Pencarian

Hijaunya Lembah Hijaunya 8

04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 8


telah melakukan pembunuhan. Sementara itu, jika berhasil,
merekapun akan membunuh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
disini. Untunglah bahwa hal itu tidak terjadi sehingga rencana
mereka untuk m embuat aku m enjadi sakit hati telah gagal.
Bahkan kalian y ang disini berhasil menangkap meskipun
hanya, beberapa orang. Diantara m ereka adalah orang-orang
yang terluka." "Mereka adalah perampok-perampok yang tidak m emiliki
bekal yang cukup untuk pekerjaan mereka," jawab Mahisa
Murti. " Itu adalah m ereka y ang nampak. Mereka yang telah
datang ke padepokan ini. Tetapi aku y akin bahwa di atas
mereka ada orang-orang y ang memang berilmu tinggi.
Merekalah yang tentu mengendalikan orang-orang yang
datang menyerbu itu dengan maksud y ang kurang kami
ketahui, selain balas dendam."
"Berhati -hatilah untuk seterusnya," berkata Mahisa
Bungalan. "Apalagi nampaknya mereka tidak terdiri dari
orang-orang yang lemah hati. Mereka tentu akan mengadukan
keadaan y ang m ereka alami disini kepada orang yang sangat
berpengaruh atas mereka. Apalagi yang datang bukan hanya
dari satu kelompok, tetapi beberapa kelompok. Jika ada
diantara mereka yang berguru kepada orang-orang berilmu
tinggi, maka mereka tentu akan berusaha memancing agar
guru-guru m ereka mau melibatkan diri kedalam perselisihan
ini." "Tetapi apakah mereka sangat berbahaya ?" bertanya
Mahisa Murti. "Mereka tentu lebih berbahaya dari orang-orang ini," jawab
Mahisa Bungalan. Namun katanya kemudian: "Tetapi
peristiwa ini juga memperingatkan aku untuk m eningkatkan
kesiagaan. Jika mereka benar-benar menjadi gila, maka
mungkin mereka akan langsung meny erang Sangling. Setidaktidaknya
mereka akan dapat membuat kekacauan di Sangling.
Kekalahan mereka di padepokan ini, tentu menumbuh
dendam dan kebencian kepada kita semuanya. Bagi orangorang
y ang utuh kesadarannya tentu akan melihat apa yang
telah terjadi atas diri mereka dan kawan-kawan mereka.
Tetapi bagi orang y ang tidak berkesempatan menilai dirinya
sendiri, tentu akan berpikiran lain. Mereka tentu hanya
dibayangi oleh dendam dan kebencian semata-mata, sehingga
dengan demikian maka langkah-langkah yang mereka ambil
pun sama buramnya dengan jiwa mereka sendiri."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka pun memang sudah berpikir, orang-orang yang
mereka kalahkan itu mempunyai dua pilihan. Jera atau
bahkan malahan semakin mendendam sehingga mendorong
mereka mengambil langkah-langkah baru y ang tentu akan
menjadi lebih keras dan barangkali lebih kasar dari yang
pernah mereka lakukan. Namun baik Mahisa Bungalan, maupun adiknya
berkesimpulan bahwa mereka harus menjadi semakin berhatihati
dan mempertimbangkan segala kemungkinan y ang dapat
terjadi. Sementara itu, selagi Mahisa Bungalan m asih ada waktu,
maka bersama-sama dengan ay ahnya, mereka ingin melihat
perkembangan ilmu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
" Ilmu kami?" Mahisa Murti memang merasa heran. Mereka
merasa dirinya seperti kanak-kanak y ang sedang berusaha
untuk menyadap ilmu sebagaimana dilakukan oleh Mahisa
Amping, sehingga kakaknya ingin melihat tingkat kemampuan
ilmunya itu. Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang telah sanggup
mendirikan satu perguruan yang diberinya nama Bajra Seta itu
tidak dapat mengelak ketika kakaknya mempersilahkan
mereka untuk pergi ke sanggar.
Dengan kelengkapan yang dimilikinya, maka Mahisa Murti
dan Mahisa Pukatpun telah mempersiapkan diri sebaikbaiknya.
Keduanya telah membawa sepasang pedang. Yang satu ada
pada Mahisa Murti sedang y ang lain ada pada Mahisa Pukat.
Mahisa Bungalan terkejut, melihat sepa sang pedang itu.
Selama ini ia berada di padepokan itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat tidak pernah membawanya keluar dari bilik
mereka, apalagi dengan sengaja menunjukkan kepada Mahisa
Bungalan. "Dari mana kau dapatkan senjata kalian itu?" bertanya
Mahisa Bungalan. Dengan singkat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menceriterakan asal-usul pedang itu. Juga beberapa kali
mereka harus bertempur mempertahankannya. Beberapa
orang y ang berilmu telah menginginkan sepasang pedang yang
disebut oleh pembuatnya sebagai sepa sang keri s itu.
"Apakah aku boleh melihat daun pedangmu?" bertanya
Mahisa Bungalan. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
berkeberatan. Keduanya telah mencabut senjata mereka dari
sarungnya. "Luar biasa," desis Mahisa Bungalan, "sepasang senjata itu
memang luar biasa. Tentu banyak orang y ang telah
menginginkannya. Syukurlah jika kalian berdua sempat
mempertahankannya." "Beberapa kali kami mengalami kesulitan. Tetapi Yang
Maha Agung ternyata masih melindungi kami berdua," desis
Mahisa Murti. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk kecil. Katanya: "Jika
demikian, aku telah dapat menduga tingkat kemampuan
kalian. Rasa-rasanya aku tidak perlu m elihatnya lagi, karena
yang dapat kau tunjukkan di dalam sanggar tentu hanya
sebagian kecil dari kemampuan kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun Mahisa Bungalan ternyata masih bertanya
kepada ayahnya: "Tetapi mungkin ayah berpendirian lain?"
Mahendra m enggeleng. Katanya: "Tidak. Aku juga sudah
yakin akan tingkat kemampuannya. Ia telah ditempa oleh
pengembaraannya y ang panjang. Selain beberapa orang
sempat mendapat pertolongannya, karena kedua adikmu itu
telah menjalani laku Tapa Ngrame, maka pengalaman yang
dipetikny a cukup berharga bagi bekal hidupnya kemudian."
Ternyata bahwa Mahisa Bungalan telah membatalkan
keinginannya untuk melihat kemampuan kedua adiknya
didalam sanggar. Kedua pusaka y ang mampu
dipertahankannya itu telah memberikan gambaran kepadanya,
bahwa kedua adiknya m emang telah m encapai satu tataran
ilmu y ang tinggi. Keduanya memang pantas untuk memimpin
sebuah padepokan sekaligus sebuah perguruan y ang diberinya
nama Bajra Seta. Sebenarnyalah bahwa Mahisa Bungalan masih merasa
cemas jika pada suatu saat ayahnya menjadi semakin tua dan
tidak mampu lagi membantu kedua adiknya memimpin
padepokan y ang telah mereka dirikan itu. Selama itu, ayahnya
masih dapat berbuat banyak bagi kepentingan padepokan dan
perguruan Bajra Seta. Namun ayahnya tentu tidak akan dapat
seterusnya membayangi kepemimpinan kedua adiknya,
sehingga kedua adiknya itu pada suatu saat harus dapat
berdiri sendiri tanpa ayahnya.
Namun ternyata bahwa kedua adiknya telah memiliki
kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi, sehingga ia tidak lagi
perlu merasa cemas akan masa depan padepokan itu.
Sebenarnyalah sebuah Perguruan dengan padepokan bagi
Mahisa Bungalan bukanlah barang mainan. Kedua adiknya
harus bertanggung jawab atas padepokan y ang telah
didirikannya. Apalagi Mahisa Bungalan melihat, bahwa di
padepokan itu terdapat cantrik yang cukup banyak. Juga anakanak
muda y ang tidak dengan sepenuhnya menjadi penghuni
padepokan itu. Mereka semata-mata berniat untuk menyadap
berbagai macam ilmu yang akan dapat mereka pergunakan
untuk membuat padukuhan mereka masing-masing menjadi
lebih baik. Hari itu Mahisa Bungalan sempat beristirahat sepenuhnya.
Yang dilakukannya sekedar melihat Mahisa Amping dan
Mahisa Semu b erlatih dibawah bimbingan Mahendra sendiri.
Ternyata Mahisa Bungalan menjadi kagum m elihat anak itu
menguasai unsur-unsur gerak y ang sudah menjadi semakin
rumit. Bahkan tenaga anak itu sudah jauh lebih besar dari
tenaga anak-anak sebayanya. Bahkan Mahisa Amping telah
dapat melakukan tata gerak yang sulit dimengerti
dibandingkan dengan tingkat umurnya.
Dengan berbisik Mahisa Bungalan telah bertanya kepada
ay ahnya: "Apakah ayah sudah menilik akibat dari latihanlatihan
y ang terlalu berat itu?"
"Aku selalu mengikuti perkembangan pribadiny a, tubuh
dan peredaran darahnya. Aku juga selalu menilik bagian
dalam tubuhnya yang masih kecil itu. Tetapi menurut
penilaianku, tidak ada akibat y ang buruk y ang terjadi atas
anak itu selama ia mengikuti latihan-latihan yang berat.
Demikian pula Mahisa Semu. Keduanya akan disiapkan
menjadi orang-orang y ang m emiliki kelebihan di padepokan
ini beberapa tahun lagi, sehingga padepokan ini tidak sekedar
tergantung kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat," jawab
Mahendra. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Tetapi apa y ang
dikatakan oleh ayahnya itu tentu juga berlaku bagi Pakuwon
Sangling. Ia harus dapat membentuk kekuatan yang
dipersiapkan bagi masa depan Pakuwonnya.
Tetapi bagi Mahisa Bungalan, masa depan Sangling akan
berada di tangan keturunannya. S ekali ia berhasil m emasuki
satu mata rantai y ang pernah terputus, maka ia akan menjadi
ujung dari serangkaian mata rantai bagi masa mendatang.
"Aku harus mempersiapkan k eturunanku untuk menerima
warisan, bukan saja kedudukan, tetapi juga tanggung jawab.
Keseimbangan antara hak dan kewajibannya," berkata Mahisa
Bungalan di dalam hatinya.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang
belum dapat berbicara tentang keturunan karena mereka
masih belum beristeri. Tiba-tiba saja Mahisa Bungalan ingin berbicara dengan
ay ahnya tentang hari depan kedua adiknya. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pada suatu saat tentu akan melangsungkan
pernikahannya. Tetapi Mahisa Bungalan masih menunda pertanyaannya. Ia
masih melihat bagaimana Mahisa Amping berlatih. Ketika
anak itu sampai pada puncak kemampuannya, maka Mahisa
Bungalan benar-benar menjadi heran. Anak itu mampu
menunjukkan dasar ilmu yang kokoh dari ilmu yang
dikembangkan oleh perguruan Bajra Seta.
"Aku mengenal sebagian dari unsur gerak dari ilmu y ang
mendasari ilmu anak itu. Tetapi dasar-dasar ilmu itu Sudah
berkembang dan nampak beberapa unsur y ang sama sekali
baru dan asing bagiku," berkata Mahisa Bungalan kepada
ay ahnya. "Kedua adikmu telah menyusun satu rangkaian ilmu dari
yang paling dasar, sampai pada tataran pertama yang
memberikan warna tersendiri. Tetapi seperti kau katakan, kau
tentu mengenal beberapa unsur gerak daripadanya, karena
ilmu itu memang bersumber utama dari ilmu yang dikuasai
oleh kedua adikmu saat ia mulai belajar olah kanuragan,"
jawab ay ahnya. "Tetapi apakah dengan demikian kemampuan susunan
gerak dasar yang baru itu sudah cukup teruji?" bertanya
Mahisa Bungalan pula. "Sudah," jawab Mahendra, "dalam pengembaraan, kedua
adikmu sempat mengenyam satu susunan ilmu sebagaimana
kau lihat pada anak itu. Memang segala sesuatunya masih
dalam tingkat mula. Tetapi kedua adikmu dan aku telah
mengadakan beberapa penilikan khusus. l lmu itu sesuai bagi
anak itu. Bahkan bagi dua orang yang datang bersama kedua
adikmu itu. Di padepokan ini, segala sesuatunya baru sempat
dipelajari di sanggar dengan memperhatikan segala macam
akibatnya." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya:
"Syukurlah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
sekedar melakukan sesuatu y ang menurut pikirannya baru
tanpa menilai pikiran barunya itu."
"Akulah yang lebih banyak m enangani anak itu," berkata
Mahendra, "tetapi menurut pendapatku, apa y ang dipelajari
anak itu tidak akan menimbulkan akibat buruk atasnya. Anak
itu bukan sekedar hadir disini sebagai bahan percobaan.
Tetapi apa y ang baru itu benar-benar sudah diperhitungkan."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Namun dari
kemampuan anak itu terbersit satu y ang cerah bagi susunan
ilmu perguruan Bajra Seta itu.
Dalam pada itu, Mahisa Semu juga m ampu m enunjukkan
kelebihannya. Dengan landasan ilmu y ang disadapny a dari
Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang seakan-akan
sedang menyusun satu pola susunan dan tataran ilmu bagi
perguruan Bajra Seta. "Aku mengucapkan selamat ayah," berkata Akuwu
Sangling. Mahendra tersenyum. Katanya: "Jika kelak terbukti, bahwa
kedua anak itu benar-benar m emiliki kemampuan lebih dari
yang lain dengan landasan ilmu perguruan Bajra Seta, maka
kau dapat memanfaatkannya bagi Pakuwon Sangling."
"Ya ayah," jawab Mahisa Bungalan, seorang y ang memiliki
sumber ilmu bukan saja dari Mahendra, tetapi juga dari
Mahisa Agni bahkan sampai ke inti ilmu Gundala Sasra.
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan pun kemudian
percaya, bahwa hari-hari y ang semakin buram bagi Mahendra
yang tua itu, tidak akan berpengaruh atas perguruan Bajra
Seta. Kedua adiknya, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, benarbenar
telah m emiliki bekal y ang cukup untuk berdiri sendiri.
Apalagi di hari-hari tuanya, Mahendra masih sempat bersamasama
dengan kedua adiknya itu menyusun satu pola bagi bagi
perguruan y ang didirikan.
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak sekedar menuruti
kemauannya saja dengan mendirikan perguruan ini," berkata
Mahisa Bungalan di hatinya, "ia benar-benar telah
mempersiapkan segala sesuatunya sehingga perguruan ini
benar-benar dapat disebut sebagai satu perguruan."
Pa da hari berikutnya, maka Mahisa Bungalan telah
menentukan untuk membawa beberapa orang tawanan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terpenting diantara orang-orang y ang mendendamnya itu.
Yang lain, Mahisa Bungalan menganjurkan agar dilepaskan
sa ja meskipun dengan ancaman-ancaman y ang keras jika
mereka masih juga melakukan lagi kejahatan, meskipun
kemungkinan untuk itu tipis sekali. "Tetapi orang-orang yang
berbahaya diantara mereka akan aku bawa ke Sangling.
Terpaksa dengan tangan terikat. Aku tidak m au kehilangan
mereka di perjalanan karena dengan demikian akibatnya akan
menjadi buruk sekali."
Ketika segala sesuatunya telah disiapkan, maka Mahisa
Bungalan pun telah siap pula untuk meninggalkan padepokan
itu. Esok pagi-pagi sebelum matahari terbit, ia akan berangkat
bersama para pengawalnya kembali ke Sangling sambil
membawa beberapa orang perampok y ang tertawan.
Malam ini, Mahisa Bungalan masih berkesempatan untuk
berbincang-bincang dengan ayah dan adik-adiknya. Tetapi
sebelum malam larut, Mahendra telah berkata:
"Beristirahatlah. Besok kau akan menempuh perjalanan."
Mahisa Bungalan memang memasuki bilikny a dan
berbaring di pembaringan. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat justru melangkah mengelilingi padepokannya.
Di depan bilik Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping,
keduanya berhenti dan perlahan-lahan mengetuk pintu bilik
itu. Ternyata yang ada di dalam bilik itu masih belum tidur.
Karena itu, m aka sejenak kemudian telah terdengar langkah
kaki menuju ke pintu. "Marilah," Wantilanlah yang telah membuka pintunya,
"masuklah." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah duduk di dalam
ruangan yang tidak terlalu luas itu.
Memang tidak ada persoalan khusus yang akan mereka
bicarakan. Tiba-tiba saja Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berbincang-bincang tentang apa saja dengan Wantilan, Mahisa
Semu dan Mahisa Am ping. Namun dalam pada itu, ternyata Mahisa Bungalan telah
keluar dari biliknya. la memang m enunggu.satu kesempatan
untuk berbicara dengan Mahendra tanpa Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat. "Kenapa kau belum juga beristirahat?" bertanya ayahnya.
"Aku ingin berbicara dengan ay ah tentang Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat," jawab Mahisa Bungalan.
"Apa yang penting kau bicarakan?" bertanya ayahnya.
"Ayah," desis Mahisa Bungalan, "kedua adikku telah
dewasa. Bahkan lewat dewasa. Apakah menurut pertimbangan
ay ah, keduanya tidak sepantasnya segera menikah?"
"Ah," desah ayahnya, "itu lagikah y ang ingin kau
bicarakan?" "Nampaknya keduanya tidak akan dapat mencari jodoh
mereka sendiri. Keduanya sangat mementingkan kehidupan
yang khusus berhubungan dengan olah kanuragan. Keduanya
tiba -tiba saja telah terikat oleh sebuah padepokan dan
perguruan," desis Mahisa Bungalan kemudian.
"Jadi bagaimana menurut pendapatmu"," bertanya
ay ahnya. "Jika ayah mengijinkan, aku ingin mempertemukan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat dengan gadis-gadis y ang pantas
untuk mereka jadikan isteri -isteri mereka," jawab Mahisa
Bungalan. "Apakah itu perlu"," ayahnya justru bertanya, "dahulu, aku
tidak pernah mempertemukan kau dengan gadis yang
manapun. Namun akhirnya kau juga mendapatkan seorang
isteri." "Tetapi persoalannya jadi berbeda ay ah," jawab Mahisa
Bungalan. "Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
memikirkan diri mereka sendiri. Mereka tidak sempat
memperhatikan kecantikan dan kelembutan seorang
perempuan. Mereka setiap hari berhubungan dengan sanggar,
senjata dan orang-orang yang memerlukan bantuannya. Tanpa
dor ongan dari orang lain, maka keduanya akan kehilangan
gairah untuk menempuh kehidupan y ang sewajarnya."
"Atau katakan saja keduanya belum menginginkannya. Jika
saat itu sudah datang, maka keduanya akan dengan sendirinya
memperhatikan seorang perempuan. Kami, di padepokan ini
bukannya terpisah mutlak dengan dunia di sekitar kita. Anakanak
padukuhan banyak y ang ada di padepokan ini tanpa
terikat untuk menjadi cantrik disini. Pada saat yang lain,
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat juga sering pergi ke
padukuhan-padukuhan itu untuk bermacam-macam
keperluan, karena padepokan ini belum dapat mencukupi
segala macam kebutuhannya. Dari keperluan sehari-hari yang
paling sederhana sampai y ang paling rumit, padepokan ini
masih banyak y ang belum dapat memenuhinya, meskipun kita
sudah berusaha. Karena itu, maka hubungan antara
padepokan ini dengan padukuhan-padukuhan di sekitarnya
dapat berkembang dengan baik."
"Tetapi hubungan antara Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dengan orang-orang padepokan itu masih dalam rangka
peningkatan ilmunya. Bukan, maksudku bukan itu, Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat tidak boleh tenggelam dalam ilmu
bercocok tanam, ilmu perbintangan, sejarah dan tugasnya
yang lain -lain lagi. Mereka tidak boleh berpikir t erus tentang
kehidupan m asa mendatang. Bagaimana bentuknya, ujudnya
dan segala macam persoalan yang dapat timbul. Tetapi mereka
juga harus hidup wajar seperti orang lain. Anak-anak muda
yang sebay a dengan mereka, telah dikurniai beberapa orang
anak," berkata Mahisa Bungalan.
"Mahisa Bungalan," berkata Mahendra kemudian, "baiklah.
Aku sependapat. Tetapi sudah tentu mereka akan dapat
memutuskan mana yang terbaik bagi diriny a sendiri. Aku
tidak dapat menjanjikan apa-apa."
Mahisa Bungalan hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Namun didalam hati ia masih m engharap bahwa masih akan
ada pembicaraan lagi. Namun m ereka ayahnya telah berkata:
"Beristirahatlah."
Mahisa Bunglan menarik nafas panjang. Ia mengerti
maksud ayahnya. Sebagaimana ayahnya ber sikap kepadanya,
maka agaknya demikian pula sikapnya kepada Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Namun demikian, Mahisa Bungalan itu masih berkata:
"Ayah. Aku adalah Akuwu di Sangling. Aku kira aku akan
dapat membantu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat jika mereka
benar-benar ingin memasuki satu dunia y ang lebih lengkap.
Perkawinan." "Tetapi ingat Mahisa Bungalan. Keduanya hidup di sebuah
padepokan seperti ini. Keduanya bukan orang yang hidup di
satu lingkungan y ang ramai sebagaimana Sangling. Jika
keduanya berhubungan dengan gadis-gadis y ang terbia sa
hidup dalam lingkungan yang ramai, maka padepokan seperti
ini akan menjadi dunia y ang mengungkungnya dalam kesepian
dan keterasingan. Kau tentu dapat m elihat perbedaan yang
sangat jauh dari kehidupan di Sangling dan kehidupan di
padepokan ini," jawab Mahendra.
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-angguk ia berkata: "Aku mengerti ay ah. Tetapi
apakah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat benar-benar akan
menghabiskan seluruh umurnya di padepokan ini" Apakah
mereka tidak pernah m emikirkan kemungkinan untuk hidup
di tempat y ang lebih balk lagi" Di Sangling keduanya tentu
akan dihormati. Mereka akan m endapat tempat yang mapan.
Bahkan jika mereka menghendaki di Lemah Warah pun
mereka akan dapat mendapat kedudukan yang pantas.
Sedangkan apa y ang mereka dapatkan di padepokan ini?"
"Apakah menurut pendapatmu, kedudukan mereka di
padepokan ini kurang pantas"," justru Mahendralah yang
bertanya. "Menurut pendapatku ayah," jawab Mahisa Bungalan,
"Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan dapat memberikan arti
yang lebih besar dan hidup mereka jika mereka berada di
tempat y ang lebih ramai dari tempat ini. Tempat yang lebih
banyak dihuni orang. Hubungan yang lebih luas serta
persoalan-persoalan y ang lebih y ang menyangkut segi-segi
kehidupan yang lebih berharga bagi sesama."
"Jangan salah menafsirkan sikap kedua adikmu Mahisa
Bungalan. Kedua adikmu disini pun dapat memberikan arti
dari hidupnya, bahkan lebih besar dari di tempat-tempat yang
ramai. Di t empat-tempat y ang ramai itu telah banyak orangorang
y ang dapat memberikan isi dari putaran kehidupan.
Tetapi disini tidak. Jarang sekali orang-orang y ang dapat
mendorong untuk meningkatkan tataran kehidupan dari
orang-orang padukuhan. Jika tidak ada orang-orang yang rela
menyerahkan pengabdian seperti kedua orang adikmu, maka
tataran kehidupan di padukuhan-padukuhan itu tidak akan
berubah, atau katakan, perubahan itu akan datang sangat
lambat." Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. la mengerti
sepenuhnya keterangan ayahnya. Namun rasa-rasanya ia
masih juga berharap bahwa adiknya tidak terbenam dalam
kehidupan yang terasa sempit itu. Dunia terasa tidak lagi
sampai ke cakrawala. Tetapi terbatas pada dinding dinding
padepokan itu saja. Namun sekali lagi Mahendra berkata: "Sudahlah Mahisa
Bungalan, beristirahatlah. Bagaimanapun juga, aku besok
akan berbicara dengan kedua adikmu. Aku tahu, bahwa kau
sendiri tidak dapat mengatakannya kepada keduanya karena
kau tidak ingin terjadi salah paham. Tetapi aku y ang mengerti
perasaanmu tetapi juga mengerti perasaan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat akan mencoba untuk m encari titik -titik temu
dari pendapatmu itu dengan sikap kedua adikmu."
"Sekarang, tidurlah. Adikmu tentu masih melihat-lihat
padepokan ini sebagaimana sering dilakukannya pada malam
hari," berkata ayahnya kemudian.
Mahisa Bungalan pun kemudian kembali ke biliknya
sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memasuki bangunan
induk itu. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
berada di bilik Wantilan, Mahisa Semu dan Mahisa Amping.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mencoba untuk memancing
tanggapan mereka terhadap ayah mereka, Mahendra yang
telah membimbing terutama Mahisa Amping dan Mahisa
Semu, justru lebih banyak dari Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. "Kami merasa sangat berterima kasih," jawab Mahisa
Semu. "Aku dahulu juga mulai sebagaimana kalian mulai," berkata
Mahisa Murti. "Aku berharap bahwa aku dan Amping tidak
mengecewakannya," berkata Mahisa Semu pula.
"Tentu tidak," jawab Mahisa Pukat, "ayah menganggap
kalian telah berbuat sebaik-baiknya. Ayah berharap bahwa
dalam waktu yang direncanakan, kalian telah memasuki
tataran-tataran y ang t elah disusunnya. Namun agaknya ay ah
tidak akan kecewa karena sampai saat ini, kalian telah
menunjukkan kemampuan kalian mengikuti rencana ay ah
itu." Keduanya mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Murti
bertanya kepada Wantilan: "Bagaimana dengan paman
Wantilan?" "Aku telah m endapatkan jauh lebih banyak dari y ang aku
harapkan saat aku m inta untuk pergi bersama kalian," jawab
Wantilan. Mahisa Murti tersenyum. Katanya: "Mudah-mudahan
paman akan mendapat lebih banyak lagi di tempat ini."
"Aku y akin akan hal itu," jawab Wantilan.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka sempat berbicara untuk beberapa lama sebelum
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat meninggalkan bilik mereka.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sampai ke
bangunan induk, maka baik Mahendra, maupun Mahisa
Bungalan telah tidak ada di ruang dalam. Mereka telah berada
di bilik masing-masing. Dua orang cantrik y ang duduk di
pendapa mengatakan, bahwa bangunan induk itu memang
sudah menjadi sepi. "Kalian bertugas disini?" bertanya Mahisa Murti.
"Ya," jawab salah seorang dari kedua cantrik itu, "sampai
menjelang dini." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Menj elang dini kedua orang cantrik itu akan digantikan oleh
dua orang cantrik yang lain, sehingga kedua orang itu akan
sempat beristirahat menjelang pagi hari.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sendiri pun kemudian
telah bersiap-siap untuk beristirahat pula. Namun keduanya
masih sempat pergi untuk m elihat para tawanan y ang telah
dipersiapkan untuk dibawa oleh Mahisa Bungalan esok pagi.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
ingin mengganggu mereka sehingga karena itu, maka ia tidak
segera mendekat. Dari jarak y ang agak jauh keduanya melihat bangunan y ang
dipergunakan untuk menawan mereka adalah bangunan yang
kokoh. Sementara itu, beberapa orang pengawal berada di
depan bangunan itu. Bukan sekedar para cantrik, tetapi
diantara mereka terdapat tiga orang prajurit pengawal Mahisa
Bungalan. Namun ternyata mereka telah menjadi lengah. Para
tawanan yang menyadari bahwa esok m ereka akan dibawa ke
Sangling, maka mereka telah berusaha untuk berbuat sesuatu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang berada di sela-sela
pohon perdu di longkangan dua barak y ang berdekatan tidak
terlalu jauh dari bangunan y ang dipergunakan untuk
menawan para penjahat y ang akan dibawa ke Sangling itu
tiba -tiba saja melihat atap bangunan itu bergerak-gerak.
Meskipun malam menjadi gelap, tetapi karena Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat sudah lama berada di kegelapan, serta
kemampuan pandang mereka y ang sangat tajam, maka
mereka pun telah melihat atas di bagian belakang barak itu
bergerak-gerak. Mahisa Murti yang melihat sebuah kepala tersembul dari
antara atap ijuk dari bangunan itu, t elah m enggamit Mahisa
Pukat y ang sedang memperhatikannya juga.
Namun kemudian Mahisa Murti itu berbisik, "Kau pergi ke


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebelah longkangan itu. Kita harus menjaga dari beberapa
arah agar mereka tidak lari ke luar."
"Aku beritahukan kakang Mahisa Bungalan," desis Mahisa
Pukat. "Tidak ada waktu lagi," jawab Mahisa Murti.
Mahisa Pukat tidak membantah. lapun kemudian telah
menyusup diantara gerumbul-gerumbul perdu, untuk
mengambil arah yang lain dari Mahisa Murti.
Namun keduanya juga tidak sempat memberi isyarat
apapun kepada para cantrik dan prajurit Sangling y ang berada
di depan barak itu sambil minum-minuman hangat dan
berkelakar untuk m enjaga agar mereka tidak menjadi kantuk.
Namun mereka sama sekali tidak mengira bahwa para
tawanan itu sempat m enemukan kelemahan dari barak yang
kokoh kuat itu. Yaitu pada atapnya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang mengamati barak itu
dari tempat yang berbeda telah melihat seorang diantara
mereka telah keluar dan dengan sangat berhati-hati m erayap
di atas atap. Sejenak kemudian seorang kawannya telah
merayap pula keluar dari atap itu.
Mahisa Murti menjadi cemas, bahwa jika mereka semuanya
yang ada di dalam barak itu m erangkak keluar, maka berdua
dengan Mahisa Pukat, ia akan mengalami kesulitan untuk
menangkap mereka. Kecuali membunuh mereka dari jarak
jauh tanpa ampun. Namun jika hal itu dilakukan, maka
keinginan kakaknya untuk menyadap keterangan dari m ereka
akan menjadi urung. Karena itu, maka sebelum orang-orang y ang tertawan itu
berlari-larian ke sana kemari dan bahkan mungkin ada
diantara mereka yang sempat meloncat keluar dinding
padepokan, maka Mahisa Murti telah m enempuh jalan yang
lebih baik. Karena itu, maka iapun telah m erangkak ke sudut
barak tersebut. Dengan serta merta Mahisa Murti telah m emukul sebuah
kentongan kecil untuk memberi isy arat kepada setiap orang
yang bertugas agar berhati-hati. Untuk tidak mengejutkan
para catrik yang tertidur lelap, m aka bunyi kentongan itupun
justru dengan nada dara muluk namun patah di tengah. Irama
itu diulang sampai beberapa kali.
Para petugas dan para prajurit Sangling yang ada di
bangunan y ang kokoh itupun mendengar suara kentongan
yang aneh itu. Namun dengan demikian, mereka seakan-akan
telah diperingatkan alas tugas-tugasnya.
"Kita meronda," berkata salah seorang dari prajurit itu. Tiga
orang prajurit Sangling itupun telah memberitahukan kepada
para cantrik, bahwa mereka akan meronda.
"Aku ingin mendapatkan sumber suara kentongan kecil
itu." "Dekat. Nampaknya dari barak di sebelah," jawab seorang
dari para cantrik y ang bertugas itu.
Kentongan kecil itu memang tidak dipukul terlalu keras.
Suaranya tidak mengumandang di seluruh padepokan. Namun
terdengar dari barak tempat para tawanan itu melarikan diri.
Dalam pada itu, para tawanan yang mendengar suara
kentongan itupun terkejut. Iramanya yang aneh memang
sangat meragukan. Kesannya seperti anak-anak yang sedang
bermain-main. Namun bagaimanapun juga, mereka merasa bahwa ada
orang y ang telah melihat Mereka keluar dari atap barak itu.
Dengan demikian, maka orang-orang yang telah keluar dari
atap barak tawanan itupun dengan cepat berusaha untuk
meloncat turun. Namun Mahisa Pukat ternyata bergerak cepat pula. Ia
sudah menunggu jika ada diantara mereka yang meloncat dari
atap. Sementara itu, para cantrik dan prajurit Sangling yang ada
dibagian depan barak itu telah mulai bergerak. Dua orang
kesebelah kiri dan dua orang kesebelah kanan.
Mahisa Murtilah y ang kemudian mendekati dua orang y ang
bergerak ke kiri itu, sehingga kedua orang itu terkejut. Dengan
serta merta keduanya telah merundukkan t ombaknya ke arah
dada Mahisa Murti. Namun Mahisa Murti dengan cepat berkata: "Cepat. Pergi
kc belakang barak. Beberapa orang telah keluar dari atap.
Jangan timbulkan keributan agar tidak membuat padepokan
ini menjadi gempar."
Kedua orang itu terkejut. Dengan serta merta m erekapun
berlari ke belakang barak. Mereka dengan segera memandangi
atap barak itu untuk mencari orang yang dikatakan oleh
Mahisa Murti. "Disini," tiba -tiba mereka mendengar suara. Ternyata
Mahisa Pukat telah siap di tempat y ang lebih dekat lagi dari
barak para tawanan itu. Untuk beberapa saat para tawanan yang ada di atas atap itu
menjadi bingung. Sementara itu, Mahisa Murti telah
membuka pintu barak dan bersama beberapa orang telah
memasuki barak itu. Beberapa orang memang telah bersiap-siap untuk
memanjat. Tetapi kehadiran para cantrik dan prajurit
bersenjata itu telah mengejutkan mereka.
Ada diantara m ereka yang telah bersiap untuk melawan.
Namun Ujung-ujung tombak para cantrik dan prajurit telah
mengurungkan niat mereka.
Yang sudah terlanjur keluar dari atap ternyata semuanya
enam orang. Semuanya adalah mereka y ang dipersiapkan
untuk dibawa ke Sangling esok pagi.
Namun dalam pada itu, tanpa menimbulkan keributan di
seluruh padepokan, maka beberapa orang cantrik yang lain
telah bergerak mengepung barak itu. Seorang cantrik telah
memberitahukan kepada para cantrik y ang sedang bertugas di
regol agar m ereka menjadi berhati-hati dan m engajak empat
orang diantara mereka untuk membantu menangkap orangorang
y ang telah melarikan diri.
Memang tidak terdengar isyarat apapun. Kentongan kecil
Mahisa Murti tidak membangunkan para cantrik dan prajurit
yang telah tertidur. Mereka yang sedang terbangun pun tidak
begitu menanggapi suara kentongan yang tidak memberikan
isy arat apa-apa. Bahkan seorang cantrik telah bergeramang:
"Siapa y ang bermain-main dengan kentongan malam-malam
begini?" Tetapi cantrik itupun segera telah tertidur lagi.
Dengan demikian, m aka seluruhnya ada lima belas orang
cantrik dan prajurit y ang ada di sekitar barak itu. Empat orang
diantara mereka bersama dengan Mahisa Murti tengah
mengikat para tawanan y ang masih ada didalam barak. Selain
mereka yang akan dibawa oleh Mahisa Bungalan, m aka para
tawanan y ang dianggap berbahaya oleh Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat dan tidak akan dilepaskan bersama-sama
tawanan yang lain, ada pula didalam barak itu.
Sementara itu, sebelas orang cantrik y ang lain bersama
Mahisa Pukat telah mengepung barak itu. Tetapi sebagian
besar dari antara para cantrik itu memang berada dibagian
belakang dari barak y ang telah dikoy akkan atapnya itu.
"Meny erahlah," perintah Mahisa Pukat, "kami masih
bersabar dan berusaha untuk tidak membangunkan seisi
padepokan ini. Jika mereka terbangun, maka para cantrik dan
prajurit Sangling y ang marah itu akan berbuat apa saja untuk
menumpahkan kemarahan mereka atas kalian."
Enam orang yang telah berada diluar barak lewat atap itu
termangu-mangu. Mereka tidak dapat memandang jelas ke
arah longkangan di sekitar barak itu. Halaman y ang agak luas
di sebelah barak itu ditumbuhi pohon-pohon perdu yang
membuat halaman itu menjadi tidak jelas.
Keenam tawanan itu kemudian menyadari, bahwa mereka
tidak mengenal medan itu dengan baik, sehingga mereka akan
dapat menjadi bingung. Jika mereka nekat melompat turun,
maka mereka tentu akan diburu seperti orang memburu tupai.
Beberapa saat orang-orang itu masih termangu-mangu.
Sementara mereka mendengar bahwa barak itupun telah
dibuka dan beberapa orang cantrik atati prajurit telah masuk
ke dalamnya. Sementara itu, Mahisa Pukat telah sekali lagi berkata
kepada orang-orang y ang ada di atas atap: "Meny erahlah
sebelum keadaan berubah."
Keenam orang y ang berhasil keluar dari barak dan
bertengger di atas atap itu memang tidak mempunyai pilihan.
Jika m ereka tidak mau m engerti akan keadaan yang m ereka
hadapi, maka m ereka benar -benar akan dibinasakan dengan
cara yang sangat pahit. Karena itu, maka seorang diantara mereka, mewakili
kawan-kawannya berkata: "Baiklah. Kami menyerah."
"Meloncatlah," berkata Mahisa Pukat kemudian.
Orang-orang itu m emang ragu-ragu untuk meloncat dari
atap. Namun Mahisa Pukat telah membentak: "Meloncatlah.
Atau barak itu akan kami bakar sehingga kalian akan ikut
menjadi abu." Betapapun mereka ragu-ragu, namun mereka memang
harus meloncat ketika dua orang cantrik y ang berdiri di
sebelah meny ebelah Mahisa Pukat dengan sengaja
menunjukkan busur dan anak panah.
Bagaimanapun juga Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berusaha untuk tidak membangunkan para cantrik yang tidak
bertugas, namun ternyata satu dua orang telah mendengar
keributan itu. Meskipun suara keributan itu kemudian terdiam
dan tidak lagi berkelanjutan, tetapi beberapa orang cantrik
telah keluar dari barak mereka.
Akhirnya, berita tentang orang-orang y ang akan melarikan
diri itupun segera tersebar. Beberapa orang cantrik tertua
telah tergesa -gesa pergi ke barak para tawanan. Mahendra
yang kemudian juga terbangun, bersama Mahisa Bungalan
telah pergi ke barak itu juga.
Namun pada saat yang demikian, pada saat padepokan itu
bagaikan terbangun, keenam orang itu telah berada di dalam
barak itu sebagaimana semula.
Meskipun demikian, para cantrik dan prajurit y ang
bertugas ketika ditanya oleh Mahisa Bungalan, tidak dapat
ingkar lagi. Terutama para prajurit. Mereka menunduk dalamdalam
saat mata Mahisa Bungalan bagaikan memancarkan
api. Pemimpin prajurit y ang bertugas berjaga-jaga itupun
segera diminta memberikan laporan.
"Kalian tahu apa jadiny a jika tidak ada kedua adikku itu?"
bertanya Mahisa Bungalan.
Namun Mahisa Bungalan masih m enahan diri untuk tidak
memberikan hukuman kepada prajurit y ang menjadi lengah
dan tidak mengetahui bahwa enam orang tawanan mereka
telah lobs. Dalam pada itu, maka akibat dari usaha keenam orang itu
untuk. lari, maka para tawanan pun telah diikat pula kaki dan
tangannya. Sedangkan y ang telah berhasil keluar lewat lubang
yang dibuat di atap itu, telah diikat kaki dan tangannya yang
kemudian diikat pula pada tiang.
"Kalian jangan mencoba sekali lagi," berkata Mahisa
Bungalan, "kalian sebaiknya mengucapkan sy ukur bahwa
kalian jatuh ke tangan kedua orang adikku. Jika kalian jatuh
ke tangan para prajurit di Sangling, maka keadaan kalian tentu
akan berbeda." Keenam orang y ang berusaha untuk melarikan diri itu tidak
menjawab. Namun Mahisa Bungalan berkat selanjutnya: "Aku
besok hanya akan membawa enam orang itu saja. Mereka
pantas untuk ditempatkan di tempat y ang paling keras, karena
mereka telah berusaha untuk melarikan diri."
Keenam orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang
kawannya yang m enurut rencana di keesokan harinya akan
dibawa pula ke Sangling ternyata telah dibatalkan, karena
orang itu tidak berniat untuk melarikan diri, meskipun
kemungkinan lain dapat terjadi.
Sejak saat itu, ternyata padepokan itu tidak tertidur lagi.
Para cantrik, para prajurit dan para pemimpin padepokan itu
menjadi sulit untuk tidur karena peri stiwa itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru telah
memerintahkan para cantrik yang bertugas tidak hanya berada
di depan barak itu saja. Tetapi mereka harus membagi daerah
pengawasan. Setiap kali hanya dengan meronda berkeliling
ternyata masih belum mencukupi.
Sementara itu, Mahisa Bungalan justru telah
memerintahkan pasukannya untuk berkemas. Besok, di dini
hari mereka benar-benar akan meninggalkan padepokan itu.
Namun dengan demikian maka dapur pun telah menjadi
sibuk pula. Lebih awal dari rencananya.
Menj elang-fajar, segala sesuatunya memang sudah bersiap.
Para prajurit dan para tawanan. Sementara itu m ereka telah
mendapatkan tujuh ekor kuda. Ternyata hanya enam saja yang
akan dipakai oleh para tawanan.
Para petugas di dapur pun kemudian telah memberikan
makan dan minum kepada para tawanan y ang akan dibawa
oleh Mahisa Bungalan, sementara para prajurit telah makan
pula di dapur. "Kau akan berangkat lebih awal?" bertanya Mahendra.
"Hanya berselisih waktu beberapa saat," jawab Mahisa
Bungalan, "namun mumpung matahari masih dalam dibawah
cakrawala. Kami akan kembali ke Sangling."
Mahisa Bungalan pun telah minta diri pula kepada Mahisa
Amping y ang juga terbangun, Mahisa Semu, Wantilan dan
semuanya y ang telah mengerumuninya.
Sejenak kemudian, maka para prajurit y ang membawa
enam orang itu mulai bergerak.
Seperti dikatakan oleh Mahisa Bungalan, maka keenam
orang itu telah diperlakukan dengan keras. Sambil berkuda,
tangan mereka telah terikat.
Sikap para prajurit Sangling memang tidak sama
sebagaimana sikap para cantrik padepokan Bajra Seta. Sikap
para prajurit itu. lebih tegas dan lebih keras. Demikian pula
sikap Mahisa Bungalan. Berbeda sekali dengan sikap Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Keenam orang itu menjadi semakin berdebar-debar.
Mereka mulai bertanya di dalam hati, seandainya mereka tidak
melarikan diri, apakah sikap para prajurit Sangling akan
berbeda" Tetapi hal itu sudah terlanjur dilakukannya. Mereka telah


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencoba untuk melarikan diri dan gagal.
Usaha melarikan diri yang gagal itu ternyata telah
menguntungkan seorang kawannya yang batal dibawa ke
Sangling. Orang itu bukannya tidak akan melarikan diri. Iapun
ikut dalam usaha melarikan diri itu. Tetapi karena ia
mendapat giliran terakhir, maka ia belum sempat memanjat
dan keluar dari lubang yang telah berhasil dibuat pada atap
barak itu. Bahkan bukan hanya ketujuh orang itu Baja. Tetapi
kelima orang y ang akan tetap menjadi tawanan padepokan
itupun sebenarnya juga akan ikut pula melarikan diri.
Demikianlah dalam keremangan pagi, iring-iringan itu
berjalan dengan cepat. Mereka menyusuri jalan-jalan bulak
yang panjang dan pendek. Di beberapa padukuhan yang masih gelap, iring-iringan itu
telah m engejutkan orang-orang y ang berada di gardu. Tetapi
para peronda itu tidak berani menghentikan orang-orang
berkuda itu. Apalagi mereka melihat, enam orang diantara
orang-orang berkuda itu terikat tangannya.
Mahisa Bungalan y ang berkuda di paling depan tidak
menghiraukan orang -orang y ang berada di gardu memandang
iring-iringannya dengan penuh pertanyaan. Dan bahkan
sebagian dari mereka menjadi camas. Namun tidak seorang
pun diantara para per onda itu y ang menegur iring-iringan itu
atau mempertanyakan orang-orang y ang terikat diantara
mereka. Ketika matahari mulai membayang menjelang terbit, maka
iring-iringan itu sudah menjadi semakin jauh. Iring-iringan itu
mulai berpapasan dengan orang-orang y ang pergi ke pasar.
Orang-orang yang membawa barang-barang dagangan di atas
kepala dan perempuan-perempuan yang menggendong bakul,
telah m enepi ketika mereka melihat iring-iringan itu berjalan
cepat. Orang-orang itu hanya dapat saling bertanya tentang
orang-orang berkuda y ang terikat tangan mereka diantara
orang-orang lain y ang mengiringinya.
Sementara itu, di padepokan Bajra Seta, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat pun telah menempatkan dan mengatur kembali
para tawanan yang tertinggal. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
yang langsung menangani orang-orang yang berusaha
melarikan diri itu akhirnya mendapat keterangan, bahwa
sebenarnya semua tawanan yang ada di barak itu akan
melarikan diri. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat justru mendapat
keyakinan bahwa kesimpulan mereka benar. Lima orang
diantara orang-orang yang dianggapnya berbahaya itu,
memang orang-orang y ang berbahaya ditambah dengan
seorang y ang tidak jadi dibawa ke Sangling.
Mereka berenam akan ditempatkan di sebuah barak y ang
khusus yang akan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Namun sementara itu, m ereka telah dipindahkan ke sebuah
barak yang tidak terlalu besar. Namun tangan dan kaki mereka
masih saja harus terikat baik -baik.
Meskipun tidak segarang Mahisa Bungalan, namun Mahisa
Pukat telah berkata kepada orang-orang yang ternyata juga
merencanakan untuk melarikan diri itu. "Siapa y ang mencoba
untuk sekali lagi melarikan diri, m aka akibatnya akan sangat
disesali. Kami dapat berbuat apa saja atas kalian tanpa ada
keterikatan atas paugeran apapun. Berbeda dengan para
prajurit. Mereka harus bertindak berdasarkan pada tugas dan
wewenang mereka." Tidak ada orang yang menjawab. Tetapi wajah-wajah
mereka rasa -rasanya sudah menjadi sekeras batu. Namun
dengan demikian maka para cantrik padepokan itupun benarbenar
tidak boleh lengah menghadapi mereka.
Ketika kemudian matahari terbit dan memanjat langit
semakin tinggi, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
memanggil tawanan-tawanan mereka yang dianggap tidak
herbahaya. Kepada orang-orang itu Mahisa Murti berkata: "Kami akan
melihat dalam beberapa hari ini. Jika kalian benar-benar
menjadi baik sebagaimana kami harapkan, maka kami akan
membuat pertimbangan-pertimbangan baru terhadap kalian.
Mungkin kami tidak mengirimkan kalian ke Sangling, tetapi ke
Singasari. Bahkan mungkin ada pilihan lain yang lebih baik
bagi kalian." Orang-orang itu memang masih bertanya-tanya. Setelah
peristiwa usaha melarikan diri itu, apakah mereka masih akan
diperlakukan dengan wajar atau mereka akan mendapat
tekanan lebih berat lagi.
Namun Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m engambil
keputusan, orang-orang yang akan dilepaskan itu akan dilihat
lagi dengan cara m ereka. Orang-orang itu akan dipekerjakan
di sawah dan ladang untuk beberapa hari. Hasil dari
pengamatan mereka akan menentukan keputusan atas mereka
itu. Dalam pada itu, selagi orang-orang y ang tertawan
mendapat kesempatan bekerja di sawah dan ladang di bawah
pengawasan para cantrik, maka di antara mereka yang terluka
pun telah m endapat perawatan dengan baik. Perlahan-lahan
luka-luka mereka pun menjadi semakin sembuh. Beberapa
orang y ang telah m enjadi semakin baik itu, telah dapat ikut
membantu bekerja apa saja di kebun dan di pategalan di
belakang barak. 'Ternyata sikap para cantrik benar-benar telah
mempengaruhi mereka. Sikap y ang baik dan ramah, telah
meluluhkan kekerasan hati m ereka. Orang di antara mereka
yang telah sembuh dari luka-luka mereka telah m enyatakan
untuk tetap tinggal di padepokan itu apabila diperkenankan.
"Kalian tidak dapat berada di padepokan ini," berkata
Mahisa Murti, "tetapi kalian dapat ikut dalam berbagai macam
tuntunan yang diselenggarakan di padepokan ini sebagaimana
anak-anak muda di padukuhan-padukuhan sebelah.
"Tetapi di m ana kami akan tinggal?" bertanya orang-orang
itu. "Jika kalian memang berkeras untuk melakukannya, maka
biarlah aku berbicara dengan Ki Buyut. Jika Ki Buyut
berkenan memberikan sebidang tanah buat kalian, maka
kalian akan dapat tinggal. Kalian dapat menggarap sawah
untuk hidup kalian sehari -hari. Sementara itu kalian ikut
belajar meningkatkan kemampuan kalian untuk menggarap
tanah kalian itu," berkata Mahisa Murti.
Ternyata mereka bersedia melakukannya. Sehingga karena
itu, m aka Ki Buyut telah memberikan sebidang tanah yang
berada di sebuah padang perdu yang luas.
"Tetapi padang perdu itu bukan tanah yang subur," berkata
Mahisa Pukat kemudian setelah mendapat persetujuan Ki
Buyut. Orang-orang itu memang agak menjadi kecewa. Namun
Mahisa Pukat berkata: "Kalian berniat bekerja keras atau
tidak?" "Ya," jawab mereka hampir berbareng.
"Jika demikian, maka kalian harus berusaha menaikkan air
dari Kali Rangkut itu ke tanah y ang kalian dapatkan. Kali
Rungkut memang sebuah sungai yang tidak begitu besar.
Tetapi jika kalian berhasil menaikkan airnya, maka kalian
akan mendapatkan satu keuntungan yang sangat besar.
Seluruh tanah yang kalian dapatkan dari Ki Buyut itu akan
dapat kalian airi. Dengan demikian, maka tanah itu tidak lagi
akan menjadi tanah y ang tandus," berkata Mahisa Pukat.
Ternyata orang-orang itu dengan hati melakukannya.
Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah mengijinkan
orang-orang y ang dianggap sebagai orang-orang yang
dianggap sebagai orang-orang y ang berbahaya untuk
membantu mereka bersama-sama beberapa orang cantrik
yang sekaligus mengawasi mereka membangun sebuah
bendungan. Kal i Rangkut memang bukan sungai y ang besar. Karena itu,
pekerjaan untuk membendung sungai itupun bukan pekerjaan
yang sangat besar. Namun jika mereka berhasil, maka air dari
sungai itu akan dapat mengalir ke padang perdu y ang akan
dijadikan tanah persawahan. Dengan air itu, maka padang
perdu itu tentu akan dapat m enjadi tanah per sawahan yang
subur. Sementara mereka dapat mengambil pupuk dari
kandang-kandang y ang ada di padukuhan-padukuhan serta
sampah dari hutan y ang dapat ditanam di lubang-lubang yang
dibuat di padang perdu itu, sehingga pada suatu saat, padang
perdu itu siap untuk ditanami.
Namun ternyata di antara orang-orang y ang tertawan itu
masih saja ada yang merasa dirinya memiliki kemampuan
yang tinggi, melampaui para cantrik t erpenting di padepokan
itu. "Jika aku ingin," berkata orang y ang batal dibawa ke
Sangling, "aku tentu dengan mudah dapat melarikan diri
dalam keadaan seperti ini. Dua tiga cantrik yang akan
mencegahkan akan dapat mudah aku binasakan."
"Kenapa tidak kau lakukan?" bertanya seorang di antara
mereka yang berusaha untuk m encari jalan kehidupan yang
lebih baik daripada merampok atau menjadi seorang
penyamun. "Aku masih ingat akan keadaan kalian," bertanya orang
yang telah meny ombongkan diriny a itu.
"Apa hubungannya dengan kami?" bertanya yang lain.
"Jika seorang saja di antara kita yang melarikan diri, maka
yang tinggal akan hancur. Kepala kalian akan dipecahkan oleh
orang-orang padepokan y ang gila itu. Tanpa belas kasihan,"
berkata orang itu. "Tetapi yang pernah berusaha melarikan diri namun
tertangkap itu, ternyata tidak dihancurkan," jawab seorang di
antara mendengarkannya. "Di sini," jawab orang itu, "di Sangling mereka akan
menjadi jeladren. Tetapi agaknya mereka masih merasa segan
untuk membawaku, karena dengan demikian mereka akan
menghadapi kemungkinan buruk setiap saat. Terutama di
perjalanan, karena aku m emang m emiliki sifat yang kadangkadang
dengan tiba-tiba meledak."
"Apa yang akan kau lakukan," bertanya kawannya
"Tentu saja m enunggu kesempatan untuk melarikan diri.
Sebaiknya kalian tidak berubah sikap. Kalian adalah penjahatpenjahat
y ang sudah banyak dikenal. Karena itu, habiskan
umur kalian dalam dunia kejahatan seperti aku."
"Kau telah berputus-asa," sahut suara seorang yang sudah
lebih tua. Tetapi orang itu tertawa. Katanya: "Bukan aku y ang
berputus asa. Tetapi kalian. Kalian y ang sudah kehilangan
dasar berpijak, sehingga berniat untuk berubah sikap. Tetapi
kita dilahirkan untuk menjadi penjahat. Aku terima kodrat ini
dengan dada tengadah."
"Jadi kenapa kau meny erah" Kenapa kau tidak berbuat
sesuatu agar kau tidak menjadi tawanan waktu itu. Atau lebih
baik mati di medan?" bertanya orang tua itu.
Orang yang masih saja meny ombongkan dirinya itu t ertawa
semakin keras, sehingga beberapa orang lain dan beberapa
orang cantrik berpaling kepadanya.
Sejenak orang itu terdiam . Namun kemudian ia berkata:
"Aku terpancing oleh keadaan saat itu. Aku juga mencoba
untuk tidak membuat para cantrik dan seisi padepokan
semakin kehilangan pengendalian diri dan berbuat sewenangwenang."
Yang lain tidak merasa perlu untuk mendengarkan lagi.
Mereka lebih menekuni pekerjaan mereka daripada
mendengar pembicaraan y ang sama sekali tidak berarti itu.
"Kalian tidak mau mendengar aku?" tiba-tiba orang itu
menggeram. Tidak seorang yang bertubuh tinggi tegap menjawab.
"Kau akan meny esal," berkata orang itu selanjutnya,
"kesempatan ini harus kita pergunakan sebaik-baiknya. Kita
akan melarikan diri bersama-sama. Jangan hanya aku,
meskipun aku mampu melakukannya. Karena dengan
demikian, kepergianku seorang diri itu akan membawa
malapetaka bagi kalian."
"Aku tidak mau," bentak orang bertubuh tinggi tegap itu.
"Kau belum mengenal aku," orang yang membual itu
mendekatinya. Sambil memegang pundaknya ia berkata
selanjutnya, "Jangan memaksa aku untuk menghancurkan
lengan dan kakimu." Tetapi orang itu justru menggeram: "Kita sama-sama
pernah tinggal di dalam kekelaman kuasa setan. Jika kau
memang ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Aku tidak
peduli apakah salah seorang diantara kita akan mati di sawah
ini." " Iblis kau," orang itu menjadi marah kau berani menantang
aku. " Itulah kesalahanmu y ang terbesar. Kau mengira bahwa
tidak ada orang yang berani menantangmu. Sekarang, aku
tantang kau. Tidak boleh seorangpun y ang m emisah sampai
kita berhenti sendiri apapun akibatnya," jawab orang yang
tinggi kekar. Orang y ang sombong itu termangu-mangu sejenak. Ia harus
melihat keny ataan itu. Tubuh orang itu sangat besar dibanding
dengan tubuhnya sendiri. Apalagi sikapnya y ang sudah
mengeras Karena itu, maka iapun kemudian berkata: "Aku bukan
seorang yang bodoh seperti kau. Aku masih memerlukan
tenagaku untuk melarikan diri. Aku tidak mau terjebak
kedunguan seperti kau. Bahkan aku menganjurkan agar kalian
semua bersedia m elarikan diri bersamaku. Kita akan berlarilarian
terpencar sehingga para cantrik akan menjadi bingung."
"Tidak," geram orang y ang bertubuh tinggi besar itu. "Aku
akan mengajak mereka y ang m emiliki kemampuan berpikir,"
berkata orang itu, "bukan kau."
Orang yang bertubuh tinggi besar itu menggeram. Tetapi ia
tidak dapat berbuat apa -apa ketika orang yang
menghembuskan usaha untuk melarikan diri berpaling
daripadanya, dan bahkan kemudian telah melangkah pergi.
Di tempat lain ia juga berbicara dengan dua orang diantara
mereka y ang tertawan. Iapun telah mengajak orang-orang itu
melarikan diri. "Kita rnelakukan bersama-sama. Setidak-tidaknya lima
orang diantara kita. Jika kita berpencar, maka usaha para
cantrik untuk menangkap kami tentu m enjadi semakin sulit,"
berkata orang itu. Kedua orang itupun merasa berkeberatan. Namun orang itu


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba -tiba telah mengancam: "Jika kau berdua tidak mau
melarikan diri, maka kalian akan aku bunuh dalam bilik
tahanan." Kedua orang itu termangu-mangu. Mereka memang bukan
orang y ang m emiliki keberanian untuk menghadapi ancaman
seperti itu. "Bawa dua orang lagi," geram orang itu, "atau kalian akan
mengalami siksaan yang tidak ada henti-hentinya sepanjang
kita masih berkumpul di satu bilik."
Kedua orang itu memang merasa takut terhadap orang y ang
mengajaknya melarikan diri itu. Tetapi mereka pun tidak
berani untuk dengan serta merta berlari berpencar. Di tempat
itu banyak para cantrik yang akan dapat mengejar mereka.
Seorang dari kedua orang itu berniat untuk melaporkan diri
kepada para cantrik. Tetapi hal itupun tidak berani
melakukannya. Dalam k eragu-raguan itu orang y ang m engajaknya lari itu
berkata: "Cepat, ajak dua orang lagi sebelum aku berubah
pikiran. Karena aku pun dapat membunuhmu tidak usah
menunggu sampai kerja kita ini selesai hdri ini."
Kedua orang yang termangu-mangu itu hampir saja
melakukan perintahnya. Mencari dua orang yang akan
diajaknya melarikan diri.
Namun seorang diantara mereka ternyata telah sempat
berpikir. Karena itu, ketika kawannya telah siap untuk mendekati
kawannya y ang lain y ang juga bekerja di tempat itu tetapi agak
terpisah, maka orang yang sempat berpikir itu telah
mencegahnya. "Kenapa"," bertanya kawannya.
"Kita masing-masing tidak akan dapat melawannya. Tetapi
bagaimana jika kita berdua"," desis orang yang sempat
berpikir itu. Kawannya termangu-mangu. Tetapi ketika sekilas ia
melihat orang y ang mengajak melarikan diri itu, ternyata
tengkuknya telah meremang. Orang yang mengajaknya lari itu
rasa-rasanya memandanginya dengan sorot m ata hantu yang
mengerikan. "Kau takut"," bertanya kawannya.
"Ya," jawab orang y ang tengkuknya meremang itu.
"Kita harus membuat agar kita berkelahi disini. Tetapi
ingat. Kita harus berdua. Jika kita sendiri-sendiri, kita akan
segera dapat dikalahkan. Tetapi jika kita berdua, maka kita
akan sempat bertahan beberapa lama, sehingga para cantrik
akan ikut campur sebelum kita mati," jawab kawannya yang
berniat untuk melawan. Kawannya masih ragu-ragu. Sementara itu, orang itu
melanglah mendekat sambil berkata: "Kenapa kalian belum
pergi kepada mereka. Jika kita terlalu lama berdiam diri tanpa
berbuat apa-apa, para cantrik itu akan memperhatikan kita."
Tetapi orang yang berniat untuk melawan itu berkata tanpa
menghiraukan kawannya lagi. "Aku memang berusaha
menarik perhatian para cantrik. Aku tidak ingin melarikan
diri." "Setan kau," geram orang itu "kau tahu apa y ang dapat
terjadi atasmu?" "Kami berdua akan melawan. Para cantrik tentu akan ikut
campur. Dan kau akan diadili dengan cara y ang khusus,"
jawab orang y ang menolak melarikan diri itu.
Orang itu memang menjadi sangat m arah. Tanpa berkata
apapun lagi, maka iapun telah meny erang dengan garangnya.
Jari-jarinya y ang mengembang telah langsung menerkam
leher orang y ang menolaknya itu.
Orang y ang menolak untuk melarikan diri itu memang
telah bersiaga. Tetapi ternyata bahwa ia tidak sepenuhnya
mampu membebaskan diri. Ia memang sempat menahan
tangan orang itu sehingga tidak m encengkam lehernya dan
memutuskan jalur pernafasannya. Tetapi dorongan yang
sangat kuat telah mendesaknya beberapa langkah surut dan
bahkan orang itu telah jatuh terlentang.
Kesempatan itu tidak disia -siakan oleh orang y ang m arah
itu. Sekali lagi ia menerkam lawannya y ang memang tidak
mampu lagi untuk menghindar.
Namun orang y ang semula masih ragu-ragu itu, hampir
diluar sadarnya telah melibatkan diri. Kakinya terayun dengan
kerasnya menghantam tubuh orang yang telah m enjatuhkan
dirinya untuk menerkam orang y ang menolak ajakannya
untuk melarikan diri itu.
Serangan kaki itu demikian kerasnya, sehingga ia telah
terpental selangkah dan jatuh berguling. Namun dengan cepat
ia telah bangkit berdiri dan siap untuk meny erang lagi.
Tetapi pada saat itu, orang y ang hampir saja dicekiknya
itupun telah bangkit pula dan berdiri tegak disamping
kawannya. Bahkan ia masih sempat berkata "Kita sama-sama pernah
menjadi penjahat." Namun dalam pada itu, para cantrik y ang terkejut m elihat
peristiwa yang terjadi dengan cepat itu, segera tanggap akan
keadaan. Mereka segera berlari-lari mendekati. Namun
demikian para cantrik itu m asih tetap berhati-hati sehingga
beberapa orang yang lain masih tetap mengawasi para
tawanan yang tengah berada di tempat itu.
"Apa yang terjadi"," bertanya seorang cantrik.
"Orang itu memaksa aku dan kawanku melarikan diri.
Bahkan aku harus mengajak dua orang lagi bersama kami,"
jawab orang y ang menolak pergi itu.
"Omong kosong," jawab orang yang mengajak melarikan
diri itu, "keduanya telah m enghinakan. Mereka mengatakan
bahwa aku pengecut. Enam kawanku telah melarikan diri.
Kenapa aku tidak. Aku merasa sangat tersinggung karena aku
memang tidak ingin melarikan diri."
"Tidak," teriak orang y ang semula ragu-ragu untuk
melawan, "orang itu memang ingin mengajak kami m elarikan
diri." "Jangan mengigau," berkata orang itu, "aku tidak gila. Aku
tahu bahwa saat seperti ini bukan saatnya untuk melarikan
diri. Melarikan diri pada saat seperti ini, sama saja artinya
dengan membunuh diri. Nah, kalian tidak akan dapat
memfitnah aku dengan alasan itu."
Para cantrik yang berdiri mengelilinginya memang merasa
ragu. Namun orang yang bertubuh tinggi kekar dan juga tidak
bersedia melarikan diri itu tiba-tiba telah meny ibak dan
melangkah mendekat sambil berkata: "Orang ini memang
ingin melarikan diri. sejak di barak itu ia juga sudah.
merencanakan untuk ikut melarikan diri. Tetapi ia terlambat
karena para cantrik dan prajurit segera memasuki barak."
"Setan kau. Kenapa kau turut campur" Kau sama sekali
tidak mengetahui persoalannya. Aku, meskipun seorang
tawanan juga mempunyai harga diri sehingga aku tidak mau
dihinakan dengan cara yang sangat menyakitkan."
Tetapi pernyataan orang y ang bertubuh tinggi tegar itu
nampaknya agak m eyakinkan para cantrik, sehingga seorang
diantara m ereka m elangkah maju sambil berkata: "Sebaiknya
kau berterus terang."
"Semua orang akan memfitnah aku. Apakah kalian
percaya?" orang y ang akan melarikan diri itu justru bertanya.
"Aku y ang bertanya kepadamu. Bukan kau yang bertanya
kepadaku," geram cantrik itu.
"Aku sudah menjawab," berkata orang itu, "terserah
kepadamu. Apakah kau percaya atau tidak."
Seorang cantrik y ang m asih sangat muda m enjadi sangat
marah. Tetapi ketika ia melangkah maju, kawannya telah
mencegahnya. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
ternyata juga melihat kejadian itu, telah mendekat pula.
Dengan nada rendah Mahisa Murti bertanya: "Apa yang telah
terjadi disini?" Seorang cantrik telah m encoba menjelaskan persoalannya.
Namun orang yang akan melarikan diri itu telah m emotong:
"Semua itu fitnah. Aku belum gila untuk melarikan diri di
siang hari dan di bawah pengawasan para cantrik."
Tetapi orang y ang diajak m elarikan diri m enyahut: "Orang
itu mengharapkan lima orang diantara kami akan melarikan
diri. Kami akan berpencar. Dengan demikian orang itu
berharap bahwa ia akan dapat meloloskan diri meskipun
keempat orang yang lain akan tertangkap lagi."
Tiba-tiba saja Mahisa Murti berkata: "Aku percaya
kepadamu. Orang ini akan melarikan diri."
Orang itu menggeram. Namun tiba-tiba ia bergeser
selangkah surut sambil berkata: "Balk. Aku akan mengakui,
bahwa aku memang akan melarikan diri. Tangkaplah jika
kalian ingin menangkap aku. Bunuhlah jika kalian ingin
membunuh aku. Tetapi sebelumnya aku ingin tahu, apakah
benar orang -orang Bajra Seta itu m emiliki kemampuan yang
tinggi atau karena jumlahnya sajalah y ang terlalu banyak
untuk dilawan. Seandainya ada seorang saja diantara para
cantrik yang mampu melawan aku, maka aku akan berjongkok
sambil menundukkan kepalaku dan menyerahkan leherku
untuk dibantai di hadapan kalian dan para tawanan y ang lain."
Mahisa Pukat menjadi marah. Tetapi Mahisa Murti
menggamitnya ketika Mahisa Pukat melangkah maju. Bahkan
tiba -tiba saja Mahisa Murti berkata "Mahisa Semu akan
menyelesaikannya." Mahisa Pukat menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun
kemudian telah mengangguk-angguk mengiakan.
Dengan demikian maka sejenak kemudian Mahisa Semu
telah berada di dalam lingkaran. Namun agaknya Mahisa
Semu masih belum begitu jela s apa y ang terjadi. Baru
kemudian ia mengangguk-angguk ketika Mahisa Pukat
memberinya penjelasan. "la m enantang salah seorang cantrik dari padepokan Bajra
Seta. Ia ingin tahu, apakah ada salah seorang cantrik yang
dapat mengalahkannya. Karena itu, terserah kepadamu. Kau
kami anggap cantrik yang masih muda. Jika melawan kau
orang itu sudah tidak dapat m engimbangi, apalagi melawan
para cantrik y ang lebih tua darimu."
Mahisa Semu mengangguk-angguk. Katanya: "Baiklah. Jika
demikian, marilah. Kita akan mencoba siapakah diantara kita
yang lebih baik. Aku berjanji, jika kau dapat mengalahkan aku
maka kau akan mendapatkan pengampunan."
Wajah orang itu menjadi cerah. Katanya "Benar katamu"
"Aku mohon para pemimpin padepokan ini meny etujui,"
berkata Mahisa Semu. "Aku setuju," jawab Mahisa Murti.
Demikianlah kedua orang itupun telah berdiri saling
berhadapan. Mahisa Semu memang masih jauh lebih muda
dari orang itu. Namun selama ia berada di padepokan itu, ia
telah m endapat penanganan khusus dari Mahendra sendiri di
bawah pengawasan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Sejenak kemudian kedua orang itu telah mempersiapkan
diri. Orang y ang m elarikan diri itu telah m emastikan dirinya
untuk dibebaskan dari padepokan itu. Ia merasa bahwa ia
bukannya sejenis penjahat-penjahat kecil yang hanya mampu
mencuri ayam atau itik di kandang. Tetapi ia adalah seorang
perampok dan penyamun y ang ditakuti. Sedangkan cantrik
yang ditunjuk untuk m elawannya adalah cantrik y ang m asih
sangat muda, sehingga ia merasa bahwa ia tidak akan
mendapatkan kesulitan untuk mengalahkannya.
Orang itu nampaknya memang ingin menunggu. Ketika
Mahisa Semu bergeser orang itupun hanya bergeser pula.
Sekali-sekali tangannya bergerak. Tetapi tidak untuk
menyerang. Mahisa Semu memang merasakan bahwa sikap orang itu
sangat merendahkannya. Orang itu menganggap bahwa
Mahisa Semu yang muda itu tidak akan mampu berbuat apaapa.
Namun ju stru karena itu, maka Mahisa Semu menjadi
sangat berhati-hati menghadapinya.
Beberapa saat keduanya hanya saling bergeser sambil
mengamati gerak-gerik lawan. Tetapi tidak seorang pun yang
segera mulai m eny erang. Bahkan sekali-sekali nampak orang
yang akan melarikan dirinya itu tersenyum menyakitkan hati.
Mahisa Semu memang tidak telaten. Tetapi ia
memperhitungkan kemungkinan yang paling tepat untuk
membuat orang itu terkejut dan terbangun.
Sebenarnyalah, ketika Mahisa Semu telah menganggap
waktunya tepat, justru pada saat orang itu bergeser, maka
iapun telah m eloncat menyerang. Serangan y ang tidak biasa
dilakukan. Dengan kecepatan y ang tinggi, kaki Mahisa Semu y ang
terbuka telah meluncur menangkap dan menjepit tubuh
lawannya. Ketika. Mahisa Semu kemudian memutar tubuhnya
dengan sekuat tenaganya, maka lawannya itupun bagaikan
baling-baling yang berputar pada por osnya.
Dengan kerasny a orang itu jatuh terguling. Sementara itu
dengan cepat Mahisa Semu melepaskan kakinya dan meloncat
bangkit. Kelebihannya waktu sekejap telah memberikan
kesempatan sekali lagi. Demikian lawannya itu melenting
berdiri, maka kaki Mahisa Semu telah terjulur lurus mengarah
ke dada orang itu. Orang itu memang tidak mendapat kesempatan untuk
menghindar, bahkan menangkis serangan itu. Karena itu,
maka Mahisa Semu telah berhasil mengenai sa sarannya
dengan kekuatan y ang sangat besar.
Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Namun sekali lagi
ia terlempar. Bukan sekedar diputar oleh jepitan kaki anak
yang masih terlalu muda itu. Tetapi serangan kaki di dadanya
itu rasa-rasanya telah meretakkan tulang-tulang iganya.
Ketika orang itu meloncat bangkit, maka iapun telah
bersiaga sepenuhnya. Namun ternyata Mahisa Semu tidak
memburunya. Anak muda itu berdiri saja di atas kedua
kakinya y ang merenggang memandangi lawannya y ang berdiri
tegak pula serta bersiap menghadapi segala kemungkinan.
Namun bagaimana pun juga orang itu tidak dapat
menyembuny ikan dadanya y ang terasa sangat sakit. Nafa snya
menjadi terengah-engah bagaikan tersumbat di tenggorokan.
Tetapi hatinya serasa terbakar ketika ia melihat justru anak
muda itulah y ang kemudian tertawa sambil b erkata: "Marilah
Ki Sanak. Bangkitlah. Bukankah kita sudah saling bertaruh.
Jika kau menang kau dapat pergi dengan bebas ke mana pun
kau suka. Tetapi j ika kau kalah, kau sudah m empertaruhkan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lehermu." Orang itu mengeram. Matanya menjadi merah menyala.
Giginya gemeretak sementara terdengar ia berkata: "Kau
curang. Kau mencari kesempatan saat aku lengah."
"Adalah seorang y ang memiliki ilmu dan kemampuan y ang
baik pernah m enjadi Iengah di pertempuran?" Mahisa Semu
justru bertanya. "Kau memang anak iblis," orang itu hampir berteriak.
Tetapi dengan tenang anak y ang masih sangat muda itu
menjawab: "Apakah kau mengetahui ciri -ciri anak iblis?"
Orang itu menjadi sangat marah. Karena itu, tanpa dapat
mengendalikan dirinya lagi, maka ia pun. telah meloncat
menyerang Mahisa Semu. Serangan orang itu m emang mengejutkan. Tetapi Mahisa
Semu yang sengaja mengungkit kemarahan lawannya telah
bersiap sepenuhnya. Karena itu, maka ketika serangan itu
benar-benar datang, Mahisa Semu masih sempat menghindar.
Tetapi lawannya tidak memberinya kesempatan. Ia pun
dengan cepat memburunya. Orang itu ingin menebus
kelengahannya dengan meny elesaikan lawannya yang m asih
sangat muda itu secepatnya.
Namun y ang terjadi adalah di luar kehendaknya. Setelah
bertempur beberapa lamanya, orang itu ternyata masih belum
dapat menundukkan Mahisa Semu. Dengan tangkasnya anak
muda itu berloncatan menghindari serangan-serangan yang
datang beruntun. Sekali-sekali menangkisnya namun
kemudian dengan cepat ia membalas serangan-serangan itu
dengan serangan-serangan y ang tidak kalah berbahayanya.
Dengan demikian maka pertempuran itu m enjadi semakin
lama semakin sengit. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menyaksikan pertempuran
itu dengan segenap perhatian. Keduanya justru ingin tahu, apa
yang dapat dilakukan oleh Mahisa Semu jika ia benar-benar
membentur kekuatan yang cukup besar.
Namun anak yang masih terlalu muda itu tidak
mengecewakan. Beberapa kali Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
menjadi berdebar-debar. Namun keduanya menarik nafas
lega. Meskipun demikian, kemungkinan y ang buruk masih saja
dapat terjadi. Ia masih belum tahu, day a tahan siapakah yang
lebih tinggi. Jika salah seorang dari keduanya, tenaganya
mulai susut lebih dahulu, maka keadaannya akan menjadi
gawat. Namun Mahisa Semu memiliki ketangkasan bergerak lebih
dari lawannya. Karena itu, maka setiap kali serangan anak
muda itulah y ang mengenai lawannya. Namun jika sekali
tangan lawannya meny entuh tubuhnya, m aka Mahisa Semu
memang harus mengakui kekuatan lawannya.
Ketika tangan lawannya y ang kuat sempat mengenai
pundaknya maka Mahisa Semu memang seakan-akan telah
diputar. Dalam kegoncangan keseimbangan lawannya ia telah
menyerang dengan kakinya yang terjulur ke samping.
Mahisa Semu memang kehilangan kesempatan berusaha
untuk menghindar atau menangkis, sementara
keseimbangannya sedang goyah.
Namun Mahisa Semu tidak ingin tubuhnya dikenai lagi
serangan lawannya itu. Karena itu, maka Mahisa Semu pun justru telah
menjatuhkan dirinya tepat pada saat kaki lawannya
menggapainya. Dengan demikian, maka MahisaSemu t elah terhindar dari
serangan lawannya itu. Bahkan setelah berguling sekali, maka
dengan sigapnya Mahisa Semu telah bangkit dan berdiri tegak
di atas kedua kakinya yang renggang.
Ketika lawannya itu kemudian meloncat menyerangnya,
maka Mahisa Semu telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Dengan demikian, maka Mahisa Semu telah
dengan cepat pula bergeser menghindar.
Demikianlah, pertempuran antara kedua orang 'itupun
menjadi semakin lama semakin sengit. Keduanya bergantiganti
m enyerang. Orang yang akan melarikan diri itu adalah
orang y ang memiliki pengalaman yang luas sekali. Ia telah
mengalami berpuluh bahkan beratus kali perkelahian dan
pertempuran. Telah berapa jiwa y ang pernah melayang karena
kekuatan dan kemampuannya. Jari-jarinya y ang kokoh dan
kakinya y ang kuat, telah membuatnya menjadi orang yang
sangat ditakuti. Apalagi jika orang itu sempat memegang
senjata. Mahisa Semu m emang masih t erlalu muda bagi lawannya
itu. Pengalamannya pun belum begitu luas. Tetapi ia sudah
ditempa dalam latihan-latihan yang keras, sehingga landasan
ilmunya menjadi semakin kokoh. Menghadapi lawannya yang
kuat dan cukup berpengalaman. Mahisa Semu memang harus
berhati-hati. Tetapi ia tidak perlu merasa berkecil hati. Mahisa
Semu cukup memiliki bekal untuk melawannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat kadang-kadang memang
menjadi tegang. Sekali-sekali Mahisa Semu m emang nampak
terdesak. Tetapi setelah berloncatan beberapa saat, Mahisa
Semu segera menemukan kesempatan untuk mengatasinya.
Meskipun Mahisa Semu tidak dengan serta merta dapat
mengalahkan lawannya, namun ternyata bahwa ia mempunyai
kesempatan lebih baik dengan kekayaan unsur-unsur gerak
yang dimilikiny a, sehingga ia tidak semata-mata berdasarkan
kepada kekuatan kewadagannya saja.
Ternyata beberapa saat kemudian, kelebihan Mahisa Semu
mulai nampak. Setelah keduanya memeras keringat, serta
mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka, maka
kelebihan daya tahan Mahisa Semu nampak semakin jelas.
Agaknya orang yang akan melarikan diri itu telah
mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya, bahkan
dengan memaksakan diri untuk dapat dengan cepat
mengalahkan lawannya y ang masih muda itu. Namun ternyata
ia tidak berhasil. Karena itu, maka justru tenaga dan kekuatanyalah y ang
semakin lama menjadi semakin menyusut. Betapapun
tipisny a, tetapi terasa oleh Mahisa Semu, bahwa lawannya
telah sampai ke batas kekuatannya.
Namun nampaknya lawannya masih belum mengakui
keadaannya. Ternyata ia masih menunjukkan kegarangannya.
Tangannya menjadi semakin cepat bergerak. Jari-jarinya
mengembang dan dengan berteriak keras, orang-orang itu
telah m enerkam Mahisa Semu seperti seekor harimau yang
lapar. Mahisa Semu m emang agak terkejut m elihat serangan itu.
Unsur gerak yang dihadapinya memang berubah dan dengan
begitu tiba-t iba menunjukkan satu jenis ilmu dengan unsur
gerak yang sangat garang.
Namun Mahisa Semu yang terlatih itu tidak segera
kehilangan akal. Ia melihat jari-jari yang mengembang itu.
Karena itu, maka dengan sigapnya Mahisa Semu telah
meloncat m enghindarinya. Tetapi ia bukan saja menghindar.
Ketika jari-jari itu hampir saja menyambar keningnya, Mahisa
Semu justru telah berputar sambil mengayunkan kakinya.
Satu serangan yang tiba-tiba pula. Kaki yang terayun dalam
putaran itu, justru telah menyambar tengkuk lawannya.
Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu jatuh terjerembab.
Mahisa Semu tidak memburunya. Ketika lawannya itu
melenting berdiri, maka Mahisa Semu justru memberinya
kesempatan untuk memperbaiki keadaannya.
Tetapi tenaga orang itu benar-benar telah susut. Tulangtulangnya
terasa sakit dan kulitnya pun telah terkelupas di
beberapa bagian anggauta tubuhnya. Bahkan darah telah
mulai mengembun di luka -lukanya itu.
Namun orang itu sama sekali tidak berniat meny erah. Ia
menganggap bahwa diriny a tentu akan mati. Seandainya ia
menyerah maka para cantrik akan menuntut taruhan yang
telah diucapkannya. Ia harus merelakan kepalanya dipenggal.
Karena itu, m aka daripada ia mati sambil menundukkan
kepalanya, m aka ia akan m enjadi lebih berharga jika ia mati
dalam pertempuran itu. Dengan demikian, maka orang itu benar-benar telah
memaksa diri untuk mengerahkan sisa-sisa tenaganya.
Sementara itu, ternyata Mahisa Semu masih tetap tegar.
Meskipun ia juga mengerahkan tenaga dan kemampuannya,
tetapi day a tahan tubuhnya ternyata jauh lebih baik dari
lawannya y ang pertahanannya seakan-akan telah menjadi
semakin rapuh. Dengan demikian, maka Mahisa Semu menjadi semakin
sering mampu mengenai tubuh lawannya. Bahkan kadangkadang
telah membuat lawannya seakan-akan kehilangan
pijakan. Namun lawannya itu tidak segera menyatakan
kekalahannya. Ia masih saja berusaha untuk melawan dengan
sisa tenaganya. Meskipun beberapa kali ia terdorong surut.
Bahkan kadang-kadang terbanting jatuh. Namun sama sekali
tidak timbul niatnya untuk menyerah.
Betapapun kuat day a tahan tubuh Mahisa Semu, namun
iapun merasa bahwa pada suatu saat tentu akan sampai pada
batasnya. Dengan demikian, maka ia harus menyelesaikan
lawannya sebelum tenaganya sendiri menjadi su sut.
Apalagi beberapa kali tubuhnya pun sudah dikenai oleh
lawannya. Beberapa bagian tubuhnya telah merasa ny eri.
Bahkan tulang-tulangnya pun merasa sakit.
Karena itu, maka pada saat kekuatannya masih utuh,
Mahisa Semu ingin memaksa lawannya itu menyerah.
Tetapi usahanya sama sekali tidak berhasil. Betapapun juga
lawannya terdesak, tetapi masih tetap melawan.
Kesabaran Mahisa Semu semakin lama menjadi semakin
tipis. Sementara itu lawannya telah menjadi hampir tidak
berday a. Namun ketika Mahisa Semu memberikan
kesempatan sekali lagi kepadanya untuk meny erah, maka
orang itu justru mengumpatinya.
Mahisa Semu hampir kehilangan seluruh kesabarannya.
Namun tiba-tiba ia sadar, bahwa tidak pantas baginya untuk
membunuh orang yang telah menjadi tidak berdaya sama
sekali. Dengan demikian, maka Mahisa Semu tidak lagi berniat
membunuhnya. Tetapi ia hanya ingin merendahkan harga diri
lawannya y ang sombong dan tidak mau melihat kenyataan itu.
Karena itu, maka serangan-serangan Mahisa Semu tiba-tiba
telah mengendor. Ia tidak lagi garang dengan seranganserangannya
y ang berbahaya. Bahkan seakan-akan tenaganya
pun menjadi semakin susut.
Lawannya yang melihat keadaan itu, rasa-rasanya
keberaniannya menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Ia
yang sudah bertekad mati. akan membawa anak muda itu
bersamanya. Dengan sisa tenaganya, maka perlawanannya y ang sudah
hampir terhenti sama sekali itu menjadi bertenaga kembali
meskipun hanya merupakan hentakan-hentakan sekejap.
Namun hentakan-hentakan itu sama sekali tidak berarti apaapa
bagi Mahisa Semu. Meskipun demikian orang-orang yang menyaksikan
pertempuran itu sempat menjadi cemas melihat perlawanan
Mahisa Semu yang juga menurun dengan cepat.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat, bahwa
sebenarnya tenaga Mahisa Semu masih cukup besar untuk
dengan cepat meny elesaikan pertempuran itu jika
dikehendakinya. Namun agaknya Mahisa Semu memang telah merubah
sikapnya. Ia tidak ingin dengan cepat menyelesaikan
pertempuran itu. Apalagi dengan membunuh lawannya.
Dalam pertempuran dengan sisa-sisa tenaga yang ada,
maka lawan Mahisa Semu itu m enjadi semakin sulit. Bahkan
bukan lagi mengatasi serangan-serangan Mahisa Semu, karena
untuk selanjutnya seakan-akan Mahisa Semu tidak lagi pernah
menyerangnya. Tetapi lawannya itu mengalami kesulitan
karena usahanya untuk memeras sisa -sisa tenaga y ang ada
padanya. Sehingga beberapa saat kemudian, maka t enaganya
bagaikan telah terkuras habis. Untuk berdiri tegak saja, rasarasanya
orang itu sudah tidak sanggup lagi. Jika sekali lagi ia
menghentakkan sisa tenaganya dan meny erang Mahisa Semu,
maka jika serangannya tidak mengenai sasarannya, maka
tubuh itu menjadi terhuyung-huyung terseret oleh ay unan
tenaganya sendiri. Dalam keadaan y ang demikian, sentuhan tangan Mahisa
Semu yang lemah sekalipun telah dapat mendor ongnya
sehingga jatuh tertelungkup.
"Bangun atau meny erah," geram Mahisa Semu.
Orang itu benar-benar telah kehilangan pengamatan diri.
Sekali lagi ia mengumpat habis-habisan. Tetapi ia mengalami
kesulitan untuk bangkit. Namun orang itupun ternyata berhasil berdiri. Dengan
sor ot mata yang bagaikan m embara, ia memandang Mahisa
Semu yang tersenyum sambil bergerak-gerak di hadapannya.
"Marilah," tantang Mahisa Semu, "jika kau memang sudah
menjadi ketakutan, meny erah sajalah. Kau akan dituntut
untuk memenuhi janjimu."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi sekali lagi ia
menghentakkan tenaganya untuk menyerang dengan jarijarinya
yang mengembang. Seakan-akan orang itu ingin
menerkam mulut Mahisa Semu yang baru saja
mengancamnya. Tetapi tangannya tidak meny entuh sesuatu. Bahkan sekali
lagi tubuhnya telah diguncang oleh berat badannya sendiri
serta sisa kekuatannya y ang memang sudah menjadi semakin
kering yang dihentakkannya untuk meny erang lawannya yang
masih muda itu. Mahisa Semu sama sekali tidak membalas. Ia hanya
bergeser sedikit ke samping dan membiarkan lawannya itu
terhuyung-huyung dan jatuh terjerembab.
"Kenapa kau tidak meny erah saja he"," teriak Mahisa Semu.
"Aku koy akkan mulutmu," geram orang itu sambil berusaha
untuk berdiri. "Meny erahlah," bentak Mahisa Semu.
Tetapi orang itu justru telah bangkit dan berdiri pada
lututnya. Mahisa Semu sama sekali tidak menyerangnya. Tetapi ia
menunggu orang itu bangkit. Bahkan Mahisa Semu yang
sebenarnya hampir kehilangan kesabaran itu harus menahan


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diri. Ia mempunyai cara ter sendiri untuk menaklukkan
lawannya y ang keras kepala itu.
Karena lawannya masih berdiri pada lututnya, maka
Mahisa Semu pun berkata lantang: "Meny erahlah. Atau
bangkitlah. Kita bertaruh. Jika kau menang, maka kau dapat
pergi ke mana kau suka. Tetapi jika kau kalah, kau harus
menepati janjimu pula. Semua orang mendengar apa yang kau
katakan itu." Orang itu m enggeram. Tetapi ia tetap tidak mau m engakui
kekalahannya. Karena itu, maka ia masih berusaha untuk
berdiri tegak. Betapa sulitnya akhirnya orang itu telah berdiri pula.
Sementara Mahisa Semu mendekatinya sambil berkata
"Apakah kita masih akan bertempur terus?"
"Tutup mulutmu," bentak orang itu.
"Apakah kau masih mampu?" bertanya Mahisa Semu pula.
"Aku akan membunuhmu," orang itu berteriak.
"Kau tahu arti kata-katamu" Membunuh"," bertanya
Mahisa Semu pula. "Kubunuh kau. Kubunuh," orang itu berteriak-teriak seperti
orang y ang kehilangan ingatan.
Dengan serta merta orang itu telah m elangkah meny erang
Mahisa Semu. Namun tenaganya sudah tidak mendukung lagi,
sehingga orang itu pun telah terhuyung-huyung dan jatuh
berguling. "Kau masih belum menyerah"," bertanya Mahisa Semu.
Orang itu masih berusaha untuk bangkit. Dengan memaksa
diri ia memang masih dapat bangkit berdiri. Hanya beberapa
saat, karena sekali lagi ia terhuyung-huyung dan jatuh
terduduk. "Marilah," berkata Mahisa Semu "jika kau belum meny erah,
bangkitlah. Kita akan bertempur terus sampai matahari
tenggelam. Bahkan sampai matahari terbit di hari berikutnya.
Atau, kau menyerah."
"Bunuh aku, bunuh aku," orang itu tiba-tiba berteriak,
"kenapa kau tidak mau membunuhku?"
"Tentu t idak," jawab Mahisa Semu, "aku akan memenggal
lehermu jika kau sudah meny erah seperti taruhan kita. Tetapi
jika kau menang, kau boleh pergi ke mana saja kau
kehendaki." "Bunuh aku. Penggal leherku," teriak orang itu sambil
terduduk di tanah. "Bangkit. Kita bertempur terus. Bukankah kau belum
menyerah kalah"," Mahisa Semu pun berteriak.
"Anak iblis. Penggal leherku," orang itu menjadi seperti
orang gila. Tetapi jawab Mahisa Semu: "Hanya jika kau sudah
menyerah, Aku akan memenggal lehermu."
"Setan kau, iblis. Baik, baik. aku meny erah. Penggal
leherku," orang itu masih saja berteriak.
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Katanya:
"Baiklah. Jika kau sudah m eny erah, maka aku akan segera
mengambil keputusan."
"Penggal leherku. Aku akan menelungkup di tanah," geram
orang itu. "Kau aku maafkan, karena kau sudah meny erah. Kau bukan
seorang y ang berilmu tinggi untuk ditakuti sehingga harus
dibunuh. Aku biarkan kau hidup untuk mendapat kesempatan
merenungi dirimu sendiri, siapakah kau itu. Biarlah kau
mengerti arti tantanganmu terhadap salah seorang cantrik
dari padepokan ini, sehingga kau tidak lagi merasa dirimu
seorang y ang tidak terkalahkan," jawab Mahisa Semu.
"Tidak, bunuh aku. Bunuh aku. Kau akan menjadi pengecut
jika kau tidak berani membunuh aku," minta orang itu.
"Kaulah y ang pengecut karena kau tidak berani melihat
keny ataan bahwa dirimu, kau yang merasa berilmu setinggi
langit, yang berani menantang salah seorang cantrik
padepokan ini, yang dengan berani ingin melarikan diri,
ternyata tidak lebih berbahaya dari seekor cacing tanah,"
geram Mahisa Semu. "Jangan hinakan aku seperti itu. Seharusnya kau
membunuhku jika kau menganggap aku bersalah," berkata
orang itu. "Untuk apa membunuhmu dengan mengotori tanganku"
Jika kau cukup berharga untuk dibunuh, maka aku akan
membunuhmu," jawab Mahisa Semu.
"Bunuh aku, bunuh aku," orang itu telah berteriak-teriak
benar-benar seperti orang gila.
Mahisa Semu y ang marah masih akan membuat hati orang
itu semakin sakit. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
mendekatinya. Keduanya telah membimbing Mahisa Semu
untuk membawanya menjauhi orang itu.
Tetapi Mahisa Semu masih berkata lantang. "Kalau kau
ingin mati, matilah. Tidak pantas aku m embunuh orang yang
lemah dan tidak berdaya."
"Sudahlah," berkata Mahisa Murti, "jangan kau hancurkan
perasaannya setelah kau remukkan tulang-tulangnya. Ia sudah
mengaku kalah dan meny erah."
Tetapi Mahisa Semu menjawab: "Ia membuat hatiku
bagaikan terbakar. Ia tidak mau mengakui kekalahannya."
"Tetapi ia sudah meny erah," sahut Mahisa Pukat.
Mahisa Semu memang terdiam. Tetapi jantungnya terasa
bergejolak ketika ia mendengar orang itu berteriak: "Pengecut.
Kenapa kau tidak berani membunuhku."
Hampir saja Mahisa Semu meloncat kembali.
Bagaimanapun juga ia mencoba mempergunakan
penalarannya, tetapi hatinya benar-benar telah terbakar.
Tetapi Mahisa Murti masih membimbingnya dan
membawanya menyingkir. Katanya: "Ketahanan tubuhmu
memang mengagumkan. Tidak sia -sia kau berlatih dengan
tekun. Namun kau pun harus melatih ketahanan jiwamu. Kau
tidak boleh mudah kehilangan akal. Jiwamu tidak boleh cepat
terguncang karena kata-kata y ang kau anggap menusuk
jantungmu." Mahisa Semu menundukkan kepalanya.
"Kau memang masih terlalu muda," berkata Mahisa Pukat,
"namun kau harus berlatih. Aku juga sedang melatih diri
untuk tidak mudah hanyut dalam arus perasaan. Kita harus
selalu m encari keseimbangan antara perasaan dan penalaran,
karena jika keduanya tidak seimbang dan berat sebelah, maka
sikap kitapun menjadi tidak seimbang pula."
Mahisa Semu masih menundukkan kepalanya. Ia tidak
menjawab sama sekali. Tetapi ia memang mulai berpikir
tentang sikapnya terhadap lawannya yang telah
dikalahkannya. Tetapi apakah memang lebih baik membunuhnya sehingga
persoalannya menjadi selesai dan tuntas" pertanyaan itu
memang tumbuh di dalam hatinya.
Namun Mahisa Semu pun selalu teringat akan pesan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, bahkan Mahendra y ang Iebih
banyak membentuknya bahwa tidak sebaiknya membunuh
lawan yang sudah tidak berdaya.
0oo0dw0oo0 (Bersambung ke jilid 93).
Conv er by Editing: MCH Pdf ebook : Dan HIJAUNYA LEMBAH HIJAUNYA LERENG PEGUNUNGAN Jilid 93 Cetakan Pertama PENERBIT: "MURIA" YOGYAKARTA Kolaborasi 2 Website : dengan Pelangi Di Singosari / Pembuat Ebook : Sumber Buku Karya SH MINTARDJA
Scan DJVU : Ismoyo, Arema
Converter : Editor : MCH dan Pdf ebook : --ooo0dw0ooo- Naskah ini untuk keperluan kalangan sendiri,
penggemar karya S.H. Mintardja dimana saja berada y ang
berkumpul di Web Pelangi Singosari dan Tiraikasih
Jilid 093 SEMENTARA ITU, maka para cantrik pun telah m embawa
tawanan yang masih saja berteriak-teriak m inta dibunuh itu
kembali ke bilik tahanannya. Namun para cantrik itu tidak
mau membuat kesalahan. Meski pun orang itu nampaknya
sudah sangat lemah, tetapi para cantrik masih juga
mengikatnya pada pembaringannya. Apalagi orang itu
bagaikan menjadi gila dan berteriak-teriak tanpa dapat
dijinakkan lagi. Namun Mahendra y ang kemudian mendapat laporan
tentang orang itu berkata: "Biarkan saja ia berteriak-teriak.
Pa da satu saat penalarannya akan bekerja kembali, sehingga ia
akan terdiam dengan sendirinya. Bahkan ia akan sempat
membuat pertimbangan-pertimbangan tentang peristiwa yang
baru saja dialaminya."
Nampaknya akibat dari peristiwa itu justru membuat para
tawanan yang lain semakin menyadari kekecilan diri m ereka.
Orang yang dianggap memiliki kelebihan dari yang lain itu,
ternyata telah dikalahkan oleh seorang yang masih sangat
muda. Dalam pada itu, ketika malam turun, serta para tawanan
telah ditempatkan di tempat mereka masing-masing,
Mahendra sempat memanggil Wantilan, Mahisa Semu dan
Mahisa Amping. Diantara mereka hadir pula Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Dengan nada dalam Mahendra berkata terutama kepada
Mahisa Semu: "Ternyata bahwa kemampuanmu telah
meningkat sampai ke tataran yang semakin baik. Kau telah
mampu menghadapi seorang yang telah mendapat
pengalaman y ang sangat luas di dunia kejahatan. Orang itu
tentu telah pernah bertempur dengan berpuluh orang. Bahkan
mungkin telah membunuh banyak orang pula. Dan kau
ternyata mampu mengatasiny a."
Mahisa Semu hanya menundukkan kepalanya saja.
"Tetapi dengan demikian, maka meski pun aku tidak
menyaksikannya, tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sempat melihat pula kekurangan-kekuranganmu," berkata
Mahendra lebih lanjut. "Karena itu, maka aku pun
mengetahui pula, di sisi m ana kau harus lebih meningkatkan
ilmumu, selama ini selain Mahisa Murti dan Mahisa Pukat,
aku telah ikut pula meningkatkan kemampuanmu."
Mahisa Semu mengangguk kecil. Ia justru sangat berterima
kasih, bahwa Mahendra, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
sempat melihat kekurangan-kekurangannya, karena dengan
demikian maka kekurangan-kekurangan itu akan dapat diisi.
Tetapi Mahendra itu pun berkata: "Selain kekurangankekurangan
dalam olah kanuragan, kau masih mempunyai
kekurangan dalam olah kajiwan."
Mahisa Semu menarik nafas dalam-dalam. Setelah ia
sempat merenung, maka ia pun telah m elihat betapa jiwanya
terguncang m enghadapi sikap orang itu. Meski pun ia masih
juga sempat mengingat pesan agar ia tidak membunuh orang
yang sudah tidak berdaya, namun Mahisa Semu itu seakanakan
tidak dapat lagi menguasai dirinya menghadapi sikap
lawannya y ang keras kepala itu.
"Nah," berkata Mahendra kemudian, "untuk selanjutnya
kau perlu m elakukan latihan-latihan y ang lebih banyak. Kau
tingkatkan ilmu kanuragan, namun sekaligus kau harus
menempa jiwamu agar tidak cepat terguncang."
Mahisa Semu mengangguk. Ia tidak dapat berdiam diri
sa ja. Karena itu, maka ia pun telah mengangguk sambil
berdesis: "Aku akan melakukan apa pun yang baik bagi diriku
dan bagi padepokan ini."
"Bagus," berkata Mahendra, "aku yakin bahwa dalam waktu
singkat semuanya akan segera teratasi."
Ternyata peri stiwa itu telah m emberikan satu pengalaman
tersendiri bagi Mahisa Semu. Ia telah melihat satu sikap dari
seorang y ang m enjadi putus asa namun dibebani oleh harga
dirinya yang sangat tinggi.
Tetapi Mahisa Semu pun telah m endapatkan pengalaman
dalam olah kanuragan. Beberapa kali ia telah dikenai
serangan-serangan lawannya yang keras dan kasar itu,
sehingga Mahisa Semu mampu melihat langsung kelemahankelemahannya.
Untunglah bahwa Mahendra telah m emberikan tuntunan
kepadanya sehingga ia mampu berlatih sebaik-baiknya.
Dengan demikian maka day a tahan tubuhnya pun telah
menjadi semakin meningkat dan meningkat. Ketika ia
kemudian dihadapkan kepada seorang penjahat y ang telah
berpengalaman, maka ia sama sekali tidak mengecewakan.
Demikianlah, maka para cantrik itu pun dihari-hari
berikutnya bersama orang-orang yang untuk sementara masih
disebut tahanan itu telah bekerja dengan keras untuk
membuka tanah pertanian dan menaikkan air dari Kali
Rangkut. Dengan air itu, maka tanah yang dibuka itu akan
menjadi tanah persawahan yang cukup baik, yang akan dapat
dipergunakan sebagai landasan satu kehidupan baru ditempat
yang tidak terlalu jauh dari padepokan Bajra Seta itu.
Dalam waktu y ang tidak terlalu lama, maka parit-parit
induk pun telah siap. Sementara itu, brunjung-brunjung
bambu telah diisi dengan batu.
Satu-satu brunjung-brunjung bambu itu telah diletakkan
menyilang Kali Rangkut y ang tidak begitu besar itu. Para
cantrik dan orang-orang yang ingin membuka daerah hunian
yang baru itu telah menutup lubang-lubang diantara batu-batu
dengan tanah dan slangkrang dedaunan dan ranting -ranting
kecil. Dengan demikian, maka air pun perlahan-lahan mulai naik
sejalan dengan semakin tinggi bendungan y ang sedang
dibangun itu. Sehingga akhirnya, maka bendungan itu pun
telah mencapai bibir tanggul y ang tidak begitu tinggi.


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam kerja yang terakhir itu, maka hampir semua cantrik
di padepokan Bajra Seta telah menyaksikannya kecuali
beberapa orang y ang bertugas berjaga-jaga atas segala macam
kemungkinan y ang dapat terjadi.
Mahisa Murti, Mahisa Pukat dan bahkan Mahendra pun
ikut pula menyaksikannya pula.
Air yang semakin tinggi itu masih dipisahkan oleh tanggul
setebal lima enam langkah dari parit induk yang siap
menampung air y ang akan tumpah.
Demikian air mencapai ketinggian yang diharapkan, maka
beberapa orang telah m enggali sebuah parit kecil pada tanah
yang memisahkan permukaan air itu dengan parit induk.
Parit itu tidak terlalu lebar dan tidak dalam. Tetapi air
mulai bergerak seperti kepala seekor ular yang menjalar
mengikuti arah parit kecil itu. Sehingga pada suatu saat, maka
kepala ular y ang menjalar menyusuri parit itu, tumpah
kedalam parit induk y ang telah disiapkan.
Para cantrik dan orang-orang y ang tertawan di padepokan
Bajra Seta itu ber sorak bagaikan meruntuhkan langit. Mereka
berteriak-teriak kegirangan sambil bertepuk tangan.
Air di Kal Rangkut mulai naik dan m asuk ke dalam parit
induk. Tanpa digali lagi, m aka parit kecil yang menghubungkan
permukaan Kali Rangkut dengan parit induk itu semakin lama
menjadi semakin besar, m eski pun pada suatu saat, sebelum
lebar dan dalamnya sama seperti parit induk, parit
penghubung itu tidak lagi bertambah lebar dan dalam. Namun
arus air cukup besar mengalir lewat parit induk itu.
Beberapa orang justru berlari-lari mengikuti ujung air y ang
mengalir di susukan itu sampai beberapa puluh langkah
sambil bertepuk tangan. Dua orang cantrik y ang berlari
dengan kencang, telah m embuka mulut parit yang lebih kecil
yang terletak di pangkal tanah per sawahan itu. Ketika air
kemudian mengalir di parit itu, maka keduanya pun telah
membuka pematang kotak sawah yang pertama disudut
belahan parit itu. Keduanya bersorak-sorak kegirangan, sehingga yang lain,
yang masih berada di bendungan sempat berpaling. Beberapa
orang b erlari -lari mendekat dan ikut bersorak pula ketika air
menjalar memasuki kotak sawah itu dan mulai menebar
disela-sela butir tanah y ang kering.
Ternyata usaha para cantrik dan orang-orang y ang ditawan
di padepokan Bajra Seta itu berhasil. Dengan demikian, maka
orang-orang y ang semula hidup dalam dunia yang kelam itu
mulai berpengharapan, bahwa mereka akan dapat hidup
sebagaimana orang kebanyakan.
Dalam pada itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
berjanji pula atas persetujuan Ki Buyut untuk membagi tanah
itu sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga m ereka akan
dapat hidup dalam lingkungan Kabuyutan itu sebagai warga
yang lain tanpa harus selalu dicurigai lagi.
Meski pun ada diantara mereka yang m asih harus selalu
mendapat pengawasan. Namun kawan-kawan mereka yang
benar-benar telah m enyadari tatanan hidup baru akan dapat
mengawasi mereka. Jika mereka melakukan sesuatu yang
tidak pantas, maka kawan-kawan mereka itu akan dapat
bertindak. Apabila m ereka tidak sanggup, maka orang-orang
padepokanlah yang akan melakukannya.
Dengan demikian, maka sebuah padukuhan telah tumbuh.
Orang-orang yang semula hidup dalam dunia y ang gelap itu
telah mulai dengan satu kehidupan baru. Meski pun semula
padukuhan itu hanya berisi sekelompok orang laki-laki,
namun perlahan-lahan padukuhan itu tentu akan tumbuh
menjadi padukuhan sebagaimana padukuhan kebanyakan,
karena Ki Buyut sendiri dengan penuh pengertian telah
menerima kehadiran padukuhan yang baru itu dengan sadar
sepenuhnya apa saja y ang berada di dalam padukuhan itu.
Sementara itu, orang-orang padukuhan y ang baru itu
sendiri dengan penuh kesadaran atas keadaan mereka, maka
mereka telah menyusun satu kekuatan diantara mereka untuk
menjaga padukuhan mereka yang baru dari kemungkinankemungkinan
buruk. Bekas kawan-kawan mereka pada suatu
saat tentu akan mengetahui apa yang telah mereka lakukan.
Tetapi mereka tidak cemas. Mereka telah menemukan
kawan-kawan y ang semula tidak berasal dari satu kelompok
namun yang merasa bahwa mereka telah memasuki satu dunia
baru y ang sama, sehingga mereka telah m embangunkan satu
ujud kesetia -kawanan y ang tinggi.
Apalagi orang-orang padepokan Bajra Seta yang bersikap
sangat baik kepada m ereka. Dalam keadaan terpaksa, m aka
bukan saja para cantrik, tetapi tentu juga para pemimpin
padepokan itu akan bersedia membantu mereka.
Sementara itu, selain meningkatkan perkembangan
padukuhan baru itu, maka para penghuninya, yang pada
umumnya telah m eningkatkan pula kemampuannya. Mahisa
Murti dan Mahisa Semu sendiri telah menangani mereka
dibantu oleh beberapa orang cantrik terbaik. Namun dalam
perkembangan kemampuan olah kanuragan mereka, maka
orang-orang y ang ada di padukuhan y ang baru itu harus tetap
menjadi orang-orang baru dalam tatanan hidup dan pergaulan
yang wajar. Di padepokan itu sendiri, Mahendra dengan sungguhsungguh
telah menempa Mahisa Amping dan Mahisa Semu.
Keduanya tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun
karena tingkat umur mereka y ang berbeda, maka langkahlangkah
y ang diambil oleh Mahendra untuk meningkatkan
ilmu mereka pun telah berbeda.
Dalam waktu-waktu tertentu, m aka Mahisa Amping telah
diberi kesempatan untuk melakukan latihan dengan para
cantrik. Bahkan para cantrik yang telah memiliki tataran
kemampuan yang cukup. Ternyata bahwa Mahisa Amping yang kecil itu telah
menunjukkan kelebihan yang menggembirakan bagi
Mahendra. Bagaimana pun juga, maka anak itu agaknya akan
menjadi seorang murid y ang baik.
Namun bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, kesibukannya
untuk membentuk padepokannya menjadi sebuah padepokan
yang besar, masih belum memberikan kesempatan
sepenuhnya untuk menangani anak itu.
Tetapi baik Mahisa Amping, mau pun Mahisa Semu tidak
lagi merasa dirinya sia -sia berada di tempat itu. Justru karena
di padepokan itu ada Mahendra. Meski pun Mahendra sudah
menjadi semakin tua, tetapi ia masih mampu menangani
kedua orang y ang berbeda tingkat umurnya itu.
Sedangkan Wantilan y ang berbaur dengan para cantrik,
telah merasa mendapat satu tempat yang baik. Perlahan-lahan
ia telah berhasil m eny esuaikan diri dengan perguruan Bajra
Seta. Meski pun ia m empunyai landasan ilmu yang berbeda,
namun ia mampu mengembangkannya dengan baik di dalam
satu lingkungan perguruan yang sumber ilmunya memang
berbeda. Namun dengan petunjuk dan tuntunan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat meski pun hanya dalam waktu-waktu tertentu,
maka rasa-rasanya ilmunya telah lebur dalam kesatuan ilmu
dengan para cantrik dari perguruan Bajra Seta itu.
Dari hari ke hari, nampak bahwa padepokan dan perguruan
Bajra Seta berkembang dengan bark. Sebagai satu wadah
untuk menimba ilmu kanuragan mau pun berbagai macam
ilmu y ang lain. Bahkan pengaruhnya meluas sampai ke
padukuhan-padukuhan di sekitar padepokan itu. Anak-anak
muda bergantian masih saja datang ke padepokan Bajra Seta
untuk menyadap berbagai macam ilmu. Meski pun dengan
demikian kemampuan y ang mereka dapatkan tidak mendalam
sebagaimana para cantrik, tetapi bagi anak-anak muda itu
sudah cukup besar manfaatnya untuk mengembangkan
padukuhan masing-masing. Tetapi diantara anak-anak muda yang dengan bekerja keras
berusaha meningkatkan padukuhan mereka masing-masing,
masih juga ada anak-anak muda yang sama sekali tidak
menghiraukannya. Karena itu, maka dari padukuhanpadukuhan
y ang terdekat sekali pun masih ada pula anakanak
muda yang tidak tahu, apakah isi sebenarnya dari
padepokan Bajra Seta itu. Sehingga m ereka memang m erasa
heran, bahwa ada juga kawan-kawan mereka sepadukuhan
yang setiap hari datang ke padepokan itu.
Sebenarnyalah usaha Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
sia -sia. Perguruan dan sekaligus padepokan Bajra Seta,
namanya menjadi semakin banyak dikenal. Anak-anak muda
dari daerah y ang jauh pun datang untuk berguru di perguruan
Bajra Seta yang sedang mekar itu.
Sementara itu padukuhan y ang baru tumbuh itu
nampaknya akan segera berkembang menjadi seperti
padukuhan-padukuhan y ang lain. Beberapa orang
penghuninya telah berani mengambil keluarga mereka dari
tempat yang jauh meski pun pada umumnya masih dilakukan
dengan diam-diam. Beberapa orang telah membawa isteri mereka dan anakanak
mereka. Namun memang ada diantara mereka yang
belum beristeri. Sedangkan beberapa orang yang dianggap
berbahaya, ternyata masih juga berada di padepokan. Orang
yang telah berkelahi dengan Mahisa Semu telah menjadi pulih
kembali. Tubuhnya telah menjadi kuat dan tidak nampak
bekas-bekas kekalahannya. Baik pada wadagnya mau pun
pada jiwanya, karena ia m asih saja menunjukkan sifat-sifat
yang buruk. Kata-katanya bahkan selalu m enyakiti hati para
cantrik y ang bertugas, sehingga para cantrik itu semakin lama
menjadi semakin membencinya. Namun pada itu, para cantrik
itu pun menjadi terbiasa melihat sikapnya dan mendengar
kata-katanya, sehingga akhirnya para cantrik itu
menganggapnya sebagai orang gila saja.
Meski pun demikian, setiap kali orang itu masih saja
membuat keributan dan m enimbulkan kegaduhan. Beberapa
orang cantrik kadang-kadang tidak dapat menahan diri
sehingga m ereka menyakiti orang itu. Tetapi orang itu sama
sekali tidak menjadi jera.
Jika hal itu disampaikan kepada Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat, maka kedua orang anak muda itu selalu berkata:
"Biarkan saja orang itu mengigau. Pada suatu saat, ia akan
berhenti dengan sendiriny a."
"Tetapi kadang-kadang telinga ini tidak lagi dapat
menampungnya," berkata salah seorang cantrik.
"Kita wajib bersyukur, bahwa diantara sekian banyak
tawanan hanya seorang saja y ang seakan-akan telah
kehilangan dirinya dan menjadi sangat berbahaya," jawab
Mahisa Murti. Para cantrik hanya dapat mengangguk-angguk saja.
Sementara itu, seperti y ang memang sudah diperhitungkan
sebelumnya, akhirnya kawan-kawan dari orang-orang yang
membuka padukuhan itu mengetahui apa y ang mereka
lakukan. Beberapa orang diantara mereka menganggap, bahwa
orang-orang itu adalah pengkhianat. Justru saat mereka
memerlukan kekuatan y ang besar, kawan-kawan mereka itu
telah berbuat bagi kepentingan mereka pribadi. Hal itu telah
menyalahi paugeran dari setiap kelompok k ejahatan. Mereka
yang sudah m encebur masuk ke dalamnya, tidak akan dapat
lagi keluar dalam keadaan hidup.
Karena itu, m aka orang-orang y ang ada di padepokan itu
harus mati. Namun seperti y ang sudah dilakukan sejak semula, maka
orng -orang yang telah membuka padukuhan itu selalu
bersiaga sepenuhnya. Mereka t elah m embangun gardu-gardu
di setiap mulut lorong serta membuat regol-reg ol dengan pintu
yang kuat. Orang-orang yang belum berkeluarga dengan suka rela
menyatakan diri untuk setiap malam berada di gardu-gardu.
"Lebih senang tidur di gardu," berkata seorang anak muda,
"diantara mereka ada teman berbincang. Ada teman bergurau
dan di malam-malam y ang dingin sempat merebus jagung. Di
rumah seorang diri terasa malamnya bertambah dingin."
Selain kesiagaan y ang tinggi, sejak semula, orang-orang di
padukuhan yang baru itu setiap hari telah meningkatkan
kemampuan mereka dengan cara yang lebih teratur dari caracara
yang mereka tempuh sebelumnya. Sebagai orang-orang
yang hidup dalam dunia y ang gelap, mereka meningkatkan
ilmu mereka dengan cara y ang kasar dan hanya mereka
lakukan di sela-sela kesibukan mereka melakukan kejahatan.
Tetapi di padukuhan itu, setiap hari mereka bergantian
masuk ke padepokan. Sebagian diantara mereka pagi hari,
kemudian siang hari, sore hari dan ada diantara mereka yang
memilih melakukannya di malam hari. Namun mereka
menyadari, bahwa ilmu itu akan dapat melindungi mereka
sendiri serta keluarga mereka, sehingga mereka telah
melakukannya dengan tekun.
Hal itulah yang kurang diperhitungkan oleh bekas kawankawan
mereka y ang menjadi sakit hati. Yang ada pada jantung
mereka adalah dendam yang membara.
Karena itu, maka pada satu saat, beberapa kelompok
diantara merelah berkumpul.
Namun tidak semua pemimpin kelompok menghiraukan
kawan-kawan mereka y ang mereka anggap berkhianat. Ada
beberapa orang pemimpin kelompok y ang menjadi tidak
peduli lagi. Bahkan ada y ang berterus terang, tidak lagi
mempunyai orang y ang cukup untuk melakukan balas dendam
seperti itu. "Jika kita bergabung, maka jumlah kita akan menjadi
banyak. Sehingga kita tidak akan mungkin gagal," jawab
seorang pemimpin kelompok y ang mendendam sampai ke
tulang sungsum. "Meski pun kita berhasil, tetapi apa y ang kita dapatkan"
Kepuasan" Sementara itu diantara kawan-kawanku yang
sedikit itu ada pula y ang mati, terluka parah dan t ertangkap
jawab seorang pemimpin kelompok y ang lain."
"Siapa y ang akan menangkap kawan-kawan kita itu" Kita
akan memusnahkan mereka. Semua orang akan mati. Dan
rasa-rasanya dada ini akan menjadi lapang," jawab pemimpin
kelompok y ang sangat mendendam.
Tetapi orang yang merasa kelompoknya semakin kecil itu
masih saja berkeberatan. Katanya: "Kami tidak ikut.
Bagaimana pun juga kami t idak akan mengorbankan orangorang
kami untuk hal-hal y ang tidak memberikan arti


04 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung pada kehidupan kami."
"Baiklah," berkata orang yang m endendam, "kami hanya
minta agar kalian mengetahui, bahwa kami akan
membinasakan semua orang dalam padukuhan yang baru itu.
Jika orang-orang kalian ikut binasa, jangan salahkan kami."
"Tidak. Kami tidak merasa berkeberatan. Kami hanya tidak
ingin anggauta kami semakin menyusut lagi," jawab seorang
diantara para pemimpin dari kelompok-kelompok yang kecil.
Akhirnya orang-orang yang berkumpul itu memutuskan,
bahwa segala sesuatunya diserahkan kepada para pemimpin
kelompok masing-masing. Apakah mereka akan ikut dalam
satu hentakkan balas dendam atau tidak.
Meski pun demikian, ternyata kelompok-kelompok y ang
mendendam cukup banyak. Mereka akan dapat
mengumpulkan banyak orang untuk menghancurkan sebuah
padukuhan y ang baru tumbuh.
"Mereka harus merasa meny esal," geram seorang
pemimpin y ang mendendam itu.
Dengan demikian maka m ereka pun telah membuat janji
diantara mereka. Hari -hari yang ditentukan untuk melakukan
kegiatan itu. Dalam pada itu, para pemimpin dari orang-orang y ang
mendendam itu pun telah memperhitungkan kemungkinankemungkinan
y ang dapat timbul dari padepokan yang tidak
terlalu jauh dari padukuhan tersebut.
"Kita harus bergerak cepat," berkata salah seorang dari
antara pemimpin itu, "sebelum bantuan datang, maka
padukuhan itu harus sudah hancur. Bahkan seandainya
bantuan itu datang dengan cepat, jumlah m ereka tentu tidak
akan memadai, sehingga kita akan dapat menghancurkan
bantuan itu pula." Dengan demikian maka bantuan dari padepokan itu tidak
akan t erlalu banyak berpengaruh. Orang-orang yang
mendendam itu akan berpacu dengan waktu.
Demikianlah, ketika saatnya telah tiba, maka beberapa
kelompok orang telah berkumpul. Jumlah mereka ternyata
menjadi besar sebagaimana saat mereka meny erang
padepokan Bajra Seta. Agaknya kelompok-kelompok yang
besar dari para penjahat itu justru menjadi semakin besar,
sehingga nampaknya ketenangan hidup pun akan menjadi
semakin sempit. "Kita akan bergerak di malam hari. Menjelang fajar kita
akan memasuki padukuhan itu. Menghancurkan segala isinya
dan membunuh semua orang. Kemudian, kita akan
menghilang dengan cepat," berkata seorang diantara para
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 14 Pendekar Slebor 29 Siluman Hutan Waringin Cover Boy 3
^