Api Di Bukit Menoreh 15
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 15
Tetapi yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu telah memberikan kejutan bagi lawan-lawannya. Sebenarnyalah bahwa nama Agung Sedayu benar-benar bukan sekedar olok-olok kawan-kawannya yang pernah melihatnya dipertempuran.
Ketiga orang itupun segera berpencar. Namun agaknya Agung Sedayu yang bersenjata tombak panjang itu lebih senang bertempur ditempat yang lebih luas. Karena itulah, maka iapun tiba-tiba saja telah meloncat turun dari pendapa.
"Jangan lari," salah seorang dari ketiga orang lawannya membentuk.
"Jangan berteriak," desis Agung Sedayu, "jika suaramu didengar oleh para pengawal yang kebetulan lewat diluar dinding, maka mereka akan segera datang. Kau tentu akan dicincang menjadi lumat, karena kau telah memperlakukan kawan-kawannya yang mengawal rumah ini dengan semena-mena."
"Persetan. Kami akan membunuh semua orang."
"Seluruh kota?"
"Ya." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Bertanyalah kepada dirimu sendiri apakah kau mampu melakukannya?"
Orang itu menjadi semakin marah. Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang telah menyusul Agung Sedayu turun kehalaman itupun segera menyerangnya dengan dahsyatnya dari arah yang berbeda, seperti datangnya prahara di musim pancaroba.
Agung Sedayu segera merasakan tekanan yang berat dari ketiga orang itu. Sehingga dengan demikian ia dapat memperhitungkan, seandainya, ia benar-benar ditunggu oleh empat orang itu diperjalanan kembali ke Sangkal Putung dibulak panjang tanpa bantuan seorangpun juga. maka tugasnya tentu akan terasa sangat berat. Apalagi ketika ia sempat melihat perkelahian yang terjadi dipendapa, antara Ki Juru dan salah seorang dari keempat orang yang mencarinya itu. Ternyata bahwa orang itupun memiliki kemampuan yang menggetarkan.
Dengan senjata sebuah tombak panjang. Agung Sedayu bertempur melawan ketiga orang lawannya. Meskipun ia tidak terbiasa mempergunakan senjata serupa itu, namun ternyata bahwa kemampuan Agung Sedayu benar-benar telah mengejutkan ketiga orang lawannya.
Tombak panjang ditangan Agung Sedayu itu ternyata menjadi sangat berbahaya. Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai disekitar tubuh Agung Sedayu. sementara dalam hentakan yang tiba-tiba, ujungnya dan bahkan tangkainya dapat mematuk lawannya
Tetapi ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun cukup lincah. Mereka masih selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan Agung Sedayu. Namun merekapun tidak juga segera berhasil mengalahkan lawannya yang hanya seorang itu.
Sementara itu. para pengawal yang berada diluar halaman rumah itupun masih dicengkam oleh kemarahan. Para penjaga regol dan pengawas digardu-gardu yang berhadapan dengan dinding kota. merasa yakin, bahwa belum ada seorangpun yang berhasil keluar, sehingga mereka menganggap bahwa keempat orang yang mereka cari itu masih tetap berada didalam kota.
Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mengira bahwa keempat orang itu justru bersembunyi dihalaman rumah Raden Sutawijaya dan yang saat itu sedang bertempur melawan Agung Sedayu dan Ki Juru Martani.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya masih nganglang diatas punggung kudanya diikuti oleh beberapa orang pengawal. Setiap kali Raden Sutawijaya berhenti untuk menanyakan tentang hilangnya beberapa orang buruan. Namun jawabnya hampir sama saja. Mereka tidak melihatnya. Tetapi pada umumnya mereka yakin bahwa orang-orang itu masih belum keluar dari lingkungan dinding kota.
Kejengkelan dan kemarahan semakin mencengkam para pengawal karena bagaimanapun juga mereka mencari, namun mereka tidak dapat menemukannya. Beberapa orang telah mencarinya di tempat-tempat yang terlindung. Dikebun-kebun dan bahkan mereka memasuki rumah-rumah yang dicurigainya. Banjar-banjar padukuhan dan tempat-tempat yang diduga dapat dipergunakan untuk bersembunyi. Namun mereka tidak menemukannya.
"Kita akan berjaga-jaga sampai pagi," geram Raden Sutawijaya, "jika matahari menyingsing, maka tempat persembunyian itu akan menjadi semakin sempit. Mudah-mudahan mereka akan keluar sendiri dari tempat-tempat mereka bersembunyi seperti cengkerik yang disiram dengan air."
Para pengawalpun telah bertekad untuk mencarinya sampai keempat orang itu dapat diketemukan. Setidak-tidaknya salah satu dari antara mereka itu.
Jika salah seorang dari keempat orang itu dapat diketemukan, maka daripadanya akan didapat keterangan, siapakah yang telah menugaskan mereka memasuki wilayah Mataram untuk mencari Agung Sedayu.
Namun, menurut perhitungan, seperti juga pendapat para pemimpin Mataram yang lain, maka mereka menduga bahwa orang-orang itu tentu bukannya petugas yang telah dikirim oleh Pajang, seperti halnya petugas sandi yang diberitahukan oleh Kiai Kendil Wesi.
Akhirnya Sutawijaya mengambil keputusan untuk sekali lagi berputar dan memberikan pesan-pesan kepada para petugas, khususnya yang mengawasi pintu-pintu gerbang dan dinding kota. agar mereka benar-benar mencegah setiap orang yang akan keluar dari kota, siapapun mereka. Kemudian Sutawijaya akan kembali untuk menunggu perkembangan lebih lanjut.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung dihalaman dan dipendapa rumah Raden Sutawijaya. Ki Juru Martani harus berjuang untuk mempertahankan dirinya dari serangan yang beruntun dengan kasarnya. Ternyata bahwa lawan Ki Juru adalah benar-benar orang yang berilmu tinggi, sehingga ia telah disiapkan untuk memimpin tiga orang kawannya menyergap Agung Sedayu yang sudah mereka ketahui sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.
Namun Ki Juru yang tua itupun adalah seorang yang mumpuni. Sebagai saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi Panglima prajurit Pajang, maka Ki Jurupun merupakan seorang yang matang dalam olah kanuragan. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia benar-benar menguasai dirinya sebaik-baiknya. Ia mengetahui dengan pasti tingkat kemampuannya, kekuatannya, daya tahan tubuhnya dan pernafasannya.
Dengan demikian, maka perkelahi an yang terjadi dipendapa itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Tidak banyak kesempatan untuk menilai keadaan dan kemungkinan yang dapat terjadi. Yang mereka lakukan kemudian adalah memusatkan segala perhatian mereka kepada pertempuran yang menjadi semakin dahsyat itu.
Namun justru karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi, maka pertempuran itu seakan-akan tidak menumbuhkan keributan apapun juga. Langkah kaki mereka bagaikan tidak menimbulkan suara apapun. Benturan senjata mereka hanya kadang-kadang berdentang. Namun kadang-kadang setiap patukan senjata seolah-olah hanyalah sekedar dihindari, sehingga suara benturan itupun menjadi sangat terbatas.
Karena itulah, maka para pelayan yang kebanyakan berada di ruang belakang, diseberang longkangan, tidak mendengar pertempuran itu. Mereka tidur dengan nyenyaknya, karena mereka menduga, bahwa di regol, dipendapa dan di halaman belakang, terdapat beberapa orang pengawal yang menjaga keamanan dan ketenteraman rumah itu sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, di halaman, Agung Sedayu masih bertempur dengan tombak panjangnya. Meskipun ia harus melawan tiga orang, namun agaknya dengan tombak panjangnya, ia akan dapat bertahan. Bahkan jika ia berhasil memperpanjang waktu perkelahian itu, pernafasannya tentu akan lebih baik dari lawan-lawannya yang mengerahkan dan memeras segenap kemampuan mereka.
Tetapi dugaan Agung Sedayu tidak sepenuhnya tepat. Ternyata bahwa ketiga orang lawannya benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang tinggi pula. Ketiganya yang merasa gelisah karena kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika ada pihak lain yang mengetahui, telah mencoba untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, untuk menguasai Agung Sedayu.
Mereka telah mengerahkan segala ilmu yang ada. Mereka menyerang dari segala arah dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan pandangan mata wadag.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mulai terdesak. Betapapun ia mempergunakan segenap kecepatan mempergunakan tombak panjang ditangannya. namun serangan ketiga orang lawannya terasa menjadi semakin gawat.
Bahkan desau angin telah mulai menyentuh tubuhnya, jika senjata lawannya berhasil menyusup kerapatan perisai putaran tombaknya, meskipun senjata lawannya masih belum berhasil mengenainya.
"Bukan main," desis Agung Sedayu didalam hatinya. Ia menjadi semakin yakin, jika keempat orang termasuk yang bertempur melawan Ki Juru Martani itu berhasil mencegatnya diperjalanan seorang diri, maka ia tentu tidak akan mampu mempertahankan hidupnya lagi.
Meskipun ia telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dan kemudian Tumenggung Wanakerti, mengalahkan Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit, namun untuk menghadapi empat orang berilmu tingggi itu, agaknya ia memang tidak akan sanggup.
Kini ia harus bertempur melawan tiga orang diantara mereka. Itupun ia sudah merasakan tekanan yang sangat berat. Apalagi dengan orang yang mampu mengimbangi ilmu Ki Juru Martani itu sekaligus.
Ketika tekanan ketiga lawannya terasa semakin berat, maka Agung Sedayupun merasa semakin dalam didera oleh kebimbangannya. Jika ia tidak lagi mampu bertahan melawan ketiga orang itu dengan bersenjata tombak panjang yang memang kurang biasa baginya, ia harus memilih dua kemungkinan. Pilihan yang selamanya merupakan bayangan hitam yang selalu menghantui perasaannya.
Jika ia tidak mau menyerahkan nyawanya, maka kemungkinan yang lain adalah membunuh lawan-lawannya.
"Jika aku mempergunakan cambukku, meskipun aku tidak langsung membunuh mereka, maka akibatnya akan sama saja," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
"Karena suara cambukku, tentu akan mengundang para pengawal memasuki halaman ini. Mereka tentu akan sangat marah jika mereka menemukan kawan-kawannya terbaring digardu, di pendapa dan melihat Ki Juru Martani harus bertempur mempertahankan hidupnya."
Namun Agung Sedayupun telah terdesak terus. Ketiga lawannya benar-benar merupakan tiga orang yang seakan-akan telah digerakkan oleh satu otak. Serangan mereka beruntun, kadang-kadang bersama-sama. Namun serangan-serangan itu semakin lama justru terasa semakin berbahaya. Mereka tidak segera menjadi lelah dan kehilangan tenaganya. Bahkan serangan-serangan mereka justru terasa seakan-akan menjadi semakin kuat.
Agung Sedayu masih dicengkam oleh kebimbangan. Sekilas ia melihat Ki Juru Martani mendesak lawannya. Namun sejenak kemudian, ialah yang harus meloncat surut.
Dengan demikian maka Agung Sedayu mendapat kesimpulan, bahwa lawan-lawannya benar-benar orang-orang yang terpilih. Karena itulah, maka perjuangannya itupun merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh.
Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Ki Juru Martani itupun sudah mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berusaha memancing orang tua itu, agar mengerahkan segenap kemampuannya. Jika orang itu berhasil, ia berharap bahwa Ki Juru akan segera kehabisan nafas.
Tetapi Ki Juru tetap dalam keseimbangan nalarnya. Ia tidak mudah terbakar hatinya, sehingga melupakan pertimbangan-pertimbangan akalnya.
Itulah sebabnya, maka bagaimanapun juga, Ki Juru tetap bertempur dengan langkah-langkah yang mantap dan tenang.
Dalam pertempuran itu, nampak bahwa keempat orang yang berusaha membunuh Agung Sedayu telah berusaha membagi kekuatannya sebaik-baiknya. Mereka ternyata masih menganggap Agung Sedayu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Ki Juru. Ternyata bahwa tiga orang lawannya telah menempatkan diri melawannya sedang yang seorang, meskipun yang paling kuat, harus bertempur melawan Ki Juru Martani. Namun yang tiga orang itupun tentu memiliki kekuatan dan kesempatan yang lebih besar daripada yang seorang.
Itulah sebabnya, maka akhirnya Agung Sedayu benar-benar telah terdesak. Senjata tombak panjangnya tidak banyak memberikan arti kepadanya. Lawan-lawannya berhasil mempergunakan kelamahan-kelamahan yang terdapat pada penggunaan senjata bertangkai panjang itu sebaik-baiknya.
Betapapun kebimbangan mencengkam hatinya, tapi Agung Sedayu masih juga dengan dorongan naluriah ingin mempertahankan hidupnya. Setiap kali senjata lawannya berdesing ditelinganya, maka terasa hatinya berdesir. Rasa-rasanya segenap sendi-sendinya telah bergerak dengan sendirinya sehingga tubuhnya menggeliat untuk mempertahankan diri.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang yang memasuki halaman itupun sadar, bahwa mereka tidak dapat bertempur terlalu lama. Jika para pengawal mengetahui kehadiran mereka, maka seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, mereka akan dicincang sampai lumat. Betapapun tinggi ilmu mereka tetapi mereka tentu tidak akan dapat melawan pengawal diseluruh kota, apalagi dengan kehadiran Sutawijaya.
Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang bertempur melawan Agung Sedayu itupun bertempur semakin dahsyat. Mereka berputar disekeliling Agung Sedayu sambil menyerang dengan cepatnya. Langkah mereka bagaikan loncatan-loncatan kaki burung sikatan menyambar bilalang.
Agung Sedayu berdesis ketika ujung senjata lawan benar-benar telah menyentuh tubuhnya. Segores luka melintang dilengan Agung Sedayu.
Luka itu sama sekali tidak berpengaruh pada tubuhnya. Luka itu benar-benar hanya segores tipis, seperti luka oleh sentuhan kuku seekor kucing kecil.
Namun segores kecil itu benar-benar telah mempengaruhi perasaannya.
Keragu-raguannya untuk mempergunakan cambuknya serasa telah terdesak semakin menepi. Justru karena ia mulai disentuh oleh kecemasannya tentang keselamatannya sendiri.
"Apakah aku harus memilih mengorbankan diriku sendiri ?" pertanyaan itu mulai mengganggunya.
Bagi lawan-lawannya, luka itu telah memberikan pengharapan dihati mereka. Ketiganya menjadi semakin bergairah untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Darah yang meleleh dari luka itu, nampak semakin merah dicahaya obor yang samar-samar.
"Kau sudah kehilangan kesempatan, "desis salah seorang lawannya.
"Namamu yang besar hanya akan dapat dikenang." sambung yang lain. Sementara yang seorang lagi berkata, "Kami tidak usah bersusah payah menunggumu dipinggir jalan ke Sangkal Putung. Ternyata kau sudah dengan suka rela memasrahkan dirimu sendiri disini."
Agung Sedayu menggeram. Terasa hatinya lebih pedih dari luka di lengannya. Ia masih selalu dibayangi kecemasan, bahwa jika para pengawal mendengar pertempuran dihalaman itu, mereka akan berlari-larian berdatangan untuk mencincang ketiga lawannya.
Namun kecemasan yang lain tentang dirinya sendiri, agaknya telah membayangi kecemasannya tentang keselamatan lawannya. Apalagi karena ternyata bahwa lawan-lawannya benar-benar ingin merampas hidupnya tanpa belas kasihan.
Dengan tangkas Agung Sedayu masih berusaha menghindari serangan-serangan lawannya dengan loncatan-loncatan cepat. Tetapi lawan-lawannya benar-benar tidak memberikan kesempatan kepadanya, sehingga tangkai tombak panjang yang tidak terbiasa dipergunakan itu menjadi semakin tidak berarti.
Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain untuk melindungi dirinya. Ketika ia semakin terdesak kedinding halaman, maka dengan serta merta iapun melontarkan tombak panjangnya.
Lawan-lawannya terkejut melihat sikap Agung Sedayu. Mula-mula mereka menyangka bahwa Agung Sedayu telah menjadi putus asa dan akan menyerah. Tetapi tiba-tiba saja dada mereka berdesir tajam ketika mereka melihat Agung Sedayu meloncat surut.
Punggung Agung Sedayu telah melekat dinding halaman. Jika ketiga lawannya mendesaknya lagi, ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mundur.
Namun demikian, ketika ketiga orang lawannya siap untuk meloncat menyerang, mereka benar-benar bagaikan dicengkam oleh kecemasan yang tajam. Dengan gerak yang hampir tidak mereka lihat dengan matanya. Agung Sedayu telah mengurai cambuk yang membelit lambung dibawah bajunya.
Ketiga lawannya menjadi berdebar-debar melihat cambuk ditangan Agung Sedayu itu. Mereka sadar, bahwa karena tingkah laku mereka, Agung Sedayu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Bagaimanapun juga, sebagai makhluk yang hidup, ia tentu akan mempertahankan hidupnya dengan cara yang paling di kuasai dalam ilmu kanuragan.
Sejenak ketiga orang lawannya termangu-mangu. Mereka menatap senjata Agung Sedayu dengan hampir tidak berkedip.
Karena itu, justru untuk beberapa saat pertempuran dihalaman itu bagaikan membeku. Ketiga orang lawan Agung Sedayu sekilas melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, jika cambuk Agung Sedayu itu meledak.
Tetapi sudah tentu bahwa mereka mempunyai pertimbangannya sendiri. Agung Sedayu harus dibunuh, dan pusaka yang ada dirumah itu harus mereka kuasai, agar mereka mempunyai perisai untuk meninggalkan kota yang tentu penuh dengan pengawal dan anak-anak muda yang meronda.
Dalam kebimbangan itu, mereka mendengar Agung Sedayu berkata, "Ki Sanak. Aku kagum akan kemampuan kalian. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan membiarkan diriku kalian bunuh. Karena itulah maka aku akan melawan jika niat kalian tidak kalian urungkan. Dan dengan terpaksa sekali aku akan mempergunakan cambukku, karena tombak itu tidak berhasil melindungi aku. Meskipun demikian, aku masih menawarkan suatu penyelesaian yang lebih baik bagi kalian daripada dicincang oleh para pengawal. Jika kalian menyerah, aku tidak akan meledakkan cambukku yang akan dapat mengundang bencana bagi kalian."
Wajah ketiga orang lawannya menjadi semakin tegang. Namun salah seorang dari mereka menggeram, "Jangan menakut-nakuti aku. Aku dan kawan-kawanku telah menerima beban dipundak. Kau harus mati, apapun yang akan terjadi atas kami."
"Yang akan terjadi atas kalian adalah peristiwa yang mengerikan. Aku telah melakukan banyak kesalahan, sehingga banyak orang yang terbunuh karenanya. Sengaja atau tidak. Karena itu, aku akan menghindari pembunuhan-pembunuhan yang akan dapat terjadi."
Tiba-tiba saja salah seorang lawannya tertawa. Jawabnya Ternyata kau orang yang paling sombong yang pernah aku jumpai. Kau dapat membunuh lawanmu dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Tetapi kesombongan itu hanya dapat menggetarkan hati anak-anak."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata kata-katanya dapat menumbuhkan arti yang sebaliknya dari yang dimaksudkannya.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sejenak kemudian, maka ketiga orang Jawannya telah siap untuk melanjutkan pertempuran. Mereka telah mengambil sikap dan arah yang paling mantap untuk menghancurkan pertahanan Agung Sedayu.
Tetapi watak dari senjata Agung Sedayu kini berbeda. Ia tidak memegang sebatang tombak bertangkai panjang. Tetapi ia menggenggam cambuk yang berjuntai lemas dan merupakan senjata yang sudah dikenalnya baik-baik seperti ia mengenal anggauta badannya sendiri.
Betapapun keragu-raguannya masih saja membayangi perasaan Agung Sedayu, namun ketika ketiga orang lawannya mulai bergerak, maka iapun mulai menggerakkan ujung cambuknya. Untuk beberapa saat, ia sekedar mengguncang senjatanya, sehingga ujungnya bergetar. Namun cambuk Agung Sedayu masih belum meledak.
Gerakan-gerakan kecil Agung Sedayu membuat lawannya menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa setiap saat, cambuk itu dapat menggeliat dan meledak.
Melihat keragu-raguan itu Agung Sedayu mencoba untuk menekankan keinginannya, "Ki Sanak. Aku sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Yang aku katakan, bukannya aku akan dapat mengalahkan kalian bertiga. Tetapi suara cambukku akan dapat mengundang beberapa orang pengawal. Merekalah yang akan membunuh kalian, jika kalian tidak menyerah."
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian menggeram, "Kami bukan cucurut. Tengadahkan dadamu, dan siapkan dirimu untuk mati."
Agung Sedayu tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur untuk melindungi nyawanya. Itulah sebabnya, maka iapun segera mempersiapkan diri untuk bertempur mempertaruhkan hidupnya.
Sejenak kemudian ketiga lawannya telah mulai bergerak. Tidak ada cara lain dari Agung Sedayu kecuali menggerakkan cambuknya. Masih perlahan-lahan. Hanya ujungnya sajalah yang bergerak seperti seekor ular yang sedang berenang.
Namun sekejap kemudian ujung cambuknya benar-benar telah meledak. Ketika ketiga lawannya meloncat menyerang untuk mempergunakan kesempatan saat Agung Sedayu masih melekat dinding.
Ledakan cambuk Agung Sedayu tidak terlalu keras. Tetapi ledakan disepinya, malam itu benar-benar telah mengejutkan lawannya. Itulah sebabnya maka merekapun segera meloncat surut.
Bukan saja ketiga lawan Agung Sedayulah yang terkejut. Orang yang sedang bertempur melawan Ki Jurupun terkejut pula. Suara cambuk itu tentu dapat di dengar oleh para pengawal yang nganglang lewat jalan-jalan raya diseputar istana itu.
"Nah," berkata Agung Sedayu kepada lawan lawannya, "bukankah cambukku benar-benar dapat mengundang para pengawal."
"Pengecut," geram salah seorang dari ketiga lawan Agung Sedayu, "jika benar namamu besar, kenapa kau memanggil orang lain untuk mempertaruhkan nyawa diarena ini."
"Kau aneh. Kaupun tidak bertempur sendiri," sahut Agung Sedayu, "kecuali itu, cambukku memang tidak dapat aku pergunakan tanpa melontarkan ledakan yang dapat didengar oleh orang lain."
Tetapi ketiga lawannya bukannya pengecut yang takut menghadapi akibat dari tugasnya. Apalagi mereka masih berharap untuk mengalahkan Agung Sedayu, kemudian mengambil pusaka-pusaka di rumah itu untuk mereka jadikan perisai. Jika orang-orang Mataram mencoba mencegah mereka meninggalkan kota. maka mereka siap untuk menghancurkan pusaka-pusaka itu, sehingga dengan demikian, mereka tentu akan diperkenankan untuk lolos.
Karena itulah, maka sejenak kemudian ketiganyapun segera menyerang Agung Sedayu dengan dahsyatnya. Mereka mencoba untuk mengepung Agung Sedayu, agar ia tidak mendapat arena yang luas untuk mempertahankan dirinya.
Tetapi ternyata bahwa ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar merupakan kekuatan yang sangat dahsyat, Ujung cambuk itulah yang telah memaksa lawan-lawannya untuk bergeser surut, sehingga ternyata bahwa mereka tidak mampu untuk menahan Agung Sedayu tetap ditempatnya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuranpun segera menyala kembali dihalaman. Agung Sedayu tidak dapat lagi menghindari bentakan-bentakan cambuknya yang melontarkan ledakan yang memecah sepinya malam.
Namun suara cambuknya telah mendera lawan-lawannya untuk bertempur semakin sengit. Dengan sadar mereka mengetahui, apa yang dapat terjadi oleh suara cambuk itu. Sebentar lagi, beberapa orang pengawal akan berlari-larian memasuki halaman.
Tidak ada pertimbangan lain. Ketiga orang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi itupun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempercepat tugas mereka membinasakan Agung Sedayu. Tetapi dengan demikian, mereka telah mendorong Agung Sedayu untuk secara naluriah berjuang lebih sengit lagi untuk mempertahankan hidupnya.
Karena itulah, maka tidak dapat dicegah lagi, ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu bagaikan mengumandang lebih dahsyat lagi. Getarannya seolah-olah telah menggetarkan seluruh kota dan menggoyahkan dinding-dindingnya.
Kecemasan telah mencengkam keempat orang yang memasuki halaman rumah Raden Sutawijaya itu. Suara cambuk Agung Sedayu bagaikan kidung kematian yang mulai meraba dadanya.
Dengan demikian maka pertempuran dihalaman itupun berlangsung semakin dahsyat. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ketiga orang lawan Agung Sedayu sama sekali tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang dapat menahan ilmu mereka. Yang mereka inginkan segera adalah kematian Agung Sedayu.
Sementara itu, lawan Ki Juru Martanipun telah berjuang dengan memeras ilmunya. Jika ketiga orang kawannya mengalami kesulitan untuk membunuh Agung Sedayu, maka ternyata bahwa Ki Jurupun merupakan orang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat diatasinya. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia masih mampu mengatur pernafasannya sebaik-baiknya.
Lawannya sama sekali tidak berhasil memancing orang tua itu untuk bertempur dengan kasar agar nafasnya segera menjadi tersengal-sengal.
Dengan mapan Ki Juru menghadapi lawannya. Betapapun kasar dan liar sikap orang itu, namun Ki Juru yang tua selalu menyadari kelemahan jasmaniahnya. Karena itulah maka ia selalu menjaga, agar ia tidak terpancing oleh lawannya, sehingga nafasnya terputus ditengah-tengah perjuangannya
Lawannyapun semakin lama menjadi semakin gelisah. Setiap ledakan cambuk Agung Sedayu serasa merupakan segores luka di hatinya. Semakin lama semakin banyak, sehingga terasa hatinya menjadi sangat pedih.
"Gila. Gila," tiba-tiba ia berteriak nyaring.
"Kenapa?" bertanya Ki Juru.
"Suara cambuk itu membuat aku gila," geramnya.
Ki Juru memandang orang itu sejenak. Kemudian katanya, "Menyerah sajalah sebelum seorang pengawalpun yang memasuki halaman ini. Tetapi aku yakin, bahwa ada diantara mereka yang sudah mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu."
"Persetan," geram lawannya yang justru menjadi semakin liar.
Dalam pada itu, para pengawal yang berada diluar halaman rumah Raden Sutawijaya terkejut mendengar gema ledakan cambuk. Mereka bertanya-tanya yang satu dengan yang lain, apakah yang kira-kira sedang terjadi.
Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang sedang nganglang, yang juga mendengar suara cambuk Agung Sedayu meledak-ledak, segara dapat mengurai keadaan. Ketajaman nalarnya segera mengatakan kepadanya, "Agung Sedayu sedang bertempur melawan orang yang sedang dicarinya."
Karena itulah, maka sejenak ia mencoba menangkap, dari manakah sumber bunyi cambuk Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu diam-diam telah meninggalkan rumahnya dan diluar kehendaknya ia telah bertemu dengan keempat orang yang dicarinya.
Dengan ketajaman pendengaran wadag dan hatinya, Sutawijaya dapat segera mengetahui, bahwa suara cambuk itu terlontar dari halaman rumahnya.
Ketika ia sudah menemukan keyakinan itu, maka kudanyapun segera berderap menyusur jalan-jalan kota bagaikan dikejar hantu. Para pengawalnya yang tidak sempat bertanya sesuatu, segera mengikutinya. Mereka bagaikan berpacu dimalam buta menyusuri jalan-jalan yang suram.
Para pengawal yang bertugas di jalan-jalan dan di gardu-gardu terkejut mendengar derap kaki kuda yang berlari-larian. Tetapi mereka tidak sempat bertanya sesuatu. Mereka hanya melihat Raden Sutawijaya berpacu diikuti oleh para pengawalnya.
Namun para pengawal itupun segera mengetahui apa yang terjadi. Raden Sutawijaya tentu telah mendengar ledakan cambuk itu. Jika para pengawal masih bertanya-tanya, maka Raden Sutawijaya tentu sudah menemukan jawabnya.
Tetapi ternyata beberapa orang pengawal yang berada tidak jauh dari halaman rumah Raden Sutawijayapun segera mengetahui bahwa suara cambuk itu berasal dari halaman rumah itu. Namun menurut pengertian mereka, di rumah itu terdapat beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga. Jika keadaan jadi gawat, maka mereka tentu akan segera membunyikan isyarat.
Namun ternyata bahwa yang terdengar hanyalah ledakan ledakan cambuk saja. Tidak ada suara kentongan, tidak ada suara titir.
Meskipun demikian, suara cambuk itu juga menarik perhatian mereka. Meskipun ragu-ragu, merekapun kemudian membagi diri. Sebagian dari mereka akan melihat, apakah yang sudah terjadi, sementara sebagian yang lain harus tetap ditempatnya mengawasi keadaan.
Sementara itu, kuda Raden Sutawijaya meluncur seperti anak panah yang meloncat dari busurnya. Beberapa orang pengawal disimpang jalan berloncatan menepi. Sambil berdesah mereka berkata Hampir saja tubuhku lumat diinjak kaki kuda."
Namun Raden Sutawijaya tidak menghiraukannya. Ia seolah-olah telah melihat apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu. Agung Sedayu masih berusaha untuk menguasai lawannya agar mereka menyerah. Jika lawan-lawannya menyerah, maka jika ada beberapa orang pengawal memasuki halaman, mereka akan mempunyai pertimbangan lain.
Tetapi baik ketiga orang lawan Agung Sedayu, maupun lawan Ki Juru Martani lebih senang bertempur terus daripada menyerahkan diri.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah berusaha dengan cara lain. Ia harus melumpuhkan lawannya, sehingga mereka tidak akan mampu lagi melawan.
Itulah sebabnya, maka cambuk Agung Sedayupun meledak semakin dahsyat. Tidak saja menyambar-nyambar, tetapi ujungnya mulai terasa menyengat kulit.
Ketiga lawannya menjadi semakin cemas. Mereka hampir tidak melihat kemungkinan untuk melepaskan diri. Agung Sedayu benar-benar seorang yang pilih tanding.
"Tetapi jika tidak ada Ki Juru Martani, maka keempat kami akan dapat membunuhnya," geram salah seorang dari mereka didalam hati.
Luka-luka kecil mulai menggores kulit ketiga lawan Agung Sedayu. Terasa pedih-pedih telah menyengat di seluruh permukaan kulitnya. Bahkan kemudian warna merah telah menghangati tangan-tagan mereka ketika tangan-tangan mereka meraba luka-luka dilengan dan punggung.
"Gila," salah seorang dari mereka berteriak-teriak, "kita harus membunuhnya dengan cepat."
Tetapi belum lagi mulutnya terkatup rapat, ledakan cambuk Agung Sedayu terasa hinggap di lambungnya.
Lawan Ki Jurupun tidak melihat kemungkinan untuk dapat mengalahkan orang tua itu. Ternyata bahwa Ki Juru memiliki perhitungan yang cermat dalam menghadapi keadaan. Ia tidak dapat dipancing dengan cara yang kasar.
Sementara itu, beberapa orang pengawal yang berdatangan dari sekitar rumah itu telah mendekati regol. Mereka masih saja ragu-ragu untuk menentukan apa yang telah terjadi.
Namun salah seorang dari mereka yang mendekati gardu tiba-tiba saja melihat, beberapa sosok tubuh yang terlentang diam.
Dengan ragu-ragu mereka mendekat. Mereka tiba-tiba saja menjadi gemetar melihat apa yang telah terjadi. Mereka melihat kawan-kawan mereka tergolek diam.
"Gila. He, kenapa mereka terbunuh" " seseorang menggeram.
Para pengawal itu tidak bertanya tanya lagi. Ketika mereka mendengar cambuk meledak lagi, merekapun segera mengetahui apa yang telah terjadi di halaman.
Perlahan-lahan mereka kemudidan mendekati regol. Dari luar mereka mencoba melihat, apa yang telah terjadi.
"Pertempuran," desis salah seorang.
Merekapun kemudian melihat, dipendapa telah terjadi perkelahian seorang melawan seorang, sementara merekapun melihat, dihalaman seorang yang bersenjatakan cambuk harus bertempur melawan tiga orang.
Merekapun segera menyadari, bahwa orang yang mereka cari diseluruh kota ternyata justru berada di rumah Raden Sutawijaya. Bahkan mereka telah membunuh para pengawal dan kemudian bertempur melawan Ki Juru Martani dan Agung Sedayu.
Kemarahan para pengawal itu bagaikan telah membakar dada mereka. Mereka tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan. Bukan saja karena mereka tidak segera dapat menemukan keempat orang itu sehingga seluruh kota menjadi kebingungan, terlebih-lebih bahwa kawan-kawan mereka telah terbunuh justru didalam gardu-gardu.
"Ini suatu kegilaan," geram salah seorang dari mereka, "kecuali keempat orang itu memiliki ilmu yang tinggi, mereka juga orang-orang yang tidak berperikemanusiaan."
Para pengawal itu tidak menunggu perintah lagi. Merekapun segera berloncatan memasuki halaman, sambil mengacuan senjata masing-masing.
Pada saat itulah, Agung Sedayu telah berhasil melukai ketiga orang lawannya. Ia mencoba untuk memaksakan kehendaknya agar lawan-lawannya menyerah saja. Dengan demikian, maka keadaan mereka tentu akan menjadi lebih baik daripada mereka harus bertempur sampai para pengawal memasuki halaman.
Tetapi lawan-lawannya ternyata adalah orang-orang yang keras hati. Mereka sama sekali tidak berniat untuk menyerah, apapun yang terjadi atas mereka.
Pada saat para pengawal menyerbu masuk, maka para pelayanpun telah terbangun dan dengan ragu-ragu melihat apa yang telah terjadi. Meskipun mereka bukan pengawal-pengawal yang mampu bertempur dimedan, tetapi merekapun merasa wajib untuk ikut mempertahankan isi rumah itu. Sehingga karena itulah meskipun ragu-ragu dan saling menunggu merekapun kemudian turun kehalaman dengan senjata telanjang pula.
Agung Sedayu yang melihat para pengawal memasuki halaman dengan kemarahan yang menyala, menjadi sangat cemas. Tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh oleh keempat orang itu untuk melepaskan diri dari tangan para pengawal.
Pada saat itu pulalah terdengar derap kaki kuda mendekati regol halaman. Sejenak kemudian beberapa orang berkuda berpacu langsung memasuki regol.
"Senapati Ing Ngalaga," teriak para pengawal. Namun salah seorang pengawal telah berteriak, "mereka telah membunuh para pengawal diregol."
Tetapi yang lain berteriak, "Lihat, masih ada dua orang lagi terbunuh dipendapa."
Kemarahan tidak lagi dapat dikuasai. Raden Sutawijaya tidak memberikan perintah apapun juga. Tetapi para pengawal dengan darah yang mendidih telah menyerang orang-orang yang telah mereka buru diseluruh kota, namun yang ternyata ada dihalaman rumah itu setelah mereka membunuh beberapa orang pengawal.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi yang terjadi tidak lagi dapat dikuasainya. Para pengawal telah mengepung lawannya yang sudah terluka oleh cambuknya.
"Menyerahlah," Agung Sedayu masih berdesis.
Ketiga orang lawannya masih mendengar kata-kata Agung Sedayu itu. Bahkan Agung Sedayu masih melanjutkan, "Aku akan menjamin keselamatanmu. Kalian akan diperlakukan sebagai seorang tawanan yang sudah menyerah."
Kata-kata itu menyentuh hati ketiga orang lawannya. Tetapi ketika mereka melihat senjata yang teracu dan wajah-wajah yang tegang penuh dendam, maka salah seorang dari ketiga orang itu berkata, "Aku akan mati sebagai seorang laki-laki."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun segalanya berlangsung diluar kehendaknya. Apalagi ketika Agung Sedayu sempat memandang kependapa. Lawan Ki Juru Martani seakan-akan sudah tak nampak. Para pengawal mengepungnya dengan rapat.
Seperti ketiga orang kawannya, maka lawan Ki Juru itupun tidak mau menyerah. Mereka sadar, akibat yang akan mereka alami jika mereka menjadi tawanan orang-orang Mataram.
Karena itulah, maka keempat orang yang berada di dua arena itu bagaikan berjanji. Mereka mengamuk sejadi-jadinya, seperti seekor harimau lapar yang telah terluka.
Agung Sedayu masih berada diarena beberapa saat lamanya. Dengan cemas ia melihat para pengawal menyerang ketiga orang lawannya itu bagaikan meranjam seekor harimau di alun-alun pada upacara rampokan. Ketiga orang lawannya itu seolah-olah tiga ekor harimau
yang dilepas dari kandangnya diantara para prajurit yang telah dipersiapkan mengepungnya dengan tombak telanjang.
Tetapi ternyata bahwa ketiga orang lawannya yang telah dilukainya itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata mereka dengan tangkas menyambut para pengawal yang menyerang mereka dari segala penjuru.
Dengan senjata yang berputar bagaikan baling-baling mereka menamengi diri masing-masing. Dengan garangnya mereka menyusun pertahanan yang sangat rapat. Bahkan ternyata bahwa ketiga orang itu mampu membalas dengan serangan-serangan yang berbahaya.
Agung Sedayu yang seakan akan justru membeku itu terkejut ketika ia mendengar seorang pengawal berdesah. Pergelangan tangannya bagaikan akan patah tergores senjata lawan. Bahkan kemudian disusul oleh erang seorang pengawal yang lain. Seleret garis merah telah menyilang didadanya meskipun tidak terlampau dalam.
"Luar biasa geram Agung Sedayu apakah yang akan terjadi dengan mereka?"
Tetapi Agung Sedayu ternyata telah digelitik oleh kecemasannya ketika ternyata bahwa ketiga orang yang dikepung oleh para pengawal itu justru berhasil melukai beberapa orang.
"Hentikan," geram Agung Sedayu, "untuk yang terakhir kalinya. Menyerahlah."
"Persetan," sahut salah seorang dari mereka, "aku akan membunuh semuanya."
Buku 113 AGUNG Sedayu masih termangu-mangu. Tetapi ia tidak sampai hati melihat para pengawal mengalami kesulitan. Dan hampir diluar sadarnya ia telah mengangkat cambuknya kembali.
Sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Meskipun Agung Sedayu tidak mengenai seorangpun dari ketiga orang lawannya, namun suara cambuknya telah mengejutkan mereka. Sejenak mereka bagaikan kehilangan pengamatan diri oleh getaran didalam dada mereka. Suara cambuk itu bagaikan melecut jantung sehingga rasa-rasanya tangkai jantung mereka telah patah.
Namun yang sekejap itu, ternyata merupakan saat-saat yang menentukan bagi ketiga orang yang bernasib malang itu. Meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, namun dalam keadaan yang tiba-tiba itu, mereka telah kehilangan kesempatan. Selagi mereka mencoba mengatasi getaran jantung didalam dada masing-masing, maka tiba-tiba saja salah seorang pengawal telah melontarkan tombak pendeknya kepada salah seorang dari mereka.
Orang itu terkejut. Namun ia masih sempat meloncat dan berusaha memukul tangkai tombak yang mengarah kedadanya.
Ia berhasil menghindarkan diri dari ujung tombak itu. Namun tepat pada saat itu, sebuah pisau belati telah meluncur mematuk punggungnya.
Terdengar orang itu mengaduh. Namun iapun mulai terhuyung-huyung ketika kedua orang kawannya telah kembali mengamuk seperti orang kerasukan iblis.
Namun kemudian seorang kawannya membuat mereka benar-benar terpengaruh sehingga tata gerak merekapun mulai kabur. Apalagi kekuatan jasmaniah merekapun telah mulai susut setelah mereka bertempur melawan Agung Sedayu dan kemudian para pengawal.
Agung Sedayulah yang kemudian bagaikan membeku ditempatnya. Ia melihat senjata-senjata yang teracu-acu. Kemudian seolah-olah satu demi satu telah merobek tubuh orang-orang yang malang, yang berada didalam kepungan para pengawal yang dibakar oleh kemarahan, kebencian dan dendam, bagaikan seekor rusa yang mengamuk dikerumunan serigala-serigala yang lapar.
Namun akhirnya, kedua orang yang masih bertahan itupun menjadi kehilangan kekuatan. Luka mereka bagaikan arang kranjang. Tubuh mereka telah menjadi merah oleh darah.
Namun demikian, para pengawal masih belum merasa puas. Apalagi kedua orang itu masih saja berusaha menggerakkan senjatanya, betapapun mereka sudah sangat lemah.
Tetapi keduanya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Merekapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh dihadapan Agung Sedayu yang berdiri mematung.
Sejenak Agung Sedayu bagaikan kehilangan akal. Ia melihat tiga orang tergolek ditanah. Meskipun demikian agaknya para pengawal masih belum puas. Mereka mendesak maju sambil mengangkat senjata masing-masing.
"Cukup," teriak Agung Sedayu tiba-tiba bagaikan membelah keriuhan jerit para pengawal yang marah.
Para pengawal itu tertegun sejenak. Namun beberapa orang diantara mereka berteriak, "Lumatkan mereka. Cincang sampai hancur."
Beberapa senjata telah terangkat. Namun mereka terkejut bukan buatan, ketika senjata mereka kemudian terayun kearah tubuh-tubuh beku itu.
Sekali lagi para pengawal itu mendengar cambuk Agung Sedayu meledak. Namun yang terjadi kemudian adalah tangan-tangan mereka telah disengat oleh perasaan pedih. Senjata-senjata mereka terlepas dan terlempar jatuh ditanah, disamping ketiga tubuh yang sudah tidak bergerak lagi.
Beberapa orang pengawal yang kehilangan senjatanya termangu-mangu. Namun kemarahan yang tidak tertahankan lagi telah membuat mereka mata gelap. Bahkan salah seorang dari mereka berteriak, "Agung Sedayu, kau berpihak kepadanya?"
Agung Sedayu masih melihat salah seorang dari ketiga orang yang terbaring itu tiba-tiba menggeliat. Sehingga diluar sadarnya ia menjawab, "Biarkan yang masih hidup tetap hidup."
"Minggir," teriak pengawal yang lain jangan menghalangi kami. "Mereka telah membunuh kawan-kawan kami."
"Mereka akan membunuh aku juga. Tetapi jangan kehilangan akal, sehingga kalian telah kehilangan dasar-dasar perikemanusiaan."
"Aku tidak peduli. Minggir, atau kami harus memaksamu."
Agung Sedayu tetap berdiri ditempatnya. Bahkan ketika beberapa orang pengawal mendesak maju maka Agung Sedayu telah menggeram, "Jangan kalian teruskan kegilaan itu."
Tetapi beberapa orang pengawal yang masih bersenjata tidak menghiraukannya. Mereka mulai mengangkat senjata-senjata mereka.
Tetapi sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Bahkan suaranya bagaikan merontokkan jantung didalam setiap dada para pengawal.
Namun ternyata para pengawal yang marah itu menjadi semakin marah. Mereka justru kemudian mulai mengepung Aggung Sedayu yang selalu berusaha merintangi mereka.
Tetapi pada saat itu seorang anak muda dengan tergopoh-gopoh muncul diarena. Ia langsung berjongkok disamping ketiga orang yang terbaring ditanah. Sejenak ia mengamat-amati ketiganya. Kemudian meraba dadanya dengan cemas.
"Mereka telah mati," geram anak muda itu.
"Yang seorang masih hidup Raden," desis Agung Sedayu.
Tetapi Raden Sutawijaya itu menggeleng sambil berdesis, "Tidak. Ketiganya telah mati Mungkin yang seorang adalah yang terakhir."
Perlahan-lahan Raden Sutawijaya berdiri. Dipandanginya para pengawal yang berdiri melingkar. Selangkah demi selangkah ia berjalan sambil menatap setiap wajah. Dengan suara berat dan datar ia berkata, "Kalian adalah pengawal-pengawal yang berani, jantan penuh perasaan setia kawan."
Para pengawal mengerutkan keningnya. Dan Raden Sutawijaya meneruskan, "Tetapi kalian adalah pengawal-pengawal yang kurang nalar." Sejenak Raden Sutawijaya berhenti, lalu. "kalian telah membunuh semua orang yang kita cari. Aku terlambat mencegahnya ketika para pengawal mencincang lawan Paman Juru Martani, meskipun paman Juru Martanipun telah berusaha menggagalkannya. Dan sekarang, ketiga orang inipun telah kalian bunuh pula."
Para pengawal yang mendengar kata-kata Raden Sutawijaya itupun bagaikan membeku ditempatnya. Seolah-olah mereka mulai sadar, apa yang telah mereka lakukan. Sekilas mereka melihat tiga sosok tubuh yang terbaring ditanah. Jika Agung Sedayu tidak mencegahnya, maka ketiganya tentu tidak akan berujud lagi. Meskipun demikian, ternyata Agung Sedayu telah gagal untuk mempertahankan hidup ketiga orang itu, bahkan satu saja diantara mereka.
Ketika para pengawal masih termangu-mangu. Raden Sutawijaya meneruskan, "Nah, sekarang apa yang kalian dapatkan dari ketiga sosok mayat itu" Kepuasan yang buram?"
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun para pengawal itu mulai dapat membayangkan kemana arah pembicaraan Raden Sutawijaya itu. Dan seperti yang mereka duga, maka Raden Sutawijayapun berkata lebih lanjut, "Sekarang, kita tidak akan mendapatkan keterangan apapun dari mereka. Mereka semuanya telah mati."
Para pengawal menundukkan wajahnya. Mereka menyadari ketergesa-gesaan mereka, sehingga mereka tidak dapat berpikir dengan bening.
Sekilas mereka memandang Agung Sedayu yang berusaha mencegah mereka. Bahkan hampir saja telah timbul salah paham. Meskipun agaknya Agung Sedayu mempunyai pertimbangan yang lain dari Raden Sutawijaya, namun mereka mengakui, bahwa mereka telah kehilangan nalar dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali.
Dan kini, mereka tinggal dapat menyesali tingkah laku mereka. Ke empat orang yang mereka buru telah mereka ketemukan. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapatkan keterangan apapun juga dari mereka, karena mereka telah mati.
Raden Sutawijaya yang berdiri didalam lingkaran para pengawal itupun kemudian menggeram, "Nah, apakah kalian belum puas atas kelakuan kalian" Silahkan. Siapa yang masih ingin mencincang korban kalian. Mereka tidak lagi merasakan dan mengetahui apa yang kalian perbuat, betapapun biadabnya."
Para pengawal Mataram itu menunduk dalam. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
"Agung Sedayu," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "aku minta maaf atas kelakuan para pengawal. Mereka benar-benar telah dibayangi oleh kemarahan dan dendam."
"Aku mengerti," sahut Agung Sedayu dengan suara yang dalam. Direnunginya ketiga sosok mayat yang terbaring diam. Katanya kemudian, "mereka telah mati. Dan mereka tidak akan dapat menuntut apapun perlakuan yang pernah mereka alami."
"Ya. Dan merekapun tidak akan dapat berbicara, siapakah mereka sebenarnya dan dari manakah mereka itu datang."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sorot matanya membayangkan penyesalan yang dalam. Bahkan kemudian seolah-olah ia melihat Rudita telah berdiri diantara para pengawal itu dengan mata yang redup.
Tetapi Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Raden Sutawijaya berkata, "Kumpulkan mayat-mayat itu. Kita akan menguburnya besok siang dengan upacara sepantasnya."
Para pengawal masih tetap membeku ditempatnya. Sementara Raden Sutawijaya masih melangkah berputaran sambil memandangi wajah-wajah yang mulai berkeringat.
"Marilah Agung Sedayu. Kau tentu perlu beristirahat. Ternyata perhitunganku salah. Aku minta kau tetap tinggal dirumah agar kau dapat beristirahat. Namun justru kaulah yang telah berhasil menemukan orang-orang yang kita cari diseluruh kota." ajak Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ketika Raden Sutawijaya melangkah, iapun mengikuti dibelakangnya. Cambuknya masih didalam genggaman, sedangkan juntainya dipeganginya dengan tangan kirinya.
Orang-orang yang berdiri dalam lingkaran itupun menyibak, dan memberikan jalan kepada Raden Sutawijaya dan Agung Sedayu. Seorang pengawal muda berdesis lirih ketika Agung Sedayu lewat dihadapannya, "Aku mohon maaf Agung Sedayu."
Agung Sedayu berpaling. Anak itu masih muda semuda dirinya sendiri. Namun Agung Sedayu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sambil menahan gejolak perasaannya.
Ketika kedua anak-anak muda itu telah naik kependapa, maka mulailah para pengawal Mataram yang telah menyadari dirinya sendiri itu mengangkat mayat-mayat yang terbaring ditanah. Mereka menempatkan ketiga sosok mayat itu diserambi gandok, membaringkannya diatas amben bambu yang besar.
"Mana yang satu lagi?" bertanya salah seorang pengawal.
"Masih dipendapa," sahut yang lain.
Tetapi sesosok mayat yang masih dipendapa tidak segera dibawa keserambi gandok dan dibaringkan disamping mayat kawan-kawannya. Ketika Raden Sutawijaya bersama Agung Sedayu mendekati Ki Juru Martani yang sedang berjongkok merenungi mayat itu, seorang pengawal terdengar berkata diantara kawan-kawannya, "Ciri itu adalah ciri seorang prajurit."
Raden Sutawijaya tertegun sejenak. Namun kemudian iapun melangkah mendekati Ki Juru dengan tergesa-gesa.
"Angger," berkata Ki Juru, "lihatlah."
Raden Sutawijaya dan Agung Sedayupun kemudian berjongkok didekat mayat itu. Ketika ia memandang ikat pinggangnya, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ikat pinggang itu memang ikat pinggang prajurit Pajang. Tetapi setiap orang dapat saja memakainya. Mungkin ia mendapatkannya dari saudaranya yang kebetulan juga seorang prajurit. Atau bahkan ia dapat merampasnya dengan kekerasan."
Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, "Tetapi mungkin juga ia memang seorang prajurit. Danang, cobalah kau lihat timangnya yang bukan saja timang seorang prajurit. Tetapi ia sudah menghiasinya dengan emas dan permata. Jika ikat pinggang ini bukan miliknya sendiri, ia tentu tidak akan berbuat demikian. Atau katakan ia merampasnya dari seorang perwira, tentu emas dan permata itu akan diambilnya dan dipindahkannya pada ikat pinggang yang lain, bukan ikat pinggang seorang prajurit.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya ikat pinggang prajurit yang sudah ditambahinya dengan hiasan emas dan permata, yang memang tidak dilarang oleh pimpinan keprajuritan Pajang sejak Ki Gede Pemanahan masih menjadi Panglima, sehingga banyak para perwira yang menghiasi timangnya dengan lapisan emas dan permata.
Namun kemudian Raden Sutawijaya berkata, "Tetapi aku belum pernah mehhatnya. Jika ia seorang perwira Pajang, tentu aku pernah mengenal atau melihatnya."
Ki Juru menggeleng. Katanya, "Tentu tidak semuanya. Mungkin ia baru saja diangkat menjadi seorang perwira karena ia memiliki ilmu yang sangat tinggi."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, "Mungkin ia adalah seorang petugas sandi."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Dan Ki Juru berkata, "Salah seorang dari mereka yang bertempur melawan Agung Sedayu tentu penari yang cakap itu."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Ya Ki Juru. Meskipun semula aku tidak pasti. Tetapi agaknya salah seorang dari mereka adalah penari yang kita lihat di banjar padukuhan itu."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, "Sayang. Ia adalah seorang penari yang sangat baik. Ia memiliki pengetahuan yang sangat berharga bagi tubuhnya sebagai seorang penari. Tetapi ia telah melakukan sesuatu yang menjerumuskannya dalam kesulitan, dan bahkan maut."
Raden Sutawijaya memandang Ki Juru sejenak, kemudian ditatapnya wajah Agung Sedayu yang tunduk merenungi mayat itu.
"Paman," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "apakah paman sependapat, bahwa ikat pinggang itu sebaiknya kita simpan saja. Mungkin ikat pinggang itu akan dapat menjadi jalur mengenalnya kita terhadap orang-orang yang sudah tidak dapat kita ajak berbicara itu, justru karena para pengawal Mataram sendiri yang terlalu dibebani oleh dendam dan kemarahan, sehingga mereka telah melakukan sesuatu yang sangat bodoh."
Ki Juru memandang ikat pinggang itu sejenak. Lalu iapun kemudian bertanya, "Apakah yang tiga orang itu juga mengenakan ikat pinggang keprajuritan?"
Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Tidak paman. Mereka tidak mengenakan ikat pinggang semacam itu. Juga pada mereka tidak terdapat tanda-tanda apapun juga."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Baiklah Raden. Kau dapat menyimpan ikat pinggang itu. Mungkin ada gunanya. Tetapi mungkin juga tidak sama sekali. Tidak akan ada seorangpun yang akan mengaku memiliki ikat pinggang itu, kecuali jika ikat pinggang itu pernah dirampas dengan paksa dan orang yang merampasnya mempergunakan tanpa dirombak bentuk dan ujudnya."
Raden Sutawijayapun kemudian memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil ikat pinggang itu dengan penjelasan, bahwa yang penting bukannya emas dan permatanya, tetapi mungkin akan dapat dipergunakan untuk mencari jejak dari keempat orang itu.
Demikianlah sisa malam itupun kemudian dipergunakan oleh Raden Sutawijaya untuk duduk dipendapa bersama para pemimpin Mataram. Agung Sedayu yang dipersilahkan untuk beristirahat, ternyata lebih senang untuk ikut duduk dipendapa dan mempercakapkan keempat orang yang telah terbunuh itu.
"Angger Agung Sedayulah yang dicarinya di Mataram," berkata Ki Juru kepada para pemimpin Mataram.
Agung Sedayu menundukkan kepalanya ia sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan siapapun. Tetapi keadaan telah mendorongnya untuk menanam dendam dihati orang. Ia sadar, bahwa setiap jiwa yang direnggutnya, akan berarti menambah jumlah musuh yang mendendam dan membencinya.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ki Juru berkata, "Angger Agung Sedayu. Karena peristiwa ini, maka sudah tentu angger akan tinggal lebih lama lagi di Mataram. Mungkin angger perlu menenangkan hati. Tetapi mungkin pula dengan pertimbangan lain. Sudah tentu angger Agung Sedayu tidak akan cemas diperjalanan. Angger akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang datang. Namun aku mengerti, bahwa angger sama sekali tidak akan bermaksud menambah lawan. Apalagi membakar dendam."
Agung Sedayu menarik nafas. Pertimbangan Ki Juru dapat dimengerti. Ki Juru tentu mencemaskannya, bahwa masih ada orang yang akan mencegatnya disepanjang jalan. Jika ia terpaksa bertempur, maka ada kemungkinan, bahwa ia harus melakukan pembunuhan lagi untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian maka ia telah menyaingi dendam pada suatu lingkungan terhadapnya, sehingga dendam itu akan menjadi semakin subur. Dan timbullah lingkaran yang tidak terputuskan, dendam, pembalasan, yang harus dilawan dan menimbulkan kematian yang akan membakar dendam itu lagi.
Tetapi ketegangan jiwa Agung Sedayu bagaikan tidak tertahankan lagi. Ia ingin segera sampai dipadepokannya. Ia baru akan dapat beristirahat jika ia sudah ada ditengah kerja padepokannya. Memanggul cangkul dan menyelusuri parit ditengah bulak. Membelah kayu dan menyapu halaman disaat fajar menyingsing. Melepaskan diri dari segala macam persoalan yang pelik dan menyakitkan hati, sambil mendengarkan kicau burung dicerahnya pagi.
Namun ketika terpandang wajah Raden Sutawijaya, terpercik juga sebuah keluhan di hati, "Aku memang seorang yang sangat mementingkan diriku sendiri."
Meskipun demikian Agung Sedayu sadar, bahwa ia memang bukan Raden Sutawijaya yang dadanya dipenuhi oleh api perjuangan sesuai dengan keyakinannya. Tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk membakar cita-citanya menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai.
Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera dapat mengambil keputusan. apakah ia akan tinggal lebih lama lagi, atau ia memutuskan untuk segera meninggalkan Mataram dan kembali kepadepokan kecilnya, dimana Glagah Putih telah menunggunya dengan tidak sabar lagi.
Dalam pada itu, para pengawal nampak sibuk dengan persiapan upacara penguburan keempat sosok mayat itu. Meskipun keempat sosok mayat itu adalah mayat-mayat orang-orang yang tidak disukai, tetapi Raden Sutawijaya memerintahkan agar mayat-mayat itu dikubur dengan upacara sepantasnya.
Agung Sedayu masih saja termangu-mangu memandang para pengawal yang nampak hilir mudik dihalaman.
Namun ketika ia melihat cahaya kemerah-merahan membayang, maka tiba-tiba saja kerinduannya untuk kembali kepadepokan kecilnya tidak tertahankan lagi, sehingga katanya kemudian, "Ki Juru. Agaknya aku lebih senang untuk segera sampai ke padepokan kecilku. Aku sudah terlalu lama pergi meninggalkan adik sepupuku."
"Glagah Putih maksudmu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ya. Ia tentu sudah menunggu. Mungkin ia menjadi kecewa bahwa aku terlalu lama meninggalkannya."
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raden Sutawijaya yang masih muda itupun tiba-tiba tersenyum. Yang terbayang padanya bukannya seorang anak muda yang bertubuh tinggi, berwajah bening, namun dengan sorot matanya yang menunjukkan kekerasan hatinya. Tetapi yang terbayang padanya adalah seorang wanita cantik yang keras hati di Sangkal Putung.
Karena itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian berkata sambil tersenyum, "Paman. Memang sulit untuk menahan Agung Sedayu lebih lama lagi. Mungkin adik sepupunya sudah sangat merindukannya. Mungkin adik seperguruannya. Mungkin gurunya. Tetapi mungkin juga Sekar Mirah."
"Ah," desah Agung Sedayu sambil menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membantah. Gadis itupun memang mulai terbayang. Namun justru menumbuhkan kegelisahan dihatinya karena gadis itu selalu memandang masa depannya dengan suram.
Agaknya Agung Sedayu benar-benar tidak dapat ditahan lagi untuk tinggal lebih lama di Mataram. Cahaya matahari yang kemudian jatuh di atas tanah berdarah dihalaman rumah Raden Sutawijaya itu, membuat hatinya menjadi semakin dekat dengan padepokan kecilnya yang tenang dan damai.
"Baiklah Agung Sedayu," berkata Raden Sutawijaya, "agaknya kau benar-benar ingin kembali kepadepokanmu. Karena itu, biarlah kau ditemani oleh dua orang pengawal dari Mataram. Bagaimanapun juga peristiwa yang baru saja terjadi, membuat kita harus berhati-hati. Meskipun kau merupakan orang yang mumpuni dalam olah kanuragan, tetapi kedua pengawal itu akan dapat menjadi kawan berbincang di sepanjang jalan. Mungkin perlu untuk melakukan perintahmu diperjalanan atau keperluan-keperluan yang lain."
Agung Sedayu tidak dapat menolak. Iapun menyadari, bahwa kawan diperjalanan dalam keadaan yang masih dibayangi oleh merahnya darah itu tentu akan berarti baginya.
Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian minta diri untuk berkemas, karena ia akan berangkat pagi-pagi tanpa menunggu upacara penguburan keempat sosok mayat itu.
Ketika Agung Sedayu telah siap untuk berangkat, ia masih sempat minta maaf, bahwa ia tidak dapat menunggui upacara pemakaman para pengawal dan penguburan ke empat sosok mayat itu meskipun ia adalah sasaran dari mereka.
"Ah, aku justru berterima kasih," berkata Raden Sutawijaya, "sebab menurut perkembangan tingkah lakunya, mereka bukan saja akan mencelakaimu, tetapi mereka dengan licik berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka terpenting di Mataram. Dan kaulah yang telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu."
"Ki Juru Martani. Aku hanya membantumu saja," sahut Agung Sedayu.
Tetapi Ki Juru tertawa. Ia sadar bahwa ketegangan jiwa Agung Sedayu telah memaksanya untuk segera meninggalkan Mataram. Katanya, "Apapun yang kau katakan ngger, tetapi kita semuanya sudah mengambil kesimpulan seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sekali lagi ia mohon diri dan berangkat menuju ke Sangkal Putung, diiringi oleh dua orang pengawal pilihan dari Mataram. Karena kemungkinan yang buruk-pun akan dapat terjadi pada kedua pengawal itu saat mereka kembali tanpa Agung Sedayu. Karena itu, maka mereka berduapun harus bersiap menghadapi kemungkinan itu, meskipun jalan antara Mataram dan Sangkal Putung pada umumnya tidak terdapat hambatan-hambatan apapun.
Demikianlah ketika matahari memanjat semakin tinggi dilangit, Agung Sedayu mulai dengan perjalanannya kembali ke padepokan kecilnya lewat Sangkal Putung. Mungkin gurunya masih tinggal di Kademangan itu menunggu Ki Sumangkar yang terluka parah dipeperangan.
Ketika kuda Agung Sedayu berlari meskipun tidak cukup kencang, namun terasa betapa segarnya udara pagi mengusap wajahnya. Langit nampak hijau cerah terbentang dari ujung sampai ke ujung bumi. Mega yang tipis selembar-selembar mengahr dihanyutkan angin pagi, sementara Agung Sedayu merasa semakin jauh dari kejaran perasaan bersalah karena pembunuhan-pembunuhan.
Sudah lama Agung Sedayu terlepas dari sejuknya suasana sejak ia meninggalkan padepokannya. Hanya sesaat-sesaat ia sempat melihat hijaunya tanaman di sawah. Diperjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh ia juga melalui bulak-bulak panjang yang hijau seperti yang dilaluinya bersama kedua orang pengawal dari Mataram itu. Dipematang nampak beberapa ekor bangau berdiri disebelah kakinya yang panjang.
"Mataram memang akan menjadi besar," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
Kedua pengawal yang berkuda bersamanya mengerutkan keningnya. Mereka tidak begitu mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga salah seorang dari mereka bertanya, "Apa yang kau maksudkan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Mataram akan menjadi besar. Tanahnya subur dan menyimpan kemungkinan yang sangat luas. Banyak orang dari segala penjuru berdatangan untuk ikut membuka hutan, sehingga Mataram meluas dengan cepatnya. Mereka bekerja keras dan yang paling menggembirakan, mereka segera merasa diri mereka satu tanpa terbelah-belah lagi. Mereka dapat melupakan asal usul mereka dan hidup bagaikan keluarga dengan tetangga-tetangga mereka yang baru."
Para pengawal itu mengangguk-angguk. Bagi mereka, Mataram merupakan tanah harapan bagi masa depan serta sepanjang keturunannya.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu menyusuri jalan menuju ke Sangkal Putung, Raden Sutawijaya masih merenungi ikat pinggang keprajuritan dari salah seorang yang telah terbunuh di halaman rumahnya, sementara orang-orang lain sibuk mempersiapkan keberangkatan ke empat sosok itu ke kubur.
"Tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat memberikan petunjuk mengenai orang-orang itu paman," berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru Martani.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Ketika ia menerima ikat pinggang itu dan mengamatinya, iapun menggeleng. Katanya, "Memang tidak ada tanda-tanda apapun juga. Orang itu sudah merubah timang ikat pinggangnya dengan melapisnya dengan emas dan memberikan beberapa butir permata yang mahal. Agaknya ia memang seorang perwira yang bangga akan kedudukannya dan termasuk seorang yang cukup kaya."
Raden Sutawijaya merenung sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah mengenalnya. Tetapi kemudian ia berkata, "Aku yakin, bahwa aku belum pernah mengenal sebelumnya. Mungkin ia orang baru bagi Pajang."
"Atau sama sekali bukan prajurit Pajang," sahut Ki Juru Martani.
Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Ia mencoba untuk menyingkirkan teka-teki itu dari angan-angannya meskipun ia masih berniat untuk menyimpan ikat pinggang itu.
Dalam pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, Agung Sedayu telah membunuh Ki Tumenggung Wanakerti. Mungkin saja seorang perwira yang lain mendendamnya karena Agung Sedayu untuk selanjutnya akan dapat menjadi penghalang yang besar bagi keinginan golongan mereka. Apalagi mereka tentu menganggap bahwa Agung Sedayu telah berdiri dipihak Mataram.
Tetapi mungkin pula orang itu telah dikirim oleh para pemimpin dari kelompok yang merasa kehilangan Ki Gede Telengan, yang mereka ketahui telah dibunuh oleh Agung Sedayu pula. Atau bahkan oleh Kiai Samparsada yang masih belum dapat melepaskan dendamnya.
Banyak pertimbangan-pertimbagan yang membayangi angan-angan Raden Sutawijaya. Namun ia mencoba untuk melupakannya, Setidak-tidaknya untuk beberapa saat. Jika kesempatan terbuka untuk mencari jawaban atas ikat pinggang itu, maka ia tentu akan mempersoalkannya kembali.
Karena itulah, maka setelah menyimpan ikat pinggang keprajuritan itu, iapun segera turun diantara para pengawalnya untuk menyelesaikan persiapan penguburan ke empat mayat dari orang-orang yang terbunuh dihalaman itu, sementara yang lain sibuk pula mengurus, beberapa orang pengawal yang telah menjadi korban. Tetapi agaknya tidak semua pengawal terbunuh. Empat orang dari mereka masih dapat diharapkan hidup meskipun mereka mengalami cidera yang berat. Sedang dua diantara mereka tidak dapat tertolong lagi jiwanya, karena luka-luka yang parah. Mereka mengalami serangan tanpa dapat membela diri sama sekali.
Jika para pengawal itu terkenang kepada kawan-kawannya yang gugur dan terluka parah, maka darah mereka bagaikan mendidih. Rasa-rasanya mereka ingin melemparkan saja mayat-mayat itu dipinggir hutan agar menjadi mangsa binatang buas atau tubuh itu hancur disayat-sayat anjing hutan.
Tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani sama sekali tidak menghendakinya. Mereka masih tetap berpegang pada peradaban manusia, sehingga bagaimanapun juga, ke empat sosok mayat itu harus diselenggarakan sebagaimana seharusnya.
Namun berbeda dengan ke empat sosok mayat itu, dua orang pengawal yang gugur mendapat penghormatannya tersendiri. Mereka adalah para pengawal yang sedang melakukan tugasnya saat mereka disergap oleh orang-orang yang tidak mereka kenal, sehingga mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Membunyikan isyaratpun tidak sempat.
Dengan demikian maka Mataram menjadi sibuk. Para pengawal mengatur segalanya untuk upacara pemakaman kawan-kawannya dan ke empat orang lawan mereka. Sementara keluarga para korban dengan sedih merenungi kematian kedua pengawal yang justru sedang bertugas di dalam kota mereka sendiri.
"Agung Sedayulah yang menurut kabarnya menjadi sasaran keempat orang itu. Tetapi anakkulah yang harus menjadi banten," seorang ibu tua menangis disamping suaminya yang telah tua pula.
"Ia gugur dalam tugasnya," suaminya mencoba meredakan tangisnya.
"Tetapi sekarang Agung Sedayu begitu saja pergi seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Mataram," tangis isterinya dengan kesal.
"Ia memang tidak tahu diri," keluarga yang lain menyahut, "seharusnya ia tetap berada disini. Bebanten itu adalah tebusan nyawanya. Dan ia sama sekali tidak memberikan penghormatan kepada mereka. Tanpa anakku dan anakmu yang gugur, ialah yang mati dihalaman ini."
Yang lain menganggguk-agguk. Tetapi mereka tidak dapat menyampaikan perasaan itu kepada Raden Sutawijaya. Karena itu, mereka hanya dapat membicarakan diantara mereka saja.
Namun mereka kemudian mendengar beberapa orang pengawal yang datang dan duduk disebelah keluarga korban yang gugur itu berbicara. Salah seorang dari mereka berkata, "Tanpa Agung Sedayu, Mataram benar-benar akan menjadi buram. Mungkin pusaka Mataram telah hilang, atau Ki Juru Martanilah yang telah gugur sekarang ini."
"Tetapi kenapa ia pergi sebelum pemakaman ini selesai?" bertanya yang lain.
"Hatinya terlalu ringkih. Mungkin lembut, tetapi mungkin cengeng seperti yang dikatakan oleh beberapa orang. Ia merasa bersalah pada setiap kematian. Apalagi karena tangannya. Itulah sebabnya hampir terjadi salah paham antara Agung Sedayu dan para pengawal. Tetapi itu tidak mengurangi besar jasanya sekarang ini, meskipun ia berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa ia telah membunuh lagi dihalaman rumah ini."
Pembicaraan itu terputus. Salah seorang dari para pengawal itu dipanggil kawannya dan pergi meninggalkan tempat itu.
Beberapa orang keluarga korban yang terbunuh itupun termangu-mangu. Mereka mendengar pembicaraan para pengawal itu, sehingga mereka mempunyai penilaian banding tentang Agung Sedayu. Namun bagi mereka Agung Sedayu justru merupakan orang yang memiliki banyak teka-teki yang sulit pada dirinya. Ia mempunyai banyak wajah tentang watak dan sifatnya. Seorang prajurit yang berani, seorang pembunuh yang disegani, tetapi juga seorang yang cengeng dan kecil hati dan seorang yang penuh belas kasihan.
Sementara itu Agung Sedayu masih dalam perjalanannya menuju ke Sangkal Putung. Ia berbicara tentang berbagai macam persoalan dengan pengawal yang mengawaninya diperjalanan. Tetapi Agung Sedayu selalu menghindar jika kedua orang pengawal itu mulai berbicara tentang peperangan. Apalagi tentang nama-nama yang kadang-kadang datang didalam mimpinya. Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti, Kiai Samparsada atau Kiai Kalasa Sawit. Bahkan kadang-kadang ia melihat sebuah barisan yang panjang dari orang-orang yang dibunuhnya dengan tubuh yang koyak koyak sejak tangannya pertama kali di kotori dengan darah.
Tetapi Agung Sedayu senang sekali jika kawan-kawannya diperjalanan itu membicarakan tentang hijaunya sawah yang terbentang disebelah menyebelah jalan. Tentang parit-parit yang mengalirkan air yang bening, dan tentang jalan-jalan yang semakin ramai dilalui pedati yang membawa hasil sawah menuju ke tempat-tempat yang ramai.
"Pada saatnya Mataram merupakan pusat perdagangan di daerah baru dan sedang berkembang ini," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "dari Kademangan-kademangan di daerah Selatan, Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan di sekitarnya. Daerah lereng Gunung Merapi dan daerah disebelah Timur yang berada digaris lurus antara Mataram dan Pajang."
Dalam pada itu. perjalanan merekapun semakin lama menjadi semakin jauh dari Mataram. Matahari memanjat semakin tinggi di langit, sehingga sinarnya yang mulai panas terasa gatal menggelitik tubuh. Setitik keringat mulai mengembun dikening.
Tetapi kuda-kuda mereka berlari terus. Kadang-kadang mereka harus memperlambat jika mereka berpapasan dengan pedati yang berjalan lamban beriringan.
Ketika mereka mendekati sungai Opak, maka merekapun beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum dan makan rerumputan segar, sementara Agung Sedayu dan kedua pengawal, yang mengawaninya duduk bersandar sebatang pohon yang rindang.
Menilik orang-orang yang lalu lalang, dan orang-orang yang bekerja disawah, maka nampaknya didaerah itu tidak ada tanda-tanda yang dapat memberikan kesan yang kurang baik seperti yang terjadi di Mataram. Nampaknya Prambanan tetap tenang tanpa mengalami gangguan apapun juga, meskipun letaknya yang tidak terlalu jauh dari Mataram. Agaknya di Kademangan itu terasa tangan-tangan pasukan Pajang yang berada di Jati Anom membantu menjaga pengamanannya meskipun tidak langsung.
"Mungkin masih ada dua tiga orang prajurit yang bertugas di Kademangan ini jika diminta," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "agaknya berbeda dengan Sangkal Putung yang merasa dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga bantuan kakang Untara tidak diperlukan lagi."
Nampaknya kedua pengawal Mataram yang bersama Agung Sedayu itupun sedang memperhatikan keadaan Prambanan. Bahkan salah seorang dari mereka berdesis kepada kawannya, "Prambananpun tentu akan menjadi besar."
"Mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri, seperti Sangkal Putung. Dari segi kekuatan, maka prajurit Pajang yang ma.sih ada di Prambanan merupakan orang-orang yang diharap dapat meninggalkan ilmu kanuragan mereka pada anak-anak muda di Prambanan," sahut yang lain.
Agung Sedayu berpaling kepada mereka. Tetapi ia tidak menyahut. Iapun mengerti, bahwa para prajurit Pajang di Prambanan dengan senang hati memenuhi permintaan anak-anak muda Prambanan untuk melatih mereka dalam olah kanuragan. Tetapi justru karena Prambanan sejak semula adalah Kademangan yang tenang, subur dan berkecukupan, maka justru gejolak anak-anak mudan,ya tidak begitu nampak. Agaknya di Prambanan tidak ada seorang anak muda seperti Swandaru. Mereka cukup puas dengan keadaan mereka meskipun hanya sederhana. Tidak ada perjuangan yang menggelegak seperti Sangkal Putung untuk membuat kademangan itu menjadi semakin besar dan kuat.
Namun demikian. Prambanan merupakan Kademangan yang cukup ramai.
Agung Sedayu yang masih bersandar sebatang pohon itu memandangi arus sungai Opak yang mengalir dengan tenang. Dimusim kering, airnya yang jernih mengalir dengan segan. Tidak lebih dari sebatang sungai kecil yang mengalir didataran pasir yang luas. Tetapi dimusim basah arus Kali Opak dapat menghanyutkan rumpun-rumpun bambu ditepian. Airnya memenuhi seluruh luasnya sungai dari tanggul sampai ketanggul. Bergejolak ke coklatan, sehingga orang-orang yang ingin menyeberang harus mempergunakan rakit-rakit dengan tukang satang yang kuat.
Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu memandangi arus air yang jernih dan hijaunya tanaman di sawah, keningnya berkerut ketika ia melihat dua orang berkuda berpacu seperti dikejar hantu.
"Kau lihat," di luar sadarnya Agung Sedayu berdesis.
Kedua pengawal Mataram yang menyertai Agung Sedayu itupun termangu-mangu. Namun kemudidan katanya, "Menarik sekali. Marilah kita berdiri dipinggir jalan. Mungkin kita sudah mengenal mereka, atau barangkali ada sesuatu yang dapat kita ketahui tentang mereka."
Agung Sedayu mengangguk. Iapun kemudian berdiri dan bersama kadua pengawal itu mereka melangkah ketepi jalan. Meskipun mereka tidak semata-mata memandangi kedua orang yang berpacu itu, namun mereka sengaja untuk dapat melihat kedua orang itu dari dekat.
Dari kejauhan nampak debu putih mengepul tinggi. Kuda-kuda yang berlari itu mengurangi kecepatannya ketika mereka menyeberangi sungai yang tidak begitu dalam. Kemudian memanjat tebing dan semakin lama derap kuda itupun menjadi semakin cepat pula.
Namun ternyata kedua orang berkuda itu terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri dipinggir jalan, seperti Agung Sedayupun terkejut pula melihat mereka.
"Agung Sedayu," salah seorang dari kedua orang berkuda itu berdesis.
Keduanyapun kemudian menarik kekang kuda mereka, sehingga tepat dihadapan Agung Sedayu kedua ekor kuda itupun berhenti. Dengan tergesa-gesa keduanya segera meloncat turun dari kuda mereka.
Agung Sedayupun kemudian memperkenalkan kedua orang berkuda itu kepada para pengawal yang menyertainya dari Mataram. Keduanya adalah para pengawal dari Sangkal Putung.
"O," salah seorang pengawal dari Mataram berguman, "agaknya ada keperluan yang penting sehingga keduanya berpacu agaknya menuju ke Mataram."
Agung Sedayu mengangguk. Iapun ingin segera mengetahui, apakah kedua pengawal itu sedang melakukan tugas yang penting.
Namun sebelum Agung Sedayu bertanya, salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu telah berkata, "Agung Sedayu. Kami berdua memang sedang dalam perjalanan ke Mataram mencarimu. Jika kau belum berada di Mataram, kami harus langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh setelah kami menghadap Senapati Ing Ngalaga."
"Apakah yang sudah terjadi?" bertanya Agung Sedayu tidak sabar lagi.
Pengawal itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang berkata, "Baiklah. Aku akan mengatakannya disini. Bukankah kau sudah berada dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung."
"Ya." "Untunglah kami tidak berselisih jalan."
"Jalan ini adalah jalan yang paling baik. Bahkan dapat disebut satu-satunya karena jalan-jalan kecil yang lain masih terlalu sulit atau lebih jauh dilalui dan apalagi untuk berpacu," Agung Sedayu menjawab, lalu. "coba katakanlah, apakah keperluanmu?"
"Kami harus menyampaikan berita yang penting. Ki Sumangkar yang terluka parah itu, kini nampaknya menjadi semakin gawat."
"Ki Sumangkar" " Agung Sedayu dan kedua pengawal dari Mataram itu berbareng mengulangi.
"Ya," jawab salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu.
"Bagaimana dengan guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Maksudmu Kiai Gringsing?"
"Ya." Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Kiai Gringsing masih tetap menungguinya siang dan malam. Ia telah berusaha sejauh dapat dilakukan. Tetapi seperti yang dikatakannya kepada Ki Demang, bahwa ia tidak lebh dari seorang manusia biasa. Yang dapat dilakukannya memang sangat terbatas."
"Tetapi guru adalah seorang dukun yang sangat pandai." potong Agung Sedayu.
"Semua orang mengakuinya. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, bahwa ia adalah seorang yang tidak lebih dari orang-orang kebanyakan. Usahanya tidak seluruhnya harus berhasil. Juga dalam hal obat-obatan. Tetapi ia tidak berputus asa. Kiai Gringsing sedang mencari sejenis daun turi tetapi yang bunganya berwarna kehitam-hitaman. Batangnya tidak lebih besar dari pohon landep. Mudah-mudahan ia berhasil."
Agung Sedayu menjadi tegang. Ia menganggap bahwa gurunya adalah seorang yang memiliki pengamatan yang luas tentang obat-obatan. Jika Kiai Gringsing mengalami kesulitan, maka nampaknya keadaan Ki Sumangkar memang benar-benar gawat.
Karena itu. maka katanya kemudian, "Jadi kalian juga mendapat tugas untuk menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya?"
"Kiai Gringsing memerintahkan demikian. Ki Demang dan Swandaru pun berpendapat demikian juga, meskipun Ki Sumangkar sendiri sebenarnya berkeberatan," jawab salah seorang pengawal Sangkal Putung itu.
Agung Sedayu termangu-mangu. Maka katanya kemudian, "Jika demikian, maka kalian akan tetap pergi ke Mataram meskipun kalian telah bertemu aku disini."
"Ya. Kami akan terus ke Mataram."
Agung Sedayu merenung sejenak. Ia membuat pertimbangan tentang rencana kedua pengawal itu pergi ke Mataram. Apakah tidak sebaiknya kedua pengawal dari Mataram sajalah yang kembali dan menyampaikan berita itu.
Namun tiba-tiba ia menggeleng. Katanya, "Memang sebaiknya kalian pergi ke Mataram. Tidak baik menyerahkan tugas kepada orang lain.. Menghadaplah Senapati Ing Ngalaga di Mataram untuk menyampaikan berita itu. Dan katakanlah bahwa kalian telah berjumpa dengan aku diperjalanan ini."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari keduanya menjawab, "Baiklah. Jika demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kami."
"Berilah kudamu kesempatan minum dan sedikit makan rumput. Kemudian segeralah melanjutkan perjalanan. Kami sudah beristirahat sejenak, sehingga biarlah kami meneruskan perjalanan kami. Tiba-tiba saja rasanya kami ingin segera berada di Sangkal Putung," berkata Agung Sedayu.
"Silahkan. Ada baiknya juga kudaku minum," jawab salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu.
Agung Sedayu dan dua orang pengawal dari Mataram itupun segera mempersiapkan diri. Kuda mereka nampaknya sudah cukup beristirahat sehingga telah menjadi segar kembali. Kuda-kuda itu telah minum beberapa teguk dan makan rerumputan segar dipinggir Kali Opak.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan kedua orang pengawal dari Mataram itupun berpacu. Mereka rasa-rasanya seperti dikejar-kejar oleh waktu. Kecemasan yang sangat telah mencengkam hati Agung Sedayu. Seolah-olah ia didesak oleh suatu keinginan untuk masih dapat bertemu dengan Ki Sumangkar dan sedikit berbicara.
"Waktu itu masih panjang," geram Agung Sedayu, "kenapa aku tergesa-gesa. Besok, lusa, sepekan atau sebulan lagi aku masih akan dapat berbincang dengan Ki Sumangkar. Ia akan sembuh dan sehat kembali seperti sediakala."
Namun dilubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak dapat mengingkari keharusan yang dapat terjadi kepada Ki Sumangkar, bahkan kepada setiap orang, jika yang Maha Kuasa memang sudah menghendakinya.
Karena itulah, maka kuda Agung Sedayu dan kedua pengawal dari Mataram itupun berderap semakin kencang. Beberapa orang yang berpapasan dengan keduanya menjadi heran. Apalagi orang-orang yang sedang menunggui sawah dipinggir jalan. Baru saja mereka melihat dua orang berkuda berpacu kearah yang berlawanan dengan ketiga orang itu.
Tetapi baik yang berdua maupun yang bertiga dengan arah yang berlawanan, sama sekali tidak berbuat sesuatu yang mencurigakan. Yang mereka lihat, mereka adalah orang-orang yang bepergian dengan tergesa-gesa.
Demikian pula para pengawal Sangkal Putung yang pergi ke Mataram. Selelah beristirahat sejenak, maka merekapun segera meneruskan perjalanan mereka. Mereka berpacu seperti dikejar hantu, karena merekapun sebenarnya merasa cemas, bahwa jika Raden Sutawijaya berkenan mengunjungi Ki Sumangkar, ia akan datang terlambat.
Jarak antara Prambanan ke Sangkal Putung dan ke Mataram tidak berselisih jauh. Tetapi jalan ke Mataram, semakin dekat, menjadi semakin baik. Lebih baik dari jalan yang menuju ke Sangkal Putung setelah melewati Prambanan, sehingga karena itu, berpengaruh pula pada laju kuda mereka yang pergi ke arah yang berlawanan pula.
Dengan demikian, maka para pengawal Sangkal Putung yang pergi ke Mataram ternyata lebih cepat mencapai tujuannya meskipun selisih waktu yang diperlukan hampir tidak berarti. Di saat Agung Sedayu memasuki Kademangan Sangkal Putung, maka para pengawal dari Sangkal Putung telah berhenti didepan regol rumah Raden Sutawijaya, karena dua orang pengawal bersenjata tombak telah berdiri disebelah menyebelah sambil mengacukan senjata mereka.
"Siapakah kalian Ki Sanak?" bertanya salah seorang penjaga regol itu.
"Kami dalang dari Sangkal Putung," jawab pengawal yang datang.
"Siapakah yang kalian cari?" bertanya penjaga regol pula.
"Kami akan menghadap Senapati Ing Ngalaga."
Namun sementara itu penjaga regol yang lain bertanya, "Kau akan mencari Agung Sedayu?"
"Tidak," jawab pengawal itu, "kami telah berpapasan di jalan. Kami akan menghadap Senapati Ing Ngalaga untuk menyampaikan pesan Kiai Gringsing kepadanya."
Para penjaga regol itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka membawa kedua pengawal dari Sangkal Putung itu kepada pimpinan mereka.
"Aku akan menyampaikannya," berkata pimpinan penjaga regol itu, "tunggulah. Jika Senapati dapat menerima kalian, maka kalian akan kami persilahkan."
Kedua pengawal dari Sangkal Putung itu terpaksa menunggu. Rasa-rasanya waktu berjalan sangat lamban, dan pimpinan penjaga itu masih saja belum datang kembali.
Tetapi akhirnya ia datang pula, justru bersama dengan Senapati Ing Ngalaga sendiri.
Pada saat Senapati Ing Ngalaga melihat kedua pengawal dari Sangkal Putung itu, rasa-rasanya ia tidak sabar lagi. Dengan serta merta iapun bertanya sebelum seperti kebiasaannya, menanyakan tentang keselamatan tamu-tamunya diperjalanan.
"Apakah kau bertemu dengan Agung Sedayu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ya Raden. Kami bertemu di Prambanan," jawab salah seorang pengawal itu.
"Kemarilah. Tentu ada yang penting yang akan kau sampaikan." ajak Raden Sutawijaya.
Kedua pengawal itupun kemudian mengikutinya naik kependapa dan duduk diatas tikar yang telah terbentang.
Sejenak kemudian maka salah seorang dari merekapun segera menyampaikan pesan dari Kiai Gringsing di Sangkal Putung tentang keadaan Ki Sumangkar.
Sementara itu. Agung Sedayu yang tergesa-gesa telah sampai pula di Kademangan Sangkal Putung. Dengan tergesa-gesa pula ia memasuki regol dan menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal beserta kedua orang pengawal yang datang bersamanya dari Mataram.
Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat Sekar Mirah berlari menuruni tangga. Dengan serta merta gadis itu berseru dengan suara serak, "Kakang."
Agung Sedayu bagaikan membeku ditempatnya. Ia melihat Sekar Mirah berlari kearahnya. Namun Sekar Mirah melihat pula dua orang pengawal dari Mataram, maka langkahnyapun bagaikan patah. Namun ia sudah berdiri beberapa langkah saja dihadapan Agung Sedayu.
"Ada apa Sekar Mirah?" bertanya Agung Sedayu kebingungan, namun ia segera sadar, bahwa ia sudah mendengar keadaan Ki Sumangkar, guru Sekar Mirah. Karena itu. maka iapun kemudian bertanya, "bagaimana keadaan Ki Sumangkar?"
Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Setitik air mata mengambang dipelupuknya. Dengan suara sendat ia berkata, "Guru menjadi semakin gawat. Kiai Gringsing dan ayah telah mengutus dua orang pengawal ke Mataram mencarimu."
"Aku lelah bertemu diperjalanan," jawab Agung Sedayu, "mereka sekarang melanjutkan ke Mataram untuk menyampaikan kabar ini kepada Raden Sutawijaya."
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menahan air matanya. Tiba-tiba saja setelah ia berdiri dihadapan Agung Sedayu ia menjadi cengeng dan menangis diluar sadarnya.
Agung Sedayu menjadi kebingungan. Ia tahu apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu. Ada juga niatnya untuk menggandengnya naik kependapa. Tetapi rasa-rasanya tangannya menjadi kejang.
Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah berkata, "Sudahlah Sekar Mirah. Jangan menangis. Aku ingin melihat keadaan Ki Sumangkar."
Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan diikuti oleh Sekar Mirah. Ketika ia memandang ketangga pendapa, ia melihat gurunya. Ki Demang dan Swandaru berdiri menunggunya.
Yang mula-mula sekali melangkah monyongsongnya adalah Kiai Gringsing yang diikuti oleh Ki Demang. Baru kemudian Swandarupun turun dari tangga.
Wajah mereka nampak sayu agaknya mereka mengalami kelelahan lahir dan batin. Terlebih-lebih Kiai Gringsing.
"Marilah Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing, "kami sedang berjuang untuk mengatasi kegawatan pada diri Ki Sumangkar."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ketika ia memandang wajah Ki Demang, maka Ki Demangpun berkata, "Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Nampaknya Ki Demang berusaha untuk menunjukkan bahwa usaha yang telah dilakukan oleh seisi rumah itu benar-benar sudah sejauh-jauh dapat dicapai. Bahkan seolah-olah Ki Demang ingin mengatakan kepadanya, bahwa ia tidak dapat dipersalahkan karena keadaan yang gawat dari Ki Sumangkar.
Agung Sedayu justru menjadi termangu-mangu. Mungkin tatapan matanya seolah-olah menuduh bahwa orang-orang yang ada dirumah itu tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengobati Ki Sumangkar. Tetapi itu tidak mungkin. Ia yakin, gurunya adalah seorang dukun yang pandai dan benar-benar mengabdikan diri untuk kepentingan sesama.
Namun Agung Sedtiyupun kemudian menyadari. Agaknya Ki Demang sengaja mengatakannya agar Sekar Mirahpun mendengar pula. Agaknya gadis yang gelisah itu menganggap bahwa orang-orang yang ada disekitar gurunya yang sakit itu masih belum berusaha sepenuh tenaga.
Tetapi Agung Sedayu tidak menanggapinya. Bersama gurunya, diikuti oleh Ki Demang dan Swandaru, ia memasuki bilik Ki Sumangkar digandok sebelah kanan.
Agung Sedayu tertegun dipintu bilik. Ketika ia melihat tubuh yang terbaring diam itu, rasa-rasanya dadanya bergejolak keras sekali. Wajah Ki Sumangkar nampak pucat sekali. Baru beberapa hari saja ia tidak melihatnya. Namun nampaknya Ki Sumangkar menjadi sangat kurus dan lemah,
Pada tubuh itu sama sekali tidak terbayang, kemampuan raksasa yang dimilikinya. Ki Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga seolah-olah ia tidak dapat dikalahkan dimedan perang yang manapun juga. Bahkan beberapa orang menganggap bahwa Patih Mantahun dan saudara-saudara seperguruannya memiliki nyawa rangkap.
Agung Sedayu terperanjat ketika ia mendengar gurunya berbisik, "Masuklah."
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu melangkah masuk. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia kemudian melihat Ki Sumangkar memiringkan kepalanya.
Seleret senyum membayang diwajah yang pucat itu. Kemudian terdengar suaranya parau dikerongkongan, "Kau datang Agung Sedayu."
Rasa-rasanya dada Agung Sedayu bagaikan bergetar. Suara Ki Sumangkar yang lemah, dalam dan parau itu. bagaikan pertanda yang baru padanya tentang orang tua itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah mendekat. Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung dan Swandarupun memasuki bilik itu pula, sementara Sekar Mirah masih tetap berdiri diluar. Ia tidak ingin mengganggu pertemuan antara Agung Sedayu dan Ki Sumangkar yang sudah sangat lemah. Karena ia merasa, bahwa betapapun keras hatinya, namun pada saat-saat tertentu, kelemahan perasaannya sebagai seorang gadis tidak, dapat dikendalikan lagi, sehingga air matanya akan dapat menambah kegelisahan hati gurunya yang sedang dalam keadaan gawat.
Agung Sedayupun kemudian duduk disebuah dingklik kayu disisi pembaringan Ki Sumangkar. sementara yang lain berdiri selangkah dibelakang Agung Sedayu.
"Kiai," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. Ada sesuatu yang terasa menghangati kerongkongannya.
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Apakah ada seseorang yang memberitahukan kepadamu tentang keadaanku?"
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Ya Kiai. Aku mendengar dari dua orang pengawal yang pergi ke Mataram."
"Apakah sebenarnya keperluanmu belum selesai?" bertanya Ki Sumangkar lemah.
"Aku memang sudah diperjalanan kembali ke Sangkal Putung Kiai," jawab Agung Sedayu.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "luka-lukaku sangat parah. Kau sudah berhasil menyelamatkan nyawaku dipeperangan itu. Tetapi segala sesuatu tentang hidup seseorang tergantung sekali kepada Yang Maha Kuasa. Dan aku tidak akan ingkar akan setiap keputusan yang diambil-Nya tentang diriku. Sekarang, besok atau lusa."
"Ah," desah Agung Sedayu, "guru tentu akan berusaha lebih banyak untuk menyembuhkan Kiai."
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Aku sangat berterima kasih kepada segala pihak. Kepada gurumu. Kiai Gringsing yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meringankan penderitaanku. Kepada Ki Demang di Sangkal Putung. Kepada saudara seperguruanmu dan isterinya kepada Sekar Mirah yang telah merawat aku dengan sebaik-baiknya selama aku sakit."
"Kiai akan sembuh." potong Agung Sedayu.
Tetapi Ki Sumangkar tersenyum pula. Dengan suara tertahan ia berkata, "Jangan seperti kanak-kanak Agung Sedayu, seolah-olah kita dapat menahan putaran janji tentang diri kita sendiri. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak mau berusaha. Aku masih tetap minum dan makan semua obat untukku. Memang segalanya dapat terjadi. Dan aku akan menerima apa saja dengan hati yang lapang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam, ia merasa benar-benar dihadapkan pada seorang yang seolah-olah telah mapan dalam perjalanan terakhir dari hidupnya. Jika ia mengenang sikap Ki Sumangkar dipeperangan yang seakan-akan merupakan hantu penyebar maut, maka ketika maut itu sendiri datang mendekat, ia sama sekali tidak meronta.
"Ia adalah segirang yang telah memahami arti hidupnya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "bahkan akhirnya ia harus kembali ketempatnya yang abadi. Dengan sadar ia melihat dirinya yang singgah di kefanaan ini. Seperti ia pernah datang, maka ia akan pergi."
Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang tertunduk ketika ia mendengar Ki Sumangkar berkata, "Sudahlah. Sekarang berceriteralah tentang dirimu. Tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Mataram."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah-wajah yang tegang didalam bilik itu.
Sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian katanya, "Semuanya dalam keadaan baik Kiai. Tanah Perdikan Menoreh dalam keadaan baik. Matarampun dalam keadaan baik."
"Sukurlah. Semuanya baik." namun kemudian nada suaranya menjadi dalam, "tetapi kau datang sendiri tanpa Ki Waskita."
Agung Sedayu bergeser sedikit. Jawabnya, "Ketika aku pergi ke Mataram dari Tanah Perdikan Menoreh, Ki Waskita sudah mendahului kembali kepadukuhannya Kiai. Ia merasa sudah terlalu lama meninggalkan sanak keluarganya."
K" Sumangkar tersenyum, "Ya. Ia mempunyai anak isteri. Memang sebaiknya ia pulang kerumahnya. Rumah bagi Ki Waskita ada artinya, karena ia adalah seorang yang hidup seperti kelajiman orang kebanyakan."
Agung Sedayu melihat mata yang cekung itu menjadi redup. Namun hanya sesaat, karena Ki Sumangkarpun kemudian berkata, "Kau tentu belum beristirahat, Agung Sedayu. Beristirahatlah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia masih tetap duduk ditempatnya, sehingga Kiai Gringsinglah yang kemudian berkata, "Marilah Agung Sedayu. Kecuali kau perlu beristirahat, maka Ki Sumangkarpun perlu beristirahat pula."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian minta diri untuk keluar dari bilik Ki Sumangkar.
Namun Kiai Gringsingpun menyuruhnya untuk benar-benar beristirahat. Membersihkan diri dan kemudian makan sekedarnya. Orang-orang Sangkal Putung itupun telah mendengar ceriteranya tentang empat orang yang mencarinya di Mataram, dan tanpa dikehendakinya, mereka semuanya telah terbunuh oleh kemarahan para pengawal, karena mereka telah lebih dahulu membunuh beberapa orang pengawal dan melukainya yang lain.
Sementara itu, orang-orang di Sangkal Putung itupun bersetuju untuk memberikan kabar kepada Widura di Jati Anom. Selain Widura juga mengenal Ki Sumangkar dengan baik. ia akan tahu pula alasannya kenapa Agung Sedayu tidak segera kemali.
Sementara itu, ketika malam tiba. orang-orang di Kademangan Sangkal Putung bagaikan tidak dapat tidur nyenyak. Terutama mereka yang berada dirumah Ki Demang. Berganti-ganti mereka menunggu Ki Sumangkar yang dalam keadaan gawat. Agung Sedayu yang ikut menungguinya pula telah menjadi sangat cemas melihat keadaan orang tua itu.
Tetapi nampaknya Ki Sumangkar gembira atas kehadiran Agung Sedayu. Ia minta Agung Sedayu menceriterakan keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Orang tua itu minta agar Agung Sedayu berceritera tentang keadaan rakyatnya, sawah dan pategalannya dan ketenangan hidupnya. Demikian juga tentang Mataram.
Sambil mendengarkan ceritera Agung Sedayu. Ki Sumangkar kadang-kadang tersenyum, kadang-kadang mengerutkan dahinya.
Namun ketika Agung Sedayu duduk sendiri didalam bilik Ki Sumangkar, maka orangtua yang sudah sangat lemah itu sempat memberikan beberapa petunjuk kepadanya.
"Sekar Mirah adalah gadis yang keras hati," berkata Ki Sumangkar hampir berbisik, "jika hatimu keras pula. maka didalam ikatan perkawinan kelak akan banyak sekali terjadi benturan-benturan dan persoalan-persoalan yang akan berpatahan. Untunglah kau mempunyai sifat yang lain Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau berhati seluas lautan. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak boleh menentukan sifat. Jika perlu kau sekali-sekali harus bersikap keras pula terhadapnya."
Agung Sedayu menunduk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Ki Sumangkar. Iapun kadang-kadang lelah dibayangi oleh kecemasan tentang sifat-sifat Sekar Mirah. Namun Ki Sumangkar berkata selanjutnya, "Tetapi Agung Sedayu. sifat-sifat keras hati itu akan dapat bermanfaat pula bagi masa depannya dan sudah barang tentu masa depanmu. Jika Sekar Mirah dapat menyalurkan kekerasan hatinya menurut jalan kebenaran, maka ia akan menemukan hari depan yang cerah. Dan adalah kewajibanmu untuk memagari kekerasan hatinya yang tersalur menurut jalan kebenaran."
Masih banyak yang dikatakan oleh Ki Sumangkar. Namun jika ada orang lain yang memasuki bilik itu, maka iapun terdiam dan berbaring tanpa mengucapkan sepatah katapun. Apalagi jika yang datang Sekar Mirah sendiri.
Tetapi jika mereka telah meninggalkan bilik itu, Ki Sumangkar melanjutkan pesan-pesannya kepada Agung Sedayu sebagai bekal hidupnya dimasa depan.
"Aku juga sudah memberikan banyak nasehat kepada Sekar Mirah," berkata Ki Sumangkar, "tetapi ia harus selalu diperingatkan setiap kali. Dan itu adalah tugasmu, karena aku tidak akan dapat membantumu lagi."
Agung Sedayu mennandang wajah orang tua itu. Ia sangat berterima kasih atas segala pesan-pesannya. Tetapi iapun menyadari, bahwa Ki Sumangkar harus banyak beristirahat.
Karena itu. maka dengan hati-hati ia kemudian berkata, "Kiai. Aku sangat senang mendengar petunjuk-petunjuk Kiai. Tetapi aku mohon Kiai untuk dapat beristirahat agar keadaan Kiai menjadi bertambah baik."
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Kau tentu mendapat pesan dari gurumu. Kiai Gringsing selalu memperingatkan aku, agar aku banyak beristirahat dan tidur. Akupun selalu melakukannya. Istirahat, tidur, menenangkan hati dan tidak memikirkan apa-apa."
Agung Sedayu termenung memandanginya.
"Tetapi aku tidak mau kehilangan kesempatan. Kau dan Sekar Mirah tentu akan segera kawin. Aku berharap bahwa perkawinanmu akan menjadi baik." Ki Sumangkar berhenti sejenak, lalu. "kau dapat melihat perkawinan Swandaru dan Pandan Wangi. Swandaru adalah seorang anak muda yang berhati sekeras baja. Bahkan kadang-kadang didalam sikap sehari-hari, kekerasan hatinya itu nampak pula. Tetapi Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang lembut dan sabar. Meskipun aku tidak tahu, siapakah yang lebih cakap mempergunakan senjata diantara mereka, tetapi Pandan Wangi selalu menempatkan diri sebagai seorang isteri yang baik. Karena itulah, maka hubungan diantara merekapun nampak tenang dan tanpa kemelut."
Agung Sedayu mengangguk kecil.
"Meskipun keadaanmu berbeda," Ki Sumangkar meneruskan, "tetapi pada dasarnya dapat ditempuh keseimbangan yang serupa. Pandan Wangi adalah seorang isteri, dan kau akan menjadi seorang suami. Kedudukanmu berbeda dengan kedudukan Pandan Wangi. Tetapi hubungan yang baik akan dapat kau bina dengan sifat-sifat yang lembut. Dan kau adalah seorang yang lembut hati."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Namun ia menjadi cemas bahwa dengan demikian Ki Sumangkar telah berbuat kesalahan karena ia terlalu banyak berbicara.
Untunglah, Kiai Gringsing kemudian memasuki bilik itu dan duduk bersama Agung Sedayu menungguinya, sehingga Ki Sumangkarpun menjadi lebih banyak diam dan mencoba untuk memejamkan matanya.
Dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Ki Sumangkar tidak pernah menolak untuk minum segala macam obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing. Iapun tidak menolak obat apapun yang dilekatkan pada luka-lukanya.
Namun demikian, meskipun luka-luka dikulit dan dagingnya berangsur baik. tetapi keadaannya benar-benar menjadi semakin gawat. Dan Kiai Gringsing tidak lebih dari seorang manusia biasa. Ia tidak dapat berbuat melampaui kemampuan dan kuasa yang dilimpahkan kepa danya oleh Sumber segala Kekuasaan.
Yang kemudian datang di Sangkal Putung lewat tengah malam adalah Ki Widura. Bahkan sekaligus dengan Untara yang diberitahukannya pula. Bersama mereka selain para pengawal adalah seorang anak muda yang bertubuh kecil. Glagah Putih."
Glagah Putih yang sudah rindu kepada Agung Sedyu itupun segera memeluknya dan berkata, "Kau terlalu lama pergi kakang. Aku kira kau tidak lagi ingin kembali kepadepokan kecil itu."
Agung Sedayu menepuk bahu adiknya. Terasa sesuatu tergetar dihatinya. Namun kemudian ia menjawab, "Tentu tidak Glagah Putih. Aku tidak akan melupakan padepokan kecil itu. Tetapi seperti yang kau lihat, bahwa ada sesuatu yang menghambat rencanaku kembali."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika ia melepaskan kakak sepupunya. maka iapun kemudian melihat Untara yang berdiri tegak sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya.
Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar. Ketika Ki Demang mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk dipendapa, rasa-rasanya Untara masih saja selalu memandanginya.
Dalam kegelisahan itulah, maka iapun kemudian duduk dibelakang kakaknya bersama Glagah Putih, sementara Untara dan Widura duduk berhadapan dengan Ki Demang.
Sejenak mereka saling memperbincangkan keselamatan masing-masing seperti kebiasaan mereka. Baru kemudian Ki Demang memberikan kesempatan kepada Kiai Gringsing untuk mengatakan tentang keadaan Ki Sumangkar.
"Apakah kami dapat bertemu?" bertanya Widura.
Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, "Tentu. Ki Sumangkar merasa gembira jika ia melihat seseorang menjenguknya meskipun setiap kali ia mengetahui bahwa kami akan memberitahukan tentang sakitnya kepada seseorang ia selalu berusaha mencegah."
Ki Widura mengangguk-angguk. Kemudian sambil memandang Untara ia berkata, "Marilah. Mudah-mudahan Ki Sumanggkar tidak terkejut justru karena kita datang disaat yang asing bagi sebuah kunjungan."
Untarapun kemudian mengikuti pamannya pergi ke bilik Ki Sumangkar. Sekar Mirah yang sedang menunggui gurunya, kemudian melangkah keluar ketika ia mengetahui beberapa orang tamu datang kepintu bilik itu.
"Apakah gurumu sedang tidur?" bertanya Ki Demang.
Sekar Mirah menggeleng. Dengan suara parau ia menjawab perlahan-lahan, "Guru jarang sekali dapat tidur nyenyak. Ia baru saja minum beberapa teguk."
Kiai Gringsingpun kemudian menyahut, "Baiklah, biarlah aku sampaikan kepadanya, bahwa ada beberapa orang tamu datang dari Jati Anom."
Untara dan Widurapun kemudian dipersilahkan masuk. Glagah Putih yang termangu-mangu dipintupun kemudian melangkah masuk ketika Agung Sedayu menggamitnya.
Sumangkar tersenyum melihat kedatangan Widura dan Untara. Sepercik kegembiraan memang nampak diwajahnya. Kunjungan itu memang sangat menggembirakanya. Orang-orang yang semula berdiri berseberangan pada saat Pajang dan Jipang bermusuhaan. namun kemudian, telah lama pula bekerja-bersama untuk menegakkan Pajang, ternyata tidak melupakannya. Mereka memerlukan datang menengoknya saat ia sakit.
Widura yang kemudian duduk disamping pembaringan itupun mengusap kaki Ki Sumangkar yang dingin. Beberapa patah kata Ki Widura bagaikan menggugah hati Ki Sumangkar. Namun ia adalah orang yang memiliki penglihatan yang tajam tentang keadaannya sendiri, sehingga iapun tidak akan dapat lari dari kenyataan tentang keadaannya yang gawat.
Sambil tersenyum Ki Sumangkar berkata, "Aku memang belum terlalu tua. Mungkin umurku tidak terpaut banyak dari Kiai Gringsing. Atau bahkan aku lebih tua satu atau dua tahun, namun jumlah umur bukanlah batas yang memagari umur itu sendiri."
Ki Widura menarik nafas. Ia memang tidak dapat memberikan harapan-harapan yang cerah sekedar untuk menggembirakan hati Ki Sumangkar seperti kepada orang-orang yang tidak memiliki pegangan hidup yang kuat.
Bahkan seakan-akan dengan terang Ki Sumangkar dapat melihat perjalanan hidupnya yang telah sampai diujung lorong yang panjang dan penuh dengan corak dan ragam pengalaman.
Beberapa saat Ki Widura dan Untara masih berbicara tentang berbagai macam persoalan. Namun nampaknya Ki Sumangkar lebih banyak bersikap pasrah.
Setelah beberapa lama mereka berada didalam bilik itu, maka keduanyapun kemudian minta diri untuk keluar dari bilik itu.
"Beristirahatlah Kiai," berkata Untara, "banyak beristirahat agaknya akan banyak memberikan bantuan pulihnya kembali kesehatan seseorang."
Ki Sumangkar tersenyum. Jawabnya, "Terima kasih anakmas Untara. Aku akan mencoba untuk dapat tidur."
Untara yang kemudian bersama Widura duduk dipendapa, ternyata tidak dapat tinggal di Sangkal Putung terlalu lama. Widura akan tetap tinggal bersama Glagah Putih. Tetapi Untara dan beberapa orang pengawalnya akan segera kembali ke Jati Anom.
"Begitu tergesa-gesa?" berkata Kiai Gringsing.
"Besok pagi hari aku sudah menentukan rencana perjalanan bersama beberapa orang perwira," berkata Untara, "karena itu. aku perlukan datang sekarang agar aku tidak menyesal jika perjalanan hidup Ki Sumangkar memang sudah sampai kebatas."
"Ah." desah Agung Sedayu. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian melanjutkan kata katanya, "Tentu kita semua berharap agar ia sembuh. Tetapi kita menyadari, apa yang dapat kita lakukan jika kehendak Yang Maha Kuasa memang telah menentukan batas itu."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
Untara kemudian meminta diri. Ia akan kembali dan harus berada di Jati Anom sebelum matahari naik.
Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya. Swandaru hanya dapat memandanginya dengan kening yang berkerut, tetapi ia sama sekali tidak mencoba untuk menunda perjalanan Untara.
"Biar saja ia kembali ke Jati Anom." katanya didalam hati.
Agung Sedayupun tidak dapat mencegahnya. Namun hatinya berdesir ketika Untara justru berbisik, "Aku sudah mendengar apa yang terjadi di lembah itu."
Jantung Agung Sedayu serasa berdentangan. Sekilas dilihatnya wajah kakaknya yang berkerut. Namun segera ia memalingkan wajahnya dan menunduk dalam-dalam.
"Kau adalah seorang pahlawan," berkata kakaknya, "tetapi pahlawan yang tidak mempunyai arti, karena bukan namamulah yang akan berkembang di Pajang. Tetapi nama orang lain. Meskipun dalam dua ujung pengertian. Baik dan buruk. Prajurit-prajurit Pajang mempunyai penilaian yang berbeda terhadap sikap yang pernah kau lakukan itu. Tetapi prajurit yang mengetahui hal itupun masih sangat terbatas. Aku mencoba untuk mencegah menjalarnya berita tentang pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Aku ingin tahu pasti apakah alasan dari pertumpahan darah itu. Dan aku yakin, kau akan dapat berceritera tentang hal itu, karena kau terlibat didalamnya."
Keringat dingin mulai membasahi punggung Agung Sedayu. Ia adalah seorang yang disegani dipeperangan, betapa ia sendiri menjadi kabur melihat dirinya. Tetapi dihadapan kakaknya rasa-rasanya ia masih saja Agung Sedayu yang kecil, cengeng, dan tergantung pada kakaknya itu.
Tetapi agaknya Untarapun tidak sempat berbicara terlalu banyak. Beberapa orangpun kemudian telah mendekatinya untuk mengantarkannya sampai kepintu gerbang.
"Terima kasih atas kunjungan ini," berkata Kiai Gringsing.
Untara memandang orang tua itu sejenak. Namun kemudian nampak senyumnya yang jarang itu. Katanya, "Mudah-mudahan aku masih sempat datang dan bertemu dengan Ki Sumangkar dalam keadaan yang lebih baik."
"Mudah-mudahan. Kita akan berusaha dalam ketergantungan atas kehendak Sumber dari Hidup ini."
"Jika aku belum mempunyai rencana yang penting, aku tentu akan tinggal lebih lama," berkata Untara selanjutnya.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Masih ada waktu. Besok atau lusa."
"Aku akan memerlukannya," desis Untara sambil melangkah mendekati kudanya.
Namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara seorang gadis dari kegelapan oleh bayangan orang-orang yang mengerumuninya, "Terima kasih kakang Untara."
Untara mengerutkan keningnya. Yang dilihatnya adalah Sekar Mirah dibelakang Agung Sedayu. Meskipun wajahnya hanya nampak remang-remang dalam bayangan cahaya obor yang jauh, namun Untara seolah-olah melihat jelas, bahwa wajah itu adalah wajah yang suram, pucat dan sedih.
"Jangan terlalu bersedih Mirah," berkata Untara seakan-akan diluar sadarnya, "gurumu bukan seseorang yang mudah menyerah menghadapi keadaan. Ia akan berjuang untuk mengatasi kesulitan jasmaniahnya."
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ketika kepalanya tertunduk, terdengar isaknya tertahan.
Untara tertegun sejenak. Ia selama ini menganggap Sekar Mirah sebagai seorang gadis yang telah merampas kepribadian adiknya, sehingga Agung Sedayu tidak dapat melakukan pilihan lain kecuali berada di Sangkal Putung. Meskipun kemudian adiknya membuka padepokan kecilnya, namun ternyata ia lebih banyak berada diluar padepokan itu bersama gurunya dan Sekar Mirah.
Pensiunan Pengusaha Cat 1 Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra Naga Sakti Sungai Kuning 1
Tetapi yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu telah memberikan kejutan bagi lawan-lawannya. Sebenarnyalah bahwa nama Agung Sedayu benar-benar bukan sekedar olok-olok kawan-kawannya yang pernah melihatnya dipertempuran.
Ketiga orang itupun segera berpencar. Namun agaknya Agung Sedayu yang bersenjata tombak panjang itu lebih senang bertempur ditempat yang lebih luas. Karena itulah, maka iapun tiba-tiba saja telah meloncat turun dari pendapa.
"Jangan lari," salah seorang dari ketiga orang lawannya membentuk.
"Jangan berteriak," desis Agung Sedayu, "jika suaramu didengar oleh para pengawal yang kebetulan lewat diluar dinding, maka mereka akan segera datang. Kau tentu akan dicincang menjadi lumat, karena kau telah memperlakukan kawan-kawannya yang mengawal rumah ini dengan semena-mena."
"Persetan. Kami akan membunuh semua orang."
"Seluruh kota?"
"Ya." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, "Bertanyalah kepada dirimu sendiri apakah kau mampu melakukannya?"
Orang itu menjadi semakin marah. Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang telah menyusul Agung Sedayu turun kehalaman itupun segera menyerangnya dengan dahsyatnya dari arah yang berbeda, seperti datangnya prahara di musim pancaroba.
Agung Sedayu segera merasakan tekanan yang berat dari ketiga orang itu. Sehingga dengan demikian ia dapat memperhitungkan, seandainya, ia benar-benar ditunggu oleh empat orang itu diperjalanan kembali ke Sangkal Putung dibulak panjang tanpa bantuan seorangpun juga. maka tugasnya tentu akan terasa sangat berat. Apalagi ketika ia sempat melihat perkelahian yang terjadi dipendapa, antara Ki Juru dan salah seorang dari keempat orang yang mencarinya itu. Ternyata bahwa orang itupun memiliki kemampuan yang menggetarkan.
Dengan senjata sebuah tombak panjang. Agung Sedayu bertempur melawan ketiga orang lawannya. Meskipun ia tidak terbiasa mempergunakan senjata serupa itu, namun ternyata bahwa kemampuan Agung Sedayu benar-benar telah mengejutkan ketiga orang lawannya.
Tombak panjang ditangan Agung Sedayu itu ternyata menjadi sangat berbahaya. Tombak itu dapat berputar bagaikan perisai disekitar tubuh Agung Sedayu. sementara dalam hentakan yang tiba-tiba, ujungnya dan bahkan tangkainya dapat mematuk lawannya
Tetapi ketiga orang lawan Agung Sedayu itupun cukup lincah. Mereka masih selalu berhasil menghindarkan diri dari serangan Agung Sedayu. Namun merekapun tidak juga segera berhasil mengalahkan lawannya yang hanya seorang itu.
Sementara itu. para pengawal yang berada diluar halaman rumah itupun masih dicengkam oleh kemarahan. Para penjaga regol dan pengawas digardu-gardu yang berhadapan dengan dinding kota. merasa yakin, bahwa belum ada seorangpun yang berhasil keluar, sehingga mereka menganggap bahwa keempat orang yang mereka cari itu masih tetap berada didalam kota.
Tetapi tidak seorangpun diantara mereka yang mengira bahwa keempat orang itu justru bersembunyi dihalaman rumah Raden Sutawijaya dan yang saat itu sedang bertempur melawan Agung Sedayu dan Ki Juru Martani.
Dalam pada itu. Raden Sutawijaya masih nganglang diatas punggung kudanya diikuti oleh beberapa orang pengawal. Setiap kali Raden Sutawijaya berhenti untuk menanyakan tentang hilangnya beberapa orang buruan. Namun jawabnya hampir sama saja. Mereka tidak melihatnya. Tetapi pada umumnya mereka yakin bahwa orang-orang itu masih belum keluar dari lingkungan dinding kota.
Kejengkelan dan kemarahan semakin mencengkam para pengawal karena bagaimanapun juga mereka mencari, namun mereka tidak dapat menemukannya. Beberapa orang telah mencarinya di tempat-tempat yang terlindung. Dikebun-kebun dan bahkan mereka memasuki rumah-rumah yang dicurigainya. Banjar-banjar padukuhan dan tempat-tempat yang diduga dapat dipergunakan untuk bersembunyi. Namun mereka tidak menemukannya.
"Kita akan berjaga-jaga sampai pagi," geram Raden Sutawijaya, "jika matahari menyingsing, maka tempat persembunyian itu akan menjadi semakin sempit. Mudah-mudahan mereka akan keluar sendiri dari tempat-tempat mereka bersembunyi seperti cengkerik yang disiram dengan air."
Para pengawalpun telah bertekad untuk mencarinya sampai keempat orang itu dapat diketemukan. Setidak-tidaknya salah satu dari antara mereka itu.
Jika salah seorang dari keempat orang itu dapat diketemukan, maka daripadanya akan didapat keterangan, siapakah yang telah menugaskan mereka memasuki wilayah Mataram untuk mencari Agung Sedayu.
Namun, menurut perhitungan, seperti juga pendapat para pemimpin Mataram yang lain, maka mereka menduga bahwa orang-orang itu tentu bukannya petugas yang telah dikirim oleh Pajang, seperti halnya petugas sandi yang diberitahukan oleh Kiai Kendil Wesi.
Akhirnya Sutawijaya mengambil keputusan untuk sekali lagi berputar dan memberikan pesan-pesan kepada para petugas, khususnya yang mengawasi pintu-pintu gerbang dan dinding kota. agar mereka benar-benar mencegah setiap orang yang akan keluar dari kota, siapapun mereka. Kemudian Sutawijaya akan kembali untuk menunggu perkembangan lebih lanjut.
Sementara itu pertempuran masih berlangsung dihalaman dan dipendapa rumah Raden Sutawijaya. Ki Juru Martani harus berjuang untuk mempertahankan dirinya dari serangan yang beruntun dengan kasarnya. Ternyata bahwa lawan Ki Juru adalah benar-benar orang yang berilmu tinggi, sehingga ia telah disiapkan untuk memimpin tiga orang kawannya menyergap Agung Sedayu yang sudah mereka ketahui sebagai seorang yang memiliki kemampuan yang sulit dicari bandingnya.
Namun Ki Juru yang tua itupun adalah seorang yang mumpuni. Sebagai saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan yang pernah menjadi Panglima prajurit Pajang, maka Ki Jurupun merupakan seorang yang matang dalam olah kanuragan. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia benar-benar menguasai dirinya sebaik-baiknya. Ia mengetahui dengan pasti tingkat kemampuannya, kekuatannya, daya tahan tubuhnya dan pernafasannya.
Dengan demikian, maka perkelahi an yang terjadi dipendapa itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Tidak banyak kesempatan untuk menilai keadaan dan kemungkinan yang dapat terjadi. Yang mereka lakukan kemudian adalah memusatkan segala perhatian mereka kepada pertempuran yang menjadi semakin dahsyat itu.
Namun justru karena keduanya memiliki ilmu yang tinggi, maka pertempuran itu seakan-akan tidak menumbuhkan keributan apapun juga. Langkah kaki mereka bagaikan tidak menimbulkan suara apapun. Benturan senjata mereka hanya kadang-kadang berdentang. Namun kadang-kadang setiap patukan senjata seolah-olah hanyalah sekedar dihindari, sehingga suara benturan itupun menjadi sangat terbatas.
Karena itulah, maka para pelayan yang kebanyakan berada di ruang belakang, diseberang longkangan, tidak mendengar pertempuran itu. Mereka tidur dengan nyenyaknya, karena mereka menduga, bahwa di regol, dipendapa dan di halaman belakang, terdapat beberapa orang pengawal yang menjaga keamanan dan ketenteraman rumah itu sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, di halaman, Agung Sedayu masih bertempur dengan tombak panjangnya. Meskipun ia harus melawan tiga orang, namun agaknya dengan tombak panjangnya, ia akan dapat bertahan. Bahkan jika ia berhasil memperpanjang waktu perkelahian itu, pernafasannya tentu akan lebih baik dari lawan-lawannya yang mengerahkan dan memeras segenap kemampuan mereka.
Tetapi dugaan Agung Sedayu tidak sepenuhnya tepat. Ternyata bahwa ketiga orang lawannya benar-benar orang yang memiliki kemampuan yang tinggi pula. Ketiganya yang merasa gelisah karena kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi jika ada pihak lain yang mengetahui, telah mencoba untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka, untuk menguasai Agung Sedayu.
Mereka telah mengerahkan segala ilmu yang ada. Mereka menyerang dari segala arah dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan pandangan mata wadag.
Perlahan-lahan Agung Sedayu mulai terdesak. Betapapun ia mempergunakan segenap kecepatan mempergunakan tombak panjang ditangannya. namun serangan ketiga orang lawannya terasa menjadi semakin gawat.
Bahkan desau angin telah mulai menyentuh tubuhnya, jika senjata lawannya berhasil menyusup kerapatan perisai putaran tombaknya, meskipun senjata lawannya masih belum berhasil mengenainya.
"Bukan main," desis Agung Sedayu didalam hatinya. Ia menjadi semakin yakin, jika keempat orang termasuk yang bertempur melawan Ki Juru Martani itu berhasil mencegatnya diperjalanan seorang diri, maka ia tentu tidak akan mampu mempertahankan hidupnya lagi.
Meskipun ia telah berhasil membunuh Ki Gede Telengan dan kemudian Tumenggung Wanakerti, mengalahkan Kiai Samparsada dan Kiai Kelasa Sawit, namun untuk menghadapi empat orang berilmu tingggi itu, agaknya ia memang tidak akan sanggup.
Kini ia harus bertempur melawan tiga orang diantara mereka. Itupun ia sudah merasakan tekanan yang sangat berat. Apalagi dengan orang yang mampu mengimbangi ilmu Ki Juru Martani itu sekaligus.
Ketika tekanan ketiga lawannya terasa semakin berat, maka Agung Sedayupun merasa semakin dalam didera oleh kebimbangannya. Jika ia tidak lagi mampu bertahan melawan ketiga orang itu dengan bersenjata tombak panjang yang memang kurang biasa baginya, ia harus memilih dua kemungkinan. Pilihan yang selamanya merupakan bayangan hitam yang selalu menghantui perasaannya.
Jika ia tidak mau menyerahkan nyawanya, maka kemungkinan yang lain adalah membunuh lawan-lawannya.
"Jika aku mempergunakan cambukku, meskipun aku tidak langsung membunuh mereka, maka akibatnya akan sama saja," berkata Agung Sedayu didalam hatinya.
"Karena suara cambukku, tentu akan mengundang para pengawal memasuki halaman ini. Mereka tentu akan sangat marah jika mereka menemukan kawan-kawannya terbaring digardu, di pendapa dan melihat Ki Juru Martani harus bertempur mempertahankan hidupnya."
Namun Agung Sedayupun telah terdesak terus. Ketiga lawannya benar-benar merupakan tiga orang yang seakan-akan telah digerakkan oleh satu otak. Serangan mereka beruntun, kadang-kadang bersama-sama. Namun serangan-serangan itu semakin lama justru terasa semakin berbahaya. Mereka tidak segera menjadi lelah dan kehilangan tenaganya. Bahkan serangan-serangan mereka justru terasa seakan-akan menjadi semakin kuat.
Agung Sedayu masih dicengkam oleh kebimbangan. Sekilas ia melihat Ki Juru Martani mendesak lawannya. Namun sejenak kemudian, ialah yang harus meloncat surut.
Dengan demikian maka Agung Sedayu mendapat kesimpulan, bahwa lawan-lawannya benar-benar orang-orang yang terpilih. Karena itulah, maka perjuangannya itupun merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh.
Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Ki Juru Martani itupun sudah mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Ia berusaha memancing orang tua itu, agar mengerahkan segenap kemampuannya. Jika orang itu berhasil, ia berharap bahwa Ki Juru akan segera kehabisan nafas.
Tetapi Ki Juru tetap dalam keseimbangan nalarnya. Ia tidak mudah terbakar hatinya, sehingga melupakan pertimbangan-pertimbangan akalnya.
Itulah sebabnya, maka bagaimanapun juga, Ki Juru tetap bertempur dengan langkah-langkah yang mantap dan tenang.
Dalam pertempuran itu, nampak bahwa keempat orang yang berusaha membunuh Agung Sedayu telah berusaha membagi kekuatannya sebaik-baiknya. Mereka ternyata masih menganggap Agung Sedayu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Ki Juru. Ternyata bahwa tiga orang lawannya telah menempatkan diri melawannya sedang yang seorang, meskipun yang paling kuat, harus bertempur melawan Ki Juru Martani. Namun yang tiga orang itupun tentu memiliki kekuatan dan kesempatan yang lebih besar daripada yang seorang.
Itulah sebabnya, maka akhirnya Agung Sedayu benar-benar telah terdesak. Senjata tombak panjangnya tidak banyak memberikan arti kepadanya. Lawan-lawannya berhasil mempergunakan kelamahan-kelamahan yang terdapat pada penggunaan senjata bertangkai panjang itu sebaik-baiknya.
Betapapun kebimbangan mencengkam hatinya, tapi Agung Sedayu masih juga dengan dorongan naluriah ingin mempertahankan hidupnya. Setiap kali senjata lawannya berdesing ditelinganya, maka terasa hatinya berdesir. Rasa-rasanya segenap sendi-sendinya telah bergerak dengan sendirinya sehingga tubuhnya menggeliat untuk mempertahankan diri.
Pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang yang memasuki halaman itupun sadar, bahwa mereka tidak dapat bertempur terlalu lama. Jika para pengawal mengetahui kehadiran mereka, maka seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, mereka akan dicincang sampai lumat. Betapapun tinggi ilmu mereka tetapi mereka tentu tidak akan dapat melawan pengawal diseluruh kota, apalagi dengan kehadiran Sutawijaya.
Itulah sebabnya, maka ketiga orang yang bertempur melawan Agung Sedayu itupun bertempur semakin dahsyat. Mereka berputar disekeliling Agung Sedayu sambil menyerang dengan cepatnya. Langkah mereka bagaikan loncatan-loncatan kaki burung sikatan menyambar bilalang.
Agung Sedayu berdesis ketika ujung senjata lawan benar-benar telah menyentuh tubuhnya. Segores luka melintang dilengan Agung Sedayu.
Luka itu sama sekali tidak berpengaruh pada tubuhnya. Luka itu benar-benar hanya segores tipis, seperti luka oleh sentuhan kuku seekor kucing kecil.
Namun segores kecil itu benar-benar telah mempengaruhi perasaannya.
Keragu-raguannya untuk mempergunakan cambuknya serasa telah terdesak semakin menepi. Justru karena ia mulai disentuh oleh kecemasannya tentang keselamatannya sendiri.
"Apakah aku harus memilih mengorbankan diriku sendiri ?" pertanyaan itu mulai mengganggunya.
Bagi lawan-lawannya, luka itu telah memberikan pengharapan dihati mereka. Ketiganya menjadi semakin bergairah untuk segera menyelesaikan pertempuran itu. Darah yang meleleh dari luka itu, nampak semakin merah dicahaya obor yang samar-samar.
"Kau sudah kehilangan kesempatan, "desis salah seorang lawannya.
"Namamu yang besar hanya akan dapat dikenang." sambung yang lain. Sementara yang seorang lagi berkata, "Kami tidak usah bersusah payah menunggumu dipinggir jalan ke Sangkal Putung. Ternyata kau sudah dengan suka rela memasrahkan dirimu sendiri disini."
Agung Sedayu menggeram. Terasa hatinya lebih pedih dari luka di lengannya. Ia masih selalu dibayangi kecemasan, bahwa jika para pengawal mendengar pertempuran dihalaman itu, mereka akan berlari-larian berdatangan untuk mencincang ketiga lawannya.
Namun kecemasan yang lain tentang dirinya sendiri, agaknya telah membayangi kecemasannya tentang keselamatan lawannya. Apalagi karena ternyata bahwa lawan-lawannya benar-benar ingin merampas hidupnya tanpa belas kasihan.
Dengan tangkas Agung Sedayu masih berusaha menghindari serangan-serangan lawannya dengan loncatan-loncatan cepat. Tetapi lawan-lawannya benar-benar tidak memberikan kesempatan kepadanya, sehingga tangkai tombak panjang yang tidak terbiasa dipergunakan itu menjadi semakin tidak berarti.
Akhirnya Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain untuk melindungi dirinya. Ketika ia semakin terdesak kedinding halaman, maka dengan serta merta iapun melontarkan tombak panjangnya.
Lawan-lawannya terkejut melihat sikap Agung Sedayu. Mula-mula mereka menyangka bahwa Agung Sedayu telah menjadi putus asa dan akan menyerah. Tetapi tiba-tiba saja dada mereka berdesir tajam ketika mereka melihat Agung Sedayu meloncat surut.
Punggung Agung Sedayu telah melekat dinding halaman. Jika ketiga lawannya mendesaknya lagi, ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk mundur.
Namun demikian, ketika ketiga orang lawannya siap untuk meloncat menyerang, mereka benar-benar bagaikan dicengkam oleh kecemasan yang tajam. Dengan gerak yang hampir tidak mereka lihat dengan matanya. Agung Sedayu telah mengurai cambuk yang membelit lambung dibawah bajunya.
Ketiga lawannya menjadi berdebar-debar melihat cambuk ditangan Agung Sedayu itu. Mereka sadar, bahwa karena tingkah laku mereka, Agung Sedayu benar-benar telah kehilangan kesabaran. Bagaimanapun juga, sebagai makhluk yang hidup, ia tentu akan mempertahankan hidupnya dengan cara yang paling di kuasai dalam ilmu kanuragan.
Sejenak ketiga orang lawannya termangu-mangu. Mereka menatap senjata Agung Sedayu dengan hampir tidak berkedip.
Karena itu, justru untuk beberapa saat pertempuran dihalaman itu bagaikan membeku. Ketiga orang lawan Agung Sedayu sekilas melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, jika cambuk Agung Sedayu itu meledak.
Tetapi sudah tentu bahwa mereka mempunyai pertimbangannya sendiri. Agung Sedayu harus dibunuh, dan pusaka yang ada dirumah itu harus mereka kuasai, agar mereka mempunyai perisai untuk meninggalkan kota yang tentu penuh dengan pengawal dan anak-anak muda yang meronda.
Dalam kebimbangan itu, mereka mendengar Agung Sedayu berkata, "Ki Sanak. Aku kagum akan kemampuan kalian. Tetapi sudah barang tentu bahwa aku tidak akan membiarkan diriku kalian bunuh. Karena itulah maka aku akan melawan jika niat kalian tidak kalian urungkan. Dan dengan terpaksa sekali aku akan mempergunakan cambukku, karena tombak itu tidak berhasil melindungi aku. Meskipun demikian, aku masih menawarkan suatu penyelesaian yang lebih baik bagi kalian daripada dicincang oleh para pengawal. Jika kalian menyerah, aku tidak akan meledakkan cambukku yang akan dapat mengundang bencana bagi kalian."
Wajah ketiga orang lawannya menjadi semakin tegang. Namun salah seorang dari mereka menggeram, "Jangan menakut-nakuti aku. Aku dan kawan-kawanku telah menerima beban dipundak. Kau harus mati, apapun yang akan terjadi atas kami."
"Yang akan terjadi atas kalian adalah peristiwa yang mengerikan. Aku telah melakukan banyak kesalahan, sehingga banyak orang yang terbunuh karenanya. Sengaja atau tidak. Karena itu, aku akan menghindari pembunuhan-pembunuhan yang akan dapat terjadi."
Tiba-tiba saja salah seorang lawannya tertawa. Jawabnya Ternyata kau orang yang paling sombong yang pernah aku jumpai. Kau dapat membunuh lawanmu dengan sengaja atau tidak dengan sengaja. Tetapi kesombongan itu hanya dapat menggetarkan hati anak-anak."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata kata-katanya dapat menumbuhkan arti yang sebaliknya dari yang dimaksudkannya.
Namun ternyata Agung Sedayu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sejenak kemudian, maka ketiga orang Jawannya telah siap untuk melanjutkan pertempuran. Mereka telah mengambil sikap dan arah yang paling mantap untuk menghancurkan pertahanan Agung Sedayu.
Tetapi watak dari senjata Agung Sedayu kini berbeda. Ia tidak memegang sebatang tombak bertangkai panjang. Tetapi ia menggenggam cambuk yang berjuntai lemas dan merupakan senjata yang sudah dikenalnya baik-baik seperti ia mengenal anggauta badannya sendiri.
Betapapun keragu-raguannya masih saja membayangi perasaan Agung Sedayu, namun ketika ketiga orang lawannya mulai bergerak, maka iapun mulai menggerakkan ujung cambuknya. Untuk beberapa saat, ia sekedar mengguncang senjatanya, sehingga ujungnya bergetar. Namun cambuk Agung Sedayu masih belum meledak.
Gerakan-gerakan kecil Agung Sedayu membuat lawannya menjadi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa setiap saat, cambuk itu dapat menggeliat dan meledak.
Melihat keragu-raguan itu Agung Sedayu mencoba untuk menekankan keinginannya, "Ki Sanak. Aku sama sekali tidak bermaksud menyombongkan diri. Yang aku katakan, bukannya aku akan dapat mengalahkan kalian bertiga. Tetapi suara cambukku akan dapat mengundang beberapa orang pengawal. Merekalah yang akan membunuh kalian, jika kalian tidak menyerah."
Ketiga orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka kemudian menggeram, "Kami bukan cucurut. Tengadahkan dadamu, dan siapkan dirimu untuk mati."
Agung Sedayu tidak melihat kemungkinan lain daripada bertempur untuk melindungi nyawanya. Itulah sebabnya, maka iapun segera mempersiapkan diri untuk bertempur mempertaruhkan hidupnya.
Sejenak kemudian ketiga lawannya telah mulai bergerak. Tidak ada cara lain dari Agung Sedayu kecuali menggerakkan cambuknya. Masih perlahan-lahan. Hanya ujungnya sajalah yang bergerak seperti seekor ular yang sedang berenang.
Namun sekejap kemudian ujung cambuknya benar-benar telah meledak. Ketika ketiga lawannya meloncat menyerang untuk mempergunakan kesempatan saat Agung Sedayu masih melekat dinding.
Ledakan cambuk Agung Sedayu tidak terlalu keras. Tetapi ledakan disepinya, malam itu benar-benar telah mengejutkan lawannya. Itulah sebabnya maka merekapun segera meloncat surut.
Bukan saja ketiga lawan Agung Sedayulah yang terkejut. Orang yang sedang bertempur melawan Ki Jurupun terkejut pula. Suara cambuk itu tentu dapat di dengar oleh para pengawal yang nganglang lewat jalan-jalan raya diseputar istana itu.
"Nah," berkata Agung Sedayu kepada lawan lawannya, "bukankah cambukku benar-benar dapat mengundang para pengawal."
"Pengecut," geram salah seorang dari ketiga lawan Agung Sedayu, "jika benar namamu besar, kenapa kau memanggil orang lain untuk mempertaruhkan nyawa diarena ini."
"Kau aneh. Kaupun tidak bertempur sendiri," sahut Agung Sedayu, "kecuali itu, cambukku memang tidak dapat aku pergunakan tanpa melontarkan ledakan yang dapat didengar oleh orang lain."
Tetapi ketiga lawannya bukannya pengecut yang takut menghadapi akibat dari tugasnya. Apalagi mereka masih berharap untuk mengalahkan Agung Sedayu, kemudian mengambil pusaka-pusaka di rumah itu untuk mereka jadikan perisai. Jika orang-orang Mataram mencoba mencegah mereka meninggalkan kota. maka mereka siap untuk menghancurkan pusaka-pusaka itu, sehingga dengan demikian, mereka tentu akan diperkenankan untuk lolos.
Karena itulah, maka sejenak kemudian ketiganyapun segera menyerang Agung Sedayu dengan dahsyatnya. Mereka mencoba untuk mengepung Agung Sedayu, agar ia tidak mendapat arena yang luas untuk mempertahankan dirinya.
Tetapi ternyata bahwa ujung cambuk Agung Sedayu benar-benar merupakan kekuatan yang sangat dahsyat, Ujung cambuk itulah yang telah memaksa lawan-lawannya untuk bergeser surut, sehingga ternyata bahwa mereka tidak mampu untuk menahan Agung Sedayu tetap ditempatnya.
Dengan demikian, maka sejenak kemudian, pertempuranpun segera menyala kembali dihalaman. Agung Sedayu tidak dapat lagi menghindari bentakan-bentakan cambuknya yang melontarkan ledakan yang memecah sepinya malam.
Namun suara cambuknya telah mendera lawan-lawannya untuk bertempur semakin sengit. Dengan sadar mereka mengetahui, apa yang dapat terjadi oleh suara cambuk itu. Sebentar lagi, beberapa orang pengawal akan berlari-larian memasuki halaman.
Tidak ada pertimbangan lain. Ketiga orang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi itupun segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk mempercepat tugas mereka membinasakan Agung Sedayu. Tetapi dengan demikian, mereka telah mendorong Agung Sedayu untuk secara naluriah berjuang lebih sengit lagi untuk mempertahankan hidupnya.
Karena itulah, maka tidak dapat dicegah lagi, ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu bagaikan mengumandang lebih dahsyat lagi. Getarannya seolah-olah telah menggetarkan seluruh kota dan menggoyahkan dinding-dindingnya.
Kecemasan telah mencengkam keempat orang yang memasuki halaman rumah Raden Sutawijaya itu. Suara cambuk Agung Sedayu bagaikan kidung kematian yang mulai meraba dadanya.
Dengan demikian maka pertempuran dihalaman itupun berlangsung semakin dahsyat. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Ketiga orang lawan Agung Sedayu sama sekali tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang dapat menahan ilmu mereka. Yang mereka inginkan segera adalah kematian Agung Sedayu.
Sementara itu, lawan Ki Juru Martanipun telah berjuang dengan memeras ilmunya. Jika ketiga orang kawannya mengalami kesulitan untuk membunuh Agung Sedayu, maka ternyata bahwa Ki Jurupun merupakan orang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat diatasinya. Meskipun ia sudah menjadi semakin tua, namun ia masih mampu mengatur pernafasannya sebaik-baiknya.
Lawannya sama sekali tidak berhasil memancing orang tua itu untuk bertempur dengan kasar agar nafasnya segera menjadi tersengal-sengal.
Dengan mapan Ki Juru menghadapi lawannya. Betapapun kasar dan liar sikap orang itu, namun Ki Juru yang tua selalu menyadari kelemahan jasmaniahnya. Karena itulah maka ia selalu menjaga, agar ia tidak terpancing oleh lawannya, sehingga nafasnya terputus ditengah-tengah perjuangannya
Lawannyapun semakin lama menjadi semakin gelisah. Setiap ledakan cambuk Agung Sedayu serasa merupakan segores luka di hatinya. Semakin lama semakin banyak, sehingga terasa hatinya menjadi sangat pedih.
"Gila. Gila," tiba-tiba ia berteriak nyaring.
"Kenapa?" bertanya Ki Juru.
"Suara cambuk itu membuat aku gila," geramnya.
Ki Juru memandang orang itu sejenak. Kemudian katanya, "Menyerah sajalah sebelum seorang pengawalpun yang memasuki halaman ini. Tetapi aku yakin, bahwa ada diantara mereka yang sudah mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu."
"Persetan," geram lawannya yang justru menjadi semakin liar.
Dalam pada itu, para pengawal yang berada diluar halaman rumah Raden Sutawijaya terkejut mendengar gema ledakan cambuk. Mereka bertanya-tanya yang satu dengan yang lain, apakah yang kira-kira sedang terjadi.
Namun dalam pada itu. Raden Sutawijaya yang sedang nganglang, yang juga mendengar suara cambuk Agung Sedayu meledak-ledak, segara dapat mengurai keadaan. Ketajaman nalarnya segera mengatakan kepadanya, "Agung Sedayu sedang bertempur melawan orang yang sedang dicarinya."
Karena itulah, maka sejenak ia mencoba menangkap, dari manakah sumber bunyi cambuk Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu diam-diam telah meninggalkan rumahnya dan diluar kehendaknya ia telah bertemu dengan keempat orang yang dicarinya.
Dengan ketajaman pendengaran wadag dan hatinya, Sutawijaya dapat segera mengetahui, bahwa suara cambuk itu terlontar dari halaman rumahnya.
Ketika ia sudah menemukan keyakinan itu, maka kudanyapun segera berderap menyusur jalan-jalan kota bagaikan dikejar hantu. Para pengawalnya yang tidak sempat bertanya sesuatu, segera mengikutinya. Mereka bagaikan berpacu dimalam buta menyusuri jalan-jalan yang suram.
Para pengawal yang bertugas di jalan-jalan dan di gardu-gardu terkejut mendengar derap kaki kuda yang berlari-larian. Tetapi mereka tidak sempat bertanya sesuatu. Mereka hanya melihat Raden Sutawijaya berpacu diikuti oleh para pengawalnya.
Namun para pengawal itupun segera mengetahui apa yang terjadi. Raden Sutawijaya tentu telah mendengar ledakan cambuk itu. Jika para pengawal masih bertanya-tanya, maka Raden Sutawijaya tentu sudah menemukan jawabnya.
Tetapi ternyata beberapa orang pengawal yang berada tidak jauh dari halaman rumah Raden Sutawijayapun segera mengetahui bahwa suara cambuk itu berasal dari halaman rumah itu. Namun menurut pengertian mereka, di rumah itu terdapat beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga. Jika keadaan jadi gawat, maka mereka tentu akan segera membunyikan isyarat.
Namun ternyata bahwa yang terdengar hanyalah ledakan ledakan cambuk saja. Tidak ada suara kentongan, tidak ada suara titir.
Meskipun demikian, suara cambuk itu juga menarik perhatian mereka. Meskipun ragu-ragu, merekapun kemudian membagi diri. Sebagian dari mereka akan melihat, apakah yang sudah terjadi, sementara sebagian yang lain harus tetap ditempatnya mengawasi keadaan.
Sementara itu, kuda Raden Sutawijaya meluncur seperti anak panah yang meloncat dari busurnya. Beberapa orang pengawal disimpang jalan berloncatan menepi. Sambil berdesah mereka berkata Hampir saja tubuhku lumat diinjak kaki kuda."
Namun Raden Sutawijaya tidak menghiraukannya. Ia seolah-olah telah melihat apa yang telah terjadi.
Dalam pada itu. Agung Sedayu masih berusaha untuk menguasai lawannya agar mereka menyerah. Jika lawan-lawannya menyerah, maka jika ada beberapa orang pengawal memasuki halaman, mereka akan mempunyai pertimbangan lain.
Tetapi baik ketiga orang lawan Agung Sedayu, maupun lawan Ki Juru Martani lebih senang bertempur terus daripada menyerahkan diri.
Karena itulah, maka Agung Sedayupun telah berusaha dengan cara lain. Ia harus melumpuhkan lawannya, sehingga mereka tidak akan mampu lagi melawan.
Itulah sebabnya, maka cambuk Agung Sedayupun meledak semakin dahsyat. Tidak saja menyambar-nyambar, tetapi ujungnya mulai terasa menyengat kulit.
Ketiga lawannya menjadi semakin cemas. Mereka hampir tidak melihat kemungkinan untuk melepaskan diri. Agung Sedayu benar-benar seorang yang pilih tanding.
"Tetapi jika tidak ada Ki Juru Martani, maka keempat kami akan dapat membunuhnya," geram salah seorang dari mereka didalam hati.
Luka-luka kecil mulai menggores kulit ketiga lawan Agung Sedayu. Terasa pedih-pedih telah menyengat di seluruh permukaan kulitnya. Bahkan kemudian warna merah telah menghangati tangan-tagan mereka ketika tangan-tangan mereka meraba luka-luka dilengan dan punggung.
"Gila," salah seorang dari mereka berteriak-teriak, "kita harus membunuhnya dengan cepat."
Tetapi belum lagi mulutnya terkatup rapat, ledakan cambuk Agung Sedayu terasa hinggap di lambungnya.
Lawan Ki Jurupun tidak melihat kemungkinan untuk dapat mengalahkan orang tua itu. Ternyata bahwa Ki Juru memiliki perhitungan yang cermat dalam menghadapi keadaan. Ia tidak dapat dipancing dengan cara yang kasar.
Sementara itu, beberapa orang pengawal yang berdatangan dari sekitar rumah itu telah mendekati regol. Mereka masih saja ragu-ragu untuk menentukan apa yang telah terjadi.
Namun salah seorang dari mereka yang mendekati gardu tiba-tiba saja melihat, beberapa sosok tubuh yang terlentang diam.
Dengan ragu-ragu mereka mendekat. Mereka tiba-tiba saja menjadi gemetar melihat apa yang telah terjadi. Mereka melihat kawan-kawan mereka tergolek diam.
"Gila. He, kenapa mereka terbunuh" " seseorang menggeram.
Para pengawal itu tidak bertanya tanya lagi. Ketika mereka mendengar cambuk meledak lagi, merekapun segera mengetahui apa yang telah terjadi di halaman.
Perlahan-lahan mereka kemudidan mendekati regol. Dari luar mereka mencoba melihat, apa yang telah terjadi.
"Pertempuran," desis salah seorang.
Merekapun kemudian melihat, dipendapa telah terjadi perkelahian seorang melawan seorang, sementara merekapun melihat, dihalaman seorang yang bersenjatakan cambuk harus bertempur melawan tiga orang.
Merekapun segera menyadari, bahwa orang yang mereka cari diseluruh kota ternyata justru berada di rumah Raden Sutawijaya. Bahkan mereka telah membunuh para pengawal dan kemudian bertempur melawan Ki Juru Martani dan Agung Sedayu.
Kemarahan para pengawal itu bagaikan telah membakar dada mereka. Mereka tidak lagi dapat membuat pertimbangan-pertimbangan. Bukan saja karena mereka tidak segera dapat menemukan keempat orang itu sehingga seluruh kota menjadi kebingungan, terlebih-lebih bahwa kawan-kawan mereka telah terbunuh justru didalam gardu-gardu.
"Ini suatu kegilaan," geram salah seorang dari mereka, "kecuali keempat orang itu memiliki ilmu yang tinggi, mereka juga orang-orang yang tidak berperikemanusiaan."
Para pengawal itu tidak menunggu perintah lagi. Merekapun segera berloncatan memasuki halaman, sambil mengacuan senjata masing-masing.
Pada saat itulah, Agung Sedayu telah berhasil melukai ketiga orang lawannya. Ia mencoba untuk memaksakan kehendaknya agar lawan-lawannya menyerah saja. Dengan demikian, maka keadaan mereka tentu akan menjadi lebih baik daripada mereka harus bertempur sampai para pengawal memasuki halaman.
Tetapi lawan-lawannya ternyata adalah orang-orang yang keras hati. Mereka sama sekali tidak berniat untuk menyerah, apapun yang terjadi atas mereka.
Pada saat para pengawal menyerbu masuk, maka para pelayanpun telah terbangun dan dengan ragu-ragu melihat apa yang telah terjadi. Meskipun mereka bukan pengawal-pengawal yang mampu bertempur dimedan, tetapi merekapun merasa wajib untuk ikut mempertahankan isi rumah itu. Sehingga karena itulah meskipun ragu-ragu dan saling menunggu merekapun kemudian turun kehalaman dengan senjata telanjang pula.
Agung Sedayu yang melihat para pengawal memasuki halaman dengan kemarahan yang menyala, menjadi sangat cemas. Tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh oleh keempat orang itu untuk melepaskan diri dari tangan para pengawal.
Pada saat itu pulalah terdengar derap kaki kuda mendekati regol halaman. Sejenak kemudian beberapa orang berkuda berpacu langsung memasuki regol.
"Senapati Ing Ngalaga," teriak para pengawal. Namun salah seorang pengawal telah berteriak, "mereka telah membunuh para pengawal diregol."
Tetapi yang lain berteriak, "Lihat, masih ada dua orang lagi terbunuh dipendapa."
Kemarahan tidak lagi dapat dikuasai. Raden Sutawijaya tidak memberikan perintah apapun juga. Tetapi para pengawal dengan darah yang mendidih telah menyerang orang-orang yang telah mereka buru diseluruh kota, namun yang ternyata ada dihalaman rumah itu setelah mereka membunuh beberapa orang pengawal.
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Tetapi yang terjadi tidak lagi dapat dikuasainya. Para pengawal telah mengepung lawannya yang sudah terluka oleh cambuknya.
"Menyerahlah," Agung Sedayu masih berdesis.
Ketiga orang lawannya masih mendengar kata-kata Agung Sedayu itu. Bahkan Agung Sedayu masih melanjutkan, "Aku akan menjamin keselamatanmu. Kalian akan diperlakukan sebagai seorang tawanan yang sudah menyerah."
Kata-kata itu menyentuh hati ketiga orang lawannya. Tetapi ketika mereka melihat senjata yang teracu dan wajah-wajah yang tegang penuh dendam, maka salah seorang dari ketiga orang itu berkata, "Aku akan mati sebagai seorang laki-laki."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Namun segalanya berlangsung diluar kehendaknya. Apalagi ketika Agung Sedayu sempat memandang kependapa. Lawan Ki Juru Martani seakan-akan sudah tak nampak. Para pengawal mengepungnya dengan rapat.
Seperti ketiga orang kawannya, maka lawan Ki Juru itupun tidak mau menyerah. Mereka sadar, akibat yang akan mereka alami jika mereka menjadi tawanan orang-orang Mataram.
Karena itulah, maka keempat orang yang berada di dua arena itu bagaikan berjanji. Mereka mengamuk sejadi-jadinya, seperti seekor harimau lapar yang telah terluka.
Agung Sedayu masih berada diarena beberapa saat lamanya. Dengan cemas ia melihat para pengawal menyerang ketiga orang lawannya itu bagaikan meranjam seekor harimau di alun-alun pada upacara rampokan. Ketiga orang lawannya itu seolah-olah tiga ekor harimau
yang dilepas dari kandangnya diantara para prajurit yang telah dipersiapkan mengepungnya dengan tombak telanjang.
Tetapi ternyata bahwa ketiga orang lawannya yang telah dilukainya itu benar-benar orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Ternyata mereka dengan tangkas menyambut para pengawal yang menyerang mereka dari segala penjuru.
Dengan senjata yang berputar bagaikan baling-baling mereka menamengi diri masing-masing. Dengan garangnya mereka menyusun pertahanan yang sangat rapat. Bahkan ternyata bahwa ketiga orang itu mampu membalas dengan serangan-serangan yang berbahaya.
Agung Sedayu yang seakan akan justru membeku itu terkejut ketika ia mendengar seorang pengawal berdesah. Pergelangan tangannya bagaikan akan patah tergores senjata lawan. Bahkan kemudian disusul oleh erang seorang pengawal yang lain. Seleret garis merah telah menyilang didadanya meskipun tidak terlampau dalam.
"Luar biasa geram Agung Sedayu apakah yang akan terjadi dengan mereka?"
Tetapi Agung Sedayu ternyata telah digelitik oleh kecemasannya ketika ternyata bahwa ketiga orang yang dikepung oleh para pengawal itu justru berhasil melukai beberapa orang.
"Hentikan," geram Agung Sedayu, "untuk yang terakhir kalinya. Menyerahlah."
"Persetan," sahut salah seorang dari mereka, "aku akan membunuh semuanya."
Buku 113 AGUNG Sedayu masih termangu-mangu. Tetapi ia tidak sampai hati melihat para pengawal mengalami kesulitan. Dan hampir diluar sadarnya ia telah mengangkat cambuknya kembali.
Sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Meskipun Agung Sedayu tidak mengenai seorangpun dari ketiga orang lawannya, namun suara cambuknya telah mengejutkan mereka. Sejenak mereka bagaikan kehilangan pengamatan diri oleh getaran didalam dada mereka. Suara cambuk itu bagaikan melecut jantung sehingga rasa-rasanya tangkai jantung mereka telah patah.
Namun yang sekejap itu, ternyata merupakan saat-saat yang menentukan bagi ketiga orang yang bernasib malang itu. Meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, namun dalam keadaan yang tiba-tiba itu, mereka telah kehilangan kesempatan. Selagi mereka mencoba mengatasi getaran jantung didalam dada masing-masing, maka tiba-tiba saja salah seorang pengawal telah melontarkan tombak pendeknya kepada salah seorang dari mereka.
Orang itu terkejut. Namun ia masih sempat meloncat dan berusaha memukul tangkai tombak yang mengarah kedadanya.
Ia berhasil menghindarkan diri dari ujung tombak itu. Namun tepat pada saat itu, sebuah pisau belati telah meluncur mematuk punggungnya.
Terdengar orang itu mengaduh. Namun iapun mulai terhuyung-huyung ketika kedua orang kawannya telah kembali mengamuk seperti orang kerasukan iblis.
Namun kemudian seorang kawannya membuat mereka benar-benar terpengaruh sehingga tata gerak merekapun mulai kabur. Apalagi kekuatan jasmaniah merekapun telah mulai susut setelah mereka bertempur melawan Agung Sedayu dan kemudian para pengawal.
Agung Sedayulah yang kemudian bagaikan membeku ditempatnya. Ia melihat senjata-senjata yang teracu-acu. Kemudian seolah-olah satu demi satu telah merobek tubuh orang-orang yang malang, yang berada didalam kepungan para pengawal yang dibakar oleh kemarahan, kebencian dan dendam, bagaikan seekor rusa yang mengamuk dikerumunan serigala-serigala yang lapar.
Namun akhirnya, kedua orang yang masih bertahan itupun menjadi kehilangan kekuatan. Luka mereka bagaikan arang kranjang. Tubuh mereka telah menjadi merah oleh darah.
Namun demikian, para pengawal masih belum merasa puas. Apalagi kedua orang itu masih saja berusaha menggerakkan senjatanya, betapapun mereka sudah sangat lemah.
Tetapi keduanya tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Merekapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh dihadapan Agung Sedayu yang berdiri mematung.
Sejenak Agung Sedayu bagaikan kehilangan akal. Ia melihat tiga orang tergolek ditanah. Meskipun demikian agaknya para pengawal masih belum puas. Mereka mendesak maju sambil mengangkat senjata masing-masing.
"Cukup," teriak Agung Sedayu tiba-tiba bagaikan membelah keriuhan jerit para pengawal yang marah.
Para pengawal itu tertegun sejenak. Namun beberapa orang diantara mereka berteriak, "Lumatkan mereka. Cincang sampai hancur."
Beberapa senjata telah terangkat. Namun mereka terkejut bukan buatan, ketika senjata mereka kemudian terayun kearah tubuh-tubuh beku itu.
Sekali lagi para pengawal itu mendengar cambuk Agung Sedayu meledak. Namun yang terjadi kemudian adalah tangan-tangan mereka telah disengat oleh perasaan pedih. Senjata-senjata mereka terlepas dan terlempar jatuh ditanah, disamping ketiga tubuh yang sudah tidak bergerak lagi.
Beberapa orang pengawal yang kehilangan senjatanya termangu-mangu. Namun kemarahan yang tidak tertahankan lagi telah membuat mereka mata gelap. Bahkan salah seorang dari mereka berteriak, "Agung Sedayu, kau berpihak kepadanya?"
Agung Sedayu masih melihat salah seorang dari ketiga orang yang terbaring itu tiba-tiba menggeliat. Sehingga diluar sadarnya ia menjawab, "Biarkan yang masih hidup tetap hidup."
"Minggir," teriak pengawal yang lain jangan menghalangi kami. "Mereka telah membunuh kawan-kawan kami."
"Mereka akan membunuh aku juga. Tetapi jangan kehilangan akal, sehingga kalian telah kehilangan dasar-dasar perikemanusiaan."
"Aku tidak peduli. Minggir, atau kami harus memaksamu."
Agung Sedayu tetap berdiri ditempatnya. Bahkan ketika beberapa orang pengawal mendesak maju maka Agung Sedayu telah menggeram, "Jangan kalian teruskan kegilaan itu."
Tetapi beberapa orang pengawal yang masih bersenjata tidak menghiraukannya. Mereka mulai mengangkat senjata-senjata mereka.
Tetapi sekali lagi terdengar cambuk Agung Sedayu meledak. Bahkan suaranya bagaikan merontokkan jantung didalam setiap dada para pengawal.
Namun ternyata para pengawal yang marah itu menjadi semakin marah. Mereka justru kemudian mulai mengepung Aggung Sedayu yang selalu berusaha merintangi mereka.
Tetapi pada saat itu seorang anak muda dengan tergopoh-gopoh muncul diarena. Ia langsung berjongkok disamping ketiga orang yang terbaring ditanah. Sejenak ia mengamat-amati ketiganya. Kemudian meraba dadanya dengan cemas.
"Mereka telah mati," geram anak muda itu.
"Yang seorang masih hidup Raden," desis Agung Sedayu.
Tetapi Raden Sutawijaya itu menggeleng sambil berdesis, "Tidak. Ketiganya telah mati Mungkin yang seorang adalah yang terakhir."
Perlahan-lahan Raden Sutawijaya berdiri. Dipandanginya para pengawal yang berdiri melingkar. Selangkah demi selangkah ia berjalan sambil menatap setiap wajah. Dengan suara berat dan datar ia berkata, "Kalian adalah pengawal-pengawal yang berani, jantan penuh perasaan setia kawan."
Para pengawal mengerutkan keningnya. Dan Raden Sutawijaya meneruskan, "Tetapi kalian adalah pengawal-pengawal yang kurang nalar." Sejenak Raden Sutawijaya berhenti, lalu. "kalian telah membunuh semua orang yang kita cari. Aku terlambat mencegahnya ketika para pengawal mencincang lawan Paman Juru Martani, meskipun paman Juru Martanipun telah berusaha menggagalkannya. Dan sekarang, ketiga orang inipun telah kalian bunuh pula."
Para pengawal yang mendengar kata-kata Raden Sutawijaya itupun bagaikan membeku ditempatnya. Seolah-olah mereka mulai sadar, apa yang telah mereka lakukan. Sekilas mereka melihat tiga sosok tubuh yang terbaring ditanah. Jika Agung Sedayu tidak mencegahnya, maka ketiganya tentu tidak akan berujud lagi. Meskipun demikian, ternyata Agung Sedayu telah gagal untuk mempertahankan hidup ketiga orang itu, bahkan satu saja diantara mereka.
Ketika para pengawal masih termangu-mangu. Raden Sutawijaya meneruskan, "Nah, sekarang apa yang kalian dapatkan dari ketiga sosok mayat itu" Kepuasan yang buram?"
Tidak seorangpun yang menjawab. Namun para pengawal itu mulai dapat membayangkan kemana arah pembicaraan Raden Sutawijaya itu. Dan seperti yang mereka duga, maka Raden Sutawijayapun berkata lebih lanjut, "Sekarang, kita tidak akan mendapatkan keterangan apapun dari mereka. Mereka semuanya telah mati."
Para pengawal menundukkan wajahnya. Mereka menyadari ketergesa-gesaan mereka, sehingga mereka tidak dapat berpikir dengan bening.
Sekilas mereka memandang Agung Sedayu yang berusaha mencegah mereka. Bahkan hampir saja telah timbul salah paham. Meskipun agaknya Agung Sedayu mempunyai pertimbangan yang lain dari Raden Sutawijaya, namun mereka mengakui, bahwa mereka telah kehilangan nalar dibakar oleh kemarahan yang tidak terkendali.
Dan kini, mereka tinggal dapat menyesali tingkah laku mereka. Ke empat orang yang mereka buru telah mereka ketemukan. Tetapi mereka sama sekali tidak mendapatkan keterangan apapun juga dari mereka, karena mereka telah mati.
Raden Sutawijaya yang berdiri didalam lingkaran para pengawal itupun kemudian menggeram, "Nah, apakah kalian belum puas atas kelakuan kalian" Silahkan. Siapa yang masih ingin mencincang korban kalian. Mereka tidak lagi merasakan dan mengetahui apa yang kalian perbuat, betapapun biadabnya."
Para pengawal Mataram itu menunduk dalam. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
"Agung Sedayu," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "aku minta maaf atas kelakuan para pengawal. Mereka benar-benar telah dibayangi oleh kemarahan dan dendam."
"Aku mengerti," sahut Agung Sedayu dengan suara yang dalam. Direnunginya ketiga sosok mayat yang terbaring diam. Katanya kemudian, "mereka telah mati. Dan mereka tidak akan dapat menuntut apapun perlakuan yang pernah mereka alami."
"Ya. Dan merekapun tidak akan dapat berbicara, siapakah mereka sebenarnya dan dari manakah mereka itu datang."
Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi sorot matanya membayangkan penyesalan yang dalam. Bahkan kemudian seolah-olah ia melihat Rudita telah berdiri diantara para pengawal itu dengan mata yang redup.
Tetapi Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Raden Sutawijaya berkata, "Kumpulkan mayat-mayat itu. Kita akan menguburnya besok siang dengan upacara sepantasnya."
Para pengawal masih tetap membeku ditempatnya. Sementara Raden Sutawijaya masih melangkah berputaran sambil memandangi wajah-wajah yang mulai berkeringat.
"Marilah Agung Sedayu. Kau tentu perlu beristirahat. Ternyata perhitunganku salah. Aku minta kau tetap tinggal dirumah agar kau dapat beristirahat. Namun justru kaulah yang telah berhasil menemukan orang-orang yang kita cari diseluruh kota." ajak Raden Sutawijaya.
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ketika Raden Sutawijaya melangkah, iapun mengikuti dibelakangnya. Cambuknya masih didalam genggaman, sedangkan juntainya dipeganginya dengan tangan kirinya.
Orang-orang yang berdiri dalam lingkaran itupun menyibak, dan memberikan jalan kepada Raden Sutawijaya dan Agung Sedayu. Seorang pengawal muda berdesis lirih ketika Agung Sedayu lewat dihadapannya, "Aku mohon maaf Agung Sedayu."
Agung Sedayu berpaling. Anak itu masih muda semuda dirinya sendiri. Namun Agung Sedayu tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil sambil menahan gejolak perasaannya.
Ketika kedua anak-anak muda itu telah naik kependapa, maka mulailah para pengawal Mataram yang telah menyadari dirinya sendiri itu mengangkat mayat-mayat yang terbaring ditanah. Mereka menempatkan ketiga sosok mayat itu diserambi gandok, membaringkannya diatas amben bambu yang besar.
"Mana yang satu lagi?" bertanya salah seorang pengawal.
"Masih dipendapa," sahut yang lain.
Tetapi sesosok mayat yang masih dipendapa tidak segera dibawa keserambi gandok dan dibaringkan disamping mayat kawan-kawannya. Ketika Raden Sutawijaya bersama Agung Sedayu mendekati Ki Juru Martani yang sedang berjongkok merenungi mayat itu, seorang pengawal terdengar berkata diantara kawan-kawannya, "Ciri itu adalah ciri seorang prajurit."
Raden Sutawijaya tertegun sejenak. Namun kemudian iapun melangkah mendekati Ki Juru dengan tergesa-gesa.
"Angger," berkata Ki Juru, "lihatlah."
Raden Sutawijaya dan Agung Sedayupun kemudian berjongkok didekat mayat itu. Ketika ia memandang ikat pinggangnya, maka iapun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ikat pinggang itu memang ikat pinggang prajurit Pajang. Tetapi setiap orang dapat saja memakainya. Mungkin ia mendapatkannya dari saudaranya yang kebetulan juga seorang prajurit. Atau bahkan ia dapat merampasnya dengan kekerasan."
Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi kemudian katanya, "Tetapi mungkin juga ia memang seorang prajurit. Danang, cobalah kau lihat timangnya yang bukan saja timang seorang prajurit. Tetapi ia sudah menghiasinya dengan emas dan permata. Jika ikat pinggang ini bukan miliknya sendiri, ia tentu tidak akan berbuat demikian. Atau katakan ia merampasnya dari seorang perwira, tentu emas dan permata itu akan diambilnya dan dipindahkannya pada ikat pinggang yang lain, bukan ikat pinggang seorang prajurit.
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya ikat pinggang prajurit yang sudah ditambahinya dengan hiasan emas dan permata, yang memang tidak dilarang oleh pimpinan keprajuritan Pajang sejak Ki Gede Pemanahan masih menjadi Panglima, sehingga banyak para perwira yang menghiasi timangnya dengan lapisan emas dan permata.
Namun kemudian Raden Sutawijaya berkata, "Tetapi aku belum pernah mehhatnya. Jika ia seorang perwira Pajang, tentu aku pernah mengenal atau melihatnya."
Ki Juru menggeleng. Katanya, "Tentu tidak semuanya. Mungkin ia baru saja diangkat menjadi seorang perwira karena ia memiliki ilmu yang sangat tinggi."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata, "Mungkin ia adalah seorang petugas sandi."
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Dan Ki Juru berkata, "Salah seorang dari mereka yang bertempur melawan Agung Sedayu tentu penari yang cakap itu."
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Ya Ki Juru. Meskipun semula aku tidak pasti. Tetapi agaknya salah seorang dari mereka adalah penari yang kita lihat di banjar padukuhan itu."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah kepada diri sendiri ia berkata, "Sayang. Ia adalah seorang penari yang sangat baik. Ia memiliki pengetahuan yang sangat berharga bagi tubuhnya sebagai seorang penari. Tetapi ia telah melakukan sesuatu yang menjerumuskannya dalam kesulitan, dan bahkan maut."
Raden Sutawijaya memandang Ki Juru sejenak, kemudian ditatapnya wajah Agung Sedayu yang tunduk merenungi mayat itu.
"Paman," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "apakah paman sependapat, bahwa ikat pinggang itu sebaiknya kita simpan saja. Mungkin ikat pinggang itu akan dapat menjadi jalur mengenalnya kita terhadap orang-orang yang sudah tidak dapat kita ajak berbicara itu, justru karena para pengawal Mataram sendiri yang terlalu dibebani oleh dendam dan kemarahan, sehingga mereka telah melakukan sesuatu yang sangat bodoh."
Ki Juru memandang ikat pinggang itu sejenak. Lalu iapun kemudian bertanya, "Apakah yang tiga orang itu juga mengenakan ikat pinggang keprajuritan?"
Raden Sutawijaya menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Tidak paman. Mereka tidak mengenakan ikat pinggang semacam itu. Juga pada mereka tidak terdapat tanda-tanda apapun juga."
Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Baiklah Raden. Kau dapat menyimpan ikat pinggang itu. Mungkin ada gunanya. Tetapi mungkin juga tidak sama sekali. Tidak akan ada seorangpun yang akan mengaku memiliki ikat pinggang itu, kecuali jika ikat pinggang itu pernah dirampas dengan paksa dan orang yang merampasnya mempergunakan tanpa dirombak bentuk dan ujudnya."
Raden Sutawijayapun kemudian memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil ikat pinggang itu dengan penjelasan, bahwa yang penting bukannya emas dan permatanya, tetapi mungkin akan dapat dipergunakan untuk mencari jejak dari keempat orang itu.
Demikianlah sisa malam itupun kemudian dipergunakan oleh Raden Sutawijaya untuk duduk dipendapa bersama para pemimpin Mataram. Agung Sedayu yang dipersilahkan untuk beristirahat, ternyata lebih senang untuk ikut duduk dipendapa dan mempercakapkan keempat orang yang telah terbunuh itu.
"Angger Agung Sedayulah yang dicarinya di Mataram," berkata Ki Juru kepada para pemimpin Mataram.
Agung Sedayu menundukkan kepalanya ia sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan siapapun. Tetapi keadaan telah mendorongnya untuk menanam dendam dihati orang. Ia sadar, bahwa setiap jiwa yang direnggutnya, akan berarti menambah jumlah musuh yang mendendam dan membencinya.
Agung Sedayu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Ki Juru berkata, "Angger Agung Sedayu. Karena peristiwa ini, maka sudah tentu angger akan tinggal lebih lama lagi di Mataram. Mungkin angger perlu menenangkan hati. Tetapi mungkin pula dengan pertimbangan lain. Sudah tentu angger Agung Sedayu tidak akan cemas diperjalanan. Angger akan dapat mengatasi setiap kesulitan yang datang. Namun aku mengerti, bahwa angger sama sekali tidak akan bermaksud menambah lawan. Apalagi membakar dendam."
Agung Sedayu menarik nafas. Pertimbangan Ki Juru dapat dimengerti. Ki Juru tentu mencemaskannya, bahwa masih ada orang yang akan mencegatnya disepanjang jalan. Jika ia terpaksa bertempur, maka ada kemungkinan, bahwa ia harus melakukan pembunuhan lagi untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian maka ia telah menyaingi dendam pada suatu lingkungan terhadapnya, sehingga dendam itu akan menjadi semakin subur. Dan timbullah lingkaran yang tidak terputuskan, dendam, pembalasan, yang harus dilawan dan menimbulkan kematian yang akan membakar dendam itu lagi.
Tetapi ketegangan jiwa Agung Sedayu bagaikan tidak tertahankan lagi. Ia ingin segera sampai dipadepokannya. Ia baru akan dapat beristirahat jika ia sudah ada ditengah kerja padepokannya. Memanggul cangkul dan menyelusuri parit ditengah bulak. Membelah kayu dan menyapu halaman disaat fajar menyingsing. Melepaskan diri dari segala macam persoalan yang pelik dan menyakitkan hati, sambil mendengarkan kicau burung dicerahnya pagi.
Namun ketika terpandang wajah Raden Sutawijaya, terpercik juga sebuah keluhan di hati, "Aku memang seorang yang sangat mementingkan diriku sendiri."
Meskipun demikian Agung Sedayu sadar, bahwa ia memang bukan Raden Sutawijaya yang dadanya dipenuhi oleh api perjuangan sesuai dengan keyakinannya. Tidak untuk dirinya sendiri. Tetapi untuk membakar cita-citanya menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai.
Sejanak Agung Sedayu termangu-mangu. Ia tidak segera dapat mengambil keputusan. apakah ia akan tinggal lebih lama lagi, atau ia memutuskan untuk segera meninggalkan Mataram dan kembali kepadepokan kecilnya, dimana Glagah Putih telah menunggunya dengan tidak sabar lagi.
Dalam pada itu, para pengawal nampak sibuk dengan persiapan upacara penguburan keempat sosok mayat itu. Meskipun keempat sosok mayat itu adalah mayat-mayat orang-orang yang tidak disukai, tetapi Raden Sutawijaya memerintahkan agar mayat-mayat itu dikubur dengan upacara sepantasnya.
Agung Sedayu masih saja termangu-mangu memandang para pengawal yang nampak hilir mudik dihalaman.
Namun ketika ia melihat cahaya kemerah-merahan membayang, maka tiba-tiba saja kerinduannya untuk kembali kepadepokan kecilnya tidak tertahankan lagi, sehingga katanya kemudian, "Ki Juru. Agaknya aku lebih senang untuk segera sampai ke padepokan kecilku. Aku sudah terlalu lama pergi meninggalkan adik sepupuku."
"Glagah Putih maksudmu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ya. Ia tentu sudah menunggu. Mungkin ia menjadi kecewa bahwa aku terlalu lama meninggalkannya."
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raden Sutawijaya yang masih muda itupun tiba-tiba tersenyum. Yang terbayang padanya bukannya seorang anak muda yang bertubuh tinggi, berwajah bening, namun dengan sorot matanya yang menunjukkan kekerasan hatinya. Tetapi yang terbayang padanya adalah seorang wanita cantik yang keras hati di Sangkal Putung.
Karena itu, maka Raden Sutawijayapun kemudian berkata sambil tersenyum, "Paman. Memang sulit untuk menahan Agung Sedayu lebih lama lagi. Mungkin adik sepupunya sudah sangat merindukannya. Mungkin adik seperguruannya. Mungkin gurunya. Tetapi mungkin juga Sekar Mirah."
"Ah," desah Agung Sedayu sambil menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak membantah. Gadis itupun memang mulai terbayang. Namun justru menumbuhkan kegelisahan dihatinya karena gadis itu selalu memandang masa depannya dengan suram.
Agaknya Agung Sedayu benar-benar tidak dapat ditahan lagi untuk tinggal lebih lama di Mataram. Cahaya matahari yang kemudian jatuh di atas tanah berdarah dihalaman rumah Raden Sutawijaya itu, membuat hatinya menjadi semakin dekat dengan padepokan kecilnya yang tenang dan damai.
"Baiklah Agung Sedayu," berkata Raden Sutawijaya, "agaknya kau benar-benar ingin kembali kepadepokanmu. Karena itu, biarlah kau ditemani oleh dua orang pengawal dari Mataram. Bagaimanapun juga peristiwa yang baru saja terjadi, membuat kita harus berhati-hati. Meskipun kau merupakan orang yang mumpuni dalam olah kanuragan, tetapi kedua pengawal itu akan dapat menjadi kawan berbincang di sepanjang jalan. Mungkin perlu untuk melakukan perintahmu diperjalanan atau keperluan-keperluan yang lain."
Agung Sedayu tidak dapat menolak. Iapun menyadari, bahwa kawan diperjalanan dalam keadaan yang masih dibayangi oleh merahnya darah itu tentu akan berarti baginya.
Karena itulah maka Agung Sedayupun kemudian minta diri untuk berkemas, karena ia akan berangkat pagi-pagi tanpa menunggu upacara penguburan keempat sosok mayat itu.
Ketika Agung Sedayu telah siap untuk berangkat, ia masih sempat minta maaf, bahwa ia tidak dapat menunggui upacara pemakaman para pengawal dan penguburan ke empat sosok mayat itu meskipun ia adalah sasaran dari mereka.
"Ah, aku justru berterima kasih," berkata Raden Sutawijaya, "sebab menurut perkembangan tingkah lakunya, mereka bukan saja akan mencelakaimu, tetapi mereka dengan licik berusaha untuk mengambil pusaka-pusaka terpenting di Mataram. Dan kaulah yang telah menyelamatkan pusaka-pusaka itu."
"Ki Juru Martani. Aku hanya membantumu saja," sahut Agung Sedayu.
Tetapi Ki Juru tertawa. Ia sadar bahwa ketegangan jiwa Agung Sedayu telah memaksanya untuk segera meninggalkan Mataram. Katanya, "Apapun yang kau katakan ngger, tetapi kita semuanya sudah mengambil kesimpulan seperti yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sekali lagi ia mohon diri dan berangkat menuju ke Sangkal Putung, diiringi oleh dua orang pengawal pilihan dari Mataram. Karena kemungkinan yang buruk-pun akan dapat terjadi pada kedua pengawal itu saat mereka kembali tanpa Agung Sedayu. Karena itu, maka mereka berduapun harus bersiap menghadapi kemungkinan itu, meskipun jalan antara Mataram dan Sangkal Putung pada umumnya tidak terdapat hambatan-hambatan apapun.
Demikianlah ketika matahari memanjat semakin tinggi dilangit, Agung Sedayu mulai dengan perjalanannya kembali ke padepokan kecilnya lewat Sangkal Putung. Mungkin gurunya masih tinggal di Kademangan itu menunggu Ki Sumangkar yang terluka parah dipeperangan.
Ketika kuda Agung Sedayu berlari meskipun tidak cukup kencang, namun terasa betapa segarnya udara pagi mengusap wajahnya. Langit nampak hijau cerah terbentang dari ujung sampai ke ujung bumi. Mega yang tipis selembar-selembar mengahr dihanyutkan angin pagi, sementara Agung Sedayu merasa semakin jauh dari kejaran perasaan bersalah karena pembunuhan-pembunuhan.
Sudah lama Agung Sedayu terlepas dari sejuknya suasana sejak ia meninggalkan padepokannya. Hanya sesaat-sesaat ia sempat melihat hijaunya tanaman di sawah. Diperjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh ia juga melalui bulak-bulak panjang yang hijau seperti yang dilaluinya bersama kedua orang pengawal dari Mataram itu. Dipematang nampak beberapa ekor bangau berdiri disebelah kakinya yang panjang.
"Mataram memang akan menjadi besar," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
Kedua pengawal yang berkuda bersamanya mengerutkan keningnya. Mereka tidak begitu mendengar kata-kata Agung Sedayu, sehingga salah seorang dari mereka bertanya, "Apa yang kau maksudkan Agung Sedayu?"
Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya kemudian, "Mataram akan menjadi besar. Tanahnya subur dan menyimpan kemungkinan yang sangat luas. Banyak orang dari segala penjuru berdatangan untuk ikut membuka hutan, sehingga Mataram meluas dengan cepatnya. Mereka bekerja keras dan yang paling menggembirakan, mereka segera merasa diri mereka satu tanpa terbelah-belah lagi. Mereka dapat melupakan asal usul mereka dan hidup bagaikan keluarga dengan tetangga-tetangga mereka yang baru."
Para pengawal itu mengangguk-angguk. Bagi mereka, Mataram merupakan tanah harapan bagi masa depan serta sepanjang keturunannya.
Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu menyusuri jalan menuju ke Sangkal Putung, Raden Sutawijaya masih merenungi ikat pinggang keprajuritan dari salah seorang yang telah terbunuh di halaman rumahnya, sementara orang-orang lain sibuk mempersiapkan keberangkatan ke empat sosok itu ke kubur.
"Tidak ada tanda-tanda apapun yang dapat memberikan petunjuk mengenai orang-orang itu paman," berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru Martani.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Ketika ia menerima ikat pinggang itu dan mengamatinya, iapun menggeleng. Katanya, "Memang tidak ada tanda-tanda apapun juga. Orang itu sudah merubah timang ikat pinggangnya dengan melapisnya dengan emas dan memberikan beberapa butir permata yang mahal. Agaknya ia memang seorang perwira yang bangga akan kedudukannya dan termasuk seorang yang cukup kaya."
Raden Sutawijaya merenung sejenak. Ia mencoba mengingat-ingat apakah ia pernah mengenalnya. Tetapi kemudian ia berkata, "Aku yakin, bahwa aku belum pernah mengenal sebelumnya. Mungkin ia orang baru bagi Pajang."
"Atau sama sekali bukan prajurit Pajang," sahut Ki Juru Martani.
Raden Sutawijaya tidak menjawab lagi. Ia mencoba untuk menyingkirkan teka-teki itu dari angan-angannya meskipun ia masih berniat untuk menyimpan ikat pinggang itu.
Dalam pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, Agung Sedayu telah membunuh Ki Tumenggung Wanakerti. Mungkin saja seorang perwira yang lain mendendamnya karena Agung Sedayu untuk selanjutnya akan dapat menjadi penghalang yang besar bagi keinginan golongan mereka. Apalagi mereka tentu menganggap bahwa Agung Sedayu telah berdiri dipihak Mataram.
Tetapi mungkin pula orang itu telah dikirim oleh para pemimpin dari kelompok yang merasa kehilangan Ki Gede Telengan, yang mereka ketahui telah dibunuh oleh Agung Sedayu pula. Atau bahkan oleh Kiai Samparsada yang masih belum dapat melepaskan dendamnya.
Banyak pertimbangan-pertimbagan yang membayangi angan-angan Raden Sutawijaya. Namun ia mencoba untuk melupakannya, Setidak-tidaknya untuk beberapa saat. Jika kesempatan terbuka untuk mencari jawaban atas ikat pinggang itu, maka ia tentu akan mempersoalkannya kembali.
Karena itulah, maka setelah menyimpan ikat pinggang keprajuritan itu, iapun segera turun diantara para pengawalnya untuk menyelesaikan persiapan penguburan ke empat mayat dari orang-orang yang terbunuh dihalaman itu, sementara yang lain sibuk pula mengurus, beberapa orang pengawal yang telah menjadi korban. Tetapi agaknya tidak semua pengawal terbunuh. Empat orang dari mereka masih dapat diharapkan hidup meskipun mereka mengalami cidera yang berat. Sedang dua diantara mereka tidak dapat tertolong lagi jiwanya, karena luka-luka yang parah. Mereka mengalami serangan tanpa dapat membela diri sama sekali.
Jika para pengawal itu terkenang kepada kawan-kawannya yang gugur dan terluka parah, maka darah mereka bagaikan mendidih. Rasa-rasanya mereka ingin melemparkan saja mayat-mayat itu dipinggir hutan agar menjadi mangsa binatang buas atau tubuh itu hancur disayat-sayat anjing hutan.
Tetapi mereka tidak dapat melakukannya. Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani sama sekali tidak menghendakinya. Mereka masih tetap berpegang pada peradaban manusia, sehingga bagaimanapun juga, ke empat sosok mayat itu harus diselenggarakan sebagaimana seharusnya.
Namun berbeda dengan ke empat sosok mayat itu, dua orang pengawal yang gugur mendapat penghormatannya tersendiri. Mereka adalah para pengawal yang sedang melakukan tugasnya saat mereka disergap oleh orang-orang yang tidak mereka kenal, sehingga mereka sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Membunyikan isyaratpun tidak sempat.
Dengan demikian maka Mataram menjadi sibuk. Para pengawal mengatur segalanya untuk upacara pemakaman kawan-kawannya dan ke empat orang lawan mereka. Sementara keluarga para korban dengan sedih merenungi kematian kedua pengawal yang justru sedang bertugas di dalam kota mereka sendiri.
"Agung Sedayulah yang menurut kabarnya menjadi sasaran keempat orang itu. Tetapi anakkulah yang harus menjadi banten," seorang ibu tua menangis disamping suaminya yang telah tua pula.
"Ia gugur dalam tugasnya," suaminya mencoba meredakan tangisnya.
"Tetapi sekarang Agung Sedayu begitu saja pergi seolah-olah tidak terjadi apa-apa di Mataram," tangis isterinya dengan kesal.
"Ia memang tidak tahu diri," keluarga yang lain menyahut, "seharusnya ia tetap berada disini. Bebanten itu adalah tebusan nyawanya. Dan ia sama sekali tidak memberikan penghormatan kepada mereka. Tanpa anakku dan anakmu yang gugur, ialah yang mati dihalaman ini."
Yang lain menganggguk-agguk. Tetapi mereka tidak dapat menyampaikan perasaan itu kepada Raden Sutawijaya. Karena itu, mereka hanya dapat membicarakan diantara mereka saja.
Namun mereka kemudian mendengar beberapa orang pengawal yang datang dan duduk disebelah keluarga korban yang gugur itu berbicara. Salah seorang dari mereka berkata, "Tanpa Agung Sedayu, Mataram benar-benar akan menjadi buram. Mungkin pusaka Mataram telah hilang, atau Ki Juru Martanilah yang telah gugur sekarang ini."
"Tetapi kenapa ia pergi sebelum pemakaman ini selesai?" bertanya yang lain.
"Hatinya terlalu ringkih. Mungkin lembut, tetapi mungkin cengeng seperti yang dikatakan oleh beberapa orang. Ia merasa bersalah pada setiap kematian. Apalagi karena tangannya. Itulah sebabnya hampir terjadi salah paham antara Agung Sedayu dan para pengawal. Tetapi itu tidak mengurangi besar jasanya sekarang ini, meskipun ia berusaha melarikan diri dari kenyataan bahwa ia telah membunuh lagi dihalaman rumah ini."
Pembicaraan itu terputus. Salah seorang dari para pengawal itu dipanggil kawannya dan pergi meninggalkan tempat itu.
Beberapa orang keluarga korban yang terbunuh itupun termangu-mangu. Mereka mendengar pembicaraan para pengawal itu, sehingga mereka mempunyai penilaian banding tentang Agung Sedayu. Namun bagi mereka Agung Sedayu justru merupakan orang yang memiliki banyak teka-teki yang sulit pada dirinya. Ia mempunyai banyak wajah tentang watak dan sifatnya. Seorang prajurit yang berani, seorang pembunuh yang disegani, tetapi juga seorang yang cengeng dan kecil hati dan seorang yang penuh belas kasihan.
Sementara itu Agung Sedayu masih dalam perjalanannya menuju ke Sangkal Putung. Ia berbicara tentang berbagai macam persoalan dengan pengawal yang mengawaninya diperjalanan. Tetapi Agung Sedayu selalu menghindar jika kedua orang pengawal itu mulai berbicara tentang peperangan. Apalagi tentang nama-nama yang kadang-kadang datang didalam mimpinya. Ki Gede Telengan, Ki Tumenggung Wanakerti, Kiai Samparsada atau Kiai Kalasa Sawit. Bahkan kadang-kadang ia melihat sebuah barisan yang panjang dari orang-orang yang dibunuhnya dengan tubuh yang koyak koyak sejak tangannya pertama kali di kotori dengan darah.
Tetapi Agung Sedayu senang sekali jika kawan-kawannya diperjalanan itu membicarakan tentang hijaunya sawah yang terbentang disebelah menyebelah jalan. Tentang parit-parit yang mengalirkan air yang bening, dan tentang jalan-jalan yang semakin ramai dilalui pedati yang membawa hasil sawah menuju ke tempat-tempat yang ramai.
"Pada saatnya Mataram merupakan pusat perdagangan di daerah baru dan sedang berkembang ini," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "dari Kademangan-kademangan di daerah Selatan, Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan di sekitarnya. Daerah lereng Gunung Merapi dan daerah disebelah Timur yang berada digaris lurus antara Mataram dan Pajang."
Dalam pada itu. perjalanan merekapun semakin lama menjadi semakin jauh dari Mataram. Matahari memanjat semakin tinggi di langit, sehingga sinarnya yang mulai panas terasa gatal menggelitik tubuh. Setitik keringat mulai mengembun dikening.
Tetapi kuda-kuda mereka berlari terus. Kadang-kadang mereka harus memperlambat jika mereka berpapasan dengan pedati yang berjalan lamban beriringan.
Ketika mereka mendekati sungai Opak, maka merekapun beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan kuda-kuda mereka minum dan makan rerumputan segar, sementara Agung Sedayu dan kedua pengawal, yang mengawaninya duduk bersandar sebatang pohon yang rindang.
Menilik orang-orang yang lalu lalang, dan orang-orang yang bekerja disawah, maka nampaknya didaerah itu tidak ada tanda-tanda yang dapat memberikan kesan yang kurang baik seperti yang terjadi di Mataram. Nampaknya Prambanan tetap tenang tanpa mengalami gangguan apapun juga, meskipun letaknya yang tidak terlalu jauh dari Mataram. Agaknya di Kademangan itu terasa tangan-tangan pasukan Pajang yang berada di Jati Anom membantu menjaga pengamanannya meskipun tidak langsung.
"Mungkin masih ada dua tiga orang prajurit yang bertugas di Kademangan ini jika diminta," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "agaknya berbeda dengan Sangkal Putung yang merasa dapat melindungi dirinya sendiri, sehingga bantuan kakang Untara tidak diperlukan lagi."
Nampaknya kedua pengawal Mataram yang bersama Agung Sedayu itupun sedang memperhatikan keadaan Prambanan. Bahkan salah seorang dari mereka berdesis kepada kawannya, "Prambananpun tentu akan menjadi besar."
"Mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri, seperti Sangkal Putung. Dari segi kekuatan, maka prajurit Pajang yang ma.sih ada di Prambanan merupakan orang-orang yang diharap dapat meninggalkan ilmu kanuragan mereka pada anak-anak muda di Prambanan," sahut yang lain.
Agung Sedayu berpaling kepada mereka. Tetapi ia tidak menyahut. Iapun mengerti, bahwa para prajurit Pajang di Prambanan dengan senang hati memenuhi permintaan anak-anak muda Prambanan untuk melatih mereka dalam olah kanuragan. Tetapi justru karena Prambanan sejak semula adalah Kademangan yang tenang, subur dan berkecukupan, maka justru gejolak anak-anak mudan,ya tidak begitu nampak. Agaknya di Prambanan tidak ada seorang anak muda seperti Swandaru. Mereka cukup puas dengan keadaan mereka meskipun hanya sederhana. Tidak ada perjuangan yang menggelegak seperti Sangkal Putung untuk membuat kademangan itu menjadi semakin besar dan kuat.
Namun demikian. Prambanan merupakan Kademangan yang cukup ramai.
Agung Sedayu yang masih bersandar sebatang pohon itu memandangi arus sungai Opak yang mengalir dengan tenang. Dimusim kering, airnya yang jernih mengalir dengan segan. Tidak lebih dari sebatang sungai kecil yang mengalir didataran pasir yang luas. Tetapi dimusim basah arus Kali Opak dapat menghanyutkan rumpun-rumpun bambu ditepian. Airnya memenuhi seluruh luasnya sungai dari tanggul sampai ketanggul. Bergejolak ke coklatan, sehingga orang-orang yang ingin menyeberang harus mempergunakan rakit-rakit dengan tukang satang yang kuat.
Namun dalam pada itu, selagi Agung Sedayu memandangi arus air yang jernih dan hijaunya tanaman di sawah, keningnya berkerut ketika ia melihat dua orang berkuda berpacu seperti dikejar hantu.
"Kau lihat," di luar sadarnya Agung Sedayu berdesis.
Kedua pengawal Mataram yang menyertai Agung Sedayu itupun termangu-mangu. Namun kemudidan katanya, "Menarik sekali. Marilah kita berdiri dipinggir jalan. Mungkin kita sudah mengenal mereka, atau barangkali ada sesuatu yang dapat kita ketahui tentang mereka."
Agung Sedayu mengangguk. Iapun kemudian berdiri dan bersama kadua pengawal itu mereka melangkah ketepi jalan. Meskipun mereka tidak semata-mata memandangi kedua orang yang berpacu itu, namun mereka sengaja untuk dapat melihat kedua orang itu dari dekat.
Dari kejauhan nampak debu putih mengepul tinggi. Kuda-kuda yang berlari itu mengurangi kecepatannya ketika mereka menyeberangi sungai yang tidak begitu dalam. Kemudian memanjat tebing dan semakin lama derap kuda itupun menjadi semakin cepat pula.
Namun ternyata kedua orang berkuda itu terkejut ketika mereka melihat Agung Sedayu berdiri dipinggir jalan, seperti Agung Sedayupun terkejut pula melihat mereka.
"Agung Sedayu," salah seorang dari kedua orang berkuda itu berdesis.
Keduanyapun kemudian menarik kekang kuda mereka, sehingga tepat dihadapan Agung Sedayu kedua ekor kuda itupun berhenti. Dengan tergesa-gesa keduanya segera meloncat turun dari kuda mereka.
Agung Sedayupun kemudian memperkenalkan kedua orang berkuda itu kepada para pengawal yang menyertainya dari Mataram. Keduanya adalah para pengawal dari Sangkal Putung.
"O," salah seorang pengawal dari Mataram berguman, "agaknya ada keperluan yang penting sehingga keduanya berpacu agaknya menuju ke Mataram."
Agung Sedayu mengangguk. Iapun ingin segera mengetahui, apakah kedua pengawal itu sedang melakukan tugas yang penting.
Namun sebelum Agung Sedayu bertanya, salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu telah berkata, "Agung Sedayu. Kami berdua memang sedang dalam perjalanan ke Mataram mencarimu. Jika kau belum berada di Mataram, kami harus langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh setelah kami menghadap Senapati Ing Ngalaga."
"Apakah yang sudah terjadi?" bertanya Agung Sedayu tidak sabar lagi.
Pengawal itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang berkata, "Baiklah. Aku akan mengatakannya disini. Bukankah kau sudah berada dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung."
"Ya." "Untunglah kami tidak berselisih jalan."
"Jalan ini adalah jalan yang paling baik. Bahkan dapat disebut satu-satunya karena jalan-jalan kecil yang lain masih terlalu sulit atau lebih jauh dilalui dan apalagi untuk berpacu," Agung Sedayu menjawab, lalu. "coba katakanlah, apakah keperluanmu?"
"Kami harus menyampaikan berita yang penting. Ki Sumangkar yang terluka parah itu, kini nampaknya menjadi semakin gawat."
"Ki Sumangkar" " Agung Sedayu dan kedua pengawal dari Mataram itu berbareng mengulangi.
"Ya," jawab salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu.
"Bagaimana dengan guru?" bertanya Agung Sedayu.
"Maksudmu Kiai Gringsing?"
"Ya." Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, "Kiai Gringsing masih tetap menungguinya siang dan malam. Ia telah berusaha sejauh dapat dilakukan. Tetapi seperti yang dikatakannya kepada Ki Demang, bahwa ia tidak lebh dari seorang manusia biasa. Yang dapat dilakukannya memang sangat terbatas."
"Tetapi guru adalah seorang dukun yang sangat pandai." potong Agung Sedayu.
"Semua orang mengakuinya. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri, bahwa ia adalah seorang yang tidak lebih dari orang-orang kebanyakan. Usahanya tidak seluruhnya harus berhasil. Juga dalam hal obat-obatan. Tetapi ia tidak berputus asa. Kiai Gringsing sedang mencari sejenis daun turi tetapi yang bunganya berwarna kehitam-hitaman. Batangnya tidak lebih besar dari pohon landep. Mudah-mudahan ia berhasil."
Agung Sedayu menjadi tegang. Ia menganggap bahwa gurunya adalah seorang yang memiliki pengamatan yang luas tentang obat-obatan. Jika Kiai Gringsing mengalami kesulitan, maka nampaknya keadaan Ki Sumangkar memang benar-benar gawat.
Karena itu. maka katanya kemudian, "Jadi kalian juga mendapat tugas untuk menyampaikannya kepada Raden Sutawijaya?"
"Kiai Gringsing memerintahkan demikian. Ki Demang dan Swandaru pun berpendapat demikian juga, meskipun Ki Sumangkar sendiri sebenarnya berkeberatan," jawab salah seorang pengawal Sangkal Putung itu.
Agung Sedayu termangu-mangu. Maka katanya kemudian, "Jika demikian, maka kalian akan tetap pergi ke Mataram meskipun kalian telah bertemu aku disini."
"Ya. Kami akan terus ke Mataram."
Agung Sedayu merenung sejenak. Ia membuat pertimbangan tentang rencana kedua pengawal itu pergi ke Mataram. Apakah tidak sebaiknya kedua pengawal dari Mataram sajalah yang kembali dan menyampaikan berita itu.
Namun tiba-tiba ia menggeleng. Katanya, "Memang sebaiknya kalian pergi ke Mataram. Tidak baik menyerahkan tugas kepada orang lain.. Menghadaplah Senapati Ing Ngalaga di Mataram untuk menyampaikan berita itu. Dan katakanlah bahwa kalian telah berjumpa dengan aku diperjalanan ini."
Kedua orang itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari keduanya menjawab, "Baiklah. Jika demikian, kami akan melanjutkan perjalanan kami."
"Berilah kudamu kesempatan minum dan sedikit makan rumput. Kemudian segeralah melanjutkan perjalanan. Kami sudah beristirahat sejenak, sehingga biarlah kami meneruskan perjalanan kami. Tiba-tiba saja rasanya kami ingin segera berada di Sangkal Putung," berkata Agung Sedayu.
"Silahkan. Ada baiknya juga kudaku minum," jawab salah seorang pengawal dari Sangkal Putung itu.
Agung Sedayu dan dua orang pengawal dari Mataram itupun segera mempersiapkan diri. Kuda mereka nampaknya sudah cukup beristirahat sehingga telah menjadi segar kembali. Kuda-kuda itu telah minum beberapa teguk dan makan rerumputan segar dipinggir Kali Opak.
Sejenak kemudian Agung Sedayu dan kedua orang pengawal dari Mataram itupun berpacu. Mereka rasa-rasanya seperti dikejar-kejar oleh waktu. Kecemasan yang sangat telah mencengkam hati Agung Sedayu. Seolah-olah ia didesak oleh suatu keinginan untuk masih dapat bertemu dengan Ki Sumangkar dan sedikit berbicara.
"Waktu itu masih panjang," geram Agung Sedayu, "kenapa aku tergesa-gesa. Besok, lusa, sepekan atau sebulan lagi aku masih akan dapat berbincang dengan Ki Sumangkar. Ia akan sembuh dan sehat kembali seperti sediakala."
Namun dilubuk hatinya yang paling dalam, ia tidak dapat mengingkari keharusan yang dapat terjadi kepada Ki Sumangkar, bahkan kepada setiap orang, jika yang Maha Kuasa memang sudah menghendakinya.
Karena itulah, maka kuda Agung Sedayu dan kedua pengawal dari Mataram itupun berderap semakin kencang. Beberapa orang yang berpapasan dengan keduanya menjadi heran. Apalagi orang-orang yang sedang menunggui sawah dipinggir jalan. Baru saja mereka melihat dua orang berkuda berpacu kearah yang berlawanan dengan ketiga orang itu.
Tetapi baik yang berdua maupun yang bertiga dengan arah yang berlawanan, sama sekali tidak berbuat sesuatu yang mencurigakan. Yang mereka lihat, mereka adalah orang-orang yang bepergian dengan tergesa-gesa.
Demikian pula para pengawal Sangkal Putung yang pergi ke Mataram. Selelah beristirahat sejenak, maka merekapun segera meneruskan perjalanan mereka. Mereka berpacu seperti dikejar hantu, karena merekapun sebenarnya merasa cemas, bahwa jika Raden Sutawijaya berkenan mengunjungi Ki Sumangkar, ia akan datang terlambat.
Jarak antara Prambanan ke Sangkal Putung dan ke Mataram tidak berselisih jauh. Tetapi jalan ke Mataram, semakin dekat, menjadi semakin baik. Lebih baik dari jalan yang menuju ke Sangkal Putung setelah melewati Prambanan, sehingga karena itu, berpengaruh pula pada laju kuda mereka yang pergi ke arah yang berlawanan pula.
Dengan demikian, maka para pengawal Sangkal Putung yang pergi ke Mataram ternyata lebih cepat mencapai tujuannya meskipun selisih waktu yang diperlukan hampir tidak berarti. Di saat Agung Sedayu memasuki Kademangan Sangkal Putung, maka para pengawal dari Sangkal Putung telah berhenti didepan regol rumah Raden Sutawijaya, karena dua orang pengawal bersenjata tombak telah berdiri disebelah menyebelah sambil mengacukan senjata mereka.
"Siapakah kalian Ki Sanak?" bertanya salah seorang penjaga regol itu.
"Kami dalang dari Sangkal Putung," jawab pengawal yang datang.
"Siapakah yang kalian cari?" bertanya penjaga regol pula.
"Kami akan menghadap Senapati Ing Ngalaga."
Namun sementara itu penjaga regol yang lain bertanya, "Kau akan mencari Agung Sedayu?"
"Tidak," jawab pengawal itu, "kami telah berpapasan di jalan. Kami akan menghadap Senapati Ing Ngalaga untuk menyampaikan pesan Kiai Gringsing kepadanya."
Para penjaga regol itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka membawa kedua pengawal dari Sangkal Putung itu kepada pimpinan mereka.
"Aku akan menyampaikannya," berkata pimpinan penjaga regol itu, "tunggulah. Jika Senapati dapat menerima kalian, maka kalian akan kami persilahkan."
Kedua pengawal dari Sangkal Putung itu terpaksa menunggu. Rasa-rasanya waktu berjalan sangat lamban, dan pimpinan penjaga itu masih saja belum datang kembali.
Tetapi akhirnya ia datang pula, justru bersama dengan Senapati Ing Ngalaga sendiri.
Pada saat Senapati Ing Ngalaga melihat kedua pengawal dari Sangkal Putung itu, rasa-rasanya ia tidak sabar lagi. Dengan serta merta iapun bertanya sebelum seperti kebiasaannya, menanyakan tentang keselamatan tamu-tamunya diperjalanan.
"Apakah kau bertemu dengan Agung Sedayu?" bertanya Raden Sutawijaya.
"Ya Raden. Kami bertemu di Prambanan," jawab salah seorang pengawal itu.
"Kemarilah. Tentu ada yang penting yang akan kau sampaikan." ajak Raden Sutawijaya.
Kedua pengawal itupun kemudian mengikutinya naik kependapa dan duduk diatas tikar yang telah terbentang.
Sejenak kemudian maka salah seorang dari merekapun segera menyampaikan pesan dari Kiai Gringsing di Sangkal Putung tentang keadaan Ki Sumangkar.
Sementara itu. Agung Sedayu yang tergesa-gesa telah sampai pula di Kademangan Sangkal Putung. Dengan tergesa-gesa pula ia memasuki regol dan menyerahkan kudanya kepada seorang pengawal beserta kedua orang pengawal yang datang bersamanya dari Mataram.
Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat Sekar Mirah berlari menuruni tangga. Dengan serta merta gadis itu berseru dengan suara serak, "Kakang."
Agung Sedayu bagaikan membeku ditempatnya. Ia melihat Sekar Mirah berlari kearahnya. Namun Sekar Mirah melihat pula dua orang pengawal dari Mataram, maka langkahnyapun bagaikan patah. Namun ia sudah berdiri beberapa langkah saja dihadapan Agung Sedayu.
"Ada apa Sekar Mirah?" bertanya Agung Sedayu kebingungan, namun ia segera sadar, bahwa ia sudah mendengar keadaan Ki Sumangkar, guru Sekar Mirah. Karena itu. maka iapun kemudian bertanya, "bagaimana keadaan Ki Sumangkar?"
Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Setitik air mata mengambang dipelupuknya. Dengan suara sendat ia berkata, "Guru menjadi semakin gawat. Kiai Gringsing dan ayah telah mengutus dua orang pengawal ke Mataram mencarimu."
"Aku lelah bertemu diperjalanan," jawab Agung Sedayu, "mereka sekarang melanjutkan ke Mataram untuk menyampaikan kabar ini kepada Raden Sutawijaya."
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi rasa-rasanya ia tidak dapat menahan air matanya. Tiba-tiba saja setelah ia berdiri dihadapan Agung Sedayu ia menjadi cengeng dan menangis diluar sadarnya.
Agung Sedayu menjadi kebingungan. Ia tahu apa yang harus dilakukan terhadap gadis itu. Ada juga niatnya untuk menggandengnya naik kependapa. Tetapi rasa-rasanya tangannya menjadi kejang.
Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah berkata, "Sudahlah Sekar Mirah. Jangan menangis. Aku ingin melihat keadaan Ki Sumangkar."
Agung Sedayu melangkah perlahan-lahan diikuti oleh Sekar Mirah. Ketika ia memandang ketangga pendapa, ia melihat gurunya. Ki Demang dan Swandaru berdiri menunggunya.
Yang mula-mula sekali melangkah monyongsongnya adalah Kiai Gringsing yang diikuti oleh Ki Demang. Baru kemudian Swandarupun turun dari tangga.
Wajah mereka nampak sayu agaknya mereka mengalami kelelahan lahir dan batin. Terlebih-lebih Kiai Gringsing.
"Marilah Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing, "kami sedang berjuang untuk mengatasi kegawatan pada diri Ki Sumangkar."
Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ketika ia memandang wajah Ki Demang, maka Ki Demangpun berkata, "Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Nampaknya Ki Demang berusaha untuk menunjukkan bahwa usaha yang telah dilakukan oleh seisi rumah itu benar-benar sudah sejauh-jauh dapat dicapai. Bahkan seolah-olah Ki Demang ingin mengatakan kepadanya, bahwa ia tidak dapat dipersalahkan karena keadaan yang gawat dari Ki Sumangkar.
Agung Sedayu justru menjadi termangu-mangu. Mungkin tatapan matanya seolah-olah menuduh bahwa orang-orang yang ada dirumah itu tidak berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengobati Ki Sumangkar. Tetapi itu tidak mungkin. Ia yakin, gurunya adalah seorang dukun yang pandai dan benar-benar mengabdikan diri untuk kepentingan sesama.
Namun Agung Sedtiyupun kemudian menyadari. Agaknya Ki Demang sengaja mengatakannya agar Sekar Mirahpun mendengar pula. Agaknya gadis yang gelisah itu menganggap bahwa orang-orang yang ada disekitar gurunya yang sakit itu masih belum berusaha sepenuh tenaga.
Tetapi Agung Sedayu tidak menanggapinya. Bersama gurunya, diikuti oleh Ki Demang dan Swandaru, ia memasuki bilik Ki Sumangkar digandok sebelah kanan.
Agung Sedayu tertegun dipintu bilik. Ketika ia melihat tubuh yang terbaring diam itu, rasa-rasanya dadanya bergejolak keras sekali. Wajah Ki Sumangkar nampak pucat sekali. Baru beberapa hari saja ia tidak melihatnya. Namun nampaknya Ki Sumangkar menjadi sangat kurus dan lemah,
Pada tubuh itu sama sekali tidak terbayang, kemampuan raksasa yang dimilikinya. Ki Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga seolah-olah ia tidak dapat dikalahkan dimedan perang yang manapun juga. Bahkan beberapa orang menganggap bahwa Patih Mantahun dan saudara-saudara seperguruannya memiliki nyawa rangkap.
Agung Sedayu terperanjat ketika ia mendengar gurunya berbisik, "Masuklah."
Dengan ragu-ragu Agung Sedayu melangkah masuk. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia kemudian melihat Ki Sumangkar memiringkan kepalanya.
Seleret senyum membayang diwajah yang pucat itu. Kemudian terdengar suaranya parau dikerongkongan, "Kau datang Agung Sedayu."
Rasa-rasanya dada Agung Sedayu bagaikan bergetar. Suara Ki Sumangkar yang lemah, dalam dan parau itu. bagaikan pertanda yang baru padanya tentang orang tua itu.
Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah mendekat. Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung dan Swandarupun memasuki bilik itu pula, sementara Sekar Mirah masih tetap berdiri diluar. Ia tidak ingin mengganggu pertemuan antara Agung Sedayu dan Ki Sumangkar yang sudah sangat lemah. Karena ia merasa, bahwa betapapun keras hatinya, namun pada saat-saat tertentu, kelemahan perasaannya sebagai seorang gadis tidak, dapat dikendalikan lagi, sehingga air matanya akan dapat menambah kegelisahan hati gurunya yang sedang dalam keadaan gawat.
Agung Sedayupun kemudian duduk disebuah dingklik kayu disisi pembaringan Ki Sumangkar. sementara yang lain berdiri selangkah dibelakang Agung Sedayu.
"Kiai," tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. Ada sesuatu yang terasa menghangati kerongkongannya.
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Apakah ada seseorang yang memberitahukan kepadamu tentang keadaanku?"
Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, "Ya Kiai. Aku mendengar dari dua orang pengawal yang pergi ke Mataram."
"Apakah sebenarnya keperluanmu belum selesai?" bertanya Ki Sumangkar lemah.
"Aku memang sudah diperjalanan kembali ke Sangkal Putung Kiai," jawab Agung Sedayu.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "luka-lukaku sangat parah. Kau sudah berhasil menyelamatkan nyawaku dipeperangan itu. Tetapi segala sesuatu tentang hidup seseorang tergantung sekali kepada Yang Maha Kuasa. Dan aku tidak akan ingkar akan setiap keputusan yang diambil-Nya tentang diriku. Sekarang, besok atau lusa."
"Ah," desah Agung Sedayu, "guru tentu akan berusaha lebih banyak untuk menyembuhkan Kiai."
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Aku sangat berterima kasih kepada segala pihak. Kepada gurumu. Kiai Gringsing yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meringankan penderitaanku. Kepada Ki Demang di Sangkal Putung. Kepada saudara seperguruanmu dan isterinya kepada Sekar Mirah yang telah merawat aku dengan sebaik-baiknya selama aku sakit."
"Kiai akan sembuh." potong Agung Sedayu.
Tetapi Ki Sumangkar tersenyum pula. Dengan suara tertahan ia berkata, "Jangan seperti kanak-kanak Agung Sedayu, seolah-olah kita dapat menahan putaran janji tentang diri kita sendiri. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak mau berusaha. Aku masih tetap minum dan makan semua obat untukku. Memang segalanya dapat terjadi. Dan aku akan menerima apa saja dengan hati yang lapang."
Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam, ia merasa benar-benar dihadapkan pada seorang yang seolah-olah telah mapan dalam perjalanan terakhir dari hidupnya. Jika ia mengenang sikap Ki Sumangkar dipeperangan yang seakan-akan merupakan hantu penyebar maut, maka ketika maut itu sendiri datang mendekat, ia sama sekali tidak meronta.
"Ia adalah segirang yang telah memahami arti hidupnya," berkata Agung Sedayu didalam hatinya, "bahkan akhirnya ia harus kembali ketempatnya yang abadi. Dengan sadar ia melihat dirinya yang singgah di kefanaan ini. Seperti ia pernah datang, maka ia akan pergi."
Agung Sedayu mengangkat wajahnya yang tertunduk ketika ia mendengar Ki Sumangkar berkata, "Sudahlah. Sekarang berceriteralah tentang dirimu. Tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Mataram."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah-wajah yang tegang didalam bilik itu.
Sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian katanya, "Semuanya dalam keadaan baik Kiai. Tanah Perdikan Menoreh dalam keadaan baik. Matarampun dalam keadaan baik."
"Sukurlah. Semuanya baik." namun kemudian nada suaranya menjadi dalam, "tetapi kau datang sendiri tanpa Ki Waskita."
Agung Sedayu bergeser sedikit. Jawabnya, "Ketika aku pergi ke Mataram dari Tanah Perdikan Menoreh, Ki Waskita sudah mendahului kembali kepadukuhannya Kiai. Ia merasa sudah terlalu lama meninggalkan sanak keluarganya."
K" Sumangkar tersenyum, "Ya. Ia mempunyai anak isteri. Memang sebaiknya ia pulang kerumahnya. Rumah bagi Ki Waskita ada artinya, karena ia adalah seorang yang hidup seperti kelajiman orang kebanyakan."
Agung Sedayu melihat mata yang cekung itu menjadi redup. Namun hanya sesaat, karena Ki Sumangkarpun kemudian berkata, "Kau tentu belum beristirahat, Agung Sedayu. Beristirahatlah."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia masih tetap duduk ditempatnya, sehingga Kiai Gringsinglah yang kemudian berkata, "Marilah Agung Sedayu. Kecuali kau perlu beristirahat, maka Ki Sumangkarpun perlu beristirahat pula."
Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian minta diri untuk keluar dari bilik Ki Sumangkar.
Namun Kiai Gringsingpun menyuruhnya untuk benar-benar beristirahat. Membersihkan diri dan kemudian makan sekedarnya. Orang-orang Sangkal Putung itupun telah mendengar ceriteranya tentang empat orang yang mencarinya di Mataram, dan tanpa dikehendakinya, mereka semuanya telah terbunuh oleh kemarahan para pengawal, karena mereka telah lebih dahulu membunuh beberapa orang pengawal dan melukainya yang lain.
Sementara itu, orang-orang di Sangkal Putung itupun bersetuju untuk memberikan kabar kepada Widura di Jati Anom. Selain Widura juga mengenal Ki Sumangkar dengan baik. ia akan tahu pula alasannya kenapa Agung Sedayu tidak segera kemali.
Sementara itu, ketika malam tiba. orang-orang di Kademangan Sangkal Putung bagaikan tidak dapat tidur nyenyak. Terutama mereka yang berada dirumah Ki Demang. Berganti-ganti mereka menunggu Ki Sumangkar yang dalam keadaan gawat. Agung Sedayu yang ikut menungguinya pula telah menjadi sangat cemas melihat keadaan orang tua itu.
Tetapi nampaknya Ki Sumangkar gembira atas kehadiran Agung Sedayu. Ia minta Agung Sedayu menceriterakan keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Orang tua itu minta agar Agung Sedayu berceritera tentang keadaan rakyatnya, sawah dan pategalannya dan ketenangan hidupnya. Demikian juga tentang Mataram.
Sambil mendengarkan ceritera Agung Sedayu. Ki Sumangkar kadang-kadang tersenyum, kadang-kadang mengerutkan dahinya.
Namun ketika Agung Sedayu duduk sendiri didalam bilik Ki Sumangkar, maka orangtua yang sudah sangat lemah itu sempat memberikan beberapa petunjuk kepadanya.
"Sekar Mirah adalah gadis yang keras hati," berkata Ki Sumangkar hampir berbisik, "jika hatimu keras pula. maka didalam ikatan perkawinan kelak akan banyak sekali terjadi benturan-benturan dan persoalan-persoalan yang akan berpatahan. Untunglah kau mempunyai sifat yang lain Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau berhati seluas lautan. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak boleh menentukan sifat. Jika perlu kau sekali-sekali harus bersikap keras pula terhadapnya."
Agung Sedayu menunduk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Ki Sumangkar. Iapun kadang-kadang lelah dibayangi oleh kecemasan tentang sifat-sifat Sekar Mirah. Namun Ki Sumangkar berkata selanjutnya, "Tetapi Agung Sedayu. sifat-sifat keras hati itu akan dapat bermanfaat pula bagi masa depannya dan sudah barang tentu masa depanmu. Jika Sekar Mirah dapat menyalurkan kekerasan hatinya menurut jalan kebenaran, maka ia akan menemukan hari depan yang cerah. Dan adalah kewajibanmu untuk memagari kekerasan hatinya yang tersalur menurut jalan kebenaran."
Masih banyak yang dikatakan oleh Ki Sumangkar. Namun jika ada orang lain yang memasuki bilik itu, maka iapun terdiam dan berbaring tanpa mengucapkan sepatah katapun. Apalagi jika yang datang Sekar Mirah sendiri.
Tetapi jika mereka telah meninggalkan bilik itu, Ki Sumangkar melanjutkan pesan-pesannya kepada Agung Sedayu sebagai bekal hidupnya dimasa depan.
"Aku juga sudah memberikan banyak nasehat kepada Sekar Mirah," berkata Ki Sumangkar, "tetapi ia harus selalu diperingatkan setiap kali. Dan itu adalah tugasmu, karena aku tidak akan dapat membantumu lagi."
Agung Sedayu mennandang wajah orang tua itu. Ia sangat berterima kasih atas segala pesan-pesannya. Tetapi iapun menyadari, bahwa Ki Sumangkar harus banyak beristirahat.
Karena itu. maka dengan hati-hati ia kemudian berkata, "Kiai. Aku sangat senang mendengar petunjuk-petunjuk Kiai. Tetapi aku mohon Kiai untuk dapat beristirahat agar keadaan Kiai menjadi bertambah baik."
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Kau tentu mendapat pesan dari gurumu. Kiai Gringsing selalu memperingatkan aku, agar aku banyak beristirahat dan tidur. Akupun selalu melakukannya. Istirahat, tidur, menenangkan hati dan tidak memikirkan apa-apa."
Agung Sedayu termenung memandanginya.
"Tetapi aku tidak mau kehilangan kesempatan. Kau dan Sekar Mirah tentu akan segera kawin. Aku berharap bahwa perkawinanmu akan menjadi baik." Ki Sumangkar berhenti sejenak, lalu. "kau dapat melihat perkawinan Swandaru dan Pandan Wangi. Swandaru adalah seorang anak muda yang berhati sekeras baja. Bahkan kadang-kadang didalam sikap sehari-hari, kekerasan hatinya itu nampak pula. Tetapi Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang lembut dan sabar. Meskipun aku tidak tahu, siapakah yang lebih cakap mempergunakan senjata diantara mereka, tetapi Pandan Wangi selalu menempatkan diri sebagai seorang isteri yang baik. Karena itulah, maka hubungan diantara merekapun nampak tenang dan tanpa kemelut."
Agung Sedayu mengangguk kecil.
"Meskipun keadaanmu berbeda," Ki Sumangkar meneruskan, "tetapi pada dasarnya dapat ditempuh keseimbangan yang serupa. Pandan Wangi adalah seorang isteri, dan kau akan menjadi seorang suami. Kedudukanmu berbeda dengan kedudukan Pandan Wangi. Tetapi hubungan yang baik akan dapat kau bina dengan sifat-sifat yang lembut. Dan kau adalah seorang yang lembut hati."
Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Namun ia menjadi cemas bahwa dengan demikian Ki Sumangkar telah berbuat kesalahan karena ia terlalu banyak berbicara.
Untunglah, Kiai Gringsing kemudian memasuki bilik itu dan duduk bersama Agung Sedayu menungguinya, sehingga Ki Sumangkarpun menjadi lebih banyak diam dan mencoba untuk memejamkan matanya.
Dalam keadaan yang bagaimanapun juga. Ki Sumangkar tidak pernah menolak untuk minum segala macam obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing. Iapun tidak menolak obat apapun yang dilekatkan pada luka-lukanya.
Namun demikian, meskipun luka-luka dikulit dan dagingnya berangsur baik. tetapi keadaannya benar-benar menjadi semakin gawat. Dan Kiai Gringsing tidak lebih dari seorang manusia biasa. Ia tidak dapat berbuat melampaui kemampuan dan kuasa yang dilimpahkan kepa danya oleh Sumber segala Kekuasaan.
Yang kemudian datang di Sangkal Putung lewat tengah malam adalah Ki Widura. Bahkan sekaligus dengan Untara yang diberitahukannya pula. Bersama mereka selain para pengawal adalah seorang anak muda yang bertubuh kecil. Glagah Putih."
Glagah Putih yang sudah rindu kepada Agung Sedyu itupun segera memeluknya dan berkata, "Kau terlalu lama pergi kakang. Aku kira kau tidak lagi ingin kembali kepadepokan kecil itu."
Agung Sedayu menepuk bahu adiknya. Terasa sesuatu tergetar dihatinya. Namun kemudian ia menjawab, "Tentu tidak Glagah Putih. Aku tidak akan melupakan padepokan kecil itu. Tetapi seperti yang kau lihat, bahwa ada sesuatu yang menghambat rencanaku kembali."
Glagah Putih mengangguk-angguk. Ketika ia melepaskan kakak sepupunya. maka iapun kemudian melihat Untara yang berdiri tegak sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan tajamnya.
Agung Sedayupun menjadi berdebar-debar. Ketika Ki Demang mempersilahkan tamu-tamunya untuk duduk dipendapa, rasa-rasanya Untara masih saja selalu memandanginya.
Dalam kegelisahan itulah, maka iapun kemudian duduk dibelakang kakaknya bersama Glagah Putih, sementara Untara dan Widura duduk berhadapan dengan Ki Demang.
Sejenak mereka saling memperbincangkan keselamatan masing-masing seperti kebiasaan mereka. Baru kemudian Ki Demang memberikan kesempatan kepada Kiai Gringsing untuk mengatakan tentang keadaan Ki Sumangkar.
"Apakah kami dapat bertemu?" bertanya Widura.
Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, "Tentu. Ki Sumangkar merasa gembira jika ia melihat seseorang menjenguknya meskipun setiap kali ia mengetahui bahwa kami akan memberitahukan tentang sakitnya kepada seseorang ia selalu berusaha mencegah."
Ki Widura mengangguk-angguk. Kemudian sambil memandang Untara ia berkata, "Marilah. Mudah-mudahan Ki Sumanggkar tidak terkejut justru karena kita datang disaat yang asing bagi sebuah kunjungan."
Untarapun kemudian mengikuti pamannya pergi ke bilik Ki Sumangkar. Sekar Mirah yang sedang menunggui gurunya, kemudian melangkah keluar ketika ia mengetahui beberapa orang tamu datang kepintu bilik itu.
"Apakah gurumu sedang tidur?" bertanya Ki Demang.
Sekar Mirah menggeleng. Dengan suara parau ia menjawab perlahan-lahan, "Guru jarang sekali dapat tidur nyenyak. Ia baru saja minum beberapa teguk."
Kiai Gringsingpun kemudian menyahut, "Baiklah, biarlah aku sampaikan kepadanya, bahwa ada beberapa orang tamu datang dari Jati Anom."
Untara dan Widurapun kemudian dipersilahkan masuk. Glagah Putih yang termangu-mangu dipintupun kemudian melangkah masuk ketika Agung Sedayu menggamitnya.
Sumangkar tersenyum melihat kedatangan Widura dan Untara. Sepercik kegembiraan memang nampak diwajahnya. Kunjungan itu memang sangat menggembirakanya. Orang-orang yang semula berdiri berseberangan pada saat Pajang dan Jipang bermusuhaan. namun kemudian, telah lama pula bekerja-bersama untuk menegakkan Pajang, ternyata tidak melupakannya. Mereka memerlukan datang menengoknya saat ia sakit.
Widura yang kemudian duduk disamping pembaringan itupun mengusap kaki Ki Sumangkar yang dingin. Beberapa patah kata Ki Widura bagaikan menggugah hati Ki Sumangkar. Namun ia adalah orang yang memiliki penglihatan yang tajam tentang keadaannya sendiri, sehingga iapun tidak akan dapat lari dari kenyataan tentang keadaannya yang gawat.
Sambil tersenyum Ki Sumangkar berkata, "Aku memang belum terlalu tua. Mungkin umurku tidak terpaut banyak dari Kiai Gringsing. Atau bahkan aku lebih tua satu atau dua tahun, namun jumlah umur bukanlah batas yang memagari umur itu sendiri."
Ki Widura menarik nafas. Ia memang tidak dapat memberikan harapan-harapan yang cerah sekedar untuk menggembirakan hati Ki Sumangkar seperti kepada orang-orang yang tidak memiliki pegangan hidup yang kuat.
Bahkan seakan-akan dengan terang Ki Sumangkar dapat melihat perjalanan hidupnya yang telah sampai diujung lorong yang panjang dan penuh dengan corak dan ragam pengalaman.
Beberapa saat Ki Widura dan Untara masih berbicara tentang berbagai macam persoalan. Namun nampaknya Ki Sumangkar lebih banyak bersikap pasrah.
Setelah beberapa lama mereka berada didalam bilik itu, maka keduanyapun kemudian minta diri untuk keluar dari bilik itu.
"Beristirahatlah Kiai," berkata Untara, "banyak beristirahat agaknya akan banyak memberikan bantuan pulihnya kembali kesehatan seseorang."
Ki Sumangkar tersenyum. Jawabnya, "Terima kasih anakmas Untara. Aku akan mencoba untuk dapat tidur."
Untara yang kemudian bersama Widura duduk dipendapa, ternyata tidak dapat tinggal di Sangkal Putung terlalu lama. Widura akan tetap tinggal bersama Glagah Putih. Tetapi Untara dan beberapa orang pengawalnya akan segera kembali ke Jati Anom.
"Begitu tergesa-gesa?" berkata Kiai Gringsing.
"Besok pagi hari aku sudah menentukan rencana perjalanan bersama beberapa orang perwira," berkata Untara, "karena itu. aku perlukan datang sekarang agar aku tidak menyesal jika perjalanan hidup Ki Sumangkar memang sudah sampai kebatas."
"Ah." desah Agung Sedayu. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Untara mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian melanjutkan kata katanya, "Tentu kita semua berharap agar ia sembuh. Tetapi kita menyadari, apa yang dapat kita lakukan jika kehendak Yang Maha Kuasa memang telah menentukan batas itu."
Agung Sedayu menundukkan kepalanya.
Untara kemudian meminta diri. Ia akan kembali dan harus berada di Jati Anom sebelum matahari naik.
Tidak ada seorangpun yang dapat mencegahnya. Swandaru hanya dapat memandanginya dengan kening yang berkerut, tetapi ia sama sekali tidak mencoba untuk menunda perjalanan Untara.
"Biar saja ia kembali ke Jati Anom." katanya didalam hati.
Agung Sedayupun tidak dapat mencegahnya. Namun hatinya berdesir ketika Untara justru berbisik, "Aku sudah mendengar apa yang terjadi di lembah itu."
Jantung Agung Sedayu serasa berdentangan. Sekilas dilihatnya wajah kakaknya yang berkerut. Namun segera ia memalingkan wajahnya dan menunduk dalam-dalam.
"Kau adalah seorang pahlawan," berkata kakaknya, "tetapi pahlawan yang tidak mempunyai arti, karena bukan namamulah yang akan berkembang di Pajang. Tetapi nama orang lain. Meskipun dalam dua ujung pengertian. Baik dan buruk. Prajurit-prajurit Pajang mempunyai penilaian yang berbeda terhadap sikap yang pernah kau lakukan itu. Tetapi prajurit yang mengetahui hal itupun masih sangat terbatas. Aku mencoba untuk mencegah menjalarnya berita tentang pertempuran dilembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Aku ingin tahu pasti apakah alasan dari pertumpahan darah itu. Dan aku yakin, kau akan dapat berceritera tentang hal itu, karena kau terlibat didalamnya."
Keringat dingin mulai membasahi punggung Agung Sedayu. Ia adalah seorang yang disegani dipeperangan, betapa ia sendiri menjadi kabur melihat dirinya. Tetapi dihadapan kakaknya rasa-rasanya ia masih saja Agung Sedayu yang kecil, cengeng, dan tergantung pada kakaknya itu.
Tetapi agaknya Untarapun tidak sempat berbicara terlalu banyak. Beberapa orangpun kemudian telah mendekatinya untuk mengantarkannya sampai kepintu gerbang.
"Terima kasih atas kunjungan ini," berkata Kiai Gringsing.
Untara memandang orang tua itu sejenak. Namun kemudian nampak senyumnya yang jarang itu. Katanya, "Mudah-mudahan aku masih sempat datang dan bertemu dengan Ki Sumangkar dalam keadaan yang lebih baik."
"Mudah-mudahan. Kita akan berusaha dalam ketergantungan atas kehendak Sumber dari Hidup ini."
"Jika aku belum mempunyai rencana yang penting, aku tentu akan tinggal lebih lama," berkata Untara selanjutnya.
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, "Masih ada waktu. Besok atau lusa."
"Aku akan memerlukannya," desis Untara sambil melangkah mendekati kudanya.
Namun langkahnya tertegun ketika ia mendengar suara seorang gadis dari kegelapan oleh bayangan orang-orang yang mengerumuninya, "Terima kasih kakang Untara."
Untara mengerutkan keningnya. Yang dilihatnya adalah Sekar Mirah dibelakang Agung Sedayu. Meskipun wajahnya hanya nampak remang-remang dalam bayangan cahaya obor yang jauh, namun Untara seolah-olah melihat jelas, bahwa wajah itu adalah wajah yang suram, pucat dan sedih.
"Jangan terlalu bersedih Mirah," berkata Untara seakan-akan diluar sadarnya, "gurumu bukan seseorang yang mudah menyerah menghadapi keadaan. Ia akan berjuang untuk mengatasi kesulitan jasmaniahnya."
Sekar Mirah tidak menjawab. Namun ketika kepalanya tertunduk, terdengar isaknya tertahan.
Untara tertegun sejenak. Ia selama ini menganggap Sekar Mirah sebagai seorang gadis yang telah merampas kepribadian adiknya, sehingga Agung Sedayu tidak dapat melakukan pilihan lain kecuali berada di Sangkal Putung. Meskipun kemudian adiknya membuka padepokan kecilnya, namun ternyata ia lebih banyak berada diluar padepokan itu bersama gurunya dan Sekar Mirah.
Pensiunan Pengusaha Cat 1 Pendekar Kembar 15 Tantangan Mesra Naga Sakti Sungai Kuning 1