Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 33

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 33


akan lebih berbahaya jika dilontarkan tanpa mempergunakan
senjata. Namun mereka y ang mampu menyalurkan ilmu
mereka pada senjata yang ada di tangan, maka rasa-rasanya
senjata itu mempunyai kemampuan ganda.
Tetapi agaknya ketiga orang itu masih belum menarik
senjata mereka. Jayaraja dengan wajah tengadah berkata,
"Jangan cemas Akuwu. Aku tidak akan mempergunakan
senjataku. Demikian pula kedua orang kawan-kawanku ini.
Kami ingin membunuhmu dengan tangan kami. Karena kami
akan mendapat kepuasan yang lebih besar. Namun jika kau
ternyata m empersulit kedudukanmu sendiri dengan tingkah
laku yang tidak wajar, maka itu adalah salahmu jika kau akan
mengalami luka arang keranjang."
Akuwu Sangling termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun menjawab, "Apa pun y ang akan kau lakukan,
lakukanlah. Sebentar lagi, kau akan mengalami nasib yang
sangat buruk. Para pengikutmu akan dihancurkan. Dan akan
datang gilirannya kaulah yang akan dihancurkan."
"Persetan," wajah Jay araja menjadi merah, "kau terlalu
sombong Akuwu." Akuwu tidak m enjawab. Sementara itu, Jayaraja telah
meloncat pula mendekat. Sedangkan kawannya yang
terlempar ke halaman itu pun telah meloncat naik pula.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka pertempuran pun
telah m embakar pendapa itu pula. Jay araja memang semakin
meningkatkan kemampuannya. Demikian pula kedua orang
kawannya. Sebagaimana pernah dilihat oleh Akuwu Sangling, maka
Jayaraja y ang kemudian menggosokkan kedua telapak
tangannya, telah nampak asap kelabu yang tipis mulai
mengepul dari telapak tangannya itu.
Semula Akuwu tidak terlalu terpengaruh oleh asap itu,
karena Akuwu pernah m engalami benturan dengan kekuatan
Jayaraja itu. Namun ketika Akuwu juga melihat kedua orang
kawan Jayaraja memusatkan segenap nalar budinya maka
Akuwu harus benar -benar berhati-hati. Kedua orang kawan
Jayaraja itu ternyata mempunyai sikap y ang sama. Dengan
demikian maka Akuwu Sangling tahu, bahwa keduanya adalah
saudara seperguruan. Tetapi Akuwu Sangling itu tidak tahu,
siapakah di antara mereka y ang lebih tua dan memiliki
landasan y ang lebih tinggi. Ketika ia bertempur melawan
ketiga lawannya, Akuwu tidak berusaha untuk m enilai lawanlawannya
itu. Akuwu Sangling tidak mempunyai kesempatan y ang
cukup lama. Sejenak kemudian, maka Jayaraja pun telah
meloncat meny erang Akuwu Sangling. Ia berharap bahwa
kedua orang kawannya pun akan melakukan hal y ang sama
pula. Betapa pun tinggi ilmu dan betapa pun besarnya
kemampuan Akuwu Sangling, namun satunya kekuatan dari
ketiga orang itu, akan dapat menghancurkannya.
Akuwu melihat serangan y ang datang. Sebenarnyalah
kedua kawan Jay araja itu pun telah meloncat pula meny erang
dengan cara yang sama. Keduanya mempersiapkan tangannya
di sisi lambungnya dengan telapak tangan menelentang
terbuka dan jari-jari merapat. Sedang tangan kirinya
menyilang dada dengan jari-jari mengepal.
Demikian m ereka m eloncat, m aka tangan y ang terbuka
dengan jari -jari m erapat itu telah terayun dan siap m ematuk
tubuh lawan. Namun Akuwu telah siap menghadapi segala
kemungkinan. Namun ia pun sadar, bahwa ia tidak tahu pasti,
apakah akibatnya jika ia membentur kekuatan mereka bertiga.
Tetapi Akuwu pun tidak akan melarikan diri dari
benturan kekuatan itu. Meskipun Akuwu harus membuat
perhitungan y ang secermatnya.
Ternyata bahwa Akuwu Sangling tidak menunggu ketiga
orang itu m embenturnya. Dalam waktu singkat Akuwu telah
mengambil keputusan. Demikianlah, maka Akuwu justru telah meny ongsong
serangan ibu. Bukan serangan Jayaraja, tetapi seorang di
antara kedua orang kawannya. Dengan demikian ia berharap
bahwa kedua orang y ang lain akan dapat dihindarinya untuk
sementara. Sikap Akuwu y ang tiba -tiba itu memang mengejutkan.
Akuwu telah meloncat dengan loncatan panjang membentur
seorang di antara kedua orang kawan Jayaraja itu.
Kedua orang yang lain, yang sudah terlanjur
melancarkan serangannya harus mengambil sikap pula.
Mereka mengurungkan serangannya, namun demikian
cepatnya t erjadi, sehingga keduanya telah kehilangan waktu
beberapa saat. Sementara itu telah terjadi benturan yang keras antara
Mahisa Bungalan, yang disebut Akuwu Sangling itu dengan
salah seorang kawan Jayaraja.
Akuwu Sangling merasakan betapa ilmunya telah
membentur kekuatan y ang besar, sehingga hentakannya ju stru
telah mendorong Akuwu terpental selangkah surut. Namun ia
masih tetap dapat menguasai diri dan keseimbangannya.
Bahkan dengan cepat ia memperbaiki kedudukannya, siap
untuk menerima serangan baru y ang akan meluncur ke
arahnya. Namun sementara itu, lawannya y ang membentur
kekuatan ilmu Akuwu Sangling benar-benar mengalami
goncangan y ang luar biasa. Akuwu Sangling memang m asih
belum mempergunakan ilmu puncaknya sepenuhnya. Ilmu
yang diwarisinya dari beberapa orang, termasuk Mahisa Agni.
Meskipun demikian, ternyata bahwa kekuatan ilmu
Akuwu Sangling itu bagaikan merontokkan isi dadanya. Orang
itu telah t erlempar keluar gelanggang. Orang itu terbanting di
halaman, sebagaimana pernah terjadi. Namun bukan sekedar
dor ongan kekuatan, tetapi satu hentakkan ilmu y ang luar
biasa. Orang itu jatuh terkapar di tanah. Tidak seperti
sebelumnya, y ang dengan serta merta mampu bangkit berdiri
tegak. Tetapi karena benturan ilmu itulah maka orang itu
merasa isi dadanya bagaikan diremukkan ny a. Demikian ia
jatuh terkapar, maka ia serasa tidak mempunyai kekuatan lagi
meskipun hanya untuk bangkit dan duduk di halaman itu pula.
Jayaraja y ang menyaksikan sikap Akuwu Sangling itu
dengan serta merta berkata, "Curang. Kau telah m enipu kami
dengan sikapmu. Jika kau seorang kesatria m aka kau tidak
akan melakukan hal seperti itu."
"Apa yang curang?" jawab Mahisa Bungalan, "aku telah
meny ongsong salah seorang dari lawan-lawanku yang
sekaligus berjumlah tiga orang itu. Siapakah yang berbuat
tidak jantan dalam hal ini?"
Jayaraja tidak menjawab. Namun ia pun kemudian
memberi isyarat kepada kawannya y ang seorang untuk
bersiap. Katanya tanpa menghiraukan Akuwu Sangling,
"Marilah. Kita akan menghancurkannya. Kita harus
menyerang dari arah y ang sama dan dalam waktu yang
bersamaan." Kawannya tidak menjawab. Namun ia telah bergeser
mendekati Jay araja. Dalam waktu sesaat keduanya telah
bersiap untuk melontarkan ilmu mereka yang tertinggi yang
mereka miliki. Akuwu Sangling sadar, bahwa ia tidak dapat melakukan
perlawanan dengan cara yang sama. Jika ia berusaha
membentur kekuatan salah seorang lawan dalam serangan
yang begitu ketat, maka orang yang lain akan dapat
menghancurkannya, karena kekuatannya sedang tersalur
untuk berbenturan. Dengan demikian maka Akuwu justru bertekad untuk
membentur keduanya sekaligus. Namun Akuwu telah
meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.
Sejenak kemudian maka kedua orang itu telah meloncat
bersama-sama dengan sikap mereka dalam pelontaran ilmu
tertinggi yang mereka miliki.
Demikianlah, maka Akuwu Sangling tidak mempunyai
kesempatan lain. Ia tidak boleh lari dari lawan-lawannya jika
ia tidak ingin kehilangan nama y ang sudah dirintisny a selama
ini. Karena itu, maka sejenak kemudian telah terjadi
benturan y ang dahsyat. Sebelah tangan Akuwu Sangling
membentur kekuatan ilmu Jay araja yang pernah dijajaginya
pada saat pendadaran, kemudian y ang sebelah lagi telah
melawan serangan kawan Jay araja itu. Telapak tangan yang
terbuka dengan jari-jari rapat itu.
Benturan itu t elah terjadi dengan dahsy atnya. Ternyata
bahwa dua kekuatan yang digabungkan untuk bersama-sama
menggempur Akuwu Sangling itu m erupakan kekuatan yang
luar biasa. Akuwu Sangling bukan saja telah terlempar
beberapa langkah surut. Tetapi ia pun telah terjatuh pula
terguling di lantai pendapa.
Hampir saja kepala Akuwu membentur tiang. Untung
bahwa dalam keadaan yang sulit itu Akuwu masih sempat
menggeliat, sehingga tubuhnya lepas dari benturan.
Sebaliknya kedua orang lawannya pun telah terdor ong
oleh benturan itu. Mereka keduanya telah terlempar keluar
dari pendapa dan jatuh terguling di tanah. Benturan itu
ternyata demikian dahsy atnya sehingga bagi keduanya,
benturan itu rasa-rasanya bagaikan kiamat.
Dalam pada itu, baik para prajurit Sangling, maupun
para pengikut Jay araja telah m elihat apa yang telah terjadi.
Dua orang pengikut Jayaraja telah m eninggalkan arena, dan
merawat orang yang pertama kali terlempar dan tidak dapat
bangkit kembali. Kemudian, ketika kedua orang y ang lain juga
terlempar dan dalam keadaan yang sama, maka beberapa
orang pun telah mendekatinya.
Orang-orang y ang datang untuk meny erang istana
Sangling itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa orang
yang m ereka anut selama ini telah m engalami kesulitan pada
saat ia menghadapi Akuwu Sangling sekali lagi. Bersama
dengan dua orang kawannya yang paling dipercaya, mereka
bertiga tidak berhasil mengalahkan Akuwu. Apalagi
menangkap Akuwu, hidup atau mati. Bahkan mereka bertiga
telah terlempar dan kemudian terkapar di halaman istana
Akuwu Sangling itu. Karena itu, maka agaknya bagi mereka, tidak ada
gunanya lagi untuk bertempur mempertaruhkan ny awa.
Dalam keadaan y ang sulit maka satu-satunya kemungkinan
yang dapat mereka tempuh dan m empunyai harapan untuk
hidup paling tinggi adalah melarikan diri.
Ternyata bahwa pikiran yang demikian itu tumbuh pada
beberapa orang di antara m ereka yang bertempur itu. Tanpa
pembicaraan sebelumnya, namun pikiran itu rasa-rasanya
telah m enjalar kepada semua orang yang ada di dalam arena
pertempuran di halaman istana itu.
Ketika kemudian mereka melihat Akuwu Sangling y ang
ternyata tidak mengalami kesulitan apa pun di dalam dirinya
dan bahkan mulai menuruni tangga, maka agaknya hal itu
telah mempercepat keputusan yang diambil oleh para
pengikut Jay araja. Dalam keadaan y ang sulit itu, maka orang-orang y ang
berjongkok di samping Jay araja dan kawannya y ang terkapar
itu, saling berpandangan sejenak. Namun kemudian tiba-tiba
salah seorang di antaranya berdiri dan b erlari m eninggalkan
halaman itu. Kawannya yang melihatnya dengan cepat
menyusulnya pula. Tiba-tiba arena itu menjadi riuh. Para pengikut Jayaraja
telah kehilangan kendali pertempuran. Mereka sengaja
berbuat sesuatu untuk mengacaukan arena, sehingga
memungkinkan mereka untuk melarikan diri.
Sebenarnyalah arena itu menjadi bagaikan diaduk.
Namun dengan demikian kesempatan untuk melarikan diri
menjadi semakin besar bagi para pengikut Jayaraja itu.
Akuwu Sangling yang melihat keadaan itu, tiba -tiba saja
telah meloncat turun dan berlari ke pintu gerbang. Ia berusaha
untuk mencegah usaha melarikan diri dari para pengikut Ki
Jayaraja. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak saja berlari melalui
pintu, tetapi mereka pun telah berloncatan dinding halaman.
Namun para prajurit tidak membiarkan mereka berlari.
Dengan tangkas para prajurit telah memburu mereka dan
berusaha untuk menangkap mereka hidup-hidup.
Dalam kekalutan itu, terdengar suara Akuwu lantang
bagaikan bergaung di udara, "Meny erahlah. Lemparkan
senjata kalian. Agaknya itu lebih baik daripada kalian harus
terbaring mati di halaman ini."
Ra sa -rasanya suara Akuwu itu menggelepar di dalam
setiap dada, sehingga para pengikut Jay araja yang terbaring
karena luka di dalam jantungnya itu tidak dapat mengelak.
Karena itu maka mereka pun telah melemparkan senjata
masing-masing dan berdiri tegak bersandar dinding.
Para prajurit Sangling pun berusaha untuk mengekang
diri mereka. Jika mereka terlanjur berbuat sesuatu atas orangorang
yang sudah meny erah itu, maka Akuwu tentu akan
marah kepada mereka. Dengan demikian, maka para prajurit Sangling, baik dari
pasukan pengawal khusus, maupun pasukan berkuda y ang ada
di halaman itu adalah mengumpulkan orang-orang yang telah
menyerah itu. Dalam pada itu, pertempuran yang t erjadi di luar
halaman istana itu pun masih juga berjalan seru. Tetapi di
beberapa tempat, pasukan Sangling benar-benar telah
menguasai keadaan meskipun di beberapa tempat yang lain,
para prajurit memang telah terdesak oleh para pengikut
Jayaraja. Namun u saha-usaha y ang cepat telah dilakukan untuk
mengatasi kesulitan itu. Sementara itu, maka para prajurit dari pasukan berkuda
yang semula bertempur di halaman, telah mendapat perintah
oleh Akuwu untuk keluar dari halaman dan menempatkan diri
di antara para prajurit y ang lain, sementara itu para
penghubung diperintahkan untuk segera memberitahukan apa
yang terjadi di halaman istana Akuwu. Sedangkan para
pengawal khusus telah mengikat tawanan mereka dengan
menghubungkan beberapa orang menjadi satu.
"Maaf Ki Sanak," berkata seorang prajurit, "kami


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpaksa melakukannya. Sebagian dari kekuatan yang ada di
istana ini akan keluar. Karena itu, maka kalian tidak boleh
berdiri bebas." Para tawanan itu tidak menolak. Setiap lima orang telah
diikat dengan seutas tali y ang panjang dan m enyambungnya
pada sebatang pohon. Sementara para prajurit dari pa sukan pengawal khusus
menjaga para tawanan dengan senjata terhunus, m aka para
prajurit dari pasukan berkuda telah dengan tergesa -gesa
mengambil kuda mereka. Sejenak kemudian, maka prajurit dari pa sukan berkuda
itu telah berderap di alun-alun dan m enyusup di jalan-jalan
raya Sangling. Mereka tidak terikat lagi untuk bersama-sama
dengan Akuwu untuk menjumpai Jayaraja, karena ternyata
Jayaraja telah datang atas kehendaknya sendiri ke Istana.
Derap kaki kuda itu memang mengumandangkan
kemenangan pasukan Sangling y ang bertempur di manamana.
Sambil berpacu diatas punggung kuda, maka para
prajurit dari pasukan berkuda itu telah mengitari arena
pertempuran dua tiga kali. Ketika kemudian mereka
meninggalkannya, maka beberapa orang lawan pun telah
terkapar dengan luka y ang menganga di tubuhnya.
Demikianlah, maka orang -orang yang telah
terperangkap ke dalam pengaruh Akuwu Sangling itu telah
kehilangan kesempatan sama sekali untuk bergerak dimanamana.
Apalagi ketika mereka kemudian mendengar bahwa
Jayaraja sendiri t elah tertangkap, sementara seluruh pasukan
yang meny ertainya telah meny erah.
Tidak ada pilihan lain bagi mereka. Sebelum mereka
dihancurkan mutlak, maka mereka pun telah memilih jalan
yang memang ditawarkan oleh prajurit Sangling. Meny erah.
Dengan demikian maka sebagian dari gejolak
pertempuran yang terjadi di sudut-sudut kota Sangling telah
selesai. Meskipun di sana-sini masih terjadi benturanbenturan
kecil, namun hal itu tidak terjadi terlalu lama.
Beberapa saat kemudian maka seluruh pertempuran pun telah
dapat diselesaikan. Semua orang yang t erlibat dalam
pertempuran telah menghentikan benturan-benturan senjata.
Namun demikian di antara m ereka yang menyerah, ada
juga pengikut Jayaraja y ang sempat melarikan diri.
Sejenak kemudian, maka para prajurit Sangling telah
menggiring para tawanan ke istana Akuwu. Ternyata berita
yang mereka dengar bukan sekedar berita ngayawara. Jayaraja
benar-benar telah dilumpuhkan dan kehilangan kemampuan
untuk melawan. Dua orang kawan kepercayaannya pun tidak
lagi dapat bangkit. Bahkan ketiga orang itu benar-benar
berada dalam keadaan yang gawat. Ketiganya telah
dibaringkan di pendapa. Namun ketiganya masih belum sadar.
Yang kemudian mulai membuka matanya adalah
Jayaraja. Namun ia benar-benar dalam keadaan y ang lemah.
Meskipun ia membentur ilmu Akuwu Sangling bersama
seorang kawannya, namun ternyata bahwa kemampuan dan
kekuatan ilmu Akuwu dapat mengatasiny a.
Dalam benturan itu, bukan Akuwu Sangling y ang
mengalami kesulitan, tetapi justru Jay araja dan kawannya.
Mereka berdua ternyata tidak mampu menahan gempuran
ilmu Akuwu Sangling y ang diwarisinya dari Mahisa Agni dan
dimatangkan oleh beberapa orang tua.
Dalam pada itu Akuwu Sangling sempat merenungi
orang itu sejenak. Puncak kemampuan ilmunya ternyata
berjarak terlalu jauh dari batas kemampuan Jayaraja dan
kawannya. Berdua m ereka tidak mampu m engimbangi ilmu
Mahisa Bungalan yang nggegirisi.
Ketika kemudian Akuwu itu berjongkok di sebelah
Jayaraja terbaring, maka Jayaraja itu berdesis, "Aku m enjadi
yakin." "Yakin tentang apa?" bertanya Akuwu.
"Aku kira aku akan dapat mengalahkanmu," berkata
Jayaraja, "dengan hati-hati dan bersungguh-sungguh aku
menghimpun kekuatan. Tetapi saatnya aku sendiri
menghadapimu, meskipun aku bertiga, ternyata aku tidak
berhasil. Bahkan aku telah mengalami luka parah didalam
bagian dalam tubuhku."
"Lalu apa y ang kau y akini?" bertanya Akuwu.
"Bahwa kau memang memiliki ilmu y ang sangat tinggi,"
berkata Jayaraja, "ketika aku kau kalahkan dalam pendadaran
itu, aku memang sudah memperhitungkan bahwa kau
memiliki ilmu yang tinggi, tetapi tidak sebagaimana ternyata
sekarang. Aku kira kau akan hancur melawan kemampuan
kami bertiga. Namun y ang hancur justru kami bertiga."
"Aku memang harus membela diri," berkata Akuwu.
"Ya. Kau m emang harus m embela diri," jawab Jayaraja,
"karena itu maka kau tidak bersalah. Kau telah
mempergunakan hakmu. Dan ternyata kami harus
menanggung akibat dari perbuatan kami."
Akuwu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
memang harus mendapat perawatan."
Jayaraja menggeleng. Katanya, "jantungku telah kau
pecahkan. Tidak ada obat y ang dapat meny embuhkan aku."
"Kau harus mencoba," berkata Akuwu.
"Tidak," jawab Jayaraja, "aku akan mati. Kematianku
akan menjadi pertanda, bahwa tidak ada darah Akuwu
Sangling y ang lama yang akan merasa berhak untuk m ewarisi
kedudukannya. Aku adalah orang yang terakhir, yang dialiri
darah dari keturunan laki-laki."
Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Namun
menurut penglihatannya, keadaan Jay araja itu memang sudah
terlalu parah. Sementara itu kedua kawannya yang lain masih belum
sa dar sama sekali. Yang dilukai Akuwu Sangling lebih dahulu,
memang sudah nampak bergerak. Tetapi agaknya ia telah
pingsan pula. Namun agaknya keadaan mereka lebih parah dari
keadaan Jayaraja. Meskipun ujud tubuh mereka tidak terluka,
tetapi mereka benar-benar sudah kehilangan kesempatan
untuk bertahan. Sebenarnyalah, bahwa ketiga orang itu memang tidak
dapat tertolong lagi. Kedua orang kawan Jayaraja itu tidak
sempat sadar kembali sampai saat terakhir mereka. Sementara
Jayaraja masih dapat menyatakan perasaannya y ang terasa
menghambat perjalanannya kembali ke asalnya. Katanya,
"Akuwu. Baiklah pada kesempatan terakhir ini aku minta maaf
atas segala kesalahanku. Mudah-mudahan jalanku kembali
tidak menjadi terlalu gelap karena tingkah lakuku."
Menghadapi saat terakhir dari seseorang, maka tidak
ada jawaban lain yang dapat diucapkan oleh Akuwu kecuali,
"Aku maafkan kau Jayaraja."
Jayaraja tersenyum. Namun ia tidak sempat lagi
mengatakan sesuatu. Matanya perlahan-lahan terpejam dan
nafasnya-pun menjadi semakin sendat, sehingga akhirnya
terputus sama sekali. Akuwu Sangling menarik nafas dalam-dalam. Dua orang
Senapati dari pasukan Pengawal Khusus ada disebelahnya.
Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa atas Jayaraja itu.
Sesaat Akuwu masih termangu-mangu. Dipandanginya
tubuh Jayaraja yang terbaring diam. Kemudian dua tubuh lagi
yang bagaikan telah membeku.
Para Senapati Sangling yang memang sudah mengagumi
kemampuan Akuwunya y ang baru, menjadi semakin kagum
pula. Sementara itu umur Akuwu itu masih terhitung muda,
sehingga ilmunya tentu masih akan mampu berkembang lagi.
Namun sejenak kemudian maka Akuwu itu pun telah
memerintahkan untuk meny elenggarakan tubuh-tubuh yang
membeku itu sebaik-baiknya dan sebagaimana seharusnya.
Bukan hanya tubuh Jay araja dan kedua orang pembantunya
yang paling dipercaya itu, tetapi juga orang-orang lain yang
telah t erbunuh di peperangan, meskipun bagaimanapun juga
masih tetap dipisahkan antara para prajurit dan orang-orang
Sangling sendiri y ang gugur, dengan para pemberontak yang
telah meny erang Sangling.
Demikianlah, ketika pertempuran kemudian selesai,
maka orang-orang Sangling mempunyai kesibukan tersendiri.
Namun bagaimanapun juga, Sangling telah berkabung dengan
peristiwa itu. Di sana-sini telah terdengar tangis orang-orang
yang telah kehilangan keluarganya di peperangan.
Namun dengan demikian, Sangling seakan-akan telah
menguji diri. Para prajurit Sangling y ang telah ditempa
beberapa lama telah membuktikan, bahwa mereka mampu
meningkatkan ketahanan mereka. Para Senapati yang telah
bersama-sama dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menempa diri dengan keras, y ang kemudian dengan
berjenjang dijalarkannya kepada para prajurit yang lain, telah
memberikan hasil yang dapat dibanggakan. Para Senapati
yang langsung menempa diri bersama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah m ampu menunjukkan kelebihan mereka
sebagai prajurit pilihan menghadapi pemberontakan yang
menggemparkan seluruh Sangling itu.
Untuk melihat akibat yang telah terjadi atas Sangling,
maka setelah meny erahkan tugas-tugas untuk menyelesaikan
para korban, maka Akuwu telah m eninggalkan istana diiringi
oleh sekelompok pasukan pengawal khusus berkuda dan
sekelompok pasukan berkuda.
Mereka melihat apa y ang telah t erjadi setelah
pertempuran y ang membakar seluruh kota. Akuwu telah
mengunjungi padukuhan yang satu dan padukuhan yang lain.
Akuwu telah bertemu dengan para bekel di setiap padukuhan
untuk berbicara langsung dengan mereka tentang akibat telah
terjadi. Dalam pengamatannya maka Akuwu sempat melihat
kerusakan-kerusakan yang gawat di beberapa padukuhan,
bahkan ada satu dua rumah yang ternyata mengalami
kerusakan y ang berat. Ada perc obaan untuk membakar banjar.
Tetapi untunglah bahwa prajurit Sangling cepat mengatasi
keadaan. Dibantu oleh para penghuni padukuhan itu, dibawah
perlindungan para prajurit, maka usaha pembakaran itu dapat
diurungkan, dan api segera dipadamkan.
Di padukuhan y ang lain, Akuwu masih melihat beberapa
orang tawanan yang belum sempat dibawa ke halaman istana.
Bahkan masih ada beberapa orang y ang terbunuh di
peperangan yang terbaring di tempatnya. Agaknya
pertempuran di tempat itu agak terlambat selesai, karena para
pemberontak y ang keras kepala. Namun dengan demikian,
maka para prajurit Sangling pun menjadi keras pula dan
memperlakukan para tawanan dengan kasar.
"Jangan m endendam," berkata Akuwu kepada Senapati
yang memimpin prajurit Sangling di tempat itu, "m ereka
sudah menyerah." "Tetapi mereka keras kepala," desis Senapati itu.
"Bukankah kita pada umumnya juga bersikap keras
kepala di peperangan?" bertanya Akuwu. Lalu katanya,
"Seperti perintah y ang pernah aku berikan, bawa saja para
tawanan ke halaman istana. Biarlah para pemimpin prajurit
Sangling m enyelesaikan persoalan mereka. Juga mereka yang
telah menjadi korban."
Senapati itu m engerutkan keningnya. Katanya, "Hamba
Akuwu. Namun apakah para korban dari Sangling dan para
pemberontak akan diperlakukan sama?"
Akuwu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian ter senyum sambil berkata, "Pada dasarnya sama.
Bukankah kita akan meny elenggarakan para korban sesuai
dengan y ang seharusnya" Namun aku tidak menolak
keinginan para Senapati untuk m emisahkan m ereka. Tetapi
tidak sepatutnya kita masih juga mendendam mereka yang
sudah meninggal." Senapati itu mengangguk-angguk. Namun demikian ia
masih berkata, "Ampun Akuwu, jika kita memberikan
penghormatan terakhir kepada m ereka y ang m enjadi korban
pertempuran ini, apakah penghormatan y ang kita berikan
pada para pahlawan dan pengkhianat akan sama saja?"
"Upacara kematian yang kita selenggarakan akan sesuai
dengan keharusan y ang berlaku," berkata Akuwu, "y ang tidak
kita hargai adalah sikap mereka di saat-saat hidup mereka.
Dan mereka sudah kehilangan kesempatan untuk melakukan
kesalahan yang sama. Tetapi seperti y ang aku katakan,
upacara y ang dilakukan dapat dipisahkan antara m ereka dan
para prajurit Sangling. Agar kita dapat membedakan pula yang
manakah yang dapat kita contoh pengabdiannya di masa
hidupnya dan y ang manakah y ang kita anggap langkahlangkah
pengkhianatan." Senapati itu mengangguk dalam-dalam sambil berkata,
"Hamba Akuwu. Semoga para pahlawan mendapat tempat
yang sesuai dengan pengabdiannya."
Akuwu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan
para Senapati yang tidak dapat melupakan apa y ang telah
dilakukan oleh para pengkhianat itu. Apalagi para Senapati
yang telah kehilangan beberapa orang anak buahnya.
Demikianlah Akuwu telah mengelilingi Sangling untuk
bukan saja melihat dari dekat, tetapi juga memberikan sedikit
ketenangan bagi mereka yang gelisah.
Keluarga yang sedang menangisi anaknya y ang gugur
merasa bagaikan mendapat sentuhan tangan y ang sejuk ketika
Akuwu datang menjenguknya. Setiap kata hiburan yang
diucapkan, telah meredakan isak yang serasa menyumbat
jantung. "Sangling tidak akan melupakannya," berkata Akuwu.
Seluruh keluarga yang sedang berkabung itu
mengangguk. Namun dalam pada itu, sebenarnyalah hati akuwu
sendiri telah terluka pula sebagaimana keluarga yang
kehilangan itu sendiri. Di hari-hari berikutnya, ketika hati orang-orang Sangling
sudah menjadi tenang kembali, maka Akuwu sempat
memanggil para Senapatinya untuk menekankan, betapa
pentingnya kesiagaan yang tinggi. Karena itu, maka Akuwu
telah memerintahkan untuk mempercepat jenjang peny ebaran
ilmu kanuragan kepada para prajurit. Bahkan Akuwu juga
memerintahkan, anak-anak muda y ang khusus bertugas
sebagai pengawal di padukuhan-padukuhan untuk mendapat
tuntunan y ang lebih baik.
"Tidak hanya y ang berada di kota dan sekitarnya,"


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Akuwu, "tetapi juga di padukuhan-padukuhan
terpencil. Orang-orang y ang kecewa itu, y ang berhasil
melarikan diri, akan dapat mengganggu padukuhanpadukuhan
itu jika anak-anak mudanya t idak siap untuk
memberikan perlindungan."
Pengalaman yang pahit itu, bahwa sebuah
pemberontakan seakan-akan berhasil meny entuh seisi kota
Sangling, telah mendorong para prajurit dan anak-anak muda
Sangling untuk lebih banyak memperhatikan perlindungan
atas rakyatnya. Itulah sebabny a, maka ketika mereka mendapat
kewajiban untuk mengikuti latihan-latihan keprajuritan yang
berat, mereka sama sekali tidak mengeluh.
Sejalan dengan kesibukan y ang semakin meningkat di
Sangling, y ang dikembangkan oleh para Senapati yang pernah
menempa, diri bersama-sama dengan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri
telah melakukan hal yang sama di padepokan kecilny a. Tetapi
ternyata bahwa karena jumlah penghuni padepokan itu tidak
terlalu banyak, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya
mengambil mula-mula sepuluh orang. Mereka bersama-sama
dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, telah melakukan
latihan-latihan yang berat sebagaimana pernah dilakukan di
Sangling. Bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, hal semacam itu
selalu menambah pengalaman-pengalaman baru. Ia bukan
sa ja memberikan tuntunan kepada orang lain, tetapi juga bagi
dirinya sendiri. Ilmu kedua anak muda y ang telah berkembang
pesat itu memang menjadi semakin padat sejalan dengan
pengalaman mereka yang semakin banyak.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m endapat kesempatan
waktu y ang lebih leluasa bagi orang-orang padepokannya
untuk menempa diri. Meskipun ia juga mengambil kesatuan
waktu sepekan, tetapi untuk diulang beberapa kali atas orang
yang sama dengan jarak waktu tertentu untuk mengendapkan
masukan y ang mereka dapat dalam waktu sepekan
sebelumnya. Namun sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sedang sibuk menempa beberapa orang padepokan itu,
ternyata patung yang telah dipersiapkan itu benar-benar
hampir selesai sepenuhnya. Di halaman tengah padepokan
yang pernah bernama Suriantal itu tengah digarap pada
sentuhan-sentuhan terakhir sebuah patung y ang berwarna
kehijauan. Patung sepasang ular naga dalam satu sarang.
Setiap saat, jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada
di padepokan di sela-sela kesibukannya menempa diri
bersama para penghuni padepokan itu, keduanya selalu
menunggui patung yang berwarna kehijauan itu. Dalam
bentuknya yang hampir selesai sepenuhnya, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah melihat pancaran endapan tangkapan
penglihatan batin para pemahatnya tentang sepasang ular
naga sebagai perlambang dua orang saudara sepupu yang
memerintah Singasari sebagai Maharaja dan Ratu Angabaya.
Kedua-duanya adalah keturunan Ken Dedes seorang
perempuan y ang menyandang perlambang keagungan yang
lahir di sebuah desa padepokan bernama Panawijen.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pernah mendengar
ceritera Mahisa Agni yang tua itu tentang kebesaran Ken Arok
pada jamannya, saat-saat Singasari berdiri. Saat Tumapel
menundukkan Kediri. Namun setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
pernah bekerja bagi kepentingan Kediri itu m elihat ketidak
ikhlasan orang-orang Kediri atas peri stiwa yang dianggap
melukai jantung kebesaran Kediri itu. Kekalahan Kediri atas
Tumapel pada saat Sri Baginda Kertajaya bertahta di Kediri.
Bahkan menurut pengamatan perasaan kedua anak
muda itu, pada suatu saat tentu akan terjadi ledakan yang
akan dapat mengguncang Singasari yang merasa sudah
mapan. "Mudah-mudahan aku hanya sekedar bermimpi buruk,"
berkata Mahisa Murti. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun ia
pun kemudian berkata, "Paman Mahisa Agni sudah sangat tua.
Demikian pula paman Witantra. Ayah kita masih dapat
bekerja sedikit -sedikit sebagaimana dilakukan sebelumnya.
Tetapi sebenarnya ayah pun sudah terlalu tua. Dengan
demikian maka agaknya Singasari sebentar lagi akan tidak
mempunyai orang-orang tua y ang akan dapat selalu
memperingatkan agar mereka selalu berhati-hati."
"Mengapa tidak kita lakukan sejak sekarang?" bertanya
Mahisa Murti. "Kita masih saja dianggap kanak-kanak yang baru pantas
bermain-main dengan gundu, atau barangkali jirak kemiri,"
sahut Mahisa Pukat. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Tetapi aku kira waktu yang demikian memang masih agak
panjang." Mahisa Pukat mengangguk kecil. Ia pun sependapat
dengan Mahisa Murti. Tetapi katanya, "Agaknya memang
demikian, tetapi apakah tidak sebaiknya hal itu disadari jauh
sebelum lambat." "Agaknya memang demikian. Mudah-mudahan kita
mendapat kesempatan," berkata Mahisa Murti.
"Kita akan memohon waktu untuk menghadapi Sri
Maharaja Sri Jaya Wisnuwardhana dan Ratu Angabaya Sri
Nara-simhamurti, untuk meny erahkan patung itu," berkata
Mahisa Pukat, "apakah kita dapat mengatakan sesuatu tentang
sikap Kediri?" Mahisa Murti mengerutkan keningnya. Namun
kemudian katanya, "jangan kita. Mungkin orang-orang tua itu
akan menyertai kita. Biarlah mereka yang mengatakannya."
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. " Baiklah. Kita akan
mohon agar mereka dapat menyampaikannya secepatnya, agar
Singasari tidak terkejut jika Kediri tiba -tiba saja bergolak
dengan dahsyatnya." Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah bersiap-siap untuk pergi ke Singasari dengan patung
yang sudah hampir siap. Sementara itu, ia telah menempa
hampir setiap orang di padepokannya agar mereka m emiliki
kemampuan y ang tinggi. Bahkan ternyata kemampuan mereka
telah melampaui kemampuan para prajurit Sangling. Jika
terjadi sesuatu atas padepokan itu, maka isi padepokan itu
akan dapat berusaha melindungi padepokannya. Namun
jumlah penghuni padepokan itu memang tidak t erlalu banyak.
Dengan dasar kemampuan ilmu mereka masing -masing,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berhasil m eningkatkan
kemampuan mereka. Ciri-ciri dari orang-orang Suriantal
masih juga nampak pada tongkat-tongkat mereka yang
panjang. Namun di samping kemampuan mereka
mempergunakan tongkatnya, maka mereka pun telah memiliki
ketrampilan y ang tinggi untuk mempergunakan segala macam
senjata sebagaimana dikehendaki oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Tongkat panjang kalian agaknya kurang
menguntungkan dalam pertempuran y ang seru dan berjarak
pendek. Tongkat panjang kalian memang akan sangat b erarti
jika kalian sempat membatasi lawan kalian pada jarak
tertentu. Tetapi dalam pertempuran y ang riuh dan ganda,
maka kalian akan mendapat kesulitan." berkata Mahisa Murti.
Namun kemudian katanya, " Ilmu kalian y ang menopang
kemampuan kalian bermain tongkat diciptakan pada m asamasa
seseorang terlalu yakin akan sifat kejantanan dan selalu
berusaha mengatasi per soalan secara pribadi. Tetapi dalam
hubungan kita dengan bermacam-macam kekuatan, termasuk
kekuatan prajurit yang terbiasa bertempur dalam satu gelar,
maka kita harus meny esuaikan diri."
Orang-orang padepokan y ang semula berasal dari
perguruan Suriantal itu berusaha untuk mengikuti petunjuk
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka telah memendekkan
tongkat-tongkat mereka dan berlatih dengan keras untuk
menyesuaikan diri dengan jenis senjata mereka y ang baru.
Dengan tuntunan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta
dengan latihan-latihan y ang berat, maka orang-orang
Suriantal itu seakan-akan telah memperbaharui ilmu mereka.
Dengan peningkatan kemampuan ilmu para penghuni
padepokan itu, m aka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
merencanakan untuk m eninggalkan padepokan itu beberapa
saat. Mereka akan pergi ke Singasari untuk menyerahkan
patung mereka y ang terbuat dari jenis batu y ang jarang
terdapat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak mau
perjalanan mereka sia -sia. Karena itu, sebelum mereka benarbenar
datang dengan membawa patung yang berat itu, maka
mereka harus mendapat kepastian, bahwa patungnya akan
diterima di istana Singasari.
Karena itu, ketika patung itu sudah benar-benar siap,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah merencanakan
perjalanan pendahuluan menuju ke Singasari.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di sini," berkata
Mahisa Murti. "Aku akan menjaganya," berkata pemahat yang juga
seorang prajurit Singasari itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih. Aku pun percaya kepada para penghuni padepokan ini,
bahwa mereka pun akan menjaga dengan baik."
"Yaa," berkata prajurit yang memahat patung itu,
"menurut penglihatanku, latihan-latihan y ang berat, yang
kalian lakukan membuat para penghuni padepokan ini
mempunyai kemampuan melampaui prajurit kebanyakan."
"Mereka hanya memerlukan pimpinan y ang dapat
mengatur dan memanfaatkan kemampuan mereka," berkata
Mahisa Murti, "karena itu, maka aku akan memberitahukan
kepada mereka bahwa sementara kami berdua pergi,
sedangkan pekerjaanmu memahat patung itu sudah selesai,
maka kau akan menyandang tugas baru sebagai Senapati yang
akan m emimpin orang-orang y ang m enghuni padepokan ini.
Sebagai seorang prajurit maka kau tentu akan dapat
melakukannya." Pemahat itu menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian katanya, "Aku berada di tempat ini dikenal sebagai
seorang pemahat. Demikian pula adikku."
"Aku akan m emberitahukan kepada mereka, bahwa kau
adalah seorang perwira dari prajurit Singasari," berkata
Mahisa Murti. "Terserah kepadamu," orang itu menarik nafas dalamdalam.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah memanggil para pemimpin kelompok dari para penghuni
padepokan itu, yang meskipun m ereka berasal dari berbagai
perguruan, namun mereka benar-benar telah m erasa satu di
dalam padepokan itu. Dengan singkat Mahisa Murti memberitahukan
rencananya untuk pergi ke Singasari sebelum mereka
membawa patung yang telah siap itu.
Para pemimpin kelompok itu m emang sudah menduga,
bahwa pada suatu saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan
pergi ke Singasari seperti yang sering dikatakannya, jika
patung itu sudah selesai. Namun agaknya sebelum kedua anak
muda itu membawa patung yang besar dan berat itu, ia ingin
meyakinkan , bahwa patung itu akan diterima oleh Sri
Maharaja di Singasari. Dengan singkat Mahisa Murti pun kemudian
memerintahkan agar para penghuni padepokan itu berhatihati
m enjaga padepokannya dari kemungkinan-kemungkinan
buruk y ang dapat terjadi, apalagi selama patung batu yang
berwarna kehijauan itu masih ada di padepokan. Kepada para
pemimpin kelompok itu Mahisa Murti memberitahukan pula
bahwa yang akan memimpin mereka selama Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak ada di tempat adalah seorang Perwira dari
prajurit Singasari y ang lebih mereka kenal sebagai seorang
pemahat. Tetapi sebagian besar dari para penghuni padepokan itu
sudah tahu, bahwa pemahat itu adalah prajurit. Dan bahkan
seorang perwira dari Singasari. Karena itu, maka para
pemimpin kelompok itu tidak ada y ang menyatakan
keberatannya. Bahkan mereka telah menyatakan kesediaan
mereka untuk berbuat sebaik-baiknya, menjaga padepokan itu
sebagaimana milik mereka sendiri.
Demikianlah, di pagi hari berikutnya, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah bersiap diatas punggung kuda. Tanpa
pengawalan sebagaimana selalu m ereka lakukan sebelumnya
dalam pengembaraan mereka. Bahkan pengembaraan yang
terdahulu selalu dilakukannya hanya dengan berjalan kaki
sa ja. Ternyata bahwa perjalanan kedua anak muda itu
berjalan dengan lancar. Keduanya tidak mengalami hambatan
apapun juga, sehingga keduanya sempat menghadap Mahisa
Agni dan Witantra di istana Singasari.
Kedua anak muda itu pun kemudian telah
menyampaikan niat mereka untuk meny erahkan patung yang
berwarna kehijauan itu. "Patung itu tidak kau bawa sekali?" bertanya Mahisa
Agni. "Tidak paman," jawab Mahisa Murti, "patung itu cukup
besar dan berat. Kami ingin meyakinkan bahwa patung itu
akan diterima dengan baik oleh Sri Maharaja."
Mahisa Agni mengangguk-angguk, Ia pun kemudian
berkata kepada Witantra, "Apakah kita akan mohon
menghadap?" "Tidak ada jeleknya," jawab Witantra, "tetapi patung itu
merupakan perlambang kebesaran kewadagan Sri Maharaja
dan Ratu Angabaya. Bukan lambang kejiwaan dan pancaran
perujudan kemuliaan kedalaman pribadi Sri Maharaja dan
Ratu Angabaya." Witantra mengangguk-angguk. Namun katanya,
"Meskipun demikian patung itu mempunyai nilai tersendiri."
"Ya. Aku pun m enduga bahwa Sri Maharaja dan Ratu
Angabaya akan menerimanya dengan senang hati." berkata
Mahisa Agni kemudian. Lalu, "Kita akan mencoba."
Ketika keduanya mendapat kesempatan untuk


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghadap Sri Maharaja, maka keduanya telah mengutarakan
niat kedua anak Mahendra untuk meny erahkan sebuah patung
dari batu yang berwarna kehijauan y ang menurut kepercayaan
adalah batu y ang jatuh dari langit.
"Patung apa?" bertanya Sri Maharaja.
"Ampun Sri Baginda, hamba sendiri belum pernah
melihat patung itu. Tetapi menurut pendengaran hamba dari
kedua anak muda itu adalah, bahwa patung tersebut adalah
patung sepasang ular naga dalam satu sarang."
Sri Maharaja mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian tersenyum sambil berkata, "Patung kewadagan."
Mahisa Agni mengangguk dalam-dalam sambil berkata,
"Hamba Sri Maharaja. Patung yang memberikan ungkapan
perlambang namun tentang ujud kewadagan."
Namun Sri Baginda pun kemudian berkata, "Baiklah.
Aku akan m enerimanya. Aku ingin m elihat ujud dari patung
itu." Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak m erasa ragu-ragu lagi bahwa ia akan melakukan kerja
yang sia -sia. Sri Maharaja telah membenarkan agar patung itu
dibawa saja ke Singasari.
Dengan tergesa-gesa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah kembali ke padepokan Suriantal. Namun sebelum
mereka meninggalkan Singasari, keduanya telah
menyampaikan semacam peringatan kepada Singasari, bahwa
pada satu saat Kediri tentu akan meledak.
"Aku sudah memperhitungkan hal itu jauh sebelumnya,"
berkata Mahisa Agni, "bahkan demikian pula pamanmu
Witantra. Kami berdua pernah bertugas di Kediri. Namun
menurut pendapatku, hal itu tidak akan terjadi dalam waktu
dekat." "Mungkin paman," jawab Mahisa Murti," sampai saat ini
Pangeran Singa Narpada masih dapat diandalkan. Namun
apakah hubungan antara Kediri dan Singasari dalam ikatan
seperti sekarang ini hanya akan berlangsung sepanjang umur
Pangeran Singa Narpada?"
"Ya," berkata Mahisa Agni, "aku m engerti y ang kalian
maksudkan. T etapi selama ini Singasari pun telah memasang
petugas-petugasnya di Kediri. Persoalan y ang kau maksudkan,
mungkin memang akan terjadi. Tetapi untuk sementara
hanyalah ledakan-ledakan kecil yang akan dapat diatasi oleh
Kediri sendiri. Tetapi mungkin akan lain halnya dengan
tataran keturunan mendatang."
" Itulah y ang kami cemaskan," berkata Mahisa Murti
yang memang mempunyai wawasan yang jauh tentang Kediri.
"Justru pada saat itu Singasari sudah menjadi lengah,"
berkata Mahisa Pukat kemudian.
Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah
aku akan m emperingatkan Sri Maharaja. Karena aku sendiri
sudah terlalu tua sekarang, sehingga aku tidak akan dapat ikut
menyaksikan perkembangan Singasari lebih lama lagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Di luar sadar mereka telah memandangi wajah
Mahisa Agni dan Witantra. Keduanya memang nampak sudah
terlalu tua, meskipun penalaran dan perasaan mereka rasarasanya
masih utuh. "Tidak seorang pun y ang m ampu m enghindarkan diri
dari ketuaan," berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya,
"siapapun, meskipun ilmunya menggapai langit."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah mohon diri untuk mengambil patung y ang dibuat dari
batu y ang berwarna kehijauan itu. Meskipun patung itu tidak
melambangkan pancaran ujud kemuliaan kedalaman pribadi
Sri Maharaja dan sekedar menunjukkan keperkasaan
kewadagannya, serta per satuannya y ang utuh dengan Ratu
Angabaya sejak mereka remaja, namun pahatan patung itu
sangat baik dan halus. Ujudnya pun merupakan ungkapan
keperkasaan itu sehingga setiap orang y ang m enyaksikannya
akan ter sentuh pula perasaannya.
Sebagaimana ketika mereka berangkat, maka ketika
mereka kembali pun tidak ada gangguan apapun di perjalanan.
Sementara itu padepokan Suriantal pun tidak disentuh oleh
maksud-maksud y ang kurang baik, sehingga tidak pernah
terjadi sesuatu di padepokan itu.
"Sri Maharaja akan menerima baik patung itu," berkata
Mahisa Murti kepada perwira Singasari y ang juga menjadi
pemahat. "Kita akan menghadap. Kau tentu akan ikut," berkata
Mahisa Pukat pula. Perwira prajurit Singasari itu pun menjadi gembira. Ada
kebanggaan ter sendiri bahwa patungnya akan diserahkan
kepada Sri Maharaja di Singasari.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan seisi padepokan
Suriantal pun telah bersiap-siap. Mereka ingin segera dapat
menyerahkan patung itu kepada Sri Maharaja. Jika terjadi
sesuatu atas patung yang sudah terlanjur disampaikan kepada
Sri Maharaja untuk diserahkan itu, tentu akan membawa
akibat y ang tidak meny enangkan bagi mereka.
Demikianlah beberapa hari kemudian, telah
dipersiapkan sebuah pedati yang kuat y ang akan ditarik bukan
hanya oleh dua ekor lembu, tetapi oleh enam ekor.
Setelah dipersiapkan segala sesuatunya, baik yang akan
berangkat ke Singasari maupun yang akan tinggal untuk
menunggui padepokan, maka sebuah iring-iringan telah
berangkat menuju ke Kota Raja.
Dengan diselubungi kain yang berwarna putih, maka
patung yang terbuat dari batu y ang berwarna kehijauan itu
telah dibawa k e Singasari diatas sebuah pedati yang terbuka.
Namun sebelum mereka berangkat, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah memerintahkan masing-masing dua orang
penghubung untuk menghadap Akuwu Sangling dan Akuwu
Lemah Warah, m emberitahukan bahwa patung sepasang ular
naga dalam satu sarang telah dibawa ke Singasari.
Akuwu Sangling y ang menerima pemberitahuan itu
menjadi ikut bergembira. Penghubung itu juga menyampaikan
pesan, bahwa Sri Maharaja telah berkenan untuk m enerima
patung itu, sebagaimana dikatakan oleh Mahisa Agni dan
Witantra kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun k esan yang diterima oleh Akuwu Lemah Warah
memang agak berbeda. Sebagai orang Kediri, maka Akuwu
Lemah Warah memang merasa tersentuh betapapun
lemahnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang pernah
bertugas bagi Kediri bersama-sama dengan para petugas sandi
Kediri dibawah perintah Pangeran Singa Narpada, sehingga
Akuwu Lemah Warah y ang tertarik kepada keduanya telah
memberikan banyak warisan ilmu, namun bagaimanapun juga
keduanya adalah orang-orang Singasari. Batu y ang berwarna
kehijauan dan banyak menelan korban itu akhirnya
dipersembahkan kepada Sri Maharaja Singasari.
Sebenarnya Akuwu Lemah Warah sudah menyadari
bahwa yang akan terjadi m emang demikian sejak patung itu
dibuat. Namun ketika laporan dari kedua penghubung itu
sampai kepadanya, maka masih juga terasa debar di dadanya.
Sebagai seorang Akuwu, Akuwu Lemah Warah telah
menjalankan tugasnya sebaik-baiknya. Ia melakukan segala
perintah Pangeran Singa Narpada yang dengan gigih
mempertahankan kesatuan Singasari termasuk Kediri. Namun
pada saat-saat tertentu, Akuwu Lemah Warah itu masih juga
merasakan betapa besarnya Kediri pada masa -masa
lampaunya. Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak memberikan
tanggapan y ang memberikan kesan gejolak perasaannya.
Kepada para penghubung Akuwu berkata, "Sampaikan kepada
kedua anak muda y ang sudah aku anggap sebagai
kemanakanku sendiri itu, bahwa aku mengucapkan selamat
atas keberhasilan mereka."
"Patung itu belum sampai ke Singasari Akuwu," jawab
salah seorang di antara kedua penghubung itu.
Akuwu Lemah Warah terseny um. Katanya, "Tetapi aku
yakin bahwa mereka akan berhasil sampai ke i stana Singasari
untuk meny erahkan patung itu serta diterima dengan baik
oleh Sri Maharaja." "Hamba Akuwu," jawab salah seorang penghubung itu,
"semoga Yang Maha Agung melindungi perjalanan mereka.
Sebagaimana Akuwu m engetahui, bahwa banyak pihak yang
menginginkan batu itu. Apalagi setelah menjadi patung yang
baik seperti sekarang ini."
"Tetapi patung itu tidak akan berarti apa-apa bagi orang
lain. Patung itu adalah lam bang keperkasaan dan persatuan
yang utuh antara Rangga Wuni dan Mahisa Campaka yang
kemudian bergelar Sri Jaya Wisnuwardhana sebagai Maharaja
Kediri dan Narasimhamurti sebagai Ratu Angabaya."
Penghubung yang datang menghadap Akuwu Lemah
Warah itu hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi memang
masuk diakalnya, bahwa patung itu hanya berarti bagi Sri
Maharaja di Singasari dan Ratu Angabaya y ang telah bersamasama
mengalami pahit getir di masa muda m ereka, sehingga
akhirnya mereka berhasil mencapai tahta di Singasari.
Demikianlah, maka penghubung itu pun kemudian telah
mohon diri. Namun pada mereka sama sekali tidak terkesan
gejolak perasaan Akuwu y ang sebenarnya.
Sepeninggal penghubung y ang dikirim oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, m aka Akuwu Lemah Warah justru
mulai m erenung. Namun sambil menarik nafas dalam-dalam
ia kemudian berdesis, "Masih harus dipelajari suasana yang
bakal berkembang kemudian."
Namun bagaimanapun juga Akuwu Lemah Warah
memang tidak ingin mengguncang ketenangan y ang sudah
mulai tumbuh di Singasari termasuk Kediri. Jika ada
pergolakan-pergolakan kecil yang terjadi, tentu segera akan
dapat diatasi, sebagaimana yang terjadi di Sangling.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sedang
berjuang untuk membawa patung yang cukup besar itu ke
Singasari. Mereka menelusuri jalan y ang dianggapnya paling
baik meskipun agak jauh. Pedati y ang mereka pergunakan
adalah pedati yang kuat dan besar y ang dipersiapkan secara
khusus. Enam ekor lembu tengah bekerja keras untuk menarik
pedati yang berat itu. Iring-iringan itu memang menarik perhatian. Sebuah
pedati yang memuat sebuah benda yang berkerudung kain
putih. Enam ekor lembu itu sudah merupakan tont onan
tersendiri bagi orang-orang yang tinggal di pinggir jalan yang
dilalui oleh pedati itu. "Apakah yang ada diatas pedati itu," terdengar setiap
kali pertanyaan dari orang-orang y ang berdiri di pinggir jalan.
Demikian sering sehingga seorang di antara orang-orang yang
ikut mengawal patung itu menjawab, "Seekor orang hutan
raksasa." Yang mendengar jawaban itu merenung sejenak. Tetapi
seorang y ang lain bertanya, "Sudah mati?"
"Masih hidup," jawab pengawal itu.
"Tetapi kenapa diam saja?" bertanya yang lain pula.
"Sedang tidur," jawab pengawal y ang mulai jengkel itu.
"Bagaimana jika bangun?" bertanya beberapa orang
sekaligus. "Menerkam kau," teriak pengawal itu.
Beberapa orang termangu-mangu. Namun mereka pun
kemudian tertawa berkepanjangan.
Ketika kemudian di ujung padukuhan y ang lain, seorang
bertanya, maka pengawal itu menjawab, "Seonggok jenang alot
bercampur jadah ketan."
"He, untuk siapa makanan sebanyak itu?" bertanya y ang
lain. Pengawal itu menjawab, "Untuk menyumbat mulutmu."
Orang yang bertanya itu mengerutkan keningnya.
Namun ketika pedati itu lewat, mereka pun telah tertawa
berkepanjangan. Ternyata membawa patung itu ke Kota Raja m emang
merupakan pekerjaan yang sangat berat. Di jalan-jalan yang
tidak semuanya lebar dan rata merupakan penghambat yang
utama. Sekali-sekali iring-iringan itu harus berhenti. Mereka
harus memeriksa roda pedati yang sering sekali bagaikan
menggeliat. Lembu -lembu y ang letih dan haus.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan sabar berusaha
mengatasi segala kesulitan. Bukan saja terhadap pedati dan
lembunya, tetapi juga terhadap pertanyaan-pertanyaan orangorang
yang selalu mengerumuninya di saat-saat pedati itu
berhenti. Sikap yang kadang-kadang menjengkelkan dan dari
orang-orang yang ingin tahu tentang benda yang dikerudungi
itu. Ketika pedati yang memuat patung yang berat dan besar
itu memanjat tikungan y ang menanjak, maka tiba-tiba saja
keenam lembu1 yang menarik pedati itu bagaikan tertahan.
Jalan ternyata tidak begitu baik dan berbatu-batu.
Beberapa orang y ang m engawal pedati itu harus cepat
bertindak. Jika tidak, maka pedati itu akan dapat meluncur
mundur. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun mereka harus mengatasi kesulitan itu. Karena
itulah maka keduanya telah ikut pula mendorong pedati itu
sebelah meny ebelah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari, bahwa
tenaga wajar mereka tidak akan banyak berarti di antara
sekian banyak orang. Karena itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah m engetrapkan tenaga cadangannya,
sehingga kekuatan mereka pun bagaikan menjadi berlipat
ganda. Perlahan-lahan pedati itu mulai bergerak. Perlahanlahan
pula r oda y ang terjerumus itu mulai terangkat. Sehingga
akhirnya r oda itu telah m encapai tanah datar di bibir lubang
itu. Barulah kemudian pedati itu mulai bergerak lagi.
Perlahan-lahan. Namun ketika pedati itu sudah lepas dari
lubang y ang menjerat rodanya, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak merasa perlu lagi untuk ikut mendorong
dengan tenaga cadangannya. Meskipun keduanya masih ikut
pula bersama-sama dengan para pengawal y ang meny ertai
patung itu, tetapi ia telah m empergunakan tenaga wajarnya
sa ja.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun di jalan mendaki itu pedatinya seperti siput y ang
malas. Setapak-setapak kecil perlahan-lahan sekali.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat m emaksa
lembunya bergerak cepat. Bahkan ketika pedati itu tiba di kelokan y ang tajam, tibatiba
saja telah menjadi miring.
"Berhenti. Berhenti," teriak salah seorang di antara
pengawal pedati itu. Perwira Singasari yang menjadi pemahat dari patung itu
dan yang ikut bersama iring-iringan itu pun berlari -lari
menahan lembu yang menarik pedati itu. Untunglah bahwa
pedati itu cepat berhenti sehingga rodanya belum terlepas.
Untuk beberapa lamanya, iring-iringan itu memang
harus berhenti. Mereka harus memperbaiki roda pedati itu.
Sementara itu beberapa orang y ang melihat telah mengundang
kawan-kawan mereka untuk mengerumuni pedati y ang besar
dan kuat itu. Meskipun demikian rodanya ternyata hampir
sa ja terlepas dari por osnya.
Ternyata bahwa orang -orang y ang berkerumun itu
sangat menjengkelkan. Bahkan ada anak-anak muda yang
mencoba untuk menguakkan kain penutup patung itu,
sehingga para pengawal setiap kali harus berteriak-teriak
memperingatkan mereka. Bahkan sekali-sekali mereka harus
mendorongnya agar mereka menjauhi pedati itu.
Tetapi semakin lama orang-orang y ang berkerumun itu
pun m enjadi semakin banyak. Anak-anak muda pun menjadi
semakin banyak pula. Bahkan ada di antara mereka anak-anak
muda yang keras kepala. "Buka saja," berkata seorang anak muda, "aku m enjadi
tidak tahan melihat kerudung putih yang menutupi benda
diatas pedati itu. He, apa isiny a?"
"Bukan urusanmu," bentak seorang di antara mereka
yang mengawal pedati itu.
Tetapi anak muda y ang merasa dirinya seorang y ang
ditakuti di padukuhannya serta merasa mempunyai banyak
kawan itu pun kemudian justru m embentak, "He, buka kain
itu, biar kami dapat melihat apa yang ada di dalamnya.
Mungkin y ang kalian sembunyikan itu barang-barang curian."
Ternyata kata-kata itu sangat berpengaruh atas orangorang
y ang semakin banyak berkerumun. Mereka pun menjadi
semakin ingin tahu, apa yang tersembuny i di balik kain putih
itu. Sementara itu beberapa orang pengawal pedati sedang
sibuk memperbaiki roda pedati y ang hampir terlepas.
Karena itu, maka terdengar pula suara yang lain lagi,
"Buka saja. Boleh atau tidak boleh."
"Ya. Buka saja. Bukankah barang itu tidak akan
berkurang" Atau barangkali benar-benar barang curian yang
sedang disembuny ikan?" berkata seorang yang bukan anak
muda itu. Tetapi seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap
dan berjambang panjang. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama dengan kedua
orang prajurit Singasari y ang memahat patung itu sedang
sibuk m embantu orang-orangnya yang sedang memperbaiki
roda pedati. Mereka tengah m emasang tonggak-tonggak kayu
untuk membantu menahan agar pedati itu tidak menjadi
terlalu miring. Sehingga karena itu maka mereka tidak begitu
menghiraukan apa y ang telah terjadi.
Namun dalam pada itu ternyata orang-orang y ang
mengerumuni pedati itu menjadi semakin ingin tahu apa yang
tersembuny i di balik kain yang berwarna putih itu.
Orang-orang padepokan Suriantal y ang ikut mengawal
patung itu berusaha mencegah orang -orang yang semakin
mendesak maju. Tetapi orang-orang itu tidak lagi
menghiraukannya. Mereka mendesak terus, bahkan beberapa orang telah
berteriak-teriak pula. "Buka saja. Buka saja," terdengar suara y ang semakin
riuh. Seorang di antara mereka y eng mengawal patung itu pun
telah berteriak pula mengatasi suara mereka, "Tidak. Tidak
seorang pun y ang boleh mendekat."
"Jangan halangi kami. Atau kami akan memaksa kalian
untuk membuka itu?" geram orang yang bertubuh tinggi tegap
dan berjambang panjang. Orang-orang yang mengawal patung itu masih berusaha
untuk tetap bersabar. Namun akhirnya ada juga di antara
mereka yang kehilangan kesabarannya sehingga terdengar
seorang di antaranya membentak, "jangan sentuh lagi pedati
itu. Atau kalian akan meny esal."
Suara itu telah m engejutkan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat sehingga dengan serta merta mereka pun telah berdiri
pula. Dengan nada berat Mahisa Murti pun bertanya, "Apakah
kau tidak dapat berbuat lebih lembut?"
"Kami sudah berusaha," berkata seorang pengawal yang
justru orang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang kemudian
memandang berkeliling memang melihat sikap orang-orang
yang mengerumuni pedati yang justru sedang diperbaiki itu
bersikap ka sar pula. Namun demikian, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masih berusaha untuk tetap bersabar.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "kalian sama sekali
tidak berkepentingan dengan benda itu. Karena itu, kami
mohon maaf, bahwa kami tidak dapat menunjukkan benda itu
kepada kalian." "Buka atau kami memaksa," teriak seorang yang lain
yang kemudian disusul oleh teriakan-teriakan lainnya, "cepat.
Jangan menunggu kami kehabisan kesabaran."
Mahisa Pukat mengerutkan keningnya. Namun Mahisa
Murti lah yang berkata, "Aku mohon. Jangan ganggu kami
sebagaimana kami juga tidak mengganggu kalian."
Tetapi ternyata orang-orang y ang m engerumuni pedati
itu tidak dapat diajak berbicara lagi dengan baik. Anak-anak
muda yang jumlahnya semakin banyak, berlipat ganda dari
jumlah orang-orang y ang mengawal pedati itu, agaknya
merasa bahwa niat mereka tidak akan dapat dihalangi lagi.
Karena itu, maka mereka pun telah mendesak maju.
Dengan suara lantang orang yang bertubuh tinggi tegap dan
berjambang panjang itu pun berkata, "Anak-anak muda. Kita
berhak untuk m elihat apa y ang ada dibawah kain putih itu.
Memang mungkin sekali justru barang-barang curian yang
disembuny ikan. Dengan demikian maka orang-orang yang
membawa pedati ini dapat kita tangkap."
"Kalian sangat menjengkelkan," potong Mahisa Pukat
yang sudah hampir kehilangan kesabaran, "seharusny a kalian
dapat menghargai kepentingan orang lain."
"Jika kalian perampok, apakah kami harus menghargai
kepentingan kalian?" teriak orang berjambang panjang itu.
"Barang rampokan tidak akan berujud seperti itu,"
berkata Mahisa Murti. Agaknya ia benar-benar ingin
menghindari pertengkaran sehingga katanya, "Baiklah. Biarlah
aku memberitahukan apa y ang kami bawa. Yang berada
dibawah kain itu adalah sebuah patung. Patung y ang akan
kami bawa ke Singasari. Namun kami minta maaf, bahwa
sebelum patung itu kami perlihatkan kepada yang berhak,
maka patung itu tidak boleh kami buka, agar kemudian tidak
menjadi hambar. Jika ujud patung itu kemudian sudah
diperbincangkan orang, maka kehadiran patung itu di
tempatnya, tidak lagi merupakan kejutan y ang berarti."
"Persetan," geram orang berjambang panjang, "kau
dapat meny ebut apa saja. Tetapi kalian harus memperlihatkan
benda itu kepada kami agar kami y akin bahwa benda itu
bukan benda y ang kalian dapat dari hasil curian atau
perampokan." "Maaf Ki Sanak," geram Mahisa Pukat, "kami tidak dapat
memenuhinya. Sekali lagi aku katakan, patung itu tidak akan
dibuka." "Bagaimana jika kami memaksa?" geram orang y ang
berjambang tinggi tegap itu.
"Kau jangan membuat perkara Ki Sanak," berkata
Mahisa Pukat. Sementara itu pemahat yang juga seorang
prajurit Singasari itupun telah berdiri pula di samping Mahisa
Pukat sambil berkata, "Akulah y ang memahat patung itu.
Apakah kalian akan memaksa untuk melihat patung itu" Jika
kalian berbuat demikian maka kalian akan menyesal. Dengar,
kami akan mencegah perbuatan kalian. Jika perlu dengan
kekerasan. Kami sudah kehilangan kesabaran sementara roda
pedati itu masih belum baik sepenuhnya. Karena itu, kami
minta sekali lagi. Jangan ganggu kami."
"Persetan," geram orang berjambang itu, "kau kira
dengan menggertak kami, kalian dapat menakut-nakuti
kami?" Mahisa Pukat hampir tidak dapat menahan diri lagi.
Tetapi ketika ia melihat Mahisa Murti masih berdiri saja di
tempatnya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Seakanakan
Mahisa Pukat itu ingin mengendapkan kembali
jantungnya y ang sudah terlanjur bergejolak.
Tetapi agaknya orang-orang y ang m engerumuni pedati
itu, yang datang dari padukuhan terdekat dari tikungan yang
tajam itu bahkan dari beberapa padukuhan y ang lain, tidak
lagi dapat dicegah. Mereka mendesak semakin maju. Ketika
beberapa orang benar-benar ingin menggapai kain putih itu
harus bertindak! Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
harus mendorong mereka surut.
Tetapi agaknya prajurit y ang m emahat patung itu telah
mendorong seorang anak muda terlalu keras, sehingga anak
muda itu telah terjatuh menimpa beberapa orang y ang lain
yang berdiri di belakangnya.
Agaknya hal itu m erupakan api y ang telah menyalakan
kemarahan orang-orang y ang mengerumuni pedati itu. Karena
itu, maka hampir serentak mereka telah meny erang para
pengawal y ang berdiri di seputar pedati itu.
Tidak ada pilihan lain bagi para pengawal. Mereka harus
menyelamatkan patung y ang akan mereka persembahkan
kepada Sri Maharaja di Singasari. Mereka tidak dapat
membiarkan patung itu dibicarakan orang sebelum Sri
Maharaja sendiri melihatnya. Jika sebelumnya Sri Maharaja
telah mendengar pembicaraan orang tentang patung itu, maka
mungkin Sri Maharaja akan kecewa.
Anak-anak muda y ang mengerumuni pedati itu dan
mendesak maju, ternyata terkejut ketika mereka menyaksikan
apa y ang diperbuat oleh para pengawal pedati itu. Meskipun
mereka hanya mempergunakan tangan mereka, tetapi seolaholah
setiap sentuhan tangannya telah membuat seseorang
menjadi hampir pingsan. Beberapa orang anak muda y ang berhati kecil segera
mengundurkan diri dan menjauhi pedati itu. Namun yang
memiliki keberanian justru menjadi sangat marah.
Tetapi mereka tidak dapat asal saja berdesakkan maju.
Demikianlah kemarahan mereka meledak, maka m ereka pun
telah mengepung pedati itu.
Orang yang bertubuh tinggi tegap dan berjambang
panjang itu agaknya memang memiliki pengaruh y ang sangat
besar atas anak-anak muda itu. Ialah y ang kemudian
memimpin anak-anak muda itu menghadapi para pengawal
pedati. "Seorang di antara kami terluka, maka kalian semua
akan mati di sini," geram orang itu.
"Ki Sanak," Mahisa Murti masih berusaha untuk
menempuh cara lain, "kami mohon, jangan ganggu kami. Jika
benar-benar terjadi kekerasan, maka kalian benar-benar akan
menyesal." Tetapi orang berjambang itu tidak menghiraukannya.
Bahkan ia pun telah memberikan aba-aba untuk menyerang.
Namun dengan demikian, arena menjadi semakin
longgar. Anak-anak muda yang mengerumuni pedati itu tidak
lagi berdesak-desakan. Mereka justru telah membuat jarak.
Beberapa orang kawan-kawan mereka y ang kesakitan telah
mereka papah m enjauh. Bahkan beberapa orang justru telah
turun ke sawah di sebelah meny ebelah jalan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah kehilangan segala
kesempatan untuk mencegah terjadi benturan antara
pengawal patungnya dengan anak-anak muda, bahkan orangorang
tua-pun agaknya telah m elibatkan diri pula, terutama
orang berjambang panjang itu.
Dengan demikian maka memang tidak ada pilihan lain
lagi para pengawal selain berkelahi. Benar-benar berkelahi
sebagaimana anak-anak muda itu memang berniat berkelahi.
Para pengawal yang telah mendapatkan latihan-latihan
yang berat itu m emang agak bimbang juga. Apakah mereka
harus bersungguh-sungguh. T etapi m enilik kemarahan anakanak
muda dan orang-orang padukuhan yang ingin membuka
kerudung patungnya, maka mereka memang harus
bersungguh-sungguh meskipun tidak seorang pun di antara
para pengawal, apalagi kedua orang prajurit Singasari yang
telah memahat patung itu serta Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, untuk benar -benar menyakiti apalagi melukai mereka.
Jika mereka harus menyakiti anak-anak muda itu,
maksudnya tidak lebih dari satu usaha untuk membuat agar
mereka tidak mengganggu lagi.
Dengan demikian maka perkelahian pun telah terjadi
dengan riuhnya. Anak-anak muda dan orang-orang
padukuhan itu menyangka bahwa mereka akan dapat berbuat
banyak terhadap para pengawal dan m emaksa m ereka untuk
membiarkan anak-anak muda itu membuka kerudung dari
patung y ang besar di-atas pedati yang besar pula itu.
Tetapi ternyata bahwa mereka sama sekali tidak berhasil
menguasai para pengawal yang jumlahnya jauh lebih sedikit
dari jumlah m ereka. Setiap kali, maka anak-anak m uda itu
telah terdor ong dan terlempar surut. Bahkan ada di antara
mereka y ang jatuh terguling di tanah dan tanpa sengaja telah
terinjak oleh kaki kawan-kawannya.
Orang berjambang panjang itu menjadi marah sekali.
Setiap kali ia berteriak-teriak memacu anak-anak muda dan
orang-orang padukuhan itu untuk m eny erang. Namun setiap
kali mereka pun telah terlempar surut.
Akhirnya orang itu mengerti, bahwa para pengawal
pedati itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang anakanak
muda dan orang-orang padukuhan. Para pengawal pedati
itu memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Mereka
memiliki ilmu y ang mapan untuk melindungi dirinya bahkan


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk meny erang lawannya.
Karena itu, maka orang berjambang itu pun tidak lagi
membiarkan orang -orangnya terdesak. Dengan lantang ia pun
kemudian berteriak, "Cari senjata. Apa saja. Cepat."
Beberapa orang telah siap untuk berlari-larian m encari
senjata. Namun dalam pada itu Mahisa Murti pun dengan
cepat telah meloncat keatas pedati y ang masih belum siap
benar-benar itu. Hampir saja pedati y ang kemudian
terguncang itu r oboh. Namun beberapa orang telah
menahannya. "Jangan lakukan," teriak Mahisa Murti, "jika kalian
mengambil senjata, keadaannya akan jauh lebih berbahaya
bagi kalian. Lihat, di lam bung kami juga tergantung senjata.
Jika kalian mengambil senjata itu berarti kalian telah
memancing senjata kami keluar dari wrangkanya."
Orang bertubuh tinggi tegap dan berjambang panjang itu
berkata, "Aku tidak peduli. Jika kalian memang menjadi
ketakutan berkatalah terus terang. Kami tidak akan
melakukannya. Tetapi buka tutup patungmu itu."
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "bukan maksud kami
meny ombongkan diri. Tetapi kami akan dapat berbuat jauh
lebih banyak dari pada y ang dapat kalian lakukan m eskipun
jumlah kalian berlipat ganda. Kami adalah orang-orang yang
sudah terlalu biasa dan memiliki pengalaman bermain senjata.
Karena itu, jangan pergunakan senjata."
"Jangan dengarkan," teriak orang bertubuh tinggi tegap
dan berjambang panjang, "betapapun tinggi kemampuan
mereka, tetapi jika kita meny erang dari segala jurusan, maka
mereka tentu akan dapat kami hancurkan."
Tetapi orang-orang padukuhan itu masih saja ragu-ragu.
Namun satu dua orang telah berlari kembali ke
padukuhan untuk mengambil senjata.
Ketika orang berjambang panjang itu berteriak sekali
lagi, maka berhamburanlah orang-orang serta anak-anak
mudanya kembali untuk mengambil apa saja y ang mereka
miliki. Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu orang berjambang panjang itu berteriak ny aring, "Nah,
kalian menjadi ketakutan sekarang."
"Kau memang dungu," geram Mahisa Pukat yang marah,
"kau kira tingkahmu akan dapat meny elesaikan persoalan?"
Tetapi orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya,
"Sebentar lagi mereka akan datang. Kalian akan dibantai di
sini karena kesombongan kalian."
Mahisa Pukat yang marah itu pun kemudian maju
selangkah demi selangkah m endekatinya. Dengan nada datar
ia berkata, "Aku ingin menunjukkan kepadamu, bahwa kau
telah mengambil langkah y ang salah."
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun tiba -tiba ia
menjadi gemetar ketika Mahisa Pukat tiba -tiba telah menarik
pedang. "Kau tidak boleh curang. Aku tidak bersenjata sekarang."
suara orang itu gemetar. Mahisa Pukat seakan-akan tidak mendengarnya. Ia
masih saja melangkah maju mendekatinya.
Orang bertubuh tinggi tegap itu semakin berdebardebar.
Sementara itu, kawan-kawannya dan anak-anak muda
yang memiliki keberanian telah berlari -larian mengambil
senjata. Tetapi belum seorang pun di antara mereka yang
kembali. Sedangkan y ang masih ada di tempat itu adalah
mereka y ang justru telah menebar semakin jauh.
Sambil mengacungkan pedang Mahisa Pukat berkata,
"Marilah. Kita mencoba kemampuan kita. Kau jangan hanya
berteriak-teriak membakar kerusuhan. Kau sendiri harus
mencoba untuk mengalami. Apakah benar kau dan kawankawanmu
akan mampu memaksa kami untuk m embuka kain
kerudung dari patung itu."
Orang itu menjadi pucat. Katanya, "Aku tidak
bersenjata." Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia pun berpaling kepada salah seorang pengawal,
"berikan senjatamu. Aku ingin melihat, apakah ia mampu
berbuat sebagaimana dikatakannya."
Pengawal pedati itu ragu-ragu sejenak. Namun Mahisa
Pukat pun mengulangi, "berikan."
Pengawal pedati itu pun telah memberikan pedangnya
kepada orang y ang bertubuh tinggi tegap itu. Namun orang itu
telah menerima pedang itu dengan tangan gemetar.
"Kita akan m encoba, siapakah di antara kita yang lebih
baik bermain pedang," berkata Mahisa Pukat, "jangan takut
bahwa aku akan dibantu oleh siapapun. Aku akan berkelahi
sendiri apapun y ang akan terjadi."
Orang bertubuh tinggi tegap itu masih saja m ematung.
Pedangnya sama sekali sama sekali tidak teracu ke arah
Mahisa Pukat. Namun sambil meny entuh pedang lawannya Mahisa
Pukat, berkata, "Angkat pedangmu, atau kau akan mati tanpa
perlawanan. Kaulah y ang telah berteriak-teriak memberikan
aba-aba kepada anak-anak m uda untuk mengambil senjata.
Tetapi kau sendiri akan mengelak. Nah, sambil menunggu
orang-orang yang telah kau hasut, maka kau akan bertempur.
Mau tidak mau. Melawan atau tidak melawan."
Tatapan mata Mahisa Pukat benar-benar telah
meruntuhkan keberanian orang bertubuh tinggi tegap itu.
Karena itu, maka rasa-rasanya nyawa orang itu telah berada di
ujung ubun-ubunnya. Tetapi ia pun terkejut ketika pedangnya telah disentuh
oleh pedang Mahisa Pukat sambil berkata, "Angkat senjatamu.
Cepat." Orang bertubuh tinggi tegap itu pun kemudian
menyadari apa yang terjadi atas dirinya. Ket ika beberapa kali
pedangnya disentuh oleh pedang Mahisa Pukat, m aka ia pun
mulai menggerakkan pedangnya.
"Nah, bukankah kau juga laki -laki" Berlakulah sebagai
mana kau m embakar hati orang-orang y ang dungu dan pergi
mengambil senjata itu," geram Mahisa Pukat.
Orang bertubuh tinggi tegap itu pun kemudian
mengedarkan pandangannya berkeliling. Ia masih melihat
banyak orang yang berkerumun. Namun semakin jauh.
Mereka pun nampaknya merasa sangat cemas dan wajah
mereka pun nampak tegang. Sementara itu y ang berlarian
mengambil senjata masih belum datang.
Tetapi dihadapan orang-orang y ang dalam sikap mereka
sehari-hari sangat menghormatinya, ia tidak mau direndahkan
oleh anak muda itu. Karena itu, maka betapapun hatinya
berdebar-debar, namun akhirnya orang bertubuh tinggi itu
telah mengangkat pedangnya pula.
"Bagus," berkata Mahisa Pukat, "kita dapat segera
mulai." Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mulai m engangkat
pedangnya. Mahisa Pukat lah yang mula-mula menjulurkan
senjatanya. Tidak terlalu cepat, langsung menggapai dada
orang itu. Tetapi orang itu sempat bergeser sambil menangkis.
Demikian kerasnya ia menangkis serangan itu dengan
mengerahkan segenap kekuatannya, sehingga pedangnya telah
bergeser jauh ke samping.
(Bersambung ke Jilid 50).
--ooo0dw0ooo- Jilid 050 ORANG itu m engerutkan keningnya. Dengan demikian
ia m erasa bahwa ia memiliki kekuatan yang jauh lebih besar
dari anak muda itu, sehingga hatinya yang sudah kecut pun
mulai menjadi kembang kembali. Bahkan orang itulah yang
kemudian dengan garangnya telah menyerang Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat pun surut beberapa langkah ketika pedang
itu terayun -ayun dengan derasnya.
Sikap Mahisa Pukat itu ternyata sudah memancing
keberanian orang itu. Dengan kekuatannya yang besar, orang
itu telah meny erang Mahisa Pukat dengan mengayun-ay unkan
senjatanya. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Serangan
yang deras dan cepat dengan dor ongan tenaga yang kuat itu,
telah menjerat lawannya dalam perkelahian y ang keras.
Namun rencana Mahisa Pukat memang ingin
menunjukkan bahwa kekuatan orang tidak banyak berarti
baginya. Ketika orang bertubuh tinggi itu mengayunkan
pedangnya dengan sepenuh kekuatannya, maka Mahisa Pukat
telah menangkis dan bahkan membenturnya.
Benturan itu tidak diduga-duga oleh orang bertubuh
tinggi dan tegap itu. Karena itu, maka ia terkejut bukan
buatan. Benturan itu demikian kerasnya sehingga pedang di
tangan orang yang bertubuh tinggi tegap itu telah terlepas dari
tangannya. Orang y ang tinggi tegap itu terkejut bukan buatan.
Tangannya terasa sakit sekali. Ra sa-rasanya kulit telapak
tangannya telah terkelupas.
Ketika ujung pedang Mahisa Pukat terjulur ke dadanya,
maka ia pun telah meloncat surut. Wajahnya menjadi pucat
kembali. Sementara orang-orang lain y ang mengambil senjata
itu masih belum datang lagi.
Mahisa Pukat melihat wajah y ang pucat itu. Tetapi ia
masih saja m engacukan pedangnya. Bahkan kemudian ia pun
berkata,"Nah, sebagaimana kau lihat, bukan akulah yang akan
mati. Tetapi kau." Orang itu menjadi gemetar. Sementara Mahisa Pukat
berkata dengan suara lantang, "Ambil pedangmu. Kita
lanjutkan perkelahian ini. Kita akan membuktikan apakah kita
masing-masing memang prajurit-prajurit y ang tangguh."
"Aku bukan prajurit," berkata orang itu, "aku orang
biasa. Orang padukuhan itu."
"Kau telah berani berbuat. Kau harus berani
bertanggung jawab. Aku pun bukan prajurit dalam arti yang
sebenarnya. Tetapi aku bertanggung jawab atas perbuatanku,"
Mahisa Pukat berhenti sejenak, lalu "Cepat, ambil pedangmu
atau kau akan mati tanpa arti sama sekali. Jika kau melawan
dan mati, maka orang-orang yang m enyaksikan kematianmu
akan berbangga bahwa kau mati dengan tangan terentang dan
dada tengadah, tidak dengan tangan y ang kuncup dan wajah
menunduk." Orang itu menjadi semakin gemetar. Tetapi Mahisa
Pukat-pun kemudian membentak sehingga orang itu terkejut,
"Cepat. Ambil pedangmu."
Orang yang terkejut itu tanpa sesadarnya telah bergeser
maju dan menunduk untuk menggapai pedangnya yang
terlepas. "Nah," berkata Mahisa Pukat, "kita sudah sama-sama
bersenjata. Lawan aku. Kau atau aku y ang mati di
pertempuran ini." "Jangan aku yang mati," berkata orang itu dengan suara
bergetar. " Itu terserah kepadamu. Jika kau mampu melindungi
dirimu sendiri, maka kau tidak akan mati," geram Mahisa
Pukat. Lalu "Tetapi ingat, aku pun tidak mau mati."
Wajah orang itu m enjadi semakin pucat dan tubuhnya
menjadi semakin gemetar. Namun akhirnya ia pun
mengangkat pedangnya perlahan-lahan.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar teriakanteriakan
nyaring di kejauhan. Semakin lama semakin dekat
seperti suara sekelompok orang y ang memburu tupai.
Orang berjambang panjang itu bagaikan tergugah dari
mimpi y ang buruk. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya orangorang
y ang berlari-larian sambil mengacu-acukan senjatanya.
Wajah yang pucat itu tiba-tiba menjadi m erah kembali.
Bagaimanapun juga kemampuan bermain senjata, tetapi
orang-orang padukuhan yang jumlahnya tidak terhitung itu
tentu tidak akan dapat dilawannya.
Karena itu, m aka tiba-tiba saja ia telah m eloncat justru
menjauhi Mahisa Pukat sambil berteriak, "Mereka telah
datang. Nah, meny erahlah sebelum kalian kami hancurkan."
Mahisa Pukat justru tersenyum mendengar ancaman itu.
Katanya dengan nada rendah, "Ternyata kau benar-benar
seorang pengecut. Kau hanya berani jika kau berada di antara
banyak orang yang yakin akan membantumu."
"Persetan," teriak orang itu, "cepat, meny erahlah."
"Kembalikan senjata itu. Cepat," berkata Mahisa Pukat,
"senjata itu itu akan dipergunakan sendiri oleh pemiliknya
untuk melawan kalian semuanya."
"Buat apa aku mengembalikan senjata ini," jawabnya,
"aku akan mempergunakan senjata ini untuk membunuhmu."
Mahisa Pukat menggeleng-gelengkan kepalanya. Namun
dengan nada berat ia berkata, "Kematian akan berserakan di
tempat ini. Aku sudah m emperingatkan kalian. Kau sendiri
tahu, bahwa aku dapat berbuat banyak atasmu j ika aku mau.
Nah, dalam pertempuran melawan orang yang tidak terhitung
jumlahnya, maka aku terpaksa benar -benar membunuh."
"Jangan mengigau," geram orang bertubuh tinggi itu.
Sejenak kemudian, m aka orang-orang y ang berlari-lari
sambil mengacu-acukan senjata itu menjadi semakin dekat.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Murti pun mendekatinya sambil berkata, "Kita
benar-benar dalam kesulitan. Jumlah itu terlalu banyak.
Sementara itu, k ita tidak dapat membunuh orang-orang yang
tidak tahu tentang apa y ang mereka kerjakan sendiri."
"Apa yang harus kita lakukan?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti termangu -mangu. Ia memang merasa
kebingungan menanggapi keadaan jang tidak pernah
diperhitungkannya lebih dahulu itu.
Sementara itu orang-orang yang mengacu-acukan
senjata itu sudah menjadi semakin dekat.
"Kita harus mengambil sikap," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk kecil. Dalam pada itu orangorang
yang bersenjata itu pun menjadi semakin dekat. Mereka
berteriak-teriak semakin keras sambil mengacu-acukan
senjata mereka. Orang-orang padepokan Suriantal yang mengawal pedati
itu pun telah bersiap pula. Mereka menunggu perintah apa
yang harus mereka lakukan. Namun mereka pun menjadi
berdebar-debar melihat orang sepadukuhan telah datang
sambil membawa senjata.

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin kita dapat menahan mereka dengan benarbenar
bertempur dan tentu saja dapat terjadi bahwa ujung
senjata kita akan melukai dan dapat membunuh," berkata
salah seorang di antara para pengawal itu.
"Apakah kita harus membunuh orang-orang padukuhan
itu?" berkata seorang yang lain, "mungkin dahulu, kita tidak
mempunyai terlalu banyak pertimbangan seperti sekarang.
Namun sekarang kita tidak dapat berbuat seperti itu lagi. Ada
sesuatu yang menahan perasaan kita."
Orang-orang padukuhan y ang bersenjata itu semakin
lama semakin menjadi semakin dekat. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat m asih belum m emberikan perintah
apapun. Dengan demikian, orang-orang padepokan itu pun
menjadi gelisah. Jika mereka bertempur sebagaimana
seharusnya untuk mencegah usaha orang-orang padukuhan
yang ingin membuka kerudung patung di pedati itu, maka
mungkin mereka pun akan terpaksa membunuh. Tetapi jika
mereka membiarkan orang-orang padukuhan itu membuka
kerudung itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tentu
akan menjadi sangat kecewa.
Ketika orang-orang padukuhan itu menjadi semakin
dekat pula, maka Mahisa Pukat pun berdesis, "Apa yang harus
kita lakukan sekarang" Jika kita terlambat m engambil sikap,
maka kematian akan terserak di tempat ini, hanya karena
orang-orang itu ingin tahu apa y ang berada di bawah
kerudung itu." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Kita
cegah mereka mendekat."
"Dengan apa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Apa yang kita miliki," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
kemudian berdesis, "Kita potong jalan mereka."
"Ya. Jika mereka terkejut, maka mereka akan
mengurungkan niatnya," berkata Mahisa Murti.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
segera bersiap. Mereka tidak ingin melihat orang-orang
padukuhan yang tidak m engerti ujung pangkal dari persoalan
yang sebenarnya terjadi itu menjadi korban.
Namun sebelum m ereka berbuat sesuatu, Mahisa Pukat
masih teringat untuk memberikan isyarat kepada para
pengawal pedatinya. Katanya, "jangan berbuat sesuatu jika
tidak terpaksa sekali."
Para pengawal itu saling berpandangan. Mereka tidak
begitu mengerti apa y ang akan terjadi. Bahkan prajurit
Singasari kakak beradik y ang juga telah m emahat patung itu
bertanya, "Apa y ang akan kalian lakukan" Membiarkan patung
itu dibuka dan tidak lagi menghormati Sri Maharaja y ang akan
menerima patung itu?"
"Kami berdua akan berusaha menghentikan mereka,"
jawab Mahisa Murti. "Dengan cara bagaimana?" bertanya pemahat itu.
Tetapi Mahisa Murti tidak sempat memberikan
penjelasan. Orang-orang padukuhan itu menjadi semakin
dekat. Sejenak kemudian maka terjadilah y ang tidak pernah
dimengerti oleh orang-orang padukuhan. Ketika mereka
berlari-lari semakin dekat sambil mengacu-acukan senjata
mereka, maka tiba -tiba tanah dihadapan kaki mereka
bagaikan telah meledak. Tanah, pasir dan bebatuan terlempar
berhamburan. Orang-orang padukuhan yang sedang berlari -lari itu
terkejut bukan buatan. Dengan serta merta mereka telah
berhenti berlari-lari. Senjata mereka pun tidak lagi teracu.
Ketika debu kemudian dihanyutkan angin, maka mereka
pun melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri tegak
beberapa puluh langkah dihadapan mereka.
Orang y ang tinggi tegap dan berjambang panjang y ang
berdiri terlalu dekat dengan tanah y ang m eledak itu ternyata
telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya yang terbanting
jatuh di tanah, rasa -rasanya bagaikan berpatahan tulangtulangnya.
Terdengar orang itu mengerang. Namun ia masih belum
dapat bangkit berdiri ketika debu kemudian menjadi bersih.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melangkah maju.
Sementara orang-orang yang bersenjata itu telah berdesakan
surut. "Nah," berkata Mahisa Murti, " siapakah di antara kalian
yang ingin ikut meledak" Marilah, majulah. Jika ada di antara
kalian y ang m enjadi korban, bahkan terbunuh di sini, sama
sekali bukan salah kami. Dengar, kami dapat membunuh
kalian seberapa kami inginkan."
Wajah-wajah dari m ereka y ang menggengam senjata itu
telah menjadi pucat bagaikan tidak berdarah. Mereka memang
dapat menakut-nakuti pencuri dengan cara seperti itu. Bahkan
mereka memang pernah menangkap tiga orang pencuri dan
hampir saja m ereka telah membunuh ketiganya. Untunglah
bahwa Ki Bekel di padukuhan itu masih sempat melarang
mereka, sehingga ketiga orang itu dapat diselamatkan jiwanya.
Tetapi y ang mereka hadapi kemudian bukan sekelompok
pencuri atau perampok. Di antara mereka ternyata m ampu
berbuat sesuatu y ang tidak masuk dalam penalaran mereka.
Tanah di hadapan kaki mereka itu bagaikan meledak dan
melontarkan tanah, pasir dan batu-batu padas.
Keadaan menjadi tegang. Untuk beberapa saat kedua
belah pihak berdiri termangu -mangu dalam ketegangan.
Mahisa Pukat lah y ang kemudian berbicara memecahkan
keheningan yang tegang itu. Katanya, "He, ambil kawanmu
yang terluka itu. Kawanmu yang telah m empengaruhi kalian
dan berhasil m emaksa kalian m engambil senjata. Cepat, dan
usahakan untuk merawatnya sebelum menjadi gawat."
Untuk beberapa saat tidak seorang pun yang bergerak.
Orang-orang padukuhan y ang bersenjata itu bagaikan telah
membeku. "Cepat," teriak Mahisa Pukat, "ambil dan rawat orang itu
atau kalian memang menunggunya sampai mati?"
Namun untuk sesaat masih belum ada yang melangkah
mendekati. Baru kemudian dua orang mulai bergerak. Diikuti
oleh beberapa orang y ang lain. Namun mereka tidak mau
membawa senjata mereka dan menitipkannya kepada kawankawan
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Jika orang-orang yang mendekati orang bertubuh
tinggi tegap y ang terbaring dan mengerang kesakitan itu tidak
membawa senjata, berarti bahwa mereka tidak berniat lagi
untuk melawan dengan kekerasan.
Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk sesaat
tidak berbuat sesuatu. Mereka menunggu apa yang akan
dilakukan oleh orang-orang itu.
Dalam pada itu, orang-orang yang mendekati kawannya
yang terbaring itu telah berjongkok di sisiny a. Ketika mereka
mencoba untuk mengangkatnya, maka terdengar orang itu
berdesah kesakitan. "Yang mana y ang terasa sakit?" bertanya salah seorang
anak muda. "Seluruh tubuhku terasa sakit," jawabnya.
"Tetapi kami bermaksud membawamu dan
merawatmu," berkata anak muda y ang lain.
"Tulang-tulangku rasa-rasanya telah berpatahan,"
berkata yang sakit. "Kami akan berhati-hati," berkata kawannya itu.
Tetapi setiap sentuhan, m embuat orang bertubuh tinggi
tegap itu menyeringai menahan kesakitan yang sangat yang
memang terasa mencengkam di seluruh tubuhnya.
"Tahankan," berkata kawannya, "kami akan
membawamu ke banjar. Kau memerlukan pengobatan,"
berkata kawannya pula. Meskipun orang itu m engeluh dan berdesah kesakitan,
namun kawan-kawannya telah mengangkatnya untuk
membawanya ke banjar. Tetapi mereka pun kemudian tertegun. Seorang y ang
sudah menginjak pertengahan abad meny ibak orang-orang
yang b erdiri pada jarak y ang agak jauh dengan jantung yang
berdegupan. "Ki Bekel," desis anak-anak muda itu.
Dikawal oleh Ki Jagabaya dan dua orang bebahu serta
dua orang pengawal padukuhan yang terpilih, Ki Bekel itu
berjalan dengan hati yang tegang mendekati Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Langkahnya terhenti ketika ia melihat beberapa
orang sedang m engangkat seseorang yang nampaknya telah
terluka. "Kenapa orang itu?" bertanya Ki Bekel.
Orang-orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
tidak ada di antara mereka y ang menjawab.
Ki Bekel lah y ang kemudian berkata, "Jadi orangku telah
disakitinya. Wajah Ki Bekel menjadi semakin buram. Ia pun terhenti
sejenak ketika ia melihat tanah yang bagaikan telah
diledakkan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata," Memang
luar biasa. Tetapi belum melampaui batas kemampuan wajar."
Dua orang bebahu dan dua orang pengawal terpilih y ang
mengawalnya bersama Ki Jagabaya menjadi berdebar-debar.
Namun mereka tetap berjalan di belakang Ki Bekel.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar
juga melihat seseorang y ang datang kepada mereka.
Langkahnya y ang tenang serta pandangan matanya y ang lurus
ke depan, menunjukkan kepribadiannya yang kuat.
"Siapakah orang itu," bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti m enggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu.
Ketegangan masih saja mewarnai suasana. Sementara para
pengawal dari padepokan Suriantal itu masih saja mengagumi
kedua anak muda yang kemudian berada di padepokan
mereka. Namun dalam pada itu, prajurit Singasari yang juga
pemahat itu pun heran pula melihat kemampuan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat y ang masih muda.
"Agaknya adik Mahisa Bungalan ini tidak jauh berbeda
dengan kakaknya," berkata pemahat itu didalam hatinya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasakan
ketegangan yang mencengkam ketika Ki Bekel itu berdiri tegak
di hadapannya. Mereka tidak menjadi cemas, bahwa Ki Bekel
itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi m ereka
justru menjadi cemas, apakah y ang perlu mereka lakukan
kemudian. "Anak -anak muda," berkata Ki Bekel kemudian, "aku
tidak m engira sama sekali, bahwa kalian m asih terlalu muda
untuk disebut orang-orang berilmu tinggi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya menarik nafas
sa ja. "Tetapi apa maksud Ki Sanak melukai seorang di antara
kami?" bertanya Ki Bekel. Lalu katanya pula, "Mungkin kau
menganggap bahwa kami tidak memiliki kekuatan dan
kemampuan y ang akan dapat mengimbangi kekuatan dan
kemampuan ilmumu. Tetapi apakah benar bahwa kemampuan
kalian itu dapat dipergunakan dengan sewenang-wenang atas
orang-orang kami?" Mahisa Murti bergeser setapak maju. Dengan nada datar
ia bertanya, "Apakah Ki Sanak mengetahui dengan pasti
apakah yang telah terjadi disini" Dan sebelum kami berbicara
lebih jauh, apakah aku boleh mengenal Ki Sanak?"
"Aku adalah Bekel di padukuhan sebelah," berkata Ki
Bekel, "karena itu aku merasa berkepentingan untuk berbicara
dengan kalian berdua. Peristiwa ini harus aku laporkan kepada
Ki Buyut." "Bukan salah kami," berkata Mahisa Murti, " sekali lagi
aku bertanya, apakah Ki Bekel mengetahui apa y ang telah
terjadi?" "Pangeram-eram," jawab Ki Bekel, "kau telah m embuat
orang-orangku heran m elihat debu y ang mengepul dari tanah
yang bagaikan meledak itu."
"Ki Bekel," berkata Mahisa Murti, "seharusnya Ki Bekel
tidak hanya melihat potongan terakhir dari keseluruhan
peristiwa ini. Bertanyalah kepada orang-orangmu, apa saja
yang telah mereka lakukan. Jika aku membuat pengerameram,
maksudku adalah agar tidak jatuh korban t erlalu
banyak." Ki Bekel t ermangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling,
maka dilihatnya orang-orang padukuhannya masih berdiri
bagaikan membeku. Di tangan mereka masih tergenggam
senjata. Tetapi senjata itu sudah tertunduk.
Dalam pada itu Ki Bekel itu pun berkata, "Anak muda.
Aku mengucapkan terima kasih bahwa kau tidak langsung
mengarahkan ilmumu yang luar biasa itu kepada orangorangku,
sehingga dengan demikian m aka tidak ada korban
yang jatuh. Satu orang di antara kami hanya terluka. Aku
belum tahu, apakah lukanya parah atau tidak."
"Aku berharap bahwa lukanya tidak parah. Mungkin ia
hanya sekedar terkejut atau terpelanting jatuh," jawab Mahisa
Murti. "Mungkin memang demikian," jawab Ki Bekel, "tetapi
bahwa kau telah m enyakiti orangku, aku m erasa tersinggung
karenanya." "Maaf Ki Bekel," berkata Mahisa Murti, "aku tidak
sengaja menyakiti seseorang. Aku sudah berusaha untuk
menghindarkan korban. Tetapi akibat itu masih juga terjadi.
Menurut pendapatku, l ebih baik menyakiti seorang di antara
orang-orang padukuhan itu, daripada lebih banyak lagi. Jika
terjadi benturan di antara kita, maksudku orang-orangku dan
orang-orang padukuhan, maka keadaan tentu akan lebih
parah." "Aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat melewatkan
begitu saja peristiwa seperti ini," berkata Ki Bekel.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang kemudian
menjadi tegang. Hampir diluar sadar, Mahisa Pukat bertanya,
"Apakah maksud Ki Bekel?"
"Kau sama sekali tidak berhak menyakiti orangorangku,"
berkata Ki Bekel, "karena itu, maka apa y ang telah
kalian lakukan itu sangat meny inggung perasaanku. Aku
adalah penguasa di padukuhan itu. Karena itu jika terjadi
sesuatu, kalian harus berbicara dengan aku. Jika ada orangorangku
yang bersalah, maka biarlah aku yang
menghukumnya. Bukan kau."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Dengan nada datar Mahisa Murti bertanya, "Apakah
Ki Bekel mengetahui apakah yang telah terjadi?"
"Ya. Aku sudah mendengarnya," jawab Ki Bekel.
"Jika demikian Ki Bekel tentu sudah dapat mengurai
persoalannya," berkata Mahisa Pukat.
Ki Bekel m engerutkan keningnya. Dengan nada rendah
ia berkata, "Justru aku sudah m engurai per soalannya, m aka
aku mengambil kesimpulan bahwa orang -orangku benar.
Mereka berhak melihat apa y ang ada dibawah kerudung itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang. Apalagi
ketika Ki Bekel kemudian berkata, "Karena kau berhasil
menakut-nakuti orang -orangku dengan ilmu sihirmu, maka
akulah yang kemudian berniat untuk melihat apa yang kau
sembunyikan itu." Untuk sesaat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
terdiam. Mereka tidak segera menemukan cara untuk
memecahkan persoalan y ang mereka hadapi. Sementara itu, Ki
Bekel agaknya tidak lagi mau m engerti apa yang sebenarnya
telah dilakukan oleh orang -orangnya.
"Nah, sekarang jangan terlalu banyak alasan," berkata Ki
Bekel, "bukalah kerudung itu agar kami dapat melihat apa
yang telah kalian sembunyikan."
"Kami tidak meny embunyikan sesuatu," berkata Mahisa
Murti, "yang berada di bawah kerudung itu adalah sebuah
patung. Kami tidak dapat m embukanya, sebelum patung itu
kami serahkan kepada y ang berkepentingan."
"Siapa y ang berkepentingan itu?" berkata Ki Bekel. .
"Sri Maharaja di Singasari," jawab Mahisa Murti.
"Sri Maharaja" " ulang Ki Bekel.
"Ya. patung itu adalah lambang persatuan y ang utuh
antara Sri Maharaja dan Ratu Angabaya," jawab Mahisa Murti
pula. Ki Bekel itu pun berpikir sejenak. Namun kemudian
dahinya telah berkerut kembali. Katanya, "Kau jangan
berusaha untuk melindungi dirimu dan barangkali
kejahatanmu dengan nama Sri Maharaja y ang Agung itu.
Kesalahanmu kini justru berlipat. Kau telah meny embunyikan
sesuatu dan bahkan telah mempergunakan nama Sri Maharaja
untuk meny embuny ikan kesalahanmu y ang pertama itu."
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Ia tidak
mengira bahwa Ki Bekel itu justru mengambil kesimpulan
yang sebalikny a dari niatnya dengan menyebut nama Sri
Baginda. Sementara itu Mahisa Pukat lah y ang mengeram, "Ki
Bekel. Kami sudah berusaha menahan diri sampai saat ini.
Sekarang, biarlah kami meny elesaikan pekerjaan kami,
memperbaiki roda pedati kami y ang hampir selesai itu.
Kemudian biarlah kami meninggalkan tempat ini untuk
menyerahkan patung ini ke istana. Apalagi kami sudah
berjanji kepada Sri Maharaja."
"Sekali lagi aku m inta, bukalah kerudung patung itu,"
berkata Ki Bekel. Mahisa Pukat lah yang sudah kehabisan kesabaran.
Dengan lantang ia berkata, "Tidak. Kami tidak akan membuka
patung itu. Kami akan mempertahankannya apapun y ang akan
terjadi. Jika kau memaksa, maka bukan salah kami jika terjadi
bukan saja sakit di antara orang-orangmu. Tetapi mungkin
mati. Bukan hanya seorang, tetapi banyak orang."
Ki Bekel menjadi tegang pula. Wajahnya menjadi merah
dan darahnya serasa mengalir semakin cepat.
"Anak-anak muda. Kau kira ilmu iblismu itu dapat
menakut-nakuti aku dan para bebahu" Apalagi Ki Jagabaya,"
berkata Ki Bekel dengan penuh key akinan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang menjadi agak
bingung. Apakah mereka benar-benar harus bertempur.
Namun mereka benar-benar tidak ingin membiarkan
kerudung dari patungnya itu dibuka oleh siapapun.
Sementara itu, prajurit Singasari y ang juga memahat
patung itu pun menggeram, "Apa boleh buat. Kita sudah
berusaha sejauh dapat kita lakukan untuk menghindari
kekerasan. Tetapi j ika kekerasan itu akan ditrapkan terhadap
kita, maka sudah tentu bahwa kita akan mempertahankan hak
kita." Mahisa Pukat mengangguk sambil berkata, "Baiklah.
Kita bukan berada dibawah perintahnya. Meskipun jalan ini
mungkin termasuk lingkungan padukuhannya, tetapi tentu
merupakan bagian dari Singasari yang besar," Mahisa Pukat
itu pun berhenti sejenak. Lalu katanya kepada Ki Bekel, "Nah,
Ki Bekel. Kami akan mempertahankan hak kami. Jika karena
itu kita harus bertempur, maka itu bukan salah kami."
Ki Bekel memandang Mahisa Pukat dengan tajamnya.
Sementara itu Ki Jagabaya melangkah m aju sambil berkata,
"Anak-anak muda. Kenapa kalian menjadi keras kepala seperti
itu" Say ang, bahwa kalian belum mengenal kami. Mungkin
kau dapat mempermainkan orang-orang itu. Tetapi kau tidak
dapat berbuat demikian atasku dan atas Ki Bekel."
Mahisa Pukat benar-benar sudah menjadi marah.
Karena itu, maka jawabnya, "Ki Sanak. Jika kau merasa
memiliki kemampuan y ang cukup untuk memaksa kami
bersama Ki Bekel, maka m arilah. Aku akan melayani kalian
berdua, bersama Mahisa Murti saja. Jika kalian berdua
menang atas kami berdua, maka kalian dapat membuka
kerudung dari patung itu. Tetapi jika kalian dapat kami
kalahkan, maka kalian tidak akan mengganggu kami lagi."
"Anak setan," geram Ki Jagabaya, "aku adalah Jagabaya
di padukuhan ini. Aku berhak untuk berbuat sesuatu dengan
pertimbangan pengamanan daerah kami. Jika kalian
mengalami kesulitan dan bahkan tidak dapat meneruskan
perjalanan, maka itu adalah korban dari kesombongan kalian
sendiri." "Maksud Ki Jagabaya?" bertanya Mahisa Pukat y ang
marah. "Perkelahian m ungkin akan berakibat buruk. Mungkin
terluka. Tetapi seperti yang pernah kau lakukan, mungkin
mati," berkata Ki Jagabaya.
"Bagus," jawab Mahisa Pukat lantang, "kami siap
melakukannya." Ki Jagabaya itu pun kemudian berpaling kepada Ki Bekel
sambil berkata, "Ki Bekel. Sikap anak-anak ini memang sudah
berlebihan. Apa boleh buat."
Ki Bekel pun mengangguk kecil sambil berdesis, "Kita
akan memaksanya." "Bagus. Cara y ang terhormat," geram Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia m emang
tidak dapat melihat kemungkinan lagi untuk menempuh jalan
lain. Agaknya mereka memang harus bertempur.
Sementara itu, orang-orang padepokan Suriantal pun
telah bersiap pula seandainya mereka harus melibatkan diri
dalam perkelahian yang mungkin akan dapat berkembang.
Namun Ki Bekel pun kemudian berkata kepada para
bebahu dan pengawalnya, "Mundurlah. Aku akan memaksa
anak ini untuk menuruti keinginan kita."
Pa da saat para bebahu dan pengawal itu bergeser
menjauh, maka Ki Bekel dan Ki Jagabaya pun telah bergeser
pula. Dengan nada rendah Ki Bekel berkata, "Bersiaplah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap pula.
Mahisa Murti telah berhadapan dengan Ki Bekel, sementara
Mahisa Pukat siap menghadapi Ki Jagabaya.
Namun dalam pada itu, beberapa orang telah m enyibak
orang-orang padukuhan y ang berkerumun agak jauh dari
arena dengan senjata di tangan masing -masing. Mereka
menjadi semakin tegang ketika mereka melihat seseorang
dengan diiringi oleh beberapa orang memasuki lingkungan
yang akan menjadi arena perkelahian y ang mendebarkan itu.
"Ki Bekel," terdengar orang itu memanggil.
Ki Bekel berpaling. Dengan wajah y ang berkerut ia
memandang orang itu. Kemudian dengan nada tinggi ia
berkata, "Ki Buyut. Untuk apa kau datang kemari?"
"Apa yang terjadi?" bertanya Ki Buyut.
"Jangan turut campur." Ki Bekel itu justru m embentak,
"ini urusanku."
"Tetapi aku akan ikut bertanggung jawab," berkata Ki
Buyut, "cobalah menahan diri sedikit Ki Bekel."
"Sudah aku katakan. Jangan turut campur. Atau kau
akan aku libatkan dalam per soalan ini sebagai orang yang
melindungi kedua orang ini?" Ki Bekel itu m enjadi semakin
marah. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi heran.
Seharusnya Ki Bekel itu menghormati Ki Buyut yang
memimpin seluruh Kabuyutan termasuk padukuhan yang
dikuasakan kepada Ki Bekel itu. T etapi agaknya Ki Bekel itu
bersikap lain. Karena itu, maka Mahisa Murti dan maupun Mahisa
Pukat mendapat kesimpulan, bahwa ada sesuatu yang tidak
wajar pada Ki Bekel itu. Agaknya Ki Buyut pun tidak dapat bertindak lebih jauh
atas Ki Bekel itu. Meskipun kemudian ia berkata, "Aku ingin
memperingatkan kau Ki Bekel."
"Kau tidak tahu persoalan y ang terjadi disini," bantah Ki
Bekel. "Aku sudah mendapat laporan," berkata Ki Buyut.
"Jika demikian kenapa kau akan mencegah aku," bentak
Ki Bekel, " sekali lagi aku peringatkan. Pergi atau kau akan
terlibat." Ki Buyut termangu-mangu. Namun ia melangkah
semakin dekat. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata,
"Ki Bekel. Jika setiap kali timbul persoalan di padukuhan ini,
maka bagaimanapun juga aku tidak akan dapat melepaskan
tanggung jawab. Apalagi jika persoalannya kemudian sampai
ke Pakuwon. Maka y ang akan dipanggil oleh Akuwu adalah
aku." "Persetan," geram Ki Bekel, "itu urusanmu. Jika kau
tidak ingin bertanggung jawab, kau harus meletakkan jabatan
sa ja. Atau kau serahkan jabatanmu kepadaku."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Sambil
memandang Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ia berkata,
"Anak-anak m uda, Ki Bekel dan Ki Jagabaya adalah orangorang
y ang pilih tanding. Tidak ada orang yang dapat
mencegah kemauannya. Karena itu, maka sebaiknya kalian
tidak melawannya." "Terima kasih atas peringatan ini Ki Buyut," berkata
Mahisa Murti. Bahkan ia pun berkata, "Ki Buyut. Agaknya aku
telah m elihat sesuatu yang ganjil di sini. Ki Bekel y ang kasar
ini sama sekali tidak menunjukkan hormatnya kepada Ki
Buyut. Jika sikap ini adalah sikapnya sehari-hari, maka ia
sudah melangkahi haknya sebagai seorang Bekel, yang
seharusnya berada di bawah kuasa Ki Buyut. Dengan demikian
maka aku akan dapat mengambil kesimpulan, bahwa Ki Bekel
telah melanggar paugeran yang berlaku di Singasari."
"Persetan," geram Ki Bekel. "Apa pedulimu. Sebentar
lagi kau akan mati. Kau tidak usah mengigau tentang
paugeran." " Ini membuat aku semakin yakin, bahwa sikap kami
benar. Ki Bekel bukan seseorang yang harus dipatuhi
perintahnya, justru karena Ki Bekel tidak tahu arti paugeran,"
berkata Mahisa Pukat dengan tiba-tiba. Lalu " Itulah agaknya
yang telah m empengaruhi sikap orang-orang padukuhan itu.
Mungkin jika y ang menjadi pemimpin padukuhan itu orang
lain, y ang tahu diri dan mengerti batas kekuasaannya, maka
tidak akan terjadi peristiwa seperti ini."
"Cukup," teriak Ki Bekel, " sekarang siapakah yang akan
menjadi lawanku" Kau berdua bersama Ki Buyut?"
Mahisa Pukat benar-benar telah kehilangan kesabaran.
Karena itu, maka katanya, "Ki Buyut. Kehadiran Ki Buyut
merupakan kebetulan. Ki Buyut akan dapat menjadi saksi,
apakah y ang telah terjadi disini."
Ki Buyut memandang Ki Bekel sekilas.
Namun Ki Bekel lah y ang kemudian menjawab, "Bagus.
Biarlah Ki Buyut menjadi saksi bahwa aku tidak asal saja
membunuh. Aku telah m elakukan tugasku dengan baik. Aku
telah m enangkap seorang perampok yang m eny embunyikan
barang-barangnya di bawah kerudung itu dan berusaha
mengelabuhi aku dengan alasan yang tidak masuk akal."
"Apakah kita tidak dapat menghindarkan kekerasan ini?"
bertanya Ki Buyut. "Cukup. Pergilah. Kau sebenarnya terlalu cengeng untuk
menjadi seorang Buyut di daerah ini," geram Ki Bekel.
Ki Buyut benar -benar tidak dapat mencegah lagi.
Peri stiwa kekerasan akan terjadi lagi di daerahnya tanpa dapat
mencegahnya. Demikianlah, maka tanpa dapat dicegah lagi, Mahisa
Mur-ti y ang berhadapan dengan Ki Bekel dan Mahisa Pukat
yang telah berhadapan dengan Ki Jagabaya, masing-masing
telah mempersiapkan diri untuk mempertahankan sikap
masing-masing. Ki Bekel dan Ki Jagabaya telah memaksa
untuk membuka kerudung patung y ang ada di pedati itu,
sementara Mahisa Mur-ti dan Mahisa Pukat telah
mempertahankannya. Dalam pada itu, orang-orang padukuhan itu pun
menjadi semakin tegang. Ternyata sikap dan cara berpikir Ki
Bekel memang sudah mempengaruhi mereka. Karena itu,
maka mereka-pun kemudian seakan-akan mendapat
kesempatan untuk menyalurkan kemarahan mereka lewat
sikap Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Berdesakan mereka mulai
bergerak mendekat. Namun dalam pada itu, orang-orang padepokan
Suriantal y ang mengawal pedati itu pun telah bersiap pula.
Mereka berdiri di seputar pedati. Namun mereka menatap
ketegangan y ang mencengkam pada saat-saat mereka yang
berhadapan mulai bergerak.
Ki Bekel ternyata terlalu cepat ingin menghancurkan
lawannya. Karena itu, maka ia pun dengan tiba -tiba telah
menyerang Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti telah benar-benar ber siap. Karena
itu, maka serangannya sama sekali tidak meny entuhnya.
Bahkan Mahisa Murti sempat membalas serangan itu dengan
serangan y ang cepat dan keras.
Namun Ki Bekel itu ternyata sempat juga mengelak
bahkan sambil berkata, "Lepaskan ilmu sihirmu. Kau tidak


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usah segan-segan melakukannya."
Mahisa Murti m eloncat surut. Namun agaknya Ki Bekel
memang tidak memberinya kesempatan. Ia pun segera
memburu sehingga Mahisa Murti harus segera menghindari
serangan-serangannya. Agaknya Ki Bekel menyadari, jika
Mahisa Murti mendapat kesempatan, maka ia akan benarbenar
melepaskan serangan yang akan dapat menyulitkannya.
Karena itu, maka ia harus berada pada jarak yang dekat untuk
mengatasinya. Ki Jagabaya pun mengerti pula akan hal itu. Seperti Ki
Bekel, maka Ki Jagabaya bertempur pada-jarak yang dekat.
Dengan kekuatan y ang besar, maka Ki Jagabaya telah
menderanya dengan serangan-serangan y ang garang.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memiliki bekal
yang cukup untuk bertempur pada medan y ang bagaimanapun
juga dan menghadapi jenis ilmu yang betapapun rumitnya.
Dengan demikian, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun telah bertempur pula sebagaimana dilakukan oleh lawanlawan
mereka. Ternyata Ki Bekel dan Ki Jagabaya memang memiliki
ilmu kanuragan y ang tinggi. Mereka dapat bergerak cepat dan
melontarkan kekuatan y ang sangat besar. Namun ternyata
kedua anak muda itu tidak gentar menghadapinya.
Ki Bekel y ang menjadi sangat marah, juga karena
kehadiran Ki Buyut y ang dianggapnya mengganggu
rencananya itu, telah berusaha meny elesaikan lawannya
secepatnya. Dengan tangkasnya Ki Bekel meny erang Mahisa
Murti dan bertempur pada jarak dekat. Tangannya
berputaran, terayun-ayun dan sekali-sekali teracu lurus
mengarah dada. Tetapi Mahisa Murti bukannya seorang anak muda y ang
tidak mempunyai bekal olah kanuragan. Meskipun ia tidak
segera dapat melontarkan ilmunya yang akan dapat
menentukan, namun Mahisa Murti pun memiliki ketrampilan
yang tinggi. Karena itu, maka pertempuran antara keduanya pun
menjadi semakin lama semakin seru. Keduanya saling
menyerang dan mengelak. Namun dalam benturan-benturan
kekuatan selanjutnya, maka ternyata bahwa Mahisa Murti
bukannya anak muda y ang lemah meskipun tidak sempat
melepaskan ilmunya y ang disebut oleh Ki Bekel sebagai ilmu
sihir. Sementara itu, Mahisa Pukat pun ternyata mendapat
lawan yang keras pula. Dengan ka sar Ki Jagabaya telah
menyerang Mahisa Pukat pada jarak y ang pendek. Ia tidak
mau mengalami serangan yang akan dapat
menghancurkannya. Namun Mahisa Pukat pun memiliki
Pendekar Lembah Naga 7 Dewa Linglung 12 Raksasa Gunung Bromo Memanah Burung Rajawali 17
^