Pencarian

Hotel Majestic 4

Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie Bagian 4


yang mengambilnya, dan mengantarkannya kepada para pasien."
"Ingatkah Anda jam berapa kiriman ini diantar?"
"Kalau tak salah, kira-kira jam setengah enam, atau lewat sedikit. Soalnya waktu
itu pos juga baru datang, dan itu kira-kira jam setengah enam. Petang itu
keadaan agak sibuk, banyak orang yang menitipkan bunga atau datang untuk
menjenguk pasien-pasien."
"Terima kasih. Nah, sekarang kami ingin bertemu dengan juru rawat yang mengambil
kiriman itu." Ternyata juru rawat itu masih dalam masa percobaan. Ia bertubuh kecil dan
berwajah montok, kelihatan sangat berdebar-debar. Ia ingat bahwa dialah yang
mengambil kiriman itu pada jam enam, waktu ia mulai bertugas.
"Jam enam," gumam Poirot. "Kalau begitu, selama kira-kira dua puluh menit
kiriman itu terletak di atas meja di lantai bawah."
"Bagaimana?" "Tak apa-apa, Mademoiselle. Coba lanjutkan. Anda lalu mengantarkan kiriman itu
pada Miss Buckley?" "Ya, ada beberapa kiriman untuknya. Ada kotak itu, ada bunga, ada... kacang,
kalau tak salah... dari Mr. dan Mrs. Croft. Semuanya saya bawa sekaligus. Lalu
ada pula kiriman yang datang lewat pos, dan anehnya kotak itu juga berisi coklat
buatan Fuller." "Comment" Ada dua buah kotak?"
"Ya, kebetulan sekali, ya" Miss Buckley membuka kedua-duanya. Katanya, 'Aduh,
sayang sekali. Aku tak boleh memakannya.' Lalu dibukanya tutupnya, untuk melihat
isinya, kalau-kalau sama jenisnya. Lalu ditemukannya kartu nama Anda di dalam
salah satu kotak itu, dan dia berkata, 'Bawa saja kotak yang satu ini, Suster.
Itu pasti ada apa-apanya. Saya takut nanti tertukar.' Aduh! Siapa sangka hal itu
akan terjadi" Rasanya seperti dalam buku cerita karangan Edgar Wallace saja."
Poirot menghentikan arus kata-katanya.
"Dua kotak, kata Anda" Dari siapa kotak yang sebuah lagi?"
"Tak ada nama di dalamnya."
"Lalu yang mana yang - seolah-olah - datang dari saya" Kotak yang lewat pos atau
yang bukan?" "Wah, saya tak ingat. Bolehkah saya naik dan menanyakannya pada Miss Buckley?"
"Anda baik sekali kalau mau berbuat begitu."
Gadis itu berlari naik ke lantai atas.
"Dua kotak," gumam Poirot. "Membingungkan sekali."
Juru rawat itu kembali dengan terengah-engah.
"Miss Buckley tak yakin. Soalnya dia membuka kedua bungkusan itu sekaligus,
sebelum melihat isinya. Tapi katanya, kalau tak salah, bukan kotak yang datang
lewat pos." "Bagaimana?" tanya Poirot kebingungan.
"Kotak dari Anda tidak datang lewat pos. Begitulah perkiraannya, tapi dia tidak
begitu yakin." "Diable!"* (*Setan!) umpat Poirot dalam perjalanan kami kembali. "Kelihatannya
tak ada orang yang merasa yakin. Dalam buku-buku detektif... memang. Tapi dalam
hidup - hidup nyata - selalu penuh dengan kekacauan. Apakah aku sendiri merasa
yakin" Tidak, tidak, seribu kali tidak."
"Lazarus," kataku.
"Ya, mengherankan, ya?"
"Apakah kau akan mengatakan sesuatu tentang hal itu padanya?"
"Pasti. Aku ingin sekali melihat tanggapannya. Ngomong-ngomong, mungkin juga
kita terlalu melebih-lebihkan betapa seriusnya keadaan Mademoiselle itu. Memang
tak ada salahnya kalau kita beranggapan bahwa dia berada di ambang kematian.
Mengertikah kau maksudku" Ah, wajahmu yang serius itu mengagumkan sekali. Kau
jadi mirip dengan seorang pengurus pemakaman. Ya, mirip sekali."
Kami mujur, karena bisa langsung bertemu dengan Lazarus. Ia sedang membungkuk
menekuni tempat mesin mobilnya, di depan hotel.
Poirot langsung mendatanginya.
"M. Lazarus, apakah kemarin sore Anda ada meninggalkan sekotak coklat untuk
Mademoiselle?" tanyanya tanpa berbasa-basi lebih dahulu.
Lazarus kelihatan agak terkejut.
"Lalu?" "Anda baik sekali."
"Sebenarnya coklat itu dari Freddie - Mrs. Rice. Dia meminta bantuan saya untuk
mengantarnya." "Oh, begitu." "Saya bermobil mengantarnya ke sana."
"Saya tahu." Poirot diam beberapa lama, lalu berkata, "Di mana Madame Rice sekarang?"
"Saya rasa dia ada di ruang duduk."
Kami mendapati Frederica sedang minum teh. Ia mendongak melihat kami. Wajahnya
membayangkan rasa cemas. "Saya dengar Nick jatuh sakit. Betul?"
"Urusan ini memang misterius, Madame. Apakah Anda mengiriminya sekotak coklat
kemarin?" "Ya. Soalnya dia meminta saya untuk membelikannya."
"Dia yang meminta Anda membelikannya?"
"Benar." "Tapi dia tak boleh bertemu dengan siapa pun. Bagaimana Anda bertemu dengannya?"
"Saya tidak bertemu dengannya. Dia menelepon saya."
"Oh! Apa katanya?"
"Apakah saya mau membelikannya coklat buatan Fuller sekotak, yang beratnya satu
kilogram." "Bagaimana bunyi suaranya" Lemah?"
"Tidak, sama sekali tidak. Cukup bertekanan. Tapi entah mengapa, agak lain.
Mula-mula saya tak menyangka bahwa dia yang berbicara."
"Sampai dia mengatakan siapa dirinya?"
"Ya." "Apakah Anda yakin, Madame, bahwa itu suara sahabat Anda?"
Frederica kelihatan terkejut.
"Saya... ah... saya... tentu saja. Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Itu pertanyaan yang menarik, Madame."
"Anda kan tidak bermaksud...?"
"Bisakah Anda bersumpah, Madame, bahwa itu adalah suara sahabat Anda - maksud
saya, tanpa mengingat kata-kata yang diucapkannya?"
"Tidak," kata Frederica lambat-lambat. "Saya tak bisa bersumpah. Suaranya memang
lain. Saya pikir itu karena telepon - atau barangkali karena dia sakit."
"Seandainya dia tidak mengatakan pada Anda siapa dia, Anda tidak akan
mengenalinya?" "Tidak, saya rasa saya tak akan mengenalinya. Siapa dia sebenarnya, M. Poirot"
Siapa dia?" "Itulah yang ingin saya ketahui pula, Madame."
Wajah Poirot yang serius agaknya menimbulkan kecurigaan Frederica.
"Apakah Nick... apa yang telah terjadi?" tanyanya dengan menahan napas.
Poirot mengangguk. "Mademoiselle Nick sakit - sakit keras. Coklat itu, Madame, mengandung racun."
"Coklat yang saya kirim" Tapi itu tak mungkin. Tak mungkin!"
"Bukan tak mungkin, Madame. Karena nyatanya kini Mademoiselle sedang berada di
ambang kematian." "Ya Tuhanku!" Ditutupnya mukanya dengan kedua belah tangan. Setelah itu
diangkatnya wajahnya, pucat dan bergetar.
"Saya tak mengerti - saya tak mengerti. Peristiwa-peristiwa yang lain itu mungkin
memang terjadi, Tapi yang ini tidak. Coklat itu tak mungkin mengandung racun.
Tak seorang pun menyentuhnya, kecuali saya dan Jim. Anda telah membuat suatu
kekeliruan besar, M. Poirot."
"Bukan saya yang telah membuat kekeliruan, meskipun nama saya yang ada di dalam
kotak itu." Frederica terbelalak dengan pandangan kosong.
"Bila Mademoiselle Nick sampai meninggal...," kata Poirot sambil menggoyang-
goyangkan telunjuknya, sebagai isyarat mengancam.
Frederica terpekik dengan suara halus.
Poirot berbalik, sambil mencengkeram lenganku, diseretnya aku ke ruang duduk
kami. Dilemparkannya topinya ke atas meja.
"Aku tak mengerti apa-apa - sama sekali tidak! Aku berada dalam kegelapan. Aku
seperti anak kecil. Siapa yang mendapatkan uang banyak dengan meninggalnya
Mademoiselle" Madame Rice. Siapa yang membeli coklat dan tak enggan pula
mengakuinya, dan masih juga bercerita bahwa dia ditelepon, padahal itu sama
sekali tak benar" Madame Rice. Ini terlalu sederhana - terlalu gamblang. Padahal
dia sebenarnya tidak bodoh."
"Jadi kalau begitu...?"
"Tapi dia kecanduan kokain, Hastings. Aku yakin dia seorang pecandu kokain. Tak
salah lagi. Dan di dalam coklat itu ada kokain pula. Lalu apa maksudnya waktu
dia berkata, 'Peristiwa-peristiwa yang lain itu mungkin memang terjadi. Tapi
yang ini tidak'" Kata-kata itu memerlukan penjelasan! Dan M. Lazarus yang licik
itu... apa pula peranannya dalam semua ini" Apa yang diketahui oleh Madame Rice"
Dia tahu sesuatu. Tapi aku tak bisa membuatnya berbicara. Dia bukan orang yang
bisa ditakut-takuti, lalu mau berbicara. Tapi pasti dia tahu sesuatu, Hastings.
Apakah kisahnya mengenai telepon itu benar, atau hanya karangannya saja" Bila
memang benar, suara siapakah itu" Sungguh, Hastings, semuanya ini gelap bagiku -
gelap sekali." "Tapi keadaan memang selalu paling gelap menjelang fajar menyingsing," kataku
meyakinkannya. Ia menggeleng. "Lalu kotak yang sebuah lagi - yang datang lewat pos itu. Bisakah itu kita
kesampingkan saja" Tidak, tak bisa, karena Mademoiselle tak yakin. Menjengkelkan
sekali!" Ia menggeram. Aku baru akan mulai berbicara, tapi ia mencegah niatku itu.
"Jangan. Jangan. Jangan ucapkan peribahasa lagi. Tak tahan aku mendengarnya.
Kalau kau memang seorang sahabat yang baik, yang bisa membantu..."
"Ya," kataku dengan bergairah.
"Tolonglah aku. Keluarlah, dan tolong belikan aku kartu untuk main."
Aku terbelalak. "Baiklah," kataku dingin.
Mau tak mau, aku beranggapan bahwa ia memang sengaja mencari alasan itu, supaya
aku meninggalkannya. Tapi rupanya aku salah menilainya. Malam itu, waktu aku masuk ke ruang duduk,
kira-kira jam sepuluh, kudapati Poirot sedang menyusun rumah-rumahan dari kartu,
lalu aku ingat! Itu kebiasaan lamanya untuk menenangkan saraf. Ia tersenyum padaku.
"Ya, kau tentu ingat. Kita memerlukan ketepatan. Kartu-kartu disusun saling
tindih - begini - pada tempat yang tepat, sehingga menunjang berat kartu di
atasnya, dan seterusnya, terus ke atas. Pergilah tidur, Hastings. Tinggalkan aku
di sini, dengan rumah kartuku ini. Aku sedang menjernihkan pikiranku."
Kira-kira jam lima pagi, aku dibangunkannya.
Poirot berdiri di sisi tempat tidurku. Ia kelihatan senang dan gembira.
"Tepat sekali apa yang kaukatakan, mon ami. Oh, tepat sekali! Apalagi kata-kata
itu mengandung falsafah!"
Aku memandanginya dengan mata masih mengerjap-ngerjap, karena belum benar-benar
bangun. "Keadaan memang selalu paling gelap menjelang fajar menyingsing - begitu katamu.
Keadaan memang gelap sekali, tapi sekarang fajar sudah menyingsing."
Aku melihat ke jendela. Ia benar.
"Bukan, bukan, Hastings. Maksudku di kepalaku! Pikiranku! Sel-sel kecilku yang
kelabu." Ia berhenti sebentar, lalu berkata dengan suara halus,
"Tahukah kau, Hastings, Mademoiselle sudah meninggal."
"Apa?" pekikku. Tiba-tiba aku benar-benar terbangun.
"Sst... sst. Itu hanya kata-kataku. Bukan sebenarnya. Bien entendu,* (*camkan
itu) tapi itu bisa diatur. Aku akan mengaturnya dengan para dokter dan para juru
rawat. "Tahukah kau, Hastings" Si pembunuh sudah berhasil. Dia sudah mencoba empat
kali, dan gagal. Yang kelima kalinya, dia berhasil.
"Dan sekarang, akan kita lihat apa lagi yang terjadi. Pasti akan menarik
sekali." 18 WAJAH DI JENDELA KEJADIAN-KEJADIAN esok harinya benar-benar samar dalam ingatanku. Aku sangat tak
beruntung, karena terserang demam waktu aku bangun. Aku mudah terserang demam
begini pada saat-saat yang tak menyenangkan, sejak aku terserang malaria dulu.
Akibatnya kejadian-kejadian hari itu hanya kuingat sebagai suatu mimpi buruk -
ketika Poirot datang dan pergi sebagai pelawak aneh yang sekali-sekali muncul
dalam sirkus. Kurasa ia sedang senang sekali. Sikapnya yang membayangkan putus asa mengagumkan
sekali. Tak dapat kukatakan bagaimana ia berhasil mencapai akhir yang sudah
dibayangkan dan yang telah diceritakannya padaku pagi-pagi sekali itu. Yang
jelas, ia telah berhasil.
Hal itu pasti tak mudah. Pasti besar sekali kebohongan dan kepura-puraan yang
telah dilibatkannya. Orang-orang Inggris benci sekali akan kebohongan, padahal
justru itulah yang diperlukan dalam rencana Poirot.
Pertama-tama, ia harus memperalat Dr. Graham dalam rencananya itu. Setelah Dr.
Graham berada di pihaknya, ia harus membujuk Pengawas Rumah Perawatan dan
beberapa anggota stafnya untuk ikut serta dalam rencananya. Dalam usahanya itu,
tentu besar sekali kesulitan yang dihadapinya. Mungkin pengaruh Dr. Graham-lah
yang mempermudah persoalan.
Selain itu, ada pula kepala polisi setempat dan korps polisi. Dalam hal itu,
Poirot berhadapan dengan badan resmi. Namun akhirnya ia berhasil juga mendapat
persetujuan dari Kolonel Weston, meskipun dengan susah payah. Kolonel itu
menjelaskan bahwa ia sama sekali tak mau bertanggung jawab. Poirot-lah yang
harus bertanggung jawab mengenai penyebarluasan laporan-laporan bohong itu.
Poirot menyanggupinya. Ia mau menyanggupi apa saja, asalkan diperbolehkan
melaksanakan rencananya. Hampir sepanjang hari kuhabiskan dengan tidur-tiduran saja di sebuah kursi
besar, dengan sehelai selimut menutupi lututku. Setiap dua atau tiga jam, Poirot
masuk dan memberikan laporan padaku tentang kemajuan kegiatannya.
"Bagaimana keadaanmu, mon amil Aku kasihan sekali padamu. Tapi barangkali itu
lebih baik, karena kau takkan bisa memainkan sandiwara ini sebaik aku. Aku baru
saja kembali dari memesan sebuah karangan bunga - sebuah karangan bunga yang besar
sekali - yang luar biasa. Bunganya bunga lili, sahabatku, dalam jumlah besar
sekali, disertai ucapan, Berdukacita sedalam-dalamnya. Dari Hercule Poirot. Ah!
Lucu sekali." Ia pergi lagi. "Aku baru kembali dari percakapan yang sangat tajam dengan Madame Rice," begitu
bunyi informasinya yang berikut. "Pantas sekali dia memakai baju hitam.
Sahabatnya yang malang - alangkah tragisnya! Aku menggeram, menyatakan ikut
prihatin. Nick begitu periang, begitu penuh kehidupan, katanya. Rasanya tak
mungkin membayangkan dia meninggal. Aku membenarkannya. 'Memang,' kataku,
'itulah ironinya kematian. Dia mengambil orang yang seperti itu. Yang tua-tua
dan tak berguna lagi dibiarkannya hidup.' Wah, aku lalu menggeram lagi."
"Pasti kau senang sekali dengan permainan itu," gumamku lemah.
"Du tout.* (*Sama sekali tidak.) Itu merupakan bagian dari rencanaku. Tak lebih.
Untuk bisa memainkan suam komedi dengan berhasil, kita harus memainkannya dengan
sepenuh hati. Nah, setelah basa-basi ucapan duka-cita selesai, Madame
membicarakan hal-hal yang lebih berhubungan dengan kenyataan. Sepanjang malam
dia tak bisa tidur, katanya. Dia bertanya-tanya terus mengenai coklat itu. Itu
tak mungkin - tak mungkin. 'Madame,' kataku, 'hal itu bukan tak mungkin. Anda
bisa melihat laporan dari analis yang telah memeriksanya.' Lalu dia berkata
dengan suara yang sama sekali tak mantap, 'Anda katakan... itu kokain, bukan"'
Kujawab ya. 'Ya Tuhan! Saya tak mengerti!' katanya."
"Mungkin itu benar."
"Dia tahu benar bahwa dia terancam bahaya. Dia wanita yang cerdas. Sudah
kukatakan itu padamu dulu. Ya, dia terancam bahaya, dan dia tahu itu."
"Tapi kulihat mula-mula kau tak percaya bahwa dia bersalah."
Poirot mengerutkan dahinya. Sikapnya yang bersemangat agak berkurang.
"Dalam sekali kata-katamu itu, Hastings. Ya, aku menyadari hal itu, entah
bagaimana. Kulihat fakta-faktanya tak cocok lagi. Kejahatan-kejahatan, selama
ini, paling ditandai dengan kelicikan, bukan" Tapi dalam hal ini sama sekali tak
ada kelicikan. Yang terasa hanya kekasarannya, keasliannya, dan


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesederhanaannya. Jadi... yah, tak cocok." Ia duduk di meja.
"Voila - mari kita meneliti kenyataan-kenyataannya. Ada tiga kemungkinan. Kita
tahu bahwa coklat itu dibeli oleh Madame Rice, dan diantar oleh M. Lazarus.
Dalam hal itu, kesalahan ada pada salah seorang di antaranya, atau pada
keduanya. Lalu telepon itu, yang katanya dari Mademoiselle Nick, itu jelas
sesuatu yang dikarang-karang. Itulah yang jelas, penyelesaian yang nyata.
"Penyelesaian kedua. Kotak yang sebuah lagi, yang datang lewat pos. Siapa saja
mungkin mengirimnya. Salah seorang di antara para tersangka yang namanya
tercantum dalam daftar kita, dari A sampai J. - Kau ingat, kan" Suatu kemungkinan
yang luas. - Bila kotak itu yang menjadi penyebab kematian, apa maksud telepon
itu" Mengapa mempersulit persoalan dengan kotak kedua?"
Aku menggeleng dengan lemah. Karena suhu badanku hampir tiga puluh sembilan
derajat Celsius, semua yang sulit rasanya tak ada gunanya dan tak masuk akal.
"Penyelesaian ketiga. Kotak coklat yang dibeli Madame memang tak apa-apa. Tapi
kotak itu telah ditukar dengan sebuah kotak yang isinya sudah diracuni. Dalam
hal itu, pembicaraan telepon itu memang benar ada, dan bisa dimengerti. Madame-
lah yang harus menjadi apa yang kita sebut kambing hitam. Dialah yang harus
menanggung dosa orang lain. Jadi, penyelesaian ketigalah yang paling logis, tapi
sayang, itu pulalah yang paling sulit. Bagaimana mereka bisa yakin menukarkan
sebuah kotak pada saat yang tepat" Pesuruh itu bisa saja langsung membawa kotak
tersebut ke lantai atas. Pokoknya ada seribu satu kemungkinan yang bisa mencegah
terjadinya penukaran itu. Tidak, rasanya tak masuk akal."
"Kecuali orang itu Lazarus," kataku.
Poirot memandangiku. "Kau demam, sahabatku. Sekarang panasmu sedang meninggi, ya?"
Aku mengangguk. "Aneh, ya, suhu badan yang lebih tinggi beberapa derajat malah bisa merangsang
kecerdasan. Pernyataanmu merupakan observasi dari suatu hal yang sangat
sederhana. Demikian sederhananya, hingga tak terlihat olehku. Tapi hal itu bisa
dianggap aneh. M. Lazarus, sahabat dekat Madame, berusaha keras supaya wanita
itu digantung. Itu aneh, bukan" Hal itu menunjukkan kemungkinan adanya sifat
aneh. Tapi rumit sekali."
Aku memejamkan mata. Aku senang dikatakan cerdas, tapi aku tak mau memikirkan
yang rumit-rumit. Aku ingin tidur.
Poirot terus saja berbicara, tapi aku tak mendengarkan. Suaranya terasa sayup-
sayup menenangkan. Sore sudah larut waktu aku bertemu lagi dengannya.
"Rencana kecilku telah mendatangkan untung besar pada toko bunga," kisahnya.
"Semua orang memesan karangan bunga. Mr. Croft, M. Vyse, Komandan Challenger..."
Nama yang disebut terakhir itu menimbulkan rasa penyesalan dalam pikiranku.
"Dengarkan, Poirot," kataku. "Dia harus kauikutsertakan dalam rencanamu ini.
Kasihan dia. Pikirannya akan kusut dan sedih. Itu tak adil."
"Hatimu lembut terhadapnya, Hastings."
"Aku suka padanya. Dia orang baik-baik. Kau harus mengikutsertakannya dalam
rahasia ini." Poirot menggeleng. "Tidak, mon ami. Aku tak mau pilih kasih."
"Tapi kau kan tidak curiga bahwa dia terlibat dalam peristiwa ini?"
"Aku tak mau membuat pengecualian."
"Bayangkan betapa menderitanya dia."
"Sebaliknya, aku lebih suka membayangkan betapa menyenangkan kejutan yang
kusiapkan untuknya. Dia, yang mengira bahwa orang yang dicintainya telah
meninggal, kemudian melihat bahwa orang itu masih hidup! Itu merupakan suatu
sensasi yang lain dari yang lain - luar biasa."
"Keras kepala sekali, kau. Dia pasti akan menyimpan rahasia itu."
"Aku tak yakin."
"Dia orang terhormat. Aku yakin itu."
"Justru itu, akan lebih sulit baginya untuk menyimpan rahasia. Menyimpan rahasia
merupakan suatu seni yang menuntut kepandaian kita menceritakan kebohongan
dengan lihai, dan kita harus memiliki kemampuan besar untuk memainkan komedi
itu, dan menikmatinya. Bisakah Komandan Challenger berpura-pura" Bila benar apa
yang kaukatakan tentang dia, pasti dia tak bisa."
"Jadi kau tak mau menceritakannya padanya?"
"Aku pasti menolak melakukan sesuatu yang akan mengancam keberhasilan rencanaku,
hanya demi perasaan mendalam terhadap seseorang. Yang kita mainkan ini suatu
permainan hidup dan mati, mon cher. Lagi pula, penderitaan itu bagus untuk watak
seseorang. Banyak pendetamu yang berkata begitu - bahkan kalau tak salah, ada pula
seorang uskup." Aku tidak lagi berusaha menggoyahkan keputusannya. Kulihat tekadnya sudah bulat.
"Aku tidak akan berpakaian resmi untuk makan malam," gumamnya. "Aku harus
berperan sebagai seorang tua yang patah semangat. Itulah peranku, mengertikah kau" Rasa
percayaku sudah hancur sama sekali. Aku hancur. Aku sudah gagal. Aku akan makan
sedikit sekali. Akan kubiarkan makanan tak tersentuh di piringku. Kurasa itulah
sikap yang paling tepat. Di apartemenku, aku akan makan manisan dan coklat yang
sudah kubeli di toko kue dan gula-gula. Et vous?"* (*Dan kau")
"Tolong belikan aku kina lagi," kataku dengan sedih.
"Kasihan kau, Hastings. Tapi besarkanlah hatimu. Besok pasti kau sudah sembuh."
"Besar sekali kemungkinannya. Serangan-serangan seperti ini biasanya memang
hanya berlangsung dua puluh empat jam."
Aku tak mendengarnya kembali ke kamarnya. Aku pasti tertidur lagi.
Waktu aku terbangun, ia sedang duduk menulis di mejanya. Di depannya ada kertas
tergumpal yang sudah dilicinkan kembali. Aku mengenali kertas itu, tempat ia
menuliskan daftar nama orang-orang, dari A sampai J, yang waktu itu sudah
digumpal-gumpalkannya dan dibuangnya.
Ia mengangguk, seolah-olah memberikan jawaban membenarkan untuk pikiranku yang
tak kuucapkan itu. "Ya, sahabatku, aku telah memungutnya kembali. Sekarang aku menanganinya dari
segi lain. Kususun suatu daftar pertanyaan mengenai setiap orang. Mungkin
pertanyaan-pertanyaan itu tak ada hubungannya dengan kejahatan itu, soalnya
pertanyaan-pertanyaan itu adalah mengenai hal-hal yang tidak kuketahui - hal-hal
yang tetap tak terjelaskan. Dan untuk semua pertanyaan itu, aku memberikan
jawaban dari otakku sendiri."
"Sudah sampai berapa jauh kau?"
"Aku sudah selesai. Mau kau mendengarnya" Bukankah kau sudah cukup kuat?"
"Ya, aku bahkan sudah merasa lebih baik."
"Syukurlah! Baiklah, akan kubacakan. Pasti ada di antaranya yang kauanggap
kekanak-kanakan." Ia berdehem. A. Ellen. Mengapa dia tinggal di dalam rumah dan tidak keluar untuk nonton pesta
kembang api" (Itu tidak biasa, sebagaimana dinyatakan oleh Mademoiselle dengan
heran.) Apakah dia mengira atau menduga akan terjadi sesuatu" Adakah dia
mengizinkan seseorang masuk ke rumah" (J umpamanya") Benarkah apa yang
dikatakannya mengenai pelapis dinding rahasia itu" Kalaupun itu ada, mengapa dia
tak bisa mengingat di mana tempatnya" (Kelihatannya Mademoiselle yakin bahwa
pelapis semacam itu tak ada, padahal dia pasti tahu.) Lalu, kalau dia hanya
mengarang-ngarang saja, untuk apa" Apakah dia sudah membaca surat-surat cinta
Michael Seton, atau apakah sikap terkejutnya mendengar berita pertunangan
Mademoiselle Nick, memang mumi"
B. Suaminya. Apa dia benar-benar sebodoh penampilannya" Apakah dia mengetahui
pula apa yang diketahui Ellen" Atau tidak" Apakah dia punya kelainan jiwa, entah
dalam bentuk apa" C. Anak mereka. Apakah kesenangannya melihat darah merupakan naluri yang wajar,
yang sesuai dengan umur dan perkembangannya" Ataukah itu merupakan kelainan
jiwa" Dan apakah kelainan jiwa itu diwarisinya dari salah seorang orangtuanya"
pernahkah dia menembak dengan pistol mainan"
D. Siapakah Mr. Croft" Dari mana dia sebenarnya" Benarkah dia telah memasukkan
surat wasiat itu ke dalam kotak pos, sebagaimana sumpahnya" Motif apa yang
mungkin ada padanya untuk tidak memasukkannya ke kotak pos"
E. Sama dengan di atas. Siapakah Mr. dan Mrs. Croft" Apakah mereka sedang dalam
persembunyian karena suam sebab" Kalau memang begitu, apakah sebab itu" Apakah
hubungan mereka dengan keluarga Buckley"
F. Mrs. Rice. Apakah sebenarnya dia tahu tentang pertunangan antara Nick dan
Michael Seton" Apakah dia hanya menerka-nerka saja, atau apakah sebenarnya dia
sudah membaca surat-menyurat antara mereka berdua" (Dalam hal itu, dia pasti
tahu bahwa Mademoiselle adalah ahli waris Seton.) Tahukah dia bahwa dia sendiri
adalah ahli waris yang tinggal" (Kurasa itu mungkin. Mungkin Mademoiselle
sendiri yang mengatakannya padanya. Mungkin Mademoiselle menambahkan bahwa dia
takkan mendapat banyak dari warisan itu.) Apakah pernyataan Komandan Challenger
bahwa Lazarus tertarik pada Mademoiselle Nick ada benarnya" (Hal itu mungkin
dapat menjelaskan mengenai hubungan yang kurang akrab antara kedua sahabat itu
dalam beberapa bulan terakhir ini.) Siapakah yang dimaksud dengan "teman pria"
yang tercantum dalam suratnya, yang katanya telah memberinya obat terlarang itu"
Mungkinkah dia J" Mengapa pada suam hari dia tiba-tiba pingsan dalam ruangan
ini" Apakah gara-gara sesuatu yang telah diucapkan, ataukah sesuatu yang
dilihatnya" Apakah laporannya mengenai telepon yang memintanya untuk membeli
coklat itu benar" Atau itu suatu kebohongan yang disengaja" Apa maksudnya dengan
kata-kata, "Saya mengerti mengenai peristiwa-peristiwa yang lain itu, tapi yang
ini tidak?" Kalau bukan dia sendiri yang bersalah, apakah yang diketahuinya tapi
dirahasiakannya" "Kaulihat," kata Poirot, tiba-tiba memotong pembacaannya, "pertanyaan-pertanyaan
yang sehubungan dengan Madame Rice boleh dikatakan tak terhitung jumlahnya. Dari
awal sampai akhir, dia merupakan teka-teki. Dan hal itu memaksaku mengambil
suatu kesimpulan. Madame Rice yang bersalah, atau dia tahu - atau dapat pula kita
katakan dia mengira dirinya tahu - siapa yang bersalah. Tapi apakah dia benar"
Apakah dia benar-benar tahu, atau hanya curiga" Dan bagaimana caranya untuk
membuatnya bicara?" Ia mendesah. "Nah, akan kuteruskan dengan daftar pertanyaanku.
G. Mr. Lazarus. Aneh, boleh dikatakan tak ada pertanyaan mengenai dia, kecuali
satu, yaitu suatu pertanyaan kasar, "Diakah yang telah menukarkan coklat beracun
itu?" Selanjutnya aku hanya menemukan satu pertanyaan yang tak ada hubungannya.
Tapi itu pun kucantumkan. "Mengapa Mr. Lazarus menawarkan untuk membeli sebuah
lukisan dengan harga lima puluh pound, padahal lukisan itu hanya bernilai dua
puluh pound?" "Dia ingin membantu Nick," kataku, mengeluarkan pendapat.
"Dia tidak akan melakukannya dengan cara itu. Dia seorang pedagang. Dia takkan
mau membeli kalau harus menjualnya dengan rugi. Kalau ingin berbuat baik, dia
akan meminjaminya uang secara pribadi."
"Bagaimanapun juga, tak mungkin ada hubungannya dengan kejahatan itu."
"Ya, mungkin benar. Tapi aku tetap ingin tahu. Ingat, aku pernah menjadi
mahasiswa psikologi. "Sekarang kita sampai pada H."
H. Komandan Challenger. Mengapa Mademoiselle mengatakan padanya bahwa dia telah
bertunangan dengan orang lain" Apa yang membuatnya menganggap perlu untuk
mengatakan itu" Gadis itu tidak menceritakannya pada orang lain. Apa karena
Challenger melamar Mademoiselle Nick" Bagaimana hubungannya dengan pamannya"
"Pamannya, Poirot?"
"Ya, dokter itu. Pribadi yang patut dipertanyakan itu. Apakah berita pribadi
mengenai kematian Michael Seton telah sampai pada Angkatan Laut, sebelum
disiarkan pada umum?"
"Aku sama sekali tak mengerti maksudmu, Poirot. Meskipun sekiranya Challenger
sudah tahu sebelumnya tentang Seton, kita tetap tidak mendapatkan kejelasan apa-
apa. Hal itu tidak memberikan motif yang jelas untuk membunuh gadis yang
dicintainya." "Aku sependapat. Apa yang kaukatakan sangat masuk akal. Tapi itu hanya hal-hal
yang ingin kuketahui. Soalnya, aku tetap anjing yang mendengus-dengus kian-
kemari, mencari hal-hal yang tidak begitu menyenangkan!"
I. Mr. Vyse. Mengapa dia harus mengatakan tentang betapa fanatiknya sepupunya
mencintai End House" Motif apa yang mungkin ada padanya dalam mengatakan itu"
Adakah dia menerima surat wasiat itu atau tidak" Apakah dia seorang yang jujur"
"Dan sekarang J. Eh bien, J kucantumkan dengan disertai tanda tanya raksasa.
Apakah orang itu ada, atau tak ada....
"Mon Dieu! Sahabatku! Kenapa kau?"
Aku tiba-tiba terlompat dari tempat dudukku, sambil menjerit. Aku menunjuk ke
arah jendela dengan jari gemetar.
"Ada wajah orang, Poirot!" pekikku. "Ditempelkan di kaca. Wajah yang mengerikan!
Sekarang sudah tak ada lagi, tapi aku melihatnya tadi."
Poirot berjalan ke jendela dengan langkah-langkah panjang, lalu mendorongnya
hingga terbuka. Ia menyandarkan diri pada jendela, dan menjenguk ke luar.
"Tak ada siapa-siapa di sana sekarang," katanya sambil merenung. "Yakinkah kau
bahwa kau tidak mengkhayal, Hastings?"
"Aku yakin. Wajah itu mengerikan."
"Di sini memang ada balkon. Siapa pun bisa berdiri di situ dengan mudah sekali,
bila ingin mendengarkan percakapan kita. Waktu kaukatakan wajah yang mengerikan,
Hastings, apa maksudmu sebenarnya?"
"Wajah itu putih dan menatap keras, hampir tidak seperti wajah manusia."
"Mon ami, itu pasti gara-gara demammu. Wajah... ya, mungkin. Wajah yang tak
menyenangkan, bisa. Tapi wajah yang hampir-hampir tak manusiawi - tidak. Yang
kaulihat adalah akibat wajah yang ditekan keras-keras pada kaca, ditambah dengan
perasaan shock-mu karena melihat wajah di situ."
"Wajah itu mengerikan," kataku berkeras.
"Apakah itu bukan wajah... seseorang yang kaukenal?"
"Sama sekali bukan."
"Hm... tapi itu mungkin saja! Aku ragu apakah kau bisa mengenalinya dalam
keadaan demikian. Ya, aku ragu sekali."
Sambil merenung, ia mengumpulkan kertas-kertasnya.
"Setidaknya ada juga satu kebaikannya. Kalaupun si pemilik wajah itu ikut
mendengarkan percakapan kita tadi, kita tidak menyebutkan bahwa Mademoiselle
Nick masih hidup dan sehat-sehat saja. Apa pun yang didengar tamu kita tadi,
setidaknya hal yang satu itu tidak didengarnya."
"Tapi," kataku, "sampai sejauh ini, hasil dari... eh... langkahmu yang hebat
itu, agaknya mengecewakan, bukan" Nick sudah meninggal, tapi tak ada
perkembangan baru yang mengejutkan!"
"Untuk sementara aku belum mengharapkan hasil. Dua puluh empat jam, kataku pada
diriku sendiri. Besok, mon ami, bila aku tidak kelim, akan terjadi hal-hal
tertentu. Kalau tidak... kalau tidak, artinya aku salah, dari awal sampai akhir.
Aku juga mengharapkan pos besok."
Pagi harinya aku bangun dengan perasaan lemah, tapi demamku sudah berkurang. Aku
juga merasa lapar. Aku dan Poirot minta sarapan diantar ke kamar duduk kami.
"Bagaimana?" kataku dengan usil, saat ia memilih surat-suratnya. "Apakah
harapanmu mengenai pos sudah terpenuhi?"
Poirot, yang baru saja membuka dua buah amplop yang pasti berisi surat-surat
tagihan, tidak menyahut. Menurut penglihatanku, ia agak sedih. Ia tidak seperti
biasanya, penuh percaya diri.
Aku membuka surat-suratku sendiri. Yang pertama adalah pemberitahuan mengenai
suatu pertemuan kaum spiritualis.
"Kalau semuanya gagal, kita harus mendatangi kaum spiritualis itu," kataku. "Aku
sering bertanya sendiri, mengapa tidak diadakan tes lebih banyak mengenai hal-
hal seperti yang kita alami ini. Roh si korban bisa kembali dan menyebutkan nama
si pembunuh. Itu bisa menjadi bukti."
"Itu tidak akan banyak membantu kita," kata Poirot linglung. "Aku ragu apakah
Maggie Buckley tahu siapa yang telah menembaknya. Biarpun rohnya bisa berbicara,
tak ada hal penting yang bisa dikatakannya pada kita. Ah, aneh sekali."
"Apanya yang aneh?"
"Kau berkata tentang orang meninggal yang berbicara, dan pada saat yang
bersamaan, aku membuka surat ini."
Dilemparkannya surat itu padaku. Surat itu dari Mrs. Buckley.
Rumah Pendeta Langley. M. Poirot yang baik, Sekembalinya saya dari sini, saya menerima surat dari anak saya yang malang itu
pada saat ia tiba di St. Loo. Saya rasa tak ada yang menarik bagi Anda dalam
surat itu. Tapi saya pikir lagi, mungkin Anda ingin membacanya.
Saya mengucapkan terima kasih atas kebaikan Anda.
Hormat saya, Jean Buckley. Membaca surat yang terlampir, leherku serasa tercekat. Surat itu sangat biasa,
dan sama sekali tidak dipengaruhi oleh kecurigaan akan adanya suatu tragedi.
Ibu tercinta, Saya telah tiba dengan selamat. Perjalanannya menyenangkan sekali. Di sepanjang
perjalanan sampai ke Exeter, hanya ada dua orang penumpang lain dalam gerbong.


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di sini cuacanya bagus. Nick kelihatannya sehat dan ceria - mungkin agak gelisah.
Tapi saya tak mengerti mengapa ia sampai menelegram saya secepat itu. Padahal
hari Selasa pun sama saja.
Tak ada berita lain sekarang. Kami akan minum teh bersama beberapa orang
tetangga. Mereka orang-orang Australia, dan menyewa pondok di pekarangan End
House. Kata Nick, mereka baik, meskipun agak menjengkelkan.
Mrs. Rice dan Mr. Lazarus akan datang untuk menginap. Mr. Lazarus adalah seorang
pedagang barang-barang seni. Surat ini akan saya masukkan ke kotak pos di dekat
pintu pagar, nanti akan diambil oleh petugas pos. Besok saya akan menulis lagi.
Ananda yang mencintaimu, Maggie. N.B. Kata Nick, dia punya alasan mengapa dia sampai mengirim telegram. Dia akan
menceritakannya setelah minum teh nanti. Sikapnya aneh dan gugup sekali.
"Suara orang yang telah meninggal," kata Poirot dengan halus. "Tapi suara itu...
tidak menceritakan apa-apa pada kita."
"Kotak pos di dekat pintu pagar," kataku iseng. "Kata Croft, di situ pula dia
memasukkan surat wasiat itu."
"Ya, memang begitu katanya. Aku ingin tahu. Ya, ingin sekali aku tahu!"
"Tak adakah lagi yang menarik di antara surat-suratmu itu?"
"Tak ada, Hastings. Aku tak senang. Aku berada dalam kegelapan. Masih tetap
dalam gelap. Aku tak mengerti apa-apa."
Pada saat itu, telepon berdering. Poirot pergi ke tempat pesawat itu berada.
Segera kulihat perubahan pada wajahnya. Sikapnya jadi tegang sekali. Namun tak
luput pula dari penglihatanku, betapa berkobar perasaannya.
Jawaban-jawabannya sendiri dalam percakapan itu sama sekali tak berarti, hingga
aku tak tahu, tentang apa pembicaraan itu.
Akhirnya, setelah mengucapkan, "Banyak terima kasih," diletakkannya kembali alat
penerima telepon itu, lalu ia kembali ke tempat aku duduk. Matanya bersinar, dan
ia kelihatan senang sekali.
"Mon ami," katanya. "Apa kataku! Mulai ada kejadian-kejadian."
"Apa itu?" "M. Charles Vyse yang menelepon tadi. Dia memberitahukan bahwa pagi ini, melalui
pos, dia menerima surat wasiat yang telah ditandatangani oleh sepupunya, Miss
Buckley. Surat wasiat itu ditandatangani pada tanggal 25 Februari yang lalu."
"Apa" Surat wasiat yang itu?"
"Benar." "Sudah muncul sendiri?"
"Pada saat yang tepat, bukan?"
"Apakah menurutmu, benar apa yang dikatakannya itu?"
"Atau apakah kupikir surat wasiat itu memang sudah lama ada padanya" Begitukah
maksudmu" Yah, semuanya memang aneh. Tapi satu hal sudah pasti. Sudah kukatakan
padamu bahwa bila Mademoiselle Nick dianggap meninggal, kita akan mendapatkan
kemajuan-kemajuan, dan nyatanya memang begitu!"
"Luar biasa," kataku. "Kau benar. Kurasa itulah surat wasiat yang menjadikan
Frederica Rice pewaris yang tinggal, ya?"
"M. Vyse tidak berkata apa-apa tentang isi surat wasiat itu. Dia orang yang
sangat tahu aturan. Tapi sedikit sekali alasan untuk meragukan bahwa memang
surat wasiat itulah yang dimaksud. Katanya surat wasiat itu disaksikan oleh
Ellen Wilson dan suaminya."
"Jadi kita kembali pada persoalan semula," kataku. "Frederica Rice."
"Yang merupakan teka-teki itu!"
"Frederica Rice," gumamku sambil lalu. "Sebuah nama yang bagus."
"Lebih bagus daripada panggilan teman-temannya, 'Freddie'," kata Poirot dengan
wajah mengejek. "Itu tak bagus - bagi seorang wanita muda."
"Memang tak banyak singkatan untuk Frederica," kataku. "Tidak seperti Margaret
yang ada enam macam singkatannya, seperti Maggie, Margot, Madge, Peggie..."
"Benar juga. Nah, Hastings, apa kau lebih senang sekarang, karena sudah ada yang
terjadi?" "Ya, tentu. Coba katakan terus terang, apakah kau memang sudah menduga bahwa hal
ini akan terjadi?" "Tidak, sebenarnya tidak. Aku tidak merumuskan apa-apa secara khusus. Aku hanya
berkeyakinan bahwa kalau ada akibatnya, penyebab dari akibat itu akan
bermunculan." "Ya," kataku dengan rasa hormat.
"Apa yang akan kukatakan tadi, saat telepon itu berdering, ya?" renung Poirot.
"Oh, ya! Surat dari Mademoiselle Maggie itu. Aku ingin melihatnya sekali lagi.
Rasanya ada sesuatu yang aneh di dalam surat itu."
Kupungut lagi surat itu dari tempat aku melemparkannya tadi, lalu kuberikan
padanya. Poirot membacanya sekali lagi. Aku berjalan hilir-mudik dalam kamar itu. Aku
memandang ke luar jendela, dan memperhatikan kapal-kapal pesiar melaju di teluk.
Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suatu pekikan. Aku berbalik.
Poirot sedang memegang kepalanya dan mengayun-ayunkan tubuhnya kian-kemari.
Kelihatannya ia seperti sedang tersiksa oleh suatu kesedihan.
"Aduh!" geramnya. "Aku buta sekali - buta."
"Ada apa?" "Rumit kataku" Berbelit" Mais non.* (*Sama sekali tidak.) Justru sangat
sederhana - bukan main. Dan tololnya aku! Aku tak melihat apa-apa - tak menampak
apa-apa." "Demi Tuhan, Poirot, cahaya apakah yang tiba-tiba telah menerangimu?"
"Tunggu! Tunggu! Jangan bicara. Aku harus mengatur pikiranku. Harus kuatur
kembali dalam penerangan penemuan baru yang luar biasa ini."
Diambilnya kembali daftar pertanyaannya, lalu dibacanya pertanyaan-pertanyaan
itu sekali lagi, tanpa bersuara. Hanya bibirnya saja yang sibuk bergerak.
Sekali-dua kali ia mengangguk kuat-kuat.
Lalu diletakkannya kembali daftar itu, kemudian ditutupnya matanya sambil
bersandar di kursinya. Akhirnya kusangka ia tertidur.
Tiba-tiba ia mendesah, lalu membuka matanya.
"Tentu saja!" katanya. "Semuanya cocok! Semuanya yang telah membuatku bingung.
Semuanya yang seolah-olah tak wajar di mataku. Semua itu ada tempatnya."
"Maksudmu... kau tahu semuanya?"
"Hampir semuanya. Semua yang ada manfaatnya. Dalam beberapa hal, kesimpulan-
kesimpulanku benar. Dalam hal-hal lain, jauh sekali dari kebenaran. Tapi
sekarang semuanya jelas. Hari ini aku akan mengirim telegram, untuk menanyakan
dua hal, tapi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu aku sudah tahu - sudah ada di
sini!" katanya sambil mengetuk dahinya.
"Dan bila kauterima jawaban-jawabannya?" tanyaku ingin tahu.
Ia melompat berdiri. "Sahabatku, ingatkah kau Mademoiselle Nick berkata bahwa dia ingin mementaskan
suatu sandiwara di End House" Malam ini akan kita pentaskan sandiwara itu di End
House. Tapi Hercule Poirot yang akan menjadi produsernya. Mademoiselle Nick akan
memainkan suatu peran dalam sandiwara itu. Dalam sandiwara itu, akan ada
hantunya. Ya, hantu. Orang tak pernah melihat hantu di End House. Malam ini
orang akan melihatnya. Tidak," katanya, waktu aku mencoba bertanya. "Aku tidak
akan mengatakan apa-apa lagi. Malam ini, Hastings, kita akan mementaskan kisah
komedi kita, sekalian menampilkan kebenaran. Tapi sekarang banyak yang harus
kita lakukan - kerja kita banyak."
Ia keluar dari kamar dengan terburu-buru.
19 POIROT MEMENTASKAN SUATU SANDIWARA
Di End House, malam itu, diadakan suam pertemuan yang terdiri atas sekumpulan
orang yang semuanya ingin tahu.
Sepanjang hari itu aku hampir tak bertemu dengan Poirot. Ia pergi keluar untuk
makan malam, tapi ia meninggalkan pesan bahwa jam sembilan malam aku sudah harus
berada di End House. Ditambahkannya bahwa aku tak perlu mengenakan pakaian malam
resmi. Seluruh peristiwa itu seperti sebuah mimpi yang agak lucu.
Begitu tiba, aku dipersilakan masuk ke ruang makan. Dan waktu aku menatap ke
sekelilingku, kulihat bahwa semua orang yang namanya tercantum dalam daftar
Poirot, dari A sampai I, hadir. (J sudah disingkirkan, karena kedudukannya,
seperti yang dikatakan Mrs. Harris, "Mana ada orang seperti itu.")
Bahkan Mrs. Croft pun hadir. Ia duduk di kursi khusus untuk orang cacat. Ia
tersenyum dan mengangguk padaku.
"Ini suatu kejutan, bukan?" katanya dengan ceria. "Saya akui bahwa ini merupakan
suatu perubahan bagi saya. Saya rasa, saya memang harus mencoba keluar sekali-
sekali. Semua ini gagasan M. Poirot. Mari duduk di dekat saya, Kapten Hastings.
Entah karena apa, saya merasa urusan ini mengerikan, tapi Mr. Vyse telah
berusaha keras." "Mr. Vyse?" tanyaku agak terkejut.
Charles Vyse sedang berdiri di dekat para-para perapian. Poirot berdiri di
sebelahnya, bercakap-cakap serius dengannya, dengan berbisik.
Aku melihat ke seputar ruangan. Ya, mereka semua ada di situ. Setelah
mempersilakan aku masuk (aku terlambat satu atau dua menit), Ellen lalu duduk di
sebuah kursi di dekat pintu. Suaminya duduk di kursi lain dengan kaku dan tegak
sekali, dan napasnya mendengus. Alfred, anak mereka, menggeliat dengan gelisah
di antara ayah-ibunya. Yang lain-lain duduk mengelilingi meja makan. Frederica yang mengenakan baju
hitamnya, Lazarus di sampingnya, George Challenger dan Croft di seberang meja.
Aku duduk agak jauh dari meja makan, di dekat Mrs. Croft. Dan sekarang, setelah
mengangguk untuk terakhir kalinya, Charles Vyse mengambil tempat di kepala meja,
sedangkan Poirot diam-diam menyelinap ke sebuah kursi di sebelah Lazarus.
Jelas kelihatan bahwa sang produser, sebagaimana Poirot menamakan dirinya, tak
punya keinginan untuk memainkan peran penting dalam sandiwara itu. Agaknya
Charles Vyse-lah yang bertugas memimpin sandiwara itu. Aku ingin tahu, kejutan-
kejutan apa yang akan dibuat Poirot.
Pengacara muda itu meneguk air ludahnya, lalu berdiri. Penampilannya sama
seperti biasa, datar, resmi, dan tanpa emosi.
"Pertemuan kita malam ini tidak konvensional," katanya. "Tapi keadaannya memang
tak biasa. Maksud saya, keadaan sehubungan dengan kematian sepupu saya, Miss
Buckley. Autopsi pasti akan diadakan. Agaknya tidak diragukan lagi bahwa dia
meninggal karena racun, dan bahwa racun itu dibubuhkan dengan niat untuk
membunuh. Itu urusan polisi, dan saya tak perlu membahasnya lebih jauh. Polisi
pasti tak ingin saya berbuat demikian.
"Dalam keadaan biasa, surat wasiat dari seseorang yang meninggal dibacakan
setelah pemakaman. Tapi, atas permintaan khusus dari M. Poirot, saya akan
membacakannya di sini sekarang. Itulah sebabnya semua orang diminta datang
kemari. Seperti saya katakan tadi, keadaannya luar biasa. Oleh karenanya kita
boleh menyimpang dari kebiasaan yang lazim.
"Surat wasiat itu sendiri tiba di tangan saya dengan cara tak wajar. Sebab surat
itu baru saya terima melalui pos tadi pagi, padahal surat wasiat itu bertanggal
bulan Februari yang lalu. Tapi tak diragukan lagi bahwa itu adalah tulisan
tangan sepupu saya - saya tak ragu mengenai hal itu. Dan meskipun itu merupakan
dokumen tak resmi, surat wasiat itu telah diberi kesaksian sebagaimana
mestinya." Ia berhenti sebentar dan berdehem sekali lagi.
Semua mata tertuju padanya.
Dari sebuah amplop panjang ia mengeluarkan sehelai kertas. Kami lihat itu hanya
kertas tulis biasa khusus End House.
"Surat wasiat ini singkat sekali," kata Vyse. Ia berhenti sebentar, lalu mulai
membaca, "Ini merupakan surat wasiat dan testamen terakhir dari Magdala Buckley. Saya
minta supaya semua biaya penguburan saya dibayarkan, dan saya menunjuk sepupu
saya, Charles Vyse, sebagai pelaksana warisan saya. Segala sesuatu yang saya
miliki pada saat meninggal, saya wariskan pada Mildred Croft, sebagai pernyataan
terima kasih saya atas jasa-jasa yang telah diberikannya kepada ayah saya,
Philip Buckley. Jasa-jasanya itu tak dapat dibayar dengan apa pun juga.
Ditandatangani: Magdala Buckley.
Saksi-saksi: Ellen Wilson - William Wilson"
Aku terpana! Dan kurasa begitu pula semua orang. Hanya Mrs. Croft yang
mengangguk dengan penuh pengertian.
"Itu memang benar," katanya dengan tenang. "Bukan karena saya ingin menonjol-
nonjolkan hal itu. Philip Buckley memang pernah berada di Australia, dan kalau
bukan karena saya - ah, saya tak mau bercerita lebih lanjut mengenai hal itu.
Selama ini hal itu merupakan rahasia, dan sebaiknya tetap menjadi rahasia. Tapi
gadis itu tahu. Ya, Nick tahu. Pasti ayahnya telah menceritakannya padanya. Kami
datang kemari karena ingin melihat tempat ini. Sudah lama saya ingin tahu
tentang End House yang telah diceritakan oleh Philip Buckley. Dan gadis yang
baik hati itu tahu semua tentang urusan tersebut, lalu dia mau melakukan apa
saja untuk kami. Dimintanya kami datang dan tinggal bersamanya di End House.
Tapi kami menolak. Jadi didesaknya kami supaya mau tinggal di rumah bedeng itu,
dan dia tak mau menerima uang sewa barang satu penny pun. Tentu kami berpura-
pura membayarnya, agar tidak menimbulkan gunjingan, tapi uang itu kemudian
dikembalikannya pada kami. Dan sekarang, ini lagi! Nah, kalau ada orang yang
mengatakan bahwa di dunia ini tak ada lagi rasa terima kasih, saya yang akan
mengatakan pada mereka bahwa mereka kelim! Inilah buktinya!"
Keadaan masih hening dan diliputi kebingungan. Poirot melihat ke arah Vyse.
"Apakah Anda tahu hal itu?"
Vyse menggeleng. "Saya tahu bahwa Philip Buckley memang pernah berada di Australia. Tapi saya tak
pernah mendengar desas-desus tentang suatu skandal atau semacamnya di sana."
Vyse menoleh pada Mrs. Croft dengan pandangan bertanya.
Wanita itu menggeleng. "Tidak. Saya takkan mengucapkan sepatah kata pun pada Anda. Selama ini saya tak
pernah mengatakan apa-apa, dan saya takkan pernah melakukannya. Rahasia itu akan
saya bawa ke kubur bersama saya."
Vyse tidak berkata apa-apa. Ia duduk diam-diam, sambil mengetuk-ngetukkan pensil
di meja. "M. Vyse," - Poirot mencondongkan tubuhnya ke depan - "saya rasa, sebagai
keluarga terdekat, Anda bisa menggugat surat wasiat itu. Kalau tak salah,
kekayaan yang dipertaruhkan sekarang ini besar sekali jumlahnya. Padahal waktu
surat wasiat itu dibuat, tidak demikian halnya."
Vyse melihat padanya dengan pandangan dingin.
"Surat wasiat itu benar-benar sah. Saya sama sekali tak berniat menggugat
penyerahan kekayaan sepupu saya."
"Anda seorang pria jujur," kata Mrs. Croft memuji, "dan saya akan berusaha agar
Anda tidak dirugikan gara-gara sifat yang baik itu."
Charles agak terkejut mendengar pernyataan yang mengandung niat baik namun agak
memalukan itu. "Ah, Mama," kata Mr. Croft dengan nada girang yang tak dapat disembunyikannya.
"Ini suatu kejutan! Nick tidak mengatakan padaku bagaimana dia akan mewariskan
kekayaannya." "Gadis manis yang baik itu," gumam Mrs. Croft sambil menekankan saputangan ke
matanya. "Saya harap dia bisa melihat kita sekarang, dari atas sana. Mungkin dia
bisa melihat. Siapa tahu?"
"Mungkin bisa," kata Poirot membenarkan.
Tiba-tiba ia seperti mendapatkan suatu ilham. Ia memandang berkeliling.
"Ini gagasan saya! Kita semua duduk mengelilingi meja. Mari kita memanggil roh
orang yang sudah meninggal itu."
"Memanggil roh orang yang sudah meninggal?" tanya Mrs. Croft agak terkejut.
"Tapi untuk apa?"
"Ya, ya, itu akan menarik sekali. Hastings ini memiliki kekuatan batin untuk
menjadi perantara." (Mengapa aku yang ditunjuk, pikirku.) "Untuk menyampaikan
pesan dari dunia lain. Kesempatan ini lain dari yang lain! Saya rasa keadaannya
sekarang tepat sekali. Kau merasa begitu juga, bukan, Hastings?"
"Ya," kataku dengan nekat. Aku menyesuaikan diri dengan permainan.
"Bagus. Aku sudah tahu itu. Cepat padamkan lampu."
Sebentar kemudian ia sudah bangkit dan memadamkan lampu-lampu. Keadaan itu
dipaksakannya dengan cepat pada semua yang hadir, sebelum mereka sempat dan
punya kekuatan untuk protes. Meskipun mungkin keinginan untuk protes itu ada,
kurasa mereka masih bingung dan terkejut mendengar isi surat wasiat tadi.
Kamar itu tidak terlalu gelap. Tirai-tirai dibuka, juga jendela-jendela, karena
malam itu panas. Melalui jendela itu masuk cahaya samar-samar. Setelah kami
duduk dalam keheningan selama beberapa menit, aku mulai bisa membedakan garis-
garis bentuk perabot rumah tangga. Aku ingin sekali tahu, tindakan apa yang
seharusnya kulakukan. Dalam hati, aku mengutuki Poirot, karena tidak memberikan
instruksi sebelumnya. Tapi kupejamkan juga mataku, lalu aku bernapas dengan agak mendengkur.
Kemudian Poirot bangkit, berjalan berjingkat ke kursiku. Lalu ia kembali ke
kursinya dan berkata, "Ya, dia sudah mulai kemasukan. Sebentar lagi ada sesuatu
yang akan terjadi."

Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Duduk sambil menunggu dalam gelap selalu menimbulkan perasaan ngeri pada
seseorang. Kusadari bahwa aku sendiri telah menjadi korban saraf yang tegang,
dan aku yakin semua orang juga begitu. Tapi setidaknya aku sudah punya bayangan
apa yang akan terjadi. Aku tahu suatu kenyataan yang sangat penting, yang tak
diketahui siapa pun juga.
Meskipun demikian, jantungku serasa meloncat ke mulut, waktu kulihat pintu ruang
makan terbuka perlahan-lahan.
Pintu itu terbuka tanpa bersuara (mungkin telah diminyaki), hingga menimbulkan
kesan mengerikan. Berayun perlahan, dan selama beberapa menit, hanya itulah yang
terjadi. Dengan terbukanya pintu, embusan angin dingin memasuki ruangan. Kurasa
itu hanya embusan angin dari kebun, tapi rasanya begitu dingin, seperti biasa
disebutkan dalam kisah-kisah hantu yang pernah kubaca.
Lalu kami semua melihatnya! Di ambang pintu, berdiri suam sosok putih. Nick
Buckley.... Ia berjalan maju perlahan-lahan, tanpa suara, dengan semacam gerakan halus
mengambang, yang memberikan kesan sangat tidak manusiawi....
Waktu itu kusadari betapa hebatnya dia, sekiranya ia menjadi seorang aktris.
Nick memang ingin memainkan suatu peran di End House. Sekarang ia memainkannya,
dan aku yakin ia sangat menikmatinya. Ia memainkan perannya dengan sempurna.
Ia seperti mengapung, maju terus ke dalam ruangan, dan keheningan pun pecah.
Terdengar pekik tercekat dari kursi roda di sebelahku. Dari Mr. Croft terdengar
suara seperti orang berkumur. Karena terkejut, suatu umpatan terlompat dari
mulut Challenger, Charles Vyse mendorong kursinya ke belakang, sedangkan Lazarus
mencondongkan tubuhnya ke depan. Hanya Frederica yang tak bersuara dan tak
bergerak. Kemudian suatu teriakan membelah ruangan itu. Ellen terlompat dari kursinya.
"Itu dia!" pekiknya. "Dia kembali. Dia berjalan! Orang-orang yang mati dibunuh
memang selalu berjalan. Itu dia! Itu dia!"
Lalu terdengar bunyi "klik", dan lampu pun menyala.
Kulihat Poirot berdiri di dekat sakelar lampu. Di wajahnya terbayang senyum
senang. Nick berdiri di tengah-tengah ruangan, mengenakan pakaian putih yang
banyak kerutnya. Frederica-lah yang pertama-tama berbicara. Dengan sikap tak yakin diulurkannya
tangannya, lalu disentuhnya sahabatnya itu.
"Nick," katanya. "Kau... kau masih hidup!"
Suaranya hanya merupakan suatu bisikan.
Nick tertawa dan berjalan terus.
"Ya," katanya. "Aku masih hidup. Terima kasih banyak atas apa yang telah Anda
lakukan terhadap ayah saya, Mrs. Croft. Tapi sayang, Anda belum bisa menikmati
manfaat dari surat wasiat itu."
"Ya Tuhanku," seru Mrs. Croft dengan terengah. "Ya Tuhanku." Ia bergerak-gerak
gelisah di kursinya. "Bawa aku pergi, Bert. Bawa aku pergi. Yang kukatakan tadi
hanya lelucon belaka, Sayang. Semuanya hanya lelucon. Sungguh."
"Suatu lelucon yang aneh," kata Nick.
Pintu terbuka lagi, dan seorang pria masuk perlahan-lahan sekali, hingga aku tak
mendengarnya. Aku terkejut, karena ternyata ia adalah Japp. Ia dan Poirot saling
mengangguk dengan singkat, dan kelihatannya ia merasa puas akan sesuatu. Lalu
wajahnya tiba-tiba berseri, dan ia maju selangkah ke arah sosok yang menggeliat-
geliat di kursi roda. "Wah. Halo... halo," katanya. "Apa ini" Teman lama! Milly Merton rupanya! Dan
kelihatannya tetap dengan tipu muslihatnya yang lama."
Ia berbalik, lalu memberikan penjelasan pada kumpulan orang-orang itu, tanpa
mempedulikan pekik jerit bantahan dari Mrs. Croft.
"Milly Merton adalah seorang pemalsu terpandai yang tak ada duanya. Kami tahu
mereka mengalami kecelakaan mobil, waktu sedang dalam perjalanan untuk melarikan
diri. Tapi lihatlah! Cedera pada pinggulnya pun tidak menghalangi Milly dalam
usaha tipu dayanya. Dia seorang aktris hebat!"
"Apakah surat wasiat itu palsu?" tanya Vyse.
Suaranya mengandung nada heran.
"Tentu saja itu palsu," kata Nick mencemooh. "Kaupikir aku mau membuat surat
wasiat yang sebodoh itu bunyinya" End House kuwariskan padamu, Charles, dan sisa
kekayaanku semua pada Freddie."
Sambil berbicara, ia berjalan ke seberang, lalu berdiri di dekat sahabatnya itu.
Dan pada saat itu terjadilah sesuatu!
Suatu kilatan api tampak menembus jendela, terdengar desing peluru, yang disusul
suara letusan lagi. Lalu terdengar suara orang mengerang dan seseorang jatuh di
luar.... Frederica melompat berdiri dengan darah mengalir di lengannya....
20 J KEJADIAN itu demikian mendadak, hingga sesaat lamanya tak seorang pun tahu apa
yang telah terjadi. Lalu, sambil menjerit hebat, Poirot berlari ke pintu. Challenger menyusulnya.
Sebentar kemudian, mereka muncul kembali sambil membawa tubuh seorang pria yang
tak berdaya. Setelah mereka meletakkan tubuh itu dengan hati-hati di sebuah sofa
kulit yang besar, hingga wajahnya bisa dilihat, akulah yang terpekik. "Wajah
itu... wajah yang di jendela waktu itu!"
Dialah orang yang kulihat mengintip kami melalui kaca jendela, kemarin malam.
Aku segera mengenalinya. Kusadari pula bahwa waktu kukatakan wajahnya hampir
tidak seperti wajah manusia, aku telah melebih-lebihkan, seperti tuduhan Poirot
waktu itu. Tapi memang ada sesuatu di wajah itu yang membenarkan kesanku. Wajah itu gelap -
wajah seseorang yang tak memiliki sifat-sifat manusia.
Wajah itu pucat, lemah, dan hampa, seolah-olah roh di dalamnya sudah lama
hilang. Di sisi wajah itu mengalir darah.
Frederica perlahan-lahan berjalan maju, sampai tiba di dekat sofa itu.
Poirot menahannya. "Anda luka, Madame?"
Wanita itu menggeleng. "Peluru itu hanya menyerempet bahu saya. Tak apa-apa."
Frederica mendorong Poirot ke samping dengan halus, lalu membungkuk.
Mata laki-laki itu terbuka, dan dilihatnya Frederica menunduk memandanginya.
"Mudah-mudahan kau puas kali ini," kata laki-laki itu dengan suara rendah yang
bernada jahat. Lalu tiba-tiba suara itu berubah menjadi seperti suara anak
kecil, "Oh, Freddie! Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku tidak bermaksud jahat.
Kau selalu baik padaku...."
"Tak apa-apa." Frederica berlutut di sampingnya.
"Aku tak bermaksud..."
Kepala laki-laki itu terkulai. Kalimat itu tak pernah terselesaikan.
Frederica mendongak, melihat pada Poirot.
"Ya, Madame, dia sudah meninggal," kata Poirot dengan halus.
Frederica bangkit perlahan-lahan, sambil tetap menunduk memandangi laki-laki
itu. Disentuhnya dahi laki-laki itu dengan rasa iba di wajahnya.
Akhirnya ia mendesah, lalu berbalik menghadapi kami semua.
"Dia bekas suamiku," katanya tenang.
"J," gumamku. Poirot mendengar, lalu mengangguk singkat, membenarkan.
"Ya," katanya berbisik. "Aku memang sudah merasa bahwa ada seorang J. Sejak
semula sudah kukatakan, bukan?"
"Dia bekas suamiku," kata Frederica lagi. Suaranya terdengar letih sekali. Ia
duduk di kursi yang dibawakan Lazarus untuknya. "Sekarang, sebaiknya kuceritakan
saja segala-galanya pada kalian.
"Dia... sudah benar-benar hancur. Dia seorang pecandu berat obat-obat terlarang.
Aku diajarinya untuk menggunakan obat-obatan itu. Tapi sejak aku
meninggalkannya, aku telah berjuang untuk melawan kebiasaan itu. Kurasa - akhirnya
- aku hampir sembuh. Meskipun itu... sulit sekali. Oh! Betapa sulitnya. Tak
seorang pun tahu betapa sulitnya!
"Tapi aku tak pernah lolos dari dia. Sekali-sekali dia tiba-tiba, dan menuntut
uang dariku - dengan ancaman. Semacam pemerasan. Bila aku tidak memberinya uang,
dia akan menembak dirinya, katanya. Begitu selalu ancamannya. Kemudian dia mulai
mengancam akan menembakku pula. Dia tak punya rasa tanggung jawab. Dia gila -
sudah benar-benar gila. "Kurasa dialah yang menembak Maggie Buckley. Tentu dia tidak berniat menembak
Maggie. Dia pasti mengira Maggie adalah aku.
"Barangkali seharusnya itu kukatakan dulu-dulu. Tapi aku tak yakin. Lalu
kecelakaan aneh yang dialami Nick itu - aku jadi merasa bahwa bukan dia pelakunya.
Mungkin orang lain. "Dan kemudian - pada suatu hari - aku melihat tulisan tangannya pada secarik kertas
di meja M. Poirot. Itu merupakan bagian dari surat yang dikirimkannya padaku.
Aku lalu tahu bahwa M. Poirot sedang mencari jejak.
"Sejak itu aku merasa kita hanya tinggal menunggu saatnya saja....
"Tapi saya benar-benar tak mengerti mengenai coklat itu, M. Poirot. Tak mungkin
dia ingin meracuni Nick. Lagi pula saya tak melihat keterkaitannya dengan hal
ini. Saya telah mencoba dan mencoba untuk memecahkan teka-teki itu."
Ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya. Lalu dilepaskannya tangannya
itu, dan dengan suara aneh yang menimbulkan belas kasihan ia berkata,
"Sekian saja...."
21 ADA PULA... K LAZARUS cepat-cepat menghampirinya.
"Sayangku," katanya. "Sudahlah."
Poirot berjalan menuju bufet. Dituangnya segelas anggur, lalu diberikannya pada
Frederica. Ia tetap berdiri di sampingnya, sementara Frederica meminum anggur
itu. Frederica mengembalikan gelas yang sudah kosong padanya sambil tersenyum.
"Saya sudah tak apa-apa lagi," katanya. "Apa... apa yang sebaiknya kita lakukan
sekarang?" Ia menoleh pada Japp, tapi inspektur itu hanya menggeleng.
"Saya sedang berlibur, Mrs. Rice. Saya hanya membantu seorang sahabat lama - itu
saja yang saya lakukan sekarang. Kepolisian St. Loo yang bertugas menangani
perkara ini." Frederica menoleh pada Poirot lagi.
"Dan apakah M. Poirot bertugas di kepolisian St. Loo?"
"Ah! Pikiran macam apa itu, Madame! Saya hanya seorang penasihat yang tak
berarti." "M. Poirot," kata Nick, "tak bisakah kita mendiamkan saja perkara ini?"
"Anda menginginkan hai itu, Mademoiselle?"
"Ya. Bagaimanapun juga, sayalah orang yang paling bersangkutan. Dan sekarang
takkan ada serangan-serangan lagi atas diri saya."
"Ya, memang tidak. Takkan ada serangan-serangan lagi atas diri Anda."
"Anda memikirkan Maggie. Tapi, M. Poirot, tak ada yang bisa menghidupkan Maggie
kembali. Kalau Anda menyebarluaskan hal ini, Anda hanya akan membuat Freddie
menderita, dan dia akan banyak mendapat sorotan, padahal dia tak pantas
menanggung itu semua."
"Anda katakan dia tak pantas menanggung itu?"
"Tentu saja tidak! Sejak semula sudah saya katakan pada Anda bahwa suaminya
orang jahat yang bengis. Malam ini sudah Anda saksikan sendiri siapa dia. Nah,
dia sudah meninggal sekarang. Biarkanlah itu merupakan penutup dari segalanya.
Biarkanlah polisi yang meneruskan tugasnya mencari orang yang telah menembak
Maggie. Mereka pasti takkan bisa menemukannya. Pasti tidak."
"Jadi itu yang Anda inginkan, Mademoiselle" Mendiamkan saja semuanya ini?"
"Ya. Tolonglah. Oh! Tolonglah, M. Poirot yang baik."
Perlahan-lahan Poirot melihat ke sekelilingnya.
"Bagaimana pendapat Anda semua?"
Masing-masing orang berbicara.
"Aku setuju," kataku, waktu Poirot menoleh padaku.
"Saya juga," kata Lazarus.
"Itulah yang terbaik," kata Challenger.
"Sebaiknya kita lupakan saja segala-galanya yang telah terjadi dalam ruangan
ini, malam ini," Kata-kata itu diucapkan dengan mantap oleh Croft.
"Kau memang pantas berkata begitu," sela Japp.
"Jangan menghukum saya terlalu berat, Anak manis," kata istrinya, terisak pada
Nick. Nick tak menjawab. Ia hanya memandangi dengan mencemooh.
"Ellen?" "Saya dan suami saya tidak akan mengatakan apa-apa, Sir. Makin sedikit berkata-
kata, makin mudah penyelesaiannya."
"Dan Anda, M. Vyse?"
"Hal seperti ini tak bisa didiamkan saja," kata Charles Vyse. "Fakta-faktanya
harus dikemukakan sebagaimana mestinya."
"Charles!" seru Nick.
"Maaf, Sayang. Aku harus meninjaunya dari segi hukum yang sah."
Poirot tiba-tiba tertawa.
"Jadi Anda seorang diri lawan tujuh. Soalnya Japp yang baik bersikap netral."
"Aku sedang berlibur," kata Japp sambil tertawa. "Aku tak masuk hitungan."
"Tujuh lawan satu. Hanya M. Vyse yang bertahan - di pihak undang-undang dan
peraturan! Anda, M. Vyse, adalah orang yang berkepribadian!"
Vyse hanya mengangkat bahu.
"Keadaannya jelas sekali. Hanya ada satu hal yang harus dilakukan."
"Ya, Anda seorang pria yang jujur. Eh bien, saya sendiri berpihak pada golongan
yang kecil. Saya juga menginginkan kebenaran."
"M. Poirot!" pekik Nick.
"Mademoiselle, Anda telah menyeret saya ke dalam perkara ini. Saya terlibat atas
kehendak Anda. Sekarang Anda tak bisa membungkam saya."
Ia mengangkat jari telunjuknya dengan sikap mengancam, suatu isyarat yang sudah
kukenal betul. "Duduklah Anda semua, dan saya akan menceritakan... keadaan sebenarnya pada
Anda." Kami terdiam melihat sikapnya yang berwibawa. Dengan patuh, kami duduk dan semua
wajah berpaling serius ke arahnya.
"Ecoutez!* (*Dengarlah!) Saya memiliki sebuah daftar nama orang yang ada
hubungannya dengan kejahatan ini. Nama-nama itu telah saya beri nomor menurut
abjad, sampai huruf J. Huruf J adalah orang yang tak dikenal - yang terkait pada
kejahatan ini, melalui salah seorang yang lain. Semula saya tak tahu siapa J.
Baru malam ini saya tahu. Tapi selama ini saya sudah tahu bahwa orang itu ada.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi malam ini membuktikan bahwa saya benar.
"Tapi kemarin saya tiba-tiba menyadari bahwa saya telah membuat suatu kesalahan
besar. Saya telah melewatkan sesuatu. Jadi saya tambahkan sebuah huruf lagi pada
daftar saya. Huruf K."
"Lagi-lagi seseorang yang tak dikenal?" tanya Vyse dengan agak mengejek.
"Tidak juga. Saya telah menggunakan huruf J sebagai lambang untuk orang yang tak
dikenal. Kalau ada orang tak dikenal lagi, berarti saya harus menambah seorang J
lagi. Huruf K memberikan kejelasan lain. Huruf itu adalah untuk seseorang yang
seharusnya dicantumkan pada daftar semula, tapi terlupakan."
Ia membungkuk ke arah Frederica.
"Yakinlah, Madame, suami Anda tidak membunuh. Orang yang berlambang K itu yang
telah menembak Mademoiselle Maggie."
Frederica terbelalak. "Lalu siapa K itu?"
Poirot mengangguk ke arah Japp. Japp melangkah maju, lalu berbicara dengan nada
seperti dulu, saat ia harus memberikan kesaksian dalam pengadilan-pengadilan
polisi. "Saya bertindak berdasarkan informasi yang saya terima. Pada malam pesta kembang
api itu, sebelum hari larut benar, saya sudah berada di rumah ini. M. Poirot-lah
yang diam-diam membawa saya masuk. Saya bersembunyi di balik tirai, di dalam
ruang tamu utama. Waktu semua orang berkumpul di ruangan ini, seorang wanita
muda masuk ke ruang tamu utama itu, dan menyalakan lampu. Dia berjalan ke arah
perapian, lalu membuka sebuah tempat kecil yang tersembunyi pada kayu pelapis
dinding. Agaknya tempat itu bisa dibuka dan ditutup oleh semacam per. Dari
tempat itu dia mengeluarkan sebuah pistol. Dia keluar dari ruang tamu dengan
membawa pistol itu. Saya mengikutinya, dan melalui celah pintu yang saya buka
sedikit, saya bisa mengikuti gerak-geriknya selanjutnya. Para tamu telah
meninggalkan mantel dan syal mereka di lorong rumah waktu mereka tiba. Gadis itu
menggosok pistol itu dengan cermat dengan saputangannya, lalu memasukkannya ke
dalam mantel yang berwarna abu-abu, milik Mrs. Rice..."
Nick terpekik. "Bohong - semua itu bohong!"
Poirot menudingkan jarinya ke gadis itu.
"Voila!" katanya. "Itu dia orang yang berlambang huruf K. Mademoiselle Nick-lah


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang telah menembak saudara sepupunya, Maggie Buckley."
"Apa Anda sudah gila?" seru Nick. "Mengapa saya harus membunuh Maggie?"
"Untuk mewarisi uang yang sudah diwariskan Michael Seton kepadanya! Dia juga
bernama Magdala Buckley, dan dengan dialah Michael Seton bertunangan, bukan
dengan Anda." "Kau... kau..."
Nick berdiri dengan tubuh gemetar. Ia tak bisa lagi berbicara. Poirot berpaling
pada Japp. "Kau sudah menelepon polisi?"
"Sudah. Mereka sedang menunggu di lorong rumah sekarang. Mereka membawa perintah
penangkapan!" "Kalian semua gila!" seru Nick dengan suara mencemooh. Cepat-cepat ia berjalan
ke arah Frederica. "Freddie, berikan arlojimu padaku sebagai... sebagai tanda
mata. Ya?" Perlahan-lahan Frederica menanggalkan arlojinya yang bertatahkan permata dari
pergelangan tangannya, lalu diberikannya pada Nick.
"Terima kasih. Nah, sekarang kurasa kita harus menyudahi komedi gila-gilaan
ini." "Komedi yang telah Anda rencanakan sendiri untuk diproduksi di End House. Ya,
tapi seharusnya Anda tidak memberikan peran utama pada Hercule Poirot. Di
situlah kesalahan Anda, Mademoiselle - kesalahan Anda yang besar sekali."
22 AKHIR CERITA "ANDA semua ingin saya menjelaskan?"
Poirot melihat ke sekelilingnya dengan tersenyum puas dan sikap pura-pura
merendah yang sudah begitu kukenal.
Kami telah pindah ke ruang tamu utama, dan jumlah kami sudah berkurang. Para
pembantu rumah tangga tahu diri, lalu menarik diri, sedangkan suami-istri Croft
telah diminta untuk ikut polisi. Yang tinggal adalah Frederica, Lazarus,
Challenger, Vyse, dan aku sendiri.
"Eh bien, harus saya akui, saya telah dibodohi. Benar-benar dibodohi habis-
habisan. Si kecil Nick telah berhasil menempatkan diri saya di tempat yang
diinginkannya, seperti kata peribahasa Anda. Nah, Madame, waktu Anda mengatakan
bahwa sahabat kecil Anda itu adalah seorang pembohong yang lihai Anda benar
sekali! Benar sekali!"
"Nick memang selalu berbohong," kata Frederica dengan tenang. "Sebab itu saya
tak begitu percaya akan kisah-kisahnya mengenai luputnya dia dari kematian-
kematian itu." "Sedangkan saya percaya. Tolol sekali saya!"
"Apakah semuanya itu sebenarnya tidak terjadi?" tanyaku. Harus kuakui bahwa aku
masih bingung sekali. "Semua itu hanya karangannya saja untuk memberikan kesan yang tepat. Pandai
sekali dia." "Kesan apa itu?"
"Kisah-kisahnya memberikan kesan seolah-olah nyawa Mademoiselle Nick sedang
terancam bahaya. Tapi saya akan mulai dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Akan saya ceritakan kejadian-kejadian itu sebagaimana yang telah saya susun
sendiri tidak sebagaimana yang telah dikisahkan pada saya secara sekilas, hingga
tak sempurna. "Pada awal peristiwa ini, adalah seorang gadis bernama Nick Buckley. Dia masih
muda, cantik, licik, dan sangat mencintai rumahnya."
Charles Vyse mengangguk. "Sudah saya katakan itu pada Anda."
"Dan Anda benar. Mademoiselle Nick mencintai End House. Tapi dia tak punya uang.
Rumah itu digadaikan. Dia memerlukan uang - sangat memerlukannya - dan dia tak bisa
mendapatkannya. Lalu dia bertemu dengan anak muda Seton itu di Le Touquet. Anak
muda itu tertarik padanya. Gadis itu tahu bahwa besar kemungkinan pemuda itu
adalah pewaris dari pamannya. Padahal pamannya itu memiliki harta kekayaan yang
bernilai jutaan pound. Bagus, pikirnya, bintangnya akan naik. Tapi pemuda itu
tidak sungguh-sungguh mencintainya. Dia hanya menganggap Nick sebagai teman yang
menyenangkan untuk berhura-hura. Tak lebih dari itu. Mereka bertemu lagi di
Scarborough. Seton mengajak Nick terbang dengan pesawatnya. Tapi di situ pula
malapetaka itu terjadi. Anak muda itu bertemu dengan Maggie, dan jatuh cinta
pada gadis itu pada pandangan pertama.
"Mademoiselle Nick terkejut sekali. Soalnya sepupunya itu tak bisa disebut
cantik! Tapi agaknya bagi Seton gadis itu 'lain'. Dialah satu-satunya gadis di
dunia ini baginya. Mereka lalu diam-diam bertunangan. Hanya satu orang yang tahu
- yang harus tahu. Orang itu adalah Mademoiselle Nick. Kasihan Maggie. Dia bahkan
merasa senang karena ada orang yang bisa diajaknya bicara tentang hal itu. Dia
pasti juga telah membacakan sebagian surat-surat tunangannya pada sepupunya itu.
Dengan demikian, Mademoiselle Nick jadi tahu tentang surat wasiat itu. Pada
waktu itu, dia tidak memperhatikan surat tersebut, tapi hal itu melekat terus
dalam ingatannya. "Kemudian, tanpa diduga, Sir Matthew Seton meninggal mendadak, dan tak lama
kemudian disusul oleh desas-desus tentang hilangnya Michael Seton. Langsung saja
suam rencana gila-gilaan muncul di kepala gadis itu. Seton tak tahu bahwa nama
Nick juga Magdala. Surat wasiatnya memang tak resmi - di situ hanya disebutkan
sebuah nama. Tapi di mata dunia, Seton berteman dekat dengan Nick! Dengan Nick-
lah namanya dikaitkan orang. Jadi, kalau Nick mengaku bahwa dia bertunangan
dengan Seton, tak seorang pun akan heran. Tapi dia harus melenyapkan Maggie,
supaya rencananya berhasil.
"Waktunya singkat. Diaturnya supaya Maggie bisa diundangnya untuk datang
menginap selama beberapa hari. Lalu diaturnya pula peristiwa-peristiwa luputnya
dia dari kematian. Tali penggantung lukisan sengaja dipotongnya. Rem mobilnya
dirusaknya sendiri. Lalu batu besar - itu mungkin merupakan peristiwa alami, tapi
dia mengaku seolah-olah sedang berada di jalan setapak di bawahnya waktu itu.
"Lalu dilihatnya nama saya di surat kabar. - Sudah kukatakan padamu, Hastings,
bahwa semua orang mengenal Poirot! - Dan dia pun mencoba menjadikan saya
komplotannya. Berani benar dia!
"Peluru yang menembus topinya dan jatuh di kaki saya! Bukan main! Lucu sekali
komedi itu. Saya pun terperangkap! Saya percaya bahwa bahaya sedang
mengancamnya! Bon! Pikirnya ada seorang saksi yang berarti di pihaknya. Saya
menyertainya dalam permainannya, dan saya suruh dia meminta datang seorang
sahabat. "Kesempatan itu dimanfaatkannya benar-benar, dan Maggie-lah yang dimintanya
datang, sehari lebih awal.
"Betapa mudahnya kejahatan itu sebenarnya. Ditinggalkannya kita di meja makan.
Setelah mendengar melalui radio bahwa Seton memang benar-benar telah meninggal,
dia mulai menjalankan rencananya. Dia masih punya banyak waktu untuk mengambil
surat-surat cinta Seton pada Maggie. Ditelitinya surat-surat itu, lalu
dipilihnya beberapa yang bisa dipakainya untuk mencapai tujuannya. Surat-surat
itu ditaruhnya di dalam kamarnya sendiri. Setelah itu, dia dan Maggie
meninggalkan tontonan kembang api untuk kembali ke rumah. Disuruhnya sepupunya
memakai syalnya. Lalu diam-diam disusulnya sepupunya itu dan ditembaknya. Cepat-
cepat dia kembali ke dalam rumah. Pistol disembunyikannya di dalam papan pelapis
dinding rahasia. Pikirnya tak seorang pun tahu tentang tempat persembunyian itu.
Lalu dia naik ke lantai atas. Di sana dia menunggu sampai ia mendengar suara-
suara. Mayat diketemukan. Itulah yang merupakan isyaratnya sendiri. Dia pun
bergegas turun dan keluar.
"Betapa pandainya dia memainkan perannya! Hebat sekali! Oh, ya, dia benar-benar
telah mementaskan sebuah drama di sini. Ellen, si pelayan, telah berkata bahwa
ada sesuatu yang jahat di rumah ini. Saya cenderung sependapat dengan dia.
Karena dari rumah inilah Mademoiselle mendapatkan ilhamnya."
"Tapi bagaimana dengan coklat beracun itu?" tanya Frederica. "Saya masih belum
mengerti." "Semua itu merupakan bagian dari rencana jahatnya. Tidakkah Anda mengerti bahwa
bila nyawa Nick masih terancam setelah kematian Maggie, berarti kematian Maggie
adalah suatu kekeliruan. "Waktu dia menganggap saatnya sudah matang, diteleponnya Madame Rice dan
dimintanya untuk membelikannya sekotak coklat."
"Jadi itu memang suaranya sendiri?"
"Tentu saja! Memang sering kali penjelasan yang paling sederhanalah yang paling
benar. Bukankah begitu" Dia sengaja mengubah suaranya agar terdengar lain - itu
saja, supaya Anda ragu-ragu bila ditanyai. Lalu tibalah kotak itu - lagi-lagi
sederhana sekali. Dibubuhinya tiga dari coklat itu dengan kokain. - Dia menyimpan
kokain yang disembunyikannya dengan cerdik sekali. - Dan dia pun keracunan, tapi
tidak terlalu parah. Dia tahu berapa banyak kokain yang harus dimakannya, dan
dia tahu betul gejala-gejala apa yang harus dilebih-lebihkannya.
"Lalu kartu itu - kartu ucapan saya! Ah! Sapristi* (*gila) - berani sekali dia!
Kartu itu memang kartu saya - kartu yang saya kirimkan bersama bunga. Sederhana,
bukan" Ya, semua itu harus dipikirkan...."
Keadaan hening beberapa lama, lalu Frederica bertanya, "Mengapa pistol itu
ditaruhnya di dalam saku mantel saya?"
"Sudah saya duga bahwa Anda akan menanyakan itu, Madame. Pada waktunya, hal itu
akan terpikir oleh Anda. Coba katakan, pernahkah terpikir oleh Anda bahwa
Mademoiselle Nick tidak lagi menyukai Anda" Pernahkah Anda merasa bahwa dia
bahkan... membenci Anda?"
"Sulit mengatakannya," kata Frederica lambat-lambat. "Kami sama-sama tidak
tulus. Dulu dia sayang pada saya."
"M. Lazarus, harap maklum bahwa sekarang bukan saatnya lagi untuk menyembunyikan
sesuatu, jadi harap Anda katakan, apakah ada sesuatu antara Anda dan
Mademoiselle Nick?" "Tidak," sahut Lazarus sambil menggeleng. "Pernah saya merasa tertarik padanya.
Lalu, entah mengapa, saya berpaling dari dia."
"Oh!" kata Poirot sambil mengangguk penuh pengertian. "Itulah tragedi hidupnya.
Dia menarik hati orang banyak, tapi mereka lalu 'berpaling dari dia'. Anda
bukannya makin lama makin menyayanginya, sebaliknya malah jatuh cinta pada
sahabatnya. Dia mulai membenci Madame yang punya teman pria kaya. Pada musim
salju yang lalu, waktu dia membuat surat wasiatnya itu, dia masih sayang pada
Madame. Kemudian keadaan berubah.
"Dia teringat akan surat wasiat itu. Dia tak tahu bahwa Croft telah menahannya,
bahwa surat wasiat itu tak pernah dikirimkan ke alamatnya. Madame punya motif
untuk menginginkan kematiannya - begitulah kata dunia kelak. Sebab itu, Madame-lah
yang diteleponnya dan dimintanya untuk membelikan coklat. Malam ini surat wasiat
itu akan dibacakan. Di situ tercantum bahwa Madame-lah yang akan mewarisi semua
kekayaannya yang tersisa, lalu pistol itu akan ditemukan pula di dalam saku
mantelnya - pistol yang telah digunakan untuk menembak Maggie Buckley. Bila Madame
menemukan pistol itu, Madame akan ketakutan, dan akan mencoba membuangnya."
"Begitu bencinya dia pada saya," gumam Frederica.
"Ya, Madame, soalnya Anda memiliki apa yang tak ada padanya - kemampuan untuk
mendapatkan cinta dan tetap memilikinya."
"Saya masih bingung," kata Challenger. "Saya belum begitu mengerti soal surat
wasiat itu." "Yah, itu soal lain lagi, meskipun amat sederhana juga. Suami-istri Croft sedang
menyembunyikan diri di sini. Pada suatu kali, Mademoiselle harus menjalani
pembedahan. Dia belum membuat surat wasiat. Suami-istri Croft melihat
kesempatan. Mereka membujuknya untuk membuat surat wasiat itu, dan
mengirimkannya melalui pos. Lalu, seandainya terjadi sesuatu atas diri
Mademoiselle Nick - bila dia meninggal - mereka akan membuat surat wasiat yang
telah mereka palsukan dengan baik sekali - di mana kekayaannya diwariskan pada
Mrs. Croft, dengan menyebutkan Australia. Di sana mereka pernah kenal pada
Philip Buckley yang pernah berkunjung ke sana.
"Tapi pembedahan usus buntu Mademoiselle Nick cukup memuaskan, hingga surat
wasiat tiruan itu tak berlaku. Maksud saya, untuk masa itu. Lalu mulailah
percobaan-percobaan pembunuhan atas diri gadis itu. Dan timbul lagi harapan
Croft suami-istri. Akhirnya saya pun mengumumkan kematiannya. Kesempatan itu
bagus sekali, mereka tak mau kehilangan kesempatan itu. Surat wasiat palsu itu
pun segera dikirimkan pada M. Vyse melalui pos. Asal mulanya tentu karena mereka
mengira gadis itu jauh lebih kaya daripada sebenarnya. Mereka tak tahu tentang
penggadaian itu." "Saya ingin sekali tahu, M. Poirot," sela Lazarus, "bagaimana Anda sampai tahu
semua itu. Kapan Anda mulai curiga?"
"Nah, di situ saya merasa malu. Lama sekali - terlalu lama saya baru tahu. Memang
ada beberapa hal yang membuat saya risau. Hal-hal yang kelihatannya tidak lurus.
Ada pertentangan-pertentangan antara apa yang diceritakan Mademoiselle Nick dan
apa yang diceritakan orang-orang lain. Malangnya, selalu Mademoiselle Nick-lah
yang saya percayai. "Lalu tiba-tiba ada sesuatu yang membuka mata saya. Mademoiselle Nick membuat
suatu kesalahan. Dia terlalu pandai. Waktu saya mendesaknya untuk meminta
seorang temannya datang, dia berjanji untuk melakukannya. Dia tidak mengatakan
bahwa dia sudah meminta Mademoiselle Maggie datang. Agaknya dia mengira hal itu
tidak terlalu mencurigakan - tapi itu salah.
"Soalnya, Maggie Buckley menulis surat pada ibunya, segera setelah dia tiba. Dan
di dalam surat itu ada kalimat yang membuat saya bertanya-tanya. 'Tapi saya tak
mengerti mengapa dia sampai menelegram saya seperti itu. Padahal hari Selasa pun
sama saja.' Apa maksudnya menyebutkan hari Selasa itu" Itu hanya berarti satu
hal. Yaitu bahwa Maggie memang sudah akan datang pada hari Selasa. Jadi, dalam
hal itu Mademoiselle telah menyembunyikan kebenaran.
"Dan saya pun mulai menilainya dengan pandangan lain. Saya mulai meragukan
pernyataan-pernyataannya. Saya tidak lagi mempercayainya. Saya malah berkata
sendiri, 'Bagaimana kalau yang dikatakannya itu tak benar"' Saya lalu ingat akan
pertentangan-pertentangan yang ada, dan bertanya, 'Bagaimana kalau selama ini
Mademoiselle Nick yang berbohong, dan bukan orang lain"'
"Lalu saya jawab sendiri pertanyaan itu, 'Biarlah kita bersikap sederhana saja.
Apa sebenarnya yang telah terjadi"'
"Kemudian saya lihat apa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Maggie Buckley
telah terbunuh. Hanya itu! Tapi siapa yang menginginkan Maggie meninggal"
"Lalu saya berpikir akan suatu hal lain lagi, yaitu beberapa pernyataan Hastings
yang saya anggap bodoh, kira-kira lima menit sebelumnya. Dia berkata bahwa
banyak cara untuk menyingkat nama Margaret, yaitu Maggie, Margot, dan
sebagainya, Lalu tiba-tiba saya jadi ingin tahu nama Mademoiselle Maggie yang
sebenarnya. "Lalu tiba-tiba saya mendapatkannya! Apakah tak mungkin nama sebenarnya Magdala"
Itu nama khas keluarga Buckley. Mademoiselle Nick pernah berkata begitu pada
saya. Jadi ada dua orang gadis yang bernama Magdala Buckley. Bagaimana kalau...
"Saya lalu mengingat-ingat kembali surat-surat Michael Seton yang telah saya
baca. Ya, ya, mungkin saja. Dalam surat-surat itu ada dituliskan tentang
Scarborough, dan Maggie pernah berada di Scarborough bersama Nick - itu dikatakan
oleh ibu Maggie pada saya.
"Dan hal itu menjelaskan satu hal yang menyusahkan hati saya. Mengapa sedikit
sekali surat-suratnya" Bila seorang gadis menyimpan surat-surat cintanya, semua
tentu disimpannya. Mengapa hanya menyimpan sedikit" Adakah keanehan-keanehan
dalam hal itu" "Lalu saya ingat lagi bahwa dalam surat-surat itu tak pernah disebutkan nama.
Semua pembukaan surat itu berbeda-beda, selalu dengan pernyataan kasih sayang.
Tak satu pun menyebutkan nama... Nick.
"Lalu ada satu hal lagi, sesuatu yang seharusnya segera terlihat oleh saya -
sesuatu yang amat jelas."
"Apa itu?" "Begini. Mademoiselle Nick telah menjalani operasi usus buntu pada tanggal 27
Februari yang lalu. Ada salah satu surat Michael Seton yang bertanggal 2 Maret.
Tapi dalam surat itu sama sekali tidak tercantum rasa khawatirnya tentang
penyakit itu, atau sesuatu yang tak biasa. Keadaan itu sebenarnya sudah bisa
menunjukkan pada saya bahwa surat-surat itu ditulis untuk orang lain.
"Lalu saya meneliti daftar pertanyaan yang telah saya buat sendiri. Dan saya
menjawabnya berdasarkan petunjuk dari gagasan baru saya.
"Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu ternyata sederhana dan meyakinkan,
kecuali untuk beberapa pertanyaan istimewa. Dan saya juga menjawab satu
pertanyaan yang telah saya pertanyakan sebelumnya. Mengapa Mademoiselle Nick
membeli baju hitam" Jawabnya adalah bahwa dia dan sepupunya harus mengenakan
baju sewarna, dengan syal berwarna merah sebagai aksesori. Itulah satu-satunya
jawaban yang benar dan meyakinkan, bukan jawaban lain. Masa seorang gadis
membeli pakaian berkabung sebelum dia tahu tunangannya meninggal! Dia jadi aneh
dan tak wajar di mata saya.
"Maka, pada gilirannya saya pun mementaskan drama kecil saya. Dan terjadilah apa
yang saya harapkan! Nick Buckley bersikap keras dalam membantah adanya pelapis
dinding rahasia. Dia menyatakan dengan yakin bahwa itu tak ada. Kalau ada, dia
tentu tahu tempat itu. Tapi saya tak mengerti mengapa Ellen harus mengada-ada.
Lalu mengapa Nick begitu keras membantahnya" Mungkinkah karena dia telah
menyembunyikan pistol itu di situ" Dengan niat tersembunyi untuk menggunakannya,


Hotel Majestic Peril At End House Karya Agatha Christie di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan kemudian melemparkan kecurigaan pada orang lain"
"Saya bayangkan padanya bahwa kelihatannya dakwaan terhadap Madame berat. Itulah
yang diinginkannya. Sebagaimana telah saya ramalkan, dia tak bisa menahan diri
untuk mengemukakan bukti terakhir. Sebab dengan demikian dia akan lebih aman.
Mungkin saja pelapis dinding rahasia itu kelak ditemukan oleh Ellen dengan
pistol di dalamnya! "Dia merasa aman karena kita semua berada di sini. Dia menunggu di luar untuk
melaksanakan langkah terakhir itu. Ketika menurutnya keadaan sudah benar-benar
aman, diambilnya pistol itu dari tempat persembunyiannya, dan dimasukkannya ke
saku mantel Madame. "Dan dengan demikian - akhirnya - dia pun gagal."
Frederica bergidik. "Bagaimanapun juga," katanya, "saya senang telah memberikan arloji saya
padanya." "Benar, Madame."
Frederica cepat mendongak, melihat pada Poirot.
"Anda juga tahu?"
"Bagaimana dengan Ellen?" tanyaku menyela. "Apakah dia tahu atau mencurigai
sesuatu?" "Tidak. Aku bertanya padanya. Dikatakannya bahwa dia memutuskan untuk tinggal di
dalam rumah malam itu, karena dia merasa 'akan terjadi sesuatu'. Agaknya Nick
terlalu keras mendesaknya untuk menonton kembang api. Dia telah meraba kebencian
Nick pada Madame. Dikatakannya bahwa dia telah merasa sesuatu akan terjadi, tapi
dikiranya hal itu akan terjadi pada diri Madame. Katanya pula, dia tahu sifat
penaik darah Mademoiselle Nick, dan bahwa majikannya yang muda itu gadis aneh."
"Ya," gumam Frederica. "Ya, biarlah kita kenang dia demikian. Seorang gadis yang
berperilaku aneh. Yang tak dapat mengekang dirinya. Yang jelas, saya sendiri
akan mengenangnya dengan cara demikian - apa pun yang terjadi."
Poirot mengambil tangan wanita itu, lalu mengecupnya.
Charles Vyse tampak gelisah.
"Urusan ini bisa tidak menyenangkan," katanya perlahan-lahan. "Saya rasa saya
harus berusaha membelanya."
"Saya rasa itu tak perlu," kata Poirot dengan halus. "Ya, itu tak perlu lagi,
kalau dugaan saya benar."
Tiba-tiba ia berpaling pada Challenger.
"Anda memasukkan obat terlarang itu ke situ, bukan?" katanya. "Maksud saya ke
dalam arloji-arloji tangan itu."
"Sa... saya...," kata pelaut itu tergagap, tak tahu harus menyahut apa.
"Tak usah mencoba menipu saya dengan sikap Anda yang baik dan ceria itu. Anda
bisa menipu Hastings, tapi saya tak bisa ditipu. Anda mendapatkan hasil banyak
dari situ - dari mengedarkan obat-obat terlarang itu. Demikian pula paman Anda di
Harley Street." "M. Poirot!" Challenger bangkit. Sahabatku yang kecil itu mendongak dan mengedipkan mata dengan tenang.
"Anda merupakan sahabat yang 'berguna'. Anda boleh membantah kalau mau. Tapi
saya nasihatkan supaya Anda pergi - bila Anda tak ingin kenyataan-kenyataan ini
sampai ke tangan polisi."
Dan alangkah herannya aku melihat Challenger benar-benar pergi. Secepat kilat ia
keluar dari kamar itu. Aku menatap punggungnya dengan mata terbelalak dan mulut
ternganga. Poirot tertawa. "Sudah kukatakan padamu, mon ami. Nalurimu selalu salah. Mengejutkan sekali,
bukan?" "Dalam arloji tangan itu... ada kokain!" kataku lagi.
"Ya, benar. Begitu mudahnya Mademoiselle Nick membawanya masuk ke Rumah
Perawatan. Dan karena persediaannya sudah habis dimakannya bersama coklat dulu,
sekarang dimintanya kepunyaan Madame yang masih penuh."
"Maksudmu dia selalu harus menggunakannya?"
"Tidak, bukan begitu. Mademoiselle Nick bukan seorang pecandu. Dia hanya
menggunakannya sekali-sekali, sekadar untuk bersenang-senang saja. Tapi malam
ini dia memerlukannya untuk tujuan lain. Kali ini dia akan meminumnya sampai
habis." "Maksudmu...?" sergahku.
"Itulah jalan terbaik. Lebih baik daripada mati di tiang gantungan. Tapi...
ssst! Kita tak boleh berkata begitu di hadapan M. Vyse yang begitu sadar hukum
dan peraturan itu. Resminya, aku tak tahu apa-apa mengenai isi arloji tangan
itu. Itu hanya dugaanku saja."
"Dugaan-dugaan Anda selalu benar, M. Poirot," kata Frederica.
"Saya harus pergi," kata Charles Vyse dengan sikap dingin yang mencela, sambil
berjalan keluar dari ruangan itu.
Poirot memandangi Frederica dan Lazarus bergantian.
"Anda berdua akan menikah, ya?"
"Secepatnya." "Sungguh, M. Poirot," kata Frederica, "saya bukan pecandu obat terlarang seperti
yang Anda kira. Saya sudah sangat menguranginya, hingga tinggal dosis yang kecil
sekali. Saya rasa sekarang - karena kebahagiaan sudah terbentang di hadapan saya -
saya tidak akan membutuhkan arloji tangan itu lagi."
"Saya doakan semoga Anda mendapatkan kebahagiaan, Madame," kata Poirot dengan
lembut. "Anda sudah banyak menderita. Meskipun demikian, Anda masih bisa menaruh
belas kasihan." "Saya akan melindunginya," kata Lazarus. "Perusahaan saya memang sedang dalam
kesulitan, tapi saya rasa saya dapat mengatasinya. Dan kalaupun tak bisa... yah,
saya percaya Frederica tidak keberatan hidup miskin - bersama saya."
Frederica menggeleng sambil tersenyum.
"Malam sudah larut," kata Poirot sambil melihat jam.
Kami semua bangkit. "Kita telah melewatkan malam yang aneh di dalam rumah yang aneh ini," sambung
Poirot. "Saya rasa memang benar apa kata Ellen, rumah ini memang rumah jahat."
Ia mendongak, melihat ke lukisan Sir Nicholas tua.
Lalu tiba-tiba ia menarik Lazarus menjauhi yang lain.
"Maafkan saya. Tapi, dari semua pertanyaan, masih ada satu yang belum terjawab.
Mengapa Anda mengatakan bersedia membeli lukisan itu dengan harga lima puluh
pound" Saya akan senang sekali kalau boleh tahu - supaya tak ada satu pun
pertanyaan saya yang tak terjawab. Anda tentu maklum, bukan?"
Lazarus menatapnya dengan pandangan kosong beberapa lama. Lalu ia tersenyum.
"Harap maklum, M. Poirot," katanya, "saya ini seorang pedagang."
"Benar." "Nilai lukisan itu sebenarnya tak lebih dari dua puluh pound. Saya tahu bahwa
kalau saya menyatakan ingin membelinya dengan harga lima puluh pound, Nick akan
segera curiga bahwa harganya lebih dari itu. Dan dia akan meminta harga lukisan
itu ditaksir di tempat lain. Dia akan mendengar bahwa harga penawaran saya jauh
lebih tinggi daripada nilai sebenarnya. Jadi, bila lain kali saya ingin membeli
lukisan lain lagi, dia tidak akan meminta orang lain menaksirnya lagi."
"Ya, lalu?" "Nah, lukisan yang ada di dinding di ujung sana itu nilainya sekurang-kurangnya
lima ribu pound," kata Lazarus dengan nada datar.
"Oh, begitu!" Poirot menarik napas panjang. "Sekarang saya tahu semuanya,"
katanya dengan rasa puas.
Scan & DJVU: k80 Konversi, Edit, Spell & Grammar Check:
clickers http://epublover.blogspot.com
http://facebook.com/epub.lover
(Pengeditan HANYA dengan metode pemeriksaan Spell & Grammar, bukan full-edited)
Romantika Sebilah Pedang 1 Raja Naga 19 Dewa Pengasih Warisan Laknat 1
^