Pencarian

Misteri Bayi Ular 3

Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular Bagian 3


senyum penuh kemenangan, membayangkan Manusia Rambut Merah dapat memenangkan
per-tandingannya nanti. Dan dia berharap, akan menemukan seorang guru yang
tangguh agar dapat menguasai dunia persilatan!
* * * Puncak Gunung Batu berselimut awan
putih. Matahari yang baru saja menampakkan sinar keemasannya hangat memanasi
lereng sebelah timur. Dari arah sebelah timur Prameswara tengah berlari kencang
menuju puncak. Gerakan kedua kakinya cepat sekali, menandakan kalau ilmu
meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi.
Sebenarnya perasaan pemuda ini ge-
lisah sekali. Memang ada sesuatu yang mengganjal dirinya. Bagaimana dia akan
menceritakan pada gurunya kalau habis bentrok dengan Manusia Rambut Merah, dan
apakah gurunya sudi menerima tantangan"
Pemuda ini memeras otaknya. Bagaimanapun juga, rencananya harus berjalan lancar.
Kini Prameswara sudah tiba di pun-
cak Gunung Batu. Pemuda itu melihat Mahesa yang berjuluk Pendekar Kujang Emas
sedang bercakap-cakap dengan eyangnya, Pendekar Pedang Kilat Buana. Segera
Prameswara bersimpuh di hadapan kedua orang tua itu.
"Guru...!"
Mahesa menautkan kedua alisnya.
"Prameswara" Kau sudah pulang" Apa kau sudah menemukan Ratri?" tanya Mahesa
heran. Prameswara menggelengkan kepala.
Lemah. "Maaf, Guru! Aku belum menemukannya."
"Lantas, mengapa pulang" Kulihat kau gelisah sekali. Pakaianmu compang-camping.
Ada apa?" Prameswara memperhatikan pakaiannya yang compang-camping sebentar. Tadi sebelum
naik ke puncak Gunung Batu. dia sempat merobek pakaiannya agar berkesan habis
bertempur dengan seseorang.
"Begini, Guru. Aku malu sekali. Seseorang telah membuatku malu," lapor
Prameswara gugup namun tetap menjaga kesan-tunannya.
"Maksudmu" Kau..., kau habis bertempur dengan seseorang?" tebak Mahesa.
"Benar, Guru. Kepandaian orang itu tinggi sekali. Aku tidak sanggup
menghadapinya," lapor Prameswara memelas.
"Hm...!"
Mahesa mengelus-elus janggutnya.
Seseorang yang dapat mengalahkan kepandaian muridnya, berarti kepandaian orang
itu sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
"Kepandaianmu memang sudah tinggi, Prameswara. Tapi, kau juga harus sadar.
Di atas langit, masih ada langit. Jadi, wajar saja kalau masih ada seseorang
yang mengalahkanmu, Muridku," lanjut Pendekar Kujang Emas.
"Aku mengerti, Guru. Tapi, bukan itu saja persoalan yang sebenarnya,
Guru," sahut Prameswara mulai menjalankan siasatnya. "Untuk itulah aku pulang
menemui Guru."
"Maksudmu...?"
"Orang itu telah menantang Guru, nanti pada malam purnama bulan ini," jelas
Prameswara. Mahesa terperanjat dari tempat du-
duknya. Pandangan matanya sempat melirik ke arah eyangnya, Pendekar Pedang Kilat
Buana yang lebih banyak diam mendengarkan.
Melihat itu Prameswara diam-diam
jadi menyesal. "Mengapa aku tidak meminta barang satu atau dua jurus pada Eyang Guru"!"
pikir Prameswara. "Tapi, tidak! Eyang Guru pernah bersumpah tidak ingin
mempunyai murid lagi. Dan aku dulu juga pernah membujuknya untuk menurunkan
ilmu-ilmu andalannya padaku. Dan dia tidak mau."
Prameswara menghela napas sesak se-
kali. Kalau saja Eyang Guru mau menurunkan ilmunya padanya, belum tentu dia
mempunyai niat sejahat itu.
"Siapa nama orang itu, Prameswara?"
tanya Mahesa akhirnya.
"Aku tidak tahu, Guru. Tapi, aku masih ingat ciri-cirinya. Orang itu tinggi
besar berpakaian serba merah. Rambutnya pun juga berwarna merah, Guru," jelas
Prameswara. "Hm...! Manusia Rambut Merah...,"
gumam Mahesa. "Jadi, Guru sudah mengenalnya?"
"Belum. Aku hanya pernah mendengar tokoh itu. Konon, kepandaiannya tinggi
sekali. Tapi, bukankah sudah lama sekali menghilang dari dunia persilatan?"
tukas Mahesa, entah ditujukan pada siapa.
Prameswara diam membisu.
"Dia memang sudah lama sekali menghilang dari dunia persilatan, Muridku.
Tapi, bisa jadi muncul kembali di dunia persilatan untuk menebar dosa," sela
Pendekar Pedang Kilat Buana, membuka suaranya.
"Benar, Eyang. Seandainya yang Eyang katakan benar, dunia persilatan pasti akan
gempar," kata Mahesa pada eyangnya.
"Benar!" sambut Pendekar Pedang Kilat Buana singkat. "Tapi, bagaimana dengan
tantangannya" Apa kau akan menerima, Muridku?"
"Itulah yang sedang aku pikirkan, Eyang," desah Mahesa. "Apa Eyang mengizinkanku
menerima tantangannya?"
Pendekar Pedang Kilat Buana yang
sudah sangat tua menghela napas panjang-nya. Jenggotnya yang panjang memutih di-
elus-elus dengan tangan kanan.
"Sebagai seorang pendekar, pantang tidak menerima tantangan seseorang."
"Jadi, Eyang mengizinkanku menerima tantangan itu?" tanya Mahesa.
"Begitulah...."
"Baik!"
Mahesa menggeretakkan gerahamnya.
Pandangan matanya kali ini kembali ditujukan pada muridnya.
"Lantas, di mana aku harus menerima tantangannya, Muridku?" tanya Mahesa pada
Prameswara. "Dia..., dia menantang Guru untuk bertanding di puncak Gunung Merapi pada malam
purnama bulan ini Guru."
"Baik. Kuterima tantangannya!"
*** Udara dingin menusuk puncak Gunung
Merapi. Alam disekitarnya seolah mati terbawa suasana tegang. Cahaya bulan yang
bersinar purnama cukup menerangi puncaknya. Sinarnya yang berwarna keperakan,
menimpa dua raut wajah dua orang laki-laki tua yang berdiri saling berhadap-
hadapan siap menyabung nyawa.
Yang satu berpakaian serba merah
dengan rambut berwarna merah menyala. Di-alah yang terkenal sebagai Manusia
Rambut Merah. Sedang di hadapannya adalah seorang laki-laki berusia sekitar
empat puluh lima tahun dengan pakaian berwarna biru-biru. Wajahnya yang
berbentuk segi empat masih menampakkan sisa-sisa ketampanannya di waktu muda. Orang ini tak
lain Mahesa alias Pendekar Kujang Emas.
Dan sesuai julukannya, orang ini pun menggenggam sebilah kujang yang memantul-
kan sinar keemasan.
"Di antara kita tidak ada silang sengketa. Mengapa kau menantangku bertarung?"
tanya Mahesa kalem. Sama sekali tidak gentar menghadapi tantangan itu.
"Betul! Di antara kita memang tidak ada silang sengketa. Tapi, aku penasaran
mendengar nama besarmu. Apa kau takut menerima tantanganku?" balas Manusia
Rambut Merah, bernada mengejek.
"Aku tidak pernah takut menerima tantangan siapa pun. Hanya aku heran, mengapa
kau menantangku" Untuk apa"!"
tanya Mahesa lagi, kalem.
"Tidak untuk apa-apa. Yang penting sekarang, cepat kita bertarung sampai ada
yang mampus. Kau atau aku!" dengus Manusia Rambut Merah garang.
"Baik! Lakukanlah! Kau yang menantangku. Kau pula yang memulainya!" sambut
Mahesa. "Bagus! Bersiap-siaplah menerima kematianmu, Pendekar! Aku tidak ingin bersilat
lidah denganmu. Hiyaaat...!"
Sehabis berkata begitu, Manusia
Rambut Merah langsung menyerang Mahesa dengan senjatanya yang berupa cambuk.
Tarrr! Tarrr! Hebat sekali serangan Manusia Ram-
but Merah dipadu gerakan kaki dan tangannya yang cepat sekali. Mahesa cepat
putar kujangnya, memapak serangan. Dan dalam sekejap saja kedua orang itu telah
bertempur hebat dengan jurus-jurus andalan.
Kini yang terlihat hanya bayangan merah dan biru yang berkelebat. Kadang saling
bertemu, dan kadang terpisah beberapa tombak.
Prameswara sendiri yang diam-diam
menyaksikan pertarungan hidup mati antara gurunya dengan Manusia Rambut Merah,
sampai berdecak kagum beberapa kali. Dan di-am-diam pula dia memuji kehebatan
Manusia Rambut Merah. Perlahan namun pasti, tokoh sesat itu berhasil mendesak
Mahesa. Gulungan-gulungan cambuk hitamnya terus memaksa sinar kuning yang
berpendar-pendar di tangan Mahesa untuk terus bertahan.
"Hyaaa!"
Mahesa cepat putar kujangnya me-
nangkis serangan Manusia Rambut Merah.
Kemudian dalam sekejap saja, Pendekar Kujang Emas telah memainkan jurus maut
Pendekar Pedang Kilat Buana. Akibatnya, sungguh hebat bukan main. Tubuh Manusia
Rambut Merah terpaksa harus berjumpalitan di udara. Bahkan pada jurus ke sebelas
tadi, hampir saja tubuhnya terkena sambaran kujang di tangan Mahesa.
"Gerrr!"
Manusia Rambut Merah menggeram ma-
rah. Cambuknya cepat dilipat di balik pinggangnya. Sementara Pendekar Kujang
Emas sendiri keheranan melihat lelaki itu tidak menggunakan senjatanya.
Namun dalam beberapa kejap kemu-
dian, tubuh Manusia Rambut Merah berputar cepat seperti gasing. Dan anehnya
lagi, tempat berpijaknya berhamburan menyerang Mahesa seperti hendak menguruk.
Kini Pendekar Kujang Emas benar-
benar dibuat bingung bukan main. Entah dengan menggunakan ilmu apa, tahu-tahu
tubuh tinggi besar Manusia Rambut Merah melesak ke dalam tanah.
Belum sempat kekagetan Mahesa hi-
lang, tahu-tahu gundukan pasir di hadapannya bergerak cepat mendekatinya.
Kemudian kedua kakinya terasa seperti terbetot ke dalam tanah.
"Ah...!"
Bukan main kagetnya Pendekar Kujang Emas mendapati ilmu yang dikeluarkan Manusia
Rambut Merah. Dia memang pernah mendengar ilmu 'Amblas Bumi" seperti yang
dilakukan Manusia Rambut Merah. Namun ba-ru kali ini melihatnya. Seketika itu
juga tubuh laki-laki setengah baya ini mengeluarkan keringat dingin. Betotan di
kedua kakinya begitu kuat.
"Hiih...!"
Mahesa tak sempat berpikir panjang
lagi. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat
tinggi, Pendekar Kujang Emas berhasil melepaskan diri dari betotan Manusia
Rambut Merah. "Hyaaat...!"
Bersamaan teriakan Mahesa yang mem-
bahana, tiba-tiba saja tanah tempatnya berpijak membuncah ke udara. Tampak seso-
sok tubuh tinggi besar keluar dari dalam tanah. Dan tanpa diduga, tahu-tahu
Manusia Rambut Merah telah melontarkan pukulan maut ke tubuh Pendekar Kujang
Emas. "Pukulan 'Kelabang Geni'!"
Mahesa tersentak kaget melihat se-
leret sinar merah melesat dari kedua telapak tangan Manusia Rambut Merah. Cepat
dipapaknya serangan Manusia Rambut Merah dengan pukulan andalannya, 'Cahaya
Kilat Biru'. Blarrr...! Terdengar benturan dua tenaga dalam di udara. Akibatnya sungguh hebat. Tanah di
sekitar pertarungan bergetar hebat.
Tumbuh-tumbuhan dalam jarak sepuluh meter langsung layu! Sedang tubuh Manusia
Rambut Merah bergetar hebat. Sementara, tubuh Mahesa terlempar beberapa tombak
ke belakang, pertanda tenaga dalamnya kalah satu atau dua tingkat,
"Huaaah...!"
Mahesa muntahkan darah segar. Wa-
jahnya kontan pucat pasi.
"He he he...! Kau harus merasakan pukulan 'Kelabang Geni'ku, Pendekar?"
ejek Manusia Rambut Merah. "Sekarang terimalah kematianmu! Hiyaaat...!"
Kembali seleret sinar merah melun-
cur, begitu kedua telapak tangan Manusia Rambut Merah menghentak.
Pendekar Kujang Emas tidak berani
bertindak ayal-ayalan untuk memapak serangan. Apalagi benturan tenaga dalam ta-
di sudah membuktikan kalau tenaga dalamnya kalah satu atau dua tingkat. Maka
cepat tubuhnya melenting menghindari pukulan yang mengandung hawa panas. Dan
saat tubuhnya melayang di udara, Mahesa cepat meluncur tajam. Kujangnya diputar-
putar mengancam ubun-ubun kepala Manusia Rambut Merah.
Hebat sekali serangan Mahesa ini.
Tetapi sayangnya, Manusia Rambut Merah bukanlah tokoh silat kemarin sore. Dia
sudah cukup berpengalaman malang melintang di dunia persilatan. Maka begitu ma-
ta ujung kujang di tangan Pendekar Kujang Emas mendekati kepalanya, cambuknya
cepat dicabut kembali. Langsung ditangkisnya serangan kujang dengan cambuk yang tiba-tiba saja berubah keras seperti lempengan baja.
Cring! Bunga api berpijar dengan bunyi
mendenting yang mengiringi. Tangan Manusia Rambut Merah terasa kesemutan.
Sedangkan tubuh Mahesa bergetar hebat. Sial sekali nasib Pendekar Kujang Emas.
Semula dia bermaksud menghindari benturan tenaga dalam dengan Manusia Rambut
Merah. Tapi kini malah kembali mengalami kejadian se-rupa. Dan di saat tubuhnya
bergetar hebat Manusia Rambut Merah kembali menyerang dengan pukulan 'Kelabang
Geni'nya. "Hyaaat...!"
Mahesa cepat berjumpalitan ke uda-
ra. Tubuhnya yang tadi terkena sambaran pukulan Manusia Rambut Merah tadi terasa
nyeri bukan main. Pendekar Kujang Emas sadar kalau dirinya mulai terpengaruh ha-
wa racun akibat pukulan lawannya. Dan ini tentu saja menghambat gerakannya.
"Ha ha ha...! Kau terluka, Pendekar" Apa kau tidak mau mengakui kehebatanku?"
ejek Manusia Rambut Merah.
Mahesa menggeretakkan gerahamnya.
Gerakan kujang di tangan kanannya makin dipercepat. Namun tetap saja sia-sia.
Gerakannya tidak lagi selincah tadi. Dan kesempatan ini segera dimanfaatkan
Manusia Rambut Merah. Pada satu kesempatan yang tidak mungkin dihindari Mahesa,
Manusia Rambut Merah menghentakkan kedua tangannya ke depan. Dan....
Duk! "Augh...!"
Mahesa memekik nyeri begitu tubuh-
nya terhantam pukulan telak Manusia Rambut Merah. Tubuhnya yang tinggi terlempar
beberapa tombak ke belakang. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat.
Dari mulutnya keluar darah segar kehitam-hitaman. Dan beberapa saat kemudian
tubuh Mahesa pun mengejang, lalu diam dan tak berkutik lagi. Mati!
Manusia Rambut Merah tertawa terba-
hak-bahak. Suaranya menggema ke segenap penjuru.
"Bagus! Kau memang hebat, Orang Tua!" Prameswara bertepuk tangan menyambut
kemenangan Manusia Rambut Merah.
"Tak sia-sia aku mempunyai calon sepertimu, Orang Tua!"
"Ha ha ha...! Sekarang baru kau lihat kehebatanku, ya!" kata Manusia Rambut
Merah, jumawa. "Benar, Guru."
"Heh"!" dengus Manusia Rambut Merah. "Jangan seenaknya memanggilku
'guru', Bocah. Ada syaratnya?"
Prameswara gusar bukan main, takut
Manusia Rambut Merah akan mengingkari janji. Karena bukan mustahil orang sesat
macam dia mengingkari janji.
"Apa syaratnya, Guru?" tanya Prameswara berharap-harap cemas.
"Carikan aku empat puluh perawan yang masih suci, baru kau kuanggap murid-
ku!" ujar Manusia Rambut Merah, kemudian disusul suara tawanya yang lantang.
"Baik, Guru! Baik!"
7

Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pagi menjelang. Kicau burung jalak
yang mulai keluar dari sarang untuk mencari makan meramaikan sua-sana pagi. Ki-
caunya merdu, saling bersahutan satu dengan yang lain. Sementara matahari
perlahan bergerak pada garis edarnya.
Soma yang tertidur pulas di balik
batu besar mengerjap-ngerjapkan matanya pedih ketika sinar matahari tepat
menyinari wajahnya.
"Busyet! Mati apa tidur, aku ini"!"
gerutu Soma. Pemuda ini cepat meloncat bangun.
Badannya terasa segar sudah setelah hampir semalam beristirahat panjang.
Kemudian dengan bermalas-malasan dia menggeliat.
"Huaaahhh!"
Ingin sebenarnya Soma meneruskan
tidurnya kalau saja tidak teringat tugas di pundaknya. Sejenak pandangan matanya
beredar ke segenap penjuru. Tidak menemukan apa-apa. Hanya hamparan pasir dan
ba-tu besar kecil yang memenuhi puncak Gunung Batu.
Soma meloncat ke atas batu sebesar
kerbau. Pandangan matanya kembali menelu-suri sekitar tempat itu. Tetap saja
tidak ditemukan apa-apa, selain hamparan pasir dan bebatuan besar kecil. Pemuda
ini tidak putus asa. Dia terus mencari kebera-daan Mahesa dan gurunya, Pendekar
Pedang Kilat Buana.
"Kau mencari siapa, Anak Muda"!"
Tiba-tiba terdengar teguran lembut
dari belakang. Soma cepat berbalik. Tampak kini di hadapannya berdiri seorang lelaki tua renta
berpakaian serba putih, tengah memandang curiga. Usianya sulit sekali
ditafsirkan. Rambutnya panjang memutih. Demikian juga jenggotnya yang panjang.
Dahi Soma berkernyit. Dia memang
belum begitu mengenali ciri-ciri ayahnya.
Eyang Begawan Kamasetyo dan Ratri,
ibunya, hanya mengatakan kalau ayahnya bernama Mahesa. Atau lebih terkenal
sebagai Pendekar Kujang Emas yang tinggal di puncak Gunung Batu. Itu saja!
Keterangan berikutnya Soma tidak begitu memahaminya.
"Inikah ayahku" Kok, sudah tua sekali?" gumam Soma sambil menggaruk-garuk
kepala. "Tapi, bukan mustahil kalau orang tua inilah ayahku. Sebab Begawan
Kamasetyo pun sudah sangat tua. Bisa jadi orang tua inilah ayahku?" pikir Soma
kebingungan. "Hm...! Anu, Orang Tua! Aku..., aku mau tanya. Benarkah ini puncak Gunung Ba-
tu?" tanya Soma hati-hati.
"Seperti yang kau lihat, Anak Muda.
Di sini bayak bebatuan, sesuai namanya.
Ada apa" Nampaknya kau sedang mencari sesuatu?" tukas orang tua bertubuh tinggi
kurus itu tetap lembut.
"Benar! Benar sekali, Orang Tua!
Aku memang sedang mencari seseorang. Apa kau bisa membantuku?" sorak Soma
kegirangan. "Aku belum bisa mengatakan iya, kalau kau belum mengatakannya, Anak Muda,"
kata orang tua itu kalem.
"Terima kasih, Orang Tua. Kau baik sekali. Aku jauh-jauh datang kemari tidak
lain hanya ingin mencari ayahku. Menurut keterangan ibuku, ayahku bernama
Mahesa. Atau lebih terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas. Apa kau mengenalnya, Orang
Tua?" jelas Soma.
"Anak muda...! Ja..., jadi" Kau anak Mahesa?"
Orang tua berpakaian serba putih
yang tidak lain Pendekar Pedang Kilat Buana terperanjat kaget.
"Ada apa, Orang Tua" Mengapa kau pandangi aku seperti melihat iblis berku-mis"!
Ada apa"!" tanya Soma seenak hatinya.
Pendekar Pedang Kilat Buana tidak
menanggapi ocehan Soma. Kini dia sudah dapat tersenyum kenakalan Soma.
"Kau tadi bilang anak Mahesa, Anak Muda" Apa kau anak Ratri" Cucu Adi Begawan
Kamasetyo?"
"Hey"! Bagaimana kau bisa mengenali ibu dan eyangku, Orang Tua?" tanya Soma
terperanjat kaget. "Ah...! Jangan-jangan, kau ini tukang nujum atau tukang
ramal, ya" Iya"!"
"Hush! Aku bukan tukang nujum atau tukang ramal. Aku Ki Ageng Banaran, gurunya
ayahmu." Kali ini Soma benar-benar dibuat
terkejut bukan kepalang. Matanya yang agak kebiru-biruan membelalak lebar.
"Ya, ampun! Ibu pasti akan marah besar kalau aku tidak bersikap hormat padamu,
Orang Tua!" Soma menepuk jidatnya sendiri. "Maafkan aku, Orang Tua! Ah...!,
Bagaimana, ya, aku harus memanggilmu?"
Ki Ageng Banaran tersenyum.
"Panggil saja aku Eyang, Anak Mu-da!"
"Terima kasih. Tapi, kau juga tidak boleh memanggilku anak muda lagi, Eyang!
Namaku Soma," ucap Soma mulai kambuh pe-nyakitnya.
"Ya, ya, ya...! Pasti Eyang akan memanggilmu Soma. Nah! Sekarang, ceritakan
bagaimana kabar ibu dan eyangmu! Apa mereka baik-baik saja?"
"Curang! Curang! Eyang curang!
Eyang sendiri belum mau bercerita, mengapa Eyang harus menyuruhku bercerita
terlebih dahulu?" tukas Soma bersungut-sungut.
"Baik! Baik! Sekarang apa yang ingin kau tanyakan, Soma?" tanya Ki Ageng Banaran
mengalah. "Nah, begitu dong! Itu baru namanya eyangku!" goda Soma. "Sekarang, tolong
katakan di mana Ayah, Eyang" Itu saja!"
Ki Ageng Banaran menghela napas
panjang. Dia sudah menduga kalau Soma menanyakan hal itu.
"Ayo duduk dulu, Cucuku! Nanti Eyang ceritakan di mana ayahmu berada."
Ki Ageng Banaran meraih bahu Soma.
Diajaknya pemuda itu duduk di sebuah bongkahan batu besar.
"Ketahuilah, Cucuku! Sesungguhnya ayahmu sudah lama mati. Seseorang yang mengaku
bernama Manusia Rambut Merah telah membunuhnya di puncak Gunung Merapi,"
jelas Ki Ageng Banaran, melanjutkan.
"Manusia Rambut Merah"!" ulang So-ma.
"Benar, Cucuku."
"Oh...!"
Soma mengeluh sedih. Sikap nakalnya seketika hilang. Dan tanpa sadar lengan Ki
Ageng Banaran dipegangi erat-erat. Wajahnya pucat pasi. Bibirnya bergetar-
getar hebat menahan pukulan batinnya yang tiba-tiba.
"Aku harus membuat perhitungan dengan Manusia Rambut Merah! Aku harus menuntut
balas! Aku harus menuntut balas...!" geram Soma penuh kemarahan.
"Tapi, cobalah selidiki Prameswara!
Barangkali dia tahu sebab musababnya tentang kematian ayahmu itu," ujar Pendekar
Pedang Kilat Buana lagi.
"Siapa Prameswara itu, Eyang?"
tanya Soma ingin tahu.
"Prameswara adalah murid, sekaligus anak angkat Mahesa, Cucuku. Tapi, sejak
Mahesa melayani tantangan Manusia Rambut Merah, dia tidak muncul lagi kemari."
Soma mengangguk-angguk. Hatinya
saat itu rusuh sekali. Kerinduannya untuk bertemu ayahnya sirna, berganti amarah
membuncah! Hanya ada satu keinginan dalam diri Soma. Membalas dendam!
*** Hutan Randu Blatung adalah salah
satu daerah kekuasaan Manusia Rambut Merah. Letaknya, tidak begitu berjauhan
dengan Hutan Sawo Kembar tempatnya bermukim. Sesuai namanya, hutan ini memang
banyak ditumbuhi pohon randu. Konon, dulu di tengah hutan itu terdapat sebuah
pohon randu raksasa yang banyak sekali dihuni
blatung. Sehingga hutan itu diberi nama Hutan Randu Blatung.
Pada akhir-akhir ini, sejak Manusia Rambut Merah muncul kembali ke dunia
persilatan, hampir tidak ada seorang penduduk desa pun yang berani masuk ke
dalam hutan itu. Pernah ada beberapa orang kampung yang nekat masuk ke dalam
hutan untuk mencari kayu bakar, namun anehnya tidak pernah pulang lagi ke
desanya. Bahkan akhir-akhir ini kegelisahan penduduk di sekitar Hutan Randu
Blatung makin bertambah. Seseorang yang mengaku utusan Manusia Rambut Merah
sering menyambangi kampung-kampung di sekitarnya untuk menculik gadis-gadis
cantik. Orang yang mengaku utusan Manusia
Rambut Merah itu masih muda. Menurut keterangan beberapa orang penduduk yang
pernah melihat, orang itu berwajah tampan. Pakaiannya seperti pakaian seorang
terpelajar saat itu. Sepak terjangnya pun menggiriskan. Tidak peduli siang
maupun malam. Layaknya seperti setan saja, pemuda itu datang dan pergi begitu
saja. Dan kepergian orang itu selalu ditandai jeritan seorang gadis dalam
pondongan. Siang ini matahari di luar Hutan
Randu Blatung panas menyengat bumi. Musim kemarau yang berkepanjangan
menyebabkan tanah di sekitar hutan merekah. Pohon-pohon di sekitarnya pun
mengering. Hampa-
ran sawah yang membentang di luar Desa Wonodadi tak dapat lagi diandalkan hasil-
nya. Pohon-pohon padi yang sudah mengun-ing rusak dimakan tikus. Menyedihkan
sekali nasib penduduk desa yang terancam paceklik itu. Belum lagi menghadapi
penderitaan yang datangnya dari utusan Manusia Rambut Merah!
Dan dalam terpaan angin lembut
siang itu, seorang pemuda gondrong berpakaian rompi dan celana bersisik1 warna
putih keperakan tengah melangkah santai masuk ke Desa Wonodadi. Sebuah rajahan
bergambar ular putih di dada kanannya nampak terlihat nyata dari rompinya yang
terkuak tanpa kancing. Dan sambil bersiul-siul kecil, kakinya terus melangkah
masuk ke desa itu. Entah, lagu apa yang dinyanyikan. Yang jelas pemuda tampan
yang tidak lain Soma nampak riang sekali.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyar-
ing yang datangnya dari arah luar desa.
Dan bersamaan dengan teriakan, dari balik rindangnya pepohonan di luar desa
segera bermunculan beberapa orang penduduk desa menghadang perjalanan Soma
dengan senjata apa pun.
Soma menautkan kedua alisnya tajam.
"Ada apa ini" Mengapa kalian menghadangku?" tanya Soma heran.
"Jangan banyak bacot! Kau pasti
orangnya! Kau pasti orang yang mengaku utusan Manusia Rambut Merah!" hardik
orang yang membentak tadi, garang.
Orang itu tinggi kurus berpakaian
seperti seorang pemuda desa. Rambutnya yang panjang memutih digelung ke atas.
Wajahnya yang sebenarnya ramah, terlihat garang. Sedang di sampingnya, berdiri
seorang gadis cantik berpakaian merah.
Dari sikapnya jelas, kalau gadis itu tak bisa dianggap sembarangan. Umurnya
sekitar delapan belas tahun. Dan gadis cantik yang telah memegang pedangnya
terus memandangi Soma. Demikian pula beberapa orang penduduk kampung yang
berdiri di belakangnya.
"Aku" Aku utusan Manusia Rambut Merah?" tukas Soma sambil menunjuk dadanya
sendiri. "Ah...! Kalian ini bagaimana sih" Jangan-jangan kalian ini sedang
mengigau ya" Tapi masa' sih, mengigau ramai-ramai begini?"
Sehabis berkata begitu, Soma terse-
nyum-senyum sendiri mirip orang kurang waras.
"Bocah edan! Jangan seenak udelmu mengumbar suara! Mengaku sajalah kalau kau
utusan Manusia Rambut Merah"!" bentak gadis cantik berbaju merah ikut-ikutan
garang. "Nona Pendekar ini betul. Sebaiknya kau mengaku saja! Jangan mungkir! Kaulah
yang menculik dan memperkosa gadis-gadis desa ini"!" lanjut yang lain.
Soma garuk-garuk kepala.
"Aduuuh...! Pantesan tadi malam aku mimpi dikejar-kejar orang gila. Eh..., tak
tahunya memang benar mimpiku itu,"
oceh Soma lagi-lagi.
"Apa kau bilang" Kau mengatakan kalau kami ini orang-orang gila"!" hardik gadis
cantik berbaju merah mulai kehabi-san kesabaran.
"Ah...! Siapa bilang begitu" Aku hanya bilang, aku tadi mimpi!" jawab Soma
enteng. "Kau jangan terlalu perasa dong"!"
"Setan! Buat apa meladeni omongan bocah sinting ini, Ki Lurah! Kita cincang saja
bocah ini ramai-ramai, biar tidak mengganggu ketenangan desa!" ujar salah
seorang penduduk desa yang memegang golok besar, tak sabar.
"Benar, Ki Lurah! Tunggu apa lagi"
Kita cincang saja bocah ini!" sahut yang lain penuh kemarahan.
"Setuju, Ki Lurah. Kita cincang sa-ja bocah ini...!" sahut penduduk kampung yang
lain kompak. "Wah, wah, wah...! Ini namanya pe-merkosaan hak! Tidak bagus! Tidak bagus!"
khotbah Soma, sok tahu. Tapi otaknya yang cerdik cepat mencium sesuatu yang
tidak beres di batik semua ini.
"Serang,..!"
Terdengar teriakan bernada memerin-
tah. Seketika itu juga penduduk kampung yang sudah kalap menyerang Soma dengan
senjata di tangan.
Soma menggeretakkan gerahamnya kes-
al. Dan sambil berloncatan ke sana kemari menghindari serangan-serangan, tak
henti-hentinya mulut Soma mengoceh.
"Kasihan sekali kalian ini! Apa kalian sudah mulai kemasukkan setan hutan ini,
ya" Mengapa kalian liar begini?"
"Jangan banyak bacot! Terima saja kematianmu hari ini, Bocah Edan!" teriak gadis
berbaju merah gusar bukan main. Dan gadis ini merasa paling kesal, melihat
serangannya dapat dihindarkan Soma dengan mudah. Padahal jurus-jurus andalan
sudah dikeluarkan.
"Nona manis! Mengapa kau jadi ikut-ikutan latah seperti mereka" Apa kau habis
putus cinta, ya" Iya"! Pantesan...!"
ejek Soma. "Bedebah! Belum puas aku kalau belum merobek-robek mulutmu, Bocah!" pekik gadis
cantik berbaju merah penuh kemarahan. Cepat diterjangnya Soma. Tangan kanannya
yang memegang pedang ditusukkan ke arah dada. Sementara tangan sebelah kiri siap
mengirimkan pukulan maut.
Soma cepat berjumpalitan menghinda-
ri serangan-serangan, terutama sekali se-
rangan gadis cantik berbaju merah yang tidak bisa dianggap enteng. Dengan
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, semua
serangan dapat dihindari dengan mudah.
"Nona manis! Dari tadi kau memakiku
'bocah-bocah' melulu. Apa kau pikir aku ini anakmu" Tapi, tak apa-apalah! Aku
senang kok menjadi anakmu. Apalagi menjadi anak dari gadis secantikmu. He he
he...!" goda Soma. "Ayo, dong! Katanya belum puas kalau belum mencium mulutku. He he
he...!" Bukan main marahnya gadis cantik
berbaju merah itu mendengar godaan Soma.
Tangan kirinya yang berubah menjadi hijau sampai ke pangkal lengan siap
dipukulkan. "Ih...! Mengerikan! Kau sudah mulai main-main dengan pukulan maut segala. Ibu
macam apaan ini!" celoteh Soma, tak henti-hentinya.
Melihat ketangguhan pemuda yang di-
keroyoknya, orang yang tadi dipanggil Ki Lurah segera mengisyaratkan penduduk
kampung untuk mundur, namun tetap dalam keadaan mengurung.
Melihat hal ini, kening Soma ber-
kernyit. "Mau apa mereka" Kok mundur semua"
Apa sudah takut menghadapiku?" gumam So-ma.
"Pasukan pemanah! Siap laksanakan
tugas! Cincang tubuh bocah itu sampai lu-mat!" teriak Ki Lurah memerintah.
Puluhan penduduk kampung dengan bu-
sur panah di tangan segera bermunculan dari balik semak dalam jarak dua puluh
tombak dari Soma.
Pemuda ini terkejut bukan main. Na-
mun diam-diam dia memuji siasat perang yang telah diterapkan Ki Lurah.
"Alamak! Mati aku! Mengapa kau demikian keji padaku, Ki Lurah. Sumpah mampus aku
bukan utusan Manusia Rambut Merah!" teriak Soma kebingungan.
Bukannya Soma bingung menghadapi


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan anak panah dari beberapa orang penduduk kampung, melainkan bingung
melihat kekalapan mereka. Dan begitu aba-aba serang keluar dari mulut Ki Lurah,
puluhan anak panah di tangan para penduduk kampung segera melesat, siap
mencincang tubuh Soma.
Set! Set! Tak! Tak! Begitu pemuda ini mengibaskan tan-
gan kanan. Maka puluhan anak panah pun jatuh berserakan di tanah. Sebenarnya
mudah saja bagi Soma untuk melumpuhkan mereka kalau memang punya niat jahat.
Namun justru karena tidak ingin melukai orang lemah, membuatnya kebingungan
sendiri menghadapi kekalapan mereka. Dan sekarang sudah saatnya bagi pemuda ini
untuk me- nyadarkan mereka dari kekalapan.
Berpikir demikian, Soma pun cepat
bertindak sebelum puluhan anak panah penduduk kampung kembali menyerang.
Tubuhnya seketika berkelebat cepat. Dengan gerakan tangan yang sulit diikuti
pandangan mata penduduk kampung, Soma cepat menotok tubuh gadis cantik berbaju
merah yang kebe-tulan paling dekat dengannya. Dan....
Tuk! "Ahh...!"
Jari-jari tangan kanan Soma tepat
menotok jalan darah di punggung gadis itu. Maka tanpa ampun lagi, tubuh gadis
berbaju merah langsung roboh. Untungnya cepat disambar tubuh gadis itu hingga
tidak jatuh ke tanah.
"Maafkan aku, Ibu! Bukan maksudku lancang padamu. Tapi, jangan melotot begitu,
dong! Nanti aku carikan kayu bakar.
Tenang-tenang saja, ya! Pokoknya Ibu ma-sak saja yang enak. Jangan terlalu
pedas, jangan terlalu manis, ya"!" kata Soma, menggoda.
Ki Lurah dan beberapa orang pendu-
duk kampung yang ada di tempat itu jadi kalang kabut melihat gadis penolong
mereka yang bisa diharapkan bantuannya berada dalam cengkeraman Soma.
"Serang bocah keparat itu! Tapi, jangan sampai melukai gadis itu!" perin-tah Ki
Lurah penuh kemarahan.
"Tunggu, Ki Lurah! Soal serang-menyerang gampang. Tapi, apa Ki Lurah tidak
pernah berpikir, mengapa aku tidak melarikan gadis ini" Padahal, gampang sa-ja
kalau aku mau," cegah Soma bermaksud mempengaruhi Ki Lurah.
"Omong kosong! Apa kau tidak lihat penduduk kampung yang sudah mengepungmu, he"!
Mereka semua siap merajam tubuhmu, tahu"!" bentak salah seorang penduduk kampung
menyahuti. Soma menggaruk-garuk kepala, persis orang kehilangan akal.
"Bagaimana, Ki Lurah" Apa kau percaya pada keteranganku tadi atau keterangan
pendudukmu?"
Ki Lurah bukanlah orang bodoh. Dulu sebelum menjabat sebagai lurah, dia juga
seorang tokoh persilatan. Dan melihat sepak terjang pemuda yang dicurigainya
sebagai penculik, pikirannya jadi lain.
"Hm...! Apa yang dikatakan pemuda ini benar. Kalau dia mau, bukanlah hal yang
sulit untuk melarikan Ratih dari ke-pungan. Buktinya saja, meski aku dibantu
beberapa orang penduduk kampung, tetap saja belum bisa meringkusnya. Malah
sekarang, Ratih berada dalam tawanannya," gumam Ki Lurah dalam hati.
"Bagaimana, Ki" Jangan diam mematung saja! Aku ngeri melihat panah-panah di
tangan penduduk kampungmu, Ki. Aku ta-
kut, Ki. Aku masih ingin hidup. Aku juga masih doyan makan nasi tempe, Ki!" oceh
Soma seolah-olah takut melihat beberapa orang penduduk kampung siap merajam
tubuhnya. Mau tidak mau Ki Lurah yang sedang
kebingungan tersenyum juga melihat tingkah Soma yang ugal-ugalan. Namun dia juga
tidak gampang percaya mendengar keterangan Soma.
"Menurut keterangan salah seorang penduduk, orang yang membuat keonaran adalah
seorang pemuda berwajah tampan.
Rambutnya hitam panjang digelung sebagian ke belakang. Pakaiannya rapi sekali,
seperti pakaian terpelajar saat ini. Namun sikapnya tidak ugal-ugalan seperti
pemuda ini. Juga, tidak memiliki rajahan bergambar ular putih di dada kanannya?"
pikir Ki Lurah dalam hati.
"Bagaimana, Ki" Kok, malah diam sa-ja"! Ayo, dong, Ki! Tolong aku! Lihat tuh!
Penduduk sudah tidak sabar merajam tubuhku! Cepat usir mereka pulang, Ki!"
ratap Soma. "Tahan serangan! Kita memburu orang yang salah!" teriak Ki Lurah pada para
penduduk. Ki Lurah melebarkan senyumnya.
"Maaf, Anak Muda. Kami semua telah salah mencurigai orang. Aku yakin, kau bukan
orang yang kami maksudkan. Dan kami
juga minta maaf atas kebodohan kami."
"Maksud Ki Lurah..." Apakah Ki Lurah sudah tidak mencurigaiku lagi?" tanya Soma.
"Ya."
"Wah...! Terima kasih sekali, Ki!
Terima kasih!"
Soma bersorak-sorak kegirangan per-
sis anak kecil mendapat permainan baru.
Dan akibatnya kedua tangannya yang dari tadi memegang tubuh gadis cantik berbaju
merah itu terlepas. Lalu...
Buk! "Augh...!"
Gadis cantik bernama Ratih itu me-
mekik tertahan. Matanya yang indah mendelik ke arah Soma penuh kemarahan.
"Auow...! Maaf, aku tidak sengaja, Ibu! Jangan marah, ya"!"
Soma cepat tersadar. Kemudian tan-
gannya cepat menotok. Begitu gadis itu terlepas dari totokannya, tangan mungil-
nya langsung menampar pipi Soma dua kali.
Plak! Plak! "Wadaouuuh...! Mengapa Ibu jadi galak begini" Aku sudah menolongmu, Ibu,"
rintih Soma seraya memegang pipinya yang terkena tamparan.
Beberapa orang penduduk kampung
yang melihat hanya tersenyum-senyum saja.
Namun tidak demikian Ratih. Dengan kemarahan meluap-luap, gadis itu langsung me-
nyerang Soma. Soma berlari-lari ketakutan.
"Ibu! Ibu! Siapa sudi jadi ibumu!"
teriak Ratih penuh kemarahan.
"Sudahlah, Ratih! Paman yakin pemuda ini bukanlah orang jahat," kata Ki Lurah
melerai. Soma cengar-cengir.
"Oh, jadi nama Ibu, Ratih, ya"
Hm..., manis sekali kedengarannya, seperti orangnya," kata Soma ceriwis.
"Sekali lagi kau panggil Ibu, aku tidak segan-segan merobek mulutmu, Bocah!"
geram Ratih. "Nah..., nah! Kau sendiri memanggilku bocah. Mengapa aku tidak boleh memanggilmu
Ibu?" kata Soma.
"Sudahlah, Tuan Pendekar! Sebaiknya ur...."
"Namaku bukan Tuan Pendekar, Ki!
Namaku Soma!" potong Soma.
"Ya, ya, ya...! Kau sudah mengenalkan namamu, Nak Soma. Aku juga harus
mengenalkan diri, bukan?" kata Ki Lurah ikut-ikutan latah.
Sambil tersenyum-senyum kecil, Ki
Lurah mengulurkan tangannya pada Soma.
Soma menerima uluran tangan Ki Lu-
rah. "Aku memang lurah di Desa Wonodadi inf. Namaku, Ki Suroloyo. Dan sebagai lurah
di sini, rasanya tak enak kalau tidak
minta maaf padamu atas kebodohan kami ta-di."
Soma gerah sekali diperlakukan se-
perti itu. Tangannya yang masih dalam cengkeraman Ki Lurah Suroloyo buru-buru
dilepaskan. "Lupakan saja, Ki! Aku sendiri juga sudah melupakannya, kok," jawab Soma
disertai senyum manis. Lalu matanya mengerling nakal ke arah Ratih. Ratih
mendelik gusar.
Ki Lurah Suroloyo yang melihat itu
hanya tersenyum-senyum saja.
"Sudahlah, Nak Soma! Kalau Nak Soma tidak keberatan, bolehkah kami meminta
pertolonganmu?"
"Oh, ya" Hampir aku lupa!" Soma menepuk jidatnya sendiri. "Sebenarnya ada apa
sih" Kok, sampai Ki Lurah membawa penduduk kampung kemari" Pakai bawa-bawa
pedang lagi" Apa ada ayam Ki Lurah yang dicolong maling?"
Ki Lurah tersenyum. Sama sekali ti-
dak tersinggung atas ucapan Soma.
"Tidak, Nak Soma. Sebenarnya ceri-tanya begini...."
Ki Lurah menghela napas panjang,
kemudian dengan suara sedikit bergetar diceritakannya kejadian yang sedang
dialami. Tidak lain, mengenai penculikan beberapa orang gadis di desanya. Dan Ki
Lurah Suroloyo juga menceritakan kalau
hari ini, penculik itu akan menculik anak gadisnya.
"Hm...! Jadi begitu persoalannya, ya?" gumam Soma mengangguk-anggukkan kepala.
"Pantas kalian jadi kalap begini.
Tapi ngomong-ngomong, bagaimana Ki Lurah tahu kalau hari ini si penculik itu
akan mengambil anak gadismu?"
"Seperti biasa, penculik itu selalu menancapkan bunga mawar merah di pintu depan
rumah calon korban. Dan pagi tadi, bunga mawar menancap di pintu depan rumah
kami, Nak Soma."
"Ya, ya, ya... Aku mengerti," Soma lagi-lagi mengangguk-anggukkan kepala.
"Tapi.... Tapi, ma..., maukah Nak Soma membantu kami menangkap penculik itu?"
tanya Ki Lurah Suroloyo malu-malu.
Soma garuk-garuk kepala. Matanya
yang nakal kembali mengerling ke arah Ratih
"Bagaimana, Nak Soma" Apa kau keberatan?"
"Tidak! Sama sekali tidak. Tapi ada syaratnya, Ki!" sahut Soma.
"Syarat?" Ki Lurah Suroloyo membe-lalakkan matanya, gelisah. "Apa syarat itu?"
Soma tertawa. "Jangan gusar, Ki. Syaratnya tidak berat kok. Hanya tolong perkenalkan aku pada
Ratih! Itu saja. Tidak berat, kan?"
"Apa"!"
Suara itu adalah pekikan melengking dan mulut Ratih. Gadis itu gusar bukan main
melihat kenakalan Soma. Tangannya yang gatal-gatal kembali menampar pipi, namun
Soma cepat berkelit ke samping.
"Wah, wah, wah...! Kenapa jadi galak begini, Ki?"
"Habis kau sendiri yang usil, sih?"
kata Ki Lurah Suroloyo tak dapat lagi membendung tawanya. Demikian juga beberapa
orang penduduk kampung yang melihat kejadian itu.
"Syaratnya aku cabut, Ki! Gadis yang ingin kukenal ngamuk. Aku tidak ingin
berkenalan dengan gadis pemarah!" teriak Soma di antara serangan-serangan Ratih.
Ki Lurah Suroloyo dan beberapa
orang penduduk kampung hanya bisa melebarkan tawanya.
"Aneh sekali! Dalam keadaan tegang seperti itu, masih saja membuat ulah,"
pikir Ki Lurah.
8 Soma diam membisu di tempat duduk-
nya. Matanya yang nakal lebih senang memperhatikan Ratih yang duduk di samping
Ki Lurah Suroloyo. Terlihat sesekali gadis itu mendelik gusar. Dan pemuda itu
hanya cengar-cengir saja. Malah matanya kembali mengerling nakal ke arah gadis itu.
Beberapa orang penduduk kampung
yang sedang mengikuti jalannya rapat yang dipimpin langsung Ki Lurah Suroloyo
hanya tersenyum-senyum saja memperhatikan tingkah Soma. Lelaki tua ini
sebenarnya tahu apa yang dilakukan Soma. Tapi dia lebih senang membicarakan
tentang kekhawatiran akan kemunculan orang yang akan menculik anak gadisnya.
Juga membicarakan tentang kegelisahan penduduk kampung yang akan mencari kayu
bakar di Hutan Randu Blatung.
"Untuk sementara, saudara-saudara sekalian harap jangan keluar masuk dulu ke
dalam Hutan Randu Blatung. Terlalu berbahaya. Bukannya aku menghalang-halangi
kalian untuk mencari kayu bakar.
Sama sekali tidak. Ini semua demi keselamatan kalian. Dan nanti, bila orang yang
telah membuat keonaran di desa tertang-kap, baru kalian boleh mencari kayu bakar
kembali. Apa kalian setuju?" sambung Ki Lurah Suroloyo di antara kerumunan
penduduk di pendopo kelurahan.
"Setujuuu...!" sahut penduduk Desa Wonodadi, serempak.
"Terima kasih atas pengertian kalian. Sekarang, tindakan apa yang akan kita
lakukan dengan kemunculan tokoh pembuat onar di kampung kita" Apa kalian ada
yang mempunyai pendapat?" kata Ki Lurah Suroloyo penuh wibawa.
"Tidak ada tindakan apa pun selain meringkus orang yang membuat onar di kampung
kita, Ki Lurah!" kata seorang pemuda bertubuh tinggi tegap di antara kerumunan
penduduk itu. Suaranya terdengar lantang.
"Maksudmu apa, Sembodo" Apa kau tetap menghendaki pembuat onar itu dihabi-si?"
tanya Ki Lurah Suroloyo.
"Benar, Ki Lurah. Aku kira itulah jalan satu-satunya yang terbaik," sahut orang
yang dipanggil Sembodo lantang.
"Baik, baik. Aku mengerti perasaanmu, Sembodo. Tapi bagaimana dengan saudara-
saudara yang lain" Apa setuju dengan usul Sembodo?" tanya Ki Lurah Suroloyo
meminta pertimbangan penduduknya.
"Setujuuu...!" teriak penduduk kampung serempak.
"Terima kasih. Sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Tapi, aku kira tidak ada
jeleknya kalau meminta pendapat dari kedua tamu kita. Kalian setuju, bukan?"
"Setujuuu...!"
"Nah, Nak Soma! Sekarang silakan kau memberi pengarahan pada kami. Apa kau
mempunyai pendapat yang bagus?" ujar Ki Lurah Suroloyo.
Soma tergagap. Tadi telinganya sama sekali tidak mendengar percakapan antara
Ki Lurah Suroloyo dan penduduk kampung, saking asyiknya memperhatikan kecantikan
Ratih. Dan sekarang ditanya Ki Lurah Suroloyo demikian, Soma jadi geragapan.
"Apa" Ki Lurah menanyakan aku tentang soal apa" Soal pendapatku" Ah...!
Kukira, kecantikan Ratih sungguh menga-gumkan, Ki. Cuaaantik sekali. Aku sangat
menyukainya! Terutama sekali matanya itu.
Coba perhatikan! Cantik bukan?" oceh Soma ngelantur tak ketahuan juntrungan
Dan sehabis berkata begitu, Soma
jadi menautkan alisnya yang tebal dalam-dalam. Dia merasa aneh, mengapa semua
penduduk kampung memandangi dirinya seperti itu. Malah sebagian ada yang tertawa
terbahak-bahak.
"Pemuda edan!" desis Ratih penuh kemarahan.
Sekarang Ratih tidak berani lagi
memaki Soma dengan makian 'bocah edan'
Dia takut, akan membuat sikap Soma makin ugal-ugalan.
"Lho, lho" Mengapa marah-marah padaku, Ratih" Ada apa ini" Memang kenya-taannya
begitu, kok. Kau cantik, cantik sekali!"
"Tidak lucu, tahu"!" hardik Ratih penuh kemarahan.
"Lho, lho..."! Apa-apaan pula ini"
Aku tak sedang melucu" Aku memang tak ta-hu mengapa kalian menertawakan aku,
kok," jawab Soma tanpa dosa.
"Begini, Nak Soma...," ujar Ki Lurah mencoba bersabar. Namun tetap saja orang
tua itu tidak dapat menyembunyikan senyumnya. "Tadi aku minta pendapatmu
mengenai akan munculnya si Pembuat Onar di kampung ini. Semua penduduk kampung
sudah sepakat untuk menghabisinya. Lantas, bagaimana dengan pendapatmu sendiri?"
"Oh...! Aku kira meminta pendapatku tentang kecantikan Ratih," desah Soma sa-ma
sekali tidak menghiraukan kemarahan Ratih. "Tapi, kalau Ki Lurah meminta
pendapatku ya, lakukan saja! Toh, buat apa buang-buang waktu begini" Rapat...,
rapat! Apa itu" Yang penting tindakan! Bukan omongan. Betul, kan?" kata Soma
panjang lebar. "Betul!" sahut penduduk kampung itu serempak.
"Dan satu lagi, kalian tidak perlu takut mencari kayu bakar di Hutan Randu
Blatung. Aku jamin aman. Manusia Rambut Merah itu bukan bermukim di hutan itu,
melainkan di Hutan Sawo Kembar. Aku cukup tahu itu."
Soma berdiri dari tempat duduknya.
Sejenak pandangannya menyapu Ki Lurah Suroloyo dan Ratih.
"Sekarang maafkan aku, saudara-saudara sekalian. Aku mau ke belakang se-


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bentar. Silakan saudara-saudara meneruskan rapat. Silakan! Silakan!" lanjut
Soma. Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
pedulikan pandangan mata penduduk, Soma langsung ngeloyor keluar. Ratih dan
penduduk kampung itu terus memperhatikan kepergian pemuda sinting itu. Dan
kemarahan gadis ini makin bertambah ketika dari balik jendela ruang pendopo,
Soma tampak masuk ke dalam kamarnya!
"Anjing kurap! Mau apa pemuda gila itu masuk ke kamarku"!" rutuk batin Ratih,
gusar bukan main.
Ki Lurah Suroloyo hanya bisa meng-
geleng-geleng. Kemudian setelah keadaan tenang, rapat pun kembali dilanjutkan.
Namun belum begitu lama lelaki tua ini membicarakan tentang siasatnya menghadapi
orang yang membuat onar, tiba-tiba sa-ja....
"Aaa...!"
Kesunyian desa itu dikejutkan oleh
lengking kematian beberapa penduduk yang sedang berjaga di luar pendopo
kelurahan. Kemudian disusul pula jeritan penduduk kampung yang lari tunggang langgang entah
ke mana. Ki Lurah Suroloyo dan juga beberapa orang penduduk Desa Wonodadi hanya bisa
saling berpandangan. Mulut mereka terkun-ci, membayangkan ketakutan luar biasa.
"Dia datang...," desah Ki Lurah Suroloyo lirih.
Semua penduduk kampung yang ada di
pendopo kelurahan makin tercekat. Wajah mereka menegang membayangkan kematian.
*** Apa yang dikatakan Ki Lurah Suro-
loyo memang benar. Orang yang disebut-sebut sebagai si Pembuat Onar memang telah
muncul di desa itu. Empat orang penduduk desa yang ditugaskan menjaga di depan
pendopo telah roboh tak dapat bangun lagi. Dua orang mati dengan keadaan kepala
retak. Dua orang lainnya mati dengan usus terburai.
Suasana berubah menjadi mengerikan
sekali. Beberapa orang penduduk desa yang melihat kejadian itu lebih senang
melarikan diri meninggalkan desanya. Sedang yang mempunyai anak gadis, buru-buru
me-nyelamatkannya ke tempat aman.
"Ki Lurah Suroloyo! Cepat serahkan anak gadismu! Kalau tidak, semua penduduk
desa ini akan kubantai!" teriak orang yang menebarkan maut barusan itu lantang.
Dalam keremangan malam masih terli-
hat kalau orang itu masih muda. Wajahnya tampan dengan kulit putih bersih.
Rambutnya yang hitam panjang digelung sebagian ke belakang. Pakaiannya pun rapi
sekali, persis seperti pakaian orang terpelajar.
Dia tidak lain Prameswara! Murid tunggal Pendekar Kujang Emas!
Ki Lurah Suroloyo keluar dari pen-
dopo. Matanya yang tua memandang pemuda di hadapannya garang. Ratih dan beberapa
orang penduduk kampung yang tadi mengikuti jalannya rapat berdiri di belakang Ki
Lurah Suroloyo.
"Langkahi dulu mayatku, sebelum mengambil anak gadisku, Bocah Edan!" hardik Ki
Lurah Suroloyo penuh kemarahan.
"Kau kedengarannya galak sekali, Ki. Apa kegalakan mulutmu dapat menyelamatkan
nyawa tuamu?" ejek Prameswara sinis. Pandangan matanya lembut. Namun dalam
kelembutan matanya tersimpan kekejian luar biasa!
"Jangan banyak bacot, Pemuda Edan!
Bersiap-siaplah sebelum pedangku mencincang tubuhmu!" bentak Ratih, tak dapat
mengendalikan amarahnya. Mungkin dikarenakan kekesalannya terhadap Soma itulah
yang membuat amarahnya cepat naik.
"Ah...! Rupanya kau cantik juga, Manis. Sungguh beruntung guruku mendapatkan dua
orang gadis cantik seperti ini. Tapi, tidak! Guruku tidak boleh mendapatkan
kedua gadis ini. Aku harus men-gambilnya satu. Dan, kaulah pilihanku, Manis!"
"Keparat! Kau harus merasa kan aki-
bat mulut kotormu, Kunyuk Edan!"
Ratih tidak dapat lagi mengendali-
kan amarahnya. Tangan kanannya cepat mencabut gagang pedangnya. Dan tanpa banyak
cakap lagi langsung diserangnya Prameswara.
"Wah, wah, wah...! Hebat sekali permainan pedangmu, Manis. Tapi nanti aku ingin
lihat, apakah kehebatan permainan pedangmu juga sehebat permainanmu di ranjang,
Manis," ejek Prameswara.
Bukan main marahnya gadis itu. Ge-
rahamnya dikeretakkan kuat-kuat. Gerakan putaran pedangnya pun makin dipercepat,
membentuk gulungan putih mendesak tubuh Prameswara.
Namun Prameswara bukanlah tokoh
sembarangan. Dia adalah murid tunggal Pendekar Kujang Emas, sekaligus juga murid
Manusia Rambut Merah yang berhasil dikelabuinya. Dan kini pemuda itu diangkat
menjadi murid. Menghadapi serangan Ratih yang ne-
kat, Prameswara hanya tersenyum-senyum kecil. Sama sekali tidak terlihat
kewalahan. Ki Lurah Suroloyo geram bukan main.
Melihat Ratih telah turun tangan, tidak ada pilihan baginya kecuali cepat meme-
rintahkan penduduk untuk menyerang Prameswara.
Seketika itu juga, beberapa orang
penduduk kampung yang kalap menerjang Prameswara dengan berbagai macam senjata.
Ki Lurah Suroloyo sendiri memegang senjata rantai baja. Tak heran kalau dulu dia
sangat disegani di dunia persilatan dengan julukannya Baja Setan.
"Kalian manusia-manusia tak tahu diri! Apa kalian sudah bosan hidup" Baik!
Jangan salahkan kalau aku sedikit kasar pada kalian. Lihat seranganku!" bentak
Prameswara halus.
Suara pemuda itu membahana, mengge-
tarkan hati penduduk kampung. Karena te-riakannya diiringi tenaga dalam tinggi.
Bahkan Ki Lurah Suroloyo dan Ratih sendiri pun merasakan getaran pada gendang
telinga akibat teriakan Prameswara tadi
"Ha...ha...ha...!"
Prameswara tertawa. Kedua tangannya yang berkulit putih bersih mulai berkelebat
kesana kemari. Dan setiap kelebatan tangannya diikuti lengking kematian penduduk
kampung. Dugh! Dugh! "Augh...!"
Jerit para penduduk kampung yang
terkena tamparan dan cengkeraman tangan Prameswara terdengar memilukan. Dan
bersamaan itu, tubuh para penduduk kampung pun roboh tak mampu bangun lagi.
Darah segar langsung keluar dari kepala dan perut yang robek lebar. Darah segar
kembali menggenang membasahi tanah depan pendopo yang kering.
"Lihat teman-teman kalian! Apa kalian belum kapok!" bentak Prameswara membuat
nyali sebagian penduduk kampung men-ciut.
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa denganmu, Bocah Setan!" pekik Ki Lurah Suroloyo
membahana. Tangan kanannya yang memegang rantai baja cepat digerakkan ke depan
mengarah ke kepala Prameswara.
Pemuda itu tersenyum mengejek. Ran-
tai baja yang mengarah ke lengannya ditangkis dengan tangan kiri.
Prak! Rantai baja di tangan Ki Lurah Su-
roloyo terpental ke belakang. Dan ini membuat mata lelaki tua itu terbelalak
liar. Tangannya yang memegang rantai tergetar hebat. Selama malang melintang di
dunia persilatan, belum pernah ada seorang tokoh silat pun yang mampu menerima
pukulan rantai bajanya. Bahkan tadi tenaga dalamnya sudah dikerahkan sepenuhnya.
"Sekarang terimalah seranganku, Ki Lurah! Lihat!"
Prameswara bergerak cepat mendesak
Ki Lurah Suroloyo. Sementara Ratih dan beberapa orang penduduk kampung cepat
membantu. Akan tetapi, sayang gerakan Prameswara terlalu cepat bagi mereka. Dan
dalam sekejap saja....
Duk! "Augh...!"
Ki Lurah Suroloyo memekik menyayat
terkena tamparan tangan Prameswara. Tubuhnya yang tinggi kurus terbanting keras
ke dinding pendopo.
"Jahanam...! Kau melukai lurah ka-mi!" bentak salah seorang penduduk kampung itu
berani. "Minggirlah kalau masih sayang nyawa!" bentak Prameswara garang. Tubuhnya yang
tinggi ramping berkelebat cepat sekali menampar dan menendang para penduduk.
Ratih yang ikut membantu serangan
nyaris tak bisa berbuat apa-apa. Beberapa kali sabetan pedangnya hanya mengenai
tempat kosong. Bahkan sudah beberapa kali hampir saja terkena tamparan tangan
Prameswara. Untung tubuhnya dapat cepat berkelit.
"He he he..., Manis! Mengapa kau galak sekali" Padahal aku tak ingin kasar
padamu. Tapi, baik! Aku akan melumpuhkan-mu dulu, baru nanti kau melayaniku. Ha
ha ha...!"
"Jahanam! Aku akan mengadu nyawa denganmu!" dengus Ratih penuh kemarahan.
Gerakan pedang di tangan kanannya makin dipercepat. Sedang tangan kirinya pun
mulai berubah menjadi kehijau-hijauan hingga ke pangkal lengan.
Prameswara mendengus.
"Jangan salahkan kalau aku sedikit kasar padamu, Manis!"
"Jangan banyak bacot! Aku muak melihat tampangmu, Kunyuk Edan!" bentak Ratih
penuh kemarahan.
"He he he...! Kau nekat juga, Manis!"
Prameswara menggerakkan tangannya
menyambut serangan Ratih. Namun, anehnya.
Begitu tangannya hendak membentur pedang Ratih, Prameswara cepat memutar
tangannya. Dan tahu-tahu tangannya bergerak menotok tubuh Ratih.
Tuk! "Ah...!"
Ratih terpekik kaget bukan kepa-
lang. Tubuhnya yang terkena totokan langsung roboh ke tanah. Beberapa orang
penduduk kampung yang melihat jadi ciut nyalinya. Satu persatu para penduduk
kampung berjalan mundur menjauhi pertempuran.
Prameswara tertawa berkakakan. Tu-
buh Ratih yang kaku tak dapat digerakkan, dipeluknya erat-erat.
"Ahh...! Mengapa Kakang bermain se-rong begini"! Katanya ingin menjemputku,
Kang?" Tiba-tiba dari arah belakang Pra-
meswara terdengar suara cempreng, mirip suara perempuan. Namun jelas sekali
kalau suara itu sengaja dibuat-buat.
Prameswara menggeretakkan geraham-
nya seraya berbalik. Di depannya nampak seorang gadis berpakaian merah mirip
pakaian gadis dalam pelukan Prameswara.
Anehnya gadis itu bertubuh tinggi kekar.
Sikapnya sengaja dibuat genit. Dan ketika melangkah mendekati Prameswara, maka
nam-paklah penampilannya yang norak. Bibirnya yang agak tebal diolesi gincu
warna merah menyala. Demikian pula pipinya. Rambutnya yang panjang sebatas bahu
dikuncir ke belakang. Namun lucunya, bedaknya yang menutupi wajah tidak rata.
Mungkin karena terburu-buru!
Mata Ratih terbelalak liar.
"Pemuda sinting! Mengapa masih bersikap ugal-ugalan dalam keadaan tegang begini"
Pakai pakaianku lagi?" gumam Ratih dalam hati.
Prameswara sendiri pun terkejut bu-
kan main melihat kemunculan gadis aneh itu. Sekali pandang saja dia tahu kalau
gadis ini adalah seorang pemuda.
"Aih..., Kakang" Mengapa bengong saja" Katanya ingin menjemputku" Ayo dong,
Kang?" oceh gadis itu merajuk manja bukan main.
"Bocah edan! Apa kau sudah bosan hidup"!" bentak Prameswara garang.
"Aih..., Kakang" Mengapa jadi galak begini" Ayo dong lepaskan gadis itu! Aku
bisa cemburu, lho" Katanya Kakang ingin
menculikku" Ayo dong, Kang! Aku juga ingin merasakan, seperti apa sih enaknya
diculik dan diperkosa. Hik hik hik...."
Bukan main marahnya Prameswara. Dia merasa telah dipermainkan gadis aneh itu
"Kau mempermainkanku, Bocah Edan"!
Apa kau mempunyai nyawa rangkap, sehingga berani mempermainkanku, he"!" bentak
Prameswara garang. Tangan kanannya yang memeluk Ratih dilepaskannya.
Ratih memekik kecil ketika tubuhnya jatuh ke tanah.
"Aku tidak mempunyai nyawa rangkap, Kakang. Tadi sudah kubuang ke kakus!" jawab
gadis aneh yang tak lain Soma seenak hati.
Bukan main marahnya Prameswara.
Seumur hidup belum pernah dia diperlakukan seperti itu. Dan saking marahnya,
tanpa sadar kedua telapak tangannya telah berubah menjadi kebiru-biruan hingga
ke pangkal lengan. Itu pertanda pukulan maut
'Cahaya Kilat Buana'nya siap dilontarkan.
"Wah, wah, wah...! Kang Mas ini ke-napa sih" Kok, kedua tangannya berubah
menjadi biru" Apa Kang Mas tadi habis membuat tikar pandan" Cuci dulu dong
tangannya biar tidak belepotan tinta!" ejek Soma makin membuat Prameswara murka.
"Jangan banyak tingkah, Bocah Teng-kik! Hari ini adalah hari kematianmu!"
"Lho, lho..." Kok, malah bicara
soal kematian segala" Apa Kang Mas tidak cinta lagi padaku?" kata gadis aneh itu
makin sulit dikendalikan.
Prameswara menggeram marah. Tak se-
patah kata pun keluar dari bibirnya yang bergetar. Sepasang matanya yang tajam
mendelik gusar, seperti akan loncat dari tempatnya. Kemudian dengan kemarahan
meluap-luap, Prameswara melontarkan pukulan maut ke arah tubuh gadis aneh itu.
Wesss! Seleret sinar biru kontan melesat
dari kedua telapak tangan Prameswara, menyambar ganas ke tubuh Soma yang
berwujud gadis aneh.
Soma berloncatan ke sana kemari
menghindari pukulan maut Prameswara. Sembari berloncatan, mulutnya tak henti-
hentinya mengoceh.
"Panas! Panas! Ih...! Mengerikan sekali! Apakah Kang Mas ingin membunuhku?"
Prameswara tidak peduli. Melihat
serangan pertamanya dapat dihindari, hatinya semakin terbakar. Kedua tangannya
yang berwarna biru kembali menyerang Soma tanpa ampun. Hebat sekali serangannya,
karena segenap kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan.
Wess! Wesss! Kali ini Soma sulit sekali menghin-
dari pukulan-pukulan maut Prameswara.
Meski sesekali berhasil menghindari, namun hal ini jelas tidak mungkin terus
bertahan. Maka ketika tangannya berwarna keputihan tahu-tahu Soma telah membalas
serangan-serangan Prameswara.
Wesss! Seleret sinar putih terang seketika melesat dari kedua telapak tangan Soma,
bergerak cepat sekali memapak cahaya biru yang meledak-ledak dari kedua telapak
tangan Prameswara. Akibatnya....
Blar! Blarrr! Soma bergetar hebat. Tubuhnya ber-
goyang-goyang. Sedang Prameswara terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Wajahnya kontan pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar hebat, pertanda tenaga
dalamnya masih kalah satu tingkat di bawah Soma.
"Kenapa, Kang Mas" Kok, hanya bengong saja" Wajahmu pucat pasi. Mengapa Kang Mas
memandangku seperti itu" Aku bukan naga gondrong, Kang Mas. Jangan takut!" ejek
Soma habis-habisan.
Prameswara menggeram marah. Disada-
ri kalau lawan yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan. Melihat hal itu, tanpa
malu-malu lagi, senjata andalannya segera dicabut. Kujang Emas!
"Hey...! Bukankah itu Kujang Emas"
Jangan-jangan itu senjata andalan ayahku"!" gumam Soma. "Tunggu! Apa hubunganmu
dengan Pendekar Kujang Emas, he?"
"Jangan banyak bacot! Hari ini adalah hari kematianmu!"
Sehabis berkata begitu, tanpa mem-
buang-buang waktu lagi Prameswara langsung menyerang Soma hebat.
Sembari berjumpalitan ke sana kema-
ri, Soma terus berpikir. Bagaimana pemuda lawannya ini menggunakan senjata
andalan ayahnya" Mungkinkah dia Prameswara" Bisa jadi"!
"Hm...! Kau pasti Prameswara! Pasti! Tak salah lagi!" gumam Soma.
Prameswara yang sedang mendesak So-


Siluman Ular Putih 01 Misteri Bayi Ular di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ma hebat jadi terkesiap. Sejenak dipan-danginya Soma heran.
"Bagaimana mungkin pemuda sinting itu bisa mengenali namaku?" pikir Prameswara.
Namun keterkejutan Prameswara diha-
pus dengan kepongahannya.
"Kalau iya, kau mau apa"!" tantang Prameswara.
"Aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan padamu," kata Soma bersungguh-sungguh.
Sikap ugal-ugalan pemuda ini lenyap entah ke mana begitu melihat senjata andalan
ayahnya. "Aku yakin kau pasti murid Pendekar Kujang Emas! Tapi, mengapa senjata kujang
ini bisa jatuh ke tanganmu" Kau pasti ada
sangkut pautnya dengan kematian ayahku!"
"Kalau iya, kau mau apa"!" kata Prameswara, lagi-lagi dengan kalimat sa-ma.
"Hm...! Kalau benar, aku harus membunuhmu. Juga, Manusia Rambut Merah!" geram
Soma penuh kemarahan,
"Lakukanlah! Jangan banyak bacot!"
Soma cepat mengeluarkan senjata
anehnya dari balik pinggangnya. Anak Panah Bercakra Kembar yang berbentuk aneh
sekali, seperti batang anak panah yang berlubang. Mata anak panah itu berbentuk
kepala ular, hingga sampai ke tangkainya.
Dan di kanan-kiri kepala ular itu terdapat dua gerigi terbuat dari besi baja.
Begitu mengeluarkan senjata anda-
lannya, Soma langsung menyerang Prameswara dengan jurus 'Terjangan Maut Ular
Putih'. Seketika itu juga angin kencang da-ri dua gerigi di kepala senjatanya
berdesir ke arah Prameswara.
Prameswara terkejut bukan main.
Pemuda sesat ini sadar kalau musuh-
nya mempunyai kepandaian sangat tinggi.
Untuk itu, kujangnya cepat diputar. Segera dihadapinya kehebatan serangan lawan
dengan jurus sakti 'Kilat Menyambar Bu-mi'. Namun tetap saja Prameswara
kewalahan. Gulungan kujang di tangan kanannya tetap saja tertindih gulungan
putih di tangan Soma.
Bahkan pada jurus ke sepuluh, ham-
pir saja Prameswara terkena sambaran senjata di tangan Soma. Untungnya, dia
cepat berkelit ke samping. Sehingga serangan Soma gagal.
Sekarang dalam keadaan terdesak se-
perti itu, Prameswara cepat meloncat jauh ke belakang. Pada saat tubuhnya
melayang tinggi ke udara, Prameswara cepat putar tubuhnya seperti gasing. Dan
ketika dua kakinya menginjak ke tanah, seketika itu juga tanah yang dipijak
membuncah ke udara. Dan tubuhnya pun langsung lenyap dalam tanah yang membuncah.
Itulah ilmu andalan guru barunya, Manusia Rambut Merah!
Soma terkejut. Dia belum tahu, ilmu apa yang dikeluarkan Prameswara. Namun belum
sempat berpikir lebih jauh, tahu-tahu terasa angin kencang berdesir kencang yang
datangnya dari dalam tanah. So-ma tak sempat lagi mengelak. Dan...
Duk! "Augh...!"
Soma memekik nyeri. Tubuhnya yang
terkena pukulan 'Cahaya Kilat Biru' itu langsung melambung tinggi ke udara.
Pada saat yang bersamaan, tanah di
bawah kembali membuncah ke udara. Dari dalamnya muncul Prameswara, kedua telapak
tangannya yang biru kembali menyerang So-ma ganas.
Dan Soma yang baru saja mendarat
cepat memapak dengan pukulan saktinya
'Tenaga Inti Bumi'!
Duk! "Uhh...!"
Prameswara terhuyung-huyung ke be-
lakang. Dan Soma tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Terus diserangnya
Prameswara dengan hebat. Namun sebelum niatnya terlaksana, tahu-tahu tanah di
hadapannya kembali membuncah ke udara. Tidak lama Soma merasakan sepasang
kakinya seperti dibetot dari dalam tanah. Kuat sekali!
Soma kewalahan bukan main. Perlahan namun pasti, kedua kakinya terus melesak ke
dalam tanah. Tidak ada pilihan lain.
Dia harus mengerahkan ilmu pamungkasnya.
'Titisan Siluman Ular Putih'!
Sejenak Soma memusatkan pikirannya.
Dan dalam beberapa kejap kemudian asap putih tipis telah menyelimuti tubuhnya,
hingga hilang sama sekali. Beberapa saat kemudian....
"Gggeeerrr...!"
Seketika itu juga, mata penduduk
kampung yang melihat kejadian itu jadi membelalak lebar, seolah tak percaya
dengan apa yang terlihat. Begitu asap putih yang menyelimuti tubuh Soma
menghilang, tampak seekor Ular Putih sebesar pohon kelapa.'
"Ular Putih...!" desis penduduk kampung yang menonton pertempuran itu
takjub. Bentuk Ular Putih itu mengerikan
sekali. Taringnya besar bertonjolan siap memangsa tubuh lawannya.... Sedang
sebagian ekornya yang terpendam ke dalam tanah menggeliat-geliat seperti sedang
mencari sesuatu.
Prameswara yang saat itu masih be-
rada dalam tanah, merasakan kalau ekor Siluman Ular Putih mulai mengepit
tubuhnya kuat-kuat. Dia memberontak, namun sia-sia saja. Tubuhnya yang terjepit
ta-hu-tahu terangkat ke atas. Dan tanpa ampun lagi....
Tubuh Prameswara yang dikepit ekor
Siluman Ular Putih terbanting-banting di tanah. Dalam beberapa kejap kemudian
tubuhnya pun kembali terlontar ke udara.
Siluman Ular Putih kembali mengejar musuhnya. Namun sayangnya, Prameswara yang
sedang kalang kabut itu langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang
sudah mencapai tingkat tinggi, meninggalkan tempat itu.
Siluman Ular Putih meloncat tinggi
ke udara mengejar Prameswara. Sayang, pemuda berpakaian pelajar telah jauh
meninggalkannya. Sejenak Siluman Ular Putih nampak ragu-ragu melanjutkan
pengejaran-nya. Dilihatnya Ki Lurah Suroloyo yang terluka parah tengah tertatih-
tatih meng-hampirinya.
"Ah, Ki Lurah Suroloyo terluka parah. Aku harus mengobatinya dulu," pikir
Siluman Ular Putih.
"Gggeeerrr...!"
Asap putih tipis kembali menyelimu-
ti tubuh Ular Putih, hingga tidak kelihatan sama sekali. Dan ketika asap putih
menghilang, maka yang nampak di hadapan penduduk kampung bukan lagi Siluman Ular
Putih, melainkan seorang gadis aneh berpakaian merah. Soma! Dan kini, gadis aneh
itu sedang bersungut-sungut kesal melihat buruannya kabur.
"Kau. Kaukah Ular Putih itu. Soma?"
tanya Ratih bergidik membayangkan tubuh Siluman Ular Putih tadi.
Soma hanya tersenyum saja. Kemudian didekatinya Ratih. Segera dibebaskannya
gadis itu dari totokan Prameswara.
"Ah, iya"! Kau pasti Siluman Ular Putih itu?" timpal salah seorang penduduk
kampung. "Tak kusangka pemuda itu dapat menjelma menjadi Ular Putih," lanjutnya
lagi bergumam. "Ya, ya, ya...! Kau.... Kau pantas sekali mendapat julukan itu, Nak Soma!"
kata Ki Lurah Suroloyo di antara napasnya yang tersengal.
"Ya, ya, ya...! Ki Lurah benar! Kau pantas mendapat julukan itu, Saudara So-ma,"
sahut Ratih. "Tapi, mengapa kau mencuri pakaianku?"
Soma tidak menyahuti. Dia hanya
tertawa-tawa saja. Namun begitu menyadari kalau Ki Lurah Suroloyo mengalami luka
parah, pemuda itu segera mendekatinya.
Dibawanya tubuh lelaki itu masuk ke dalam rumahnya.
Sementara itu beberapa orang pendu-
duk yang masih tercekat melihat kejadian aneh tadi masih terus berteriak-teriak
kegirangan dari halaman pendopo.
"Hidup Soma...! Hidup Siluman Ular Putih...!"
"Hidup Siluman Ular Putiiihhh...!"
SELESAI Segera terbit: MANUSIA RAMBUT MERAH
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Jejak Di Balik Kabut 18 Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Penghuni Goa Kramat 2
^