Api Di Bukit Menoreh 30
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja Bagian 30
Tetapi kedua orang prajurit itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bertanya, "Siapakah kalian ?"
Agung Sedayupun termangu-mangu. Ia memang belum mengenal kedua orang prajurit itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun menjawab, "Aku, orang Jati Anom. Bukankah kalian prajurit Pajang di Jati Anom ?"
"Ya. Aku prajurit Pajang di Jati Anom."
"Tetapi kami belum pernah melihat kalian. Apakah kalian orang baru ?"
"Ya. Kami orang baru. Kami mengganti beberapa bagian dari pasukan Ki Untara yang ditarik kembali ke Pajang beberapa pekan yang lalu," jawab prajurit itu, "siapakah kalian sebenarnya ?"
"Kami penghuni padepokan kecil diujung Kademangan Jati Anom itu."
"O," kedua prajurit itu mengangguk, "kau penghuni padepokan kecil itu ?"
"Ya." "Menurut beberapa orang kawan yang telah lama berada di sini, penghuni padepokan itu adalah adik Ki Untara."
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Glagah Putihlah yang menyahut, "Ya. Kakang Agung Sedayu ini adalah adik kakang Untara."
Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Kami akan meneruskan perjalanan. Kami sedang nganglang. Silahkan meneruskan perjalanan pula."
Agung Sedayupun mengangguk pula. Jawabnya, "Terima kasih."
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera meneruskan perjalanan menuju kearah yang berlawanan dengan kedua orang prajurit itu. Sekali-sekali Glagah Putih masih berpaling. Namun akhirnya iapun memacu kudanya dibelakang Agung Sedayu.
Sejenak Glagah Putih terdiam diatas punggung kudanya. Namun kemudian hampir diluar sadarnya ia berkata, "Jika kakang menjadi seorang prajurit, maka kakang akan memakai kelengkapan pakaian dan tanda-tanda seperti kedua orang prajurit itu."
Agung Sedayu berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, "Apakah aku pantas mengenakan pakaian dan kelengkapan seperti prajurit itu ?"
"Tentu," jawab Glagah Putih, "tetapi sudah tentu ada beberapa perbedaan. Kakang Agung Sedayu tentu akan menjadi seorang prajurit yang pilih tanding. Senapati yang akan menjadi lurah kakang Agung Sedayu tidak akan dapat menyamai kecakapan kakang dalam ilmu perang dan olah kanuragan."
"Ah," desis Agung Sedayu, "tentu tidak. Prajurit Pajang adalah prajurit-prajurit yang baik. Kau lihat Sabungsari ?"
Glagah Putih mengangguk. Tetapi jawabnya tidak terduga-duga oleh Agung Sedayu, "Itulah yang aneh. Apakah para perwira diatas Sabungsari memiliki kemampuan lebih baik dari Sabungsari " Jika demikian, maka Pajang benar-benar akan menjadi sangat kuat. Tetapi, agaknya tidak semua prajurit memiliki kemampuan, seperti Sabungsari."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, "Baiklah kita tidak membuat penilaian apa-apa, karena yang kita ketahui tentang mereka hanyalah sedikit sekali. Yang aku kenal diantara mereka secara pribadi dan rapat, hanyalah satu dua orang prajurit, meskipun yang lain aku tahu pula sekedar dengan anggukan kepala."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu, mereka telah menjadi semakin dekat dengan padepokan kecil mereka diujung Kademangan Jati Anom. Mereka tanpa sadar, telah memacu kuda mereka semakin cepat.
Namun dalam pada itu. diluar sadar mereka, dari kejauhan dua orang prajurit yang lain telah memandangi mereka dengan berdebar-debar. Salah seorang dari keduanya berkata, "Ternyata Agung Sedayu masih tetap hidup."
"Aneh sekali," berkata yang lain, "Sabungsari belum melakukan seperti yang pernah dikatakannya. Ia akan membunuh Agung Sedayu."
"Mungkin tertunda karena peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung itu. Memang luar biasa, bahwa seorang prajurit dari tataran terendah seperti Sabungsari mampu membunuh orang dari Pasisir Endut itu."
"Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa ia dapat membunuh seekor kambing dari jarak yang cukup jauh " Satu hal yang jarang sekali dapat dilakukan. Sorot matanya bagaikan meluncurkan anak panah. Dan matilah sasaran yang dipandanginya."
"Ia hampir mati dalam perang tanding melawan Carang Waja yang seolah-olah dapat mengguncang bumi. Memang ilmu yang aneh-aneh. Seolah-olah diluar jangkauan nalar."
"Tetapi kenapa Agung Sedayu masih tetap hidup itulah yang menjadi persoalan. Apakah Sabungsari mengurungkan niatnya atau ia benar-benar sedang menunggu keadaannya menjadi pulih kembali."
Kawannya tidak segera menjawab. Ia melihat Agung Sedayu memang dalam keadaan sehat tanpa cidera bersama adik sepupunya.
Baru kemudian ia berkata, "Kita akan menunggu beberapa saat. Mungkin keadaan Sabungsari memang belum mengijinkan. Jika Sabungsari telah sembuh sama sekali, dan ia tidak berbuat apa-apa terhadap Agung Sedayu, maka kita haras menilai kembali sikapnya. Agaknya ia justru ingin melindungi Agung Sedayu. Dalam hal yang demikian, apapun yang dapat dilakukan, maka ia termasuk sasaran yang harus disingkirkan."
"Ya," desis kawannya, "Sabungsari memang seorang yang mempunyai ilmu yang luar biasa. Tetapi itu bukan berarti bahwa ia tidak dapat dikalahkan seperti juga Agung Sedayu sendiri."
"Marilah," desis yang lain, "kita laporkan keadaannya. Agar kita sempat membuat pertimbangan dan perhitungan sebaik-baiknya."
Keduanyapun kemudian menyingkir sebelum Agung Sedayu menyadari, bahwa dua orang telah mengintainya dari kejauhan. Karena itu, maka Agung Sedayu masih saja dengan tenangnya menuju ke padepokan kecilnya.
Ketika Agung Sedayu memasuki padepokannya, maka kawan-kawannya yang berada dipadepokan menjadi heran, bahwa Agung Sedayu tidak datang bersama Kiai Gringsing.
"Guru masih harus menunggui Swandaru," berkata Agung Sedayu kepada mereka, "jika keadaan Swandaru telah benar-benar menjadi pulih kembali, maka guru akan segera kembali."
Anak-anak muda yang tinggal bersamanya dipadepokan itu mengangguk-angguk. Mereka yang tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya di Sangkal Putung itu hanya dapat mengangguk-angguk.
"Apakah ayah tidak datang ?" bertanya Glagah Putih tiba-tiba.
"Ki Widura telah datang kemari. Tetapi Ki Widura telah kembali ke Banyu Asri. Meskipun demikian, sekali-sekali Ki Widura datang juga menengok kami disini meskipun tidak terlalu lama," jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Dan kau katakan kepada ayah bahwa kami pergi ke Sangkal Putung ?"
"Ya. Kami katakan apa yang kami ketahui tentang Sangkal Putung," jawab anak muda itu.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian menyerahkan kuda mereka kepada anak-anak muda yang menunggui padepokannya. Namun ketika mereka memasuki padepokan, terasa padepokan itu sangat sepi, meskipun hanya gurunya seorang sajalah yang tidak ada bersama mereka.
"Jika ayah datang, aku akan minta ayah tinggal disini barang satu dua hari," berkata Glagah Putih.
"Jika kebetulan paman tidak sibuk, paman tentu bersedia," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih tidak menyahut lagi. Iapun kemudian memasuki biliknya dan diluar sadarnya, ia telah berbaring diambennya. Meskipun bilik itu beberapa hari lamanya tidak dipergunakan, tetapi penghuni padepokan yang tinggal, selalu membersihkannya pagi dan sore.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih tinggal dipadepokan itu tanpa Kiai Gringsing untuk beberapa saat. Agung Sedayulah yang kemudian seakan-akan menjadi penanggung jawab dari padepokan kecil itu dan menentukan segala sesuatu yang mereka lakukan sehari-hari.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia merasa dibebani tanggung jawab untuk membentuk Glagah Putih menjadi seorang anak muda yang memiliki bekal yang cukup bagi masa depannya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian minta agar Glagah Putih mempersiapkan dirinya untuk memperdalam dan meningkatkan ilmunya.
Dalam pada itu, diantara tugas Glagah Putih sehari-hari, maka iapun benar-benar telah mempergunakan segenap waktunya untuk menempa diri. Dengan tuntunan Agung Sedayu, maka Glagah Putih tenggelam didalam sanggar dengan unsur-unsur gerak dan ketentuan-ketentuan ilmu pada saluran perguruan ayahnya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu mampu melakukannya sebaik-baiknya. Ia sudah pernah melihat susunan ilmu itu dengan lengkap, meskipun pada puncak pahatan didinding goa ilmu itu terdapat cacat karena tingkahnya sendiri.
Tetapi Agung Sedayu sendiri yakin, bahwa pada saatnya puncak dari ilmu itu akan dapat diketemukannya dengan cara yang khusus. Ia harus mengurai tata gerak dan watak dari ilmu itu dengan saksama. Kemudian berdasarkan pada hasil penelitian itu, ia akan melangkah setapak demi setapak untuk mencapai kemampuan puncak dari ilmu itu sendiri.
Dalam pada itu, Glagah Putih ternyata benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ingatannya sangat tajam. Karena itu, maka ia dengan cepat dapat menangkap setiap peningkatan dan pengenalan dari unsur-unsur yang baru.
Seperti Agung Sedayu, Glagah Putih sama sekali tidak rnengenal lelah dalam latihan-latihan yang berat. Bahkan jika Agung Sedayu sedang sibuk dengan kerjanya sehari-hari, sementara Glagah Putih mempunyai waktu terluang, maka ia sendiri berada didalam sanggarnya.
"Aku harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalanku," berkata Glagah Putih didalam hatinya. Bahkan hal itu selalu dikatakannya pula kepada Agung Sedayu.
"Kau ketinggalan dari siapa ?" bertanya Agung Sedayu setiap kali, "apakah kau pernah berjanji dengan seseorang untuk berpacu dengan ilmu masing-masing ?"
"Meskipun tidak, tetapi aku harus dapat menilai diriku sendiri," jawab Glagah Putih, "setiap anak muda yang aku temui, ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Sementara umurku merayap semakin tua, dan aku sama sekali belum mempunyai bekal apapun juga."
Agung Sedayu selalu membesarkan hatinya, dan berkata, "Sebesar kau, aku belum dapat berbuat apa-apa. Aku masih selalu ketakutan jika aku berada dirumah sendiri atau keluar setelah senja. Aku masih menggigil mendengar ceritera tentang Hantu bermata satu, di pohon randu alas ditikungan. Dan akupun masih ketakutan mendengar orang mengucapkan kata-kata Harimau Putih dari Lemah Cengkar."
"Tetapi perkembangan kakang kemudian adalah diluar kebiasaasan. Kakang telah menjadi seorang yang aneh sekarang ini," desis Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil bertanya, "Apakah yang tidak biasa padaku " Aku tidak lebih dari kau. Perkembangankupun tidak lebih cepat dari perkembanganmu sekarang. Bahkan mungkin jauh lebih lamban, karena aku memiliki bekal yang sangat kurang."
"Kakang hanya ingin membesarkan hatiku," desis Glagah Putih.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Kau memang aneh. Tetapi seandainya demikian, bukankah itu lebih baik daripada aku selalu marah-marah dan menganggap kau terlalu dungu dan lamban ?"
Glagah Putihpun akhirnya tertawa pula. Namun sementara itu, iapun telah mengajak Agung Sedayu memasuki sanggarnya dan tenggelam dalam latihan yang berat.
Ketika disore hari, disaat langit menjadi merah oleh cahaya senja, maka Glagah Putih telah selesai dengan membersihkan diri. Ia sudah berganti pakaian dan mandi, setelah mempergunakan waktu senggangnya dengan tekun didalam sanggarnya.
Ia terkejut ketika ia melihat seseorang berdiri dimuka regol padepokannya. Dalam kesuraman senja, Glagah Putih melihat orang itu seakan menjadi ragu-ragu.
Namun iapun segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Sabungsari. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun berlari turun dari pendapa untuk menyongsongnya, "Kau Sabungsari. He, apakah kau sudah sembuh sama sekali?"
Sabungsari tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah memasuki halaman sambil menjawab, "Keadaanku sudah berangsur baik."
"Marilah." Glagah Putih mempersilahkan.
Keduanyapun kemudian naik kependapa, sementara Agung Sedayupun keluar dari ruang dalam dan menyambutnya.
"Tetapi, nampaknya, kau belum sembuh sama sekali," berkata Agung Sedayu.
Sabungsari yang kemudian duduk dipendapa menyahut, "Ada yang masih terasa mengganggu Agung Sedayu. Luka-lukaku ternyata memang parah sekali. Tanpa obat-obat dari Kiai Gringsing, mungkin aku sudah mati."
"Segalanya kita kembalikan kepada Yang Maha Kasih," berkata Agung Sedayu.
"Ya. Akupun bersukur kepada-Nya," jawab Sabungsari, "dan kini, luka-lukaku masih ada yang terasa sakit jika aku bergerak terlalu banyak."
"Dan kau sudah berjalan sampai kejarak yang terlalu jauh bagi seseorang yang sedang sakit," berkata Glagah Putih.
Tetapi Sabungsari justru tertawa. Katanya, "Menurut juru penggobatan pada pasukanku, aku memang dianjurkan untuk mulai melatih diri, berjalan-jalan dan menggerakkan badanku sedikit-sedikit."
"Juga menggerakkan mata ?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari tertawa, sementara Glagah Putih menjadi bingung dan bertanya, "Kenapa dengan mata ?"
Agung Sedayulah yang menyahut, " Tidak apa-apa."
Glagah Putih mengerutkan wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Bahkan kemudian iapun beringsut sambil berkata, "Aku siapkan minuman hangat."
"Jangan terlalu repot dengan kedatanganku Glagah Putih," berkata Sabungsari.
"Sudah ada." "Jika belum, tolonglah, adakanlah."
Glagah Pulih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Sabungsari dan Agung Sedayupun tertawa pula.
Sementara Glagah Putih berada didalam, maka Sabungsaripun bertanya tentang keadaan Swandaru dan orang-orang Sangkal Putung yang lain.
"Swandaru sudah sembuh," jawab Agung Sedayu.
"Lukanya tidak separah lukaku," berkata Sabungsari, "aku sudah dapat disebut mati. Apalagi Swandaru ditunggui oleh Kiai Gringsing yang benar-benar ahli didalam hal pengobatan."
"Tetapi keadaanmupun sudah baik."
"Ya. Berangsur baik. Tetapi aku masih lemah. Karena itu, aku masih belum dapat berbuat apa-apa sekarang ini."
Beristirahatlah sebanyak-banyaknya. Bukankah para pemimpinmu mengetahui keadaanmu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Pemimpin-pemimpinku mengetahui keadaanku. Dan akupun mendapat ijin cukup untuk beristirahat," jawab Sabungsari. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, "Tetapi aku tidak sekedar dalam kedudukanku sebagai seorang prajurit. Aku membawa beberapa orang yang penuh dendam kepadamu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Dengan perlahan-lahan aku telah mencoba meyakinkan mereka, bahwa dendam yang berkepanjangan itu tidak ada gunanya sama sekali. Lebih dari itu, aku sudah berterus terang, bahwa aku telah kau kalahkan."
"Apakah mereka mengerti ?" bertanya Agung Sedayu.
"Mereka cukup mengerti. Tetapi aku masih belum melepaskan mereka kembali kepadepokan. Aku masih menahan mereka tinggal di Jati Anom, ditempat yang tersembunyi. Aku masih memerlukan mereka selama aku sakit."
"Untuk apa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Bukan begitu. Tetapi sekedar untuk menahan mereka," Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, "Tetapi disamping itu. masih juga ada sesuatu yang perlu kau ketahui."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya.
"Meskipun orang-orangku perlahan-lahan telah menyadari keadaan mereka dan keadaanku, namun di Jati Anom ini, masih juga ada bahaya yang mengintaimu."
"Kenapa ?" Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengatakannya karena Glagah Putih telah datang sambil membawa minuman hangat dan beberapa potong ubi rebus.
"Nah, segar sekali," gumam Sabungsari, "saat-saat begini tidak akan ada minuman panas lagi dibarak, apalagi ubi rebus. Ubi ungu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memaksa Sabungsari untuk berkata lebih lanjut justru karena kehadiran Glagah Putih.
Sejenak mereka masih bercakap-cakap sambil minum minuman panas dan makan ubi rebus yang masih hangat. Glagah Putih yang tidak mengetahui persoalan yang gawat bagi Agung Sedayu itupun berbicara sesuka hatinya. Berkepanjangan tanpa henti-hentinya.
Sabungsari hanya kadang-kadang saja menanggapinya. Kadang-kadang tersenyum dan tertawa.
Namun ternyata bahwa kegembiraan sikap Glagah Putih itu dapat membantu membuat tubuh Sabungsari semakin segar. Jika sebelum ia dikalahkan oleh Agung Sedayu, kejemuannya didalam barak itu hanyalah sekedar alasan, maka kini, rasa-rasanya ia benar-benar malas kembali kebaraknya. Seperti yang pernah dikatakannya, bahwa disetiap sudut ia melihat tombak tersandar, dan pedang yang tersangkut didinding diatas setiap pembaringan.
Tetapi ia sudah berniat untuk benar-benar terjun kedalam lingkungan keprajuritan. Bagaimanapun juga, ia harus menjunjung segenap ketentuan yang berlaku baginya.
Dalam pada itu, Glagah Putih berceritera tentang berbagai macam peristiwa sepeninggal Sabungsari dari Sangkal Putung. Bahkan kemudian Glagah Putihpun menceriterakan kedatangan Pangeran Benawa ke Sangkal Putung.
"Pangeran Benawa " Apakah keperluannya datang ke Sangkal Putung," bertanya Sabungsari.
"Ia tidak sengaja pergi ke Sangkal Putung. Ia hanya singgah sejenak dalam perjalanannya ke Mataram," jawab Glagah Putih.
Hampir saja Glagah Putih terloncat mengatakan kepergiannya ke Mataram bersama Agung Sedayu. Untunglah segera ia teringat, bahwa Agung Sedayu telah memesannya untuk tidak mengatakannya kepada siapapun juga.
"Apakah aku juga tidak boleh mengatakan kepada Sabungsari " " pertanyaan itu tumbuh dihatinya.
Namun ketika ia melihat kesan diwajah Agung Sedayu, maka iapun yakin bahwa Agung Sedayu tidak membenarkan jika ia mengatakannya, meskipun kepada Sabungsari, yang dianggapnya seorang anak muda yang sangat baik kepadanya.
Dalam pada itu. ternyata Senapati Ing Ngalaga telah mengambil siap yang menimbulkan pertanyaan. Bukan saja bagi para pengikut Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Benawa sendiri justru menjadi berdebar-debar.
"Apakah maksud kakang Sutawijaya " " pertanyaan itu bergejolak didalam hatinya.
Ketika Pangeran Benawa dan iring-iringannya datang ke Mataram, ternyata Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya. Beberapa orangtua yang ada dirumah Senapati Ing Ngalaga itu dengan gugup mempersilahkan Pangeran Benawa naik kependapa.
"Kedatangan Pangeran tidak kami duga-duga," berkata salah seorang dari orang-orang tua itu.
"Paman Juru Martani ?"
"Ki Juru ada Pangeran. Seorang pengawal sedang memanggilnya ke Sanggar."
Pangeran Benawa dan pengiringnyapun kemudian naik kependapa. Sejenak mereka duduk termangu-mangu.
Pangeran Benawa sendiri bertanya didalam hatinya, apakah Agung Sedayu tidak menyampaikan pesan seperti yang dikehendakinya, sehingga timbul salah mengerti.
Dalam pada itu, selagi Pangeran Benawa termangu-mangu, maka Ki Juru Martanipun keluar dengan tergesa-gesa dari ruang daiam. Dengan tergesa-gesa pula ia berlari kearah Pangeran Benawa.
Ternyata Pangeran Benawapun bangkit dan berlari pula memeluk orang tua itu. Katanya, "Ki Juru Martani. Rasa-rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu."
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian Pangeran Benawa melepaskannya, maka iapun berkata, "Silahkan duduk anak mas Pangeran. Kedatangan Pangeran ke Mataram bagaikan embun yang menitik diteriknya musim kemarau yang panjang tanpa batas."
Pangeran Benawa tersenyum. Iapun kemudian duduk dihadap oleh beberapa orang tetua Mataram.
Setelah mereka saling bertanya tentang keselamatan masing-masing dan para pengiringnya, maka akhirnya Pangeran Benawa bertanya tentang Raden Sutawijaya.
"Pangeran," Ki Juru menarik nafas dalam-dalam, "kedatangan Pangeran sama sekali tidak kita duga-duga. Karena itu, angger Sutawijaya hari ini tidak ada di Mataram."
"O," Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, "Kemana perginya kakang Sutawijaya " Aku dengar, kakang Sutawijaya adalah seorang yang senang merantau, mesu sarira, mendaki bukit dan menuruni lurah-lurah yang dalam untuk memperdalam segala macam ilmu yang ada dimuka bumi ini."
Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, "Ia mengikuti jejak gurunya, orang tuanya dan pepundennya."
"Ayahanda Sultan selagi masih bergelar Mas Karebet," potong Pangeran Benawa.
Ki Juru tersenyum. Namun iapun mengerutkan keningnya ketika Pangeran Benawa bertanya, "Tetapi pada usia tuanya, apakah kakang Sutawijaya juga akan seperti ayahanda Sultan ?"
"Kenapa " " Ki Juru bertanya.
"Aku melihat beberapa persamaan antara kakang Sutawijaya dan ayahanda Sultan. Keduanya adalah orang-orang yang luar biasa didalam mesu diri dalam olah kanuragan dimasa mudanya. Tetapi kedua-duanya juga orang-orang yang senang melihat keindahan. Lebih-lebih lagi kecantikan."
"Ah," desah Ki Juru Martani. Tetapi iapun tertawa. Katanya kemudian, "Tetapi kali ini angger Sutawijaya tidak sedang mesu diri. Disaat-saat terakhir kesehatan angger Sutawijaya agak kurang baik. Karena itu, ia kini sedang tetirah didaerah Ganjur."
"O," Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam, ia mulai mengerti, apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya. Karena itu. ia yakin, bahwa Agung Sedayu benar-benar telah menemuinya dan menyampaikan pesannya seperti yang dikehendakinya.
Meskipun demikian, namun ia masih juga bertanya kepada Ki Juru Martani. "Ki Juru. siapakah yang ikut bersama kakang Sutawijaya ke Ganjur ?"
"Tidak banyak ngger. Hanya beberapa orang yang mengawalnya. Daerah Ganjur adalah daerah yang tenang seperti daerah Mataram yang lain." jawab Ki Juru Martani.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika ia memandang para pengiringnya, ia melihat beberapa kesan yang berbeda.
"Ki Juru. Kapan kakang Sutawijaya akan kembali ?" berlanya Pangeran Benawa.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku tidak tahu pasti angger Pangeran. Raden Sutawijaya tidak mengatakan berapa lama ia akan tinggal didaerah Ganjur."
"Kapan kakang Sutawijaya berangkat ?"
Ki Juru termangu mangu sejenak. Kemudian katanya ragu, "Tetapi, angger Sutawijaya baru berangkat pagi-pagi tadi ngger. Jika saja angger Pangeran memberitahukan kedatangan angger, maka sudah tentu ia tidak akan pergi tetirah, betapapun keadaannya. Apalagi keadaannya memang tidak terlalu memaksa. Mungkin ada juga keinginannya untuk melupakan kesibukannya sehari-hari dengan berburu, atau dengan menjinakkan kuda-kuda yang masih terlalu liar. Itupun termasuk kesenangannya. Karena itu. ia telah menyiapkan sebuah lapangan didaerah Ganjur untuk menjinakkan dan melatih dalam berbagai macam gerakan."
"Ya, ya," sahut Pangeran Benawa, "kakang Sutawijaya memang senang sekali kepada kuda. Tetapi jika kami menunggu, apakah kami harus tinggal sepekan atau dua pekan di Mataram."
"Terlalu lama," desis Adipati yang ikut bersama Pangeran Benawa.
Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Pangeran. Memang sebaiknya aku akan menyuruh beberapa orang untuk menyusulnya ke Ganjur. Tetapi sudah barang tentu tidak perlu sekarang. Tetapi besok pagi-pagi benar."
"Ya, ya Ki Juru," sahut Pangeran Benawa, "aku memang tidak sangat tergesa-gesa. Besok pagipun tidak terlalu lama. Mungkin aku akan bermalam barang dua tiga malam di Mataram."
"Terlalu lama Pangeran," sahut Adipati yang mengiringinya.
Pangeran Benawa berpaling kepadanya. Katanya, "Kenapa terlalu lama " Aku ingin melihat-lihat keadaan Mataram yang telah berkembang dengan cepat. Apakah paman Adipati tidak ingin berbuat demikian ?"
Adipati itu menarik nafas dalam-daiam. Namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, "Ya Pangeran. Akupun ingin melihat keadaan kota yang baru tumbuh ini."
"Nah," desis Ki Juru, "jika demikian, biarlah besok pagi-pagi. para pengawal akan menyusul Raden Sutawijaya ke Ganjur."
"Terima kasih paman," sahut Pangeran Benawa, "sebenarnyai bukan maksud kami mengganggu paman dan apalagi kakang Sutawijaya yang sedang tetirah dan beristirahat di daerah Ganjur."
"Tetapi itu adalah wajar sekali angger Pangeran. Angger Sutawijaya memang harus dijemput."
Pangeran Benawa tersenyum. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, seorang Adipati yang menyertainya itu mendahuluinya. "Tetapi kenapa menunggu sampai besok. Hari ini masih cukup panjang. Seandainya senja sekalipun, seharusnya pengawal itu berangkat sekarang dan minta agar Raden Sutawijaya segera kembali meskipun kemalaman diperjalanan, karena Pangeran Benawa yang mengemban tugas Sultan datang ke Mataram."
"O," Ki Juru mengerutkan keningnya, "apakah Pangeran mengemban tugas ?"
"Tidak paman," Pangeran Benawalah yang menjawab, "seandainya aku memang ditugaskan ke Mataram, tugas itu sama sekali tidak penting. Aku hanya mengemban tugas untuk datang menengok keselamatan kakang Sutawijaya. Tidak lebih dan tidak kurang."
Wajah Adipati itu menegang. Tetapi ia tidak dapat membantah dan mengatakan yang berbeda.
"Karena itu," Pangeran meneruskan, "biarlah besok pagi-pagi sajalah pengawal dari Mataram menjemput kakang Sutawijaya meskipun hari ini agaknya masih cukup panjang. Dan Ganjur agaknya memang tidak terlalu jauh."
"Memang tidak terlalu jauh Pangeran. Tetapi jika sekarang pengawal itu berangkat, maka ia akan sampai di Ganjur menjelang senja. Raden Sutawijaya akan kemalaman di perjalanan seandainya ia harus kembali segera."
"Tidak. Tidak harus segera," potong Pangeran Benawa.
Ki Jurupun menarik nafas panjang sambil menjawab, "Terima kasih angger Pangeran. Jika demikian, maka biarlah dipersiapkan bilik bagi Pangeran dan para pengiring di gandok kanan."
"Terima kasih. Kami dapat beristirahat dimana saja."
Ki Juru tersenyum. Ia mengenal Pangeran Benawa dengan baik. Ia tahu bahwa Pangeran Benawa dapat saja tidur di gardu, banjar bahkan di kandang sekalipun. Tetapi tentu para pengiringnya yang tidak akan dapat berbuat demikian."
Karena itu, maka Ki Jurupun segera memerintahkan beberapa orang pelayan untuk membersihkan gandok kanan. Kemudian setelah menjamu sekedarnya, Ki Juru mempersilahkan para tamunya untuk beristirahat.
Namun dalam pada itu. Adipati yang mengikuti Pangeran Benawa ke Mataram itu selalu saja nampak gelisah. Sebenarnya ia tidak dapat menerima perlakuan yang sangat mengecewakan itu. Seharusnya, Ki Juru dengan tergesa-gesa memerintah beberapa orang pengawal untuk pergi ke Ganjur, minta agar Raden Sutawijaya pulang, malam itu juga. Yang datang di Mataram adalah Pangeran Benawa yang membawa tugas ayahandanya Sultan Hadiwijaya. Karena itu, maka Raden Sutawijaya harus bersikap seperti ia bersikap kepada Sultan sendiri.
Dalam pada itu, karena ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya, maka iapun telah bersepakat dengan beberapa orang pengiring untuk langsung pergi ke Ganjur, memanggil Raden Sutawijaya untuk segera kembali.
"Kita tidak usah minta ijin Pangeran Benawa. Kita pergi begitu saja, jika Pangeran Benawa sedang beristirahat," berkata Adipati itu kepada para pengiringnya.
Beberapa orang pengiringnya termangu-mangu.
Tetapi beberapa orang lain yang sependapat dengan Adipati itupun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Sutawijaya harus tahu diri."
Demikianlah, ketika Pangeran Benawa beristirahat didalam gandok, maka Adipati itupun telah mempersiapkan diri. Tiga orang pengiringnya telah ditunjuk untuk mengikutinya, sementara yang lain agar tetap berada di gandok itu, sehingga kepergian Adipati itu tidak diketahui oleh Pangeran Benawa.
"Usahakan agar ia tidak mencari aku," berkata Adipati itu.
"Tetapi Ki Adipati tentu akan pergi cukup lama. Mungkin tengah malam baru kembali. Apa jawabku jika Pangeran bertanya ?"
"Katakanlah, bahwa kau tidak tahu, kemana aku pergi," berkata Adipati itu.
Sejenak kemudian, maka dengan hati-hati, para pengiringnya telah mempersiapkan kuda mereka. Ketika para pengawal Mataram bertanya, maka para pengiring itu hanya mengatakan, bahwa mereka ingin melihat-lihat keadaan Mataram.
Tanpa setahu Pangeran Benawa maka Adipati yang mengikutinya ke Mataram itupun telah meninggalkan rumah Raden Sutawijaya. Demikian mereka sampai ke jarak yang cukup kuda-kuda itupun segera dipacu menuju ke daerah Ganjur.
"Siapa diantara kalian yang pernah melihat daerah Ganjur?" bertanya Adipati itu disepanjang jalan.
"Aku," jawab salah seorang pengiringnya, "ada sebuah padukuhan yang cukup besar didaerah Ganjur. Padukuhan itu adalah padukuhan tempat Raden Sutawijaya membuat pasanggrahan."
Adipati itu tidak menjawab. Kudanya justru berpacu semakin cepat. Seolah-olah ia sudah tidak sabar lagi untuk dapat segera bertemu dengan Raden Sutawijaya, dan memerintahkannya segera kembali ke Mataram, meskipun sampai larut malam mereka baru akan sampai."
"Ia harus mengerti, bahwa ia masih tetap harus tunduk kepada Sultan dan alat-alat pemerintahannya," berkata Adipati itu di dalam hatinya, "kecuali jika ia memang benar-benar ingin memberontak. Jika itu yang dikehendakinya, maka biarlah lebih cepat dilakukan. Dengan demikian, maka rencana penghancuran Mataram akan lebih cepat selesai. Pajangpun menjadi sangat lemah karena benturan itu, sehingga menghancurkannyapun tidak diperlukan waktu setengah hari."
Empat orang berkuda itupun menyusuri bulak-bulak panjang dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa orang petani yang berada di sawah, terkejut melihat kuda berpacu demikian cepatnya. Apalagi ketika keempat ekor kuda itu memasuki jalan-jalan yang sepi di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat.
"Lewat hutan ini kita akan mendapatkan beberapa padukuhan lagi," berkata pengiringnya yang telah pernah mengetahui daerah Ganjur, "setelah melalui beberapa padukuhan itulah, maka kita akan segera sampai ke padukuhan yang agak besar, dengan sebuah ara-ara yang luas. Ara-ara yang dipersiapkan bagi Raden Sutawijaya untuk bermain-main dengan kuda-kudanya yang banyak."
Adipati itu tidak menjawab. Ia mencoba berpacu semakin cepat. Dengan demikian, maka debupun berhamburan dibelakang kaki keempat ekor kuda itu.
Setelah melalui hutan yang tidak begilu lebat, mereka terpaksa memperlambat derap kuda mereka, meskipun mereka masih tetap berpacu. Di tengah-tengah bulak mereka harus menyesuaikan diri. agar para petani yang melihat, tidak menjadi curiga karenanya.
Beberapa padukuhan telah dilaluinya. Akhirnya merekapun sampai kepadukuhan yang agak besar diantara beberapa padukuhan yang lain.
"Itulah Ganjur," berkata pengiring yang pernah melihat daerah Ganjur, "disebelah padukuhan itu ada sebuah ara-ara yang cukup luas."
"Apakah kita akan pergi ke ara-ara itu ?" bertanya Adipati yang menjadi gelisah itu. "atau kita pergi ke pesanggrahannya."
"Sudah tentu ke pesanggrahannya. Jika tidak ada dipasanggrahan, maka Raden Sutawijaya agaknya berada di ara-ara itu, atau bahkan berada dihutan untuk berburu kijang."
"Persetan," geram Adipati itu, "jika ia berada dihutan. kita akan mencarinya sampai ketemu. Baru pagi tadi ia berangkat. Seandainya ia memang ingin berburu, maka ia tentu masih berada dipasanggrahan."
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun langsung menuju kepasanggrahan. Tanpa turun dari kudanya, maka Adipati itu langsung masuk kedalam regol sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas.
"Aku utusan Sultan Hadiwijaya," geram Adipati itu ketika ia berhenti di muka pendapa, "dimana Senopati Ing Ngalaga."
Seorang pengawal yang berada di halaman itu mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Ampun tuan. Senopati Ing Ngalaga tidak berada di pasanggrahan."
"Tetapi ia berada disini."
"Ya, benar tuan. Tetapi sejak menjelang sore hari. Senopati Ing Ngalaga berada di ara-ara dengan beberapa ekor kudanya."
Adipati itu menggeram, sedangkan pengiringnya berkata, "Kita pergi ke ara-ara."
Adipati itu tidak berkata sepatah katapun. Ia langsung menarik kendali kudanya dan menghentakkannya, sehingga kudanya bagaikan terkejut dan meloncat berlari, menuju ke ara-ara.
Dari kejauhan. Adipati itu sudah melihat beberapa orang berada diara-ara. Meskipun ia belum tahu, yang manakah Senopati Ing Ngalaga, tetapi ia dapat menduga, bahwa yang berada dipunggung kuda yang sedang berlatih menari di tengah-tengah ara-ara itulah Raden Sutawijaya.
Derap kaki kuda Adipati itu memang mengejutkan Raden Sutawijaya yang tengah bermain-main dengan kudanya. Ketika ia memandang kekejauhan, dilihatnya empat ekor kuda berlari seperti angin menuju ke ara-ara itu.
"Siapa mereka ?" bertanya Raden Sutawijaya kepada seorang pengawalnya.
Pengawal itu menggelengkan kepalanya sambil menyahut, "Aku belum pernah mengenalnya Raden."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Semakin dekat, maka iapun semakin jelas melihat, siapakah yang datang berkuda itu.
Demikianlah, Raden Sutawijaya dapat melihat lekuk-lekuk wajah orang itu dengan jelas, maka iapun berdesah, "Adipati Partaningrat."
Pengawalnya mengerutkan keningnya. Hampir berbisik ia bertanya, "Apakah ia yang bernama Raden Ambar bergelar Adipati Partaningrat ke II ?"
Raden Sutawijaya mengangguk sambil menjawab, "Ya. Ia adalah Raden Ambar yang bergelar Adipati Partaningrat ke II. Orang yang aneh menurut pandanganku. Baginya didunia ini tidak ada orang yang baik dan benar. Semua yang dilakukan orang lain tentu salah dan kurang baik. Apalagi orang yang tidak disukai. Tetapi kenapa ia datang kemari pada saat begini ?"
"Tentu ada masalah yang penting,"
Raden Sutawijaya tidak menyahut. Ia menunggu Adipati itu menjadi semakin dekat. Tetapi ia sudah mengira, bahwa Pangeran Benawa telah berada di Mataram, dan Adipati Partaningrat itu mendapat perintah untuk memanggilnya.
Sejenak kemudian, maka Adipati yang bergelar Partaningrat ke II itu telah mendekat. Demikian ia memasuki ara-ara, maka kudanyapun diperlamban dan akhirnya berhenti beberapa langkah dihadapan Raden Sutawijaya yang masih berada dipunggung kudanya pula.
"Paman Adipati Partaningrat," desis Raden Sutawijaya.
Adipati Partaningrat memandang Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia menggeram, "Aku, Adipati Partaningrat membawa titah Sultan di Pajang."
"Ya," sahut Raden Sutawijaya, "katakan. Apakah titah Sultan."
Adipati Partaningrat termenung sejenak. Dipandanginya Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Kemudian katanya sekali lagi, "Aku, Adipati Partaningrat datang atas kuasa Sultan."
"Ya. Apa maksudmu ?"
"Dihadapan Sultan, sebaiknya kau turun dari kudamu," desis Adipati Partaningrat II.
Wajah Raden Sutawijaya tiba-tiba saja telah membara. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Untunglah, bahwa ia masih berusaha untuk menahan hatinya yang bagaikan terbakar.
"Kau turun dulu dari kudamu. Aku adalah putera Sultan Pajang Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Ya. Kau putera angkat Sultan. Tetapi dalam tugasku sekarang, aku adalah Sultan itu sendiri."
"Aku tidak percaya," tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menggeram, "apakah pertanda yang ada padamu, bahwa kau adalah utusan Sultan sehingga kau adalah Sultan itu sendiri."
Wajah Adipati Partaningratlah yang kemudian menjadi merah. Apalagi ketika Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Setiap orang yang berbuat sesuatu atas nama dan bagi Sultan Hadiwijaya di Pajang, maka ia tentu membawa pertanda. Tunggul, panji atau bawal itu sendiri. Bahkan seperti yang terjadi atas Untara disaat meninggalnya Ki Sumangkar. justru pertanda pribadi ayahanda Sultan, keris Kiai Crubuk yang hampir tidak pernah terpisah dari lambung ayahanda."
Sejenak Adipati Partaningrat bagaikan membeku. Namun gelora didadanya terasa gemuruh, seolah-olah jantungnya akan meledak. Ketika kemudian mulutnya bergerak, terdengar suaranya gemetar, "Aku tidak memerlukan segala pertanda itu. Aku adalah kepercayaan Sultan. Perintah lesannya mempunyai nilai seperti tunggul, panji atau keris itu sendiri. Selebihnya, aku adalah pribadi yang memiliki pertanda itu sendiri."
"Setiap orang dapat menyebut dirinya seperti yang kau katakan itu dengan kalimat-kalimat dan sikap kesombongan. Tetapi semuanya tidak berarti bagiku, karena aku adalah putera Sultan Hadiwijaya yang mengetahui dengan pasti semua adat dan tata cara yang diharuskan bagi istana Pajang."
"Aku tidak perduli penilainmu. Tetapi dengar perintahku, agar kau turun dari kudamu. Kemudian baru aku akan memberikan perintah berikutnya."
"Adipati Partaningrat yang perkasa," geram Raden Sutawijaya, "jangan membuat aku marah. Turunlah dari kudamu. Beri hormat kepada putera Sultan Hadiwijaya yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Adipati Partaningrat menjadi gemetar menahan marah. Dengan geram ia berkata, "Jika kau melawan perintahku, maka berarti kau sudah melawan ayahanda angkatmu sendiri. Kau telah melawan rajamu dan karena itu kau telah memberontak. Mataram dengan pasti dapat dikatakan telah memberontak melawan Pajang."
"Aku mengerti," potong Raden Sutawijaya. "itulah yang aku kehendaki sebenarnya. Kau ingin menyebut Mataram memberontak. Kau telah mempergunakan cara yang kasar ini untuk memaksa aku melawan salah seorang Adipati kepercayaan Pajang. Tetapi kau bagiku tidak berharga sama sekali. Meskipun bukan seorang Adipati, tetapi aku akan lebih menghormati Ki Untara didaerah Selatan ini, karena ia memang memegang kendali kekuasaan keprajuritan didaerah ini."
"Aku tidak peduli. Sekarang, lakukanlah perintahku."
"Kaulah yang harus melakukan perintahku. Aku Senapati Ing Ngalaga yang berkuasa di Mataram."
Hati dan jantung Adipati Partaningrat benar-benar telah membara. Karena itu, maka iapun telah menyingsingkan lengan bajunya dan menarik wiron kain panjangnya. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Jadi aku harus memaksamu."
"Jangan bodoh. Kematianmu tidak akan mendapat penghormatan apa-apa disini," jawab Senapati Ing Ngalaga.
Penghinaan itu benar-benar tidak dapat diterima oleh Adipati Partaningrat. Karena itu, maka iapun telah bersiap untuk memaksa Raden Sutawijaya turun dari kudanya.
Sementara itu, para pengiringnya telah bersiap pula. Mereka tinggal menunggu perintah Adipati Partaningrat. Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal Raden Sutawijaya yeng berada di ara-ara itu untuk ikut bermain-main dengan kuda, telah mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan.
Pada saat yang tegang itulah, mereka yang berada di ara-ara itu terkejut. Mereka mendengar derap kaki kuda yang berpacu semakin dekat. Ketika mereka berpaling kearah suara derap kaki kuda itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Mereka melihat iring-iringan beberapa orang berkuda.
Yang dipaling depan dari mereka itu adalah Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya dan Adipati Partaningrat menjadi tegang. Mereka masing-masing menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Pangeran Benawa.
Namun demikian Pangeran Benawa memasuki ara-ara, iapun langsung menuju ke tempat Raden Sutawijaya duduk tegang dipunggung kudanya. Beberapa langkah dari Raden Sutawijaya, Pangeran Benawapun berhenti, dan langsung meloncat turun.
"Aku datang kakang Sutawijaya," berkata Pangeran Benawa lantang sambil tersenyum.
Sejenak Raden Sutawijaya tercenung diatas punggung kudanya. Terasa sesuatu menggelegak didalam dadanya. Namun sejenak kemudian iapun segera meloncat turun pula.
"Selamat datang adimas Pangeran," desis Raden Sutawijaya tanpa menghiraukan lagi Adipati Partaningrat yang menjadi berdebar-debar melihat sikap Pangeran Benawa.
Namun karena Pangeran Benawa telah meloncat turun diikuti oleh beberapa orang pengiringnya, maka Adipati Partaningratpun turun pula dari punggung kudanya, betapa hatinya terasa bagaikan akan meledak.
"Pangeran Benawa adalah orang yang aneh," geram Adipati itu didalam hatinya, "ia telah merendahkan dirinya dihadapan Senapati Ing Ngalaga. Jika saja ia tidak datang, maka bukan salahku jika aku membawanya terikat ke Pajang sebagai seorang pemberontak, atau membiarkannya melarikan diri dan mempersiapkan pasukannya dengan tergesa-gesa. sehingga alasan untuk menghancurkan Mataram akan dapat segera dilakukan. Sementara itu, pasukan Pajang sendiri akan menjadi lemah dan kehilangan kekuatan untuk melawan kehendak beberapa orang pemimpin yang mempunyai cita-cita yang jauh lebih berharga dari apa yang dapat dicapai Pajang dalam keadaan yang parah sekarang ini.
Sejenak Adipati Partaningrat melihat kedua orang itu bersalaman. Kemudian mereka bercakap-cakap dengan akrabnya seperti benar-benar dua orang kakak beradik yang sudah lama tidak bertemu.
Tetapi agaknya Pangeran Benawa tidak bertanya sesuatu tentang Adipati Partaningrat. Bahkan ia kemudian berkata, "Tempat ini menyenangkan sekali kakang. Aku ingin bermalam di pasanggrahan kakang Sutawijaya malam nanti. Tentu itu lebih baik daripada kita kembali ke Mataram. Langit sudah menjadi buram dan kemerah-merahan sekarang."
Raden Sutawijaya mengangkat wajahnya. Dilihatnya bayangan senja mulai turun menyelubungi daerah Ganjur.
"Senang sekali jika adimas menghendaki," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "tetapi rumah yang ada di daerah ini adalah rumah padesan yang sederhana."
Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Apakah kira-kira aku tidak dapat tidur didalam rumah yang sederhana ?"
Raden Sutawijayapun tertawa pula. Ia mengerti, siapakah Pangeran Benawa itu. Ia mengerti, bahwa Pangeran Benawa adalah seseorang yang terbiasa bertualang, tidur di rerumputan beratapkan langit berselimut embun. Karena itu, maka pertanyaan Pangeran Benawa itu membuatnya tertawa pula.
Demikianlah, maka Raden Sutawijayapun kemudian mempersilahkan Pangeran Benawa dan para pengiringnya untuk pergi ke pasanggrahan. Betapapun hatinya terluka oleh sikap Adipati Partaningrat, namun iapun mempersilahkan Adipati itu pula untuk singgah.
"Pesanggrahan yang menyenangkan," berkata Pangeran Benawa ketika mereka sudah berada di pasanggrahan, "aku sudah singgah dipasanggrahan ini. Namun seorang abdi mengatakan, bahwa kakang Sutawijaya berada di ara-ara, bermain-main dengan kuda."
"Ya. Aku merasa sangat lelah di Mataram, sehingga aku memerlukan waktu beberapa hari untuk beristirahat. Tepat pada saat aku pergi, adimas Pangeran datang berkunjung ke Mataram."
Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Aku tidak mempunyai kepentingan yang khusus. Aku memang sekedar menengok keselamatan kakang Sutawijaya sekeluarga," berkata Pangeran Benawa kemudian.
Pada saat Pangeran Benawa berbincang dengan Raden Sutawijaya sebagai dua orang bersaudara yang lama tidak bertemu, maka Adipati Partaningrat telah menggamit pengawalnya sambil berbisik, "Siapa yang memberitahukan bahwa aku menyusul Raden Sutawijaya?"
Pengawal menggeleng sambil menjawab, "Tidak ada Adipati. Tidak ada."
"Sst. Jangan kera-s-keras," desis adipati itu, "tetapi jika tidak ada yang memberitahukannja, kenapa ia tahu bahwa aku berada disini ?"
"Pangeran Benawa mempunyai penggraita yang sangat tajam, sehingga menurut perhitungannya. Adipati berada disini. Dan sebenarnyalah Kangjeng Adipati berada disini."
"Gila," geramnya, "jika saja ia tidak segera datang, maka aku sudah mempunyai bukti bahwa Senapati Ing Ngalaga telah memberontak melawan kekuasaan Pajang."
Pengawalnya tidak menyahut. Tetapi sambil memandang Pangeran Benawa yang sedang asyik berbincang dengan Raden Sutawijaya ia berkata didalam hati, "Apakah ada tanda-tanda pemberontakan itu " Keduanya sangat akrab. Nampaknya tidak mungkin ada selisih paham antara keduanya. Padahal Sultan Pajang, seolah-olah kini sudah tidak memerintah lagi karena keadaan kesehatannya."
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi pengawal itu tidak berkata sesuatu tentang kedua orang saudara angkat itu. Yang dilihatnya, keduanya adalah dua orang saudara yang baik dan akrab. Yang memiliki kemampuan melampaui kebanyakan prajurit, sehingga keduanya adalah anak muda yang jarang ada tandingnya.
"Jika keduanya berselisih, maka bumi akan berguncang. Gunung akan saling membentur dan danau-danau akan tumpah dan kering. Lautan bagaikan mendidih dan jurang-jurangpun akan merekah semakin lebar. Bintang-bintang dilangit akan berloncatan berbaur dengan badai dan prahara yang akan memutar balik langit dan mega-mega yang kelabu," desis pengawal itu didalam hatinya.
* * * Gerombolan Singa Gurun 2 Dewi Ular 30 Tumbal Cemburu Buta Tantangan Anak Haram 2
Tetapi kedua orang prajurit itu mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka bertanya, "Siapakah kalian ?"
Agung Sedayupun termangu-mangu. Ia memang belum mengenal kedua orang prajurit itu. Karena itu, maka Agung Sedayupun menjawab, "Aku, orang Jati Anom. Bukankah kalian prajurit Pajang di Jati Anom ?"
"Ya. Aku prajurit Pajang di Jati Anom."
"Tetapi kami belum pernah melihat kalian. Apakah kalian orang baru ?"
"Ya. Kami orang baru. Kami mengganti beberapa bagian dari pasukan Ki Untara yang ditarik kembali ke Pajang beberapa pekan yang lalu," jawab prajurit itu, "siapakah kalian sebenarnya ?"
"Kami penghuni padepokan kecil diujung Kademangan Jati Anom itu."
"O," kedua prajurit itu mengangguk, "kau penghuni padepokan kecil itu ?"
"Ya." "Menurut beberapa orang kawan yang telah lama berada di sini, penghuni padepokan itu adalah adik Ki Untara."
Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Glagah Putihlah yang menyahut, "Ya. Kakang Agung Sedayu ini adalah adik kakang Untara."
Kedua orang prajurit itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah. Kami akan meneruskan perjalanan. Kami sedang nganglang. Silahkan meneruskan perjalanan pula."
Agung Sedayupun mengangguk pula. Jawabnya, "Terima kasih."
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun segera meneruskan perjalanan menuju kearah yang berlawanan dengan kedua orang prajurit itu. Sekali-sekali Glagah Putih masih berpaling. Namun akhirnya iapun memacu kudanya dibelakang Agung Sedayu.
Sejenak Glagah Putih terdiam diatas punggung kudanya. Namun kemudian hampir diluar sadarnya ia berkata, "Jika kakang menjadi seorang prajurit, maka kakang akan memakai kelengkapan pakaian dan tanda-tanda seperti kedua orang prajurit itu."
Agung Sedayu berpaling. Sambil tersenyum ia berkata, "Apakah aku pantas mengenakan pakaian dan kelengkapan seperti prajurit itu ?"
"Tentu," jawab Glagah Putih, "tetapi sudah tentu ada beberapa perbedaan. Kakang Agung Sedayu tentu akan menjadi seorang prajurit yang pilih tanding. Senapati yang akan menjadi lurah kakang Agung Sedayu tidak akan dapat menyamai kecakapan kakang dalam ilmu perang dan olah kanuragan."
"Ah," desis Agung Sedayu, "tentu tidak. Prajurit Pajang adalah prajurit-prajurit yang baik. Kau lihat Sabungsari ?"
Glagah Putih mengangguk. Tetapi jawabnya tidak terduga-duga oleh Agung Sedayu, "Itulah yang aneh. Apakah para perwira diatas Sabungsari memiliki kemampuan lebih baik dari Sabungsari " Jika demikian, maka Pajang benar-benar akan menjadi sangat kuat. Tetapi, agaknya tidak semua prajurit memiliki kemampuan, seperti Sabungsari."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, "Baiklah kita tidak membuat penilaian apa-apa, karena yang kita ketahui tentang mereka hanyalah sedikit sekali. Yang aku kenal diantara mereka secara pribadi dan rapat, hanyalah satu dua orang prajurit, meskipun yang lain aku tahu pula sekedar dengan anggukan kepala."
Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Dalam pada itu, mereka telah menjadi semakin dekat dengan padepokan kecil mereka diujung Kademangan Jati Anom. Mereka tanpa sadar, telah memacu kuda mereka semakin cepat.
Namun dalam pada itu. diluar sadar mereka, dari kejauhan dua orang prajurit yang lain telah memandangi mereka dengan berdebar-debar. Salah seorang dari keduanya berkata, "Ternyata Agung Sedayu masih tetap hidup."
"Aneh sekali," berkata yang lain, "Sabungsari belum melakukan seperti yang pernah dikatakannya. Ia akan membunuh Agung Sedayu."
"Mungkin tertunda karena peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung itu. Memang luar biasa, bahwa seorang prajurit dari tataran terendah seperti Sabungsari mampu membunuh orang dari Pasisir Endut itu."
"Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa ia dapat membunuh seekor kambing dari jarak yang cukup jauh " Satu hal yang jarang sekali dapat dilakukan. Sorot matanya bagaikan meluncurkan anak panah. Dan matilah sasaran yang dipandanginya."
"Ia hampir mati dalam perang tanding melawan Carang Waja yang seolah-olah dapat mengguncang bumi. Memang ilmu yang aneh-aneh. Seolah-olah diluar jangkauan nalar."
"Tetapi kenapa Agung Sedayu masih tetap hidup itulah yang menjadi persoalan. Apakah Sabungsari mengurungkan niatnya atau ia benar-benar sedang menunggu keadaannya menjadi pulih kembali."
Kawannya tidak segera menjawab. Ia melihat Agung Sedayu memang dalam keadaan sehat tanpa cidera bersama adik sepupunya.
Baru kemudian ia berkata, "Kita akan menunggu beberapa saat. Mungkin keadaan Sabungsari memang belum mengijinkan. Jika Sabungsari telah sembuh sama sekali, dan ia tidak berbuat apa-apa terhadap Agung Sedayu, maka kita haras menilai kembali sikapnya. Agaknya ia justru ingin melindungi Agung Sedayu. Dalam hal yang demikian, apapun yang dapat dilakukan, maka ia termasuk sasaran yang harus disingkirkan."
"Ya," desis kawannya, "Sabungsari memang seorang yang mempunyai ilmu yang luar biasa. Tetapi itu bukan berarti bahwa ia tidak dapat dikalahkan seperti juga Agung Sedayu sendiri."
"Marilah," desis yang lain, "kita laporkan keadaannya. Agar kita sempat membuat pertimbangan dan perhitungan sebaik-baiknya."
Keduanyapun kemudian menyingkir sebelum Agung Sedayu menyadari, bahwa dua orang telah mengintainya dari kejauhan. Karena itu, maka Agung Sedayu masih saja dengan tenangnya menuju ke padepokan kecilnya.
Ketika Agung Sedayu memasuki padepokannya, maka kawan-kawannya yang berada dipadepokan menjadi heran, bahwa Agung Sedayu tidak datang bersama Kiai Gringsing.
"Guru masih harus menunggui Swandaru," berkata Agung Sedayu kepada mereka, "jika keadaan Swandaru telah benar-benar menjadi pulih kembali, maka guru akan segera kembali."
Anak-anak muda yang tinggal bersamanya dipadepokan itu mengangguk-angguk. Mereka yang tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya di Sangkal Putung itu hanya dapat mengangguk-angguk.
"Apakah ayah tidak datang ?" bertanya Glagah Putih tiba-tiba.
"Ki Widura telah datang kemari. Tetapi Ki Widura telah kembali ke Banyu Asri. Meskipun demikian, sekali-sekali Ki Widura datang juga menengok kami disini meskipun tidak terlalu lama," jawab salah seorang dari anak-anak muda itu.
Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Dan kau katakan kepada ayah bahwa kami pergi ke Sangkal Putung ?"
"Ya. Kami katakan apa yang kami ketahui tentang Sangkal Putung," jawab anak muda itu.
Agung Sedayu dan Glagah Putihpun kemudian menyerahkan kuda mereka kepada anak-anak muda yang menunggui padepokannya. Namun ketika mereka memasuki padepokan, terasa padepokan itu sangat sepi, meskipun hanya gurunya seorang sajalah yang tidak ada bersama mereka.
"Jika ayah datang, aku akan minta ayah tinggal disini barang satu dua hari," berkata Glagah Putih.
"Jika kebetulan paman tidak sibuk, paman tentu bersedia," jawab Agung Sedayu.
Glagah Putih tidak menyahut lagi. Iapun kemudian memasuki biliknya dan diluar sadarnya, ia telah berbaring diambennya. Meskipun bilik itu beberapa hari lamanya tidak dipergunakan, tetapi penghuni padepokan yang tinggal, selalu membersihkannya pagi dan sore.
Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih tinggal dipadepokan itu tanpa Kiai Gringsing untuk beberapa saat. Agung Sedayulah yang kemudian seakan-akan menjadi penanggung jawab dari padepokan kecil itu dan menentukan segala sesuatu yang mereka lakukan sehari-hari.
Namun dalam pada itu. Agung Sedayupun telah memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Ia merasa dibebani tanggung jawab untuk membentuk Glagah Putih menjadi seorang anak muda yang memiliki bekal yang cukup bagi masa depannya.
Karena itu, maka Agung Sedayupun kemudian minta agar Glagah Putih mempersiapkan dirinya untuk memperdalam dan meningkatkan ilmunya.
Dalam pada itu, diantara tugas Glagah Putih sehari-hari, maka iapun benar-benar telah mempergunakan segenap waktunya untuk menempa diri. Dengan tuntunan Agung Sedayu, maka Glagah Putih tenggelam didalam sanggar dengan unsur-unsur gerak dan ketentuan-ketentuan ilmu pada saluran perguruan ayahnya.
Ternyata bahwa Agung Sedayu mampu melakukannya sebaik-baiknya. Ia sudah pernah melihat susunan ilmu itu dengan lengkap, meskipun pada puncak pahatan didinding goa ilmu itu terdapat cacat karena tingkahnya sendiri.
Tetapi Agung Sedayu sendiri yakin, bahwa pada saatnya puncak dari ilmu itu akan dapat diketemukannya dengan cara yang khusus. Ia harus mengurai tata gerak dan watak dari ilmu itu dengan saksama. Kemudian berdasarkan pada hasil penelitian itu, ia akan melangkah setapak demi setapak untuk mencapai kemampuan puncak dari ilmu itu sendiri.
Dalam pada itu, Glagah Putih ternyata benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Ingatannya sangat tajam. Karena itu, maka ia dengan cepat dapat menangkap setiap peningkatan dan pengenalan dari unsur-unsur yang baru.
Seperti Agung Sedayu, Glagah Putih sama sekali tidak rnengenal lelah dalam latihan-latihan yang berat. Bahkan jika Agung Sedayu sedang sibuk dengan kerjanya sehari-hari, sementara Glagah Putih mempunyai waktu terluang, maka ia sendiri berada didalam sanggarnya.
"Aku harus bekerja keras untuk mengejar ketinggalanku," berkata Glagah Putih didalam hatinya. Bahkan hal itu selalu dikatakannya pula kepada Agung Sedayu.
"Kau ketinggalan dari siapa ?" bertanya Agung Sedayu setiap kali, "apakah kau pernah berjanji dengan seseorang untuk berpacu dengan ilmu masing-masing ?"
"Meskipun tidak, tetapi aku harus dapat menilai diriku sendiri," jawab Glagah Putih, "setiap anak muda yang aku temui, ternyata memiliki ilmu yang luar biasa. Sementara umurku merayap semakin tua, dan aku sama sekali belum mempunyai bekal apapun juga."
Agung Sedayu selalu membesarkan hatinya, dan berkata, "Sebesar kau, aku belum dapat berbuat apa-apa. Aku masih selalu ketakutan jika aku berada dirumah sendiri atau keluar setelah senja. Aku masih menggigil mendengar ceritera tentang Hantu bermata satu, di pohon randu alas ditikungan. Dan akupun masih ketakutan mendengar orang mengucapkan kata-kata Harimau Putih dari Lemah Cengkar."
"Tetapi perkembangan kakang kemudian adalah diluar kebiasaasan. Kakang telah menjadi seorang yang aneh sekarang ini," desis Glagah Putih.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil bertanya, "Apakah yang tidak biasa padaku " Aku tidak lebih dari kau. Perkembangankupun tidak lebih cepat dari perkembanganmu sekarang. Bahkan mungkin jauh lebih lamban, karena aku memiliki bekal yang sangat kurang."
"Kakang hanya ingin membesarkan hatiku," desis Glagah Putih.
Agung Sedayu tertawa. Katanya, "Kau memang aneh. Tetapi seandainya demikian, bukankah itu lebih baik daripada aku selalu marah-marah dan menganggap kau terlalu dungu dan lamban ?"
Glagah Putihpun akhirnya tertawa pula. Namun sementara itu, iapun telah mengajak Agung Sedayu memasuki sanggarnya dan tenggelam dalam latihan yang berat.
Ketika disore hari, disaat langit menjadi merah oleh cahaya senja, maka Glagah Putih telah selesai dengan membersihkan diri. Ia sudah berganti pakaian dan mandi, setelah mempergunakan waktu senggangnya dengan tekun didalam sanggarnya.
Ia terkejut ketika ia melihat seseorang berdiri dimuka regol padepokannya. Dalam kesuraman senja, Glagah Putih melihat orang itu seakan menjadi ragu-ragu.
Namun iapun segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Sabungsari. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa iapun berlari turun dari pendapa untuk menyongsongnya, "Kau Sabungsari. He, apakah kau sudah sembuh sama sekali?"
Sabungsari tersenyum. Perlahan-lahan ia melangkah memasuki halaman sambil menjawab, "Keadaanku sudah berangsur baik."
"Marilah." Glagah Putih mempersilahkan.
Keduanyapun kemudian naik kependapa, sementara Agung Sedayupun keluar dari ruang dalam dan menyambutnya.
"Tetapi, nampaknya, kau belum sembuh sama sekali," berkata Agung Sedayu.
Sabungsari yang kemudian duduk dipendapa menyahut, "Ada yang masih terasa mengganggu Agung Sedayu. Luka-lukaku ternyata memang parah sekali. Tanpa obat-obat dari Kiai Gringsing, mungkin aku sudah mati."
"Segalanya kita kembalikan kepada Yang Maha Kasih," berkata Agung Sedayu.
"Ya. Akupun bersukur kepada-Nya," jawab Sabungsari, "dan kini, luka-lukaku masih ada yang terasa sakit jika aku bergerak terlalu banyak."
"Dan kau sudah berjalan sampai kejarak yang terlalu jauh bagi seseorang yang sedang sakit," berkata Glagah Putih.
Tetapi Sabungsari justru tertawa. Katanya, "Menurut juru penggobatan pada pasukanku, aku memang dianjurkan untuk mulai melatih diri, berjalan-jalan dan menggerakkan badanku sedikit-sedikit."
"Juga menggerakkan mata ?" bertanya Agung Sedayu.
Sabungsari tertawa, sementara Glagah Putih menjadi bingung dan bertanya, "Kenapa dengan mata ?"
Agung Sedayulah yang menyahut, " Tidak apa-apa."
Glagah Putih mengerutkan wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu. Bahkan kemudian iapun beringsut sambil berkata, "Aku siapkan minuman hangat."
"Jangan terlalu repot dengan kedatanganku Glagah Putih," berkata Sabungsari.
"Sudah ada." "Jika belum, tolonglah, adakanlah."
Glagah Pulih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa. Sabungsari dan Agung Sedayupun tertawa pula.
Sementara Glagah Putih berada didalam, maka Sabungsaripun bertanya tentang keadaan Swandaru dan orang-orang Sangkal Putung yang lain.
"Swandaru sudah sembuh," jawab Agung Sedayu.
"Lukanya tidak separah lukaku," berkata Sabungsari, "aku sudah dapat disebut mati. Apalagi Swandaru ditunggui oleh Kiai Gringsing yang benar-benar ahli didalam hal pengobatan."
"Tetapi keadaanmupun sudah baik."
"Ya. Berangsur baik. Tetapi aku masih lemah. Karena itu, aku masih belum dapat berbuat apa-apa sekarang ini."
Beristirahatlah sebanyak-banyaknya. Bukankah para pemimpinmu mengetahui keadaanmu ?" bertanya Agung Sedayu.
"Ya. Pemimpin-pemimpinku mengetahui keadaanku. Dan akupun mendapat ijin cukup untuk beristirahat," jawab Sabungsari. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, "Tetapi aku tidak sekedar dalam kedudukanku sebagai seorang prajurit. Aku membawa beberapa orang yang penuh dendam kepadamu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
"Dengan perlahan-lahan aku telah mencoba meyakinkan mereka, bahwa dendam yang berkepanjangan itu tidak ada gunanya sama sekali. Lebih dari itu, aku sudah berterus terang, bahwa aku telah kau kalahkan."
"Apakah mereka mengerti ?" bertanya Agung Sedayu.
"Mereka cukup mengerti. Tetapi aku masih belum melepaskan mereka kembali kepadepokan. Aku masih menahan mereka tinggal di Jati Anom, ditempat yang tersembunyi. Aku masih memerlukan mereka selama aku sakit."
"Untuk apa ?" bertanya Agung Sedayu.
"Bukan begitu. Tetapi sekedar untuk menahan mereka," Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, "Tetapi disamping itu. masih juga ada sesuatu yang perlu kau ketahui."
Agung Sedayu mengerutkan dahinya.
"Meskipun orang-orangku perlahan-lahan telah menyadari keadaan mereka dan keadaanku, namun di Jati Anom ini, masih juga ada bahaya yang mengintaimu."
"Kenapa ?" Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mengatakannya karena Glagah Putih telah datang sambil membawa minuman hangat dan beberapa potong ubi rebus.
"Nah, segar sekali," gumam Sabungsari, "saat-saat begini tidak akan ada minuman panas lagi dibarak, apalagi ubi rebus. Ubi ungu."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat memaksa Sabungsari untuk berkata lebih lanjut justru karena kehadiran Glagah Putih.
Sejenak mereka masih bercakap-cakap sambil minum minuman panas dan makan ubi rebus yang masih hangat. Glagah Putih yang tidak mengetahui persoalan yang gawat bagi Agung Sedayu itupun berbicara sesuka hatinya. Berkepanjangan tanpa henti-hentinya.
Sabungsari hanya kadang-kadang saja menanggapinya. Kadang-kadang tersenyum dan tertawa.
Namun ternyata bahwa kegembiraan sikap Glagah Putih itu dapat membantu membuat tubuh Sabungsari semakin segar. Jika sebelum ia dikalahkan oleh Agung Sedayu, kejemuannya didalam barak itu hanyalah sekedar alasan, maka kini, rasa-rasanya ia benar-benar malas kembali kebaraknya. Seperti yang pernah dikatakannya, bahwa disetiap sudut ia melihat tombak tersandar, dan pedang yang tersangkut didinding diatas setiap pembaringan.
Tetapi ia sudah berniat untuk benar-benar terjun kedalam lingkungan keprajuritan. Bagaimanapun juga, ia harus menjunjung segenap ketentuan yang berlaku baginya.
Dalam pada itu, Glagah Putih berceritera tentang berbagai macam peristiwa sepeninggal Sabungsari dari Sangkal Putung. Bahkan kemudian Glagah Putihpun menceriterakan kedatangan Pangeran Benawa ke Sangkal Putung.
"Pangeran Benawa " Apakah keperluannya datang ke Sangkal Putung," bertanya Sabungsari.
"Ia tidak sengaja pergi ke Sangkal Putung. Ia hanya singgah sejenak dalam perjalanannya ke Mataram," jawab Glagah Putih.
Hampir saja Glagah Putih terloncat mengatakan kepergiannya ke Mataram bersama Agung Sedayu. Untunglah segera ia teringat, bahwa Agung Sedayu telah memesannya untuk tidak mengatakannya kepada siapapun juga.
"Apakah aku juga tidak boleh mengatakan kepada Sabungsari " " pertanyaan itu tumbuh dihatinya.
Namun ketika ia melihat kesan diwajah Agung Sedayu, maka iapun yakin bahwa Agung Sedayu tidak membenarkan jika ia mengatakannya, meskipun kepada Sabungsari, yang dianggapnya seorang anak muda yang sangat baik kepadanya.
Dalam pada itu. ternyata Senapati Ing Ngalaga telah mengambil siap yang menimbulkan pertanyaan. Bukan saja bagi para pengikut Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Benawa sendiri justru menjadi berdebar-debar.
"Apakah maksud kakang Sutawijaya " " pertanyaan itu bergejolak didalam hatinya.
Ketika Pangeran Benawa dan iring-iringannya datang ke Mataram, ternyata Raden Sutawijaya tidak berada dirumahnya. Beberapa orangtua yang ada dirumah Senapati Ing Ngalaga itu dengan gugup mempersilahkan Pangeran Benawa naik kependapa.
"Kedatangan Pangeran tidak kami duga-duga," berkata salah seorang dari orang-orang tua itu.
"Paman Juru Martani ?"
"Ki Juru ada Pangeran. Seorang pengawal sedang memanggilnya ke Sanggar."
Pangeran Benawa dan pengiringnyapun kemudian naik kependapa. Sejenak mereka duduk termangu-mangu.
Pangeran Benawa sendiri bertanya didalam hatinya, apakah Agung Sedayu tidak menyampaikan pesan seperti yang dikehendakinya, sehingga timbul salah mengerti.
Dalam pada itu, selagi Pangeran Benawa termangu-mangu, maka Ki Juru Martanipun keluar dengan tergesa-gesa dari ruang daiam. Dengan tergesa-gesa pula ia berlari kearah Pangeran Benawa.
Ternyata Pangeran Benawapun bangkit dan berlari pula memeluk orang tua itu. Katanya, "Ki Juru Martani. Rasa-rasanya sudah lama sekali kita tidak bertemu."
Ki Juru Martani menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian Pangeran Benawa melepaskannya, maka iapun berkata, "Silahkan duduk anak mas Pangeran. Kedatangan Pangeran ke Mataram bagaikan embun yang menitik diteriknya musim kemarau yang panjang tanpa batas."
Pangeran Benawa tersenyum. Iapun kemudian duduk dihadap oleh beberapa orang tetua Mataram.
Setelah mereka saling bertanya tentang keselamatan masing-masing dan para pengiringnya, maka akhirnya Pangeran Benawa bertanya tentang Raden Sutawijaya.
"Pangeran," Ki Juru menarik nafas dalam-dalam, "kedatangan Pangeran sama sekali tidak kita duga-duga. Karena itu, angger Sutawijaya hari ini tidak ada di Mataram."
"O," Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, "Kemana perginya kakang Sutawijaya " Aku dengar, kakang Sutawijaya adalah seorang yang senang merantau, mesu sarira, mendaki bukit dan menuruni lurah-lurah yang dalam untuk memperdalam segala macam ilmu yang ada dimuka bumi ini."
Ki Juru Martani tersenyum. Katanya, "Ia mengikuti jejak gurunya, orang tuanya dan pepundennya."
"Ayahanda Sultan selagi masih bergelar Mas Karebet," potong Pangeran Benawa.
Ki Juru tersenyum. Namun iapun mengerutkan keningnya ketika Pangeran Benawa bertanya, "Tetapi pada usia tuanya, apakah kakang Sutawijaya juga akan seperti ayahanda Sultan ?"
"Kenapa " " Ki Juru bertanya.
"Aku melihat beberapa persamaan antara kakang Sutawijaya dan ayahanda Sultan. Keduanya adalah orang-orang yang luar biasa didalam mesu diri dalam olah kanuragan dimasa mudanya. Tetapi kedua-duanya juga orang-orang yang senang melihat keindahan. Lebih-lebih lagi kecantikan."
"Ah," desah Ki Juru Martani. Tetapi iapun tertawa. Katanya kemudian, "Tetapi kali ini angger Sutawijaya tidak sedang mesu diri. Disaat-saat terakhir kesehatan angger Sutawijaya agak kurang baik. Karena itu, ia kini sedang tetirah didaerah Ganjur."
"O," Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam, ia mulai mengerti, apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya. Karena itu. ia yakin, bahwa Agung Sedayu benar-benar telah menemuinya dan menyampaikan pesannya seperti yang dikehendakinya.
Meskipun demikian, namun ia masih juga bertanya kepada Ki Juru Martani. "Ki Juru. siapakah yang ikut bersama kakang Sutawijaya ke Ganjur ?"
"Tidak banyak ngger. Hanya beberapa orang yang mengawalnya. Daerah Ganjur adalah daerah yang tenang seperti daerah Mataram yang lain." jawab Ki Juru Martani.
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika ia memandang para pengiringnya, ia melihat beberapa kesan yang berbeda.
"Ki Juru. Kapan kakang Sutawijaya akan kembali ?" berlanya Pangeran Benawa.
Ki Juru mengerutkan keningnya. Katanya, "Aku tidak tahu pasti angger Pangeran. Raden Sutawijaya tidak mengatakan berapa lama ia akan tinggal didaerah Ganjur."
"Kapan kakang Sutawijaya berangkat ?"
Ki Juru termangu mangu sejenak. Kemudian katanya ragu, "Tetapi, angger Sutawijaya baru berangkat pagi-pagi tadi ngger. Jika saja angger Pangeran memberitahukan kedatangan angger, maka sudah tentu ia tidak akan pergi tetirah, betapapun keadaannya. Apalagi keadaannya memang tidak terlalu memaksa. Mungkin ada juga keinginannya untuk melupakan kesibukannya sehari-hari dengan berburu, atau dengan menjinakkan kuda-kuda yang masih terlalu liar. Itupun termasuk kesenangannya. Karena itu. ia telah menyiapkan sebuah lapangan didaerah Ganjur untuk menjinakkan dan melatih dalam berbagai macam gerakan."
"Ya, ya," sahut Pangeran Benawa, "kakang Sutawijaya memang senang sekali kepada kuda. Tetapi jika kami menunggu, apakah kami harus tinggal sepekan atau dua pekan di Mataram."
"Terlalu lama," desis Adipati yang ikut bersama Pangeran Benawa.
Ki Juru Martani mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Pangeran. Memang sebaiknya aku akan menyuruh beberapa orang untuk menyusulnya ke Ganjur. Tetapi sudah barang tentu tidak perlu sekarang. Tetapi besok pagi-pagi benar."
"Ya, ya Ki Juru," sahut Pangeran Benawa, "aku memang tidak sangat tergesa-gesa. Besok pagipun tidak terlalu lama. Mungkin aku akan bermalam barang dua tiga malam di Mataram."
"Terlalu lama Pangeran," sahut Adipati yang mengiringinya.
Pangeran Benawa berpaling kepadanya. Katanya, "Kenapa terlalu lama " Aku ingin melihat-lihat keadaan Mataram yang telah berkembang dengan cepat. Apakah paman Adipati tidak ingin berbuat demikian ?"
Adipati itu menarik nafas dalam-daiam. Namun kemudian sambil mengangguk ia menjawab, "Ya Pangeran. Akupun ingin melihat keadaan kota yang baru tumbuh ini."
"Nah," desis Ki Juru, "jika demikian, biarlah besok pagi-pagi. para pengawal akan menyusul Raden Sutawijaya ke Ganjur."
"Terima kasih paman," sahut Pangeran Benawa, "sebenarnyai bukan maksud kami mengganggu paman dan apalagi kakang Sutawijaya yang sedang tetirah dan beristirahat di daerah Ganjur."
"Tetapi itu adalah wajar sekali angger Pangeran. Angger Sutawijaya memang harus dijemput."
Pangeran Benawa tersenyum. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, seorang Adipati yang menyertainya itu mendahuluinya. "Tetapi kenapa menunggu sampai besok. Hari ini masih cukup panjang. Seandainya senja sekalipun, seharusnya pengawal itu berangkat sekarang dan minta agar Raden Sutawijaya segera kembali meskipun kemalaman diperjalanan, karena Pangeran Benawa yang mengemban tugas Sultan datang ke Mataram."
"O," Ki Juru mengerutkan keningnya, "apakah Pangeran mengemban tugas ?"
"Tidak paman," Pangeran Benawalah yang menjawab, "seandainya aku memang ditugaskan ke Mataram, tugas itu sama sekali tidak penting. Aku hanya mengemban tugas untuk datang menengok keselamatan kakang Sutawijaya. Tidak lebih dan tidak kurang."
Wajah Adipati itu menegang. Tetapi ia tidak dapat membantah dan mengatakan yang berbeda.
"Karena itu," Pangeran meneruskan, "biarlah besok pagi-pagi sajalah pengawal dari Mataram menjemput kakang Sutawijaya meskipun hari ini agaknya masih cukup panjang. Dan Ganjur agaknya memang tidak terlalu jauh."
"Memang tidak terlalu jauh Pangeran. Tetapi jika sekarang pengawal itu berangkat, maka ia akan sampai di Ganjur menjelang senja. Raden Sutawijaya akan kemalaman di perjalanan seandainya ia harus kembali segera."
"Tidak. Tidak harus segera," potong Pangeran Benawa.
Ki Jurupun menarik nafas panjang sambil menjawab, "Terima kasih angger Pangeran. Jika demikian, maka biarlah dipersiapkan bilik bagi Pangeran dan para pengiring di gandok kanan."
"Terima kasih. Kami dapat beristirahat dimana saja."
Ki Juru tersenyum. Ia mengenal Pangeran Benawa dengan baik. Ia tahu bahwa Pangeran Benawa dapat saja tidur di gardu, banjar bahkan di kandang sekalipun. Tetapi tentu para pengiringnya yang tidak akan dapat berbuat demikian."
Karena itu, maka Ki Jurupun segera memerintahkan beberapa orang pelayan untuk membersihkan gandok kanan. Kemudian setelah menjamu sekedarnya, Ki Juru mempersilahkan para tamunya untuk beristirahat.
Namun dalam pada itu. Adipati yang mengikuti Pangeran Benawa ke Mataram itu selalu saja nampak gelisah. Sebenarnya ia tidak dapat menerima perlakuan yang sangat mengecewakan itu. Seharusnya, Ki Juru dengan tergesa-gesa memerintah beberapa orang pengawal untuk pergi ke Ganjur, minta agar Raden Sutawijaya pulang, malam itu juga. Yang datang di Mataram adalah Pangeran Benawa yang membawa tugas ayahandanya Sultan Hadiwijaya. Karena itu, maka Raden Sutawijaya harus bersikap seperti ia bersikap kepada Sultan sendiri.
Dalam pada itu, karena ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya, maka iapun telah bersepakat dengan beberapa orang pengiring untuk langsung pergi ke Ganjur, memanggil Raden Sutawijaya untuk segera kembali.
"Kita tidak usah minta ijin Pangeran Benawa. Kita pergi begitu saja, jika Pangeran Benawa sedang beristirahat," berkata Adipati itu kepada para pengiringnya.
Beberapa orang pengiringnya termangu-mangu.
Tetapi beberapa orang lain yang sependapat dengan Adipati itupun mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Sutawijaya harus tahu diri."
Demikianlah, ketika Pangeran Benawa beristirahat didalam gandok, maka Adipati itupun telah mempersiapkan diri. Tiga orang pengiringnya telah ditunjuk untuk mengikutinya, sementara yang lain agar tetap berada di gandok itu, sehingga kepergian Adipati itu tidak diketahui oleh Pangeran Benawa.
"Usahakan agar ia tidak mencari aku," berkata Adipati itu.
"Tetapi Ki Adipati tentu akan pergi cukup lama. Mungkin tengah malam baru kembali. Apa jawabku jika Pangeran bertanya ?"
"Katakanlah, bahwa kau tidak tahu, kemana aku pergi," berkata Adipati itu.
Sejenak kemudian, maka dengan hati-hati, para pengiringnya telah mempersiapkan kuda mereka. Ketika para pengawal Mataram bertanya, maka para pengiring itu hanya mengatakan, bahwa mereka ingin melihat-lihat keadaan Mataram.
Tanpa setahu Pangeran Benawa maka Adipati yang mengikutinya ke Mataram itupun telah meninggalkan rumah Raden Sutawijaya. Demikian mereka sampai ke jarak yang cukup kuda-kuda itupun segera dipacu menuju ke daerah Ganjur.
"Siapa diantara kalian yang pernah melihat daerah Ganjur?" bertanya Adipati itu disepanjang jalan.
"Aku," jawab salah seorang pengiringnya, "ada sebuah padukuhan yang cukup besar didaerah Ganjur. Padukuhan itu adalah padukuhan tempat Raden Sutawijaya membuat pasanggrahan."
Adipati itu tidak menjawab. Kudanya justru berpacu semakin cepat. Seolah-olah ia sudah tidak sabar lagi untuk dapat segera bertemu dengan Raden Sutawijaya, dan memerintahkannya segera kembali ke Mataram, meskipun sampai larut malam mereka baru akan sampai."
"Ia harus mengerti, bahwa ia masih tetap harus tunduk kepada Sultan dan alat-alat pemerintahannya," berkata Adipati itu di dalam hatinya, "kecuali jika ia memang benar-benar ingin memberontak. Jika itu yang dikehendakinya, maka biarlah lebih cepat dilakukan. Dengan demikian, maka rencana penghancuran Mataram akan lebih cepat selesai. Pajangpun menjadi sangat lemah karena benturan itu, sehingga menghancurkannyapun tidak diperlukan waktu setengah hari."
Empat orang berkuda itupun menyusuri bulak-bulak panjang dengan kecepatan yang tinggi. Beberapa orang petani yang berada di sawah, terkejut melihat kuda berpacu demikian cepatnya. Apalagi ketika keempat ekor kuda itu memasuki jalan-jalan yang sepi di pinggir hutan yang tidak terlalu lebat.
"Lewat hutan ini kita akan mendapatkan beberapa padukuhan lagi," berkata pengiringnya yang telah pernah mengetahui daerah Ganjur, "setelah melalui beberapa padukuhan itulah, maka kita akan segera sampai ke padukuhan yang agak besar, dengan sebuah ara-ara yang luas. Ara-ara yang dipersiapkan bagi Raden Sutawijaya untuk bermain-main dengan kuda-kudanya yang banyak."
Adipati itu tidak menjawab. Ia mencoba berpacu semakin cepat. Dengan demikian, maka debupun berhamburan dibelakang kaki keempat ekor kuda itu.
Setelah melalui hutan yang tidak begilu lebat, mereka terpaksa memperlambat derap kuda mereka, meskipun mereka masih tetap berpacu. Di tengah-tengah bulak mereka harus menyesuaikan diri. agar para petani yang melihat, tidak menjadi curiga karenanya.
Beberapa padukuhan telah dilaluinya. Akhirnya merekapun sampai kepadukuhan yang agak besar diantara beberapa padukuhan yang lain.
"Itulah Ganjur," berkata pengiring yang pernah melihat daerah Ganjur, "disebelah padukuhan itu ada sebuah ara-ara yang cukup luas."
"Apakah kita akan pergi ke ara-ara itu ?" bertanya Adipati yang menjadi gelisah itu. "atau kita pergi ke pesanggrahannya."
"Sudah tentu ke pesanggrahannya. Jika tidak ada dipasanggrahan, maka Raden Sutawijaya agaknya berada di ara-ara itu, atau bahkan berada dihutan untuk berburu kijang."
"Persetan," geram Adipati itu, "jika ia berada dihutan. kita akan mencarinya sampai ketemu. Baru pagi tadi ia berangkat. Seandainya ia memang ingin berburu, maka ia tentu masih berada dipasanggrahan."
Dengan demikian, maka iring-iringan itupun langsung menuju kepasanggrahan. Tanpa turun dari kudanya, maka Adipati itu langsung masuk kedalam regol sebuah rumah yang cukup besar dengan halaman yang luas.
"Aku utusan Sultan Hadiwijaya," geram Adipati itu ketika ia berhenti di muka pendapa, "dimana Senopati Ing Ngalaga."
Seorang pengawal yang berada di halaman itu mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, "Ampun tuan. Senopati Ing Ngalaga tidak berada di pasanggrahan."
"Tetapi ia berada disini."
"Ya, benar tuan. Tetapi sejak menjelang sore hari. Senopati Ing Ngalaga berada di ara-ara dengan beberapa ekor kudanya."
Adipati itu menggeram, sedangkan pengiringnya berkata, "Kita pergi ke ara-ara."
Adipati itu tidak berkata sepatah katapun. Ia langsung menarik kendali kudanya dan menghentakkannya, sehingga kudanya bagaikan terkejut dan meloncat berlari, menuju ke ara-ara.
Dari kejauhan. Adipati itu sudah melihat beberapa orang berada diara-ara. Meskipun ia belum tahu, yang manakah Senopati Ing Ngalaga, tetapi ia dapat menduga, bahwa yang berada dipunggung kuda yang sedang berlatih menari di tengah-tengah ara-ara itulah Raden Sutawijaya.
Derap kaki kuda Adipati itu memang mengejutkan Raden Sutawijaya yang tengah bermain-main dengan kudanya. Ketika ia memandang kekejauhan, dilihatnya empat ekor kuda berlari seperti angin menuju ke ara-ara itu.
"Siapa mereka ?" bertanya Raden Sutawijaya kepada seorang pengawalnya.
Pengawal itu menggelengkan kepalanya sambil menyahut, "Aku belum pernah mengenalnya Raden."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Semakin dekat, maka iapun semakin jelas melihat, siapakah yang datang berkuda itu.
Demikianlah, Raden Sutawijaya dapat melihat lekuk-lekuk wajah orang itu dengan jelas, maka iapun berdesah, "Adipati Partaningrat."
Pengawalnya mengerutkan keningnya. Hampir berbisik ia bertanya, "Apakah ia yang bernama Raden Ambar bergelar Adipati Partaningrat ke II ?"
Raden Sutawijaya mengangguk sambil menjawab, "Ya. Ia adalah Raden Ambar yang bergelar Adipati Partaningrat ke II. Orang yang aneh menurut pandanganku. Baginya didunia ini tidak ada orang yang baik dan benar. Semua yang dilakukan orang lain tentu salah dan kurang baik. Apalagi orang yang tidak disukai. Tetapi kenapa ia datang kemari pada saat begini ?"
"Tentu ada masalah yang penting,"
Raden Sutawijaya tidak menyahut. Ia menunggu Adipati itu menjadi semakin dekat. Tetapi ia sudah mengira, bahwa Pangeran Benawa telah berada di Mataram, dan Adipati Partaningrat itu mendapat perintah untuk memanggilnya.
Sejenak kemudian, maka Adipati yang bergelar Partaningrat ke II itu telah mendekat. Demikian ia memasuki ara-ara, maka kudanyapun diperlamban dan akhirnya berhenti beberapa langkah dihadapan Raden Sutawijaya yang masih berada dipunggung kudanya pula.
"Paman Adipati Partaningrat," desis Raden Sutawijaya.
Adipati Partaningrat memandang Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Tiba-tiba saja ia menggeram, "Aku, Adipati Partaningrat membawa titah Sultan di Pajang."
"Ya," sahut Raden Sutawijaya, "katakan. Apakah titah Sultan."
Adipati Partaningrat termenung sejenak. Dipandanginya Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Kemudian katanya sekali lagi, "Aku, Adipati Partaningrat datang atas kuasa Sultan."
"Ya. Apa maksudmu ?"
"Dihadapan Sultan, sebaiknya kau turun dari kudamu," desis Adipati Partaningrat II.
Wajah Raden Sutawijaya tiba-tiba saja telah membara. Hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Untunglah, bahwa ia masih berusaha untuk menahan hatinya yang bagaikan terbakar.
"Kau turun dulu dari kudamu. Aku adalah putera Sultan Pajang Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga."
"Ya. Kau putera angkat Sultan. Tetapi dalam tugasku sekarang, aku adalah Sultan itu sendiri."
"Aku tidak percaya," tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menggeram, "apakah pertanda yang ada padamu, bahwa kau adalah utusan Sultan sehingga kau adalah Sultan itu sendiri."
Wajah Adipati Partaningratlah yang kemudian menjadi merah. Apalagi ketika Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, "Setiap orang yang berbuat sesuatu atas nama dan bagi Sultan Hadiwijaya di Pajang, maka ia tentu membawa pertanda. Tunggul, panji atau bawal itu sendiri. Bahkan seperti yang terjadi atas Untara disaat meninggalnya Ki Sumangkar. justru pertanda pribadi ayahanda Sultan, keris Kiai Crubuk yang hampir tidak pernah terpisah dari lambung ayahanda."
Sejenak Adipati Partaningrat bagaikan membeku. Namun gelora didadanya terasa gemuruh, seolah-olah jantungnya akan meledak. Ketika kemudian mulutnya bergerak, terdengar suaranya gemetar, "Aku tidak memerlukan segala pertanda itu. Aku adalah kepercayaan Sultan. Perintah lesannya mempunyai nilai seperti tunggul, panji atau keris itu sendiri. Selebihnya, aku adalah pribadi yang memiliki pertanda itu sendiri."
"Setiap orang dapat menyebut dirinya seperti yang kau katakan itu dengan kalimat-kalimat dan sikap kesombongan. Tetapi semuanya tidak berarti bagiku, karena aku adalah putera Sultan Hadiwijaya yang mengetahui dengan pasti semua adat dan tata cara yang diharuskan bagi istana Pajang."
"Aku tidak perduli penilainmu. Tetapi dengar perintahku, agar kau turun dari kudamu. Kemudian baru aku akan memberikan perintah berikutnya."
"Adipati Partaningrat yang perkasa," geram Raden Sutawijaya, "jangan membuat aku marah. Turunlah dari kudamu. Beri hormat kepada putera Sultan Hadiwijaya yang bernama Raden Sutawijaya dan bergelar Senapati Ing Ngalaga."
Adipati Partaningrat menjadi gemetar menahan marah. Dengan geram ia berkata, "Jika kau melawan perintahku, maka berarti kau sudah melawan ayahanda angkatmu sendiri. Kau telah melawan rajamu dan karena itu kau telah memberontak. Mataram dengan pasti dapat dikatakan telah memberontak melawan Pajang."
"Aku mengerti," potong Raden Sutawijaya. "itulah yang aku kehendaki sebenarnya. Kau ingin menyebut Mataram memberontak. Kau telah mempergunakan cara yang kasar ini untuk memaksa aku melawan salah seorang Adipati kepercayaan Pajang. Tetapi kau bagiku tidak berharga sama sekali. Meskipun bukan seorang Adipati, tetapi aku akan lebih menghormati Ki Untara didaerah Selatan ini, karena ia memang memegang kendali kekuasaan keprajuritan didaerah ini."
"Aku tidak peduli. Sekarang, lakukanlah perintahku."
"Kaulah yang harus melakukan perintahku. Aku Senapati Ing Ngalaga yang berkuasa di Mataram."
Hati dan jantung Adipati Partaningrat benar-benar telah membara. Karena itu, maka iapun telah menyingsingkan lengan bajunya dan menarik wiron kain panjangnya. Dengan suara yang bergetar ia berkata, "Jadi aku harus memaksamu."
"Jangan bodoh. Kematianmu tidak akan mendapat penghormatan apa-apa disini," jawab Senapati Ing Ngalaga.
Penghinaan itu benar-benar tidak dapat diterima oleh Adipati Partaningrat. Karena itu, maka iapun telah bersiap untuk memaksa Raden Sutawijaya turun dari kudanya.
Sementara itu, para pengiringnya telah bersiap pula. Mereka tinggal menunggu perintah Adipati Partaningrat. Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawal Raden Sutawijaya yeng berada di ara-ara itu untuk ikut bermain-main dengan kuda, telah mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan.
Pada saat yang tegang itulah, mereka yang berada di ara-ara itu terkejut. Mereka mendengar derap kaki kuda yang berpacu semakin dekat. Ketika mereka berpaling kearah suara derap kaki kuda itu, maka mereka menjadi berdebar-debar. Mereka melihat iring-iringan beberapa orang berkuda.
Yang dipaling depan dari mereka itu adalah Pangeran Benawa.
Raden Sutawijaya dan Adipati Partaningrat menjadi tegang. Mereka masing-masing menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Pangeran Benawa.
Namun demikian Pangeran Benawa memasuki ara-ara, iapun langsung menuju ke tempat Raden Sutawijaya duduk tegang dipunggung kudanya. Beberapa langkah dari Raden Sutawijaya, Pangeran Benawapun berhenti, dan langsung meloncat turun.
"Aku datang kakang Sutawijaya," berkata Pangeran Benawa lantang sambil tersenyum.
Sejenak Raden Sutawijaya tercenung diatas punggung kudanya. Terasa sesuatu menggelegak didalam dadanya. Namun sejenak kemudian iapun segera meloncat turun pula.
"Selamat datang adimas Pangeran," desis Raden Sutawijaya tanpa menghiraukan lagi Adipati Partaningrat yang menjadi berdebar-debar melihat sikap Pangeran Benawa.
Namun karena Pangeran Benawa telah meloncat turun diikuti oleh beberapa orang pengiringnya, maka Adipati Partaningratpun turun pula dari punggung kudanya, betapa hatinya terasa bagaikan akan meledak.
"Pangeran Benawa adalah orang yang aneh," geram Adipati itu didalam hatinya, "ia telah merendahkan dirinya dihadapan Senapati Ing Ngalaga. Jika saja ia tidak datang, maka bukan salahku jika aku membawanya terikat ke Pajang sebagai seorang pemberontak, atau membiarkannya melarikan diri dan mempersiapkan pasukannya dengan tergesa-gesa. sehingga alasan untuk menghancurkan Mataram akan dapat segera dilakukan. Sementara itu, pasukan Pajang sendiri akan menjadi lemah dan kehilangan kekuatan untuk melawan kehendak beberapa orang pemimpin yang mempunyai cita-cita yang jauh lebih berharga dari apa yang dapat dicapai Pajang dalam keadaan yang parah sekarang ini.
Sejenak Adipati Partaningrat melihat kedua orang itu bersalaman. Kemudian mereka bercakap-cakap dengan akrabnya seperti benar-benar dua orang kakak beradik yang sudah lama tidak bertemu.
Tetapi agaknya Pangeran Benawa tidak bertanya sesuatu tentang Adipati Partaningrat. Bahkan ia kemudian berkata, "Tempat ini menyenangkan sekali kakang. Aku ingin bermalam di pasanggrahan kakang Sutawijaya malam nanti. Tentu itu lebih baik daripada kita kembali ke Mataram. Langit sudah menjadi buram dan kemerah-merahan sekarang."
Raden Sutawijaya mengangkat wajahnya. Dilihatnya bayangan senja mulai turun menyelubungi daerah Ganjur.
"Senang sekali jika adimas menghendaki," berkata Raden Sutawijaya kemudian, "tetapi rumah yang ada di daerah ini adalah rumah padesan yang sederhana."
Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Apakah kira-kira aku tidak dapat tidur didalam rumah yang sederhana ?"
Raden Sutawijayapun tertawa pula. Ia mengerti, siapakah Pangeran Benawa itu. Ia mengerti, bahwa Pangeran Benawa adalah seseorang yang terbiasa bertualang, tidur di rerumputan beratapkan langit berselimut embun. Karena itu, maka pertanyaan Pangeran Benawa itu membuatnya tertawa pula.
Demikianlah, maka Raden Sutawijayapun kemudian mempersilahkan Pangeran Benawa dan para pengiringnya untuk pergi ke pasanggrahan. Betapapun hatinya terluka oleh sikap Adipati Partaningrat, namun iapun mempersilahkan Adipati itu pula untuk singgah.
"Pesanggrahan yang menyenangkan," berkata Pangeran Benawa ketika mereka sudah berada di pasanggrahan, "aku sudah singgah dipasanggrahan ini. Namun seorang abdi mengatakan, bahwa kakang Sutawijaya berada di ara-ara, bermain-main dengan kuda."
"Ya. Aku merasa sangat lelah di Mataram, sehingga aku memerlukan waktu beberapa hari untuk beristirahat. Tepat pada saat aku pergi, adimas Pangeran datang berkunjung ke Mataram."
Pangeran Benawa tertawa. Katanya, "Aku tidak mempunyai kepentingan yang khusus. Aku memang sekedar menengok keselamatan kakang Sutawijaya sekeluarga," berkata Pangeran Benawa kemudian.
Pada saat Pangeran Benawa berbincang dengan Raden Sutawijaya sebagai dua orang bersaudara yang lama tidak bertemu, maka Adipati Partaningrat telah menggamit pengawalnya sambil berbisik, "Siapa yang memberitahukan bahwa aku menyusul Raden Sutawijaya?"
Pengawal menggeleng sambil menjawab, "Tidak ada Adipati. Tidak ada."
"Sst. Jangan kera-s-keras," desis adipati itu, "tetapi jika tidak ada yang memberitahukannja, kenapa ia tahu bahwa aku berada disini ?"
"Pangeran Benawa mempunyai penggraita yang sangat tajam, sehingga menurut perhitungannya. Adipati berada disini. Dan sebenarnyalah Kangjeng Adipati berada disini."
"Gila," geramnya, "jika saja ia tidak segera datang, maka aku sudah mempunyai bukti bahwa Senapati Ing Ngalaga telah memberontak melawan kekuasaan Pajang."
Pengawalnya tidak menyahut. Tetapi sambil memandang Pangeran Benawa yang sedang asyik berbincang dengan Raden Sutawijaya ia berkata didalam hati, "Apakah ada tanda-tanda pemberontakan itu " Keduanya sangat akrab. Nampaknya tidak mungkin ada selisih paham antara keduanya. Padahal Sultan Pajang, seolah-olah kini sudah tidak memerintah lagi karena keadaan kesehatannya."
05 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintarja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi pengawal itu tidak berkata sesuatu tentang kedua orang saudara angkat itu. Yang dilihatnya, keduanya adalah dua orang saudara yang baik dan akrab. Yang memiliki kemampuan melampaui kebanyakan prajurit, sehingga keduanya adalah anak muda yang jarang ada tandingnya.
"Jika keduanya berselisih, maka bumi akan berguncang. Gunung akan saling membentur dan danau-danau akan tumpah dan kering. Lautan bagaikan mendidih dan jurang-jurangpun akan merekah semakin lebar. Bintang-bintang dilangit akan berloncatan berbaur dengan badai dan prahara yang akan memutar balik langit dan mega-mega yang kelabu," desis pengawal itu didalam hatinya.
* * * Gerombolan Singa Gurun 2 Dewi Ular 30 Tumbal Cemburu Buta Tantangan Anak Haram 2