Pencarian

Tikam Samurai 26

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 26


membuat kumis palsunya tercampak. Ketika lampu sorot di arahkan padanya, ketiga tentara itu terbelalak
melihat lelaki yang tendang itu tidak berkumis lagi. Tentu saja mereka kaget, belum ada kejadian satu kali
tendangan bisa mencampakkan kumis orang. Setelah mereka perhatikan, baru mereka sadar kalau pelarian itu
adalah lelaki dalam penyamaran.
Wajahnya yang putih dan halus, dan bulu mata yang terlalu lentik untuk seorang lelaki, di tambah
dadanya yang ber"bukit". Karena bajunya basah kuyup jatuh kelaut, tidak dapat menyembunyikan bentuk
tubuhnya. Salah seorang tentara yang melihat keganjilan itu, mendekat dan tiba-tiba breet! Baju Ami tentang
dadanya robek besar. Gadis itu tak berbuat apa-apa, matanya hanya terpejam. Gadis itu bukannya membiarkan apa yang
dilakukan tentara itu, tapi memang dia dalam keadaan pingsan. Sebuah tendangan keras tadi telah membuat
dia pingsan. Dalam keadaan begitulah dia digerayangi oleh tentara itu. Le Duan yng sudah mencapai bibir dek,
melihat bahaya yang mengancam adiknya segera bangkit, namun sebelum dia melangkah jauh sebuah popor
menghajar tengkuknya hingga tersungkur. Dua tentara lagi, yang melihat temannya yang sedang melakukan
pekerjaan tangan di tubuh itu juga tak dapat menahan diri.
Dengan mata mendelik dan liur meleleh mereka mendekat. Mungkin, karena saking nafsunya salah
seorang terpeleset. Kawannya yang seorang lagi, begitu sampai menunduk menolak kawannya yang sedang
asyik meraba sana-sini sampai terjengkang. Tangannya segera terulur untuk meraba dada Ami yang terbuka
lebar itu. Namun tiba-tiba dia merasa kepalanya seperti dihantam martil yang sangat besar, seolah-olah hantaman
itu mencampakkan kepalanya dari lehernya. Terdengar suara berderak. Tentara itu tak lagi sempat marah,
karena matanya sudah mendelik dan lehernya patah. Dia juga tak sempat tahu kalau temannya, yang tadi
terpleset itu dan temannya yang terjengkang tadi karena dia dorong.
Dia tak tahu, kalau kedua temannya yang jatuh tadi karena dihantam tengkuknya oleh samurai kecil.
Bahkan dia tak sempat tahu kalau yang menghantam kepalanya adalah Le Duan. Lelaki yang tadi dia hantam
dengan popor. Le Duan Memang tidak kena telak, dia memang cepat menjatuhkan diri pura-pura pingsan agar
tak di hajar bertubi-tubi.
Ketika dia terbaring pura-pura pingsan, dia merasakan sebuah tubuh menghimpitnya, dan dia yakin
kalau Si Bungsu sudah mulai beraksi. Dia segera menyingkirkan tubuh tentara yang terjengkang kearahnya tadi
dengan perlahan. Dan saat itu dia lihat tentara yang mengerayangi adiknya terjengkak dan melihat sebuah
benda mengkilat diantara pelipisnya. Dia segera bangkit. Dan sebagai orang yang ahli bela diri, kakinya
menghajar pelipis tentara yang ketiga saat tangannya mulai turun mau menjamah adiknya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 572
Dia menoleh kebelakang, dan dia lihat Si Bungsu sudah ada disana sambil memberi isyarat dengan
menunjuk kearah senjata mesin 12,7 yang ada berada didepan. Sementara dia bertugas untuk meyelesaikan
dua tentara yang berada di ruang kemudi. Juru mudi dan Kapten kapal. Le Duan memungut sebuah bedil yang
tergeletak di lantai, kemudian merayap kearah depan.
Si Bungsu merayap sampai pintu ruang kemudi dan memberi isyarat pada Le Duan untuk bertindak
setelah dia beri aba-aba. Le Duan yang yakin kalau tentara yang lain sudah dibereskan Si Bungsu, mengangguk.
Kemudian menanti, dia tahu kalau anak muda dari Indonesia itu sedang menunggu waktu yang tepat untuk
bertindak. Kapten kapal itu masih sedang bicara di radio. Mungkin dengan kapal patroli yang lain, atau dengan
markas besar mereka di darat sana. Kalau dia serang sekarang pasti kapal-kapal patroli yang lain akan di
beritahu dan akan memburu kapal ini, itu yang tak diinginkan Si Bungsu.
Untung pembicaraan itu tak terlalu lama, dia mematikan radio dan mematikan hubungan. Kemudian d
bicara dengan juru mudi. Saat itu Si Bungsu bersiul kecil, siulan itu didengar Le Duan. Tanpa menoleh Le Duan
bangkit dan berjalan kebelakang menuju penjaga senjata mitraliyur 12,7. "Hei, kamu"!" ujarnya.
Tentara yang berpangkat kopral itu menoleh, dia terkejut ketika melihat pelarian yang tadi jatuh kelaut
itu sedang mengarahkan senapan uzi buatan Rusia yang menjadi senjata standar tentara Vietnam itu ke
arahnya. Dia belum sempat berbuat apa-apa ketika kilatan cahaya putih kemerah-merahan. Kemudian
tubuhnya tersentak-sentak ketika tubuhnya di tembus timah panas. Lalu diam. Yang tak diam adalah Kapten
kapal dan juru mudi. Mereka melihat peristiwa itu. Mereka melihat pelarian itu menyemburkan timah panas
dari senjata uzi buatan Rusia itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-553-554
Melihat jelas penjaga M12,7 tersentak-sentak dan terkapar di tempat duduknya dibelakang senapan
mesin yang dia jaga di depan sana. Komandan kapal patroli itu mencabut pistol, namun gerakannya terhenti
ketika di ruangan yang tak seberapa besar itu dia melihat kehadiran orang lain. Nalurinya mengatakan kalau
orang ini adalah bahagian dari komplotan pelarian yang memegang uzi di luar.
Dia segera mengarahkan pistolnya kearah orang itu. Namun orang itu, yang tak lain adalah Si Bungsu
segera mengantisipasi. Dalam dua langkah panjang dan cepat, dia sudah berada di sejangkauan tangan di depan
Kapten itu. Si Kapten tiba-tiba merasakan tangannya yang memegang pistol itu telah di cengkram orang
tersebut. Demikian keras cengkraman itu, seolah-olah di jepit ragum besi. Jari-jemarinya terdengar berderak. Dan
tak ada yang bisa dia lakukan selain berteriak karena remasan tangan yang sangat kuat. Jurumudi kapal itu,
yang baru menyadari ada orang lain diruangan itu setelah Kaptennya meraung, segera meraih pistolnya di
pinggang. Namun sambil mencengkram tangan si Kapten, Si Bungsu menghantam belakang kepala jurumudi
itu dengan sebuah pukulan. Jurumudi itu tertelungkup diatas kemudinya.
Kapten kapal patroli itu bahu kanannya sampai miring dan kepalanya ikut miring karena tangannya
yang memegang pistol itu masih di cengkram Si Bungsu. Sebagai perwira yang ahli beladiri, tidak biasanya dia
dengan mudah di perlakukan seperti ini. Dia bermaksud mempergunakan tangan kirinya yang bebas, atau
kakinya untuk menendang. Namun entah mengapa, saat tangan kanannya di cengkram lelaki ini, semua
anggota tubuhnya yang lain tak bisa di gerakkan
Apapun gerakan yang dibuatnya, yang terasa adalah rasa sakit di hulu jantungnya. Semua gerakan yang
dia lakukan berakhir dengan seringai sakit. Si Bungsu menghantamkan tangan kirinya kewajah Kapten yang
sedang menyeringai itu. Hidung Kapten itu kontan remuk, enam giginya berderak copot dihantam oleh lelaki
dari Situjuh Ladang Laweh itu.
Pistolnya segera beralih ketangan Si Bungsu. Dan si Kapten terhantar di lantai dengan kesadaran tinggal
separuh. Saat itu Le Duan memapah adiknya keruang kemudi. Tak lama kemudian dalam ruang kemudi itu Ami
mulai berangsur sadar dari pingsannya. "Hei, sudah bangun?" sapa Si Bungsu.
Gadis itu untuk sementara mengejap-ngejap mata. Menatap pada Si Bungsu, pada abangnya. Kemudian
bergerak perlahan kearah Si Bungsu sembari menutupi dadanya yang terbuka dengan bajunya yang robek.
"Aku ingin cepat keluar dari mimpi buruk ini, Bungsu?" bisiknya sambil memeluk Si Bungsu erat-erat dari
samping. "Kita lanjutkan rencana kita. Hanya tinggal dua babak menjelang babak akhir?" ujar Si Bungsu. Le
Duan sudah mengambil alih kemudi. "Bisa dicari posisi kapal patroli yang lain dengan radar?" tanya Si Bungsu.
"Ya, saya sedang memantaunya. Ada tiga kapal disekitar kita. Yang terdekat sekitar dua mil, yang terjauh sekitar
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 573
sepuluh mil?" jawab Le Duan. Sambil merperhatikan layar radar yang ada di dekat kemudi. "Baik, sekarang
kita cari mayat-mayat pengungsi tadi?" ujar Si Bungsu.
Le Duan segera memutar kapal itu kearah mereka datang tadi. Dia menyetel lampu sehingga cahayanya
menyapu laut di depan mereka. Dengan memutar tuas yang ada di ruang kemudi. Si Bungsu yang tubuhnya
masih di gelayuti Ami, mengarahkan lampu sorot kekiri-kekanan.
Saat itu Kapten kapal itu siuman, disusul juru mudinya. Ami melepaskan pelukannya dan menendang
Kapten itu, si Kapten melenguh pendek dan pingsan lagi. Jurumudinya di hajar dengan tumit tentang dadanya.
Mata jurumudi itu terbelalak dan kembali terjengkang. "Hei, jangan bunuh mereka?" ujar Si Bungsu. "Mereka
hanya tidur sebentar"." ujar Ami. Sekitar lima menit berlayar, lewat lampu sorot mereka melihat dua tubuh
mengapung di laut. "Lambatkan mesin?" ujar Si Bungsu.
Le Duan memperlambat mesin kapal. Posisi dua mayat itu, mayat wanita yang masih memeluk bayi
lelakinya, terlihat mengapung dekat lambung bagian kanan. Ketika mayat itu berjarak tiga atau empat meter
dari lambung kapal, Si Bungsu menyuruh menghentikan kapal. Kemudian dia menatap Ami yang masih saja
bergelayutan di tubuhnya. "Bisa kau bangunkan sahabatmu yang tidur itu, Ami..?" ujar Si Bungsu perlahan.
Ami menatap lemari di dinding belakang ruang kemudi itu. Membukanya. Dan disana ada termos dan
roti. Dia ambil termos itu. Ketika dibuka tercium aroma kopi yang cukup harum. "Mereka butuh kopi saat udara
dingin begini?" ujar Ami sambil berjalan kearah tubuh Kapten dan juru mudinya.
Lalu tanpa bicara, dia menyiramkan kopi panas itu kewajah kedua tentara Vietnam itu. Keduanya sontak
kaget tersadar dari pingsannya. Mereka memekik akibat siraman kopi panas itu. Si Bungsu melepaskan tuas
lampu sorot, menguncinya. Dimana cahaya lampu sorot itu terarah ke dua tubuh mayat yang mengapung di
laut. Kemudian dia mencekal leher si Kapten. Membawanya berdiri. Le Duan menyeret jurumudi. Mereka
membawa kedua orang itu keluar ruang kemudi, lalu menuju dek bahagian kanan kapal. "Kalian lihat dua mayat
itu?" ujar Si Bungsu, yang cepat diterjemahkan Le Duan ke bahasa Vietnam.
Mata kedua tentara itu bukanya melihat kearah kedua mayat itu. Melainkan menatap kelaut luas.
Berharap kapal patroli yang lain datang membantu. Namun sejauh mata memandang yang terlihat hanya
kegelapan. "Sudah tak terhitung jumlah orang-orang yang kalian biarkan mati di tengah laut. Kini giliran kalian
bagaimana rasanya mati seperti itu. Untuk semetara untuk bisa mengapung, kalian harus minta tolong kedua
mayat itu. Tubuhnya terpaksa kalian jadikan pelampung. Kini turunlah"!" perintah Si Bungsu.
Belum habis takut dan kecut hati kedua orang itu, tiba-tiba tubuh mereka sudah melayang ke laut,
semeteran dari mayat yang terapung-apung itu. Kapten itu memekik sambil memohon-mohon minta belas
kasihan. Demikian juga jurumudinya. Mereka menggapaikan tangan ke kapal berusaha mencari pegangan.
Namun bibir dek kapal terlalu jauh untuk mereka jangkau. Ombak yang deras membawa mereka menjauh dari
kapal. Mendekati mayat yang mengapung dengan diam. Si Bungsu dan Le Duan menatap dingin kerah kedua
tentara Vietnam itu. "Jalankan kapal?" ujar si Bungs
Le Duan memasuki kamar kemudi. Menambah gas kemudian kapal itu meluncur. Meninggalkan tentara
itu dengan ketakutan yang luar biasa itu. Si Jurumudi kemudian berenang memdekati mayat yang mengapung
itu. Dia sungguh takut. Namun ucapan lelaki asing itu ada benarnya, walau jijik dan ketakutan mayat ini bisa
dijadikan pelampung. Lalu menggantung disana. Benar, karena mayatnya sudah berlobang porinya dan di
penuhi air bisa dijadikan pelampung darurat. Dan berusaha menggerak-gerakan kakinya biar bisa mengapung.
Dengan cara itu pula si Kapten berusaha mendekati si jurumudi. Yang bergelayut di mayat yang kapalnya
ditenggelamkan kapal mereka. Namun si jurumudi tampaknya tak mau di ganggu. Untuk menahan tubuhnya
saja mayat itu sudah tak begitu kuat. Apalagi harus berdua dengan Kapten itu. Diam-diam dia mengayuh
kakinya agar menjauh dari jangkauan sang Kapten. Sedangkan si Kapten berusaha juga untuk mencapai mayat
itu. Semakin kuat dia berenang, tambah kuat juga dia menjauh, si Kapten akhirnya tahu perbuatan
jurumudinya. "Hei, kau jangan menjauh terus. Tolong aku".!" serunya. Tapi Sersan itu tak peduli. Dengan masih
menatap si Kapten kakinya tetap mengayuh, makin lama jarak mereka bertambah jauh. "Sersan keparat!!
dengarkan ucapanku, kayuhkan dirimu kemari" itu perintah, cepaat"!" hardik si Kapten dengan suara
terengah-engah lemah menahan marah.
"Ke Neraka lah, perintah laknatmu itu Kapten"." ujar si Sersan masih berusaha menjauh. "Sebentar..
glk" lagi kapal patroli.. glk.. datang. Kau akan dii..glk.. hukum tembak bila melanggar pe.. glk.. rintah?"ujar si
Kapten yang sudah timbul tenggelam.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-555-556
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 574
"Panggillah kapal patroli jahanammu itu. Kau boleh menembak mukamu sendiri.." desis si Sersan sambil
menggelantung di tubuh mayat wanita tersebut. Dan tetap mengayuhkan kakinya di dalam air agar tetap
menjauh. "Jahanam.. glk..glk.. kau" glk.. akan diadili.. glk..glk.. di mahh.. kamah.. glk.. sebagai.. penjah..glkglk..perr..."ujar si Kapten yang sudah kehilangan tenaga.
Namun azab Tuhan padanya tidak hanya sampai disitu. Si Bungsu mungkin benar tentang ucapannya,
bahwa tentara yang membunuh rakyat harus di hukum dengan sekerasnya. Hal itu kini menimpa si Kapten.
Sebab jika dia berharap akan mati agar tidak terlalu lama menderita, tiba-tiba sebuah sayatan yang
menimbulkan sakit yang amat sangat menyergap kaki kanannya.
Dia meraung. Tubuhnya terlonjak di atas permukaan air. Si jurumudi yang sudah hilang didalam
kegelapan, mendengar pekik itu. Sekali lagi, dan sekali lagi! Bulu tengkuk si jurumudi merinding. Tubuh si
Kapten ternyata sedang di rancah ikan hiu.!
Mula-mula betisnya di sambar. Kemudian pahanya. Dia meraung. Kemudian perutnya. Dia kembali
meraung. Entah kenapa dia tidak segera mati. Tangannya menggapai. Tiba-tiba tangannya tergapai sesuatu
yang mengapung di air. Dia peluk erat-erat tubuhnya agak timbul karena ada gantungan itu. Namun hidungnya
membau yang amat menusuk. Tangannya meraba hilir mudik. Dan tiba-tiba dia menyadari bahwa yang dia
peluk tempat untuk bergantung agar tak tenggelam ternyata adalah sesosok mayat wanita!
"Oh Tuhan, ampuni dosaku.. ampuni dosa kuu.." raungnya tanpa dapat menahan tangis akibat rasa
berdosa yang amat sangat. Selama dua bulan ini, dalam tugasnya memburu para pelarian yang ingin mengungsi
dari Vietnam, sudah puluhan bahkan mungkin ratusan nyawa yang dia kirim kedasar laut. Sebahagian besar
adalah orang-orang yang takut pada pembalasan Vietnam Utara. Yang wanita umumnya mereka tangkap, lalu
mereka di perkosa. Sebagian yang di perkosa itu dibawa kedarat untuk diinterogasi. Tapi sebagian lagi di
tenggelamkan begitu saja ke laut, bahkan dalam keadaan bugil! Bagi tawanan laki-laki yang tua umumnya
ditenggelamkan saja. Mereka dianggap tidak berguna. Yang muda dan dewasa di tahan dan diinterogasi.
Mereka disiksa dengan seribu macam siksaan, agar mengatakan siapa saja orang selatan yang melarikan
diri atau kaki tangan Amerika. Kini, seolah-olah Tuhan menghukumnya dengan mengirimkan sesosok mayat
wanita ini kepadanya. Dia tetap tak mau melepaskan mayat wanita itu. Dia berharap bisa bertahan sampai ada
kapal patroli ada yang lewat atau mendapat keping lain yang bisa menyelamatkannya.
Namun Tuhan memang sedang marah padanya. Baru berapa saat dia bergelantungan di mayat wanita
itu, yang kapalnya mereka tenggelamkan kemaren, sebuah sentakan kembali terasa di pahanya. Sakitnya bukan
main. Pahanya terbosai separuh. Bau darah menyebabkan selusin-an ikan hiu memburu kesana. Dalam malam
bergerimis itu seakan diruntuhkan oleh pekikan si Kapten yang tubuhnya dicabik keping demi keping oleh
harimau laut itu. Tatkala pekiknya seperti menggantung di udara malam, kini giliran si jurumudi yang terpekik.
Sebuah hantaman yang kuat menghujam di betisnya. Dia merasa sakit yang luar biasa. Dia tak tahu di dalam
air, kakinya hingga lutut telah lenyap dalam mulut hiu. Rupanya setelah selesai merancah tubuh si Kapten,
rombongan ikan ganas itu menemukan tempat si jurumudi.
Kini disana lagi ikan ganas itu berpesta-pora. Tubuh si Sersan menerima nasib yang sama dengan
Kapten-nya. Di rancah ikan hiu berkeping-keping! Nasib yang lebih buruk dari temannya sesama tentara
pemburu yang mati diatas kapal. Tubuh mereka memang dilemparkan juga oleh Si Bungsu ke laut. Namun
karena sudah tewas jadi mereka tak merasakan apa yang dirasakan si Kapten dan jurumudi yang menahan
sakit luar biasa di rancah gerombolan ikan hiu lapar dan ganas! Gerimis di laut kini telah berubah menjadi
hujan lebat. Kapal patroli yang kini sudah diambil alih Si Bungsu, Le Duan, Ami Florence melaju kearah kapal patroli
yang lain. "Kapal ini punya torpedo?" tanya Si Bungsu. "Ada dua buah, yang disamping lambung kiri dan kanan.."
jawab Le Duan, yang nampaknya amat memahami soal kapal. "Bisa kita pergunakan?" Le Duan menjawab
dengan menekan dua tombol hijau disebelah kanan. Tombol itu hidup.Le Duan menekan lagi sebuah tombol
merah dibawah tombol hijau itu. Tombol itu juga menyala.
"Keduanya masih baik, dapat kita pergunakan.."jawab Le Duan. "Berapa jauh jarak yang bisa di
jangkau?"" "Tiga mil?" "Kita bisa mendekat sampai dua mil?" "Bisa.." "Baik, kita mendekat sampai dua mil.
Kemudian kita hancurkan mereka.." ucapan Si Bungsu baru berakhir ketika terdengar suara di radio. "Naga
Merah, cucut Laut memanggil, over"!" "Naga Merah silahkan masuk, Cucut Laut memanggil, over."." "Mereka
memanggil lagi?" ujar Le Duan. "Berapa jauh jarak mereka kini?" Le Duan mempelototi radar. "Dua setengah
mil?" "Jawab, katakan radio kita rusak, dan kita tetap menuju mereka minta perbaikan?" Le Dua mengambil
radio tersebut, dan mendekatkannya ke mulut.
"Cucut laut, Naga Merah stand by over" Cucut Laut, naga Merah standby..over " jawab Le Duan sambil
memukulkan radio itu ke alat penerima. "Naga merah, kenapa meninggalkan wilayah operasi.. over.. Naga
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 575
merah mengapa meninggalkan wilayah operasi..over..!" Le Duan menatap Si Bungsu. "Berapa lagi jarak
mereka?" "Dua mil?" "Minta mereka mendekati kita, kemudian hantam dengan Torpedo.." ujar Si Bungsu.
"Naga Merah mengalami kerusakan mesin dan radio, kami terpaksa bergabung. Harap Cucut Laut membantu
Naga Merah"Ov?" Le Duan sengaja memutus-mutuskan suaranya. Kemudian mematikan alat komunikasi itu.
Dia sekaligus memperlambat mesin. Kapal itu kini seperti berlayar perlahan dengan haluan mengarah ke Pulau
Hainan. "Mereka mendekat" " ujar Le Duan sambil memperhatikan titik hijau di layar radar.
"Berapa jauh sekarang?" "Sekitar satu setengah mil?" "Siapkan sebuah Torpedo.." Le Duan kembali
menekan tombol hijau di meja kemudi yang tadi sudah diujicobanya. Sebuah lampu hijau segera menyala.
Kemudian dia menekankan tombol merah yang di kanan. Lampu merah segera menyala. Saat itu tiba-tiba kapal
di mana mereka berada masuk kedalam sorot lampu kapal patroli Cucut Laut yang tadi berkomunikasi dengan
mereka. "Berapa jaraknya kini?" tanya Si Bungsu. Sementara Ami yang mulai cemas kembali bergelayutan di bahu
Si Bungsu. "Sekitar satu mil, mereka datang dengan kecepatan penuh?" "Ya, sekarang tembakkan torpedo".!"
ujar Si Bungsu. Le Duan kemudian menekan tombol merah yang sudah menyala tadi. Kemudian terdengar suara
mendesis yang amat bising disamping kanan kapal ketika torpedo dibagian itu lepas dari tabungnya. Torpedo
itu masuk sekitar sepuluh meter didepan kapal, kemudian dengan cepat dan dengan kedalaman sekitar satu
meter dari permukaan air, tabung maut sepanjang dua meter itu meluncur kearah Cucut Laut.
"Ada kemungkinan meleset..?" tanya Si Bungsu. "Mungkin kalau mereka cepat melihat di radarnya.
Mereka bisa membuat manuver, menghindar dengan cepat?" "Siapkan torpedo yang satunya. Dan siapkan juga
kapal dengan kecepatan penuh. Kalau kedua torpedo itu gagal, kita harus lari secepat mungkin ke laut lepas
mencari USS Alamo?" Di kapal patroli Cucut Laut hampir semua awak sedang mengarahkankan perhatian mereka ke Naga
Merah,yang kini sudah berada dalam sorotan lampu mereka. Ada sedikit kilatan api. Mereka menduga ada
letusan. Namun ketika tidak ada letusan, seorang Sersan merasa aneh. "Coba hidupkan radar. Ada yang aneh
dengan kapal itu tadi. Ada kilatan seperti melepas torpedo.." ujarnya. Jurumudi segera menghidupkan radar.
Dan tiba-tiba mulutnya ternganga. Kejut yang luar biasa membuat dia tak bisa berkata atau berbuat apapun
untuk beberapa detik. "Tot..torrpedooo".!" sambil menambahkan kecepatan dan berusaha menghindar
dengan membelokkan kapal.
Demikian tiba-tibanya manuver kapal itu dilakukan, menyebabkan tiga tentara yang berdiri di pagar dek
kapal terpental kelaut. Kapal itu oleng kekiri karena belokan tajam yang dibuat. Suasana panik kerena rasa
terkejut membuat mereka hampir terpaku ditempat masing-masing. Saat itulah torpedo yang ditembakkan
Naga Merah menghajar Cucut Laut persis di lambung tengahnya! Kapal itu meledak.
Kepingannya terlontar sampai belasan meter keudara, diiringi ledakan yang amat dahsyat. Ledakan itu
tambah dahsyat karena dua torpedo di kapal itu ikut meledakkan "tuannya" sendiri! Cahaya akibat ledakan itu
terangnya sampai ke Naga Merah. "Wow.. mereka jadi abu?" ujar Le Duan. "Baik dua sudah cukup. Sebentar
lagi laut ini akan di penuhi kapal perang Vietnam. Sekarang putar haluan dan usahakan mengontak USS Alamo,
tuju kekapal itu dengan kecepatan penuh?" ujar Si Bungsu. "Yes, Sirr..!" ujar Le Duan yang merasa amat bangga
dengan operasi yang mereka lakukan malam ini.
Betapa dia takkan bangga, dari niat hanya melarikan diri, itu pun belum tentu selamat. Kini mereka
justru berada di pihak yang menyerang. Tak tanggung-tanggung, sekali pukul mereka bisa menghancurkan
sebuah kapal musuh dan merampas sebuah lagi. Le Duan memacu kapal itu dengan kecepatan penuh kearah
timur. Di tempat mana di perkirakan USS Alamo berada. Dia menyetel radio berusaha mendapatkan kontak
dengan USS Alamo. Hanya beberapa saat, setelah berada di frekuensi yang sudah ditetapkan, Le Duan berhasil mendapatkan
hubungan dengan kapal perang Amerika tersebut. "Benteng tua, Benteng tua". Tiang bambu memanggil, over.."
ujar Le Duan beberapa kali. "Tiang bambu, benteng tua standby. Kami mengikuti seluruh manuver anda, Bravo.
Benteng tua berada pada kordinat x, sekitar dua loncatan dari Tiang bambu, Benteng tua menunggu, sekali lagi
Bravo?" ujar Komandan kapal USS Alamo. "Coba kembali ke frekuensi kapal Vietnam, dengarkan apa yang
mereka perbincangkan.." ujar Si Bungsu.
Le Duan mengembalikan posisi frekuensi radio kapal pemburu itu pada posisi semula. Terdengar suara
sahut menyahut antara dua sampai tiga kapal. Sebuah kapal yang sudah mendekati posisi Cucut laut meledak
melaporkan menemukan keping-keping kapal yang dipastikan kapal patroli Vietnam.
Namun mereka tidak bisa memastikan yang mana yang meledak, Naga Merah atau Cucut Laut. Mereka
juga belum bisa memastikan apa yang meledakkannya. Kemudian radio memanggil-manggil Naga Merah dan


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cucut Laut. Berkali-kali panggilan itu dilakukan, namun tak ada sahutan. Dalam percakapan itu juga di sebutkan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 576
sebuah kapal yang menuju laut lepas yang mereka lihat melalui radar. Lalu terdengar perintah dari Kapal
Perang "Gunung Api" yang berada di lepas pantai Pantai Da Nang untuk memburu kapal yang melaju kelaut
lepas itu. "Apakah mereka bisa menyusul kita?"" tanya Si Bungsu. "Rasanya tak mungkin?" jawab Le Duan.
Sambil menatap lurus kedepan kedalam kegelapan laut. Hanya beberapa menit kemudian, mereka melihat
sinyal lampu yang dipancarkan dari kapal USS Alamo. Sementara Ami membalas sinyal itu dengan lampu sorot
di kapal yang mereka rampas, Le Duan mengarahkan kapal patroli itu lurus-lurus kearah datangnya sinyal
tersebut. Tiba-tiba ada panggilan di radio. Panggilan itu ternyata dari USS Alamo.
"Tiang bambu,.. Benteng tua memanggil over.." "Benteng Tua,.. Tiang bambu standby, masuk.. over.." "Pari
Runcing tengah mengejar anda, posisinya tinggal lima mil. Ulangi, Pari Runcing mengejar anda dalam posisi
lima mil,"over?" "Benteng Tua, Tiang Bambu memonitor. Tiang Bambu segera berada disisi Benteng Tua..
over.." Namun belum beberapa detik Le Duan mengakhiri ucapannya, tiba-tiba sebuah ledakan dahsyat
menyebabkan semburan air menjulang hanya beberapa meter disisi lambung kanan kapal yang mereka larikan
dengan kencang. Kembali terdengar suara di radio, yang berasal dari USS Alamo. "Tiang Bambu, meluncur di
pegunungan Benteng Tua mengirimkan kado untuk Pari Runcing" over?"
Jika tadi Le Duan memacu kapal lururs-lurus ke arah USS Alamo, kini sesuai petunjuk Kapten USS Alamo
untuk "meluncur kepegunugan" dia lalu membuat belok-belokan tajam. Belok-belokan itu ternyata
menyelamatkan nyawa mereka. Hanya beberapa detik kemudian, dua ledakan menggelegar di sebahagian kiri
dan bahagian kanan kapal, dalam jarak sepuluh hingga lima belas meter. Lalu mereka mendengar suara
desingan tajam, beberapa detik kemudian terdengar suara gelegar jauh di belakang sana, disusul lidah api yang
muncrat ke angkasa. Lalu sepi. Tak ada lagi ledakan disisi kapal mereka. Kemudian suara di radio.
"Tiang Bambu, Benteng Tua memanggil over.." "Benteng Tua masuk over"." "Kini boleh meluncur lurus,
Pari Runcing sudah menyelam dalam-dalam..over?" "Bravo, terimakasih over?" "Bravo Benteng Tua
standby...over.." jawab Le Duan sambil meletakkan radio, kemudian ia menyambung bicaranya. "Mereka sudah
menenggelamkan kapal yang mengejar kita itu?" Beberapa lama kemudian terlihat sebuah "gunung" yang tegak
menjulang di laut. "USS Alamo?" ujar Ami Florence. Lampu sorot kapal perang Amerika itu tiba-tiba menyorot
kearah mereka. Setelah beberapa saat, lampu itu dipadamkan kemudian dua lampu merah panjang muncul di
haluan. Memberi arah kepada mereka kemana kapal rampasan itu harus merapat.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-557
Mereka disuruh merapat kelambung kiri. Ketika sampai disana, sebuah tangga terlihat sudah dijulurkan
kebawah dari dek atas. Yang pertama naik adalah Ami Florence kemudian Le Duan. Di tengah pendakian pada
tangga tersebut dia berhenti. Melihat kearah Si Bungsu masih berdiri di dek depan. "Selamat jalan kawan?"
ujar Si Bungsu. Le Duan tiba-tiba berubah air mukanya dan segera turun.
"Jangan..jangan pergi dulu kawan?" ujar Le Duan dari anak tangga terakhir, karena Si Bungsu sudah
menggerakkan kapal patroli rampasan itu menjarak dari USS Alamo. "Saya masih mempunyai tugas Le Duan?"
"Demi Ami.."ucapan Le Duan terhenti. Diputus oleh panggilan Ami Florence yang sudah sampai di dek USS
Alamo. Le Duan dan Si Bungsu melihat keatas. Gadis itu memekik ketika dilihatnya kapal patroli yang ada Si
Bungsu di atas bergerak menjauh. Dia tak hanya memekik tapi segera berlari menuruni tangga, namun kapal
patroli itu telah menjauh. "Jaga adikmu baik-baik Le Duan?" seru Si Bungsu. "Dia menginginkan kau sebagai
pelindungnya kawan.." ujar Le Duan.
"Aku juga menginginkannya. Tapi aku berhutang janji menyelamatkan seseorang?" "Terimakasih atas
bantuan mu pada kami. Terima kasih atas segala-galanya?" ujar Le Duan ketika dia maklum bahwa lelaki dari
Indonesia itu tak bisa dicegah untuk pergi. Ketika akhirnya Ami Florence tiba di anak tangga terakhir tempat
abangnya berdiri, kapal yang di naiki Si Bungsu itu sudah berpuluh depa dari USS Alamo. "Oh Tuhan, jangan
tinggalkan aku.. jangan tinggalkan aku.." ujarnya separoh berteriak, sambil menatap kebawah bayang-bayang
Si Bungsu di ruang kemudi kapal patroli tersebut. Le Duan memeluk tubuh adiknya.
"Kenapa dia meninggalkan aku"." isak Ami. "Dia masih punya tugas yang lain, Ami.." "Aku ingin ikut
dengannya.." Le Duan tak mampu memberi jawaban. "Bahkan mengucapkan selamat tinggal pun dia tidak?"
isak Ami sambil menatap ke laut gelap. "Dia mengucapkan itu melalui aku, Ami. Dia menyuruh aku menjagamu
baik-baik. Dia pasti kembali menemuimu?" bisik Le Duan. "Dia meninggalkan aku" dia meninggalkan aku
begitu saja Le?" isaknya. Ami akhirnya menumpahkan tangis di dada Abangnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 577
"Hujan makin lebat, Ami mari kita naik?" ujar Le Duan sambil membimbing adiknya menaiki tangga, di
bawah tatapan puluhan marinir yang berdiri di atas dek sana. Di dalam ruang Komando USS Alamo terjadi
ketegangan, tatkala Kaptennya melihat ke layar radar, dia melihat enam titik sedang menuju ke arah satu titik.
Dan titik yang dituju itu juga mengarah langsung kearah salah satu dari titik yang enam itu. "Gila! Orang ini
benar-benar gila. Dia langsung terjun ke mulut hiu atau Neraka"!" ujar Kapten USS Alamo itu. Mereka tahu,
yang satu titik itu adalah kapal patroli yang baru saja meninggalkan USS Alamo. Sementara enam titik itu
pastilah kapal perang Vietnam, yang dikerahkan untuk merebut kapal patroli yang dirampas itu.
Kini, dengan perasaan tegang delapan opsir kapal perang Amerika ini menatap dengan diam kearah titiktitik di layar radar mereka. Ami yang juga hadir di ruangan itu bersama abangnya menatap monitor radar
dengan tubuh menggigil. "Oh Tuhan, tidakkah ada sesuatu yang bisa kita lakukan?" ujarnya dengan suara
bergetar. Kapten itu menatap kearah Ami Florence. "Dengan sepenuh maaf, Nona. Tidak satupun yang bisa kita
lakukan sekarang. Kapal ini sudah memutar haluan dan berlayar dengan kecepatan penuh kearah Pulau Luzon,
Philipina. Tembakan yang menghancurkan kapal perang Vietnam yang mengejar kalian tadi, segera akan
menyulut skandal Internasional. Amerika akan di cerca sebagai agresor. Kita tidak boleh memperparah situasi.
Amerika sudah kalah dan dipermalukan. Anda tahu, kita tidak boleh menambah insiden yang bisa
memperburuk situasi, bukan..?" ujar Kapten kapal itu perlahan.
Kemudian mereka kembali menatap ke monitor. Titik-titik dilayar monitor, terutama titik yang tadi
datang dari USS Alamo, semakin dekat kearah salah satu titik dari enam titik yang datang dari arah pantai
Vietnam. Titik yang dari Alamo itu langsung menuju ke titik yang paling kanan. "Tidakkah kita bisa
menghubunginya dengan radio?" ujar Ami dengan air mata yang sudah dipipi. "Sudah sejak tadi hubungan kita
coba di frekuensi khusus, Nona. Namun nampaknya dia tidak menghidupkan radionya?" jawab Perwira radio,
yang terus menekan-nekan sinyal untuk memanggil kapal yang di kemudikan Si Bungsu. Ami yang sangat
gelisah, menoleh kepada Le Duan, kemudian kepada Kapten kapal yang berpangkat Laksamana Muda itu.
Laksamana itu nampaknya paham apa yang ada di hati tamunya, di pegangnya bahu Ami Florence kemudian
dia berkata. "Kita tidak boleh mempergunakan frekuensi umum, apalagi frekuensi yang di pakai kapal-kapal Vietnam
untuk bicara. Tembakan tadi pasti mereka ketahui dari kapal Amerika. Namun mereka tidak tahu, kapal yang
mana dan apa nama nya. Jika kita bicara di frekuensi mereka, mereka akan melacak dan akan mendapatkan
data kapal ini. Kehadiran kita disini memang perintah dari Pentagon, namun operasi ini tidak termasuk operasi
manapun diangkatan Laut Amerika. Sebagai seorang intelijen yang sudah lama bertugas, Anda tentu mengerti
semua prosedur ini, Nona.." ujar Laksamana itu perlahan. "Kapal itu berdempet"!" seruan Perwira Navigasi
menyebabkan semua mereka mengarahkan tatapan ke layar monitor radar yang posisinya agak tinggi.
Titik yang tadi datang dari USS Alamo kelihatan berdempet rapat dengan titik yang paling kanan dari
enam titik. Beberapa saat kemudian titik yang datang dari USS Alamo itu hilang dari layar. Ami merasa dadanya
sesak. "Mesin kapal yang dibawa orang Indonesia itu nampaknya di matikan.." ujar perwira Navigasi. "Dia
ditangkap.. ya Tuhan dia di tangkap!" ujar Ami diantara isaknya, dan merebahkan kepalanya ke dada Abangnya.
"Akses langsung ke pusat informasi Pentagon, minta data tentang Si Bungsu?" ujar komandan USS Alamo.
Perwira bagian komputer segera memerintahkan seorang letnan melaksanakan perintah komandan
tersebut. Komputer data segera di aktifkan. Melalui hubungan satelit, kontak tersambung dengan biro data
rahasia di pentagon. Markas Besar Angkatan Bersenjata Amerika. Si letnan mengetikkan beberapa kode di
keyboard komputernya, di layar monitor segera muncul permintaan nomor akses. Si Letnan lalu berdiri dari
kursinya, menyilakan si Kapten. Kapten kapal itu segera duduk didepan komputer, dia membuka buah baju
bahagian atas. Segera kelihatan sebuah kalung perak.
Di Kalung itu tergantung dua keping logam tipis, yang lazim dipakai semua tentara Amerika ke medan
tempur. Kemudian ada sebuah kunci dari emas. Dia buka kalung dari lehernya. Kemudian kunci emas itu dia
masukkan ke salah satu lubang khusus yang berada di bahagian atas komputer. Setelah memutar dua kali, di
layar monitor muncul tulisan "akses utama". Si Kapten mengetik sebuah nomor di keyboard, lampu merah
segera menyala pada sebuah box yang terletak dikanan komputer, nyalanya sebentar terang, sebentar redup.
Si Kapten menekankan telapak tangannya dengan jari-jari rata ke kaca box tersebut.
Sidik telapak tangan kanannya itulah sebagai "akses utama" sebagaimana di minta komputer. Sidik
telapak tangannya itu segera terekam dan terkirim melalui gelombang radio ke pusat rahasia pentagon.
Mencocokkannya dengan sidik telapak tangan yang ada di pusat data rahasia itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 558
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 578
Tidak sembarangan jenderal atau staf Gedung Putih memiliki akses langsung ke pusat rahasia Pentagon
tersebut. Hanya orang dengan klasifikasi tertentu saja. Pejabat lain yang menginginkan data, harus memintanya
melalui jalur resmi, yang bisa memakan waktu satu atau dua hari.
Setelah beberapa detik berlalu, di layar komputer muncul jawaban "akses diterima". Si Kapten berdiri,
tempatnya kembali digantikan letnan yang segera mengetikkan beberapa nomor kode lagi. Di layar Komputer
muncul kata "entry". Si letnan mengetik kata "Bungsu", beberapa saat muncul kata "tunggu" Mereka kemudian
menanti. Data dasar mencatatat nama, tahun lahir, pendidikan, kampung tempat lahir, provinsi, dan sekaligus
negaranya. Kemudian data spesialisasi orang tersebut, berikut prestasi-prestasi puncak yang mereka capai.
Jika dia Veteran, tercatat pertempuran di mana saja yang bersangkutan terlibat. Selain prestasi positif data juga
mencatat semua "prestasi" negatif orang yang ada dalam file tersebut.
Semua yang hadir dalam di dalam ruang komando kapal USS Alamo itu pada ternganga melihat data
"kemampuan" Si Bungsu yang ditampilkan dalam layar komputer. Di sana tertera bahwa secara individual lelaki
Indonesia ini adalah salah satu dari sedikit sekali orang-orang yang memiliki kemampuan beladiri yang amat
luar biasa. Dalam waktu relatif singkat lelaki ini memiliki kemampuan menghabisi nyawa lima sampai sepuluh
orang yang menjadi musuhnya. Dengan senjata spesifiknya berupa samurai kecil, paku atau besi pipih runcing
yang lazim dipakai oleh Ninja dari Jepang, orang ini mampu menghabisi sepuluh sampai dua puluh lawan dalam
waktu singkat. Bila dia memiliki senapan maka kemampuan membunuhnya setara dengan satu kompi pasukan khusus
bersenjata lengkap. Orang ini adalah satu dari sedikit manusia di dunia yang berpredikat sebagai "mesin
pembunuh paling berbahaya". Kemampuan beladirinya tercipta secara alamiah. Salah satu faktor pendukung
yang menyebabkan dia mampu mengalahkan lawan dalam jumlah yang banyak, adalah karena naluri atau indra
keenamnya yang amat luar biasa tajamnya. Instingnya sepuluh kali lebih tajam dibanding ular kobra, macan
tutul bahkan dibanding puma, harimau paling ganas dan paling tajam inderanya di padang prairi Amerika
sekalipun. Tingkat "bahaya" individu seperti orang ini, bernilai 100 bila berada di kota. Nilai tertinggi bagi seseorang
yang memiliki kemampuan sebagai "mesin pembunuh". Tetapi bila dia berada di belukar atau belantara, tingkat
bahaya itu melonjak menjadi 250. Padang gurun, belukar dan belantara ibarat rumah baginya yang amat dia
hafal lekuk lekuknya, yang amat dia kenal setiap denyut dan perangainya. Dalam daftar itu juga tertera
"prestasi" berupa korban yang berjatuhan di tangan Si Bungsu. Mulai dari tentara Jepang di Payakumbuh,
bandit-bandit Yakuza, Kumagaigumi dan tentara Amerika yang memperkosa wanita di Jepang, bandit-bandit
Cina di Singapura, bandit-bandit di Australia, tentara PRRI, APRI sampai bandit-bandit Mafia di Dallas, dalam
kasus terbunuhnya Presiden Keneddy.
Keterangan di layar komputer itu ditutup dengan kalimat yang amat intimidatif, namun bisa diyakini
kebenarannya: "Orang ini benar-benar tidak memihak kepada siapa atau negara manapun, kecuali kepada
kebenaran. Jika Anda beruntung bisa "memakai"-nya, jangan sekali-kali berbuat curang atau berlaku tak benar.
Orang ini akan segera mengetahuinya, sepandai apapun Anda menyembunyikan kecurangan itu. Begitu dia
mengetahui kecurangan tersebut, satu-satu-nya jalan bagi Anda untuk selamat dari pembalasannya hanyalah
bunuh diri!" Semua yang berada di ruang komando kapal itu pada tertegun dan saling bertukar pandang. Tak seorang
pun di antara mereka yang menganggap data yang diberikan komputer itu sebagai senda gurau, apalagi omong
kosong. Informasi mengenai orang-orang berkualifikasi khusus, yang masuk ke dalam pusat informasi rahasia
Pentagon, akurasi datanya nyaris tak sebuah pun yang bisa dimasukkan ke dalam klasifikasi "tidak bisa
dipercaya". Dalam ratusan peristiwa yang data awalnya terekam di pusat informasi rahasia Pentagon, akurasi data
dan analisanya minimal 95 persen. "Lihat Kapal Vietnam itu meledak?" seruan Wakil Komandan USS Alamo,
yang sempat melirik monitor radar, membuat semua yang hadir kaget dan terpana.
Di layar terlihat satu titik dari enam titik putih yang menunjukkan kapal-kapal Vietnam yang didempeti
kapal patroli yang dilayarkan Si Bungsu, berubah menjadi merah. Kemudian secara perlahan titik merah itu
hilang dari layar monitor. Di layar itu kini hanya ada lima titik putih. Dan kelima titik putih itu kelihatan segera
mendekat ke arah titik merah yang lenyap dari layar monitor itu. "My God! Dia meledakkan kapal itu. Dan kini
kelima kapal perang Vietnam yang ada di laut menuju ke arah kapal yang meledak itu?" desis Komandan Kapal
USS Alamo. Laksamana itu menatap pada Ami dan Le Duan.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 579
"Kalian sangat beruntung bertemu dengan salah seorang manusia yang memiliki kemahiran beladiri dan
kemampuan yang langka ini. Kami ingin sekali berkenalan dengannya. Sayang dia tak sempat naik ke kapal
ini?" ujar Komandan USS Alamo tersebut. Ami masih menatap ke monitor radar. Hatinya semakin buncah.
Kapal itu meledak atau diledakkan, siapapun yang melakukannya, apakah Si Bungsu atau orang Vietnam itu
sendiri, yang jadi pikirannya adalah keselamatan lelaki Indonesia itu. Kalau kapal itu meledak, bagaimana nasib
Si Bungsu" Apa sesungguhnya yang telah terjadi atas dirinya" Ya, apa sesungguhnya yang terjadi atas diri lelaki
dari Situjuh Ladang Laweh itu" Siapa yang meledakkan kapal perang Vietnam tersebut"
Beberapa saat setelah meninggalkan USS Alamo, Si Bungsu mengetahui kedatangan kapal kapal Vietnam
itu dari radar di meja. Setelah menemukan alat penyelam di kapal itu, dia segera mengarahkan kapalnya ke
salah satu kapal Vietnam tersebut dengan memperkirakan kapal terdekat dengan posisinya. Beberapa puluh
meter menjelang sampai ke kapal yang dia tuju, kapalnya segera diterangi cahaya lampu sorot dari kapal
tersebut. Saat kapalnya masuk ke dalam terkaman cahaya lampu sorot, dengan pakaian selam dia sudah
bergelantungan di bahagian belakang kapal.
Ketika kapal yang sengaja dia perlambat mesinnya itu merapat ke kapal patoli yang datang, yang
ternyata jauh lebih besar dari yang mereka rampas, Si Bungsu sudah menyelam. Di bawah sikap siaga penuh
dengan todongan belasan senjata, tiga orang serdadu Vietnam segera melompat ke kapal yang merapat itu.
Mereka menyebar memeriksa kapal dengan senjata siap memuntahkan peluru. Di bawah sorot lampu yang
amat terang benderang dan di bawah pengawalan yang amat siaga, tak ada sudut atau ruang yang luput dari
pemeriksaan ketiga orang ini. "Kapal ini kosong?" ujar salah seorang tentara Vietkong setelah berkeliling di
kapal tersebut. Komandan kapal patroli yang baru datang itu memberi isyarat kepada tiga anggota marinirnya untuk
segera memakai alat selam. Sementara ketiga tentara yang tadi naik ke kapal yang ditinggalkan Si Bungsu tetap
di posisinya. Komandan kapal itu lalu memerintahkan untuk menambatkan kapal tak berawak itu ke kapalnya.
Tiga marinir yang sudah berpakaian selam, dengan senjata khusus berupa tombak dengan alat tembak
berkekuatan tinggi segera mencebur ke laut. Kapal patroli itu sendiri berlayar perlahan dengan membuat
lingkaran berdiameter sekitar 50 meter, dan dengan lampu sorot yang menjelajahi setiap sentimeter laut di
sekitarnya. Dalam Neraka Vietnam -bagian- 559
Sekitar satu jam menyelam, akhirnya ketiga marinir itu muncul sekitar tiga puluh meter dari kapal. Salah
seorang pemberi isyarat kepada komandannya di kapal, bahwa mereka tak menemukan seorang pun di dalam
laut. Dengan tanda tanya besar komandan kapal itu menyuruh jurumudi mengarahkan kapal untuk menjemput
ketiga orang marinir tersebut. Si komandan tak bisa mempercayai begitu saja bahwa kapal patroli yang kini
tertambat di belakang kapalnya ini datang sendirian, tanpa seorangpun yang mengemudikannya. Tiba tiba dia
teringat sesuatu. "Periksa scuba dikapal itu?" serunya kepada tiga tentara yang masih berada di kapal yang tadi
ditinggalkan Si Bungsu. Ketiga tentara itu segera memeriksa peti besi di ruang kemudi, tempat di mana
biasanya dua pasang alat selam tersimpan. Mereka segera mendapatkan bahwa di dalam peti itu kini hanya ada
sepasang alat selam. Dan kelihatan pula bahwa yang sepasang lagi baru saja diambil dari peti ini. "Kalian jaga
di sini, saya akan melapor ke komandan?" ujar salah seorang dari tentara yang bertiga di kapal itu.
Usai berkata, dia segera menarik tali kapal, sehingga merapat ke kapal yang satu lagi. Kemudian dia
melompat, naik ke kapal di mana komandannya berada. Lalu dia melaporkan apa yang mereka temukan di peti
penyimpan alat selam itu kepada komandan mereka. "Siapapun yang memakai alat selam itu kini, pastilah dia
seorang musuh yang sangat berbahaya. Pertama, dialah yang merampas kapal yang kini tertambat di belakang
kapal kita ini, yang kemudian menghancurkan kapal patroli yang sebuah lagi. Dia pasti tak pergi jauh, dan akan
muncul di kapal ini. Periksa dan jaga setiap jengkal pinggir kapal ini?" ujarnya.
Kapal itu memiliki dua puluh lima awak. Kini mereka menyebar tegak berbaris di kedua sisi kapal, mulai
dari haluan sampai ke belakang. Mereka tegak dengan senjata terhunus, siap untuk memuntahkan peluru. Tak
ada tempat bagi seorangpun untuk bisa naik ke kapal itu, meski agak satu sentimeter, tanpa diketahui oleh
awak kapal yang dua puluh lima orang itu, di luar si Kapten.
Namun Si Bungsu, yang sejak tadi sengaja menjauh dari kapal yang berlayar berputar-putar itu, sama
sekali memang tak merasa perlu untuk naik ke kapal tersebut. Dari kejauhan pula dia melihat tiga marinir
melompat terjun ke laut. Dia memunculkan kepalanya sedikit di permukaan air, saat cahaya sorot lampu baru
meninggalkan lokasi di mana dia menyelam. Bila sorot lampu itu mengarah ke tempatnya, perlahan dia
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 580
menyelam sekitar satu meter. Dari dalam laut dia melihat ke atas, menanti cahaya terang pada air akibat sorot
lampu menghilang. Setelah itu dia kembali muncul.
Dari tempatnya mengapung, dia perhatikan pula ketiga marinir itu kembali naik ke kapal. Kemudian dia
melihat pula si komandan memerintahkan anak buahnya yang di kapal untuk memeriksa peti penyimpanan
alat-alat selam. Dia juga melihat si komandan memberi perintah, disusul bersebarnya semua awak membuat
pagar betis di pinggiran kapal dari haluan sampai ke buritan.
Setelah anak buahnya tegak berbaris, si komandan memerintahkan jurumudi untuk segera
meninggalkan tempat itu dengan kecepatan penuh. Namun saat itu pula Si Bungsu muncul di permukaan air,
sekitar dua puluh lima meter dari haluan kapal dengan posisi agak ke kiri. Yang pertama melihat
kemunculannya adalah seorang tentara yang tegak di sisi mitraliyur di haluan. Yaitu saat jurumudi kapal
menambah kekuatan mesin untuk meluncur kencang, dan lampu menyorot ke bahagian depan. "Itu dia! Di
depan, di sebelah kiri"!" serunya sambil menarik pelatuk bedil.
Namun sebelum jarinya sempat menarik pelatuk bedil, Si Bungsu yang di kapal tadi mengambil pistol
sinar, yaitu pistol berpeluru besar yang dipergunakan untuk isyarat. Kini pistol itu dia tembakan. Sebuah garis
sinar yang amat terang berwarna merah jambu, segera meluncur ke arah kapal.
Saat itu peluru si tentara yang melihatnya pertama tadi muntah dari mulut bedilnya. Menyusul
kemudian muntahan peluru dari mitraliyur yang ada di depan. Namun semua tembakan itu terlambat sudah.
Tidak hanya karena Si Bungsu sudah menyelam amat dalam, tapi juga karena tembakan Si Bungsu dengan
pistol sinar berpeluru tunggal, yang pelurunya hampir sebesar lengan anak kecil itu sudah menghantam
bahagian depan tabung torpedo yang berada di bahagian kiri dek.
Bahagian depan tabung torpedo itu terbuat dari plat besi, dan hanya bisa terbuka secara otomatis jika
tombol untuk menembakkan torpedo di ruang kemudi ditekan. Namun peluru pistol sinar yang amat besar itu
setelah menghantam tutup tabung yang besarnya sekitar paha lelaki dewasa, menancap di sana.
Kapal patroli besar itu menjadi terang benderang oleh cahaya. Peluru yang menancap itu membuat tutup
tabung menjadi merah. Hanya berjarak tiga jari dari tutup tabung terletak hulu ledak torpedo. Panas yang luar
biasa dari peluru sinar yang menancap di tutup tabung tersebut, yang membuat tutup tabung itu merah
menyala, tentu saja mengirimkan panas yang amat sangat ke hulu ledak torpedo.
Tembakan dari hampir semua tentara di bahagian kiri kapal itu masih membahana sambung
bersambung, ketika Kapten di kapal patroli itu menyadari bahaya yang mengancam mereka, yang berasal dari
peluru pistol sinar yang menyala di tutup tabung torpedo. "Tinggalkan kap".."
Perintahnya terlambat sudah. Sebuah ledakan yang amat dahsyat, akibat meledaknya torpedo di
bahagian kiri kapal itu, tidak hanya menelan suara si Kapten, tapi sekaligus menelan kapal berikut nyawa
semua awaknya. Bersamaan dengan suara ledakan yang menggelegar, hampir semua bahagian kapal berikut


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dua puluh lima tentara di atasnya hancur berkeping.
Bahkan kapal yang tadi dibawa Si Bungsu, yang ditambatkan di belakang, tak luput dari terkaman
ledakan torpedo yang dahsyat itu. Kepingannya disemburkan ke udara belasan meter bersama nyala api yang
amat marak. Kemudian satu persatu kepingan itu runtuh berderai ke laut yang gelap. Kemudian laut pun
ditelan sepi. Beberapa saat kemudian Si Bungsu muncul ke permukaan air. Yang kelihatan hanya gelap yang
mencekam. Beberapa keping kayu dan fiberglass mengapung di sekitar Si Bungsu. Namun kegelapan yang sunyi
itu hanya berlangsung beberapa menit. Setelah itu, dari kejauhan dia melihat cahaya lampu sorot bermunculan.
Dari kiri, dari kanan dan dari belakangnya. Sayup-sayup dia menangkap suara mesin kapal mendekat.
Dia segera tahu, suara kapal itu adalah suara lima kapal patroli yang ketika masih di kapal tadi dia lihat
di monitor radar. "Mudah-mudahan saya bisa menumpang dengan salah satu di antaranya?" bisik hati Si
Bungsu. Dia memperhatikan salah satu kapal yang agak dekat, lalu sebelum cahaya lampu sorot sampai ke
tempatnya mengapung dia pun menyelam perlahan beberapa meter. Sambil menyelam dia mengambil tali
gulungan nilon sebesar kelingking, yang tersedia di pakaian renang yang dia pakai.
Pada ujung tali nilon itu ada cangkok seperti mata kail, yang terbuat dari bahan aluminium dilapis
plastik. Panjang keseluruhan tali itu sekitar lima belas meter. Kini dia harus mengarahkan pikiran bagaimana
agar dia bisa "menompang" di salah satu dari ke lima kapal tersebut.
Dia tak mungkin mengaitkan kait tali nilon ke bahagian belakang salah satu kapal patroli itu, untuk
kemudian bergelantungan dalam laut mengikuti kapal yang berlari kencang. Awak kapal tentu akan ronda hilir
mudik di kapal itu. Dan dengan mudah cangkokan tali nilonnya akan ditemukan.
Dia harus cepat bertindak. Jika terlambat, kapal-kapal itu akan berangkat meninggalkan lokasi ini. Jika
itu yang terjadi, maka dia akan mati sendiri. Bila persediaan oksigen di tabung gas yang terletak di
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 581
punggungnya habis, dia tentu takkan bisa lagi menyelam. Jika tak bisa menyelam, maka jika dia masih hidup,
lambat atau cepat, salah satu kapal patroli Vietnam pasti akan menemukannya. Jikapun tak ditemukan kapal
patroli Vietnam, maka kematian tetap akan menjemput lewat rasa lapar dan haus yang sangat di tengah laut
tak bertepi ini, atau dimangsa ikan hiu yang terkenal ganas itu.
Dengan fikiran tak ingin mati konyol itu dia lalu kembali mengapungkan diri di bawah kepingan kapal
patroli yang hancur itu. Memperhatikan cahaya sorot lampu berseliweran. Ketika daerah di atasnya menjadi
gelap, dengan cepat dia memperhatikan sekitarnya. Kemudian menyelam lagi dengan cepat pula ketika sorot
lampu menyambar ke arah tempatnya berada.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-560-561
"Kau lihat sesuatu di dekat kepingan kayu itu?" ujar nakhoda di salah satu kapal patroli, yang merasa
cahaya lampu sorotnya sebentar ini seolah-olah menangkap suatu bayangan. "Tidak"." jawab tentara di
samping si Komandan. "Arahkan lagi sorot lampu ke sana?"
Lampu lalu disorotkan kearah kepingan papan yang di maksud si Komandan. Tak ada apapun, kecuali
gelombang bergulung akibat ombak besar. Padahal yang dilihat si Komandan tadi memang kepala si Bungsu.
Untungnya sorot lampu cepat berpindah, dan saat itu kepalanya tinggal sebahagian kecil yang diatas
permukaan air. Sebab saat itu dia memang tengah berusaha menyelam dengan cepat.
Si Bungsu justru menuju ke kapal si Kapten yang seolah-olah melihat "sesuatu" itu. Dia langsung menuju
kebawah perut kapal. Berusaha mencari sesuatu di sana, untuk menambatkan tali nilonnya, agar dia bisa ikut
bergelantungan disaat kapal itu bertolak.
Tempat gantungan yang dia cari itu akhirnya ditemukannya di bahagian depan kapal. Di bawah lunas,
sekitar dua puluh sentimeter dari permukaan air, ada sebuah gelang-gelang besi besar, yang biasanya di
pergunakan bila kapal naik dok. Agar mudah memperbaiki bahagian perut kapal, cangkok besi dari penderek
di kaitkan ke gelang-gelang itu bahagian depan kapal.
Lalu kapal itu di gerek, sehingga bahagian haluannya naik dalam ukuran yang di perlukan, dengan
mudah tukang bisa bekerja memperbaiki bahagian perut kapal yang bocor atau keropos. Kesanalah Si Bungsu
mengikatkan tali nilonnya, untuk tempat dia bergantung. Tubuhnya sendiri menelentang rapat ke perut kapal.
Saat kapal berlayar dengan kecepatan tinggi, tubuhnya tidak begitu mendapat tekanan arus air. Dengan
cara begitulah dia "menompang" pada kapal tersebut menuju pantai Vietnam, yang jaraknya masih puluhan mil
dari tempatnya berada. Dia berharap isi tabung gas di punggungnya masih tersedia dalam jumlah yang cukup, menjelang kapal
patroli ini sampai ke pelabuhan. Jika kapal itu berputar-putar dulu di laut, merondai wilayah Laut Cina Selatan
yang luas itu, habislah dia.
Gugusan kapal patroli Vietnam yang lima buah itu pun akhirnya meninggalkan perairan tersebut, setelah
tak satupun awak dari kapal yang meledak itu bisa mereka selamatkan. Di perut kapal, di dalam air, Si Bungsu
melihat jam tangannya. Hari sudah menunjukan pukul 05.00 subuh. Dia berharap kapal itu menuju pelabuhan.
Namun ketika dia melihat ke jam di tangan kirinya itu, dia teringat pada Ami Florence. Jam yang di pakai
ini adalah pemberian gadis itu, beberapa saat sebelum keberangkatan mereka dengan Boat karet malam tadi.
Ami yang memasangkan jam itu ke tangannya, sembari memberi penjelasan bahwa jam itu memiliki beberapa
fungsi, selain sebagai petunjuk waktu.
Pada jam itu ada kompas, ada pisau kecil yang amat tajam yang bila sebuah tombol kecil ditekan akan
keluar seperti sayap di bahagian sisi tengah jam. Kemudian ada kawat baja halus bergulung sepanjang satu
meter. Lalu ada pemancar super mini.
"Bila suatu saat engkau menghadapi masalah, tombol kecil ini merupakan kunci untuk mempergunakan
semua fasilitas yang ada pada jam khusus ini. Bila tombol ini di tekan sekali, yang keluar ada pisau kecil, di tekan
dua kali akan keluar kawat baja. Jika suatu saat engkau tersesat, mungkin di laut, di hutan atau di gurun, maka
untuk memfungsikan Kompas maka tekan tiga kali. Engkau akan tahu mana Barat, timur, selatan, utara. Jika
engkau menekan empat kali sinyal akan dikirim ke pusat-pusat radar tentara Amerika, yang menunjukan di
mana posisimu. Dan bila engkau menekan tombol yang satu lagi ini dengan sistem morse, maka engkau bisa
mengirim berita singkat yang kau perlukan ke pusat radar pasukan Amerika..." papar Ami malam tadi.
Si Bungsu menarik nafas. Dia menekan tombol kecil merah di bahagian kiri jam itu tiga kali. Plat jam itu
berubah menjadi hitam. Kemudian ada empat titik berwarna putih menyala, dengan pangkal huruf-huruf yang
menunjukan utara (N) barat (W) selatan (S) dan Timur (E). Kemudian ada sebuah panah kecil. Dari arah yang
di tunjuk panah kecil itu, dia segera tahu, kapal ini sedang menuju arah barat.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 582
"Alhamdulillah, mereka menuju ke pantai?" bisik hati Si Bungsu, sambil menekan tombol itu sekali agak
lama. Plat jam tangan itu kembali normal, menampilkan jam tangan biasa. Namun beberapa saat kemudian, dia
segera teringat kembali pada tombol jam di tangannya itu. sehingga Ami mengetahui bahwa dia masih hidup".
Untuk apa dia beritahu" Setelah lama bergulat dengan pikirannya, dia mengalah. Betapun dia tahu, Ami
pasti tengah merisaukannya, entah hidup atau mati, dengan berpikiran demikian dia menekan tombol di sisi
jam itu empat kali. "Lihat, ada isyarat dari salah satu kapal patroli Vietnam itu"!" seru perwira navigasi di USS Alamo, yang
masih mengamati gerak kapal-kapal Vietnam itu. Kendati mereka sudah amat jauh dari posisi di mana tadi
mereka menaikkan Le Duan dan Ami Florence.
Kapal itu tengah berlayar menuju Pulau Busu-Angsa, pulau terbesar dari gugusan kepulauan Kalamian,
Filipina. Kepulauan itu persis terletak di atas pulau Palawan dan di bawah pulau Mindoro, keduanya pulaupulau dalam wilayah Filipina. Semua yang masih hadir di ruang komando kapal perang besar itu segera
mengerubungi layar radar. Dan paling merasa tegang adalah Ami Florence.
"Bungsu! Itu isyarat dari tangan Si Bungsu"." ujar gadis itu, yang segera saja tak mampu membendung
air mata haru dan bahagianya, mengetahui bahwa pemuda Indonesia itu masih hidup. "Dia mengirimkan
isyarat".." ujar perwira navigasi, tatkala melihat titik di layar radar itu berkedip-kedip.
Semua membelalakkan mata ke titik kecil di layar radar, yang secara pasti nampak bergerak kearah
barat. Perwira Navigasi mengeja isyarat morse yang di pancarkan dari jam tangan Si Bungsu. "Saya,.. selamat.
Di bawah perut kapal". Le, ingat pesanku" Jaga Ami baik-baik. Saya akan membunuhmu kalau kau tidak
menjaganya. Hormat saya untuk Laksamana dan awak kapal USS Alamo?"
Semua awak kapal bertepuk tangan dan menyalami komandan mereka. Sementara Ami memeluk
Abangnya, menangis terisak-isak saking bahagia mendengar pesan untuk dirinya itu. "Dia bukan manusia.
Kalau bukan malaikat ya hantu. Hanya itu yang bisa selamat dari bahaya seperti yang dia hadapi sekarang ini?"
gerutu nakhoda Alamo dalam nada amat takjub.
Ucapan itu di sambut tawa awak kapal yang tetap saja membelalakkan mata menatap titik kecil di layar
radar, yang masih saja bergerak kearah barat itu. Mereka memang tidak bisa membalas pesan itu, karena jam
tangan Si Bungsu tak di lengkapi terminal penerima.
Beberapa saat setelah sinyalnya di baca oleh awak USS Alamo, Si Bungsu mengirimkan sinyal penutup.
"Saya akan mematikan sinyal ini. Salam?" Dan di layar radar yang kelihatan hanya tinggal titik yang berasal
dari kapal patroli Vietnam itu. Sementara titik yang berasal dari sinyal jam tangan itu lenyap dari layar radar.
"Ayo, kita istirahat?" ujar Le Duan kepada Ami. "Ya, saya rasa kalian harus istirahat, nanti sesampai di
Philipina, akan kita atur perjalanan kalian selanjutnya"." ujar Nakhoda USS Alamo kepada dua adik beradik
itu. Desa kecil berpenduduk sekitar dua ratus orang itu tak tercatat Dalam peta. Desa itu terletak jauh di
pinggir wilayah Khe Sanh. Berada di salah satu wilayah Vietnam selatan yang memiliki belantara dahsyat.
Perang Vietnam Selatan di bantu Amerika melawan Vietnam Utara telah merubah setiap jengkal bumi Vietnam
Selatan menjadi kancah peperangan paling dahsyat di dunia. Beberapa wilayah diantaranya merupakan tempat
yang menjadi Neraka pertempuran paling dahsyat, yang pernah di kenal umat manusia.
Yang paling terkenal diantara wilayah-wilayah yang menjadi Neraka pertempuran itu yang
menyebabkan ribuan tentara Amerika, Vietsel dan Vietkong tercabut nyawanya adalah bukit yang di beri kode
Bukit 937. Namun seusai pertempuran dahsyat pada bulan mei 1969, bukit itu di kenal dunia sebagai
"Hamburger Hill", bukit Daging Cincang.
Pada mei 1994, di bukit yang direbut Vietkong ini, tatkala Amerika menerjunkan pasukan Divisi Udara
ke 101 untuk merebut kembali tempat strategis tersebut, terjadi kecamuk perang selama 11 hari 11 malam.
Kedua belah pihak hanya beristirahat saat mengisi mesiu di bedil mereka yang sudah ditembakkan.
Dalam kecamuk yang dahsyat itu, dan perang ini merupakan perang terbesar paling akhir bagi tentara
Amerika di Vietnam. Sebanyak 44 tentara Amerika tewas, 29 orang lainnya luka-luka. Tidak ada dokumen yang
mencatat berapa tentara Vietkong yang mati dan luka-luka. Namun paling tidak lima atau enam kali lebih
banyak dari yang diderita Amerika.
Neraka lainnya dalam perang Vietnam adalah medan tempur Dak To di bahagian utara Vietnam Selatan.
Pertempuran disana terjadi sebelum pembantaian hamburger hill, yaitu bulan november 1967. Pasukan
Vietkong menyerbu untuk merebut beberapa daerah yang diduduki pasukan istimewa Amerika. Jika berhasil
di rebut, jalan ini akan digunakan sebagai jalur ofensif vietkong ke seluruh wilayah selatan.
Pasukan istimewa Amerika, yang kewalahan oleh tekanan serangan belasan ribu tentara Vietkong,
mendapat bantuan dari Divisi IV dan Brigade ke 173. Ketika akhirnya Amerika berhasil mematahkan serangan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 583
itu, sekaligus mengakhiri Neraka yang mengerikan tersebut, Vietkong meninggalkan 1.639 mayat tentaranya,
sementara tentara Amerika tercatat 289 orang.
Neraka yang lain adalah Cen Thien. Sebelum menusuk Dak To pada November 1967 artileri Vietkong
membombardir Cen Thien. Wilayah ini di kuasai marinir Amerika, dengan gempuran yang dahsyat setiap hari
selama september dan Oktober tahun yang sama. Puluhan ribu roket di muntahkan untuk memporakporandakan pertahanan Amerika.
Tujuan Vietkong merebut CenThien adalah untuk mengancam posisi Amerika di sebelah timur,
sepanjang pantai Vietnam Selatan. Ketika bombar-demen selesai, kendati Cen Thien dapat di pertahankan,
namun Amerika kehilangan 196 marinir yang tewas dan 1971 lainnya luka-luka.
Vietkong jelas tak kehilangan pasukan, sebab itu memang bukan perang frontal di mana pasukan
berhadapan dengan pasukan, individu melawan individu. Tapi Vietkong mengirimkan "tentara" berbentuk
roket dari jarak puluhan kilo meter.
Neraka lainnya adalah Lembah La Drang. Lembah yang terletak di dataran tinggi tengah ini berbatasan
dengan Kamboja. Wilayah ini yang menjadi basis pasukan Vietnam Selatan dari kesatuan Pleimei Special
Forces, digempur habis-habisan itu, Amerika menerjunkan Divisi Kavaleri Udara I, yang baru sebulan tiba di
Vietnam. Sebenarnya divisi yang Mayoritas beranggota generasi muda Amerika ini, belum berpengalaman
menghadapi Perang Vietnam yang ganas. Tapi komando Amerika ingin mencoba pasukan yang punya mobilitas
tinggi itu. Tentara Vietkong memang dapat di halau ke perbatasan Kamboja. Korban Neraka ini adalah tewas
1.500 Vietkong dan 217 tentara Amerika. Amerika masih mencatat 232 korban luka-luka.
Terakhir adalah Neraka Khe Sanh. Korban disini sebenarnya lebih besar dari hamburger hill yang
terkenal keseluruh dunia itu. Gempuran sporadis Vietkong terhadap Khe Sanh yang dikuasai Vietsel dan
Amerika, sebenarnya sudah di lakukan mulai tahun1966 dengan menghujani wilayah itu dengan roket artileri.
Pada Tahun 1968, tiba-tiba Vietkong melipat gandakan serangannya. Tak kurang dari 77 hari hujan mortir dan
roket artileri merancah setiap jengkal wilayah Khe Sanh, yang di pertahankan marinir Amerika. Inilah
gempuran arteleri Vietkong yang dicatat paling dahsyat dalam pertempuran Amerika-Vietnam Utara.
Akhirnya tentara Amerika tidak hanya berhasil mempertahankan Khe sanh. Dengan bantuan angkatan
udaranya sekaligus mereka juga berhasil menyerang balik. Namun demikian, inilah pertempuran paling
berdarah begi kedua belah pihak. Jika di Hamburger Hill tentara Amerika yang tewas "hanya" 44 orang, di Khe
Sanh ini mereka harus kehilangan 300 tentara. Sementara Vietkong kehilangan 1.500 tentara. Bayangkan
dahsyatnya. Kini setelah Vietnam di kuasai Utara. Khe Sanh ternyata tidak hanya meninggalkan bekas gempuran yang
dahsyat. Bagi Vietnam Utara wilayah itu konon di jadikan tempat rahasia, untuk menyembunyikan sebahagian
tentara Amerika yang di nyatakan hilang dalam pertempuran.
Pagi itu, sebuah mobil terseok-seok memasuki sebuah desa kecil yang jauh di luar kota Khe Sanh, yang
masih diselimuti kabut yang merayap dari belantara gelap di sekitarnya. Ketika truk itu berhenti, asap putih
tebal mengepul dari radiatornya, kemudian menyemburat keluar melalui kap depan diiringi suara mendesis
yang keras. Sopirnya, seorang lelaki separoh baya berjambang kasar, menghambur turun. Dari mulutnya menyembur sumpah serapah.
"Hei turun semua, ini ujung perjalanan kalian..!" hardiknya kearah bak belakang. Dari bak belakang truk
reot itu kemudian turun empat lelaki dan dua perempuan. Di sebelah barat kampung tersebut menjulang bukitbukit batu terjal, namun berhutan lebat. Bahagian lainnya, utara, selatan dan timur di kepung oleh belantara
perawan. Khusus bahagian utara, belantaranya dilengkapi dengan rawa yang seolah-olah tak bertepi.
Berbagai reptil berbahaya seperti ular, kalajengking dan buaya siap membunuh apa saja makhluk
bernyawa yang masuk ke rawa tersebut. Belum lagi pasir apung yang bentuk dan letaknya sulit di deteksi,
namun apapun yang terperosok kepermukaannya akan di lulur dan lenyap tak berbekas.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-562-563
"Kita sampai di desa itu"." bisik seorang lelaki pada temannya yang lebih muda, yang sama-sama turun
dari truk dengannya. Dia berbicara dalam bahasa inggris. Kedua orang itu memakai caping, topi lebar dari
bambu tipis berwarna hitam, yang bahagian depannya menutupi wajah. Caping seperti itu merupakan topi
yang lazim di pakai oleh semua petani Vietnam. Dengan memakai caping yang menutupi wajah itu, sulit bagi
orang lain mengenali pemakainya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 584
"Kita menginap dimana?" bisik yang lebih muda, yang tak lain dari si Bungsu, juga dalam bahasa inggris.
"Ada rumah saudara ku, ayo kita kesana?" ujar yang pertama bicara, sambil mengangkat bungkusan kain
miliknya yang terletak di truk, kemudian menyandangnya di bahu.
Si Bungsu juga mengangkat buntalan kain kecil miliknya. Dia sudah diingatkan, untuk membawa
peralatan seperti pakaian atau benda-benda pribadi lainnya dengan buntalan kain, sebagai mana lazimnya
petani Vietnam. Membawa ransel, apalagi buatan Amerika, betapapun banyak ransel itu di pasar loak, tetap
saja akan menarik perhatian orang. Khususnya mata-mata, yang berseliweran hampir setiap penjuru kota dan
desa. Desa kecil itu terletak memanjang di pinggir jalan. Dan desa ini adalah tujuan terakhir dari jalan yang
membelah hutan belantara dan perbukitan, yang jaraknya dari kota Bien Hoa sekitar 150 kilometer.
Ini ujung perjalanan. Mobil datang kemari paling-paling sekali sebulan. Umumnya kendaraan yang
datang hanya truk militer. Sesekali diselingi truk reot seperti yang baru datang ini. Truk-truk yang datang
setelah menginap sehari dua hari, kembali ke Bien Hoa.
Di tempat truk ini berhentilah semua truk-truk itu memutar haluan kembali kota Bien Hoa, kota yang
terdekat dari desa ini. Bien Hoa terletak 100 kilometer dari Saigon, dulu ibukota Vietnam selatan yang sejak
dikuasai Vietkon sudah di ganti menjadi Ho Chi Minh.
Jarak 150 kilometer antara Bin Hoa kedesa ini harus mereka tempuh dalam perjalanan yang memakan
waktu dua setengah hari, di jalan yang na"uzubillah buruknya. Tak ada pemeriksaan apapun, bahkan tak terlihat
seorang pun tentara Vietkong berkeliaran di desa itu. Ini tentu berbeda dengan desa-desa lainnya di Vietnam
yang di penuhi tentara. Namun Si Bungsu sudah mendapat penjelasan panjang lebar tentang desa ini dari informan yang kini
menemaninya, yang harus dia bayar cukup tinggi. Desa ini, menurut Han Doi, informan yang kini menjadi
penunjuk jalannya. Memang tidak dijaga tentara. Dari segi militer, seolah-olah desa ini amat tak berguna sama
sekali. Tak masuk hitungan. Tetapi, sesungguhnya itu adalah semata-mata kamuflase.
Tentara tetap berkeliaran, hanya saja mereka memakai pakaian dinas. Kamusflase itu diperlengkap
dengan tak adanya pemeriksaan terhadap siapa saja yang datang kedesa ini. Padahal, setiap apapun yang
bergerak didesa ini, takkan pernah luput dari pengamatan mata-mata tentara, bahkan tentara reguler, yang
hadir di desa itu dalam pakaian sebagaimana jamaknya penduduk desa.
"Jika masuk kesana, apalagi untuk membebaskan tawanan perang asal Amerika, sama artinya dengan
memasuki kandang singa. Untuk keluar kita tak mungkin mempergunakan jalan umum. Satu-satunya jalan
pintas, yang bisa mencapai wilayah pantai adalah menerobos rawa yang harus kita terobos?" papar Han Doi
sebelum mereka meninggalkan Bien Hoa.
"Saya rasa lebih ganas tentara Vietkong. Sebaiknya kita menerobos rawa saja. Berapa hari di perkirakan
kita bisa menerobos rawa itu?" tanya Si Bungsu. "Saya tak menerobosnya. Tapi jarak yang harus kita tempuh
takkan kurang dari 50 kilometer.." jawab Han Doi. "Tak ada sungai?" "Saya tak tahu, mungkin ada?" "Sedalam
apa rawa itu?" "Pada bahagian tertentu, kapal bisa berlayar disana, saking dalam dan luasnya. Namun kapal
tentu tak bisa bergerak, karena rawa luas dan dalam itu menyatu dengan belantara perawan. Pada bahagian
tertentu, rawa itu merupakan bentangan belukar yang amat luas, pada sebahagian lagi kayu-kayu tumbuh
sebesar pelukan lelaki dewasa?" "Saya rasa, rawa itu jalan yang harus kita tempuh"." ujar Si Bungsu dengan
nada pasti. Kini mereka sampai di depan sebuah rumah. Rumah-rumah di desa itu menggambarkan kondisi
kehidupan warganya. Terbuat dari papan dan bertiang cukup tinggi, hampir semua rumah beratap daun.
Dibahagian bawah dua tiga rumah berkeliaran ternak seperti ayam, babi atau kambing dan kerbau. Si Bungsu
tahu berapa pasang menatap langkah mereka.
Baik dari balik celah dinding rumah maupun dari balik jendela yang dari luar kelihatan sepi sekali. Dari
depan tangga, Hand Doi memanggil sebuah nama. Mereka menanti. Han Doi kembali memanggil dengan suara
tak begitu keras. Tak lama kemudian, pintu rumah itu berderit dan terbuka. Sebuah wajah munjul di pintu.
"Paman Duc saya membawakan rokok dan kopi untuk mu?" ujar Han Doi sambil mengangkat buntalan
kainnya. Lelaki separoh baya yang di panggil Han Doi paman itu menatap sesaat kepada Si Bungsu. Hanya
sesaat, setelah itu dia membukakan pintu lebar-lebar. "Naiklah"." ujarnya dalam nada parau.
Han Doi mendahului menaiki tangga, disusul Si Bungsu. Ketika usai menaiki enam anak tangga dan
berada di rumah, Si Bungsu baru dapat melihat bahwa penduduk kampung ini jauh lebih miskin dari gambaran
yang diperlihatkan kondisi rumah-rumah mereka.
Rumah itu terbagi dua dengan pembatas papan. Ruang depan merangkap sebagai ruang tamu dan ruang
makan. Ruang disebelahnya, yaitu bahagian belakang, adalah ruangan tidur keluarga, yang diujungnya terdapat
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 585
dapur. Ruang depan dimana kini mereka berada hanya dialas dengan tikar rotan yang sudah compang-camping
saking tuanya. Pada dinding yang menjadi pembatas dengan ruang tidur, tersangkut sebuah caping tua dan
beberapa potong baju. "Kenalkan ini temanku. Namanya Bungsu. Dia berbahasa inggris. Bungsu ini pamanku, Duc Thio?" ujar


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Doi sambil meletakkan dan membuka buntalan kainnya. Si Bungsu membuka caping di kepalanya,
kemudian mengulurkan tangan. Duc Thio, paman Han Doi, yang tadinya menatap sekilas saat akan
membukakan pintu, menyambut uluran tangannya.
"Senang bertemu dengan anda?" ujar lelaki itu, yang kefasihan bahasa inggrisnya membuat Si Bungsu
terkejut. Han Doi menyerahkan sebungkus kopi dan tiga slop rokok buatan Amerika, yang diterima pamannya
dengan wajah berseri. Dia mencium rokok tersebut sambil memejamkan mata.
"Mana Thi Binh?" tanya Han Doi pada pamannya. Duc Thio menatap ponakannya itu sesaat, wajahnya
berubah murung. "Dia sakit?" ujarnya perlahan. "Sakit, dimana?". Duc Thio melangkah ke ruang sebelah diikuti
Han Doi. Dari kamar sebelah Si Bungsu mendengar pembicaraan dua orang itu. "Kenapa dia ?" tanya Han Doi.
"Sipilis.." Lama tak terdengar suara.
"Ya Tuhan, badannya panas sekali, kenapa..?" "Dia di paksa melayani nafsu binatang tentara Vietkong di
kamp?" Si Bungsu mendengar suara paman Ham Doi bergetar. "Apakah tak ada dokter di kamp itu yang bisa
membantunya..?" "Di kamp itu, tak ada obat yang boleh di pergunakan. Kecuali tentara Vietkong. Siapa yang
sakit, tawanan Amerika atau pun orang Vietnam Selatan, harus meramu obat sendiri. Jika tak ada obat, silahkan
menanti ajal?" Si Bungsu melangkah perlahan kebatas kamar. Dikamar sebelah itu dia melihat sesosok tubuh terbaring.
"Maaf, barangkali saya bisa membantu. Boleh?"" ujarnya perlahan. Kedua orang lelaki di kamar itu menoleh
padanya. "Anda seorang dokter..?" tanya Han Doi heran. "Tidak. Tapi, untuk penyakit tertentu mungkin aku
bisa membantu. Boleh saya coba?" ujar Si Bungsu.
Dari tempat duduknya Han Doi menatap pamannya. Lelaki itu menatap Si Bungsu kemudian dengan
penuh harap dia mengangguk. Si Bungsu mendekat. Melihat seorang gadis amat belia, barangkali baru berusia
lima belas tahun. Wajahnya yang pucat pasi dan bibirnya yang berkudis akibat spilis. Tak mampu
menyembunyikan wajahnya yang jelita.
"Nampaknya dia sudah empat hari diserang demam panas dan tak bangkit dari pembaringan ini?" ujar
Si Bungsu perlahan, setelah memperhatikan wajah gadis itu, tanpa menyentuhnya sedikitpun. "Ya, persis empat
hari dengan hari ini?" ujar ayah gadis itu. Setelah ucapannya itu dia segera sadar dan menjadi heran, sembari
menatap Si Bungsu dia berfikir, bagaimana orang ini bisa secara persis mengetahui kondisi anaknya, padahal
dia bukan dokter" Han Doi juga tak kurang herannya. Dia menatap pamannya, seperti pamannya, apakah memang sudah
empat hari Thi Binh menderita demam dan tak bisa bangkit dari pembaringan. Pamannya, yang faham atas
tatapan itu, mengangguk. "Kita memerlukan air hangat, agak semangkuk?" ujar Si Bungsu. Duc Thio bergegas melangkah kearah
tungku di ujung ruangan tersebut. Di sana memang sedang terjarang sebuah periuk berisi air yang sedang
mengepulkan asap. Lelaki separuh baya itu mengambil sebuah mangkuk dari kayu. Kemudian mengangkat
periuk, lalu menuangkang isinya ke dalam mangkuk tersebut. Mangkuk berisi air panas itu dia bawa kedepan
Si Bungsu. "Ada kain pembersih, sapu tangan misalnya?" tanya Si Bungsu. Duc Thio kembali bergerak kesebuah
lemari kayu setinggi satu meter yang terletak di tepi dinding dekat kepala anaknya. Membukanya, mengambil
sebuah handuk kecil. Lalu memberikannya pada Si Bungsu.
Si Bungsu menuangkan serbuk berwarna kuning kehijau-hijauan dari bungkusan kecil yang dia
keluarkan dari dompetnya itu kesendok. Jumlah yang dia tuangkan hanya sedikit, mungkin secubitan anakanak. Lalu dua jari, jari tengah dan telunjuk tangan dia tuangkan ke air di mangkuk. Kemudian air yang melekat
pada jarinya itu dia teteskan ke bubuk yang disendok. Sekitar empat tetes air air turun membasahi serbuk itu.
Bubuk tersebut kemudian larut dalam air yang beberapa tetes di sendok. Perlahan, dengan tangan
kanannya dia bukakan mulut gadis itu yang terbaring diserang sipilis. Kemudian air larutan bubuk obatnya di
tuangkan kemulut gadis itu, lalu mulutnya di katupkan lagi.
Si Bungsu kemudian membasahi handuk di tangannya dengan air hangat di dalam mangkuk.
Memerasnya perlahan, kemudian melap wajah gadis itu, yang sejak tadi di penuhi keringat dingin. "Jika tuhan
mengizinkan, anak bapak akan sembuh dalam seminggu-dua minggu?" ujar Si Bungsu pada Duc Thio.
"Terimakasih?" ujar Duc Thio penuh harap, meski amat ragu.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 586
Dalam Neraka Vietnam -bagian-564-565
Dari Paman Han Doi siang itu Si Bungsu dapat penjelasan lebih jelas dan rinci tentang adanya tawanan
Amerika yang tempat penyekapannya amat di rahasiakan Vietkong di sekitar desa kecil ini. Duc Thio bercerita
setelah ponakannya menuturkan bahwa Si Bungsu datang kemari untuk membebaskan seorang perawat
Amerika, yang tertangkap ketika perang berkecamuk.
Saat Duc Thio bercerita, Han Doi bersandar ke dinding yang ada celahnya. Setiap sebentar dia mengintip
lewat celah itu, kalau-kalau ada orang yang mendekat. Dia tak hanya mengintip lewat celah dinding, tetapi tiap
sebentar juga mengintip lewat celah lantai. Memastikan bahwa tak ada siapa-siapa yang menyelinap kekolong
rumah untuk mendengarkan pembicaraan pamannya dengan Si Bungsu.
"Mereka disekap, dalam goa-goa batu yang berada di bukit yang terjal di sebelah utara sana?" ujar Duc
Thio. "Maaf, disana pula Thi Binh dulu disekap?" tanya Si Bungsu mengenai anak gadis Duc Thio. "Tidak di goa
itu. Vietkong mendirikan kamp dibawah bukit terjal itu. Anakku, dan beberapa wanita lainnya yang mereka
sekap untuk melayani nafsu mereka, juga ditempatkan di balik bukit yang dijaga sekitar sepuluh sampai dua
belas tentara".." ujar Duc Thio sambil berhenti sejenak. Setelah menghela nafas panjang, dia melanjutkan
ceritanya. "Tentara yang ingin memuaskan hasratnya datang bergiliran ke kamp wanita-wanita tersebut. Jadi, Thi
Binh maupun wanita-wanita yang lain tak tahu di mana letak kamp tersebut. Hanya orang-orang yang terlatih
mendaki yang bisa mencapai goa tempat tentara Amerika itu disekap. Namun selain bahaya di tembaki
Vietkong, hampir setiap jengkal bukit itu ditanam ranjau. Yang tahu jalan naiknya, hanya beberapa Komandan
pasukan?" "Berapa tentara Vietkong disana?""
"Tidak ada yang tahu. Mereka datang kesini setahun yang lalu. Pagi harinya penduduk di kumpulkan.
Lalu di giring ke lembah sekitar setangah kilometer dari sini. Malam harinya, kami hanya mendengar suara
deru truk-truk yang yang datang. Hampir sepanjang malam. Hampir sepanjang malam itulah kami juga tak
boleh meninggalkan tempat berkumpul di lembah sana. Subuh-subuh truk-truk itu berangkat, baru siangnya
kami dikembalikan ke desa"."
"Penduduk disini bebas pergi kemana saja?" "Yang masuk kesini ya, sedangkan yang keluar tak boleh
sama sekali, kecuali untuk ke ladang atau kebun dekat-dekat desa.." "Bagaimana penduduk mencukupi
kebutuhannya?" "Sekali dua minggu ada tentara ada Bin Hoa yang membawa keperluan hidup sehari-sehari.
Mereka melakukan barter hasil pertanian dan perkebunan. Dengan kebutuhan sehari-hari penduduk,
sedangkan alat-alat pertanian mereka bagikan dengan cuma-cuma. Sedang?"
Cerita Duc Thio terputus ketika dari kamar sebelah terdengar erangan halus. Lelaki separoh baya itu
segera berdiri. Bergegas kekamar sebelah dimana anak gadisnya terbaring. "Ayah, saya lapar"." rintih gadis
itu perlahan. Duc Thio untuk sesaat terpana. Seperti tak percaya anaknya bicara. Sudah empat hari ini anaknya
tak sadarkan diri. Kini tiba-tiba anaknya membuka mata dan mengatakan lapar. "Ayah masakkan bubur
untukmu, nak"." ujarnya terbata-bata. Airmata lelaki itu berlinang. Menjelang menuju dapur dia membelokkan
langkah keruang tengah menatap Si Bungsu.
"Terimakasih"Terimakasih anda telah mengobati anak saya?" ujar lelaki itu sembari membungkukkan
badan dalam-dalam beberapa kali. Si Bungsu mengangguk dan tersenyum lembut. Han Doi sendiri berdiri
meninggalkan tempat duduknya, berjalan ketempat anak pamannya itu. Melihat gadis itu sudah membuka
mata dan menatapnya. Wajah gadis itu, yang tadi pucat pasi, kini sudah berona agak kemerah-merahan.
Duc Thio dengan cepat membesarkan api. Memasukan tepung kedalam panci kecil, kemudian memberi
air. Lalu menjerangnya di tungku. Setelah itu dia mengambil pisau, seekor ayam yang sudah di kuliti, dan sudah
lama di gantung diatas tungku, dia potong dadanya. Selanjutnya dia sayat-sayat tipis-tipis, lalu dia masukkan
ke panci yang terjerang itu.
Kemudian dia memasukkan bawang prai dan daun seledri, garam halus serta merica. Tak lama
kemudian bubur itu menggelegak. Duc Thio mengambil sebuah mangkuk, menyalin bubur yang harum itu
kedalam mangkuk. Setelah itu dia bergegas kepembaringan anaknya, lalu menyuapi anak gadisnya itu sendok
demi sendok. "Han Doi, masak bubur untuk makan kita siang ini?" ujar Duc Thio sambil tetap menyuapi anaknya. Han
Doi segera bangkit, dan mengambil sebuah periuk, memasukkan gandum, memotong-motong ayam, kemudian
memasukan rempah, memberi air dan menjerangnya diatas tungku. Dia mengambil lagi beberapa potong kayu
di samping tungku itu, dan menyorongkannya ke tungku. Setelah itu dia menutup periuk tersebut dan menoleh
pada Si Bungsu yang lagi memandang keluar.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 587
Si Bungsu memang tengah menoleh ke luar jendela menatap belantara dan perbukitan batu terjal.
Mendengarkan kicau suara burung dan pekik siamang, yang sayup-sayup sampai ketelinganya. Tiba-tiba
bayangan Situjuh Ladang Laweh, dikaki Gunung Sago, kampung halamannya nun jauh diseberang laut sana.
Desa ini tak jauh beda dengan desanya dulu. Di Lingkar hutan dan perbukitan serta berudara sejuk.
Hanya saja, hutan disini sangatlah perawan. Sementara hutan yang mengelilingi situjuh ladang laweh,
sebahagian sudah dijadikan kebun dan ladang. Dia menarik nafas panjang dan berat. Tak ada siapun yang
menantinya di kampung. Dia tak lagi punya sanak famili dekat. Semua sudah pupus. Ada yang tewas dalam
perang kemerdekaan, ada pula yang terbunuh dalam pergolakan PRRI. Bagaimana bentuk kampungnya itu
kini" Dia teringat masa kecilnya dikampung dulu. Ketika bermain judi dengan orang-orang yang jauh lebih
tua darinya. Mereka berjudi dari kampung ke kampung. Tak ada penjudi besar disekitar Gunung Sago sampai
ke Payakumbuh yang tak ditantangnya. Dia sering kalah, namun lebih sering pula menang. Jika kalah dan tak
punya uang, biasanya dia pergi mencuri kambing, bahkan kerbau dan sapi. Menjualnya ke kampung lain atau
ke pasar. Uang nya untuk apalagi kalau bukan berjudi.
"Hei, kau suka durian?" tiba-tiba lamunannya di putus suara Han Doi. Dia menoleh. Ya, sejak masuk
kampung tadi pagi dia sudah mencium bau durian. Suara gedebuk di luar, membuatnya kembali menoleh
keluar lewat jendela. Tak jauh dari rumah ini, rupanya ada dua batang pohon durian yang berbuah lebat.
Si Bungsu baru ingat, sejak duduk di tempatnya tadi, kalau tidak salah tiga atau empat kali dia
mendengar suara gedebak-gedebuk di luar sana. Rupanya itu adalah suara durian jatuh dari pohonnya. Dia
melihat, betapa besarnya buah-buah durian yang menggantung di dahan itu. Kemudian dia menoleh lagi pada
Han Doi, mengangguk sambil tersenyum.
"Tunggu disini, saya ambilkan kebawah?" ujar Han Doi sambil melangkah ke pintu. Pemuda Vietnam itu
turun ke halaman. Tak lama kemudian naik lagi membawa dua buah durian besar. Si Bungsu agak kecewa.
Kenapa hanya dua buah" Baginya, kalau hanya dua, tiga buah sebesar itu, hanya sekedar kumur-kumur. "Ayo
kita makan. Saya tak begitu suka. Tapi sekedar sebuah jadilah?" ujar Han Doi setelah mengambil parang di
dapur, serta mangkuk besar untuk cuci tangan.
Han Doi membuka salah satu durian yang kulitnya berwarna hijau itu. Ketika yang sebuah telah terbelah
dua,dia membuka yang sebelah lagi. Isi durian itu seperti warna kunyit. "Ayo makanlah, jika anda memang
suka"." ujar Han Doi sambil mencuci tangan dan mengambil setengah ulas isi durian itu. Si Bungsu masih
terpana kaget mendengar suara Han Doi. Soalnya, dia tengah terpana melihat isi durian itu. Sebelum
mengambil durian itu, dia menekan belahan durian itu, membuka ruangannya semua. Dan apa yang dia lihat
makin membuat dia terpana.
Berbeda dengan isi durian di kampungnya, yang setiap ruang biasanya berisi dua, atau tiga biji. Tapi
durian di hadapannya ini, setiap ruangnya, hanya berisi satu biji. Memanjang dari ujung ke pangkal. Besar
isinya hampir sebesar lengannya. Itulah sebabnya, Han Doi hanya mengambil setengah ulas saja dari isi durian
tersebut. Dia ambil sebuah, panjang seperti lemang. Di makannya sedikit. Alamak, durian ini seperti gelamai. Legit
dan nikmat sekali. Dia makan lagi dan lagi. Dan terakhir baru dia temukan biji durian tersebut, tak sampai
sebesar kelingking. Habis yang di tangannya dia ambil lagi sebuah, dan sebuah lagi. Lalu dia tersadar. Dia baru
memakan tiga setengah ulas. Namun perutnya sudah terasa sesak. Durian yang sebuah itu, yang isinya sudah
diambil Han Doi setengah ulas. Dan Si Bungsu tiga setengah ulas. Kini tinggal dua ulas lagi. Sementara durian
yang satu lagi, masih ternganga, belum disentuh sedikitpun.
Si Bungsu menjadi kalap. Di raihnya yang seulas lagi. Masak durian dua buah saja tak terhabiskan.
Sedangkan di kampungnya dulu, ketika dia masih kecil pula, dua tiga buah durian baru sekedar buat cuci mulut.
Lima atau tujuh baru agak puas.
Namun sehabis durian yang satu ulas itu, Si Bungsu benar-benar tak bisa bernapas. Mati den" bisik
hatinya dengan bersandar ke dinding. Ini durian gergasi namanya barangkali, pikirnya sambil sendewa dua
kali. Di Kampungnya tak pernah dia bersua durian seperti ini. Yang seruangnya hanya berisi satu biji, di semua
ruang durian tersebut. Durian di kampungnya, kalau disebuah ruang ada yang tiga isinya, sudah hebat. Seringkali di sebuah
ruangnya berisi sepuluh sampai lima belas isinya. Bijinya besar-besar, isinya setipis kulit ari. Durian Tumbuang
namanya. Kalau saja durian Vietnam ini di jual di payakumbuh, pasti mahal sekali harganya.
Dia memejamkan matanya, membayangkan dirinya jadi saudagar durian. Dari Vietnam ini dia bawa
durian agak lima kapal. Kapal itu tentu harus ke Pekan baru dulu. Di kota itu dia jual dua kapal, yang tiga kapal
itu di bawa truk ke Payakumbuh. Lamunannya terputus oleh pertanyaan Han Doi.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 588
"Mana yang lebih enak, durian ini dengan durian di kampungmu?" "Apa..?" "Mana yang lebih enak durian
ini dari pada durian di kampungmu.." "Enak durian dikampungku sedikit.." ujarnya sambil memejamkan
matanya dan kembali menyandarkan kepalanya ke dinding, lalu menyambung perkataannya tadi dalam hati.
Dan durianmu ini enak banyak...
"Ya, saya rasa juga begitu. Soalnya durian yang bagus-bagus itu ada di bukit sana. Durian yang di
kampung ini, jarang orang suka memakannya. Itu sebabnya mana yang jatuh dibiarkan begitu saja.." ujar Han
Doi. "Kalera..." rutuk hati Si Bungsu tanpa membuka matanya yang terpejam.
Pantas dia makan setengah ulas, rupanya durian ini durian yang kurang sedap dan jarang di makan
orang di kampungnya. Yang tak sedap bagi mereka, sudah juling mataku saking keenakannya. Bagaimana pula
bentuk durian yang enak bagi mereka itu"
Si Bungsu jadi malu sendiri, bila diingatnya. Bahwa dia melahap semua isi durian yang sebesar lengan
itu. Padahal dia mengatakan lebih enak durian di kampungnya dari durian ini. "Tak enak, tapi kok banyak juga
Anda makan, ya?" tiba-tiba di sentakan lagi oleh pertanyaan Han Doi.
Matanya terbuka membelalak. Untunglah saat itu Han Doi sedang melangkah kearah tungku, yang
menjerang bubur yang telah menggelegak. Harum bubur itu menyebar bersama asap tipis yang keluar dari
sela-sela tutup periuk. Bubur itu pasti sangat enak. Baunya saja sudah menunjukan betapa akan sedap rasanya.
Tapi aku takkan memakan bubur itu. Kukatakan saja perut ku kenyang makan durian. Nanti dia tanya lagi,
mana yang enak bubur itu atau bubur di kampungnya. Lama-lama kutempeleng juga orang ini, Si Bungsu
menyumpah- nyumpah dalam hati.
Tapi, kendati mula-mula sudah menolak dengan alasan kenyang, namun begitu melihat Han Doi dengan
lahap dan dengan suara berkecipak melahap bubur itu, Si Bungsu akhirnya menyerah. Dengan mengubur rasa
malu dalam-dalam, dia mengambil mangkuk yang tadi sudah di letakkan didepannya.
Dia isi mangkuknya itu separoh saja, agar tak kelihat rakus. Lalu dia makan. Wualah.. Mak, sedapnya
bukan main. Dia sudah berusaha makan pelan-pelan, agar tak kelihatan congok. Namun dalam beberapa suap,
isi mangkuknya licin tandas. "Tambahlah, Habiskan saja isi priuk itu. Malam ini kita akan berjalan jauh bukan?"
ujar Han Doi. Habiskan isi periuk" Itu menghina namanya. "Tambahlah" saja sudah cukup menghina baginya, yang tadi
menolak makan dengan alasan kenyang. Kini disuruh pula menghabiskan isi periuk itu. Si Bungsu tersinggung
luar biasa. Tapi nikmatnya rasa bubur itu yang sedapnya juga luar biasa, membuat dia terpaksa menyimpn rasa
tersinggungnya dalam kocek baju.
Dia tarik periuk itu ke dekatnya. Lalu dia salin isinya. Hampir melimpah mangkuk di depannya.
Kemudian dia makan dengan lahap. Weleh..weleh..weleh! Si Bungsu akhirnya tersandar ke dinding. Yang
tersisa hanya rasa lemah karena hampir seminggu tak makan apapun.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-566-567
Ayahnya memperkenalkan Si Bungsu pada gadis itu. Gadis itu mula-mula merasa malu dan rendah diri
akibat penyakitnya. Namun setelah ayahnya mengatakan, bahwa anak muda inilah yang memberinya obat
sehingga cepat pulih, gadis itu menganggukkan kepala kepada Si Bungsu, memberi hormat.
Si Bungsu mendekat. Kemudian memegang kening gadis itu. Gadis itu tak mampu menahan tangisnya.
Airmatanya mengalir di pipinya. "Engkau akan segera pulih, dik. Percayalah?" ujar Si Bungsu sambil mengusap
kepala gadis itu. Gadis itu justru menangis terisak. "Tenanglah, Tuhan akan membalas orang-orang yang
menjahanami ibumu, yang juga menjahanami dirimu, anakku. Yakinlah, Tuhan akan membalas mereka lebih
pedih dari apa yang diterima ibumu, dan juga dirimu"." ujar Duc Thio perlahan dengan suara bergetar.
Maksud mereka akan menanyai gadis itu, tentang jalan mana yang harus di tempuh menuju tempat dia
di sekap tentara Vietkong itu terpaksa diurungkan sementara. Di Ruang depan, Han Doi akhirnya menceritakan
semua peristiwa yang menimpa keluarga pamannya. Dahulu pamannya adalah seorang pegawai perusahaan
ekspor di kota pelabuhan Donghoi, di utara kota Da Nang. Namun ketika kota itu di rebut Vietkong. Mereka
kemudian mengungsi jauh keselatan, ke kota Saigon.
Namun hanya dua bulan di kota itu, istri pamannya meninggal akibat infeksi yang di deritanya saat di
perkosa. Dua abang Thin Binh, yang harus berhenti kuliah karena perang, terbunuh tatkala Saigon di hujani
bom oleh artileri Vietkong. Pamannya memutuskan untuk menyingkir dulu ke desa yang amat jauh ini, sampai
perang berakhir. Maksudnya menyingkir kemari adalah untuk menyelamatkan Thi Binh, yang wajahnya jelita
dan tubuhnya sedang mekar. Anaknya kini pasti takkan selamat di Saigon, bila kota itu jatuh ketangan Vietkong.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 589
Jika keadaan sudah membaik, mereka akan kembali ke kota. Itu maksud pamannya. Namun baru sekitar
delapan bulan menyingkir ke kampungnya yang jauh terpencil ini, tentara Vietkong justru memilih tempat ini
sebagai kamp tahanan rahasia mereka untuk menyembunyikan tawanan perang Amerika. Dan anak gadisnya
ternyata benar-benar tidak bisa di selamatkan. Menjelang tengah malam, ketika Thi Binh kembali minta makan,
mereka menunggu gadis itu selesai. Setelah itu, ayahnya menceritakan bahwa Si Bungsu berniat
menyelamatkan seorang gadis seorang juru rawat Amerika, yang di tawan di kamp di bukit-bukit batu sana.
"Apakah Thi-thi pernah melihat ada seorang wanita Amerika di sana?"" tanya ayahnya. Thi Binh yang
sedang menatap Si Bungsu menggeleng. "Saya tak pernah melihatnya. Kamp tempat mereka mengurung kami
jauh dari kamp para tentara itu. Tapi saya pernah mendengar tentara-tentara itu membicarakan seorang gadis
Amerika yang sering ditiduri komandan mereka. Saya tak tahu, apakah dia juru rawat itu?" ujar Thi Binh
perlahan dalam bahasa inggris yang fasih.
"Engkau pernah mendengar mereka menyebut nama wanita itu?" tanya Si Bungsu "Tuan datang dari
Indonesia?" tiba-tiba gadis itu bertanya. Tidak hanya Si Bungsu, ayahnya dan Han Doi juga kaget mendengar
pertanyaan tiba-tiba tetapi amat tepat itu. Tapi dari mana gadis itu tahu nama "Indonesia?" "Ya,kenapa?" jawab
Si Bungsu perlahan. "Tuan.. Apakah Ninja?" kembali gadis itu mengajukan pertanyaan yang mengagetkan.
"Tidak. Di Indonesia tidak ada Ninja?" Gadis itu menarik nafas. Wajahnya nampak kecewa. "Kalau begitu,
bukan Tuan orangnya?" ujar gadis itu perlahan. Semua mereka saling bertukar pandang. Ucapan gadis itu
menyebar teka-teki bagi mereka.
"Apa maksud mu, nak?"" tanya Duc Thio pada puterinya. Thi Binh kembali menatap nanap pada Si
Bungsu. Kemudian pada ayahnya, lalu pada sepupunya Han Doi. Kemudian sambil menunduk dia berkata. "Di
tempat penyekapan, malam-malam hari saat tidur setelah remuk diperkosa bergantian, saya beberapa kali
didatangi mimpi. Mimpi yang sangat memberi harapan?"gadis itu berhenti sesaat. Kepalanya masih
menunduk. "Apa isi mimpimu?"" tanya Han Doi. "Seorang Ninja datang menyelamatkan saya. Dia mengaku
dari Indonesia?" gadis itu berhenti lagi. "Dia sebutkan namanya padamu dalam mimi itu, Nak?" tanya ayahnya.
Gadis itu menggeleng lemah.
"Tapi wajahnya mirip Tuan ini. Tapi Tuan ini bukan ninja, jadi bukan dia yang datang dalam mimpi saya
itu"." ujarnya lemah, dan kembali menunduk. "Dia sebutkan bahwa dirinya adalah Ninja?" tanya Han Doi. Gadis
itu menggeleng. "Lalu, dari mana kamu tahu dia seorang Ninja?" "Dia membunuhi tentara Vietkong itu dengan
senjata rahasia seperti yang lazim dipakai Ninja. Ada besi tipis, runcing-runcing, ada samurai kecil yang dia
selipkan di balik lengan bajunya, dia?"
Suaranya terputus. Diputus oleh gerakan Han Doi yang tiba-tiba. Demikian tiba-tiba dan cepat, sehingga
Si Bungsu sendiri tak sempat mencegah. Han Doi meraih tangan kanan Si Bungsu. Lalu dengan sebuah gerakan,
lengan baju pemuda itu dia singkapkan. Mata Thi Binh terbelalak. Di lengan pemuda itu ada sebuah karet tipis.
Pada ban karet itu tersisip beberapa samurai kecil dan beberapa lempengan besi tipis persegi enam, yang
seginya merupakan sudut yang tajam.
"Senjata seperti ini yang dipakai orang didalam mimpimu itu, Thi Binh?" tanya Han Doi. Gadis itu
terkesima. Begitu juga ayahnya. Wajahnya bergantian menatap antara senjata-senjata itu dengan wajah Si


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bungsu. "Sejak tadi saya yakin. Tuanlah yang datang ke dalam mimpi saya itu. Kenapa lama benar Tuan datang
untuk menyelamatkan saya?" ujar gadis itu lirih, dengan mata berkaca-kaca.
Si Bungsu tak menjawab. Ada rasa aneh, sekaligus rasa tersedak, yang membuat dia tak mampu bicara.
Bagaimana kedatangannya kedesa itu bisa merasuk kemimpi gadis tersebut" "Tuhan yang mengirimmu
kedalam mimpi saya Tuan. Tuhan yang mengirimmu! Dalam derita sepanjang hari di kamp sana saat saya di
perkosa bergantian dengan biadab oleh belasan lelaki setiap hari. Saya berdoa agar Tuhan mengirimkan
seseorang untuk membunuhi para jahanam itu, dan menyelamatkan diri saya. Dan Tuhan memberikan harapan
pada saya dengan berkali-kali mengirmkan Tuan kedalam mimpi saya?" Tak seorangpun yang bicara setelah
itu. Sepi, kecuali isak perlahan Thi Binh.
"Maaf jika saya datang terlambat. Namun barangkali bukan saya yang datang kedalam mimpimu, Dik.."
ujar Si Bungsu perlahan. "Dari mana saya tahu nama negeri Tuan adalah Indonesia" Saya tak pernah
mengetahui nama itu, baik di buku bacaan atau di sekolah. Terakhir, dua hari sebelum saya di bebaskan dari
kamp karena penyakit kotor ini, Tuhan kembali mendatangkan Tuan ke dalam mimpi saya. Saat itu sipilis sudah
menggerogoti diri saya dengan hebat. Tuanlah satu-satunya harapan saya untuk membalaskan dendam. Mimpi
itu tak mampu saya ingat keseluruhannya. Di antara demam yang hebat, saya hanya melihat Tuan sepenggalsepenggal. Kendati demikian, saya mengingatnya dengan baik?" gadis itu berhenti, dia minta minum.
Usai menghirup semangkok air putih matanya kembali menatap nanap pada Si Bungsu. "Dalam mimpi
itu, saya melihat Tuan bertiga, seorang gadis indo yang cantik sekali dan seorang lelaki, mungkin abangnya. Di
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 590
laut ada sebuah kapal perang, besar sekali. Gadis itu bersama abangnya naik kekapal, dia menangis karena tuan
tak ikut naik. Tuan berlayar sendiri di kapal perang kecil, sambil berbisik pada saya, sabarlah Thi-thi" saya
akan datang membantumu. Itu yang saya lihat dan dengar dalam mimpi saya. Jika apa yang saya lihat dalam
mimpi saya yang terakhir tidak pernah dalam hidup tuan, artinya kapal perang yang besar itu, gadis indo yang
cantik itu, tak ada kaitannya sama Tuan, maka benarlah bahwa buka Tuan orang yang dikirim Tuhan kedalam
mimpi saya itu?" Kini tak hanya Thi Binh, tapi juga Duc Thio dan Han Doi menatap Si Bungsu dengan nanap-nanap. Demi
Tuhan Yang Maha Pencipta, Yang Maha Mengetahui, Si Bungsu merasa dirinya menggigil dahsyat mendengar
penuturan gadis itu. "Engkaukah yang dilihat Thi-thi di dalam mimpinya itu, Bungsu?" ujar Han Doi perlahan.
Si Bungsu menatap pada Thi Binh. Gadis itu menatap padanya tak berkedip. "Andakah yang dikirim Tuhan ke
dalam mimpi saya itu, Tuan.." desah Thi Binh. "Tuhan Maha Besar! Benar, sayalah yang engkau lihat dalam
mimpimu itu, Dik. Saya tak tahu kenapa saya bisa menyelinap ke dalam mimpimu. Tapi, Ya Allah, semua yang
engkau lihat dalam mimpi itu, kapal perang besar, seorang gadis Indo dan abangnya, semuanya benar?" ujar
Si Bungsu dengan suara bergetar.
"Ada yang lupa saya ceritakan. Saat di dalam air, Tuan menekan-nekan jam tangan yang terletak di
tangan kiri. Saat itu saya seperti membaca pikiran Tuan tentang jam itu. Jam itu memiliki berbagai kegunaan.
Bisa mengeluarkan kawat baja halus, pisau dan mengirimkan sinyal. Jam itu bertali kulit hitam dengan plat
berwarna biru.." Han Doi segera meraih tangan Si Bungsu sebelum anak pamannya itu selesai bicara.
Menyingkapkan lengan baju pemuda itu, dan semua yang di ceritakan Thi Binh mengenai jam tangan dalam
mimpinya, segera terlihat di lengan kiri anak muda itu. Si Bungsu benar-benar tak mampu bersuara. Dia bangkit
dari duduknya. Kemudian mengulurkan tangan pada gadis belia itu. Namun gadis itu segera menghindar.
"Jangan sentuh saya. Tuan akan tertular penyakit sa"." Ucapannya terputus oleh jamahan lembut tangan
Si Bungsu di pipinya, dia menatap lelaki yang sering datang dalam mimpinya itu. Si Bungsu memegang bahu
gadis itu, kemudian merangkulnya. Merasa bahwa lelaki ini tidak jijik pada dirinya yang terjangkit sipilis, hati
Thi Binh menjadi luluh. Sesaat gadis itu balas memeluk dengan erat,diantara air mata yang membasahi pipinya.
"Mengapa lama benar engkau baru datang, Tuan..?" bisik Thi Binh dari dalam pelukan Si Bungsu. "Maafkan
saya, Dik. Saya sungguh tak tahu, kalau Yang Maha Kuasa Mengatur telah menetapkan langkahku agar bertemu
denganmu disini. Kalau saya tahu, takkan sedetik pun saya terlambat.." bisik Si Bungsu, dengan jantung yang
berdetak keras, mengingat mimpi yag amat aneh yang menyelusup kedalam tidur gadis ini.
Gadis itu masih memeluknya. Sambil berlutut Si Bungsu memeluk gadis itu dan membelai rambutnya
dengan perasaan iba. Beberapa saat kemudian, terbawa oleh kondisinya yang masih lemah,gadis itu tertidur
dalam pelukan Si Bungsu. Setelah yakin gadis itu tertidur pulas, perlahan Si Bungsu membaringkannya ditikar
beralaskan selimut kusam, ditempat mana selama empat hari ini dia tak sadarkan diri. Kudis sebesar benggol
yang selama ini berair, yang terletak di sudut bibir Thi Binh, kini kelihatan sudah mengering.
Ketiga lelaki itu kemudian pindah ke ruangan sebelah. Meninggalkan Thi Binh tidur. Malam harinya Han
Doi turun kehalaman. Dia tegak diam di dekat batang durian. Matanya mencoba menembus kegelapan malam,
menatap kebahagian hulu dan hilir kampung, sembari memasang telinga. Sepi terasa mencekam. "Kita harus
menyingkir dari pondok ini segera. Saya punya firasat, paling lama pagi ini, tentara Vietkong akan datang
menangkap kita. Kita harus menyingkir ke hutan sebelum mereka datang?" ujar Si Bungsu ketika mereka
bertiga duduk di ruang tengah.
"Bagaimana cara membawa Thi-thi..?" ujar Duc Thio, menghawatirkan anaknya. "Saya rasa, kalau dia
bangun sebentar lagi, tenaganya akan pulih?" ujar Si Bungsu perlahan. "Bagaimana mungkin. Kondisinya
begitu lemah. Sudah seminggu tak makan, kecuali bubur ayam tadi?"ujar Duc Thio. "Jika ramuan yang saya
minumkan padanya mampu membuat dia sadar dan bisa makan, maka kini ramuan itu dalam proses
memulihkan tenaganya?" ujar Si Bungsu perlahan.
Baik Duc Thio maupun Han Doi menatap Si Bungsu. Namun saat itu pula mereka mendengar ada yang
bergerak di kamar sebelah. Duc Thio bergegas melangkah kekamar sebelah. Namun langkahnya terhenti
dipintu tengah. Dia terhenti karena melihat anaknya sedang menuju ke dapur. "Saya lapar?" ujar remaja cantik
itu sambil mengangkat tutup periuk. Karena periuk itu tak ada isinya, dia memasukkan tepung bubur,
kemudian memotong ayam yang di salai di atas tungku, kemudian memasukkannya kedalam periuk. Lalu
memasukan kayu ke tungku, kemudian menghidupkan api. Lalu menambahkan ramuan bubur itu dengan daun
seledri dan garam. "Saya lapar?" ujarnya malu-malu menatap pada ayahnya. Kemudian gadis itu melihat durian yang sudah
terbelah, yang di letakkan di pinggir dinding, durian itu tadi tak habis oleh Si Bungsu. Lalu gadis itu melangkah
kesana dan memakan durian itu di bawah tatapan ayahnya dan Han Doi. Dalam waktu singkat durian itu habis
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 591
di lahapnya, sambil menjilati tangan nya yang di lumuri durian dia melangkah lagi ke dapur dan mengangkat
tutup periuk yang isinya telah menggelegak. "Ada yang ingin makan?" ujarnya sambil mengambil mangkuk.
Duc Thio menoleh pada Si Bungsu. Si Bungsu tersenyum. Dengan langkah lebar dia melangkah kearah Si
Bungsu duduk. Kemudian berlutut, kemudian menunduk dalam-dalam hingga keningnya hampir menyentuh
lantai. "Terimakasih, Tuan telah menyelamatkan nyawa anak saya?" ujar lelaki separoh baya itu dengan suara
serak. Si Bungsu memegang bahu Duc Thio. "Bangkitlah paman, saya hanya membantu apa yang dapat saya
bantu?" "Terimakasih, saya berhutang satu nyawa pada Tuan?" ujar Duc Thio penuh haru. "Sementara Thi
Binh makan, berkemaslah kita harus segera meninggalkan tempat ini?" ujar Si Bungsu.
Duc Thio berdiri dan melangkah ke ruang sebelah. Dia mengambil sebuah kantong kain lusuh, dan
memasukkan beberapa helai pakaian dan barang-barang yang amat di perlukan. "Kita akan pergi?"" ujar Thi
Binh sambil menelan bubur ayamnya. "Ya, kita harus pergi nak.." "Kita ke kamp itu untuk membunuh para
jahanam itu bukan?" ujar gadis itu sambil menatap Si Bungsu.
Si Bungsu ingat cerita gadis itu tentang mimpinya. Bahwa dia datang menolong Thi Binh membunuhi
tentara Vietkong dan menyelamatkan gadis itu. Ingat mimpi gadis itu, Si Bungsu mengangguk perlahan. Wajah
Thi Binh berseri. Dia menelan sisa buburnya, kemudian bergegas kedekat pembaringan. Mengambil baju
lusuhnya yang hanya dua helai, berikut sisir rambut, memasukkannya ke tas kain ayahnya.
"Kita berangkat sekarang?" ujar Han Doi sambil berdiri. Si Bungsu tak menjawab. "Kita berangkat?""
tanya Duc Thio yang sudah menyandang tasnya. Dan tegak di pintu dapur bersama anak gadisnya. "Terlambat.
Ada yang sudah sampai. Letakkan bungkusan, dan pura-pura tidur. Segeralah..!" ujar Si Bungsu ketika melihat
ketiga orang itu masih menatapnya heran.
Ketiga orang Vietnam Selatan itu dengan heran bercampur cemas menuruti perintah orang asing itu.
Mereka baru beberapa detik membaringkan diri, ketika di bawah terdengar langkah-langkah mendekat. Si
Bungsu bangkit perlahan. "Apapun yang terjadi, tetaplah diam disini, sampai saya kembali?" bisik Si Bungsu
sambil berjalan kepintu dapur. "Tuan?" bisikan Thi Binh di pembaringan di putus Si Bungsu dengan
meletakkan jari di bibirnya, kemudian dia menyelinap kedapur.
Persis dibelakang rumah itu ada pohon kayu yang besar, yang dahannya menjulai kejendela. Si Bungsu
menyelinap dan dengan gerakan ringan melompat bergelantungan di dahan tersebut. Tanpa menimbulkan
suara sedikitpun tubuhnya meluncur ketanah. Pakaiannya yang serba hitam membuat dirinya sempurna tak
terlihat sedikitpun di kegelapan malam. Sementara kegelapan baginya sahabat yang dia kenal lekuk-likunya
dan perangainya. Dia segera tahu di samping kanan rumah ada orang berdiri di bawah pohon durian yang
diambil buahnya oleh Han Doi.
Sementara di samping kiri tegak pula seorang di bawah rumpun bambu kecil. Dibagian depan ada dua
orang yang sedang bicara berbisik-bisik. Si Bungsu menyelinap kekanan. Dalam lima langkah lebar sambil
menunduk, dia sampai dekat orang yang berdiri di bawah pohon durian itu. "Ssst?" bisiknya perlahan. Orang
itu menoleh kekiri. "Ceng cong ceng"." bisik lelaki itu dalam bahasa Vietnam utara, yang tentu saja tidak di
mengerti Si Bungsu artinya. Tapi dia memang tidak memerlukan tahu apa arti kata bisik lelaki itu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-568
Tentara Vietkong berpakaian preman namun membawa bedil berlaras panjang itu memang tak segera
mengetahui siapa yang datang mengendap-ngendap di sisinya. Gelap yang kental membatasi pemandangan.
Dia hanya merasakan "tepukan ramah" di tengkuknya. Setelah itu matanya juling. Ada derak kecil. Tengkuknya
bukan ditepuk ramah. Melainkan terpelintir karena rambut di kepalanya disentakan dan dagunya dihantam
berlawan arah dengan sentakan di rambutnya.
Derak kecil yang terdengar sesaat sebelum matanya juling itu adalah derak tulang tengkuknya, yang
patah akibat pelintir dengan teknik yang amat mahir. Tubuhnya melosoh. Si Bungsu menahan tubuh lelaki yang
menjawab bisiknya dengan ucapan "ceng cong ceng" yang tak dia pahami itu, agar tak jatuh terlalu keras.
Perlahan dia baringkan lelaki itu. Kemudian mengendap ke bawah rumah, menuju posisi lelaki yang tegak di
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 592
samping kiri rumah di dekat pohon bambu kecil. Lelaki di dekat pohon bambu kecil itu melihat ada yang
Hantu Muka Dua 3 Atheis Karya Achdiat Karta Mihardja Dylan I Love You 4
^