Tikam Samurai 1
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 1
TIKAM SAMURAI Terdiri Dari VI (Enam) Episode
Episode I (Pertama) terdiri dari 4 jilid, telah tamat ketika Si Bungsu berangkat meninggalkan kampung
Buluh Cina menuju Singapura untuk kemudian terus ke Jepang. Dalam episode I itu diceritakan kenapa Si
Bungsu sampai begitu berani mati mencari musuhnya ke Jepang dan apa alasannya maka dia menjadi
pendendam dan amat membenci penindasan dari kelompok yang amat kuat pada kelompok yang lemah.
Episode II (dua) ini terdiri dari beberapa jilid pula, dimulai dari jilid 5 (sambungan nomor empat episode
I). Dalam episode ini diceritakan tentang pertarungannya melawan kelompok-kelompok bandit di Jepang,
melawan kezaliman dan melawan musuh besarnya : Saburo Matsuyama. Dan jangan lupa ternyata dia bertemu
dengan pahlawan samurai legendaris Jepang : Zato Ichi.
Episode III menceritakan dia terlibat dalam permusuhan dengan kelompok gangster internasional yang
memperdagangkan wanita dari Indonesia, Malaysia, Bangkok dan negeri lainnya. Dia berkenalan dan bersatu
dengan bekas pasukan Grenn Barret, pasukan paling elite dan kesohor dari Inggeris. Episode ini lokasinya
adalah Singapura dan Australia.
Episode IV adalah episode paling gelap dalam sejarah Minangkabau. Episode itu menceritakan
keterlibatan Si Bungsu dalam pergolakan PRRI di Sumatera Barat. Dalam episode itu secara telanjang
dikisahkan betapa kejamnya pasukan yang sedang berperang. Baik itu PRRI maupun APRI. Tapi tak hanya
kekejaman isinya, juga terdapat kisah-kisah yang amat manusiawi dan mengharukan- Misalnya persahabatan
antara dua orang tentara, yang satu masuk PRRI yang satu tetap dalam APRI Dalam episode ini dikisahkan
sejarah tertembaknya Kolonel Dakhlan Djambek. Saat itu sebenarnya dia sudah akan pergi ke Bukittinggi,
sudah ada kontak dengan panglima, bahwa dia akan menggabung kembali ke pangkuan Pertiwi. Tapi subuh itu,
disaat dia akan berangkat, ada pasukan yang mencegat dan menembaknya" Apa sebenarnya yang terjadi"
Sengaja dibunuhkah dia, agar tak kembali ke Republik Indonesia" Siapa-siapa penembak subuh itu" Dalam
episode IV ini, semuanya diceritakan secara nyata.
Episode V bercerita tentang petualangan Si Bungsu yang sebenarnya diluar kemampuannya di Dallas,
Texas. Saat itu tahun 1963. Dan dia berada di Dallas, di tempat terbunuhnya Presiden Kennedy. Kalau saja pihak
keamanan tidak ikut terlibat dalam komplotan pembunuh itu, atau kalau saja Polisi Dallas mau mendengar
laporannya via telepon, seharusnya Kennedy saat ini masih hidup Siapa sebenarnya yang mendalangi
pembunuhan Kennedy" Dalam episode V ini hal itu diceritakan. Dan di Dallas pula Si Bungsu kehilangan dua
orang yang amat dekat dengannya. Pertama adalah Tongky, anggota Green Barret sahabatnya sejak di
Singapura. Kedua adalah dua orang gadis yang mencintai dan dicintainya Semuanya lenyap : mati atau menikah
Episode ke-VI merupakan episode terakhir serial Tikam Samurai. Episode itu terjadi sekitar tahun 19661968 di Jakarta, Padang, Bukittinggi dan kampung halamannya: Situjuah Ladang di kaki gunung Sago. Banyak
perempuan singgah dalam hidupnya. Namun dengan siapa akhirnya dia menikah" Dalam episode terakhir ini,
anda akan menemukan kisah yang mencekam dan benar-benar diluar dugaan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 1
Episode I (Pertama) (1) Perkelahian yang tak seimbang itu segera saja berakhir. Keempat lelaki berdegap tersebut dengan
mudah menyikat lawan mereka. Lawan yang mereka sikat itu adalah seorang anak muda yang berusia sekitar
19 tahun. Anak muda itu tergelimpang dekat sungai di belakang surau tinggal, jauh di pinggir kampung. Pakaian
anak muda itu sobek-sobek. Dia tak sadar diri. Uangnya terserak-serak. Keempat lelaki yang mengeroyok dan
melumpuhkan dirinya itu segera memunguti uang yang terserak-serak itu. Uang itu tadinya adalah uang
mereka berempat. Berpindah tangan pada anak muda itu dalam suatu perjudian yang berlangsung sejak sore
kemarin. Menjelang subuh, ternyata anak muda itulah yang menang. Dia memang seorang penjudi ulung. Tiap
berjudi jarang yang kalah. Tapi malangnya dia selalu disikat lawannya yang dia kalahkan. Perjudian hampir
selalu diakhiri dengan perkelahian. Dan dalam tiap perkelahian dipastikan dialah yang kalah, karena lawanlawan yang dia kalahkan bersatu mengeroyoknya. Lalu selalu saja uang yang telah dia menangkan disikat oleh
lawan-lawannya kembali. Termasuk juga uang miliknya sendiri!
"Lihat-lihat dulu orang yang akan waang lawan buyung. Jangan sembarang main saja?"." Salah seorang
dari lelaki yang berempat itu berkata. Tak ada sahutan. Karena anak muda itu memang tak mendengar apaapa. Dia tergolek pingsan. Keempat lelaki itu kemudian pergi. Kertas koa berserakan di antara puntung rokok
daun enau. Hampir tengah hari anak muda itu baru sadar dari pingsannya.
Tak ada yang mengetahui bahwa dia tergolek di sana. Tempat. mereka berjudi memang tempat yang
terpencil. Di sebuah surau yang telah lapuk. Surau itu tak lagi pernah dipakai sejak seorang guru mengaji mati
diterkam harimau saat pulang mengajar. Kampung jadi gempar. Dan surau tempat mengaji dipindahkan orang
ke tengah kampung. Tapi lama-lama bekas surau itu berobah jadi tempat orang bermain koa. Berjudi dengan
daun ceki. Mereka tak takut pada harimau. Sebab umumnya pejudi-pejudi itu adalah orang-orang yang mahir
dalam bersilat. Lama-lama, berjudi di surau bekas itu menjadi suatu kebanggaan di antara para pejudi. Sebab
berjudi di sana merupakan salah satu ujian mental. Hanya orang-orang berani dan berilmu tinggi saja yang
berani main ke sana. Untuk mencapai surau itu harus melewati kuburan. Kemudian sebuah lembah berbelukar.
Baru surau. Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini
sudah ditinggal dan jadi belukar.
"o0o" Anak muda itu menggerakkan tangannya. Dia masih tertelungkup. Menggerakkan kaki. Matanya masih
terpejam. Hidungnya mencium bau tanah liat. Telinganya lambat-lambat mendengar kicau burung.
"Hm, . . . aku masih hidup," bisiknya.
Dia coba memutar tubuh. Kepalanya terasa berdenyut. Tapi dengan menghajan semua tenaga, dia
berhasil juga menelentangkan tubuh. Matanya jadi silau menatap sinar matahari yang terjun dari sela-sela daun
pepohonan. Dia bangkit. Duduk dengan bersitumpu pada kedua lengannya. Menggoyang-goyangkan kepala
yang kembali berdenyut sakit. Dia segera ingat pada kemenangannya menjelang subuh tadi. Tapi dia tak berniat
untuk memeriksa uang dikantongnya. Tak perlu. Uang itu tak perlu diperiksa. Pasti sudah disikat orang.
Dia segera mengumpulkan ingatannya kembali. Merekat sisa-sisa ingatannya sejak kemarin. Ya, kemarin
senja dia datang kemari bersama empat orang lelaki. Keempat lelaki itu dia kenal tatkala membeli jagung bakar
di pasar Jumat. Dia tak tahu siapa mereka. Tapi dari cara mereka tegak dan bicara, dia segera mengenal bahwa
mereka adalah perewa dan penjudi. Dia kenal orang-orang jenis ini. Sebab dia sendiri adalah penjudi yang lihai.
Dia ahli dalam berkoa atau main dadu. Keempat lelaki itu dia lihat tengah jongkok dekat sebuah pedati yang
dipenuhi tembakau. Dia ikut jongkok.
"Minta api" katanya pada salah seorang yang mengisap rokok daun enau. Orang itu tak segera bereaksi.
Beberapa saat dia menatap anak muda yang tiba-tiba duduk di dekatnya itu. Tapi anak muda itu acuh saja. Dan
akhirnya dia memberikan rokok yang dihisapnya. "Terima kasih" ujar anak muda itu seraya mengambil rokok
yang tinggal puntung pendek itu. Tapi setelah dia membakar ujung rokoknya, puntung rokok lelaki itu tidak
dia kembalikan. Melainkan dia buang begitu saja. Muka lelaki itu menjadi merah. Tapi anak muda itu seperti
tidak peduli. Dia malah mengeluarkan segumpal uang dari balik bajunya.
"Berminat main?" dia bertanya dengan tenang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 2
Ah, dia memang ahli dalam soal ini. Lelaki yang puntung rokoknya dibuang itu kembali menatapnya.
Kemudian menatap pada ketiga temannya yang masih tetap dengan tenang mengisap rokok dan duduk
mencangkung. Salah seorang di antara mereka mengerdipkan mata. Dan anak muda itu dapat menangkap
isyarat kerdipan itu dengan sudut matanya. Namun dia pura-pura tak tahu.
"Main apa waang bisa?" lelaki itu balik bertanya.
"Main apa saja!" jawabnya, pasti.
"Koa?" "Boleh!" "Dadu?" "Boleh!" "Barambuang?" "Boleh. Sembaranglah!"
Lelaki itu kembali menatap tiga temannya. Dan kembali yang mengerdip tadi mengerdipkan sebelah
matanya yang juling. "Waang dengan siapa?"
"Saya berjudi tak pernah berkawan. Saya biasa main sendiri, dan ".menang !". Lelaki yang puntung
rokoknya dibuang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama.
Melihat buku jarinya. Melihat sikunya. Melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak ini pasti seorang pesilat.
Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa "memakan" anak ini. Mereka toh juga bukan orang
sembarangan. "Di mana tempatnya?"
"Terserah" "Kami bukan orang sini. Kami tak tahu di mana tempat bermain yang baik. . ."
"Saya tahu . . ."
"Di mana . . ."
"Di surau usang di hilir kampung sana. . ."
"Tempat guru mengaji diterkam harimau itu?"
Kini anak muda itu pula yang balas menatap lelaki itu.
"Kenapa tahu bahwa di surau itu dulu ada guru mengaji yang diterkam harimau, kalau memang bukan
orang sini?" "Kejadian itu sudah lama bukan" Setiap orang di pasar Jumat ini bercerita tentang kejadian itu beberapa
tahun yang lalu" Anak muda itu menarik nafas.
"Benar! Di sanalah tempat main yang aman. Bagaimana, berani ke sana ?"
Untuk pertama kalinya, keempat lelaki itu tertawa bersamaan. Tertawa mendengar tantangan anak
muda ini. "Tak ada yang ditakuti oleh Baribeh dan kawan-kawannya buyung. . ."
Lelaki juling yang tadi mengerdip berkata.
"Baribeh?" "Ya. Waang tak pernah mendengarnya?"
"Pernah. Baribeh itu binatang"
Si Juling terdiam. Yang lain juga. Lelaki yang tadi puntung rokoknya dibuang itu jadi kelabu mukanya
karena menahan berang. "Jangan sembarang bicara buyung. Mulut waang bisa saya sobek," ujar lelaki itu dengan suara berat.
"He, bukankah Baribeh itu memang binatang" Dan kerjanya memang tukang sobek pohon Kapeh untuk
mendapatkan getahnya, kanapa Sanak mesti marah?" Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda
itu kalau tak cepat dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya. Dan lelaki itu mengurungkan niatnya
untuk melanyau anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh. Bicara pada anak muda itu. "Lebih baik
waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut
orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai?"
"Terserah. Sekarangpun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi. Bukan untuk
berkelahi . . ." "Baik, baik!. Tapi siang ini kami ada urusan. Bagaimana kalau senja nanti?" "Tengah malampun
saya mau. Saya tunggu kalian disana". Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu. "Pukimaknya!. Anak siapa
dia makanya berani jual lagak begitu"," maki lelaki yang tadi dibuang puntung rokoknya itu. "Nampaknya dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 3
cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu". "Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak
uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei, waang siapkan dadu dua pasang Jul".
"Dadu itu selalu saya bawa.." jawab lelaki yang dipanggil Jul itu. Panggilan itu ternyata singkatan dari
kata "Juling". Lalu, persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak
muda tadi telah menanti. Di bawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai
permainan. Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah
kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar
letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu.
Kelihatannya hampir-hampir sempurna.
Tapi kali ini mereka ternyata menghadapi seorang hantu judi. Mereka tidak menyangka bahwa dalam
usia yang sedemikian mudanya anak ini sudah tidak terkalahkan dalam soal berjudi. Lewat tengah malam
hampir semua uang mereka disikat anak muda itu. Mereka sudah pada mengantuk. Tapi anak muda itu tetap
seperti semula. Matanya yang sayu, mukanya murung, tetap saja tidak berubah. Tidak menunjukkan tandatanda kelelahan sedikitpun. Si Jul sudah beberapa kali memberi isyarat pada Baribeh untuk menghantam anak
muda itu Tapi Baribeh sendiri ragu-ragu. Masakan anak muda ini tak mempunyai "simpanan" agak sedikit.
Artinya, anak muda ini paling sedikit tentu pandai bersilat. Sebab mustahil dia akan berani sendirian saja kalau
tak ada kepandaian apa-apa. Hanya kini yang menjadi bahan pertimbangan mereka adalah silat apa yang
dimiliki dan jadi andalan anak muda ini. Kumango" Pangian, Lintau, Starlak atau Pauh" Atau Sunua dan Silek
Tuo yang terkenal itu" Tak ada jawaban yang pasti. Anak muda itu tetap saja meraih kemenangan demi
kemenangan. "Ah, kita istirahatlah sebentar".." si Baribeh berkata.
"Boleh. Berhentipun juga boleh..!" anak muda itu menjawab seenaknya.
Muka Baribeh dan teman-temannya jadi kelabu mendengar jawaban itu.
"Berhenti kata waang"! Adat di mana waang pakai buyung, berhenti di saat orang lain kalah!" si Jul
bertanya dengan nada tak sedap.
Tapi anak muda itu tetap cuek, malah dengan tenang pula dia balas berkata : "Tak ada adat apa-apa
dalam berjudi ini sanak. Kalau mau main terus juga tak apa. Tentu kalau kalian masih punya duit. Saya khawatir
kalian akan pulang dengan celana dalam saja?""." Dan sambil mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan
diri ke tikar pandan usang yang mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga
mengelaikan tubuhnya. Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu bergoyang-goyang kena angin lemah
yang masuk dari sela-sela lobang di dinding.
Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian
mereka hantam anak muda itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada tiga
kali sebanyak yang dia perlihatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang itu mereka bisa membeli tiga buah
pedati atau bendi dan beberapa petak sawah. Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus ! Baribeh melirik ke
lampu togok yang bergoyang itu.
"Kalau lampu ini mati, kita akan susah".." tiba-tiba anak muda itu berkata.
Baribeh dan si Jul kaget. Anak muda ini rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah
yakin bahwa anak muda ini punya ilmu yang tak rendah.
"Hei, sanak ada membawa api ?" Anak muda itu bertanya.
Baribeh menelan ludahnya sebelum menjawab.
"Ada. Mengapa ?"
"Ada yang berniat mematikan api itu nampaknya?" " anak muda itu berkata lagi. Baribeh dan temantemannya tambah kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat isinya, pikir
mereka. Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :
"Siapa pula yang akan mematikannya?"
"Angin!. Tak terasa angin makin kencang?"
Anak muda itu berkata seadanya. Tak sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang
berniat akan mematikan lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda itu.
Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan hulu hati yang amat pedih saking
menahan berang. Menjelang subuh mereka bangun dan main lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang
terus. Terus dan terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua pakaian mereka,
termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada anak muda itu. Anak muda itu ternyata
memang setan judi. Dan ketika mereka sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 4
itulah iman Baribeh dan teman-temannya layu. Anak muda itu mereka sikat bakatintam. Mula-mula yang
menghantam adalah si Jul. Tendangannya yang pertama tak mengenai sasaran. Anak muda itu sebenarnya
terteleng kepalanya. Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai.
Teman si Jul menghantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba menunduk, ingin
memungut duitnya yang berserakkan. Dan tendangan yang melaju dari belakangnya kembali tak mengenai
sasaran. Malah ketika dia bangkit tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak
ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang.
Keempat lelaki itu terkejut, tak sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya
secara kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi, keempat lelaki itu bersiap. Si Baribeh membuka
serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut.
Pukulan itu mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya berkatintam menghamtam
tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh.
Namun keempat laki-laki itu tidak memberi ampun sedikitpun. Dari atas surau perkelahain yang tidak
bisa disebut perkelahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu tercampak menghantam
dinding karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuhnya
melayang ke bawah lewat dinding lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.
(2) Kini dia mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, terangkat
perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti main setelah menang besar sepekan yang
lalu. Dia berniat membeli sawah, atau pergi merantau dengan uang itu. Hidup di kampung ini terasa
membosankannya. Tapi dasar penjudi, begitu mengetahui ada penjudi lain, dia segera berselera lagi. Dan inilah
akibatnya. Lambat-lambat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka dan sekujur tubuhnya yang bergelimang
luluk. Meminum air sumur itu beberapa teguk. Kemudian naik kembali ke surau.
Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan
tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung
sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api
yang terserak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu. Saat matanya yang
sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.
"Babi halus " Jarum udang " Tali sirah?" katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu
seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut.
Rokok itu tak habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan ketiga
temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan
orang-orang itu. Hanya kini dari mana dia harus mencari modal" Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor
itu" Ah, Ibu dan ayahnya pasti marah. Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya paling-paling marah
sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya.
Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat. Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia
anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat. Hatinya jadi bengkak melihat.
Dia paling benci melihat orang belajar silat. Apa untungnya belajar silat" Mending belajar judi. Uang dapat perut
kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan
kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat.
Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula
kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang. Dia tahu ayahnya tak menyenangi
perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka toh" Dia memang beberapa kali
dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah
dan saudaranya yang jagoan silat itu. Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu
lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan" Kenapa pejudi tidak" Bukankah berjudi juga
membutuhkan keahlian" Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak.
Sementara dalam silat orang mengadu otot.
Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat manapun!
Begitu alur fikirannya. Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu
dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui "mata" berapa yang akan muncul di atas. Dan
diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat mana ada seninya"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 5
Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar- benar tak menyukainya.
Dia lalu tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia bermimpi jadi seorang pesilat yang jauh lebih tangguh
dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah
hari dia terbangun. Dia menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi
seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpinya dia turun dari surau tersebut. Kakinya
melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak. Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah
gadang beratap ijuk, dia lihat beberapa perempuan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu
belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur. Di dapur dia berpapasan dengan kakaknya.
"Hei Bungsu, orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya " ?"
Anak muda itu, yang merupakan anak yang paling Bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena itu
dia dipanggil dengan sebutan Si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan kakaknya. Dia mengambil piring. Dan
mulai menyenduk nasi. "Duduklah ke sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan . ."
"Ah tak usah susah-susah. Saya bisa mengambil sendiri "
"Duduklah, tukar pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu".
"Tak ada urusanku dengan mereka . ."
"lni tentang pertunanganmu . ."
Dia tetap tak peduli, yang jelas dia ingin makan sekenyang-kenyangnya. Ketika mulai menyuap, ibunya
muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak Bungsunya ini. Dia tak usah bertanya kenapa muka dan
tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa
yang telah terjadi. Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu.
Sementara sambil makan, sesekali sudut mata Si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan, setelah tiga
kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun lewat pintu belakang. Tapi dia terhenti
tatkala terdengar suara ibunya yang sejak tadi berdiam diri.
"Tukarlah pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding."
"Merundingkan pertunangan saya dengan Reno?"
"Ya. ." "Apa lagi yang harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?"
"tapi . ." "Soal perkawinan?"
Perempuan itu menggeleng. Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya. "Mereka ingin
mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?" tanyanya dengan datar. Ibunya tidak mengangguk dan
tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang tengah tanpa menukar pakaiannya yang
compang camping itu. Ayahnya dan empat lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya.
Ayahnya nampak sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu.
Ayahnya, dan semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah dalam
perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya diakhiri dengan
perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan
sehat wal afiat. "Akan mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?"
Dia bertanya pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak. "Bungsu!
Beradab sedikit. Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!" Ayahnya membentak. Dia menatap
ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa
mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar
berkata dengan pasti. "Kalau dulu ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang
memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan"."
"Bungsu!" ayahnya membentak.
Namun dia tak memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia berkata
: "Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah
bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!" Sehabis
ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang
tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu
tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 6
"Anak yang benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran. . ." ayahnya menyumpah
panjang pendek dengan muka yang merah padam.
Akan halnya perempuan-perempuan yang datang itu, tak bisa bicara sepatahpun. Kejadian sebentar ini
memang luar biasa hebatnya bagi mereka. Mereka memang menghendaki pertunangan diputuskan. Tapi tak
terpikirkan oleh mereka akan begini caranya.
Renobulan adalah gadis tercantik di kampung ini. Banyak lelaki jatuh hati dan bersedia berkorban
untuknya. Tapi setahun yang lalu dia telah ditunangkan dengan Si Bungsu. Orang tahu bahwa pertunangan itu
hanya karena ikatan kekeluargaan saja. Keluarga Reno dan keluarga Si Bungsu masih berkait-kait famili. Dan
kedua keluarga mereka termasuk keluarga yang terpandang di kampung itu.
Terpandang dalam turunan dan harta. Sudah jadi tradisi, mereka mengikat perkawinan sesama mereka.
Artinya mereka tetap menjaga kelestarian turunan dan menjaga agar harta pusaka tak jatuh ke tangan "orang
luar". Padahal semua orang berani bertaruh, bahwa Reno yang cantik itu pasti tak menyukai Si Bungsu.
Bah, apa yang diharapkan gadis secantik dan selembut Renobulan itu dari seorang lelaki seperti Si
Bungsu" Wajahnya selalu murung. Matanya sayu seperti tak semangat hidup. Pemalas dan pejudi luar biasa.
Penakut Allahurobbi. Soal judi, tak satupun orang-orang di kampung ini, bahkan sampai ke kampung-kampung
lain, yang tak tahu bahwa anak muda ini adalah hantunya judi. Semua laki-laki yang pernah jatuh hati pada
Reno memaki orang tuanya sebagai orang tua mata duitan. Yang bersedia menjual anak gadisnya demi menjaga
harta warisan. Orang tua laknat, rutuk mereka. Tapi orang tua Reno nampaknya juga punya persyaratan.
Mereka berusaha agar Si Bungsu itu merubah perangainya. Tapi apa daya, anak ini memang tak pernah
berobah. Dia malah menjadi bahan gunjing dan bahan ejekan sesama besarnya. Dan siapa pula yang mampu
bertahan bertunangan dengan lelaki seperti itu"
Si Bungsu melangkah turun dengan hati kesal. Pertunangannya memang termasuk pertunangan yang
aneh. Sejak bertukar cincin setahun yang lalu, dia baru bertemu dengan tunangannya itu sebanyak tiga kali.
Dua kali di pasar Jumat dan sekali ketika sembahyang Hari Raya. Dalam tiga kali pertemuan itu, tak sepatahpun
mereka sempat bicara. Mereka hanya bertatapan sejenak dalam jarak yang jauh. Kemudian dia sibuk dengan
teman-temannya. ltulah modelnya pertunangan itu. Dia bukannya tak tahu bahwa Reno adalah gadis cantik
yang jadi rebutan banyak orang. Tapi dia tak mau gadis itu menyangka bahwa dia termasuk salah satu di antara
lelaki yang memburu cintanya. Puih!
Kini pertunangannya yang tak berkelincitan itu sudah tamat riwayatnya. Hatinya jadi lega. Ya, dia jadi
lega. Sebab dia semakin bebas untuk berjudi.
"Hmm, kemana harus mencari modal untuk berjudi?", pikirnya sambil terus melangkah meninggalkan
surau tua itu. Kabar tentang putusnya pertunangan itu segera tersebar di kampung-kampung berdekatan. Namun
para pemuda di kampung-kampung itu tak segera dapat bergembira dengan kabar tersebut. Sebab bersamaan
dengan putusnya pertunangan itu, ke kampung mereka, dan juga ke kampung-kampung lainnya, berdatangan
serdadu Jepang. Mula-mula para serdadu itu datang dengan baik-baik.
Tapi itu hanya sebentar. Sepekan kemudian segera diketahui bahwa mereka sebenarnya tengah mencari
kaum lelaki. Semula dikatakan bahwa kaum lelaki dibutuhkan tenaganya untuk bekerja di kota. Beberapa
kantor di Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan Padang membutuhkan tenaga lelaki. Begitu menurut
kabar yang disiarkan. Namun kabar itu hanya mampu bertahan sebentar. Sebab pekan berikutnya JepangJepang itu tak lagi meminta kaum lelaki dengan bujukan.
Kini mereka main tangkap. Penduduk segera tahu dari beberapa orang di kota, bahwa lelaki yang
ditangkapi dan dibujuk dahulu, ternyata dikirim ke Logas. Sebuah tempat pendulangan emas di hutan belantara
Riau. Selain dipekerjakan di tambang batu bara, kaum lelaki juga dipaksa membuat jalan kereta api. Tidak
hanya sampai di situ kekejaman Jepang-Jepang tersebut. Mereka mulai mengganggu anak isteri orang. Dalam
beberapa kali perkelahian sudah ada dua tiga penduduk yang mati kena tebas samurai. Sejenis pedang panjang
yang tajamnya bukan main, dan baru kali itu mereka lihat
Beberapa lelaki mulai menyusun kekuatan untuk melawan kekejaman Jepang itu. Mereka terutama
adalah pesilat-pesilat di bawah pimpinan Datuk Berbangsa, ayah Si Bungsu. Mereka berlatih silat di tengah
malam buta. Disaat serdadu Jepang tak merondai kampung itu. Tempat mereka latihan juga tersembunyi.
Sangat dirahasiakan. Latihan mereka kini ditambah dengan cara menghindarkan serangan dengan pedang
panjang seperti yang dipakai para Jepang itu.
Sebelum ini mereka tak pernah berfikir bahwa ada senjata seperti itu. Yang pernah mereka latih adalah
menghindarkan tikaman keris yang panjangnya hanya dua tiga jengkal. Atau tebasan pedang yang panjangnya
tak sampai dua hasta. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 7
Tapi samurai Jepang itu panjangnya luar biasa. Lebih panjang dari kelewang yang selama ini mereka
kenal. Cara mempergunakannya juga luar biasa cepatnya. Serdadu Jepang itu nampaknya juga pesilat-pesilat
tangguh menurut ukuran negeri mereka sana. Sebab dalam beberapa kali perkelahian antara Jepang dengan
pesilat Minang di kampung mereka, pesilat-pesilat Minang itu pasti mati langkah dibuatnya. Tak sampai
beberapa hitungan, si pesilat pasti rubuh dengan dada atau perut robek. Atau dengan leher hampir putus.
Jepang-Jepang itu demikian cepat mencabut samurainya. Kemudian demikian cepatnya samurai itu berkelebat.
Lalu dalam hitungan yang amat singkat, samurai itu kembali mereka masukkan ke sarungnya. Mulai saat
dicabut, sampai memakan korban dua tiga orang, kemudian masuk kembali ke sarungnya, mungkin hanya
dalam lima hitungan cepat. Artinya hanya dalam lima detik lebih sedikit! Sebagai pesilat, Datuk Berbangsa dan
teman-temannya mengakui secara jujur kecepatan Jepang-Jepang itu mempergunakan senjata tradisionil
mereka. Kini mereka berlatih bagaimana caranya melumpuhkan serangan senjata maut panjang itu. Sebagai
alat latihan mereka mempergunakan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa.
Malam inipun mereka sedang berlatih di tempat rahasia itu, dipimpin Datuk Maruhun, ayah Renobulan,
bekas tunangan Si Bungsu. Gerimis turun malam itu. Jumlah yang ikut latihan hanya tujuh orang. Yang lain
tengah bertugas menyusun kekuatan di tempat lain. Termasuk ayah Si Bungsu. Datuk Maruhun tengah
memberikan petunjuk di tengah sasaran (gelanggang silat) tatkala tiba-tiba mereka dikejutkan oleh cahaya
senter. Mereka berusaha menghindar dengan menyebar. Tapi ternyata sasaran itu telah dikepung oleh lebih
selusin serdadu Jepang. "Hemmm, latihan silat ya. Latihan menghindarkan serangan Samurai ha!" Bagus! Bagus..!" ujar seorang
Jepang berperut gendut bermata sipit sambil maju ke depan. Ke tujuh lelaki itu tegak dengan diam di tengah
sasaran. Di tangan mereka hanya ada keris. Tapi keris itu takkan berdaya menghadapi bedil yang diacungkan
pada mereka oleh Jepang-Jepang itu. Satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah tetap menanti. Menanti apa
yang akan terjadi. Mereka berbaris tegak tujuh orang. Menatap ke depan, ke arah si gemuk yang barangkali
merupakan komandan penyergapan ini.
"Teruslah latihan!. Saya suka silat Minang. Bagus banyak, eh banyak bagus", ujar si gemuk sambil
menerkam ketujuh lelaki itu dengan tatapan matanya. Ketujuh pesilat itu tak bergerak dari tempat mereka.
"Dari mana mereka tahu tempat sasaran ini"," bisik Datuk Maruhun pada lelaki yang tegak di sisinya.
Lelaki itu tak menyahut. Semua mereka memang merasa terkejut atas kemunculan serdadu Jepang itu.
Tak seorangpun yang mengetahui tempat latihan ini selain anggota mereka. Apakah di antara mereka ada yang
berkhianat" "Ayo mulailah bersilat, atau kalian perlu diajar dengan samurai sebenarnya?" si Gemuk itu bicara lagi.
Karena tetap saja tak ada yang menjawab, dia lalu memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya.
Jepang itu maju. Memberikan bedil panjangnya yang berbayonet kepada temannya. Lalu dengan hanya samurai
di pinggang dia masuk ke tengah sasaran.
"Hei, kalian berdua!. Majulah dan lawan dia . . "
Jepang gemuk tadi menunjuk pada dua orang pesilat.
"Majulah". kita memang menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Kini kesempatan itu tiba.
Lawanlah dengan segala usaha. Kalau Tuhan menghendaki, esok mati kinipun mati, lebih baik kita mati dalam
berjuang, " bisik Datuk Maruhun pada dua temannya itu."Doakan kami Datuk. Kalau kami mati duluan tolong
anak bini kami..," lelaki itu balas berbisik perlahan.
"Jangan khawatir pada yang tinggal. Majulah, kami doakan . . . "
Dengan mengucap Bismillah, kedua lelaki itu maju dengan keris di tangan mereka. Mereka berdua tegak
sedepa di hadapan Jepang itu. Jepang gemuk yang merupakan Komandan dalam penyergapan itu memberikan
petunjuk pada anak buahnya. Anak buahnya kelihatan tegak dengan diam, sementara tangan kanannya berada
di gagang samurai yang masih tersisip dalam sarung di pinggangnya.
Pesilat yang di sebelah kiri mulai membuka langkah ke kanan. Yang di kanan juga melangkah ke kanan.
Itu berarti mereka membuat langkah melingkari Jepang itu arah ke kanan pula. Jepang itu masih tetap tegak
dengan diam. Tiba-tiba pesilat yang ada di depan menyerang dengan sebuah tikaman ke lambung Jepang itu. Pesilat
yang satu lagi bergulingan di tanah dan begitu tubuhnya berada dekat tubuh Jepang yang tegak itu, dia
mengirimkan sebuah tikaman ke selengkangnya. Beberapa saat Jepang itu masih tegak.
Namun tiba-tiba dia bergerak. Gerakannya hanya seperti orang berputar saja. Tangannya tak kelihatan
bergerak sedikitpun. Ketika dia berputar tadi tangannya masih di pinggang. Kinipun tangannya itu masih di
pinggang. Di gagang samurainya. Namun pesilat yang menyerang duluan menggeliat. Dan tubuhnya rubuh ke
tanah tanpa jeritan. Tengkuk dan punggungnya nampak tergores panjang, darah menyembur dari goresan itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 8
Pesilat yang berguling di bawah lebih nestapa lagi, tangannya yang tadi menikam ke atas, putus hingga di siku.
Lehernya menganga lebar. Keduanya mati saat itu juga. Darah mereka membasahi sasaran. Datuk Maruhun dan
keempat temannya jadi terkejut bukan main. Namun mereka telah berketetapan hati untuk berjuang sampai
mati. Mereka tetap tegak dengan diam. Komandan Jepang itu bicara lagi dalam bahasa nenek moyangnya.
Jepang yang membelakang itu berputar lagi lambat-lambat. Kemudian berjalan keluar sasaran. Sungguh mati,
tak seorangpun di antara kelima lelaki yang masih hidup itu sempat melihat Jepang itu tadi mencabut
Samurainya. Tak seorangpun! Dapat dibayangkan betapa cepatnya Jepang itu bergerak.
Padahal Datuk Maruhun adalah pesilat tangguh dari aliran silat Lintau. Dia dapat melihat dengan
matanya yang setajam burung elang gerakan silat yang bagaimanapun cepatnya. Namun kali ini dia harus
mengakui secara jujur, bahwa matanya ternyata masih kurang tajam. Seorang lagi tentara Jepang masuk ke
tengah sasaran. Jepang ini bertubuh kurus jangkung. Kelihatannya angkuh. Sesampai di tengah sasaran dia
menghunus samurainya. Berbeda dengan serdadu pertama tadi yang tetap membiarkan samurainya dalam
sarang dan tersisip di pinggang. Yang ini memegang hulu samurai itu erat-erat dengan kedua tangannya.
Komandan Jepang yang bertubuh gemuk itu kembali bicara : "Tadi kalian saya lihat berlatih mengelakkan
serangan samurai. Bahkan coba membalasnya. Itu yang kalian maksud dengan mempergunakan kayu panjang
ini sebagai alat latihan bukan" Nah, kini Zenkuro akan mengajar kalian bagaimana mestinya latihan
mengelakkan samurai. Kalian yang berdua di ujung itu majulah . .!"
Kedua pesilat yang di tunjuk itu saling berpandangan."Kami akan maju Datuk. Mohon maafkan
kesalahan kami . .," mereka berkata perlahan. Nampaknya mereka telah yakin akan mati. Namun mereka
menghadapinya dengan tabah."Kita akan mati bersama di sini. Hanya kalian terpilih lebih duluan. Majulah,
Tuhan bersama kalian . . .," Datuk Maruhun berkata perlahan.
Kedua lelaki itu maju. Yang satu memegang tombak. Yang satu memegang pedang.Namun sebelum
mereka mulai, komandan bertubuh gemuk itu berkata pada salah seorang anak buahnya. "Hei, mana monyet
tadi. Lemparkan kemari agar dia melihat pertarungan ini . ."
Tak sampai beberapa hitungan, "monyet" yang dimaksud oleh Komandan itu segera didorong ke depan
dari balik semak-semak. Dan kelima lelaki itu seperti ditembak petir saking terkejutnya tatkala melihat siapa
yang dikatakan "monyet" itu.
"Bungsu!!" Datuk Maruhun berseru kaget.
"Bungsu!" Lelaki yang maju dengan tombak di tangan itu juga berseru. Dan tiba-tiba kelima mereka
dapat menebak kenapa Jepang-Jepang ini sampai mengetahui tempat sasaran yang mereka rahasiakan ini.
"Jahanam kau Bungsu. Kau tidak hanya melumuri kepala ayahmu dengan taik, tapi juga melumuri
kampung ini dengan kotoran. Berapa kau dibayar Jepang untuk menunjukkan tempat ini?" Datuk Maruhun
membentak. Anak muda itu hanya menarik nafas panjang. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, menatap
kelima lelaki orang kampungnya itu dengan tenang. Dan ketenangan ini membuat kelima mereka rasa akan
muntah saking jijik dan berangnya. Yang memegang tombak tiba-tiba mengangkat tombaknya dan
menghayunkan pada Si Bungsu. Namun samurai di tangan si Jepang bergerak. Tombak itu potong dua sebelum
sempat dilemparkan. "Terkutuk kau Bungsu. Untung anakku tak jadi kawin denganmu. Tujuh keturunan kau
kami sumpahi. Laknat jahanam!!" Datuk Maruhun menyumpah saking berangnya. Namun anak muda itu tetap
saja tegak dengan diam. Komandan Jepang itu memberi perintah pada si Jangkung di tengah sasaran. Kepada
kedua lelaki itu dia lalu berkata : "Nah, kalau tadi kalian menyerang, kini tangkislah serangan Zenkuro. . ."
Sebelum ucapannya habis, si Jangkung yang memegang hulu samurai dengan kedua tangannya, mulai
menyerang. Serangan nampak biasa saja, membabat kaki, perut dan leher. Serangan begini dengan mudah
dielakkan oleh kedua pesilat itu. Malah mereka bisa balas menyerang.
Beberapa kali pedang dan tangan di tangan pesilat yang satu beradu dengan samurai di tangan Jepang
itu. Bunga api memercik dari benturan kedua baja tersebut. Kedua pesilat ini mengitari tubuh si Jangkung
dengan melangkah berlawanan arah. Jadi dia dipaksa untuk memecah kosentrasinya. Sepuluh jurus berlalu.
(3) Tak kelihatan pihak mana yang akan menang. Datuk Maruhun dan kedua temannya merasa gembira dan
berdoa agar teman mereka menang. Namun posisi itu tak bertahan lama. Si Komandan memberi petunjuk
dengan bahasa kampung mereka. Jepang Jangkung itu tiba-tiba tegak dengan diam. Dan ketika tiba-tiba kedua
pesilat itu menyerang lagi, dia bergerak berputar dengan cepat. Terdengar pekikan beruntun. Kedua pesilat itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 9
rubuh mandi darah. Mati saat itu juga. Yang tadi memegang tombak buntung itu, dadanya robek lebar. Yang
memegang pedang kepalanya seperti akan belah dua.
Sasaran itu kini bergenang darah dalam hujan rintik yang makin lebat.
"Nah, kalian sudah lihat. Bahwa silat kalian tak ada artinya jika melawan Samurai. Karena itu jangan
coba-coba membangkang perintah kami. Kini kalian yang masih hidup ayo ikut kami kembali ke kampung.
Tunjukkan di mana teman-teman kalian yang lainnya. Termasuk Ayah monyet ini, . ."
Datuk Maruhun menatap pada Si Bungsu yang disebut sebagai beruk oleh komandan Jepang itu.
"Waang tidak hanya pantas disebut beruk buyung. Tapi waang memang seekor beruk yang paling
jahanam di dunia ini. Kenapa tak waang katakan sekaligus di mana Ayah waang bersembunyi pada JepangJepang ini?"
Dia bertanya dengan penuh rasa benci pada Si Bungsu. Namun anak muda itu tetap diam. Berjalan
dengan kepala tunduk, mata sayu dan wajah murung. Kalau saja dia tak dibatasi oleh tiga orang serdadu,
mungkin dia telah mati ditikam oleh ketiga lelaki itu. Bahkan kalau ayahnya ada di sana, mereka yakin bahwa
Datuk Berbangsa yang akan membunuh anaknya ini. Sudah bisa dipastikan, bahwa untuk mendapatkan uang
untuk berjudi, anak celaka ini telah membuka rahasia tentang latihan yang diadakan di kampungnya pada
Jepang, berikut di mana latihan diadakan. Bisa diterima akal betapa berangnya penduduk padanya. Kabar
tentang khianatnya Si Bungsu segera menjalar seperti api dalam sekam di kampung itu. Belum dua bulan yang
lalu dia diberitakan dari mulut ke mulut perkara pertunangannya yang diputus pihak Reno, kini dia kembali
diberitakan dari mulut ke mulut soal khianatnya. Namun tak ada yang berani turun tangan secara langsung. Di
kampung itu kini ditempatkan lima orang serdadu Jepang.
Jepang-Jepang itu tak berhasil menemukan Datuk Berbangsa dan teman-temannya. Untuk itu mereka
menempatkan lima orang serdadunya untuk menjaga dan menangkap kalau-kalau Datuk itu muncul sewaktuwaktu. Sementara Datuk Maruhun serta kedua temannya yang tertangkap di sasaran itu, dibawa ke Bukittinggi.
Ditahan di sana. Tapi ada yang mengatakan bahwa ketiga mereka telah dikirim ke Logas. Di berbagai daerah
perang melawan serdadu Jepang belum lagi mulai. Sebab Jepang baru saja menggantikan kedudukan tentara
Belanda. Suatu malam terjadi kegemparan di kampung itu. Kelima serdadu Jepang yang ditempatkan di surau
mengaji, yang dijadikan pos darurat, subuh-subuh kedapatan mati semua. Pada tubuh mereka ada bekas
tikaman. Jelas tikaman keris. Lewat subuh sedikit, hampir seratus serdadu Jepang mengepung kampung itu
Ternyata Datuk Maruhun dan kedua temannya lolos dari tahanan. Kabarnya bersama Datuk Berbangsa dan
beberapa pejuang lainnya mereka membunuh pula empat orang serdadu Jepang di penjara. Lalu malam itu juga
menyelusup ke kampung. Mereka membawa anak dan isteri melarikan diri. Ketika kampung itu dikepung
Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi. Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di depan
surau di mana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi. Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa
yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka hanya petani biasa. Malahan satu di
antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak perduli. Seorang Kapten yang memimpin
pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya
tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda
lelaki dan perempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang
kampung itu. "Ini sebuah contoh dan peringatan bagi orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri
Matahari Terbit. Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka akan dibalas
dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi. Jika tak ada lelaki, maka perempuan yang akan dibunuh. Jika
tak ada, anak-anak kami jadikan gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau di antara kalian ada yang mata-mata,
sampaikan ucapan saya ini pada orang orang yang menyusun kekuatan untuk melawan kami, yang kini
bersembunyi entah di mana. . ."
Keempat lelaki itu disuruh berjongkok. Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dan dengan suatu
komando, empat orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan keempat
serdadu itu tergenggam sebuah Samurai. Sebuah komando dalam bahasa Jepang terdengar bergema. Dan
dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya. Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke
tanah menyaksikan kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik.
Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan
melihat ke Utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada pasukannya. Sekitar
tiga puluh serdadu segera berhamburan ke Utara. Dalam sekejap mereka kini telah mengepung sebuah rumah.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 10
Rumah itu adalah sebuah rumah adat yang besar, rumah Si Bungsu! Saburo segera tampil ke halaman rumah
yang telah dikepung ketat itu. Dia menghadap ke atas anjungan.
"Kalian telah terkepung. Keluarlah!. Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar
rumah ini. . !!" seru Komandan tentara Jepang itu.
Beberapa penduduk memberanikan diri melihat kejadian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa
yang disuruh keluar oleh Jepang itu. Sebab setahu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh tadi bersama anak
isterinya. Sementara itu, Si Bungsu yang tadi tegak di antara penduduk, kini menyeruak ke depan di antara
barisan penduduk yang melihat dari kejauhan itu.
Wajahnya yang biasa murung kini jadi pucat. Dia menatap ke rumahnya dengan tegang. Dan benar, tak
lama kemudian kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu! Menyusul ibu dan kakaknya. Melihat
ayah, ibu dan kakaknya itu, Si Bungsu berlari ke depan. "Ibu". !!" himbaunya.
Tapi seorang serdadu Jepang menghantamnya. Dia tersungkur di tanah. Ayah, Ibu dan kakaknya
tertegun. Mereka mamandang padanya dengan tatapan tak berkedip. Ada jarak dua puluh depa antara dia
tertelungkup dengan ayah dan ibu serta kakaknya. Namun dia serasa dapat merasakan panasnya tatapan mata
keluarganya. Terutama sekali tatapan ayahnya. "Engkau memang dilahirkan untuk menjadi dajal, buyung. Saya
menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata
untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?"
suara ayahnya terdengar bergema tajam.
Si Bungsu tertegak kaku. Bulu tengkuknya merinding mendengar ucapan ayahnya itu. Mulutnya
bergerak ingin bicara. Namun tak satupun suara yang keluar dari mulutnya. Dia menatap ayahnya. Menatap
ibunya. Menatap kakaknya. Akhirnya dia menatap pada ibunya. Perempuan itu tegak dengan gagah. Menatap
padanya dengan kepala tegak. "Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu.. .
Nak!" Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh.
Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil di hadapan keluarganya yang gagah perkasa ini.
Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut. Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten
Saburo. "Saya bersedia ditangkap. Tapi isteri dan anak saya, harap dibebaskan. . ."
"Heh, setelah kau bunuh sembilan orang serdadu kami, kau minta keluargamu dibebaskan he" Bagero!"
"Kalau tak ada jaminan itu, saya takkan menyerah!" Datuk Berbangsa berkata dengan suara yang pasti.
Saburo mengagumi sikap jantan lelaki itu. Namun dia tertawa terbahak. "He"he".ha! Apa yang kau
banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk".
"Saya akan berkelahi sampai mati!"
"Siapa yang kau sangka bersedia mati konyol bersamamu?"
"Jangan lupa, Anda seorang Samurai. Saya tahu, seorang Samurai sejati takkan menampik tantangan
berkelahi dari orang lain!"
Saburo terdiam. Matanya menatap tajam pada Datuk itu.
"Atau barangkali serdadu Jepang yang datang kemari adalah Samurai-samurai pengecut yang
mengabaikan sikap satria sebagaimana layaknya Samurai sejati?"
"Diam kau! Jangan sembarang berkata. Tidak ada di antara kami yang tidak berjiwa Samurai. Kau takkan
pernah saya bebaskan. Kalaupun kau memilih bertarung dengan salah seorang samurai, kau juga tetap takkan
bisa memenangkan perkelahian. Tak ada di antara kalian yang akan mampu mengalahkan ilmu Samurai kami.
Ilmu silat kalian masih terlalu rendah untuk berhadapan dengan kecepatan Samurai . . "
"Kebenarannya akan kita buktikan sebentar lagi!" Datuk Berbangsa menjawab dengan tenang dan pasti.
Saburo yang berang segera memberi perintah. Enam orang serdadunya segera meletakkan bedil panjang
mereka. Kemudian membentuk lingkaran besar di halaman rumah gadang tersebut. Datuk Berbangsa yang
terkenal sebagai Guru Silat Kumango itu melangkah dengan pasti ke tengah lingkaran. Dia tak bicara
sepatahpun pada isteri dan anak gadisnya. Nampaknya mereka sudah bicara saat bersembunyi di loteng. Datuk
ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama
Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau.
Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang
harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa.
Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang
meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.
"Duluanlah. Saya menyusul . ." ujar Datuk Berbangsa kepada Datuk Maruhun. Dia tak dapat segera
melarikan diri bersama Datuk Maruhun disebabkan isterinya sakit. Dia telah diminta oleh isterinya untuk lari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 11
duluan bersama anak gadisnya. Namun Datuk Berbangsa menolak. Mana mau dia meninggalkan isterinya. Dan
anak gadisnya juga tak mau meninggalkan ibunya. Padahal si Ibu tak begitu parah sakitnya. Perempuan ini
sebenarnya tak mau pergi dari kampung itu karena dia masih menunggu seorang anak lagi, Si Bungsu!. Dia tahu
suaminya tak menyukai Si Bungsu.
Tapi dia seorang Ibu. Bagaimana dia bisa membenci anak yang dia lahirkan, yang dia kandung selama
sembilan bulan, yang dia susui dari kecil, yang dia besarkan dengan air mata dan keringat" Dia mengakui
anaknya yang seorang itu tak bisa dididik. Tapi bagaimana seorang Ibu akan membenci anaknya" Demikianlah
hati seorang Ibu. Jika sangat terpaksa, sekali lagi "jika sangat terpaksa", dia lebih rela kehilangan suami dari
pada kehilangan anaknya. Karena hari telah siang, untuk melarikan diri tak mungkin lagi. Mereka khawatir akan bertemu dengan
patroli Jepang. Mereka lalu memutuskan untuk bersembunyi di loteng rumah. Bersembunyi dan menanti
malam berikutnya datang. Sementara itu, si Ibu tetap berharap, agar siang ini Si Bungsu pulang. Dia
akan membujuk suaminya untuk membawa serta anaknya itu mengungsi. Namun nasib mereka memang
sedang malang. Persembunyian mereka diketahui oleh serdadu yang tadi memeriksa rumah itu. Serdadu itu
melihat tangga naik ke loteng. Tangga itu rupanya tak ada yang membuang. Sebab semua sudah naik ke loteng.
Siapa lagi yang akan membuang tangga" Waktu sudah kasip. Jepang sudah memasuki kampung. Maka mereka
tetap bertahan di loteng itu sambil berdoa. Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga
sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati
ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan. Dan kini, Datuk
itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo
memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat Sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat
sebuah Samurai. "Kau boleh memilih senjata Datuk "," kata Saburo.
"Terima kasih. Saya dilahirkan oleh Tuhan lengkap dengan bekal untuk melawan kekerasan dengan
tulang yang delapan kerat" suara Datuk itu terdengar perlahan. Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak
berkedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat
dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat. Datuk Berbangsa
tegak dengan dua kaki dirapatkan.
Tatapannya lurus ke depan. Dia berdoa dengan kedua tangannya menampung ke atas. Kemudian tangan
kanan meraba dahi, dan tangan kiri meraba dada di tentang jantung. Setelah itu memberi hormat dengan tegak
lurus dan kedua telapak tangan dirapatkan di depan wajah. Dia memberi hormat dengan cara penghormatan
Silat Tuo Pariangan. Yaitu silat induk yang menjadi ibu dari silat-silat yang ada di Minangkabau.
"Engkau boleh menyerang duluan Datuk?"," Saburo berkata.
Datuk Berbangsa tetap tegak dengan tubuh condong sedikit ke depan. Matanya melirik ke tangan kanan
Jepang besar di hadapannya. Semua orang pada terdiam. Tak terkecuali Kapten Saburo sendiri. Ada sesuatu
yang membuat Kapten ini iri pada Datuk itu. Yaitu keyakinan pada kemampuan dirinya. Dia sudah banyak
menyaksikan kehebatan penduduk pribumi di Indonesia ini. Namun jarang yang punya keyakinan atas dirinya
seperti Datuk ini. Biasanya sesudah tertangkap, orang lalu berhiba-hiba minta ampun. Jika perlu dengan
membuka semua rahasia atau menjual harga dirinya. Tapi tak demikian halnya dengan Datuk ini. Dia
menantang berkelahi bukan karena dia kalap dan nekad. Tapi karena dia memang seorang satria sejati.
Saat itu Datuk Berbangsa tengah melihat betapa tangan kanan Jepang itu mulai bergetar dan secara
perlahan pula, hampir-hampir tak kelihatan, bergerak mili demi mili mendekati gagang samurainya. Ini adalah
gerakan pendahuluan. Tiba-tiba tangan itu bergerak cepat. Dan saat itu pula Datuk Berbangsa melompat ke kiri
kemudian berguling di tanah dan tumitnya menghantam siku kanan Jepang itu. Sungguh sulit untuk
diceritakan. Kejadiannya demikian cepat. Demikian fantastis. Hampir-hampir tak bisa dipercaya. Gerakan
Samurai yang terkenal cepat itu terhenti tatkala samurainya baru keluar separoh.
Siku si tinggi besar itu kena dihantam tumit Datuk Berbangsa. Terdengar suara berderak. Jepang itu
terpekik. Sikunya patah! Dia mencabut samurainya dengan tangan kiri. Tapi gerakan ini juga terlambat. Guru
Silat Kumango itu telah mengirimkan sebuah tendangan lagi ke selangkangnya. Tubuh Jepang itu terangkat
sejengkal, kemudian tertegak lagi di tanah. Mula-mula hanya agak hoyong. Masih berusaha untuk tetap tegak.
Tapi Datuk Berbangsa telah tegak dan mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan kanannya ke leher
Jepang itu. Itu adalah sebuah serangan yang disebut "Tatak Pungguang Ladiang" dari jurus Kumango yang terkenal
ampuh. Tetakan dengan sisi tangan itu mendarat di leher Jepang tersebut. Begitu suara berderak terdengar,
begitu nyawa Jepang itu berangkat ke lahat. Tubuhnya rubuh ke tanah tanpa nyawa! Hanya dalam sekali
gebrak, serdadu Jepang itu mati! Beberapa saat suasana jadi sepi. Benar-benar sepi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 12
Keenam serdadu yang membuat lingkaran besar itu ternganga. Kapten Saburo sendiri hampir-hampir
tak mempercayai matanya. Lelaki pribumi ini telah membunuh seorang samurai dari Jepang hanya dengan
tangan kosong. Mungkinkah ini" Apakah ini tidak semacam sihir" Tapi ini memang kejadian. Dia tak melihat
lelaki itu mempergunakan sihir sedikitpun. Serangan itu benar-benar sebuah serangan silat yang telak dan
tangguh dari silat aliran Kumango!
Kini Datuk Berbangsa tegak dengan kaki dipentang. Tegak dengan gagah menatap kepada Kapten
Saburo. Kapten itu memberi aba-aba dalam bahasa Jepang. Dua orang serdadu maju ke depan. Kedua mereka
juga menyisipkan samurai di pinggang. Mereka kembali saling memberi hormat. Ini adalah perkelahian kaum
satria. Salah satu dari Jepang yang maju ini bertubuh pendek dan kurus. Gerakannya gesit sekali. Yang satu lagi
agak tinggi dengan tubuh sedang. Begitu habis memberi hormat, begitu dengan cepat sekali mereka
menghunus samurai dan menyerang!
Datuk itu berbarengan diserang dari muka dan belakang. Saburo dengan jelas sekali melihat kedua
prajuritnya masing-masing mengirim serangan tiga jurus. Berarti Datuk itu diserang enam jurus dalam
gebrakan pertama saja. Enam bacokan yang cepat dan terarah! Namun ketika kedua Jepang itu kembali tegak
dengan diam sambil memegang samurainya, Datuk itu juga tegak tiga depa dari mereka dengan diam dan tak
kurang satu apapun! Luar biasa!!. Tanpa dapat ditahan, dan diluar sadar, beberapa serdadu Jepang yang
menyaksikan pada bertepuk tangan.
Saburo harus mengakui, bahwa Datuk itu memang patut mendapat tepuk tangan dari serdadu. Tatkala
kedua serdadu itu tadi menyerang, Datuk Berbangsa segera bergulingan ke tanah. Dua kali bergulingan dia
berhasil menghindarkan dua bacokan. Kemudian seperti kucing dia melompat bangun dengan gerakan
seenteng kapas. Lompatannya tinggi dengan kaki dilipat. Dengan gerakan yang diperhitungkan ini, empat
bacokan berhasil pula dia elakkan. Gerakan selanjutnya dia melompat dan menunduk sambil memutar.
Gebrakan pertama berakhir.
Kini mereka saling menatap. Yang bertubuh agak sedang lambat-lambat mengingsut tegaknya. Telapak
kakinya beringsut di pasir mili demi mili. Kedua tangannya dengan kukuh memegang hulu samurai. Kini jarak
mereka hanya tinggal sedepa. Datuk Berbangsa memiringkan tubuh dengan jari kanan lurus di depan dada dan
sudut mata memandang pada mata Jepang itu. Mereka tegak bertatapan. Tiba-tiba dengan sebuah pekik
Bushido, sejenis pekik khas para pesilat Samurai, serdadu itu membuka serangan. Namun ternyata Datuk
Berbangsa lebih cepat lagi. Dia ternyata cepat menangkap jurus-jurus Samurai. Setiap samurai pasti mengawali
gerakannya dengan membawa samurai itu agak ke kanan atau ke kiri sedikit. Gerakan ini diperlukan untuk
memberi kekuatan hayun bagi samurai itu bila dibacokkan.
Hanya saja, makin tinggi kepandaian seorang samurai, makin tak kelihatan gerak mengambil ancangancang itu. Dan makin cepat dan halus pula gerakannya. Jepang ini gerakannya cukup cepat. Namun tak begitu
cepat di mata Datuk yang guru silat Kumango ini. Sebagaimana jamaknya pesilat-pesilat tangguh, dia tidak
melihat pada gerakan senjata lawan. Dia menatap langsung ke mata serdadu itu. Di sana pesilat-pesilat tangguh
dapat membaca kemana gerakan tangan dan kaki setiap lawan. Itulah yang dilakukan oleh Datuk Berbangsa.
Begitu tangan Jepang itu bergerak, dia segera mengetahui bahwa tangan Jepang ini akan bergerak sedikit ke
kanan. (4) Dan kesempatan yang sedikit itulah yang dinantinya. Sebelum gerakan itu sempurna, dengan kecepatan
loncatan seekor harimau tutul, dia melesat ke arah Jepang itu. Dan sebelum Jepang itu sadar apa yang terjadi,
Datuk Berbangsa telah memiting leher Jepang tersebut. Kemudian dengan gerakan yang sempurna dia
meremas kedua tangan si Jepang yang memegang Samurai. Jepang itu terpekik. Saat itulah temannya yang
seorang lagi sadar bahwa bahaya tengah mengancam temannya, dia lalu diam-diam menyerang dari belakang.
Namun Datuk Berbangsa memutar Jepang yang masih dia piting itu. Jepang itu dia jadikan sebagai perisai.
Sementara serdadu itu tak berdaya menggerakkan samurainya, karena tangannya tengah dicengkam amat
kuat. Si kurus tidak bisa berbuat banyak. Dia harus hati-hati agar serangannya tak mengenai kawan sendiri.
Mereka berputar-putar sejenak. Suatu saat Jepang itu berputar dengan cepat. Karena tengah memiting lawan,
Datuk Berbangsa tidak dapat bergerak lincah. Dia kurang cepat berputar. Saat itulah serangan Jepang itu datang
dari belakang. Namun kembali suatu keajaiban terjadi. Datuk Berbangsa kiranya sengaja memancing dengan
membiarkan lawannya ke belakangnya. Dan ketika angin serangan samurai itu datang, dia meluncurkan
dirinya ke bawah. Menjatuhkan diri dan bertekan di tanah dengan lutut kanan. Samurai lawannya yang dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 13
piting itu tiba-tiba berpindah ke tangannya. Dalam suatu gerakan yang sempurna samurai di tangannya dia
tikamkan ke belakang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi lawan di belakangnya bukan pula sembarang samurai.
Gerakannya ternyata amat cepat. Meski Datuk Berbangsa sempat selamat dari bacokan yang fatal, namun tak
urung punggungnya robek sehasta. Mulai dari bahu kanan mereng ke lambung kiri. Darah membanjir. Dan saat
itu pula Jepang yang menyerang dari belakangnya itu terhenti dan terpekik. Samurai kawannya yang berhasil
dirampas dalam suatu gerakan yang disebut Piuh-pilin dari jurus Kumango yang sempurna dan dihujamkan ke
belakang oleh Datuk Berbangsa, kini menancap hampir separohnya ke dada Jepang itu.
Samurai itu tembus dan menyembul keluar dari baju di punggungnya! Semua Jepang yang ada di sana
jadi tertegun kaget dan kagum akan kehebatan perkelahian itu. Belum pernah mereka melihat perkelahian
antara pribumi memakai samurai sedahsyat ini. Belum sekalipun! Datuk ini benar-benar memiliki ilmu silat
yang tangguh, pikir mereka. Jepang bertubuh kecil itu masih tertegak diam. Matanya berputar. Dia tegak
setengah hasta di belakang Datuk Berbangsa yang masih memegang samurai itu dengan kuat. Lambat-lambat
Jepang itu mengangkat samurai di tangan. Dan menebaskannya ke leher Datuk Berbangsa yang masih tetap
berlutut membelakanginya. Namun gerakan Jepang itu hanya sampai mengangkat samurai saja. Setelah itu
gerakannya terhenti tiba-tiba. Dan tubuhnya rubuh ke belakang. Mati! Semua orang terdiam.
Tapi isteri Datuk Berbangsa terpekik melihat darah di punggung suaminya. Dia berlari menghambur ke
tengah lingkaran. Tapi Kapten Saburo Matsuyama menganggap sudah cukup memberi angin pada Datuk itu.
Dalam marahnya yang luar biasa, dia mencabut samurai, dan di saat isteri Datuk itu lewat di sampingnya,
samurai itu beraksi. Isteri Datuk itu tersentak, tapi dia masih tetap melangkah ke arah suaminya. Tubuhnya
telah hoyong tatkala mencapai suaminya.
"Uda".perempuan itu rubuh ke pangkuan suaminya.
"Jahannam?".Jepang jahannaam!" Datuk Berbangsa memekik. Dan meletakkan isterinya di tanah.
Dengan punggung robek dia tegak menghadapi Kapten Saburo. Saburo dengan mata yang nyalang menatapnya.
Kini Datuk itu menyerang duluan. Tetapi mungkin karena keahlian Saburo memang jauh lebih tinggi dari pada
anak buahnya, atau mungkin pula karena Datuk itu dalam keadaan luka, perkelahian mereka kelihatan tak
seimbang. Datuk Berbangsa memegang samurai dengan menghadapkan ujungnya ke belakang, dia
menikamkannya ke arah Saburo. Sebuah tikaman ke belakang yang tadi telah menghabisi nyawa serdadu yang
menyerangnya dari belakang. Sabetannya yang pertama, yang mengarah ke depan, membunuh serdadu yang
tadi dia piting lehernya. Tapi tikaman samurai ke belakang itu tak mengenai sasaran. Saburo menghayunkan
samurai dalam tiga serangan berantai. Datuk Berbangsa menangkisnya. Namun serangan tiga serangkai itu
merupakan serangan tangguh. Begitu dia menangkis sabetan samurai Saburo, dia merasakan tangannya
kesemutan. Tanpa dapat dia cegah, samurai di tangannya lepas. Bukan main hebatnya tehnik dan tenaga
Saburo. Samurai itu melayang ke udara. Datuk Berbangsa tak mau menanti. Dia mengirim sebuah tendangan.
Dan tendangan itu tak diduga sedikitpun oleh Saburo. Kapten itu terjajar ke belakang karena perutnya kena
hajar tumit Datuk Berbangsa. Dia jatuh berlutut. Dan saat itu samurai yang tadi terlambung meluncur turun ke
atas kepala Saburo. Tapi perwira Jepang ini memang seorang samurai pilihan. Dia mendengar desiran angin samurai yang
menghunjam ke arah kepalanya itu. Tanpa menoleh ke atas, dia memutar samurai di atas kepalanya. Dan
samurai itu kena dipapas, dan dengan amat laju melayang ke arah Datuk Berbangsa. Datuk itu coba mengelak,
namun samurai tersebut terlalu cepat. Dan karena dia coba mengelak, tubuhnya miring ke kiri. Dan crepp!!
Samurai itu menancap separoh ke dada kirinya. Menembus jantung! Tembus ke punggung! !
Datuk Berbangsa tertegak. Dia tak mengeluh sedikitpun. Si Bungsu terlonjak.
"Ayaaah" pekiknya, namun dia takut untuk bangkit.
Ayahnya tak menoleh ke arahnya. Lelaki tua perkasa dan keras seperti baja itu lambat-lambat jatuh di
atas kedua lututnya. Matanya masih menatap Saburo.
"Beginikah sikap satria seorang samurai yang dibanggakan itu" Membunuh seorang perempuan dan
menghantam orang yang luka?" Datuk Berbangsa bertanya dengan tatapan mata yang membuat hati Saburo
jadi ciut. Datuk itu bicara lagi, perlahan :
"Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh
samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu
sumpahku?""Saburo".!"
Ucapannya tererhenti, darah menyembur dari mulutnya. Dan lelaki perkasa itu, yang memakai kopiah
berlilit berukir-ukir pertanda jabatan penghulunya, jatuh tertelentang. Dia tak pernah mengeluh. Samurai yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 14
tertancap di dadanya tegak seperti tonggak peringatan. Tegak angkuh dan kukuh. Sekukuh lelaki yang mati di
ujungnya. Datuk itu mati sedepa dari tempat isterinya. Matanya menatap ke langit yang tinggi. Seekor Elang
terbang melintas. Suara pekiknya terdengar menyayat pilu. Saburo merasa bulu tengkuknya berdiri
mendengar sumpah Datuk itu tadi. Anak gadis Datuk itu tiba-tiba menghambur ke tengah mengejar ibu dan
ayahnya yang bermandi darah. Namun tangannya disambar oleh Saburo.
"Bersihkan kampung ini !" teriaknya pada anak buahnya.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan begitu anak buahnya memencar, dia segera menyeret gadis bertubuh montok itu naik ke rumah
Adat. Gadis itu meronta dan memberikan perlawanan. Dia belajar silat Kumango dari ayahnya. Kini dia
mencoba melawan kehendak Jepang laknat itu. Namun di tangan Saburo, yang tidak hanya mengerti ilmu
samurai, tapi juga mahir dalam Karate dan Judo, kepandaian gadis ini jadi tak ada artinya.
Tangannya memang berhasil menampar Kapten itu tiga kali. Tapi begitu Saburo membalas
menamparnya sekali saja, gadis itu pingsan. Saburo memangku tubuhnya yang tersimbah itu ke atas rumah. Di
tengah ruang dia tegak. Mencari dimana letak bilik. Saat terpandang pada kamar gadis itu sendiri, dia
melangkah ke sana. Kamar itu bersih dan indah. Bau harum bunga melati menyelusup ke hidungnya. Itu
menyebabkan nafsunya menyala. Dia menghempaskan tubuh anak gadis Datuk Berbangsa itu ke kasur. Kaki
gadis itu terkulai ke bawah tempat tidur. Dan kainnya tersimbah lebar. Di bawah rumah itu ada kandang ayam
sedang mengerami selusin anaknya yang gemuk-gemuk. Suara berdentam di atas rumah, yang ditimbulkan
oleh sepatu Saburo ketika naik tadi mengejutkan ayam-ayam tersebut. Induk ayam itu tegak dan berlari ke
tempat gelap. Anak-anaknya memburu dan menyeruak sayap ibunya dan masuk ke bawah sayap induknya.
Salah seekor di antaranya, yang berwarna putih pucat, gemuk dan besar, masih berputar-putar di luar.
Induknya diam saja melindungi anaknya yang sebelas ekor. Anak ayam yang satu itu mulai memutari tubuh
induknya. Kemudian menyeruak di antara bulu sayap induknya yang hitam kepirang-pirangan. Induknya
merapatkan sayap. Beberapa kali anak ayam gemuk itu tak berhasil masuk ke bawah ruangan di bawah perut
ibunya. Tapi akhirnya, dia berhasil juga. Dia merasa hangat di bawah perut induknya itu. Tubuhnya berputarputar di antara sebelas saudaranya yang lain. Tubuh induknya tergoyang-goyang karena dia berputar-putar di
bawah. Di halaman, enam depa dari kedua tubuh ayah dan ibunya, Si Bungsu masih tetap tertunduk. Dia tak
berani bergerak sedikitpun. Meski di halaman itu hanya ada seorang serdadu, dan serdadu itu tegak sebelas
depa darinya, membelakanginya pula. Menghadap ke belakang rumah. Namun Si Bungsu tak pernah punya
keberanian sedikitpun untuk tegak mendekati tubuh Ayah dan Ibunya.
Dia juga tak punya keberanian untuk menolong kehormatan kakaknya yang dirajah Saburo Matsuyama
di atas rumah mereka. Tidak. Dia memang tak punya keberanian sedikitpun selama ini. Keberaniannya hanya
satu. Yaitu main judi. Tapi kini apa guna kepandaiannya yang satu itu" Sebagai anak lelaki dia anak lelaki yang
"tak lengkap", betapapun dia pernah amat membanggakan "ilmu" judinya.
Di kamar di atas rumah gadang itu, kakak Si Bungsu tiba-tiba tersadar. Dia merasa lehernya pedih dan
panas. Merasa ada nafas mendengus di wajahnya. Merasa tubuhnya disimbahi peluh. Merasa ada beban berat
menghimpitnya. Dan tiba-tiba dia memekik dan melambung tegak. Tapi pekiknya terhenti tatkala Saburo
menyabetkan samurainya. Gadis itu terkulai ke jendela. Dia menutup dadanya dengan tangan. Matanya
menatap sayu ke halaman. Menatap pada mayat ayah dan ibunya. Dan matanya terhenti pada wajah Si Bungsu
yang masih duduk berlutut dan memandang padanya. Bibir gadis itu bergerak. Seperti bicara pada adiknya.
Namun tak ada suara yang keluar. Matanya segera layu. Dan kepalanya terkulai ke bandul jendela. Si Bungsu
masih terpaku di tempatnya dengan penuh ketakutan. Tertunduk dengan diam.
Tak lama kemudian dia lihat Kapten Saburo Matsuyama turun dari rumah sambil melekatkan ikat
pinggang. Di halaman dia terhenti tatkala terpandang pada Si Bungsu. Dia segera ingat pada sumpah Datuk
Berbangsa. Ingat pada sumpahnya yang akan menuntut balas. Siapa yang akan menuntutkan balasnya selain
dari anaknya ini" Dengan kesimpulan begitu dia lalu mendekati Si Bungsu. Takut Si Bungsu muncul.
"Aaaa..ampuun tuan. Ampuun!" dia bermohon-mohon dengan tubuh menggigil.
Beberapa penduduk yang melihatnya dari kejauhan menjadi jijik dan mual melihat sikap anak muda ini.
Mereka seakan ingin menginjak-injak anak muda pengecut itu. Benar-benar jahanam! Benar-benar laknat.
Anak haram jadah!, maki mereka.
Saburo memegang hulu Samurainya. Si Bungsu jadi terkejut. Dia tahu Jepang itu berniat membunuhnya.
Dia segera bangkit. Sambil memekik minta ampun dia menghambur mengambil langkah seribu. Namun anak
muda pengecut ini memang sial. Pedang Samurai Saburo bergerak amat cepat. Punggungnya belah. Dia
tersentak. Rubuh tertelungkup dengan punggung menganga mulai dari belikat kiri sampai ke batas pinggul.
Sementara itu, kampung tersebut telah jadi lautan api. Pekik dan lolong terdengar bersahutan. Perempuan-
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 15
perempuan berpekikan diseret ke bawah pohon. Diperkosa dan beberapa lelaki yang coba melawan dibantai
dengan samurai atau ditusuk dengan bayonet. Menjelang sore, kampung itu hampir rata dengan tanah. Asap
mengepul di mana-mana. Burung elang dan gagak terbang rendah seperti melihat bangkai yang bergeletakan.
Itu adalah penyembelihan yang tak terlupakan bagi penduduk di kampung itu. Tak kurang dari sepuluh nyawa
melayang. Dan di pihak Jepang hanya 3 serdadu yang dimakan samurai di tangan Datuk Berbangsa. Beberapa
rumah memang masih tegak dengan utuh, yaitu rumah-rumah yang tak berpenghuni.
Serdadu Jepang itu sudah kembali ke Payakumbuh, dimana mereka bermarkas. Makin hari makin
banyak jumlah mereka yang datang ke Minangkabau lewat Sumatera Utara. Kekuatan mereka dipencar ke
beberapa kota utama di Minangkabau.
Sore itu hujan turun rintik-rintik. Membasahi kampung yang telah centang perenang itu. Hujan rintikrintik itu juga seperti mencuci tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak ada orang lain di kampung itu
yang kelihatan hidup. Mereka semua melarikan diri. Menyelamatkan nyawa mereka dari kebiadaban serdadu
Jepang. Jepang memang punya alasan untuk menyikat kampung itu hingga rata dengan tanah. Sebab kampung
itu merupakan basis pertama dalam sejarah perlawanan rakyat di Minangkabau terhadap kekuasaan Jepang.
Dan setelah Datuk Berbangsa sekeluarga dibunuh, kampung itu menjadi kampung tinggal buat sementara.
Namun dari kesepuluh tubuh yang malang melintang itu ternyata masih ada yang hidup. Hujan rupanya
mengembalikan kesadaran yang hidup itu. Di halaman rumah Datuk Berbangsa ada sosok tubuh yang
bergerak. Mula-mula tangannya. Tubuh yang bergerak itu adalah Si Bungsu!.
Wajahnya tertelungkup rapat ke tanah. Dia rasakan punggungnya amat pedih dibasahi air. Dia masih
terpejam. Namun tangannya digerakkan perlahan. Tercium bau tanah dan sawah yang harum dari angin yang
bertiup dari kaki gunung Sago. Terasa tetes air.
"Aku masih hidup?" bisik hatinya.
(5) Dia mencoba bertumpu di tangan untuk membalikkan diri. Tapi alangkah sulitnya. Dia menelungkup lagi
diam-diam. Mengumpulkan tenaga, kini dia membuka mata. Mula pertama yang kelihatan adalah tanah
halaman rumah di mana di waktu kecil dia bermain kelereng dan main galah. Lalu di tanah itu dia lihat air yang
memerah. Itu pastilah darahnya. Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa
malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya
disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu
mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu
keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya
Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah di manapun dia berada.
Dan suatu malam dia mengikuti ayahnya dari kejauhan. Dia melihat orang-orang berlatih silat di sasaran.
Dia tahu sasaran itu adalah untuk orang-orang yang tingkat kepandaian sudah tinggi. Dia kenal pesilat-pesilat
itu semua. Makanya dia tak berani menampakkan muka. Dia hanya mengintip dari balik belukar. Mengintip
cara mereka melangkah, membuka serangan. Menangkis dan meloncat.
Dia ingin sekali pandai bersilat. Tapi pada siapa dia akan belajar" Ayahnya sudah sering keluar.
Nampaknya ada sesuatu yang penting yang diurus. Seperti menyusun suatu kekuatan melawan Jepang. Meski
ayahnya tak ada di rumah. Si Bungsu tetap datang diam-diam ke sasaran itu tengah malam. Melihat orang
berlatih. Bila orang selesai latihan, dia segera buru-buru duluan pulang agar tak ketahuan. Dan di rumah siang
harinya, dia mencobakan gerakan yang dia lihat. Tapi alangkah sulitnya belajar tanpa guru. Sebab yang dia lihat
bukanlah pelajaran dari awal. Melainkan pelajaran tingkat lanjut. Hanya sepekan dia sempat melihat orang
latihan itu. Malam terakhir adalah malam di mana Datuk Maruhun tertangkap oleh serdadu Jepang.
Malam itu dia memang terlambat datang ke tempat pengintaiannya yang biasa. Dia terlambat karena
hujan. Tetapi keinginan untuk belajar tetap menyala. Maka meski terlambat dan hujan masih turun, anak muda
itu turun juga ke tanah. Dengan mengendap-endap dia mendekati sasaran rahasia itu. Dia melihat cahaya pelita
yang samar-samar. Mendengar suara beradunya pedang dan keris. Dia lalu menyeruak ke dekat belukar kecil
dimana biasanya dia mengintip. Namun tiba-tiba ada tangan yang menyekap mulutnya. Dia ingin berteriak dan
berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran
tersebut. Dan dia didorong ke tengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia
keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu.
Mereka menyangka Si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi. Malam itu dia ingin
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 16
menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua"
Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang "runcing tanduk". Datuk itu memang sudah
lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan anak gadisnya yang
bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang
kampungnya. Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit.
Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di
mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia
mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk
merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu.
Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah
jauhnya antara dia dan si ayah. Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang
jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib bagi nama baik ayah dan
keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya.
Saat itu ibu, ayah dan kakaknya tertegun di tangga.
"Engkau memang dilahirkan untuk jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau.
Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa
berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?"
Suara ayahnya seperti bergema lagi. Dia tersentak kaget. Ayahnya pasti telah mendengarnya pula dari
Datuk Maruhun atau dari orang lain, tentang perjumpaan mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah ayahnya juga
menduga seperti dugaan Datuk Maruhun dan teman-temannya, bahwa dialah yang membocorkan rahasia
sasaran itu pada Jepang. Hatinya jadi amat terpukul.
Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat ibunya.
Wajah ibunya kelihatan tenang. Hatinya jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya
mayat kakaknya masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana cara menangisi malapetaka
yang begini dahsyat. Kalau salah satu saja dari keluarganya yang mati, mungkin dia bisa menangis. Tapi kini ketiga mereka.
Dia hanya sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia harus menangisi kemalangan ini" Kemalangan yang
bagaimana pula yang telah menimpanya, sehingga untuk menangis saja dia tak tahu bagaimana caranya" Tibatiba tangan ibunya bergerak perlahan. Perlahan sekali. Namun dia melihatnya dengan jelas.
"Ibu . ." panggilnya perlahan sambil mengangkat kepala perempuan separoh baya itu. Hatinya berdebar.
Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di
bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.
"Ibu ?" "Bungsu. . . engkau kini tinggal sendiri nak. Hati-hati menjaga diri. . ." Perempuan itu terhenti. Kembali
menjilat air di bibirnya. Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah. "Ayahmu ingin engkau menjadi anak
yang baik . . ." Perempuan itu terhenti lagi. Dia seperti mengumpulkan tenaga terakhir. Nampaknya dia memang
menunda datangnya maut untuk bisa bicara dengan anak Bungsunya ini. "Bungsu " anakku. Kata orang engkau
membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi.. . Tapi ibu tak percaya.
Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik. . katakanlah Bungsu. . "
bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu ."
Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam lagi. Nafasnya tinggal satu-satu. Namun dia berusaha
membuka matanya, untuk melihat wajah anaknya. Untuk melihat dan mendengar jawaban anaknya.
Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali yang ingin dia sampaikan. Tapi kerongkongannya rasa tersumbat.
Dia hanya mampu menggeleng dan menggenggam tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air mata.
Si ibu seperti dapat membaca yang tersirat di fikiran anaknya. Meskipun anaknya tak bicara sepatahpun,
hanya menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca apa yang terkandung di hati anaknya. Perempuan
itu seperti tersenyum. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai. Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir
dalam hujan rintik yang makin lebat itu.
Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang tak membedakan kasih terhadap anak-anaknya. Di antara anakanaknya yang pandai dan yang bodoh, di antara anak-anaknya yang gagah dan yang cacat, di antara anakanaknya yang berbudi dan yang jadi jahanam, seorang ibu tetap berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu tetap
menginginkan kebahagiaan yang sama untuk semua anaknya.
Dan sore itu Si Bungsu merasakan betapa sebenarnya dia memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia
rasakan justru setelah ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang ayah.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 17
Justru setelah ayahnya meninggal. Dia membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Justru dia rasakan setelah
kakaknya meninggal! Alangkah tragisnya nasib manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa setiap anak
takkan menyadari betapa dia sebenarnya membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahya, ketika si ibu dan si ayah
masih hidup. Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu, Si Bungsu masih duduk di sana. Di halaman rumah gadangnya.
Di antara puing reruntuhan rumah-rumah di kampungnya itu. Dia duduk dengan kepala ibu di pahanya. Sampai
hari ketiga dia tak mampu bergerak dari sana. Luka di punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan
hujan banyak menolong lukanya. Tak ada lalat yang merubungi.
Barulah di hari ketiga dia berusaha bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik dua. Dia harus
mengubur mayat ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur mayat tujuh orang lelaki, perempuan dan
seorang anak-anak lainnya di kampung itu. Sebab tak ada manusia seorangpun di sana. Mereka telah lari
mengungsi. Hujan lebat yang turun beberapa hari jua yang menyebabkan tanah jadi lembut dan mudah digali.
Dengan mengatupkan gigi, dia mencabut Samurai yang tertancap tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia
mulai menggali tanah di dekat jasad ayahnya itu dengan samurai tersebut. Mayat ayah dan ibunya hanya
berjarak sedepa. Dia menggali di tengah kedua orang itu. Kemudian memasukkan mayat ibu bapanya ke satu
lobang. Hari kelima baru dia selesai mengubur seluruh jenazah di kampung itu. Mereka dia kubur sekedarnya.
Sekedar tertimbun dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak digali hewan. Mereka dia kubur di dekat
mayatnya terbaring. Ada yang di dekat tangga seperti kakaknya. Ada yang di tengah halaman seperti ibunya.
Ada yang di bawah pohon seperti beberapa tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka semua. Meskipun
semasa hidupnya, mereka membencinya. Dia tak punya rasa dendam sedikitpun terhadap orang kampungnya
ini. Hari keenam, dia melangkah entah kemana. Hari sudah senja. Dia berjalan tertatih-tatih. Hujan dan
udara sejuk telah menyelamatkan luka dipunggungnya yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam
perjalanan, tiba-tiba dia menyadari bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga mempergunakan Samurai
yang tertancap di dada ayahnya sebagai tongkat penyangga agar tubuhnya tak rubuh. Tak dia ingat kapan
masanya dia memungut sarung samurai itu. Tapi yang jelas kini dia memegangnya.
Semula dia berniat untuk membuang samurai itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar lengan. Tapi tibatiba dia tertegun. Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum roboh setelah dihantam Samurai Saburo,
terngiang kemballi. "Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh
samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu
sumpahku?""Saburo".!"
Tangannya menggigil mengingat sumpah itu. Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang baru dia ambil. Dia
memegang samurai di tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai melangkah. Entah kemana dia. Tak seorangpun
yang tahu. Berbulan-bulan setelah itu, ketika suasana sudah agak aman, orang-orang Situjuh Ladang Laweh,
kampung Datuk Berbangsa, kembali pulang satu demi satu dari pengungsian mereka.
Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang tak beraturan korban pembantaian yang menyebabkan
mereka lari mengungsi. Mereka menggali kembali kuburan-kuburan itu, dan meng-uburkan di pekuburan
kaum. Mereka bertanya-tanya tatkala tidak menemukan mayat Si Bungsu. Padahal beberapa orang di antara
mereka melihat dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus dibabat samurai Kapten Saburo.
Tapi kemana mayatnya" Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini"
Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini" Tak mungkin. Anak muda itu tak
mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran
rahasia itu ayahnya yang memimpin" Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga
semua mereka tertangkap dan terbunuh" Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.
"Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini
mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggalkan, lalu akhimya habis dimakan
anjing atau harimau yang datang dari gunung sana . . " seorang lelaki bicara.
Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Dan bagi orang kampung, anak muda itu
memang lebih baik mati diterkam harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap
sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan
tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk. Kehidupan kampung di pinggang
gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 18
Serdadu Jepang tak pernah lagi datang ke sana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah
menghentikan kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman orang-orang bermata sipit dan bertubuh
tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk di kota maupun pedesaan di pinggir kota yang
ditempati oleh tentara Jepang. Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-pejuangnya telah mati.
Datuk Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.
Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya
dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski
sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu layah di pinggang
gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia
melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun
kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui di sana" Tak seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin
orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia" Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih
hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali
kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah
sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh
jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi
semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampungkampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang
dalam perjudian daripada kalah.
Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang
tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia
rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia
nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya. Tes. , tes . . tes . . ! Dia dengar detisan
halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah
ditampuknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti
ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan
saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai
empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya
itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari
sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan
lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!.
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya
guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak mengetahui
selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu
dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang
membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang
yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang
olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan
matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia
ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian
antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut. Dia mengingat
gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai
telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia
mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian
beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.
Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali. Lalu ketika gerakan
itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan
dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa
menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 19
ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus! Yang menyulitkannya adalah karena dia tak
mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia
lambat sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu
samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa
paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi
hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba
raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati
binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.
Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam di sana seperti
pohon mati. Tapi suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan
tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana Si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera
mengetahui kehadirannya. Dia menerkam Si Bungsu. Namun bagi Si Bungsu kecepatan macan ini tak ada
artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai. Dia malah
tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak.
Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan
rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah
pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.
Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar.
Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang datang
menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila
dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.
Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekat-nya. Dia
memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat dengan
dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia
menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia
bertekad untuk membalas dendam. Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya
dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata.
Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian
dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia
lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan
pendengaran. Kini! Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap
kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia
dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada
yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti
bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia
lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan
membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti
bulan. Bulan berganti tahun!
Senja ini dia kembali duduk di atas batu pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung di mana
sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke
arah kampungnya.Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang
purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia buat secara darurat.
Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah
keinginannya yang keras untuk membalas dendam.
Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya. Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya
yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain. Dia tertegun. Apakah dengus
sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali" Dia tak berani menoleh. Namun
nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa
dia tak mengetahuinya" Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati
tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan
konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang
tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib
dia selalu dihibur oleh dendang jangkrik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 20
yang bersahutan. Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap" Sejak bila lenyapnya" Kesunyian ini adalah
kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar.
Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas
dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang
mendengus itu paling-paling hanya tiga depa !
Tiga depa! Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus
itu berada sekitar tiga depa di belakangnya, itu berarti "tamunya" itu telah berada di atas batu pipih besar di
mana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia duduk di bahagian ujung paling depan. Yang
membuat dia kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak
terdengar olehnya sedikitpun"
Krosak"! (6) Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di bawah di sekitar batu di mana kini dia duduk.
Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh telinga orang biasa, namun dengan latihannya selama
belasan purnama dia dapat menebak ada sekitar selusin kaki di bawah batu sana. Ketika dia lebih memusatkan
pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan!
Manusiakah " Darahnya mengencang. Tangannya melemas.
"Siapakah yang ada di belakang?" Dia bertanya tanpa menoleh.
Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh. Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang
ada dibelakangnya, pastilah tak berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya
makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin menyambar! Dia tak segera mencabut samurainya.
Namun dia berguling ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang
pohon di dekat batu pipih ini. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih meniru cara
bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan samurainya.
Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut.
Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat. Dia kembali
mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke kanan dan melambung tegak. Dan kini makhluk yang
menyerang itu tegak empat depa di depannya.
"Ya Allah!!" Dia terpekik dan surut dua langkah. Hampir saja dia terperosok jatuh dari atas batu. Makhluk itu! Ya
Tuhan, belum pernah dia melihat makhluk sedahsyat ini. Dalam sinar senja yang masih terang-terang tanah,
dia lihat dua makhluk yang luar biasa bentuknya.
"Harimau jadi-jadian!!" dia berbisik sendiri.
Tanpa dapat dia kuasai, tangannya gemetar. Ya, di hadapannya, kini berdiri dua harimau jadi-jadian.
Kepalanya mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip harimau. Namun dia tak berdiri di keempat kakinya.
Mahluk ini berdiri di atas dua kaki seperti manusia. Tangannya yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian
pula kakinya. Bulunya berbelang seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku kaki dan kuku tangannya
kelihatan menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini kelihatan dahsyat di mata Si Bungsu. Dia tak dapat
menahan gigilan tubuhnya.
Sewaktu kecil di kampung dahulu, dia memang sering mendengar cerita tentang harimau jadi-jadian.
Cindaku kata orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa, cerita itu tak pemah lagi dia dengar. Kalaupun ada,
maka cerita itu hanya dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak. Siapa menyangka, hari ini dia menyaksikan
apa yang dianggap orang kampung itu sebagai dongeng, ternyata benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar
isapan jempol. Senja ini dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia melirik ke kanan. Jauh di bawah sana,
dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya ada orang yang mati dibunuh Cindaku. Di kampung
lain juga pernah ada orang yang di teror Cindaku. Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di
bawah sana" Kalau dilihat jarak antara gunung dengan kampung di bawah, nampaknya memang inilah Cindaku itu.
Tapi dia tak tahu berapa jumlah mereka. Dan dia segera ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi. Dia
segera menoleh. Dan kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia melangkah ke depan tiga langkah.
Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya. Di bawah dia lihat tak kurang dari enam ekor harimau! Duduk
di kaki belakang dan menegakkan kaki depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu pipih di mana dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 21
berada. Dia yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor. Sebab tadi dia dengar di sekitar batu itu langkahlangkah yang halus. Inilah rupanya.
Dia kembali menoleh pada Cindaku itu. Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak mengerti kenapa
harimau-harimau itu berada di bawah. Seperti menonton ke atas. Apakah harimau-harimau itu adalah
bawahan Cindaku ini" Hatinya benar-benar terguncang. Dia tak sempat berpikir banyak. Cindaku yang paling
besar menyerang dengan satu loncatan. Seharusnya dia segera mempergunakan samurainya. Namun
terlambat! Kehebatan peristiwa ini membuat reflek yang telah dia latih jadi kacau. Dia hanya mampu
menunduk. Dan itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku Cindaku. Dia terpental. Di bawah sana dia dengar
geraman harimau. Nampaknya harimau-harimau itu menunggu dirinya dilemparkan ke bawah.
Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih kecil menyerang. Loncat tupai! Dia segera menggunakan ilmu
loncat tupai itu kembali. Berguling tiga kali ke kanan, kemudian tiga kali ke kiri. Dua terkeman Cindaku itu
berhasil dia elakkan. Kemudian meloncat berdiri! Luka di punggungnya pedih sekali. Di punggungnya. Tanpa
sengaja dia meraba luka itu. Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di tentang luka yang ditimbulkan oleh tebasan
Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua belas purnama yang lalu. Persis melintang miring dari belikat kanan
ke rusuk kiri! Ingatannya kembali ke masa lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai. Di saat kakaknya
diperkosa dan dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat samurai! Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya
tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil
menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh
keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat. "Jahanam kubunuh kau!!"
Rahasia Lukisan Kuno 1 Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India Api Berkobar Di Bukit Setan 3
TIKAM SAMURAI Terdiri Dari VI (Enam) Episode
Episode I (Pertama) terdiri dari 4 jilid, telah tamat ketika Si Bungsu berangkat meninggalkan kampung
Buluh Cina menuju Singapura untuk kemudian terus ke Jepang. Dalam episode I itu diceritakan kenapa Si
Bungsu sampai begitu berani mati mencari musuhnya ke Jepang dan apa alasannya maka dia menjadi
pendendam dan amat membenci penindasan dari kelompok yang amat kuat pada kelompok yang lemah.
Episode II (dua) ini terdiri dari beberapa jilid pula, dimulai dari jilid 5 (sambungan nomor empat episode
I). Dalam episode ini diceritakan tentang pertarungannya melawan kelompok-kelompok bandit di Jepang,
melawan kezaliman dan melawan musuh besarnya : Saburo Matsuyama. Dan jangan lupa ternyata dia bertemu
dengan pahlawan samurai legendaris Jepang : Zato Ichi.
Episode III menceritakan dia terlibat dalam permusuhan dengan kelompok gangster internasional yang
memperdagangkan wanita dari Indonesia, Malaysia, Bangkok dan negeri lainnya. Dia berkenalan dan bersatu
dengan bekas pasukan Grenn Barret, pasukan paling elite dan kesohor dari Inggeris. Episode ini lokasinya
adalah Singapura dan Australia.
Episode IV adalah episode paling gelap dalam sejarah Minangkabau. Episode itu menceritakan
keterlibatan Si Bungsu dalam pergolakan PRRI di Sumatera Barat. Dalam episode itu secara telanjang
dikisahkan betapa kejamnya pasukan yang sedang berperang. Baik itu PRRI maupun APRI. Tapi tak hanya
kekejaman isinya, juga terdapat kisah-kisah yang amat manusiawi dan mengharukan- Misalnya persahabatan
antara dua orang tentara, yang satu masuk PRRI yang satu tetap dalam APRI Dalam episode ini dikisahkan
sejarah tertembaknya Kolonel Dakhlan Djambek. Saat itu sebenarnya dia sudah akan pergi ke Bukittinggi,
sudah ada kontak dengan panglima, bahwa dia akan menggabung kembali ke pangkuan Pertiwi. Tapi subuh itu,
disaat dia akan berangkat, ada pasukan yang mencegat dan menembaknya" Apa sebenarnya yang terjadi"
Sengaja dibunuhkah dia, agar tak kembali ke Republik Indonesia" Siapa-siapa penembak subuh itu" Dalam
episode IV ini, semuanya diceritakan secara nyata.
Episode V bercerita tentang petualangan Si Bungsu yang sebenarnya diluar kemampuannya di Dallas,
Texas. Saat itu tahun 1963. Dan dia berada di Dallas, di tempat terbunuhnya Presiden Kennedy. Kalau saja pihak
keamanan tidak ikut terlibat dalam komplotan pembunuh itu, atau kalau saja Polisi Dallas mau mendengar
laporannya via telepon, seharusnya Kennedy saat ini masih hidup Siapa sebenarnya yang mendalangi
pembunuhan Kennedy" Dalam episode V ini hal itu diceritakan. Dan di Dallas pula Si Bungsu kehilangan dua
orang yang amat dekat dengannya. Pertama adalah Tongky, anggota Green Barret sahabatnya sejak di
Singapura. Kedua adalah dua orang gadis yang mencintai dan dicintainya Semuanya lenyap : mati atau menikah
Episode ke-VI merupakan episode terakhir serial Tikam Samurai. Episode itu terjadi sekitar tahun 19661968 di Jakarta, Padang, Bukittinggi dan kampung halamannya: Situjuah Ladang di kaki gunung Sago. Banyak
perempuan singgah dalam hidupnya. Namun dengan siapa akhirnya dia menikah" Dalam episode terakhir ini,
anda akan menemukan kisah yang mencekam dan benar-benar diluar dugaan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 1
Episode I (Pertama) (1) Perkelahian yang tak seimbang itu segera saja berakhir. Keempat lelaki berdegap tersebut dengan
mudah menyikat lawan mereka. Lawan yang mereka sikat itu adalah seorang anak muda yang berusia sekitar
19 tahun. Anak muda itu tergelimpang dekat sungai di belakang surau tinggal, jauh di pinggir kampung. Pakaian
anak muda itu sobek-sobek. Dia tak sadar diri. Uangnya terserak-serak. Keempat lelaki yang mengeroyok dan
melumpuhkan dirinya itu segera memunguti uang yang terserak-serak itu. Uang itu tadinya adalah uang
mereka berempat. Berpindah tangan pada anak muda itu dalam suatu perjudian yang berlangsung sejak sore
kemarin. Menjelang subuh, ternyata anak muda itulah yang menang. Dia memang seorang penjudi ulung. Tiap
berjudi jarang yang kalah. Tapi malangnya dia selalu disikat lawannya yang dia kalahkan. Perjudian hampir
selalu diakhiri dengan perkelahian. Dan dalam tiap perkelahian dipastikan dialah yang kalah, karena lawanlawan yang dia kalahkan bersatu mengeroyoknya. Lalu selalu saja uang yang telah dia menangkan disikat oleh
lawan-lawannya kembali. Termasuk juga uang miliknya sendiri!
"Lihat-lihat dulu orang yang akan waang lawan buyung. Jangan sembarang main saja?"." Salah seorang
dari lelaki yang berempat itu berkata. Tak ada sahutan. Karena anak muda itu memang tak mendengar apaapa. Dia tergolek pingsan. Keempat lelaki itu kemudian pergi. Kertas koa berserakan di antara puntung rokok
daun enau. Hampir tengah hari anak muda itu baru sadar dari pingsannya.
Tak ada yang mengetahui bahwa dia tergolek di sana. Tempat. mereka berjudi memang tempat yang
terpencil. Di sebuah surau yang telah lapuk. Surau itu tak lagi pernah dipakai sejak seorang guru mengaji mati
diterkam harimau saat pulang mengajar. Kampung jadi gempar. Dan surau tempat mengaji dipindahkan orang
ke tengah kampung. Tapi lama-lama bekas surau itu berobah jadi tempat orang bermain koa. Berjudi dengan
daun ceki. Mereka tak takut pada harimau. Sebab umumnya pejudi-pejudi itu adalah orang-orang yang mahir
dalam bersilat. Lama-lama, berjudi di surau bekas itu menjadi suatu kebanggaan di antara para pejudi. Sebab
berjudi di sana merupakan salah satu ujian mental. Hanya orang-orang berani dan berilmu tinggi saja yang
berani main ke sana. Untuk mencapai surau itu harus melewati kuburan. Kemudian sebuah lembah berbelukar.
Baru surau. Lembah berbelukar itu, dahulu, ketika surau itu masih tempat mengaji, adalah sawah. Tapi kini
sudah ditinggal dan jadi belukar.
"o0o" Anak muda itu menggerakkan tangannya. Dia masih tertelungkup. Menggerakkan kaki. Matanya masih
terpejam. Hidungnya mencium bau tanah liat. Telinganya lambat-lambat mendengar kicau burung.
"Hm, . . . aku masih hidup," bisiknya.
Dia coba memutar tubuh. Kepalanya terasa berdenyut. Tapi dengan menghajan semua tenaga, dia
berhasil juga menelentangkan tubuh. Matanya jadi silau menatap sinar matahari yang terjun dari sela-sela daun
pepohonan. Dia bangkit. Duduk dengan bersitumpu pada kedua lengannya. Menggoyang-goyangkan kepala
yang kembali berdenyut sakit. Dia segera ingat pada kemenangannya menjelang subuh tadi. Tapi dia tak berniat
untuk memeriksa uang dikantongnya. Tak perlu. Uang itu tak perlu diperiksa. Pasti sudah disikat orang.
Dia segera mengumpulkan ingatannya kembali. Merekat sisa-sisa ingatannya sejak kemarin. Ya, kemarin
senja dia datang kemari bersama empat orang lelaki. Keempat lelaki itu dia kenal tatkala membeli jagung bakar
di pasar Jumat. Dia tak tahu siapa mereka. Tapi dari cara mereka tegak dan bicara, dia segera mengenal bahwa
mereka adalah perewa dan penjudi. Dia kenal orang-orang jenis ini. Sebab dia sendiri adalah penjudi yang lihai.
Dia ahli dalam berkoa atau main dadu. Keempat lelaki itu dia lihat tengah jongkok dekat sebuah pedati yang
dipenuhi tembakau. Dia ikut jongkok.
"Minta api" katanya pada salah seorang yang mengisap rokok daun enau. Orang itu tak segera bereaksi.
Beberapa saat dia menatap anak muda yang tiba-tiba duduk di dekatnya itu. Tapi anak muda itu acuh saja. Dan
akhirnya dia memberikan rokok yang dihisapnya. "Terima kasih" ujar anak muda itu seraya mengambil rokok
yang tinggal puntung pendek itu. Tapi setelah dia membakar ujung rokoknya, puntung rokok lelaki itu tidak
dia kembalikan. Melainkan dia buang begitu saja. Muka lelaki itu menjadi merah. Tapi anak muda itu seperti
tidak peduli. Dia malah mengeluarkan segumpal uang dari balik bajunya.
"Berminat main?" dia bertanya dengan tenang.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 2
Ah, dia memang ahli dalam soal ini. Lelaki yang puntung rokoknya dibuang itu kembali menatapnya.
Kemudian menatap pada ketiga temannya yang masih tetap dengan tenang mengisap rokok dan duduk
mencangkung. Salah seorang di antara mereka mengerdipkan mata. Dan anak muda itu dapat menangkap
isyarat kerdipan itu dengan sudut matanya. Namun dia pura-pura tak tahu.
"Main apa waang bisa?" lelaki itu balik bertanya.
"Main apa saja!" jawabnya, pasti.
"Koa?" "Boleh!" "Dadu?" "Boleh!" "Barambuang?" "Boleh. Sembaranglah!"
Lelaki itu kembali menatap tiga temannya. Dan kembali yang mengerdip tadi mengerdipkan sebelah
matanya yang juling. "Waang dengan siapa?"
"Saya berjudi tak pernah berkawan. Saya biasa main sendiri, dan ".menang !". Lelaki yang puntung
rokoknya dibuang itu menelan ludah. Dia menatap anak muda itu. Memperhatikannya dengan seksama.
Melihat buku jarinya. Melihat sikunya. Melihat kakinya. Dan dia menduga bahwa anak ini pasti seorang pesilat.
Tapi dia juga yakin, bahwa dengan berempat mereka bisa "memakan" anak ini. Mereka toh juga bukan orang
sembarangan. "Di mana tempatnya?"
"Terserah" "Kami bukan orang sini. Kami tak tahu di mana tempat bermain yang baik. . ."
"Saya tahu . . ."
"Di mana . . ."
"Di surau usang di hilir kampung sana. . ."
"Tempat guru mengaji diterkam harimau itu?"
Kini anak muda itu pula yang balas menatap lelaki itu.
"Kenapa tahu bahwa di surau itu dulu ada guru mengaji yang diterkam harimau, kalau memang bukan
orang sini?" "Kejadian itu sudah lama bukan" Setiap orang di pasar Jumat ini bercerita tentang kejadian itu beberapa
tahun yang lalu" Anak muda itu menarik nafas.
"Benar! Di sanalah tempat main yang aman. Bagaimana, berani ke sana ?"
Untuk pertama kalinya, keempat lelaki itu tertawa bersamaan. Tertawa mendengar tantangan anak
muda ini. "Tak ada yang ditakuti oleh Baribeh dan kawan-kawannya buyung. . ."
Lelaki juling yang tadi mengerdip berkata.
"Baribeh?" "Ya. Waang tak pernah mendengarnya?"
"Pernah. Baribeh itu binatang"
Si Juling terdiam. Yang lain juga. Lelaki yang tadi puntung rokoknya dibuang itu jadi kelabu mukanya
karena menahan berang. "Jangan sembarang bicara buyung. Mulut waang bisa saya sobek," ujar lelaki itu dengan suara berat.
"He, bukankah Baribeh itu memang binatang" Dan kerjanya memang tukang sobek pohon Kapeh untuk
mendapatkan getahnya, kanapa Sanak mesti marah?" Lelaki itu bangkit dan hampir saja menerjang anak muda
itu kalau tak cepat dilerai oleh si Juling. Si Juling berbisik ke telinganya. Dan lelaki itu mengurungkan niatnya
untuk melanyau anak muda itu. Kemudian si Juling memutar tubuh. Bicara pada anak muda itu. "Lebih baik
waang hati-hati buyung. Tuan kami ini adalah pesilat yang bergelar Baribeh. Kerjanya memang merobek mulut
orang-orang sombong seperti waang. Untung dia berbaik hati kali ini. Nah, kapan permainan bisa dimulai?"
"Terserah. Sekarangpun jadi. Tapi harap diingat, saya hanya menantang sanak untuk berjudi. Bukan untuk
berkelahi . . ." "Baik, baik!. Tapi siang ini kami ada urusan. Bagaimana kalau senja nanti?" "Tengah malampun
saya mau. Saya tunggu kalian disana". Dan tanpa menoleh lagi anak muda ini berlalu. "Pukimaknya!. Anak siapa
dia makanya berani jual lagak begitu"," maki lelaki yang tadi dibuang puntung rokoknya itu. "Nampaknya dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 3
cukup berisi. Kalau tidak mana dia berani berbuat seperti itu". "Berisi tak berisi, yang jelas dia punya banyak
uang. Malam ini kita sudahi dia. Hei, waang siapkan dadu dua pasang Jul".
"Dadu itu selalu saya bawa.." jawab lelaki yang dipanggil Jul itu. Panggilan itu ternyata singkatan dari
kata "Juling". Lalu, persis ketika azan magrib berkumandang, mereka muncul di surau usang itu. Di sana anak
muda tadi telah menanti. Di bawah cahaya lampu damar yang ada di bekas surau itu mereka segera memulai
permainan. Mula-mula mereka main dadu. Dadu itu sudah disiapkan oleh si Jul. Biasanya mereka tidak pernah
kalah. Sebab dadu itu sudah dibuat sedemikian rupa, hingga apa saja yang dipasang lawan, pasti bisa diputar
letaknya hingga tidak tertebak. Cara memutar dadu itupun dengan lihai dilakukan oleh si Jul yang Juling itu.
Kelihatannya hampir-hampir sempurna.
Tapi kali ini mereka ternyata menghadapi seorang hantu judi. Mereka tidak menyangka bahwa dalam
usia yang sedemikian mudanya anak ini sudah tidak terkalahkan dalam soal berjudi. Lewat tengah malam
hampir semua uang mereka disikat anak muda itu. Mereka sudah pada mengantuk. Tapi anak muda itu tetap
seperti semula. Matanya yang sayu, mukanya murung, tetap saja tidak berubah. Tidak menunjukkan tandatanda kelelahan sedikitpun. Si Jul sudah beberapa kali memberi isyarat pada Baribeh untuk menghantam anak
muda itu Tapi Baribeh sendiri ragu-ragu. Masakan anak muda ini tak mempunyai "simpanan" agak sedikit.
Artinya, anak muda ini paling sedikit tentu pandai bersilat. Sebab mustahil dia akan berani sendirian saja kalau
tak ada kepandaian apa-apa. Hanya kini yang menjadi bahan pertimbangan mereka adalah silat apa yang
dimiliki dan jadi andalan anak muda ini. Kumango" Pangian, Lintau, Starlak atau Pauh" Atau Sunua dan Silek
Tuo yang terkenal itu" Tak ada jawaban yang pasti. Anak muda itu tetap saja meraih kemenangan demi
kemenangan. "Ah, kita istirahatlah sebentar".." si Baribeh berkata.
"Boleh. Berhentipun juga boleh..!" anak muda itu menjawab seenaknya.
Muka Baribeh dan teman-temannya jadi kelabu mendengar jawaban itu.
"Berhenti kata waang"! Adat di mana waang pakai buyung, berhenti di saat orang lain kalah!" si Jul
bertanya dengan nada tak sedap.
Tapi anak muda itu tetap cuek, malah dengan tenang pula dia balas berkata : "Tak ada adat apa-apa
dalam berjudi ini sanak. Kalau mau main terus juga tak apa. Tentu kalau kalian masih punya duit. Saya khawatir
kalian akan pulang dengan celana dalam saja?""." Dan sambil mengulum senyum, anak muda ini mengelaikan
diri ke tikar pandan usang yang mengalas lantai surau itu. Baribeh menggerutu panjang pendek. Tapi dia juga
mengelaikan tubuhnya. Pelita kecil yang menerangi ruangan surau itu bergoyang-goyang kena angin lemah
yang masuk dari sela-sela lobang di dinding.
Si Juling dan Baribeh mulai sama-sama berfikir. Bagaimana kalau lampu ini dimatikan. Kemudian
mereka hantam anak muda itu, dan uangnya mereka sikat. Uang anak muda ini ternyata banyak sekali. Ada tiga
kali sebanyak yang dia perlihatkan di Pasar Jumat pagi tadi. Dengan uang itu mereka bisa membeli tiga buah
pedati atau bendi dan beberapa petak sawah. Ah, uang itu harus mereka peroleh. Harus ! Baribeh melirik ke
lampu togok yang bergoyang itu.
"Kalau lampu ini mati, kita akan susah".." tiba-tiba anak muda itu berkata.
Baribeh dan si Jul kaget. Anak muda ini rupanya bisa membaca isi hati mereka. Dan mereka jadi tambah
yakin bahwa anak muda ini punya ilmu yang tak rendah.
"Hei, sanak ada membawa api ?" Anak muda itu bertanya.
Baribeh menelan ludahnya sebelum menjawab.
"Ada. Mengapa ?"
"Ada yang berniat mematikan api itu nampaknya?" " anak muda itu berkata lagi. Baribeh dan temantemannya tambah kaget dan pelan-pelan jadi kecut. Anak muda ini memang seorang yang padat isinya, pikir
mereka. Tapi untuk tak kalah gengsi Baribeh kembali bertanya :
"Siapa pula yang akan mematikannya?"
"Angin!. Tak terasa angin makin kencang?"
Anak muda itu berkata seadanya. Tak sedikitpun dia menyangka bahwa orang-orang itu memang
berniat akan mematikan lampu itu. Tapi Baribeh dan teman-temannya merasa diolok-olok oleh anak muda itu.
Mereka merasa disindir. Karenanya mereka memilih diam saja. Diam dengan hulu hati yang amat pedih saking
menahan berang. Menjelang subuh mereka bangun dan main lagi. Kali ini main koa. Tapi sialnya, anak muda itu menang
terus. Terus dan terus. Akhirnya keempat lelaki itu memang tinggal celana kotok saja. Semua pakaian mereka,
termasuk keris dan pisau serta korek api, habis tergadai kepada anak muda itu. Anak muda itu ternyata
memang setan judi. Dan ketika mereka sudah hampir telanjang, anak muda itu tertawa terpingkel-pingkel. Saat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 4
itulah iman Baribeh dan teman-temannya layu. Anak muda itu mereka sikat bakatintam. Mula-mula yang
menghantam adalah si Jul. Tendangannya yang pertama tak mengenai sasaran. Anak muda itu sebenarnya
terteleng kepalanya. Tendangan si Jul lewat. Tapi dalam penglihatan mereka, anak muda itu mengelak dengan jurus lihai.
Teman si Jul menghantam pula dari belakang. Waktu itu anak muda tersebut tiba-tiba menunduk, ingin
memungut duitnya yang berserakkan. Dan tendangan yang melaju dari belakangnya kembali tak mengenai
sasaran. Malah ketika dia bangkit tiba-tiba, kaki yang tengah melintas itu terbawa naik oleh punggungnya. Tak
ampun lagi, si tinggi di belakangnya terjengkang.
Keempat lelaki itu terkejut, tak sedikitpun mereka menyadari bahwa kedua serangan tadi luput hanya
secara kebetulan saja. Kini dengan kewaspadaan tinggi, keempat lelaki itu bersiap. Si Baribeh membuka
serangan dengan sebuah pukulan. Dan kali ini faktor kebetulan itu tak lagi menyertai anak muda tersebut.
Pukulan itu mendarat dengan telak di dadanya. Dia terhuyung, serangan berikutnya berkatintam menghamtam
tubuhnya. Dia terpekik-pekik. Teraduh-aduh.
Namun keempat laki-laki itu tidak memberi ampun sedikitpun. Dari atas surau perkelahain yang tidak
bisa disebut perkelahian itu, beralih ke bawah. Beralih karena tubuh anak muda itu tercampak menghantam
dinding karena sebuah tendangan yang telak. Tubuhnya menghantam dinding lapuk dan jebol, tubuhnya
melayang ke bawah lewat dinding lapuk yang jebol itu. Dan di bawah surau itulah nasibnya selesai.
(2) Kini dia mengingat kembali semua peristiwa itu. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, terangkat
perlahan. Dia menarik nafas panjang. Seharusnya dia sudah berhenti main setelah menang besar sepekan yang
lalu. Dia berniat membeli sawah, atau pergi merantau dengan uang itu. Hidup di kampung ini terasa
membosankannya. Tapi dasar penjudi, begitu mengetahui ada penjudi lain, dia segera berselera lagi. Dan inilah
akibatnya. Lambat-lambat dia merangkak ke sumur. Mencuci muka dan sekujur tubuhnya yang bergelimang
luluk. Meminum air sumur itu beberapa teguk. Kemudian naik kembali ke surau.
Dia memungut beberapa puntung rokok daun nipah. Membuka gulungannya. Kemudian mengumpulkan
tembakau dari sisa rokok itu. Dari kertas usang yang masih menempel di dinding surau dia menggulung
sebatang rokok dengan tembakau sisa tadi. Lalu bersandar ke tiang tengah. Lalu mengambil anak korek api
yang terserak. Lalu membakar rokoknya. Matanya terpejam mengisap rokok assembling itu. Saat matanya yang
sayu terpandang pada kertas-kertas koa yang berserakan, dia memungutnya beberapa buah.
"Babi halus " Jarum udang " Tali sirah?" katanya sambil melemparkan koa itu ke lantai satu demi satu
seraya menyebutkan nama kertas-kertas tersebut.
Rokok itu tak habis dia hisap. Dia terbatuk-batuk. Pikirannya melayang pada Baribeh dan ketiga
temannya. Dia bersumpah untuk mencari mereka. Akan dia ajak lagi berjudi. Dan dia yakin akan mengalahkan
orang-orang itu. Hanya kini dari mana dia harus mencari modal" Akan dia jualkah kambingnya yang tiga ekor
itu" Ah, Ibu dan ayahnya pasti marah. Marah ibunya mungkin dapat dia amankan. Ibunya paling-paling marah
sebentar. Yang dia takuti adalah ayahnya.
Ayahnya suka main tangan. Mentang-mentang guru silat. Puih, dia jadi mual melihat ayahnya yang dia
anggap banyak lagak itu. Apalagi kalau ayahnya sudah mengajar di sasaran silat. Hatinya jadi bengkak melihat.
Dia paling benci melihat orang belajar silat. Apa untungnya belajar silat" Mending belajar judi. Uang dapat perut
kenyang, pikirnya. Meski telah berkali-kali dia dikeroyok orang dalam berjudi, dan berkali-kali pula ayah dan
kakaknya memaksa untuk belajar silat, namun dia tetap tak menyukai silat.
Dia memang termasuk anak yang aneh. Ayahnya adalah seorang guru silat ternama, demikian pula
kakaknya. Tapi dia sendiri lebih suka main koa atau main layang-layang. Dia tahu ayahnya tak menyenangi
perangainya itu. Tapi apa pedulinya. Dia tidak pernah menyusahkan mereka toh" Dia memang beberapa kali
dihajar oleh pejudi-pejudi lain. Sering babak belur dalam perkelahian. Tapi dia tak pernah mengadu pada ayah
dan saudaranya yang jagoan silat itu. Tidak. Pantangan baginya untuk mengadu. Bagi dia judi merupakan suatu
lambang kejantanan. Kenapa hanya pesilat yang disebut jantan" Kenapa pejudi tidak" Bukankah berjudi juga
membutuhkan keahlian" Malah baginya judi lebih tinggi nilainya dari silat. Dalam judi orang mengadu otak.
Sementara dalam silat orang mengadu otot.
Nah, secara harafiah bisa diartikan bahwa dia jauh lebih berotak dari pada ayah atau pesilat manapun!
Begitu alur fikirannya. Tambahan lagi, berjudi dia anggap mempunyai seni yang tinggi. Dalam main dadu
dibutuhkan semacam firasat yang tajam untuk mengetahui "mata" berapa yang akan muncul di atas. Dan
diperlukan perhitungan yang teliti untuk gim sampai tiga kali dalam main koa. Dalam silat mana ada seninya"
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 5
Yang ada hanya main sepak, pukul, siku, tangkap, cekik, atau tendang uncang-uncang di kerampang, atau
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
banting. Bah, benar-benar keras dan kasar. Dia benar- benar tak menyukainya.
Dia lalu tertidur karena lelah. Dalam tidurnya dia bermimpi jadi seorang pesilat yang jauh lebih tangguh
dari ayah dan kakaknya. Bahkan jauh lebih tangguh dari pesilat pesilat tangguh manapun jua. Lewat tengah
hari dia terbangun. Dia menyumpahi mimpinya yang jadi pesilat tangguh itu. Kenapa tak mimpi menjadi
seorang raja judi. Dengan masih menyumpah-nyumpahi mimpinya dia turun dari surau tersebut. Kakinya
melangkah ke arah kampung. Perutnya terasa amat litak. Ketika akan sampai di rumahnya, sebuah rumah
gadang beratap ijuk, dia lihat beberapa perempuan berada di rumah. Dia memutar ke belakang. Lewat pintu
belakang dia naik ke rumah. Terus ke dapur. Di dapur dia berpapasan dengan kakaknya.
"Hei Bungsu, orang mencari . . . Astaga ! Berantam lagi kau ya " ?"
Anak muda itu, yang merupakan anak yang paling Bungsu di antara mereka dua beradik, dan karena itu
dia dipanggil dengan sebutan Si Bungsu, tak menghiraukan kekagetan kakaknya. Dia mengambil piring. Dan
mulai menyenduk nasi. "Duduklah ke sana. Jangan mengambil nasi sendiri. Awak laki-laki. Biar kakak ambilkan . ."
"Ah tak usah susah-susah. Saya bisa mengambil sendiri "
"Duduklah, tukar pakaianmu. Di depan ada tamu yang akan bicara denganmu".
"Tak ada urusanku dengan mereka . ."
"lni tentang pertunanganmu . ."
Dia tetap tak peduli, yang jelas dia ingin makan sekenyang-kenyangnya. Ketika mulai menyuap, ibunya
muncul. Perempuan itu tertegun melihat anak Bungsunya ini. Dia tak usah bertanya kenapa muka dan
tubuhnya biru-biru. Tak usah ditanyakan kenapa pakaiannya robek-robek. Perempuan ini sudah arif akan apa
yang telah terjadi. Dia tatap anaknya yang tengah makan dengan lahap itu.
Sementara sambil makan, sesekali sudut mata Si Bungsu melirik pada ibunya. Selesai makan, setelah tiga
kali bertambuh, dia mencuci tangan. Kemudian berniat untuk turun lewat pintu belakang. Tapi dia terhenti
tatkala terdengar suara ibunya yang sejak tadi berdiam diri.
"Tukarlah pakaian dengan yang bersih. Di depan ada tamu yang ingin berunding."
"Merundingkan pertunangan saya dengan Reno?"
"Ya. ." "Apa lagi yang harus dirundingkan. Bukankah kami sudah bertunangan?"
"tapi . ." "Soal perkawinan?"
Perempuan itu menggeleng. Si Bungsu terhenti di tangga melihat geleng kepala ibunya. "Mereka ingin
mengembalikan tanda dan memutuskan pertunangan?" tanyanya dengan datar. Ibunya tidak mengangguk dan
tidak pula menggeleng. Dia lalu melangkah cepat-cepat ke ruang tengah tanpa menukar pakaiannya yang
compang camping itu. Ayahnya dan empat lima perempuan yang hadir jadi kaget melihat kemunculannya.
Ayahnya nampak sekali merasa terpukul atas kehadiran anaknya yang tak selesai itu.
Ayahnya, dan semua orang di ruang depan itu, segera tahu bahwa anak ini baru saja kalah dalam
perkelahian setelah berjudi. Dia pasti menang pada mulanya. Dan kemenangannya diakhiri dengan
perkelahian. Dan dialah yang kalah paling akhir. Sebab kalau dia yang menang, dia pasti pulang dalam keadaan
sehat wal afiat. "Akan mengembalikan tanda pertunangan itukah Etek kemari?"
Dia bertanya pada salah seorang perempuan yang jadi tamu ibunya sambil tetap tegak. "Bungsu!
Beradab sedikit. Tukar pakaian dan duduk berunding dengan sopan!!" Ayahnya membentak. Dia menatap
ayahnya. Dia memang takut pada ayahnya ini. Tapi kali ini rasa takutnya itu dia tekan kuat-kuat. Tanpa
mengacuhkan perintah ayahnya dia menatap lagi pada perempuan yang datang itu. Lalu suaranya terdengar
berkata dengan pasti. "Kalau dulu ketika bertunangan saya tidak dibawa berunding, maka kini biarlah saya yang
memutuskannya. Pertunangan ini memang lebih baik dibatalkan"."
"Bungsu!" ayahnya membentak.
Namun dia tak memperdulikan bentakan ayahnya. Tak kalah kerasnya dari bentakan si ayah, dia berkata
: "Saya memang bukan pendekar. Bukan pula guru yang bisa diharapkan untuk membelikan emas dan sawah
bagi isteri saya. Karena itu saya tak berniat untuk menikah. Nah, ambillah cincin ini kembali!" Sehabis
ucapannya dia membuka cincin di jari manisnya. Kemudian melemparkannya ke pangkuan perempuan yang
tadi dia sebut dengan Etek itu. Kemudian dia melangkah ke belakang. Melewati Ibunya yang tertegak di pintu
tengah. Kemudian turun. Melewati kakaknya yang tegak di dapur.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 6
"Anak yang benar-benar tak beradab. Tak bermalu. Tak dimakan ajaran. . ." ayahnya menyumpah
panjang pendek dengan muka yang merah padam.
Akan halnya perempuan-perempuan yang datang itu, tak bisa bicara sepatahpun. Kejadian sebentar ini
memang luar biasa hebatnya bagi mereka. Mereka memang menghendaki pertunangan diputuskan. Tapi tak
terpikirkan oleh mereka akan begini caranya.
Renobulan adalah gadis tercantik di kampung ini. Banyak lelaki jatuh hati dan bersedia berkorban
untuknya. Tapi setahun yang lalu dia telah ditunangkan dengan Si Bungsu. Orang tahu bahwa pertunangan itu
hanya karena ikatan kekeluargaan saja. Keluarga Reno dan keluarga Si Bungsu masih berkait-kait famili. Dan
kedua keluarga mereka termasuk keluarga yang terpandang di kampung itu.
Terpandang dalam turunan dan harta. Sudah jadi tradisi, mereka mengikat perkawinan sesama mereka.
Artinya mereka tetap menjaga kelestarian turunan dan menjaga agar harta pusaka tak jatuh ke tangan "orang
luar". Padahal semua orang berani bertaruh, bahwa Reno yang cantik itu pasti tak menyukai Si Bungsu.
Bah, apa yang diharapkan gadis secantik dan selembut Renobulan itu dari seorang lelaki seperti Si
Bungsu" Wajahnya selalu murung. Matanya sayu seperti tak semangat hidup. Pemalas dan pejudi luar biasa.
Penakut Allahurobbi. Soal judi, tak satupun orang-orang di kampung ini, bahkan sampai ke kampung-kampung
lain, yang tak tahu bahwa anak muda ini adalah hantunya judi. Semua laki-laki yang pernah jatuh hati pada
Reno memaki orang tuanya sebagai orang tua mata duitan. Yang bersedia menjual anak gadisnya demi menjaga
harta warisan. Orang tua laknat, rutuk mereka. Tapi orang tua Reno nampaknya juga punya persyaratan.
Mereka berusaha agar Si Bungsu itu merubah perangainya. Tapi apa daya, anak ini memang tak pernah
berobah. Dia malah menjadi bahan gunjing dan bahan ejekan sesama besarnya. Dan siapa pula yang mampu
bertahan bertunangan dengan lelaki seperti itu"
Si Bungsu melangkah turun dengan hati kesal. Pertunangannya memang termasuk pertunangan yang
aneh. Sejak bertukar cincin setahun yang lalu, dia baru bertemu dengan tunangannya itu sebanyak tiga kali.
Dua kali di pasar Jumat dan sekali ketika sembahyang Hari Raya. Dalam tiga kali pertemuan itu, tak sepatahpun
mereka sempat bicara. Mereka hanya bertatapan sejenak dalam jarak yang jauh. Kemudian dia sibuk dengan
teman-temannya. ltulah modelnya pertunangan itu. Dia bukannya tak tahu bahwa Reno adalah gadis cantik
yang jadi rebutan banyak orang. Tapi dia tak mau gadis itu menyangka bahwa dia termasuk salah satu di antara
lelaki yang memburu cintanya. Puih!
Kini pertunangannya yang tak berkelincitan itu sudah tamat riwayatnya. Hatinya jadi lega. Ya, dia jadi
lega. Sebab dia semakin bebas untuk berjudi.
"Hmm, kemana harus mencari modal untuk berjudi?", pikirnya sambil terus melangkah meninggalkan
surau tua itu. Kabar tentang putusnya pertunangan itu segera tersebar di kampung-kampung berdekatan. Namun
para pemuda di kampung-kampung itu tak segera dapat bergembira dengan kabar tersebut. Sebab bersamaan
dengan putusnya pertunangan itu, ke kampung mereka, dan juga ke kampung-kampung lainnya, berdatangan
serdadu Jepang. Mula-mula para serdadu itu datang dengan baik-baik.
Tapi itu hanya sebentar. Sepekan kemudian segera diketahui bahwa mereka sebenarnya tengah mencari
kaum lelaki. Semula dikatakan bahwa kaum lelaki dibutuhkan tenaganya untuk bekerja di kota. Beberapa
kantor di Bukittinggi, Payakumbuh, Padang Panjang dan Padang membutuhkan tenaga lelaki. Begitu menurut
kabar yang disiarkan. Namun kabar itu hanya mampu bertahan sebentar. Sebab pekan berikutnya JepangJepang itu tak lagi meminta kaum lelaki dengan bujukan.
Kini mereka main tangkap. Penduduk segera tahu dari beberapa orang di kota, bahwa lelaki yang
ditangkapi dan dibujuk dahulu, ternyata dikirim ke Logas. Sebuah tempat pendulangan emas di hutan belantara
Riau. Selain dipekerjakan di tambang batu bara, kaum lelaki juga dipaksa membuat jalan kereta api. Tidak
hanya sampai di situ kekejaman Jepang-Jepang tersebut. Mereka mulai mengganggu anak isteri orang. Dalam
beberapa kali perkelahian sudah ada dua tiga penduduk yang mati kena tebas samurai. Sejenis pedang panjang
yang tajamnya bukan main, dan baru kali itu mereka lihat
Beberapa lelaki mulai menyusun kekuatan untuk melawan kekejaman Jepang itu. Mereka terutama
adalah pesilat-pesilat di bawah pimpinan Datuk Berbangsa, ayah Si Bungsu. Mereka berlatih silat di tengah
malam buta. Disaat serdadu Jepang tak merondai kampung itu. Tempat mereka latihan juga tersembunyi.
Sangat dirahasiakan. Latihan mereka kini ditambah dengan cara menghindarkan serangan dengan pedang
panjang seperti yang dipakai para Jepang itu.
Sebelum ini mereka tak pernah berfikir bahwa ada senjata seperti itu. Yang pernah mereka latih adalah
menghindarkan tikaman keris yang panjangnya hanya dua tiga jengkal. Atau tebasan pedang yang panjangnya
tak sampai dua hasta. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 7
Tapi samurai Jepang itu panjangnya luar biasa. Lebih panjang dari kelewang yang selama ini mereka
kenal. Cara mempergunakannya juga luar biasa cepatnya. Serdadu Jepang itu nampaknya juga pesilat-pesilat
tangguh menurut ukuran negeri mereka sana. Sebab dalam beberapa kali perkelahian antara Jepang dengan
pesilat Minang di kampung mereka, pesilat-pesilat Minang itu pasti mati langkah dibuatnya. Tak sampai
beberapa hitungan, si pesilat pasti rubuh dengan dada atau perut robek. Atau dengan leher hampir putus.
Jepang-Jepang itu demikian cepat mencabut samurainya. Kemudian demikian cepatnya samurai itu berkelebat.
Lalu dalam hitungan yang amat singkat, samurai itu kembali mereka masukkan ke sarungnya. Mulai saat
dicabut, sampai memakan korban dua tiga orang, kemudian masuk kembali ke sarungnya, mungkin hanya
dalam lima hitungan cepat. Artinya hanya dalam lima detik lebih sedikit! Sebagai pesilat, Datuk Berbangsa dan
teman-temannya mengakui secara jujur kecepatan Jepang-Jepang itu mempergunakan senjata tradisionil
mereka. Kini mereka berlatih bagaimana caranya melumpuhkan serangan senjata maut panjang itu. Sebagai
alat latihan mereka mempergunakan kayu sebesar ibu jari kaki dan panjangnya hampir sedepa.
Malam inipun mereka sedang berlatih di tempat rahasia itu, dipimpin Datuk Maruhun, ayah Renobulan,
bekas tunangan Si Bungsu. Gerimis turun malam itu. Jumlah yang ikut latihan hanya tujuh orang. Yang lain
tengah bertugas menyusun kekuatan di tempat lain. Termasuk ayah Si Bungsu. Datuk Maruhun tengah
memberikan petunjuk di tengah sasaran (gelanggang silat) tatkala tiba-tiba mereka dikejutkan oleh cahaya
senter. Mereka berusaha menghindar dengan menyebar. Tapi ternyata sasaran itu telah dikepung oleh lebih
selusin serdadu Jepang. "Hemmm, latihan silat ya. Latihan menghindarkan serangan Samurai ha!" Bagus! Bagus..!" ujar seorang
Jepang berperut gendut bermata sipit sambil maju ke depan. Ke tujuh lelaki itu tegak dengan diam di tengah
sasaran. Di tangan mereka hanya ada keris. Tapi keris itu takkan berdaya menghadapi bedil yang diacungkan
pada mereka oleh Jepang-Jepang itu. Satu-satunya jalan terbaik bagi mereka adalah tetap menanti. Menanti apa
yang akan terjadi. Mereka berbaris tegak tujuh orang. Menatap ke depan, ke arah si gemuk yang barangkali
merupakan komandan penyergapan ini.
"Teruslah latihan!. Saya suka silat Minang. Bagus banyak, eh banyak bagus", ujar si gemuk sambil
menerkam ketujuh lelaki itu dengan tatapan matanya. Ketujuh pesilat itu tak bergerak dari tempat mereka.
"Dari mana mereka tahu tempat sasaran ini"," bisik Datuk Maruhun pada lelaki yang tegak di sisinya.
Lelaki itu tak menyahut. Semua mereka memang merasa terkejut atas kemunculan serdadu Jepang itu.
Tak seorangpun yang mengetahui tempat latihan ini selain anggota mereka. Apakah di antara mereka ada yang
berkhianat" "Ayo mulailah bersilat, atau kalian perlu diajar dengan samurai sebenarnya?" si Gemuk itu bicara lagi.
Karena tetap saja tak ada yang menjawab, dia lalu memberi isyarat pada salah seorang anak buahnya.
Jepang itu maju. Memberikan bedil panjangnya yang berbayonet kepada temannya. Lalu dengan hanya samurai
di pinggang dia masuk ke tengah sasaran.
"Hei, kalian berdua!. Majulah dan lawan dia . . "
Jepang gemuk tadi menunjuk pada dua orang pesilat.
"Majulah". kita memang menyusun kekuatan untuk melawan mereka. Kini kesempatan itu tiba.
Lawanlah dengan segala usaha. Kalau Tuhan menghendaki, esok mati kinipun mati, lebih baik kita mati dalam
berjuang, " bisik Datuk Maruhun pada dua temannya itu."Doakan kami Datuk. Kalau kami mati duluan tolong
anak bini kami..," lelaki itu balas berbisik perlahan.
"Jangan khawatir pada yang tinggal. Majulah, kami doakan . . . "
Dengan mengucap Bismillah, kedua lelaki itu maju dengan keris di tangan mereka. Mereka berdua tegak
sedepa di hadapan Jepang itu. Jepang gemuk yang merupakan Komandan dalam penyergapan itu memberikan
petunjuk pada anak buahnya. Anak buahnya kelihatan tegak dengan diam, sementara tangan kanannya berada
di gagang samurai yang masih tersisip dalam sarung di pinggangnya.
Pesilat yang di sebelah kiri mulai membuka langkah ke kanan. Yang di kanan juga melangkah ke kanan.
Itu berarti mereka membuat langkah melingkari Jepang itu arah ke kanan pula. Jepang itu masih tetap tegak
dengan diam. Tiba-tiba pesilat yang ada di depan menyerang dengan sebuah tikaman ke lambung Jepang itu. Pesilat
yang satu lagi bergulingan di tanah dan begitu tubuhnya berada dekat tubuh Jepang yang tegak itu, dia
mengirimkan sebuah tikaman ke selengkangnya. Beberapa saat Jepang itu masih tegak.
Namun tiba-tiba dia bergerak. Gerakannya hanya seperti orang berputar saja. Tangannya tak kelihatan
bergerak sedikitpun. Ketika dia berputar tadi tangannya masih di pinggang. Kinipun tangannya itu masih di
pinggang. Di gagang samurainya. Namun pesilat yang menyerang duluan menggeliat. Dan tubuhnya rubuh ke
tanah tanpa jeritan. Tengkuk dan punggungnya nampak tergores panjang, darah menyembur dari goresan itu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 8
Pesilat yang berguling di bawah lebih nestapa lagi, tangannya yang tadi menikam ke atas, putus hingga di siku.
Lehernya menganga lebar. Keduanya mati saat itu juga. Darah mereka membasahi sasaran. Datuk Maruhun dan
keempat temannya jadi terkejut bukan main. Namun mereka telah berketetapan hati untuk berjuang sampai
mati. Mereka tetap tegak dengan diam. Komandan Jepang itu bicara lagi dalam bahasa nenek moyangnya.
Jepang yang membelakang itu berputar lagi lambat-lambat. Kemudian berjalan keluar sasaran. Sungguh mati,
tak seorangpun di antara kelima lelaki yang masih hidup itu sempat melihat Jepang itu tadi mencabut
Samurainya. Tak seorangpun! Dapat dibayangkan betapa cepatnya Jepang itu bergerak.
Padahal Datuk Maruhun adalah pesilat tangguh dari aliran silat Lintau. Dia dapat melihat dengan
matanya yang setajam burung elang gerakan silat yang bagaimanapun cepatnya. Namun kali ini dia harus
mengakui secara jujur, bahwa matanya ternyata masih kurang tajam. Seorang lagi tentara Jepang masuk ke
tengah sasaran. Jepang ini bertubuh kurus jangkung. Kelihatannya angkuh. Sesampai di tengah sasaran dia
menghunus samurainya. Berbeda dengan serdadu pertama tadi yang tetap membiarkan samurainya dalam
sarang dan tersisip di pinggang. Yang ini memegang hulu samurai itu erat-erat dengan kedua tangannya.
Komandan Jepang yang bertubuh gemuk itu kembali bicara : "Tadi kalian saya lihat berlatih mengelakkan
serangan samurai. Bahkan coba membalasnya. Itu yang kalian maksud dengan mempergunakan kayu panjang
ini sebagai alat latihan bukan" Nah, kini Zenkuro akan mengajar kalian bagaimana mestinya latihan
mengelakkan samurai. Kalian yang berdua di ujung itu majulah . .!"
Kedua pesilat yang di tunjuk itu saling berpandangan."Kami akan maju Datuk. Mohon maafkan
kesalahan kami . .," mereka berkata perlahan. Nampaknya mereka telah yakin akan mati. Namun mereka
menghadapinya dengan tabah."Kita akan mati bersama di sini. Hanya kalian terpilih lebih duluan. Majulah,
Tuhan bersama kalian . . .," Datuk Maruhun berkata perlahan.
Kedua lelaki itu maju. Yang satu memegang tombak. Yang satu memegang pedang.Namun sebelum
mereka mulai, komandan bertubuh gemuk itu berkata pada salah seorang anak buahnya. "Hei, mana monyet
tadi. Lemparkan kemari agar dia melihat pertarungan ini . ."
Tak sampai beberapa hitungan, "monyet" yang dimaksud oleh Komandan itu segera didorong ke depan
dari balik semak-semak. Dan kelima lelaki itu seperti ditembak petir saking terkejutnya tatkala melihat siapa
yang dikatakan "monyet" itu.
"Bungsu!!" Datuk Maruhun berseru kaget.
"Bungsu!" Lelaki yang maju dengan tombak di tangan itu juga berseru. Dan tiba-tiba kelima mereka
dapat menebak kenapa Jepang-Jepang ini sampai mengetahui tempat sasaran yang mereka rahasiakan ini.
"Jahanam kau Bungsu. Kau tidak hanya melumuri kepala ayahmu dengan taik, tapi juga melumuri
kampung ini dengan kotoran. Berapa kau dibayar Jepang untuk menunjukkan tempat ini?" Datuk Maruhun
membentak. Anak muda itu hanya menarik nafas panjang. Wajahnya yang murung, matanya yang sayu, menatap
kelima lelaki orang kampungnya itu dengan tenang. Dan ketenangan ini membuat kelima mereka rasa akan
muntah saking jijik dan berangnya. Yang memegang tombak tiba-tiba mengangkat tombaknya dan
menghayunkan pada Si Bungsu. Namun samurai di tangan si Jepang bergerak. Tombak itu potong dua sebelum
sempat dilemparkan. "Terkutuk kau Bungsu. Untung anakku tak jadi kawin denganmu. Tujuh keturunan kau
kami sumpahi. Laknat jahanam!!" Datuk Maruhun menyumpah saking berangnya. Namun anak muda itu tetap
saja tegak dengan diam. Komandan Jepang itu memberi perintah pada si Jangkung di tengah sasaran. Kepada
kedua lelaki itu dia lalu berkata : "Nah, kalau tadi kalian menyerang, kini tangkislah serangan Zenkuro. . ."
Sebelum ucapannya habis, si Jangkung yang memegang hulu samurai dengan kedua tangannya, mulai
menyerang. Serangan nampak biasa saja, membabat kaki, perut dan leher. Serangan begini dengan mudah
dielakkan oleh kedua pesilat itu. Malah mereka bisa balas menyerang.
Beberapa kali pedang dan tangan di tangan pesilat yang satu beradu dengan samurai di tangan Jepang
itu. Bunga api memercik dari benturan kedua baja tersebut. Kedua pesilat ini mengitari tubuh si Jangkung
dengan melangkah berlawanan arah. Jadi dia dipaksa untuk memecah kosentrasinya. Sepuluh jurus berlalu.
(3) Tak kelihatan pihak mana yang akan menang. Datuk Maruhun dan kedua temannya merasa gembira dan
berdoa agar teman mereka menang. Namun posisi itu tak bertahan lama. Si Komandan memberi petunjuk
dengan bahasa kampung mereka. Jepang Jangkung itu tiba-tiba tegak dengan diam. Dan ketika tiba-tiba kedua
pesilat itu menyerang lagi, dia bergerak berputar dengan cepat. Terdengar pekikan beruntun. Kedua pesilat itu
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 9
rubuh mandi darah. Mati saat itu juga. Yang tadi memegang tombak buntung itu, dadanya robek lebar. Yang
memegang pedang kepalanya seperti akan belah dua.
Sasaran itu kini bergenang darah dalam hujan rintik yang makin lebat.
"Nah, kalian sudah lihat. Bahwa silat kalian tak ada artinya jika melawan Samurai. Karena itu jangan
coba-coba membangkang perintah kami. Kini kalian yang masih hidup ayo ikut kami kembali ke kampung.
Tunjukkan di mana teman-teman kalian yang lainnya. Termasuk Ayah monyet ini, . ."
Datuk Maruhun menatap pada Si Bungsu yang disebut sebagai beruk oleh komandan Jepang itu.
"Waang tidak hanya pantas disebut beruk buyung. Tapi waang memang seekor beruk yang paling
jahanam di dunia ini. Kenapa tak waang katakan sekaligus di mana Ayah waang bersembunyi pada JepangJepang ini?"
Dia bertanya dengan penuh rasa benci pada Si Bungsu. Namun anak muda itu tetap diam. Berjalan
dengan kepala tunduk, mata sayu dan wajah murung. Kalau saja dia tak dibatasi oleh tiga orang serdadu,
mungkin dia telah mati ditikam oleh ketiga lelaki itu. Bahkan kalau ayahnya ada di sana, mereka yakin bahwa
Datuk Berbangsa yang akan membunuh anaknya ini. Sudah bisa dipastikan, bahwa untuk mendapatkan uang
untuk berjudi, anak celaka ini telah membuka rahasia tentang latihan yang diadakan di kampungnya pada
Jepang, berikut di mana latihan diadakan. Bisa diterima akal betapa berangnya penduduk padanya. Kabar
tentang khianatnya Si Bungsu segera menjalar seperti api dalam sekam di kampung itu. Belum dua bulan yang
lalu dia diberitakan dari mulut ke mulut perkara pertunangannya yang diputus pihak Reno, kini dia kembali
diberitakan dari mulut ke mulut soal khianatnya. Namun tak ada yang berani turun tangan secara langsung. Di
kampung itu kini ditempatkan lima orang serdadu Jepang.
Jepang-Jepang itu tak berhasil menemukan Datuk Berbangsa dan teman-temannya. Untuk itu mereka
menempatkan lima orang serdadunya untuk menjaga dan menangkap kalau-kalau Datuk itu muncul sewaktuwaktu. Sementara Datuk Maruhun serta kedua temannya yang tertangkap di sasaran itu, dibawa ke Bukittinggi.
Ditahan di sana. Tapi ada yang mengatakan bahwa ketiga mereka telah dikirim ke Logas. Di berbagai daerah
perang melawan serdadu Jepang belum lagi mulai. Sebab Jepang baru saja menggantikan kedudukan tentara
Belanda. Suatu malam terjadi kegemparan di kampung itu. Kelima serdadu Jepang yang ditempatkan di surau
mengaji, yang dijadikan pos darurat, subuh-subuh kedapatan mati semua. Pada tubuh mereka ada bekas
tikaman. Jelas tikaman keris. Lewat subuh sedikit, hampir seratus serdadu Jepang mengepung kampung itu
Ternyata Datuk Maruhun dan kedua temannya lolos dari tahanan. Kabarnya bersama Datuk Berbangsa dan
beberapa pejuang lainnya mereka membunuh pula empat orang serdadu Jepang di penjara. Lalu malam itu juga
menyelusup ke kampung. Mereka membawa anak dan isteri melarikan diri. Ketika kampung itu dikepung
Jepang, yang tinggal di sana hanya beberapa keluarga saja. Umumnya perempuan yang suaminya telah
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertangkap atau dikirim ke Logas, atau bersembunyi. Empat lelaki yang tertangkap segera dibariskan di depan
surau di mana kelima serdadu Jepang itu mati malam tadi. Keempat lelaki itu sebenarnya orang-orang biasa
yang tak ada sangkut pautnya dengan kejadian di kampung itu. Mereka hanya petani biasa. Malahan satu di
antaranya adalah seorang bisu dan tuli. Namun Jepang itu tak perduli. Seorang Kapten yang memimpin
pengepungan itu, bernama Saburo Matsuyama, tampil ke depan. Wajahnya kelihatan angkuh sekali. Bibirnya
tertarik ke bawah dengan garis-garis wajah yang keras dan kuat. Semua penduduk dikumpulkan. Tua muda
lelaki dan perempuan. Saburo lalu berpidato dalam bahasa Indonesia yang lebih banyak tak dimengerti orang
kampung itu. "Ini sebuah contoh dan peringatan bagi orang-orang yang coba melawan balatentara Kaisar dari Negeri
Matahari Terbit. Jika setelah ini ada seorang serdadu Jepang mati oleh penduduk pribumi, maka akan dibalas
dengan membunuh tiga orang penduduk pribumi. Jika tak ada lelaki, maka perempuan yang akan dibunuh. Jika
tak ada, anak-anak kami jadikan gantinya. Ingat itu baik-baik. Kalau di antara kalian ada yang mata-mata,
sampaikan ucapan saya ini pada orang orang yang menyusun kekuatan untuk melawan kami, yang kini
bersembunyi entah di mana. . ."
Keempat lelaki itu disuruh berjongkok. Perempuan dan anak-anak mulai bertangisan. Dan dengan suatu
komando, empat orang serdadu Jepang segera berdiri di belakang keempat lelaki itu. Di tangan keempat
serdadu itu tergenggam sebuah Samurai. Sebuah komando dalam bahasa Jepang terdengar bergema. Dan
dalam sekejap, keempat kepala lelaki itu terpisah dari tubuhnya. Beberapa perempuan jatuh terjerembab ke
tanah menyaksikan kebuasan ini. Beberapa anak-anak memekik-mekik.
Tiba-tiba seorang serdadu datang berlari dan berbisik ke telinga Kapten Saburo. Kapten itu tertegak dan
melihat ke Utara. Dia lalu memerintahkan penduduk bubar dan memberi aba-aba pada pasukannya. Sekitar
tiga puluh serdadu segera berhamburan ke Utara. Dalam sekejap mereka kini telah mengepung sebuah rumah.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 10
Rumah itu adalah sebuah rumah adat yang besar, rumah Si Bungsu! Saburo segera tampil ke halaman rumah
yang telah dikepung ketat itu. Dia menghadap ke atas anjungan.
"Kalian telah terkepung. Keluarlah!. Kalau kalian tak keluar dalam lima menit, saya akan membakar
rumah ini. . !!" seru Komandan tentara Jepang itu.
Beberapa penduduk memberanikan diri melihat kejadian itu dari kejauhan. Mereka tidak mengerti siapa
yang disuruh keluar oleh Jepang itu. Sebab setahu mereka Datuk Berbangsa sudah lari subuh tadi bersama anak
isterinya. Sementara itu, Si Bungsu yang tadi tegak di antara penduduk, kini menyeruak ke depan di antara
barisan penduduk yang melihat dari kejauhan itu.
Wajahnya yang biasa murung kini jadi pucat. Dia menatap ke rumahnya dengan tegang. Dan benar, tak
lama kemudian kelihatan ayahnya, Datuk Berbangsa, muncul di pintu! Menyusul ibu dan kakaknya. Melihat
ayah, ibu dan kakaknya itu, Si Bungsu berlari ke depan. "Ibu". !!" himbaunya.
Tapi seorang serdadu Jepang menghantamnya. Dia tersungkur di tanah. Ayah, Ibu dan kakaknya
tertegun. Mereka mamandang padanya dengan tatapan tak berkedip. Ada jarak dua puluh depa antara dia
tertelungkup dengan ayah dan ibu serta kakaknya. Namun dia serasa dapat merasakan panasnya tatapan mata
keluarganya. Terutama sekali tatapan ayahnya. "Engkau memang dilahirkan untuk menjadi dajal, buyung. Saya
menyesal mempunyai anak seperti engkau! Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata
untuk mendapatkan uang agar kau bisa berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami dan kau jual?"
suara ayahnya terdengar bergema tajam.
Si Bungsu tertegak kaku. Bulu tengkuknya merinding mendengar ucapan ayahnya itu. Mulutnya
bergerak ingin bicara. Namun tak satupun suara yang keluar dari mulutnya. Dia menatap ayahnya. Menatap
ibunya. Menatap kakaknya. Akhirnya dia menatap pada ibunya. Perempuan itu tegak dengan gagah. Menatap
padanya dengan kepala tegak. "Bungsu, barangkali banyak dosamu. Tapi Ibu tak menyesal melahirkanmu.. .
Nak!" Si Bungsu merasakan dirinya tiba-tiba jadi luluh. Dia seperti dapat melihat air mata ibunya meleleh.
Demikian juga air mata kakaknya. Dirinya tiba-tiba jadi kecil di hadapan keluarganya yang gagah perkasa ini.
Dan tiba-tiba dia jatuh berlutut. Saat itu Datuk Berbangsa bersuara, ucapannya ditujukan kepada Kapten
Saburo. "Saya bersedia ditangkap. Tapi isteri dan anak saya, harap dibebaskan. . ."
"Heh, setelah kau bunuh sembilan orang serdadu kami, kau minta keluargamu dibebaskan he" Bagero!"
"Kalau tak ada jaminan itu, saya takkan menyerah!" Datuk Berbangsa berkata dengan suara yang pasti.
Saburo mengagumi sikap jantan lelaki itu. Namun dia tertawa terbahak. "He"he".ha! Apa yang kau
banggakan, sehingga kau berani mengatakan bahwa kau bisa tak menyerah Datuk".
"Saya akan berkelahi sampai mati!"
"Siapa yang kau sangka bersedia mati konyol bersamamu?"
"Jangan lupa, Anda seorang Samurai. Saya tahu, seorang Samurai sejati takkan menampik tantangan
berkelahi dari orang lain!"
Saburo terdiam. Matanya menatap tajam pada Datuk itu.
"Atau barangkali serdadu Jepang yang datang kemari adalah Samurai-samurai pengecut yang
mengabaikan sikap satria sebagaimana layaknya Samurai sejati?"
"Diam kau! Jangan sembarang berkata. Tidak ada di antara kami yang tidak berjiwa Samurai. Kau takkan
pernah saya bebaskan. Kalaupun kau memilih bertarung dengan salah seorang samurai, kau juga tetap takkan
bisa memenangkan perkelahian. Tak ada di antara kalian yang akan mampu mengalahkan ilmu Samurai kami.
Ilmu silat kalian masih terlalu rendah untuk berhadapan dengan kecepatan Samurai . . "
"Kebenarannya akan kita buktikan sebentar lagi!" Datuk Berbangsa menjawab dengan tenang dan pasti.
Saburo yang berang segera memberi perintah. Enam orang serdadunya segera meletakkan bedil panjang
mereka. Kemudian membentuk lingkaran besar di halaman rumah gadang tersebut. Datuk Berbangsa yang
terkenal sebagai Guru Silat Kumango itu melangkah dengan pasti ke tengah lingkaran. Dia tak bicara
sepatahpun pada isteri dan anak gadisnya. Nampaknya mereka sudah bicara saat bersembunyi di loteng. Datuk
ini memang seorang yang bernasib malang dalam pelariannya. Tengah malam tadi dia sampai kemari bersama
Datuk Maruhun dan teman-temannya. Mereka menyudahi nyawa kelima serdadu Jepang yang berpos di surau.
Kemudian dia mengatur pengungsian keluarga-keluarga pelarian dari penjara itu. Ada sepuluh keluarga yang
harus diungsikan keluar kampung ini. Kalau mereka tidak diungsikan, mereka pasti ditangkap dan disiksa.
Tanpa mereka sadari, ketika pengungsian itu selesai, hari telah hampir siang. Orang terakhir yang
meninggalkan kampung itu adalah Datuk Maruhun dan keluarganya.
"Duluanlah. Saya menyusul . ." ujar Datuk Berbangsa kepada Datuk Maruhun. Dia tak dapat segera
melarikan diri bersama Datuk Maruhun disebabkan isterinya sakit. Dia telah diminta oleh isterinya untuk lari
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 11
duluan bersama anak gadisnya. Namun Datuk Berbangsa menolak. Mana mau dia meninggalkan isterinya. Dan
anak gadisnya juga tak mau meninggalkan ibunya. Padahal si Ibu tak begitu parah sakitnya. Perempuan ini
sebenarnya tak mau pergi dari kampung itu karena dia masih menunggu seorang anak lagi, Si Bungsu!. Dia tahu
suaminya tak menyukai Si Bungsu.
Tapi dia seorang Ibu. Bagaimana dia bisa membenci anak yang dia lahirkan, yang dia kandung selama
sembilan bulan, yang dia susui dari kecil, yang dia besarkan dengan air mata dan keringat" Dia mengakui
anaknya yang seorang itu tak bisa dididik. Tapi bagaimana seorang Ibu akan membenci anaknya" Demikianlah
hati seorang Ibu. Jika sangat terpaksa, sekali lagi "jika sangat terpaksa", dia lebih rela kehilangan suami dari
pada kehilangan anaknya. Karena hari telah siang, untuk melarikan diri tak mungkin lagi. Mereka khawatir akan bertemu dengan
patroli Jepang. Mereka lalu memutuskan untuk bersembunyi di loteng rumah. Bersembunyi dan menanti
malam berikutnya datang. Sementara itu, si Ibu tetap berharap, agar siang ini Si Bungsu pulang. Dia
akan membujuk suaminya untuk membawa serta anaknya itu mengungsi. Namun nasib mereka memang
sedang malang. Persembunyian mereka diketahui oleh serdadu yang tadi memeriksa rumah itu. Serdadu itu
melihat tangga naik ke loteng. Tangga itu rupanya tak ada yang membuang. Sebab semua sudah naik ke loteng.
Siapa lagi yang akan membuang tangga" Waktu sudah kasip. Jepang sudah memasuki kampung. Maka mereka
tetap bertahan di loteng itu sambil berdoa. Perkelahian seperti yang akan dihadapi Datuk Berbangsa ini juga
sudah diperhitungkan tatkala tadi mereka disuruh turun oleh Saburo. Dari pada mati di Logas atau mati
ditembak di penjara, lebih baik mati secara satria dalam perlawanan. Begitu mereka putuskan. Dan kini, Datuk
itu tegak di tengah lingkaran tersebut. Tegak dengan dada busung dan tangan terkepal. Kapten Saburo
memberi isyarat. Seorang Jepang berpangkat Sersan maju. Tubuhnya besar berdegap. Di pinggangnya terdapat
sebuah Samurai. "Kau boleh memilih senjata Datuk "," kata Saburo.
"Terima kasih. Saya dilahirkan oleh Tuhan lengkap dengan bekal untuk melawan kekerasan dengan
tulang yang delapan kerat" suara Datuk itu terdengar perlahan. Si Bungsu menegakkan kepalanya. Menatap tak
berkedip pada ayahnya yang tegak berhadapan dengan serdadu Jepang itu. Serdadu itu memberi hormat
dengan membungkukkan badan sebagaimana layaknya orang-orang Jepang menghormat. Datuk Berbangsa
tegak dengan dua kaki dirapatkan.
Tatapannya lurus ke depan. Dia berdoa dengan kedua tangannya menampung ke atas. Kemudian tangan
kanan meraba dahi, dan tangan kiri meraba dada di tentang jantung. Setelah itu memberi hormat dengan tegak
lurus dan kedua telapak tangan dirapatkan di depan wajah. Dia memberi hormat dengan cara penghormatan
Silat Tuo Pariangan. Yaitu silat induk yang menjadi ibu dari silat-silat yang ada di Minangkabau.
"Engkau boleh menyerang duluan Datuk?"," Saburo berkata.
Datuk Berbangsa tetap tegak dengan tubuh condong sedikit ke depan. Matanya melirik ke tangan kanan
Jepang besar di hadapannya. Semua orang pada terdiam. Tak terkecuali Kapten Saburo sendiri. Ada sesuatu
yang membuat Kapten ini iri pada Datuk itu. Yaitu keyakinan pada kemampuan dirinya. Dia sudah banyak
menyaksikan kehebatan penduduk pribumi di Indonesia ini. Namun jarang yang punya keyakinan atas dirinya
seperti Datuk ini. Biasanya sesudah tertangkap, orang lalu berhiba-hiba minta ampun. Jika perlu dengan
membuka semua rahasia atau menjual harga dirinya. Tapi tak demikian halnya dengan Datuk ini. Dia
menantang berkelahi bukan karena dia kalap dan nekad. Tapi karena dia memang seorang satria sejati.
Saat itu Datuk Berbangsa tengah melihat betapa tangan kanan Jepang itu mulai bergetar dan secara
perlahan pula, hampir-hampir tak kelihatan, bergerak mili demi mili mendekati gagang samurainya. Ini adalah
gerakan pendahuluan. Tiba-tiba tangan itu bergerak cepat. Dan saat itu pula Datuk Berbangsa melompat ke kiri
kemudian berguling di tanah dan tumitnya menghantam siku kanan Jepang itu. Sungguh sulit untuk
diceritakan. Kejadiannya demikian cepat. Demikian fantastis. Hampir-hampir tak bisa dipercaya. Gerakan
Samurai yang terkenal cepat itu terhenti tatkala samurainya baru keluar separoh.
Siku si tinggi besar itu kena dihantam tumit Datuk Berbangsa. Terdengar suara berderak. Jepang itu
terpekik. Sikunya patah! Dia mencabut samurainya dengan tangan kiri. Tapi gerakan ini juga terlambat. Guru
Silat Kumango itu telah mengirimkan sebuah tendangan lagi ke selangkangnya. Tubuh Jepang itu terangkat
sejengkal, kemudian tertegak lagi di tanah. Mula-mula hanya agak hoyong. Masih berusaha untuk tetap tegak.
Tapi Datuk Berbangsa telah tegak dan mengirimkan sebuah pukulan dengan sisi tangan kanannya ke leher
Jepang itu. Itu adalah sebuah serangan yang disebut "Tatak Pungguang Ladiang" dari jurus Kumango yang terkenal
ampuh. Tetakan dengan sisi tangan itu mendarat di leher Jepang tersebut. Begitu suara berderak terdengar,
begitu nyawa Jepang itu berangkat ke lahat. Tubuhnya rubuh ke tanah tanpa nyawa! Hanya dalam sekali
gebrak, serdadu Jepang itu mati! Beberapa saat suasana jadi sepi. Benar-benar sepi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 12
Keenam serdadu yang membuat lingkaran besar itu ternganga. Kapten Saburo sendiri hampir-hampir
tak mempercayai matanya. Lelaki pribumi ini telah membunuh seorang samurai dari Jepang hanya dengan
tangan kosong. Mungkinkah ini" Apakah ini tidak semacam sihir" Tapi ini memang kejadian. Dia tak melihat
lelaki itu mempergunakan sihir sedikitpun. Serangan itu benar-benar sebuah serangan silat yang telak dan
tangguh dari silat aliran Kumango!
Kini Datuk Berbangsa tegak dengan kaki dipentang. Tegak dengan gagah menatap kepada Kapten
Saburo. Kapten itu memberi aba-aba dalam bahasa Jepang. Dua orang serdadu maju ke depan. Kedua mereka
juga menyisipkan samurai di pinggang. Mereka kembali saling memberi hormat. Ini adalah perkelahian kaum
satria. Salah satu dari Jepang yang maju ini bertubuh pendek dan kurus. Gerakannya gesit sekali. Yang satu lagi
agak tinggi dengan tubuh sedang. Begitu habis memberi hormat, begitu dengan cepat sekali mereka
menghunus samurai dan menyerang!
Datuk itu berbarengan diserang dari muka dan belakang. Saburo dengan jelas sekali melihat kedua
prajuritnya masing-masing mengirim serangan tiga jurus. Berarti Datuk itu diserang enam jurus dalam
gebrakan pertama saja. Enam bacokan yang cepat dan terarah! Namun ketika kedua Jepang itu kembali tegak
dengan diam sambil memegang samurainya, Datuk itu juga tegak tiga depa dari mereka dengan diam dan tak
kurang satu apapun! Luar biasa!!. Tanpa dapat ditahan, dan diluar sadar, beberapa serdadu Jepang yang
menyaksikan pada bertepuk tangan.
Saburo harus mengakui, bahwa Datuk itu memang patut mendapat tepuk tangan dari serdadu. Tatkala
kedua serdadu itu tadi menyerang, Datuk Berbangsa segera bergulingan ke tanah. Dua kali bergulingan dia
berhasil menghindarkan dua bacokan. Kemudian seperti kucing dia melompat bangun dengan gerakan
seenteng kapas. Lompatannya tinggi dengan kaki dilipat. Dengan gerakan yang diperhitungkan ini, empat
bacokan berhasil pula dia elakkan. Gerakan selanjutnya dia melompat dan menunduk sambil memutar.
Gebrakan pertama berakhir.
Kini mereka saling menatap. Yang bertubuh agak sedang lambat-lambat mengingsut tegaknya. Telapak
kakinya beringsut di pasir mili demi mili. Kedua tangannya dengan kukuh memegang hulu samurai. Kini jarak
mereka hanya tinggal sedepa. Datuk Berbangsa memiringkan tubuh dengan jari kanan lurus di depan dada dan
sudut mata memandang pada mata Jepang itu. Mereka tegak bertatapan. Tiba-tiba dengan sebuah pekik
Bushido, sejenis pekik khas para pesilat Samurai, serdadu itu membuka serangan. Namun ternyata Datuk
Berbangsa lebih cepat lagi. Dia ternyata cepat menangkap jurus-jurus Samurai. Setiap samurai pasti mengawali
gerakannya dengan membawa samurai itu agak ke kanan atau ke kiri sedikit. Gerakan ini diperlukan untuk
memberi kekuatan hayun bagi samurai itu bila dibacokkan.
Hanya saja, makin tinggi kepandaian seorang samurai, makin tak kelihatan gerak mengambil ancangancang itu. Dan makin cepat dan halus pula gerakannya. Jepang ini gerakannya cukup cepat. Namun tak begitu
cepat di mata Datuk yang guru silat Kumango ini. Sebagaimana jamaknya pesilat-pesilat tangguh, dia tidak
melihat pada gerakan senjata lawan. Dia menatap langsung ke mata serdadu itu. Di sana pesilat-pesilat tangguh
dapat membaca kemana gerakan tangan dan kaki setiap lawan. Itulah yang dilakukan oleh Datuk Berbangsa.
Begitu tangan Jepang itu bergerak, dia segera mengetahui bahwa tangan Jepang ini akan bergerak sedikit ke
kanan. (4) Dan kesempatan yang sedikit itulah yang dinantinya. Sebelum gerakan itu sempurna, dengan kecepatan
loncatan seekor harimau tutul, dia melesat ke arah Jepang itu. Dan sebelum Jepang itu sadar apa yang terjadi,
Datuk Berbangsa telah memiting leher Jepang tersebut. Kemudian dengan gerakan yang sempurna dia
meremas kedua tangan si Jepang yang memegang Samurai. Jepang itu terpekik. Saat itulah temannya yang
seorang lagi sadar bahwa bahaya tengah mengancam temannya, dia lalu diam-diam menyerang dari belakang.
Namun Datuk Berbangsa memutar Jepang yang masih dia piting itu. Jepang itu dia jadikan sebagai perisai.
Sementara serdadu itu tak berdaya menggerakkan samurainya, karena tangannya tengah dicengkam amat
kuat. Si kurus tidak bisa berbuat banyak. Dia harus hati-hati agar serangannya tak mengenai kawan sendiri.
Mereka berputar-putar sejenak. Suatu saat Jepang itu berputar dengan cepat. Karena tengah memiting lawan,
Datuk Berbangsa tidak dapat bergerak lincah. Dia kurang cepat berputar. Saat itulah serangan Jepang itu datang
dari belakang. Namun kembali suatu keajaiban terjadi. Datuk Berbangsa kiranya sengaja memancing dengan
membiarkan lawannya ke belakangnya. Dan ketika angin serangan samurai itu datang, dia meluncurkan
dirinya ke bawah. Menjatuhkan diri dan bertekan di tanah dengan lutut kanan. Samurai lawannya yang dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 13
piting itu tiba-tiba berpindah ke tangannya. Dalam suatu gerakan yang sempurna samurai di tangannya dia
tikamkan ke belakang tanpa menoleh sedikitpun. Tapi lawan di belakangnya bukan pula sembarang samurai.
Gerakannya ternyata amat cepat. Meski Datuk Berbangsa sempat selamat dari bacokan yang fatal, namun tak
urung punggungnya robek sehasta. Mulai dari bahu kanan mereng ke lambung kiri. Darah membanjir. Dan saat
itu pula Jepang yang menyerang dari belakangnya itu terhenti dan terpekik. Samurai kawannya yang berhasil
dirampas dalam suatu gerakan yang disebut Piuh-pilin dari jurus Kumango yang sempurna dan dihujamkan ke
belakang oleh Datuk Berbangsa, kini menancap hampir separohnya ke dada Jepang itu.
Samurai itu tembus dan menyembul keluar dari baju di punggungnya! Semua Jepang yang ada di sana
jadi tertegun kaget dan kagum akan kehebatan perkelahian itu. Belum pernah mereka melihat perkelahian
antara pribumi memakai samurai sedahsyat ini. Belum sekalipun! Datuk ini benar-benar memiliki ilmu silat
yang tangguh, pikir mereka. Jepang bertubuh kecil itu masih tertegak diam. Matanya berputar. Dia tegak
setengah hasta di belakang Datuk Berbangsa yang masih memegang samurai itu dengan kuat. Lambat-lambat
Jepang itu mengangkat samurai di tangan. Dan menebaskannya ke leher Datuk Berbangsa yang masih tetap
berlutut membelakanginya. Namun gerakan Jepang itu hanya sampai mengangkat samurai saja. Setelah itu
gerakannya terhenti tiba-tiba. Dan tubuhnya rubuh ke belakang. Mati! Semua orang terdiam.
Tapi isteri Datuk Berbangsa terpekik melihat darah di punggung suaminya. Dia berlari menghambur ke
tengah lingkaran. Tapi Kapten Saburo Matsuyama menganggap sudah cukup memberi angin pada Datuk itu.
Dalam marahnya yang luar biasa, dia mencabut samurai, dan di saat isteri Datuk itu lewat di sampingnya,
samurai itu beraksi. Isteri Datuk itu tersentak, tapi dia masih tetap melangkah ke arah suaminya. Tubuhnya
telah hoyong tatkala mencapai suaminya.
"Uda".perempuan itu rubuh ke pangkuan suaminya.
"Jahannam?".Jepang jahannaam!" Datuk Berbangsa memekik. Dan meletakkan isterinya di tanah.
Dengan punggung robek dia tegak menghadapi Kapten Saburo. Saburo dengan mata yang nyalang menatapnya.
Kini Datuk itu menyerang duluan. Tetapi mungkin karena keahlian Saburo memang jauh lebih tinggi dari pada
anak buahnya, atau mungkin pula karena Datuk itu dalam keadaan luka, perkelahian mereka kelihatan tak
seimbang. Datuk Berbangsa memegang samurai dengan menghadapkan ujungnya ke belakang, dia
menikamkannya ke arah Saburo. Sebuah tikaman ke belakang yang tadi telah menghabisi nyawa serdadu yang
menyerangnya dari belakang. Sabetannya yang pertama, yang mengarah ke depan, membunuh serdadu yang
tadi dia piting lehernya. Tapi tikaman samurai ke belakang itu tak mengenai sasaran. Saburo menghayunkan
samurai dalam tiga serangan berantai. Datuk Berbangsa menangkisnya. Namun serangan tiga serangkai itu
merupakan serangan tangguh. Begitu dia menangkis sabetan samurai Saburo, dia merasakan tangannya
kesemutan. Tanpa dapat dia cegah, samurai di tangannya lepas. Bukan main hebatnya tehnik dan tenaga
Saburo. Samurai itu melayang ke udara. Datuk Berbangsa tak mau menanti. Dia mengirim sebuah tendangan.
Dan tendangan itu tak diduga sedikitpun oleh Saburo. Kapten itu terjajar ke belakang karena perutnya kena
hajar tumit Datuk Berbangsa. Dia jatuh berlutut. Dan saat itu samurai yang tadi terlambung meluncur turun ke
atas kepala Saburo. Tapi perwira Jepang ini memang seorang samurai pilihan. Dia mendengar desiran angin samurai yang
menghunjam ke arah kepalanya itu. Tanpa menoleh ke atas, dia memutar samurai di atas kepalanya. Dan
samurai itu kena dipapas, dan dengan amat laju melayang ke arah Datuk Berbangsa. Datuk itu coba mengelak,
namun samurai tersebut terlalu cepat. Dan karena dia coba mengelak, tubuhnya miring ke kiri. Dan crepp!!
Samurai itu menancap separoh ke dada kirinya. Menembus jantung! Tembus ke punggung! !
Datuk Berbangsa tertegak. Dia tak mengeluh sedikitpun. Si Bungsu terlonjak.
"Ayaaah" pekiknya, namun dia takut untuk bangkit.
Ayahnya tak menoleh ke arahnya. Lelaki tua perkasa dan keras seperti baja itu lambat-lambat jatuh di
atas kedua lututnya. Matanya masih menatap Saburo.
"Beginikah sikap satria seorang samurai yang dibanggakan itu" Membunuh seorang perempuan dan
menghantam orang yang luka?" Datuk Berbangsa bertanya dengan tatapan mata yang membuat hati Saburo
jadi ciut. Datuk itu bicara lagi, perlahan :
"Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh
samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu
sumpahku?""Saburo".!"
Ucapannya tererhenti, darah menyembur dari mulutnya. Dan lelaki perkasa itu, yang memakai kopiah
berlilit berukir-ukir pertanda jabatan penghulunya, jatuh tertelentang. Dia tak pernah mengeluh. Samurai yang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 14
tertancap di dadanya tegak seperti tonggak peringatan. Tegak angkuh dan kukuh. Sekukuh lelaki yang mati di
ujungnya. Datuk itu mati sedepa dari tempat isterinya. Matanya menatap ke langit yang tinggi. Seekor Elang
terbang melintas. Suara pekiknya terdengar menyayat pilu. Saburo merasa bulu tengkuknya berdiri
mendengar sumpah Datuk itu tadi. Anak gadis Datuk itu tiba-tiba menghambur ke tengah mengejar ibu dan
ayahnya yang bermandi darah. Namun tangannya disambar oleh Saburo.
"Bersihkan kampung ini !" teriaknya pada anak buahnya.
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan begitu anak buahnya memencar, dia segera menyeret gadis bertubuh montok itu naik ke rumah
Adat. Gadis itu meronta dan memberikan perlawanan. Dia belajar silat Kumango dari ayahnya. Kini dia
mencoba melawan kehendak Jepang laknat itu. Namun di tangan Saburo, yang tidak hanya mengerti ilmu
samurai, tapi juga mahir dalam Karate dan Judo, kepandaian gadis ini jadi tak ada artinya.
Tangannya memang berhasil menampar Kapten itu tiga kali. Tapi begitu Saburo membalas
menamparnya sekali saja, gadis itu pingsan. Saburo memangku tubuhnya yang tersimbah itu ke atas rumah. Di
tengah ruang dia tegak. Mencari dimana letak bilik. Saat terpandang pada kamar gadis itu sendiri, dia
melangkah ke sana. Kamar itu bersih dan indah. Bau harum bunga melati menyelusup ke hidungnya. Itu
menyebabkan nafsunya menyala. Dia menghempaskan tubuh anak gadis Datuk Berbangsa itu ke kasur. Kaki
gadis itu terkulai ke bawah tempat tidur. Dan kainnya tersimbah lebar. Di bawah rumah itu ada kandang ayam
sedang mengerami selusin anaknya yang gemuk-gemuk. Suara berdentam di atas rumah, yang ditimbulkan
oleh sepatu Saburo ketika naik tadi mengejutkan ayam-ayam tersebut. Induk ayam itu tegak dan berlari ke
tempat gelap. Anak-anaknya memburu dan menyeruak sayap ibunya dan masuk ke bawah sayap induknya.
Salah seekor di antaranya, yang berwarna putih pucat, gemuk dan besar, masih berputar-putar di luar.
Induknya diam saja melindungi anaknya yang sebelas ekor. Anak ayam yang satu itu mulai memutari tubuh
induknya. Kemudian menyeruak di antara bulu sayap induknya yang hitam kepirang-pirangan. Induknya
merapatkan sayap. Beberapa kali anak ayam gemuk itu tak berhasil masuk ke bawah ruangan di bawah perut
ibunya. Tapi akhirnya, dia berhasil juga. Dia merasa hangat di bawah perut induknya itu. Tubuhnya berputarputar di antara sebelas saudaranya yang lain. Tubuh induknya tergoyang-goyang karena dia berputar-putar di
bawah. Di halaman, enam depa dari kedua tubuh ayah dan ibunya, Si Bungsu masih tetap tertunduk. Dia tak
berani bergerak sedikitpun. Meski di halaman itu hanya ada seorang serdadu, dan serdadu itu tegak sebelas
depa darinya, membelakanginya pula. Menghadap ke belakang rumah. Namun Si Bungsu tak pernah punya
keberanian sedikitpun untuk tegak mendekati tubuh Ayah dan Ibunya.
Dia juga tak punya keberanian untuk menolong kehormatan kakaknya yang dirajah Saburo Matsuyama
di atas rumah mereka. Tidak. Dia memang tak punya keberanian sedikitpun selama ini. Keberaniannya hanya
satu. Yaitu main judi. Tapi kini apa guna kepandaiannya yang satu itu" Sebagai anak lelaki dia anak lelaki yang
"tak lengkap", betapapun dia pernah amat membanggakan "ilmu" judinya.
Di kamar di atas rumah gadang itu, kakak Si Bungsu tiba-tiba tersadar. Dia merasa lehernya pedih dan
panas. Merasa ada nafas mendengus di wajahnya. Merasa tubuhnya disimbahi peluh. Merasa ada beban berat
menghimpitnya. Dan tiba-tiba dia memekik dan melambung tegak. Tapi pekiknya terhenti tatkala Saburo
menyabetkan samurainya. Gadis itu terkulai ke jendela. Dia menutup dadanya dengan tangan. Matanya
menatap sayu ke halaman. Menatap pada mayat ayah dan ibunya. Dan matanya terhenti pada wajah Si Bungsu
yang masih duduk berlutut dan memandang padanya. Bibir gadis itu bergerak. Seperti bicara pada adiknya.
Namun tak ada suara yang keluar. Matanya segera layu. Dan kepalanya terkulai ke bandul jendela. Si Bungsu
masih terpaku di tempatnya dengan penuh ketakutan. Tertunduk dengan diam.
Tak lama kemudian dia lihat Kapten Saburo Matsuyama turun dari rumah sambil melekatkan ikat
pinggang. Di halaman dia terhenti tatkala terpandang pada Si Bungsu. Dia segera ingat pada sumpah Datuk
Berbangsa. Ingat pada sumpahnya yang akan menuntut balas. Siapa yang akan menuntutkan balasnya selain
dari anaknya ini" Dengan kesimpulan begitu dia lalu mendekati Si Bungsu. Takut Si Bungsu muncul.
"Aaaa..ampuun tuan. Ampuun!" dia bermohon-mohon dengan tubuh menggigil.
Beberapa penduduk yang melihatnya dari kejauhan menjadi jijik dan mual melihat sikap anak muda ini.
Mereka seakan ingin menginjak-injak anak muda pengecut itu. Benar-benar jahanam! Benar-benar laknat.
Anak haram jadah!, maki mereka.
Saburo memegang hulu Samurainya. Si Bungsu jadi terkejut. Dia tahu Jepang itu berniat membunuhnya.
Dia segera bangkit. Sambil memekik minta ampun dia menghambur mengambil langkah seribu. Namun anak
muda pengecut ini memang sial. Pedang Samurai Saburo bergerak amat cepat. Punggungnya belah. Dia
tersentak. Rubuh tertelungkup dengan punggung menganga mulai dari belikat kiri sampai ke batas pinggul.
Sementara itu, kampung tersebut telah jadi lautan api. Pekik dan lolong terdengar bersahutan. Perempuan-
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 15
perempuan berpekikan diseret ke bawah pohon. Diperkosa dan beberapa lelaki yang coba melawan dibantai
dengan samurai atau ditusuk dengan bayonet. Menjelang sore, kampung itu hampir rata dengan tanah. Asap
mengepul di mana-mana. Burung elang dan gagak terbang rendah seperti melihat bangkai yang bergeletakan.
Itu adalah penyembelihan yang tak terlupakan bagi penduduk di kampung itu. Tak kurang dari sepuluh nyawa
melayang. Dan di pihak Jepang hanya 3 serdadu yang dimakan samurai di tangan Datuk Berbangsa. Beberapa
rumah memang masih tegak dengan utuh, yaitu rumah-rumah yang tak berpenghuni.
Serdadu Jepang itu sudah kembali ke Payakumbuh, dimana mereka bermarkas. Makin hari makin
banyak jumlah mereka yang datang ke Minangkabau lewat Sumatera Utara. Kekuatan mereka dipencar ke
beberapa kota utama di Minangkabau.
Sore itu hujan turun rintik-rintik. Membasahi kampung yang telah centang perenang itu. Hujan rintikrintik itu juga seperti mencuci tubuh mayat-mayat yang bergelimpangan. Tak ada orang lain di kampung itu
yang kelihatan hidup. Mereka semua melarikan diri. Menyelamatkan nyawa mereka dari kebiadaban serdadu
Jepang. Jepang memang punya alasan untuk menyikat kampung itu hingga rata dengan tanah. Sebab kampung
itu merupakan basis pertama dalam sejarah perlawanan rakyat di Minangkabau terhadap kekuasaan Jepang.
Dan setelah Datuk Berbangsa sekeluarga dibunuh, kampung itu menjadi kampung tinggal buat sementara.
Namun dari kesepuluh tubuh yang malang melintang itu ternyata masih ada yang hidup. Hujan rupanya
mengembalikan kesadaran yang hidup itu. Di halaman rumah Datuk Berbangsa ada sosok tubuh yang
bergerak. Mula-mula tangannya. Tubuh yang bergerak itu adalah Si Bungsu!.
Wajahnya tertelungkup rapat ke tanah. Dia rasakan punggungnya amat pedih dibasahi air. Dia masih
terpejam. Namun tangannya digerakkan perlahan. Tercium bau tanah dan sawah yang harum dari angin yang
bertiup dari kaki gunung Sago. Terasa tetes air.
"Aku masih hidup?" bisik hatinya.
(5) Dia mencoba bertumpu di tangan untuk membalikkan diri. Tapi alangkah sulitnya. Dia menelungkup lagi
diam-diam. Mengumpulkan tenaga, kini dia membuka mata. Mula pertama yang kelihatan adalah tanah
halaman rumah di mana di waktu kecil dia bermain kelereng dan main galah. Lalu di tanah itu dia lihat air yang
memerah. Itu pastilah darahnya. Dia coba kembali merekat ingatannya. Mulai dari dia ditangkap beberapa
malam yang lalu dekat sasaran rahasia itu. Dia mengetahui sasaran rahasia itu tatkala mengikuti ayahnya
disuatu malam. Sejak terakhir dilanyau Baribeh dan si Jul, dia ingin sekali belajar silat. Tapi dia malu
mengatakan kepada ayahnya. Dia tahu ayahnya amat malu mempunyai anak seperti dia. Anak yang bikin malu
keluarga. Ayahnya seorang pendekar dan guru silat. Tapi anaknya seorang penjudi yang pengecutnya
Allahurobbi. Ini selalu menjadi tekanan bathin bagi si ayah di manapun dia berada.
Dan suatu malam dia mengikuti ayahnya dari kejauhan. Dia melihat orang-orang berlatih silat di sasaran.
Dia tahu sasaran itu adalah untuk orang-orang yang tingkat kepandaian sudah tinggi. Dia kenal pesilat-pesilat
itu semua. Makanya dia tak berani menampakkan muka. Dia hanya mengintip dari balik belukar. Mengintip
cara mereka melangkah, membuka serangan. Menangkis dan meloncat.
Dia ingin sekali pandai bersilat. Tapi pada siapa dia akan belajar" Ayahnya sudah sering keluar.
Nampaknya ada sesuatu yang penting yang diurus. Seperti menyusun suatu kekuatan melawan Jepang. Meski
ayahnya tak ada di rumah. Si Bungsu tetap datang diam-diam ke sasaran itu tengah malam. Melihat orang
berlatih. Bila orang selesai latihan, dia segera buru-buru duluan pulang agar tak ketahuan. Dan di rumah siang
harinya, dia mencobakan gerakan yang dia lihat. Tapi alangkah sulitnya belajar tanpa guru. Sebab yang dia lihat
bukanlah pelajaran dari awal. Melainkan pelajaran tingkat lanjut. Hanya sepekan dia sempat melihat orang
latihan itu. Malam terakhir adalah malam di mana Datuk Maruhun tertangkap oleh serdadu Jepang.
Malam itu dia memang terlambat datang ke tempat pengintaiannya yang biasa. Dia terlambat karena
hujan. Tetapi keinginan untuk belajar tetap menyala. Maka meski terlambat dan hujan masih turun, anak muda
itu turun juga ke tanah. Dengan mengendap-endap dia mendekati sasaran rahasia itu. Dia melihat cahaya pelita
yang samar-samar. Mendengar suara beradunya pedang dan keris. Dia lalu menyeruak ke dekat belukar kecil
dimana biasanya dia mengintip. Namun tiba-tiba ada tangan yang menyekap mulutnya. Dia ingin berteriak dan
berontak. Tapi dekapan itu amat kuat. Dan tak lama setelah itu, Jepang-Jepang itu telah mengepung sasaran
tersebut. Dan dia didorong ke tengah sasaran. Datuk Maruhun menyangka dialah yang membuka rahasia
keberadaan sasaran ini kepada Jepang. Sangkaan itu juga sama dengan semua pesilat yang ada di sasaran itu.
Mereka menyangka Si Bungsu membuka rahasia itu demi mendapatkan uang untuk berjudi. Malam itu dia ingin
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 16
menjelaskan duduk perkaranya pada Datuk Maruhun dan teman-temannya. Tapi adakah gunanya itu semua"
Dia tahu bahwa orang kampungnya ini menganggap dia orang yang "runcing tanduk". Datuk itu memang sudah
lama juga tak senang padanya. Yaitu sejak dia tak perduli pada pertunangan dengan anak gadisnya yang
bernama Renobulan itu. Itulah sebabnya dia memilih berdiam diri saja meski dimaki dan dikutuk orang-orang
kampungnya. Kini dia terbaring luka. Setelah merasa cukup punya kekuatan dia tidak berusaha untuk bangkit.
Namun dia memutar tubuh dengan masih tetap menelungkup. Kepalanya kini menghadap ke rumah gadang di
mana dia pernah lahir dan dibesarkan. Di halaman dilihatnya tubuh ayah dan ibunya tertelentang diam. Dia
mengumpulkan tenaga. Merangkak mendekati mereka. Dekat mayat ayahnya dia berhenti. Bangkit dan duduk
merenung. Dia tatap mata ayahnya yang terbuka menatap langit. Dia tutupkan mata ayahnya itu.
Dia merasa malu lama-lama berada dekat mayat ayahnya. Malu karena perbedaan yang alangkah
jauhnya antara dia dan si ayah. Ayahnya seorang Penghulu yang dihormati penduduk. Seorang guru silat yang
jarang tandingannya. Tapi tiba pada dirinya, ternyata hanya mendatangkan aib bagi nama baik ayah dan
keluarganya. Dia teringat pada ucapan ayahnya tatkala turun dari rumah. Yaitu ketika dia memanggil ibunya.
Saat itu ibu, ayah dan kakaknya tertegun di tangga.
"Engkau memang dilahirkan untuk jadi dajal buyung. Saya menyesal mempunyai anak seperti engkau.
Kau jual negeri ini berikut penduduknya pada Jepang semata-mata untuk mendapatkan uang agar kau bisa
berjudi. Mengapa tak sekalian kini kau ambil kepala kami untuk kau jual?"
Suara ayahnya seperti bergema lagi. Dia tersentak kaget. Ayahnya pasti telah mendengarnya pula dari
Datuk Maruhun atau dari orang lain, tentang perjumpaan mereka di sasaran rahasia itu. Pastilah ayahnya juga
menduga seperti dugaan Datuk Maruhun dan teman-temannya, bahwa dialah yang membocorkan rahasia
sasaran itu pada Jepang. Hatinya jadi amat terpukul.
Lambat-lambat dia bergerak ke dekat mayat ibunya.
Wajah ibunya kelihatan tenang. Hatinya jadi luluh. Kepalanya menoleh ke rumah. Di jendela dilihatnya
mayat kakaknya masih terkulai. Dia ingin menangis. Namun dia tak tahu bagaimana cara menangisi malapetaka
yang begini dahsyat. Kalau salah satu saja dari keluarganya yang mati, mungkin dia bisa menangis. Tapi kini ketiga mereka.
Dia hanya sebatang kara kini. Bagaimana caranya dia harus menangisi kemalangan ini" Kemalangan yang
bagaimana pula yang telah menimpanya, sehingga untuk menangis saja dia tak tahu bagaimana caranya" Tibatiba tangan ibunya bergerak perlahan. Perlahan sekali. Namun dia melihatnya dengan jelas.
"Ibu . ." panggilnya perlahan sambil mengangkat kepala perempuan separoh baya itu. Hatinya berdebar.
Lama tak ada jawaban. Tapi setelah itu, kelopak mata perempuan itu terbuka. Perempuan itu menjilat air di
bibirnya. Tangannya perlahan terangkat. Mengusap pipi anaknya.
"Ibu ?" "Bungsu. . . engkau kini tinggal sendiri nak. Hati-hati menjaga diri. . ." Perempuan itu terhenti. Kembali
menjilat air di bibirnya. Kemudian terdengar lagi suaranya mendesah. "Ayahmu ingin engkau menjadi anak
yang baik . . ." Perempuan itu terhenti lagi. Dia seperti mengumpulkan tenaga terakhir. Nampaknya dia memang
menunda datangnya maut untuk bisa bicara dengan anak Bungsunya ini. "Bungsu " anakku. Kata orang engkau
membocorkan rahasia sasaran itu pada Jepang agar mendapatkan uang untuk berjudi.. . Tapi ibu tak percaya.
Ibu tak percaya engkau melakukan hal itu. Ibu yakin engkau tetap anak yang baik. . katakanlah Bungsu. . "
bahwa engkau tak pernah mengkhianati ayah dan orang kampungmu ."
Perempuan itu terhenti. Matanya terpejam lagi. Nafasnya tinggal satu-satu. Namun dia berusaha
membuka matanya, untuk melihat wajah anaknya. Untuk melihat dan mendengar jawaban anaknya.
Si Bungsu ingin bicara. Banyak sekali yang ingin dia sampaikan. Tapi kerongkongannya rasa tersumbat.
Dia hanya mampu menggeleng dan menggenggam tangan ibunya, menciumnya. Pipinya basah oleh air mata.
Si ibu seperti dapat membaca yang tersirat di fikiran anaknya. Meskipun anaknya tak bicara sepatahpun,
hanya menggeleng, tapi naluri seorang ibu dapat membaca apa yang terkandung di hati anaknya. Perempuan
itu seperti tersenyum. Matanya terpejam. Kepalanya terkulai. Dan dia menghembuskan nafasnya yang terakhir
dalam hujan rintik yang makin lebat itu.
Seorang ibu sejati telah mati. Ibu yang tak membedakan kasih terhadap anak-anaknya. Di antara anakanaknya yang pandai dan yang bodoh, di antara anak-anaknya yang gagah dan yang cacat, di antara anakanaknya yang berbudi dan yang jadi jahanam, seorang ibu tetap berbagi kasih sama besarnya. Seorang ibu tetap
menginginkan kebahagiaan yang sama untuk semua anaknya.
Dan sore itu Si Bungsu merasakan betapa sebenarnya dia memerlukan kasih sayang seorang ibu. Dia
rasakan justru setelah ibunya meninggal dunia. Dia membutuhkan bimbingan dan kasih sayang seorang ayah.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 17
Justru setelah ayahnya meninggal. Dia membutuhkan kasih sayang seorang kakak. Justru dia rasakan setelah
kakaknya meninggal! Alangkah tragisnya nasib manusia ini. Memang benar kata orang, bahwa setiap anak
takkan menyadari betapa dia sebenarnya membutuhkan kasih sayang ibu dan ayahya, ketika si ibu dan si ayah
masih hidup. Hari kedua sejak peristiwa berdarah itu, Si Bungsu masih duduk di sana. Di halaman rumah gadangnya.
Di antara puing reruntuhan rumah-rumah di kampungnya itu. Dia duduk dengan kepala ibu di pahanya. Sampai
hari ketiga dia tak mampu bergerak dari sana. Luka di punggungnya amat nyeri. Untung udara dingin dan
hujan banyak menolong lukanya. Tak ada lalat yang merubungi.
Barulah di hari ketiga dia berusaha bangkit dengan tubuh seperti akan tercabik dua. Dia harus
mengubur mayat ayah, ibu dan kakaknya. Dia juga harus mengubur mayat tujuh orang lelaki, perempuan dan
seorang anak-anak lainnya di kampung itu. Sebab tak ada manusia seorangpun di sana. Mereka telah lari
mengungsi. Hujan lebat yang turun beberapa hari jua yang menyebabkan tanah jadi lembut dan mudah digali.
Dengan mengatupkan gigi, dia mencabut Samurai yang tertancap tegak di dada kiri ayahnya. Kemudian dia
mulai menggali tanah di dekat jasad ayahnya itu dengan samurai tersebut. Mayat ayah dan ibunya hanya
berjarak sedepa. Dia menggali di tengah kedua orang itu. Kemudian memasukkan mayat ibu bapanya ke satu
lobang. Hari kelima baru dia selesai mengubur seluruh jenazah di kampung itu. Mereka dia kubur sekedarnya.
Sekedar tertimbun dan hilang tak berbau dan mudah-mudahan tak digali hewan. Mereka dia kubur di dekat
mayatnya terbaring. Ada yang di dekat tangga seperti kakaknya. Ada yang di tengah halaman seperti ibunya.
Ada yang di bawah pohon seperti beberapa tetangga lainnya. Dia harus menguburkan mereka semua. Meskipun
semasa hidupnya, mereka membencinya. Dia tak punya rasa dendam sedikitpun terhadap orang kampungnya
ini. Hari keenam, dia melangkah entah kemana. Hari sudah senja. Dia berjalan tertatih-tatih. Hujan dan
udara sejuk telah menyelamatkan luka dipunggungnya yang lebar untuk tak lekas membusuk. Dalam
perjalanan, tiba-tiba dia menyadari bahwa selain untuk menggali kubur, dia juga mempergunakan Samurai
yang tertancap di dada ayahnya sebagai tongkat penyangga agar tubuhnya tak rubuh. Tak dia ingat kapan
masanya dia memungut sarung samurai itu. Tapi yang jelas kini dia memegangnya.
Semula dia berniat untuk membuang samurai itu. Dia memotong sebuah kayu sebesar lengan. Tapi tibatiba dia tertegun. Suara dan sumpah ayahnya sesaat sebelum roboh setelah dihantam Samurai Saburo,
terngiang kemballi. "Kau takkan selamat Saburo! Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau juga akan mati oleh
samurai. Akan kau rasakan betapa senjata negerimu menikam dirimu, ingat itu baik-baik. Itu
sumpahku?""Saburo".!"
Tangannya menggigil mengingat sumpah itu. Dan tiba-tiba dia membuang kayu yang baru dia ambil. Dia
memegang samurai di tangannya kuat-kuat. Kemudian mulai melangkah. Entah kemana dia. Tak seorangpun
yang tahu. Berbulan-bulan setelah itu, ketika suasana sudah agak aman, orang-orang Situjuh Ladang Laweh,
kampung Datuk Berbangsa, kembali pulang satu demi satu dari pengungsian mereka.
Mereka mendapatkan kuburan-kuburan yang tak beraturan korban pembantaian yang menyebabkan
mereka lari mengungsi. Mereka menggali kembali kuburan-kuburan itu, dan meng-uburkan di pekuburan
kaum. Mereka bertanya-tanya tatkala tidak menemukan mayat Si Bungsu. Padahal beberapa orang di antara
mereka melihat dengan jelas betapa anak muda celaka itu mampus dibabat samurai Kapten Saburo.
Tapi kemana mayatnya" Kalau mayatnya tak ada, siapa yang telah menguburkan mayat-mayat ini"
Apakah dia tak mati, kemudian dialah yang menguburkan semua jenazah ini" Tak mungkin. Anak muda itu tak
mungkin mau berbuat kebajikan apapun untuk negeri ini. Sebab ayahnya saja dia khianati. Bukankah sasaran
rahasia itu ayahnya yang memimpin" Dan bukankah dia pula yang menjual rahasia itu pada Jepang hingga
semua mereka tertangkap dan terbunuh" Tak mungkin dia yang menguburkan jenazah itu.
"Barangkali bangkainya memang tak dikuburkan oleh orang. Sebab orang yang menguburkan ini
mungkin tahu bahwa dia seorang jahanam. Dan jenazahnya tetap ditinggalkan, lalu akhimya habis dimakan
anjing atau harimau yang datang dari gunung sana . . " seorang lelaki bicara.
Dan pendapat inilah yang paling banyak mempercayainya. Dan bagi orang kampung, anak muda itu
memang lebih baik mati diterkam harimau daripada hidup membuat malu negeri. Anak muda itu dianggap
sudah terkubur di perut binatang. Tak peduli anjing, harimau atau biawak. Dia lenyap seperti ditelan bumi dan
tak seorangpun mencoba mengingatnya, kecuali tentang yang buruk-buruk. Kehidupan kampung di pinggang
gunung Sago yang terletak jauh dari kota Payakumbuh itu kembali seperti biasa.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 18
Serdadu Jepang tak pernah lagi datang ke sana. Namun itu bukan berarti bahwa serdadu Jepang telah
menghentikan kekejamannya di Minangkabau. Tidak! Kekejaman orang-orang bermata sipit dan bertubuh
tambun dan pendek ini hampir merata dirasakan oleh penduduk di kota maupun pedesaan di pinggir kota yang
ditempati oleh tentara Jepang. Situjuh Ladang Laweh mereka lupakan karena pejuang-pejuangnya telah mati.
Datuk Maruhun, kabarnya, mati di Logas. Begitu juga teman-temannya.
Namun di belantara Gunung Sago, anak muda yang mereka sangka telah mampus dan mayatnya
dikunyah anjing atau biawak atau harimau itu, yang mereka sangka tak mungkin mau berbuat baik meski
sebesar zarahpun, saat itu tengah duduk bersila. Dia duduk bersila di atas sebuah batu layah di pinggang
gunung yang tak pernah dijejak kaki manusia. Dari sana dia dapat melihat ke bawah, ke kampungnya. Dia
melihat kerlip lampu seperti seribu kunang-kunang yang sedang bermain. Rindunya membakar hati. Namun
kalau dia pulang, siapa yang akan dia temui di sana" Tak seorangpun.
Ketiga keluarganya telah mati. Memang ada seseorang yang sangat ingin dia temui. Namun dia yakin
orang itu takkan bersedia dia temui. Renobulan. Masih hidupkah dia" Dia yakin anak Datuk Maruhun itu masih
hidup. Sebab dia gadis yang cantik. Dan perempuan-perempuan cantik biasanya punya umur panjang. Kecuali
kakak perempuannya yang diperkosa dan melawan, dan dibunuh oleh Saburo Matsuyama.
Saburo! Tiba-tiba dia tertegun. Dendamnya menyala. Dia kembali menatap ke kerlip lampu di bawah
sana. Ada beberapa kampung yang nampaknya berdekatan dari kaki gunung ini. Padahal jika ditempuh
jaraknya cukup berjauhan. Dia hafal kampung-kampung di lembah sana. Sebab dahulu dia telah mendatangi
semua kampung itu. Di kampung-kampung itu telah mengadu nasib. Berjudi. Dan semua penduduk kampungkampung itu mengenalnya sebagai hantu judi. Tak ada yang tak mengenalnya. Karena dia lebih sering menang
dalam perjudian daripada kalah.
Dan bila dia menang, dia selalu memberi anak-anak uang belanja. Anak-anak menyukainya. Hanya orang
tua mereka yang tak menyukai dia. Dia tersenyum bila mengingat kemenangannya dalam berjudi. Tiba-tiba dia
rasakan angin bertiup agak kencang. Dan dia memang tengah menanti angin yang bertiup itu. Tiap senja dia
nantikan angin itu di atas batu layah ini. Sudah berbilang bulan dia begini. Dan berbilang bulan dia melatih diri.
Dia memejamkan mata. Tangannya melemas. Lemas selemas lemasnya. Tes. , tes . . tes . . ! Dia dengar detisan
halus di atas. Dia hitung. Ada sebelas. Suara itu adalah suara daun kayu yang telah tua, yang habis getah
ditampuknya. Bila angin bertiup sore hari, daun-daun tua itu lepas dari ranting, melayang dan jatuh. Berarti
ada sebelas daun kering yang jatuh di sekitar dirinya.
Tiba-tiba tangannya yang lemas tadi bergerak ke balik kain sarung yang tersandang di bahunya. Dan
saat berikutnya terlihat sebuah kilatan yang terlalu cepat untuk diikuti oleh pandangan mata. Tak sampai
empat hitungan. Benda berkilat itu, yang tak lain dari samurai yang telah menyudahi nyawa ketiga keluarganya
itu, dia sarungkan kembali. Dan dengan perasaannya yang sudah amat terlatih, dia mengetahui bahwa dari
sebelas daun kayu yang jatuh di sekitarnya, ada tiga lembar yang luput dari sabetan samurainya. Yang delapan
lembar lagi belah dua persis tentang tulang di tengah daun-daun itu!.
Dia menarik nafas panjang. Kemudian duduk lagi bersemedi. Duduk mengatur pernafasan. Dia tak punya
guru. Gurunya adalah Alam Takambang. Dia tak mengerti ilmu silat. Sampai detik inipun dia tak mengetahui
selangkahpun tentang persilatan. Namun hatinya telah jadi baja untuk membalas dendam kematian ayah, ibu
dan kakaknya. Dia juga akan menuntut balas atas kematian orang kampungnya. Atas perbuatan Jepang
membakar kampungnya. Memperkosa kakaknya dan perempuan-perempuan lain. Dan atas perlakuan Jepang
yang telah membunuh kanak-kanak di kampungnya dulu. Dia akan menuntut balas pada Jepang dengan
Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mempergunakan senjata mereka sendiri, Samurai!
Sudah berbilang bulan dia berada di gunung ini. Dan selama itu pula dia melatih diri. Yang terbayang
olehnya adalah gerakan ayahnya ketika mengayun, dan menikamkan samurai ke belakang. Yang menyebabkan
matinya dua orang serdadu Jepang sekaligus dalam perkelahian di halaman rumahnya dulu. Gerakan itu dia
ulangi terus. Terus dan terus. Sementara gerakan bagaimana mencabut samurai dia pelajari dari perkelahian
antara teman-teman Datuk Maruhun di sasaran rahasia itu dengan tentara Jepang tersebut. Dia mengingat
gerakan Jepang itu mencabut kemudian mengayun samurai. Kemudian memasukkannya kembali samurai
telanjang dan berlumur darah itu ke sarungnya. Gerakan yang amat cepat untuk bisa ditiru. Namun dia
mengeraskan hati untuk belajar. Mula-mula gerakan itu hanya dia lakukan beberapa kali sehari. Kemudian
beberapa belas kali. Kemudian beberapa puluh kali. Kemudian beberapa ratus kali.
Tiap hari kerjanya hanya mencabut samurai. Kemudian memasukkannnya kembali. Lalu ketika gerakan
itu dia rasa sudah mahir, dia menirukan gerakan menghayunkan samurai membabat lawan yang ada di depan
dengan gerakan amat cepat. Kemudian meniru gerakan ayahnya. Setelah membabat lawan di depan, tanpa
menukar pegangan kedua tangan di gagang samurai, senjata itu dihentakkan meninggi ke belakang. Gerakan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 19
ini semula terasa sulit dan kaku. Namun dia harus belajar. Harus! Yang menyulitkannya adalah karena dia tak
mengetahui gerak dasar samurai itu. Tak pula mengetahui kuda-kuda yang harus dipakai. Itulah sebabnya dia
lambat sekali menjadi mahir.
Dan kinipun, setelah dia mahir dalam gerakan itu, kuda-kudanya tetap tak betul menurut methode ilmu
samurai. Kuda-kuda dan langkah kakinya dia buat menurut kehendak seleranya saja. Bagaimana yang dia rasa
paling baik untuk menyerang dan menangkis, serta merubuhkan lawan segera. Dia tetap berlatih hari demi
hari. Siang hari dia berburu kijang di gunung itu. Caranya mudah sekali. Selama hidup hampir setahun di rimba
raya itu, dia sudah hafal di mana kijang-kijang itu minum siang hari. Dia juga tahu dari mana harus mendekati
binatang itu. Dia harus tegak di bawah angin. Agar bau tubuhnya tak tercium oleh hewan itu.
Pagi-pagi dia sudah duluan ke dekat kolam kecil itu. Tiarap di dalam semak rendah. Diam di sana seperti
pohon mati. Tapi suatu hari dia mendapat cobaan. Yang datang minum ke sana bukannya kijang tetapi macan
tutul. Hewan ini datang justru dari atas pohon di mana Si Bungsu sedang tiarap di bawahnya. Macan itu segera
mengetahui kehadirannya. Dia menerkam Si Bungsu. Namun bagi Si Bungsu kecepatan macan ini tak ada
artinya dibanding kecepatan yang telah dia miliki dalam mencabut dan mempergunakan samurai. Dia malah
tetap berbaring diam ketika macan itu meloncatinya. Ketika tinggal sedepa lagi, saat itulah tangannya bergerak.
Dua kali dia menghayun tangan, saat berikutnya samurainya masuk kembali ke sarangnya bersamaan dengan
rubuh dan terpotong duanya tubuh macan tutul itu. Padahal dia masih setengah berbaring. Lagipula, itulah
pertama kali dia mempergunakan samurai rampasannya terhadap mahluk bernyawa.
Siang itu dia tak makan daging kijang. Melainkan makan daging macan tutul. Daging macan itu dia bakar.
Api dia bikin dengan mengadu dua buah batu kuat-kuat. Namun kecepatan menghantam macan yang datang
menerkam belumlah dapat dijadikan ukuran. Terkaman macan yang bertubuh besar itu tetap saja lambat bila
dibandingkan misalnya dengan terbangnya lalat.
Inilah yang dia pelajari setelah itu. Sisa bangkai macan mengundang banyak lalat ke dekat-nya. Dia
memejamkan mata. Memusatkan konsentrasi. Ada perbedaan mencolok antara ayahnya belajar silat dengan
dirinya belajar kini. Ayahnya dulu belajar silat sekedar untuk penjaga diri. Kemudian keadaan membuat dia
menjadi Guru Silat. Kadar kesungguhan kurang tinggi. Berlain dengan dirinya kini. Dia belajar karena dia
bertekad untuk membalas dendam. Dan keinginannya untuk cepat pandai amat menyala. ltulah sebabnya
dalam kerajinan berlatih, ayahnya dulu pasti kalah tekun dari yang dia lakukan kini. Dia memejamkan mata.
Lalat mulai berkerubung pada sisa bangkai macan tutul itu. Dia mendengar dengung langau hijau. Kemudian
dia mulai menghitung. Terlalu banyak. Dia mendengar getar sayapnya ketika terbang. Tangannya mulai dia
lemaskan. Lemas seperti sutera. Seperti tak ada tulang di dalam lengannya itu. Kemudian dia memusatkan
pendengaran. Kini! Tiba-tiba tangannya bergerak cepat. Empat kali dia membabat, lalu tiba-tiba samurai itu lenyap
kembali ke dalam sarangnya di balik kain sarung yang tersandang dipundaknya. Tanpa membuka mata dia
dapat mengetahui, bahwa dalam empat kali membabat tadi, hanya ada dua ekor langau hijau yang mati. Ada
yang perutnya putus. Ada yang kepalanya sompeng sedikit. Padahal seorang samurai harus tahu dengan pasti
bahagian mana yang dia kehendaki untuk dilukai. Dan bahagian yang dia kehendaki itu haruslah mampu dia
lakukan. Dia menghapus peluh. Kemudian duduk lagi. Mengulangi lagi latihan dari awal. Mencabut dan
membabat langau-langau itu. Begitu terus hari demi hari. Begitu terus hari berganti pekan. Pekan berganti
bulan. Bulan berganti tahun!
Senja ini dia kembali duduk di atas batu pipih itu. Menatap ke lembah sana, ke kaki gunung di mana
sawah menghampar. Di mana kerlip lampu dari kampung-kampung mulai kelihatan. Dia duduk menatap ke
arah kampungnya.Rindu kembali bertalu-talu gemuruh di dadanya untuk turun ke sana. Sudah berbilang
purnama dia berada di pinggang Gunung Sago ini. Tidur di pondok beratap lalang yang dia buat secara darurat.
Yang membuatnya untuk sembuh dari luka yang nyaris membelah punggungnya dan tetap hidup adalah
keinginannya yang keras untuk membalas dendam.
Kini dia merasa ingin segera kembali ke kampungnya. Dia menarik nafas panjang. Namun telinganya
yang sudah sangat terlatih di rimba raya itu juga menangkap dengus nafas lain. Dia tertegun. Apakah dengus
sebentar ini adalah dengus nafasnya sendiri yang terdengar sampai dua kali" Dia tak berani menoleh. Namun
nalurinya mengatakan bahwa ada bahaya mengancam dirinya dari belakang. Tapi bahaya apakah itu. Kenapa
dia tak mengetahuinya" Sudah belasan purnama dia duduk di sini. Setiap ada yang bergerak mendekati
tempatnya ini, bahkan kupu-kupu yang terbang ringanpun, akan segera dia ketahui. Semua itu berkat latihan
konsentrasinya selama ini. Secara instink tubuhnya juga bersiap untuk menerima setiap kemungkinan yang
tak diingini. Aneh, tak ada suara apa-apa. Padahal biasanya senja begini, setiap dia habis sembahyang Magrib
dia selalu dihibur oleh dendang jangkrik dan suara nyanyian binatang malam lainnya. Termasuk suara siamang
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 20
yang bersahutan. Tapi kini kenapa suara-suara itu lenyap" Sejak bila lenyapnya" Kesunyian ini adalah
kesunyian yang belum pernah dia alami selama ini. Dan tiba-tiba kembali dengusan nafas aneh itu dia dengar.
Dia yakin dengusan halus dan amat perlahan itu bukanlah dengusan dari mulutnya. Tidak. Dengusan itu jelas
dari belakangnya. Menurut perkiraannya, jarak antara dirinya yang duduk membelakang dengan mahluk yang
mendengus itu paling-paling hanya tiga depa !
Tiga depa! Ya Tuhan, bulu tengkuknya merinding habis. Kalau benar dugaannya, bahwa yang mendengus
itu berada sekitar tiga depa di belakangnya, itu berarti "tamunya" itu telah berada di atas batu pipih besar di
mana dia duduk, yang lebarnya sekitar empat depa persegi. Dia duduk di bahagian ujung paling depan. Yang
membuat dia kaget adalah kehadiran mahluk yang belum dia kenal itu di atas batu ini. Kenapa sampai tak
terdengar olehnya sedikitpun"
Krosak"! (6) Tiba-tiba dia mendengar suara terpijaknya daun kering di bawah di sekitar batu di mana kini dia duduk.
Meski amat perlahan, hampir-hampir tak terdengar oleh telinga orang biasa, namun dengan latihannya selama
belasan purnama dia dapat menebak ada sekitar selusin kaki di bawah batu sana. Ketika dia lebih memusatkan
pendengarannya ke atas, dia tambah kaget. Ada dua makhluk berada di belakangnya. Satu di kiri, satu di kanan!
Manusiakah " Darahnya mengencang. Tangannya melemas.
"Siapakah yang ada di belakang?" Dia bertanya tanpa menoleh.
Tatapannya lurus ke depan dengan konsentrasi penuh. Tak ada jawaban. Dia segera tahu, siapapun yang
ada dibelakangnya, pastilah tak berniat baik. Tangannya makin melemas dan terasa panas. Bulu tengkuknya
makin merinding. Tiba-tiba dia merasakan ada angin menyambar! Dia tak segera mencabut samurainya.
Namun dia berguling ke kanan. Gerakan itu dia pelajari dari tingkah dua ekor tupai yang berkelahi di cabang
pohon di dekat batu pipih ini. Dia amati perkelahian itu dengan seksama. Kemudian dia berlatih meniru cara
bergulingan menyelamatkan diri itu, menyelingi latihan samurainya.
Kini jurus berguling itu dia lakukan. Dia selamat dari terpaan makhluk itu. Kemudian dia duduk berlutut.
Namun sebelum dia lihat siapa yang menyerang, kembali makhluk itu menyerangnya secepat kilat. Dia kembali
mempergunakan gerak tupai itu. Bergulung dua kali ke kanan dan melambung tegak. Dan kini makhluk yang
menyerang itu tegak empat depa di depannya.
"Ya Allah!!" Dia terpekik dan surut dua langkah. Hampir saja dia terperosok jatuh dari atas batu. Makhluk itu! Ya
Tuhan, belum pernah dia melihat makhluk sedahsyat ini. Dalam sinar senja yang masih terang-terang tanah,
dia lihat dua makhluk yang luar biasa bentuknya.
"Harimau jadi-jadian!!" dia berbisik sendiri.
Tanpa dapat dia kuasai, tangannya gemetar. Ya, di hadapannya, kini berdiri dua harimau jadi-jadian.
Kepalanya mirip kepala harimau. Tubuhnya berbulu mirip harimau. Namun dia tak berdiri di keempat kakinya.
Mahluk ini berdiri di atas dua kaki seperti manusia. Tangannya yang berbulu mirip tangan manusia. Demikian
pula kakinya. Bulunya berbelang seperti harimau. Matanya merah berkilat. Kuku kaki dan kuku tangannya
kelihatan menyembul runcing mengerikan. Makhluk ini kelihatan dahsyat di mata Si Bungsu. Dia tak dapat
menahan gigilan tubuhnya.
Sewaktu kecil di kampung dahulu, dia memang sering mendengar cerita tentang harimau jadi-jadian.
Cindaku kata orang-orang tua. Namun sejak dia dewasa, cerita itu tak pemah lagi dia dengar. Kalaupun ada,
maka cerita itu hanya dimaksudkan sebagai menakuti anak-anak. Siapa menyangka, hari ini dia menyaksikan
apa yang dianggap orang kampung itu sebagai dongeng, ternyata benar-benar ada. Dongeng itu bukan sekedar
isapan jempol. Senja ini dia melihatnya dengan mata kepala sendiri. Dia melirik ke kanan. Jauh di bawah sana,
dia lihat kampungnya. Di kampungnya dahulu kabarnya ada orang yang mati dibunuh Cindaku. Di kampung
lain juga pernah ada orang yang di teror Cindaku. Apakah ini Cindaku yang meneror orang di kampung di
bawah sana" Kalau dilihat jarak antara gunung dengan kampung di bawah, nampaknya memang inilah Cindaku itu.
Tapi dia tak tahu berapa jumlah mereka. Dan dia segera ingat pada suara kaki di bawah sekitar batu tadi. Dia
segera menoleh. Dan kembali dia menyebut nama Tuhan beberapa kali. Dia melangkah ke depan tiga langkah.
Si Bungsu benar-benar dicoba iman dan jiwanya. Di bawah dia lihat tak kurang dari enam ekor harimau! Duduk
di kaki belakang dan menegakkan kaki depannya. Keenam harimau itu mengelilingi batu pipih di mana dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 21
berada. Dia yakin, jumlahnya pasti lebih dari enam ekor. Sebab tadi dia dengar di sekitar batu itu langkahlangkah yang halus. Inilah rupanya.
Dia kembali menoleh pada Cindaku itu. Keduanya kini mengangkat tangan. Dia tak mengerti kenapa
harimau-harimau itu berada di bawah. Seperti menonton ke atas. Apakah harimau-harimau itu adalah
bawahan Cindaku ini" Hatinya benar-benar terguncang. Dia tak sempat berpikir banyak. Cindaku yang paling
besar menyerang dengan satu loncatan. Seharusnya dia segera mempergunakan samurainya. Namun
terlambat! Kehebatan peristiwa ini membuat reflek yang telah dia latih jadi kacau. Dia hanya mampu
menunduk. Dan itu menyebabkan punggungnya dirobek kuku Cindaku. Dia terpental. Di bawah sana dia dengar
geraman harimau. Nampaknya harimau-harimau itu menunggu dirinya dilemparkan ke bawah.
Ketika dia terguling, Cindaku yang lebih kecil menyerang. Loncat tupai! Dia segera menggunakan ilmu
loncat tupai itu kembali. Berguling tiga kali ke kanan, kemudian tiga kali ke kiri. Dua terkeman Cindaku itu
berhasil dia elakkan. Kemudian meloncat berdiri! Luka di punggungnya pedih sekali. Di punggungnya. Tanpa
sengaja dia meraba luka itu. Tiba-tiba dia sadar, luka itu persis di tentang luka yang ditimbulkan oleh tebasan
Samurai Kapten Saburo Matsuyama dua belas purnama yang lalu. Persis melintang miring dari belikat kanan
ke rusuk kiri! Ingatannya kembali ke masa lalu. Kesaat ayah dan ibunya dibabat samurai. Di saat kakaknya
diperkosa dan dibabat samurai. Di saat dia juga dibabat samurai! Wajahnya mengeras tiba-tiba. Mulutnya
tertarik ke bawah. Suatu rasa marah yang tak terperikan tergambar pada wajahnya. Saat itu Cindaku yang kecil
menerjangnya. Tiba-tiba dalam pandangannya Cindaku itu berobah seperti Kapten Saburo yang membunuh
keluarganya. Tangannya bergerak ke Samurai di balik sarungnya. Amat cepat. "Jahanam kubunuh kau!!"
Rahasia Lukisan Kuno 1 Pendekar Naga Putih 104 Perantauan Ke Tanah India Api Berkobar Di Bukit Setan 3