Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 31

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 31


"Bukankah ini sudah cukup " Semua adalah kegemaranku.
Telur dadar dan sambal terasi. Tentu tidak terlalu pedas,
sedikit asin dan sedikit berambang." desis Mahisa Pukat.
Mereka tertawa. Namun kemudian merekapun makan
dengan lahapnya. Bahkan Mahisa Murti, Wantilan dan
Sambegapun ikut pula bersama mereka makan, meskipun
mereka sudah makan m alam, setelah Mahendra dan Mahisa
Pukat mencuci kaki dan tangan mereka serta berbenah diri.
Namun setelah mereka selesai makan, Mahendra tidak
ingin dengan serta merta mengatakan maksud kedatangannya.
Karena itu setelah duduk dan berbincang sebentar setelah
mereka makan, maka Mahendrapun berkata "Nah, sekarang,
ijinkan kami beristirahat. Kami
memang agak letih." Mahisa Murtipun kemudian memerintahkan seorang cantrik
untuk menyiapkan dua buah
bilik bagi Mahendra dan Mahisa
Pukat. Bagi Padepokan Bajra
Seta, rasa-rasanya Mahisa Pukat
memang bukan lagi bagian dari
Pa depokan itu, sehingga Mahisa
Pukatpun diterima sebagaimana
mereka menerima seorang tamu.
Mahisa Pukat memang merasakan hal itu. Karena itu
rasa-rasanya memang ada y ang
hilang baginya jika ia berada di Padepokan Bajra Seta.
Tetapi itu memang tidak dapat diingkarinya. Ia sadar,
bahwa ia seakan-akan memang sudah keluar dari lingkungan
Pa depokan itu. Sementara itu, Mahisa Murti dengan ketajaman
panggraitannya telah tanggap, bahwa ay ahnya dan Mahisa
Pukat tentu m embawa persoalan, yang cukup penting untuk
disampaikan kepadanya. Dengan demikian Mahisa Murti tidak dapat minta ayahnya
serta Mahisa Pukat untuk mengatakan per soalan yang
dibawanya. Mahisa Murtipun tahu bahwa keduanya, terutama
Mahisa Pukat tentu m erasa letih. Selain mereka menempuh
perjalanan panjang, Mahisa Pukat juga harus berhenti untuk
bertempur. Bahkan harus melepaskan ilmu puncaknya.
Demikianlah, maka Padepokan Bajra Setapun telah
menjadi sepi kembali. Mahendra dan Mahisa Pukat telah
berada didalam bilik mereka. Sementara itu Mahisa Murti,
Sambega dan para cantrikpun telah kembali ke pembaringan
selain mereka y ang memang bertugas.
Wantilan masih sempat melihat para cantrik y ang bertugas
diregol. Namun kemudian iapun telah pergi ke biliknya pula.
Ketika fajar m enyingsing, maka Mahisa Semu dan Mahisa
Amping terkejut melihat Mahendra dan Mahisa Pukat berada
di Padepokan. Dengan serta merta keduanya telah
menemuinya dan bertanya tentang kedatangan mereka,
keadaan di Singasari, bahkan Mahisa Amping telah bertanya
pula tentang sanggar di Kasatrian.
Mahisa Pukat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu sambil
tersenyum. Namun Mahisa Pukat tidak menjawab ketika
Mahisa Amping bertanya, apakah keperluan mereka datang ke
Pa depokan. Hari itu, rasa-rasanya Mahisa Pukat telah berada kembali
ditengah-tengah dunianya. Dengan sendiriny a ia telah ikut
melakukan kegiatan sebagaimana selalu dilakukannya ketika
ia masih berada di Padepokan Bajra Seta. Memang jauh
berbeda dari kegiatan y ang dilakukannya di Kasatrian. Tetapi
rasa-rasanya baru kemarin ia meninggalkan Padepokan itu
dan berada di Kasatrian istana Singasari.
Ketika kegiatan pagi di padepokan itu lewat, maka
Mahendra telah minta agar Mahisa Murti duduk b ersamanya
dan Mahisa Pukat untuk berbicara tentang sesuatu hal yang
dianggapnya penting. Mahisa Murti memang menjadi berdebar -debar. Namun
semalam ayahnya sudah mengatakan kepadanya, bahwa
ay ahnya dan Mahisa Pukat datang dengan membawa kabar
baik. Tetapi masih timbul pertanyaan didalam hatinya "Kabar
baik bagi siapa" Bagi aku atau bagi Mahisa Pukat atau bagi
Pa depokan Bajra Seta?"
Tetapi pertanyaan itu tidak diucapkannya. Ia menunggu
ay ahnya akan mengatakannya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka ayahnyapun
menyampaikan niat Mahisa Pukat untuk melamar dan
selanjutnya menikah dengan Sasi. Anak gadis Arya Kuda
Cemani. Jantung Mahisa Murti memang terasa menghentak. Namun
dengan cepat ia berusaha menguasai perasaannya. Bahkan
kemudian Mahisa Murtipun tersenyum sambil berkata
"Sokurlah. Satu keputusan y ang bijaksana. "
Mahendra mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
berkata "Kita memang harus menghormati sikap lingkungan
kita dan lingkungan Arya Kuda Cemani. Ketika orang-orang
mulai berbicara tentang hubungan antara Mahisa Pukat dan
Sasi, m aka persoalanpun rasa -rasanya seperti dipacu. Apalagi
Mahisa Pukat telah mendapatkan pekerjaan yang mapan di
istana, sementara umumyapun sudah sampai diatas batas
kewajaran untuk berumah tangga. Karena itu, m aka aku kira
tidak ada lagi persoalan y ang harus ditunggu, selain
persetujuanmu." "O" Mahisa Murti justru terkejut. Dengan nada tinggi iapun
bertanya "Kenapa persetujuanku?"
"Maksudku, kita dapat berbincang-bincang lebih dahulu
sebelum aku benar-benar datang melamar kepada Arya Kuda
Cemani. " "Seperti y ang sudah aku katakan, ayah. Keputusan ay ah
untuk segera melamar dan bahkan pernikahan akan segera
dilaksanakan pula, adalah satu keputusan y ang bijaksana."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia m emang sudah
mengira bahwa sikap Mahisa Murti adalah sebagaimana
ditunjukkan itu. Namun sebagai seorang ayah y ang m engerti
perasaan anaknya, Mahendra justru menjadi terharu.
Tetapi dihadapan Mahisa Pukat ia sama sekali tidak
menunjukkan perasaannya. Sambil mengangguk-angguk kecil
Mahendra berkata besok lusa aku kembali ke Singasari, maka
aku akan segera datang menemui Arya Kuda Cemani.
"Semakin cepat, tentu semakin baik, ayah" berkata Mahisa
Murti. "Ya. Semuanya memang sebaiknya segera dilakukan" jawab
Mahendra Mahisa Murti mengangguk-angguk pula. Kepada Mahisa
Pukat ia berkata "Kau harus benar-benar m empersiapkan diri
melangkah kedalam satu dunia y ang baru sama sekali. Rasarasanya
memang tidak ada satu perguruan yang memberikan
tutunan secara terperinci bagaimana seseorang memasuki satu
kehidupan rumah tangga, kecuali petunjuk-petunjuk secara
umum sekali. " Mahisa Pukat tersenyum. Katanya "Tetapi kita dapat belajar
dengan memperhatikan sisi-sisi kehidupan satu keluarga.
Meskipun demikian, sebagian besar dari keberhasilannya
tergantung kepada y ang menjalani sendiri. "
"Kesadaranmu akan hal itu merupakan modal y ang
berharga, Pukat" desis Mahendra "karena itu, mereka yang
akan memasuki satu kehidupan keluarga dituntut untuk
bertanggung jawab sepenuhnya. Sejak mempersiapkan diri,
sampai saatnya memasuki kehidupan keluarga dan seterusnya
sampai pada batas akhir hayat."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia
menyahut "Ya ay ah."
"Nah, ternyata tidak ada persoalan lagi yang akan
menghambat perjalananmu m emasuki satu kehidupan baru.
Kau akan berada dalam satu lingkungan y ang mengikatmu."
"Ya ay ah" desis Mahisa Pukat.
Demikianlah, maka Mahendra merasa bahwa ia telah
melakukan apa yang seharusny a dilakukan, karena per soalan
Mahisa Pukat dan Sasi sebenarnya telah menyangkut pula
Mahisa Murti. Namun kebesaran jiwa Mahisa Murti sama
sekali tidak menimbulkan hambatan apapun bagi Mahisa
Pukat. Bahkan Mahendra y akin bahwa Mahisa Murti tentu
akan membantu apa saja yang dapat dilakukan bagi
kepentingan Mahisa Pukat.
Karena itu, maka Mahendra merasa tidak perlu terlalu lama
berada di Padepokan Bajra Seta. Mahendra menganggap
bahwa semakin cepat persoalan itu diselesaikan, akan menjadi
semakin baik. Karena itu, maka Mahendra merencanakan setelah
bermalam dua malam di Padepokan Bajra Seta, ia berniat
untuk mengajak Mahisa Pukat kembali ke Singasari.
Mahisa Semu dan Mahisa Amping sebenarnya minta agai
Mahisa Pukat dan Mahendra tidak tergesa -gesa meninggalkan
Pa depokan itu. Tetapi sambil ter senyum Mahendra berkata
"Ada sesuatu yang penting yang harus kami selesaikan di
Singasari. Pada saatnya kalian akan kami minta datang ke
Singasari." "Apakah y ang penting yang harus diselesaikan itu ?"
bertanya Mahisa Amping. Mahendra tertawa. Katanya "Besok kau akan tahu. Tetapi
belum sekarang." "Apakah termasuk rahasia ?" bertanya Mahisa Amping
pula. Mahendra masih tertawa. Sambil m enepuk bahu anak itu
Mahendra berkata "Ya. Sesuatu y ang sangat rahasia. "
Mahisa Amping menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
bertanya lagi, sementara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hanya tersenyum saja. Demikianlah seperti y ang direncanakan, m aka Mahendra
dan Mahisa Pukatpun segera mempersiapkan diri setelah
mereka bermalam dua malam penuh di Padepokan Bajra Seta.
Ketika fajar meny ingsing keduanya sudah siap berangkat
kembali ke Singasari. Dalam kesempatan yang singkat, Mahendra sempat
berbisik ditelinga Mahisa Murti sebelumnya Mahisa Pukat
mendekati mereka "Aku menunggu, kapan aku harus melamar
lagi seorang gadis bagimu, Mahisa Murti."
Mahisa Murti terseny um. Katanya "Ayah tidak usah
memikirkan aku." "Sulit bagi seorang ay ah untuk berbuat demikian" jawab
Mahendra. Mahisa Murti mencoba untuk tertawa. Namun Mahendra
yang tua itu tahu, betapa gersangnya hati anaknya itu. Namun
Mahisa Murtipun kemudian b erkata "Ayah. Aku akan segera
menyusul ayah ke Singasari untuk mohon agar ay ah
melakukan lagi hal y ang sama sebagaimana akan ayah
lakukan." Mahendra menepuk pundak Mahisa Murti sambil berkata
"Ayah bersungguh-sungguh, Murti"
Mahisa Murti mengangguk kecil. Katanya "Aku mohon ay ah
berdoa untukku." "Aku selalu berdoa untuk anak-anakku" jawab Mahendra.
"Terima kasih ayah" desis Mahisa Murti.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, Mahendra dan
Mahisa Pukatpun telah minta diri kepada seluruh isi
Pa depokan Bajra Seta. Sebelum matahari terbit, maka mereka
berdua telah meloncat kepunggung kudanya dan berpacu
keluar dari pintu gerbang Padepokan Bajra Seta.
Sepeninggal Mahendra dan Mahisa Pukat, Mahisa Murti
memang agak lebih banyak merenung. Tidak seorangpun tahu,
kenapa Mahisa Murti berbuat demikian. Seisi Padepokan
Bajra Seta, termasuk Wantilan dan Sambega menganggap
bahwa Mahisa Murti hanya merasa sepi setelah ayah dan
saudaranya meninggalkannya.
Namun sebenarnyalah Mahisa Murti merasa sepi.
Meskipun ia berada dihiruk-pikuknya kerja dan latihan di
Pa depokan Bajra Seta, namun Mahisa Murti memang m erasa
bahwa ada yang masih kurang didalam hidupnya.
Sekali-sekali Mahisa Murti memang masih membayangkan
wajah Sasi. Namun setiap kali, Mahisa Murti diluar sadarnya
telah menggelengkan kepalanya, seakan-akan ia ingin
mengibaskan ingatan itu sejauh-jauhnya.
"Aku harus melupakannya" berkata Mahisa Murti kepada
diri sendiri. Dalam keadaan y ang demikian, maka Mahisa Murti
berusaha mengisi waktu-waktunya yang luang dengan berbuat
apa saja. Mungkin di sanggar seorang diri. Mungkin di sanggar
bersama Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Bahkan kadangkadang
dengan Wantilan, karena bagaimanapun juga
kemampuan Wantilan masih harus selalu diasah agar menjadi
semakin tajam dan tidak berhenti dan diam. Bahkan kadangkadang
Mahisa Murti berada di dekat perapian para cantrik
yang mempunyai ketrampilan sebagai pandai besi. Atau kerja
lain bersama para cantrik.
Meskipun demikian, masih saja ada waktu y ang terselip
tanpa disadarinya saat-saat wajah itu membayang kembali.
Bahkan kadang-kadang bersama dengan Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Murti memang mempunyai kendali y ang
kuat atas gejolak perasaannya, sehingga karena itu, maka
bagaimanapun juga, Mahisa Murti masih selalu dapat
mengatasinya sendiri. Namun diluar sadarnya, maka Mahisa Murti mengisi
kekosongan jiwanya itu juga dengan semakin menekuni
ilmunya. Mahisa Murti semakin menempa dirinya sehingga
setapak demi setapak ilmunya menjadi semakin matang.
Bahkan bukan saja Mahisa Murti sendiri. Tetapi juga
Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Keduanya merasa bahwa
perhatian Mahisa Murti terhadap m ereka justru bertambah.
Bahkan Wantilanpun ikut merasakan, betapa Mahisa Murti
berbuat apa saja bagi peningkatan kesejahteraan Padepokan
Bajra Seta lahir dan batin.
Sementara itu, di Singasari, Mahendra dan Mahisa Pukat
telah sibuk mempersiapkan diri untuk datang m enemui Arya
Kuda Cemani. Bukan sekedar Mahendra dan Mahisa Pukat
datang bertamu dan kemudian menyampaikan maksud
kedatangannya. Tetapi pembicaraan-pembicaraan yang


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian harus disusul dengan upacara-upacara y ang wajib
dilakukan. Untuk kepentingan itu semuanya, maka Mahendra harus
menunjuk beberapa orang tua untuk mengadakan
pembicaraan-pembicaraan pendahuluan. Tetapi sebelumnya,
karena Mahendra sudah mengenal dengan baik Arya Kuda
Cemani, maka pokok persoalannya justru telah mereka setujui
bersama. Tetapi mereka tidak dapat meninggalkan segala macam
ketentuan dan upacara y ang harus diselenggarakan.
Ketika hal t sb. didengar oleh Sri Maharaja, ternyata Sri
Maharaja y ang juga mengenal baik Mahendra, yang atas
titahnya tinggal di istana, telah menaruh perhatian pula.
Bahkan Sri Maharaja sendiri memerintahkan kepada beberapa
orang pejabat di istana untuk membantu segala macam
keperluan Mahendra dan Arya Kuda Cemani.
Akhirnya kedua belah pihak telah sampai pada satu
persetujuan kapan mereka akan melaksanakan pernikahan
Mahisa Pukat dengan Sasi.
Memang ada beberapa pihak yang tersinggung oleh
kepastian bahwa Sa si akan menjadi isteri Mahisa Pukat. Tetapi
justru karena Sri Maharaja sendiri juga memberikan restunya,
maka tidak seorangpun yang berani menyatakan keberatannya
atau dengan sengaja mengganggu rencana itu.
Karena itu, maka segala persiapan dan upacara
pendahuluan dapat berlangsung dengan wajar dan tidak
terjadi hambatan yang berarti.
Dengan demikian, maka sekali lagi Mahendra ingin pergi ke
Pa depokan Bajra Seta untuk memanggil Mahisa Murti, agar
Mahisa Murti dapat ikut menunggui pernikahan Mahisa Pukat
di Singasari. Karena perkawinan itu mendapat restu dari Sri
Maharaja, maka Mahendra tidak dapat m eny elenggarakannya
sekedarnya saja. Apalagi orang tua Sasi, Arya Kuda Cemani.
Tetapi Mahendra tidak ingin mengajak Mahisa Pukat y ang
akan segera memasuki saat pernikahannya.
Sebenarnyalah bahwa Mahisa Pukat memang ingin
mengantarkan ayahnya pergi ke Padepokan Bajra Seta, tetapi
ay ahnya justru berkeberatan.
"Kau sudah tidak sebaiknya menempuh perjalanan y ang
panjang lagi, Mahisa Pukat. Waktumu tinggal sedikit. Karena
itu lebih baik kau mempersiapkan dirimu saja untuk
memasuki hari-harimu yang terpenting."
"Tetapi ayah tidak dapat pergi sendiri ke Padepokan Bajra
Seta" berkata Mahisa Pukat "bukankah pada perjalanan kita
yang lalu telah t erjadi sesuatu y ang sama sekali tidak menarik
?" "Aku justru ingin mengatakah kepadamu tentang hal itu.
Bagaimana jika kau mengalami kesulitan di perjalanan ?"
sahut Mahendra. "Tetapi aku tidak dapat m embiarkan ayah pergi sendiri. "
berkata Mahisa Pukat "jika terjadi sesuatu dengan ay ah, maka
Mahisa Murti dan bahkan kakang Mahisa Bungalan tentu akan
menyalahkan aku. Mereka tentu menganggap bahwa aku
hanya dapat bermanja-manja sedangkan ayah menjadi
semakin tua harus melakukan perjalanan yang berat dan
panjang." Tetapi Mahendra kemudian berdesis "Mahisa Pukat. Kau
jangan terlalu mencemaskan aku. Aku memang sudah tua.
Tetapi aku masih belum pikun. Karena itu, aku masih dapat
berhati-hati diperjalanan. Jika aku tidak mencampuri
persoalan orang lain, maka aku kira aku tidak akan
menjumpai persoalan y ang gawat. Jika beberapa saat yang
lewat kita mendapat hambatan, itu karena kita sengaja
mencampuri persoalan orang lain."
Meskipun demikian Mahisa Pukat menjawab "Tidak ay ah.
Tidak sebaiknya ayah pergi sendiri. "
"Jadi bagaimana menurut pertimbanganmu ?" bertanya
Mahendra ragu-ragu. "Aku dapat pergi bersama ayah. Aku berjanji bahwa aku
tidak akan mencampuri per soalan orang lain, meskipun
persoalan mereka itu juga menyangkut nama Padepokan kita. "
jawab Mahisa Pukat. Mahendra m enarik nafas dalam-dalam. Katanya "Mahisa
Pukat. Bagaimanapun juga aku nasehatkan kepadamu agar
kau tidak usah pergi. Jika kau tidak menghendaki aku pergi
sendiri, baiklah aku akan mencari seorang kawan untuk
menempuh perjalanan. Atau barangkali kau dapat menunjuk
seseorang untuk menemani aku."
Mahisa Pukat termangu-mangu Sejenak. Namun kemudian
katanya "Ayah. Mungkin itu adalah salah satu jalan keluar jika
ay ah memang tidak mengijinkan aku pergi."
"Jika demikian, siapa yang menurut pendapatmu dapat
pergi bersama aku ke Padepokan Bara Seta ?"
Mahisa Pukat termangu -mangu sejenak. Namun kemudian
ia ju stru bertanya "Apakah tidak ada seorang Senapati di
istana y ang menurut ayah dapat pergi bersama ayah ?"
"Mungkin aku dapat mengajak salah seorang diantara
mereka. " desis Mahendra.
Namun tiba-tiba Mahisa Pukat berkata "Tetapi aku kira aku
dapat mengusulkan seseorang."
"Siapa ?" bertanya Mahendra.
"Orang itu tentu tidak akan berkeberatan pergi bersama
ay ah ke Padepokan Bajra Seta" berkata Mahisa Pukat
kemudian. "Siapa ?" desak Mahendra.
"mPu Sidikara. Kawanku memberikan tuntunan kepada
para Kesatria dan Kasatrian." jawab Mahisa Pukat.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Jika kau
menganggap bahwa orang itu pantas untuk pergi bersamaku
ka Padepokan Bajra Seta, aku sama sekali tidak berkeberatan"
"Tentu ayah. Selain orangnya memang baik, ia memiliki
kemampuan y ang tinggi, sehingga jika ada orang yang
mengganggu perjalanan ayah, mPu Sidikara tidak akan
menjadi beban ay ah. Ia akan dapat melindungi dirinya
sendiri. " Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Baiklah, jika
mPu Sidikara tidak berkeberatan. Tetapi apakah ia diijinkan
untuk meninggalkan tugasny a ?"
"Aku akan berbicara dengan Pangeran Kuda Pratama. Jika
aku berterus-terang, maka Pangeran Kuda Pratamd tentu
tidak akan berkeberatan. "
Ketika kemudian hal itu disampaikan oleh Mahisa Pukat
kepada Pangeran Kuda Pratama, maka Pangeran Kuda
Pratama sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan kemudian
mPu Sidikara dipanggilnya dan langsung diberitahukan
kepadanya, bahwa Mahisa Pukat ingin minta pert olongannya.
Ternyata seperti yang diduga oleh Mahisa Pukat, mPu
Sidikara sama sekali tidak berkeberatan. Dengan senang hati
ia memenuhi permintaan Mahisa Pukat untuk mengantar
ay ahnya y ang sudah menjadi semakin tua ke Padepokan Bajra
Seta. Demikianlah, pada hari y ang sudah ditentukan, maka
Manendra dan mPu Sidikarapun telah berangkat menuju ke
Pa depokan Bajra Seta. Mahisa Pukat y ang sebenarnya tidak
ingin melepaskan ay ahnya y ang tua itu pergi tanpa diantarnya
sendiri, mengantarnya sampai kepintu gerbang
Hatinya memang menjadi berdebar-debar melihat ayahnya
yang menjadi semakin tua itu
melarikan kudanya menempuh
perjalanan y ang panjang.
Tetapi hatinya menjadi sedikit
tenang, bahwa ay ahnya bersedia
pergi bersama mPu Sidikara yang
meskipun ilmunya masih setingkat dibawahnya, tetapi ia
termasuk otang y ang berilmu
tinggi. Sejenak kemudian, maka Mahendra dan mPu Sidikara
itupun telah menyusuri jalanjalan
bulak y ang panjang. Sementara itu, langitpun menjadi
semakin cerah karena matahari memanjat semakin tinggi.
Awan putih, mengalir dihembus angin semilir menuju ke
puncak bukit. Di arah Utara sekelompok bangau terbang
melintas dengan cepat, seakan-akan menjadi cemas bahwa
mereka tidak akan mendapatkan mangsanya y ang sempat
bersembunyi. Diperjalanan banyak yang sempat diperbincangkan oleh
Mahendra dan mPu Sidikara. Kadang-kadang mPu Sidikara
niemuji kelebihan Mahisa Pukat. Bahkan mengaguminya.
"Mahisa Pukat masih muda " b erkata mPu Sidikara "tetapi
kemampuan dan pengalamannya dalam olah kanuragan
terlalu luas dibandingkan dengan orang-orang yang lebih tua
sebagaimana aku ini. Dihadapan Mahisa Pukat rasa-rasanya
aku tidak lebih dari seekor katak didalam tempurung. "
"mPu terlalu memuji" desis MaMendra "sebenarnya aku
akan lebih berbangga jika anakku memiliki kelebihan
kemampuan dan pengalaman di bidang y ang lain kecuali olah
kanuragan. Tetapi agaknya Mahisa Pukat bukan seseorang
yang memiliki pengetahuan yang cukup apalagi dalam ilmu
pemerintahan." "Tidak " jawab mPu Sidikara "dibidang pemerintahanpun
Mahisa Pukat memiliki kemampuan yang cukup. Bahkan
sebagai seorang pemimpin kelompok Pelay an Dalam, Mahisa
Pukat memiliki kemampuan jauh lebih baik dari mereka yang
memiliki jabatan setingkat di kalangan Pelay an Dalam. Karena
itu, dalam kesempatan luang, Pangeran Kuda Pratama sering
berbincang dengan Mahisa Pukat."
"mPu memuji lagi." desis Mahendra.
mPu Sidikara tertawa. Katanya "Sekali lagi aku
mengatakan, bahwa aku tidak sekedar memuji. Aku m emang
memuji. Tetapi pujianku merupakan ungkapan
kekagumanku." mPu Sidikara berhenti sejenak. Lalu katanya
"Pembicaraan y ang sering dilakukan oleh Mahisa Pukat dan
Pangeran Kuda Pratama agaknya akan menguntungkan kedua
belah pihak. Pangeran Kuda Pratama mendapat pikiranpikiran
baru yang segar dari Mahisa Pukat yang muda,
sementara itu Mahisa Pukat akan banyak mendapatkan
pengetahuan serta menimba pengalaman dari Pangeran Kuda
Pratama yang selain berilmu sangat tinggi, juga seorang yang
memiliki pengetahuan y ang sangat luas dalam banyak bidang."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya "Aku juga harus
mengucapkan terima kasih kepada Pangeran Kuda Pratama."
"Pangeran Kuda Pratama y ang juga mengagumi k elebihan
Mahisa Pukat dalam banyak hal, ternyata dengan sengaja telah
memberikan banyak pengetahuan kepada anak muda itu.
Bahkan juga dalam olah kanuragan." berkata mPu Sidikara.
"Apakah benar begitu ?" bertanya Mahendra.
mPu Sidikara mengangguk sambil menjawab dengan
sungguh-sungguh "Sebenarnyalah demikian. Mahisa Pukat
memang seorang anak muda y ang akan dapat memegang masa
depan. Karena itu, maka penempatannya di Kasatrian adalah
tepat sekali." Mahendra tidak bertanya lagi. Kepalanya masih saja
menggangguk-angguk kecil. Dengan demikian m aka ia telah
meletakkan banyak harapan pada Mahisa Pukat bagi masa
depannya. Namun Mahendrapun teringat pula kepada Mahisa Murtii
Mahisa Murti dalam segala hal tidak kalah dari Mahisa Pukat.
Seandainya ada selisih diantara keduanya, maka selisih itu
hanya selapis-selapis tipis. Namun nasib keduanyalah yang
memang berbeda. Tetapi agaknya Mahisa Murtipun telah meletakkan
pilihannya. Sebagaimana Mahisa Pukat mengabdi di
Ka satrian, maka Mahisa Murtipun telah memilih tempat
untuk mengabdi. Di Padepokan Bajra Seta.
Namun kehadiran Pangeran Kuda Pratama di Kasatrian
agaknya akan memberikan harapan yang lebih baik bagi
Mahisa Pukat jika y ang dikatakan mPu Sidikara itu benar.
Mahisa Pukat akan dapat menambah pengetahuannya menjadi
semakin luas. Tidak hanya dalam olah kanuragan. Tetapi juga
dalam ilmu y ang lain. Untuk beberapa saat keduanya melarikan kuda mereka
sambil berdiam diri. Seakan-akan m ereka sedang menikmati
wajah cakrawala dihadapan mereka. Lereng pebukitan yang
hijau memanjang. Sawah y ang luas dengan tanamannya yang
subur membentang. Ketika matahari m emancarkan panasnya yang terik, m aka
keduanyapun merasa perlu untuk beristirahat. Tetapi
Mahendra tidak mengajak mPu Sidikara beristirahat dikedai
yang pernah disinggahinya ketika ia dan Mahisa Pukat pergi ke
Pa depokan Bajra Seta. Kepada mPu Sidikara, Mahendra sudah menceriterakan
apa y ang telah terjadi ketika mereka singgah di kedai itu.
"Aku memang tidak dapat mencegah Mahisa Pukat
mencampuri persoalan orang-orangitu" berkata Mahendra
"karena persoalan mereka langsung menyangkut Padepokan
Bajra Seta. mPu Sidikara mengangguk-angguk. Katanya "Seandainya
tidak menyangkut Padepokan Bajra Seta sekalipun, apabila
anak muda itu tersentuh rasa keadilannya, maka ia tentu akan
melibatkan diri." Mahendra mengangguk-angguk. Memang sulit bagi Mahisa
Pukat dan tentu juga Mahisa Murti untuk berdiam diri jika
mereka melihat sesuatu yang tidak sepatutnya terjadi. Apalagi
jika rasa keadilan mereka tersinggung sebagaimana dikatakan
oleh mPu Sidikara. Demikianlah, maka keduanyapun telah beristirahat
disebuah kedai y ang tidak terlalu besar, tetapi cukup ramai.
Beberapa orang telah berada di kedai itu.
Tidak ada y ang menarik perhatian Mahendra dan mPu
Sidikara. Namun keduanya sudah berniat untuk tidak
mencampuri persoalan orang lain jika persoalannya masih
terbatas dalam batas-batas kewajaran.
Ternyata memang tidak ada persoalan apapun yang terjadi
di kedai itu. Meskipun demikian, keduanya merasa sedikit
tertarik pada pembicaraan beberapa orang yang ada di kedai
itu, bahwa sekelompok orang sehari sebelumnya telah
melintasi daerah itu.

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka mengaku orang-orang Kediri" berkata salah
seorang diantara mereka. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Sejak Kediri
dikalahkan oleh Singasari, maka betapapun tenangnya
permukaan hubungan antara Singasari dan Kediri, namun
dibawah wajah yang tenang itu masih saja terdapat getar yang
setiap saat akan dapat bergejolak dan muncul dipermukaan.
Beberapa kali telah teqadi benturan kekerasan di Kediri antara
mereka y ang berbeda sikap. Juga benturan kekerasan antara
orang-orang Kediri dan orang-orang Singasari.
Mahendra dan mPu Sidikara hanya mendengarkan saja
pembicaraan orang -orang di kedai itu tentang orang-orang
Kediri y ang melintasi daerah mereka.
"Mereka memang tidak berbuat apa -apa" berkata salah
seorang dari mereka. Meskipun Mahendra dan mPu Sidikara tidak m encampuri
pembicaraan itu, namun mereka mendengarkan dengan baik.
Hal itu akan dapat menjadi laporan y ang akan disampaikan
oleh mPu Sidikara kepada Pangeran Kuda Pratama.
Demikianlah, setelah Mahendra dan mPu Sidikara cukup
lama beristirahat, merekapun segera melanjutkan perjalanan
mereka lagi. Perjalanan ke Padepokan Bajra Seta memang perjalanan
yang cukup panjang. Tetapi karena keduanya tidak mengalami
hambatan apapun juga, maka perjalanan mereka memang
lebih cepat dari perjalanan Mahendra dan Mahisa Pukat
beberapa saat y ang lalu.
Meskipun demikian, keduanya masih juga harus berhenti
lagi untuk memberi kesempatan kuda mereka beristirahat.
Tetapi karena malam mulai m embayangi perjalanan m ereka,
maka sudah tidak ada lagi kedai y ang terbuka pintunya.
Karena itu, m aka mereka harus beristirahat ditepi jalan dan
membiarkan kuda mereka minum air yang bening diparit yang
mengalir gemericik dipinggir jalan. Kemudian memberi
kesempatan kuda kuda itu untuk merenggut rerumputan yang
segar y ang tumbuh di tanggul parit, sementara Mahendra dan
mPu Sidikara duduk bersandar batang batang yang tumbuh
dipinggir jalan. Angin yang semilir membuat mereka justru terkantukkantuk.
Sementara kuda mereka masih sibuk makan
rerumputan segar ditanggul parit.
Mahendra dan mPu Sidikara memang tidak tergesa -gesa.
Jarak yang akan ditempuh sudah tidak terlalu jauh lagi.
Mereka akan sampai ke Padepokan Bajra Seta jauh lebih awal
dari perjalanan Mahendra dan Mahisa Pukat y ang terhenti
diperjalanan. "Kita akan segera sampai " berkata Mahendra. Namun
katanya kemudian "Tetapi kuda-kuda itu sudah menjadi lelah
dan lapar sehingga kasihan jika memaksa kuda-kuda itu
meneruskan perjalanan meskipun sudah tidak jauh lagi.
"Kita juga tidak terlalu tergesa -gesa " jawab mPu Sidikara.
Mahendra mengangguk-angguk sambil m enjawab "Bahkan
seandainya kita bermalan disini. "
"Bermalam?" bertanya mPu Sidikara.
Mahendra t ertawa. Katanya "Hanya seandainya. Mataku
tiba -tiba saja merasa sangat mengantuk. Angin inilah yang
seakan-akan mengipasi wajahku."
mPu Sidikara tersenyum. Katanya "Ya. Aku juga
mengantuk. Mungkin kita merasa letih dan sedikit lapar."
Mahendra ju stru tertawa. Katanya "Padahal kita masih
harus menunggu sampai Padepokan. Tidak ada lagi kedai yang
terbuka dimalam hari. Kecuali jika ada keramaian di salah satu
padukuhan y ang akan kita lewati."
"Keramaian dan tont onan" desis mPu Sidikara.
"Ya " jawab Mahendra "tari topeng."
mPu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak
menjawab lagi. Matanya benar-benar terasa mengantuk.
Tetapi keduanya tidak ingin tertidur di tempat itu. Karena
itu, ketika kuda-kuda mereka sudah puas makan dan minum,
serta beristirahat beberapa saat, maka keduanyapun
melanjutkan perjalanan mereka ke Padepokan Bajra Seta.
Tetapi ketika mereka memasuki sebuah padukuhan y ang
besar, ternyata seperti yang mereka katakan, di halaman yang
luas dari sebuah rumah yang besar, terdapat k eramaian yang
agaknya akan diselenggarakan tontonan pula.
Karena itu, meskipun tontonan y ang agaknya akan
diselenggarakan dipendapa rumah y ang besar itu belum
dimulai, namun di halaman rumah itu, bahkan diluar halaman
sudah banyak orang berjualan.
"Nah" desis Mahendra "ternyata doa kita dikabulkan. Ada
keramaian dan mungkin tontonan. Tetapi y ang penting bukan
tontonannya. Tetapi disekitar tempat tentu terdapat sebuah
kedai yang masih terbuka pintunya. Atau tentu ada orang yang
berjualan dipinggir jalan. Seandainya kita harus duduk
dipinggir jalan, bukankah orang-orang disekitar tempat ini
tidak mengenal kita?"
mPu Sidikara tersenyum. Katanya "Dimasa muda, Ki
Mahendra tentu termasuk orang y ang senang menempuh
perjalanan." "Katakanlah bertualang. Aku dimasa mudaku memang
seorang petualang" berkata Mahendra.
mPu Sidikara tertawa. Namun mereka sudah
memperlambat perjalanan mereka dan berhenti tidak jauh
dari tempat keramaian. Ternyata hanya beberapa puluh langkah dari tempat
keramaian itu terdapat sebuah kedai y ang masih buka atau
sengaja membuka pintu justru karena ada keramaian itu.
Meskipun kedai itu tidak terlalu besar, tetapi nampaknya
cukup bersih dan lengkap.
Mahendra dan mPu Sidikara kemudian telah berhenti
didepan kedai itu. Mereka menambatkan kuda mereka dan
memasuki kedai y ang masih sepi itu.
"Silahkan Ki Sanak" pemilik kedai itu mempersilahkan
dengan ramah. Lalu katanya pula "Kedai ini justru baru saja
dibuka karena didepan itu ada keramaian. Daganganku masih
utuh, hangat dan barangkali ada y ang sesuai dengan selera Ki
Sanak." Mahendra tersenyum sambil menjawab "Kami sedang
dalam perjalanan. Karena itu, kami merasa lapar. Apapun
yang ada, tentu sesuai dengan selera orang kelaparan. "
Pemilik kedai itu tertawa. Katanya "Sebenarnya aku ingin
mendapat penilaian tentang masakanku. Tetapi j ika Ki Sanak
memang lapar, maka agaknya seperti apapun masakanku
tentu terasa enak sekali. Dengan demikian maka penilaian Ki
Sanak menjadi kurang wajar."
Mahendra dan mPu Sidikara tertawa pula. Dengan nada
tinggi mPu Sidikara berkata "Tetapi aku harap lidahku masih
juga mampu m enilai masakan Ki Sanak. Tetapi sudah tentu
ada perhitungan ter sendiri sebagai harga penilaianku, karena
aku memang seorang ahli menilai masakan."
Pemilik kedai itu tertawa berkepanjangan. Namun
kemudian ia bertanya "Nah, sekarang Ki Sanak akan memesan
apa?" Mahendra dan mPu Sidikarapun kemudian memesan
minuman dan makanan bagi mereka masing -masing.
Ketika pesanan itu disampaikan, maka Mahendrapun
bertanya " Tont onan apakah y ang akan di pagelarkan nanti?"
"Wayang topeng " jawab pemilik kedai itu "penari-penari itu
datang dari Kabuyutan Teleng. Kabuyutan yang terkenal
dengan penari-penari topengnya."
"O" Mahendra mengangguk-angguk, sementara pemilik
kedai itu berkata selanjutnya "rencananya tontonan itu akan
berlangsung semalam suntuk."
Mahendra dan mPu Sidikara mengangguk-angguk. Dengan
nada berat Mahendra bertanya "Apakah di padukuhan ini
sering diselenggarakan keramaian dengan tontonan seperti
itu?" "Bukan sering Ki Sanak. Tetapi kadang-kadang orang-orang
yang kebetulan memiliki kelebihan uang jika mempunyai
keperluan, telah meny elenggarakan keramaian seperti itu."
Mahendra dan mPu Sidikara mengangguk-angguk.
Sementara pemilik kedai itu berkata selanjutnya "Jika mereka
tidak mau menyelenggarakan keramaian, lalu bagaimana
nasib para penari topeng" Bukankah mereka seperti juga kita
memerlukan makan, pakaian dan papan" Memang ada
diantara mereka y ang mata pencahariannya sehari-hari adalah
bertani. Sedangkan menari hanyalah sekedar kesenangan saja.
Tetapi ada diantara mereka y ang sedikit banyak
mengharapkan bahwa kemampuannya menari itu dapat
menunjang kesejahteraan hidup mereka dan keluarga
mereka. " Mahendra dan mPu Sidikara masih saja menganggukangguk.
Namun tiba -tiba saja mPu Sidikara berkata "Tetapi
ada saat dua orang penari y ang merasa malu untuk meny ebut
hubungan antara kemampuannya menari dengan imbalan
yang diperolehnya." Pemilik kedai itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia
berkata "Itu adalah keaneka ragaman sifat dan watak
seseorang. " Mahendra dan mPu Sidikara tidak bertanya lagi. Tetapi
mereka mulai m enikmati m akanan dan minuman yang telah
mereka pesan. Ternyata makanan dan minuman di kedai itu memang
cukup memenuhi selera Mahendra dan mPu Sidikara. Bahkan
mungkin juga orang-orang lain yang datang kedalam kedai
kecil itu. Sementara itu, orang y ang berkerumun di rumah y ang
menyelenggarakan keramaian itu menjadi semakin banyak.
Gamelanpun mulai dipukul meskipun tont onannya sendiri
masih belum mulai. Namun dalam pada itu, selagi orang-orang y ang
berkerumun di halaman keramaian itu m asih duduk-duduk
menyebar karena pertunjukkan masih belum dimulai, tiba-tiba
sa ja telah terjadi kekalutan. Beberapa orang tiba-tiba
memasuki halaman rumah itu sambil berteriak-teriak kasar.
Dua orang diantaranya naik kependapa sambil berteriak
"Berhenti, berhenti."
Orang-orang yang sedana duduk-duduk di halaman
terkejut. Sebagian dari mereka telah menepi. Bahkan ada yang
menyingkir. Mahendra dan mPu Sidikara yang sudah selesai makan,
ikut terkejut pula. Kepada pemilik kedai itu mPu Sidikara
bertanya "Apa y ang terjadi?"
"Entahlah" jawab pemilik kedai itu sambil melangkah
keluar dari kedainya. Seorang y ang menyingkir dari halaman rumah y ang
menjadi ribut itu lewat didepan kedai itu dengan tergesa -gesa
Tetapi pemilik kedai itu m enghentikannya dan bertanya "Apa
yang terjadi di halaman rumah itu?"
"Keributan. Ada orang y ang tiba-tiba saja berteriak-teriak
tidak menentu." jawab orang itu.
"Kenapa?" bertanya pemilik kedai itu.
"Tidak seorangpun tahu apa sebabnya dan tidak
seorangpun tahu siapakah mereka itu " jawab orang yang lewat
itu pula. Namun agaknya orang itu tidak ingin berhenti lebih lama
lagi. Ia merasa lebih baik pergi daripada harus mengalami
sesuatu ditempat itu. Pemilik kedai itu memang tidak dapat menahannya.
Namun dari depan kedainya ia melihat tempat keramaian itu
menjadi semakin ribut. Bahkan orang-orang mulai berlarilarian
meninggalkan tempat itu. Terutama perempuan dan
anak-anak. Mereka m enjadi ketakutan ketika beberapa orang
yang memasuki halaman itu berteriak-teriak dengan kasar.
Mereka m erusak peralatan pertunjukkan, dan bahkan m ereka
melemparkan gamelan y ang sudah mulai ditabuh.
Pemilik kedai itu telah menyeberang jalan dan melihat apa
yang terjadi. Tetapi ia tidak sempat mendekat. Bahkan pemilik
kedai itupun telah menjauh pula.
Ketika seorang laki -laki bergeser keluar dari halaman
diantara beberapa orang y ang lain y ang kebetulan telah
dikenal oleh pemilik kedai itu, maka iapun bertanya lagi "Apa
yang terjadi" Orang itu menggeleng. Katanya "Aku tidak jelas."
Namun kemudian seorang y ang lain yang juga telah
dikenalnya berkata "Orang-orang y ang datang itu menjadi
marah. Mereka marah justru karena ada keramaian disini."
"Kenapa?" bertanya mPu Sidikara yang tiba-tiba saja telah
berdiri dibelakang pemilik kedai itu.
"Aku tidak jelas" jawab orang itu.
mPu Sidikara termangu-mangu sejenak. Didorong oleh
keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi, maka iapun
berkata kepada Mahendra "Aku akan melihat sebentar."
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia pergi
bersama anaknya, mereka terhambat karena mereka
mencampuri per soalan orang lain. Tetapi justru karena orang
lain itu tersangkut pula pada Padepokan Bajra Seta.
Tetapi Mahendra tidak dapat mencegah mPu Sidikara,
meskipun sebelum berangkat mereka telah sepakat untuk
tidak m encampuri persoalan y ang tidak ada sangkut pautnya
dengan mereka. Bahkan sebelum melangkah mPu Sidikara itu berkata "Aku
tidak akan mencampuri persoalan yang terjadi di rumah itu.
Aku hanya ingin tahu. Mahendra termangu -mangu. Tetapi ia hanya diam saja
ketika mPu Sidikara melangkah memasuki halaman itu.
Halaman rumah orang y ang sedang menyelenggarakan
keramaian itu memang menjadi kacau. Dipendapa gamelan
yang sudah diatur rapi menjadi berserakan. Beberapa orang
menyeret pemilik rumah itu sambil mengumpat-umpat.
"Kau memang orang yang tidak tahu diri" teriak seseorang
yang m eny eret pemilik rumah itu "dalam keadaan seperti ini,
kau masih sempat bersuka ria. Menghambur-hamburkan uang
untuk keperluan y ang tidak berarti."
"Apa sebenarnya maksud Ki Sanak dan siapakah Ki Sanak
itu ?" bertanya pemilik rumah itu.
Sebelum orang yang menyeretnya menjawab, maka
terdengar jerit seorang perempuan. Ternyata isterinya


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga di seret ke pendapa dan
kemudian dilemparkannya kedekat suaminya sehingga jatuh
terguling. Dengan tergesa-gesa suaminya
menolongnya sehingga keduanya
kemudian duduk dilantai sementara beberapa orang berdiri mengerumuninya. "Kenapa kalian tidak tanggap
akan keadaan ?" bentak seorang y ang bertubuh tinggi kekar.
Berjambang dan berkum is lebat. Rambutnya bergerai terjulur
dibawah ikat kepalanya y ang dipakainya sekenanya saja.
"Kami tidak tahu maksud Ki Sanak" sahut pemilik rumah
itu. "Gila kau. Apakah aku harus menampar mulutmu ?" geram
orang bertubuh kekar itu.
"Jangan. Aku hanya bertanya. Jika aku sudah mendapat
penjelasan, aku tentu akan melakukannya."
"Kau adalah gambaran orang-orang yang tidak tahu diri.
Penjilat dan pengkhianat." teriak orang yang bertubuh kekar
itu. "Sebutkan, apakah kesalahan kami" bertanya pemilik
rumahitu. "Kenapa kau hambur-hamburkan uangmu, sementara kami
memerlukan uang untuk perjuangan kami yang m asih jauh
dari selesai. " berkata orang itu.
"Apakah yang kau maksud dengan perjuangan kami ?"
bertanya pemilik rumah itu.
Tiba-tiba saja kaki orang bertubuh kekar itu m enyambar
mulut pemilik rumah itu, sehingga orang itu terdor ong dan
jatuh terlentang. Terdengar orang itu mengaduh, sementara
isterinya berusaha menolongnya sambil menangis."
"Jangan kau tangisi suamimu" geram orang bertubuh kekar
itu "jika kau tidak mau diam, maka kaulah y ang akan aku
bawa." Meskipun dadanya menjadi sesak oleh isaknya y ang
tertahan, namun perempuan itu berusaha untuk tidak
menangis lagi. "Dengar baik-baik" berkata orang bertubuh kekar "kita
sekarang sedang berusaha menegakkan kewibawaan
kekuasaan di Kediri. Kita memerlukan dukungan dari segala
pihak. Kita semua harus berprihatin. Semua tenaga, harta
benda dan pikiran kita harus kita curahkan untuk perjuangan
kita yang panjang. Bahkan nyawa kita. Sementara kau
bersenang-senang dengan menghambur-hamburkan uang
tanpa arti sama sekali."
"Apa maksudmu dengan menegakkan kewibawaan
kekuasaan di Kediri ?" bertanya pemilik rumah itu.
"Kau gila" geram orang yang bertubuh k ekar itu, sehingga
suami isteri pemilik rumah itu menjadi ketakutan "Kediri
harus bangkit untuk menggulingkan kuasa Singasari."
"Tetapi, tetapi, lingkungan ini bukan telatah Kediri." desis
pemilik rumah itu dengan ragu-ragu.
Sekali lagi kaki orang bertubuh kekar itu menyambar dagu
pemilik rumah itu, sehingga sekali lagi orang itu jatuh
terlentang. Sementara isterinya tidak lagi berani menangis
meskipun ia berusaha membantu suaminya bangkit lagi.
"Katakan sekali lagi. Lehermu akan aku putuskan dengan
pedangku ini" geram orang bertubuh kekar itu.
"Maksudku, maksudku, apa y ang dapat aku bantu ?"
bertanya pemilik rumah itu.
"Nah, seharusnya kau bertanya seperti itu " sahut orang
bertubuh kekar itu "karena kau sudah terlanjur menyiapkan
sebuah keramaian, maka apaboleh buat. Jika keramaian dan
tontonan ini urung, maka orang-orangyang sudah siap untuk
menonton, akan menjadi kecewa." orang itu berhenti sejenak.
Lalu katanya "Karena itu tebu s kesalahanmu dengan
menyediakan uang sebanyak yang kau pergunakan untuk
keramaian ini. Jika tidak, maka aku akan m engambil sendiri
uang dan barang-barang perhiasanmu yang nilainya akan
lebih banyak dari jika kau sendiri yang mengambilnya dan
memberikannya kepadaku."
Kedua orang suami isteri itu saling berpandangan. Namun
orang bertubuh kekar itu membentak "Cepat, atau aku akan
mengambilnya sendiri " Bahkan aku akan mengambil
perhiasan y ang dipakai oleh isterimu. Tetapi akan lebih mudah
jika aku bawa beserta isterimu sama sekali."
"Jangan, jangan lakukan itu" minta pemilik rumah itu.
"Jika demikian, berikan uang itu." geram orang itu.
"Baiklah. Kami akan mengambilnya " jawab pemilik rumah
itu ketakutan. "Kau sendiri mengambilnya. Biar isterimu tinggal disini.
Jika kau ingkar, maka isterimu akan pergi ber samaku." tibatiba
saja orang itu tertawa berkepanjangan.
Pemilik rumah itu memang tidak dapat berbuat lain. Iapun
segera masuk kedalam rumahnya untuk mengambil uang itu.
mPu Sidikara termangu-mangu sejenak. Ia melihat sikap
orang-orang yang berada di pendapa itu dengan jantung yang
berdebaran. Ra sa keadilannya benar-benar tersinggung.
Apalagi jika kemudian pemilik rumah itu keluar dari ruang
dalam sambil membawa sekampil uang.
Tanpa m enunggu pemilik rumah itu m eny erahkan, maka
sekampil uang itupun segera disambar oleh orang bertubuh
kekar itu sambil berkata "Aku tahu, bahwa kau ingin m enipu
aku. Uang sekian ini tentu tidak akan cukup untuk membeayai
keramaian semeriah ini dengan tontonan semalam suntuk.
Tetapi kami tidak ingin ribut-ribut lagi. Kami juga tidak ingin
mengecewakan orang-orang y ang sudah menunggu di
halaman untuk menonton tari topeng yang sudah
dipersiapkan. Karena itu, maka aku terima uang ini apa
adanya. Kau boleh melanjutkan rencanamu."
Pemilik rumah itu tidak dapat menjawab apa -apa. Ia
memang harus merelakan uang itu daripada isterinya serta
perhiasan y ang melekat ditubuh isterinya itu dibawa oleh
orang-orang yang tidak dikenal itu. Bagi pemilik rumah itu,
uang, perhiasan dan bahkan harta benda akan dapat dicarinya
lagi. Tetapi tidak dengan isterinya itu.
Tetapi bagi mPu Sidikara, tingkah laku orang-orang y ang
mengaku orang Kediri itu tidak dapat diterimanya. Namun
ketika ia bergerak selangkah, seseorang telah menggamitnya.
mPu Sidikara y g berpaling itupun menarik nafas dalamdalam.
Ia melihat Mahendra y ang tadi ditinggalkannya diluar,
ternyata sudah menyusulnya masuk ke halaman pula.
Sebelum Mahendra berkata sesuatu, mPu Sidikara justru
sudah mendahului "Kita sudah berjanji untuk tidak
mencampuri persoalan orang lain."
Mahendra tersenyum. Katanya "Ya. kita tidak akan
mencampuri persoalan orang lain."
"Tetapi yang terjadi itu sudah menyinggung rasa
keadaanku" jawab mPu Sidikara.
"Aku mengerti mPu. Jika aku minta mPu tidak mencampuri
persoalannya, bukan sekedar karena kita sudah berjanji.
Tetapi kita juga harus menjaga keselamatan pemilik rumah
itu, isterinya dan bahkan orang-orang padukuhan ini?" jawab
Mahendra. mPu Sidikara termangu-mangu sejenak. Sementara
Mahendra berkata selanjutnya "Jika kita mencampuri
persoalannya, mungkin kita dapat mengurungkan niatnya
malam ini. Tetapi bukankah kita tidak selalu berada di
padukuhan ini" Bagaimana jadiny a jika besok mereka kembali
kemari dan berbuat lebih jahat lagi" Barangkali m ereka tidak
sa ja mengambil uangnya, tetapi juga isterinya sebagaimana
dikatakannya." mPu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata "Ki Mahendra benar. Bagi
pemilik rumah itu, maka isterinya dan keselamatan
keluarganya tentu lebih berharga daripada uangnya. Karena
itu, sebaiknya kita memang tidak mencampuri persoalannya. "
mPu Sidikara mengangguk-angguk. Apalagi ketika ia
melihat orang-orang y ang datang m embuat gaduh itu sudah
mulai m elangkah turun dari pendapa sambil membawa uang
dalam kampil yang diberikan oleh pemilik rumah itu.
Dalam pada itui Mahendra dan mPu Sidikara telah keluar
pula dari halaman dan kembali kekedai. Sementara itu
Mahendra bergumam"Kita belum m embayar harga makanan
dan minuman dari kedai itu."
Tetapi sebelum keduanya masuk kedalam kedai, maka
beberapa orang y g membuat keributan di halaman rumah
sebelah telah keluar pula dan melintas didepan kedai itu.
Namun tiba -tiba mereka berhenti beberapa langkah
didepan kedai kecil itu. Seorang diantara mereka telah
melangkah mendekati dua ekor kuda yang ditambatkan pada
patok-patok bambu didepan kedai itu.
Mahendra dan mPu Sidikara menjadi berdebar-debar.
Apalagi ketika orang itu mulai mengusap leher kuda itu.
Tiba-tiba seorang diantara mereka berteriak "He, siapakah
pemilik kedai ini" Pemilik kedai y ang masih berdiri di pinggir jalan itupun
menjadi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan
ketakutan ia m elangkah kepintu kedai sambil berkata dengan
suara bergetar "Aku, Ki Sanak."
"Jangan takut" berkata orang itu "aku tidak mempunyai
persoalan dengan kau. Tetapi aku hanya ingin bertanya,
siapakah pemilik kuda-kuda ini."
Jantung pemilik kedai itu menjadi berdebar-debar.
Sementara itu orang yang bertubuh k ekar itu telah b erdiri di
dekat kuda-kuda itu pula. Bahkan ia telah membentak dengan
lantang "Siapa pemilik kuda ini, he"-
Sebelum pemilik kedai itu y ang ketakutan itu menjawab,
mpu Sidikaralah yang menjawab "Kami Ki Sanak. Kamilah
pemilik kedua ekor kuda itu."
Bahkan kemudian mPu Sidikara itu berpaling kepada
Mahendra sambil berkata hampir berbisik "Bukankah kami
tidak sedang m encampuri persoalan orang lain sekarang ini?"
Mahendra sempat tersenyum sambil menjawab "Tidak. Kita
tidak sedang mencampuri persoalan orang lain."
Karena itu maka mPu Sidikarapun segera m elangkah maju
mendekati kudanya yang nampaknya menarik perhatian.
Orang-orang itu agaknya memang sangat t ertarik kepada
kuda-kuda itu. Orang yang bertubuh kekar itu berkata "Ki
Sanak. Apakah kuda kalian hanya dua ekor ini"
"Ya " jawab Mahendra "dua ekor untuk dua orang. "
"Dirumah?" bertanya orang itu.
"Tidak. Kami tidak mempunyai y ang lain. Kami bukan
orang kaya, sehingga seekor kuda bagi kami masing-masing
sudah lebih dari cukup."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun tiba -tiba saja ia
berkata "Ki Sanak. Sebagaimana aku katakan tadi dirumah
seberang jalan, bahwa kita semuanya sedang berjuang. Orang
yang sedang mengadakan keramaian dengan tontonan itu
telah dengan suka rela menyumbang uang sekampil penuh.
Meskipun belum sebanyak beay a keramaiannya, namun
sumbangan itu cukup berharga bagi kami. Nah, sekarang, aku
berharap Ki Sanak berdua juga bersedia menyumbang bagi
perjuangan kami." "Apakah kami juga harus menyumbangkan sekampil uang"
Ki Sanak, sudah aku katakan, bahwa kami bukan orang-orang
kaya." jawab Mahendra.
"Aku tahu itu" bentak orang bertubuh kekar itu
"Seandainya kau orang kaya sekalipun, kau tentu tidak
membawa uang sebanyak itu dalam perjalanan."
"Jadi maksud Ki Sanak?" bertanya Mahendra.
"Kami membutuhkan kuda-kuda kalian untuk
mempercepat gerak kami" jawab orang bertubuh kekar itu.
Tetapi Mahendra menjawab "Kuda kami hanya dua,
sedangkan kalian lebih dari dua orang. Bukankah akan sia -sia
sa ja?" "Sekarang kami mendapat dua. Besok kami m endapat dua
dan besok malam kami mendapat dua lagi." jawab orang
bertubuh kekar itu. Namun mPu Sidikara justru tertawa. Katanya "Darimana
sa ja kau dapat kan kuda-kuda itu" Merampas milik orang lain
sebagaimana kalian ingin merampas kuda kami?"
Mata orang bertubuh kekar itu terbelalak. Dipandanginya
mPu Sidikara dengan tajamnya. Kemudian oarng itupun
menggeram "Tegasnya, aku ingin memiliki kuda kalian.
Apapun alasan kami. Bahkan tanpa alasan sekalipun. Kalian
tidak mempunyai pilihan. Kalian tidak dapat menolak
keinginan kami untuk memiliki kuda kalian, kecuali kalian
ingin mati." "Dengar Ki Sanak" jawab Mahendra yang masih bernada
rendah "kami bukan orang-orang Kediri sebagaimana kalian.
Karena kami mendengar dirumah sebelah, bahwa kalian
sedang berjuang bagi Kediri. Tetapi itu ceritera ngayawara.
Sekarang tidak ada per soalan apapun y ang timbul antara
Singasari dan Kediri. Keduanya dapat hidup berdampingan
dalam persekutuan yang damai. Memang ada beberapa orang
yang tidak puas atas keadaan itu di Kediri. Mereka juga
berusaha untuk menumbuhkan kekacauan. Dan itu sama
sekali bukan perjuangan."
"Itu adalah sikap dan pandangan orang Singasari. Tetapi
berbeda dengan sikap dan pandangan orang Kediri. " jawab
orang bertubuh kekar itu.
"Tetapi apakah benar kau berjuang untuk Kediri
sebagaimana yang kau katakan" Aku y akin, seandainya
sekelompok orang Kediri yang tidak puas terhadap keadaan
dan tatanan pemerintahan dalam hubungannya antara Kediri
dan Singasari, caranya tentu tidak seperti y ang kau lakukan.
Kau tentu memanfaatkan kemelut kecil y ang timbul itu untuk
mencari keuntungan bagi dirimu sendiri. Kau merampok
dengan alasan yang kau buat-buat. Namun dengan demikian,
yang akan mendapatkan getahnya adalah orang-orang Kediri. "
jawab Mahendra. "Setan kau" bentak orang bertubuh kekar itu "siapakah
kalian yang berani sesorah dihadapanku?"
"Namaku Mahendra. Aku adalah orang padepokan Bajra
Seta. Sekarang, jawab pertanyaanku. Kalian ini siapa?"
bertanya Mahendra. "Siapapun kami, sama sekali bukan soal bagi kalian" jawab


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu "tetapi serahkan kuda kalian atau kalian atau kalian
menjadi mayat disini."
"Yang kalian lakukan itu adalah ciri -ciri perbuatan
perampok" mPu Sidikara y ang menyahut "Karena itu, m aka
kami sama sekali tidak akan merelakan kuda -kuda kami."
"Apakah kuda-kuda kalian lebih berharga dari nyawa
kalian?" bertanya orang itu.
"Bukan begitu Ki Sanak. Nyawa kuda-kudaku lebih
berharga dari nyawa kalian" sahut mPu Sidikara.
Orang bertubuh kekar itu menggeram. Katanya "Setan
kalian. Kalian telah membuat kami marah."
"Bukan maksud kami Ki Sanak" berkata Mahendra
"sebenarnya kami tidak ingin berselisih. Tetapi kami juga tidak
ingin kehilangan kuda-kuda kami."
"Kau orang tua tidak tahu diri. Ditiup anginpun tubuhmu
akan roboh. Apakah kau masih akan berkelahi melawan kami."
bertanya orang itu. Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Mahisa Pukatpun
selalu m emperingatkannya, bahwa ia sudah terlalu tua untuk
bertempur. Tetapi apa boleh buat. Ia tidak dapat memberikan
kudanya. Meskipun ia sudah m enjadi semakin tua, namun ia
masih memiliki Iandasan ilmu y ang cukup.
Demikianlah, maka Mahendra dan mPu Sidikara tidak
dapat mengelak dari pertengkaran yang bahkan mungkin akan
terjadi kekerasan karena m ereka tidak mau melepaskan kuda
mereka. Betapapun mereka berusaha menghindarinya dengan
niat tanpa mencampuri per soalan orang lain, namun ternyata
persoalan itu datang atas mereka sendiri.
Dalam pada itu, maka orang bertubuh kekar itu berkata
kepada dua orang kawannya "He, dorong orang-orang itu
mundur. Aku akan membawa kuda mereka. "
"Jangan" sahut Mahendra.
"Kau tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi jika kau menjadi
keras kepala, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Jauh
lebih buruk dari pemilik rumah y ang sedang mengadakan
keramaian itu." berkata orang bertubuh kekar itu.
Sebelum Mahendra menjawab, dua orang telah m endekati
Mahendra dan mPu Sidikara. Dengan garang orang yang
kemudian berdiri di hadapan Mahendra itu berkata "Pergilah.
Atau wajahmu akan menjadi pengab?"
"Jangan terlalu garang Ki Sanak" berkata Mahendra "Kudakuda
itu adalah kuda-kuda kami. Kalian tidak berhak
membawanya. Apalagi aku masih sangat memerlukannya."
"Per setan dengan orang itu " berkata orang y ang bertubuh
kekar "jika ia m asih berbicara lagi, sobek saja bibirnya atau
rontokkan giginya. "
Tetapi Mahendra ternyata masih menjawab "Jangan
berkata begitu. Apakah kita sama sekali tidak lagi menjunjung
tinggi nilai-nilai hubungan antara sesama?"
Orang yang berdiri dihadapan Mahendra memang tidak
berpikir lebih panjang lagi. Tiba-tiba saja tangannya terayun
menampar mulut Mahendra. Tetapi orang itu menjadi terkejut sekali. Ia tidak tahu apa
yang telah membentur tangannya. Tetapi pergelangan
tangannya menjadi sakit sekali. Sementara itu telapak
tangannya sama sekali tidak meny entuh mulut Mahendra.
"Setan. Apa yang kau lakukan?" bentak orang itu.
"Aku tidak berbuat apa-apa " jawab Mahendra.
Orang itu menjadi marah sekali. Sekali lagi ia mengayunkan
tangannya. Jauh lebih keras. Bahkan orang itu mengira bahwa
bukan sajah wajah Mahendra menjadi pengab, t etapi mungkin
justru lehernya akan terputar dengan kerasnya.
Tetapi orang itu bukan saja terkejut. Tetapi orang itu
mengaduh kesakitan. Sekali lagi pergelangan tangannya terasa
membentur sesuatu. Lebih keras, sehingga rasa-rasanya
tulangnya akan patah. Tetapi sementara itu orang y ang bertubuh kekar dan
seorang kawannya tidak menunggu per soalan itu selesai
dengan tuntas. Keduanya dengan serta merta telah m eloncat
ke atas punggung kuda Mahendra dan mPu Sidikara.
Tetapi sebelum keduanya melarikan kedua ekor kuda itu,
mPu Sidikara ternyata sempat bergerak lebih cepat. Ia sempat
memungut dua butir kerikil kecil dan dilemparkannya ke perut
kedua ekor kuda itu. Demikian cepatnya sehingga tidak
seorangpun sempat berbuat sesuatu.
Kedua ekor kuda itu terkejut. Hampir berbareng keduanya
telah meringkik sambil melonjak sehingga kuda-kuda itu
berdiri diatas kedua kaki belakangnya. Ketika kemudian kaki
depannya kembali m eny entuh tanah, maka kedua ekor kuda
itu justru melonjak-lonjak. Ternyata mPu Sidikara telah
melempar sekali lagi perut kedua ekor kuda itu dengan kerikil
kecil. Kedua orang itu jatuh terbanting ditanah. Sementara itu
Mahendra dan mPu Sidikara segera berlari mendapatkan kuda
yang sangat gelisah itu. Dengan suara lembut dan usapan
perlahan-lahan pada lehernya, maka kuda itu menjadi tenang
kembali. Mahendra dan mPu Sidikara telah menambatkan kembali kuda-kuda itu pada patok didepan kedai itu. Namun keduanya tidak lagi meninggalkan kedua ekor kuda itu. Orang yang bertubuh kekar dan seorang kawannya y ang terjatuh dari
punggung kuda itu telah bangkit. Punggung merekalah y ang merasa seakan patah karenanya. Namun mereka tidak ingin mengurungkan niatnya untuk mengambil kedua ekor kuda itu. Apalagi orang itu tentu
memperhatikan harga diri mereka dihadapan orang banyak.
Karena itu, maka orang bertubuh kekar itu kemudian telah
berteriak "Orang -orang gila. Kalian akan meny esal akan
tingkah laku kalian. "
"Bukankah kuda-kuda itu memang tidak ingin m empunyai
penunggang y ang lain kecuali kami berdua" berkata mPu
Sidikara. "Aku tidak peduli" teriak orang y ang bertubuh kekar itu.
"Sekali lagi aku katakan Ki Sanak. Kami tidak akan
melepaskan kuda-kuda kami. Sebenarnya kami sudah berjanji
ketika kami berangkat, bahwa kamitidak akan berselisih dan
tidak akan mencampuri per soalan orang lain di sepanjang
perjalanan. Namun agaknya kalian telah memaksa kami untuk
berbuat sesuatu. Setidaknya kami harus mempertahankan
kuda-kuda kami." "Per setan" geram orang bertubuh kekar "hancurkan orangorang
sombong itu. Beberapa orangpun segera bergerak mengepung Mahendra
dan mPu Sidikara. Jumlah mereka tiba -tiba saja menjadi
cukup banyak. Namun Mahendra dan mPu Sidikara yang
memiliki ketajaman penglihatan, tidak melihat seorangpun
diantara mereka y ang harus disegani, meskipun keduanya
tidak terbiasa untuk merendahkan orang lain.
Demikianlah ketika orang-orang itu m ulai bergerak, mPu
Sidikara berkata "Aku masih ingin memperingatkan kalian
sekali lagi. Jangan ganggu kami, atau kami akan membuat
kalian menyesali perbuatan kalian. Sudah aku katakan, bahwa
kalian tidak dapat meny ebut diri kalian berjuang untuk Kediri
dengan cara seperti itu. Cara yang kotor. Kalian tentu
memanfaatkan keadaan untuk kepentingan kalian sendiri."
"Cukup" teriak orang bertubuh kekar itu "bungkam mereka
dengan cara yang paling baik. Mereka harus menyadari
kesalahan mereka. Sebelum mati mereka harus sempat
menyesali kesalahan mereka serta meny esali keterlambatan
mereka menyadari kesalahan. Baru kemudian kalian dapat
berbuat apa saja atas mereka."
"Perintahmu berbahaya Ki Sanak" berkata mPu Sidikara
"orang y ang menerima perintahmu itu dapat menjadi gila.
Tetapi perintahmu itu juga merangsang kami untuk
melakukan hal yang sama sebagaimana kau kehendaki."
"Setan. Kau masih berani mengancam" bentak orang
bertubuh kekar itu. Lalu katanya kepada orang-orangnya
"Cepat. Kenapa kalian masih diam saja?"
Dengan perintah itu, maka beberapa orang segera bergerak.
Dua orang terdekat telah menyerang Mahendra dan mPu
Sidikara. Namun y ang terjadi telah mengejutkan kawankawannya.
Orang yang meny erang mPu Sidikara itu telah
terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting ditanah.
Sementara itu orang y ang m eny erang Mahendra itu tiba-tiba
sa ja telah terduduk lemah. Mahendra dengan keempat jarijarinya
yang merapat telah menekan paha orang itu.
Kemudian dengan kecepatan yang tidak diketahui oleh
lawannya, Mahendra meny entuh dua simpul ditengkuknya
dengan jari-jarinya. Sehingga dengan demikian, maka tulangtulang
orang itu bagaikan telah dilepas dari kulit dagingnya.
Sementara orang itu terduduk lemah, maka kawannya tidak
lagi mampu bangkit berdiri. Tulang punggungnya serasa
menjadi patah karenanya. Karena itu, ketika ia berusaha untuk dengan serta merta
bangkit berdiri, maka orang itu telah terjatuh kembali sambil
menyeringai menahan sakit.
"He, kenapa dengan kalian" bentak orang bertubuh kekar
itu. Namun y ang didengarnya hanyalah kedua orang itu
mengaduh. Orang bertubuh kekar itu menjadi tidak sabar lagi. Karena
itu, maka iapun segera memberikan isy arat agar orangorangnya
bergerak bersama-sama. Mahendra dan mPu Sidikarapun melihat orang -orang itu
mulai bergerak. Karena itu, keduanyapun telah mengambil
jarak pula. Agaknya mereka memang harus melawan orangorang
itu. Betapapun lemahnya seseorang, tetapi jika ia
bergerak bersama-sama, maka Mahendra dan mPu Sidkara
memang harus berhati-hati.
Ketika kemudian orang bertubuh kekar itu memberikan,
aba-aba, maka merekapun telah meny erang Mahendra dan
mPu Sidikara bersama-sama.
Sebenarnyalah bahwa mereka bukannya orang-orang y ang
tidak berilmu sama sekali. Mereka telah menjelajahi beberapa
Pakuwon, Kabuyutan dan apalagi padukuhan-padukuhan.
Tentu sudah banyak pengalaman yang mereka dapatkan,
sehingga dengan demikian mereka termasuk orang-orang yang
berbahaya. Apalagi nampaknya mereka adalah orang-orang y ang tidak
pernah ragu-ragu melakukan kekerasan, sehingga dengan
demikian m aka Mahendra dan mPu Sidikara harus berhatihati.
Jika perlu, m aka keduanya harus dapat bertindak keras
menghadapi mereka. Sebenarnyalah, maka orang-orang itu segera bertempur
dengan keras. Berganti-ganti mereka menyerang seperti
ombak yang datang menghantam tebing. Namun kadangkadang
mereka datang bersama-sama melanda lawannya
dengan kekuatan y ang besar.
Tetapi lawan mereka adalah Mahendra dan mPu Sidikara.
Meskipun Mahendra nampak sudah menjadi tua. Tetapi ia
masih mampu menghadapi lawannya beberapa orang
sekaligus. Setiap ada kesempatan Mahendra berusaha untuk
menyentuh bagian-bagian tubuh lawannya y ang m enentukan.
Satu dua orang sempat disentuh tengkuk dan punggungnya
disebelah meny ebelah tulang belakang. Dengan demikian,
maka tenaga merekapun menjadi jauh susut.
Karena itulah, maka orang-orang yang mengepung dan
bertempur melawan Mahendra tidak lagi mampu bergerak
dengan tegar dan sepenuh tenaga. Bahkan ada satu dua yang
seakan-akan kehilangan seluruh kekuatannya.
Sentuhan-sentuhan jari Mahendra ternyata sempat
menimbulkan kekusutan pada jaringan syaraf lawannya,
sehingga dengan demikian sentuhan-sentuhan jari-jari tangan
yang kuat sekali itu merupakan senjata y ang sangat berbahaya.
Berbeda dengan Mahendra, maka mPu Sidikara telah
melepaskan tenaga dalamnya, sehingga kekuatannya seakanakan
menjadi berlipat. Setiap sentuhan tangannya rasarasanya
dapat meretakkan atau bukan mematahkan tulangtulang
lawannya. Meskipun demikian pertempuran itu berlangsung juga
beberapa lama. Diluar dugaan Mahendra dan mPu Sidikara,
ternyata orang-orang y ang mengaku orang-orang Kediri itu cukup banyak, sehingga pertempuran itu telah memakan
waktu agak lama. Namun kemudian ternyata orang -orang itu berusaha untuk
menghindar dari arena. Mereka yang masih cukup kuat
berusaha untuk membantu kawan-kawan mereka yang
menjadi kesakitan atau seakan-akan telah kehilangan tenaga
mereka. Namun kepada orang-orang yang terakhir berada di
arena, Mahendra berkata "Ki Sanak. Aku tidak akan memburu
kalian. Tetapi aku berpesan, bahwa aku tidak mau bertemu
dengan kalian sekali lagi dalam keadaan seperti ini, karena aku
akan mengambil tindakan yang lebih keras lagi. Mungkin aku
akan melukai kalian, bahkan luka-luka y ang parah atau
membunuh kalian, karena kalian adalah pemberontak.
Sedangkan hukuman bagi pemberontak adalah hukuman yang
paling berat." Orang-orang itu memang masih sempat mendengar.
Namun kemudian merekapun, berlari -larian meninggalkan
Mahendra dan mPu Sidikara.
Untuk beberapa saat tempat itu justru menjadi lengang.
Orang-orang yang melihat pertempuran antara dua orang
berkuda melawan sekelompok orang kasar itu merasa lebih
baik menjauh. Namun, demikian orang-orang kasar itu pergi,
beberapa orang telah bergeser mendekat.
"Untunglah, bahwa Ki Sanak bukan orang kebanyakan"
desis pemilik kedai, orang y ang pertama berani mendekati
Mahendra dan mPu Sidikara.
"Kami adalah orang kebanyakan " jawab Mahendra.
"Tetapi kalian memiliki kelebihan. Kalian telah b ertempur


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan memenangkan pertempuran melawan sekian banyak
orang dalam waktu y ang terhitung cepat. Kalian telah
menyakiti dan bahkan membuat beberapa orang seakan-akan
menjadi lumpuh." "Satu kebetulan" desis Mahendra.
Sementara itu, pemilik rumah diseberang yang akan
menyelenggarakan keramaian itu mendekat pula. Iapun
kemudian berkata "Jika saja Ki Sanak tadi menolongku
mengusir orang-orang itu, maka uang yang mereka bawa lebih
baik aku serahkan kepada Ki Sanak saja."
Mahendra tersenyum. Katanya "Terima kasih. Seandainya
kami m elakukannya sama sekali bukan karena uang sekampil
itu." "Kenapa " Apakah Ki Sanak orang-orang yang sangat kaya
sehingga menganggap uang sekampil itu tidak berarti ?"
bertanya pemilik rumah itu.
mPu Sidikaralah y ang menjawab sambil menggeleng "Tidak
Ki Sanak. Kami bukan orang-orang kaya. Kami juga tidak
menganggap uang sekampil itu tidak berarti."
"Jadi kenapa kalian yang berkemampuan tinggi tidak mau
membantuku mengusir orang-orang itu." bertanya orang yang
menyelenggarakan keramaian itu. Lalu katanya "Jika kalian
bukan orang kaya, bukankah uang itu akan sangat berarti
bagimu. Mungkin untuk membeli kuda lagi atau membeli
tanah dan ladang. Atau keperluan keperluan lain,
bagaimanapun juga uang mempunyai pengaruh yang sangat
besar." "Tetapi uangmu tidak dapat berbuat apa -apa ketiga orangorang
itu datang kepadamu dan menyakitimu ?" bertanya mPu
Sidikara. "Jika aku mempunyai kesempatan, aku tentu dapat
mengupah orang untuk menjaga agar orang -orang itu tidak
berbuat sekehendak hatinya dirumahku."
"Tetapi kau terlambat dan uang itu tidak berati apa -apa
seandainya orang-orang itu membawa isterimu pergi."
Pemilik rumah yang sedang menyelenggarakan keramaian
itu m engerutkan dahinya. Namun ia menjawab "Tetapi aku
ingin mengetahui alasanmu, kenapa kau tidak melakukannya "
Apakah bagimu upah sekampil uang itu kurang" Tetapi jika
demikian, kenapa kau akhirnya bertempur juga untuk sekedar
mempertahankan dua ekor kuda. ?"
"Kami tidak membantumu karena kami menganggap bahwa
yang dilakukan oleh orang-orang itu sudah pada tempatnya"
jawab mPu Sidikara. "Kenapa. Mereka merampok uangku " orang itu hampir
berteriak karena ia mulai menjadi marah.
"Peri stiwa ini agar menjadi peringatan bagimu, bahwa uang
sama sekali tidak berdaya m enghadapi sesuatu yang m emang
harus terjadi. Juga satu peringatan, bahwa uang itu akan
demikian mudahnya hilang. Apakah dirampok orang atau
dicuri pencuri atau terbakar atau bencana-bencana y ang lain.
Jika aku m enolongmu dan apalagi m enerima upah y ang kau
berikan kepadaku, maka peringatan itu tidak akan pernah kau
terima serta kenyataannya tidak akan pernah kau alami."
jawab mPu Sidikara. Lalu katanya pula "Aku tidak tahu
kehidupanmu sehari-hari. Tetapi menilik sikap dan katakatamu
sekarang ini, m aka kau termasuk orang y ang gemar
sekali meny impan uang dan menghargai segala sesuatunya
dengan uang. Sementara uang itu ternyata kuasanya tidak
sebesar y ang kau duga."
Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya mPu
Sidikara dengan tajamnya. Sementara itu mPu Sidikara
berkata "Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa aku tidak mau
membantumu karena aku sendiri mempunyai kepentingan.
Kepentingan apa ?" bertanya orang itu.
mPu Sidikara itu ter senyum. Dengan nada tinggi ia berkata
"Aku telah mengalahkan sekelompok orang yang
merampokmu. Karena itu, kau tentu tahu bahwa meskipun
kami hanya dua orang, tetapi kami dapat berbuat lebih banyak
dari kelompok orang itu."
Orang y ang ingin mengadakan keramaian itupun menjadi
tegang. Sementara mPu Sidikara berkata selanjutnya "Dengar.
Jika orang-orang itu memerlukan dana bagi perjuangannya
dan tersinggung melihat kau meny elenggarakan keramaian,
maka akupun tersinggung karena kau menganggap bahwa
uang itu segala-galanya. Karena itu, maka aku senang melihat
kau dirampok. Seperti aku katakan, kami m erasa perlu untuk
memberikan peringatan kepadamu. Bahkan aku ingin
membakar rumahmu, agar kau tahu bahwa harta bendamu
tidak berarti apa -apa."
Wajah orang itu m enjadi tegang. Sementara mPu Sidikara
berkata selanjutnya "Nah, suruh isteri dan keluargamu keluar
dari rumahmu. Para penari dan orang-orang y ang sedang
mempersiapkan hidangan bagi tamu-tamu terhormatmu."
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya orang itu.
"Membakar rumahmu, kau dengar. Kami berdua memang
lebih jahat dari sekelompok orang yang melarikan diri itu.
Tetapi kamipun memiliki ilmu jauh lebih tinggi dari m ereka.
Siapa y ang ingin menghalangi kami, akan kami lemparkan
kedalam api." "Tetapi" wajah orang itu menjadi pucat.
"Marilah " berkata mPu Sidikara kepada Mahendra "kita
bakar rumahnya, gamelannya dan semua perabot rumahnya.
Semuanya, termasuk orang-orang yang tidak mau keluar."
"Jangan, jangan. Kami, aku dan keluargaku mohon
ampun. " suara orang itu menjadi serak.
Ketika mPu Sidikara melangkah maju, maka orang itu telah
bersimpuh didepan mPu Sidikara "Jangan Ki Sanak. Jangan."
"Siapa y ang, mengalangi aku akan aku bunuh dengan
caraku." "Jangan Ki Sanak. Apa saja yang akan kau minta. Aku akan
memberikannya. " berkata orang itu.
"Sekali lagi kau berkata seperti itu, aku bakar rumahmu
dengan kau terikat didalamnya." geram mPu Sidikara.
"Jadi, jadi apa y ang harus aku lakukan?" bertanya orang itu
ketakutan. mPu Sidikara menarik nafas dalam-dalam. Namun
Mahendralah y ang kemudian m erasa ka sihan kepada orang
itu. Katanya "Kau harus minta maaf, bahwa kau telah
menghina kami dengan menawarkan upah kepada kami. Kami
hanya ingin membuktikan bahwa uangmu bukan segalagalanya.
Jika kami m embakar rumahmu dengan segala isinya
itu akan membuktikan, bahwa kekayaanmu tidak dapat
memadamkan api yang akan m enelan rumah dan jika perlu
kau dan ist erimu itu."
Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Ia kembali
dicengkam ketakutan melampaui saat dipendapa rumahnya
berdiri beberapa orang yang berwajah keras dan bertingkah
laku kasar. Dengan suara gemetar orang itupun berkata "Kami m inta
maaf. Kami sekeluarga mohon ampun. Kami tidak tahu
dengan siapa kam i berhadapan."
"Dengan siapapun kau berhadapan" berkata Mahendra
"kau tidak dapat membanggakan dan bahkan bersandar
kepada uang dan harta kekayaanmu."
"Aku mengerti. Kami sekeluarga mengerti."
Mahendrapun kemudian m enggamit mPu Sidikara sambil
berdesis "Ia akan dapat mati ketakutan."
mPu Sidikara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata "Nah, Ki Sanak. Lain kali berhati-hatilah. Tidak
semua orang seperti kau yang menganggap bahwa tumpuan
tertinggi untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dalam uang."
"Ya, ya. Kami mohon, ampun" orang itu seakan-akan
menangis "aku meny esal sekali."
mPu Sidikaralah yang kemudian berkata "Ki Sanak. Dengar
baik-baik. Jika aku tidak menggagalkan perampokan itu,
karena aku m empunyai pertimbangan yang jauh. Justru bagi
keselamatanmu. Kegagalan mereka akan dapat membuat
mereka semakin mendendam, sedangkan kami hanya sekedar
orang lewat. Jika orang itu kembali lagi besok atau lusa, kami
tidak akan dapat membantu, sementara orang-orang itu akan
menjadi lebih buas lagi. Karena pertimbangan itulah, m aka
kami lebih baik meninggalkan halaman rumahmu. Tetapi
ternyata persoalannya bergeser. Orang -orang itu ingin
mendapatkan kuda kami, sehingga kami harus
mempertahankannya. Meskipun akhirnya kami berkelahi,
namun orang -orang itu tidak m endendam kepadamu. Karena
itu, ketika mereka pergi, kamipun tidak ganti merampok uang
itu. Meskipun semua orang pada umumnya memerlukan uang,
tetapi tidak semua orang menjadi rakus dan menganggap uang
adalah puncak dari segala -galanya."
"Kami mengerti, Ki Sanak. Kami mengerti," jawab orang
itu. "Baiklah" berkata mPu Sidikara "jika kau dapat dan m au
mengerti, sokurlah. Aku tidak jadi membakar rumahmu,
meskipun sepeninggalku kau tentu sudah berubah lagi. "
"Tidak. Tidak. Aku berjanji" jawab orang itu.
mPu Sidikarapun kemudian berkata kepada Mahendra
"Marilah. Kita teruskan perjalanan kita. Sekedar memberi
kesempatan kuda-kuda kita beristirahat lebih panjang."
Mahendra tersenyum. Namun katanya Aku minta diri
kepada pemilik kedai itu."
"Biarlah aku y ang meny elesaikannya " berkata mPu
Sidikara. "Bukankah aku yang mengajak mPu menempuh perjalanan
ini?" sahut Mahendra.
mPu Sidikara tertawa. Namun ia tidak membantah lagi.
Demikianlah, setelah mereka membayar harga makanan
dan minuman di kedai itu, maka keduanyapun telah meloncat
ke punggung kuda. Keduanya sempat melambaikan tangannya
kepada pemilik rumah y ang sedang meny elenggarakan
keramaian itu. Pemilik rumah itu berdiri termangu-mangu. Malam itu
terjadi dua peristiwa y ang telah mengguncangkan
perasaannya. Namun peri stiwa itu merupakan pengalaman
yang sangat berharga bagi dirinya. Sekelompok orang yang
merampoknya dan dua orang y ang ter singgung justru karena
ia menawarkan upah bagi mereka.
Orang itu semula memang tidak mengira bahwa ada orang
yang tersinggung justru saat ditawarkan uang kepadanya. Bagi
orang itu, uang dan kekayaan memang segala-galanya. Dengan
uang ia merasa dapat berbuat apa saja. Namun suatu ketika ia
memang dihadapkan pada satu kenyataan, bahwa uang justru
dapat menjerumuskannya kedalan kesulitan. Bahkan hampir
sa ja ia harus meny erahkan isterinya kepada sekelompok orang
yang merampok dirumahnya, justru saat ia sedang
menyelenggarakan keramaian.
Dengan kepala tunduk orang itu berjalan kembali
kerumahnya. Jika semula ia selalu menengadahkan wajahnya
karena ia merasa menjadi orang y ang paling kaya di
padukuhannya, sedangkan ukuran harga dirinya adalah uang,
maka ia merasa dirinya sebagai orang y ang berkedudukan
paling tinggi diantara tetangga-tetangganya.
Namun rasa -rasanya ia telah terhempas menimpa batu
karang. Ternyata ada orang yang sama sekali tidak bergantung
pada uang dan mempunyai penilaian tersendiri terhadap
orang y ang memiliki kekayaan y ang melimpah.
Karena itu, maka orang itupun merasa perlu untuk
merenungi kembali jalan hidup y ang telah ditempuhnya itu.
Sementara itu, Mahendra dan mPu Sidikara telah
meneruskan perjalanan m ereka. Ternyata perjalanan mereka
tidak lebih cepat dari perjalanan y ang pernah ditempuh oleh
Mahendra dan Mahisa Pukat sebelumnya.
"Kita sudah m enepati rencana kita ketika kita berangkat"
berkata mPu Sidikara sambil tersenyum.
"Ya " jawab Mahendra "kita memang tidak mencampuri
persoalan orang lain. "
mPu Sidikara tertawa, katanya "Tetapi orang lainlah y ang
mencampuri persoalan kita."
Keduanyapun tertawa. Sementara itu kuda mereka berpacu
dikegelapan malam. Namun karena kedua penunggangnya
adalah orang-orang y ang memiliki kelebihan, maka mereka
sama sekali tidak mengalami kesulitan. Selain kuda-kuda
mereka juga terbiasa menempuh perjalanan dalam segala
waktu dan keadaan, kendalinyapun dapat menuntun kudakuda
itu untuk menginjakkan kakinya diatas jalan yang
panjang. Ternyata keduanya tidak berhenti lagi diperjalanan. Apalagi
Pa depokan Bajra Seta memang tidak terlalu jauh lagi.
Demikianlah, ketika mereka sampai di Padepokan, maka
para cantrik y ang bertugaspun telah menjadi terkejut pula.
Apalagi ketika mereka melihat bahwa y ang datang itu adalah
Mahendra dan seorang y ang belum mereka kenal.
Demikian keduanya diper silahkan masuk regol Padepokan,
maka seorang cantrikpun telah m encari Mahisa Murti untuk
memberitahukan kehadiran mereka.
Tetapi ternyata Mahisa Murti tidak ada dibiliknya
meskipun m alam telah larut. Namun cantrik itu sudah tahu
kebiasaan Mahisa Murti. Jika di malam hari ia tidak sedang
bepergian tetapi tidak ada didalam biliknya, maka ia tentu
berada di sanggar. Sebenarnyalah, bahwa cantrik
itu telah menemukan Mahisa
Murti sedang berada di sanggar.
Sendiri. Agaknya Mahisa Murti sedang
beristirahat, karena ia tidak
sedang berlatih. Tetapi Mahisa
Murti justru sedang duduk
disudut sanggar dengan lam pu
yang hanya remang-remang.
Namun ketika cantrik itu mendekatinya, maka nampak
keringat membasahi seluruh
tubuh Mahisa Murti. "Ada apa ?" bertanya Mahisa Murti kepada cantrik itu.
"Ada tamu diluar. Ki Mahendra dengan seorang y ang belum
kami kenal" jawab cantrik itu.
Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia
bertanya "Apakah ayah tidak meny ebut nama orang itu ?"


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak " jawab cantrik itu.
"Baiklah" berkata Mahisa Murti "persilahkan mereka
duduk. Siapkan hidangan. Minum dan makan. Mereka t entu
telah m enempuh perjalanan yang melelahkan. Demikian pula
kuda-kuda mereka." Mahisa Murti berhenti sejenak. Lalu "Aku akan membenahi
pakaianku sebentar."
Beberapa saat kemudian, maka Mahisa Murtipun telah
melangkah ke bangunan induk Padepokan Bajra Seta.
Disepanjang langkahnya, Mahisa Murti m asih saja bertanyatanya,
siapakah kawan ayahnya itu. Namun yang lebih
menarik perhatiannya, apakah keperluan mereka datang ke
Pa depokan. " Ketika Mahisa Murti memasuki pendapa di bangunan
induk Padepokan Bajra Seta, maka iapun segera melihat
bahwa ayahnya memang datang dengan membawa seorang
kawan. "Kenapa ay ah tidak datang bersama Mahisa Pukat ?"
pertanyaan itu telah mengusik hatinya. Bahkan sebuah
pertanyaan y ang lain telah muncul pula "Apakah sesuatu
terjadi dengan Mahisa Pukat ?"
Ketika kemudian Mahendra dan mPu Sidikara mengangkat
wajahnya, m aka barulah Mahisa Murti sempat m emandang
wajah itu. Karena itu, maka dengan serta merta iapun berdesis
"mPu Sidikara. "
Demikianlah, maka Mahisa Murtipun telah menyambut
tamunya dengan akrab. Setelah menanyakan keselamatan
ay ahnya dan mPu Sidikara selama perjalanan, maka Mahisa
Murtipun bertanya "Kenapa ay ah tidak mengajak Mahisa
Pukat?" "Mahisa Pukat sedang sibuk dengan tugasnya " jawab
Mahendra. "Tetapi seharusny a ia dapat minta ijin barang satu dua hari
untuk mengantarkan ay ah betapapun sibuknya" berkata
Mahisa Muiti "Akulah y ang salah" mPu Sidikara memotong pembicaraan
itu "karena keinginanku pergi ke Padepokan Bajra Seta, maka
aku telah minta agar Mahisa Pukat melakukan tugas rangkap
di Kasatrian, sementara aku pergi bersama Ki Mahendra ke
Pa depokan Bajra Seta."
Mahisa Murti mengerutkan dahinya. Sedangkan mPu
Sidikara berkata selanjutnya "Pangeran Kuda Pratama
berkeberatan jika kami berdua bersama-sama minta ijin
meninggalkan kasatrian. Karena aku mendesak terup,
akhirnya Mahisa Pukatlah y ang m engalah. Akulah yang pergi
ke Padepokan Bajra Seta."
Mahisa Murti m engangguk-angguk, sementara Mahendra
hanya tersenyum saja. Namun akhirnya Mahisa Murti bertanya pula "Kenapa baru
setelah malam larut ayah dan mPu Sidikara baru datang,
seperti ketika ay ah menempuh perjalanan ini bersama Mahisa
Pukat ?" Mahendra tersenyum. Katanya "perjalanan kami sedikit
terhalang. Sejak kami berangkat, kami sudah berjanji untuk
tidak m encampuri persoalan orang lain, agar perjalanan kita
tidak menemui hambatan. Tetapi t ernyata orang lainlah yang
telah mencampuri persoalan kami."
"Maksud ay ah ?" bertanya Mahisa Murti.
Mahendrapun kemudian menceriterakan apa y ang telah
terjadi diperjalanan. Meskipun tidak seberat saat Mahendra
itu datang ke Padepokan Bajra Seta bersama Mahisa Pukat,
namun apa y ang terjadi diperjalanan itu, telah merampas
banyak waktu pula. Mahisa Murtipun tersenyum. Katanya "Sokurlah,
bagaimanapun juga peri stiwa seperti itu merupakan hambatan
yang harus diatasi juga."
Mahendra dan mPu Sidikara tidak menjawab karena
seorang cantrik telah naik keluar membawa hidangan.
Minuman hangat dan makanan.
"Makan sedang disiapkan" berkata Mahisa Murti.
Demikianlah, setelah minum minuman hangat serta makan
beberapa potong makanan, maka Mahendra dan mPu
Sidikarapun telah pergi ke pakiwan serta membenahi dirinya.
Baru kemudian m ereka dipersilahkan untuk makan diruang
dalam. "Sebenarnya kami tidak terlalu lapar " berkata Mahendra
"lewat senja kami singgah untuk makan. Tetapi kemudian
terjadi peri stiwa itu."
"Jika demikian, maka ayah dan mPu Sidikara tentu menjadi
lapar lagi" berkata Mahisa Murti.
Mahendra dan mPu Sidikara tertawa. Namun merekapun
kemudian telah makan pula dengan lahapnya.
Dalam pada itu, setelah mereka selesai makan dan
beristirahat sejenak, maka Mahisa Murtipun mempersilahkan
mereka untuk masuk kedalam bilik yang sudah disediakan.
Meskipun Mahisa Murti mengetahui, bahwa kedatangan
ay ahnya tentu membawa persoalan yang penting, namun
Mahisa Murti t idak ingin membuat ayahnya menjadi t erlalu
letih. Mahendra juga tidak ingin tergesa -gesa mengatakan
keperluannya. Ia ingin mengatur perasaannya, sehingga apa
yang akan dikatakannya menjadi lebih mapan.
Baru dihari berikutnya, setelah mereka makan pagi, m aka
Mahendrapun berkata "Mahisa Murti. Ada sesuatu yang akan
aku sampaikan kepadamu. Tidak terlalu penting, tetapi
sebaiknya memang kau ketahui."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu
Mahendrapun berkata "Aku m embawa kabar tentang Mahisa
Pukat. " Sebenarnyalah Mahisa Murti sudah menduga. Karena
itulah maka ayahnya telah datang tidak bersama Mahisa Pukat
itu sendiri. "Pembicaraanku dengan Arya Kuda Cemani tentang
hubungan antara Mahisa Pukat dengan Sasi telah maju
selangkah lagi" berkata Mahendra.
"O" Mahisa Murti mengangguk-angguk.
"Kami telah mendapat kesepakatan, kapan Mahisa Pukat
dan Sasi akan menikah." berkata Mahendra pula.
Mahisa Murti termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berdesis "Sokurlah. Dengan demikian, maka tataran
pertama hubungan antara Mahisa Pukat dan Sasi akan
terselesaikan." "Ya " jawab Mahendra. Namun dengan penglihatan mata
hatinya, Mahendra m elihat bahwa luka dihati Mahisa Murti
itu terasa ny eri kembali. Namun Mahendra percaya, bahwa
day a tahan Mahisa Murti cukup kuat untuk mengatasiny a.
"Jadi sebulan lagi. Kita harus melakukan persiapan sebaikbaiknya.
Sri Maharaja secara pribadi menyatakan merestui
pernikahan itu." "Sri Maharaja ?" bertanya Mahisa Murti.
Mahendra mengangguk. Baru kemudian ia berkata
"Sebenarnya aku belum pernah menyampaikan langsung
hal itu kepada Sri Maharaja. Aku tidak tahu, darimana Sri
Maharaja mengetahui bahwa Mahisa Pukat, Pelayan Dalam
yang bertugas di Ka satrian, tetapi y ang juga guru dari para
Kesatria Singasari, akan segera menikah. Apalagi Pelay an
Dalam itu adalah anakku, sedang bakal isterinya adalah anak
seorang Senapati dari Pasukan Sandi di Singasari. "
"Aku ikut merasa berbangga, ayah" jawab Mahisa Murti.
Nada suara memang merendah. Namun terasa bahwa katakata
itu diucapkannya dengan tulus.
"Nah" berkata Mahendra "tentu saja kami y ang ada di
Singasari menginginkan agar kau berada di Singasari saat itu."
"Tentu ayah" jawab Mahisa Murti "aku akan berada di
Singasari." "Bawa Mahisa Semu dan Mahisa Amping. Namun Wantilan
terpaksa tidak dapat hadir dalam upacara itu, karena salah
seorang diantara kalian harus tetap berada di padepokan. "
"Ya, ay ah. Paman Wantilan akan aku m inta untuk tetap
berada di padepokan. Selain paman Wantilan sudah ada dua
orang cantrik y ang dapat dipercaya. Cantrik itu cukup cerdas,
rajin dan landasan ilmunya y ang cukup."
"Sokurlah" jawab Mahendra "dengan demikian m aka aku
akan dapat tenang berada di Singasari."
"Tetapi sudah tentu bahwa kami tidak dapat b erlama-lama
berada di Singasari. Kami akan datang ke Singasari sepekan
sebelum hari pernikahan dan sampai sepekan sesudahnya. Itu
sudah berarti sepuluh hari, ay ah."
"Aku mengerti Mahisa Murti. Aku kira waktu yang kau
sediakan itu sudah cukup" berkata Mahendra.
Mahisa Murti mengangguk-angguk, sedangkan mPu
Sidikara lebih banyak berdiam diri sambil mendengarkan,
karena per soalan y ang dibicarakan itu adalah per soalan
keluarga. Baru kemudian setelah pembicaraan tentang hari-hari
pernikahan Mahisa Pukat selesai, pembicaraan m ereka mulai
merambat ke berbagai soal. mPu Sidikarapun mulai ikut
berbicara pula. Bahkan kemudian pembicaraan mereka
sampai pada kegiatan para cantrik serta waktu -waktu mereka
berlatih. "Mereka berlatih sambil bekerja" berkata Mahisa Murti.
"dengan demikian mereka akan mendapatkan pengetahuan
yang m endekati kebutuhan bagi mereka kelak. Mereka tidak
hanya mempelajari ilmu kanuragan. Tetapi juga bagaimana
mereka dapat menjadi seorang petani yang baik. Seorang
pande besi y ang baik. Seorang pedagang yang baik, serta
berbagai macam pengetahuan y ang lain yang akan berarti bagi
mereka kelak jika mereka menempuh kehidupan yang
sebenarnya." mPu Sidikara mengangguk-angguk. Sementara itu Mahisa
Murti pun telah mempersilahkan mPu Sidikara untuk melihatlihat
seisi Padepokan Bajra Seta. Mula-mula mereka melihatlihat
sanggar terbuka dan sanggar tertutup. Beberapa orang
cantrik sedang berlatih di kedua sanggar itu. Mereka memang
mempergunakan alat-alat y ang sederhana. Namun dengan
alat-alat yang sederhana itu para cantrik itu justru m endapat
tempaan y ang cukup berat. Selain m empelajari unsur-unsur
gerak, berlatih mempergunakan berbagai jenis senjata,
merekapun telah dilatih untuk dengan cepat menentukan
langkah-langkah y ang terbaik untuk mengatasi satu kesulitan.
Mereka tidak terbiasa mempergunakan alat atau senjata yang
lengkap dan seakan-akan tinggal memakainya. Tetapi para
cantrik di Padepokan Bajra Seta harus siap untuk mengatasi
kesulitan y ang timbul dengan alat dan senjata sesuai dengan
apa y ang ada. Di sanggar terbuka mPu Sidikara menyaksikan para cantrik
itu menempa kewadagan mereka dengan alat-alat yang
sederhana pula, namun y ang sangat berarti. Para cantrik yang
berlatih di sanggar terbuka itu m enunjukkan bahwa mereka
tidak saja asal melakukan latihan dengan menggerakkan tubuh
mereka. Tetapi mPu Sidikara y ang juga mempunyai
pengetahuan dan pengalaman y ang luas itu, m elihat, bahwa
segala sesuatunya berlangsung dengan tertib. Para cantrik
tertua y ang ditunjuk oleh Mahisa Murti untuk memberikan
latihan kepada para cantrik y ang lebih muda, agaknya lebih
menguasai pengetahuan tentang penguasaan tubuh, sehingga
dengan demikian, maka merekapun mampu melakukan uruturutan
latihan yang baik yang tidak justru merusakkan tubuh
mereka. Mereka berlatih untuk meningkatkan ketrampilan,
kecepatan gerak, day a tahan dan penguasaan tubuh
sepenuhnya. Kemudian berlatih dengan sungguh-sungguh
untuk mengatur pernafasan y ang sebaik-baiknya agar dapat
memberikan manfaat yang setinggi-tingginya sesuai dengan
kemungkinan y ang sedang dihadapi.
Ketika kemudian mereka meninggalkan sanggar dan
melihat-lihat bagian lain dari Padepokan Bajra Seta, maka
mPu Sidikara itupun sempat melihat bangunan-bangunan
khusus tempat para cantrik bekerja. Disebuah sudut, mPu
Sidikara menyaksikan beberapa bangunan yang dipergunakan
oleh para cantrik untuk mengerjakan pekerjaan besi dan baja.
Beberapa orang cantrik yang bekerja sebagai pande besi
sedang melakukan tugas mereka. Mereka sedang menempa
besi untuk membuat alat-alat pertanian.
Dalam pada itu Mahisa Murtipun berkata "Tidak semuanya
mereka adalah cantrik Padepokan Bajra Seta."
"Maksudmu?" bertanya mPu Sidikara.
"Ada diantara mereka adalah anak-anak muda dari
padukuhan sebelah. Mereka datang untuk menyadap
pengetahuan tertentu. Antara lain sebagai pande besi."
mPu Sidikara mengangguk-angguk. Ia memang merasa
kagum terhadap kegiatan yang dilihatnya di Padepokan Bajra
Seta. Ternyata bahwa kegiatan padepokan itu tidak saja
sekedar berarti bagi Padepokan Bajra Seta sendiri, tetapi juga
berarti bagi padukuhan-padukuhan dan bahkan Kabuyutankabuyutan
disekitarnya. Dengan nada dalam ia berkata "Menarik sekali."
"Ya " jawab Mahisa Murti "mereka akan dapat
memanfaatkan ilmu dan pengetahuan mereka di padukuhan
mereka masing-masing."
"Kegiatan yang jarang sekali dilakukan di padepokanpadepokan
yang lain. " desis mPu Sidikara.
"Dengan ketrampilan itu, anak-anak muda di padukuhanpadukuhan
sebelah meny ebelah Padepokan Bajra Seta
mempunyai bekal untuk berbuat sesuatu. Mereka yang
tanahnya sempit tidak lagi menggantungkan hidupnya pada
tanah y ang akan terbagi habis diantara saudara-saudaranya.
Apalagi mereka yang anaknya terlalu banyak. Anak-anak muda
itu juga tidak akan bergantung pada kesempatan untuk
bekerja menjadi bebahu Kabuyutan atau bebahu padukuhan
atau petugas-petugas lain y ang ditetapkan oleh padukuhan
atau Kabuyutan. Tetapi mereka akan dapat mandiri. Mereka
dapat memanfaatkan ketrampilannya untuk mendapatkan
nafkahnya, tanpa menggantungkan diri kepada orang lain."
mPu Sidikara mengangguk-angguk. Sementara itu segera
teringat anak anak-anak muda y ang berada di Kasatrian.
Mereka berada dalam satu lingkungan yang berbeda. Namun
agaknya Mahisa Pukat telah m embuat perubahan-perubahan
meskipun perlahan-lahan. Para penghuni Ka satrian telah
diperkenalkannya dengan alam terbuka.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para Ka satria itu mulai m elihat kehidupan diluar istana.
Para petani yang bekerja keras, para pedagang y ang harus
tangkas berpikir menghadapi setiap gejolak pasar, para pande
besi yang berlimbah peluh serta berbagai macam kehidupan
yang jauh berbeda dari suasana kehidupan di istana.
Ketika kemudian mereka kembali ke pendapa bangunan
induk Padepokan Bajra Seta, maka mPu Sidikara itupun
berkata "Padepokan ini merupakan satu dunia tersendiri
dengan aneka ragam kegiatan. Tetapi dalam keseluruhan,
Pa depokan Bajra Seta adalah satu sanggar raksasa yang
menempa berbagai jenis ilmu, kemampuan dan ketrampilan
serta pengetahuan." Mahendra ter senyum. Katanya "Sebaiknya m emang bukan
aku y ang mengucapkannya. Jika kau y ang mengatakannya,
maka aku adalah seorang y ang sangat sombong. Namun
sekarang mPu Sidikara y ang sempat melihatnya dan sempat
mengatakannya. " "Ya. Jika aku m engatakannya, bukan karena aku berada di
hadapan Ki Mahendra dan angger Mahisa Murti. Tetapi aku
menilai dengan jujur dan menurut pendapatku, kenyataannya
adalah memang demikian" berkata mPu Sidikara.
"Terima kasih" sahut Mahisa Murti "namun apa yang kami
miliki adalah sangat sederhana sekali. Dengan demikian, maka
apa y ang dapat kami tabur pada padukuhan-padukuhan
disekitar Padepokan Bajra Seta memang terlalu sedikit."
mPu Sidikara mengangugk-angguk. Katanya "Tetapi
kedudukan Padepokan Bajra Seta bagi orang-orang
disekitarnya menjadi lebih penting dari Ka satrian di Singasari.
Untunglah bahwa angger Mahisa Pukat hadir di Kasatrian
sehingga perlahan-lahan telah melakukan beberapa perubahan
atau katakan pembaharuan. Tetapi tentu saja kesempatan
yang dimilikinya sangat terbatas. Angger Mahisa Pukat tidak
akan dapat melanggar paugeran -paugeran yang masih
dipegang kuat di istana Singasari. Namun bahwa para kesatria
itu sempat melihat kenyataan diluar istana itu sudah
merupakan satu hal yang sangat berarti. Ternyata ada diantara
para Kesatria itu t ertarik untuk memperhatikan kehidupan
yang berat dan keras diluar istana. "
"Sokurlah" berkata Mahisa Murti "mudah-mudahan para
kesatria itu akan menjadi semakin dekat dengan rakyatnya
dengan segala keny ataan hidup mereka."
"Jika angger Mahisa Pukat mempunyai kesempatan y ang
panjang di Kasatrian, maka agaknya ia akan dapat
melakukannya dalam keterbatasannya " desis mPu Sidikara.
Dalam pada itu Mahendrapun berkata "Seharusnya dengan
peralatan y ang ada di Kasatrian, para kesatrian itu dapat
berbuat lebih banyak bagi lingkungannya. Tetapi paugeran
yang ada memang tidak memungkinkannya. "
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Iapun dapat mengerti
bahwa ada batas antara seisi istana dengan lingkungan di luar
istana. Karena itu, betapapun ada keinginan untuk
melakukannya, namun Mahisa Pukat tentu tidak akan berbuat
terlalu banyak. Dalam pada itu, apa y ang dilihat mPu Sidikara ternyata
sangat berkesan dihatinya. Ia memang menjadi kagum melihat
ketegaran Mahisa Murti memimpin Padepokan Bajra Seta
yang besar. Apalagi Mahisa Murti adalah seorang anak muda
yang masih sedang tumbuh, sehingga masih banyak
kemungkinan y ang dapat terjadi di masa depan.
Di mata mPu Sidikara, maka kesempatan y ang ada didepan
Mahisa Murti memang berbeda dengan kesempatan yang
dihadapi oleh Mahisa Pukat. Meskipun kedua-duanya akan
dapat menginjak jenjang yang lebih tinggi, namun bidang
mereka sangat berbeda. Semakin tinggi jenjang yang mereka
injak maka jarak keduanya akan menjadi semakin jauh.
"Apalagi jika Ki Mahendra y ang menjadi pengikat diantara
keduanya sudah tidak ada lagi. Maka dari kehari, maka
dinding y ang membatasi kedua orang anak muda itu seakanakan
menjadi semakin tinggi " berkata mPu Sidikara didalam
hatinya. Namun mPu Sidikara itu masih melihat bahwa kedua
bersaudara itu mempunyai ikatan batin y ang sangat kuat. Ia
masih berharap agar ikatan yang ada itu dapat selalu
dipelihara dan dikembangkan dimanapun mereka masingmasing
berada. Meskipun jalan m ereka berbeda, namun jika
masing-masing sudah memilihnya, maka tidak akan ada
perasaan saling bersaing. Meskipun jarak mereka menjadi
semakin jauh, tetapi ikatan batin y ang ada diantara mereka
akan tetap menjalin hubungan diantara mereka.
Tetapi satu hal yang tidak diketahui oleh mPu Sidikara,
bahwa Mahisa Murti pernah meny ingkir dari satu benturan
kepentingan yang sama tanpa sepengetahuan Mahisa Pukat.
Demikianlah, disaat mPu Sidikara berada di Padepokan
Bajra Seta, maka tidak jemu-jemunya ia melihat kerja yang
dilakukan oleh para cantrik disela-sela latihan olah kanuragan.
Jika para kesatria di Kasatrian Singasari harus juga menuntut
pengetahuan tentang berbagai macam ilmu, termasuk ilmu
bintang, kesusa steraan dan ilmu pemerintahan, maka para
cantrik itu disamping mempelajari berbagai macam ilmu,
namun mereka juga langsung melakukannya di lapangan.
Mereka langsung turun dalam kerja sehingga apa y ang mereka
pelajari itu akan dapat diuji pelak sanaannya.
Namun mPu Sidikara y ang termasuk salah seorang guru di
Ka satrian berkata didalam hatinya "Tetapi kebutuhan dari
para kesatria itu m emang jauh berbeda dari kebutuhan para
cantrik. " Karena itu, maka iapun menyadari, apa yang dapat
ditrapkan di Padepokan Bajra Seta, belum tentu dapat
ditrapkan di Ka satrian. Dan hal ini agaknya juga disadari oleh
Mahisa Pukat, sehingga jika ia mulai m elakukan perubahanperubahan,
maka ia harus m enilai setiap rencananya, apakah
hal itu sesuai dengan kebutuhan para kesatria Singasari.
Bahkan Mahisa Pukatpun harus mempertimbangkan
kepentingan orang-orang, lain yang memberikan tuntunan
tentang berbagai macam ilmu selain olah kanuragan bagi para
kesatria itu. (Bersambung ke Jilid 114)
Conv ert, Edit, Ebook by HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 114 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter & Editor Ebook :
--?""0dw0?""-
Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 114 TETAPI mPu Sidikara memang tidak terlalu lama berada di
Pa depokan Bajra Seta. Ketika m ereka sudah bermalam dua
malam, maka Mahendra merencanakan untuk kembali di
keesokan harinya. "Jadi ayah tinggal bermalam satu m alam lagi ?" bertanya
Mahisa Murti. "Aku harus segera berada di Singasari lagi, Murti. Aku
harus m empersiapkan segala sesuatunya. Bukankah aku tidak
mempunyai lagi siapa-siapa yang dapat aku ajak berbincang
selain Mahisa Pukat sendiri ?" berkata Mahendra.
"Tidak. Ayah tentu mempunyai kawan untuk berbincang.
Bukankah mPu Sidikara dapat membantu ayah ?"
Mahendra tersenyum. Katanya "mPu Sidikara berada di
Ka satrian. " "Bukankah kasatrian juga berada dilingkungan istana ?"
bertanya Mahisa Murti pula.
"Tetapi rumahku berada jauh di halaman belakang" sahut
Mahendra. mPu Sidikara tertawa. Katanya "Aku akan membantu
kesibukan Ki Mahendra menjelang perkawinan puteranya.
Aku akan dapat melakukan apa saja. Sebelum, disaat upacara
pernikahan berlangsung dan sesudahnya."
Mahendra dan Mahisa Murtipun tertawa pula. Disela-sela
suara tertawanya Mahendra berkata "Terima kasih mPu. Aku
memang mencari orang yang dapat melakukan apa saja."
Meskipun mereka seakan-akan hanya sekedar berkelakar,
namun mPu Sidikara memang dengan sungguh-sungguh
bersedia membantu kesibukan Mahendra sehubungan dengan
pernikahan Mahisa Pukat. Ketika kemudian malam turun, maka Mahisa Pukatpun
mempersilahkan ayahnya dan mPu Sidikara untuk
beristirahat, karena mereka akan bangun pagi-pagi benar dan
selanjutnya kembali ke Singasari setelah beberapa hari
beberapa di Padepokan Bajra Seta.
Tetapi Mahendra dan mPu Sidikara memang tidak terbiasa
tidur sebelum malam larut. Karena itu, m aka m ereka masih
duduk-duduk dipendapa untuk beberapa lama.
Dalam pada itu, diluar padepokan, beberapa orang berkuda
sedang memperhatikan Padepokan Bajra Seta dari k ejauhan.
Mereka melihat dinding yang cukup tinggi mengitari satu
lingkungan y ang cukup luas. Beberapa bangunan nampak
membujur berjajar didalam lingkungan dinding padepokan.
"Aku t idak m engira bahwa Padepokan Bajra Seta adalah
padepokan y ang besar " berkata seorang y ang bertubuh sedang
yang duduk diatas punggung kudanya dipaling depan dari
iring-iringan orang berkuda itu.
"Ya " jawab seorang y ang bertubuh kekar yang berkuda
disebelahnya "aku juga tidak membayangkan, bahwa
padepokan Bajra Seta mempunyai lingkungan yang luas serta
bangunan y ang cukup banyak didalamnya. Satu gambaran
bahwa penghuni Padepokan itu cukup banyak pula."
"Selain jumlahnya yang banyak, agaknya di Padepokan itu
juga tinggal orang-orang berilmu tinggi. Yang sudah kita
ketahui dua diantara mereka telah mampu mengejutkan
kalian" berkata orang yang bertubuh sedang itu kemudian.
jadiu gak sambung hi hi>
Kawannya yang bertubuh kekar itu mengangguk-angguk.
Namun kemudian katanya "Lalu, apakah kita tetap pada
rencana kita mengambil orang y ang aku katakan itu ?"
Orang bertubuh sedang itu berpaling kepada seorang y ang
bertubuh kekurus-kurusan sambil berkata "Bagaimana
menurut pendapatmu ?"
Orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu termangumangu
sejenak. Namun kemudian katanya "Aku sendiri tidak
mempunyai persoalan dengan orang itu. Tetapi jika kalian
ingin tetap m engambilnya, maka kami akan melakukannya.
Betapapun tinggi ilmu orang -orang padepokan ini, bagiku
bukan m asalah. Aku dan kedua orang kawanku akan dapat
menyelesaikan mereka. Semuanya tergantung kepada kalian.
Seandainya terjadi pertempuran, apakah kira-kira kalian dapat
bertahan melawan isi padepokan ini ?"
Orang yang bertubuh sedang itu termangu-mangu. Katanya
"Kami belum mengetahui kekuatan Padepokan Bajra Seta ini.
Menurut pendapatku, padepokan ini tentu mempunyai
kekuatan yang besar, sehingga kita perlu membuat
pertimbangan sebaik-baiknya."
"Sekarang harus kita nilai, apakah sikap orang y ang
mengaku orang Padepokan Bajra Seta itu sangat
membahayakan k edudukan kita atau tidak ?" bertanya orang
yang kekurus-kurusan. "Semuanya sudah aku ceriterakan" sahut orang bertubuh
kekar "mereka menganggap bahwa apa y ang kita lakukan tidak
lebih dari perampokan."
"Kau sudah mulai dengan langkah y ang salah" berkata
orang y ang kekurus-kurusan itu "kau merampok dengan
mengatas-namakan diri orang Kediri. "
"Aku tidak merampok. Aku mengambil uang dari orangorang
kaya itu untuk aku kumpulkan sebagaimana sudah
pernah dilakukan oleh orang-orang yang berjuang lebih
dahulu dari kita. Sudah berapa kali hal seperti itu kita lakukan.
Hasilnya cukup baik. Kita mendapat banyak dana bagi
perjuangan kita. " "Itulah yang aku sebut sebagai satu kebodohan." berkata
orang y ang kekurus-kurusan itu "berapa kali cara itu
dilakukan. Tetapi cara itu tidak pernah menghasilkan
dukungan y ang sebenarnya bagi perjuangan kita. "
"Jadi, bagaimana y ang tidak bodoh menurut pendapatmu
?" bertanya orang y ang bertubuh sedang.
"Yang kalian lakukan justru menimbulkan kebencian pada
perjuangan y ang sedang kalian lakukan. Jika mereka menuduh
kita tempuh selama ini memang tidak ubahnya dengan cara
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok b erandal, perampok
atau peny amun." Orang y ang bertubuh kekar itupun mengerutkan dahinya.
Sementara orang yang kekurus-kurusan itu berkata
selanjutnya "Kalian seharusny a tidak mengancam atau
menakut-nakuti orang dengan mengatas-namakan perjuangan
yang sebenarnya kita lakukan. Tetapi kalian dapat mengatakan
apa saja. Bahkan menyebut dirinya perampok sekalipun.
Sebaliknya jika kita ju stru memberi, setidak -tidaknya
memberikan harapan kepada orang banyak bahwa masa depan
adalah satu masa y ang lebih baik dari masa y ang sedang
mereka jalani sekarang. Tetapi jika kalian datang dengan
mengancam, menakut-nakuti dan merampok, maka orang
banyak itu akan m embenci kalian dan m embenci perjuangan
kita semuanya. " Kawan-kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kemudian orang bertubuh kekar itu berkata "Kenapa
baru sekarang kau berkata begitu, justru saat kita menghadapi
Pa depokan Bajra Seta yang kita nilai sebagai sebuah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padepokan yang besar dan kuat ?"
"Jadi kau m enuduh bahwa pendapatku timbul karena aku
takut menghadapi kekuatan yang ada di Padepokan Bajra
Seta?" Orang bertubuh kekar itu tidak menjawab. Ia memang tidak
ingin membuat orang y ang bertubuh kekurus-kurusan itu
marah, karena ia memang seorang yang berilmu tinggi.
"Jika kau mengira demikian, maka kau salah" berkata
orang y ang bertubuh kekurus-kurusan itu "sudah aku katakan,
jika kalian berniat untuk mengambil dua orang y ang mengaku
dari Padepokan Bajra Seta ini, aku akan mengambilnya tanpa
perasaan takut sama sekali. Tetapi menurut pendapatku, caracara
yang kau tempuh selama ini adalah salah."
"Jadi sebaiknya apakah yang harus kita lakukan ?" bertanya
orang y ang bertubuh sedang.
"Kita harus berbuat sebalikny a. Padepokan yang besar
seperti Padepokan Bajra Seta ini harus kita dekati. Jika
mungkin kita m engajak m ereka untuk membantu perjuangan
kita. Kita yakinkan mereka, bahwa peluangan yang kami
lakukan akan sangat berarti bagi rakyat banyak. Terutama
Kediri." "Tetapi Padepokan Bajra Seta tidak terletak ditlatah Kediri"
berkata orang yang bertubuh kekar.
"Kita dapat memberikan harapan atas Padepokan ini. Kelak
jika Kediri bangkit, maka Padepokan ini akan mendapat
kedudukan khusus m eskipun daerah Singasari y ang lain akan
mengalami bentuk y ang berbeda dari kedudukannya
sekarang." Orang-orang y ang mendengarkan keterangan itu
mengangguk-angguk. Karena itu, orang y ang bertubuh sedang,
yang memimpin seluruh kelompok itu kemudian berkata
"Baiklah. Kita akan mencoba. Tetapi apa y ang mula-mula
harus kita lakukan ?"
"Kita memasuki Padepokan ini. Kita sengaja datang untuk
membiarkan persoalan yang pernah terjadi. T etapi kita tidak
akan menuntut sama sekali. Kita justru akan minta maaf
karena sikap dan tingkah laku kita. Terutama kesan
perampokan yang terjadi."
Orang y ang bertubuh kekar itu menarik nafas dalam-dalam.
Sementara itu, orang yang kekurus-kurusan itu berkata
"Kaulah orangnya yang harus minta maaf atas kelakuanmu
bersama sekelompok orang pada waktu itu. Kemudian
persoalan ini akan diambil alih. Kita semuanya y ang akan
minta maaf dan kemudian m emberikan penjelasan, harapan
dan janji." Orang bertubuh kekar itu termangu-mangu. Namun orang
bertubuh sedang y ang memimpin sekelompok orang-orang
berkuda itu bertanya "Apa kau berkeberatan ?"
Orang bertubuh kekar itu berkata "Aku tidak mempunyai
pilihan lain. " "Tentu kau mempunyai pilihan lain " berkata pemimpin
sekelompok orang berkuda itu "jika kau tidak mau minta maaf,
maka kita akan melakukan rencana kita semula. Kita akan
mengambil kedua orang dari Padepokan Bajra Seta itu. Tetapi
sudah tentu kita tidak tahu apakah kita akan berhasil atau
tidak. Apakah kita m asing-masing masih akan dapat keluar.
Mungkin aku dan beberapa orang akan dapat melepaskan diri
jika kita terjepit. Tetapi orang-orang y ang hanya besar
mulutnya tidak akan dapat berbuat banyak. Mereka akan
dibantai oleh para cantrik di Padepokan Bajra Seta."
Orang bertubuh kekar itu termangu-mangu. Ia sadar,
bahwa ia bukan termasuk seorang y ang berilmu tinggi. Karena
itu, maka katanya "Aku akan minta maaf kepaa orang-orang
Bajra Seta." "Bagus" berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu
"jika demikian, m arilah. Kita m endekati gerbang Padepokan
Bajra Seta." Demikianlah, maka sekelompok orang -orang berkuda
itupun langsung menuju kepintu gerbang Padepokan Bajra
Seta. Dua orang yang bertugas dipanggung disebelah pintu
gerbang itu segera memberi isyarat kepada para cantrik yang
ada disebelah pintu gerbang itu.
Dengan cepat, cantrik y ang bertugas disebelah pintu
gerbang itupun telah m enyampaikan pesan itu kepada para
cantrik y ang bertugas digardu disebelah bangunan induk
Pa depokan Bajra Seta. Beberapa orang cantrikpun dengan cepat telah berlari
kepintu gerbang. Sebagian dari m ereka telah m emanjat naik
keatas panggung, sedangkan yang lain bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Dalam pada itu, Mahisa Murti, mPu Sidikara. dan
Mahendrapun terkejut mendengar laporan tentang
sekelompok orang-orang berkuda y ang datang itu. Karena itu,
maka merekapun segera pergi ke pintu gerbang dan naik
kepanggung. Orang-orang berkuda itu berhenti diluar pintu gerbang.
Orang y ang bertubuh sedang itupun telah mengangkat
tangannya agar para cantrik itu mengetahui bahwa
kedatangan mereka tidak berniat buruk dan bermusuhan.
Mahisa Murti yang sudah berada diatas panggung disebelah
pintu gerbang itupun segera bertanya "Siapakah kalian ?"
Orang yang bertubuh sedang itupun menjawab "Kami ingin
berbicara dengan orang Padepokan Bajra Seta yang pernah
bertemu dengan sekelompok kawan kami, namun agaknya
telah terjadi salah paham."
Kaki Tiga Menjangan 23 Jodoh Si Naga Langit Karya Kho Ping Hoo Harimau Mendekam Naga Sembunyi 2
^