Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 29

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 29


ke Kotaraja ?" bertanya Sasi.
"Tentu lebih dari itu. Aku sering berkunjung ke Kotaraja."
jawab Mahisa Murti. "Jika kau datang ke Kotaraja, kau memang harus singgah"
minta Sasi. Mahisa Pukat mengangguk-angguk sambil menjawab "Ya,
ya Sasi. Aku tentu akan selalu singgah kemari".
Mahisa Murti meninggalkan rumah Sasi dengan barutbarut
merah dibibir luka hatinya yang sudah m ulai kering.
Tetapi seperti sebelumnya, secara jiwani, Mahisa Murti
memang mempunyai ketahanan yang sangat tinggi.
Berempat mereka meninggalkan rumah Arya Kuda Cemani.
Sasi mengantar mereka sampai keregol halaman. Dilepa snya
tamu-tamunya sampai hilang dikelok jalan.
Mahisa Pukat sempat singgah sebentar dirumah ayahnya.
Namun kemudian iapun kembali ke Kasatrian, tetnpat ia
bertugas. "Besok aku akan menghadap Pangeran Kuda Pratama"
berkata Mahisa Murti ketika Mahisa Pukat minta diri.
"Apakah kau sudah akan kembali ke Padepokan?"
"Ya." jawab Mahisa Murti.
"Begitu tergesa -gesa" Apakah seluruh sudut Kotaraja telah
dilihat oleh Mahisa Semu dan Mahisa Amping?" bertanya
Mahisa Pukat. "Belum. Tetapi aku sudah terlalu lama pergi. Kau tahu
bahwa aku hanya minta diri untuk lima hari termasuk
perjalanannya. Sedangkan aku sudah lebih dari lima hari
berada di sini." jawab Mahisa Murti.
Mahisa Murti m engangguk-angguk. Katanya "Biarlah. Aku
akan menyampaikannya kepada Pangeran Kuda Pratama".
"Terima kasih" sahut Mahisa Murti.'
Sepeninggal Mahisa Pukat, m aka Mahisa Murtipun masih
berbincang cukup panjang dengan ayahnya. Sementara itu Mahisa Semu dan Mahisa Pukat duduk di serambi depan
sambil bermain macanan. Bahkan setelah mereka makan m alampun m ereka masih
sa ja berbincang-bincang, sementara Mahisa Semu dan Mahisa
Amping y ang sudah letih bermain-main telah pergi ke
pembaringan. Dikeesokan harinya Mahisa Murti, Mahisa Semu . dan
Mahisa Amping telah menghadap Pangeran Kuda Pratama
untuk mohon diri, karena dihari berikutnya pagi-pagi benar
mereka akan kembali ke Padepokan Bajra Seta.
Pangeran Kuda Pratama telah m engucapkan terima kasih
atas kunjungan Mahisa Murti ke Kasatrian. Dengan nada
kebapakan Pangeran Kuda Pratama itu b erkata "Aku berdoa,
semoga padepokan Bajra Seta akan berkembang sesuai dengan
harapanmu. Jika Mahisa Pukat ada disini, bukan berarti
bahwa ia harus t erpisah dari Padepokan itu. Tetapi kelak akan
nampak, bahwa Padepokan Bajra Seta adalah saudara
kandung dari perkembangan ilmu di Kasatrian Singasari".
Pa da kesempatan itu, Mahisa Murti telah m inta diri pula
kepada para bangsawan muda y ang menjadi murid Mahisa
Pukat di Kasatrian itu. Bahkan Mahisa Murtipun sempat
minta diri pula kepada mPu Sidikara yang akan menjadi
kawan bertugas dengan Mahisa Pukat di Ka satrian.
"Besok pagi-pagi sekali aku ada di rumah" berkata Mahisa
Pukat kemudian ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan
Mahisa Amping meninggalkan Kasatrian.
Demikianlah, maka hari itu adalah hari terakhir bagi
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Amping berada di
Kotaraja. Karena itu, maka mereka meny empatkan diri untuk
pergi ke pasar m embeli beberapa jeni s alat-alat y ang belum
mereka miliki di Padepokan.
Mereka m embeli beberapa jenis peralatan pertanian y ang
dapat mereka contoh pembuatannya untuk dapat
dikembangkan di Padepokan Bajra Seta dan di padukuhanpadukuhan
di sekitarnya. Di sore hari, m ereka bertiga sengaja tidak pergi ke m anamana.
Mereka justru berbenah diri karena esok pagi-pagi
sekali mereka akan meninggalkan Kotaraja.
Dimalam hari, Mahisa Murtipun tidak berbincang sampai
larut m alam dengan ay ahnya. Ketika m alam m emasuki masa
sepi uwong, maka Mahisa Murtipun telah berada
dipembaringan, sementara Mahisa Semu dan Mahisa Amping
telah tidur dengan ny enyak.
Pagi-pagi benar dihari berikutnya, mereka telah siap.
Pembantu di rumah Mahendra telah meny iapkan m inuman
dan makan pagi yang hangat. Sebelum Mahisa Murti, Mahisa
Semu dan Mahisa Amping meninggalkan rumah Mahendra di
belakang Istana Singasari, maka kepada mereka telah
dihidangkan makan pagi. Ternyata Mahisa Pukat memenuhi janjinya. Ia memang
datang ke rumah ayahnya untuk melepas keberangkatan
saudara-saudaranya kembali ke padepokan Bajra Seta.
Ketika kemudian langit menjadi semakin terang, maka
Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa Ampingpun telah
minta diri kepada Mahendra dan Mahisa Pukat. Mumpung
masih pagi, maka mereka telah berangkat menuju ke
Pa depokan Bajra Seta. Mahendra masih memberikan beberapa pesan kepada
Mahisa Murti agar ia berusaha dengan sungguh-sungguh
untuk membina dan m engembangkan padepokan yang telah
dibangunnya. Tetapi iapun masih juga berbisik "Tetapi kau tidak boleh
tenggelam tanpa memenuhi kelengkapan kemanusiaanmu.
Maksudku, kau adalah seorang laki -laki wajar yang
sepantasnya mempunyai sisihan".
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu ayahnya
bermaksud baik. Ayahnya tidak ingin melihat ia berlarut-larut
hanyut dalam arus perasaannya yang terluka.
Sejenak kemudian maka ketiga orang itupun telah berpacu
di jalan-jalan kota. Mereka m emang tidak memacu kudanya
terlalu cepat. Apalagi menjelang fajar jalan-jalan mulai terisi
oleh orang-orang yang pergi ke pasar.
Baru ketika mereka berada diluar gerbang kota, maka
mereka mempercepat derap kuda mereka, meskipun masih
harus !etap berhati-hati karena jalan-jalan pun mulai dialiri
oleh orang-orang yang membawa barang-barang dagangannya
kepasar pula. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang segar. Matahari
mulai membayangi langit dengan cahayanya y ang merah
kekuning-kuningan. Anginpun mulai mengusik dedaunan.
Mahisa Amping seperti biasanya berada di paling depan.
Kudanya berlari2 gembira sebagaimana penunggangnya.
Dibelakangnya Mahisa Semu dan
Mahisa Murti mengikutinya saja
seberapa cepat Mahisa Amping
melarikan kudanya. Ternyata perjalanan mereka
tidak menemui hambatan. Mereka berkuda sampai matahari
memanjat tinggi. Cahayanya
mulai terasa panas dikulit,
sehingga keringatpun mulai
membasah. Ketika terik matahari bagaikan
membakar kulit, maka merekapun sempat beristirahat
disebuah kedai. Bukan saja penunggang penunggannya yang
sempat beristirahat serta minum dan makan, tetapi demikian
pula kuda-kuda mereka. Setelah puas mereka makan dan minum, maka mereka pun
segera melanjutkan perjalanan mereka.
Memang tidak ada gangguan diperjalanan. Sementara itu,
orang-orang di Padepokan Bajra Seta sudah menanti
kedatangan mereka. Mahisa Murti yang meninggalkan
Pa depokan itu hanya untuk lima hari termasuk perjalanan,
ternyata telah m elampaui waktu y ang direncanakan sehingga
Wantilan y ang bertugas di Padepokan menjadi gelisah. Apalagi
karena Wantilan yang telah pernah ikut dalam pengembaraan
yang dilakukan oleh Mahisa Murti dan Mahiga Pukat. Banyak
persoalan y ang dapat timbul disepanjang jalan. Demikian pula
persoalan akan dapat timbul di perjalanan mereka ke atau dari
Singasari. Karena itu ketika Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping sampai di Padepokan, maka merekapun telah
disambut dengan gembira. Namun dalam pada itu, demikian mereka berada di
Pa depokan, Mahisa Amping langsung menuju ke sanggar.
Seakah-akan anak itu ingin melihat, apakah sanggar itu masih
ada ditempatnya. Demikian pula alat-alat yang ada
didalamnya. Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam, demikian ia
berdiri dipintu sanggar. Dipandanginya ruang y ang tidak
terlalu besar, alat -alat yang sederhana dan bahan-bahan yang
seadanya y ang ada disanggar itu.
Selagi Mahisa Amping merenung, maka Mahisa Semu telah
berdiri di belakangnya sambil bertanya "Apakah kau sedang
memperbandingkan sanggar kita dengan sanggar di
Ka satrian?" "Ya " jawab Mahisa Amping "tetapi aku tidak lagi bermimpi
untuk memiliki sanggar seperti itu".
"Kenapa?" bertanya Mahisa Semu.
"Aku telah memiliki apa yang ada di sanggar Kasatrian itu.
Karena itu, maka aku tidak lagi memerlukan sanggar yang
lain." jawab Mahisa Amping.
Mahisa Semu tersenyum. Katanya, "Ya, kita sudah memiliki
segala-galanya. Seperti y ang dikatakan oleh Ki Mahendra, apa
yang ada di sanggar ini dan apayang ada di sanggar Kasatrian,
mempunyai kelebihannya masing -masing".
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Iapun kemudian
melangkah menyusup disela -sela alat-alat yang ada di sanggar
itu. Bahkan kemudian Mahisa Amping telah meloncat dan
berdiri diatas palang bambu wulung y ang meny ilang ditengahtengah
sanggar. Dengan tangkasnya anak itu berloncatan
dalam keseimbangan y ang sangat baik.
"Kau tidak kalah tangkas dari bangsawan-bangsawan muda
di Kasatrian itu" berkata Mahisa Semu. Lalu katanya "Apalagi
jika palang yang kau pergunakan itu palang kayu yang sama
sekali tidak lentur. Kau tentu akan nampak semakin tangkas
lagi". "Ah, tentu tidak. Tetapi bagaimanapun juga, kita disini
mempunyai kesempatan y ang sama dengan mereka yang ada
di Kasatrian" jawab Mahisa Amping.
"Bagus" Mahisa Murtilah y ang menjawab sambil
melangkah masuk diikuti oleh Wantilan "perbedaan alat-alat
yang kita pergunakan dan di pergunakan di Kasatrian tidak
dapat dipergunakan sebagai alasan untuk menganggap wajar
jika kalian tertinggal oleh saudara-saudaramu di Kasatrian?"
"Apakah mereka juga saudara-saudara kita?" bertanya
Mahisa Amping. "Ya. Setidak-tidaknya saudara y ang bersama-sama
menyadap ilmu dari sumber y ang sama " jawab Mahisa Murti.
Mahisa Amping mengangguk-angguk. Katanya "Ya kakang.
Aku akan berusaha sebaik-baiknya, bahwa aku tidak akan
tertinggal oleh saudara-saudara kita di Kasatrian. Apalagi
dengan alasan bahwa alat-alat serta sanggar kita kurang
memadai dibandingkan dengan sanggar yang ada di Kasatrian
itu". Mahisa Murti menepuk bahu Mahisa Amping sambil
berkata "Bagus. Tetapi kau tidak perlu berlatih sekarang juga.
Kau perlu beristirahat. Bukankah kita masih mempunyai
banyak waktu?" Mahisa Amping mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak
menjawab. Namun sejenak kemudian, maka m erekapun telah keluar
dari sanggar, sementara sambil ter senyum Mahisa Murti
menceriterakan kepada Wantilan bahwa Mahisa Amping
sempat melihat -lihat sebuah sanggar yang sangat lengkap
dengan peralatan yang bagus sekali di Ka satrian Singasari.
"Tentu saja " desis Wantilan "sanggar itu sanggar istana."
"Tetapi ternyata bahwa kegunaannya tidak berbeda dengan
alat-alat y ang kita punyai disini " berkata Mahisa Murti seakanakan
bergumam bagi diri sendiri.
Wantilan Mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, apa yang telah dilihat di Singasari telah
mendorong Mahisa Amping untuk berlatih dengan sungguhsungguh.
Dengan mempergunakan alat yang ada di dalam
sanggarnya, maka Mahisa Amping berusaha untuk membuat
dirinya tidak kalah dari para bangsawan muda y ang berlatih di
sanggar y ang lengkap di Kasatrian Singasari.
Bahkan Mahisa Amping tidak saja semakin tekun berlatih
di sanggar, tetapi juga diluar sanggar. Seperti dikatakan oleh
Mahendra, maka kekurangan peralatan yang ada di sanggar
dapat dilengkapinya dengan peralatan y ang ada di alam
terbuka. Itulah sebabnya Mahisa Amping m emanfaatkan bebatuan
yang berserakan di sungai. Begitu pula pasir ditepian. Mahisa
Amping yang mempergunakan tepian berpasir untuk berlatih,
maka rasa-rasanya ada yang memberati kakinya, sehingga
dengan demikian maka beban itu akan menambah
kekuatannya. Mahisa Semu y ang semula memperhatikan dor ongan
kemauan Mahisa Amping untuk b erlatih lebih keras, ternyata
iapun telah melakukannya pula diluar sadarnya. Sehingga
karena itu, maka kedua orang itupun telah bekerja lebih keras
dari saat-saat sebelumnya.
Mahisa Murti yang mengasuh mereka melihat kegiatan
yang meningkat dari keduanya tanpa diperintahkannya.
Karena itu, y ang dilakukan oleh Mahisa Murti adalah sekedar
mengarahkannya. Namun demikian, Mahisa Murti itu selalu
hadir jika Mahisa Semu dan Mahisa Amping melakukan
latihan-latihan ditempat y ang berbahaya, karena keduanya
sering berada dilereng-lereng pebukitan yang meskipun tidak
terlalu tinggi, tetapi terjal.
Bahkan sebagaimana pernah dilakukannya, m aka Mahisa
Semu dan Mahisa Amping semakin memperhatikan tingkah
laku binatang-binatang liar.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Apalagi ketika Mahisa Murti justru mendor ong mereka
untuk melakukan hal itu. Pada kesempatan-kesempatan
tertentu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping sempat
melihat sekelompok kera yang ada dipinggir hutan y ang lebat.
Merekapun memperhatikan bagaimana seekor ular merunduk
mangsanya. Dengan kagum mereka melihat seekor tikus tanah
dengan cerdik membelakangi seekor ular y ang akan
menyergapnya dengan menaburkan tanah berpasir dengan
kaki belakangnya kearah mata ular itu, sehingga tikus itu
terlepas dari maut. Tetapi kadang-kadang dengan hati y ang ny eri keduanya
menyaksikan seekor kelinci y ang tidak mampu
menyelamatkan diri dari terkaman seekor burung elang yang
buas. Elang y ang terbang berputaran, namun yang tiba-tiba
sa ja menukik menyambar mangsanya dengan kuku -kunya
yang tajam. Tetapi pada kesempatan lain, mereka melihat seekor elang
yang harus melarikan diri karena merasa tidak mampu
melawan seekor burung srigunting y ang lebih kecil. Tetapi
ternyata burung srigunting itu mampu bergerak dengan lincah
dan tangkasnya.Burung srigunting itu dapat meny erang seekor
elang yang bergerak lam ban menurut ukuran kecepatan gerak
seekor burung srigunting, dari segala arah.
Dengan memperhatikan tingkah laku binatang-binatang
liar itu, maka Mahisa Semu dan Mahisa Amping akan dapat
memperkaya unsur-unsur gerak yang telah dimilikiny a dengan
warna-warna baru tanpa meninggalkan watak dan sifat
pokoknya. Kebiasaan itu ternyata kadang-kadang telah membawa
Mahisa Semu dan Mahisa Pukat menempuh jarak y ang cukup
jauh dari padepokannya. Mahisa Murti yang tidak melepaskan
tanggung jawabnya, kadang-kadang telah mengikut mereka
pula. Meskipun demikian Mahisa Murti tidak membiarkan
mereka melupakan waktu -waktu latihan mereka di sanggar.
Namun adalah diluar pengetahuan mereka, bahwa seorang
pengembara ternyata menaruh perhatian terhadap Mahisa
Amping. Dengan wajah y ang nampak bersungguh-sungguh, orang
itu berusaha untuk selalu mengamati Mahisa Amping yang
sering berlatih diluar sanggar. Hampir setiap hari orang itu
duduk tidak terlalu jauh dari pintu gerbang sanggar
Pa depokan Bajra Seta. Jika Mahisa Semu dan Mahisa Amping
keluar dari pintu gerbang, maka tanpa setahu keduanya, orang
itu telah m engikutinya kemana saja keduanya pergi. Bahkan
ketika keduanya keluar bersama Mahisa Murtipun orang itu
selalu mengikutinya. Adalah satu hal y ang sangat sulit dimengerti, jika orang itu
mampu melepaskan diri dari tangkapan indera Mahisa Murti,
bahwa orang itu selalu mengikutinya.
Orang y ang sudah m enjelang hari -hari tuanya itu tertarik
sekali melihat ketangkasan Mahisa Amping serta perhatiannya
yang bersungguh-sungguh terhadap binatang-binatang liar.
Mahisa Murti, meskipun pernah melihat orang itu, tetapi
ternyata orang itu luput dari perhatiannya. Justru karena
orang itu pada ujud lahiriahnya adalah seorang tua y ang cacad
tubuh. Tangannya tidak lengkap sebagaimana tangan orang
kebanyakan. Jari-jari disebelah tangannya tidak lengkap.
Kecelakaan y ang menimpanya dimasa ia masih kanak-kanak
telah meny ebabkan ampat jarinya patah. Sementara itu,
wajahnyapun nampak keras dan kasar. Beberapa gores luka
nampak dikening dan pipiny a. Bahkan juga didahinya.
Namun justru karena itu, maka orang itu nampak seorang
yang menggetarkan jantung mereka y ang baru untuk pertama
kali menyaksikannya. Dengan telaten orang itu mengamati Mahisa Semu dan
Mahisa Amping. Namun ketajaman penglihatan batinnya,
mengatakan kepadanya bahwa anak muda y ang sering
mengikuti keduanya adalah anak muda y ang berilmu sangat
tinggi. Ternyata orang itu berniat menunggu satu kesempatan
kedua orang anak itu keluar dari Padepokan Bajra Seta tanpa
anak muda y ang berilmu tinggi itu.
Setelah menunggu beberapa lama, maka pada satu hari,
orang itu melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping hanya
berdua saja keluar dari Padepokan. Di pintu gerbang Mahisa
Murti berpesan, agar mereka tidak terlalu lama pergi.
"Sebelum makan siang, kalian harus sudah berada di
padepokan lagi" berkata Mahisa Murti.
"Ya, kakang. Kami tidak akan terlalu lama. Kami akan pergi
ke sungai," jawab Mahisa Semu.
Namun demikian mereka berjalan meninggalkan
Pa depokan, m aka orang y ang selalu m emperhatikannya dari
kejauhan itupun mengikutinya pula.
Mahisa Semu dan Mahisa Amping memang pergi ke sungai.
Keduanya, seperti biasanya melakukan latihan khusus.
Mdreka berlatih diatas sebongkah batu hitam y ang licin.
Dengan kemampuan mereka menjaga keseimbangan maka
mereka dengan tangkasnya berlatih saling meny erang dan
bertahan. Mahisa Semu y ang lebih besar dan m emiliki bekal
yang lebih banyak, berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
kemampuan Mahisa Amping. Dari kejauhan sepa sang mata memang memperhatikan
kedua orang y ang sedang berlatih itu. Seorang remaja yang
sudah menjelang dewasa dengan seorang y ang memang masih
remaja. "Luar biasa " desis orang itu "anak itu memang luar biasa. Ia
memiliki bekal yg sangat berharga untuk masa depannya
sebagai seorang y ang m endalami olah kanuragan. Yang lebih
besar itupun m emiliki kelebihan dari y ang lain. Tetapi aku
hanya memerlukan satu orang saja".
Perlahan-lahan orang itu mendekat. Wajahnya yang keras
dan kasar, serta diwarnai dengan goresan -goresan bekas luka,
nampak bersungguh-sungguh.
"Aku harus mendapatkannya. Ia akan dapat menjadi
tempat untuk menuangkan ilmuku. Hari -hariku semakin
sempit karena umurku yang merambat semakin tua. " gumam
orang itu. Untuk beberapa saat orang itu duduk di atas tanggul sambil
melihat Mahisa Semu dan Mahisa Amping berlatih diatas
sebongkah batu. Mereka berloncatan dengan cepat. Mereka
melontarkan serangan-serangan dan menghindar. Namun
kaki mereka seakan-akan dapat melekat pada batu hitam yang
licin itu. Orang yang ada diatas tanggul itu memperhatikan Mahisa
Semu dan Mahisa Amping y ang masih saja berlatih. Jika
sekali-sekali serangan salah seorang diantara mereka
mendorong lawannya, maka salah seorang diantara mereka
telah terjatuh kedalam air. Namun dengan tangkasnya mereka
segera bangkit dan meloncat kembali keatas batu itu.
Demikianlah terjadi beberapa kali. Meskipun salah seorang
diantara mereka y ang terdorong oleh serangan itu merasa
kesakitan, namun ada juga kegembiraannya jika yang terkena
serangan itu terjatuh ke dalam air. Tubuhnya merasa segar
sehingga ketika ia sudah berdiri lagi diatas batu itu, maka
segera latihan itu telah berlangsung pula.
Orang y ang meiiyaksikan latihan itu dari atas tanggul
kadang-kadang menjadi tegang. Tetapi kadang-kadang ia
tertawa. Namun ketika Mahisa Amping jatuh kedalam air,
namun dengan cepat ia bangkit dan mengibaskan air
ditubuhnya, selanjutnya dengan cepat pula meloncat naik
keatas batu, maka orang itu tidak dapat menahan diri. Sambil
bertepuk ia berkata "Bagus, bagus sekali".
Mahisa Semu dan Mahisa Ampingpun terkejut. Latihan
itupun dengan serta merta telah terhenti. Mahisa Semu dan
Mahisa Pukat segera berpaling dan memandang keatas
tanggul. Merekapun segera melihat, diatas tanggul ada seorang y ang
cacat tubuh, berwajah keras dan kasar, serta terdapat
beberapa gores luka di wajah itu.
Mahisa Semu dan Mahisa Amping menjadi berdebar-debar
melihat sorot mata orang itu yang bagaikan sor ot mata kucing
yang melihat dua ekor tikus kecil.
Sebelum Mahisa Semu dan Mahisa Amping menyadari
sepenuhnya apa yang terjadi, maka orang itupun telah
meluncur turun dari atas tebing.
Mahisa Semu dan Mahisa Amping m encium gelagat y ang
kurang baik. Karena itu, maka merekapun segera
mempersiapkan diri. "Bagus sekali anak-anak " berkata orang itu "aku kagum atas
ketangkasan kalian. Aku kira anak-anak seumur kalian tidak
ada y ang mampu menandingi kalian dalam olah kanuragan".
Mahisa Semu mengangguk hormat sambil berkata "Terima
kasih. Tetapi apa y ang kami lakukan sama sekali tidak berarti".
"Tentu tidak " berkata orang itu "kalian memiliki landasan
ilmu yang mapan. Tetapi lebih dari itu, didalam diri kalian
memang ter simpan kemungkinan untuk melakukannya. Pada
dasarnya tubuh kalian, bentuknya maupun ukurannya, adalah
tubuh pilihan. Selain itu, bakat yang kalian miliki jarang sekali
tersimpan didalam diri orang lain. Karena itu, perpaduan
antara bentuk tubuh, perbandingan ukurannya, kekuatan
dasar serta bakat yang tersimpan, benar-benar hampir
sempurna.
Mahisa Semu melihat keadaan Mahisa Amping itu.
Jantungnya bagaikan berhenti berdenyut. Diluar sadarnya ia
meloncat hendak m enolongnya. Namun Mahisa Semu tidak
tahu apa y ang terjadi atas dirinya, ketika tiba-tiba saja Mahisa
Semu telah terlempar jatuh pula.
Tetapi Mahisa Semu masih dapat bangkit dengan cepat.
Sementara itu Mahisa Am ping masih saja menggeliat-geliat di
dalam air. Meskipun airnya tidak terlalu dalam, tetapi dalam
keadaan y ang demikian maka Mahisa Amping akan dapat
miTtnm air sungai itu terlalu banyak. Hal itu akan dapat
membahayakan jiwanya. Tetapi ketika Mahisa Semu akan meloncat mendekati
Mahisa Amping lagi, orang itu menggeram "Jika kau mencoba
lagi, m aka aku tidak akan menolongnya. Ia akan mati karena
perutnya penuh dengan air sungai ini".
Mahisa Semu memang membatalkan niatnya. Dengan
cemas ia berkata "Tolong anak itu. Angkat ia dari dalam air.
"Ia sendiri meloncat menyuruk kedalam air itu " jawab
orang y ang berwajah keras itu.
"Tetapi ia tidak berniat membunuh diri " Mahisa Semu
hampir berteriak. Orang itupun berpaling ke arah Mahisa Amping y ang
menjadi semakin lemah. Namun orang berwajah keras itupun
kemudian telah merunduk sambil berkata "Jangan dekati
aku". Mahisa Semu memang tidak berani mendekati orang itu, karena
dengan demikian ia akan dapat
mengancam hidup Mahisa Amping.
Karena itu, Mahisa Semu hanya dapat
memandangi orang itu dengan
jantung yang berdebaran. Sebenarnyalah orang itu m emang
menolong Mahisa Amping. Diletakkannya Mahisa Amping
menelungkup diatas batu. Kemudian
dengan memijit punggungnya, m aka
airpun keluar dari mulut anak itu.
"Anak ini minum terlalu banyak" berkata orang itu "ini
adalah salahmu karena kau mengganggu saat aku akan
menolongnya". "Tetapi kau harus menyerahkan anak itu kepadaku" berkata
Mahisa Semu. "Sekali lagi aku katakan, bahwa anak ini akan aku bawa.
Aku ingin menjadikannya muridku. Tidak seorangpun yang
dapat mencegahnya" berkata orang itu.
"Tetapi kau tidak dapat membawanya begitu saja " berkata
Mahisa Semu "kau harus bertemu lebih dahulu dengan kakang
Mahisa Murti di Padepokan.
"Itu tidak perlu" b erkata orang itu "kau dapat mengatakan
kepada kakakmu y ang kau sebut bernama Mahisa Murti itu."
"Apakah kau takut bertemu dengan kakakku itu?" bertanya
Mahisa Semu. Tetapi orang itu tertawa. Katanya "Kau memang cerdik.
Kau ingin mengungkit harga diriku agar aku mau bertemu
dengan kakakmu itu. Tetapi aku m emang tidak merasa perlu
menemuinya. Pada kesempatan lain, setelah aku m enyimpan
anak y ang memiliki bekal yang hampir sempurna ini, aku
memang akan menemui kakakmu. Jika perlu, maka aku akan
membuat perhitungan. Jika kakakmu tetap tidak mau me
ngerti, mungkin aku akan membunuhnya, meskipun ia
berilmu sangat tinggi".
Mahisa Semu memang tidak mempunyai cara lain.
Sementara itu orang itu berkata lagi "Sudahlah. Ikhlaskan
adikmu itu. Tetapi ketahuilah, bahwa kau sendiri memang
memiliki kelebihan y ang jarang ada duanya. Tetapi sayang
bahwa aku hanya ingin mempunyai seorang murid saja".
Orang itu tidak berkata lebih lanjut. Tetapi iapun kemudian
berjalan menepi dan kemudian naik ketepian berpasir.
Mahisa Semu yang mengikutinya tidak meny ia-ny iakan
kesempatan itu. Demikian orang itu tidak lagi berada dialiran
sungai, maka Mahisa Semupun segera menyerangnya.
Tetapi serangannya memang tidak ada artinya. Justru
Mahisa Semu itulah yang terlempar dan jatuh di pasir tepian.
Untunglah bahwa pasir tepian itu telah membantunya
sehingga tulang punggungnya tidak patah karenanya.
Mahisa Semu menggeram. Ia tidak tahu apa y ang sebaiknya
dilakukan. Namun untuk beberapa saat lamanya ia mengikuti
sa ja orang y ang membawa Mahisa Amping itu naik keatas
tanggul. "Jangan ikuti aku" berkata orang itu "jika kau berkeras
kepala, maka aku akan dapat menjadi marah".
"Aku tidak rela kau membawa adikku " Mahisa Semu
berteriak. Tetapi orang itu berkata "Adikmu masih sangat
lemah. Ia masih pingsan. Jangan membuat adikmu ju stru
mati". Mahisa Semu benar-benar kebingungan. Tetapi ia masih


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa ja mengikuti orang itu.
Ternyata bahwa orang itu memang menjadi marah. Katanya
" Ingat anak muda, Jika kau tidak mau mendengarkan katakataku,
maka aku akan menjadi sangat marah. Dan kau harus
tahu, bahwa dalam kemarahan itu, aku akan dapat membunuh
seseorang diluar sadarku. Karena itu m enjauhlah dan jangan
ikuti aku. Bahkan mungkin aku akan dapat membunuh kau
dan adikmu bersama-sama".
Mahisa Semu benar-benar m enjadi kebingungan. Ia tidak
tahu apa y ang harus dilakukan.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara
tertawa berkepanjangan. Seseorang tiba-tiba saja muncul dari
balik pohon perdu. Seorang yang berjanggut putih. Namun
yang tubuhnya masih nampak segar dan perkasa.
"Orang yang berwajah keras itu terkejut melihat
kedatangan orang berjanggut putih itu. Dengan nada bergetar
ia bertanya " Untuk apa kakang berada di sini?"
"Sambega, aku memang menyusulmu. Ketika aku tahu kau
tidak ada di rumahmu, maka aku berusaha untuk
menemukanmu." jawab orang berjanggut putih itu.
"Untuk apa kakang Widigda. Kenapa kakang mencari aku"
Bukankah aku bukan momongan kakang" Aku bukan pula bay i
yang kakang lepaskan dipinggir jurang sehingga kakang harus
mencari aku jika aku tidak kelihatan sehari dua hari?"
"Memang Sambega. Kau bukan momonganku. Tetapi kau
adalah adikku. Adik seperguruanku. Karena itu, maka aku
merasa berkepentingan jika kau tidak nampak di rumah.
Apalagi dalam waktu akhir-akhir ini." jawab orang
berjanggung putih yang disebut Widigda itu.
"Sebaiknya kakang tinggalkan aku sendiri, Biarlah aku
pulang sendiri pada saatnya. Aku tahu apa yang akan aku
lakukan". "Tidak Sambega. Kau tidak tahu apa yang harus kau
lakukan. Aku sudah mengira. Dan ternyata aku memang
menemukan kau sedang melakukan apa yang tidak kau
ketahui itu". "Kakang Widigda tidak usah mencampuri persoalanku.
Kakang Widigda memang kakak seperguruanku. Tetapi
kakang tidak dapat mencampuri persoalanku sampai
kepersoalan pribadi yang paling dalam." berkata Sambega
"Tidak Sambega. Guru pernah berpesan kepadaku, bahwa
kita harus saling membantu. Saling mengingatkan jika seorang
diantara kita lupa. Saling menunjukkan kesalahan jika kita
melakukan kesalahan itu. Kita harus saling berkata benar,
bukan saling membenarkan meskipun kita melakukan
kesalahan," jawab Widigda.
"Apa maksud kakang, aku telah melakukan kesalahan itu?"
bertanya Sambega. "Menurut penglihatanku, kau memang telah melakukan
kesalahan itu. Kau tidak boleh menganggu anak-anak yang
sedang bermain itu." jawab Widigda.
"Aku tidak m engganggu mereka. Aku justru berniat baik.
Aku ingin membuat anak ini menjadi seorang y ang pilih
tanding. Seorang yang tidak ada duanya di Singasari ini".
"Aku puji niatmu. Tetapi apakah caramu itu sudah benar?"
bertanya Widigda. "Kakang. Aku memang tidak begitu menghiraukan cara
yang aku tempuh. Tetapi karena niatku baik, maka apa yang
aku lakukan inipun baik. Hasilnyapun akan menjadi baik buat
aku dan buat anak ini." jawab Sambega.
"Tetapi apakah itu baik buat kakak-kakaknya?" bertanya
Widigda. Sambega memandang Widigda dengan tajamnya. Namun
kemudian katanya "Kakang, kenapa kakang selalu
menghalangi aku jika aku mempuyai keinginan yang
sebenarnya sangat bersifat pribadi" Kakang juga mencegah
ketika aku ingin mengawini anak mPu Kuda Taler Waja.
Sekarang kakang menghalangi aku mengambil anak yang
menurut penilaianku memiliki bekal hampir sempurna ini".
"Sambega" berkata Widigda "jika kau tempuh jalan wajar,
maka aku tidak akan pernah menghalangimu, apapun yang
akan kau lakukan" Tetapi kau sering m elakukan satu kerja
yang merugikan orang lain. Gadis mPu Kuda Taler Waja
adalah seorang gadis yang saat itu sudah dipertunangkan
dengan seseorang dan bahkan hampir sampai pada saat
upacara perkawinan. Tiba-tiba kau, y ang sudah terhitung tua,
datang untuk mengambilnya. Belum lagi jika kau bercermin
dipermukaan air bagaimana ujudmu itu. Maaf, bukan
maksudku untuk menunjuk cacatmu. Tetapi sebaiknya kau
tahu diri. Dengan demikian maka kau tidak akan m elakukan
sesuatu yang dapat merugikan orang lain".
"Kakang. Ketika kakang mencegah aku mengambil gadis
itu, aku dapat mengerti. Aku menurut nasehat kakang. Tetapi
kakang jangan mencegah aku lagi. Aku memerlukannya.
Kakang tahu bahwa aku tidak mempunyai lagi anak yang
dapat m enyambung bukan saja namaku, tetapi juga m ewarisi
ilmuku. Jika aku tidak mempunyai seorang istri lagi, maka ini
adalah cara y ang dapat aku tempuh untuk m endapat seorang
anak". "Tidak Sambega. Anak itu tentu ada orang tuanya setidak -
tidaknya walinya. Kau tidak dapat mengambilnya begitu saja "
berkata Widigda. Wajah Sambega menjadi tegang. Sementara itu Widigda
berkata "Sambega. Kau tahu bahwa kau tidak akan dapat
memaksakan kehendakmu itu jika aku melarangmu"
Sambega termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Baik kakang. Aku akan m enemui orangtuanya atau
walinya atau gurunya atau siapapun y ang b ertanggung jawab
atas anak itu. Aku akan m engatakan kepadanya, bahwa anak
itu akan aku ambil. Aku akan m enukardengan apasaja yang
dikehendakinya" "Jika orang itu tidak memberikannya?" bertanya Widigda
"Aku akan menawarkan kepadanya, apakah ia akan
mempertahankannya " jawab Sambega.
"Bagus" merekapun terkejut mendengar suara itu Ketika
mereka berpaling, mereka melihat Mahisa Murti berdiri di
sebelah sebatang pohon y ang tumbuh diantara gerumbul
perdu, "anak itu adalah adikku. Aku akan
mempertahankannya dengan cara apapun y ang kau
kehendaki. Meskipun aku tahu, cara yang paling buruk yang
kau tempuh itu adalah cara yang sama dengan cara yang
dipergunakan oleh seorang perampok untuk mendapatkan apa
yang dikehendakinya ".
tSambega menjadi merah. Diletakannya Mahisa Amping
sambil m enggeram "Kau ternyata seorang laki -laki sejati. Aku
senang mendengar kesediaanmu untuk mempertaruhkan
kemampuanmu mempertahankan adikmu".
"Untuk mencegah niatmu, aku m emang tidak m empunyai
cara lain." jawab Mahisa Murti.
"Tetapi sebelumnya aku ingin memberikan sedikit
keterangan kepadamu, kenapa aku menginginkan adikmu"
"Aku sudah mendengar Ki Sanak " jawab Mahisa Murti "kau
memerlukan seseorang untuk mewarisi ilmumu. Tetapi kau
sudah diperingatkan oleh saudara seperguruanmu sendiri,
bahwa cara y ang kau tempuh itu adalah keliru".
"Ki Sanak" jawab Sambega "aku memang tidak dapat
menempuh jalan lain. Jika aku datang kepadamu dan m inta
agar kau memberikan adikmu tentuakau berkeberatan.
Sementara itu, aku sangat memerlukannya".
"Apakah tidak ada orang lain dibawah hamparan langit
yang demikian luasny a itu selain adikku?" bertanya Mahisa
Murti. "Adikmu adalah seorang anak y ang memiliki bekal y ang
hampir sempurna. Sebenarnyalah aku belum pernah b ertemu
dengan seorang anak yang memiliki bekal seperti anak ini."
jawab Sambega. "Apakah jika demikian kau merasa berhak untuk
mengambilnya ?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu menunduk dalam-dalam. Sementara Widigda
berkata "Sudahlah Sanbega. Marilah kita pulang. Aku akan
membantumu mendapatkan seorang anak y ang akan dapat
menjadi pewaris dari namamu dan ilmumu".
Sambega terduduk diatas seonggok batu padas. Sementara
Mahisa Murti melangkah mendekati Mahisa Amping yang
mulai menggeliat bangkit. Demikian pula Mahisa Semu. Iapun
segera berlari mendekati adiknya.
Untuk beberapa saat Mahisa Amping memang
kebingungan. Namun ketika dilihatnya Mahisa Murti dan
Mahisa Semu, maka iapun langsung bangkit berdiri.
Ketika Mahisa Amping berpaling kearah Sambega y ang
duduk diatas batu-batu padas, maka dilihatnya erang itu
mengusap matanya yang basah.
"Sudahlah" berkata Widigda "kau adalah seorang laki-laki
yang berilmu tinggi. Kau juga mempunyai kesiapan jiwani
yang tinggi. Karena itu tidak pantas jika kau menangis seperti
kanak-kanak". Orang itu masih saja tertunduk dalam-dalam. Sementara
Mahisa Murti menjadi heran melihat keadaan Sambega itu.
"Apa yang sebenarnya terjadi ?" bertanya Mahisa Murti.
Widigdapun kemudian duduk pula diatas batu padas.
Katanya kepada Mahisa Murti "Du duklah anak muda".
Mahisa Murti tidak menolak. Ia melihat kesungguhan pada
mata orang y ang bernama Widigda itu. Menurut
pembicaraannya dengan Sambega sebelumnya, iapun
berpendapat, bahwa Widigda adalah seorang yang baik.
"Anak muda" berkata Wididga "akulah y ang minta m aaf
kepadamu atas tingkah laku adikku".
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Katanya "Jika ia
mengurungkan niatnya, maka aku memaafkannya, Ki Sanak".
"Aku harap ia memang mengurungkan niatnya" jawab
Widigda. "Tetapi apakah y ang sebenarnya terjadi atas Ki Sanak itu ?"
bertanya Mahisa Murti. Namun kemudian dengan tergesagesa
ia berkata "Tentu hal ini bukan urusanku. Tetapi karena
persoalannya menyinggung adikku, maka mungkin ada
baiknya aku mengetahuinya. Itupun jika yang berkepentingan
tidak berkeberatan".
Widigda menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Baiklah
anak muda. Aku kira adikku tidak berkeberatan. Ia m emang
perlu menjelaskan, kenapa ia telah berbuat demikian".
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil, sementara
Widigda berkata selanjutnya "Anak muda. Adikku yang sudah
lewat separo baya itu pada suatu hari memang mengalami
peristiwa yang tidak akan pernah dilupakannya. Rumahnya
didatangi oleh ampat orang y ang berilmu tinggi yang
mendendamnya karena beberapa tahun yang lalu pernah
dikalahkan oleh adikku dalam perang tanding. Adikku
memang tidak sampai hati m embunuhnya m eskipun perang
tanding itu disepakati bahwa seorang diantara m ereka harus
mati. Tetapi hal itu ternyata telah membawa ekor yang
panjang," orang itu berhenti sejenak. Lalu katanya" Perang
tanding itu sendiri disebabkan karena persoalan yang
sebenarnya sudah lama terjadi. Orang y ang mendendam
terhadap adikku itu adalah saudara seperguruan kami sendiri.
Tetapi persoalan anak perempuan guru kami telah membuat
hubungan mereka menjadi retak. Dan bahkan saling
bermusuhan. Ternyata Sambegalah yang mendapat
kehormatan, diterima baik oleh guru maupun oleh anak
gadisny a." suara Widigda itupun tertahan. Namun kemudian
ia memaksa diri untuk berceritera lebih lanjut "bahwa
Sambega tidak membunuh lawannya berperang tanding itu
telah mengundang bencana. Orang itu justru datang dengan
tiga orang kawannya. Mereka menghancurkan rumah
Sambega. Melukai Sambega sehingga wajahnya menjadi cacat.
Isterinya y ang setia dan anaknya satu-satunya terbunuh".
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Namun Widigda.
masih berkata selanjutnya "Tetapi bukan cacat tangannya.
Cacat tangannya dideritanya sejak kanak-kanak. Namun cacat
yang lain didapatnya saat ia bertahan terhadap keempat orang
berilmu tinggi itu".
Mahisa Murti m engangguk-angguk kecil diluar sadarnya.
Ketika ia berpaling kepada orang yang cacat itu, m aka sekali
lagi ia melihat orang itu mengusap matanya.
"Peri stiwa itu telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan
Sambega y ang pada saat itu juga sudah disangka mati. Namun
ternyata bahwa ia masih dapat bertahan hidup. Aku meny esal
bahwa aku terlambat datang. Meskipun demikian aku sempat
mengobati luka-luka Sambega. Bukan saja luka pada kulit dan
dagingnya, atau tulang-tulangnya. Tetapi juga bagian dalam
tubuhnya". Orang itu terdiam pula. Wajahnya juga nampak menjadi
muram. Namun tiba -tiba saja ia berkata "Pada dasarnya
Sambega bukan orang y ang berwatak buruk. Ia kehilangan
isteri dan anaknya satu-satunya. Itulah sebabnya, maka ia
sangat merindukan seorang anak y ang akan dapat
menyambung namanya dan mewarisi ilmunya. Goncangan
perasaan yang pernah dialaminya kadang-kadang telah
membuatnya kehilangan keseimbangan dan melakukan
tindakan yang tidak seharusny a sebagaimana baru saja
dilakukan". Mahisa Murti masih saja mengangguk-angguk kecil.
Sementara itu Widigda masih berceritera selanjutnya "Bahkan
ia juga pernah berniat mengambil seorang gadis yang sudah
dekat dengan hari perkawinannya. Ia tiba-tiba saja menjadi
sangat rindu kepada isterinya yang terbunuh bersama
anaknya. Adalah kebetulan bahwa wajah gadis itu sangat mirip
dengan isterinya". Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Bahkan iapun
kemudian berdesis "Aku minta maaf Ki Sanak. Aku tidak tahu
latar belakang kehidupan Ki Sambega. Yang aku lihat hanyalah
ujud lahiriahnya saja. Keras, kasar dan cacat-cacat diwajahnya
dan bahkan jari-jari tangannya. Aku mengira bahwa Ki
Sambega adalah seorang penjahat yang sudah terlalu sering
mengalami benturan kekerasan sehingga wajahnya menjadi
cacat sebagaimana tubuhnya".
"Kau tidak bersalah anak muda" jawab Widigda "bahkan
aku merasa sangat hormat akan sikapmu. Demikian besar
perlindungan yang kau berikan terhadap adik-adikmu
sehingga tanpa menghitung akibat yang dapat terjadi".
"Bukankah itu sudah menjadi kewajibanku" Aku adalah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saudara y ang tertua. Bukankah aku bertanggung jawab
terhadap keselamatan adik-adikku?" sahut Mahisa Murti.
"Baiklah Ki Sanak" berkata Widigda "kami serahkan
kembali adikmu dalam keadaan selamat".
"Terima kasih. Aku m inta maaf, bahwa dalam hal ini aku
tidak dapat membantu Ki Sambega" sahut Mahisa Murti.
Namun kemudian katanya "Tetapi jika Ki Sanak berdua
berkenan, aku ingin mempersilahkan Ki Sanak untuk singgah
di Padepokan kami. Padepokan Bajra Seta".
Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Yang
kemudian menjawab adalah Widigda " aiklah Ki Sanak. Kami
mengucapkan terima kasih bahwa kami diijinkan untuk
singgah di Padepokan Ki Sanak".
Demikianlah, maka merekapun segera meninggalkan
tempat itu. Mahisa Amping memang m asih nampak lemah.
Tetapi ia dapat b erjalan sendiri m eskipun harus dipapah oleh
Mahisa Semu. Ketika mereka sampai di padepokan, maka beberapa orang
cantrik terkejut melihat keadaan Mahisa Amping. Wantilan
yang tergesa -gesa mendekatinya bertanya dengan serta merta"
Mahisa Semu. Kau apakan adikmu " Apakah kau tidak dapat
menahan diri selama kau berlatih dengan adikmu?"
"Tidak, paman. Bukan aku" jawab Mahisa Semu.
"Jadi kenapa dengan adikmu itu ?" desak Wantilan.
Mahisa Semu memandang Mahisa Murti dengan ragu.
Namun Mahisa Murti yang tanggap itupun tersenyum.
Katanya " Salah Amping sendiri. Ia kurang berhati-hati
bermain diatas bebatuan sungai".
Wantilan m engerutkan dahinya. Tetapi ia m elihat Mahisa
Semu dan Mahisa Amping masih basah kuyup. Namun
Wantilan tidak bertanya lagi.
Namun dalam pada itu, Sambega melihat betapa orangorang
Padepokan Bajra Seta menaruh perhatian y ang sangat
besar terhadap Mahisa Amping. Seandainya ia berhasil
membawa anak itu pergi, maka seisi Padepokan akan merasa
kehilangan. Semuanya akan merasa bersedih.
"Untunglah aku tidak berhasil membawanya pergi.
Seandainya aku memaksa membawa anak itu, maka aku telah
membuat seluruh isi padepokan ini bersedih. Atau mungkin
mereka akan disebar untuk mencari dan memburu orang yang
telah membawanya, sehingga hidupnya akan menjadi semakin
tidak tenang". Ju stru karena Mahisa Amping telah berada
dilingkungannya kembali, maka rasa-rasanya hati Sambega
menjadi damai. Tidak ada beban yang harus dipikulnya lagi.
Di Padepokan, Sambega dan Widigda mendapat perlakuan
yang sangat baik. Mahisa Murti, Mahisa Semu dan Mahisa
Amping tidak m engatakan kepada siapapun, apa yang sudah
dilakukan oleh Sambega. Kepada Mahisa Semu dan Mahisa
Amping telah dipesan oleh Mahisa Murti, bahwa selama
Sambega dan Widigda masih berada di Padepokan, sebaiknya
mereka tidak meny ebut lagi apa yang pernah mereka lakukan
atas Mahisa Amping itu. Namun dalam pada itu, dalam satu kesempatan Widigda
sempat bertanya "Anak muda, jika angger tidak berkeberatan,
aku ingin bertanya, apakah ada hubungannya antara
Pa depokan Bajra Seta ini dengan jalur ilmu Bajra Geni?"
"Mahisa Murti memang agak terkejut mendengar
pertanyaan itu. Dengan nada rendah ia bertanya "Ki Widigda,
darimana Ki Widigda dapat menduga demikian?"
"Hanya sekedar dugaan ngger. Ket ika aku sempat melihat
kedua adikmu berlatih sebelum Sambega mengganggunya, aku
melihat unsur-unsur ilmu betapapun samarnya dari ilmu
Bajra Geni". "Pada kedua anak-anak itu?" Mahisa Murti menegaskan.
"Ya, pada kedua orang anak itu " jawab Widigda.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Dengan raguragu
ia berkata "Nampaknya Ki Widigda m emahami benarbenar
ilmu Bajra Geni atau da sar-dasar landasan ilmu Bajra
Geni". "Kau benar anak muda. Yang aku m aksud adalah dasardasar
landasan ilmu Bajra Geni" jawab Widigda.
"Landasan ilmuku memang dasar-dasar landasan ilmu
Bajra Geni meskipun barangkali masih belum matang. Kedua
adikku itu belajar padaku, sehingga dasar-dasar landasan ilmu
itu telah diwarisinya pula." jawab Mahisa Murti.
Ki Widigda tersenyum. Katanya "Kedua anak itu memiliki
dasar"dasara landasan ilmu yang sangat kokoh. Dengan
mengamati keduanya, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa
orang y ang telah mengajari mereka dalam olah kanuragan,
adalah seorang y ang berilmu sangat tinggi."
Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Ki Widigda terlalu
memuji. Sebenarnyalah bahwa aku masih sedang berusaha
untuk meningkatkan dan mematangkan ilmuku, agar dapat
menempatkan diri pada tataran orang-orang berilmu.
Meskipun barangkali pada tataran y ang paling rendah".
"Kau memang seorang anak muda yang rendah hati"
berkata Widigda "tetapi dengan demikian m aka aku m enjadi
semakin y akin akan kemampuanmu" Widigda
berhenti sejenak, lalu katanya
kemudian "Sebenarnyalah aku
mengenal orang-orang berilmu
tinggi dari belahan ilmu Bajra
Geni. Guruku mengenal seorang yang berilmu sangat
tinggi. Namanya Witantra.
Meskipun Witantra masih lebih muda dari guruku, tetapi
ilmunya benar-benar tidak
tertandingi". "Paman Witantra " desis
Mahisa Murti diluar sadarnya.
"Kau tentu mengenalnya "
desis Widigda. "Ya " Mahisa Murti mengangguk-angguk "sekarang paman
Witantra sudah tidak ada lagi".
"Aku sudah mendengar. Tetapi apa hubungannya dengan
kau anak muda. Apakah Witantra itu kakek gurumu atau
siapa?" bertanya Widigda.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya
kemudian "Ayahku Mahendra adalah adik seperguruan paman
Witantra" "O" orang itu mengangguk-angguk "jadi kau anak adik
seperguruan Witantra?"
"Ya" jawab Mahisa Murti.
"Pantas, bahwa kau memiliki ilmu y ang tinggi " desis
Widigda. Lalu katanya pula "Adik seperguruan Witantra tentu
seorang y ang berilmu sangat tinggi pula".
"Tidak " jawab Mahisa Murti "ayahku bukan seorang y ang
berilmu tinggi sebagaimana paman Witantra. Apalagi aku dan
adik-adikku". Widigda mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada
Sambega, maka dilihatnya Sambega selalu menundukkan
wajahnya saja. "Sambega" berkata Widigda "kau tidak perlu murung. Anak
muda ini berdiri di jalur perguruan y ang sudah kita kenal.
Guru kita mengenal Witantra juga Mahendra. Karena itu,
maka kita tidak berada di tempat orang asing".
Sambega mengangguk kecil. Katanya "Justru aku berada
disini, aku merasa sangat malu".
"Tidak. Semuanya sudah dilupakan." berkata Widigda.
Namun Sambega masih saja merasa rendah diri atas
tingkah lakunya. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa Mahisa
Murti adalah anak Mahendra yang dikenal oleh gurunya.
Bahkan gurunya merasa kagum akan ilmu yang dimiliki oleh
Witantra dan Mahendra saat itu sepeninggal Kebo Ijo, yang
dibunuh oleh ketamakannya sendiri.
Sementara itu Mahisa Murti berusaha untuk mengalihkan
pembicaraan. Karena itu, maka iapun telah bertanya "Ki
Sanak. Jika demikian, apakah guru Ki Sanak itu masih ada?"
"Tidak. Guruku lebih tua dari Witantra. Ia telah m eninggal
lebih dahulu. Sebagaimana kau lihat, kami muridmuridnyapun
sudah setua ini". Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Sementara itu,
Widigdapun masih saja bertanya tentang berbagai macam
persoalan, terutama yang menyangkut Padepokan itu.
Ternyata bahwa Mahisa Murtipun bersikap lebih akrab
ketika ia mengetahui bahwa keduanya itu telah mengenal
Witantra dan juga ayahnya, setidak-tidaknya nama Mahendra.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun telah menawarkan kepada
mereka untuk tinggal lebih lama lagi di Padepokan itu.
Keduanya memang tidak menolak. Widigda dan Sambega
justru merasa berterima kasih sekali, bahwa mereka mendapat
kesempatan untuk tinggal di Padepokan itu.
Dalam pada itu, Sambega masih saja sangat tertarik kepada
latihan-latihan y ang dilakukan oleh Mahisa Amping dan
Mahisa Semu. Hampir setiap saat Sambega selalu m enunggui
anak-anak itu berlatih. Namun agaknya Mahisa Amping sendiri m asih saja selalu
dibayangi oleh kecemasan menghadapi Sambega.
Ra sa -rasanya Sambega masih saja akan m enerkamnya dan
membawanya lari keluar Padepokan Bajra Seta.
Tetapi ketika hal itu disampaikannya kepada Mahisa Murti,
maka Mahisa Murti itupun berkata "Kau tidak perlu takut lagi
Amping. Orang itu ternyata bukan orang jahat. Tetapi
penderitaan y ang dialaminya yang telah membuatnya
kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Juga atas keinginankeinginannya
untuk menutupi kegelisahannya".
"Bagaimana jika kehilangan kendali itu terjadi lagi dengan
tiba -tiba?" bertanya Mahisa Amping.
"Saudara seperguruannya ada di sini. Ki Widigda
mempunyai pengaruh y ang cukup besar atas Ki Sambega"
jawab Mahisa Murti. Mahisa Amping mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk
mengerti. Tetapi jika didalam sanggar ia melihat sepa sang
mata Ki Sambega y ang bagaikan m enyala, m aka jantungnya
menjadi berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang ia tidak
mampu memusatkan nalar budinya dalam latihan-latihan tuu.
Tetapi lambat laun agaknya Ki Sambega sendiri dapat
mengerti perasaan anak itu. Tetapi karena ia selalu ingin
menyaksikan Mahisa Amping dan Mahisa Semu berlatih,
maka setiap kali ia minta Ki Widigda atau bahkan Mahisa
Murti sendiri menemaninya, sehingga hati Mahisa Amping
merasa tenang. Dengan demikian maka latihan-latihan y ang
dilakukannyapun menjadi lebih baik.
Dengan demikian maka rasa-rasanya Ki Sambega semakin
kerasan tinggal di padepokan itu. Rasa-rasanya ia mendapat
kesempatan untuk dapat menunggui lagi anaknya y ang pernah
hilang. Tetapi y ang tidak terduga-duga itu telah terjadi. Ternyata
saudara seperguruannya y ang pernah datang dan membunuh
isteri dan anaknya itu telah mencarinya. Bahkan akhirnya
mereka mengetahui bahwa Ki Sambega ada di Padepokan
Bajra Seta. Untuk beberapa hari lamanya, orang itu mengamati dari
kejauhan, apakah benar Ki Sambega ada di Padepokan itu.
Sebenarnyalah, bahwa pada satu hari mereka memang
melihat Ki Sambega itu berada di luar pintu gerbang
Pa depokan Bajra Seta bersama Mahisa Semu, Mahisa Amping,
Wantilan dan beberapa orang cantrik.
Mereka sedang menghirup udara yang cerah disore hari
sekaligus menerima kunjungan beberapa orang anak muda
dari padukuhan sebelah y ang sedang mempersiapkan
keramaian di padukuhan mereka. Mereka ingin
mempergelarkan kemampuan beberapa orang anak muda
padukuhan y ang serba sedikit menguasai unsur-unsur gerak
latihan dasar olah kanuragan.
"Tentu saja sekedar bermain-main" berkata anak muda
yang tertua diantara mereka. Lalu katanya "Kami ingin
mendapat beberapa petunjuk, apa y ang sebaiknya kami
lakukan untuk rencana itu. Kami tidak ingin terjadi salah
paham, seakan-akan kami dengan sengaja memamerkan
kemampuan yang baru setitik itu".
Wantilan tersenyum. Katanya "Satu rencana yang baik. Jika
kalian meny elenggarakan pergelaran itu dengan niat yang
baik, maka tentu tidak akan ada y ang menuduh kalian sekedar
meny ombongkan diri".
"Sementara itu, apa y ang sepantasnya menjadi bahan
pergelaran itupun ingin kami dapatkan dari mereka yang
memiliki kemampuan yang cukup." berkata anak muda itu.
Wantilan m engangguk-angguk. Katanya kemudian "Kalian
sudah cukup berhati-hati. Baiklah kalian bertemu langsung
dengan Mahisa Murti".
Anak muda y ang tertua diantara mereka itupun
mengangguk hormat sambil menjawab " Terima kasih atas
kesempatan itu". Kepada Mahisa Semu Wantilan berkata "Ajak mereka
menemui kakakmu jika ia tidak sedang sibuk".
Sementara mereka memasuki gerbang Padepokan Bajra
Seta, maka Sambegapun berkata "Tentu akan menjadi
tontonan yang menarik. Aku ingin melihat bagaimana anakanak
itu melaksanakan rencananya. Mungkin diantara mereka
ada anak-anak yang memiliki kelebihan dari kawankawannya".
Wantilan y ang mengetahui bahwa Ki Sambega itu
merindukan seorang anak, maka iapun mengangguk-angguk
sambil menjawab "Jika saja kau dapat menunggunya".
"Aku tidak mempunyai rencana yang harus segera aku
lakukan. Jika saja aku masih diperkenankan berada di
Pa depokan ini, maka aku akan menunggu".
"Tentu. Padepokan ini t idak mempunyai keberatan apapun
seandainya kau akan tinggal disini lebih lama lagi".
Untuk beberapa lamanya, Sambega masih berada di depan
pintu gerbang bersama Wantilan dan beberapa orang cantrik.
Namun k emudian merekapun telah masuk pula melalui regol
yang kemudian ditutup. Beberapa orang dikejauhan melihat, bahwa Sambega
benar-benar berada di Padepokan itu. Mereka telah melihat
sendiri sehingga dengan demikian m ereka tidak akan raguragu


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. "Kita akan menemui pemimpin dari Padepokan kecil ini."
berkata salah seorang dari mereka.
"Bukan sebuah padepokan kecil" berkata seorang y ang lain
"nampaknya sebuah padepokan yang besar".
"Yang besar adalah bangunan dan barak-baraknya. Tetapi
aku tidak yakin, bahwa ada seorang diantara mereka yang
berilmu tinggi. Agaknya Sambega telah dikagumi, sehingga ia
akan mempunyai pengaruh yang sangat besar di padepokan
itu." Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu saudara
seperguruan Sambega itu berkata "Aku akan memasuki
padepokan itu. Aku akan minta agar Sambega diberikan
kepadaku. Kali ini umurnya tidak akan terlepas lagi dari
tanganku". "Iblis itu termasuk licin. Ternyata ia masih dapat bertahan
hidup." berkata kawannya.
" Ia memang licik. Ia dapat berpura-pura mati." sahut adik
seperguruannya "jika saja saat itu aku tahu bahwa ia m asih
hidup. Aku tentu akan mencincangnya menjadi sayatansayatan
kecil". "Tetapi hidupnya tentu sudah tidak berarti lagi setelah
isteri dan anaknya terbunuh." guman kawannya.
"Perempuan terkutuk. Jika saja ia memilih aku untuk
menjadi isterinya, maka ia akan m enjadi seorang perempuan
yang memiliki apa saja yang ia inginkan. Tetapi karena ia
memilih menjadi isteri Sambega, maka ia mengalami nasib
buruk. Mati dalam keadaan yang tidak sepantasny a".
Kawannya tidak menyahut. Sementara itu saudara
seperguruan Sambega berkata "Besok kita m asuki padepokan
itu. Kita akan minta agar Sambega diberikan kepada kita, atau
padepokan itu akan menjadi debu. Kita bukan saja berempat
sebagaimana kita datang kerumahnya dan membunuhnya
bersama anak isterinya, m eskipun kemudian ternyata bahwa
ia luput dari maut. Sekarang kita berjumlah sepuluh orang.
Pa depokan itu akan kita hancurkan jika mereka menolak
memberikan Sambega."
Kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka merasa
sebagai orang-orang berilmu tinggi, sehingga mereka akan
mampu menaklukkan padepokan itu meskipun mereka tahu
bahwa di padepokan itu terdapat banyak para cantrik yang
tinggal. "Dengan membunuh sepuluh atau duapuluh orang, maka
yang lain tentu akan meny erah " berkata saudara seperguruan
Sambega itu. Sedangkan orang-orang itu m enganggap bahwa
membunuh sepuluh atau duapuluh orang bukanlah pekerjaan
yang sulit bagi mereka. Namun ketika malam tiba, orang -orang itu masih
menunggu. Meskipun demikian bergantian mereka mengawasi
regol padepokan itu agar Sam bega tidak sempat meninggalkan
padepokan itu. "Besok pagi-pagi aku akan memasuki padepokan itu "
berkata saudara seperguruan Sambega.
Malam itu tidak terjadi sesuatu di padepokan. Anak-anak
muda dari padukuhan sebelah telah pulang dengan bekal
petunjuk dari Mahisa Murti, apa y ang sebaiknya mereka
lakukan jika mereka ingin mempergelarkan unsur-unsur olah
kanuragan. Mahisa Murti m engingatkan kepada mereka, agar
unsur -unsur itu dipertunjukkan sebagaimana mereka
mempertunjukkan sebuah tarian.
Seperti direncanakan, maka ketika matahari mulai
memanjat naik, maka sepuluh orang y ang merasa dirinya
berilmu tinggi telah mendatangi Padepokan Bajra Seta.
Dengan sikap y ang garang, m ereka mendekati pintu gerbang
Pa depokan. Para cantrik y ang b ertugas direg ol telah m enyapa mereka
sambil mengangguk hormat. Namun saudara seperguruan
Sambega dengan kepala tengadah menjawab "He, bawa aku
kepada Sambega". Seorang cantrik y ang tertua diantara mereka y ang bertugas
mengerutkan dahinya. Ia m erasa heran m elihat sikap orangorang
itu. Para cantrik di reg ol telah menangguk hormat.
Mereka bertanya dengan baik, apakah mereka mempunyai
satu kepentingan atau ingin bertemu atau berbicara dengan
siapa. Tetapi jawaban orang itu ternyata terlalu kasar.
Meskipun demikian cantrik-cantrik itu masih menahan diri.
Yang tertua diantara mereka bertanya pula "Apa yang
sebenarnya kalian kehendaki ?"
"He, apakah kau tuli " Bawa Sambega kepadaku " bentak
orang itu dengan kasar. Cantrik yang sedang bertugas itu mulai tersinggung. Karena
itu, maka yang tertua diantara mereka menjawab "Ki Sanak. Ki
Sanak tamu di padepokan ini. Kalian tidak dapat bersikap
seperti itu". "Tutup mulutmu atau aku pilin lidahmu. Dengar, bawa
Sambega kemari. Kau tidak dapat berbohong, karena aku
melihat Sambega ada disini." bentak orang itu.
Namun cantrik y ang bertugas dan merasa bertanggung
jawab itu tidak begitu saja tunduk kepada orang itu betapapun
orang itu nampak garang, keras dan kasar.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti y ang sudah
mendapat laporan tentang kedatangan sepuluh orang itupun
telah melangkah kepintu gerbang diikuti oleh Wantilan dan
Mahisa Semu serta beberapa cantrik tertua di Padepokan itu.
Saudara seperguruan Sambega itu memandang Mahisa
Murti dengan kening yang berkerut. Anak muda itu nampak
begitu y akin akan sikapnya. Tanpa ragu-ragu Mahisa Murti
melangkah mendekati orang-orang yang mendatangi
padepokannya itu. "Apa yang kalian cari Ki Sanak ?" bertanya Mahisa Murti.
"Aku tidak akan mengulangi beberapa kali. Bawa Sambega
kemari " jawab saudara seperguruan Sambega itu.
"Apakah kalian ingin bertemu dengan Ki Sambega ?"
bertanya Mahisa Murti. "Apakah kau tuli ?" orang itu membentak keras-keras.
Sambega dan Widigda ternyata mendengar keributan di
pintu gerbang. Dari bangunan induk mereka melihat bahwa
yang datang itu adalah saudara seperguruan m ereka dengan
beberapa orang kawannya.
"Tetapi Mahisa Am ping telah terlanjur berteriak.
Lengkara yang sempat memandang Mahisa Ampingpun
mengumpat kasar. Dengan geram ia berkata " Aku ingin
mengoy ak mulutmu, tikus kecil".
Mahisa Amping memang berusaha untuk menjaga
mulutnya, agar tidak menyahut lagi. Betapapun dadanya
menjadi sesak, tetapi anak itu memang mengatupkan
mulutnya rapat-rapat. Dalam pada itu, Lengkarapun kemudian berkata kepada
Sambega "Sambega, bersiaplah untuk mati. Kita akan
membuat perhitungan sekarang".
Sambega menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Aku sudah
siap, Lengkara". Lengkarapun segera melangkah maju, sementara kawankawannya
berdiri berkelompok. Namun mereka semuanya
telah bersiap untuk berbuat sesuatu setiap saat Lengkara
memberikan isyarat. Dalam pada itu, Widigda dan Mahisa Murti berdiri di
sebelah yang lain, seakan-akan mereka telah menempatkan
diri pada sisi yang berlawanan. Sedangkan Wantilan, Mahisa
Semu dan beberapa orang cantrik tertua telah berderet pula
membentuk sebuah lingkaran yang cukup besar. Sedangkan
para cantrik y ang lainpun agaknya tertarik untuk melihat apa
yang akan terjadi. Mahisa Murti tidak melarang para cantrik menyaksikan
kedua orang saudara seperguruan yang telah dibakar oleh
dendam itu. Siapapun y ang menang dan siapapun yang kalah,
maka dendam y ang membakar dua orang saudara seperguruan
itu akibatnya selalu buruk. Apalagi jika harus jatuh korban
diantara mereka. Demikianlah, maka sejenak kemudian, Lengkara telah
mulai menyerang, sementara Sambega bergeser selangkah
surut. Namun kemudian, serangan-serangan Lengkara
mengalir seperti banjir bandang. Arus dendamnya benarbenar
tidak terbendung lagi. Ra sa-rasanya ia ingin langsung
membunuh saudara seperguruannya itu.
Sambega memang terdesak. Ia terkejut atas seranganserangan
y ang keras dan kasar dari saudara seperguruannya
itu. Namun dendam didadanya juga sudah menyala. Seranganserangan
Lengkara itu seperti curahnya minyak meny iram api
dendamnya itu, sehingga berkobar bagaikan menggapai langit.
Sambega ternyata tidak menahan diri lagi. Yang terbayang
adalah istri dan anaknya y ang telah mati terbunuh. Kemudian
kegilaannya sendiri saat ia hampir saja dengan paksa
mengambil seorang gadis yang sudah siap untuk menikah
karena wajahnya mirip dengan istrinya yang terbunuh. Juga
kegilaannya untuk mengambil Mahisa Amping untuk
dijadikan pengganti anaknya y ang terbunuh itu.
Dengan demikian, maka keduanya telah meningkatkan
ilmu mereka dengan cepat. Mereka ingin dengan cepat pula
membunuh saudara seperguruannya itu.
Widigda menyaksikan pertempuran itu dengan saksama,
ketika ia masih berkumpul bersama kedua orang saudara
seperguruannya itu, ia tahu pasti bahwa ilmu Sambega lebih
baik dari ilmu Lengkara. Namun saat itu Widigda melihat
bahwa unsur-unsur gerak yang dipergunakan Lengkara sudah
tidak mumi lagi dari perguruan mereka. Dengan demikian,
maka Widigda y akin bahwa Lengkara telah memperdalam
ilmunya untuk pada suatu saat dapat membalas dendam.
Karena itu, maka Widigda sempat menjadi berdebar-debar.
Sementara itu, ia masih melihat Sambega beralaskan ilmu
yang agaknya masih mumi. Unsur-unsur gerak yang
dipergunakannya semuanya telah dikenalnya. Namun
kegelisahannyapun menjadi semakin susut ketika ia melihat
bahwa ilmu Sambega itu telah menjadi semakin matang.
Meskipun ia tidak melengkapi ilmunya dengan ilmu dari jalur
perguruan yang lain, namun Sambega selama bertahun-tahun
telah meningkatkan dan mengembangkan ilmunya itu
sehingga menjadi semakin mey akinkan.
Karena itu, meskipun Sambega juga mengerti bahwa ada
unsur -unsur gerak y ang terasa asing pada ilmu saudara
seperguruannya, namun Sambega sama sekali tidak menjadi
cemas. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin cepat dan semakin seru. Keduanya telah keduanya
telah mengerahkan kemampuan mereka dalam bayangan
dendam dan kebencian. Lengkara y ang telah mewarnai ilmunya dengan jalur ilmu
perguruan yang lain itupun nampak semakin keras dan kasar.
Serangan-serangannya kemudian datang seperti hentakan
ombak yang menghantam tebing lautan. Berturut-turut susul
menyusul. Tetapi Sambegapun sudah menjadi sekokoh batu-batu
karang di pantai. Dengan kekuatan dan day a tahan yang
tinggi, maka serangan-serangan Lengkara itu tidak
menggoy ahkan pertahanannya.
Dengan demikian, maka keduanya yang saling dendam itu
telah saling m eny erang dan saling bertahan. Sambega yang
telah mematangkan ilmunya itu m eny erang Lengkara seperti
putaran angin pusaran. Namun dengan licin, Lengkara selalu
berhasil keluar dari pusat putaran serangan Sambega.
Selain Widigda, maka Mahisa Murti y ang juga berilmu
tinggi itu memperhatikan pertempuran antara kedua orang
saudara seperguruan itu dengan seksama. Mahisa Murti
segera dapat melihat bahwa Lengkara telah melengkapi
ilmunya dengan unsur-unsur gerak dari jalur perguruan yang
lain sebagaimana Mahisa Murti sendiri tidak hanya berpijak
pada ilmu y ang diwarisinya dari ayahnya saja. Namun Mahisa
Murti masih m engenali watak dan sifat ilmu Sambega yang
bersumber dari satu perguruan, namun y ang sudah
ditingkatkan dan dikembangkan, sehingga menjadi semakin
matang. Karena itulah, maka pertempuran itu menjadi sangat
mendebar-debarkan, karena tidak segera dapat diketahui,
siapakah y ang akan menang dan siapa yang akan kalah.
Namun semakin lama Lengkara sendiri semakin merasa
betapa saudara seperguruannya itu telah mematangkan
ilmunya. Meskipun ia telah melengkapi ilmunya dengan
unsur -unsur dari perguruan lain. Lengkara sendiri merasa
bahwa sulit untuk mengatasi ilmu Sambega yang ternyata
sudah menjadi semakin matang.
Meskipun demikian, Lengkara masih mencoba
mengerahkan kemampuannya. Ia bergerak semakin cepat.
Kekuatannyapun seakan-akan menjadi semakin besar,
sementara serangan-serangannya menjadi semakin garang.
Tetapi Sambegapun telah melakukan hal y ang sama. Iapun
mampu meningkatkan ilmunya sebagaimana dilakukan oleh
Lengkara. Jika sekali-sekali Lengkara meny erang dengan
mempergunakan unsur-unsur gerak yang disadapnya dari
jalur perguruan lain, maka Sambega ju stru menunjukkan
kematangan ilmunya. Unsur-unsur dari jalur perguruan lain
itu tidak membuatnya menjadi kebingungan.
Lengkara justru menjadi semakin marah. Tangannya
dengan garangnya menyambar-ny ambar. Sekali bergerak
bagaikan kapak yang siap membelah sebatang gelondong kayu
yang besar. Namun jika serangan itu luput dari sa sarannya,
maka tangan Lengkarapun menebas mendatar. Tetapi
memang tidak mudah maiy entuh tubuh Sambega. Tangannya
yang cacat itupun mampu menangkis serangan-serangan yang
datang beruntun dengan cepat. Bahkan ketika tangan
Lengkara m enyambar keningnya, maka Sambega menangkis
sambaran tangan itu hanya
dengan ujung jarinya yang
tinggal sebuah disatu sisi
tangannya, sementara tangannya yang lain, yang
mempunyai jari-jari utuh,
justru menyambar lambung Lengkara.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lengkara mengaduh kesakitan sambil meloncat
surut untuk mengambil jarak.
Sambega ternyata tidak memburunya. Ia berdiri tegak
memandang saudara seperguruannya yang kesakitan itu. Tetapi matanya yang memancarkan api dendam itu
masih saja bagaikan menyaia.
Ia justru menunggu agar Lengkara mengetrapkan ilmu
puncaknya, sehingga iapun akan membenturnya dengan ilmu
yang sama. Namun Sambega masih berharap bahwa
kematangan ilmunya tidak akan berada dibawah kematangan
ilmu Lengkara. Bahkan seandainya ilmunya tidak lebih baik
dari ilmu Lengkara, namun ia y akin bahwa ilmunya tidak
berada dibawah ilmu saudara seperguruannya. Jika dengan
demikian maka mereka akan mati bersama, maka Sambega
sama sekali tidak merasa berkeberatan. Dendamnya sudah
dituangkannya, sementara sisa hidupnya tidak akan berarti
apa-apa lagi. Sementara itu Lengkara berdiri termangu-mangu beberapa
langkah dari Sambega. Kemarahannya memancar dari
wajahnya y ang bagaikan membara.
Sambega yang nampak lebih tenang dari Lengkara itupun
kemudian berkata "Lengkara. Kita berguru pada perguruan
yang sama, kita m empunyai bekal ilmu y ang sama. Aku tidak
tahu siapakah y ahg lebih baik diantara kita. Tetapi jika kau
ingin menjajagi kemampuan kita dengan mengadu ilmu
puncak y ang sama-sama kita pelajari dari guru yang sama,
marilah. Meskipun kau sudah melengkapi ilmumu dengan
ilmu dari perguruan lain, namun aku masih t etap bersiap
membuat perbandingan ilmu itu."
Jantung Lengkara menjadi semakin terbakar. Tetapi ia
masih tetap menyadari bahwa ia ragu-ragu apakah ilmu
puncaknya akan dapat mencapai tataran y ang sama dengan
Sambega. Karena itu untuk beberapa saat Lengkara justru berdiri
mematung. Namun tatapan matanya y ang tajam bagaikan
menusuk tembus ke jantung Sambega.
Karena Lengkara tidak segera berbuat sesuatu, maka
Sambegapun berkata "Lengkara. Kenapa kau ju stru terdiam"
Marilah, segeralah bersiap. Kita akan membuat perbandingan
ilmu puncak kita. Bersiaplah,, aku akan segera melakukannya.
Demi nama baik keluargaku, demi nama isteri dan anakku
yang telah kau bunuh, m aka sekarang kita harus membuat
perhitungan y ang tuntas. Kau atau ahu akan mati. Bahkan
mungkin kita akan mati bersama-sama jika ternyata tataran
ilmu kita sama tinggi, sementara daya tahan kita sama-sama
tidak cukup kuat untuk bertahan."
" Iblis Kau Sambega" geram Lengkara. Tetapi Lengkara
tidak segera melakukan sesuatu Ia masih saja ragu-ragu,
bahwa kemampuan puncaknya akan dapat mengimbangi
kemampuan puncak Sambega yang bersumber pada ilmu yang
sama. Namun y ang nampaknya Sambega sempat
mengembangannya dan lebih mematangkannya.
Namun Sambega benar-benar tidak menunggu. Iapun
mulai mempersiapkan dirinya untuk memusatkan nalar
budinya. Wajah Lengkara menjadi semakin tegang. Namun terny ata
Lengkara tidak sejantan Sambega yang cacat itu. Dalam
keadaan yang rumit itu, iapun berteriak "Selesaikan iblis itu."
Sepuluh orang y ang datang bersamanya itu dengan sigapnya
telah berloncatan berpencar. Demikian pula Lengkara
telah meloncat berbaur dengan kawan-kawannya.
"Pengecut kau Lengkara" teriak Sambega yang menjadi
sangat marah. Bukan saja Sambega, namun Widigdapun berteriak pula
"Lengkara. Kau licik. Aku sudah mengatakan bahwa aku hanya
menjadi saksi jika kalian meny elesaikan persoalan kalian
dengan jujur. Tapi jika salah seorang diantara kalian tidak
jujur, maka aku akan ikut campur pula.
"Aku tidak peduli" jawab Lengkara sambil berteriak pula
"Aku datang ber sama sepuluh orang berilmu tinggi. Siapa yang
mencoba menghalangi aku, maka aku akan membiasakannya.
Karena itu kakang Widigda, jangan m encampuri persoalanku
dengan Sambega yang memang sudah sewajarnya harus mati."
Sepuluh orang kawan-kawan Lengkara itupun segera
membagi diri. Dua diantara mereka segera meny erang
Widigda sementara Lengkara dan seorang yang lain telah
menyerang Sambega. Sedangkan seorang diantara mereka
telah bersiap menghadapi Mahisa Murti yang nampaknya
masih sangat muda itu. Sedangkan y ang lain harus
menghadapi kelompok-kelompok cantrik y ang dipimpin oleh
Wantilan, Mahisa Semu dan beberapa orang cantrik tertua.
Sementara itu, dua orang cantrik telah diminta oleh Wantilan
agar menjaga Mahisa Amping.
"Anak itu tidak boleh ikut-ikutan" berkata Wantilan "lawanlawan
y ang dihadapi sekarang adalah orang-orang berilmu
tinggi, sehingga keadaan akan sangat berbahaya baginya ".
Dengan cepat pertempuranpun telak menyala. Widigda
yang harus menghadapi dua orang berilmu tinggi, memang
harus mengerahkan segenap kemampuannya. Demikian pula
Sambega. Ia tidak dapat melontarkan ilmu pamungkasnya,
justru karena ia harus bertempur melawan dua orang
bersama-sama. Namun Lengkarapun tidak juga segera
mendapat kesempatan untuk melakukannya, karena berdua
mereka melibat Sambega dalam pertempuran y ang rapat.
Lengkara memang berniat membunuh Sambega tidak
dengan ilmu pamungkasnya. Bagaimanapun juga ia masih
juga ragu-ragu. Jika Sambega sempat membentur lontaran
ilmunya dengan ilmu yang sama, maka ada kemungkinan lain
terjadi atasnya. Meskipun seandainya kawannya dapat dengan
cepat membantunya meny elesaikan Sambega, namun ia
sendiri dapat m engalami kesulitan, bahkan mungkin ia tidak
akan sempat melihat Sambega itu terkapar mati.
Berdua Lengkara memang mampu mendesak Sambega.
Betapapun Sambega mengerahkan kemampuannya, namun
perlahan-lahan tetapi pasti ia mulai terdesak.
Di sisi lain, Widigda m asih tetap bertahan. Kedua orang
yang dihadapinya tidak memiliki bekal ilmu setinggi Lengkara.
Namun bukan berarti bahwa Widigda dengan cepat m ampu
mengatasi lawannya, karena kedua orang lawannya itu juga
berilmu tinggi. Setidak-tidaknya keduanya m ampu bertahan
untuk waktu yang lama. Sementara atas pesan Lengkara
sebelumnya, karena Lengkara m emang menduga bahwa ada
kemungkinan Widigda bersama Sambega, bahwa untuk
melawan saudara-saudara seperguruannya, mereka jangan
memberi kesempatan untuk dapat melepaskan ilmu
pamungkasny a yang sangat berbahaya.
Ternyata Lengkara dan kawan-kawannya benar-benar
menemui Widigda bersama Sambega, meskipun hal itu sempat
mengejutkannya. Yang tidak dapat langsung mengetahui kemampuan
lawannya adalah salah seorang diantara mereka y ang bertemu
dengan Mahisa Murti. Orang itu masih berusaha untuk
menjajagi kemampuan anak muda yang menjadi pemimpin
Pa depokan Bajra Seta itu. Tetapi karena orang itu sama sekali
masih belum mengetahui kemampuan Mahisa Murti, maka
orang itu berniat untuk mulai dari permulaan.
Namun sejak semula, sebagaimana Lengkara, orang itu
menganggap betapapun tinggi ilmu anak muda itu, namun
dalam kemudaannya, ilmunya tentu masih belum masak.
Karena itu, maka orang itu masih belum bersungguhsungguh
menghadapi Mahisa Murti y ang menyadari akan
sikap lawannya itu. Namun ternyata Mahisa Murti bersikap lain. Ia sadar,
bahwa orang-orang berilmu tinggi itu akan sangat sulit
dihadapi oleh para cantriknya meskipun dalam kelompokkelompok
y ang sudah disusun sebaik-baiknya. Mahisa Murti
tidak ingin para cantriknya menjadi korban karena per soalan
orang lain. Karena itu, maka Mahisa Murtipun bertindak cepat. Ia
tidak memberi waktu terlalu lama kepada lawannya. Demikian
Mahisa Murti mulai, maka iapun telah mengetrapkan ilmunya
yang dapat menyusut kekuatan dan kemampuan lawannya.
Lawannya yang masih saja merendahkan Mahisa Murti
sama sekali tidak m enyadari akan hal itu. Karena itu, m aka
ketika Mahisa Murti meny erangnya, orang itu sama sekali
tidak berusaha untuk menghindar. Tetapi dengan tenaganya
yang besar, orang itu membentur serangan Mahisa Murti.
Mahisa Murti memang sengaja meloncat surut. Sementara
lawannya sempat tertawa dan berkata "Marilah anak muda.
Nampaknya kau memang ingin bermain api. Jika kau
pemimpin Padepokan ini, m aka kau dan seluruh cantrikmu
tidak dapat m elawan aku seorang diri. Apalagi aku bersama
sepuluh orang y ang datang ke padepokanmu ini".
Mahisa Murti tidak menjawab. Tetapi ia sudah
memutuskan bahwa ia harus dengan cepat mengakhiri
perlawanan lawannya itu untuk segera dapat melunakkan
perlawanan orang yang lain.
Karena itu, maka Mahisa Murtipun segera meny erang
kembali. Meskipun serangannya nampak tidak berbahaya,
namun sebenarnyalah bahwa serangan itu telah dilambari
dengan ilmunya y ang tidak segera dapat dilihat oleh lawannya.
Beberapa saat benturan-benturan telah terjadi. Mahisa
Murti meny erang dengan cepat dan beruntun. Namun
lawannya dengan tangkas pula menangkis setiap serangan.
Sekali-sekali ia memang menghindar. Tetapi karena ia merasa
memiliki kekuatan yang sangat besar, maka orang itu memang
lebih banyak menangkis serangan Mahisa Murti.
Beberapa kali terjadi benturan orang itu masih saja t ertawa,
karena Mahisa Murti setiap kali harus berloncatan m undur.
Namun ketika serangan itu datang terus-menerus, maka
lawannya itu mulai merasakan kelainan pada dirinya.
Wajah Widigda menjadi merah. Iapun kemudian
melangkah maju dan berdiri disebelah Sambega "Aku tidak
dapat m enerima kenyataan ini. Lengkara, jika kau memang
berbuat licik seperti itu, m aka aku akan bertempur dipihak
Sambega. Meskipun kau bersama dengan sepuluh orang
berilmu tinggi, namun kami tidak akan gentar. Jika kami
memang harus mati, maka biarlah kematian kami merupakan
kematian seorang laki-laki".
"Kakang Widigda" geram Lengkara "aku sudah
memperingatkanmu. Aku dan kau tidak mempunyai per soalan
selain karena kau sudah m embantu peny embuhan Sambega.
Tetapi itu sudah aku maafkan. Tetapi jika kau sekarang masih
akan membantu Sambega lagi, m aka jika kau m ati sekarang
pula, itu bukan salahku".
"Kau tidak perlu merasa bersalah. Kita sudah turun diarena
pertempuran. Maka kematian adalah akibat yang wajar yang
dapat terjadi atas mereka y ang sedang bertempur
Lengkara m enggeretakkan giginya. Katanya "Jika itu y ang
kau kehendaki, maka baiklah. Kita akan menunjukkan,
siapakah diantara kita y ang akan berhasil membunuh lawan."
"Membunuh dengan cara y ang licik, bukan satu kebanggaan
Lengkara." berkata Widigda.
"Aku memang tidak sedang membanggakan diri. Yang
penting bagiku adalah membunuh Sambega dengan cara
apapun juga. Jika dalam hal ini kau juga terbunuh meskipun
aku sudah memberimu peringatan berulang kali, maka kau
sendirilah y ang membunuh dirimu sendiri." sahut Lengkara.
Namun dalam pada itu, sebelum pertempuran itu mulai
lagi, maka tiba-tiba Mahisa Murti telah m elangkah maju pula
sambil berkata "Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku akan
meminjamkan tempat ini untuk melakukan satu perang
tanding y ang jujur. Karena itu, m aka jika yang terjadi bukan
lagi satu perang tanding y ang jujur, maka aku sangat
berkeberatan untuk memberikan tempatku ini sebagai ajang
pertempuran y ang licik dan curang".
"Setan kau" teriak Lengkara "kau berani mencampuri
persoalan ini" He, siapakah y ang kau maksud dengan licik dan
curang itu?" "Jadi kau masih bertanya, siapakah yang licik dan curang?"
justru Mahisa Murti telah bertanya pula.
"Jawab, atau kau juga akan m ati dan padepokanmu akan
menjadi padepokan kami." geram Lengkara.
"Baik. Aku akan menjawab" nada suara Mahisa Murti
menjadi berat "Meskipun jawaban ini sudah kau ketahui.
Kaulah yang licik dan curang itu".
"Setan kau. Jadi kau benar-benar ingin melibatkan diri
dengan tidak memberikan tempatmu ini sebagai ajang
pertempuran ini?" bertanya Lengkara.
"Ya " jawab Mahisa Murti tegas "aku m inta kau tinggalkan
tempatku ini, atau aku dan seisi padepokan ini akan
mengusirmu". "Ternyata kau adalah orang y ang paling sombong y ang
pernah aku temui selama ini. Kau kira kau dapat mengusir
aku" Kau ini siapa he" Dan aku ini siapa?"
"Aku adalah Mahisa Murti, pemimpin Padepokan Bajra
Seta, sedangkan kau adalah seorang saudara seperguruan yang
dengki sehingga mendendam sampai keubun-ubun. Kau kira
bahwa dendam seperti itu akan dapat menyelesaikan
persoalan" Dengar Lengkara, dendammu akan menyala
sampai ke akhir batas k eturunanmu jika keturunanmu k elak
berpendirian seperti kau. Dendam y ang tidak berkeputusan
serta dendam berbalas dendam, kapan dendam itu akan
berakhir sehingga keturunanmu akan mengalami hidup
tenteram?" "Diam kau tikus y ang dungu. Dengar, aku tidak akan pergi.
Tetapi aku akan membunuh kedua orang saudara
seperguruanku y ang tidak tahu diri, membunuhmu dan
membunuh semua cantrikmu yang tidak mau tunduk
kepadaku. Aku akan memiliki dan memimpin padepokan ini" "
geram Lengkara. Mahisa Murti tidak dapat tinggal diam. Ia tahu bahwa
kawan-kawan Lengkara tentu orang -orang berilmu tinggi.
Tetapi ia mempunyai beberapa orang cantrik y ang sudah
mendapat bekal yang cukup. Sedangkan jumlahnyapun cukup


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banyak. Karena itu, ketika Mahisa Murti memberikan isyarat, maka
Wantilan dan Mahisa Semu segera bertindak. Mereka
langsung memberikan isy arat pula kepada beberapa orang
cantrik tertua y ang sudah memiliki kemampuan kanuragan
yang cukup untuk menyusun kelompok-kelompok kecil.
Merekapun dengan cepat mempersiapkan diri dengan senjatasenjata
mereka. Terutama senjata lontar. Pisau-pisau belati
dan lembing disamping pedang dilambung.
Lengkara menjadi semakin marah. Sementara Widigda
berkata "Angger Mahisa Murti. Biarlah kami mengatasi
persoalan kami sendiri. Kami tidak ingin menyulitkan
kedudukan angger disini".
"Tempat ini adalah tempat kami. Karena itu, sudah
sewajarnya jika kami m enentukan, apa yang sebaiknya kami
lakukan," jawab Mahisa Murti.
Widigda tidak menjawab lagi. Ia tidak ingin meny inggung
perasaan Mahisa Murti sebagai pemimpin Padepokan Bajra
Seta. Namun Widigdapun berharap, bahwa ia tidak salah
hitung, bahwa Mahisa Murtipun memiliki bekal ilmu yang
memadai, sehingga akan dapat mempertahankan diri
menghadapi orang-orang y ang berilmu tinggi itu.
Demikianlah, maka kedua belah pihak itupun segera
mempersiapkan diri.Lengkara y ang sudah tidak sabar lagi
berteriak sekali lagi "Cepat, kenapa kalian menghiraukan
tikus-tikus dungu itu?"
Wajah Mahisa Murti m enjadi tegang. Kemarahannya telah
membakar jantungnya. Ia memang tidak rela bahwa ada
cantrik padepokannya yang jatuh m enjadi korban, sedangkan
persoalannya sama sekali tidak menyangkut padepokannya
itu. Tetapi Mahisa Murti memang benar-benar tidak dapat
membiarkan kecurangan terjadi di Padepokannya yang
dilakukan oleh Lengkara dan kawan-kawannya.
Betapapun Mahisa Murti mengekang dirinya, m aka k etika
ia melihat seorang lagi diantara para cantriknya yang
terlempar keluar dari arena pertempuran dengan darah yang
memancar dari luka didadanya, maka jantungnya memang
menjadi panas. Dengan sor ot mata yang menyala Mahisa Murti memasuki
arena pertempuran itu. Kepada para cantrik ia berkata
"Bergabunglah dengan kawan-kawanmu y ang lain. Atasi
orang-orang yang telah melanggar hak dan wewenang kita di
padepokan mi. Aku akan membuat perhitungan dengan orang
yang telah melukai cantrik-cantrik padepokan kita ini."
Para cantrik itupun segera berloncatan mundur. Namun
hati merekapun mulai berkembang ketika mereka melihat
Mahisa Murti sendiri telah datang membantu mereka.
Sementara itu orang y ang bertubuh raksasa itupun dengan
garangnya menggeram "He anak muda. Apa y ang akan kau
lakukan" Apakah kau juga ingin mengalami sebagaimana
dialami oleh cantrik-cantrikmu" Mereka telah terluka parah.
Bahkan mereka sekarang agaknya sudah mati".
"Jadi kau memang sengaja membunuh Ki Sanak?" bertanya
Mahisa Murti. "Ya, kenapa?" orang itu kemudian tertawa "bukankah kita
sedang bertempur" Aku akan membunuh cantrikmu
sebanyak-banyaknya. Bahkan membunuhmu karena
kebodohanmu sendiri. Dan sekarang kau sudah datang untuk
menyerahkan nyawamu".
Mahisa Murti benar-benar m enjadi sangat m arah. Apalagi
karena orang itu benar -benar berniat membunuh cantrikcantriknya
sebanyak-banyaknya. Karena itu, maka Mahisa
Murtipun berkata "Jika demikian Ki Sanak. Maka kau adalah
orang pertama y ang akan mati diantara kawan-kawanmu.
Karena niatmu yang buruk, serta watakmu yang agaknya tidak
akan mungkin dapat diperbaiki lagi, maka aku, pemimpin
Pa depokan ini harus m engambil langkah yang sebaik-baiknya
untuk membantu m enghindarkan peristiwa seperti ini terjadi
lagi dimanapun juga".
"Per setan" geram orang itu "kau tidak usah mengigau"
Mahisa Murti m emang tidak berbicara lagi. Iapun segera
mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Ia benar-benar akan
bertempur melawan orang bertubuh raksasa itu.
(Bersambung ke Jilid 112)
Conv ert, Edit, Ebook by Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN
Jilid 102 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--?""0dw0?""-
Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 112 DEMIKIANLAH, maka sejenak kemudian telah terjadi
pertempuran diantara mereka. Orang bertubuh raksasa itu
memang memiliki kekuatan yang luar biasa. Agaknya orang
itupun sudah mempergunakan kemampuan ilmunya yang
tertinggi, sehingga sentuhan tangannya -telah mengoyakkan
kulit daging para cantrik.
Karena itu, maka Mahisa Murti harus sangat berhati-hati.
Jari-jari tangan orang itu yang mengembang merapat, jangan
sampai meny entuh kulitnya.
Dengan demikian maka Mahisa Murti harus mengusahakan
agar serangan-serangannya sajalah yang meny entuh orang itu
untuk mengetrapkan ilmunya yang mampu menyusut
kekuatan dan kemampuan lawannya.
Sejenak kemudian pertempuran telah terjadi dengan
sengitnya. Mahisa Murti y ang berilmu tinggi itu, mampu
bergerak sangat cepat. Ia selalu berusaha untuk mengelak dari
serangan-serangan jari-jari lawannya y ang dapat menggores
tubuh seperti tajamnya sebuah pedang.
Namun kecepatan gerak Mahisa Murti ternyata masih
memungkinkannya untuk meny entuh tubuh lawannya
meskipun tidak ditempat-tempat yang berbahaya dan bahkan
tidak menyakitinya. Orang bertubuh raksasa itu mula-mula meyakininya, bahwa
ia tidak akan bertempur terlalu lama. Karena itu, maka dengan
mengerahkan tenaga dan kemampuannya ia berhasil
mendesak Mahisa Murti. Mahisa Murti memang beberapa kali harus berloncatan
surut. Tetapi bukan berarti bahwa Mahisa Murti kehilangan
kesempatan untuk m elawan lawannya y ang bertubuh raksasa
itu. Tetapi justru untuk memancing lawannya agar seranganserangan
Mahisa Murti dapat mengenainya.
Bahkan sekali-dua kali Mahisa Murti juga menangkis
serangan lawannya meskipun tidak membenturkan
kekuatannya. Ia berusaha menebas serangan lawannya
menyamping. Namun dengan demikian telah terjadi pula
sentuhan-sentuhan diantara mereka.
Dalam pada itu, beberapa orang cantrik y ang telah minggir
dari arena pertempuran, masih saja ada y ang dengan tidak
sengaja berdiri termangu-mangu menyaksikan pertempuran
itu. Apalagi mereka y ang sudah terluka. Mereka ingin melihat
apa y ang akan terjadi dengan orang yang bertubuh raksasa
yang telah membuat beberapa orang kawannya terluka parah.
Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi
semakin sengit. Keduanya saling meny erang dan bertahan.
Sambaran jari-jari orang bertubuh raksasa itu memang sangat
berbahaya. Tetapi Mahisa Murti m asih m ampu m engelakkan
diri atau menangkisnya dengan menebas kesamping.
Meskipun demikian, ketika sambaran jari-jari tangan y ang
merapat itu sempat menyentuh lengannya, maka lengan
Mahisa Murti itupun telah tergores dan terluka.
Luka itu bagaikan minyak y ang m enyiram api kemarahan
Mahisa Murti. Karena itu, m aka Mahisa Murtipun bergerak
lebih cepat lagi untuk berusaha semakin sering meny entuh
tubuh lawannya. Tetapi Mahisa Murti terkejut ketika tiba-tiba saja lawannya
itu meloncat surut sambil tertawa. Katanya "Ternyata kau
memang iblis y ang licik. Kau mempergunakan ilmu yang tidak
patut dipergunakan dalam pertempuran yang terhormat. Kau
bertempur sambil mencuri tenaga dan kemampuan lawanmu.
Tetapi jangan meny esal, bahwa aku dapat mengetahui
kelicikanmu. Karena itu, maka kau tidak akan lagi dapat
mengelabui aku. Sementara meskipun kau berhasil, tetapi
tenagaku masih belum seberapa tersusut, sehingga aku masih
akan mampu memilin lehermu sampai patah. "
Wajah Mahisa Murti menjadi panas mendengar kata-kata
itu. Kemarahannya memang tidak tertahankan lagi. Apalagi
ketika orang bertubuh raksasa itu berteriak "He Lengkara dan
kawan-kawanku. Anak muda pemimpin padepokan ini
memiliki ilmu iblis yang mampu menyusut tenaga dan
kemampuan lawannya. Berhati-hatilah."
"Setan" sahut orang yang bertubuh agak gemuk "ia telah
membuat aku menjadi letih."
Sebenarnyalah orang bertubuh gemuk itu semakin
mengalami kesulitan menghadapi para cantrik yang
bertempur dalam kelompok kecilnya. "
Sementara itu orang bertubuh raksa sa itu berteriak lagi
"Tetapi jangan cemas. Sekarang ia berdiri dihadapanku. Ia
tidak akan dapat mengganggu kalian lagi, karena orang ini
akan segera terbujur menjadi mayat. "
Mahisa Murti menggeretakkan giginya, sementara
lawannya itu berkata kepadanya "Nah, sekarang apa lagi yang
akan kau lakukan " Kau sudah tidak m emiliki apa-apa lagi,
karena kecuranganmu telah aku ketahui."
Mahisa Murti menggeretakkan giginya. Sementara itu
Sambega dan Widigda y ang sedang mengerahkan
kemampuannya untuk mengatasi masing-masing dua orang
lawan menjadi berdebar-debar pula. Mereka m enjadi heran
namun bangga bahwa Mahisa Murti memiliki kemampuan
yang jarang dimiliki orang lain. Tetapi ternyata lawannya yang
bertubuh raksasa itu mampu membacanya.
Meskipun demikian kedua orang itu tidak dapat berbuat
apa-apa. Mereka sendiri terikat dalam pertempuran y ang tidak
dapat mereka elakkan. Bahkan mereka justru mulai terdesak
karena kemampuan lawan mereka y ang sulit untuk dapat
diimbangi. Namun dalam pada itu, Mahisa Murti tidak lagi dapat
mengekang kemarahannya. Sikap orang b ertubuh raksasa itu
benar-benar menyakiti hatinya. Apalagi orang itu sudah
menciderai beberapa orang cantriknya sehingga terluka parah.
Karena itu selagi orang-orang yang sedang bertempur itu
dicengkam oleh ketegangan, maka Mahisa Murti telah
mengerahkan segenap nalar budinya. Ia tidak lagi sekedar
ingin menghisap tenaga dan k emampuan lawannya Tetapi ia
benar-benar ingin membinasakan lawannya y ang bertubuh
raksasa, y ang telah benar -benar bernafsu untuk m embunuh
para cantriknya sebanyak-banyaknya serta membunuh Mahisa
Murti itu sendiri serta telah pula menghina dan menyakiti
hatinya. Karena itu, ketika orang bertubuh raksasa itu berdiri sambil
bertolak pinggang dan tertawa berkepanjangan karena ia
merasa telah menemukan kelemahan lawannya sehingga akan
segera dapat mengakhiri perlawanan anak muda itu, Mahisa
Murti telah menghentakkan ilmunya yang lain.
Dengan mengerahkan segenap ilmu y ang ada didalam
dirinya, maka Mahisa Murti telah melangkah setengah
langkah kedepan. Ketika ia merendah sedikit pada lututnya,
maka Mahisa Murti telah menghentakkan kedua tangannya
dengan telapak tangannya menghadap kearah orang bertubuh
raksasa itu. Ternyata sesuatu y ang dahsy at telah terjadi. Dari kedua
telapak tangan Mahisa Murti seakan-akan telah meluncur
cahaya kilat y ang meny ilaukan. Dengan kecepatan lebih dari
sepuluh kali l ipat dari kecepatan anak panah y ang m eluncur
dari busurnya, sinar kilat yang menyilaukan itu telah
menghantam tubuh lawannya yang sedang tertawa
berkepanjangan itu. Ketika orang itu melihat cahaya y ang m eletik dari t elapak
tangan Mahisa Murti, ia memang terkejut. Tetapi segalanya
telah terlambat. Ia masih menyadari ketika sinar itu
menghantam tubuhnya y ang kemudian bagaikan telah
meledak. Suara tertawanya yang terputus disambung oleh teriakan
yang mengerikan menggetarkan udara Padepokan Bajra Seta.
Tubuh raksa sa itu terlempar beberapa langkah. Namun
kemudian jatuh terbanting ditanah. Tubuhnya menjadi
bagaikan hangus terbakar terkapar tidak bergerak sama sekali.
Mahisa Murtipun kemudian berdiri tegak sambil
menggosok-g osokkan kedua telapak tangannya.
Dipandanginya tubuh yang terkapar ditanah itu. Beberapa
orang cantrikpun telah melingkarinya dengan wajah tegang.
Pertempuran di halaman Padepokan Bajra Seta itupun
bagaikan terhenti sesaat. Orang-orang berilmu tinggi yang
sedang bertempur itupun menjadi termangu-mangu sejenak.
Tidak seorangpun y ang menyangka, bahwa Mahisa Murti yang
masih mudaitu memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Bahkan Sambega dan Widigdapun menggeleng -gelengkan
kepalanya. Didalam hati mereka merasa bersyukur, bahwa
Sambega tidak berselisih dan apalagi bertempur dengan
Mahisa Murti saat ia berusaha mengambil Mahisa Amping.
Karena mereka m enyadari, betapapun tinggi ilmu Sambega,
namun ia tidak akan mampu mengimbangi ilmu Mahisa Murti
itu. Dalam pada itu, sejenak kemudian, maka Mahisa Murtipun
berkata "Sekarang aku tidak akan berusaha mengekang diri


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. Aku tidak mau direndahkan di Padepokanku sendiri.
Pa depokan Bajra Seta. Aku tidak mau seseorang bertindak
sewenang-wenang terhadap cantrik-cantrik di Padepokan ini,
karena akulah y ang bertanggung jawab atas keselamatan
mereka. Karena itu, maka aku peringatkan kepada mereka
yang masih hidup untuk menghentikan pertempuran. Jika
kalian tidak mau mendengar kata-kataku, maka aku akan
mendatangi kalian seorang demi seorang. Kalian akan
mengalami nasib y ang sama seperti orang itu, Jika saja ia tidak
menghina dan merendahkan aku, mungkin ia tidak akan
mengalami nasib y ang buruk."
Orang-orang berilmu tinggi yang datang bersama-sama
dengan Lengkara itpun termangu-mangu. Kematian orang
bertubuh raksasa itu telah menggoncangkan kesombongan
mereka. Jika semula mereka mengira akan dapat
menghancurkan penghuni padepokan itu dan kemudian
memilikinya, maka kemudian mereka harus berpikir ulang.
Dalam pada itu sekali lagi Mahisa Murti berkata lantang
"Menyerahlah. Kalian tidak akan dapat luput dari tanganku
jika kalian masih akan meneruskan perlawanan. Yang akan
terjadi kemudian adalah pertempuran y ang jujur. Lengkara
akan bertempur dengan saudara seperguruannya, Ki Sambega,
seorang melawan seorang. Persoalannya adalah per soalan
mereka. Siapa yang masih ingin ikut cam pur akan aku
hancurkan sampai hangus seperti orang itu. "
Orang-orang berilmu tinggi itu menjadi gelisah. Mereka
tidak akan dapat bersama-sama menghadapi Mahisa Murti
karena para cantrik yang jumlahnya cukup banyak itu telah
mengepung mereka dan mengikat mereka dalam
pertempuran-pertempuran. Meskipun mereka akan mampu
bertahan menghadapi para cantrik itu dan bahkan jika mereka
mendapat waktu yang cukup, maka mereka akan dapat
menghancurkan para cantrik itu, namun jika Mahisa Murti
mendatangi mereka seorang demi seorang, maka mereka
benar-benar akan dapat ditumpas habis.
Karena orang-orang itu masih ragu-ragu, maka Mahisa
Murtipun mengulangi "Masih aku beri kesempatan terakhir.
Minggirlah. Beri kesempatan Lengkara dan Sambesa
berperang tanding karena per soalannya m enyangkut mereka
berdua secara pribadi. Yang lain sebaiknya tidak ikut campur,
atau akan berhadapan dengan aku."
Orang-orang y ang datang bersama Lengkara itu ternyata
tidak mau menghadapi kemungkinan terburuk seperti yang
terjadi atas kawan mereka y ang bertubuh raksasa itu. Apalagi
dua orang y ang sempat disusut tenaga dan kemampuannya
oleh Mahisa Murti. Mereka memang telah m enyadari, bahwa
mereka akan jatuh ketangan para cantrik dan bahkan mungkin
mengalami nasib y ang sangat buruk.
Karena itu, orang yang agak gemuk itulah yang pertama kali
berkata " Baiklah. Aku akan meny ingkir dari persoalan ini."
Orang y ang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menyahut
"Aku juga akan m enarik diri. Persoalan ini memang bukan
persoalanku." Lengkara yang menjadi gelisah berteriak "Pengecut kau.
Kita akan menghancurkan Padepokan Bajra Seta."
Tetapi orang y ang berjanggut mulai keputih-putihan
menjaawab "Lengkara. Maafkan kami. Kami tidak mau
menjadi korban karena kemarahanmu y ang tidak terkendali
itu. "Kita sudah bertekad untuk melakukannya" teriak
Lengkara. "Aku tidak mau dibakar oleh ilmu anak muda y ang dahsyat
itu " berkata yang lain "barangkali aku masih sanggup
menghadapi ilmu y ang lain. Tetapi jangan ilmu seperti itu.
Atau jangan pula ilmu y ang mampu m enghisap tenaga dan
kemampuan seseorang."
Yang berbicara kemudian adalah Widigda "Aku sangat
menghargai pendapat angger Mahisa Murti. Persoalan antara
Lengkaradan Sambega, biarlah mereka selesaikan sendiri.
Persoalan itu adalah per soalan y ang sangat pribadi."
Wajah Lengkara menjadi sangat tegang. Tetapi kawankawannya
agaknya benar-benar tidak lagi bersedia turun ke
arena pertempuran sehingga dengan demikian iapun akan
berdiri sendiri. Mahisa Murtilah yang kemudian melangkah m endekatinya
sambil berkata "Nah, kau dapat memilih, Lengkara. Kau
lakukan perang tanding dengan jujur itu, atau kau akan
bertempur melawan aku, karena aku tidak m au kau berlaku
curang disini." Wajah Lengkara menjadi sangat tegang. Dipandanginya
sekilas Sambega yang berdiri tegak. Matanya memancarkan
dendam yang tiada taranya y ang bergejolak didalam
jantungnya. Untuk beberapa saat Lengkara termangu -mangu. Ketika ia
berniat mencari dan m embunuh sampai mati Sambega, maka
ia t idak pernah m erasakan keragu-raguan sedikitpun. Tetapi
kemudian ternyata bahwa ia harus menilai kembali sikapnya
itu. Tetapi agaknya sudah terlambat. Sambegalah y ang
melangkah maju sambil berkata "Lengkara. Marilah. Kita akan
menyelesaikan persoalan kita dengan jujur. Persoalannya
adalah per soalan diantara kau dan aku. Persoalan mi tidak
menyangkut kakang Widigda. Lebih-lebih lagi angger Mahisa
Murti dan seisi padepokannya ini. Karena itu, maka
bersiaplah. Kita akan segera mulai dengan perang tanding
yang jujur. " Wajah lengkara menjadi semakin tegang. Sementara itu
Sambegapun berkata "Lengkara. Bersiaplah. Aku akan segera
mulai. Aku tidak akan m emperhitungkan apakah kau sudah
bersiap atau belum. Namun karena kau sudah berada disini,
maka kau tentu sudah bersiap menghadapi segala
kemungkinan." Wajah Lengkara bukan saja menjadi semakin tegang.
Tetapi wajah itu justru mulai menjadi pucat. Apalagi ket ika ia
melihat Sambega itu melangkah surut sambil mempersiapkan
diri untuk bertempur. Bagaimanapun juga Lengkara tidak akan dapat
mengingkari keny ataan, bahwa ia tidak akan dapat
menandingi Sambega yang ternyata telah m ematangkan ilmu
yang sama-sama mereka sadap dari guru yang sama.
Karena itu, ketika Sambega siap untuk melontarkan
serangan, Lengkara itu berkata terbata -bata "Nanti dulu
kakang. Jangan tergesa -gesa. -
Sambega mengerutkan keningnya. Dengan heran ia
bertanya "Sejak kapan kau mengaku bahwa aku adalah
saudara seperguruanmu yang memiliki tataran y ang lebih
tua"- "Bukankah kita dapat berbicara dengan baik" Bukankah
kakang tidak akan membawa dendam dihati kakang itu
berkepanjangan tanpa ada batas akhirnya?" b erkata Lengkara
dengan gagap. "Apa y ang sebenarnya kau kehendaki, Lengkara" Kau
datang dengan niat y ang bulat untuk membunuhku, karena
usahamu beberapa waktu yang lalu telah gagal. Sekarang kau
bertanya, apakah aku m endendammu tanpa batas akhir" Apa
sebenarnya maumu" Siapakah y ang datang memburu" Aku
atau kau?" bertanya Sambega.
"Tetapi bukankah kita mempunyai nalar budi. Mempunyai
mulut untuk berbicara dengan baik?" Lengkara menjadi
semakin gelisah. "Sekarang, bersiaplah" berkata Sambega "sudah aku
katakan apakah kau bersiap atau tidak, aku akan segera
mulai." "Kakang " potong Lengkara.
Sambega tidak mengiraukannya. Iapun kemudian benarbenar
telah mempersiapkan dirinya untuk bertempur.
Namun tiba-t iba saja Lengkara telah berlutut
dihadapannya. Orang yang berwajah garang itu dengan
memelas minta belas kasihan saudara seperguruannya
"Kakang, aku mohon am pun."
"Apakah kau masih berhak minta ampun" Jika kau mampu
menghidupkan kembali isteri dan anakku y ang kau bunuh
tanpa melakukan kesalahan itu, maka kau akan aku ampuni."
Adalah diluar dugaan. Lengkara yang datang untuk
membunuh itu tiba-tiba saja m enangis. Sambil menyembah
dihiadapan Sambega ia minta untuk diampuni.
"Waktu itu, aku melakukannya tanpa kesadaran kakang.
Iblis telah merasuk didalam jiwaku, sehingga aku telah
melakukan apa yang tidak aku kehendaki."
"Dan bagaimana perasaanmu ketika kau berangkat mencari
aku dengan niat untuk membunuhku?" bertanya Sambega.
"Iblis itu memang belum meninggalkan jiwaku. Nalar
budiku telah dicengkamnya sehingga aku tidak mampu
melawan bisikannya yg jahat itu." Lengkarapun menangis
dihadapan Sambega. "Lengkara " berkata Sambega dengan nada berat "sekarang,
jantungku juga sedang dikuasai oleh iblis yang sama dengan
iblis yang merasuki jiwamu. Karena itu, maka akupun tidak
mampu melawan bisikannya. Aku ingin membunuhmu."
"Ampun, kakang. Aku m ohon ampun" sambil berlutut dan
membungkuk sampai dahinya meny entuh tanah, Lengkara
menangis seperti kanak-kanak.
"Pengecut kau" Sambega membentak keras-keras "bangkit.
Kita selesaikan per soalan kita sebagaimana seorang laki-laki
menyelesaikan per soalannya. Kau sudah terlanjur membunuh
isteri dan anakku. Aku tidak peduli apa y ang kau lakukan itu."
"Kakang, aku mohon ampun kakang. Aku m ohon ampun"
tangis Lengkara sambil berpegangan kaki Sambega.
Ketegangan y ang sangat telah mencengkam jantung
Sambega. Dendamnya sampai menggapai langit. Tetapi ia
tidak dapat membunuh seseorang yang tidak siap melawannya
dalam pertempuran y ang jujur. Ia tidak dapat memukul kepala
Lengkara selagi orang itu membungkuk sambil menangis,
berpegangan kakinya untuk mohon ampun.
Meskipun Sambega sudah siap dengan ilmu puncaknya,
namun ia masih menahan diri. Gejolak perasaannya itu ju stru
membuat dadanya menjadi sesak.
Sementara itu Lengkara masih menangis sambil mohon
ampun. Ia berpegangan kaki Sambega erat-erat, seakan-akan
tidak akan dilepaskannya.
Dengan demikian m aka Sambega menjadi semakin raguragu.
Yang terdengar adalah gemeretak giginya menahan
dendam y ang membakar dadanya. Tangannya sudah siap
menaburkan ilmu puncaknya itu m enjadi gemetar. Tetapi ia
tidak meremas kepala Lengkara y ang seakan-akan telah
pasrah. Sambil menghentakkan tangannya Sambega itu berkata
lantang "Bangkit kau pengecut. Kita akan menyelesaikan
persoalan kita. Cepat, atau aku akan meremukkan k epalamu
tanpa perlawanan sama sekali."
"Ampun kakang, ampun" tangis Lengkara.
Sambega masih menggeretakkan giginya sambil menahan
diri. Namun ia sama sekali t idak menyangka, bahwa sambil
berpura-pura menangis, Lengkara telah mempersiapkan
serangan ilmu pamungkasny a.
Karena itu, ketika Lengkara menduga bahwa Sambega telah
menjadi lengah, tiba -tiba saja Lengkara itu bangkit berdiri
dengan cepat. Segala kekuatan dan kemampuan ilmunya telah
dipusatkannya pada sisi telapak tangannya.
Sambega terkejut. Tetapi semuanya itu terjadi demikian
cepatnya sehingga tidak banyak
memberi kesempatan kepada
Sambega untuk melawan serangan
yang tiba -tiba itu dengan segenap
kemampuannya. Dengan demikian, ketika tangan
Lengkara itu terayun, maka Sambega
telah berusaha mengerahkan ilmunya
dengan sangat tergesa -gesa. Sambega
hanya dapat sekedar meny ilangkan
kedua tangannya untuk menyalurkan
ilmunya itu membentur kekuatan
ilmu Lengkara yang dapat dipersiapkan sebaik-baiknya.
Benturan itu kemudian telah terjadi. Akibatnya memang
sangat mengejutkan. Lengkara y ang mendapat kesempatan
jauh lebih baik dari saudara seperguruannya sempat
mengungkapkan segenap kemampuan ilmunya, sementara
Sambega tidak mempunyai kesempatan sebagaimana
Lengkara. Untunglah bahwa sejak sebelumnya ia sudah
mempersiapkan diri pada tataran ilmu tertingginya, sehingga
dengan demikian, maka sisi telapak tangan Lengkara itu masih
juga tertahan oleh tangan Sambega y ang bersilang.
Namun Sambega itu telah terdorong beberapa langkah
surut. Benturan itu bagaikan hentakan y ang sangat kuat yang
terjadi di dalam dirinya. Benturan ilmu y ang tidak seimbang
itu seolah-olah telah memental dan m emukul bagian dalam
dada Sambega. Semua orang y ang menyaksikan serangan itu terkejut.
Mereka tidak mengira sama sekali, bahwa demikian liciknya
Lengkara sehingga dengan sangat curang ia telah berusaha
membunuh saudara seperguruannya itu.
Sebenarnyalah Lengkara m emang sudah tidak lagi dapat
berpikir bening. Meskipun ia sendiri terdorong selangkah
surut, namun keadaannya jauh lebih baik dari Sambega.
Dalam k eadaan putus a sa, maka ia tidak mempunyai pilihan
kecuali membunuh Sambega dengan cara apapun juga tanpa
memikirkan akibat y ang dapat terjadi pada dirinya.
Dalam pada itu, ketika ia melihat Sambega terhuyunghuyung
beberapa langkah surut, maka Lengkara telah
mempersiapkan dirinya kembali. Dalam sekejap iapun telah
meloncat memburu Sambega untuk mengayunkan
serangannya yang kedua. Dengan demikian maka ilmunya
akan dapat m enghancurkan dahi Sambega yang sudah tidak
akan mampu melawannya sama sekali.
Namun Lengkara itupun terkejut pula. Demikian ia
meluncur sambil mengayunkan tangannya untuk menghan
curkan dahi Sambega dengan sisi telapak tangannya, maka
Lengkara itupun melihat bayangan lain yang sempat meloncat


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membentur serangannya. Dua kekuatan ilmu puncak y ang bersumber dari perguruan
yang sama telah saling berbenturan. Widigda y ang sangat
marah melihat sikap dan perbuatan Lengkara telah dengan
serta merta melibatkan diriny a. Meskipun agak tergesa -gesa,
tetapi Widigda masih sempat meny iapkan ilmunya dengan
mapan. Demikian Lengkara meloncat mem buru Sambega,
maka Widigda telah membentur ilmu adik seperguruannya itu
dengan ilmu yang sama. Ternyata Widigda juga terguncang, sehingga iapun telah
terdorong selangkah surut. Namun akibatnya bagi Lengkara
ternyata sangat buruk. Karena ia tidak dapat mempersiapkan
ilmunya sebagaimana yang diayunkan menghantam Sambega
yang pertama, m aka benturan itu telah m enentukan segalagalanya.
Lengkara masih sempat melihat Widigda yang sudah
tidak berday a. Lengkarapun sempat merasakan benturan yang
terjadi. Demikian dahsy atnya, sehingga seisi dadanya seakanakan
telah meledak sehingga seluruh isi dadanya itu telah
menjadi r ontok kare nanya.
Lengkara sempat mengumpat kasar. Namun ketika
kemudian tubuhnya terbanting jatuh, maka iapun segera
terdiam. Lengkara hanya sekali menggeliat. Selanjutnya, maka
Lengkara itu telah terbunuh oleh saudara seperguruannya
sendiri. Widigdapun kemudian berdiri terengah-engah. Benturan
itu telah menyakiti dadanya pula. Nafasny a memang terasa
sesak. Namun day a tahannya masih mampu mengatasinya.
Halaman itu sekejap menjadi hening. Bahkan anginpun
seakan-akan telah berhenti berhembus. Tiga sosok tubuh
terbaring diam di halaman itu. Tubuh raksasa y ang bagaikan
menjadi hangus. Kemudian tubuh Lengkara yang juga sudah
tidak bernafas lagi. Sedangkan tubuh Sambega juga nampak
terbaring diam. Tetapi ketika kemudian Mahisa Murti
menempelkan telinganya di dadanya, ia masih mendengar
detak jantungnya betapapun lambatnya.
Ternyata Widigda masih mampu mengatasi perasaan
sakitny a. Iapun tergesa-gesa mendekati Sambega yang
terbaring. "Ia pernah mengalami keadaan serupa. Tetapi waktu itu
dengan luka-luka di tubuh dan wajahnya, ternyata ia m asih
dapat ditolong. Yang Maha Agung masih memperkenankan
Sambega menyambung umurnya. " desis Widigda.
"Mudah-mudahan kali ini, Ki Sambega masih dapat
diselamatkan pula. " desis Mahisa Murti.
"Aku akaii mencoba mengobatinya " berkata Widigda
"namun segala sesuatunya tergantung kepada Yang Maha
Agung." Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Wantilan dan Mahisa Semu telah mempersiapkan para cantrik
untuk mengamati kawan-kawan Lengkara y ang masih ada di
halaman itu, sementara Mahisa Amping menunggui para
cantrik yang sedang dirawat.
Namun ternyata bahwa kawan-kawan Lengkara y ang
datang bersamanya tidak berbuat apa-apa. Mereka benarbenar
telah meny erah setelah mereka melihat bagaimana
Mahisa Murti menghabisi perlawanan orang bertubuh raksasa
itu, sedangkan Lengkara telah dihancurkan oleh saudara
seperguruannya sendiri. Ternyata Widigda masih mempunyai harapan atas Sambega
yang terluka parah. Beberapa orang cantrikpun kemudian
telah membawanya ke pendapa, sementara Widigda dengan
obat -obatan y ang dibawanya mencoba untuk mengobati lukaluka
Sambega. Bukan saja y ang dapat dilihat pada kulit dan
dagingnya, tetapi juga luka di bagian dalam tubuhnya.
Mahisa Murtilah y ang kemudian b erbicara kepada kawankawan
Lengkara "Nah, siapakah di antara kalian yang ingin
membela Lengkara" Katakan. Serta cara apakah yang
dikehendaki. Perang tanding atau cara y ang lain?"
Tidak seorangpun yang menjawab. Orang-orang y ang sudah
dikumpulkan itu hanya menundukkan kepalanya saja.
Gambaran mereka tentang Padepokan Bajra Seta benarbenar
telah pecah berserakan. Mereka mengira bahwa
Pa depokan y ang dipimpin oleh seorang y ang masih sangat
muda itu, tidak lebih dari sekedar nafsu ketamakan anak muda
Lembah Nirmala 9 Pendekar Mata Keranjang 21 Prahara Dendam Leluhur Terbang Harum Pedang Hujan 18
^