Hijaunya Lembah Hijaunya 29
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 29
simpanan y ang mungkin mempunyai nilai y ang tinggi.
Seandainya benda-benda itu adalah benda-benda biasa yang
tidak memiliki kekhususan, maka nilainya y ang mahal itu akan
berarti bagi orang banyak."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan
melepaskan dan menghembuskan ketegangan di dalam
dadanya katanya. " Jantungku hampir meledak karenanya. Aku menunggu
jawaban kalian dengan hati y ang berdebaran. Seandainya
kalian menjawab agar aku mengantarkan kalian, maka
hancurlah harapanku bagi m asa datang, karena orang yang
membawa sepasang kerisku adalah orang-orang yang tamak.
Tetapi ternyata kalian bukan orang-orang sejeni s itu. Kalian
adalah orang-orang y ang nampaknya mendapat landasan
jiwani y ang bersih, sehingga kalian mampu menekan
ketamakan y ang menjadi salah satu sifat manusia. Seandainya
kalian m enyatakan kesediaan kalian untuk mengambil harta
karun itu, maka aku kira aku harus berpikir untuk mengambil
sepasang kerisku kembali. Namun ternyata kalian tidak
berbuat demikian." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang justru
menegang sejenak. Namun orang tua itu berkata selanjutnya,
"Tetapi harta karun itu benar-benar ada. Aku mengambil
secukupnya untuk membuat hulu sepasang kerisku itu. Emas
dan permata y ang sangat mahal. Namun kemudian, harta
karun yang lain itu aku tinggalkan seperti yang aku katakan."
"Kenapa Kiai tidak pernah melaporkannya?" bertanya
Mahisa Pukat. " Itu salah satu kelemahanku. Aku justru takut mendapat
tuduhan y ang bukan-bukan," jawab orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka dapat mengerti kecemasan orang tua itu. Jika ia
melaporkan, maka ia dihujani seribu macam pertanyaan yang
kadang-kadang tidak dapat dijawabnya, sehingga ia m emilih
untuk berdiam diri saja. Namun tidak berniat untuk
memilikinya, kecuali sebagian kecil saja hanya sekedar untuk
mendapatkan kepuasan jiwani dengan membuat sebilah keris
dengan hulu yang terbuat dari emas dan tretes permata.
Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut,
maka orang tua itu pun kemudian berkata, " Itu adalah sedikit
ceritera dari m ana aku m endapatkan emas dan permata yang
kemudian melekat pada hulu sepasang keris itu. Kalian tahu,
bahwa benda y ang ada di hulu keris itu harganya sangat
mahal. Apalagi seluruh harta karun yang terdapat didalam goa
itu. Tetapi bagiku, emas dan permata itu hanya sebagai barang
mainan, karena y ang terpenting bagiku adalah nilai dari bahan
yang telah aku buat menjadi sepasang keris itu. Sehingga
ternyata aku telah berhasil membuat sepasang keris yang
baik." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
sa ja. Mereka tidak tahu apa y ang harus mereka katakan selagi
orang tua itu berbicara sambil mengenang masa -masa
lampaunya. Namun k emudian orang tua itu berkata, "Tetapi angger
berdua. Yang terpenting bagi kalian adalah, hubungan kedua
pusaka itu y ang satu dengan yang lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
bersungguh-sungguh mendengarkan ceritera orang itu.
Namun ternyata orang tua itu tersenyum sambil berkata,
"Bukankah kalian akan berada di gubugku ini barang satu dua
hari" Karena itu, kita tidak tergesa -gesa. Nanti aku akan
menceriterakan tentang kedua pusaka itu. Bagaimana aku
membuatnya dan bagaimana jadinya. Sekarang, kita dapat
beristirahat untuk melihat -lihat keadaan di sekitar tempat ini.
Tetapi aku berpesan kepada kalian semuanya, agar tidak
terlalu jauh meninggalkan gubug ini. Ada beberapa keberatan,
justru karena sepasang keris itu sudah ada di tangan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng
menjawab, "Baiklah Kiai. Kami akan berada di sekitar gubug
ini saja." "Aku minta demikian pula saudara-saudara kalian y ang
lain," desis orang tua itu.
"Ya Kiai. Aku akan memberitahukan kepada mereka,"
jawab Mahisa Murti. Namun sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta
saudara-saudaranya keluar pintu gubug itu, m ereka terkejut
mendengar suara gemerasak, seperti arus air yang datang
mengalir mendekati gubug itu.
Wajah-wajah menjadi tegang. Mahisa Amping telah
bergeser mendekati Mahisa Semu sambil berbisik, "Banjir"
Tetapi apakah ada sungai di dekat tempat ini?"
Mahisa Semu m engerutkan keningnya. Sambil menarik
Mahisa Amping lebih dekat lagi ia berkata, "Berhati-hatilah.
Aku tidak tahu suara apa itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba
memperhatikan suara itu dengan saksama, sementara
Wantilan telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, murid orang tua itu telah
melangkah masuk. Namun sebelum ia berkata sesuatu orang
tua yang masih tetap tenang itu bertanya, "Naga Pasa?"
"Ya Kiai," jawab orang y ang baru masuk itu.
"Aku sudah mengira bahwa pada suatu saat ia akan
mempergunakannya terhadapku," berkata orang tua itu. Lalu
katanya, "Baiklah, kita harus bersiap-siap."
Tetapi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bangkit,
orang tua itu berkata, "Duduklah ngger. Kita hanya akan
menunggu saja. Ilmu Naga Pasa adalah kekuatan yang jarang
ada duanya, satu ilmu y ang mampu m enggerakkan berpuluhpuluh,
bahkan beratus-ratus ekor ular untuk meny erang
sa saran yang dikehendaki. Yang terdengar itu adalah memang
arus banjir. Tetapi banjir ular. Karena itu, m aka kalian harus
bersiap-siap menghadapinya."
Yang mendengar penjelasan itu terkejut. Betapapun
berani dan nakalnya Mahisa Amping, namun mendengar
keterangan itu, bulu-bulunya bagaikan berdiri.
"Tetapi kita tidak melawan kekuatan itu begitu saja.
Kedua anak muda itu sudah aku ketahui, mempunyai
penangkal racun betapapun keras racun itu. Tetapi bagaimana
dengan yang lain?" Mahisa Murti menggeleng sambil berkata, "Mereka tidak
mempunyai kekuatan penangkal racun itu Kiai."
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Kemudian
katanya, "Baiklah. Jika demikian maka kepada mereka harus
diberikan penangkal racun itu."
Yanpa menunggu jawaban maka orang tua itu telah
mengambil butir-butir obat dari kantong ikat pinggangnya
pula. Butir-butir obat y ang berwarna merah menyala.
"Cepat, makanlah," berkata orang tua itu sambil
memberikan kepada Mahisa Semu, Mahisa Amping dan
Wantilan. Lalu katanya, "Sekarang kita bersiap m enghadapi
banjir itu. Kalian dengar bahwa arus itu menjadi semakin
dekat. Kita akan melawannya diluar gubug kecil ini."
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang tua itu telah
melangkah keluar gubugnya, diikuti oleh m uridnya, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, serta Mahisa Semu, Mahisa Amping
dan Wantilan y ang sudah menelan obat penangkal racun itu.
Ketika mereka kemudian berdiri di luar gubug, maka
mereka masih belum melihat sesuatu. Mereka hanya
mendengar arus itu bagaikan datang dari segala arah.
"Hati-hati," berkata orang tua itu, "arus itu sudah dekat.
Lihat pepohonan y ang bergerak-gerak. Ular itu memang
bukan ular-ular raksasa yang nampak dari kejauhan. Tetapi
ular itu adalah ular -ular kecil namun jumlahnya banyak sekali.
Ular yang meskipun kecil, bahkan sebesar kelilingking
sekalipun, namun jika menggigit seseorang dalam keadaan
wajar, m aka orang itu tidak akan berumur panjang. Namun
kalian telah mempunyai penangkal racun dan bisa."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun kemudian
telah m emperhatikan pohon-pohon perdu di sekitar mereka.
Mereka melihat gerumbul-gerumbul perdu itu berguncangguncang
seperti benar-benar telah diterpa oleh arus banjir.
"Bersiaplah," berkata orang tua itu, "ujung dari arus itu
sudah dekat di hadapan dan bahkan di sekitar kita. Kita harus
menghadap ke segala arah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di t empat
yang b erlawanan arah pandang. Sementara itu Mahisa Murti
masih berkata, "Hati-hati dengan Mahisa Amping. Kau harus
berada di t engah dan pergunakan apa saja untuk menghalau
ular y ang sempat mendekatimu meskipun kau sudah tawar
racun." Mahisa Amping memang berusaha untuk berada di
tengah-tengah orang-orang yang akan bertahan terhadap
serangan sekelompok ular y ang tidak terhitung jumlahnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun tiba -tiba
bertanya, "Kiai, apakah aku dapat m empergunakan serangan
jarak jauh." "Ya, tentu. Aku pun akan mempergunakan. Ternyata
kalian memiliki kemampuan itu?" bertanya orang tua itu.
"Serba sedikit Kiai," jawab Mahisa Murti.
"Bagus," jawab orang tua itu, "kita m enghadap ke t iga
arah." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih meny esuaikan
dirinya. Sementara itu, orang tua itu telah memberikan sebilah
pisau belati panjang kepada Mahisa Amping, "Bunuh saja ular
yang mendekat." "Awas," tiba -tiba orang tua itu memberikan isy arat,
"sekarang kita dapat menyerang."
Orang tua itulah y ang dengan cepat telah sempat
melontarkan serangan berjarak sebagaimana dilihat oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selagi ia bertempur. Maka
seleret kilatan cahaya telah meluncur ke arah arus beratus ular
yang merayap di sekitarnya.
Tanahpun bagaikan meledak. Segumpal tanah terlempar
bersama berpuluh ular y ang ada di atasny a. Bahkan telah
menjadi hangus terbakar. -ooo0dw0ooo- (Bersambung ke Jilid 79).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 79 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 079 LEDAKAN itu disusul oleh serangan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka pun mampu melepaskan ilmu
sebagaimana dilakukan oleh orang tua itu meskipun masih
berada beberapa lapis dibawahnya. Namun serangan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah mampu meledakkan
sa sarannya. Tanah pun berhamburan sementara beberapa
puluh ekor ular pun telah terlempar dan menjadi hangus
karenanya. Tetapi arus ular itu seakan-akan tidak ada habisny a,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengulangi
dan mengulangi lagi sebagaimana orang tua itu.
Namun dalam pada itu, ternyata di antara beratus ekor
ular y ang mati, ada juga dua ekor y ang berhasil menyusup
lewat dibawah gerumbul-gerumbul perdu dan akar-akar
pepohonan mendekati orang-orang yang sedang membunuh
ular tanpa hitungan. Seekor ular kecil, namun berbelang-belang putih telah
berhasil merambat ke kaki Mahisa Murti. Ular weling yang
tajam bisanya sulit dicari bandingnya.
Dengan beraninya ular itu telah mematuk Mahisa Murti,
sehinga Mahisa Murti pun terkejut karenanya. Namun dengan
serta merta Mahisa Murti telah menangkap kepalanya dan
meremasnya sehingga remuk tanpa ujud lagi.
Sedangkan yang lain, beberapa ekor telah dibunuh pula
oleh Mahisa Semu dan Wantilan. Pedang m ereka pun telah
menebas beberapa ekor y ang berhasil menyusup dan terbebas
dari serangan ilmu yang garang itu.
Namun demikian ular-ular yang terbebas dari terkaman
kekuatan yang panasnya melampaui api itu, m aka tiba-tiba
sa ja senjata y ang sangat tajam telah memenggal leher ular-ular
yang sangat berbisa itu. Bahkan Mahisa Amping pun telah
melakukannya pula. Sambil berjongkok ia menunggu ular
yang luput dari panasnya ilmu Mahisa Murti, Mahisa Pukat,
orang tua itu atau tajamnya pedang Mahisa Semu dan
Wantilan. Tetapi orang-orang itu menjadi demikian sibuknya.
Murid orang tua itu ternyata belum memiliki ilmu
sebagaimana nampak pada unsur-unsur geraknya dan ilmu
puncak y ang dimilikinya. Karena itu, maka ia pun telah
melawan ular-ular itu dengan mempergunakan pedang
sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Semu dan Wantilan.
Demikianlah maka pertempuran itu pun telah terjadi
beberapa saat lamanya. Banyaknya ular yang datang memang
tidak terhitung jumlahnya. Namun yang terbunuh, terlempar
dan kehilangan arah sa saran pun jumlahnya tidak terhitung
pula. Namun orang tua itu sudah berniat membunuh.
Berapapun banyaknya ular y ang datang, maka ular-ular itu
akan dihancurkanya dengan kekuatan y ang dahsyat itu. Tidak
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada belas ka sihan terhadap ular-ular itu dan sudah tentu
kepada pemiliknya. Bangkai ular pun berhamburan m elingkari orang-orang
yang berdiri berkelompok itu. Dari beberapa penjuru, m asih
sa ja berdatangan ular y ang mengalir seperti banjir.
Tetapi, adalah diluar perhitungan orang y ang m emiliki
kekuatan ilmu Naga Pasa itu, bahwa di tempat itu ada orang
yang mampu melontarkan ilmu dengan dahsyat sekali,
sehingga mampu menghadang ular-ularnya dan
meledakkannya sebelum ular-ular itu sampai ke sasaran.
Namun orang y ang mampu menggiring ular sekian
banyaknya itu masih saja menunggu, ia masih mengetrapkan
ilmunya, dan ular-ular pun masih dapat diperintahkannya
untuk melakukan sesuatu baginya.
Tetapi akhirnya orang itu menyadari, bahwa ia tidak
akan dapat berbuat banyak dengan ular-ularnya. Ular-ular itu
telah mati terbunuh tanpa arti sama sekali. Sedangkan satu
dua y ang masih tetap hidup dan merayap m endekat, m aka
kepala ular itu akan segera terpisah dari tubuhnya.
Bahkan pemilik ilmu y ang mampu menggerakkan beribu
ular itu m enyadari, bahwa orang-orang yang ada di tengahtengah
lingkaran ularnya itu telah mendapatkan obat
penangkal bisa, sehingga meskipun ada satu dua yang mampu
menyusup dan menggigit tumit orang-orang itu, maka bisanya
tidak akan berpengaruh lagi.
Karena itu, maka akhirnya orang y ang memiliki ilmu
Naga Pasa itu tidak lagi berharap bahwa ular-ularnya akan
membuat peny elesaian tentang orang tua itu dan kemudian
mengambil sepasang pedang yang sudah di tangan anak-anak
muda itu. Sejenak kemudian, maka terdengar jerit mengerikan.
Lidah api telah menghembus dan menjilat dengan dahsy atnya.
Namun orang tua y ang m asih saja mempergunakan ilmunya
untuk melawan ular-ular yang datang seperti banjir itu, telah
mengarahkan perhatiannya kepada lidah api y ang bagaikan
menjilat -jilat itu. Dedaunan dan batang pepohonan menjadi
kering dan terbakar karenanya.
Namun orang tua itu tidak membiarkannya, ia pun telah
menghentakkan ilmunya pula, sehingga kekuatan ilmunya
telah menghantam ilmu lawannya yang bagaikan api menjilatjilat
itu. Satu benturan dahsyat telah terjadi. Benturan itu telah
memantulkan kekuatan kedua belah pihak kembali ke arah
sumbernya masing-masing. Namun kemudian telah t erjadi satu loncatan panjang.
Orang tua itu bagaikan berputar di udara. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah m eloncat pula m engikuti
orang tua itu. Ternyata dua orang kemudian nampak berdiri di tempat
yang agak lapang, di atas padang perdu. Dengan nada berat
orang tua itu berkata, "Aku sudah m enduga, bahwa kau juga
akan datang seperti y ang lain."
" Jangan samakan aku dengan y ang lain. Setelah aku
datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu, maka kau sudah
akan terbebas dari gangguan siapapun juga. Karena itu,
sebaiknya kau tidak usah menentang kehendakku."
Orang tua itu tertawa. Katanya, "Jangan aneh-aneh. Aku
tahu bahwa kau memiliki ilmu yang dahsy at, yang disebut
Naga Pa sa. Ular-ularmu itu hanyalah sebagian kecil dari
permaianmu. Meskipun demikian, aku akan tetap
melawanmu." Orang yang melotarkan ilmu Naga Pasa itu termangumangu
sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, "Kau
sebaiknya tidak mempertaruhkan nyawamu untuk sepa sang
senjata y ang dapat kau buat sendiri. Kenapa tidak kau berikan
sa ja senjata itu kepadaku. Kemudian kau membuat lagi senjata
serupa." "Aku sudah tidak mempunyai lempengan emas lagi.
Apalagi permata sebaik permata pada hulu sepasang kerisku
itu. Karena itu maka aku tidak akan dapat memberikannya
kepada siapapun juga."
" Jadi kau hargai emas dan permata di hulu senjatamu
itu melampaui nyawamu sendiri?" bertanya orang itu.
"Tentu tidak. Aku dapat membuat keris semacam
apapun. Tetapi aku tidak dapat membuat nyawaku sendiri,"
jawab orang tua itu. " Jika demikian kenapa tidak kau ikhlaskan saja
sepasang pusaka itu kepadaku?" bertanya orang itu.
"Soalnya bukan dapat atau tidak dapat membuat. Aku
sudah tidak mempunyai bahan sebagus itu lagi, sehingga tidak
mungkin lagi bagiku untuk dapat m embuat sepa sang senjata
sebagus sepasang senjata y ang kau buru itu. Bukan saja baja
pilihan, serta bahan pamornya y ang tidak ada duanya, tetapi
juga emas dan permata di hulunya," jawab orang tua itu.
"Persetan," geram orang yang datang itu, "dalam
sekejap kau akan ku bunuh."
Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, "Kau sudah
mencoba. Tetapi kau ternyata tidak mampu. Tetapi jika kau
masih ingin mencobanya lagi, lakukanlah. Tetapi ingat, jika
kau m asih m eny erang aku dengan ilmu Naga Pasa mu yang
dahsy at itu, maka aku pun akan mempergunakan ilmu
tertinggi yang aku miliki. Kau akan dapat menjadi lumat
seperti debu." "Kau terlalu sombong. Kau sudah tua," geram orang itu.
"Kau tahu, semakin tua seseorang, maka ilmunya akan
menjadi semakin matang. Juga sikapnya menghadapi segala
macam persoalan," jawab orang tua itu.
"Baiklah," berkata orang berilmu Naga Pasa itu,
"bersiaplah untuk m ati. Aku tidak akan mengampuni orang
lagi jika aku sudah mulai berkelahi."
Orang tua itu tertawa sambil berkata, "Apalagi jika kau
sudah mati. Maka kau tidak akan dapat mengampuni
siapapun. Bahkan kau tidak akan dapat m engampuni dirimu
sendiri." "Setan kau," geram orang itu.
Orang tua itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat
lawannya itu m engacukan senjatanya. Semacam tombak yang
pendek saja. Namun tajamnya terdapat di kedua ujung dan
pangkalnya. Bahkan salah satu dari kedua tajamnya terdapat
semacam kait y ang akan dapat menarik sasaran dan
mengoy aknya. Sejenak kemudian kedua orang berilmu sangat tinggi
itusudah berkelahi lagi. Orang yang berilmu Naga Pa sa itu
membawa senjatanya y ang jarang dipergunakan orang,
sementara orang tua itu telah mempergunakan kerisnya.
Kerisny a yang meskipun tidak sebesar keris y ang dimiliki oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun keris itu pun
termasuk sebilah keris y ang besar dan panjang.
Demikianlah keduanya telah bertempur dengan
sengitnya. Keduanya mampu bergerak dengan cepat. Namun
yang yang tidak begitu dimengerti oleh Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya, bahkan murid orang tua itu, bahwa
lawannya, orang y ang memiliki ilmu Naga Pasa itu, setiap kali
telah melempar orang tua itu dengan seekor ular.
"Dari mana saja ia mendapat ular?" bertanya orangorang
y ang menyaksikan pertempuran itu.
Meskipun orang tua itu telah m empergunakan penawar
bisa, tetapi seekor ular yang dilontarkan kepadanya telah tepat
melilit lehernya. Ular y ang agak besar itu berusaha untuk
menggigit bagian wajah orang tua itu. Bahkan akan m ematuk
mata. Namun orang tua itu sempat menangkap lehernya,
sehingga ular itu tidak membuatnya buta.
Tetapi pada saat yang demikian orang y ang
melemparkan ular itu telah melibatnya dengan senjatanya
yang tajam di kedua ujung dan pangkalnya.
Meskipun demikian pada satu kesempatan, orang tua itu
berhasil juga memenggal kepala ular yang melilit lehernya dan
seakan-akan akan mencekiknya itu.
Serangan seperti itu ternyata telah berulang beberapa
kali. Sehingga akhirnya orang tua itu telah m empergunakan
sebuah ilmunya y ang lain untuk melawan serangan ular-ular
yang tidak diketahui asalnya.
Dengan mengerahkan sejenis ilmunya, maka tubuh
orang tua itu seakan-akan telah memancarkan gelombang
panas daridalam dirinya. Karena itu, maka setiap kali
lawannya melemparkan ular kepadanya, m aka ular itu tidak
sempat melilitny a. Tubuh orang tua itu terasa panas, sehingga
ular-ular itu telah melepaskannya dan melarikan diri
meninggalkan arena. Orang yang berilmu Naga Pasa itu mengumpat. Ia tidak
lagi mempergunakan ular untuk membelit tubuh lawannya
agar mengganggu kebebasan geraknya dalam pertempuran itu.
Tetapi serangan-serangannya datang semakin cepat beruntun
dan sangat berbahaya. Tetapi orang tua itu pun masih mampu bergerak dengan
tangkas. Kerisnya berputaran menyambar-ny ambar dengan
garangnya, sekaligus kedua jenis senjata itu berbenturan
sehingga bunga api telah berloncatan di udara.
Namun untuk beberapa saat lamanya, tidak seorang pun
di antara mereka yang mulai terdesak.
Dengan demikian maka orang y ang b erilmu Naga Pasa
itu akhirnya telah kehilangan kesabaran. Dalam pertempuran
yang semakin sengit, maka ia pun telah meloncat mengambil
jarak. Justru menjauh. Orang tua itu terkejut. T etapi ia pun tanggap terhadap
sikap lawannya itu. Karena itu, m aka ia pun telah m eloncat
mundur dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang
yang berilmu Naga Pasa itu tiba-t iba telah menghentakkan
ilmunya lewat ujung senjatanya yang aneh itu. Api seakanakan
telah meny embur dengan dahsy atnya. Namun tidak
tertuju kepada lawannya, orang tua yang telah mampu
membuat keris yang sepasang itu. Tetapi serangan itu
ditujukan orang-orang y ang justru berdiri di luar arena.
Orang-orang itu terkejut, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tidak sempat berbuat apa -apa kecuali meloncat
menghindar sambil berteriak, "Hati-hati."
Namun Mahisa Murti dengan tangkas masih sempat
mendorong Mahisa Amping sehingga jatuh terguling,
sementara Mahisa Semu dan Wantilan, serta murid orang tua
itu juga berusaha untuk meloncat menghindar.
Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka terlambat. Kecuali
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka hampir saja
disambar oleh serangan lawan yang tiba-tiba dan licik itu.
Untunglah bahwa orang tua yang telah membuat
sepasang keris itu tanggap, ia pun dengan menghentakkan
ilmunya telah meny erang lidah api yang terjulur itu.
Karena itu, maka ilmu Naga Pasa itu bagaikan terpotong
oleh kekuatan ilmu orang tua itu. Dengan demikian, maka
telah terjadi benturan ilmu yang mengejutkan, karena
ledakannya yang bagaikan memekakan telinga.
Oleh serangan kekuatan ilmu orang tua itu, maka
serangan ilmu Naga Pasa itu telah berbelok arah, terlepas dari
sa saran. Dengan demikian maka Mahisa Semu, Wantilan dan
murid orang tua itu sendiri telah diselamatkan. Sementara
orang tua itu berkata, "Kenapa kau menjadi demikian licik,
sehingga kau meny erang anak-anak yang sama sekali tidak
terlibat dalam pertempuran ini."
"Merekalah yang membawa sepa sang senjata y ang aku
inginkan itu," jawab orang y ang memiliki ilmu Naga Pa sa itu.
"Tetapi seandainya aku tidak sempat memotong
ilmumu, siapa y ang akan terbunuh" Ternyata orang y ang akan
menjadi sa saran seranganmu justru memiliki ilmu yang tinggi,
sehingga mereka dapat menghindar," berkata orang tua itu.
"Aku tidak peduli. Aku akan membunuh semuanya. Kau,
muridmu dan orang-orang dungu itu," geram lawan orang tua
itu. Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, "Kau harus
melihat kenyataan tentang dirimu sendiri."
Orang itu tidak m enjawab lagi. Namun tiba -tiba saja ia
telah meloncat lagi menyerang orang tua itu. Sama sekali tidak
dengan semburan api. Tetapi dengan senjatanya yang
menggetarkan jantung itu.
Pertempuran telah terjadi lagi antara kedua orang
berilmu tinggi itu. Namun dengan demikian maka orang-orang
yang berdiri diluar arena m enjadi lebih berhati-hati. Setiap
saat serangan orang itu akan dapat ditujukan kepada mereka.
Namun orang tua y ang m embuat sepasang senjata itu
cukup berhati-hati. Ia menyadari betapa liciknya lawannya itu.
Sebenarnyalah pada saat yang dianggap tepat, orang itu
telah m eluncurkan serangan ilmunya yang dahsyat. Api telah
menyembur ke arah orang tua itu.
Namun ternyata orang tua itu pun cukup waspada.
Ju stru ia sedang menunggu serangan itu datang. Dengan
tangkasnya ia menghindarinya. Namun bersamaan dengan itu,
maka serangannya y ang tidak kalah dahsyatnya telah
meluncur pula mengarah kepada lawannya.
Orang y ang memiliki ilmu Naga Pasa itu ternyata sempat
melepaskan ilmunya pula membentur ilmu orang tua itu.
Demikian dahsyatnya benturan itu terjadi, seakan-akan
seluruh arena itu telah meledak.
Orang yang memiliki ilmu Naga Pa sa itu telah terpental
beberapa langkah surut. Tubuhnya ternyata telah m embentur
sebatang pohon yang besar yang tumbuh dengan kokohnya.
Meskipun pohon itu juga berguncang, tetapi akarnya cukup
kuat berpegangan, sehingga pohon itu tetap tegak berdiri
meskipun beberapa batang dahannya telah patah.
Tetapi justru karena itu, maka orang y ang memiliki ilmu
Naga Pasa itu seakan-akan telah dibenturkan kepada sebatang
pohon y ang kokoh tepat pada tengkuknya, sehingga demikian
ia terjatuh di tanah, maka ia hanya sempat mengeliat.
Kemudian terdiam sama sekali.
Orang tua yang membuat sepasang keris itu pun telah
terlempar pula. Namun ia memiliki kelebihan day a tahan dari
lawannya, sehingga ia masih mampu untuk dengan cepat
bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia juga mengalami luka-luka
bakar di kulitnya. Namun tidak terlalu parah, sehingga karena
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, m aka ia masih dengan langkah tegap berjalan mendekati
lawannya. "Meskipun aku tidak berniat, tetapi aku telah
membunuhnya pula," desis orang tua itu sambil menundukkan
kepalanya. Tidak seorang pun y ang menjawab. Namun kemudian
orang tua itu berkata kepada muridnya, "Kuburkan orang itu."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah ikut pula
membantunya, sementara orang tua itu telah mengobati
dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, ketika semua kerja telah
selesai, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah
menghadap orang tua itu lagi.
Bahkan kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti
berkata, "Kiai, jika sepa sang keri s itu telah membuat sederetan
kematian, bahkan barangkali masih akan disusul lagi oleh
yang lain, apakah tidak sebaiknya sepasang keris itu aku
kembalikan saja ke dalam bangunan batu itu?"
Tetapi orang tua itu menggeleng. Katanya, "Tidak ada
gunanya Ngger. Berita bahwa keris itu ada ditanganmu t entu
sudah ter sebar. Karena itu, tidak akan ada orang y ang percaya,
bahwa sepasang keris itu telah kau kembalikan. Karena itu,
maka apapun yang akan terjadi, maka keris itu harus kalian
pertahankan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Memang ada gejolak di dalam hati m ereka. Untuk
beberapa lama mereka tentu masih akan diburu oleh beberapa
orang y ang menginginkan sepasang keris itu. Keduanya
memang m erasa m eny esal, bahwa mereka telah mengambil
sepasang senjata y ang disebut keris itu, meskipun ujudnya
cukup besar. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa
dengan demikian, beberapa akibat telah mengikuti mereka.
Akibat buruk. Bahkan kematian demi kematian.
Namun orang tua itu berkata, "Agaknya memang sudah
menjadi nasib kalian. Sepasang pusaka itu agaknya memang
berniat untuk mengabdi kepada kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut.
Meskipun demikian orang tua itu seakan-akan dapat membaca
perasaan m ereka sehingga karena itu m aka katanya, "Namun
anak-anak muda. Kalian pun harus bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Apalagi kalian agaknya tidak akan lama berada
di gubugku ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menganggukangguk
diluar sadar mereka. Namun dalam pada itu, orang tua itu pun telah berkata,
"Tetapi anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang berilmu
tinggi." "Kami tidak berpikir tentang diri kami sendiri Kiai,"
jawab Mahisa Murti, "mungkin orang lain, tetapi juga
mungkin salah seorang dari kami akan menjadi korban
berikutnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa jika mungkin korbankorban
yang jatuh itu agar dapat dihentikan."
"Memang sulit ngger," orang tua itu menggeleng, "tetapi
jika orang-orang y ang datang kepada kalian y ang menjadi
korban berikutnya dan berikutnya, adalah salah mereka
sendiri karena mereka tentu orang-orang yang serakah. Orang
yang tidak dapat m enghargai hak milik orang lain. Mereka
merasa bahwa mereka dapat berbuat apa saja dengan
kekuatan ilmu mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sementara orang tua itu berkata, "Karena itu harus dijaga,
agar korban y ang jatuh bukanlah kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab.
Memang terbersit juga kekhawatiran, bahwa mereka akan
terpaksa menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Melampaui
mereka berdua, sehingga akhirnya mereka tidak akan pernah
sampai kepada ay ah mereka. Hanya karena sepasang pedang.
Tetapi itu bukan ungkapan dari perasaan takut. Tetapi
mereka sebenarnya memang bukan orang-orang yang
termasuk tamak karena menginginkan sepasang keris, berhulu
emas dengan tretes permata.
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu,
"bagaimanapun juga tentu ada kecemasan di hati kalian.
Betapapun kalian termasuk orang-orang y ang paling berani di
muka bumi serta memiliki tingkat ilmu y ang betapapun
tingginya. Namun kalian akan dapat berusaha mengatasinya
jika bahaya itu benar-benar datang. Kalian memang harus
bertempur berpasangan jika kalian berhadapan dengan orang
yang memang berilmu sangat tinggi. Kalian akan dapat
bersama-sama melepaskan serangan kalian, dengan dorongan
ilmu yang telah kalian m iliki, serta dukungan senjata-senjata
yang telah ada di tangan kalian itu. Maka kekuatan serangan
kalian itu akan menjadi berlipat ganda. Tidak ada kekuatan
yang dapat melawan kekuatan serangan itu. Bahkan sendirisendiri
pun, dengan cara itu, kalian akan merupakan orang
yang sulit dicari tandingnya. Namun menghadapi orang-orang
yang benar-benar b erilmu tinggi, sebaikny a kalian bertempur
berpasangan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Pesan itu akan sangat berarti bagi mereka, karena mereka
menduga, bahwa masih banyak orang-orang yang akan datang
kepada mereka untuk mengambil sepasang pusaka itu.
"Nah anak-anak muda," berkata orang tua itu,
"sebaiknya kalian tinggal di sini sampai esok pagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk angguk.
Mereka memang tidak ingin terlalu lama tinggal di tempat itu.
Ra sa -rasanya ayah dan padepokan mereka telah t erlalu
nampak di angan-angan mereka.
Sementara itu orang tua itu berkata, "Namun jika kalian
bersedia tinggal di sini lebih lama lagi, akan lebih baik."
"Maaf Kiai," jawab Mahisa Murti, "kami memang harus
segera meneruskan perjalanan kami yang banyak tertunda."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Apalagi ketika orang
tua itu tahu, bahwa anak-anak muda itu memang berniat tapa
ngrame, sebagai laku untuk m enemukan kemungkinan yang
lebih baik di masa datang.
"Laku y ang kalian tempuh adalah laku y ang
mengagumkan. Tetapi akibatnya adalah seperti y ang kalian
alami. Perjalanan kalian akan selalu tertunda-tunda," berkata
orang tua itu lebih lanjut.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah bermalam semalam lagi di rumah orang tua
itu. Di gubug yang terhitung kecil. Namun cukup hangat bagi
mereka daripada harus tidur di udara terbuka sebagaimana
sering mereka lakukan. Pagi-pagi benar, ternyata murid orang tua itu telah
menyediakan minuman hangat dan makan pagi bagi m ereka.
Masih terlalu pagi sebenarnya. Tetapi murid orang tua itu
tahu, bahwa mereka akan meninggalkan rumah itu.
Sambil meneguk minuman hangat dan makan makanan
yang disediakan, maka orang tua itu pun sempat memberikan
beberapa petunjuk tentang kedua pusaka itu. Dengan nada
rendah ia berkata,"Puncak k emampuannya akan dapat kalian
capai jika saat kalian melepaskan kekuatan bersama-sama,
maka kedua buah keris itu saling berdekatan. Semakin dekat
semakin tinggi kemampuannya."
"Terima ka sih Kiai," jawab Mahisa Murti y ang
kemudian telah m engucapkan terima ka sih dan mohon diri
untuk meneruskan perjalanan. Demikian pula Mahisa Pukat,
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.
Mahisa Amping menjadi sangat bergembira, ketika
ternyata pisau belati panjang, y ang diberikan oleh orang tua
itu selagi ia berada di antara ular-ular y ang mampu menyusup
pertahanan orang tua itu serta kedua kakak angkatnya, telah
dinyatakan boleh dimilikinya.
"Tetapi kau harus b erhati-hati dengan senjata," berkata
orang tua itu, "senjata dapat m embantumu, tetapi pada suatu
saat, ju stru senjata akan dapat mencelakaimu sendiri."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya sambil
menundukkan kepala, "Terima kasih Kiai."
Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dam
saudara-saudaranya tidak dapat tinggal di rumah itu t erlalu
lama. Mereka -pun telah minta diri untuk meneruskan
perjalanan mereka kembali ke padepokan mereka serta
menjumpai ayah mereka y ang juga sudah tua.
Orang tua itu tidak m enahan m ereka lebih lama lagi.
Orang tua itu pun menyadari kerinduan mereka terhadap
orang tua serta padepokan mereka.
Namun beberapa kali orang tua itu masih saja
memberikan pesan agar mereka menjadi sangat berhati-hati
menghadapi keadaan y ang dapat berkembang menjadi
semakin buruk. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
itu pun telah meninggalkan rumah orang tua itu.
Dengan ancar-ancar puncak gunung dan arah mata angin,
maka mereka berjalan menuju ke padepokan mereka.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari,
bahwa mereka benar-benar telah dilepaskan oleh orang tua
itu. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, maka mereka harus
mempertanggungjawabkan sendiri. Mereka tidak akan dapat
mengharap lagi, bahwa orang tua itu tiba-tiba saja muncul
untuk menolong mereka seperti yang telah dilakukan
sebelumnya. Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di
sepanjang jalan telah berceritera kepada Mahisa Amping,
apakah arti dan gunanya senjata bagi dirinya, sambil
memperkenalkan cara penggunaannya.
Ternyata Mahisa Amping dengan cepat mampu
menguasai senjatanya itu. Ia pun telah mencoba
mempergunakannya. Dengan cepat pula Mahisa Amping
mempelajari ilmu meskipun m asih m endasar sekali tentang
senjatanya itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah
berjanji kepada anak itu untuk mulai m elatihnya dalam olah
kanuragan. Malam yang kemudian turun setelah mereka sehari-hari
menempuh perjalanan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sengaja telah bermalam di sebuah banjar padukuhan. Mereka
berharap bahwa dengan demikian akan dapat menjauhkan
mereka dari usaha perampasan sepasang keris yang besar itu.
Jika mereka berada di antara banyak orang y ang biasanya
berjaga-jaga di banjar, maka orang y ang berniat jahat itu tentu
akan berpikir dua tiga kali.
Ternyata Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu,
Mahisa amping dan Wantilan telah diterima untuk bermalam
di sebuah banjar padukuhan dengan senang hati. Penunggu
banjar padukuhan itu sama sekali tidak berkeberatan
menerima beberapa orang y ang mengaku pengembara.
Tetapi ketika Ki Jagabaya datang ke banjar, maka ia pun
telah berpesan kepada anak-anak muda y ang bertugas,
"berhati-hatilah. Ampat orang dan seorang anak kecil. Mereka
semuanya bersenjata. Bahkan anak kecil itu pun membawa
pisau belati. Kami m emang tidak boleh berprasangka buruk.
Mungkin para pengembara memang memerlukan senjata.
Namun tidak ada salahnya jika kita berhati-hati."
"Ada berapa peronda malam ini?" bertanya seorang bebahu
yang lain. "Ada tujuh orang dari sebelah Utara jalan padukuhan
dan ada enam dari sebelah Selatan. Tidak termasuk tiga orang
di ujung Utara dan tiga orang di ujung Selatan. Mereka
bertugas di gardu. Tetapi hampir di setiap malam, ada
sepuluh, bahkan lebih anak-anak muda y ang bermain di
banjar dan di gardu-gardu sekedar bergurau dan satu
kesenangan baru bagi mereka, membuat makanan di tengah
malam. Apapun yang dibuat. Kadang-kadang gula semut,
tetapi kadang-kadang bahkan membuat serabi juruh," jawab
salah seorang di antara anak muda itu.
Ki Jagabaya tertawa. Tetapi ia berpesan, agar tidak
menyulitkan orang-orang tua mereka. Jika mereka setiap hari
minta gula kelapa, m engambil beberapa bahan makanan dan
barangkali uang sedikit untuk membeli segala sesuatunya yang
kurang, maka orang-orang tua itu akan berkeberatan jika
anaknya pergi ke banjar atau ke gardu.
"Ah, tidak Ki Jagabaya," jawab anak muda itu, "hanya
sekedarnya." Ki Jagabaya kemudian minta diri. Namun ia masih
berkata, "Hubungi aku jika dianggap penting."
Tetapi anak-anak muda y ang bertugas meronda itu tidak
menganggap bahwa akan ada bahaya y ang timbul dari orangorang
yang mengaku pengembara itu. Pada mereka, sama
sekali tidak nampak sikap yang dapat menimbulkan
kecurigaan, bahkan sama sekali tidak ada y ang menarik
perhatian. Mereka mandi di pakiwan, kemudian duduk-duduk
di serambi belakang, karena mereka telah dipersilahkan untuk
bermalam di amben besar di serambi belakang itu.
Bagi orang-orang yang mengaku pengembara itu merasa
pula bahwa m emang tidak akan ada per soalan yang timbul
bagi mereka. Demikian langit menjadi gelap, mereka telah
mengatur diri, siapakah di antara mereka y ang akan tidur
lebih dahulu dan siapakah yang akan bertugas berjaga-jaga.
Sampai tengah malam memang tidak terjadi sesuatu.
Namun beberapa saat lewat tengah malam, ketika sudah tidak
lagi terdengar anak-anak muda bergurau di pendapa banjar,
karena sebagian di antara mereka telah tertidur, apalagi
mereka y ang tidak sedang bertugas, maka Mahisa Murti yang
sedang bertugas telah merasakan sesuatu y ang kurang wajar.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak beranjak dari
tempatnya. Meskipun demikian ia telah meny entuh Mahisa
Pukat untuk membangunkannya.
Mahisa Pukat memang terbangun. Namun melihat sikap
Mahisa Murti, maka ia pun segera tanggap. Mahisa Pukat yang
sudah membuka matanya itu, tetap saja berbaring diam.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar desir lembut di
halaman belakang banjar itu. Dalam kegelapan Mahisa Murti
melihat bayangan yang kemudian menjadi jelas sebagai sosok
seseorang. Mahisa Murti telah bersiap sepenuhnya. Jika terjadi
sesuatu maka ia telah siap untuk melawannya.
Namun orang itu justru berkata, "Aku tidak akan
berbuat apa-apa sekarang anak-anak muda."
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa maksudmu?" desis Mahisa Murti.
" Jika aku melakukannya di sini, maka anak-anak muda
yang meronda itu tentu akan melibatkan diri," jawab orang itu.
"inilah kecerdikanmu. Kau sengaja bermalam di tempat yang
ramai, karena kau akan dapat berlindung dalam keramaian
itu. Jika aku berusaha merampas sepasang keris itu sekarang,
dan para per onda itu ikut campur, maka aku harus membunuh
sekian banyak orang. Karena itu, aku tunggu kau besok di
tempat yang sepi. Di manapun. Jika kau memang jantan, maka
kau tentu tidak akan bersembuny i di tengah pasar atau di
banjar padukuhan seperti ini. Kita akan menentukan, siapakah
yang berhak atas sepasang pusaka itu."
"Kau adalah orang k etiga yang datang dengan m aksud
yang sama," berkata Mahisa Murti, "dua orang yang terdahulu
telah gagal." "Mereka terlalu bernafsu untuk memiliki pusaka itu
sehingga m ereka tidak memperhitungkan kemampuan orang
tua itu," jawab orang y ang berdiri di kegelapan itu, "tetapi
besok kau tidak akan dapat menunggu orang itu datang
padamu dan membantumu seperti y ang pernah
dilakukannya." Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Tunggu aku besok. Tetapi karena
aku tidak mengenal lingkungan ini, maka aku tidak dapat
mengatakan, jalan manakah yang akan aku lewati besok. Aku
akan menerima kedatanganmu kapan saja dan di mana saja
kau kehendaki." "Bagus," jawab orang itu, "aku memang sudah mengira
bahwa kalian adalah anak-anak muda yang berani. Tetapi
berdoalah kalian sekarang ini, karena besok adalah hari kalian
yang terakhir." "Aku sudah mendengar kata-kata itu lebih dari sepuluh
kali," jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, "Tetapi kau berdoa
kapan saja aku ingin berdoa sesuai dengan kepentinganku."
Orang itu tertawa pendek. Katanya, "Kau adalah anak
muda y ang berani dan tabah. Baiklah. Aku minta diri. Besok
kita akan bertemu lagi."
Orang itu tidak menunggu jawaban, ia pun segera
meloncat naik menusuk ke dalam kegelapan langit dan
seakan-akan telah hilang di dalamnya.
Baru kemudian Mahisa Pukat bangkit dan duduk di
sebelah Mahisa Murti. Dengan nada lemah ia bertanya, "Sudah
lama orang itu ada di sini?"
"Pada saat aku menggamitmu," jawab Mahisa Murti.
"Nampaknya memang orang berilmu tinggi," desis
Mahisa Pukat. Lalu katanya, " Ia seakan-akan telah leny ap
begitu saja meluncur terbang tinggi-tinggi."
"Kita memang harus berhati-hati," jawab Mahisa Murti,
"namun seperti yang sudah kita duga, sepasang keris ini
memang akan banyak m enimbulkan persoalan. Tetapi seperti
yang dikatakan orang tua itu, bahwa seandainya kita
mengembalikan keris itu, akibatnya akan sama saja. Orangorang
itu tentu menganggap bahwa kita masih saja membawa
sepasang keris itu ke mana-mana, atau m eny embuny ikannya,
karena tidak mungkin kita mengembalikan keris-keris itu
justru sebagai pusaka y ang dikagumi dan sebagai benda yang
sangat mahal harganya."
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Apapun y ang akan terjadi. Aku tidak tahu, apakah ini
keuntungan kita yang telah m enemukan sepasang pusaka itu,
atau malahan ini m erupakan satu kutukan karena kita telah
membuka bilik y ang tertutup rapat itu."
"Kedua-duanya,"sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat ter senyum. Kecut sekali. Namun ia pun
kemudian telah berbaring lagi sambil berkata, "Masih ter sisa
waktuku untuk beristirahat."
Mahisa Murti terseny um. Katanya, "Apakah kita akan
menyerahkan giliran kepada Mahisa Semu" Untunglah bahwa
aku yang bertugas pada saat orang itu datang."
" Jika kau bangunkan Mahisa Semu untuk mendapatkan
gilirannya, bangunkan aku juga," berkata Mahisa Pukat.
"Tidurlah," desis Mahisa Murti.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat
memang sudah tertidur ny enyak, sementara Mahisa Murti
masih tetap duduk di tempatnya bersandar dinding. Namun
demikian, maka seakan-akan ia melihat keadaan di sekitar
banjar itu karena penggraitanya yang tajam.
Namun orang itu memang tidak kembali sampai saatnya
ia membangunkan Mahisa Semu. Bahkan agak terlambat.
Namun diluar pengetahuan Mahisa Semu, Mahisa Murti telah
membangunkan Mahisa Pukat pula.
Ketika kemudian Mahisa Semu duduk bersandar
dinding, maka Mahisa Pukat y ang juga terbangun masih tetap
sa ja berbaring di tempatnya. Namun ketika fajar mulai
menyingsing, Mahisa Pukat justru telah tertidur lagi, karena ia
menganggap bahwa beberapa saat kemudian matahari akan
segera terbit sehingga jika ada y ang berniat buruk, tentu sudah
dilakukannya sebelumnya. Ternyata sampai pagi hari, memang tidak terjadi
sesuatu. Sesudah mandi dan berbenah diri, maka Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya telah minta diri kepada
penunggu banjar itu serta mengucapkan terima kasih atas
kesempatan yang mereka per oleh untuk bermalam di banjar
itu. Karena kebetulan Ki Jagabaya ada juga di banjar, maka
mereka pun telah menemuinya dan minta diri serta
mengucapkan terima kasih pula.
Sebenarnyalah Ki Jagabaya m emang datang ke banjar
untuk mengetahui apakah ada sesuatu y ang terjadi. Namun
ternyata bahwa semalam dan bahkan sampai saat itu tidak
terjadi sesuatu. Orang-orang yang bermalam di banjar itu
ternyata tidak berbuat sesuatu y ang dapat membuat
padukuhan mereka menjadi keruh.
Demikianlah sejenak kemudian Mahisa Murti telah
meninggalkan banjar itu. Ketika mereka keluar dari
padukuhan, maka Mahsia Murti merasa perlu untuk
memberitahukan apa yang didengarnya semalam kepada
saudara-saudaranya. "Dengan demikian maka kita harus berhati-hati,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata pula, "Sebaiknya
kalian berusaha untuk menjaga diri sendiri. Termasuk Mahisa
Amping. Seseorang tengah berusaha merampas keris ini,
sehingga kamiberdua akan menjadi sasaran utama."
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Namun Mahisa Am ping memang nampak kebingungan.
" Jangan cemas," berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa
Amping, "kau sudah memiliki ilmu y ang cukup untuk
melindungi dirimu sendiri."
Mahisa Amping y ang kecil itu masih saja bingung. Tetapi
ia tidak bertanya lebih lanjut.
Demikianlah, maka mereka pun telah melanjutkan
perjalanan, justru memilih jalan y ang ramai dan sibuk. Ketika
matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka pun telah
singgah di sebuah kedai y ang besar dan cukup ramai.
Sementara mereka makan, m aka Mahisa Amping telah
melupakan kegelisahannya. Bahkan ia tidak menghiraukan
ketika seorang yang tidak dikenal telah duduk bersama
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah merasa
curiga ketika mereka melihat orang itu datang sambil
tersenyum-senyum. Bahkan kemudian duduk pula di antara
mereka dan menyapa dengan ramah. "Marilah anak-anak
muda. Silahkan. Biarlah aku yang membayarnya."
"Siapakah kau Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
"Begitu cepat kau lupa?" justru orang itu ganti bertanya.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia segera
mengerti m aksud orang itu. Karena itu, maka katanya, "Aku
mengerti. Kau orang yang datang semalam."
"Ya," jawab orang itu, "ternyata ingatanmu cukup tajam,
atau panggraitamu y ang sangat baik."
"Apapun yang ada padaku," jawab Mahisa Murti,
"sekarang, apakah maksudmu menemui kami di sini" Apakah
kau ingin menantang kami berperang tanding?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Begitu beraninya kau
anakmuda. Agaknya kau memang belum mengenal aku."
"Kami memang belum mengenalmu," jawab Mahisa
Murti. "Aku adalah sahabat karib orang tua yang membuat
sepasang keris itu. Ketika ia m embuat keris itu, ia berjanji
untuk membuat bagiku pula. Tetapi sampai sekarang ia tidak
melakukannya. Maka aku merasa bahwa untuk memenuhi
janjinya ia cukup meny erahkan sepasang keris yang kalian
bawa itu. Kemudian aku akan menganggap hutangnya sudah
lunas." "Kau berbohong," berkata Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, "Satu ceritera yang menarik.
Aku kira kau akan percaya."
"Aku sudah dapat menduga, bahkan semua
pembicaraanmu sulit untuk dipercaya," berkata Mahisa Murti.
"Sekarang apa maumu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku hanya memperingatkanmu, bahwa aku akan
datang menemuimu. Semakin cepat semakin baik," berkata
orang itu dengan geram. "Kenapa tidak kau lakukan sekarang"," Mahisa Pukat
pun menggeram. "Sudah aku katakan. Aku tidak mau m elibatkan orang
lain. Karena itu, berusahalah untuk mencari tempat yang sepi.
Kita akan segera membuat perhitungan," berkata orang itu.
"Aku akan berjalan menurut jalan y ang aku kehendaki.
Jika kau berkepentingan dengan kami, kaulah yang harus
menyesuaikan diri," berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah. Aku memang harus meny esuaikan diri dengan
cara kalian. Aku sudah mengira bahwa kalian tentu akan selalu
mencari tempat yang dapat kalian pergunakan untuk mencari
perlindungan," berkata orang itu.
"Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami sudah
siap untuk mempertahankan sepasang pusaka yang telah
menjadi hak kami ini," jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah," desis orang itu. Lalu katanya, "Dan sekarang,
biarlah aku membayar bagi kalian."
"Terima kasih Ki Sanak. Adalah kebetulan bahwa kami
mempunyai bekal cukup," jawab Mahisa Murti.
Tetapi orang itu telah membuka sebuah kantong dari
lain. Ia sengaja menunjukkan uang cukup banyak. Bahkan
kepingan kepingan emas, meskipun hanya satu dua.
Namun orang itu terkejut ketika hampir bersamaan,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil kantongnya
pula, serta menunjukkan bekalnya yang cukup banyak pula.
Bahkan kemudian Mahisa Semu.
Orang itu tiba -tiba saja telah mengumpat kasar.
Sikapny a y ang ramah tamah dan nampak lembut tiba-tiba
telah berubah menjadi garang.
"Bagus," berkata orang itu,"pada saatnya aku akan
merampas kedua pusaka itu sekaligus uang y ang kalian bawa."
"Atau bahkan kau akan meny erahkan uang dan
beberapa keping emas itu kepadaku," jawab Mahisa Pukat.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi sekilas terdengar ia
mengumpat kasar. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
meninggalkan kedai itu, m aka m ereka pun menjadi semakin
berhati-hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus
memperhitungkan, apakah orang itu hanya sendiri atau
membawa satu atau dua orang kawan y ang dianggap akan
dapat ikut menyelesaikan per soalan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat justru telah
berkata, "Sebaiknya kita cepat meny elesaikan persoalan ini.
Lebih cepat lebih baik apapun yang akan terjadi."
Mahisa Murti pun mengangguk sam bil m enjawab, "Aku
sependapat. Hari ini kita menempuh jalan y ang paling sepi
yang dapat kita ketemukan. Aku yakin orang itu tentu selalu
mengawasi kita." Seperti yang mereka rencanakan, maka Mahisa Murti
dan saudara-saudaranya telah m encari jalan yang terhitung
sepi. Bahkan mereka telah m emilih jalan yang melalui lereng
perbukitan kecil, namun memanjang beberapa ratus t onggak.
Ketika mereka sampai kesebuah goa y ang tidak terlalu dalam,
maka mereka telah berhenti dan berteduh sesaat. Namun
ternyata orang itu sama sekali tidak menampakkan dirinya,
sehingga akhirnya mata hari telah menjadi semakin rendah.
Mahisa Amping lah y ang kemudian bersungut-sungut.
Ju stru perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada orang
yang mengikutinya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak sempat memberikan latihan-latihan kepadanya.
Tetapi Mahisa Amping nampaknya menyadari, bahwa ia
memang tidak dapat mengganggu perhatian kedua orang anak
muda itu. Bahkan mereka semuanya nampaknya telah menjadi
tegang. Menj elang senja, maka Mahisa Murti telah dengan
sengaja bermalam di tempat terbuka. Mereka tidak menuju ke
padukuhan dan minta bermalam di banjar. Tetapi mereka
telah memilih sebuah pategalan yang agaknya jarang
dikunjungi orang. Semalam suntuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menunggu Mereka tidak membagi waktu untuk berjaga-jaga.
Tetapi orang itu tidak kunjung datang. Baru m enjelang fajar,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat kesempatan
beristirahat, karena Mahisa Semu dan Wantilan telah
terbangun dan bersedia untuk mengamati keadaan sebaiksaudaranya.
Namun demikian kedua anak muda itu juga tidak dapat
tidur. Keduanya hanya berbaring saja, sementara Mahisa
Semu dan Wantilan duduk menghadap ke arah y ang berbeda.
Ketika matahari terbit, justru Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berniat untuk tidur barang sebentar untuk memelihara
agar tenaganya tidak menjadi susut.
"Tidurlah," berkata Wantilan, "kalian memang
memerlukannya." Selama keduanya tidur, Mahisa Semu dan Wantilan
dengan penuh kewaspadaan telah menjaganya.
Tetapi sampai satnya keduanya terbangun pada waktu
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matahari sepenggalah, maka tidak seorang pun yang
menghampirinya. "Kita tidak perlu menghiraukannya," berkata Mahisa
Murti kita akan melanjutkan perjalanan.
Kelima orang itu pun kemudian telah bebenah diri.
Dekat pategalan itu terdapat sebuah parit yang berair jernih,
sehingga mereka dapat mencuci muka sebelum meninggalkan
tempat itu. Menj elang tengah hari m ereka telah berhenti di sebuah
pasar kecil. Tidak ada kedai y ang cukup baik. Namun sebuah
kedai kecil nampaknya meny ediakan makanan y ang cukup,
sehingga mereka pun telah singgah pula. Tetapi kedai kecil itu
seakan-akan tidak tertutup sama sekali, selain atap jerami di
atasnya. Beberapa saat mereka makan dan minum secukupnya.
Meskipun kedai itu kecil dan sederhana, ternyata masakan
yang dijual cukup memenuhi selera.
Namun demikian mereka meninggalkan kedai itu, maka
terdengar suara t ertawa. Ketika Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
berpaling, mereka melihat seseorang menyusup di
antara orang-orang y ang masih ada di pasar yang mulai sepi
itu. Tetapi di tempat penjualan unggas, masih banyak orang
yang melihat-lihat. Dari tempat itulah orang itu muncul sambil
berkata, "Kalian telah bersembunyi di pasar ini."
"Persetan," geram Mahisa Murti, "kita selesaikan
sekarang. Dengan demikian persoalan di antara kita tidak
akan berkepanjangan lagi."
"Sudah aku katakan," jawab orang itu, "tidak di t empat
yang ramai." Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Dengan geram ia
berkata, "Aku tidak peduli. Kau setuju atau tidak setuju."
" Jika kita bertanding di tempat yang ramai, banyak
korban tidak bersalah akan jatuh."
Mahisa Pukat masih akan m enjawab lagi. Tetapi orang
itu telah melangkah menjauhinya.
Mahisa Pukat hampir saja m emburunya, tetapi Mahisa
Murti masih sempat menggamit untuk menahannya.
"Setan," geram Mahisa Pukat.
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "kita tidak tergesa -
gesa. Kapan saja orang itu datang, maka kita akan
melayaninya dengan sebaik-baiknya."
Mahisa Pukat pun kemudian menjadi tenang, sehingga
mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka.
Namun perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar melekat kepada orang itu.
Di malam berikutnya, Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
masih juga bermalam di tempat terbuka. Tetapi
orang itu sama sekali tidak m enampakkan diri. Tetapi di hari
berikutnya, selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
berada di tempat ramai orang itu telah muncul kembali
dengan sikap dan kata-kata yang sama.
Mahisa Murti sendiri menjadi tidak sabar. Namun
kemudian yang menggamitnya adalah Wantilan. Mungkin di
bidang ilmu, Wantilan jauh berada dibawah kemampuan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi bagaimanapun juga
kelebihan umurnya berpengaruh juga pada sikapnya.
Dengan sareh Wantilan bertanya, "Apa y ang ingin kalian
lakukan?" "Membunuhnya," jawab Mahisa Pukat.
"Kalian harus menyadari, bahwa kalian sedang dalam
keadaan marah yang mendalam. Mungkin dengan keadaan
kalian yang demikian, kalian tidak akan berhasil
membunuhnya," berkata Wantilan.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian telah dicengkam oleh kemarahan yang sangat,
bahkan hampir kehilangan akal. Selain keadaan kalian, maka
mungkin orang itu tidak seorang diri, sehingga dalam keadaan
yang hampir diluar sadar kalian telah dijebak," berkata
Wantilan. "Tetapi ia datang setiap hari dengan ancaman-ancaman
yang memuakkan. Tetapi jika kita menunggunya di tempat
yang sepi, ia tidak kunjung datang," geram Mahisa Pukat pula.
" Itu adalah salah satu cara y ang ditempuh untuk
membuat lawan mereka menjadi lemah. Jika kemarahan telah
sampai ke ubun-ubun, maka pikiran kita tidak lagi menjadi
jernih. Bukankah di saat-saat kalian m engajari kami, kalian
selalu menekankan hal itu."
Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam,
sementara Wantilan berkata, "Jika kalian kehilangan kekang
diri, m aka tujuan orang itu telah tercapai. Membuat kalian
kehilangan penalaran y ang bening."
"Terima kasih paman," desis Mahisa Murti, "ternyata
kau sempat memberi aku kesadaran pada saat y ang gawat
seperti ini." "Yang penting, kalian harus dapat membiarkannya.
Jangan hiraukan kata-katanya. Jika kalian ingin bermalam di
banjar, lakukanlah. Jika orang itu benar-benar datang untuk
merampas sepasang keris itu lawanlah. Jika orang itu hanya
berbicara saja maka biarkan saja ia berbicara," berkata
Wantilan kemudian. "Kalian harus menanggapinya dengan
cara yang mereka pergunakan."
"Terima kasih, terima kasih," desis Mahisa Murti.
Demikianlah, maka orang-orang itu pun mulai berusaha
untuk tidak terpengaruh lagi oleh orang itu. Karena itu, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai lagi dengan
memberikan latihan-latihan kepada Mahisa Semu, Wantilan
dan juga kepada Mahisa Amping y ang telah m emiliki senjata
pisau belati. Di m alam hari, m aka m ereka benar-benar telah datang
ke sebuah banjar dan minta agar diijinkan untuk bermalam di
banjar itu. Ternyata mereka telah diterima dengan baik, sehingga
kelima, orang itu mendapat tempat di serambi samping.
Seperti yang sudah diduga, maka lewat tengah m alam,
seseorang tiba-tiba saja telah berdiri di halaman samping, di
hadapan serambi tempat Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
mendapat tempat untuk menginap.
Pa da saat itu, Mahisa Pukat lah y ang sedang mendapat
giliran untuk berjaga-jaga sambil bersandar dinding.
"Selamat malam anak muda?" orang itu menyapa
dengan suara perlahan-lahan sekali. Sementara itu anak-anak
muda yang bertugas di pendapa masih saja ramai berkelakar.
"Selamat malam Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat.
"Apakah kau ingat aku?" bertanya orang itu.
"Tentu saja," jawab Mahisa Pukat.
"Sekali lagi kau bersembuny i di sebuah banjar," berkata
orang itu. "Ya," jawab Mahisa Pukat dingin.
"Kau masih saja bersifat pengecut. Bermalam di tempat
yang ramai sehingga aku tidak dapat meny erangmu sekarang,"
berkata orang itu pula. Tetapi jawaban Mahisa Pukat agak aneh, "Kami tidak
tergesa -gesa Ki Sanak. Lakukan kapan saja kalian sempat. Jika
tidak juga tidak apa-apa. Bagaimanapun juga, jika kami harus
memilih, maka kami m emilih untuk tidak m embunuh. Tetapi
juga tidak dibunuh."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia berkata sambil terseny um, "Ternyata kalian memang
pengecut y ang licik. Kenapa kalian tidak berani
mempertahankan pusaka y ang kau curi itu dengan laku
jantan" Tetapi aku akan m encari kesempatan sehingga pada
suatu saat aku akan dapat mengambilnya dari tangan kalian."
"Aku tidak peduli lagi. Kapan saja kalian mau ambil,
ambillah. Tergantung sekali dengan keinginanmu untuk kapan
kau akan mati. Karena itu, kami tinggal menunggu saja. Kalau
kau sudah berminat untuk mati, temuilah kami," jawab
Mahisa Pukat. Orang itu m engerutkan keningnya. Rasa-rasanya degup
jantungnya menjadi semakin cepat. Tetapi ia masih harus
menahan diri. Ia lah yang harus membuat anak-anak itu selalu
gelisah dan marah, sehingga pada suatu saat perasaan mereka
tidak terkendali lagi. Karena itu, maka ia pun kemudian
berkata, "Agaknya kau merasa tenang dan aman di banjar
seperti ini. Agaknya kau m erasa bahwa di sini kau m endapat
perlindungan. Tetapi ketahuilah, j ika aku tidak bertindak, itu
karena sebab lain. Bukan karena aku takut menghadapi anakanak
muda yang banyak itu. Tetapi semata-mata karena aku
tidak mau membunuh orang yang tidak berdosa."
Namun jawab Mahisa Pukat, "Bukankah kata-kata itu
sudah kau ucapkan kemarin, kemarin lusa dan kapan lagi"
Aku sudah jemu mendengarnya."
"Kau m erasa malu kepada dirimu sendiri" Hei," tanya
orang itu. "Tidak," jawab Mahisa Pukat, "aku tidak pernah malu
terhadap diriku sendiri dan kepada orang lain. Aku juga tidak
malu minta berteduh di banjar ini. Aku juga tidak malu untuk
menerima pemberian penunggu banjar ini. Makan dan
minum. Bahkan dapat menghemat bekalku serba sedikit agar
tidak cepat habis.Namun aku menunggu kau menyerang kami
kapan pun itu, agar kami mendapat kesempatan dan alasan
untuk merampas uangmu dan kepingan-kepingan emas itu."
"Cukup," geram orang itu. Agaknya ia mulai sulit untuk
menahan hati lagi. Namun kemudian suaranya merendah,
"Sayang sekali bahwa kalian adalah anak-anak muda yang
pengecut." Namun tiba-tiba Mahisa Pukat lah y ang membentaknya
meskipun tidak t erlalu keras sehingga tidak terdengar dari
pendapa, "Pergilah. Aku sudah mulai kantuk. Aku akan tidur.
Besok aku akan berjalan lagi. Padahal jalan y ang harus kami
tempuh masih jauh." "Setan kau," orang itu mulai m engumpat, "aku tunggu
kalian besok di bulak panjang."
"Kami tidak akan melalui bulak panjang. Kami akan
berjalan menyusuri padukuhan dan barangkali berhenti di
pasar dan tempat-tempat ramai lainnya tanpa merasa malu
kepadamu. Mengerti. Nah, sekarang pergilah sebelum aku
berteriak-teriak," Mahisa Pukat pun kemudian menyandarkan
kepalanya di dinding. Namun ia sama sekali tidak kehilangan
kewaspadaan. Orang itu mulai mengumpat. Namun kemudian katanya,
"Baiklah. Agaknya waktunya memang sudah tiba. Besok kalian
akan mati. Besok aku tidak akan peduli, apakah kau akan
berjalan menyusuri pasar atau bersembuny i di manapun."
Mahisa Pukat menguap sambil menjawab, "Aku sudah
tidak mendengar kata-katamu."
Jawaban itu memang sangat menyakitkan hati. Tetapi
orang itu memang belum siap untuk bertindak. Karena itu,
sebelum jantungnya terbakar karena sikap anak muda itu,
maka orang itu telah memilih untuk meninggalkannya.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Menurut
perhitungan orang itu tidak akan kembali setidak -tidaknya
sampai dini hari. Sampai saatnya ia membangunkan Mahisa
Murti. Meskipun demikian Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjadi lengah. Namun seperti y ang diperhitungkan, sampai dini orang
itu tidak datang kembali sehingga datang saatnya Mahisa
Pukat membangunkan Mahisa Murti untuk bergantian,
berjaga-jaga sampai pagi.
Mahisa Murti lah yang kemudian duduk bersandar
dinding. Namun y ang lewat kemudian adalah seorang per onda
yang akan pergi ke pakiwan. Bahkan anak m uda itu m asih
sempat menyapanya, "Kau tidak dapat tidur?"
"Ya," jawab Mahisa Murti, "rasa-rasanya mata tidak
mau terpejam." "Kenapa?" bertanya anak muda itu.
"Tidak ada apa -apa Ki Sanak. Mungkin aku terlalu
memikirkan perjalanan panjangku," jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera kembali
ke pendapa. Suara t ertawa masih saja terdengar. Namun
sekali-sekali juga pembicaraan yang nampaknya bersungguhsungguh.
Menj elang pagi, maka kelima orang pengembara itu
telah terbangun seluruhnya. Mereka bergantian membenahi
diri di pakiwan, sementara anak-anak muda y ang meronda
telah meninggalkan pendapa. Sebentar lagi matahari akan
segera terbit. Sedangkan di jalan di depan banjar itu, beberapa
orang mulai lewat untuk pergi ke pasar. Bahkan kadangkadang
terdapat dua atau tiga orang perempuan y ang berjalan
berurutan sambil m embawa obor dari belarak. Bahkan ada di
antara mereka untuk mengusir dingin telah berdendang
sambil berjalan. Sejenak k emudian, maka mereka yang berjalan dengan
obor telah dipadamkannya, karena langit menjadi semakin
terang. Sementara pa sar pun menjadi semakin dekat.
Dari petugas yang menunggui banjar itu, Mahisa Murti
mendapat petunjuk, bahwa di ujung padukuhan itu m emang
terdapat pasar meskipun tidak terlalu besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat, bahwa
mereka akan pergi ke pasar. Mereka akan makan pagi
secukupnya,kemudian mereka akan menempuh jalan bulak
panjang yang sepi. Mereka memang sudah menjadi jemu
bahwa mereka hanya saling mengancam, saling menantang
dan berbagai macam cara lain untuk membuat lawan mereka
menjadi marah. Tetapi akhirnya kedua belah pihak telah
menjadi jemu, sehingga mereka memang sudah berkeputusan
untuk segera mengakhirnya.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang telah
pergi ke pasar, mereka telah duduk di sebuah kedai kecil yang
terbuka. Dengan sengaja hal itu m ereka lakukan, agar orang
yang mengikuti mereka dapat melihat.
Sebenarnyalah, selagi mereka makan orang itu telah
datang sambil menyapa, "Masih terlalu pagi untuk makan."
"O, kau," sapa Mahisa Murti tanpa berpaling, justru
sambil menyuapi mulutnya.
Sedangkan Mahisa Pukat pun berkata, "Apakah kau
ingin kami membelikan makan pagi buatmu?"
"Persetan," geram orang itu.
"Lalu kau mau apa pagi-pagi begini sudah menemui
kami, justru saat kami sedang makan," bertanya Mahisa Pukat.
"Silahkan makan," berkata orang itu, "sebentar lagi, aku
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin menyuapi mulutmu dengan ujung pedang."
Mahisa Pukat tiba -tiba saja tertawa. Katanya,
"Tunggulah di luar pasar, agar aku tidak merasa terganggu.
Aku masih lama, karena aku masih akan tambah lagi dengan
semangkuk minuman dan semangkuk nasi lodeh kulit
melinjo." "Tutup mulutmu," geram orang itu.
Namun sambil tertawa Mahisa Pukat berkata, "Jangan
terlalu garang. Apapun y ang kau lakukan, kau sama sekali
tidak menakutkan kami."
Orang itu m engumpat kasar m eskipun hanya perlahanlahan.
Namun ia pun kemudian telah bergeser sambil berdesis,
"Hari ini adalah hari kematian kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
berpaling. Mereka masih saja makan dan m eneguk minuman
hangat tanpa memperhatikan orang itu. Hanya Mahisa
Amping sajalah yang mengikuti orang itu dengan tatapan
matanya kemanapun orang itu pergi sehingga akhirnya hilang
di kerumunan banyak orang.
Baru kemudian mereka dengan cepat meny elesaikan
makan mereka dan membayar harganya.
Sejenak kemudian, mereka telah berada di luar pasar.
Hari memang masih pagi. Tetapi justru karena itu, maka
makanan dan minuman di kedai itu masih terasa hangat.
"Kita akan m enempuh jalan bulak panjang. Tetapi kita
akan berjalan perlahan-lahan," berkata Mahisa Murti.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Kita baru saja
makan. Jika kita berjalan cepat dan apalagi harus banyak
bergerak, maka lambung kita akan terasa sakit."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun tersirat
dari jawaban itu bahwa kemungkinan yang akan terjadi antara
lain adalah bertempur melawan orang y ang selalu datang itu.
Sebenarnyalah mereka berjalan perlahan-lahan. Mereka
sempat memperhatikan beberapa orang pandai besi yang
bekerja untuk membuat berbagai macam alat bagi para petani.
Parang, cangkul dan semacamnya.
Bahkan ketika mereka sudah meninggalkan pasar itu,
mereka masih juga berjalan perlahan-lahan. Mereka m elihatlihat
keadaan padukuhan yang terhitung ramai itu. Apalagi
agaknyahari itu adalah hari pasaran sehingga pasar itu pun
menjadi sangat ramai. Namun sejenak kemudian, mereka memang telah
sampai di ujung padukuhan. Mereka memandang bulak di
hadapan m ereka. Bulak y ang tidak terlalu panjang. Apalagi
bulak itu adalah bulak yang ramai dilewati orang-orang yang
akan pergi dan pulang dari pasar di padukuhan yang baru saja
mereka lewati. Tetapi agaknya hal itu justru lebih baik, karena dengan
demikian mereka masih mendapat kesempatan untuk berjalan
lambat. Mengendapkan makanan dan minuman di perutnya,
sehingga lambung mereka tidak akan menjadi sakit.
Ketika mereka sudah melewati bulak dan kemudian
padukuhan berikutnya, maka rasa-rasanya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu, maka m ereka mulai menentukan arah perjalanan
mereka. Mereka tidak lagi mengikuti jalan bulak pendek yang
akan segera sampai ke padukuhan berikutnya, namun mereka
mulai m emasuki sebuah jalan y ang lebih kecil. Namun jalan
itu seakan-akan tidak berujung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bersiap
sepenuhnya, apapun yang mereka hadapi. Bahkan Mahisa
Murti pun telah berkata kepada Mahisa Semu dan Wantilan,
"Kita tidak tahu, siapakah y ang akan kita hadapi kemudian.
Mungkin seorang, mungkin dua, tetapi mungkin lebih dari itu.
Karena itu, maka sebaiknya kalian bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Meskipun sepa sang pusaka itu ada pada kami
berdua, tetapi karena kalian ada bersama kami, maka
kemungkinan buruk itu dapat terjadi atas kalian juga
sebagaimana mungkin dapat terjadi pula atas kami."
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Sementara itu Wantilan menjawab, "Kami telah
mengatakan diri ikut bersama kalian. Dengan demikian maka
kami harus bersiap menanggung segala akibat yang dapat
terjadi." Ternyata orang itu telah berdiri beberapa langkah dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang segera bangkit berdiri.
Dengan geram orang itu kemudian berkata, "Aku sudah
tidak sabar lagi menunggu kalian."
"Kau kira aku dapat menunggu lebih lama lagi?" jawab
Mahisa Murti. Lalu katanya, "Tetapi sekarang kita sudah
bertemu. Apa y ang kau maui sebenarnya."
"Serahkan sepasang keris itu. Hanya itu," jawab orang
itu tegas. "Kau tentu sudah tahu jawabnya. Kami berkeberatan,"
jawab Mahisa Murti. "Anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang y ang
memiliki kemampuan y ang luar biasa. Pada usia kalian
sekarang ini, maka kalian sudah dapat disejajarkan dengan
orang-orang y ang berilmu tinggi lainnya. Namun demikian,
kau harus menyadari, betapa tinggi ilmu kalian berdua, maka
bagiku kalian bukan apa-apa. Jika setiap kali rencanaku
tertunda, karena aku berusaha untuk meyakinkan diriku
sendiri, bahwa tidak sepantasnya kalian untuk dibunuh. Tetapi
jika kalian berkeras untuk mempertahankan sepasang keris
itu, maka apa boleh buat," berkata orang itu pula.
"Nah Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat kemudian,
"sekarang kita akan m enentukan, siapakah y ang akan berhak
atas sepasang keris itu. Menurut kebenaran y ang biasa diakui,
maka karena orang y ang membuat keris itu y ang adalah
kebetulan ayah dari pemiliknya telah merelakannya kepada
kami, maka kamilah yang berhak. Tetapi jika hal itu tidak kau
akui, sehingga kebenarannya akan ditentukan oleh kekuatan,
maka kami pun tidak berkeberatan. Siapa y ang kuat ia akan
berhak atas sepasang keris itu."
"Bukan main," berkata orang itu, "kalian benar-benar
anak-anak y ang berani. Tetapi apakah kalian m emang benarbenar
berniat melawan kami?"
"Tergantung kepadamu," jawab Mahisa Pukat, "Apakah
kau benar -benar akan merampas keris ini?"
"Bagus," jawab orang itu,"berhati-hatilah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergerak
maju. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun telah
terbangun. Namun mereka memang tidak membangunkan
Mahisa Amping. Ketika mereka berhadapan, maka ternyata orang itu
memang hanya sendiri. Dengan nada rendah ia berkata,
"Jangan segan-segan. Majulah bersama-sama, karena jiwa
keris itu memang terbagi dua. Keris itu akan mempunyai
kekuatan yang tertinggi jika keduanya dapat serentak
menghentakkan kekuatan ilmu. Kalau tidak, m aka kekuatan
ilmunya akan berkurang."
"Terima kasih," jawab Mahisa Pukat, "kami sudah tahu
segala-galanya tentang milik kami."
Orang itu memang tidak menunggu lagi. Dengan serta
merta ia pun telah meny erang dengan senjatanya. Dua potong
besi sepanjang dua tiga jengkal, yang dihubungkan dengan
rantai baja y ang kuat. "Satu jeni s senjata y ang sangat sulit untuk dilawan,"
desis Mahisa Semu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benarbenar
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun untuk
melawan senjata itu, keduanya telah mencabut keris yang
dibuat sebesar pedang itu.
Orang yang ingin merampasny a itu terpukau sejenak
melihat keris itu. Namun kemudian katanya, "Harganya lebih
mahal dari harga ny awa kalian. Karena itu, jika kalian
berkeras, maka kalian benar -benar akan mati."
Tetapi orang itu segera melangkah mundur ketika
MahisaMurti mulai menggerakkan keris itu. Putarannya
menimbulkan cahaya y ang kadang-kadang nampak, tetapi
kadang-kadang tidak, seperti sebuah lingkaran yang
menggetarkan. Namun sejenak kemudian, maka orang itu telah
memutar senjatanya berpegang pada salah satu tongkat besi
itu dan berkata, "Bersiaplah. Tetapi ilmuku adalah ilmu yang
jarang ada duanya." Sejenak kemudian maka orang itu mulai meny erang.
Tongkat besi baja y ang sebuah berputaran, menyambar,
menukik dan sekali-sekali bagaikan menusuk ke arah dada.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang benarbenar
bertemur berpasangan mampu selalu mengelakkan diri.
Bahkan berganti-ganti mereka meny erang dengan
mempergunakan sepasang keris y ang nggegirisi itu.
Ternyata orang yang bersenjata sepasang tongkat itu
memang mampu bergerak cepat sekali. Sulit diperhitungkan
loncatan-loncatan kakinya dan apalagi ayunan tongkat
bajanya. Namun baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat bukan
orang kemarin sore di dunia olah kanuragan. Karena itu,
bagaimanapun garangnya orang itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berdua mampu mengimbanginya. Bahkan
serangan-serangan m ereka yang kemudian datang beruntun,
kadang-kadang telah membuat lawan mereka harus
berloncatan surut. Namun dalam sekejap mereka telah
menyerang dengan garangnya. Seperti pusaran prahara yang
sulit untuk ditahan kekuatannya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu mampu
menghindarkan diri dari libatan prahara itu. Karena jika
mereka benar-benar dicengkam oleh paraha itu, maka sulit
bagi mereka untuk melepaskan diri.
Orang y ang menginginkan sepasang keris itu semakin
lama menjadi semakin cepat bergerak. Tongkatnya berputaran
semakin cepat. Namun kadang-kadang tongkat yang
dihubungkan dengan rantai itu membuat kedua anak muda itu
terkejut. Rantai itu kadang-kadang menjadi mampu
menyambar anak-anak muda itu sebagaimana tongkat besi itu
sendiri. Tegak dan kuat, sehingga akan dapat mematahkan
tulang-tulang anak-anak muda itu apabila mengenainya.
Tetapi anak-anak muda itu menggenggam senjata y ang
luar biasa. Bukan saja karena hulunya berlapis emas dan tretes
permata, tetapi keris itu memang keris y ang luar biasa.
Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu
justru kadang-kadang telah membuat lawannya menjadi agak
kebingungan. Pertempuran itu semakin lama memang menjadi
semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengerahkan tenaga cadangannya untuk mengatasi lawannya
yang bergerak semakin cepat pula. Namun dalam pada itu,
lawannya pun menjadi semakin gelisah pula melihat
kemampuan kedua orang anak muda itu.
Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat percaya kepada
keterangan lawannya, bahwa semakin dekat sepasang pusaka
itu memang m enjadi semakin berbahaya. Bahkan orang tua
yang telah membuat kedua keris itu pun pernah
mengatakannya. Tetapi kedua orang anak muda itu tidak
selalu mengetrapkan dalam pertempuran itu. Keduanya
kadang-kadang ju stru mengambil jarak y ang jauh. Kedua
pusaka itu memang menjadi semakin jauh sehingga tidak
dapat menggabungkan kekuatan y ang terdapat pada kedua
pusaka itu. Namun kedua pusaka itu tetap berbahaya bagi lawannya,
karena justru dari arah yang berbeda, serangan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menjadi sangat berbahaya pula.
Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat akan tetap berbahaya bagi lawannya.
Jika mereka berpencar, maka perhatian orang itu terpecah
sehingga kadang-kadang ia harus meloncat mengambil jarak.
Namun jika kedua anak muda itu saling mendekat, rasarasanya
getar udara y ang m emancar dari sepa sang keris itu
menjadi semakin tajam menusuk kulit daging mereka.
Dengan demikian maka orang itu telah meningkatkan
ilmunya pula semakin tinggi. Senjatanya berputaran semakin
cepat. Menyambar, terayun mendatar dan kadang-kadang
mematuk seperti sebatang tombak atau menyambar bagaikan
tongkat y ang panjang. Tetapi setiap t erjadi benturan dengan sepasang keris
yang ingin direbutnya itu, maka terasa bahwa senjatanya tidak
mampu mengimbanginya. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan menyaksikan
pertempuran itu dengan jantung y ang berdebaran. Bahkan
kemudian mereka merasa sulit untuk menilai, apa yang telah
terjadi atas ketiga orang itu. Yang dilihatnya seakan-akan
hanyalah bay angan yang beterbangan kian kemari. Sekalisekali
sinar y ang memancar dari senjata-senjata y ang aneh itu
menyilaukan mata mereka. Kemudian angin yang berdesing
dan menerpa wajah mereka.
Namun demikian Mahisa Semu dan Wantilan masih juga
mengerti, seandainya Mahisa Murti atau Mahisa Pukat harus
melawan mereka seorang diri, akan mengalami kesulitan,
meskipun keduanya tahu, bahwa anak muda itu belum pula
sampai ke puncak kemampuan mereka.
Demikianlah benturan-benturan senjata y ang terjadi
telah memercikkan bunga api. Namun kemudian sepa sang
tongkat yang dihubungkan dengan rantai itu, semakin lama
seakan-akan menjadi nampak semakin jelas dalam gelapnya
malam. Bahkan kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melihat, bahwa senjata itu bagaikan telah membara.
Dengan demikian kedua orang anak muda itu
menyadari, bahwa orang itu telah benar-benar mencapai
puncak ilmunya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
segera mengimbanginya sebelum mereka tergilas oleh
kemampuan lawannya. Dalam pada itu, serangan orang itu pun menjadi
semakin membadai. Ketika terjadi benturan senjata, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Untunglah m ereka
dengan kecepatan yang sangat tinggi melompat menjauh.
Benturan itu ternyata telah menghamburkan bunga api ke
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala arah pada jarak jangkau yang cukup panjang. Letupan
bunga api itu memiliki kekuatan melampaui panasnya bara
api. Dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang terkena
percikan bunga api itu telah terbakar dan menyala seakanakan
telah terpercik lahar gunung berapi.
"Luar bia sa," desis Mahisa Murti.
"Berhati-hatilah," gumam Mahisa Pukat seakan-akan
ditujukan kepada diri sendiri.
Namun dengan demikian maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu telah mengerahkan segenap kemampuannya
pula. Apalagi digenggaman tangannya terdapat sebuah pusaka
yang jarang ada duanya. Dengan demikian maka dua keris itu seakan-akan benarbenar
telah menyala. Bukan saja sekedar seolah-olah kesan
leretan cahaya pada setiap gerak.
Dengan demikian, maka senjata Mahisa Murti maupun
senjata lawannya telah memancarkan cahayanya masingmasing
dalam warna yang berbeda. Tetapi semuanya
mengandung pancaran kekuatan yang sangat tinggi dan sangat
berbahaya. Orang yang ingin merampas sepa sang keris itu pun
terkejut. Ia memang mengerti bahwa sepa sang keris itu
memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi bahwa di tangan
anak-anak kekuatan itu mampu memancar adalah sangat
mengherankannya. Dengan demikian maka orang itu baru meyakini, bahwa
anak-anak muda itu memang memiliki ilmu y ang tinggi.
Bukan sekedar mempercayakan diri kepada sepasang keris itu
sa ja, sehingga mereka merasa berilmu.
Sebenarnyalah keris itu bagaikan telah menyala. Lidah
api yang berwarna kehijau-hijauan telah membuat orang yang
ingin merampas keris itu harus menjadi semakin berhati-hati.
Namun ia tidak ingin mengurungkan niatnya, ia pun
merasa bahwa ia juga memiliki ilmu y ang sangat tinggi,
sehingga bagaimanapun juga ia yakin bahwa ia akan dapat
mengalahkan kedua orang anak muda itu.
Dengan demikian, maka orang itu pun telah bergerak
lebih cepat lagi. Sepasang tongkatnya bergantian berputaran
dengan cepatnya, sehingga telah terbentuk lingkaranlingkaran
bara yang mendebarkan jantung.
Namun pedang di tangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun menjadi semakin menggetarkan pula. Keduanya
kemudian telah membuktikannya. Jika mereka berdiri
semakin rapat, maka nyala api y ang kehijau-hijauan pada
daun kerisnya itu pun seakan-akan menjadi semakin besar.
Dalam pada itu, beberapa benturan telah terjadi. Bunga
api y ang memercik masih saja m enghambur ke segala arah,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berloncatan
menghindari. Namun dalam setiap benturan bukan saja
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menjadi kepanasan
karena sentuhan-sentuhan bunga api yang menghambur,
tetapi ternyata nyala api pada sepasang keris itu juga telah
menimbulkan getaran udara yang panas, sehingga orang yang
ingin merampasnya itu pun harus dengan cepat menyesuaikan
diri. Dengan demikian maka pertempuran antara kedua belah
pihak itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang juga mampu bergerak cepat itu telah
melawan orang yang ingin merampas sepasang keris itu
dengan cara yang sulit untuk diperhitungkan lawan. Keduanya
kadang-kadang bertempur demikian dekatnya sehingga
seakan-akan mereka telah menjadi satu. Namun kemudian
berpencar saling menjauhi dan menyerang dari arah yang
kadang-kadang justru berlawanan sama sekali.
Kedua anak muda itu agaknya tidak begitu melihat
perbedaan kekuatan pada sepa sang keris itu disaat mereka
berjarak semakin dekat atau justru berada di jarak yang
panjang. Keris itu tetap merupakan senjata yang sangat
berbahaya bagi lawannya. Namun ternyata bahwa semakin lama semakin terasa
oleh orang yang ingin merampas sepasang keris itu, bahwa
kedua anak muda itu menjadi sangat berbahaya.
Sementara mereka bertempur dengan sengitnya, Mahisa
Semu dan Wantilan hanya dapat menyaksikan dengan jantung
yang berdegup semakin keras. Sementara itu, Mahisa Amping
pun telah terbangun pula. Seperti orang bermimpi ia melihat
pertempuran y ang sangat dahsy at. Tiga orang berloncatan
dengan tangkasnya dengan senjata y ang menyala di tangan
masirig -masing. Bahkan seakan-akan ketiganya beterbangan
seperti burung sikatan menyambar bilalang.
Namun dalam pada itu, langit pun telah menjadi
semakin terang. Bahkan kemudian cahaya kekuning-kuningan
telah memancar dari cakrawala.
Sesaat lagi, maka matahari pun tentu akan segera terbit.
Dengan demikian maka ketiga sosok bay angan itu
menjadi semakin lama semakin jela s bentuk dan ujudnya.
Namun semakin terangan cahaya pagi menjalang matahari
terbit, maka cahaya senjata orang yang ingin merampas
sepasang keris itu pun menjadi semakin pudar. Sementara itu,
cahaya lidah api yang m enyala kehijau-hijauan dari senjata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja memancar
menyilaukan, justru mengatasi cahaya pagi.
Dalam keadaan y ang demikian, maka adalah diluar
dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa lawannya
tiba -tiba saja telah meloncat mengambil jarak. Sebelum kedua
anak muda itu berbuat sesuatu, maka bayangan itu pun
seakan-akan telah terbang dengan cepatnya meny ongsong
matahari y ang akan terbit.
Tetapi dalam pada itu, telah bergema suara y ang
terdengar semakin jauh, "Kalian memang luar biasa anak
muda. Tetapi aku akan datang lagi jika matahari nanti
terbenam. Ternyata waktu y ang aku sediakan hari ini tidak
mencukupi, karena aku salah duga atas kemampuan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri termangumangu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti
berkata, "Anak malam. Agaknya orang itu hidup sebagai
seekor kelelawar." "Hanya dalam keadaan tertentu," sahut Mahisa Pukat,
"mungkin senjatanya itu hanya berarti di malam hari."
"Ya," berkata Wantilan, "itu lah agaknya ia berkeras
untuk merampas sepasang keris itu, karena keris itu akan
tetap berbahaya di malam maupun di siang hari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Pukat bertanya, "Bagaimana
menurut pendapatmu. Apakah orang itu akan benar-benar
kembali atau tidak?"
"Ya," jawab Mahisa Murti, "nanti malam ia akan
kembali. Bahkan mungkin tidak sendiri."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin sekali. Karena itu, kita harus bersiap sebaikbaiknya."
"Kita tidak akan beranjak dari tempat ini," berkata
Mahisa Murti kemudian. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sependapat
untuk menunggu orang itu. Malam nanti mereka akan
menyelesaikan persoalan mereka apapun y ang terjadi. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah jemu m enunggu dan bahkan
sekedar diikuti, digelitik dan dibiarkan menunggu dalam
kegelisahan. Namun demikian, mereka tidak hanya sekedar
menunggu. Tetapi m ereka harus mempersiapkan diri m ereka
sebaik-baiknya, karena mereka tahu bahwa orang itu benarbenar
berilmu tinggi. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun
menyadari, bahwa hari itu mereka tidak akan pergi kemana
pun. Mereka akan tetap berada di pategalan itu.
Ketika matahari memanjat kaki langit, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah m inta agar y ang lain m elihatlihat,
apakah didekat mereka ada air. Mungkin parit, sungai
atau belik. "Tetapi berhati-hatilah. Jika ada sesuatu yang agaknya
kurang wajar cepat kembali atau berikan isy arat apapun.
Bahkan mungkin berteriak memanggil kami," berkata Mahisa
Murti, "Karena kami memang sedang dalam intaian orang
yang b erilmu tinggi. Seandainya kalian tidak m enemukan air
dekat tempat ini, maka segeralah kembali."
Mahisa Semu m engangguk sambil menjawab, "Baiklah.
Kami akan pergi." Ketiga orang itu pun kemudian telah meninggalkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di tempatnya. Namun kedua
orang itu tetap berhati-hati. Mereka tidak jelas apa y ang dapat
terjadi hari itu. Tetapi seandainya keduanya yang pergi, maka
kemungkinan buruk dapat juga terjadi atas ketiga orang yang
ditinggalkannya, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat merasa lebih baik y ang tetap tinggal di tempat
itu. Namun ketiga orang itu dengan cepat telah kembali.
Mahisa Amping lah y ang kemudian b erkata, "Di sebelah ada
sungai kecil, kak." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Katanya, "Marilah, kita pergi bersama-sama."
Kelima orang itu pun sejenak kemudian telah berada di
sebuah sungai kecil untuk mencuci muka dan m embersihkan
diri. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah
menemukan tempat y ang baik untuk bersiap-siap
meny ongsong lawan mereka jika malam nanti datang.
Meskipun sungai itu kecil, namun mempunyai tepian
yang cukup luas. "Kita harus menyesuaikan diri lebih baik lagi," berkata
Mahisa Murti, "kita akan mencoba apa y ang dapat kita
lakukan paling baik dengan sepasang keris itu."
Namun demikian Wantilan itu pun berkata, "Sebaiknya
kalian beristirahat dahulu. Kalian telah m engerahkan tenaga
kalian m enghadapi orang itu. Kalian memang dapat mencari
kemungkinan terbaik itu. Namun kalian harus ingat, bahwa
kalian tidak boleh kehabisan tenaga untuk menghadapinya
malam nanti. Jika kalian tidak berada dalam puncak kekuatan
kalian, maka kalian akan kehabisan tenaga dan akhirnya
kalian tidak mampu lagi melawannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Pukat berkata, "Waktu kita masih panjang.
Masih ada sehari penuh, sehingga waktu untuk beristirahat itu
masih cukup." "Tetapi kalian akan dapat terlalu lelap dalam latihanlatihan
atau katakanlah saat kalian mencari kemungkinan
yang paling baik itu, sehingga akhirnya kalian lupa untuk
beristirahat. Karena itu, sebaiknya sekarang kalian beristirahat
lebih dahulu. Baru kalian akan m elakukan apa saja y ang baik
menurut kalian."berkata Wantilan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Baiklah. Jika
demikian, kita akan kembali ke pategalan itu."
"Kenapa ke pategalan itu?" bertanya Wantilan, "jika
pemiliknya datang maka mungkin akan dapat menimbulkan
salah paham. Kalian dapat beristirahat di sini. Di bawah
beberapa pohon turi yang rindang itu pasirnya nampak bersih.
Biarlah kami bertiga berjaga-jaga."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun tiba -tiba saja Mahisa Pukat bertanya, "Apakah Mahisa
Amping tidak lapar?"
Mahisa Amping hanya menunduk saja. Namun itu
adalah pertanda bahwa anak itu memang lapar.
Karena itu, maka mereka pun telah m enyempatkan diri
untuk pergi kekedai y ang terdekat. Kemudian kembali ke
tempat itu, dan memberikan kesempatan kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat untuk tidur beberapa saat. Dengan
demikian maka kekuatan mereka akan pulih kembali.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping telah mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih.
Mereka telah berusaha meningkatkan kemampuan mereka
bermain-main dengan senjata. Apalagi Mahisa Amping yang
telah memiliki sebilah pisau belati y ang bagus.
Lewat tengah hari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
terbangun. Sejenak mereka duduk bersandar batang-batang
pohon turi sambil menyaksikan Mahisa Amping yang kecil itu
membiasakan diri mempergunakan pisau belatinya dalam olah
kanuragan. Meloncat, bergeser menyamping, merunduk,
kemudian berputar pada pundaknya di atas pasir.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, "Anak itu
memang memiliki kelebihan terutama kewadagan. Ia memiliki
tenaga yang lebih besar dari kebanyakan anak-anak. Mudahmudahan
ia juga memiliki kelebihan tanggapan jiwani atas
dirinya terhadap Yang Maha Pencipta."
"Kita harus memperkenalkannya dan setiap hari
mengingatkannya. Ia memiliki dasar y ang kurang
menguntungkan.Pada saat kepekaannya ia justru berada di
padepokan yang setiap hari menyuapinya dengan ilmu hitam.
Tetapi jika kita dengan telaten menggosoknya setiap hari,
maka hatinya akhirnya akan mengkilap juga," sahut Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara ketika ia
menengadahkan wajahnya dilihatnya matahari mulai turun ke
sisi Barat. "Ketika kita tertidur ny enyak, untungnya orang itu tidak
datang mencari kita," desis Mahisa Pukat kemudian.
" Ia t idak akan menemui kita lagi di siang hari," berkata
Mahisa Murti, "tentu ada hubungan antara ilmunya dengan
malam yang gelap, ia pun tentu menyadari, bahwa kita
akhirnya dapat m engetahui bahwa ia mempunyai kelemahan
tertentu." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sudah
menduganya, bahwa orang itu tidak akan berani menghadapi
mereka berdua di siang hari. Tetapi ia ingin menyesuaikan
pendapatnya dengan Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih saja duduk di bawah pohon turi di tepian. Namun ketika
yang lain beristirahat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun mulai mempersiapkan dirinya. Beberapa saat mereka
memanaskan tubuh m ereka dengan berjalan-jalan di tepian.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian berlari-lari kecil. S ejenak k emudian, maka mereka
pun telah bersiap untuk mulai dengan sebuah latihan yang
sesungguhnya. Setelah m emusatkan segenap nalar budi, m aka mereka
segera memasuki suasana yang bersungguh-sungguh
meskipun tidak berada di dalam sanggar.
Sejenak kemudian mereka telah berlatih bersama-sama.
Mereka ingin mengetahui perbandingan kekuatan y ang dapat
dipancarkan lewat sepasang keris itu, serta pengaruhnya atas
lontaran ilmu mereka berbanding dengan jarak antara
sepasang keri s itu. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengambil ancang-ancang. Kemudian seorang demi seorang
pada jarak beberapa langkah mereka telah menyerang tanggul
berbatu padas dari jarak yang jauh melalui keris yang mereka
ketemukan itu. Sementara keris itu menyala semakin besar
dengan api yang berwarna kehijauan, maka seleret -seleret
sinar telah memancar dan menghantam tebing berbatu padas,
sehingga batu-batu padas itu pun runtuh berguguran.
Tetapi hal itu tidak mereka lakukan sekali. Tetapi
beberapa kali pada jarak yang berbeda. Ketika keduanya
kemudian telah mencapai puncaknya, maka mereka telah
mencoba pula untuk meny erang satu sasaran bersama-sama
pada jarak beberapa langkah. Kemudian mereka lakukan lagi
pada jarak y ang semakin dekat semakin dekat, sehingga
akhirnya m ereka berdiri tanpa jarak, bahkan Mahisa Pukat
telah memegang kerisnya di tangan kiri sehingga bersentuhan
dengan keris di tangan kanan Mahisa Murti.
Akibatnya memang dahsy at sekali. Serangan atas tebing
berbatu padas y ang mereka lakukan telah mampu
meruntuhkan dan melumatkan batu-batu padas itu. Apalagi
ketika mereka meny erang pada jarak y ang semakin dekat,
bahkan ketika mereka berdiri tanpa jarak sehingga sepa sang
keris mereka bersentuhan itu.
Kekuatan yang terpancar bukan sekedar kekuatan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang bergabung. Namun
kekuatan y ang terpancar dari kedua keris atas dasar dorongan
kekuatan ilmu kedua anak muda yang memang tinggi itu
benar-benar luar biasa. Kekuatan y ang menghancurkan batubatu
padas di tebing sungai itu adalah kekuatan y ang berlipat
ganda dari kekuatan ilmu kedua orang anak muda itu.
"Luar biasa," geram Mahisa Semu dan Wantilan hampir
berbareng ketika mereka melihat akibat serangan itu.
BahkanMahisa Murti dan Mahisa Pukat pun untuk beberapa
saat berdiri termangu-mangu. Mereka hampir tidak percaya
akan lontaran ilmu mereka itu. Namun ketika kemudian
mereka sempat mengulanginya dan akibatnya tidak berbeda,
maka mereka baru y akin, bahwa lontaran kekuatan ilmu lewat
sepasang keris itu pada jarak y ang sependek-pendeknya
memang nggegirisi. Dengan demikian keduanya menjadi semakin percaya
kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka akan dapat
mengatasi kemampuan orang-orang yang akan merampas
keris itu sendiri, sebagaimana dilakukan oleh orag yang datang
semalam. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian
beristirahat, maka Mahisa Semu sempat berkata, "Kalian telah
menemukan lagi kekuatan y ang tidak ada duanya."
"Kami memang berterima ka sih," berkata Mahisa Murti,
"tetapi kami masih tetap berpegang kepada satu sikap, bahwa
tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang terbaikpun
akhirnya akan ada y ang melampauinya. Karena itu, maka
segala sesuatunya harus tetap bersandar kepada satu
kepercayaan tentang sumber dari segala Sumber."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti. Tetapi k ita mempunyai ukuran kewajaran lahiriah.
Dari ukuran itulah aku menilai ilmumu."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti. Namun katanya
kemudian, "Kalian pun akan m ampu mencapai satu tataran
tertinggi, jika kalian bersungguh-sungguh."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Namun memang
terbersit di hatinya, bahwa kemungkinan itu masih merupakan
sekedar mimpi. Meskipun demikian seperti dikatakan oleh
Mahisa Murti, bahwa kemungkinan itu m emang ada, jika ia
bersungguh-sungguh. Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah m embersihkan dan m embenahi diri.
Sementara itu matahari telah menjadi semakin rendah.
"Ma sih ada waktu," berkata Mahisa Pukat, "kita masih
dapat pergi ke kedai sebentar. Wajah Mahisa Amping telah
menjadi pucat." Mahisa Semu dan Mahisa Murti tertawa pendek. Namun
Wantilan berkata, "Bukan kau yang pucat. Tetapi kakangmu
Mahisa Pukat yang merasa lapar."
Mahisa Pukat lah yang kemudian tertawa. Namun
katanya kemudian, "Marilah. Kita pergi sebentar."
Kelima orang itu m emang masih sempat pergi ke kedai.
Namun sejenak kemudian mereka telah kembali. Tidak ke
tepian itu lagi, tetapi mereka telah kembali ke pategalan.
" Di malam hari, pemiliknya tidak akan datang.
Sementara itu, kita mengharapkan orang itu datang lagi
malam nanti," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti memang sependapat. Sementara
menunggu malam, mereka masih mendapat kesempatan
untuk beristirahat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sudah tidak berniat lagi m emejamkan matanya, karena orang
itu akan dapat datang saat demikian matahari mulai terbenam.
Sementara itu Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping-pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Mereka menyadari bahwa keadaan akan dapat menjadi gawat.
Mungkin orang itu akan datang tidak seorang diri karena
kegagalannya di malam sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, maka gelap malam telah
menyelubungi seluruh pategalan dan bahkan padukuhanpadukuhan.
Bintang-bintang mulai bermunculan di langit.
Sementara itu titik-titik embun mulai berjatuhan m embasahi
dedaunan. Malam m emang terasa dingin. Bahkan t erasa demikian
sepinya. Tidak terdengar sama sekali suara-suara malam yang
biasanya berderik di antara dedaunan dan rerumputan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk menghadap ke
arah yang berlawanan. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan
pun ikut pula mengamati keadaan. Bahkan Mahisa Amping
yang kecil itu-pun masih juga duduk bersandar sebatang
pohon. " Jika kau sudah mengantuk, tidurlah. Jika permainan
itu akan dimulai, maka kau nanti akan dibangunkan pula,"
berkata Mahisa Semu. Mahisa Amping menggeleng. Katanya, "Aku tidak
mengantuk." Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun
Mahisa Amping masih tetap duduk bersandar sebatang pohon.
Dengan matanya y ang kecil, ternyata ia juga mengamati
kegelapan malam sebagaimana dilakukan oleh y ang lain.
Untuk beberapa lama mereka menunggu. Tetapi tidak
seorang pun yang datang kepada m ereka. Orang y ang datang
semalam pun tidak. "Apakah orang itu selalu datang setelah lewat tengah
malam?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak mengerti apa hubungannya antara ilmu seseorang
dengan siang dan malam. Bahkan dengan lewat tengah malam.
Tetapi jika itu menjadi satu keyakinan, maka sudah tentu
pengaruhnya akan besar sekali bagi seseorang."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia berdesis,"demikian kuatnya pengaruh key akinan
atas seseorang." Namun dalam pada itu, terdengar Mahisa Murti
berdesis, "Kita tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka
telah datang. Memang tidak sendiri."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
bertanya, "dari arah mana mereka datang?"
"Dari arah garis pandanganku," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, maka Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang
mendengar kata-kata Mahisa Murti itu pun segera
mempersiapkan diri pula. Sementara itu, dua orang tengah berjalan mendekati
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
bangkit berdiri. Demikian pula Mahisa Semu, Wantilan dan
bahkan Mahisa Amping. Beberapa saat kemudian, dua orang yang datang itu
telah berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan nada rendah orang y ang telah beberapa kali datang
kepada anak-anak muda itu dan bahkan telah pernah
bertempur melawannya itu berkata, "Selamat malam anakanak
muda." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia pun m enjawab ragu, "selamat
malam." "Kami telah datang lagi anak-anak muda. Malam ini aku
tidak datang sendiri. Karena aku harus menghadapi dua orang
berilmu tinggi, maka aku t elah m embawa seorang saudaraku
pula. Dengan demikian kita akan berhadapan seorang dengan
seorang. Bukankah itu adil?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka menyadari bahwa orang itu ternyata telah
berusaha untuk mengurangi tekanan kedua anak muda yang
bertempur berpasangan dengan senjata y ang memiliki
kekuatan yang sangat besar itu. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak akan dapat menolak, bahkan mereka
sudah memperhitungkan kemungkinan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menjawab,
"Ya. Aku sependapat. Satu pertemuan yang adil."
Kedua orang y ang datang itu mengangguk-angguk.
Namun yang telah datang berkali-kali berkata, "Jika demikian,
maka kita tidak mempunyai persoalan y ang perlu kita
bicarakan lagi. Kita akan segera mulai. Siapa y ang akan mati di
antara kita. Mungkin kalian berdua. Mungkin kami berdua,
tetapi mungkin seorang di antara kami dan seorang di antara
kalian." "Bagus," berkata Mahisa Pukat, "kami sudap siap.
Meskipun aku tahu bahwa kalian ingin menyelesaikan
persoalan ini sebelum matahari terbit. Kami tidak tahu
hubungan ilmu kalian dengan matahari. Tetapi agaknya
kalian, setidak-tidaknya seorang di antara kalian memang
takut melihat matahari terbit."
"Satu mimpi buruk. Kau telah m engambil kesimpulan
yang salah dengan sikapku," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, "Salah atau tidak, tetapi
kau dengan tergesa -gesa meninggalkan kami ketika kau
melihat fajar mulai merah di langit, atau sesudah itu,
mendekati cahaya matahari yang pertama t erlempar dari balik
cakrawala." Orang itu tertawa. Katanya, "Terserahlah kepada kalian.
Tetapi marilah, kita akan segera mulai."
Kedua orang itu pun segera bersiap. Mereka telah
mengambil jarak beberapa langkah di antara yang satu dengan
yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah bersiap pula,
sama sekali tidak berusaha mengambil jarak meskipun mereka
telah berdiri menghadap kepada kedua orang itu.
Demikianlah, maka kedua orang itu pun segera mulai
bergerak. Mereka tidak merasa perlu untuk saling menjajagi
lagi. Orang yang telah datang sebelumnya itu pun segera
mengambil senjata mereka, sementara y ang lain pun telah
melakukannya pula. Yang telah datang beberapa kali itu telah
mengambil sepasang tongkat bajanya yang dihubungkan
dengan seutas rantai. Sementara y ang seorang lagi telah
menarik sepasang pedang yang sangat tipis namun lentur di
kedua tangannya. Pedang y ang tajamnya melampaui tajamnya
pisau cukur. Sejenak kemudian, m ereka pun telah mulai bertempur.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak mau
terpisah y ang satu dengan y ang lain. Bagaimanapun juga
lawan-lawan mereka berusaha memancing agar mereka
menjadi saling berjauhan, ternyata mereka tidak
melakukannya. "Setan," geram orang yang baru datang malam itu,
"kenapa kalian bertempur seperti dua orang penakut yang
memasuki kegelapan. Yang satu berpegangan y ang lain
sehingga kalian kehilangan banyak kesempatan dalam
pertempuran ini." Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, " Ini adalah pola
permainan kami yang sebenarnya. Karena itu, m aka lakukan
yang akan kalian lakukan atas kami."
Kedua orang itu mengumpat hampir ber samaan. Namun
mereka telah b erloncatan meny erang dari arah y ang berbeda.
Dengan demikian mereka berusaha agar kedua orang anak
muda itu tidak dapat m enyerang mereka dengan kedua keris
itu berpasangan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerti m aksud
kedua lawannya. Karena itu, maka mereka tidak dengan serta
merta m encari kesempatan untuk mempergunakan sepa sang
keris itu bersama-sama. Namun kedua orang itu memang menjadi sangat garang.
Seperti y ang pernah terjadi, benturan antara keris Mahisa
Murti y ang bagaikan m enyala dengan lidah api yang kehijauhijauan
itu dengan t ongkat-tongkat baja yang membara telah
menimbulkan bunga api y ang memercik menghamburkan
panas. Sementara itu, ternyata sepasang pedang tipis dari
lawan Mahisa Pukat pun telah menimbulkan akibat y ang sama
pada setiap benturan. Sehingga dengan demikian Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui bahwa keduanya
tentu saudara seperguruan.
"Apakah perguruan mereka tidak terlalu jauh dari
tempat ini," bertanya anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Sementara itu, maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua orang saudara seperguruan itu
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memangmemiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga beberapa
saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa mulai
terdesak. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping y ang
menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka
melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai bergeser
beberapa langkah surut. Namun dalam pada itu, keduanya tidak ingin
membiarkan diri mereka terdesak terus. Sementara itu,
mereka seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk
melepaskan ilmu mereka y ang dapat menyerang dari jarak
panjang, karena kedua lawannya itu seakan-akan bertempur
tanpa jarak. Senjata mereka selalu menggapai tanpa hentihentinya.
Karena itu, maka kedua anak muda itu telah
mempergunakan ilmunya y ang lain. Di saat-saat mereka
mengalami kesulitan karena lawan mereka memang berilmu
tinggi, maka m ereka telah mempergunakan ilmu y ang jarang
ada duanya. Ilmu y ang mampu menghisap kekuatan dan
kemampuan orang lain. Demikianlah, maka pertempuran itu b erlangsung terus.
Benturan demi benturan. Kedua orang y ang merasa memiliki
ilmu yang tinggi itu telah meny erang dengan dahsy atnya,
sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lebih banyak
bertahan. Tetapi adalah diluar perhitungan lawan-lawannya bahwa
anak-anak muda itu memiliki ilmu y ang tidak segera
dimengertinya. Namun, beberapa saat kemudian, keduanya merasa
bahwa ada sesuatu y ang aneh pada diri mereka. Tenaga
mereka m ulai terasa t erlalu cepat su sut. Betapapun mereka
mengerahkan tenaga, namun mereka merasa bahwa mereka
masih mampu bertempur sampai menjelang pagi hari.
Untuk beberapa saat mereka masih berusaha untuk
mengerti. Mereka telah mengerahkan kemampuan mereka
bertempur dengan landasan ilmu mereka. Mereka bergerak
dengan cepat sekali, serta percikan bunga api di setiap senjata,
memangmembuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdesak.
Tetapi mereka tidak mengerti, apa y ang sebenarnya
terjadi atas diri mereka sehingga kekuatan dan kemampuan
mereka demikian cepat susut.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
lebih banyak bertahan. Setiap serangan telah m ereka bentur
dengan senjata mereka yang m emiliki kekuatan y ang aneh.
Lidah api yang kehijau-hijauan itu memang mampu
menyebarkan panas. Namun percikan bunga api di setiap
benturan, mampu menebar lebih jauh jangkauannya daripada
jangkauan panas y ang m emancar dari pedang Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Teiapi kedua orang itu adalah orang y ang berilmu sangat
tinggi. Dengan demikian maka penggraitanya pun cukup tajam
Kisah Para Penggetar Langit 10 Dewi Ular 77 Bulan Berdarah Ratu Pemikat 2
simpanan y ang mungkin mempunyai nilai y ang tinggi.
Seandainya benda-benda itu adalah benda-benda biasa yang
tidak memiliki kekhususan, maka nilainya y ang mahal itu akan
berarti bagi orang banyak."
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan
melepaskan dan menghembuskan ketegangan di dalam
dadanya katanya. " Jantungku hampir meledak karenanya. Aku menunggu
jawaban kalian dengan hati y ang berdebaran. Seandainya
kalian menjawab agar aku mengantarkan kalian, maka
hancurlah harapanku bagi m asa datang, karena orang yang
membawa sepasang kerisku adalah orang-orang yang tamak.
Tetapi ternyata kalian bukan orang-orang sejeni s itu. Kalian
adalah orang-orang y ang nampaknya mendapat landasan
jiwani y ang bersih, sehingga kalian mampu menekan
ketamakan y ang menjadi salah satu sifat manusia. Seandainya
kalian m enyatakan kesediaan kalian untuk mengambil harta
karun itu, maka aku kira aku harus berpikir untuk mengambil
sepasang kerisku kembali. Namun ternyata kalian tidak
berbuat demikian." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lah y ang justru
menegang sejenak. Namun orang tua itu berkata selanjutnya,
"Tetapi harta karun itu benar-benar ada. Aku mengambil
secukupnya untuk membuat hulu sepasang kerisku itu. Emas
dan permata y ang sangat mahal. Namun kemudian, harta
karun yang lain itu aku tinggalkan seperti yang aku katakan."
"Kenapa Kiai tidak pernah melaporkannya?" bertanya
Mahisa Pukat. " Itu salah satu kelemahanku. Aku justru takut mendapat
tuduhan y ang bukan-bukan," jawab orang tua itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Mereka dapat mengerti kecemasan orang tua itu. Jika ia
melaporkan, maka ia dihujani seribu macam pertanyaan yang
kadang-kadang tidak dapat dijawabnya, sehingga ia m emilih
untuk berdiam diri saja. Namun tidak berniat untuk
memilikinya, kecuali sebagian kecil saja hanya sekedar untuk
mendapatkan kepuasan jiwani dengan membuat sebilah keris
dengan hulu yang terbuat dari emas dan tretes permata.
Karena Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut,
maka orang tua itu pun kemudian berkata, " Itu adalah sedikit
ceritera dari m ana aku m endapatkan emas dan permata yang
kemudian melekat pada hulu sepasang keris itu. Kalian tahu,
bahwa benda y ang ada di hulu keris itu harganya sangat
mahal. Apalagi seluruh harta karun yang terdapat didalam goa
itu. Tetapi bagiku, emas dan permata itu hanya sebagai barang
mainan, karena y ang terpenting bagiku adalah nilai dari bahan
yang telah aku buat menjadi sepasang keris itu. Sehingga
ternyata aku telah berhasil membuat sepasang keris yang
baik." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
sa ja. Mereka tidak tahu apa y ang harus mereka katakan selagi
orang tua itu berbicara sambil mengenang masa -masa
lampaunya. Namun k emudian orang tua itu berkata, "Tetapi angger
berdua. Yang terpenting bagi kalian adalah, hubungan kedua
pusaka itu y ang satu dengan yang lain."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin
bersungguh-sungguh mendengarkan ceritera orang itu.
Namun ternyata orang tua itu tersenyum sambil berkata,
"Bukankah kalian akan berada di gubugku ini barang satu dua
hari" Karena itu, kita tidak tergesa -gesa. Nanti aku akan
menceriterakan tentang kedua pusaka itu. Bagaimana aku
membuatnya dan bagaimana jadinya. Sekarang, kita dapat
beristirahat untuk melihat -lihat keadaan di sekitar tempat ini.
Tetapi aku berpesan kepada kalian semuanya, agar tidak
terlalu jauh meninggalkan gubug ini. Ada beberapa keberatan,
justru karena sepasang keris itu sudah ada di tangan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hampir berbareng
menjawab, "Baiklah Kiai. Kami akan berada di sekitar gubug
ini saja." "Aku minta demikian pula saudara-saudara kalian y ang
lain," desis orang tua itu.
"Ya Kiai. Aku akan memberitahukan kepada mereka,"
jawab Mahisa Murti. Namun sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat serta
saudara-saudaranya keluar pintu gubug itu, m ereka terkejut
mendengar suara gemerasak, seperti arus air yang datang
mengalir mendekati gubug itu.
Wajah-wajah menjadi tegang. Mahisa Amping telah
bergeser mendekati Mahisa Semu sambil berbisik, "Banjir"
Tetapi apakah ada sungai di dekat tempat ini?"
Mahisa Semu m engerutkan keningnya. Sambil menarik
Mahisa Amping lebih dekat lagi ia berkata, "Berhati-hatilah.
Aku tidak tahu suara apa itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba
memperhatikan suara itu dengan saksama, sementara
Wantilan telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun dalam pada itu, murid orang tua itu telah
melangkah masuk. Namun sebelum ia berkata sesuatu orang
tua yang masih tetap tenang itu bertanya, "Naga Pasa?"
"Ya Kiai," jawab orang y ang baru masuk itu.
"Aku sudah mengira bahwa pada suatu saat ia akan
mempergunakannya terhadapku," berkata orang tua itu. Lalu
katanya, "Baiklah, kita harus bersiap-siap."
Tetapi ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bangkit,
orang tua itu berkata, "Duduklah ngger. Kita hanya akan
menunggu saja. Ilmu Naga Pasa adalah kekuatan yang jarang
ada duanya, satu ilmu y ang mampu m enggerakkan berpuluhpuluh,
bahkan beratus-ratus ekor ular untuk meny erang
sa saran yang dikehendaki. Yang terdengar itu adalah memang
arus banjir. Tetapi banjir ular. Karena itu, m aka kalian harus
bersiap-siap menghadapinya."
Yang mendengar penjelasan itu terkejut. Betapapun
berani dan nakalnya Mahisa Amping, namun mendengar
keterangan itu, bulu-bulunya bagaikan berdiri.
"Tetapi kita tidak melawan kekuatan itu begitu saja.
Kedua anak muda itu sudah aku ketahui, mempunyai
penangkal racun betapapun keras racun itu. Tetapi bagaimana
dengan yang lain?" Mahisa Murti menggeleng sambil berkata, "Mereka tidak
mempunyai kekuatan penangkal racun itu Kiai."
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Kemudian
katanya, "Baiklah. Jika demikian maka kepada mereka harus
diberikan penangkal racun itu."
Yanpa menunggu jawaban maka orang tua itu telah
mengambil butir-butir obat dari kantong ikat pinggangnya
pula. Butir-butir obat y ang berwarna merah menyala.
"Cepat, makanlah," berkata orang tua itu sambil
memberikan kepada Mahisa Semu, Mahisa Amping dan
Wantilan. Lalu katanya, "Sekarang kita bersiap m enghadapi
banjir itu. Kalian dengar bahwa arus itu menjadi semakin
dekat. Kita akan melawannya diluar gubug kecil ini."
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang tua itu telah
melangkah keluar gubugnya, diikuti oleh m uridnya, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat, serta Mahisa Semu, Mahisa Amping
dan Wantilan y ang sudah menelan obat penangkal racun itu.
Ketika mereka kemudian berdiri di luar gubug, maka
mereka masih belum melihat sesuatu. Mereka hanya
mendengar arus itu bagaikan datang dari segala arah.
"Hati-hati," berkata orang tua itu, "arus itu sudah dekat.
Lihat pepohonan y ang bergerak-gerak. Ular itu memang
bukan ular-ular raksasa yang nampak dari kejauhan. Tetapi
ular itu adalah ular -ular kecil namun jumlahnya banyak sekali.
Ular yang meskipun kecil, bahkan sebesar kelilingking
sekalipun, namun jika menggigit seseorang dalam keadaan
wajar, m aka orang itu tidak akan berumur panjang. Namun
kalian telah mempunyai penangkal racun dan bisa."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranyapun kemudian
telah m emperhatikan pohon-pohon perdu di sekitar mereka.
Mereka melihat gerumbul-gerumbul perdu itu berguncangguncang
seperti benar-benar telah diterpa oleh arus banjir.
"Bersiaplah," berkata orang tua itu, "ujung dari arus itu
sudah dekat di hadapan dan bahkan di sekitar kita. Kita harus
menghadap ke segala arah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah berada di t empat
yang b erlawanan arah pandang. Sementara itu Mahisa Murti
masih berkata, "Hati-hati dengan Mahisa Amping. Kau harus
berada di t engah dan pergunakan apa saja untuk menghalau
ular y ang sempat mendekatimu meskipun kau sudah tawar
racun." Mahisa Amping memang berusaha untuk berada di
tengah-tengah orang-orang yang akan bertahan terhadap
serangan sekelompok ular y ang tidak terhitung jumlahnya.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti pun tiba -tiba
bertanya, "Kiai, apakah aku dapat m empergunakan serangan
jarak jauh." "Ya, tentu. Aku pun akan mempergunakan. Ternyata
kalian memiliki kemampuan itu?" bertanya orang tua itu.
"Serba sedikit Kiai," jawab Mahisa Murti.
"Bagus," jawab orang tua itu, "kita m enghadap ke t iga
arah." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih meny esuaikan
dirinya. Sementara itu, orang tua itu telah memberikan sebilah
pisau belati panjang kepada Mahisa Amping, "Bunuh saja ular
yang mendekat." "Awas," tiba -tiba orang tua itu memberikan isy arat,
"sekarang kita dapat menyerang."
Orang tua itulah y ang dengan cepat telah sempat
melontarkan serangan berjarak sebagaimana dilihat oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selagi ia bertempur. Maka
seleret kilatan cahaya telah meluncur ke arah arus beratus ular
yang merayap di sekitarnya.
Tanahpun bagaikan meledak. Segumpal tanah terlempar
bersama berpuluh ular y ang ada di atasny a. Bahkan telah
menjadi hangus terbakar. -ooo0dw0ooo- (Bersambung ke Jilid 79).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 79 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 079 LEDAKAN itu disusul oleh serangan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Mereka pun mampu melepaskan ilmu
sebagaimana dilakukan oleh orang tua itu meskipun masih
berada beberapa lapis dibawahnya. Namun serangan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu pun telah mampu meledakkan
sa sarannya. Tanah pun berhamburan sementara beberapa
puluh ekor ular pun telah terlempar dan menjadi hangus
karenanya. Tetapi arus ular itu seakan-akan tidak ada habisny a,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus mengulangi
dan mengulangi lagi sebagaimana orang tua itu.
Namun dalam pada itu, ternyata di antara beratus ekor
ular y ang mati, ada juga dua ekor y ang berhasil menyusup
lewat dibawah gerumbul-gerumbul perdu dan akar-akar
pepohonan mendekati orang-orang yang sedang membunuh
ular tanpa hitungan. Seekor ular kecil, namun berbelang-belang putih telah
berhasil merambat ke kaki Mahisa Murti. Ular weling yang
tajam bisanya sulit dicari bandingnya.
Dengan beraninya ular itu telah mematuk Mahisa Murti,
sehinga Mahisa Murti pun terkejut karenanya. Namun dengan
serta merta Mahisa Murti telah menangkap kepalanya dan
meremasnya sehingga remuk tanpa ujud lagi.
Sedangkan yang lain, beberapa ekor telah dibunuh pula
oleh Mahisa Semu dan Wantilan. Pedang m ereka pun telah
menebas beberapa ekor y ang berhasil menyusup dan terbebas
dari serangan ilmu yang garang itu.
Namun demikian ular-ular yang terbebas dari terkaman
kekuatan yang panasnya melampaui api itu, m aka tiba-tiba
sa ja senjata y ang sangat tajam telah memenggal leher ular-ular
yang sangat berbisa itu. Bahkan Mahisa Amping pun telah
melakukannya pula. Sambil berjongkok ia menunggu ular
yang luput dari panasnya ilmu Mahisa Murti, Mahisa Pukat,
orang tua itu atau tajamnya pedang Mahisa Semu dan
Wantilan. Tetapi orang-orang itu menjadi demikian sibuknya.
Murid orang tua itu ternyata belum memiliki ilmu
sebagaimana nampak pada unsur-unsur geraknya dan ilmu
puncak y ang dimilikinya. Karena itu, maka ia pun telah
melawan ular-ular itu dengan mempergunakan pedang
sebagaimana dilakukan oleh Mahisa Semu dan Wantilan.
Demikianlah maka pertempuran itu pun telah terjadi
beberapa saat lamanya. Banyaknya ular yang datang memang
tidak terhitung jumlahnya. Namun yang terbunuh, terlempar
dan kehilangan arah sa saran pun jumlahnya tidak terhitung
pula. Namun orang tua itu sudah berniat membunuh.
Berapapun banyaknya ular y ang datang, maka ular-ular itu
akan dihancurkanya dengan kekuatan y ang dahsyat itu. Tidak
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada belas ka sihan terhadap ular-ular itu dan sudah tentu
kepada pemiliknya. Bangkai ular pun berhamburan m elingkari orang-orang
yang berdiri berkelompok itu. Dari beberapa penjuru, m asih
sa ja berdatangan ular y ang mengalir seperti banjir.
Tetapi, adalah diluar perhitungan orang y ang m emiliki
kekuatan ilmu Naga Pasa itu, bahwa di tempat itu ada orang
yang mampu melontarkan ilmu dengan dahsyat sekali,
sehingga mampu menghadang ular-ularnya dan
meledakkannya sebelum ular-ular itu sampai ke sasaran.
Namun orang y ang mampu menggiring ular sekian
banyaknya itu masih saja menunggu, ia masih mengetrapkan
ilmunya, dan ular-ular pun masih dapat diperintahkannya
untuk melakukan sesuatu baginya.
Tetapi akhirnya orang itu menyadari, bahwa ia tidak
akan dapat berbuat banyak dengan ular-ularnya. Ular-ular itu
telah mati terbunuh tanpa arti sama sekali. Sedangkan satu
dua y ang masih tetap hidup dan merayap m endekat, m aka
kepala ular itu akan segera terpisah dari tubuhnya.
Bahkan pemilik ilmu y ang mampu menggerakkan beribu
ular itu m enyadari, bahwa orang-orang yang ada di tengahtengah
lingkaran ularnya itu telah mendapatkan obat
penangkal bisa, sehingga meskipun ada satu dua yang mampu
menyusup dan menggigit tumit orang-orang itu, maka bisanya
tidak akan berpengaruh lagi.
Karena itu, maka akhirnya orang y ang memiliki ilmu
Naga Pasa itu tidak lagi berharap bahwa ular-ularnya akan
membuat peny elesaian tentang orang tua itu dan kemudian
mengambil sepasang pedang yang sudah di tangan anak-anak
muda itu. Sejenak kemudian, maka terdengar jerit mengerikan.
Lidah api telah menghembus dan menjilat dengan dahsy atnya.
Namun orang tua y ang m asih saja mempergunakan ilmunya
untuk melawan ular-ular yang datang seperti banjir itu, telah
mengarahkan perhatiannya kepada lidah api y ang bagaikan
menjilat -jilat itu. Dedaunan dan batang pepohonan menjadi
kering dan terbakar karenanya.
Namun orang tua itu tidak membiarkannya, ia pun telah
menghentakkan ilmunya pula, sehingga kekuatan ilmunya
telah menghantam ilmu lawannya yang bagaikan api menjilatjilat
itu. Satu benturan dahsyat telah terjadi. Benturan itu telah
memantulkan kekuatan kedua belah pihak kembali ke arah
sumbernya masing-masing. Namun kemudian telah t erjadi satu loncatan panjang.
Orang tua itu bagaikan berputar di udara. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah m eloncat pula m engikuti
orang tua itu. Ternyata dua orang kemudian nampak berdiri di tempat
yang agak lapang, di atas padang perdu. Dengan nada berat
orang tua itu berkata, "Aku sudah m enduga, bahwa kau juga
akan datang seperti y ang lain."
" Jangan samakan aku dengan y ang lain. Setelah aku
datang untuk mengambil pusaka-pusaka itu, maka kau sudah
akan terbebas dari gangguan siapapun juga. Karena itu,
sebaiknya kau tidak usah menentang kehendakku."
Orang tua itu tertawa. Katanya, "Jangan aneh-aneh. Aku
tahu bahwa kau memiliki ilmu yang dahsy at, yang disebut
Naga Pa sa. Ular-ularmu itu hanyalah sebagian kecil dari
permaianmu. Meskipun demikian, aku akan tetap
melawanmu." Orang yang melotarkan ilmu Naga Pasa itu termangumangu
sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, "Kau
sebaiknya tidak mempertaruhkan nyawamu untuk sepa sang
senjata y ang dapat kau buat sendiri. Kenapa tidak kau berikan
sa ja senjata itu kepadaku. Kemudian kau membuat lagi senjata
serupa." "Aku sudah tidak mempunyai lempengan emas lagi.
Apalagi permata sebaik permata pada hulu sepasang kerisku
itu. Karena itu maka aku tidak akan dapat memberikannya
kepada siapapun juga."
" Jadi kau hargai emas dan permata di hulu senjatamu
itu melampaui nyawamu sendiri?" bertanya orang itu.
"Tentu tidak. Aku dapat membuat keris semacam
apapun. Tetapi aku tidak dapat membuat nyawaku sendiri,"
jawab orang tua itu. " Jika demikian kenapa tidak kau ikhlaskan saja
sepasang pusaka itu kepadaku?" bertanya orang itu.
"Soalnya bukan dapat atau tidak dapat membuat. Aku
sudah tidak mempunyai bahan sebagus itu lagi, sehingga tidak
mungkin lagi bagiku untuk dapat m embuat sepa sang senjata
sebagus sepasang senjata y ang kau buru itu. Bukan saja baja
pilihan, serta bahan pamornya y ang tidak ada duanya, tetapi
juga emas dan permata di hulunya," jawab orang tua itu.
"Persetan," geram orang yang datang itu, "dalam
sekejap kau akan ku bunuh."
Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, "Kau sudah
mencoba. Tetapi kau ternyata tidak mampu. Tetapi jika kau
masih ingin mencobanya lagi, lakukanlah. Tetapi ingat, jika
kau m asih m eny erang aku dengan ilmu Naga Pasa mu yang
dahsy at itu, maka aku pun akan mempergunakan ilmu
tertinggi yang aku miliki. Kau akan dapat menjadi lumat
seperti debu." "Kau terlalu sombong. Kau sudah tua," geram orang itu.
"Kau tahu, semakin tua seseorang, maka ilmunya akan
menjadi semakin matang. Juga sikapnya menghadapi segala
macam persoalan," jawab orang tua itu.
"Baiklah," berkata orang berilmu Naga Pasa itu,
"bersiaplah untuk m ati. Aku tidak akan mengampuni orang
lagi jika aku sudah mulai berkelahi."
Orang tua itu tertawa sambil berkata, "Apalagi jika kau
sudah mati. Maka kau tidak akan dapat mengampuni
siapapun. Bahkan kau tidak akan dapat m engampuni dirimu
sendiri." "Setan kau," geram orang itu.
Orang tua itu mengerutkan dahinya ketika ia melihat
lawannya itu m engacukan senjatanya. Semacam tombak yang
pendek saja. Namun tajamnya terdapat di kedua ujung dan
pangkalnya. Bahkan salah satu dari kedua tajamnya terdapat
semacam kait y ang akan dapat menarik sasaran dan
mengoy aknya. Sejenak kemudian kedua orang berilmu sangat tinggi
itusudah berkelahi lagi. Orang yang berilmu Naga Pa sa itu
membawa senjatanya y ang jarang dipergunakan orang,
sementara orang tua itu telah mempergunakan kerisnya.
Kerisny a yang meskipun tidak sebesar keris y ang dimiliki oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, namun keris itu pun
termasuk sebilah keris y ang besar dan panjang.
Demikianlah keduanya telah bertempur dengan
sengitnya. Keduanya mampu bergerak dengan cepat. Namun
yang yang tidak begitu dimengerti oleh Mahisa Murti dan
saudara-saudaranya, bahkan murid orang tua itu, bahwa
lawannya, orang y ang memiliki ilmu Naga Pasa itu, setiap kali
telah melempar orang tua itu dengan seekor ular.
"Dari mana saja ia mendapat ular?" bertanya orangorang
y ang menyaksikan pertempuran itu.
Meskipun orang tua itu telah m empergunakan penawar
bisa, tetapi seekor ular yang dilontarkan kepadanya telah tepat
melilit lehernya. Ular y ang agak besar itu berusaha untuk
menggigit bagian wajah orang tua itu. Bahkan akan m ematuk
mata. Namun orang tua itu sempat menangkap lehernya,
sehingga ular itu tidak membuatnya buta.
Tetapi pada saat yang demikian orang y ang
melemparkan ular itu telah melibatnya dengan senjatanya
yang tajam di kedua ujung dan pangkalnya.
Meskipun demikian pada satu kesempatan, orang tua itu
berhasil juga memenggal kepala ular yang melilit lehernya dan
seakan-akan akan mencekiknya itu.
Serangan seperti itu ternyata telah berulang beberapa
kali. Sehingga akhirnya orang tua itu telah m empergunakan
sebuah ilmunya y ang lain untuk melawan serangan ular-ular
yang tidak diketahui asalnya.
Dengan mengerahkan sejenis ilmunya, maka tubuh
orang tua itu seakan-akan telah memancarkan gelombang
panas daridalam dirinya. Karena itu, maka setiap kali
lawannya melemparkan ular kepadanya, m aka ular itu tidak
sempat melilitny a. Tubuh orang tua itu terasa panas, sehingga
ular-ular itu telah melepaskannya dan melarikan diri
meninggalkan arena. Orang yang berilmu Naga Pasa itu mengumpat. Ia tidak
lagi mempergunakan ular untuk membelit tubuh lawannya
agar mengganggu kebebasan geraknya dalam pertempuran itu.
Tetapi serangan-serangannya datang semakin cepat beruntun
dan sangat berbahaya. Tetapi orang tua itu pun masih mampu bergerak dengan
tangkas. Kerisnya berputaran menyambar-ny ambar dengan
garangnya, sekaligus kedua jenis senjata itu berbenturan
sehingga bunga api telah berloncatan di udara.
Namun untuk beberapa saat lamanya, tidak seorang pun
di antara mereka yang mulai terdesak.
Dengan demikian maka orang y ang b erilmu Naga Pasa
itu akhirnya telah kehilangan kesabaran. Dalam pertempuran
yang semakin sengit, maka ia pun telah meloncat mengambil
jarak. Justru menjauh. Orang tua itu terkejut. T etapi ia pun tanggap terhadap
sikap lawannya itu. Karena itu, m aka ia pun telah m eloncat
mundur dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang
yang berilmu Naga Pasa itu tiba-t iba telah menghentakkan
ilmunya lewat ujung senjatanya yang aneh itu. Api seakanakan
telah meny embur dengan dahsy atnya. Namun tidak
tertuju kepada lawannya, orang tua yang telah mampu
membuat keris yang sepasang itu. Tetapi serangan itu
ditujukan orang-orang y ang justru berdiri di luar arena.
Orang-orang itu terkejut, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat tidak sempat berbuat apa -apa kecuali meloncat
menghindar sambil berteriak, "Hati-hati."
Namun Mahisa Murti dengan tangkas masih sempat
mendorong Mahisa Amping sehingga jatuh terguling,
sementara Mahisa Semu dan Wantilan, serta murid orang tua
itu juga berusaha untuk meloncat menghindar.
Tetapi sebenarnyalah bahwa mereka terlambat. Kecuali
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, mereka hampir saja
disambar oleh serangan lawan yang tiba-tiba dan licik itu.
Untunglah bahwa orang tua yang telah membuat
sepasang keris itu tanggap, ia pun dengan menghentakkan
ilmunya telah meny erang lidah api yang terjulur itu.
Karena itu, maka ilmu Naga Pasa itu bagaikan terpotong
oleh kekuatan ilmu orang tua itu. Dengan demikian, maka
telah terjadi benturan ilmu yang mengejutkan, karena
ledakannya yang bagaikan memekakan telinga.
Oleh serangan kekuatan ilmu orang tua itu, maka
serangan ilmu Naga Pasa itu telah berbelok arah, terlepas dari
sa saran. Dengan demikian maka Mahisa Semu, Wantilan dan
murid orang tua itu sendiri telah diselamatkan. Sementara
orang tua itu berkata, "Kenapa kau menjadi demikian licik,
sehingga kau meny erang anak-anak yang sama sekali tidak
terlibat dalam pertempuran ini."
"Merekalah yang membawa sepa sang senjata y ang aku
inginkan itu," jawab orang y ang memiliki ilmu Naga Pa sa itu.
"Tetapi seandainya aku tidak sempat memotong
ilmumu, siapa y ang akan terbunuh" Ternyata orang y ang akan
menjadi sa saran seranganmu justru memiliki ilmu yang tinggi,
sehingga mereka dapat menghindar," berkata orang tua itu.
"Aku tidak peduli. Aku akan membunuh semuanya. Kau,
muridmu dan orang-orang dungu itu," geram lawan orang tua
itu. Tetapi orang tua itu tertawa. Katanya, "Kau harus
melihat kenyataan tentang dirimu sendiri."
Orang itu tidak m enjawab lagi. Namun tiba -tiba saja ia
telah meloncat lagi menyerang orang tua itu. Sama sekali tidak
dengan semburan api. Tetapi dengan senjatanya yang
menggetarkan jantung itu.
Pertempuran telah terjadi lagi antara kedua orang
berilmu tinggi itu. Namun dengan demikian maka orang-orang
yang berdiri diluar arena m enjadi lebih berhati-hati. Setiap
saat serangan orang itu akan dapat ditujukan kepada mereka.
Namun orang tua y ang m embuat sepasang senjata itu
cukup berhati-hati. Ia menyadari betapa liciknya lawannya itu.
Sebenarnyalah pada saat yang dianggap tepat, orang itu
telah m eluncurkan serangan ilmunya yang dahsyat. Api telah
menyembur ke arah orang tua itu.
Namun ternyata orang tua itu pun cukup waspada.
Ju stru ia sedang menunggu serangan itu datang. Dengan
tangkasnya ia menghindarinya. Namun bersamaan dengan itu,
maka serangannya y ang tidak kalah dahsyatnya telah
meluncur pula mengarah kepada lawannya.
Orang y ang memiliki ilmu Naga Pasa itu ternyata sempat
melepaskan ilmunya pula membentur ilmu orang tua itu.
Demikian dahsyatnya benturan itu terjadi, seakan-akan
seluruh arena itu telah meledak.
Orang yang memiliki ilmu Naga Pa sa itu telah terpental
beberapa langkah surut. Tubuhnya ternyata telah m embentur
sebatang pohon yang besar yang tumbuh dengan kokohnya.
Meskipun pohon itu juga berguncang, tetapi akarnya cukup
kuat berpegangan, sehingga pohon itu tetap tegak berdiri
meskipun beberapa batang dahannya telah patah.
Tetapi justru karena itu, maka orang y ang memiliki ilmu
Naga Pasa itu seakan-akan telah dibenturkan kepada sebatang
pohon y ang kokoh tepat pada tengkuknya, sehingga demikian
ia terjatuh di tanah, maka ia hanya sempat mengeliat.
Kemudian terdiam sama sekali.
Orang tua yang membuat sepasang keris itu pun telah
terlempar pula. Namun ia memiliki kelebihan day a tahan dari
lawannya, sehingga ia masih mampu untuk dengan cepat
bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia juga mengalami luka-luka
bakar di kulitnya. Namun tidak terlalu parah, sehingga karena
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
itu, m aka ia masih dengan langkah tegap berjalan mendekati
lawannya. "Meskipun aku tidak berniat, tetapi aku telah
membunuhnya pula," desis orang tua itu sambil menundukkan
kepalanya. Tidak seorang pun y ang menjawab. Namun kemudian
orang tua itu berkata kepada muridnya, "Kuburkan orang itu."
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah ikut pula
membantunya, sementara orang tua itu telah mengobati
dirinya sendiri. Beberapa saat kemudian, ketika semua kerja telah
selesai, Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah
menghadap orang tua itu lagi.
Bahkan kemudian dengan nada rendah Mahisa Murti
berkata, "Kiai, jika sepa sang keri s itu telah membuat sederetan
kematian, bahkan barangkali masih akan disusul lagi oleh
yang lain, apakah tidak sebaiknya sepasang keris itu aku
kembalikan saja ke dalam bangunan batu itu?"
Tetapi orang tua itu menggeleng. Katanya, "Tidak ada
gunanya Ngger. Berita bahwa keris itu ada ditanganmu t entu
sudah ter sebar. Karena itu, tidak akan ada orang y ang percaya,
bahwa sepasang keris itu telah kau kembalikan. Karena itu,
maka apapun yang akan terjadi, maka keris itu harus kalian
pertahankan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Memang ada gejolak di dalam hati m ereka. Untuk
beberapa lama mereka tentu masih akan diburu oleh beberapa
orang y ang menginginkan sepasang keris itu. Keduanya
memang m erasa m eny esal, bahwa mereka telah mengambil
sepasang senjata y ang disebut keris itu, meskipun ujudnya
cukup besar. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa
dengan demikian, beberapa akibat telah mengikuti mereka.
Akibat buruk. Bahkan kematian demi kematian.
Namun orang tua itu berkata, "Agaknya memang sudah
menjadi nasib kalian. Sepasang pusaka itu agaknya memang
berniat untuk mengabdi kepada kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut.
Meskipun demikian orang tua itu seakan-akan dapat membaca
perasaan m ereka sehingga karena itu m aka katanya, "Namun
anak-anak muda. Kalian pun harus bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Apalagi kalian agaknya tidak akan lama berada
di gubugku ini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menganggukangguk
diluar sadar mereka. Namun dalam pada itu, orang tua itu pun telah berkata,
"Tetapi anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang berilmu
tinggi." "Kami tidak berpikir tentang diri kami sendiri Kiai,"
jawab Mahisa Murti, "mungkin orang lain, tetapi juga
mungkin salah seorang dari kami akan menjadi korban
berikutnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa jika mungkin korbankorban
yang jatuh itu agar dapat dihentikan."
"Memang sulit ngger," orang tua itu menggeleng, "tetapi
jika orang-orang y ang datang kepada kalian y ang menjadi
korban berikutnya dan berikutnya, adalah salah mereka
sendiri karena mereka tentu orang-orang yang serakah. Orang
yang tidak dapat m enghargai hak milik orang lain. Mereka
merasa bahwa mereka dapat berbuat apa saja dengan
kekuatan ilmu mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sementara orang tua itu berkata, "Karena itu harus dijaga,
agar korban y ang jatuh bukanlah kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak segera menjawab.
Memang terbersit juga kekhawatiran, bahwa mereka akan
terpaksa menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Melampaui
mereka berdua, sehingga akhirnya mereka tidak akan pernah
sampai kepada ay ah mereka. Hanya karena sepasang pedang.
Tetapi itu bukan ungkapan dari perasaan takut. Tetapi
mereka sebenarnya memang bukan orang-orang yang
termasuk tamak karena menginginkan sepasang keris, berhulu
emas dengan tretes permata.
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu,
"bagaimanapun juga tentu ada kecemasan di hati kalian.
Betapapun kalian termasuk orang-orang y ang paling berani di
muka bumi serta memiliki tingkat ilmu y ang betapapun
tingginya. Namun kalian akan dapat berusaha mengatasinya
jika bahaya itu benar-benar datang. Kalian memang harus
bertempur berpasangan jika kalian berhadapan dengan orang
yang memang berilmu sangat tinggi. Kalian akan dapat
bersama-sama melepaskan serangan kalian, dengan dorongan
ilmu yang telah kalian m iliki, serta dukungan senjata-senjata
yang telah ada di tangan kalian itu. Maka kekuatan serangan
kalian itu akan menjadi berlipat ganda. Tidak ada kekuatan
yang dapat melawan kekuatan serangan itu. Bahkan sendirisendiri
pun, dengan cara itu, kalian akan merupakan orang
yang sulit dicari tandingnya. Namun menghadapi orang-orang
yang benar-benar b erilmu tinggi, sebaikny a kalian bertempur
berpasangan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Pesan itu akan sangat berarti bagi mereka, karena mereka
menduga, bahwa masih banyak orang-orang yang akan datang
kepada mereka untuk mengambil sepasang pusaka itu.
"Nah anak-anak muda," berkata orang tua itu,
"sebaiknya kalian tinggal di sini sampai esok pagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk angguk.
Mereka memang tidak ingin terlalu lama tinggal di tempat itu.
Ra sa -rasanya ayah dan padepokan mereka telah t erlalu
nampak di angan-angan mereka.
Sementara itu orang tua itu berkata, "Namun jika kalian
bersedia tinggal di sini lebih lama lagi, akan lebih baik."
"Maaf Kiai," jawab Mahisa Murti, "kami memang harus
segera meneruskan perjalanan kami yang banyak tertunda."
Orang tua itu mengangguk-angguk. Apalagi ketika orang
tua itu tahu, bahwa anak-anak muda itu memang berniat tapa
ngrame, sebagai laku untuk m enemukan kemungkinan yang
lebih baik di masa datang.
"Laku y ang kalian tempuh adalah laku y ang
mengagumkan. Tetapi akibatnya adalah seperti y ang kalian
alami. Perjalanan kalian akan selalu tertunda-tunda," berkata
orang tua itu lebih lanjut.
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
telah bermalam semalam lagi di rumah orang tua
itu. Di gubug yang terhitung kecil. Namun cukup hangat bagi
mereka daripada harus tidur di udara terbuka sebagaimana
sering mereka lakukan. Pagi-pagi benar, ternyata murid orang tua itu telah
menyediakan minuman hangat dan makan pagi bagi m ereka.
Masih terlalu pagi sebenarnya. Tetapi murid orang tua itu
tahu, bahwa mereka akan meninggalkan rumah itu.
Sambil meneguk minuman hangat dan makan makanan
yang disediakan, maka orang tua itu pun sempat memberikan
beberapa petunjuk tentang kedua pusaka itu. Dengan nada
rendah ia berkata,"Puncak k emampuannya akan dapat kalian
capai jika saat kalian melepaskan kekuatan bersama-sama,
maka kedua buah keris itu saling berdekatan. Semakin dekat
semakin tinggi kemampuannya."
"Terima ka sih Kiai," jawab Mahisa Murti y ang
kemudian telah m engucapkan terima ka sih dan mohon diri
untuk meneruskan perjalanan. Demikian pula Mahisa Pukat,
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping.
Mahisa Amping menjadi sangat bergembira, ketika
ternyata pisau belati panjang, y ang diberikan oleh orang tua
itu selagi ia berada di antara ular-ular y ang mampu menyusup
pertahanan orang tua itu serta kedua kakak angkatnya, telah
dinyatakan boleh dimilikinya.
"Tetapi kau harus b erhati-hati dengan senjata," berkata
orang tua itu, "senjata dapat m embantumu, tetapi pada suatu
saat, ju stru senjata akan dapat mencelakaimu sendiri."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya sambil
menundukkan kepala, "Terima kasih Kiai."
Demikianlah, ternyata bahwa Mahisa Murti dam
saudara-saudaranya tidak dapat tinggal di rumah itu t erlalu
lama. Mereka -pun telah minta diri untuk meneruskan
perjalanan mereka kembali ke padepokan mereka serta
menjumpai ayah mereka y ang juga sudah tua.
Orang tua itu tidak m enahan m ereka lebih lama lagi.
Orang tua itu pun menyadari kerinduan mereka terhadap
orang tua serta padepokan mereka.
Namun beberapa kali orang tua itu masih saja
memberikan pesan agar mereka menjadi sangat berhati-hati
menghadapi keadaan y ang dapat berkembang menjadi
semakin buruk. Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
itu pun telah meninggalkan rumah orang tua itu.
Dengan ancar-ancar puncak gunung dan arah mata angin,
maka mereka berjalan menuju ke padepokan mereka.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyadari,
bahwa mereka benar-benar telah dilepaskan oleh orang tua
itu. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, maka mereka harus
mempertanggungjawabkan sendiri. Mereka tidak akan dapat
mengharap lagi, bahwa orang tua itu tiba-tiba saja muncul
untuk menolong mereka seperti yang telah dilakukan
sebelumnya. Tetapi sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di
sepanjang jalan telah berceritera kepada Mahisa Amping,
apakah arti dan gunanya senjata bagi dirinya, sambil
memperkenalkan cara penggunaannya.
Ternyata Mahisa Amping dengan cepat mampu
menguasai senjatanya itu. Ia pun telah mencoba
mempergunakannya. Dengan cepat pula Mahisa Amping
mempelajari ilmu meskipun m asih m endasar sekali tentang
senjatanya itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah
berjanji kepada anak itu untuk mulai m elatihnya dalam olah
kanuragan. Malam yang kemudian turun setelah mereka sehari-hari
menempuh perjalanan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sengaja telah bermalam di sebuah banjar padukuhan. Mereka
berharap bahwa dengan demikian akan dapat menjauhkan
mereka dari usaha perampasan sepasang keris yang besar itu.
Jika mereka berada di antara banyak orang y ang biasanya
berjaga-jaga di banjar, maka orang y ang berniat jahat itu tentu
akan berpikir dua tiga kali.
Ternyata Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu,
Mahisa amping dan Wantilan telah diterima untuk bermalam
di sebuah banjar padukuhan dengan senang hati. Penunggu
banjar padukuhan itu sama sekali tidak berkeberatan
menerima beberapa orang y ang mengaku pengembara.
Tetapi ketika Ki Jagabaya datang ke banjar, maka ia pun
telah berpesan kepada anak-anak muda y ang bertugas,
"berhati-hatilah. Ampat orang dan seorang anak kecil. Mereka
semuanya bersenjata. Bahkan anak kecil itu pun membawa
pisau belati. Kami m emang tidak boleh berprasangka buruk.
Mungkin para pengembara memang memerlukan senjata.
Namun tidak ada salahnya jika kita berhati-hati."
"Ada berapa peronda malam ini?" bertanya seorang bebahu
yang lain. "Ada tujuh orang dari sebelah Utara jalan padukuhan
dan ada enam dari sebelah Selatan. Tidak termasuk tiga orang
di ujung Utara dan tiga orang di ujung Selatan. Mereka
bertugas di gardu. Tetapi hampir di setiap malam, ada
sepuluh, bahkan lebih anak-anak muda y ang bermain di
banjar dan di gardu-gardu sekedar bergurau dan satu
kesenangan baru bagi mereka, membuat makanan di tengah
malam. Apapun yang dibuat. Kadang-kadang gula semut,
tetapi kadang-kadang bahkan membuat serabi juruh," jawab
salah seorang di antara anak muda itu.
Ki Jagabaya tertawa. Tetapi ia berpesan, agar tidak
menyulitkan orang-orang tua mereka. Jika mereka setiap hari
minta gula kelapa, m engambil beberapa bahan makanan dan
barangkali uang sedikit untuk membeli segala sesuatunya yang
kurang, maka orang-orang tua itu akan berkeberatan jika
anaknya pergi ke banjar atau ke gardu.
"Ah, tidak Ki Jagabaya," jawab anak muda itu, "hanya
sekedarnya." Ki Jagabaya kemudian minta diri. Namun ia masih
berkata, "Hubungi aku jika dianggap penting."
Tetapi anak-anak muda y ang bertugas meronda itu tidak
menganggap bahwa akan ada bahaya y ang timbul dari orangorang
yang mengaku pengembara itu. Pada mereka, sama
sekali tidak nampak sikap yang dapat menimbulkan
kecurigaan, bahkan sama sekali tidak ada y ang menarik
perhatian. Mereka mandi di pakiwan, kemudian duduk-duduk
di serambi belakang, karena mereka telah dipersilahkan untuk
bermalam di amben besar di serambi belakang itu.
Bagi orang-orang yang mengaku pengembara itu merasa
pula bahwa m emang tidak akan ada per soalan yang timbul
bagi mereka. Demikian langit menjadi gelap, mereka telah
mengatur diri, siapakah di antara mereka y ang akan tidur
lebih dahulu dan siapakah yang akan bertugas berjaga-jaga.
Sampai tengah malam memang tidak terjadi sesuatu.
Namun beberapa saat lewat tengah malam, ketika sudah tidak
lagi terdengar anak-anak muda bergurau di pendapa banjar,
karena sebagian di antara mereka telah tertidur, apalagi
mereka y ang tidak sedang bertugas, maka Mahisa Murti yang
sedang bertugas telah merasakan sesuatu y ang kurang wajar.
Tetapi Mahisa Murti sama sekali tidak beranjak dari
tempatnya. Meskipun demikian ia telah meny entuh Mahisa
Pukat untuk membangunkannya.
Mahisa Pukat memang terbangun. Namun melihat sikap
Mahisa Murti, maka ia pun segera tanggap. Mahisa Pukat yang
sudah membuka matanya itu, tetap saja berbaring diam.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar desir lembut di
halaman belakang banjar itu. Dalam kegelapan Mahisa Murti
melihat bayangan yang kemudian menjadi jelas sebagai sosok
seseorang. Mahisa Murti telah bersiap sepenuhnya. Jika terjadi
sesuatu maka ia telah siap untuk melawannya.
Namun orang itu justru berkata, "Aku tidak akan
berbuat apa-apa sekarang anak-anak muda."
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apa maksudmu?" desis Mahisa Murti.
" Jika aku melakukannya di sini, maka anak-anak muda
yang meronda itu tentu akan melibatkan diri," jawab orang itu.
"inilah kecerdikanmu. Kau sengaja bermalam di tempat yang
ramai, karena kau akan dapat berlindung dalam keramaian
itu. Jika aku berusaha merampas sepasang keris itu sekarang,
dan para per onda itu ikut campur, maka aku harus membunuh
sekian banyak orang. Karena itu, aku tunggu kau besok di
tempat yang sepi. Di manapun. Jika kau memang jantan, maka
kau tentu tidak akan bersembuny i di tengah pasar atau di
banjar padukuhan seperti ini. Kita akan menentukan, siapakah
yang berhak atas sepasang pusaka itu."
"Kau adalah orang k etiga yang datang dengan m aksud
yang sama," berkata Mahisa Murti, "dua orang yang terdahulu
telah gagal." "Mereka terlalu bernafsu untuk memiliki pusaka itu
sehingga m ereka tidak memperhitungkan kemampuan orang
tua itu," jawab orang y ang berdiri di kegelapan itu, "tetapi
besok kau tidak akan dapat menunggu orang itu datang
padamu dan membantumu seperti y ang pernah
dilakukannya." Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Baiklah. Tunggu aku besok. Tetapi karena
aku tidak mengenal lingkungan ini, maka aku tidak dapat
mengatakan, jalan manakah yang akan aku lewati besok. Aku
akan menerima kedatanganmu kapan saja dan di mana saja
kau kehendaki." "Bagus," jawab orang itu, "aku memang sudah mengira
bahwa kalian adalah anak-anak muda yang berani. Tetapi
berdoalah kalian sekarang ini, karena besok adalah hari kalian
yang terakhir." "Aku sudah mendengar kata-kata itu lebih dari sepuluh
kali," jawab Mahisa Murti. Lalu katanya, "Tetapi kau berdoa
kapan saja aku ingin berdoa sesuai dengan kepentinganku."
Orang itu tertawa pendek. Katanya, "Kau adalah anak
muda y ang berani dan tabah. Baiklah. Aku minta diri. Besok
kita akan bertemu lagi."
Orang itu tidak menunggu jawaban, ia pun segera
meloncat naik menusuk ke dalam kegelapan langit dan
seakan-akan telah hilang di dalamnya.
Baru kemudian Mahisa Pukat bangkit dan duduk di
sebelah Mahisa Murti. Dengan nada lemah ia bertanya, "Sudah
lama orang itu ada di sini?"
"Pada saat aku menggamitmu," jawab Mahisa Murti.
"Nampaknya memang orang berilmu tinggi," desis
Mahisa Pukat. Lalu katanya, " Ia seakan-akan telah leny ap
begitu saja meluncur terbang tinggi-tinggi."
"Kita memang harus berhati-hati," jawab Mahisa Murti,
"namun seperti yang sudah kita duga, sepasang keris ini
memang akan banyak m enimbulkan persoalan. Tetapi seperti
yang dikatakan orang tua itu, bahwa seandainya kita
mengembalikan keris itu, akibatnya akan sama saja. Orangorang
itu tentu menganggap bahwa kita masih saja membawa
sepasang keris itu ke mana-mana, atau m eny embuny ikannya,
karena tidak mungkin kita mengembalikan keris-keris itu
justru sebagai pusaka y ang dikagumi dan sebagai benda yang
sangat mahal harganya."
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Apapun y ang akan terjadi. Aku tidak tahu, apakah ini
keuntungan kita yang telah m enemukan sepasang pusaka itu,
atau malahan ini m erupakan satu kutukan karena kita telah
membuka bilik y ang tertutup rapat itu."
"Kedua-duanya,"sahut Mahisa Murti.
Mahisa Pukat ter senyum. Kecut sekali. Namun ia pun
kemudian telah berbaring lagi sambil berkata, "Masih ter sisa
waktuku untuk beristirahat."
Mahisa Murti terseny um. Katanya, "Apakah kita akan
menyerahkan giliran kepada Mahisa Semu" Untunglah bahwa
aku yang bertugas pada saat orang itu datang."
" Jika kau bangunkan Mahisa Semu untuk mendapatkan
gilirannya, bangunkan aku juga," berkata Mahisa Pukat.
"Tidurlah," desis Mahisa Murti.
Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Pukat
memang sudah tertidur ny enyak, sementara Mahisa Murti
masih tetap duduk di tempatnya bersandar dinding. Namun
demikian, maka seakan-akan ia melihat keadaan di sekitar
banjar itu karena penggraitanya yang tajam.
Namun orang itu memang tidak kembali sampai saatnya
ia membangunkan Mahisa Semu. Bahkan agak terlambat.
Namun diluar pengetahuan Mahisa Semu, Mahisa Murti telah
membangunkan Mahisa Pukat pula.
Ketika kemudian Mahisa Semu duduk bersandar
dinding, maka Mahisa Pukat y ang juga terbangun masih tetap
sa ja berbaring di tempatnya. Namun ketika fajar mulai
menyingsing, Mahisa Pukat justru telah tertidur lagi, karena ia
menganggap bahwa beberapa saat kemudian matahari akan
segera terbit sehingga jika ada y ang berniat buruk, tentu sudah
dilakukannya sebelumnya. Ternyata sampai pagi hari, memang tidak terjadi
sesuatu. Sesudah mandi dan berbenah diri, maka Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya telah minta diri kepada
penunggu banjar itu serta mengucapkan terima kasih atas
kesempatan yang mereka per oleh untuk bermalam di banjar
itu. Karena kebetulan Ki Jagabaya ada juga di banjar, maka
mereka pun telah menemuinya dan minta diri serta
mengucapkan terima kasih pula.
Sebenarnyalah Ki Jagabaya m emang datang ke banjar
untuk mengetahui apakah ada sesuatu y ang terjadi. Namun
ternyata bahwa semalam dan bahkan sampai saat itu tidak
terjadi sesuatu. Orang-orang yang bermalam di banjar itu
ternyata tidak berbuat sesuatu y ang dapat membuat
padukuhan mereka menjadi keruh.
Demikianlah sejenak kemudian Mahisa Murti telah
meninggalkan banjar itu. Ketika mereka keluar dari
padukuhan, maka Mahsia Murti merasa perlu untuk
memberitahukan apa yang didengarnya semalam kepada
saudara-saudaranya. "Dengan demikian maka kita harus berhati-hati,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat pun kemudian berkata pula, "Sebaiknya
kalian berusaha untuk menjaga diri sendiri. Termasuk Mahisa
Amping. Seseorang tengah berusaha merampas keris ini,
sehingga kamiberdua akan menjadi sasaran utama."
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Namun Mahisa Am ping memang nampak kebingungan.
" Jangan cemas," berkata Mahisa Pukat kepada Mahisa
Amping, "kau sudah memiliki ilmu y ang cukup untuk
melindungi dirimu sendiri."
Mahisa Amping y ang kecil itu masih saja bingung. Tetapi
ia tidak bertanya lebih lanjut.
Demikianlah, maka mereka pun telah melanjutkan
perjalanan, justru memilih jalan y ang ramai dan sibuk. Ketika
matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka pun telah
singgah di sebuah kedai y ang besar dan cukup ramai.
Sementara mereka makan, m aka Mahisa Amping telah
melupakan kegelisahannya. Bahkan ia tidak menghiraukan
ketika seorang yang tidak dikenal telah duduk bersama
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sudah merasa
curiga ketika mereka melihat orang itu datang sambil
tersenyum-senyum. Bahkan kemudian duduk pula di antara
mereka dan menyapa dengan ramah. "Marilah anak-anak
muda. Silahkan. Biarlah aku yang membayarnya."
"Siapakah kau Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
"Begitu cepat kau lupa?" justru orang itu ganti bertanya.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia segera
mengerti m aksud orang itu. Karena itu, maka katanya, "Aku
mengerti. Kau orang yang datang semalam."
"Ya," jawab orang itu, "ternyata ingatanmu cukup tajam,
atau panggraitamu y ang sangat baik."
"Apapun yang ada padaku," jawab Mahisa Murti,
"sekarang, apakah maksudmu menemui kami di sini" Apakah
kau ingin menantang kami berperang tanding?"
Orang itu tertawa. Katanya, "Begitu beraninya kau
anakmuda. Agaknya kau memang belum mengenal aku."
"Kami memang belum mengenalmu," jawab Mahisa
Murti. "Aku adalah sahabat karib orang tua yang membuat
sepasang keris itu. Ketika ia m embuat keris itu, ia berjanji
untuk membuat bagiku pula. Tetapi sampai sekarang ia tidak
melakukannya. Maka aku merasa bahwa untuk memenuhi
janjinya ia cukup meny erahkan sepasang keris yang kalian
bawa itu. Kemudian aku akan menganggap hutangnya sudah
lunas." "Kau berbohong," berkata Mahisa Murti.
Orang itu tertawa. Katanya, "Satu ceritera yang menarik.
Aku kira kau akan percaya."
"Aku sudah dapat menduga, bahkan semua
pembicaraanmu sulit untuk dipercaya," berkata Mahisa Murti.
"Sekarang apa maumu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku hanya memperingatkanmu, bahwa aku akan
datang menemuimu. Semakin cepat semakin baik," berkata
orang itu dengan geram. "Kenapa tidak kau lakukan sekarang"," Mahisa Pukat
pun menggeram. "Sudah aku katakan. Aku tidak mau m elibatkan orang
lain. Karena itu, berusahalah untuk mencari tempat yang sepi.
Kita akan segera membuat perhitungan," berkata orang itu.
"Aku akan berjalan menurut jalan y ang aku kehendaki.
Jika kau berkepentingan dengan kami, kaulah yang harus
menyesuaikan diri," berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah. Aku memang harus meny esuaikan diri dengan
cara kalian. Aku sudah mengira bahwa kalian tentu akan selalu
mencari tempat yang dapat kalian pergunakan untuk mencari
perlindungan," berkata orang itu.
"Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi kami sudah
siap untuk mempertahankan sepasang pusaka yang telah
menjadi hak kami ini," jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah," desis orang itu. Lalu katanya, "Dan sekarang,
biarlah aku membayar bagi kalian."
"Terima kasih Ki Sanak. Adalah kebetulan bahwa kami
mempunyai bekal cukup," jawab Mahisa Murti.
Tetapi orang itu telah membuka sebuah kantong dari
lain. Ia sengaja menunjukkan uang cukup banyak. Bahkan
kepingan kepingan emas, meskipun hanya satu dua.
Namun orang itu terkejut ketika hampir bersamaan,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengambil kantongnya
pula, serta menunjukkan bekalnya yang cukup banyak pula.
Bahkan kemudian Mahisa Semu.
Orang itu tiba -tiba saja telah mengumpat kasar.
Sikapny a y ang ramah tamah dan nampak lembut tiba-tiba
telah berubah menjadi garang.
"Bagus," berkata orang itu,"pada saatnya aku akan
merampas kedua pusaka itu sekaligus uang y ang kalian bawa."
"Atau bahkan kau akan meny erahkan uang dan
beberapa keping emas itu kepadaku," jawab Mahisa Pukat.
Orang itu tidak menjawab. Tetapi sekilas terdengar ia
mengumpat kasar. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
meninggalkan kedai itu, m aka m ereka pun menjadi semakin
berhati-hati. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih harus
memperhitungkan, apakah orang itu hanya sendiri atau
membawa satu atau dua orang kawan y ang dianggap akan
dapat ikut menyelesaikan per soalan.
Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat justru telah
berkata, "Sebaiknya kita cepat meny elesaikan persoalan ini.
Lebih cepat lebih baik apapun yang akan terjadi."
Mahisa Murti pun mengangguk sam bil m enjawab, "Aku
sependapat. Hari ini kita menempuh jalan y ang paling sepi
yang dapat kita ketemukan. Aku yakin orang itu tentu selalu
mengawasi kita." Seperti yang mereka rencanakan, maka Mahisa Murti
dan saudara-saudaranya telah m encari jalan yang terhitung
sepi. Bahkan mereka telah m emilih jalan yang melalui lereng
perbukitan kecil, namun memanjang beberapa ratus t onggak.
Ketika mereka sampai kesebuah goa y ang tidak terlalu dalam,
maka mereka telah berhenti dan berteduh sesaat. Namun
ternyata orang itu sama sekali tidak menampakkan dirinya,
sehingga akhirnya mata hari telah menjadi semakin rendah.
Mahisa Amping lah y ang kemudian bersungut-sungut.
Ju stru perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada orang
yang mengikutinya, sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
tidak sempat memberikan latihan-latihan kepadanya.
Tetapi Mahisa Amping nampaknya menyadari, bahwa ia
memang tidak dapat mengganggu perhatian kedua orang anak
muda itu. Bahkan mereka semuanya nampaknya telah menjadi
tegang. Menj elang senja, maka Mahisa Murti telah dengan
sengaja bermalam di tempat terbuka. Mereka tidak menuju ke
padukuhan dan minta bermalam di banjar. Tetapi mereka
telah memilih sebuah pategalan yang agaknya jarang
dikunjungi orang. Semalam suntuk Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menunggu Mereka tidak membagi waktu untuk berjaga-jaga.
Tetapi orang itu tidak kunjung datang. Baru m enjelang fajar,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mendapat kesempatan
beristirahat, karena Mahisa Semu dan Wantilan telah
terbangun dan bersedia untuk mengamati keadaan sebaiksaudaranya.
Namun demikian kedua anak muda itu juga tidak dapat
tidur. Keduanya hanya berbaring saja, sementara Mahisa
Semu dan Wantilan duduk menghadap ke arah y ang berbeda.
Ketika matahari terbit, justru Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat berniat untuk tidur barang sebentar untuk memelihara
agar tenaganya tidak menjadi susut.
"Tidurlah," berkata Wantilan, "kalian memang
memerlukannya." Selama keduanya tidur, Mahisa Semu dan Wantilan
dengan penuh kewaspadaan telah menjaganya.
Tetapi sampai satnya keduanya terbangun pada waktu
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
matahari sepenggalah, maka tidak seorang pun yang
menghampirinya. "Kita tidak perlu menghiraukannya," berkata Mahisa
Murti kita akan melanjutkan perjalanan.
Kelima orang itu pun kemudian telah bebenah diri.
Dekat pategalan itu terdapat sebuah parit yang berair jernih,
sehingga mereka dapat mencuci muka sebelum meninggalkan
tempat itu. Menj elang tengah hari m ereka telah berhenti di sebuah
pasar kecil. Tidak ada kedai y ang cukup baik. Namun sebuah
kedai kecil nampaknya meny ediakan makanan y ang cukup,
sehingga mereka pun telah singgah pula. Tetapi kedai kecil itu
seakan-akan tidak tertutup sama sekali, selain atap jerami di
atasnya. Beberapa saat mereka makan dan minum secukupnya.
Meskipun kedai itu kecil dan sederhana, ternyata masakan
yang dijual cukup memenuhi selera.
Namun demikian mereka meninggalkan kedai itu, maka
terdengar suara t ertawa. Ketika Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
berpaling, mereka melihat seseorang menyusup di
antara orang-orang y ang masih ada di pasar yang mulai sepi
itu. Tetapi di tempat penjualan unggas, masih banyak orang
yang melihat-lihat. Dari tempat itulah orang itu muncul sambil
berkata, "Kalian telah bersembunyi di pasar ini."
"Persetan," geram Mahisa Murti, "kita selesaikan
sekarang. Dengan demikian persoalan di antara kita tidak
akan berkepanjangan lagi."
"Sudah aku katakan," jawab orang itu, "tidak di t empat
yang ramai." Mahisa Pukat menjadi tidak sabar lagi. Dengan geram ia
berkata, "Aku tidak peduli. Kau setuju atau tidak setuju."
" Jika kita bertanding di tempat yang ramai, banyak
korban tidak bersalah akan jatuh."
Mahisa Pukat masih akan m enjawab lagi. Tetapi orang
itu telah melangkah menjauhinya.
Mahisa Pukat hampir saja m emburunya, tetapi Mahisa
Murti masih sempat menggamit untuk menahannya.
"Setan," geram Mahisa Pukat.
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "kita tidak tergesa -
gesa. Kapan saja orang itu datang, maka kita akan
melayaninya dengan sebaik-baiknya."
Mahisa Pukat pun kemudian menjadi tenang, sehingga
mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka.
Namun perhatian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar melekat kepada orang itu.
Di malam berikutnya, Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
masih juga bermalam di tempat terbuka. Tetapi
orang itu sama sekali tidak m enampakkan diri. Tetapi di hari
berikutnya, selagi Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
berada di tempat ramai orang itu telah muncul kembali
dengan sikap dan kata-kata yang sama.
Mahisa Murti sendiri menjadi tidak sabar. Namun
kemudian yang menggamitnya adalah Wantilan. Mungkin di
bidang ilmu, Wantilan jauh berada dibawah kemampuan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi bagaimanapun juga
kelebihan umurnya berpengaruh juga pada sikapnya.
Dengan sareh Wantilan bertanya, "Apa y ang ingin kalian
lakukan?" "Membunuhnya," jawab Mahisa Pukat.
"Kalian harus menyadari, bahwa kalian sedang dalam
keadaan marah yang mendalam. Mungkin dengan keadaan
kalian yang demikian, kalian tidak akan berhasil
membunuhnya," berkata Wantilan.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian telah dicengkam oleh kemarahan yang sangat,
bahkan hampir kehilangan akal. Selain keadaan kalian, maka
mungkin orang itu tidak seorang diri, sehingga dalam keadaan
yang hampir diluar sadar kalian telah dijebak," berkata
Wantilan. "Tetapi ia datang setiap hari dengan ancaman-ancaman
yang memuakkan. Tetapi jika kita menunggunya di tempat
yang sepi, ia tidak kunjung datang," geram Mahisa Pukat pula.
" Itu adalah salah satu cara y ang ditempuh untuk
membuat lawan mereka menjadi lemah. Jika kemarahan telah
sampai ke ubun-ubun, maka pikiran kita tidak lagi menjadi
jernih. Bukankah di saat-saat kalian m engajari kami, kalian
selalu menekankan hal itu."
Kedua anak muda itu menarik nafas dalam-dalam,
sementara Wantilan berkata, "Jika kalian kehilangan kekang
diri, m aka tujuan orang itu telah tercapai. Membuat kalian
kehilangan penalaran y ang bening."
"Terima kasih paman," desis Mahisa Murti, "ternyata
kau sempat memberi aku kesadaran pada saat y ang gawat
seperti ini." "Yang penting, kalian harus dapat membiarkannya.
Jangan hiraukan kata-katanya. Jika kalian ingin bermalam di
banjar, lakukanlah. Jika orang itu benar-benar datang untuk
merampas sepasang keris itu lawanlah. Jika orang itu hanya
berbicara saja maka biarkan saja ia berbicara," berkata
Wantilan kemudian. "Kalian harus menanggapinya dengan
cara yang mereka pergunakan."
"Terima kasih, terima kasih," desis Mahisa Murti.
Demikianlah, maka orang-orang itu pun mulai berusaha
untuk tidak terpengaruh lagi oleh orang itu. Karena itu, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mulai lagi dengan
memberikan latihan-latihan kepada Mahisa Semu, Wantilan
dan juga kepada Mahisa Amping y ang telah m emiliki senjata
pisau belati. Di m alam hari, m aka m ereka benar-benar telah datang
ke sebuah banjar dan minta agar diijinkan untuk bermalam di
banjar itu. Ternyata mereka telah diterima dengan baik, sehingga
kelima, orang itu mendapat tempat di serambi samping.
Seperti yang sudah diduga, maka lewat tengah m alam,
seseorang tiba-tiba saja telah berdiri di halaman samping, di
hadapan serambi tempat Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
mendapat tempat untuk menginap.
Pa da saat itu, Mahisa Pukat lah y ang sedang mendapat
giliran untuk berjaga-jaga sambil bersandar dinding.
"Selamat malam anak muda?" orang itu menyapa
dengan suara perlahan-lahan sekali. Sementara itu anak-anak
muda yang bertugas di pendapa masih saja ramai berkelakar.
"Selamat malam Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat.
"Apakah kau ingat aku?" bertanya orang itu.
"Tentu saja," jawab Mahisa Pukat.
"Sekali lagi kau bersembuny i di sebuah banjar," berkata
orang itu. "Ya," jawab Mahisa Pukat dingin.
"Kau masih saja bersifat pengecut. Bermalam di tempat
yang ramai sehingga aku tidak dapat meny erangmu sekarang,"
berkata orang itu pula. Tetapi jawaban Mahisa Pukat agak aneh, "Kami tidak
tergesa -gesa Ki Sanak. Lakukan kapan saja kalian sempat. Jika
tidak juga tidak apa-apa. Bagaimanapun juga, jika kami harus
memilih, maka kami m emilih untuk tidak m embunuh. Tetapi
juga tidak dibunuh."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
ia berkata sambil terseny um, "Ternyata kalian memang
pengecut y ang licik. Kenapa kalian tidak berani
mempertahankan pusaka y ang kau curi itu dengan laku
jantan" Tetapi aku akan m encari kesempatan sehingga pada
suatu saat aku akan dapat mengambilnya dari tangan kalian."
"Aku tidak peduli lagi. Kapan saja kalian mau ambil,
ambillah. Tergantung sekali dengan keinginanmu untuk kapan
kau akan mati. Karena itu, kami tinggal menunggu saja. Kalau
kau sudah berminat untuk mati, temuilah kami," jawab
Mahisa Pukat. Orang itu m engerutkan keningnya. Rasa-rasanya degup
jantungnya menjadi semakin cepat. Tetapi ia masih harus
menahan diri. Ia lah yang harus membuat anak-anak itu selalu
gelisah dan marah, sehingga pada suatu saat perasaan mereka
tidak terkendali lagi. Karena itu, maka ia pun kemudian
berkata, "Agaknya kau merasa tenang dan aman di banjar
seperti ini. Agaknya kau m erasa bahwa di sini kau m endapat
perlindungan. Tetapi ketahuilah, j ika aku tidak bertindak, itu
karena sebab lain. Bukan karena aku takut menghadapi anakanak
muda yang banyak itu. Tetapi semata-mata karena aku
tidak mau membunuh orang yang tidak berdosa."
Namun jawab Mahisa Pukat, "Bukankah kata-kata itu
sudah kau ucapkan kemarin, kemarin lusa dan kapan lagi"
Aku sudah jemu mendengarnya."
"Kau m erasa malu kepada dirimu sendiri" Hei," tanya
orang itu. "Tidak," jawab Mahisa Pukat, "aku tidak pernah malu
terhadap diriku sendiri dan kepada orang lain. Aku juga tidak
malu minta berteduh di banjar ini. Aku juga tidak malu untuk
menerima pemberian penunggu banjar ini. Makan dan
minum. Bahkan dapat menghemat bekalku serba sedikit agar
tidak cepat habis.Namun aku menunggu kau menyerang kami
kapan pun itu, agar kami mendapat kesempatan dan alasan
untuk merampas uangmu dan kepingan-kepingan emas itu."
"Cukup," geram orang itu. Agaknya ia mulai sulit untuk
menahan hati lagi. Namun kemudian suaranya merendah,
"Sayang sekali bahwa kalian adalah anak-anak muda yang
pengecut." Namun tiba-tiba Mahisa Pukat lah y ang membentaknya
meskipun tidak t erlalu keras sehingga tidak terdengar dari
pendapa, "Pergilah. Aku sudah mulai kantuk. Aku akan tidur.
Besok aku akan berjalan lagi. Padahal jalan y ang harus kami
tempuh masih jauh." "Setan kau," orang itu mulai m engumpat, "aku tunggu
kalian besok di bulak panjang."
"Kami tidak akan melalui bulak panjang. Kami akan
berjalan menyusuri padukuhan dan barangkali berhenti di
pasar dan tempat-tempat ramai lainnya tanpa merasa malu
kepadamu. Mengerti. Nah, sekarang pergilah sebelum aku
berteriak-teriak," Mahisa Pukat pun kemudian menyandarkan
kepalanya di dinding. Namun ia sama sekali tidak kehilangan
kewaspadaan. Orang itu mulai mengumpat. Namun kemudian katanya,
"Baiklah. Agaknya waktunya memang sudah tiba. Besok kalian
akan mati. Besok aku tidak akan peduli, apakah kau akan
berjalan menyusuri pasar atau bersembuny i di manapun."
Mahisa Pukat menguap sambil menjawab, "Aku sudah
tidak mendengar kata-katamu."
Jawaban itu memang sangat menyakitkan hati. Tetapi
orang itu memang belum siap untuk bertindak. Karena itu,
sebelum jantungnya terbakar karena sikap anak muda itu,
maka orang itu telah memilih untuk meninggalkannya.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Menurut
perhitungan orang itu tidak akan kembali setidak -tidaknya
sampai dini hari. Sampai saatnya ia membangunkan Mahisa
Murti. Meskipun demikian Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjadi lengah. Namun seperti y ang diperhitungkan, sampai dini orang
itu tidak datang kembali sehingga datang saatnya Mahisa
Pukat membangunkan Mahisa Murti untuk bergantian,
berjaga-jaga sampai pagi.
Mahisa Murti lah yang kemudian duduk bersandar
dinding. Namun y ang lewat kemudian adalah seorang per onda
yang akan pergi ke pakiwan. Bahkan anak m uda itu m asih
sempat menyapanya, "Kau tidak dapat tidur?"
"Ya," jawab Mahisa Murti, "rasa-rasanya mata tidak
mau terpejam." "Kenapa?" bertanya anak muda itu.
"Tidak ada apa -apa Ki Sanak. Mungkin aku terlalu
memikirkan perjalanan panjangku," jawab Mahisa Murti.
Anak muda itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera kembali
ke pendapa. Suara t ertawa masih saja terdengar. Namun
sekali-sekali juga pembicaraan yang nampaknya bersungguhsungguh.
Menj elang pagi, maka kelima orang pengembara itu
telah terbangun seluruhnya. Mereka bergantian membenahi
diri di pakiwan, sementara anak-anak muda y ang meronda
telah meninggalkan pendapa. Sebentar lagi matahari akan
segera terbit. Sedangkan di jalan di depan banjar itu, beberapa
orang mulai lewat untuk pergi ke pasar. Bahkan kadangkadang
terdapat dua atau tiga orang perempuan y ang berjalan
berurutan sambil m embawa obor dari belarak. Bahkan ada di
antara mereka untuk mengusir dingin telah berdendang
sambil berjalan. Sejenak k emudian, maka mereka yang berjalan dengan
obor telah dipadamkannya, karena langit menjadi semakin
terang. Sementara pa sar pun menjadi semakin dekat.
Dari petugas yang menunggui banjar itu, Mahisa Murti
mendapat petunjuk, bahwa di ujung padukuhan itu m emang
terdapat pasar meskipun tidak terlalu besar.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah sepakat, bahwa
mereka akan pergi ke pasar. Mereka akan makan pagi
secukupnya,kemudian mereka akan menempuh jalan bulak
panjang yang sepi. Mereka memang sudah menjadi jemu
bahwa mereka hanya saling mengancam, saling menantang
dan berbagai macam cara lain untuk membuat lawan mereka
menjadi marah. Tetapi akhirnya kedua belah pihak telah
menjadi jemu, sehingga mereka memang sudah berkeputusan
untuk segera mengakhirnya.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya memang telah
pergi ke pasar, mereka telah duduk di sebuah kedai kecil yang
terbuka. Dengan sengaja hal itu m ereka lakukan, agar orang
yang mengikuti mereka dapat melihat.
Sebenarnyalah, selagi mereka makan orang itu telah
datang sambil menyapa, "Masih terlalu pagi untuk makan."
"O, kau," sapa Mahisa Murti tanpa berpaling, justru
sambil menyuapi mulutnya.
Sedangkan Mahisa Pukat pun berkata, "Apakah kau
ingin kami membelikan makan pagi buatmu?"
"Persetan," geram orang itu.
"Lalu kau mau apa pagi-pagi begini sudah menemui
kami, justru saat kami sedang makan," bertanya Mahisa Pukat.
"Silahkan makan," berkata orang itu, "sebentar lagi, aku
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingin menyuapi mulutmu dengan ujung pedang."
Mahisa Pukat tiba -tiba saja tertawa. Katanya,
"Tunggulah di luar pasar, agar aku tidak merasa terganggu.
Aku masih lama, karena aku masih akan tambah lagi dengan
semangkuk minuman dan semangkuk nasi lodeh kulit
melinjo." "Tutup mulutmu," geram orang itu.
Namun sambil tertawa Mahisa Pukat berkata, "Jangan
terlalu garang. Apapun y ang kau lakukan, kau sama sekali
tidak menakutkan kami."
Orang itu m engumpat kasar m eskipun hanya perlahanlahan.
Namun ia pun kemudian telah bergeser sambil berdesis,
"Hari ini adalah hari kematian kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
berpaling. Mereka masih saja makan dan m eneguk minuman
hangat tanpa memperhatikan orang itu. Hanya Mahisa
Amping sajalah yang mengikuti orang itu dengan tatapan
matanya kemanapun orang itu pergi sehingga akhirnya hilang
di kerumunan banyak orang.
Baru kemudian mereka dengan cepat meny elesaikan
makan mereka dan membayar harganya.
Sejenak kemudian, mereka telah berada di luar pasar.
Hari memang masih pagi. Tetapi justru karena itu, maka
makanan dan minuman di kedai itu masih terasa hangat.
"Kita akan m enempuh jalan bulak panjang. Tetapi kita
akan berjalan perlahan-lahan," berkata Mahisa Murti.
"Kenapa?" bertanya Mahisa Amping.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Kita baru saja
makan. Jika kita berjalan cepat dan apalagi harus banyak
bergerak, maka lambung kita akan terasa sakit."
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Namun tersirat
dari jawaban itu bahwa kemungkinan yang akan terjadi antara
lain adalah bertempur melawan orang y ang selalu datang itu.
Sebenarnyalah mereka berjalan perlahan-lahan. Mereka
sempat memperhatikan beberapa orang pandai besi yang
bekerja untuk membuat berbagai macam alat bagi para petani.
Parang, cangkul dan semacamnya.
Bahkan ketika mereka sudah meninggalkan pasar itu,
mereka masih juga berjalan perlahan-lahan. Mereka m elihatlihat
keadaan padukuhan yang terhitung ramai itu. Apalagi
agaknyahari itu adalah hari pasaran sehingga pasar itu pun
menjadi sangat ramai. Namun sejenak kemudian, mereka memang telah
sampai di ujung padukuhan. Mereka memandang bulak di
hadapan m ereka. Bulak y ang tidak terlalu panjang. Apalagi
bulak itu adalah bulak yang ramai dilewati orang-orang yang
akan pergi dan pulang dari pasar di padukuhan yang baru saja
mereka lewati. Tetapi agaknya hal itu justru lebih baik, karena dengan
demikian mereka masih mendapat kesempatan untuk berjalan
lambat. Mengendapkan makanan dan minuman di perutnya,
sehingga lambung mereka tidak akan menjadi sakit.
Ketika mereka sudah melewati bulak dan kemudian
padukuhan berikutnya, maka rasa-rasanya Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Karena itu, maka m ereka mulai menentukan arah perjalanan
mereka. Mereka tidak lagi mengikuti jalan bulak pendek yang
akan segera sampai ke padukuhan berikutnya, namun mereka
mulai m emasuki sebuah jalan y ang lebih kecil. Namun jalan
itu seakan-akan tidak berujung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sudah bersiap
sepenuhnya, apapun yang mereka hadapi. Bahkan Mahisa
Murti pun telah berkata kepada Mahisa Semu dan Wantilan,
"Kita tidak tahu, siapakah y ang akan kita hadapi kemudian.
Mungkin seorang, mungkin dua, tetapi mungkin lebih dari itu.
Karena itu, maka sebaiknya kalian bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Meskipun sepa sang pusaka itu ada pada kami
berdua, tetapi karena kalian ada bersama kami, maka
kemungkinan buruk itu dapat terjadi atas kalian juga
sebagaimana mungkin dapat terjadi pula atas kami."
Mahisa Semu dan Wantilan mengangguk-angguk.
Sementara itu Wantilan menjawab, "Kami telah
mengatakan diri ikut bersama kalian. Dengan demikian maka
kami harus bersiap menanggung segala akibat yang dapat
terjadi." Ternyata orang itu telah berdiri beberapa langkah dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang segera bangkit berdiri.
Dengan geram orang itu kemudian berkata, "Aku sudah
tidak sabar lagi menunggu kalian."
"Kau kira aku dapat menunggu lebih lama lagi?" jawab
Mahisa Murti. Lalu katanya, "Tetapi sekarang kita sudah
bertemu. Apa y ang kau maui sebenarnya."
"Serahkan sepasang keris itu. Hanya itu," jawab orang
itu tegas. "Kau tentu sudah tahu jawabnya. Kami berkeberatan,"
jawab Mahisa Murti. "Anak-anak muda. Kalian adalah orang-orang y ang
memiliki kemampuan y ang luar biasa. Pada usia kalian
sekarang ini, maka kalian sudah dapat disejajarkan dengan
orang-orang y ang berilmu tinggi lainnya. Namun demikian,
kau harus menyadari, betapa tinggi ilmu kalian berdua, maka
bagiku kalian bukan apa-apa. Jika setiap kali rencanaku
tertunda, karena aku berusaha untuk meyakinkan diriku
sendiri, bahwa tidak sepantasnya kalian untuk dibunuh. Tetapi
jika kalian berkeras untuk mempertahankan sepasang keris
itu, maka apa boleh buat," berkata orang itu pula.
"Nah Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat kemudian,
"sekarang kita akan m enentukan, siapakah y ang akan berhak
atas sepasang keris itu. Menurut kebenaran y ang biasa diakui,
maka karena orang y ang membuat keris itu y ang adalah
kebetulan ayah dari pemiliknya telah merelakannya kepada
kami, maka kamilah yang berhak. Tetapi jika hal itu tidak kau
akui, sehingga kebenarannya akan ditentukan oleh kekuatan,
maka kami pun tidak berkeberatan. Siapa y ang kuat ia akan
berhak atas sepasang keris itu."
"Bukan main," berkata orang itu, "kalian benar-benar
anak-anak y ang berani. Tetapi apakah kalian m emang benarbenar
berniat melawan kami?"
"Tergantung kepadamu," jawab Mahisa Pukat, "Apakah
kau benar -benar akan merampas keris ini?"
"Bagus," jawab orang itu,"berhati-hatilah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah bergerak
maju. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan pun telah
terbangun. Namun mereka memang tidak membangunkan
Mahisa Amping. Ketika mereka berhadapan, maka ternyata orang itu
memang hanya sendiri. Dengan nada rendah ia berkata,
"Jangan segan-segan. Majulah bersama-sama, karena jiwa
keris itu memang terbagi dua. Keris itu akan mempunyai
kekuatan yang tertinggi jika keduanya dapat serentak
menghentakkan kekuatan ilmu. Kalau tidak, m aka kekuatan
ilmunya akan berkurang."
"Terima kasih," jawab Mahisa Pukat, "kami sudah tahu
segala-galanya tentang milik kami."
Orang itu memang tidak menunggu lagi. Dengan serta
merta ia pun telah meny erang dengan senjatanya. Dua potong
besi sepanjang dua tiga jengkal, yang dihubungkan dengan
rantai baja y ang kuat. "Satu jeni s senjata y ang sangat sulit untuk dilawan,"
desis Mahisa Semu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah benarbenar
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun untuk
melawan senjata itu, keduanya telah mencabut keris yang
dibuat sebesar pedang itu.
Orang yang ingin merampasny a itu terpukau sejenak
melihat keris itu. Namun kemudian katanya, "Harganya lebih
mahal dari harga ny awa kalian. Karena itu, jika kalian
berkeras, maka kalian benar -benar akan mati."
Tetapi orang itu segera melangkah mundur ketika
MahisaMurti mulai menggerakkan keris itu. Putarannya
menimbulkan cahaya y ang kadang-kadang nampak, tetapi
kadang-kadang tidak, seperti sebuah lingkaran yang
menggetarkan. Namun sejenak kemudian, maka orang itu telah
memutar senjatanya berpegang pada salah satu tongkat besi
itu dan berkata, "Bersiaplah. Tetapi ilmuku adalah ilmu yang
jarang ada duanya." Sejenak kemudian maka orang itu mulai meny erang.
Tongkat besi baja y ang sebuah berputaran, menyambar,
menukik dan sekali-sekali bagaikan menusuk ke arah dada.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang benarbenar
bertemur berpasangan mampu selalu mengelakkan diri.
Bahkan berganti-ganti mereka meny erang dengan
mempergunakan sepasang keris y ang nggegirisi itu.
Ternyata orang yang bersenjata sepasang tongkat itu
memang mampu bergerak cepat sekali. Sulit diperhitungkan
loncatan-loncatan kakinya dan apalagi ayunan tongkat
bajanya. Namun baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat bukan
orang kemarin sore di dunia olah kanuragan. Karena itu,
bagaimanapun garangnya orang itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat berdua mampu mengimbanginya. Bahkan
serangan-serangan m ereka yang kemudian datang beruntun,
kadang-kadang telah membuat lawan mereka harus
berloncatan surut. Namun dalam sekejap mereka telah
menyerang dengan garangnya. Seperti pusaran prahara yang
sulit untuk ditahan kekuatannya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu mampu
menghindarkan diri dari libatan prahara itu. Karena jika
mereka benar-benar dicengkam oleh paraha itu, maka sulit
bagi mereka untuk melepaskan diri.
Orang y ang menginginkan sepasang keris itu semakin
lama menjadi semakin cepat bergerak. Tongkatnya berputaran
semakin cepat. Namun kadang-kadang tongkat yang
dihubungkan dengan rantai itu membuat kedua anak muda itu
terkejut. Rantai itu kadang-kadang menjadi mampu
menyambar anak-anak muda itu sebagaimana tongkat besi itu
sendiri. Tegak dan kuat, sehingga akan dapat mematahkan
tulang-tulang anak-anak muda itu apabila mengenainya.
Tetapi anak-anak muda itu menggenggam senjata y ang
luar biasa. Bukan saja karena hulunya berlapis emas dan tretes
permata, tetapi keris itu memang keris y ang luar biasa.
Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu
justru kadang-kadang telah membuat lawannya menjadi agak
kebingungan. Pertempuran itu semakin lama memang menjadi
semakin cepat. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mengerahkan tenaga cadangannya untuk mengatasi lawannya
yang bergerak semakin cepat pula. Namun dalam pada itu,
lawannya pun menjadi semakin gelisah pula melihat
kemampuan kedua orang anak muda itu.
Mahisa-Murti dan Mahisa Pukat percaya kepada
keterangan lawannya, bahwa semakin dekat sepasang pusaka
itu memang m enjadi semakin berbahaya. Bahkan orang tua
yang telah membuat kedua keris itu pun pernah
mengatakannya. Tetapi kedua orang anak muda itu tidak
selalu mengetrapkan dalam pertempuran itu. Keduanya
kadang-kadang ju stru mengambil jarak y ang jauh. Kedua
pusaka itu memang menjadi semakin jauh sehingga tidak
dapat menggabungkan kekuatan y ang terdapat pada kedua
pusaka itu. Namun kedua pusaka itu tetap berbahaya bagi lawannya,
karena justru dari arah yang berbeda, serangan Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat menjadi sangat berbahaya pula.
Dengan demikian, apapun yang dilakukan oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat akan tetap berbahaya bagi lawannya.
Jika mereka berpencar, maka perhatian orang itu terpecah
sehingga kadang-kadang ia harus meloncat mengambil jarak.
Namun jika kedua anak muda itu saling mendekat, rasarasanya
getar udara y ang m emancar dari sepa sang keris itu
menjadi semakin tajam menusuk kulit daging mereka.
Dengan demikian maka orang itu telah meningkatkan
ilmunya pula semakin tinggi. Senjatanya berputaran semakin
cepat. Menyambar, terayun mendatar dan kadang-kadang
mematuk seperti sebatang tombak atau menyambar bagaikan
tongkat y ang panjang. Tetapi setiap t erjadi benturan dengan sepasang keris
yang ingin direbutnya itu, maka terasa bahwa senjatanya tidak
mampu mengimbanginya. Sementara itu Mahisa Semu dan Wantilan menyaksikan
pertempuran itu dengan jantung y ang berdebaran. Bahkan
kemudian mereka merasa sulit untuk menilai, apa yang telah
terjadi atas ketiga orang itu. Yang dilihatnya seakan-akan
hanyalah bay angan yang beterbangan kian kemari. Sekalisekali
sinar y ang memancar dari senjata-senjata y ang aneh itu
menyilaukan mata mereka. Kemudian angin yang berdesing
dan menerpa wajah mereka.
Namun demikian Mahisa Semu dan Wantilan masih juga
mengerti, seandainya Mahisa Murti atau Mahisa Pukat harus
melawan mereka seorang diri, akan mengalami kesulitan,
meskipun keduanya tahu, bahwa anak muda itu belum pula
sampai ke puncak kemampuan mereka.
Demikianlah benturan-benturan senjata y ang terjadi
telah memercikkan bunga api. Namun kemudian sepa sang
tongkat yang dihubungkan dengan rantai itu, semakin lama
seakan-akan menjadi nampak semakin jelas dalam gelapnya
malam. Bahkan kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melihat, bahwa senjata itu bagaikan telah membara.
Dengan demikian kedua orang anak muda itu
menyadari, bahwa orang itu telah benar-benar mencapai
puncak ilmunya. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus
segera mengimbanginya sebelum mereka tergilas oleh
kemampuan lawannya. Dalam pada itu, serangan orang itu pun menjadi
semakin membadai. Ketika terjadi benturan senjata, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Untunglah m ereka
dengan kecepatan yang sangat tinggi melompat menjauh.
Benturan itu ternyata telah menghamburkan bunga api ke
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala arah pada jarak jangkau yang cukup panjang. Letupan
bunga api itu memiliki kekuatan melampaui panasnya bara
api. Dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang terkena
percikan bunga api itu telah terbakar dan menyala seakanakan
telah terpercik lahar gunung berapi.
"Luar bia sa," desis Mahisa Murti.
"Berhati-hatilah," gumam Mahisa Pukat seakan-akan
ditujukan kepada diri sendiri.
Namun dengan demikian maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu telah mengerahkan segenap kemampuannya
pula. Apalagi digenggaman tangannya terdapat sebuah pusaka
yang jarang ada duanya. Dengan demikian maka dua keris itu seakan-akan benarbenar
telah menyala. Bukan saja sekedar seolah-olah kesan
leretan cahaya pada setiap gerak.
Dengan demikian, maka senjata Mahisa Murti maupun
senjata lawannya telah memancarkan cahayanya masingmasing
dalam warna yang berbeda. Tetapi semuanya
mengandung pancaran kekuatan yang sangat tinggi dan sangat
berbahaya. Orang yang ingin merampas sepa sang keris itu pun
terkejut. Ia memang mengerti bahwa sepa sang keris itu
memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi bahwa di tangan
anak-anak kekuatan itu mampu memancar adalah sangat
mengherankannya. Dengan demikian maka orang itu baru meyakini, bahwa
anak-anak muda itu memang memiliki ilmu y ang tinggi.
Bukan sekedar mempercayakan diri kepada sepasang keris itu
sa ja, sehingga mereka merasa berilmu.
Sebenarnyalah keris itu bagaikan telah menyala. Lidah
api yang berwarna kehijau-hijauan telah membuat orang yang
ingin merampas keris itu harus menjadi semakin berhati-hati.
Namun ia tidak ingin mengurungkan niatnya, ia pun
merasa bahwa ia juga memiliki ilmu y ang sangat tinggi,
sehingga bagaimanapun juga ia yakin bahwa ia akan dapat
mengalahkan kedua orang anak muda itu.
Dengan demikian, maka orang itu pun telah bergerak
lebih cepat lagi. Sepasang tongkatnya bergantian berputaran
dengan cepatnya, sehingga telah terbentuk lingkaranlingkaran
bara yang mendebarkan jantung.
Namun pedang di tangan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat-pun menjadi semakin menggetarkan pula. Keduanya
kemudian telah membuktikannya. Jika mereka berdiri
semakin rapat, maka nyala api y ang kehijau-hijauan pada
daun kerisnya itu pun seakan-akan menjadi semakin besar.
Dalam pada itu, beberapa benturan telah terjadi. Bunga
api y ang memercik masih saja m enghambur ke segala arah,
sehingga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat harus berloncatan
menghindari. Namun dalam setiap benturan bukan saja
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang menjadi kepanasan
karena sentuhan-sentuhan bunga api yang menghambur,
tetapi ternyata nyala api pada sepasang keris itu juga telah
menimbulkan getaran udara yang panas, sehingga orang yang
ingin merampasnya itu pun harus dengan cepat menyesuaikan
diri. Dengan demikian maka pertempuran antara kedua belah
pihak itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat yang juga mampu bergerak cepat itu telah
melawan orang yang ingin merampas sepasang keris itu
dengan cara yang sulit untuk diperhitungkan lawan. Keduanya
kadang-kadang bertempur demikian dekatnya sehingga
seakan-akan mereka telah menjadi satu. Namun kemudian
berpencar saling menjauhi dan menyerang dari arah yang
kadang-kadang justru berlawanan sama sekali.
Kedua anak muda itu agaknya tidak begitu melihat
perbedaan kekuatan pada sepa sang keris itu disaat mereka
berjarak semakin dekat atau justru berada di jarak yang
panjang. Keris itu tetap merupakan senjata yang sangat
berbahaya bagi lawannya. Namun ternyata bahwa semakin lama semakin terasa
oleh orang yang ingin merampas sepasang keris itu, bahwa
kedua anak muda itu menjadi sangat berbahaya.
Sementara mereka bertempur dengan sengitnya, Mahisa
Semu dan Wantilan hanya dapat menyaksikan dengan jantung
yang berdegup semakin keras. Sementara itu, Mahisa Amping
pun telah terbangun pula. Seperti orang bermimpi ia melihat
pertempuran y ang sangat dahsy at. Tiga orang berloncatan
dengan tangkasnya dengan senjata y ang menyala di tangan
masirig -masing. Bahkan seakan-akan ketiganya beterbangan
seperti burung sikatan menyambar bilalang.
Namun dalam pada itu, langit pun telah menjadi
semakin terang. Bahkan kemudian cahaya kekuning-kuningan
telah memancar dari cakrawala.
Sesaat lagi, maka matahari pun tentu akan segera terbit.
Dengan demikian maka ketiga sosok bay angan itu
menjadi semakin lama semakin jela s bentuk dan ujudnya.
Namun semakin terangan cahaya pagi menjalang matahari
terbit, maka cahaya senjata orang yang ingin merampas
sepasang keris itu pun menjadi semakin pudar. Sementara itu,
cahaya lidah api yang m enyala kehijau-hijauan dari senjata
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja memancar
menyilaukan, justru mengatasi cahaya pagi.
Dalam keadaan y ang demikian, maka adalah diluar
dugaan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahwa lawannya
tiba -tiba saja telah meloncat mengambil jarak. Sebelum kedua
anak muda itu berbuat sesuatu, maka bayangan itu pun
seakan-akan telah terbang dengan cepatnya meny ongsong
matahari y ang akan terbit.
Tetapi dalam pada itu, telah bergema suara y ang
terdengar semakin jauh, "Kalian memang luar biasa anak
muda. Tetapi aku akan datang lagi jika matahari nanti
terbenam. Ternyata waktu y ang aku sediakan hari ini tidak
mencukupi, karena aku salah duga atas kemampuan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berdiri termangumangu.
Sambil menarik nafas dalam-dalam Mahisa Murti
berkata, "Anak malam. Agaknya orang itu hidup sebagai
seekor kelelawar." "Hanya dalam keadaan tertentu," sahut Mahisa Pukat,
"mungkin senjatanya itu hanya berarti di malam hari."
"Ya," berkata Wantilan, "itu lah agaknya ia berkeras
untuk merampas sepasang keris itu, karena keris itu akan
tetap berbahaya di malam maupun di siang hari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Pukat bertanya, "Bagaimana
menurut pendapatmu. Apakah orang itu akan benar-benar
kembali atau tidak?"
"Ya," jawab Mahisa Murti, "nanti malam ia akan
kembali. Bahkan mungkin tidak sendiri."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mungkin sekali. Karena itu, kita harus bersiap sebaikbaiknya."
"Kita tidak akan beranjak dari tempat ini," berkata
Mahisa Murti kemudian. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sependapat
untuk menunggu orang itu. Malam nanti mereka akan
menyelesaikan persoalan mereka apapun y ang terjadi. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah jemu m enunggu dan bahkan
sekedar diikuti, digelitik dan dibiarkan menunggu dalam
kegelisahan. Namun demikian, mereka tidak hanya sekedar
menunggu. Tetapi m ereka harus mempersiapkan diri m ereka
sebaik-baiknya, karena mereka tahu bahwa orang itu benarbenar
berilmu tinggi. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping pun
menyadari, bahwa hari itu mereka tidak akan pergi kemana
pun. Mereka akan tetap berada di pategalan itu.
Ketika matahari memanjat kaki langit, maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat telah m inta agar y ang lain m elihatlihat,
apakah didekat mereka ada air. Mungkin parit, sungai
atau belik. "Tetapi berhati-hatilah. Jika ada sesuatu yang agaknya
kurang wajar cepat kembali atau berikan isy arat apapun.
Bahkan mungkin berteriak memanggil kami," berkata Mahisa
Murti, "Karena kami memang sedang dalam intaian orang
yang b erilmu tinggi. Seandainya kalian tidak m enemukan air
dekat tempat ini, maka segeralah kembali."
Mahisa Semu m engangguk sambil menjawab, "Baiklah.
Kami akan pergi." Ketiga orang itu pun kemudian telah meninggalkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat di tempatnya. Namun kedua
orang itu tetap berhati-hati. Mereka tidak jelas apa y ang dapat
terjadi hari itu. Tetapi seandainya keduanya yang pergi, maka
kemungkinan buruk dapat juga terjadi atas ketiga orang yang
ditinggalkannya, sehingga karena itu, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat merasa lebih baik y ang tetap tinggal di tempat
itu. Namun ketiga orang itu dengan cepat telah kembali.
Mahisa Amping lah y ang kemudian b erkata, "Di sebelah ada
sungai kecil, kak." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Katanya, "Marilah, kita pergi bersama-sama."
Kelima orang itu pun sejenak kemudian telah berada di
sebuah sungai kecil untuk mencuci muka dan m embersihkan
diri. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah
menemukan tempat y ang baik untuk bersiap-siap
meny ongsong lawan mereka jika malam nanti datang.
Meskipun sungai itu kecil, namun mempunyai tepian
yang cukup luas. "Kita harus menyesuaikan diri lebih baik lagi," berkata
Mahisa Murti, "kita akan mencoba apa y ang dapat kita
lakukan paling baik dengan sepasang keris itu."
Namun demikian Wantilan itu pun berkata, "Sebaiknya
kalian beristirahat dahulu. Kalian telah m engerahkan tenaga
kalian m enghadapi orang itu. Kalian memang dapat mencari
kemungkinan terbaik itu. Namun kalian harus ingat, bahwa
kalian tidak boleh kehabisan tenaga untuk menghadapinya
malam nanti. Jika kalian tidak berada dalam puncak kekuatan
kalian, maka kalian akan kehabisan tenaga dan akhirnya
kalian tidak mampu lagi melawannya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun Mahisa Pukat berkata, "Waktu kita masih panjang.
Masih ada sehari penuh, sehingga waktu untuk beristirahat itu
masih cukup." "Tetapi kalian akan dapat terlalu lelap dalam latihanlatihan
atau katakanlah saat kalian mencari kemungkinan
yang paling baik itu, sehingga akhirnya kalian lupa untuk
beristirahat. Karena itu, sebaiknya sekarang kalian beristirahat
lebih dahulu. Baru kalian akan m elakukan apa saja y ang baik
menurut kalian."berkata Wantilan kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Baiklah. Jika
demikian, kita akan kembali ke pategalan itu."
"Kenapa ke pategalan itu?" bertanya Wantilan, "jika
pemiliknya datang maka mungkin akan dapat menimbulkan
salah paham. Kalian dapat beristirahat di sini. Di bawah
beberapa pohon turi yang rindang itu pasirnya nampak bersih.
Biarlah kami bertiga berjaga-jaga."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun tiba -tiba saja Mahisa Pukat bertanya, "Apakah Mahisa
Amping tidak lapar?"
Mahisa Amping hanya menunduk saja. Namun itu
adalah pertanda bahwa anak itu memang lapar.
Karena itu, maka mereka pun telah m enyempatkan diri
untuk pergi kekedai y ang terdekat. Kemudian kembali ke
tempat itu, dan memberikan kesempatan kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat untuk tidur beberapa saat. Dengan
demikian maka kekuatan mereka akan pulih kembali.
Sementara itu, Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping telah mempergunakan kesempatan itu untuk berlatih.
Mereka telah berusaha meningkatkan kemampuan mereka
bermain-main dengan senjata. Apalagi Mahisa Amping yang
telah memiliki sebilah pisau belati y ang bagus.
Lewat tengah hari, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
terbangun. Sejenak mereka duduk bersandar batang-batang
pohon turi sambil menyaksikan Mahisa Amping yang kecil itu
membiasakan diri mempergunakan pisau belatinya dalam olah
kanuragan. Meloncat, bergeser menyamping, merunduk,
kemudian berputar pada pundaknya di atas pasir.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Dengan nada rendah Mahisa Pukat berkata, "Anak itu
memang memiliki kelebihan terutama kewadagan. Ia memiliki
tenaga yang lebih besar dari kebanyakan anak-anak. Mudahmudahan
ia juga memiliki kelebihan tanggapan jiwani atas
dirinya terhadap Yang Maha Pencipta."
"Kita harus memperkenalkannya dan setiap hari
mengingatkannya. Ia memiliki dasar y ang kurang
menguntungkan.Pada saat kepekaannya ia justru berada di
padepokan yang setiap hari menyuapinya dengan ilmu hitam.
Tetapi jika kita dengan telaten menggosoknya setiap hari,
maka hatinya akhirnya akan mengkilap juga," sahut Mahisa
Murti. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Sementara ketika ia
menengadahkan wajahnya dilihatnya matahari mulai turun ke
sisi Barat. "Ketika kita tertidur ny enyak, untungnya orang itu tidak
datang mencari kita," desis Mahisa Pukat kemudian.
" Ia t idak akan menemui kita lagi di siang hari," berkata
Mahisa Murti, "tentu ada hubungan antara ilmunya dengan
malam yang gelap, ia pun tentu menyadari, bahwa kita
akhirnya dapat m engetahui bahwa ia mempunyai kelemahan
tertentu." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia pun sudah
menduganya, bahwa orang itu tidak akan berani menghadapi
mereka berdua di siang hari. Tetapi ia ingin menyesuaikan
pendapatnya dengan Mahisa Murti.
Untuk beberapa saat, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih saja duduk di bawah pohon turi di tepian. Namun ketika
yang lain beristirahat, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
pun mulai mempersiapkan dirinya. Beberapa saat mereka
memanaskan tubuh m ereka dengan berjalan-jalan di tepian.
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kemudian berlari-lari kecil. S ejenak k emudian, maka mereka
pun telah bersiap untuk mulai dengan sebuah latihan yang
sesungguhnya. Setelah m emusatkan segenap nalar budi, m aka mereka
segera memasuki suasana yang bersungguh-sungguh
meskipun tidak berada di dalam sanggar.
Sejenak kemudian mereka telah berlatih bersama-sama.
Mereka ingin mengetahui perbandingan kekuatan y ang dapat
dipancarkan lewat sepasang keris itu, serta pengaruhnya atas
lontaran ilmu mereka berbanding dengan jarak antara
sepasang keri s itu. Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mengambil ancang-ancang. Kemudian seorang demi seorang
pada jarak beberapa langkah mereka telah menyerang tanggul
berbatu padas dari jarak yang jauh melalui keris yang mereka
ketemukan itu. Sementara keris itu menyala semakin besar
dengan api yang berwarna kehijauan, maka seleret -seleret
sinar telah memancar dan menghantam tebing berbatu padas,
sehingga batu-batu padas itu pun runtuh berguguran.
Tetapi hal itu tidak mereka lakukan sekali. Tetapi
beberapa kali pada jarak yang berbeda. Ketika keduanya
kemudian telah mencapai puncaknya, maka mereka telah
mencoba pula untuk meny erang satu sasaran bersama-sama
pada jarak beberapa langkah. Kemudian mereka lakukan lagi
pada jarak y ang semakin dekat semakin dekat, sehingga
akhirnya m ereka berdiri tanpa jarak, bahkan Mahisa Pukat
telah memegang kerisnya di tangan kiri sehingga bersentuhan
dengan keris di tangan kanan Mahisa Murti.
Akibatnya memang dahsy at sekali. Serangan atas tebing
berbatu padas y ang mereka lakukan telah mampu
meruntuhkan dan melumatkan batu-batu padas itu. Apalagi
ketika mereka meny erang pada jarak y ang semakin dekat,
bahkan ketika mereka berdiri tanpa jarak sehingga sepa sang
keris mereka bersentuhan itu.
Kekuatan yang terpancar bukan sekedar kekuatan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang bergabung. Namun
kekuatan y ang terpancar dari kedua keris atas dasar dorongan
kekuatan ilmu kedua anak muda yang memang tinggi itu
benar-benar luar biasa. Kekuatan y ang menghancurkan batubatu
padas di tebing sungai itu adalah kekuatan y ang berlipat
ganda dari kekuatan ilmu kedua orang anak muda itu.
"Luar biasa," geram Mahisa Semu dan Wantilan hampir
berbareng ketika mereka melihat akibat serangan itu.
BahkanMahisa Murti dan Mahisa Pukat pun untuk beberapa
saat berdiri termangu-mangu. Mereka hampir tidak percaya
akan lontaran ilmu mereka itu. Namun ketika kemudian
mereka sempat mengulanginya dan akibatnya tidak berbeda,
maka mereka baru y akin, bahwa lontaran kekuatan ilmu lewat
sepasang keris itu pada jarak y ang sependek-pendeknya
memang nggegirisi. Dengan demikian keduanya menjadi semakin percaya
kepada diri mereka sendiri, bahwa mereka akan dapat
mengatasi kemampuan orang-orang yang akan merampas
keris itu sendiri, sebagaimana dilakukan oleh orag yang datang
semalam. Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kemudian
beristirahat, maka Mahisa Semu sempat berkata, "Kalian telah
menemukan lagi kekuatan y ang tidak ada duanya."
"Kami memang berterima ka sih," berkata Mahisa Murti,
"tetapi kami masih tetap berpegang kepada satu sikap, bahwa
tidak ada yang sempurna di dunia ini. Yang terbaikpun
akhirnya akan ada y ang melampauinya. Karena itu, maka
segala sesuatunya harus tetap bersandar kepada satu
kepercayaan tentang sumber dari segala Sumber."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
mengerti. Tetapi k ita mempunyai ukuran kewajaran lahiriah.
Dari ukuran itulah aku menilai ilmumu."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti. Namun katanya
kemudian, "Kalian pun akan m ampu mencapai satu tataran
tertinggi, jika kalian bersungguh-sungguh."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Namun memang
terbersit di hatinya, bahwa kemungkinan itu masih merupakan
sekedar mimpi. Meskipun demikian seperti dikatakan oleh
Mahisa Murti, bahwa kemungkinan itu m emang ada, jika ia
bersungguh-sungguh. Demikianlah, maka sejenak kemudian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah m embersihkan dan m embenahi diri.
Sementara itu matahari telah menjadi semakin rendah.
"Ma sih ada waktu," berkata Mahisa Pukat, "kita masih
dapat pergi ke kedai sebentar. Wajah Mahisa Amping telah
menjadi pucat." Mahisa Semu dan Mahisa Murti tertawa pendek. Namun
Wantilan berkata, "Bukan kau yang pucat. Tetapi kakangmu
Mahisa Pukat yang merasa lapar."
Mahisa Pukat lah yang kemudian tertawa. Namun
katanya kemudian, "Marilah. Kita pergi sebentar."
Kelima orang itu m emang masih sempat pergi ke kedai.
Namun sejenak kemudian mereka telah kembali. Tidak ke
tepian itu lagi, tetapi mereka telah kembali ke pategalan.
" Di malam hari, pemiliknya tidak akan datang.
Sementara itu, kita mengharapkan orang itu datang lagi
malam nanti," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Murti memang sependapat. Sementara
menunggu malam, mereka masih mendapat kesempatan
untuk beristirahat. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sudah tidak berniat lagi m emejamkan matanya, karena orang
itu akan dapat datang saat demikian matahari mulai terbenam.
Sementara itu Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping-pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.
Mereka menyadari bahwa keadaan akan dapat menjadi gawat.
Mungkin orang itu akan datang tidak seorang diri karena
kegagalannya di malam sebelumnya.
Beberapa saat kemudian, maka gelap malam telah
menyelubungi seluruh pategalan dan bahkan padukuhanpadukuhan.
Bintang-bintang mulai bermunculan di langit.
Sementara itu titik-titik embun mulai berjatuhan m embasahi
dedaunan. Malam m emang terasa dingin. Bahkan t erasa demikian
sepinya. Tidak terdengar sama sekali suara-suara malam yang
biasanya berderik di antara dedaunan dan rerumputan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk menghadap ke
arah yang berlawanan. Sementara Mahisa Semu dan Wantilan
pun ikut pula mengamati keadaan. Bahkan Mahisa Amping
yang kecil itu-pun masih juga duduk bersandar sebatang
pohon. " Jika kau sudah mengantuk, tidurlah. Jika permainan
itu akan dimulai, maka kau nanti akan dibangunkan pula,"
berkata Mahisa Semu. Mahisa Amping menggeleng. Katanya, "Aku tidak
mengantuk." Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Namun
Mahisa Amping masih tetap duduk bersandar sebatang pohon.
Dengan matanya y ang kecil, ternyata ia juga mengamati
kegelapan malam sebagaimana dilakukan oleh y ang lain.
Untuk beberapa lama mereka menunggu. Tetapi tidak
seorang pun yang datang kepada m ereka. Orang y ang datang
semalam pun tidak. "Apakah orang itu selalu datang setelah lewat tengah
malam?" bertanya Mahisa Pukat.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku tidak mengerti apa hubungannya antara ilmu seseorang
dengan siang dan malam. Bahkan dengan lewat tengah malam.
Tetapi jika itu menjadi satu keyakinan, maka sudah tentu
pengaruhnya akan besar sekali bagi seseorang."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada
rendah ia berdesis,"demikian kuatnya pengaruh key akinan
atas seseorang." Namun dalam pada itu, terdengar Mahisa Murti
berdesis, "Kita tidak perlu menunggu terlalu lama. Mereka
telah datang. Memang tidak sendiri."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun
bertanya, "dari arah mana mereka datang?"
"Dari arah garis pandanganku," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu, maka Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping yang
mendengar kata-kata Mahisa Murti itu pun segera
mempersiapkan diri pula. Sementara itu, dua orang tengah berjalan mendekati
mereka. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian telah
bangkit berdiri. Demikian pula Mahisa Semu, Wantilan dan
bahkan Mahisa Amping. Beberapa saat kemudian, dua orang yang datang itu
telah berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Dengan nada rendah orang y ang telah beberapa kali datang
kepada anak-anak muda itu dan bahkan telah pernah
bertempur melawannya itu berkata, "Selamat malam anakanak
muda." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia pun m enjawab ragu, "selamat
malam." "Kami telah datang lagi anak-anak muda. Malam ini aku
tidak datang sendiri. Karena aku harus menghadapi dua orang
berilmu tinggi, maka aku t elah m embawa seorang saudaraku
pula. Dengan demikian kita akan berhadapan seorang dengan
seorang. Bukankah itu adil?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Mereka menyadari bahwa orang itu ternyata telah
berusaha untuk mengurangi tekanan kedua anak muda yang
bertempur berpasangan dengan senjata y ang memiliki
kekuatan yang sangat besar itu. Namun Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak akan dapat menolak, bahkan mereka
sudah memperhitungkan kemungkinan itu.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah menjawab,
"Ya. Aku sependapat. Satu pertemuan yang adil."
Kedua orang y ang datang itu mengangguk-angguk.
Namun yang telah datang berkali-kali berkata, "Jika demikian,
maka kita tidak mempunyai persoalan y ang perlu kita
bicarakan lagi. Kita akan segera mulai. Siapa y ang akan mati di
antara kita. Mungkin kalian berdua. Mungkin kami berdua,
tetapi mungkin seorang di antara kami dan seorang di antara
kalian." "Bagus," berkata Mahisa Pukat, "kami sudap siap.
Meskipun aku tahu bahwa kalian ingin menyelesaikan
persoalan ini sebelum matahari terbit. Kami tidak tahu
hubungan ilmu kalian dengan matahari. Tetapi agaknya
kalian, setidak-tidaknya seorang di antara kalian memang
takut melihat matahari terbit."
"Satu mimpi buruk. Kau telah m engambil kesimpulan
yang salah dengan sikapku," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat menjawab, "Salah atau tidak, tetapi
kau dengan tergesa -gesa meninggalkan kami ketika kau
melihat fajar mulai merah di langit, atau sesudah itu,
mendekati cahaya matahari yang pertama t erlempar dari balik
cakrawala." Orang itu tertawa. Katanya, "Terserahlah kepada kalian.
Tetapi marilah, kita akan segera mulai."
Kedua orang itu pun segera bersiap. Mereka telah
mengambil jarak beberapa langkah di antara yang satu dengan
yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang telah bersiap pula,
sama sekali tidak berusaha mengambil jarak meskipun mereka
telah berdiri menghadap kepada kedua orang itu.
Demikianlah, maka kedua orang itu pun segera mulai
bergerak. Mereka tidak merasa perlu untuk saling menjajagi
lagi. Orang yang telah datang sebelumnya itu pun segera
mengambil senjata mereka, sementara y ang lain pun telah
melakukannya pula. Yang telah datang beberapa kali itu telah
mengambil sepasang tongkat bajanya yang dihubungkan
dengan seutas rantai. Sementara y ang seorang lagi telah
menarik sepasang pedang yang sangat tipis namun lentur di
kedua tangannya. Pedang y ang tajamnya melampaui tajamnya
pisau cukur. Sejenak kemudian, m ereka pun telah mulai bertempur.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakan-akan tidak mau
terpisah y ang satu dengan y ang lain. Bagaimanapun juga
lawan-lawan mereka berusaha memancing agar mereka
menjadi saling berjauhan, ternyata mereka tidak
melakukannya. "Setan," geram orang yang baru datang malam itu,
"kenapa kalian bertempur seperti dua orang penakut yang
memasuki kegelapan. Yang satu berpegangan y ang lain
sehingga kalian kehilangan banyak kesempatan dalam
pertempuran ini." Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya, " Ini adalah pola
permainan kami yang sebenarnya. Karena itu, m aka lakukan
yang akan kalian lakukan atas kami."
Kedua orang itu mengumpat hampir ber samaan. Namun
mereka telah b erloncatan meny erang dari arah y ang berbeda.
Dengan demikian mereka berusaha agar kedua orang anak
muda itu tidak dapat m enyerang mereka dengan kedua keris
itu berpasangan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengerti m aksud
kedua lawannya. Karena itu, maka mereka tidak dengan serta
merta m encari kesempatan untuk mempergunakan sepa sang
keris itu bersama-sama. Namun kedua orang itu memang menjadi sangat garang.
Seperti y ang pernah terjadi, benturan antara keris Mahisa
Murti y ang bagaikan m enyala dengan lidah api yang kehijauhijauan
itu dengan t ongkat-tongkat baja yang membara telah
menimbulkan bunga api y ang memercik menghamburkan
panas. Sementara itu, ternyata sepasang pedang tipis dari
lawan Mahisa Pukat pun telah menimbulkan akibat y ang sama
pada setiap benturan. Sehingga dengan demikian Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat segera mengetahui bahwa keduanya
tentu saudara seperguruan.
"Apakah perguruan mereka tidak terlalu jauh dari
tempat ini," bertanya anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Sementara itu, maka pertempuran pun semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua orang saudara seperguruan itu
03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memangmemiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga beberapa
saat kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat merasa mulai
terdesak. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping y ang
menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka
melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai bergeser
beberapa langkah surut. Namun dalam pada itu, keduanya tidak ingin
membiarkan diri mereka terdesak terus. Sementara itu,
mereka seakan-akan tidak mendapat kesempatan untuk
melepaskan ilmu mereka y ang dapat menyerang dari jarak
panjang, karena kedua lawannya itu seakan-akan bertempur
tanpa jarak. Senjata mereka selalu menggapai tanpa hentihentinya.
Karena itu, maka kedua anak muda itu telah
mempergunakan ilmunya y ang lain. Di saat-saat mereka
mengalami kesulitan karena lawan mereka memang berilmu
tinggi, maka m ereka telah mempergunakan ilmu y ang jarang
ada duanya. Ilmu y ang mampu menghisap kekuatan dan
kemampuan orang lain. Demikianlah, maka pertempuran itu b erlangsung terus.
Benturan demi benturan. Kedua orang y ang merasa memiliki
ilmu yang tinggi itu telah meny erang dengan dahsy atnya,
sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat lebih banyak
bertahan. Tetapi adalah diluar perhitungan lawan-lawannya bahwa
anak-anak muda itu memiliki ilmu y ang tidak segera
dimengertinya. Namun, beberapa saat kemudian, keduanya merasa
bahwa ada sesuatu y ang aneh pada diri mereka. Tenaga
mereka m ulai terasa t erlalu cepat su sut. Betapapun mereka
mengerahkan tenaga, namun mereka merasa bahwa mereka
masih mampu bertempur sampai menjelang pagi hari.
Untuk beberapa saat mereka masih berusaha untuk
mengerti. Mereka telah mengerahkan kemampuan mereka
bertempur dengan landasan ilmu mereka. Mereka bergerak
dengan cepat sekali, serta percikan bunga api di setiap senjata,
memangmembuat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terdesak.
Tetapi mereka tidak mengerti, apa y ang sebenarnya
terjadi atas diri mereka sehingga kekuatan dan kemampuan
mereka demikian cepat susut.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
lebih banyak bertahan. Setiap serangan telah m ereka bentur
dengan senjata mereka yang m emiliki kekuatan y ang aneh.
Lidah api yang kehijau-hijauan itu memang mampu
menyebarkan panas. Namun percikan bunga api di setiap
benturan, mampu menebar lebih jauh jangkauannya daripada
jangkauan panas y ang m emancar dari pedang Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Teiapi kedua orang itu adalah orang y ang berilmu sangat
tinggi. Dengan demikian maka penggraitanya pun cukup tajam
Kisah Para Penggetar Langit 10 Dewi Ular 77 Bulan Berdarah Ratu Pemikat 2