Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 13

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 13


yang masih tidak percaya itu.
Namun pemimpin para prajurit itu berkata: "Sudahlah. Itu
bukan persoalan kita. Itu adalah per soalan antara para prajurit
dari pasukan berkuda dengan kedua orang itu."
Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi prajurit y ang merasa
dirinya memiliki kelebihan itu bergumam hampir tidak
terdengar oleh kawan-kawannya: "Aku ingin menjajagi
kemampuannya." Seorang kawannya y ang mendengarnya mengerutkan
dahinya. Namun ia pun kemudian tertawa. "Seperti orang yang
tidak mempunyai pekerjaan saja. Buat apa kau melakukannya"
Mencari pujian atau kau ingin dengan cepat naik pangkat?"
"Tidak. Aku tidak ingin apa-apa. Aku hanya ingin menjadi
puas jika aku dapat mengalahkannya," jawab prajurit itu.
Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun
mereka tidak segera menanggapi sikap prajurit yang merasa
dengki itu. Bahkan mereka pun kemudian seakan-akan telah
melupakan apa y ang sudah terjadi.
Namun dalam pada itu, ketika prajurit yang tidak percaya
akan kemampuan Mahisa Pukat itu mendapat kesempatan
untuk beristirahat beberapa lama di sore hari, maka ia telah
menemui seseorang di Kotaraja.
"Apa yang kau ketahui?" bertanya orang itu.
"Sepuluh kawan kita tertangkap," jawab prajurit y ang
ternyata adalah salah seorang dari petugas sandi Kediri.
"Aku sudah tahu," jawab orang itu, "mereka adalah orangorang
y ang dungu. Mereka dikalahkan oleh dua orang saja."
"Kedua anak muda itu nampaknya memang berilmu tinggi.
Mereka adalah anak Mahendra," jawab prajurit itu.
"Apakah keduanya akan tinggal di Kotaraja agak lama?"
bertanya orang itu. "Aku tidak tahu. Tetapi sekarang m ereka berada di istana
mengunjungi ayahnya," jawab prajurit itu.
Orang yang ditemuinya itu termangu-mangu sejenak.
Namun katanya: "orang itu harus mendapat hukumannya.
Kenapa ia ikut campur dalam per soalan kita?"
"Aku sudah m engatakan kepada kawan-kawanku di dunia
keprajuritan bahwa aku m emang ingin mencoba kemampuan
anak-anak muda itu," berkata prajurit itu.
"Jebak orang itu. Kita akan membunuhnya," berkata orang
yang ditemuinya itu. "Kita harus mempunyai satu cara," berkata prajurit itu pula.
"Bukankah orang itu pada suatu saat akan meninggalkan
Kotaraja kembali k e rumahnya sendiri?" bertanya orang yang
ditemuinya. Prajurit itu mengangguk. Katanya: "Agaknya memang
demikian, tetapi kapan."
"Ternyata kau dungu juga seperti sepuluh orang y ang
tertangkap itu," berkata orang y ang ditemuinya itu.
"Kenapa ?" bertanya prajurit itu dengan heran.
"Kau sudah terlanjur menunjukkan sikap terhadap kedua
anak Mahendra itu. Bukankah dengan demikian, jika terjadi
sesuatu, kau akan segera dituduh melakukannya ?" desis orang
yang ditemuinya itu. Prajurit itu merenung. Katanya: "Tetapi aku sudah terlanjur
mengatakannya. Meski pun demikian, persoalannya bukan
persoalan antara Singasari dan Kediri."
"Memang bukan. Tetapi aku berniat menghabisi kedua
orang itu. Bukan sekedar mencobai dan menyakitinya,"
berkata orang yang ditemuinya itu.
Prajurit itu termangu-mangu. Katanya: "Kenapa harus
dibunuh?"- "Jangan bodoh. Bukankah karena mereka, sepuluh orang
kita sudah tertangkap. Untunglah bahwa sepuluh orang itu
termasuk orang- orang y ang telah dipisahkan dari kita,
sehingga mereka tidak akan meny ebut nama kita," berkata
orang y ang ditemuinya itu.
Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya:
"Jika kedua orang itu harus dibunuh, maka aku tidak akan
kembali lagi ke lingkungan keprajuritan Singasari."
"Kedudukanmu memberikan keuntungan kepada kita,"
desis orang y ang ditemuinya.
"Tetapi keterlanjuranku dapat membahayakan
keselamatanku." "Ajak saksi. Biar saksi itu melihat bahwa kau tidak
membunuhnya. Tetapi baru kemudian, setelah kau tinggalkan
kedua orang itu dalam keadaan yang buruk, kami akan
membunuhnya. Dengan demikian kau tidak dapat dituduh
membunuh kedua orang itu," orang itu berhenti sejenak, lalu,
"itu kalau kau benar-benar menang atas keduanya. Tetapi jika
kau kalah, maka kami tidak akan dapat membantumu jika kau
tidak ingin disebut terlibat dalam pembunuhan itu."
"Sampai kapan kau b ertugas di pintu gerbang ?" bertanya
orang y ang ditemuinya. "Sepekan. Aku baru mendapatkan dua hari," jawab prajurit
itu. "Jadi masih ada tiga hari lagi," desis orang y ang
ditemuinya, "aku kira anak itu tidak akan t erlalu lama di
Kotaraja. Ingat, jika kau melihat mereka lewat, kau harus
mengikutinya dan ingat, bawa saksi. Kau dapat berterus terang
menantangnya. Karena kau akan menjadi isyarat, bahwa orang
yang harus kami bunuh adalah orang y ang kau ikuti dan kau
tantang berkelahi. Menang atau kalah, bukan soal bagiku,
karena kami akan bertindak atas mereka setelah kau selesai
dan meninggalkan orang itu."
Prajurit itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak mempunyai
pilihan. Ia sudah terlanjur melakukan satu kesalahan. Karena
itu, maka ia harus benar-benar berkelahi. Kalah atau menang.
Sejenak kemudian, prajurit itu telah berada di tugasnya
kembali. Ia masih akan bertugas di pintu gerbang itu tiga hari
lagi. Namun selama itu, ia harus mengawasi orang-orang yang
berlalu lalang di pintu gerbang. Bahkan ia tidak lagi
mempergunakan waktu-waktu istirahatnya untuk berjalanjalan
atau pergi ke mana pun juga, karena ia memang
dianggap belum berkeluarga. Bahkan saat-saat ia mandi pun ia
selalu berpesan kepada kawan-kawannya: "Jika kau lihat
kedua anak muda itu, hentikan mereka. Aku ingin berbicara
dengan mereka. Aku benci melihat kesombongan mereka
justru karena prajurit -prajurit berkuda itu menganggap
keduanya sebagai pahlawan."
Kawan-kawannya masih saja m entertawakannya. Seorang
diantara m ereka berkata: "Kenapa kau b egitu kasar m enaruh
perhatian kepada k eduanya " Apakah kau merasa dirugikan "
Apakah keduanya pernah menyakitimu atau mempunyai
persoalan khusus denganmu ?"
"Tubuhku memang tidak disakiti. Tetapi hatiku y ang
tersinggung oleh sikap dan perbuatannya," jawab prajurit itu.
"Bagaimana jika saat anak itu kembali, diiringi pula oleh
prajurit berkuda ?" bertanya kawannya.
"Aku akan menantangnya langsung. Tentu tidak akan ada
orang y ang turut campur. Kalah atau menang bukan lagi
persoalan bagiku," jawab prajurit itu.
Kawan-kawannya tidak menghiraukannya lagi. Mereka
menganggap prajurit itu baru mabuk tuak.
Namun ternyata Ia bersungguh-sungguh. Setiap saat ia
tidak ada di pintu gerbang, ia selalu berpesan wanti-wanti.
Sementara itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih
berada di tempat y ang diperuntukkan bagi Mahendra. Selama
kedua anak muda itu berada di Kotaraja, Mahendra m emang
pernah dipanggil menghadap secara khusus tidak disaat
diadakan paseban. Ada beberapa hal yang dibicarakan.
Sementara Mahendra m emberitahukan k epada Sri Maharaja,
bahwa seorang anaknya dan seorang cantrik dipadepokannya
telah datang untuk memberitahukan apa yang telah terjadi di
padepokannya. "Jadi jaringan itu sudah merambah ke padukuhan," desis
Sri Maharaja. Mahendra mengangguk hormat sambil menjawab: "Hamba
Sri Maharaja. Agaknya segolongan pemimpin di Kediri benar2
ingin menilai Singasari seutuhnya."
"Baiklah," berkata Sri Maharaja Singasari, "kita akan
menanggapinya. Kita akan berbicara dengan para pemimpin
dan panglima di Singasari."
"Hamba Sri Maharaja," sahut Mahendra.
"Namun sebaiknya kau dapat memberikan pesan kepada
anakmu agar ia berhati2," berkata Sri Maharaja pula.
"Hamba Sri Maharaja. Untuk padopokan hamba serta
lingkungannya, maka anak hamba akan dapat berbuat sesuatu.
Tetapi bagaimana dengan daerah2 lain"," berkata Mahendra
kemudian: "tentu Kediri bukan saja mengamati perkembangan
terakhir Singasari. Tetapi juga berusaha untuk menanamkan
pengaruhnya agar sikap mereka mendapat dukungan,
terutama bagi orang2 Kediri dan para Akuwu di Singasari yg
mungkin akan dapat memberikan dukungan kepada mereka."
Sri Maharaja mengangguk-angguk. Katanya kemudian:
"Persoalannya memang harus dipecahkan bukan sekedar
untuk satu dua tempat. Baiklah paman Mahendra. Kita akan
segera mengadakan pertemuan khusus."
"Ya. Tetapi bukankah paman Mahendra tidak akan
meninggalkan istana?" bertanya Sri Maharaja.
"Tidak. Hamba tidak akan ikut kembali ke padepokan,"
jawab Mahendra. "Kapan anakmu akan kembali ke perguruannya?" bertanya
Sri Maharaja pula. " Ia akan berada di Singasari tiga hari tiga malam," jawab
Mahendra. "Baiklah. Padepokanmu akan dapat menjadi salah satu
sumber keterangan. Setiap kali aku akan memerintahkan
penghubung untuk pergi ke padepokan Bajra Seta. Mungkin
ada keterangan y ang dapat menjadi bahan pertimbangan kami
selain bahan-bahan yang tentu akan kami himpun dari para
Akuwu, namun juga dari para petugas sandi," berkata Sri
Maharaja. Namun katanya kemudian, "Jika anakmu dan
cantrik itu akan kembali ke padepokan, biarlah mereka minta
diri kepadaku." "Hamba Sri Maharaja," jawab Mahendra, "hamba akan
membawa mereka menghadap."
Sebenarnyalah sehari kemudian, menjelang hari
keberangkatan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu kembali ke
padepokan, mereka telah dibawa oleh Mahendra untuk
menghadap. Sri Maharaja telah memberikan kesempatan
kepada anak Mahendra itu menjelang sore hari dan diterima
di serambi samping. Yang menerima Mahisa Pukat dan Mahisa Semu bukan
hanya Sri Maharja, tetapi juga Ratu Angabaya. Kedua-duanya
pernah mengenal Mahisa Pukat sebelumnya, sehingga mereka
dapat berbicara dengan lancar.
Mahisa Semu mash juga tersendat-sendat ketika satu dua
kali ia harus menjawab pertanyaan Sri Maharaja atau Ratu
Angabaya. Namun semakin lama, ia pun menjadi semakin
rancak juga berbicara. "Kenapa Mahisa Murti tidak kau ajak serta?" bertanya Sri
Maharaja. "Ampun Sri Maharaja, Mahisa Murti harus menunggui
padepokan kami. Kami tidak dapat bersama-sama
meninggalkan padepokan itu dalam suasana seperti ini," jawab
Mahisa Pukat. Sri Maharaja mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa
salah seorang diantara kedua anak Mahendra itu harus berada
di tempat. Kepada Mahisa Pukat, Sri Maharaja juga menyatakan
kesediaannya untuk selalu m engirimkan penghubung. Bukan
sa ja antara Mahendra dan anak-anaknya, tetapi terutama
laporan -laporan tentang kegiatan padepokan itu serta
pengamatan mereka terhadap keadaan lingkungan mereka.
Bagaimana pun juga kegiatan segolongan orang- orang Kediri
itu harus mendapat perhatian.
Seperti y ang dikatakan oleh Mahendra, maka ternyata Sri
Maharaja dan Ratu Angabaya menaruh perhatian y ang besar
terhadap perkembangan padepokan Bajra Seta, sehingga Sri
Baginda itu pun berkata: "Pada saatnya, aku akan
mengirimkan sesuatu y ang dapat membantu mengembangkan
padepokan itu. Mungkin alat-alat pertanian, mungkiu
perlengkapan lain y ang kalian butuhkan. Sekedar untuk
membantu perkembangan padepokanmu m eski pun aku tahu
bahwa tanpa bantuanku padepokanmu akan berkembang
dengan baik. Tetapi usahamu menempatkan orang-orang yang
sebelumnya tidak berarti sama sekali bagi kehidupan orang
banyak namun yang akhirnya menyadari kesesatan mereka di
sebuah padukuhan adalah usaha y ang sangat baik. Kerenanya
mereka patut juga diberi kelengkapan yang mereka butuhkan."
"Ampun Sri Maharaja. Hamba atas nama seisi padepokan
serta lingkungan kami, mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya," jawab Mahisa Pukat.
"Tetapi aku tidak dapat menyertakan bersamamu besok,"
berkata Sri Maharaja kemudian.
"Sekali lagi hamba mengucapkan terima kasih," jawab
Mahisa Pukat y ang mempergunakan kesempatan itu untuk
mohon diri pula. "Baiklah," berkata Sri Maharaja, "tetapi hati-hatilah.
Keadaan berkembang kearah yang tidak kita inginkan."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu mengangguk dalam-dalam.
Dengan tulus mereka masih saja m engulangi ucapan terima
kasih atas perhatian Sri Maharaja di Singasari atas padepokan
mereka. Demikianlah, m aka bersama Mahendra mereka pun telah
meninggalkan serambi samping, kembali ke tempat yang
diperuntukkan bagi Mahendra, masih di lingkungan istana.
Keduanya pun malam itu telah berkemas, karena esok pagipagi
keduanya akan meninggalkan Kota raja kembali ke
padepokan mereka. Ternyata Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak
memperpanjang kehadiran mereka di Kotaraja. Seperti yang
sudah mereka rencanakan maka mereka pun akan benarbenar
kembali esok pagi. "Aku tidak sampai hati m eninggalkan Mahisa Murti terlalu
lama," berkata Mahisa Pukat.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat m engerti


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perasaan Mahisa Pukat. Keduanya jarang sekali berpisah.
Karena itu, maka tiga hari tiga malam ditambah perjalanan ke
dan dari Kotaraja, bagi Mahisa Pukat tentu terasa lama sekali.
Karena itu, maka Mahendra t idak menahannya lagi. Di
keesokan harinya, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu benarbenar
telah minta diri. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang menggelisahkan
Mahendra. Karena itu maka ia pun berkata: "Ketika kalian
memasuki Kotaraja, kalian telah membawa satu per soalan.
Kal ian telah menangkap sepuluh orang petugas sandi dari
Kediri m eski pun bukan dari pemerintahan di Kediri. Karena
itu berhati-hatilah. Mungkin kawan-kawan mereka telah
mendendam." Mahisa Pukat mengangguk hormat. Sambil mencium
tangan ayahnya ia berkata: "Aku m ohon dua restu ayah. Aku
akan berhati-hati." Mahendra mengusap kepala anaknya sambil menjawab:
"Aku akan selalu berdoa bagi kalian berdua dan sisi
padepokan." Mahisa Semu pun kemudian telah mohon diri pula kepada
Mahendra, sementara Mahendra berpesan: " Jangan lupa
mengobati luka-lukamu meski pun nampaknya sudah
sembuh." "Baik Ki Mahendra," jawab Mahisa Semu.
Demikianlah maka keduanya pun telah meninggalkan
istana Singasari menyusuri jalan-jalan Kotaraja y ang masih
sepi. Matahari masih belum terbit, meski pun langit telah
menjadi merah. Ternyata keduanya tidak ingin singgah ke pasar y ang tentu
sudah mulai ramai. Keduanya ingin segera meninggalkan
Kotaraja, memasuki jalan langsung ke padepokan mereka.
Ketika matahari mulai menjenguk cakrawala keduanya
telah melintasi pintu gerbang Kotaraja y ang sudah terbuka.
Ju stru saat orang y ang menunggunya bertugas dihari terakhir.
Karena itu, demikian prajurit itu m elihat Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu lewat, maka dengan serta merta ia telah
menghentikannya. "Ada sesuatu y ang ingin aku bicarakan," berkata prajurit
itu. Mahisa Pukat terkejut. Namun ia pun telah berhenti pula
bersama Mahisa Semu. Keduanya segera meloncat turun dari
punggung kuda mereka. "Ada apa Ki Sanak ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Bukankah kalian berdua yang dikatakan oleh perwira
prajurit berkuda itu sebagai orang y ang telah menangkap
sepuluh orang prajurit sandi dari Kediri," bertanya prajurit itu.
"Aku tidak tahu apakah mereka prajurit atau sekedar
orang-orang kebanyakan dalam tugas sandi," jawab Mahisa
Pukat. "Siapa pun mereka, tetapi aku tidak percaya bahwa kalian
berdua dapat mengalahkan sepuluh orang, apalagi para
petugas sandi yang tentu sudah mendapat latihan khusus,"
geram prajurit itu. Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Baiklah. Jika kalian tidak percaya, tidak mengapa. Lupakan
sa ja." "Tidak mungkin aku melupakan kesombonganmu saat kau
datang bersama perwira pasukan berkuda itu," jawab prajurit
itu. "Kami tidak datang bersama perwira prajurit berkuda itu,"
berkata Mahisa Pukat selanjutnya, "kami berdua datang lebih
dahulu, baru perwira itu datang kemudian."
"Ya, itulah y ang aku maksud. Kau kemudian menjadi sangat
sombong dan menyakitkan hati," berkata prajurit itu.
"Maaf, aku tidak sengaja berbuat demikian," balas Mahisa
Pukat. Ia tidak terbiasa menahan diri sejauh itu. Tetapi karena
ia tidak ingin berselisih dengan seorang prajurit, maka Mahisa
Pukat itu telah melakukannya.
"Terlambat," jawab prajurit itu.
"Jadi apakah maksudmu yang sebenarnya ?" ternyata
Mahisa Pukat pun menjadi sulit untuk terlalu menahan diri.
"Aku ingin menjajagi kemampuanmu," jawab prajurit itu.
Mahisa Pukat m enggeram. Ia m encoba menahan diri, betapa
jantungnya seakan-akan hampir meledak.
"Tetapi t idak disini," berkata prajurit itu, "tunggulah aku
berpakaian sejenak. Kita akan pergi ke bulak sebelah atau ke
kedai y ang kau maksudkan. Kita akan membuktikan, apakah
kau seorang pembohong atau tidak."
"Kenapa sejauh itu ?" berkata Mahisa Pukat, "sebenarnya
kau dapat menghubungi prajurit berkuda itu dan menanyakan
kebenaran berita itu. Bukan langsung membuktikannya."
"Kau takut ?" bertanya prajurit itu.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa sikap
prajurit itu sangat aneh. Bahkan berlebihan. Namun Mahisa
Pukat pun tidak ingin dianggap ketakutan menghadapi
tantangan itu. Sebenarnyalah y ang menjadi heran bukan hanya Mahisa
Pukat saja. Bahkan kawan-kawannya pun menjadi heran.
Mungkin saja seseorang tidak percaya bahwa kedua anak
muda itu sudah m engalahkan sepuluh orang. Tetapi buat apa
harus membuktikannya"
Tetapi prajurit itu justru mengajak dua orang kawannya
untuk menjadi saksi. "Lihat, apakah benar orang-orang itu pantas dipercaya,"
berkata prajurit itu. Dua kawannya ternyata tidak berkeberatan untuk menjadi
sak si. Bahkan keduanya memang ingin melihat apa yang
sebenarnya akan terjadi. Pemimpin prajurit y ang bertugas itu pun sebenarnya
menganggap sikap prajuritnya itu berlebihan. Tetapi
pemimpin prajurit y ang bertugas itu sendiri memang m erasa
tersinggung atas sikap pemimpin prajurit berkuda yang
menganggapnya tidak berarti sama sekali.
Karena itu, jika kedua orang anak muda itu memang orangorang
y ang dimanjakan oleh para prajurit berkuda, biarlah
mereka tahu bahwa prajuritnya pun memiliki kelebihan
sebagaimana kedua orang anak muda itu.
Dengan demikian maka pemimpin prajurit y ang bertugas di
hari terakhir itu telah memberikan ijin kepada ketiga orang
prajuritnya untuk mengikuti kedua orang anak muda itu
sampai ke bulak panjang. Ketiga prajurit itu pun kemudian dengan cepat berpakaian.
Mereka berjalan mengikuti Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
yang juga berjalan sambil menuntut kudanya. Mereka menuju
ke bulak panjang yang tidak begitu banyak dilalui orang.
Ketika mereka menjumpai simpangan kecil, maka mereka
telah berbelok mengikuti aliran sebuah parit yang agak besar.
Dalam pada itu, dari kejauhan, dua orang y ang ditugaskan
untuk mengawasi kedua orang anak muda yang telah
menangkap sekelompok petugas Sandi itu hampir menjadi
putus asa. Setelah berganti- ganti beberapa kali, maka kedua
orang yang bertugas pagi itu melihat dua orang yang
membawa kudanya diikuti oleh tiga orang prajurit dari pintu
gerbang Kotaiaja. " Itulah mereka," desis seorang diantara keduanya.
"Aku hampir menjadi gila. Tetapi hari ini adalah hari
terakhir kita menunggunya. Jika hari ini keduanya tidak lewat,
maka kita menganggap bahwa keduanya memang tidak akan
lewat. Apalagi hari ini adalah tugas prajurit itu dihari terakhir
sehingga isy arat seperti y ang dilakukannya itu tidak akan
dapat diberikannya esok atau hari2 selanjutnya," sahut
kawannya. "Tetapi kita harus menemukan cara lain. Kedua anak muda
itu harus kita dapatkan. Keduanya benar-benar telah
menyebabkan sepuluh orang kawan-kawan kita t ertangkap.
Apakah kita akan membiarkannya lepas?" berkata orang yang
pertama. Kawannya mengangguk-angguk. "Kedua orang anak muda
itu memang sudah berdosa besar, sehingga mereka memang
harus memikul hukuman atas dosa mereka itu."
Seperti yang harus dilakukannya, maka kedua orang itu pun
telah m elepaskan dua ekor burung merpati dengan sendaren
pada ekornya. Kedua burung itu akan terbang tinggi dan
kembali ke tempat y ang sudah ditentukan. Di tempat itu
pulalah beberapa orang telah bersiap menunggu isy arat itu.
Ketika mereka mendengar suara sendaren, maka seorang
diantara mereka pun telah keluar dan turun ke halaman.
Ternyata y ang dilihatnya adalah burung merpati y ang telah
dibawa oleh kedua orang y ang mengawasi pintu gerbang
Kotaraja. "Akhirnya, setelah kita menjadi jemu terhadap pekerjaan
ini, kita dapat berhasil. Kedua orang itu tentu sudah keluar
dari pintu gerbang Kotaraja, diiringi oleh kawan kita yang
bertugas di lingkungan keprajuritan itu sebagaimana
dijanjikannya,"-berkata orang itu kepada kawan-kawannya
yang ada didalam. "Kita per siapkan sekelompok orang y ang dengan pasti akan
dapat membunuh mereka berdua," berkata seorang yang
bertubuh tinggi tegap seperti raksasa.
"Semuanya ada limabelas orang," berkata
orang kawannya, "ditambah dengan kedua
orang yang mendapat giliran mengawasi pintu gerbang Kotaraja itu."
Jika sepuluh orang itu tidak mampu bertahan melawan keduanya, maka tujuhbelas orang tentu akan mampu membunuh keduanya. Jika kita gagal,
maka biarlah kita bersamasama
dimusnahkannya. Karena kita memang tidak berharga sama sekali,"
berkata orang y ang bertubuh tinggi tegap seperti raksasa itu.
Demikianlah, dengan cepat mereka pun segera berkemas.
Mereka semuanya, lima bela s orang, dengan tergesa -gesa telah
meninggalkan rumah y ang mereka pergunakan itu, menyusuri
pematang untuk mengambil jalan pintas.
Kedua orang y ang memberikan isyarat dengan burung
merpati itu telah menunggu mereka dan menunjukkan
kemana orang-orang y ang mereka cari itu pergi.
"Kita menunggu prajurit itu menyelesaikan tugasnya. Kalah
atau menang. Kita baru akan datang kemudian," berkata orang
bertubuh raksasa itu. Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka harus
menjaga agar prajurit itu tidak terasa terlibat dalam rencana
mereka. Saksi-saksi akan mengatakan, bahwa prajurit itu
hanya melakukan penjajagan, kemudian meninggalkannya.
Kalah atau menang. Yang terjadi kemudian, sama sekali diluar
tanggung jawab prajurit itu.
Sebenarnyalah bagi kawan-kawannya y ang dilakukan oleh
prajurit itu tidak lebih dari satu isy arat, bahwa orang yang
diikuti dan kemudian ditantangnya untuk bertempur itulah
orang-orang y ang harus dimusnahkan.
Beberapa saat kemudian, maka prajurit yang membawa dua
orang saksi itu telah berada di tempat yang dianggap sepi.
Jalan kecil atau lebih tepat di atas tanggul parit, prajurit itu
kemudian berhenti dan m enantang Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu untuk membuktikan, apakah benar mereka dapat
mengalahkan sepuluh orang yang tentu terlatih baik.
"Baiklah. Aku seorang diri. Kalian dapat bertempur
berdua," berkata prajurit itu.
Tetapi Mahisa Pukat berkata: "Tidak. Aku akan bertempur
seorang diri." "Jangan terlalu sombong. Aku sebenarnya tidak ingin
mematahkan lemermu. Tetapi jika kau terlalu sombong, maka
kau m embuat aku m enjadi semakin marah," berkata prajurit
itu. "Terserah saja kepadamu," berkata Mahisa Pukat, "kau
dapat marah, jengkel, kecewa atau perasaan apa saja."
"Cukup," geram prajurit itu, "jangan memaksa aku
kehilangan kendali sehingga membunuhmu. Aku tidak ingin
melakukannya, karena aku hanya ingin membuktikan
kemampuanmu." Mahisa Pukat pun kemudian segera bersiap. Ia tidak mau
membiarkan Mahisa Semu menghadapi lawannya itu,
sebagaimana diinginkannya. Sambil berbisik Mahisa Pukat
berkata: "Jangan. Mungkin ia benar- benar memiliki ilmu
yang tinggi." Mahisa Semu tidak memaksa. Sementara prajurit itu
berkata: "Marilah berdua. Sudah aku peringatkan. Jangan
terlalu sombong. Kau akan meny esal nanti."
Mahisa Pukat y ang sudah bersiap itu berkata: "Aku akan
segera mulai. Jika kau masih berbicara saja, maka kau akan
kehilangan waktu yang sangat berharga pada serangan
pertama." "Anak iblis," prajurit itu mengumpat.
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Tetapi kakinya mulai
bergerak meski pun hanya sekedar untuk menggelitik
lawannya. Sementara itu lawannya pun segera bersiap pula. Kedua
tangannya bergerak dengan cepat. Kakinya berloncatan
dengan tangkasny a. Sekali-sekali meloncat mendekat.
Kemudian melenting menjauh. Tangannya bersilang di
dadanya, namun satu tangannya pun kemudian terjulur
dengan telapak tangan menelungkup dan ibu jari terlipat.
Sedangkan tangannya y ang lain bergerak mendatar dan
telapak tangannya y ang juga menelungkup berada di depan
lengannya. Namun kemudian tangan yang terjulur itu
ditariknya. Dengan satu loncatan kecil prajurit itu telah merubah
sikapnya. Tangannya y ang terjulur kemudian merentang.
Seterusny a kedua tangannya pun berputar di depan dadanya,
kemudian sambil memiringkan tubuhnya kedua tangannya itu
bersilang di depan wajahnya. Satu gerakan yang manis telah
melemparkan prajurit itu langsung melipat kakinya rendahrendah,
sehingga prajurit itu terduduk di tanah. Sebelum


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawannya berbuat sesuatu, prajurit itu telah melenting berdiri
sambil menjulurkan kakinya meny erang ke arah lawannya.
Mahisa Pukat yang berdiri saja sambil menunggu, dengan
sigapnya menghindari serangan itu. Demikian orang itu
kemudian berdiri tegak, maka Mahisa Pukat langsung
meloncat mendekat. Tanpa banyak bergerak, tangannya telah
menyusup diantara pertahanan prajurit yang ternyata sangat
rapuh itu. Satu pukulan yang keras menghantam bagian
bawah dadanya, sehingga serangan itu rasa-rasanya langsung
mengenai ulu hati. Prajurit itu membungkuk sambil mengaduh menahan sakit
yang menggigit bagian dalam tubuhnya. Namun selagi ia
terbungkuk, maka Mahisa Pukat telah mengayunkan
tangannya. Dengan sisi telapak tangannya, Mahisa Pukat telah
memukul tengkuk prajurit itu. Tidak dengan sepenuh
tenaganya. Namun ternyata pukulan itu telah mengakhiri
perlawanan prajurit yang belum sempat berbuat sesuatu itu
kecuali berloncatan dengan tangan yang berputaran melingkar
lingkar. Prajurit itu jatuh tertelungkup. Terdengar ia mengerang
kesakitan. Namun ia sudah tidak mampu bangkit lagi.
Kedua orang kawannya y ang menjadi saksi dengan tergesa -
gesa mendekatinya. Kemudian menolongnya untuk bangkit.
Orang itu memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ia tidak
mampu berdiri tegak sendiri. Kedua kawannya harus
memeganginya dan memapahnya.
Bahkan seorang diantara kedua kawannya sempat
bertanya: "Apakah penjajaganmu sudah selesai atau baru akan
mulai" -Orang itu m engerang kesakitan. Katanya: " Bukankah
aku belum mati?" "Tentu belum. Kau baru akan mulai menjajagi kekuatan
anak muda yang menangkap sepuluh orang petugas sandi,
tetapi kau tidak percaya. Nah, anak itu sudah siap.
Lakukanlah," berkata kawannya y ang memapahnya.
"Jangan gila. Rasa-rasanya leherku patah, seisi dadaku
rontoh- semuanya," berkata prajurit itu.
Kedua kawannya menarik nafas panjang. Setelah saling
memandang sejenak, maka seorang diantara kedua orang
kawannya itu berkata: "Jadi, kau sudah merasa bahwa kau
kalah?" "Anak iblis," geram prajurit itu, "ia curang dan licik.
Sebelum aku bersiap, ia sudah menyerang."
"Kau meny erang lebih dahulu," berkata kawannya.
" Itulah. Selagi aku meny erang, ia justru memanfaatkan saat
seperti itu," katanya dengan nafas tertengah-engah.
"Nampaknya kau sudah menjadi gila," berkata kawannya
yang lain. Kemudian ia pun berkata kepada Mahisa Pukat.
"Sudahlah anak muda. Nampaknya ia akan merasa puas,
bahwa ia sudah menuruti hatinya, mencoba menjajagi kemampuanmu."
"Baiklah Ki Sanak," berkata Mahisa Pukat, "aku akan
melanjutkan perjalananku. Perjalananku masih panjang."
"Bawa aku kembali, cepat," m inta prajurit y ang kesakitan
itu. Ketiga orang prajurit itu pun kemudian telah meninggalkan
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu yang berdiri termangumangu.
Sambil tersenyum Mahisa Semu berkata: "Kenapa kau
menjadi demikian m arah kepadanya, sehingga dalam waktu
yang sangat singkat, kau sudah meny elesaikannya?"
"Aku benci kepada orang y ang tidak pernah m empercayai
kelebihan orang lain. Biarlah ia menyadari, bahwa seharusnya
ia tidak berbuat demikian," jawab Mahisa Pukat sambil
memperhatikan ketiga orang prajurit y ang b erjalan menjauh.
Katanya kemudian, "Nampaknya kedua orang kawannya itu
pun tidak menyetujui sikapnya. Mereka justru mengejek
kawannya y ang kesakitan itu."
"Ya. Agaknya memang demikian," sahut Mahisa Semu.
"Sudahlah. Marilah, kita melanjutkan perjalanan," ajak
Mahisa Pukat tanpa menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Namun prajurit yang dikalahkan oleh Mahisa Pukat dalam
waktu sekejap itu sama sekali tidak mengira, bahwa
kemampuan anak muda itu memang terlalu tinggi. Ia pun
sebenarnya merasa malu, bahwa hanya dalam sekejap, ia
sudah tidak mampu berbuat apa -apa lagi. Sedangkan
sebelumnya ia sudah m enantang kedua anak muda itu untuk
maju bersama-sama. Namun prajurit itu berkata didalam hati: "Tetapi kawankawanku
tentu lebih dari sepuluh orang akan menunggumu
berdua. Kalian berdua memang harus mati."
Sebenarnyalah, tujuhbelas orang tengah berjalan
menyusuri pematang. Mereka langsung turun ke bulak
panjang, mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
yang akan kembali ke padepokan Bajra Seta.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sama sekali memang tidak
menduga bahwa mereka akan menghadapi kesulitan di
perjalanan. Meski pun keduanya memang m erasa heran atas
sikap dan tingkah laku prajurit y ang mencegatnya untuk
menjajagi kemampuannya itu.
Namun keduanya telah dikejutkan oleh sekelompok orang
yang menunggu mereka di pinggir jalan, sebelum keduanya
sampai ke kedai tempat sepuluh orang petugas sandi yang
ditangkapnya itu berkumpul.
"Apalagi y ang akan terjadi," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu pun mengerutkan keningnya. Namun ia tidak
menjawab. "Jika ada jalan simpang, aku memilih melalui jalan
simpang itu," berkata Mahisa Pukat.
"Tetapi mereka akan menuduh kami ketakutan," desis
Mahisa Semu. "Aku tidak berkeberatan," berkata Mahisa Pukat kemudian.
Mahisa Semu tidak menjawab lagi. Tetapi mereka berdua telah
menjadi semakin dekat dengan sekelompok orang y ang berdiri
di pinggir jalan itu. "Mudah-mudahan mereka t idak berkepentingan dengan
kita," berkata Mahisa Pukat kemudian.
Dengan demikian maka kedua orang anak muda y ang
berkuda itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan
kelompok orang y ang nampaknya memang sedang
menunggunya. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi yakin, ketika dua
orang diantara mereka justru melangkah ke tengah-tengah
jalan sambil mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang berhenti
beberapa langkah dari kedua orang y ang mengangkat
tangannya di tengah jalan itu.
"Mendekatlah," t eriak kedua orang y ang b erdiri di tengah
jalan sambil mengangkat tangannya itu hampir berbareng.
Mahisa Murti dan Mahisa Semu sama sekali tidak beranjak
dari tempat kudanya berhenti.
"Cepat, kemarilah," bentak salah searang dari kedua orang
itu. Tetapi Mahisa Pukat menggeleng lemah sambil m enjawab:
"Aku tidak mau mendekat."
" Ini perintah," geram orang itu.
"Seseorang hanya dapat memerintah orang-orang y ang
menjadi bawahannya atau menempatkan dirinya dibawah
pengaruh orang yang m emerintahnya. Sedangkan aku bukan
orang dibawah pimpinanmu dan aku tidak sedang dalam
pesona wibawamu," jawab Mahisa Pukat.
"Gila kau," geram salah seorang yang m encegat keduanya
itu. Mahisa Pukat tidak menjawab. Tetapi ia benar -benar tidak
mau mendekat. Karena itu, maka orang-orang y ang mencegatnya tidak mau
kehilangan kedua orang anak muda itu. Yang oleh isyarat
prajurit y ang b ertugas di reg ol adalah anak m uda y ang telah
menangkap sepuluh orang kawan-kawan mereka.
Dengan demikian maka salah seorang diantara mereka
itupun telah memberikan perintah: "Kepung kedua orang anak
muda itu." Orang-orang itu tidak menunggu perintah berikutnya.
Mereka pun segera memencar m engepung kedua orang anak
muda y ang telah diputuskan untuk m endapat hukuman mati
itu. Sebenarnyalah, pemimpin dari orang-orang y ang
mengepung Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu pun
melangkah maju sambil berkata: "Anak-anak muda. Kalian
harus menghadapi pengadilan yang akan memutuskan
nasibmu, karena kau telah ikut campur persoalan orang lain."
"Apakah yang kalian maksud ?" bertanya Mahisa Pukat.
"Kalian langsung atau tidak langsung telah meny ebabkan
sepuluh kawan-kawan kami ditangkap oleh prajurit Singasari,"
berkata pemimpin itu. "Ya," Mahisa Pukat tidak ingkar, "keputusan apa yang akan
kalian ambil ?" "Kalian akan dijatuhi hukuman mati. Kalian tidak perlu
melawan, karena hal itu hanya akan menyulitkan masa-masa
akhir kalian. Kalian harus mengikhlaskan ny awa kalian. Jika
kalian dengan sikap seorang laki-laki menghadapi hukuman
itu, maka hukuman yang akan kalian terima adalah hukuman
mati dengan cara y ang paling baik. Tetapi jika kalian mencoba
melawan, maka nasib kalian akan menjadi sangat buruk."
"Kami telah mengalahkan sepuluh orang. Jumlah kalian
tidak terpaut banyak. Karena itu, maka kami berdua pun akan
mengalahkan kalian. Hukuman yang akan kami jatuhkan atas
kalian, adalah sama seperti hukuman y ang akan kalian
jatuhkan kepadaku. Jika kalian dengan sikap seorang laki-laki
menghadapi hukuman itu, m aka hukuman yang akan kalian
terima adalah hukuman mati dengan cara y ang paling baik."
"Cukup," teriak pemimpin dari orang -orang y ang
mengepung kedua orang anak muda itu, "kalian bukan saja
berusaha untuk mengingkari hukuman yang akan kami
jatuhkan. Tetapi kalian dengan sombong telah menghina
kami. Karena itu, maka hukuman bagi kalian adalah hukuman
mati dengan melalui hukuman picis. Kami akan membawa
kalian kesarang kami, mengikat pada sebuah patok kayu yang
besar. Setiap orang akan mengiris kulit dan dagingmu,
kemudian membubuhkan garam dan air jeruk. Baru hari
ketiga atau kelima kalian akan benar-benar mati."
Tetapi Mahisa Pukat tertawa. Katanya: "Kalian jangan
bertindak t erlalu kejam seperti itu. Kalian tidak boleh
kehilangan dasar-dasar kemanusiaan kalian."
"Persetan dengan kalian berdua," geram pemimpin itu.
Dengan lantang ia pun telah memerintahkan orang-orangnya
untuk bersiap. Sebenarnyalah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menjadi
berdebar-debar juga. Mereka berhadapan dengan sekitar
tujuhbelas orang. Satu jumlah yang cukup banyak. Seandainya
sa ja Mahisa Pukat dengan tanpa peringatan mendahului
mereka. Menghadapi mereka dengan kemampuan ilmunya
dilambari pula dengan ilmu y ang mereka sadap dari orang
tuanya, dari Akuwu Lemahwarah dan dari beberapa orang lain
termasuk landasan kekuatan yang dapat disalurkan lewat
senjatanya, maka ia akan dapat m embantai lawan-lawannya.
Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat demikian "
Untuk beberapa saat Mahisa Pukat memang termangumangu.
Jika ia sekedar mempergunakan ilmu pedangnya serta
kemampuannya menghisap kekuatan dan tenaga Iawannya,
apakah Mahisa Semu akan mampu bertahan cukup lama "
Selagi Mahisa Pukat sedang termangu-mangu, maka orangorang
y ang mengepungnya telah menjadi semakin rapat.
Sementara pemimpin dari orang-orang yang meny erangnya
itu berkita: "Kau hanya dapat m eny esali sikap sombongmu.
Tetapi semuanya sudah terlambat. Kau akan menanggung
hukuman yang paling gila yang pernah kami lakukan."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun kemudian telah
meloncat turun dari kuda mereka. Mereka menganggap bahwa
bertempur diatas punggung kuda tentu tidak akan
menguntungkan. Mereka pun akan sangat sulit untuk
memaksa. menembus kepungan itu, karena ujung senjata telah
teracu. Karena itu, untuk menghadapi orang-orang y ang
mengepungnya, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu akan
melawan mereka di atas tanah. Bahkan dengan tidak raguragu
keduanya berjalan ke tepi jalan untuk menambatkan
kuda-kuda mereka, sementara orang-orang yang
mengepungnya justru melangkah mundur.
"Jangan biarkan mereka," teriak pemimpin mereka,
"usahakan agar kalian dapat menangkap mereka hidup-hidup.
Kita akan membuat acara kematiannya dengan sebaikbaiknya."
"Kalian hanya akan meny iksa diri," jawab Mahisa Pukat
lantang. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya sambil
berteriak: "Lihat, apa yang aku pegang."
Orang-orang yang mengepungnya memang melihat sebilah
pedang y ang berwarna kehijau-hijauan. Namun pemimpin
mereka berteriak: "Pedang y ang tidak ada artinya apa-apa.
Tidak lebih dari parang gembala yang sedang mencari kayu
dihutan." Mahisa Pukat m emang tersinggung. Beberapa orang telah
mengorbankan nyawanya untuk merebut pedang y ang oleh
pembuatnya disebut keris itu. Meski pun demikian tidak
terpikir oleh Mahisa Pukat untuk menghentakkan ilmunya
dengan memutar pedangnya, sehingga orang-orang yang
mengepungnya itu akan dibantainya dengan ilmunya.
Namun demikian, Mahisa Pukat harus memikirkan Mahisa
Semu y ang tentu akan segera mengalami kesulitan jika separo
dari orang- orang itu meny erang Mahisa Semu dan separo
menyerang dirinya. Sementara itu pemimpin sekelompok orang itu pun
kemudian berrkata: "Jangan menunggu lagi. Kita harus segera
bergerak." Orang-orangnya memang segera bergerak. Tetapi sebelum
pertempuran y ang sebenarnya terjadi, maka beberapa orang
telah berloncatan dari baik gerumbul-gerumbul perdu.
Agaknya orang-orang y ang mengepung Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu, bahkan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sendiri
menjadi sangat tegang serta memusatkan perhatian mereka
kepada lawan-lawannya sehingga mereka tidak melihat
kehadiran beberapa orang mendekati arena.
Kedatangan orang-orang itu memang m engejutkan. Yang
kemudian berdiri tegak adalah enam orang dalam pakaian


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keprajuritan. "Bukankah kau tidak lupa kepadaku?"-bertanya perwira
prajurit berkuda y ang bersama Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu memasuki gerbang halaman istana Singasari dan
mengantarkannya menemui ayahnya.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya: "Tentu tidak. Bukankah
kita bersama-sama menangkap sepuluh orang petugas sandi
dari Kediri itu ?" "Bukankah kita bersama-sama. Tetapi kau berdua." jawab
perwira itu sambil tertawa.
Mahisa Pukat sempat tertawa Pula. Katanya: "Sudahlah.
Sekarang kita berhadapan lagi dengan sekelompok petugas
sandi dari Kediri." "Kami sudah m erasa curiga. Laporan tentang tingkah laku
prajurit y ang berpura-pura menjajagi ilmumu yang
sebenarnya tidak lebih dari sebuah isy arat, membuat kami
harus m engambil langkah-langkah. Ternyata kecurigaan kami
itu beralasan. Kalian telah dihentikan oleh sekelompok orang
yang tidak dikenal, yang tentu kawan-kawan dan para petugas
sandi itu," desis perwira prajurit berkuda itu.
"Cukup," pemimpin dari orang-orang y ang m enghentikan
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berteriak. "Siapa pun
kalian, tetapi jumlah kalian terlalu sedikit untuk melawan
kami." (Bersambung ke jilid 97) Conver by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 97 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 097 "KAU SALAH HITUNG," jawab perwira itu, "kalian
memang dapat menghitung kami berenam dengan enam
orang. Tetapi jika kau menghitung kedua orang anak muda itu,
harus kau sebut sepuluh. Karena itu, m aka jumlah kita akan
menjadi tidak terpaut banyak.
" Iblis kau," geram pemimpin dari sekelompok orang itu.
"Sudahlah," berkata perwira prajurit itu: "pilihlah jalan
yang paling balk. Meny erah sajalah kepada kami. Kami yang
akan memohonkan am pun bagi kalian semua."
"Persetan," geram pemimpin dari orang-orang y ang telah
mencegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
"Kau tidak dapat m emilih," berkata perwira dari pasukan
berkuda itu. Perwira itu termangu-mangu sejenak ketika mendengar
orang itu mengumpat kasar.
Ternyata orang-orang yang menghentikan Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu itu tidak menunggu lebih lama lagi. Sekali
lagi pemimpin mereka meneriakkan aba -ba. Maka serentak
orang-orang itu pun mulai bergerak.
Keenam orang prajurit dari pasukan berkuda itu pun
dengan cepat telah berpencar dan meny erang sekelompok
orang yang jumlahnya jauh lebih banyak itu. Namun mereka
yakin bahwa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu akan dapat
mengalahkan mereka. Setidak-tidaknya sepuluh orang
diantara mereka. Sebenarnyalah pertempuran pun telah terjadi. Tujuh b elas
orang itu telah meny erang bersama-sama. Namun prajurit
berkuda itu nampaknya memang m empunyai kelebihan dari
prajurit kebanyakan. Karena itu, maka mereka berenam
benar-benar telah mengacaukan kedudukan tujuh betas orang
lawan mereka. Apalagi ketika k emudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah ikut pula dalam pertempuran itu. Maka pertempuran itu
pun menjadi pertempuran y ang sangat sengit.
Mahisa Pukat yang menyadari kedudukannya dalam
pertempuran itu, telah mengetrapkan ilmunya yang mampu
menghisap tenaga dan kemampuan lawannya dengan
sentuhan-sentuhan kewadagan atau benturan-benturan
senjata. Pertempuran itu pun segera berlangsung dengan sengitnya.
Ketika seseorang prajurit dari pasukan berkuda mendekatinya,
maka Mahisa Pukat pun segera bergeser menjauh.
Seperti dalam pertempuran sebelumnya, maka Mahisa
Semu pun harus mengerahkan kemampuannya sehingga anak
muda itu tidak dengan cepat hanyut oleh kekuatan ilmu
lawannya. Sementara itu, enam orang prajurit berkuda itu pun telah
memutar senjata mereka dan setiap kali mematuk lurus atau
terayun mendatar, terdengar lawannya mengumpat tidak
habis-habisny a. Pertempuran itu pun kemudian telah menjadi pertempuran
yang sangat garang. Ternyata orang-orang yang mencegat
Mahisa Pukat itu benar-benar ingin membunuh. Mereka tidak
lagi dikendalikan oleh paugeran atau perasaan apapun, selain
membunuh kedua orang yang telah menyebabkan sepuluh
orang kawan mereka tertangkap.
Tetapi mereka tidak mengira sama sekali, bahwa enam
orang prajurit berkuda telah datang dan melibatkan diri dalam
pertempuran itu. Dalam pada itu, m aka Mahisa Pukat pun telah berusaha
sebanyak mungkin meny entuh senjata lawannya. Ia telah
berloncatan dari seorang lawan ke lawan y ang lain.
Kemampuannya ilmu pedang telah membantu usahanya untuk
melawan dan meny entuh orang-orang yang akan
membunuhnya itu. Namun orang-orang y ang ingin membunuh Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu itu benar -benar orang yang garang. Mereka
menyerang sambil berteriak-teriak, mengumpat, bahkan
mengucapkan ancaman-ancaman yang mengerikan.
Tetapi keenam orang prajurit berkuda itu adalah orangorang
yang tangguh. Mereka berpencaran dan berloncatan
sambil, memutar pedang mereka, sementara Mahisa Semu
yang telah mendalami ilmu pedang, berusaha untuk bertahan
karena beberapa orang telah menyerangnya bergantian.
Tetapi dalam pada itu, Mahisa Pukat benar-benar
mendebarkan jantung. Bukan saja ilmu pedangnya. Tetapi
kemampuannya bergerak bagaikan bay angan y ang sulit diikuti
oleh pandangan m ata kewadagan. Sementara itu, pedangnya
yang berwarna kehijauan itu setiap kali berkilat m enyambar.
Meny ilaukan. Para prajurit berkuda y ang merasa bahwa lawan m ereka
lebih banyak telah berusaha untuk mengurangi jumlah lawan
mereka. Karena itu, maka dalam benturan-benturan yang
terjadi, ujung-ujung pedang mereka telah pula menggores
kulit lawan-lawan mereka.
Tetapi bukan saja mereka melukai lawan-lawan mereka.
Tetapi ada pula diantara mereka yang terluka.
Demikian pula Mahisa Semu. Luka-lukanya y ang lama
masih belum sembuh benar. Namun ia telah mengalami lukaluka
baru. Beberapa gores senjata lawan telah membuat
kulitnya berdarah. Namun sementara itu, ada beberapa orang diantara
ketujuh-belas orang itu yang terlalu sering berbenturan
senjata dengan Mahisa Pukat. Orang-orang yang demikian
itulah yang lebih dahulu mengalami kesulitan. Tenaganya
terasa dengan cepat susut, sehingga tangan dan kakinya terasa
semakin lama semakin berat.
Pemimpin sekelompok orang yang berniat membunuh
Mahisa Pukat itu berteriak-teriak memberikan aba-aba kepada
orang-orangnya. Ia melihat beberapa orang tidak lagi dengan
sungguh-sungguh bertempur. Seakan-akan mereka menjadi
malas dan segan untuk mengangkat senjata-senjata mereka.
"Jangan menjadi seorang pengecut dengan tiba-tiba.
Lawanmu bukan hantu. Lawanmu adalah orang seperti kita
yang dapat kita lukai. Lihat, seorang diantara mereka telah
menitikkan darah dari lukanya. Bunuh anak itu lebih dahulu,
kemudian seorang lagi. Baru kemudian kita membunuh para
prajurit y ang telah mencampuri urusan orang lain."
"Persetan," geram pemimpin dari prajurit berkuda itu, "apa
pun y ang kau katakan, tetapi kalian semua harus mati. -
Namun orang itu tidak sempat berteriak lagi. Dengan
derasnya Mahisa Pukat telah menyerangnya. Tetapi pemimpin
dari orang-orang yang ingin membunuhnya itu telah
menangkis serangannya. Bahkan dengan cepat orang itu
berusaha untuk meny erang Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat sama sekali tidak menghindar. Tetapi ia
berusaha menangkis serangan itu. Bahkan kemudian memutar
pedang dan dengan sigap meloncat sambil menjulurkan
pedangnya lurus-lurus ke arah lambung.
Tetapi sekali lagi lawannya itu sempat menangkis serangan
Mahisa Pukat. Namun dalam pada itu, seorang y ang lain telah meny erang
Mahisa Pukat pula, sehingga Mahisa Pukat harus b erloncatan
meninggalkan lawannya itu untuk menghadapi lawannya yang
baru. Bahkan dua orang bersama-sama.
Tetapi Mahisa Pukat menjadi berdebar-debar ketika ia
melihat darah Mahisa Semu mengalir semakin banyak. Meski
pun anak muda itu m asih tetap bertahan, tetapi darah yang
semakin banyak mengalir akan menyulitkannya.
Dalam pada itu, beberapa orang prajurit berkuda y ang
bertempur berputaran diantara lawan-lawannya y ang jauh
lebih banyak itu kadang-kadang memang merasa heran.
Beberapa orang diantara lawan-lawannya justru menjadi tidak
lagi segarang sebelumnya. Sebagaimana Mahisa Semu, yang
meski pun sudah terluka, namun ia pun m erasakan bahwa
lawan-lawannya sebagian tidak lagi berbahaya baginya. Orangorang
itu tidak lagi mampu mengejarnya jika ia membuat
langkah-langkah panjang. Pemimpin sekelompok orang yang ingin membunuh
Mahisa Pukat pun menjadi heran terhadap dirinya sendiri.
Meski pun demikian ia masih tetap seorang y ang berbahaya.
Dalam pada itu, apa yang pernah terjadi, telah terjadi lagi.
Lawan-lawan Mahisa Pukat yang telah m engalami sentuhan
senjata atau kewadagan, apalagi y ang sudah beberapa kali,
maka tenaga dan kemampuannya bagaikan telah dihisap,
sehingga m ereka telah m enjadi lemah dan tidak lagi mampu
mengetrapkan ilmunya. Mereka bahkan m enjadi bingung dan tidak tahu apa y ang
harus dikerjakan selain tubuh m ereka menjadi semakin lama
semakin lemah. Dengan demikian, maka karena y ang bertempur kemudian
bukan hanya Mahisa Pukat dan Mahisa Semu, m aka senjata
para prajurit telah dengan mudah menyentuh dan melukai
lawan-lawan mereka. Namun demikian Mahisa Pukat berteriak: "Cukup. Mereka
tidak perlu dilukai atau disakiti. Biarlah mereka meny erah
karena mereka tidak akan mampu lagi melawan."
Sebenarnyalah beberapa orang bahkan telah terduduk lesu.
Yang lain kehilangan keseimbangan, sementara ada diantara
mereka yang terluka, bukan karena tidak mampu mengadakan
perlawanan, tetapi sejak mereka baru mulai menghadapi
seorang prajurit, mereka tidak mampu mempertahankan diri.
Para prajurit terkejut m endengar teriakan Mahisa Pukat.
Namun mereka pun telah berloncatan mundur. Sementara
ketujuh belas orang yang mencegat Mahisa Pukat dan Mahisa
Semu itu benar-benar sudah tidak mampu untuk bertahan
lebih lama. Memang masih ada satu dua orang yang memiliki
day a tahan tubuh y ang lebih kuat dari yang lain. Ada pula yang
baru sekali meny entuh senjata Mahisa Pukat dengan senjata,
sehingga kekuatan dan kemampuannya seakan-akan masih
utuh. Tetapi ketika m ereka melihat k eadaan gerombolannya,
maka mereka memang tidak mempunyai pilihan lain.
"Meny erahlah," berkata Mahisa Pukat, "jika tidak, maka
kalian semuanya akan m ati. Kalian sudah tidak akan mampu
melawan kami. Satu dua diantara kalian sudah terluka. Yang
lain kehilangan tekad untuk m elawan sebagai seorang laki -
laki. Sedangkan yang lain lagi menjadi ketakutan."
Beberapa orang termangu-mangu. Mereka memang
menjadi ngeri m elihat ujung-ujung senjata kedua orang anak
muda y ang mereka buru dan para prajurit berkudaa yang tibatiba
saja telah datang tanpa membawa kuda.
Akhirnya tujuhbelas orang itu tidak mempunyai pilihan
lain. Pemimpinnya y ang m asih nampak utuh, sebenarnyalah
sudah mulai diraba oleh ilmu yang dahsy at itu. Namun justru
karena ia sibuk mengatur orang-orangnya sehingga ia tidak
mempunyai banyak kesempatan untuk membenturkan
senjatanya dengan senjata Mahisa Pukat. Baru pada
kesempatan terakhir, ia telah menangkis serangan anak muda
yang bersenjata pedang berwarna kehijau-hijauan itu.
Enam orang prajurit berkuda itu menjadi heran pula
sebagaimana orang-orang yang mencegat Mahisa Pukat itu.
Para prajurit itu juga tidak tahu apa yang telah terjadi,
sebagaimana m ereka juga tidak tahu apa yang telah terjadi
pada sepuluh orang yang telah ditangkap sebelumnya.
Tetapi mereka tidak sempat bertanya. Mahisa Pukat
berkata: "Tujuhbelas orang itu akan menjadi tawanan kalian
mengenai sepuluh orang yang telah t ertangkap lebih dahulu.
Bawa m ereka ke Kotaraja. Biarlah kawan-kawan mereka yang
masih kuat dapat membantu kawan- kawannya."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau mau apa "," bertanya pemimpin prajurit berkuda itu.
"Aku akan m eneruskan perjalanan. Bukankah kita belum
berada di lingkungan bahaya perang sehingga kita tidak usah
menjadi cemas," berkata Mahisa Pukat.
Pemimpin prajurit berkuda itu menarik nafas dalamdalam.
Tetapi sebenarnyalah ia tidak perlu menjadi cemas
sehingga berbuat sesuatu yang tidak pantas dilakukan.
Demikianlah, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih
menunggui sejenak ketika pemimpin sekelompok kecil prajurit
itu mempersiapkan lawan-lawan mereka untuk mengatur diri.
Baru kemudian mereka telah dibawa ke istana.
Orang-orang istana itu pun terkejut melihat peristiwa itu
seperti melihat lalat di sekitarnya.
Namun pemimpin prajurit berkuda itu masih juga bertahan
pada tugasny a sehingga jarang sekali ia membuat kesalahan.
Karena itu, maka ia memang mendapatkan kepercayaan yang
besar. Juga terhadap sikapnya kepada orang-orang yang telah
mencegat kedua anak muda itu.
Namun para pemimpinnya percaya bahwa pasukan
berkuda y ang jumlahnya hanya enam itu mampu mengatasi
lawan sebanyak tujuhbelas orang, justru karena bertempur
bersama dengan dua orang anak muda itu.
Tetapi apa yang, telah terjadi dengan kedua orang anak
muda itu tidak mendapat banyak tanggapan dan keterangan.
Yang penting bagi orang -orang yang mendapat peny erahan
para tawanan itu, tujuhbelas orang lagi diantara mereka yang
sedang di buru itu ternyata datang dengan kedua tangan
terikat, kecuali mereka yang mendapat tugas untuk memapah
kawannya meski pun tubuhnya sendiri menjadi sangat lemah.
Dalam pada itu, Mahendra y ang mendengar laporan itu
pula telah bersukur didalam hati, bahwa kedua anak dan
cantrik itu selamat. Dari pemimpin pasukan berkuda itu, Mahendra mendengar
apa yang telah terjadi. Apa pula y ang dilakukan oleh kedua
orang anak muda itu. Mahendra hanya mengangguk-angguk saja. Ia sadar, bahwa
Mahisa Pukat tentu sudah mempergunakan ilmunya yang
mampu menyerap kekuatan dan ilmu lawannya.
Namun peristiwa itu sendiri adalah peri stiwa y ang
mendebarkan. Jika saja sebelumnya para prajurit berkuda itu
tidak mendapatkan keterangan tentang rencana buruk yang
akan m encegat perjalanan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu,
maka keduanya belum tentu akan dapat meloloskan diri.
Setidak-tidaknya keadaan Mahisa Semu tentu akan menjadi
sangat sulit. Mungkin saja ia terluka parah atau bahkan lebih
buruk daripada itu. Sementara itu, maka Mahisa Pukat t entu
akan mengerahkan ilmunya untuk melindungi sejumlah
kawannya, karena tanpa berbuat demikian, m aka nyawanya
sendiri akan melayang. Hampir di luar sadarnya Mahendra y ang berbicara
langsung dengan pemimpin prajurit berkuda itu berdesis:
"Aku mengucapkan terima kasih."
"Aku hanya menjalankan tugas. Ketika kami mendapat
laporan tentang hal itu, maka dengan tergesa -gesa kami
menyusul kedua orang anak muda itu."
"Apakah rencana mereka dapat kalian ketahui "," bertanya
Mahendra. "Tidak tepat seperti itu," jawab pemimpin pasukan
berkuda, "y ang diberi tahukan kepada kami oleh petugas
dipintu gerbang, bahwa seorang diantara kawan-kawannya
yang bertugas ada y ang dengan tanpa dapat dikekang, berniat
untuk menjajagi kemampuan Mahisa Pukat dan Mahisa Semu.
Itu adalah satu tindakan yang tidak wajar dilakukan oleh
seorang prajurit. Karena itu, maka kami mempunyai
prasangka buruk. Mungkin yang dilakukan itu hanya sekedar
cara atau jika ia benar -benar ingin melakukannya dengan
alasan tertentu, m aka langkah itu akan dapat dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu. Kami t idak y akin akan apa yang
akan terjadi. Tetapi kami ingin melihat, apakah sebenarnya
yang akan dilakukan oleh prajurit itu. Ternyata bahwa dua
orang kami yang m engamati peristiwa itu m elihat ada pihak
lain yang mengawasi keadaan, sehingga kami ju stru
mengawasi orang itu. Ketika mereka melepaskan burung
merpati, maka kami pun menyadari apa y ang akan terjadi."
Mahendra pun mengangguk-angguk. Untunglah bahwa
pemimpin prajurit berkuda itu berpikir tangkas ketika ia
mendapat keterangan tentang seorang prajurit y ang berniat
untuk menjajagi kemampuan Mahisa Pukat, sehingga
kehadirannya meski pun hanya berenam, namun sudah
membatasi per soalan sehingga Mahisa Pukat tidak perlu
melakukan pembunuhan semena-mena.
Dalam pada itu, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
melanjutkan perjalanannya kembali ke padepokannya. Namun
waktu mereka telah banyak tersita.
Ketika m ereka melewati kedai yang disinggahi saat mereka
berangkat, kedai itu nampaknya kosong sama sekali.
"Kita berhenti sejenak, kau perlu beristirahat," berkata
Mahisa Pukat. "Kenapa disini "," bertanya Mahisa Semu.
"Lukamu perlu mendapat perawatan.," jawab Mahisa
Pukat. Keduanya pun k emudian telah turun di depan kedai y ang
kosong itu. Ketika mereka kemudian mendor ong pintunya,
ternyata pintunya juga tidak diselarak. Bahkan apa y ang ada di
kedai itu masih juga sama seperti saat kedai itu ditinggalkan.
"Tidak ada seorang pun y ang telah m asuk kedalam kedai
ini," berkata Mahisa Pukat.
"Sebaiknya kita juga tidak," berkata Mahisa Semu: "agar
kita tidak dituduh melakukan sesuatu dikedai ini."
"Kedai ini sekarang t idak bertuan," berkata Mahisa Pukat.
Lalu: "Pemiliknya sudah ditangkap. Demikian pula orangorang
y ang pernah berhubungan dengan pemilik kedai ini."
"Tetapi jika ada orang lain y ang tidak mengetahui
persoalannya, kita dikira memasuki tempat y ang tidak
semestinya," desis Mahisa Semu.
"Jika demikian, kita berada di luar saja. Didalam justru
banyak sekali debu. Makanan sudah tidak lagi dapat dimakan.
Mangkuk-mangkuk berserakan dan lalat pun berterbangan,"
desis Mahisa Pukat. Keduanya pun kemudian telah duduk di tangga samping
kedai itu. Mahisa Pukat telah mengobati luka -luka Mahisa
Semu. Terutama luka- lukanya y ang baru.
Sambil menunggu sejenak, serta m emberikan k esempatan
kudanya beristirahat, Mahisa Pukat melihat-lihat keadaan di
sekeliling kedai itu. Namun tidak ada sesuatu yang sempat
menarik perhatiannya. Kedai itu benar-benar kosong dan tidak
pernah lagi dijamah orang.
Baru sejenak kemudian maka keduanya pun telah bersiapsiap
untuk meneruskan perjalanan. Kuda mereka pun telah
tidak lagi merasa lelah, apalagi kuda-kuda itu baru menempuh
sebagian kecil dari perjalanan mereka yang panjang.
Demikianlah, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
berpacu lagi di atas punggung kudanya. Namun Mahisa Semu
telah nampak lebih bersih. Darah tidak lagi nampak memerah
di tubuhnya. Lukanya pun telah menjadi pempat pula.
Tetapi perjalanan mereka masih cukup panjang, apalagi
mereka telah kehilangan waktu lama.
Tetapi Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak berpacu
terlalu cepat. Apalagi jika mereka mendekati padukuhan atau
jalan y ang banyak dilalui orang. Kudanya berlari agak lambat
agar tidak menarik perhatian orang atau bahkan menganggu
orang -orang lain y ang juga memakai jalan.
Demikian pula ketika mereka sampai di sebuah padukuhan
yang cukup besar dan ramai. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
telah menarik kekang kuda m ereka. Dengan kecepatan yang
tidak terlalu tinggi mereka memasuki padukuhan yang besar
itu. Padukuhan y ang m empunyai jalan-jalan y ang agak lebar
dan banyak dilalui orang. Di sebelah meny ebelah jalan,
terdapat reg ol-regol halaman yang cukup baik biar halamanhalaman
yang agak luas. Bahkan terdapat satu dua bangunan
yang di pagi hari tentu dipergunakan sebagai kedai.
Namun m eski pun hari telah m enjadi semakin sore, masih
ada juga satu dua kedai yang terbuka.
"Kita singgah untuk makan," berkata Mahisa Pukat.
Mahisa Semu pun merasa sangat haus, sehingga ia pun
dengan cepat menyatakan persetujuannya.
Keduanya pun kemudian telah singgah di sebuah kedai
yang tidak terlalu besar. Namun di kedai itu Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu dapat pula membeli makan dan minuman untuk
kuda mereka. Ternyata minuman dan m akanan di kedai itu cukup baik.
Harganya pun tidak terlalu mahal. Sementara itu kuda mereka
pun telah mendapat minum dan makan secukupnya.
Setelah membayar makanan dan minuman serta perawatan
kuda-kuda mereka, maka kedua orang anak muda itu pun
segera melanjutkan perjalanan.
Namun ketika mereka sampai di simpang empat di padukuhan itu, keduanya terkejut sehingga mereka menarik kekang kuda mereka kuatkuat.
Kuda Mahisa Semu bahkan telah meringkik sambil mengangkat kaki depannya. Hampir saja Mahisa Semu terjatuh. Untunglah, bahwa tubuhnya seakan-akan telah melekat pada purtggung kudanya itu. Sementara itu, beberapa orang anak muda berkuda dari arah samping memotong jalan dengan tiba-tiba saja tanpa
memperlambat laju kuda mereka.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu y ang berhenti di simpang
empat menjadi berdebar-debar. Sementara itu, beberapa anak
muda yang memotong jalan itu justru tertawa berkepanjangan.
Mereka seakan-akan telah meny oraki Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu yang hampir saja terjatuh dari kudanya.
"Anak-anak gila," Mahisa Semu menjadi marah. Tetapi
Mahisa Pukat berdesis: "Sudahlah. Jangan hiraukan. Kita
meneruskan perjalanan kita y ang sudah terhambat."
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan
ingin mengendapkan gejolak perasaan didadanya.
Beberapa orang y ang melihat hal itu pun berhenti
termangu-mangu. Seorang yang sudah separo baya mendekati
kedua anak muda itu. Katanya: "Untunglah tidak terjadi
sesuatu ngger." Mahisa Pukat mengangguk hormat sambil berkata: "Ya
Kiai. Tetapi hati ini masih berdebar-debar."
"Sudahlah. Jangan berurusan dengan anak-anak bengal itu.
Mereka adalah anak-anak orang kaya di padukuhan yang
terhitung besar ini. Tetapi mereka justru membuat padukuhan
ini menjadi selalu kacau," berkata orang separo baya itu.
"Terima kasih atas peringatan itu Kiai," jawab Mahisa
Pukat yang kemudian bersama-sama dengan Mahisa Semu
telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan.
"Justru anak-anak semacam itu harus mendapat
peringatan," berkata Mahisa Semu.
"Sudahlah," berkata Mahisa Pukat, "lupakan."
Namun keduanya masih juga mendengar salah seorang
yang berdiri di pinggir jalan berkata: "Kemarin, dua orang
anak yang sedang bermain-main juga ter sentuh kuda-kuda
yang seperti menjadi liar itu. Untunglah luka-lukanya tidak
begitu berat." Mahisa Semu berpaling. Tetapi Mahisa Pukat berkata:
"Marilah. Para bebahu padukuhan ini tentu akan
mengurusnya ." Tanpa menghiraukan anak-anak muda itu lagi, maka
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu meneruskan perjalanan
mereka. Tetapi baru beberapa langkah kuda mereka bergerak,
mereka telah mendengar teriakan-teriakan anak-anak muda
itu lagi. Kemudian derap kaki kuda mereka.
Sebelum Mahisa Pukat dan Mahisa Semu menentukan
sikap, anak-anak muda itu telah muncul lagi di simpang
empat. Mereka berbelok searah dengan Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu. Bahkan kemudian beberapa orang anak muda
itu telah mendahului Mahisa Semu dan Mahisa Pukat. Namun
dua orang diantara mereka sempat meny entuh kepala Mahisa
Semu disu sul teriakan-teriakan riuh dari anak-anak itu.
"He, kepalamu cukup keras Ki Sanak," teriak salah seorang
dan m ereka sambil berpacu meninggalkan Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu. Ternyata Mahisa Pukat tidak sempat lagi mengekang
Mahisa Semu yang menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja
Mahisa Semu telah memacu kudanya pula menyusul beberapa
orang anak muda yang berkuda itu.
Mahisa Pukat tidak dapat berbuat lain kecuali
mengikutinya. Bahkan Mahisa Pukat pun mendengar Mahisa Semu
berteriak: "Berhenti kalian anak-anak setan."
Yang terdengar adalah suara tertawa yang meledak. Anakanak
muda itu tertawa berkepanjangan.
Namun ketika mereka melihat anak muda y ang dilewatinya
sambil disentuh kepalanya itu berpacu menyusul mereka,
maka anak-anak muda itu mulai m emperhatikannya dengan
sungguh-sungguh. "Anak itu menjadi gila," teriak seorang diantara m ereka.
Kawan-kawannya tidak menyahut. Namun ketika seorang
diantara mereka tertawa, maka yang lain pun tertawa pula.
"Anak itu berlagak sebagai seorang kesatria yang tidak mau
dihinakan dengan disentuh kepalanya," teriak y ang lain.
Kawan-kawannya pun berteriak-teriak tidak menentu.
Diantaranya tertawa semakin keras sementara yang lain
bersorak-sorak. Ternyata mereka membuat Mahisa Semu menjadi semakin
marah. Dengan menghentakan kendali kudanya, Mahisa Semu


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berpacu semakin cepat. Di belakangnya, Mahisa Pukat pun
mempercepat lari kudanya menyusul Mahisa Semu.
Sementara itu, anak-anak muda y ang telah mengganggu
Mahisa Semu itu ternyata tidak berniat melarikan diri. Tetapi
mereka ingin memilih satu tempat yang lebih luas untuk
mempermainkan anak muda y ang mengejarnya itu.
Anak muda y ang berpacu dipaling depan itu pun berteriak:
"He, kita pergi ke ara -ara amba. Kita dapat bermain-main
lebih menyenangkan lagi dengan anak-anak y ang tidak tahu
diri itu." Kawan-kawannya pun berteriak-teriak gembira. Seorang
diantara mereka menjerit tinggi: "Kita sudah lama tidak
mendapat permainan yang menarik seperti ini."
Yang lain pun m enyahut dengan teriakan-teriakan tinggi.
Sementara itu kuda-kuda m ereka pun berpacu terus menuju
ke sebuah ara -ara y ang luas. Sebuah padang rumput tempat
para gembala menggembalakan kambing mereka.
Ketika sekelompok anak muda di atas punggung kuda
memasuki lapangan rumput itu, maka para gembala pun telah
menggiring kambing mereka menepi. Mereka mengenal anakanak
muda itu, sebagai anak-anak muda yang seakan-akan
tidak dapat diganggu gugat lagi semua tindakan dan tingkah
lakunya. Seakan-akan merekalah y ang memiliki padukuhan
yang besar itu dengan segala isiny a. Mereka berbuat apa saja
yang mereka sukai tanpa menghiraukan perasaan orang lain.
Demikian anak-anak muda itu berada di ara-ara, maka
mereka pun segera berpencaran, sehingga Mahisa Semu
menjadi agak bingung. Sementara anak-anak muda itu mulai
mempermainkannya. Mula-mula mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak
sambil berputar-putar. Dalam kebimbangan Mahisa Semu justru berhenti,
sementara Mahisa Pukat telah berada di sampingnya. Dengan
gelisah Mahisa Pukat itu berkata: "Sudahlah. Jangan hiraukan
mereka." "Mula-mula aku masih dapat menahan diri," berkata
Mahisa Semu, "tetapi kemudian mereka telah menghinakan
aku. Dua orang diantara mereka telah meraba kepalaku.
Apakah aku harus, berdiam diri?"
Mahisa Pukat termangu-mangu. Ia pun melihat dua orang
diantara anak-anak muda itu telah memegang kepala Mahisa
Semu. Karena itu, maka Mahisa Pukat tidak dapat memaksa
Mahisa Semu untuk menahan diri lagi. Mahisa Semu benarbenar
telah tersinggung karena perlakuan anak-anak muda itu.
Sementara itu Mahisa Semu masih berdiam diri di atas
punggung kudanya. Anak-anak muda itu masih saja berteriakteriak.
Tetapi mereka pun tidak berlari-larian lagi berputaran.
Karena Mahisa Semu berhenti, maka mereka pun telah
terhenti pula. Mahisa Pukat y ang melihat Mahisa Semu menahan
kemarahannya sehingga dadanya menjadi sakit, ia pun
kemudian berkata: "Jika kau ingin berbuat sesuatu atas
mereka, kejar seorang diantara mereka. Jangan hiraukan yang
lain sampai kau mendapatkannya."
Mahisa Semu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba
kedua tumitnya telah meny entuh perut kudanya, sehingga
kudanya telah terlonjak. Ketika kemudian kudanya berlari,
maka Mahisa Semu langsung menuju kearah seorang diantara
anak-anak muda itu. Anak muda y ang telah meny entuh
kepalanya dan mentertawakannya.
Anak muda itu terkejut. Ia pun segera menghentakkan
kendali kudanya sehingga kudanya pun telah berlari pula,
sementara kawan- kawannya pun mulai bergerak. Kuda-kuda
mereka mulai berlari-larian berputaran dan berpencaran.
Tetapi seperti pesan Mahisa Pukat, maka Mahisa Semu
tidak menghiraukannya lagi. Ia telah mengejar seorang saja
diantara anak-anak m uda itu. Kemana kudanya lari, Mahisa
Semu selalu memburunya. Anak muda itu mulai menjadi cemas. Kawan-kawannya pun
demikian. Karena itu, maka kawan-kawannya telah berusaha
mengacaukan arah kuda Mahisa Semu dengan sekali-sekali
memotong jalan. Namun tekat Mahisa Semu sudah bulat. Ia tidak
menghiraukan yang lain. Ia mengejar seorang saja diantara
mereka. Ia mengejar kemana anak muda itu memacu kudanya.
Berputar, berbelok, berlari kencang dan segala macam gerak
yang lain. Ternyata bahwa kuda Mahisa Semu cukup baik, sehingga
semakin lama sasarannya menjadi semakin dekat.
Tetapi beberapa saat kemudian, kuda Mahisa Semu telah
berhasil m enyusul kuda yang dikejarnya. Dengan tangkasnya
Mahisa Semu telah m enangkap kendali kuda y ang dikejarnya
dan mencoba menariknya. Namun anak muda di atas
punggung kuda itu tidak membiarkannya. Dengan cemetinya
ia telah memukul tangan Mahisa Semu, sehingga Mahisa
Semu manjadi semakin marah. Dengan tidak berpikir panjang
maka Mahisa Semua ju stru telah meloncat dari kudanya,
menerkam anak muda y ang menyakitinya itu. Bukan saja
menyakiti tubuhnya, tetapi juga menyakiti hatinya.
Keduanya pun telah terlempar dari kuda mereka dan jatuh
berguling. Ternyata Mahisa Semu y ang m emiliki kelenturan
tubuh yang terlatih, mampu menempatkan dirinya saat ia
terguling. Namun agaknya lawannya tidak memiliki
kelenturan tubuh sebagaimana Mahisa Semu, sehingga
demikian ia jatuh, maka ia pun telah menyeringai menahan
sakit. Ketika Mahisa Semu kemudian meloncat bangkit, maka
anak muda itu hanya dapat menggeliat sambil mengaduh
kesakitan. Namun dalam pada itu, seekor kuda lain telah menyambar
Mahisa Semu. Tetapi anak muda itu sempat meloncat
menghindar. Sekali ia berguling, kemudian meloncat bangkit.
Sementara itu, beberapa ekor kuda y ang lain pun telah siap
menyambar pula. Seakan-akan berurutan satu demi satu,
sehingga Mahisa Semu harus berloncatan menghindar.
Tetapi ketika salah seorang y ang juga telah meny entuh
kepalanya menyambarnya sambil mengayuhkan semeti
kudanya. Maka Mahisa Semu dengan cepat menangkapnya. Ia
memang ter seret beberapa langkah. Tetapi ketika ia
menghentakkan cemeti itu, maka anak muda yang
memeganginya telah terseret pula jatuh dari kudanya. Gerak
nalurinya kurang cepat tanggap, sehingga ia tidak melepaskan
cemetinya itu. Seperti kawannya, maka demikian ia jatuh, maka
punggungnya serasa akan patah. Karena itu, maka ia pun tidak
segera dapat bangkit berdiri.
Kawan-kawannya menjadi sangat heran. Mereka tidak lagi
menyambar-ny ambar dengan kuda mereka. Tetapi orang yang
paling berpengaruh diantara mereka telah memberikan
isy arat, agar mereka berhenti dan turun dari kuda mereka.
Sejenak kemudian, lima orang anak muda telah mengepung
Mahisa Semu, sementara Mahisa Pukat masih duduk saja di
punggung kudanya, Ia memang ingin melihat, apa yang dapat
dilakukan oleh Mahisa Semu. Mahisa Pukat melihat anak-anak
muda y ang nakal itu t idak t erlalu berbahaya. Tetapi ia pun
sudah bersiap-siap. Setiap saat diperlukan, ia akan dapat langsung turun ke
arena. Sejenak kemudian, orang yang agaknya mempimpin
kawan-kawannya itu melangkah mendekati Mahisa Semu
sambil berkata: "Ternyata kau anak yang gila. Aku tidak mau
kalian menghinakan aku. Kalian telah meny entuh bagian
tubuhkan di atas leherku. Itu satu pertanda bahwa kalian
memang menantangku," jawab Mahisa Semu.
"Kau terlalu sombong. Kau mencari kesulitan," geram anak
muda itu. "Bukan aku yang mendahului. Tetapi apakah keuntungan
kain dengan sikapmu m enghinakan orang lain seperti itu","
bertanya Mahisa Semu. "Kami sudah terbiasa berbuat apa saja y ang kami senangi -
jawab anak muda itu, " orang lain tidak akan pernah berani
melawan kami." "Tetapi aku tidak takut berhadapan dengan kalian. Kalian
telah melakukan satu perbuatan y ang tidak pantas. Kalian
mengira bahwa orang lain tidak akan pernah merasa
tersinggung. Atau kalian memang berpendapat, bahwa kalian
akan dapat m engatasi seandainya ada orang lain yang merasa
tersinggung dan menjadi marah"," bertanya Mahisa Semu.
"Ya, kami tidak mau tunduk kepada kepentingan orang lain.
Kami dapat berbuat apa saja sesuai dengan keinginan kami.
Kami justru akan memukuli orang y ang menjadi marah
kepada kami.," jawab anak muda itu.
Ternyata Mahisa Semu tidak mau berbantah terlalu lama.
Di luar dugaan, tiba-tiba saja ia sudah meloncat maju dan
menyerang anak muda yang memimpin kawan-kawannya itu.
Satu pukulan y ang sangat keras telah menghantam keningnya,
sehingga anak muda itu tidak sempat menghindar dan tidak
sempat menangkis serangan itu. Demikian keningnya dikenai
pukulan Mahisa Semu, maka ia pun telah terlempar jauh.
Beberapa kali ia berguling. Keningnya merasa sangat sakit,
sementara matanya menjadi berkunang-kunang.
Kawan-kawannya y ang m elihat serangan itu dengan cepat
menanggapi keadaan. Mereka pun berloncatan memencar.
Namun Mahisa Semu telah siap menghadapi mereka.
Sementara itu anak muda y ang memimpin kawankawannya
itu sambil meny eringai telah berusaha untuk
bangkit. Ketika ia kemudian berdiri tegak, ternyata kepalanya
masih saja terasa sangat pening.
Anak-anak muda itu sama sekali tidak mengira bahwa pada
suatu saat mereka akan berhadapan dengan seorang anak
muda yang sangat berani. Karena itu, maka mereka tidak
segera dapat memutuskan, apa yang harus mereka lakukan
selain berusaha mengganggu kuda Mahisa Semu.
Sementara itu, empat orang kawan-kawannya telah
berloncatan m eny erang. Sementara pemimpin m ereka masih
menggeliat. Namun kemudian anak muda y ang menjadi
pemimpin diantara mereka itu pun telah siap untuk turun ke
gelanggang. Tetapi dua orang kawannya yang terjatuh dari
kuda itu masih belum sempat berdiri meski pun mereka sudah
berusaha. Tetapi punggung mereka rasa-rasanya bagaikan
menjadi retak. Mahisa Semu pun kemudian telah berkelahi m elawan lima
orang anak m uda. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Meski
pun ia baru saja terluka, tetapi Mahisa Semu masih nampak
terlalu garang. Anak-anak muda itu berkelahi dengan mengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuan mereka. Dengan kasar
mereka meny erang bergantian. Bahkan pemimpin anak-anak
muda y ang telah m ampu mengatasi rasa sakit itu berteriak:
"Kenapa kawanmu itu tidak m embantumu " Apakah kalian
tidak mempunyai perasaan kesetia -kawanan atau kalian
memang anak-anak muda yang sombong?"
Jawab Mahisa Semu memang m enyakitkan. Katanya: "Ia
akan membantu jika aku menghadapi lawan yang pantas."
"Gila kau anak iblis," geram pemimpin anak-anak muda itu.
Namun belum lagi mulutnya terkatub, serangan Mahisa
Semu telah menyambar bibirnya. Jari-jarinya y ang terbuka
dan m erapat telah m enampar mulut anak muda yang sedang
berbicara itu, sehingga tubuhnya terputar ke samping.
Anak muda itu mengaduh. Ketika tangannya meraba
bibirnya, terasa cairan hangat mengalir dari bibirnya yang
pecah. Betapa kemarahan membakar ubun-bunnya. Bibirnya, y ang
pecah telah membasahi telapak tangannya dengan darah.
Dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin seru.
Mahisa Semu berloncatan diantara lawan-lawannya yang
ternyata sebagaimana diduga oleh Mahisa Pukat, bukan lawan
yang berbahaya. Mereka sama sekali tidak terlatih m eski pun
pada dasarnya mereka adalah anak- anak muda y ang kuat.
Namun dalam pada itu, Mahisa Semu yang berloncatan
telah menyambar mereka seorang demi seorang dengan
sentuhan tangan atau kaki. Seorang diantara mereka
terdorong beberapa langkah surut. Sementara seorang yang
bertubuh kecil dan pendek bagaikan terlempar dan terbanting
jatuh. Namun ia masih sempat untuk bangkit kembali dan ikut
pula dalam perkelahian itu.
Tetapi tiba -tiba anak-anak muda itu justru terkejut k etika
melihat darah di tubuh Mahisa Semu. Nam paknya seranganserangan
m ereka sama sekali tidak berhasil mengenai anak
muda itu. Tetapi tiba -tiba saja tubuh itu berdarah.
Mahisa Semu semula tidak menyadari, bahwa luka-lukanya
yang telah pempat itu telah berdarah lagi justru setelah ia
terlalu banyak bergerak. Untuk beberapa saat mereka terheran-heran. Namun
kemudian mereka justru m erasa bahwa mereka telah berhasil
melukai anak itu tanpa mereka sadari.
Karena itu, maka pemimpin dari anak-anak muda itu pun
berteriak: "Lihat. Tubuhnya telah berdarah. Ia akan segera
kehilangan kekuatannya. Ia akan menjadi lemah dan tidak
bertenaga lagi untuk melawan kita."
Kelima orang itu pun seakan-akan telah mendapatkan satu
kesimpulan bahwa mereka akan segera menyelesaikan
pertempuran itu. Tetapi Mahisa Semu pun kemudian menyadari, bahwa
luka-lukanya yang telah pempat seakan-akan telah membuka
kembali. Karena itu, maka kemarahannya pun telah m eledak.
Karena y ang ada dihadapannya adalah anak-anak muda yang
telah menghinakannya itu, maka kemarahannya pun telah
ditumpahkannya kepada mereka.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Semu pun telah
mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya. Ia ju stru
tidak peduli lagi, apakah lukanya akan berdarah semakin
banyak. Namun yang diinginkan adalah m eny elesaikan anakanak
bengal itu secepat-cepatnya. Kecuali darahnya yang
mengalir, maka matahari pun menjadi semakin rendah.
Namun anak-anak gembala y ang biasanya sudah pulang,
masih ada di ara-ara itu meski pun dari kejauhan. Hanya satu
dua diantara mereka benar-benar menjadi ketakutan dan
berlari-lari pulang.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ceritera anak-anak gembala itu justru telah berkembang.
Beberapa orang ingin melihat apa y ang telah terjadi di ara-ara.
Sementara itu, karena Mahisa Semu telah menghentakkan
segenap kekuatan dan kemampuannya, maka seranganserangannya
pun menjadi semakin garang. Anak-anak muda
yang tidak memiliki bekal kanuragan itu memang menjadi
bingung. Mereka tidak tahu apa yang telah terjadi. Namun
tiba -tiba saja seorang diantara mereka telah terlempar
beberapa langkah dan jatuh terbanting. Sementara ia belum
sempat bangkit, maka seorang lagi telah mengaduh. Kaki
Mahisa Semu tepat mengenai perutnya, sehingga anak muda
itu terbungkuk kesakitan. Sambil meloncat kesamping, tangan
Mahisa Semu terayun m endatar menghantam kening seorang
lagi diantara lawan-lawannya.
Kelima orang lawan-lawannya benar-benar menjadi
bingung. Pukulan Mahisa Semu datang beruntun. Satu demi
satu mereka jatuh dan sulit untuk dapat bangkit kembali.
Pernimpin anak-anak muda itu sekali lagi telah terjatuh pula.
Namun Mahisa Semu y ang marah itu tidak puas dengan
sekedar menjatuhkan mereka seorang demi seorang.
Kemarahan Mahisa Semu benar -benar sampai ke puncak.
Karena itu ketika lawan-lawannya berjatuhan, m aka ia pun
telah meloncat menerkam mereka seorang demi seorang.
Pemimpin anak anak m uda itu ditariknya sehingga bangkit
berdiri. Namun sekali ayun tangan Mahisa Semu telah m emukul
dagu anak muda itu. Anak muda itu terlempar dua langkah surut dan kemudian
jatuh terlentang. Namun Mahisa Semu masih belum puas. Ia
telah menarik anak muda y ang lain. Menariknya b erdiri dan
memukulnya pula sampai anak muda yang ketujuh. Mereka
yang jatuh terguling dari kudanya dan tidak dapat bangkit lagi
itu pun telah diperlakukan dengan keras oleh Mahisa Semu.
Apalagi kedua orang anak m uda y ang jatuh dari kudanya itu
adalah anak-anak muda yang telah meny entuh kepalanya.
Anak-anak muda itu benar-benar tidak mampu berbuat apa
apa lagi. Mereka hanya dapat menyeringai menahan sakit dan
mengerang kesakitan. Mahisa semu itu baru berhenti memukuli anak-anak muda
itu ketika Mahisa Pukat menggamitnya dan berkata:
"Sudahlah Mahisa Semu. Tidak sepantasnya kau melakukan
hal itu. Apalagi matahari sudah hampir tenggelam. Kita harus
melanjutkan perjalanan."
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
ketujuh anak anak muda itu mengerang kesakitan. Tubuh
mereka bagaikan telah diremukkan oleh Mahisa Semu.
Tulang-tulang mereka bagaikan berpatahan.
Namun Mahisa Semu pun menyadari, bahwa ia tidak dapat
larut dalam kemarahannya terus-menerus. Karena itu m aka
sejenak kemudian Mahisa Semu pun melangkah surut.
Dilihatnya ketujuh orang lawannya itu telah terbaring diam
tanpa dapat berbuat apa-apa lagi selain mengerang kesakitan.
Dari kejauhan para gembala menyaksikan semuanya itu.
Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Apalagi
mencarnpuri persoalan itu.
Namun sejenak kemudian, orang-orang y ang ada di ara ara
itu terkejut. Mahisa Semu dan Mahisa Pukat melihat beberapa
orang mendatangi mereka:-
"Apakah kita akan melayani mereka"," bertanya Mahisa
Semu. "Kita akan terlalu lama berhenti disini," jawab Mahisa
Pukat. Mahisa Semu pun kemudian bersiul keras-keras. Ternyata
kudanya y ang sudah terbiasa mendengar siulnya telah berlarilari
mendekatinya. Dengan sigapnya Mahisa Semu pun meloncat ke punggung
kudanya. Demikian pula Mahisa Pukat yang masih harus
berlari lebih dahulu beberapa langkah, baru kemudian
meloncat ke punggung kudanya.
Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah
menghentakkan kendali kudanya meninggalkan ara-ara itu.
"Ki Sanak," teriak seseorang dari antara orang-orang y ang
berdatangan. Namun Mahisa Pukat dan Mahisa Semu tidak
menghiraukannya lagi. Keduanya berderap semakin lama
semakin jauh, sementara langit pun inenjadi semakin gelap.
"Darahmu mengalir lagi," desis Mahisa Pukat.
"Ya," sahut Mahisa Semu.
"Kita harus berhenti untuk mengobatinya lagi," berkata
Mahisa Pukat pula. Mahisa Semu tidak menjawab. Namun mereka masih
berpacu terus agar mereka mempunyai jarak y ang cukup.
Apalagi jika gelap turun. Seandainya orang-orang padukuhan
terutama orang tua anak-anak muda itu menyusulnya, mereka
tentu akan sulit untuk mencari jejak.
Apalagi ketika Mahisa Semu dan Mahisa Pukat telah
mengambil jalan kecil untuk mendapat tempat berhenti.
Meski pun dalam kegelapan namun Mahisa Pukat sempat
mengobati luka-luka Mahisa Semu yang berdarah lagi.
"Aku sengaja membiarkan kau berkelahi sendiri," desis
Mahisa Pukat sambil menaburkan obat di luka Mahisa Semu.
Mahisa Semu memang meny eringai menahan pedih dan
panas pada lukanya yang tersentuh obat itu. Namun Mahisa
Semu mengetahui bahwa obat itu justru telah bekerja di
lukanya itu. Seterusny a keddanya telah beristirahat beberapa saat di
kegelapan. Mereka ternyata sudah malas untuk meneruskan
perjalanan sampai kepadukuhan untuk mencari tempat
bermalam. Ternyata mereka lebih senang bermalam di tempat itu juga.
Apalagi t idak jauh dari tempat itu terdapat sebuah parit yang
airnya sangat jernih. Mahisa Semu y ang menengadahkan wajahnya melihat
langit pun terang. Tidak ada awan yang mengalir diudara.
Yang nampak adalah bintang2
bergayutan dari cakrawala
sampai ke cakrawala. "Nampaknya tidak akan
hujan malam ini," berkata
Mahisa Semu sambil membaringkan tubuhnya di atas sebongkah batu hitam
yang besar y ang banyak terdapat di tempat itu. "Ya," sahut Mahisa Pukat
yang duduk sambil menyilangkan kakinya. Juga di
atas batu y ang besar. "Tidurlah. Nanti bergantian," desis Mahisa Pukat.
"Ya. Aku letih sekali," sahut Mahisa Semu.
"Terutama karena darahmu y ang m engalir cukup banyak.
Bukan karena kau berkelahi dengan anak-anak muda itu,"
jawab Mahisa Pukat pula. Mahisa Semu tidak menjawab. Namun ia pun telah
memejamkan matanya. Udara memang terasa dingin. Apalagi
kemudian embun pun mulai membasahi batu tempat ia
berbaring. Tetapi Mahisa Semu itu pun telah tertidur pula.
Mahisa Pukat masih saja duduk di atas sebongkah batu. Ia
memang tidak ingin tidur. Ia akan berjaga-jaga sampai dini.
Jika Mahisa Semu telah cukup lama tidur, ia hanya ingin tidur
seujung pagi saja sebelum meneruskan perjalanan.
Dua ekor kuda terikat pada sebatang pohon perdu.
Nampaknya tidak ada sesuatu yang akan mengganggu mereka
malam itu. Lewat tengah malam, batu tempat Mahisa Pukat duduk itu
pun terasa menjadi ba sah oleh embun. Namun Mahisa Pukat
tidak beranjak dari tempatnya. Ia sudah terbiasa berada di
segala tempat dalam segala suasana.
Menj elang dini, Mahisa Pukat justru terkejut.
Pendengarannya y ang sangat tajam m endengar desir lembut.
Semakin lama semakin dekat, sehingga ketika desir itu
diyakini langkah seseorang, Mahisa Pukat pun bangkit dan
berdiri d i atas batu itu. Katanya tidak t erlalu keras: "Marilah.
Aku persilahkan Ki Sanak mendekat."
Sejenak suasana justru menjadi hening. Namun kemudian,
langkah itu terdengar lagi. Bahkan sesosok tubuh telah muncul
dari balik sebongkah batu yang besar.
"Ternyata kau benar-benar berilmu tinggi," desis orang
yang datang itu, "kau dengar langkahku mendekat."
"Kau kurang berhati-hati," sahut Mahisa Pukat, "disini
banyak daun kering."
"Baiklah. Aku harus mengakui kelebihanmu," jawab orang
itu. "Siapakah kau "," bertanya Mahisa Pukat. "Apakah kau
mempunyai hubungan dengan anak-anak muda di ara -ara
itu?" Mahisa Pukat mencoba menebak.
"Tidak secara langsung," jawab orang itu.
"Maksudmu "," bertanya Mahisa Pukat kemudian.
"Aku adalah orang yang dianggap memiliki ilmu terbaik di
padukuhan itu. Kalian ternyata sudah memukuli anak-anak
muda padukuhan kami. Meski pun aku bukan orang upahan,
bahkan aku tidak setuju dengan tingkah laku mereka, namun
aku juga tidak setuju dengan caramu. Kalian sudah bertindak
sendiri dan langsung," berkata orang itu.
"Jadi apa y ang harus kami lakukan "," bertanya Mahisa
Pukat. "Jika kau merasa dirugikan, maka kau harus
melaporkannya kepada Ki Bekel. Ki Bekel y ang akan
menyelesaikan segala persoalan," jawab orang itu: "jika tidak
demikian, maka wibawa para bebahu padukuhan akan
leny ap." "Wibawa bebahu padukuhan itu tidak akan lenyap karena
tindakan kami, karena bebahu padukuhan itu sudah tidak
mempunyai wibawa sejak lama," jawab Mahisa Pukat.
"Kenapa "," bertanya orang itu.
"Apa yang dapat dilakukan oleh bebahu padukuhan
terhadap anak- anak muda yang tidak tahu adat itu". Jika
wibawa bebahu padukuhan itu masih utuh, maka tindakan dan
sikap seperti itu tentu sudah tidak ada lagi," jawab Mahisa
Pukat. Orang itu merenung sejenak. Namun kemudian katanya:
"Ya, Kau benar. Tetapi kau, orang asing di padukuhan kami,
jangan menambah parah kedudukan para bebahu itu."
"Kami tidak mempunyai pilihan lain. Anak-anak muda itu
telah menghinakan kami. Karena itu, maka kami harus
membela harga din kam i," jawab Mahisa Pukat.
"Meski pun wibawa kami sudah lama susut. Tetapi kami
tidak mau orang asing menginjak-injak harga diri kami,"
jawab orang itu. "Jadi bagaimana menurut penilaianmu. Kalian tidak mau
tersinggung, tetapi kalian biarkan anak-anak padukuhan itu
menyinggung harga diri orang lain," berkata Mahisa Pukat.
"Kami tidak mau timbul kesan orang asing, bahwa
padukuhan kami tidak memiliki kemampuan untuk m enjaga
harga diri kami. Karena itu, apa pun alasannya, aku ingin
menunjukkan bahwa dipadukuhan kami ada kekuatan yang
dapat menjaga wibawa dan nama baiknya meski pun kedalam
hal itu tidak dapat diberlakukan," berkata orang itu.
"Bukankah pikiranmu terbalik " Kalian harus m enegakkan
wibawa kalian kedalam. Dengan sendiriny a wibawa itu akan
memancar keluar," sahut Mahisa Pukat.
"Ki Sanak. Apa pun per soalan y ang kau sebut, m aka aku
tetap pada pendirianku. Aku ingin membawa kalian berdua
kembali ke padukuhan kami. Kalian berdua harus bertanggung
jawab atas perbuatan kalian. Baru kemudian kami dapat
mengadili dan menghukum orang- orang kami," berkata orang
itu. "Tidak Ki Sanak. Yang harus kau lakukan adalah
menghukum anak-anak bengal itu dan memaksa mereka
untuk tidak melaktikannya lagi agar pada kesempatan lain
bukan kepala mereka yang dipecahkan," jawab Mahisa Pukat.
"Aku kira aku sudah cukup memberikan alasan kenapa aku
mengikuti jejakmu. Hampir saja aku kehilangan. Untunglah,
bahwa kemampuanku mengikuti jejak masih juga membawa
aku menyusul kalian disini.," berkata orang itu.
Tetapi Mahisa Pukat menjawab: "Aku pun sudah cukup
memberikan alasan. Aku tidak akan kembali lagi. Aku akan
tetap meneruskan perjalanan."
>>> Untuk selanjutnya, Mahisa Pukat benar -benar tidak
memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Ketika sekali lagi
Mahisa Pukat meny erangnya dengan ay unan tangan mengenai
kening lawannya, maka lawannya itu pun telah terjatuh lagi.
Namun rasa-rasanya tenaga memang tidak mungkin lagi
untuk menopang k einginannya mempertahankan dirinya dan
apalagi memaksa anak muda itu kembali ke padukuhan.
Karena itu, ketika ia kemudian bangkit, orang itu sama
sekali tidak berusaha untuk berdiri. Ia masih saja duduk di
tanah dengan kepala tunduk.
Mahisa Pukat tidak meny erangnya lagi. Dibiarkannya
lawannya itu mengatur pernafasannya sebelum bangkit
berdiri. Tetapi lawannya tidak segera berdiri. Bahkan kemudian
terdengar ia mengeluh menahan sakit.
Untuk beberapa saat lamanya Mahisa Pukat menunggu.
Ketika lawannya itu masih saja duduk, maka ia pun bertanya:
"Bagaimana Ki Sanak. Apakah kita masih akan m elanjutkan
lagi ?" "Anak muda," berkata orang itu dengan nada yang dalam:
"aku harus mengakui bahwa kau memang memiliki ilmu yang
tinggi. Aku pun menyadari, bahwa apa yang kau lakukan
belum sampai ke puncak kemampuan kalian. Karena itu,
mustahil aku dapat memenuhi keinginan orang-orang
padukuhan, agar aku membawa kalian berdua kembali ke
padukuhan. "Jika demikian, biarkan aku pergi," berkata Mahisa Pukat.
"Baiklah," berkata orang itu, "tetapi aku akan tidak berarti
lagi di padukuhan. Selama ini hanya akulah yang dapat
mengekang orang-orang tua dari anak-anak yang bengal itu.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa kekangan itu, mereka tentu akan berbuat jauh lebih
buruk lagi." "Kenapa "," bertanya Mahisa Pukat, "kenapa kau m enjadi
tidak berarti lagi "
"Aku tidak dapat meny elesaikan tugas yang mereka berikan
kepadaku. Mereka telah minta tolong kepadaku untuk
membawa kalian berdua kembali ke padukuhan. Tetapi aku
tidak dapat memenuhinya. Mereka tentu m enganggap bahwa
selama ini aku hanya sekedar pembual saja yang ternyata tidak
dapat melakukan sesuatu y ang berarti bagi mereka," jawab
orang itu. Lalu katanya pula: "Tetapi itu harus aku terima."
"Tetapi kau dapat menunjukkan kelebihanmu. Orang-orang
yang tidak menghargaimu lagi, kau tantang saja untuk
berkelahi. Jika tidak ada orang y ang mampu mengalahkanmu,
maka kau akan dapat menepuk dada dan berkata kepada
mereka, bahwa kau tetap orang t erbaik," berkata Mahisa
Pukat. "Dan mereka akan mencibirkan sambil memperingatkan
kepadaku, bahwa aku tidak mampu membawa dua orang anak
muda kembali ke padukuhan," jawab orang itu.
"Katakan kepada mereka, bahwa kau tidak berhasil
menyusul kami. Katakan bahwa anak-anak muda itu tidak
berhenti meskipun malam hari. Mereka berjalan terus
sepanjang malam," sahut Mahisa Pukat.
"Apa pun alasannya, mereka tidak akan lagi menghargai
aku. Setidak-tidaknya penghargaan mereka terhadapku akan
su sut." jawab orang itu.
Mahisa Pukat termangu-mangu sejenak. Ia memandangi
orang itu dengan dahi y ang berkerut. Sementara orang itu
masih saja duduk sambil menundukkan kepalanya.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Baiklah. Aku dan adikku akan mengikutimu kembali ke
padukuhan. Tetapi ingat, jika kau tidak berhasil
mengendalikan orang-orang padukuhan sehingga mereka
akan menghukum aku, maka aku akan melindungi adikku.
Mungkin aku dan adikku akan membantai orang-orang
padukuhanmu berapa pun jumlahnya."
Orang itu mengangkat wajahnya. Dipandanginya Mahisa
Pukat dengan pandangan kosong.
Namun kemudian Mahisa Pukat berkata lantang: "Kau
tidak percaya"."
Mahisa Pukat tidak m enunggu jawaban orang itu. Dengan
serta merta ia pun telah m emusatkan nalar budinya. Dengan
sigap ia pun kemudian telah menghentakkan tangannya
dengan kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke
sebuah batu padas di bawah sebatang pohon.
Seleret sinar telah m enyambar dari telapak tangan Mahisa
Pukat itu. Batu padas y ang dikenainya seakan-akan telah
meledak dan pecah berserakan.
Orang itu terkejut sehingga ia terlonjak berdiri.
Dipandanginya Mahisa Pukat dan batu yang hancur itu
berganti-ganti. Ia seakan-akan tidak percaya kepada
penglihatannya. "Aku hanya ingin mengatakan kepadamu, jika orang-orang
padukuhanmu itu mau menghukumku, maka yang terjadi
adalah seperti batu padas itu. Apalagi seseorang y ang terdiri
dari kulit dan daging y ang lunak," geram Mahisa Pukat.
Orang itu tergagap. Katanya: "Baiklah. Jika demikian, aku
tidak akan berani membawa kalian berdua kembali ke
padukuhan." "Sudah aku katakan. Jika itu kau perlukan, maka kami
tidak berkeberatan. Tetapi jangan perlakukan kami seperti
seekor keledai y ang dungu, karena kami akan dapat
membunuh seluruh isi padukuhanmu.," berkata Mahisa Pukat.
"Tetapi apakah aku akan dapat menguasai mereka "," orang
itu justru bertanya. "Jika kau m emang mempunyai wibawa y ang cukup, m aka
kau akan dapat melakukannya," jawab Mahisa Pukat.
"Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya dengan nada rendah: "Sudahlah. Aku akan kembali
tanpa kalian. Biarlah kalian melanjutkan perjalanan kalian
tanpa tergaggu." "Aku akan kembali ke padukuhanmu," jawab Mahisa Pukat.
Orang itu menunduk. Katanya hampir tidak dapat dide-ngar
oleh orang lain: "Aku tidak mengira sama sekali."
Tetapi ternyata orang itu tidak dapat melangkah surut.
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah bertekad untuk ikut
kembali ke padukuhan. Mereka ingin m elihat, apa y ang akan
dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu terhadap anakanak
muda y ang sering menganggu orang y ang lewat di
padukuhan mereka. Demikianlah, maka Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
mengikuti orang itu kembali ke padukuhan. Beberapa puluh
langkah dari tempat Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
beristirahat, orang itu menambatkan kudanya.
Sejenak kemudian maka ketiga ekor kuda itu telah berpacu
kembali ke padukuhan. Ketika mereka sampai ke ara-ara maka
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun terkejut. Ternyata di araara
itu telah berkumpul banyak orang padukuhan. Beberapa
obor telah terpasang menerangi satu lingkungan y ang luas.
Ketika tiga ekor kuda itu memasuki ara-ara, maka
terdengar dengan serta-merta orang-orang padukuhan itu
bersorak. Agaknya mereka menganggap bahwa orang yang
menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu berhasil
membawa kembali kedua orang anak muda y ang mereka
kehendaki. Sejenak kemudian, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu telah
berada di tengah ara-ara itu bersama orang y ang membawanya
kembali. Serentak orang-orang padukuhan itu telah
mengurung mereka. Sementara anak-anak muda yang merasa
disakiti oleh Mahisa Pukat itu pun berdiri dipaling depan
sambil bertolak pinggang.
"Serahkan anak itu kepadaku," teriak anak muda y ang
paling berpengaruh diantara mereka.
"Serahkan kepada kami. Kami akan menghukumnya,"
teriak y ang lain. Dari antara orang-orang padukuhan itu telah melangkah
mendekat beberapa orang tua. Seorang diantara mereka
berkata: "Anak inikah y ang telah menyakiti anakku?"
Orang y ang membawa Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu
memang menjadi berdebar-debar. Namun kemudian katanya
daengan nada tinggi. "Aku memang sudah membawa
keduanya kembali. Tetapi setelah aku bertemu dan berbicara
dengan mereka, maka aku telah mendapat kesan yang lain."
"Kesan apa"," bertanya seorang laki-laki bertubuh raksasa.
"Ternyata bahwa apa y ang terjadi tidak seperti apa y ang
kalian katakan kepadaku," jawab orang itu, "aku sudah
terlanjur memaksa mereka kembali meski pun semula mereka
berkeberatan. Baru kemudian aku tahu bahwa m ereka sama
sekali tidak bersalah."
"Siapa yang tidak bersalah" Apakah kau tidak m elihat apa
yang terjadi atas anak-anak kita?" bertanya orang bertubuh
raksasa itu. " Itu disebabkan karena kesalahan mereka sendiri. Mereka
menganggu orang -orang yang sedang lewat. Namun satu
ketika mereka terbentur pada kekuatan yang tidak dapat
mereka atasi -jawab orang itu."
"Omong kosong," teriak raksasa itu, "aku tidak percaya. Kau
harus berbuat sesuatu."
"Kita harus mendengar yang sebenarnya terjadi. Bukan
sekedar memanjakan anak-anak kita. Apakah kita harus
menutup mata atas apa yang sering mereka lakukan" Apakah
kita harus membiarkan dan bahkan m elindungi tingkah laku
mereka itu" Semakin lama mereka akan menjadi semakin
buas," berkata orang itu.
"Cukup," bentak orang bertubuh raksasa itu.
Namun tiba-tiba saja orang yang membawa Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu itu meloncat turun. Sambil bertolak
pinggang ia berkata: "Kau berani membentak aku he?"
Orang bertubuh raksasa itu termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian ia melangkah surut ketika orang yang
meloncat turun dari kudanya itu melangkah maju.
"Bukan maksudku," orang bertubuh raksasa itu menjadi
gagap. Sementara itu, orang y ang membawa Mahisa Pukat dan
Mahisa Semu kembali ke padukuhan itu pun kembali meloncat
ke punggung kudanya. Kemudian ia pun berkata lantang: "He
orang-orang padukuhan ini. Apakah kalian percaya
sebagaimana dikatakan oleh anak-anak muda ini bahwa
mereka telah diserang dengan licik" Siapakah diantara kalian
yang melihat apa y ang terjadi" Mungkin para gembala. Tetapi
mereka takut mengaku berusaha meredam niat orang-orang
padukuhan ini untuk berbuat sesuatu atas anak-anak kalian.
Tetapi y ang dilakukan hari ini sudah keterlaluan," berkata
orang itu. "Apa pun yang dilakukan, kau wajib melindunginya,"
berkata orang kay a yang lain.
"Tidak," berkata orang itu, "sejak hari ini aku berhenti
memberikan perlindungan kepada anak-anak y ang tidak tahu
adat itu. Sesudah sekian lama aku mencoba untuk
mengendalikan tingkah laku mereka. Namun aku tidak
berhasil. Nah, sekarang aku akan minta salah seorang anak
muda ini untuk m engatakan apa y ang telah dilakukan oleh
anak-anak kalian." Sebelum seseorang menjawabnya, maka orang itu segera
berpaling kepada Mahisa Pukat sambil berkata: "Katakan, apa
yang telah terjadi atas kalian."
Mahisa Pukat pun berpaling kepada Mahisa Semu sambil
berkata: "Katakan."
Mahisa Semu menggerakkan kudanya beberapa langkah
maju. Kemudian ia pun telah m enceriterakan apa y ang telah
terjadi. Dengan suara lantang ia akhirnya berkata: "Aku
merasa ter singgung sekali. Karena itu, maka aku telah
melawan mereka berkelahi."
Wajah-wajah pun menjadi tegang. Seorang diantara orang
tua anak- anak muda itu berteriak: "Kau dapat mengarang
ceritera apa saja. Tetapi tidak seorang pun akan percaya
bahwa kau seorang diri dapat m enang atas beberapa orang
anak-anak muda kami."
"Aku berkata sebenarnya. Bahkan tentu ada beberapa
sak si," jawab Mahisa Semu: "tingkah laku anak-anak muda
yang tidak bertanggungjawab itu sangat menyakitkan hati.
Aku berusaha untuk melupakannya dengan meninggalkan araara
ini. Tetapi orang y ang kalian upah itu telah m enyusulku
dan memaksa kami berdua untuk kembali. Ara-ara ini telah
mengingatkan aku kepada tingkah laku mereka yang tidak
pantas itu. Karena itu, jika kalian tidak percaya bahwa aku
telah m engalahkannya, m aka biarlah aku m encobanya sekali
lagi dihadapan hidung kalian."
Orang-orang itu menjadi ragu -ragu. Namun orang y ang
telah menyusul agar Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu
kembali berkata: "Aku percaya akan kata-katanya. Aku telah
menjajagi kemampuannya. Dan aku tahu benar kemampuan
anak-anak muda yang hanya membanggakan diri dalam
perlindungan orang lain. Bukan karena kemampuannya
sendiri. Nah, aku setuju dengan anak muda itu. Biarlah ia
mencoba sekali lagi melawan anak-anak muda yang telah
memperlakukannya tidak sepantasnya itu -
Tetapi yang meloncat turun dari kudanya adalah Mahisa
Pukat sambil berdesis: "Lukamu akan dapat berdarah lagi."
Sebelum Mahisa Semu berkata sesuatu, Mahisa Pukat telah
berteriak: "Marilah. Kita akan memperlihatkan kebenaran
kata-kata kita m asing-masing. Aku tantang anak-anak muda
yang berkelompok untuk mengganggu orang lain itu berkelahi
disini." Tetapi anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak.
Meski pun mereka sudah berkumpul dalam satu kelompok dan
berdiri di paling depan. Bahkan ketika sebelumnya mereka
bertolak pinggang, maka tangan-tangan mereka telah terkulai
disisi tubuh mereka. "Marilah," tantang Mahisa Pukat sekali lagi.
Orang yang telah datang sambil membawa Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu itu pun berkata: "Nah, marilah. Buktikan
bahwa kalian dapat melindungi diri kalian sendiri. Aku tidak
akan turut campur." Anak-anak muda itu m asih saja termangu -mangu. Mereka
masih ingat apa yang t erjadi atas diri mereka. Tubuh
merekapun masih terasa sakit. Bahkan mereka yang
terbanting dari kudanya masih m erasakan punggung m ereka
bagaikan menjadi patah. Orang-orang tua mereka pun termangu-mangu. Mereka
pun tahu bahwa anak-anak mereka mengalami luka-luka
didalam tubuh mereka. Sementara orang yang mereka
banggakan itu tidak bersedia menolong mereka lagi.
Sementara itu anak muda itu telah menantangnya lagi:
"Marilah. Kita akan membuktikannya."
Anak-anak muda padukuhan itu y ang biasanya dengan
menengadahkan wajah mereka, bahkan sambil tertawa,
mengganggu orang lain, tiba-tiba telah m enundukkan kepala
mereka. Tidak ada lagi y ang bertolak pinggang. Mereka tidak
dapat ingkar kepada satu kenyataan, apa yang telah terjadi
atas diri mereka sebelumnya.
Namun salah seorang dari orang tua mereka tiba-tiba
berteriak kepada orang-orang padukuhan itu: "He, seisi
padukuhan. Apakah kalian akan membiarkan anak-anak
kalian dihinakan orang " Apakah sama sekali tidak timbul di
hati kalian satu sikap yang dapat menjunjung nama
padukuhan kalian " Jika masih ada sedikit saja kebanggaankalian
atas padukuhan ini, marilah, kita bersama-sama
menangkap kedua orang anak muda itu dan m enghukumnya,
karena mereka telah menghinakan anak-anak kita. Anak-anak
muda yang kelak akan menggantikan kedudukan kita semua."
Ara -ara itu menjadi hening.
Beberapa orang memang tersentuh hatinya. Ada semacam
dor ongan untuk berbuat sesuatu
bagi kepentingan padukuhan
mereka. Sementara itu orang itu berkata pula untuk

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempertajam kata- katanya
sebelumnya: "Apakah kita akan
membiarkan padukuhan kita
dianggap tidak berday a sama
sekali sehingga orang-orang lain
akan datang menginjak-injak
tanpa ada y ang dapat mencegahnya?" Satu dua orang mulai bergerak. Namun dalam pada itu,
orang y ang telah menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu itu
berkata tidak kalah lantangnya: "Jika kita berbuat sesuatu,
untuk apa sebenarnya" Untuk mempertahankan harga diri
padukuhan ini atau sekedar untuk memanjakan anak-anak
bengal itu?" "Kita akan mempertahankan nama baik padukuhan ini jika
persoalannya memang menyangkut kepentingan kita bersama.
Tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi ". Bukan saja hari ini.
Tetapi hari -hari sebelumnya " Apakah kita, seisi padukuhan
ini harus mengabdi kepada beberapa orang anak muda yang
tidak mau mengerti akan tata kehidupan orang banyak dan
merasa dirinya dapat berbuat apa saja karena uang " Dengar.
Aku adalah orang y ang pernah diupah oleh orang-orang kaya
itu untuk melindungi mereka. Anak-anak m ereka dan wibawa
mereka. Tetapi akhirnya aku m enjadi muak melihat tingkah
laku anak-anak mereka. Bagaimana pun juga mencoba
mencegahnya, tetapi karena aku adalah orang upahan mereka,
maka kata-kataku tentu akan mereka abaikan begitu saja. Dan
sekarang, mumpung ada orang lain yang berbaik hati untuk
memberikan sedikit tegoran kepada anak-anak muda itu,
maka aku hanya dapat menumpang kepada mereka. Karena
itu, maka aku sama sekali tidak mau membantu mereka dalam
persoalan ini. Jika kalian, orang-orang padukuhan ini akan
melindungi mereka, lakukan. Tetapi aku tidak. Bahkan jika
terjadi benturan kekuatan antara kalian dengan anak anak
muda ini, aku akan berpihak kepada mereka."
Kata -kata itu m emang mengejutkan. Tetapi kata -kata itu
telah memaksa orang-orang padukuhan itu berpikir.
Sementara itu, salah seorang dari orang tua anak-anak
muda itu berteriak: "Jadi kalian akan berkhianat seperti orang
itu y ang selama ini telah diupah untuk melindungi anak-anak
kita " Tidak. Kalian adalah orang-orang padukuhan y ang tahu
diri." "Siapakah yang telah berkhianat"," bertanya orang y ang
menyusul Mahisa Pukat dan Mahisa Semu: "Apakah aku dapat
disebut berkhianat jika aku kemudian m enyadari, bahwa apa
yang aku lakukan selama ini tidak berarti sama sekali. He,
orang-orang padukuhan y ang baik. Apakah aku boleh bertanya
kepada kalian, apakah kalian tidak tahu apa yang kalian lihat,
kalian dengar dan kalian saksikan sehari-hari tingkah laku
anak-anak muda itu " Atau aku harus mengulangi
pertanyaanku, kalian masih saja berpura-pura laku karena
anak-anak muda itu adalah anak orang- orang kay a ?"
Orang-orang padukuhan itu memang menjadi bingung.
Sebelum orang tua anak-anak muda itu berteriak, maka orang
itu telah mendahului: "Bukankah setiap hari kalian juga
mengeluh karena tingkah laku mereka " Apakah mereka dapat
hidup dalam satu lingkaran pergaulan dengan anak-anak
muda padukuhan yang lain " Dengan para gembala, dengan
anak-anak petani miskin yang tidak m empunyai kuda seperti
mereka " Anak-anak kalian, misalny a. Nah, jika demikianlah,
terserah. Langkah mana yang akan kalian ambil."
Penjelasan itu cukup membuka hati orang-orang
padukuhan. Mereka justru melangkah surut dan menjauhi
anak-anak muda yang bengal itu.
Tidak ada y ang menjawab. Tetapi mereka masih melangkah
beberapa langkah lagi menjauh.
Dengan demikian maka orang yang membawa Mahisa
Pukat dan Mahisa Semu kembali ke ara-ara itu berkata:
"Baiklah jika kalian menyadari keadaan sepenuhnya. Kalian
masih sempat merenungkan apa y ang sebaiknya kalian
lakukan. Kedua anak muda itu masih ada disini. Sebelum
mereka pergi, kalian harus m engambil keputusan. Juga anakanak
muda itu, apakah m ereka akan membuktikan kata-kata
kedua anak muda y ang lewat berkuda di padukuhan ini. Sekali
lagi melawan mereka berdua atau bahkan seorang saja
diantara mereka?" Tidak ada y ang menjawab. Baik anak-anak muda y ang
bengal itu mau pun orang tuanya.
Karena tidak ada y ang menjawab, maka Mahisa Pukat pun
berkata: "Jika tidak ada diantara kalian y ang ingin mengulangi
lagi, maka aku justru m enuntut anak-anak m uda yang telah
mengganggu perjalananku diadili."
"Maksudmu "," bertanya salah seorang diantara orang tua
anak- anak muda itu. "Kami berdua telah dihinakan ketika kami lewat," jawab
Mahisa Pukat: "Nah, hukuman apa y ang paling pantas
diberikan kepada mereka ?"
Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Sementara
orang-orang tua dari anak-anak muda yang bengal itu
memang menjadi berdebar- debar.
Karena tidak ada y ang menjawab, maka Mahisa Pukat pun
Pedang Tanduk Naga 5 Fear Street - Kamar Rahasia The Secret Bedroom Pemburu Mahkota Dara 1
^