Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 30

03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 30


untuk menanggapi keadaan.
Tiba-tiba saja seorang dari mereka telah menyadari,
bahwa mereka telah terperosok ke dalam jebakan ilmu yang
mampu menghisap kekuatan dan kemampuan lawannya.
Karena itu, maka seorang di antara m ereka, orang y ang
sudah beberapa kali menemui anak-anak muda itu berkata,
"Hati-hati dengan ilmu mereka yang licik."
Saudara seperguruannya dengan cepat tanggap. Karena
itu, maka ia pun segera meloncat mengambil jarak.
Ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama lagi.
Dengan serta merta maka ia pun telah meluncurkan seranganserangannya
dengan senjata-senjata kecilny a. Semacam paserpaser
kecil yang tentu beracun.
Mahisa Pukat pun dengan segera telah berloncatan
menghindarinya. Namun paser itu seperti ditaburkannya,
sehingga satu di antaranya telah menancap di lengannya.
Sambil menahan sakit Mahisa Pukat sempat mencabut
paser itu. Ia sempat melontarkan kembali kepada lawannya
yang bergeser menyamping sehingga paser itu tidak
mengenainya. Sejenak kemudian pertempuran itu bagaikan terhenti.
Namun yang terdengar adalah suara tertawa saudara
seperguruan dari orang yang menginginkan sepasang keris itu.
Katanya di sela-sela derai tertawanya, "Sayang kau akan mati
muda. Tidak ada daya tahan seseorang yang mampu
mengatasi racun pada ujung paser-paserku. Kau telah
tersentuh di lenganmu, sehingga karena itu, maka tidak ada
gunanya lagi kau bertempur melawanku karena kau akan mati.
Semakin banyak kau bergerak, m aka racun itu akan semakin
cepat mencengkam jantungmu."
Mahisa Pukat memandang orang itu dengan tajamnya.
Tetapi ia sama sekali tidak m enjadi cemas. Bahkan kemudian
katanya, "Kau tidak perlu menakut-nakuti aku. Aku dapat
membedakan, apakah senjata lawan beracun atau tidak. Dan
aku pun tahu apakah racun itu akan berpengaruh atas aku
atau tidak." "Kau terlalu sombong. Tetapi jangan m eny esal. Bahwa
kau akan segera mati," geram orang itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menghiraukannya. Mereka justru bersiap-siap untuk
menyerang lawan mereka. Orang yang melempar Mahisa Pukat dengan paser mulai
menjadi cemas ketika ia tidak melihat perubahan sikap Mahisa
Pukat. Anak muda itu masih tetap tangkas. Mahisa Pukat
hanya berdesis sedikit ketika ia mencabut paser itu. Namun
sesudahnya, tidak ada keluhan sama sekali.
Hampir diluar sadarnya orang itu berdesis, "Kau kebal
racun?" Mahisa Pukat tidak m enjawab. Tetapi ia sudah bersiap
untuk meny erang lawannya.
Namun lawannya yang sudah menyadari kemungkinan
buruk bagi setiap sentuhan telah berusaha bertempur pada
jarak jauh tanpa sentuhan kewadagan. Karena itu, maka lawan
Mahisa Pukat yang agaknya lebih kasar dari saudara
seperguruannya itu tidak sabar lagi. Namun Mahisa Pukat pun
dengan cepat tanggap ketika sepa sang pedang tipis orang itu
telah disarungkannya. Dengan kemampuan y ang sangat tinggi, maka orang itu
seakan-akan telah menaburkan sesuatu ke arah Mahisa Pukat
dari tempatnya berdiri. Namun ketajaman penglihatan ilmu Mahisa Pukat
melihat, bahwa orang itu memang telah menghentakkan
ilmunya ke arahnya. Kilatan cahaya ilmu itu dapat dilihat
dengan ketajaman penglihatan ilmu Mahisa Pukat pula,
sehingga dengan serta merta ia telah meloncat dan jatuh
berguling di tanah. Tetapi Mahisa Pukat telah terhindar dari serangan ilmu
yang dahsy at itu. Tanah tempat Mahisa Pukat semula berdiri
bagaikan telah meledak, sehingga seandainya Mahisa Pukat
masih berdiri di tempatnya, maka ia pun akan dikoy ak oleh
ilmu itu menjadi berkeping-keping.
Ternyata lawannya tidak berhenti menyerang. Ia telah
melakukan sekali lagi, sehingga Mahisa Pukat pun harus
meloncat sekali lagi pula. Tetapi Mahisa Pukat tidak
membiarkan dirinya diserang terus. Karena itu, maka sambil
berguling Mahisa Pukat telah mengetrapkan kemampuannya.
Ia tidak dengan serta merta bangkit. Tetapi sambil berbaring
ia telah mengarahkan ujung pedangnya kepada lawannya.
Seleret sinar telah meluncur dan menyambar ke arah
lawannya. Namun lawannya sempat melakukannya pula, sehingga
dua jeni s ilmu telah berbenturan di udara.
Kedua orang itu memang menjadi termangu-mangu
sejenak. Ju stru terasa di dada mereka masing-masing
hentakkan y ang timbul dari getaran ilmu mereka masingmasing
y ang saling berbenturan.
Dengan mengerahkan day a tahannya, Mahisa Pukat
berusaha untuk mengatasi sesak di dadanya. Namun ia masih
sempat bangkit berdiri dengan tegak di atas sepasang kakinya
yang renggang. Sementara itu, lawannya pun berusaha memperbaiki
keadaannya. Sebenarnya ia memiliki kelebihan dari Mahisa
Pukat. Namun sentuhan-sentuhan y ang terjadi sebelumnya,
yang telah menyusut ilmunya, telah membuatnya tidak
mampu mengatasi ilmu Mahisa Pukat.
Untuk beberapa saat keduanya berdiri termangu-mangu.
Namun kemudian mereka pun telah saling meny erang lagi.
Lawan Mahisa Pukat tidak memerlukan sepa sang pedangnya,
namun Mahisa Pukat ternyata tidak perlu menyarungkan keris
yang disebutnya sebagai pedang itu. Karena dengan senjatanya
itu ia mampu melepaskan serangan jarak jauhnya.
Sementara keduanya saling meny erang, maka beberapa
kali memang telah terjadi benturan. Namun benturanbenturan
itu tidak mampu menentukan, apakah Mahisa Pukat
atau lawannya y ang akan memenangkan pertempuran itu.
Dalam pada itu Mahisa Murti masih juga bertempur
dengan sengitnya. Seperti lawan Mahisa Pukat maka orang
yang ingin merampas sepasang pusaka itu telah m elepaskan
serangan jarak panjang. Tetapi Mahisa Murti pun mampu
mengelakkannya dan bahkan ia pun telah mencoba untuk
membentur ilmu lawannya. Ternyata Mahisa Murti mampu mengimbangi kekuatan
dan kemampuan lawannya yang telah susut itu. Karena itu,
maka dalam setiap benturan, maka keduanya memang
memerlukan waktu untuk memperbaiki keadaannya.
Demikianlah ketika mereka bertempur beberapa saat,
maka sulit untuk menentukan siapakah yang akan kalah dan
siapakah y ang akan menang.
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping menjadi
bingung. Kadang-kadang mereka kehilangan bayangan orangorang
y ang sedang bertempur itu. Baru kemudian bayangan
itu muncul lagi dalam kegelapan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebagaimana kedua
lawannya merasa, bahwa sulit bagi mereka untuk
memenangkan pertempuran dengan caranya. Karena itu,
maka kedua orang itu telah berusaha untuk menemukan satu
cara y ang paling baik untuk m engalahkan lawannya. Namun
serangan mereka baru akan m enjadi lebih kuat jika mereka
mampu menyerang berbareng dengan mendekatkan kedua
pusaka mereka itu. Untuk beberapa saat keduanya melakukannya tanpa
menemukan cara yang terbaik untuk meny erang. Namun
ketika Mahisa Murti justru diserang lawannya, ia telah
menjatuhkan diri dan berguling mendekati Mahisa Pukat.
Dengan tanpa bangkit, sebagaimana dilakukan oleh Mahisa
Pukat, maka Mahisa Murti telah menyerang lawannya.
Ternyata lawannya menyadari akan serangan itu, sehingga ia
pun telah meloncat menghindarinya.
Hal itulah y ang diharapkan oleh Mahisa Murti. Karena
itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Pukat. Cari kesempatan."
Mahisa Pukat cepat tanggap. Ia pun segera telah
menyerang lawannya dengan mengacukan senjatanya. Namun
lawannya y ang mendengar panggilan Mahisa Murti atas
lawannya itu tidak segera mengerti maksudnya. Karena itu,
maka seperti saudara seperguruannya ia pun telah m eloncat
menghindarinya. Demikian lawannya meloncat menghindar, maka Mahisa
Pukat pun telah meloncat pula dan menjatuhkan diriny a di
samping Mahisa Murti. Ia pun dengan serta merta telah
memindahkan pedangnya di tangan kirinya dan dengan
kekuatan ilmunya meny erang lawan Mahisa Murti bersamasama
dengan Mahisa Murti. Tepat pada saat lawan Mahisa Murti itu melenting
berdiri, m aka serangan itu datang dengan dahsyatnya. Dua
bilah keris yang memiliki satu kesatuan kekuatan itu telah
menghantam orang y ang telah mengejar-ngejarnya.
Orang itu tidak sempat m engelak, karena demikian ia
berdiri maka serangan itu pun datang. Yang dapat
dilakukannya adalah melawan serangan itu dengan
membenturkan ilmunya yang dengan tergesa -gesa
dilontarkannya. Tetapi kekuatan kedua ilmu y ang berbenturan
itu ternyata tidak seimbang. Karena itu, maka getar ilmu orang
itu yang memantul dan bahkan didor ong oleh kekuatan ilmu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang terlontar lewat sepasang
keris itu, telah m enghantam dada orang itu. Satu hentakkan
ilmu y ang sangat dahsyat yang seakan-akan telah meledakkan
jantungnya dan melemparkannya beberapa langkah surut.
Orang itu memang terlempar dan terbanting jatuh
dengan kerasnya. Tidak ada kekuatan yang mampu
menahannya. Ia sama sekali tidak sempat mengaduh, karena
jantungnya bagaikan telah meledak dan berhenti berdetak.
Orang itu terbunuh dalam sekejap.
Sementara itu, saudara seperguruannya menyaksikan
apa yang telah terjadi. Dengan demikian maka ia telah
kehilangan keberanian untuk melawan kedua orang anak
muda itu seorang diri. Meskipun sebenarnya ia juga
menginginkan keris itu, namun ia merasa bahwa y ang akan
terjadi tidak akan jauh berbeda dengan apa y ang telah terjadi
atas saudara seperguruannya.
Saudara seperguruannya itu telah menjanjikan untuk
membagi sepasang keris itu untuk dimiliki bersama. Namun
saudara seperguruannya ternyata telah jatuh terbaring dan
tidak terbangun lagi. Sebagai seorang y ang berilmu tinggi,
maka orang itu pun segera m engetahui, bahwa benturan itu
terjadi demikian dahsyatnya, sehingga saudara
seperguruannya itu tentu sudah kehilangan segala-galanya,
bahkan nyawanya. Dengan demikian, m aka tidak ada pilihan lain baginya
kecuali menyelamatkan dirinya.
Karena itu, maka orang itu tidak menunggu lebih lama
lagi. Sebelum ia mengalami nasib seperti saudara
seperguruannya, maka ia pun dengan serta merta telah
meloncat kedalam gelapnya malam.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sebenarnya masih
mempunyai kesempatan untuk memburu orang y ang dengan
ilmu mereka yang dahsy at itu. Tetapi Mahisa Murti kemudian
telah memberikan isy arat, bahwa mereka tidak akan
menyerang orang itu. Mahisa Pukat memang sependapat untuk tidak
membunuhnya. Orang itu agaknya hanya terseret oleh
kehendak saudara seperguruannya sehingga ia telah ikut serta
datang dan meny erang anak-anak muda itu.
Sejenak kemudian, maka keadaan telah m enjadi tenang
kembali. Tidak ada lagi pertempuran dan tidak ada lagi ilmu
yang sambar menyambar. Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping selangkah
demi selangkah telah mendekati kedua anak muda yang
kemudian berdiri termangu-mangu. Keris di tangan mereka
tidak lagi menyala kehijau-hijauan.
Beberapa langkah dari m ereka, sesosok mayat terbujur
diam dalam kelamnya malam.
"Apaboleh buat," berkata Mahisa Murti.
"Keris ini telah meny ebabkan kematian demi kematian,"
berkata Mahisa Pukat. "Seperti kata orang tua y ang m embuat keris itu, tidak
ada pilihan lain. Seandainya keris ini kita kembalikan
sekalipun maka orang tidak akan mempercayainya. Apalagi
saudara seperguruan yang sempat melarikan diri itu. Ia akan
mengatakan kepada orang lain dan orang lain. Berita tentang
keris ini akan semakin tersebar," berkata Mahisa Murti.
"Selama ketamakan masih mencengkam jiwa seseorang,
maka keris itu masih akan menuntut korban. Bukan salah
kalian jika kematian demi kematian itu m asih akan terjadi,"
berkata Wantilan yang telah berdiri didekat kedua anak muda
itu. Kedua anak muda itu mengangguk-angguk.
Sebenarnyalah mereka tidak pernah datang kepada seseorang
untuk menantangnya bertempur dan kemudian membunuh
mereka. Orang-orang tamak itulah y ang datang kepada kedua
orang anak muda itu untuk mengantarkan nyawa mereka.
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Kita
memang tidak mempunyai jalan surut. Tetapi kita dapat
berdoa, semoga Yang Maha Agung menjauhkan kita dari
manusia -manusia y ang tamak itu, sehingga kami tidak perlu
membunuh dan membunuh lagi."
"Ya. Kita dapat berdoa," berkata Mahisa Pukat.
Namun dalam pada itu, mereka masih merasa
mempunyai beban untuk menguburkan mayat orang yang
telah terbunuh itu. Orang yang menjadi korban ketamakannya
sendiri. Ia bukan orang satu -satunya. Namun ia adalah orang
yang kesekian kalinya. Mahisa Murti berpendapat, sebaiknya mereka
menguburkan orang itu malam itu saja agar tidak ada orang
yang melihatnya. "Kita bawa m ereka menjauhi pategalan ini. Kita dapat
menguburkannya ditanggul sungai itu," berkata Mahisa Murti.
Demikianlah m aka mereka pun telah membawa tubuh
yang hangus itu ke tanggul. Dengan alat seadanya mereka
telah menguburkan orang itu berserta senjatanya yang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendebarkan. Ketika m ereka selesai, maka mereka pun telah langsung
turun ke sungai membersihkan diri dan kemudian beristirahat
di tepian disisa malam itu.
Namun ternyata mereka tidak dapat beristirahat dengan
baik. Tiba-tiba saja mereka telah mendengar suara yang
bergetar memenuhi udara. Suara tertawa, y ang disela-selanya
terdengar kata-katanya, "Bukan main. Kalian telah berhasil
membunuh orang y ang memiliki ilmu y ang luar biasa itu.
Bahkan kalian berdua dapat m engatasi kedua orang saudara
seperguruan itu. Membunuh seorang di antaranya dan
mengusir y ang lain pergi."
Orang-orang y ang berada ditepian itu harus menahan
getar jantung didalam dada mereka. Bahkan Mahisa Semu,
Wantilan dan apalagi Mahisa Amping telah menekan dada
mereka dengan telapak tangan mereka.
"Gelap Ngampar," desis Mahisa Murti, " satu ilmu y ang
dahsy at atau kalau bukan, ilmu ini tentu sejenisnya. Karena
itu, tutup telinga kalian, agar getarannya tidak menyusup
lewat telinga kemudian menghancurkan isi dada kalian."
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping telah
menutup telinga mereka dengan telapak tangan, sementara
Mahisa Murti bertanya lantang, "Siapa kau he?"
Suara tertawa itu bagaikan berputaran. Katanya, "Kau
tidak perlu tergesa-gesa mengetahui siapa aku. Sebaiknya kau
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Aku bukan orang yang
tergesa -gesa sehingga kehilangan pengamatan diri serta
membuat langkah-langkah yang salah."
"Baiklah," berkata Mahisa Pukat tidak kalah kerasnya
dari Mahisa Murti, "Jika kami harus membunuh lagi, maka itu
bukan salah kami." Suara tertawa itu meledak semakin keras mengguncangguncang
isi dada. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang berilmu
tinggi dengan memusatkan nalar budi akhirnya tahu arah
suara itu. Karena itu, m aka Mahisa Pukat pun telah berkata,
"Turun dari pohon preh itu, atau aku akan menghancurkanmu
berserta pohonnya sekali."
Orang itu terkejut, ia tidak menyangka bahwa anak-anak
muda itu dapat mengetahuinya dimana ia bersembunyi.
Karena itu, sebelum terlambat, maka sesosok bayangan telah
turun dan bagaikan terbang m eninggalkan pohon itu. Tetapi
suaranya masih tertinggal, "Aku akan datang lagi anak-anak
muda." Sepeninggal orang itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Semu, Wantilan dan
Mahisa Amping pun termangu-mangu memandang kedua
orang anak y ang nampak gelisah itu.
Sekali lagi Mahisa Murti berdesis, "Apakah sepasang
senjata ini masih akan menuntut korban?"
Mahisa Pukat yang juga termangu -mangu menyahut,
"Aku juga menyesal. Sebaiknya senjata-senjata ini tetap
berada di tempatnya. Jika kita tidak m engambil senjata itu,
maka tidak akan terjadi kematian y ang susul-menyusul."
"Tetapi semuanya sudah terlanjur," berkata Wantilan,
"sebaiknya kalian tidak setiap kali meny esali langkah yang
sudah kalian ambil dan tidak mungkin dapat diulangi. Jika
kalian masih saja selalu menyesalinya, maka kalian akan dapat
tetap membawa beban itu di pundak kalian. Semakin lama
semakin berat. S etiap kematian akan m enambah berat beban
itu, sementara sebenarnya kalian dapat meletakannya. Kalian
tidak perlu membawanya ke manapun, karena itu memang
bukan beban kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Wantilan memang bukan seorang yang berilmu tinggi.
Tetapi umurnya y ang tertua di antara mereka berlima,
membuatnya mereka wajib untuk ikut membantu
meringankan beban perasaan anak-anak muda y ang telah
memanggilnya paman itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Mahisa Pukat
berkata, "Apa boleh buat. Jika kita mengembalikan sepa sang
senjata itu, maka agaknya kitalah y ang justru akan menjadi
korban. Jika kematian demi kematian masih akan datang,
biarlah terjadi. Meskipun sekali lagi, kita dapat berdoa."
Demikianlah, kelima orang itu pun kemudian telah
duduk di tepian sungai, di atas pasir yang putih. Mahisa
Amping telahberbaring di atas pasir yang justru terasa hangat,
meskipun beberapa langkah di sebelah m ereka terdapat arus
sungai y ang tidak begitu besar.
Ternyata anak itu masih sempat tidur. Namun keempat
orang y ang lain rasa-rasanya sulit untuk m emejamkan m ata
mereka. Tetapi akhirnya mereka memutuskan untuk
mempergunakan waktu y ang ada untuk beristirahat. Mahisa
Murti dan Wantilan akan berjaga-jaga lebih dahulu. Jika
matahari kemudian terbit, mereka tidak akan
menghiraukannya. Mahisaa Pukat dan Mahisa Semu akan
berganti berjaga-jaga, sementara Mahisa Murti dan Wantilan
akan tidur dibawah rimbunnya dedaunan.
Menj elang pagi, Mahisa Murti dan Wantilan duduk
memandang ke arah y ang berbeda. Namun mereka tidak
melihat sesuatu. Meskipun mata mereka terasa semakin lama
semakin berat, namun mereka dapat bertahan sampai
matahari memancar di langit.
Ketika kemudian Mahisa Pukat terbangun oleh cahaya
matahari yang terasa silau di matanya, serta setelah m encuci
mukanya di sungai itu, maka bergantianlah mereka yang
mendapat kesempatan untuk beristirahat.
Mahisa Murti y ang letih dan Wantilan yang mengantuk,
segera berbaring di bawah rimbunnya dedaunan. Ternyata
mereka sempat juga tertidur beberapa saat meskipun cahaya
matahari menjadi semakin silau.
Namun ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka
mereka berlima telah duduk di tepian setelah membenahi diri
serta mandi di sungai itu bergantian.
Beberapa saat kemudian, kelima orang itu termangumangu
memandang seseorang y ang berjalan menelusuri
tepian dengan jala yang masih tergulung di pundaknya. Jala
yang masih kering sehingga agaknya jala itu belum
dipergunakannya sama sekali.
Sejak mereka berada di pinggir sungai itu, baru sekali
itumereka melihat seseorang lewat. Namun agaknya orang itu
memang sedang mencari lingkungan y ang banyak
mengandung ikan. Ketika orang itu lewat beberapa langkah di sebelah
kelima orang itu duduk, maka orang itu membungkuk kecil
sambil berkata, "Selamat pagi Ki Sanak. Apa y ang sedang
kalian lakukan di sini?"
"Duduk-duduk menikmati udara pagi di tepian Ki
Sanak," jawab Mahisa Murti.
"Oo," orang itu mengangguk-angguk, "aku terbiasa
mencari ikan di sepanjang sungai ini. Di sini banyak terdapat
ikan wader pari. Maaf Ki Sanak, barangkali aku mengganggu."
Orang itu pun kemudian telah mengurai jalanya, dan
sekali-sekali ia mulai menebarkannya.
Tetapi ternyata orang itu tidak beruntung. Sambil
bersunggut-sunggut orang itu berkata, "Hari ini nampaknya
bukan hari yang baik bagiku. Aku harus berpindah tempat.
Mungkin aku akan mendapat kesempatan lebih baik dari di
tempat ini, tempat y ang biasanya memberikan banyak ikan
kepadaku." "Hati-hati Ki Sanak," pesan Mahisa Murti.
Orang itu justru termangu-mangu. Dengan nada tinggi ia
bertanya, "Kenapa harus berhati-hati?"
"Bebatuan itu licin," berkata Mahisa Murti sambil
tersenyum. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun
tersenyum pula sambil menyahut, "Terima kasih Ki Sanak."
Ketika orang itu kemudian pergi sambil menggayutkan
jalanya y ang basah di punggungnya, maka Mahisa Murti pun
berkata, "Orang itu tentu orang y ang semalam berada di
pohon preh." "Darimana kau tahu?" bertanya Wantilan.
" Ia sama sekali bukan seorang yang memiliki
kemampuan untuk mencari ikan dengan jala di sungai seperti
ini," berkata Mahisa Murti.
Wantilan yang termangu-mangu itu berpaling ke arah
Mahisa Semu yang juga menjadi heran atas keterangan Mahisa
Murti, sehingga karena itu, maka ia pun telah bertanya, "Aku
memang tidak terbiasa melihat orang menjala ikan. Tetapi
kenapa kau tahu bahwa sebenarnya ia t idak mampu
melakukannya" Padahal menurut penglihatanku, ia telah
mengayunkan jala itu dan menebarkannya di antara
bebatuan." Mahisa Murti tertawa. Katanya kepada Mahisa Pukat,
"Masa kecil kita, kita habiskan untuk bermain-main di sungai.
Karena itu, kita dapat melihat dengan pasti, apakah ia seorang
pencari ikan dengan jala atau bukan. Orang itu tidak dapat
menebarkan jala sehingga benar-benar terbuka. Bahkan
seorang yang memiliki kemampuan tinggi mempergunakan
jala, dapat menebarkan jala dengan cara y ang sulit dimengerti.
Di sela -sela bebatuan, jala itu m enebar. Biasanya tebarannya
bulat. Tetapi dapat memanjang, atau bahkan seakan-akan
dapat menyusuri sela-sela bebatuan. Tetapi orang itu
menebarkan jalanya justru mencengkam bebatuan."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Sementara Wantilan
pun berkata,"Ya. Itulah sebabnya ia hanya melakukannya
sebentar saja agar tidak dapat diketahui bahwa sebenarnya ia
tidak dapat melakukannya."
Namun Mahisa Murti pun kemudian berkata, "Tetapi
kehadirannya bukannya tidak berarti. Ia tentu ingin melihat
apa saja y ang ada di sini. Siapa saja dan kemungkinankemungkinannya."
Wantilan mengangguk-angguk. Katanya, "Aku sudah
menduga. Tetapi aku tidak tahu, apa sebenarnya yang
mencurigakan. Baru kemudian aku menjadi jela s."
"Karena itu, maka k ita harus berhati-hati," b erkata Ma
" Halaman 78-79 hilang Mahisa Murti y ang telah m emegang jala itu pun segera
turun ke sungai. Disangkutkannya bagian jala itu disiku
tangan kanannya, kemudian tangan kirinya memegang bagian
dari lingkar jala itu, dan dengan tangkas ditebarkannya ke
dalam air. Ternyata jala itu dapat m ekar seperti payung dan jatuh
ke dalam air yang agak dalam. Perlahan-lahan Mahisa Murti
menarik tali jala itu, sehingga akhirnya jala itu pun menjadi
kuncup seperti payung yang tertutup.
Ketika Mahisa Murti m embawa jala itu m enepi, maka
sebenarnyalah ia m endapat beberapa ekor ikan. Agaknya di
sungai itu memang banyak terdapat ikan, karena jarang sekali
orang y ang turun untuk mencari ikan di sungai y ang kecil itu.
-oo0dw0oo (Bersambung ke Jilid 80).
Conv ert/Pr oofing: Ki Raharga
Rechecking/Editing: Ki Arema
Pdf ebook : HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 80 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : Raharga, Arema, Dino,
Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 080 MAHISA Murti telah melemparkan ikan -ikan itu
kembali ke sungai sambil berkata, "Nah Ki Sanak. Aku adalah
anak y ang tumbuh menjadi besar di tepi sebuah sungai yang
juga tidak terlalu besar."
Wajah orang itu menegang sejenak. Namun kemudian ia
pun terseyum sambil berkata, "Ternyata kau dapat juga
mempergunakan jala anak muda."
"Ya. Aku memang dapat. Kaulah yang tidak dapat,"
berkata Mahisa Murti sambil mengembalikan jala itu.
Orang itu menerima jalanya. Tetapi masih saja
tersenyum. Kemudian katanya, "Sudahlah. Kita tidak sedang
berlomba mempergunakan jala. Karena itu, sebaiknya aku
pergi saja." Mahisa Murti mengangguk. Tetapi ia berkata, "Malam
nanti aku masih ada di tepian. Aku pun terbiasa juga
menebarkan jala di malam hari."
"Baiklah," berkata orang itu, "jika aku memerlukanmu
malam nanti, maka aku akan datang."
"Aku tunggu kedatanganmu," jawab Mahisa Murti.
Orang itu pun kemudian telah meninggalkan Mahisa
Murti dan saudara-saudaranya. Mahisa Murti bahkan telah
yakin, bahwa orang itulah y ang telah bersembuny i di dalam
rimbunnya daun preh semalam.
Sementara itu, langit pun menjadi semakin buram.
Kelima orang itu m emang memerlukan m eninggalkan tepian
sejenak untuk pergi ke kedai. Namun kemudian mereka pun
telah kembali ke tepian itu lagi.
Kepada saudara-saudaranya Mahisa Murti pun
kemudian berkata, "Menurut perhitunganku ia akan datang.
Tetapi tidak sendiri."
"Ya," jawab Mahisa Pukat, "ia akan m embawa kawankawannya
atau saudara-saudaranya seperguruannya."
Seperti malam sebelumnya, maka keempat orang itu pun
telah mengatur pembagian tugas mereka. Mahisa Murti dan
Wantilan akan berjaga-jaga lebih dahulu. Baru kemudian,
setelah tengah malam, Mahisa Pukat bertugas bersama Mahisa
Semu. "Kapan aku berjaga-jaga?" bertanya Mahisa Amping.


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menjelang pagi," jawab Mahisa Semu dengan serta
merta. Mahisa Amping m engangguk-angguk. Katanya, "Bagus.
Menj elang pagi aku akan berjaga-jaga."
Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
mencari tempat untuk berbaring. Sementara Wantilan yang
bertugas bersama dengan Mahisa Murti telah m emanfaatkan
waktu sebaik-baiknya. Ia y akin bahwa orang itu tidak akan
datang sebelum mendekati tengah malam. Karena itu, maka ia
pun telah mencoba untuk meningkatkan ilmu pedangnya
dibawah tuntunan Mahisa Murti.
"Tetapi kita tidak boleh tenggelam dalam latihan,"
berkata Mahisa Murti. "Hanya sebentar, aku ingin memecahkan satu persoalan
dalam unsur gerakku," berkata Wantilan.
Sebenarnyalah dengan bantuan Mahisa Murti, Wantilan
telah mampu memecahkan satu persoalan kecil pada unsur
geraknya. Namun dengan demikian, maka ia telah mampu
mengembangkan beberapa unsur lainnya dengan baik dan
cepat. Namun kemudian Mahisa Murti pun telah
menghentikannya. Katanya, "Kemarilah, paman. Kita lihat
unsur gerak itu dengan cara lain."
Wantilan pun kemudian telah duduk berhadapan
dengan Mahisa Murti. Dengan beberapa goresan di pasir,
Mahisa Murti memberikan beberapa petunjuk kepada
Wantilan. Tetapi karena m alam terasa terlalu gelap, m aka ia
tidak dapat melihat petunjuk Mahisa Murti dengan jelas.
Tetapi Mahisa Murti memang minta Wantilan
menghentikan latihan-latihannya.
"Kenapa?" bertanya Wantilan.
" Ilmu paman Wantilan belum terlalu tinggi," jawab
Mahisa Murti,"jangan sampai terbaca oleh lawan. Bahkan
sebaliknya dalam pertempuran y ang sungguh-sungguh, sekalisekali
paman harus menunjukkan sesuatu yang dapat
mengejutkan lawan. Karena itu, maka bertempur y ang paling
baik adalah, tidak sekedar mempergunakan ilmu y ang telah
kita miliki, tetapi juga harus m ampu m enentukan sikap yang
bahkan kadang-kadang dengan tidak sengaja mampu
mengembangkan ilmu kita."
Wantilan m engangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya
keterangan Mahisa Murti itu. Karena itulah, maka ia pun telah
benar-benar berhenti berlatih.
"Kita sekarang benar-benar mengamati keadaan,
paman," berkata Mahisa Murti.
Wantilan mengangguk kecil. Ia pun segera
menempatkan diriny a, duduk bersandar sebongkah batu
padas. Dalam pada itu, Mahisa Murti masih sempat merenungi
pusaka yang diketemukannya itu. Hampir diluar sadarnya, ia
telah mencabut keris itu dari sarungnya dan
memperhatikannya dengan saksama.
Dalam gelapnya malam, Mahisa Murti melihat bagaikan
kilatan-kilatan debu lembut ditebarkan di atas daun keris itu.
Tanpa dukungan kekuatan ilmu apapun, taburan debu di atas
daun keris itu memang sudah memancarkan warna kehijauan.
Karena itu, maka dalam keadaan puncak kekuatan yang dapat
tersalur pada keris itu, m aka cahaya itu bagaikan lidah api
yang memancar menyilaukan.
"Betapa tamaknya manusia," berkata Mahisa Murti di
dalam hatinya, "seseorang m empertaruhkan nyawanya untuk
mendapatkan sesuatu yang dianggapnya akan dapat
memberikan keberuntungan, kekuatan dan tentu juga
kekuasaan. Kenapa mereka tidak menyadari bahwa jika
mereka mati, semuanya itu tidak akan berarti lagi?"
Terbersit satu pikiran untuk mengembalikan keris itu.
Dengan sengaja diperlihatkan kepada seseorang bahwa keris
itu telah k embali kepada pemiliknya, sehingga Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat terlepas dari libatan putaran kematian itu.
"Tetapi bagaimana jika masih saja ada orang y ang tidak
percaya bahwa keris itu tidak ada lagi di tangan kami?"
pertanyaan itu telah muncul pula di dalam hatinya.
Memang ada semacam peny esalan bahwa keris itu telah
diambilnya dari kuburnya. Namun waktu itu ia dan Mahisa
Pukat sama sekali tidak mengira akan timbul akibat yang pahit
seperti itu. Seperti Mahisa Pukat yang mempunyai perasaan y ang
sama, ia tidak mencemaskan tentang nyawa mereka sendiri.
Tetapi membunuh dan membunuh setiap hari, bukannya satu
kerja y ang m enyenangkan, m eskipun ia sadar, bahwa hal itu
bukan karena kesalahannya.
Mahisa Murti itu kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Ditebarkannya penglihatannya ke kegelapan. Namun
ketajaman matanya sama sekali tidak menangkap gerak
apapun juga. Bahkan anginpun rasa-rasanya telah diam dan
tidur ny enyak. Sampai tengah m alam tidak ada sesuatu y ang m enarik
perhatian. Sebelum membangunkan Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu, sekali lagi Mahisa Murti masih berpesan, "Hati-hatilah
dengan orang y ang siang tadi membawa jala. Ia m emiliki aji
Gelap Ngampar. Ia dapat menyerang kita dengan lontaran
buny i. Mungkin dengan suara tertawanya seperti y ang penah
kita dengar. Tetapi mungkin dengn memanfaatkan buny i yang
lain. Untuk itu, maka kita dapat menyumbat saluran yang
dapat menerima getaran buny i dan meny erang bagian dalam
tubuh kita." "Telinga, maksudmu?" bertanya Wantilan.
"Ya paman. Mungkin kita dapat menyumbat dengan
sepotong kain atau apapun yang mungkin kita pergunakan.
Sebab tangan kita kemungkinan besar akan kita pergunakan
untuk melindungi tubuh kita ini dari serangan secara
kewadagan," sahut Mahisa Murti.
"Bagaimana dengan Mahisa Amping?" bertanya
Wantilan. Mahisa Murti mengangguk-angguk. " Ia memerlukan
sesuatu," desisnya. Namun kemudian, "Jika perlu, biarlah kita
mempergunakan sesobek kain kita sendiri. Tetapi jika masih
ada waktu sampai esok, kita dapat mencari sebatang pohon
kapuk randu jika sedang berbuah, atau kita m embuat serat
dari klika kayu waru atau sebangsanya. Kita akan
menjemurnya dan melembutkannya."
Wantilan mengangguk-angguk. Sementara itu malam
pun telah melampaui pertengahannya, sehingga Mahisa Murti
kemudian telah membangunkan Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu, untuk mendapat giliran berjaga-jaga.
Tetapi ternyata Mahisa Murti dan Wantilan tidak sempat
mendapat giliran untuk beristirahat. Selagi keduanya
berbaring maka telah terdengar suara tertawa dikejauhan.
Hanya terdengar lamat -lamat sekali.
Mahisa Murti pun segera bangkit. Demikian pula
Wantilan. "Nah," berkata Mahisa Murti, "kau dengar suara itu?"
"Ya," jawab Wantilan, "tetapi tidak terasa sesuatu y ang
lain." " Itu adalah suara wajarnya. Kita pun tahu pasti
darimana arah suara itu. Tetapi itu tentu baru satu permulaan
dari sebuah serangan yang keras," jawab Mahisa Murti.
Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata, "Tutup telinga
kalian. Tetapi sebaiknya jangan dengan jari-jari tangan. Jika
yang datang itu lebih dari seorang, kita memang harus
bertempur. Lawan kita adalah lawan dalam ujud kewadagan,
dan lontaran ilmu yang akan langsung meny erang bagian
dalam tubuh kita." Ternyata Mahisa Pukat tidak m enunggu. Ia pun telah
memberikan contoh k epada yang lain untuk m engoyak ujung
dari kain panjangnya dan kemudian menyumbat telinganya.
"Bangunkan Mahisa Amping," berkata Mahisa Murti.
Ketika m ereka mulai membangunkan Mahisa Amping,
maka suara tertawa itu sudah mulai berubah. Suara itu
arahnya mulai menjadi kabur. Sementara itu, getarannya
mulai mengetuk telinga. Mahisa Am ping y ang terbangun terkejut. Namun dengan
cepat Mahisa Semu telah menyumbat telinganya sambil
berkata, "Jangan dengarkan suara itu."
Mahisa Amping masih sempat mendengar suara Mahisa
Semu. Namun kemudian, telinganya pun telah ter sumbat
dengan rapat. Untuk beberapa saat mereka terbebas dari suara itu.
Mereka memang tidak mendengar sesuatu. Namun ternyata
ilmu itu demikian tajamnya, sehingga perlahan -lahan suara itu
bagaikan mulai menyusup di antara kain y ang menyumbat
telinga mereka. Dengan demikian m aka m ereka harus menutup telinga
mereka dengan tangan-tangan mereka pula.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berusaha dengan
kemampuan mereka untuk mencari darimanakah asal suara
itu. Namun ternyata tidak semudah y ang m ereka lakukan di
malam sebelumnya. Dalam keadaan demikian, maka dua orang tiba -tiba saja
telah datang dari dalam kegelapan. Keduanya berjalan saja
sesukanya. Bahkan keduanya masih sempat berbincang yang
satu dengan yang lain. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut. Satu di antara
kedua orang itu adalah orang yang dilihatnya menyusuri
sungai itu sambil membawa jala.
" Jika demikian, tentu ada orang lain lagi," berkata
Mahisa Murti di dalam hatinya, " orang yang tertawa itu.
Tetapi agaknya mereka seperguruan."
Namun Mahisa Murti segera mengetahui, bahwa mereka
harus bertempur melawan kedua orang yang datang itu,
sementara dari kejauhan seseorang telah meny erang mereka
dengan kekuatan aji Gelap Ngampar.
Tetapi sudah tentu Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat
tidak akan dapat menolak cara itu. Bahkan cara apapun yang
akan dipergunakan oleh lawan-lawan mereka.
"Selamat malam anak-anak muda," berkata salah
seorang di antara kedua orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tidak begitu
mendengar suara orang itu, karena keduanya telah m enutup
telinga mereka dengan sesobek kain.
Karena kedua orang anak muda itu tidak menjawab,
maka orang -orang itu pun mengetahui bahwa anak-anak
muda itu telah menutup telinga m ereka agar tidak t erganggu
oleh ilmu Gelap Ngampar, m eskipun ternyata suara tertawa
itu masih juga mereka dengar meskipun hanya lamat-lamat.
Kedua orang itu pun tiba -tiba saja telah tertawa.
Meskipun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
mendengarnya tetapi m enilik sikapnya, keduanya tahu bahwa
orang-orang itu telah mentertawakan mereka.
Karena itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menunggu lebih lama lagi. Dengan isy arat, maka Mahisa Murti
telah m engajak Mahisa Pukat untuk dengan cepat memasuki
pertempuran apapun yang terjadi, sementara suara tertawa itu
tentu masih akan menjadi semakin keras.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun telah dengan serta
merta mencabut kerisny a. Demikian Mahisa Pukat
melihatnya, maka ia pun telah melakukannya pula. Tanpa
bertanya dan berbicara apapun, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah mulai meny erang lawan-lawan
mereka. Kedua orang itu memang tidak mengira dengan tiba-tiba
sa ja kedua orang anak muda itu telah meny erang. Namun
mereka pun kemudian menyadari, bahwa pilihan itulah satusatunya
yang dapat mereka lakukan.
Karena itu, m aka kedua orang itu pun telah meloncat
surut. Namun setelah mereka menggenggam senjata mereka di
tangan, maka mereka pun telah berdiri tegak untuk
meny ongsong kedua orang anak muda itu.
Sementara itu serangan ilmu Gelap Ngampar itu pun
semakin lama menjadi semakin tajam. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat adalah dua orang anak muda yang berilmu
tinggi. Apalagi m ereka telah m enutup telinga mereka dengan
sesobek kain sehingga getaran yang menusuk ke dalam
dadanya lewat telinganya hanya terbatas sekali. Namun
ketajaman ilmu itu, benar-benar terasa sangat mengganggu
pemusatan nalar budinya. Sebagian perhatian mereka ditujukan untuk tetap
mengerahkan daya tahannya. Sementara mereka pun harus
memperhatikan lawan mereka yang siap dengan senjata di
tangan. Sebenarnyalah, sejenak kemudian Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah terlibat dalam pertempuran. Kedua orang
yang datang dari kegelapan itu melibat keduanya dengan
dahsy atnya, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
sa ja merasa terganggu oleh getaran kekuatan ilmu Gelap
Ngampar itu betapapun lemahnya. Namun agaknya ilmu itu
telah dilontarkan oleh orang y ang memiliki ilmu Gelap
Ngampar hampir sempurna. "Meny erahlah," berkata lawan Mahisa Murti.
Tetapi Mahisa Murti tidak mendengar. Karena itu, ia
tidak menjawab sama sekali. Bahkan kerisny a mulai
memancarkan lidah api yang berwarna kehijauan.
Dalam pada itu, kedua orang lawan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu m enyadari, bahwa mereka sebaiknya tidak
bertempur di satu arah. Mereka harus berada pada jarak yang
cukup, serta arah y ang berbeda. Dengan demikian, maka
kedua orang anak muda itu tentu m emerlukan waktu untuk
dapat meny erang salah seorang di antara mereka bersamasama.
Nampaknya kedua orang itu benar-benar telah
mempersiapkan diri menghadapi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Keduanya tidak ingin mengalami kegagalan
sebagaimana mereka y ang lebih dahulu berusaha untuk
memiliki sepa sang keri s itu.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun agaknya
benar-benar bertekad tidak akan meny erahkan sepasang keris
itu kepada orang lain, apapun y ang terjadi atas diri mereka.
Keduanya merasa bahwa mereka telah mendapat kepercayaan
untuk meny impan dan memelihara sepa sang keris yang
memiliki kekuatan yang sangat besar itu.
Karena itu, maka pertempuran pun menjadi semakin


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lama semakin sengit. Tetapi ternyata terasa oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, bahwa kedua orang itu selalu berusaha menghindarkan
diri dari setiap benturan senjata. Tetapi kedua orang itu telah
berusaha dengan kecepatan geraknya untuk dapat m enggapai
tubuh anak-anak muda itu.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mampu
mengimbangi kecepatan gerak mereka, sehingga usaha kedua
orang itu tidak segera berhasil.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata tidak
dapat menghindarkan diri dari pengaruh suara tertawa yang
dilontarkan dengan lambaran ilmu Gelap Ngampar yang
sangat kuat. Selagi ia mengerahkan perhatiannya kepada
lawan-lawannya, maka Gelap Ngampar itu bagaikan telah
menusuk langsung ke-dalam dadanya. Tetapi jika keduanya
berusaha melawan Gelap Ngampar itu dengan puncak daya
tahan mereka, maka perhatian mereka terhadap lawan-lawan
mereka menjadi berkurang, sehingga ujung-ujung senjata
lawannya hampir menyentuh kulitnya.
Dalam keadaan y ang demikian maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu telah terdesak. Sedangkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat y ang telah mengetrapkan ilmunya yang mampu
menghisap tenaga dan kemampuan lawannya, tidak banyak
berarti, karena nampaknya kedua lawannya menyadari akan
ilmu itu, sehingga keduanya berusaha menghindarinya.
Tetapi lawannya pun m engerti pula bahwa kedua anakanak
muda itu mampu meny erang dari jarak jauh, bahkan
lebih dahsyat lagi setelah keduanya memiliki keris itu. Apalagi
jika keduanya mampu berbareng menyerang dengan
menyatukan kedua bilah keris itu.
Karena itu, maka keduanya telah berusaha melibat
kedua anak muda itu dalam pertempuran jarak pendek,
namun tanpa membenturkan senjata mereka. Memang sulit.
Tetapi suara tertawa yang menghentak-hentak dada itu selalu
mengganggu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka tidak
dapat mengerahkan daya tahan mereka untuk melindungi isi
dadanya, karena perhatian mereka terbagi. Tanpa dapat
memusatkan nalar budi, maka sulit bagi mereka untuk
membangunkan puncak day a tahan mereka sehingga mampu
menangkal serangan Gelap Ngampar itu.
Dengan demikian, maka semakin lama Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat memang semakin mengalami kesulitan.
Serangan dari dua arah itu sangat berat bagi keduanya untuk
dapat mengatasiny a. Sementara itu, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping-pun telah mengalami kesulitan. Meskipun mereka
telah menutup telinga mereka dengan sesobek kain, kemudian
menutup pula dengan tangan mereka, namun jantung mereka
seakan-akan hampir meledak karenanya. Betapapun mereka
mengerahkan daya tahan mereka, tetapi ilmu itu benar-benar
telah m enyakiti dada m ereka. Beruntunglah mereka, bahwa
orang-orang itu tidak m embawa lawan bagi m ereka sehingga
dengan pertolongan tangan-tangan mereka, maka mereka
mampu mengurangi kekuatan ilmu y ang m enyusup ketelinga
mereka. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
benar-benar telah m enjadi semakin terdesak. Keduanya tidak
lagi m empunyai cara y ang paling baik untuk mengatasinya.
Dalam keadaan seperti itu, mereka tidak akan mampu
memusatkan nalar budi untuk membangunkan serangan jarak
jauh mereka. Bahkan lidah api yang menyala pada sepa sang
keris mereka pun nampak sedikit memudar.
Tetapi keduanya tidak ingin meny erah. Apapun y ang
terjadi, mereka akan tetap bertahan.
Namun, dalam pada itu, ketika keadaan kedua orang
anak muda itu sudah menjadi semakin sulit, tiba -tiba saja
suara y ang dilontarkan berlandaskan ilmu Gelap Ngampar
menjadi susut. Keduanya tidak mendengar bahwa telah
terdengar pula suara kidung di kejauhan. Suaranya ngelangut,
mengimbangi getar suara ilmu Gelap Ngampar.
Tetapi lambat laun, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mampu mendengarnya pula meskipun hanya lamat-lamat
sebagaimana ilmu Gelap Ngampar itu menyusup ketelinganya.
Namun rasa -rasanya suara kidung itu telah menitikkan
kesejukan di dalam jantung mereka. Getar ilmu lawannya yang
bagaikan menusuk-nusuk jantung itu, perlahan-lahan
bagaikan terusir. Bahkan y ang terasa kemudian, seakan-akan
serangan ilmu Gelap Ngampar itu tidak terasa lagi.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dapat m eyakinkan hal
itu oleh sikap kedua lawannya. Kedua lawannya menjadi
heran, bahwa serangan ilmu itu bagaikan telah mereda dan
tidak lagi terdengar apalagi menggetarkan isi dada.
Dengan demikian maka Mahisa Murti telah meloncat
mengambil jarak dari lawannya. Ketika lawannya
memburunya, ia sudah sempat melepas sebelah tutup
telinganya. Sebenarnyalah bahwa suara yang menghentak-hentak isi
dada itu telah tidak terasa lagi. Suara tertawa yang
didengarnya kemudian sama sekali t idak lagi berpengaruh
atasnya, justru karena suara kidung yang juga terdengar
menyusuri lembah. Ternyata Mahisa Pukat pun telah m elakukan hal y ang
sama pula, sehingga dengan demikian, maka kedua orang anak
muda itu telah merasa terbebas dari serangan ilmu yang
mampu menggetarkan jantung dan seisi dada itu.
Meskipun demikian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hanya melepas tutup telinganya sebelah. Keduanya masih
ragu-ragu, apa yang sebenarnya telah terjadi. Apakah orang
yang melontarkan serangan dengan i lmu Gelap Ngampar itu
sedang memancingnya, atau karena memang suara kidung itu
mampu mengimbangi kekuatan getar ilmu y ang dahsyat itu.
Dalam pada itu, Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping pun merasa tekanan di dada mereka menjadi semakin
longgar. Jika semula Mahisa Amping y ang hampir saja tidak
mampu bertahan lagi, sehingga sambil menutup kedua
telinganya dengan tangannya setelah sebelumnya
disumbatnya dengan sesobek kain.Anak itu telah bergulingguling
menahan perasaan sakit di dadanya, maka anak itu
telah berani mengangkat tangannya.
Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
menjadi bingung. Nampaknya yang t erjadi itu adalah diluar
perhitungan mereka. Sebenarnyalah dalam pada itu, terdengar suara di
tempat yang tidak diketahui bergema membentur lereng
gunung dan menelusuri lembah-lembah dan tebing -tebing
sungai. "Siapakah kau y ang telah berani mengganggu
suaraku?" Dari tempat y ang tidak diketahui pula terdengar
jawaban, "Aku Ki Sanak. Kau tentu mengenal aku. Aku adalah
sumber dari kericuhan ini. Aku pun telah terhukum pula
karenanya, karena aku tidak pernah m erasa tenang di rumah.
Aku harus mengembara m engikuti sepa sang keris y ang telah
aku buat. Aku pernah menganggap bahwa tugasku telah
selesai, karena keris itu sudah ada y ang m emiliki serta akan
mampu mengatasi segala kesulitan y ang bakal dihadapi.
Tetapi ketika aku teringat kepadamu Ki Sanak, serta
kelicikanmu, maka aku terpaksa mengembara terus. Aku
mencemaskan anak-anak muda itu, sebagaimana ternyata
telah terjadi. Kau sama sekali tanpa malu-malu telah
menjebaknya dalam satu kesulitan. Kau pergunakan muridmuridmu
untuk meny erangnya secara wadag. Kemudian kau
lemahkan daya perlawanannya dengan kekuatan Ajimu yang
gila itu." "Persetan kau," geram suara yang pertama, "Jika
kautidak pergi, maka aku terpaksa membunuhmu, karena aku
tidak mempunyai cara lain untuk berbuat lebih baik daripada
membunuhmu. Karena itu, sekali lagi aku peringatkan,
pergilah. Biarlah aku meny elesaikan persoalanku dengan
anak-anak muda itu."
"Kau memang aneh," jawab suara yang lain,
"seharusny a kaulah yang pergi. Seharusnya akulah yang
mengancammu." "Persetan. Aku tidak mempunyai banyak waktu," geram
suara yang pertama. Yang terdengar adalah suara tertawa. Keras, bergema
dan m elingkar-lingkar. T etapi sama sekali tidak m enyakitkan
dada orang -orang yang mendengarnya.
"Ki Sanak," berkata suara itu, "kenapa kau berpura-pura
tidak melihat kenyataan yang kita hadapi. Kau tentu tahu,
tanpa Ajimu yang kasar itu, murid-muridmu tidak akan
mampu melawan kedua orang anak muda y ang memiliki
sepasang keris itu. Karena itu, renungkanlah apa yang
sebaiknya terjadi." "Kau mencoba menghina aku," terdengar jawaban.
Tidak kalah kerasny a, "Kau tentu mengira bahwa dengan cara
itu kau dapat membuat aku kehilangan akal sehingga kau akan
dengan mudah dapat mengalahkan aku."
"Kita bukan kanak-kanak lagi," jawab suara y ang lunak
itu, "kita sudah sama-sama tua. Sudah cukup banyak makan
pahit getirnya kehidupan."
"Aku tidak akan berbuat tanggung-tanggung," geram
suara y ang pertama, "kalian serahkan keris itu, atau kalian
akan mati." " Jika itu y ang kau kehendaki, baiklah. Kita akan
bermain-main sementara biarlah anak-anak kita juga
bermain-main. Tetapi kita sudah saling mengetahui bahwa
kemungkinan terburuk dari permainan ini adalah mati," jawab
suara yang lain. Untuk beberapa saat tidak terdengar sesuatu. Namun
kemudian terdengar, "Hati-hatilah. Aku tidak mempunyai
pilihan lain." Orang-orang yang berhenti bertempur itu termangumangu.
Namun kemudian mereka pun terkejut oleh ledakanledakan
yang dahsyat dilangit. Seakan-akan lidah -lidah api
sal ing menyambar dan guruh pun menggelegar.
Namun kemudian, m ereka melihat samar-samar dalam
gelapnya malam sumber cahaya y ang berkilat, memancar dan
menyambar. Tetapi agaknya tidak segera mengenai sasaran.
Cahaya yang lainlah yang kemudian menyambar dengan
dahsy atnya. Dengan demikian, maka orang-orang y ang tengah
termangu-mangu itu mulai dapat membayangkan, apakah
yang telah terjadi. Sementara itu, Mahisa Murti pun kemudian telah
menyadari bahwa kedua orang yang ada di hadapannya itu
pun harus dihadapinya pula bersama Mahisa Pukat. Karena
itu, maka tiba-tiba saja Mahisa Murti bertanya, "Nah, sekarang
bagaimana dengan kita?"
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba -
tiba saja seleret serangan telah datang dengan cepatnya ke
arah dada Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti menyadari,
bahwa serangan itu adalah serangan wadag. Sebilah pisau
belati kecil. Namun yang tajamnya tidak terkira.
Karena itu, maka ia pun telah bergeser dengan cepat
menghindarinya. Namun serangan y ang berikut adalah serangan y ang
mendebarkan. Memang masih juga serangan wadag. Tetapi
tidak dengan pisau y ang berkilat. Tetapi dengan pisau-pisau
kecil y ang berwarna kehitaman, sehingga tidak mudah untuk
dilihat. Hanya karena ketajaman penglihatan Mahisa Murti
sa jalah maka ia mengetahui serangan itu datang kepadanya.
Mahisa Murti tidak meloncat menghindar. Tetapi ia
telah menangkis serangan itu dengan kerisnya.
Sementara itu, Mahisa Pukat masih sempat
menyaksikannya. Tetapi ia pun segera bersiap, bahwa
serangan itu mungkin saja datang pula kepadanya.
Tetapi y ang seorang itu tidak meny erang dengan pisaupisau
kecil. Tetapi ia langsung meloncat dengan garangnya
menyerang Mahisa Pukat. Dengan demikian maka pertempuran antara mereka pun
telah berlangsung kembali.
Namun Mahisa Pukat kini dapat memusatkan perhatian
mereka kepada lawannya, karena ia tidak lagi terganggu oleh
ilmu Gelap Ngampar. Dengan demikian maka Mahisa Pukat
tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Dengan cepat ia
segera mendesak lawannya.
Tetapi Mahisa Pukat tetap berhati-hati. Ia sudah melihat
apa yang telah dilakukan oleh lawan Mahisa Murti. Karena itu,
Mahisa Pukat selalu m emperhatikan gerak tangan orang itu,
karena setiap saat kemungkinan buruk itu dapat terjadi. Pisaupisau
kecil sebagaimana dilakukan oleh lawan Mahisa Murti.
Tetapi ternyata lawan Mahisa Pukat tidak
mempergunakan pisau pisau kecil. Ia meny erang dengan
kecepatan yang semakin tinggi. Bahkan kemudian
serangannya datang seperti angin pusaran.
Namun Mahisa Pukat sama sekali tidak mengalami
kesukaran. Ia pun mampu bergerak secepat lawannya itu.
Apalagi dengan senjatanya y ang luar b iasa itu, m aka Mahisa
Pukat mampu melindungi dirinya sendiri. Bahkan lawannya
dalam tatarannya itu, tidak dapat menggoy ahkannya sama
sekali. Sementara itu, lawan Mahisa Murti pun tidak mampu
mengalahkannya. Pisau-pisaunya telah dilemparkannya
sampai yang terakhir. Namun pisau itu sama sekali tidak
menyentuhnya. Karena itu, maka lawannya itu pun telah
mempergunakan pedangnya untuk meny erang.
Mahisa Murti sebagaimana juga Mahisa Pukat, sama
sekali tidak mengalami kesulitan. Karena itu, maka baik
Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat tidak merasa perlu
mempergunakan kekuatan ilmunya sepenuhnya untuk
menghisap kekuatan dan kemampuan lawan. Nampaknya
kedua lawan anak-anak muda yang gelisah itu tidak lagi
memperhitungkan kemampuan kedua anak muda itu. Bahkan
serangannya jarak jauh y ang akan dapat melumatkannya
tanpa harus bergabung menjadi satu. Keduanya hanya sekedar
didorong oleh gejolak perasaan dan bahkan kebingungan
setelah kekuatan Aji Gelap Ngampar tidak lagi dapat ikut
mempengaruhi medan. Dalam pada itu, kedua orang lawan anak muda itu telah


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bahkan
berlebihan sehingga tenaga mereka telah menjadi semakin
su sut. Bukan karena kekuatan ilmu anak-anak muda itu, tetapi
karena orang itu telah memerasnya sampai tuntas, sehingga
dengan sendirinya kekuatan mereka akan menjadi susut.
Dalam keadaan y ang demikian masih juga terdengar
peringatan,"jangan sentuh senjata lawanmu."
Suara itu bergaung berputaran. Namun kemudian telah
disusul oleh ledakan-ledakan yang sambar menyambar.
Kedua orang lawan anak muda itu segera teringat pesan
gurunya. Namun semuanya telah terlanjur. Tenaganya telah
su sut sementara keringatnya bagaikan terperas kering dari
tubuhnya. Namun terdengar Mahisa Murti t ertawa sambil
menjawab, "Kami tidak mempergunakan ilmu itu. Jika tenaga
kalian m enjadi susut, bukan karena i lmu kami. Tetapi kalian
memang telah mengerahkan tenaga kalian melampaui
kemampuan wadag kalian."
"Persetan," geram lawan Mahisa Murti.
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti, "kalian telah
dipersiapkan untuk melawan kami dengan bantuan ilmu Gelap
Ngampar itu. Tetapi setelah ilmu itu tidak dapat dipergunakan
lagi, maka kemampuanmu masih jauh dari cukup untuk
merebut sepasang senjata y ang dapat menyala dengan cahaya
yang kehijauan ini. Jika kami benar-benar meningkatkan ilmu
kami sampai ke puncak, maka kalian t idak akan banyak dapat
berbuat. Tanpa ilmu Gelap Ngampar itu, kalian masih jauh
dari masak untuk merebut sepasang keris ini."
"Tutup mulutmu," teriak lawannya yang menyerangnya
dengan garang. Tetapi Mahisa Murti tersenyum saja. Sementara Mahisa
Pukat berkata, "Jika kami pergunakan ilmu kami, maka kalian
tentu sudah terbaring tanpa dapat bangkit kembali."
Lawan Mahisa Pukat tidak menyahut. Tetapi ia telah
mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk menyerang Mahisa
Pukat. Tetapi y ang dilakukannya itu sama sekali tidak ada
artinya. Bahkan hanya membuang sisa -sisa tenaga yang masih
ada. Karena itu, ketika lawan Mahisa Pukat itu mengayunkan
senjatanya, namun Mahisa Pukat sempat bergeser surut
selangkah, sehingga ujung pedang itu tidak menggapainya,
maka orang itu justru telah terseret oleh kekuatan ayunan
pedangnya sendiri. Hampir saja orang itu jatuh terjerembab. Namun ia
berhasil untuk tegak kembali meskipun dengan nafas yang
terengah-engah. Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Bahkan ia
menjadi bingung, apa yang harus dilakukan terhadap orang
itu. Sementara masih terdengar suara y ang bergaung, "Sudah
aku peringatkan, jangan sentuh senjata lawan."
"Kau salah Ki Sanak," jawab suara lain di sela-sela
hentakkan ilmu di antara kedua orang b erilmu sangat tinggi
yang sedang bertempur itu, "murid-muridmu memang benarbenar
sudah kehabisan tenaga."
"Omong kosong," geram orang y ang memiliki ilmu
Gelap Ngampar. Tetapi orang itu tidak dapat mengingkari keny ataan.
Kedua orang yang ingin mengambil sepasang keris dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu sama sekali memang
sudah tidak berday a. Ayunan senjata mereka sama sekali tidak
bertenaga lagi. Namun dengan demikian maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun justru tidak dapat bertindak lebih jauh.
Mereka kemudian hanya sekedar bergeser dan menghindari
serangan yang sudah tidak terarah sama sekali. Beberapa kali
mereka menyaksikan lawan-lawan mereka terhuyung-huyung
terseret oleh ay unan senjata mereka sendiri.
"Apa maumu sekarang?" bertanya Mahisa Pukat.
"Serahkan sepa sang pusaka itu," geram lawannya, "kau
akan aku biarkan hidup."
"Kenapa kau masih saja mengigau seperti itu?" bertanya
Mahisa Pukat, "apakah kau tidak sempat melihat keny ataan
tentang dirimu dan tentang gurumu yang tidak sempat lagi
membantumu dengan ilmunya karena ia harus bertempur
sendiri." "Sebut nama ay ah ibumu," geram orang itu sambil
mengayunkan senjatanya. Namun Mahisa Pukat tidak perlu m enghindar, karena
ayunan itu masih beberapa jengkal dari tubuhnya. Bahkan
orang itulah y ang terhuyung -huyung sehingga terpaksa
bertelekan pada pedangnya y ang diay unkannya itu agar ia
tidak terjatuh. Sementara itu, tiba -tiba saja terdengar suara y ang
bergulung -gulung di langit, "Anak-anak manja. Ternyata
kalian tidak mampu tidak berbuat apa-apa. Karena itu, maka
aku tidak akan membantumu lagi untuk mendapatkan
sepasang pusaka itu. Terserah kepada kalian, apakah kalian
akan dapat meny elamatkan diri kalian sendiri."
Kedua orang lawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
terkejut. Mereka sadar, bahwa guru mereka telah menjadi
marah bahwa mereka tidak mampu mengimbangi kedua orang
anak-anak muda itu. Namun mereka memang tidak dapat
mengingkari keny ataan itu. Mereka memang tidak berday a.
Sementara itu, maka tiba -tiba saja pertempuran y ang
terjadi di dalam kegelapan itu pun telah berakhir. Tidak ada
lagi loncatan cahaya dan ledakan-ledakan y ang saling
berbenturan, sepi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun sudah tidak
bertempur lagi. Lawan-lawan mereka meskipun masih berdiri
dengan senjata di tangan, namun mereka sudah t idak mampu
menyerang lagi. Namun dalam pada itu, t iba-tiba saja telah berdiri di
antara mereka orang tua y ang telah m embuat sepa sang keris
itu. Katanya, "Maaf anak-anak muda. Ternyata kalian m asih
sa ja diganggu oleh sepasang keris itu. Tetapi aku tidak dapat
mencuci tangan. Ketika aku teringat iblis itu, maka aku telah
berusaha menyusul dan kemudian mengikuti kalian. Aku
yakin bahwa iblis itu tentu akan mengganggu kalian dengan
cara yang licik seperti y ang dilakukannya ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Sementara itu orang tua itu pun berpaling kepada kedua
orang murid y ang sudah dikalahkan oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu. Katanya, "Nah, karena kalian berdua telah
ditinggalkan oleh gurumu, maka kau akan kami lenyapkan
sekarang di sini." Wajah kedua orang itu menjadi pucat. Tidak seorang
pun y ang sempat menjawab. Mati dalam pertempuran
memang tidak menakutkan. Tetapi mati dibunuh sungguh
tidak meny enangkan. Karena itu, maka rasa-rasanya kedua orang itu ingin
melawan sampai saat kematian itu datang. Tetapi mereka
sudah tidak bertenaga sama sekali. Perlawanan mereka tentu
hanya akan menjadi bahan tertawaan dan permainan yang
dianggap sangat m eny enangkan bagi orang-orang y ang akan
membunuhnya. Dengan demikian maka apapun yang akan terjadi atas
diri mereka, maka mereka menjadi pasrah.
"He, apa y ang akan kalian lakukan" Kami akan
membunuh kalian. Bersiaplah. Bukankah kau masih
menggenggam senjata di tangan?" berkata orang tua itu.
Tetapi kedua orang itu sama sekali t idak mengangkat
senjata mereka. Seorang di antaranya berkata, "Lakukan yang
ingin kalian lakukan. Kami sudah kalah."
"Kalian mengakui kekalahan itu?" bertanya orang tua
itu pula. "Ya. Aku memang harus mengakuinya," jawab orang itu.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
dipandanginya kedua orang itu berganti-ganti. Bahkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah ia bertanya, "Jadi dengan demikian
kalian sudah tidak akan melawan lagi?"
"Tidak ada gunanya. Kami tidak mau menjadi bahan
tertawaan orang di saat menjelang kematian. Karena itu,
biarlah kami mati tanpa terlalu banyak tingkah," berkata salah
seorang di antara keduanya.
Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
dengan nada lunak, "Kalian ternyata benar -benar seorang lakilaki
meskipun kalian telah berusaha membunuh lawanmu
dengan licik. Karena itu, jika kedua orang lawanmu tidak
berkeberatan, maka aku akan memohonkan ampun bagi
kalian. Tetapi dengan satu syarat, jika kalian mencobanya
sekali lagi, m aka kalian akan mati dengan cara y ang paling
tidak kalian sukai."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Di luar
sa darnya mereka berpaling kepada kedua orang anak muda
itu. Jika keduanya ingin membunuh mereka, maka mereka
tentu sudah mati. Meskipun demikian, keduanya menjadi berdebar-debar
juga menunggu jawaban kedua orang anak muda itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun akhirnya Mahisa Murti lah yang menjawab,
"Baiklah Kiai. Kami tidak berkeberatan untuk memaafkan
mereka berdua dengan janji sebagaimana yang Kiai katakan
tadi." Kedua orang itu m enarik nafas dalam-dalam. Demikian
pula orang tua yang telah membuat sepasang keris itu. Dengan
nada rendah orang tua itu berkata, "Nah, kau dengar
sikapnya" Meskipun keduanya masih sangat muda, tetapi
sikapnya adalah sikap yang terpuji. Sebaliknya, kalian orangorang
y ang lebih tua, justru bersikap kekanak-kanakan. Kalian
ingin merampas barang y ang bukan milik kalian. Bahkan
dengan kekerasan. Apakah kalian tidak malu kepada diri
kalian sendiri?" Kedua orang itu tidak menjawab sama sekali. Tetapi
kata-kata itu benar-benar telah menyentuh hatinya.
Demikianlah, maka orang tua itu kemudian berkata,
"Baiklah. Tinggalkan tempat ini. Mudah-mudahan gurumu
tidak menghukummu." Hampir berbareng kedua orang itu mengucapkan terima
kasih. Kemudian m ereka pun telah minta diri meninggalkan
tempat itu. Tetapi sebenarnyalah mereka menjadi berdebardebar,
bahwa justru guru mereka sendirilah y ang akan
menghukum mereka. Sementara itu, sepeninggal kedua orang itu, maka orang
tua itu pun berkata, "Angger berdua. Ternyata bahaya itu
masih saja memburu kalian. Guru kedua orang inilah
sebenarnya yang sangat licik dan berbahaya sehingga mereka
akan dapat benar-benar m embunuh untuk mencapai maksud
tertentu. Bahkan aku tidak y akin bahwa mereka benar-benar
telah jera. Mungkin kedua orang muridnya benar-benar
menjadi jera. Tetapi gurunya tentu akan mengambil setiap
kesempatan untuk berbuat sesuatu y ang dapat membahayakan
kalian. Orang itu memang tidak segan-segan membunuh
dengan cara y ang licik sekalipun."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Sementara orang tua itu berkata, "Aku y akin, seandainya
kedua orang itu dapat merebut sepa sang keris itu, tentu
keduanya tidak dibiarkan untuk m emilikinya. Mungkin satu
dua hari. Tetapi untuk selanjutnya sepasang keris itu tentu
diambilnya. Bahkan jika perlu kedua muridnya itu akan
dibunuhnya. Orang itu tidak segan-segan mengorbankan siapa
sa ja untuk landasan pencapaian cita -citanya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu pun menganggukangguk.
Sementara orang tua itu ternyata telah mendahului
berkata selanjutnya, "jadi kedua orang itu tidak seberbahaya
gurunya yang mencoba memperalatnya. Tetapi syukurlah
bahwa mereka tidak berhasil."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang dapat bersokur
saat itu. Tetapi orang y ang memiliki ilmu Gelap Ngampar itu
tentu akan dapat datang lagi dan m eny erang m ereka dengan
ilmunya, sementara orang lain menyerang mereka secara
wadag. Orang tua itu melihat kecemasan di sorot mata kedua
anak muda itu. Karena itu, m aka katanya, "Anak-anak muda.
Aku sudah bertekad untuk menyerahkan sepa sang keris itu
kepada kalian. Karena itu, maka aku pun harus melengkapi
kalian untuk melawan segala kemungkinan. Termasuk
kekuatan ilmu Gelap Ngampar."
Kedua orang anak muda itu justru berdebar-debar.
Sementara orang tua itu berkata, "Sebenarnya ada kekuatan
yang dapat menangkal serangan Gelap Ngampar itu. Ketika
seorang sahabatku berlayar di lautan yang garang, di Samodra
Hindia. Seisi kapalnya telah diganggu oleh suara yang sangat
menyakitkan dada mereka. Suara bergaung y ang tidak
diketahui asalnya. Seperti angin y ang menerpa sebuah goa
yang sangat besar. Menurut kata orang, di dekat mereka
berlay ar terdapat sebuah pulau sumber dari ilmu Gelap
Ngampar itu. Namun jika seseorang mampu mengambil bunga
dari sejeni s tanaman yang tumbuh di pulau kecil itu, m aka
bunga dari tanaman itu jika dikeringkan akan dapat m enjadi
penangkal ilmu y ang sangat mengerikan itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun hampir diluar Mahisa Murti bertanya, "Apakah
mungkin kami dapat melakukan pelayaran seperti itu,
sementara kami tidak memiliki keahlian dan pengalaman
dalam dunia pelayaran. Atau kami harus menjalani laku
apapun untuk dapat mendapat penangkal ilmu itu."
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu, " sangat sulit
untuk dapat menemukan pulau itu. Bahkan pelaut-pelaut yang
berpengalamanpun sulit untuk menemukannya. Tetapi adalah
kebetulan sekali bahwa sahabatku dapat memiliki benda
penangkal itu. Bunga dari sejeni s tanaman y ang dikeringkan,
sehingga ujudnya m enyerupai kapuk, namun warnanya tidak
putih. Tetapi biru. Bunga itu akan aku serahkan kepada kalian
berdua. Kalian dapat m embungkus bunga berwarna biru itu
dan menyimpannya di kantong ikat pinggang kalian. Dalam
keadaan y ang sangat memerlukan, maka bungkusan kecil
bunga itu dapat kalian sumbatkan ke telinga kalian. Namun
hati-hati. Benda ini jangan hilang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sejenak. Tetapi tiba-tiba saja Mahisa Pukat bertanya, "Tetapi
bagaimana dengan Kiai sendiri?"
"Aku tidak memerlukan penangkal itu. Aku telah
memiliki ilmu y ang dapat untuk mengimbangi kemampuan
getaran ilmuitu. Bahkan bukan saja bagi diriku sendiri, tetapi
aku dapat membantu orang lain m embebaskan mereka dari
pengaruh ilmu Gelap Ngampar dari jeni s y ang dimiliki oleh
orang itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun kemudian tiba-tiba saja Mahisa Pukat telah bertanya,
"Apakah ada jenis y ang lain?"
Orang tua itu tertawa. Katanya, "Ada lagi ilmu sejenis
yang memiliki dasar kekuatan yang berbeda. Ilmu semacam
dengan yang dilontarkan oleh orang itu, namun hanya
mengenai orang y ang dituju. Ada pula ilmu lain dengan akibat
yang berbeda, namun bentuknya hampir sama. Bunga dari
jenis tanaman itu akan dapat menangkal semua kekuatan yang
melancarkan ilmu serupa itu."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Sementara
orang tua itu berkata, " Inilah bunga y ang aku katakan itu.
Sekali lagi aku pesankan kepada kalian, jangan sampai hilang,
karena benda ini m emiliki nilai y ang tinggi di dalam dunia
olah kanuragan." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bersama-sama telah
menerima bunga sejenis tumbuh-tumbuhan di pulau yang
mengerikan itu. Segenggam kecil bunga yang seperti kapuk
tetapi berwarna biru itu telah dibagi dua. Separo diberikan
kepada Mahisa Murti, yang separo diberikan kepada Mahisa
Pukat. "Pada suatu saat, jika kalian sempat, kalian dapat
membuat bungkusan kecil dari bunga itu. Masing-masing
menjadi dua yang langsung dapat kalian sumbatkan ke telinga
kalian jika perlu. Dengan demikian maka benda itu tidak akan
pernah berkurang. Kalian dapat meny impan bungkusanbungkusan
kecil yang siap untuk menyumbat telinga itu
dibungkusan yang lebih besar untuk kalian masukkan ke
dalam kantong ikat pinggang kulit kalian itu," berkata orang
tua itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengerti maksud orang
tua itu. Karena itu sambil m engangguk-angguk Mahisa Murti
berkata, "Kami akan melakukannya Kiai."
Tetapi agaknya masih ada yang akan dikatakan oleh
orang tua itu. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat pun masih memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
"Anak-anak muda," berkata orang tua itu,"benda itu
untuk sementara akan sangat berarti bagi kalian. Namun
demikian, jika kalian bersedia menunda perjalanan kalian satu
hari lagi, aku akan bersedia memberikan petunjuk
laku.Sehingga kalian dapat memiliki ilmu penangkal dari ilmu
itu tanpa benda-benda yang dapat tercecer itu. Jika benda itu
tertinggal atau hilang, maka kalian tidak akan mampu lagi
melawan ilmu jenis Gelap Ngampar itu. Tetapi jika kalian
memiliki kemampuan ilmu penangkalnya, maka ilmu yang
demikian tidak akan mudah hilang."
"Tetapi apakah dalam satu hari kami dapat menguasai
ilmu itu?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang tua itu tersenyum sambil menjawab, "Tentu tidak.
Tetapi akan berbilang tahun. Aku hanya ingin menunjukkan
laku yang harus kau tempuh. Jika kalian berniat menempuh
laku itu, dapat kalian jalani kapan saja kalian sempat."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Di luar sadar, mereka telah berpaling kepada
Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping y ang telah duduk
agak dikejauhan. Namun bagi kedua orang anak m uda itu, tawaran itu
sangat menarik. Mereka akan dapat mulai menjalani laku jika
mereka telah sampai di padepokan mereka.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian bertanya,
"Kiai, apakah kami dapat melakukannya jika kami sudah
menyelesaikan perjalanan kami?"
"Tentu. Laku itu memang agak berat. Kalian harus
menjalaninya dengan penuh kesungguhan. Memang tidak
perlu menyerap waktumu terus-menerus setiap saat seperti
seorang pertapa. Tetapi setiap hari kalian harus meny isihkan
waktu tertentu untuk m enjalani laku itu, sehingga akhirnya
kau mampu menimbulkan daya tangkal itu dari dalam diri
kalian sendiri tanpa mempergunakan alat apapun juga,"
berkata orang tua itu. Lalu katanya, "Waktu yang kau perlukan
berbanding lurus dengan waktu yang kau ambil setiap hari.
Jika kau dapat meny isihkan waktu y ang cukup panjang setiap
hari, maka dalam waktu satu tahun, kau akan dapat
menguasai ilmu penangkal itu. Tetapi jika waktu yang dapat
kau sisihkan setiap hari lebih pendek, maka kau m emerlukan
waktu lebih lama untuk dapat m enguasainya. Tetapi bagiku,
lebih baik kau mulai mempelajarinya meskipun satu, dua atau
tiga tahun baru kau kuasai. Namun kau akan mendapatkan
hasil akhir. Sedangkan jika tidak sama sekali, maka kau tidak
akan pernah memiliki ilmu itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Satu kepercayaan yang sangat tinggi telah diterimanya dari
orang tua itu. Selain sepa sang keris itu, maka m ereka telah
mendapat kesempatan untuk meningkatkan alas ilmunya
sehingga seakan-akan segalanya telah meningkat pada diri
mereka. Kemudian ilmu penangkal ilmu yang dahsy at itu.
Gelap Ngampar. Ketika kemudian Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berpaling ke arah Mahisa Pukat sejenak, maka dilihatnya anak
muda itu mengangguk, sehingga Mahisa Murti pun kemudian
berkata, " Baiklah Kiai. Kami akan menunda perjalanan kami
satu hari lagi agar kami dapat m eny erap petunjuk laku yang
harus kami jalani untuk mendapatkan kekuatan melawan ilmu
seperti itu. Sementara itu, kami hanya mengandalkan daya
tahan kami meskipun daya tahan kami masih mampu
mengatasi serangan ilmu serupa dari murid-murid orang
berilmu tinggi itu."
"Mereka tidak mempergunakannya lagi malam ini
setelah gurunya kehilangan kekuatan ilmunya, karena mereka
tahu ilmu yang baru mereka kuasai sebagian kecil itu tidak
akan mampu berbuat apa-apa atas kalian."
Demikianlah, maka orang tua itu pun kemudian
memberikan kesempatan anak-anak muda itu untuk
beristirahat. Sementara orang tua itu sendiri kemudian telah
meninggalkan tempat itu sambil berkata, "Aku akan kembali
saat matahari sepenggalah."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menganguk hormat
ketika orang tua itu kemudian meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal orang tua itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mendekati Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa
Amping y ang termangu-mangu. Dengan nada rendah Mahisa
Murti berkata, "Beristirahatlah. Matahari masih belum terbit.
Masih ada waktu sekejap meskipun fajar telah naik."
Tetapi Mahisa Semu dan Wantilan masih saja duduk
bersandar sebatang pohon. Mahisa Amping lah yang
kemudian berbaring di atas rumput yang kering. Hanya
sejenak kemudian, anak itu sudah tertidur lelap.
Ketika sesaat kemudian matahari terbit, Mahisa Amping
masih juga belum terbangun. Sinarnya y ang jatuh ke tubuhnya
tidak mampu membangunkannya, sementara Mahisa Pukat
berdesis, "Biar saja anak itu beristirahat."
Bergantian mereka telah m embersihkan diri. Kemudian
mereka telah bersiap menunggu matahari sepenggalah.
Namun sebelum m atahari sampai sepenggalah, Mahisa
Amping ternyata telah terbangun. Sambil menggosok matanya
yang menjadi silau ia bangkit sambil melangkah.
"He, mau ke mana?" bertanya Mahisa Semu.
"Mandi," jawab Mahisa Amping.
"Tunggu. Jangan pergi sendiri," berkata Mahisa Semu
sambil bangkit serta melangkah disamping Mahisa Amping
menuju ke air y ang mengalir tidak begitu deras. Meskipun
jaraknya hanya beberapa puluh langkah, namun dalam
keadaan y ang gawat itu, Mahisa Semu tidak membiarkannya
mandi sendiri. Karena itulah, maka Mahisa Semu telah
menungguinya sambil duduk di atas sebongkah batu.
Sementara y ang lain mengawasiny a dari tepian.
Seperti yang dikatakan, maka ketika matahari
sepenggalah, orang tua itu telah datang kembali. Nampaknya
ia pun telah membenahi dirinya sehingga telah kelihatan lebih
rapi meskipun dalam ujud kesederhanaannya.
"Nah," berkata orang tua itu, "marilah. Aku akan
menunjukkan kepada kalian berdua, laku y ang harus kalian
tempuh di saat mendatang, jika kalian ingin memiliki ilmu
penangkal dari ilmu Gelap Ngampar."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang bangkit
meny ongsongnya mengangguk hormat.
Sementara itu, orang tua itu pun berkata kepada
Wantilan dan Mahisa Semu, "Maaf Ki Sanak. Perhatianku
sementara ini masih aku tujukan kepada kedua orang anak
muda yang aku percaya untuk meny impan kerisku itu."
"Silahkan Kiaki," jawab Wantilan, "peningkatan
kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, berarti
peningkatan kemampuan kami juga."
Orang tua itu pun terseny um. Katanya, "Kami akan
mengambil tempat y ang terpisah."
"Silahkan," jawab Wantilan sambil mengangguk.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukatitu pun telah mengikuti orang tua y ang akan
memberikan petunjuk tentang laku untuk menguasai
penangkal ilmu y ang sangat mengerikan itu.
Ternyata orang tua itu telah membawa kedua orang anak
muda itu ke bawah sebatang pohon ketapang yang tumbuh di
atas tanggul. Pohon ketapang itu sendiri tidak t erlalu besar.
Tetapi daunnya yang sedang tumbuh dan bersemi itu, namun
rimbun dan hijau. Sementara itu, Mahisa Amping ternyata telah
memanfaatkan waktu untuk berlatih mempergunakan pisau
panjangnya. Dengan ilmu dasar yang telah diberikan oleh
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat anak itu mempermainkan
pisaunya sambil berloncatan di atas pasir.
Ternyata anak itu m emang memiliki kelebihan. Adalah
di luar sadarnya, bahwa ia telah mampu mempergunakan
dasar ilmunya dengan sangat baik. Bahkan seakan-akan ilmu
itu telah berkembang dengan sendirinya, diluar kesadaran
anak itu sendiri. Mahisa Semu dan Wantilan memperhatikan anak itu
dengan kagum. Ternyata anak itu memang luar biasa.
Tenaganya cukup besar dibandingkan dengan umur dan
bentuk serta ujudnya. Sambil berloncatan, bahkan berlari dengan langkahlangkah
panjang, Mahisa Amping mempermainkan pisau
panjangnya. Sekali-sekali anak itu menjatuhkan diri di atas
pasir tepian, kemudian meloncat bangkit sambil memutar
pisaunya. Namun bagaimanapun juga Mahisa Amping adalah
masih anak-anak. Dalam latihan yang kadang-kadang nampak
bersungguh-sungguh, sekali-sekali ia pun telah bermain-main
dengan berguling-guling dan melenting berputaran sambil
bertumpu pada tangannya. Meloncat tinggi-tinggi kemudian
jatuh pada pundaknya untuk bergulung sambil melingkarkan
badannya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat duduk
sambil memusatkan segenap perhatiannya kepada orang tua
yang telah m emberikan petunjuk laku bagi kedua orang anak
muda itu. Orang tua itu telah membeberkan langkah awal sebelum
laku y ang sebenarnya dijalani. Selangkah demi selangkah,
sehingga kemudian keduanya memasuki petunjuk tentang
laku y ang sebenarnya. Sambil memperhatikan segala petunjuk, maka kedua
anakmuda itu menyadari, bahwa laku yang kelak harus
dijalani itu tentu akan sangat berat.
Demikianlah, orang tua itu telah mengulanginya sampai
tiga kali. Anak-anak muda itu tidak boleh salah dengan laku
yang akan mereka jalani. Jika mereka salah langkah, m aka
mereka tidak akan sampai ke tujuan.
Ternyata mereka memang memerlukan waktu hampir
sehari penuh. Ketika matahari turun mendekati punggung
pegunungan, maka orang tua itu mengakhiri petunjuk laku
yang telah diulanginya berkali-kali itu.
"Nah," berkata orang tua itu, "aku y akin kalian akan
dapat menjalaninya. Bahkan dalam umur kalian y ang m asih
muda, kalian telah memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga
agaknya kalian sudah terbiasa menjalani laku y ang berat untuk
menguasai ilmu." "Kami m ohon doa restu Kiai," berkata Mahisa Murti,
"kami telah mencoba memahami laku yang harus kami jalani."
" Jika kalian belum sempat menjalani dalam waktu
dekat, maka setidak-tidaknya kalian harus membicarakan laku
itu setiap kali, agar kalian tidak melupakannya atau ada
bagian-bagian y ang terlampaui," berkata orang tua itu.
"Terima kasih Kiai," b erkata Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat hampir berbareng. "Nah, menurut perhitunganku, maka orang-orang
penting yang sebelumnya ingin menguasai keris itu telah
datang kepada kalian. Seandainya orang yang memiliki ilmu
Gelap Ngampar itu datang lagi, ia tidak begitu berbahaya bagi
kalian setelah kalian memiliki penangkal ilmu itu, m eskipun
untuk sementara kalian masih memerlukan bantuan bunga
dari tanaman y ang a sing itu," berkata orang tua itu. Lalu
katanya, "Jika orang itu masih saja memaksa, maka kalian
berdua akan dapat mengalahkannya."
"Kiai," tiba -tiba saja Mahisa Pukat bertanya,
"sebagaimana benda-benda itu, apakah kami diijinkan untuk
mengalirkan ilmu ini kepada orang lain?"
"Kau dapat memberikan kepada orang lain yang kau
percayai bahwa benda-benda itu tidak akan dipergunakan
untuk maksud-maksud buruk," jawab orang tua itu.
"Seperti benda-benda itu," berkata orang tua itu, "hanya
kepada orang-orang yang kalian percayai sepenuhnya."
"Terima kasih Kiai," jawab Mahisa Pukat.
Dalam pada itu, maka orang tua itu pun berkata,


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudahlah. Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan.
Mungkin masih ada orang y ang ingin memiliki sepasang keris
itu. Tetapi bukan orang-orang yang paling berbahaya. Karena
itu, m aka biarlah kalian m eny elesaikannya sendiri. Meskipun
demikian, ada y ang perlu kalian perhatikan. Ma sih ada
seorang yang cukup berbahaya yang belum hadir saat ini.
Mudah-mudahan ia tidak datang kepada kalian. Orang itu
mempunyai cacat di sebelah matanya. Namun ia memiliki
ilmu kebal. Meskipun demikian, ia tidak akan mampu
menahan kekuatan yang kalian lontarkan bersama-sama."
Orang tua itu berhenti sejenak, lalu "baiklah. Aku m inta diri.
Bukan berarti bahwa kita tidak akan bertemu lagi.
Bagaimanapun juga sepasang keris itu mempunyai ikatan
khusus dengan pembuatnya."
"Terima kasih Kiai," desis Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat hampir berbareng. " Ikatan itulah yang meny ebabkan seakan-akan aku tahu
di mana sepasang keris itu berada m eskipun sudah berpisah
untuk waktu y ang cukup lama atau dibatasi oleh jarak yang
cukup panjang. Aku dapat tersentuh pula jika sepa sang keris
itu berada dalam bahaya. Mak sudku terancam oleh orangorang
yang tidak sepantasnya memilikinya," berkata orang tua
itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk
kecil. Mereka dapat mengerti pernyataan itu, dan m ereka pun
mempercayainya, karena nampaknya memang ada sesuatu
yang tertinggal pada sepasang keris itu dari sisi kehidupan
orang tua itu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
menanyakannya. Demikianlah maka sesaat kemudian, orang
tua itu pun telah meninggalkan kedua orang anak muda itu. Ia
pun meny empatkan diri untuk m inta diri kepada Wantilan,
Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
"Hati-hati dengan pisau itu," pesannya kepada Mahisa
Amping. "Ya Kiai," jawab Mahisa Amping sambil mengangguk
hormat. Orang tua itu menepuk bahu Mahisa Amping. Namun
kemudian ia pun telah melangkah meninggalkan mereka.
Sementara itu, senja telah mulai membayang. Mahisa
Murti telah mengajak saudara -saudaranya untuk
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak menunggu seorang
pun lagi, sementara mereka masih harus menempuh
perjalanan panjang. "Mudah-mudahan kita m asih menemukan kedai y ang
terbuka," berkata Mahisa Murti yang menyadari, bahwa
Mahisa Amping tentu merasa sangat lapar.
Ternyata mereka masih menemukannya. Sebuah kedai
yang hampir saja menutup pintunya ketika senja turun.
Namun cahaya lam pu m inyak y ang masih terlempar ke jalan
telah m emangil Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk
singgah. "Seadanya," berkata Mahisa Murti ketika pemilik kedai
itu mengatakan bahwa dagangannya sudah hampir habis,
"Anak ini perlu makan."
Pemilik kedai itu pun kemudian mempersilahkan
mereka masuk. Katanya, "Jika Ki Sanak mau seadanya,
marilah. Hanya inilah y ang masih ada."
Tetapi kelima orang itu pun duduk pula dikedai itu.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Amping memang sangat lapar.
Meskipun y ang ada hanya nasi dingin dan sayur asam, namun
anak itu makan dengan lahapnya.
Bahkan bukan saja Mahisa Amping, tetapi y ang lain pun
sebenarnya juga lapar. Dari kedai itu, maka kelimanya telah berjalan sepanjang
jalan bulak yang tidak terlalu panjang. Selangkah-selangkah
perlahan-lahan, agar lam bung mereka tidak menjadi sakit.
Mereka berniat bermalam di padukuhan di depan mereka. Di
banjar padukuhan. Kelima orang itu sama sekali tidak cemas, bahwa
perjalanan mereka akan terganggu di bulak itu, karena pemilik
kedai y ang sudah hampir menutup pintu itu mengatakan,
bahwa daerah itu adalah daerah yang aman.
" Di sini tidak pernah terjadi pencurian, apalagi
perampokan, pembunuhan dan kekerasan y ang lain," berkata
pemilik kedai itu. Dengan demikian maka kelima orang itu pun sama
sekali tidak memikirkan penyamun di bulak yang mereka lalui.
Sebenarnyalah mereka memasuki padukuhan di
hadapan mereka dengan selamat. Ketika mereka sampai ke
banjar, maka mereka pun telah mendapat tempat dan
perlakuan y ang baik oleh penunggu banjar.
"Apakah banjar ini tidak dipergunakan oleh anak-anak
muda sebagai tempat per ondan?" bertanya Mahisa Murti
ketika dilihatnya banjar itu sepi, sementara malam telah
turun. "Tidak ada per ondan di sini, karena di sini memang
tidak pernah ada kejahatan," jawab penunggu banjar itu.
Mahisa Murti m enarik nafas sambil berkata, "Alangkah
damainya padukuhan ini. Jika setiap padukuhan mengalami
kedamaian seperti ini, maka hidup ini akan terasa sejuk sekali.
Tidak seorang pun m emerlukan senjata. Dan sepasang keris
itu tidak akan menjadi rebutan."
Tetapi say ang, bahwa y ang diliputi oleh kedamaian itu
hanyalah t itik-titik kecil diluasnya pantai, sehingga hampir
tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan kekerasan,
kegelisahan dan kecemasan yang terjadi dimana-mana.
Meskipun demikian, m alam itu Mahisa Murti, Mahisa
Pukat, Mahisa Semu dan Wantilan masih juga membagi tugas
untuk berjaga-jaga. Tetapi sebenarnyalah, malam itu terasa betapa
damainya. Jika terdengar suara kenthongan, itu adalah
pertanda waktu yang dibuny ikan oleh bebahu padukuhan yang
bertugas. Bahkan menurut penunggu banjar, pintu-pintu
rumah di padukuhan itu dan sekitarnya tidak perlu diselarak
dimalam apalagi disiang hari.
"Ki Sanak," bertanya Mahisa Murti kepada penunggu
banjar itu sebelum Mahisa Murti dipersilahkan beristirahat di
serambi, "kenapa padukuhan ini terasa damai sekali" Seolaholah
di antara sesama tidak pernah ada per soalan?"
"Kami berusaha untuk menempatkan diri kami masingmasing
dalam martabat kemanusiaan kami," berkata
penunggu banjar itu, "Kami m ematuhi semua ajaran tentang
hidup dan kehidupan sebagaimana diajarkan kepada kami
dalam rangkuman Sumber Hidup kami."
Kata -kata itu tetap menjadi renungan disaat-saat kelima
orang itu telah berada diserambi dan bahkan t elah berbaring
sampai saatnya mereka tertidur ny enyak.
Pagi-pagi sekali kelima orang itu telah m embenahi diri.
Mereka pun kemudian telah minta diri untuk melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke padepokan yang telah cukup
lama mereka tinggalkan. Menj elang matahari terbit, setelah m engucapkan terima
kasih maka kelima orang itu telah meninggalkan banjar
padukuhan menyusuri jalan y ang m embelah padukuhan itu.
Mereka -pun kemudian telah keluar dari mulut lorong,
memasuki bulak y ang tidak begitu luas. Menjelang terang,
maka mereka telah berpapasan dengan orang-orang y ang pergi
ke pasar. Nampaknya mereka sama sekali t idak mencemaskan
perjalanan mereka. Tetapi seberapa jauh mereka akan berada dalam suasana
yang demikian itu. Dengan sengaja mereka telah melewati pasar yang cukup
ramai. Apalagi di hari pasaran. Para penjual meluap sampai
merambat ke jalan-jalan diluar pasar.
Tetapi kelima orang itu tidak singgah. Mereka hanya
lewat saja didepan pasar itu. Sekali-sekali langkah mereka
memang terhenti melihat beberapa macam barang yang dijual
dipasar itu. Sayuran yang segar. Beras y ang putih seperti
kapas. Ketela pohon, ubi jalar sepanjang badan penjualnya dan
disatu sisi terdapat pasar yang khusus untuk jual beli berbagai
jenis burung. Burung perkutut dan burung y ang bersiul.
Nampaknya Mahisa Amping senang melihat seekor
burung beo. Tetapi bahwa mereka pengembara, agaknya tidak
memungkinkan untuk memelihara seekor burung disepanjang
perjalanan. "Besok, jika kita sudah berada di padepokan, maka kita
akan menangkap burung beo atau jenis burung y ang lain,"
berkata Mahisa Pukat. Mahisa Amping mengangguk kecil. Tetapi ia tidak
menyahut sama sekali. Anak itu agaknya menyadari bahwa
mereka tidak mungkin memelihara didalam perjalanan
panjang itu. Sejenak kemudian, maka mereka pun telah
meninggalkan pasar itu tanpa membeli apapun. Mereka
menempuh perjalanan lewat tanah datar, melintasi bulakbulak
panjang dan pendek serta padukuhan-padukuhan.
Mereka memang merasakan kedamaian dibeberapa
padukuhan y ang mereka lewati. Mereka melihat satu
kehidupan y ang rukun. Namun sayang sekali bahwa ada kesan
kemalasan di antara mereka y ang m enghuni padukuhan itu.
Ketika matahari semakin tinggi, masih saja nampak beberapa
orang duduk-duduk di sudut padukuhan sambil berbincangbincang.
Perempuan y ang berbicara tidak berkeputusan
dengan membiarkan anak-anak mereka berkeliaran di
halaman tanpa memandikannya sejak bangun tidur.
Sementara itu tanaman di sawah agaknya juga kurang baik.
Rumput-rumput tumbuh di sela-sela batang padi.
"Seharusny a dapat dipisahkan," berkata Mahisa Murti,
"hidup tenang, tenteram dan dalam suasana damai, tidak perlu
diwarnai dengan kemalasan seperti itu. Tenang, damai, tertib,
tetapi bergetar dan penuh gairah untuk meningkatkan
kesejahteraan hidup ini. Bersama-sama dan tidak saling
bermusuhan." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu, ia sependapat dengan Mahisa Murti.
Karena dengan kemalasan, maka mereka akan tertinggal oleh
kehidupan di padukuhan-padukuhan y ang lain.
Namun, setelah mereka melewati padukuhanpadukuhan
yang lain, maka suasana pun mulai berubah.
Sedikit demi sedikit. Sehingga kemudian mereka telah sampai
ke sebuah padukuhan y ang besar yang agaknya mempunyai
kelebihan dari padukuhan-padukuhan y ang lain. Di
padukuhan itu terdapat banyak rumah-rumah yang besar.
Halaman y ang luas dan nampaknya kehidupanpun terasa
lebih baik dari padukuhan-padukuhan lain.
Menil ik jalan yang memasuki padukuhan itu dari satu
arah, kemudian terdapat cabang-cabang jalan y ang meny ebar
ke segala sudut padukuhan dengan beberapa jalur jalan besar,
maka padukuhan itu menjadi tempat persimpangan yang
ramai. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang memasuki
padukuhan itu semakin dalam telah melihat satu bentuk
kehidupan yang lebih cepat dari padukuhan-padukuhan
sebelumnya. Mereka telah berpapasan dengan beberapa orang
berkuda. Kemudian di tengah-tengah padukuhan itu terdapat
sebuah rumah yang besar dengan halaman luas. Ada beberapa
pedati yang ada di halaman itu. Orang-orang pun nampak
sibuk m emuat dan menurunkan barang-barang dari pedatipedati
itu. Sementara itu, terdapat beberapa buah kedai di
sebelahnya. Kecuali mereka sudah merasa lapar, maka Mahisa Murti
dan saudara -saudaranya ingin mengetahui serba sedikit
tentang kesibukan di tempat itu. Karena itu, maka mereka
telah m emilih sebuah kedai y ang paling ujung untuk singgah.
Kedai yang termasuk bukan yang terbesar. Bahkan termasuk
kecil. Tetapi di dalamnya sudah terdapat dua tiga orang yang
sedang duduk makan. Kehadiran Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
memang tidak m enarik perhatian. Tempat itu adalah tempat
yang dikunjungi oleh banyak orang dari berbagai daerah.
Setelah memesan minuman dan makan, maka Mahisa
Murti sempat bertanya kepada pemilik kedai itu, "Apakah
tempat itu tempat persinggahan pedati y ang mengangkut
barang-barang dagangan?"
"Ya, Ki Sanak," jawab pemilik kedai itu dengan ramah,
"juga tempat para pedagang menginap jika mereka
kemalaman. Pedagang yang datang di padukuhan ini adalah
pedagang dari segala penjuru. Mereka datang dari tempat yang
mempunyai latar belakang kehidupan y ang berbeda -beda.
Pedati y ang berjalan ke daerah y ang aman, biasanya tidak
perlu bermalam di sini setelah menurunkan barang-barang
mereka dan memuat kebutuhan bagi padukuhan mereka. Di
perjalanan kembali, mereka tidak takut barang-barang itu
dirampas orang. Tetapi pedati y ang menuju ke arah yang
suasana kehidupan keras, maka diperlukan sikap y ang lebih
berhati-hati. Meskipun agaknya para penjahat mulai
memandang ke arah padukuhan-padukuhan y ang selama ini
hidup tenang di sebelah meliputi daerah y ang agak luas."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara tanpa
diminta pemilik kedai itu menceriterakan kesempatan
berusaha y ang baik bagi penghuni padukuhan itu, ju stru
karena letak padukuhan mereka. Tetapi di samping itu, maka
di padukuhan ini terdapat pula segala jeni s manusia dengan
cara hidupnya y ang berbeda -beda.
Ternyata bahwa orang-orang yang sudah lebih dahulu
berada di kedai itu justru mulai tertarik kepada kelima orang
yang datang kemudian itu. Bahkan seorang di antara m ereka
tiba -tiba saja bertanya, "Apakah kalian orang asing di sini?"
"Ya Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "kami adalah
pengembara yang menjelajahi banyak tempat. Kami sekarang
sedang berada dalam perjalanan kembali."
" Jika kau ingin melihat seribu jenis manusia dengan
seribu jenis wataknya, masuklah ke dalam penginapan itu. Aku
adalah salah seorang pedagang y ang datang dari Barat. Aku
membawa sejenis gerabah yang banyak peminatnya di
padukuhan-padukuhan lain sehingga daganganku cepat habis
di sini. Tetapi untuk menunggu kesempatan pulang, aku
merasa tersiksa di penginapan itu. Karena itu, aku lebih
senang duduk di sini sambil minum minuman hangat dan


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

makan makanan dari jenis apapun juga," berkata orang itu.
"Kenapa harus menunggu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Menunggu pembayaran y ang kadang-kadang tertunda
sehari," jawab orang itu.
Mahisa Murti mengangguk-angguk sambil berdesis,
"Memang mungkin sekali. Bukankah pembayaran itu
dilakukan setelah pembeliny a menjual barang dagangannya
pula?" "Nah, kau nampaknya juga seorang pedagang," tebak
orang itu. Mahisa Murti tersenyum. Katanya, "Bukan pedagang.
Tetapi aku dapat menduganya."
Orang itulah y ang kemudian tersenyum. Katanya,
"Seperti sekarang ini. Aku harus menunggu sampai esok pagi.
Ra sa -rasanya aku tidak tahan lagi. Tetapi apa boleh buat."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara Mahisa
Pukat bertanya, "Apa sebenarnya y ang membuatmu tersiksa?"
"Cara orang-orang di dalam rumah itu mengisi
waktunya,"jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangu-mangu.
Mereka tidak begitu memahami jawaban orang itu. Sementara
Mahisa Semu, Wantilan dan Mahisa Amping masih saja sibuk
dengan minuman dan makanan mereka.
Selagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat termangumangu,
maka mereka terkejut mendengar suara tertawa
perempuan yang m eledak. Kemudian jerit kecil y ang serak.
Ketika mereka berpaling, dilihatnya seorang perempuan
berlari-lari mengejar seorang laki -laki. Namun kemudian
keduanya telah pergi meninggalkan halaman itu sambil
meninggalkan suara tertawa panjang.
"Salah satu contoh dari kehidupan yang mengerikan
itu,"desis orang y ang telah lebih dahulu berada di kedai itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Karena itu maka keduanya telah berniat untuk segera
meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin terlibat dalam
satu persoalan apapun juga.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah berkata,
"Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan."
Demikianlah, maka k elima orang itu pun telah ber siapsiap
untuk meninggalkan tempat itu, ketika dua orang
memasuki kedai itu. Seorang laki -laki dan seorang perempuan
didahului oleh suara tertawa yang memekik.
Kedatangan kedua orang itu telah mempercepat rencana
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk meninggalkan tempat
itu. Karena itu, maka Mahisa Pukat pun telah menarik
MahisaAmping sambil berdesis, "Marilah. Bukankah kau
sudah keny ang." Mahisa Amping sama sekali t idak mengerti apapun juga
yang terjadi. Karena itu, maka ia menurut saja dibimbing oleh
Mahisa Pukat keluar dari kedai itu.
Namun Mahisa Pukat terkejut ketika ia mendengar
perempuan itu berkata, "He, kalian telah menghina aku."
Mahisa Murti yang masih baru bergeser dari tempat
duduknya terhenti. Ia melihat kemungkinan buruk dapat
terjadi. Karena itu, maka ia pun telah melangkah sambil
menggamit Mahisa Pukat, "Marilah, jangan hiraukan."
Kelima orang itu sudah berada di luar kedai ketika
perempuan itu berdiri di pintu sambil bertolak pinggang,
"Kenapa kalian pergi begitu aku masuk?"
Mahisa Murti y ang berada di paling belakang m emang
berpaling. Ia tidak dapat berdiam diri tanpa memberikan
penjelasan. Karena itu maka ia pun kemudian berkata, "Maaf
Ki Sanak. Kami sama sekali tidak berniat demikian. Sebelum
Ki Sanak masuk ke kedai ini, kami m emang sudah berniat
untuk pergi, karena kami sudah terlalu lama berada di sini."
"Bohong," teriak perempuan itu, "kau kira aku apa he"
Kau kira aku hantu perempuan yang harus dijauhi" He, atau
kau kira aku apa" Kau anggap aku tidak pantas duduk di kedai
itu atau kau m enganggap dirimu tidak pantas duduk dekat
aku?" "Tidak. Sama sekali tidak Ki Sanak," berkata Mahisa
Murti, "Kami benar-benar tidak menyadari apa y ang kami
lakukan, karena kami memang tidak mempunyai perasaan
apapun terhadap Ki Sanak. Karena itu, jika y ang kami lakukan
membuat Ki Sanak tersinggung, kami mohon maaf."
"Omong kosong," geram perempuan itu yang kemudian
berpaling kepada laki-laki yang meny ertainya memasuki kedai
itu, "apakah kau tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka?"
Tetapi laki-laki itu sama sekali tidak m engacuhkannya.
Bahkan katanya, "Biarkan saja mereka pergi."
"Pengecut,"teriak perempuan itu.
Namun dalam pada itu, laki-laki penjual gerabah y ang
lebih senang berada di kedai itu daripada di rumah besar itu
pun berkata, " Ia memang sudah minta diri sebelum kalian
datang. Ia tidak berniat menghina kalian."
" Jangan turut campur," teriak perempuan itu, "kau
siapa?" "Aku pedagang gerabah. Pedatiku berada di halaman
rumah itu pula. Aku menunggu uangku y ang akan dibay ar
besok," jawab orang itu.
" Jika kau sudah m engenal tempat ini, k enapa kau ikut
campur persoalan orang lain?" teriak perempuan itu pula.
"Aku tidak m encampuri persoalanmu. Aku hanya ingin
menjelaskan bahwa orang-orang itu tidak bersalah," jawab
pedagang gerabah itu. Tetapi perempuan itu justru semakin marah. Tiba-tiba
sa ja ia telah bersuit ny aring. Satu hal yang tidak diduga bahwa
ia akan memberikan isy arat seperti itu.
Ternyata dari dalam rumah y ang besar itu telah keluar
dua orang y ang nampaknya sangat garang.
Dengan tergesa -gesa orang itu telah meny eberangi
halaman yang luas dan langsung menuju ke arah perempuan
yang berdiri di depan kedai itu. Sementara kawannya, laki-laki
yang datang bersamanya justru telah melangkah keluar dan
begitu saja pergi tanpa mengatakan apa-apa. Kepada kedua
orang yang garang itu ia sempat mengatakan sesuatu. Tetapi
tidak begitu jelas didengar oleh orang-orang y ang berada di
kedai. Kedua orang itu nampak ragu-ragu. Namun kemudian
mereka melanjutkan langkah mereka meskipun tidak lagi
dengan tergesa-gesa. "Cepat," perempuan itu hampir berteriak.
Keduanya mempercepat langkah mereka. Namun
nampak bahwa mereka masih saja ragu-ragu.
Demikian keduanya sampai di depan kedai itu, maka
perempuan itu segera berteriak, "Seret laki -laki di dalam kedai
itu kemari. Ia sudah mencampuri persoalanku dengan anakanak
liar itu." Kedua orang itu masih saja ragu-ragu. Dipandanginya
Mahisa Murti dan saudara -saudaranya y ang berdiri termangumangu.
Namun tiba -tiba saja salah seorang dari kedua orang
yang berwajah garang itu berkata, "Bukankah y ang bersalah
anak-anak liar itu" Sedangkan orang yang ada di dalam kedai
itu hanya mencampuri persoalannya."
"Aku tidak senang ia mencampuri persoalan orang lain.
Karena itu ia harus dihukum," bentak perempuan itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru tidak dapat
meninggalkan laki -laki itu begitu saja. Jika benar ia
mengalami kesulitan, maka mereka harus membantu, karena
orang itu telah mengatakan bahwa Mahisa Murti dan saudarasaudaranya
tidak bersalah. Tetapi jawaban salah seorang laki-laki berwajah garang
itu m engejutkan. Katanya, "Laki-laki yang ada di dalam kedai
itu adalah Kiai Liman Serapat. Penjual gerabah yang namanya
tentu sudah pernah kau kenal. Ia m emiliki ilmu y ang sangat
tinggi. Jika kami mencoba memaksanya, maka y ang akan kau
dapatkan adalah mayat-mayat kami."
"He," wajah perempuan itu menjadi merah,"jadi laki -
laki itu Kiai Liman Serapat" Kenapa kakang Sindu tidak
mengatakan apa-apa dan pergi begitu saja?"
" Ia tidak berani berbuat apa-apa di hadapan Kiai Liman
Serapat," jawab salah seorang dari kedua orang yang garang
itu. Perempuan itu termangu-mangu. Sekali-sekali ia
berpaling ke arah Mahisa Murti dan saudara-saudaranya yang
berdiri termangu-mangu. Tetapi ia pun tidak berani berbuat
apa-apa, karena didalam kedai itu terdapat orang yang disebut
Liman Serapat. Sementara itu, orang y ang semula ada di dalam kedai itu
telah m elangkah keluar. Tanpa menghiraukan perempuan itu
serta kedua orang yang garang itu, maka ia telah melangkah
mendekati Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Seharusny a aku memang tidak usah mencampuri
persoalan kalian justru untuk memberi pelajaran kepada
orang-orang upaya itu," berkata orang y ang disebut Kiai
Liman Serapat itu. "Mak sud Kiai?" desis Mahisa Murti.
"Kalian tentu akan m embuat mereka jera. Kalian tentu
anak-anak muda yang berilmu sangat tinggi. Apalagi m enilik
sepasang pusaka y ang menjadi rebutan di antara orang-orang
berilmu tinggi itu sudah ada pada kalian," jawab orang itu.
Wajah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi tegang.
Tetapi orang itu berkata, "Tetapi kalian tidak perlu cemas. Aku
bukan termasuk orang-orang tamak y ang menginginkan
sepasang pusaka itu. Bukannya aku tidak ingin. Tetapi sudah
tentu ilmuku tidak akan mampu untuk aku jadikan bekal
mencapainya. Kedua orang itu agak berlebihan memuji
kemampuanku." "Ah," desis Mahisa Murti, "kami bukan apa-apa bagi
Kiai." "Kalian adalah anak-anak muda yang rendah hati.
Ketika terjadi per soalan, kalian tidak langsung menanggapinya
dengan keras, karena seandainya semua orang yang ada di
dalam rumah itu ikut melawan kalian, maka mereka tidak
akan berarti apa -apa. Tetapi kalian sengaja menghindari
kekerasan itu," berkata Kiai Liman Serapat. Lalu katanya,
"Nah, silahkan m elanjutkan perjalanan. Jangan berhenti dan
apalagi bermalam di rumah seperti itu. Jika aku
melakukannya, karena aku mendapat sumber penghidupan
dari penjualan gerabah itu, yang menurut pendapatku lebih
baik daripada aku merampok."
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya,
"Terima kasih Kiai. Perkenankan kami mohon diri."
"Hati-hati dengan sepa sang pusaka itu," berkata Kiai
Liman Serapat, " sebaiknya kau memberi selongsong hulu
pusaka itu. Hulunya itu pun telah sangat m enarik perhatian
orang." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Terima
kasih atas petunjuk Kiai. Barangkali sebaiknya kami m emang
melakukannya." "Nah, sekarang selamat jalan,"berkata Kiai Liman
Serapat. Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan
Wantilan mengangguk hormat. Sementara Mahisa Amping
berdiri termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian telah
meninggalkan tempat itu. Sementara Kiai Liman Serapat
mendekati kedua laki-laki yang garang itu sambil menggeram,
"Jika kau ingin kepalamu terlepas, hentikan anak-anak itu."
Kedua laki-laki yang garang itu tidak menjawab sama
sekali. Ketika kemudian Kiai Liman Serapat telah meninggalkan
kedua orang laki -laki y ang garang itu, maka perempuan yang
semula marah-marah itu telah datang kepada mereka sambil
bertanya, "He, kenapa aku tidak mengenal Kiai Liman
Serapat?" "Ya, kenapa?" laki-laki y ang muda di antara keduanya
itu justru bertanya. Namun laki -laki yang lainlah yang menjawab, "Ia
memang jarang kemari. Jika ia datang, ia lebih senang berada
di kedai atau berjalan-jalan. Malam hari ia tidur di pedatinya
jika ia harus bermalam di sini."
"Huh," perempuan itu mencibir, "ia merasa dirinya
bersih seperti kapas. Ia sudah menghina kita semuanya."
"Kenapa" Ia tidak pernah m engatakan apa-apa tentang
kita. Ia memang tidak senang terhadap cara hidup kita. Tetapi
ia selalu diam saja. Ia sendirilah yang lebih senang
menyingkir. Bukan karena ia merasa dirinya bersih serta
menilai kita tidakpantas. Tetapi ia tidak mau hidup seperti
kita. Dan itu adalah haknya," jawab laki-laki itu.
"Sejak kapan kau m enjadi alim seperti itu" Bukankah
kau masih m emerlukan aku?" berkata perempuan itu sambil
bertolak pinggang. "Tentu," jawab laki -laki itu, "tetapi itu adalah kita.
Bukan Kiai Liman Serapat."
Perempuan itu tiba -tiba ter senyum. Katanya, "Kau lihat,
besok ia akan menyembah aku seperti kalian berdua."
"Kau jangan melakukan itu. Kalau kau mau
menghancurkan kami berdua, lakukanlah. Kami memang
orang-orang yang tidak lagi pantas berdiri di atas m artabat
kami. Tetapi jangan ganggu Kiai Liman Serapat," berkata salah
seorang laki-laki itu. "Nah, kau mulai berkeberatan. Kau takut aku berhasil
dan kemudian melupakan kalian berdua," berkata perempuan
itu sambil tertawa. "Tidak. Aku justru m encemaskan kau. Mungkin untuk
selamanya kau tidak akan dapat bertemu bukan saja dengan
kami berdua, tetapi juga dengan matahari dan
rembulan,"berkata salah seorang dari kedua orang laki-laki
itu. Keduanya tidak lagi menghiraukan perempuan itu.
Nampaknya perempuan itu sama sekali tidak puas terhadap
jawaban laki -laki itu. Tetapi ia tidak berbicara apa-apa lagi.
Bahkan kemudian ia telah tersenyum sendiri.
Sementara itu Mahisa Murti dan saudara-saudaranya
telah berjalan semakin jauh. Namun mereka pun kemudian
telah terhenti karena beberapa orang y ang menyusul mereka.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak
mengira bahwa ia masih harus terlibat dalam soal -soal yang
sebenarnya tidak perlu mendapat perhatiannya.
Semula Mahisa Murti mengira bahwa di antara orangorang


03 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tentu terdapat dua orang y ang berwajah garang, yang
tidak berani berbuat sesuatu karena ada orang y ang bernama
Liman Serapat. Tetapi ternyata dugaannya salah. Di antara
orang-orang yang menyusulnya itu, tidak terdapat dua orang
yang berwajah garang itu.
Tetapi orang-orang yang menyusulnya itu juga m enjadi
heran, bahwa kelima orang itu tidak ju stru melarikan diri.
Tetapi mereka bahkan telah berhenti menunggunya.
Ketika orang-orangitu telah menjadi semakin dekat,
maka seorang di antara mereka telah m elangkah maju sambil
berkata, "Kaliankah y ang baru saja meninggalkan kedai di
dekat pemberhentian pedati itu?"
"Ya," jawab Mahisa Murti.
Orang yang bertanya itu mengangguk-angguk.
Kemudian katanya, "Jika demikian maka sebaiknya kalian
kembali ke tempat itu."
"Ada apa?" bertanya Mahisa Murti, "kami tidak
mempunyai banyak waktu. Karena itu, m aka sebaikny a kami
tidak perlu memenuhi permintaanmu."
"Kalian tidak mempunyai pilihan lain. Sebaiknya kalian
memenuhi perintah kami," berkata orang itu.
Mahisa Murti justru termangu-mangu sejenak.
Namun Mahisa Pukat lah y ang bertanya, "Siapa y ang
menghendaki kami kembali ke tempat itu?"
"Ny i Rantam. Perempuan y ang disegani di tempat itu,"
berkata orang itu. Mahisa Murti dengan cepat m enyahut, "Maaf Ki Sanak.
Kami tidak dapat kembali."
"Kalian harus kembali. Ki Liman Serapat telah m enjadi
tawanan kami. Jika kalian tidak mau kembali, maka Kiai
Liman Serapat akan mati," berkata orang itu.
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya terkejut.
Menurut penilaian mereka, Kiai Liman Serapat adalah orang
yang berilmu tinggi. Karena itu, maka mereka tidak m engira
bahwa ia akan demikian cepat menjadi tawanan.
Karena itu, maka keterangan itu telah menggelitik
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya untuk melihat, apakah
yang sebenarnya telah terjadi. Meskipun ada keraguan, namun
rasa-rasanya tidak akan ada salahnya jika mereka melihat
keadaan Kiai Liman Serapat.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian
menyahut, "Baiklah. Kita akan kembali."
Mahisa Pukat agaknya masih ragu-ragu. Tetapi ia tidak
mau membantah keputusan Mahisa Murti, sehingga karena
itu, maka ia pun telah ikut melangkah kembali menuju ke
tempat pemberhentian pedati, sekaligus merupakan tempat
perdagangan y ang cukup ramai.
Beberapa orang y ang menyusul mereka telah berjalan di
belakang kelima orang itu dengan sikap y ang membuat Mahisa
Pukat hampir saja kehilangan pengekangan diri. Mereka
berjalan sambil menengadahkan wajah mereka. Langkah yang
seakan-akan dibuat-buat, sehingga mereka memberikan kesan
orang-orang yang sombong dan merasa diri mereka
melampaui kebanyakan orang.
Untunglah bahwa Mahisa Pukat masih sempat
Perintah Kesebelas 3 Pendekar Rajawali Sakti 126 Mawar Berbisa Pendekar Aneh Dari Kanglam 4
^