Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 30

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 30


itu saja. Tanpa menimbang kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi, anak yang masih muda itu telah membuat sebuah
padepokan. Tetapi ternyata bahwa dugaan itu salah. Anak muda itu
bukan sekedar seorang yang dibakar oleh gejolak
kemudaannya serta landasan ketamakannya y ang melambung
sampai ke langit. Namun anak muda itu benar-benar seorang
anak muda y ang memiliki bekal yang sangat mencukupi.
Karena itu, m aka sembilan orang kawan Lengkara itupun
segera diperlakukan sebagai tawanan yang dijaga sangat ketat
oleh para cantrik, karena kebanyakan dari mereka adalah
orang-orang y ang berilmu tinggi.
Sembilan orang itu telah disimpan dalam bilik-bilik
terpisah agar mereka tidak dapat saling berbincang yang satu
dengan y ang lain. Apalagi m erencanakan sesuatu yang dapat
menggoncangkan ketenangan Padepokan Bajra Seta.
Sementara itu, Widigda y ang merawat saudara
seperguruannya, semakin berpengharapan, bahwa Sambega
itu dapat sembuh kembali Dalam pada itu, Lengkara dan orang y ang bertubuh raksasa
itupun telah dikuburkan pula. Beberapa orang cantrik yang
terluka telah mendapat perawatan sebaik-baiknya.
Untunglah, meskipun luka mereka cukup parah, tetapi
dengan bantuan Ki Widigda, maka agaknya luka-luka m ereka
akan dapat diobati. Di hari-hari berikutnya, Widigda dan Mahisa Murti sempat
berbincang dengan sembilan orang kawan Lengkara seorang
demi seorang. Pada umumnya mereka memang sering
menyalah gunakan kemampuan mereka y ang tinggi untuk
kepentingan diri mereka. Bahkan kadang-kadang dengan
kekerasan mereka merampas milik orang lain.
"Kenapa kalian tidak memanfaatkan kemampuan kalian
untuk hal -hal yang baik?" bertanya Widigda.
"Aku tidak pernah mendapat kesempatan" jawab orang
yang agak gemuk, y ang telah kehilangan sebagian kekuatan
dan kemampuannya karena terhisap oleh ilmu Mahisa Murti.
Namun yang ternyata kemudian telah pulih kembali.
"Ketika aku mulai berguru " berkata orang itu "sama sekali
tidak terlintas di kepalaku, bahwa pada suatu saat aku akan
melakukan perbuatan yang melawan nilai-nilai hubungan
antar sesama itu. " "Jadi bagaimana hal itu kau lakukan?" bertanya Mahisa
Murti. Orang itu menunduk dalam-dalam. Kemudian dengan nada
rendah ia berkata "Aku tidak m empunyai kesempatan yang
lain. Aku tidak mempunyai kecakapan dan ketrampilan
berbuat apapun selain berkelahi. Karena itu, maka aku telah
terjerumus ke dalam dunia kekerasan seperti ini. "
"Apa y ang kau maksud dengan kesempatan itu?" desak
Mahisa Murti. "Di padukuhanku, aku tidak mendapat kepercayaan untuk
menjadi bebahu padukuhan apalagi bebahu Kabuyutan. Aku
dianggap orang yang tidak m empunyai pengalaman apapun
sehingga aku tersisih dari kemungkinan mendapat pekerjaan
yang wajar. Sementara itu bagaimana mungkin aku tiba-tiba
sa ja mendapatkan pengalaman jika tidak seorangpun pernah
memberikan kesempatan. "
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Ki
Sanak. Seharusny a kau tidak tergantung kepada kesempatan
yang diberikan orang lain. Apakah kau tidak mempunyai
sawah atau pategalan" Mak sudku, apakah orang tuamu tidak
mempunyai sehingga kau lebih senang bertualang daripada
mengerjakan sawah, ladang dan pekarangan?"
Orang itu m enundukkan kepalanya. Katanya dengan nada
rendah hampir tidak terdengar "Aku tidak mempunyai gairah
untuk mengerjakan sawah dan ladang. "
"Apakah aku boleh meny ebut sifat seseorang sebagaimana
kau Ki Sanak?" bertanya Mahisa Murti.
Orang itu mengerutkan dahinya, sementara tanpa
menunggu jawabnya, Mahisa Murti berkata "Menurut
pendapatku, kau terlalu malas. Kau ingin melakukan
pekerjaan y ang mudah, cepat dan mendapat hasil yang banyak
tanpa menghiraukan kesulitan y ang kau timbulkan pada orang
lain." Orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara
Mahisa Murti berkata selanjutnya "Dengan modal
kemampuanmu dalam olah kanuragan, maka kau dapat
berbuat sewenang-wenang. Orang lain tidak mampu
mencegahmu, karena kau akan membinasakannya. Tetapi
dengan tindakanmu itu, maka kau tidak lagi m enjadi bagian
dari hidup bebrayan."
Orang itu m enarik nafas panjang. Hampir tidak terdengar
ia berdesis "Aku menyadarinya."
"Selanjutnya tergantung kepadamu, apakah kau akan
berubah atau tidak. Jika kau merubah, maka kau harus
merubah menjadi lebih baik. Bukan sebalikny a. Jika kau
benar-benar berbuat demikian, maka hidupmu akan
memberikan arti, bukan saja bagimu sendiri. Tetapi juga bagi
bebrayan agung. Bagi banyak orang."
Orang itu mengangguk-angguk kecil. Dari sorot dimatanya,
Mahisa Murti dan Widigda memang melihat peny esalan yang
dalam. Sehingga karena itu, maka Mahisa Murtipun berkata
"Ki Sanak. Jika kau bersungguh-sungguh akan berubah, maka
kau masih mempunyai kesempatan."
Orang itu mengangguk lemah. Namun tiba-tiba berkata
perlahan-lahan dengan penuh keraguan "Ki Sanak. Jika
diperkenankan, aku ingin tinggal di padepokan ini. Meskipun
seandainya aku tidak diterima sebagai cantrik, biarlah aku
menjadi juru madaran atau budak sekalipun."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Iapun menjadi
ragu-ragu. Ia tidak tahu pasti apakah orang itu benar-benar
berubah atau hanya berubah untuk sementara. Jika
kehadirannya justru membawa pengaruh y ang kurang baik
bagi murid-muridnya, maka diantara benih y ang ditaburnya di
padepokan itu telah tumbuh pula benalu y ang ganas.
Mahisa Murti sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu curiga.
Namun perubahan yang tiba -tiba akan dapat mengelabuinya
karena perubahan itu hanya akan terjadi sementara.
Karena itu, maka katanya "Ki Sanak. Bukan maksudku
untuk menolak kehadiranmu di Padepokan Bajra Seta. Tetapi
kau sendirilah yang kemudian akan terkekang disini. Karena
itu, maaf bahwa untuk sementara aku tidak dapat menerima
niatmu yang sebenarnya sangat baik itu. Seharusnya aku
mengucapkan terima kasih kepadamu. Tetapi sayang, untuk
waktu dekat ini, aku belum dapat menerima. Aku tidak tahu,
apakah pada waktu yang lain, aku dapat membuka pintu
bagimu." Orang bertubuh agak pendek itu menunduk. Ia tahu bahwa
ia tidak akan dapat membersihkan namanya dalam sekejap.
Itupun seakan-akan ia terpaksa melakukan karena tidak
mempunyai pilihan lain. Dengan nada rendah ia berkata "Baiklah Ki Sanak. Aku
mengerti bahwa untuk mengunjungi perjamuan, aku memang
harus mandi dahulu, berbenah diri dan memakai pakaian yang
patut. Karena itu, b iarlah aku m elakukannya. Jika kelak pada
suatu saat, aku merasa sudah patut untuk mengunjungi
perjamuan, maka aku akan datang kembali."
"Maaf Ki Sanak. Jangan diartikan sebagai satu penolakan.
Tetapi aku tinggal bersama banyak orang di Padepokan Bajra
Seta ini, sehingga aku harus memperhitungkan banyak
kemungkinan pula." Orang y ang bertubuh gemuk itu mengangguk-angguk kecil.
Ia sadar sepenuhnya bahwa ia masih berada dibawah
bay angan kesalahan y ang dilakukannya karena ia ikut bersama
Lengkara menyerang Padepokan itu.
Dalam pada itu, ketika Mahisa Murti dan Widigda
berbicara dengan orang-orang yang lain, ternyata sebagian
besar dari mereka berniat tinggal di Padepokan Bajra Seta.
Namun Mahisa Murti terpaksa belum dapat menerima
mereka. Tetapi kepada m ereka Mahisa Murti berkata "Tetapi
jika setiap saat kalian datang ke Padepokan Bajra Seta, maka
kami akan menyambut kalian dengan sebaik-baiknya. Kalian
akan kami terima sebagai sahabat kami y ang baik selama
kalian tidak melakukan perbuatan yang tercela. Tetapi jika
kalian masih melakukan perbuatan yang melanggar nilai-nilai
kehidupan banyak orang, maka kami, orang-orang Padepokan
Bajra Seta adalah musuh-musuh kalian y ang utama."
Orang-orang itu menyadari arti ancaman Mahisa Murti.
Merekapun menyadari bahwa ancaman itu bukan ancaman
sekedar menakut-nakuti mereka, karena Mahisa Murti
memang seorang y ang berilmu sangat tinggi.
Namun dalam pada itu, Mahisa Murti memang tidak
bermaksud untuk tetap menahan orang-orang itu di
padepokannya. Ketika mereka sudah berada di Padepokan
Bajra Seta selama sepuluh hari sebagai tawanan, maka dihari
berikutnya, Mahisa Murti berniat untuk melepaskan mereka.
Namun Mahisa Murti sempat mempertemukan mereka
dengan Sambega yang masih terbaring karena luka-luka
dibagian dalam tubuhnya meskipun keadaannya sudah
berangsur menjadi baik. Mereka juga dibawa oleh Mahisa
Murti menemui para cantrik y ang terluka parah. Bahkan
seorang diantara para cantrik itu m asih belum dapat bangkit
dan duduk dipembaringannya karena luka-lukanya yang
parah, meskipun agaknya jiwanya akan dapat tertolong.
Orang-orang itu memang menundukkan kepalanya. Mereka
seakan-akan dihadapkan pada sebuah cermin untuk melihat
cacat-cacat jiwanya yang dapat merugikan dan bahkan
mengancam keselamatan orang lain y ang tidak ber salah sama
sekali. Oraag-orang yang tiba -tiba saja dihadapkan pada satu
bencana yang mengancam jiwanya.
Kepada orang-orang y ang akan dilepaskannya itu Mahisa
Murti masih memberikan beberapa pesan. Dengan
memperhatikan orang-orang y ang terluka itu, m aka Mahisa
Murtipun berkata "Nah, kalian harus selalu mengingat, bahwa
orang-orang yang terluka itu tidak ber salah. Banyak peristiwa
dapat terjadi, bahwa orang y ang tidak bersalah dapat menjadi
korban karena ketamakan seseorang."
Orang-orang yang akan meninggalkan Padepokan Bajra
Seta itu m engangguk-angguk. Mereka benar-benar tersentuh
oleh pesan Mahisa Murti. Bahkan untuk m enekankan pesanpesannya
Mahisa Murti berkata "Ki Sanak. Aku dapat berkata
dengan nada lunak kepada kalian. Tetapi pada da sarnya aku
bukan seorang y ang sabar. Jika aku m endengar kalian masih
melakukan tindakan y ang bertentangan dengan kesediaan
kalian sendiri, maka aku tidak akan segan-segan berbuat
sebagaimana sudah aku lakukan."
Orang-orang itu hanya menunduk saja, sementara Widigda
menambahkan "Aku dan Sambega yang sudah mulai sembuh
akan berbuat sebagaimana angger Mahisa Murti. Kamipun
tidak akan segan-segan berbuat sesuatu y ang barangkali keras
dan kasar atas seseorang diantara kalian yang masih akan
mengulangi perbuatan kalian."
Orang-orang itu masih saja berdiam diri. Mereka memang
tidak dapat mengatakan sesuatu. Namun di wajah mereka
terbayang kesediaan mereka untuk melakukan pesan-pesan
itu. Mahisa Murtipun kemudian berkata "Seperti yang sudah
aku katakan, pintu Padepokan Bajra Seta selalu terbuka buat
kalian. Datanglah kapan saja kalian ingin datang. Kalian akan
kami terima dengan senang hati."
Dengan suara yang bergetar seorang diantara m erekapun
kemudian menyatakan terima kasih mereka atas perlakuan
yang mereka alami. Meskipun mereka datang dengan niat
yang jahat, namun mereka mendapat perlakuan y ang baik dan
bahkan mereka merasa seakan-akan mereka menjadi tamu
Pa depokan y ang telah mereka kacaukannya itu. Bahkan
beberapa orang cantrik telah jatuh menjadi korban. "
"Kami tidak dapat mengatakan apapun selain ucapan
terima kasih y ang tidak terhingga. Mudah-mudahan kami
dapat mengungkapkan perasaan terima kasih itu dengan
tingkah laku kami setelah kami meninggalkan Padepokan
Bajra Seta ini." Mahisa Murtipun mengangguk-angguk sambil berkata "Aku
percaya bahwa kalian akan dapat melakukannya."
Demikianlah m aka orang -orang itupun segera minta diri.
Mahisa Murti, Widigda dan beberapa orang yang lain
mengantar mereka sampai ke pintu gerbang halaman
Pa depokan Bajra Seta. Diluar pintu gerbang, seorang diantara mereka y ang
meninggalkan Padepokan Bajra Seta itu berkata "Kami akan
berpencar. Jika kami masih bergabung, maka masih ada
kemungkinan kami mengulangi perbuatan kami. Jika kami
berpencar, seandainya ada diantara kami y ang terjerumus
kembali kedalam dunia yang hitam itu, maka biarlah y ang lain
memperingatkan kami. Kami sudah bersepakat untuk setiap
kali bertemu dan menilai kembali jalan kehidupan kami
masing-masing." "Dimana kalian akan bertemu ?" bertanya Widigda.
"Tiga bulan lagi kami akan bertemu dirumahku " jawab
orang y ang bertubuh agak gemuk "selanjutnya kami akan
menemukan kapan dan dimana kami akan bertemu lagi."
"Bagus" desis Widigda. Seakan-akan diluar sadarnya ia
berpaling kepada Mahisa Murti. Tetapi ia tidak mengatakan
sesuatu. Meskipun demikian Mahisa Murti melihat bahwa ada
yang akan dikatakan oleh Widigda.
Karena itu, maka iapun bertanya "Apakah ada pendapat
jyang dapat membantu mereka ?"
Widigda menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Bagaimana
jika pertemuan itu dilakukan di Padepokan Bajra Seta jika
angger Mahisa Murti mengijinkan ?"
Mahisa Murti ter senyum. Katanya "Tentu. Aku tidak akan
berkeberatan. Bukankah aku mempersilahkan mereka untuk
setiap kali singgah di Padepokan Bajra Seta ini."
"Nah" berkata Widigda "kau dengar itu ?"
"Terima kasih " berkata salah seorang dari m ereka "kami
tentu akan sangat bersenang hati atas kesempatan itu. Jika
kami sudah m engadakan pertemuan y ang pertama itu, maka
kami akan datang untuk m emberitahukan, kapan kami akan
mengunjungi dan bertemu di Padepokan ini."


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Murti terseny um. Katanya "Ba iklah. Aku
menunggu. Seperti yang sudah aku katakan, pintu Padepokan
ini terbuka bagi kalian."
"Terima kasih" jawab beberapa orang hampir berbareng.
Demikianlah, maka sembilan orang itu telah meninggalkan
Pa depokan Bajra Seta. Mereka memang berpencar seperti
yang m ereka katakan. Ada yang berdua, tetapi ada juga yang
bertiga. Mereka mencoba untuk tidak saling bergantung dan
sal ing mempengaruhi agar mereka tidak terjerumus lagi
kedalam kelakuan mereka terdahulu. Dengan berpencar
mereka akan mendapatkan suasana baru dalam petualangan
dan pengembaraan mereka. Namun ternyata dengan
demikian, orang-orang itu mulai merindukan rumah m ereka,
kampung halaman mereka dan bayangan tentang hidup
sewajarnya. Sepeninggal mereka, maka Widigdalah y ang nampak
banyak merenung. Rasa-rasanya ada sesuatu yang
dipikirkannya. Tetapi Mahisa Murti mencoba untuk mengerti. Sambega
masih terbaring di pembaringan meskipun keadaannya
menjadi berangsur baik. Namun diluar pengetahuan Mahisa Murti, Widigda dan Sambega
telah berbicara diantara mereka.
Dengan penuh kesungguhan Sambega berkata "Kakang,
nampaknya di Padepokan Bajra Seta
ini aku menemukan ketenangan.
Jiwaku y ang gelisah oleh peristiwaperistiwa
y ang terjadi atas diriku,
membuat aku hampir menjadi putus
asa. Aku kira aku tidak akan pernah
mengalami satu kesempatan bahwa
aku masih merasa hidup diantara
orang-orang lain. Tetapi ternyata
disini aku telah menemukannya. "
Widigda mengangguk-angguk. Katanya "Aku mengerti
Sambega. Tetapi ternyata angger Mahisa Murti tidak atau
barangkali belum dapat menerima kawan-kawan Lengkara
tinggal disini. Meskipun kita tahu, bahwa Mahisa Murti tentu
akan dapat membedakan antara kau dan Lengkara."
"Apakah kira-kira angger Mahisa Murti masih m encurigai
aku?" bertanya Sambega.
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut dugaanku, angger
Mahisa Murti tidak akan mencurigaimu lagi. Meskipun
demikian, aku tidak tahu apa y ang tersimpan dihatinya."
berkata Widigda. Sambega mengangguk-angguk kecil. Namun katanya
kemudian "Kakang, bagaimanapun juga aku akan mencoba
untuk menyampaikan hal ini kepada angger Mahisa Murti.
Tetapi untuk memperkuat kemungkinan agar permohonanku
kepada angger Mahisa Murti, aku minta kakang Widigda
menyampaikan hal ini kepadanya. Kakang tahu, bahwa aku
tertarik sekali kepada angger Mahisa Amping yang umurnya
kira-kira sama dengan umur anakku saat ia terbunuh. Selain
Pa depokan Bajra Seta ini terasa tenang, akupun dapat ikut
membantu perkembangan anak itu. Meskipun ilmu angger
Mahisa Murti tidak tertandingi, namun aku dapat
melengkapinya dengan sedikit kemampuan y ang ada padaku."
Widigda mengangguk-angguk. Katanya "Sambega. Aku
akan mencobanya. Tetapi keputusan terakhir berada ditangan
angger Mahisa Murti. Mudah-mudahan ia dapat mengerti
perasaanmu dan sekaligus tidak mencurigaimu lagi."
"Terima kasih kakang. " desis Sambega. Tetapi iapun
kemudian bertanya "Selanjutnya, apakah rencana kakang
Widigda sendiri dalam waktu dekat?"
"Aku akan pulang. Bukankah aku mempunyai keluarga"
Selain itu, aku harus menjaga padepokan kecil y ang telah
ditinggalkan oleh guru yang telah menghadap kembali kepada
Yang Maha Agung. Bagaimanapun juga tempat itu pernah
menjadi tempat kita m enempa diri, meskipun hasilny a tidak
lebih dari apa yang kita miliki sekarang serta perselisihan
diantara saudara seperguruan."
Sambega mengangguk kecil. Katanya "Sokurlah jika kakang
Widigda bersedia memelihara padepokan kecil kita. Sekalisekali
kita m emang m erindukan m asa-masa silam m eskipun
kita sadar, bahwa kita tidak akan dapat kembali ke masa itu."
Widigda m enarik nafas dalam-dalam. Keinginan Sambega
itu akan menjadi beban baginya. Meskipun agak ragu, Widigda
bertanya "Sambega, apakah tidak pernah terpikir olehmu,
bahwa kau akan tinggal di padepokan kita itu?"
"Sebenarnyalah aku juga ingin melakukannya kakang.
Tetapi jika aku berada di padepokan kecil itu, maka aku akan
selalu dibay angi oleh kepahitan hidupku sehingga hampir saja
membuat aku berputus asa. Jika aku merindukan masa
lampau, tentu aku akan berusaha mengenang masa2 yang
manis saja." Widigda mengangguk-angguk. Katanya "Ba iklah. Aku akan
mencobanya. Aku akan berbicara dengan angger Mahisa
Murti." Ju stru karena kesediaan Widigda untuk menyampaikan
keinginan Sambega itulah, maka Widigda sendiri ju stru
nampak sering merenung. Kadang -kadang jantungnya benarbenar
dicengkam oleh k eragu-raguan. Mungkin sebagaimana
kawan-kawan Lengkara, Mahisa Murti masih belum dapat
menerima Sambega untuk tinggal dilingkungan keluarga
Pa depokan Bajra Seta. Tetapi ia memang harus mencoba.
Betapapun keragu-raguan mencengkam jantungnya,
namun akhirnya Widigdapun menyampaikan keinginan
Sambega itu kepada Mahisa Murti.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah
menolak perm intaan kawan Lengkara untuk tinggal di
Pa depokan itu. Namun Mahisa Murti memang mencoba untuk
menilai perbedaan antara Sambega dan kawan Lengkara itu.
"Tetapi segalanya terserah kepada angger Mahisa Murti"
berkata Widigda "jika aku yang menyampaikan permohonan
Sambega itu, karena Sambega sendiri tidak dapat
menyampaikannya." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Aku memang
menganggap bahwa paman Sambega agak berbeda dari
kawan-kawan Lengkara. Kepada mereka aku memang m asih
belum dapat memberikan kepercayaan sepenuhnya.
Sedangkan kepada paman Sambega, aku sudah tidak menaruh
kecurigaan sama sekali."
"Apakah dengan demikian, angger bermaksud menerima
kehadiran Sambega di Padepokan Bajra Seta ini?"
"Ya, tentu paman. Aku akan dengan senang hati m enerima
paman Sambega. Namun dengan keadaan seperti apa y ang ada
ini. Sibuk dan barangkali tidak ada ketenangan. "
"Tidak ngger. Justru Sambega mendapat ketenangan di
Pa depokan ini. Ketenangan baginya bukan berarti diam, tidak
ada gerak dan tantangan. Justru kesibukan dan tantangan
akan memberikan kegairahan pada jiwanya y ang telah dikoyak
oleh perbuatan jahat saudara seperguruannya sendiri."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya "Jika
demikian, kami akan mengucapkan terima kasih atas
kesediaan paman Sambega untuk tinggal disini. Paman
Sambega akan dapat menjadi kawan paman Wantilan. Dengan
demikian maka tugasku akan menjadi semakin ringan."
"Bukan ngger. Tetapi mungkin Sambega justru akan
menambah beban angger. Tetapi jika pada suatu saat angger
memang tidak dapat lagi membiarkannya berada di
padepokan ini, maka angger dapat berterus terang
kepadanya." berkata Widigda.
"Kenapa aku tidak dapat membiarkan paman Sambega
disini" Jika sikap kita masing-masing wajar, maka tentu tidak
akan ada alasannya untuk tidak dapat tinggal bersama-sama
disatu tempat. Kecuali jika salah seorang diantara kami
berbuat sesuatu y ang tidak sepatutnya dilakukan."
"Terima kasih ngger. Sambega tentu akan merasa gembira
sekali atas keputusan yang angger ambil itu. Dengan demikian
akupun berharap, bahwa orang itu akan dapat menemukan
kembali kewajaran penalaran sehingga tidak melakukan
perbuatan-perbuatan y ang nampaknya merupakan satu
kejahatan." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia tahu maksud
Widigda. Dalam kegoncangan jiwa, Sambega memang
melakukan perbuatan yang dapat dianggap kejahatan,
sebagaimana ia berusaha untuk membawa Mahisa Amping.
Latar belakang jiwani yang mendor ongnya melakukan
perbuatan itu sama sekali tidak mampu dikendalikannya,
sehingga perbuatan-perbuatannya akan dapat membahayakan
dirinya sendiri. Karena itu, maka dengan penuh pengertian Mahisa Murti
menerima permintaan Sambega itu. Bahkan ketika ia
berbicara dengan Wantilan dan Mahisa Semu, maka
keduanyapun sama sekali tidak berkeberatan.
Tetapi Mahisa Amping dengan ragu-ragu telah bertanya
"Apakah orang itu tidak berbahaya bagiku kakang?"
"Tidak Amping, pada dasarnya ia memang tidak berbahaya.
Yang terjadi itu adalah karena goncangan perasaan yang
hampir tidak dapat ditanggungkannya. " jawab Mahisa Murti.
"Apakah jiwanya sekarang sudah tenang kakang?" bertanya
Mahisa Amping pula. "Agaknya memang demikian. Apalagi setelah kematian
orang yang membunuh anak dan isterinya itu. Seakan-akan
himpitan jiwanya telah terangkat" jawab Mahisa Murti.
"Apakah peny akit seperti itu tidak akan dapat kambuh lagi,
kakang?" Mahisa Amping masih bertanya.
Mahisa Murti tersenyum. Katanya "Jika terjadi persoalan
yang rumit dan tidak mampu diatasinya, memang mungkin ia
mendapat goncangan jiwa lagi. Tetapi, ia m erasa mendapat
ketenangan di Padepokan ini, sehingga mudah-mudahan tidak
akan terjadi lagi persoalan yang menghimpit jiwanya sehingga
paman Sambega itu kehilangan pegangan. "
Mahisa Amping termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian, iapun mengangguk-angguk kecil sambil berdesis
"Mudah-mudahan."
Dengan demikian, maka Sambega merasa bahwa dirinya
telah menjadi bagian dari Padepokan Bajra Seta. Ketika
Widigda menyampaikan keputusan menerimanya tinggal di
Pa depokan itu, maka iapun menjadi sangat gembira.
Dari hari ke hari, maka luka -luka Sambega telah berangsur
sembuh. Terutama luka bagian dalam tubuhnya. Setiap pagi
Sambega telah berjalan-jalan mengelilingi Padepokan itu
bersama Widigda yang masih selalu merawatnya. Kadangkadang
Sambega telah mengajak Mahisa Amping untuk
berjalan-jalan bersamanya.
Meskipun kadang-kadang masih ragu, namun Mahisa
Amping tidak menolaknya. Bersama dengan Sambega dan
Widigda, Mahisa Amping kadang-kadang berjalan-jalan tidak
sa ja di dalam lingkungan Padepokannya, namun juga keluar
dari Padepokan menyusuri sawah dan ladang.
Setelah beberapa hari berada di Padepokan Bajra Seta,
maka Sambegapun menjadi semakin baik. Bahkan t enaganya
rasa-rasanya telah pulih kembali. Sekali-sekali ia sudah
mencoba untuk berlatih di sanggar Padepokan Bujra Seta
dengan peralatan yang ada.
Dalam pada itu, ketika keadaan Sambega telah benar-benar
pulih kembali, maka Widigdapun merasa bahwa kewajibannya
telah selesai. Jika ia harus tinggal terlalu lama di Padepokan
Bajra Seta, karena ia tidak ingin membuat penghuni
Pa depokan itu bertambah beban. Karena itulah, maka ia
menunggui Sambega sampai Sambega pulih dan mampu
melayani dirinya sendiri.
Dengan demikian maka Widigdapun mulai memikirkan
kepentingannya sendiri. Kepada Sambega ia menyatakan bahwa ia ingin
meninggalkan Padepokan itu dan pulang ke padepokan kecil
yang ditinggalkan gurunya. Ia memang pernah mendapat
pesan dari gurunya itu, agar ia m erawat padepokan kecil itu
sebaik-baiknya. "Meskipun padepokan kita adalah padepokan kecil y ang
tidak terhitung, tetapi sebaiknya kau pelihara sebaik-baiknya"
berkata gurunya sesaat sebelum ia dipanggil kembali oleh
Yang Maha Agung. Karena itulah, maka meskipun padepokan itu menjadi sepi
dan hanya dihuni oleh keluarganya saja, namun Widigda
merasa berkewajiban untuk melakukan pesan gurunya
sebaik2nya. Sambega tidak dapat menahan saudara seperguruannya
lebih lama lagi. Iapun mengerti, bahwa Widigda memang
harus berada di padepokannya.
Demikianlah, ketika tiba saatnya, maka Widigdapun telah
minta diri kepada Mahisa Murti, kepada Mahisa Semu, Mahisa
Amping, Wantilan dan seisi Padepokan Bajra Seta. Juga
kepada Sambega y ang telah menjadi pulih kembali serta telah
menjadi penghuni Padepokan Bajra Seta.
"Aku selalu berharap, paman singgah di Padepokan ini
apabila paman menempuh perjalanan." berkata Mahisa Murti.
"Tentu " jawab Widigda "bahkan aku tentu akan
memerlukan mengunjungi Padepokan Bajra Seta ini meskipun
aku tidak menempuh perjalanan kemanapun juga."
"Terima kasih " sahut Mahisa Murti "kami benar-benar
berharap." "Aku titipkan adik seperguruanku disini." berkata Widigda
kemudian. "Paman Sambega akan dapat membantu meningkatkan
kesejahteraan Padepokan ini lahir dan batin. Paman Sambega
yang mempunyai pengalaman y ang sangat luas akan sangat
berarti bagi perkembangan pengenalan kami atas lingkungan
yang lebih luas." "Jangan memuji begitu " berkata Sambega "aku harus
merasa bahwa aku bukan apa-apa disini, selain menumpang
untuk mendapatkan ketenangan."
"Jangan merajuk begitu " berkata Widigda sambil
tersenyum. Mahisa Murtipun tersenyum pula. Namun kemudian
Widigda itupun telah minta diri untuk meninggalkan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pa depokan Bajra Seta. Demikianlah, maka Sambega telah berusaha untuk
menyesuaikan hidupnya dengan kehidupan di padepokan
Bajra Seta. Sebelumnya ia memang tidak terbiasa untuk hidup
dalam kelompok yang besar. Ia terbiasa hidup seorang diri.
Bertualang dari satu tempat ketempat y ang lain. Bahkan
kadang-kadang tanpa tujuan. Sekali-sekali ia pulang ke
padepokan dan tinggal beberapa lama. Apalagi setelah jiwanya
terguncang. Ia semakin jauh dari lingkungannya. Ia merasa
hidup seorang diri tanpa sentuhan orang lain. Orang lain bagi
Sambega adalah benar-benar orang lain yang tidak saling
mempedulikan. Apalagi menyangkutkan kepentingan yang
satu dengan yang lain. Tetapi di Padepokan Bajra Seta, seorang tidak dapat lepas
dari kaitannya dengan orang lain. Mereka harus dapat hidup
dalam hubungan yang serasi. Yang satu selalu mengingat
kepentingan y ang lain. Jika seseorang mengalami kesulitan,
maka y ang lain wajib membantunya. Sehingga hidup di
Pa depokan itu rasa-rasanya seperti sekelompok orang yang
bersama-sama memikul beban. Berat atau ringan, semuanya
ikut memikulnya. Mula-mula Sambega memang merasakan kesulitan.
Kadang-kadang ia tidak tahu kenapa ia harus m elibatkan diri
dalam kerja yang dilakukan orang lain. Sambega juga mencoba
mengerti, bahwa ia harus ikut duduk-duduk bersama beberapa
orang yang sedang beristirahat dan berbincang-bincang yang
bagi Sambega tidak pernah dilakukannya sebelumnya.
Di Padepokan Bajra Seta itulah Sambega mulai m engenal
kebersamaan. Bahkan juga mengekang diri dan bertenggang
rasa. Membagi kesulitan namun juga bersama-sama
menikmati kepuasan jika kerja mereka berhasil.
Lebih dari itu semuanya, maka Sambega juga mulai
menekuni jalan hidup y ang sebelumnya kurang dimengerti.
Bagaimana ia berhubungan dengan Sumber Hidupnya.
Setelah beberapa lama berada di Padepokan Bajra Seta,
Sambega merasa dirinya menjadi orang lain. Ia memang tidak
dapat menghapus cacatnya. Cacat ditangannya. Cacat
diwajahnya serta cacat badani y ang lain. Tetapi lambat laun
Sambega dapat m enghapus sedikit demi sedikit cacat jiwani,
meskipun ia masih tetap menjadi manusia biasa dengan segala
kekurangannya. Mahisa Murti dan Wantilan mengamati perkembangan jiwa
Sambega dengan saksama. Wantilan yang juga pernah
mengalami gejolak sebagaimana dialami oleh Sambega.
Karena itu, maka ia merasa yakin, bahwa Sambega sama
sekali tidak berpura-pura. Sebagaimana dialaminya, maka
perubahan itu terjadi sampai keda sar kesadarannya yang
paling dalam. "Pada dasarnya ia bukan seorang y ang berhati kelam"
berkata Mahisa Murti. "Ya " Wantilan m engangguk-angguk "tingkah laku saudara
seperguruannya itulah yang telah membuatnya menjadi
seorang yang berkelakuan aneh sehingga sulit m engendalikan
diri sendiri. Dendamnya kadang-kadang meledak tanpa
mempertimbangkan sasarannya."
Mahisa Murti juga mengangguk-angguk. Katanya
"Kematian saudara seperguruannya itu telah menguras
dendamnya sampai kering. Itulah agaknya yang telah
membantunya menumbuhkan kesadaran didalam dirinya."
"Kita dapat mengharapkan tenaga dan kemampuannya.
Bagaimanapun juga ia memiliki ilmu y ang tinggi." desis
Wantilan. Sebagaimana diperhitungkan oleh Mahisa Murti dan
Wantilan, maka Sambega benar-benar menjadi orang yang
berarti di Padepokan itu. Sejak ia menyadari arti dari
hidupnya y ang selalu berkaitan dengan lingkungannya serta
dibawah bay angan kuasa Sumber Hidupnya, m aka Sambega
telah menjadi manusia lain y ang berarti bagi banyak orang.
Sementara itu, perhatiannya kepada Mahisa Amping tidak
berubah. Bahkan seolah-olah Sambega telah menempatkan
dirinya menjadi pemomong anak y ang tumbuh remaja itu.
Meskipun demikian, Sambega tidak mau dengan sertamerta
m emaksa agar anak itu m empelajari ilmunya. Dengan
hati-hati ia memperhatikan apa y ang telah dimiliki oleh
Mahisa Amping. Baru kemudian, Sambega berbicara dengan
Mahisa Murti, apakah ia diperkenankan melengkapi ilmu yang
telah ada didalam diri anak itu, tanpa mengganggu
kemapanan ilmu yang telah ada.
"Kau memerlukan waktu paman" berkata Mahisa Murti.
"Ya, aku mengerti ngger. Tetapi aku berjanji bahwa aku
tidak akan mengganggunya. Ilmu y ang telah dipelajarinya,
yang sejalan dengan ilmuku itulah y ang akan aku perdalam,
sehingga anak itu benar-benar mampu menguasainya. Bukan
sa ja Mahisa Amping, tetapi juga Mahisa Semu."
Mahisa Murti mengangguk-angguk kecil. Katanya "Silahkan
paman. Pada saat-saat tertentu jika akan melihat
perkembangannya. "Terima Kasih ngger " jawab Sambega "tetapi aku benarbenar
berjanji, agar y ang aku lakukan tidak ju stru menyulitkan
anak itu. Apalagi susunan dan tatanan tubuhnya serta sy araf
dan urat-uratnya." Dengan ijin Mahisa Murti, maka Mahisa Semu dan Mahisa
Amping pada hari-hari tertentu telah berlatih bersama
Sambega. Sekali-sekali disanggar tertutup, namun kadangkadang
disanggar terbuka. Sambega masih belum membawa
anak-anak itu keluar terlalu jauh dari Padepokan.
Bagaimanapun juga ia masih memikirkan kawan-kawan
Lengkara. Mungkin ada diantara mereka yang tidak dengan
tulus menerima kenyataan sehingga masih ter sisa dendam
didalam hati. Sambega sendiri tidak mengkhawatirkan dirinya. Tetapi ia
tidak ingin anak-anak itu mengalami kesulitan.
Pa da hari -hari tertentu, Mahisa Murti sendiri memerlukan
melihat apa y ang dilakukan oleh Sambega. Sampai seberapa
jauh Sambega mengisi dan menambah pengenalan Mahisa
Semu dan Mahisa Am ping tentang olah kanuragan.
Ternyata Mahisa Murti tidak pernah m erasa berkeberatan
atas usaha Sambega untuk membantu meningkatkan
pengenalan Mahisa Amping dan Mahisa Semu tentang ilmu
kanuragan. Sambega telah memperkenalkan beberapa unsur
yang dekat dan mempunyai watak dan kegunaan y ang sama
dari ilmu yang telah dipelajarinya.
Mahisa Murti sama sekali tidak berkeberatan, bahwa ada
warna lain dalam susunan ilmunya. Sebagaimana Mahisa
Murti sendiri tidak hanya menyadap ilmu dari satu perguruan.
Ia tidak berguru khusus kepada ayahnya. Tetapi juga kepada
beberapa orang lain yang sempat memperkaya ilmunya.
Dalam kematangan penguasaannya atas ilmunya, maka unsurunsur
y ang ada didalam dirinya itu akan tersusun menjadi
kesatuan ilmu yang tinggi. Luluh dan menyatu.
Meskipun demikian Mahisa Murti tidak melepaskan
Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Setiap kali, keduanya
dibawa masuk kedalam sanggar tertutup tanpa orang lain.
Juga tidak bersama Sambega. Dengan demikian, maka Mahisa
Murti selalu dapat menilik kemajuan keduanya serta
kemungkinan adanya unsur-unsur y ang tidak menguntungkan
didalam dirinya. Ia bukannya tidak percaya kepada Sambega,
tetapi ia memang harus berhati-hati.
Sambega sama sekali tidak merasa tersinggung. Ia mengerti
bahwa Mahisa Murti memang harus berbuat demikian sebagai
satu tanggung jawab atas anak-anak yang telah diambilnya.
Apalagi Mahisa Murti berharap, bahwa Mahisa Semu dan
Mahisa Amping akan dapat menjadi penerus di Padepokan
Bajra Seta disamping orang-orang yang masih akan
diketemukan kemudian. "Jika saja kelak lahir anak Mahisa Pukat " b erkata Mahisa
Murti didalam hatinya. Tetapi sebelum hal itu terjadi, maka harus ada seseorang
yang telah disiapkan, karena kepemimpinan Padepokan Bajra
Seta tidak boleh terputus.
Namun dalam pada itu, hubungan antara Kediri dan
Singasari, masih saja diwarnai oleh kemelut yang nampaknya
tidak akan pernah menjadi jernih. Kediri selalu merasa dirinya
berada dibawah kekuasaan Singasari, sementara Kediri
memiliki usia y ang lebih tua dari sekedar Pakuwon Tumapel
yang kemudian berhasil mengalahkan Kediri. Tetapi
bagaimanapun juga para pemimpin di Kediri adalah trah
keturunan dari para penguasa. Darah y ang mengalir didalam
tubuh mereka adalah tetesan darah raja-raja y ang berkuasa
turun-temurun. Sedangkan Singasari y ang kemudian menjadi
besar m elampaui Kediri adalah pemerintahan y ang lahir dari
tangan seorang penyamun di padang Karautan.
Namun bagaimanapun juga Singasari itu telah ada dan
berkuasa di muka bumi. Kediri memang pernah dikalahkan.
Karena itu, maka betapapun Kediri mengaku sebagai
keturunan raja-raja y ang sah, namun Singasari telah
melahirkan keturunan raja-raja y ang sah itu pula karena
kuasanya. Jika kekuasaan Kediri lahir dari keturunan darah, maka
kekuasaan Singasari lahir dari ujung pedang.
Kemelut yang terjadi antara dua jalur kekuasaan itu,
meskipun beberapa saat nampak menjadi jernih, namun setiap
saat dapat menjadi keruh kembali.
Gejolak-gejolak itu dapat muncul dipermukaan betapapun
kedua belah pihak berusaha meredamnya.
Beberapa orang pemimpin di Kediri tidak henti-hentinya
berusaha untuk dapat bangkit k embali dari reruntuhan yang
sangat menyakitkan itu. Dengan demikian, maka gejolak itu getarannya selalu terasa
sampai kejarak yang jauh di jangkauan kekuasaannya.
Sementara itu, di Singasari, Mahisa Pukat masih tetap
berada didalam tugasnya. Bahkan rasa-rasanya Mahisa Pukat
akan tetap berada di Ka satrian bukan karena ia seorang
Pelay an Dalam yang pantas ditempatkan di Kasatrian. Tetapi
justru karena ia telah diangkat menjadi guru bagi para
Kesatria. Selain Mahisa Pukat, maka Mpu Sidikarapun telah
berada di Ka satrian pula. Ternyata keduanya dapat bekerja
bersama dengan baik. Meskipun keduanya bersumber ilmu
dari perguruan y ang berbeda, namun keduanya dapat saling
mengerti. Keduanya dapat saling membantu dan saling
mengisi dengan sebaik-baiknya. Apalagi mPu Sidikara yang
meskipun lebih tua, namun menempatkan diri karena ia
merasa bahwa ilmu Mahisa Pukat lebih baik dan lebih tinggi
dari ilmunya. Tetapi Mahisa Pukat sendiri sama sekali tidak
merasa lebih penting dan lebih berarti dari mPu Sidikara.
Dengan demikian, maka sikap kedua orang guru di
Ka satrian itu berpengaruh baik pula terhadap para Kesatria di
Singasari. Menghadapi kemelut yang terjadi antara Singasari dan
Kediri, maka Pangeran Kuda Pratama telah memberikan
pesan -pesan khusus kepada Mahisa Pukat dan mPu Sidikara.
Para Kesatria itu sebaiknya mengetahui dan meyakini
kehadiran Singasari sebagai satu keharusan yang tidak dapat
diingkari. Pendiri Singasari, Ken Arok yang kemudian bergelar
Sri Rajasa Sang Amurwabhumi, lahir atas kehendak Brahma.
Dengan demikian, maka para Kesatria di Singasari akan
merasa y akin akan haknya, karena mereka merasa bahwa
meskipun menurut ujud lahiriahnya, Ken Arok yang kemudian
menjadi Akuwu di Tumapel dan setelah m engalahkan Kediri
menjadi seorang Maharaja adalah keturunan rakyat biasa,
karena ia lahir dari seorang perempuan di lingkungan para
petani y ang bernama Ken Endog, namun ia adalah anak
Bathara Brahma, sehingga ia berhak mempunyai kedudukan
yang lebih tinggi dari siapapun, meskipun ia keturunan rajaraja
sekalipun. Dengan key akinan seperti itu, maka para Kesatria di
Singasari memang merasa bahwa kedudukan mereka
seharusnya lebih tinggi dari para Kesatria di Kediri.
Tetapi dalam pada itu, beberapa orang pemimpin di Kediri
telah mey akinkan anak-anak m ereka, bahwa ceritera tentang
Ken Arok sebagai anak Brahma adalah sekedar usaha
Singasari untuk mengesahkan kedudukan Ken Arok itu,
karena sebenarnya Ken Arok tidak lebih dari anak Ken Endog
dan seorang petani yang bernama Gajah Para. Yang bahkan
kemudian telah menjelajahi kehidupan yang kasar dan kotor
diantara para penjahat, pencuri dan penyamun di Padang
Karautan. Namun dalam kemelut seperti itu, hubungan Mahisa Pukat
dengan Sasi berjalan dengan baik. Justru karena Mahisa Pukat
telah m endapat kedudukan y ang baik, m aka kedua orang tua
Sasi mulai memikirkan hubungan anaknya dengan Mahisa
Pukat itu dengan lebih bersungguh-sungguh. Beberapa orang
mulai menyebut-ny ebut hubungan mereka y ang memang
menjadi semakin rapat. Bahkan para Kesatria muda di
Ka satrian Singasaripun mulai pula
menyebut-ny ebut nama Sasi,
seorang gadis yang erat hubungannya dengan gurunya,
pemimpin Pelay an Dalam y ang
agaknya semakin lama justru
menjadi semakin renggang dengan
jabatannya sebagai pemimpin
kelompok Pelay an Dalam dan
bahkan menjadi lebih akrab dengan
kedudukannya sebagai guru dalam
olah kanuragan di Kasatrian.
Hubungan Mahisa Pukat dengan
Sasi itupun menjadi perhatian pula bagi Mahendra. Apalagi
umur Mahisa Pukat memang sudah cukup memadai untuk
menempuh satu kehidupan keluarga. Namun ada satu hal
yang masih terasa menggelitik dihati Mahendra. Mahisa
Murti. Namun Mahendra y akin, bahwa Mahisa Murti tidak akan
menjadi sakit hati seandainya Mahisa Pukat harus
mendahuluinya, m enikah dengan Sasi. Meskipun Mahendra
tahu, bahwa bekas-bekas luka di hati Mahisa Murti tentu
masih juga terasa pedih, tetapi Mahisa Murti adalah seorang
anak muda y ang akan mampu mempergunakan penalarannya
untuk mengatasi gejolak perasaannya.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena itulah, maka Mahendra harus mulai bersiap-siap
untuk datang dengan resmi menemui Arya Kuda Cemani
untuk minta secara resmi pula bahwa Sasi akan diperisteri
oleh Mahisa Pukat. Mahendra memang tidak dapat m enunggu terlalu lama. Ia
tahu bahwa Arya Kuda Cemani telah menunggu. Tetapi
sebagai orang tua dari seorang gadis, maka Arya Kuda Cemani
tidak akan dapat m embicarakannya lebih dahulu. Sementara
itu, beberapa orang tetangga dan bahkan kawan-kawannya
justru telah mulai membicarakannya.
Karena itulah, maka Mahendra telah memanggil Mahisa
Pukat untuk berbicara tentang hubungannya dengan Sasi.
Meskipun Mahisa Pukat mempunyai kedudukan dan
wewenang lebih tinggi dari mPu Sidikara di Kasatrian, namun
Mahisa Pukat merasa jauh lebih m uda daripadanya. Karena
itu, maka sebelum ia bertemu dengan ayahnya, maka Mahisa
Pukat telah berbicara dengan mPu Sidikara, minta petunjuk
apa y ang sebaiknya dilakukannya.
"Kau sudah cukup mempunyai bekal untuk menempuh satu
kehidupan baru" berkata mPu Sidikara "umurmu sudah
cukup. Kedudukanmu baik. Bukan sekedar pemimpin
kelompok Pelay an Dalam. Orang tuamu nampaknya tidak
berkeberatan atas hubunganmu dengan gadis yang sesuai
dengan hatimu. Demikian pula orang tua gadis itu. Karena itu,
agaknya tidak ada lagi persoalan yang dapat menjadi
hambatan seandainya ayahmu bertanya tentang per soalanmu
dengan gadis itu." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Ia mengerti apa y ang
dimaksud oleh mPu Sidikara. Tetapi y ang dipikirkannya
adalah saudara laki-lakinya, Mahisa Murti.
Sepanjang umurnya, Mahisa Pukat seakan-akan tidak
pernah berpisah dengan saudaranya itu. Jika kemudian ia
harus menempuh satu kehidupan keluarga, maka rasa-rasanya
ia telah m eninggalkannya dibelakang. Rasa-rasanya ia telah
meloncat mendahuluinya beberapa langkah kedepan.
Ketika hal itu dikemukakannya kepada mPu Sidikara, maka
mPu Sidikara itupun berkata "Tetapi bukankah kalian untuk
selanjutnya tidak akan dapat saling tergantung y ang satu
dengan yang lain. Kalian tidak akan dapat saling menunggu,
sementara kau t elah m enemukan seseorang y ang pantas dan
bersedia untuk hidup bersama. Seandainya saudaramu itu
tidak segera m endapatkan jodohnya, maka persoalanmu akan
menggantung. Mungkin kau dapat m enerima hal itu karena
kau merasa terikat oleh saudaramu itu. Tetapi kau juga harus
memikirkan perasaan gadis bakal isterimu itu. Apakah ia
dapat m enerima keadaan y ang mengambang itu atau tidak.
Mungkin gadis itu tidak pernah m enyatakannya kepadamu.
Tetapi diam-diam hatinya mulai tersiksa sebelum ia benarbenar
menjadi isterimu." Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Ba iklah. Aku
sudah mempunyai bekal untuk berbicara dengan ayah."
Demikianlah, maka Mahisa Pukat itupun pada suatu malam
telah datang memenuhi panggilan ayahnya. Dengan bekal
yang mantap maka Mahisa Pukat akan mengemukakan
sikapnya dalam hubungannya dengan Sasi.
Sebenarnyalah Mahendra memang m enanyakan beberapa
hal kepada Mahisa Pukat dalam hubungannya dengan Sasi.
Mahendra bertanya, apakah Mahisa Pukat benar-benar sudah
mantap untuk kelak berkeluarga dengan anak perempuan
Arya Kuda Cemani itu. "Aku sudah memikirkan dengan masak, ay ah" jawab
Mahisa Pukat. "Selama kau berhubungan dengan gadis itu, apakah kau
sudah dapat menjajagi sifat dan wataknya?" bertanya ayahnya.
"Ya, ayah. Selama ini aku telah m encoba untuk mengenali
sifat dan wataknya. Menurut pendapatku, Sasi adalah seorang
gadis yang baik." jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah Pukat. Jika kau memang sudah mantap serta
sudah kau pikirkan m asak-masak, maka aku harus berbuat
sesuatu. Hubunganmu dengan Sasi sudah cukup lama,
sehingga beberapa orang lain mulai membicarakannya."
berkata ayahnya. Mahisa Pukat mengangguk kecil. Meskipun demikian ia
masih bertanya "Apakah kita sangat tergantung kepada orang
lain itu, ay ah?" Mahendra mengerutkan dahinya. Namun ia ganti bertanya
"Apakah kita dapat melepaskan diri sepenuhnya dari
lingkungan kita" Apakah kita dapat sama sekali tidak
menghiraukan pendapat orang lain?"
Mahisa Pukat m enarik nafas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia menjawab "Memang tidak ayah."
"Sudahlah. Yang penting, kau harus bersiap-siap untuk
pergi kerumah Arya Kuda Cemani. " berkata Mahendra.
"Aku sendiri?" bertanya Mahisa Pukat.
"Tentu tidak. Mak sudku, kau akan ikut bersamaku datang
kerumah Arya Kuda Cemani. Mungkin kita akan mengajak dua
atau tiga orang untuk menemani kita datang secara resmi
minta Sasi untuk kelak menjadi isterimu."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk kecil. Dengan nada
rendah ia menyahut "Ya ayah."
"Baiklah" berkata Mahendra, "namun, sebelum aku
menemui Arya Kuda Cemani, maka aku ingin bertemu dengan
Mahisa Murti lebih dahulu. Bukan apa-apa, hanya sekedar
memberitahukan, bahwa aku akan melamar Sasi untukmu.
Aku berharap bahwa Mahisa Murti pun akan segera
menemukan seorang gadis untuk menjadi isteriny a pula."
"Apakah ayah akan pergi ke Padepokan Bajra Seta?"
"Ya " jawab Mahendra.
"Perjalanan itu terlalu panjang buat ayah sekarang. Ayah
menjadi semakin tua. Ayah akan menjadi sangat letih. "
berkata Mahisa Pukat. "Tidak. Meskipun umurku sudah tua, tetapi kau lihat,
bahwa badanku masih utuh. Inderaku masih baik dan bahkan
penalaranku pun masih belum menjadi kabur."
"Sebaiknya aku saja yang pergi ke Padepokan Bajra Seta,
ay ah" berkata Mahisa Pukat.
"Tidak baik bahwa kau yang akan berbicara dengan Mahisa
Murti. Aku kira lebih pantas akulah yang memberi tahukan
kepadanya bahwa aku akan melamar Sasi untukmu. Aku tahu
bahwa Mahisa Murti tidak akan ter singgung siapapun yang
datang memberitahukan hal ini kepadanya. Tetapi jika aku
yang datang, maka rasa-rasanya per soalan y ang aku
sampaikan kepadanya lebih bersungguh-sungguh."
"Ayah. Jika kau pergi ke Padepokan Bajra Seta, bukannya
aku y ang akan berbicara. Tetapi aku hanya sekedar memanggil
Mahisa Murti untuk menghadap ay ah. Nah, nanti ayah jugalah
yang akan menyampaikannya kepadanya." sahut Mahisa
Pukat. Mahendra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya "Sudah lama aku tidak menempuh satu perjalanan.
Ternyata ada kerinduan untuk berderap diatas punggung kuda
menyusuri jalan-jalan panjang."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Jika ay ahnya memang
berniat untuk melakukan satu perjalanan, maka Mahisa Pukat
tentu tidak dapat mencegahnya. Meskipun Mahisa Pukat
masih mengingatkannya bahwa perjalanan ke Padepokan
Bajra Seta cukup jauh, tetapi Mahendra memang sudah
berniat untuk melakukannya.
Meskipun demikian Mahisa Pukatpun berkata "Ayah, jika
ay ah sudah berketetapan hati untuk pergi ke Padepokan Bajra
Seta, m aka biarlah aku ikut bersama ayah untuk m enemani
ay ah bercakap-cakap disepanjang jalan. Jika ayah sudah
menetapkan waktu, aku mohon ayah memberitahukan
kepadaku, agar aku dapat m inta ijin kepada Pangeran Kuda
Pratama dan memberitahukannya kepada mPu Sidikara."
"Aku kira, aku perlu segera bertemu denganMahisa Murti.
Karena itu, bagaiamana pertimbanganmu jika dalam tiga hari
ini, kita berangkat ke Padepokan Bajra Seta."
"Bagiku, kapan saja hari y ang ay ah tentukan, tidak
berkeberatan. Jika ay ah akan pergi tiga hari lagi, maka akupun
dapat saja pergi bersama ay ah. Besok aku akan minta ijin
kepada Pangeran Kuda Pratama" jawab Mahisa Pukat.
"Baiklah. Kita akan berangkat tiga hari lagi. Akupunharus
minta ijin dahulu kepada Sri Maharaja, karena sewaktu -waktu
aku dapat saja dipanggil untuk menghadap."
"Baiklah ayah" berkata Mahisa Pukat kemudian "menjelang
keberangkatan kita k e Padepokan Bajra Seta, aku akan tidur
disini, agar kita dapat berangkat pagi-pagi sekali."
Mahendra mengangguk-angguk sambil menjawab "Ya. Aku
sependapat" jawab Mahendra.
Demikianlah, maka dihari berikutnya Mahisa Pukatpun
telah minta ijin kepada Pangeran Kuda Pratama dan
memberitahukan kepada mPu Sidikara bahwa ia akan
menyertai ayahnya pergi ke Padepokan Bajra Seta untuk
menemui saudaranya, Mahisa Murti.
Sementara itu, Mahendrapun telah menyampaikan
permohonannya pula lewat Narpacundaka Sri Maharaja di
Singasari. Ternyata Sri Maharaja tidak berkeberatan. Namun Sri
Maharaja berpesan, agar Mahendra tidak telalu lama berada di
Pa depokan Bajra Seta. "Dalam keadaan yang penting, aku memerlukannya" pesan
Sri Maharaja. Seperti yang direncanakan, maka pada hari y ang ketiga,
Mahendra dan Mahisa Pukat telah meninggalkan halaman
belakang istana Singasari pagi-pagi benar. Meskipun
Mahendra sudah semakin tua, ternyata ia masih tegar duduk
dipunggung kuda. Menj elang matahari terbit, maka kedua orang ayah dan
anak itu sudah keluar dari pintu gerbang Kotaraja. Kuda-kuda
mereka berderap menyusuri jalan panjang dalam keremangan
dini hari. Udara terasa segar mengusap wajah-wajah mereka. Mahisa
Pukat berkuda disebelah ayahnya dengan wajah tengadah.
Nampak wajahnya y ang cerah memandang jalan yang
terbentang dihadapan mereka y ang mulai menjadi semakin
terang. Mereka mulai berpapasan dengan orang-orang y ang akan
pergi ke pasar. Satu dua masih ada y ang membawa obor
belarak. Namun y ang lain telah membuang obor-obor mereka,
karena fajar menjadi semakin merah.
Ketika mereka berpapasan dengan iring-iringan pedati,
maka m ereka masih m endengar kidung perlahan-lahan dari
para pedagang yang duduk di dalam pedati itu. Sambil
berselimut kain panjang, mereka mengusir dingin dengan
dendang y ang riang. Dengan nada dalam Mahendra berdesis "mereka bekerja
dengan tekun. Mereka bekerja keras tanpa mengharapkan
hasil y ang berlebihan."
"Ketekunan dan kerja keras yang mereka lakukan pantas
untuk diteladani" berkata Mahendra.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Orang -orang y ang
membawa dagangan m ereka ke pasar, mungkin hasil sawah,
hasil pategalan atau hasil kerja tangan mereka, memang tidak
terlalu banyak berharap. Tetapi masih ada juga orang y ang ingin mendapat hasil
yang banyak, cepat tanpa bekerja keras. Mereka
mengandalkan kemampuan dan keberanian mereka
menggertak orang lain. Mengancam dan sedikit kemampuan
olah kanuragan. Tetapi orang-orang y ang pergi ke pasar didini hari itupun
tidak pergi sendiri-sendiri. Biasanya mereka pergi ke pasar
membawa dagangan mereka dalam kelompok-kelompok yang
cukup besar sehingga orang-orang y ang berniat jahat tidak
berani mengganggu mereka lagi.
Sejenak kemudian, maka langitpun menjadi terang.
Matahari mulai nampak mengarungi perjalanan panjangnya
dari cakrawala ke cakrawala.
Mahendra dan Mahisa Pukat masih melarikan kuda mereka
disepanjang jalan y ang menjadi semakin ramai, sehingga
dengan demikian maka keduanya tidak berpacu terlalu cepat.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka
panasnyapun menjadi semakin meny engat kulit. Keringat
mengalir semakin banyak pula membasahi punggung.
Semakin jauh m ereka dari Kotaraja, maka jalan memang
menjadi semakin sepi. Bukan saja karena matahari semakin
tinggi, tetapi padukuhan memang menjadi semakin jarang.
Namun Mahendra dan Mahisa Pukatpun kemudian merasa
perlu untuk beristirahat. Bukan saja mereka juga sudah
merasa letih. Tetapi lebih-lebih kuda mereka y ang menjadi
haus dan lapar. Karena itu, maka keduanyapun telah berhenti disebuah
kedai yang cukup besar disebelah pasar di padukuhan yang
juga termasuk besar. Ketika mereka masuk kedalam setelah m enyerahkan kuda
mereka kepada seorang penjaga dan memesan agar kuda itu
diberi makan dan minum, maka didalam kedai itu sudah
terdapat beberapa orang y ang sedang makan dan minum.
Mahendra dan Mahisa Pukatpun kemudian duduk disudut
ruangan, disebuah lincak bambu y ang panjang dan m emakai
sandaran. Dilincak agak ditengah terdapat dua orang yang
juga sedang minum dan makan, sedangkan beberapa orang
yang lain duduk disudut yang terdekat dengan pintu masuk
kedai itu. Keadaan di kedai itu nampaknya tenang-tenang saja.
Orang-orang y ang ada didalamnya sibuk dengan minuman
dan makanan y ang dihidangkan kepada mereka masingmasing.
Hanya sekali-sekali terdengar orang-orang y ang ada
didalam kedai itu memesan makanan lain y ang mereka
kehendaki. Mahendra dan Mahisa Pukat y ang memang m erasa haus
itupun telah memesan makanan dan m inuman. Seperti yang
lain -lainpun maka keduanyapun segera m endapat pelay anan
yang baik. Namun beberapa saat kemudian, orang-orang yang ada
didalam kedai itupun bagaikan diguncang ketika ampat orang
memasuki kedai itu. Demikian mereka duduk, maka suara
mereka telah memenuhi ruangan itu. Jika ada diantara mereka
yang tertawa, m aka suaranya bagaikan m enggetarkan kedai
itu.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketenangan di kedai itu memang terganggu. Tetapi agaknya
orang-orang yang sudah lebih dahulu duduk dikedai itu tidak
ingin menegur m ereka, karena jika hal itu mereka lakukan,
maka akan dapat terjadi perselisihan.
Dua orang y ang duduk agak ditengah itupun sama sekali
tidak menghiraukan kehadiran mereka meskipun agaknya
merekapun merasa terganggu.
Namun ketika salah seorang diantara keempat orang y ang
datang itu memperhatikan kedua orang y ang sudah lebih
dahulu duduk dikedai itu, maka orang itupun tiba-tiba
mendekatinya. Sambil menepuk bahunya, maka orang itu
berkata lantang "He, ternyata kau kami ketemukan disini. "
Kedua orang itu berpaling. Keduanya yang semula tidak
memperhatikan orang-orang y ang memasuki kedai itu
terkejut. Keempat orang itu kemudian ternyata berpindah dan
duduk didekat kedua orang itu. Mereka berbicara dengan
keras, diselingi oleh suara tertawa y ang menggelitik telinga.
Seorang diantara mereka dengan lantang bertanya "Dimana
Lengkara sekarang" Bukankah kau
telah mengikut orang itu?"
Dengan segan salah seorang dari
kedua orang itu menjawab "Lengkara sudah mati."
"Ia memang harus mati.
Lengkara sudah merampas beberapa orang kawan kita dan
membawanya bagi kepentingannya." berkata orang
itu. Lalu iapun bertanya "Dimana
ia mati dan siapa yang membunuhnya?" "Ia dibunuh oleh Widigda di Padepokan Bajra Seta " jawab
salah seorang dari kedua orang y ang duduk lebih dahulu itu.
Mahendra dan Mahisa Pukat t erkejut m endengar jawaban
yang meny ebut Padepokan Bajra Seta itu, sehingga justru
karena itu, maka merekapun mendengarkan pembicaraan itu
dengan seksama. Salah seorang dari keempat orang itu bertanya "Siapakah
Widigda itu?" "Saudara seperguruan Lengkara " jawab orang itu singkat.
"Akhirnya ia memetik buah dari biji y ang ditanamnya
sendiri " berkata orang lain diantara keempat orang itu. Lalu
katanya "Nah, jika demikian, kalian harus kembali lagi
kedalam kelompok kami. Bahkan seandainya Lengkara masih
hiduppun, aku m enghendaki kau kembali dan menyatu lagi
dengan kami. Apalagi selama ini kau masih meny embunyikan
sesuatu, sehingga kau harus meny elesaikan tanggung jawabmu
itu." "Jangan mengada-ada " jawab salah seorang dari kedua
orang y ang datang lebih dahulu "aku tidak pernah
menyembuny ikan sesuatu. Akupun tidak akan mau kembali
lagi bersama kelompokmu. Aku sudah jemu hidup seperti
seekor serigala yang liar dan setiap kali m encuri ternak pada
petani. Biarkan aku dan kawan-kawanku hidup dengan wajar.
Apalagi aku sudah berjanji kepada pemimpin Padepokan Bajra
Seta, bahwa aku akan kembali kedalam kehidupan wajar
sebagaimana orang banyak"
Keempat orang itu tertawa berkepanjangan. Seorang
diantara mereka justru memukul-mukul lincak dengan
kerasnya, sehingga semua orang y ang ada didalam kedai itu
merasa terganggu. Tetapi tidak ada seorangpun y ang mau menegurnya.
Melihat ujud dan sikapnya, maka mereka adalah orang2 yang
tentu tidak akan mudah mau m endengarkan pendapat orang
lain. Seorang diantara mereka berkata "Jangan menjadi cengeng.
Kau tentu tidak akan dapat m enghindari tanggung jawabmu.
Kita sudah lama bekerja bersama. Karena itu, kau jangan lepas
dari lingkungan kami."
Tetapi kedua orang itu hampir bersamaan menjawab
"Tidak. " Yang seorang meneruskan "Kami tidak mau."
"Dimana kawan-kawanmu y ang lain yang telah ikut
bersama Lengkara?" Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian y ang seorangpun menjawab "Kawan-kawan kami
telah berpencar. Kami tidak tahu kemana mereka pergi. Tetapi
kami semuanya sudah berjanji bahwa kami tidak akan
mengulangi cara hidup kami y g gelap itu."
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Sambil menepuk
bahu salah seorang dari kedua orang y ang datang lebih dahulu
itu, seorang yang bertubuh tinggi berkata "Kau akan m enjadi
seorang yang alim" Seorang yang baik budi dan berhati putih
seperti kapas?" Kawan-kawannya tertawa berkepanjangan.
Orang-orang y ang ada di kedai itu semakin merasa
terganggu. Dua orang yang ada di bagian dalam ruang itu telah
bangkit berdiri dan mendekati pemilik kedai itu untuk
menghitung harga makanan dan minuman mereka. Kemudian
setelah membayar, merekapun cepat berlalu sambil
bergeremang. Mahendra dan Mahisa Pukatpun sebenarnya merasa
terganggu juga. Tetapi selain mereka masih menghabiskan
makanan yang mereka pesan, lebih-lebih lagi karena orangorang
itu meny ebut-ny ebut Padepokan Bajra Seta, maka
keduanya justru menunggu perkembangan pembicaraan
kedua orang itu. Tetapi ternyata kedua orang yang datang lebih dahulu itu
berkeras tidak mau lagi bergabung dengan keempat orang
yang datang kemudian itu. Sehingga perselisihanpun tidak
dapat dihindarkan. "Kami dapat berbuat baik sebagaimana sikap seorang
sahabat. Tetapi kami dapat juga bersikap kasar jika
persahabatan kita kalian khianati." berkata orang yang
bertubuh tinggi. "Aku tidak pernah merasa mengkhianati persahabatan kita.
Aku tidak pernah menganggap kalian bukan lagi sahabat kami.
Tetapi kalianpun tidak dapat memaksaa kami untuk tetap
hidup dalam dunia y ang hitam sebagaimana duniamu. Jika
sa ja kalian meninggalkan dunia kalian, maka kami tentu akan
bersedia bergabung dengan kalian dan bekerja bersama."
"Apa y ang dapat kita lakukan?" bertanya orang y ang
bertubuh tinggi. "Banyak sekali" jawab salah seorang dari kedua orang y ang
datang terdahulu "kita dapat mencoba untuk berdagang. Atau
mencoba minta ijin kepada salah seorang Buyut di sebuah
Kabuyutan untuk membuka hutan atau kita kembangkan
tanah dan ladang y ang sudah kita miliki. Atau apapun yang
pantas kita lakukan dalam lingkungan orang-orang beradab."
Keempat orang itu tertawa semakin keras. Namun seorang
diantara m ereka berkata "Sudahlah. Kami tidak m emerlukan
sesorahmu itu. Karena sebenarnya kalian tidak dapat memilih.
Kal ian harus menurut perintah yang kami berikan, karena
sebenarnya kami tidak sedang sekedar menawarkan satu
keadaan. Tetapi kami sedang memberikan perintah y ang harus
kalian lakukan." "Tidak " teriak salah seorang dari kedua orang yang datang
lebih dahulu. Nampaknya kemarahan telah meledak di
jantungnya, sehingga tidak tertahankan lagi.
Keempat orang yang datang kemudian itu tidak t ertawa
lagi. Wajah mereka menjadi tegang. Orang y ang bertubuh
tinggi, yang nampaknya paling berpengaruh diantara
kawan2nya itu berkata "Kau tidak dapat m enolak. Jika kau
menolak, maka kami akan memaksamu."
"Kau kira aku akan tunduk kepada kemauanmu?" jawab
salah seorang dari kedua orang itu.
"Kalian terlalu banyak mengetahui tentang kami. Jika
kalian tidak lagi berada diantara kami, maka kalian akan dapat
berkhianat dan mengganggu kehidupan kami."
"Meskipun aku tidak berniat untuk berkhianat, tetapi kalian
agaknya menganggap bahwa hal itu akan aku lakukan.
Demikian pula kawanku ini. Karena itu, aku justru tidak peduli
lagi. Aku akan berbuat sesuai dengan keinginanku. Kalian
tidak dapat memaksa aku dan kawanku untuk mengikuti
kehendak kalian." "Per setan dengan igauanmu" geram orang bertubuh tinggi
itu "jika kalian berkeras hati menolak ajakan kami, maka
kalian akan m eny esal. Kepala kalian akan kami penggal dan
kami pasang diatas gerbang padukuhan itu dengan pesan,
tidak seorangpun boleh memindahkannya. Siapa yang
melanggar perintah kami, maka kepala orang itulah y ang akan
menggantikannya. " Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak takut. Seorang
diantara mereka berkata "Kami sudah lama bergaul dengan
kalian. Kami tahu kemampuan kalian dan kalianpun tahu
kemampuan kami. Karena itu, kami tidak akan menjadi
ketakutan berhadapan dengan kalian berempat."
"Kalian melihat sekarang kami berempat. Tetapi sebentar
lagi beberapa orang kawan kami akan datang lagi. Mereka
mengenal kalian dan kalian tentu juga mengenal mereka.
Diantara mereka adalah kakang Kebo Lor og. Nah, apa katamu
jika kakang Kebo Lor og itu sampai disini. "
Ternyata nama Kebo Lorog mampu m enggetarkan jantung
kedua orang itu. Sementara orang bertubuh tinggi itu berkata "
Kau tidak akan sempat lari. Meskipun kami tahu kemampuan
kalian dan kalian tahu kemampuan kami, namun kami t entu
dapat menahan kalian sampai kakang Kebo Lor og datang.-
Wajah kedua orang itu memang menjadi tegang. Untuk
beberapa saat keduanya justru saling berdiam diri.
Keempat orang itupun tiba-tiba telah t ertawa
berkepanjangan lagi. Orang yang bertubuh tinggi itu berkata
"Nah, apa katamu jika kau akan berhadapan dengan kakang
Kebo Lor og?" Namun tiba -tiba saja kedua orang itu saling memberi
isy arat. Keduanyapun bangkit berdiri. Seorang diantara
mereka berkata "Aku akan pergi sekarang."
"Tidak. Kau tidak akan dapat pergi."
"Aku tidak peduli" jawab salah seorang dari kedua orang
itu. Seorang diantara merekapun kemudian mengambil uang
dari kantong ikat pinggangnya dan meletakkannya didalam
mangkuknya sambil berkata "Aku tidak sempat menghitung.
Jika uangku kurang, lain kali aku akan datang membayar
kekurangannya. Jika lebih biarlah aku titipkan disini."
Tetapi keempat orang itu tiba-tiba telah bergerak
mengepung keduanya. Yang bertubuh tinggi berkata "Kau
tidak akan dapat lari kemanapun."
Tetapi kedua orang itu tidak menghiraukannya. Mereka
dengan cepat meloncat meny ibak orang-orang yang
menghalanginya. Namun keempat orang itu mengejar mereka sehingga
mereka turun ke halaman. Ternyata kedua orang itu tidak ingin tertahan terlalu lama.
Demikian keempat orang itu turun menyusulnya, maka kedua
orang itu sudah menggenggam senjata mereka masingmasing.
Keempat orang itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi
mereka tidak ingin membiarkan kedua orang itu lari. Karena
itu, sekali lagi keempat orang itu mengepungnya. Merekapun
telah menarik senjata mereka pula.
Maka tidak dapat dihindari lagi, pertempuranpun telah
terjadi di halaman kedai itu.
Beberapa orang yang tidak ingin terlibat, dengan tergesa -
gesa telah meninggalkan kedai itu. Mereka dengan tergesagesa
membayar harga makanan dan minuman mereka,
kemudian dengan tergesa-gesa pula pergi menjauh. Meskipun
dikejauhan mereka berhenti juga untuk melihat apa yang
terjadi. Tetapi Mahisa Pukat dan Mahendra tidak pergi
meninggalkan kedai itu. Bahkan m ereka bergeser m endekati
pintu dan melihat apa y ang terjadi di halaman.
Pemilik kedai itupun menjadi ketakutan. Ia tidak berani
mencegah pertempuran y ang terjadi di halaman. Apalagi
mereka telah mempergunakan senjata pula.
Namun seperti y ang dikatakan, m aka keempat orang itu
ternyata memang tidak mampu mengimbangi kemampuan
kedua orang y ang datang lebih dahulu. Namun keempat orang
itu memang hanya sekedar menahan mereka sambil
menunggu kawn-kawan mereka y ang datang kemudian.
Tetapi kedua orang itu memang terlalu garang bagi mereka.
Seorang diantara keempat orang itu harus berloncatan
mengambil jarak ketika ujung senjata salah seorang lawannya
menggores tubuhnya. "Jangan ganggu kami" berkata salah seorang dari kedua
orang itu "atau aku terpaksa harus membunuh?"
"Kau memang pembunuh" geram salah seorang dari
keempat orang itu "tetapi sebentar lagi kalian berdua akan
menjadi mayat. " Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka justru
menyerang semakin garang.
Keempat orang itu memang mengalami kesulitan. Orang
kedua diantara mereka telah terluka pula. Justru didadanya.
Selagi ia berusaha memperbaiki keadaannya, m aka orang
ketiga justru berteriak tinggi sambil mengumpat."
"Pergilah " geram salah seorang dari kedua orang lawan
mereka "jangan dungu. Kalian akan dapat mati disini."
Tetapi betapapun mereka terluka, namun keempat orang
itu masih berusaha untuk menahan kedua orang itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah dari kejauhan beberapa
orang berkuda berpacu dengan kecepatan tinggi. Apalagi
ketika mereka melihat pertempuran di halaman kedai itu.
Merekapun segera mempercepat kuda mereka.
Dalam pada itu, salah seorang diantara mereka y ang terluka
berteriak "Nah, lihat, siapakah y ang datang."
Kedua orang itupun menyadari, bahwa yang datang adalah
Kebo Lorog dengan beberapa orang m engikutnya y ang lain.
Karena itu, maka merekapun telah meningkatkan kemampuan
mereka, sehingga keempat orang lawan mereka itupun telah
mereka lukai. Karena mereka tidak dapat menghindar lagi dari Kebo


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lor og, maka mereka berusaha untuk mengurangi jumlah
lawan mereka. Ampat orang yang mendahului Kebo Lor og itu
sudah tidak berdaya sama sekali.
Meskipun mereka tidak terbunuh, tetapi mereka seakanakan
telah kehilangan kemampuan mereka untuk bertempur.
Darah telah mengalir dari luka-luka mereka.
Tetapi mereka segera tertolong ketika iring-iringan Kebo
Lor og itu memasuki halaman didepan kedai itu.
Dengan tangkasnya seorang yang bertubuh gemuk,
berkumis lebat dan berwajah keras dengan beberapa bekas
luka dikening meloncat dari kudanya. Orang itulah yang
bernama Kebo Lor og. "Apa y ang terjadi disini?" bertanya Kebo Lorog. Orang y ang
bertubuh tinggi, salah seorang dari keempat orang yang
datang lebih dahulu dari Kebo Lor og itupun segera
melaporkan apa y ang telah terjadi, meskipun dengan nafas
yang terengah-enggah. Mata Kebo Lor og itupun menjadi bagaikan menyala.
Dipandanginya kedua orang y ang telah melukai keempat
orang pengikutnya itu. Dengan suara bergetar karena
kemarahan yang menghentak-hentak didadanya, Kebo Lor og
itu menggeram "Jadi kau sudah merasa berilmu tinggi
sekarang, he, sehingga kau berani melukai orang -orangku."
"Mereka memaksa aku " jawab salah seorang dari kedua
orang itu dengan dada tengadah.
"Setan kau " geram Kebo Lorog "kau kira kau dapat
melepaskan diri dari tanggung jawabmu" Selama ini kau selalu
minta perlindunganku. Tetapi setelah kau kenal Lengkara, kau
mengikut serigala itu."
"Lengkara sudah mati" berkata salah seorang dari mereka
yang terluka. Kebo Lorog mengerutkan dahinya. Katanya "Jika demikian,
maka kau tidak mempunyai pilihan lain. Siapa yang akan
melindungimu sekarang jika Lengkara sudah mati?"
"Aku tidak akan berlindung kepada siapa pun juga. Tetapi
aku tidak akan kembali kedunia yang gelap itu lagi. Aku sudah
berjanji kepada Mahisa Murti, pemimpin Padepokan Bajra
Seta. " "Setan" geram Kebo Lor og "kau kira Mahisa Murti itu akan
dapat m elindungimu" Apalagi sekarang. Kalian hanya berdua
disini, sehingga kalian tidak mempunyai pilihan lain. Kalian
harus mengikut kami, melakukan perintah-perintah kami."
"Aku sudah mengatakan, bahwa aku tidak mau."
"Jadi kau memang ingin membunuh dirimu he" Lihat,
dengan berapa orang aku datang" Katakan bahwa keempat
orangku itu sudah tidak mampu lagi bertempur melawanmu.
Tetapi aku datang bersama empat orang lagi. Sedangkan aku
sendiri akan mampu memilin leher kalian berdua tanpa orang
lain." Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka
memang m engakui bahwa Kebo Lorog adalah orang berilmu
tinggi. Tetapi keduanya benar-benar tidak berniat untuk
kembali dalam kehidupan y ang gelap diantara para pengikut
Kebo Lor og. Karena itu, apapun y ang akan terjadi, keduanya itu tetap
pada pendiriannya. Sementara itu Kebo Lor og memerintahkan
kepada orang-orangnya "Kalian dapat membantai seorang
diantara keduanya. Biarlah yang seorang akulah y ang akan
menyayatnya menjadi kepingan daging dan tulang. " Lalu
katanya kepada kedua orang itu "He, berteriaklah m emanggil
pemimpin Padepokan Bajra Seta itu untuk melindungi
sekarang ini." Kedua orang itu diam membeku. Tetapi keduanya sudah
bersiap menghadapi segala kemungkinan. Termasuk
kemungkinan y ang paling buruk sekalipun.
Namun dalam pada itu semua orang y ang ada di halaman
itu terkejut. Termasuk Kebo Lor og. Dari pintu kedai itu keluar
seorang anak muda yang berkata lantang "Akulah salah
seorang pemimpin Padepokan Bajra Seta. "
Kedua orang y ang menolak ajakan Kebo Lorog itu
termangu-mangu sejenak. Sepintas anak muda itu memang
mirip dengan Mahisa Murti. Apalagi ketika anak muda itu
berkata "Jika kau pernah berjanji kepada Mahisa Murti, maka
Mahisa Murti m emang berkewajiban melindungimu. Karena
disini tidak ada Mahisa Murti, maka akulah yang wajib
mengambil alih kewajibannya itu, karena aku adalah
saudaranya laki -laki. Satu diantara dua orang pemimpin
Pa depokan Bajra Seta. Namaku Mahisa Pukat."
"Mahisa Pukat" kedua orang itu berbareng meny ebut
namanya. "Kalian agaknya belum pernah bertemu dengan aku, karena
ketika kalian bertemu dan menyatakan janji kalian kepada
Mahisa Murti aku berada di Singasari."
"Apakah kau benar saudara laki -laki Mahisa Murti?"
bertanya salah seorang dari kedua orang itu agak ragu
meskipun kehadirannya itu akan menguntungkannya. Tetapi
kemudian ia berkata "Jika benar, maka kami akan sangat
berterima kasih. " "Ya " jawab Mahisa Pukat "karena itu, maka aku akan
mengambil alih tanggung jawabnya."
Kedua orang y ang telah hampir kehilangan harapan untuk
dapat tetap hidup itu jantungnya seakan-akan telah m enyala
kembali. Apalagi ketika kemudian Mahendra juga keluar dari
kedai itu. Meskipun orang itu sudah tua, tetapi nampak dari
sor ot matanya bahwa ia memiliki kelebihan dari kebanyakan
orang itu. Namun Mahisa Pukatlah y ang kemudian berkata "Ki Sanak.
Ambillah keempat orang pengikut Kebo Lorog itu. Biarlah aku
yang menghadapinya. Mungkin ia merasa lebih senang
mendapat lawan yang belum pernah ditemuinya sebelumnya."
Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang
diantara mereka berkata "Kebo Lor og adalah seorang yang
berilmu tinggi.." Mahisa Pukat mengerutkan dahinya.
Sementara itu Kebo Lor og sendiri berkata sambil t ertawa
"Ternyata disini ada juga kecoak y ang ingin m enjadi seorang
pahlawan. He, peringatkan orang itu, agar ia tidak mati siasia.
" Tetapi Mahisa Pukat justru bertanya kepada kedua orang
itu "Ki Sanak, apakah kau tahu, melihat atau sedikitnya
mendengar tentang kemampuan saudaraku Mahisa Murti?"
"Ya " jawab kedua orang itu bersamaan.
"Katakan dengan jujur menurut pendapatmu, apakah kirakira
Mahisa Murti tidak mampu mengimbangi kemampuan
Kebo Lor og?" bertanya Mahisa Pukat.
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata "Mahisa Murti adalah seorang y ang berilmu
sangat tinggi. " "Jadi, menurut perhitunganmu, ia akan dapat mengalahkan
Kebo Lor og?" bertanya Mahisa Pukat kempdian.
"Ya " jawab orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Jika
demikian aku juga akan berusaha untuk dapat m engalahkan
Kebo Lor og. " "Tetapi... " kedua orang itu masih saja nampak ragu-ragu.
Mahisa Pukat terseny um. Katanya "Jangan ragu-ragu. Aku
saudara kandung Mahisa Murti. Saudara-saudaraku y ang lain
adalah Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Ada seorang
pamanku disana, Paman Wantilan. Kau kenal mereka"
"Ya, y a " kedua orang itu menyahut hampir berbareng.
Wajah merekapun kemudian membayangkan key akinan
mereka, bahwa Mahisa Pukat y ang mirip dengan Mahisa Murti
itu adalah memang saudara Mahisa Murti. Seandainya
ilmunya terpaut, maka terpautnya juga tidak terlalu banyak.
Karena itu, ketika kemudian Mahisa Pukat maju mendekati
Kebo Lor og, keduanya tidak menahannya lagi.
"Bagus" berkata Kebo Lor og, "jadi kalian benar-benar ingin
mati sebagai pahlawan?"
"Hanya aku y ang akan t erlibat. Ayahku tidak. Tetapi
akupun tidak ingin mati sebagai pahlawan, tetapi aku ingin
meredam kesewenang-wenanganmu. Jika kedua orang itu
tidak lagi ingin terlibat dalam gerombolan hitammu, kenapa
kau memaksanya" Bahkan dengan kekerasan pula."
"Itu per soalan antara kami dan mereka. Persoalan y ang
tidak terjadi dengan serta merta sekarang ini. Tetapi
persoalannya sudah dimulai dan berkembang sejak lama. Aku
tidak perlu berceritera sampai sehari semalam tentang
hubungan kami dan mereka. Namun sebaiknya kalian tidak
usah turut campur. Betapa tinggi ilmu saudaramu itu, tetapi
kau tidak akan dapat berbuat apa-apa atasku."
"Apapun yang terjadi, aku berdiri di pihak kedua orang itu.
Biarlah mereka berdua bertempur melawan keempat orang
pengikutmu. Bahkan jika keempat orang yang t erluka itu
masih mampu ikut campur. Sementara itu, kau akan
berhadapan depgan aku."
"Per setan dengan bualanmu" geram Kebo Lorog "aku tidak
akan segan-segan membunuhmu. Dan namamu akan tetap
dikenang sebagai seorang pahlawan y ang mati tanpa arti."
Tetapi Mahisa Pukat justru tertawa. Katanya "Aku tidak
berkeberatan dengan segala macam gelar. Tetapi yang penting,
aku tidak ingin mati. Tetapi aku juga tidak ingin
membunuhmu kecuali dalam keadaan terpaksa sekali. Namun
agaknya kau akan memaksaku untuk melakukannya. "
Kebo Lorog menggeram marah. Bahkan matanya telah
menjadi merah seperti bara. Dengan suara yang bergetar
karena kemarahan yang menghentak-hentak dadanya, iapun
berkata kepada para pengikutnya "Bunuh keduanya. Aku akan
membunuh kecoak ini. Setelah kecoak ini mati aku injak, maka
biarlah kita membunuh kedua kecoak sakit-sakitan itu pula."
Mahisa Pukat justru tertawa semakin keras. Katanya
"Apakah ada sebutan yang lebih
buruk dari kecoak?" Kebo Lor og benar-benar telah
kehabisan kesabaran. Karena
itu, maka iapun segera bergeser
mendekati Mahisa Pukat, sementara keempat pengikutnya
berusaha untuk mengepung kedua orang yang telah menolak
ajakan mereka itu. Sedangkan
dua dari empat orang y ang telah
terluka itu ternyata masih
sanggup untuk mengangkat senjatanya meskipun tenaga
mereka telah jauh susut, sedangkan dua orang y ang lain
sama sekali telah tidak mampu
berbuat apa-apa lagi. Keempat orang yang datang bersama dengan Kebo Lorog
itu juga sudah mencabut senjatanya pula. Mereka telah bersiap
untuk bertempur habis-habisan, karena merekapun
mengetahui tataran kemampuan kedua orang y ang akan
dibunuhnya itu. Kebo Lor og yang yakin akan kemampuannya itu sama
sekali tidak ingin mempergunakan senjata. Karena orang itu
tidak bersenjata, maka Mahisa Pukatpun tidak bersenjata
pula, meskipun ia membawa pedangnya yang merupakan
bagian dari senjata kembar dengan senjata Mahisa Murti.
Kedua orang yang berhadapan dengan enam orang lawan
itupun telah mulai bergerak. Mereka memang harus
mengerahkan segenap kemampuan mereka. Bagaimanapun
juga melawan enam orang tentu merupakan satu pertempuran
yang sangat berat. Kepada kedua orang y ang sudah terluka itu salah seorang
dari mereka berkata "Sebaiknya kalian tidak melibatkan diri
lagi, karena kemampuan kalian sama sekali t idak memadai
untuk pertempuran ini."
"Per setan dengan igauan kalian itu " geram salah seorang
dari kedua orang y ang terluka itu.
Lawannya itupun berdesis "Aku m enyesal bahwa aku tidak
membunuhmu tadi." "Akulah y ang nanti akan membunuhmu" jawab orang y ang
terluka itu. Ternyata kedua orang y ang dikepung itu tidak menunggu
lebih lama lagi. Dengan tidak terduga sebelumnya, seorang di
antara mereka segera meloncat dengan kecepatan yang sangat
tinggi. Ujung pedangnya dengan serta merta telah m enggapai
pundak dari salah seorang y ang memang sudah terluka itu.
Orang itu terkejut. Diluar sadarnya, maka iapun berteriak
kesakitan. Tenaganya y ang sudah ter susut itu tidak m ampu
melontarkan tubuh untuk menghindar.
Karena itu, maka ujung pedang itupun benar-benar telah
mematuk dan menghujam dipundaknya.
Beberapa langkah orang itu terdor ong surut. Bahkan
kemudian iapun terjatuh ditanah. Senjatanya terlepas dari
tangannya. Agaknya ujung pedang lawannya itu telah
memotong urat dipundaknya sehingga tangan kanannya itu
rasa-rasanya bagaikan menjadi lumpuh.
Kelima orang yang Iainpun dengan serta merta telah
bergerak pula. Seorang diantara mereka y ang telah terluka itu
berteriak "Licik kau. Kau curi kesempatan sebelum kami
bersiap?" "Itulah kebodohan kalian. Jika kalian berhadapan dengan
lawan, maka kalian harus sudah bersiap sejak semula. "
Seorang dari para pengikut Kebo Lorog itupun mencoba
untuk melakukan hal y ang sama. Tiba-tiba saja ia meloncat
menyerang dengan garangnya.
Tetapi ujung senjatanya tidak menyentuh apapun juga.
Bahkan ketika senjata itu terjulur, maka dengan kerasnya
lawannya memukul senjata itu sehingga justru terlepas dari
tangannya. Untunglah bahwa kawan-kawannya dengan cepat
melindunginya dengan m eny erang hampir bersamaan. Kedua
orang lawan mereka terpaksa bergeser surut sehingga orang
yang kehilangan senjatanya itu sempat memungutnya kembali
sambil mengumpat-umpat. Ketika ia kemudian bersiap kembali, maka ia masih harus
beberapa kali meniup tangannya yang terasa seperti
menyentuh bara api. Demikianlah maka para pengikut Kebo Lor og itu telah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertempur melawan kedua orang y ang tidak mau tunduk
kepada kemauan mereka. Ternyata kedua orang itu benar-benar mampu
mengimbangi kelima orang lawannya. Kedua orang itu sekalisekali
b ertempur pada jarak y ang dekat, namun sekali-sekali
mereka saling menjauh. Loncatan-loncatan mereka yang
panjang dan dengan kecepatan y ang tinggi, membuat kelima
orang lawan mereka itu kadang-kadang menjadi bingung
seakan-akan kehilangan sasaran. Namun kelima orang itu
sesekali juga dapat m endesak kedua orang lawan m ereka itu
dan bahkan mencoba mengurungnya.
Kebo Lor og sempat memperhatikan pertempuran itu
sesaat. Kemudian dengan nada tinggi ia berkata "Lihat. Kedua
orang y ang akan kau lindungi itu akan segera mati."
"Kau akan mati lebih dahulu dari mereka. Kemudian
delapan orang pengikutmu itu juga akan mati. Kecuali jika kau
menyerah dan membawa orang-orangmu pergi."
Kebo Lor og menggeram. Kemarahannya tidak tertahan lagi.
Darahnya bagaikan telah mendidih didalam jantungnya.
Karena itu, maka iapun mulai bergeser menyerang Mahisa
Pukat y ang memang sudah bersiap untuk bertempur.
Sejenak kemudian, m aka keduanyapun telah m ulai saling
menyerang. Kebo Lor og ternyata benar-benar seorang yang
memiliki kekuatan y ang luar biasa. Tenaganya bagaikan
tenaga raksasa yang sedang mengamuk. Ayunan tangannya
telah menggetarkan udara menerpa kulit Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat menyadari, betapa besar kekuatan lawannya
itu. Karena itu, maka iapun segera mempergunakan lambaran
tenaga dalamnya untuk mengimbangi kekuatan raksasa Kebo
Lor og. Ketika terjadi benturan-benturan diantara keduanya, Kebo
Lor og memang menjadi heran. Anak muda itu ternyata
mampu mengimbangi kekuatannya. Tetapi Kebo Lorogpun
mengerti, bahwa Mahisa Pukat telah mengalasi kekuatannya
dengan tenaga dalam. Karena itu, untuk tetap berada pada
tataran yang lebih tinggi, maka Kebo Lorogpun telah
mengungkapkan tenaga dalamnya pula.
Namun k emampuan Mahisa Pukat ternyata memang lebih
tinggi dari Kebo Lor og. Karena itu, meskipun pada da sarnya
kekuatan Kebo Lorog itu lebih besar, tetapi dilambari dengan
tenaga dalam masing-masing, maka Kebo Lor og ternyata tidak
mampu menekan kekuatan lawannya.
Mahendra yang berdiri di luar pintu kedai itu
memperhatikan pertempuran y ang terjadi itu dengan
seksama. Sekali-sekali nampak keningnya berkerut. Kedua
orang y ang harus bertempur melawan para pengikut Kebo
Lor og itu m emang harus mengerahkan segenap tenaga dan
kemampuan mereka. Keempat orang pengikut Kebo Lor og
yang datang kemudian itu masih mempunyai tenaga yang
segar. Sedangkan seorang yang telah terluka itu masih juga
terasa mengganggu, karena iapun dapat merupakan bagian
dari kepungan di seputar kedua orang itu.
Namun kedua orang itu memang lebih tangkas dari lawanlawan
mereka. Meskipun jumlah lawan mereka lebih dari dua
kali lipat, namun kedua orang itu masih mampu
mengimbanginya. Sementara itu, Mahisa Pukat y ang bertempur melawan
Kebo Lorog, tetapi ternyata Mahisa Pukat masih mampu
mengimbanginya. Keduanya bergerak semakin lama semakin
cepat. Bahkan Kebo Lorog yang gemuk itupun mampu
bergerak dengan kecepatan yang tinggi, seakan-akan tubuhnya
yang besar itu tidak terasa memberatinya.
Karena itulah maka keduanyapun berloncatan dengan
tangkasnya saling menyerang dan saling menghindar. Sekalisekali
masih saja terjadi benturan jika seorang diantara
mereka menangkis serangan lawannya.
Dalam benturan-benturan y ang terjadi, maka keduanya
justru mengetahui bahwa lawan mereka memang memiliki
tenaga dan kekuatan yang besar. Sementara itu loncatanloncatan
y ang cepat dan ringan membuat pertempuran itu
bagaikan angin pusaran y ang berputaran tidak berkeputusan.
Orang-orang y ang menyaksikan pertempuran itu dari
kejauhan, tidak tahu apa y ang sebenarnya terjadi. Bahkan
merekapun kemudian sulit membedakan, ketika dua bayangan
bagaikan menjadi berbaur tanpa batas.
Hanya Mahendralah y ang dapat melihat apa y ang
sebenarnya terjadi. Namun iapun mengerutkan dahinya
melihat kedua orang itu m eningkatkan ilmu m ereka semakin
lama semakin tinggi. Diputaran pertempuran y ang lain, dua orang yang datang
terdahulu tengah bertempur melawan para pengikut Kebo
Lor og. Ternyata keduanya m emang memiliki kelebihan dari
lawan-lawan mereka. Senjata kedua orang itu berputaran
menggapai-gapai dengan cepat. Sehingga sekali-sekali k elima
orang y ang mengepungnya harus berloncatan menjauh.
Namun sejenak kemudian mereka dengan serentak m eloncat
menyerang bersama-sama. Namun kedua orang yang menolak untuk bekerja bersama
dengan Kebo Lorog itu telah mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Mereka tidak mau m enunggu keadaan
menjadi semakin buruk. Dengan demikian, maka senjata mereka seakan-akan
berputar semakin cepat. Kedua orang itu tidak membiarkan
diri mereka terkurung di dalam kepungan. Dengan isyarat
maka keduanya serentak menghentakkan kekuatan mereka
menyerang sisi y ang sedang dalam paling lemah dari
kepungan itu. Tiga diantara kelima orang pengikut Kebo Lor og itu
terkejut sekali. Kedua orang itu begitu tiba -tiba meloncat
menyerang mereka. Ketiga orang itu memang berusaha untuk menghindar dan
menangkis serangan itu. Seorang diantara mereka yang tidak
menjadi sasaran langsung sempat meloncat menghindar.
Seorang lagi berusaha untuk menangkis ujung pedang yang
bergetar dan kemudian terayun m endatar menyambar kearah
lambung. Satu benturan yang keras telah terjadi. Namun
pengikut Kebo Lorog y ang terkejut itu t ernyata tidak mampu
menahan kekuatan benturan yang seakan-akan merayap lewat
pedangnya menggigit telapak tangannya.
Senjata orang itupun tidak mampu lagi dipertahankannya,
sehingga terloncat dari tangannya.
Dengan gugup orang itu berlari meninggalkan lawannya.
Sementara lawannya memang tidak sempat mengejarnya. Dua
orang pengikut Kebo Lorog y ang lain sempat memburu
menyelamatkan kawannya yang kehilangan senjatanya itu.
Tetapi mereka tidak sempat menolong kawannya yang lain.
Ju stru kedua orang bersama-sama meny elamatkan kawannya
yang kehilangan senjatanya, maka kawannya y ang seorang lagi
mengalami nasib y ang buruk. Meskipun ia mampu menangkis
serangan lawannya ketika pedang lawannya itu terjulur, tetapi
pedang itu menggeliat dan berputar dengan cepat. Pengikut
Kebo Lor og itu meloncat mundur untuk mempertahankan
senjatanya. Tetapi lawannya ternyata meloncat pula memburu.
Ayunan pedangnya yang datang lurus dari samping m enebas
kearah lehernya membuatnya meloncat surut sambil
melindungi lehernya dengan senjatanya. Tetapi ternyata
pedang lawannya berputar. Pedang nya mematuk kearah
dadanya y ang seakan-akan terbuka.
Pengikut Kebo Lorog itu dengan cepat memiringkan
tubuhnya karena tangannya terlambat menangkis serangan
itu. Tetapi pengikut Kebo Lor og itu tidak dapat melepaskan diri
sepenuhnya. Uluran pedang lawannya sempat mengoyak
lengannya, sehingga sebuah luka telah menganga.
Orang itu m eloncat surut mengambil jarak. Terasa darah
yang hangat telah meleleh sampai ketangannya dan bahkan
jari-jarinya. Orang itu mengumpat kasar. Kemarahannya telah menyala
didadanya. Namun, ia tidak dapat mengingkari keny ataan,
bahwa ia memang sudah terluka.
Sementara itu kedua orang itu telah berhasil m ematahkan
kepungan para pengikut Kebo Lor og. Orang yang telah
kehilangan senjatanya itu tidak sempat lagi memungutnya.
Karena itu, m aka iapun telah mengambil senjata dari salah
seorang pengikut Kebo Lorog yang datang lebih dahulu,
namun telah terluka dan tidak dapat bertempur terus.
Dengan demikian, m aka lima orang pengikut Kebo Lorog
bertempur itu, dua diantaranya telah terluka. Bagaimanapun
juga luka itu telah mempengaruhi mereka karena semakin
banyak darah y ang mengalir, maka tenaga merekapun menjadi
semakin susut. Kedua orang y ang menolak untuk bergabung dengan Kebo
Lor og itu menjadi semakin berpengharapan untuk dapat
segera meny elesaikan pertempuran itu. Ketika sesaat-sesaat
mereka sempat melihat pertempuran antara Mahisa Pukat dan
Kebo Lor og, dada mereka pun tergetar. Mereka tidak segera
mengetahui siapakah y ang akan m emenangkan pertempuran
itu. Apalagi keduanya tahu pasti, bahwa Kebo Lor og memang
seorang y ang memiliki ilmu y ang tinggi.
Sebenarnyalah bahwa Kebo Lorog tidak segera dapat
didesak. Bahkan kemudian ternyata bahwa Mahisa Pukat
mengalami kesulitan ketika Kebo Lor og itu mengerahkan
kemampuannya. Bukan saja tenaganya seakan-akan m enjadi
semakin besar, tetapi day a tahanyapun telah bertambahtambah.
Dengan demikian, maka pertempuran antara Mahisa Pukat
dan Kebo Lor og itu memang menjadi semakin sengit. Bahkan
Mahendra yang menyaksikan pertempuran itu mulai menjadi
berdebar-debar. Tenaga Kebo Lor og y ang serasa m enjadi berlipat itu telah
mendesak Mahisa Pukat. Namun Mahisa Pukatpun kemudian
sampai pada tataran tertinggi dari tenaga dalamnya, sehingga
kekuatannyapun mengimbangi kekuatan lawannya.
Tetapi meskipun demikian, ada sesuatu y ang membuat
Mahendra berdebar-debar. Dalam pengerahan tenaga sampai
kepuncak, sentuhan tangan Mahisa Pukat sama sekali tidak
mengguncangkan lawannya. Sekali-sekali Mahisa Pukat masih
juga tergetar, jika serangan lawannya mampu menembus
pertahanannya. Bahkan Mahisa Pukat pernah terdorong
beberapa langkah surut. Tetapi serangan Mahisa Pukat yang
mengenai tubuh Kebo Lor og seakan-akan tidak terasa sama
sekali. Mahisa Pukatpun kemudian merasakan hal itu. Karena itu,
maka ia tidak membiarkan lawannya tetap pada tataran
kemampuannya. Mahisa Pukatpun kemudian telah
mengetrapkan ilmunya y ang mampu menghisap tenaga dan
kemampuan lawannya. (Bersambung ke Jilid 113)
Conv ert, Edit, Ebook by Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 113 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--?""0dw0?""-
Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 113 DENGAN demikian maka Mahisa Pukat justru lebih banyak
berusaha untuk membentur serangan-serangan lawan.
Meskipun tulang dan dagingnya terasa sakit, tetapi ia berharap
bahwa kekuatan dan kemampuan lawannya itu menyusut.
Tetapi setelah bertempur untuk waktu y ang terhitung lama,
kemampuan lawannya sama sekali tidak m enyusut. Bahkan
Kebo Lorog itu justru menjadi semakin garang. Seranganserangannya
datang beruntun seperti debur ombak
menghantam tebing pantai.
Mahisa Pukat menjadi heran. Bahkan kegelisahannya mulai
nampak pada tata geraknya. Beberapa kali ia berloncatan
surut mengambil jarak serta berusaha mengamati keadaan
lawannya. Dalam pada itu, Kebo Lor ogpun tertawa berkepanjangan.
Tanpa memburu anak muda y ang meloncat surut menjauhinya
itu ia berkata disela-sela suara tertawanya "Nah, Mahisa
Pukat. Apalagi y ang akan kau andalkan" Ilmumu untuk
menghisap tenaga serta kemampuan lawanmu tidak berarti
sama sekali bagiku. Guruku telah m empelajari ilmu itu serta
penangkalnya sekaligus. Ilmu kebalku bukan saja mampu
menjadi peri sai dari serangan-seranganmu, tetapi juga
ilmumu yang sebenarnya termasuk ilmu y ang jarang ada
duanya itu. Nah, sekarang kau tidak dapat berbuat lain kecuali
menyerah. Bersimpuh dihadapanku dan membiarkan aku
berbuat apa saja atasmu. Tetapi aku berjanji tidak akan
membunuhmu, m eskipun untuk selama- lamanya kau tidak
akan dapat menghalangi aku lagi."
Wajah Mahisa Pukat m enjadi m erah. Tetapi Kebo Lorog
memang memiliki kemampuan sebagaimana dikatakannya itu.
Ilmu kebalny a mampu menangkal ilmunya yang dapat
menghisap tenaga dan kemampuan lawan.
Tetapi sama sekali tidak terbersit niat dihati Mahisa Pukat
untuk meny erah dan apalagi membiarkan Kebo Lor og itu
membuatnya cacat. Karena itu, maka Mahisa Pukat masih saja
bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya.
Mahendra memang menjadi berdebar-debar. Iapun
melihat, bahwa ilmu Mahisa Pukat yang tersembuny i itu tidak
dapat ditrapkan melawan kekebalan Kebo Lor og. Kekebalan
yang khusus, bukan saja melawan benturan-benturan
kekerasan dan tajamnya senjata, tetapi juga melawan ilmu


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mahisa Pukat yang jarang diketahui orang itu.
Namun bagaimanapun juga Mahisa Pukat selalu terdesak.
Serangan-serangannya memang menjadi tidak berarti bagi
lawannya. Ilmu k ebal Kebo Lorog tidak dapat ditembus oleh
kekuatan dan tenaga dalam Mahisa Pukat y ang telah
dilepaskannya seluruhnya.
Sementara itu, tubuh Mahisa Pukat terasa semakin lama
semakin dicengkam oleh kesakitan. Kulit dagingnya terasa
memar, sementara tulang-tulangnya bagaikan menjadi, retak.
Ketika serangannya y ang dilontarkan dengan mengerahkan
tenaganya sempat ditangkap oleh ketajaman penglihatan Kebo
Lor og, maka Kebo Lor og sama sekali tidak menghindar. Ia
justru mengerahkan tenaganya pula untuk membentur
serangan Mahisa Pukat. Satu benturan yang sengit telah terjadi. Namun Mahisa
Pukatlah yang justru terdor ong surut. Melambung diudara,
kemudian melayang jatuh. Hanya karena keliatan tubuhnya
sa jalah, maka Mahisa Pukat jatuh dengan mapan. Justru ia
sempat berguling dua kali dan kemudian meloncat bangkit.
Kebo Lor og tertawa berkepanjangan, sementara keringat
mulai mengalir dipunggung Mahendra.
Bahkan kedua orang y ang menolak bergabung dengan Kebo
Lor og, y ang juga sempat menyaksikannya sekilas, menjadi
gelisah pula. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat tidak ingin benarbenar
dihancurkan oleh Kebo Lorog. Karena itu, maka Mahisa
Pukat tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus berlindung
dibelakang ilmu pamungkasny a.
Demikianlah, m aka Mahisa Pukatpun telah mengerahkan
segenap tenaga serta segenap ilmu y ang ada didalam dirinya.
Kemudian memusatkan nalar budinya untuk membangkitkan
ilmu puncaknya. Dengan lambaran segenap kemampuan dan ilmu y ang
tersimpan didalam diriny a, maka Mahisa Pukat itu telah
menarik sebelah kakinya surut. Dengan lutut yang sedikit
merendah, m aka Mahisa Pukatpun telah sampai pada batas
tertinggi kemampuan ilmu y ang dimilikinya.
Sejenak kemudian, maka kedua tangan Mahisa Pukat telah
bersilang didadanya, kemudian terjulur lurus menghentak
kedepan dengan telapak tangan yang terbuka menghadap
lawannya. Kebo Lor og terkejut melihat sikap Mahisa Pukat. Bahkan
jantungnya telah tergetar ketika ia melihat seleret sinar
memancar di telapak tangan anak muda itu. Kemudian dengan
cepat meluncur ke arah jantung didadanya.
Kebo Lorog y ang juga berilmu tinggi itu memang tidak
membiarkan dadanya pecah oleh hantaman ilmu yang
meluncur dari telapak tangan Mahisa Pukat. Karena itu, maka
Kebo Lor og itupun meloncat menghindarinya.
Tetapi ilmu yang terlontar dari telapak tangan Mahisa
Pukat terlalu cepat untuk dapat dihindari sepenuhnya oleh
Kebo Lorog y ang agak gemuk itu. Karena itu, maka Kebo
Lor og tidak berhasil lepas sama sekali dari tikaman ilmu
Mahisa Pukat. Yang terjadi adalah benturan y ang dahsy at. Kebo Lorog
itulah y ang kemudian terlempar dan melambung beberapa
langkah surut. Ketika Kebo Lor og terbanting jatuh, betapapun
ia berusaha untuk menggeliat dan bangkit kembali, namun
tubuhnya tidak lagi mampu untuk bergerak lagi. fulang-tulang
dadanya serasa berpatahan. Bahkan seisi daday a terasa
menjadi panas bagaikan terbakar
Kebo Lor og itu mengumpat kasar. Tetapi suaranya y ang
parau tertelan kembali lewat kerongkongannya yang kering.
Ilmu puncak Mahisa Pukat ternyata tidak mampu
diatasiny a. Hanya karena Kebo Lor og berilmu tinggi, serta
usahanya untuk menghindari serangan Mahisa Pukat yang
meluncur kearahnya sajalah, maka Kebo Lor og m asih tetap
menyadari sepenuhnya apa yang terjadi. Tetapi wadagnya
sama sekali tidak lagi mampu mendukung segala ilmu,
kemampuan dan kelebihan-kelebihannya.
Mahisa Pukat berdiri termangu-mangu. Sementara itu, para
pengikut Kebo Lor og yang sedang bertempur itupun terkejut
pula. Mereka melihat Kebo Lorog itu terbanting jatuh dan
tidak dapat bangkit kembali.
Kedua orang y ang tidak mau bergabung dengan Kebo Lorog
itupun melihat, bagaimana Mahisa Pukat mengalahkan Kebo
Lor og. Yang mereka lihat itu seakan-akan merupakan ulangan
dari apa y ang pernah m ereka lihat di padepokan Bajra Seta.
Sehingga dengan demikian maka keduanyapun yakin, bahwa
Mahisa Pukat itu memang saudara laki -laki Mahisa Murti
sebagaimana dikatakannya.
Ketika kemudian Kebo Lorog yang berilmu tinggi itu
terbaring di halaman kedai itu, maka para pengikutnyapun
menjadi ragu-ragu. Kedua orang y ang tidak mau bergabung
dengan m ereka itupun tidak dapat mereka kalahkan. Apalagi
apabila anak m uda y ang telah m engalahkan Kebo Lorog itu
ikut bertempur melawan mereka.
Mahisa Pukat masih berdiri termangu-mangu sejenak.
Ketika ia melihat bahwa Kebo Lor og sudah tidak mampu
bangkit lagi, maka iapun melangkah mendekati para
pengikutnya sambil berkata "Nah, apakah yang akan kalian
lakukan?" Para pengikut Kebo Lor og itu m enjadi semakin berdebardebar.
Sekali-sekali mereka memandang kedua orang yang
menolak bergabung bersama mereka itu. Namun kemudian
dipandanginya Mahisa Pukat yang telah melumpuhkan
pemimpinnya yang dianggapnya tidak dapat dikalahkan oleh
siapapun juga. "Apakah kalian akan meneruskan pertempuran ini" "
bertanya Mahisa Pukat. Orang-orang itu tetap terdiam. Tidak seorangpun diantara
mereka y ang menjawab. "Kenapa kalian diam saja?" desak Mahisa Pukat "atau kami
yang harus mulai meny erang kalian?"
Tidak seorang pun y ang menjawab meskipun mereka saling
berpandangan. Melihat sikap m ereka, maka Mahisa Pukatpun kemudian
berkata "Baiklah. Aku masih akan m inta kepada kedua orang
yang kalian paksa untuk bergabung dengan kalian itu untuk
memberikan kesempatan sekali lagi. Jika kesempatan kali ini
tidak kau pergunakan sebaik-baiknya, maka nasib kalian akan
menjadi lebih buruk dari Kebo Lorog itu sendiri."
Orang-orang itupun masih saja termangu-mangu. Tidak
seorangpun y ang menjawab. Sementara itu, Mahisa Pukat
berkata selanjutnya "Ba iklah. Kesempatan terakhir bagi kalian
untuk menyerah. Jika kesempatan ini tidak kalian
pergunakan, maka kalian tidak akan mempunyai pilihan lain."
Orang-orang itu masih berpandangan sejenak. Namun
seorang y ang terluka cukup parah berkata "Aku meny erah."
Tetapi Mahisa Pukat menyahut "Yang terutama bukan
kalian y ang memang sudah tidak dapat melawan. Aku
bertanya kepada mereka y ang masih mampu mempergunakan
senjatanya melawan kami."
Suasana memang menjadi tegang. Namun kemudian
seorang diantara mereka y ang masih bertempur dengan
sigapnya berkata sambil meletakkan senjatanya "Kami
menyerah." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Bagus.
Jika kalian meny erah, maka persoalannya dapat dianggap
selesai. Lihat pemimpinmu itu. Ia belum m ati. Tetapi Kebo
Lor og tidak akan mampu lagi memimpin kalian. Jika ia dapat
sembuh, ia tidak akan mampu lagi menguasai segenap
ilmunya karena dukungan wadagnya tidak memungkinkan
lagi. Ia akan cacat untuk selanjutnya."
Wajah para pengikutnya menjadi tegang. Sementara
Mahisa Pukat berkata lagi "Apakah kalian menyesal bahwa
pemimpin kalian menjadi cacat" Apakah kalian masih
bermimpi untuk tetap hidup dalam petualangan kalian seperti
saat -saat kalian mengembara dibawah pimpinannya."
Pertanyaan itu telah m enghentak dijantung para pengikut
Kebo Lor og itu. Untuk sesaat keadaan memang menjadi sepi.
Semuanya terdiam sementara wajah-wajah menjadi tegang.
Bukan hanya m ereka yang terlibat dalam pertempuran itu
sa ja, tetapi orang -orang y ang m enyaksikan dari k ejauhanpun
menjadi tegang pula. Bahkan Mahendra y ang menyaksikan
semua peristiwa yang terjadi di halaman kedai itupun juga
menjadi tegang. Dalam pada itu, seorang di antara para pengikut Kebo
Lor og itupun kemudian berkata "Ki Sanak. Kami tidak tahu
apa yang sebaiknya kami lakukan dikemudian hari. Tetapi jika
pemimpin kami tidak lagi mampu melakukan tugasnya, maka
agaknya kamipun harus mempertimbangkannya untuk
berbuat yang lain." "Jadi seandainya kalian meninggalkan dunia hitammu,
bukan karena kesadaran y ang tumbuh dari dasar hatimu.
Tetapi semata-mata karena tidak ada lagi orang y ang dapat
membawamu melakukan kejahatan-kejahatan itu?" bertanya
MahisaPukat. "Tidak. Bukan karena itu. Tetapi kami benar-benar tidak
tahu apa yang harus kami lakukan. Dan bahkan kami tidak
tahu apa y ang harus kami katakan sekarang ini." jawab
pengikut Kebo Lorog itu. Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya "Apapun
alasannya. Tetapi kau dapat bercermin kepada kedua orang
yang pernah bekerja bersamamu itu. Mereka sekarang sama
sekali t idak goncang oleh bujukan atau ancaman atau apapun
juga. Mereka sudah berdiri tegak pada sikap mereka. "
Para pengikut Kebo Lorog itu m engangguk-angguk. Tetapi
wajah mereka masih membayangkan keragu-raguan sikap.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun berkata "Baiklah.
Pikirkan kata-kataku ini. Jika kalian masih tetap berdiri
dibayangi kejahatan yang pemah kalian lakukan dibawah
pimpinan Kebo Lor og itu, maka kalian akan berhadapan
dengan bekas-bekas kawan kalian dan lebih dari itu, kalian
akan berhadapan dengan seluruh isi Padepokan Bajra Seta
selain kalian m erupakan orang-orang yang tentu akan selalu
diburu oleh para prajurit Singasari. "
Orang-orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi tidak
seorangpun y ang menyahut.
Karena itu, maka Mahisa Pukatpun membentak "He,
kenapa kalian m embisu" Apakah aku harus membawa kalian
kepada para prajurit Singasari?"
"Sebenarnyalah aku tidak tahu apa yang harus aku katakan"
jawab salah seorang diantara mereka dengan serta-merta
"Tetapi yakinlah, bahwa kami tidak akan mengulangi lagi
perbuatan-perbuatan kami. Bukan karena Kebo Lor og sudah
tidak berdaya lagi. Tetapi kami m engerti kenapa kami harus
menghentikannya." "Apa yang meloncat dari mulutmu itu tidak lebih dari
sekedar usahamu untuk m eny elamatkan diri. Tetapi baiklah.
Kita akan melihat apa y ang akan terjadi kelak. " berkata
MahisaPukat. Para pengikut Kebo Lorog itu tidak menjawab. Tetapi
kegelisahan memang membayang disor ot mata mereka.
Sementaraitu Mahisa Pukatpun berkata "Sekarang, lihat
pemimpinmu itu. Tolong rawat orang itu baik-baik. Tetapi
ingat, kita tentu masih akan bertemu dimanapun juga. Jika
bukan aku, tentu para cantrik dari Padepokan Bajra Seta. Atau
saudaraku Mahisa Murti, atau Mahisa Semu atau Paman
Wantilan. Tetapi karena aku mempunyai banyak hubungan
dengan prajurit Singasari, maka jika kalian masih tetap hidup
dalam bayangan kejahatan, maka Arya Kuda Cemani, seorang
Panglima dari Pa sukan Sandi di Singasari akan langsung
menangani perburuan atas kalian."
Diluar sadarnya maka para pengikut Kebo Lor og itu
mengangguk-angguk. Tetapi hati mereka benar-benar menjadi
kuncup mendengar ancaman Mahisa Pukat itu.
"Namun segala sesuatunya terserah kepada kalian " berkata
Mahisa Pukat kemudian. Lalu katanya sekali lagi "Sekarang
lihat pemimpinmu itu."
Para pengikut Kebo Lorog y ang tidak terluka itupun telah
melangkah mendekati Kebo Lor og y ang terbaring. Ternyata
orang itu agaknya masih pingsan.
Kepada kedua orang y ang menolak bergabung dengan Kebo
Lor og itu Mahisa Pukat berkata "Ki Sanak. Kalian dapat
mengamati apa y ang mereka lakukan disini sampai mereka
membawa Kebo Lorog itu pergi. Kami berdua akan
melanjutkan perjalanan kami menuju ke Padepokan Bajra
Seta. " "Baiklah" jawab salah seorang dari mereka "kami
mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu. Kau telah
menyelamatkan jiwa kami sebagaimana dilakukan oleh
Mahisa Murti. Mahisa Murti waktu itu dapat saja membunuh
kami semuanya karena kami telah melakukan kesalahan yang
sebenamya tidak pantas untuk dimaafkan. Tetapi kami dapat
keluar hidup-hidup dariPadepokan Bajra Seta. Karena itulah,
maka kami berjanji untuk menghentikan segala kegiatan gila
kami sebagaimana selalu kami lakukan sebelumnya. Bahkan
memang kami pernah melakukannya bersama-sama dengan
Kebo Lor og. " "Baiklah. Sekarang kami berdua akan minta diri. kami
mengucapkan selamat atas kesediaan kalian meninggalkan
satu lingkungan y ang penuh dengan kegelapan." Berkata
Mahisa Pukat. Lalu katanya pula "Orang itu adalah ay ahku.
Juga ayah Mahisa Murti."
"O" kedua orang itupun mengangguk hormat kepada
Mahendra y ang masih berdiri di tempatnya. Namun
Mahendrapun telah m engangguk hormat pula kepada m ereka
berdua. Demikianlah, maka Mahendra dan Mahisa Pukatpun
meninggalkan kedai itu setelah membayar harga makanan dan
minuman mereka serta kuda-kuda mereka, melanjutkan
perjalanan menuju ke Padepokan Bajra Seta.
Keduanya telah tertahan beberapa saat diperjalanan.
Karena itu, maka perjalanan mereka memerlukan waktu lebih
lama dari y ang mereka rencanakan.
Namun dengan demikian mereka mengetahui, apa y ang
baru saja terjadi di Padepokan Bajra Seta. Agaknya telah
terjadi pertentangan diantara sekelompok orang yang semula


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak mempunyai sangkut-paut dengan Padepokan Bajra Seta,
namun kemudian justru telah melibatkan Padepokan itu.
Tetapi Mahendra dan Mahisa Pukat tidak berniat untuk
bermalam diperjalanan. Meskipun mereka masih harus
berhenti untuk memberi kesempatan kuda mereka untuk
beristirahat, minum dan makan rerumputan segar, namun
kemudian mereka telah melanjutkan perjalanan.
Ketika mereka sampai di Padepokan, maka para cantrik
yang bertugas memang terkejut. Dengan tergopoh-gopoh
mereka membuka pintu gerbang Padepokan serta
mempersilahkan keduanya memasuki Padepokan y ang sudah
lelap. Mahisa Murti yang dibangunkan oleh seorang cantrikpun
terkejut pula. Dengan tergesa -gesa Mahisa Murti pergi ke
bangunan induk Padepokan Bajra Seta.
Mahendra dan Mahisa Pukat, memang sudah menunggu di
bangunan induk. Demikian mereka melihat Mahisa Murti
yang tergesa -gesa menemuinya, Mahendra segera berkata
"Kami datang untuk membawa kabar baik. "
Mahisa Murti yang kemudian duduk m enemui Mahendra
dan Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahendra berkata "Perjalanan kami terhambat beberapa saat.
Karena itu, kami datang larut malam."
Mahisa Pukatlah y ang kemudian m enceriterakan apa yang
terjadi di perjalanan sehingga mereka tertahan beberapa saat
disebuah kedai. "Dua orang itu berceritera serba sedikit, tentang peristiwa
yang terjadi di Padepokan ini" berkata Mahisa Pukat
Sementara Mahendra minta Mahisa Murti menceriterakan
peristiwa yang pernah terjadi itu.
Seorang cantrik kemudian menghidangkan minuman panas
dengan beberapa potong makanan y ang sudah dingin. Namun
Mahisa Murtipun berkata "Biarlah para cantrik menyiapkan
makan malam. Bukankah ay ah dan Mahisa Pukat belum
makan malam diperjalanan?"
Mahisa Pukatlah y ang mengangguk sambil menjawab
"Terima kasih. Kami memang sudah merasa lapar. Ketika
kuda kami sempat berhenti, minum air diparit yang jernih
serta makan rerumputan segar, kami tidak dapat makan
apapun juga, karena kami tidak dapat berbagi makanan
dengan kuda-kuda kami."
Mahisa Murtipun tertawa. Katanya "Kami akan menangkap
seekor ay am." "Jangan" cegah Mahisa Pukat "jangan karena kedatangan
kami, seekor ayam tidak sempat melihat matahari terbit esok
pagi." Mahisa Murti tertawa. Mahendrapun tertawa pula. Namun
Mahisa Murtipun menjawab "Baiklah. Biarlah para cantrik
mencari telur saja di pe tar angan. Karena kami tidak
mempunyai lauk yang lain"
Sambil menunggu nasi masak, maka Mahisa Murtipun
telah menceriterakan apa y ang terjadi di Padepokan Bajra
Seta. Bahkan kemudian Mahisa Murtipun minta para cantrik
memanggil Sambega dan Wantilan untuk ikut menemui
Mahendra dan Mahisa Pukat.
Sambega y ang kemudian mendengar pula apa y ang telah
terjadi diperjalanan Mahendra dan Mahisa Pukat
mengangguk-angguk sambil berkata "Sokurlah, jika para
pengikut Lengkara itu benar-benar menginsy afi arti dari hidup
mereka. " Namun pembicaraan mereka terhenti, ketika para cantrik
membawa hidangan y ang masih hangat. Nasi y ang masih
mengepulkan asap, telur dadar dan sambal terasi.
"Benar-benar tidak ada y ang lain " berkata Mahisa Murti.
Sukma Pedang 7 Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Kamar Gas 1
^