Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 9

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 9


pemimpin y ang mendendam itu.
Sementara itu, para pemimpin kelompok y ang mendendam
itu telah mengancam agar niat itu tidak bocor. Dengan garang
para pemimpin itu mengancam: "Jika ada pengkhianat
diantara kita, maka nasibny a akan m enjadi semakin buruk.
Orang itu akan mati dengan cara yang paling tidak
disukainya." Karena itu, maka tidak seorang pun y ang berniat untuk
berkhianat. Mereka yang tidak ingin ikut serta, m erasa lebih
baik tidak melibatkan diri sama sekali. Apalagi untuk
berkhianat. Pa da hari yang sudah ditentukan, maka orang-orang y ang
telah berhimpun itu pun mulai bergerak mendekati
padukuhan y ang baru tumbuh itu. Mereka dengan sangat
berhati-hati telah melintasi jalan-jalan bulak yang panjang.
Mereka sejauh dapat mereka lakukan berusaha untuk
menghindari padukuhan-padukuhan.
Namun demikian, ada juga beberapa orang petani y ang
sedang mengairi sawahnya di malam hari sempat melihat
iring-iringan panjang itu. Ketiga orang itu k emudian kembali
ke padukuhannya dan m enceriterakannya kepada anak-anak
muda y ang ada di gardu, maka mereka pun sependapat, bahwa
orang-orang itu tentu menuju ke padukuhan y ang baru itu.
"Aku mengenal orang-orang yang tinggal di padukuhan
itu," berkata salah seorang anak muda, "meski pun mereka
bekas penjahat yang pernah tertangkap saat mereka
menyerang padepokan Bajra Seta, namun mereka telah
menjadi baik." "Nampaknya iring-iringan y ang bergerak di malam hari itu
memang menuju ke padukuhan itu," berkata seorang petani
yang melihatnya saat ia sedang memanfaatkan air yang
mengalir di malam hari. "Aku akan pergi ke padukuhan itu," berkata seorang
diantara anak-anak muda itu, "kasihan mereka jika tidak
mengetahui bahwa bahaya sedang merangkap untuk
menerkam mereka." Akhirnya, sembilan orang anak muda telah k e padukuhan
yang akan menjadi sasaran serangan dari para perampok,
penyamun dan penjahat-penjahat yang lain itu.
Ternyata di padukuhan-padukuhan y ang dilewati, anakanak
muda itu mendapat banyak kawan. Lebih dari dua puluh
orang yang dengan diam-diam telah pergi ke padukuhan yang
baru tumbuh itu. Dengan bekal pengenalan medan yang lebih baik, serta
latihan-latihan kanuragan yang mereka dapatkan dari para
cantrik di padepokan Bajra Seta, maka mereka telah mencapai
padukuhan y ang mereka maksud lewat jalan pintas tanpa
diketahui oleh para penjahat y ang juga merayap semakin
dekat itu. Kehadiran anak-anak muda itu memang sangat
mengejutkan. Para penghuni padukuhan itu y ang berada di
gardu menyangka bahwa anak-anak muda justru akan
menyerang mereka. Namun dengan cepat seorang diantara mereka mengangkat
kedua tangannya sambil berkata: "Tunggu. Kami datang
dengan maksud baik."
Orang-orang y ang ada di gardu itu termangu-mangu.
Mereka masih belum y akin bahwa anak-anak muda itu berniat
baik. Tetapi beberapa orang diantara anak-anak muda itu telah
bergerak m aju. T ernyata mereka dapat m engenali anak-anak
muda itu ketika m ereka menjadi semakin dekat dengan obor
yang dipasang di sebelah gardu itu.
"Apa yang telah t erjadi"," b ertanya salah seorang diantara
mereka y ang mengenali anak-anak muda itu.
Anak muda y ang paling berpengaruh diantara kawankawannya
telah maju semakin dekat. Dengan singkat
diceriterakannya apa y ang telah diIihatnya, bahwa sebuah
iring-iringan y ang panjang telah mendatangi padukuhan itu.
"Siapakah mereka"," bertanya orang y ang ada di gardu itu.
"Kami tidak tahu. Tetapi kami mencemaskannya jika
mereka berniat buruk," jawab salah seorang dari anak-anak
muda itu. Orang-orang yang ada di gardu itu berpikir cepat. Seorang
diantara m ereka berkata: "harus segera memberikan isyarat,
agar kawan-kawan kita bersiap."
Tetapi kawannya mencegahnya sambil berkata: "Tidak. Jika
kita bunyikan kent ongan, maka orang-orang y ang berniat
buruk itu tahu bahwa kami disini telah bersiap untuk melawan
mereka, sehingga mereka menjadi sangat b erhati-hati. Tetapi
sebaiknya kita bersiap dengan diam-diam. Kita sergap mereka
jika m ereka memang berniat buruk. Dengan demikian m aka
mereka akan kehilangan beberapa saat terpenting sebelum
pertempuran terjadi. Kita harus benar-benar memanfaatkan
saat yang pendek itu ."
Ternyata y ang lain pun setuju. Sementara anak muda y ang
memimpin kawan-kawannya itu berkata: "Kami datang untuk
membantu kalian." "Terima kasih," jawab beberapa orang hampir berbareng.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka orang-orang yang
berada di gardu itu telah berlari-larian untuk m engetuk pintu
setiap rumah, sehingga dalam waktu y ang singkat, setiap laki -
laki telah bersiap. Dalam waktu yang singkat itu pula orang
yang memimpin padukuhan itu telah mengatur, apa yang
sebaiknya mereka lakukan untuk mengatasi bahaya yang
sebentar lagi akan datang.
"Kita sebaiknya tidak menunggu didalam padukuhan,"
berkata pemimpin dari mereka y ang menghuni, padukuhan
itu, seorang y ang pernah m enjadi hantu y ang sangat ditakuti
di bulakbulak panjang. Seorang penyamun yang namanya
dapat membuat seseorang menjadi pingsan. Namun yang
ternyata ia telah mendapatkan terang di hatinya sehingga
kelakuannya itu pun telah berubah, justru setelah ia
tertangkap oleh para cantrik dari padepokan Bajra Seta.
Kawan-kawannya pun sependapat. Mereka akan
meny ongsong orang-orang y ang meny erang padukuhan itu
dan bertempur di luar padukuhan.
"Tetapi kita harus meninggalkan sekelompok k ecil kawankawan
kita sebagai kekuatan cadangan. Juga untuk mengatasi
kesulitan jika ada diantara m ereka yang sempat menerobos
masuk ke dalam padukuhan," berkata pemimin padukuhan
itu. Dengan cepat, ia mengatur kawan-kawannya dan
menempatkan mereka di tempat yang paling sesuai untuk
menahan arus serangan. Sedangkan delapan orang telah
ditempatkan di sudut-sudut padukuhan untuk mengamati
lingkaran di seputar padepokan itu di segala arah.
Sementara itu malam pun bergerak terus. Ternyata orangorang
y ang akan meny erang padukuhan itu tidak langsung
menusuk ke dalam padukuhan. Mereka memang
merencanakan untuk meny erang padukuhan itu menjelang
fajar. Karena itu, maka ketika mereka menjadi semakin dekat,
maka mereka justru telah berhenti untuk beristirahat.
"Kita menunggu disini sampai cahaya fajar mulai nampak,"
berkata pemimpin dari orang-orang y ang mendendam itu.
Lalu katanya: "Ada beberapa saat untuk beristirahat.
Menj elang fajar orang-orang padukuhan itu akan terkejut.
Tetapi mereka tidak akan sempat berbuat apa-apa kecuali
menyesali pengkhianatan mereka."
Orang-orang yang sudah berada di depan hidung
padukuhan itu pun telah menebar di jalan bulak. Mereka
berbaring di mana saja tanpa menghiraukan tubuh mereka
akan menjadi kotor karenanya. Diatas rerumputan kering.
Diatas tanah berdebu atau di mana saja.
Namun mereka sama sekali t idak m enduga, bahwa pada
saat itu, orang-orang padukuhan y ang mereka anggap tidak
tahu menahu tentang rencana kedatangan mereka itu pun
telah bersiap pula sepenuhnya. Mereka telah merangkak maju
justru mendekati tempat orang-orang yang akan meny erang
itu beristirahat. Para pemimpin kelompok-kelompok kecil telah tahu benar,
apa y ang harus mereka lakukan menghadapi lawan mereka itu.
Demikianlah, dini hari di padukuhan itu seakan-akan tidak
terusik. Anak-anak masih tidur ny enyak. Namun ibu-ibu
merekalah y ang menjadi sangat gelisah. Jika suami-suami
mereka dan anak-anak muda yang jumlahnya tidak t erlalu
banyak di padukuhan itu tidak mampu bertahan, maka
mereka pun akan menjadi korban.
Sementara itu, para penghuni padepokan itu pun telah
menunggu di balik pohon perdu y ang tumbuh di tanggul parit
kecil yang meny ilang jalan bulak yang menuju ke padukuhan.
Mereka memperhitungkan, bahwa orang-orang yang akan
menyerang padukuhan mereka akan datang melalui jalan itu.
Meski pun demikian, orang y ang dianggap pemimpin di
padepokan itu telah menempatkan beberapa orang di arah
yang lain, sehingga apabila perhitungan mereka salah, m aka
orang-orang yang mengamati keadaan itu harus m emberikan
isy arat. Tetapi ketika dua orang diantara mereka merangkak maju
menyusuri pepohonan di pinggir jalan, maka mereka pun
sempat melihat dalam keremangan dini hari, beberapa orang
yang berjalan hilir mudik. Nampaknya orang-orang yang
sedang bertugas sementara kawan-kawannya sedang
beristirahat. "Apakah orang -orang yang dikabarkan akan meny erang
padukuhan itu telah berada disitu"," desis seorang diantara
para pengawas itu. Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak
berani mendekat. Mungkin mereka akan dapat terjebak dan
tidak sempat memberi isyarat, sehingga akhirnya orang-orang
itu dapat memeras keterangan dari mulut mereka, bahwa
kedatangan mereka telah diketahui.
Karena itu, maka kedua orang itu justru merangkak surut
dan memberikan laporan kepada orang y ang dianggap
pemimpin dari padepokan itu, bahwa dihadapan mereka
terdapat beberapa orang y ang tidak mereka kenal.
"Berapa jumlahnya"," bertanya pemimpin padukuhan itu.
"Kami tidak dapat melihat dengan jela s. Kami hanya
melihat beberapa orang berjalan hilir mudik. Agaknya mereka
adalah orang-orang y ang sedang berjaga-jaga diantara
sepasukan y ang sedang beristirahat," jawab pengawas itu.
Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Katanya:
"Mereka tentu menunggu fajar, saat y ang mereka
perhitungkan untuk menyerang."
Tetapi pemimpin dari padukuhan itu t idak membuang satu
kesempatan. Beranting diperintahkannya orang-orangnya
mendekat. "Setiap saat terdengar isyarat, maka kita harus meny erang.
Kapan pun juga," berkata pemimpin dari padukuhan itu.
Semua orang m emang telah bersiap. Bagaimana pun juga
mereka memang menjadi berdebar-debar. Meski pun mereka
adalah orang-orang yang telah berpengalaman, namun mereka
menyadari, bahwa y ang mereka hadapi adalah juga orangorang
y ang berpengalaman. Tetapi orang-orang padukuhan itu serta sekelompok anak
muda y ang telah membantu mereka, mempunyai beberapa
kelebihan. Mereka bukan saja berpengalaman bertempur,
tetapi mereka pun memiliki landasan kemampuan olah
kanuragan y ang mereka sadap dari padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, langit pun menjadi semakin cerah. Orangorang
y ang m enunggu fajar itu pun mulai bersiap-siap. Dua
orang pengawas dari padukuhan melihat orang-orang yang
semula terbaring di mana pun juga itu mulai bangkit. Sebagian
dari mereka masih sempat menggeliat. Sedang yang lain
bangkit berdiri untuk mencuci muka di parit yang mengalir di
pinggir jalan itu. Para pengawas menganggap bahwa waktunya telah datang.
Karena itu, seorang diantara mereka pun telah merayap
mundur untuk menyampaikan laporan kepada pemimpin
padukuhan itu. "Bagus," berkata pemimpin padukuhan itu, "kita tidak akan
menunggu mereka benar -benar bersiap.
Karena itu, maka ia pun telah memberikan isyarat dengan
melemparkan batu-batu kerikil kepada kawan-kawannya di
sebelah meny ebelahnya. Isy arat itu pun segera dilanjutkan beranting. Untuk
meyakinkan bahwa kawan-kawannya telah menerima isyarat
itu, maka kawan-kawannya pun telah melemparkan kerikil
pula kepada pemimpin padepokan itu.
Sejenak kemudian, maka orang-orang padukuhan itu mulai
bergeser mendekat. Meski pun langit mulai terang, tetapi hari
masih cukup gelap. Tananam di sawah, serta batang-batang
perdu di tanggul parit sedikit menghalangi pandangan orangorang
y ang menunggu fajar itu.
Tetapi hampir saja orang-orang padukuhan itu terlambat.
Ketika mereka mendekati jalan tempat orang-orang itu
beristirahat, maka telah terdengar para pemimpin kelompokkelompok
yang mendendam itu m ulai m eneriakkan aba-aba
untuk bersiap-siap. "Sebelum fajar kita bergerak. Padukuhan y ang akan
menjadi sasaran kita adalah padukuhan di depan hidung kita
itu." Orang-orang itu pun mulai bersiap-siap. Sebagian dari
mereka masih sibuk mencuci muka di parit kecil itu.
Pa da saat y ang demikian, maka tiba -tiba saja terdengar
teriakan aba-aba mengoy ak sepinya pagi. Sebelum mereka
menyadari apa yang terjadi, beberapa orang telah berloncatan
ke atas tanggul parit, kemudian m eloncat m enerkam m ereka
dengan senjata di tangan.
Orang-orang yang tiba -tiba saja muncul dari kegelapan itu
memang sangat mengejutkan. Dari jarak yang terhitung
pendek, orang-orang y ang bagaikan bangkit dari dalam bumi
itu telah menggapai mereka dengan ujung senjata.
Beberapa orang sama sekali tidak mempunyai kesempatan
untuk berhuat sesuatu. Tiba-tiba saja ketika mereka sadar,
maka tubuhnya telah dikoy ak oleh senjata lawannya.
Pa da hentakkan pertama, beberapa orang telah menjadi
korban. Mereka adalah orang-orang yang sangat malang.
Tanpa dapat berbuat sesuatu, maka senjata telah menusuk
tubuh mereka.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Beberapa orang langsung terkapar di tanggul dan di pinggir
jalan. Ada yang terbunuh, tetapi ada y ang hanya terluka.
Bahkan ada diantara mereka y ang t erluka, berpura-pura mati,
sehingga ujung pedang lawannya tidak menukik sekali lagi ke
jantung mereka. Tetapi sejenak kemudian, maka orang-orang yang semula
berniat meny erang padukuhan itu telah terlibat sepenuhnya ke
dalam pertempuran. Ternyata tusukan orang-orang
padukuhan itu telah mampu melukai pasukan yang telah siap
untuk meny erang padukuhan itu.
Ketika orang-orang yang meny erang padukuhan itu
menyadari apa y ang terjadi, maka keadaan telah menjadi
semakin buruk. Tetapi beberapa orang pemimpinnya
menyadari keadaan telah berteriak nyaring untuk
membangunkan orang-orang y ang masih terkantuk -kantuk.
"Jangan serahkan lehermu. Marilah, kita harus bangkit,"
teriak seorang pemimpin. "Orang-orang itu dengan licik telah
menyerang kita begitu tiba -tiba. Mereka sama sekali tidak
bertempur sebagaimana seorang laki-laki."
Tetapi pemimpin padukuhan itu berkata pula: "Jangan
biarkan orang-orang itu m engotori padukuhan kita. Apalagi
dengan darahnya. Karena itu, kita harus bertahan dan
bertempur disini." Dengan demikian maka pertempuran itu pun dengan cepat
telah m enjadi semakin panas. Orang-orang y ang datang itu
telah membawa dendam y ang membara. Sementara itu, orangorang
padukuhan itu sama sekali tidak ingin hidup mereka
dibayangbayangi terus oleh kelompok-kelompok orang yang
merasa pernah menjadi sumber kemampuan mereka.
Ternyata bahwa sergapan yang dilakukan oleh orang-orang
padukuhan itu menjadi sangat berarti. Dalam keadaan yang
tiba -tiba itu orang-orang padukuhan seakan-akan telah
berhasil membuat kemampuan pasukan yang meny erang
dengan mereka yang harus bertahan menjadi seimbang.
Karena itulah, m aka pertempuran y ang terjadi kemudian
pun ternyata menjadi sangat sengit. Kedua belah pihak saling
mendesak dan saling bertahan. Orang-orang yang mendendam
itu benar -benar seperti orang yang kerasukan iblis. Sebaliknya
mereka y ang bertahan menjadi seperti harimau yang terluka.
Beberapa orang peny amun y ang ada di dalam pasukan y ang
datang menyerang telah berteriak-teriak mengancam. Tetapi
mereka y ang bertahan ternyata sama sekali tidak menjadi
gentar. Bahkan pemimpin padukuhan itu berteriak: "Aku
adalah peny amun terbesar pada masanya. Dan kini aku masih
tetap y ang terbesar. Terbesar peny esalanku atas tingkah laku
dan cara hidupnya masa lalu."
"Persetan dengan kau," geram salah seorang pemimpin dari
pasukan yang datang menyerang itu.
Sementara pertempuran berlangsung dengan sengitnya,
maka para pemimpin dari kelompok-kelompok yang
menyerang itu pun seakan-akan tengah m encari orang-orang
yang mereka kenal dan pernah berada di dalam
gerombolannya. Mereka mencari sampan dendam yang
mereka anggap tepat, sesuai dengan keinginan mereka datang
ke tempat itu. Tetapi orang yang bertahan pun sulit untuk dapat
disibakkan. Dalam pada itu, ternyata jumlah orang-orang yang
menyerang padukuhan itu masih lebih banyak, meski pun
pada singgungan pertama, beberapa orang diantara mereka
langsung terkapar jatuh. Dengan demikian, maka jumlah yang lebih besar itu
memang mempengaruhi imbangan kekuatan antara kedua
belah pihak. Namun ternyata orang-orang padukuhan itu
memiliki kelebihan. Selain mereka mempunyai dasar yang
sama selama mereka bertualang di dunia kejahatan, maka
orang-orang padukuhan itu telah m endapat tuntunan cukup
dalam pertempuran bersama-sama. Perang gelar dan bermain
dengan berbagai jenis senjata.
Karena itulah, maka orang-orang padukuhan itu
nampaknya menjadi lebih mapan dari lawan-lawan mereka.
Apalagi orang-orang padukuhan itu telah menjadi lebih
banyak mengenali medan pertempuran.
Ternyata baik para peny erang mau pun orang-orang
padukuhan itu sama sekali tidak m emasang gelar di dalam
pertempuran itu. Gelar yang paling sederhana pun tidak.
Mereka telah membiarkan orang -orang dari pihak masingmasing
bertempur sesuai dengan bekal dan kemampuan
mereka masing-masing. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun seakan-akan
telah terpecah menjadi beberapa putaran arena pertempuran.
Namun dengan demikian maka kelebihan dari para penghuni
padukuhan itu pun menjadi semakin m emberikan arti bagi
dalam pertempuran y ang menjadi kasar itu.
Sementara itu, lebih dari dua puluh orang anak-anak muda
dari padukuhan-padukuhan tetangga y ang dengan suka rela
telah membantu orang-orang padukuhan itu, karena mereka
tahu, bahwa orang -orang yang tinggal di padukuhan itu
sedang dalam satu masa y ang sulit. Mereka sedang meniti satu
masa peralihan untuk menemukan satu dunia yang lebih baik
dari yang pernah mereka tempuh semula.
Anak-anak muda itu adalah anak-anak muda y ang memiliki
bekal kemampuan y ang juga mereka sadap dari padepokan
Bajra Seta. Sehingga dengan bekal kemampuan mereka, maka
anak-anak muda itu telah bertempur dengan garangnya pala.
Namun pertempuran itu semakin lama menjadi semakin
kasar. Ketika orang-orang y ang menyerang padukuhan itu
tidak lagi mengekang maka mereka mulai b ertempur dengan
cara yang terbiasa mereka lakukan.
Ternyata cara-cara itu telah memancing orang-orang
padukuhan yang pernah hidup dalam dunia yang sama, untuk
bertempur semakin kasar pula. Namun ternyata bahwa
kelebihan mereka dalam olah kanuragan telah membuat
orang-orang yang meny erang padukuhan itu mengalami
banyak kesulitan. Dalam tatanan gerak y ang keras dan kasar,
maka bekal y ang m ereka peroleh dari Padepokan Bajra Seta
menjadi semakin terasa menekan bagi orang-orang yang
menyerang padukuhan itu. Unsur-unsur gerak y ang lebih
rumit y ang mengandung berbagai kemungkinan dengan
sa saran y ang terpilih atas tubuh lawannya, y ang dilakukan
dengan keras benar-benar telah mengguncangkan pertahanan
lawan-lawan mereka. Dalam kekalutan itu, maka seorang dari antara penghuni
padepokan itu memberikan pertimbangan kemungkinan
membunyikan isyarat bagi Padepokan Bajra Seta. Mereka
tentu akan segera mengirimkan bantuan untuk mengusir
orang-orang y ang datang meny erang itu.
Tetapi pemimpin padukuhan itu berkata: "Kita harus
berusaha dan berlatih dengan sungguh-sungguh untuk
mampu berdiri sendiri. Kita tidak akan selamanya menjadi
tanggungan orang lain. Karena itu, maka kita harus mencoba
mengatasi kesulitan ini sendiri."
Orang itu ternyata dapat mengerti. Karena itu, maka ia
tidak lagi mendesak. Tetapi ia pun segera m eloncat turun ke
medan pertempuran sambil memutar senjatanya. Sebuah
teriakan y ang keras dari mulutnya terlontar meninggi seakanakan
menggapai langit. Demikianlah, pertempuran itu berlangsung dengan
sengitnya. Ternyata bahwa orang -orang padukuhan itu
bukanlah kelinci y ang dengan mudah dapat ditundukkan serta
menyerahkan lehernya untuk dibantai sebagai pengkhianat
terhadap kawan-kawan mereka yang pernah bersama-sama
menjelajahi padukuhan-padukuhan untuk merampok atau
bulak-bulak panjang untuk menyamun serta melakukan
kejahatan-kejahatan yang lain.
Dalam pada itu, para penjahat yang mendendam dan
kemudian meny erang padukuhan itu memang terkejut melihat
perlawanan para penghuni padukuhan itu. Sejak mereka
disergap dengan tiba -tiba dan kemudian harus bertempur
dengan mengerahkan segenap kekuatan y ang ada, orangorang
yang meny erang itu m erasa bahwa mereka telah salah
hitung. Mereka m engira bahwa orang -orang padukuhan itu sama
sekali t idak mempunyai kekuatan lagi. Mereka yang telah
meninggalkan kebiasaan mereka menjelajahi sasaran
kejahatan mereka dan hidup menjadi petani, disangkanya
tidak lagi mempunyai keberanian untuk m enghadapi ujungujung
senjata. Namun ternyata mereka justru telah meny ergap lebih
dahulu dan kemudian menekan mereka dengan kekuatan yang
benar-benar di luar dugaan.
Apalagi orang-orang padukuhan yang merasa hidupnya
selalu terancam itu, tidak selunak para cantrik di padepokan.
Ujung-ujung senjata mereka benar-benar menghunjam
sampai ke jantung. Tidak ada usaha untuk menghindari
kematian, justru karena orang -orang padukuhan itu merasa
dirinya lebih lemah. Korban pun semakin lama menjadi semakin banyak. Yang
terbanyak justru dari mereka y ang datang meny erang
padukuhan itu. Sementara orang-orang padukuhan y ang telah
melakukan latihan dengan baik, serta anak-anak m uda yang
memiliki dasar ilmu kanuragan itu, masih sempat berpikir dan
berusaha untuk melindungi diri mereka berbareng dengan
usaha mereka untuk menundukkan lawannya.
Yang terjadi adalah satu kenyataan. Orang -orang y ang
menyerang padukuhan itu untuk melepaskan dendamnya,
ternyata sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Mereka
terpaksa menyerahkan korban dari antara para penjahat yang
dianggap memiliki keberanian yang tinggi.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka keny ataan
itu benar-benar telah dibentangkan di hadapan mereka yang
sedang bertempur itu. Darah telah membasahi jalan bulak dan
tanah persawahan, mengalir di pematang dan menitik di daun
padi. Orang-orang y ang mendendam itu m engumpat tidak ada
habis-habisny a. Mereka ternyata tidak berhasil membantai
orang-orang yang mereka anggap pengkhianat itu. Bahkan
justru kawan-kawan merekalah yang sudah terbantai di arena.
Tanpa para cantrik, maka orang-orang padukuhan itu
ternyata masih juga dijangkiti oleh kebiasaan mereka jika
keringat apalagi darah telah mengalir. Senjata m ereka tentu
menggapai sampai ke pusat lawannya.
Dengan demikian maka kedua belah pihak telah menjadi
semakin garang. Korban pun berjatuhan. Namun karena
orang-orang padukuhan itu mempunyai bekal yang lebih
lengkap, maka mereka memiliki k esempatan lebih baik untuk
tetap hidup dari pada orang-orang yang datang meny erang.
Karena itu, maka semakin lama semakin nampak bahwa
pasukan y ang menyerang padukuhan itu pun susut lebih
cepat. Dengan demikian, maka orang-orang yang meny erang
padukuhan itu memang tidak mempunyai pilihan lain. Betapa
pun mereka berusaha menghentakkan kekuatan dan
kemampuan y ang ada di dalam pasukan mereka, tetapi
mereka benar-benar t idak m ampu m engimbangi orang-orang
padukuhan y ang ingin mereka hancurkan karena dendam
yang selalu m enyengat perasaan mereka. Apalagi jika mereka
mendengar bahwa usaha untuk membangun sebuah
padukuhan telah berhasil. Perasaan dendam, benci dan iri
telah membakar jantung mereka.
Namun mereka membentur keny ataan, bahwa mereka tidak
akan mampu berbuat apa -apa. Bahkan semakin lama korban
diantara mereka akan menjadi semakin banyak jatuh.
Karena itu, m aka pemimpin y ang mendapat kepercayaan
untuk memimpin pasukan itu dalam keseluruhan tidak
mempunyai pilihan lain. Dengan hati y ang sangat sakit, maka
ia pun telah memberikan isy arat agar seluruh pasukan itu
menarik diri. Perintah itu memang menimbulkan tanggapan y ang
berbeda. Ada diantara mereka y ang tidak mau melihat
keny ataan. Mereka menganggap bahwa pada akhirnya mereka
akan dapat menghancurkan pasukan y ang disusun oleh orangorang
padukuhan itu. Tetapi sebagian besar dari mereka
menyadari, perintah itu adalah satu-satunya kemungkinan
yang dapat mereka tempuh jika mereka tidak ingin
membunuh diri. Karena itulah maka ketika isy arat itu diperdengarkan sekali
lagi, maka orang-orang y ang meny erang padukuhan itu
menjadi yakin, bahwa mereka memang harus menarik diri.
Sejenak kemudian, maka medan pertempuran itu bagaikan
bergetar. Orang-orang y ang meny erang padukuhan itu sedang
menghentakkan kekuatan mereka. Dengan demikian, maka
mereka akan mendapat ancang-ancang untuk melarikan diri.
Ternyata bahwa demikian kesempatan terbuka, orangorang
yang meny erang padukuhan itu pun segera ditarik
mundur. Mereka pun segera menghambur meninggalkan
medan. Mereka dengan sengaja telah berlari bercerai berai,
sehingga dengan demikian m aka orang-orang padepokan itu
memang menjadi bingung. Kemana mereka harus mengejar.
Beberapa puluh langkah orang-orang padukuhan itu
berusaha mengejar. Tetapi akhirnya pengejaran itu mereka
hentikan setelah orang-orang yang m eny erang padukuhan itu
bertebaran ke segala penjuru, menjelajahi kotak-kotak sawah,
meniti pematang dan menginjak-injak tanaman.
Beberapa saat kemudian, orang-orang padukuhan itu serta
anak-anak muda yang membantu mereka telah berkumpul.
Beberapa orang korban memang telah jatuh. Bahkan ada pula
diantara anak-anak muda yang telah membantu padukuhan
itu, bahkan telah memberikan isyarat bahwa padukuhan itu
akan mendapat serangan. Berkali -kali pemimpin padukuhan itu mengucapkan terima
kasih. Tanpa bantuan mereka, serta tanpa isy arat sebelumnya
bahwa padukuhan itu akan diserang, maka padukuhan itu
tentu sudah hancur. Mereka tentu sudah dibantai oleh orangorang
y ang mendendam dan menganggap mereka berkhianat.
Meski pun sebelum pertempuran itu terjadi t idak ada
peringatan dan tidak ada pembicaraan sama sekali, tetapi
orang-orang padukuhan itu tahu pasti apa y ang akan
dilakukan oleh orang-orang yang datang itu.
Beberapa saat kemudian, maka orang-orang padukuhan itu
pun telah berusaha untuk mengumpulkan kawan-kawan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka yang menjadi korban. Hampir pasti, bahwa yang
terluka telah tidak bernafas lagi. Orang-orang y ang meny erang
padukuhan itu memang tidak pernah merasa ragu-ragu untuk
membunuh. Namun ketika hal itu disadari oleh orang-orang padukuhan
itu, maka mereka pun telah melakukan hal yang sama
sebagaimana dahulu selalu m ereka lakukan. Mereka hampir
tidak pernah meninggalkan dan membiarkan korban-korban
mereka untuk tetap hidup betapa mereka menangis dan
meminta. Hanya karena keajaiban sajalah bahwa orang dapat
tetap hidup setelah bertemu dengan mereka. Apakah itu di
bulak-bulak panjang, di jalan-jalan atau di rumah mereka yang
dirampok. "Ada beberapa orang y ang masih hidup berkata salah
seorang penghuni padukuhan itu.
"Kenapa kau masih harus bertanya jawab seorang y ang
bertubuh gemuk," kawan-kawan kita telah mereka bantai
dengan keji. Kenapa orang-orang y ang terluka itu tidak
diakhiri saja sama sekali.
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar jawaban
bukan dari kawan-kawan mereka yang ada disekitarnya.
Katanya: "Kenapa kalian masih tetap hidup meski pun ada
diantara kalian y ang terluka saat kalian ditangkap di
padepokan?" Orang-orang itu berpaling. Ternyata mereka melihat
Mahisa Pukat berdiri tegak sambil m emandangi wajah-wajah
yang tegang itu. Orang-orang itu menjadi gelisah. Tetapi mereka hanya
dapat menundukkan kepalanya saja.
Ternyata Mahisa Pukat melangkah terus. Ia hanya berhenti
sejenak memandangi orang -orang y ang terbaring diam. Ada di
antara mereka y ang memang masih hidup. Tetapi lukanya
sudah menjadi sangat parah.
Sementara itu di tempat lain Mahisa Murti hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Hampir semua orang yang
terbaring sudah tidak bernyawa lagi. Baik orang-orang yang
menyerang padukuhan itu, mau pun orang -orang dari
padukuhan itu sendiri, ternyata tidak lagi mampu mengekang
diri. "Pertempuran y ang mengerikan," desis Mahisa Murti.
Sejenak kemudian baik Mahisa Murti mau pun Mahisa
Pukat telah m enemui pimpinan padukuhan itu. Kedua orang
pemimpin dari padepokan yang sedang mekar, Bajra Seta,
merasa berkeberatan dengan cara mereka bertempur.
"Kami tidak mempunyai pilihan lain," jawab pemimpin
padukuhan itu. "Bahwa kalian harus mempertahankan padukuhan kalian
itu, tentu. Tetapi cara kalian bertempur itulah y ang kurang aku
setujui," berkata Mahisa Murti, "kenapa kau terpancing oleh
lawanmu untuk bertempur dengan kasar. Apakah kau m erasa
perlu untuk membunuh orang sebanyak-banyaknya dalam
pertempuran itu" Seharusny a kalian minta bantuan para
cantrik. Kalian akan dapat mengusir lawan dari padukuhan ini
tanpa harus bertempur dengan saling membantai."
Pemimpin kelompok itu tidak menjawab. Meski pun ia
mengangguk-angguk, tetapi ia merasa sulit untuk
membayangkan bagaimana pertempuran cara itu terjadi.
Namun akhirnya ia pun m engerti apa yang dimaksud oleh
Mahisa Murti. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak bertanya
lebih lanjut. Mereka hanya mengelilingi arena pertempuran
itu. Kemudian meninggalkan orang-orang padukuhan itu
sibuk dengan orang-orang y ang terbunuh dan satu dua yang
terluka parah. Namun pada malam harinya Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah datang ke padukuhan yang baru saja mendapat
serangan itu. Dengan panjang lebar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjelaskan, bahwa perang bukanlah sekedar membunuh dan
hilangnya rasa perikemanusiaan. Meski pun hal seperti itu
sulit untuk dihindari. Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu sejenak.
Tetapi mereka memang harus mengakui, bahwa mereka masih
belum dapat mengekang diri mereka sehingga dalam
pertempuran y ang baru saja terjadi, mereka masih juga
diwarnai dengan sifat-sifat mereka sebelumnya.
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti kemudian, "apa y ang
terjadi adalah satu peringatan bagi kalian. Adalah kebetulan
bahwa lawan kalian adalah orang-orang y ang kasar dan
bahkan buas, sehingga kalian telah terpancing untuk
melakukannya. Tetapi untuk selanjutnya kalian harus
menempatkan diri kalian sebagaimana sikap seseorang yang
berakal budi." Pemimpin padukuhan itu memang sempat minta maaf
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan nada rendah
ia berkata: "Kami ternyata masih juga dibay angi oleh sifat-sifat
kami dari hidup kami yang terdahulu."
" Ingatlah," berkata Mahisa Murti kemudian, "kalian y ang
dahulu, maksudku hidup kalian y ang lama, telah mati. Telah
dikuburkan. Kalian harus berada dalam satu dunia yang baru,
karena kalian adalah orang baru yang dilahirkan kembali
dengan sifat-sifat y ang harus baru sama sekali."
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menyempatkan diri secara khusus berterima kasih kepada
anak-anak muda yang telah membantu padukuhan itu
mempertahankan diriny a. Bahkan m ereka telah dengan suka
rela melibatkan diri sejak pertempuran belum dimulai.
Di hari berikutnya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diikuti
oleh pemimpin padukuhan itu serta beberapa orang yang lain
telah memerlukan mendatangi orang tua dari tiga orang
korban yang terbunuh di medan pertempuran itu. Sambil
menyerahkan tubuh dari korban yang telah gugur itu, m ereka
mengucapkan terima kasih y ang tidak terhingga besarnya.
"Mereka telah gugur untuk satu perjuangan y ang luhur,"
berkata Mahisa Murti, "ada satu pesan tersendiri dari
perjuangan mereka, karena sebenarnyalah mereka telah
berusaha meny elamatkan sebuah padukuhan dari kehancuran
mutlak. Tanpa bantuan mereka maka padukuhan itu tentu
sudah menjadi debu."
Orang tua ketiga orang korban itu, terutama ibu-ibu mereka
memang menangis. Tetapi mereka dapat m engerti arti dari
pengorbanan anak-anak muda itu. Mereka dapat
membayangkan tanpa pengorbanan mereka, maka yang
terjadi adalah pembantaian y ang m engerikan. Padukuhan itu
tentu masih tertidur lelap ketika bahaya itu menerkam
menjelang fajar. Tetapi karena jasa anak-anak mereka serta beberapa orang
kawannya maka hal itu akhirnya dapat dihindari.
Meng orbankan diri untuk keselamatan orang lain memang
sangat mahal harganya. Hanya kasih y ang tulus terhadap
sesama maka seseorang ber sedia m engorbankan jiwanya bagi
keselamatan orang lain, tanpa pamrih selain keselamatan itu
sendiri. Karena itu, maka ketiga orang anak muda itu memang
pantas untuk mendapat penghormatan yang tinggi. Mereka
memang tidak mendapatkan penghormatan dari sepasukan
prajurit y ang datang dari Singasari atau Sangling atau Lemah
Warah. Tidak pula dari Kediri. Yang menghormatinya
hanyalah tetangga-tetangganya saja y ang mengetahui apa yang
telah terjadi. Namun penghormatan itu tidak kalah nilainya
dengan penghormatan y ang mana pun juga, karena diberikan
oleh orang-orang itu dengan hati y ang bersih, y ang m enjadi
sak si atas pengorbanan y ang telah diberikan oleh anak-anak
muda yang telah gugur itu.
Dengan demikian maka di padukuhan-padukuhan y ang
lain - pun telah timbul pula suasana berkabung sebagaimana
padukuhan yang menjadi sasaran utama dari peny erangan
yang didor ong oleh perasaan dendam. Yang sebenarnya
dilandasi pula oleh perasaan dengki, bahwa orang -orang yang
semula hidup bersama mereka dalam kegelapan, telah mampu
mengangkat dirinya dan hidup, dalam satu suasana yang jauh
lebih baik. Namun peri stiwa itu telah menjadi cambuk bagi orangorang
yang tinggal di padukuhan baru itu. Mereka harus lebih
bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk
seperti itu di saat yang lain.
Dengan demikian, maka para penghuni padukuhan itu
menjadi semakin meningkatkan kesiagaan mereka. Anak-anak
mudanya menjadi lebih giat melakukan latihan-latihan yang
diberikan oleh para cantrik yang terpilih. Beberapa orang
remaja yang mendekati usia dewasanya telah pula ditempa
untuk menjadi anak m uda yang perkasa. Bahkan anak-anak
pun telah mulai dengan pengenalan pada unsur -unsur dasar
olah kanuragan. Jika mereka kelak tumbuh menjadi remaja dan apalagi
dewasa, maka mereka akan dapat menjadi benteng yang kokoh
dari padukuhan mereka. Tetapi y ang terpenting adalah meningkatkan ketahanan
padukuhan itu dalam waktu y ang singkat. Setiap saat orangorang
yang mendendam dan mendengki itu datang lagi, maka
mereka tidak akan mengecewakan.
Namun setiap kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berkata:
"Perang berbeda dengan pembantaian. Meski pun tujuan akhir
dari perang memang kemenangan, tetapi nilai kemenangan itu
jangan dikotori oleh tindakan-tindakan yang dapat
menyinggung kesadaran kemanusiaan y ang paling dalam."
Sementara itu, ternyata kelompok-kelompok yang berusaha
untuk menghancurkan padukuhan yang baru itu, telah saling
menuduh bahwa kelompok y ang lain tidak melakukannya
dengan sungguh-sungguh. Meski pun hal itu tidak dilontarkan
dengan terbuka, namun masing -masing kelompok merasa
bahwa telah timbul perasaan saling mencurigai y ang tajam
diantara mereka. Nampaknya persoalan y ang timbul diantara mereka itu
merupakan pertanda baik bagi padukuhan yang semakin
berkembang itu. Sebab dengan demikian, maka kemungkinan
mereka untuk datang dalam kelompok yang besar menjadi
semakin kecil. Sementara padepokan Bajra Seta berkembang semakin
pesat, maka telah terjadi satu peri stiwa yang mengejutkan bagi
padepokan itu. Ternyata telah datang utusan dari istana
Singasari, Sri Maharaja telah memanggil Mahendra untuk
menghadap. Seorang perwira prajurit Singasari y ang datang bersama
sekelompok pengawalnya telah menyampaikan perintah itu
dengan membawa pertanda kuasa Sri Maharaja. Sebuah
tunggul yang berwarna keemasan berbentuk kelopak bunga,
dengan kelebet segi tiga dengan lukisan sepa sang naga ular
yang saling membelit. "Kenapa aku harus menghadap?" bertanya Mahendra, "aku
sudah semakin tua. Apa yang dapat aku lakukan dalam
keadaan pikun seperti ini?"
"Kami hanyalah utusan yang memanggul perintah Sri
Maharaja," jawab perwira y ang memimpin sekelompok utusan
itu. Mahendra mengangguk-angguk. Ia tidak dapat menolak
perintah itu. Dengan rendah hati Mahendra berkata: "Baiklah.
Aku akan menghadap Sri Maharaja di Singasari. Tetapi mohon
disampaikan sebelumnya, bahwa Mahendra sudah menjadi
pikun." "Kita pergi bersama-sama Ki Mahendra," minta perwira itu.
Tetapi Mahendra menggeleng. Katanya: "Aku akan
menyusul kemudian. Silahkan angger mendahului. Aku masih
akan ikut membenahi padepokan ini m eski pun kedua orang
anakku masih akan tinggal disini dan memimpin padepokan
ini." "Ki Mahendra memerlukan waktu berapa hari" Kami
bersedia untuk menunggu sampai Ki Mahendra selesai
membenahi padepokan ini," berkata perwira y ang memimpin
utusan y ang menjemput Mahendra itu.
"Kenapa aku harus pergi bersama kalian"," bertanya
Mahendra. "Perintah Sri Maharaja. Aku kembali bersama ki
Mahendra," jawab perwira itu: "jadi sampai kapan pun
sebelum Ki Mahendra dapat berangkat ke Singasari, kami
masih akan menunggu. Jika kami kembali Iebih dahulu, maka
akan terjadi dua kemungkinan. Kami dihukum karena tidak
menjalankan perintah, atau Ki Mahendra yang dianggap
menolak perintah." Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia m emang tidak
dapat m engingkari perintah itu. Ia harus pergi ke Singasari
bersama para prajurit. Mungkin tidak ada yang penting.
Mungkin Sri Maharaja sekedar merasa kehilangan Mahisa
Agni dan Witantra. Kemudian memanggilnya untuk sekedar
berbincang karena Sri Maharaja tahu, bahwa is adalah saudara
muda seperguruan Witantra dan seorang yang dekat dengan
Mahisa Agni. "Tetapi aku tidak lebih dari seorang pedagang wesi aji dan
batu akik, sekali-sekali permata y ang memang mahal
harganya," berkata Mahendra didalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun kemudian menjawab: "Baiklah Ki
Sanak. Jika itu perintah Sri Maharaja, maka aku tidak akan
menentangnya. Aku merasa bahwa aku mempunyai kewajiban
untuk mematuhinya." "Terima kasih Ki Mahendra," jawab perwira itu, "tetapi
dengan demikian maka kami mohon mendapat tempat untuk
tinggal selama beberapa hari menunggu Ki Mahendra."
"Tentu Ki Sanak," jawab Mahendra, "tetapi mohon
diketahui, bahwa tempatnya terlalu sederhana."
"Kami, para prajurit, dapat tinggal di manapun. Bahkan
seandainya kami harus berada di longkangan-longkangan
sekali pun," jawab perwira yang membawa pertanda
kekuasaan dari Sri Maharaja di Singasari itu.
Kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Mahendra telah
minta untuk meny ediakan barak khusus bagi penginapan para
prajurit dari Singasari itu.
Dalam pada itu, dalam pertemuan yang sangat khusus,
Mahendra telah minta diri kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. "Aku harus memenuhi perintah Sri Maharaja. Aku tidak


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu berapa hari aku harus berada di Singasari. Mungkin satu
dua hari. Tetapi mungkin agak lama. Aku pun tidak tahu untuk
apa aku harus pergi ke Singasari. Mungkin untuk sesuatu yang
penting. Tetapi mungkin sekedar mengisi kekosongan
sepeninggal kakang Mahisa Agni dan kakang Witantra,"
berkata Mahendra kemudian.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menganggukangguk
saja, sementara Mahendra telah memberikan pesan
kepada mereka tentang padepokan Bajra Seta y ang telah
mereka dirikan. "Jangan sia -siakan Padepokan y ang telah berkembang
dengan baik ini," berkata Mahendra, "selain daripada itu,
maka kalian berdua jangan tenggelam dalam k esibukan yang
berlarut-larut, sehingga kalian tidak sempat meningkatkan
ilmu kalian sendiri. Kau sudah tidak lagi mempunyai seorang
yang secara khusus menuntun kalian untuk meningkatkan
ilmu kalian. Karena itu, kalian harus mampu menguasai diri
sendiri serta dengan sungguh-sungguh berusaha
meningkatkan dan mengembangkan ilmu kalian.
Beruntunglah kalian karena kalian telah m endapat tuntunan
dari beberapa orang y ang berilmu sangat tinggi, serta kalian
telah m endapatkan pusaka y ang jarang ada duanya. Bekal itu
harus kalian kembangkan sebaik-baiknya sehingga kalian
tidak akan hanya sekedar berpijak pada apa y ang kau miliki
sekarang. Mungkin kakangmu Mahisa Bungalan tidak
mempunyai kesempatan untuk itu. Ia terlalu sibuk dengan
tugas-tugasny a, sehingga karena itu, ia tidak dapat setiap kali
berada di sanggarnya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat hanya dapat menganggukangguk
serta mengiakannya. Namun Mahendra juga berpesan tentang anak-anak y ang
telah terlanjur dibawa ke padepokan itu.
"Kau tidak boleh menelantarkan Mahisa Semu dan Mahisa
Amping. Keduanya telah kau bawa kemari. Karena itu, maka
kau mempunyai kewajiban untuk membesarkan mereka.
Bukan hanya tubuhnya, tetapi juga ilmunya. Bukankah pada
suatu saat kau memerlukan orang-orang baru y ang pantas
untuk ikut memimpin padepokan ini" Aku tahu bahwa
keduanya tidak akan dapat m enjadi wadah segala macam isi
yang ada di dalam dirimu, karena kau tentu m asih berpikir
tentang kemungkinan-kemungkinan lain y ang dapat terjadi.
Mungkin anak-anak kalian atau anak Mahisa Bungalan yang
pantas mewarisi semua kemampuan dan ilmu kalian. Tetapi
dengan tuntunan y ang baik, lahir dan batin, kedua anak itu
akan dapat ikut serta menciptakan satu suasana yang
memungkinkan orang-orang y ang masih bakal lahir untuk
menggantikan puncak dari kepemimpinan padepokan ini.
Namun tidak mustahil bahwa kau memerlukan sosok
perantara. Nah, Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat
melakukannya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja m enganggukangguk.
Ia menyadari sepenuhnya apa yang dikatakan oleh
ay ahnya itu, sehingga dengan demikian, maka m ereka pun
telah berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan dengan
sebaik-baiknya tugas itu. Merekalah y ang telah membawa
anak-anak itu ke padepokan itu dengan niat agar pada suatu
saat mereka tidak akan kehilangan jalur peningkatan dan
pengembangan atas padepokan Bajra Seta itu."
"Tetapi aku masih belum akan berangkat besok," berkata
Mahendra, "aku akan berangkat dua hari lagi. Aku ingin pergi
dengan hati yang tenang, karena sebenarnyalah aku ragu-ragu
apakah aku akan dapat kembali lagi ke padepokan ini atau
tidak." Wajah Mahisa Pukat menjadi tegang. Dengan nada tinggi
Mahisa Murti bertanya: "Kenapa ay ah ragu-ragu untuk dapat
kembali" Apakah ada sesuatu y ang dapat menahan ay ah
pulang ke padepokan ini?"
"Tidak karena kekuatan lain y ang dapat menahanku. Tetapi
bukankah aku sudah tua"," Mahendra justru bertanya.
"Tetapi, pada saatnya ayah akan pulang. Jika ayah bersedia
kembali ke padepokan ini kami mengucapkan terima ka sih.
Atau barangkali ay ah berniat pulang ke rumah. Tetapi ke mana
pun ay ah akan pergi, maka ayah akan dapat m elakukannya,"
berkata Mahisa Pukat. "Aku mengerti," jawab Mahendra, "mudah-mudahan aku
akan dapat melihat padepokan ini lagi."
Di hari berikutnya Mahendra memang mulai berkemas.
Dipanggilnya Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Dengan
singkat Mahendra memberitahukan kepada mereka, bahwa ia
akan pergi ke Singasari. "Kenapa Ki Mahendra harus pergi?" bertanya Mahisa
Amping. "Aku tidak tahu Sri Maharaja telah m emanggilku," jawab
Mahendra. "Bukankah Ki Mahendra tidak berbuat kesalahan?"
bertanya Mahisa Semu. "Tidak," jawab Mahendra, "jika aku dipanggil ke Singasari
itu bukan berarti satu hukuman. Saudara tua seperguruanku
dahulu juga mengabdi di istana. Tetapi ia telah tidak ada
bersama seorang sahabatnya. Mungkin aku dipanggil untuk
mengisi kekosongan di istana. Mungkin diperlukan orangorang
tua untuk dapat diajak berbincang-bincang."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya: "Jika
demikian, bukankah Ki Mahendra dapat saja setiap saat
meninggalkan istana. Kemudian kembali lagi."
"Ya," jawab Mahendra, "tetapi tenagaku y ang telah menjadi
rapuh tidak akan mungkin melakukannya. Aku sekarang cepat
menjadi letih." Mahisa Semu tidak b ertanya lebih banyak lagi, sementara
Mahisa Amping m erasa sangat kehilangan dengan kepergian
Mahendra. Justru karena Mahisa Amping sadar sepenuhnya
bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan menjadi t erlalu
sibuk. Dengan demikian maka perkembangan ilmunya pun
akan menjadi tersendat kembali.
Tetapi Mahisa Amping memang tidak dapat menyalahkan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Semakin bertambah
umurnya, anak itu semakin menyadari, bahwa ia bukan orang
yang terpenting di padepokan itu. Ia hanya merupakan bagian
kecil dari seluruh isi padepokan y ang semakin besar itu.
Mahendra memang selalu memberitahukan kepada Mahisa
Amping dan Mahisa Semu, bahwa m ereka adalah bagian dari
keseluruhan sehingga mereka harus mampu luluh didalamnya,
-Keduanya tidak boleh menyalah-artikan, seolah-olah bumi
beredar di sekitar diri mereka. Sehingga segala sesuatunya
mereka pandang dari sudut pandangan mereka saja dan
merasa seakan-akan mereka adalah segala-galanya, sehingga
apa y ang ada di sekitarnya harus tunduk kepada mereka.
Demikianlah pada hari-hari terakhir Mahendra berada di
dalam barak itu, ia masih sempat memberikan petunjukpetunjuk
y ang sangat berarti bagi keduanya. Dengan demikian
maka bagi keduanya, seakan-akan pintu telah terbuka. Mereka
akan dengan mudah dapat mengembangkan dan
meningkatkan apa y ang telah mereka miliki.
Selain kedua orang anak muda itu, Mahendra juga
memberikan banyak pesan kepada para cantrik dan kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri. Terakhir Mahendra
telah m engumpulkan semua orang di padepokan itu. Bahkan
orang-orang yang selalu berhubungan dengan padepokan itu.
Anak-anak muda dari padukuhan-padukuhan sebelum dan isi
padukuhan baru y ang telah dihuni oleh orang -orang yang
kembali dari jalan yang sesat.
Ternyata bahwa apa yang dilakukan oleh Mahendra itu
mempunyai pengaruh yang luas. Bukan sekedar pernyataan
perpisahan. Tetapi pernyataan perwira y ang memimpin
sekelompok prajurit y ang datang menjemput Mahendra ke
padepokan itu, merupakan satu pengakuan dari Sri Maharaja
di Singasari terhadap padepokan itu. Sehingga dengan
demikian maka kedudukan padepokan itu menjadi sangat kuat
dan orang-orang di sekitarnya menjadi semakin
menghormatinya. Mahendra memang berharap bahwa dengan caranya,
pengakuan itu menjadi semakin tersebar. Orang-orang yang
berniat buruk terhadap padepokan itu pun akan membuat
perhitungan kembali, karena memusuhi padepokan Bajra
Seta, sama artinya dengan memusuhi Singasari yang besar.
Demikianlah akhirnya, Mahendra telah m inta diri kepada
seisi padepokan itu. Ia masih memperingatkan kemungkinankemungkinan
buruk dapat terjadi. Namun kepada prajurit ia
minta untuk membawa seorang diantara para tawanan yang
masih saja berhati batu. Namun orang yang masih saja mengumpat-umpat itu
akhirnya meny esal bahwa ia harus ikut ke Singasari. Bukan
sekedar dibawa ke Sangling.
"Kau akan mendapat tempat yang baik di Singasari,"
berkata seorang prajurit kepadanya.
Semula tawanan itu masih ber sikap kasar. Kepada prajurit
itu ia mengumpat-urrpat. Namun ternyata prajurit itu tidak
bersikap seperti para cantrik yang membiarkannya. Demikian
ia m engumpatinya, maka tangan prajurit Singasari itu telah
menyambar pipinya. Demikian kerasny a sehingga tawanan itu
mengaduh kesakitan. Prajurit itu m emang tidak melakukannya dengan sematamata.
Bahkan berdesis ia berkata: "Jika kau lakukan sekali
lagi, aku cekik kau. Tidak sampai mati. T etapi setengah mati
sa ja, karena aku tidak wenang membunuhmu."
Tawanan itu m eny eringai kesakitan. Ketika prajurit y ang
lain lewat ia pun berteriak: "Tolong."
Prajurit itu mendekat. Sambil memandangi kawannya ia
bertanya: "Kenapa?"
"Prajurit itu m emukul pipiku. Sakit sekali," jawab tawanan
itu. Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian
bertanya: "Lalu apa y ang kau ingini?"
"Perlakuan y ang baik," jawab tawanan itu.
Diluar dugaan. Prajurit itu menangkap tengkuknya dan
membenturkan dahinya ke lantai. Katanya: "Apa lagi","
Tawanan itu terdiam. Dipandanginya kedua orang prajurit itu
dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya. Namun ia
masih saja berdiam diri. Prajurit y ang kedua itu kemudian berkata: "Nah, aku sudah
tahu apa yang kau lakukan disini. Manja dan t erlalu
diperlakukan dengan lunak saat-saat kau m enarik perhatian
para cantrik. Tetapi kau tidak dapat menjadi manja kepada
para prajurit. Apalagi mengingat bahwa kau telah
diperlakukan terlalu baik, namun masih juga belum sembuh
sementara orang lain telah hidup dalam sebuah padepokan
yang tenang." Tawanan itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengulangi
tingkah lakunya. Ketika kedua orang prajurit itu pergi, dan ia
sekali lagi mencoba bermanja-manja dengan prajurit yang
lain, maka giginya justru berdarah. Prajurit itu dengan
tinjunya telah memukul mulutnya.
Demikian para prajurit meninggalkannya, maka tawanan
itu tiba-tiba telah menangis. Ia benar-benar telah meny esal. Ia
mengira bahwa dengan sikapnya itu, ia akan dapat menakutnakuti
para cantrik sehingga ia mendapat perlakuan baik.
Namun ternyata akhirnya ia jatuh ke tangan prajurit Singasari
yang keras seperti batu. Ketika Mahendra kemudian telah siap untuk berangkat,
maka orang itu pun telah dipersiapkan pula. Baginya juga
disediakan seekor kuda. Namun tangannya akan diikat meski
pun masih memungkinkan memegang kendali. Pinggangnya
juga akan diikat dan dengan tali yang panjang, pinggangnya
itu akan dihubungkan dengan seekor kuda yang lain, yang
ditunggangi oleh seorang prajurit.
Kepada prajurit yang mengikat tanggannya orang itu
berkata: "Kenapa harus diikat. Aku tidak akan Iari. Dengan
diikat aku sulit untuk memegang kendali."
Prajurit y ang mengikatnya berdesis perlahan: "Jangan
ribut. Nanti lehermu aku ikat."
"Aku minta lepaskan tali pengikatnya," minta orang itu
dengan sengaja agar Mahendra mendengarnya.
Mahendra memang m endengarnya. Ia pun berpaling dan
bertanya kepada tawanan itu: "Apakah kau ingin tanganmu
tidak diikat?" "Ya," jawab tawanan itu.
Prajurit yang mengikatnya memang menjadi berdebardebar.
Tanpa diikat tangannya, maka orang itu akan dapat
melarikan diri. Keduanya akan dapat dihentakkan dan berlari
keluar dari iring-iringan.
Namun jawab Mahendra: "Nanti setelah kita sampai di
Singasari, maka ikatan tanganmu itu akan dilepaskan."
"Aku berkeberatan," geram orang itu.
"Kau keberatan tanganmu diikat"," bertanya Mahendra
pula. Tawanan itu ragu-ragu. Dipandanginya sor ot mata
Mahendra. Namun Mahendra itu b erkata: "Kau sudah terlalu
lama memuakkan kami, orang-orang padepokan. Sekarang,
kau akan dibawa ke Singasari untuk mendapatkan angin baru.
Mungkin kau lebih senang diperlakukan seperti itu, karena
kebaikan para cantrik kau sia-siakan. Kau agaknya mendapat
kepuasan y ang tinggi dengan berlaku kasar dan tidak wajar."
Tawanan itu menggeretakkan giginy a. Katanya: "Aku
minta, lepaskan ikatan tanganku."
Mahendra t iba-tiba saja meninggalkannya, sementara
prajurit yang mengikat tangannya itu berkata: "Aku akan
mengikat lehermu. Jika kau meronta, dan jatuh dari punggung
kudamu, maka kau akan langsung ter seret oleh kuda y ang lain
dengan tali y ang terikat pada pinggang dan leherrhu."
"Jangan, jangan," orang itu hampir berteriak.
Prajurit itu berkata perlahan-lahan sekali ditelinganya:
"Apakah kau masih mempunyai hak berkata jangan?"
Tawanan itu pun benar-benar menyadari, bahwa ia akan
memasuki satu dunia y ang penuh kegelapan. Di Singasari,
maka ia akan segera menjadi ikan kering y ang dijemur
diteriknya panas matahari.
Tetapi ia tidak dapat menarik semua yang pernah
dilakukannya sehingga ia tidak jadi dibawa ke Singasari.
Semua y ang telah terjadi tidak dapat diingkarinya.
Demikianlah, maka pada saat y ang telah ditentukan,


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahendra diiringi oleh para prajurit dari Singasari telah
meninggalkan padepokan itu. Rasa -rasanya jantung Mahendra
juga berdebaran. Namun Mahendra tidak menunjuk
perasaannya itu di wajahnya. Ia meninggalkan regol
padepokan sambil tersenyum dan dengan wajah tengadah,
betapa pun sebenarnya terasa berat berpisah dengan anakanaknya
pada hari-hari terakhir dari hidupnya. Tetapi ia
memang tidak dapat menolak perintah Sri Maharaja meski
pun seandainya di Singasari ia sama sekali tidak berarti apaapa.
Sejenak kemudian, maka iring-iringan prajurit itu pun telah
menjadi semakin jauh. Mahendra yang sudah menjadi
semakin tua masih nampak tegar diatas punggung kuda.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengantar ayahnya
sampai keluar regol padepokan. Demikian pula Mahisa
Amping dan Mahisa Semu serta beberapa orang y ang lain.
Baru setelah iring-iringan itu m enjadi jauh, m ereka telah
kembali memasuki reg ol padepokan. Pintu pun kemudian
telah ditutup pula. Beberapa saat kemudian, padepokan m enjadi sepi. Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat masih memikirkan kepergian
ay ahnya y ang sudah tua. Mereka tidak curiga bahwa prajurit
yang menjemput ayahnya itu bukan sebenarnya prajurit
Singasari. Keduanya yakin benar bahwa prajurit-prajurit
dengan segala macam pertanda serta tunggul beserta
kelebetnya telah meyakinkannya. Namun yang mereka
pikirkan adalah, untuk apa ay ahnya diperintahkan m asuk ke
istana. "Apakah sekedar untuk mengisi kekosongan sepeninggal
paman Mahisa Agni dan Witantra," desis Mahisa Murti.
"Mudah-mudahan ay ah mempunyai arti di Singasari,"
gumam Mahisa Pukat pula. Namun akhirnya keduanya menyadari, bahwa mereka tidak
sebaiknya memikirkan kepergian ay ah mereka. Tetapi mereka
harus segera kembali kepada keny ataan y ang mereka hadapi di
padepokan itu. Tugas dan tanggung jawab mereka menjadi
semakin berat, justru setelah Mahendra meninggalkan
padepokan itu. Selain beberapa persoalan yang ditangani
Mahendra akan menjadi tugas mereka pula, maka mereka
tidak lagi mempunyai seorang y ang selalu diminta
pendapatnya. Terutama apabila mereka menghadapi
persoalan-persoalan y ang meragukan.
Namun sepeninggal Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat harus dapat mengambil keputusan sendiri.
Di hari pertama sepeninggal Mahendra, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mulai mengambil alih tugasnya dalam
hubungannya dengan peningkatan ilmu Mahisa Amping dan
Mahisa Semu. Seperti y ang telah diduga sebelumnya, m aka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak dapat melakukannya
setekun Mahendra sendiri karena kedua orang anak muda itu
mempunyai tugas yang cukup banyak.
Namun memenuhi pesan Mahendra, maka meski pun
hanya sebentar tetapi keduanya selalu mendapat waktu khusus
dari Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Tetapi seperti dipesan oleh Mahendra, kedua orang anak itu
tidak semata-mata menggantungkan diri mereka kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tetapi dengan petunjukpetunjuk
terakhir y ang diberikan oleh Mahendra, maka kedua
orang anak muda itu mampu meningkatkan ilmu mereka
masing-maing. Mahisa Amping y ang kecil itu pun mampu
melakukannya dengan sebaik-baiknya.
Dalam pada itu, kepergian Mahendra dijemput oleh
sekelompok prajurit Singasari memang memberikan kesan
yang baik bagi padepokan Bajra Seta. Seperti y ang diharapkan,
maka orang-orang yang mengenal padepokan itu menganggap
bahwa hal itu merupakan pengakuan dari Singasari, atas
kelebihan padepokan dan perguruan Bajra Seta.
Namun kepergian Mahendra telah mempunyai akibat yang
lain pula. Beberapa orang menganggap kepergian Mahendra
telah memperlemah kedudukan padepokan dan perguruan
Bajra Seta. Tanpa Mahendra, perguruan itu akan menjadi
kerdil karena tidak ada orang yang memiliki k elebihan, yang
akan dapat membuat para murid di padepokan itu menjadi
orang-orang y ang berarti.
"Kedua anak Mahendra itu tentu tidak akan sama seperti
ay ahnya," berkata seseorang y ang mulai m enilai padepokan
dan perguruan Bajra Seta.
"Tetapi kedua anak muda itu juga berilmu tinggi," jawab
yang lain. "Tetapi seberapa tinggi" Itulah yang penting. Semua orang
tahu siapa Mahendra. Pedagang wesi aji yang dikenal oleh
banyak orang dari banyak negeri y ang selalu dikunjunginya. Ia
sama sekali tidak takut menghadapi perampok dan peny amun
di perjalanan, karena ilmunya adalah ilmu y ang benar-benar
tuntas," berkata orang y ang pertama.
Namun kawannya menggeleng. Katanya: "Aku tidak berani
menilai kemampuan kedua anak muda itu. Nampaknya kita
tidak mempunyai bahan dan perbandingan."
Orang-orang itu mengangguk-angguk. Memang tidak ada
bahan dan perbandingan y ang dapat dipergunakan untuk
menilai kemampuan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun seorang diantara orang-orang itu berkata: "Kecuali
salah seorang atau keduanya ditantang untuk berkelahi."
Yang lain tertawa. Seorang diantara m ereka berkata: "Ah.
Kita bukan orang yang mempertaruhkan hidup kita sekedar
untuk menjajagi kemampuan orang lain. Aku hanya sekedar
memperbincangkan kemampuan kedua anak Mahendra.
Tetapi sudah tentu sama sekali tidak bermaksud menjajagi."
Ketika pembicaraan seperti itu terjadi di sebuah kedai y ang
sebenarnya sudah agak jauh dari padepokan Bajra Seta,
seorang y ang berbutuh tinggi kekar berkata: "Aku ingin
menjajagi kemampuan orang-orang Bajra Seta."
Yang lain m emang terdiam. Mereka tahu, orang itu adalah
seorang prajurit sandi dari Kediri. Prajurit sandi y ang memang
kurang berusaha merahasiakan diri. Tetapi kadang-kadang ia
bangga dengan kedudukannya sebagai prajurit sandi.
Tetapi ada juga orang yang tidak dikenal justru menyahut:
"Bukan orang-orang Bajra Seta. Tetapi anak Mahendra."
"Ya," jawab prajurit sandi dari Kediri yang bertugas untuk
mengamati kekuatan yang terpendam dari Singasari, "aku
justru ingin tahu kemampuan anak Mahendra."
Orang-orang yang ada di kedai itu memang lebih baik
berdiam diri. Kediri bagi mereka memang memberikan
tekanan yang berbeda. Meski pun Kediri juga berada di bawah
naungan kuasa Singasari, t etapi orang -orang Kediri kadangkadang
terlalu dengan sengaja menunjukkan sikap kurang
senang terhadap kepemimpinan Singasari serta orang-orang
yang berhubungan dengan istana Singasari.
Demikian juga sikap prajurit sandi Kediri itu terhadap
padepokan Bajra Seta yang diperbincangkan orang itu.
Karena tidak ada orang yang menyahut, maka tiba-tiba saja
ia bertanya tanpa ditujukan kepada seseorang: "Di mana letak
padepokan Bajra Seta?"
Orang-orang yang membicarakan kekuatan padepokan
Bajra Seta tanpa Mahendra itu sebenarnya tidak berniat
buruk. Bahkan ada y ang membicarakannya dengan nada
kecemasan, bahwa padepokan itu akan m engalami kesulitan
sepeninggal Mahendra. Meski pun sebagian terbesar dari
orang-orang yang mendengar kepergian Mahendra itu
menganggap bahwa padepokan Bajra Seta benar-benar sudah
mendapat pengakuan sebagai sebuah padepokan y ang pantas
diteladani. Karena itu, tidak seorang pun y ang dengan serta merta
menunjukkan di mana letak Bajra Seta itu.
Tetapi bagi petugas sandi Kediri itu, usaha menjajagi
kekuatan-kekuatan di Singasari akan sangat penting artinya.
Meski pun hal seperti itu sebenarnya satu langkah rahasia
yang dilakukan oleh Kediri sebagai satu penjajagan, namun
orang y ang terlalu sombong dan terlalu yakin akan dirinya
sendiri itu justru melakukannya dengan kebanggaan yang
dijajakannya. Namun akhirnya ia menemukan juga orang yang mau
menunjukkan letak padepokan Bajra Seta. Orang y ang tidak
dikenal itu telah berbicara lagi: "Aku tahu letak padepokan
Bajra Seta." "Bagus," berkata orang bertubuh raksasa itu, "kau dapat
membantu aku menunjukkan letak padepokan itu?"
"Tentu," jawab orang yang tidak dikenal itu.
Orang-orang yang lain y ang akan di kedai itu saling
berpandangan. Namun seorang y ang sudah agak tua, yang
tidak senang melihat sikap orang y ang tidak dikenal itu ju stru
bertanya: "Apakah keuntunganmu jika terjadi semacam
benturan kekerasan hanya sekedar ingin tahu apakah di
padepokan itu ada orang berilmu tinggi atau tidak" Bukankah
kita juga sudah m endengar bahwa Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat y ang sekarang m emimpin padepokan itu adalah anakanak
muda y ang berilmu tinggi?"
"Katanya memang demikian," jawab orang yang tidak
dikenal itu, "karena itu, jika ada orang y ang ingin
menjajaginya, apakah salahnya" Jika kita ingin m enjajaginya,
maka kita dapat datang menemui Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat serta langsung m enantang mereka berperang tanding.
Tetapi karena keduanya nampaknya tidak pernah berpisah,
maka y ang disebut perang tanding adalah bertempur melawan
mereka berdua." "Aku tidak berkeberatan," jawab orang bertubuh raksasa
itu. "Tetapi memang harus dipertimbangkan baik-baik. Kedua
anak itu t elah m endapatkan sepa sang pusaka yang tidak ada
duanya," berkata orang y ang tidak dikenal itu.
Orang bertubuh raksasa itu tertawa. Katanya: "Apa artinya
pusaka" Pu saka adalah benda yang dibuat oleh manusia.
Bukankah dengan demikian manusia itu sendiri mempunyai
nilai yang jauh lebih tinggi dari pusaka buatannya itu?"
Orang y ang tidak dikenal itu mengangguk-angguk. Katanya:
"Aku akan menunjukkan letak Bajra Seta," ia berhenti sejenak,
lalu katanya berterus terang: "Aku mendendam kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Sadar atau tidak sadar,
mereka telah membunuh saudara seperguruanku."
"Siapakah saudara seperguruanmu"," bertanya seseorang.
"Sudah terlalu banyak orang yang dibunuh oleh anak-anak
muda itu, sehingga andaikata aku meny ebutnya, ia hanya satu
diantara y ang terlalu banyak itu."
Tidak ada yang bertanya lagi. Orang-orang di kedai itu
memang tidak ingin melibatkan diri jika benar-benar terjadi
sesuatu. Karena itu, m aka m ereka lebik baik diam dan tidak
mencampuri persoalan kedua orang itu. Orang y ang bertubuh
raksasa itu dan orang y ang tidak dikenal oleh mereka.
Sebenarnyalah bahwa kedua orang itu benar -benar ingin
menghubungi padepokan Bajra Seta. Orang y ang dikenal
sebagai prajurit sandi dari Kediri itu m emang berniat untuk
menjajagi kemampuan pimpinan padepokan Bajra Seta yang
tertinggal, setelah Mahendra pergi ke Singasari.
Orang-orang y ang ada di kedai itu justru telah berharap
agar keduanya cepat meninggalkan kedai itu. Padepokan Bajra
Seta masih cukup jauh dari tempat itu.
Mereka merasa lega, bahwa beberapa saat kemudian
keduanya telah meninggalkan kedai itu menuju ke padepokan
Bajra Seta. Padepokan yang semakin mekar dan dikagumi
banyak orang. Bahkan diakui sebagai satu padepokan yang
langsung dikenal oleh Sri Maharaja di Singasari.
Hari itu, orang yang bertubuh raksasa itu masih belum
menghubungi orang-orang dari padepokan Bajra Seta. Ia
memang bermaksud memasuki padepokan itu di hari
berikutnya. "Kau akan m enjadi saksi," berkata orang bertubuh raksasa
itu. "Baik," jawab orang y ang tidak dikenalnya itu, "jika kau
berhasil mengalahkan kedua orang anak muda yang
memimpin padepokan itu, maka aku akan merasa bahwa
dendamku telah terbalas. Aku harap kau akan bertanding
sampai tuntas." "Aku tidak pernah bertanding seperti anak-anak main
binten. Jika aku sudah memasuki arena perang tanding, maka
lawan-lawanku akan keluar dari arena tinggal namanya saja."
berkata orang itu. Orang y ang tidak dikenalnya itu m engangguk-angguk. Ia
memang y akin bahwa orang itu memiliki kekuatan dan
kemampuan yang sangat besar. Tetapi ia masih
memperingatkan: "Tetapi hati-hati dengan anak Mahendra
itu." " Ia tidak akan lebih baik dari orang-orang lain yang telah
aku bunuh di arena. Aku tidak berkeberatan jika keduanya
akan maju bersama-sama," jawab orang bertubuh raksasa dari
Kediri itu. Seperti yang mereka rencanakan, di hari berikutnya, setelah
keduanya bermalam di sebuah gubug kecil di tengah-tengah
sawah, maka mereka telah memasuki pintu gerbang
padepokan. Di pintu gerbang keduanya telah menyatakan
kepada cantrik yang bertugas, bahwa keduanya ingin bertemu
dan berbicara dengan pimpinan padepokan itu.
Pa depokan Bajra Seta memang bukan padepokan y ang
tertutup. Karena itu, kedua orang itu sama sekali tidak
mengalami kesulitan untuk bertemu dengan pemimpin
padepokan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah menerima kedua
orang itu dengan baik. Kedua anak muda itu sama sekali tidak
menyangka bahwa mereka akan berhadapan dengan seseorang
yang menantangnya perang tanding.
"Kenapa" jawab Mahisa Murti, "bukankah kami dan
padepokan ini tidak pernah mengganggu Ki Sanak?"
"Memang tidak," jawab orang bertubuh raksasa itu, "tetapi
penampilan padepokan ini sangat menyakitkan hati. Sombong
dan seakan-akan tidak ada kekuatan dan kemampuan yang
mampu mengimbangi kemampuan para pemimpinnya."
"Kami tidak mengerti maksud Ki Sanak. Jika kami disebut
sombong, apa yang pernah kami lakukan sehingga ada
prasangka semacam itu," jawab Mahisa Murti.
"Apa pun jawaban kalian, tetapi aku tahu bahwa kalian
merasa tidak terkalahkan. Aku datang bersama seorang
kawanku y ang telah kau lukai hatinya. Seorang saudara


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperguruannya telah kau bunuh," berkata petugas sandi itu.
"Jika aku membunuh, tentu ada alasannya. Tetapi siapakah
saudara seperguruannya?" bertanya Mahisa Murti.
"Kau tidak akan ingat siapa saudara seperguruanku itu,"
jawab orang y ang tidak dikenal itu, "satu diantara korban
kalian yang tidak terhitung selama pengembaraan kalian."
"Aku tidak mengerti maksud kalian," jawab Mahisa Murti.
"Sudahlah," berkata orang bertubuh raksasa itu, "aku
adalah petugas sandi dari Kediri. Aku memang berniat
menjajagi kemampuan kalian disini. Karena itu, aku tantang
kalian berdua sekaligus untuk berperang tanding. Perang
tanding itu Baru diketahui siapa yang menang dan siapa yang
kalah jika salah satu pihak sudah mati. Karena itu, maka
apakah aku yang mati atau kalian berdua y ang mati."
"Satu persoalan y ang aneh," desis Mahisa Pukat, "satu hal
yang tidak dapat dimengerti. Kita tidak pernah mempunyai
persoalan apa pun juga. Tiba-tiba kau menantang perang
dengan cara yang paling keras. Apa sebenarnya y ang kau
kehendaki?" "Menghancurkan kesombongan padepokan ini hanya
karena Mahendra dipanggil oleh Sri Maharaja Singasari,"
jawab orang itu. "Kami juga pernah menjadi petugas sandi dari Kediri,"
jawab Mahisa Pukat, "tetapi kami tidak pernah melakukan
tindakan sekadar itu. Bukankah apa y ang kau lakukan itu tidak
masuk akal?" "Aku tidak peduli," jawab orang bertubuh raksasa itu,
"kawanku juga ingin membalas dendam."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih saja termangumangu.
Tetapi orang bertubuh raksasa itu berkata: "Kita tidak
perlu mempertimbangkan apakah y ang kita lakukan itu masuk
akal atau tidak. Aku hanya ingin tahu, seberapa jauh
kebenaran berita tentang padepokan dan perguruan Bajra Seta
yang dengan sombong telah m enyatakan diri sebagai sebuah
padepokan dan perguruan terbaik hanya karena Mahendra
dipanggil ke Singasari."
"Jika kami berkeberatan"," bertanya Mahisa Murti.
"Terserah kepada kalian. Namun aku punya mulut.
Kawanku ini menjadi saksi, bahwa perguruan Bajra Seta
dipimpin oleh seorang pengecut sepeninggal Mahendra,"
jawab orang itu, "bahkan kawanku yang menjadi saksi
sekarang setelah ia kehilangan saudara seperguruannya akan
berkata bahwa pemimpin perguruan Bajra Seta sama sekali
tidak berani mengakui bahwa mereka telah membunuh
banyak orang karena ketakutan."
"Satu cara yang baik untuk memancing pertempuran,"
berkata Mahisa Pukat y ang menjadi kehabisan kesabaran,
"baiklah. Pancinganmu mengena. Aku terima tantanganmu."
"Kalian berdua boleh bertempur berpasangan jika kalian
kehendaki. Dua orang anak Mahendra mungkin akan dapat
menyamai Mahendra," berkata orang itu.
"Aku akan bertempur sendiri," jawab Mahisa Pukat.
"Aku sudah m enduga. Tetapi baiklah. Kau akan m eny esal
akan kesombonganmu. Tetapi aku tidak berkeberatan
saudaramu berdiri di batas arena. Begitu kau hampir mati,
saudaramu datang membantu," desis orang itu.
Darah Mahisa Pukat memang sudah mendidih. Tetapi ia
sa dar, bahwa menghadapi siapa pun juga, ia t idak boleh
kehilangan akal, sehingga pikirannya akan menjadi kabur.
Dengan m enahan gejolak perasaannya Mahisa Pukat pun
berkata: "Biarlah para cantrik menyiapkan arena."
Demikianlah maka Mahisa Pukat pun telah memerintahkan
para cantrik untuk memasang gawar lawe. Kemudian ia pun
mempersilahkan petugas sandi dari Kediri sebagaimana
pengakuannya itu turun ke halaman.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah berada di arena.
Orang bertubuh raksasa itu telah meletakkan senjatanya,
sebuah pedang yang besar dan berat di pinggir arena.
Sementara itu Mahisa Pukat memasuki arena tanpa membawa
senjata apapun. Namun Mahisa Murti y ang ada di luar arena
telah membawa sepasang pedangnya y ang bukan pedang
kebanyakan itu. Beberapa saat kemudian keduanya telah bersiap. Dengan
nada rendah Mahisa Pukat m empersilahkan orang yang ingin
membalas dendam itu untuk berada di dalam gawar arena.
"Marilah," berkata Mahisa Pukat, "bukankah kau berniat
menjadi saksi." "Aku disini," berkata orang itu. Ia masih berada di luar
gawar, tetapi ia berada tepat ditepi arena, melekat pada gawar
lawe y ang terpasang. Mahisa Murti berdiri tidak terlalu jauh dari orang itu.
Namun ia tidak menjadi lengah. Mungkin orang itu dapat
berbuat curang justru pada saat y ang gawat.
Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah
berhadapan. Orang y ang m engaku petugas sandi dari Kediri
itu berkata: "Bersiaplah. Kau akan mati lumat hari ini. Apakah
kau tidak ingin mengajak saudaramu untuk bersama-sama
mati?" "Tidak," jawab Mahisa Pukat, "jika aku mati, biarlah ada
orang y ang sempat menangisi aku."
" Iblis kau," geram orang itu.
"Sayang, tidak ada orang Kediri yang ada disini. Jika ada
seorang pun yang melihat apa y ang lakukan, maka kau tentu
akan dihukum mati," desis Mahisa Pukat.
Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia bertanya: "Kau
mulai ketakutan?" Tetapi Mahisa Pukat menjawab: "Tidak. Aku sama sekali
tidak menjadi ketakutan. Tetapi kami, orang -orang padepokan
ini tahu pasti sikap orang-orang Kediri."
"Marilah kita mulai, apakah kau sudah siap"," bertanya
orang bertubuh raksasa itu.
"Aku sudah siap. Tetapi aku masih ingin berkata bahwa
bukan kebiasaan orang -orang Kediri itu meny ombongkan
dirinya seperti yang kau lakukan. Apakah benar kau orang
Kediri?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu ternyata tidak ingin menjawab. Ia pun sudah
bersiap sambil berkata: "Aku akan mulai. Dalam waktu
sepenginang, kau sudah akan menjadi mayat. Ter serah kepada
saudaramu apa ia ingin m ati juga atau tidak. Jika ia ingin
turun ke gelanggang aku akan menunggunya."
"Bicaralah tentang apa saja selagi kau sempat," berkata
Mahisa Pukat, "sebentar lagi mulutmu akan terkatub rapat,"
jawab Mahisa Pukat. Rak sasa itu menggeram. Ia mulai melangkah maju
mendekati Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukat bergeser
menyamping. Orang itu tidak menjadi ragu-ragu sama sekali. Ia
melangkah ke mana saja Mahisa Pukat bergeser tanpa
melindungi dirinya dengan sikap apapun. Ia berjalan saja
selangkah demi selangkah.
Mahisa Pukat memang merasa harus sangat berhati-hati.
Orang itu tentu merasa terlalu kuat, atau bahkan memiliki
ilmu kebal. Akhirnya Mahisa Pukat memang terdesak ke sudut arena.
Ia tidak dapat bergeser lagi tanpa m enyentuh gawar lawe
yang terentang di sekeliling arena itu.
Para cantrik memang menjadi berdebar-debar. Mahisa
Murti mengerutkan keningnya sehingga dahinya nampak
menjadi tegang. Wantilan termangu-mangu di sebelah Mahisa
Semu dan bahkan Mahisa Amping y ang juga berada di pinggir
arena nampak menjadi gelisah.
Ketika orang itu masih juga mendesak maju, maka Mahisa
Pukat tidak berniat untuk bergeser lagi. Dengan sigapnya ia
pun telah meloncat menyerang orang itu dengan kakinya tepat
mengenai dadanya. Orang itu memang tidak menghindar
sama sekali. Juga tidak menangkis. Ia ingin menunjukkan
betapa kuatnya tubuhnya yang seperti raksasa itu, serta betapa
tingginya day a tahannya.
Tetapi ternyata Mahisa Pukat y ang telah mengerahkan
kekuatan cadangan didalam dirinya itu, benar-benar diluar
dugaannya. Kekuatan serangan kakinya benar-benar telah
mengguncang pertahanan orang itu, sehingga orang bertubuh
raksasa itu telah terlempar dan terbanting jatuh.
Orang bertubuh raksasa itu sendiri terkejut. Tidak seorang
pun pernah menggoyahkan pertahanannya. Namun pada
tendangan pertama, anak muda itu telah dapat
menjatuhkannya. Rak sasa itu sengaja berguling dua kali. Namun kemudian ia
telah melenting berdiri. Tetapi y ang dilakukannya sudah terlanjur membuat Mahisa
Pukat menjadi muak. Karena itu, demikian orang itu berdiri
tegak Mahisa Pukat justru telah meluncur sambil menjatuhkan
dirinya. Kedua kakinya mengembang dan dengan sigapnya
menjepit kedua kaki raksasa yang baru saja tegak itu . Dengan
sekuat tenaga Mahisa Pukat memutar tubuhnya, sehingga
kedua kakinya yang menjepit kedua kaki lawannya telah
berputar pula. Sekali lagi orang bertubuh raksasa itu terputar dan
terbanting jatuh. Hampir saja kepalanya justru membentur
tanah yang keras di halaman padepokan itu.
Mahisa Pukat memang melepaskannya. Dengan cepat ia
bangkit, sementara lawannya berusaha untuk membuat jarak
dengan berguling beberapa kali. Baru kemudian ia meloncat
bangkit. Mahisa Pukat ingin melihat akibat serangan-serangannya.
Karena itu, ia tidak memburu orang bertubuh raksasa itu.
Orang y ang mengaku petugas sandi dari Kediri itu
menyeringai menahan sakit di punggungnya. Namun juga
day a tahannya memang luar biasa. Beberapa saat kemudian,
maka ia telah dapat mengesampingkan perasaan sakitnya.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
bagaimana pun juga, serangan-serangan Mahisa Pukat yang
datang beruntun itu telah m enyakiti orang bertubuh raksasa
itu. Meski pun orang itu mampu mengkesampingkannya,
namun jika tubuhnya yang kesakitan itu tersentuh serangan
lagi, maka perasaan sakitnya tentu akan terasa kembali.
Sejenak kemudian, orang yang mengaku petugas sandi dari
kediri itu pun menggeram: "Ternyata kau mempunyai
kemampuan yang cukup, anak muda. Tetapi bagaimana pun
juga, kau akan mati di arena ini. Justru karena kau sudah
menyakiti aku, maka kematianmu akan menjadi lebih cepat."
Mahisa Pukat justru tidak menghiraukannya. Ia
memanfaatkan kesempatan itu. Ketika raksasa itu seakanakan
baru mengigau, maka Mahisa Pukat telah meloncat
dengan cepatnya. Tangannya pun telah terjulur lurus
mengarah ke dada. Orang itu m emang terkejut. Dengan cepat ia bergeser ke
samping. Namun Mahisa Pukat telah memperhitungkannya. Ia
justru berputar satu lingkaran penuh. Kakinyalah y ang terayun
mendatar saat tubuhnya sedikit terangkat.
Satu tendangan y ang keras telah mengenai kening
lawannya. Orang bertubuh raksasa itu terhuyung-huyung
surut. Tetapi ia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk tidak
kehilangan keseimbangan dan jatuh terbanting lagi.
Orang itu memang tetap tegak berdiri. Tetapi Mahisa Pukat
yang berhati-hati tidak m emburu dan m enyerangnya dengan
serta merta. Orang itu menggeram marah. Wajahnya m enjadi tegang.
Dengan nada berat ia berkata: "Kau akan meny esali tingkah
lakumu. Kau akan mati dengan caraku."
Mahisa Pukat telah siap menghadapi segala kemungkinan.
Namun ia telah rnelihat, betapa raksasa itu memiliki daya
tahan tubuh yang sangat tinggi.
Orang itu ternyata tidak untuk seterusnya membiarkannya
mendapat serangan terus menerus. Namun di pertempuran
selanjutnya, raksasa itu pun telah meny erang pula.
Betapa pun tinggi daya tahan orang itu, tetapi dadanya
sekali-sekali terasa sesak, sementara kepalanya menjadi
pening. Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi
semakin seru. Kedua belah pihak telah semakin meningkatkan
ilmu mereka sehingga serangan telah disambut dengan
serangan. Orang bertubuh raksasa itu benar-benar menjadi sangat
garang ketika beberapa kali lagi ia masih juga dikenai
serangan Mahisa Pukat. Namun ketika sekali ia mengenai
Mahisa Pukat di pundaknya dengan tangannya, m aka rasarasanya
tulang tulang anak muda itu telah berpatahan.
Mahisa Pukatlah y ang harus meloncat mengambil jarak.
Untunglah bahwa Mahisa Pukat pun memiliki day a tahan yang
sangat tinggi. Beberapa saat kemudian, perlahan-lahan
perasaan sakit itu dapat dikuasainya dan bahkan
diabaikannya. Tetapi dengan demikian maka Mahisa Pukat harus menjadi
lebih berhati-hati. Sementara itu, orang bertubuh raksasa itu melangkah satusatu
mendekati Mahisa Pukat. Sikapnya sebagaimana
dilakukannya saat mereka mulai bertempur. Orang itu
menduga, bahwa Mahisa Pukat tidak lagi berbahaya setelah
pundaknya tersentuh tangannya.
Tetapi tulang-tulang Mahisa Pukat tidak benar-benar
berpatahan. Sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah siap
menghadapi lawannya y ang garang itu.
Karena itu, ketika lawannya menjadi semakin dekat, maka
Mahisa Pukat telah membuka serangan. Dikerahkannya
segenap kekuatan y ang dibangun pada landasan tenaga
cadangan di dalam dirinya. Dengan hentakkan y ang sangat
kuat, kaki Mahisa Pukat telah terjulur lurus mengarah ke
lambung. Orang y ang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak
menghindar dan tidak pula m enangkis serangan itu. Tetapi
sekilas Mahisa Pukat melihat satu ungkapan kemampuan yang
tersimpan di dalam diri lawannya itu.
Sebenarnyalah ketika kaki Mahisa Pukat mengenai
lambung lawannya, ia memang melihat lawannya itu menahan
sakit. Namun hanya sekejap. Kemudian perasaan sakit itu
bagaikan leny ap begitu saja dari wajahnya.
Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Orang bertubuh
raksasa itu masih saja melangkah mendekat, sementara
Mahisa Pukat justru bergeser surut.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kesombonganmu telah membunuhmu anak muda," geram
orang bertubuh raksasa itu.
Mahisa Murti termangu-mangu melihat sikap Mahisa
Pukat. Sementara itu Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping menjadi gelisah. Demikian pula para cantrik yang
menyaksikan pertempuran itu.
Ketika Mahisa Murti berpaling ke arah orang yang mengaku
kawan petugas sandi dari Kediri itu, serta y ang merasa
mendendam karena saudara seperguruannya terbunuh,
nampak betapa wajah orang itu menjadi sangat senang.
Sejenak kemudian, pertempuran pun berlangsung kembali
dengan cepat. Beberapa kali Mahisa Pukat sempat mengenai
lawannya, tetapi lawannya seakan- akan memang menjadi
kebal. Bahkan ketika Mahisa Pukat lengah sesaat, tangan
orang bertubuh raksasa itu tepat mengenai dadanya.
Mahisa Pukat seakan-akan telah terlempar beberapa
langkah surut dan jatuh menimpa gawar lawe yang
mengelilingi arena diantara para cantrik y ang melingkari
arena itu. Tetapi Mahisa Pukat masih dapat bangkit dengan cepat.
Dadanya memang terasa sesak. Seakan-akan nafasnya
tersumbat di kerongkongan.
Beberapa saat ia berdiri tegak. Dengan beberapa tarikan
nafas serta pengetrapan tingkat tertinggi daya tahannya, maka
nafasnya seakan-akan telah menjadi pulih kembali.
Namun pertempuran itu memang telah mencemaskan para
cantrik padepokan Bajra Seta itu.
Ketika orang y ang mengaku petugas sandi dari Kediri dan
bertubuh raksasa itu melangkah mendekatinya lagi, Mahisa
Pukat telah mempersiapkan dirinya untuk bertempur kembali.
Tetapi kekuatan orang itu memang t idak dapat diimbangi
oleh Mahisa Pukat meski pun ia telah m embangunkan tenaga
cadangan di dalam dirinya. Bahkan sekali lagi Mahisa Pukat
telah terlempar jatuh. Ia tidak lagi dapat meny embunyikan
perasaan sakit di punggungnya.
Karena itulah, maka Mahisa Pukat tidak ingin membiarkan
dirinya dihancurkan oleh orang bertubuh raksasa itu.
Beberapa saat Mahisa Pukat m embuat pertimbangan. Apakah
ia akan menghisap tenaga lawannya itu, atau sekaligus
menghancurkannya dengan ilmu yang diwarisinya dari
ay ahnya, Bajra Geni. Tetapi Mahisa Pukat masih menghormati jabatan orang itu,
sehingga ia memang tidak ingin membunuhnya. Ia ingin orang
itu t etap hidup, tetapi mau tidak mau harus mengakui
kelebihannya. Jika hal itu dibawanya dan disampaikannya
kepada orang -orang Kediri, maka Kediri harus menilai
kembali rencana-rencananya meski pun Mahisa Pukat tahu,
bahwa sikap bermusuhan dari Kediri itu hanya dikendalikan
oleh beberapa orang saja.
Karena itu, maka Mahisa Pukat telah mengetrapkan
ilmunya y ang tidak dengan serta merta menghentikan
perlawanan lawannya, meski pun ia tidak segera yakin akan
dapat menghentikan perlawanannya.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun telah
berlangsung selanjutnya. Semakin sengit. Mahisa Pukat
berusaha untuk bergerak semakin cepat. Beberapa kali ia
mampu mengenai tubuh lawannya meski pun hanya sekedar
menyentuhnya. Tetapi ketika ia membentur serangan
lawannya, maka Mahisa Pukat telah terlempar sekali lagi
sampai keluar gawar. Namun Mahisa Pukat masih juga bangkit dan m emasuki
kembali arena pertempuran itu.
Dengan demikian, maka pertempuran itu pun berlangsung
lagi dengan sengitnya. Namun orang bertubuh raksasa itu sempat menjadi heran
melihat ketahanan tubuh anak muda itu. Beberapa kali ia telah
terlempar sampai keluar gawar tali lawe. Namun ia masih juga
bangkit dan bertempur lagi.
Dengan demikian maka orang bertubuh raksasa itu tidak
mau meny ia-ny iakan waktu. Ia pun ingin dengan cepat
mengalahkan lawannya sehingga kemenangannya akan
menjadi lebih berarti. Karena itu, maka ia pun telah m engerahkan ilmunya pula.
Ilmu yang sudah jarang ada duanya.
Demikian ilmu itu mulai ditrapkan, maka Mahisa Pukat
mulai merasakan kelainan pada tubuh lawannya. Kulit dan
dagingnya menjadi semakin lama semakin keras. Bahkan
menjadi seperti batu padas. Setiap kali ia berhasil m engenai
tubuh lawannya, maka tulang-tulangnya sendirilah yang
serasa akan berpatahan. Orang bertubuh raksasa itu semakin lama semakin
mendesak Mahisa Pukat yang menjadi gelisah. Ia mulai raguragu
apakah ilmunya mampu menembus pertahanan
lawannya dan m enghisap kekuatan dan kemampuan ilmunya.
Bahkan untuk beberapa lama lawannya justru menjadi
semakin lama semakin keras. Bukan saja seperti batu padas,
tetapi kemudian menjadi seperti batu hitam .
Orang itu semakin membiarkan diriny a terbuka. Ia tidak
pernah berusaha menghindar atau menangkis serangan
Mahisa Pukat. Ilmunya memang berbeda dengan ilmu kebal.
Tetapi kekerasan tubuhnya telah melindunginya sebagaimana
ilmu kebal. " Ilmu y ang jarang ada bandingnya," desis Mahisa Pukat di
dalam hatinya. Tetapi Mahisa Pukat m erasa bahwa ia pernah
bertempur dengan ilmu semacam itu.
Pa da saat-saat ia semakin terdesak, maka Mahisa Pukat
telah merencanakan untuk mempergunakan ilmunya yang
diharapkannya akan dapat m eny elesaikan lawannya. Namun
bagaimana pun juga Mahisa Pukat justru menjadi ragu.
Apakah ilmu Bajra Geniny a akan mampu mengoyak kekerasan
tubuh orang itu y ang seakan-akan telah berubah menjadi batu
hitam itu. Namun dalam keragu -raguan itu, Mahisa Pukat masih tetap
mempergunakan ilmunya untuk m enghisap tenaga lawannya
yang tubuhnya telah mengeras.
Tetapi orang itu masih saja tidak menghiraukan seranganserangan
Mahisa Pukat. Beberapa kali Mahisa Pukat dapat
mengenai tubuh orang itu. Tetapi seperti y ang terdahulu,
tulang-tulangnya sendirilah y ang menjadi sakit.
Dalam keadaan y ang demikian, maka Mahisa Pukat
mencoba untuk semakin sering menyentuh lawannya. Sekali ia
mencoba menggenggam pergelaran tangan lawannya,
menariknya dan membantingnya. Tetapi ia tidak berhasil.
Bahkan tangan yang lain dari raksasa itu telah menangkap
pundak Mahisa Pukat. Dengan kekuatan raksasa Mahisa Pukat
telah diputarnya dan sebelum Mahisa Pukat sempat
menghindar, kedua tangan raksasa itu telah mengimpitnya
melekat ke dadanya. Mahisa Pukat m eronta. Tetapi orang itu m emang terlalu
kuat. Himpitan batu hitam itu terasa semakin keras menjepit
tubuhnya, sehingga nafasnya terasa semakin lama semakin
sesak. Tulang-tulangnya gemeretak seakan-akan telah
diremukkan oleh himpitan batu hitam itu.
Mahisa Murti y ang melihat hal itu hampir saja tidak dapat
menguasai diri. Hampir saja ia telah meloncat memasuki
arena. Demikian pula Wantilan, Mahisa Semu dan bahkan
Mahisa Amping dan para cantrik. Sementara itu, orang yang
mengaku mendendam kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
itu pun menjadi sangat tegang.
Mahisa Pukat sendiri memang tidak akan mampu
melepaskan diri dari himpitan kekuatan itu. Ia pun tidak
sempat melepaskan kekuatan ilmu Bajra Geni karena
tubuhnya yang justru telah terhimpit itu. Satu-satunya ilmu
yang masih ditrapkannya adalah ilmunya untuk menghisap
kekuatan lawannya. Tetapi Mahisa Pukat merasa seakan-akan sesaat lagi
tubuhnya telah akan diremukkan oleh orang bertubuh raksasa
itu. Sekilas Mahisa Pukat m emang agak menyesal, kenapa ia
tidak menghancurkan orang itu dengan ilmu Bajra Geni. Baik
yang langsung dibenturkan ke tubuhnya atau dengan kekuatan
ilmu y ang dapat melontarkan kekuatan ilmunya itu dari jarak
yang cukup sehingga orang itu tidak dapat menggapainya.
Pa da saat ia masih berusaha untuk tidak membunuh, ternyata
tubuhnya sendiri telah hampir diremukkannya.
Namun pada saat-saat terakhir, di mana Mahisa Pukat
masih sempat memandang saudaranya sekilas, serta melihat
wajah yang cemas itu, himpitan batu hitam itu justru mulai
mengendor. Dalam keadaan y ang gawat itu ternyata Mahisa
Pukat masih mampu berpikir menghentakkan satu-satunya
ilmu y ang masih dapat dipergunakannya itu. Justru sentuhan
tubuhnya y ang rapat dengan tubuh lawannya, membuat
ilmunya lebih cepat bekerja.
Terasa oleh Mahisa Pukat bahwa lawannya y ang bertubuh
raksasa itu berusaha menghentak-hentakkan kekuatannya. Ia
berusaha untuk menghimpit dan m eremukkan tulang-tulang
Mahisa Pukat serta mematahkan tulang belakangnya.
Namun usaha itu sia-sia. Ketika kemudian Mahisa Pukat
dengan sisa kekuatannya mengembangkan tangannya yang
terhimpit bersama tubuhnya, maka orang itu tidak mampu
lagi mempertahankan himpitannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian, tangannya pun
terlepas dan Mahisa Pukat terhuyung-huyung beberapa
langkah surut. Hampir saja ia jatuh terlentang. Namun ia
masih mampu bertahan dan kemudian bahkan berdiri tegak."
Dengan serta merta terdengar sorak para cantrik. Bahkan
Mahisa Amping sempat menjerit-jerit kegirangan melihat
Mahisa Pukat mampu melepaskan dirinya.
Orang bertubuh raksasa itu menggeram. Ia merasa tentu
ada sesuatu yang tidak wajar. Ia sendiri menjadi bingung,
kenapa tenaganya tidak lagi mampu mempertahankan
himpitan tangannya atas tubuh anak muda yang sudah hampir
mati lemas itu. Sementara itu Mahisa Pukat telah pulih kembali. Dengan
tegar Mahisa Pukat telah menunggunya untuk melanjutkan
pertempuran. "Anak iblis kau," geram orang bertubuh raksasa itu,
"seharusny a kau sudah mati."
"Tetapi seperti y ang kau lihat. Aku tidak," jawab Mahisa
Pukat. Orang y ang mengaku sandi dari Kediri itu menggeram.
Namun ia pun telah melangkah maju mendekati Mahisa
dengan geram ia telah bersiap untuk mencengkam Mahisa
Pukat dan meremasnya menjadi debu.
Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Ia tahu bahwa
kekuatan orang itu sudah tidak memadai lagi. Karena itu,
maka ia pun telah membuat perhitungan y ang mapan. Ia sama
sekali tidak menghindar ketika raksasa itu menerkamnya. Ia
memperhitungkan bahwa sentuhan tangan raksasa itu dengan
tubuhnya akan sangat menguntungkan ilmunya.
Karena Mahisa Pukat tidak menghindar, maka kedua
telapak tangan orang itu dengan serta merta telah m enggapai
lehernya. Mahisa Pukat sudah memperhitungkan, bahwa serangan
orang itu tentu ke arah bagian tubuhnya y ang dianggapnya
lemah. Namun ia sudah siap untuk melawannya. Tenaganya
tidak akan mampu untuk mencekiknya dalam arti yang
sesungguhnya. Ketika kedua tangan orang itu mencengkam leher Mahisa
Pukat, maka Mahisa Pukat telah menangkap pergelangan
tangannya. Dengan perhitungan yang matang dihentakkannya
ilmunya sekali lagi menghisap kekuatan dan kemampuan
lawannya. Tubuh yang semula menjadi sekeras batu itu benar-benar
telah kehilangan kekuatannya. Sebenarnya Mahisa Pukat
dengan mudah dapat mengibaskan kedua tangan orang itu
dari lehernya, tetapi ia masih membiarkannya sehingga tubuh
itu menjadi benar-benar lemah dan tidak bertenaga.
Karena itu, maka demikian Mahisa Pukat melangkah surut,
maka orang itu tidak lagi mampu menahan berat badannya
sendiri, sehingga ia terjerembab jatuh.
Sekali lagi terdengar orang-orang yang berdiri di pinggir
arena bersorak. Demikian kerasnya sehingga langit bagaikan
akan runtuh. Dengan sudah payah orang itu memang bangkit berdiri.
Namun tubuhnya seakan-akan sudah tidak bertenaga lagi.
"Kau memang anak iblis," geram orang itu.
"Meny erahlah," desis Mahisa Pukat.
"Setan, aku bunuh kau," orang itu mencoba berteriak.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Tetapi seperti y ang
selalu ia katakan kepada para cantrik bahwa tidak sepantasnya
membunuh orang y ang sudah tidak berday a sama sekali itu.
Betapa pun kemarahan mendidih didadanya, namun
Mahisa Pukat memang tidak ingin membunuhnya. Apalagi
sejak semula ia tidak ingin membunuh seorang prajurit sandi
dari Kediri. Karena itu, ketika orang itu masih mempunyai tenaga
tersisa di dalam tubuhnya, maka Mahisa Pukat berkata kepada
kawan orang bertubuh raksasa itu: "Bawa kawanmu pergi
sebelum aku berubah pikiran. Dengan mudah aku dapat
membunuhnya. Tetapi aku tidak ingin melakukannya."
"Kenapa tidak kau lakukan itu"," bertanya kawannya.
"Aku bukan pembunuh orang-orang y ang tidak berday a,"
jawab Mahisa Pukat. "Kau akan meny esal," sahut kawan dari prajurit sandi itu,
"jika kau tidak membunuhnya sekarang, pada kesempatan lain
kaulah yang akan dibunuhnya."
"Aku akan menghadapinya kapan saja," jawab Mahisa
Pukat dengan lantang. Namun kemudian ia pun membentak:
"bawa orang itu pergi."
Kawannya termangu-mangu. Sebenarnyalah bahwa sikap
Mahisa Pukat sangat menjengkelkannya.
Bahkan Mahisa Pukat itu bertanya: "Atau kau ingin
memasuki arena dan membuktikan kekalahan kawanmu?"
Orang itu tidak menjawab. Ia pun kemudian mencoba
memapah kawannya yang menjadi sangat lemah itu sambil
berkata: "Kau benar-benar akan menyesal, bahwa kau tidak
membunuhnya." "Diamlah," geram Mahisa Pukat, "atau kau yang harus aku
bunuh sekarang selagi kau masih mampu melakukan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perlawanan?" Orang itu melihat wajah Mahisa Pukat membara. Namun ia
masih menjawab: "Baiklah. Aku pergi sekarang. Aku akan
membawanya. Tetapi ingat kata-kataku. Kami akan kembali
dan membunuh kalian berdua."
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia masih saja
berusaha untuk tidak kehilangan akal.
Karena itu, Mahisa Pukat itu hanya menggeram saja ketika
ia melihat orang yang mendendam padepokan itu karena
saudara seperguruannya terbunuh melangkah pergi sambil
memapah orang bertubuh raksa sa itu. Nampaknya tubuh
raksasa itu m emang terlalu berat baginya. Namun ia terpaksa
memapahnya pergi. Meski pun lambat, namun beberapa saat kemudian,
keduanya telah m enjadi semakin jauh dari padepokan Bajra
Seta. Ketika orang bertubuh raksasa itu sempat
memperhatikan keadaan di sekelilingnya, maka ia pun
bertanya: "Kita akan pergi ke mana?"
"Kita akan mencari tempat untuk beristirahat. Kita akan
memasuki hutan itu," berkata orang y ang memapahnya.
Orang bertubuh raksa sa itu tidak m enjawab. Ia ikut saja
dengan sisa tenaga yang tinggal.
Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah
memasuki hutan y ang tidak terlalu luas. Namun hutan itu
cukup buas. Ma sih banyak binatang buas berkeliaran di hutan
itu. Sedangkan binatang-binatang yang lain pun berkeliaran di
sepanjang rawa-rawa dan sebuah sungai yang mengalir di
hutan itu. Bahkan di sungai dan rawa-rawa itu pun masih juga
tinggal binatang pemakan daging yang garang. Buaya.
Untuk beberapa saat keduanya beristirahat di sejuknya
angin y ang m enyusup di sela-sela pepohonan hutan. Namun
kemudian orang yang mengaku mendendam kepada anakanak
Mahendra itu berkata dengan suara gemetar: "Aku tidak
mempunyai pilihan lain."
Orang bertubuh raksasa itu terkejut. Ia melihat orang y ang
mendendam anak-anak Mahendra itu mencabut kerisny a.
"Apa y ang akan kau lakukan"," bertanya orang bertubuh
raksasa itu "Aku m endapat tugas untuk m embunuhmu," jawab orang
itu "Kenapa" Dan siapa kau sebenarnya"," bertanya orang y ang
sudah tidak berdaya itu. "Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukannya. Tetapi
karena ini perintah, maka aku harus melakukannya," berkata
orang itu pula. "Tetapi tunggu," minta orang bertubuh raksasaa itu, "apa
sebabnya hal itu harus kau lakukan?"
"Bukankah aku berhadapan dengan prajurit sandi dengan
tanda sandinya Lintang Kemukus?" bertanya orang itu.
"Ya," jawab orang bertubuh raksasa itu.
"Kau telah terlalu banyak melakukan kesalahan. Kau tidak
dapat lagi dipercaya. Sementara itu terlalu banyak pula yang
sudah kau ketahui tentang tugas-tugas prajurit sandi Kediri di
daerah Singasari," berkata orang itu.
"Aku tidak tahu y ang kau maksud," desis orang bertubuh
raksasa itu. "Kau telah melanggar sumpahmu sebagai prajurit sandi.
Kau telah dengan sengaja menyatakan dirimu sebagai prajurit
sandi Kediri. Kau telah dengan terbuka berusaha menjajagi
tataran kemampuan orang-orang Singasari. Kau pernah
membunuh tiga orang prajurit Singasari yang sedang meronda
sekedar untuk menunjukkan bahwa kau adalah orang yang
tidak terkalahkan, m eski pun sesudah itu kau harus mencari
daerah baru untuk m elakukan tugas-tugasmu y ang telah kau
nodai sendiri. Di daerah yang baru kau telah melakukan
kesalahan y ang sama. Bahkan kau belum mendapat
persetujuan dari pimpinanmu untuk b ergerak di daerah yang
baru itu. Karena itu, maka kau dianggap ju stru
membahayakan kedudukan beberapa orang Pangeran di
Kediri y ang memberikan tugas kepadamu. Karena mereka
adalah orang-orang y ang mempersiapkan diri untuk pada
suatu saat bangkit melawan Singasari," berkata orang itu pula.
"Siapa kau"," bertanya orang bertubuh raksasa itu.
"Aku adalah seorang prajurit sandi dengan pertanda
tugasku y ang tentu kau kenal"," berkata orang itu sambil
mengambil sebuah lencana dari kantong ikat pinggangnya.
"Kecubung ungu," desis orang bertubuh raksasa itu: "jadi
kaukah itu?" "Ya. Aku menerima tugas langsung dari Pangeran y ang
menjadi Panglima dari gerakan ini dengan gelar sandinya
Pangeran Anom. Tidak seorang pun pernah mengenalnya
kecuali aku. Dan aku pulalah y ang membawa perintah
mencarimu," berkata orang y ang disebut kecubung Ungu.
"Kenapa kau dor ong aku untuk bertempur melawan anakanak
Mahendra?" bertanya orang bertubuh raksasa itu.
"Agar kau tenang di saat-saat terakhirmu, baiklah aku
berterus terang. Aku mendapat perintah untuk membunuhmu.
Tetapi aku merasa bahwa aku tidak akan mampu
melakukannya. Karena itu aku hanya dapat m embayangimu
dan m enjebakmu dengan sifat-sifat sombongmu sendiri agar
kau dapat dibunuhnya. Anak-anak Mahendra adalah anakanak
muda yang berilmu sangat tinggi. Tetapi ternyata ia tidak
mau m embunuhmu dan membiarkan kau hidup. Tetapi kau
sudah tidak berdaya, sehingga aku akan dapat membunuhmu,"
jawab Kecubung Ungu. "Setan kau," geram orang bertubuh raksasa itu.
"Maaf Lintang Johar. Bukankah kau sudah beberapa lama
menunggu dan mencari kesempatan untuk bertemu dan
membunuh Kecubung Ungu" Tetapi kau ternyata t erlalu
dungu," desis orang itu.
"Kau yang t erlalu licik. Tetapi kau adalah pengecut y ang
paling besar," geram raksasa itu.
Orang yang disebut Kecubung Ungu itu tersenyum.
Katanya: "Aku memang harus licik. Aku menyadari, bahwa
ilmuku belum tentu akan dapat membunuhmu. Aku tahu kau
memiliki kekebalan tubuh meski pun bentuknya agak lain
dengan ilmu kebal. Karena itu, aku mencoba meminjam
tangan Mahisa Murti atau Mahisa Pukat untuk membunuhmu.
Selain aku tidak perlu memeras t enaga, maka tangannya pun
tidak akan ternoda oleh darahmu. Tetapi anak-anak muda itu
ternyata anak-anak keparat y ang y ang malas. Nah, bukankah
kelicikanku ada juga gunanya."
"Kau harus berlaku jantan. Beri aku kesempatan beberapa
saat sehingga kekuatanku tumbuh kembali," geram orang
bertubuh raksasa itu. "Alangkah bodohnya aku," jawab Kecubung Ungu, "kau
yang sudah terlalu lama menunggu kesempatan untuk
membunuhku, tentu akan sangat berterima kasih jika aku
memberimu waktu. Tidak Ki Sanak. Aku harus membunuhmu.
Licik atau tidak licik. Aku dapat meny elesaikan tugasku.
Kelicikan y ang kau sebut-sebut sebenarnya adalah akal yang
cerdik y ang harus dimiliki setiap petugas sandi."
Orang bertubuh raksasa yang bergelar sandi Lintang Johar
itu menggeram. Tetapi ia memang tidak mempunyai
kesempatan untuk melawan kawannya yang mendapat
perintah untuk mem bunuhnya, karena ia dianggap tidak
berguna lagi. Selangkah demi selangkah orang itu mendekati Lintang
Johar y ang hanya dapat mengumpat-umpat. Namun
tangannya seakan-akan tidak lagi mampu bergerak apalagi
menangkis serangan orang yang akan membunuhnya itu.
Namun dalam pada itu, k etika orang itu m enjadi semakin
dekat, terdengar suara dari balik pepohonan hutan: "Jadi,
inikah sasaran akhir dendammu karena saudara
seperguruanmu terbunuh?"
Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya Mahisa
Murti berdiri termangu-mangu. Beberapa langkah di
sebelahnya, Mahisa Pukat bergeser mendekat.
"Kalian memang keparat," geram orang itu.
"Aku sependapat dengan orang yang kau sebut Lintang
Johar itu," berkata Mahisa Murti, "beri kesempatan kepadanya
untuk memulihkan kekuatannya."
Tetapi orang yang disebut dengan gelar sandi Kecubung
Ungu itu menggeram: "Aku akan membunuhnya, justru
sebelum kekuatannya mulai tumbuh. Aku memang ingin
mengucapkan terima kasih kepada kalian y ang telah
membantu aku melakukan tugasku."
"Aku akan melindunginya sampai kekuatannya pulih
kembali," berkata Mahisa Murti, "kemudian terserah
kepadamu, Apakah kau masih berniat membunuhnya, atau
membiarkan dirimu dibunuhnya."
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya: "Kau tidak akan
dapat menghalangi aku."
"Jika kau m erasa tidak dapat m embunuhnya, sedangkan
aku dapat mengalahkannya, apakah kau tidak dapat
mengambil kesimpulan akibat dari perbenturan kekerasan
diantara kita?" berkata Mahisa Pukat.
"Mungkin. Tetapi aku memiliki kelebihan yang tidak
dimiliki oleh orang itu. Aku tidak berkepentingan dengan
kalian. Aku tidak mendapat perintah untuk membunuhmu,"
jawab orang itu. Lalu katanya pula: "Karena itu, aku tidak
perlu meny ombongkan diri untuk melawan kalian."
"Tetapi kami sudah bertekad untuk melindungi orang y ang
lemah itu," berkata Mahisa Pukat.
"Aku akan membunuhnya," jawab orang itu.
"Nah, meski pun kita t idak m empunyai kepentingan apa
pun sebelumnya, ternyata akhirnya kita mempunyai
kepentingan y ang berlawanan. Kau akan m embunuhnya dan
aku akan melindunginya," berkata Mahisa Murti.
"Jika demikian apa boleh buat," jawab orang itu, "namun
ingat. Mungkin ilmuku kalah dari ilmumu. Tetapi di tanganku
tergenggam pusaka yang tidak ada duanya di dunia ini."
"Apa pun y ang kau genggam," jawab Mahisa Murti, "aku
juga mempunyai senjata."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia
bergeser m endekati orang lemah itu. Mahisa Murtilah yang
meloncat m encegahnya. Namun dengan garangnya orang itu
telah meny erangnya. Begitu tiba-tiba.
Dengan demikian maka pertempuran telah terjadi.
Ternyata orang itu memiliki kecepatan bergerak yang luar
biasa. Mahisa Murti yang melawannya segera mengetehui,
bahwa orang itu memiliki kemampuan memperingan
tubuhnya. Meski pun demikian, tingkat lima Mahisa Murti y ang
memang lebih tinggi, mampu mengimbanginya. Ia mampu
mengatasi kecepatan gerak itu sehingga serangan-serangan
orang itu tidak segera mengenai sasarannya.
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 94).
Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 94 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 094 TETAPI kecepatan gerak orang itu seakan-akan semakin
bertambah-tambah. Nampaknya orang itu tidak ingin
berlama-lama. Ia ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran
itu dan kemudian membunuh orang bertubuh raksasa itu.
Sebenarnyalah orang itu memang memiliki kecepatan gerak
yang luas. Bahkan rasa-rasanya orang itu bertempur dengan
jarak loncatan-loncatan y ang panjang, sehingga kadang
kadang Mahisa Murti memang terlambat.
Namun kemantapan gerak Mahisa Murti kadang-kadang
membuat orang itu terdesak.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Murti pun mulai m encoba
menilai kemampuan orang itu seutuhnya. Satu pertanyaan
telah bergejolak di hati Mahisa Murti, kenapa orang itu merasa
tidak sanggup membunuh orang bertubuh raksasa itu. Namun
ia telah berani melawan Mahisa Murti meskipun ia tahu
bahwa orang bertubuh raksasa itu telah dikalahkan oleh
Mahisa Pukat. Sementara orang itu belum mengetahui dengan
pasti, apakah kemampuan Mahisa Pukat melampaui
kemampuan Mahisa Murti. Namun sebenarnyalah, apa yang diduga oleh Mahisa Murti.
Orang itu sama sekali tidak ingin bertempur sampai tuntas.
Hanya nampaknya saja ia ingin dengan cepat m enyelesaikan
pertempuran itu. Tetapi ketika Mahisa Murti sempat
didesaknya beberapa langkah, maka orang itu pun telah
meloncat menjauh dan bahkan kemudian hilang menyusup di
antara pepohonan hutan. Mahisa Murti memang mencoba memburunya. Namun
orang itu bergerak cepat sekali, sehingga beberapa saat
kemudian ia pun telah kehilangan jejak.
Mahisa Murti memang k ecewa telah kehilangan lawannya
menyusup ke dalam lebatnya hutan. Ia pun tidak dapat
mencegahnya dengan serangannya pada jarak jauh dengan
menghentikannya. Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melangkah kembali ke tempatnya semula.
Namun ia menjadi terkejut ketika ia melihat Mahisa Pukat
berjongkok di dekat orang yang bertubuh raksasa yang
mengaku sebagai petugas sandi dari Kediri itu.
Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia pun telah
menunjuk sebuah benda kecil yang melekat di pipi orang itu.
Ketika Mahisa Murti kemudian berjongkok pula di sisi
orang itu, maka ia pun melihat, bahwa benda kecil yang
melekat di pipi orang itu adalah paser kecil yang jarumnya
tentu beracun keras sekali.
" Ia telah mati," desis Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Begitu
cepatnya ia melakukannya. Aku juga terlambat melihat."
"Orang itu memang sangat licik," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi ia menganggapnya sebagai satu kecerdikan.
Ternyata ia sama sekali tidak meny esali sebutan bahwa ia
dianggap seorang y ang licik," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun katanya,
"Bagaimana dengan orang ini?"
"Kita akan menguburkannya," sahut Mahisa Pukat.
Namun mereka tidak mempunyai alat yang cukup baik
untuk menggali tanah y ang lembab di hutan itu kecuali sebilah
pisau belati y ang terselip di ikat pinggang raksasa itu.
Karena itu, maka dengan lubang yang sempit dan dangkal,
maka m ayat itu pun kemudian telah ditimbun dengan batubatu
yang besar agar tidak menjadi sasaran binatang buas.
Baru kemudian keduanya meninggalkan tempat itu dan
kembali ke padepokan. Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang meny ongsongnya
segera bertanya tentang usaha mereka mengamati tingkah
laku orang-orang yang baru saja meninggalkan padepokan itu.
Mahisa Murti sempat menceriterakan dengan singkat.
Namun katanya kemudian, "Aku akan ke pakiwan."
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
membersihkan diri mereka sebelum mereka memasuki
bangunan induk padepokan mereka.
Namun dalam pada itu, usaha mereka m engamati kedua
orang yang memang dianggap agak menarik perhatian itu
telah memberikan sedikit gambaran tentang sikap Kediri.
Setidaknya-tidaknya beberapa orang bangsawan di Kediri.
Udah Belom 1 Pembunuhan Terpendam Sleeping Murder Karya Agatha Christie Pengkhianatan The Betrayal 3
^