Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 14

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 14


berkata: "Para orang tua dari anak-anak y ang tidak tahu adat
itu harus mengambil sikap. Apa y ang akan kalian lakukan "
Kal ian adalah orang-orang yang paling berkepentingan dengan
anak-anak kalian. Memang tidak ada seorang pun dari antara
para orang tua y ang tidak ingin melindungi anak-anaknya.
Tetapi sudah tentu tidak seorang pun diantara para orang tua
yang ingin anaknya kehilangan masa depannya. Nah, jika
kalian biarkan anak-anak bengal itu berbuat seperti sekarang,
maka mereka adalah anak-anak yang tidak akan dapat
bertanggungjawab atas perbuatannya. Mereka akan menjadi
anak-anak yang tidak akan berarti sama sekali di masa depan.
Mereka akan tersingkir oleh anak-anak orang miskin tetap
yang dengan tekun membentuk dirinya dan mengumpulkan
bekal bagi masa depannya."
Tidak ada seorang pun y ang menjawab. Sementara itu,
Mahisa Pukat y ang telah berada di punggung kudanya kembali
itu berkata: "Baiklah. Orang-orang tua di padukuhan ini akan
dapat menjelaskan kata-kataku. Atau kalian pun telah
mengetahui maksudku. Karena itu, kali ini aku serahkan
hukuman anak-anak bengal itu kepada orang tua mereka
masing-masing. Tetapi aku y ang sering lewat jalan ini jika aku
pergi ke Singasari, akan dapat m engikuti perkembangan dari
mereka. Jika mereka masih sering mengganggu orang lain,
membuat onar dan bertindak sewenang-wenang karena
mereka mempunyai uang, maka aku akan bertindak lagi. Aku
adalah salah satu dari per soalan bagi mereka yang tidak dapat
diselesaikan dengan uang. Padahal persoalan y ang demikian
itu akan semakin banyak. Orang-orang padukuhan ini pun
akan menilai kembali apakah kalian m emang dapat membeli
harga diri seluruh penghuni padukuhan ini dengan uang
kalian." Orang-orang itu masih berdiam diri. Sementara itu Mahisa
Pukat pun berkata kepada orang y ang membawanya kembali:
"Aku sudah memenuhi keinginanmu, Ki Sanak. Aku sudah kau
bawa kembali kemari. Aku kira per soalanku disini sudah
selesai." Orang itu m engangguk sambil berkata: "Baiklah. Jika kau
akan melanjutkan perjalananmu, lanjutkanlah. Jika besok atau
lusa atau kapan saja kau lewat jalan ini, kau tidak akan
diganggu lagi oleh anak-anak bengal itu. Orang-orang
padukuhan ini pun sudah muak terhadap mereka. Orangorang
padukuhan ini tentu tidak mau lagi diganggu pula
sebagaimana kalian."
Terima kasih," jawab Mahisa Pukat.
Orang itu pun berdesis perlahan: "Akulah y ang harus
mengucapkan terima kasih."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu sempat memandangi
orang-orang y ang ada di ara-ara. Semuanya menjadi semakin
jelas. Obor-obor justru nampak menjadi semakin buram,
karena langit menjadi merah kekuning-kuningan.
Namun Mahisa Pukat sempat berdesis: "Ternyata aku tidak
sempat beristirahat malam ini. Aku harus berjalan hilir mudik
semalam suntuk." "Aku minta maaf," desis orang itu pula.
"Tidak. Tidak apa -apa. Aku sudah terbiasa berjaga-jaga
semalam suntuk.," sahut Mahisa Pukat.
Sejenak kemudian Mahisa Pukat dan Mahisa Semu pun
telah menghentakkan kendali kudanya. Kudanya pun segera
meloncat berlari. Derapnya terdengar mengguncang
ketenangan pagi. Semakin lama menjadi semakin jauh,
sehingga akhirnya hilang dari pendengaran.
Namun m atahari mulai melontarkan cahayanya menusuk
langit yang cerah. Ternyata semalam bahkan sampai pagi
hujan tidak turun. Demikianlah, setelah Mahisa Pukat dan Mahisa Semu,
hilang dari penglihatan, bahkan suara derap kaki kudanya
tidak terdengar lagi, maka orang y ang telah membawanya
kembali ke ara-ara itu berkata: "Kita tidak mempunyai
persoalan lagi disini. Tetapi apa yang terjadi disini dapat kita
ingat-ingat. Suatu ketika ada juga orang yang mampu
mencambuk anak-anak kita. Selama ini suaraku tidak lebih
dari suara seekor katak dilebatnya hujan sehingga tidak
berday a sama sekali mempengaruhi sikap dan tingkah laku
anak-anak muda padukuhan ini, khususny a anak orang-orang
berada. Sekarang terserah kepada orang-orang tua mereka.
Apakah mereka akan membiarkan anak-anak mereka
mengalami lecutan orang lain y ang lebih parah lagi, atau
mereka akan berusaha untuk meluruskan sikap mereka,
kemudian m embaurkan mereka diantara anak-anak muda di
padukuhan ini y ang jumlahnya lebih banyak dari mereka."
Orang itu berhenti sejenak, lalu: "Juga terserah kepada orangorang
padukuhan ini, apakah mereka akan menegor tingkah
laku seperti itu, atau m embiarkannya karena dibayangi oleh
kekay aan orang tua mereka. Aku sendiri, sejak sekarang bukan
orang upahan lagi." Orang itu tidak menunggu pendapat orang lain. Ia pun
segera menggerakkan kekang kudanya dengan berlari -lari
kecil kuda itu pun meninggalkan ara-ara y ang menjadi
semakin terang. Ny ala obor di beberapa tempat itu pun sama
sekali sudah tidak berdaya lagi. Di langit matahari m emancar
dengan terangnya. Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih meneruskan
perjalanan mereka. Sekali lagi Mahisa Pukat berkata: "Aku
semalam suntuk tidak memejamkan mata sama sekali."
"Apakah kita akan beristirahat"," bertanya Mahisa Semu.
"Kita meneruskan perjalanan. Tetapi kita pun harus
mengingat kuda-kuda itu y ang kurang beristirahat pula
semalam," jawab Mahisa Pukat.
Mahisa Semu m engangguk-angguk. Sementara itu mereka
tidak lagi berani m emacu kuda mereka, karena jalan menjadi
semakin ramai. "Nampaknya kita mendekati sebuah pasar," berkata Mahisa
Pukat yang melihat orang y ang berjalan hilir mudik dengan
beban mereka masing -masing.
Sebenarnyalah, beberapa lama lagi mereka telah sampai ke
sebuah pasar y ang ramai. Nampaknya kebetulan hari itu hari
pasaran, sehingga pasar itu nampak penuh dengan orang yang
berjual beli. Mahisa Pukat dan Semu sempat singgah sebentar di sebuah
kedai. Selain untuk membeli makanan dan minuman bagi
keduanya, maka kuda-kuda mereka pun agaknya menjadi
lapar. Beberapa saat kemudian, maka keduanya telah
melanjutkan perjalanan. Mereka berharap bahwa hari itu
mereka akan sampai ke padepokan mereka yang sudah
beberapa hati mereka tinggalkan.
Sebenarnyalah, mereka tidak menemui hambatan apa pun
di sisa perjalanan mereka. Karena itu, maka menjelang senja,
keduanya telah sampai ke lingkungan padepokan mereka.
Ketika keduanya melihat pintu gerbang padepokan mereka,
maka rasa-rasanya dada mereka menjadi bertambah lapang.
Mereka merasa akan segera memasuki satu lingkungan
yang paling sesuai bagi mereka dan y ang akan dapat
memberikan ketenangan dan kedalaman hati.
Agaknya orang-orang y ang bertugas telah melihat keduanya
mendekati pintu gerbang. Sebelum m ereka mendorong pintu,
maka pintu gerbang yang memang sudah terbuka sedikit itu,
bergerak dan terbuka semakin lebar, sehingga kuda Mahisa
Pukat dan kuda Mahisa Semu memasuki pintu gerbang itu.
Beberapa orang cantrik yang ada di padepokan itu telah
menyambut mereka dengan berbagai macam pertanyaan
tentang keselamatan mereka di perjalanan.
Mahisa Pukat tidak sempat menjawab mereka satu persatu.
Tetapi sambil ter senyum ia mengangguk-angguk. Demikian
pula Mahisa Semu. Dua orang cantrik telah menerima kuda-kuda mereka
ketika keduanya meloncat turun.
Sementara itu Mahisa Murti pun telah mendapat
pemberitahuan akan kedatangan Mahisa Pukat. Karena itu,
maka ia pun telah menyambutnya ditangga pendapa bangunan
induk. Sementara Mahisa Amping berlari -lari pula mendapatkan
kedua orang y ang dianggap kakaknya itu.
Ketika mereka naik tangga pendapa, maka Mahisa Murti
yang mempunyai penglihatan tajam itu bertanya: "Kau terluka
Mahisa Semu ?" Mahisa Semu menarik nafas dalam2. Katanya: "Hanya
sedikit." "Tetapi kau tidak apa apa ?" bertanya Mahisa Murti pula.
"Tidak. Aku tidak apa-apa," jawab Mahisa Semu.
Ketika mereka sudah duduk di pendapa, Mahisa Murti
sempat mendengarkan laporan Mahisa Pukat tentang
perjalanan mereka. Beberapa hambatan telah terjadi. Bahkan
pertempuran y ang semula dirasa tidak seimbang jumlahnya,
sehingga Mahisa Semu telah terluka karenanya.
"Dua kali kami mengalami kesulitan yang mendebarkan,"
berkata Mahisa Pukat. "Syukurlah bahwa kalian selamat," berkata Mahisa Murti
sambil mengangguk-angguk kecil.
Namun kemudian Mahisa Pukatlah y ang b ertanya tentang
padepokan itu. "Tidak terjadi sesuatu," jawab Mahisa Murti, " semuanya
dapat berjalan sebagaimana seharusnya.
"Syukurlah," berkata Mahisa Pukat yang kemudian juga
menceriterakan tentang gerakan sandi dan sekelompok
bangsawan dari Kediri. "Ternyata mereka telah berada di segala tempat dan tataran
kehidupan. Mereka ada disini, di jalan y ang menuju ke
Singasari dan bahkan di Singasari itu sendiri.," desis Mahisa
Pukat. "Agaknya tentang mereka diperlukan satu kegiatan
tersendiri y ang khusus ditujukan kepada mereka," sahut
Mahisa Murti. Namun nampaknya Mahisa Murti pun m enyadari, bahwa
Mahisa Pukat tentu merasa letih. Karena itu, m aka katanya:
"Baiklah kalian berbenah, mandi atau apapun, sehingga kalian
akan dipeisilahkan untuk makan dari kemudian beristirahat."
Mahisa Pukat dan Mahisa Semu memang merasa letih.
Ketika mereka mandi, maka makan bagi mereka pun telah
disiapkan. Setelah makan nasi y ang masih hangat, maka Mahisa Pukat
dan Mahisa Semu masih sempat berbicara serba sedikit
dengan Mahisa Murti tentang padepokan mereka.
"Mungkin orang-orang Kediri itu pada suatu saat akan
memperhatikan padepokan ini," berkata Mahisa Pukat.
"Mungkin sekali, Namun selama ini kita masih sempat
berbenah diri sehingga kita akan dapat melayani mereka
sebaik-baiknya," sahut Mahisa Murti.
Namun beberapa saat kemudian, Mahisa Pukat benarbenar
m erasa letih dan mengantuk. Karena itu, maka ia pun
segera minta diri untuk masuk ke dalam bilikny a, demikian
pula Mahisa Semu. Mahisa Amping y ang belum sempat berbicara panjang
dengan keduanya, mengikuti Mahisa Semu ke
pembaringannya. Dengan ragu- ragu ia bertanya: "Kau
terluka?" Mahisa Semu tersenyum sambil mengusap kepala anak itu.
Katanya: "Sedikit. Tetapi tidak apa -apa."
"Kakang mengantuk sekarang"," bertanya anak itu.
"Ya. Semalam kami hampir tidak tidur. Siang hari kami
menempuh perjalanan yang tersisa. Senja kami baru sampai di
sini," jawab Mahisa Semu.
Anak itu mengangguk-angguk. Katanya: "Jika demikian,
besok sajalah kau berceritera. Kau tentu letih. Tidurlah."
Mahisa Semu tertawa pendek. Katanya: "Ya. Aku akan
tidur. Besok aku akan berceritera panjang jika kau tidak jemu
mendengarnya." "Tentu tidak. Perjalananmu tentu menarik. Aku ingin
menempuh perjalanan sejauh y ang kau tempuh," berkata anak
itu. "Apakah perjalanan yang pernah kita tempuh kurang
panjang"," bertanya Mahisa Semu.
Mahisa Amping terseny um. Namun ia pun segera minta diri
keluar dan bilik Mahisa Semu.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Semu pun telah
memejamkan matanya. Ia benar-benar letih dan mengantuk
sebagaimana Mahisa Pukat, sehingga karena itu, maka sejenak
kemudian mereka pun telah tertidur ny enyak.
Hari-hari berikutnya, maka seisi padepokan itu sempat
menikmati hidup tenang. mereka sempat melakukan kerja
yang berarti bagi pedepokan mereka tanpa terganggu. Orangorang
y ang tinggal di padukuhan di sekitar padepokan itu,
termasuk padukuhan baru y ang dihuni oleh orang-orang yang
semula hidup di jalan sesat itu, ikut serta merasa hidup
mereka menjadi tenang dan mendapat kesempatan untuk
bekerja dengan baik, meningkatkan kemampuan mereka
dalam berbagai macam bidang, terutama bercocok tanam dan
memelihara ternak bersama-sama dengan para cantrik di
padepokan. Kehidupan di padepokan dan padukuhanpadukuhan
di sekitarnya ternyata dapat saling
menguntungkan. Kelebihan penghasilan dari para cantrik
dapat dijual kepada pedagang di padukuhan-padukuhan di
sekitarnya yang akan membawanya ke tempat-tempat yang
lebih ramai, bahkan sampai ke Kotaraja, terutama buahbuahan.
Kehidupan yang tenang itu ternyata telah diusik oleh
kehadiran sekelompok prajurit y ang mengiringi tiga buah
pedati yang berjalan lamban menuju ke padepokan Bajra Seta.
Beberapa orang m ulai bertanya -tanya, apakah padepokan
yang tenang itu akan mulai bergejolak lagi" Yang hembusan
kegelisahan dan kecemasannya akan sampai ke padukuhanpadukuhan
di sekitarnya" Namun ternyata diantara para prajurit berkuda itu terdapat
Ki Mahendra, y ang meski pun sudah nampak semakin tua,
tetapi masih juga tangkas di punggung kudanya.
Iring-iringan itu telah disambut dengan ramah oleh seisi
padepokan. Apalagi setelah mereka tahu, bahwa diantara
mereka terdapat Mahendra.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun m enyambut mereka
dengan tergesa - gesa. Dipersilahkannya ay ahnya dan para


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

prajurit untuk naik ke pendapa.
Namun Mahendra hanya diiringi oleh empat perwira saja
yang naik ke pendapa. Yang lain t etap berada di halaman
padepokan. Mereka meny ebar ke tempat yang sedikit
terlindung. Namun atas perintah Mahisa Murti, maka oleh
para cantrik mereka telah dipersilahkan untuk naik ke serambi
gandok kiri dan kanan, duduk di atas tikar y ang dibentangkan
di lantai serambi, karena amben-amben bambu yang ada di
serambi tidak menampung mereka.
Namun empat orang tetap berjaga-jaga di sekitar tiga buah
pedati yang berhenti di halaman.
Ternyata Mahendra datang sebagai utusan Sri Maharaja.
Sri Maharaja telah memenuhi janjinya. Dikirimkannya tiga
buah pedati yang penuh berisi alat-alat pertanian dan
sejumlah senjata y ang dianggap bermutu tinggi. Namun yang
terpenting bukan hanya itu, bukan hanya alat-alat yang sudah
siap untuk dipakai. Tetapi Sri Maharaja telah m engirimkan
alat-alat untuk membuat alat-alat pertanian dan senjata
dengan cara y ang lebih baik daripada y ang dilakukan oleh para
cantrik di padepokan Bajra Seta.
"Ada tiga orang ahli yang akan tinggal disini beberapa
lama," berkata Mahendra. "Mereka adalah pande besi
kenamaan di istana Singasari. Mereka akan mengajarkan,
bagaimana membuat alat-alat dari besi dan baja yang baik."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan isy arat Mahendra minta seorang perwira prajurit
Singasari untuk memanggil ketiga orang y ang dimasukkan.
Perwira itu ternyata tanggap. Karena itu, maka ia pun
bergeser turun dari pendapa untuk memanggil ketiganya dan
membawanya naik kependapa pula.
"Mereka bertigalah yang aku maksudkan," berkata
Mahendra y ang memperkenalkan mereka.
"Kami mengucapkan terima ka sih kepada Sri Maharaja.
Juga kepada para prajurit yang telah bersedia bersama ayah
mengantarkan hadiah dari Sri Maharaja bagi padepokan ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ketiga orang
yang akan tinggal di padepokan kecil dan terpencil ini. Dengan
demikian para cantrik, terutama y ang selama ini memang
sudah menekuni pekerjaan itu, akan mendapat bimbingan dari
tangan-tangan yang memang berwenang," berkata Mahisa
Murti. Namun ia pun kemudian berkata: "Tetapi aku cemas,
apakah kerasan tinggal di padukuhan seperti ini."
"Kenapa tidak," jawab mPu Ananta, orang tertua diantara
ketiga orang pande besi itu, "sebelum kami dipanggil di istana,
kami adalah orang padesan yang barangkali lebih sepi dan
lingkungan ini." "Terima kasih mPu," desis
Mahisa Murti sambil m engangguk
dalam-dalam. Demikianlah, maka setelah isi
ketiga pedati itu diserahkan, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah m emerintahkan para cantrik
untuk membongkar isiny a dan
membawa ke bangsal khusus y ang
disiapkan dengan tergesa-gesa.
Malam itu, Mahendra dan para
prajurit y ang meny ertainya,
bermalam di padepokan. Mereka
ditempatkan digandok sebelah
menyebelah dan di pringgitan.
Namun justeru karena m ereka adalah prajurit, m aka tempat
untuk membaringkan tubuh mereka, tidak terlalu menjadi
persoalan. Di hari berikutnya, maka mereka pun telah bersiap-siap
untuk kembali ke Singasari. Menjelang matahari terbit, semua
prajurit telah bersiap. Mahendra pun telah bersiap pula untuk
kembali ke Singasari. "Ketiga pedati itu juga ditinggalkan disini pula," berkata
Mahendra. "Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "pedati-pedati itu
akan sangat bermanfaat kami disini.
"Peliharalah dengan baik," pesan ay ahnya.
Setelah makan pagi, maka iring-iringan itu pun
meninggalkan padepokan. Tiga orang diantara mereka,
dipimpin oleh mPu Ananta, tinggal di padepokan untuk
membimbing para cantrik y ang m engkhususkan diri sebagai
pande besi. Ternyata bahwa ketiga orang y ang tinggal di padepokan itu
juga memiliki kemampuan untuk membuat keris. Namun
mereka bukan orang terbaik di istana Singasari, meski pun
mereka termasuk orang terbaik sebagai pande besi.
Di hari berikutnya, kegiatan ketiga orang itu belum dapat
dimulai. Hari itu y ang m ereka lakukan ber sama para cantrik
adalah membenahi dan m emasang alat-alat pande besi yang
lebih baik dari y ang dimiliki oleh padepokan itu.
Selama t iga hari, alat -alat itu telah terpasang. Dengan
demikian maka, mPu Ananta dan kedua orang kawannya
dapat mulai memberikan bimbingan kepada para cantrik yang
memang sudah memiliki kemampuan sebagai pande besi.
Namun juga memberi kesempatan kepada mereka yang belum
mengenalnya sama sekali. Hari demi hari dilalui dengan kesibukan yang meningkat di
padepokan itu. Bukan saja para cantrik yang mempelajari
keterampilan seorang pande besi. Tetapi justru karena
padepokan itu telah menerima alat-alat yang sudah slap untuk
dipergunakan pula, maka para cantrik pun menjadi semakin
rajin bekerja di sawah. Mereka mempunyai cangkul, sabit,
parang dan bajak yang baru dan lebih baik, sehingga dengan
gembira m ereka pergi ke sawah. Sementara itu, para cantrik
yang memiliki kemampuan sebagai undhagi pun telah bekerja
Iebih keras dengan alat-alat mereka yang baru. Mereka telah
berusaha untuk mempercantik padepokan mereka dan
membangun bangsal yang baru dan lebih pantas dipergunakan
sebagai bangsal peny impanan barang-barang berharga bagi
padepokan itu termasuk senjata.
Peningkatan kerja di padepokan itu berpengaruh pula
terhadap lingkungan di seputarnya. Alat-alat yang ada di
padepokan itu menjadi sangat m enarik. Apalagi ketika orangorang
dari padukuhan di sekitarnya mendapat satu dua alatalat
pertanian yang sudah mulai dihasilkan oleh para cantrik
di bawah bimbingan ketiga orang mPu dari Singasari itu.
Lingkungan hidup di seputar padepokan itu memang
menjadi semakin ramai. Peningkatan kemampuan orangorang
padukuhan di sekitarnya berarti pula peningkatan
kesejahteraan mereka. Hasil sawah pun meningkat. Pekerjaanpekerjaan
y ang lain pun dapat dilakukan dengan lebih baik.
Bahkan telah tumbuh lingkungan-lingkungan pemukiman
yang baru, yang memang dibuka oleh Ki Buyut bagi keluarga
Kabuyutan y ang berkembang dengan pesat itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang ingin, bahwa
kehadiran padepokan itu akan berarti bukan saja bagi
lingkungan sempit di seputar dinding padepokan. Tetapi juga
lingkungan luas di sekitarnya.
Namun y ang lebih menggembirakan bagi padepokan itu,
selalu alat-alat pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan
kayu dan batu, maka para cantrik di padepokan itu pun telah
dapat menghasilkan sejenis senjata y ang lebih baik dari
senjata yang pernah mereka hasilkan sebelumnya.
Senjata y ang dibuat dengan tuntunan para ahli dari
Singasari itu m enghasilkan senjata yang lebih ringan, namun
lebih keras dan hat. Para ahli itu telah memberikan ajaran
tentang mencampur logam y ang terbaik untuk membuat
senjata. Hasilnya ternyata sangat memuaskan. Sebilah pedang
yang sama besarnya, sama kuatnya dan sama tajamnya,
ternyata bobotnya lebih ringan dari pedagang yang mereka
miliki sebelumnya. Demikian pula jenis-jenis senjata yang lain. Mata tombak,
canggah, trisula dan bahkan bindi-bindi kecil. Para ahli itu
pun mengajarkan bagaimana membuat anak panah yang
paling baik. Berat bedornya dibandingkan dengan tubuh dan
bulu anak panah itu. Kemudian bagaimana m embuat busur
yang kuat dan lebih lentur.
Dengan demikian, maka para cantrik di padepokan itu pun
telah berharap untuk mendapatkan jenis-jenis senjata yang
lebih baik itu disamping alat-alat yang mampu meningkatkan
kesejahteraan hidup mereka.
Dalam waktu tiga bulan, maka para cantrik y ang
mempelajari tentang cara-cara terbaik membuat senjata
dengan hasil yang lebih baik dari yang mereka hasilkan itu,
telah mendapat kemajuan yang sangat pesat. Mereka pun telah
mendapat berbagai macam petunjuk untuk m engembangkan
ketrampilan mereka sehingga apabila mereka benar-benar
tekun, maka mereka kelak akan dapat menjadi pande besi
yang cukup baik. Dengan demikian, m aka padepokan itu menghadapi satu
perkembangan yang berganda. Jika mereka telah mampu
mengembangkan beberapa jeni s senjata, maka tentu dituntut
untuk meny esuaikan diri dengan jenis-jenis senjata mereka
yang baru. Mereka harus mampu mengembangkan ilmu yang
telah mereka pelajari, sehinga senjata yang baru itu akan
mampu meningkatkan ketrampilan mereka dalam olah
kanuragan dan bermain senjata.
Di hari-hari berikutnya, maka para ahli itu telah m encoba
melepaskan para cantrik untuk melakukan sendiri. Mereka
memilih, menakar perbandingan dan mengerjakan sendiri
beberapa jenis senjata. Hasilny a ternyata sangat memuaskan.
Sementara itu, mereka pun telah mampu membuat alat-alat
pertanian dan alat-alat untuk mengerjakan kayu lebih baik
dari y ang mereka buat sebelumnya. Sebagaimana peningkatan
jenis senjata y ang menuntut peny esuaian kemampuan para
cantrik, maka demikian pula dituntut peningkatan
kemampuan penggunaan alat -alat pertanian dan alat-alat
untuk mengerjakan kayu. Setelah empat bulan lewat, maka para ahli dari Singasari
yang dipimpin oleh mPu Ananta itu menganggap bahwa para
cantrik itu telah memiliki kemampuan y ang m emadai untuk
melakukan kerja sendiri tanpa pengawasan mereka Iagi.
Sehingga kehadiran ketiga orang itu di padepokan tidak
diperlukan lagi. Meski pun demikian ketiga orang itu masih saja tetap
berada di padepokan karena menurut pembicaraan mereka
dengan Mahendra, jika saatnya dianggap cukup, sekelompok
prajurit akan menjemput mereka.
Sementara itu, ketiga orang itu masih sempat
menyelesaikan, bagaimana para cantrik berusaha
menyesuaikan diri dengan pembaharuan yang terjadi di barak
mereka. Para undagi merasa bahwa pekerjaan mereka menjadi
semakin baik, sementara waktu pun dapat dihemat. Apa yang
dapat m ereka lakukan sepekan dengan alat- alat mereka yang
lama, maka dengan alat-alat mereka y ang baru, para undagi
dapat melakukannya dala tiga hari saja.
Di bidang lain, ketiga orang itu sempat menyaksikan,
bagaimana Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berada di dalam
sanggar mereka untuk beberapa hari. Mereka mencoba
mengenali jenis-jeni s senjata yang dapat dibuat oleh para
cantrik. Pedang y ang nampaknya cukup panjang dan besar,
ternyata bobotnya tidak seberapa berat. Sementara itu,
kelenturannya dan kekuatannya ternyata tidak kalah dengan
pedang y ang mempunyai ukuran yang sama namun jauh lebih
berat dari pedang dengan campuran logam y ang diberitahukan
oleh para ahli dari Singasari itu. Juga cara menempa,
memanasi dan mencelupnya kedalam cairan yang khusus
membuat senjata- senjata itu menjadi jauh lebih baik.
Dengan tekun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
mempelajari segala jenis senjata y ang dapat dihasilkan para
cantrik. Bagaimana mereka meny esuaikan berat, besar dan
panjang senjata- senjata itu. Seberapa kekuatan mata senjata
itu serta hulu dan tangkainya.
Demikian kedua orang anak muda itu mengetahui watak
dari berjenis-jeni s senjata y ang ada itu, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat memutuskan untuk memberikan latihanlatihan
khusus bagi para cantrik dalam olah senjata dengan
landasan kemampuan y ang telah mereka miliki.
"Tetapi tiga orang ahli dari Istana Singasari itu tidak dapat
menunggui latihan-latihan y ang akan dilakukan secara khusus
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, karena sebelum latihanlatihan
itu dimulai, sekelompok prajurit telah datang
menjemput mereka. Dengan berat hati seisi padepokan itu telah melepas
ketiganya di satu pagi y ang cerah. Setelah para prajurit itu
bermalam semalam, m aka dikeesokan harinya, mereka telah
bersiap-siap untuk kembali ke Singasari bersama ketiga orang
Mpu yang telah banyak memberikan tuntunan kepada para
cantrik di padepokan itu. Tuntunan bukan sekedar
mempergunakan alat-alat y ang dibawa dari Singasari, tetapi
juga tentang pengetahuan mengenai bahan y ang mereka
pergunakan untuk membuat alat-alat pertanian, alat-alat
untuk mengerjakan pekerjaan kayu dan bahkan senjata.
Tetapi ketiga orang mPu itu memang harus kembali ke
Singasari. Mereka sudah terlalu lama berada di padepokan itu,
sehingga keluarga mereka tentu sudah menunggu.
Karena itu, maka para penghuni padepokan itu m emang
harus m elepaskan ketiga orang mPu y ang dipimpin oleh m Pu
Ananta itu kembali ke Singasari. Namun mereka telah
meninggalkan ilmu y ang sangat berarti bagi padepokan itu,
bahkan bagi padukuhan- padukuhan disekitarnya.
Sepeninggal para mPu itu, maka para cantrik justru
semakin menekuni pekerjaan mereka. Mereka tidak boleh
kehilangan jejak sehingga hasilnya akan kurang memuaskan.
Namun dengan ketekunan y ang tinggi, maka para cantrik
itu benar- benar telah menguasai ilmu yang diajarkan oleh
para mPu dari Singasari itu. Meski pun mereka masih jauh
dari kematangan ilmu mereka sebagaimana ketiga orang mPu
itu, tetapi pengetahuan para cantrik y ang mengkhususkan diri
pada pekerjaan pande besi itu telah cukup memadai.
Bahkan mPu Ananta itu pernah berkata kepada Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat: " Jika perlu, kalian dapat
mengirimkan dua atau tiga orang y ang terbaik diantara para
cantrik yang menekuni dan benar- benar berminta dalam


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pekerjaannya sebagai pande besi, untuk lebih memperdalam
ilmunya barang satu dua tahun di Singasari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang tertarik pada
tawaran itu. T etapi mereka harus benar-benar m emilih. Satu
dua tahun adalah waktu yang lama bagi mereka yang tidak
benar-benar berminat pada satu pekerjaan. Namun tentu
dirasakan kurang bagi mereka yang benar-benar ingin
menguasai satu jenis ilmu y ang penting bagi kehidupan dan
kesejahteraan sesamanya. Sepeninggal para mPu, maka Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah benar-benar mempersiapkan satu latihan khusus
bagi para cantrik. Mereka selain harus membiasakan diri
dengan alat-alat yang baru bagai para cantrik yang bekerja di
sawah, undhagi dan pekerjaan- pekerjaan yang lain, maka para
cantrik itu semuanya harus mulai mengenali jenis-jenis
senjata yang baru. Karena itu, maka di padepokan itu telah disusun urutan
latihan khusus bagi para cantrik untuk mengenali senjatasenjata
itu. Sekelompok demi sekelompok telah mendapat latihan dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun secara khusus
Mahisa Semu dan Mahisa Amping mendapat perhatian
tersendiri di samping Wantilan. Wantilan yang ternyata
memang mempunyai sedikit kelebihan dari para cantrik,
termasuk seorang y ang mendapat perhatian lebih banyak dari
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Setiap hari, maka para cantrik bergantian telah m endapat
petunjuk tentang senjata-senjata y ang baru yang telah dapat
dibuat sendiri oleh para cantrik. Meski pun pada dasarnya
ilmu tidak berubah, tetapi mereka wajib meny esuaikan diri
dengan watak senjata mereka yang baru.
Para cantrik pun dengan tekun mengikuti petunjukpetunjuk
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Dengan sungguhsungguh
mereka mempergunakan setiap kesempatan untuk
benar-benar menguasainya.
Dalam waktu beberapa bulan, maka para cantrik itu benarbenar
telah mengenal dan menguasai watak senjata-senjata
mereka y ang baru. Ketika mereka kemudian meningkatkan
ilmu mereka, maka mereka pun telah terbiasa berlatih dengan
senjata-senjata baru mereka.
Pa da kesempatan tersendiri, Mahisa Amping dan Mahisa
Semu pun telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Didalam
sanggar anak muda itu bukan saja sekedar m engenali senjata
mereka, tetapi m ereka pun telah meningkatkan i lmu m ereka
sebagaimana y ang mereka lakukan sebelumnya.
Bahkan Wantilan pun telah benar-benar menguasai senjata
dari jeni s y ang dipilihnya. Wantilan kemudian lebih senang
mempergunakan senjata yang berbeda. Trisula bertangkai
pendek saja. Ternyata setelah berlatih dengan sungguhsungguh,
Wantilan lebih sesuai mempergunakan trisula
daripada pedang. Kekuatan kewadagannya y ang berkembang,
serta kemampuannya membangkitkan tenaga dalamnya yang
semakin tinggi, membuatnya menjadi seorang yang sangat
kuat. Meski pun demikian, baik Mahisa Semu, Mahisa Amping,
Wantilan mau pun para cantrik, harus juga memiliki
ketrampilan dan kemampuan mempergunakan senjata apa
sa ja untuk m elawan jeni s senjata apa saja. Itulah sebabnya
disamping mematangkan kemampuan dengan
mempergunakan senjata y ang dipilihnya, mereka pun berlatih
dengan jenis senjata yang berganti-ganti.
"Dengan demikian maka seisi padepokan Bajar Seta itu
pada dasarnya mampu mempergunakan segala jenis senjata
untuk melawan segala jeni s senjata pula. Namun mereka
masing-masing m empunyai kemantapan yang berbeda -beda.
Mahisa Semu masih saja merasa mapan jika ia
mempergunakan pedang. Semenara Mahisa Amping y ang kecil
itu nampaknya mulai senang mempergunakan pedang
rangkap. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih akan
melihat perkembangannya lebih lanjut.
Para cantrik pun ternyata memiliki kemantapannya sendiri.
Sekelompok tetap m empergunakan pedang. Namun yang lain
mulai mencoba dengan jenis senjata yang lain. Beberapa orang
merasa pada puncak kemampuannya dalam olah senjata jika
ia memegang sebatang tombak pendek. Namun ada y ang lebih
sesuai mempergunakan trisula sebagaimana Wantilan.
Namun pada dasarnya, kemampuan para cantrik dengan
jenis jeni s senjatanya y ang baru m enjadi semakin meningkat.
Sementara latihan-latihan yang terbiasa mereka lakukan, tidak
pernah terhenti, sebagaimana kerja mereka sehari-hari di
sawah, ladang, di kolam ikan dan kerja -kerja y ang lain.
Dengan demikian, maka perdagangan y ang terjadi
kemudian dengan padukuhan-padukuhan disekitarnya
menjadi semakin meningkat pula. Hasil yang dibuahkan oleh
padepokan itu ternyata dapat disalurkan lewat para pedagang
di padukuhan padukuhan disekitarnya. Bukan hanya hasil
bumi, hasil kolam kolam ikan dan t ernak. Tetapi juga sedikit
alat-alat pertanian. Karena itu, maka wajah padepokan Bajra Seta pun menjadi
semakin terang. Segala segi kehidupan didalam padepokan itu
telah meningkat. Demikian pula padukuhan-padukuhan di
sekitarnya, seakan-akan telah mendapat getarannya pula.
Namun ternyata bahwa peningkatan kesejahteraan
padepokan itu telah menjadi sorotan beberapa pihak. Ternyata
ada diantara mereka yang mengetahui, bahwa perkembangan
yang pesat dari padepokan Bajra Seta itu dimulai sejak
padepokan itu m endapat tuntunan dari beberapa orang mPu
istana Singasari y ang menguasai ilmu pande besi.
Dari hari ke hari, maka usaha-usaha beberapa pihak untuk
mengambil keuntungan dari keadaan padepokan itu m enjadi
semakin meningkat pula. Yang mula-mula menjadi tujuan
mereka adalah menguasai orang-orang yang telah mendapat
tuntunan dari para mPu Istana Singasari..
Segala usaha pun mulai dilakukan. Seorang Buyut dari
Kabuyutan Bumagara ternyata merasa iri atas perkembangan
sebuah padepokan dan padukuhan-padukuhan disekitarnya
yang termasuk dalam Kabuyutan Sadresa.
Dengan segala cara, akhirnya Ki Buyut Bumiagara dapat
berhubungan dengan salah seorang cantrik yang pernah
mendapat tuntunan dari mPu Ananta.
Mula-mula memang tidak ada keinginan apa pun y ang
diutarakan oleh Ki Buyut. Ketika mereka sempat bertemu, saat
cantrik itu pergi ke pasar di sebuah padukuhan terdekat, Ki
Buyut hanya memujinya sebagai salah seorang cantrik yang
terbaik. "Bukankah Ki Sanak mendapat tuntunan langsung dari
para mPu y ang datang dari Singasari itu"," bertanya Ki Buyut.
"Ya," jawab cantrik itu.
"Ki Sanak tentu seorang y ang memiliki kepandaian y ang
sangat tinggi," berkata Ki Buyut sambil menunjuk beberapa
pande besi y ang berada di pinggir pasar itu yang sedang sibuk
mengerjakan pekerjaannya. Lalu katanya pula: "Tidak seperti
para pande besi itu.- "Tidak jauh berbeda," jawab cantrik itu.
"Dengan kemampuan para cantrik serta alat-alat y ang
dihasilkan, m aka pande-pande besi itu dalam waktu singkat
akan kehilangan pekerjaan mereka.," berkata Ki Buyut.
"Tidak," jawab cantrik itu, "kami tidak akan mampu
membuat alat-alat pertanian dan alat -alat y ang lain
mencukupi kebutuhan seluruh Kabuyutan Sadresa. Apalagi
Kabuyutan y ang lain. Bahwa apa yang kami buat
mempengaruhi hasil pekerjaan para pande besi memang
terjadi. Mereka mulai meniru bentuk alat-alat y ang kami buat.
Itu justru baik, karena meski pun hanya bentuknya, namun
manfaatnya telah menjadi lebih tinggi dari alat-alat yang
lama." "Apakah mereka tidak dapat membuat bukan
sa ja,bentuknya tetapi juga kekuatan dan kegunaannya
menyamai alat-alat yang kalian buat"," bertanya Ki Buyut.
"Tentu tidak," jawab cantrik itu, "dibutuhkan peningkatan
ketrampilan dan juga bahan-bahan yang dipergunakan. Selain
itu juga alat-alatnya untuk membuat alat-alat itu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Ia memang tidak terlalu
banyak bertanya. Tetapi ia terlalu banyak memuji.
Namun pada kesempatan lain, Ki Buyut mulai m elangkah
lebih maju. Ia mempersilahkan cantrik itu singgah di
rumahnya. "0, jadi Ki Sanak datang dari Kabuyutan Bumiagara," jawab
orang itu. "0, Aku mohon maaf Ki Buyut. Mungkin sikapku kurang
pantas," jawab cantrik itu.
"Tidak. Tidak ada yang kurang pantas.," jawab Ki Buyut:
"aku adalah salah seorang pengagummu. Karena itu, aku
minta Ki Sanak mau singgah di rumahku barang sebentar.
Bukankah Bumiagara tidak terlalu jauh."
Cantrik itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia
berkata: "Bumiagara terhitung jauh dari padepokan kami Ki
Buyut." "Tidak," jawab Ki Buyut, "aku sering datang ke pasar
padukuhan ini yang letaknya tidak jauh dari padepokanmu."
"Memang pasar ini tidak jauh dari pedepokanku. Tetapi
yang aku maksud adalah Bumiagara," jawab cantrik itu pula.
Ki Buyut tersenyum. Katanya: "Sudah aku katakan. Tidak
terlalu jauh. Aku sering datang ke pasar ini tanpa merasa letih.
Bukankah tinggal selangkah lagi, aku akan sampai ke
padepokanmu. "Tetapi Ki Buyut naik kuda," jawab cantrik itu.
Ki Buyut mengangguk-angguk. Katanya: "Besok, di hari
pasaran aku akan membawa seekor kuda buatmu. Aku sendiri
akan menjemputmu ke pasar ini. Tetapi sudah tentu kau tidak
usah m inta ijin kepada siapapun. Aku tahu, kau tentu tidak
akan diijinkan. Bukankah tenagamu diperas di padepokan itu
"- "Tidak," jawab cantrik itu, "sebagaimana Ki Buyut lihat,
saat -saat seperti ini aku masih dapat m elihat-lihat keadaan
pasar ini." "Tentu kau bertugas untuk membuat penilaian tentang hasil para pande besi dipasar ini," desis Ki Buyut
sambil tersenyum. Cantrik itu tersenyum pula. "Nah, ingat. Besok dihari pasaran, aku akan datang dengan membawa seekor kuda. Setelah kau berada di Bumiagara sehari, maka kau dapat pulang ke padepokan dengan membawa kuda itu pula. Kau dapat m emilikiny a untuk selanjutnya," berkata
Ki Buyut. Lalu katanya: "Nah, baru kemudian kau dapat
berceritera tentang perjalananmu ke Bumiagara setelah kau
pulang. Mungkin kau dimarahi. Tetapi tentu tidak akan
menyulitkan kedudukanmu, karena kau sangat diperlukan di
padepokan." Cantrik itu termangu-mangu. Namun Ki Buyut itu telah
memberikan sekantung kecil uang kepadanya.
"Jangan m enolak. Bukan apa-apa. Sekedar ungkapan rasa
kekagumanku kepadamu.," berkata Ki Buyut.
Cantrik itu memang ragu-ragu. Namun akhirnya uang itu
pun diterimanya juga. Sambil berjalan pulang cantrik itu tersenyum sendiri. Ia
mempunyai uang banyak. Uang y ang hampir tidak pernah
dilihatnya sejumlah yang diberikan oleh Ki Buyut kepadanya.
Dan sepekan lagi ia akan mendapatkan seekor kuda.
"Apa salahnya," berkata cantrik itu: "aku tidak merugikan
padepokan Bajra Seta. Bahkan kekagumannya k epadaku dan
beberapa orang kawanku y ang telah mampu membuat
peralatan dan senjata y ang lebih baik, akan mengangkat
derajad padepokan Bajra Seta."
Namun ada sesuatu y ang menggelisahkannya. Ia tidak
boleh mengatakan hal itu kepada siapapun. Bahkan ia tidak
dibenarkan untuk minta ijin meninggalkan padepokannya
barang sehari. "Tak apalah," berkata catrik itu kepada diri sendiri, " seperti
dikatakan oleh Ki Buyut, bahwa aku tidak akan mendapat
kesulitan, karena tenagaku memang dibutuhkan. Hanya
beberapa orang saja di padepokan itu yang mampu membuat
peralatan dan senjata yang lebih baik dari yang pernah dibuat
sebelumnya." Dengan demikian m aka cantrik itu pun berketetapan hati
untuk tidak mengatakannya kepada siapa pun juga. Ia juga
tidak m engatakan kepada kawan-kawannya y ang m empunyai
kemampuan sebagaimana diriny a. Dengan demikian maka
mereka akan ikut pula untuk mendapatkan pujian dan
barangkali uang sehingga ia bukan orang satu-satunya yang
akan diterima dengan penuh kekaguman di Kabuyutan
Bumiagara. Apalagi setelah ia menerima uang dari Ki Buyut. Maka
cantrik itu menjadi semakin berdiam diri agar persoalannya
tidak diketahui oleh orang lain.
Dalam pada itu, maka selama sepekan cantrik itu
menunggu. Rasa- rasanya ia memang menjadi gelisah. Tetapi
ia tetap bertahan untuk tidak m engatakannya kepada siapa
pun bahwa ia telah berhubungan dengan Ki Buyut Bumiagara.
Pa da hari yang dijanjikan, maka cantrik itu telah minta ijin
untuk melihat-lihat pa sar. Seperti y ang dilakukan sebelumnya
ia memang membuat penilaian terhadap kerja para pande
besi. Dengan demikian, maka beberapa orang pande besi telah
mengenalnya dengan akrab.
Selagi ia melihat-lihat pekerjaan para pande besi itu, maka
seperti y ang dijanjikan. Ki Buyut pun telah menemuinya.
"Bukankah aku benar-benar datang "," desis Ki Buyut.
"Ya Ki Buyut," jawab cantrik itu, "aku sudah siap. Apakah
Ki Buyut membawa seekor kuda seperti y ang Ki Buyut katakan
?" "Tentu," jawab Ki Buyut.: "Kuda itu ada diluar. Aku titipkan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikedai yang paling ujung. Kedai y ang paling besar. Kita akan
singgah dikedai itu. Makan dan kemudian meneruskan
perjalanan." Cantrik itu m engangguk. Ketika Ki Buyut kemudian keluar
dari pasar, maka cantrik itu pun mengikutinya. Mereka
memang pergi ke sebuah kedai sebagaimana dikatakannya.
Kedai yang paling ujung dan y ang paling besar diantara
beberapa kedai diluar pasar itu.
Beberapa saat mereka makan dan minum. Namun
kemudian telah datang pula dua orang kawan Ki Buyut.
Dengan nada rendah Ki Buyut berkata: "Mereka adalah
bebahu padukuhan." Ki Buyut tertawa. Katanya: "Bebahu padukuhan induk
Kabuyutan Bumiagara."
Kedua orang bebahu itu pun tertawa juga. Sedangkan
cantrik yang semula mengerutkan keningnya itu pun
kemudian juga tertawa bersama mereka.
Demikianlah, maka cantrik itu telah mendapat kesempatan
untuk makan dan minum makanan dan minuman y ang paling
baik yang terdapat di kedai yang terbesar di sebelah pasar itu.
Baru kemudian setelah perutnya terasa keny ang, Ki Buyut itu
mengajaknya mulai dengan perjalanan ke Kabuyutan
Bumiagara. Ketika mereka m encapai jarak yang agak panjang, maka
dua orang ternyata telah menunggu, sehingga iring-iringan itu
menjadi empat orang dari Bumiagara ditambah dengan
seorang cantrik. Perjalanan y ang terasa panjang itu m emang m elelahkan.
Apalagi cantrik itu tidak terbiasa bepergian jauh di atas
punggung kuda. Meski pun beberapa kali ia berkesempatan
menunggang kuda, namun tidak menempuh jarak yang
panjang sebagaimana ditempuhnya saat itu.
Di perjalanan mereka terpaksa berhenti untuk memberi
kesempatan kepada kuda-kuda untuk minum dan makan
rumput segar. Namun cantrik itu pun sebenarnyalah
memerlukan istirahat jauh sebelumnya. Tetapi ia agak segan
untuk mengatakan bahwa ia m erasa lebih dan mulai m erasa
sakit. Menj elang matahari turun merendah, barulah mereka
memasuki padukuhan induk. Cantrik itu nampak menjadi
cemasdan bertanya: "Apakah aku hari ini dapat kembali ke
padepokan sebeleum malam?"
Ki Buyut menggelengkan kepalanya sambil menjawab:
"Tentu tidak. Kau lihat m atahari telah turun. Jika kau duduk
sepenginang saja di Bumiagara, maka matahari akan menjadi
semakin rendah. Bagaimana pun kencangnya kau memacu
kudamu, kau tentu akan kemalaman di perjalanan. -
"Aku akan dapat dihukum," desis cantrik itu, "aku
meninggalkan tugasku terlalu lama tanpa diketahui kemana
aku pergi." "Kau tidak akan dihukum," jawab Ki Buyut, "percayalah.
Kau termasuk orang yang sangat diperlukan."
"Tetapi tidak akan dihukum," jawab Ki Buyut, "percayalah.
Kau termasuk orang yang sangat diperlukan."
"Tetapi jika aku tidak pulang hari ini," desis cantrik itu.
"Kau tidak hanya tidak pulang hari ini. Tetapi kau tidak
akan pernah pulang ke padepokanmu sampai kapanpun.,"
jawab Ki Buyut. "Apa maksudmu"," bertanya cantrik itu mulai curiga.
Namun mereka telah memasuki pintu gerbang halaman
Kabuyutan Bumiagara. "Kau akan menjadi penghuni Kabuyutan ini," berkata Ki
Buyut. Wajahnya tiba -tiba saja telah berubah. Ia bukan lagi
seorang yang ramah dan selalu tersenyum. Tetapi wajahnya
menjadi gelap dan keras. Cantrik itu mulai menyadari, bahwa ia telah terjebak oleh
sikap dan kata-kata yang akrab dan ramah. Bahkan ia semakin
menyesal ketika ia menyadari uang yang telah diterimanya dan
Ki Buyut Bumiagara. Karena itu, maka tiba-tiba cantrik itu telah menghentakkan
kendali kudanya. Demikian kudanya melonjak, maka ia pun
telah berusaha memutar kudanya dan berlari ke arah regol
halaman. Namun dengan cepat dua orang pengawal Kademangan itu
telah menutup pintu sehingga cantrik itu harus menghentikan
kudanya pula. "Kau tidak akan dapat lari," berkata Ki Buyut sambil
tertawa. Tetapi diluar dugaan. Cantrik itu melompat dari kudanya
dan dengan serta merta meny erang para pengawal yang
menutup pintu gerbang itu.
Cantrik dari padepokan Bajra Seta itu adalah orang y ang
terlatih dalam olah kanuragan. Dalam k eadaan yang terjepit,
maka ia tidak mempunyai banyak pertimbangan. Meski pun ia
tidak ingin membunuh, namun canyrik itu telah menyerang di
tempat y ang berbahaya. Keempat jari-jarinya y ang mengembang merapat, telah
menusuk diarah ulu hati seorang diantara kedua pengawal itu.
Terdengar teriakan kesakitan. Namun kemudian terdiam.
Pengawal itu telah jatuh dan pingsan seketika. Sementara itu
ketika kawannya akan membantunya, maka tumit cantrik itu
telah m enghantam dadanya, sehingga orang itu itu terlempar
beberapa langkah dan jatuh terbanting di tanah. Orang itu
telah menggeliat kesakitan sambil merintih. Dadanya serasa
menjadi sesak. Para pengawal y ang lain, termasuk Ki Buyut dan keempat
orang yang berkuda bersamanya menjemput cantrik itu segera
berlari memburu. Namun canrik itu telah sempat membuka
pintu dan lari keluar. Ki Buyut dengan sangat marah berteriak nyaring: "Cepat.
Kejar cantrik y ang menjadi gila itu. Tangkap hidup-hidup.
Kecuali jika kalian tidak mungkin menangkapnya hiduphidup,
maka ia akan mati." Beberapa orang memang m engejarnya. Namun cantrik itu
telah meloncati dinding halaman di rumah seberang. Dan
masuk ke kebun y ang ditanami berhagai macam pepohonan.
"Kepung padukuhan induk ini rapat-rapat," teriak Ki Buyut.
Sementara itu, kentongan pun telah berbunyi. Nadanya
tiba -tiba saja menjadi titir, seakan-akan ada perampokan atau
pembunuhan. Padukuhan induk Bumiagara menjadi ribut. Suara
kentongan membuat seisi padukuhan menjadi cemas.
Beberapa orang laki-laki telah mencari senjata seadanya.
Tetapi mereka ragu-ragu untuk melangkah keluar pintu meski
pun hari masih terang. Tetapi ketika mereka mendengar nama-nama mereka
dipanggil oleh tetangga-tetangga mereka, maka m ereka pun
segera keluar sambil berpesan kepada isteri dan anak-anak
mereka y ang dengan segera masuk ke dalam rumah mereka
setelah mendengar kentong dengan nada titir, agar ber hatihati.
Setiap laki -laki padukuhan itu telah m endengar perintah
dari Ki Buyut untuk mengepung padukuhan. Mereka pun
segera berusaha melakukannya. Berkelompok -kelompok
mereka berusaha untuk keluar dan mengawasi dinding
padukuhan. Tetapi tiga orang diantara mereka segera berteriak
memanggil kawan-kawan mereka. Mereka menemukan tiga
orang tetangga mereka terbaring pingsan.
" Iblis terkutuk," geram salah seorang bebahu yang hadir di
halaman Ki Buyut saat cantrik itu melarikan diri.
Dengan diketemukannya tiga orang y ang pingsan itu, maka
para bebahu dan Ki Buyut pun mendapat laporan, bahwa
cantrik y ang mereka cari telah berhasil keluar dari padukuhan
itu. Mereka justru telah membuat tiga orang menjadi pingsan.
"Orang itu sangat berbahaya," geram Ki Buyut: "buny ikan
isy arat terus agar padukuhan-padukuhan y ang lain juga
membunyikannya. Kirim penghubung berkuda ke padukuhan
terdekat dan kemudian beranting, m emberitahukan tentang
iblis yang melarikan diri itu."
Demikianlah sejenak kemudian dua orang berkuda telah
berpacu menuju ke padukuhan terdekat untuk menyampaikan
perintah Ki Buyut kepada Ki Bekel.
Tetapi kedua orang penghubung berkuda itu tidak pernah
sampai ke padukuhan sebelah. Keduanya telah menjadi
pingsan ditengah bulak. Sementara kuda mereka pun telah
dilarikan oleh cantrik yang merasa terjebak itu.
Namun bunyi kentongan memang lebih cepat m erambat.
Tanpa mengetahui apa y ang telah terjadi, maka dipadukuhanpadukuhan
yang lain pun telah terdengar suara kentongan.
Padukuhan berikutnya dan berikutnya.
Akhirnya cantrik itu justru telah meninggalkan kudanya. Ia
merasa lebih aman untuk berlari-lari di atas pematang dan
menyusuri jalan-jalan setapak di tengah-tengah pategalan.
Apalagi . ketika matahari telah bertengger lekat di punggung
bukit. Langit pun menjadi merah dan senja pun segera turun.
Ki Buyut mengumpat-umpat. Apalagi ketika ia kemudian
mendapat laporan, dua penghubungnya telah pingsan di
tengah-tengah bulak. Ketika keduanya sadar, maka k eduanya
tidak dapat menceriteiakan apa y ang telah terjadi atas diri
mereka. Mereka hanya merasa seakan-akan mereka terlempar
dari punggung kudanya dan jatuh di tanah, sehingga m ereka
tidak sadarkan diri. "Cantrik itu menjadi gila," geram Ki Buyut yang masih saja
memerintahkan isy arat kentongan untuk berbunyi terus.
Dua orang y ang lain telah diperintahkan untuk
menghubungi padukuhan sebelah.
"Cantrik itu tentu sudah pergi," berkata Ki Buyut: "pergilah.
Cepat." Penghubung itu dapat mencapai tujuan dan menyampaikan
perintah Ki Buyut kepada Ki Bekel. Demikian padukuhan itu
telah mengirimkan dua orang penghubungnya untuk
menghubungi padukuhan berikutnya dan berikutnya.
Beranting maka perintah itu segera tersebar.
Namun ketika hari m enjadi gelap, maka keadaan menjadi
semakin sulit bagi Ki Buyut untuk menangkap cantrik itu.
Tetapi karena Ki Buyut yakin bahwa cantrik itu masih berada
di Kabuyutan, maka ia telah memerintahkan semua jalan-jalan
dijaga. Terutama jalan gang keluar Kabuyutan. Sementara itu
perintah kepada para pengawal Kabuyutan untuk bersiaga
sepenuhnya. Pengawal y ang telah ditentukan dengan cepat
telah menuju ke padukuhan induk dan bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi cantrik itu ternyata tidak segera diketemukan.
Sementara itu, para pemimpin padepokan Bajra sudah
sejak siang hari menjadi heran bahwa seorang cantrik yang
memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengolah besi dan
baja telah hilang. Sejak ia menyatakan pergi ke pasar, maka ia
tidak kembali lagi, sementara cantrik itu tidak ada diantara
para pande besi yang sering dihubungi.
Tetapi dua diantara pande b esi y ang m endengar di sebutsebut
nama Ki Buyut. Katanya: "Cantrik itu tadi pagi memang
ada disini. Ia terbiasa memberikan beberapa petunjuk dan
menilai hasil kerja kami. Tetapi hari ini ia telah pergi ke kedai
bersama Ki Buyut. "Kedai y ang mana "," bertanya seorang cantrik y ang
mencari kawannya yang belum kembali itu.
"Kami hanya mendengar sekilas pembicaraan mereka,"
jawab salah seorang pande besi: "agaknya kedai y ang terbesar
dan terbaik." Cantrik y ang m encari kawannya itu memang menelusuri
sampai ke kedai y ang dimaksud. Dan para pelayan dan pemilik
kedai itu cantrik itu mendapat keterangan bahwa telah
disebut-sebut Kabuyutan Bumiagara.
Keterangan yang didapat oleh cantrik itu pun telah
disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Ber sama beberapa orang yang dianggap berhubungan dengan
cantrik y ang dicari itu m ereka pun m embicarakan langkahlangkah
yang sebaiknya diambil. "Kita pergi ke Kabuyutan Bumiagara," berkata Mahisa
Murti. "Jaraknya cukup jauh," berkata salah seorang cantrik y ang
pernah berkunjung ke Kabuyutan itu.
"Kita harus mendapat keterangan tentang cantrik y ang
hilang itu," berkata Mahisa Murti.
Demikianlah, maka Mahisa Murti pun telah
memerintahkan beberapa orang cantrik untuk bersiap. Mereka
akan ikut serta ke Bumiagara. Mungkin sesuatu telah terjadi
dengan cantrik itu. Mahisa Semu, bahkan Mahisa Amping dan Wantilan telah
ikut bersama dengan mereka. Sekelompok cantrik dan
padepokan Bajra Seta telah menuju ke Kabuyutan Bumiagara.
Mereka telah mempergunakan kuda yang tersedia di
padepokan. Tidak lebih dan sepuluh ekor kuda. Namun dari
padukuhan terdekat mereka dapat meminjam dua dan di
padukuhan y ang satu lagi tiga ekor kuda y ang cukup baik.
Lima belas orang telah berpacu menuju ke Kabuyutan
Bumiagara. Diperjalanan Mahisa Murti sempat berkata kepada Mahisa
Pukat: "Kita harus segera menambah jumlah, kuda y ang ada di
padepokan. Dalam keadaan tertentu ternyata kita memerlukan
kuda." Ya," jawab Mahisa Pukat, "kemajuan di beberapa bidang
yang mampu menumbuhkan kesejahteraan bagi padepokan
kita m emungkinkan kita menambah jumlah kuda y ang ada di
padepokan." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu, mereka
berpacu semakin cepat. Namun Bumiagara memang cukup jauh. Mereka ternyata
kemalaman di perjalanan. Namun mereka hanya brehenti
sejanak untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka
beristirahat dan m inum air jernih di sebuah parit di pinggir
jalan. Kemudian mereka telah melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka mendekati Kabuyutan Bumiagara, maka
Mahisa Murti telah memberi isy arat kepada para cantrik untuk
berhenti. "Tugu didepan adalah pertanda batas Kabuyutan
Bumiagara." "Baiklah," berkata Mahisa Murti: " sepuluh orang akan
tinggal disini termasuk Mahisa Semu yang akan mengawasi
Mahisa Amping. Mahisa Pukat, paman Wantilan dan dua


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang cantrik akan pergi bersamaku.
"Kenapa kita t idak pergi ber sama-sama "," bertanya salah
seorang cantrik. "Kita tidak ingin membuat Kabuyutan ini menjadi gelisah."
"Jika kita bersama-sama memasuki Kabuyutan ini, maka
para penghuninya tentu akan menjadi resah, cemas dan
bahkan mungkin ketakutan," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu "," bertanya cantrik
itu. "Bukankah kita membawa panah sendaren "," desis Mahisa
Murti. Para cantrik itu pun mengangguk-angguk. Karena itu, maka
mereka tidak bertanya lagi.
Lima orang, termasuk Mahisa Murti, Mahisa Pukat,
Wantilan, dua orang cantrik y ang pernah datang ke Kabuyutan
itu, melanjutkan perjalanan memasuki Kabuyutan Bumiagara.
Namun mereka tidak lupa meny ediakan panah sendaren yang
dapat menjadi isy arat apabila diperlukan.
Ketika mereka melewati tugu y ang didirikan dipinggir jalan,
merka belum melihat kesiagaan orang-orang Bumiagara.
Namun ketika mereka masuk lebih dalam lagi, maka m ereka
terkejut. Dalam kegelapan disamping empat ditengah-tengah
bulak, mereka melihat beberapa orang berdiri bukan saja
disebelah meny ebelah jalan, tetapi justru ditengah jalan.
Karena itu, maka mau tidak mau, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat y ang berkuda dipaling depan, m emberi isyarat k epada
kawan- kawannya untuk berhenti.
"Siapakah kalian "," bertanya salah seorang yang berdiri di
tengah-tengah jalan. 0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 98) Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 98 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 098 "KAMI INGIN bertemu dengan Ki Buyut Bumiagara, Ki
Sanak," jawab Mahisa Murti.
"Untuk apa "," bertanya orang itu pula.
"Kami ingin membicarakan tentang satu hal y ang bagi
kami, kami anggap penting," jawab Mahisa Murti.
"Tentang apa "," desak orang itu.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya: "Tentang jual beli yang ternyata sampai sekarang
masih belum tuntas. Tetapi rasa-rasanya pembicaraan kami
hampir menemukan titik temu," jawab Mahisa Murti.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
orang itu berkata: " Jangan sekarang Ki Sanak. Sekarang sudah
terlalu malam untuk berbicara tentang jual beli. Apalagi di
kabuyutan ini sedang terjadi sesuatu yang tidak menarik.
"Apa yang terjadi "," bertanya orang itu.
"Perampok. Seseorang telah merampok di Kabuyutan ini.
Karena itu kami harus menangkapnya. Semua jalan tertutup.
Bahkan di tengah-tengah sawah itu pun terdapat orang-orang
kami y ang mengawasi. Ra sa-rasanya setiap pematang tidak
terlepas dari pengawasan kami," jawab orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti bertanya: "Hanya
seorang ?" "Ya," jawab orang itu hampir diluar sadarnya.
"Hanya seorang berani merampok di Kabuyutan
Bumiagara"," bertanya Mahisa Murti pula.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya: "Yang kami ketahui baru seorang. Mungkin lebih dari
seorang. Karena itu, maka kami minta Ki Sanak kembali saja.
Besok kalian dapat datang lagi kemari untuk bertemu dengan
Ki Buyut." "Maaf Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "persoalannya
sangat penting. Jual beli itu harus selesai m alam ini. Besok
pagi-pagi segalanya sudah terlambat."
Tetapi orang itu tetap saja menggelengkan kepalanya.
Katanya: "Tidak. Aku sudah menentukan, bahwa kau tidak
boleh memasuki Kabuyutan Bumiagara malam ini."
"Jika demikian, aku akan menunggu disini. Tolong,
panggilkan Ki Buyut. Jika kami tidak bertemu malam ini
dengan Ki Buyut, maka Ki Buyut akan menjadi sangat kecewa.
Mungkin ia akan menimpakan kesalahan kepada kalian,"
berkata Mahisa Murti. Orang itu ternyata termangu-mangu. Ia benar-benar
menjadi bimbang. Kata-kata anak muda itu rasa-rasanya
sangat sangat mey akinkan. Seolah-olah ia akan benar-benar
bertanggung jawab jika Ki Buyut menjadi sangat kecewa
karena kelambatan pembicaraan tentang jual beli.
Namun orang itu ternyata t etap t eguh pada pendiriannya.
Katanya kepada anak-anak muda itu: "Aku sudah mengatakan
kepada kalian, bahwa malam ini tidak ada pembicaraan
apapun. Kami sedang berusaha menangkap orang yang sangat
berbahaya bagi Kabuyutan kami."
Mahisa Murti, m enjadi semakin ingin berbicara dengan Ki
Buyut. Rasa2nya ada hubungannya antara hilangnya seorang
cantrik padepokannya dengan per soalan y ang terjadi di
Kabuyutan Bumiagara, justru karena seseorang mendengar
bahwa cantrik yang hilang itu pergi bersama-sama orang
Bumiagara. Bahkan Ki Buyut Bumiagara sendiri.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun berkata: "Sekali lagi
aku minta, beri aku jalan untuk menemui Ki Buyut
Bumiagara." Orang itu justru menjadi marah. Katanya: "Kau akan
memaksa " Apakah kau tidak melihat, bahwa kami, seisi
Kabuyutan ini sudah bersiap malam ini. Jika kau berkeras
untuk menemui Ki Buyut, maka kesiagaan ini akan dapat
beralih sasaran. Kau akan dapat menjadi, kambing hitam dari
peristiwa yang terjadi di Bumiagara."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba
sa ja ia berkata: "Baiklah Ki Sanak. Jika kalian berkeras tidak
memberikan kesempatan aku bertemu dengan Ki Buyut, maka
aku akan kembali. Tetapi sekali lagi, segala tanggung jawab
ada pada kalian." "Ya," jawab orang itu tegas, meski pun sebenarnya ia masih
sa ja ragu-ragu, "aku bertanggung jawab."
"Baik. Katakan, bahwa kami adalah orang-orang dari
padepokan Bajra Seta," desis Mahisa Murti.
"He," -tiba -tiba saja orang itu seperti terbangun dari tidur,
"kalian orang-orang Bajra Seta?"
"Ya. Kami mempunyai per soalan yang perlu kami
selesaikan dengan Ki Buyut," jawab Mahisa Murti.
Orang itu justru menjadi bingung. Dengan gagap ia
bertanya: "Apa sebenarnya keperluanmu datang kemari ?"
"Kalau aku m engaku orang dari perguruan Bajra Seta, kau
tentu sudah tahu, k enapa kami datang kemari," jawab Mhisa
Murti. Untuk sesaat orang itu masih bingung. Ia masih belum tahu
apa yang sebaikny a dilakukan. Namun sementara itu telah
terdengar derap tiga ekor kuda mendekati tempat mereka.
Tiga ekor kuda dari arah pedukuhan.
Dengan sigapnya ketiga orang penunggangnya meloncat
turun ketika kuda mereka berhenti. Seorang diantaa mereka
dengan serta merta memberikan perintah: "Hati-hati. Ada
yang memberikan laporan, bahwa orang y ang kita cari nampak
menuju ke tempat ini, atau sekitar tempat ini. Jangan beri
kesempatan kepadanya untuk lolos."
Sebenarnyalah cantrik yang diburu itu hampir menjadi
putus a sa. Seakan-akan memang tidak ada jalan y ang dapat
ditempuh untuk keluar dari Kabuyutan. Meski pun dalam
malam hari, namun agaknya seluruh Kabuyutan telah
dikepung temu gelang. Tidak ada lubang selembut lubang
sarang tikus sekali pun yang dapat dipergunakan untuk
meloloskan diri. Namun ternyata dari tempatnya bersembunyi, cantrik itu
sempat mendengar pembicaraan antara orang -orang yang
berjaga-jaga dengan beberapa orang berkuda. Semula tidak
begitu jelas. Namun ketika ia memberanikan diri, menyusup di
antara pohon jagung yang subur, m aka ia dapat m enangkap
pembicaraan itu. "Mahisa Murti. Aku kenal suara itu," katanya didalam hati.
Harapannya pun mulai tumbuh. Apalagi ketika ia
mendengar pengakuan orang-orang yang datang berkuda itu.
Mereka adalah orang-orang Bajra Seta.
Cantrik itu berusaha mendekat lagi. Namun dengan
demikian batang jagung pun telah bergoy ang. Orang-orang
yang berdiri di pematang, sempat melihatnya meski pun
mereka juga tertarik pada pembicaraan di jalan bulak itu.
Karena itu, maka orang-orang yang ada di pematang itu
pun segera bergeser sambil berteriak: "Orang itu ada disini."
Orang-orang y ang ada di jalan itu pun berpaling. Orang
yang datang berkuda dari padukuhan itu pun berteriak:
"Kepung orang itu."
Beberapa orang segera bergerak. Namun sebelum m ereka
sempat menemukan orang y ang m ereka cari, tiba -tiba orang
itu telah meloncat dan berlari m endekati Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. " Ini aku," berkata cantrik itu dengan nafas y ang terengahengah.
Kemudian katanya pula: "Aku hampir mati kehabisan
nafas. Aku telah dikejar-kejar oleh orang se Kabuyutan."
"Kenapa kau sampai disini"," bertanya Mahisa Murti.
"Aku telah dijebaknya," jawab cantrik itu.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Wantilan dan kedua orang
cantrik itu pun segera, berloncatan turun dari kuda-kuda
mereka. Dengan tenang m ereka mengikat kuda-kuda m ereka
pada batang -batang perdu di pinggir jalan.
Namun dalam pada itu, orang-orang Kabuyutan Butniagara
lah y ang nampak gelisah. Orang yang datang berkuda, yang
agaknya bebahu Kabuyutan itu berkata lantang: "Tangkap
orang itu." "Tunggu Ki Sanak," berkata Mahisa Murti: "Orang inilah
yang akan aku bicarakan dengan Ki Buyut. Aku kehilangan
orangku yang m enurut keterangan y ang aku terima, cantrik
padepokan Bajra Seta itu telah dibawa oleh Ki Buyut
Bumiagara." "Cantrikmu bukan barang mati," jawab bebahu itu, "jika ia
sampai disini tentu ada sebabnya."
"Ya. Sebab itulah y ang akan aku tanyakan kepada Ki Buyut
Bumiagara," jawab Mahisa Murti.
"Cantrik itu telah m enerima upahnya untuk bekerja disini.
Tetapi ia melarikan diri," jawab bebahu itu.
"Omong kosong," teriak cantrik itu, "aku tidak pernah
merasa menerima upah dan membuat perjanjian untuk tinggal
dan bekerja bagi Kabuyutan Bumiagara. Aku telah dibujuknya
untuk datang ke Kabuyutan ini sekedar untuk
memperkenalkan diri."
"Tetapi kau terima uang pemberian Ki Buyut itu," bentak
bebahu itu. Tetapi cantrik itu pun membentak: "pemberian itu tidak
didasari ikatan apapun. Menurut Ki Buyut sekedar ungkapan
kekagumannya kepadaku yang telah mampu memiliki ilmu
yang tinggi di bidangku. Khususnya sebagai pande besi."
"Kau dapat m emutar balikkan lidahmu. Tetapi kau sudah
menerima uang itu," geram bebahu itu.
Sebelum cantrik itu m enjawab, Mahisa Murti pun berkata:
"Karena itu, biarlah aku bertemu dengan Ki Buyut untuk
mengetahui apakah sebenarnya yang telah terjadi."
Tetapi bebahu menggeram: "Meny erahlah. Kalian semua
akan kami tangkap." "Tidak Ki Sanak," jawab Mahisa Murti, "aku akan berbicara
dengan Ki Buyut dalam kedudukan y ang sama. Bukan sebagai
tawanan. Karena itu, biarlah kami menunggu disini. Ajak Ki
Buyut kemari." "Setan kau," geram bebahu itu, "apakah kau tidak m elihat
orang- orang kami y ang siap menangkap kalian?"
"Ki Sanak," berkata Mahisa Murti: "aku tidak ingin terjadi
benturan kekerasan diantara kita. Kita dapat berbicara dengan
baik untuk mendapatkan pemecahan. Bukankah kita
mempunyai kesempatan untuk merenungkan dan mengurai
langkah-langkah y ang akan kita ambil?"
"Tidak. Ini adalah daerah Kabuyutan Bumiagara. Kau harus
tunduk kepada semua ketentuan yang berlaku di Bumiagara,"
berkata bebahu itu. "Tetapi Bumiagara berada di daerah Singasari. Segala
macam ketentuan dan paugeran tidak boleh bertentangan
dengan ketentuan dan paugeran y ang berlaku di Singasari.
Termasuk Kabuyutan Bumiagara," berkata Mahisa Murti.
"Kamilah y ang mengetahui apa y ang terjadi," jawab bebahu
itu, "hanya kamilah y ang dapat m enjatuhkan k eputusan atas
sesuatu persoalan. Karena itu, maka meny erahlah. Kalian
harus kami tangkap."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum
ia menjawab, Mahisa Pukat telah menjawab: "Kami tidak
bersedia untuk meny erah. Kami hanya bersedia untuk


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbicara dengan Ki Buyut. Bahkan jika perlu kami akan
menangkap Ki Buyut dan membawatya ke Singasari, karena ia
telah m enyalahgunakan jabatanriya untuk m elakukan sesuatu
yang tidak sewajarnya dilakukan oleh seorang Buyut."
Bebahu itu menggeram. Katanya dengan marah: "Kami
akan menangkap kalian. Tetapi jika kalian melawan dan
kemudian terjadi bencana y ang paling pahit bagi kalian,
jangan salahkan kami."
"Nah, kau harus mendengarkan kata-katamu sendiri,"
berkata Mahisa Pukat, "kami bukannya orang yang
mendahului melakukan kekerasan. Tetapi kami akan
mempertahankan hak dan kebebasan kami."
"Persetan," geram orang itu y ang kemudian memberikan
isy arat kepada orang-orangnya. "Aku ulangi perintahku tadi.
Tangkap orang-orang itu. Semuanya. Terutama cantrik yang
telah mengacaukan Kabuyutan kita."
Orang-orang itu pun segera bergerak. Orang-orang y ang
semula berada di pematangan telah brlari-larian mendekat
pula. Sementara itu, Mahisa Murti yang tidak melihat
kemungkinan lain telah m emerintahkan pula kepada cantrik
yang meny ertainya, untuk melepaskan panah sendaren.
Demikian orang-orang padukuhan itu mulai berkumpul,
maka tiga anak panah sendaren telah meluncur ke udara.
Suaranya berdesing memecahkan sepinya malam.
"Apa yang kau lakukan "," bertanya bebahu Kabuyutan itu.
"Aku m emanggil para cantrik y ang menyertai perjalanan
kami. Karena nampaknya kalian ingin mempergunakan
kekerasan, kami harus bersiap-siap," jawab Mahisa Murti.
"Nah, bukankah t erbukti, bahwa kalian juga bermaksud
mempergunakan kekerasan. Terbukti kalian telah membawa
pasukan," berkata bebahu itu.
"Aku tidak ingkar. Tetapi kami sudah berusaha untuk
berbuat lebih baik dari m empergunakan kekerasan itu. Kami
telah meninggalkan orang -orang kami diluar perbatasan
Kabuyutan Bumiagara. Sehingga kami tidak ingin
memaksakan kehendak kami dengan kekerasan sejauh kami
masih mungkin berbicara dengan baik. Tetapi karena cara
yang lebih baik itu tidak dapat kami tempuh, maka kami telah
memanggil para cantrik," jawab Mahisa Murti.
"Tetapi ingat, berapa pun kau membawa cantrik dari
padepokanmu, namun jumlah kami, laki -laki di seluruh
Kabuyutan, tentu jauh lebih banyak dari jumlah cantrikmu,"
geram bebahu itu. "Aku percaya," berkata Mahisa Murti, "tetapi kau pun harus
menyadari, bahwa seorang cantrik dari perguruan Bajra Seta,
akan dapat melawan sedikitnya sepuluh orang penghuni
Kabuyutan Bumagara."
"Omong kosong," geram bebahu itu.
Namun pembicaraan mereka terhenti. Terdengar derap
kaki kuda y ang gemuruh menyusuri jalan itu.
Mahisa Semu yang tinggal bersama para cantrik diluar
Kabuyutan telah mendengar suara sendaren yang meluncur di
udara, justru m elampaui tempat mereka menunggu. Dengan
demikian, Mahisa Semu mengerti, bahwa anak panah
sendaren itu t entu dilontarkan dari tempat y ang tidak begitu
jauh. Mahisa Semu yang berkuda dipaling depan pun segera
memberikan isy arat kepada iring-iringan itu untuk berhenti
setelah ia melihat beberapa orang berkerumun di tengah dari
bahkan di pinggir jalan, di atas tanggul parit dan di pematang.
Demikian mereka berhenti, maka para penunggang kuda
itu pun segera berloncatan turun.
Bebahu itu sempat memperhitungkan para penunggang
kuda itu. Sehingga kemudian ia pun berkata: "Tidak lebih dari
sepuluh orang." "Ya," jawab Mahisa Murti, "tidak lebih dan sepuluh orang.
Sementara itu kita berenam disini. Jadi semuanya tidak lebih
dan enam bela s orang. Tetapi sudah aku katakan, bahwa setiap
orang akan dapat melawan sepuluh orang laki -laki dan
Kabuyutan Bumiagara."
"Persetan atas bualanmu. Sekarang meny erahlah. Atau
kami akan menghancurkan," geram bebahu itu.
Mahisa Murti termangu-mangu. Jika terjadi pertemptiran,
maka tentu akan jatuh korban. Namun ia tidak mempunyai
jalan untuk m encegah pertempuran itu. Agaknya orang-orang
Bumiagara benar- benar tidak mau m elepaskan cantrik yang
telah berhasil mereka jebak untuk ikut bersama mereka.
Namun Mahisa Murti m asih mencoba berusaha. Katanya:
"Ki Sanak. Baiklah jika kalian m emang berkeberatan untuk
membawa aku kepada Ki Buyut Bumiagara. Jika demikian,
sampaikan saja salamku. Kami akan kembali ke padepokan
Bajra Seta dengan membawa seorang diantara cantrik kami
yang kami ketemukan berada disini."
"0, begitu mudahnya," berkata bebahu itu: "kalian y ang
ketakutan melihat kesiaagaan kami begitu saja akan membawa
perampok itu pergi.?"
"Sebenarnya alasan kami bukan itu. Kami tidak ingin jatuh
korban terlalu banyak disini. Apalagi di m alam hari. Ayunan
senjata tidak begitu terkendali, apakah ujungnya akan sekedar
menyentuh kulit atau menghujam sampai ke jantung," berkata
Mahisa Murti. "Kau masih juga membual," berbahu itu pun kemudian
berteriak: "kalian menunggu apa lagi. Tangkap mereka semua.
Yang m elawan, terserah kepada kalian. Apakah akan kalian
hidupi, atau terpaksa kalian akhiri kesombongannya,"
kemudian terdengar lagi perintahnya lantang: "Cepat.
Lakukan." Orang-orang itu m ulai bergerak lagi. Sementara itu, dua
orang diantara mereka y ang datang berkuda dari padukuhan
telah m endapat perintah untuk kembali k e padukuhan induk
dan memberikan laporan tentang orang-orang Bajra Seta yang
datang ke Bumiagara. Jumlahnya hanya sekitar limabelas
orang. Ketika kedua ekor kuda itu berlari ke padukuhan induk,
maka orang-orang Kabuyutan Bumiagara itu mulai
menyerang. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang
dari padepokan Bajra Seta itu pun mulai mempertahankan
diri. Namun orang-orang dari perguruan Bajra Seta itu telah
mendapat pesan agar mereka berhati-hati dengan senjata
mereka jika terpaksa terjadi kekerasan. Mereka tidak datang
untuk membunuh para penghuni Kabuyutan Bumiagara apa
pun y ang terjadi. Tetapi lawan mereka memang terlalu banyak. Sudah tentu
itu belum merupakan kekuatan seluruh Kabuyutan, karena
orang-orang Kabuyutan itu tersebar melingkar.
Dalam pada itu, maka para cantrik dari perguruan Bajra
Seta itu pun telah meny ebar. Memang hanya enambelas orang
dengan cantrik y ang diketemukan di Kabuyutan itu. Namun
yang enam belas orang itu benar-benar telah menggetarkan
orang-orang Bumiagara. Bahkan seorang anak diantara para
cantrik itu telah membuat orang-orang Bumiagara
kebingungan. Dalam benturan y ang terjadi, maka sulit bagi orang-orang
perguruan Bajra Seta untuk menghindarkan diri dari
kemungkinan buruk y ang terjadi dengan ujung senjata
mereka. Setidak-tidaknya mereka dengan cepat telah m elukai
beberapa orang penghuni Kabuyutan itu.
Namun para cantrik memang masih mampu
mengendalikan diri. Apalagi ketika ternyata orang-orang
Kabuyutan itu m enjadi agak bingung bertempur dalam gelap.
Sementara para cantrik sudah mendapat latihan yang cukup,
apa y ang perlu mereka lakukan dalam kegelapan. Mata mereka
pun m enjadi lebih tajam dari penglihatan orang2 Kabuyutan
Bumiagara y ang tidak terlatih.
Dengan demikian, maka setiap kali memang terdengar
seseorang mengaduh kesakitan. Ternyata ujung senjata para
cantrik memang telah menggapai kulit daging orang-orang
pedukuhan di lingkungan Kabuyutan Bumiagara.
Bebahu yang m emimpin orang-orang Kabuyutan itu pun
segera melihat, bahwa enambelas orang yang memencar itu
telah membuat orang-orang Bumiagara kebingungan dan
bahkan kemudian ketakutan. Orang-orang y ang jumlahnya
cukup banyak itu berdesakan mengepung mereka, namun
ketika para cantrik itu bergerak maju, maka orang-orang
Kabuyutan itu telah berdesakan mundur atau meny ibak.
"Jangan menjadi pengecut," teriak bebahu itu.
Namun suaranya tenggelam dalam desau angin y ang
bertiup semakin kencanag. Sementara di langit awan yang
hitam menebar dari ujung cakrawala sampai ke ujung
cakrawala. Sementara itu, orang-orang Kabuyutan yang mencoba
mengepung ternyata tidak mampu untuk tetap berada dalam
lingkaran. Ternyata lingkaran itu tidak menjadi semakin kecil,
justru sebaliknya menjadi semakin luas.
Para cantrik y ang berpegang pada pesan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memang tidak menjadi terlalu garang. Mereka
seakan-akan hanya menghentak disaat benturan terjadi.
Kemudian mereka membiarkan orang -orang Bumiagara yang
ketakutan itu mengepung mereka dari jarak yang semakin
jauh. Namun sejenak kemudian, telah datang sekelompok
pengawal Kabuyutan, bahkan dengan Ki Buyut sendiri sebagai
pimpinannya. Demikian mereka mendekat, maka Ki Buyut itu pun segera
berteriak nyaring: "Anak-anak Kabuyutan Bumiagara.
Tunjukkan bahwa kalian adalah putra2 terbaik dari
Bumiagara. Orang-orang Bajra Seta itu telah datang sendiri
kemari. Itu agaknya lebih baik daripada jika kita pergi ke
padepokan mereka. Kita. harus menangkap mereka kali ini.
Sebenarnya hanya seorang saja y ang telah mengganggu
ketenangan Kabuyutan ini. Tetapi karena kawan-kawannya
hadir juga sekarang ini, maka kita akan m enangkap mereka
semuanya." Memang agak berbeda dengan orang-orang Kabuyutan
kebanyakan. Para pengawal memang lebih sigap dan tangkas.
Beberapa orang pengawal yang memang sudah ada di tempat
itu sebelumnya, y ang bukan termasuk pengawal pilihan yang
harus berada di Kabuyutan, dengan cepat bergabung dengan
kawan kawan mereka. Demikian para pengawal itu bergerak, diantara mereka
yang telah datang lebih dahulu sempat memberikan
peringatan kepada kawan kawan m ereka, bahwa para cantrik
dari padepokan Bajra Seta itu adalah orang-orang yang
berbahaya. Namun para pengawal terpilih yang datang ber sama-sama
Ki Buyut adalah para pengawal y ang telah m enjalani latihan
sebelumnya, sehingga mereka tidak merasa gentar sama sekali
menghadapi para cantrik dari padepokan Bajra Seta.
Karena itu, maka sejenak kemudian para cantrik itu pun
harus bersiaga lagi. Para pengawal itu dengan cepat telah
menempatkan diri dan meny erang para cantrik dari beberapa
jurusan. Sementara itu dibelakang mereka orang2 Bumiagara telah
mulai bergerak lagi dan mengepung tempat itu dengan rapat.
Enambelas orang berada dalam kepungan. Tetapi mereka
tidak bertahan sambil berdesak -desakan. Tetapi mereka pun
menebar di tempat yang cukup luas. Sebagian diantara mereka
berada di kotak-kotak sawah diantara batang jagung yang
menjadi rusak berserakan.
Demikianlah sejenak kemudian telah terjadi benturan
kekuatan. Para pengawal telah m eny erang dengan garangnya.
Selain m ereka merasa pernah m endapat latihan y ang cukup,
mereka pun menyadari bahwa jumlah mereka lebih banyak
dari para cantrik y ang hanya enambelas orang itu.
Namun k etika senjata mereka mulai beradu, maka mereka
pun mulai terbangun. Mereka harus membentur keny ataan,
bahwa para cantrik itu m emang memiliki kelebihan. Bukan
sa ja karena senjata mereka lebih baik, tetapi kemampuan
mereka olah senjata juga jauh lebih baik, meski pun
dibandingkan dengan para pengawal terpilih sekalipun.
Yang kemudian menjadi sandaran m ereka adalah jumlah
yang jauh lebih banyak itu, sehingga mereka meny erang dalam
gelombang yang datang beruntun susul menyusul.
Para cantrik y ang menahan serangan itu pun terpaksa
mengerahkan kemampuan mereka. Gelombang-gelombang
serangan yang datang susul m enyusul, membuat para cantrik
terhentak-hentak. Namun dengan demikian, maka keadaan itu telah
memanaskan hati para cantrik y ang masih mencoba menahan
diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah berdiri
berjauhan. Mahisa Murti bersama beberapa orang cantrik
menahan serangan dari utara, sedangkan Mahisa Pukat
menghadap ke selatan. Wantilan ada di barat dan Mahisa
Semu ada disisi sebelah timur. Mahisa Amping masih saja
berputar -putar didalam lingkaran para cantrik yang menahan
serangan dari para pengawal yang semakin lama terasa
semakin berat. Apalagi Ki Buyut sendiri selalu saja memberika
aba-aba yang dapat membakar jantung para pengawal.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri
merasakan tekanan serangan para pengawal itu, sehingga
akhirnya mereka tidak akan menyalahkan lagi jika para cantrik
terpaksa berusaha untuk mengurangi tekanan itu dengan
mengurangi jumlah lawan mereka.
Dengan demikian, maka setiap kali seorang pengawal
terpaksa diusung menjauhi medan. Satu demi satu mereka
berjatuhan. Namun y ang lain telah mengisi tempatnya dan
hanyut dalam gelombang serangan-serangan y ang semakin
deras. Akhirnya ju stru Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi marah oleh seranganserangan
itu. Apalagi ketika mereka menyadari bahwa satu
dua orang cantrik mulai tersentuh senjata para pengawal
sehingga terluka. Pa da kesempatan terakhir


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti masih berteriak:
"Ki Buyut. Aku masih
memberikan kesempatan para
pengawal menarik diri. Tetapi
jika peringatan ini tidak
dihiraukan, maka kami akan benar-benar bertempur
sebagaimana kami bertempur melawan orang- orang yang
datang menyerang padepokan kami. Kami t erpaksa tidak lagi
mengekang diri sehingga korban akan semakin banyak
berjatuhan." "Gila kau," Ki Buyut pun berteriak: "Meny erahlah. Jika
tidak, maka sudah terbayang, bahwa kalian akan mati sampai
orang y ang terakhir."
"Jadi Ki Buyut tidak m au mendengarkan peringatanku","
bertanya Mahisa Murti. "Persetan dengan kau," jawab Ki Buyut.
Mahisa Murti tidak mempunyai pilihan lain. Maka ia pun
kemudian berkata lantang: "Baiklah. Jika demikian, maka
kami tidak akan bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi
kemudian." Mahisa Murti m emang tidak m emberikan perintah kepada
para cantrik untuk bertempur semakin garang. Namun apa
yang dikatakannya itu sudah merupakan isy arat untuk
melakukannya. Karena itu, maka sejenak kemudian, maka para cantrik itu
pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.
Sebelum tenaga m ereka terkuras habis, m aka mereka harus
berusaha untuk m engurangi jumlah lawan mereka sebanyakbanyaknya.
Jika m ungkin tanpa m embunuh m ereka. Tetapi
jika terjadi kecelakaan, apaboleh buat.
Demikianlah, maka para cantrik itu benar-benar telah
memutar pedangnya, mengibaskan serangan lawan dan
kemudian menusukkan pedangnya. Yang lain menangkis
serangan, memutar senjata lawannya sehingga terlepas,
kemudian ayunan mendatar meny entuh dadanya dan
mengoy akkan kulitnya. Namun jika serangan yang datang mendesak dan
berbahaya, maka kadang-kadang sabetan pedang para cantrik
itu diikuti oleh teriakan seorang pengawal dan kemudian
terdiam untuk selamanya. Korban demi korban telah jatuh. Tubuh-tubuh para
pengawal telah dibawa menjauhi medan. Beberapa sosok
berjajar dibawah pohon- pohon yang tumbuh di pinggir jalan.
Beberapa orang m emang masih merintih kesakitan. Namun
satu dua diantara mereka, sama sekali sudah tidak bernafas.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin marah,
ketika seorang diantara para cantrik itu melangkah surut,
masuk kedalam lingkaran pertahanan kawan-kawannya.
Kemudian terhuyung -huyung dan jatuh berguling di tanah.
Dadanya terluka cukup dalam, sehingga darah mengalir
semakin deras. Mahisa Amping ternyata cukup tangkas. Ia m engerti apa
yang harus dilakukannya. Meski pun ia belum belajar
bersungguh-sungguh, namun ia m engerti bahwa obat luka di
kantung ikat pinggang cantrik itu harus dengan segera
ditaburkannya. Cantrik itu berdesis menahan pedih. Namun kemudian
lukanya terasa semakin sejuk. Darah pun telah menjadi
pempat. Namun Mahisa Amping menahannya untuk tetap
berdiam diri. "Nanti lukamu berdarah lagi. Hanya jika terpaksa saja kau
boleh bangkit," berkata anak itu.
Ternyata cantrik itu menurut. Ia masih saja berbaring diam
didalam lingkaran pertahanan para cantrik.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi semakin garang. Dengan isy arat maka Mahisa Murti
telah minta agar Mahisa Pukat pun melepaskan ilmunya,
sehingga keduanya akan menghisap tenaga lawan mereka.
Dengan demikian, maka kekuatan lawan akan susut dengan
cepat. Karena hanya dengan cara itu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat mampu m engurangi jumlah korban para cantrik tanpa
harus membunuh sebanyak-banyaknya.
Pertempuran di tengah-tengah bulak itu pun berlangsung
semakin sengit. Seorang lagi cantrik padepokan Bajra Seta
terdorong jatuh kedalam lingkaran pertahanan para cantrik
itu. Meski pun ia segera bangkit lagi, tetapi darah telah
mengalir dari luka dipundaknya.
Dengan sigap Mahisa Amping telah menahan cantrik itu. Ia
pun kemudian telah menaburkan obat pada luka dipundak itu.
Seperti cantrik yang lebih dahulu terluka, maka luka dipundak
itu rasa - rasanya bagaikan disengat api. Namun kemudian
menjadi sejuk dan dingin. Darah pun telah m enjadi pempat
dan tidak mengalir lagi. Tetapi kepada cantrik itu Mahisa
Amping pun berkata: "Jangan terlalu banyak bergerak. Nanti
lukamu berdarah lagi."
"Tetapi jumlah mereka terlalu banyak," berkata cantrik itu.
"Beristirahatlah sebentar. Nanti jika terpaksa kau dapat
membantu. Tetapi tenagamu masih akan tersisa. Jika kau
sejak sekarang bertempur lagi dan darahmu mengalir terus,
maka kau akan benar-benar kehabisan darah.," berkata
Mahisa Amping. Cantrik yang terluka itu ternyata m enurut petunjuk anak
itu. Untuk sementara cantrik itu menunggu sambil mengamati
apa y ang terjadi. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjadi semakin cemas.
Tetapi keduanya telah mengetrapkan ilmu mereka yang
mampu menghisap kekuatan dan tenaga lawan.
Dengan demikian, maka diluar pengetahuan para
pengawal, mereka telah dengan cepat kehilangan kekuatan
dan kemampuan mereka. Beberapa orang dengan heran
merasa seakan-akan mereka telah dengan cepat kehilangan
kekuatan dan kemampuan mereka. Beberapa orang dengan
heran merasa seakan-akan mereka telah bertempur sehari
semalam tanpa berhenti. Tangan dan kaki mereka menjadi
berat dan sulit diay unkan untuk meny erang para cantrik.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru
berloncatan sambil memutar pedang mereka. Pedang yang
berkilat -kilat memancarkan cahaya kehijau-hijauan. Namun
betapa pun kemarahan mencengkam jantung, tetapi Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat tidak berniat membantai lawan-lawan
mereka. Pedangnya y ang berputaran hanyalah untuk sekedar
menyentuh senjata lawan-lawan mereka. Menangkis serangan
dan menghisap kekuatan dan kemampuan mereka.
Tetapi y ang terjadi kemudian telah mengejutkan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Para cantrik yang melihat kawankawan
mereka terluka, ternyata menjadi sangat marah.
Mereka benar-benar telah kehilangan kendali, sehingga
senjata mereka menjadi garang. Para cantrik yang kehilangan
lapisan-lapisan kekuatan dan kemampuannya, tidak m ampu
melawan ketika ujung-ujung pedang telah terjulur kepada
mereka. Karena itu, maka hampir diluar sadarnya, Mahisa Murti
berteriak lantang: "Jangan kehilangan akal. Jaga ujung senjata
kalian. Jangan menjadi seorang pembunuh yang tidak
berjantung." Suara Mahisa Murti itu memang memberikan sedikit
peringatan kepada para cantrik itu. Mahisa Semu pun
berusaha untuk mengekang diri. Demikian pula Wantilan.
Sementara itu, para pengawal memang mulai melihat
keny ataan. Kawan-kawan mereka semakin banyak yang
terluka. Bahkan yang terbunuh di pertempuran itu. Para
cantrik ternyata memiliki kemampuan jauh di atas
kemampuan para pengawal. Apalagi m ereka y ang senjatanya
telah beberapa kali menyentuh senjata Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. Ki Buyut melihat kesulitan yang dialami oleh para
pengawal. Jumlah mereka masih jauh lebih banyak. Tetapi
mereka seakan-akan tidak mampu mendesak lingkaran
pertahanan para cantrik meski pun ada pula beberapa orang
cantrik yang terluka. Namun kematian demi kematian telah
mewarnai arena itu. Para pengawal ternyata bukan saja
kehilangan kekuatan dan kemampuan m ereka, tetapi banyak
pula y ang kemudian kehilangan nyawa mereka.
Teriakan Mahisa Murti m emang terdengar aneh di telinga
Ki Buyut Bumiagara. Mahisa Murti itu agaknya berusaha
mengendalikan pembunuhan yang terjadi.
Untuk beberapa saat lamanya, pertempuran masih
berlangsung. Para cantrik memang mulai menahan diri ketika
mereka melihat korban semakin banyak diantara para
pengawal. Bahkan ada diantara para korban itu y ang m asih
belum sempat diangkat dan disingkirkan keluar medan
pertempuran. Tetapi Ki Buyut itu justru curiga, bahwa perintah itu justru
perintah sandi sehingga y ang terjadi adalah sebaliknya.
Pemimpin dari para cantrik itu mungkin saja ju stru
memerintahkan untuk membunuh para pengawal.
Namun y ang terjadi m emang sebagaimana dikatakan oleh
Mahisa Murti. Para cantrik memang berusaha mengekang diri
sehingga mereka tidak lagi menjadi sangat garang.
Ki Buyut memang menjadi ragu-ragu mengalami
perubahan sikap itu. Bahkan Ki Buyut memang mengira
bahwa kemampuan para cantrik sudah menjadi susut.
Perintah dari pimpinan para cantrik itu semata-mata satu
usaha untuk mengelabui agar para pengawal tidak
mengetahui, bahwa sebenarnyalah kekuatan para cantrik
menjadi semakin susut. Karena itu, maka Ki Buyut justru telah memberikan
perintah sebaliknya dari Mahisa Murti. Katanya: "Kalian, para
pengawal Bumiagara yang terpilih, harus mampu
menyelesaikan persoalan kecil y ang kita hadapi sekarang ini.
Tangkap para cantrik, atau jika mereka melawan, terserah
kepada kalian. Tidak seorang pun berkeberatan jika mereka
terbunuh di pertempuran ini."
Mahisa Murti yang baru saja m engekang para cantriknya
terkejut mendengar perintah itu. Apalagi ketika Ki Buyut
berteriak lagi: "Ternyata para cantrik telah kehabisan tenaga.
Sama sekali bukan karena kebaikan hati mereka agar mereka
tidak m embunuh para pengawal, tetapi bahwa mereka sudah
tidak mampu lagi melakukannya."
Mendengar perintah itu, m aka tiba-tiba saja Mahisa Pukat
berteriak: "Apakah kami harus membuktikan, bahwa kami
masih mampu membunuh kalian semuanya ?"
Teriakan Mahisa Pukat memang terasa menghentak
jantung Ki Buyut. Tetapi ia sama sekali t idak y akin akan katakata
Mahisa Pukat. Meski pun demikian Ki Buyut tidak
menanggapinya. Dengan demikian, maka para pengawal ju stru telah
bergerak semakin garang. Mereka bahkan telah meny erang
para cantrik sambil berteriak-teriak.
Namun y ang terjadi itu justru memaksa para cantrik untuk
mempertahankan diri dengan mengurangi jumlah lawan.
Sementara mereka yang senjatanya pernah bersentuhan
dengan senjata Maliisa Murti dan Mahisa Pukat tenaganya
segera menjadi susut. Karena itu, maka korban pun berjatuhan. Benar-benar
semakin lama semakin banyak. Para cantrik yang ada disebelah
meny ebelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat seakanakan
tidak dapat dikendalikan lagi. Beberapa kali Mahisa
Murti terutama, telah memperingatkan cantrik-cantrik yang
ada di sebelah meny ebelah, agar mereka tidak menyerang dan
membunuh lawan-lawan mereka yang tidak berdaya.
Tetapi hal itu memang sulit dilakukan. Apalagi ketika para
pengawal itu meny erang dalam jumlah y ang terlalu banyak.
Korban yang berjatuhan itu memang membuat para
pengawal menjadi ngeri. Karena itu, maka semakin lama gerak
para pengawal itu pun menjadi semakin surut. Para cantrik
yang sebenarnya mulai berusaha mengurangi korban dipihak
lawan, hati mereka telah terbakar lagi oleh perintah Ki Buyut.
Bagaimana pun juga, Ki Buyut tidak dapat mengingkari
keny ataan. Para pengawalnya serta orang-orang Kabuyutan
itu, sudah terlalu banyak yang m enjadi korban dan terluka
parah. Ternyata bahwa ia benar-benar salah hitung. Perintah
pimpinan para cantrik itu benar-benar berusaha untuk
mengekang agar mereka tidak terlalu banyak menimbulkan
kematian. Tetapi segalanya sudah terlanjur terjadi.
Namun karena itu, m aka Ki Buyut tidak lagi m emberikan
perintah kepada para pengawalnya untuk meny erang ketika
para pengawal itu m enjadi ragu -ragu dan bahkan kemudian
semakin mengendorkan serangannya. Bahkan kemudian,
serangan-serangan itu terhenti sama sekali.
Ketika para cantrik mulai bergerak maju, Mahisa Murti
telah berteriak: "Cukup. Kita t idak sedang meny erang
Kabuyutan Bumiagara. Kita sekedar mempertahankan hidup
kita justru karena mereka menyerang kita. Persoalan yang
sebenarnya adalah, kita mencari seorang diantara kita yang
ternyata memang berada disini. Apa pun yang dilakukannya,
kita berhak untuk mengambilnya. Pada k esempatan lain, aku
dan Ki Buyut dapat berbicara tentang cantrik itu. Jika ia
benar-benar b ersalah dan m erampok di Kabuyutan ini, maka
kita tidak akan segan-segan bertindak."
Ternyata orang-orang Bumiagara tidak ada yang menjawab.
Sementara itu Mahisa Murti pun berkata: "Kita kembali ke
padepokan." Dengan hati-hati orang orang dari padepokan Bajra Seta itu
mengambil kuda-kuda mereka. Ternyata hampir semua
cantrik telah terluka, meski pun hanya segores. Namun
semuanya, kecuali Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa
Amping, telah menitikkan darah dari luka-luka mereka.
Sejenak kemudian, para cantrik itu telah berada
dipunggung kuda m ereka. Namun sebelum mereka pergi, Ki
Buyut masih sempat berteriak dengan penuh dendam : " Ingat
orang-orang Bumiagara. Kau telah berhutang ny awa disini.
Lain kali kami akan datang dan menebus kekalahan kami.
Kal ian harus membayar hutang kalian sekaligus dengan
bunganya. Bajra Seta seterusnya hanya akan tinggal sebuah
nama. Padepokan dan perguruan kalian akan hancur. Para
cantrik dan pimpinannya akan tumpas habis sampai orang
yang terakhir." Yang menjawab adalah Mahisa Pukat: "Kami tahu bahwa


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sekedar ancaman untuk membuat kami selalu cemas.
Datanglah kepada kami dengan jumlah orang berlipat sepuluh.
Kami berjanji bahwa kamilah yang akan menumpas habis
orang-orang Bumiagara tanpa tersisa."
Ki Buyut menggertakkan giginya. Namun ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia tidak dapat memerintahkan orangorangnya
untuk meny erang jika Ki Buyut tidak ingin
menambah korban. Demikianlah, para cantrik itu pun segera meninggalkan
Kabuyutan Bumiagara. Kuda Mahisa Amping kemudian berisi
dua orang dipunggungnya. Cantrik yang mereka cari terpaksa
ikut serta dipunggung kuda Mahisa Amping, karena ia tidak
mempunyai kuda. Kuda-kuda itu pun kemudian berderap di kegelapan
malam. Namun ketika mereka sudah m eny eberangi beberapa
bulak, mereka pun telah berhenti. Mahisa Murti telah
memerintahkan semua y ang terluka dan berdarah, harus
diobati agar darah yang mengalir dari luka-luka itu tidak
membuat mereka kehilangan terlalu banyak tenaga.
Para cantrik itu pun kemudian telah saling mengobati lukaluka
mereka. Sementara itu Mahisa Murti berkata: "Aku tidak
mengira bahwa hari ini para cantri Bajra Seta harus
membunuh begitu banyak pengawal."
Para cantrik itu pun menundukkan kepalanya. Yang
dikatakan oleh Mahisa Murti itu memang benar. Mereka telah
membunuh sejumlah pengawal dan melukai y ang lainnya.
Namun Mahisa Pukat pun menyahut: "Kesalahan itu tidak
dapat seluruhnya dibebankan kepada kita."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya: "Ya. Mereka
tidak mau mendengarkan pendapat kita. Namun apa pun
sebabnya, kita sudah membantai para pengawal."
"Bukankah mereka y ang memaksa kita melakukannya" Jika
kita tidak berbuat demikian, maka kita semua telah terbaring
diam di Kabuyutan Bumiagara. Bahkan -mungkin tubuh kita
sudah tidak berujud lagi.," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Namun tiba -tiba saja
cantrik yang menjadi sumber per soalan itu telah memeluk
kakinya sambil menangis: "Akulah yang bersalah. Akulah yang
pantas dihukum. Bahkan hukuman mati sekalipun."
"Sudahlah," b erkata Mahisa Murti, "setelah kita berada di
padepokan, kita akan m endengarkan ceriteramu, kenapa kau
berada di Kabuyutan Bumiagara."
Cantrik itu mencoba menahan desakan peny esalan y ang
telah mendorong air matanya menitik dari pelupuknya.
Sementara itu Mahisa Pukat pun berkata: "Apakah kau
sudah bukan seorang laki -laki lagi sehingga kau harus
menangis?" Cantrik itu tidak menjawab. Namun ia memang mencoba
menahan tangisnya sehingga dadanya terasa sesak.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti pun berkata: "Kita
sudah cukup beristirahat serta mengobati luka-luka. Kudakuda
kita pun masih cukup segar untuk melanjutkan
perjalanan." "Sejenak kemudian maka iring-iringan itu pun telah
meneruskan perjalanan menuju ke padepokan Bajra Seta
didalam keremangan gelapnya malam.
Ketika mereka kemudian telah berada di padekokan,
Mahisa Murti tidak segera mengusut per soalan cantrik itu. Ia
memberikan kesempatan para cantrik untuk beristirahat.
Ketika Mahisa Murti melihat Mahisa Amping, maka ia pun
bertanya: "Apakah kau letih?"
"Tidak," jawab Mahisa Amping.
"Kau sudah sempat tidur"," bertanya Mahisa Murti pula.
"Sudah. Aku sudah tidur ny enyak sekali," jawab anak itu.
" Itulah sebabnya maka kau tidak lagi merasa letih
sekarang," berkata Mahisa Murti pula.
Mahisa Amping mengangguk sambil tersenyum. Katanya:
"Ya. Aku sempat tidur ny enyak, sehingga perasaan letih itu
telah hilang." "Jadi sebelum tidur, kau juga merasa letih"," bertanya
Mahisa Murti. "Tentu," jawab anak itu sambil mengerutkan dahinya.
Mahisa Murti tersenyum. Sambil menepuk bahu anak itu ia
bertanya: "Jadi sekarang kau sudah siap memasuki sanggar?"
"Ya," jawab "anak itu.
"Bagaimana dengan kakang Mahisa Semu"," bertanya
Mahisa Murti kemudian. "Kakang Mahisa Semu sedang meny embuhkan lukalukanya.
Meski pun lukanya hanya dua gores kecil, tetapi luka
kecil itu terasa menganggunya," jawab Mahisa Amping.
"Baiklah. Biarlah ia beristirahat dengan baik sebagaimana
paman Wantilan," desis Mahisa Murti.
"Luka paman Wantilan agak lebih banyak. Bahkan luka
dipundaknya agak dalam. Ketika tadi diber sihkan, dari luka itu
masih mengalir darah," jawab Mahisa Amping,
"Tetapi bukankah kemudian telah diobati lagi"," bertanya
Mahisa Murti pula. "Ya. Bukan saja sekedar obat tabur. Tetapi paman Wantilan
telah minum obat pula," jawab anak itu.
" Ia akan segera menjadi baik. Demikian pula para cantrik
yang lain," gumam Mahisa Murti kemudian.
"Apakah kita jadi masuk ke sanggar"," bertanya Mahisa
Am-ping kemudian. "0," Mahisa Murti tersenyum: "besok sajalah. Ma sih ada
persoalan yang harus aku tangani."
Mahisa Amping m emang nampak menjadi k ecewa. Tetapi
ia tidak dapat m emaksa. Karena itu, maka katanya: "Jika kita
tidak pergi ke sanggar, biarlah aku pergi ke pintu gerbang."
Pergilah. T etapi hari ini kau jangan pergi ke mana-mana,"
pesan Mahisa Murti. Mahisa Amping pun kemudian meninggalkannya- untuk
pergi, ke pintu gerbang y ang dijaga dengan ketat. Bahkan
beberapa orang cantrik berada di panggungan y ang ada di atas
pintu gerbang dan di sudut-sudut dinding padepokan untuk
mengamati keadaan Kepada cantrik y ang berjaga-jaga di pintu gerbang Mahisa
Amping berkata: "Aku tidak percaya bahwa mereka benarbenar
akan datang." "Kau jangan kehilangan kewaspadaan," desis seorang
cantrik. "Aku melihat sendiri, bagaimana mereka mengalami
kesulitan melawan hanya limabelas orang diantara kita," desis
Mahisa Amping. "Enam belas," sahut cantrik itu.
"Tidak. Hanya liniabelas," Mahisa Amping bertahan.
"Kau tidak m enghitung seorang diantara kita y ang sudah
berada di Kabuyutan Bumiagara"," bertanya cantrik itu.
Mahisa Amping mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian menjawab: "Aku sudah memperhitungkannya."
"Bagaimana mungkin limabelas"," bertanya cantrik
itu. "Ya.," jawab Mahisa
Amping: "aku sendiri tidak ikut
berbuat apa- apa selain membantu mengobati mereka
yang terluka." Cantrik itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia mengangguk-angguk: "Ya.
Sudah tentu jika kau sendiri
tidak terhitung." Mahisa Amping pun tersenyum. Katanya: "Nah, Bukan-kah
aku sendiri tidak terhitung."
"Ya. Ya. Ternyata kau juga mampu menghitung.," sahut
cantrik itu. Namun demikian, para cantrik di padepokan Bajra Seta
sama sekali tidak menjadi lengah. Segala sesuatu akan dapat
terjadi. Sementara itu di Kabuyutan Bumiagara, suasananya
menjadi bagaikan berkabut tebal. Air mata m embasahi bumi
Kabuyutan sebagaimana darah y ang telah memerah di
gumpalan tanah. Ki Buyut menjadi sangat gelisah karena beberapa orang
bebahu justru telah menyalahkannya. Ki Buyut ternyata telah
bertindak menurut kemauannya sendiri. Betapa ia berniat
untuk berbuat sesuatu bagi Kabuyutannya, namun akibatnya
adalah kematian. Sekitar duabelas orang terbunuh. Yang luka
masih lebih banyak lagi. Beberapa orang tiba -tiba saja seakanakan
telah menjadi lumpuh. Ketika Ki Buyut menerima beberapa orang bebahu di
rumahnya, maka para bebahu itu dengan tidak langsung telah
menuduh Ki Buyutlah y ang meny ebabkan semua itu terjadi.
"Kita memang bukan lawan dari sebuah padepokan,"
berkata salah seorang bebahu, "di padepokan, para cantrik
setiap hari berlatih dalam olah kanuragan. Sementara itu, apa
yang dilakukan oleh para pengawal" Seandainya mereka cukup
sering berlatih, siapakah y ang telah m elatih mereka" kami"
Para bebahu y ang juga miskin kemampuan dan ilmu
kanuragan" Ki Buyut sendiri" Kami tahu, Ki Buyut pernah
berguru kepada seorang yang berilmu. Tetapi Ki Buyut sendiri.
Sementara orang-orang perguruan itu semuanya memiliki
kemampuan. Akibatnya, anak-anak terbaik dari Kabuyutan
Bumiagara telah terbunuh. Lainnya terluka parah."
Ki Buyut menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
memandang wajah-wajah para bebahu, mereka agaknya
sependapat bahwa Ki Buyut lah yang telah melakukan
kesalahan. Hanya dua orang bebahu y ang ikut merasa
bersalah, karena mereka telah meny etujui dan ikut serta
merencanakan penculikan cantrik yang dianggap memiliki
kemampuan yang tinggi di dalam tugasnya, pande besi.
Untuk menebus kesalahannya,Ki Buyut itu pun berkata:
"Jangan cemas. Aku akan pergi ke padepokan Bajra Seta.
Pa depokan itu akan aku hancurkan."
"Siapa yang akan menghancurkan padepokan itu","
bertanya salah seorang bebahu, "seluruh laki-laki dari kanakkanak
sampai kakek- kakek dikerahkan, kita tidak akan
mampu mengalahkan padepokan dan perguruan Bajra Seta.
Bahkan k ita hanya akan m eny erahkan leher dan kepala kita.
Untunglah bahwa para pemimpin padepokan itu memiliki
kesabaran y ang sangat tinggi, sehingga dalam keadaan yang
paling gawat sekali pun para pemimpinnya masih
memperingatkan, agar para cantrik tidak membunuh
membabi buta." Namun bebahu yang lain segera menyahut: "Tetapi jika kita
masih juga memburu m ereka sampai ke padepokan mereka,
maka keadaannya tentu akan berbeda. Mungkin para cantrik
tidak lagi mampu menahan diri, sehingga pimpinan, m ereka
akan sulit untuk mengendalikan m ereka. Nah, jika demikian,
maka akan terjadi apa y ang dikatakan oleh salah seorang
pemimpin mereka yang agaknya telah k ehilangan kesabaran,
bahwa kitalah y ang akan ditumpas sampai habis."
Ki Buyut m enarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian
katanya: " Jadi apa yang kalian kehendaki"
"Kita harus mawas diri," berkata salah seorang bebahu,
"kita harus mengakui segala kesalahan yang telah kita perbuat,
sehingga kita tidak akan berbuat kesalahan y ang sama dimasa
mendatang." Bahkan bebahu yang lain berkata lebih jelas: "Tentu
maksudnya Ki Buyut lah yang harus minta maaf terutama
kepada m ereka yang anaknya atau adiknya atau keluarganya
yang lain telah gugur. Sebenarnyalah mereka tidak sedang
membela Kabuyutan ini, tetapi mereka gugur semata-mata
untuk mendukung keinginan Ki Buyut agar disebut seorang
yang telah berhasil menjunjung tinggi derajad Kabuyutan ini."
Tetapi Ki Buyut itu berkata: "Tetapi. Kalian tahu, bahwa
aku melakukannya bagi Kabuyutan ini. Tidak bagiku sendiri."
"Apa pun tujuannya, tetapi jalan y ang ditempuh adalah
jalan y ang salah," jawab seorang bebahu yang lain.
Ki Buyut tidak dapat menjawab lagi. Jika ia masih membela
diri, maka suasana akan menjadi panas, sehingga mungkin
akan timbul persoalan yang tidak diinginkan di Kabuyutan itu.
Karena itu, maka Ki Buyut itu pun kemudian berkata:
"Baiklah. Aku akan m eninjau kembali, apakah y ang telah aku
lakukan sehingga menimbulkan korban yang tidak sedikit. Aku
akan minta maaf kepada keluarga para korban. Terutama yang
telah gugur." Para bebahu itu pun menjadi reda. Agaknya Ki Buyut tidak
berkeras untuk mempertahankan tindakannya yang
menimbulkan malapetaka itu.
Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa dihari berikutnya
Ki Buyut telah benar-benar datang berkunjung ke rumah
keluarga y ang kehilangan anak, adik, atau suaminya atau
keluarga y ang lain y ang gugur dalam pertempuran m elawan
para cantrik dari padepokan Bajra Seta. Bahkan Ki Buyut pun
telah berkunjung kepada keluarga mereka yang terluka berat.
Kepada y ang gugur dan terluka berat Ki Buyut telah minta
maaf, bahwa karena langkah-langkah yang diambilnya, maka
terpaksa beberapa orang putera terbaik dari Kabuyutan
Bumiagara harus dikorbankan.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Ki Buyut tidak mau
menerima kenyataan itu begitu saja. Ia memang tidak ingin
menambah korban bagi orang-orang Kabuyutannya. Tetapi ia
tidak dapat melupakan dendamnya kepada padepokan dan
perguruan Bajra Seta. Hampir saja ia justru disingkirkan oleh para bebahu y ang
menganggapnya bersalah. Bahkan ia terpaksa datang ke
rumah orang- orang yang kehilangan sanak kadangnya untuk
minta maaf. "Aku telah direndahkan," berkata Ki Buyut.
Namun dalam pada itu, Ki Buyut telah m encari jalan lain
untuk menebus kekalahannya.
"Jika saja aku pada suatu hari menggiring para pemimpin
padepokan Bajra Seta itu kemari tanpa menitikkan setetes
darah pun dari antara orang-orang Kabuyutan, ini, maka
harga diriku tentu akan segera pulih kembali. Orang-orang
Kabuyutan ini akan membuka matanya dan mereka akan tahu
siapakah sebenarnya aku ini. Ki Buyut dari Bumiagara,"
berkata Ki Buyut didalam hatinya.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itu, maka diluar pengetahuan orang-orang
Bumiagara, maka Ki Buyut telah berhubungan dengan
gurunya. Ia pun telah menceritakan apa yang terjadi di
Bumiagara. Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah
gurunya berkata: "Tidak ada padepokan satu pun disekitar
tempat ini y ang akan mampu m engalahkan padepokan Bajra
Seta. Sementara itu padepokan Bajra Seta pun tidak pernah
berbuat sesuatu yang dapat merugikan padepokan yang lain.
Para pemimpinnya justru m emberi kesempatan kepada anakanak
muda di padukuhan sebelah meny ebelah untuk menimba
ilmu dari padepokan itu tanpa harus menjadi cantrik. Tentu
ada sesuatu yang hanya dapat diketahui oleh para murid
perguruan Bajra Seta. Tetapi ternyata anak-anak m uda dari
padukuhan di sebelah-meny ebelah telah mendapat banyak
sekali keuntungan dengan kehadiran padepokan itu, sehingga
dalam keadaan yang gawat, anak-anak muda di padukuhanpadukuhan
itu bersedia untuk berbuat apa saja, bahkan
mengorbankan dirinya sebagaimana para cantrik itu sendiri."
Tetapi Ki Buyut itu pun kemudian berkata: "Tetapi
bagaimana guru. Aku sebagai seorang Buyut y ang dipercaya,
dituakan dan dianggap orang terbaik di Bumiagara harus
mengalami peristiwa seperti ini. Meski pun aku, masih dapat
bertahan untuk tetap diakui sebagai seorang Buyut di
Bumiagara, tetapi wibawaku sudah jauh susut. Tetapi jika aku
dapat membawa para pemimpin padepokan Bajra Seta sebagai
tawanan ke Kabuyutan, maka wibawaku tentu akan pulih
kembali. Juga aku sebagai salah seorang murid dari sebuah
perguruan. Orang-orang Bumiagara tentu akan menghormati
perguruanku lebih dari y ang sudah-sudah."
Namun gurunya tetap menggelengkan kepalanya. Katanya:
"Tidak akan ada gunanya. Tidak akan terjadi, bahwa kau akan
dapat membawa para pemimpin padepokan Bajra Seta sebagai
tawanan." "Tetapi tanpa berbuat demikian, kuasaku tidak banyak
berarti lagi di Bumiagara," berkata Ki Buyut.
"Tidak. Jika kau kemudian bekerja keras untuk
meningkatkan kehidupan di Bumiagara, m aka namamu akan
pulih kembali meski pun perlahan-lahan," berkata gurunya.
"Aku mohon guru. Aku mohon guru membantuku," berkata
Ki Buyut. "Jadi apa yang kau maksud sebenarnya " Apakah kau akan
mengerahkan orang-orang Bumiagara meny erang padepokan
Bajra Seta, kemudian aku mengerahkan seisi padepokanku
membantumu " Ingat, kau sudah dianggap membunuh
beberapa orang anak muda terbaik di Ka-buyutanmu. Jika hal
itu kau lakukan, maka kau akan membunuh lebih banyak lagi.
Bahkan dengan cantrik-cantrik dari padepokanku pula," jawab
gurunya. "Kekuatan Padepokan Bajra Seta tidak sebesar yang guru
duga," desis Ki Buyut Bumiagara.
"Aku lebih tahu dari kau," jawab gurunya, " selebihnya, aku
tentu tidak akan membantumu karena kau melakukan
langkah-langkah y ang keliru. Jika aku m embantumu, berarti
aku telah menjerumuskan kau kedalam perbuatan y ang salah."
Ki Buyut termangu -mangu sejenak. Ia memang m engenal
watak gurunya. Jika ia berkata tidak, apa pun yang
dikatakannya, maka gurunya tentu akan tetap berkata tidak.
Karena itu, maka, Ki Buyut itu pun tidak merengek lagi
kepada gurunya. Namun ia tidak berhenti sampai disitu,
Dendamnya kepada padepokan dan perguruan Bajra Seta
ternyata sampai ke ubun-ubun.
"Apa pun yang harus aku lakukan, maka aku akan tetap
berusaha untuk menghancurkan padepokan Bajra Seta.
Membawa para pemimpinnya dengan tangan terikat dan
memperlakukan mereka tidak lebih dari seekor keledai disini,
dihadapan orang-orang Bumiagara, terutama yang pernah
kehilangan sanak kadangnya," geram Ki Buyut didalam
hatinya. Kucing Ditengah Burung Dara 1 Pendekar Bloon 9 Anak Langit Dan Pendekar Lugu Dewi Penyebar Maut V 1
^