maka aku akan dapat menggerakkan kekuatan
yang sudah kita persiapan."
Petugas sandi itu pun berkata, "Segalanya memang
sudah siap. Karena itu, kita tidak perlu menunggu terlalu
lama. Kita akan segera bergerak. Bagaimanapun juga kita
akan memperoleh apa yang kita inginkan."
Jayaraja mengangguk-angguk. Katanya, "Memang,
kita harus segera bergerak. Kita harus mengejutkan
Sangling." Demikianlah, maka Jayaraja telah memanggil
beberapa orang pengikutnya yang terpilih. Mereka pun
telah membicarakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Ternyata bahwa semua orang yang diajaknya
berbincang menyetujui untuk bergerak secepatnya. Seorang
diantara mereka berkata, "Selagi Sangling belum benarbenar
bersiap." "Baik," berkata Jayaraja, "aku akan bersiap dalam
waktu dekat dan akan menyerang Sangling dari beberapa
jurusan. Kita akan mengerahkan semua kekuatan yang kita
miliki untuk mengejutkan rakyat Sangling. Kemudian kita
akan melakukan pendekatan dengan rakyat agar mereka
bersedia berpihak kepada kita. Beberapa tempat kita yakin
akan dukungan yang kuat. Namun di tempat lain kita masih
harus mempertanyakannya."
"Kapan kita akan bergerak?" bertanya seseorang.
"Aku akan memberikan perintah pada saatnya.
Semua harus bersiap sejak besok malam. Kita akan
membenahi persiapan itu dalam waktu sehari berikutnya.
Menjelang fajar di hari ketiga, akan terdengar suara panah
sendaren yang akan mengaum di seluruh langit Sangling.
Nah, saat itu kita bergerak sesuai dengan rencana. Tetapi
sebelum terdengar panah sendaren, maka kalian jangan
bertindak sendiri-sendiri. Meskipun di hari ketiga, jika
isyarat itu belum terdengar, maka berarti serangan akan
ditunda berhubung dengan sesuatu alasan tertentu."
Semua pengikutnya yang ikut dalam pembicaraan itu
mengangguk-angguk. Sementara itu Jayaraja berkata,
"Hanya kita yang boleh tahu rencana ini. Para pengikut
yang tersusun dalam kelompok-kelompok pasukan tidak
perlu diberi tahu lebih dahulu. Asal mereka sudah
dipersiapkan maka setiap saat mereka akan dapat kita
gerakkan." Demikianlah, maka para pengikutnya itu pun telah
memahami semua pesannya. Karena itu, maka ketika
mereka kembali kepada kelompok-kelompoknya, maka
mereka pun segera bersiap-siap meskipun tidak sematamata.
Dengan demikian, maka dua kekuatan telah bersiap.
Seperti bumbung-bumbung bambu yang terbakar di dalam
nyala api, maka pada saatnya tentu akan terjadi ledakan.
Saat-saat yang ditentukan itu merupakan saat yang
sangat tegang bagi orang-orang yang menentang
kebijaksanaan Akuwu Sangling itu. Mereka berusaha
mempersiapkan pasukan mereka sebaik-baiknya tanpa
menarik perhatian didalam lingkungan yang nampaknya
tetap tenang. Namun dalam pada itu, pasukan sandi Sangling telah
bekerja dengan cermat pula. Mereka berhasil menyadap
rencana yang dibuat dengan sangat rahasia itu, meskipun
tidak seluruhnya. Kesalahan Jayaraja adalah justru karena ia
menyangka, bahwa ia akan dapat mempergunakan sebagian
prajurit Sangling untuk kepentingannya.
Ternyata bahwa diantara orang-orang yang dianggap
dapat dipengaruhi oleh Jayaraja dan para pengikutnya,
terdapat juga para petugas sandi itu sendiri. Dengan
demikian maka para petugas sandi itu dapat memberikan
laporan-laporan yang sangat berarti.
Satu hal yang dapat diketahui oleh pimpinan petugas
sandi Sangling adalah, bahwa Jayaraja telah menyiapkan
kekuatan bukan saja di tempat tertentu. Tetapi Jayaraja
telah mempersiapkan kekuatan di beberapa tempat.
"Mereka sudah siap untuk menunggu perintah"
Panglima pasukan sandi itu memberikan laporan kepada
Panglima prajurit Sangling.
"Kita siapkan semua kekuatan," berkata Panglima
prajurit Sangling itu. Lalu, "Kita tempatkan pasukan
Sangling di tempat-tempat yang memungkinkan mereka
berada di segala tempat terutama pada garis-garis utama
untuk memasuki kota."
"Semua sudah pada tempatnya menurut pengamatan
kami. Namun kami sudah belum mendapat kepastian saatsaat
mereka mulai bergerak" berkata pimpinan pasukan
sandi itu. "Baiklah. Aku akan mengatur segalanya. Kapan pun
mereka bergerak, pasukan Sangling siap untuk
menghadapinya. Para prajurit akan melakukan latihan yang
memungkinkan mereka untuk berbuat cepat" berkata
Panglima prajurit itu. Ternyata rencana Panglima itu disetujui oleh Akuwu
Sangling. Bahkan Akuwu itu pun memerintahkan " Siapkan
sekelompok pasukan berkuda. Aku akan memimpin
pasukan Sangling yang langsung akan menghadapi
pimpinan mereka. Demikian kita mendapat keterangan
dimana pimpinan pasukan itu berada, maka aku dan
pasukan berkuda yang dipersiapkan itu akan langsung
menuju ke medan. "Hamba Akuwu," jawab Panglima prajurit Sangling,
"hamba akan berusaha berbuat sebaik-baiknya."
Sebagaimana dikatakannya, maka Panglima itu telah
berusaha keras untuk menyiapkan pertahanan sebaikbaiknya.
Di hari berikutnya, pasukan Sangling memang
mengadakan latihan beberapa ratus tonggak di luar kota.
Namun yang mengadakan latihan itu adalah pasukan yang
benar-benar siap untuk bertempur kapan pun juga. Jumlah
mereka yang sedikit, namun bergerak dalam jaringan
medan yang luas, nampak seakan-akan pasukan Sangling
telah keluar semua ke medan latihan, sehingga di bagian
lain menjadi kosong. Jayaraja telah menugaskan petugas-petugas sandinya
untuk mengikuti latihan itu. Esok sebagaimana telah
direncanakan, mereka akan bergerak.
"Satu kebetulan," berkata Jayaraja, "orang-orang
Sangling memang bodoh. Nampaknya mereka sudah
mencium gerakan kita. Tetapi satu kesalahan besar telah
dilakukan. Mereka mengadakan latihan di satu tempat."
"Mereka berusaha menakuti-nakuti kita," berkata
seorang pengikutnya yang dipercaya, "dengan latihan itu,
mereka ingin menunjukkan kekuatan pasukan Sangling.
Namun dengan demikian mereka telah membuka beberapa
jalur penyerangan ke dalam kota dan menduduki istana.
Kita harus berusaha dapat menangkap Akuwu yang
bernama Mahisa Bungalan itu hidup atau mati."
"Jika pasukan yang sedang latihan itu mendengar,
mereka tentu akan segera mengambil peranan" pengikutnya
itu menjawab. "Harus kita perhitungkan," jawab Jayaraja, "kita akan
menjebak mereka di gerbang masuk."
Pengikutnya yang terpercaya itu mengangguk-angguk.
Nampaknya mereka memang yakin akan dapat menduduki
kota dan istana, serta membunuh Akuwu Sangling. Jika
demikian, maka pengaruhnya akan sangat besar. Jika
Akuwu terbunuh, maka para prajurit Sangling akan
kehilangan gairah perjuangan untuk melawannya, sehingga
mereka pun akan segera tunduk kepadanya, sebagai Akuwu
yang baru, namun merupakan darah keturunan yang sama
dengan Akuwu Sangling yang lama dari garis keturunan
laki-laki. Malam menjelang hari yang ditetapkan, orang-orang
yang sudah dipersiapkan oleh para pengikut Jayaraja
menjadi semakin tegang. Menjelang pagi mereka akan
mendengar isyarat. Namun jika panah sendaren itu tidak
mereka dengar, maka serangan dibatalkan. Sementara itu
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kesempatan telah terbuka seluas-luasnya karena para
prajurit Sangling berada di luar kota.
Namun lewat tengah malam, seorang petugas sandi
telah berpacu diatas punggung kuda. Ternyata prajurit sandi
itu telah mendapat petunjuk bahwa Jayaraja akan bergerak
menjelang matahari terbit dengan sergapan dari banyak
arah. Dengan tergesa-gesa petugas itu menemui Panglima
pasukan sandi untuk memberikan laporan.
Malam itu juga, Panglima pasukan sandi itu telah
menghubungi Panglima prajurit Sangling dan bersamasama
menghadap Akuwu. "Jika demikian gerakkan pasukan. Siapkan pasukan
yang berada di luar kota untuk menjebak pasukan yang
berusaha memasuki kota. Mereka akan menyerang pasukan
yang berusaha memasuki kota itu dari belakang. Namun
mereka pun harus berada di beberapa arah agar
pertempuran menjadi seimbang. Sementara itu pasukan
didalam kota harus mulai mendekati pintu-pintu gerbang."
perintah Akuwu. Para pemimpin prajurit Sangling itu pun telah
bergerak dengan cepat. Akuwu yang terbangun dilewat
tengah malam itu, telah memerintahkan pasukan pengawal
pribadinya untuk menyiapkan kuda. Para pengawal itu pun
akan ikut serta ke mana Akuwu pergi dengan berkuda pula.
Sekelompok pasukan berkuda yang terpilih telah berada di
halaman belakang istana dan siap ikut pula mengawal
Akuwu jika Akuwu memasuki medan.
Namun Akuwu memang memperhitungkan bahwa
gerakan itu akan dilakukan menjelang fajar. Sehingga
karena itu, maka Akuwu sama sekali tidak merasa tergesagesa.
Bahkan Akuwu itu masih sempat kembali ke
pembaringan untuk berbaring beberapa saat tanpa
menunjukkan kegelisahan sama sekali.
Para Senapatinya pun menjadi tenang pula seperti
Akuwu. Mereka memang bergerak cepat. Tetapi tidak
dengan gelisah dan apalagi dengan kecemasan.
Menjelang dini hari, memang belum ada pertanda apa
pun yang menarik perhatian. Namun seorang petugas sandi
telah datang menghadap Akuwu untuk meyakinkan, bahwa
pasukan yang akan memberontak itu memang mulai
bergerak. Akuwu yang diberitahu akan kehadiran petugas sandi
itu pun berkata, "Baiklah. Nampaknya kita pun sudah siap
menghadapi keadaan."
"Nampaknya gerakan mereka memang merata
Akuwu" bertanya Akuwu.
"Para penghubung telah ditugaskan menebar" jawab
petugas sandi itu. Akuwu pun kemudian telah berbenah diri. Ia pun
memanggil Senapati yang memimpin pasukan pengawal
pribadinya dan Senapati yang memimpin pasukan berkuda,
yang disiapkan untuk menyertai Akuwu jika ia turun ke
medan. "Kita bersiap-siap," berkata Akuwu, "menurut
perhitunganku, jika mereka mulai bergerak, maka mereka
akan bergerak menjelang pagi hari."
"Hamba Akuwu" kedua Senapati itu menjawab
hampir berbareng. "Kuda-kuda pun harus siap. Setiap saat kita akan
bergerak. Kita menunggu laporan, di mana pemimpin
pemberontak itu berada. Aku harus menemuinya."
"Kami, seluruh pasukan sudah siap," jawab Senapati
pengawal pribadi Akuwu Sangling itu. Meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi mereka adalah orangorang
pilihan. Mereka adalah orang-orang yang mendapat
kesempatan melakukan latihan-latihan di bawah
pengawasan para Senapati yang telah melakukan
pembajaan diri bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu, pasukan berkuda Sangling pun merupakan
pasukan pilihan pula. Sejak sebelum dilakukan peningkatan
sejak tataran pertama, pasukan berkuda Sangling memang
merupakan pasukan pilihan.
Menjelang pagi hari, Akuwu sudah berada di tangga
pendapa istananya dengan kesiagaan penuh untuk turun ke
medan perang. Akuwu memang nampak membawa pedang
yang tergantung di lambungnya. Namun ilmu yang ada di
dalam dirinya kekuatannya memang melampaui pedangnya
itu. Sementara itu, di seluruh pusat pemerintahan
Pakuwon Sangling telah bertebaran pasukan Sangling yang
kuat. Sedangkan di luar kota, pasukan Sangling yang
sedang mengadakan latihan itu pun telah bergerak dengan
diam-diam. Mereka membagi diri ke jurusan yang berbedabeda.
Mereka mempunyai tugas-tugas tertentu yang sudah
diperintahkan oleh Senapati yang memimpin langsung
latihan itu. Di lain pihak, pasukan yang dihimpun oleh Jayaraja
pun telah bersiap pula. Seorang petugas sandi memang
memberikan laporan, bahwa nampaknya kesiagaan di
Sangling ditingkatkan. Ia melihat beberapa kelompok
prajurit bergerak ke jurusan yang tidak diketahui.
"Apa pun yang mereka persiapkan, kita tidak akan
gentar. Kita akan dengan cepat menguasai kota. Pada saat
pasukan yang ada di dalam kota menyadari kelengahannya,
maka kita sudah mapan dan Akuwu telah terbunuh.
Kematian Akuwu akan melumpuhkan perlawanan para
prajurit Sangling. Sementara itu sebagian dari para prajurit
memang sudah dapat kita kendalikan" berkata Jayaraja.
Petugas sandi itu pun kemudian melaporkan juga, "Ki
Jayaraja. Kita telah kehilangan hubungan dengan beberapa
orang prajurit yang ternyata tidak berada lagi di tempatnya.
Agaknya para prajurit Sangling telah mengalami
pergeseran. Namun yang lain masih sempat
memberitahukan, bahwa prajurit Sangling memang
disiagakan." "Tidak peduli di manapun prajurit itu dipindahkan,"
berkata Jayaraja, "namun mereka akan tetap berpihak
kepada kita. Dalam setiap kesempatan mereka akan
melakukan gerakan yang menghambat perlawanan para
prajurit Sangling. Sehingga dengan demikian maka kita
akan mendapat kesempatan untuk menghancurkan
mereka." Pengikutnya yang paling terpercaya yang selalu dekat
dengan Jayaraja itu pun mengangguk-angguk. Katanya,
"Tetapi bagaimanapun juga kita harus berhati-hati."
"Kita sudah sangat berhati-hati," berkata Jayaraja,
"tetapi kita cukup kuat. Di samping orang-orang Sangling
sendiri, maka kita mendapat bantuan dari sahabatsahabatku
di luar Sangling. Apalagi yang harus kita
cemaskan dengan gerakan ini?"
Pengikutnya itu masih mengangguk-angguk.
Sementara Jayaraja itu pun berkata, "Nah, fajar hampir
menyingsing. Siapkan para petugas yang akan melontarkan
panah sendaren dan panah api. Langit Sangling akan penuh
dengan anak-anak panah yang bersambaran. Api akan
melonjak-lonjak mengabarkan berita kematian bagi mereka
yang tidak tunduk kepadaku."
Demikianlah, maka mereka yang ditugaskan untuk
melontarkan isyarat itu pun telah bersiap. Panah sendaren
telah berada di busurnya. Karena itu, ketika perintah jatuh,
dalam waktu sekejap, maka panah-panah sendaren itu telah
meluncur ke langit. Suaranya meraung-raung memenuhi
udara Sangling. Bahkan kemudian disusul dengan panah
api yang bagaikan membakar langit.
Isyarat itu merupakan perintah bagi para pengikut
Jayaraja. Baik mereka orang Sangling sendiri, terutama dari
Kabuyutan Bapang, maupun orang-orang dari luar Sangling
yang bekerja sama dengan janji yang telah menggetarkan
harapan mereka. Namun sebenarnyalah bahwa panah sendaren dan
panah api itu telah pula membangunkan semua prajurit
Sangling di manapun mereka berada. Bahkan mereka yang
berada di luar kota pun telah melihat api yang meloncatloncat
di atas kota Sangling. Para prajurit yang masih beristirahat pun segera
disiapkan. Mereka memang sudah berada dalam persiapan
yang matang. Karena itu, dengan cepat mereka berada dalam
barisan. Setelah mendapat pengarahan sejenak dari setiap
pemimpin kelompok, maka setiap pasukan yang telah
terbagi di luar kota pun telah bergerak.
Demikian pula para prajurit yang ada di dalam kota.
Mere-ka pun telah bersiap pula. Ketika sendaren dan panah
api terbang di udara, maka bagi para prajurit Sangling
merupakan isyarat pula bahwa mereka harus bersiap.
Prajurit yang duduk terkantuk-kantuk di bawah
teritisan, bahkan mereka yang masih tempat tidur bersandar
tiang, telah dengan cepat memasuki barisan masing-masing.
"Kita harus segera bersiap di tempat-tempat yang
telah ditentukan" berkata para pemimpin kelompok.
Para Senapati pun segera menghimpun prajuritprajuritnya.
Kemudian memerintahkan para pemimpin
kelompok untuk bergerak sebagaimana telah direncanakan.
Para Senapati itu masih belum mendapat keterangan
yang pasti tentang jalur gerakan lawan. Namun setiap pintu
gerbang dan butulan telah dijaga dengan ketat.
Tetapi hal itu memang sudah diperhitungkan oleh
Jayaraja. Karena itu, maka orang-orangnya memang tidak
akan memasuki kota lewat pintu gerbang maupun pintupintu
butulan dari dinding kota.
Demikian perintah jatuh, maka orang-orang mereka
yang memang sudah berada di tempat-tempat yang
ditentukan di dalam kota mulai bergerak. Sementara itu,
yang berada di luar kota pun telah memasuki kota dengan
meloncati dinding. Ternyata mereka telah mempersiapkan
tangga-tangga bambu yang mampu menjangkau tingginya
dinding kota. Dengan beberapa tangga yang disandarkan
pada dinding kota di beberapa arah dari kota Sangling,
maka mereka pun telah berloncatan memasuki kota.
Ketika pasukan yang meronda melihat, maka dengan
serta merta mereka pun telah memberikan isyarat. Bukan
dengan panah sendaren, tetapi di gardu terdekat peronda itu
telah memukul kentongan dengan nada titir.
Suara kentongan itu memang menarik. Namun ketika
orang-orang padukuhan itu terbangun, maka prajurit itu
pun justru memerintahkan mereka masuk kembali ke dalam
rumahnya. "Cepat, masuk kembali. Beritahu semua orang. Yang
datang bukan perampok. Tetapi sebuah pemberontakan"
teriak prajurit peronda itu.
Namun demikian ada juga yang sempat memukul
kentongan pula di gardu yang lain dengan nada yang sama.
Suara titir itu memang memanggil para prajurit yang
berada di tempat terdekat. Sehingga dengan cepat pula cara
yang ditempuh oleh para pengikut Ki Jayaraja itu diketahui.
Dalam waktu sekejap, para penghubung telah
berlarian ke semua pemusatan pasukan dan
memberitahukan bahwa pasukan lawan tidak akan melalui
pintu gerbang, tetapi mereka akan memasuki kota lewat
dinding dengan tangga-tangga yang sudah terpasang.
Para prajurit pun segera menebar. Mereka memang
tidak mengira bahwa para pemberontak itu akan meloncati
dinding. Mereka mengira bahwa para pemberontak itu akan
menyerang dan memecahkan pintu-pintu gerbang,
sementara yang lain memang sudah diketahui akan
bergerak dari dalam kota.
Dengan demikian maka pertempuran pun segera
menyala di seluruh kota dan dinding-dinding kota. Para
prajurit Sangling yang berloncatan melewati dinding telah
ditunggu oleh para prajurit Sangling yang bersiap.
Sementara itu, maka pasukan yang berada di luar kota
pun mulai bergerak mendekati kota. Setiap pasukan telah
berusaha untuk mengamati keadaan dengan seksama.
Bahkan pasukan-pasukan itu telah memerintahkan petugaspetugasnya
untuk melihat, di manakah pertempuran terjadi.
Apakah di pintu-pintu gerbang, atau di pintu butulan.
Tetapi mereka tidak melihat pertempuran di pintu
gerbang atau di pintu butulan.
Namun akhirnya beberapa petugas melihat juga
bahwa pasukan pemberontak itu telah berada di bayangan
dinding kota, justru yang paling jauh dari pintu gerbang dan
butulan. Mereka berusaha memanjat naik dinding dan
meloncat masuk. Tetapi beberapa orang Senapati telah menahan
pasukannya untuk tidak tergesa-gesa menyerang. Bahkan
mereka pun dapat menduga bahwa suara kentongan di
dalam dinding kota itu merupakan isyarat bahwa para
pengikut Jayaraja telah memasuki kota dengan meloncati
dinding. "Biarlah jumlah mereka berkurang. Jangan cemas,
bahwa di dalam kota, prajurit Sangling akan mengalami
kesulitan. Jumlah mereka cukup banyak. Kita akan
bergerak jika jumlah para pemberontak yang tinggal,
seimbang dengan jumlah kita."
Para prajurit itu ternyata mampu mengendalikan diri.
Mereka sempat membuat perhitungan-perhitungan,
sehingga mereka tidak terjebak dalam langkah-langkah yang
tergesa-gesa namun tidak menguntungkan.
Karena itu maka untuk beberapa saat kelompokkelompok
prajurit yang terbagi di beberapa sisi kota itu pun
dengan sabar menunggu saat-saat yang paling tepat untuk
bergerak. Para Senapati yang memimpin kelompokkelompok
itu dapat menduga bahwa orang-orang datang
menyerang itu tentu memiliki bekal yang memadai.
Dalam pada itu, maka bersamaan dengan gerak para
pengikut Jayaraja pasukan yang telah bersiap di dalam kota
pun telah bergerak pula, Dengan cepat para-prajurit itu
mengambil tempat sebagaimana telah diperhitungkan.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun sebagian yang lain telah bergeser menyongsong
para pengikut Jayaraja yang telah meloncati dinding,
sebagaimana diberitahukan oleh para penghubung.
Memang tidak semua tempat yang dipergunakan oleh
para pengikut Jayaraja untuk memasuki kota segera
diketahui oleh para Senapati. Beberapa kelompok pengikut
Jayaraja telah berhasil menyusup ke dalam padukuhanpadukuhan
di dalam kota. Namun demikian, ternyata prajurit Sangling yang
tersebar itu pun segera mengetahuinya. Kelompokkelompok
kecil yang meronda itu pun segera membunyikan
isyarat, sehingga para prajurit yang ditempatkan di tempattempat
tertentu segera berdatangan.
Dengan demikian maka hampir di seluruh kota telah
terjadi pertempuran. Bahkan pada jarak yang tidak terlalu
jauh dari istana pun telah terjadi pertempuran pula.
Karena itulah, maka para pengawal khusus Akuwu
Sang-ling pun telah berjaga-jaga sepenuhnya. Sementara itu
sekelompok pasukan berkuda telah berada di halaman
istana pula. Di pendapa, Akuwu Sangling memang menjadi
gelisah. Bukan karena ia cemas akan dirinya sendiri. Tetapi
ia mendapat laporan bahwa memang terjadi di mana-mana.
Ternyata Jayaraja masih mampu memanfaatkan para
pengikut Akuwu yang lama serta gerombolan-gerombolan
di luar Pakuwon Sangling untuk berusaha menghancurkan
pemerintahan Mahisa Bungalan.
Sementara itu, ternyata Jayaraja telah menyusun
sekelompok pasukan terpilih. Dengan cermat ia telah
memperhitungkan satu gerakan yang tiba-tiba untuk
menembus semua pertahanan menusuk langsung ke istana
Akuwu Sangling. Menurut perhitungan Jayaraja, maka
betapa pun ketatnya penjagaan atas istana Sangling, namun
kemampuan pasukannya yang dipilihnya sebagai pasukan
khusus itu tentu akan dapat memasuki istana dan sekaligus
menangkap Akuwu Sangling, hidup atau mati.
Dengan kelompok khususnya Jayaraja telah
menyelinap langsung menuju ke istana. Dendam yang
membakar jantungnya, serta nafsunya untuk menguasai
Sangling benar-benar telah membuatnya bergelora.
Sebenarnyalah pasukan Jayaraja adalah pasukan yang
sangat kuat. Meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak,
namun orang-orang yang ada di dalamnya adalah orangorang
yang memang benar-benar memiliki kemampuan
yang tinggi. Ketika pasukannya bertemu dengan sekelompok
prajurit Sangling maka dengan kekuatan yang mengejutkan,
pasukan itu mampu menerobosnya. Pasukan itu memang
tidak terpancang untuk bertempur pada garis perang. Tetapi
pasukan itu telah dengan sengaja membuat gerakan yang
dapat mengelabui lawan mereka. Dalam keadaan yang
kalut itu, maka pasukan khusus itu telah menerobos
membelah pasukan lawan. Pasukan Sangling memang terkejut melihat gerak
sekelompok pasukan khusus dari antara para pengikut
Jayaraja itu. Mereka seakan-akan baru sadar, ketika
pasukan khusus itu telah menghilang lepas dari kejaran
mereka. Bahkan beberapa orang diantara prajurit Sangling
itu justru telah terluka.
"Ke mana mereka?" bertanya Senapati yang
memimpin pasukan Sangling yang menerobos prajuritprajuritnya
itu. "Entahlah" jawab seorang pemimpin kelompok.
"Kita harus menyusul mereka" berkata Senapati itu.
"Mereka akan bertemu dengan pasukan Sangling yang
lain" jawab pemimpin kelompok itu.
"Tetapi yang terjadi adalah sebagaimana telah terjadi
atas pasukan kita," berkata Senapati itu, "bahkan mungkin
mereka akan menuju ke istana."
"Mereka tidak berjalan ke arah istana" desis
pemimpin kelompok yang ragu-ragu.
Senapati itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia
memutuskan untuk melacak pasukan yang menerobos
pasukannya itu. "Kita harus menemukan mereka," berkata Senapati
itu, "Kita tidak dapat membiarkan mereka melakukan cara
yang licik seperti itu."
Tetapi orang-orang Sangling kurang menyadari,
bahwa pasukan itu telah dipimpin langsung oleh Jayaraja,
yang pernah memasuki arena pendadaran, tetapi telah
dikalahkan oleh Akuwu, meskipun ia tidak mau mengakui.
Sekelompok pasukan khusus dari para pengikut
Jayaraja itu memang dengan sengaja memberikan kesan
bahwa mereka tidak menuju ke istana. Tetapi beberapa
orang yang tahu dengan baik jalan-jalan dalam kota, telah
membawa pasukan itu menembus jalan-jalan sempit yang
memang menuju ke istana Akuwu Sangling.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan khusus itu
memang menjadi semakin dekat dengan istana. Karena itu,
maka mereka pun menjadi semakin berhati-hati.
Jayaraja yang mempunyai pengamatan tajam itu pun
sudah memperhitungkan, bahwa untuk memasuki istana
agaknya pasukan khususnya itu harus bertempur dengan
keras. Pasukan pengawal istana tentu tidak akan dapat
ditembus dengan mudah sebagaimana ia menembus
sepasukan prajurit Sangling di perjalanan.
Karena itu, maka ketika mereka mendekati alun-alun
di hadapan istana, maka Jayaraja memperingatkan
pasukannya sekali lagi, bahwa tugas yang mereka pikul
adalah tugas yang sangat berat.
"Kita tidak boleh ragu-ragu," berkata Ki Jayaraja.
"Kita tidak boleh gentar melihat darah. Berapa pun kita
membunuh, itu adalah karena panggilan tugas dan
perjuangan kita. Sebaliknya, berapa banyak diantara kita
yang gugur, tidak akan menggoyahkan tekad kita untuk
menghancurkan kedudukan Akuwu Sangling yang
sekarang. Tujuan kita adalah memasuki istana dan
menangkap Akuwu hidup atau mati."
Dengan singkat Jayaraja pun kemudian memberikan
petunjuk arah kepada pasukannya. Ia menegaskan kembali
jalur yang harus ditempuh. Mereka akan memasuki istana
lewat beberapa jalan. "Sekelompok pasukan terpilih akan siap di belakang
istana. Beberapa kelompok akan menyerang lewat pintu
gerbang. Jika perhatian para prajurit Sangling sudah
sepenuhnya tertuju ke pintu gerbang, maka pasukan terpilih
itu akan memasuki halaman istana dari belakang. Aku
sendiri akan memimpin pasukan itu untuk dapat
berhadapan sekali lagi dengan Akuwu Sangling" berkata
Jayaraja. Demikianlah, maka Jayaraja telah memisahkan
sekelompok pasukan terpilihnya. Sementara itu, yang lain
akan mendekati istana dari depan. Mereka akan
memancing perhatian para pengawal Akuwu. Namun yang
datang dari depan itu pun harus berusaha benar-benar
memecahkan pintu gerbang dan memasuki halaman istana.
Setelah para pemimpin kelompok memahami perintah
Jayaraja, maka pasukan itu pun mulai bergerak. Yang
sebagian memisahkan diri untuk melingkari sasaran dan
mendekati istana dari belakang.
Sementara itu, pertempuran pun telah menjadi
semakin sengit hampir di seluruh kota. Rakyat Sangling
yang tidak begitu mengerti apa yang terjadi telah menutup
pintu rumah mereka dan berlindung di dalamnya. Namun
mereka menjadi tenang jika mereka mendengar di jalanjalan
pedukuhan para prajurit Sangling meneriakkan
perintah agar mereka tidak menjadi kebingungan.
"Kami, prajurit Sangling siap melindungi kalian.
Jangan takut dan jangan kebingungan " terdengar setiap
kali orang berteriak di jalan-jalan.
Meskipun demikian, orang-orang Sangling pun
mengetahui, bahwa pertempuran telah berkorbar di manamana.
Pasukan Sangling yang berada di luar kota pun telah
mulai bergerak pula. Ketika sebagian dari para pengikut
Jayaraja telah memasuki dinding kota, maka mereka pun
telah menyergap dengan garangnya. Mereka yang semula
berusaha untuk berlindung di balik pepohonan di pategalanpategalan
atau di padukuhan-padukuhan kecil, dengan
tangkasnya telah berlari sambil mengayun-ayunkan senjata
mereka, demikian mereka mendapat perintah atau isyarat
untuk menyerang. Para pengikut Jayaraja yang masih tertinggal di luar
kota itu pun terkejut karenanya. Tetapi mereka tidak akan
dapat bersama-sama memanjat tangga-tangga yang tersedia.
Karena itu, maka mereka pun justru bersiap untuk
menghadapi pasukan Sangling yang datang itu.
Dengan demikian maka pertempuran memang telah
terjadi dimana-mana. Seperti yang direncanakan oleh
Jayaraja, maka tujuan utamanya adalah menguasai kota.
Baru kemudian ia akan mengembangkan kuasanya di
seluruh Pakuwon Sangling. Menurut perhitungan Jayaraja,
maka menguasai Kota Raja adalah langkah yang akan
menentukan dari langkah-langkah berikutnya.
Namun ternyata bahwa Sangling benar-benar sudah
siap menghadapi keadaan. Di luar pengetahuan Jayaraja,
maka Sangling telah menyiapkan segenap kekuatannya.
Bahkan sebagian prajuritnya yang ada di luar kota pun telah
ditarik masuk ke dalam, sementara sekelompok yang lain
justru telah diletakkan di luar kota dengan maksud tertentu,
meskipun ujudnya sebagai satu kegiatan latihan bagi para
prajurit. (Bersambung ke Jilid 49).
--ooo0dw0ooo- Jilid 049 SEBENARNYALAH bahwa para pengikut Jayaraja
terkejut menghadapi kesiagaan yang sangat tinggi dari
pasukan Sangling. Dengan demikian maka para pengikut
Jayaraja itu harus m engerahkan segenap kemampuan mereka
untuk mendesak kekuatan prajurit Sangling y ang telah siap
menunggu kedatangan mereka.
Sementara itu, maka pasukan yang mendapat tugas
khusus untuk meny erang istana telah berusaha untuk
mendekati pintu gerbang. Mereka dengan berani dan tanpa
ragu-ragu meny ergap prajurit Sangling yang bertugas di pintu
gerbang. Namun kedatangan pasukan itu telah menurunkan
perintah Senapati pasukan pengawal istana untuk menutup
pintu gerbang itu. Sedangkan para prajurit Sangling telah
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Bukan saja yang
berada di halaman depan, tetapi Senapati pasukan pengawal
telah memerintahkan untuk bersiaga di segala tempat.
Sementara itu pa sukan y ang secara khusus telah diatur
oleh Jayaraja untuk m eny ergap pintu gerbang itu mendekati
sa saran, maka sekelompok orang-orang terpilih bersama
Jayaraja sendiri telah mendekati dinding belakang istana pula.
Mereka berhasil menyusup jalan-jalan sempit untuk
menghindari pasukan Sangling y ang nampaknya berada di
segala tempat di dalam kota itu.
"Perhatian mereka akan tertuju pada pasukan y ang
datang dari depan," berkata Jay araja.
Sebenarnyalah sebagian besar dari para pengawal
Akuwu telah berada di halaman depan istana. Mereka agaknya
memang terpancing oleh pasukan para pengikut Jayaraja yang
datang dari arah depan menuju ke pintu gerbang.
Hanya sebagian kecil sajalah yang masih berada di
beberapa bagian dari istana Akuwu itu. Sementara Akuwu
sendiri juga berada di pendapa istananya.
Ketika seorang melaporkan bahwa sepa sukan pengikut
Jayaraja m eny erang istana, maka Akuwu berkata, "Kita akan
menghalau mereka. Beritahukan kepadaku segera jika kalian
melihat Jay araja itu ada di antara mereka."
"Hamba Akuwu," jawab penghubungnya y ang
melaporkan itu, "kami akan selalu memberikan laporanlaporan."
"Bagaimana dengan jumlah mereka?" bertanya Akuwu.
"Agaknya jumlah mereka cukup banyak," jawab
penghubung itu. Namun kemudian katanya, "Tetapi pasukan
pengawal ini cukup kuat untuk menahan mereka."
"Bagaimana dengan pasukan berkuda?" bertanya
Akuwu. "Mereka sudah siap menerima perintah," jawab
penghubung itu, "sampai saat ini mereka masih belum
dilibatkan. Pasukan pengawallah yang akan mempertahankan
istana ini, kecuali jika ada perintah lain dari Akuwu atau
keadaan yang memaksa."
"Panggil para Panglima," perintah Akuwu.
Sejenak kemudian dua orang Panglima telah
menghadap. Panglima pasukan Pengawal Khusus dan
panglima pasukan berkuda. Dua pasukan pilihan di Sangling.
Sementara itu para Panglima itu termasuk duapuluh orang
Senapati terbaik di Sangling yang pernah ikut menempa diri
bersama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Akuwu pun masih sempat memberikan beberapa
petunjuk kepada kedua Panglima itu. Mereka harus bekerja
bersama dalam keadaan tertentu, tetapi mereka jangan t erlalu
cepat mengambil kesimpulan dari keadaan y ang mereka
hadapi. "Karena itu, sebelum sangat diperlukan, biarlah pasukan
berkuda tidak melibatkan diri. Kecuali jika terpaksa. Mungkin
aku memerlukan pasukan berkuda justru di luar istana ini atau
di manapun dapat aku temui Jay araja y ang menjadi otak dari
gerakan ini," Akuwu menegaskan.
Kedua panglima itu mengangguk-angguk. Sementara itu,
mereka telah mendengar satu isy arat, bahwa para pengikut
Jayaraja telah berada di depan pintu gerbang.
"Kembalilah ke pasukanmu," perintah akuwu kepada
kedua Panglima itu. Dengan tergesa-gesa keduanya meninggalkan Akuwu
dan kembali ke pasukan masing-masing.
Sebenarnyalah bahwa para pengikut Jay araja telah mulai
berusaha memecahkan pintu gerbang yang tertutup rapat.
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara itu beberapa orang prajurit Sangling telah berada
diatas tangga y ang disandarkan pada dinding di dalam
halaman. Mereka m embawa busur dan anak panah. Dengan
senjata itu mereka berusaha menghambat gerakan para
pengikut Jay araja yang berusaha memecahkan pintu gerbang.
Beberapa anak panah memang mengenai sasaran. Tetapi
mereka y ang berada di depan pintu gerbang itu pun telah
berusaha melindungi diri mereka dengan peri sai dan berusaha
menghalau para prajurit itu dengan mempergunakan senjata
yang sama. Para pengikut Jayaraja itu telah meny erang orangorang
yang berada diatas tangga didalam dinding itu dengan
anak panah pula. Korban-korban yang pertama memang telah jatuh di
antara kedua belah pihak. Namun dalam pada itu, para
pengikut Jayaraja memang berusaha untuk memecahkan
dinding. Ternyata mereka telah mendapat sepotong kayu yang
besar dan diangkat bersama-sama. Mereka membuat ancangancang.
Namun kemudian mereka berlari untuk menghantam
pintu gerbang itu dengan ujung kayunya.
Pa da hentakkan pertama m ereka belum berhasil. Tetapi
usaha itu diulanginya terus-menerus. Sementara itu, korbankorban
berikutnya telah jatuh pula. Tidak semua anak sempat
ditangkis atau dihalau. Tetapi ada juga di antara anak panah
itu y ang menusuk dada sampai ke jantung.
Namun beberapa saat kemudian selarak pintu gerbang
pun mulai retak. Para prajurit Sangling sadar, bahwa sebentar
lagi pintu itu akan terbuka.
Sebenarnyalah, maka dua kali hentakkan pada pintu
gerbang itu telah dapat mematahkan selarak yang besar di
dalam pintu gerbang itu. Karena itu, maka pintu itu pun segera
terbuka. Sepasukan pengikut Jay araja itu pun segera berlari-lari
memasuki pintu gerbang. Namun sambutan pertama adalah
anak-anak panah yang bagaikan pasir y ang dibaurkan ke arah
mereka. Beberapa pucuk anak panah berhasil m engenai para
prajurit itu dan bahkan membunuhnya. Tetapi y ang lain telah
berhasil dihalau atau ditangkis dengan pedang atau tombak.
Meskipun satu dua orang terkapar mati, namun y ang
lain maju seperti gelombang lautan. Agaknya mereka sudah
tidak dapat lagi dicegah. Karena itu, maka para prajurit
Sangling itu-pun telah bergerak m undur untuk m emperluas
arena. Sementara itu anak panah pun masih saja berterbangan
mengerikan. Tetapi pasukan y ang mempergunakan busur dan anak
panah itu tidak dapat bertahan lama. Ketika pasukan lawan
dengan serta merta menyergap mereka, maka orang-orang
yang berdiri di belakang pasukan panah itulah yang kemudian
mengambil alih deretan pertama menghadapi lawan,
sementara pasukan anak panah dan busur mendapat
kesempatan untuk meletakkan busur, pendog dan
menggenggam pedang di arena pertempuran.
Sejenak kemudian, maka pertempuran telah terjadi
dengan sengitnya. Mereka tidak lagi mempergunakan anak
panah dan busur. Tetapi kedua belah pihak telah
mempergunakan pedang dan senjata-senjata di genggaman
yang lain. Tombak pendek, parang, bindi, trisula dan jenisjenis
senjata y ang lain. Orang-orang yang meny erang istana itu pun telah
mendesak pasukan Sangling dengan dahsy atnya. Bagaikan
gelombang y ang datang beruntun susul menyusul, mereka
setapak demi setapak m endesak para prajurit y ang berada di
halaman itu. Sebenarnyalah pasukan pengawal istana itu telah
dikerahkan untuk melawan para pengikut Jay araja. Karena
jumlah pengikut Jayaraja itu cukup banyak, maka hampir
semua orang dari pasukan pengawal telah berada di halaman.
Meskipun demikian masih juga ada satu dua orang y ang
bertugas di halaman belakang dan halaman samping untuk
mengawasi keadaan. Sementara itu Akuwu Sangling sendiri masih berada di
pendapa. Ia m enunggu laporan, di m ana Jayaraja berada. Ia
harus bergerak dengan cepat menuju ke tempat pimpinan
pemberontak itu berada. Tetapi ternyata untuk beberapa saat masih belum ada
laporan yang diberikan kepadanya.
Dalam pada itu, pertempuran pun telah terjadi di manamana.
Keseimbangan setiap benturan tidak sama. Di satu
tempat prajurit Sangling terdesak, namun di bagian lain para
pengikut Sangling itu telah menggulung lawan-lawannya.
Betapapun para prajurit Sangling berusaha
menenangkan rakyat Sangling, namun sebagian dari mereka
menjadi sangat gelisah. Tetapi jika mereka ber siap untuk pergi
mengungsi, prajurit Sangling yang melihatnya selalu berkata,
"Tidak ada bedanya. Di mana-mana terjadi pertempuran
seperti ini. Karena itu jangan mengungsi. Tinggal di dalam
rumah kalian masing-masing."
Tetapi pertempuran itu benar-benar telah
menggelisahkan seluruh rakyat Sangling, terutama yang
tinggal di dalam kota. Namun dalam pada itu, dengan kecepatan gerak para
penghubung, maka akhirnya prajurit Sangling itu pun mulai
merata sebagaimana keadaan lawan. Di tempat yang
mendapat tekanan berat dari para pemberontak, telah
diperkuat dengan bantuan beberapa kelompok prajurit.
Sementara di tempat-tempat yang tidak sangat berbahaya
telah ditinggalkan oleh sebagian prajurit Sangling.
Di halaman istana pertempuran telah menyala semakin
besar. Kedua pasukan y ang kuat itu pun bagaikan saling
mendesak. Sekali-sekali pasukan Sangling lah yang terdesak.
Namun kemudian para pemberontak itulah y ang terdesak
mundur. Namun untuk itu Sangling telah mengerahkan
segenap prajurit dan pasukan khususnya, sehingga pada
dasarnya, kekuatan pasukan pengawal itu telah terhisap
seluruhnya di halaman itu.
Dengan demikian maka rencana Jayaraja agaknya akan
dapat diujudkannya. Sebenarnyalah Jayaraja memang telah mengirimkan
penghubungnya. Ketika penghubung itu melihat pertempuran
yang sengit di halaman, maka ia telah mencoba mengamati
keadaan di sekitar pertempuran itu. Ra sa-rasanya ia tidak
melihat kelebihan dari pasukan Sangling. Sehingga jika masih
ada prajurit di istana itu, maka prajurit itu tentu akan
digerakkan untuk membantu prajurit khusus yang mengawal
istana itu. Karena itu, maka penghubung itu pun kemudian telah
memberanikan diri untuk melingkari halaman istana dari luar
dinding. Ketika ia berada di samping, maka dengan hati-hati ia
melenting meloncat keatas dinding.
Memang tidak ada prajurit Sangling y ang ter sisa. Ketika
ia sempat melihat ke dalam, maka di dalam halaman istana itu
nampak sepi. Namun ia melihat dua orang prajurit agak
dikejauhan berjaga-jaga. "Prajurit Sangling tentu menganggap bahwa semua
kekuatan kami telah berada di pintu gerbang," berkata orang
itu di dalam hatinya. Karena itu, maka ia pun dengan tergesa -gesa telah
menyampaikan laporan itu kepada Jay araja.
"Di mana akuwu?" bertanya Jayaraja, "apakah kau
sempat melihatnya pula."
"Akuwu berada di pendapa," jawab orang itu, "ketika aku
mendekati pasukan kita di halaman y ang berhasil mendesak
pasukan Sangling, aku lihat Akuwu itu berdiri bertolak
pinggang di pendapa."
Jayaraja tertawa. Katanya, "Hari ini adalah hari terakhir
bagi Mahisa Bungalan. Aku akan datang lagi untuk
membunuhnya, sebentar prajurit-prajuritnya pun akan
dibantai di halaman. Mereka akan habis lenyap sampai orang
terakhir." Sejenak kemudian, maka Jay araja pun telah
menggerakkan pasukannya. Dengan sangat berhati-hati ia
memerintahkan orang-orangnya untuk memasuki halaman
belakang istana dengan meloncati dinding. Tetapi mereka
harus sangat berhati-hati. Mereka tidak boleh mengejutkan
satu dua orang y ang masih meronda di bagian belakang istana
itu. Sebenarnyalah dengan sangat berhati-hati sekelompok
kuat pasukan pemberontak itu memasuki halaman. Dengan
kemampuan mereka yang tinggi, maka seorang demi seorang
mereka telah meloncat masuk.
Ternyata sekelompok pemberontak itu memang tidak
menimbulkan suara yang menarik perhatian, sehingga prajurit
yang bertugas di halaman belakang pun tidak melihat mereka
yang berloncatan seorang demi seorang.
Bahkan Jayaraja telah memerintahkan orangnya y ang
terpilih untuk membunuh saja dua orang prajurit yang
bertugas di halaman belakang itu.
Para pengikutnya m emang ragu-ragu. Namun Jayaraja
telah m enunjuk dua orang untuk merunduknya dan menusuk
lambung mereka dengan pedang. Kemudian memerintahkan
dua orang y ang lain membayanginya.
"Jika mereka mengetahui kedatangan kalian, maka cepat
meloncat dan hunjamkan pedang kalian tepat di jantung.
Jangan beri kesempatan mereka berteriak," desis Jay araja.
Para petugas y ang mendapat tugas itu merasa ragu-ragu.
Jarak untuk menjangkau mereka cukup panjang. Bahkan
mereka harus menempuhnya lewat tempat terbuka sampai
beberapa langkah. Tetapi mereka tidak berani membantah, sehingga karena
itu, maka m ereka berempat pun telah bergerak ke arah kedua
orang prajurit Sangling itu.
Tetapi mereka berhenti ketika orang yang berjalan di
paling depan memberikan isy arat kepada mereka untuk
berhenti. "Kenapa?" bertanya kawannya.
"Apakah mungkin untuk mendekati mereka berdua
tanpa mereka ketahui?" bertanya orang y ang berjalan di paling
depan. Kawannya menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Memang tidak mungkin."
"Karena itu, maka biarlah Ki Jay araja bergerak lebih
dahulu. Baru kemudian kita bertindak. Seandainya kita gagal,
maka Ki Jayaraja telah sampai ke sasarannya," berkata
prajurit itu. Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi jika mereka
bergerak terus maka kedua prajurit itu tentu akan melihatnya.
Dengan demikian m aka akibatnya akan dapat m enggagalkan
gerak Ki Jayaraja dan para pengikutnya.
Adalah satu kebetulan, bahwa jalan yang mereka tempuh
bertentangan tempatnya dengan sisi jalan y ang dipergunakan
oleh pasukan berkuda yang menunggu perintah. Karena itu,
maka tidak seorang prajurit pun yang melihatnya.
Dalam pada itu, maka Ki Jayaraja dan pengikutnya
memang sudah m endekati bagian depan dari istana Akuwu.
Menurut laporan y ang mereka terima, Akuwu berada di
pendapa. Karena itu, maka mereka pun telah merayap dengan
hati-hati ke pendapa. Seorang prajurit y ang bertugas di dekat regol butulan,
tanpa dapat melawan sama sekali telah disergap dengan
tusukan langsung ke arah jantung.
Dengan hati-hati Jayaraja membawa pasukannya
meninggalkan longkangan di sisi istana itu untuk mencapai
seketheng. Namun agaknya seorang prajurit y ang bertugas di
seketheng itu telah melihat mereka. Ketika dua orang
berusaha meny ergapnya, maka ia sempat meloncat
menyelinap di balik seketheng dan b erlari ke halaman depan
sambil berteriak, "Akuwu. Berhati-hatilah sepasukan lawan
telah meny elinap lewat seketheng."
Akuwu mendengar teriakan itu. Dengan sigap ia pun
bersiap. Dengan cepat ia memperhitungkan keadaan. Pasukan
Sangling di halaman sudah mengalami tekanan yang berat.
Karena itu, maka agaknya Akuwu tidak lagi dapat m emanggil
sebagian dari mereka. Karena itu, maka satu -satunya jalan
adalah memanggil pasukan berkuda yang masih ada di
longkangan samping dan bersiap untuk melakukan semua
perintah Akuwu. "Panggil pasukan berkuda," perintah Akuwu.
Prajurit itu berlari dengan cepat. Sebatang tombak telah
dilontarkan kepadanya. Untunglah bahwa tombak itu tidak
mengenainya meskipun telah mengejutkannya.
Pa da saat prajurit itu berlari ke longkangan y ang lain,
maka Jayaraja telah meloncat keluar dari longkangan yang
satu lagi. Dengan garangnya ia berteriak, "Tangkap Akuwu,
hidup atau mati." Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat sekelompok pasukan telah menebar. Perlahan-lahan
mereka mendekati pendapa.
Dengan dahi yang berkerut, Akuwu telah bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Jika mereka naik ke
pendapa sebelum pasukan berkuda datang, m aka tidak ada
jalan bagi Akuwu untuk dengan serta merta mempergunakan
kemampuan puncaknya untuk menghalaukan mereka.
"Jika m ereka akan mati seperti tebasan ilalang, bukan
salahku," berkata Akuwu kepada diri sendiri.
Selangkah demi selangkah mereka memang m endekat.
Sementara itu Jay araja telah meloncat naik ke pendapa sambil
berkata lantang, "jangan menyesal Akuwu, bahwa aku telah
datang lagi untuk mengadakan pendadaran. Tetapi sekarang,
akulah y ang m enentukan cara dan syaratnya. Tidak seorang
pun y ang akan dapat menghambat keputusanku ini."
Namun Jay araja menjadi marah k etika ia tidak melihat
Akuwu menjadi ketakutan. Akuwu Sangling masih tetap
bersikap sebagaimana seorang Senapati besar. Bahkan
kemudian katanya, "Cara dan syarat apakah yang kau ajukan
Jayaraja?" "Sy aratnya, kau berdiri sendiri, sedangkan aku akan
bertempur bersama-sama dengan sekelompok pengikutku.
Mereka adalah orang-orang terpilih, sehingga kau tidak akan
mempunyai kesempatan untuk mempertahankan dirimu.
Kemudian kau mati dan seisi Sangling akan tunduk
kepadaku," Jayaraja itu pun kemudian tertawa. Katanya
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selanjutnya, "jangan meny esal. Bagaimanapun juga namamu
akan tetap dicatat oleh sejarah, bahwa kau pernah terselip
dalam daftar nama para Akuwu di Sangling meskipun hanya
untuk waktu y ang pendek."
Akuwu Sangling terseny um. Tanpa menunjukkan
kegelisahan sedikit pun ia menjawab, "Marilah, siapakah yang
akan maju paling depan?"
Tantangan itu justru membuat para pengikut Jayaraja
menjadi ragu -ragu untuk melangkah maju.
Jayaraja sendiri menjadi ragu-ragu pula. Ia tidak melihat
sama sekali kesan kecemasan pada Akuwu Sangling meskipun
dihadapannya bertebaran sekelompok orang terpilih yang siap
membunuhnya. Namun k eragu-raguan Jay araja dan orang-orangnya itu
ternyata telah menjebak mereka ke dalam kesulitan yang
semakin tinggi. Baru beberapa saat kemudian Jay araja lah yang mulamula
meloncat m endekat sambil m emberi isy arat kepada dua
orang y ang paling baik di antara orang-orangnya. Mereka telah
mendekati Akuwu Sangling dari arah y ang berbeda.
Tetapi pada saat y ang demikian, muncul dari
longkangan y ang lain dari yang dilalui oleh para pengikut
Jayaraja itu, sekelompok prajurit Sangling, justru dari pasukan
berkuda. Para pengikut Jay araja memang menjadi berdebar-debar
melihat kehadiran sekelompok prajurit itu. Namun yang
datang tidak mempunyai banyak kesempatan. Pasukan
berkuda y ang datang itu tanpa banyak persoalan telah
menyerang mereka. Para pengikut Jayaraja tidak mempunyai pilihan lain
kecuali bertempur melawan pasukan berkuda yang
sekelompok itu, yang memang telah dipersiapkan oleh Akuwu
untuk meny ertainya menghadapi Jay araja jika laporan tentang
orang itu telah sampai kepadanya.
Jayaraja pun menjadi berdebar-debar pula. Namun
ketika para pengikutnya telah bertempur, Jayaraja
berpendapat, bahwa ia harus cepat meny elesaikan Akuwu itu,
agar ia dapat membantu para pengikutnya menghadapi
pasukan berkuda yang tentu sebuah pasukan y ang kuat.
Namun didalam hati Jayaraja itu masih juga
mengumpat, " Iblis licik itu m asih juga menyimpan pasukan
cadangan meskipun hanya sedikit."
Demikianlah pertempuran di halaman istana Akuwu
Sangling itu menjadi semakin sengit. Para prajurit dari
pasukan pengawal khusus telah bertempur menghadapi
sepasukan pengikut Jay araja y ang kuat, sementara itu
sekelompok pasukan berkuda harus menghadapi sekelompok
orang-orang y ang paling baik dari para pengikut Jay araja.
Dalam pada itu, Akuwu Sangling sendiri telah
berhadapan dengan tiga orang terbaik dari orang-orang yang
telah meny erang istananya itu.
"Jay araja," berkata Akuwu, "jangan kecewa bahwa
sekelompok prajurit telah m engikat para pengikutmu dalam
pertempuran sehingga hanya kau bertiga sajalah y ang harus
aku layani." "Akuwu Sangling," berkata Jay araja, "kau sangka bahwa
kau akan dapat lepas dari tangan kami. Pada saat kau
mengadakan say embara m enjelang pengangkatanmu m enjadi
Akuwu, maka kau berhasil mengalahkan aku. Tetapi waktu itu
aku hanya sendiri. Sekarang kau tidak akan m ampu berbuat
banyak, karena aku datang bertiga. Biarlah kita tidak
menghiraukan apa yang terjadi di halaman. Mungkin orangorangku
akan terbunuh, tetapi mungkin pula para prajuritmu
akan habis dibantai oleh para pengikutku. Tetapi y ang jelas,
bahwa kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi untuk
lolos." Mahisa Bungalan y ang kemudian disebut Akuwu
Sangling itu tersenyum. Katanya, "Aku tidak pernah
mengadakan say embara. Tetapi aku mengerti yang kau
maksudkan. Sementara itu kini kau datang untuk mengulangi
kekalahanmu. Justru lebih parah meskipun kalian bertiga. Aku
di sini tidak terikat oleh paugeran apapun. Aku dapat
membunuhmu dan kedua orang kawanmu."
"Persetan," geram Jay araja.
Ternyata ia tidak menunggu lagi. Ia pun segera meloncat
menyerang diikuti oleh kedua orang yang bersamanya
mengepung Akuwu Sangling itu.
Tetapi serangan yang pertama itu dapat dielakkannya.
Meskipun kemudian kedua orang pengikut Jayaraja itu
menyerang pula bersama-sama, namun Akuwu sama sekali
belum merasakan tekanan yang menentukan dari ketiga orang
itu. Tetapi ternyata ketiga orang itu pun telah meningkatkan
kemampuannya. Mereka meny erang Akuwu Sangling semakin
garang, seperti badai yang mengamuk tanpa dapat dikekang
lagi. Akuwu Sangling mulai m erasakan tekanan ketiga orang
yang telah m eningkatkan serangan mereka. Karena itu, maka
Akuwu pun harus berbuat hal y ang sama. Akuwu pun telah
meningkatkan ilmunya, sehingga ia masih mampu
mengimbangi kemampuan ketiga orang lawannya.
Namun karena arah serangan ketiga orang lawannya itu
berbeda dan datang susul menyusul, maka rasa-rasanya
Akuwu harus menentukan sikap secepatnya untuk melawan
ketiga orang y ang bergerak semakin cepat dan kuat itu.
Beberapa saat kemudian Akuwu tidak mau lagi
dipusingkan oleh ketiga orang lawannya. Karena itu, maka ia
pun telah menghentakkan kekuatannya ke satu arah. Justru ke
arah Jay araja sendiri. Jayaraja m emang terkejut mengalami serangan Akuwu
yang seru itu. Sekilas ia teringat saat-saat ia mengikuti
pendadaran atas Akuwu Sangling itu. Serangannya y ang cepat
dan kuat sehingga tidak mampu diatasinya lagi.
Demikian pula, serangan-serangan Akuwu saat itu,
sehingga Jayaraja sendiri t elah terdesak beberapa saat surut.
Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh Akuwu sebaikbaiknya.
Ia menekan Jay araja semakin berat.
Jayaraja memang telah terdesak. Tetapi kedua orang
pengikutnya telah siap untuk meloncat dan membantunya.
Tetapi ketika kedua orang itu memburu Akuwu untuk
membantu Jay araja, maka tiba-tiba saja Akuwu telah
melenting keluar dari kepungan mereka.
Jayaraja mengumpat. Tetapi ia mendapat kesempatan
untuk bernafas. Sementara kedua orang pengikutnya berada di
sebelah meny ebelah. Akuwu Sangling kemudian berdiri tegak dihadapan
mereka bertiga. Ia pun telah bersiap menghadapi
kemungkinan y ang lebih keras dalam pertempuran itu.
Sementara itu, di halaman telah terjadi pertempuran
yang keras pula. Para pengikut Jay araja telah berusaha untuk
menekan para prajurit Sangling. Namun pengawal khusus
Akuwu itu ternyata telah berjuang sekuat-kuat m ereka untuk
mempertahankan diri. Tetapi para pengikut Jayaraja ternyata jauh lebih banyak
sehingga mereka berhasil mendesak pasukan pengawal.
Berbeda dengan para pengawal khusus y ang terdesak,
maka pasukan berkuda Sangling y ang bersiap untuk mengikuti
Akuwu melawan pemimpin tertinggi dari pemberontakan itu,
mendapat kesempatan lebih baik. Merekalah yang m endesak
para pengikut Jay araja y ang terpilih, karena jumlah mereka
ternyata seimbang. Karena itu, maka Panglima pasukan berkuda itu telah
mengambil sikap untuk membuat keseimbangan di halaman
istana itu. Karena itu, maka ia pun telah m emutuskan untuk
memerintahkan beberapa orang prajuritnya untuk bergeser
dan bertempur bersama para pengawal khusus.
Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran
itu-pun segera berubah. Usaha Panglima pasukan berkuda itu
ternyata berhasil. Para pengikut Jayaraja yang memasuki
pintu gerbang dan bertempur melawan pasukan khusus itu
tidak lagi berhasil mendesaknya. Mereka telah tertahan dan
harus mengerahkan tenaga untuk berusaha mendesak kembali
para prajurit. Tetapi mereka tidak segera berhasil. Dengan kemarahan
yang membakar jantung, maka prajurit Sangling itu telah
bertempur dengan garang. Diluar halaman istana itu, pertempuran m emang telah
terjadi pula dimana-mana. Semakin lama semakin seru.
Apalagi ketika kedua belah pihak telah berkeringat. Tangantangan
yang basah itu membuat senjata mereka semakin cepat
berputar. Namun kemudian ternyata bahwa pasukan Sangling
perlahan-lahan mengatasi keadaan. Mereka pun telah
berusaha untuk menarik semua kekuatan ke titik -titik
pertempuran. Para prajurit yang masih berada di tempattempat
y ang terpisah dari pertempuran, telah mendapat
isy arat untuk bergeser ke daerah pertempuran y ang semakin
sengit. Dengan demikian maka prajurit Sangling yang semakin
terkumpul itu, telah berhasil m enekan lawan-lawan mereka.
Meskipun di satu dua tempat, terjadi juga bahwa para
pengikut Jay araja lah y ang mendesak pasukan Sangling.
Pa da saat yang demikian, diluar dinding kota prajurit
Sangling benar-benar telah menguasai para pengikut Jayaraja.
Bahkan sebagian besar di antara mereka justru telah
menyerah. Mereka telah diikat pada batang-batang pohon.
Beberapa di antara prajurit harus menjaga para tawanan itu,
sementara y ang lain telah menyusul m emasuki gerbang kota,
dan menggabungkan diri dengan para prajurit Sangling yang
lain yang sedang berjuang untuk melawan para pemberontak
yang berusaha menguasai kota.
Dengan kehadiran para prajurit dari luar kota itu, maka
kedudukan para prajurit Sangling menjadi semakin kuat.
Perlahan-lahan tetapi pasti, maka para prajurit Sangling
telah mulai menguasai para pemberontak.
Sementara itu di halaman istana Akuwu Sangling para
prajurit Sangling pun menjadi semakin mapan. Para pengikut
Jayaraja sama sekali tidak lagi dapat mendesak mereka.
Bahkan semakin lama merekalah y ang semakin terdesak.
Ketika korban mulai jatuh di kedua belah pihak, maka
prajurit Sangling pun menjadi semakin garang pula.
Di pendapa, Akuwu Sangling masih bertempur melawan
tiga orang. Jay araja bersama dua orang kepercayaannya.
Namun ternyata bahwa gabungan kekuatan mereka
bertiga benar -benar telah memaksa Akuwu Sangling harus
meningkatkan kekuatan dan kemampuannya pula. Dengan
cepat dan tangkas k etiga orang itu meny erang berganti-ganti.
Susul menyusul seperti arus gelombang di laut.
Meskipun demikian, Akuwu Sangling tidak menjadi
gentar. Iapun menjadi semakin keras pula menghadapi
lawannya. Ilmunya semakin meningkat, sehingga akhirnya,
sampai pada satu batas yang mengguncangkan jantung ketiga
orang lawannya. Betapapun ketiga orang lawannya itu mengerahkan
segenap kemampuan y ang ada didalam dirinya, namun bagi
mereka Akuwu Sangling bagaikan karang yang berdiri tegak
menghadapi deru gelombang yang bagaimanapun dahsyatnya.
Tetapi Jayaraja dan kedua orang pengikutnya, y ang
terpilih itu pun tidak dengan cepat menjadi putus a sa. Mereka
pun merasa orang-orang berilmu, sehingga pada tataran
tertentu, kemampuan mereka akan mencapai puncaknya,
sehingga dengan demikian, maka mereka bertiga akan
menjadi kekuatan yang tidak akan terlawan oleh siapa pun
juga. Apalagi ketika Jay araja kemudian melihat sekilas-sekilas
para pengikutnya yang bertempur di halaman menjadi
semakin terdesak. Dengan demikian maka kegelisahannya pun
menjadi semakin mencengkam jantung.
Bagi Jay araja, maka tidak ada pilihan lain daripada
dengan cepat membinasakan Akuwu Sangling itu.
Dalam keadaan yang demikian maka Jayaraja itu pun
telah berteriak, "Marilah, jangan dihambat oleh perasaan belas
kasihan lagi. Siapa pun yang mungkin dibunuh, bunuh sajalah.
Kami yang di pendapa ini pun akan segera membunuh Akuwu
Sangling yang sebenarnya tidak berhak untuk memerintah di
Sangling ini." Suara Jay araja itu memang memberikan dor ongan pada
para pengikutnya. Tetapi mereka adalah orang-orang berada
dalam keterbatasan. Betapapun niat mereka bergelora di
dalam dada mereka, namun kemampuan mereka memang
terbatas, sehingga karena itu, maka betapapun mereka
mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan, tetapi m ereka
tidak berhasil m endesak para pengawal khusus Sangling yang
sudah diperkuat oleh pasukan berkuda.
Dalam pada itu, Jayaraja pun telah memerintahkan
kedua orang kawannya mengerahkan kemampuan mereka.
Kepada kedua orang itu Jay araja telah berkata, "Marilah.
Kesempatan kita hampir habis. Kita harus dapat
menghancurkan orang ini sebelum pasukan kita pecah."
Kedua orang kawannya tidak menjawab. Namun
mereka-pun kemudian telah meningkatkan kemampuan
mereka. Seperti Jay araja mereka menyadari, bahwa jika
mereka terlalu lama bertempur, maka keadaan pasukan
Jayaraja di halaman itu akan mengalami banyak kesulitan.
Akuwu Sangling sendiri memang telah siap menghadapi
segala kemungkinan. Akuwu telah menjajagi kemampuan
Jayaraja sepenuhnya karena ia memang pernah bertempur
melawannya. Tetapi kemampuan sebenarnya dari kedua orang
itu masih diragukannya. Mungkin tidak perlu dicemaskan,
sebagaimana yang diny atakan dalam pertempuran itu. Namun
mungkin juga mereka dengan sengaja menyimpan
kemampuan mereka yang sangat tinggi.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, pertempuran pun
menjadi semakin cepat. Ternyata kedua orang itu masih belum
sampai ke puncak kemampuan mereka. Keduanya setapak
demi setapak telah meningkatkan ilmu mereka masingmasing.
Jayaraja menunjukkan kelimpatannya sebagaimana
dikenal oleh Akuwu pada saat pendadaran. Namun pada saat
itu pun Jayaraja tidak mampu mengatasiny a, bahkan sebelum
ilmunya sampai ke puncak.
Tetapi saat itu, Jay araja tidak sendiri, sehingga karena
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, banyak kemungkinan yang dapat terjadi.
Demikianlah maka pertempuran antara Akuwu Sangling
melawan Jayaraja dan kedua orang kawannya itu pun menjadi
semakin sengit. Ternyata bahwa kedua orang kawan Jayaraja
itu juga orang -orang yang ilmunya tidak dapat diabaikan.
Dengan sepenuh kemampuannya, Jay araja telah
menyerang Akuwu. Sementara itu kedua orang kawannya
telah ber siap pula untuk berbuat sesuatu jika Akuwu berhasil
mengelak. Sebenarnyalah Akuwu Sangling sempat mengelakkan
serangan Jayaraja. Demikian kaki Akuwu menyentuh tanah,
maka kedua orang itu sudah meloncat dengan cepat,
menyerang Akuwu dari dua arah.
Tetapi Akuwu memang cukup tangkas. Ia pun segera
bergeser sambil menggeliat. Dua serangan dari arah yang
berlawanan berhasil dielakkannya.
Namun pada saat yang demikian, Jay araja telah
menyerangnya pula, demikian dahsyatnya, sehingga ay unan
tangannya telah mengalirkan angin y ang menampak
tubuhnya. Meskipun Akuwu berhasil menghindar, tetapi angin
yang menyambarnya itu membuat kulitnya menjadi pedih.
"Gila, ilmu apa pula ini?" bertanya Akuwu Sangling itu.
Tetapi Akuwu tidak sempat merenunginya terlalu lama.
Dalam saat yang sekejap, kedua orang kawan Jayaraja itu telah
menyerang. Hampir berbareng mereka menjulurkan kakinya,
sehingga hampir saja Akuwu telah dikenainya.
Namun usaha kedua orang itu sia -sia. Dengan tangkas
Akuwu menghindarinya. Sambil m erendahkan diri sedikit, iapun
telah berputar, sehingga kedua serangan itu sama sekali
tidak meny entuhnya. Akuwu tidak membiarkan dirinya menjadi sa saran
serangan terus-menerus. Ia pun kemudian telah melenting
dengan cepat. Kakinya terjulur lurus. Namun karena Jayaraja
sempat m elihat serangan itu dan m engelak, maka serangan
Akuwu beralih. Tiba-tiba saja ia telah memutar tubuhnya.
Dengan sekali ay unan, kakinya menyambar seorang kawan
Jayaraja. Tetapi orang itu pun sempat m engelak pula. Demikian
cepatnya, sehingga ayunan kaki Akuwu tidak meny entuhnya.
Namun Akuwu tidak menghentikan serangannya. Di luar
dugaan bahwa tiba -tiba Akuwu telah menyilangkan kakinya
sambil merendah. Demikian cepat, Akuwu telah meloncat
miring dengan kakinya yang terjulur lurus.
Kawan Jay araja yang seorang lagi tidak mempunyai
kesempatan untuk m engelak. Karena itu, ia berusaha untuk
menyilangkan tangannya menangkis serangan Akuwu yang
keras itu. Sebuah benturan memang telah terjadi. Ternyata orang
itu pun memiliki ilmu yang tinggi. Terasa kaki Akuwu memang
bagaikan tergetar oleh kekuatan y ang sangat besar.
Tetapi pada saat yang bersamaan, lawan Akuwu itu telah
terlempar beberapa langkah, bahkan kemudian jatuh
berguling keluar dari pendapa itu.
Jayaraja dan seorang kawannya sempat
menyaksikannya. Jantung mereka pun telah berdebaran.
Serangan Akuwu itu tentu serangan yang luar biasa kerasny a.
Untuk beberapa saat, Jay araja dan seorang kawannya
justru termangu-mangu. Namun m ereka pun telah m enarik
nafas dalam-dalam ketika mereka melihat kawannya yang
terbanting di halaman itu pun telah bangkit.
Orang itu m emang meny eringai menahan sakit. Namun
kemudian ia pun telah berdiri tegak. Wajahnya
membayangkan dendam yang membara sementara giginya
gemeretak menahan gejolak di jantungnya.
Dengan segenap kemampuannya orang itu berusaha
untuk mengatasi perasaan sakit. Kemudian dengan lantang ia
berkata, "Akuwu, jangan tergesa-gesa merasa bahwa kau akan
menang, kami ketiga orang yang melawanmu, sama sekali
belum sampai ke puncak kemampuan ilmu kami. Jika kami
terpaksa melepaskan ilmu puncak itu, maka kau tentu akan
menyesal." Akuwu tersenyum. Katanya, "Aku tahu, bahwa kalian
masih belum melepaskan ilmu puncak kalian. Aku tahu,
bahwa Jay araja mampu meningkatkan ilmunya sampai ke
tataran yang sangat tinggi. Aku pernah bertempur
melawannya pada saat Jayaraja mencoba untuk membatalkan
pencalonanku. Pada puncak ilmunya, tangannya dapat
berasap. Nah, aku belum melihat tangannya berasap sekarang
ini, sehingga karena itu aku tahu, bahwa kemampuannya
belum sampai ke puncak."
"Persetan," geram Jay araja, "kau ingin mengatakan,
bahwa dalam pendadaran itu, kau telah m enang. Tetapi kau
tahu, bahwa penilaian itu tidak jujur. Aku belum benar-benar
sampai ke puncak ilmuku. Aku belum mempergunakan
senjataku." Akuwu Sangling termangu -mangu. Ia mulai
memperhatikan senjata ketiga orang y ang siap bertempur
kembali. Jika mereka mempergunakan senjata m ereka, maka
Akuwu pun harus mengimbanginya. Ia harus juga
mempergunakan senjata. Senjata di tangan-tangan orang
berilmu itu tentu akan sangat berbahaya baginya. Apalagi
mereka bertiga akan mampu bekerja sama dengan sangat
mapan. Namun demikian, untuk beberapa orang tertentu,
senjata justru terasa akan mengganggu. Kekuatan ilmu mereka
Raja Silat 2 Dendam Asmara Karya Okt Bagus Sajiwo 11