Pencarian

Manusia Rambut Merah 2

Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah Bagian 2


ninggalkan tempat itu.
Perempuan Bercadar Biru itu menangkap-
nya dengan tangan kiri. Namun anehnya, begitu
berhasil meraih cadar, tangan kirinya yang untuk menangkap terasa bergetar
hebat. Seketika itu ju-ga wajah wanita ini pucat pasi. Bibirnya bergetar-getar.
Sedang matanya yang membelalak liar te-
rus memperhatikan cadar biru di tangan kirinya.
Dan begitu kepalanya menengadahkan kembali,
bayangan tubuh pemuda penolongnya tadi sudah
menghilang di antara kerimbunan Hutan Sawo
Kembar. "Pemuda hebat...! Tapi sayang, sikapnya
ugal-ugalan...," desis Perempuan Bercadar Biru dengan bibir bergetar-getar.
4 Matahari sudah sejak tadi tenggelam di ka-
ki langit sebelah barat. Sementara angkasa raya
tampak cerah, tak ada awan mengembang. Bulan
purnama perlahan-lahan merayap ke tengah-
tengah cakrawala dari sebelah selatan, membuat
suasana lingkaran bumi makin terang benderang.
Di bawah pancaran sinar bulan, di lereng
sebelah selatan Gunung Merapi nampak sebuah
bayangan hitam tengah berlari kencang menaiki
puncak. Gerakan kedua kakinya aneh sekali, se-
perti bersejingkat. Namun dalam waktu sebentar
saja, ia sudah sampai ke puncak yang dituju.
Begitu menghentikan gerakannya, tampak
jelas kalau bayangan itu adalah seorang laki-laki pendek gempal. Dan dari
pakaian hitamnya yang
kedodoran, nampak tersembul gagang golok hing-
ga ke pangkal leher. Kepalanya botak. Usianya
sekitar tujuh puluh tahun. Dialah yang di kalan-
gan persilatan dikenal sebagai Raja Golok Dari
Utara. Raja Golok Dari Utara langsung mengedar-
kan pandangan dengan alis berkerut.... Cukup
lama juga ia diam termenung seperti itu.
"Ah...! Keparat! Jangan-jangan mereka ti-
dak datang ke Puncak Merapi ini! Hm.... Rupanya
Raja Racun Dari Selatan, Denok Supi, dan Algojo
Dari Timur telah membohongiku. Ah...! Benar-
benar keparat! Awas! Kalau kalian benar-benar
membohongiku! Jangan salahkan kalau terpaksa
tempat persembunyian kalian kuobrak-abrik satu
persatu!" gerutu Raja Golok Dari Utara penuh kemarahan dengan bibir berkemik-kemik.
Wajah bulat laki-laki pendek gempal ini
menegang. Rahangnya yang keras bertonjolan. Namun
entah mengapa sehabis mengeluarkan gerutuan-
nya, mendadak ia jadi terkesiap sendiri. Seketika itu matanya membelalak liar.
Bibirnya pun kembali berkemik-kemik.
"Ah...! Jangan-jangan malah aku sendiri
yang salah menghitung tanggal, sehingga mereka
belum datang. Tapi..., tapi..., ah! Tidak mungkin!
Tidak mungkin aku salah menghitung tanggal.
Malam ini adalah tepat malam purnama di bulan
Asyuro tahun ini. Ya ya ya...! Aku yakin betul...,"
desah laki-laki pendek yang di daerah utara di-
kenal sebagai tokoh sesat ini seraya mengangguk-
anggukkan kepala.
Memang, seperti tahun-tahun sebelumnya,
antara Raja Golok Dari Utara dengan Raja Racun
Dari Selatan, Denok Supi, dan Algojo Dari Timur
selalu mengadakan uji laga dan kepandaian seca-
ra persahabatan, guna menjadi tokoh sesat nomor
satu di dunia persilatan. Untuk itu, pada tahun
ini keempat tokoh datuk sesat itu kembali men-
gadakan pertemuan di puncak Gunung Merapi.
Dan rupanya kali ini Raja Golok Dari Utara
datang lebih awal. Setelah puas dengan keyaki-
nannya, maka tokoh sesat dari utara ini pun se-
gera menghenyakkan pantatnya di sebuah batu
besar. Namun baru saja niatnya terlaksana, men-
dadak pendengarannya yang tajam mendengar
gerakan-gerakan mencurigakan di balik semak-
semak di depannya.
"Siapa yang bersembunyi di balik semak"
Keluaaarrr...!" bentak Raja Golok Dari Utara galak. Suaranya yang disertai
tenaga dalam mem-
bahana, mengusik ketenangan malam di puncak
Gunung Merapi. Tidak ada sahutan.
Raja Golok Dari Utara menggeram. Dari
duduknya, tubuhnya yang pendek gempal tahu-
tahu telah melenting tinggi ke udara dengan golok
di tangan. Dari udara, ia melihat di balik semak-semak beberapa orang berpakaian
compang- camping tengah saling berpandangan. Karena me-
reka melihat orang yang sejak tadi diperhatikan
sudah tidak ada di tempatnya. Beberapa saat me-
reka celingukkan dengan wajah terkejut. Namun
belum sempat hilang rasa heran mereka....
"Hyaaat...!"
Tahu-tahu sebuah bayangan hitam pendek
itu telah mengayunkan goloknya ke salah seorang
berpakaian pengemis disertai bentakan menggele-
gar. Dan.... Crasss! "Aaakh...!"
Terdengar satu jeritan menyayat yang dis-
usul robohnya satu orang berpakaian pengemis.
Perutnya yang terkena sambaran golok robek
dengan isi terburai. Tanpa ampun lagi, pengemis
bertubuh kurus itu pun langsung ambruk ke ta-
nah tak dapat bergerak-gerak lagi. Darah lang-
sung bersimbah di tanah.
"Raja Golok! Di antara kita tidak ada silang sengketa. Mengapa kau membunuh
seorang anggota Pengemis Tongkat Hitam"!" teriak salah seorang pengemis
berpakaian compang-camping
yang pada lengan kanannya mengenakan pita
warna kuning penuh kemarahan.
"Apa pedulimu, Pengemis Penjelajah! Di an-
tara kita memang tidak ada silang sengketa. Tapi kalau aku menginginkan nyawa
kalian, kau mau
apa, he"!" hardik sosok bayangan pendek yang
memang Raja Golok Dari Utara angkuh, setelah
mendarat di tanah dengan manis sekali.
Pengemis berpita warna kuning yang di-
panggil Pengemis Penjelajah itu menggeram. Se-
bagai tokoh Pengemis Tongkat Hitam yang bertu-
gas mengawasi dan bertanggung jawab atas kea-
manan wilayah bagian tengah, Pengemis Penjela-
jah tak mau bertindak ayal-ayalan. Segera tong-
kat hitamnya digerakkan, memberi aba-aba pada
teman-temannya.
Maka dalam sekejap saja, Raja Golok Dari
Utara telah dikepung dua puluh orang berpakaian
pengemis. "Jembel-jembel tak tahu diri! Suruh seka-
lian Ki Samiaji, ketua kalian kemari! Biar sekalian kubasmi!" ujar Raja Golok
Dari Utara tertawa pongah.
"Jangan terlalu banyak mengumbar suara,
Raja Golok! Ketua kami tak pantas berhadapan
muka denganmu. Lekaslah menyerah sebelum
kami mencincang tubuhmu!" kata Pengemis Penjelajah yang kira-kira berusia tiga
puluh tahunan itu berani.
"Setan alas! Kau harus membayar mahal
atas penghinaanmu ini, Jembel Busuk!" geram Raja Golok Dari Utara murka.
Golok di tangan kanan laki-laki pendek itu
kembali menyambar-nyambar ganas. Gerakannya
cepat sekali, sehingga sulit diikuti mata para pengeroyoknya. Sehingga....
Cras! Cras! "Aaah...!"
Dan dalam waktu tidak lama, sepuluh
orang pengemis telah berjatuhan ke tanah dengan
usus terburai oleh sambaran golok tokoh sesat
dari utara itu.
Bukan main marahnya Pengemis Penjela-
jah melihat sepuluh orang anak buahnya roboh
tak dapat bangun lagi dengan luka mengerikan.
Maka dengan satu lengkingan tinggi, pengemis
yang menguasai wilayah tengah itu bergerak me-
nerjang hebat tanpa menghiraukan keselamatan
dirinya. Raja Golok Dari Utara tersenyum menge-
jek. Serangan Pengemis Penjelajah dilayaninya
dengan sambaran golok yang semakin mengga-
nas. Terpaksa Pengemis Penjelajah bergerak
mundur. Dan itu tidak disia-siakan Raja Golok
Dari Utara. Sasarannya kini adalah para penge-
mis lainnya. Setiap sambaran goloknya selalu
meminta korban para pengeroyoknya. Lalu den-
gan gerakan tak terduga, tubuhnya berkelebat ke
arah Pengemis Penjelajah sambil mengebutkan
golok. Dan.... Crasss! "Ah...!" pekik Pengemis Penjelajah dengan wajah pucat pasi, ketika tangannya
tersambar golok hingga putus sampai siku. Darah, langsung
mengucur deras. Sambil berdiri sempoyongan,
Pengemis Penjelajah menotok urat tangannya
yang buntung agar aliran darah berhenti.
Melihat hal itu, beberapa orang pengemis
yang masih hidup segera berteriak memanggil
kawan-kawannya yang lain. Namun sayangnya,
bantuan yang diharapkan tidak kunjung datang
juga. Para pengemis itu hanya mendengar jeritan-
jeritan kematian yang datangnya dari arah utara.
Jelas itu berasal dari mulut para pengemis yang
berada di puncak gunung sebelah utara!
Pengemis Penjelajah jadi menggeram penuh
kemarahan. Dengan melupakan keselamatan di-
rinya, ia jadi nekat menyerang Raja Golok Dari
Utara. "Iblis! Aku ingin mengadu nyawa denganmu!" teriak Pengemis Penjelajah
kalap. Laki-laki pendek yang merupakan tokoh
sesat dari utara itu tertawa-tawa senang. Samba-
ran-sambaran goloknya semakin menggila. Dan di
saat bermaksud menghabisi nyawa Pengemis Pen-
jelajah, mendadak....
"Hik hik hik...! Aku jadi iri melihat kesera-kahanmu, Raja Golok! Si Tua kurus
Raja Racun pun sedang asyik berpesta pora di sebelah sana.
Mengapa kau tidak membagi-bagi rejeki padaku"
Ayo cepat minggir! Beri aku jalan!"
Dari arah berlawanan terdengar suara
merdu seorang wanita yang bernada melecehkan.
Belum hilang gaung suara merdu itu, tahu-
tahu di hadapan Raja Golok Dari Utara telah ber-
diri seorang wanita cantik berpakaian serba kun-
ing. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke
atas. Sebenarnya usia wanita ini sudah sangat
tua. Namun karena memiliki ilmu awet muda, se-
hingga nampak seperti seorang gadis yang baru
berusia dua puluh delapan tahun. Dandanannya
pun menyolok. Wajahnya yang putih bersih diole-
si bedak tebal yang agak luntur, karena keringat.
Bibir dan kedua pipinya berwarna kemerah-
merahan. Nampak menor sekali penampilannya.
Sedang di pinggangnya yang ramping nampak
terselip gagang gunting senjata andalannya.
"Kau makin nampak cantik saja, Denok
Supi! Apa resepmu sehingga nampak awet muda
begini?" sambut Raja Golok Dari Utara, langsung mengenali siapa yang datang.
"Hik hik hik..!! Kau mau tahu saja," jawab sosok wanita genit yang ternyata
Denok Supi. Tingkahnya pun makin dibuat-buat semenarik
mungkin. "Hm...! Kau pasti sering mengurung pemu-
da-pemuda tampan sebagai obat awet muda-
mu...." "Kau sudah tahu, mengapa bertanya" Apa kau naksir aku" Hik hik hik...,"
jawab wanita genit itu lagi.
Sementara itu Pengemis Penjelajah tersen-
tak kaget. Sungguh tidak disangka kalau wanita
cantik di hadapannya adalah Denok Supi, tokoh
sesat dari wilayah barat yang sudah sangat ter-
kenal di dunia persilatan. Ia memang belum per-
nah bertemu muka dengannya. Namun sebagai
seorang tokoh pengemis yang bertugas menjelaja-
hi wilayah tengah, telinganya sudah terlalu sering mendengar kekejian tokoh
sesat di hadapannya.
Melihat hal itu Pengemis Penjelajah jadi
berpikir lain. Jelas kedua tokoh sesat itu tidak mungkin sanggup dihadapi
seorang diri. Jangankan menghadapi keduanya. Menghadapi Raja Go-
lok Dari Utara pun, ia dan kawan-kawannya ma-
sih belum sanggup. Apalagi saat ini anak buah-
nya hanya tinggal dua orang saja.
Tanpa banyak pikir panjang lagi, di saat
Raja Golok Dari Utara sedang bercakap-cakap
dengan Denok Supi, Pengemis Penjelajah segera
memberi aba-aba pada kedua orang temannya
untuk segera meninggalkan puncak Gunung Me-
rapi. Namun sayangnya baru beberapa langkah,
kembali terdengar suara tawa Raja Golok Dari
Utara. "Ha ha ha...! Jembel-jembel busuk! Kalian mau lari ke mana"!"
Raja Golok Dari Utara tersenyum dingin.
Tangan kirinya cepat bergerak ke muka. Dan dari
kekuatan yang tidak nampak saat tangan kiri Ra-
ja Golok Dari Utara mengibas ke dalam, tahu-
tahu tubuh Pengemis Penjelajah itu sudah terbe-
tot ke arahnya. Dan dengan suara tawa yang ber-


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

derai, tokoh sesat itu menyentakkan tangannya
ke atas. Wuuttt! "Aaakh...!"
Seketika itu juga tubuh Pengemis Penjela-
jah melambung tinggi ke udara tanpa tersentuh.
Dan dengan enaknya, Raja Golok Dari Utara me-
mutar-mutar tubuh pengemis itu di udara! Suatu
pertunjukan tenaga dalam yang sangat tinggi!
"Raja Golok! Kau jangan serakah! Itu ba-
gianku!" bentak Denok Supi kesal.
"Ha ha ha...! Kalau saja aku tidak meman-
dang wajahmu yang cantik ini, mana sudi aku
memberikan rejekiku ini padamu. Nih, terimalah
pemberianku."
Raja Golok Dari Utara menggerakkan tan-
gan kirinya. Dilemparkannya tubuh Pengemis
Penjelajah itu kepada Denok Supi. Cepat sekali
tubuh pengemis itu meluncur ke muka Denok
Supi. Denok Supi tahu, itu bukanlah sembarang
lemparan. Dan ia tidak ingin kalah ujuk gigi. Ma-ka dengan tangkasnya segera
ditahannya seran-
gan Raja Golok dengan sentakan tangannya yang
berisi tenaga dalam tak kalah tinggi. Sehingga,
tubuh Pengemis Penjelajah mengambang di uda-
ra! Raja Golok Dari Utara tertawa berkakakan.
Merasa tak mau kalah, setelah menyelipkan kem-
bali goloknya ke pinggang, kekuatan tenaga da-
lamnya segera ditambahkan.
Pengemis Penjelajah menjerit-jerit hebat
mendapat dorongan dua tenaga dalam dari arah
berlawanan. Tubuhnya yang mengambang di uda-
ra sudah mengeluarkan bunyi bergemeretak dari
tulang-tulangnya yang hancur berantakan. Men-
genaskan sekali nasibnya di tangan kedua orang
tokoh sesat itu. Tubuhnya yang tadi berkelojotan, sekarang diam tak bergerak-
gerak sama sekali.
Rupanya tokoh pengemis ini telah mati di udara.
Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara tak
peduli. Mereka terus saja mengadu tenaga dalam
dengan perantara tubuh Pengemis Penjelajah
yang sudah membeku!
Mendadak di saat Denok Supi dan Raja Go-
lok Dari Utara sedang mengadu kekuatan tenaga
dalam. "Memalukan sekali perbuatan kalian! Seperti anak-anak kecil yang sedang
berebut mai- nan saja!"
Kedua orang itu mendadak mendengar su-
ara sember yang diiringi berkesiurnya hawa din-
gin menyerang tubuh Pengemis Penjelajah yang
sudah menjadi mayat!
Wesss! Bukkk! Begitu terkena pukulan jarak jauh, seketi-
ka itu juga tubuh Pengemis Penjalajah yang su-
dah menjadi mayat terlempar beberapa tombak ke
depan dalam keadaan hancur berantakan. Sedang
akibat dari serangan itu, Denok Supi dan Raja
Golok Dari Utara jadi saling serang sendirian. Untungnya begitu merasakan hawa
dingin berkesiur
tadi, mereka sudah bersiap-siap mengurangi ke-
kuatan tenaga dalam. Sehingga begitu tubuh
Pengemis Penjelajah terkena pukulan pembo-
kongnya, mereka cepat melempar tubuh ke bela-
kang. Sekarang di hadapan Denok Supi dan Raja
Golok Dari Utara telah berdiri seorang kakek tua
bertubuh tinggi kurus dengan pakaian compang-
camping, mirip pengemis. Rambutnya panjang
awut-awutan. Wajahnya tirus kepucatan, tak ber-
kumis dan berjenggot. Dan sepasang matanya le-
bar berwarna merah. Tokoh ini tidak lain dari
seorang tokoh sesat yang merajai di daerah sela-
tan. Julukannya pun cukup seram. Raja Racun
Dari Selatan! "Hm...! Rupanya kau yang usil mengganggu
keasyikan kami, Raja Racun!" dengus Denok Supi penuh kemarahan.
"Kalau memang iya, kalian mau apa"!" tantang Raja Racun Dari Selatan dengan
suara sember. "Setan alas! Apa kau belum pernah mera-
sakan tajamnya golokku, Raja Racun!" bentak Ra-ja Golok Dari Utara gusar, tak
mau kalah gertak.
"Heh! Siapa takut"! Menghadapi kalian
berdua saja, aku masih sanggup. Majulah kalau
kalian ingin merasakan pukulan 'Telapak Tangan
Kelabang Hitam'-ku!"
Bukan main marahnya Denok Supi dan
Raja Golok Dari Utara mendengar tantangan Raja
Racun Dari Selatan yang pongah itu. Seketika itu juga, kedua orang tokoh sesat
itu siap melancarkan serangan. Namun tiba-tiba saja....
"Tunggu!"
Ketiga orang itu dikagetkan oleh suara te-
riakan yang disertai suara berdebum menggetar-
getarkan tanah di sekitarnya. Tanpa sadar mere-
ka mengalihkan pandangan ke arah datangnya
suara. "Hmm.... Algojo Dari Timur...!"
*** Dari arah timur muncul seorang laki-laki
tinggi besar berpakaian norak sekali, berwarna
merah dan kuning. Rambut kepalanya dikuncir
ke atas. Hanya itu saja rambutnya, selebihnya
plontos! Sebuah anting bundar besar nampak
menghiasi telinga kirinya. Wajahnya dingin mem-
bayangkan kekejian luar biasa, dengan mata be-
sar dan hidung besar, serta rahangnya yang ke-
ras. Orang tinggi besar itu memang seorang to-
koh sesat yang merajai wilayah timur. Julukan-
nya, Algojo Dari Timur. Dan sekarang tokoh sesat dari timur itu terus melangkah
disertai suara berdebum menggetar-getarkan tanah di sekitar-
nya! "Algojo Dari Timur! Apa kau pikir kepandaianmu sudah dapat menundukanku"!"
kata Ra-ja Golok Dari Utara yang paling berangasan di antara keempat tokoh sesat
itu. Nada suaranya ter-
dengar pongah. "Ha ha ha...! Kau pintar sekali mengumbar
suara, Raja Golok. Apa kau pikir kau juga sang-
gup menahan pukulan 'Badai Gurun Pasir'-ku"!"
Raja Golok Dari Utara mengerutukkan ge-
rahamnya. Saking gusarnya goloknya segera dilo-
loskan. Sret! "Ha ha ha...! Bagus! Bagus! Rupanya kau
sudah tidak sabar menunggu pertandingan ini,
ya"! Baik! Tapi, tunggu dulu! Apa pertandingan
ini masih tetap dengan cara lama?" kata Algojo Dan Timur.
"Jangan banyak bacot! Dengan cara apa
pun, aku tidak peduli. Golokku ini sudah gatal-
gatal ingin merobek mulutmu yang lebar, tahu"!
Heaaa...!"
Raja Golok Dari Utara tak dapat menahan
diri lagi. Segera diserangnya Algojo Dari Timur
dengan jurus-jurus andalannya. Gerakan kedua
kaki dan tangannya cepat sekali, menyebabkan
pepohonan di puncak Gunung Merapi bergoyang-
goyang terkena sambaran angin serangan. Namun
musuh yang dihadapinya kali ini adalah tokoh se-
sat yang merajai daerah timur. Maka wajar saja
kalau serangan-serangan Raja Golok pari Utara
dapat dihindari dengan mudah.
"Baik! Mulai sekarang pertandingan untuk
menentukan siapa yang paling pantas mendapat
sebutan datuk sesat nomor satu kali ini, masih
tetap dengan cara lama. Yakni, kita harus saling serang. Entah, siapa musuh
kita. Setuju atau tak setuju, kalian semua harus menyetujuinya!" teriak Algojo
Dari Timur lantang setelah berhasil
menghindari serangan Raja Golok Dari Utara.
Dan setelah berkata demikian Algojo Dari
Timur pun segera melolos senjata andalannya.
Yakni sebuah parang besar. Panjangnya hampir
satu jengkal lebih.
"Kau pongah sekali kedengarannya, Setan
Gundul! Apa dipikir, kau sendiri yang paling jago di antara kami"!" kata Denok
Supi seraya mengerling ke arah Raja Racun Dari Selatan.
Raja Racun Dari Selatan memahami mak-
sud isyarat kerlingan itu.
"Benar sekali apa yang dikatakan Denok
Supi! Jangan dikira dengan kepandaianmu yang
sedengkul dapat mengalahkan kami, Setan Gun-
dul!" tambah Raja Racun Dari Selatan.
"Ha ha ha...! Kalian ini terlalu perasa be-
nar. Siapa yang bilang demikian" Aku tidak ber-
maksud meremehkan kalian. Tapi kalau kalian
takut, sebaiknya pulang saja sebelum parangku
meminta korban," teriak Algojo Dari Timur di antara gerakan-gerakan bayangan
Raja Golok Dari
Utara yang terus mendesaknya.
"Setan gundul! Kau terlalu memandang
rendah kami. Jangan salahkan kalau gunting
mautku ini memenggal lehermu!" teriak Denok Supi penuh kemarahan seraya mencabut
senjata andalannya yang berupa gunting raksasa sepan-
jang setengah tombak.
Sehabis berkata begitu, tanpa banyak bica-
ra lagi tokoh sesat dari barat itu langsung menyerang Algojo Dari Timur yang
sedang bertempur
hebat melawan Raja Golok.
Raja Racun Dari Selatan yang tadi menye-
tujui isyarat mata Denok Supi pun segera menye-
rang Algojo Dari Timur dengan jurus-jurus anda-
lan. Meski hanya menggunakan tangan kosong,
namun serangan-serangan tokoh tua dari selatan
ini tidak kalah hebat.
Melihat ketiga orang saingannya maju
mengeroyok, Algojo Dari Timur jadi kewalahan
bukan main. Entah sudah berapa kali tubuhnya
yang tinggi besar itu berjumpalitan di udara sambil menangkis dengan parangnya
yang besar. Crak! Crak! Denok Supi terus mendesak ganas Algojo
Dari Timur. Guntingnya yang besar tak henti-
hentinya menyerang bagian-bagian yang paling
membahayakan di tubuh musuhnya. Pada saat
yang sama, Raja Golok Dari Utara dan Raja Ra-
cun Dari Selatan terus mendesak tak kalah sen-
gitnya. "Hyaaat!" pekik Raja Racun Dari Selatan dan Raja Golok Dari Utara hampir
bersamaan. Algojo Dari Timur terperangah. Tak mung-
kin serangan kedua saingan utamanya dihindari
dalam waktu bersamaan. Keadaannya saat ini ku-
rang menguntungkan, setelah menghindari se-
rangan-serangan Denok Supi tadi. Namun, tentu
saja ia juga tidak ingin mati konyol.
Untuk itu, segera ditangkisnya serangan
golok di tangan kanan Raja Golok Dari Utara den-
gan menggunakan parangnya.
Trang! Pada saat yang sama, Algojo Dari Timur
menahan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hi-
tam' milik Raja Racun Dari Selatan dengan puku-
lan 'Badai Gurun Pasir' di tangan kirinya.
Blarrr...! Algojo Dari Timur tak sanggup lagi mena-
han pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam'. Di
samping saat itu tenaga dalamnya harus dipecah
jadi dua karena harus menahan golok di tangan
Raja Golok keadaannya memang tak mengun-
tungkan. Maka tanpa ampun lagi tubuh tinggi be-
sar itu terlempar beberapa tombak ke belakang,
dan jatuh berdebam di tanah yang kering. Seketi-
ka dari mulutnya mengeluarkan darah segar. Je-
las, tokoh sesat dari timur itu menderita luka dalam yang hebat.
Algojo Dari Timur menggeram penuh kema-
rahan. Matanya yang merah mengerikan seperti
hendak memangsa saingan-saingan utamanya....
* * * Sementara itu jauh dari puncak Gunung
Merapi yang menjadi ajang pertempuran tokoh-
tokoh sesat dunia persilatan, Siluman Ular Putih tengah berlari kencang menuju
puncak Gunung Merapi. Sebenarnya hatinya masih ragu-ragu
dengan tujuannya. Ia hanya menggunakan pera-
saan hatinya saja, kalau-kalau di puncak Gunung
Merapi dapat menemukan orang yang sedang di-
cari-carinya. Manusia Rambut Merah!
Ketika sedang berlari kencang di Lembah
Batu Ular, mendadak pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu menghentikan langkahnya.
Matanya yang agak kebiru-biruan membelalak
ngeri. Di hadapannya saat itu tampak berpuluh-
puluh ular hitam berukuran sebesar ibu jari kaki orang dewasa tengah berdiam
saling melingkar
seperti onggokan mie; di bawah sebuah batu be-
sar berbentuk kepala ular. Sedang di hadapan se-
kumpulan ular, nampak seorang kakek tua ber-
caping pandan tengah asyik meniup seruling.
Namun begitu mendengar langkah kaki seseorang
yang mendekati, kepala puluhan ular yang semu-
la mengikuti alunan suara suling jadi mengalih-
kan perhatian ke arah Soma dengan tatapan liar.


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Eh..."! Mengapa ular-ular itu jadi mem-
perhatikanku seperti itu?" gumam Soma, seraya menarik mundur tubuhnya.
Orang tua bercaping pandan itu tidak
mempedulikan ocehan Soma. Serulingnya terus
saja ditiup, memberi aba-aba untuk menyerang
pemuda pendatang yang telah mengganggu kea-
syikan mereka. Maka saat itu juga, puluhan ular
hitam perlahan-lahan mulai bergerak mendekati
Siluman Ular Putih.
"Lho, lho..." Mengapa jadi begini?" gumam Soma heran. "Eh, Orang Tua! Mengapa
ular-ularmu kau suruh kemari"! Ayo, lekas suruh pu-
lang mereka, Orang Tua! Hush! Hush!
Hussshhh...!'" Soma mendesis sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya,
bermaksud mengusir
ular-ular itu. Orang tua bercaping pandan itu sekali lagi
meniup serulingnya dengan suara aneh. Maka
puluhan ular yang mulai mendekati Soma makin
beringas jadinya. Kepalanya diangkat tinggi-
tinggi, siap mematuk mangsa.
"Ya, ampun! Mengapa jadi begini"! Apa do-
saku, sehingga hari ini aku bertemu dengan ular-
ular tak tahu diri ini?" gumam Soma mulai bersiap-siap menghadapi serangan.
Orang tua bercaping pandan dan ular-ular
hitam itu sepertinya tidak menghiraukan ocehan
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo. Bah-
kan gerakan-gerakan ular itu satu-dua mulai me-
nyerang Soma! "Jangan salahkan aku kalau aku mengha-
bisi ular-ular peliharaanmu ini, Orang Tua!" bentak Soma marah, karena
omongannya sedari tadi
hanya dianggap seperti angin lalu.
Plak! Plak! Sambil berkata begitu, pemuda ini pun
mulai bergerak menampar kesana kemari disertai
tenaga dalam, menangkis serangan-serangan ular
yang makin mengganas. Namun anehnya ular-
ular hitam itu tidak mati.
Siluman Ular Putih penasaran sekali. Tak
mungkin pukulan tenaga dalamnya tidak sanggup
memukul hancur ular-ular itu. Jangankan hanya
ular sebesar ibu jari kaki orang dewasa, batu sebesar gajah pun akan hancur bila
terkena samba- ran tangannya. Namun ular-ular ini" Tubuh ular-
ular hitam itu hanya terlempar ke kanan kiri terkena tamparan-tamparan
tangannya, setelah itu
kembali menyerang ganas.
"Ah... ! Kau ini bagaimana sih, Orang Tua
"! Apa kau tidak mendengar omonganku"! Ayo,
lekas suruh ular-ularmu ini kembali! Atau..., jangan-jangan kau sendiri budek,
ya" Iya?"
Meski sibuk menghadapi serangan pulu-
han ular hitam itu, Soma tak henti-hentinya terus mengoceh. Namun orang tua aneh
bercaping pandan itu terus saja meniup suling, menyuruh
ular-ularnya menyerang.
Habis sudah kesabaran Soma. Kini ia tidak
segan-segan lagi menambah kekuatan tenaga da-
lamnya, menampar ular-ular hitam itu. Akibatnya
ular-ular hitam yang nekat terlempar ke kanan
dan kiri dengan kepala retak dan mengeluarkan
darah segar. "Jangan salahkan kalau aku menghabisi
ular-ular hitam peliharaanmu, Orang Tua!" dengus Soma.
Orang tua bercaping pandan tersenyum
dingin. Sama sekali tidak terpengaruh ucapan
Soma. Bibirnya yang berwarna kehitaman tak
henti-hentinya terus meniup sulingnya.
Dalam beberapa kejap kemudian, mata Si-
luman Ular Putih jadi terbelalak lebar, tak per-
caya dengan apa yang dilihat. Darah ular-ular hitam yang menetes-netes dan
kepalanya yang re-
tak, secara ajaib kembali menjelma ular-ular hi-
tam baru. Maka semakin lama tempat itu sema-
kin dipenuhi ular hitam berjumlah tak terkira!
"Ah...!" pekik Soma kaget bukan kepalang.
Jelmaan-jelmaan ular hitam itu mengge-
liat-geliat. Kepalanya diangkat tinggi-tinggi memandang Soma. Kemudian dengan
gerakan cepat sekali, ular-ular hitam baru itu menyerang Soma
dengan tak kalah ganas!
Siluman Ular Putih kewalahan bukan
main. Ia tidak berani lagi memukul hancur ular-
ular hitam yang hanya akan menambah jumlah
ular jelmaan milik orang tua bercaping pandan
itu. Maka tubuhnya hanya bergerak ke kanan-kiri
menghindari serangan-serangan dengan otak be-
kerja keras mencari jalan keluar!
Sret! Saat itu juga Soma mengeluarkan senjata
andalannya dari balik pinggang. Anak Panah Ber-
cakra Kembar! Sebuah senjata pusaka yang tak
ada duanya baik dari bentuknya yang aneh mau-
pun kehebatannya.
Namun setelah mengeluarkan senjata
pemberian Eyang Begawan Kamasetyo, Siluman
Ular Putih bukannya menyerang, melainkan ma-
lah meloncat tinggi ke udara. Setelah berputaran beberapa kali ke belakang,
tubuhnya mendarat
dalam keadaan duduk bersila di rerumputan.
Sementara ular-ular hitam itu bergerak
mendekati Soma. Tanpa banyak pikir panjang la-
gi, pemuda ini segera menempelkan pangkal Anak
Panah Bercakra Kembar. Dan, mulailah pangkal
anak panah itu ditiup seperti apa yang dilakukan orang tua bercaping pandan.
Perlahan namun pasti, suara anak panah
di tangan Soma yang juga dapat digunakan seba-
gai suling segera menindih suara suling orang
bercaping pandan. Akibatnya, ular-ular hitam itu jadi kebingungan. Sebentar
kepala mereka bergerak memandang Soma, sebentar kemudian balik
memandang orang tua bercaping pandan.
Dalam hati, Siluman Ular Putih tersenyum.
Ia memang sudah menduga kalau ular-ular hitam
itu hanya ular jejadian. Maka setelah berpikir
demikian, ia mengambil keputusan untuk mela-
wan dengan menggunakan tiupan anak panah-
nya. Dan ketika tiupan anak panahnya semakin
dapat menindih suara suling di tangan orang tua
bercaping pandan, ular-ular hitam itu pun mulai
bergerak membalik. Mereka, mendekati orang tua
bercaping pandan itu dengan mata beringas!
Dahi orang tua bercaping pandan ini ber-
kernyit dalam-dalam saat ular-ular hitam cip-
taannya mulai berani menyerangnya!
"Ha ha ha...! Inilah mungkin yang dinama-
kan senjata makan tuan, Orang Tua. Sekarang
rasakan pembalasanku!" teriak Soma kegirangan.
Orang tua bercaping pandan itu cepat me-
nyimpan sulingnya ke balik pinggang. Namun te-
tap diam di tempatnya dalam keadaan bersila.
Hanya kedua bibirnya saja yang berkemik-kemik
membacakan mantra. Sedang tangan kirinya te-
lah meraih caping pandannya. Diletakkannya
caping itu di hadapannya seperti orang memasang
bubu. Slup! Slup!
Aneh sekali! Begitu orang tua itu selesai
membacakan mantra, satu persatu ular-ular hi-
tam yang jumlahnya tak terkira mulai masuk ke
dalam caping pandan. Ban perlahan-lahan mere-
ka menghilang dari pandangan mata Soma!
Soma berdecak kagum saking takjubnya,
tangan kanannya pun sudah menggaruk-garuk
rambut kepalanya.
"He he he...! Apa yang kau lihat, Anak Mu-
da" Mengapa matamu melotot seperti itu?" tanya orang tua bercaping sambil
menunggu ular-ular
hitamnya untuk masuk ke dalam caping pandan-
nya seluruhnya. Dan ketika seluruh ular hitam
itu menghilang, caping pandannya kembali dike-
nakan tanpa seekor ular pun terlihat di sana!
"Kau..., kau pasti orang tua yang berjuluk
Raja Penyihir...," desis Soma takjub.
Pemuda ini tidak menyangka akan bertemu
tokoh dunia persilatan yang sudah sangat terken-
al itu. Menurut cerita ibunya dan Eyang Begawan
Kamasetyo, orang yang berjuluk Raja Penyihir
mempunyai watak aneh. Sulit sekali diduga, apa
golongannya. Kadang ia membela golongan lurus
yang sedang terdesak oleh golongan sesat. Namun
juga sebaliknya. Tak segan-segan pula ia membu-
nuh golongan para pendekar meski tanpa sebab
yang pasti. Dan hebatnya lagi, orang tua bercap-
ing pandan itu juga memiliki ilmu silat cukup berarti. Tak kalah dengan ilmu
sihirnya yang sudah mencapai tingkat sangat tinggi.
"He he he...! Rupanya kau telah mengenal-
ku, Anak Muda...," kata orang tua bercaping pandan berjuluk Raja Penyihir seraya
bangkit berdiri.
Dan perlahan-lahan ia mulai mendekati Soma.
Tinggi orang tua bercaping pandan itu bi-
asa-biasa saja. Paling hanya setinggi sebatang
tombak. Wajahnya tirus dengan rahangnya ber-
tonjolan. Matanya agak sipit dengan hidungnya
kecil. Sementara bibirnya agak tebal berwarna hitam. Sedang tubuhnya yang kurus
kering itu di- balut pakaian tambal-tambalan yang sudah com-
pang-camping di sana-sini.
"Nama besarmu sudah tersiar ke segenap
penjuru mata angin. Siapa pun yang berkecim-
pung di dunia persilatan, pasti mengenalmu,
Orang Tua. Tapi, mengapa kau menyuruh ular-
ularmu itu menyerangku"!" sahut Soma, bernada tak suka.
"Ha ha ha...!"
Orang tua bercaping pandan itu tertawa
bekakakan. "Huh! Apa kau tidak menggangguku, he"!
Apa dengan kedatanganmu ini, kau tidak meng-
ganggu keasyikkanku bermain-main dengan ular-
ularku?" hardik orang tua bercaping pandan ini galak. "Enak saja kau menuduhku
seperti itu, Orang Tua! Memangnya lembah ini milik nenek
moyangmu!"
"Mau milik nenek moyangku, kek. Milik
nenek moyangmu, kek. Siapa peduli"! Yang jelas,
kau telah mengganggu keasyikkanku. Kau harus
bertanggung jawab!"
"Heh! Kau pikir aku takut dengan permai-
nan anak kecilmu itu"!"
"Lihatlah baik-baik, kalau kau tidak takut
padaku!" kata Raja Penyihir itu mulai berubah nada suaranya.
Soma merasakan getaran-getaran halus
mempengaruhi hatinya, namun tak mempeduli-
kannya. Ia terus saja memandangi Raja Penyihir
lekat-lekat. Dan beberapa kejap kemudian, ma-
tanya jadi terbelalak lebar. Dilihatnya, perlahan-lahan tubuh orang tua
bercaping pandan itu mu-
lai membesar. Bahkan berubah menjadi makhluk
raksasa yang mengerikan sekali! Wajahnya hitam
legam. Matanya mencorong berwarna merah saga.
Dan dua buah taring besar mencuat di kanan-kiri
ujung-ujung giginya yang putih bersih!
Soma bergidik ngeri. Kepalanya terus saja
mendongak memandang ke atas.
"Ha ha ha...! Apa lagi yang akan kau laku-
kan, Anak Muda" Apa kau belum mau menye-
rah?" kata raksasa hitam mengerikan jelmaan Ra-ja Penyihir mengejek. Suaranya
bukan lagi milik
orang tua itu, melainkan suara seseorang yang
entah dari mana asalnya. Seperti suara dari da-
lam liang kubur!
"Sudah berapa kali kukatakan, hanya per-
mainan anak kecil saja. Siapa takut"!" sahut Siluman Ular Putih, enteng.
Soma tak lagi memperhatikan raksasa
tinggi besar di hadapannya. Kini buru-buru di-
tiupnya pangkal anak panahnya yang sekaligus
juga sebagai suling. Dengan suara sulingnya, ia
bermaksud mengusir raksasa tinggi besar jelmaan
Raja Penyihir. "Tiuplah senjata andalanmu itu sampai
mulutmu berbusa. Kalau aku kalah, aku akan
berguru padamu. Tapi kalau kau yang kalah, kau
harus menjadi muridku, Bocah!"
"Heh! Siapa sudi menjadi muridmu. Paling-
paling aku akan dijadikan tumbalmu saja," celoteh Soma, tak gentar sedikit pun.
"Apa kau bilang, Bocah" Kau tidak mau
menjadi muridku" Kalau begitu, kau harus kuberi
pelajaran terlebih dahulu!"
Soma tidak mempedulikan ocehan raksasa
hitam yang amat mengerikan itu. Senjata anda-
lannya terus ditiup seperti tadi.
Sementara raksasa hitam tinggi besar itu
sama sekali tidak terpengaruh oleh tiupan suling Soma. Malah kini bergerak
mendekati pemuda
itu. Dan tahu-tahu kakinya yang sebesar pohon
kelapa telah menendang tubuh Siluman Ular Pu-
tih telak sekali.
Bukkk! "Augh...!" jerit Soma.
Tubuh si pemuda yang terkena tendangan
raksasa hitam itu langsung terpental beberapa
tombak ke samping kanan. Ulu hatinya terasa
nyeri sekali. Namun ia tak pedulikan lagi dan segera bangkit duduk. Senjata


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

andalannya terus sa-
ja ditiup. Namun lagi-lagi tubuhnya dapat dijadi-
kan bulan-bulanan raksasa hitam tinggi besar
itu. Bukkk! Bukkk! Soma menggeram. Tak ada lagi nafsu un-
tuk meniup senjata andalannya. Kini matanya
memandang raksasa tinggi besar di hadapannya
dengan penuh kemarahan. Dan saking tak kuat-
nya menahan kemarahan dalam dada, perlahan-
lahan sekujur tubuhnya mulai diselimuti asap
putih tipis. Sehingga, akhirnya bayangan tubuh-
nya tidak kelihatan sama sekali!
Mata raksasa hitam tinggi besar itu terbela-
lak liar, ia memang belum tahu, ilmu apa yang
akan dikeluarkan anak muda itu. Dan belum
sempat ia bertindak lebih lanjut, tiba-tiba saja terlihat seekor ular putih
sebesar pohon kelapa
tengah menggeliat-geliat di antara kepulan asap
putih tipis. "Ggggeeerrr...!"
Raksasa hitam tinggi besar jelmaan Raja
Penyihir mundur beberapa langkah ke belakang.
Sama sekali tidak disangka kalau pemuda itu da-
pat menjelma menjadi seekor ular putih raksasa!
Raja Penyihir tak tahu kalau yang dihadapinya
adalah Siluman Ular Putih.
"Eh...! Rupanya kau pintar juga main ba-
dut-badutan seperti ini ya, Anak Muda. Pantas..., pantas!" kata Raja Penyihir
sama sekali tidak takut melihat Siluman Ular Putih di hadapannya.
Malah selangkah demi selangkah raksasa hitam
itu mulai mendekati ular raksasa tersebut.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Tubuhnya yang sebesar pohon kelapa
tahu-tahu telah mencelat ke depan, menyerang
raksasa hitam di hadapannya. Dalam sekejap sa-
ja, tubuh raksasa Raja Penyihir sudah dibelit Siluman Ular Putih. Bahkan tanpa
ampun lagi, tu-
buh tinggi besar raksasa hitam itu mulai dibant-
ing-bantingkan ke tanah. Sedang mulut ular rak-
sasa yang runcing itu telah mencabik-cabik tubuh Raja Penyihir.
"Augh...!"
Raksasa hitam tinggi besar itu melolong se-
tinggi langit. Dari luka-lukanya yang mengelua-
rkan darah segar mulai menetes-netes ke tanah.
Namun saat itu juga darah yang menyentuh ta-
nah terjadi kejadian serupa, saat Soma mengha-
dapi ular-ular hitam buatan orang bercaping pan-
dan. Hanya saja, kali ini tetesan-tetesan darah itu menjelma menjadi puluhan
raksasa hitam tinggi
besar. Bentuknya sama persis dengan raksasa hi-
tam tinggi besar yang dilukai Siluman Ular Putih.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih menggeram hebat. Kali
ini tubuhnya mulai dibuat rebutan oleh raksasa
hitam tinggi besar yang jumlahnya makin mem-
bengkak, tak dapat dihitung. Bahkan beberapa
kali dibuat bulan-bulanan, hingga menyebabkan
debu-debu beterbangan memenuhi arena perta-
rungan itu. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba saja
sekujur tubuh Siluman Ular Putih yang tidak
sanggup menghadapi keroyokan raksasa-raksasa
hitam, mulai diselimuti asap putih tipis. Sehingga bayangan tubuhnya tidak
kelihatan sama sekali.
Sejenak raksasa-raksasa hitam itu seperti
terpaku. Mereka hanya menunggu, apa yang akan
dilakukan Siluman Ular Putih. Dan ketika asap
putih tipis itu tersapu angin, terlihat seorang pemuda berambut gondrong
bercelana dan rompi
bersisik warna putih keperakan, tengah meman-
dangi raksasa-raksasa hitam yang masih mengeli-
lingi dirinya dengan sinar mata ngeri.
"Set..., setaaaan...! Ada setaaan...!"
Tanpa banyak pikir lagi, Soma yang berge-
lar Siluman Ular Putih segera menyelinap di anta-ra laki-laki sebesar pohon
kelapa. Tubuhnya ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh
'Menjangan Kencana'.
Raksasa-raksasa hitam tinggi besar itu ber-
lari-lari mengejarnya. Namun baru beberapa
langkah saja, bayangan Soma telah menghilang di
antara rimbunnya pohon bambu di depan sana.
Melihat hal itu, raksasa-raksasa hitam
tinggi besar ini hanya tertawa berkakakan, saling sahut-menyahut memenuhi Lembah
Batu Ular. Suaranya terus menggema seperti ribuan setan
berpesta pora. Dan beberapa saat lamanya kemudian, tu-
buh raksasa-raksasa hitam tinggi besar itu mulai
menyatu ke dalam raksasa hitam yang pertama.
Sehingga, akhirnya tinggal menjadi satu raksasa
hitam tinggi besar di tengah-tengah Lembah Batu
Ular. Dan, kini raksasa hitam tinggi besar itu pun mulai menyusut, menjadi sosok
orang tua bercaping pandan yang sedang tertawa-tawa kegirangan!
Sosok Raja Penyihir!
5 Soma terus berlari meninggalkan Lembah
Batu Ular. Wajahnya menegang. Bukannya lelah
karena terus berlari, melainkan ngeri melihat apa yang baru saja dialaminya.
Dalam keadaan demikian, mendadak saja..."
"Tunggu, Sobat! Mengapa kau terbirit-birit
seperti ini" Ada apa?"
Dari arah samping terdengar teriakan. Na-
mun pemuda itu tak peduli. Malah larinya sema-
kin dipercepat, tanpa menoleh lagi ke belakang.
"Hup!"
Soma kali ini harus menghentikan larinya.
Di depannya telah menghadang seorang gadis
berpakaian tambalan dan compang-camping. Be-
runtung sekali gadis itu tadi sedikit di depan So-ma. Kalau tidak, jangan harap
dapat mengejar pemuda yang tengah mengerahkan ilmu merin-
gankan tubuh 'Menjangan Kencana'.
Melihat gadis cantik berpakaian tambal-
tambalan di hadapannya, mata Soma kontan ter-
belalak lebar. Rasa takutnya akan muncul kakek
tua berpakaian tambal-tambalan tadi, kembali
menguasai hatinya.
"Minggir...! Jangan ganggu aku lagi! Biar-
pun kau berubah menjadi kadal, menjadi monyet,
atau menjadi gadis secantik apa pun, aku tak su-
di meladeni permainan anak-anakmu, Badut
Tua!" geram Soma sengit.
"Eh, eh...! Kau bilang aku 'Badut Tua'?"
bentak gadis cantik berpakaian tambal-tambalan
itu tersinggung.
"Yah...! Siapa lagi badut tua itu kalau bu-
kan kau! Minggir! Jangan ganggu aku lagi!"
Soma yang dijuluki orang Siluman Ular Pu-
tih nekat menerjang gadis cantik yang dicurigai
jelmaan orang tua bercaping pandan. Namun, ga-
dis ini mana mau diperlakukan seperti itu. Ha-
tinya yang merasa tersinggung atas ucapan pe-
muda itu tadi cepat menghadang langkah Soma
kembali, "Kau mau apa" Mau menakut-nakutiku
dengan permainan anak-anakmu" Aku tak sudi.
Lebih baik beri aku jalan! Minggir!"
Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu
mengernyitkan alis matanya yang tebal dalam-
dalam. Di samping kesal oleh makian-makian ta-
di, diam-diam juga merasa heran melihat diri So-
ma. Meski belum pernah bertemu pemuda murid
Eyang Begawan Kamasetyo ini, namun kabar
yang tersiar tentang munculnya seorang pendekar
muda yang bergelar Siluman Ular Putih, telah
terdengar juga olehnya. Dan ciri-ciri pendekar
muda itu, mirip benar dengan pemuda ini....
"Kau sebenarnya kenapa" Mengapa kau
takut sekali bertemu denganku?" tanya gadis itu, mulai melunak nada bicaranya.
"Siapa yang takut?" sergah Soma Gusar.
"Kalau tidak takut, mengapa lari terbirit-
birit seperti tadi. Ada apa?" tanya gadis itu heran.
Soma menautkan kedua alis matanya da-
lam-dalam. Matanya yang agak kebiru-biruan,
memandangi gadis cantik di hadapannya seksa-
ma. "Mengapa dia tidak mengeluarkan ilmu sihirnya" Kok, malah menertawakanku?"
gumam Soma, lirih. "Eh, ngaco! Siapa yang jadi tukang sihir"
Justru melihat tingkahmu yang aneh inilah aku
jadi geli."
"Jadi..., jadi" Kau..., kau bukan tukang sihir itu" Maksudku, bukan kakek tua
bercaping pandan yang berjuluk Raja Penyihir?"
"Ih...! Omonganmu semakin ngelantur ti-
dak karuan. Siapa kakek tua bercaping pandan
yang berjuluk Raja Penyihir?"
"Benarkah" Ja..., jadi kau..., kau bukan
Raja Penyihir itu?" ulang Soma.
"Hik hik hik...! Sudah kubilang, aku bukan
Raja Penyihir yang kau maksudkan. Apa kau tadi
bertemu orang tua itu" Pantas saja tingkahmu ja-
di begini!" kata gadis itu sambil memamerkan senyumnya dan melangkah mendekati.
Soma alias Siluman Ular Putih mundur be-
berapa langkah. Matanya masih membayangkan
perasaan ngeri kalau-kalau gadis cantik di hada-
pannya memang benar Raja Penyihir.
"Sudah, ah! Aku pikir ada apa. Selamat
tinggal!" kata gadis cantik itu masih diiringi senyum. Sehabis berkata begitu,
gadis cantik berba-ju tambal-tambalan itu pun cepat menjejakkan
kedua kakinya, meninggalkan hutan bambu. Na-
mun baru beberapa langkah, Soma sudah berke-
lebat dan cepat menghadangnya.
"Tunggu dulu! Kalau kau bukan Raja Pe-
nyihir itu, lantas siapa?" kejar Soma.
"Bilang saja kau mau berkenalan dengan-
ku. Pakai berlagak segala!" cibir gadis itu melecehkan.
"Eh, eh...! Aku bukannya berlagak. Tadi
aku benar-benar bertemu Raja Penyihir itu," tukas Soma gelagapan. Tanpa sadar
tangannya su- dah menggaruk-garuk rambut kepala.
"Oh,.. "
Hanya itu yang keluar dari mulut gadis
cantik ini. Padahal, sebenarnya Soma mengha-
rapkan lebih. "Aku senang sekali berkenalan denganmu.
Namaku Soma," kata Soma mulai dapat mengen-
dalikan perasaannya.
"Siapa?"
"Soma," ulang pemuda itu.
"Tidak! Maksudku siapa yang nanya?" tu-
kas gadis ini diiringi senyum menggoda.
"Eh, eh, eh...! Kau mau mempermainkan
aku, ya" Bilang dong, siapa namamu?" sungut Soma kesal.
Gadis cantik berbaju tambal-tambalan itu
tersenyum-senyum menggoda.
"Namaku.... Sal..., Salindri," jelas gadis itu dengan nada suara menggemaskan.
"Oh...! Lembut sekali namamu.... Pas sekali dengan orangnya," puji Soma seraya
mengangguk-angguk.
Duh! Wanita mana yang tidak senang dipu-
ji seorang pemuda tampan" Meski gadis berbaju
tambal-tambalan yang ternyata bernama Salindri
ini hanya tersenyum-senyum menggoda, namun
dalam hatinya pun mulai mengagumi ketampa-
nan pemuda di hadapannya. Dan di saat sedang
mengagumi murid Eyang Begawan Kamasetyo ini,
tiba-tiba.... "Hura, hura...!"
"Heh"!"
Sebuah teriakan terdengar dari arah barat,
menyentak kesadaran Salindri.
Tanpa banyak pikir lagi Salindri segera
menjejakkan kakinya meninggalkan tempat itu,
tanpa menghiraukan Soma sama sekali
"Eh, tunggu dulu! Mengapa kau lari seperti
dikejar setan?"
Siluman Ular Putih cepat berkelebat me-
nyusul langkah gadis itu. Dalam waktu yang tidak lama gadis itu dapat disusul.
*** Salindri terus mengedarkan pandangan ke
segenap penjuru. Tidak mungkin telinganya salah
dengar. Teriakan tadi adalah sebagai isyarat ka-
lau keamanan anggota Pengemis Tongkat Hitam
sedang dalam keadaan bahaya.
"Ada apa, sih" Kok, kau nampak seperti
orang linglung?" tanya Soma tak dapat menahan rasa herannya.
"Kau tadi mendengar teriakan seseorang?"
Salindri malah balik bertanya.
"Aku.... Aku.... Ya! Tadi aku mendengar te-
riakan seseorang. Apa kau sedang mencari orang
yang berteriak itu?"
"Ya," sahut Salindri singkat.
Gadis itu kini memperhatikan semak-
semak di depannya. Tampak sangat mencuriga-
kan. Dan belum sempat Salindri bergerak untuk
melihat apa yang ada di balik semak, mendadak


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terdengar erangan seseorang.
Tanpa banyak pikir lagi, Salindri meloncat
ke balik semak itu. Dan benar saja! Ternyata di
balik semak tengah terbaring seorang pemuda
berbaju tambal-tambalan yang sama persis den-
gan pakaian gadis itu. Keadaannya sangat men-
cemaskan. Tangan kanannya buntung, mengelua-
rkan banyak darah segar. Wajahnya pucat pasi,
Bibirnya bergetar-getar hebat, menahan nyeri
yang menusuk ulu hati. Pengemis muda itu tidak
lain salah seorang anggota Pengemis Tongkat Hi-
tam yang selamat dari tangan-tangan maut Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi di puncak Gu-
nung Merapi, saat Pengemis Penjelajah dijadikan
sasaran untuk mengadu tenaga dalam!
"Paniti! Apa yang terjadi denganmu"!" sentak Salindri yang mengenali pemuda ini
kaget bu- kan kepalang. Buru-buru jari-jari tangannya yang lentik menotok pangkal lengan
pengemis muda itu hingga darah yang mengucur terhenti.
"Kau mengenal pemuda ini, Sobat?" tanya Soma, yang tahu-tahu telah berdiri di
samping Salindri. "Iya. Dia adalah salah seorang anggota
Pengemis Tongkat Hitam yang diketuai ayahku,"
jelas Salindri tanpa mengalihkan perhatian pada
pemuda tampan di sampingnya. Jari-jari tangan-
nya yang mungil kembali bergerak menotok ke
tengkuk pengemis muda itu hingga tersadar.
"Oh...! Kau.... Kau Nona Salindri," desah pengemis muda bernama Paniti dengan
susah payah begitu matanya terbuka.
"Iya. Aku Salindri. Mengapa kau bisa terlu-
ka seperti ini" Siapa yang telah melakukannya?"
sahut Salindri.
"Raj..., Raja Golok. Dan..., dan Denok Supi di puncak Gunung Merapi. Me...,
mereka juga telah menahan Kakang Respati, si..., si Pengemis
Penjelajah," jelas Paniti dengan napas tersengal menjelang ajal
"Lantas, bagaimana Respati, Paniti?" tanya
Salindri mulai kalap,
"Mungkin..., mungkin telah tewas...,
ohh...!" keluh Paniti memanjang. Kepalanya ter-kulai ke kiri dan tak bergerak-
gerak lagi. Mati!
Salindri menggeretakkan gerahamnya
kuat-kuat. "Partai Pengemis Tongkat Hitam tidak per-
nah berselisih paham dengan mereka. Tapi men-
gapa mereka mulai menurunkan tangan keji pada
anggota-anggota Pengemis Tongkat Hitam" Aku
harus menuntut balas atas kematian saudara-
saudara satu golongan!" desis Salindri, penuh kemarahan.
"Ya ya ya...! Aku mengerti. Tapi, apa tidak sebaiknya kita kubur saja kawanmu
ini"!" timpal Soma. Salindri mendongak ke atas. Tak sepatah
kata pun keluar dari bibirnya yang bergetar-getar.
Soma yang dijuluki Siluman Ular Putih
mengerti kesedihan gadis itu. Maka tanpa banyak
cakap lagi pemuda ini mulai menggali tanah di
sekitarnya, menggunakan tongkat hitam milik
Paniti. Karena mengerahkan tenaga dalamnya,
beberapa saat kemudian, Soma telah membuat
Hang kabur buat pengemis muda itu.
Namun ketika Soma hendak mengangkat
tubuh pengemis muda yang telah membeku itu,
tiba-tiba saja pandangannya yang tajam menang-
kap dua kelebatan bayangan yang melintas di ha-
dapannya menuju ke puncak Gunung Merapi.
Yang satu berpakaian merah dengan rambut di-
kuncir ke belakang. Sedang di sampingnya seo-
rang laki-laki bertubuh tegap dengan mengena-
kan pakaian serba putih.
Sejenak Soma mengamati kedua orang di
depan sana dengan seksama. Namun karena te-
rangnya sinar rembulan malam itu agak terhalang
oleh rimbunnya hutan bambu, membuat Soma
sulit sekali mengenali. Pemuda ini hanya melihat gerakan kedua kaki orang itu
yang sangat cepat.
Malah dalam waktu tidak lama, bayangan tubuh
kedua orang itu pun lenyap di antara rimbunnya
hutan bambu di depan sana.
"Siapa mereka, Soma?" tanya Salindri, mulai memanggil nama pemuda itu.
Soma mengangkat kedua bahunya.
"Mana aku tahu?" sahut pemuda tampan
ini kalem. Salindri memberengut. Tak puas dengan
jawaban Soma. "Lho" Kok, malah cemberut" Sungguh aku
tidak tahu siapa mereka. Tapi kalau kau masih
penasaran, nanti kita bisa mengikutinya setelah
menguburkan mayat temanmu ini," tukas Soma.
Salindri diam tak menyahut. Diam-diam
hatinya semakin mengagumi pemuda tampan di
hadapannya. Ketika Soma mulai meletakkan
mayat Paniti ke dalam lubang kubur, Salindri pun segera membantu.
*** Kalau saja Soma tahu siapa kedua bayan-
gan orang itu, terutama sekali gadis cantik yang berpakaian merah-merah, pasti
akan mengejar. Gadis berpakaian merah-merah itu tidak lain dari Ratih. Sedang di sampingnya
berlari seorang laki-laki berpakaian putih-putih.
Laki-laki itu tidak begitu tinggi, namun
bentuk tubuhnya tegap. Wajahnya putih bersih
tanpa kumis dan jenggot. Sebilah gagang pedang
nampak tersembul di balik punggungnya.
Dan di saat orang itu tengah berlari ken-
cang menuju ke puncak Gunung Merapi, menda-
dak terdengar pekik-pekik ketakutan yang da-
tangnya dari sebelah utara. Laki-laki itu cepat
menarik lengan Ratih. Segera mereka berbelok ke
arah utara, untuk melihat apa yang terjadi.
Begitu sampai di tempat kejadian, mata
kedua orang itu langsung terbelalak lebar. Tam-
pak di hadapan mereka sesosok tubuh tinggi be-
sar dengan kulit hitam legam telah menghadang.
Sedang di kanan-kiri raksasa hitam itu beberapa
orang pengemis berpakaian tambal-tambalan ten-
gah lari tunggang langgang, lalu menghilang di
balik kegelapan malam.
Seketika itu juga Ratih dan laki-laki di se-
belahnya menghentikan langkah. Wajah gadis itu
bahkan menjadi pucat pasi. Belum pernah ia me-
lihat makhluk mengerikan dengan taring-taring
panjang itu. Namun, rupanya, tidak demikian
dengan laki-laki tua di sebelahnya. Dan agaknya
raksasa hitam tinggi besar di hadapannya itu su-
dah cukup dikenalnya.
"Lekaslah kembali ke wujudmu semula,
Raja Penyihir! Apa kau lupa, siapa aku?" teriak laki-laki berpakaian putih ini
lantang. Ratih sebentar memandang raksasa hitam
tinggi besar di hadapannya dengan sinar mata
ngeri. Sebentar kemudian tatapannya beralih pa-
da laki-laki di sebelahnya.
"Romo mengenal raksasa hitam ini?" tanya Ratih kurang percaya.
Laki-laki tua yang ternyata ayahnya Ratih
ini menganggukkan kepalanya.
"Siapa kau"! Apakah kau teman dari jem-
bel-jembel angkuh itu?"
Terdengar suara raksasa hitam besar itu.
Suaranya berat, menggema di seputar lembah.
"Aku Gagak Seto, Paman dari Pendekar Ku-
jang Emas! Dan aku Tumenggung Kerajaan Mata-
ram!" teriak lelaki berusia lima puluh tahun lebih itu lantang.
"Hmm...!" raksasa hitam tinggi besar itu mendengus. Suaranya tetap menggema
memenuhi lembah.
"Lekaslah kau kembali ke wujudmu, Raja
Penyihir!" teriak laki-laki berpakaian putih-putih bernama Gagak Seto.
Raksasa hitam tinggi besar yang tidak lain
Raja Penyihir perlahan-lahan menyusutkan tu-
buhnya. Dan dalam waktu tidak lama, raksasa hi-
tam tinggi besar itu mulai berubah menjadi kakek
tua bercaping pandan!
"Selamat berjumpa kembali, Ki Damar Su-
to!" sapa Gagak Seto ramah.
"Diam! Aku tak suka peradatan macam be-
gini!" bentak Raja Penyihir yang ternyata bernama Ki Damar Suto itu, galak.
Gagak Seto yang sangat dihormati di ka-
langan keratonpun nampak tidak tersinggung
oleh ucapan kasar Raja Penyihir. Namun tidak
demikian dengan Ratih....
"Jaga mulutmu yang lancang, Orang Tua!
Atau ku robek-robek mulutmu dengan pedangku,
he!" bentak Ratih berani.
Gagak Seto cemas sekali. Ia takut kalau
Raja Penyihir yang aneh ini akan murka.
"Diam dulu, Ratih! Biarkan Romomu yang
bicara!" bisik Gagak Seto lirih.
Ratih memberengut kesal. Namun toh, di-
turutinya juga perintah romonya.
"He he he...! Ucapan putrimu yang cantik
jelita ini sungguh membuat telingaku memerah,
Gagak Seto. Kalau kau tidak dapat memberi bebe-
rapa keterangan padaku, jangan salahkan kalau
aku terpaksa sedikit memberi pelajaran padamu!"
"Katakanlah! Barangkali aku dapat mem-
beri keterangan padamu," ujar Gagak Seto kalem.
"He he he...! Tidak terlalu sulit pertanyaan-ku untuk dijawab, Gagak Seto.
Pertama, apakah
kau tahu di mana calon muridku berada?"
"Ah...! Pertanyaanmu aneh sekali, Ki. Mana
aku tak tahu. Jangankan untuk memberi kete-
rangan di mana calon muridmu itu berada, men-
getahui orangnya pun aku belum."
"Satu! Pertanyaanku belum dijawab dengan
baik. Kalau kau tidak juga dapat menjawab per-
tanyaanku yang kedua ini, terpaksa sekali aku
harus menghajarmu!" ancam Raja Penyihir tak sabar. "Kau curang sekali, Raja
Penyihir! Mau seenaknya saja memaksakan keinginanmu. Kalau
Romoku tidak tahu, kau mau apa"!" tantang Ratih sengit.
"Sudahlah, Ratih! Biarkan Raja Penyihir bi-
cara!" ujar Gagak Seto pada putrinya.
Ratih cemberut. Matanya yang indah me-
mandang Raja Penyihir penuh kebencian.
"He he he...! Benar! Benar sekali apa yang
kau katakan. Rupanya kau cukup bijaksana...,
Raja Penyihir tertawa-tawa senang. "Nah! Dengar pertanyaanku yang kedua, Gagak
Seto. Calon murid yang sedang kucari-cari mempunyai ke-
pandaian silat yang tinggi. Bahkan bisa berubah
wujud menjadi Siluman Ular Putih. Apakah kau
tahu, siapa nama pemuda itu. Siapa nama gu-
runya. Dan, di mana tempat tinggalnya?" beron-dong Raja Penyihir sekaligus.
Gagak Seto bingung sekali. Jangankan un-
tuk mengetahui siapa guru dan tempat tinggal
pemuda yang dimaksudkan Raja Penyihir. Men-
genal orangnya pun, belum. Lantas, bagaimana
dapat memberi keterangan pada Raja Penyihir"!
"Aku tahu nama pemuda itu!" kata Ratih
tiba-tiba. "Siapa?" tanya Raja Penyihir, hampir bersamaan dengan Gagak Seto.
"Soma!" kata Ratih, seraya mengangkat bibirnya sinis.
"Kau tidak berbohong?" tukas Raja Penyihir, masih belum percaya.
"Tidak ada gunanya berbohong. Aku sudah
beberapa kali bertemu dengan pemuda sinting
itu." "Baik! Kalau begitu, kau pun tahu siapa nama gurunya. Dan, di mana tempat
tinggalnya, bukan" Nah! Sekarang, katakanlah, Anak Manis!"
kata Raja Penyihir kegirangan.
Kali ini gantian Ratih yang kebingungan.
Meski sudah beberapa kali bertemu Soma yang
diam-diam mulai mengusik hatinya, tapi mana
tahu nama guru pemuda itu" Apalagi tempat
tinggalnya"
"Aku..., aku...! Aku..., aku hanya mengenal namanya saja," jawab Ratih
gelagapan. "Tidak mungkin! Kau pasti tahu, siapa gu-
runya. Dan, di mana tempat tinggalnya!" desak Raja Penyihir tidak mau tahu
kesulitan Ratih dan Gagak Seto.
"Sungguh aku tidak tahu...," jawab Ratih gelagapan.
"Baiklah. Kalau kau masih belum mau
memberi keterangan padaku, terpaksa sekali aku
harus menggebukmu."
Raja Penyihir bersiap-siap mengerahkan
kekuatan sihirnya. Bibirnya yang kehitaman mu-
lai berkemik-kemik.
Sementara Gagak Seto berdiri dengan kaki
tegang di tempatnya.
Ratih celingukan, tak tahu apa yang harus
diperbuat... Pada saat Raja Penyihir mulai mengerah-
kan kekuatan batinnya, tiba-tiba saja....
"Huaaa ha ha...! Siapa sudi jadi calon mu-
ridmu, Badut Tua! Kau pikir, kau dapat menga-
lahkan aku dengan permainan anak-anakmu itu,
he"! Jangan mimpi Badut Tua!"
Ketiga orang itu dikejutkan oleh tawa se-
seorang yang sangat melecehkan Raja Penyihir.
Raja Penyihir menggeram penuh kemara-
han. Bibirnya tidak lagi berkemik-kemik. Hanya
pandangan matanya saja yang tajam memperha-
tikan semak-semak di depannya.


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** Soma dan Salindri cepat keluar dari tempat
persembunyiannya. Seperti yang telah disepakati, begitu kedua orang itu selesai
menguburkan mayat pengemis muda anggota Pengemis Tongkat
Hitam, kedua anak muda itu langsung mengikuti
bayangan merah-merah dan putih yang tadi me-
lintas di hadapannya.
Dan ketika sampai di luar hutan bambu,
hati Soma jadi tersentak ketika melihat bayangan merah yang ternyata Ratih. Dan
gadis itu sudah
sangat dikenalnya. Namun, pemuda itu tak men-
genal, siapa laki-laki bertubuh tegap di samping gadis itu. Dan ketika Raja
Penyihir menyebut-nyebut tentang dirinya, Soma jadi tidak tahan lagi untuk tidak
keluar dari tempat persembunyiannya. Sebenarnya kalau saja Soma yang bergelar
Siluman Ular Putih tidak terlambat sampai di
tempat itu, tentu akan terkejut mendengar pen-
gakuan orang di samping Ratih. Karena laki-laki
itu sebenarnya masih terhitung paman dari Pen-
dekar Kujang Emas, ayahnya! Sayang, pemuda ini
hanya mendengar buntut dari percakapan mereka
yang menyinggung-nyinggung tentang dirinya.
Sehingga ia tidak mengenal, siapa laki-laki berusia lima puluh lima tahunan di
samping Ratih. "Ha ha ha...! Mengapa kau melotot seperti
melihat setan gondrong saja, Badut Tua" Ayo, ke-
jar aku! Katanya kau ingin menjadikan aku mu-
ridmu!" tantang Soma menggoda.
Dan sehabis berkata begitu, Soma pun se-
gera menggandeng lengan Salindri meninggalkan
tempat itu. Raja Penyihir geram bukan main. Tanpa
mempedulikan Ratih dan Gagak Seto lagi segera
dikejarnya Soma. Namun sayangnya ilmu merin-
gankan tubuh orang tua bercaping pandan itu ti-
daklah sehebat Soma. Sehingga, ia dapat diper-
mainkan Soma dengan mudah.
"Ayo, Badut Tua! Kejar aku! Mengapa letoi
amat" Apa kau tadi habis berkencan dengan ular-
ularmu, ya?" celoteh Soma sambil terus meng-
gandeng gadis cantik di sampingnya.
Ratih yang melihat Soma menggandeng ga-
dis cantik berpakaian tambal-tambalan yang be-
lum dikenalnya, entah mengapa jadi gusar sekali.
Tanpa sadar gerahamnya bergemelutuk penuh
kemarahan. "Aku harus mengejarnya, Romo."
Ratih cepat menjejakkan kedua kakinya
meninggalkan ayahnya. Namun sayangnya tangan
Gagak Seto keburu menangkap lengannya.
"Jangan, Ratih! Terlalu berbahaya. Lagi pu-
la, buat apa mengejar mereka" Urusan kita sendi-
ri dengan Manusia Rambut Merah pun belum
beres. Ayo, cepat tinggalkan tempat ini!"
"Tapi...."
"Sudahlah, Ratih! Jangan banyak memban-
tah! Turuti saja kata-kata Romo!"
Gagak Seto cepat meraih lengan putrinya.
Langsung diajaknya gadis itu naik ke puncak Gu-
nung Merapi yang menjulang tinggi di hadapan-
nya. Sedang Ratih hanya dapat memberengut
kesal. Matanya terus memperhatikan Soma yang
sedang menggoda Raja Penyihir dengan sinar ma-
ta cemburu! Sebenarnya hatinya juga gemas,
mengapa ayahnya mesti menyusulnya"
Memang semula Gagak Seto sendiri yang
menyuruh putri tunggalnya itu untuk menyelidiki
keberadaan Manusia Rambut Merah. Namun se-
telah menunggu beberapa saat, Ratih belum juga
pulang memberi laporan, Tumenggung Kerajaan
Mataram ini jadi mencemaskan keselamatan pu-
trinya. Dan tanpa diiringi satu orang prajurit pun, dan dengan berpakaian biasa,
ia menyusul putrinya. Kebetulan sekali, mereka bertemu di Lem-
bah Klidung. Sebuah lembah yang membentang
antara kaki Gunung Sumbing dan Gunung Sindo-
ro. Dari lembah inilah ayah dan anak itu melaku-
kan perjalanan menuju ke puncak Gunung Mera-
pi! 6 Pertempuran di puncak Gunung Merapi
antara para datuk sesat dari empat penjuru angin terlihat makin seru. Meski
dikeroyok tiga orang
saingan utamanya, rupanya Algojo Dan Timur
masih mampu bertahan dengan mengandalkan
pukulan 'Badai Gurun Pasir' dan pukulan
'Pemecah Bumi'. Namun lambat laun disadari ka-
lau begini terus-menerus sudah pasti akan roboh
juga. "Tunggu...! Apakah begini cara kalian untuk menentukan datuk sesat nomor
satu di anta- ra kita"!" bentak Algojo Dari Timur menyindir, setelah baru saja dapat
meloloskan diri dari gempuran-gempuran ketiga orang saingan utamanya
dengan cara melompat tinggi keluar dan kancah
pertempuran. "Aku paling benci melihat orang pongah
sepertimu, Setan Botak. Secara langsung maupun
tidak, omonganmu tadi sangat merendahkan ka-
mi. Lantas, apakah cara ini salah?" tukas Denok Supi, segera maju selangkah.
Agaknya menjadi
juru bicara kedua orang temannya.
"Salah besar kalau kalian mengatakan aku
pongah. Apa tindakan kalian selama ini di dunia
persilatan tidak demikian" Ayo jawab, Denok!"
dengus Algojo Dari Timur memojokkan.
Denok Supi yang merasa dipojokkan jadi
terdiam. Hanya matanya saja yang melotot me-
mandang ke arah Algojo Dari Timur.
"Siapa peduli"! Bagaimanapun juga kau te-
lah merendahkan Kami. Kalau kami menge-
royokmu, apa yang dapat kau perbuat"!" bentak Raja Golok Dari Utara.
"Tidak ada pilihan kecuali terus melawan!
Hanya aku menyayangkan, tak kusangka datuk-
datuk sesat yang berjuluk Raja Golok Dari Utara, Raja Racun Dari Selatan, dan
kan Denok Supi,
ternyata mempunyai watak demikian rendah.
Memalukan!" teriak Algojo Dari Timur.
Meski juga digolongkan sebagai datuk sesat
yang merajai di daerah timur, namun sebenarnya
Algojo Dan Timur paling benci melihat cara-cara
licik yang sering dilakukan golongan hitam.
Hanya karena tindakannya yang kejam ketika
menumpas musuh-musuhnya demi kepentingan
pribadinya, baik dari golongan putih maupun go-
longan hitam itu sendiri, maka tak heran kalau ia mendapat julukan Algojo Dari
Timur! "Jangan sok alim, Setan Botak! Semua
orang di dunia persilatan tahu, siapa dirimu. Pakai berkhotbah segala!" cibir
Denok Supi sengit.
"Buat apa kita berdebat dengan manusia
satu ini" Lebih baik enyahkan saja biar urusan
cepat selesai!" teriak Raja Racun Dari Selatan dengan suara sember.
"Betul! Mari kita cincang setan gundul ini
ramai-ramai, Kawan!" teriak Raja Golok Dari Utara tak sabar.
Dan sehabis berkata begitu, Raja Golok
pun kembali menyerang Algojo Dari Timur hebat.
Gerakan golok di tangan kanannya menyambar-
nyambar ganas mengurung pertahanan lawannya.
Melihat Raja Golok Dari Utara telah men-
dahului menyerang, Raja Racun Dari Selatan dan
Denok Supi pun tidak mau ketinggalan. Dengan
jurus-jurus andalan, mereka kembali menggem-
pur Algojo Dari Timur.
Bukan main hebatnya serangan ketiga to-
koh sesat itu. Dan ini membuat Algojo Dari Timur benar-benar kewalahan. Andai
saja ketiganya ma-ju satu persatu, belum tentu dapat merobohkan
tokoh sesat dari timur itu. Namun kali ini uru-
sannya sudah lain. Mau tidak mau, Algojo Dari
Timur harus menghadapi mereka. Dan entah su-
dah berapa kali tubuhnya yang tinggi besar itu
terpaksa berjumpalitan ke sana kemari menghin-
dari bacokan-bacokan golok Raja Golok Dari Uta-
ra dan jepitan gunting di tangan Denok Supi.
Sekarang pada jurus yang kesebelas, Algojo
Dari Timur benar-benar mati kutu. Bacokan golok
di tangan Raja Golok yang datang dari depan
sungguh sulit dihindari. Belum lagi serangan
gunting Denok Supi yang datangnya dari samping
kiri. Mau berkelit ke samping kanan, jelas tidak mungkin. Karena di sana ada
Raja Racun yang
siap dengan pukulan 'Telapak Kelabang Hitam'-
nya. "Hyaaat!"
"Hyaaat...!"
Cring! Algojo Dari Timur nekat menangkis golok di
tangan Raja Golok Dari Utara dengan parang pan-
jangnya. Sedang serangan Denok Supi yang da-
tang dari kiri hanya dihindari dengan berkelit ke samping kanan. Sangat
berbahaya sekali sebenarnya. Karena di samping kanan, Raja Racun
Dari Selatan siap dengan pukulan 'Telapak Kela-
bang Hitam'. Dan....
Bukkk! "Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa Algojo
Dari Timur langsung terlempar beberapa tombak
ke belakang begitu pukulan 'Telapak Kelabang Hi-
tam' Raja Racun Dari Selatan menghantam pung-
gungnya. Seketika itu juga, wajah Algojo Dari Timur menjadi pucat pasi. Bibirnya
bergetar-getar hebat, pertanda mengalami luka dalam cukup
lumayan. Untung saja tadi tubuhnya yang terke-
na pukulan sempat dilindungi tenaga dalam. Se-
hingga tidak begitu membahayakan keselamatan-
nya. "Hoeeekh...!"
Algojo Dari Timur muntahkan darah segar.
Dadanya terasa sesak akibat racun kelabang hi-
tam yang bersarang di tubuhnya mulai bekerja.
Buru-buru tangannya merogoh saku, mengambil
obat pulung yang langsung ditelannya. Kemudian
dengan tertatih-tatih dicoba bangun.
"Ha ha ha...! Bersiap-siaplah menemui ib-
lis-iblis gentayangan di dasar neraka, Setan Bo-
tak!" teriak Raja Golok Dari Utara sebelum bergerak ke depan dengan golok di
tangan. Tentu saja Denok Supi dan Raja Racun Da-
ri Selatan tak mau kalah. Dengan jurus-jurus an-
dalan, kedua orang tokoh sesat itu pun kembali
menerjang ganas Algojo Dari Timur yang sudah
terluka. "Hyaaat...!"
"Hyaaat...!"
Algojo Dari Timur kali ini benar-benar ne-
kat ingin mengadu nyawa. Parang panjangnya
yang siap menangkis golok di tangan Raja Golok,
sekaligus menangkis gunting di tangan Denok
Supi. Sedang serangan Raja Racun yang mengan-
dalkan pukulan 'Telapak Tangan Kelabang Hitam',
siap dihadapi dengan pukulan 'Badai Gurun Pa-
sir'. Namun belum sempat serangan-serangan
ketiga tokoh sesat itu sampai di dekat tubuh Algo-jo Dari Timur, mendadak tanah
tempat berpijak
bergetar-getar hebat. Selang beberapa kejap ke-
mudian.... Brolll! "Heh"!"
Tanah yang bergetar-getar hebat itu men-
dadak membuncah tinggi ke udara. Dan bersa-
maan dengan itu nampak sesosok bayangan me-
rah menyala muncul dari dasar bumi, dan men-
darat manis. Begitu ringannya hingga tak menim-
bulkan suara sedikit pun saat mendarat tak jauh
dari Algojo Dari Timur berdiri!
Orang yang baru datang bertubuh tinggi
besar. Pakaiannya berwarna merah darah. Ma-
tanya besar, demikian pula hidungnya. Sedang
rambut, alis mata, kumis, dan jenggotnya pun
berwarna merah menyala!
"Ma.... Manusia Rambut Merah...!" pekik keempat tokoh sesat dunia persilatan itu
hampir berbarengan. *** "Ha ha ha...! Tidak salah lagi! Memang aku-
lah yang berjuluk Manusia Rambut Merah," kata sosok yang memang Manusia Rambut
Merah tertawa mengakak. Suara beratnya yang sarat tena-
ga dalam menggema ke segenap penjuru. "Kudengar di sini akan diadakan pemilihan
tokoh sesat di dunia persilatan" Lantas, mengapa kalian tidak memanggilku" Apa kalian pikir,
ilmu kalian mampu menandingi ilmuku, he"!"
"Aku tidak pernah menganggap kau masuk
dalam hitungan kami. Untuk itu, lekaslah pulang
ke sarangmu di Hutan Sawo Kembar sebelum go-
lokku merajam tubuhmu!" bentak Raja Golok garang. Walau tadi sempat ciut
nyalinya melihat
ilmu Manusia Rambut Merah yang baru saja dipe-
ragakan, namun karena sikap congkaknya yang
berlebihan membuat Raja Golok Dari Utara me-
mandang rendah.
"Kau terlalu memandang rendah padaku,
Raja Golok! Karena kau telah berani lancang ber-
kata demikian, maka kau pulalah orang pertama
yang akan kugebuk," desis Manusia Rambut Merah penuh kemarahan.


Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Majulah! Jangan hanya pintar mengumbar
suara saja!" tantang Raja Golok Dan Utara, nekat.
"Setan alas! Jangan salahkan kalau aku
sedikit kasar menggebukmu, Raja Golok!"
Manusia Rambut Merah cepat melolos
cambuk pusakanya dari pinggang. Seketika dis-
erangnya Raja Golok dengan lecutan cambuknya.
Ctarrr...! Ctarrr...! Cambuk hitam itu cepat meliuk-liuk me-
nyerang tubuh Raja Golok Dari Utara.
Tokoh sesat dari utara ini tersenyum men-
gejek. Golok mautnya segera digerakkan ke de-
pan, memapak serangan cambuk Manusia Ram-
but Merah. Prattt! Golok di tangan tokoh bertubuh pendek itu
berhasil memapak serangan. Namun anehnya,
cambuk itu masih utuh seperti sediakala. Sama
sekali tidak rusak akibat babatan goloknya. Bah-
kan tangan Raja Golok sendirilah yang merasa
kesemutan akibat tangkisannya tadi.
"Ha ha ha...! Sekarang rasakan lecutan
cambukku, Raja Golok," ejek Manusia Rambut
Merah yang bernama asli Jarkasi ini.
Ctar! Ctar! Dua kali cambuk di tangan Ki Jarkasi
menghajar tubuh Raja Golok Dari Utara tanpa
dapat dihindari lagi.
"Augh...!"
Raja Golok Dari Utara memekik setinggi
langit. Tubuhnya yang terkena cambuk langsung
memerah. Sambil berdiri sempoyongan, matanya
memandang Manusia Rambut Merah beringas.
"Teman-teman! Ayo, kita cincang iblis me-
rah ini ramai-ramai!" teriak Raja Golok Dan Utara pada teman-temannya.
Denok Supi dan Raja Racun Dari Selatan
cepat bergerak ke depan. Mereka langsung me-
nyerang Manusia Rambut Merah dengan ganas.
Sedang Algojo Dari Timur yang tadi mendapat lu-
ka parah akibat pukulan 'Telapak Tangan Kela-
bang Hitam' tengah duduk bersemadi untuk me-
mulihkan luka dalamnya.
"Kalian ini benar-benar tidak tahu diri! Apa kalian pikir dapat mengalahkan aku,
he"!" bentak Ki Jarkasi angkuh.
"Jangan banyak bacot! Lihat saja, bagai-
mana nanti kami mencincang tubuhmu Manusia
Rambut Merah!" balas Denok Supi merasa penasaran melihat Raja Golok Dari Utara
dapat cedera dalam sekali gebrakan.
"Bagus, bagus! Aku jadi ingin melihat, apa-
kah kalian ini pantas mendapat julukan datuk-
datuk sesat yang tersohor di dunia persilatan ini!"
ejek Manusia Rambut Merah.
Kali ini Ki Jarkasi tidak memberi hati lagi
terhadap ketiga pengeroyoknya. Tanpa banyak
membuang-buang waktu lagi, Manusia Rambut
Merah menghentak tangan kirinya ke depan. Ma-
ka seketika itu juga serangkum angin dingin me-
luruk menyerang Denok Supi dan Raja Racun Da-
ri Selatan, Dan bersamaan dengan itu, kembali
cambuk di tangan kanannya melecut di udara.
Ctarrr! Ctarrr! Denok Supi, Raja Golok Dari Utara, dan
Raja Racun kalang kabut menghadapi dua seran-
gan itu. Namun sebagai seorang tokoh sesat yang
sudah banyak makan asam garam, mereka tidak
gugup. Dengan sedikit miringkan tubuhnya ke ki-
ri, Denok Supi pun dapat menghindari pukulan
'Kelabang Geni'. Sementara Raja Racun Dari Sela-
tan dan Raja Golok Dari Utara memberanikan diri
menangkis serangan cambuk dan pukulan
'Kelabang Geni'.
Plakkk! Plakkk! Blarrr...! Manusia Rambut Merah yang tenaga da-
lamnya terbagi-bagi dalam serangannya jadi ter-
huyung-huyung akibat benturan tenaga dalam
barusan. Namun untungnya tidak sampai mem-
bahayakan keselamatannya.
"He he he...! Rupanya hanya segini keheba-
tan Manusia Rambut Merah yang kesohor itu!"
ejek Raja Racun Dari Selatan dengan suara semb-
er. Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan.
Jelas, ia paling tidak senang dilecehi orang. Maka segera cambuknya diselipkan
lagi ke pinggang.
"Jangan berbangga dulu, Raja Racun! Apa
kau belum merasakan ilmu 'Wejangan Iblis'-ku"!"
"Keluarkanlah semua kepandaianmu, Ma-
nusia Rambut Merah! Sejengkal pun aku tak
mundur"!" tantang Raja Racun Dari Selatan.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek sambil
memasang kuda-kuda. Kedua tangannya yang
siap mengeluarkan ilmu 'Wejangan Iblis' yang ba-
ru saja disempurnakan di gua pantai utara ber-
sama gurunya Jerangkong Hidup, telah berubah
menjadi merah menyala!
"Bersiap-siaplah kalian merasakan keheba-
tan ilmuku ini, Kawan! "Hyaaat...!"
Seleret sinar merah menyala seketika ke-
luar dari kedua telapak tangan Manusia Rambut
Tragedi Gunung Langkeng 2 Joko Sableng 13 Titah Dari Liang Lahat Pendekar Kidal 12
^