Pencarian

Tikam Samurai 25

Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Bagian 25


pada bertepuk tangan dan tertawa cengengesan. Peristiwa ini terjadi di Kota Da Nang, kota terbesar kedua di
Vietnam Selatan setelah Saigon. Saat itu tak ada lagi Vietnam Utara dan Selatan. Seluruh Vietnam Selatan baru
saja sebulan jatuh ke tangan Vietnam Utara. Vietnam kini hanya ada satu, Vietnam Raya. Suara tembakan si
perwira yang membunuh abang si gadis pemilik bar tersebut tak terdengar ke luar. Kendati di jalan di depan
bar itu ratusan manusia hilir mudik. Pintu dan jendela besar-besar berkaca hitam yang tertutup rapat karena
bar itu full AC, membuat suara letusan pistol hanya terdengar di luar seperti suara gelas jatuh.
Gadis di pangkuan si perwira sudah setengah telanjang. Saat itu tiba-tiba pintu bar terbuka. Di pintu,
dalam sikap ragu-ragu, terlihat berdiri seorang lelaki yang posturnya agak semampai. Namun wajahnya terlihat
asing. Kendati masih kentara wajah Asianya, namun dipastikan dia bukan dari ras Cina seperti Vietnam,
Kamboja, Laos atau Taiwan. Tak ada yang memperhatikan, kecuali abang si gadis yang masih hidup, dan dua
pelayan yang tegak menggigil di belakang meja kasir. Mereka heran kenapa lelaki asing itu muncul lagi. Padahal
tadi, beberapa saat sebelum keenam tentara Vietnam ini masuk, lelaki yang tegak di pintu itu sudah mereka
usir. Lelaki asing itu berhenti sesaat di depan pintu. Melihat ke mayat yang terbujur, lalu menatap ke arah
enam tentara yang tengah melanjutkan minum mereka. Keenam tentara itu bersikap seolah-olah tak pernah
terjadi sesuatu yang penting sedikit pun. Di berbagai kota bekas Vietnam Selatan yang baru saja ditaklukkan,
seseorang yang ditembak mati tentara nampaknya sudah merupakan sesuatu yang lumrah. Tak perlu diusut
apa sebab atau apa salahnya. Lelaki asing yang baru masuk itu menatap kepada si perwira yang mendekap
gadis pemilik bar itu, yang mulutnya semakin ganas saja menjalar hilir mudik di bahagian depan tubuh si gadis,
yang tak berdaya sedikit pun untuk membebaskan diri. "Lepaskanlah gadis itu"!"
Tiba-tiba gelak tawa kelima tentara Vietnam itu dan suara desah nafas si perwira yang tengah
menjahanami gadis pemilik bar tersebut dipecah oleh suara lelaki asing di depan pintu itu. Suaranya terdengar
perlahan namun dingin. Permintaan yang diucapkan dalam bahasa Inggeris itu memaksa semua tentara
Vietnam di dalam bar tersebut menolehkan kepala. Mereka menyangka yang mengucapkan kata-kata itu adalah
orang Eropah atau Amerika. Tetapi ketika mereka menoleh, mereka hampir tak percaya dengan yang mereka
lihat. "Lepaskan dia, dan keluarlah dari sini baik-baik"."
Kembali terdengar suara lelaki di depan pintu itu. Suaranya sedingin subuh berkabut, setajam pisau
cukur. Si perwira yang baru saja menembak kepala pemilik bar itu, berdiri dengan pistol yang masih
tergenggam di tangannya. Lalu dia mengarahkan moncong pistolnya kepada lelaki asing tersebut. Lelaki itu
usahkan berbedil, sepotong kayu yang paling kecil pun tak ada di tangannya untuk membela diri. Benar-benar
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 551
sebuah sikap bunuh diri, berani-beraninya mengancam tentara Vietkong. "Sebutkan namamu! Sebelum
kutanamkan timah panas ini di antara kedua matamu"." desis si perwira sambil mulai menekankan jarinya di
pelatuk pistol. "Nama saya" Si Bungsu"." Dorr!!
Pistol di tangan si perwira menyalak. Asap tipis mengepul dari ujung laras pistolnya. Namun peluru yang
muntah dari pistol si perwira itu ternyata menghantam loteng. Perwira itu masih tegak beberapa detik.
Kemudin tubuhnya jatuh tergelantung ke atas meja yang dikelilingi lima rekan-rekannya. Menghantam dan
memberantakkan gelas serta botol di meja tersebut. Kelima temannya dengan terkejut melihat sebuah pisau
berbentuk samurai sebesar telunjuk, yang panjangnya mungkin hanya sejengkal, terbenam hampir ke hulunya.
Merancap persis di antara kedua mata si perwira.
Hanya sesaat, empat prajurit yang duduk mengitari meja itu segera bangkit dari kursinya, meraih bedil
yang mereka sangkutkan di sandaran kursi masing-masing. Lalu berbalik menghadap ke lelaki yang baru saja
menyebutkan namanya "Si Bungsu" itu. Nama yang amat asing di telinga mereka. Mereka mengokang bedil,
namun itulah gerakan terakhir yang dapat mereka lakukan. Sebab tangan lelaki asing itu kembali bergerak.
Dari tangannya meluncur kilatan yang amat sulit diikuti pandangan mata. Keempat tentara itu segera rubuh
malang melintang. Sebilah samurai kecil menghujam di salah satu bahagian yang mematikan di tubuh mereka.
Ada yang terhujam di jantung, ada yang di antara dua mata, ada yang di leher. Satu-satunya yang masih
hidup adalah si perwira yang masih memeluk gadis pemilik bar yang sudah setengah telanjang itu. Sadar bahwa
yang baru datang ini bukan sembarang orang, perwira itu bersikap amat hati-hati. Masih dalam posisi duduk
dia segera mencabut pistol, kemudian dengan cepat menempelkan ujungnya ke pelipis si gadis. Setelah itu
dengan cepat pula dia bangkit. Menghadap kepada orang asing itu dengan si gadis menjadi tameng di depan
tubuhnya. "Buang senjatamu, datang kemari dengan merangkak"." desisnya dalam bahasa Inggeris yang kelam
kabut. Lelaki di pintu itu, yang memang tak lain dari Si Bungsu, tak bergerak seinci pun dari tempatnya. Kedua
tangannya tergantung di sisi tubuhnya. Dia menatap dengan tatapan yang menegakkan bulu roma. "Lepaskan
gadis itu"."desisnya lagi.
Melihat lelaki di pintu tak memegang senjata apapun, perwira Vietnam itu melepaskan ujung pistolnya
dari pelipis si gadis, kemudian dengan cepat menembak orang yang telah membunuh rekannya itu. Namun
pelurunya juga menghajar loteng. Dia meringis. Tanpa dapat dia tahan pistolnya terlepas dari genggaman, jatuh
ke lantai. Tangan kanannya lumpuh total, akibat nadi utamanya yang terletak di lipatan sikunya putus
dihantam samurai kecil lelaki tersebut. Kini samurai kecil itu masih tertancap di lengannya! Si gadis yang masih
berada dalam pelukan si perwira meronta, dan lepas. Dengan susah payah dia berusaha menutupi bahagian
atas badannya yang sudah tak bertutup apapun, dengan sobekan bajunya yang tergantung-gantung.
Gadis itu terkejut setelah melihat lebih teliti ke arah lelaki yang telah menyelamatkan kehormatannya,
yang telah membalaskan kemarahannya. Lelaki itu ternyata lelaki yang tadi dia usir keluar dari barnya ini.
Bukan apa-apa, bar ini sebagaimana umumnya bar-bar yang agak baik sampai bar kelas atas, dilarang melayani
orang asing. Hanya boleh melayani tentara Vietnam atau orang Vietnam asli. Bagi tentara, polisi dan aparat
harus diberikan korting 50 persen. Kini, lelaki yang dia usir itu ternyata telah menyelamatkan nyawanya.
"Kalian akan digantung semua"."
Terdengar si perwira yang lumpuh tangan kananya itu mengancam. Melihat tak seorang pun yang
bereaksi, dengan cepat dia meraih pistol yang berada dalam genggaman temannya yang mati terlentang di
meja. Karena Si Bungsu terlindung oleh sebuah tiang, maka pistol itu diarahkan kepada si gadis pemilik bar.
Namun pelurunya menghantam botol-botol di belakang kasir, setelah menyerempet pelipis si gadis. Dan
setelah itu perwira tersebut tersungkur, hidungnya remuk menghantam jubin. Di tengkuknya tertancap sebuah
samurai kecil. Sepi! Gadis pemilik bar itu, sembari menghapus darah yang mengalir di pelipisnya yang diserempet peluru,
kembali menatap orang yang untuk kedua kalinya menyelamatkan nyawanya.
"Maaf, saya terpaksa kembali kemari untuk menjemput ransel saya yang tertinggal," ujar Si Bungsu
perlahan, sembari melangkah ke arah kursi di mana tadi dia duduk.Diambilnya ransel yang tertinggal di bawah
meja. Sembari menyandang ransel di bahu, Si Bungsu mendekati keenam mayat tentara Vietkong yang
bergelimpangan malang melintang di dalam bar itu. Dicabutinya satu demi satu samurai kecil yang tertancap
di tubuh mayat tentara tersebut. Setelah menghapus darah dari tiap samurai kecil itu kepakaian si tentara yang
menjadi korban, dia lalu menyelipkan bilah-bilah samurai itu ke sabuk di balik lengan baju panjangnya. Sampai
detik itu, gadis pemilik bar yang nyaris diperkosa dan abangnya yang masih hidup, berikut dua pelayan bar
dekat meja kasir, tak seorang pun yang mampu bicara.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 552
Mereka hanya menatap dengan diam kepada lelaki asing bernama Si Bungsu itu. Tentara Vietkong yang
sejak sebulan terakhir menjadi penguasa baru di wilayah selatan ini, teramat sangat berkuasa. Sebagai negeri
yang baru saja usai diamuk perang, wilayah ini diperintah dengan hukum darurat perang.
Dalam Neraka Vietnam-bagian-534
Tentara Utara, yang sudah belasan tahun bertempur dan berhasil mengalahkan tentara Selatan dan
sekaligus mengusir tentara Amerika, berhak menembak mati siapa saja yang dicurigai sebagai musuh dan
mata-mata. Selama sebulan sejak Selatan jatuh ke tangan Utara, di Kota Da Nang ini saja sudah susah
menghitung korban yang ditembak tentara.
Mereka menembak orang yang dicurigai di sembarang tempat. Di jalan, di toko, di rumah, di pasar. Tidak
ada ukuran yang pasti, siapa yang bisa dikategorikan sebagai "orang yang dicurigai". Yang jelas, siapa saja yang
tak disenangi tentara bisa dianggap sebagai "orang yang dicurigai". Karenanya nyawa mereka boleh dicabut
dimana saja dan kapan pun diinginkan. Tak peduli di pasar, di restoran, di bus, di kereta api, termasuk di rumah
mereka sendiri. Usai menyisipkan samurai-samurai kecilnya, Si Bungsu melangkah ke pintu.
Saat itulah si gadis pemilik bar menyadari bahwa dia harus berbuat sesuatu, atau paling tidak
mengucapkan sesuatu kepada lelaki asing yang telah menyelamatkan kehormatan dan nyawanya. "Tunggu"."
Si Bungsu berhenti. Gadis itu memberi isyarat kepada abangnya. Si abang berjalan ke pintu,
membalikkan papan kecil yang tergantung di kaca pintu, yang ada tulisan dalam bahasa Chu Nom, yaitu bahasa
Nasional Vietnam berdasarkan sistem tulisan Cina. Dia membalikkan papan kecil putih itu. Jika tadi tulisan
"Buka" menghadap ke luar, setelah papan dibalikkan, maka kini yang mengarah keluar adalah tulisan "Tutup".
Setelah itu dia berjalan ke luar. Dari luar, dengan pura-pura tak terjadi apa-apa, ditutupkan pula lapisan papan
yang menjadi pelindung kaca-kaca pintu dan jendela. Kaca-kaca reben hitam dan lebar. Setelah mengunci pintu
papan dari dalam, dia masuk.
Gadis indo Vietnam-Perancis pemilik bar itu memberi isyarat kepada abangnya, kemudian kepada dua
gadis pelayan lainnya. "Taruh dahulu mayat-mayat ini di ruang pendingin di belakang"." ujarnya pada si abang.
"Kalian segera bersihkan bekas darah"." ujarnya pada kedua gadis pelayan. Setelah itu dia menatap pada Si
Bungsu, sementara kedua tangannya masih berusaha memegangi sobekan blus dan roknya untuk menutupi
beberapa bagian tubuhnya.
"Janganlah meninggalkan kami saat ini, saya mohon"." ujarnya perlahan dengan air mata mulai
menggenang, tatkala dia lihat lelaki asing itu masih tegak berdiam diri. "Saya mohon maaf atas pengusiran Anda
dari bar ini tadi"." ujarnya lagi. "Bersedialah ikut saya ke atas"." mohonnya sembari melangkah perlahan ka
arah tangga. Dia berhenti dan menatap ke arah Si Bungsu, karena Si Bungsu masih saja belum bergerak setapak
pun dari tegaknya. "Please"." ujarnya memohon. Si Bungsu yang baru saja tiba di Kota Da Nang ini akhirnya
melangkah mengikuti gadis itu.
SEBENARNYA, apa asal muasal makanya dia terlibat dalam kasus di bar itu" Kenapa tadi dia sampai
diusir" Si Bungsu masuk ke bar tersebut karena bar itulah yang terdekat saat dia turun dari taksi, yang
membawanya dari lapangan udara. Dia ingin mencari penginapan. Namun rasa haus membuat dia memasuki
bar pertama yang nampak oleh matanya di pusat Kota Da Nang ini. Setelah duduk, seorang pelayan, nampaknya
gadis asal Vietnam, mendekatinya. Gadis itu bicara padanya. Dia tak mengerti bahasa yang diucapkan gadis
cantik tersebut. Tapi dari nada ucapannya dan telunjuknya yang mengarah ke pintu, dia mengerti bahwa gadis
pelayan itu menyuruhnya keluar.
"Saya hanya minta Cola Cola"." ujarnya perlahan. Ucapan dalam bahasa Inggeris yang baik itu sudah
untuk kali ketiga dia ucapkan. Pelayan itu akhirnya bosan, mungkin juga muak dan marah. Dia berjalan ke arah
bar, bicara dengan seorang gadis yang sejak tadi asyik mencatat-catat sesuatu di mejanya. Gadis itu, nampaknya
pemilik bar, menoleh ke arah lelaki yang tak mau disuruh keluar itu. Dia menyelipkan ballpoin di tangan kirinya
ke daun telinga kanan. Kemudian bersiul. Siulan pendek yang keluar dari sela bibirnya yang merah,
menyebabkan dua lelaki kekar yang sedang membersihkan meja meninggalkan pekerjaan mereka. Lalu
melangkah mengikuti si bos ke meja si lelaki yang masih saja duduk dan menatap ke manusia yang lalu-lalang
di jalan, di luar restoran.
Vietnam saat itu masih berada dalam suasana mabuk kemenangan. Tak satu negara pun di dunia yang
percaya Amerika yang memiliki ribuan pesawat tempur super moderen dan senjata tercanggih di dunia, akan
mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Vietnam Utara yang hanya bermodal nekat. Tapi, beberapa
bulan yang lalu ketidak percayaan itu menjadi kenyataan. Amerika harus menelan kekalahan teramat pahit dan
amat memalukan. Kabur dari negeri itu setelah puluhan ribu tentaranya terbunuh. Belasan ribu lainnya
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 553
dinyatakan hilang tak tahu rimbanya. Kekalahan yang benar-benar tak terbayangkan akan terjadi dalam
sejarah negara super kuat itu.
Vietnam yang sebelumnya satu negara, kemudian terpecah menjadi dua. Utara yang berada di bawah
pengaruh Cina komunis dan Selatan yang berada di bawah perlindungan Amerika. Kini, setelah Amerika
berhasil diusir, dua Vietnam itu kembali menjadi satu negara berdaulat di bawah kekuasaan Partai Komunis.
Lelaki yang disuruh keluar dari bar itu baru sadar, kalau sebuah tim yang "siap tempur" sudah mengepungnya,
yaitu tatkala si pemilik restoran berdiri persis di hadapannya. Menghalangi tatapan matanya yang sejak tadi
memandang ke luar. Dia tak tahu bahwa gadis yang tegak di depannya itu adalah pemilik bar. Dia menyangka gadis itu hanya
pelayan yang lain. Bedanya pelayan ini cantiknya melebihi kecantikan rata-rata gadis yang pernah dia temui di
lobi hotel maupun di jalan-jalan Kota Da Nang yang penuh sesak oleh manusia. Mata si gadis tak begitu sipit,
sebagaimana jamaknya mata gadis-gadis asli Vietnam. Matanya juga tidak hitam sebagaimana mata orang Asia,
melainkan kebiru-biruan. Dengan mata seperti itu, ditambah hidung mancung, sekali lihat orang dengan mudah
mengetahui bahwa dia lahir dari sebuah perkawinan campuran.
Mungkin gadis ini blasteran Perancis. Hal itu kentara dari tubuhnya yang mungil dan bahasanya yang
rada sengau. Negeri ini dahulu memang menjadi jajahan Perancis. Wajar saja kalau kemudian di negeri ini
banyak lahir anak-anak blasteran Perancis. Melihat gadis itu tegak di depannya, si lelaki kembali berkata
dengan sopan. "Boleh saya pesan Coca Cola dengan es".?" "Tuan sudah diminta untuk keluar dari restoran
ini"." ujar gadis itu dengan suara datar, dalam bahasa Inggeris dengan aksen Perancis tapi berlogat bahasa
Vietnam dari rumpun An Nam Tinggi.
Si lelaki merasa heran bercampur terkejut. Dia ingin bertanya, namun tatapan si gadis membuat dia
menoleh ke belakangnya. Dua lelaki kekar, keduanya punya wajah yang mirip dengan gadis yang di depannya,
kelihatan tegak hanya beberapa jari dari tengkuknya. Menatap ke arahnya dengan tatapan setajam pisau cukur.
"Bar ini hanya melayani orang Vietnam, tidak melayani orang asing"." ujar si gadis dengan suara datar. Lelaki
asing itu terdiam mendengar suara yang demikian dingin dan tak bersahabat. Untuk sesaat dia masih duduk
berdiam diri. "Tuan keluar baik-baik atau"." Lelaki itu memutus kalimat si pemilik restoran dengan
mengangkat tangan kanannya. "Maaf saya salah masuk"." ujarnya sambil berdiri dan melangkah ke pintu, lalu
meninggalkan tempat yang tak bersahabat itu.
Hanya belasan detik setelah dia meninggalkan kursinya, enam serdadu Vietkong, dua di antaranya
berpangkat perwira, masuk dengan suara gaduh. Mereka nampaknya mencari minuman, kendati sebahagian
sudah sempoyongan karena mabuk. "Ha" kita senang bisa minum lagi di restoran Madam" mmmm" siapa
namanya" Mm" Amigo" mm.. Amiflorence" oh ya Ami" Ami"!" ujar salah seorang perwira sambil menarik
kursi. Jelas ucapan sindiran. Nampaknya orang-orang utara yang kini menguasai seluruh tanah Vietnam amat
mencurigai, sekaligus membenci segala sesuatu yang berbau Eropah. Gadis pemilik bar ini, yang dia sebut
bernama Amigo, amat "berbau" Eropah. Baik bahasa apalagi wajahnya. Kedua lelaki bertubuh kekar yang tadi
berdiri di belakang si lelaki asing yang keluar itu, buru-buru menarikkan kursi untuk keenam tentara tersebut.
Akan halnya gadis pemilik bar yang baru disindir dengan sebutan madam, amigo dan amiflorence oleh si
perwira, untuk sesaat memerah mukanya. Namun demi keselamatan dia harus bisa menyesuaikan situasi. Dia
tersenyum dan berjalan ke bar.
"Kemari"! Kemari" Madam. Biarkan orang lain yang mengambilkan minuman untuk kami. Madam
harus duduk di sini bersama kami, kecuali madam merasa tak sederajat dengan kami"." Gadis itu berhenti
melangkah. Kemudian memberi isyarat kepada dua gadis asli Vietnam yang bertugas sebagai pelayan, agar
menyediakan minuman. Dalam Neraka Vietnam bag.535
"Tuan mau minum apa".?" tanya Ami. "Duduklah disini.." ujar perwira yang sudah merah mukanya
karena kebanyakan minum itu, sambil menepuk pahanya. Menunjukan dimana gadis itu harus duduk. Karena
dimeja itu, semua kursi sudah terisi oleh keenam tentara itu, Ami menarik kursi dari meja disampingnya.
Namun niatnya itu tidak kesampaian, sebelum tangannya sempat menyampai sandaran kursi, pinggangnya
tiba-tiba sudah diraih oleh si perwira. Kemudian sekali sentak pinggul sintal gadis itu sudah terhenyak di
pangkuan si perwira. Selain karena dipengaruhi alkohol, rasa amat berkuasa karena baru saja menang perang,
apalagi sudah lama tidak "mencicipi" gadis asing. Membuat si perwira ingin melampiaskan hasratnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 554
Tentang kemolekan dan ke montokan si gadis pemilik bar, seorang indo-prancis yang cantik dan
bertubuh amat menggiurkan, sudah beredar dari mulut-kemulut para tentara yang bertugas di Kota Da Nang
ini. Ketika si gadis menolak untuk dicium, dengan kesombongan seorang penguasa dan pemenang perang,
perwira itu merobek blus gadis tersebut. Urutan selanjutnya adalah kemunculan Si Bungsu yang kembali untuk
mengambil ransel yang berisi pakaian, yang tertinggal waktu dia diusir tadi.
Kini, setelah bar itu tutup, Si Bungsu di ajak gadis pemilik bar itu kelantai atas bar tersebut. Sebuah
ruangan yang menjadi tempat tinggal si gadis bersama dengan kedua abangnya. Ruangan tamu dilantai atas itu
sungguh mewah. Lantainya beralaskan permadani mahal. Ada tape deck, televisi serta Video serta sofa yang
amat empuk, semua buatan Amerika. Ruangan sejuk oleh AC. Tak lama dia duduk sendiri, gadis itu muncul dari
kamarnya. Dia sudah mengganti pakaiannya yang compang-camping tadi. Kemudian duduk di sofa persis di
depan Si Bungsu. Pelipisnya yang sobek di sambar peluru sudah diperban.
"Saya buatkan minuman..?" tanya gadis itu, setelah menatap Si Bungsu beberapa saat. "Anda punya Coca
Cola?"" gadis itu mengangguk. "Dengan es.." tambah Si Bungsu perlahan. Gadis itu berdiri dan berjalan ke bar
kecil di sudut ruangan itu. Tak lama dia datang membawa dua gelas Coca Cola, dengan potongan-potongan kecil
es didalamnya. Lalu sepi.
Gadis itu kemudian mengulurkan tangan. Si Bungsu menatapnya. Kemudian menyambut uluran tangan
itu. "Nama saya Ami florence. Ibu saya orang Vietnam, dan Ayah saya seorang Insinyur dari Perancis. Keduanya
sudah lama meninggal dunia?" ujar gadis itu memperkenalkan diri. "Nama saya Bungsu?" "Anda dari Philipina
atau Malaysia?" "Indonesia?" "Ooo"Indonesia.." Sepi beberapa saat.
"Saya benar-benar mohon maaf, karena mengusir anda tadi. Dan..saya tidak tahu harus bagaimana
mengatakan terima kasih atas bantuan yang anda berikan?"Ujar gadis itu, perlahan sambil menatap tepattepat pada Si Bungsu. Si Bungsu menghirup minuman di gelasnya. "Belum tentu saya membantu. Sebab masalah
yang akan Anda hadapi lebih besar lagi. Semua tentara pasti dikerahkan untuk mencari keenam tentara yang
sudah jadi mayat itu. Lambat atau cepat pasti diketahui kalau keenam tentara itu terakhir berada di bar ini, dan
penyelidikan pasti sampai kesini?"
"Tanpa bantuan anda, apapun akibatnya pilihan hanya satu bagi kami, ternista seumur hidup. Diperkosa
dihadapan Abang saya dan karyawan sendiri. Abang saya sudah mencoba menghentikan perbuatan opsir itu
dan abang saya harus membayar dengan nyawa. Betapapun jua apa yang anda lakukan adalah salah satu hal
terbaik yang menyelamatkan nyawa saya, yang takkan pernah saya bisa membalasnya?"
Sepi kembali menggantung diantara mereka berdua. Si Bungsu sudah berniat pamitan. Ketika gadis itu
kembali membuka pembicaraan. "Anda nampaknya, baru sampai di Kota Da Nang ini.." Si Bungsu tak segera
menjawab. Dia kembali mengangkat gelasnya, menghirup Coca Colanya. Kemudian dia mengangguk. "Agak
aneh juga. Sementara semua orang-orang asing diseluruh Vietnam Selatan sudah angkat kaki. Anda justru
datang kenegeri yang sedang dilanda teror ini.." Mereka bertatapan. Abang Ami Florence tiba-tiba muncul
diruang atas bar tersebut. "Ada dua tentara menggedor pintu. Mereka menanyakan kemana enam teman
mereka yang masuk ke bar ini. Saya katakan sudah pergi, bar tutup justru keenamnya pergi. Karena kita sedang
mempersiapkan hari raya Thanh Minh, kita akan membersihkan kuburan orang tua sore ini?" "Lalu mereka
pergi setelah penjelasan abang..?" "Ya?" "Mereka tidak menaruh curiga..?" "Nampaknya belum.." Abang gadis
itu menatap pada Si Bungsu. Menghampirinya, mengulurkan tangan. "Saya Le Duan, abang Ami. Terimakasih
atas bantuan Anda. Kami berhutang budi dan berhutang nyawa pada anda?"
Si Bungsu menyambut salam itu. Menyebutkan pula namanya. Kemudian Le Duan kembali turun, karena
mengatur banyak hal lagi diruang bawah. "Apa yang saya katakan tadi, bahwa kalian akan dapat banyak
masalah besar, sekarang sudah mulai nampak.." ujar Si Bungsu perlahan. "Apapun resikonya,kami sudah harus
siap menghadapi. Peristiwa siang tadi bukan yang pertama saya alami. Dalam minggu ini saja sudah tiga kali.
Dua orang pelayan sudah berhenti, karena diperkosa. Yang seorang di perkosa justru diruangan bar, dihadapan
beberapa tentara yang lain?" tutur Ami. "Apa ada kaitannya dengan ras..?" "Tepatnya ada kebencian yang
mendalam terhadap segala yang berbau barat. Apalagi keturunan seperti kami?" ujar Ami memotong ucapan
Si Bungsu. Kemudian melanjutkan.
"Vietnam sudah ratusan tahun berada dibawah telapak kaki penjajahan perancis. Ketika merdeka
terbelah dua, antara utara yang dikuasai komunis, dengan yang diselatan yang pro pada barat. Ketika akhirnya
barat kalah dalam hal ini Amerika Serikat, maka dendam yang ratusan tahun itu ingin di balaskan seketika.
Kami sebenarnya sudah diingatkan, agar ikut dievakuasi ke Amerika. Sebab, setelah rezim selatan yang
ditopang Amerika kalah, bar saya ini memang tempat minum-minum tentara Amerika. Tentu saja kami dicap
antek Imperialis.." Si Bungsu menghirup Coca Cola digelasnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 555
"Ingin tambah?" "Terimakasih. Terimakasih juga untuk minuman gratis anda. Sudah saatnya saya pergi.
Saya mohon diri, saya harus mencari penginapan.." ujar Si Bungsu sambil meraih ranselnya. "Anda bisa


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menginap disini.." ujar gadis itu cepat. "Apakah bar ini juga berfungsi sebagai penginapan?" ujar Si Bungsu
sambil memperhatikan ruangan diatas bar itu. "Tidak. Ini rumah pribadi. Namun saya sangat berterimakasih
dan mendapat kehormatan jika anda mau menginap disini. Abang saya memiliki kamar dibawah. Di lantai atas
ini ada tiga kamar tidur. Sebuah kamar saya, dua lagi kamar bargirl, para pelayan bar. Dahulu jumlahnya empat
orang. Namun kini hanya tinggal dua orang. Kamar yang satu bisa Anda?" ucapannya terputus, karena Si
Bungsu sudah melangkah pergi. "Terimakasih jamuan minumnya, Nona?" "Tidurlah disini, please.." Mereka
bertatapan sama-sama terpaku dalam diam.
Dalam Neraka Vietnam-bagian -536
"Nona, Anda belum mengenal saya. Anda sudah melihat di bawah tadi. Betapa saya memiliki keahlian
yang nyaris tak tertandingi dalam membunuh orang. Dengan mudah Anda dan saudara lelaki Anda bisa saya
habisi dan harta kalian saya rampok"." "Anda takkan kembali ke bar setelah saya usir, jika Anda benar-benar
tidak ingin menolong saya"." Si Bungsu menatap gadis itu. "Maksudmu".?" "Saya tahu, ransel Anda tidak
tertinggal. Tetapi Anda tinggalkan dengan sengaja. Agar Anda mempunyai alasan untuk kembali"." Si Bungsu
terdiam "Saya sarjana psikologi, dan saya mata-mata Amerika. Saya sudah terlatih untuk mengetahui mana
yang wajar dan mana yang tidak"."
Mereka bertatapan. Si Bungsu heran dan menyimpan kejut di dalam hatinya mendengar gadis itu
menebak dengan tepat apa yang ada dalam hatinya. Terkejut mendengar gadis itu mengaku terus terang bahwa
dia mata-mata yang bekerja untuk tentara Amerika. "Maksudmu, saya sengaja meninggalkan ransel itu agar
bisa kembali untuk bertemu denganmu" Konkritnya, saya sengaja meninggalkan ransel itu karena saya tertarik
dengan kecantikan wajahmu, dengan tubuhmu yang menggiurkan?" tanya Si Bungsu. "Semula saya menyangka
begitu. Saya sudah sering bertemu lelaki yang dalam pertemuan pertama sudah tergila-gila pada saya.
Tuhan menganugerahkan saya wajah indo yang cantik dengan tubuh hampir sempurna karena
perkawinan silang Eropa-Asia. Namun dugaan saya salah, setelah melihat Anda menghabisi nyawa keenam
tentara itu dengan pisau kecil dari balik lengan baju Anda. Saya segera tahu, Anda tinggalkan ransel karena
Anda mempunyai indera keenam yang amat tajam. Yang mampu mencium bahaya yang bakal menimpa kami.
Jika uraian saya tadi, yang didasarkan analisa keilmuan yang saya kuasai benar adanya, saya harap Anda
menginap disini"." ujar Ami Florence. Mereka kembali bertatapan. Lama dan saling berdiam diri. "Bagaimana
jika analisa Anda ternyata salah, Nona?" "Saya yakin apa yang saya simpulkan benar"." ujar Ami.
Mau tak mau Si Bungsu kagum pada ketajaman analisis gadis di depannya ini. Ketika diusir tadi, dia
memang merasa ada yang aneh menjalari pembuluh darahnya. Perasan itu biasanya datang jika ada bahaya
mendekat. Dia tatap orang-orang di dalam bar itu. Tak satu pun yang mengirimkan isyarat bahaya pada dirinya.
Dia jadi maklum, bahaya justru akan menimpa orang-orang di hadapannya ini. Oleh karena itu dia langsung
tegak dan sengaja meninggalkan ranselnya. Dia tak pergi jauh, hanya di seberang jalan. Tak lama dia tegak di
sana, pembenaran firasatnya muncul saat enam tentara Vietkong dia lihat masuk ke bar itu. Dan terjadilah
peristiwa itu. Kini ditatapnya gadis itu, memikirkan tawaran menginap di sana. Dia baru dan asing di kota ini, tak tahu
di mana hotel terdekat. "Sebaiknya Nona tunjukkan saja pada saya hotel terdekat dari sini"." Ami Florence
menatapnya. "Beri saya kesempatan membalas budimu dengan menyediakan tempat menginap bagimu di sini,
please"." Akhirnya Si Bungsu mengalah. Capek dan tak tahu harus kemana, membuat dia menerima tawaran
gadis itu. Dia mengangguk. Ami tersenyum, ada lesung pipit di pipinya. Si Bungsu akhirnya juga tersenyum.
"Saya tunjukkan kamarmu"." ujar gadis itu, sembari membawa Si Bungsu melintasi lantai beralas
permadani. Ada tiga kamar yang tersusun secara amat artistik. Ami membuka pintu salah satu kamar tersebut.
Mengantarkan Si Bungsu masuk ke dalam. Masing-masing kamar ditata dengan isi yang mewah, seperti
layaknya kamar hotel kelas menengah. Ada kamar mandi dengan bathup, ada telepon dan televisi. "Untuk saat
ini, di seluruh Kota Da Nang Anda takkan mendapatkan tempat menginap sebaik ini. Semua hotel dan
penginapan sudah diambil alih tentara. Saya akan ke bawah, Anda istirahatlah. Kita bertemu saat makan
malam"." ujar Ami sambil melangkah ke pintu.
Di pintu gadis itu berhenti, memutar badan dan menatap ke arah Si Bungsu. "Saya tahu Anda terkejut
ketika tadi saya mengatakan terus terang, bahwa saya adalah anggota spionase di pihak Amerika. Kenapa saya
memilih bekerja untuk Amerika, lain kali bisa kita bicarakan. Namun saya punya alasan mengapa saya berani
terus terang mengatakan bahwa saya bekerja untuk Amerika. Tak lain karena saya yakin Anda juga berada di
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 556
pihak Amerika. Paling tidak Anda bersahabat dengan orang Amerika, khususnya dengan tentaranya"." Si
Bungsu kembali merasa kaget atas apa yang diketahui gadis itu tentang dirinya. Namun dia kembali
menyimpan saja rasa kagetnya dalam hati.
"Tidak ingin bertanya dari mana saya tahu Anda berada di pihak Amerika, atau berteman dengan tentara
Amerika?" Si Bungsu tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Dia masih tetap tegak denga ransel di bahu.
"Ransel di bahu Anda itu. Bagi orang lain, bahkan bagi sebahagian besar orang Amerika sendiri, mungkin tak
melihat perbedaan antara ransel yang Anda bawa dengan puluhan ribu ransel lainnya, yang dipakai tentara
Amerika. Ribuan ransel kini bisa dibeli di pasar loak. Baik bekas tentara Perancis, Inggris, Amerika, Cina
maupun Rusia. Dalam Neraka Vietnam -bagian-537
"Namun ransel yang dibahu anda itu memiliki tanda-tanda khusus, yang hanya diketahui sedikit orang.
Dan ransel itu hanya dimiliki oleh para perwira Amerika lulusan west point. Sungguh, ransel yang seperti Anda
miliki itu memiliki nilai yang amat pribadi bagi pemiliknya. Anda takkan menemukannya di pasar loak di Da
Nang maupun Saigon, yang kini sudah berganti nama menjadi Ho Chi Minh. Perwira yang memberikan itu
tentulah merasa amat berhutang budi pada Anda. Sehingga dia memberikan benda yang amat bernilai amat
pribadi itu pada Anda?" gadis itu menghentikan uraiannya yang panjang lebar.
Kali ini Si Bungsu tak dapat menyembunyikan rasa kagumnya pada kecerdasan dan ketajaman
penglihatan gadis tersebut. Namun kembali dia tak memberikan komentar apapun. Dia melangkah kesisi
pembaringan, meletakkan ransel itu disana. Ketika gadis itu menutupkan pintu, Si Bungsu menghenyakkan
pantatnya di tempat tidur. Membuka sepatu, membuka baju. Membuka ban karet yang disisipi Samurai kecil di
pergelangan tangan kanannya. Kemudian membuka ban karet dilengan sebelah kirinya. Samurai-samurai kecil
itu dia letakkan di meja kecil dalam ruangan tersebut.
Kemudian menghidupkan televisi. Menekan tombol pencari siaran. Hanya tiga chanel yang ada siaran.
Ketiganya siaran resmi Vietnam dalam bahasa Inggris, Perancis,dan Vietnam. Dia memilih yang berbahasa
Inggris. Dengan kaos singlet dia membaringkan diri di tempat tidur, mendengarkan siaran berita. Televisi
menyiarkan, dalam perang yang baru saja berakhir serdadu Amerika yang berhasil dibunuh tentara Vietnam
berjumlah 123 ribu orang. Dikabarkan pula, selain yang terbunuh, Amerika juga mengklaim 50 ribu tentaranya
hilang selama peperangan. Amerika menuduh Vietnam menahan dan menyiksa tentaranya yang tertawan di
ribuan tempat penahan yang terpencar di berbagai belantara.
Si Bungsu teringat McKinlay. Seorang temannya yang berpangkat Kolonel, Veteran Perang Vietnam,
bercerita bahwa selama perang yang berakhir amat memalukan bagi Amerika itu negaranya kehilangan 56 ribu
serdadu karena tewas. Sebanyak 18 ribu lainya hilang dan dinyatakan sebagai MIA (missing in action). Dia tak
tahu darimana pemerintahan Vietnam mendapatkan angka tentara Amerika yang mati sebanyak 123 ribu, dan
yang hilang 50 ribu orang itu. Jelas itu angka propanganda. Ingin memberikan kesan kepada rakyat betapa
hebatnya tentara Vietnam. Sebab dalam berita itu tentara Vietnam yang gugur hanya dikatakan 100 ribu lebih
sedikit dari tentara Amerika.
Padahal menurut McKinlay, jumlah tentara Vietnam yang mati dalam pertempuran selama lebih kurang
12 tahun itu tak kurang 500 ribu! Usai pembacaan berita, Presiden Vietnam Nguyen Huu Tho tampil
menyampaikan pesan agar sekitar 200 ribu bekas tentara Vietnam Selatan yang masih belum menyerahkan
diri segera melapor ke markas tentara-tentara terdekat. Batas waktu untuk di proses dengan hukum militer
hanya sampai akhir Juni 1975. Selewat batas itu, semua tentara yang tak menyerahkan diri akan ditembak bila
tertangkap. Si Bungsu teringat keterangan Mc kinlay. Puluhan ribu tentara Vietnam Selatan yang tak sempat keluar
dari selatan saat Vietnam jatuh, pada melepaskan pakaian seragam dan mencampakkan bedil mereka.
Sebagaian besar masuk ke hutan, lari menuju perbatasan Kamboja atau Laos, berusaha untuk menyeberang ke
perbatasan. Takkan ada mahkamah Militer seperti yang disebutkan presiden nguyen huu tho. Semua tentara
yang menyerahkan diri akan ditembak mati. McKinlay juga mengatakan kalau Nguyen Huu Tho adalah presiden
ketiga sejak kejatuhan Vietnam Selatan. Presiden pertama yang di ambil sumpahnya sesaat setelah Saigon jatuh
pada 23 April, adalah Tramn Van Houng.
Beberapa hari sebelumnya Presiden Nguyen Van Thieu lari terbirit-birit ke Amerika. Tapi hanya
beberapa hari duduk di kursi kepresidenan, Van Houng dicopot militer, digantikan oleh Duong Van Minh. Orang
ini pun hanya beberapa hari memerintah. Masih bulan April itu juga, Nguyen Huu Tho naik ke pucuk kekuasaan.
Dialah yang kini sedang berbicara dalam siaran televisi nasional.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 557
Mayat keenam tentara itu dikubur di ruang bawah tanah bar itu. Abang Ami juga di kubur disana tapi
ditempat yang berbeda. Mayat keenam tentara itu disiram dengan sianida, sehingga menjadi hancur.
Sementara kedua gadis pelayan bar disuruh pulang, mereka tak perlu dicurigai akan membocorkan rahasia.
Sebab keduanya juga bahagian dari jaringan mata-mata Amerika. Yang direkrut jauh sebelum Amerika angkat
kaki dari Vietnam. Penjelasan itu di dapat Si Bungsu dari penuturan Ami, tatkala mereka ngobrol diruang
tengah, usai makan malam.
Peristiwa tadi siang nampaknya tak terlalu mengguncang Ami dan Abangnya yang masih hidup. Sebagai
orang yang dengan sadar memilih dunia Spionase sebagai pekerjaan, pembunuhan atau teror sudah menjadi
bagian kehidupan mereka selama bertahun-tahun. "Kini jelaskan kenapa anda sampai tersesat ke Neraka yang
masih menggelegak ini, Bungsu.." ujar Ami Florence sambil menghirup kopi panas. "Pernah mendengar nama
RR?" tanya Si Bungsu. "Roxy Rogers. Anak gadis milyader Alfonso Rogers, blasteran Inggris-spanyol. Ikut ke
Vietnam dengan divisi kesehatan. Tahun 1973 dengan dua petugas kesehatan lainnya dinyatakan sebagai
personil missing in action, hilang saat bertugas. Saat itu satuannya sedang merawat tentara dan penduduk yang
terluka disebuah desa dekat pantai, di Teluk Tonkin, tak jauh dari kota Ha Tinh. Ayahnya sudah mengeluarkan
uang jutaan dollar, membayar tiga tim ekspedisi untuk mencari anaknya. Namun jejak gadis itu hilang, tak
berbekas.." papar Ami, sambil menatap lelaki didepannya, kemudian menyambung.
"Kedatangan Anda ke Neraka ini untuk mencarinya..?" "Ya"." "Anda tentu dibayar mahal Milyader
Rogers.." "Seperti itulah?" "Maksudnya?" "Saya diberi dana tak terbatas sampai berhasil menemukan anak
tersebut?" "Saat anda berada di belantara sana, karena amat besar kemungkinan disanalah gadis itu dan
teman-temannya disekap, uang menjadi tak ada arti. Orang tak bisa keluar untuk membelanjakannya"." "Jika
uang tak berarti, apa yang diperlukan untuk membebaskan para tawanan?" "Penciuman dan penglihatan
setajam harimau afrika, naluri seperti ular cobra, kegigihan seperti tentara Vietkong, kemampuan membela
diri dan ketangguhan seperti gajah luka"!" Demikian tangguhnya tentara Vietkong?"
Ami tak segera menjawab tapi mengirup kopinya, kemudian menatap lurus-lurus ke mata lelaki asing
yang telah menyelamatkan nyawa dan kehormatannya itu. "Jawabannya bisa beragam. Pertama, secara
kesatuan mereka memang tangguh buktinya ribuan tentara Amerika dipaksa angkat kaki, meninggalkan
perangkat perang berserakan dimana-mana, dan akibat yang tak bisa ditaksir dengan uang adalah rasa malu.
Kekalahan ini adalah malu yang takkan bisa dikikis di wajah sejarah Amerika selama dunia berkembang.." Ami
berhenti sesaat. "Kedua, ketangguhan mereka tidak hanya dari ideologi dan militer, tetapi juga tak mau menerima suap
dari musuh. Cukup banyak tentara Vietkong mulai dari prajurit sampai Jenderal yang korup, begitu juga pejabat
sipil. Namun mereka takkan begitu saja menerima uang, berapapun besarnya, jika datangnya dari Amerika.
Apalagi tujuannya untuk membebaskan tawanan perang".." Gadis itu kembali berhenti dan menghirup
kopinya. Kemudian melanjutkan.
"Setahu saya, Rogers paling tidak sudah tiga kali mengadakan kontak tak resmi dengan pejabat Vietkong.
Memohon anaknya dicari dan dibebaskan. Untuk itu dia sanggup membayar sangat tinggi. Tapi sudah dua
tahun berlalu, anak itu tetap hilang tak berbekas"." Ami menyudahi penuturannya. Meletakkan cangkir kopi
dimeja. Menarik nafas dan menatap pada Si Bungsu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 538
"Terimakasih penjelasan Anda. Sebenarnya saya masih ingin mendengar tentang Kota Ha Tinh di Teluk
Tonkin itu, namun saya sudah mengantuk. Saya berharap besok Anda bersedia melanjutkan cerita"." "Siapa
yang menyuruh Anda mengontak saya?" potong Ami.
Si Bungsu terdiam beberapa saat, menatap gadis itu nanap-nanap. "Seorang yang bernama McKinlay"."
ujarnya membuka rahasia. "Jhon McKinlay. Dua kali terjun ke medan perang Vietnam. Kali pertama tahun 1965
bertugas di Da Nang, semasa masih berpangkat Kapten. Tahun 1967 ditarik karena cedera berat setelah kompi
yang dia pimpin remuk redam digasak Vietkong di pegunungan perbatasan Laos. Namun dia juga berhasil
menggasak batalyon Vietkong yang menyerangnya. Pangkatnya naik menjadi Mayor.
Tahun "70 diterjunkan lagi ke Saigon, dengan pengalaman perangnya dia memenangkan berbagai
pertempuran melawan Vietkong. Dia kehilangan kaki kanannya dalam pertempuran di Hamburger Hill. Tahun
1972 dia ditarik ke Pentagon, menjadi perwira perencanaan taktik dan strategi pertempuran hutan di Mabes
Angkatan Bersenjata Amerika itu. Pangkatnya naik menjadi Kolonel"." "Otak Anda seperti kamus"." ujar Si
Bungsu. "Terimakasih, itu pujian kesekian ribu yang pernah saya dengar diucapkan orang untuk otak saya. Tapi
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 558
apa hubungannya McKinlay dengan Rogers?" "Tidak tercatat dalam kamus Anda?" tanya Si Bungsu. Ami
tersenyum, menatap Si Bungsu dan menggeleng.
"Jika kasusnya tidak terjadi di sini, tak kan masuk dalam memori saya"." "Anda sedikit salah. Hubungan
antara McKinlay dengan Rogers justru terjadi di sini"." "Maksudmu, McKinlay berpacaran dengan Roxy
Rogers?" potong Ami Florence. "Bukan McKinlay, melainkan anaknya, McKinlay Junior. Dia dosen matematika
di Universitas Los Angeles. Mereka bertunangan di sini, saat sama-sama bertugas ke Vietnam ini"." Itu hal baru
bagi Ami. Bahwa Roxy Rogers adalah tunangan McKinlay Jr. "Hei, saya mengenal negerimu, saya sudah dua kali
ke sana, tepatnya ke Bali. Kedatangan saya yang pertama sepuluh tahun yang lalu.
Dua hari saya di Bali, Partai Komunis melakukan kudeta di Jakarta. Saya hampir tak bisa pulang.
Kedatangan saya yang kedua tahun 1970, Bali itu sungguh indah, engkau berasal dari sana?" "Dari Indonesia,
bukan Bali. Tepatnya dari Sumatera Barat"." "Wow! Saya pernah ke sana. Sungguh, saya pernah. Ibukotanya
Bukittinggi yang ada grand canyon bukan" Wow, itu negeri yang indah, terletak di pegunungan. Saya ke sana
tahun 70, dari Jakarta naik pesawat terbang ke Padang"." "Ibukota provinsi adalah Padang, bukan
Bukittinggi"." "Oh ya" Tak apalah. Tapi saya terpikat dengan kota mungil itu. Saya menginap semalam di sana.
Esoknya kembali ke Padang, naik pesawat ke Medan, terus ke Singapura dan kembali kemari lewat Taiwan.
Malamnya saya sempat makan jagung bakar yang dijual dekat jam besar tinggi dengan huruf-huruf Romawi
itu"." Si Bungsu menatap gadis itu bercerita dengan diam. "Di sana Anda lahir, Bungsu?" tanya Ami setelah
beberapa saat mereka sama-sama terdiam. "Tidak, tapi di sebuah dusun kecil sekitar 70 kilometer dari kota
tersebut"." "Lalu Anda datang untuk mencari Roxy Rogers. Ke mana gadis itu akan dicari?" "Barangkali Anda
punya saran?" Ami menggeleng.
"Jika dia benar-benar diculik, maka harapan untuk mengetahui dimana tempat dia disekap amat sulit.
Ada ratusan tentara Amerika yang dinyatakan hilang dalam bertugas. Seharusnya, dengan jumlah tawanan
sebanyak itu, akan mudah dideteksi. Tetapi kenyataannya jejak mereka seperti lenyap ditelan kegelapan. Tak
berbekas sama sekali?" "Apakah mereka dibunuh?" "Sebahagian, ya. Sebahagian dipelihara agar tetap hidup.
Sebab suatu saat kelak para tahanan itu akan menjadi barang yang amat berharga untuk menekan Amerika
dalam perundingan"." "Bagaimana kalau?" Si Bungsu tak melanjutkan ucapan nya. "Maksud Anda, kalau dua
atau tiga orang tentara Vietkong ditangkap, lalu disiksa agar mau membuka suara?" Si Bungsu kembali terpana
pada ketajaman fikiran gadis di depannya ini, yang bisa membaca jalan pikirannya. Dia mengangguk.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-539
"Cara itu sudah kuno dan tak ada hasil. Sudah puluhan, mungkin ratusan kali dilaksanakan oleh tentara
Amerika ketika masih berkuasa di sini. Tapi tak seorang pun di antara Vietkong yang disiksa yang dapat
menunjukkan dimana tempat tawanan perang itu disekap. Bukannya mereka tak mau buka suara, siapa yang
tahan pada siksaan" Tetapi, begitu tempat yang ditunjukkannya dilacak, tempat itu sudah kosong. Bangsa kami
sudah kenyang dengan perang melawan Barat. Seratus tahun melawan Perancis, belasan tahun melawan
Amerika. Tempat penyekapan tentara Amerika selalu dipindah-pindahkan untuk menghindari sergapan"."
Buat sesaat mereka kembali sama-sama terdiam.
"Maaf, saya mengantuk?" ujar Si Bungsu akhirnya, sambil mengangguk hormat pada gadis tersebut.
Kemudian berdiri dan berniat masuk ke kamarnya. Namun dia baru berjalan dua langkah ke arah kamarnya,
ketika tiba-tiba dia menghentikan langkah. Tegak diam dengan mata mengecil. "Ada yang datang"." ujarnya
perlahan sembari membalikkan badan dan menatap Ami Florence. Gadis itu juga menatapnya. "Maksudmu?""
"Paling tidak ada tiga puluhan tentara di luar sana, kini berada sekitar lima puluh meter dari sini. Mereka akan
mendatangi tempatmu ini, Nona"." "Anda yakin?""
Ucapannya belum berakhir, ketika abangnya muncul dari lantai bawah. Di bahunya tergantung sebuah
handbag, mungkin berisi pakaian dan uang sekedarnya. Di tangannya ada sebuah bedil otomatis dan di
pinggangnya tiga granat. Semua alat perang itu buatan Amerika. "Dragon menelepon, malam ini seregu tentara
akan menggeledah bar ini dan akan menangkap kita"." ujar abang Ami. Ami Florence menatap pada Si Bungsu.
"Anda mampu mendengar langkah mereka kendati mereka masih jauh?" tanya gadis itu, nyaris tak
percaya. "Saya tak mendengar apapun"." "Tetapi?" "Naluri saya merasakan ada bahaya yang amat besar yang
mengancam kita di rumah ini"." "Bagaimana"." "Tidak perlu kita bahas sekarang bagaimana saya dapat
merasakan datangnya bahaya, Nona. Nampaknya kita harus menyingkir segera?" Gadis itu menatap Si Bungsu
dengan tatapan separoh takjub. "Ya Tuhan, bencana itu ternyata datang lebih cepat"." itulah akhirnya yang
bisa diucapkan gadis tersebut sambil bergegas menuju ke kamarnya.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 559
Ketika dia kemudian muncul kembali, pakaiannya sudah bertukar dengan jeans dan kaos serta sebuah
pistol. Saat itu serentetan tembakan terdengar di luar, di bahagian depan bar. "Mereka sudah mulai. Ambil
barang Anda, Tuan"." ujar abang Ami Florence kepada Si Bungsu. Si Bungsu bergegas ke kamarnya, memakai
sepatu, menyambar ransel. Kemudian bergabung di ruang tengah di lantai atas bar itu. Ami menuju ke dinding
di belakang sofa. Di sana ada sebuah lukisan cat minyak, lukisan enam ekor kuda hitam dan seekor kuda putih
di bahagian depan, tengah berlari di sungai yang dangkal. Air sungai tersibak tinggi ke kiri dan ke kanan akibat
rancahan kaki kuda yang berlari kencang itu. Sebuah lukisan yang indah. Di balik lukisan itu ternyata ada
sebuah tombol. Ami menekan tombol tersebut. Sebuah lampu merah sebesar ujung korek api menyala.
Lukisan dikembalikan ke posisi semula. Tombol dengan lampu merah itu tertutup kembali. Di bawah,
sebuah ledakan granat membuat pintu bar hancur berkeping. Beberapa detik kemudian belasan tentara
Vietnam menghambur masuk sembari memuntahkan peluru dari senapan otomatis merek Kalasinkov buatan
Rusia. "Kita berangkat"." ujar Ami.
Didahului abang Ami Florence, mereka menuruni tangga. Ami di tengah dan Si Bungsu paling belakang.
Hanya beberapa detik, mereka sudah sampai di lantai bawah. Menjelang sampai di lantai bawah, abang Ami
mencabut sebuah paku di dinding. Lantai di depan tangga paling bawah kelihatan bergeser secara otomatis.
Ada tangga menuju ruang bawah tanah. Mereka segera turun, dan lantai beton setebal lebih kurang setengah
meter dengan ukuran satu meter persegi itu segera merapat kembali hanya dua detik setelah Si Bungsu masuk.
Hanya dalam hitungan detik setelah lantai itu merapat, dua tentara Vietnam yang selesai mengobrakabrik isi bar itu sampai pula di tangga tersebut. Namun mereka tak melihat sesuatu yang ganjil di lantai. Lantai
itu terbuat dari ubin yang nampaknya dibuat berpetak-petak besar sebagai kamuflase. Kalaupun orang melihat
dengan cermat, takkan kentara bahwa salah satu dari petak-petak yang sama besar itu adalah pintu rahasia
yang bisa dibuka dan ditutup. Kini pintu rahasia itu sudah mustahil dibuka, kecuali dengan bom. Sebab alatnya
sudah dirusak. Alat itu adalah paku yang tadi dicabut abang Ami saat akan turun. Seorang Kapten, pimpinan peleton
yang melakukan penyergapan itu, segera memerintahkan tiga anak buahnya untuk naik ke lantai atas. Ketiga
prajurit itu segera menghambur. Sesampai di atas, mereka menembaki kamar, tempat tidur dan sofa tamu.
"Mereka tak ada disini"." lapor salah seorang dari yang naik bertiga tadi.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 540
Si Kapten diiringi belasan tentara lainnya segera naik. Mereka memeriksa laci-laci, koper, lemari,
merobek tilam dan bantal dengan sangkur dalam usaha mencari dokumen. Karena tak ada apapun yang
ditemukan, si Kapten menatap dinding ruangan atas tersebut. Matanya yang sipit memperhatikan foto lukisan
dan asesori lainnya yang bergantungan di dinding. Dia memerintahkan anak buahnya untuk menurunkan
semua yang tergantung itu. Ketika lukisan tujuh ekor kuda di belakang sofa diangkat, kelihatan sebuah tombol
kecil berwarna merah. Tentara yang menurunkan lukisan itu memanggil komandannya. Si komandan dan dua perwira
bawahannya segera berkerubung ke sana. Mereka mengerutkan kening, memikirkan tombol apa itu gerangan.
Si komandan meraba dinding di sekitar tombol kecil itu, hanya sesaat, tiba-tiba wajahnya berubah pucat.
"Bom".!" teriaknya sambil melangkahi sofa untuk lari menghindar.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun itulah ucapannya yang terakhir. Sebuah letusan yang amat dahsyat segera terdengar. Gedung
berlantai dua yang digunakan selama bertahun-tahun untuk bar itu, berikut sekitar 25-an tentara Vietnam yang
ada di dalamnya, hancur lebur menjadi serpihan yang tak dikenal! Ami, abangnya serta Si Bungsu, yang berada
hanya dua meter di bawah lantai bangunan tersebut, merasakan guncangan yang amat keras. Namun lantai di
bawah tanah itu nampaknya memang dirancang khusus untuk perlindungan. Selain guncangan yang cukup
keras, tak ada akibat lain bagi ruang bawah tanah tersebut. Sebuah lampu neon yang dihidupkan dengan aki
menerangi ruang di mana mereka kini berada.
"Mereka semua, berapa orang pun jumlahnya di atas sana, sudah menjadi serpihan yang tak bisa
dikenali"." ujar Ami perlahan. Mereka saling bertatapan. Si Bungsu menjadi faham, bahaya yang senantiasa
mengancam, membuat rumah ini dilengkapi dengan ruang bawah tanah untuk bersembunyi dan sekaligus bom
waktu yang juga tersembunyi di balik dinding atau mungkin di bawah tempat tidur, untuk menghancurkan
siapa pun yang berniat mencelakai pemilik rumah ini. Si Bungsu juga yakin banyak rumah-rumah di kota ini,
mungkin banyak rumah di seluruh kota-kota Vietnam, yang dipersiapkan oleh pemiliknya dengan bom waktu
atau ranjau seperti rumah ini. Perang ganas yang amat panjang membuat orang harus tetap waspada setiap
detik akan munculnya bahaya yang bisa merenggut nyawa mereka. "Kalian menjadi buronan sekarang. Kemana
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 560
kalian akan pergi" Seluruh pelosok negeri ini dipenuhi oleh tentara. Dalam waktu singkat foto kalian tentu
sudah akan disebarkan"." ujar Si Bungsu sambil menatap Ami Florence.
Gadis itu menarik nafas. Menatap pada abangnya. Kemudian menatap pada Si Bungsu. "Kemungkinan
buruk seperti ini sudah dikaji akan terjadi. Karenanya, apa yang akan kami perbuat dan kemana kami akan
pergi juga sudah diprogram"." ujar Ami perlahan. "Sebaiknya kita ke ruang kuning"." ujar abang Ami Florence.
"Ya, saya rasa tak ada yang harus kita tunggu di sini. Mari pergi"." ujar Ami sambil menyandang ranselnya.
Abang Ami bernama Le Duan, yang di atas tadi memperkenalkan dirinya kepada Si Bungsu, segera
melangkah duluan. Ruangan di mana kini mereka berada hanya ruangan kecil ukuran dua kali dua meter. Ada
beberapa senter, tali temali, sekop, linggis, bedil, kotak-kotak peluru dan beberapa granat tangan. Le Duan
mengambil sebuah senter, kemudian mulai melangkah. Di hadapan mereka ada dinding tanpa pintu. Ada
beberapa paku tempat menggantungkan tali temali dan mantel. Le Duan mengambil tali nilon, kemudian
menarik pakunya. Dia berjalan ke sisi dinding yang di kanan. Di dinding itu ada beberapa lobang bekas paku yang sudah
dicabut. Le Duan memasukan paku itu ke salah satu lobang tersebut. Tiba-tiba terdengar suara getaran lemah,
lalu dinding di depan mereka, dimana tadi Le Duan mencabut paku, bergerak ke kiri. Dalam beberapa detik,
pertemuan dua dinding di kanan mereka terlihat menjarak. Lalu dinding itu berhenti setelah bergeser sekitar
satu meter. Persis untuk orang lewat. Le Duan menghidupkan senter, lalu melangkah ke ruang di balik kamar
di mana kini mereka berada.
Ami menyuruh Si Bungsu berjalan duluan. Begitu mereka sampai di kamar sebelah, Ami menekan
sebuah tombol di dinding. Pintu rahasia itu kembali tertutup. Suasana tiba-tiba menjadi gelap gulita. Ami
menghidupkan senter, sementara abangnya sudah berjalan duluan di depan, menyelusuri lorong sempit bawah
tanah itu. Kini Ami berjalan di depan, Si Bungsu mengikuti dari belakang. Ada dua tikungan yang mereka lewati,
kemudian Si Bungsu melihat Le Duan kembali mencabut sebuah paku di dinding. Dinding di kanan mereka
terkuak. Ada ruangan di baliknya.
Mereka masuk satu demi satu. Ami menekan sebuah tombol. Ruangan itu tiba-tiba diterangi lampu
berkekuatan sepuluh watt. Si Bungsu segera tahu, kamar inilah yang tadi disebut Le Duan sebagai ruang kuning.
Ruangan itu berukuran sekitar tiga kali dua meter. Ada meja kecil, ada tumpukan barang-barang militer, ada
peta di dinding. "Saya akan memeriksa radio. Mengirim pesan, sekalian memeriksa speed boat"." ujar Le Duan.
Tanpa menunggu jawaban adiknya, lelaki itu mulai menghidupkan senter saat dia melangkah keluar dari ruang
tersebut. Dalam Neraka Vietnam -bagian-541
Begitu dia tiba di luar, pintu kamar itu tertutup kembali. Ada celah kecil di bahagian atas kamar.
Nampaknya berfungsi sebagai sirkulasi udara. Ketika Ami mulai membuka beberapa kantong parasut, Si
Bungsu memperhatikan peta di dinding. Dia segera tahu peta itu adalah peta untuk kepentingan militer. Ada
tiga peta di dinding. Peta Vietnam Utara yang digabung dengan Selatan, peta Kota Da Nang dan peta Kota
Saigon. Pada dua kota terakhir terlihat tanda-tanda di mana markas tentara Amerika sebelum diusir tentara
Utara. "Well, malam ini kita tidur di sini dulu. Kita harus menunggu jawaban dari salah satu kapal perang
Amerika yang berada di sekitar Kepuluan Natuna"." ujar Ami. Ucapan gadis itu mengejutkan Si Bungsu yang
tengah memelototi peta di dinding. Dia mengalihkan tatapannya dari gadis itu ke lantai.
Di lantai sudah terbentang kasur tipis tentara yang dialas dengan terpal. Ada juga selimut pembagian
tentara, dan bantal karet yang untuk menggelembungkannya harus ditiup dulu lewat sebuah pentin di
sudutnya. "Anda tidak keberatan kita tidur berdekatan di sini, bukan?" ujar Ami.
Si Bungsu tiba-tiba merasa kampungan sekali mendengar pertanyaan gadis itu. Biasanya prialah yang
harus bertanya seperti itu kepada wanita. Dia menatap Ami Florence, tapi tadis itu dengan cuek tengah bersalin
pakaian, memasang baju tidur yang nampaknya dia bawa di dalam ranselnya. Si Bungsu terpaksa kembali
menatap ke peta di dinding. "Kita akan tidur bertiga besama Le Duan di sini, bukan?" ujarnya. Usai
mengucapkan kata-kata itu dia menyumpahi dirinya sendiri. "Tidak. Dia tidur di kamar radio. Tapi jangan
khawatir, saya tidak akan memperkosamu"." ujar Ami.
Tumbung, eh tumbuang! Gadis ini benar-benar tumbuang, rutuk Si Bungsu di dalam hati. Dia meletakkan
ranselnya. Kemudian membuka sepatu. Matanya memang sudah sangat mengantuk. Ketika dia akan berbaring,
satu-satunya tempat berbaring di kamar kecil itu hanya ada di sebelah tubuh Ami. Gadis itu sudah duluan
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 561
bergolek dan menutupi badannya dengan selimut tentara yang bergaris-garis seperti belang zebra. Akhirnya
dia memang harus bergolek di sisi gadis itu, sembari ikut-ikutan menyuruk ke bawah selimut.
"Tidak takut kuperkosa?" bisik gadis itu. "Tumbuang, kalera!" rutuk Si Bungsu dalam hati. "Hei" Upik,
hati-hati kalau ngomong. Saya ini durian, engkau mentimun. Cabik-cabik dirimu nanti. Jangan terlalu banyak
siginyang?" ujarnya dengan suara mendesis.
Ami Florence mengerutkan kening mendengar ucapan yang tak dimengertinya itu. Dia memiringkan
tubuh menghadap pada Si Bungsu. Tapi lelaki itu ternyata tidur miring membelakangi dirinya. Sekali rengkuh,
tubuh Si Bungsu dibuatnya tertelentang. "Hei, mengapa ini. Kau"." Ucapannya belum selesai, tangan gadis itu
kembali merengkuhnya. Dan rengkuhan ini membuat tubuh Si Bungsu hampir terpelintir.
Agar tidak terpelintir, dia terpaksa menurutkan rengkuhan itu. Tubuhnya kini menghadap pada Ami.
Dan tiba-tiba dia mendapatkan hidung dan wajahnya hanya sejengkal dari hidung dan wajah gadis itu. Dia
menarik kepalanya agak ke belakang, agar kepala mereka agak berjarak. Namun tangan gadis itu mencekal
rambutnya, menariknya dengan agak kuat, sehingga hidung mereka beradu. "Kau seperti anak perawan saja.
Bicara yang jelas, apa maksud kata-katamu tadi?" ujar Ami dengan geram, sementara tangannya masih
mencekal rambut Si Bungsu.
Kalau ada yang membuat Si Bungsu marah, bukan karena cekalan tangan gadis itu di rambutnya.
Melainkan kata-kata "kau seperti anak perawan saja" itu. Oo, mengkalnya hati Si Bungsu. Tangannya segera
menjambak pula rambut Ami. Menariknya kepala gadis itu sehingga hidung mereka hampir berlantak. "Sekali
lagi kau ucapkan kata-kata "seperti anak perawan" itu, ku patahkan lehermu, Upik"." desisnya dengan mata
melotot. Ami bukannya takut, dia balas memelototkan matanya. Kemudian tersenyum. Kemudian kepala Si
Bungsu diraihnya. Dan sebelum pemuda itu sadar apa yang akan terjadi, ya ampuuun" bibir gadis itu sudah
melumat bibirnya. Lama pula! "Oke, oke! Sekarang katakan padaku, apa arti kata-katamu tadi. Engkau durian
aku mentimun, dan diriku akan cabik-cabik, dan agar aku jangan banyak siginyang. Apa artinya itu?"
Si Bungsu tak segera menjawab. Ada beberapa saat dia pergunakan waktu untuk menormalkan degup
darahnya yang mengencang ketika gadis itu melumat bibirnya tadi. "Katakan, apa artinya ucapanmu tadi,
please?" ujar Ami sambil menyurukkan wajahnya ke dada Si Bungsu, dan tangannya memeluk tubuh lelaki itu
dengan erat. Persis seperti anak kucing kedinginan, yang menyurukkan tubuh ke bawah perut induknya.
Si Bungsu menarik nafas. Dia arif, kedegilan gadis ini merupakan pelarian dari hidupnya yang keras.
Sekuat-kuatnya manusia bertahan menjalani kehidupan dengan tegar, pasti ada ketika dimana dia seolah-olah
terpuruk ke lobang tanpa dasar. Pada saat-saat seperti itu, orang membutuhkan tempat pelarian. Memerlukan
teman yang bisa diajak bicara.
Bahkan tidak hanya tempat pelarian dan teman yang mendengar dan didengar, melainkan juga tempat
berlindung! Orang pandai dan ulet bisa mengatasi persoalan pelik dalam kerja dan tugasnya. Namun ketika
persoalan pelik itu justru datang dari dalam, bukan ancaman dari luar, orang sering merasa gamang. Perlahan
didekapnya tubuh Ami Florence, dibelainya rambut gadis itu yang menebarkan aroma harum yang lembut.
Kemudian dia paparkan apa arti ucapannya tadi. Arti kiasan yang sering dipakai di kampungnya, berkaitan
dengan hubungan lelaki dan perempuan.
Gadis itu mengangkat wajah, menatap pada Si Bungsu, tatkala usai menceritakan arti kata-katanya itu.
"Apakah di kampungmu wanita selalu berada dalam posisi seperti itu" Lemah dan harus dikasihani?" tanyanya
perlahan. "Dalam teori tidak. Tapi dalam kenyataan, ya"." "Apa contohnya?" "Kampungku itu secara kultur
disebut Minangkabau. Di Minang, dalam teori, wanitalah yang memegang kekuasaan. Baik dalam hal harta
pusaka maupun dalam membentuk garis keturunan. Suku anak harus menurut suku ibu. Namun dalam praktek,
wanita tetap saja menggantungkan hidupnya pada lelaki. Di manapun kondisi seperti itu berlaku. Bagaimana
mungkin menerapkan persamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan secara riil"." "Wanita selalu dalam
posisi terjajah?" potong Ami. "Kadang-kadang ya. Namun sebenarnya mereka di lindungi, kaum lelaki punya
kewajiban membuatkan rumah bagi istri dan anak anaknya"."
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 542
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 562
Ami kembali menyurukkan wajahnya ke dada Si Bungsu. Lama mereka saling berdiam diri. Tangan Ami
mempermainkan anak rambut di tengkuk Si Bungsu. "Bungsu".?" Si Bungsu tak menjawab "Engkau punya istri
di kampungmu?" Si Bungsu masih tak menjawab. "Dia tentulah wanita cantik yang sangat beruntung"." Si
Bungsu tak berkomentar sepatah kata pun "Berapa orang anakmu?"
Si Bungsu memejamkan mata. Tetap tak menjawab. Lama mereka sama sama berdiam diri. "Bungsu?""
"Ya?"" "Maafkan kalau pertanyaanku"." "Tak ada yang harus dimaafkan, karena tidak ada yang harus
dijawab"." "Maksudmu".?" "Aku tidak punya anak?" "Oh maafkan aku?" "Aku juga belum pernah menikah"."
Gadis itu mengangkat wajahnya yang tadi disurukkan ke dada Si Bungsu. Menatap wajah pemuda yang
hanya berjarak setengah jengkal dari wajahnya. Lama diperhatikannya wajah pemuda tersebut. Kemudian dia
kembali menjadi anak kucing yang kedinginan, menyurukkan wajahnya ke dada Si Bungsu. Sebagai seorang
ahli ilmu jiwa, Ami segera bisa mengetahui bahwa lelaki yang dipeluknya dan yang memeluknya ini tidak
berbohong sedikit pun. Lebih dari itu, dari sinar matanya Ami juga mengetahui bahwa lelaki ini seorang yang
sering dikecewakan wanita. Bekasnya amat dalam menggurat pada sinar mata dan air mukanya. "Maafkan
pertanyaanku tadi?" "Tidak apa-apa, jangan difikirkan"." "Bungsu?"" "Ya?" "Kau ke Vietnam ini disebabkan
merasa hidup tak ada guna, karena dikecewakan seorang gadis?"
Si Bungsu ingin menampar gadis itu. Namun itu tak dia lakukan, karena apa yang dikatakan gadis ini
85,5 persen benar. Yang 14,5 persen lagi karena dia benar-benar ingin membantu Alfonso Rogers. Karenanya
dia tetap berdiam diri. "Siapa pun gadis yang tega meninggalkan dirimu, orangnya sungguh keterlaluan?"
bisiknya dari dalam dekapan Si Bungsu. Si Bungsu masih berdiam diri. "Sudah berapa lama engkau
meninggalkan kampungmu?" "Tiga tahun?" "Selama itu engkau di Amerika?" "Ya?" Sepi setelah itu.
Si Bungsu menarik nafas, dia senang kalau gadis ini tak ngomong lagi. Apalagi omongannya terusterusan menyucuk puncak kadanya. Dia sudah mulai memejamkan mata. Tetapi" "Bungsu?"" "Hmmmmm?"
"Kalau sudah tiga tahun engkau meninggalkan kampungmu, berarti gadis yang meninggalkan dirimu itu kini
ada di Amerika, bukan?"
Si Bungsu merasa sakit perutnya, sakit jantungnya. Tapi tiba-tiba saja dia ingin tahu, sampai dimana
hebatnya gadis ini bisa "menebak" apa yang sudah terjadi pada dirinya. Dia lalu memutuskan berada pada posisi
sebagai penyerang. "Ami?"" "Ya?"" "Di negeriku cewek seperti engkau punya gelar yang cukup hebat dan
menarik"." "Gelar apa itu?" "Upik asteb dan Upik asngom"." "Gelar apa pula itu, sehingga disebut sebagai cukup
hebat dan cukup menarik?" "Di Minang, Upik itu panggilan untuk seorang gadis secara umum. Butet kalau di
Tapanuli, geulis kalau di Jawa Barat, nona kalau bahasa Indonesianya. Asteb itu singkatan dari katakan "asal
tebak", sementara asngom singkatan dari kata-kata "asal ngomong?". Aduh!"duh. aduh mak, Ampuun".!"
Dia tak bisa menyelesaikan penjelasannya. Dia terpekik-pekik. Antara sakit dan geli, soalnya Ami
Florence yang merasa diolok-olok dengan gemas mencubit dadanya. "Masih mau mengolok-ngolok?" ancam
Ami sambil segera menempelkan mulutnya yang ternganga, dengan gigi siap menerkam ke dada Si Bungsu.
"Tidak, tidak mak ooii! Ampunlah aku. Sebelas dengan kepala".!" ujarnya dengan bulu tengkuk merinding. Ami
justru menjadi heran dengan kata-kata "sebelas dengan kepala" itu. "Sebelas dengan kepala, kalimat aneh apa
pula itu" Kenapa tidak sembilan, tujuh atau dua puluh lima?" ujarnya.
Meski bulu romanya merinding, karena mulut dan gigi gadis itu menempel terus di dadanya, seperti
perangko nempel di amplop, Si Bungsu mau tak mau terpaksa tertawa juga mendengar pertanyaan gadis
tersebut. Entah kenapa, tiba-tiba saja dalam berbicara dengan gadis ini dia banyak mengeluarkan kata-kata
yang berasal dari rumpun bahasa kampungnya. Yang tentu saja tak dimengerti oleh Ami Florence, dan sekaligus
mengusik keingintahuan gadis itu. "Oke, kuceritakan. Tapi mulut dan gigi drakulamu itu jangan ditempelkan
terus ke dad". Addow"!!
Dia terpekik lagi. Ami rupanya jadi jengkel giginya disebut gigi drakula. Dia lalu menggigit dada Si
Bungsu, yang menyebabkan pemuda itu terpekik. "Sebut lagi gigiku gigi drakula".!" ujar Ami, sembari
mengangkat kepala dan menyeringaikan giginya yang putih di hadapan wajah Si Bungsu. Tak cukup hanya
sampai menyeringaikan gigi saja, gadis itu tiba-tiba mempergunakan giginya untuk menyambar bibir Si
Bungsu, dan menggigitnya dengan gemas. Bibir Si Bungsu terkalayak, menjadi dower seperti bibir Mick Jager,
penyanyi rock yang berbini cantik amat itu. "Amfun"amfuuun"!" ujarnya. "Ayo katakan apa arti sebelas
dengan kepala itu"." perintah Ami.
"Huu" alamaaak".!" keluh Si Bungsu tatkala Ami melepaskan gigi dari bibirnya. Kemudian
menyurukkan lagi kepalanya ke dada Si Bungsu. Persis anak kucing kedinginan. "Bungsu".?" "Apa lagi,
eh"ya".?" Si Bungsu cepat-cepat meralat suaranya yang semula bernada jengkel menjadi dilembut-lembutkan.
"Ceritakan soal sebelas kepala itu"." Usai menarik nafas panjang, Si Bungsu lalu menuturkan apa artinya kata-
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 563
kata tersebut. Bahwa orang biasanya minta ampun dengan merapatkan kedua telapak tangan yang berjari
sepuluh, kemudian menundukkan kepala. Jari yang sepuluh dengan sebuah kepala, menjadi sebelas. "Ami"."
"Ya" Aku mengantuk"." "Kita tidur, ya?"" ujar Si Bungsu gembira. "Jadi, selama tiga tahun engkau berada di
Amerika?" tanya gadis itu. "Tapi sudah mengantuk"." ujar Si Bungsu. "Soal gadis yang mengecewakanmu itu
belum selesai"." "Biarlah, kuanggap selesai saja"." "Bagiku belum"."
Dalam Neraka Vietnam -bagian-543
"Besok kita selesaikan"." "Besok kita justru akan berpisah"." Si Bungsu terdiam. "Bungsu".?" "Ya".?"
"Kita berdua tak punya hari esok, bukan" Yang kita miliki hanya saat ini. Ceritalah sebelum "saat ini" itu
berakhir. Please"." ujar gadis itu sambil mempererat pelukannya.
Si Bungsu menarik nafas. Diciumnya rambut gadis itu. Dipereratnya pula pelukannya ke tubuh Ami.
"Gadis itu ada di Amerika?" bisik gadis itu perlahan. "Ya"." ujar Si Bungsu. "Dia pastilah orang Asia"." Si Bungsu
tertegun. Gadis ini ternyata tidak hanya "asteb" dan "asngom". Bagaimana dia bisa menyimpulkan, Michiko, gadis
yang meninggalkannya itu, orang Asia" "Dia orang Asia, kan?" "Bagaimana engkau bisa menyimpulkan
begitu?"" "Entahlah, barangkali naluri kewanitaanku"." Sepi sesaat. "Dia bukan gadis kampungmu, bahkan
bukan gadis Indonesia, kan?" "Bukan.." ujar Si Bungsu dengan perasaan semakin mengagumi ketajaman naluri
Ami. "Karena dia orang Asia, maka yang paling punya kaitan tentulah Jepang. Dia gadis Jepang, Bungsu?""
Kali ini Si Bungsu meraih wajah Ami yang masih berlindung di pelukan dadanya. Ditengadahkannya
wajah gadis tersebut sehingga mereka saling bertatapan. "Bagaimana engkau menebak setepat itu, Ami?"
"Orang Asia yang pernah punya kaitan sejarah dengan kalian adalah Jepang. Alur logikanya adalah sebagai
berikut. Pasukan Jepang pernah menjajah negeri kalian, barangkali ada dendam antara engkau dengan bangsa
Jepang yang menjajah negeri kalian. Mungkin sanak keluargamu, atau mungkin ayah atau ibumu tersiksa atau
terbunuh semasa penjajahan Jepang. Engkau lalu datang ke Jepang untuk menuntut balas. Di Jepang engkau
bertemu dan jatuh hati dengan seorang gadis Jepang. Mungkin kau belajar mempergunakan samurai kecil itu
dari dia, atau mungkin dari orang lain. Yang jelas, samurai kecil yang menjadi senjatamu, kemudian Jepang dan
dirimu, lalu gadis itu dan kedatanganmu ke Amerika, saling kait berkait. Merupakan sebuah sebab akibat"."
Ami menatap dalam-dalam ke mata Si Bungsu. Si Bungsu juga menatap gadis yang amat cerdas itu
dengan perasaan takjub. Kecuali dari siapa dia belajar mempergunakan samurai kecil itu, paparan Ami yang
lain benar semuanya. Perlahan didekatnnya wajahnya ke wajah gadis itu. Perlahan didekatkannya bibirnya ke
bibir gadis itu. Ami memejamkan mata, tangannya memeluk kepala Si Bungsu. Perlahan diciumnya bibir gadis
itu dengan lembut. Setelah itu, perlahan dia tuturkan tentang Michiko secara garis besar. Dia ceritakan mana
yang perlu-perlu saja. Ami Florence mendengarkan dengan kepala tetap berada dalam pelukan Si Bungsu. Dengan tangan tetap
memainkan rambut di tengkuk pemuda tersebut. Ketika Si Bungsu selesai bercerita, suasana menjadi sunyi.
"Kau punya kekasih?" suara Si Bungsu memecah keheningan. Ami semula tak bereaksi. Namun setelah
beberapa saat, dengan wajah masih berada di dada Si Bungsu, dia mengangguk. "Dulu tunanganku seorang
perwira Vietnam Selatan. Tujuh tahun yang lalu dia dan dua tentara Amerika tertangkap oleh Vietkong.
Kemudian dinyatakan hilang. Saya sudah berusaha mencari jejaknya, namun tak ada bekas sama sekali.
Sampai akhirnya dia ditemukan dalam keadaan gila di pinggiran Saigon. Kemudian bunuh diri. Sejak itu aku
membenci tentara Utara dengan sepenuh kebencian. Lima tahun yang lalu aku menawarkan diri menjadi matamata Amerika. Itulah mula asalnya aku bertugas untuk Selatan dan Amerika"." Sepi beberapa saat. "Maafkan
kalau aku membangkitkan kenangan lamamu, Ami"."
Gadis itu menjawab dengan mencium dada Si Bungsu. Kemudian wajahnya, kemudian bibirnya.
Kemudian sepi. "Tadi kata abangmu akan menunggu jawaban radio dari salah satu kapal Angkatan Laut
Amerika yang berlabuh di sekitar Natuna. Apa maksudnya?"" "Ya, Natuna di Laut Cina Selatan, yang berada di
wilayah Kepulauan Riau, Indonesia. Hanya satu itu pulau bernama Natuna di dunia"." "Apakah Pemerintah
Indonesia mengetahui perairannya dipakai oleh armada Amerika untuk kegiatan perang melawan Vietnam?"
"Pasti tahu. Amerika bukan negera bodoh yang tak tahu hukum perairan Internasional. Militer dan pemerintah
Indonesia juga bukan orang-orang tak bersekolah. Tentu ada pembicaraan diam-diam di tingkat paling tinggi.
Perairan itu sudah lama sekali dimanfaatkan Amerika, sejak pecah Perang Teluk Tonkin tahun 63-an. Saat itu,
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 564
Armada VII Amerika berada di perairan tersebut. Kini armada itu sudah ditarik. Tetapi beberapa buah kapal
perangnya masih di sana. Menunggu perintah-perintah darurat. Misalnya untuk menyelamatkan dan
mengungsikan orang-orang tertentu, jumlahnya mungkin masih ratusan di daratan Vietnam ini. Itu di luar
orang yang dinyatakan sebagai yang hilang dalam bertugas"."
"Antara lain seperti engkau dan abangmu?" "Ya?" "Kalian akan diantarkan kemana?" "Terserah kemana
kami inginkan. Bisa ke Inggris, Perancis, Philipina, ke Jepang atau Honolulu. Bisa langsung ke Amerika"."
"Kalian akan hidup di penampungan?" "Yang bertugas khusus seperti kami, tidak. Kami akan diberi status
warga negara Amerika. Diberi perumahan, mobil, biaya hidup untuk jangka tertentu. Lamanya bisa dua atau
tiga tahun. Juga diberi pekerjaan sesuai keahlian yang dimiliki. Ah, kita bercerita terus. Dapatkah kita
memanfaatkan sisa waktu kita yang sedikit ini tidak hanya dengan bercerita?" bisik Ami sembari mempererat
pelukannya di tubuh Si Bungsu.
Di atas sana embun sudah sejak tadi turun mendekap bumi. Namun di reruntuhan bangunan yang
diledakkan dengan bom waktu, ada lusinan tentara Vietkong sedang bekerja. Mereka mengais tiap kepingan
puing. Mengumpulkan serpihan tubuh tentaranya yang bercerai-berai oleh bom. Yang lain memblokir areal
seluas dua hektar di belakang dan di kiri kanan bar itu. Memeriksa setiap rumah dan lorong dalam usaha
mencari pemilik bar itu. Sebab, dari serpihan tubuh yang mereka kumpulkan, tak ditemukan serpihan tubuh
wanita. Tak ada juga serpihan tubuh lelaki dengan pakaian sipil. Berarti ketiga pemilik bar ini, blasteran
Vietnam-Perancis yang amat dicurigai itu, selamat dari ledakan bom. Artinya lagi, mereka sudah lebih dahulu
menyingkir, sebelum bom meledak.
Setiap yang bergerak di tempat-tempat yang dicurigai pasti diperiksa oleh tentara Vietnam dengan ketat.
Seringkali yang bergerak dan dicurigai itu hanya kucing atau anjing. Seekor kucing berwarna hitam bertubuh
besar, yang muncul dari sela-sela semak di bawah dua batang pohon palem, hampir saja ditembak.
Kucing besar itu terkejut ketika matanya disorot senter. Dia melompat ke antara dua pohon palem lain
yang di bawahnya ditumbuhi rerumputan lebat. Tentara Vietnam yang tadi terkejut mengarahkan senternya
ke bawah pohon palem itu. Mungkin karena situasi dalam perang, pemilik pohon palem tak sempat mengurus
tamannya. Selain rumputnya lebat karena tak disiangi, warna rumput itu menjadi pirang. Mungkin karena tak
pernah disiram. Dua tentara Vietnam mendekat ke pohon palem itu. Tubuh kucing hitam besar yang bersembunyi di
rerumputan tebal dan pirang itu menegang. Seolah-olah membaca bahaya yang mengancamnya. Saat kritis itu


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dia melihat sebuah lobang kecil di depannya. Kucing itu segera masuk ke lobang tersebut. Semula agak sempit.
Tapi karena dia berusaha terus untuk menerobos, akhirnya seluruh tubuhnya amblas ke dalam.
Di dalam juga sempit. Namun dibanding udara dingin berselimut embun di luar, di dalam ini terasa amat
hangat. Dia tak tahu bahwa dua tentara Vietnam yang tadi memburunya melihat saat dia masuk ke dalam
lobang kecil. Baru saja dia berada di dalam lobang kecil yang hangat itu, tiba-tiba kedua tentara Vietnam
tersebut mengangkat sebuah kardus. "Dia di dalam, ayo kita kerjain?" ujar yang seorang.
Dalam Neraka Vietnam -bagian- 544
Seperti kekurangan pekerjaan, kedua tentara itu mengguncang dan membanting-banting kardus tempat
kucing itu sembunyi. Kucing itu merasa tubuhnya tergencet, terlambung keatas, terbanting kebawah. Di
pelintir. Dia berusaha bertahan. Dengan tetap menegangkan badannya agar tak remuk. Entah berapa lama
peristiwa itu terjadi, kucing itu tetap bertahan agar tak tercampak keluar, atau tak muntah. Kendati dari
mulutnya sudah meleleh buih keputih-putihan karena dihajar kedua orang tentara itu. "Hei, kalian mengapa
disana"!" Sebuah bentakan menghentikan kedajalan kedua tentara Vietnam tersebut. Mereka menyampakkan
kardus yang didalamnya masih berada kucing hitam itu. Kemudian melangkah cepat-cepat kearah komandan
yang menghardiknya. Kucing itu merasa tulang-belulangnya seperti akan remuk. Sesaat sebelum tubuhnya
lunglai dan diam tak bergerak, moncongnya memuntahkan buih. "Apa yang kalian dapat?" hardik Sersan
kepada dua tentara Vietkong itu. "Kami kira disela salem palem itu ada yang bersembunyi, pak.." jawab yang
seorang dalam sikap sempurna. "Lalu..?" "Ternyata hanya dua kucing besar yang bersembunyi di dalam kardus
bekas.." Plak! Plak! Plak! Kedua prajurit itu dapat dua tempeleng, masing-masing tiga kali dipipi. Mana berani
kedua prajurit itu membantah. Ketika diperintahkan untuk memeriksa lorong dari rumah yang lain, keduanya
segera berlalu dengan cepat setelah memberi hormat.
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 565
Sementara. Esok paginya Ami Florence sudah selesai memasak kopi dengan kompor listrik diruangan
kecil itu. Si Bungsu terbangun tatkala hidungnya mencium aroma kopi yang harum. "Hei, engkau buka restoran
di dalam goa ini?" ujarnya sambil bangkit. "Ya, barangkali kawan-kawan vietkong diatas sana berminat ikut
ngopi?" "Mana Le?" "Sedang mempersiapkan boat karet. Sorry, tak ada kamar mandi. Tapi disudut itu ada
wastafel untuk cuci muka?" "Jam berapa sekarang?" tanya Si Bungsu setelah dia menemukan jam di tangannya.
Mungkin terlepas ketika tidur malam tadi. "Jam sepuluh"."
Si Bungsu menoleh kepada Ami. Gadis itu mengangkat alis dan menganggukkan kepala. Jam sepuluh,
memangnya mengapa saja aku malam tadi maka sampai bangun jam sepuluh, pikir Si Bungsu sambil mencuci
muka dan menggosok gigi dengan sikat gigi yang dia ambil dari ranselnya. Ketika dia duduk untuk sarapan di
meja kecil ternyata Ami sudah menyediakan secangkir kopi dan roti bakar. "Hei, sebaiknya Le ikut sarapan
bersama kita?" ujarnya.
"Dia yang membangunkan saya. Sarapannya sudah saya antar keruang radio?" jawab Ami. Sambil
sarapan gadis itu mengambil sebuah peta kecil dari ransel. Kemudian mengembangkannya dimeja didepan Si
Bungsu. "Ini peta terowongan bawah tanah di kota ini. Bahwa dikota ini ada terowongan hampir semua
penduduk tahu. Tapi ada diantara terowongan itu yang dijadikan tempat-tempat rahasia, hanya kalangan
terbatas yang tahu. Intelijen Amerika dan intelijen tentara Vietnam selatan melakukan penambahan
terowongan selama bertahun-tahun, secara diam-diam dibawah tanah ini"." Ami berhenti sejenak, menghirup
kopinya. Kemudian mengunyah roti bakarnya, kemudian melanjutkan keterangannya.
"Mereka membangun beberapa terowongan rahasia, tanpa merusak terowongan lama, yang berfungsi
sebagai tempat pembuangan air kota. Perhatikan titik merah ini. Ini adalah posisi paku khusus. Alat pembuka
pintu rahasia keterowongan rahasia dari terowongan biasa. Diantara dua atau tiga didinding, ada satu yang
berkepala pipih. Paku ini tidak begitu kentara diantara paku-paku itu.." Ami berhenti lagi. Dia menatap pada Si
Bungsu yang juga sedang menatap padanya. Ami menghirup kopinya.
"Well, cabut saja paku berkepala pipih itu. Perhatikan sekitar setengah meter kebawah, atau kekiri atau
kekanan. Tak lebih dari setengah meter. Pasti ada lobang seolah-olah bekas paku yang dicabut. Masukan paku
yang dicabut itu kesana. Pintu rahasia itu akan terbuka. Bila kau sudah masuk maka akan tertutup lagi. Kau
sudah melihat tadi malam ketika kita melewati dua pintu?" papar Ami. Kemudian mengunyah roti bakarnya.
"Bungsu, perhatikan titik warna hijau, itu adalah jalan menuju keluar terowongan. Ada belasan titik,
tersebar di berbagai penjuru kota, dimana engkau bisa keluar. Engkau bisa saja keluar di sebuah gudang
kosong, dibelakang pasar, dibalik pohon besar, dibengkel tua, atau dibahagian belakang gedung olah raga?""
Dalam Neraka Vietnam -bagian-545
Ami memasang rokok Dunhill-nya. Mengisap dan mengepulkan asapnya dengan nikmat. "Bila engkau
berada di bahagian luar sana, dan ingin masuk ke terowongan rahasia, perhatikan warna merah. Itu adalah
tanda pengumpil. Mungkin terlihat hanya sebagai sebuah besi tua, mungkin berbentuk tong sampah, mungkin
berbentuk tiang bendera. Benda-benda itu harus engkau putar setengah putaran. Pintu rahasia berada
setengah meter dari pengumpil itu. Mungkin di tanah, mungkin di dinding rumah, mungkin di dasar parit besar.
Well, semua yang kau perlukan telah kupaparkan?" ujar Ami mengakhiri uraiannya.
Ketika itu pintu terbuka. Le Duan, abang Ami Florence masuk ke ruangan. Di ikut duduk di samping Si
Bungsu setelah terlebih dahulu menyapa dan menyalami anak muda tersebut dengan ramah. Ami menuangkan
secangkir kopi untuk abangnya itu. Kemudian mengoles kan selai ke roti yang sudah dibakar. Memberikannya
kepada Le Duan. "Nampaknya ada sesuatu yang penting?"" tanya Ami pada abangnya.
Le Duan mengunyah roti di mulutnya, menelannya. Kemudian menghirup kopi. Lalu menatap pada Si
Bungsu, kemudian pada Ami. "Kita terpaksa merubah rencana. Kita tidak bisa pergi memakai speed boat karet.
Komandan kapal USS Alamo sudah lama meninggalkan perairan Natuna dan kini siaga sekitar 200 mill dari
Pulau Hainan mengabarkan perairan Teluk Tonkin sudah dipenuhi puluhan kapal perang Vietnam Utara"."
papar Le Duan sambil berhenti sejenak, mengunyah kepingan roti bakar ditangannya. Usai menghabiskan roti
bakar dia menyambung lagi.
"Tiga kapal dan dua speed boat yang dipakai orang-orang Vietnam untuk melarikan diri mereka tangkap.
Resiko tertangkap dengan memakai boat adalah sembilan ber banding satu. Karenanya, untuk mencapai USS
Alamo kita amat disarankan memakai balon udara. Masalahnya, balon tergantung dari arah hembusan angin.
Angin hanya berhembus ke arah laut di siang hari. Malam hari angin berhembus dari darat ke laut. Gravitasi
alam menyebabkan hal itu terjadi sejak dunia berkembang"." Le Duan berhenti lagi, kemudian menatap
adiknya. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 566
"Melarikan diri dengan balon di siang hari sama dengan menyerahkan leher ke tiang gantungan. Dengan
senang hati tentara Vietnam akan menjadikan kita sasaran tembak meriam-meriam penangkis udara mereka,
bukan?" ujar Ami Florence. Le Duan menghirup sisa kopinya yang terakhir. Dia tak perlu mengomentari ucapan
adiknya dengan menggeleng atau mengangguk. Tak seorang pun yang bicara setelah itu. Mereka saling
bertatapan dalam diam. "Saya rasa, menyelinap dalam kegelapan malam dengan speed boat berkecepatan tinggi jauh lebih punya
kemungkinan untuk lolos dari pada memakai balon di siang hari?" ujar Si Bungsu. "Tetapi perairan yang akan
dilalui penuh kapal-kapal perang yang juga berkecepatan tinggi?" ujar Le Duan. Mereka kembali saling
menatap dengan diam. "Berapa lama USS Alamo bisa menanti?" tanya Si Bungsu.
Kapal-kapal perang Amerika secara bergantian akan bertahan di perairan internasional itu dalam
setahun ini?" ujar Ami. "Jika saat ini risiko melarikan diri amat tinggi, maka alternatif yang tersisa tetap
bertahan di terowongan bawah tanah ini, sampai keadaan memungkinkan untuk pergi. Untuk itu, setiap hari
kontak tetap dilakukan dengan USS Alamo. Mereka bisa memonitor keadaan laut dengan radar mereka. Minta
mereka mengabarkan jika mereka melihat ada kesempatan untuk pergi?" ujar Si Bungsu. Le Duan menatap
anak muda di sampingnya itu. Kemudian menatap adiknya. Mereka sama-sama tersenyum.
"Anda benar. Kenapa harus cepat-cepat menghadang maut, kalau di sini masih tersedia makanan untuk
dua atau tiga bulan. Siang hari kita tidur, malam hari kita gentayangan di luar. Siapa tahu ada hal-hal lain yang
bisa kita perbuat di luar sana. Saya rasa, saya harus menyampaikan saran Anda ke Komandan USS Alamo?"
ujar Le Duan sambil menyalami Si Bungsu, kemudian bangkit dan keluar dari kamar tersebut. "Well, kita
nampaknya harus mencari catur, agar bisa bertahan dan betah di bawah terowongan ini?" ujar Ami.
Si Bungsu tersenyum. Dia meraih dan memperhatikan peta yang penuh tanda-tanda rahasia yang tadi
diberikan Ami. "Anda akan keluar ke atas sana?" ujar Ami. "Sesegeranya?" jawab Si Bungsu. Gadis itu tertegun.
"Maksudmu?""
Si Bungsu menatap gadis itu. Ami Florence menatap Si Bungsu, seperti menanti sesuatu yang tidak
diharapkannya. "Engkau harus menjalankan tugasmu, saya harus menjalankan tugas saya, bukan?" "Engkau
akan segera pergi untuk mencari Roxy Roger?" Si Bungsu mengangguk. Ami Florence merasa sesak nafasnya.
"Tidakkah"." dia tak jadi melanjutkan ucapannya.
Tiba-tiba saja gadis yang terbiasa menghadang maut itu, yang mahir menggunakan senjata dan mampu
membunuh tanpa berkedip, kini berubah dan kembali ke fitrahnya sebagai seorang wanita yang membutuhkan
kasih sayang dan perlindungan. "Hei, apa yang salah?""ujar Si Bungsu kaget, tatkala melihat mata gadis cantik
itu berkaca-kaca. Ami Florence menggelengkan kepala. Membuang pandangan ke tempat lain. Dia berusaha
untuk tidak menjadi sentimentil. Namun usahanya gagal. Matanya basah. "Hei"hei"..ada apa?"" ujar Si Bungsu
lagi, sambil memegang tangan Ami Florence. Gadis itu menggeleng.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-546
"Kapan engkau akan pergi, Bungsu?"" ujarnya sambil mencoba untuk tersenyum. Namun senyumnya
lenyap ketika akan mulai. Dia menunduk. Tak berani menatap pada Si Bungsu. "Hei, ada se"."
Si Bungsu menghentikan ucapannya. Sebagai seorang lelaki yang sudah malang melintang dalam
berbagai kemelut hidup, tiba-tiba dia jadi arif. Ucapannya tadi, yang menyatakan bahwa dia akan segera pergi
menjadi penyebab gadis ini tiba-tiba menjadi murung. Ditatapnya gadis itu. Lama sekali. Ami semula hanya
menunduk. Namun merasa ditatap terus, perlahan dia mengangkat wajah. Menatap Si Bungsu dengan mata
basah. "Malam nanti kita coba keluar, oke?" ujar Si Bungsu sambil mengenggam tangan Ami Florence. Wajah
gadis itu tiba-tiba berubah ceria. Ajakan "keluar" itu berarti Si Bungsu takkan segera pergi. Paling tidak masih
ada waktu baginya untuk tetap bersama-sama semalam lagi. Gadis itu tersenyum dan mengangguk. Lalu
malamnya, saat Si Bungsu menunggu Ami bertukar pakaian di ruangan dimana tadi mereka ngobrol, tiba-tiba
pintu terbuka. Sesosok lelaki muncul dari kamar di mana Ami bertukar pakaian tadi. Si Bungsu menatap nanap
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 567
pada lelaki berambut pendek, berkumis tipis, muda dan tampan yang kini tegak di depannya. Lelaki itu
tersenyum padanya. Kemudian dengan lagak kegenit-genitan dia mendekati Si Bungsu. Lalu tanpa ba tanpa bu, lelaki itu
memeluknya. Membelai pipinya. Si Bungsu merinding. Kemudian lelaki muda itu berbuat lebih jauh lagi. Tibatiba saja dia merengkuh kepala Si Bungsu sembari mendekatkan bibir. Si Bungsu berusaha mengelak. Namun
lelaki itu nampaknya sudah amat bernafsu, dan" cup! Bibir Si Bungsu kena terkam bibir lelaki itu. Semakin
keras Si Bungsu menolakkan tubuh lelaki itu. Semakin keras pula lelaki tampan berkumis pendek itu memeluk
dan melumat bibirnya. Sampai nafasnya sesak. Setelah puas, lelaki itu melepaskan bibirnya dari bibirnya Si
Bungsu, tapi tidak pelukannya. Kemudian lelaki muda itu cengar-cengir. Menjilat bibirnya sendiri dengan
lidahnya yang merah. "Asyik juga jadi homo, ya?" ujarnya sambil tersenyum.
Si Bungsu tak bisa menahan mukanya untuk tidak menjadi merah. "Ini muka menjadi merah tentu
karena nafsu atau karena malu. Pasti bukan karena marah. Iyakan, ya kan?" ujar lelaki berkumis itu sambil
tersenyum dan tangannya malah dengan ramahnya mencubit pipi Si Bungsu. "Ini orang gila?" rutuk Si Bungsu.
Lelaki tampan itu tertawa cengengesan. Kemudian melepaskan pelukannya dari pinggang Si Bungsu.
Kemudian memutar diri, mematut pakaian model komprang berwarna hitam, sebagaimana lazimnya dipakai
orang-orang Cina. "Persis lelaki kan?" tanya lelaki tampan itu.
Si Bungsu memang harus mengakui, pakaian bersahaja dengan kumis tipis dan rambut dipotong sangat
pendek itu merupakan penyamaran yang amat sempurna. Kalau saja dia bertemu orang ini di tempat lain,
bukan di dalam ruang bawah tanah ini, dia pasti takkan menyangka bahwa lelaki ini sebenarnya adalah Ami
Florence. Gadis blasteran Vietnam-Perancis yang cantik itu. Yang agak susah disembunyikan adalah warna
matanya yang biru dan alisnya yang lentik. Tapi bentuk fisiknya yang lain tersembunyi secara total di balik
penyamaran yang sempurna. Dadanya yang montok pun kelihatan datar. Di bahagian dalam dia memakai baju
kaos model T-Shirt, baru di luarnya ditutup dengan baju model Cina berwarna hitam dengan dasar kain kepar.
Untuk menutupi matanya yang biru dan alisnya yang lentik, agar tak menarik perhatian orang-orang
secara mencolok, Ami memakai sebuah topi pet berwarna abu-abu. Lidah topi itu ditekankan agak ke bawah,
sehingga matanya terlindung di bawah bayang-bayang ujung lidah topi tersebut. Kemudian dia menyisipkan
sebuah pistol kecil pada sebuah ban karet yang dikalungkan di betis kirinya. Pistol itu tersembunyi dengan
aman dibalik pipa celananya yang lebar. "Kita keluar sekarang?" tanya Ami setelah puas mematut diri, sambil
kembali memeluk pinggang Si Bungsu. "Kita beritahu abangmu?" ujar Si Bungsu.
Mereka lalu keluar dari kamar berukuran kecil itu. Setelah dua kali membelok dalam gang kecil di bawah
tanah tersebut Ami menekan sebuah tombol. Dinding di depan mereka bergerak perlahan. Mereka masuk, si
Bungsu melihat di kamar berukuran dua kali dua meter itu ada seperangkat alat-alat radio. Beberapa buah peti,
pistol dan senapan otomatis di dinding. Ada sebuah velbed militer. Le Duan menyapa Si Bungsu dengan
melambaikan tangan, dibalas Si Bungsu dengan senyum. Le Duan tersenyum melihat adiknya dalam pakaian
samaran itu. "Kami akan keluar. Nonton, lalu ke nightclub, dansa dan minum es krim campur sedikit soda?" ujar Ami
pada abangnya. "Bawakan aku hamburger?" ujar Le Duan menimpali guyonan adiknya. "Masih ada kontak
dengan kapal Amerika?" ujar Si Bungsu. "Kita berhubungan terus setiap tiga jam sekali. Subuh tadi kapal patroli
Vietnam menyergap dua kapal ikan yang dipenuhi pengungsi.
Karena posisi mereka jauh sekali di Laut Cina Selatan, kapal Amerika itu tak bisa berbuat apa-apa, tatkala
salah satu kapal nelayan yang berisi penuh sesak oleh sekitar dua ratus pengungsi. Lelaki dan perempuan, dari
bayi sampai orang-orang tua ditembaki dan tenggelam karena berusaha terus melarikan diri dalam kabut
subuh?" tutur Le Duan. "Mereka mati semua?" tanya Si Bungsu dengan dada terasa ngilu membayangkan
kanak-kanak dan para wanita mengakhiri hidupnya di laut yang dingin.
"Ya, kapal Vietnam memang mendekati tempat kapal nelayan itu tenggelam. Bukan untuk menolong,
melainkan memastikan tak ada sepotongpun papan yang bisa dijadikan tempat bergantung oleh para pelarian
tersebut. Setelah menembaki semua yang bergantungan di pecahan kapal, kapal perang Vietnam itu segera
berlalu"." "Darimana kita bisa mendapatkan sebuah kapal nelayan untuk melarikan diri?" tanya Si Bungsu. Le
Duan bertukar pandang dengan adiknya. Kemudian menatap kepada Si Bungsu. Tiba-tiba saja bulu tengkuk Le
Duan dan Ami Florence merinding membayangkan maksud lelaki dari Indonesia ini. "Maksudmu?"
"Perang adalah antara tentara dengan tentara. Bukan antara tentara dengan rakyat. Hanya iblis yang
tega menembaki atau membiarkan para wanita dan anak-anak mati dalam kedinginan laut, menjadi santapan
ikan-ikan hiu. Iblis seperti itu harus dilawan dan dihancurkan. Jika tentara di kapal perang Amerika itu tak
berminat melakukannya, saya akan melakukannya sebisa saya. Apapun caranya?" desis Si Bungsu memotong
pertanyaan Ami Florence. Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 568
Kedua kakak beradik itu tak bisa berkata sepatahpun. Jika kapal perang Amerika saja, yang lengkap
dengan meriam dan torpedo tidak berani menghadang kapal perang Vietkong itu, apa pula yang bisa dilakukan
anak muda ini" "Amerika tak mau dicap melanggar teritorial negara lain. Mereka tak mau terperosok lagi dalam
pertempuran dengan Vietnam.
Mereka tak mau menolong hanya karena masalah teritorial dan pertimbangan politik. Jika saya yang
terjun ke sana, tak ada masalah teritorial. Kendati saya orang Indonesia, namun saya tak memiliki kartu
penduduk. Tak satu pun negara yang dituding mendalangi saya. Dimana saya bisa mendapatkan kapal nelayan
itu?"" Kedua adik beradik itu belum mampu bicara sepatah pun, ketika tiba-tiba Si Bungsu teringat speed boat
karet yang semula akan dipergunakan kedua adik-beradik ini untuk melarikan diri. "Kalian punya speed boat
karet, bukan?" tanyanya. "Engkau sungguh-sungguh, sobat?" tanya Le Duan. "Kita akan jalan-jalan keluar,
bukan?" ujar Ami sebelum Si Bungsu menjawab pertanyaan abangnya. "Saya sungguh-sungguh, Le?" jawab Si
Bungsu tanpa menghiraukan pertanyaan Ami Florence. "Saya ikut?" ujar Ami. Le Duan menatap adiknya
nanap-nanap. "Kita ikut berdua?" ujar Le Duan. "Hei, hei" tunggu dulu! Saya tidak pernah mengajak kalian,
bukan" Dan ke laut sana tidak pergi darmawisata?" ujar Si Bungsu.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-547-548
Namun Le Duan tak peduli. Dia mengadakan hubungan dengan kapal perang USS Alamo. Mengatakan
bahwa malam ini mereka akan menerobos barikade laut. Selain dia ada salah seorang lelaki lain yang juga ikut.
Perwira USS Alamo kembali mencegah sembari mengingatkan bahaya yang mengancam di Laut. Terutama di
perairan laut Tonkin yang dipenuhi kapal-kapal perang dan kapal-kapal patroli berkecepatan tinggi milik
Vietkong. "Nanti malam kami kontak ketika kami akan berangkat?" ujar Le Duan tanpa memperdulikan
peringatan perwira tersebut, kemudian mematikan radio.
Ami membawa Si Bungsu dari ruangan itu terlebih dahulu. Mereka kembali kekamar dimana tadi
mereka tidur. Le Duan keluar tak lama setelah kedua orang itu berlalu. Jika Ami dan Si Bungsu berbelok ke
kanan, dengan senter dia justru menelusuri lorong lurus kedepan.
"Engkau sungguh-sungguh ingin melaut dengan speedboat malam ini?" tanya Ami pada Si Bungsu, ketika
mereka sudah berada dikamar yang sempit itu.
"Kenapa tidak?"
"Bagaimana pencarian Roxy?"
"Bisa dilanjutkan besok lusa?"
Ami menatap lelaki didepannya. Belum pernah dia bertemu dengan lelaki yang mempunyai keyakinan
pada dirinya yang begitu kuat.
"Engkau yakin bisa kembali kedaratan ini dalam keadaan selamat?"
"Maksudmu, aku orang yang takabur..?"
"Tidak, tetapi?"
"Ini sebuah perbuatan nekad atau gila?" potong Si Bungsu.
Ami Florence tidak mengangguk juga tidak menggeleng. Dia menatap Si Bungsu dalam-dalam.
"Saya tak dapat membayangkan betapa ada tentara yang kejam melebihi iblis, yang tega menembak
kapal yang di tumpangi wanita dan anak-anak, membiarkan mereka lemas dan terbenam secara amat
menyakitkan. Padahal wanita dan anak-anak itu adalah anak bangsanya sendiri.."
"Tetapi negeri ini diamuk perang"."
"Siapa yang berperang, tentara bukan ?"
"Tidak Bungsu. Semua rakyat ini ikut dalam peperangan. Langsung maupun tidak?"
"Artinya, engkau tidak peduli pada wanita dan anak-anak yang mati terbenam jadi santapan Hiu di laut
sana Ami?" "Siapa yang tak peduli?"
"Lalu?" "Hanya saja?" "Kita takkan mampu melawan mereka, begitu maksudmu?"
"Mereka bersenjata lengkap, Bungsu.."
"Kita takkan mampu melawan mereka secara frontal, Ami. Itu perbuatan gila"."
"Bagaimana tidak akan bertempur secara frontal" Jika nanti dilaut sana kita dipergoki, mereka buru dan
mereka tembaki?" Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 569
"Mereka hanya akan memburu jika kita lari dan melawan bukan?"
"Lalu. Kita akan kelaut. Kemudian kita cari kapal mereka, lalu kita serahkan diri, begitu maksudmu?"
"Tidak sepenuhnya begitu, Ami. Tidak sepenuhnya begitu?"
Malam itu dilaut gerimis turun perlahan. Mereka sudah memacu speed boat bermesin ganda itu sekitar
satu jam. Jauh di utara sana adalah Pulau Hainan. Mereka sudah melewati garis pantai pulau itu, ketika
gemerlap air memperlihatkan beberapa sosok mayat mengapung.
"Tuhanku, ini pasti mayat dari kapal nelayan tadi malam, yang dikabarkan USS Alamo sore tadi?" ujar
Le Duan yang berada di kemudi.
Ami Florence dan Si Bungsu, yang duduk berlindung dibalik kaca bening pelindung angin setinggi
setengah meter dengan lebar satu setengah meter dibagian haluan, menatap kelaut. Mula-mula ada sosok lelaki
di sebelah kanan. Lalu sosok seorang wanita muda yang masih menggendong bayinya. Kemudian sosok gadis
kecil, seorang lagi" seorang lagi, lagi!
Si Bungsu membuang pandangan jauh kedepan. Ami Florence menyandarkan kepalanya kedada lelaki
tersebut. Sejak tadi dia berdoa, agar mereka tidak ditemukan kapal Vietkong. Agar mereka bisa mencapa kapal
USS Alamo, yang kata Kaptennya akan mendekatkan kapal mereka ke perairan Teluk Tonkin. Akan berada di
Laut Cina Selatan, tak jauh dari wilayah teluk tersebut, agar bisa membantu mereka.


Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam Neraka Vietnam-bagian-549-550
"Kecepatan penuh Le?" seru Ami kepada abangnya. "Kedua mesin ini sudah pada kecepatan penuh. Kita
sedang meluncur dengan kecepatan 150 mil perjam. Kita?" seruan Le Duan dari kemudi terhenti tiba-tiba
tatkala matanya tertatap sinar lampu sorot berkekuatan sangat tinggi di kejauhan "Mereka menemukan kita..!"
seru Le Duan. "Ya Tuhan, mereka menemukan kita?" desis Ami Florence sambil menatap dengan gugup kearah
datangnya cahaya lampu sorot yang terang benderang itu.
"Mereka menemukan kita?" ujar Ami kepada Si Bungsu. Namun Si Bungsu tetap bersandar dengan diam
kebantalan karet pinggir speed boat tersebut. Dia samasekali tidak mencoba untuk melihat kearah lampu sorot
itu. "Berapa lama lagi mereka mencapai kita?" tanya Ami pada abangnya, dengan nada cemas yang tak dapat
disembunyikan. "Sekitar sepuluh menit. Mereka nampaknya datang dari arah Quang Nai. Mereka memberi
isyarat untuk mematikan mesin, bagaimana sekarang?" ujar Le Duan.
Quang Nai adalah kota diselatan Da Nang. "Perlahan saja, jangan dimatikan.." ujar Si Bungsu perlahan
dengan tetap duduk bersandar dengan tenang. Jika dia tetap bersandar dengan tenang, tidak begitu halnya
dengan Ami Florence. Gadis ini bisa kuat dan tidak takut menghadapi bahaya apabila berada di darat. Namun
kini dia berada di laut. Mereka tak punya tempat agak sejengkal untuk bersembunyi, apalagi tempat melarikan
diri. Tidak sejengkalpun! Dia memeluk Si Bungsu.
"Apapun yang terjadi, jangan tinggalkan aku Bungsu! Jangan tinggalkan aku. Bahkan di penjara
sekalipun, please.." ujarnya mulai terisak. Si Bungsu memegang pipi Ami yang masih berpakaian penyamaran
lelaki. "Dengarkan, Ami. Kau harus menuruti apa yang aku katakan sebelum berangkat tadi. Engkau dan
Abangmu tetap di Boat ini. Berbuat seolah-olah kalian pelarian biasa. Mereka takkan membunuh kalian
sebelum diketemukan dengan pimpinan mereka. Peralatan Amerika yang kalian bawa ini merupakan sesuatu
yang harus mereka selidiki dari mana asalnya, apakah ada yang lain, berapa jumlahnya dan banyak lagi
pertanyaan. Mereka memerlukan informasi itu. Kalian hanya harus memperlambat naik kekapal, selebihnya
serahkan padaku, oke?"
Ami Florence mengangguk. Kemudian membenamkan dirinya kedalam pelukan lelaki dari Indonesia itu.
"Aku tak takut pada mereka, Bungsu. Aku hanya takut berpisah dengan mu?" bisiknya. Si Bungsu seolah-olah
tak mendengarkan ucapan tersebut. Dia menunggu isyarat dari Le Duan. Speed Boat mereka tetap masih di
dalam cengkraman lampu sorot lampu kapal yang semakin dekat ini. Le Duan memberi isyarat dengan bersuit
sekali. Si Bungsu memasang kaca mata selamnya. Saat dia akan memasang alat pernapasan kecil yang hanya
perlu di taruh di mulut, tanpa tabung gas. Ami menciumnya. "Betapapun, kembalilah padaku?" bisik Ami.
Suara menyuruh berhenti, dalam bahasa inggris yang cukup lancar, terdengar lewat pengeras suara dari
kapal Vietnam itu. "Buru sergap, 12 orang?" ujar Le Duan pada Si Bungsu, setelah mengetahui kapal yang
mendekat pada mereka. Dan saat Le Duan mengencangkan mesin speed boatnya, membuat sebuah tikungan
tajam kekanan. Menyebabkan bahagian kiri speed boat, yaitu bahagian dari arah datangnya lampu sorot kapal
patroli itu, terangkat sekitar setengah meter.
Pada saat itulah, saat bahagian kiri yang terangkat itu melindungi bahagian kanan dari sorot lampu, Si
Bungsu menggelindingkan diri. Hanya ada waktu lima detik, dia sudah berada dalam laut, menyelam agak
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 570
dalam. Speed Boat itu mendatar lagi posisinya dan melaju perlahan kedepan. Meninggalkan Si Bungsu
dibelakang. Kapal patroli mendekati speed boat tersebut. Melintas tak jauh dari tempat Si Bungsu tadi menceburkan
diri. Le Duan menghentikan speed boatnya tatkala dia memperkirakan posisi Si Bungsu sudah berada di
bahagian belakang kapal patroli itu. "Stop, matikan mesin..!!" Terdengar bentakan dari kapal dalam bahasa
inggris beraksen Vietnam. Le Duan menghentikan mesin. "Berdiri dan angkat tangan"!" Le Duan mengangkat
tangannya sambil berusaha menjaga keseimbangan dari goyangan ombak.
"Yang satu lagi itu, berdiri cepat..! atau kami tembak?" "Adik saya sakit keras?" jawab Le Duan. Kapal
patroli itu nampaknya tetap menjaga jarak sekitar lima meter dari speed boat. Menjaga hal-hal yang tak
diingini. Kendati tak dapat melihat mereka yang ada di kapal, namun Le Duan dan Ami memastikan, hampir
semua awak kapal patroli itu tengah berdiri didek kapal, menodongkan senapan otomatis kepada mereka.
Selain, seorang lagi berada di senapan mesin jenis 12,7 yang menjadi andalan kapal patroli jenis ini.
"Tegakkan dia, atau kami tembak sekarang"!" perintah kapal patroli itu. "Baik,, baik jangan tembak?"
ujar Le Duan dengan bahasa Vietnam, sambil melangkah kebahagian depan mendekati Ami yang berpura-pura
sakit. "Lemparkan selimutnya"! sergah Kapten kapal.
Nampaknya dia khawatir kalau dibalik selimut itu ada bedil, yang tiba-tiba bisa ditembakkan kepada
mereka. Le Duan mengambil selimut yang menutupi tubuh Ami. Kemudian melemparkanya ke laut. Lalu
dengan bersusah payah di mendudukkan Ami. Patroli kapal itu melihat seorang lelaki berkumis bertubuh kurus
dan bertopi. Dan dikapal mereka juga melihat tak ada benda lain selain dari sebuah tas pakaian.
Dalam Neraka Vietnam -bagian-551-552
"Lemparkan tas itu kelaut"!!" kembali terdengar perintah dari atas kapal. Le Duan mengambil tas itu
dan melemparkannya ke laut. Saat itu sebuat tali di lemparkan ke arah mereka. "Ikatkan"!!" perintah Kapten
lewat pengeras suara. Le Duan yang masih duduk dengan tangan sebelah menyangga tubuh Ami, segera mengambil tali yang
sebesar jempol kaki itu. Melepaskan tangannya dari punggung Ami. Lalu mengikatkan ujung tali itu di gelanggelang almunium yang berjejer di pinggir speed boat. Setelah tali itu diikatkan, speed boat mereka di tarik
hingga merapat ke kapal. Saat itu Si Bungsu sudah berhasil naik dari buritan kapal patroli tersebut. Mereka sudah
memperhitungkan skenario ini dengan matang. Perhatian awak kapal pasti diarah seluruhnya ke speed boat
itu. Kesempatan itulah yang di pergunakan Si Bungsu untuk muncul ke permukaan air di belakang kapal lalu
merayap naik keatas kapal.
Semula dia mempersiapkan dengan tali kenyal, yang ujungnya diberi cangkok aluminium berlapis karet,
tali itu di persipkan jika kapal terlalu tinggi, di lemparkan dari air dan berharap tali itu menyangkut di terali
atau tiang di pinggir kapal, atau benda apapun. Karena di bungkus dengan karet yang cukup tebal, cangkoknya
pasti tidak akan berbunyi walau mengenai besi di kapal.
Tapi tali cangkok itu tidak jadi di gunakan Si Bungsu. Buritan kapal jenis buru sergap itu hanya setengah
meter dari air. Dengan sekali menjangkaukan tangan dia berhasil mencapai besi melengkung di belakang kapal.
Hanya dua meter dari buritan kapal itu ada sebuah senapan mesin yang di jaga seorang tentara. Tapi
saat itu tentara itu sedang mengarahkan senapan itu kearah speed boat sebagaimana senapan mesin 12,7 yang
ada di depan. Si Bungsu yang sudah naik dan sedang mendekati penjaga itu untuk menghabisinya, tiba-tiba
mengundurkan niatnya. Sebuah kapal patroli yang lain tiba-tiba muncul dan mengarahkan lampu sorot yang
terang itu kearah kapal yang berhenti. Hampir saja tubuhnya di terkam cahaya lampu itu kalau dia tidak cepatcepat berlindung di bawah menara rendah dekat senapan mesin itu.
Dari sana dia menggulingkan diri untuk kembali melosohkan dirinya kembali kelaut. Dia berlindung di
balik bayang-bayang gelap kapal patroli. Dan saat itu terjadi dialog saling tanya antara Kapten kapal dengan
kapal yang baru datang. Menurut skenario yang mereka rancang tadi sebelum berangkat, untuk memberikan
kesempatan pada Si Bungsu dengan Le Duan pura-pura jatuh kelaut karena kehilangan keseimbangan karena
memapah Ami, namun le Duan membatalkannya saat-saat terakhir.
Karena dia berpendapat, kalau dia jatuh ke laut sekarang pasti akan memperlama kapal patroli yang
baru datang itu dekat kapal yang mereka naiki. Itu berbahaya. Lawan mereka jadi bertambah banyak, namun
Ami berpendapat lain. Karena belum terjadi apa-apa dengan kapal yang akan mereka naiki, dia berpikri Si
Bungsu belum berhasil naik. Dia berbisik pada abangnya untuk menjatuhkan diri kelaut, namun abangnya tetap
Koleksi eBook : Drs. H. Hendri Hasnam, MM. 571
berpikir sebaliknya. Ketika abang adik ini saling bberbisik berbeda pendapat itulah kapal patroli yang satunya
melanjutkan perjalanan. Ami segera melaksanakan niatnya, berpura-pura kalau dia kehilangan keseimbangan karena perahu
karetnya di goyang ombak yang ditimbulkan oleh kapal yang baru berangkat itu. Dengan mendorong abangnya.
Untung perhatian sebagian awak kapal itu terbagi dengan kapal yang baru berangkat itu, sehingga pura-pura
kehilangan keseimbangan itu tidak diketahui. Mereka hanya melihat kedua lelaki di perahu karet itu tercebur
kelaut, sebagian menyumpah, dan malah ada yang tertawa. Tali dilemparkan kearah mereka, dan mereka
meraihnya. Dan tali yang mengikat perahu mereka di alihkan mengikatnya ke belakang kapal.
Kapal patroli itu dijalankan dengan perlahan. Saat tubuh Ami dan Le Duan masih bergelantungan dan
berusaha untuk naik. Seluruh awak kapal patroli itu berjumlah sebelas orang. Satu oarang masih menjaga
senapan mesin dibelakang dan satu di depan dekat senapan mesin 12,7, dan satunya di anjungan dekat juru
mudi, menjaga mesin kapal agar tetap hidup. Dari delapan awak yang tadi berkerumun di terali, melihat
pelarian yang mereka sergap itu, tiga diantaranya tetap menodongkan senjata ke arah Ami dan Le Duan, yang
saat itu sudah mencapai bibir dek kapal.
Lima yang lain kempali pada pos masing-masing. Komandan kapal patroli buru sergap itu adalah tentara
berpangkat Kapten, segera menuju ruang kemudi. Setelah memberi perintah pada wakilnya yang berpangkat
letnan, untuk mengikat kedua pelarian itu. Untuk sementara nampaknya mereka belum mau mengintrogasi
apakah ada kapal karet lain yang ikut malam itu menyebrangi laut untuk lari. Kapal meeka segera di pacu
kearah selatan. Ami Florence yang pertama kali merangkak di atas dek itu dagu di hajar dengan sebuah
tendangan. Gadis itu tercampak di dek. Nampaknya itu salah satu cara tentara itu penyambut para pelarian yang
berhasil mereka tangkap. Kemalangan Ami tak hanya sampai disitu, demikian kerasnya tendangan didagunya,
Pangeran Perkasa 13 Pendekar Rajawali Sakti 173 Teror Topeng Merah Hilangnya Pusaka Kerajaan 2
^