Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 28

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 28


berdua akan mati lebih dahulu."
"Barangkali itu lebih baik guru" sahut mPu Kamenjangan
"dengan demikian aku tidak melihat guru membuat kesalahan
sebagaimana pernah aku lakukan. Untunglah bahwa waktu itu
ilmuku tidak cukup kuat untuk melawan ilmu Mahisa Pukat,
sehingga akulah yang terluka didalam. Namun jika i lmu guru
mampu memecahkan ilmu kedua orang anak muda itu, maka
akulah sumber dari bencana itu dan aku memang pantas
untuk dihancurkan lebih dahulu."
Wajah gurunya menjadi tegang. Tetapi ia berteriak "Baik.
Ber siaplah kalian berdua untuk mati."
Kedua orang murid tertua itupun telah benar-benar
mempersiapkan diri. Mereka sama sekali tidak berniat untuk
melawan. Mereka benar -benar telah pasrah apabila gurunya
ingin menghancurkan mereka dengan ilmunya y ang sangat
kuat. Namun dalam pada itu, tiba -tiba saja terdengar getaran
suara y ang menghentak-hentak, membentur dinding
pebukitan dan melingkar-lingkar didalam setiap dada.
"Ki Sanak. Jangan kau sakiti kedua orang muridmu itu.
Mereka sama sekali tidak bersalah sehingga dengan demikian
mereka sama sekali tidak pantas untuk mendapat hukuman."
Orang-orang yang mendengar suara itu harus mengerahkan
day a tahannya untuk mengatasi gejolak didalam dada m ereka
masing-masing. Gejolak y ang seakan-akan mengguncang dan
akan meruntuhkan jantung.
Namun suara itu semakin lama menjadi semakin keras.
Getarannya terasa semakin mengguncang isi dada dan bahkan
rasa-rasanya menusuk sampai kepusat jantung.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun telah mengerahkan
day a tahan mereka. Meskipun mereka tidak mengalami
kesulitan didalam diri mereka, namun mereka benar-benar
harus memusatkan segala nalar budinya untuk melawannya.
Demikian pula mPu Kamenjangan dan mPu Sidikara.
Apalagi saudara-saudara seperguruannya yang lebih muda.
Sementara itu guru mPu Kamenjanganpun harus
mempertahankan diri t erhadap serangan itu. Ia sadar, bahwa
serangan itu m emang ditujukan kepadanya, sehingga karena
itu, maka getaran y ang paling tajam adalah getaran yang
meluncur langsung kedadanya.
Tetapi orang itu adalah orang y ang berilmu tinggi, sehingga
ia masih mampu mengatasi goncangan didalam dadanya.
Namun dengan demikian orang itupun menyadari, bahwa
orang y ang telah melontarkan serangan dengan getaran
suaranya itu tentu seorang y ang berilmu sangat tinggi pula.
Tetapi guru mPu Kamenjangan itu tidak mau meny erah
karenanya Iapun telah mengerahkan daya tahannya untuk
mengatasi getaran y ang menusuk bagian dalam dadanya itu.
Namun perlahan-lahan getaran itupun semakin
mengendor, sehingga akhirnya hilang sama sekali.
Namun dalam pada itu, semua orang yang ada ditempat
itupun terkejut karenanya. Tiba-tiba saja mereka melihat
seseorang berjalan kearah mereka tanpa mereka ketahui
darimana orang itu datang.
Yang menjadi sangat terkejut adalah Mahisa Pukat, Mahisa
Murti, mPu Kamenjangan dan mPu Sidikara. Karena orang
yang datang itu adalah Pangeran Kuda Pratama.
Guru mPu Kamenjangan y ang ternyata belum mengenal
Pangeran Kuda Pratama dengan lantang bertanya "He, siapa
kau y ang mengenakan pakaian kebesaran " Apa
kepentinganmu sehingga kau ikut mencampuri per soalan
kami disini" mPu Kamenjanganlah y ang dengan serta-merta telah
menyahut "Guru. Yang datang itu adalah Pangeran Kuda
Pratama. " "He ?" guru mPu Kamenjangan memang menjadi sangat
terkejut pula. Karena itu, maka iapun telah mengangguk
hormat sambil berkata "Ampun Pangeran. Aku belum
mengenal Pangeran sebelumnya, sehingga karena itu, aku
tidak segera memberikan hormat. "
"Bukan salah Ki Sanak" sahut Pangeran Kuda Pratama
"sekarang aku datang untuk memperkenalkan diri. "
"Aku merasa mendapat kehormatan yang tinggi atas
kedatangan Pangeran sekarang ini." jawab guru mPu
Kamenjangan. "Selebihnya aku ingin bertanya, kenapa Ki Sanak telah
mempersiapkan ilmu Ki Sanak y ang sangat berbahaya untuk
menyerang kedua orang murid Ki Sanak sendiri ?"
"Sebenarnya aku tidak perlu memberikan penjelasan.
Pangeran tentu sudah mengetahuinya, " jawab orang itu.
"Aku hanya melihat kulitnya. Tetapi a pakah alasan y ang
telah aku dengar itu memang alasan yang sebenarnya "
Seandainya itu benar, apa pula y ang telah mendor ong Ki
Sanak sampai hati untuk membinasakan murid-murid terbaik
Ki Sanak sendiri ?" "Ya, kenapa tidak " Mereka telah berani m enentang aku,
gurunya. Mereka tidak lagi mendengarkan perintahku.
Bukankah itu merupakan satu pengkhianatan yang tidak dapat
dimaafkan ?" "Apakah m enurut Ki Sanak, hukuman yang akan m ereka
terima itu seimbang dengan kesalahan mereka ?" bertanya
Pangeran Kuda Pratama. "Aku telah m engetrapkan paugeran yang pasti, Siapa yang
berkhianat serta menghalangi keinginanku, maka ia akan
disingkirkan. " jawab guru mPu Kamenjangan itu.
Pangeran Kuda Pratama itu mengangguk-angguk kecil.
Katanya " Jika demikian, maka kau adalah seorang yang
memegang teguh pada sikap y ang t elah kau gariskan. Tetapi
apakah kau tidak mempertimbangkan kebenaran dalam
mengambil keputusan?" bertanya Pangeran Kuda Pratama.
"Kebenaran bagiku adalah apapun y ang sesuai dengan
ketentuan dan paugeran yang telah aku gariskan." berkata
guru mPu Kamenjangan itu.
"Jika demikian maka ruanglingkup kebenaran y ang kau
katakan itu jangkauannya terlalu sempit. " berkata Pangeran
Kuda Pratama. "Maksud Pangeran?"
"Karena ada kebenaran y ang diakui oleh banyak orang.
Sedangkan kebenaran y ang mutlak itu datangnya dari Yang
Maha Agung."' "Kenapa kita harus berpikir demikian rumitnya" Aku tidak
ingin membuat kepalaku sendiri m enjadi pening " jawab guru
mPu Kamenjangan. "Jika demikian, baiklah. Kita berpijak pada kebenaran
menurut landasan bersikap kita masing-masing. Karena itu
maka aku tidak akan m enghindar jika kita akan berbenturan
kepentingan karenanya. Aku menganggap bahwa sikapmu
terhadap kedua murid utamamu itu salah. Aku akan membela
mereka karena sikap yang mereka ambil ada hubungannya
dengan tugas-tugas di Kasatrian yang menjadi tanggung
jawabku." "Tetapi sebaiknya Pangeran tidak mencampuri persoalanku
dengan murid-muridku. Itu persoalan yang sangat terbatas."
berkata guru mPu Kamenjangan itu.
"Aku tidak peduli. Tetapi aku m enganggap penting untuk
mencampuri persoalan siapa saja y ang ingin aku campuri. "
jawab Pengeran Kuda Pratama.
"Pangeran telah m elanggar wewenangku sebagai guru atas
murid-muridku " "Aku tidak peduli. Kita tidak usah berpikir tentang
kewajaran, kebiasaan dan apa y ang sebaiknya aku lakukan
atas persoalan yang menurut pendapatmu terbatas
dilingkungan perguruanmu. Aku ingin melakukan apa yang
ingin aku lakukan, karena aku yakin bahwa yang aku lakukan
itu benar." Guru mPu Kamenjangan itu termangu-mangu.
Bagaimanapun juga ada rasa segan di dalam hatinya.
Pangeran Kuda Pratama adalah seorang pangeran yang
berpengaruh di Singasari. Selebihnya, Pangeran Kuda Pratama
adalah seorang pengeran yang berilmu sangat tinggi.
Karena itu, untuk beberapa saat guru mPu Kamenjangan
itu termangu-mangu. Sementara itu Pangoran Kuda Pratama berkata "Ki Sanak.
Jika kau tetap berpijak pada niatmu untuk menghukum
muridmu, bersiaplah. Kita akan berhadapan. Sebagai orangorang
yang sudah menjelang hari-hari tuanya, sebenarnya kita
sudah tidak pantas untuk berkelahi. Tetapi jika sekali-sekali
kita ingin mengenang kembali masa kanak-kanak, sekaranglah
kesempatannya. " Guru mPu Kamenjangan itu sama sekali tidak mengira,
bahwa pada suatu saat ia harus berhadapan dengan Pangeran
Kuda Pratama, Pangeran y ang memiliki kekuasaan di
Ka satrian. Jika hal itu terjadi, m aka persoalannya tentu akan
berkembang semakin parah. Sementara itu, m aka tujuannya
untuk memasukkan pengaruhnya di istana Singasari,
khususnya pengaruh ilmunya tidak akan pernah dapat terjadi.
Sementara itu guru mPu Kamenjangan itu harus pula
mengakui bahwa Pangeran Kuda Pratama adalah orang yang
berilmu sangat tinggi. Beberapa saat guru mPu Kamenjangan itu merenung.
Namun kemudian ternyata bahwa penalarannya yang bening
masih mampu mengendalikan perasaannya. Karena itu, maka
tiba -tiba saja guru mPu Kamenjangan itupun mengangguk
dalam-dalam sambil berkata "Ampun Pangeran. Sudah t entu
bahwa aku tidak akan berani melakukannya. Aku tahu bahwa
Pangeran adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun
lebih daripada itu, maka aku akan dianggap deksura jika aku
berani melawan Pangeran. Akupun akan menjadi musuh
Singasari." Pangeran Kuda Pratama menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada rendah iapun berkata "Terima kasih atas
pengertianmu Ki Sanak. Sejak semula aku yakin bahwa Ki
Sanak bukan seorang y ang mudah kehilangan penalaran.
Akupun sebenarnya tidak pantas untuk mencampuri
persoalanamu dengan murid-muridmu. Tetapi aku terpaksa
melakukannya. Karena selama Ki Sanak masih seorang
manusia biasa, maka ia masih dapat berbuat khilaf."
"Akulah yang harus mengucapkan terima kasih, Pangeran.
Aku memang khilaf. Ketika aku sadari bahwa u sahaku untuk
mengalirkan ilmu perguruanku ke istana Singasari terputus,
maka penalaranku benar -benar menjadi keruh. Aku juga
mendengar bagaimana murid-muridku menganggap aku telah
berubah. Tetapi dor ongan kegelisahan dan kekecewaanku
membuatku tidak mendengar keluhan anak-anak muridku
itu." "Tetapi masih belum terlambat" berkata Pangeran Kuda
Pratama "kekecewaan Ki S&iak masih sempat dikendalikan."
"Seandainya Pangeran tidak datang ketempat ini" desis
guru mPu Kamenjangan "mungkin aku akan meny esali
perbuatanku sepanjang hidupku."
"Tetapi bukankah itu tidak pernah terjadi?" bertanya
Pangeran Kuda Pratama. "Ya Pangeran, karena Pangeran menaruh bela s kasihan
kepadaku dan kepada murid-muridku."
Pangeran Kuda Pratama tersenyum sambil menjawab
"Bukan belas kasihan Ki Sanak. Tetapi bukankah kewajiban
kita masing"masing untuk membantu meluruskan langkahlangkah
yang sesat. Dalam hal ini aku melihat, nampaknya Ki
Sanak tidak segera menemukan jalan untuk mengatasi gejolak
perasaan Ki Sanak." "Ya Pangeran. Karena itu, aku mengucap sy ukur ."
"Nah, jika demikian, m aka aku ingin mempersilahkan Ki
Sanak serta murid Ki Sanak untuk singgah di Kasatrian. Aku
berharap kalian akan dapat menjadi tamuku di Kasatrian."
Guru mPu Kamenjangan itu termangu-mangu sejenak. Di
luar sadarnya ia berpaling kepada murid-muridnya, terutama
mPu Kamenjangan dan mPu Sidikara. Namun keduanya tidak
memberikan isyarat apapun juga.
Karena itu, maka ia harus mengambil keputusan sendiri.
Sambil mengangguk hormat, guru mPu Kamenjangan
itupun berkata "Satu kehormatan y ang besar bagiku,
Pangeran. Tentu aku tidak akan menolak. "
"Terima kasih " berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian
"bagiku kesediaan Ki Sanak juga merupakan satu kehormatan"
Namun demikian baik Pangeran Kuda Pratama maupun
guru mPu Kamenjangan itupun kemudian memandangi
saudara-saudara seperguruan mPu Kamenjangan y ang telah
bertempur melawan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Tenaga
mereka telah terhisap oleh ilmu Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, sehingga yang tinggal hanyalah sisa -sisa tenaga mereka
sa ja. Saudara-saudara seperguruan mPu Kamenjangan itupun
mengerti, bahwa guru mereka dan Pangeran Kuda Pratama itu
ingin tahu, apakah masih ada sisa tenaga mereka untuk
berjalan menuju ke istana Singasari y ang jaraknya agak
panjang. Seorang diantara mereka y ang tanggap itupun berkata
"Guru, kami akan mencoba untuk berjalan sampai k e Istana.
Mudah-mudahan kami dapat mencapai tujuan. "
Saudara seperguruan mPu Kamenjangan yang gemuk
itupun berkata pula "Tubuhku m emang menjadi lemah guru.
Tetapi singgah di istana tentu akan sangat menarik sekali. Aku
belum pernah melihat keadaan di dalam istana dan apalagi
minum seteguk airnya."
"Apalagi yang akan kau katakan selain seteguk airnya?"
seorang saudara seperguruannya memotongnya.
Betapa lemahnya tubuh orang yang gemuk itu. Tetapi ia
masih dapat terseny um. Katanya "Aku berharap bahwa ada
sesuatu yang dapat sedikit menambah kekuatanku yang
menjadi jauh menyusut ini. Dan itu tentu ada di Istana."
"Aku tahu arah bicaramu" sahut saudara seperguruan y ang
lain. Orang y ang gemuk itu terawa. Tetapi ketika kakinya
menjadi goyah, maka wajahnya Cepat berubah. Dengan nada
dalam ia berkata "Aku ingin duduk. "
Tanpa menunggu jawaban, maka iapun telah duduk di atas
sebongkah batu padas. Keringatnya nampak membahasahi
dahi dan keningnya. Pangeran Kuda Pratama tersenyum. Katanya "Ki Sanak,


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau dalam keadaan y ang tidak sewajarnya sekarang, karena
sebagian dari tenagamu telah terhisap oleh ilmu anak-anak
muda itu ketika kalian bertempur. Tetapi jangan cemas,
karena hal itu hanya terjadi untuk sementara. Mudahmudahan
besok tenagamu sudah pulih kembali seluruhnya
atau sebagian besar "
Orang yang bertubuh agak gemuk itu menarik nafas dalamdalam.
Sambil mengangguk kecil iapun kemudian berkata "Ya
pangeran. Mudah-mudahan. Tetapi dalam keadaan seperti ini,
bukankah tidak berarti bahwa aku tidak dapat makan cukup?"
"Per soalan itu sajakah yang mencengkam kepalamu ?"
bentak salah seorang saudara seperguruannya.
Wajah orang y ang bertubuh gemuk itu berkerut. Namun
kemudian iapun tersenyum sambil berkata "Bukankah didasar
hatimu tersimpan pertanyaan seperti itu juga?"
Saudara seperguruannya tidak menyahut lagi. Sementara
itu gurunya berkata "Sudahlah, Kita ternyata telah m endapat
kehormatan untuk datang ke istana Singasari."
Pangeran Kuda Pratamapun kemudian berkata kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "Marilah anak-anak muda."
Demikianlah sekelompok k ecil orang-orang y ang berada di
lereng perbukitan itupun perlahan-lahan telah m eninggalkan
tempat itu. Mereka tidak dapat beralan cepat, karena beberapa
orang diantara mereka nampaknya telah menjadi lemah
karena tenaganya menjadi susut. Namun orang-orang itu
bukanlah orang kebanyakan. Karena itu, maka betapapun
keadaan mereka, namun akhirnya mereka sampai pula ke
istana. Meskipun demikian beberapa orang y ang melihat
sekelompok orang y ang beralan lambat itu m endapat kesan,
bahwa mereka telah m enempuh peijalanan y ang sangat jauh.
Namun m ereka y ang telah mengenal Pangeran Kuda Pratama
menjadi heran karena Pangeran itu berada di antara orangorang
y ang nampak sangat kelelahan.
Di istana mereka telah diterima dengan baik oleh Pangeran
Kuda Pratama. Para pelay ad telah m enghidangkan hidangan
bukan saja minuman dan makanan, tetapi Pangeran Kuda
Pratamapun telah memerintahkan para pelay an untuk
menghidangkan makan bagi para tamu itu.
Kepada saudara seperguruan mPu Kamenjangan y ang
gemuk itu Pangeran Kuda Pratama berkata "Marilah Ki Sanak.
Silahkan. Kau akan m embuktikan bahwa keadaan tubuhmu
tidak akan mengganggu selera dan kesempatan makan bagi Ki
Sanak." Saudara seperguruan mPu Kamenjangan itu tertawa.
Katanya "Terima kasih atas kesempatan ini Pangeran."
Demikianlah, maka saudara-saudara seperguruan mPu
Kamenjangan itu bukan saja mendapat kesempatan untuk
inelihat relung-relung istana Singasari dan Kasatrian, tetapi
mereka juga mendapat sambutan y ang baik dan bahkan
hidangan yang dapat memberikan kepuasan kepada mereka,
meskipun m ereka masih juga harus m enyadari betapa tenaga
mereka telah jauh menjadi su sut. Tetapi m ereka yakin bahwa
tenaga mereka tentu akan dapat pulih kembali sebagaimana
dikatakan oleh Pangeran Kuda Pratama.
Dalam kesempatan itu y ang nampak lebih banyak berdiam
diri, m enunduk bahkan m erenung adalah mPu Kamenjangan
dan gurunya. Tetapi Pangeran Kuda Pratama dapat
memaklumi, kenapa mereka bersikap seperti itu. Bagi mPu
Kamenjangan kehadirannya di Kasatrian itu seakan-akan
membawa beban karena ulahnya sendiri. Para bangsawan
muda di Ka satrian itu tentu tahu kenapa ia harus
meninggalkan Kasatrian dan apapula y ang pernah terjadi atas
dirinya di lereng bukit itu. Sementara itu gurunyapun tentu
merasa bersalah terhadap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
juga kepada Pangeran Kuda Pratama.
Namun nampaknya Pangeran Kuda Pratama tidak
menghiraukan persoalan itu lagi. Pangeran tua itu sama sekali
tidak pernah m eny inggung lagi apalagi nampak mendendam
kepada mPu Kamenjangan dan gurunya.
Namun mPu Kamenjangan dan gurunya menjadi berdebardebar
ketika mereka telah selesai m akan, serta m ereka telah
diajak oleh Pangeran Kuda Pratama untuk duduk diserambi
terbuka. Udara mengalir mengusap tubuh mereka yang
berkeringat setelah makan dan minum.
Di serambi terbuka itu ternyata Pangeran Kuda Pratama
telah meny inggung tentang para bangsawan di Ka satrian yang
sedang tumbuh. "Tugas Mahisa Pukat terlalu berat, Sementara itu
saudaranya tidak dapat membantunya karena alasan yang
memang masuk akal. Ia tidak dapat meninggalkan
padepokannya. Jika semula mereka berdua memimpin
Pa depokan Bajra Seta, maka kemudian Mahisa Murti
melakukannya sendiri karena Mahisa Pukat berada di sini.
Jika Mahisa Murti juga harus berada di Kasatrian, maka tidak
ada orang lain yang akan dapat melakukan tugas m ereka di
Pa depokan itu." Guru mPu Kamenjangan mengerutkan dahinya. Dengan
agak ragu ia bertanya "Jadi angger Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat itu pendiri Padepokan Bajra Seta ?"
"Ya " jawab Pangeran Kuda Pratama "pendiri dan selanjutnya mereka pula y ang memimpinnya. "
Guru mPu Kamenjangan itu mengangguk-angguk kecil.
Katanya "Pantas bahwa keduanya memiliki ilmu yang sangat
tinggi. Aku pernah mendengar kebesaran padepokan Bajra
Seta. Seharusnya sejak semula aku mengetahuinya bahwa
anak-anak muda y ang aku temui di kedai itu adalah para
pendiri Padepokan Bajra Seta."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun kemudian keduanyapun tersenyum. Dengan
nada rendah Mahisa Pukat berkata "Waktu itu kami tidak
menganggap perlu untuk menanggapi apa y ang Ki Sanak
katakan" "Ya. Ya. Aku mengerti sekarang, kenapa angger berdua
tidak mengatakan apa-apa yang tentang diri angger berdua."
Pangeran Kuda Pratama tersenyum pula. Katanya
"Sekarang semuanya telah m enjadi jelas. Nah, sebenarnyalah
aku ingin berbicara tentang anak-anak muda yang berada di
Ka satrian. Aku mengerti bahwa tugas Mahisa Pukat di
Ka satrian tentu terlalu berat. Selain tugasnya sebagai
pemimpin kelompok Pelay an Dalam, maka ia harus
memberikan latihan-latihan kepada anak-anak muda di
Ka satrian. Karena itu, maka sebenarnyalah bahwa ia
memerlukan seorang kawan y ang akan dapat bekerja
bersamanya. Sementara itu seperti tadi aku katakan,
saudaranya tidak dapat membantunya." Pangeran Kuda
Pratama berhenti sejenak. Lalu katanya pula "sebenarnyalah
bahwa aku ingin berbicara dengan saudara-saudara
seperguruan mPu Kamenjangan. Aku tahu pasti, bahwa
meskipun mPu Kamenjangan kini dapat menerima kenyataan
yang terjadi dengan dada lapang, namun aku mengerti bahwa
mPu Kamenjangan tentu tidak akan bersedia untuk kembali
pada kedudukannya di Ka satrian. Meskipun demikian aku
ingin mendengar dari mulut mPu Kamehjangan sendiri,
bagaimana sikapnya seandainya aku minta mPu untuk
kembali memangku tugasnya di Kasatrian"
Seleret sinar memancar dimata guru mPu Kamenjangan itu.
Namun mata itupun segera redup kembali. Sebenarnyalah
bahwa seperti mPu Kamenjangan, iapun menyadari, bahwa
kedudukan itu sudah tertutup bagi mPu Kamenjangan sendiri.
Bagaimanapun juga maka ia tidak akan dapat memangku
jabatannya kembali betapapun kesempatan itu diberikan
kepadanya oleh Pangeran Kuda Pratama.
Karena itu, maka iapun menjawab "Ampun Pangeran.
Ra sa -rasanya aku memang tidak akan dapat melakukannya.
Bukan karena hatiku patah seperti arang. Tetapi dengan penuh
kesadaran aku menyadari bahwa aku sudah kehilangan
wibawa di hadapan para bangsawan muda di Kasatrian,
meskipun itu juga karena salahku sendiri. Karena itu, m aka
biarlah orang lain mengemban tugas itu. Sokurlah kalau orang
itu lebih baik dari aku."
Pangeran Kuda Pratama mengangguk-angguk kecil. Ia
cukup mengerti alasan itu sebagaimana sudah diduganya
sebelumnya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata "Aku dapat
mengerti sepenuhnya mPu. Seperti y ang sudah aku katakan,
aku memang sudah menduganya. Namun Mahisa Pukat
benar-benar memerlukan seseorang y ang dapat bekerja
bersamanya di Kasatrian ini. Karena itu, aku berharap bahwa
kami segera menemukan orang itu. "
"Tetapi aku t idak dapat membantunya Pangeran" jawab
mPu Kamenjangan. "mPu " berkata Pangeran Kuda Pratama kemudian
"sebagian dari anak-anak kami di Kasatrian telah pernah
mendapat tuntunan ilmu dari mPu Kamenjangan. Karena itu,
maka ilmu y ang mendasari kemampuan merekapun ilmu yang
mereka warisi dari mPu Kamenjangan. Maka alangkah
baiknya jika mereka tidak harus
menyia-ny iakan ilmu yang pernah
diterimanya itu. Karena itu, aku ingin
bahwa anak-anak kami, terutama
yang sudah tumbuh menjelang m asa
dewasanya, dapat meneruskan
mendalami ilmu yang pernah
diterimanya. Sedangkan yang masih
baru mulai akan dapat menyadap
ilmu dari perguruan yang lain dengan
bimbingan Mahisa Pukat " Pangeran
Kuda Pratama berhenti sejenak. Lalu
katanya lagi "Bagaimana pendapat Ki
Sanak serta saudara-saudara
seperguruan mPu Kamenjangan jika
aku minta mPu Sidikara menggantikan kedudukan mPu
Kamenjangan di Kasatrian?"
Mata guru mPu Kamenjangan itupun kembali berbinar.
Tetapi ia masih tetap menahan diri. Dengan nada dalam ia
berkata "Aku mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya
atas kesempatan ini Pangeran. Namun demikian,
segala sesuatunya terserah kepada Sidikara sendiri."
mPu Sidikara justru nampak bingung. Ia sudah pernah
memberikan jawaban kepada Mahisa Pukat atas kemungkinan
seperti itu. Ia tentu tidak merasa ny aman duduk ditempat
saudara seperguruannya yang terusir.
Tetapi yang kemudian bertanya kepadanya adalah
Pangeran Kuda Pratama sendiri dihadapan gurunya yang
nampaknya sangat berharap bahwa ia akan menerimanya.
Untuk beberapa saat mPu Sidikara justru termangu-mangu.
Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata "Ampun
Pangeran. Jika demikian lalu bagaimana dengan padepokanku
sendiri?" Tetapi yang menyahut adalah Mahisa Pukat "Bukankah
mPu baru mulai " Padepokan itu masih belum terwujud. "
"Nah, bukankah di Ka satrian ini mPu akan mendapat
murid-murid yang akan dapat mewarisi ilmu mPu ?" bertanya
Pangeran Kuda Pratama. mPu Sidikara benar -benar kebingungan. Namun dalam
pada itu mPu Kamenjangan berkata "Aku akan ikut
mengucapkan t erima kasih jika kau bersedia. Kau yang
memiliki da sar ilmu sama seperti da sar ilmu y ang aku kuasai
akan dapat melanjutkan tugas-tugasku. Para bangsawan muda
yang pernah mempelajari dasar ilmuku, tidak akan mengalami
kesulitan jika mereka kemudian belajar padamu. Namun aku
akan menganjurkan kepadamu, bahwa kau akan dapat bekerja
sama dengan Mahisa Pukat. Tidak ada salahnya jika kalian
berdua dapat bersama-sama meningkatkan ilmu mereka
meskipun kalian harus secara khusus memerinci ilmu yang
akan kalian berikan kepada murid-murid kalian."
mPu Sidikara menjadi semakin bingung menanggapi
keadaan itu. Namun kemudian Mahisa Pukat mendekatinya
sambil menepuk bahunya "Aku mengucapkan selamat, mPu"
mPu Sidikara seakan-akan telah tersudut. Tidak ada jalan
untuk mengelak. Karena itu, maka iapun kemudian berkata
"Aku t idak akan dapat m enolak kesempatan ini m eskipun
sebelumnya aku pernah menyatakan keberatanku kepada
Mahisa Pukat." Pangeran Kuda Pratama tertawa. Katanya "Nah, dengan
demikian maka tugas Mahisa Pukat selanjutnya tidak akan
terlalu berat. Aku percaya bahwa kalian berdua dapat
membagi tugas di Ka satrian"
mPu Sidikara mengangguk hormat sambil berkata "Terima
kasih atas kepercayaan Pangeran "
Sementara itu gurunya menarik nafas dalam-dalam.
Dengan nada dalam ia berkata "Keputusan Pangeran untuk
memberikan kesempatan kepada mPu Sidikara membuat aku
sangat gembira, tetapi juga malu sekali mengingat tingkah
lakuku sendiri. Orang setua aku m asih saa dicengkam oleh
nafsu ketamakannya yang sangat tidak pantas."
"Sudahlah" berkata Pangeran Kuda Pratama "sudah aku
katakan, bahwa setiap orang dapat menjadi khilaf. Tetapi kita
masih belum terlanjur terjerumus ke dalam langkah-langkah
yang dapat menghancurkan diri kita sendiri. "
Guru mPu Kamenjangan itu m engangguk-angguk. Dengan
suara yang lemah yang berkata "Ternyata mata hatiku tidak
mampu lagi melihat terang yang memancar dari nurani
Pangeran" "Sudahlah. Tidak ada y ang pantas dipuji. Semua orang
tentu pernah m elakukan kesalahan ." berkata Pangeran Kuda
Pratama. Dengan demikian, maka mPu Sidikara yang telah
ditetapkan untuk menggantikan kedudukan mPu
Kamenjangan akan mulai dengan tugasnya beberapa hari
kemudian.
Adalah diluar perhatian m ereka ketika disisi lain didalam
kedai itu, terdapat seorang anak yang sebaya dengan Mahisa
Amping. Dengan dahi yang berkerut dipandanginya saja kuda
lumping ditangan Mahisa Amping itu. Agaknya kuda lumping
yang terbuat dari anyaman bambu dihiasi dengan warnawarna
y ang menarik itu sangat menarik perhatiannya.
Untuk beberapa saat anak itu memandanginya dengan dahi
yang berkerut. Namun akhirnya ia menggamit seorang yang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertubuh tinggi kekar, berkumis melintang dan berjambang
tebal y ang sedang makan pula bersama dengan dua orang
kawannya. "Ada apa?"bertanya laki-laki bertubuh kekar itu.
"Ayah. Aku minta kuda lumping seperti milik anak itu "
rengek anaknya. Laki-laki itu memandangi kuda lumping ditangan Mahisa
Amping itu sejenak. Diamatinya tiga orang anak m uda yang
duduk bersama anak itu. Lalu katanya "Minta saja kuda
lumping itu. Aku akan mengganti berapa harganya. "
Anak itu dengan tanpa menjawab lagi telah mendekati
Mahisa Amping. Dengan serta merta maka kuda lumping itu
direbutnya dari tangan Mahisa Amping sambil berkata "Ini
untukku." Mahisa Amping terkejut. Tetapi ia m empertahankan kuda
lumpingnya. Katanya "Jangan. Kuda ini kami beli di pasar."
"Ayah akan mengganti berapa harganya" jawab anak itu.
"Kenapa kau tidak membeli sendiri?" bertanya Mahisa
Amping sambil mempertahankan kuda lumpingnya.
Mahisa Murti y ang melihat hal itu mencoba untuk
melerainya. Dengan lembut ia berkata "Tunggu anak m anis.
Kuda lumping ini kami beli di pasar."
"Aku tahu" tiba -tiba saja orang bertubuh kekar itu
menyahut " Berikan saja kuda lumping itu. Nanti aku ganti
harganya. " Tetapi Mahisa Amping berkata kepada anak itu "Kenapa
kau tidak m embeli saja di pasar itu. Masih ada banyak kuda
lumping seperti ini. "
Laki-laki bertubuh kekar itu nampaknya tersinggung oleh
kata-kata Mahisa Amping itu. Dengan lantang ia berkata
"Berikan kuda lumping itu. Nanti aku ganti harganya lipat
dua." Namun Mahisa Amping menjawab "Tidak. Aku senang
pada kuda lumpingku ini."
"Kau dapat membeli lagi dua buah dipasar" b erkata orang
bertubuh tinggi kekar itu.
Suasana didalam kedai itu menjadi tegang. Seorang y ang
duduk tidak jauh dari Mahisa Pukat berbisik "Berikan ngger.
Orang itu adalah Permati. Seorang y ang tidak pernah dapat
dicegah apapun y ang dikendakinya. Mungkin kalian belum
mengenalnya. " Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun anak
yang mengingini kuda lumping itu masih saja menariknariknya
sementara Mahisa Amping mempertahankannya.
"Nanti kuda lumpingku rusak " bentak Mahisa Amping
"lepa skan. Aku tidak akan memberikannya kepadamu."
Tetapi orang b ertubuh kekar itu membentak pula "Jangan
banyak tingkah. Berikan, atau aku yang akan mengambilnya?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m emang menjadi gelisah.
Namun mereka juga tidak akan dapat memaksa Mahisa
Amping. Anak itu tentu akan m enjadi kecewa. Persoalannya
tidak sekedar kuda lumping yang diperebutkan itu atau
membeli dua bahkan tiga buah yang lain. Tetapi Mahisa
Amping telah merasa ter singgung dan direndahkan harga
dirinya. Karena itu, maka sulit bagi Mahisa Amping untuk
dapat memberikan kuda lumping itu.
Sementara itu orang y ang duduk tidak jauh dari Mahisa
Pukat itu berdesis lagi "Ngger. Permati adalah pemburu yang
paling disegani. Bahkan para bangsawan Singasaripun segan
kepadanya." Mahisa Pukat memang tidak menjawab. Tetapi ia tidak
dapat memaksa Mahisa Amping untuk memberikan kuda
lumping itu. Sebenarnyalah orang yang disebut Permati seorang
pemburu yang sangat disegani itu berkata dengan suara yang
bergetar oleh kemarahan yang ditahankannya "Jika anak itu
tidak memberikannya, ambil saja."
Anaknya ternyata juga sekeras ayahnya. Ketika Mahisa
Amping benar-benar tidak mau memberikannya, maka ia
memang melepaskan kuda lumping itu. Tetapi iapun telah
mengayunkan tangannya memukul kearah kening Mahisa
Amping. Mahisa Amping yang telah mendapatkan kuda lumpingnya
memang menjadi lengah. Tangan anak y ang sebayanya itu
memang mengenai keningnya, sehingga Mahisa Amping
terdorong beberapa langkah sambil mengaduh kesakitan.
Tetapi Mahisa Amping tidak jatuh terlentang karena badannya
telah t ertahan oleh amben bambu dengan sandaran yang agak
tinggi. Bahkan iapun telah jatuh terduduk sementara
tangannya masih memegangi kuda lumpingnya.
Tetapi Mahisa Amping sama sekali tidak senang,
diperlakukan seperti itu. Apalagi anak y ang m emukulnya itu
telah m emburunya sambil berteriak "Berikan kuda lumping
itu, atau aku akan memukulmu lagi."
"Aku tidak akan memberikan kuda itu, kau dengar. Jika kau
memukul aku lagi, maka aku akan membalasmu," jawab
Mahisa Amping dengan beraninya. Apalagi anak yang
memukulnya itu masih sebaya dengan Mahisa Amping itu
sendiri. Ternyata anak itu memang garang. Iapun segera melangkah
mendekati Mahisa Amping yang sudah bangkit berdiri. Tetapi
sebelum ia sempat m engayunkan tinjunya lagi, maka Mahisa
Amping telah meny erangnya dengan kakiny a y ang terjulur
meny ongsong anak yang mendekatinya untuk meny erangnya.
Anak itu t idak menduga bahwa Mahisa Amping dengan
beraninya telah menyerangnya pula. Karena itu, maka anak
itulah y ang kemudian terdorong beberapa langkah surut.
Tetapi anak itupun tidak terjatuh karena punggungnya
tersandar pada gledeg bambu tempat pemilik kedai itu
menempatkan makanan y ang masih belum dihidangkan
kepada para pembeliny a. Dalam pada itu, orang y ang duduk didekat Mahisa Pukat
telah memperingatkannya sekali lagi "Cegah anak itu ngger.
Pemburu itu tidak akan segan-segan melakukan kekerasan.
Apalagi y ang seorang lagi, y ang duduk disebelahnya adalah
seorang jagal y ang garang. Jika ia ikut membantu, maka kalian
akan mengalami bencana. Sedangkan y ang seorang lagi
memang seorang bebahu padukuhan ini. Tetapi orang itu
sudah berada dibawah pengaruh pemburu dan jagal yang
garangitu. Padahal bebahu itu termasuk orang yang disegani
di padukuhan ini. Ia pulalah y ang mempunyai banyak
wewenang di pasar itu."
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata "Keadaan sudah berkembang demikian
buruknya." Orang itu m enjadi sangat tegang ketika ia m elihat Mahisa
Amping telah berkelahi dengan anak yang akan merebut kuda
lumpingnya. Ketika Mahisa Amping b erlari keluar dari kedai
itu, maka lawannya telah mengejarnya. Ia mengira bahwa
Mahisa Amping menjadi ketakutan dan melarikan diri. Tetapi
tidak. Mahisa Amping y ang sudah berada di halaman, ternyata
menunggunya sambil bertolak pinggang.
"Kita berkelahi ditempat yang luas" teriak Mahisa Amping.
Anak itu menjadi semakin marah. Iapun segera berlari
turun ke halaman pula. Sementara itu, pemburu yang bertubuh tinggi kekar itu
masih tetap duduk ditempatnya. Dengan y akin ia berkata
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat "Jika kau tidak
menuruti kemauan anakku, maka adikmu atau anakmu itu
akan mengalami kesulitan. Anak-anak y ang jauh lebih besar
dari anakku, tidak berani menolak keinginannya. Karena
mereka akan menjadi sasaran kemarahannya. Jika ia sudah
mulai memukuli orang-orang yang berani m elawannya, maka
sulit untuk menghentikannya. "
Tetapi orang y ang duduk di dekat Mahisa Pukat itu terkejut
ketika ia mendengar Mahisa Pukat menjawab "Apakah kau
berbangga dengan sifat dan watak anakmu itu?"
Orang bertubuh tinggi kekar itupun terkejut pula. Namun
kemudian iapun menjawab dengan lantangnya. "Aku bangga
dengan watak anakku. Ia akan menjadi seorang pemimpin
yang berwibawa dan disegani banyak orang"
"Dan sewenang-wenang?" sahut Mahisa Pukat.
"Setan kau " geram orang itu " ter serah kepadamu jika
adikmu atau anakmu itu akan menjadi lumpuh."
"Semula aku m emang akan m elerai m ereka. Mungkin aku
setuju untuk memberikan kuda lumping yang diingini oleh
anakmu. Tetapi karena kau berbangga atas anakmu dengan
wataknya itu, maka niatku aku urungkan." berkata Mahisa
Pukat y ang mulai jengkel.
Tetapi orang y ang duduk didekatnya berdesis "Ngger,
kenapa kau melakukan itu?"
Mahisa Pukat tidak menjawab. Sementara itu pemburu
itupun bangkit dari tempat duduknya dan berkata "Aku akan
melihat, apakah iblis kecil itu sudah dipelintir lehernya. "
Pemburu itu, diiringi oleh jagal y ang agak gemuk dan
perutnya membesar serta bebahu y ang disegani itupun
melangkah ke pintu kedai. Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan
Mahisa Semupun telah bangkit pula. Melalui pintu samping
merekapun telah turun ke halaman pula.
Sementara itu Mahisa Amping telah berdiri dihadapan anak
yang minta kuda lumpingnya. Keduanya memang nampak
sebay a. Mereka m empunyai tinggi badan y ang sama. Namun
anak pemburu itu agak lebih gemuk sedikit dari Mahisa
Amping. Namun pemburu itu mengerutkan keningnya ketika
melihat mahisa Amping sama sekali tidak nampak gentar
melihat anaknya. Bahkan Mahisa Amping dengan tanpa raguragu
bersiap untuk berkelahi. Anak Pemburu itu memang menjadi marah sekali. Ia sudah
terbiasa berkelahi. Seperti kata ayahnya, ia tidak takut
berkelahi melawan anak-anak remaja yang lebih besar dan
dirinya. Bahkan anak y ang m enjelang dewasapun dilawannya
pula. Apalagi Mahisa Amping yang meskipun tinggi tubuhnya
seimbang, namun ia nampak lebih kurus dari anak pemburu
itu. Beberapa saat mereka berdiri berhadapan. Kemarahan
anak pemburu itu benar-benar telah membakar jantungnya
melihat Mahisa Amping sama sekali tidak menjadi gentar
menghadapinya. Orang y ang semula duduk didekat Mahisa Pukat dan
kawannya menjadi tegang. Kepada kawannya ia berbisik
"Anak muda itu tidak tahu siapa pemburu, jagal dan bebahu
yang k eras hati itu. Mereka akan dapat m engalami kesulitan
terutama anak y ang mempertahankan kuda lumpingnya. Anak
pemburu itu meskipun nampaknya masih sebay a, tetapi ia
seorang y ang ditakuti bukan saja oleh anak-anak sebay anya,
bahkan anak-anak y ang lebih besar sekalipun. Bahkan anakanak
yang sudah menjadi dewasa."
"Anak itu mempunyai kemampuan berkelahi seperti
ay ahnya " sahut kawannya.
"Aku sudah mencoba memperingatkannya. Tetapi
nampaknya darah muda m ereka m asih cepat menjadi panas.
Tetapi disini anak-anak muda itu terjebak oleh kekuatan yang
tidak akan terlawan " berkata kawannya.
Tetapi ternyata keduanya ingin juga melihat apa y ang
terjadi dihalaman. Meskipun melingkar lewat pintu belakang,
mereka pergi juga kehalaman samping.
Beberapa orang memang melihat keributan itu dari
kejauhan. Namun pada umumnya mereka menjadi cemas
melihat Mahisa Amping yang harus berkelahi dengan anak
pemburu itu. Bukan saja anaknya y ang memiliki kekuatan
lebih besar dari anak-anak seumurnya, bahkan y ang lebih
besar sekalipun, anak itupun telah mendapat latihan-latihan
berkelahi oleh ay ahnya y ang memang disegani oleh banyak
orang. Namun Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu
tidak mencegah Mahisa Amping. Mereka membiarkan saja
anak itu berkelahi dengan anak sebay anya.
Demikianlah, maka sejenak kemudian anak pemburu
itupun telah meloncat meny erangnya. Tangannya terayun
dengan kuatnya kearah mulut Mahisa Amping. Namun
pukulan itu tidak mengejutkan Mahisa Amping. Dengan
tangkasnya ia meloncat m enghindar. Namun lawannya tidak
melepaskannya. Iapun meloncat pula memburu. Tangannya
bukan saja terayun memukul, tetapi jari-jari tangan itu justru
mengembang siap menerkam wajah Mahisa Amping.
Sekali lagi Mahisa Amping mengelak. Ia memang sudah
memperhitungkan bahwa lawannya yang sombong dan sedang
marah itu tentu akan memburunya pula.
Sebenarnyalah anak itu telah meloncat memburu. Anak itu
berusaha untuk menggapai kening Mahisa Amping dengan
tinjunya. Tetapi Mahisa Amping tidak melepaskan kesempatan.
Ju stru karena tangan lawannya siap memukulnya, bahkan
kemudian tangan itu t erayun mendatar, maka lambung anak
itu telah terbuka. Dengan cepat Mahisa Amping
mendahuluinya. Tubuhnyapun menjadi miring. Satu kakinyt
teijulur lurus kearah lambung.
Yang terdengar adalah anak itu mengaduh. Tubuhnya
terdorong beberapa langkah surut. Hampir saja anak itu
kehilangan keseimbangan. Namun ternyata bahwa ia tetap
berdiri ketika ia mengumpat kasar.
Bukan hanya anak itu yang mengumpat. Tetapi ayahnya
juga mengumpat. Dengan lantang ay ahnya berkata "Buat anak
itu jera. Ia belum m engenalmu dan kau tidak perlu merasa
belas kasihan kepadanya. "
Anak pemburu itu m enggeram Wajahnya menjadi m erah.
Kemarahannya seakan-akan telah membakar jantungnya.
Sejenak kemudian anak itu telah m enyerang pula. Mahisa
Ampingpun telah ber siap sepenuhnya, sehingga kedua orang
anak yang sebay a itu berkelahi dengan sengitnya.
Namun orang-orang y ang menyaksikan perkelahian itu dari
kejauhan menjadi heran. Biasanya
anak-anak y ang berkelahi dengan
anak pemburu itu tidak akan dapat
bertahan lebih dari sekejap. Tetapi
anak itu mampu berkelahi untuk
waktu y ang terhitung lama. Bahkan
beberapa kali ia sudah mendesak anak


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemburu itu sehingga berloncatan
surut. Sebenarnyalah anak pemburu itu
mengalami kesulitan melawan Mahisa
Amping. Meskipun anak pemburu itu
juga berlatih berkelahi, tetapi ia tidak mengalami latihan yang
teratur dan tertib sebagaimana Mahisa Amping.
Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, anak
pemburu itu telah terdesak. Beberapa kali serangan Mahisa
Amping mengenai tubuh anak pemburu itu sehingga
terdorong surut. Hanya karena keras kepala dan malu sajalah anak pemburu
itu m asih tetap bertahan. Namun tubuhnya telah terasa sakit
dimana-mana. Serangan-serangan Mahisa Amping lebih
sering mengenai tubuhnya daripada serangan-serangannya
yang berhasil menembus pertahanan Mahisa Am ping. Apalagi
tenaga Mahisa Amping y ang terlatih dengan baik itu lebih kuat
dari lawannya meskipun tubuh lawannya itu sedikit lebih
besar dari tubuh Mahisa Amping.
Pemburu itu menjadi sangat gelisah. Demikian pula jagal
yang perutnya besar serta bebahu padukuhan y ang disegani
itu. Pemburu yang merasa anaknya tidak akan pernah
dikalahkan oleh anak-anak sebay anya, memang menjadi
gelisah dan bahkan kemudian menjadi marah ketika ia melihat
anaknya t elah terdesak. Bahkan beberapa kali anak itu telah
mengaduh kesakitan. "He, kenapa dengan kau" Kenapa tak kau pilin saja
tangannya atau kakinya atau bahkan lehernya" Jika tangan
atau kakinya patah itu sama sekali bukan salahmu. Saudarasaudaranya
atau bahkan ayahnya tidak mau memberinya
peringatan dengan siapa anak itu berhadapan. Apalagi
persoalannya hanyalah sebuah kuda lumping bambu yang
tidak berharga " teriak pemburu itu.
Tetapi adalah diluar dugaan ketika Mahisa Amping
berteriak menjawab "Jika hanya sebuah kuda lumping yang
tidak berharga, kenapa ia akan merampas kuda lumpingku?"
"Iblis kecil kau " bentak pemburu itu. Lalu katanya kepada
anaknya "Lumpuhkan anak y ang sombong itu. Agaknya harga
kuda lumping itu lebih mahal dari harga keselamatannya. "
"Soalny a bukan harga kuda lumping itu " Mahisa Amping
masih berteriak "tetapi ia sudah memukul aku."
"Iblis itu m emang harus dihancurkan kepalanya. Ia berani
menjawab kata-kataku, bahkan dengan membelalakkan
matanya. " geram pemburu itu.
Anaknya memang juga menjadi sangat marah. Tetapi ia
sudah mengerahkan segala kemampuannya.
Perkelahian itu masih sqja berlangsung ketika anak
pemburu itu kemudian meny erang membabi buta. Tetapi
dengan demikian Mahisa Amping nampak semakin mapan.
Serangan-serangan lawannya justru menjadi semakin tidak
terarah. Dalam keadaan yang demikian, maka Mahisa Amping
justru m emanfaatkan keadaan dengan sebaik-baiknya. Setiap
kali ia menghindari serangan lawannya, maka iapun telah
membalas serangan itu dengan serangan pula. Apalagi
serangan lawannya y ang membabi buta setiap kali justru telah
membuka pertahanannya sendiri.
Karena itu, maka perkelahian itu semakin lama menjadi
semakin berat sebelah. Anak pemburu itu menjadi semakin
terdesak dan bahkan kemudian nampak bahwa ia menjadi
seolah-olah tidak berdaya sama sekali. Mahisa Amping yang
marah karena tiba-tiba saja ia sudah dipukul oleh anak
pemburu itu, menyerang dengan cepat dan keras.
Orang-orang y ang menyaksikan perkelahian itu menjadi
berdebar-debar. Mereka memang berharap agar anak
pemburu itu sekali-sekali dapat dikalahkan oleh anak-anak
sebay anya agar ia tidak m enjadi semakin sombong. Namun
merekapun menjadi gelisah dan cemas, bdhwa ay ahnya akan
ikut campur pula. Jika ayahnya ikut campur, maka anak-anak
muda yang datang bersama anak yang berkelahi itu, apakah
kakaknya atau barangkali ay ahnya, tidak akan dapat berbuat
banyak. Mereka tentu akan menjadi sa saran kemarahan
pemburu itu. Bahkan jagal dan bebahu itu tentu akan ikut
campur pula. Untuk beberapa saat perkelahian masih berlangsung.
Namun kemudian anak pemburu itu menjadi semakin
terdesak. Beberapa kali ia mengaduh kesakitan. Meskipun ia
masih juga malu untuk menangis, namun rasa-rasnya ia sudah
tidak sanggup lagi untuk berkelahi terus.
Tetapi ayahnya masih saja berteriak "He, kenapa kau tidak
dapat berbuat apa -apa menghadapi anak itu" Apakah kau
sudah kehilangan keberanianmu dan kemampuanmu?" Anak
itu memang masih berusaha menghentakkan tenaganya. Ia
bukan saja malu, tetapi juga merasa takut bahwa ayahnya
justru akan marah kepadanya.
Namun ia memang tidak mampu mengimbangi tenaga dan
kemampuan Mahisa Amping yang sudah terlatih dengan baik
untuk waktu y ang cukup lama.
Karena itu, ketika Mahisa Amping m endapat kesempatan
menembus pertahanan anak pemburu itu dengan tusukan
serangan kakinya mengenai dada, maka anak pemburu itu
telah terdorong beberapa langkah surut. Keseimbangannya
benar-benar telah terguncang.
Namun ternyata Mahisa Amping yang marah karena tibatiba
saja anak pemburu itu telah m emukulnya lebih dahulu,
maka iapun meloncat memburunya. Tangannya terayun
memperbaiki keseimbanganya itu.
Namun anak itu tidak sempat melakukannya. Serangan
Mahisa Amping y ang mengenai pelipis anak itu telah
melemparkannya sekali lagi. Anak pemburu itupun kemudian
telah jatuh terlentang. Mahisa Amping memang meloncat mendekat. Tetapi
karena lawannya tidak segera bangkit, maka Mahisa Amping
berdiri saja menunggu beberapa langkah disebelahnya.
Anak pemburu itu memang tidak dapat segera bangkit.
Kepalanya terasa pening. Sebelah matanya bagaikan tidak
dapat melihat lagi. Bahkan seluruh tubuhnya terasa sakit
sampai ketulang. Pemburu itu benar-benar menjadi sangat marah. Dengan
tergesa -gesa ia turun kehalaman mendekati aninya y ang masih
terbaring. Dengan lantang ia berkata "He, bagaimana dengan
kau" Apakah kau tidak mampu memilin leher anak itu?"
Anaknya tidak menjawab. Ia berusaha bangkit. Tetapi
keseimbangan tubuhnya ternyata masih belum mantap.
Hampir saja terjatuh kembali. Namun untunglah bahwa
ay ahnya sempat memegangi bahunya.
Namun kemarahan pemburu itu benar-benar menikam
kemudian memandang Mahisa Pukat, Mahisa Murti dan
Mahisa Semu. Dengan lantang ia berkata "He anak-anak
muda. Berikan kuda lumping itu kepada anakku. Sekarang.
Aku tidak mau mendengar jawaban apapun selain kuda
lumping itu." "Tidak " Mahisa Ampinglah yang berteriak.
"Diam kau iblis kecil" bentak pemburu itu. Lalu sekali lagi
ia berteriak "Berikan kuda lumping itu. Ajari anak ini
menghormati orang lain. Jika kau tidak mampu, akulah yang
akan menghajarnya agar ia tidak menjadi sombong."
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan Mahisa Semu masih saja
berdiri termangu-mangu. Namun y ang membuat pemburu itu semakin marah adalah
karena anak y ang telah mengalahkan anaknya itu sama sekali
tidak menjadi ketakutan. Ia masih saja berdiri di tempatnya.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang m enjadi
cemas, bahwa pemburu itu akan berbuat sesuatu atas Mahisa
Amping. Karena itu, m aka Mahisa Murtipun berkata kepada
Mahisa Semu "Lindungi adikmu. Aku akan berdiri saja disini
Jika pemburu itu ikut campur, kaupun harus berbuat sesuatu
agar Amping tidak m enjadi sasaran kemarahan pemburu itua
Aku ingin melihat, seberapa jauh kau mewarisi ilmu
Pa depokan Bara Seta."
Mahisa Semu mengangguk kecil sambil menyahut "Baik
kakang. Aku akan melindungi Amping. "
Dalam pada itu, pemburu itu sudah berteriak lagi "Cepat,
serahkan kuda lumping itu. Aku akan menghitung sampai
lima. Jika kuda lumping itu tidak diserahkan kepada anakku
maka aku akan mengambil sendiri. Akupun akan mengajari
anak itu agar sedikit mengenal unggah-ungguh dan
menghormati orang lain."
Pemburu itu terkejut ketika ia m elihat Mahisa Semu, y ang
termuda diantara ketiga orang anak muda yang datang
bersama Mahisa Am ping, melangkah mendekati anak itu.
Dengan mata terbelalak pemburu itu bertanya "He, apa
yang akan kau lakukan" Bawa kuda lumping itu dan serahkan
kepada anakku. Cepat."
Tetapi Mahisa Semu menggeleng. Katanya "Tidak Ki Sanak.
Kami sudah memutuskan untuk tidak meny erahkan kuda
lumping itu. Seperti y ang sudah dikatakan adikku,
persoalannya tidak sekedar harga kuda lumping itu. Tetapi
persoalannya sudah m enyangkut harga diri. Sebagaimana Ki
Sanak memaksakan kehendak Ki Sanak untuk merampas kuda
lumping itu tentu juga karena harga diri Ki Sanak yang
tersinggung. Bukan soal kuda lumping itu lagi."
"Per setan kau. Jika demikian, aku akan memberi pelajaran
serba sedikit kepada adikmu y ang sombong dan k eras k epala
itu." berkata pemburu itu.
Tetapi Mahisa Semu meujawab "Ia masih terlalu kecil
untuk mengikuti keinginan Ki Sanak. Karena itu biarlah aku
sa ja y ang mewakilinya. "
Wajah pemburu itu menjadi merah padam. Jawaban
Mahisa Semu itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu ia
berteriak "He, kenapa tidak kalian bertiga mendekat kemari?"
"Aku mewakili mereka" jawab Mahisa Semu.
Kemarahan pemburu itu sudah tidak terkekang lagi.
Dengan serta merta ia meloncat sambil mengayunkan
tangannya untuk menampar mulut Mahisa Semu. Tetapi
dengan tangkasny a Mahisa Semu telah m enghindar, sehingga
tangan itu tidak meny entuh sa saran.
Mahisa Semu yang bergeser selangkah surut. Kemudian
telah menarik Mahisa Amping sambil berkata : " Minggirlah
kau dipanggil kakang"
Mahisa Amping m emang bergeser m enepi. Tetapi ia tidak
segera mendapatkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Ia
masih saja termangu-mangu menyaksikan Mahisa Semu yang
sudah bersiap kembali menghadapi segala kemungkinan.
Pemburu itu benar-benar merasa direndahkan. Karena itu,
maka jantungnya serasa akan terlepas dari tangkainya. Ia tidak
berpikir terlalu panjang lagi. Ia harus segera m enghancurkan
anak yang masih terlalu muda, tetapi sangat sombong itu.
Dengan demikian maka pemburu itupun segera meny erang
Mahisa Semu. Tangannya terayun-ay un dengan derasnya
mengarah ke kening Mahisa Semu. Namun seperti
sebelumnya, Mahisa Semupun telah berloncatan menghindar.
Tetapi pemburu y ang marah itu sama sekali tidak
melepaskan lawannya. Dengan garang ia memburunya.
Tetapi Mahisa Semu justru bergerak lebih cepat. Ia bukan
sa ja menghindari serangan-serangan pemburu itu, tetapi
dengan tiba- tiba Mahisa Semupun telah meny erangnya pula,
justru diluar perhitungan lawannya.
Karena itu, maka Mahisa Semu justru berhasil m enembus
pertahanan pemburu itu. Tangannya yang terayun mendatar
sempat mengenai pundak lawannya.
Pemburu itu m emang terkejut. Ternyata tenaga anak y ang
masih terlalu muda itu telah menggoy ahkan tubuhnya. Ketika
pundaknya terdorong serangan Mahisa Semu, maka pemburu
itu telah bergeser setapak surut.
Pemburu itu mengumpat kasar. Ia tidak mengira bahwa
lawannya bukan ssaja tangkas dan mampu bergerak cepat.
Tetapi anak itu juga memiliki tenaga yang sangat besar.
Sebagai seorang y ang sangat disegani oleh orang-orang
diseputarnya, maka pemburu itu tidak ingin t erlalu lama
berkelahi melawan anak y ang masih terlalu muda. Karena itu,
maka pemburu itupun telah menghentakkan kekuatan dan
kemampuannya untuk dengan cepat menghentikan
perlawanan Mahisa Semu. Tetapi ternyata perhitungan pemburu itu keliru. Mahisa
Semu tidak dapat dengan mudah dikalahkannya. Bahkan
dengan tangkasny a anak itu telah menyerangnya.
Kemarahan pemburu itu telah membuat darahnya
mendidih. Tetapi ia tidak dapat menghindari kenyataan. Anak
itu tidak mudah dikalahkannya. Bukan saja kecepatannya yang
mampu mengimbangi kekuatan pemburu itu.
Dengan demikian maka perkelahian itu menjadi semakin
sengit. Mahisa Semu yang nampaknya masih terlalu muda itu
dengan tangkas, cepat dan kuat, bertempur melawan pemburu
yang marah itu. Pemburu yang namanya disegani oleh banyak
orang karena kemampuannya y ang tinggi.
Tetapi menghadapi Mahisa Semu, maka pemburu itu telah
mengalami kesulitan. Mahisa Semu setiap kali mampu m engejutkannya dengan
serangan-serangannya yang tidak terduga-duga. Apalagi jika
terjadi benturan kekuatan, maka pemburu itu selalu terdorong
satu dua langkah surut. Namun pemburu itu m asih belum percaya atas keny ataan
yang dihadapinya itu. Karena itu, maka ia masih berusaha
mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Anak y ang masih
terlalu muda itu harus dapat ditundukkannya.
Dengan demikian maka pertempuran itupun menjadi
semakin sengit. Keduanya saling meny erang dan saling
bertahan. Meskipun pemburu itu memiliki kekuatan
kewadagan yang terhitung besar, namun dengan beralaskan
tenaga dalamnya, maka kekuatan Mahisa Semu mampu
mengimbanginya, ju stru melampauinya, sehingga pemburu itu
selalu saja terdesak di setiap benturan y ang terjadi.
Bahkan serangan-serangan Mahisa Semua semakin lama
semakin sering berhasil m enembus pertahanan pemburu itu.
Dengan kecepatan gerak y ang sulit diimbangi oleh pemburu
itu, maka Mahisa Semu memang lebih banyak dapat mengenai
sa sarannya. Semakin lama, maka pemburu itu menjadi semakin


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdesak. Serangan-serangan Mahisa Semu benar-benar telah
menggoy ahkan pertahanannya. Bahkan beberapa kali
pemburu y ang disegani itu dapat digoy ahkan oleh Mahisa
Semu yang muda itu. Jagal dan bebahu y ang bersamanya itu termangu-mangu
sejenak. Mereka menyadari bahwa pemburu itu sudah
semakin terdesak. Bahkan rasa -rasanya sudah sulit untuk
tetap bertahan. Namun keduanya menjadi berdebar-debar ketika m ereka
melihat kedua orang anak muda yang lain melangkah
mendekati arena. Anak muda y ang umurnya lebih tua dan
agaknya kemampuannyapun lebih tinggi.
Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
melihat kegelisahan jagal dan bebahu itu menduga bahwa
mereka akan dapat ikut campur dalam perkelahian antara
Mahisa Semu dan pemburu yang semakin berat sebelah itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih sempat mengangguk
hormat kepada jagal dan bebahu yang menjadi gelisah itu,
kemudian dengan tenangnya Mahisa Murti berdiri disebelah
jagal yang gelisah itu, sementara Mahisa Pukat berdiri di sisi
bebahu y ang menjadi semakin tegang melihat perkelahian itu.
Sementara itu, tanpa ada y ang mengisy aratkan Mahisa
Amping justru melangkah mendekati anak pemburu yang
menjadi ketakutan melihat keadaan y ang tidak
menguntungkannya itu. Sebelumnya ia tidak pernah
mengalami hal seperti itu. Biasanya ia selalu memenangkan
perkelahian Jika ada anak-anak y ang terlalu besar untuk
dilawannya, maka ia selalu berlindung dibawah pengaruh
ay ahnya. Tetapi saat itu, ay ahnya menjadi tidak berday a. Anak muda
yang berkelahi melawan ayahnya itu bukan saja tidak takut,
tetapi ia justru dapat mendesak ay ahnya sehingga ayahnya
mengalami kesulitan. Sebenarnyalah pemburu itu menjadi semakin terdesak
Beberapa kali serangan Mahisa Semu telah menggoy ahkan
keseimbangannya. Bukan saja wajahnya menjadi m erah biru,
tetapi tulang-tulangnya pun serasa berpatahan.
Dalam keadaan yang paling sulit, maka pemburu itu
berteriak "He, kenapa kalian diam saja membeku. Hancurkan
anak-anak muda yang sombong itu."
Jagal dan bebahu yang berdiri disebelah Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat itu termangu -mangu. Namun dalam pada itu
Mahisa Murtipun berkata "Ki Sanak. Sebaiknya kita tidak usah
ikut cam pur. Persoalannya sebenarnya adalah per soalan
antara anak-anak saja. Aku terbiasa membiarkan anak-anak
berusaha meny elesaikan persoalan mereka. Biasanya aku
menganjurkan agar m ereka meny elesaikan persoalan mereka
tidak dengan kekerasan. Tetapi jika kekerasan itu tidak dapat
dihindari, maka akupun minta anak-anak itu
menyelesaikannya sendiri. Hanya dalam keadaan y ang sangat
penting aku mencampuri persoalan mereka apabila
keadaannya akan sangat membahayakan kedua belah pihak."
Jagal dan bebahu itu menjadi sangat gelisah. Keringat
mengalir diseluruh tubuh mereka. Punggung mereka menjadi
basah, seolah-olah mereka baru saja selesai berendam didalam
air. Namun dalam pada itu pemburu itu berteriak lagi ketika ia
terdorong beberapa langkah surut "He pengecut. Kenapa
kalian berdiam diri saja. Lumpuhkan anak-anak muda itu.
Kemudian kalian harus ikut meny elesaikan anak iblis ini."
Namun Mahisa Pukatlah yang menyahut "Sudahlah Ki
Sanak. Kenapa Ki Sanak memaksakan diri untuk berkelahi
terus. Kedua orang kawan Ki Sanak ini tidak akan turun ke
arena perkelahian itu. Apapun alasannya, sebaiknya mereka
tidak u sah ikut campur. "
Pemburu itu masih akan berteriak, tetapi Mahisa Semu
mendesaknya sehingga suaranya justru terputus
dikerongkongan. Sementara itu Mahisa Pukat berkata kepada bebahu
disebelahnya sambil m emegang pundaknya "Disini sajalah Ki
Sanak. Kita tidak ikut campur."
Bebahu itu terkejut. Tangan Mahisa Pukat rasa-rasanya
akan memecahkan tulang dipundaknya.
Namun dengan demikian, maka bebahu itu sadar
sepenuhnya bahwa anak muda itu adalah anak muda yang
memiliki kelebihan dari orang lain. Jari-jari anak m uda itu
seperti batang-batang besi yang menjepit tulang-tulangnya,
sementara anak muda itu nampaknya sama sekali tidak
mempergunakan kekuatannya.
Karena itu, maka bebahu itu sama sekali tidak berani
berbuat sesuatu. Betapapun segannya bebahu itu terhadap
pemburu y ang sedang berkelahi itu, namun ia harus membuat
pertimbangan berulang kali untuk terjun kedalam perkelahian
karena persoalan anak-anak itu.
Berbeda dengan bebahu yang menyadari akan kekuatan
Mahisa Pukat, maka jagal yang perutnya besar itu benar-benar
menjadi sangat b imbang. Ia m emang sudah m enduga bahwa
kedua anak muda yang berdiri disebelahnya itu berilmu tinggi.
Tetapi iapun merasa sangat segan kepada pemburu yang
sedang berkelahi itu. Namun dalam pada itu, maka Mahisa Murti telah
melingkarkan tangannya dipunggung jagal y ang berperut
besar itu. Dengan nada lembut Mahisa Murti berkata "Jangan
dengarkan kicau pemburu y ang dungu itu. Sebaiknya kita
memang tidak ikut campur."
Jagal itu tidak menjawab. Tetapi dengan serta merta ia
mengibaskan tangan Mahisa Murti. Bahkan jagal itu sudah
siap untuk turun ke arena.
Tetapi ia merasa tubuhnya agak lain dari biasanya. Ada
sesuatu y ang kurang pada dirinya sehingga ia harus m encoba
untuk menemukan, apakah y ang lain pada dirinya itu.
Baru ketika ia melangkah, maka ia merasakan kakinya
menjadi berat. Tangannyapun serasa tidak seperti biasanya.
Baru kemudian jagal itu tahu bahwa tenaganya telah
menyusut. Meskipun jagal itu masih mampu bergerak dan tegak pada
keseimbangannya, tetapi rasa-rasanya ia tidak sanggup untuk
berkelahi. Bahkan dengan anak-anak sekalipun.
Karena itu, maka ketika kemudian pemburu itu berteriak
lagi, jagal itu sama sekali tidak berbuat apa -apa. Demikian
pula bebahu itu. Keduanya berdiri saja termangu -mangu
ditempatnya. Dengan demikian maka keadaan pemburu itu menjadi
semakin sulit. Bahkan ketika kaki
Mahisa Semu berhasil mengenai
dadanya, maka pemburu itupun
telah terdor ong beberapa langkah
surut. Hampir saja ia kehilangan
keseimbangannya dan jatuh
terbanting. Namun dengan susah
pay ah, ia berhasil bertahan untuk
tetap berdiri meskipun kakinya
menjadi goy ah. Mahisa Semu y ang melihat
keadaan lawannya tidak memburunya. Sikap Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat memang sudah
mempengaruhi sikapnya pula, sehingga ia tidak t erlalu
bernafsu untuk menghancurkan lawannya. Termasuk
menghancurkan harga dirinya.
Karena itu, maka ketika lawannya sedang dalam kesulitan,
Mahisa Semu seakan-akan dengan sengaja memberinya
kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Bahkan Mahisa Semupun kemudian berkata "Ki Sanak,
apakah kita m asih akan m eneruskan persoalan kuda lumping
ini" Sebenarnya aku tidak tertarik untuk menyelesaikan
persoalan ini dengan cara y ang tidak manis ini. Karena itu,
segala sesuatunya tergantung kepada Ki Sanak. Jika kau masih
berniat untuk meneruskan perkelahian y ang tidak karuan
ujung pangkalnya iui, maka akupun tidak berkeberatan. Tetapi
jika Ki Sanak menganggap bahwa persoalan kita sudah selesai,
maka aku akan berterima kasih."
Pemburu itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
dengan sikap y ang garang ia berteriak "Aku ampuni kau kali
ini. Tetapi ingat, jika kau atau anak itu pada k esempatan lain
tidak mau Menghormati orang lain, m aka aku akan benarbenar
menghukummu dan menghukumnya. "
Mahisa Semu tidak menjawab. Namun kemudian pemburu
itu melangkah pergi sambil menggapai anaknya yang
kebingungan tanpa berpaling lagi. Juga tidak kepada kedua
orang kawannya yang datang bersamanya.
"Apakah kau akan mengikutinya ?" bertanya Mahisa Pukat
kepada bebahu itu. Bebahu itu menggeleng. Katanya "Tidak. Tetapi aku tahu
bahwa orang itu akan marah kepadaku."
"Apakah kira-kira ia akan melakukan kekerasan
terhadapmu dan kawanmu itu ?" bertanya Mahisa Murti.
"Agaknya tidak. Bany ak orang menyaksikan apa y ang
terjadi disini. Ia tidak dapat menyalahkan aku meskipun
barangkali ia akan mengumpati aku." jawab bebahu itu.
Namun kemudian Mahisa Murtipun berkata kepada jagal
yang perutnya besar itu "Maaf. Aku telah menyusut tenagamu.
Tetapi tidak seberapa. Tidak sampai tengah malam nanti,
tenagamu tentu sudah pulih kembali. Yang aku lakukan hanya
sekedar mencegah agar kau tidak melibatkan diri dalam
perkelahian ini. Karena jika hal itu kaulakukan maka
keadaanmu akan menjadi semakin sulit."
Jagal itu menjadi heran. Dengan wajah y ang tegang ia
bertanya "Bagaimana hal itu dapat terjadi ?"
"Mungkin kau tidak akan dapat mengerti. Tetapi jangan
menjadi cemas. Seandainya senja nanti kau harus m elakukan
tugasmu, maka sisa tenagamu masih cukup kuat untuk
melakukannya karena setiap kejap, tenagamu yang susut
perlahan-lahan akan tumbuh."
Orang itu memang masih agak bingung. Tetapi ia tidak
bertanya lebih jauh meskipun jantungnya terasa berdebardebar.
Ia memang cemas, bahwa tenaganya tidak akan pernah
pulih kembali. Tetapi Mahisa Murti kemudian berhasil meyakinkan,
bahwa besok jagal itu tidak akan terganggu lagi dengan
peristiwa yang terjadi itu.
"Percay alah. Malam nanti, segala-galanya sudah berlalu
bagimu. Jika kau besok bangun pagi-pagi, m aka kau adalah
sebagaimana kau bangun tadi pagi."
Jagal itu mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah anak-anak
muda. Mudah-mudahan aku tidak menjadi seorang yang cacat
seumur hidupku. Dalam keadaan seperti sekarang, aku tidak
akan dapat melakukan pekerjaanku sebagai seorang jagal,
karena pekerjaanku memerlukan tenagaku."
Mahisa Murti menepuk bahunya sambil berkata "Aku tidak
berbohong. Jika kau tidak berkeberatan, katakan di mana
rumahmu. Besok aku akan datang menengokmu."
Ternyata jagal itu memang tidak berkeberatan. Ia telah
memberikan ancar-ancar rumahnya.
Demikianlah maka Mahisa Murti, Mahisa Pukat, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping kembali masuk ke dalam kedai.
Orang-orang yang berkerumun tanpa berani mendekatpun
telah pergi pula. Ketika Mahisa Murti dan saudara-saudaranya telah duduk
kembali sambil meneguk minuman mereka yang tersisa, maka
orang yang sejak sebelum terjadi keributan duduk didekat
Mahisa Pukat itu telah duduk pula ditempatnya.
"Aku tidak mengira bahwa ada orang y ang dapat
mengalahkan Ki Permati itu." berkata orang itu.
"Orang itu sebelumnya amat ditakuti" desis kawannya.
Lalu kepada Mahisa Pukat ia berkata "Bagaimana adikmu
dapat mengalahkan orang itu ngger?"
"Hanya suatu kebetulan Ki Sanak. Tetapi seandainya
demikian, bukankah itu wajar. Adikku masih muda. Umurnya
adalah umur yang memungkinkannya berada dalam puncak
kekuatan dan kemampuan. Sementara itu Ki Permati itu
meskipun garang, tetapi umurnya sudah menua. Ibarat
matahari kemampuannya sudah melampaui puncaknya dan
mulai meluncur turun di sisi barat."
"Tidak ada tanda-tanda seperti itu sebelumnya" berkata
orang itu. "Bukankah y ang kau lihat itu juga satu pertanda
kemundurannya?" bertanya Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya "Tidak. Bukan itu.
Tetapi anak muda itulah yang memiliki kelebihan dari
pemburu itu. Jelasnya, pemburu itu memang dapat
dikalahkannya." "Seperti sudah aku katakan Ki Sanak. Hanya satu kebetulan
sa ja. tidak lebih."
Tetapi orang itu menyahut "Kalian memang anak-anak
muda yang rendah hati. Itu dapat kami lihat bukan saja sikap
kalian sebelum terjadi perkelahian itu. Sikap anak muda yang
bertempur melawan Ki Permati itu juga sikap seorang yang
rendah diri. Meskipun ia memenangkan perkelahian itu, tetapi
ia masih menghormati lawannya dan memberi kesempatan
lawannya meninggalkan arena tanpa menghancurkan harga
dirinya." "Itu bukan apa -apa Ki Sanak" berkata Mahisa Pukat "bukan
sikap rendah hati. Tetapi anak itu juga sudah m erasa letih
berkelahi melawan Ki Permati."
"Nah, bukankah jawaban angger ini semakin meyakinkan
aku" Tetapi baiklah. Aku tidak akan memuji lagi."
Mahisa Pukat tidak menjawab lagi. Mahisa Amping justru
menundukkan kepalanya saja. Sementara Mahisa Semu
bahkan seolah-olah tidak mendengar pembicaraan itu.
Diteguk ny a minumannya sampai titik air y ang terakhir.
"Kau minum lagi?" Bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Semu menggeleng. Katanya "Sudah cukup"
Sementara itu pemilik kedai itupun telah mendekat pula
sambil berkata "Peristiwa ini akan sangat berpengaruh atas
tingkah lakunya. Selama ini memang belum pernah ada orang
yang b erani dan dapat mengalahkannya. Kekalahan pemburu
itu akan membuka mata orang banyak dan mata pemburu itu,
bahwa ternyata ada orang lain, justru anak y ang masih t erlalu


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

muda, memiliki kemampuan lebih dari kemampuannya. "
Mahisa Murti dan saudara-saudaranya hanya ter senyum
sa ja. Ketika kemudian m ereka selesai m inum dan makan, m aka
pemilik kedai itu semula menolak untuk menerima uang
pembayarannya. Namun Mahisa Murtipun berkata "Ki Sanak,
jangan kecewakan kami. Jika Ki Sanak menolak, maka itu
berarti hubungan kita akan terputus hari ini. Kami tentu tidak
akan pernah datang lagi kekedai ini m eskipun kami pergi ke
pasar." Pemilik kedai itu akhirnya terpaksa menerima uang untuk
membayar m akanan dan m inuman y ang telah diminum dan
dimakan oleh Mahisa Murti dan saudara-saudaranya.
"Kami selalu mengharap kalian datang" berkata pemilik
kedai itu "seandainya kalian tidak lagi ke pasar, pergi sealah ke
kedai ini. Kami akan menerima kalian dengan senang hati.
Tentu orang-orang di sekitar pasar itupun akan merasa senang
pula." "Terima kasih " sahut Mahisa Pukat "kami akan selalu
singgah jika kami pergi ke pasar atau lewat jalan ini."
"Jangan menunggu kalau kalian pergi ke pasar atau sedang
lewat jalan ini. Kalian dapat secara khusus pergi kemari "
berkata pemilik kedai itu.
Mahisa Pukat tertawa. Demikian pula Mahisa Murti.
Namun m erekapun kemudian telah m inta diri m eninggalkan
kedaiitu. Ternyata yang terjadi merupakan satu pengalaman y ang
menarik. Menarik bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, tetapi
lebih menarik bagi Mahisa Amping dan Mahisa Semu. Dengan
pengalaman itu maka Mahisa Semu sempat menjajagi
kemampuannya. Sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dapat menilai, sejauh mana Mahisa Semu meny erap ilmu yang
diberikan kepadanya. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
juga sempat melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Mahisa
Amping. Di perjalanan pulang Mahisa Amping sempat bertanya
kepada Mahisa Pukat "Kakang, apakah dikota ini anak-anak
boleh mengambil m ilik orang lain dengan kekerasan a sal ia
menang berkelahi sehingga dengan demikian maka seorang
yang lemah tidak akan mempunyai kesempatan untuk
bermain apapun juga?"
"Tidak Amping " jawab Mahisa Pukat "di kota inipun
seseorang yang lemah berhak m endapat perlindungan. Tetapi
kadang-kadang tingkah laku seseorang lepa s dari pengamatan
para petugas yang berkewajiban untuk menjaga ketertiban
termasuk melindungi mereka y ang lemah dari perbuatan
sewenang-wenang. " "Tetapi agaknya anak itu sudah berbuat seperti itu untuk
waktu yang lama" berkata Mahisa Amping.
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Ternyata
penglihatan Mahisa Amping yang masih remaja itu cukup
tajam. Dengan nada rendah Mahisa Pukat menjawab "Agaknya
ia mempunyai pengaruh y ang kuat atas lingkungannya,
sehingga tidak seorangpun y ang berani melaporkannya kepada
para petugas." "Justru satu peluang y ang baik bagi orang-orang seperti
pemburu itu. Tetapi bagaimana dengan bebahu itu" Agaknya
ia justru berpihak kepada pemburu dengan segala Wewenangwenangannya
" berkata Mahisa Amping pula.
"Itulah y ang dapat terjadi" jawab Mahisa Pukat "bukankah
kau ingin mengatakan bahwa bebahu termasuk seorang
petugas yang seharusnya melindungi orang y ang lemah?"
"Ya " jawab Mahisa Amping "seandainya aku tidak m ampu
mempertahankan milikku dan harga diriku, m aka bebahu itu
harus melindungi aku."
"Ada beberapa sebab" jawab Mahisa Pukat "mungkin
bebahu itu takut terhadap pemburu yang nampaknya memiliki
kekuatan yang besar dan bahkan kemampuan yang cukup."
Mahisa Amping termangu-mangu. Ia menunggu kelanjutan
jawaban Mahisa Pukat. Tetapi Mahisa Pukat tidak segera
berkata apapun lagi. Karena itu, maka Mahisa Ampingpun bertanya "Apakah
kakang sudah selesai berbicara" Kakang menyebutkan ada
beberapa sebab. Tetapi kakang baru mengatakan satu saja."
Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun berkata "Memang ada sebab y ang lain,
Amping." "Misalnya?" termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata meskipun agak ragu "Jika saja bebahu itu sudah
berhutang budi kepada pemburu itu."
"Hutang budi" Maksud kakang?" desak Mahisa Amping.
Mahisa Pukat memang tidak akan dapat mengelak lagi.
Mahisa Amping tentu akan selalu m engejarnya sampai ia
memberikan jawaban y ang memuaskan kepadanya. Sementara
itu Mahisa Murti hanya tersenyum saja.
"Mahisa Amping" berkata Mahisa Pukat "memang mungkin
bebahu itu berhutang budi kepada pemburu itu. Misalnya,
pemburu itu sudah pernah menolong bebahu itu. Atau pernah
memberikan sesuatu y ang berarti kepada bebahu itu.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Amping menyahut "Menyuap,
begitu maksud kakang?"
Mahisa Pukat m enarik nafas panjang. Tetapi ia m enjawab
"Tidak selalu. Menyuap adalah pemberian dengan tujuan
tertentu dalam per soalan tertentu. Tetapi mungkin pemburu
itu pernah memberikan sesuatu tanpa bermaksud
mempengaruhi bebahu itu dalam satu persoalan tertentu."
"Tetapi jika dengan pemberian-pemberian itu maka bebahu
itu tidak lagi melakukan tugasnya dengan wajar, maka itupun
dapat diartikan suapan."
Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Sudahlah. Kita sudah hampir sampai direg ol samping
halaman istana. " Mahisa Amping tidak bertanya lagi. Tetapi iapun kemudian
beralan paling depan. Mahisa Semu memang tidak berkata sesuatu. Tetapi ia
mendengarkan dan ikut memperhatikan pembicaraan tentang
bebahu itu. Sebenarnyalah ia sependapat dengan Mahisa
Amping. Bahwa bebahu itu ternyata tidak lagi melakukan
tugasnya dengan wajar. Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah sampai
keistana. Mereka langsung menuju kebagian belakang.
Mahendra yang ada dirumah menyambut mereka di tangga
pendapa rumah yang disediakan baginya. Sambil tersenyum ia
bertanya kepada Mahisa Amping "Apa y ang telah kau lihat?"
Mahisa Amping memandang Mahisa Pukat dengan ragu
Namun Mahisa Murtilah yang menjawab "Kami m elihat-lihat
pasar ayah." "O" Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Marilah
naik." diatas tikar pandan yang sudah terbentang. Angin terasa
semilir bertiup melintasi pendapat kecil itu.
Ketika kemudian Mahendra duduk pula diantara anakanaknya
maka Mahisa Ampingpun segera berceritera tentang
peristiwa yang terjadi di sebuah pa sar itu.
"O" Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi ia
bertanya "jadi kau baru saja berkelahi?"
"Ya. Dan kakang Mahisa Semu juga" jawab Mahisa Amping.
Mahendra mengangguk-angguk. Dari ceritera Mahisa
Amping, Mahendra m endapat kesan, bahwa Mahisa Amping
menganggap orang orang di Kotanya itu bertingkah laku buruk
sebagaimana orang-orang y ang diceriterakan itu.
"Amping " berkata Mahendra sambil ter senyum "tidak
semua orang di Kotaraja ini berkelakuan buruk. "
"Tentu " jawab Mahisa Amping "tetapi aku kira kebanyakan
mereka berkelakuan aneh menurut pendapat ku. Mereka
terlalu mementingkan diri sendiri. Anak pemburu itu tentu
tidak hanya sendiri. Tentu banyak anak di Kotaraja ini yang
berwatak seperti anak itu. Mereka sama sekali tidak
menghargai orang lain."
Mahendra tertawa. Katanya "Nanti atau besok atau kapan
soja sebelum kau kembali ke padepokan, kau tentu akan
melihat bahwa tidak banyak anak yang nakal seperti itu.
Meskipun kehidupan di Kotaraja ini membentuk lingkungan
yangberbeda dengan kehidupan di padepokan sebagaimana
kehidupan di padepokan tidak sama dengan kehidupan &
padukuhan-padukuhan, tetapi di Kotaraa mi masih banyak
juga orang y ang baik, orang y ang menghargai orang lain dan
bahkan selalu menolong orang lain y ang dalam kesulitan."
Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Namun
Mahendrapun kemudian berkata selanjutnya "Tetapi karena di
Kotaraja ini diwarnai dengan kehidupan yang sibuk, maka
kadang-kadang seseorang tidak banyak mempunyai
kesempatan untuk memperhatikan orang lain. Namun bukan
pada dasarnya orang itu terlalu mementingkan diri sendiri"
Mahisa Amping tidak m enjawab. Ia tidak begitu m engerti
arti dari keterangan Mahendra. Namun serba sedikit ia dapat
merasakannya, sehingga karena itu, maka ia justru mencoba
Hari itu, selagi Mahisa Pukat masih belum bertugas di
Ka satrian maka disore hari ia mengajak Mahisa Murti, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping untuk berjalan-jalan lagi. Mereka
menelusuri jalan-jalan di Kotaraja yang ramai. Namun mereka
tidak singgah dan tidak pula mengunjungi siapapun.
Di hari berikutnya, maka Mahisa Pukat sudah harus
bertugas lagi di Kasatrian. Karena itu, maka ia harus
meninggalkan Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping. Tetapi karena Mahisa Murti juga sudah mengenali Kotaraja
itu dengan baik, maka tanpa Mahisa Pukat ia dapat mengajak
Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat keadaan
Kotaraja yang belum dilihat sebelumnya.
"Jika saatnya kalian kembali ke padepokan, aku harap kau
memberitahukan kepadaku di kasatrian" berkata Mahisa
Pukat kepada Mahisa Murti.
Mahisa Murtipun mengangguk sambil menjawab "Baiklah.
Aku kira aku tidak dapat terlalu lama di Kotaraja. Dua atau
tiga hari lagi aku akan m inta diri. Tetapi akupun ingin minta
diri pula kepada Pangeran Kuda Pratama. "
"Pangeran Kuda Pratama tentu akan merasa sangat senang
jika kalian singgah sebelum kalian m eninggalkan Kotaraja."
berkata Mahisa Pukat kemudian.
(Bersambung ke Jilid 111 )
Conv ert & Edit to Ebook by
HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 111 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--?""0dw0?""-
Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 111 SETELAH minta diri pula kepada ayahnya, maka Mahisa
Pukatpun telah meinggalkan rumah itu untuk pergi ke
Ka satrian karena ia harus sudah mulai lagi dengan tugasnya di
Ka satrian. Di Kasatrian ia kemudian akan bekerja sama
dengan mPu Sidikara yang menggantikan kedudukan saudara
seperguruannya mPu kamenjangan.
Ketika kemudian Mahisa Pukat kembali berhadapan
dengan bangsawan-bangsawan muda di Ka satrian, maka
iapun teringat kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Seorang anak muda y ang tangkas dan cerdas. Meskipun
Mahisa Semu dan Mahisa Amping adalah anak-anak yang
diketemukannya diperjalanan, namun ternyata mereka dapat
menjadi tumpuan harapan masa depan.
Mahisa Pukatpun teringat, bagaimana ia bersama Mahisa
Murti mengembara untuk menemukan satu dua orang yang
pantas untuk mewarisi dan kemudian m engembangkan ilmu
mereka, sehingga diperjalanan mereka menemukan Mahisa
Semu, Mahisa Amping dan Wantilan yang justru sudah lebih
tua daripadanya. "Sekarang aku berada diantara anak-anak muda dan remaja
yang memiliki kesempatan t erbaik di Singasari" berkata
Mahisa Pukat kepada diri sendiri.
Tetapi Mahisa Pukat belum dapat m emutuskan apakah ia
akan menunjuk satu dua orang yang akan dicarinya secara
khusus atau tidak. Namun setiap kali ia melihat dua orang
bangsawan y ang masih remaja y ang sejak pertama menjadi
asuhannya, m aka keinginan itu selalu m enggelitiknya, karena
kedua orang remaja itu menurut pendapat Mahisa Pukat
memiliki landasan pribadi dan kewadagan yang
memungkinkan. Meskipun demikian, Mahisa Pukat masih belum dapat
menentukan apakah ia akan melakukannya atau tidak.
Dalam pada itu, setelah Mahisa Pukat kembali ke Kasatrian,
maka Mahisa Murti sendirilah yang mengajak Mahisa Semu
dan Mahisa Amping berjalan-jalan dihari berikutnya. Mereka
melihat bagian Kotaraja yang belum mereka lihat sebelumnya.
Adalah diluar kehendak Mahisa Murti ketika tiba-tiba saja
ia bertemu dengan Sasi yang sedang pergi berbelanja ke pasar.
Kedua-duanya memang terkejut. Dengan serta-merta Sasi
yang ada diseberang jalan berlari -lari mendekati Mahisa Murti
sambil menyapanya "Kakang Mahisa Murti. Kapan kau datang?"
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia
melihat wajah gadis itu, m aka jantungnya menjadi berdebardebar.
Bagaimanapun juga wajah gadis itu pernah terukir
didinding jantungnya. Hanya dengan kekuatan y ang luar
biasa, maka Mahisa Murti mampu mengendalikan dirinya.
Dengan denyut nadi y ang bertambah cepat Mahisa


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Murtipun kemudian menjawab "Aku datang tiga hari yang
lalu, Sasi." "Kenapa kau tidak singgah?" desak Sasi.
"Aku masih belum akan segera kembali ke padepokan Sasi.
Besok atau lusa aku akan singgah. Aku sedang menunggu
kesempatan Mahisa Pukat dapat meninggalkan tugasnya
barang sebentar. " "Kauberjanji?" bertanya Sasi.
Mahisa Murti mengangguk. Katanya "Ya. Aku berjanji,
Sasi". "Aku juga menunggu kakang Mahisa Pukat yang sudah
beberapa lama tidak berkunjung ke rumah. Datanglah kalian
berdua." minta Sasi.
"Ya, ya, Sasi. Aku akan singgah sebelum aku
meninggalkan Kotaraja. " jawab Mahisa Murti.
Sasi tersenyum. Kecantikan seakan-akan mekar bersama
senyumnya y ang jernih. Dipandanginya Mahisa Semu dan
Mahisa Amping berganti-ganti.
"Siapakah mereka ?" bertanya Sasi.
"Keduanya adalah adikku " jawab Mahisa Murti.
"O. Jadi juga adik kakang Mahisa Pukat?" bertanya Sasi.
"Ya " jawab Mahisa Murti.
"Ajak mereka datang ke rumah" berkata Sasi y ang
kemudian m endekati Mahisa Amping. Sambil m enepuk bahu
anak itu, Sasi berkata "Ikut bersama kakak-kakakmu. Kalian
harus berkunjung ke rumahku ".
Mahisa Amping tersenyum. Tetapi kepalanya justru
menunduk. "Kau dari mana Sasi?" bertanya mahisa Murti kemudian.
"Belanja. Ibu tidak dapat pergi berbelanja. Akulah jadinya
yang pergi," jawab Sasi. Namun kemudian katanya "Baiklah.
Aku pulang dahulu. Ibu m enunggu aku. Tetapi kau dan adikadikmu
benar-benar harus singgah di rumahku".
"Baik, baik, Sasi." jawab Mahisa Murti.
Sejenak kemudian, maka Sasipun melanjutkan langkahnya
Sekali ia berpaling sambil tersenyum. Dilambaikannya
tangannya kepada Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan
ingin mengendapkan hatinya yang bergejolak. Namun
kemudian Mahisa Murti berhasil menemukan kesadarannya
kembali. Ia sudah bertekad untuk melupakan Sasi. Bahkan
Mahisa Murti tidak ingin bertemu dengan gadis itu lagi.
Tetapi tiba -tiba saja ia telah berhadapan lagi dengan Sasi.
Namun justru karena itu, Mahisa Murtipun telah berusaha
untuk tetap teguh pada sikapnya, karena j ika tidak demikian,
maka akibatnya akan menjadi sangat buruk baginya dan bagi
Mahisa Pukat. Ketika mereka kemudian meninggalkan tempat itu, Mahisa
Amping sempat bertanya "Siapakah orang itu?"
MaHisa Murti mencoba untuk tersenyum. Kemudian
jawabnya "Orang itu adalah kawan kakakmu Mahisa Pukat.
"Tentu juga kawan kakang Mahisa Murti" sahut Mahisa
Semu. Mahisa Murti mengangguk kecil sambil menjawab pendek
"Ya." Kedua adik Mahisa Murti itu tidak bertanya lagi. Mereka
pengikut saja Mahisa Murti yang berjalan menelusuri jalanjalan
di Kotaraja. "Bukankah jalan ini menuju ke pasar?" bertanya Mahisa
Amping tiba-tiba "kemarin kita juga berjalan lewat jalan ini."
"O" Mahisa Murti baru tersadar dari lamunannya. Dengan
serta merta ia m enjawab "Ya. Tetapi kita tidak akan pergi ke
pasar. Kita akan berbelok di simpang tiga itu."
"Apa salahnya kita lewat jalan di depan pasar itu?" bertanya
Mahisa Amping. Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Namun Mahisa
Semulah y ang tersenyum sambil menjawab "Kau akan singgah
di kedai itu lagi?" "Tidak. Aku tidak haus dan tidak lapar".
Mahisa Murtipun tersenyum pula. Tetapi ia menggeleng.
Katanya "tidak. Aku tidak haus dan tidak lapar".
Mahisa Murtipun tersenyum. Katanya "Kita akan singgah di
kedai y ang lain. Jika pemburu itu ada disitu pula, maka kita
akan dapat terganggu lagi".
"Kita justru menunjukkan bahwa kita tidak takut
terganggu. Bahkan apapun y ang akan mereka lakukan." sahut
Mahisa Amping. Tetapi Mahisa Murti menggeleng sambil berdesis "Jangan
Amping. Kita tidak dapat berbuat seperti itu. Seakan-akan kita
sengaja memancing persoalan. Meskipun kita berdiri dipihak
yang benar, tetapi jika saja per soalan y ang dapat
menimbulkan per selisihan itu dapat dihindari, maka
sebaiknya kita menghindar. Tentu sajajika tidak harus
mengorbankan keyakinan dan harga diri. Karena apapun
alasannya, perselisihan bukan satu peri stiwa y ang patut
dibanggakan". "Musuh tidak dicari. Tetapi jika bertemu?"
"Karena itu, lebih baik tidak bertemu bukan?" bertanya
Mahisa Murti. Mahisa Am ping mengerutkan keningnya. Namun kemudian
iapun tersenyum sambil berdesis "Ya. Memang lebih baik tidak
bertemu." Mahisa Semupun tersenyum. Tetapi ia tidak berkata apaapa.
Demikianlah, maka merekapun telah mengambil jalan y ang
lain, sehingga mereka memang tidak menuju ke pasar.
Tetapi mereka memang tidak t erlalu lama berputar-putar di
Kotaraja. Mereka sempat singgah disebuah kedai untuk
sekedar minum dan makan beberapa jeni s makanan y ang sulit
dicari di padepokan. Kemudian merekapun telah
meninggalkan kedai itu dan pulang kerumah Mahendra
dibagian belakang istana Singasari.
Ketika kemudian Mahisa Semu dan Mahisa Amping
beristirahat dibawah sebatang pohon sawo kecil disaat udara
terasa panas, m aka Mahisa Murtipun duduk pula bersandar
batangnya y ang sudah cukup besar. Angin bertiup lembut
mengusap wajahnya yang sedang merenung. Sementara
Mahisa Semu dan Mahisa Amping bermain macanan dengan
daun sawo kecik dan kerikil, maka Mahisa Murti telah
merenungi dirinya sendiri.
Ju stru karena ia telah bertemu dengan Sasi, maka
seandainya ia tidak singgah, maka rasa-rasanya kurang
mapan. Sasi akan dapat berprasangka kurang baik tentang
dirinya. Mungkin Sasi m enganggapnya sombong, atau marah
atau perasaan lain y ang sekedar diduga-duganya saja. Tetapi
seandainya ia minta Mahisa Pukat untuk mengantarnya
singgah, m ungkin Mahisa Pukat juga dapat menangkap lain
tentang ajakannya itu. Atau mungkin dan mungkin telah
membuatnya menjadi gelisah. Untuk datang sendiri hanya
dengan Mahisa Semu dan Mahisa Amping tanpa mengajak
Mahisa Pukat rasa-rasanya juga kurang pantas baginya.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian iapun bangkit b erdiri melangkah k e tangga rumah
ay ahnya sambil berkata "Aku akan minum dahulu. Aku merasa
sangat haus". Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk saja.
Mereka masih bermain macanan. Tetapi demikian Mahisa
Murti naik tangga rumah Mahendra, Mahisa Semupun
berdesis "Kakang Mahisa Murti nampak menjadi gelisah".
Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi
ia bertanya "Kenapa?"
"Darimana aku tahu?" Mahisa Semu justru bertanya.
"Kenapa kau justru bertanya" Bukankah kau y ang
mengatakannya bahwa kakang Mahisa Murti nampak gelisah".
"Memang akulah yang mengatakannya bahwa kakang"
Mahisa Murti gelisah. Tetapi aku tidak tahu kenapa kakang
Mahisa Murti itu menjadi gelisah," jawab Mahisa Semu.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia
berkata "Ya. Kakang Mahisa Murti menjadi gelisah. Tetapi kita
tidak tahu kenapa kakang menjadi gelisah".
Keduanyapun terdiam. Namun keduanya justru kembali
memusatkan perhatian mereka kepada permainan mereka.
Macanan. Sementara itu Mahisa Murti y ang gelisah m encoba untuk
mengisi waktunya dengan m embaca kitab y ang dipinjamnya
dari ayahnya. Mahendra m emang mempunyai beberapa kitab
yang berisi kidung y ang menarik selain kitab tentang berbagai
macam pengetahuan. Mahisa Murti m emang sempat melupakan kegelisahannya.
Tetapi ketika ia menutup kitabnya dan melangkah turun ke
halaman, ia menjadi gelisah lagi.
Mahisa Murti tidak m elihat lagi Mahisa Semu dan Mahisa
Amping dibawah pohon sawo keok. Namun ketika Mahisa
Murti pergi ke pakiwan, dilihatnya Mahisa Semu sedang
menimba air, sementara Mahisa Amping sedang mandi.
"Kita akan pergi menemui kakangmu Mahisa Pukat"
berkata Mahisa Murti. "Dimana?" bertanya keduanya hampir berbareng meskipun
Mahisa Semu ada dipinggir perigi, sedangkan Mahisa Amping
ada didalam pakiwan sedang mandi.
"Sore ini" jawab Mahisa Murti.
12 "Apakah kita akan pergi ke Kasatrian?" bertanya Mahisa
Semu. "Ya. Kita akan pergi ke Kasatrian" jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping yang sedang mandi itupun segera
menyelesaikannya. Ketika kemudian Mahisa Semu m asuk ke
pakiwan, maka Mahisa Ampinglah yang ganti menimba air
untuk mengisi jambangan. Sore itu setelah Mahisa Murti mandi dan berbenah diri
maka merekapun minta diri kepada Mahendra untuk pergi ke
Ka satrian menemui Mahisa Pukat.
"Mudah-mudahan ia mempunyai waktu" desis Mahisa
Murti. "Tentu " jawab Mahendra "jika para bangsawan muda itu
sedang mempelajari ilmu pengetahuan dan kesusasteraan,
maka Mahisa Pukat m empunyai waktu luang. Tetapi kadangkadang
ia m elakukan tugasny a sebagai Pemimpin Kelompok
Pelay an Dalam". Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Sebaiknya
aku melihatnya ke Kasatrian. Bukankah aku tidak dianggap
menganggu oleh Pangeran Kuda Pratama."
"Tidak. Kecuali jika kau berada di Kasatrian setiap saat."
jawab Mahendra. Kemudian bersama Mahisa Semu dan Mahisa Ampmg
mereka telah pergi ke Kasatrian untuk menemui Mahisa
Pukat. Ternyata bahwa mereka telah diterima baik oleh para
Pelay an Dalam yang bertugas karena sebagian dari mereka
sudah mengetahui, bahwa Mahisa Murti adalah saudara
kandung Mahisa Pukat, salah seorang pemimpin kelompok
Pelay an Dalam di Kasatrian itu. Apalagi merekapun
mengetahui bahwa Mahisa Murtipun pernah diterima dengan
baik pula oleh Pangeran Kuda Pratama sendiri.
Mahisa Pukatpun kemudian telah keluar dari sanggar untuk
menemui mereka. "Apakah kau sedang sibuk?" bertanya Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tersenyum. Katanya "Bukankah memang
sudah pekerjaanku" Aku sedang berada disanggar dengan
beberapa orang bangsawan muda. Mereka sedang berlatih".
"Apakah mereka kau tinggalkan tanpa pembimbing?"
bertanya Mahisa Murti. "Aku justru ingin mengajak kau serta Semu dan Amping
untuk melihat-lihat sanggar di Kasatrian ini." berkata Mahisa
Pukat kemudian. "Menarik sekali" tiba -tibaMahisa Amping menyahut "aku
ingin melihat sanggar itu".
"Marilah " ajak mahisa Pukat.
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping itupun
kemudian telah diajak Mahisa Pukat kedalam sanggar di
Ka satrian. Demikian mereka masuk, maka Mahisa Amping
dan Mahisa Semupun menjadi terheran -heran. Bahkan
Mahisa Murtipun menjadi kagum pula.
Sanggar itu adalah sebuah bangunan yang cukup besar
dengan kelengkapan yang sangat m emadai. Semua peralatan
latihan disediakan secukupnya. Hampir segala jenis senjata
tersedia. Tidak hanya satu dua, tetapi beberapa untuk setiap
jenis. Di salah satu bagian dari sanggar itu terdapat alat-alat
untuk membentuk dan menguasai tubuh.
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat berdiri termangu-mangu
memandangi ruang yang sangat luas dengan peralatan yang
sebagian belum pernah dilihatnya.
Didalam sanggar itu terdapat beberapa orang bangsawan
muda yang sedang berlatih. Mereka adalah sebagian kecil dari
anak-anak muda di Kasatrian y ang sedang mempelajari salah
satu unsur khusus dari ilmu yang diberikan oleh Mahisa
Pukat. Mahisa Pukat sedang menuntun anak-anak muda itu
mempergunakan salah satu bagian tubuhnya y ang penting.
Bahkan jika benar -benar dikuasainya, tidak kalah
berbahayanya dari ujung-ujung senjata yang sangat runcing
sekalipun. Kepada anak-anak muda itu Mahisa Pukat sedang
memahami watak dan sifat jari. Kelima jari tangan dan jarijari
kaki. Mahisa Semu dan Mahisa Amping yang m elihat alat-alat
khusus yang berhubungan deng;a jari itupun menganggukangguk
diluar sadarnya. Meskipun mereka sudah mendapat
tuntunan dan penjelasan serupa, tetapi mereka tidak memiliki
alat-alat sebagaimana tersedia di banjar itu.
"Duduklah" Mahisa Pukat mempersilahkan saudarasaudaranya
itu untuk duduk disebuah dingklik kayu panjang
disebelah pintu y ang tertutup.
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Ampingpun duduk
didingklik panjang itu. Sementara itu Mahisa Pukatpun
berkata "Aku akan melanjutkan latihan anak-anak muda itu".
Mahisa Murti mengangguk sambil terseny um. Katanya
"Satu pengalaman y ang baik bagi Mahisa Semu dan Mahisa
Amping. Kesempatan menyaksikan latihan-latihan di sanggar
ini akan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi
mereka ". Sementara itu bangsawan-bangsawan m uda y ang melihat
kehadiran ketiga orang itu termangu-mangu pula. Mahisa


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pukatlah yang kemudian memperkenalkan mereka kepada
para bangsawan muda itu. Bangsawan yang sebay a dengan
Mahisa Semu. Sedangkan dua diantara mereka sebaya dengan
Mahisa Amping. "Mereka adalah saudara-saudaraku " berkata Mahisa Pukat
kepada para bangsawan muda itu "biarlah mereka mendapat
kesempatan menyaksikan kalian berlatih di sanggar ini.
Sanggar yang terlalu lengkap bagi saudara-saudaraku itu".
Bangsawan-bangsawan muda itu memang m emperhatikan
orang-orang yang disebut saudara-saudara Mahisa Pukat itu.
Kedua orang remaja diantara mereka sempat mengangguk dan
tersenyum ketika mereka saling memandang dengan Mahisa
Amping. Sedang Mahisa Ampingpun dengan tergesa -gesa
mengangguk hormat pula. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahisa Pukat telah
membawa para bangsawan muda itu untuk mulai berlatih.
Mereka mempergunakan beberapa peralatan y ang ada
disanggar itu, sehingga latihan-latihan itu berjalan dengan
sangat baik dimata Mahisa Semu dan Mahisa Am ping.
Bahkan kemudian, anak-anak muda itu telah melakukan
latihan-latihan bersama untuk mengetrapkan kemampuan
mereka menguasai beberapa macam unsur gerak y ang telah
mereka kuasai. Sekali-sekali Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat
berdecak kagum. Sekali-sekali mereka mengangguk-angguk.
Bahkan diluar sadarnya kadang-kadang Mahisa Amping telah
bangkit berdiri. Mahisa Murti sengaja m embiarkannya. Namun kemudian
Mahisa Ampingpun telah duduk kembali dengan sendirinya
pula sebagaimana ia berdiri.
Mahisa Semulah yang kemudian bertanya ketika Mahisa
Amping bangkit berdiri "Kau mau apa?"
Mahisa Amping berpaling. Namun kemudian iapun
tersenyum sambil duduk. Katanya "Jika saja di padepokan ada
sanggar seperti ini".
"Jika ada sanggar seperti ini, kau mau apa?" bertanya
Mahisa Semu kemudian. Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Tetapi ia justru
ganti bertanya "Apakah kau tidak ingin memiliki sanggar
seperti ini di padepokan"
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Karena ia sudah
lebih besar dari Mahisa Amping, maka Mahisa Semu dapat
berpikir lebih panjang dan melihat kenyataan yang
dihadapinya sehari-hari. Karena itu, maka Mahisa Semu
itupun berkata "Kau tidak u sah bermimpi selagi kau tidak
tidur Amping". "Apakah aku bermimpi?" bertanya Mahisa Amping.
"Ya. Bermimpi tentang sebuah banjar sebesar, seluas dan
selengkap ini di Padepokan Bajra Seta." jawab Mahisa Semu.
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
menjadi diam. Ia tidak lagi setiap kali bangkit berdiri dengan
wajah y ang berseri-seri melihat latihan-latihan yang
mendebarkan dari para bangsawan muda itu.
Sementara itu, latihan-latihan itu terus berlangsung. Anakanak
muda itu berlatih dengan ber sungguh-sungguh.
Namun akhirnya, Mahisa Pukat mengakhiri latihan-latihan
itu. Kemudian ia mempersilahkan bangsawan-bangsawan
muda itu untuk beristirahat sejenak, untuk kemudian mandi
dan berbenah diri. Di malam hari mereka masih harus belajar
ilmu pengetahuan y ang lain dari guru yang lain pula.
Ketika para bangsawan itu sudah m eninggalkan ruapgan,
maka Mahisa Pukat memberi kesempatan kepada Mahisa
Semu dan Mahisa Amping untuk mencoba peralatan yang ada
di barak itu. Ternyata keduanya melakukan dengan senang hati. Apalagi
Mahisa Amping. Mereka telah melihat dan mencoba
bermacam-macam alat y ang ada di sanggar itu. Bahkan
merekapun mencoba pula menggenggam berbagai macam
senjata di tangan. Sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping melihat-lihat,
maka Mahisa Murti y ang duduk di amben panjang dipinggir
sanggar itu berkata seakan-akan begitu saja meluncur dari
bibirnya tanpa dibebani perasaan apapun "Mahisa Pukat, aku
tadi bertemu dengan Sasi".
"Sasi" Dimana?" bertanya Mahisa Pukat.
"Aku sedang berjalan-jalan dengan Mahisa Semu dan
Mahisa Amping. Di jalan y ang menuju ke pasar kami bertemu
dengan Sasi yang agaknya baru pulang dari pasar. Katanya,
ibunya tidak dapat berbelanja. Karena itu, maka Sasilah yang
pergi ke pasar untuk berbelanja".
"O, sudah beberapa waktu aku tidak mengunjunginya."
desis Mahisa Pukat. "Sasi minta aku singgah. Tetapi hari sudah agak siang. Sasi
tentu akan sibuk didapur".
Mahisa Pukat menganggukangguk.
Katanya "Sasi memang
senang berada di dapur. Ibunya
memang mengajarinya seperti itu".
"Bukankah itu bagus?" desis
Mahisa Murti. Mahisa Pukat menganggukangguk
kecil. Sementara itu Mahisa Murtipun berkata selanjutnya "Kapan kau akan
berkunjung" Aku akan ikut
bersamamu. Ra sanya tidak enak
untuk tidak singgah barang
sejenak, justru setelah aku
bertemu dengan gadis itu di jalan.
Dengan demikian ia mengetahui bahwa aku ada di sini".
Mahisa Pukat m engangguk-angguk. Nampaknya ia sedang
memperhitungkan kesempatan untuk dapat mengunjungi
Sasi. "Baiklah" berkata Mahisa Pukat "besok kita akan pergi ke
rumah Sasi". Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Jika
demikian, aku besok tidak membawa Mahisa Semu dan
Mahisa Amping keluar. Bukankah maksudmu besok sore?"
"Ya. Besok sore aku akan berusaha untuk dapat
meninggalkan tugasku barang sebentar".
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Itulah sebenarnya
kepentingannya datang mengunjungi Mahisa Pukat. Namun
sementara ia m enyampaikan maksudnya, maka Mahisa Semu
dan Mahisa Amping sempat melihat sebuah sanggar milik
istana Singasari y ang disediakan bagi para bangsawan muda.
Tetapi sanggar itu bukan satu-satunya sanggar. Mahisa
Pukat menceritakan bahwa masih ada lagi satu sanggar di
Ka satrian. Lebih besar, lebih luas dan lebih lengkap dari
sanggar itu. Sanggar yang diperuntukkan bagi para bangsawan
yang sudah dewasa penuh. Bahkan mereka yang sudah
berkeluargapun masih juga mempergunakan sanggar itu.
Mahisa Semu dan mahisa Pukat sebenarnya ingin juga
melihat sanggar itu. Tetapi Mahisa Pukat berkata "Aku tidak
bertugas di Ka satrian disisi kanan. Ka satrian bagi para
bangsawan y ang sudah dewasa penuh yang berada di bawah
bimbingan guru y ang lain. Meskipun mereka masih juga
berada di Kasatrian, tetapi seakan-akan terdapat batas
diantara kedua Ka satrian itu."
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat memang agak menjadi
kecewa. Tetapi bahwa m ereka mendapat kesempatan melihat
sanggar di Kasatrian itu, sudah merupakan satu kesempatan
yang sangat berharga. Demikianlah setelah beberapa saat lamanya mereka berada
di Kasatrian, maka Mahisa Murtipun segera minta diri. Di luar
langit telah menjadi semakin suram, sementara lampu di
sanggar pun telah dinyalakan oleh para pelay an.
Diperjalanan pulang, Mahisa Am ping tidak putus-putusnya
bercerita tentang sanggar yang sangat lengkap itu. Bahkan
katanya kemudian "Sepekan aku disini, maka ilmuku tentu
sudah meningkat". "Sepekan disini ilmumu akan meningkat meskipun kau
tidak diperkenankan masuk ke sanggar itu?" bertanya Mahisa
Semu. Mahisa Amping mengerutkan dahinya. Tetapi iapun
kemudian terdiam. Tetapi dikepalanya, sanggar itu masih saja
tetap membayanginya. Sebenarnya Mahisa Semu juga masih membayangkan
sanggar y ang sangat lengkap itu. Tetapi ia sudah dapat
memutar penalarannya, bahwa sanggar itu hanya dapat
dilihatnya saja. Ia tidak akan mungkin dapat mempergunakan
kelengkapan sanggar di Kasatrian itu.
Ketika mereka kemudian sampai dirumah Mahendra, maka
mereka bertigapun sempat berbincang-bincang tentang
sanggar itu. Bahkan Mahendra ikut pula berbicara bersama
mereka. Demikian Mahisa Amping m enceriterakan kekagumannya
mengenai sanggar itu, Mahendrapun kemudian bertanya
"Apakah sebenarnya y ang kau kagumi" Tentu karena jenis
peralatannya yang bagus, baru dan jumlahnya cukup banyak".
"Nah" berkata Mahendra pula "kemudian kau harus menilai
kegunaannya. Apakah untuk berlatih dan memahami salah
satu unsur gerak harus dipergunakan peralatan yang bagus
buatannya, mahal harganya dan dalam jumlah yang banyak"
Bukankah palang kayu di sanggar Kasatrian itu gunanya tidak
lebih daripada palang bambu wulung yang ada disanggarmu"
Bahkan palang bambu disanggarmu itu mempunyai kelebihan.
Bambu wulung itu lebih lentur dari kayu yang dipergunakan di
sanggar Kasatrian. Dengan demikian maka untuk melatih
keseimbangan, palang bambumu tentu lebih baik. Tetapi
sudah tentu ujudnya palang bambu wulungmu tidak sebaik
palang kayu itu. Juga bandul tarik disanggarmu y ang tidak
lebih dari batu-batu hitam y ang diikat dengan tambang.
Sementara di Kasatrian itu dipergunakan bandul-bandul besi
yang terikat dengan rantai. Tetapi tambang ijuk itu akan
memberikan kekuatan tersendiri pada kulit telapak
tanganmu". Mahisa Amping mendengarkan keterangan Mahendra itu
dengan bersungguh-sungguh. Demikian pula Mahisa Semu.
Ternyata keduanya memahami keterangan itu. Betapapun
jauh perbedaan yang nampak antara Sanggar di Padepokan
Bajra Seta dan sanggar di Kasatrian itu, namun kegunaannya
tentu tidak akan terlalu jauh berbeda.
Dalam pada itu Mahendra masih memberikan beberapa
contoh dan petunjuk, sehingga akhirnya Mahisa Semu dan
Mahisa Amping tidak perlu merasa bahwa sanggarnya jauh
lebih buruk dari sanggar y ang ada di kasatrian.
"Apa y ang dapat dilakukan di Ka satrian itu dapat pula
dilakukan di sanggar kalian di Padepokan. Yang tidak ada
disanggar kalian, dapat kalian ketemukan di alam terbuka. Di
lereng -lereng bukit dan di hutan-hutan perdu atau pada
saatnya kalian akan mencoba menyusupi hutan-hutan lebat."
Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk
pula. Sementara itu Mahisa Murtipun ikut mendengarkan
keterangan ayahnya itu. Nampaknya kedua orang yang
diakunya sebagai adiknya itu dapat mengerti maksud ay ahnya.
Sementara itu Mahendrapun berkata "Kakakmu Mahisa
Pukat ternyata juga tidak mempercayakan latihan-latihan bagi
bangsawan muda itu sekedar dilakukan disanggar. Mahisa
Pukat setiap kali juga m embawa murid-muridnya keluar dari
istana pergi kebukit-bukit kecil untuk melakukan latihanlatihan
khusus. Udara terbuka, panas matahari dan angin yang
bertiup, tentu memberikan kelebihan tersendiri bagi m ereka.
Seandainya latihan-latihan itu hanya dilakukan disanggar saja,
maka panas matahari akan dapat menjadi musuh utama.
Demikian pula udara dingin, angin kencang dan debu".
Mahisa Semu dan Mahisa Amping mengangguk-angguk.
Mereka tahu bahwa tubuh seseorang y ang kurang m endapat
sinar matahari akan menjadi kurang t egar. Jika seseorang
yang demikian terlibat dalam pertempuran di siang hari
dibawah panasny a matahari, maka keringatnya akan cepat
terperas habis sebagaimana tenaganya. Bahkan y ang mungkin
akan membunuhnya bukan lawannya, tetapi panas matahari
itu sendiri. Keterangan y ang diberikan oleh Mahendra itu telah
membesarkan hati anak-anak muda itu. Mereka tidak lagi
merasa bahwa keterbatasan yang ada disanggar padepokan
Bajra Seta akan membuat mereka tidak dapat maju pesat
sebagaimana para bangsawan muda y ang ada di Kasatrian.
Dengan demikian, maka setelah mereka makan malam dan
beristirahat sejenak, Mahisa Semu dan Mahisa Amping mulai
berbicara diantara mereka berdua. Mereka mulai membuat
perbandingan-perbandingan antara peralatan y ang ada di
sanggar di Kasatrian dengan alat-alat yang ada di sanggar
padepokan Bajra Seta. Ternyata bahwa apa y ang ada di Ka satrian ada pula di
sanggar mereka. Meskipun ujudnya lebih sederhana bahkan
agak lain ujudnya, namun kegunaannya dapat dianggap sama.
Dengan demikian maka apa y ang dapat dilakukan oleh para
bangsawan muda di sanggar mereka, dapat pula mereka
lakukan di sanggar mereka di Padepokan Bajra Seta.
Dengan kesimpulan itu, maka ketika keduanya
membaringkan diri dipembaringan, merekapun segera dapat
tidur ny enyak. Namun Mahisa Murtilah y ang masih berbincang untuk
waktu yang cukup lama dengan ayahnya. Mahisa Murti juga
membicarakan kelebihan peralatan yang ada di sanggar di
Ka satrian itu. "Nampaknya Mahisa Pukat menjadi semakin jauh dari
Pa depokan Bajra Seta " berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Sudahlah
Mahisa Murti. Aku kira kau sendiri mampu membina dan
mengembangkan Padepokan Bajra Seta. Memang kepergian
Mahisa Pukat m erupakan satu persoalan tersendiri bagimu.
Namun per soalan itu tentu akan dapat kau atasi. Kau, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping y ang dimasa datang akan dapat
membantumu. Bahkan Wantilan y ang meskipun
perkembangan ilmu termasuk lam bat justru karena ia
terlambat mulai setelah diketahui bahwa seseorang sengaja
memutar balikkan susunan pengetahuannya tentang olah
kanuragan, tetapi ia dapat membantumu mengatur


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pa depokanmu". Mahisa Murti mengangguk-angguk. Dari sor ot matanya,
ada sesuatu y ang ingin dikatakannya. Tetapi Mahisa Murti
hanya menarik nafas saja dalam-dalam.
Tetapi Mahendra yang sudah mengendap itu agaknya
tanggap akan maksud Mahisa Murti. Karena itu meskipun
Mahisa Murti tidak mengatakan sesuatu, namun Mahendra
itupun berkata "Murti. Memang tidak dapat diperbandingkan,
membina Padepokan Bara Seta dengan tugas-tugas di
Ka satrian. Di Kasatrian, kebutuhan apapun telah disediakan.
Kebutuhan peralatan untuk latihan. Kebutuhan bahan-bahan
yang akan mendukung latihan-latihan di Sanggar maupun di
alam terbuka. Sedangkan di Padepokan segala sesuatunya
sangat terbatas. Tetapi usaha untuk mengatasi keterbatasan
itupun merupakan satu ketrampilan tersendiri. Meskipun para
bangsawan sekalipun, mereka tidak akan selalu terpenuhi
setiap kebutuhannya. Dalam keadaan yang sempit, maka para
bangsawan tidak terbiasa untuk memecahkannya dan
mengatasinya. Karena itu seperti y ang aku katakan kepada
Mahisa Semu dan Mahisa Amping, Padepokan Bajra Seta tidak
akan lebih buruk hasilny a daripada Ka satrian Singasari.
Apalagi keduanya dia suh oleh orang yang memiliki tataran
yang sama pula". Mahisa Murti m engangguk-angguk. Namun bahwa Mahisa
Pukat tidak akan kembali lagi ke Padepokan itu adalah
persoalan pribadi y ang sulit untuk dikesampingkan. Ra sarasanya
Padepokan memang menjadi sepi. Sementara itu luka
dihati Mahisa Murti masih sering terasa ny erinya. Apalagi
ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Sasi.
Namun seperti y ang pernah dijanjikannya didalam hati,
bahwa ia tidak akan terjerembab jatuh karena persoalan yang
membebani perasaannya itu.
Ketika kemudian Mahisa Murti berbaring
dipembaringannya, maka angan-angannya masih dibelit oleh
kegelisahannya itu. Namun akhirnya Mahisa Murti itupun tertidur pula.
Dihari berikutnya Mahisa Murti masih sempat membawa
Mahisa Semu dan Mahisa Amping berjalan-jalan. Namun di
sor e hari, betapapun beratnya, Mahisa Murti tidak dapat
mengelak lagi. Bersama Mahisa Pukat ia pergi kerumah Sasi.
Seperti pesan Sasi, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping
telah diajaknya pula Betapa Mahisa Murti berusaha menguasai perasaannya.
Tidak seorangpun boleh mengetahuinya, bahwa
perjumpaannya dengan Sasi itu telah membuat lukanya ny eri
kembali. Hanya karena kesiapan jiwaninya y ang membaja,
maka Mahisa Murti dapat mengatasiny a.
Tetapi saat-saat y ang tidak terlalu lama itu merupakan saatsaat
yang menyiksanya. Ternyata Sasi, Mahisa Pukat, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping sama sekali tidak m elihat kesan apapun pada Mahisa
Murti. Ketika Arya Kuda Cemani ikut menemuinya, maka
sikap Mahisa Murtipun nampak wajar-wajar saja.
Ketika kunjungan itu sudah terhitung lama, maka
merekapun telah m inta diri. Mahisa Amping m asih sempat
mereguk minuman yang dihidangkan baginya sampai tetes
yang terakhir. Namun Mahisa Murti telah minta diri pula, bahwa mungkin
ia tidak akan sempat berkunjung lagi sampai saatnya ia
kembali ke Padepokan Bajra Seta.
"Apa saja y ang kau lakukan disini sehingga kau tidak
sempat lagi singgah ?" bertanya Sasi.
Pertanyaan itu memang sulit untuk dijawab. Tetapi iapun
menjawab "Aku masih harus melihat-lihat peralatan pertanian
yang ada dipasar. Aku harus mendapatkan beberapa jeni s alat
yang terbaik y ang dapat aku pergunakan di Padepokan Bajra
Seta". Sasi mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata
"Meskipun demikian, jika mungkin kau harus singgah lagi
kakang". Mahisa Murti terseny um. Katanya "Aku tinggal satu atau
dua hari saja berada di Kotaraja. Aku sudah m elampaui batas
yang aku janjikan kepada orang-orang padepokanku. Ketika
aku berangkat, aku berjanji bahwa perjalananku ke Singasari
tidak akan lebih dari lima hari termasuk perjalanan berangkat
dan kembali. Tetapi aku sudah lima hari berada disini ".
"Ah, bukankah kau tidak mesti setahun sekali berkunjung
Si Pisau Terbang Pulang 1 Legenda Bunga Persik Tao Hua Zhuan Qi Seri 6 Pendekar Harum Karya Gu Long Geger Topeng Sang Pendekar 2
^