Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 25

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 25


adik. Aku telah mendapat tempat khusus di hadapan Guru.
Latihan-latihan y ang terpisah serta ilmu yang lebih lengkap.
Itu saja. Sekarang kalian dapat membuktikan bahwa aku
memiliki itu semua," berkata Wantilan.
"Persetan dengan semuanya," jawab saudaranya y ang
tua, "kita membawa pesan Guru. Kau harus mati apapun
sebabnya. Karena itu, maka kami berdua sekarang siap
membunuhmu, karena kau tidak mati dengan sendirinya."
"Aku tidak tahu apa y ang kau katakan itu," jawab
Wantilan, "aku tahu ay ahku m emang bersalah. T etapi bukan
aku. Dan guru kita tidak pernah m enyebut-ny ebut kesalahan
ay ah itu kepadaku."
"Cukup," jawab saudara y ang tertua, "sekarang
bersiaplah untuk m ati. Aku tidak m empunyai banyak waktu
sekarang." Wantilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Kalian akan maju bersama-sama?"
"Ya," jawab saudara seperguruannya itu hampir
bersamaan. Wantilan t ertawa pendek. Katanya, " Baiklah. Kita akan
melihat, apa y ang akan terjadi. Latihan ini akan menjadi
semakin menarik bagiku."
"Cukup," geram yang tertua, "kau ternyata terlalu
sombong. Tetapi jangan meny esal, bahwa kami telah
menjalankan perintah Guru."
"Tentu tidak. Jika Guru ingin membunuhku, ia dapat
melakukannya sendiri. Tanpa kalian berdua. Kalian
melakukan hal ini tentu karena kalian merasa iri bahwa Guru
telah memberi aku lebih banyak dari kalian," sahut Wantilan.
Kedua saudara seperguruannya itu memang tidak sabar
lagi, keduanya segera bergerak memencar.
Wantilan pun telah bersiap sepenuhnya. Ia sadar, bahwa
melawan kedua orang saudara seperguruannya itu memang
terlalu berat. Tetapi ia akan mencobanya. Ia telah
mendapatkan beberapa petunjuk dari Gurunya meskipun
terpaksa dilakukan bagaimana ia melakukan unsur-unsur yang
benar. Dengan bekal wadagnya y ang selalu mendapat tekanan
karena kesalahan laku yang dijalaninya, maka ketika
kesalahan itu telah dibebaskan, tubuhnya memiliki daya tahan
jauh lebih besar dari saudara-saudara seperguruannya.
Tetapi melawan dua orang sekaligus, t entu akan t erasa
sangat berat. Sejenak kemudian, maka kedua orang saudara
seperguruannya itu pun telah mulai menyerang dari arah yang
berbeda. Mereka langsung mempergunakan tataran tertinggi
dari ilmu y ang t elah m ereka kuasai. Mereka masih berharap
bahwa Wantilan akan m engerahkan segenap kemampuannya
sehingga ilmunya akan membunuhnya dari dalam.
Wantilan memang telah mengerahkan segenap
kemampuannya pula untuk melawan kedua orang saudara
seperguruannya. Ia berusaha untuk dapat melawan mereka dari satu arah,
sehingga Wantilan telah m empergunakan sebagian waktunya
untuk berloncatan mengambil jarak dari kedua orang saudara
seperguruannya. Namun ia pun kadang-kadang telah
mengejutkan kedua orang saudara seperguruannya itu.
Kadang-kadang diluar dugaan, dengan unsur gerak yang tidak
dikenal oleh kedua orang saudara seperguruannya itu.
Dengan caranya itu, maka ternyata Wantilan masih
mampu mengatasi kedua orang saudara seperguruannya
meskipun mereka telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Beberapa saat lamanya mereka bertempur. Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memperhatikannya
dengan sungguh-sungguh, sementara Mahisa Amping pun
nampaknya menjadi tegang melihat pertempuran itu.
Dengan m empergunakan akalnya, bukan saja ilmu dan
kemampuannya, maka Wantilan mampu bertahan. Bahkan ia
mulai dapat meny entuh tubuh kedua orang saudara
seperguruannya itu berganti-ganti.
Kedua saudara seperguruannya itu pun menjadi sangat
marah. Mereka benar-benar menjadi curiga, bahwa guru
mereka telah berkata y ang tidak sebenarnya tentang Wantilan,
karena setelah m engerahkan segenap kemampuannya untuk
melawan kedua orang saudara seperguruannya itu, tubuhnya
sama sekali tidak terganggu oleh ilmunya. Bahkan m enurut
penglihatan kedua orang itu, maka unsur-unsur yang
dipergunakan oleh Wantilan sama sekali tidak ada yang salah
atau saling terbalik ungkapannya sehingga dapat
membahayakan diriny a. Wantilan yang seakan-akan dapat membaca isi hati
kedua orang saudara seperguruannya itu kemudian berkata,
"Apakah sebenarnya y ang telah dikatakan Guru kepada
kalian" Apakah benar kalian mendapat perintah untuk
membunuhku dengan cara y ang tidak sewajarnya atau apa?"
"Anak setan," geram saudara seperguruannya y ang
tua,"apa yang sebenarnya terjadi atas dirimu?"
"Tidak apa-apa," jawab Wantilan yang bahkan justru
bertanya, "Kenapa?"
"Seharusny a kau mati karena ilmu sendiri," geram
yangtua. "Beberapa kali kau mengatakannya. Apakah sebenarnya
artinya" Aku tidak mengerti. Mana ada orang yang sedang
bertempur mati karena i lmunya sendiri jika ia memang tidak
sedang membunuh diri?" Wantilan bertanya.
Kedua orang saudara seperguruannya itu menggeram.
Yang tertua ternyata tidak dapat m enahan diri dan berkata,
"Kau harus mati karena ilmumu m eskipun kau tidak berniat
untuk membunuh diri."
"Mana mungkin," jawab Wantilan.
"Mungkin sekali, karena Guru dengan sengaja telah
mengajarkan unsur-unsur gerak yang salah y ang akan dapat
menyerang bagian dalam tubuhmu sendiri," teriak saudara
seperguruannya yang muda.
"Tetapi sebagaimana kau lihat, unsur-unsur gerakku
benar. Tidak ada yang salah. Bagian dalam tubuhku pun masih
tetap tegar m eskipun aku harus m engerahkan kemampuanku
karena aku harus bertempur melawan saudara seperguruanku
berdua," jawab Wantilan.
"Tidak mungkin Guru berbohong," geram y ang tua.
"Apakah kau akan mengingkari keny ataan bahwa aku
tidak mati sekarang" Marilah. Kita akan membuktikan apakah
aku mati karena ilmuku. Atau kalian ingin melihat unsurunsur
gerak y ang aku kuasai?"
Diluar dugaan kedua orang saudara seperguruannya,
maka Wantilan telah memperagakan ilmunya, ia telah
memperlihatkan unsur-unsur gerak y ang semula memang
dengan sengaja dibuat tidak wajar oleh gurunya. Tatanan
geraknya yang terbalik dan memang dapat merusakkan bagian
dalam tubuhnya. Tetapi semuanya sudah dibenarkan,
sehingga tidak lagi mengganggunya.
Karena itu, maka kedua saudara seperguruannya
menjadi semakin curiga kepada Gurunya. Agaknya bukan
Wantilan y ang telah dibohonginya. Tetapi justru mereka
berdua dan murid-muridnya y ang lain, sementara Wantilan
telah mendapatkan ilmu yang lebih baik dari mereka.
Kemarahan mereka pun t ertuju pula kepada Gurunya.
Namun mereka telah berniat untuk membunuh Wantilan
apapun alasannya. Karena itu, maka y ang tua pun menggeram, "jangan
biarkan iblis ini tetap hidup."
Kedua orang saudara seperguruannya y ang untuk sesaat
bagaikan dicengkam oleh keheranan sehingga mereka ju stru
berdiri mematung, tiba -tiba telah meloncat dan meny erang
lagi bersama-sama dengan puncak kemampuan y ang telah
mereka capai. Pertempuran pun berlangsung lagi dengan sengitnya.
Wantilan memang harus mengerahkan segenap
kemampuannya. Ia -pun merasa beruntung bahwa ilmunya
telah dilengkapi dengan unsur-unsur gerak yang tidak segera
dikenali oleh saudara-saudara seperguruannya.
Untuk beberapa lama Wantilan telah mempergunakan
unsur -unsur gerak dari perguruannya tanpa unsur-unsur yang
lain. Namun tiba -tiba saja ia telah m eny erang dengan unsurunsur
gerak yang lain, y ang dipelajarinya dari Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sehingga kedua orang saudara
seperguruannya terkejut. Wantilan selalu dapat
memanfaatkan saat-saat y ang demikian untuk meny erang
salah seorang dari keduanya, sehingga serangannya dapat
mengenainya. Beberapa kali hal itu terjadi. Namun saudara-saudara
seperguruannya itu masih saja terkejut dan dibingungkan oleh
sikap Wantilan yang masih saja tetap berusaha
mempergunakan akalnya. Sekali dua kali, kedua saudara seperguruannya memang
mampu mengatasi perasaan sakit oleh sentuhan tangan
Wantilan. Namun ketika serangan Wantilan itu beberapa kali
mengenainya, maka keduanya pun mulai dihinggapi perasaan
sakit. Saudara seperguruannya y ang muda tidak dapat
menahan sakit tanpa berteriak mengumpat ketika bahunya
dikenai dengan kerasnya oleh serangan tumit Wantilan
sehingga terhuyung-huyung beberapa langkah surut.
Untunglah bahwa saudaranya yang tua telah berusaha
untuk meny erang Wantilan, sehingga niat Wantilan untuk
memburu saudaranya yang muda di antara keduanya itu
urung. Tetapi ia sempat mengelak sehingga serangan itu tidak
mengenainya. Tangan saudaranya seperguruan itu luput
ketika menerkamnya di arah leher.
Namun demikian cepatnya, Wantilan justru telah
menyerang pergelangan tangan saudara seperguruannya itu
dengan sisi telapak tangannya justru pada saat ia bergeser
menyamping dengan menarik satu kakinya.
Tulang pergelangan tangan saudara seperguruannya itu
rasa-rasanya memang akan retak sehingga ia pun telah
berdesah kesakitan sambil meloncat beberapa langkah untuk
mengambil jarak. Namun Wantilan tidak m elepaskannya. Selagi saudara
seperguruannya yang lain belum siap, ia telah m emanfaatkan
waktu itu untuk mendesak salah seorang saudara
seperguruannya. Justru yang tua di antara mereka berdua.
Dengan tangkasnya Wantilan pun telah meloncat dengan
loncatan panjang. Kemudian kakinya telah dilontarkannya
menyamping langsung mengarah ke dada.
Saudara seperguruannya y ang belum mapan benar telah
bergeser ke samping. Namun Wantilan telah berputar sambil
bertumpu pada satu kakinya. Kakinya yang lain yang bergerak
mendatar dengan kerasnya justru telah menghantam dadanya
yang disembuny ikan di balik kedua tangannya yang
menyilang. Namun serangan melingkar Wantilan demikian
kerasnya, sehingga saudara seperguruannya itu telah
terbanting jatuh tanpa dapai bertahan lagi.
Wantilan pun segera bersiap untuk memberikan
serangan terakhir dan menghentikan perlawanan saudara
seperguruannya itu. Tetapi saudaranya yang lain ternyata
telah meloncat meny erangnya pula, sehingga ia harus
menghindarinya. Namun saudara seperguruannya itu telah
memburunya. Sambil meloncat m aju, m aka tangan saudara
seperguruannya itu telah terjulur lurus ke arah kening.
Wantilan telah merendah pada lututnya, sehingga
tangan saudara seperguruannya itu tidak mengenainya.
Bahkan dengan tiba-tiba Wantilan telah m eny erang dengan
sapuan kakinya y ang melingkar sehingga mengenai kedua kaki
saudara seperguruannya itu.
Sapuan itu demikian kerasny a, sehingga saudara
seperguruannya itu pun tidak mampu meny elamatkan
keseimbangannya. Kedua kakinya tiba -tiba saja telah
terlempar ke samping, sehingga tubuhnya telah r oboh seperti
sebatang pohon pisang. Saudara seperguruannya itu telah berusaha untuk
bangkit. Tetapi ternyata Wantilan y ang masih juga berbaring
itu telah m eny erang lagi. Kakinya langsung m engenai kening
saudara seperguruannya sehingga sekali lagi ia terbanting
jatuh, justru kepalanya telah membentur tanah.
Orang itu memang tidak pingsan. Tetapi kepalanya
menjadi sangat pening. Bahkan perutnya serasa menjadi mual
dan hampir saja ia menjadi muntah-muntah.
Sementara itu saudara seperguruannya yang lain telah
bangkit pula. Meskipun dadanya serasa menjadi sesak, namun
ia sudah siap untuk bertempur.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Mahisa Semu memang masih nampak tegang. Tetapi ia
pun m engerti, bahwa keadaan Wantilan m enjadi lebih baik
dari kedua orang saudara seperguruannya. Karena itu, maka ia
pun hampir pasti, bahwa Wantilan akan dapat mengatasi
kedua orang saudaranya. Sebenarnyalah, bahwa kedua saudara seperguruan
Wantilan itu sudah tidak berdaya. Yang tertua di antara
mereka, rasa -rasanya tidak lagi dapat bernafas meskipun ia
masih nampak garang. Tetapi sekali-sekali nampak ia
terbungkuk-bungkuk ketika menarik nafas dengan susah
pay ah. Sedangkan yang termuda di antara mereka berdua
ternyata sudah tidak lagi dapat bangkit lagi. Dunia rasarasanya
seperti berputar. "Nah," berkata Wantilan kemudian, "apakah kita masih
akan berlatih terus?"
" Iblis kau," geram saudara seperguruannya.
Wantilan tertawa. Katanya tanpa menghiraukan
umpatan itu, "Aku senang mendapat kesempatan seperti ini."
Saudara seperguruannya menggeretakkan giginya oleh
kemarahan y ang menghentak. Apalagi ketika ia melihat
Wantilan berdiri sambil ter senyum memandanginya.
Tubuhnya nampak tetap tegar, tanpa kesulitan apapun di
dalam bagian dalam tubuhnya itu. Ilmu yang dikuasainya
adalah ilmu yang benar sebagaimana dikuasai oleh saudara
seperguruannya itu. Bahkan Wantilan ternyata memiliki
unsur -unsur gerak y ang belum dikenal oleh saudara-saudara
seperguruannya itu.

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kenapa kau diam saja" Marilah, masih banyak
kesempatan jika kau menghendaki sebelum kita bertemu
dengan Guru. Jika kau sudah menjadi jemu hari ini, kita dapat
melanjutkannya lain kali. Besok atau kapan saja. Kita dapat
membuatkesepakatan," berkata Wantilan.
" Jangan banyak bicara," geram saudara seperguruannya
itu, "kalau kau akan membunuh kami berdua, lakukanlah.
Bunuhlah kami karena kami sudah berniat untuk
membunuhmu." "Kenapa aku harus membunuh saudara seperguruan
sendiri" Benar-benar satu sikap yang tidak akan dimengerti
oleh siapapun. Juga jika kau ingin membunuh aku, maka aku
juga tidak akan pernah dapat mengerti. Tetapi aku kira kalian
hanya sekedar ingin bergurau."
"Kau dengan sengaja menghina kami. Tetapi bunuhlah
kami. Jika hal ini tidak kau lakukan, maka kau akan
menyesal," berkata saudara seperguruannya itu.
"Kenapa aku harus meny esal karena tidak membunuh
saudara sendiri?" Wantilan justru bertanya.
Saudara seperguruannya semakin merasa ter singgung.
Karena itu maka katanya, "Ingat Wantilan. Kapanpun juga
kami tetap berusaha untuk membunuhmu. Kami tidak
berhasil hari ini. Tetapi pada suatu saat, kami akan
melakukannya lagi bersama saudara-saudara seperguruanku.
Tidak hanya dua atau tiga orang, tetapi seperguruan kami
bersama Guru." Wantilan mengerutkan keningnya. Namun tiba -tiba saja
ia tertawa. "Kenapa kau tertawa?" bertanya saudara
seperguruannya. "Kalian memang lucu sekali. Aku tidak mengira kalau
kalian senang bergurau," berkata Wantilan, "tetapi latihanlatihan
yang lebih baik akan sangat bermanfaat bagiku.
Apalagi jika guru bersedia hadir."
"Setan kau," geram saudara seperguruannya itu,
"sekarang kau m asih dapat tertawa. Tetapi tidak lama lagi,
tubuhmu akan terbaring mati di tanah. Tidak seorang pun
akan merasa sedih akan kematianmu."
" Jadi kau bersungguh-sungguh?" bertanya Wantilan.
"Aku bersungguh-sungguh," saudara seperguruannya
itu membentak. Lalu katanya pula, "Karena itu, jika kau ingin
membunuh kami lakukanlah sekarang, agar kau tidak akan
menyesal kelak di saat matimu."
Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Sayang
sekali bahwa harus berakhir begini. Ketika aku memasuki
sanggar untuk pertama kali, aku tidak akan mengira bahwa
aku harus bermusuhan dengan saudara seperguruan sendiri.
Tetapi jika kalian memang ingin membunuhku pada
kesempatan lain, aku akan m enunggu. Aku akan mey akinkan
kepada kalian, bahwa hal seperti itu tidak mudah kalian
lakukan atasku. Apalagi aku berkeyakinan bahwa mati hidup
seseorang itu tergantung kepada kuasa Yang Maha Agung."
"Persetan," geram saudara seperguruan, "kau terlalu
sombong." "Saudara-saudaraku," berkata Wantilan, "kali ini aku
tidak membunuh kalian. Aku benar-benar tidak berniat
melakukannya. Tetapi jika sekali lagi kalian m enggangguku,
maka aku akan benar-benar membunuh kalian. Sekarang saja
ilmuku sudah lebih baik dari ilmu kalian, apalagi di saat-saat
mendatang." Saudara seperguruannya menggeram. Sementara itu
Wantilan berkata, "Aku akan pergi. Aku menunggu kapan
kalian ingin menemuiku lagi untuk membunuh diri."
Wantilan tidak menunggu, ia pun kemudian telah
melangkah pergi mendekati Mahisa Murti dan saudarasaudaranya.
"Marilah. Aku memang tidak ingin membunuhnya
sekarang," berkata Wantilan.
Kelima orang itu pun kemudian telah meninggalkan
tempat itu. Mahisa Amping sempat berlari-lari memasuki
kedai itu kembali untuk meny erahkan uang kepada pemilik
kedai y ang ketakutan di dalam kedainya.
Namun pemilik kedai itu merasa bersy ukur bahwa tidak
terjadi pembunuhan dihalaman kedainy a. Jika demikian,
maka ia berpendapat bahwa kedainya tidak akan dikunjungi
orang lagi. Saudara seperguruan Wantilan y ang tertua itu pun telah
berusaha membantu adik seperguruannya dan dibawa masuk
kembali ke dalam kedai itu. Mereka masih sempat beristirahat
sambil m inum untuk meny egarkan tubuh mereka, y ang rasarasanya
sudah tidak berday a sama sekali itu.
Tetapi keduanya ternyata benar-benar m endendamnya.
Tidak hanya kepada Wantilan. Tetapi juga kepada gurunya,
karena mereka merasa bahwa guru mereka telah menipu
mereka berdua dan beberapa orang saudara seperguruannya
yang lain, karena gurunya mengatakan, bahwa Wantilan pada
suatu saat tentu akan terbunuh oleh ilmunya sendiri. Tetapi
ternyata bahwa kenyataannya sama sekali tidak demikian.
Yang tertua di antara mereka itu pun berkata, "ternyata
Wantilan justru memiliki kelebihan dari kita."
"Apakah maksud Guru sebenarnya" Bukankah ayah
Wantilan sudah diny atakan berkhianat dan harus dihukum
mati" Tetapi karena ia sudah mati sendiri, maka hukuman itu
dibebankan kepada anaknya," desis yang muda.
"Apakah Guru m enganggap bahwa keputusan itu tidak
adil, sehingga dengan diam-diam telah melindungi Wantilan?"
bertanya yang tua. "Bukankah keputusan itu datang dari Guru sendiri?"
sahut yang muda. Yang tua m engangguk-angguk. Sementara itu tubuhnya
terasa masih sakit dan ny eri. Namun minuman hangat telah
membuat tubuh mereka menjadi agak segar.
"Kita harus memecahkan masalah ini. Kita harus
bertemu dengan saudara-saudara seperguruan kita. Kita akan
membuat perhitungan. Siapapun y ang kita temui lebih dahulu.
Guru atau Wantilan," geram yang tua.
"Tetapi apakah kita akan berani melawan Guru"
Bukankah dengan demikian kita dapat dianggap berkhianat
dan akan mendapat hukuman y ang paling berat?" desis yang
muda. "Kita tidak akan melawan Guru. Kita hanya akan
melaporkan pengalaman ini dan mohon pertanggungan
jawab," jawab yang tua, y ang hatinya benar-benar merasa
disakiti oleh Wantilan. " Jika kita bertemu dengan Guru, apakah kita berani
melakukannya?" bertanya yang muda.
Yang tua termangu-mangu. Tetapi ia pun berkata,
"Tetapi kita harus mendapat jawaban, apa yang sebenarnya
dikehendaki oleh Guru."
Yang muda tidak bertanya lagi. Nafasny a masih saja
terengah-engah. Ia sempat meneguk minumannya beberapa
teguk lagi. Namun rasa-rasanya badannya terlalu lemah.
Yang tuapun kemudian terdiam merenungi peristiwa
yang baru saja terjadi. Sementara itu, Wantilan telah menjadi semakin jauh.
Namun ia pun berkata kepada anak-anak muda yang mengaku
pengembara itu, "Keduanya tentu tidak akan tinggal diam. Aku
tahu watak mereka. Pada suatu saat, aku harus menemuinya
lagi. Tetapi aku y akin bahwa mereka akan datang bersama
lebih dari lima orang sehingga aku tidak akan mungkin dapat
melawan mereka. " Wantilan berhenti sejenak, lalu katanya
pula, "Tetapi aku pun cemas bahwa mereka akan datang
kepada Guru untuk minta pertanggungan jawab kenapa aku
tidak mati oleh ilmuku sendiri."
"Gurumu tentu mempunyai akal sehingga ia akan dapat
memberikan beberapa alasan," berkata Mahisa Murti.
"Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas mereka,"
desis Wantilan. "Tetapi aku setuju dengan caramu m embuat saudarasaudara
seperguruanmu mencurigai gurumu," berkata Mahisa
Pukat, "dengan demikian maka gurumu harus
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Mungkin sikap
murid-muridnya itu akan dapat m enjadi cam buk baginya di
masa mendatang." "Aku juga berharap demikian," berkata Watilan,
"mudah-mudahan saudara-saudara seperguruanku yang
mempertanyakan tentang aku tidak dianggap berkhianat dan
langsung mendapat hukuman sebagaimana yang pernah
terjadi di perguruan kami. Nampaknya aku pun telah
mendapat hukuman itu, namun dengan cara tersendiri."
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "jika saudarasaudara
seperguruanmu datang lagi kepadamu dengan niat
buruk, maka biarlah kami membantumu."
"Terima ka sih," jawab Wantilan, "mudah-mudahan
mereka tidak akan datang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara Mahisa Semu bertanya, "Apakah mereka tahu arah
perjalanan kita?" "Tidak. Tetapi orang-orang yang mendendam itu tidak
akan segan menelusurinya. Mereka akan dapat bertanya
kepada siapa saja, apakah m ereka melihat lima orang yang
lewat bersama seorang anak kecil. Mereka akan
mempergunakan cara apapun untuk mencari jejak kita,"
berkata Wantilan. Mahisa Pukat tertawa kecil sambil berkata, "Mudahmudahan
mereka menemukan kita di padepokan."
" Justru jangan sampai ke padepokan," berkata
Wantilan. "Kenapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Yang kemudian akan bermusuhan adalah dua
perguruan," jawab Wantilan, "perguruan kami dan perguruan
kalian. Jika demikian maka permusuhan itu akan
berkepanjangan." Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Mahisa
Murti-pun kemudian berkata, "Kau benar. Seharusny a kita
tidak memancing permusuhan antara perguruan. Kita akan
membatasi diri sehingga permusuhan itu pun menjadi terbatas
pula." "Tetapi bagaimanakah sikap kita jika jejak kita mereka
ketemukan di padepokan kita?" bertanya Mahisa Semu.
"Kita akan bersikap tidak bermusuhan," jawab Mahisa
Murti. Namun ia pun kemudian berkata, "Tetapi jika sikap kita
mendapat tanggapan lain, apa boleh buat."
Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Sebenarnya aku tidak ingin terjadi permusuhan antara
perguruan. Kesalahan ini ada padaku."
Sebenarnyalah bahwa kedua orang saudara seperguruan
Wantilan itu tidak melepaskannya begitu saja. Banyak hal
yang ingin mereka ketahui, karena ternyata bahwa apa yang
dikatakan oleh guru mereka sama sekali tidak benar,
sedangkan mereka sebelumnya terlalu percaya bahwa gurunya
tidak akan pernah membohongi mereka.
Karena itu, maka tentu ada sesuatu y ang tidak wajar
telah terjadi. Apakah pada gurunya atau pada Wantilan.
Ternyata bahwa kedua orang saudara seperguruan
Wantilan itu telah m encari saudara-saudara seperguruannya.
Yang tertua di antara mereka, yang menggantikan tugas
gurunya jika gurunya itu tidak ada telah dihubunginya pula.
"Aku tidak percaya," berkata orang itu. Seorang y ang
bertubuh tinggi kekar dan berkumis lebat.
"Kau harus membuktikannya," berkata saudara
seperguruannya yang telah dikalahkan oleh Wantilan.
Orang itu termangu-mangu. Tetapi ceritera tentang
Wantilan itu nampaknya sangat mey akinkannya.
Tetapi orang itu kemudian berkata, "Aku melihat sendiri
apa y ang dilakukan oleh Guru. Wantilan telah berlatih dengan
cara yang salah. Tetapi Guru mampu menjaga kemungkinan
buruk itu terjadi disaat-saat latihan. Karena itu, maka latihan
Wantilan selalu dipisahkan dan dilakukan untuk waktu-waktu
yang singkat. Tetapi jika ia memaksa diri untuk mengerahkan
segenap ilmunya, maka ia akan mengalami kesulitan dan
bahkan ia sudah terbunuh."
"Kenapa tidak terjadi sebelumnya" Apakah ia tidak
pernah melakukan latihan dengan bersungguh-sungguh?"
bertanya orang yang dikalahkan oleh Wantilan.
"Sudah aku katakan. Guru dapat menjaga kemungkinan
itu. Latihan-latihan yang dilakukan kadang-kadang memang
cukup berat, meskipun sebenarnya sama sekali tidak
meningkatkan ilmunya, bahkan sebalikny a. Aku berani
bertaruh dengan ny awaku, bahwa Guru benar-benar
melakukan demikian," jawab saudaranya yang tertua.
" Iblis manakah y ang telah menuntun Wantilan sehingga
ia mampu memperbaiki kesalahan-kesalahan itu, atau berhasil
mengatasinya dengan ketahanan tubuhnya. Tetapi menilik
unsur -unsur gerak y ang diperlihatkan waktu kami bertempur
melawannya, semuanya mapan dan benar," jawab saudara
seperguruannya yang telah bertempur melawan Wantilan itu.
"Keteranganmu menggelitik aku utnuk melihatnya,"
berkata yang tertua, "sebaiknya kita ketemukan orang itu dan
kita bawa m enghadap Guru. Baru kita akan tahu apa yang
telah terjadi atas dirinya."
Saudara-saudara seperguruannya ternyata sependapat.
Mereka yang ada di padepokan telah membagi diri. Lima
orang di antara para murid akan mencari Wantilan.
Selebihnya berada di padepokan.
" Jika kita bertemu dengan Guru lebih dahulu, kita
mohon Guru untuk bersama kami mencari Wantilan dan
memecahkanteka -teki ini," berkata y ang tertua.
Tiba-tiba saja y ang lain bertanya, "Kenapa kita tidak
minta petunjuk kakek Guru."
"Tidak. Kakek guru tentu akan berpendirian lain. Kakek
tidak akan pernah sependapat jika kita berbicara tentang
hukuman bagi seorang pengkhianat. Kakek orang y ang t erlalu
baik. Tetapi justru karena itu perguruan kita tidak pernah
berkembang serta tidak pernah mendapat pengakuan dari
padepokan-pade-pokan y ang lain. Mereka bahkan belum
pernah m endengar nama perguruan kita. Guru menganggap
bahwa kita cukup menguasai ilmu dan hanya dipergunakan
untuk menolong sesama. Jika tidak ada persoalan, maka kita
tidak lebih dari orang-orang kebanyakan y ang tidak berilmu
apa-apa," jawab yang tertua. Lalu katanya, "Berbeda dengan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guru. Guru ternyata lebih bergelora. Guru memberikan
petunjuk agar kita menunjukkan tingkat kemampuan kita
yang tinggi, sehingga orang-orang dari perguruan lain akan
menghormati kita." Saudara-saudara seperguruannya hanya menganggukangguk
saja. Namun ternyata mereka tidak membantah.
Mereka memang telah mengurungkan niat untuk menemui
kakek guru mereka y ang tinggal justru diluar padepokan,
karena kakek guru mereka lebih senang tinggal di tempat yang
sepi dilereng bukit, yang seakan-akan tidak lagi berhubungan
dengan sesama, meskipun sekali-sekali kakek guru mereka
juga turun mengunjungi padukuhan yang terdekat. Sehingga
dengan demikian maka hubungannya dengan sesama tidak
terputus sama sekali. Demikianlah maka lima orang saudara seperguruan
telah meninggalkan padepokan mereka. Mereka mengambil
alas perburuan mereka dari kedai di m ana dua orang saudara
seperguruannya bertempur melawan Wantilan. Kemudian
dengan cara seperti yang diperhitungkan oleh Wantilan,
mereka telah berusaha menyusulnya.
Sebenarnyalah banyak orang yang dapat memberikan
keterangan tentang lima orang y ang berjalan menyusuri jalanjalan
padukuhan. "Mereka adalah saudara-saudara kami," berkata y ang
tertua kepada setiap orang y ang ditanya disepanjang jalan,
"nampaknya mereka tersesat, karena saudara kami yang
berangkat kemudian telah sampai ke tempat kami."
"Tetapi m ereka tidak menunjukkan sikap seperti orang
yang kebingungan," sahut salah seorang di antara mereka yang
mendapat pertanyaan tentang Wantilan.
Saudara seperguruannya itu termangu-mangu sejenak.
Namun ia pun kemudian berkata, "Mungkin mereka tidak
mengalami kebingungan. Justru karena mereka tidak tahu,
bahwa mereka telah tersesat."
Orang y ang pernah melihat kelima orang y ang
ditanyakan itu memang menjadi termangu-mangu. Ra sarasanya
aneh bahwa kelima orang itu masih belum menyadari
bahwa mereka tersesat setelah berjalan sekian lama, sehingga
orang y ang akan dikunjungi sempat menyusulnya.
Tetapi orang itu tidak bertanya lagi. Ia merasa cukup jika
ia memenuhi dengan menunjukkan arah perjalanan kelima
orang itu dua hari y ang lalu.
Tetapi perjalanan Wantilan memang sangat lam ban.
Ber sama Mahisa Murti dan saudara -saudaranya mereka
beberapa kali berhenti untuk beristirahat. Apalagi Mahisa
Amping masih terlalu kecil untuk berjalan terus-menerus
sepanjang teriknya matahari.
Sedangkan saudara-saudara seperguruan Wantilan itu
berjalan tanpa berhenti. Seakan-akan siang malam mereka
berjalan terus. Sekali-sekali mereka m emang beristirahat di
kedai-kedai dan di malam hari berhenti sejenak di pategalan
untuk tidur beberapa saat.
Dengan demikian maka jarak antara Wantilan dan
saudara seperguruannya menjadi semakin dekat.
Sementara itu Wantilan di sepanjang perjalanan di saatsaat
Mahisa Amping ingin berhenti dibawah sebatang pohon
yang rim bun, sempat melengkapi ilmunya dengan unsurunsur
gerak y ang dipelajarinya dari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Karena pada dasarnya ia sudah memiliki k emampuan
dasar dari olah kanuragan, maka ia dengan cepat mampu
menguasai beberapa jenis unsur gerak y ang terpilih dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sementara itu Mahisa Semu pun sempat meningkatkan
ilmu pedangnya. Semakin lama maka pedang Mahisa Semu
seakan-akan telah melekat dengan telapak tangannya jika ia
sudah mengerahkan ilmunya. Ilmu pedangnya dengan cepat
pula berkembang. Justru karena Mahisa Semu merasa dirinya
paling lemah di antara mereka. Dengan memperdalam ilmu
pedang, maka ia akan dapat mengurangi kelemahannya,
karena pedangnya adalah bukan pedang kebanyakan sehingga
akan ikut menentukan tingkat kemampuannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang merasa heran
juga melihat kemajuan Mahisa Semu dalam ilmu pedang.
Meskipun demikian bukan berarti kemampuannya dalam olah
kanuragan tanpa senjata tidak berkembang. Tetapi
perkembangannya tidak sepesat perkembangan ilmu
pedangnya. Dengan perjalanan y ang lamban itu, maka akhirnya
saudara-saudara seperguruannya benar-benar dapat
menyusulnya sebelum mereka mendekati padepokannya.
Kelima orang itu terkejut ketika menjelang fajar mereka
melihat saudara-saudara seperguruan Wantilan itu berjalan
mendekati mereka. "Mereka telah datang," berkata Wantilan y ang
kebetulantelah terjaga. Mahisa Murti pun telah terbangun pula, sementara
Mahisa Pukat masih m enggeliat sedangkan Mahisa Semu dan
Mahisa Amping masih tidur ny enyak di sebuah pategalan yang
kering, sehingga jarang sekali dikunjungi oleh pemiliknya.
Saudara seperguruan Wantilan yang t ertua, segera
mengenali Wantilan di keremangan cahaya fajar. Apalagi
ketika kemudian cahaya matahari mulai membayang di langit.
Wantilan pun segera bangkit sambil membenahi
pakaiannya. Sementara itu, Mahisa Murti pun telah bangkit
pula sambil meny entuh Mahisa Pukat y ang masih saja
berbaring. "Siapa y ang datang?" bertanya Mahisa Pukat.
Wantilanlah y ang menjawab, "saudara-saudara
seperguruanku. Lima orang."
Mahisa Pukat nampaknya masih segan untuk bangkit
berdiri. Karena itu, maka ia pun telah duduk sambil memeluk
lututnya. "Begitu setia saudara-saudara seperguruanmu sehingga
mereka dengan susah payah mencarimu," gumam Mahisa
Pukat. "Bukankah aku sudah mengatakannya bahwa mereka
tentu akan mencari aku," berkata Wantilan.
"Ya paman," jawab Mahisa Pukat y ang masih saja duduk
memeluk lutut, "ternyata dugaan paman benar."
Sementara itu, kelima orang saudara seperguruan
Wantilan itu telah berdiri beberapa langkah di hadapannya.
Dengan nada berat saudara seperguruannya itu berkata,
"Wantilan. Kami telah mengikuti jejakmu dari jarak yang
sangat jauh." "Terima kasih saudara -saudaraku. Aku memang sudah
mengira bahwa kalian akan menyusulku. Tetapi semuanya itu
akan sia -sia. Karena tidak ada masalah y ang dapat kita
persoalkan lagi," berkata Wantilan.
"Tidak," berkata saudara seperguruannya y ang paling
tua di antara mereka, "kau harus ikut kami kembali ke
perguruan. Persoalan yang timbul karena kau harus
dipecahkan." "Persoalan apa lagi," berkata Wantilan.
"Kau jangan berpura-pura tidak tahu. Kau tahu pasti
apa yang seharusny a terjadi atas dirimu. Saudara-saudaramu
pernah mengatakan kepadamu," jawab saudaranya yang
dianggap tertua. " Jadi benar kata mereka bahwa Guru sengaja
membunuhku dengan caranya?" bertanya Wantilan.
"Ya. Aku tahu pasti, karena aku sering m enungguimu
bahkan jika Guru berhalangan, aku telah mewakilinya," jawab
orang itu. Wantilan termangu-mangu. Namun ia pun kemudian
tertawa sambil b erkata, "Ternyata kalian tidak tahu apa yang
telah t erjadi. Bahkan murid yang dianggap t ertua di antara
murid-muridnya y ang lain pun tidak mengerti pula. Lalu apa
yang sebenarnya kau ketahui tentang ilmu dari perguruan kita
jika kau juga menyangka Guru akan membunuhku" Sementara
semakin lama kau menjadi semakin matang dengan ilmuku."
"Kita akan menghadap Guru," bentak saudara
seperguruannya y ang dianggap tertua itu, y ang bahkan sering
menggantikan kedudukan Gurunya, "dengan demikian
semuanya akan menjadi jelas. Jika Guru benar-benar
memanjakanmu, apa boleh buat. Tetapi jika Guru memang
ingin membunuhmu dengan caranya, tetapi gagal, m aka kau
akan mati." "Tidak. Aku tidak akan ikut bersamamu. Aku akan
menemui Guru kapan aku ingin dan tanpa kalian," jawab
Wantilan tegas. " Jadi kau menolak?" geram y ang tertua.
"Aku menolak. Kalian tidak mempunyai hak apapun
atasku. Meskipun kita bersaudara karena guru kita sama,
tetapi kedudukan kita berbeda. Aku mendapat kesempatan
untuk mewarisi ilmu dengan cara tersendiri. Tidak sama
dengan kalian.Unsur-unsur gerak y ang aku terima sebagai
kelengkapan ilmuku-pun jauh lebih banyak dari yang kalian
ketahui. Nah, apa lagi?"
"Sikapmu menyakiti hati kami," berkata yang tertua,
"semula aku tidak yakin akan sikapmu itu ketika kedua orang
saudara kita mengatakan kepadaku. Begitu sombong dan tidak
tahu diri. Namun ketika sekarang aku menghadapimu
langsung, maka aku menjadi percaya. Betapa sombongnya
kau." "Apapun yang kau katakan, tetapi aku menolak untuk
ikut bersama kalian," berkata Wantilan.
"Aku akan memaksamu," geram yang tertua di antara
saudara-saudara seperguruannya itu, "kau tahu, bahwa aku
telah mendapat kesempatan setiap kali m ewakili Guru. Juga
dalam soal-soal yang penting. Aku adalah satu-satunya murid
yang tahu pasti, apa yang telah diajarkan Guru kepadamu.
Karena itu, m aka jika kau m elawan aku, m aka sama artinya
kau berani melawan Guru."
" Jangan memutar balikkan kenyataan. Justru siapa
yang ingin mencelakai aku, maka ia telah melawan Guru,
karena Guru sendiri telah m embuatku lebih baik dari kalian,"
berkata Wantilan. " Jika demikian, aku harus memaksamu," berkata
saudaranya y ang dianggap tertua itu.
Beberapa orang saudara seperguruannya y ang ikut serta
itu telah bergerak pula. Tetapi yang tertua di antara mereka
berkata, "Jangan. Biarlah aku sendiri yang akan memaksanya.
Jika aku gagal berarti apa yang dikatakan itu benar. Ia telah
memiliki ilmu sebagaimana Guru sendiri."
Saudara-saudara sepeguruannya termangu-mangu.
Seorang di antara mereka berkata, "Tetapi ia akan sangat
berbahaya bagi kita."
" Jika hal itu memang dikehendaki oleh Guru, apa boleh
buat," jawab yang tertua.
Demikianlah, maka y ang tertua itu pun kemudian
berkata, "Marilah. Kita akan melihat, siapakah y ang terbaik di
antara kita. Berarti kita akan melihat, siapakah yang mendapat
kepercayaan tertinggi dari Guru. Tetapi jika kau kalah, dan
kau mampu bertahan untuk hidup, m aka kau harus bersedia
menghadap Guru." Wantilan tertawa. Katanya, "Sudah aku katakan. Tidak
ada orang yang dapat memaksa aku, kapan aku harus
menghadap Guru. Itu tergantung kepadaku sendiri kapan saja
aku kehendaki." Saudara seperguruannya y ang dianggap tertua itu
berkata, "Bagus. Jika demikian maka kau benar-benar akan
mati." Orang itu telah memberi isyarat kepada saudarasaudara
seperguruannya untuk bergeser. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergeser menjauh.
Demikian pula Mahisa Semu dan menggandeng Mahisa
Amping yang masih mengusap matanya dengan tangannya.
Wantilan pun segera berhadapan dengan saudara
seperguruannya y ang dianggap t ertua. Wantilan pun tahu,
bahwa orang itu telah mendapat kepercayaan tertinggi dari
gurunya, Wantilan pun tahu pula bahwa orang itu telah
mendapat kesempatan orang gurunya untuk menungguinya
ketika ia melakukan latihan-latihan dengan cara y ang salah.
Karena itu, maka orang itu adalah orang y ang akan dapat
menjadi sangat berbahaya baginya. Orang itu tentu memiliki
sebagian besar dari kemampuan gurunya.
Tetapi Wantilan telah memperbaiki semua
kesalahannya. Ia justru dapat memanfaatkan ketahanan
tubuhnya y ang terbiasa mengalami tekanan disaat-saat ia
berlatih. Lebih dari itu, bahwa ia telah menguasai beberapa
bagian dari unsur-unsur gerak dari cabang perguruan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat serta kemampuannya untuk menjalin
dengan ilmunya sendiri dengan bantuan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, merupakan bekal y ang sangatbernilai baginya
untuk menghadapi saudara seperguruannya yang di
perguruannya memiliki ilmu yang tertinggi serta mendapat
kepercayaan terbesar dari gurunya.
"Bersiaplah," geram orang itu.
Wantilan tidak menjawab. Tetapi ia pun telah bersiap.
Saudara-saudara seperguruannya y ang lain menjadi
berdebar-debar. Tetapi mereka y akin akan saudara
seperguruannya y ang mereka anggap saudara t ertua itu,
karena orang itu bahkan sudah mendapat hak dari guru
mereka untuk menggantikannya dalam keadaan tertentu.
Sebenarnyalah, bahwa Wantilan sendiri memang
menjadi berdebar -debar. Ia pun tahu bahwa orang itu adalah
murid y ang terdekat dengan gurunya. Ia pernah ikut serta
menunggui latihan-latihan yang diberikan secara khusus oleh
gurunya, sehingga orang itu tahu pasti tingkat kemampuan
serta kemungkinan yang dapat terjadi atas Wantilan. Namun
beberapa hal y ang tidak diketahui oleh orang itu, bahwa
Wantilan telah memperbaiki semua kesalahannya,
memanfaatkan ketahanan tubuhnya yang justru terlatih
mengalami tekanan dan kesulitan, serta unsur-unsur gerak
yang asing bagi perguruannya, namun telah terjalin dengan
ilmunya itu. Sejenak kemudian, keduanya telah mulai dengan
pertempuran yang akan menjadi arena perbandingan ilmu
antara dua orang saudara seperguruan. Keduanya mulai saling
menyerang meskipun masih lebih banyak sekedar menjajagi
tingkat kemampuan masing-masing, meskipun keduanya
adalah saudara seperguruan.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Wantilan telah bermain-main dengan bara ketika
ia menunjukkan unsur-unsur gerak y ang salah meskipun
perlahan-lahan untuk menjaga agar urut-urutannya tidak
terputus, sekedar memberikan kesan y ang salah kepada
saudara seperguruannya itu.
Saudara seperguruannya itu pun mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian ter senyum. Ternyata
Wantilan akan bertempur dengan mempergunakan unsurunsur
gerak y ang akan dapat membunuhnya.
Beberapa unsur y ang diperlihatkan Wantilan itu ternyata
memang telah terasa akibatnya yang kurang baik bagi uraturatnya.
Tetapi karena Wantilan cukup berhati-hati, maka
akibat itu tidak mengganggunya.
Saudara seperguruannya y ang masih m elihat kesalahan
itu memperhitungkan, jika ia berhasil memancing
pertempuran y ang lebih keras, sehingga Wantilan bergerak
lebih banyak dan mempergunakan tenaga dan kemampuannya
lebih besar, maka akibatnya akan parah bagi bagian dalam
tubuhnya. Karena itu, maka saudara seperguruan Wantilan itu
telah berusaha untuk bertempur dengan keras dan pada jarak
yang panjang. Namun ketika pertempuran itu benar-benar menjadi
semakin cepat dan semakin keras, maka unsur-unsur gerak
Wantilan telah berubah. Ia tidak lagi m elakukan kesalahankesalahan
sebagaimana telah dilihat oleh saudara
seperguruannya. Tetapi saudara seperguruannya itu tidak
segera menyadarinya. Untuk beberapa lama saudara seperguruannya itu masih
menganggap Wantilan melakukan kesalahan-kesalahan.
Memang jika Wantilan sempat mengambil jarak, ia
masih juga menunjukkan beberapa kesalahan dalam gerakgerak
yang lamban. Tetapi jika ia sudah mulai bertempur
dengan cepat dan keras, maka semuanya berada di jalur yang
seharusnya dari ilmunya. Meskipun demikian, saudara seperguruannya itu
ternyata memang memiliki kelebihan dari semua murid di
perguruannya. Orang itu adalah seorang di antara para murid
yang memiliki kemampuan paling lengkap dan paling matang.
Karena itu, setelah m ereka bertempur beberapa lama,
ternyata bahwa Wantilan mulai terdesak.
Meskipun demikian saudara seperguruannya itu masih
juga merasa heran bahwa Wantilan masih juga dapat
bertahan. Bagian dalam tubuhnya sama sekali tidak menjadi
rusak dan apalagi membunuhnya. Bahkan setelah mereka
bertempur dengan keras dan bahkan kasar, Wantilan masih
tetap garang. Namun akhirnya, ketika saudara seperguruannya itu
berhasil mendesaknya, maka ia mulai melihat bahwa tidak ada
yang salah pada unsur-unsur gerak Wantilan.
Saudara seperguruannya itu memang menjadi heran.
Bahkan hampir tidak percaya atas keny ataan yang
dihadapinya. Ia sendiri pernah m elihat bahkan ikut terlibat
dalam latihan-latihan y ang sengaja dibuat salah itu. Tetapi
kini Wantilan mampu bertempur melawannya dengan cara
yang seluruhnya benar. " Iblis manakah yang telah memberi tahukan kesalahankesalahan
itu kepadanya?" bertanya saudara seperguruannya
itu kepada diri sendiri. Tetapi itulah kenyataan yang dihadapinya.
Namun dalam pada itu, saudara seperguruannya itu
masih juga mampu mendesak Wantilan semakin berat.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat mengikuti
perkembangan unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh
Wantilan. Semula ia masih menunjukkan kesalahankesalahannya.
Namun kemudian ia tidak lagi m elakukannya.
Namun ia masih bertempur dengan keterbatasan ilmu yang
dikuasainya dari perguruannya. Ilmu yang sudah tentu tidak
akan mampu mengimbangi saudara seperguruannya yang
dianggap tertua di padepokannya itu.
Namun akhirnya Wantilan telah terpaksa
mempergunakan unsur-unsur gerak yang asing bagi saudara
seperguruannya itu. Dengan akalnya Wantilan berusaha untuk
dapat m emancing kebingungan pada saudara seperguruannya
itu. Dengan demikian, maka saudara seperguruannya itu
mulai melihat unsur-unsur y ang tidak pernah dilihat
dilakukan oleh siapapun dalam perguruannya. Gurunya juga
tidak. Namun hal itu tidak akan membingungkan saudara
seperguruannya jika Wantilan tidak mempergunakan
nalarnya. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang
menjadi tegang ketika mereka melihat Wantilan mulai
terdesak. Namun kemudian mereka melihat, bahwa Wantilan
telah mempergunakan akalnya untuk mengimbangi tingkat
ilmu saudara seperguruannya yang lebih tinggi.
Untuk beberapa saat Wantilan bertempur hanya dengan
mempergunakan ilmu dari perguruannya saja. Unsur-unsur
gerak y ang sama dengan saudara seperguruannya walaupun
kematangannya kalah setingkat. Dengan demikian maka
saudara seperguruannya itu dengan mengerahkan
kemampuannya segera berhasil mendesak Wantilan beberapa
langkah surut. Bahkan Wantilan tidak lagi mendapat
kesempatan untuk membalas serangan dengan serangan.
Tetapi demikian ia terdesak, maka tiba -tiba saja ia telah
mempergunakan unsur-unsur gerak yang disadapnya dari
ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan tiba -tiba ia
meloncat m eny erang dengan unsur-unsur y ang m engejutkan
saudara seperguruannya, karena sebelumnya saudara
seperguruannya itu seakan-akan selalu m ampu m enebak apa
yang akan dilakukan oleh Wantilan.
Namun ketika t iba-tiba saja unsur-unsur geraknya
berubah, maka saudara seperguruannya yang memiliki
kemapanan i lmu lebih tinggi itu terkejut. Sehingga Wantilan
dapat m empergunakan saat yang sekejap itu untuk membalas
menyerang. Demikian saudara seperguruannya itu menyadari, maka
Wantilan telah kembali mempergunakan unsur-unsur yang
telah dikenal dengan baik oleh saudara seperguruannya itu.
Namun ternyata bahwa dengan cara yang tiba -tiba itu
Wantilan berhasil menusukkan serangannya ke tubuh saudara
seperguruannya. "Licik," geram saudara seperguruannya, "kau telah
mempergunakan tipuan-tipuan untuk melawan ilmu yang
sama-sama kita pelajari."
"Tidak," jawab Wantilan, "sama sekali bukan tipuan."
Saudara seperguruannya menjadi termangu-mangu
ketika kemudian Wantilan telah meny erang pula dengan tibatiba
dengan mempergunakan ilmunya y ang telah dijalin
dengan unsur-unsur gerak yang asing itu.
Dengan cara itu Wantilan ternyata mampu
memperpanjang pertahanannya. Bahkan beberapa kali ia telah
dapat mengenai tubuh saudara seperguruannya itu.
Namun semakin lama saudara seperguruannya itu
menjadi semakin hati-hati. Dengan cermat ia m emperhatikan
perubahan-perubahan y ang terjadi dengan tiba -tiba. Sehingga
dengan demikian m aka saudara seperguruannya itu m ampu
memperhitungkannya. Karena itu, maka pertempuran selanjutnya merupakan
pertempuran y ang cepat, keras namun dengan perhitunganperhitungan
y ang cermat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tersenyum
melihat pertempuran itu. Kedua belah pihak menjadi sangat
berhati-hati. Namun Wantilan setiap kali memang masih saja
dapat mengejutkan saudara seperguruannya. Tetapi kemudian
ia pun segera terdesak karena ilmu saudara seperguruannya
itu memang lebih tinggi. Tetapi kelebihan Wantilan yang lain adalah justru
terletak pada day a tahannya. Ia memiliki day a tahan yang
lebih baik dari semua saudara-saudara seperguruannya justru
dalam latihan-latihan sebelumnya ia terbiasa mengalami
hambatan y ang parah dari dalam dirinya.
Karena itu, maka ketika kekuatan saudara
seperguruannya sudah mulai susut, maka Wantilan masih saja
berada pada puncak kekuatannya.
Beberapa orang saudara seperguruan Wantilan y ang
menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar.
Mereka memang menjadi sangat heran, bahwa saudara
seperguruan mereka yang mereka anggap sebagai saudara
tertua itu tidak dapat dengan cepat mengalahkan Wantilan.
Apalagi saudara mereka yang tertua itu telah ikut bersama
gurunya menunggui latihan-latihan Wantilan dengan cara
yang sesat. Namun dalam pada itu, ternyata Wantilan masih saja
mampu bertahan. Wantilan seakan-akan telah dapat membaca sor ot mata
keheranan dari saudara-saudara seperguruannya y ang lain.
Apalagi ketika ia pun merasakan bahwa day a tahannya tidak
mampu lagi untuk tetap mempertahankan kekuatan dan
ketangkasannya lebih lama.
Karena itu, maka ia pun telah berusaha m empengaruhi
lawannya. Ia ingin membuat lawannya semakin bertanyatanya.
Katanya, "He, bukankah sudah kau lihat, bahwa aku
memiliki unsur yang lebih kaya darimu?"
"Persetan," geram saudara seperguruannya, "tetapi kau
belum mencapai kematangan ilmu dasar perguruan kita,
sehingga aku akan segera dapat membunuhmu."
Wantilan memaksa diri untuk tertawa. Katanya, "Kau
jangan telalu sombong. Ternyata kau tetap tidak mampu
mengalahkan aku. Lihat, matahari y ang hampir mencapai
puncaknya. Hampir setengah hari kita bertempur. Ju stru
kaulah yang nampak kelelahan lebih dahulu."
Saudara seperguruannya menggeram. Dengan
kemarahan y ang semakin menyala didalam dadanya, ia
menyerang semakin sengit. Namun tiba -tiba saja ia terkejut
lagi ketika Wantilan y angmengambil jarak, dengan tiba-tiba
telah meny erangnya dengan unsur-unsur gerak y ang asing.
Hal seperti itu sudah dilakukan beberapa kali. Tetapi
saudara seperguruannya itu kadang-kadang masih juga
berhasil di kelabuinya sehingga pukulan kaki Wantilan tibatiba
saja telah dapat menyusup pertahanan saudara
seperguruannya yang agaknya telah melakukan satu kelalaian.
Ternyata serangan itu telah mengguncangkan
keseimbangan saudara seperguruannya. Beberapa langkah ia
bergeser surut sambil menahan sakit.
Wantilan y ang mampu mengenai lawannya itu pun telah
tergetar pula. Tetapi karena justru ia meny erang dengan
ancang-ancang maka Wantilan pun kemudian berdiri tegak
dengan tegarnya. Saudara seperguruannya telah mengumpat. Dengan
geramnya ia berkata, "Kita akan bertemur sampai salah
seorang di antara kita mati. Bahkan kau mampu m engenaiku
bukan karena kemampuanmu y ang tinggi, tetapi justru karena
kelengahanku." "Apapun sebabnya, tetapi aku akan mengenaimu lagi
sampai kau terduduk di tanah dan menyerah. Apakah aku
akan membunuh atau tidak, itu terserah kepadaku," berkata
Wantilan. Gejolak.perasaan saudara seperguruannya tidak
tertahankan lagi. Ia pun segera bersiap untuk bertempur
antara hidup dan mati. Tetapi pertempuran itu tiba -tiba saja telah terhenti.
Mereka telah mendengar suara tertawa.
Semua orang y ang ada di pategalan itu berpaling ke arah
suara itu. Dua orang telah keluar dari balik sebatang pohon
perdu. Wantilan, dan saudara-saudara seperguruannya y ang
lain, y ang telah m emusuhinya itu tiba -tiba saja m engangguk
hormatsambil berdesis, "Guru dan Kakek Guru."
Kedua orang itu telah melangkah mendati arena
pertempuran. Yang kemudian menjadi berdebar-debar adalah Mahisa
Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu. Orang-orang itu akan
dapat berbahaya bagi m ereka. Jika Guru Wantilan itu telah
melaporkan kepada gurunya pula, maka orang itu tentu
memiliki ilmu yang tinggi.
Tetapi apa boleh buat. Jika terpaksa harus mereka
hadapi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun akan
bersiap. Mereka telah membekali dirinya dengan ilmu yang
telah menjadi matang meskipun keduanya masih muda sekali.
Orang y ang disebut kakek guru itu tiba-tiba berkata
kepada guru Wantilan, "Inikah anak-anak muda y ang kau
sebut?" "Ya Guru," jawab guru Wantilan.
Orang itu t ertawa. Ia sudah mendekati usia senjanya
sehingga rambutnya yang putih nampak berjuntai di bawah
ikat kepalanya y ang melilit di dahinya.
Orang itu mengangguk-angguk sambil ter senyum.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan. Bahkan
Mahisa Murti telah berdesis, "jaga Mahisa Amping.
Nampaknya orang ini cukup berbahaya."
Mahisa Semu mengangguk. Jika mereka bertempur
bersungguh-sungguh, maka m ereka akan menghadapi lawan
yang lebih banyak. Tetapi Mahisa Semu pun harus
menyesuaikan dirinya. Meskipun belum m eningkat pada ilmu
yang tinggi, tetapi ia telah m emiliki ilmu pedang yang pantas
dibanggakan. Namun dalam pada itu, orang yang disebut kakek guru
itu pun berkata, "Pantas bahwa anak-anak muda itu memiliki
ilmu y ang tinggi." "Mak sud Guru?" bertanya guru Wantilan.
"Meskipun seandainya aku terjun ke m edan, aku tidak
akan mampu berbuat banyak," jawab orang itu, "apalagi aku
belum yakin bahwa y ang bersalah adalah mereka."
Wantilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia
pun bertanya, "Apakah kakek Guru datang untuk menghukum
aku?" "Tidak. Tidak," jawab orang y ang disebut kakek guru itu,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"bukankah kau tidak bersalah" Gurumu sendiri sudah
mengakui, bahwa kau tidak ber salah! Yang dianggap bersalah
adalah ay ahmu. Itu pun masih harus dinilai dari sudut mana
kesalahan itu ditrapkan kepada ay ahmu."
Wantilan mengerutkan keningnya. Sementara kakek
guru itu berkata, "Gurumu telah mengatakan segala-galanya
kepadaku. Karena itu, maka cucu-cucu muridku yang telah
salah paham, aku minta untuk menghentikan permusuhan
ini." "Tetapi semuanya masih sangat kabur bagiku," berkata
saudara seperguruan Wantilan yang dianggap t ertua itu.
" Nanti aku yang akan menjelaskan," berkata kakek
gurunya, "sekarang, sebaiknya kau minta maaf kepada
Wantilan." Saudara-saudara seperguruannya saling berpadangan
sejenak. Namun kakek gurunya itu pun kemudian berkata
selanjutnya, " Ia sama sekali tidak bersalah. Tetapi guru
kalianlah y ang bersalah. Hampir saja Wantilan menjadi
korban kedengkian y ang berlebihan tanpa pengendalian diri."
"Apa yang sebenarnya terjadi?" bertanya saudara
seperguruan y ang tertua itu.
"Kau tahu apa y ang terjadi. Kau tahu bahwa gurumu
telah m emberikan unsur-unsur yang m eny esatkan Wantilan
sehingga ia akan dapat mati terbunuh oleh ilmunya sendiri
jika ia m engerahkan segenap kemampuannya," berkata kakek
gurunya. "Tetapi ia tidak mati," jawab yang tertua. " Ia bahkan
mampu mengalahkan dua orang Saudara seperguruan kami!
Sedangkan aku, y ang tertua, yang sudah mendapat wewenang
mewakili guru, sama sekali tidak dapat mengalahkannya."
Kakek gurunya itu tertawa. Ia berpaling kepada
muridnya y ang menjadi guru orang-orang y ang sedang
bertengkar itu. Katanya, "Apakah kau dapat menjelaskan,
kenapa Wantilan tidak mati?"
Orang itu t ermangu-mangu. Namun kemudian ia justru
bertanya, "Apakah aku harus menjelaskannya?"
Gurunya tertawa. Ia mengerti, bahwa muridnya itu akan
sulit untuk mengatakan apa y ang sebenarnya telah terjadi
kepada murid-muridnya. Karena itu, maka katanya, "Baiklah.
Biarlah aku yang mengatakannya." Ia berhenti sebentar, lalu,
"dengarlah baik-baik. Wantilan tidak akan mati karena
ilmunya sendiri. Ia telah menguasai ilmu dari perguruan kita
dengan baik. Tidak ada kesalahan apapun sebagaimana kalian
lihat." Cucu-cucu muridnya termangu-mangu. Yang tertua itu
pun bertanya, "Bagaimana hal itu dapat terjadi, kakek Guru.
Aku sendiri ikut memberikan latihan-latihan kepadanya
dengan unsur yang telah diputar balikkan."
"Tetapi kesalahan itu diketahuinya sehingga ia sempat
memperbaikinya. Kau tahu siapakah y ang menuntunnya
sehingga Wantilan dapat menguasai unsur-unsur gerak yang
benar?" bertanya kakek gurunya itu.
Murid y ang tertua itu pun menggeleng. Jawabnya,
"Tentu tidak." "Tentu?" ulang kakek gurunya. Lalu katanya, "Yang
memperbaiki kesalahan itu adalah gurumu sendiri."
"Guru?" beberapa orang muridnya bertanya hampir
berbareng. "Ya," jawab kakek gurunya, "jika kalian tidak yakin,
bertanyalah kepada Gurumu."
"Apakah hal itu benar Guru?" bertanya yang tertua.
"Ya," jawab gurunya.
"Kenapa hal itu Guru lakukan?" bertanya y ang tertua.
"Setelah aku m enyadari, bahwa akulah y ang ber salah,"
jawab gurunya. Lalu katanya, "karena itu, maka kalian pun
harus minta maaf kepada Wantilan sebagaimana kakek
gurumu minta kepadamu."
Murid-muridnya merasa ragu-ragu. Seakan-akan
mereka tidak yakin akan pendengarannya. Karena itu, m aka
yang tertua berkata, "Aku tidak percaya. Tentu ada sebabsebabnya
yang mendesak. Mungkin kakek guru telah memaksa
guru untuk melakukan hal itu atau sebab-sebab lain."
"Memang ada sebab-sebab itu," jawab kekek gurunya,
"gurumu telah bertemu dengan orang-orang y ang telah
meluruskan kesalahan itu."
" Jadi Guru terpaksa melakukannya apapun alasannya?"
bertanya yang tertua. "Mula-mula memang terasa terpaksa," jawab gurunya,
"tetapi akhirnya aku menyadari, bahwa sebaiknya aku
memang melakukannya."
"Aku tidak yakin," jawab y ang tertua, "siapakah y ang
telah memaksa Guru untuk melakukan hal itu?"
Gurunya memang ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi
orang yang disebutnya kekek Guru itulah y ang menjawab,
"Anak-anak muda itu."
Semua orang telah berpaling kepada Mahisa Murti,
Mahisa Pukat, dan Mahisa Semu dan sekali-sekali mereka
memandang Mahisa Amping. "Anak-anak muda itulah y ang telah m emaksa Gurumu
untuk mengajari agar Wantilan menemukan unsur-unsur yang
benar," jawab kakek Gurunya.
"Anak iblis," geram murid yang tertua itu, "Jika
demikian, maka akan menjadi kewajiban kita memaksa
mereka untuk tunduk kepada kemauan kita. Bahkan jika perlu
kita akan melenyapkan mereka bersama-sama dengan
Wantilan." "Tunggu," desis kakek Gurunya, "jika gurumu tidak
mampu melawan orang itu, apakah kalian akan
melakukannya?" " Di sini sekarang ada Guru, ada kakek Guru, ada
saudara-saudara seperguruanku. Bukankah kita cukup kuat
untuk menghancurkan anak-anak muda itu?" sahut murid
yang tertua itu. Tetapi kakek Gurunya itu tertawa. Katanya, "Terus
terang. Aku tidak berani melakukannya."
"Kenapa kakek Guru tidak berani melakukannya"
Ber sama Guru dan kami?" desak yang tertua.
" Ilmuku tidak akan mampu mengimbangi ilmu Bajra
Geni yang matang. Bahkan dasar ilmu y ang paling bawah
sekalipun tidak akan dapat aku lawan," jawab kakek guru itu.
Ju stru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang
terkejut. Orang tua itu ternyata dapat m enyebut sumber ilmu
mereka. Karena itu hampir diluar sadarnya Mahisa Pukat
bertanya, "Kakek. Apakah y ang kau maksud dengan ilmu Bajra
Geni?" "Kalian tentu mempunyai hubungan dengan mereka
yang memiliki ilmu Bajra Geni. Salah satu di antara tiga,
Witantra, Mahendra atau Kebo Ijo. Tetapi Kebo Ijo telah
terbunuh ketika ia masih muda. Sekarang Witantra dan
Mahendra tentu sudah tua pula. Lebih tua dari aku sekarang
ini," jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Orang itu dapat meny ebut nama-nama itu dengan pasti. Tentu
orang itu mengenal salah seorang di antaranya.
Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya, "Namanama
yang penah kau dengar itu apakah pernah kau kenal
orangnya?" "Dari jalur y ang manakah yang mengalir ke dalam
dirimu anak muda" Ketika ia melihat Wantilan bertempur,
maka aku-pun mengerti sebagian besar dari kemungkinan
yang telah terjadi."
Mahisa Murti ternyata masih mengulangi
pertanyaannya, "Apakah kau m engenal orang-orang y ang kau
sebut namanya itu?" Orang itu m enarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Tidak
anak muda. Tetapi aku pernah melihat, bagaimana mereka
melepaskan unsur-unsur gerak ciri dari perguruan mereka.
Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali, sehingga aku dapat
mengenalinya. Wantilan, betapapun rendahnya tataran
ilmunya y ang dipelajarinya dari kalian berdua, namun sudah
menunjukkan ciri-ciri itu, sehingga aku menduga, bahwa
kalian bersumber dari perguruan y ang memiliki landasan ilmu
puncak Bajra Geni." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti berkata, "Aku tidak
dapat menyebut ciri perguruanku sebagaimana kau katakan.
Tetapi aku bukan apa-apa dibanding dengan perguruan Bajra
Geni." Orang itu tertawa. Katanya, "Jangan m engelabui orang
tua. Semula aku ingin menjajagi sendiri. Tetapi niat itu aku
urungkan. Jika salah paham itu berkembang, maka aku tentu
akan terkapar mati di sini. Karena itu, maka niat itu telah aku
cegah dengan penalaran yang panjang."
"Terima kasih, bahwa kami tidak harus melayanimu,
karena kami tahu, bahwa kau adalah orang berilmu tinggi.
Muridmu dan muridnya lagi termasuk Wantilan adalah contoh
dari tingkat kemampuan pada tataran-tataran tertentu.
Sehingga tataran puncaknya tentu akan sangat
mengagumkan," berkata Mahisa Murti.
"Kau terlalu merendah," berkata orang itu, "namun itu
agaknya ciri dari perguruan y ang m empunyai landasan ilmu
Bajra Geni." Mahisa Murti hanya menarik nafas panjang, sementara
orang itu berkata selanjutnya, "Baiklah. Aku mohon maaf atas
nama murid dan cucu muridku. Jika Wantilan sudah berniat
bersama dengan kalian, maka kami sama sekali t idak akan
dapat menahannya," "Tidak ada yang harus dimaafkan. Kalian semuanya
tidak ber salah kepadaku dan saudara-saudaraku. T etapi cucu
muridmu y ang lain agaknya telah berbuat salah terhadap
Wantilan, apalagi mereka telah berniat membunuhnya. Bukan
sekedar ancaman, tetapi benar-benar akan dilakukan.
Terserah kepadamu dan kepada muridmu, guru dari orangorang
itu, apakah mereka dapat dianggap bersalah, atau
kesalahannya itu sekedar akibat kesalahan muridmu. Tetapi
mereka harus minta maaf kepada Wantilan," berkata Mahisa
Murti. "Ya. Aku dan muridku sudah memerintahkan kepada
mereka untuk minta maaf," desis orang itu y ang kemudian
telah mendekati cucu muridnya y ang tertua. Dengan nada
tinggi ia bertanya, "Bukankah kau belum secara jujur minta
maaf" Bukan sekedar karena kalian takut dan hormat
kepadaku?" Cucu muridnya itu pun termangu-mangu. Namun
memang tidak ada pilihan lain, bahwa mereka memang harus
minta maaf. Apalagi ketika kakek gurunya itu berkata, "Jika
kalian tidak mau minta maaf, maka aku tidak ikut bertanggung
jawab apa yang akan terjadi atas kalian, karena Wantilan dan
anak-anak muda dari perguruan yang memiliki landasan ilmu
Bajra Geni itu tentu akan bertindak terhadap kalian. Tetapi
jika kalian mau dengan tulus minta maaf, maka persoalannya
tentu akan lain." Cucu-cucu muridnya itu termangu-mangu. Namun
akhirnya guru mereka berkata, "Kesempatannya tinggal
sedikit." Yang t ertua di antara murid-muridnya itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara y ang berat, ia
pun telah berkata seorang demi seorang, "Aku minta maaf,
Wantilan. Atas nama semua saudara -saudaraku."
Wantilan justru termangu-mangu sejenak. Tetapi ia
punkemudian berkata, "Baiklah. Kita akan menganggap
persoalan di antara kita sudah selesai."
"Syukurlah," desis kakek gurunya, "ternyata kau cukup
bijaksana." "Rasa-rasanya itu adalah akhir y ang paling baik dari
perselisihan y ang tidak ada ujung pangkalnya," berkata
Wantilan. "Aku memang terlalu banyak membuat kesalahan,"
berkata gurunya, "sejak sekarang, kau tidak perlu merasa
dibebani persoalan yang menyangkut kesalahan y ang telah
dibuat oleh ay ahmu. Ternyata guru, juga kakek gurumu,
menganggap bahwa ayahmu tidak bersalah. Untunglah bahwa
kau telah bertemu dengan anak-anak muda yang mengaku
sebagai pengembara itu, sehingga kau selamat dari rencana
pembunuhanku yang keji. Jika mereka tidak melihat
kesalahan dalam unsur-unsur gerakmu, maka mungkin kau
benar-benar akan mati tanpa kau sadari, bahwa pembunuhan
itu terjadi lewat tenagamu sendiri."
"Aku akan melupakannya Guru," berkata Wantilan,
"bagaimanapun juga aku telah mendapatkan manfaat di saatsaat
aku belajar kepada Guru. Day a tahanku tentu lebih baik
dari saudara-saudara seperguruanku, karena telah terbiasa
bagian dalam tubuhku mendapat serangan terus-menerus
setiap saat aku bergerak. Ketika serangan itu kemudian
berhenti, maka terasa betapa daya tahan tubuhku seakan-akan
menjadi berlipat dari m ereka yang tidak pernah mengalami
kesulitan pada bagian dalam tubuhnya."
"Keuntungan yang kau dapatkan dari usaha yang y ang
buruk atas dirimu. Semoga kau dapat memanfaatkannya
dengan baik," berkata Gurunya.
Wantilan mengangguk hormat. Jawabnya, "Ya Guru.
Aku akan memetik pengalaman yang sebanyak-banyaknya dari
peristiwa ini." Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun
berpaling kepada Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu. Dengan nada rendah ia berkata, "Aku titipkan muridku
kepadamu. Kau tahu tentang orang itu dan bahkan kau tahu
tentang aku dan hubunganku dengan muridku itu sebelumnya.
Tetapi semuanya sekarang telah berubah."
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya,
"Tetapi sebagaimana kalian ketahui, kami adalah pengembara
yang menjelajahi satu tempat ketempat lain."
"Aku yakin, bahwa pengembaraan kalian pada satu saat
tentu akan berhenti. Dengan ilmu kalian y ang tinggi, banyak
hal y ang dapat kalian lakukan," berkata guru Wantilan itu.
"Mereka sedang melakukan tapa ngrame," desis
Wantilan. "Apa maksudnya?" bertanya gurunya, "apakah
maksudnya sebagaimana pengertian dari kata-kata itu sendiri"
Mengembara sambil menolong sesama yang memerlukan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertolongan?" "Ya," jawab Wantilan, "nampaknya memang demikian."
"Satu sebutan y ang berlebihan," sahut Mahisa Murti,
"meskipun kami m emang melakukan, tetapi apa yang kami
perbuat di sepanjang perjalanan adalah membantu sesama
sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami. Membantu
barangkali merupakan tugas yang lebih ringan daripada
menolong. Karena untuk menolong sesama memang
diperlukan bekal yang cukup banyak."
Guru Wantilan itu menarik nafas. Namun kemudian
katanya, "Baiklah. Sejak semula aku sudah mengira bahwa
kalian adalah orang-orang y ang lebih suka merendahkan diri.
Hal itu m embuat aku semakin merasa bersalah. Tetapi sekali
lagi aku titipkan muridku. Meskipun dari segi umur, muridku
tentu lebih tua dari kalian. Tetapi ditakar dari kematangan
ilmu, maka Wantilan bukan apa-apa dibanding dengan kalian.
Karena itu, mudah-mudahan bersama kalian, Wantilan akan
dapat menjadi orang yang berarti."
" Ia sudah mempunyai bekal sebelumnya,"berkata
Mahisa Murti. "Tidak. Diperguruan kami, Wantilan adalah orang a sing
yang justru harus disingkirkan. Ia akan m enjadi lebih berarti
jika ia kalian beri kesempatan ikut bersama kalian dan belajar
dari kalian. Bukan saja belajar olah kanuragan, tetapi juga
mengetrapkannya dalam kehidupan sehingga hidup Wantilan
tidak sia -sia seperti hidup kami. Bahkan seperguruan kami,"
sahut guru Wantilan. Namun y ang m enjawab adalah gurunya, "Sokurlah jika
kita sempat menyadarinya. Karena dengan demikian tentu
akan membawa perbaikan dikemudian hari. Kecuali jika nalar
budi kita memang sudah mati."
Muridnya, guru Wantilan m enarik nafas dalam-dalam.
Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Ternyata bahwa kita
masih mampu mendengarkan suara hati kita."
Gurunya tertawa. Ia mendengar dengan jela s kata-kata
itu. Namun ia tidak menjawab. Bahkan ia pun kemudian
berkata kepada Mahisa Murti, "Sudahlah. Nampaknya
pertemuan kita sudah cukup lama. Satu kesempatan yang
jarang sekali kami dapat. Tetapi pertemuan ini telah membuka
mata saudara-saudara seperguruan Wantilan, bahwa dunia ini
begitu besarnya dengan penghuni y ang demikian banyaknya."
Guru Wantilan itu mengangguk-angguk. Ia tahu benar
maksud kata-kata gurunya itu. Tetapi ia tidak menjawab.
Sejenak kemudian, maka kakek guru Wantilan itulah
yang berkata, "Marilah. Kita akan segera meninggalkan tempat
ini sebelum kehadiran kita di sini menarik perhatian."
"Pategalan ini nampaknya jarang dikunjungi
pemiliknya. Agaknya di musim seperti ini, pategalan ini
dianggap tidak menghasilkan apa-apa," sahut Mahisa Murti.
"Tetapi pertemuan ini sudah cukup," berkata kakek guru
Wantilan itu. Kemudian katanya, "tetapi aku berharap bahwa
pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi."
"Senang sekali bertemu dengan kalian," jawab Mahisa
Murti. Demikianlah, maka orang itu pun telah mengajak
muridnya dan cucu -cucu muridnya untuk meninggalkan anakanak
m uda itu. Sementara itu saudara -saudara seperguruan
Wantilan ternyata masih juga beberapa kali berpaling. Namun
mereka tidak akan dapat mengabaikan kata-kata gurunya dan
bahkan kakek gurunya, bahwa anak-anak muda yang disebut
pengembara itu adalah orang-orang y ang berilmu sangat
tinggi, bahkan lebih tinggi dari kakek gurunya itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah di sepanjang jalan
menjauhi pategalan itu, kakek gurunya sempat berbicara
tentang unsur-unsur gerak yang ia kenali. Unsur-unsur gerak
yang dipergunakan oleh Wantilan.
"Bukan unsur -unsur gerak khusus yang diberikan oleh
guru kalian. Tetapi Wantilan telah belajar pada anak-anak
muda itu," berkata kakek guru Wantilan itu.
Saudara-saudara seperguruannya mengangguk-angguk.
Baru mereka menyadari, bahwa ternyata Wantilan tidak
berdiri sendiri. Tetapi lebih daripada itu, Wantilan memang
tidak sepantasnya disingkirkan sebagaimana pendapat kakek
gurunya. "Anak-anak muda itu pulalah y ang meny elamatkan
Wantilan dari kematian karena ilmunya sendiri," berkata
kakek gurunya itu, "satu pelajaran bagi kalian, bahwa yang
menentukan hidup dan mati kalian adalah satu Kuasa yang
tidak ada taranya. Maha Kuasa.
Yang lain hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi
bagaimanapun juga peristiwa itu akan menjadi batas
perubahan sikapdari perguruan itu. Untuk selanjutnya
perguruan itu tentu tidak akan lagi berbuat sesuatu yang tidak
sewajarnya. Dalam pada itu Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping pun telah berbenah diri. Mereka
akan meninggalkan pategalan itu bersama Wantilan.
"Kita akan ke mana?" tiba -tiba saja Wantilan bertanya.
"Kita tidak perlu lagi berjaga-jaga menghadapi saudarasaudara
seperguruanmu karena mereka ternyata sudah
datang. Kita akan kembali ke padepokan yang sudah terlalu
lama kami tinggalkan," jawab Mahisa Murti.
"Aku akan ikut kemanapun kalian pergi," berkata
Wantilan. "Baiklah," jawab Mahisa Murti, " sudah kita sepakati,
bahwa kau kami anggap sebagai paman kami. Bukan kakak
kami, karena kakak bagi murid-murid sebuah perguruan akan
dapat berarti juga tingkat perbandingan ilmu."
"Aku mengerti," jawab Wantilan, "karena itu, aku sudah
merasa bersy ukur bahwa aku diperbolehkan ikut serta
bersama kalian." Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka telah
melanjutkan perjalanan. Mereka menempuh jalan kecil yang
menuju ke sebuah padukuhan. Mereka berharap bahwa di
padukuhan itu terdapat sebuah kedai yang dapat memberikan
mereka makanan dan minuman.
Ternyata di padukuhan yang cukup besar itu bukan saja
dapat dijumpai sebuah kedai. Bahkan di padukuhan itu ada
pasarnya pula, meskipun tidak begitu ramai. Apalagi
nampaknya hari itu memang bukan hari pasaran, sehingga
hanya sebagian saja dari pasar itu yang terisi. Bahkan sebagian
para pedagang sudah pulang karena matahari m emang sudah
terlalu tinggi lewat di puncak langit.
Ketika mereka meninggalkan padukuhan itu, maka tiba -
tiba saja Wantilan itu berkata, "Jalan ini menuju ke rumah
paman." "Paman siapa?" bertanya Mahisa Murti.
"Pamanku," jawab Wantilan, "saudara ayahku satusatunya.
Sudah lama sekali aku tidak bertemu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Wantilan
berkata, "Apakah kalian tidak berkeberatan jika kita singgah
barang sebentar." "Aku tidak ingin perjalanan kami terhenti lagi," berkata
Mahisa Murti. "Hanya sebentar. Tidak akan mengganggu perjalanan
kita. Kita tidak akan bermalam di rumah paman. Aku hanya
ingin bertemu sejenak setelah lama sekali t idak pernah
bertemu," berkata Wantilan.
Mahisa Murti berpaling kepada Mahisa Pukat y ang
tersenyum. Katanya sebelum Mahisa Murti bertanya sesuatu
kepadanya, "Terserah kepadamu. Tetapi jika hanya beberapa
saat saja, aku kira tidak akan berpengaruh atas perjalanan
kami. Tetapi kami tidak akan menginap di rumahnya."
"Terima kasih," sahut Wantilan sebelum Mahisa Murti
mengucapkan keputusannya.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
dapat berbuat lain kecuali meny etujui keinginan Wantilan
untuk singgah. Ternyata padukuhan tempat tinggal paman Wantilan
masih belum terlalu dekat. Tetapi agaknya memang terletak di
jurusan y ang mereka tempuh menuju ke padepokan mereka.
Baru ketika matahari menjadi semakin rendah di sisi
Barat, Wantilan berkata, "Itulah padukuhan paman. Aku
masih ingat, sebatang randu alas yang besar hampir
berhimpitan dengan sebatang pohon ketapang raksasa dan
sebatang pohon cangkring, sehingga dari kejauhan nampak
sebatang pohon y ang sangatbesar dengan tiga m acam daun
dan tiga macam bunga. Disebelah pohon itu tentu terdapat
sebuah sendang yang meskipun tidak begitu luas, tetapi mata
airnya cukup besar sehingga dapat mengairi beberapa bahu
sawah disekitarnya. Aku ingat jela s, bahwa di padukuhan yang
baru saja kita tinggalkan itu aku pernah beristirahat di gardu.
Namun aku telah diusir oleh beberapa orang anak muda,
karena mereka mengira bahwa aku pantas dicurigai."
"Kau sendiri waktu itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tidak. Aku berjalan bersama ayahku," berkata
Wantilan. Lalu katanya, "Memang satu kenangan yang buruk.
Kunjungan itu adalah kunjungan ayah y ang terakhir ke rumah
paman, karena beberapa tahun kemudian, ayah telah
meninggal." Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil sambil
bertanya, "Kesalahan apakah y ang pernah dilakukan oleh
ay ahmu, sehingga gurumu menganggap ayahmu berkhianat
dan bahkan telah membebankan hukumannya kepadamu?"
Wantilan m enggeleng. Jawabnya, "Aku tidak tahu apaapa.
Gurupun tidak mengatakan apa-apa. Juga hukuman yang
dibebankan kepadaku itu. Apalagi guru berniat membunuhku
perlahan-lahan dengan kekuatan ilmu y ang aku per oleh itu
sendiri." "Memang satu hukuman yang sangat berat. Tetapi
nampaknya gurumu sudah m enyadari sepenuhnya, bahwa ia
telah bersalah," berkata Mahisa Murti.
Wantilan mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Pukat
bergumam, "Pamanmu tentu senang sekali melihat
kedatanganmu." "Tentu.," jawab Wantilan, "paman dan bibi akan sangat
senang oleh kedatanganku."
"Tentu akan menyembelih kambing," tiba -tiba saja
Mahisa Amping bergumam. Semua y ang m endengar gumam itu berpaling. Hampir
berbareng mereka tertawa. Dengan nada rendah Wantilan
berkata, "Paman tidak mempunyai seekor kambing pun."
"Tetapi itu sudah bertahun-tahun y ang lalu," Mahisa
Pukat lah y ang menjawab, "Siapa tahu, sekarang pamanmu
mempunyai segerombolan kambing y ang gemuk."
Wantilan memang tertawa. Tetapi ia berkata, "Pamanku
termasuk seorang yang tidak kaya."
"Kambing bukan hanya milik orang kaya," jawab Mahisa
Semu. Wantilan masih saja tertawa. Tetapi ia tetap menjawab.
Sementara itu, maka mereka pun semakin lama menjadi
semakin dekat dengan padukuhan tempat tinggal paman
Wantilan itu. Ternyata tidak banyak perubahan y ang terjadi. Pintu
gerbang padukuhan masih juga seperti dahulu. Demikian pula
jalan yang membelah padukuhan itu menjadi dua bagian.
Sebelah kiri dan sebelah kanan jalan.
Kelima orang itu pun telah m enyusuri jalan padukuhan
yang mulai menjadi buram itu. Matahari menjadi semakin
rendah di sisi Barat langit y ang cerah.
"Rumah paman di sebelah pohon gayam itu. Aku masih
ingat, di musim gayam, buahnya sangat lebat," berkata
Wantilan. "Siapakah y ang berhak m engambil buahnya jika pohon
itu berada di pinggir jalan, diluar dinding halaman?" bertanya
Mahisa Pukat. "Orang yang memiliki halaman terdekat," jawab
Wantilan, "jadi pamanlah yang mengambil buah gayam itu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara itu
merekamelangkah terus. Jalan-jalan rasa-rasanya sudah
menjadi semakin lenggang. Satu dua orang masih mereka
jumpai pulang dari sawah atau pategalan. Namun mereka pun
segera hilang di balik regol-reg ol halaman.
Tiba-tiba saja Wantilan berhenti sambil berkata, "Inilah
rumah paman." Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping termangu-mangu sejenak. Ternyata bahwa paman
Wantilan adalah seorang yang sedang-sedang saja. Tidak
nampak berlebihan, tetapi menilik rumah dan halamannya,
serta regolny a, ia bukan seorang yang miskin.
"Marilah," ajak Wantilan.
Kelima orang itu pun kemudian telah memasuki
halaman. Seorang yang m elihat mereka telah mendekatinya
dengan langkah y ang ragu.
"Apakah keperluan kalian?" bertanya orang itu.
"Aku adalah Wantilan," jawab Wantilan, "bukankah di
sini rumah paman Sarpada?"
"Ya. Ini rumah kakang Sarpada?" jawab orang itu.
Wantilan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, "Jika
demikian tolong, sampaikan. Aku kemenakannya, Wantilan."
Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun
berkata, "Silahkan duduk. Aku akan menyampaikannya
kepada kakang Sarpada."
Namun ketika orang itu melangkah, Wantilan sempat
bertanya, "Siapakah Ki Sanak?"
"Aku tinggal di sebelah. Sehari-hari aku m embantu di
sini, selama kakang Sarpada sakit," jawab orang itu.
" Jadi paman Sarpada sedang sakit?" bertanya Wantilan.
"Ya. Tetapi biarlah aku menyampaikannya," berkata
orangitu. Sejenak kemudian, orang itu telah masuk ke dalam lewat
seketheng. Beberapa saat Wantilan dan anak-anak muda y ang
mengembara itu menunggu. Namun ternyata mereka tidak
memerlukan waktu terlalu lama. Sejenak kemudian, maka
orang itu telah keluar lagi sambil berkata, "Marilah. Masuklah.
Paman dan bibimu menunggumu."
Wantilan memang ragu-ragu. Namun orang itu berkata,
"Ajak kawan-kawanmu untuk masuk bersamamu."


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sejenak kemudian mereka telah memasuki rumah itu
dari pintu samping. Seperti y ang diduga, maka paman dan bibi
Wantilan merasa senang sekali mendapat kunjungan
kemenakannya y ang telah lama sekali tidak bertemu. Apalagi
kedua orang paman dan bibinya itu sudah m endengar bahwa
ay ah Wantilan telah meninggal.
"Kami merasa kesepian," berkata pamannya y ang
ternyata memang sedang sakit. Namun karena kedatangan
Wantilan, maka ia pun telah duduk di bibir pembaringannya,
"paman dan bibi m enjadi semakin tua. Sementara itu, seperti
kau ketahui, paman dan bibi tidak m empunyai seorang anak
pun. Yang kami tunggu-tunggu selama ini memang kau
Wantilan." Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa
ia tidak jadi mati karena tenaga dan ilmunya sendiri.
Sementara itu Wantilan sempat memperkenalkan anakanak
muda pengembara itu sebagai sahabat-sahabatnya.
"Mereka menganggap aku sebagai pamannya sendiri,"
berkata Wantilan. "Senang sekali bertemu dengan kalian," berkata paman
Wantilan y ang sedang sakit itu.
"Kami hampir tidak sabar menunggumu Wantilan,"
berkata bibinya kemudian, "rasa-rasanya kami sudah hampir
mati, sementara kau masih juga belum datang."
"Aku tentu datang bibi," sahut Wantilan, "sebagaimana
bibi lihat sekarang."
Bibinya mengangguk kecil. Katanya, "Aku memang
yakin, bahwa kau pa sti datang. Untunglah bahwa kau belum
terlambat." "Terlambat" Maksud bibi?" bertanya Wantilan.
"Kau lihat, pamanmu jatuh sakit. Bibi juga sudah sakitsakitan
saja. Untunglah bahwa tetangga sebelah bersedia
membantu kami, sehingga pekerjaan kami menjadi ringan,"
berkata bibiny a, "tetapi sebenarnyalah kami sudah cemas,
bahwa umur kami tidak akan sampai pada batas
kedatanganmu." "Ah jangan berpikir begitu bibi. Paman akan menjadi
baik dan bibi akan tetap sehat," berkata Wantilan kemudian.
"Mungkin," jawab bibiny a. Namun kemudian katanya.
"Marilah, duduklah di ruang tengah."
Wantilan serta anak-anak muda yang mengaku
pengembara itu pun kemudian telah duduk di ruang tengah di
atas sehelai tikar pandan y ang dibentangkan di atas sebuah
amben y ang besar. Ketika pamannya berjalan tertatih-tatih ditolong oleh
bibinya ke ruang itu pula, Wantilan berusaha untuk
mencegahnya. Tetapi pamannya tersenyum, "Kedatanganmu
telah membuat aku sembuh dengan serta merta."
"Tetapi paman masih sangat lemah," berkata Wantilan.
"Tidak," pamannya menggeleng, "aku cukup kuat."
Pamannya memang kemudian duduk ber sama Wantilan
dananak-anak muda yang mengaku pengembara itu. Ternyata
bersama mereka paman Wantilan itu sempat berbicara cukup
panjang. Bahkan sekali-sekali terdengar suara tertawanya
yang berkepanjangan. Bibinyapun nampak m enjadi segar dan
ikut tertawa-tawa pula. Namun Wantilan kemudian ternyata telah
mengecewakan paman dan bibinya ketika ia berkata, "Kami
hanya sekedar singgah kali ini paman. Tetapi jangan cemas.
Pa da saat y ang lain aku akan datang lagi."
Pamannya menundukkan kepalanya. Katanya, "Jika kau
pergi, kapanpun kau kembali, maka semuanya sudah
terlambat." "Ah, paman tentu akan sembuh," berkata Wantilan.
"Bukan aku akan m ati," b erkata pamannya, "m eskipun
aku akan sembuh, tetapi persoalannya tentu sudah menjadi
semakin kusut." Wajah Wantilan menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia
bertanya, "Apakah persoalannya paman?"
Paman Wantilan itu menarik nafas dalam-dalam.
Dengan suara lemah ia berkata, "Tanah itu."
"Tanah y ang mana?" bertanya Wantilan.
"Tanahku di sebelah bulak. Sebenarnya tanah itu bukan
milikku sendiri. Tetapi tanah itu m ilikku dan m ilik ay ahmu.
Tetapi ay ahmu ternyata tidak pernah datang kembali untuk
menerima bagiannya. Tetapi itu pun tidak menjadi persoalan,
karena aku m erasa bahwa akhirnya semuanya akan jatuh ke
tanganmu, karena kau tahu bahwa aku tidak mempunyai
anak." Paman Wantilan itu berhenti sejenak, lalu katanya
selanjutnya, "Kau tahu, bahwa tanah itu cukup luas, sehingga
karena itu, maka untuk masa depanmu, kau tidak perlu cemas
meskipun kau tidak mengerjakannya sendiri."
"Ya paman," jawab Wantilan.
"Dan kau tahu, bahwa di tengah-tengah tanah kita
terdapat sebuah mata air yang cukup besar, sehingga sawah
kita tidak akan pernah menjadi kering. Dengan demikian
maka tanah kita merupakan tanah yang paling subur di daerah
ini," paman Wantilan itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu,
"Meskipun demikian aku tidak menahan air itu untuk
kepentinganku sendiri. Aku telah memberikan air y ang ter sisa
kepada mereka yang memerlukan. Karena itu, tanah di sekitar
tanah kita itu pun dapat menanam padi dua kali dalam
setahun di samping palawija. Dengan demikian maka
kehidupan paman dan tetangga-tetangga paman menjadi agak
baik karenanya," Paman Wantilan itu berhenti sejenak, ia
nampak ragu-ragu. Namun akhirnya ia m eneruskan, "Tetapi
ternyata seseorang tidak menyukai keadaan itu. Orang itu
ingin mendapatkan air seluruhnya dari tanah kita. Orang itu
tidak membiarkan paman membagi -bagi air untuk para
tetangga. Orang itu ingin semua air dari m ata air itu untuk
mengairi sawahnya y ang luas, tetapi kering. Tetapi sudah
tentu paman tidak sependapat, meskipun aku tidak m enolak
untuk mengalirkan sebagian air ke sawahnya."
"Apa y ang dikehendaki orang itu sebenarnya paman?"
bertanya Wantilan. "Orang itu ingin membeli tanah kita," jawab pamannya.
"Membeli" Bukankah paman tidak berniat untuk
menjualnya?" bertanya Wantilan.
"Aku sudah mengatakannya, bahwa aku tidak akan
menjual tanah itu. Bahkan aku pun telah mengatakannya,
bahwa tanah itu bukan milikku lagi, tetapi milik
kemanakanku. Namun agaknya orang itu tidak percaya. Ia
telah memaksa untuk membeliny a, bahkan dengan harga yang
ditentukan sendiri," berkata pamannya.
" Jika paman berkeberatan, bukankah ia tidak dapat
memaksa?" bertanya Wantilan.
"Orang itu selalu menakut-nakuti paman dengan
berbagai macam cara," jawab pamannya.
"Apakah paman tidak m elaporkannya kepada Ki Bekel
atau bahkan Ki Buyut?" bertanya Wantilan.
"Aku sudah melaporkannya lebih dari sekali," jawab
paman Wantilan, "tetapi Ki Bekel t idak dapat berbuat apaapa."
Wantilan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia -pun bertanya, "Kenapa Ki Bekel tidak dapat berbuat apaapa?"
"Orang yang akan m embeli tanah kita itu mempunyai
pengaruh yang sangat besar di padukuhan ini. Ia seorang yang
kaya, yang dengan kekayaannya ia dapat membeli apa saja.
Bahkan kekuasaan Ki Bekel. Kecuali kekayaannya, ia pun
memiliki kekuatan. Beberapa orang upahannya adalah orangorang
berilmu tinggi, sehingga mereka akan dapat dengan
mudah melenyapkan musuh-musuh orang y ang mengupahnya
itu," berkata paman Wantilan itu.
0ooodwooo0 (Bersambung ke Jilid 76).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 76 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari
/ Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 076 WANTILAN menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Seharusnya hal itu tidak boleh terjadi. Paman harus
melaporkannya kepada Ki Buyut."
Paman Wantilan itu termangu-mangu. Namun ia pun
bergumam, "Ki Buyut tinggal di padukuhan y ang agak jauh.
Tetapi aku tidak yakin, apakah Ki Buyut mampu m elindungi
aku dari kekerasan sikap orang yang kaya itu. Dapat terjadi
orang itu, dengan berlindung dibawah kuasa Ki Bekel, berbuat
sesuatu atasku. Bahkan membunuhku."
Wantilan termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka keduanya
sal ing berpandangan. "Hal ini ada diluar perhitunganku," berkata Wantilan.
Mahisa Murti pun kemudian bergumam, "Kita akan
menghadapi per soalan baru. Lalu bagaimana dengan
perjalanan kita?" Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Hampir diluar
sa darnya ia berkata, "Kita perlu mengetahui perkembangan
keadaan ini?" Mahisa Murti tidak menjawab pertanyaan Mahisa Pukat
itu. Seperti y ang sudah mereka jalani, maka mereka sulit
untuk menghindari dari masalah-masalah y ang mereka
temukan di perjalanan kembali itu .
Namun dalam pada itu, paman Wantilan telah berkata,
"Tetapi sudah barang tentu, kita jangan m engganggu kawankawanmu
itu. Kau dan kami, paman dan bibimu akan mencari
jalan keluar dari kesulitan ini. Mungkin memang dengan
melaporkannya kepada Ki Buyut. Atau barangkali ada jalan
lain." "Barangkali itu adalah jalan y ang paling baik paman.
Melaporkannya kepada Ki Buyut," berkata Wantilan.
"Soalnya, siapakah y ang akan berangkat kerumah Ki
Buyut itu" Aku dan bibimu y ang sakit-sakitan tentu tidak akan
pernah sampai kerumah Ki Buyut seandainya kami
mencobanya. Jika bukan karena peny akit kami, maka orangorang
upahan itu akan membuat kami hilang diperjalanan
tanpa bekas," berkata paman Wantilan itu.
Wantilan termangu-mangu sejenak. Namun ia pun
kemudian b ertanya kepada anak-anak muda itu, " Bagaimana
jika aku pergi sebentar kerumah Ki Buyut" Menurut
pendapatku, hari sudah m enjadi gelap. Kita tentu tidak akan
dapat melanjutkan perjalanan. Karena itu, biarlah kalian
menunggu aku di sini. Aku akan pergi kerumah Ki Buyut."
" Jangan Wantilan," berkata paman dan bibinya hampir
berbareng, "orang-orang yang menjadi orang upahan itu
benar-benar tidak berjantung. Ia dapat membunuhmu atau
membunuh aku di sini."
"Bukankah mereka tidak tahu bahwa aku pergi ke
rumah Ki Buyut sekarang ini?" bertanya Wantilan.
"Rumah ini selalu diawasi. Sekarang, mereka pun tentu
sudah tahu bahwa di rumah ini ada beberapa orang tamu.
Mungkin mereka ingin tahu, siapakah tamuku malam ini,"
berkata paman Wantilan itu.
Wantilan memang menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun
kemudian berkata, "Jika benar mereka m engawasi rumah ini
dan berusaha ingin mengetahui siapakah tamu paman, maka
itu adalah kebetulan sekali."
"Tetapi ingat Wantilan," berkata pamannya, "orang itu
mempergunakan kekayaannya untuk membeli kemampuan
orang-orang berilmu tinggi sekaligus kekuasaan Ki Bekel di
padukuhan ini." Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab. "Sudahlah," berkata pamannya, "aku tidak ingin
membuat kau dan apalagi tamu-tamumu menjadi gelisah.
Biarlah apa yang akan terjadi nanti. Sekarang, lupakan saja.
Tetapi sudah tentu aku minta kalian tidak segera
meninggalkan tempat ini."
Wantilan memandang anak-anak muda itu dengan
penuh harap. Tetapi ia tidak dapat mengatakan apa-apa.
Namun dalam pada itu Mahisa Murti lah y ang
menyahut, "Baiklah paman Sarpada. Malam ini kami akan
tinggal di sini." " Jangan hanya malam ini," berkata paman Wantilan itu.
"Wantilan memerlukan beberapa hari untuk m engurus
tanahnya. Atau malahan ia tidak perlu sama sekali
mengurusnya jika keadaan itu akan membahayakan jiwanya.
Aku kira, kita akan lebih menghargai jiwa kita daripada
sebidang tanah betapapun luasnya. Karena jika kita mati, maki
tanah itu pun tidak akan berarti apa-apa buat kita."
"Kita masih mempunyai Ki Buyut paman," berkata
Wantilan. Lalu, "Karena itu, maka biarlah aku menemuinya."
" Jangan sekarang," berkata bibinya, "kita tunggu
perkembangan keadaan dengan kedatanganmu."
Wantilan m emang tidak memaksa. Tetapi ia ragu-ragu
jika ia tidak berangkat malam itu, apakah besok ia masih
mempunyai waktu jika Mahisa Murti tidak dapat lagi
menunggu lebih lama. Ada bagian cerita yang hilang di s ini
Tetapi orang itu tertawa. Katanya dengan nada tinggi,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kami tidak sedang menakut-nakuti. Tetapi kami berkata
dengan sungguh-sungguh."
Wantilan menggeram. Tetapi ia tidak menjawab,
sementara orang-orang itu pun melangkah keluar seorang
demi seorang. Tetapi rasa-rasanya darah Wantilan masih saja
menggelegak. Namun pamannya berkata, "Sudahlah Wantilan.
Kita masih mempunyai kesempatan untuk berpikir malam
ini." "Apa yang kita pikirkan malam ini" Meny erahkan tanah
itu kepada orang yang tamak itu?" bertanya Wantilan.
"Kita tidak berday a apa-apa," jawab pamannya,"jika kita
berkeras, maka kita akan dapat m engalami kesulitan. Selama
ini aku memang bertahan. Aku menunggumu. Tetapi aku tidak
ingin kau datang ke rumah ini untuk mengantarkan ny awamu.
Aku hanya ingin kau mengesahkan keputusan ini."
"Tidak paman," berkata Wantilan, "aku akan
melanjutkan sikap paman selama ini. Aku tidak akan
menyerah apapun y ang terjadi. Jika aku mati di dekat mata air
itu, maka semua orang akan tahu apa yang telah terjadi di sini.
Meskipun barangkali orang itu dapat m enguasai tanah dan
mata air itu, tetapi setiap orang akan tahu, bahwa ia telah
merampok tanah itu dari tangan paman."
"Taruhan y ang sangat mahal Wantilan," berkata
pamannya, "kita akan dapat mencari jalan lain untuk
mempertahankan hidup kita kelak tanpa tanah dan mata air
itu." "Soalnya bukan sekedar kehidupan kita kelak paman,
tetapi kita harus mempertahankan hak kita," berkata
Wantilan. Pamannya menarik nafas dalam-dalam.
Katanya,"Menghadapi orang seperti itu, apakah kita masih
akan dapat berbicara tentang hak?"
"Aku akan mencoba. Aku akan pergi ke rumah Ki
Demang," berkata Wantilan.
" Jangan. Jangan." cegah pamannya dengan serta merta.
"Orang itu tidak sekedar menakut-nakuti Wantilan,"
berkata bibiny a. "Apa boleh buat," jawab Wantilan.
"Tetapi kau tidak sependapat. Aku m elarangmu pergi,"
berkata pamannya, "Jika kau masih menganggap aku
pamanmu, lakukan itu."
Wantilan menarik nafas dalam-dalam. Ia t idak dapat
melanggar perintah pamannya. Apalagi pamannya sedang
sakit. Karena itu, maka ia pun kemudian telah duduk dengan
hati y ang resah. Namun tiba-tiba tetangga Ki Sarpada y ang ada di rumah
itu telah mendekat sambil berkata, "Biarlah aku yang pergi.
Orang-orang itu tidak mengenal aku. Aku akan lewat jala
butulan, masuk ke halaman rumahku. Kemudian memanjat
dinding dan memasuki halaman sebelah dan sebelah lagi.
Mereka tentu bersedia membantu kita, karena seperti aku,
mereka pun sempat memanfaatkan air dari tanah Ki Sarpada.
Dari rumah itu aku akan keluar sambil membawa cangkul dan
barangkali alat-alat untuk memberikan kesan bahwa aku akan
pergi ke sawah." "Apakah mereka tidak mencurigaimu" Untuk apa kau
pergi ke sawah?" bertanya paman Wantilan.
"Banyak alasan dapat kubuat," jawab orang itu.
"Misalnya alasan apa" Aku tidak mau jika Kau pun
harus mengorbankan ny awamu untukku dan untuk
kemanakanku," berkata Ki Sarpada, "bahwa kau bersedia
membantuku di sini, aku sudah merasa sangat beruntung.
Karena itu, kau tidak perlu memberikan pengorbanan lebih
banyak lagi." "Ki Sarpada," berkata orang itu, "persoalannya agak
lebih luas dari sekedar keperluan pribadi. Tetapi jangan
cemas. Aku akan mengatakan kepada orang-orang itu, jika
mereka melihat aku dan mencurigainya, bahwa aku akan
mencuri airmu. Tetapi mudah-mudahan aku luput dari
pengawasan mereka, karena kau akan keluar dari regol
halaman rumah yang lain. Karena agaknya hanya regol
rumahmu sajalah yang mereka awasi. Atau barangkali sejauhjauhnya
pintu pringgitan di depan. Mereka tidak akan melihat
aku keluar dari pintu dapur di belakang."
"Tetapi mereka tentu tidak hanya sekedar m engawasi
pintu pringgitan, pintu regol halaman dan regol padukuhan,
tetapi mereka tentu akan mengawasi jalan bulak yang terbuka
itu, karena jika seseorang pergi ke padukuhan induk tentu
akan melalui jalan bulak itu," berkata Ki Sarpada.
"Aku akan menghindari jalan bulak yang menuju ke
padukuhan induk. Aku akan berjalan menuju ke sumber air
itu, karena aku akan mencuri air," berkata orang itu.
Tetapi Ki Sarpada menggeleng. Katanya, "Tidak perlu."
Namun agaknya orang itu punya alasan tersendiri, "Ki
Sarpada. Seseorang yang mengambil langkah yang berbahaya,
pada umumnya tidak akan luput dari pamrih pribadi, aku juga
mempunyai pamrih pribadi. Jika Ki Demang dapat menjadi
sak si dari peristiwa itu, maka aku kira sumber air itu akan
tetap berada di tangan Ki Sarpada. Bukankah dengan
demikian aku akan tetap mendapat bagian bagi sawahku"
Tanpa air itu, maka sawahku akan kering dan tandus.
Keluargaku akan kelaparan dan barangkali juga beberapa
keluarga yang lain, yang sampai hari ini menggantungkan
hidupnya pada sumber air di tengah-tengah tanah Ki Sarpada
itu. Karena itu, untuk hidupku sekeluarga, maka kerja ini
adalah memadai." Ki Sarpada y ang sedang sakit itu termangu-mangu.
Beberapa saat ia membuat pertimbangan-pertimbangan.
Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, tetangganya itu
berkata, "Hanya Ki Demang lah yang dapat m enilai tingkah
laku Ki Bekel. Apakah ia pantas menjadi pengay oman di
padukuhan ini." Ternyata orang itu m emang tidak m enunggu keputusan
Ki Sarpada. Ia pun kemudian telah dengan serta merta
meninggalkan ruang tengah itu. Ketika Ki Sarpada memanggil,
orang itu memang berhenti, tetapi ia ju stru berkata, "Aku
tahu. Ki Sarpada sakit karena memikirkan tanah dan air yang
ingin dirampas orang itu."
Tanpa berpaling lagi, orang itu pun telah keluar lewat
pintu dapur, menyusup di antara pohon-pohon perdu di
kegelapan dan hilang lewat pintu butulan, memasuki halaman
rumahnya sendiri." Di rumahnya orang itu mengambil alat-alat y ang patut
dibawa ke sawah untuk membuka pematang dan mengalirkan
air ke kotak-kotak sawahnya. Namun kemudian, ia telah
menyusup lagi melalui kebun belakang ke halaman di
sebelahnya dan di sebelahnya lagi.
Baru kemudian orang itu keluar regol halaman sambil
memanggul cangkul, membawa sabit dan bahkan kail.
Ternyata ia luput dari pengawasan orang yang ada di
seberang rumah Ki Sarpada untuk mengawasi regol
halamannya jika ada orang y ang keluar dan masuk. Tetapi
orang itu telah bertemu dengan dua orang yang berjalan hilir
mudik di depan regol padukuhan.
"Siapa kau?" tiba -tiba salah seorang di antara kedua
orang itu membentak. Orang y ang akan pergi ke sawah itu terkejut. Tetapi ia
tidak segera menjawab. Dengan gemetar orang itu telah
berjongkok di pinggir jalan.
"Siapa kau dan akan pergi ke mana malam-malam
begini he?" bentak orang yang hilir mudik itu pula.
"Aku, aku tidak akan mencuri," jawab orang itu gemetar.
Namun justru karena itu, maka orang-orang y ang
beradadi luar reg ol itu telah menjadi curiga. Dengan nada
berat seorang di antaranya bertanya, "Apa yang sebenarnya
akan kau lakukan" Kau justru tentu akan mencuri. Nah, kau
akan mencuri apa" Dimana" Atau barangkali kau sudah
mencuri?" "Tidak. Aku tidak m encuri," orang itu menjadi semakin
gemetar. Namun tiba-tiba saja seorang di antara k edua orang itu
mencabut pedangnya sambil berkata, "Katakan terus terang.
Atau aku harus melubangi lehermu."
" Jangan," orang itu bagaikan meringkik.
"Karena itu, katakan. Untuk apa kau keluar malammalam
begini," geram orang itu sambil meny entuh pundaknya
dengan ujung pedang. "Tidak apa-apa. Aku akan pergi ke sawah," jawab
orangitu. "Kenapa ke sawah m alam-malam?" orang itu menjadi
semakin kasar, sementara ujung pedangnya menekan semakin
kuat, "kau tahu, bahwa dengan sedikit tekanan lagi, ujung
pedangku akan mengoy ak kulitmu."
"Baik. Baik, aku akan mengatakannya," suara orang itu
bergetar, "aku memang akan mencuri. Tetapi mencuri air.
Sawahku memerlukan air. Jika tidak, padiku yang baru
tumbuh itu akan mati."
"Air" Air apa?" bentak orang itu.
"Air dari sawah Ki Sarpada," jawab orang ini dengan
gemetar. Kedua orang yang menghentikannya di luar reg ol
padukuhan itu saling berpandangan. Namun keduanya tidak
lagi menjadi sangat garang.
Tetapi seorang di antaranya berkata, "Bagaimana jika
aku melaporkan kepada Ki Sarpada bahwa kau akan mencuri
airnya?" "Orang itu sedang sakit," jawab orang yang mengaku
akan mencuri itu. "Kalau ia melaporkan kepada Ki Bekel?" bertanya orang
yang membawa pedang itu. "Ki Bekel tidak begitu senang kepada Ki Sarpada.
Mudah-mudahan aku tidak dihukum," jawab orang itu.
Orang yang membawa pedang itu telah mengangkat
pedangnya. Katanya, "Terserah kepadamu. Tetapi aku sudah
memperingatkan, bahwa sebaiknya kau tidak mencuri apapun
juga." Orang y ang berjongkok di pinggir jalan itu masih
termangu-mangu. Namun orang yang m embawa pedang itu
membentak, "Pergi. Apapun y ang akan kau lakukan."
Orang itu pun beringsut selangkah demi selangkah.
Namun kemudian ia pun telah meloncat dan berlari
meninggalkan kedua orang itu.
" Ia tidak hanya akan mencuri air," berkata kawan orang
yang membawa pedang itu. "Mencuri apa lagi?" bertanya kawannya yang membawa
pedang. " Ia m embawa kail. Ia tentu akan mencuri ikan juga di
belumbang Sarpada itu," berkata y ang lain.
"Aku tidak peduli. Biar saja ikan di belumbang Sarpada
itu habis dicuri orang," sahut kawannya.
Demikianlah, maka tetangga Ki Sarpada itu berhasil
melampaui orang-orang yang berjaga-jaga di reg ol padukuhan
untuk mengawasi agar tidak seorang pun di antara keluarga Ki
Sarpada y ang keluar untuk pergi ke rumah Ki Demang.
Bagaimanapun juga Wantilan telah bertekad bulat.
Dengan bekal ilmu yang ada padanya, ia akan
mempertahankan mati-matian tanah dan mata air itu. Bukan
karena ketamakannya untuk memiliki, tetapi semata-mata
karena ia tidak ingin haknya terinjak-injak.
Wantilan akhirnya juga dapat t ertidur beberapa saat.
Tetapiwaktu y ang singkat itu telah dapat meny egarkan
tubuhnya, sehingga tenaganya serasa telah utuh bulat untuk
menghadapi segala kemungkinan.
Ketika matahari t erbit, Wantilan telah bersiap.
Sementara Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Mahisa Amping-pun telah bersiap pula.
"Kita akan pergi ke sawah itu," berkata Wantilan.
"Apakah tidak terlalu pagi?" bertanya Mahisa Pukat,
"bukankah matahari baru saja naik?"
"Kami kemarin tidak meny ebut saat untuk datang ke
mata air itu. Tetapi bagiku semakin pagi semakin baik. Segala
sesuatunya akan lebih cepat diselesaikan," jawab Wantilan.
"Tetapi bagi Sarpada yang sedang sakit itu tentu lain. Ia
tidak boleh terlalu lama berada di sawah," berkata Mahisa
Pukat. "Paman dan bibi telah siap menghadapi segala
kemungkinan. Bahkan seandainya mereka berdua tidak dapat
kembali ke rumah ini dan harus berkubur di mata air itu,"
berkata Wantilan. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Terserah kepada kalian. Apakah kalian akan berangkat
sekarang, atau nanti."
"Aku akan menemui paman," berkata Wantilan, "aku
masih akan mencoba mencegahnya pergi ke sawah. Tetapi
agaknya aku tidak akan berhasil."
Sejenak kemudian, m aka Wantilan pun telah m enemui
paman dan bibinya. Ia masih mencoba untuk mencegah
pamannya, agar dalam keadaan sakit tidak usah pergi ke
sawah. "Aku akan meny elesaikannya," berkata Wantilan.
"Aku akan berada di mata air itu apapun y ang akan
terjadi," berkata Ki Sarpada.
Wantilan memang tidak dapat mencegahnya lagi.
BahkanKi Sarpada itu pun berkata, "Kita akan segera
berangkat." Namun Ny i Sarpada masih sempat meny ediakan
beberapa kerat ketela pohon rebus untuk tamu-tamunya
sebelum mereka berangkat ke tanah dengan mata air yang
diperebutkan itu. Beberapa saat kemudian, maka Wantilan telah memapah
Ki Sarpada y ang sakit itu bersama-sama dengan Ny i Sarpada.
Beberapa orang tetangganya yang melihatnya, telah bertanya,
ke mana Ki Sarpada y ang sedang sakit itu akan pergi.
Ki Sarpada ternyata tidak m erahasiakan apa yang akan
dilakukannya. Kepada tetangga-tetangganya ia mengatakan,
bahwa ia akan membuat peny elesaian dengan orang y ang akan
membeli dengan paksa tanah dan mata airnya itu.
"Tetapi Ki Sarpada sedang sakit," berkata tetangganya.
"Sama saja bagiku. Daripada aku m ati di rumah, lebih


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik aku m ati di genangan air di sawahku itu," berkata Ki
Sarpada. Tetangga-tetangganya memang menaruh perhatian
besar terhadap persoalan tanah dan mata air itu. Tetapi tidak
seorang pun y ang mengerti, apa yang sebaiknya mereka
lakukan, karena orang y ang akan membeli dengan paksa itu
memiliki kekuatan y ang besar. Orang itu m ampu m engupah
beberapa orang berilmu tinggi untuk kepentingannya.
Berapapun ia mengeluarkan upah untuk itu, namun jika ia
berhasil menguasai tanah dan mata air itu, maka ia akan
mendapat keuntungan berlipat di kemudian hari. Karena
sekotak demi sekotak, sawah disekitarnya pun akan m enjadi
miliknya. Jika orang itu menutup aliran air y ang oleh Ki
Sarpada dialirkan ke sawah di sekitarnya, maka sawah di
sekitarnya akan menjadi sawah y ang tandus dan tidak b erarti
lagi, sehingga lambat atau cepat, akan jatuh ke tangan orang
itu pula. Namun rasa -rasanya para tetangga itu menganggap
tidak adil jika mereka membiarkan Ki Sarpada itu m engalami
nasib buruknya sendiri, karena sudah sekian lama ia berbuat
baik kepada tetangga-tetangganya.
Karena itu, maka satu-satu tetangga-tetangganya itu pun
telah mengikutinya. Tanpa sesadar mereka, maka orang-orang
itu ternyata telah membawa senjata apa saja. Pedang, parang,
tombak dan apa saja y ang dapat diketemukan di rumahnya.
Bahkan yang tidak mempunyai senjata apapun telah
membawa sumbat kelapa y ang terbuat dari besi atau bahkan
dari kayu gelugu. Tetapi mereka pun masih saja selalu merasa ragu bahwa
mereka akan dapat mengatasi kemampuan orang-orang
berilmu tinggi yang telah mendapat upah dari orang yang
ingin memiliki tanah dan mata air dengan paksa itu.
Meskipun demikian, tetangga-tetangga itu merasa
berkewajiban untuk mempertahankan kehidupan keluarga
mereka yang sebagian besar m emang tergantung pada m ata
air itu. Dengan demikian, maka Ki Sarpada itu pun telah diiringi
oleh beberapa orang bersenjata yang merasa ikut bertanggung
jawab atas keselamatan Ki Sarpada, tanah dan mata airnya.
Ki Sarpada sendiri telah mencoba mencegah m ereka. Ki
Sarpada telah memberitahukan kepada m ereka, kalau m ereka
akan berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi. Tetapi
orang-orang itu masih tetap saja mengikutinya. Ju stru
semakin lama semakin banyak.
Yang kemudian menjadi cemas adalah justru Mahisa
Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan juga Wantilan. Jika
orang-orang itu harus berhadapan dengan orang-orang
berilmu tinggi, maka yang terjadi adalah pembantaian yang
hanya menyia-ny iakan ny awa mereka.
Tetapi Wantilan pun tidak mampu mencegah m ereka.
Apalagi ketika jumlah mereka kemudian menjadi sepuluh
bahkan kemudian menjadi lima bela s orang.
"Apa boleh buat," berkata Wantilan kepada dirinya
sendiri. Tetapi ternyata kata-kata itu telah meluncur pula dari
bibirnya sehingga Mahisa Murti pun kemudian menyahut,
"Memang berbahaya bagi mereka. Mudah-mudahan tidak
terjadi sesuatu atas orang-orang y ang dengan ihklas bersedia
membantu Ki Sarpada itu."
"Mereka m erasa, bahwa hidup m ereka pun tergantung
kepada air itu," berkata Wantilan.
Mahisa Murti menganguk-angguk. Tetapi ia tidak
berkata apa-apa lagi, sementara Wantilan masih saja
membantu pamannya yang sakit itu berjalan.
Namun ketika panas matahari mulai menggigit kulit,
justru Ki Sarpada itu seakan-akan menjadi berangsur baik.
Apalagi ketika m ereka sudah m elintasi jalan sempit langsung
menuju ke tanah miliknya y ang basah karena dibawah
beberapa batang pohon raksasa terdapat sebuah mata air yang
cukup besar, yang sanggup mengairi tanah yang cukup luas.
Bukan saja tanah milik Ki Sarpada, tetapi juga tanah di
sekitarnya. Beberapa saat kemudian, Ki Sarpada telah berada di
sebelah batang pohon yang besar itu. Di atas tanah berbatu
padas y ang cukup luas untuk berhenti menunggu orang-orang
yang sudah berjanji untuk datang, menghadap ke sebuah
belumbang. Ternyata mata air itu benar-benar sangat berarti. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat segera m engetahui, bahwa mata air
itu berada di bawah tanah berbatu padas y ang terhampar agak
luas dengan ditumbuhi beberapa pohon raksasa. Tiga batang
pohon preh y ang sudah sangat tua. Sebatang pohon beringin
yang ujudnya hampir sama. Beberapa batang pohon
nyamplung dan cangkringan, sehingga tempat itu seolah-olah
sebuah hutan y ang kecil yang dikelilingi oleh sawah yang
terbentang di sekitarnya dan mendapat air dari mata air yang
timbul dari bawah bongkahan-bongkahan batu padas di antara
pohon-pohon raksasaitu. Sambil berlindung dari sengatan sinar matahari dibawah
pohon-pohon raksasa itu, Ki Sarpada berkata, "Apakah mereka
benar-benar akan datang?"
"Mereka tentu akan datang," berkata Wantilan, "di sini
mereka akan menentukan, bahwa tanah dan mata air ini akan
menjadi milik mereka."
Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian orang-orang
yang menunggu itu melihat sebuah iring-iringan yang berjalan
di atas jalan sempit menuju ke hutan kecil itu. Mereka adalah
orang yang ingin m embeli dengan paksa tanah itu bersama
beberapa orang upahannya. Orang -orang y ang berilmu tinggi
dan m enjual ilmunya itu untuk kepentingan apapun juga asal
mereka mendapat upah karenanya.
Wantilan memang menjadi berdebar-debar. Orangorang
upahan itu ternyata cukup banyak. Tidak hanya tujuh
orang, tetapi sepuluh orang.
Sepasang Pedang Iblis 3 Wiro Sableng 139 Api Cinta Sang Pendekar Pedang Golok Yang Menggetarkan 20
^