Iblis Pemanggil Roh 3
Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh Bagian 3
manusia biasa, rasanya tidak mungkin membalas se-
rangan. Wesss! Wesss!
Untungnya di saat Siluman Ular Putih kebin-
gungan, mendadak dua larik sinar putih terang mele-
sat dari kedua telapak tangan Penyair Sinting. Cepat dipapakinya pukulan 'Darah
Mayat' si Jerangkong.
Blarrr...! Tepat ketika terjadi ledakan, Siluman Ular Pu-
tih telah menjelma kembali jadi manusia biasa. Namun
tak urung tubuhnya terlempar, terkena pengaruh le-
dakan. Sementara lagi-lagi tubuh tinggi kurus Penyair Sinting terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah segar
membasahi bibir, pertanda orang tua renta dari Gu-
nung Slamet mendapat guncangan keras pada bagian
dada. Sedang si Jerangkong hanya sedikit bergoyang-goyang. Kemudian tanpa
menghiraukan Penyair Sint-
ing, kembali diserangnya Siluman Ular Putih. Untung saja, saat itu Soma telah
kembali menjelma jadi manusia biasa, sehingga dapat menghindarinya dengan me-
liuk-liukkan tubuhnya.
"Wah wah wah...! Kenapa aku saja yang dis-
erang" Hey, Jerangkong Goblok"! Tuh, serang orang
tua yang sedang jual lagak itu! Cepat!" celoteh Soma alias Siluman Ular Putih
terus meliuk-liuk ke sana
kemari menghindari serangan
Namun anehnya, si Jerangkong terus saja
menggempur hebat Siluman Ular Putih. Hal ini tentu saja sangat mengherankan Soma
dan Penyair Sinting
yang telah kembali berdiri kokoh.
"Bocah tolol! Tak mungkin kita mengalahkan
benda aneh ini. Lekas bawa temanmu yang cantik itu
pergi! Nanti aku menyusul! Lekas!"
Kening Soma berkerut dalam.
"Benarkah aku dan Penyair Sinting yang sakti
tidak dapat mengalahkan benda aneh ini" Tapi... tapi buktinya saja aku tidak
sanggup menghadapinya.
Bahkan Penyair Sinting pun sudah terluka. Ah, bagaimana ini?" gumam Soma sambil
garuk-garuk kepala dengan sikap bingung.
"Hey, tolol! Lekas bawa gadismu itu pergi! Nih,
nanti minum obat pulung ini pada gadismu itu! Tapi, ingat! Jangan pakai air!"
ujar Penyair Sinting, membentak kesal.
Dan ketika dua larik sinar kuning dari tangan
kayu si Jerangkong kembali menyerang Siluman Ular
Putih, Penyair Sinting mengibaskan kedua tangannya
dengan pukulan andalan 'Pancar Surya'!
Wesss! Wesss! Bumm...!!! Lagi-lagi tubuh Penyair Sinting terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Darah segar
kembali membasahi sudut-sudut bibirnya!
"Dasar orang tua sinting! Bagaimana mungkin
aku dapat meminumkan obat pulung pada temanku
kalau tidak pakai air"!" gerutu Soma.
"Hm...! Bocah goblok! Kalau saja bahaya maut
sedang tidak menghadang kita, sudah kurobek-robek
mulut dowermu itu! Lekas bawa gadismu itu pergi!
Kau boleh meminumkan obat pulung itu pakai kayu
atau... pakai mulutmu juga boleh!"
Soma sebenarnya ingin tertawa. Namun ketika
melihat wajah sungguh-sungguh Penyair Sinting, niatnya segera diurungkan.
"Lantas" Siapa sebenarnya yang telah mengen-
dalikan benda sakti itu, Orang Tua?" tanya Soma penasaran.
"Dia.... Dia...."
"Ha ha ha...! Kenapa kau bingung-bingung, Je-
rangkong"! Sikat saja tua bangka keparat itu! Lekas!
Laksanakan perintahku!"
Belum sempat Penyair Sinting bicara, tiba-tiba
di tempat pertempuran terdengar satu bisikan halus
mirip desau angin!
Mendengar bisikan halus dari orang yang men-
gendalikannya, si Jerangkong sejenak menghentikan
serangan. Tampak kalau ia tengah bersiap-siap meng-
hadapi pengeroyoknya. Lalu dengan gerakan cepat, sosok aneh itu pun kembali
meloncat tinggi ke udara.
Tangan kayunya sebelah kiri didorong ke arah Siluman Ular Putih. Sedang tangan
kayu sebelah kanan dikibaskan ke arah Penyair Sinting.
"Siapa orang yang mengendalikan Jerangkong
ini, Orang Tua?" tanya Soma seraya membuang tubuhnya ke samping menghindari
serangan si Jerang-
kong. Tanpa menjawab, Penyair Sinting bertindak serupa. Dengan sekali
menghentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah melompat
ke samping. Sehingga, serangan si Jerangkong hanya
menghantam gundukan tanah di belakangnya.
Bummm...! Gundukan tanah itu hancur menciptakan ke-
pulan debu amat pekat! Sisa-sisa gundukan tanah itu hangus terbakar, mengepulkan
asap kekuningan!
"Siapa lagi kalau bukan manusia laknat Iblis
Pemanggil Roh"! Lekas cari dia! Ia pasti berada di makam Penghuni Alam Maut di
atas Bukit Menjangan tak
jauh dari sini! Lekas sekalian bawa gadismu yang cantik itu! Biar aku bermain-
main sebentar dengan benda edan ini," buru Penyair Sinting menjawab seraya
memberi perintah.
Siluman Ular Putih bukannya berjiwa pengecut.
Tapi bila mengingat keadaan Pulasari yang mengkha-
watirkan, kekerasan hatinya untuk menghadapi si Je-
rangkong lumer juga. Maka Soma pun segera berkele-
bat menyambar tubuh si gadis, lalu cepat meninggal-
kan tempat ini.
"Terima kasih, Orang Tua. Hati-hatilah! Jan-
gan-jangan pantatmu kena gebuk tangan kayu benda
edan itu! Selamat tinggal, Orang Tua!"
Si Jerangkong adalah budak yang taat. Melihat
salah seorang calon korbannya kabur, segera ia me-
lompat tinggi. Langsung dikejarnya Siluman Ular Putih yang tengah berlari
kencang menuju timur sambil
memondong tubuh Pulasari. Kedua tangannya yang te-
lah berobah menjadi kuning itu segera mendorong ke
arah Siluman Ular Putih.
Wesss! Wesss! Namun pada saat yang mengkhawatirkan, Pe-
nyair Sinting pun menghentakkan kedua tangannya.
Saat itu pula dua larik sinar putih berkilauan melesat dari kedua telapak
tangannya, langsung memapak sinar-sinar kuning dari si Jerangkong.
Blaaarrr...! Penyair Sinting kembali terhuyung-huyung be-
berapa langkah ke belakang begitu terjadi ledakan akibat bertemunya sinar-sinar
berlainan jenis. Namun,
setidak-tidaknya lelaki sinting itu telah memperlancar Siluman Ular Putih dalam
melarikan diri. Dan kenyataannya memang demikian. Siluman Ular Putih yang
tengah memondong tubuh Pulasari kini telah menghi-
lang ditelan kerimbunan hutan depan sana.
Kalau saja si Jerangkong dapat bicara, sudah
pasti akan memaki habis-habisan. Namun sayang, ia
hanyalah benda mati. Hanya karena roh Penghuni
Alam Maut yang masuk ke dalam tubuhnya sajalah
yang membuatnya jadi hidup!
Dan ketika Soma telah jauh meninggalkan tem-
pat pertempuran, si Jerangkong kembali menghadapi
Penyair Sinting. Sebentar saja pertarungan sengit yang mengandalkan ajian-ajian
tingkat tinggi pun berlang-sung.
Kali ini Penyair Sinting makin kewalahan saja.
Rasanya sulit baginya untuk mengalahkan lawan
anehnya. Sejengkal pun, si Jerangkong tidak pernah
memberi kesempatan lolos bagi Penyair Sinting.
"Jangkrik! Kalau begini terus caranya, malah
bisa modar aku!" gerutu Penyair Sinting dalam hati.
Melihat serangan-serangan demikian hebatnya,
Penyair Sinting cepat memutar lonceng kecil di tangan kanan. Ditangkisnya
serangan tangan kanan si Jerangkong. Sedang tangan kirinya dipergunakan untuk
memapak pukulan 'Darah Mayat'.
Wesss! Wesss! Prakkk! Bummm! Tangkisan lonceng yang diakhiri dengan satu
letusan hebat di udara, membuat wajah Penyair Sint-
ing pucat pasi. Tampak darah segar menyembur dari
mulutnya. Sedang tubuhnya yang sempat terhuyung-
huyung cepat digulingkan ke samping. Sambil bergu-
lingan begitu, kedua telapak tangannya yang telah berobah menjadi putih
berkilauan buru-buru dihentak-
kan ke depan. Wesss! Wesss! Serangan Penyair Sinting berhasil dihindari si
Jerangkong dengan memutar tubuhnya.
Namun kesempatan baik ini tidak disia-siakan
lelaki tua itu.
"Hup...!"
Saat itu pula Penyair Sinting segera berkelebat
cepat meninggalkan tempat ini.
"Kejar! Jangan sampai lolos!"
Tiba-tiba kembali terdengar bisikan halus mirip
angin kepada si Jerangkong.
Meski tanpa diperintah sekalipun si Jerangkong
pasti menjalankan tugasnya hingga calon korbannya
tewas. 10 Soma menghentikan larinya di pinggiran pa-
dang rumput yang cukup luas. Sejenak matanya edar-
kan ke segenap penjuru. Di hadapannya tampak se-
buah bukit hijau. Entah bukit apa itu. Pemuda ini tidak begitu tertarik. Melihat
Pulasari masih pingsan dalam pondongannya, hatinya jadi gelisah sekali. Buru-
buru diturunkannya tubuh Pulasari dan direbahkan di tanah rerumputan.
Wajah cantik Pulasari tampak demikian pucat-
nya. Kedua telapak tangannya hingga ke pangkal siku berwarna kuning terkena
racun pukulan 'Darah Mayat'
si Jerangkong. Rasanya Soma tidak tega membiarkan
gadis itu tersiksa lebih lama. Maka buru-buru diro-
gohnya obat pulung berwarna kuning pemberian Pe-
nyair Sinting. Besarnya obat pulung itu kira-kira hampir se-
besar biji kelengkeng. Cukup besar memang. Perlahan-lahan Soma pun mulai membuka
mulut Pulasari. Dije-
jalkannya obat itu ke mulut si gadis. Ajaib sekali! Ternyata, obat pemberian
Penyair Sinting tidak dapat tertelan. "Ah...! Sebaiknya pakai air," desah Soma
dalam hati sambil memasukkan kembali obat pulung itu ke
saku. "Tapi... tapi Penyair Sinting pesan kalau obat ini tidak dapat ditelan
dengan air" Ah...! Masa bodohlah!
Mana ada sih menelan obat tidak pakai air" Ada-ada
saja Penyair Sinting itu. Dasar orang tua sinting! Pokoknya, sekarang aku harus
secepatnya mendapatkan
air!" Habis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
segera berkelebat mencari air. Kebetulan sekali tak jauh dari padang rumput tadi
ia melewati sendang
dengan sebuah pancuran. Maka kini larinya diarahkan ke sana.
Dalam waktu singkat Soma telah tiba di sen-
dang kecil yang dimaksudkan.
"Air pancuran ini jernih sekali. Aku jadi ingin mandi," gumam Soma lagi dalam
hati. Namun ketika teringat akan keselamatan Pula-
sari, si pemuda cepat urungkan niatnya. Sebentar matanya beredar ke sekeliling
seperti mencari sesuatu.
Dan ketika melihat daun talas timbul gagasan untuk
memetiknya. Daun talas itu akan digunakannya untuk
membawa air. Dengan daun talas yang tangkupkan,
Soma menadahi air pancuran. Tidak terlalu sulit me-
mang. Sebentar saja daun talas itu sudah penuh air.
Soma kini buru-buru kembali menemui Pulasa-
ri. Sekali menjejakkan kaki ke tanah, tubuh tinggi kekarnya pun telah berkelebat
menuju tempat Pulasari
ditinggalkan. Karena jarak yang tak terlalu jauh, Siluman
Ular Putih kini tiba di dekat Pulasari.
Ternyata, si gadis masih terbaring di tempat-
nya. Soma lega sekali. Padahal tadi ia khawatir sekali kalau-kalau ada orang
jahat menculik gadis itu.
Dengan sikap mantap Soma segera berjongkok
di samping gadis itu. Tangan kirinya buru-buru mero-goh obat pulung kuning
pemberian Penyair Sinting ta-di. Lalu sambil memegangi daun talas berisi air di
tangan kanan, Soma berusaha menjejalkan obat itu ke dalam mulut Pulasari.
Setelah obat itu masuk, baru So-ma menuangkan air dalam daun talas ke dalam
mulut Pulasari. Namun apa yang terjadi" Ternyata obat kuning
itu kembali mencelat keluar dari dalam mulut Pulasari.
Buru-buru Soma memungutnya dan membersihkan-
nya dengan baju.
"Aneh...! Masa' sih, didorong pakai air obat ini malah menceliat keluar?" desah
si pemuda sambil menggeleng-geleng. "Ah, coba ku ulang sekali lagi. Siapa tahu
bisa." Habis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
kembali memasukkan obat pulung ke dalam mulut Pu-
lasari. Lalu, segera dituangkannya air dalam daun talas hingga habis.
Namun anehnya, obat kuning itu kembali men-
celat keluar. Hal ini membuat Soma kembali garuk-
garuk kepala dengan sikap bingung. Boro-boro obat
kuning itu tertelan. Malah sebagian baju atas Pulasari basah terkena air,
membuat lekuk-lekuk tubuh bagian atasnya tercetak.
"Ah...! Dasar orang tua sinting. Membuat obat
pemunah racun pun masih pakai cara sinting!" gerutu Soma lagi-lagi selalu
menyalahkan Penyair Sinting.
Dan ketika teringat ucapan Penyair Sinting ta-
di, si pemuda jadi garuk-garuk kepala lagi. Pipinya me-rona merah saking
jengahnya. "Masa' sih, aku harus memasukkan obat ini
dengan cara meniup ke dalam mulut Pulasari?" gumam Soma bingung. "Tapi... tapi
kalau ku dorong pakai kayu itu lebih tidak mungkin! Ah...! Bagaimana ini?"
Siluman Ular Putih kembali garuk-garuk kepala. Bingung. Entah, sudah berapa kali
Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
murid Eyang Begawan Kamasetyo menggaruk-garuk kepala saking
bingungnya. Padahal rambutnya tidak terasa gatal.
"Hm...! Tak ada jalan lain. Mungkin ucapan
orang tua sinting itu benar. Aku harus memasukkan
obat keparat ini ke dalam mulut Pulasari dengan mu-
lut. Berarti... berarti aku bisa juga dikatakan mencuri cium" Ah, bagaimana ini"
Pasti Pulasari akan marah
besar kalau aku berbuat tidak senonoh padanya!" lagi-lagi Soma menggumam
bingung. Sejenak dipandanginya wajah cantik yang pu-
cat itu dengan perasaan jengah. Bagaimana tidak jengah kalau baru pertama kali
murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu harus menempelkan bibirnya ke bibir
seorang gadis"!
"Hm...! Tidak ada jalan lain! Terpaksa aku ha-
rus menuruti saran orang tua sinting itu. Tapi, awas!
Kalau aku bertemu orang tua sinting itu, pasti aku
akan membalasnya!" ancam Soma jengkel.
Namun, toh akhirnya Siluman Ular Putih mau
juga menuruti saran Penyair Sinting. Maka dengan
menekan perasaan jengahnya, mulai dimasukkannya
obat pemberian Penyair Sinting ke dalam mulut Pula-
sari. Namun, meski Soma telah menekan perasaan
jengahnya, tetap saja merasa ragu-ragu ketika akan
mendekatkan mulutnya ke bibir merah Pulasari.
"Maafkan aku, Pulasari! Demi Tuhan aku tidak
bermaksud berlaku tidak senonoh padamu," ucap So-ma.
Dan sambil memejamkan matanya rapat-rapat,
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai mende-
katkan bibirnya ke bibir Pulasari. Aneh sekali! Begitu bibirnya menempel, murid
Eyang Begawan Kamasetyo
itu jadi enggan sekali melepaskannya. Betapa dari bibir merah Pulasari, Soma
merasakan kehangatan yang belum pernah dirasakan seumur hidupnya. Sehingga, ia
sampai lupa apakah obat tadi sudah tertelan oleh Pu-
lasari atau belum. Yang jelas, perasaan Soma makin
melambung tinggi. Apalagi ketika merasakan ada se-
suatu yang bergerak-gerak dalam mulut Pulasari.
Soma jadi benar-benar lupa diri. Namun di saat
si pemuda tengah terbuai dalam kehangatan, tiba-tiba Pulasari terbangun.
Lalu.... "Hih...!"
Plakkk! Plakkk!
"Ohh..."!"
Setelah mendorong tubuh Soma, si gadis cepat
menggerakkan tangan kanannya. Dua kali. Maka, dua
kali pula pipi Soma terkena tamparan tangannya.
Soma membelalakkan matanya lebar. Bukan-
nya sakit akibat tamparan Pulasari tadi, melainkan
kaget melihat Pulasari ternyata sudah siuman!
"Kunyuk gondrong tak tahu malu. Cih...! Begi-
nikah caramu memperdayai seorang gadis" Memalu-
kan! Pendekar macam apa kau ini"!" bentak Pulasari, kalap bukan main.
Sekali menggerakkan tubuhnya, Pulasari telah
berdiri. Sepasang mata jelinya berkilat-kilat penuh kemarahan. Kemudian dengan
kemarahan meluap,
diserangnya Soma yang tadi jatuh terduduk.
Bukkk! Bukkk! Entah sudah berapa kali tendangan Pulasari
mendarat telak di sekujur tubuh murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Namun, si pemuda masih tetap diam
saja. Ia seolah-olah masih terpana melihat bibir merah Pulasari yang bergerak-
gerak di hadapannya penuh
kemarahan. "Aku.... Aku... ah! Demi Tuhan aku tidak ber-
maksud berbuat tidak senonoh padamu, Pulasari. Per-
cayalah!" sergah Soma gugup bukan main.
"Percuma saja kau sebut-sebut Tuhan! Toh,
kau melakukannya juga, kan"!" tukas Pulasari tak dapat lagi menahan amarahnya
yang menggelegak. Tu-
buhnya kembali mencelat membawa serangan ganas.
Buk! Bukk! Plakk!
Tendangan dan tamparan gadis itu kembali
menghajar sekujur tubuh murid Eyang Begawan Ka-
masetyo tanpa ampun.
"Semprul! Ini semua gara-gara orang tua sinting itu! Sial-sial!" gerutu Soma
kesal dengan tubuh bergulingan tanpa melawan.
"Jangan menyalahkan orang lain! Sekarang, ja-
wab! Sudah kau apakan aku, he"!" dengus si gadis.
"Ya, ampun! Kau masih belum percaya juga
dengan keteranganku" Demi Tuhan, aku tidak ber-
maksud berlaku tidak senonoh padamu. Tadi... tadi
Penyair Sinting memang memberi ku sebuah obat kun-
ing untuk memunahkan racun akibat pukulan 'Darah
Mayat' si Jerangkong. Dan menurut keterangannya,
memang dengan cara seperti tadi itulah aku mesti
memasukkan obat ke dalam mulutmu," jelas Soma, kali ini terpaksa berkelebat ke
sana kemari menghindari amukan Pulasari.
"Aku tidak percaya! Mana ada meminumkan
obat dengan cara sinting itu!" geram Pulasari penuh kemarahan.
Tamparan-tamparan dan tendangan kaki gadis
cantik itu makin menghebat. Sementara Siluman Ular
Putih harus berloncatan ke sana kemari, sambil men-
jelaskan duduk persoalannya.
"Semula aku sendiri juga tidak percaya, Pulasa-ri. Tapi setelah ku coba memang
kenyataannya gagal.
Kalau tidak percaya, coba lihat! Pakaian atasmu basah semua, kan" Nah! Itu tadi
aku sudah mencoba memasukkan obat sinting itu dengan air. Tapi toh, aku tetap
saja gagal. Maka dengan sangat terpaksa sekali, terpaksa aku melakukan itu
seperti yang telah disaran-
kan Penyair Sinting!"
"Hm...!" Pulasari menggumam tak jelas. Namun amarahnya masih belum reda. Dan
ketika melihat baju bagian atasnya memang basah kuyup, hatinya jadi ra-gu-ragu.
Maka seketika serangan-serangannya dihen-
tikan. "Be... benar kau... kau tidak bermaksud kurang ajar padaku, Soma?" tanya
Pulasari ragu-ragu.
"Ya, ampun! Memangnya aku sudah gila! Orang
yang memberi obat pemunah racun itulah yang gila!"
"Tapi kalau kau memang terbukti berlaku ku-
rang ajar padaku, demi Tuhan aku akan membunuh-
mu, Soma!" geram Pulasari akhirnya.
"Baik, baik! Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada orang tua gila itu!" sungut
Soma kesal. "Maksudmu, orang tua sakti bergelar Penyair
Sinting?" "Yah...! Siapa lagi"!"
"Hm...! Baik! Nanti kalau aku bertemu dengan-
nya, aku pasti akan menanyakan hal ini padanya," ka-ta Pulasari. "Sekarang kita
berada di mana" Dan mana Jerangkong yang telah mencelakakan ku itu?"
"Aku tidak tahu, di mana kita sekarang. Yang
jelas, sekarang benda edan Jerangkong itu tengah bertempur hebat melawan Penyair
Sinting yang juga me-
nyarankan agar aku mencari Iblis Penggali Roh. Kare-na tokoh sesat itulah yang
telah mengendalikan si Jerangkong!"
"Lalu, kita akan mencari ke mana?" tanya Pulasari, sudah dapat mulai
mengendalikan amarahnya.
"Kalau menurut keterangan Penyair Sinting,
aku harus mencari makam Penghuni Alam Maut di
atas Bukit Menjangan. Tapi aku sendiri belum tahu, di mana letaknya Bukit
Menjangan."
"Hm...! Bukit di depan kita itulah Bukit Men-
jangan!" sambut Pulasari cepat.
"Dari mana kau tahu kalau bukit di depan kita
itu Bukit Menjangan?"
"Letak markas padepokan tidak berjauhan den-
gan bukit itu. Jadi, kau tak perlu banyak tanya lagi.
Hayo, sekarang kita ke sana. Aku sudah gatal ingin
menghajar orang yang telah menebar maut di padepo-
kanku!" ajak Pulasari.
"Baik, baik! Tapi senyum dulu dong! Biar enak
dipandang mata, begitu!" goda Soma.
"Apa kau belum kapok kugebuk, he"!" dengus Pulasari dengan mata melotot lebar.
"Eh...! Jangan, jangan! Maksudku, jangan ragu-
ragu kalau ingin menggebuk ku!" goda Soma lagi.
Pulasari makin melotot lebar. Namun belum
sempat melayangkan tangan kanannya untuk menam-
par, Soma telah menyingkir. Si pemuda segera berke-
lebat meninggalkan Pulasari.
Pulasari hanya dapat menahan jengkel. Kemu-
dian dengan sekali menjejak tanah, gadis cantik putri angkat Malaikat Kaki
Seribu itu pun telah berkelebat cepat menyusul Soma.
11 Dengan menahan luka dalamnya, Penyair Sint-
ing terus berkelebat cepat meninggalkan Hutan Min-
den. Itu memang jalan satu-satunya. Tak mungkin Je-
rangkong itu dilawan terus menerus.
Namun sayangnya, si Jerangkong pun tidak
mau membiarkan calon korbannya pergi begitu saja.
Begitu melihat si tua berwajah tirus meninggalkan
tempat pertarungan, tubuhnya pun segera melenting
tinggi ke udara. Dan dengan caranya yang aneh, si Jerangkong telah berkelebat
cepat mengejar Penyair Sinting.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Penyair Sinting terus berkelebat menuju
timur. Namun ternyata ilmu
meringankan tubuh si Jerangkong pun juga tak kalah
hebat. Meski dengan cara melenting-melenting tinggi ke udara lalu menapak ke
tanah, si Jerangkong akhirnya dapat mendekati Penyair Sinting.
Begitu berada beberapa tombak di belakang
Penyair Sinting, kedua tangan Jerangkong yang ber-
warna kuning segera mengibas.
Wesss! Wesss! Seketika melesat dua larik sinar kuning dari
pukulan 'Darah Mayat', mengancam punggung Penyair
Sinting! Lelaki tua berwajah tirus tahu kalau di belakang ada bahaya mengancam.
Sungguh ia tidak me-
nyangka kalau Jerangkong mampu menyusul larinya.
Dan begitu merasakan hawa panas menyambar pung-
gungnya, tanpa banyak pikir panjang tubuhnya segera dibuang ke kiri.
"Hup!"
Brakkk...! Dua larik sinar kuning yang melesat dari tan-
gan kayu Jerangkong menerabas ke depan, langsung
menghantam batang pohon hingga berlobang dan han-
gus terbakar! Tidak lama kemudian pohon itu pun
tumbang dengan suara bergemuruh. Debu-debu beter-
bangan begitu batang pohon itu menimpa tanah den-
gan daun-daunnya layu!
Di saat Penyair Sinting hendak bangkit, sosok
Jerangkong tahu-tahu telah tegak di hadapannya pada jarak enam tombak. Kedua
tangannya yang berwarna
kuning kembali siap melontarkan pukulan 'Darah
Mayat'. Penyair Sinting mengeluh. Baru seumur hidupnya ia menemui musuh
setangguh itu. Dan musuhnya
kali ini tak ubahnya seperti malaikat maut yang siap merenggut nyawanya!
"Jangkrik! Benda edan ini benar-benar mengin-
ginkan jiwaku!" dengus Penyair Sinting.
Dan kenyataannya memang demikian. Sebelum
Penyair Sinting bertindak, sosok Jerangkong telah berkelebat cepat menyerang
dengan jurus-jurus andalan
milik Penghuni Alam Maut! Kedua tangannya yang
berwarna kuning sesekali melontarkan pukulan 'Darah Mayat'! Penyair Sinting
mengeluh. Keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. Sementara si
Jerangkong pun telah meningkatkan serangan-serangan
mautnya. "Uts...!"
Penyair Sinting kini jadi kalang kabut. Baju pu-
tihnya sudah compang-camping tidak karuan terkena
sambaran-sambaran tangan kayu Jerangkong. Namun
tokoh sakti dari Gunung Slamet itu tampak sudah ne-
kat akan mengadu nyawa. Kini, ia tidak lagi berusaha menghindari atau berkelit.
Melainkan juga sudah berani membalas dengan cara sangat berani!
Begitu kedua tangan kayu Jerangkong hendak
menghantam dada, Penyair Sinting nekat menangkis
dengan lonceng di tangan kanannya!
Prakkk! Lonceng di tangan kanan Penyair Sinting mele-
sak dalam. Sedang tangannya terasa panas bukan
main. Tapi lelaki tirus itu tidak begitu menghiraukan.
Begitu si Jerangkong kembali menyerang den-
gan pukulan 'Darah Mayat', Penyair Sinting nekat memapak dengan pukulan 'Pancar
Surya'. Tentu saja un-
tuk itu ia harus mengerahkan tenaga dalam sampai
puncaknya. Wesss! Wesss! Bummm...!!! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam kali ini. Dan karena Penyair Sinting mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya,
akibatnya tubuhnya kembali terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang!
Wajahnya pucat pasi!
Sedang si Jerangkong hanya terjajar dua tindak
ke belakang. Namun begitu dapat menguasai keseim-
bangan badannya, kembali diserangnya Penyair Sint-
ing. Penyair Sinting mengeluh. Keringat dingin ma-
kin membanjiri tubuhnya. Rasanya hawa kematian
makin dekat saja dengan dirinya....
12 Jarak antara padang rumput tempat Siluman
Ular Putih dan Pulasari beristirahat dengan Bukit
Menjangan memang tidak begitu jauh. Tak heran ka-
lau dalam waktu yang tidak lama kedua anak muda ini telah tiba di bukit yang
dimaksudkan. Di atas Bukit Menjangan, matahari tampak mu-
lai rebah di pangkuan cakrawala. Sinarnya yang merah tembaga menyinari sebagian
puncak bukit. Soma dan
Pulasari terus melangkah mencari makam Penghuni
Alam Maut. Selang beberapa saat, sepuluh tombak da-
ri mereka menghadang dua pohon beringin tua yang
telah tumbang.
Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menilik keadaannya, bisa jadi baru beberapa
hari belakangan ini kedua pohon beringin itu tumbang.
Kalau memang iya, berarti ada orang sakti yang telah menumbangkannya," gumam
murid Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
"Ada apa, Soma" Kok malah bengong saja?"
tanya Pulasari, heran dengan sikap Siluman Ular Pu-
tih. "Sssst...!" Soma memalangkan telunjuk jari ke depan mulut, mengisyaratkan gadis
itu untuk diam.
Lalu dengan isyaratkan tangannya, si pemuda segera
berkelebat ke arah reruntuhan pohon beringin. Se-
dangkan Pulasari cepat mengikutinya.
Ternyata apa yang dilihat di balik rindangnya
pohon beringin yang tumbang benar-benar membuat
hati dua anak muda itu tercekat. Di atas makam, tampak seorang lelaki tua
berpakaian hitam-hitam kedo-
doran tengah khusuk bersemadi. Usianya kira-kira tujuh puluh atau delapan puluh
tahun. Rambutnya pu-
tih memanjang tergerai di bahu. Tampak sekali kalau semadinya tak ingin
diganggu. Soma tercenung memperhatikan lelaki tua di
belakangnya yang tak henti-hentinya berkemik-kemik.
Entah, sedang membaca mantra apa. Yang jelas, sepa-
sang matanya terpejam rapat-rapat.
"Heran" Kalau dia orang sakti yang telah me-
numbangkan dua pohon beringin besar ini, lalu men-
gapa tidak mendengar kehadiranku?" gumam murid
Eyang Begawan Kamasetyo tak dapat menahan rasa
heran. Tapi, kenyataannya memang demikian. Lelaki
tua berpakaian hitam-hitam yang tidak lain Iblis Pemanggil Roh saat ini memang
tengah menajamkan ma-
ta batinnya untuk mengikuti jalannya pertarungan antara Penyair Sinting dengan
Jerangkong. Maka tak heran meski ia punya kepandaian tinggi, tetap saja tidak
dapat mendengar kehadiran dua anak muda di belakangnya.
Satu hal yang menjadi kelemahannya, ternyata
Iblis Pemanggil Roh tidak tahu kalau Penyair Sinting telah memerintahkan Soma
untuk mencari tempat
persembunyiannya! Karena dalam semadinya, ia hanya
dapat melihat apa yang tengah dilakukan Jerangkong
dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan kalau Iblis Pemanggil Roh mampu mengirim
suara jarak jauh, tetap
saja tidak mampu mendengar apa yang dibicarakan
orang-orang di sekitar Jerangkong. Sehingga sewaktu Penyair Sinting
memerintahkan Soma untuk menyelinap ke dalam tempat persembunyiannya, lelaki
sesat ini tidak tahu!
"Orang tua! Benarkah kau yang bergelar Iblis
Pemanggil Roh?" tegur Soma.
Lelaki berpakaian hitam-hitam itu tidak me-
nyahut sepatah kata pun. Tampak keningnya makin
berkerut-kerut. Kedua bibirnya pun terus berkemik-
kemik. Soma penasaran sekali. Meski demikian, ia tetap yakin kalau lelaki tua di
hadapannya adalah Iblis Pemanggil Roh. Apalagi, dalam papan nisan yang lapuk
jelas terdapat tulisan 'KI DADUNG KAWUK alias
PENGHUNI ALAM MAUT'. Maka, berarti itu adalah na-
ma Penghuni Alam Maut. Dan seperti yang telah dika-
takan Penyair Sinting, lelaki tua yang khusuk bersemadi di pinggir makam
Penghuni Alam Maut itu tidak
lain dari Iblis Pemanggil Roh!
"Orang tua! Benarkah kau orang tua yang ber-
gelar Iblis Pemanggil Roh?" tegur Soma sekali lagi sedikit mengeraskan suaranya.
Iblis Pemanggil Roh terkesiap kaget. Entah
mengapa, tiba-tiba wajahnya jadi pucat pasi. Mungkin karena pikirannya yang
tengah terpusatkan pada jalannya pertarungan antara Jerangkong dengan Penyair
Sinting. Sehingga, orang tua itu tersentak kaget!
"Jahanam! Siapa yang berani datang mencari
mati di tempat ini, he"!" bentak Iblis Pemanggil Roh garang. "Lho..." Siapa yang
mau cari mati" Aku kan hanya tanya, apa benar kau orang tua sakti yang bergelar
Iblis Pemanggil Roh?" tukas Soma seenak dengkul.
"Sudah tahu kalau aku Iblis Pemanggil Roh,
mengapa kalian tidak lekas-lekas angkat kaki dari
tempat ini"!" bentak lelaki tua itu lagi garang.
Namun ketika pandangan mata Iblis Pemanggil
Roh tertumbuk pada wajah Pulasari yang berdiri agak jauh dari Siluman Ular
Putih, entah kenapa tiba-tiba jadi gelisah sekali. Memang, ada sesuatu pada
wajah gadis itu yang membuat hatinya tergugah.
"Hm.... Jangan-jangan, gadis cantik di hada-
panku ini putri kandungku! Wajahnya mirip benar
dengan Winarsih. Apalagi, setelah dibawa kembali oleh Malaikat Kaki Seribu, aku
memang sering mengintai
perkembangan istri dan putriku. Dan tak kusangka,
kini ia telah jadi seorang gadis cantik mirip ibunya.
Tapi, apa boleh buat" Kalau dia menghalangi niatku
untuk menguasai dunia persilatan, terpaksa aku akan
melenyapkannya juga...."
Sinar kerinduan yang semula terpancar di wa-
jah lelaki tua ini perlahan-lahan berubah menjadi sinar kebengisan. Rupanya,
nafsu untuk menguasai du-
nia persilatan lebih menguasai nuraninya.
"Jahanam! Kau mempermainkan ku, Bocah"!
Apa kau sudah bosan hidup" Nih, makanlah pukulan
'Roh Pembawa Petaka'-ku!" bentak Iblis Pemanggil Roh seraya mendorong kedua
telapak tangannya yang telah berobah menjadi hitam legam ke arah soma alias
Siluman Ular Putih.
Wesss! Wesss! Seketika itu, melesat dua larik sinar hitam dari
kedua telapak tangan Iblis Pemanggil Roh ke arah Siluman Ular Putih!
"Hup!"
Soma cepat melenting tinggi ke udara sehingga
dua larik sinar hitam legam itu hanya lewat di bawah kakinya. Kedua sinar hitam
itu terus menerabas ke belakang, menghantam batang pohon beringin yang
tumbang. Braakk! Batang pohon beringin yang terkena pukulan
'Roh Pembawa Petaka' milik Iblis Pemanggil Roh kon-
tan berlobang besar, mengeluarkan asap hitam!
"Setan! Rupanya kau punya sedikit kepandaian
juga, Bocah!" bentak Iblis Pemanggil Roh geram bukan main. Kemudian dengan
gerakan cepat laksana kilat, tahu-tahu orang tua sakti dari Lembah Duka itu
telah melenting tinggi ke udara. Namun belum sempat melontarkan serangan....
"Tunggu, Orang Tua! Apa benar kau yang telah
menewaskan ayahku yang berjuluk Malaikat Kaki Se-
ribu beserta kedelapan orang muridnya?"
Iblis Pemanggil Roh menahan gerakannya, lalu
mendarat empuk di tanah. Sepasang matanya lang-
sung menatap gadis cantik di hadapannya seksama.
"Kalau memang iya, kau mau apa"!" tantang Iblis Pemanggil Roh.
"Bedebah! Kalau begitu aku akan menuntut
pertanggungjawaban mu, Orang Tua!"
Habis membentak begitu, kini Pulasari yang
menyerang hebat Iblis Pemanggil Roh. Kedua telapak
tangannya yang berobah jadi merah menyala meng-
hentak, melontarkan pukulan 'Pulung Geni'.
Wesss! Wesss! Bersamaan dengan melesatnya dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangannya, gadis
itu pun segera meluruk dengan kedua tangan mem-
buat beberapa gerakan. Cepat dikirimkannya totokan-
totokan maut ke ubun-ubun kepala Iblis Pemanggil
Roh. Hebat bukan main serangan-serangan Pulasari.
Namun yang dihadapinya kali ini bukanlah tokoh ke-
marin sore. Begitu dua larik sinar merah menyala
hampir menghantam tubuhnya, Iblis Pemanggil Roh
pun segera menghentakkan tangan kirinya yang telah
berobah menjadi hitam legam! Dan begitu sinar hitam melesat, lelaki tua ini
melenting ke udara, dengan tangan kanan menangkis totokan Pulasari!
Bumm...! Plak! Plak! Tubuh Pulasari yang masih melayang-layang
tinggi di udara kembali mencelat tinggi ke udara. Kedua tangannya seperti
membentur lempengan baja
yang kuat sekali saat tertangkis tangan Iblis Pemanggil Roh.
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Dan baru
saja Pulasari mendarat di tanah, lelaki tua sakti dari Lembah Duka itu pun telah
meluruk deras. Kembali
diserangnya Pulasari. Namun sebelum serangan Iblis
Pemanggil Roh tiba, Siluman Ular Putih telah mengha-dangnya dengan senyum
terkembang di bibir! Maka
terpaksa Iblis Pemanggil Roh menghentikan gerakan-
nya. "Eh...! Tunggu dulu, Orang Tua! Melihat sikap-nya yang pongah ini, aku
malah jadi ingin menggebuk pantatmu! Awas! Bersiap-siaplah kau menerima gebu-
kanku, Orang Tua!" ejek Soma.
Lalu si pemuda bermaksud menyerang Iblis
Pemanggil Roh. Namun sebelum niatnya terlaksana....
"Minggir kau, Soma! Akulah yang berhak meng-
gebuk pantat orang tua itu!" bentak Pulasari, garang.
"Tapi... tapi...."
"Sudahlah! Kau kan tahu, ayah kandungku te-
was di tangan iblis tua ini. Untuk itu, aku akan meminta pertanggungjawabannya!
Hutang nyawa harus
dibayar nyawa!"
Sebenarnya Siluman Ular Putih ingin sekali
membantah. Namun karena takut menyinggung pera-
saan Pulasari, akhirnya mengalah. Dengan berat, So-
ma keluar dari tempat pertempuran.
"Sekarang kau bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu, Orang Tua!" desis Pulasari penuh kemarahan.
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya mendongak tinggi-tinggi ke atas.
"Kenapa kalian tidak maju sekalian" Aku masih
sanggup mengirimkan nyawa kalian ke neraka!" ejek Iblis Pemanggil Roh sinis.
"Bedebah! Kau pongah sekali, Orang Tua! Ma-
kanlah pukulan 'Pulung Geni'-ku!" dengus Pulasari se-
raya menghentakkan kedua tangannya yang berisi te-
naga dalam tinggi.
Wusss...! Wusss...!
Seketika dua larik sinar merah menyala melesat
dari kedua telapak tangan Pulasari.
Iblis Pemanggil Roh masih sempat tertawa ber-
gelak kala dua larik sinar merah menyala menyerang
dirinya. Baru ketika dua serangan itu mendekat kedua telapak tangan yang
berwarna hitam legam didorongkan. Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!!! Terdengar ledakan hebat akibat pertemuan dua
kekuatan dahsyat. Tanah di sekitarnya berhamburan
seperti ada gempa! Angin panas akibat bentrokan dua pukulan membuat pohon-pohon
di sekitarnya layu.
Tubuh Pulasari tampak terjajar beberapa lang-
kah ke belakang. Wajahnya kini bagaikan mayat. Da-
rah segar mulai membasahi bibirnya yang indah.
Iblis Pemanggil Roh yang hanya tergetar, terta-
wa bergelak. Bahkan kini kedua telapak tangannya
yang berwarna hitam legam kembali melepas serangan.
Pulasari mengerutkan gerahamnya kuat-kuat.
Melihat hasil bentrokan tadi, jelas kalau tenaga
dalamnya kalah dua tingkat di bawah tokoh sesat dari Lembah Duka. Menyadari hal
ini si gadis pun lebih senang mengandalkan jurus-jurus silatnya.
Ketika meloncat tinggi, sepasang kaki Pulasari
segera bergerak cepat menyambar-nyambar tubuh Iblis Pemanggil Roh. Sementara
kedua tangannya sesekali
menyusup di antara gulungan tangan lawannya.
Hebat bukan main serangan-serangan Pulasari
kali ini. Ia yang merasa penasaran melihat sepak terjang Iblis Pemanggil Roh tak
sabar lagi untuk segera
mengerahkan jurus 'Kaki Angin Menyambar Batang
Pohon'. Meski kepandaiannya masih berada di atas Pulasari, kali ini Iblis
Pemanggil Roh tidak segan-segan mengerahkan jurus-jurus andalannya pula.
Padahal, yang dihadapinya adalah anak kandungnya sendiri. Ini terbukti kalau mata hatinya
telah tertutup oleh hawa nafsu. Soma yang menonton pertarungan hidup mati
itu jadi gelisah. Bagaimanapun, ia sangat mence-
maskan keselamatan Pulasari. Namun untuk memban-
tu, pemuda ini tidak berani. Karena, takut menying-
gung perasaan Pulasari. Namun diam-diam murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu pun tengah mencari ja-
lan, bagaimana caranya membantu Pulasari.
"Ah...! Mengapa aku tidak menggunakan ilmu
sihir ku"!" desah Soma seraya menepuk jidatnya sendiri, ketika mendapat akal
bagus. Sejenak pemuda gondrong itu memperhatikan
jalannya pertarungan. Tampak sekali kalau perlahan-
lahan namun pasti, Pulasari mulai terdesak hebat.
Kendati begitu, Siluman Ular Putih belum juga bertindak. Agaknya, ia masih
menunggu saat yang tepat.
Dan tepat ketika Pulasari mulai menyerang
dengan pukulan 'Pulung Geni', sementara Iblis Pe-
manggil Roh masih tertawa-tawa pongah, Soma mulai
mengerahkan kekuatan batinnya!
"Hey..., Orang Tua! Lihat! Celanamu melorot!
Hik-hik-hik...! Memalukan sekali! Pantatmu hitam,
Orang Tua!" teriak Soma dengan suara bergetar-getar aneh, menyerang jalan
pikiran Iblis Pemanggil Roh.
Iblis Pemanggil Roh terkesiap kaget ketika ber-
maksud memapaki pukulan maut Pulasari. Matanya
kontan terbelalak lebar. Betapa tidak" Menurut pengli-
hatannya ternyata celana hitamnya merosot ke bawah, menampakkan pantatnya yang
hitam! Iblis Pemanggil Roh gugup bukan main. Tanpa
banyak pikir panjang lagi, buru-buru celananya yang melorot dibetulkan kembali.
Pada saat yang sama, pukulan Pulasari telah meluncur datang. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk! Dua larik sinar merah menyala dari kedua tela-
pak tangan Pulasari mendarat telak di dada Iblis Pemanggil Roh! Seketika tubuh
tinggi kurus lelaki tua itu terpental beberapa tombak ke belakang. Setelah
berputar-putar sebentar, tubuhnya jatuh bergedebuk ke tanah! Wajahnya kontan
pucat pasi. Darah segar tampak menyembur keluar!
Soma tersenyum gembira. Sementara Iblis Pe-
manggil Roh dan Pulasari sendiri pun tidak habis pikir.
Karena, ternyata celana hitam lelaki tua itu masih tetap seperti semula. Tidak
Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melorot seperti yang dikatakan Soma!
Lelaki sesat dari Lembah Duka ini menggeram
penuh kemarahan. Sepasang matanya mencorong be-
ringas ke arah Siluman Ular Putih. Namun ketika hendak meloncat bangun, tubuhnya
kembali limbung ke
samping. Tangan kanannya buru-buru mendekap da-
danya yang terasa mau jebol. Dan....
"Hoooeeekh...!"
Sedangkan Pulasari yang menyangka kalau Ib-
lis Pemanggil Roh hendak kembali menyerang kembali, segera melepas pukulan
'Pulung Geni'. Wesss! Wesss! Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, dua larik sinar merah me-
nyala yang melesat dari kedua telapak tangan Pulasari
kembali menghantam dada, membuat Iblis Pemanggil
Roh berteriak menyayat. Tubuhnya terpental deras,
dan berhenti ketika menghantam sebuah pohon. Wa-
jahnya tampak demikian pucatnya. Darah segar tam-
pak menggembung dalam mulutnya, lalu tersembur
keluar. Lelaki sesat dari Lembah Duka ini terkulai di batang pohon. Nafasnya
turun naik tak berirama. Dadanya terasa sesak.
"Terimalah kematianmu hari ini, Orang Tua!
Dosamu sudah terlalu banyak bertumpuk!" kata Pulasari penuh kemarahan.
Kedua telapak tangan si gadis yang berwarna
merah menyala telah membuka di sisi pinggang. Agak-
nya, ia siap melepas pukulan 'Pulung Geni' kembali.
"Tunggu, Pulasari!" cegah Iblis Pemanggil Roh dengan napas tersengal. "Aku
memang keterlaluan, Pulasari. Tapi apa kau tega membunuh Ayah kandungmu?"
"Apa"!"
Betapa terkejutnya si gadis mendengar penutu-
ran lelaki sesat yang berhasil dilumpuhkannya ini.
Iblis Pemanggil Roh tertawa sumbang. Namun
mendadak suara tawanya terhenti. Darah segar dalam
mulutnya kembali menyembur keluar! Wajahnya tam-
pak demikian mengerikan, saking pucatnya!
"Apa tua bangka Malaikat Kaki Seribu itu tidak pernah bercerita kalau Iblis
Pemanggil Roh adalah
Ayah kandungmu?" lanjut Iblis Pemanggil Roh.
"Bohong! Aku tidak percaya ocehanmu, Orang
Tua!" sentak Pulasari, berusaha mengenyahkan kemungkinan-kemungkinan yang tak
diharapkan. "Orang yang mau modar memang biasanya su-
ka bicara aneh-aneh, Pulasari! Biarkan ia mengigau
seenak dengkulnya!" timpal Soma.
Pemuda itu kini telah tegak di samping si gadis.
Senyum nakalnya tampak masih terkembang di bibir.
"Kau boleh percaya, boleh tidak, Pulasari! Yang jelas, kenyataannya memang
demikian. Pertama, apa
kau tidak heran kalau aku tadi memanggil namamu?"
lanjut Iblis Pemanggil Roh.
"Terus terang aku heran, Orang Tua. Tapi itu
bukan merupakan alasan kuat untuk membuktikan
kalau kau Ayah kandungku!" sergah Pulasari.
"Baik, baik. Aku maklum kalau kau belum per-
caya. Karena, memang itu bukan alasan kuat. Tapi,
apa kau akan mungkir kalau di punggungmu terdapat
tanda hitam sebesar jempol kaki?"
Pulasari terkesiap kaget. Sepasang matanya
yang indah langsung membelalak liar.
"Ah...! Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Kema-
tian sudah di depan mata saja masih bertingkah. Bi-
lang saja kalau kau sering mengintip Pulasari mandi,"
gerutu Soma kesal.
Iblis Pemanggil Roh tertawa sumbang.
"Ini alasan yang ketiga, Pulasari. Mungkin ka-
lau kau sudah mendengar cerita ku, kau pasti akan
mengakui kalau aku adalah Ayah kandungmu," lanjut Iblis Pemanggil Roh, tak
mempedulikan ocehan Siluman Ular Putih.
"Hm...!" gumam Pulasari tak jelas. Ia yang merasa penasaran hanya diam sambil
menunggu apa yang akan dikatakan Iblis Pemanggil Roh.
"Kau tentu tidak akan mungkir kalau kukata-
kan ibumu bernama Winarsih, bukan?"
Sekali lagi Pulasari terkesiap kaget. Sepasang
matanya yang indah kembali membelalak lebar.
"Jangan kaget, Pulasari! Karena memang Wi-
narsih adalah istriku! Tapi gara-gara tua bangka Malaikat Kaki Seribu, aku jadi
merana seperti ini. Dialah yang menculik sekaligus membunuh istriku, Winarsih!
Juga merampas kau dari pangkuanku!" tegas Iblis Pemanggil Roh diiringi senyum
licik. "Aku tidak percaya! Aku tidak percaya...," desis Pulasari gelisah. "Bagaimana
aku dapat percaya kalau aku belum menanyakan pada Malaikat Kaki Seribu?"
"Kalau begitu, kau boleh menanyakannya di
akhirat, Pulasari!"
Habis berkata begitu, tanpa diduga-duga Iblis
Pemanggil Roh menghentakkan kedua tangannya den-
gan sisa-sisa tenaga dalam ke arah Pulasari dan Soma!
Soma dan Pulasari kaget bukan main. Dua larik
sinar hitam legam dari kedua telapak tangan Iblis Pemanggil Roh melesat dalam
jarak demikian dekat.
Tapi sebagai pendekar berkepandaian tinggi,
Soma selalu siap siaga walau dalam keadaan bagaima-
napun. Maka begitu dua larik sinar hitam legam itu
hampir menghantam, kedua tangannya yang penuh
tenaga 'Inti Bumi' dihentakkan pula. Lalu....
Bummm...!!! "Aaa...!"
Disertai teriakan kematian, Iblis Pemanggil Roh
terlempar beberapa tombak ke belakang. Begitu jatuh ke tanah, tubuhnya tidak
dapat bergerak-gerak lagi!
Tewas! Soma dan Pulasari segera berkelebat mendekati Iblis Pemanggil Roh. Ternyata, tokoh sesat
dari Lembah Duka itu telah tewas dengan mata membeliak le-
bar! Ketika berbalik, Pulasari justru makin gelisah.
"Bagaimanapun juga, ocehan tua bangka itu membuat hatiku tidak tenang. Sekarang
juga aku akan segera
pulang ke padepokan. Siapa tahu ayah angkatku me-
nyimpan surat untukku!"
Habis berkata begitu, Pulasari pun segera ber-
kelebat turun dari atas Bukit Menjangan!
Entah kenapa, Soma malah garuk-garuk kepa-
la. Padahal, rambutnya tidak gatal. Kemudian sambil menggerutu kesal, murid
Eyang Begawan Kamasetyo
ini segera berkelebat menyusul Pulasari.
13 Di lain tempat, tepat saat nyawa Iblis Pemanggil
Roh melayang, justru Penyair Sinting yang sudah di-
banjiri keringat dingin menarik napas lega.
Karena ketika si Jerangkong siap melepas pu-
kulan terakhirnya untuk menghabisi Penyair Sinting
yang siap dijemput maut, tiba-tiba kedua tangan
kayunya terhenti di udara, lalu terkulai ke bawah!
Prak! Selang beberapa saat, tubuh kayu Jerangkong
yang masih melayang-layang di udara ambruk ke ta-
nah! Kepala tempurungnya menggelinding jauh! Kedua
tangan kayunya pun berpencaran ke samping kanan-
kiri! Mata Penyair Sinting terbelalak tak percaya.
Seolah, ia tidak percaya dengan apa yang dilihat. Saking tak percaya kedua bola
matanya dikucek-kucek. Di saat seperti ini mendadak seleret sinar kuning keluar
dari dalam tubuh kayu Jerangkong. Lalu bak sebuah
bintang jatuh, sinar kuning itu terus melesat tinggi ke udara, dan menukik tajam
di atas Bukit Menjangan!
Tanpa sadar, Penyair Sinting bergerak dengan
sisa-sisa tenaganya, mengikuti ke arah hilangnya sinar kuning tadi. Sepasang
matanya yang mencorong tajam
tak berkedip memandangi bukit hijau di hadapannya.
Pakaian putih-putihnya yang compang-camping tidak
karuan berkibar-kibar tertiup angin sore.
"Hm...! Rupanya arwah Penghuni Alam Maut
sudah kembali ke tempatnya semula! Ke makamnya!"
Setelah puas memperhatikan bukit hijau di ha-
dapannya, Penyair Sinting berbalik. Lalu tubuhnya cepat berkelebat, meninggalkan
tempat ini. Namun baru saja beberapa tombak bergerak....
"Orang tua sinting! Kau tidak boleh meninggal-
kan tempat ini seenak dengkulmu! Kau harus bertang-
gung jawab atas ulah mu, Orang Tua!"
Penyair Sinting tersentak mendengar bentakan
keras dari belakang. Buru-buru badannya berbalik
kembali. Tampak jauh di hadapannya tengah berkele-
bat dua anak manusia mendekatinya. Dan dua anak
manusia itu tidak lain dari Soma dan Pulasari yang ba-ru saja menewaskan Iblis
Pemanggil Roh di atas Bukit Menjangan.
Tak sampai sepuluh kedipan mata, Soma dan
Pulasari pun telah berdiri tegak di hadapan Penyair Sinting. "Kau harus
bertanggung jawab, Orang Tua!
Akibat obat sintingmu itu, tubuhku jadi babak belur begini!" bentak Siluman Ular
Putih, kalap. "Tanggung jawab" Apa yang harus kupertang-
gungjawabkan padamu" Bukankah beruntung kau
kuberi obat itu?" tukas Penyair Sinting dengan kening berkernyit dalam.
"Beruntung kau bilang" Babak belur begini kau
bilang beruntung?" sungut Soma kesal. "Akibat obat sinting itulah temanku jadi
mengamuk hebat hingga
aku babak belur begini!"
Penyair Sinting terkekeh senang. Sekali lihat
saja, ia tahu kalau gadis cantik di samping murid
Eyang Begawan Kamasetyo tidak lagi marah pada So-
ma. Lalu entah kenapa orang tua sakti dari Gunung
Slamet itu mendongak ke atas. Matanya asyik meman-
dang awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa,
Lalu dari kedua bibirnya yang bergerak-gerak, terdengar bait-bait sajaknya.
Pendaki langit lintas
Beterbangan debu di udara
Ia tepis, lalu melesat
Debu ditinggalkan dan mengangkasa.
"Dasar orang tua sinting! Ditanya malah ber-
syair!" sungut Soma mengkelap bukan main.
Penyair Sinting sejenak menghentikan sajak-
nya. Kepalanya berpaling ke samping.
"Bocah tolol! Justru obat pemberianku itulah
yang dapat memunahkan racun pukulan 'Darah
Mayat' benda edan itu. Kalau tidak, apa kau pikir, temanmu yang cantik ini masih
dapat berdua-duaan
denganmu, he"!" dengus si tua sinting.
"Tapi, kenapa mesti dengan cara itu"!" tukas Soma, jengah kalau harus
mengucapkan kata
'mencium' "Jangan kau tanyakan padaku! Justru, tanya-
lah pada dirimu sendiri! Apa kau senang melakukan-
nya atau tidak"!"
Habis berkata begitu, Penyair Sinting menjejak-
kan kakinya ke tanah. Lalu dengan caranya yang aneh, tahu-tahu orang tua sakti
dari Gunung Slamet itu me-
lenggang meninggalkan tempat ini. Hanya beberapa
saat, sosok bayangannya telah lenyap di kejauhan sa-na. Namun bait-bait sajaknya
masih menggema di
tempat Soma dan Pulasari.
Soma yang ditanya Penyair Sinting tadi hanya
menggaruk-garuk kepala saja. Kalau mau jujur, tentu ia akan bilang senang saat
mengobati Pulasari. Namun untuk mengatakannya jelas tidak mungkin. Karena bi-sa
jadi Pulasari kembali mengamuk hebat.
"Kau kenapa sih" Kok, sejak tadi garuk-garuk
kepala saja?" tanya Pulasari.
"Aku.... Aku.... Ah...!" Sekali lagi Soma garuk-garuk kepalanya gelisah. "Hm...!
kau.... Kau tidak marah lagi, kan?"
"Kenapa harus marah" Toh, kau melakukannya
atas dasar ingin menolongku, bukan?" sahut Pulasari dengan senyum terkembang di
bibir. "Terima kasih. Kau baik sekali, Pulasari. Tapi, sayang. Aku tidak dapat
menemanimu pulang ke padepokan. Selamat tinggal, Pulasari!"
Habis berkata begitu, Soma segera menjejakkan
kakinya ke tanah, Saat itu pula tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat ini.
Namun baru beberapa langkah.... "Soma...! Apa kau tega membiarkan ku pulang ke
padepokan sendiri?" teriak Pulasari dengan suara bergetar.
Soma menghentikan langkahnya. Tangannya
kembali garuk-garuk kepala. Bingung.
"Aku.... Aku...! Ah! Bagaimana, ya" Terpaksa
sekali, kali ini aku harus meninggalkanmu, Pulasari.
Selamat tinggal!" ucap Soma agak gugup.
Walau dalam hati murid Eyang Begawan Kama-
setyo merasa kasihan terhadap Pulasari, namun tetap
terus melangkah. Dan kini, bayangan putih keperakan murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu menghilang di
kerimbunan hutan depan sana.
Sementara Pulasari tetap berdiri tegak di tem-
patnya. Sepasang matanya tak henti-hentinya meman-
dangi arah kepergian Soma tadi. Dan tanpa sadar, air matanya pun mulai merembes
membasahi pipi!
SELESAI Segera terbit!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
MISTERI DEWA LANGIT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru edit: Fujidenkikagawa
Lembah Nirmala 23 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang 20
manusia biasa, rasanya tidak mungkin membalas se-
rangan. Wesss! Wesss!
Untungnya di saat Siluman Ular Putih kebin-
gungan, mendadak dua larik sinar putih terang mele-
sat dari kedua telapak tangan Penyair Sinting. Cepat dipapakinya pukulan 'Darah
Mayat' si Jerangkong.
Blarrr...! Tepat ketika terjadi ledakan, Siluman Ular Pu-
tih telah menjelma kembali jadi manusia biasa. Namun
tak urung tubuhnya terlempar, terkena pengaruh le-
dakan. Sementara lagi-lagi tubuh tinggi kurus Penyair Sinting terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Tampak darah segar
membasahi bibir, pertanda orang tua renta dari Gu-
nung Slamet mendapat guncangan keras pada bagian
dada. Sedang si Jerangkong hanya sedikit bergoyang-goyang. Kemudian tanpa
menghiraukan Penyair Sint-
ing, kembali diserangnya Siluman Ular Putih. Untung saja, saat itu Soma telah
kembali menjelma jadi manusia biasa, sehingga dapat menghindarinya dengan me-
liuk-liukkan tubuhnya.
"Wah wah wah...! Kenapa aku saja yang dis-
erang" Hey, Jerangkong Goblok"! Tuh, serang orang
tua yang sedang jual lagak itu! Cepat!" celoteh Soma alias Siluman Ular Putih
terus meliuk-liuk ke sana
kemari menghindari serangan
Namun anehnya, si Jerangkong terus saja
menggempur hebat Siluman Ular Putih. Hal ini tentu saja sangat mengherankan Soma
dan Penyair Sinting
yang telah kembali berdiri kokoh.
"Bocah tolol! Tak mungkin kita mengalahkan
benda aneh ini. Lekas bawa temanmu yang cantik itu
pergi! Nanti aku menyusul! Lekas!"
Kening Soma berkerut dalam.
"Benarkah aku dan Penyair Sinting yang sakti
tidak dapat mengalahkan benda aneh ini" Tapi... tapi buktinya saja aku tidak
sanggup menghadapinya.
Bahkan Penyair Sinting pun sudah terluka. Ah, bagaimana ini?" gumam Soma sambil
garuk-garuk kepala dengan sikap bingung.
"Hey, tolol! Lekas bawa gadismu itu pergi! Nih,
nanti minum obat pulung ini pada gadismu itu! Tapi, ingat! Jangan pakai air!"
ujar Penyair Sinting, membentak kesal.
Dan ketika dua larik sinar kuning dari tangan
kayu si Jerangkong kembali menyerang Siluman Ular
Putih, Penyair Sinting mengibaskan kedua tangannya
dengan pukulan andalan 'Pancar Surya'!
Wesss! Wesss! Bumm...!!! Lagi-lagi tubuh Penyair Sinting terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang. Darah segar
kembali membasahi sudut-sudut bibirnya!
"Dasar orang tua sinting! Bagaimana mungkin
aku dapat meminumkan obat pulung pada temanku
kalau tidak pakai air"!" gerutu Soma.
"Hm...! Bocah goblok! Kalau saja bahaya maut
sedang tidak menghadang kita, sudah kurobek-robek
mulut dowermu itu! Lekas bawa gadismu itu pergi!
Kau boleh meminumkan obat pulung itu pakai kayu
atau... pakai mulutmu juga boleh!"
Soma sebenarnya ingin tertawa. Namun ketika
melihat wajah sungguh-sungguh Penyair Sinting, niatnya segera diurungkan.
"Lantas" Siapa sebenarnya yang telah mengen-
dalikan benda sakti itu, Orang Tua?" tanya Soma penasaran.
"Dia.... Dia...."
"Ha ha ha...! Kenapa kau bingung-bingung, Je-
rangkong"! Sikat saja tua bangka keparat itu! Lekas!
Laksanakan perintahku!"
Belum sempat Penyair Sinting bicara, tiba-tiba
di tempat pertempuran terdengar satu bisikan halus
mirip desau angin!
Mendengar bisikan halus dari orang yang men-
gendalikannya, si Jerangkong sejenak menghentikan
serangan. Tampak kalau ia tengah bersiap-siap meng-
hadapi pengeroyoknya. Lalu dengan gerakan cepat, sosok aneh itu pun kembali
meloncat tinggi ke udara.
Tangan kayunya sebelah kiri didorong ke arah Siluman Ular Putih. Sedang tangan
kayu sebelah kanan dikibaskan ke arah Penyair Sinting.
"Siapa orang yang mengendalikan Jerangkong
ini, Orang Tua?" tanya Soma seraya membuang tubuhnya ke samping menghindari
serangan si Jerang-
kong. Tanpa menjawab, Penyair Sinting bertindak serupa. Dengan sekali
menghentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh tinggi kurusnya telah melompat
ke samping. Sehingga, serangan si Jerangkong hanya
menghantam gundukan tanah di belakangnya.
Bummm...! Gundukan tanah itu hancur menciptakan ke-
pulan debu amat pekat! Sisa-sisa gundukan tanah itu hangus terbakar, mengepulkan
asap kekuningan!
"Siapa lagi kalau bukan manusia laknat Iblis
Pemanggil Roh"! Lekas cari dia! Ia pasti berada di makam Penghuni Alam Maut di
atas Bukit Menjangan tak
jauh dari sini! Lekas sekalian bawa gadismu yang cantik itu! Biar aku bermain-
main sebentar dengan benda edan ini," buru Penyair Sinting menjawab seraya
memberi perintah.
Siluman Ular Putih bukannya berjiwa pengecut.
Tapi bila mengingat keadaan Pulasari yang mengkha-
watirkan, kekerasan hatinya untuk menghadapi si Je-
rangkong lumer juga. Maka Soma pun segera berkele-
bat menyambar tubuh si gadis, lalu cepat meninggal-
kan tempat ini.
"Terima kasih, Orang Tua. Hati-hatilah! Jan-
gan-jangan pantatmu kena gebuk tangan kayu benda
edan itu! Selamat tinggal, Orang Tua!"
Si Jerangkong adalah budak yang taat. Melihat
salah seorang calon korbannya kabur, segera ia me-
lompat tinggi. Langsung dikejarnya Siluman Ular Putih yang tengah berlari
kencang menuju timur sambil
memondong tubuh Pulasari. Kedua tangannya yang te-
lah berobah menjadi kuning itu segera mendorong ke
arah Siluman Ular Putih.
Wesss! Wesss! Namun pada saat yang mengkhawatirkan, Pe-
nyair Sinting pun menghentakkan kedua tangannya.
Saat itu pula dua larik sinar putih berkilauan melesat dari kedua telapak
tangannya, langsung memapak sinar-sinar kuning dari si Jerangkong.
Blaaarrr...! Penyair Sinting kembali terhuyung-huyung be-
berapa langkah ke belakang begitu terjadi ledakan akibat bertemunya sinar-sinar
berlainan jenis. Namun,
setidak-tidaknya lelaki sinting itu telah memperlancar Siluman Ular Putih dalam
melarikan diri. Dan kenyataannya memang demikian. Siluman Ular Putih yang
tengah memondong tubuh Pulasari kini telah menghi-
lang ditelan kerimbunan hutan depan sana.
Kalau saja si Jerangkong dapat bicara, sudah
pasti akan memaki habis-habisan. Namun sayang, ia
hanyalah benda mati. Hanya karena roh Penghuni
Alam Maut yang masuk ke dalam tubuhnya sajalah
yang membuatnya jadi hidup!
Dan ketika Soma telah jauh meninggalkan tem-
pat pertempuran, si Jerangkong kembali menghadapi
Penyair Sinting. Sebentar saja pertarungan sengit yang mengandalkan ajian-ajian
tingkat tinggi pun berlang-sung.
Kali ini Penyair Sinting makin kewalahan saja.
Rasanya sulit baginya untuk mengalahkan lawan
anehnya. Sejengkal pun, si Jerangkong tidak pernah
memberi kesempatan lolos bagi Penyair Sinting.
"Jangkrik! Kalau begini terus caranya, malah
bisa modar aku!" gerutu Penyair Sinting dalam hati.
Melihat serangan-serangan demikian hebatnya,
Penyair Sinting cepat memutar lonceng kecil di tangan kanan. Ditangkisnya
serangan tangan kanan si Jerangkong. Sedang tangan kirinya dipergunakan untuk
memapak pukulan 'Darah Mayat'.
Wesss! Wesss! Prakkk! Bummm! Tangkisan lonceng yang diakhiri dengan satu
letusan hebat di udara, membuat wajah Penyair Sint-
ing pucat pasi. Tampak darah segar menyembur dari
mulutnya. Sedang tubuhnya yang sempat terhuyung-
huyung cepat digulingkan ke samping. Sambil bergu-
lingan begitu, kedua telapak tangannya yang telah berobah menjadi putih
berkilauan buru-buru dihentak-
kan ke depan. Wesss! Wesss! Serangan Penyair Sinting berhasil dihindari si
Jerangkong dengan memutar tubuhnya.
Namun kesempatan baik ini tidak disia-siakan
lelaki tua itu.
"Hup...!"
Saat itu pula Penyair Sinting segera berkelebat
cepat meninggalkan tempat ini.
"Kejar! Jangan sampai lolos!"
Tiba-tiba kembali terdengar bisikan halus mirip
angin kepada si Jerangkong.
Meski tanpa diperintah sekalipun si Jerangkong
pasti menjalankan tugasnya hingga calon korbannya
tewas. 10 Soma menghentikan larinya di pinggiran pa-
dang rumput yang cukup luas. Sejenak matanya edar-
kan ke segenap penjuru. Di hadapannya tampak se-
buah bukit hijau. Entah bukit apa itu. Pemuda ini tidak begitu tertarik. Melihat
Pulasari masih pingsan dalam pondongannya, hatinya jadi gelisah sekali. Buru-
buru diturunkannya tubuh Pulasari dan direbahkan di tanah rerumputan.
Wajah cantik Pulasari tampak demikian pucat-
nya. Kedua telapak tangannya hingga ke pangkal siku berwarna kuning terkena
racun pukulan 'Darah Mayat'
si Jerangkong. Rasanya Soma tidak tega membiarkan
gadis itu tersiksa lebih lama. Maka buru-buru diro-
gohnya obat pulung berwarna kuning pemberian Pe-
nyair Sinting. Besarnya obat pulung itu kira-kira hampir se-
besar biji kelengkeng. Cukup besar memang. Perlahan-lahan Soma pun mulai membuka
mulut Pulasari. Dije-
jalkannya obat itu ke mulut si gadis. Ajaib sekali! Ternyata, obat pemberian
Penyair Sinting tidak dapat tertelan. "Ah...! Sebaiknya pakai air," desah Soma
dalam hati sambil memasukkan kembali obat pulung itu ke
saku. "Tapi... tapi Penyair Sinting pesan kalau obat ini tidak dapat ditelan
dengan air" Ah...! Masa bodohlah!
Mana ada sih menelan obat tidak pakai air" Ada-ada
saja Penyair Sinting itu. Dasar orang tua sinting! Pokoknya, sekarang aku harus
secepatnya mendapatkan
air!" Habis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
segera berkelebat mencari air. Kebetulan sekali tak jauh dari padang rumput tadi
ia melewati sendang
dengan sebuah pancuran. Maka kini larinya diarahkan ke sana.
Dalam waktu singkat Soma telah tiba di sen-
dang kecil yang dimaksudkan.
"Air pancuran ini jernih sekali. Aku jadi ingin mandi," gumam Soma lagi dalam
hati. Namun ketika teringat akan keselamatan Pula-
sari, si pemuda cepat urungkan niatnya. Sebentar matanya beredar ke sekeliling
seperti mencari sesuatu.
Dan ketika melihat daun talas timbul gagasan untuk
memetiknya. Daun talas itu akan digunakannya untuk
membawa air. Dengan daun talas yang tangkupkan,
Soma menadahi air pancuran. Tidak terlalu sulit me-
mang. Sebentar saja daun talas itu sudah penuh air.
Soma kini buru-buru kembali menemui Pulasa-
ri. Sekali menjejakkan kaki ke tanah, tubuh tinggi kekarnya pun telah berkelebat
menuju tempat Pulasari
ditinggalkan. Karena jarak yang tak terlalu jauh, Siluman
Ular Putih kini tiba di dekat Pulasari.
Ternyata, si gadis masih terbaring di tempat-
nya. Soma lega sekali. Padahal tadi ia khawatir sekali kalau-kalau ada orang
jahat menculik gadis itu.
Dengan sikap mantap Soma segera berjongkok
di samping gadis itu. Tangan kirinya buru-buru mero-goh obat pulung kuning
pemberian Penyair Sinting ta-di. Lalu sambil memegangi daun talas berisi air di
tangan kanan, Soma berusaha menjejalkan obat itu ke dalam mulut Pulasari.
Setelah obat itu masuk, baru So-ma menuangkan air dalam daun talas ke dalam
mulut Pulasari. Namun apa yang terjadi" Ternyata obat kuning
itu kembali mencelat keluar dari dalam mulut Pulasari.
Buru-buru Soma memungutnya dan membersihkan-
nya dengan baju.
"Aneh...! Masa' sih, didorong pakai air obat ini malah menceliat keluar?" desah
si pemuda sambil menggeleng-geleng. "Ah, coba ku ulang sekali lagi. Siapa tahu
bisa." Habis menggumam begitu, Siluman Ular Putih
kembali memasukkan obat pulung ke dalam mulut Pu-
lasari. Lalu, segera dituangkannya air dalam daun talas hingga habis.
Namun anehnya, obat kuning itu kembali men-
celat keluar. Hal ini membuat Soma kembali garuk-
garuk kepala dengan sikap bingung. Boro-boro obat
kuning itu tertelan. Malah sebagian baju atas Pulasari basah terkena air,
membuat lekuk-lekuk tubuh bagian atasnya tercetak.
"Ah...! Dasar orang tua sinting. Membuat obat
pemunah racun pun masih pakai cara sinting!" gerutu Soma lagi-lagi selalu
menyalahkan Penyair Sinting.
Dan ketika teringat ucapan Penyair Sinting ta-
di, si pemuda jadi garuk-garuk kepala lagi. Pipinya me-rona merah saking
jengahnya. "Masa' sih, aku harus memasukkan obat ini
dengan cara meniup ke dalam mulut Pulasari?" gumam Soma bingung. "Tapi... tapi
kalau ku dorong pakai kayu itu lebih tidak mungkin! Ah...! Bagaimana ini?"
Siluman Ular Putih kembali garuk-garuk kepala. Bingung. Entah, sudah berapa kali
Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
murid Eyang Begawan Kamasetyo menggaruk-garuk kepala saking
bingungnya. Padahal rambutnya tidak terasa gatal.
"Hm...! Tak ada jalan lain. Mungkin ucapan
orang tua sinting itu benar. Aku harus memasukkan
obat keparat ini ke dalam mulut Pulasari dengan mu-
lut. Berarti... berarti aku bisa juga dikatakan mencuri cium" Ah, bagaimana ini"
Pasti Pulasari akan marah
besar kalau aku berbuat tidak senonoh padanya!" lagi-lagi Soma menggumam
bingung. Sejenak dipandanginya wajah cantik yang pu-
cat itu dengan perasaan jengah. Bagaimana tidak jengah kalau baru pertama kali
murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu harus menempelkan bibirnya ke bibir
seorang gadis"!
"Hm...! Tidak ada jalan lain! Terpaksa aku ha-
rus menuruti saran orang tua sinting itu. Tapi, awas!
Kalau aku bertemu orang tua sinting itu, pasti aku
akan membalasnya!" ancam Soma jengkel.
Namun, toh akhirnya Siluman Ular Putih mau
juga menuruti saran Penyair Sinting. Maka dengan
menekan perasaan jengahnya, mulai dimasukkannya
obat pemberian Penyair Sinting ke dalam mulut Pula-
sari. Namun, meski Soma telah menekan perasaan
jengahnya, tetap saja merasa ragu-ragu ketika akan
mendekatkan mulutnya ke bibir merah Pulasari.
"Maafkan aku, Pulasari! Demi Tuhan aku tidak
bermaksud berlaku tidak senonoh padamu," ucap So-ma.
Dan sambil memejamkan matanya rapat-rapat,
murid Eyang Begawan Kamasetyo itu mulai mende-
katkan bibirnya ke bibir Pulasari. Aneh sekali! Begitu bibirnya menempel, murid
Eyang Begawan Kamasetyo
itu jadi enggan sekali melepaskannya. Betapa dari bibir merah Pulasari, Soma
merasakan kehangatan yang belum pernah dirasakan seumur hidupnya. Sehingga, ia
sampai lupa apakah obat tadi sudah tertelan oleh Pu-
lasari atau belum. Yang jelas, perasaan Soma makin
melambung tinggi. Apalagi ketika merasakan ada se-
suatu yang bergerak-gerak dalam mulut Pulasari.
Soma jadi benar-benar lupa diri. Namun di saat
si pemuda tengah terbuai dalam kehangatan, tiba-tiba Pulasari terbangun.
Lalu.... "Hih...!"
Plakkk! Plakkk!
"Ohh..."!"
Setelah mendorong tubuh Soma, si gadis cepat
menggerakkan tangan kanannya. Dua kali. Maka, dua
kali pula pipi Soma terkena tamparan tangannya.
Soma membelalakkan matanya lebar. Bukan-
nya sakit akibat tamparan Pulasari tadi, melainkan
kaget melihat Pulasari ternyata sudah siuman!
"Kunyuk gondrong tak tahu malu. Cih...! Begi-
nikah caramu memperdayai seorang gadis" Memalu-
kan! Pendekar macam apa kau ini"!" bentak Pulasari, kalap bukan main.
Sekali menggerakkan tubuhnya, Pulasari telah
berdiri. Sepasang mata jelinya berkilat-kilat penuh kemarahan. Kemudian dengan
kemarahan meluap,
diserangnya Soma yang tadi jatuh terduduk.
Bukkk! Bukkk! Entah sudah berapa kali tendangan Pulasari
mendarat telak di sekujur tubuh murid Eyang Bega-
wan Kamasetyo. Namun, si pemuda masih tetap diam
saja. Ia seolah-olah masih terpana melihat bibir merah Pulasari yang bergerak-
gerak di hadapannya penuh
kemarahan. "Aku.... Aku... ah! Demi Tuhan aku tidak ber-
maksud berbuat tidak senonoh padamu, Pulasari. Per-
cayalah!" sergah Soma gugup bukan main.
"Percuma saja kau sebut-sebut Tuhan! Toh,
kau melakukannya juga, kan"!" tukas Pulasari tak dapat lagi menahan amarahnya
yang menggelegak. Tu-
buhnya kembali mencelat membawa serangan ganas.
Buk! Bukk! Plakk!
Tendangan dan tamparan gadis itu kembali
menghajar sekujur tubuh murid Eyang Begawan Ka-
masetyo tanpa ampun.
"Semprul! Ini semua gara-gara orang tua sinting itu! Sial-sial!" gerutu Soma
kesal dengan tubuh bergulingan tanpa melawan.
"Jangan menyalahkan orang lain! Sekarang, ja-
wab! Sudah kau apakan aku, he"!" dengus si gadis.
"Ya, ampun! Kau masih belum percaya juga
dengan keteranganku" Demi Tuhan, aku tidak ber-
maksud berlaku tidak senonoh padamu. Tadi... tadi
Penyair Sinting memang memberi ku sebuah obat kun-
ing untuk memunahkan racun akibat pukulan 'Darah
Mayat' si Jerangkong. Dan menurut keterangannya,
memang dengan cara seperti tadi itulah aku mesti
memasukkan obat ke dalam mulutmu," jelas Soma, kali ini terpaksa berkelebat ke
sana kemari menghindari amukan Pulasari.
"Aku tidak percaya! Mana ada meminumkan
obat dengan cara sinting itu!" geram Pulasari penuh kemarahan.
Tamparan-tamparan dan tendangan kaki gadis
cantik itu makin menghebat. Sementara Siluman Ular
Putih harus berloncatan ke sana kemari, sambil men-
jelaskan duduk persoalannya.
"Semula aku sendiri juga tidak percaya, Pulasa-ri. Tapi setelah ku coba memang
kenyataannya gagal.
Kalau tidak percaya, coba lihat! Pakaian atasmu basah semua, kan" Nah! Itu tadi
aku sudah mencoba memasukkan obat sinting itu dengan air. Tapi toh, aku tetap
saja gagal. Maka dengan sangat terpaksa sekali, terpaksa aku melakukan itu
seperti yang telah disaran-
kan Penyair Sinting!"
"Hm...!" Pulasari menggumam tak jelas. Namun amarahnya masih belum reda. Dan
ketika melihat baju bagian atasnya memang basah kuyup, hatinya jadi ra-gu-ragu.
Maka seketika serangan-serangannya dihen-
tikan. "Be... benar kau... kau tidak bermaksud kurang ajar padaku, Soma?" tanya
Pulasari ragu-ragu.
"Ya, ampun! Memangnya aku sudah gila! Orang
yang memberi obat pemunah racun itulah yang gila!"
"Tapi kalau kau memang terbukti berlaku ku-
rang ajar padaku, demi Tuhan aku akan membunuh-
mu, Soma!" geram Pulasari akhirnya.
"Baik, baik! Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada orang tua gila itu!" sungut
Soma kesal. "Maksudmu, orang tua sakti bergelar Penyair
Sinting?" "Yah...! Siapa lagi"!"
"Hm...! Baik! Nanti kalau aku bertemu dengan-
nya, aku pasti akan menanyakan hal ini padanya," ka-ta Pulasari. "Sekarang kita
berada di mana" Dan mana Jerangkong yang telah mencelakakan ku itu?"
"Aku tidak tahu, di mana kita sekarang. Yang
jelas, sekarang benda edan Jerangkong itu tengah bertempur hebat melawan Penyair
Sinting yang juga me-
nyarankan agar aku mencari Iblis Penggali Roh. Kare-na tokoh sesat itulah yang
telah mengendalikan si Jerangkong!"
"Lalu, kita akan mencari ke mana?" tanya Pulasari, sudah dapat mulai
mengendalikan amarahnya.
"Kalau menurut keterangan Penyair Sinting,
aku harus mencari makam Penghuni Alam Maut di
atas Bukit Menjangan. Tapi aku sendiri belum tahu, di mana letaknya Bukit
Menjangan."
"Hm...! Bukit di depan kita itulah Bukit Men-
jangan!" sambut Pulasari cepat.
"Dari mana kau tahu kalau bukit di depan kita
itu Bukit Menjangan?"
"Letak markas padepokan tidak berjauhan den-
gan bukit itu. Jadi, kau tak perlu banyak tanya lagi.
Hayo, sekarang kita ke sana. Aku sudah gatal ingin
menghajar orang yang telah menebar maut di padepo-
kanku!" ajak Pulasari.
"Baik, baik! Tapi senyum dulu dong! Biar enak
dipandang mata, begitu!" goda Soma.
"Apa kau belum kapok kugebuk, he"!" dengus Pulasari dengan mata melotot lebar.
"Eh...! Jangan, jangan! Maksudku, jangan ragu-
ragu kalau ingin menggebuk ku!" goda Soma lagi.
Pulasari makin melotot lebar. Namun belum
sempat melayangkan tangan kanannya untuk menam-
par, Soma telah menyingkir. Si pemuda segera berke-
lebat meninggalkan Pulasari.
Pulasari hanya dapat menahan jengkel. Kemu-
dian dengan sekali menjejak tanah, gadis cantik putri angkat Malaikat Kaki
Seribu itu pun telah berkelebat cepat menyusul Soma.
11 Dengan menahan luka dalamnya, Penyair Sint-
ing terus berkelebat cepat meninggalkan Hutan Min-
den. Itu memang jalan satu-satunya. Tak mungkin Je-
rangkong itu dilawan terus menerus.
Namun sayangnya, si Jerangkong pun tidak
mau membiarkan calon korbannya pergi begitu saja.
Begitu melihat si tua berwajah tirus meninggalkan
tempat pertarungan, tubuhnya pun segera melenting
tinggi ke udara. Dan dengan caranya yang aneh, si Jerangkong telah berkelebat
cepat mengejar Penyair Sinting.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sudah mencapai tingkat tinggi, Penyair Sinting terus berkelebat menuju
timur. Namun ternyata ilmu
meringankan tubuh si Jerangkong pun juga tak kalah
hebat. Meski dengan cara melenting-melenting tinggi ke udara lalu menapak ke
tanah, si Jerangkong akhirnya dapat mendekati Penyair Sinting.
Begitu berada beberapa tombak di belakang
Penyair Sinting, kedua tangan Jerangkong yang ber-
warna kuning segera mengibas.
Wesss! Wesss! Seketika melesat dua larik sinar kuning dari
pukulan 'Darah Mayat', mengancam punggung Penyair
Sinting! Lelaki tua berwajah tirus tahu kalau di belakang ada bahaya mengancam.
Sungguh ia tidak me-
nyangka kalau Jerangkong mampu menyusul larinya.
Dan begitu merasakan hawa panas menyambar pung-
gungnya, tanpa banyak pikir panjang tubuhnya segera dibuang ke kiri.
"Hup!"
Brakkk...! Dua larik sinar kuning yang melesat dari tan-
gan kayu Jerangkong menerabas ke depan, langsung
menghantam batang pohon hingga berlobang dan han-
gus terbakar! Tidak lama kemudian pohon itu pun
tumbang dengan suara bergemuruh. Debu-debu beter-
bangan begitu batang pohon itu menimpa tanah den-
gan daun-daunnya layu!
Di saat Penyair Sinting hendak bangkit, sosok
Jerangkong tahu-tahu telah tegak di hadapannya pada jarak enam tombak. Kedua
tangannya yang berwarna
kuning kembali siap melontarkan pukulan 'Darah
Mayat'. Penyair Sinting mengeluh. Baru seumur hidupnya ia menemui musuh
setangguh itu. Dan musuhnya
kali ini tak ubahnya seperti malaikat maut yang siap merenggut nyawanya!
"Jangkrik! Benda edan ini benar-benar mengin-
ginkan jiwaku!" dengus Penyair Sinting.
Dan kenyataannya memang demikian. Sebelum
Penyair Sinting bertindak, sosok Jerangkong telah berkelebat cepat menyerang
dengan jurus-jurus andalan
milik Penghuni Alam Maut! Kedua tangannya yang
berwarna kuning sesekali melontarkan pukulan 'Darah Mayat'! Penyair Sinting
mengeluh. Keringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya. Sementara si
Jerangkong pun telah meningkatkan serangan-serangan
mautnya. "Uts...!"
Penyair Sinting kini jadi kalang kabut. Baju pu-
tihnya sudah compang-camping tidak karuan terkena
sambaran-sambaran tangan kayu Jerangkong. Namun
tokoh sakti dari Gunung Slamet itu tampak sudah ne-
kat akan mengadu nyawa. Kini, ia tidak lagi berusaha menghindari atau berkelit.
Melainkan juga sudah berani membalas dengan cara sangat berani!
Begitu kedua tangan kayu Jerangkong hendak
menghantam dada, Penyair Sinting nekat menangkis
dengan lonceng di tangan kanannya!
Prakkk! Lonceng di tangan kanan Penyair Sinting mele-
sak dalam. Sedang tangannya terasa panas bukan
main. Tapi lelaki tirus itu tidak begitu menghiraukan.
Begitu si Jerangkong kembali menyerang den-
gan pukulan 'Darah Mayat', Penyair Sinting nekat memapak dengan pukulan 'Pancar
Surya'. Tentu saja un-
tuk itu ia harus mengerahkan tenaga dalam sampai
puncaknya. Wesss! Wesss! Bummm...!!! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga da-
lam kali ini. Dan karena Penyair Sinting mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya,
akibatnya tubuhnya kembali terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang!
Wajahnya pucat pasi!
Sedang si Jerangkong hanya terjajar dua tindak
ke belakang. Namun begitu dapat menguasai keseim-
bangan badannya, kembali diserangnya Penyair Sint-
ing. Penyair Sinting mengeluh. Keringat dingin ma-
kin membanjiri tubuhnya. Rasanya hawa kematian
makin dekat saja dengan dirinya....
12 Jarak antara padang rumput tempat Siluman
Ular Putih dan Pulasari beristirahat dengan Bukit
Menjangan memang tidak begitu jauh. Tak heran ka-
lau dalam waktu yang tidak lama kedua anak muda ini telah tiba di bukit yang
dimaksudkan. Di atas Bukit Menjangan, matahari tampak mu-
lai rebah di pangkuan cakrawala. Sinarnya yang merah tembaga menyinari sebagian
puncak bukit. Soma dan
Pulasari terus melangkah mencari makam Penghuni
Alam Maut. Selang beberapa saat, sepuluh tombak da-
ri mereka menghadang dua pohon beringin tua yang
telah tumbang.
Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Menilik keadaannya, bisa jadi baru beberapa
hari belakangan ini kedua pohon beringin itu tumbang.
Kalau memang iya, berarti ada orang sakti yang telah menumbangkannya," gumam
murid Eyang Begawan
Kamasetyo dalam hati.
"Ada apa, Soma" Kok malah bengong saja?"
tanya Pulasari, heran dengan sikap Siluman Ular Pu-
tih. "Sssst...!" Soma memalangkan telunjuk jari ke depan mulut, mengisyaratkan gadis
itu untuk diam.
Lalu dengan isyaratkan tangannya, si pemuda segera
berkelebat ke arah reruntuhan pohon beringin. Se-
dangkan Pulasari cepat mengikutinya.
Ternyata apa yang dilihat di balik rindangnya
pohon beringin yang tumbang benar-benar membuat
hati dua anak muda itu tercekat. Di atas makam, tampak seorang lelaki tua
berpakaian hitam-hitam kedo-
doran tengah khusuk bersemadi. Usianya kira-kira tujuh puluh atau delapan puluh
tahun. Rambutnya pu-
tih memanjang tergerai di bahu. Tampak sekali kalau semadinya tak ingin
diganggu. Soma tercenung memperhatikan lelaki tua di
belakangnya yang tak henti-hentinya berkemik-kemik.
Entah, sedang membaca mantra apa. Yang jelas, sepa-
sang matanya terpejam rapat-rapat.
"Heran" Kalau dia orang sakti yang telah me-
numbangkan dua pohon beringin besar ini, lalu men-
gapa tidak mendengar kehadiranku?" gumam murid
Eyang Begawan Kamasetyo tak dapat menahan rasa
heran. Tapi, kenyataannya memang demikian. Lelaki
tua berpakaian hitam-hitam yang tidak lain Iblis Pemanggil Roh saat ini memang
tengah menajamkan ma-
ta batinnya untuk mengikuti jalannya pertarungan antara Penyair Sinting dengan
Jerangkong. Maka tak heran meski ia punya kepandaian tinggi, tetap saja tidak
dapat mendengar kehadiran dua anak muda di belakangnya.
Satu hal yang menjadi kelemahannya, ternyata
Iblis Pemanggil Roh tidak tahu kalau Penyair Sinting telah memerintahkan Soma
untuk mencari tempat
persembunyiannya! Karena dalam semadinya, ia hanya
dapat melihat apa yang tengah dilakukan Jerangkong
dan orang-orang di sekitarnya. Bahkan kalau Iblis Pemanggil Roh mampu mengirim
suara jarak jauh, tetap
saja tidak mampu mendengar apa yang dibicarakan
orang-orang di sekitar Jerangkong. Sehingga sewaktu Penyair Sinting
memerintahkan Soma untuk menyelinap ke dalam tempat persembunyiannya, lelaki
sesat ini tidak tahu!
"Orang tua! Benarkah kau yang bergelar Iblis
Pemanggil Roh?" tegur Soma.
Lelaki berpakaian hitam-hitam itu tidak me-
nyahut sepatah kata pun. Tampak keningnya makin
berkerut-kerut. Kedua bibirnya pun terus berkemik-
kemik. Soma penasaran sekali. Meski demikian, ia tetap yakin kalau lelaki tua di
hadapannya adalah Iblis Pemanggil Roh. Apalagi, dalam papan nisan yang lapuk
jelas terdapat tulisan 'KI DADUNG KAWUK alias
PENGHUNI ALAM MAUT'. Maka, berarti itu adalah na-
ma Penghuni Alam Maut. Dan seperti yang telah dika-
takan Penyair Sinting, lelaki tua yang khusuk bersemadi di pinggir makam
Penghuni Alam Maut itu tidak
lain dari Iblis Pemanggil Roh!
"Orang tua! Benarkah kau orang tua yang ber-
gelar Iblis Pemanggil Roh?" tegur Soma sekali lagi sedikit mengeraskan suaranya.
Iblis Pemanggil Roh terkesiap kaget. Entah
mengapa, tiba-tiba wajahnya jadi pucat pasi. Mungkin karena pikirannya yang
tengah terpusatkan pada jalannya pertarungan antara Jerangkong dengan Penyair
Sinting. Sehingga, orang tua itu tersentak kaget!
"Jahanam! Siapa yang berani datang mencari
mati di tempat ini, he"!" bentak Iblis Pemanggil Roh garang. "Lho..." Siapa yang
mau cari mati" Aku kan hanya tanya, apa benar kau orang tua sakti yang bergelar
Iblis Pemanggil Roh?" tukas Soma seenak dengkul.
"Sudah tahu kalau aku Iblis Pemanggil Roh,
mengapa kalian tidak lekas-lekas angkat kaki dari
tempat ini"!" bentak lelaki tua itu lagi garang.
Namun ketika pandangan mata Iblis Pemanggil
Roh tertumbuk pada wajah Pulasari yang berdiri agak jauh dari Siluman Ular
Putih, entah kenapa tiba-tiba jadi gelisah sekali. Memang, ada sesuatu pada
wajah gadis itu yang membuat hatinya tergugah.
"Hm.... Jangan-jangan, gadis cantik di hada-
panku ini putri kandungku! Wajahnya mirip benar
dengan Winarsih. Apalagi, setelah dibawa kembali oleh Malaikat Kaki Seribu, aku
memang sering mengintai
perkembangan istri dan putriku. Dan tak kusangka,
kini ia telah jadi seorang gadis cantik mirip ibunya.
Tapi, apa boleh buat" Kalau dia menghalangi niatku
untuk menguasai dunia persilatan, terpaksa aku akan
melenyapkannya juga...."
Sinar kerinduan yang semula terpancar di wa-
jah lelaki tua ini perlahan-lahan berubah menjadi sinar kebengisan. Rupanya,
nafsu untuk menguasai du-
nia persilatan lebih menguasai nuraninya.
"Jahanam! Kau mempermainkan ku, Bocah"!
Apa kau sudah bosan hidup" Nih, makanlah pukulan
'Roh Pembawa Petaka'-ku!" bentak Iblis Pemanggil Roh seraya mendorong kedua
telapak tangannya yang telah berobah menjadi hitam legam ke arah soma alias
Siluman Ular Putih.
Wesss! Wesss! Seketika itu, melesat dua larik sinar hitam dari
kedua telapak tangan Iblis Pemanggil Roh ke arah Siluman Ular Putih!
"Hup!"
Soma cepat melenting tinggi ke udara sehingga
dua larik sinar hitam legam itu hanya lewat di bawah kakinya. Kedua sinar hitam
itu terus menerabas ke belakang, menghantam batang pohon beringin yang
tumbang. Braakk! Batang pohon beringin yang terkena pukulan
'Roh Pembawa Petaka' milik Iblis Pemanggil Roh kon-
tan berlobang besar, mengeluarkan asap hitam!
"Setan! Rupanya kau punya sedikit kepandaian
juga, Bocah!" bentak Iblis Pemanggil Roh geram bukan main. Kemudian dengan
gerakan cepat laksana kilat, tahu-tahu orang tua sakti dari Lembah Duka itu
telah melenting tinggi ke udara. Namun belum sempat melontarkan serangan....
"Tunggu, Orang Tua! Apa benar kau yang telah
menewaskan ayahku yang berjuluk Malaikat Kaki Se-
ribu beserta kedelapan orang muridnya?"
Iblis Pemanggil Roh menahan gerakannya, lalu
mendarat empuk di tanah. Sepasang matanya lang-
sung menatap gadis cantik di hadapannya seksama.
"Kalau memang iya, kau mau apa"!" tantang Iblis Pemanggil Roh.
"Bedebah! Kalau begitu aku akan menuntut
pertanggungjawaban mu, Orang Tua!"
Habis membentak begitu, kini Pulasari yang
menyerang hebat Iblis Pemanggil Roh. Kedua telapak
tangannya yang berobah jadi merah menyala meng-
hentak, melontarkan pukulan 'Pulung Geni'.
Wesss! Wesss! Bersamaan dengan melesatnya dua larik sinar
merah menyala dari kedua telapak tangannya, gadis
itu pun segera meluruk dengan kedua tangan mem-
buat beberapa gerakan. Cepat dikirimkannya totokan-
totokan maut ke ubun-ubun kepala Iblis Pemanggil
Roh. Hebat bukan main serangan-serangan Pulasari.
Namun yang dihadapinya kali ini bukanlah tokoh ke-
marin sore. Begitu dua larik sinar merah menyala
hampir menghantam tubuhnya, Iblis Pemanggil Roh
pun segera menghentakkan tangan kirinya yang telah
berobah menjadi hitam legam! Dan begitu sinar hitam melesat, lelaki tua ini
melenting ke udara, dengan tangan kanan menangkis totokan Pulasari!
Bumm...! Plak! Plak! Tubuh Pulasari yang masih melayang-layang
tinggi di udara kembali mencelat tinggi ke udara. Kedua tangannya seperti
membentur lempengan baja
yang kuat sekali saat tertangkis tangan Iblis Pemanggil Roh.
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Dan baru
saja Pulasari mendarat di tanah, lelaki tua sakti dari Lembah Duka itu pun telah
meluruk deras. Kembali
diserangnya Pulasari. Namun sebelum serangan Iblis
Pemanggil Roh tiba, Siluman Ular Putih telah mengha-dangnya dengan senyum
terkembang di bibir! Maka
terpaksa Iblis Pemanggil Roh menghentikan gerakan-
nya. "Eh...! Tunggu dulu, Orang Tua! Melihat sikap-nya yang pongah ini, aku
malah jadi ingin menggebuk pantatmu! Awas! Bersiap-siaplah kau menerima gebu-
kanku, Orang Tua!" ejek Soma.
Lalu si pemuda bermaksud menyerang Iblis
Pemanggil Roh. Namun sebelum niatnya terlaksana....
"Minggir kau, Soma! Akulah yang berhak meng-
gebuk pantat orang tua itu!" bentak Pulasari, garang.
"Tapi... tapi...."
"Sudahlah! Kau kan tahu, ayah kandungku te-
was di tangan iblis tua ini. Untuk itu, aku akan meminta pertanggungjawabannya!
Hutang nyawa harus
dibayar nyawa!"
Sebenarnya Siluman Ular Putih ingin sekali
membantah. Namun karena takut menyinggung pera-
saan Pulasari, akhirnya mengalah. Dengan berat, So-
ma keluar dari tempat pertempuran.
"Sekarang kau bersiap-siaplah menerima kema-
tianmu, Orang Tua!" desis Pulasari penuh kemarahan.
Iblis Pemanggil Roh tertawa bergelak. Kepa-
lanya mendongak tinggi-tinggi ke atas.
"Kenapa kalian tidak maju sekalian" Aku masih
sanggup mengirimkan nyawa kalian ke neraka!" ejek Iblis Pemanggil Roh sinis.
"Bedebah! Kau pongah sekali, Orang Tua! Ma-
kanlah pukulan 'Pulung Geni'-ku!" dengus Pulasari se-
raya menghentakkan kedua tangannya yang berisi te-
naga dalam tinggi.
Wusss...! Wusss...!
Seketika dua larik sinar merah menyala melesat
dari kedua telapak tangan Pulasari.
Iblis Pemanggil Roh masih sempat tertawa ber-
gelak kala dua larik sinar merah menyala menyerang
dirinya. Baru ketika dua serangan itu mendekat kedua telapak tangan yang
berwarna hitam legam didorongkan. Wesss! Wesss!
Blaaarrr...!!! Terdengar ledakan hebat akibat pertemuan dua
kekuatan dahsyat. Tanah di sekitarnya berhamburan
seperti ada gempa! Angin panas akibat bentrokan dua pukulan membuat pohon-pohon
di sekitarnya layu.
Tubuh Pulasari tampak terjajar beberapa lang-
kah ke belakang. Wajahnya kini bagaikan mayat. Da-
rah segar mulai membasahi bibirnya yang indah.
Iblis Pemanggil Roh yang hanya tergetar, terta-
wa bergelak. Bahkan kini kedua telapak tangannya
yang berwarna hitam legam kembali melepas serangan.
Pulasari mengerutkan gerahamnya kuat-kuat.
Melihat hasil bentrokan tadi, jelas kalau tenaga
dalamnya kalah dua tingkat di bawah tokoh sesat dari Lembah Duka. Menyadari hal
ini si gadis pun lebih senang mengandalkan jurus-jurus silatnya.
Ketika meloncat tinggi, sepasang kaki Pulasari
segera bergerak cepat menyambar-nyambar tubuh Iblis Pemanggil Roh. Sementara
kedua tangannya sesekali
menyusup di antara gulungan tangan lawannya.
Hebat bukan main serangan-serangan Pulasari
kali ini. Ia yang merasa penasaran melihat sepak terjang Iblis Pemanggil Roh tak
sabar lagi untuk segera
mengerahkan jurus 'Kaki Angin Menyambar Batang
Pohon'. Meski kepandaiannya masih berada di atas Pulasari, kali ini Iblis
Pemanggil Roh tidak segan-segan mengerahkan jurus-jurus andalannya pula.
Padahal, yang dihadapinya adalah anak kandungnya sendiri. Ini terbukti kalau mata hatinya
telah tertutup oleh hawa nafsu. Soma yang menonton pertarungan hidup mati
itu jadi gelisah. Bagaimanapun, ia sangat mence-
maskan keselamatan Pulasari. Namun untuk memban-
tu, pemuda ini tidak berani. Karena, takut menying-
gung perasaan Pulasari. Namun diam-diam murid
Eyang Begawan Kamasetyo itu pun tengah mencari ja-
lan, bagaimana caranya membantu Pulasari.
"Ah...! Mengapa aku tidak menggunakan ilmu
sihir ku"!" desah Soma seraya menepuk jidatnya sendiri, ketika mendapat akal
bagus. Sejenak pemuda gondrong itu memperhatikan
jalannya pertarungan. Tampak sekali kalau perlahan-
lahan namun pasti, Pulasari mulai terdesak hebat.
Kendati begitu, Siluman Ular Putih belum juga bertindak. Agaknya, ia masih
menunggu saat yang tepat.
Dan tepat ketika Pulasari mulai menyerang
dengan pukulan 'Pulung Geni', sementara Iblis Pe-
manggil Roh masih tertawa-tawa pongah, Soma mulai
mengerahkan kekuatan batinnya!
"Hey..., Orang Tua! Lihat! Celanamu melorot!
Hik-hik-hik...! Memalukan sekali! Pantatmu hitam,
Orang Tua!" teriak Soma dengan suara bergetar-getar aneh, menyerang jalan
pikiran Iblis Pemanggil Roh.
Iblis Pemanggil Roh terkesiap kaget ketika ber-
maksud memapaki pukulan maut Pulasari. Matanya
kontan terbelalak lebar. Betapa tidak" Menurut pengli-
hatannya ternyata celana hitamnya merosot ke bawah, menampakkan pantatnya yang
hitam! Iblis Pemanggil Roh gugup bukan main. Tanpa
banyak pikir panjang lagi, buru-buru celananya yang melorot dibetulkan kembali.
Pada saat yang sama, pukulan Pulasari telah meluncur datang. Akibatnya....
Bukkk! Bukkk! Dua larik sinar merah menyala dari kedua tela-
pak tangan Pulasari mendarat telak di dada Iblis Pemanggil Roh! Seketika tubuh
tinggi kurus lelaki tua itu terpental beberapa tombak ke belakang. Setelah
berputar-putar sebentar, tubuhnya jatuh bergedebuk ke tanah! Wajahnya kontan
pucat pasi. Darah segar tampak menyembur keluar!
Soma tersenyum gembira. Sementara Iblis Pe-
manggil Roh dan Pulasari sendiri pun tidak habis pikir.
Karena, ternyata celana hitam lelaki tua itu masih tetap seperti semula. Tidak
Siluman Ular Putih 09 Iblis Pemanggil Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melorot seperti yang dikatakan Soma!
Lelaki sesat dari Lembah Duka ini menggeram
penuh kemarahan. Sepasang matanya mencorong be-
ringas ke arah Siluman Ular Putih. Namun ketika hendak meloncat bangun, tubuhnya
kembali limbung ke
samping. Tangan kanannya buru-buru mendekap da-
danya yang terasa mau jebol. Dan....
"Hoooeeekh...!"
Sedangkan Pulasari yang menyangka kalau Ib-
lis Pemanggil Roh hendak kembali menyerang kembali, segera melepas pukulan
'Pulung Geni'. Wesss! Wesss! Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, dua larik sinar merah me-
nyala yang melesat dari kedua telapak tangan Pulasari
kembali menghantam dada, membuat Iblis Pemanggil
Roh berteriak menyayat. Tubuhnya terpental deras,
dan berhenti ketika menghantam sebuah pohon. Wa-
jahnya tampak demikian pucatnya. Darah segar tam-
pak menggembung dalam mulutnya, lalu tersembur
keluar. Lelaki sesat dari Lembah Duka ini terkulai di batang pohon. Nafasnya
turun naik tak berirama. Dadanya terasa sesak.
"Terimalah kematianmu hari ini, Orang Tua!
Dosamu sudah terlalu banyak bertumpuk!" kata Pulasari penuh kemarahan.
Kedua telapak tangan si gadis yang berwarna
merah menyala telah membuka di sisi pinggang. Agak-
nya, ia siap melepas pukulan 'Pulung Geni' kembali.
"Tunggu, Pulasari!" cegah Iblis Pemanggil Roh dengan napas tersengal. "Aku
memang keterlaluan, Pulasari. Tapi apa kau tega membunuh Ayah kandungmu?"
"Apa"!"
Betapa terkejutnya si gadis mendengar penutu-
ran lelaki sesat yang berhasil dilumpuhkannya ini.
Iblis Pemanggil Roh tertawa sumbang. Namun
mendadak suara tawanya terhenti. Darah segar dalam
mulutnya kembali menyembur keluar! Wajahnya tam-
pak demikian mengerikan, saking pucatnya!
"Apa tua bangka Malaikat Kaki Seribu itu tidak pernah bercerita kalau Iblis
Pemanggil Roh adalah
Ayah kandungmu?" lanjut Iblis Pemanggil Roh.
"Bohong! Aku tidak percaya ocehanmu, Orang
Tua!" sentak Pulasari, berusaha mengenyahkan kemungkinan-kemungkinan yang tak
diharapkan. "Orang yang mau modar memang biasanya su-
ka bicara aneh-aneh, Pulasari! Biarkan ia mengigau
seenak dengkulnya!" timpal Soma.
Pemuda itu kini telah tegak di samping si gadis.
Senyum nakalnya tampak masih terkembang di bibir.
"Kau boleh percaya, boleh tidak, Pulasari! Yang jelas, kenyataannya memang
demikian. Pertama, apa
kau tidak heran kalau aku tadi memanggil namamu?"
lanjut Iblis Pemanggil Roh.
"Terus terang aku heran, Orang Tua. Tapi itu
bukan merupakan alasan kuat untuk membuktikan
kalau kau Ayah kandungku!" sergah Pulasari.
"Baik, baik. Aku maklum kalau kau belum per-
caya. Karena, memang itu bukan alasan kuat. Tapi,
apa kau akan mungkir kalau di punggungmu terdapat
tanda hitam sebesar jempol kaki?"
Pulasari terkesiap kaget. Sepasang matanya
yang indah langsung membelalak liar.
"Ah...! Kau ini ada-ada saja, Orang Tua! Kema-
tian sudah di depan mata saja masih bertingkah. Bi-
lang saja kalau kau sering mengintip Pulasari mandi,"
gerutu Soma kesal.
Iblis Pemanggil Roh tertawa sumbang.
"Ini alasan yang ketiga, Pulasari. Mungkin ka-
lau kau sudah mendengar cerita ku, kau pasti akan
mengakui kalau aku adalah Ayah kandungmu," lanjut Iblis Pemanggil Roh, tak
mempedulikan ocehan Siluman Ular Putih.
"Hm...!" gumam Pulasari tak jelas. Ia yang merasa penasaran hanya diam sambil
menunggu apa yang akan dikatakan Iblis Pemanggil Roh.
"Kau tentu tidak akan mungkir kalau kukata-
kan ibumu bernama Winarsih, bukan?"
Sekali lagi Pulasari terkesiap kaget. Sepasang
matanya yang indah kembali membelalak lebar.
"Jangan kaget, Pulasari! Karena memang Wi-
narsih adalah istriku! Tapi gara-gara tua bangka Malaikat Kaki Seribu, aku jadi
merana seperti ini. Dialah yang menculik sekaligus membunuh istriku, Winarsih!
Juga merampas kau dari pangkuanku!" tegas Iblis Pemanggil Roh diiringi senyum
licik. "Aku tidak percaya! Aku tidak percaya...," desis Pulasari gelisah. "Bagaimana
aku dapat percaya kalau aku belum menanyakan pada Malaikat Kaki Seribu?"
"Kalau begitu, kau boleh menanyakannya di
akhirat, Pulasari!"
Habis berkata begitu, tanpa diduga-duga Iblis
Pemanggil Roh menghentakkan kedua tangannya den-
gan sisa-sisa tenaga dalam ke arah Pulasari dan Soma!
Soma dan Pulasari kaget bukan main. Dua larik
sinar hitam legam dari kedua telapak tangan Iblis Pemanggil Roh melesat dalam
jarak demikian dekat.
Tapi sebagai pendekar berkepandaian tinggi,
Soma selalu siap siaga walau dalam keadaan bagaima-
napun. Maka begitu dua larik sinar hitam legam itu
hampir menghantam, kedua tangannya yang penuh
tenaga 'Inti Bumi' dihentakkan pula. Lalu....
Bummm...!!! "Aaa...!"
Disertai teriakan kematian, Iblis Pemanggil Roh
terlempar beberapa tombak ke belakang. Begitu jatuh ke tanah, tubuhnya tidak
dapat bergerak-gerak lagi!
Tewas! Soma dan Pulasari segera berkelebat mendekati Iblis Pemanggil Roh. Ternyata, tokoh sesat
dari Lembah Duka itu telah tewas dengan mata membeliak le-
bar! Ketika berbalik, Pulasari justru makin gelisah.
"Bagaimanapun juga, ocehan tua bangka itu membuat hatiku tidak tenang. Sekarang
juga aku akan segera
pulang ke padepokan. Siapa tahu ayah angkatku me-
nyimpan surat untukku!"
Habis berkata begitu, Pulasari pun segera ber-
kelebat turun dari atas Bukit Menjangan!
Entah kenapa, Soma malah garuk-garuk kepa-
la. Padahal, rambutnya tidak gatal. Kemudian sambil menggerutu kesal, murid
Eyang Begawan Kamasetyo
ini segera berkelebat menyusul Pulasari.
13 Di lain tempat, tepat saat nyawa Iblis Pemanggil
Roh melayang, justru Penyair Sinting yang sudah di-
banjiri keringat dingin menarik napas lega.
Karena ketika si Jerangkong siap melepas pu-
kulan terakhirnya untuk menghabisi Penyair Sinting
yang siap dijemput maut, tiba-tiba kedua tangan
kayunya terhenti di udara, lalu terkulai ke bawah!
Prak! Selang beberapa saat, tubuh kayu Jerangkong
yang masih melayang-layang di udara ambruk ke ta-
nah! Kepala tempurungnya menggelinding jauh! Kedua
tangan kayunya pun berpencaran ke samping kanan-
kiri! Mata Penyair Sinting terbelalak tak percaya.
Seolah, ia tidak percaya dengan apa yang dilihat. Saking tak percaya kedua bola
matanya dikucek-kucek. Di saat seperti ini mendadak seleret sinar kuning keluar
dari dalam tubuh kayu Jerangkong. Lalu bak sebuah
bintang jatuh, sinar kuning itu terus melesat tinggi ke udara, dan menukik tajam
di atas Bukit Menjangan!
Tanpa sadar, Penyair Sinting bergerak dengan
sisa-sisa tenaganya, mengikuti ke arah hilangnya sinar kuning tadi. Sepasang
matanya yang mencorong tajam
tak berkedip memandangi bukit hijau di hadapannya.
Pakaian putih-putihnya yang compang-camping tidak
karuan berkibar-kibar tertiup angin sore.
"Hm...! Rupanya arwah Penghuni Alam Maut
sudah kembali ke tempatnya semula! Ke makamnya!"
Setelah puas memperhatikan bukit hijau di ha-
dapannya, Penyair Sinting berbalik. Lalu tubuhnya cepat berkelebat, meninggalkan
tempat ini. Namun baru saja beberapa tombak bergerak....
"Orang tua sinting! Kau tidak boleh meninggal-
kan tempat ini seenak dengkulmu! Kau harus bertang-
gung jawab atas ulah mu, Orang Tua!"
Penyair Sinting tersentak mendengar bentakan
keras dari belakang. Buru-buru badannya berbalik
kembali. Tampak jauh di hadapannya tengah berkele-
bat dua anak manusia mendekatinya. Dan dua anak
manusia itu tidak lain dari Soma dan Pulasari yang ba-ru saja menewaskan Iblis
Pemanggil Roh di atas Bukit Menjangan.
Tak sampai sepuluh kedipan mata, Soma dan
Pulasari pun telah berdiri tegak di hadapan Penyair Sinting. "Kau harus
bertanggung jawab, Orang Tua!
Akibat obat sintingmu itu, tubuhku jadi babak belur begini!" bentak Siluman Ular
Putih, kalap. "Tanggung jawab" Apa yang harus kupertang-
gungjawabkan padamu" Bukankah beruntung kau
kuberi obat itu?" tukas Penyair Sinting dengan kening berkernyit dalam.
"Beruntung kau bilang" Babak belur begini kau
bilang beruntung?" sungut Soma kesal. "Akibat obat sinting itulah temanku jadi
mengamuk hebat hingga
aku babak belur begini!"
Penyair Sinting terkekeh senang. Sekali lihat
saja, ia tahu kalau gadis cantik di samping murid
Eyang Begawan Kamasetyo tidak lagi marah pada So-
ma. Lalu entah kenapa orang tua sakti dari Gunung
Slamet itu mendongak ke atas. Matanya asyik meman-
dang awan hitam yang bergulung-gulung di angkasa,
Lalu dari kedua bibirnya yang bergerak-gerak, terdengar bait-bait sajaknya.
Pendaki langit lintas
Beterbangan debu di udara
Ia tepis, lalu melesat
Debu ditinggalkan dan mengangkasa.
"Dasar orang tua sinting! Ditanya malah ber-
syair!" sungut Soma mengkelap bukan main.
Penyair Sinting sejenak menghentikan sajak-
nya. Kepalanya berpaling ke samping.
"Bocah tolol! Justru obat pemberianku itulah
yang dapat memunahkan racun pukulan 'Darah
Mayat' benda edan itu. Kalau tidak, apa kau pikir, temanmu yang cantik ini masih
dapat berdua-duaan
denganmu, he"!" dengus si tua sinting.
"Tapi, kenapa mesti dengan cara itu"!" tukas Soma, jengah kalau harus
mengucapkan kata
'mencium' "Jangan kau tanyakan padaku! Justru, tanya-
lah pada dirimu sendiri! Apa kau senang melakukan-
nya atau tidak"!"
Habis berkata begitu, Penyair Sinting menjejak-
kan kakinya ke tanah. Lalu dengan caranya yang aneh, tahu-tahu orang tua sakti
dari Gunung Slamet itu me-
lenggang meninggalkan tempat ini. Hanya beberapa
saat, sosok bayangannya telah lenyap di kejauhan sa-na. Namun bait-bait sajaknya
masih menggema di
tempat Soma dan Pulasari.
Soma yang ditanya Penyair Sinting tadi hanya
menggaruk-garuk kepala saja. Kalau mau jujur, tentu ia akan bilang senang saat
mengobati Pulasari. Namun untuk mengatakannya jelas tidak mungkin. Karena bi-sa
jadi Pulasari kembali mengamuk hebat.
"Kau kenapa sih" Kok, sejak tadi garuk-garuk
kepala saja?" tanya Pulasari.
"Aku.... Aku.... Ah...!" Sekali lagi Soma garuk-garuk kepalanya gelisah. "Hm...!
kau.... Kau tidak marah lagi, kan?"
"Kenapa harus marah" Toh, kau melakukannya
atas dasar ingin menolongku, bukan?" sahut Pulasari dengan senyum terkembang di
bibir. "Terima kasih. Kau baik sekali, Pulasari. Tapi, sayang. Aku tidak dapat
menemanimu pulang ke padepokan. Selamat tinggal, Pulasari!"
Habis berkata begitu, Soma segera menjejakkan
kakinya ke tanah, Saat itu pula tubuhnya berkelebat meninggalkan tempat ini.
Namun baru beberapa langkah.... "Soma...! Apa kau tega membiarkan ku pulang ke
padepokan sendiri?" teriak Pulasari dengan suara bergetar.
Soma menghentikan langkahnya. Tangannya
kembali garuk-garuk kepala. Bingung.
"Aku.... Aku...! Ah! Bagaimana, ya" Terpaksa
sekali, kali ini aku harus meninggalkanmu, Pulasari.
Selamat tinggal!" ucap Soma agak gugup.
Walau dalam hati murid Eyang Begawan Kama-
setyo merasa kasihan terhadap Pulasari, namun tetap
terus melangkah. Dan kini, bayangan putih keperakan murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu menghilang di
kerimbunan hutan depan sana.
Sementara Pulasari tetap berdiri tegak di tem-
patnya. Sepasang matanya tak henti-hentinya meman-
dangi arah kepergian Soma tadi. Dan tanpa sadar, air matanya pun mulai merembes
membasahi pipi!
SELESAI Segera terbit!!!
Serial Siluman Ular Putih dalam episode:
MISTERI DEWA LANGIT
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru edit: Fujidenkikagawa
Lembah Nirmala 23 Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong Karya Kho Ping Hoo Pendekar Mata Keranjang 20