Pencarian

Pasukan Kumbang Neraka 2

Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka Bagian 2


ini membuat makhluk-makhluk penghuni puncak
Gunung Sindoro jadi kian ketakutan. Mereka
yang telah bertahun-tahun tersiksa dalam kung-
kungan Pengasuh Setan tetap saja tak dapat ber-
buat banyak. Mereka hanya dapat menuruti pe-
rintah tanpa banyak membantah.
Begitu suara perintah Pengasuh Setan te-
rucap, seketika suara riuh rendah di puncak gu-
nung kembali terdengar ramai. Lalu dari segala
penjuru muncul sosok-sosok mengerikan. Seba-
gian bertubuh pendek dengan kepala botak dan
perut buncit. Sebagian bertubuh tinggi besar dengan kulit hitam legam serta mata
mencorong ber- warna merah saga. Sebagian lain bertubuh kurus
kering bak mayat hidup. Bahkan kemudian ben-
tuk-bentuk aneh lainnya ikut muncul di tempat
ini. "Bagus! Kalian memang anak-anak asuhku
yang patuh. Sekarang lekas kalian semua masuk
ke dalam jasad orang-orang itu! Lekas!"
Suara riuh rendah di puncak Gunung Sin-
doro itu terdengar makin ramai. Sementara keli-
ma belas orang murid Perguruan Telapak Gajah
yang masih sadar entah kenapa tiba-tiba didera
rasa takut luar biasa. Meski telah kehilangan akal sehatnya, namun anehnya kali
ini mereka semua
dapat merasakan sekaligus melihat sosok-sosok
mengerikan di hadapan mereka.
Untuk bertindak lebih lanjut, tetap saja
mereka tidak mampu. Mereka hanya dapat mem-
belalakkan mata liar saat sosok-sosok mengeri-
kan itu mendadak berubah jadi gulungan-
gulungan asap hitam pekat berputar-putar di
angkasa, sebelum akhirnya masuk ke dalam ja-
sad Telapak Gajah serta ketiga puluh orang mu-
ridnya. Baik yang sudah menjadi mayat, maupun
yang belum. "Keaaakkk...!" Terdengar suara-suara aneh dari rongga mulut Telapak
Gajah dan ketiga
puluh orang muridnya begitu gulungan-gulungan
asap hitam pekat itu telah masuk ke dalam tubuh
masing-masing. Maka seketika itu juga tubuh ke-
tua Perguruan Telapak Gajah dan tubuh ketiga
puluh orang muridnya merangkak bangun. Perla-
han. Amat perlahan!
Paras-paras mereka kini terlihat amat
mengerikan, tak seperti sebelumnya. Kini paras-
paras itu mendadak berubah menjadi pucat se-
perti mayat hidup. Sepasang mata mereka mem-
belalak liar berwarna merah. Saat menyeringai,
terlihat taring-taring panjang mereka yang mengerikan. Bukan main. Entah
kejadian apa yang
akan melanda dunia persilatan bila Pengasuh Se-
tan benar-benar ingin melaksanakan nafsu gi-
lanya. Membunuh Siluman Ular Putih, sekaligus
menguasai dunia persilatan!
Melihat Telapak Gajah berikut ketiga puluh
orang muridnya telah berubah jadi sosok-sosok
mengerikan, Pengasuh Setan tersenyum puas. Se-
jurus kemudian tawanya yang berat meledak,
menggema ke seluruh alam. Seolah ia ingin men-
gabarkan kalau sebentar lagi keangkaramurkaan
akan mengguncang dunia persilatan!
"Meruya! Ke sini kau!" teriak Pengasuh Setan memanggil burung peliharaannya yang
dari tadi hanya terbang berputar-putar di atas puncak gunung.
"Kuuukkk...!"
Terdengar sahutan membahana dari ang-
kasa, kemudian disusul meluncurnya titik hitam
kecil ke bawah. Kini di bongkahan batu di samp-
ing Pengasuh Setan telah hinggap burung hantu
raksasa yang tak lain Meruya.
"Dengar, Meruya! Malam ini juga aku dan
pasukanku akan turun gunung. Kau kuperintah-
kan untuk menjaga puncak Gunung Sindoro dari
jarahan siapa pun juga. Terutama sekali, kau ha-
rus menjaga Kitab Paguyuban Setan yang belum
kupelajari semuanya. Kau paham, Meruya"!" ujar Pengasuh Setan, penuh tekanan.
"Kuuukkk...! Kuuukkk...!"
Seolah mengerti, burung hantu raksasa se-
besar kambing itu menggerak-gerakkan kepa-
lanya menyahuti kata-kata Pengasuh Setan. Se-
pasang matanya yang bulat besar berwarna hitam
pekat terlihat amat mengerikan.
"Telapak Gajah! Kau pun kuperintahkan
untuk menemani burung peliharaanku menjaga
puncak Gunung Sindoro ini. Awas, jika sampai
gagal. Kau akan kubuat merana seumur hidup-
mu. Nyawamu akan kubuat gentayangan, sebe-
lum hari akhir menjelang. Kau paham, Telapak
Gajah?" Pengasuh Setan menatap tajam Telapak
Gajah. Dan sebenarnya, kini ketua Perguruan Te-
lapak Gajah kurang tepat kalau dipanggil Telapak Gajah. Karena, kali ini
bukanlah sebagai Telapak Gajah seperti sebelumnya, melainkan sebagai salah
seorang anak buah Pengasuh Setan!
"Keaaakkk...!"
Telapak Gajah menyahut. Suaranya kali ini
bukan lagi seperti suara manusia kebanyakan,
melainkan mirip suara gaib penghuni liang ku-
bur. "Nah! Sekarang laksanakan tugasmu, Telapak Gajah. Lekas ikuti burung
peliharaanku!" perintah Pengasuh Setan, penuh wibawa.
Sementara Meruya sudah menggerak-
gerakkan kepalanya sebentar. Kilatan sepasang
matanya yang mencorong tajam sejenak memper-
hatikan Telapak Gajah seksama. Dan lalu, bu-
rung raksasa peliharaan Pengasuh Setan ini sege-
ra terbang tinggi ke udara.
Tanpa diperintah sekali lagi, Telapak Gajah
pun segera menyusul. Tubuhnya terus berkelebat
cepat ke utara, mengikuti ke arah mana burung
hantu raksasa itu terbang. Sebentar kemudian
sosok bayangan Telapak Gajah menghilang di ba-
lik mulut kawah di puncak Gunung Sindoro.
"Sekarang, kalian semua ikuti aku!" lanjut Pengasuh Setan.
*** "Kita mau ke mana. Soma?" tanya Putri
Manja ketika seperti tak peduli Siluman Ular Pu-
tih melangkah pergi meninggalkan tempat perta-
rungannya tadi dengan Maling Tanpa Bayangan.
"Cerewet! Ikuti saja aku!" bentak Soma kasar. Sengaja pemuda itu memang berlaku
demi- kian. Maksudnya untuk meledek gadis manja di
belakangnya. Putri Manja bersungut-sungut cemberut.
Tapi terus diikutinya langkah Soma.
Soma terus saja tak peduli dan terus berja-
lan seenaknya. Diam-diam ditunggunya sambu-
tan gadis di belakangnya. Hanya karena didorong
ingin meledek saja Soma tetap bersikap angkuh.
"Cih...! Tak tahu malu! Siapa sudi mengi-
kutimu!" sentak Putri Manja tiba-tiba.
Soma melengos. Kaget juga pemuda ini me-
lihat perubahan sikap Putri Manja. Dari sorot matanya ia tahu, Putri Manja
ngadat dengan meng-
hentikan langkahnya. Wajahnya ditekuk, me-
nampakkan ketidaksukaan.
Mau tidak mau Soma menghentikan lang-
kah, namun tetap pada berdirinya. Hanya perha-
tiannya saja yang diam-diam terus mengamati ge-
rak-gerik gadis manja di belakangnya.
Putri Manja tak bergeming sedikit pun.
Soma tersenyum dalam hati. Kena kau, so-
rak hatinya. "Tak mau, ya sudah!" sungut Soma.
"Heh"! Memalukan! Aku benci padamu!
Seumur hidupku, aku tak sudi berkawan den-
ganmu!" sentak Putri Manja, langsung berbalik dan melangkah pergi.
"Eh, tunggu!" Soma kaget bukan main. Kali
ini justru pemuda itu yang kalang kabut saat me-
lihat gadis manja itu melangkah lebar meninggal-
kannya. Soma buru-buru berbalik dan mengejar.
Ketika tangan Soma hendak meraih pundak, den-
gan kasar Putri Manja menepis.
"Lepaskan! Aku tak sudi berkawan den-
ganmu! Aku benci padamu!" teriak Putri Manja, kalap. "Putri! Aku tadi hanya
main-main. Ayolah kita teruskan perjalanan! Kenapa kau ngambek
begini?" bujuk Soma habis-habisan.
Putri Manja berhenti dengan mata membe-
liak. Soma tersenyum. Malah sebelah matanya
mengerling nakal. Tapi tiba-tiba tangan Putri
Manja melayang hendak menampar.
Soma terkesiap. Tapi hanya sebentar. Se-
lanjutnya, tangannya bergerak menangkis.
Plakkk! Melihat tamparannya gagal Putri Manja
membantingkan kakinya kesal. Matanya sempat
membeliak liar sebelum akhirnya kembali berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu.
"Eh, Putri! Tunggu!"
Soma terperangah. Si pemuda merasa me-
nyesal telah mempermainkan gadis manja itu.
Namun untuk menyesali sikapnya jelas tak ada
waktu. Tak ada pilihan lain, terpaksa dikejarnya Putri Manja. "Tunggu aku,
Putri! Tungguuu...!" teriak Soma kalang kabut.
Putri Manja tak menggubris sama sekali.
Tubuhnya terus berkelebat cepat meninggalkan
Soma. Walau berat, hatinya dipaksakan untuk ti-
dak lagi menemui Siluman Ular Putih.
"Tunggu, Putri! Kau tak boleh meninggal-
kanku!" Soma cepat melenting melewati Putri Manja, dan kini berdiri tegak di
hadapan si gadis.
"Minggir! Aku tak sudi bertemu denganmu
lagi!" bentak Putri Manja seraya menghentikan kelebatannya.
Mendadak, Putri Manja mendorong tubuh
Siluman Ular Putih, kasar. Soma terjengkang ke
samping, namun buru-buru meloncat bangun.
Langsung dihadangnya jalan Putri Manja kembali.
"Minggir...!" bentak Putri Manja bengis. Ki-ni tak segan-segan lagi gadis ini
mencabut keluar senjata andalannya yang berupa gunting besar.
Tapi Siluman Ular Putih malah tersenyum.
Kedua tangannya dikembangkan lebar seolah in-
gin menyambut gadis itu dalam pelukannya.
Putri Manja menyorongkan guntingnya ke
leher Siluman Ular Putih.
"Kalau kau tak mau pergi dari sini kubu-
nuh kau, Soma!" pekik Putri Manja sarat ancaman. "Coba saja kalau kau bisa!"
tantang Siluman Ular Putih, tak bergerak sedikit pun.
"Kau..., kau!" Putri Manja mendelik, gusar.
"Kenapa ragu-ragu" Ayo, bunuh aku!"
Putri Manja menggeretakkan gerahamnya
penuh kemarahan. Padahal sekali tangannya ber-
gerak sudah pasti leher Siluman Ular Putih tang-
gal dari tempatnya. Namun diam-diam gadis ini
tak menginginkan hal itu terjadi. Jelas, ia tak ingin Siluman Ular Putih celaka.
Yang diinginkan-
nya agar pemuda gendeng satu ini lekas mening-
galkan dirinya. Dan yang membuat hatinya tam-
bah mengkelap, Siluman Ular Putih malah men-
cibirnya. Ini benar-benar tak diampunkan lagi.
Maka tanpa ampun, tiba-tiba tangan si gadis ber-
gerak cepat. Dan....
Tukkk! Tukkk! Dua kali tangan kiri Putri Manja berkelebat
cepat, menotok iga Siluman Ular Putih. Seketika
tubuh Soma kaku tak dapat bergerak.
"He he he...! Kau malah menotokku, Putri"
Kenapa tak jadi membunuhku" Apa kau ingin
memperkosaku?" celoteh Siluman Ular Putih,
seenak dengkul. Senyumnya pun makin bertam-
bah meriah. "Kau memang menjengkelkan, Soma! Aku
tak sudi berteman denganmu!"
Putri Manja membantingkan kakinya. Kes-
al. Kilatan kedua bola matanya sempat menyam-
bar Siluman Ular Putih. Begitu garang. Setelah itu kakinya menjejak tanah, lalu
berkelebat cepat
meninggalkan tempat ini.
Siluman Ular Putih terperangah kaget.
Sungguh tak disangka kalau Putri Manja akan
meninggalkan dirinya masih dalam keadaan terto-
tok. Padahal, ia masih ingin melakukan perjala-
nan bersama gadis nyentrik itu.
"Oooi...! Lepaskan totokanku, Putri! Le-
paskan totokanku!" teriak Soma kalang kabut.
Putri Manja tak peduli. Tubuhnya terus
berkelebat cepat meninggalkan Siluman Ular Pu-
tih. Terpaksa Soma hanya dapat mencaci maki.
Dilihatnya sosok tubuh Putri Manja terus berke-
lebat cepat ke timur hingga menghilang di kerim-
bunan hutan depan sana.
"Ah...! Kenapa urusannya jadi begini"
Huh...! Tak seharusnya aku mempermainkannya.
Sekarang semuanya sudah terlambat. Aku harus
melepaskan totokanku lebih dulu kalau ingin
mengejar gadis itu. Tapi... tapi... Ah...! Bagaimana aku harus melepaskan
totokannya?" gerutu Soma dalam hati.
Berkali-kali Siluman Ular Putih coba men-
gerahkan tenaga dalam untuk melepaskan toto-
kan Putri Manja. Namun hasilnya, tetap sama sa-


Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ja. Tubuhnya masih kaku tak dapat bergerak.
5 Apa enaknya berdiri tegak dalam keadaan
kaku tertotok" Tentu amat menyiksa. Begini tidak bisa, begitu tidak bisa. Semua
serba susah. Tak
dapat berbuat apa-apa, kecuali menunggu sampai
pengaruh totokan punah.
Begitulah yang dialami Siluman Ular Putih.
Soma yang terkena totokan Putri Manja sampai
hari menjelang malam tetap saja tak dapat me-
munahkan pengaruh totokan. Berkali-kali men-
coba, hasilnya hanya sumpah serapah dari mu-
lutnya. "Slompret! Tak kusangka totokan gadis
nyentrik itu sangat hebat. Mau tidak mau aku ha-
rus menunggu sampai pengaruh totokan punah.
Daripada kesal tak ketahuan juntrungannya,
mendingan tidur!" umpat Siluman Ular Putih me-nekan rasa dongkol.
Siluman Ular Putih segera memejamkan
matanya. Namun baru saja dua hitungan meme-
jamkan mata, mendadak pendengarannya yang
tajam menangkap langkah-langkah halus mende-
kati tempat ini. Mau tidak mau niatnya tertunda.
Matanya kini dipaksa untuk memperhatikan kea-
daan sekitar. Tapi sayang, kedua bola matanya
hanya bisa bergerak-gerak. Sedikit pun kepalanya tak dapat digerakkan.
"Seumur hidupku baru kali ini aku melihat
pemuda begini tolol. Huh! Menyebalkan!"
Terdengar suara dari belakang. Ingin ra-
sanya Soma memutar kepalanya, melihat siapa
orang di belakang. Tapi berhubung totokan Putri
Manja masih mempengaruhi jalan darahnya, ter-
paksa hanya bisa mencaci dalam hati. Itu saja
sudah cukup. Sebab dalam keadaan tertotok begi-
tu, alangkah sangat riskan kalau sampai salah
bersikap. Ya, kalau orang di belakangnya dari golongan baik-baik. Tapi kalau
dari golongan mu-
suh, bukan mustahil nyawanyalah taruhannya!
"Ah...! Bisanya kau berkata begitu, Sobat.
Apa kau juga bisa bertingkah macam-macam ka-
lau kau tertotok begini?" gerutu Soma, akhirnya tak dapat mengendahkan perasaan.
"Cih...! Tak tahu malu! Bertahun-tahun
aku bertapa, buat apa kalau tak dapat membuka
totokan sendiri!" dengus orang di belakang Siluman Ular Putih, gusar.
"Iya. Buat apa kalau tak dapat membuka
totokan sendiri, lebih baik bunuh diri saja!" sahut satu suara lain dari
belakang. Siluman Ular Putih menggerutu.
"Hm...! Jadi di belakangku ada dua orang.
Pantas! Apa yang harus kulakukan sekarang?"
tanya Siluman Ular Putih dalam hati.
Kini langkah-langkah di belakang Siluman
Ular Putih berhenti di samping dengan tatapan
menyelidik. Siluman Ular Putih memaksakan kedua
bola matanya ke samping. Memang kelihatan
agak lucu. Karena letak dua sosok bayangan di
sampingnya cukup jauh dari pandangan ma-
tanya. Sehingga membuat matanya terasa pegal.
Meski demikian. Soma masih dapat melihat dua
sosok manusia di sampingnya.
Yang paling dekat dengannya adalah seo-
rang kakek tua kurus dan amat tinggi. Mungkin
bisa mencapai dua setengah tombak. Pakaiannya
ketat warna hijau. Seperti pakaiannya, ternyata
kedua bola mata kakak tua itu berwarna hijau.
Di samping kakek tua yang memiliki tubuh
amat jangkung, berdiri seorang kakek tua. Hanya
saja sosok kakek ini ternyata memiliki tubuh
amat pendek. Tak lebih dari satu tombak. Kepa-
lanya botak dengan tubuh tambun mirip bola
raksasa. Saking tambunnya, membuat pakaian
hijaunya terbuka, menampakkan pusarnya yang
bodong. Sementara itu sepasang mata Siluman Ular
Putih terasa pegal sudah. Bahkan hatinya pun
merasa tidak enak juga melihat dua sosok kakek
aneh di sampingnya. Perlahan-lahan urat ma-
tanya yang mengencang dikendurkan. Sejenak ia
termangu-mangu. Dalam hati ia bertanya, siapa-
kah sebenarnya dua orang kakek aneh ini"
"Enak saja kalian ngomong! Coba saja ka-
lau kalian sendiri yang tertimpa musibah ini. Aku tidak yakin kalian dapat
melepaskan totokan!"
Soma memanas-manasi.
"Apa kau bilang, Bocah Edan" Kau mele-
cehkan kepandaian Lamdaur dan Dewa Bogel
hah"!" dengus kakek jangkung yang bergelar
Lamdaur jengkel.
Soma mendengus dengan gaya enak sekali.
"Hm... jadi mereka bernama Lamdaur dan Dewa Bogel," gumamnya.
"Bocah tak tahu diuntung! Sudah bagus
kami tidak menghajarmu. Eh, malah pakai mele-
dek!" semprot kakek bertubuh pendek tambun
yang berjuluk Dewa Bogel.
"Kalau begitu, tunjukkan saja kehebatan
kalian. Kalau kalian mampu, coba bebaskan toto-
kanku!" pancing Soma.
"Baik!" sahut Dewa Bogel, rupanya ia kena terpancing.
"Tunggu!"
Buru-buru Lamdaur mencegah. Kedua te-
lapak tangannya direntangkan ke belakang me-
nahan langkah adik seperguruannya.
"Bocah Gendeng! Ternyata kau punya akal
bulus juga. Apa kau pikir aku dapat dikelabui,
he"! Enak saja memerintah kami melepaskan to-
tokan! Tak usah ya!" ejek Lamdaur.
Siluman Ular Putih tersenyum samar. Me-
mang, itulah yang diinginkan.
"Ya, sudah. Bilang saja kalian tidak becus.
Habis perkara. Pakai banyak dalih segala. Seka-
rang cepat kalian enyah dari hadapanku! Buat
apa menjual lagak di hadapanku kalau mele-
paskan totokan saja tak becus!"
"Aku sanggup, Bocah Edan!" Dewa Bogel
melotot. "Iya, iya! Tapi, mana buktinya"!" tantang Siluman Ular Putih.
"Kau..., kau...!"
Dewa Bogel kehabisan kata-kata. Kedua
bola matanya yang juga berwarna hijau membela-
lak lebar. Ingin rasanya ia menghajar Siluman Ular
Putih saat itu. Akan tetapi entah kenapa tak bisa.
Matanya kian membelalak lebar. Hidungnya kem-
bang kempis menahan rasa penasaran.
"Bogel! Tak ada gunanya buang-buang
waktu meladeni ocehan bocah edan satu ini.
Baiknya, mari kita teruskan perjalanan," ajak Lamdaur pada adik seperguruannya.
"Nah, itu juga bagus! Lekas enyah dari ha-
dapanku!" sambar Soma memanas-manasi.
"Setan! Bocah tak tahu diuntung! Kau me-
mang patut mendapat pelajaran dariku, Bocah
Edan!" teriak Dewa Bogel, langsung melompat ke depan. Tangan kanannya yang sudah
gatal-gatal segera menampar pipi Siluman Ular Putih dua
kali. Plak! Plakkk!
Tanpa bisa dicegah pipi Siluman Ular Putih
terkena tamparan, tubuh Siluman Ular Putih pun
terbanting keras. Kedua pipinya yang terkena
tamparan Dewa Bogel terasa panas bukan main.
Untung saja lelaki tambun itu tidak mengerahkan
tenaga dalam. Karena, bukan mustahil kedua pipi
Siluman Ular Putih itu akan porak-poranda. Bisa
jadi nyawanya pun ikut melayang!
"Bagaimana" Cukup nyaman kan, tampa-
ranku tadi?" leceh Dewa Bogel.
"Bisa saja kau ngomong, Dewa Bogel! Su-
dah pasti kau dapat merobohkanku. Coba kalau
aku tidak tertotok. Belum tentu kau dapat mero-
bohkanku. Iya kan, Kakek Jangkung?" kata Siluman Ular Putih melemparkan
pendapatnya pada
Lamdaur. "Kau memang benar, Bocah," jawab Lam-
daur, polos. "Kang...! Kenapa kau malah membela bo-
cah tengil itu" kenapa kau tidak menghajarnya!
Kau pilih kasih, Kang!" sembur Dewa Bogel tiba-tiba. Lamdaur kebingungan.
Sebentar-sebentar
diperhatikannya adik seperguruannya. Sebentar
pandangan matanya dialihkan pada Siluman Ular
Putih. Meski sebenarnya amat mengagumi pemu-
da itu karena sedikit pun pemuda itu tidak cedera akibat tamparan Dewa Bogel
tadi, namun jelas ia
harus berpihak pada Dewa Bogel, adik sepergu-
ruannya. "Aku.... Aku tidak pilih kasih, Bogel. Kau
sendiri saja yang salah. Mana mungkin aku ber-
sikap pilih kasih. Kenal pun tidak," kilah Lamdaur. "Buktinya?"
"Bukti apa?"
"Kau tidak ikut menghajar bocah tengil itu.
Itu berarti kau pilih kasih, Kang!"
"Ah...!" desah Lamdaur gelisah.
"Ayo hajar bocah tengil itu, Kang!"
"Tidak, Bogel. Urusan kita masih banyak.
Kukira tak ada gunanya meladeni bocah tolol itu!
Baiknya cepat kita tinggalkan tempat ini!" ajak Lamdaur.
"Kang...!"
Dewa Bogel tak meneruskan kata-katanya
saat melihat kakak seperguruannya telah berke-
lebat cepat meninggalkan tempat itu. Dewa Bogel
gusar bukan main.
"Awas, Bocah Tengil! Lain kali aku pasti
akan menghajarmu!" sungut Dewa Bogel.
Saat itu juga Dewa Bogel segera menjejak-
kan kakinya ke tanah. Seketika tubuhnya melent-
ing tinggi ke udara, lalu berkelebat cepat menyusul Lamdaur. Sekejap saja
sosoknya yang bundar
menghilang di kegelapan malam.
Siluman Ular Putih menggerutu tak ka-
ruan. Bukan saja kesal mendapat tamparan Dewa
Bogel, melainkan juga kesal mendapati tubuhnya
terbanting di kubangan Lumpur
"Sial benar nasibku hari ini! Sudah terto-
tok, masih pula kecebur dalam kubangan lumpur
lagi! Ugh...!" semprot Soma.
Tak henti-hentinya. Siluman Ular Putih
mengomel. Dalam hatinya, ia berjanji akan mem-
balas perlakuan Dewa Bogel tadi.
*** Kalau orang sudah terbakar api dendam,
sudah pasti akan menuntut balas. Apa pun yang
akan terjadi, walau nyawa taruhannya. Namun ini
bukan berarti tanpa perhitungan. Dengan berba-
gai macam upaya niatnya akan dilampiaskan. Ka-
lau perlu dengan kelicikan sekalipun.
Seperti juga yang dialami Maling Tanpa
Bayangan. Walau telah dikalahkan Siluman Ular
Putih dengan mudah, tetap akan menuntut balas
dendam muridnya yang tewas di tangan Siluman
Ular Putih. Bila mana tidak menuntut atas te-
wasnya Raja Maling, ia merasa malu besar. Dunia
persilatan akan mencemoohnya. Dan Maling Tan-
pa Bayangan tak menginginkannya.
Dan Maling Tanpa Bayangan kini berusaha
mencari cara jitu untuk melumpuhkan Siluman
Ular Putih. Dengan cara apakah" Itu yang dipi-
kirkannya. Kini setelah hampir setengah harian beru-
saha menyembuhkan luka dalamnya akibat per-
tarungan melawan Siluman Ular Putih, Maling
Tanpa Bayangan duduk merenung di bawah rin-
dangnya sebuah pohon. Udara segar siang itu tak
lagi dihiraukan. Demikian juga luka dalamnya
yang belum sembuh benar.
"Tak ada pilihan lain. Aku harus menemu-
kan Kitab Paguyuban Setan. Tak mungkin aku
dapat melampiaskan dendam pada pemuda kepa-
rat itu kalau belum memiliki sekaligus mempela-
jari kitab itu!" tandas Maling Tanpa Bayangan, dalam hati.
Tapi sebagai seorang tokoh sakti yang
mendapat gelar Maling Tanpa Bayangan, mencuri
kitab sehebat Kitab Paguyuban Setan bukanlah
satu pekerjaan mudah. Di samping tempatnya
cukup sulit, kitab itu pun dijaga makhluk-
makhluk halus penghuni puncak Gunung Sindo-
ro. Maling Tanpa Bayangan tahu itu. Inilah yang
menjadi kesulitannya.
Seperti sudah menjadi rahasia umum, se-
jak dulu memang tersiar kabar kalau Kitab Pa-
guyuban Setan memang menjadi incaran banyak
tokoh sakti dunia persilatan. Ada kabar kalau kitab itu tersimpan di puncak
Gunung Merapi. Tapi
ada pula kalau tersimpan di puncak Gunung Sin-
doro yang dijaga makhluk-makhluk halus. Dan
mereka yang memperebutkannya tak ada yang
tahu secara pasti. Apalagi sudah banyak tempat
yang dicurigai telah dijelajahi, namun belum ada yang berhasil. Tentu saja, lain
persoalannya dengan Maling Tanpa Bayangan dan Pengasuh Setan.
Memang hanya dua orang yang mengetahui
keberadaan kitab itu. Maling Tanpa Bayangan
dan Pengasuh Setan. Namun untuk merebut Ki-


Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tab Paguyuban Setan dari tangan Pengasuh Se-
tan, jelas bukan satu pekerjaan mudah. Kalau ti-
dak, sudah dari dulu Maling Tanpa Bayangan da-
pat menjarahnya.
"Apa pun yang akan terjadi, aku harus
mencuri Kitab Paguyuban Setan dari tangan Pen-
gasuh Setan. Tak mungkin dendamku yang ber-
karat ini didiamkan begitu saja. Hanya kematian
Siluman Ular Putih sajalah api dendam dalam
dadaku bisa reda!" geram Maling Tanpa Bayangan penuh kemarahan.
Saking tegangnya, paras Maling Tanpa
Bayangan jadi kian mengerikan. Matanya membe-
lalak liar. Keningnya berkerut-kerut dengan ra-
hang bergemeletakkan.
"Yah...! Kukira sekarang juga aku harus
menyatroni puncak Gunung Sindoro," lanjut Maling Tanpa Bayangan, tak dapat lagi
mengendah- kan gelegak amarahnya.
Namun baru saja bangkit, mendadak sepa-
sang matanya yang mencorong tajam melihat dua
sosok tubuh telah melenggang ke arahnya. Bah-
kan Maling Tanpa Bayangan segera bersembunyi
di balik pohon yang besarnya tiga kali pelukan
orang dewasa itu.
Sosok sebelah kanan yang terlihat Maling
Tanpa Bayangan adalah seorang lelaki tua bertu-
buh tinggi sekali, hampir mencapai dua setengah
tombak. Sepasang matanya berwarna hijau. Tu-
buhnya yang kurus kerempeng dibalut pakaian
ringkas warna hijau.
Tak seperti sosok di sebelahnya, sosok ka-
kek renta yang satu lagi justru memiliki ukuran
tubuh yang jauh berlawanan. Tubuhnya teramat
pendek, tak lebih dari setengah tombak. Perutnya buncit dengan pusar moncong ke
depan. Kepalanya botak. Matanya juga berwarna hijau. Seki-
las pandang, sosok kakek yang juga berpakaian
hijau tampak seperti bola raksasa yang tengah
menggelinding. Siapakah dua sosok manusia aneh ini"
Mau apa mereka gentayangan di dunia persila-
tan" Dan mengapa pula Maling Tanpa Bayangan
tampak terperangah kaget melihat dua manusia
aneh itu" "Hm...! Lamdaur dan Dewa Bogel. Mereka
berdua pasti sedang mencari aku...," gumam Maling Tanpa Bayangan dalam hati,
Sedikit pun lelaki ini tidak berani membuat
gerakan-gerakan mencurigakan, takut terdengar
oleh dua manusia aneh yang tak lain Lamdaur
dan Dewa Bogel. Bahkan hembusan napasnya
sengaja dibuat sehalus mungkin.
"Setan! Kalau saja aku tak terluka, sudah
pasti kuhajar dua manusia edan itu. Tapi sayang.
Luka dalamku belum sembuh...," lanjut Maling Tanpa Bayangan, tetap bersembunyi
di balik pohon. "Kang! Kenapa tadi kita tidak bertanya pa-da bocah edan yang
kita tinggal itu?" tanya Dewa Bogel. "Bertanya apa" Bocah sinting macam dia,
mana tahu urusan kita?" sahut Lamdaur yang
bertubuh jangkung.
"Kakang Lamdaur! Jangan suka meremeh-
kan orang! Siapa tahu bocah edan itu pernah me-
lihat Kakang Maling Tanpa Bayangan" Kenapa
tadi kita tidak menanyakannya"." tukas Lamdaur, tak mau kalah.
"Tadi aku kesal sekali. Tak henti-hentinya
bocah edan itu meledek kita. Siapa yang tidak
kesal?" kilah Dewa Bogel. Lelaki tua tambun ini jadi kesal, karena Lamdaur
sepertinya justru lebih memihak Siluman Ular Putih yang tadi mere-
ka tinggalkan. "Aku jadi heran. Kenapa tiba-tiba kau jadi
tak menyukaiku, Kang" Kenapa kau justru me-
mihak bocah edan itu" Apa benar kau mulai pilih
kasih" Kau mulai tidak menyukaiku...," sungut Dewa Bogel, akhirnya tak dapat
lagi mengendahkan perasaannya.
"Ah...! Kau ini ada-ada saja. Mana mungkin
aku pilih kasih. Mana mungkin aku tak menyu-
kaimu. Kau adalah adik seperguruanku. Jadi tak
ada alasan kalau tak menyukaimu. Tapi kalau
kau masih penasaran, ayo balik saja. Kita tanya-
kan apakah bocah edan itu pernah melihat Ka-
kang Maling Tanpa Bayangan atau tidak!"
Saat ini Lamdaur dan Dewa Bogel telah
melewati pohon tempat Maling Tanpa Bayangan
bersembunyi. Dengan demikian, lelaki yang pan-
dai mencuri itu harus memutari pohon agar tidak
terlihat. Tentu saja dengan pengerahan tenaga dalam tinggi, agar tak diketahui
Lamdaur dan Dewa
Bogel. Sementara itu bibir Dewa Bogel tambah
lancip saja saat memberengut begitu. Namun ma-
nakala tangan Lamdaur menyeretnya, Dewa Bogel
menurut saja. Dan menyadari dua orang yang tengah
mencari dirinya memutar balik, diam-diam. Mal-
ing Tanpa Bayangan menggerutu kesal. Jelas tin-
dakan mereka itu menghambat Maling Tanpa
Bayangan untuk keluar dari tempat persembu-
nyian. Padahal mereka tadi sudah cukup jauh da-
ri tempat Maling Tanpa Bayangan bersembunyi.
Saat kedua kakek itu mulai melewati tem-
pat persembunyiannya, Maling Tanpa Bayangan
bergerak memutar balik agar keberadaannya tak
diketahui. Dan saat mereka telah cukup jauh me-
lewati pohon, buru-buru Maling Tanpa Bayangan
keluar dari tempat persembunyiannya. Sialnya,
tanpa disadari kakinya menginjak ranting kering.
Dan.... Krakkk! "Eh...! Siapa di belakang?"
Dewa Bogel dan Lamdaur memalingkan
kepala ke belakang.
Maling Tanpa Bayangan menggerutu kesal.
Tubuhnya yang telanjur keluar dari tempat per-
sembunyian tentu saja tak dapat berkelit lagi dari mata Lamdaur dan Dewa Bogel.
Tak ada pilihan
lain, Maling Tanpa Bayangan segera berkelebat
cepat meninggalkan tempat itu.
"Eh..., itu dia! Maling Tanpa Bayangan!"
tunjuk Dewa Bogel pada Maling Tanpa Bayangan.
"Kejar!" teriak Lamdaur pula.
Tanpa banyak membuang waktu, Dewa
Bogel dan Lamdaur segera menjejakkan kakinya
ke tanah. Tubuh mereka berkelebat cepat, menge-
jar Maling Tanpa Bayangan. Hanya dalam bebe-
rapa kelebatan saja, sosok Lamdaur dan Dewa
Bogel telah jauh dari tempat semula.
Tapi sayangnya, sosok Maling Tanpa
Bayangan sendiri pun juga telah berkelebat jauh
di depan. Meski luka dalamnya belum sembuh
benar, namun tak percuma mendapat gelar Mal-
ing Tanpa Bayangan. Gerakan kedua kakinya ce-
pat luar biasa. Hingga dalam beberapa kelebatan
saja, sosoknya telah menghilang di balik rimbun-
nya hutan depan sana.
Dewa Bogel dan Lamdaur tak putus asa.
Mana mungkin mereka melepaskan orang yang
sedang dicarinya begitu saja. Meski sudah ter-
tinggal cukup jauh, mereka terus mengejar hingga masuk ke dalam hutan.
Sesampainya di dalam hutan, mendadak
Dewa Bogel dan Lamdaur kehilangan buruan.
Bak ditelan bumi, sosok Maling Tanpa Bayangan
tak ditemukan di sekitar tempat itu. Mau tidak
mau, mereka harus menghentikan langkah.
"Setan Alas! Tak kusangka kakak sepergu-
ruan kita dapat lari secepat itu. Tak heran kalau ia digelari Maling Tanpa
Bayangan!" gerutu Dewa Bogel pada Lamdaur. Diam-diam hatinya mengagumi ilmu
meringankan tubuh Maling Tanpa
Bayangan yang ternyata kakak seperguruan me-
reka berdua. "Meski kepandaiannya tinggi, tetap saja
maling. Kau tak pantas mengagumi maling. Ia ha-
rus segera kita bawa ke makam guru untuk
mempertanggungjawabkan sepak terjangnya di
dunia persilatan!" tukas Lamdaur, tak senang.
"Siapa yang mengagumi. Aku tak menga-
gumi maling! Bagaimanapun juga aku tetap akan
meringkus bajingan satu itu!" tukas Dewa Bogel sengit. "Ya, sudah! Kukira kau
mengaguminya,"
ujar Lamdaur. "Ayo, kita kejar dia! Aku yakin Kakang Maling Tanpa Bayangan belum
terlalu jauh meninggalkan kita. Pasti masih berada di sekitar tempat ini!"
"Baik."
6 Malam ini angkasa berselimut cahaya pur-
nama putih keperakan. Terasa nyaman sekali un-
tuk dinikmati. Kerlip berjuta bintang seolah ber-lomba saling membanggakan sinar
yang berwarna putih keperakan.
Dalam keindahan malam itu tampak dua
sosok bayangan berkelebat ke utara. Tujuannya
jelas, puncak Gunung Merapi. Namun belum be-
gitu jauh mereka tiba di lereng, tiba-tiba salah sa-tu bayangan itu menghentikan
langkah. Terpak-
sa, sosok di sebelahnya ikut-ikutan menghentikan langkah, seraya memandangi
sosok di samping
tak mengerti. Dari terangnya sinar bulan, terlihat kalau
sosok yang memandang tak mengerti itu memiliki
wajah aneh. Parasnya saja mirip bayi. Padahal, ia adalah seorang kakek tua.
Buktinya rambut, bulu
mata, dan alisnya sudah berwarna putih. Kulit
tubuhnya juga putih bersih namun penuh keru-
tan, terbalut pakaian bayi. Perawakannya bagai
bocah berusia lima tahun.
Sementara sosok yang satu lagi mengena-
kan jubah kuning kedodoran sampai lutut. Kepa-
lanya plontos, serta memiliki sepasang mata kecil yang selalu bersinar jenaka.
Tubuhnya tinggi kurus. Wajahnya kasar penuh keriput.
"Katanya mau ke tempatku, ke puncak
Gunung Merapi" Kok malah berhenti?" tanya kakek bermuka bayi, tak dapat
menyembunyikan rasa kesalnya. "Hm...! Anu...! Sepertinya aku berubah pi-
kiran, Bayi Kawak...," sahut kakek berkepala plontos. Nada bicaranya terdengar
ragu-ragu. "Apa" Berubah pikiran" Berubah pikiran
bagaimana, Pelukis Sinting Tanpa Tanding?" tukas kakek berwajah bayi yang tak
lain Bayi Ka- wak. Nada suaranya terdengar jengkel.
"Ya berubah pikiran," sahut lelaki tua berjubah kuning yang memang Pelukis
Sinting Tanpa Tanding, "Maksudmu...?"
"Aku tak ingin ke puncak Gunung Merapi
sekarang."
"Kau... kau.... Ah...!" Bayi Kawak membantingkan kakinya. Kesal. "Kau ini bicara
plintat-plintut amat, sih"! Katanya mau ke tempatku, se-
karang malah mem...."
"Aku ingin mencari Pengasuh Setan," potong Pelukis Sinting Tanpa Tanding, cepat.
"Apa?" lagi-lagi bola mata Bayi Kawak
membeliak lebar, seolah tak percaya mendengar
ucapan Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Kukira telingamu belum tuli, kan" Aku in-
gin mencari Pengasuh Setan. Paham?"
"Iya. Tapi... tapi...! Bukankah tempo hari
kau dapat dikalahkannya dengan mudah" Kenapa
sekarang kau malah mencari mati?"
"Aku tidak mencari mati. Aku akan mem-
bunuh manusia iblis itu, tahu"!" sentak Pelukis Sinting Tanpa Tanding, sengit.
"Tahu! Tapi itu sama saja dengan bunuh
diri!" "Biar. Lebih baik mati di tangan manusia iblis itu daripada hidup
menanggung malu."
"Eh...! Ngomong apa sebenarnya kau ini"
Tadi katanya ingin mencari Pengasuh Setan, se-
karang malu-malu" Kau ini bagaimana, sih" Apa
otak tuamu itu perlu dicuci?"
"Justru otakmulah yang perlu dicuci! Ba-
gaimana aku tidak malu kalau orang yang telah
mencelakakan muridku masih gentayangan di
dunia persilatan"!" sergah Pelukis Sinting Tanpa Tanding, kesal bukan main.
(Untuk mengetahui
bagaimana Pelukis Sinting Tanpa Tanding dika-
lahkan Pengasuh Setan dan bagaimana muridnya
bisa dipengaruhi Pengasuh Setan, silakan ikuti
"Persekutuan Maut?" dan "Pengasuh Setan").
Dibentak seperti itu, Bayi Kawak bukannya
sadar. Malah hatinya jadi tambah sewot. Bagai-
manapun juga ia kecewa, karena temannya mem-
batalkan niatnya berkunjung ke puncak Gunung
Merapi. Juga, kecewa karena menganggap te-
mannya tak tahu diri.
"Dasar orang sinting, tetap saja sinting.
Untung saja aku tidak ketularan sinting," gerutu Bayi Kawak, tak mau mengakui
kekalahannya. "Eh...! Dengar, Orang Sinting! Bagaimana mungkin kau membunuh Pengasuh Setan,
kalau tempo hari saja kau dapat dikalahkan" Jangan mimpi,
Orang Sinting! Kau tak mungkin dapat menga-
lahkan Pengasuh Setan."
"Kali ini aku yakin sekali dapat mengalah-
kannya. Asal, kau mau membantuku," tegas Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Yah...! Buntut-buntutnya juga minta to-
long. Baiklah kalau begitu. Tapi, bagaimana ca-
ranya" Apakah kau sudah punya akal?" meski


Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersungut, toh akhirnya Bayi Kawak meluluskan
juga permintaan temannya.
"Belum. Justru aku sedang mencari-cari
kelemahannya. Tapi, kau mau kan membantu-
ku?" bujuk Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Sebenarnya Bayi Kawak ingin sekali men-
cemooh. Tapi baru saja akan membuka mulut,
mendadak.... "Eh..., Manusia! Aku mau tanya. Apa ka-
lian melihat seseorang lewat sini" Cepat beri tahu kami!" Terdengar teriakan
mengejutkan yang kemudian disusul berkelebatnya dua sosok bayan-
gan ke tempat itu.
*** Tambah dongkol saja hati Bayi Kawak
mendengar teriakan barusan. Kilatan sepasang
matanya kontan dialihkan ke arah datangnya su-
ara. Kini dua sosok kakek telah berdiri di hada-
pannya. Yang satu bertubuh jangkung, yang lain-
nya bertubuh bogel.
"Huh..., kalian! Lamdaur dan Dewa Bogel.
Mau apa kalian mengusik kami, he"!" bentak Bayi Kawak, tak senang.
"Lho" Ditanya kok malah membentak?" se-ru kakek jangkung yang memang Lamdaur,
he- ran. Sementara lelaki tua di sebelahnya yang tak lain Dewa Bogel masih tenang-
tenang saja. "Bagaimana tidak membentak kalau kalian
tidak tahu adat" Bicara baik-baik, dong," sahut Pelukis Sinting Tanpa Tanding,
ikut-ikutan. "Maaf! Cuaca cukup gelap. Jadi maklumlah
kalau kami tak mengenali kalian," ucap Lamdaur, terima salah.
"Sudah dibentak baru terima salah. Manu-
sia macam apa kalian, he"!" bentak Bayi Kawak, belum puas.
"Bayi Kawak! Kami sudah berlaku baik.
Kenapa kau masih membentak" Sekarang kata-
kan saja! Apa kalian melihat Maling Tanpa
Bayangan lewat kemari atau tidak"!" kata Dewa Bogel tak sabar. Kali ini tak
kuasa menahan ke-tersinggungannya.
"Tidak tahu. Dari tadi kami tidak melihat
apa-apa. Hanya kalian berdua sajalah yang
mengganggu kami," sahut Pelukis Sinting Tanpa
Tanding, mendahului Bayi Kawak.
"Sudah dengar" Kami tidak melihat Maling
Tanpa Bayangan lewat kemari. Jadi, buat apa ka-
lian berlama-lama di tempat ini?" timpal Bayi Kawak. "Bayi Kawak! Tak kau suruh
pun kami akan pergi dari sini. Tapi melihat sikapmu, mau
tidak mau kami jadi muak. Apa kau pikir tempat
ini milik nenek moyangmu hingga berani mengu-
sir kami?" sahut Dewa Bogel, tak suka diusir kasar begitu.
"Jadi mau kalian apa?" tantang Bayi Kawak Dewa Bogel menggeretakkan gerahamnya
kesal. Jelas Sekali kalau hatinya sangat tersinggung atas tantangan Bayi Kawak.
Apalagi watak- nya memang berangasan.
"Ha ha ha...! Kenapa jadi tegang begini"
Sudahlah! Buat apa kita bersitegang" Toh, kita
masih sama-sama satu golongan," lerai Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Tidak! Manusia bogel ini harus diberi pelajaran biar tahu adat," sambar Bayi
Kawak. "Boleh," sahut Dewa Bogel, tak mau kalah.
Dewa Bogel melangkah selangkah ke bela-
kang. Kuda-kuda telah dipasang. Siap menunggu
apa yang akan terjadi.
Pelukis Sinting Tanpa Tanding dan Lam-
daur sengaja membiarkan. Percuma saja mereka
melerai. Yang satu berwatak berangasan, yang
lainnya suka ngambek. Suasana memanas. Per-
tengkaran Dewa Bogel clan Bayi Kawak pun se-
pertinya tak dapat dihindari lagi.
7 Senyum kecut tak putus-putusnya meng-
hiasi bibir Siluman Ular Putih. Berkali-kali dico-banya melepaskan totokan Putri
Manja, namun belum berhasil juga. Rupanya totokan gadis man-
ja murid Bayi Kawak itu cukup alot juga. Buk-
tinya, Soma sampai kewalahan. Meski demikian,
bukan berarti harus putus asa. Ia telah berusaha melepaskan pengaruh totokan
Putri Manja di tubuhnya, hingga akhirnya....
Senyum kecut Soma berganti seringai lucu.
Perlahan-lahan anggota tubuhnya digerakkan.
Lega sekali hati pemuda ini. Tanpa banyak mem-
buang waktu tubuhnya segera bangkit, lalu ber-
kelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Malam pekat tak membuat kelebatan Soma
terhenti. Cahaya bulan purnama di angkasa tak
mampu menembus kerapatan pohon di Hutan Ka-
lierang. Soma terus berkelebat di antara kerapa-
tan pohon sambil tak henti-hentinya menggerutu.
Entah kenapa kali ini Siluman Ular Putih
ingin sekali mencari Dewa Bogel dan Lamdaur.
Hatinya kesal harus dilampiaskan. Padahal cuma
karena perkara sepele.
"Awas kau, Dewa Bogel! Kalau ketemu nan-
ti, pasti akan kubalas tamparanmu. Juga kau,
Kakek Jangkung! Aku juga akan membalasmu!"
umpat Soma tak putus-putus.
Pemuda ini yakin, Dewa Bogel dan Lam-
daur belum begitu jauh meninggalkan dirinya.
Untuk itu segera kecepatan larinya ditambah.
Dan di luar Hutan Kalierang Soma menghentikan
larinya. Pandangannya segera beredar ke sekelil-
ing. Cahaya bulan purnama tampak bersinar te-
rang. Langit cerah. Berjuta bintang seolah saling membanggakan sinarnya yang
putih keperakan.
Tepat di dataran rumput Soma berdiri. Su-
asana cerah membuat murid Eyang Begawan
Kamasetyo menikmatinya barang sejenak. Walau
hatinya rusuh, coba ditenteramkannya dengan te-
rus memperhatikan keindahan malam purnama.
Bulan bulat penuh di angkasa seolah menyapa
ramah, penuh persahabatan. Cukup menyejuk-
kan hati. Tanpa sadar, rasa jengkelnya terhadap De-
wa Bogel dan Lamdaur hilang begitu saja. Bahkan
kini berganti senyum manis tersungging di bibir.
Aneh memang. Tapi, itulah kenyataan yang sulit
dimengerti. Dan karena saking asyiknya Soma mem-
perhatikan bulan di angkasa, pikirannya malah
jadi ngelayap tak karuan. Tiba-tiba rasa sepi
mendera hatinya. Perasaan ingin bercanda dan
disayang begitu kuat mempengaruhi hatinya. Ka-
lau sudah begini. Soma jadi tidak tahan. Satu
persatu kembali dibayangkannya perjumpaan
manis dengan beberapa orang gadis cantik yang
diyakini juga menyayangi sekaligus mencintainya.
Pertama-tama yang terlintas dalam benak-
nya adalah Angkin Pembawa Maut. Lalu disusul
beberapa orang gadis cantik lain seperti Ningtyas, Putri Sekartaji, Salindri,
Ratih, Ken Umi, Ken Sa-
ri, dan yang terakhir adalah Mawangi atau yang
lebih terkenal sebagai Putri Manja.
Diam-diam Soma jadi tersenyum geli bila
membayangkan sikap dan pembawaan gadis
manja satu, ini. Manja, tapi amat menggemaskan.
Sikapnya pun sulit ditebak. Terkadang seperti
mencintainya, terkadang membenci dirinya. Sulit
ditebak secara pasti.
Dalam hati. Soma menyesal telah begitu
keterlaluan mempermainkan gadis manja itu.
"Ah...! Aku harus segera mencarinya. Aku
ingin sekali bersahabat dengannya. Tapi..., tapi apakah ia mau memaafkanku?"
gumam hati murid Eyang Begawan Kamasetyo ragu. Inilah yang
merepotkanku. Tapi aku tidak akan menyerah.
Kalau perlu, aku akan merayunya habis-habisan!
Entah kenapa menyeringai, membuat wa-
jahnya jadi tampak jelek sekali. Apalagi pakai ditambah dengan garuk-garuk
kepala. Makin jelek
saja pendekar satu itu!
Di saat Soma tengah sibuk memikirkan Pu-
tri Manja, mendadak pendengarannya yang tajam
menangkap suara-suara aneh yang ditingkahi je-
rit-jerit kesakitan. Lalu, disusul pula suara tawa yang bergelak. Siluman Ular
Putih yakin, tak jauh dari tempat itu pasti tengah terjadi pertarungan.
Apa pun yang akan terjadi, sebagai seorang pen-
dekar. Soma tak dapat menahan gejolak hatinya.
Ia harus cepat melihat, apa yang tengah terjadi.
Siapa tahu ada yang membutuhkan pertolongan.
Hanya dalam sekali hentakan kaki ke ta-
nah, tahu-tahu sosok Siluman Ular Putih telah
berkelebat cepat. Selang beberapa saat bayangan
sosok tubuhnya telah menghilang di balik kegela-
pan malam. *** Soma mengendap-endap mendekati tempat
pertarungan. Gerakannya cukup hati-hati, nyaris
tak menimbulkan bunyi. Namun begitu melihat
siapa yang tengah bertarung, keningnya jadi ber-
kerut. "Ah...! Itu dia Dewa Bogel. Tapi kenapa bertarung dengan Bayi Kawak" Lalu
Pelukis Sinting
Tanpa Tanding dan Lamdaur malah asyik menter-
tawakan. Ada apa ini?" tanya Soma pada diri sendiri. Siluman Ular Putih
sebenarnya ingin mela-
brak Dewa Bogel yang telah memberi tamparan
dua kali di pipinya. Tapi dendamnya itu diusirnya jauh-jauh begitu ingat kalau
dirinyalah yang sebenarnya memulai dengan memancing kemara-
han Dewa Bogel.
Dan dari tindakan Dewa Bogel serta Lam-
daur terhadapnya. Soma yakin kalau mereka ada-
lah dari golongan putih. Buktinya, tamparan De-
wa Bogel tak disertai tenaga dalam tinggi. Apalagi waktu itu Soma dalam keadaan
tertotok. Dan kalau mau, bisa saja Dewa Bogel membunuhnya se-
perti membalikkan telapak tangan saja. Tapi itu
tidak dilakukan. Karena Soma tahu hanya tokoh-
tokoh telengas saja yang mau bertindak keji. De-
mikian pula Lamdaur. Lelaki jangkung itu malah
mengajak Dewa Bogel pergi, tanpa memperpan-
jang urusan. Berpikiran begitu, Siluman Ular Putih ber-
niat melerai pertarungan antara Dewa Bogel den-
gan Bayi Kawak. Maka dengan sekali loncat, tu-
buhnya tahu-tahu telah berdiri di antara Dewa
Bogel dan Bayi Kawak.
"Eh...! Hentikan pertarungan! Mengapa ka-
lian bertarung?" bentak Soma.
Bayi Kawak dan Dewa Bogel sama-sama
kaget dan menyurutkan langkah ke belakang. Ma-
ta mereka masih garang. Namun anehnya, ber-
pengaruh juga teriakan murid Eyang Begawan
Kamasetyo itu. Buktinya Bayi Kawak dan Dewa
Bogel tak lagi saling serang.
"Kenapa kau lerai mereka, Bocah Tengik"
Bukankah itu merupakan tontonan menarik?" se-la Lamdaur.
"Ah..., iya! Kau mengganggu kesenangan
kami saja! Biarkan saja mereka bertarung. Kita
yang nonton. Kan enak?" tambah Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
Soma tak begitu menanggapi ocehan kedua
orang kakek renta itu. Matanya tajam menatap
Bayi Kawak, lalu beralih ke arah Dewa Bogel.
Tingkah lakunya sengaja dibuat-buat galak. Tak
seperti biasanya.
"Pepesan kosong macam apa yang kalian
ributkan?" tanya Soma seraya berkacak pinggang.
"Dia.... Dia yang mulai dulu, Bocah. Dialah yang pertama kali membentak. Aku
tersinggung. Aku tak menyukai caranya," lapor Bayi Kawak,
persis anak kecil yang menginginkan mainan ba-
ru. Mulutnya mewek, seolah mau menangis.
"Bohong! Justru bayi bangkotan itulah
yang mendahului. Kami tanya baik-baik, eh dia
malah berteriak balas membentak. Sudah pasti
aku jadi marah!" kilah Dewa Bogel, sengit.
Soma celingukan. Tak tahu mana yang be-
nar. "Kakek ompong! Ini yang benar mana?"
tanya Soma, menatap Pelukis Sinting Tanpa
Tanding. "Mana aku tahu" Dari tadi kami hanya
nonton. Tanyakan saja sendiri!" sahut Pelukis Sinting Tanpa Tanding, malas-
malasan. "Ah...!" Mau tak mau Soma jadi garuk-
garuk kepala. Percuma saja bicara pada kakek
sinting itu. "Masa' kalian bertengkar tak ada sebab musababnya" Mustahil!"
"Ada, Tapi bukan aku yang mendahului,
Bocah. Dewa Bogel itulah yang mendahului!" tuding Bayi Kawak.
"Sudah!" Soma mengibaskan tangan. "Apa kau tak dapat memberi keterangan, Kakek
Jangkung?" tanya Soma pada Lamdaur.
"Lebih lagi aku. Mana aku tahu?" Lamdaur mengangkat bahu. Lagaknya santai
sekali. "Edan! Percuma saja aku ngomong dengan
orang-orang sinting. Tak ada gunanya. Sekarang
aku tanya, mau tidak kalian menghentikan per-
tengkaran ini?"
"Mau!" jawab Bayi Kawak dan Dewa Bogel serempak.
"Aku juga mau."
"Aku juga mau!"
"Aku tidak tanya kalian, tahu!" damprat Soma terhadap Pelukis Sinting Tanpa
Tanding dan Lamdaur. "Kalau tidak, ya sudah," sungut Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Dengar! Kalian semua dengar! Buka telin-
ga lebar-lebar! Aku tidak ingin melihat lagi kalian bertengkar. Titik."


Siluman Ular Putih 16 Pasukan Kumbang Neraka di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku juga," sahut mereka berempat lebih kompak.
Justru yang kini mendongkol Soma. Ba-
gaimana mungkin mereka kini tampak kompak"
Ah...! Dasar orang-orang sinting. Percuma saja
meladeni mereka.
"Ya, sudah! Kalau kulihat kalian masih ber-
tengkar, aku pasti akan datang menggebuk ka-
lian. Paham?"
"Paham, Bocah...."
Soma mendengus.
"Kalau sudah paham, ya... sudah. Aku mau
pergi," sahut Soma singkat.
Habis berkata begitu, Siluman Ular Putih
segera berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Dan sebentar saja tubuhnya telah menghilang di
balik kegelapan malam. Mungkin untuk mene-
ruskan niatnya mencari Putri Manja.
Dewa Bogel dan Bayi Kawak sendiri pun
rupanya sudah tak bernafsu meneruskan per-
tengkaran. Mereka kini malah tampak akrab ngobrol
ngalor-ngidul tak ketahuan juntrungannya.
Sementara Pelukis Sinting Tanpa Tanding
dan Lamdaur jadi melongo.
"Sekarang kau mau ke mana, Gel" Kalau
aku sih ingin mencari muridku," kata Bayi Kawak. "Tapi..., ah! Bodohnya aku!
Kenapa aku lupa menanyakannya pada bocah edan tadi. Bukankah
Putri Manja ikut bersamanya! Kenapa sekarang
tak kelihatan?"
"Ah, dari dulu kau memang bodoh. Sudah-
lah, itu bukan urusanku. Yang jelas, aku dan Ka-
kang Lamdaur akan terus mencari Kakang Maling
Tanpa Bayangan sampai dapat."
"Kalian ini ngomong apa lagi, he" Tadi ber-
tengkar. Sekarang baik-baikan. Sudah! Cepat kau
ikut aku, Bayi Kawak!" terabas Pelukis Sinting Tanpa Tanding.
"Ke mana?" tanya Bayi Kawak.
"Ke mana-ke mana"! Ya ikut aku. Mencari
Pengasuh Setan. Ayo pergi!"
"Ba..., baik. Aku pergi dulu. Gel," pamit Bayi Kawak, merasa risau akan nasib
muridnya. "Sampai ketemu!" sahut Dewa Bogel.
"Kau juga harus ikut aku. Gel! Urusan kita
masih belum selesai. Ayo, cepat tinggalkan tempat ini!" ajak Lamdaur.
"Baik, Kang."
Dewa Bogel menurut. Segera diikutinya
langkah Lamdaur. Kini dalam sekejap saja sosok-
sosok mereka telah menghilang di balik kegelapan malam.
Dewa Bogel dan Lamdaur terus mene-
ruskan perjalanan ke barat, sedang Bayi Kawak
dan Pelukis Sinting Tanpa Tanding terus melang-
kah ke selatan.
8 Puncak Gunung Sindoro tersaput awan.
Kerlip berjuta bintang di angkasa seolah malas
membanggakan warna keperakannya. Malam ini
tak tampak kegairahan. Malam terbalut duka.
Dari lereng sebelah barat, sesosok bayan-
gan hitam terus berkelebat cepat menuju puncak.
Gerakannya ringan sekali. Terkadang sosok
bayangan itu menghilang di balik kerapatan po-
hon, terkadang muncul kembali.
Srakkk! Kejap selanjutnya, sosok bayangan hitam
itu telah berdiri angkuh di puncak Gunung Sin-
doro. Tepatnya, tak jauh dari bongkahan batu be-
sar di tengah-tengah Segoro Pasir. Jubah hitam-
nya yang bersambung dengan penutup kepala
berkibaran ditiup angin.
Sepasang mata sosok ini terus memperha-
tikan seputar tempat itu seksama. Memang tak
ada gerakan berarti. Hanya kilatan-kilatan sepa-
sang matanya saja yang bergerak-gerak ke kanan
kiri. Tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Sosok bayangan hitam yang tak lain Maling
Tanpa Bayangan itu tidak putus asa. Ia yakin se-
kali kalau Kitab Paguyuban Setan yang banyak
diributkan orang itu tersimpan di puncak Gunung
Sindoro. Ingin sekali kitab itu didapatkan. Den-
damnya terhadap Siluman Ular Putih yang berka-
rat tak mungkin dibiarkan begitu saja. Itu sebabnya lewat bantuan kitab itu,
Maling Tanpa Bayangan ingin menuntut balas. Karena hanya
kitab itu sajalah yang diyakini dapat mengalah-
kan Siluman Ular Putih dan juga tokoh-tokoh
sakti lainnya. Kini sosok Maling Tanpa Bayangan mulai
bergerak. Sementara matanya yang mencorong
kembali menyapu seputar puncak Gunung Sindo-
ro penuh perhatian. Ditelitinya seputar tempat itu seksama. Satu persatu tempat
yang dianggap mencurigakan didatangi.
Tetap tak ada sesuatu yang mencurigakan.
Maling Tanpa Bayangan terus melangkah.
Perlahan-lahan menuju kawah di puncak gunung.
Kepalanya sesekali menoleh ke kanan kiri kalau-
kalau kedatangannya telah diketahui orang. Ha-
tinya agak lega, karena ternyata tempat itu sepi-sepi saja. Tak seorang pun yang
melihat kedatan-
gannya. "Tapi bagaimana dengan makhluk-
makhluk halus penghuni puncak gunung ini?"
tanya hatinya tiba-tiba sambil menghentikan
langkahnya. "Konon mereka pun turut menjaga Kitab Paguyuban Setan" Apakah mereka
tidak melihat kedatanganku" Mustahil!" Kembali Maling Tanpa Bayangan menebar pandangan
ke sekitarnya. "Aku harus hati-hati. Aku yakin, makhluk-
makhluk halus penghuni puncak gunung ini telah
mengetahui kedatanganku. Hanya yang kuheran-
kan, kenapa mereka belum juga bertindak. Juga,
ke mana perginya Pengasuh Setan yang men-
gangkangi kitab itu?" lanjut Maling Tanpa Bayangan dalam hati.
Maling Tanpa Bayangan terus melangkah
menuju kawah. Amat perlahan, namun pasti. Ke-
palanya berpaling ke kanan kiri sambil terus me-
langkah. "Kuuuk! Kuuukkk...!"
Mendadak terdengar suara burung hantu.
Seketika Maling Tanpa Bayangan mendongak.
Tampak seekor burung hantu sebesar kambing
terbang berputar-putar di angkasa. Tepat di atas Maling Tanpa Bayangan.
Maling Tanpa Bayangan gelisah bukan
main. Ia yakin kedatangannya telah diketahui...
*** Maling Tanpa Bayangan terbelalak lebar
dengan wajah berkerut bukan main. Tatapannya
seolah tak percaya pada sumber suara di angkasa
yang ternyata suara burung hantu raksasa sebe-
sar kambing. Burung peliharaan Pengasuh Setan
itu tengah terbang berputar-putar, mengawasi
Maling Tanpa Bayangan.
"Kuk! Kuuukkk!"
Suara-suara burung hantu raksasa itu
makin lama makin memekakkan telinga, mem-
buat Maling Tanpa Bayangan jadi terheran-heran.
Sulit dimengerti. Bagaimana mungkin seekor bu-
rung mampu bersuara demikian keras. Bahkan
mampu menggetar-getarkan tubuhnya.
"Enyahlah kau, Burung Keparat! Aku tak
sudi mendengar ocehanmu!" bentak Maling Tanpa Bayangan, seraya melontarkan
pukulan maut ke
arah burung hantu raksasa.
Tak diduga-duga, burung hantu raksasa
bernama Meruya itu mengepakkan sayapnya. Se-
ketika melesat pula serangkum angin dingin dari
kebutan sayapnya, memapak pukulan Maling
Tanpa Bayangan.
Dukkk! Maling Tanpa Bayangan tak habis pikir.
Bukan saja heran melihat burung hantu raksasa
itu mampu memapak serangannya, tapi juga he-
ran mengapa tubuhnya sendiri sampai bergetar
hebat. "Keparat! Rupanya kau memiliki kepandaian juga, ya"! Baik! Akan kulihat
sampai di mana kehebatanmu!" dengus Maling Tanpa
Bayangan penuh kemarahan.
Seketika, Maling Tanpa Bayangan segera
mencabut keluar senjata andalannya, cemeti be-
rekor sembilan. Di setiap ekornya, terselip sebilah pisau kecil berkilauan
tertimpa sinar bulan. Namun belum sempat cemeti di tangan kanannya
digerakkan mendadak....
"Keak! Keaaakkk!"
Maling Tanpa Bayangan terperangah kaget
mendengar suara dari sampingnya. Begitu meno-
leh tampak seorang lelaki bertubuh tinggi besar
hampir mencapai dua tombak lebih telah berada
di tempat itu. Ototnya bertonjolan di sana sini
dengan pakaian dari kulit ular sanca. Sementara
kedua kakinya begitu besar.
Melihat ciri-ciri itu, Maling Tanpa Bayan-
gan dapat mengenali lelaki berparas dingin me-
nyeramkan itu. Dia tak lain dari Telapak Gajah,
seorang tokoh sakti dari Hutan Krajan yang kini
menjadi salah satu anggota Pasukan Kumbang
Neraka yang ditugasi menjaga Kitab Paguyuban
Setan. "Te... Telapak Gajah..,!" sebut Maling Tanpa Bayangan penuh keterkejutan.
Sulit sekali rasanya Maling Tanpa Bayan-
gan memahami apa yang telah menimpa Telapak
Gajah. Betapa wajah Ketua Perguruan Telapak
Gajah itu yang dulu gagah penuh wibawa, kini
berubah pucat pasi. Sepasang matanya yang ta-
jam kini mencorong aneh, seperti menyembunyi-
kan kekuatan kasat mata!
"Keak! Keaaakkk!"
Lengkap sudah keheranan Maling Tanpa
Bayangan. Ternyata, Telapak Gajah hanya mam-
pu mengeluarkan serak bagai burung gagak. Kini
hatinya makin yakin bahwa telah terjadi sesuatu
atas diri Telapak Gajah. Sayang sekali, lelaki yang lihai mencuri itu tidak tahu
petaka apa yang telah menimpa Ketua Perguruan Telapak Gajah. Yang
diyakininya, semua itu pasti perbuatan Pengasuh
Setan. "Keak! Keaaakkk!"
Telapak Gajah mengibas-ngibaskan tan-
gannya, mengisyaratkan agar Maling Tanpa
Bayangan segera meninggalkan puncak Gunung
Sindoro. "Hm...! Kau mengusirku, Telapak Gajah"
Sayang sekali, aku keberatan. Aku tak akan me-
ninggalkan puncak Gunung Sindoro kalau belum
membawa pulang Kitab Paguyuban Setan. Kau
paham, Telapak Gajah?" sahut Maling Tanpa
Bayangan, mantap.
"Keak! Keaaakkk!"
Hanya itu yang keluar dari mulut Telapak
Gajah. Selanjutnya, tokoh sakti dari Hutan Krajan itu telah menerjang garang
Maling Tanpa Bayangan. Tidak tanggung-tanggung, dikirimkannya
'Tendangan Kaki Gajah' ke arah Maling Tanpa
Bayangan. "Ust!"
Maling Tanpa Bayangan terperanjat bukan
kepalang. Tendangan Telapak Gajah benar-benar
mengarah pada bagian yang mematikan. Dan tak
mungkin tubuhnya sudi dijadikan sasaran empuk
serangan. Maka dengan ilmu meringankan tu-
buhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi, Mal-
ing Tanpa Bayangan melenting tinggi ke udara.
Lalu seketika cemeti di tangan kanannya segera
dikibaskan ke bawah.
Srang! Srang! Seketika sembilan mata pisau kecil yang
berkilauan dari ekor-ekor cemeti Maling Tanpa
Bayangan siap merajam tubuh Telapak Gajah dari
sembilan penjuru. Bersamaan itu, tangan kirinya
telah melontarkan pukulan maut.
"Kuuukkk!"
Tepat ketika Telapak Gajah menghindar,
terdengar suara burung hantu raksasa meme-
kakkan telinga. Dan ini membuat kewaspadaan
Maling Tanpa Bayangan meningkat. Dilihatnya
burung hantu raksasa itu menukik tajam, siap
menyerang dengan paruh dan kuku-kukunya
yang runcing! Terpaksa Maling Tanpa Bayangan harus
menjaga serangan. Kini, ia tidak lagi menyerang
Telapak Gajah sepenuhnya. Melainkan harus
membagi serangan. Cemeti di tangan kanannya
yang semula ditujukan ke tubuh Telapak Gajah
segera dikibaskan ke arah burung hantu raksasa.
Sedang pukulan telapak tangan kirinya, meng-
hentak ke arah Telapak Gajah.
Classs! Classs!
Bukkk! Telapak Gajah dan Meruya memekik kesa-
kitan. Tubuh mereka sama-sama terlempar ke
samping. Akibat sambaran mata pisau kecil di
ujung cemeti Maling Tanpa Bayangan, sebagian
Pendekar Sejagat 3 Pendekar Mabuk 059 Perawan Titisan Peri Perjalanan Ke Alam Baka 2
^