Manusia Rambut Merah 3
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah Bagian 3
Merah begitu dihentakkan.
Raja Racun Dari Selatan tidak berani me-
mandang rendah kehebatan pukulan 'Wejangan
Iblis'. Ia yang sudah cukup pengalaman tahu ka-
lau pukulan Manusia Rambut Merah mengan-
dung racun keji. Setelah membuat kuda-kuda,
cepat dipapakinya dengan pukulan 'Telapak Tan-
gan Kelabang Hitam'.
"Hyaaat...!"
"Hyaaat...!"
Blarrr...! Hebat bukan main akibat pertemuan dua
tenaga dalam di udara barusan. Tanah di sekitar
tempat itu bergetar hebat. Pohon-pohon pun men-
jadi layu. Sementara Manusia Rambut Merah
nampak tenang-tenang saja di tempatnya. Sedikit
pun tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga
dalam tadi. Dan rupanya tidak demikian dengan Raja
Racun Dari Selatan. Tubuhnya langsung terpental
ke belakang begitu benturan terjadi. Dan seketika itu juga wajahnya pucat pasi.
Darah segar pun
membasahi bibirnya.
"He he he...! Apa kalian belum juga mau
mengakui kehebatan ilmuku" Ayo, siapa lagi yang
mau maju!" tantang Ki Jarkasi pongah.
"Heh! Kau hanya mengandalkan pukulan
mautmu saja. Apa kau berani menghadapi kami
berdua dengan senjata cambukmu itu?" tukas Ra-ja Golok Dari Utara belum juga mau
mengalah. "Apa bedanya" Toh aku dapat mengalah-
kan kalian. Dan aku pulalah yang pantas menda-
pat julukan datuk nomor satu di dunia persilatan ini," sahut Manusia Rambut
Merah bangga. "Aku mau mengakuimu sebagai datuk no-
mor satu di dunia persilatan, asal kau dapat
mengalahkan kami dengan menggunakan cam-
bukmu itu, Manusia Rambut Merah!" kata Raja Golok Dari Utara masih membandel.
"Baik, baik! Kuterima tantanganmu ini. Ta-
pi, ingat! Kalau kau masih bertanya macam-
macam, terpaksa aku akan mengirim nyawamu
ke neraka. Tahu"!" geram Ki Jarkasi jengkel.
"Majulah! Aku hanya ingin menjajal kehe-
batan cambukmu saja!" ujar Raja Golok Dari Utara.
Manusia Rambut Merah kesal. Tangannya
yang kekar cepat melolos kembali cambuknya.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, segera dis-
erangnya Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Ctarrr! Ctarrr! Meski dikeroyok begitu, cambuk Manusia
Rambut Merah tetap dapat mengurung pertaha-
nan Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara. Per-
lahan namun pasti, Ki Jarkasi terus mendesak
kedua orang tokoh sesat dari barat dan utara itu hingga tidak dapat membalas
serangan sama sekali. Ctarrr!
Ctarrr! "Aaakh...!"
"Auuhh...!"
Dua kali cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah melecut menyengat tubuh Denok Supi
dan Raja Golok Dari Utara hingga tersentak dan
jatuh ke tanah. Mereka kontan memekik setinggi
langit. Tubuh yang terkena cambuk langsung
memerah. "He he he...! Kalau saja kalian bukan satu
golongan, sudah pasti akan kukirim nyawa anjing
kalian ke neraka! Tahu"!" hardik Ki Jarkasi garang. Denok Supi dan Raja Golok
saling berpan- dangan. Kini kedua orang itu tidak lagi bernafsu melanjutkan pertarungan. Mereka
hanya bisa di-am membisu di tempatnya.
"Bagus! Bagus! Mulai hari ini kalian be-
rempat harus mengakui aku sebagai datuk sesat
nomor satu di empat penjuru mata angin. Siapa
yang berani menentang keputusanku ini, berarti
mati!" teriak Ki Jarkasi angkuh.
"Dan satu lagi! Cepat cari keterangan ten-
tang seorang pemuda yang dapat menjelma men-
jadi Siluman Ular Putih! Syukur kalau kalian da-
pat menghabisinya sekalian. Kalau tidak, cepat
beri laporan padaku! Mengerti"!"
"Baik!" sahut para tokoh sesat yang biasanya berpenampilan garang itu, patuh.
"Nah! Sekarang enyahlah kalian dari hada-
panku!" perintah Manusia Rambut Merah ang-
kuh. "Baik!"
Para tokoh sesat itu serempak bangkit.
Demikian pula Algojo Dari Timur yang masih ter-
luka dalam. Namun belum sempat mereka berge-
rak dari tempatnya....
"Tunggu...! Kau tidak boleh meninggalkan
tempat ini, Manusia Rambut Merah! Aku akan
membuat perhitungan denganmu!"
Mendadak dari arah utara puncak Gunung
Merapi terdengar seseorang berteriak-teriak lan-
tang, menantang Manusia Rambut Merah!
*** Di hadapan Manusia Rambut Merah dan
keempat orang tokoh sesat yang telah ditakluk-
kannya, berdiri seorang laki-laki berpakaian putih dan seorang gadis berpakaian
merah-merah. Mereka tak lain Gagak Seto dan Ratih, putrinya.
Manusia Rambut Merah mendengus. Ma-
tanya yang memerah memandangi Gagak Seto
dan gadis itu dengan tatapan congkak!
"Lihatlah! Bagaimana caranya aku meng-
hajar orang-orang yang mencari mati di tempat
ini," kata Ki Jarkasi pada keempat orang tokoh sesat ini, tanpa sekedip pun
menoleh. Keempat tokoh sesat yang semula bermak-
sud meninggalkan puncak Gunung Merapi jadi
mengurungkan niatnya. Dan tanpa diperintah
pun, mereka telah mengurung Gagak Seto dan
Ratih. "Lagakmu sombong sekali, Manusia Rambut Merah! Aku datang kemari bukannya
ingin menangkapmu. Melainkan ingin mencabut nyawa
anjingmu atas meninggalnya keponakanku, Pen-
dekar Kujang Emas tahun lalu!"
"Ha ha ha...! Mengapa kau tidak bawa ke-
mari Pendekar Pedang Kilat buana sekalian, biar
masalah ini cepat selesai"!" kata Manusia Rambut Merah di antara tawanya yang
menggema ke sekitarnya. "Tidak perlu aku membawa-bawa beliau kemari. Aku
sendiri, Gagak Seto cukup mampu
mengirim nyawa anjingmu ke neraka!" tantang Gagak Seto, berani.
Tangan kanannya cepat melolos pedang
dari pinggang. Sret! Ratih yang melihat ayahnya sudah menca-
but pedang pun cepat mencabut pedangnya pula.
Gadis ini siap membantu ayahnya menghadapi
Manusia Rambut Merah.
"Cepat keluarkan semua kepandaian kalian
kalau benar-benar ingin mencari mati!" tantang Ki Jarkasi mengejek.
"Kunyuk merah besar kepala! Terimalah
kematianmu hari ini! Hyaaat....!" teriak Ratih sambil meluruk deras. Pedang di
tangan kanannya telah menyambar-nyambar ganas.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Dan tiba-
tiba jubah merahnya dikebutkan sekali. Maka se-
ketika itu juga serangkum angin dingin meluruk
deras. "Ah...!"
Ratih memekik. Tubuhnya yang terkena
sambaran angin kebutan Manusia Rambut Merah
langsung terlempar ke belakang.
Dan Gagak Seto cepat menyerang, begitu
melihat putrinya yang terpental ke belakang dikejar Manusia Rambut Merah. Hebat
sekali seran- gan pedang Tumenggung Kerajaan Mataram ini,
karena telah mengeluarkan jurus andalannya.
"Hyaaat...! Hyaaat...!"
Gagak Seto semakin mempercepat seran-
gannya. Ia yang cukup tahu kehebatan musuh-
nya, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Te-
rus digempuri Manusia Rambut Merah dengan
hebat. Untuk beberapa saat, Gagak Seto cukup
dapat merepotkan Manusia Rambut Merah. Na-
mun setelah Ki Jarkasi mencabut cambuknya,
perlahan-lahan ayahnya Ratih ini mulai terdesak.
Ratih yang tadi sempat merasakan keli-
haian Manusia Rambut Merah dalam segebrakan
saja, cepat kembali maju menyerang dengan pe-
dangnya. Ctarrr! Ctarrr! Beberapa kali cambuk di tangan Manusia
Rambut Merah menyengat udara. Dan beberapa
kali pula tubuh Gagak Seto dan Ratih tersengat
lidah cambuk. Seketika itu juga pakaian yang di-
kenakan mereka koyak di sana sini. Sementara
bagian tubuh yang terkena lecutan tampak me-
merah! Manusia Rambut Merah tertawa terbahak-
bahak. Lecutan-lecutan cambuknya terdengar
makin menggiriskan.
"Biar lebih enak kita bertarung, bagaimana
kalau putrimu yang cantik ini diamankan dulu,
Gagak Seto?"
Sebelum kata-kata habis, Ki Jarkasi berke-
lebat cepat. Dan tahu-tahu tangannya terjulur
menotok pundak Ratih yang belum bisa mengua-
sai keadaannya.
Tuk! "Aaah...!"
Ratih mengeluh. Tubuhnya yang terkena
totokan langsung ambruk ke tanah.
"Demi Tuhan! Kalau kau mengganggu pu-
triku, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ma-
nusia Rambut Merah!" pekik Gagak Seto kalap bukan main melihat putri tunggalnya
dapat di-lumpuhkan Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Begitu
berbalik, lecutan-lecutan cambuknya kembali
bergerak cepat.
Ctarrr! Ctarrr!
Mendapat serangan demikian, Gagak Seto
kewalahan bukan main. Dan kini tubuhnya telah
terkurung lecutan-lecutan cambuk Manusia
Rambut Merah. Bahkan entah sudah beberapa
kali tubuhnya yang memerah tersengat cambuk.
Untung saja ia masih dapat bertahan. Beberapa
kali tubuhnya melompat ke belakang sehingga
keadaannya tak semakin parah.
Ki Jarkasi geram bukan main. Ia sudah ti-
dak sabar ingin merobohkan Gagak Seto. Maka
lecutan-lecutan cambuknya makin dipercepat.
Sementara tangan kirinya telah berubah merah
menyala, siap melancarkan pukulan 'Kelabang
Geni'. Ctarrr! Ctarrr! "Hyaaat...!"
Kali ini serangan-serangan Manusia Ram-
but Merah sungguh hebat bukan main. Diiringi
lecutan-lecutan cambuknya yang menggiriskan,
tangan kiri Ki Jarkasi melontarkan pukulan
maut. Wesss! Gagak Seto memutar pedangnya, menang-
kis lecutan-lecutan cambuk di tangan kanan Ma-
nusia Rambut Merah. Pada saat yang sama tan-
gan kiri Manusia Rambut Merah berkelebat ke
depan. Seketika itu juga, wajah Gagak Seto pucat pasi berkesiurnya angin dingin
yang datang dalam jarak yang demikian dekat rasa-rasanya sulit sekali dihindari.
Apalagi tubuhnya sendiri pun
sempat bergetar hebat, setelah menangkis seran-
gan cambuk. "Romo! Awas...!" teriak Ratih kalang kabut.
Wesss...! Namun tiba-tiba saja seleret sinar putih te-
rang yang entah dari mana datangnya, menghan-
tam pukulan 'Kelabang Geni' yang dilontarkan
Manusia Rambut Merah.
Blarrr...! Terdengar suara berdentum keras sekali,
akibat benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi
di udara. Tanah di sekitar puncak Gunung Merapi
bergetar hebat. Pohon-pohon pun menjadi layu!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
lebar. Tubuhnya yang tinggi besar sempat berge-
tar hebat akibat benturan tenaga dalam barusan.
Dan sekarang di hadapannya telah berdiri seo-
rang pemuda tampan dengan celana dan rompi
bersisik warna putih keperakan.
Tubuh pemuda itu tinggi kekar. Kulit wa-
jahnya putih bersih. Matanya yang agak kebiru-
biruan bersinar tajam seperti mata rajawali. Se-
dang rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
di bahu. Sebuah rajahan bergambar ular putih di
dada kanan, nampak terlihat dari rompinya yang
terbuka tanpa kancing.
Sementara di belakang pemuda yang masih
tersenyum-senyum nakal memandang Manusia
Rambut Merah, berdiri seorang gadis cantik ber-
pakaian tambal-tambalan. Di samping gadis ini
berdiri pula seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus yang juga mengenakan
pakaian tambal-
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tambalan. Sedang jauh di belakangnya nampak
terlihat seorang lelaki tua bercaping pandan tengah terseok-seok menaiki puncak
Gunung Mera- pi. "Siluman Ular Putih...!" teriak Ratih kegirangan setelah tahu siapa pemuda
tampan yang telah menyelamatkan nyawa ayahnya.
Mendengar disebutnya Siluman Ular Putin
yang sedang diperbincangkan banyak orang, se-
ketika itu juga Manusia Rambut Merah dan juga
semua orang yang berada di puncak Gunung Me-
rapi jadi terkejut bukan main. Mereka semua ti-
dak menyangka kalau orang yang dijuluki Silu-
man Ular Putih ternyata masih muda
"Kaukah orang yang bergelar Siluman Ular
Putih"!" desis Manusia Rambut Merah garang, begitu melihat orang yang dicari-
carinya telah menampakkan batang hidungnya.
"Kalau iya, kau mau apa"!" tukas Soma
acuh tak acuh. Ki Jarkasi melotot lebar. Saking marahnya,
ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
Soma tidak mempedulikannya. Malah ke-
palanya berpaling ke arah Ratih.
"Selamat bertemu kembali, Kawanku Yang
Cantik! Kenapa kau hanya tiduran saja di situ"
Apa kau lebih senang melihat nyawa orang me-
layang sambil tiduran begitu?" sapa Soma alias Siluman Ular Putih kalem tanpa
menghiraukan kemarahan Manusia Rambut Merah.
"Putriku tertotok."
Gagak Seto yang baru saja diselamatkan
nyawanya oleh Soma segera menyahuti sambil
menghampiri putrinya untuk melepaskan toto-
kan. "Oh...! Jadi Ratih itu putrimu ya, Orang Tua" Pantas saja wajahnya cantik
sekali. Habis, ayahnya ganteng, sih! Tidak seperti kunyuk me-
rah itu!" tunjuk Soma pada Manusia Rambut Me-
rah. "Untung saja ayahmu bukan kunyuk merah itu. Kalau iya, bukannya tidak
mungkin gigimu pun merah. Hik hik hik...! Mengerikan sekali!"
Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan.
Belum pernah seumur hidupnya ia direndahkan
seperti itu. Apalagi yang merendahkannya hanya
seorang pemuda kemarin sore!
"Bocah sinting! Apa kau belum tahu berha-
dapan dengan siapa"!" bentak Manusia Rambut Merah garang.
"Kau..."! Ha ha ha...!" Soma tertawa. Tangan kanannya membungkam ke mulut.
"Melihat ciri-cirimu, kau pasti orang yang bergelar Kunyuk Besar Berambut Merah, bukan"
Kebetulan sekali.
Aku memang sedikit ada urusan denganmu."
Bukan main marahnya Ki Jarkasi. Tanpa
disadarinya kedua telapak tangannya hingga ke
pangkal lengan telah berubah menjadi merah me-
nyala, siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Tunggu dulu, Kunyuk Merah! Aku hanya
ingin mendengar pengakuanmu, sebelum menco-
pot nyawamu dari tubuhmu! Apa benar kau yang
telah membunuh Mahesa, Pendekar Kujang Emas
itu?" "Kalau iya, kau mau apa, Bocah Edan"!"
tantang Manusia Rambut Merah kalap.
"Bagus! Bagus! Kalau begitu, ketahuilah.
Aku adalah putra tunggal Mahesa, si Pendekar
Kujang Emas itu. Dan mengenai kedatanganku
kemari, telah kukatakan tadi. Ingin mencopot
nyawamu. Aku pikir, masa hidupnya di alam
mayapada ini sudah habis. Nah! Sekarang ber-
siaplah menerima kematianmu, Kunyuk Merah!"
Meski mengucapkan kata-kata itu dengan
gayanya yang ugal-ugalan, namun sebenarnya da-
lam diri pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu berkecamuk dendam membara.
Beberapa orang yang ada di tempat itu
sempat membelalakkan mata lebar, begitu men-
dengar pengakuan Soma. Termasuk Salindri. Na-
mun kekagetan gadis itu hanya sebentar saja.
Apalagi telinganya tadi mendengar percakapan
Soma dengan Ratih begitu mesranya. Dan entah
mengapa, hatinya jadi panas sekali.
"Ja..., jadi kau anak Mahesa, Anak Muda?"
tanya Gagak Seto agak gugup.
"Benar, Orang Tua. Ada apa" Nampaknya
kau terkejut sekali?" tanya Soma enteng.
"Ketahuilah, Anak Muda! Aku sebenarnya
masih terhitung paman tiri dari ayahmu. Dan ke-
datanganku kemari bersama putriku ini, tidak
lain ingin menuntut balas atas kematian Mahesa
beberapa tahun yang lalu," jelas Gagak Seto.
"Oh...! Benarkah?" mata Soma terbelalak lebar-lebar, seolah-olah tidak
mempercayai omongan orang berpakaian putih-putih di hadapannya.
"Benar, Anak Muda. Aku, Gagak Seto, me-
mang masih terhitung paman tiri ayahmu. Dan
kalau tidak salah, namamu Soma, bukan" Ratih
sudah beberapa kali bercerita padaku. Katanya,
kalian sudah saling kenal..."
"Benar, Pam..., eh! Eyang!" ralat Soma ce-
pat. Diam-diam hatinya senang sekali, karena ti-
dak menyangka masih mempunyai seorang pa-
man dari almarhum ayahnya. Mahesa, yang lebih
terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas.
"Benar, Soma. Meski usiaku belum terlalu
tua, aku memang masih terhitung eyangmu,"
tambah Gagak Seto lagi senang.
"Hm...," Soma mengangguk-anggukkan ke-
palanya. "Kalau begitu aku harus memanggil putrimu Bibik Ratih dong?" gumam si
pemuda seperti pada diri sendiri.
"Boleh! Boleh! Memang Ratih masih terhi-
tung bibikmu! Tapi, sudahlah! Ngobrolnya nanti
saja!" kata Gagak Seto seraya memberi isyarat ke arah Manusia Rambut Merah yang
sudah bersiap-siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Kau bilang akan mencopot nyawaku, Bo-
cah Edan" Apa kau punya nyawa rangkap se-
hingga berani berkata selancang itu"!" geram Ki Jarkasi gusar. "Kalau begitu,
terimalah pukulan
'Kelabang Geni'. Hyaaat...!"
Wesss...! Seleret sinar merah menyala meluruk dari
kedua telapak tangan Manusia Rambut Merah ke
arah Soma. "Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-
lum ajalmu tiba, Kunyuk Merah!"
Soma mengangkat kedua tangannya. Seke-
tika itu juga, seleret sinar putih terang berkeredep melesat dari kedua telapak
tangannya, memapaki
pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss! Blarrr...! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi itu.
Tanah di puncak Gunung Merapi bagai dilanda
gempa. Pohon-pohon menjadi layu seketika.
Tubuh Soma sendiri pun bergetar hebat
akibat pertemuan dua tenaga dalam itu. Sedang
tubuh Manusia Rambut Merah sempat tergoyang-
goyang dengan kedua kaki melesak ke dalam ta-
nah. Hal ini, menandakan kalau tenaga dalam
mereka hanya berselisih sedikit. Namun, masih
unggul murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Sementara Salindri yang saat itu kurang
waspada karena gemas melihat tingkah laku So-
ma pada Ratih tadi, hampir saja terkena samba-
ran angin akibat benturan dua tenaga dalam tadi.
Untung saja, tubuhnya segera ditarik oleh laki-
laki tua berpakaian tambalan di sebelahnya.
"Apa kau ingin mencari mampus di sini,
Salindri"! Mengapa kau tidak berusaha menying-
kir"!" bentak lelaki tua itu kesal, setelah berhasil mengamankan Salindri.
Salindri memberengut. Entah mengapa ga-
dis itu jadi cepat sekali naik darah.
"Sudahlah, Ayah! Apa Ayah tidak ingin ce-
pat-cepat menghajar Raja Golok dan Denok Supi
yang telah membantai murid-murid anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam?" sergah Salindri, yang ternyata putri laki-laki berpakaian
pengemis itu. Begitu laki-laki yang merupakan Ketua
Pengemis Tongkat Hitam dan bernama Ki Samiaji
ini diingatkan akan kematian murid-muridnya,
langsung saja menggeram penuh kemarahan. Dan
tanpa banyak cakap lagi, tongkat hitamnya pun
telah menyambar-nyambar ganas menyerang Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi
"Iblis-iblis tua tak tahu malu! Aku datang
menuntut balas atas kematian murid-murid ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Bersiap-siaplah ka-
lian semua menerima kematianmu hari ini!" teriak Ki Samiaji garang di antara
gulungan-gulungan
hitam tongkatnya yang terus mendesak Raja Go-
lok Dari Utara dan Denok Supi.
Sebenarnya, Ki Samiaji enggan berurusan
dengan Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Tapi berhubung mendapat laporan salah seorang
muridnya yang terlepas dari tangan maut Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi, terpaksa seba-
gai Ketua Pengemis Tongkat Hitam ia harus turun
tangan. Sedang salah seorang pengemis lainnya
yang selamat dari tangan kedua iblis tua itu, mati di tengah perjalanan setelah
ditemukan Soma dan
Salindri. Kebetulan sekali letak markas Pengemis Tongkat Hitam dengan puncak
Gunung Merapi tidak begitu jauh. Maka diiringi dua puluh orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam, Ki Samiaji pun
bergerak ke puncak Gunung Merapi
Dan kini kedua puluh orang anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam yang tadi diperintahkan
bersembunyi di lereng selatan pun mulai bergerak menyerang Raja Golok Dari Utara
dan Denok Su- pi, begitu Ki Samiaji bersuit beberapa kali.
Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi ke-
walahan bukan main, menghadapi serangan-
serangan Ki Samiaji yang dibantu Salindri dan
dua puluh orang anggota Pengemis Tongkat Hi-
tam. Bahkan mereka nyaris tidak dapat memba-
las serangan. Perlahan namun pasti kedua iblis
tua itu semakin terdesak hebat.
"Kawan-kawan! Cepat bantu menumpas
jembel-jembel busuk ini!" teriak Raja Golok Dari Utara kepada Raja Racun Dari
Selatan dan Algojo
Dari Timur. "Kalau saja tidak memandang kalian seba-
gai orang-orang satu golongan, malas aku mem-
bantumu," gerutu Raja Racun Dari Selatan dengan suara sember.
Dan sehabis berkata begitu, Raja Racun
Dari Selatan pun cepat menerjang ke arena perta-
rungan dengan pukulan-pukulan 'Telapak Tangan
Kelabang Hitam'.
Dalam waktu yang tidak lama, empat orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam itu pun sudah
tergeletak di tanah dengan sekujur tubuh meng-
hitam terkena pukulan 'Telapak Tangan Kelabang
Hitam'. Sementara, Algojo Dari Timur nampak ra-
gu-ragu untuk membantu ketiga orang kawannya.
Sebenarnya, bukannya ia tidak mau membantu.
Tapi, berhubung telah terluka dalam akibat dike-
royok tiga orang kawannya, Algojo Dari Timur jadi sakit hati. Namun di saat
tokoh sesat dari timur
ini ragu-ragu dengan apa yang akan diperbuat.
Wesss...! Tiba-tiba saja angin dingin berkesiur me-
nyerang ke arah Algojo Dari Timur, secepat kilat tubuhnya dilempar ke samping
kiri. Begitu menatap ke arah pembokong barusan, tokoh sesat dari
timur itu langsung mengenali. Pembokong itu ti-
dak lain dari orang tua bercaping pandan yang
berjuluk Raja Penyihir!
"He he he...! Gerakanmu cepat sekali. Pan-
tas saja, kau mendapat julukan Algojo Dari Ti-
mur," celoteh orang tua bercaping pandan, seolah-olah merasa tidak bersalah atas
perbuatan curangnya barusan.
Ibarat harimau dicolek pantatnya, Algojo
Dari Timur pun menggeram penuh kemarahan.
"Raja Penyihir! Di antara kita tidak ada silang sengketa. Mengapa kau
membokongku" Apa
kau pikir aku takut menghadapi ilmu sihirmu"!"
dengus Algojo Dari Timur.
"He he he...! Di antara kita memang tidak
ada silang sengketa. Toh, kau dan ketiga orang
kawanmu tetap sama saja. Sama-sama dari go-
longan sesat, golongan orang yang suka membuat
onar di dunia. Buat apa bersilat lidah?"
"Keparat! Rasakan pembalasanku ini!
Heaaa...!" teriak Algojo Dari Timur, seraya menghentakkan dua telapak tangannya
yang telah be- rubah putih menyilaukan mata hingga ke pangkal
lengannya. Namun dengan gerakan lincah, Raja
Penyihir cepat melompat ke udara. Dan....
Wesss...! Blarrr...! Batu gunung sebesar kerbau yang berada
di belakang Raja Penyihir tadi hancur berkeping-
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keping begitu terkena pukulan 'Badai Gurun Pa-
sir' milik Algojo Dari Timur.
Orang tua bercaping pandan itu mengge-
leng-geleng takjub.
Melihat serangan pertamanya gagal, Algojo
Dari Timur jadi murka. Tangan kanannya cepat
melolos parang panjang dari balik punggungnya.
Dan langsung diserangnya Raja Penyihir dengan
hebat. Gagak Seto dan Ratih yang semula ber-
maksud ingin membantu Soma, jadi mengurung-
kan niatnya. Ternyata pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu dapat mengatasi Manusia
Rambut Merah, musuh besarnya. Namun ketika
melihat beberapa orang anggota Pengemis Tong-
kat Hitam mulai jatuh bergelimpangan dengan
sekujur tubuh menghitam, Gagak Seto pun jadi
menggeram penuh kemarahan.
"Ayo, lekas kita bantu Ketua Pengemis
Tongkat Hitam itu, Ratih!" ajak Gagak Seto kepada putrinya.
Dan sehabis berkata begitu, tanpa banyak
cakap lagi Tumenggung Kerajaan Mataram itu
langsung menerjang Raja Racun dengan pedang-
nya. Ratih memberengut. Bukannya tidak mau
membantu Ketua Pengemis Tongkat Hitam, na-
mun entah mengapa begitu melihat keakraban
Soma dengan Salindri, ia jadi geram. Bahkan
membenci gadis berpakaian compang-camping
itu. "Ayo, Bibik Ratih" Mengapa kau tidak mau membantu ayahmu menghadapi tua
bangka itu"!"
teriak Soma, yang tengah sibuk menghadapi Ma-
nusia Rambut Merah itu. Pemuda itu tak bermak-
sud menggoda, saat memanggil Ratih dengan se-
butan 'bibik'. "Sekali lagi kau menyebutku Bibik Ratih,
kucongkel kedua bola matamu, Soma!" sahut Ratih kesal.
"Habis aku harus bilang bagaimana" Orang
kenyataannya kau bibikku kok?" omel Siluman Ular Putih.
"Cerewet!" sungut Ratih kesal, namun toh akhirnya mau juga membantu ayahnya
menghadapi Raja Racun Dari Selatan.
Soma lega. Sekarang pemuda ini dapat
menghadapi Manusia Rambut Merah dengan te-
nang. Ki Jarkasi gusar bukan main. Hampir de-
lapan jurus lebih tapi ia belum mampu meroboh-
kan musuhnya. Jangankan merobohkan. Me-
nyentuh seujung rambutnya pun belum.
"Hyaaat...!"
Ctarrr! Ctarrr!
Diiringi bentakan keras, Manusia Rambut
Merah melecutkan cambuknya yang menggi-
riskan. Sementara tangan kirinya telah berubah
menjadi merah menyala hingga ke pangkal len-
gan, siap melancarkan pukulan1 'Wejangan Iblis'
yang telah disempurnakan bersama gurunya di
gua Pantai Utara.
"Jangan terlalu bernafsu, Kunyuk Merah!
Aku jadi takut. Kulihat rambut merahmu berdiri
seperti landak saja. Hih...! Ngeri," ejek Soma sembari berloncatan ke sana
kemari, menghindari le-
cutan-lecutan cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah. Tubuh pemuda ini meliuk-liuk di antara
kelebatan cambuk Manusia Rambut Merah. Se-
dang kedua tangannya yang berbentuk kepala
ular pun telah memainkan jurus-jurus sakti 'Ular Kembar Mengejar Mangsa'.
Sehingga perlahan
namun pasti, Siluman Ular Putih mulai mendesak
Ki Jarkasi. Dan untuk mempertajam serangan-
serangannya, cepat dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
Manusia Rambut Merah menggereng penuh
kemarahan. Padahal jurus-jurus andalannya te-
lah dikeluarkan. Namun, tetap saja terdesak he-
bat. Mendadak telapak tangan kirinya yang telah
berwarna merah menyala cepat dilontarkan ke
tubuh Soma. Wesss! Seketika seleret sinar merah menyala mele-
sat dari telapak tangan kiri Ki Jarkasi.
Tidak ada pilihan lain. Soma yang sedang
sibuk menghindari lecutan-lecutan cambuk Ma-
nusia Rambut Merah harus cepat memapak se-
rangan dengan pukulan 'Inti Bumi'. Seketika tan-
gannya menghentak ke depan.
"Hyaaat...!"
Blarrr...! Seleret sinar putih terang berkeredepan da-
ri kedua telapak tangan Soma yang memapak pu-
kulan 'Kelabang Geni' menimbulkan ledakan dah-
syat. Tampak tubuh tinggi besar Manusia Rambut
Merah terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. Tanah di sekitar puncak Gunung Mera-
pi pun bergetar-getar hebat. Pohon-pohon layu
bagai terbakar.
Sementara itu tubuh Soma sendiri pun ter-
getar dengan kedua kaki melesak beberapa ram-
but ke dalam tanah. Namun, mulutnya tetap me-
nyunggingkan senyum nakal. Kemudian sembari
ngoceh tidak karuan, cepat diloloskannya senjata andalannya. Anak Panah Bercakra
Kembar! Maka seketika itu juga, hawa dingin yang
bukan alang kepalang memenuhi kancah pertem-
puran! Beberapa orang Pengemis Tongkat Hitam
yang berkepandaian rendah langsung menggigil
kedinginan! Malah tiga orang pengemis berpa-
kaian tambal-tambalan segera duduk bersemadi!
"Ayo, maju! Aku ingin lihat, sampai di ma-
na kehebatanmu. Jangan-jangan nama besarmu
hanyalah kosong belaka! Ayo, maju!" teriak Soma.
Siluman Ular Putih tak henti-hentinya
mengejek. Kaki kirinya ditekuk seperti orang du-
duk. Sedang kaki kanannya disilangkan ke kaki
kirinya. Sementara anak panah senjata andalan-
nya digunakan untuk menunjuk-nunjuk Manusia
Rambut Merah. Persis nenek-nenek sedang me-
marahi cucunya.
Manusia Rambut Merah menggeram penuh
kemarahan. Cambuk di tangan kanannya dipu-
tar-putar di atas kepala. Saat itu juga, serangkum angin kencang berkesiur
meluruk sebelum cambuknya bergerak maju.
"Sudahlah! Ayo, kalau mau menyerang
aku! Pakai bertingkah macam-macam lagi!" ejek Soma. Pemuda ini cepat menggeser
kaki kirinya sedikit ke kanan, menghindari sambaran angin
kencang Manusia Rambut Merah. Namun kea-
daannya masih tetap duduk ongkang-ongkang
kaki seperti tadi!
"Di...! Ih...! Kok main angin-anginan begini"
Apa kau tidak takut masuk angin, Kunyuk Me-
rah" Kudengar kau tidak mempunyai bini. Lan-
tas, siapa yang akan mengerokimu nanti?"
"Bocah edan! Belum puas aku kalau belum
meneguk darah anjingmu! Hyaaat!"
Manusia Rambut Merah benar-benar mur-
ka. Cambuk di tangan kanannya makin berkele-
bat cepat mengurung pertahanan Soma. Hebat
bukan main serangannya.
Ctarrr! Ctarrr! Namun Soma sama sekali tidak ciut nya-
linya melihat liukan-liukan cambuk di tangan to-
koh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu. Malah
tingkahnya makin ugal-ugalan. Sambil ngoceh ti-
dak karuan, Siluman Ular Putih berloncatan ke
sana kemari menghindari lecutan-lecutan cam-
buk. Tindakannya pun terlihat seperti orang
main-main. Lecutan cambuk itu hanya ditangkis
bila perlu saja.
"Ayo, Kunyuk Merah! Kejar aku...! Kejar
daku! Kau kutangkap!" ejek Soma habis-habisan.
Mulutnya yang nakal mulai bernyanyi-nyanyi ke-
girangan. Ki Jarkasi kini sadar. Meski musuhnya
masih muda, namun tidak berani memandang
ringan lagi. Maka segera dikeluarkannya ilmu an-
dalannya. Kedua kakinya segera ditekuk keba-
wah. Sedang kedua tangannya ditangkupkan ke
atas seperti orang menyembah. Itulah salah satu
pembuka jurus sakti 'Wejangan Iblis'.
"Eh eh eh...! Apa yang kau lakukan, Ku-
nyuk Merah" Kok, nungging-nungging seperti itu"
Apa mau buang hajat" Hei, jangan di sini. Sana,
pergi! Pergi!" kata, Soma seraya mengibas-
ngibaskan senjata anehnya mengusir pergi Manu-
sia Rambut Merah.
Namun mendadak saja Soma mengerutkan
keningnya dalam-dalam, saat melihat kedua tan-
gan Manusia Rambut Merah telah berubah men-
jadi merah darah sampai ke pangkal lengan. Dan
begitu tangannya yang menelungkup itu diturun-
kan, seketika itu juga berkesiur angin panas disertai bau amis yang bukan alang
kepalang! "Eh, eh...!"
Hampir saja Siluman Ular Putih tidak ta-
han dibuatnya. Namun untung saja cepat tersa-
dar. Cepat tubuhnya digulingkan ke kiri.
Serangan Manusia Rambut Merah lewat
beberapa jengkal di samping Soma. Sementara si-
nar merah yang menebarkan bau amis terus me-
nerabas. "Aaah...!"
Akibatnya dua orang pengemis berpakaian
tambal-tambalan langsung terpental disertai pe-
kikan setinggi langit. Tubuhnya yang terkena se-
rangan nyasar itu langsung hangus terbakar, tak
dapat bergerak-gerak lagi!
"Keparat...! Kau harus bertanggung jawab
atas nyawa dua orang pengemis itu, Kunyuk Me-
rah!" geram Soma penuh kemarahan.
Pemuda ini cepat meloncat tinggi ke udara.
Tangan kanannya cepat melemparkan senjata
mustikanya ke arah Manusia Rambut Merah. Se-
mentara tangan kirinya cepat melontarkan puku-
lan 'Inti Bumi'
"Hyaaat! Hyaaat...!"
Wesss! Wesss! Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih kali ini. Bagai anak panah yang lepas dari busur, senjata pusakanya
langsung melesat menyerang dengan kecepatan sulit diikuti pandan-
gan mata. Sementara satu sinar putih terang yang berkeredep menyusul di
belakangnya, tak jauh
dari senjata anak panah itu!
Menghadapi serangan yang demikian he-
bat, Manusia Rambut Merah cepat melempar tu-
buhnya ke samping kanan. Senjata pusaka Pe-
muda itu berhasil dihindari. Dan bersamaan den-
gan itu, tangan kirinya yang makin berwarna me-
rah darah cepat menyambut pukulan 'Inti Bumi'
Siluman Ular Putih.
Wesss! Blarrr...! Terdengar benturan keras di udara. Tubuh
Soma bergetar hebat akibat bentrokan tenaga da-
lam barusan. Wajahnya menegang. Bibirnya ber-
kemik-kemik penuh kemarahan.
Sementara pada saat yang sama, senjata
anak panah Siluman Ular Putih yang tadi luput
mengenai sasaran, entah mendapat tenaga gaib
dari mana, tahu-tahu telah membalik. Kini kem-
bali menyerang Manusia Rambut Merah dengan
kecepatan luar biasa!
Mata Manusia Rambut Merah melotot le-
bar-lebar. Saking marahnya, ia tidak sempat
mengeluarkan kata-kata lagi. Kedua kakinya yang
melesak ke dalam tanah, tahu-tahu telah mence-
lat tinggi ke udara. Cambuk di tangan kanannya
kini mulai menegang penuh berisi tenaga dalam.
Dalam keadaan melayang-layang seperti itu, Ki
Jarkasi terus menyerang Soma hebat, sekaligus
menghindari serangan anak panah.
Sementara itu pertarungan di tempat lain
pun tak kalah seru dibandingkan pertarungan
Soma melawan Manusia Rambut Merah. Ki Sa-
miaji yang bertempur hebat melawan Raja Golok
Dari Utara, merasa penasaran sekali. Setelah, sekian jurus berlangsung, musuhnya
belum juga di- robohkan. Demikian juga Gagak Seto yang ber-
tempur hebat melawan Raja Racun. Sedang Sa-
lindri dan Ratih, nampak agak sungkan harus
saling bahu membahu menghadapi Denok Supi.
Padahal, mereka telah dibantu sebelas orang ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Namun tetap be-
lum mampu melumpuhkan tokoh sesat dari barat
itu. Sementara itu Raja Penyihir yang mengha-
dapi Algojo Dari Timur telah mengeluarkan ilmu-
ilmu sihirnya. Dan ini membuat tokoh sesat dari
timur itu mulai gentar. Apalagi setelah Raja Pe-
nyihir berubah wujud menjadi raksasa hitam
mengerikan. Tentu saja Algojo Dari Timur jadi ciut nya-
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
linya. Menghadapi Raja Penyihir dalam bentuk as-
linya saja, ia sudah kewalahan. Apalagi kini
menghadapi raksasa hitam jelmaan orang tua
bercaping pandan itu. Maka tanpa pikir panjang
lagi, Algojo Dan Timur pun segera mengambil
langkah seribu. Tubuhnya berkelebat cepat, me-
ninggalkan puncak Gunung Merapi
Raksasa hitam jelmaan Raja Penyihir
hanya tertawa-tawa berkakakan. Kemudian per-
lahan-lahan puluhan tubuhnya menciut kembali
menjelma menjadi orang tua bercaping pandan.
"Ha ha ha...! Baru segitu saja sudah lari
tunggang langgang!" omel orang tua bercaping
pandan itu di antara suara tawanya yang berge-
lak. "Eh..., eh! Tapi, mana bocah sinting calon muridku?"
Raja Penyihir celingukkan ke sana kemari
mencari-cari Soma. Dan ketika dilihatnya pemuda
yang sedang dicarinya sedang bertempur hebat
melawan Manusia Rambut Merah, buru-buru ia
meloncat mendekati kancah pertarungan, dan
duduk ongkang-ongkang kaki menonton jalannya
pertarungan. Sesekali mulutnya bersorak-sorak
kegirangan menyaksikan calon muridnya dapat
mengerjai lawannya dengan sikap ugal-ugalan.
"Ayo, Calon Muridku! Gebuk pantatnya!
Jambak rambutnya sampai protol. Cabuti semua
bulu kumis dan jenggotnya yang merah itu. Seka-
lian alis matanya, biar jadi memedi sawah!" teriak Raja Penyihir kegirangan.
"Baik, baik! Akan kulakukan semua perin-
tahmu, sebelum aku mengirim nyawanya pada
Raja Akhirat, Orang Tua. Tapi ngomong-ngomong,
siapa yang sudi menjadi muridmu?" teriak Soma menanggapi ocehan Raja Penyihir
sambil bertarung. "Eh eh eh...! Jadi kau membangkang tidak mau menjadi muridku,
ya"!" teriak orang tua itu gusar. Sekarang Raja Penyihir tidak lagi duduk
ongkang-ongkang kaki seperti tadi, melainkan
sudah berdiri berkacak pinggang di luar kancah
pertarungan. Kali ini Soma tidak lagi menanggapi. Perha-
tiannya kini dipusatkan kepada Manusia Rambut
Merah untuk melaksanakan apa yang baru saja
diperintahkan Raja Penyihir. Segera pemuda ini
memasang kuda-kuda, siap memainkan jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
"Kunyuk Merah! Bersiap-siaplah kujadikan
memedi sawah seperti yang dikatakan orang tua
sinting itu!" ancam Soma, langsung mencelat tinggi ke udara menyerang Manusia
Rambut Merah. Ki Jarkasi menggerutukkan gerahamnya
kuat-kuat. Kedua tangannya yang telah berubah
merah menyala hingga ke pangkal lengan siap
menyambut serangan.
Siluman Ular Putih bukannya mengendur-
kan serangannya, malah semakin mempercepat
gerakan kedua tangannya. Begitu Manusia Ram-
but Merah melepas pukulan 'Wejangan Iblis'-nya
yang menebarkan bau amis, Soma segera me-
nangkisnya dengan pukulan 'Inti Bumi'-nya. In-
ilah siasatnya untuk mengerjai Ki Jarkasi.
Wesss...! Bllarrr...! Terdengar ledakan dahsyat akibat perte-
muan dua kekuatan tenaga dalam tinggi.
Manusia Rambut Merah terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Soma
sendiri hanya tergetar saja. Dan di saat Ki Jarkasi belum sempat berbuat apa-
apa, tangan kanan
pemuda ini cepat bergerak ke depan mencabut
rontok kumis laki-laki tinggi besar itu.
"Augh...!" pekik Manusia Rambut Merah
melengking. Kumisnya yang tercabut tadi lang-
sung memerah, mengeluarkan darah segar.
Soma tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
Orang tua bercaping pandan yang semula
sangat gusar dengan penolakan Soma, kini mulai
tertawa-tawa senang.
"Nah, nah...! Itu hadiahnya, karena kau te-
lah lancang membunuh Pendekar Kujang Emas,
ayahku!" celoteh Soma. "Sekarang, lihatlah serangan berikutnya! Mungkin bukan
saja rambutmu yang rontok. Malah, bisa juga nyawamu yang me-
layang. Hati-hatilah, Kunyuk Merah!"
Geraham Ki Jarkasi bergemelutuk. Tiba-
tiba saja tubuhnya diputar cepat sekali seperti
gasing. Seketika itu juga, tanah di puncak Gu-
nung Merapi itu membuncah tinggi, ke udara.
Dan bersamaan dengan itu, tahu-tahu tubuhnya
telah amblas ke dalam bumi!
"Eh...! Mau ngapain" Kok, malah main pe-
tak umpet?" tanya Soma, heran. Namun ketika menyadari kalau Manusia Rambut Merah
adalah guru Prameswara yang dapat amblas bumi itu,
pemuda ini jadi garuk-garuk kepala.
"Awas, Bocah Edan! Ia mulai menyerang-
mu!" teriak Raja Penyihir memperingatkan.
Memang benar apa yang dikatakan orang
tua bercaping pandan itu. Tanah tempat Manusia
Rambut Merah amblas bumi tadi mulai bergerak-
gerak cepat mendekati. Soma menunggunya se-
bentar. Dan begitu tanah yang bergerak-gerak di
bawahnya makin dekat, buru-buru Siluman Ular
Putih melompat tinggi ke udara.
Seperti yang telah diduga ketika mengha-
dapi Prameswara, Manusia Rambut Merah pasti
akan muncul kembali ke udara dan melancarkan
serangan mautnya. Dan ternyata perhitungan
pemuda ini benar. Begitu tanah di bawahnya
membuncah, langsung dikirimkannya pukulan
'Inti Bumi' dan 'Inti Api' secara bersamaan pada bayangan merah yang baru muncul
dari dalam tanah dengan sebuah serangan berupa sinar me-
rah darah. Wesss! Wesss! Dua leret sinar putih terang berkeredepan
dan merah menyala dari kedua telapak tangan
Soma, cepat menghantam seleret sinar merah da-
rah dari kedua telapak tangan Manusia Rambut
Merah. Akibatnya....
Blarrr...! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam kedua orang itu kali ini, karena sama-sama mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya. Beberapa orang yang sedang bertempur
pun dapat merasakan hawa panas akibat perte-
muan dua tenaga dalam tadi. Namun, itu hanya
sebentar. Setelah hawa panas itu menghilang,
mereka kembali melanjutkan pertarungan.
Sementara itu Manusia Rambut Merah
yang sempat terhuyung-huyung beberapa langkah
ke belakang langsung memuntahkan darah segar.
Jelas, Ki Jarkasi menderita luka dalam yang cu-
kup lumayan. Mendapati kenyataan ini, hatinya
jadi gusar sekali. Apalagi ketika melihat ketiga datuk sesat yang telah menjadi
anak buahnya mulai
terdesak hebat oleh musuh-musuhnya.
Sedang Algojo Dari Timur pun sudah tak
terlihat lagi batang hidungnya.
Pada saat itu pula Denok Supi tengah
mengamuk hebat dengan jarum-jarum beracun-
nya. Seketika itu juga, beberapa orang pengemis
berpakaian tambal-tambalan jatuh bergelimpan-
gan ke tanah, tak mampu bangun lagi. Mati! Na-
mun Denok Supi sendiri pun harus menebusnya
dengan mahal. Ia harus merelakan tangan kirinya
yang buntung akibat terbabat pedang di tangan
Gagak Seto yang turun membantu putrinya.
Melihat keadaan tiga orang kawannya yang
kurang menguntungkan. Tanpa banyak pikir pan-
jang lagi Manusia Rambut Merah yang sudah ter-
luka parah langsung berbalik. Begitu kaki kanan-
nya ke tanah, tubuhnya berkelebat cepat dan le-
nyap dalam kegelapan malam.
"Hei...! Kunyuk Merah mau lari ke mana
kau"!" teriak Soma gusar.
Pemuda ini tak menyangka kalau musuh
besarnya akan lari meninggalkannya. Maka sece-
patnya kakinya menjejak tanah dan berkelebat
mengejar. Namun baru beberapa langkah me-
ninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja sebuah
bayangan hitam memanjang telah melibat leher-
nya! "Heit...! Tunggu dulu! Kau tidak boleh me-
ninggalkan tempat ini begitu saja! Aku harus
mendengar kesanggupanmu. Maukah kau menja-
di muridku"!" cegah Raja Penyihir tanpa mempedulikan kemarahan Soma.
"Ya, ampun! Kau lihat! Musuh besar yang
telah membunuh ayahku melarikan diri. Aku be-
lum puas kalau belum membunuhnya, Orang
Tua! Tapi mengapa kau menghalang-halangi
langkahku?" maki Soma gusar bukan main. Ke-
dua tangannya bergerak-gerak, membabat putus
bayangan hitam yang memanjang. Namun aneh-
nya, bayangan hitam yang mengikat lehernya ma-
lah semakin kencang mencekik lehernya.
"He he he...! Kau tidak mungkin dapat
memutuskan 'Tali Gaib'-ku, Bocah Edan!" ejek orang tua bercaping pandan itu di
antara suara tawanya. "Orang tua! Sebenarnya apa yang kau in-
ginkan?" bentak Soma kewalahan tak dapat memutuskan 'Tali Gaib' buatan Raja
Penyihir. "Seperti yang telah kukatakan tadi, aku
hanya ingin tanya apakah kau mau menjadi mu-
ridku" Tapi kalau seandainya saja menolak, tak
mungkin aku mau melepaskan 'Tali Gaib'-ku.
Ayo, sekarang jawab! Bersediakah menjadi mu-
ridku?" "Tapi..., tapi, aku harus menyelesaikan masalahku dulu dengan Kunyuk
Merah itu, Orang Tua," sergah Soma kesal.
"Baik. Aku akan melepaskanmu. Asal mu-
lai sekarang, kau harus memanggilku guru. Mau
kan?" "Baik, Orang Tua," sahut Soma kesal.
"Guru! Panggil aku guru, tahu!"
"Ba..., baik, Guru!" ulang Soma ragu-ragu.
Orang tua bercaping pandan itu tertawa-
tawa kegirangan. Lalu, dilepaskannya 'Tali Gaib'-
nya yang mengikat leher Soma.
"Nah! Sekarang kau boleh mengejar musuh
besarmu itu. Mungkin ia lari ke tempat pertapaan gurunya di gua Pantai Utara,
tak jauh dari Hutan Asem Arang," jelas Raja Penyihir, membuat keka-lutan Soma
sedikit berkurang.
"Baik, Guru! Sekarang juga aku akan men-
gejarnya ke sana!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun segera
berkelebat cepat meninggalkan puncak Gunung
Merapi. "Tunggu dulu, Muridku! Aku juga masih
punya urusan barang satu jurus dengan si tua
bangka Jerangkong Hidup itu," teriak Raja Penyihir lantang.
Soma yang sedang kesal karena musuh be-
sarnya kabur, tidak mempedulikan ocehan calon
gurunya. Pemuda itu terus saja berlari kencang,
meninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Murid sinting! Murid sunting...!" maki Raja Penyihir sambil membanting-banting
kaki kanannya kesal.
Sementara itu pertempuran di puncak Gu-
nung Merapi masih berjalan seru. Meski tangan
kanan Denok Supi buntung, namun masih bisa
mendesak lawan-lawannya hebat. Ratih dan Sa-
lindri kewalahan bukan main. Entah sudah bera-
pa kali kedua gadis cantik itu terpaksa berjumpalitan di udara menghindari
jarum-jarum hijau
yang berkeredepan milik Denok Supi.
Serrr! Serrr! Bukan main kagetnya Ratih dan Salindri
melihat sinar hijau berkeredep yang demikian ba-
nyaknya. Tak mungkin mereka dapat menghin-
dar. Namun, mendadak saja serangkum angin
dingin lagi-lagi memukul rontok jarum-jarum hi-
jau milik Denok Supi.
"Lagi-lagi kau yang menghalang-halangi se-
rangan-seranganku, Gagak Seto!" bentak Denok Supi penuh kemarahan. Tangan
kanannya cepat menyebar jarum-jarum hijaunya ke arah Gagak
Seto. Gagak Seto yang saat itu sedang sibuk
menghadapi serangan-serangan Raja Racun Dari
Selatan hanya tersenyum. Dengan sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh
tinggi tegapnya telah mencelat ke udara menghin-
dari serangan-serangan jarum hijau milik Denok
Supi. Pada saat melayang-layang seperti itu, tangan kiri yang telah berubah
menjadi kuning hing-
ga sampai ke pangkal lengan, cepat didorong ke
depan memapak pukulan 'Telapak Tangan Kela-
bang Hitam' milik Raja Racun Dari Selatan. Se-
dang tangan kanannya cepat memutar pedang
sedemikian rupa, menangkis jarum-jarum hijau
Denok Supi yang masih terus meluruk cepat.
Wesss! Wesss! Serrr! Serrr! Blarrr...! Terdengar ledakan keras di udara. Tubuh
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gagak Seto yang masih melayang-layang di udara
bergetar hebat, dan langsung mencelat tinggi ke
udara akibat bentrok dengan pukulan 'Telapak
Tangan Kelabang Hitam' milik Raja Racun Dari
Selatan. Kalau saja tidak membagi serangannya,
belum tentu paman tiri Pendekar Kujang Emas
dapat dibuatnya sempoyongan seperti itu oleh Ra-
ja Racun Dari Selatan. Buktinya, meski sesekali
membantu teman-temannya yang terdesak hebat
oleh musuh-musuhnya, toh tetap saja Raja Racun
Dari Selatan belum mampu merobohkannya.
Dan di saat tubuhnya mencelat tinggi ke
udara itu, Gagak Seto kembali memainkan jurus
saktinya 'Pedang Sakti Bintang Emas'. Tubuhnya
yang semula melayang-layang di udara, cepat
menukik tajam menyerang Denok Supi dengan
kecepatan mengagumkan.
"Ah...!" pekik Denok Supi tertahan.
Namun, bukan berarti tokoh sesat dari ba-
rat ini jadi gugup. Begitu melihat pedang di tangan Gagak Seto berkelebat hendak
menusuk ubun-ubun kepalanya, wanita genit ini cepat me-
lempar tubuhnya ke samping sambil kembali me-
nyebar jarum-jarum racunnya.
Sedang Raja Racun Dari Selatan yang me-
lihat kawannya kewalahan, segera menerjang be-
gitu pendekar dari Keraton Mataram itu menje-
jakkan kedua kakinya di tanah.
Namun belum sempat Raja Racun Dari Se-
latan melaksanakan niatnya, mendadak Ratih
dan Salindri telah menerjang dengan pedang di
tangan. Sehingga, tokoh sesat dari selatan itu terpaksa mengalihkan serangan ke
arah dua lawan barunya. Sementara itu, meski Ki Samiaji dibantu
kedua puluh orang muridnya yang kini hanya
tinggal empat orang, masih saja belum mampu
mengatasi serangan-serangan Raja Golok Dari
Utara. Bahkan keadaannya dan empat orang mu-
ridnya sangat mengkhawatirkan. Sedang untuk
meminta bantuan Gagak Seto maupun muridnya,
jelas tidak mungkin. Karena mereka sama-sama
tengah sibuk bertarung.
"Raja Penyihir!"
Begitu Ki Samiaji melihat Raja Penyihir
yang sedang ngoceh tak karuan karena kesal di
tinggal kabur Soma, cepat berteriak memanggil
orang tua bercaping pandan itu.
"Cepat bantu kami menghajar iblis-iblis
tengik ini, Raja Penyihir!" teriak Ki Samiaji.
Raja Penyihir langsung menoleh. Matanya
yang lebar memperhatikan jalannya pertempuran
itu sebentar. Lucu sekali sebenarnya. Karena,
orang tua aneh itu nampak ogah-ogahan.
Ki Samiaji yang melihat ulah Raja Penyihir
jadi cemas. Namun belum sempat mengeluarkan
teriakannya kembali....
"Tahan senjata! Siapapun yang tidak me-
nuruti perintahku, aku tidak segan-segan lagi melemparkan tubuh kalian dari
puncak Gunung Me-
rapi ini!" bentak Raja Penyihir dengan suara bergetar aneh, menyerang jalan
pikiran semua orang
yang berada di puncak Gunung Merapi.
Ajaib sekali! Begitu mendengar bentakan
Raja Penyihir, entah mengapa tiba-tiba saja se-
mua orang yang berada di puncak Gunung Mera-
pi menghentikan serangan. Semula, tubuh mere-
ka sempat bergetar hebat seperti ada kekuatan
gaib yang membuat tubuh sulit digerakkan. Dan
akhirnya, tidak bisa digerak-gerakkan sama seka-
li! Semua orang yang ada di sini sama-sama
terbelalak seolah tidak mempercayai apa yang di-
alami. Dan dari mata yang terbelalak lebar, wajah Denok Supi, Raja Racun Dari
Selatan dan Raja
Golok Dari Utara kontan menjadi pucat pasi!
"Bagus! Bagus! Rupanya kalian anak-
anakku yang penurut semua!" ujar Raja Penyihir.
"Nah, sekarang dengar! Kalian bertiga, Iblis-iblis Tengik! Hari ini nyawa tengik
kalian kuampuni.
Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum pikiranku
berubah!" hardik Raja Pengemis garang, tidak lagi dipenuhi kekuatan batinnya.
Semua orang yang ada di sini kembali ter-
belalak lebar, seolah-olah tidak percaya kalau tubuh kaku mereka dapat kembali
digerakkan da- lam waktu yang demikian singkat. Dan begitu da-
pat bergerak, Denok Supi, Raja Golok Dari Utara
maupun Raja Racun Dari Selatan pun segera ber-
kelebat meninggalkan tempat itu.
"Raja Penyihir! Mengapa kau biarkan kabur
iblis-iblis keji itu"!" tanya Ki Samiaji kecewa bukan main melihat musuh yang
telah membantai
banyak murid-muridnya dibiarkan pergi begitu
saja. "Itu bukan urusanku!" sahut orang tua aneh bergelar Raja Penyihir itu
galak. "Gara-gara mengurus kalian, aku jadi ketinggalan beberapa
langkah oleh calon muridku itu!"
Sehabis berkata demikian, Raja Penyihir
cepat berkelebat menyusul muridnya.
"Terima kasih atas bantuanmu tadi, Gagak
Seto...," ucap Ki Samiaji. Nada suaranya kaku sekali. "Jangan terlalu berbasa-
basi, Samiaji! Sudah sewajarnya kita penghuni alam mayapada ini
harus saling tolong-menolong, saling kasih men-
gasihi," sergah Gagak Seto kalem.
Ki Samiaji hanya bisa mengangguk-
angguk. Namun wajahnya yang menegang tetap
saja masih menyimpan kesedihan dan kekesalan.
Sementara itu Ratih dan Salindri yang tadi
melihat Soma telah berlari turun gunung menge-
jar Manusia Rambut Merah, hanya bisa membe-
rengut kesal. Mata mereka tak henti-hentinya te-
rus memandangi ke arah lenyapnya bayangan
pemuda tadi. "Romo! Apakah kita tidak menyusulnya?"
tanya Ratih pada ayahnya tiba-tiba.
Gagak Seto tersenyum. Ia maklum, apa
yang tengah dialami putrinya.
"Romo kira, Soma tidak kesulitan mengha-
dapi orang yang telah membunuh ayahnya,
Anakku! Sebaiknya, kita pulang saja ke kota raja untuk memperdalam ilmu silatmu.
Lain kali, baru
kau boleh melanjutkan pengembaraanmu," ujar Gagak Seto arif.
Ratih makin memberengut kesal.
"Aku pamit dulu, Samiaji. Lain kali kalau
ke kotaraja, singgahlah ke rumah kami! Selamat
tinggal!" ucap Gagak Seto lagi, seraya meraih lengan putrinya. Dan mereka segera
berkelebat me- ninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Tentu saja, Gagak Seto!" ujar Ki Samiaji seraya mengangguk-angguk.
Kemudian ketika bayangan Gagak Seto dan
putrinya telah berkelebat di antara kegelapan malam, Ki Samiaji pun segera
perintahkan keempat
orang murid dan putrinya untuk mengubur mayat
murid-muridnya yang lain.
7 Manusia Rambut Merah terus berlari ken-
cang meninggalkan puncak Gunung Merapi.
Hampir setengah malaman Ki Jarkasi berlari ken-
cang menuju utara, yang tidak lain ingin mene-
mukan Jerangkong Hidup gurunya di gua karang
di Pantai Utara!
Pagi itu matahari baru saja menampakkan
sinarnya yang merah kekuning emasan di ufuk
timur. Ramainya kicau burung camar yang ter-
bang menuju laut lepas semakin memantapkan
lahirnya pagi hari itu.
Ki Jarkasi tengah berlari kencang mende-
kati batu karang berbentuk pedang di pinggir
pantai. Begitu langkahnya terhenti pada jarak
dua tombak di depan batu karang, kepalanya ce-
lingukan sebentar. Sepertinya ia takut kalau ada orang lain yang melihat
perbuatannya. Dan belum
juga Manusia Rambut Merah melangkah kemba-
li.... "Manusia Rambut Merah keparat! Berhari-hari aku mencarimu, tapi baru
sekarang unjuk gigi, he"!"
Manusia Rambut Merah tersentak kaget
saat terdengar bentakan dari belakang. Tubuhnya
cepat diputar. Tahu-tahu di depannya telah berdi-ri seseorang berpakaian biru-
biru dengan cadar
penutup wajahnya yang juga berwarna biru. Di
tangan kanannya tergenggam sebilah pedang.
"Perempuan Bercadar Biru...!" desis Manusia Rambut Merah, sedikit lega.
"Bagus! Kalau masih ingat aku. Sekarang
aku mau tanya, mana muridku"! Lekas kembali-
kan!" bentak tokoh wanita dari Pulau Karimunjawa ini garang.
"Ha ha ha...! Sayang! Sayang sekali, mu-
ridmu yang cantik telah menjadi bangkai, Perem-
puan Bercadar Biru!" sahut Manusia Rambut Me-
rah, bernada mengejek.
"Anjing kurap budukan! Aku harus menun-
tut balas atas kematian muridku," pekik Perempuan Bercadar Biru itu kalap.
Langsung tubuh-
nya meluruk. Tangan kanan yang memegang pe-
dang panjang itu telah berkelebat cepat menye-
rang Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi menarik ujung bibirnya. Meski
sebenarnya sedang terluka parah, namun gerakan
tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu terlihat
masih lincah saat berloncatan kesana kemari
menghindari serangan.
"Lebih baik kau bunuh diri saja, Perem-
puan Bercadar Biru! Kau tak mungkin dapat
mengalahkanku. Pergilah! Sana...!"
Sehabis berkata demikian, Ki Jarkasi ber-
kelebat mendekati wanita itu. Dan tiba-tiba telapak tangan kanannya dihantamkan
ke punggung Perempuan Bercadar Biru. Dan....
Bukkk! "Aaakh...!"
Perempuan Bercadar Biru terjajar beberapa
tombak ke samping kanan. Wajahnya pucat pasi.
Bibirnya bergetar-getar, pertanda isi dadanya ter-guncang.
"Demi kehormatan muridku, aku akan
mengadu nyawa denganmu Manusia Rambut Me-
rah!" desis Perempuan Bercadar Biru.
Tokoh dari Pulau Karimunjawa itu nekat
menerjang Manusia Rambut Merah, mengguna-
kan jurus-jurus andalannya. Namun sayang yang
dihadapinya kali ini bukanlah tokoh silat kemarin sore. Manusia Rambut Merah
adalah tokoh berkepandaian sangat tinggi. Sehingga wajar saja kalau serangan-
serangan perempuan itu mudah se-
kali dimentahkan. Bahkan telapak tangan kanan
Ki Jarkasi yang telah memerah, siap mengirimkan
pukulan kejinya ke dada Perempuan Bercadar Bi-
ru. Wesss! Perempuan Bercadar Biru memekik terta-
han. Tak mungkin lagi serangan Manusia Rambut
Merah dihindari. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Kini yang bisa dilakukan hanya memejamkan ma-
ta. Pasrah! Namun di saat yang paling genting ba-gi keselamatannya, tiba-tiba
saja.... Wesss! Seleret sinar putih terang berkeredep yang
entah dari mana datangnya, langsung memapaki
pukulan 'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut
Merah! Blarrr...!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
liar. Tubuhnya yang tinggi kekar terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang dengan
darah segar membasahi bibirnya.
"Ha ha ha...! Selamat berjumpa kembali,
Kunyuk Merah! Dan juga kau, Perempuan Berca-
dar Biru! Tapi, berhubung aku sedang mendapat
tugas dari Raja Akhirat untuk mencabut nyawa
Kunyuk Merah ini, terpaksa aku harus menyele-
saikan tugasku dulu," kata seorang pemuda tam-
pan bercelana dan berompi putih keperakan ber-
sisik, yang tadi menahan pukulan 'Kelabang Geni'
milik Manusia Rambut Merah. Pemuda itu tak
lain memang Siluman Ular Putih.
Dan sehabis berkata begitu, Soma yang
sudah geram sekali langsung melesat, menyerang
Manusia Rambut Merah. Tidak tanggung-
tanggung langsung dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'
Dukkk! Dukkk! "Augh...!" jerit Manusia Rambut Merah setinggi langit.
Tokoh sesat ini memang sudah luka parah
setelah bertarung dengan Siluman Ular Putih se-
belumnya. Jadi, mana mungkin dapat menangkis
serangan-serangan. Maka tanpa ampun lagi tu-
buh tinggi besarnya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang.
Soma tidak mau mempedulikan lagi kea-
daan Ki Jarkasi yang sudah terluka parah dan te-
rus saja menyerang dengan hebat. Namun baru
beberapa jurus menyerang, mendadak tanah di
sekitar tempat itu bergetar-getar hebat. Dan....
Brolll!
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak lama kemudian, tanah yang berge-
rak-gerak telah membuncah tinggi ke udara ber-
sama munculnya sesosok bayangan putih-putih
dari dalam tanah.
"Guru...!" teriak Manusia Rambut Merah yang sudah kepayahan. Hatinya kini
sedikit lega, saat melihat kehadiran satu sosok kurus kering
berwajah mengerikan.
Laki-laki berusia sangat tua itu hanya
mendengus. Aneh sekali suaranya. Kedua bibir-
nya pun sama sekali tidak bergerak-gerak.
Manusia Rambut Merah yang melihat ke-
datangan laki-laki menyeramkan yang memang
gurunya itu langsung kembali timbul semangat-
nya. Dengan tertawa-tawa sumbang segera me-
nyerang Soma. Dan ternyata, sosok berjuluk Je-
rangkong Hidup itu sendiri pun turut pula mem-
bantu muridnya.
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Tangan kanannya cepat mencabut ke-
luar senjata andalannya. Anak Panah Bercakra
Kembar. Maka seketika itu juga hawa dingin
menggigit tulang menebar ke sekitarnya. Bahkan
Perempuan Bercadar Biru yang berdiri di sudut
batu karang langsung menggigil kedinginan!
Dan begitu merasakan angin dingin berke-
siur menyerang tubuhnya, Soma langsung meng-
genjot kedua kakinya ke tanah. Di saat tubuhnya
melayang-layang tinggi, cepat senjata pusakanya
dilemparkan ke arah Manusia Rambut Merah.
Sedang tangan kirinya yang telah memutih hingga
ke pangkal lengan, siap pula mengirimkan puku-
lan 'Inti Bumi'
Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih ini. Bagai anak panah yang lepas dari bu-
sur, senjata pusaka pemuda itu melesat menye-
rang Ki Jarkasi dengan kecepatan sulit sekali diikuti pandangan mata. Sementara,
satu sinar pu- tih terang berkeredep dari tangan kirinya menyu-
sul di belakang, tak jauh dari senjata anak panah itu! Meski dengan susah payah,
Manusia Rambut Merah cepat menggulingkan tubuhnya ke
samping, menghindari serangan anak panah. Se-
mentara Jerangkong Hidup memapak pukulan
'Inti Bumi' dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss! Blarrr...! Terdengar benturan keras akibat perte-
muan dua tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh Si-
luman Ular Putih terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Wajahnya menegang. Bibir-
nya berkemik-kemik penuh kemarahan.
Pada saat ini, laksana sebuah rencong,
senjata Anak Panah Bercakra Kembar yang tadi
luput mengenai sasaran, entah mendapat tenaga
gaib dari mana, tiba-tiba saja telah berputar balik ke arah Soma. Dan si pemuda
yang sedang terhuyung-huyung cepat menangkapnya.
Tap! Begitu senjata pusaka itu telah kembali di
tangan, Siluman Ular Putih pun kembali melem-
parkannya diiringi sinar putih terang yang berkeredep menyerang Manusia Rambut
Merah dan gu- runya. Ki Jarkasi dan Jerangkong Hidup hanya
tersenyum mengejek. Dan dengan gerakan-
gerakan kedua kaki dan tangan yang cepat, murid
dan guru itu pun dapat mematahkan serangan,
sekaligus menyerang balik.
Kini perlahan namun pasti, Soma mulai
terdesak hebat. Jangankan untuk membalas se-
rangan. Untuk menghindari saja susah sekali.
Bahkan entah sudah berapa kali tubuhnya yang
tinggi tegap itu harus jumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan kedua
iblis itu. Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Pada akhirnya, serangan Manusia Rambut
Merah dan Jerangkong Hidup dapat mendarat te-
lak di tubuh Soma. Seketika itu juga tubuh pe-
muda ini terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang disertai muntahan darah segar.
"Huaaah,..!"
Soma menggeram penuh kemarahan. Tan-
pa disadari saat amarahnya tidak dapat dikenda-
likan, tiba-tiba saja sekujur tubuh pemuda ini
mulai dipenuhi asap putih tipis. Sehingga pada
akhirnya, bayangan tubuhnya tidak kelihatan
sama sekali! Dan saat asap putih tipis itu menghilang tertiup angin, tiba-tiba
saja dari asap putih tipis itu terlihat bayangan sesosok ular putih sebesar
pohon kelapa, tengah menggeliat-geliat hebat! "Gggeeerrr...!"
"Siluman Ular Putih...!" desis Manusia Rambut Merah dan Jerangkong Hidup hampir
berbarengan. "Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendadak mencelat
tinggi ke udara, langsung menerjang Manusia
Rambut Merah dan Jerangkong Hidup.
Di lain tempat, Perempuan Bercadar Biru
membelalakkan matanya lebar-lebar. Wanita yang
berdiri menggigil di sudut batu karang dengan
wajah pucat ini benar-benar dibuat terkejut bu-
kan main. Tidak disangka sama sekali kalau pe-
muda sinting yang pernah menggodanya di luar
Hutan Sawo Kembar ternyata Siluman Ular Putih
yang saat ini jadi buah bibir kalangan persilatan.
"Sungguh tidak kusangka kalau pemuda
sinting ini yang mendapatkan julukan Siluman
Ular Putih...," desah Perempuan Bercadar Biru, penuh kagum.
Sepasang mata wanita ini yang tersem-
bunyi di balik cadar biru penutup wajahnya, tak
henti-hentinya terus mengikuti pertarungan hi-
dup mati di hadapannya. Betapa dilihatnya Silu-
man Ular Putih sudah pula membelit tubuh Ma-
nusia Rambut Merah dengan mulut siap meren-
cah. Selang beberapa saat lamanya kemudian....
"Aaa...!"
Terdengarlah lengking kematian Manusia
Rambut Merah yang telah dilempar keluar dari
kancah pertarungan dengan sekujur tubuh terca-
bik-cabik mengerikan. Sedangkan pada saat itu,
tubuh Siluman Ular Putih sendiri pun terlempar
pula, setelah sebelumnya ketika tengah memang-
sa Manusia Rambut Merah, Jerangkong Hidup
menghantamnya dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendesis hebat. Tu-
buhnya yang terlempar keluar kancah pertarun-
gan cepat menggeliat ke belakang siap kembali
menerjang Jerangkong Hidup. Namun sebelum
tubuhnya bergerak....
"Bagus, Muridku! Ternyata kau sudah da-
pat menggebuk Kunyuk Merah itu sampai mam-
pus. Sekarang kau minggirlah! Si tua bangka Je-
rangkong Hidup ini giliranku."
Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang
menegur Siluman Ular Putih. Dan tahu-tahu, di
tengah-tengah antara Siluman Ular Putih dan Je-
rangkong Hidup berdiri seorang laki-laki tua bercaping pandan.
"Tua bangka Raja Penyihir! Kau rupanya!
Hm.... Majulah sekalian kalau ingin mampus!"
bentak Jerangkong Hidup tanpa menggerak-
gerakkan bibirnya sama sekali.
"Tunggu dulu, Jerangkong Hidup! Di anta-
ra kita memang masih ada urusan. Tapi, tunggu
dulu ya! Aku harus mengamankan muridku ini."
Sehabis berkata begitu, orang tua bercap-
ing pandan yang memang Raja Penyihir telah
menggerakkan tangan kanannya ke depan. Dan
dari telapaknya tiba-tiba meluncur bayangan hi-
tam memanjang dan langsung mengikat tubuh Si-
luman Ular Putin! Lalu, saat itu juga tubuhnya
meluruk, menyerang Jerangkong Hidup.
Siluman Ular Putih menggeliat-geliat hebat.
Seketika itu juga sekujur tubuhnya mulai diseli-
muti asap putih tipis, hingga jadi tidak kelihatan sama sekali. Dan saat asap
putih tipis tersapu
angin tampak seorang pemuda tampan bercelana
dan rompi bersisik warna putih keperakan tengah
memegangi dadanya menahan sakit. Sementara
darah segar tampak telah membasahi bibir pe-
muda itu akibat pukulan 'Kelabang Geni' milik
Jerangkong Hidup tadi
"Hukk! Hukkk! Sial! Sial! Bagaimana aku
harus melarikan diri dari orang tua itu"! Rupanya orang tua itu telah mengikatku
dengan 'Tali Gaib'.
Huh!" gerutu Soma kesal. Dan lebih kesalnya lagi ketika melihat pangkal 'Tali
Gaib' itu diikat pada kaki kiri Raja Penyihir yang sedang bertempur
hebat melawan Jerangkong Hidup.
"Aku sumpahin mampus di tangan Jerang-
kong Hidup kau, Orang Tua!" omel Soma kesal.
Raja Penyihir tidak mempedulikan ocehan
Soma. Saat itu, ilmu-ilmu sihirnya sedang dike-
rahkan. Rupanya, Soma sendiri pun juga tidak mau
mempedulikan orang tua itu. Ia hanya berjalan
tertatih-tatih, mendekati Perempuan Bercadar Bi-
ru. Namun anehnya, layaknya sebuah karet, 'Tali
Gaib' terasa agak menjerat langkahnya. Dan lebih anehnya lagi, kaki kiri Raja
Penyihir sama sekali tidak terpengaruh tarikan Soma. Kaki itu tetap
saja dapat bergerak lincah, seperti tidak terbebani apa-apa!
"Hai!" sapa Soma pada Perempuan Berca-
dar Biru. "Bagaimana dengan luka-lukamu" Sa-
kit, ya?" Perempuan Bercadar Biru meringis kesaki-
tan seraya menganggukkan kepala. Namun dari
pandangan matanya, ia sangat mengagumi pe-
muda di hadapannya yang bergelar Siluman Ular
Putih. "Sama!" sahut Soma mulai kambuh penya-kitnya. Lalu tanpa permisi lagi,
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo pun sudah menotok
beberapa jalan darah di bagian punggung Perem-
puan Bercadar Biru. Sehingga akhirnya, rasa sa-
kit wanita itu sedikit berkurang.
"Terima kasih. Lagi-lagi kau yang meno-
longku," ucap Perempuan Bercadar Biru sedikit mulai lega.
"Lho..." Siapa dulu penolongnya"!" kata Soma jumawa, seraya mengacungkan ibu
jarinya dan telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Se..., sebenarnya aku ingin membunuh
Manusia Rambut Merah. Tapi, sayang. Aku tidak
bisa," ungkap Perempuan Bercadar Biru.
"Lho...! Jelas tidak bisa dong. Aku sendiri saja hampir mampus di tangannya.
Apalagi, ada bangkotan tua Jerangkong Hidup itu. Kunyuk
Merah itu jadi besar kepala saja. Tapi, sudahlah!
Aku ingin lihat, bagaimana orang tua sinting Raja Penyihir itu digebuk
Jerangkong Hidup!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun mema-
lingkan wajahnya ke arah pertarungan.
Tampak saat itu Raja Penyihir tengah ter-
tawa bergelak-gelak melihat 'Tali Gaib'-nya berhasil melibat leher Jerangkong
Hidup! Seketika itu juga, orang tua bercaping
pandan itu, menggerak-gerakkan 'Tali Gaib'-nya
ke sana kemari, membentur-benturkan tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup ke batu-batu cadas, diser-
tai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.
Jrot! Jrot! "Aaa...!"
Disertai lengkingan panjang, Jerangkong
Hidup tewas dengan tubuh hancur. Serpihan-
serpihan tubuhnya berceceran di tanah disertai
percikan darah.
"Eh...!" desah Soma.
Pemuda ini menarik mundur dadanya. Ke-
dua alis matanya bertautan tajam. Kepalanya
menggeleng-geleng heran.
"Wah wah wah...! Ternyata sumpahku tak
mempan, Orang Tua! Kau masih hidup!" lanjut Siluman Ular Putih penuh kagum.
Tak disangka, 'Tali Gaib' milik Raja Penyi-
hir demikian hebat.
Raja Penyihir tertawa bergelak-gelak. Ma-
tanya yang lebar sejenak memandangi tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup yang hancur berantakan di
dinding-dinding batu cadas. Kemudian, cepat di-
gabungkannya kembali 'Tali Gaib' di tangan ka-
nannya dengan 'Tali Gaib' yang mengikat di kaki
kirinya. "Ha ha ha...! Sumpah apa pun kalau keluar
dari mulut baumu, tak bakalan mempan. Apa kau
ingin kusumpahi?" tukas Raja Penyihir.
"Terima kasih! Buang saja sumpahmu ke
laut sana!" kata Soma seraya menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Nah! Kalau begitu, cepat ikut aku ke Gu-
nung Tidar! Ayo!" ajak orang tua bercaping pandan itu, cepat menarik 'Tali
Gaib'-nya kuat-kuat.
Aneh sekali! Seketika tubuh Soma lang-
sung tersentak ke depan mengikuti tarikan. Ke-
mudian sambil tertawa-tawa senang, Raja Penyi-
hir terus menyeret 'Tali Gaib' yang mengikat leher pemuda itu.
"Tunggu, Orang Tua! Leherku sakit sekali!"
teriak Soma. Raja Penyihir tidak mempedulikannya.
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil bersiul-siul kecil terus diseretnya Soma
tanpa ampun. Sementara itu Perempuan Bercadar Biru
hanya menggeleng-geleng saja, sebelum akhirnya
berkelebat meninggalkan tempat yang baru saja
dinodai darah tokoh-tokoh sesat berhati iblis.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Jaka Lola 7 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Pendekar Aneh Dari Kanglam 6
Merah begitu dihentakkan.
Raja Racun Dari Selatan tidak berani me-
mandang rendah kehebatan pukulan 'Wejangan
Iblis'. Ia yang sudah cukup pengalaman tahu ka-
lau pukulan Manusia Rambut Merah mengan-
dung racun keji. Setelah membuat kuda-kuda,
cepat dipapakinya dengan pukulan 'Telapak Tan-
gan Kelabang Hitam'.
"Hyaaat...!"
"Hyaaat...!"
Blarrr...! Hebat bukan main akibat pertemuan dua
tenaga dalam di udara barusan. Tanah di sekitar
tempat itu bergetar hebat. Pohon-pohon pun men-
jadi layu. Sementara Manusia Rambut Merah
nampak tenang-tenang saja di tempatnya. Sedikit
pun tidak terpengaruh akibat pertemuan tenaga
dalam tadi. Dan rupanya tidak demikian dengan Raja
Racun Dari Selatan. Tubuhnya langsung terpental
ke belakang begitu benturan terjadi. Dan seketika itu juga wajahnya pucat pasi.
Darah segar pun
membasahi bibirnya.
"He he he...! Apa kalian belum juga mau
mengakui kehebatan ilmuku" Ayo, siapa lagi yang
mau maju!" tantang Ki Jarkasi pongah.
"Heh! Kau hanya mengandalkan pukulan
mautmu saja. Apa kau berani menghadapi kami
berdua dengan senjata cambukmu itu?" tukas Ra-ja Golok Dari Utara belum juga mau
mengalah. "Apa bedanya" Toh aku dapat mengalah-
kan kalian. Dan aku pulalah yang pantas menda-
pat julukan datuk nomor satu di dunia persilatan ini," sahut Manusia Rambut
Merah bangga. "Aku mau mengakuimu sebagai datuk no-
mor satu di dunia persilatan, asal kau dapat
mengalahkan kami dengan menggunakan cam-
bukmu itu, Manusia Rambut Merah!" kata Raja Golok Dari Utara masih membandel.
"Baik, baik! Kuterima tantanganmu ini. Ta-
pi, ingat! Kalau kau masih bertanya macam-
macam, terpaksa aku akan mengirim nyawamu
ke neraka. Tahu"!" geram Ki Jarkasi jengkel.
"Majulah! Aku hanya ingin menjajal kehe-
batan cambukmu saja!" ujar Raja Golok Dari Utara.
Manusia Rambut Merah kesal. Tangannya
yang kekar cepat melolos kembali cambuknya.
Kemudian tanpa banyak cakap lagi, segera dis-
erangnya Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Ctarrr! Ctarrr! Meski dikeroyok begitu, cambuk Manusia
Rambut Merah tetap dapat mengurung pertaha-
nan Denok Supi dan Raja Golok Dari Utara. Per-
lahan namun pasti, Ki Jarkasi terus mendesak
kedua orang tokoh sesat dari barat dan utara itu hingga tidak dapat membalas
serangan sama sekali. Ctarrr!
Ctarrr! "Aaakh...!"
"Auuhh...!"
Dua kali cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah melecut menyengat tubuh Denok Supi
dan Raja Golok Dari Utara hingga tersentak dan
jatuh ke tanah. Mereka kontan memekik setinggi
langit. Tubuh yang terkena cambuk langsung
memerah. "He he he...! Kalau saja kalian bukan satu
golongan, sudah pasti akan kukirim nyawa anjing
kalian ke neraka! Tahu"!" hardik Ki Jarkasi garang. Denok Supi dan Raja Golok
saling berpan- dangan. Kini kedua orang itu tidak lagi bernafsu melanjutkan pertarungan. Mereka
hanya bisa di-am membisu di tempatnya.
"Bagus! Bagus! Mulai hari ini kalian be-
rempat harus mengakui aku sebagai datuk sesat
nomor satu di empat penjuru mata angin. Siapa
yang berani menentang keputusanku ini, berarti
mati!" teriak Ki Jarkasi angkuh.
"Dan satu lagi! Cepat cari keterangan ten-
tang seorang pemuda yang dapat menjelma men-
jadi Siluman Ular Putih! Syukur kalau kalian da-
pat menghabisinya sekalian. Kalau tidak, cepat
beri laporan padaku! Mengerti"!"
"Baik!" sahut para tokoh sesat yang biasanya berpenampilan garang itu, patuh.
"Nah! Sekarang enyahlah kalian dari hada-
panku!" perintah Manusia Rambut Merah ang-
kuh. "Baik!"
Para tokoh sesat itu serempak bangkit.
Demikian pula Algojo Dari Timur yang masih ter-
luka dalam. Namun belum sempat mereka berge-
rak dari tempatnya....
"Tunggu...! Kau tidak boleh meninggalkan
tempat ini, Manusia Rambut Merah! Aku akan
membuat perhitungan denganmu!"
Mendadak dari arah utara puncak Gunung
Merapi terdengar seseorang berteriak-teriak lan-
tang, menantang Manusia Rambut Merah!
*** Di hadapan Manusia Rambut Merah dan
keempat orang tokoh sesat yang telah ditakluk-
kannya, berdiri seorang laki-laki berpakaian putih dan seorang gadis berpakaian
merah-merah. Mereka tak lain Gagak Seto dan Ratih, putrinya.
Manusia Rambut Merah mendengus. Ma-
tanya yang memerah memandangi Gagak Seto
dan gadis itu dengan tatapan congkak!
"Lihatlah! Bagaimana caranya aku meng-
hajar orang-orang yang mencari mati di tempat
ini," kata Ki Jarkasi pada keempat orang tokoh sesat ini, tanpa sekedip pun
menoleh. Keempat tokoh sesat yang semula bermak-
sud meninggalkan puncak Gunung Merapi jadi
mengurungkan niatnya. Dan tanpa diperintah
pun, mereka telah mengurung Gagak Seto dan
Ratih. "Lagakmu sombong sekali, Manusia Rambut Merah! Aku datang kemari bukannya
ingin menangkapmu. Melainkan ingin mencabut nyawa
anjingmu atas meninggalnya keponakanku, Pen-
dekar Kujang Emas tahun lalu!"
"Ha ha ha...! Mengapa kau tidak bawa ke-
mari Pendekar Pedang Kilat buana sekalian, biar
masalah ini cepat selesai"!" kata Manusia Rambut Merah di antara tawanya yang
menggema ke sekitarnya. "Tidak perlu aku membawa-bawa beliau kemari. Aku
sendiri, Gagak Seto cukup mampu
mengirim nyawa anjingmu ke neraka!" tantang Gagak Seto, berani.
Tangan kanannya cepat melolos pedang
dari pinggang. Sret! Ratih yang melihat ayahnya sudah menca-
but pedang pun cepat mencabut pedangnya pula.
Gadis ini siap membantu ayahnya menghadapi
Manusia Rambut Merah.
"Cepat keluarkan semua kepandaian kalian
kalau benar-benar ingin mencari mati!" tantang Ki Jarkasi mengejek.
"Kunyuk merah besar kepala! Terimalah
kematianmu hari ini! Hyaaat....!" teriak Ratih sambil meluruk deras. Pedang di
tangan kanannya telah menyambar-nyambar ganas.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Dan tiba-
tiba jubah merahnya dikebutkan sekali. Maka se-
ketika itu juga serangkum angin dingin meluruk
deras. "Ah...!"
Ratih memekik. Tubuhnya yang terkena
sambaran angin kebutan Manusia Rambut Merah
langsung terlempar ke belakang.
Dan Gagak Seto cepat menyerang, begitu
melihat putrinya yang terpental ke belakang dikejar Manusia Rambut Merah. Hebat
sekali seran- gan pedang Tumenggung Kerajaan Mataram ini,
karena telah mengeluarkan jurus andalannya.
"Hyaaat...! Hyaaat...!"
Gagak Seto semakin mempercepat seran-
gannya. Ia yang cukup tahu kehebatan musuh-
nya, tidak mau membuang-buang waktu lagi. Te-
rus digempuri Manusia Rambut Merah dengan
hebat. Untuk beberapa saat, Gagak Seto cukup
dapat merepotkan Manusia Rambut Merah. Na-
mun setelah Ki Jarkasi mencabut cambuknya,
perlahan-lahan ayahnya Ratih ini mulai terdesak.
Ratih yang tadi sempat merasakan keli-
haian Manusia Rambut Merah dalam segebrakan
saja, cepat kembali maju menyerang dengan pe-
dangnya. Ctarrr! Ctarrr! Beberapa kali cambuk di tangan Manusia
Rambut Merah menyengat udara. Dan beberapa
kali pula tubuh Gagak Seto dan Ratih tersengat
lidah cambuk. Seketika itu juga pakaian yang di-
kenakan mereka koyak di sana sini. Sementara
bagian tubuh yang terkena lecutan tampak me-
merah! Manusia Rambut Merah tertawa terbahak-
bahak. Lecutan-lecutan cambuknya terdengar
makin menggiriskan.
"Biar lebih enak kita bertarung, bagaimana
kalau putrimu yang cantik ini diamankan dulu,
Gagak Seto?"
Sebelum kata-kata habis, Ki Jarkasi berke-
lebat cepat. Dan tahu-tahu tangannya terjulur
menotok pundak Ratih yang belum bisa mengua-
sai keadaannya.
Tuk! "Aaah...!"
Ratih mengeluh. Tubuhnya yang terkena
totokan langsung ambruk ke tanah.
"Demi Tuhan! Kalau kau mengganggu pu-
triku, aku akan mengadu nyawa denganmu, Ma-
nusia Rambut Merah!" pekik Gagak Seto kalap bukan main melihat putri tunggalnya
dapat di-lumpuhkan Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi tersenyum mengejek. Begitu
berbalik, lecutan-lecutan cambuknya kembali
bergerak cepat.
Ctarrr! Ctarrr!
Mendapat serangan demikian, Gagak Seto
kewalahan bukan main. Dan kini tubuhnya telah
terkurung lecutan-lecutan cambuk Manusia
Rambut Merah. Bahkan entah sudah beberapa
kali tubuhnya yang memerah tersengat cambuk.
Untung saja ia masih dapat bertahan. Beberapa
kali tubuhnya melompat ke belakang sehingga
keadaannya tak semakin parah.
Ki Jarkasi geram bukan main. Ia sudah ti-
dak sabar ingin merobohkan Gagak Seto. Maka
lecutan-lecutan cambuknya makin dipercepat.
Sementara tangan kirinya telah berubah merah
menyala, siap melancarkan pukulan 'Kelabang
Geni'. Ctarrr! Ctarrr! "Hyaaat...!"
Kali ini serangan-serangan Manusia Ram-
but Merah sungguh hebat bukan main. Diiringi
lecutan-lecutan cambuknya yang menggiriskan,
tangan kiri Ki Jarkasi melontarkan pukulan
maut. Wesss! Gagak Seto memutar pedangnya, menang-
kis lecutan-lecutan cambuk di tangan kanan Ma-
nusia Rambut Merah. Pada saat yang sama tan-
gan kiri Manusia Rambut Merah berkelebat ke
depan. Seketika itu juga, wajah Gagak Seto pucat pasi berkesiurnya angin dingin
yang datang dalam jarak yang demikian dekat rasa-rasanya sulit sekali dihindari.
Apalagi tubuhnya sendiri pun
sempat bergetar hebat, setelah menangkis seran-
gan cambuk. "Romo! Awas...!" teriak Ratih kalang kabut.
Wesss...! Namun tiba-tiba saja seleret sinar putih te-
rang yang entah dari mana datangnya, menghan-
tam pukulan 'Kelabang Geni' yang dilontarkan
Manusia Rambut Merah.
Blarrr...! Terdengar suara berdentum keras sekali,
akibat benturan dua tenaga dalam tingkat tinggi
di udara. Tanah di sekitar puncak Gunung Merapi
bergetar hebat. Pohon-pohon pun menjadi layu!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
lebar. Tubuhnya yang tinggi besar sempat berge-
tar hebat akibat benturan tenaga dalam barusan.
Dan sekarang di hadapannya telah berdiri seo-
rang pemuda tampan dengan celana dan rompi
bersisik warna putih keperakan.
Tubuh pemuda itu tinggi kekar. Kulit wa-
jahnya putih bersih. Matanya yang agak kebiru-
biruan bersinar tajam seperti mata rajawali. Se-
dang rambutnya yang gondrong dibiarkan tergerai
di bahu. Sebuah rajahan bergambar ular putih di
dada kanan, nampak terlihat dari rompinya yang
terbuka tanpa kancing.
Sementara di belakang pemuda yang masih
tersenyum-senyum nakal memandang Manusia
Rambut Merah, berdiri seorang gadis cantik ber-
pakaian tambal-tambalan. Di samping gadis ini
berdiri pula seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus yang juga mengenakan
pakaian tambal-
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tambalan. Sedang jauh di belakangnya nampak
terlihat seorang lelaki tua bercaping pandan tengah terseok-seok menaiki puncak
Gunung Mera- pi. "Siluman Ular Putih...!" teriak Ratih kegirangan setelah tahu siapa pemuda
tampan yang telah menyelamatkan nyawa ayahnya.
Mendengar disebutnya Siluman Ular Putin
yang sedang diperbincangkan banyak orang, se-
ketika itu juga Manusia Rambut Merah dan juga
semua orang yang berada di puncak Gunung Me-
rapi jadi terkejut bukan main. Mereka semua ti-
dak menyangka kalau orang yang dijuluki Silu-
man Ular Putih ternyata masih muda
"Kaukah orang yang bergelar Siluman Ular
Putih"!" desis Manusia Rambut Merah garang, begitu melihat orang yang dicari-
carinya telah menampakkan batang hidungnya.
"Kalau iya, kau mau apa"!" tukas Soma
acuh tak acuh. Ki Jarkasi melotot lebar. Saking marahnya,
ia sampai tidak dapat mengeluarkan kata-kata.
Soma tidak mempedulikannya. Malah ke-
palanya berpaling ke arah Ratih.
"Selamat bertemu kembali, Kawanku Yang
Cantik! Kenapa kau hanya tiduran saja di situ"
Apa kau lebih senang melihat nyawa orang me-
layang sambil tiduran begitu?" sapa Soma alias Siluman Ular Putih kalem tanpa
menghiraukan kemarahan Manusia Rambut Merah.
"Putriku tertotok."
Gagak Seto yang baru saja diselamatkan
nyawanya oleh Soma segera menyahuti sambil
menghampiri putrinya untuk melepaskan toto-
kan. "Oh...! Jadi Ratih itu putrimu ya, Orang Tua" Pantas saja wajahnya cantik
sekali. Habis, ayahnya ganteng, sih! Tidak seperti kunyuk me-
rah itu!" tunjuk Soma pada Manusia Rambut Me-
rah. "Untung saja ayahmu bukan kunyuk merah itu. Kalau iya, bukannya tidak
mungkin gigimu pun merah. Hik hik hik...! Mengerikan sekali!"
Ki Jarkasi menggeram penuh kemarahan.
Belum pernah seumur hidupnya ia direndahkan
seperti itu. Apalagi yang merendahkannya hanya
seorang pemuda kemarin sore!
"Bocah sinting! Apa kau belum tahu berha-
dapan dengan siapa"!" bentak Manusia Rambut Merah garang.
"Kau..."! Ha ha ha...!" Soma tertawa. Tangan kanannya membungkam ke mulut.
"Melihat ciri-cirimu, kau pasti orang yang bergelar Kunyuk Besar Berambut Merah, bukan"
Kebetulan sekali.
Aku memang sedikit ada urusan denganmu."
Bukan main marahnya Ki Jarkasi. Tanpa
disadarinya kedua telapak tangannya hingga ke
pangkal lengan telah berubah menjadi merah me-
nyala, siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Tunggu dulu, Kunyuk Merah! Aku hanya
ingin mendengar pengakuanmu, sebelum menco-
pot nyawamu dari tubuhmu! Apa benar kau yang
telah membunuh Mahesa, Pendekar Kujang Emas
itu?" "Kalau iya, kau mau apa, Bocah Edan"!"
tantang Manusia Rambut Merah kalap.
"Bagus! Bagus! Kalau begitu, ketahuilah.
Aku adalah putra tunggal Mahesa, si Pendekar
Kujang Emas itu. Dan mengenai kedatanganku
kemari, telah kukatakan tadi. Ingin mencopot
nyawamu. Aku pikir, masa hidupnya di alam
mayapada ini sudah habis. Nah! Sekarang ber-
siaplah menerima kematianmu, Kunyuk Merah!"
Meski mengucapkan kata-kata itu dengan
gayanya yang ugal-ugalan, namun sebenarnya da-
lam diri pemuda murid Eyang Begawan Kama-
setyo itu berkecamuk dendam membara.
Beberapa orang yang ada di tempat itu
sempat membelalakkan mata lebar, begitu men-
dengar pengakuan Soma. Termasuk Salindri. Na-
mun kekagetan gadis itu hanya sebentar saja.
Apalagi telinganya tadi mendengar percakapan
Soma dengan Ratih begitu mesranya. Dan entah
mengapa, hatinya jadi panas sekali.
"Ja..., jadi kau anak Mahesa, Anak Muda?"
tanya Gagak Seto agak gugup.
"Benar, Orang Tua. Ada apa" Nampaknya
kau terkejut sekali?" tanya Soma enteng.
"Ketahuilah, Anak Muda! Aku sebenarnya
masih terhitung paman tiri dari ayahmu. Dan ke-
datanganku kemari bersama putriku ini, tidak
lain ingin menuntut balas atas kematian Mahesa
beberapa tahun yang lalu," jelas Gagak Seto.
"Oh...! Benarkah?" mata Soma terbelalak lebar-lebar, seolah-olah tidak
mempercayai omongan orang berpakaian putih-putih di hadapannya.
"Benar, Anak Muda. Aku, Gagak Seto, me-
mang masih terhitung paman tiri ayahmu. Dan
kalau tidak salah, namamu Soma, bukan" Ratih
sudah beberapa kali bercerita padaku. Katanya,
kalian sudah saling kenal..."
"Benar, Pam..., eh! Eyang!" ralat Soma ce-
pat. Diam-diam hatinya senang sekali, karena ti-
dak menyangka masih mempunyai seorang pa-
man dari almarhum ayahnya. Mahesa, yang lebih
terkenal sebagai Pendekar Kujang Emas.
"Benar, Soma. Meski usiaku belum terlalu
tua, aku memang masih terhitung eyangmu,"
tambah Gagak Seto lagi senang.
"Hm...," Soma mengangguk-anggukkan ke-
palanya. "Kalau begitu aku harus memanggil putrimu Bibik Ratih dong?" gumam si
pemuda seperti pada diri sendiri.
"Boleh! Boleh! Memang Ratih masih terhi-
tung bibikmu! Tapi, sudahlah! Ngobrolnya nanti
saja!" kata Gagak Seto seraya memberi isyarat ke arah Manusia Rambut Merah yang
sudah bersiap-siap melontarkan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Kau bilang akan mencopot nyawaku, Bo-
cah Edan" Apa kau punya nyawa rangkap se-
hingga berani berkata selancang itu"!" geram Ki Jarkasi gusar. "Kalau begitu,
terimalah pukulan
'Kelabang Geni'. Hyaaat...!"
Wesss...! Seleret sinar merah menyala meluruk dari
kedua telapak tangan Manusia Rambut Merah ke
arah Soma. "Keluarkanlah semua kepandaianmu sebe-
lum ajalmu tiba, Kunyuk Merah!"
Soma mengangkat kedua tangannya. Seke-
tika itu juga, seleret sinar putih terang berkeredep melesat dari kedua telapak
tangannya, memapaki
pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss! Blarrr...! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi itu.
Tanah di puncak Gunung Merapi bagai dilanda
gempa. Pohon-pohon menjadi layu seketika.
Tubuh Soma sendiri pun bergetar hebat
akibat pertemuan dua tenaga dalam itu. Sedang
tubuh Manusia Rambut Merah sempat tergoyang-
goyang dengan kedua kaki melesak ke dalam ta-
nah. Hal ini, menandakan kalau tenaga dalam
mereka hanya berselisih sedikit. Namun, masih
unggul murid Eyang Begawan Kamasetyo.
Sementara Salindri yang saat itu kurang
waspada karena gemas melihat tingkah laku So-
ma pada Ratih tadi, hampir saja terkena samba-
ran angin akibat benturan dua tenaga dalam tadi.
Untung saja, tubuhnya segera ditarik oleh laki-
laki tua berpakaian tambalan di sebelahnya.
"Apa kau ingin mencari mampus di sini,
Salindri"! Mengapa kau tidak berusaha menying-
kir"!" bentak lelaki tua itu kesal, setelah berhasil mengamankan Salindri.
Salindri memberengut. Entah mengapa ga-
dis itu jadi cepat sekali naik darah.
"Sudahlah, Ayah! Apa Ayah tidak ingin ce-
pat-cepat menghajar Raja Golok dan Denok Supi
yang telah membantai murid-murid anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam?" sergah Salindri, yang ternyata putri laki-laki berpakaian
pengemis itu. Begitu laki-laki yang merupakan Ketua
Pengemis Tongkat Hitam dan bernama Ki Samiaji
ini diingatkan akan kematian murid-muridnya,
langsung saja menggeram penuh kemarahan. Dan
tanpa banyak cakap lagi, tongkat hitamnya pun
telah menyambar-nyambar ganas menyerang Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi
"Iblis-iblis tua tak tahu malu! Aku datang
menuntut balas atas kematian murid-murid ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Bersiap-siaplah ka-
lian semua menerima kematianmu hari ini!" teriak Ki Samiaji garang di antara
gulungan-gulungan
hitam tongkatnya yang terus mendesak Raja Go-
lok Dari Utara dan Denok Supi.
Sebenarnya, Ki Samiaji enggan berurusan
dengan Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi.
Tapi berhubung mendapat laporan salah seorang
muridnya yang terlepas dari tangan maut Raja
Golok Dari Utara dan Denok Supi, terpaksa seba-
gai Ketua Pengemis Tongkat Hitam ia harus turun
tangan. Sedang salah seorang pengemis lainnya
yang selamat dari tangan kedua iblis tua itu, mati di tengah perjalanan setelah
ditemukan Soma dan
Salindri. Kebetulan sekali letak markas Pengemis Tongkat Hitam dengan puncak
Gunung Merapi tidak begitu jauh. Maka diiringi dua puluh orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam, Ki Samiaji pun
bergerak ke puncak Gunung Merapi
Dan kini kedua puluh orang anggota Pen-
gemis Tongkat Hitam yang tadi diperintahkan
bersembunyi di lereng selatan pun mulai bergerak menyerang Raja Golok Dari Utara
dan Denok Su- pi, begitu Ki Samiaji bersuit beberapa kali.
Raja Golok Dari Utara dan Denok Supi ke-
walahan bukan main, menghadapi serangan-
serangan Ki Samiaji yang dibantu Salindri dan
dua puluh orang anggota Pengemis Tongkat Hi-
tam. Bahkan mereka nyaris tidak dapat memba-
las serangan. Perlahan namun pasti kedua iblis
tua itu semakin terdesak hebat.
"Kawan-kawan! Cepat bantu menumpas
jembel-jembel busuk ini!" teriak Raja Golok Dari Utara kepada Raja Racun Dari
Selatan dan Algojo
Dari Timur. "Kalau saja tidak memandang kalian seba-
gai orang-orang satu golongan, malas aku mem-
bantumu," gerutu Raja Racun Dari Selatan dengan suara sember.
Dan sehabis berkata begitu, Raja Racun
Dari Selatan pun cepat menerjang ke arena perta-
rungan dengan pukulan-pukulan 'Telapak Tangan
Kelabang Hitam'.
Dalam waktu yang tidak lama, empat orang
anggota Pengemis Tongkat Hitam itu pun sudah
tergeletak di tanah dengan sekujur tubuh meng-
hitam terkena pukulan 'Telapak Tangan Kelabang
Hitam'. Sementara, Algojo Dari Timur nampak ra-
gu-ragu untuk membantu ketiga orang kawannya.
Sebenarnya, bukannya ia tidak mau membantu.
Tapi, berhubung telah terluka dalam akibat dike-
royok tiga orang kawannya, Algojo Dari Timur jadi sakit hati. Namun di saat
tokoh sesat dari timur
ini ragu-ragu dengan apa yang akan diperbuat.
Wesss...! Tiba-tiba saja angin dingin berkesiur me-
nyerang ke arah Algojo Dari Timur, secepat kilat tubuhnya dilempar ke samping
kiri. Begitu menatap ke arah pembokong barusan, tokoh sesat dari
timur itu langsung mengenali. Pembokong itu ti-
dak lain dari orang tua bercaping pandan yang
berjuluk Raja Penyihir!
"He he he...! Gerakanmu cepat sekali. Pan-
tas saja, kau mendapat julukan Algojo Dari Ti-
mur," celoteh orang tua bercaping pandan, seolah-olah merasa tidak bersalah atas
perbuatan curangnya barusan.
Ibarat harimau dicolek pantatnya, Algojo
Dari Timur pun menggeram penuh kemarahan.
"Raja Penyihir! Di antara kita tidak ada silang sengketa. Mengapa kau
membokongku" Apa
kau pikir aku takut menghadapi ilmu sihirmu"!"
dengus Algojo Dari Timur.
"He he he...! Di antara kita memang tidak
ada silang sengketa. Toh, kau dan ketiga orang
kawanmu tetap sama saja. Sama-sama dari go-
longan sesat, golongan orang yang suka membuat
onar di dunia. Buat apa bersilat lidah?"
"Keparat! Rasakan pembalasanku ini!
Heaaa...!" teriak Algojo Dari Timur, seraya menghentakkan dua telapak tangannya
yang telah be- rubah putih menyilaukan mata hingga ke pangkal
lengannya. Namun dengan gerakan lincah, Raja
Penyihir cepat melompat ke udara. Dan....
Wesss...! Blarrr...! Batu gunung sebesar kerbau yang berada
di belakang Raja Penyihir tadi hancur berkeping-
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keping begitu terkena pukulan 'Badai Gurun Pa-
sir' milik Algojo Dari Timur.
Orang tua bercaping pandan itu mengge-
leng-geleng takjub.
Melihat serangan pertamanya gagal, Algojo
Dari Timur jadi murka. Tangan kanannya cepat
melolos parang panjang dari balik punggungnya.
Dan langsung diserangnya Raja Penyihir dengan
hebat. Gagak Seto dan Ratih yang semula ber-
maksud ingin membantu Soma, jadi mengurung-
kan niatnya. Ternyata pemuda murid Eyang Be-
gawan Kamasetyo itu dapat mengatasi Manusia
Rambut Merah, musuh besarnya. Namun ketika
melihat beberapa orang anggota Pengemis Tong-
kat Hitam mulai jatuh bergelimpangan dengan
sekujur tubuh menghitam, Gagak Seto pun jadi
menggeram penuh kemarahan.
"Ayo, lekas kita bantu Ketua Pengemis
Tongkat Hitam itu, Ratih!" ajak Gagak Seto kepada putrinya.
Dan sehabis berkata begitu, tanpa banyak
cakap lagi Tumenggung Kerajaan Mataram itu
langsung menerjang Raja Racun dengan pedang-
nya. Ratih memberengut. Bukannya tidak mau
membantu Ketua Pengemis Tongkat Hitam, na-
mun entah mengapa begitu melihat keakraban
Soma dengan Salindri, ia jadi geram. Bahkan
membenci gadis berpakaian compang-camping
itu. "Ayo, Bibik Ratih" Mengapa kau tidak mau membantu ayahmu menghadapi tua
bangka itu"!"
teriak Soma, yang tengah sibuk menghadapi Ma-
nusia Rambut Merah itu. Pemuda itu tak bermak-
sud menggoda, saat memanggil Ratih dengan se-
butan 'bibik'. "Sekali lagi kau menyebutku Bibik Ratih,
kucongkel kedua bola matamu, Soma!" sahut Ratih kesal.
"Habis aku harus bilang bagaimana" Orang
kenyataannya kau bibikku kok?" omel Siluman Ular Putih.
"Cerewet!" sungut Ratih kesal, namun toh akhirnya mau juga membantu ayahnya
menghadapi Raja Racun Dari Selatan.
Soma lega. Sekarang pemuda ini dapat
menghadapi Manusia Rambut Merah dengan te-
nang. Ki Jarkasi gusar bukan main. Hampir de-
lapan jurus lebih tapi ia belum mampu meroboh-
kan musuhnya. Jangankan merobohkan. Me-
nyentuh seujung rambutnya pun belum.
"Hyaaat...!"
Ctarrr! Ctarrr!
Diiringi bentakan keras, Manusia Rambut
Merah melecutkan cambuknya yang menggi-
riskan. Sementara tangan kirinya telah berubah
menjadi merah menyala hingga ke pangkal len-
gan, siap melancarkan pukulan1 'Wejangan Iblis'
yang telah disempurnakan bersama gurunya di
gua Pantai Utara.
"Jangan terlalu bernafsu, Kunyuk Merah!
Aku jadi takut. Kulihat rambut merahmu berdiri
seperti landak saja. Hih...! Ngeri," ejek Soma sembari berloncatan ke sana
kemari, menghindari le-
cutan-lecutan cambuk di tangan Manusia Ram-
but Merah. Tubuh pemuda ini meliuk-liuk di antara
kelebatan cambuk Manusia Rambut Merah. Se-
dang kedua tangannya yang berbentuk kepala
ular pun telah memainkan jurus-jurus sakti 'Ular Kembar Mengejar Mangsa'.
Sehingga perlahan
namun pasti, Siluman Ular Putih mulai mendesak
Ki Jarkasi. Dan untuk mempertajam serangan-
serangannya, cepat dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
Manusia Rambut Merah menggereng penuh
kemarahan. Padahal jurus-jurus andalannya te-
lah dikeluarkan. Namun, tetap saja terdesak he-
bat. Mendadak telapak tangan kirinya yang telah
berwarna merah menyala cepat dilontarkan ke
tubuh Soma. Wesss! Seketika seleret sinar merah menyala mele-
sat dari telapak tangan kiri Ki Jarkasi.
Tidak ada pilihan lain. Soma yang sedang
sibuk menghindari lecutan-lecutan cambuk Ma-
nusia Rambut Merah harus cepat memapak se-
rangan dengan pukulan 'Inti Bumi'. Seketika tan-
gannya menghentak ke depan.
"Hyaaat...!"
Blarrr...! Seleret sinar putih terang berkeredepan da-
ri kedua telapak tangan Soma yang memapak pu-
kulan 'Kelabang Geni' menimbulkan ledakan dah-
syat. Tampak tubuh tinggi besar Manusia Rambut
Merah terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang. Tanah di sekitar puncak Gunung Mera-
pi pun bergetar-getar hebat. Pohon-pohon layu
bagai terbakar.
Sementara itu tubuh Soma sendiri pun ter-
getar dengan kedua kaki melesak beberapa ram-
but ke dalam tanah. Namun, mulutnya tetap me-
nyunggingkan senyum nakal. Kemudian sembari
ngoceh tidak karuan, cepat diloloskannya senjata andalannya. Anak Panah Bercakra
Kembar! Maka seketika itu juga, hawa dingin yang
bukan alang kepalang memenuhi kancah pertem-
puran! Beberapa orang Pengemis Tongkat Hitam
yang berkepandaian rendah langsung menggigil
kedinginan! Malah tiga orang pengemis berpa-
kaian tambal-tambalan segera duduk bersemadi!
"Ayo, maju! Aku ingin lihat, sampai di ma-
na kehebatanmu. Jangan-jangan nama besarmu
hanyalah kosong belaka! Ayo, maju!" teriak Soma.
Siluman Ular Putih tak henti-hentinya
mengejek. Kaki kirinya ditekuk seperti orang du-
duk. Sedang kaki kanannya disilangkan ke kaki
kirinya. Sementara anak panah senjata andalan-
nya digunakan untuk menunjuk-nunjuk Manusia
Rambut Merah. Persis nenek-nenek sedang me-
marahi cucunya.
Manusia Rambut Merah menggeram penuh
kemarahan. Cambuk di tangan kanannya dipu-
tar-putar di atas kepala. Saat itu juga, serangkum angin kencang berkesiur
meluruk sebelum cambuknya bergerak maju.
"Sudahlah! Ayo, kalau mau menyerang
aku! Pakai bertingkah macam-macam lagi!" ejek Soma. Pemuda ini cepat menggeser
kaki kirinya sedikit ke kanan, menghindari sambaran angin
kencang Manusia Rambut Merah. Namun kea-
daannya masih tetap duduk ongkang-ongkang
kaki seperti tadi!
"Di...! Ih...! Kok main angin-anginan begini"
Apa kau tidak takut masuk angin, Kunyuk Me-
rah" Kudengar kau tidak mempunyai bini. Lan-
tas, siapa yang akan mengerokimu nanti?"
"Bocah edan! Belum puas aku kalau belum
meneguk darah anjingmu! Hyaaat!"
Manusia Rambut Merah benar-benar mur-
ka. Cambuk di tangan kanannya makin berkele-
bat cepat mengurung pertahanan Soma. Hebat
bukan main serangannya.
Ctarrr! Ctarrr! Namun Soma sama sekali tidak ciut nya-
linya melihat liukan-liukan cambuk di tangan to-
koh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu. Malah
tingkahnya makin ugal-ugalan. Sambil ngoceh ti-
dak karuan, Siluman Ular Putih berloncatan ke
sana kemari menghindari lecutan-lecutan cam-
buk. Tindakannya pun terlihat seperti orang
main-main. Lecutan cambuk itu hanya ditangkis
bila perlu saja.
"Ayo, Kunyuk Merah! Kejar aku...! Kejar
daku! Kau kutangkap!" ejek Soma habis-habisan.
Mulutnya yang nakal mulai bernyanyi-nyanyi ke-
girangan. Ki Jarkasi kini sadar. Meski musuhnya
masih muda, namun tidak berani memandang
ringan lagi. Maka segera dikeluarkannya ilmu an-
dalannya. Kedua kakinya segera ditekuk keba-
wah. Sedang kedua tangannya ditangkupkan ke
atas seperti orang menyembah. Itulah salah satu
pembuka jurus sakti 'Wejangan Iblis'.
"Eh eh eh...! Apa yang kau lakukan, Ku-
nyuk Merah" Kok, nungging-nungging seperti itu"
Apa mau buang hajat" Hei, jangan di sini. Sana,
pergi! Pergi!" kata, Soma seraya mengibas-
ngibaskan senjata anehnya mengusir pergi Manu-
sia Rambut Merah.
Namun mendadak saja Soma mengerutkan
keningnya dalam-dalam, saat melihat kedua tan-
gan Manusia Rambut Merah telah berubah men-
jadi merah darah sampai ke pangkal lengan. Dan
begitu tangannya yang menelungkup itu diturun-
kan, seketika itu juga berkesiur angin panas disertai bau amis yang bukan alang
kepalang! "Eh, eh...!"
Hampir saja Siluman Ular Putih tidak ta-
han dibuatnya. Namun untung saja cepat tersa-
dar. Cepat tubuhnya digulingkan ke kiri.
Serangan Manusia Rambut Merah lewat
beberapa jengkal di samping Soma. Sementara si-
nar merah yang menebarkan bau amis terus me-
nerabas. "Aaah...!"
Akibatnya dua orang pengemis berpakaian
tambal-tambalan langsung terpental disertai pe-
kikan setinggi langit. Tubuhnya yang terkena se-
rangan nyasar itu langsung hangus terbakar, tak
dapat bergerak-gerak lagi!
"Keparat...! Kau harus bertanggung jawab
atas nyawa dua orang pengemis itu, Kunyuk Me-
rah!" geram Soma penuh kemarahan.
Pemuda ini cepat meloncat tinggi ke udara.
Tangan kanannya cepat melemparkan senjata
mustikanya ke arah Manusia Rambut Merah. Se-
mentara tangan kirinya cepat melontarkan puku-
lan 'Inti Bumi'
"Hyaaat! Hyaaat...!"
Wesss! Wesss! Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih kali ini. Bagai anak panah yang lepas dari busur, senjata pusakanya
langsung melesat menyerang dengan kecepatan sulit diikuti pandan-
gan mata. Sementara satu sinar putih terang yang berkeredep menyusul di
belakangnya, tak jauh
dari senjata anak panah itu!
Menghadapi serangan yang demikian he-
bat, Manusia Rambut Merah cepat melempar tu-
buhnya ke samping kanan. Senjata pusaka Pe-
muda itu berhasil dihindari. Dan bersamaan den-
gan itu, tangan kirinya yang makin berwarna me-
rah darah cepat menyambut pukulan 'Inti Bumi'
Siluman Ular Putih.
Wesss! Blarrr...! Terdengar benturan keras di udara. Tubuh
Soma bergetar hebat akibat bentrokan tenaga da-
lam barusan. Wajahnya menegang. Bibirnya ber-
kemik-kemik penuh kemarahan.
Sementara pada saat yang sama, senjata
anak panah Siluman Ular Putih yang tadi luput
mengenai sasaran, entah mendapat tenaga gaib
dari mana, tahu-tahu telah membalik. Kini kem-
bali menyerang Manusia Rambut Merah dengan
kecepatan luar biasa!
Mata Manusia Rambut Merah melotot le-
bar-lebar. Saking marahnya, ia tidak sempat
mengeluarkan kata-kata lagi. Kedua kakinya yang
melesak ke dalam tanah, tahu-tahu telah mence-
lat tinggi ke udara. Cambuk di tangan kanannya
kini mulai menegang penuh berisi tenaga dalam.
Dalam keadaan melayang-layang seperti itu, Ki
Jarkasi terus menyerang Soma hebat, sekaligus
menghindari serangan anak panah.
Sementara itu pertarungan di tempat lain
pun tak kalah seru dibandingkan pertarungan
Soma melawan Manusia Rambut Merah. Ki Sa-
miaji yang bertempur hebat melawan Raja Golok
Dari Utara, merasa penasaran sekali. Setelah, sekian jurus berlangsung, musuhnya
belum juga di- robohkan. Demikian juga Gagak Seto yang ber-
tempur hebat melawan Raja Racun. Sedang Sa-
lindri dan Ratih, nampak agak sungkan harus
saling bahu membahu menghadapi Denok Supi.
Padahal, mereka telah dibantu sebelas orang ang-
gota Pengemis Tongkat Hitam. Namun tetap be-
lum mampu melumpuhkan tokoh sesat dari barat
itu. Sementara itu Raja Penyihir yang mengha-
dapi Algojo Dari Timur telah mengeluarkan ilmu-
ilmu sihirnya. Dan ini membuat tokoh sesat dari
timur itu mulai gentar. Apalagi setelah Raja Pe-
nyihir berubah wujud menjadi raksasa hitam
mengerikan. Tentu saja Algojo Dari Timur jadi ciut nya-
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
linya. Menghadapi Raja Penyihir dalam bentuk as-
linya saja, ia sudah kewalahan. Apalagi kini
menghadapi raksasa hitam jelmaan orang tua
bercaping pandan itu. Maka tanpa pikir panjang
lagi, Algojo Dan Timur pun segera mengambil
langkah seribu. Tubuhnya berkelebat cepat, me-
ninggalkan puncak Gunung Merapi
Raksasa hitam jelmaan Raja Penyihir
hanya tertawa-tawa berkakakan. Kemudian per-
lahan-lahan puluhan tubuhnya menciut kembali
menjelma menjadi orang tua bercaping pandan.
"Ha ha ha...! Baru segitu saja sudah lari
tunggang langgang!" omel orang tua bercaping
pandan itu di antara suara tawanya yang berge-
lak. "Eh..., eh! Tapi, mana bocah sinting calon muridku?"
Raja Penyihir celingukkan ke sana kemari
mencari-cari Soma. Dan ketika dilihatnya pemuda
yang sedang dicarinya sedang bertempur hebat
melawan Manusia Rambut Merah, buru-buru ia
meloncat mendekati kancah pertarungan, dan
duduk ongkang-ongkang kaki menonton jalannya
pertarungan. Sesekali mulutnya bersorak-sorak
kegirangan menyaksikan calon muridnya dapat
mengerjai lawannya dengan sikap ugal-ugalan.
"Ayo, Calon Muridku! Gebuk pantatnya!
Jambak rambutnya sampai protol. Cabuti semua
bulu kumis dan jenggotnya yang merah itu. Seka-
lian alis matanya, biar jadi memedi sawah!" teriak Raja Penyihir kegirangan.
"Baik, baik! Akan kulakukan semua perin-
tahmu, sebelum aku mengirim nyawanya pada
Raja Akhirat, Orang Tua. Tapi ngomong-ngomong,
siapa yang sudi menjadi muridmu?" teriak Soma menanggapi ocehan Raja Penyihir
sambil bertarung. "Eh eh eh...! Jadi kau membangkang tidak mau menjadi muridku,
ya"!" teriak orang tua itu gusar. Sekarang Raja Penyihir tidak lagi duduk
ongkang-ongkang kaki seperti tadi, melainkan
sudah berdiri berkacak pinggang di luar kancah
pertarungan. Kali ini Soma tidak lagi menanggapi. Perha-
tiannya kini dipusatkan kepada Manusia Rambut
Merah untuk melaksanakan apa yang baru saja
diperintahkan Raja Penyihir. Segera pemuda ini
memasang kuda-kuda, siap memainkan jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'.
"Kunyuk Merah! Bersiap-siaplah kujadikan
memedi sawah seperti yang dikatakan orang tua
sinting itu!" ancam Soma, langsung mencelat tinggi ke udara menyerang Manusia
Rambut Merah. Ki Jarkasi menggerutukkan gerahamnya
kuat-kuat. Kedua tangannya yang telah berubah
merah menyala hingga ke pangkal lengan siap
menyambut serangan.
Siluman Ular Putih bukannya mengendur-
kan serangannya, malah semakin mempercepat
gerakan kedua tangannya. Begitu Manusia Ram-
but Merah melepas pukulan 'Wejangan Iblis'-nya
yang menebarkan bau amis, Soma segera me-
nangkisnya dengan pukulan 'Inti Bumi'-nya. In-
ilah siasatnya untuk mengerjai Ki Jarkasi.
Wesss...! Bllarrr...! Terdengar ledakan dahsyat akibat perte-
muan dua kekuatan tenaga dalam tinggi.
Manusia Rambut Merah terhuyung-huyung
beberapa langkah ke belakang. Sedangkan Soma
sendiri hanya tergetar saja. Dan di saat Ki Jarkasi belum sempat berbuat apa-
apa, tangan kanan
pemuda ini cepat bergerak ke depan mencabut
rontok kumis laki-laki tinggi besar itu.
"Augh...!" pekik Manusia Rambut Merah
melengking. Kumisnya yang tercabut tadi lang-
sung memerah, mengeluarkan darah segar.
Soma tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
Orang tua bercaping pandan yang semula
sangat gusar dengan penolakan Soma, kini mulai
tertawa-tawa senang.
"Nah, nah...! Itu hadiahnya, karena kau te-
lah lancang membunuh Pendekar Kujang Emas,
ayahku!" celoteh Soma. "Sekarang, lihatlah serangan berikutnya! Mungkin bukan
saja rambutmu yang rontok. Malah, bisa juga nyawamu yang me-
layang. Hati-hatilah, Kunyuk Merah!"
Geraham Ki Jarkasi bergemelutuk. Tiba-
tiba saja tubuhnya diputar cepat sekali seperti
gasing. Seketika itu juga, tanah di puncak Gu-
nung Merapi itu membuncah tinggi, ke udara.
Dan bersamaan dengan itu, tahu-tahu tubuhnya
telah amblas ke dalam bumi!
"Eh...! Mau ngapain" Kok, malah main pe-
tak umpet?" tanya Soma, heran. Namun ketika menyadari kalau Manusia Rambut Merah
adalah guru Prameswara yang dapat amblas bumi itu,
pemuda ini jadi garuk-garuk kepala.
"Awas, Bocah Edan! Ia mulai menyerang-
mu!" teriak Raja Penyihir memperingatkan.
Memang benar apa yang dikatakan orang
tua bercaping pandan itu. Tanah tempat Manusia
Rambut Merah amblas bumi tadi mulai bergerak-
gerak cepat mendekati. Soma menunggunya se-
bentar. Dan begitu tanah yang bergerak-gerak di
bawahnya makin dekat, buru-buru Siluman Ular
Putih melompat tinggi ke udara.
Seperti yang telah diduga ketika mengha-
dapi Prameswara, Manusia Rambut Merah pasti
akan muncul kembali ke udara dan melancarkan
serangan mautnya. Dan ternyata perhitungan
pemuda ini benar. Begitu tanah di bawahnya
membuncah, langsung dikirimkannya pukulan
'Inti Bumi' dan 'Inti Api' secara bersamaan pada bayangan merah yang baru muncul
dari dalam tanah dengan sebuah serangan berupa sinar me-
rah darah. Wesss! Wesss! Dua leret sinar putih terang berkeredepan
dan merah menyala dari kedua telapak tangan
Soma, cepat menghantam seleret sinar merah da-
rah dari kedua telapak tangan Manusia Rambut
Merah. Akibatnya....
Blarrr...! Hebat bukan main pertemuan dua tenaga
dalam kedua orang itu kali ini, karena sama-sama mengerahkan tenaga dalam
sepenuhnya. Beberapa orang yang sedang bertempur
pun dapat merasakan hawa panas akibat perte-
muan dua tenaga dalam tadi. Namun, itu hanya
sebentar. Setelah hawa panas itu menghilang,
mereka kembali melanjutkan pertarungan.
Sementara itu Manusia Rambut Merah
yang sempat terhuyung-huyung beberapa langkah
ke belakang langsung memuntahkan darah segar.
Jelas, Ki Jarkasi menderita luka dalam yang cu-
kup lumayan. Mendapati kenyataan ini, hatinya
jadi gusar sekali. Apalagi ketika melihat ketiga datuk sesat yang telah menjadi
anak buahnya mulai
terdesak hebat oleh musuh-musuhnya.
Sedang Algojo Dari Timur pun sudah tak
terlihat lagi batang hidungnya.
Pada saat itu pula Denok Supi tengah
mengamuk hebat dengan jarum-jarum beracun-
nya. Seketika itu juga, beberapa orang pengemis
berpakaian tambal-tambalan jatuh bergelimpan-
gan ke tanah, tak mampu bangun lagi. Mati! Na-
mun Denok Supi sendiri pun harus menebusnya
dengan mahal. Ia harus merelakan tangan kirinya
yang buntung akibat terbabat pedang di tangan
Gagak Seto yang turun membantu putrinya.
Melihat keadaan tiga orang kawannya yang
kurang menguntungkan. Tanpa banyak pikir pan-
jang lagi Manusia Rambut Merah yang sudah ter-
luka parah langsung berbalik. Begitu kaki kanan-
nya ke tanah, tubuhnya berkelebat cepat dan le-
nyap dalam kegelapan malam.
"Hei...! Kunyuk Merah mau lari ke mana
kau"!" teriak Soma gusar.
Pemuda ini tak menyangka kalau musuh
besarnya akan lari meninggalkannya. Maka sece-
patnya kakinya menjejak tanah dan berkelebat
mengejar. Namun baru beberapa langkah me-
ninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja sebuah
bayangan hitam memanjang telah melibat leher-
nya! "Heit...! Tunggu dulu! Kau tidak boleh me-
ninggalkan tempat ini begitu saja! Aku harus
mendengar kesanggupanmu. Maukah kau menja-
di muridku"!" cegah Raja Penyihir tanpa mempedulikan kemarahan Soma.
"Ya, ampun! Kau lihat! Musuh besar yang
telah membunuh ayahku melarikan diri. Aku be-
lum puas kalau belum membunuhnya, Orang
Tua! Tapi mengapa kau menghalang-halangi
langkahku?" maki Soma gusar bukan main. Ke-
dua tangannya bergerak-gerak, membabat putus
bayangan hitam yang memanjang. Namun aneh-
nya, bayangan hitam yang mengikat lehernya ma-
lah semakin kencang mencekik lehernya.
"He he he...! Kau tidak mungkin dapat
memutuskan 'Tali Gaib'-ku, Bocah Edan!" ejek orang tua bercaping pandan itu di
antara suara tawanya. "Orang tua! Sebenarnya apa yang kau in-
ginkan?" bentak Soma kewalahan tak dapat memutuskan 'Tali Gaib' buatan Raja
Penyihir. "Seperti yang telah kukatakan tadi, aku
hanya ingin tanya apakah kau mau menjadi mu-
ridku" Tapi kalau seandainya saja menolak, tak
mungkin aku mau melepaskan 'Tali Gaib'-ku.
Ayo, sekarang jawab! Bersediakah menjadi mu-
ridku?" "Tapi..., tapi, aku harus menyelesaikan masalahku dulu dengan Kunyuk
Merah itu, Orang Tua," sergah Soma kesal.
"Baik. Aku akan melepaskanmu. Asal mu-
lai sekarang, kau harus memanggilku guru. Mau
kan?" "Baik, Orang Tua," sahut Soma kesal.
"Guru! Panggil aku guru, tahu!"
"Ba..., baik, Guru!" ulang Soma ragu-ragu.
Orang tua bercaping pandan itu tertawa-
tawa kegirangan. Lalu, dilepaskannya 'Tali Gaib'-
nya yang mengikat leher Soma.
"Nah! Sekarang kau boleh mengejar musuh
besarmu itu. Mungkin ia lari ke tempat pertapaan gurunya di gua Pantai Utara,
tak jauh dari Hutan Asem Arang," jelas Raja Penyihir, membuat keka-lutan Soma
sedikit berkurang.
"Baik, Guru! Sekarang juga aku akan men-
gejarnya ke sana!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun segera
berkelebat cepat meninggalkan puncak Gunung
Merapi. "Tunggu dulu, Muridku! Aku juga masih
punya urusan barang satu jurus dengan si tua
bangka Jerangkong Hidup itu," teriak Raja Penyihir lantang.
Soma yang sedang kesal karena musuh be-
sarnya kabur, tidak mempedulikan ocehan calon
gurunya. Pemuda itu terus saja berlari kencang,
meninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Murid sinting! Murid sunting...!" maki Raja Penyihir sambil membanting-banting
kaki kanannya kesal.
Sementara itu pertempuran di puncak Gu-
nung Merapi masih berjalan seru. Meski tangan
kanan Denok Supi buntung, namun masih bisa
mendesak lawan-lawannya hebat. Ratih dan Sa-
lindri kewalahan bukan main. Entah sudah bera-
pa kali kedua gadis cantik itu terpaksa berjumpalitan di udara menghindari
jarum-jarum hijau
yang berkeredepan milik Denok Supi.
Serrr! Serrr! Bukan main kagetnya Ratih dan Salindri
melihat sinar hijau berkeredep yang demikian ba-
nyaknya. Tak mungkin mereka dapat menghin-
dar. Namun, mendadak saja serangkum angin
dingin lagi-lagi memukul rontok jarum-jarum hi-
jau milik Denok Supi.
"Lagi-lagi kau yang menghalang-halangi se-
rangan-seranganku, Gagak Seto!" bentak Denok Supi penuh kemarahan. Tangan
kanannya cepat menyebar jarum-jarum hijaunya ke arah Gagak
Seto. Gagak Seto yang saat itu sedang sibuk
menghadapi serangan-serangan Raja Racun Dari
Selatan hanya tersenyum. Dengan sekali meng-
hentakkan kakinya ke tanah, tahu-tahu tubuh
tinggi tegapnya telah mencelat ke udara menghin-
dari serangan-serangan jarum hijau milik Denok
Supi. Pada saat melayang-layang seperti itu, tangan kiri yang telah berubah
menjadi kuning hing-
ga sampai ke pangkal lengan, cepat didorong ke
depan memapak pukulan 'Telapak Tangan Kela-
bang Hitam' milik Raja Racun Dari Selatan. Se-
dang tangan kanannya cepat memutar pedang
sedemikian rupa, menangkis jarum-jarum hijau
Denok Supi yang masih terus meluruk cepat.
Wesss! Wesss! Serrr! Serrr! Blarrr...! Terdengar ledakan keras di udara. Tubuh
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gagak Seto yang masih melayang-layang di udara
bergetar hebat, dan langsung mencelat tinggi ke
udara akibat bentrok dengan pukulan 'Telapak
Tangan Kelabang Hitam' milik Raja Racun Dari
Selatan. Kalau saja tidak membagi serangannya,
belum tentu paman tiri Pendekar Kujang Emas
dapat dibuatnya sempoyongan seperti itu oleh Ra-
ja Racun Dari Selatan. Buktinya, meski sesekali
membantu teman-temannya yang terdesak hebat
oleh musuh-musuhnya, toh tetap saja Raja Racun
Dari Selatan belum mampu merobohkannya.
Dan di saat tubuhnya mencelat tinggi ke
udara itu, Gagak Seto kembali memainkan jurus
saktinya 'Pedang Sakti Bintang Emas'. Tubuhnya
yang semula melayang-layang di udara, cepat
menukik tajam menyerang Denok Supi dengan
kecepatan mengagumkan.
"Ah...!" pekik Denok Supi tertahan.
Namun, bukan berarti tokoh sesat dari ba-
rat ini jadi gugup. Begitu melihat pedang di tangan Gagak Seto berkelebat hendak
menusuk ubun-ubun kepalanya, wanita genit ini cepat me-
lempar tubuhnya ke samping sambil kembali me-
nyebar jarum-jarum racunnya.
Sedang Raja Racun Dari Selatan yang me-
lihat kawannya kewalahan, segera menerjang be-
gitu pendekar dari Keraton Mataram itu menje-
jakkan kedua kakinya di tanah.
Namun belum sempat Raja Racun Dari Se-
latan melaksanakan niatnya, mendadak Ratih
dan Salindri telah menerjang dengan pedang di
tangan. Sehingga, tokoh sesat dari selatan itu terpaksa mengalihkan serangan ke
arah dua lawan barunya. Sementara itu, meski Ki Samiaji dibantu
kedua puluh orang muridnya yang kini hanya
tinggal empat orang, masih saja belum mampu
mengatasi serangan-serangan Raja Golok Dari
Utara. Bahkan keadaannya dan empat orang mu-
ridnya sangat mengkhawatirkan. Sedang untuk
meminta bantuan Gagak Seto maupun muridnya,
jelas tidak mungkin. Karena mereka sama-sama
tengah sibuk bertarung.
"Raja Penyihir!"
Begitu Ki Samiaji melihat Raja Penyihir
yang sedang ngoceh tak karuan karena kesal di
tinggal kabur Soma, cepat berteriak memanggil
orang tua bercaping pandan itu.
"Cepat bantu kami menghajar iblis-iblis
tengik ini, Raja Penyihir!" teriak Ki Samiaji.
Raja Penyihir langsung menoleh. Matanya
yang lebar memperhatikan jalannya pertempuran
itu sebentar. Lucu sekali sebenarnya. Karena,
orang tua aneh itu nampak ogah-ogahan.
Ki Samiaji yang melihat ulah Raja Penyihir
jadi cemas. Namun belum sempat mengeluarkan
teriakannya kembali....
"Tahan senjata! Siapapun yang tidak me-
nuruti perintahku, aku tidak segan-segan lagi melemparkan tubuh kalian dari
puncak Gunung Me-
rapi ini!" bentak Raja Penyihir dengan suara bergetar aneh, menyerang jalan
pikiran semua orang
yang berada di puncak Gunung Merapi.
Ajaib sekali! Begitu mendengar bentakan
Raja Penyihir, entah mengapa tiba-tiba saja se-
mua orang yang berada di puncak Gunung Mera-
pi menghentikan serangan. Semula, tubuh mere-
ka sempat bergetar hebat seperti ada kekuatan
gaib yang membuat tubuh sulit digerakkan. Dan
akhirnya, tidak bisa digerak-gerakkan sama seka-
li! Semua orang yang ada di sini sama-sama
terbelalak seolah tidak mempercayai apa yang di-
alami. Dan dari mata yang terbelalak lebar, wajah Denok Supi, Raja Racun Dari
Selatan dan Raja
Golok Dari Utara kontan menjadi pucat pasi!
"Bagus! Bagus! Rupanya kalian anak-
anakku yang penurut semua!" ujar Raja Penyihir.
"Nah, sekarang dengar! Kalian bertiga, Iblis-iblis Tengik! Hari ini nyawa tengik
kalian kuampuni.
Cepat tinggalkan tempat ini, sebelum pikiranku
berubah!" hardik Raja Pengemis garang, tidak lagi dipenuhi kekuatan batinnya.
Semua orang yang ada di sini kembali ter-
belalak lebar, seolah-olah tidak percaya kalau tubuh kaku mereka dapat kembali
digerakkan da- lam waktu yang demikian singkat. Dan begitu da-
pat bergerak, Denok Supi, Raja Golok Dari Utara
maupun Raja Racun Dari Selatan pun segera ber-
kelebat meninggalkan tempat itu.
"Raja Penyihir! Mengapa kau biarkan kabur
iblis-iblis keji itu"!" tanya Ki Samiaji kecewa bukan main melihat musuh yang
telah membantai
banyak murid-muridnya dibiarkan pergi begitu
saja. "Itu bukan urusanku!" sahut orang tua aneh bergelar Raja Penyihir itu
galak. "Gara-gara mengurus kalian, aku jadi ketinggalan beberapa
langkah oleh calon muridku itu!"
Sehabis berkata demikian, Raja Penyihir
cepat berkelebat menyusul muridnya.
"Terima kasih atas bantuanmu tadi, Gagak
Seto...," ucap Ki Samiaji. Nada suaranya kaku sekali. "Jangan terlalu berbasa-
basi, Samiaji! Sudah sewajarnya kita penghuni alam mayapada ini
harus saling tolong-menolong, saling kasih men-
gasihi," sergah Gagak Seto kalem.
Ki Samiaji hanya bisa mengangguk-
angguk. Namun wajahnya yang menegang tetap
saja masih menyimpan kesedihan dan kekesalan.
Sementara itu Ratih dan Salindri yang tadi
melihat Soma telah berlari turun gunung menge-
jar Manusia Rambut Merah, hanya bisa membe-
rengut kesal. Mata mereka tak henti-hentinya te-
rus memandangi ke arah lenyapnya bayangan
pemuda tadi. "Romo! Apakah kita tidak menyusulnya?"
tanya Ratih pada ayahnya tiba-tiba.
Gagak Seto tersenyum. Ia maklum, apa
yang tengah dialami putrinya.
"Romo kira, Soma tidak kesulitan mengha-
dapi orang yang telah membunuh ayahnya,
Anakku! Sebaiknya, kita pulang saja ke kota raja untuk memperdalam ilmu silatmu.
Lain kali, baru
kau boleh melanjutkan pengembaraanmu," ujar Gagak Seto arif.
Ratih makin memberengut kesal.
"Aku pamit dulu, Samiaji. Lain kali kalau
ke kotaraja, singgahlah ke rumah kami! Selamat
tinggal!" ucap Gagak Seto lagi, seraya meraih lengan putrinya. Dan mereka segera
berkelebat me- ninggalkan puncak Gunung Merapi.
"Tentu saja, Gagak Seto!" ujar Ki Samiaji seraya mengangguk-angguk.
Kemudian ketika bayangan Gagak Seto dan
putrinya telah berkelebat di antara kegelapan malam, Ki Samiaji pun segera
perintahkan keempat
orang murid dan putrinya untuk mengubur mayat
murid-muridnya yang lain.
7 Manusia Rambut Merah terus berlari ken-
cang meninggalkan puncak Gunung Merapi.
Hampir setengah malaman Ki Jarkasi berlari ken-
cang menuju utara, yang tidak lain ingin mene-
mukan Jerangkong Hidup gurunya di gua karang
di Pantai Utara!
Pagi itu matahari baru saja menampakkan
sinarnya yang merah kekuning emasan di ufuk
timur. Ramainya kicau burung camar yang ter-
bang menuju laut lepas semakin memantapkan
lahirnya pagi hari itu.
Ki Jarkasi tengah berlari kencang mende-
kati batu karang berbentuk pedang di pinggir
pantai. Begitu langkahnya terhenti pada jarak
dua tombak di depan batu karang, kepalanya ce-
lingukan sebentar. Sepertinya ia takut kalau ada orang lain yang melihat
perbuatannya. Dan belum
juga Manusia Rambut Merah melangkah kemba-
li.... "Manusia Rambut Merah keparat! Berhari-hari aku mencarimu, tapi baru
sekarang unjuk gigi, he"!"
Manusia Rambut Merah tersentak kaget
saat terdengar bentakan dari belakang. Tubuhnya
cepat diputar. Tahu-tahu di depannya telah berdi-ri seseorang berpakaian biru-
biru dengan cadar
penutup wajahnya yang juga berwarna biru. Di
tangan kanannya tergenggam sebilah pedang.
"Perempuan Bercadar Biru...!" desis Manusia Rambut Merah, sedikit lega.
"Bagus! Kalau masih ingat aku. Sekarang
aku mau tanya, mana muridku"! Lekas kembali-
kan!" bentak tokoh wanita dari Pulau Karimunjawa ini garang.
"Ha ha ha...! Sayang! Sayang sekali, mu-
ridmu yang cantik telah menjadi bangkai, Perem-
puan Bercadar Biru!" sahut Manusia Rambut Me-
rah, bernada mengejek.
"Anjing kurap budukan! Aku harus menun-
tut balas atas kematian muridku," pekik Perempuan Bercadar Biru itu kalap.
Langsung tubuh-
nya meluruk. Tangan kanan yang memegang pe-
dang panjang itu telah berkelebat cepat menye-
rang Manusia Rambut Merah.
Ki Jarkasi menarik ujung bibirnya. Meski
sebenarnya sedang terluka parah, namun gerakan
tokoh sesat dari Hutan Sawo Kembar itu terlihat
masih lincah saat berloncatan kesana kemari
menghindari serangan.
"Lebih baik kau bunuh diri saja, Perem-
puan Bercadar Biru! Kau tak mungkin dapat
mengalahkanku. Pergilah! Sana...!"
Sehabis berkata demikian, Ki Jarkasi ber-
kelebat mendekati wanita itu. Dan tiba-tiba telapak tangan kanannya dihantamkan
ke punggung Perempuan Bercadar Biru. Dan....
Bukkk! "Aaakh...!"
Perempuan Bercadar Biru terjajar beberapa
tombak ke samping kanan. Wajahnya pucat pasi.
Bibirnya bergetar-getar, pertanda isi dadanya ter-guncang.
"Demi kehormatan muridku, aku akan
mengadu nyawa denganmu Manusia Rambut Me-
rah!" desis Perempuan Bercadar Biru.
Tokoh dari Pulau Karimunjawa itu nekat
menerjang Manusia Rambut Merah, mengguna-
kan jurus-jurus andalannya. Namun sayang yang
dihadapinya kali ini bukanlah tokoh silat kemarin sore. Manusia Rambut Merah
adalah tokoh berkepandaian sangat tinggi. Sehingga wajar saja kalau serangan-
serangan perempuan itu mudah se-
kali dimentahkan. Bahkan telapak tangan kanan
Ki Jarkasi yang telah memerah, siap mengirimkan
pukulan kejinya ke dada Perempuan Bercadar Bi-
ru. Wesss! Perempuan Bercadar Biru memekik terta-
han. Tak mungkin lagi serangan Manusia Rambut
Merah dihindari. Apalagi dalam jarak sedekat itu.
Kini yang bisa dilakukan hanya memejamkan ma-
ta. Pasrah! Namun di saat yang paling genting ba-gi keselamatannya, tiba-tiba
saja.... Wesss! Seleret sinar putih terang berkeredep yang
entah dari mana datangnya, langsung memapaki
pukulan 'Kelabang Geni' milik Manusia Rambut
Merah! Blarrr...!
Mata Manusia Rambut Merah terbelalak
liar. Tubuhnya yang tinggi kekar terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang dengan
darah segar membasahi bibirnya.
"Ha ha ha...! Selamat berjumpa kembali,
Kunyuk Merah! Dan juga kau, Perempuan Berca-
dar Biru! Tapi, berhubung aku sedang mendapat
tugas dari Raja Akhirat untuk mencabut nyawa
Kunyuk Merah ini, terpaksa aku harus menyele-
saikan tugasku dulu," kata seorang pemuda tam-
pan bercelana dan berompi putih keperakan ber-
sisik, yang tadi menahan pukulan 'Kelabang Geni'
milik Manusia Rambut Merah. Pemuda itu tak
lain memang Siluman Ular Putih.
Dan sehabis berkata begitu, Soma yang
sudah geram sekali langsung melesat, menyerang
Manusia Rambut Merah. Tidak tanggung-
tanggung langsung dikeluarkannya jurus-jurus
sakti 'Terjangan Maut Ular Putih'
Dukkk! Dukkk! "Augh...!" jerit Manusia Rambut Merah setinggi langit.
Tokoh sesat ini memang sudah luka parah
setelah bertarung dengan Siluman Ular Putih se-
belumnya. Jadi, mana mungkin dapat menangkis
serangan-serangan. Maka tanpa ampun lagi tu-
buh tinggi besarnya terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang.
Soma tidak mau mempedulikan lagi kea-
daan Ki Jarkasi yang sudah terluka parah dan te-
rus saja menyerang dengan hebat. Namun baru
beberapa jurus menyerang, mendadak tanah di
sekitar tempat itu bergetar-getar hebat. Dan....
Brolll!
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tidak lama kemudian, tanah yang berge-
rak-gerak telah membuncah tinggi ke udara ber-
sama munculnya sesosok bayangan putih-putih
dari dalam tanah.
"Guru...!" teriak Manusia Rambut Merah yang sudah kepayahan. Hatinya kini
sedikit lega, saat melihat kehadiran satu sosok kurus kering
berwajah mengerikan.
Laki-laki berusia sangat tua itu hanya
mendengus. Aneh sekali suaranya. Kedua bibir-
nya pun sama sekali tidak bergerak-gerak.
Manusia Rambut Merah yang melihat ke-
datangan laki-laki menyeramkan yang memang
gurunya itu langsung kembali timbul semangat-
nya. Dengan tertawa-tawa sumbang segera me-
nyerang Soma. Dan ternyata, sosok berjuluk Je-
rangkong Hidup itu sendiri pun turut pula mem-
bantu muridnya.
Siluman Ular Putih menggeram penuh ke-
marahan. Tangan kanannya cepat mencabut ke-
luar senjata andalannya. Anak Panah Bercakra
Kembar. Maka seketika itu juga hawa dingin
menggigit tulang menebar ke sekitarnya. Bahkan
Perempuan Bercadar Biru yang berdiri di sudut
batu karang langsung menggigil kedinginan!
Dan begitu merasakan angin dingin berke-
siur menyerang tubuhnya, Soma langsung meng-
genjot kedua kakinya ke tanah. Di saat tubuhnya
melayang-layang tinggi, cepat senjata pusakanya
dilemparkan ke arah Manusia Rambut Merah.
Sedang tangan kirinya yang telah memutih hingga
ke pangkal lengan, siap pula mengirimkan puku-
lan 'Inti Bumi'
Hebat bukan main serangan Siluman Ular
Putih ini. Bagai anak panah yang lepas dari bu-
sur, senjata pusaka pemuda itu melesat menye-
rang Ki Jarkasi dengan kecepatan sulit sekali diikuti pandangan mata. Sementara,
satu sinar pu- tih terang berkeredep dari tangan kirinya menyu-
sul di belakang, tak jauh dari senjata anak panah itu! Meski dengan susah payah,
Manusia Rambut Merah cepat menggulingkan tubuhnya ke
samping, menghindari serangan anak panah. Se-
mentara Jerangkong Hidup memapak pukulan
'Inti Bumi' dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
Wesss! Blarrr...! Terdengar benturan keras akibat perte-
muan dua tenaga dalam tingkat tinggi. Tubuh Si-
luman Ular Putih terhuyung-huyung beberapa
langkah ke belakang. Wajahnya menegang. Bibir-
nya berkemik-kemik penuh kemarahan.
Pada saat ini, laksana sebuah rencong,
senjata Anak Panah Bercakra Kembar yang tadi
luput mengenai sasaran, entah mendapat tenaga
gaib dari mana, tiba-tiba saja telah berputar balik ke arah Soma. Dan si pemuda
yang sedang terhuyung-huyung cepat menangkapnya.
Tap! Begitu senjata pusaka itu telah kembali di
tangan, Siluman Ular Putih pun kembali melem-
parkannya diiringi sinar putih terang yang berkeredep menyerang Manusia Rambut
Merah dan gu- runya. Ki Jarkasi dan Jerangkong Hidup hanya
tersenyum mengejek. Dan dengan gerakan-
gerakan kedua kaki dan tangan yang cepat, murid
dan guru itu pun dapat mematahkan serangan,
sekaligus menyerang balik.
Kini perlahan namun pasti, Soma mulai
terdesak hebat. Jangankan untuk membalas se-
rangan. Untuk menghindari saja susah sekali.
Bahkan entah sudah berapa kali tubuhnya yang
tinggi tegap itu harus jumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan kedua
iblis itu. Bukkk! Bukkk! "Aaakh...!"
Pada akhirnya, serangan Manusia Rambut
Merah dan Jerangkong Hidup dapat mendarat te-
lak di tubuh Soma. Seketika itu juga tubuh pe-
muda ini terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang disertai muntahan darah segar.
"Huaaah,..!"
Soma menggeram penuh kemarahan. Tan-
pa disadari saat amarahnya tidak dapat dikenda-
likan, tiba-tiba saja sekujur tubuh pemuda ini
mulai dipenuhi asap putih tipis. Sehingga pada
akhirnya, bayangan tubuhnya tidak kelihatan
sama sekali! Dan saat asap putih tipis itu menghilang tertiup angin, tiba-tiba
saja dari asap putih tipis itu terlihat bayangan sesosok ular putih sebesar
pohon kelapa, tengah menggeliat-geliat hebat! "Gggeeerrr...!"
"Siluman Ular Putih...!" desis Manusia Rambut Merah dan Jerangkong Hidup hampir
berbarengan. "Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendadak mencelat
tinggi ke udara, langsung menerjang Manusia
Rambut Merah dan Jerangkong Hidup.
Di lain tempat, Perempuan Bercadar Biru
membelalakkan matanya lebar-lebar. Wanita yang
berdiri menggigil di sudut batu karang dengan
wajah pucat ini benar-benar dibuat terkejut bu-
kan main. Tidak disangka sama sekali kalau pe-
muda sinting yang pernah menggodanya di luar
Hutan Sawo Kembar ternyata Siluman Ular Putih
yang saat ini jadi buah bibir kalangan persilatan.
"Sungguh tidak kusangka kalau pemuda
sinting ini yang mendapatkan julukan Siluman
Ular Putih...," desah Perempuan Bercadar Biru, penuh kagum.
Sepasang mata wanita ini yang tersem-
bunyi di balik cadar biru penutup wajahnya, tak
henti-hentinya terus mengikuti pertarungan hi-
dup mati di hadapannya. Betapa dilihatnya Silu-
man Ular Putih sudah pula membelit tubuh Ma-
nusia Rambut Merah dengan mulut siap meren-
cah. Selang beberapa saat lamanya kemudian....
"Aaa...!"
Terdengarlah lengking kematian Manusia
Rambut Merah yang telah dilempar keluar dari
kancah pertarungan dengan sekujur tubuh terca-
bik-cabik mengerikan. Sedangkan pada saat itu,
tubuh Siluman Ular Putih sendiri pun terlempar
pula, setelah sebelumnya ketika tengah memang-
sa Manusia Rambut Merah, Jerangkong Hidup
menghantamnya dengan pukulan 'Kelabang Geni'.
"Gggeeerrr...!"
Siluman Ular Putih mendesis hebat. Tu-
buhnya yang terlempar keluar kancah pertarun-
gan cepat menggeliat ke belakang siap kembali
menerjang Jerangkong Hidup. Namun sebelum
tubuhnya bergerak....
"Bagus, Muridku! Ternyata kau sudah da-
pat menggebuk Kunyuk Merah itu sampai mam-
pus. Sekarang kau minggirlah! Si tua bangka Je-
rangkong Hidup ini giliranku."
Tiba-tiba saja terdengar suara seseorang
menegur Siluman Ular Putih. Dan tahu-tahu, di
tengah-tengah antara Siluman Ular Putih dan Je-
rangkong Hidup berdiri seorang laki-laki tua bercaping pandan.
"Tua bangka Raja Penyihir! Kau rupanya!
Hm.... Majulah sekalian kalau ingin mampus!"
bentak Jerangkong Hidup tanpa menggerak-
gerakkan bibirnya sama sekali.
"Tunggu dulu, Jerangkong Hidup! Di anta-
ra kita memang masih ada urusan. Tapi, tunggu
dulu ya! Aku harus mengamankan muridku ini."
Sehabis berkata begitu, orang tua bercap-
ing pandan yang memang Raja Penyihir telah
menggerakkan tangan kanannya ke depan. Dan
dari telapaknya tiba-tiba meluncur bayangan hi-
tam memanjang dan langsung mengikat tubuh Si-
luman Ular Putin! Lalu, saat itu juga tubuhnya
meluruk, menyerang Jerangkong Hidup.
Siluman Ular Putih menggeliat-geliat hebat.
Seketika itu juga sekujur tubuhnya mulai diseli-
muti asap putih tipis, hingga jadi tidak kelihatan sama sekali. Dan saat asap
putih tipis tersapu
angin tampak seorang pemuda tampan bercelana
dan rompi bersisik warna putih keperakan tengah
memegangi dadanya menahan sakit. Sementara
darah segar tampak telah membasahi bibir pe-
muda itu akibat pukulan 'Kelabang Geni' milik
Jerangkong Hidup tadi
"Hukk! Hukkk! Sial! Sial! Bagaimana aku
harus melarikan diri dari orang tua itu"! Rupanya orang tua itu telah mengikatku
dengan 'Tali Gaib'.
Huh!" gerutu Soma kesal. Dan lebih kesalnya lagi ketika melihat pangkal 'Tali
Gaib' itu diikat pada kaki kiri Raja Penyihir yang sedang bertempur
hebat melawan Jerangkong Hidup.
"Aku sumpahin mampus di tangan Jerang-
kong Hidup kau, Orang Tua!" omel Soma kesal.
Raja Penyihir tidak mempedulikan ocehan
Soma. Saat itu, ilmu-ilmu sihirnya sedang dike-
rahkan. Rupanya, Soma sendiri pun juga tidak mau
mempedulikan orang tua itu. Ia hanya berjalan
tertatih-tatih, mendekati Perempuan Bercadar Bi-
ru. Namun anehnya, layaknya sebuah karet, 'Tali
Gaib' terasa agak menjerat langkahnya. Dan lebih anehnya lagi, kaki kiri Raja
Penyihir sama sekali tidak terpengaruh tarikan Soma. Kaki itu tetap
saja dapat bergerak lincah, seperti tidak terbebani apa-apa!
"Hai!" sapa Soma pada Perempuan Berca-
dar Biru. "Bagaimana dengan luka-lukamu" Sa-
kit, ya?" Perempuan Bercadar Biru meringis kesaki-
tan seraya menganggukkan kepala. Namun dari
pandangan matanya, ia sangat mengagumi pe-
muda di hadapannya yang bergelar Siluman Ular
Putih. "Sama!" sahut Soma mulai kambuh penya-kitnya. Lalu tanpa permisi lagi,
pemuda murid Eyang Begawan Kamasetyo pun sudah menotok
beberapa jalan darah di bagian punggung Perem-
puan Bercadar Biru. Sehingga akhirnya, rasa sa-
kit wanita itu sedikit berkurang.
"Terima kasih. Lagi-lagi kau yang meno-
longku," ucap Perempuan Bercadar Biru sedikit mulai lega.
"Lho..." Siapa dulu penolongnya"!" kata Soma jumawa, seraya mengacungkan ibu
jarinya dan telunjuknya ke dadanya sendiri.
"Se..., sebenarnya aku ingin membunuh
Manusia Rambut Merah. Tapi, sayang. Aku tidak
bisa," ungkap Perempuan Bercadar Biru.
"Lho...! Jelas tidak bisa dong. Aku sendiri saja hampir mampus di tangannya.
Apalagi, ada bangkotan tua Jerangkong Hidup itu. Kunyuk
Merah itu jadi besar kepala saja. Tapi, sudahlah!
Aku ingin lihat, bagaimana orang tua sinting Raja Penyihir itu digebuk
Jerangkong Hidup!"
Sehabis berkata begitu, Soma pun mema-
lingkan wajahnya ke arah pertarungan.
Tampak saat itu Raja Penyihir tengah ter-
tawa bergelak-gelak melihat 'Tali Gaib'-nya berhasil melibat leher Jerangkong
Hidup! Seketika itu juga, orang tua bercaping
pandan itu, menggerak-gerakkan 'Tali Gaib'-nya
ke sana kemari, membentur-benturkan tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup ke batu-batu cadas, diser-
tai pengerahan tenaga dalam sangat tinggi.
Jrot! Jrot! "Aaa...!"
Disertai lengkingan panjang, Jerangkong
Hidup tewas dengan tubuh hancur. Serpihan-
serpihan tubuhnya berceceran di tanah disertai
percikan darah.
"Eh...!" desah Soma.
Pemuda ini menarik mundur dadanya. Ke-
dua alis matanya bertautan tajam. Kepalanya
menggeleng-geleng heran.
"Wah wah wah...! Ternyata sumpahku tak
mempan, Orang Tua! Kau masih hidup!" lanjut Siluman Ular Putih penuh kagum.
Tak disangka, 'Tali Gaib' milik Raja Penyi-
hir demikian hebat.
Raja Penyihir tertawa bergelak-gelak. Ma-
tanya yang lebar sejenak memandangi tubuh ku-
rus Jerangkong Hidup yang hancur berantakan di
dinding-dinding batu cadas. Kemudian, cepat di-
gabungkannya kembali 'Tali Gaib' di tangan ka-
nannya dengan 'Tali Gaib' yang mengikat di kaki
kirinya. "Ha ha ha...! Sumpah apa pun kalau keluar
dari mulut baumu, tak bakalan mempan. Apa kau
ingin kusumpahi?" tukas Raja Penyihir.
"Terima kasih! Buang saja sumpahmu ke
laut sana!" kata Soma seraya menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
"Nah! Kalau begitu, cepat ikut aku ke Gu-
nung Tidar! Ayo!" ajak orang tua bercaping pandan itu, cepat menarik 'Tali
Gaib'-nya kuat-kuat.
Aneh sekali! Seketika tubuh Soma lang-
sung tersentak ke depan mengikuti tarikan. Ke-
mudian sambil tertawa-tawa senang, Raja Penyi-
hir terus menyeret 'Tali Gaib' yang mengikat leher pemuda itu.
"Tunggu, Orang Tua! Leherku sakit sekali!"
teriak Soma. Raja Penyihir tidak mempedulikannya.
Siluman Ular Putih 02 Manusia Rambut Merah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sambil bersiul-siul kecil terus diseretnya Soma
tanpa ampun. Sementara itu Perempuan Bercadar Biru
hanya menggeleng-geleng saja, sebelum akhirnya
berkelebat meninggalkan tempat yang baru saja
dinodai darah tokoh-tokoh sesat berhati iblis.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Jaka Lola 7 Kisah Dua Naga Di Pasundan Karya Arief Sudjana Pendekar Aneh Dari Kanglam 6