Pencarian

Dylan I Love You 4

Dylan I Love You Karya Stephanie Zen Bagian 4


Gue mau di kelas aja dulu, habis ini gue ke UKS."
Grace kayaknya ragu untuk pergi, jadi aku memasang tampang paling ceria yang bisa
kutampilkan, biar dia nggak khawatir, dan untunglah Grace akhirnya pergi ke kantin tanpa
bertanya macam-macam lagi.
*** Siang ini Grace mengantarku pulang. Sepanjang jalan, dia sibuk berceloteh tentang bistro sushi
enak yang baru buka (yang pemiliknya adalah teman Kak Julia, kakak Grace), dan berniat
mengajakku ke sana. Yang ada malah aku nanti bakal mual kalau kupaksa makan.
Mobil Grace sudah memasuki kompleks rumahku sewaktu HP-ku berbunyi. Telepon. Dari
si peneror, yang nomornya sudah kuhafal di luar kepala karena SMS yang dikirimnya kemarin.
Jantungku berdegup cepat, ada rasa takut yang menyelusup. Aku nggak akan mengangkat
teleponnya. Nggak akan. "Hei, HP lo bunyi tuh!" seru Grace. Aku terperanjat, dan mau nggak mau menjawab telepon
itu, karena Grace sudah menatapku dengan pandangan curiga.
"Ha... Halo...," kataku tergagap.
"Hei, ternyata lo nggak cuma goblok ya, tapi juga idiot. Terbelakang," suara seorang cewek
dengan nada benci yang teramat sangat.
Ya Tuhan, ini dia. Ini dia si peneror itu...
"Maaf, tapi kamu..."
"Gue kan udah bilang, JAUHI DYLAN! Lo itu nggak pantas buat dia!"
Dan sambungan diputus dengan sangat kasar, sampai-sampai aku hanya bisa terduduk kaku
di jok mobil Grace, dengan napas yang memburu.
"Siapa, Lice?" tanya Grace, suaranya terdengar khawatir.
"Oh... ini... mmm... salah sambung! Iya, salah sambung!" aku berusaha tersenyum, tapi aku
yakin banget aktingku pasti sama nggak meyakinkannya dengan bintang-bintang sinetron amatir.
"Salah sambung kok tampang lo sampai pucat gitu?" tanya Grace nggak percaya. Nah
kaaannn... apa kubilang" Grace kan nggak bego!
"Mmm... gue..." Aku mengedarkan pandangan ke luar jendela, dan ternyata mobil Grace
sudah berhenti di depan rumahku. "Gue nggak papa, Grace. Thanks ya udah nganterin. Sampai
ketemu besok." Dan sebelum Grace sempat mengucapkan apa-apa lagi, aku sudah menghambur keluar dari
mobilnya. *** "Jadi benar, Anda pacaran dengan Dylan Skillful?" kata seorang wartawan.
"Apa Anda nggak merasa terbebani dengan status Anda?" cecar wartawan lainnya.
"Eh, jadi lo pacarnya Dylan" Kok lo nggak ngaca sih?" kata Noni. "Udah jelek, bego pula!
Lo yang numpahin milk tea ke baju gue, kan?"
"Ihhh... itu ceweknya Dylan Skillful" Jelek yaaa... Nggak imbang gitu lho!" Segerombolan
cewek menatapku dari jauh dan sibuk berkasak-kusuk.
"Lo nggak pantas buat Dylan," kata seorang cewek yang aku bahkan nggak tau namanya.
Nggak pantas... Nggak ngaca... Jelek... "Diaaaaammmm!" jeritku dengan suara parau. Aku duduk dengan napas terengah-engah.
Ternyata mimpi. Yang tadi itu mimpi.
Aku masih duduk di ranjangku dengan napas ngos-ngosan, seolah habis lari puluhan kilo.
Dadaku sesak. Kenapa aku bisa mimpi kayak gitu" Kenapa aku jadi ketakutan gini" Apa ini yang dulu
dirasakan Mbak Karin" Pantas aja dia melepas Dylan...
Apa aku juga harus melakukan hal yang sama" Mungkin kalau melepas Dylan, aku bakal bisa
hidup tenang lagi, jauh dari teror SMS, surat kaleng, telepon iseng, dan perasaan takut ketahuan...
"Alice! Alice!"
Aku menoleh ke arah pintu yang digedor keras. Terdengar suara Mama dari luar. Aku cepatcepat berlari ke depan cermin, merapikan rambutku yang acak-acakan dan berusaha kelihatan
senormal mungkin, lalu membuka pintu.
"Kamu kenapa" Kok teriak-teriak?" tanya Mama begitu aku membuka pintu.
"Aku... aku nggak papa kok, cuma mimpi buruk..."
Mama menyipitkan matanya, tapi lalu mengusap kepalaku dengan sayang. "Hmm
... mungkin kamu kebanyakan nonton film horor tuh," gumam Mama. "Ayo sana mandi dulu, terus makan
ya. Dari pulang sekolah tadi kamu masuk kamar dan belum makan, nanti kamu sakit lho."
Aku mengangguk pasrah. Kulihat langit di luar sudah gelap. Sudah berapa lama aku tidur"
Pasti aku kecapekan memikirkan semua teror itu, dan tanpa sadar tertidur sebegini lama.
"Oh ya, Mama sampai lupa. Ini tadi ada surat buat kamu." Mama mengulurkan beberapa
amplop yang ada dalam genggamannya, dan aku hanya bisa melotot ngeri. "Kok tumben kamu
dapat surat banyak banget. Biasanya nggak ada yang ngirim sama sekali..." Mama meneliti
amplop-amplop itu dengan tatapan heran.
"Eh, itu pasti dari teman lamaku, Ma!" Aku merebut amplop-amplop itu dari tangan Mama.
Mama sampai kaget. "Mmm... aku mandi dulu, Ma."
Cepat-cepat kututup pintu kamarku sebelum Mama semakin curiga.
*** "Alice!" teriak Grace begitu aku muncul di sekolah esok paginya. "Sini lo! Sini!" Grace menarik
tanganku keluar dari kelas. Dia baru berhenti setelah kami sampai di depan Lab Biologi yang
sepi. "Ada apa, Grace?"
"Ada apa" Harusnya gue yang nanya ada apa! Lo kenapa sih, Lice" Berapa hari ini lo
kelihatan aneh banget. Lo ada masalah, ya?"
"Nggak, Grace, gue nggak papa..."
"Bohong!" bentak Grace, aku sampai terlompat karena kaget mendengar bentakannya. "Gue
kira lo menganggap gue sahabat, tapi taunya lo bahkan nggak cukup percaya untuk cerita masalah
lo ke gue!" Aku bengong, dan Grace menatapku tajam. Seumur-umur, Grace nggak pernah marah
padaku, apalagi membentakku seperti tadi.
"Dengar, Lice, gue hargai kalau lo nggak cerita semua masalah lo ke gue, tapi kalau sampai
ada masalah yang buat lo sampai nggak enak makan, murung terus, dan selalu terlihat ketakutan
kayak sekarang, gue harus tau masalah apa itu!"
Mataku mengerjap dua kali. Grace bilang aku selalu terlihat ketakutan"
"Beberapa hari yang lalu, Oscar cerita lo kelihatan aneh banget di ruang musik. Katanya
kalian lagi break latihan, dan lo sibuk sendiri dengan HP lo, terus tiba-tiba lo jadi aneh waktu
kalian mau latihan lagi. Lo pucat... ketakutan... terus lo mendadak kabur dari ruang musik..."
"Gue waktu itu cuma sakit perut, dan nggak tahan mau ke WC!" potongku cepat.
Grace menggeleng. "Gue nggak percaya."
"Ya udah!" bentakku sewot. Aku nyaris melangkah pergi dari depan Lab Biologi, tapi Grace
mencengkeram tanganku. "Lice, jujur sama gue, ya" Apa lo... apa lo diteror?"
Aku terkesiap, dan rasanya mendadak banjir keringat.
"Jawab, Lice! Jawab!" Grace mengguncang-guncangkan bahuku. "Bilang ke gue lo nggak
diteror! Bilang ke gue firasat gue ini salah!"
Aku nggak menyangka ekspresi Grace bakal seaneh itu. Dia kelihatan sama ketakutannya
denganku, bahkan mungkin lebih...
"Lo bener...," kataku lirih. Grace mendongak menatapku, dan wajahnya langsung pias.
"Lo diteror" Lo bener-bener diteror?"
Aku mengangguk, dan mengeluarkan HP-ku dari saku rok seragam, lalu menunjukkan
beberapa SMS teror yang masih tersimpan di inbox.
"Lo... lo udah bilang sama Dylan soal ini?"
"Belum. Dan gue nggak akan bilang apa pun sama dia." Grace menggeleng, tapi aku tetap
pada prinsipku. "Lo sendiri dulu pernah bilang Dylan nggak bisa berbuat apa-apa sewaktu Mbak
Karin diteror. Dia marah, sedih, tapi tetap nggak bisa melakukan apa-apa. Lagi pula, gue nggak
mau bikin Dylan khawatir..."
"Jadi lo bakal tetap meneruskan hubungan lo sama Dylan?"
Aku mengangguk. *** Hari ini Dylan pulang dari tur keliling Sumatra-nya, dan dia bakal mengajakku pergi nonton! Ini
pertama kalinya aku bisa nonton bareng sama dia. Aku senang banget! Memang perasaanku
masih kacau gara-gara semua teror itu, tapi aku sudah bertekad nggak akan menunjukkan
ekspresi ketakutan atau apa pun yang bakal membuat Dylan curiga. Aku tetap akan jadi Alice
yang ceria di matanya. Aku berjalan keluar gerbang sekolah dengan tampang excited, tapi aku langsung bengong
melihat siapa yang menungguku di seberang jalan sekolah.
Bukan, bukan Dylan, tapi Mbak Vita.
"Hai Alice!" sapa Mbak Vita.
"Eh... ada apa, Mbak?" tanyaku kagok. Ngapain Mbak Vita sore-sore gini datang ke
sekolahku" Dan dari mana dia tau aku sekolah di sini"
"Lo kaget ya, kenapa gue bisa ada di sini?"
Aku mengangguk. Kenapa orang-orang selalu bisa membaca apa yang ada di pikiranku sih"
Apa tampangku segitu jelasnya menyiratkan isi kepalaku" Kalau iya, seharusnya aku pakai topeng
aja mulai sekarang. "Gue dimintain tolong sama Dylan buat ngejemput lo."
"Jemput?" tanyaku heran.
"Iya. Kan Dylan bilang, dia mau nonton sama lo. Nah, berhubung Dylan nggak mungkin
datang sendiri buat ngejemput lo, dan Tora lagi sibuk banget, gue yang jemput lo di sini. Kita ke
rumah Dylan dulu, nanti dari sana baru kalian pergi nonton."
Aku manggut-manggut. Kedengarannya memang masuk akal, soalnya Dylan jelas nggak
mungkin banget menjemputku di sini. Yang ada malah nanti bakal jadi acara bagi-bagi tanda
tangan dan foto bareng! "Yuk, pergi sekarang?" tawar Mbak Vita. Aku menurut, dan sesampainya di mobil Mbak
Vita, aku mengirim SMS ke Mama, bilang aku nggak usah dijemput. Kali ini aku nggak perlu
bohong, aku bisa jujur aku mau pergi sama Dylan, kan Mama dan Daddy sudah menyetujui aku
pacaran, hehe... *** Kami sampai di rumah Dylan, dan aku terpesona begitu turun dari mobil Mbak Vita. Bukan,
bukan karena rumah Dylan mewah kayak istana, tapi karena rumah ini adalah salah satu rumah
terbagus yang pernah kulihat, biarpun ukurannya mungil.
"Yuk, masuk. Dylan mungkin masih mandi. Tadi soalnya pas gue berangkat, dia baru datang
dari airport." Aku mengangguk, dan mengikuti Mbak Vita masuk ke halaman rumah Dylan.
Oh wow. Taman rumah Dylan keren banget! Di bagian tengahnya ditanami rumput gajah hijau segar
yang sepertinya habis disiram. Di sisi dekat lantai teras, berjajar pot-pot bunga anggrek aneka
warna yang ditata rapi di atas kerikil-kerikil hitam. Cuma ada beberapa pohon palem botol yang
masih kecil di taman ini, tapi tamannya bener-bener kelihatan teduh dan sejuk!
"Alice" Kok bengong" Ada apa?" tegur Mbak Vita.
Aku gelagapan. "Ehh... sori, Mbak, habis tamannya bagus banget sih."
Mbak Vita tersenyum. "Iya, Tante Ana emang paling hebat kalau soal mengurus rumah,
makanya rumah dan tamannya bagus banget meskipun ukurannya nggak terlalu besar."
"Tante Ana?" "Iya, nyokapnya Tora sama Dylan. Nanti juga lo kenal, orangnya ada kok di dalam."
Aku manggut-manggut, tapi dalam hatiku mulai grogi juga. Gawaaattt... bakal ketemu
nyokap Dylan! Aku kan nggak siap mental sama sekali!
Aku serasa bisa mendengar suara Grace yang cempreng di dalam kepalaku. Kalau tau situasi
apa yang kuhadapi sekarang, dia pasti bakal bilang, "Cieeee... kenalan sama camer nih!"
"Lo kenapa" Kok senyum-senyum sendiri?"
"Ah... nggak papa, Mbak. Aku... agak grogi aja," jawabku malu.
"Oh, grogi ketemu Tante Ana, ya" Tenang aja, Tante Ana orangnya baiiiikkk banget kok.
Gue dulu juga takut, tapi sekarang malah akrab banget sama Tante Ana. Yuk, kita masuk."
Mbak Vita berjalan melintasi taman dan masuk ke teras, aku mengekor di belakangnya.
"Permisi," kata Mbak Vita waktu dia membuka pintu rumah. "Dylan" Tante Ana?"
"Hei, Vita, udah kembali?"
Seorang wanita muncul dari ruang tengah, dan aku langsung panas-dingin. Pasti ini Tante
Ana. Mampus deh aku, grogi bangeeeetttt!!!
"Iya, Tante. Kebetulan sekolahnya Alice kan nggak jauh-jauh amat dari sini."
Tante Ana melongok dari balik bahu Mbak Vita, dan tersenyum melihatku.
"Ah, ini pasti Alice!" serunya senang. "Ayo, ayo, mari duduk dulu. Dylan masih dalam
kamarnya." Tante Ana menggandeng tanganku sampai aku duduk di sofa ruang tamu, lalu dia duduk di
sebelahku. Mbak Vita duduk di sofa seberang. Jantungku melompat-lompat nggak keruan. Aku
bakal diapain nih" Dinilai pantas atau nggak jadi pacar anaknya" Aduuuuhhh...
"Alice sekarang kelas berapa?" tanya Tante Ana ramah. Suaranya halus sekali, dan wajahnya
juga benar-benar keibuan. Mungkin aku aja yang kelewat grogi, orang Tante Ana baik begini.
"Kelas satu SMA, Tante," jawabku sesopan mungkin.
"Oh." Tante Ana mengangguk. "Berapa bersaudara?"
"Saya... anak tunggal."
"Wah, apa nggak kesepian kalau di rumah?"
"Ya, kadang-kadang aja sih Tante. Tapi mungkin karena saya sudah terbiasa, jadi nggak
terlalu kesepian." "Kalau misalnya lagi nganggur di rumah, main-main aja ke sini, temani Tante, ya?"
Aku melongo. Nggak salah nih"
"Dylan kan sering keluar kota. Tora juga kadang-kadang pergi sama Dylan. Papa Dylan dan
Tora baru pulang kantor kalau udah sore. Untung Vita sering ke sini, jadi Tante nggak kesepian.
Kamu juga sering-sering ke sini aja, biar rumah ini nggak jadi sepi."
Aku nggak bisa ngomong apa-apa. Wow, apa aku punya sesuatu yang bikin Tante Ana jadi
senang sama aku" Atau memang Tante Ana sebaik ini sama semua orang"
Aku menoleh ke arah Mbak Vita dengan tampang bingung. Tapi mbak Vita malah
tersenyum dan memberi isyarat dengan matanya supaya aku mengiyakan permintaan Tante Ana.
"Iya, Tante, nanti saya akan sering-sering ke sini sama Mbak Vita," kataku sambil tersenyum.
Tante Ana kayaknya senang banget mendengar kata-kataku.
"Nah, tu dia Dylan udah selesai," kata Mbak Vita, dan aku langsung mengikuti arah
pandangannya. Dylan berdiri di depan pintu yang pasti pintu kamarnya, dan dia tersenyum
menatapku. Oh ya ampun, kenapa cowok ini selalu tambah ganteng kalau aku nggak ketemu dia berharihari"
"Mama," katanya, "Alice jangan dilamar dulu lho. Dia kan masih harus lulus sekolah dulu."
Dylan tersenyum. Kalau ada lubang di sini, aku bakal lompat ke dalamnya, bener deh! Malu banget sih!
*** "Kamu kenapa murung terus gitu?" tanya Dylan waktu kami duduk di salah satu kafe di PIM.
Tadi kami baru selesai nonton, dan ternyata hari ini Dylan benar-benar nekat menyamar pakai
topi dan kacamata, cuma supaya kami bisa pergi bareng tanpa dipergoki orang. Well, kayaknya
lumayan juga penyamarannya, sejauh ini nggak ada satu pun orang yang memanggilnya atau
minta foto bareng. "Say" Kamu nggak papa, ya" Aku kok jadi khawatir lihat kamu, kayaknya kamu punya
masalah yang berat banget gitu."
Aku menggigit bibir. Nggak mungkin aku bilang kalau aku lagi ketakutan gara-gara SMS
yang masuk ke HP-ku barusan. Nggak seperti biasanya, SMS kali ini sudah bawa-bawa kata
"mati" dan "menyesal seumur hidup". Aku benar-benar takut, dan walaupun sudah bersusah
payah menyembunyikan rasa takut itu, ternyata Dylan masih bisa melihatnya di wajahku yang
murung. "Aku... aku nggak kenapa-napa kok. Mungkin karena sekarang udah mau minggu ujian aja,
makanya aku agak stres."
Dylan diam. "Bukan karena kamu marah sama aku, kan?"
"Kenapa aku harus marah sama kamu?" tanyaku bingung.
"Ya, karena aku pergi tur seminggu lebih, dan kita nggak bisa sering ketemu kayak orangorang lain yang pacaran. Mau ketemu aja, harus sembunyi-sembunyi kayak gini. Wajar banget
kalau kamu marah sama aku."
"Nggak, aku nggak marah. Kamu kan emang anak band yang harus tur untuk promo album
kamu. Itu pekerjaanmu, dan aku ngerti kok."
"Thanks ya, kamu bener-bener pengertian, padahal aku selalu ngecewain kamu. Aku nggak
bisa jadi cowok yang baik buat kamu..."
Dylan menunduk, dan aku asli bingung! Aku jadi murung gini kan gara-gara mikirin soal
SMS teror itu, bukannya karena aku marah ditinggal Dylan tur atau apa.
"Oh ya, ini aku ada sesuatu buat kamu." Dylan mengeluarkan HP-nya dari saku.
"Apa" HP-mu?" Ngapain dia kasih HP-nya ke aku" Apa dia udah bosan sama HP-nya dan
mau beli yang model terbaru, makanya yang lama dikasih ke aku" Kamu emang bener gitu, ya
lumayan juga sih, hehe...
"Bukan." Dylan nyengir. "Ini. Dengerin deh." Dylan memencet-mencet beberapa tombol di
HP-nya, lalu menyerahkan HP itu ke aku.
Waktu HP itu menempel di telingaku, sebuah lagu mengalun. Ternyata Dylan merekam satu
lagu di HP-nya, dan ada yang mengiringi nyanyiannya dengan piano. Pasti Ernest.
Aku memasang telingaku baik-baik.
Kusembunyikan kau dari dunia
Kututupi kisah indah kita
Semua kulakukan untukmu, Karena duniaku "kan menyakitimu...
Aku terpaksa bungkam Dan kadang menyangkal Tapi percayalah, Itu tidak dalam hatiku...
Ini bukan untuk selamanya
Hanya sementara Sampai mereka mau menerima
Dan mengerti bahwa Hanya padamu kutemukan cinta...


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ya Tuhan. Lagu ini... Dylan mengarang lagu ini untukku"
"Itu lagu baru," kata Dylan waktu dia melihat ekspresi kagetku. "Aku yang tulis liriknya, dan
Ernest yang bikin melodinya. Itu lagu... untuk kamu... Akan aku masukkan di album Skillful yang
baru nanti." "Tapi, Say..." "Ssstt..." Dylan menempelkan telunjuknya di bibirku. "Aku minta maaf sama kamu seribu
kali aja mungkin nggak cukup untuk menebus rasa bersalahku. Anggap lagu ini jadi permintaan
maafku ya" Ini memang nggak bisa menutupi semua sakit hatimu karena aku nggak bisa jadi
pacar yang baik, tapi..."
Cukup sudah. Aku bener-bener nggak peduli dengan segala macam teror itu. Bisa jadi
pacaran sama cowok sebaik Dylan benar-benar harus dibayar dengan harga mahal, dan mungkin
salah satunya dengan perasaan tertekanku gara-gara semua teror itu.
Tapi aku nggak akan pernah bisa melepas Dylan... Jangan-jangan aku mati kalau kehilangan
cowok ini. Aku bener-bener sayang sama dia. Cowok mana lagi yang sanggup bikin lagu sebagus
ini untukku" *** Hari ini aku seneng banget! Pertama karena hari ini nggak ada satu pun SMS atau telepon teror
yang kuterima. Kedua, Grace katanya dapat voucher dari teman Kak Julia yang punya bistro sushi
yang yummy banget itu, jadi dia bakal mengajakku makan di sana, GRATIS! Ketiga, ulangan kimia
tadi dibagikan, dan coba tebak, aku dapat 85! Wuih, ini rekor tertinggiku untuk pelajaran kimia!
Satu-satunya yang membuat aku sedih cuma karena hari ini Dylan lagi nggak di Jakarta, dan
aku nggak bisa ketemu dia. Dia lagi manggung di salah satu kota di Jawa Timur, kalau nggak
salah... Lamongan" Atau Pekalongan, ya" Ehh nggak tau deh, yang pasti baru besok Dylan
pulang. Tapi nggak papa deh, toh aku udah terbiasa ditinggal-tinggal begini. Risiko jadi pacar
anak band, hehe... Tapi... Grace di mana, ya" Tadi aku menyuruhnya ambil mobil dulu dan menungguku di
seberang gerbang, karena aku masih latihan band sebentar sama anak-anak untuk acara anggung
di aula minggu depan, tapi kok sekarang dia nggak kelihatan batang hidungnya" Hmm... lebih
baik aku menunggunya di seberang gerbang aja.
Aku berjalan dengan santai. Siang ini mendung, jadi udara nggak segerah biasanya. What a
perfect... "Alice! Awaaaassssss!!!"
Mendadak ada tangan yang menarikku ke belakang sampai aku terjengkang di aspal yang
keras, sementara sebuah mobil melaju sangat kencang di depanku. Jaraknya hanya tiga puluh
sentimeter dari tempatku sekarang. Kalau aku masih berada di tempatku berdiri tadi, pasti aku...
"Lo nggak papa, Lice?" tanya suara di belakangku. Sepertinya dia orang yang menarikku tadi.
Aku menoleh dan melihat Oscar dan Moreno meringis kesakitan di aspal. Cepat-cepat aku
bangun, tapi siku dan kakiku terasa perih.
"Kalian..." "Mobil tadi mau nabrak lo, Lice! Awalnya dia pelan, tapi begitu sudah mendekati lo,
mendadak dia melaju cepat," jelas Oscar panik.
"Kalian menyelamatkan gue...," desisku setengah gagap. "Kalau nggak ada kalian, mungkin
gue..." "Ada apa ini" Ada apa?" Sebuah suara lain menyerbu. Grace. Aku menoleh dan melihat
mobilnya terparkir sembarangan di dekat kami. Wajahnya merah dan berkeringat.
"Ada orang yang mau nabrak Alice tadi," jelas Moreno.
"Kalau nggak ada mereka yang menarik gue dari belakang, gue pasti udah... Udah...," jelasku
terpatah-patah. Grace melotot.
"Itu... apa tadi itu..."
"Itu jelas bukan kecelakaan, Grace," potong Oscar. "Mobil itu masih pelan jalannya, tapi
begitu mendekati Alice, dia bukannya menurunkan kecepatan, malah semakin tancap gas."
Aku menoleh menatap Grace dengan ngeri. Apakah ada orang yang dengan sengaja mau...
mau membunuhku..." HP-ku berbunyi. Nomor si peneror terpampang di layarnya. Dengan takut kudekatkan HP
itu ke telingaku. "Halo..." "Cih! Harusnya lo udah MATI!"
"Lo... lo yang..."
"Haha, nggak masalah. Mungkin itu tadi bisa cukup jadi peringatan buat lo yang keras kepala
dan idiot. Kalau lo masih nekat melanjutkan hubungan sama Dylan, lo bakal mengalami hal yang
lebih buruk dari ini, jadi siap-siap aja."
Telepon terputus, dan aku masih terpaku di tempatku berdiri. Tangan dan kakiku yang lecet
terasa perih dan berdenyut, tapi degup jantungku yang ketakutan mengalahkan semuanya.
"Dia, Grace... Dia...," kataku lirih. Lalu badanku terasa ringan, dan mendadak sekelilingku
gelap. *** Kepalaku terasa pusing luar biasa, dan aku mencium bau obat yang membuat perutku mual. Di
mana ini" "Lice" Lo udah sadar" Thank God..."
Suara Grace. Sedetik kemudian aku melihat wajahnya yang khawatir tepat di depan mataku.
"Gue di mana, Grace?"
"UKS. Lo pingsan tadi setelah terima telepon. Gue bener-bener panik! Untung ada Oscar
dan Moreno, merek ayang bantu gue ngebawa lo ke sini."
Aku membelalak. Oscar... Moreno... apa mereka"
"Lo tenang aja, gue udah bohong sama mereka berdua, dan mereka udah pulang tadi," kata
Grace pelan, seolah bisa membaca kekhawatiranku.
"Lo... ngomong apa sama mereka?"
"Gue meyakinkan mereka kalau ini pasti murni kecelakaan. Nggak akan ada orang yang
sanggup membunuh lo, karena lo orang baik, dan nggak mungkin punya musuh."
"Mereka percaya...?"
Grace mengedikkan bahu. "Gue nggak tau. Semoga aja percaya. Tapi gue udah minta
mereka untuk nggak cerita hal ini ke siapa-siapa."
Aku bangun dari ranjang UKS, berusaha duduk. Tangan dan kakiku masih perih, tapi sudah
terbalut plester. Mungkin perawat UKS yang membalutnya sewaktu aku pingsan tadi.
"Nih, minum dulu." Grace menyorongkan segelas air mineral, dengan sedotan yang sudah
ditancapkan. Aku cepat-cepat meminumnya.
"Perawat UKS mana?" tanyaku bingung, menyadari cuma aku dan Grace di ruangan ini.
"Udah pulang. Tadi dia mengobati lo, tapi ini sudah jam pulang, jadi gue minta dia pulang
aja, biar gue yang menunggui lo. Dia setuju, dan menitipkan kunci UKS ke gue, yang harus gue
balikin ke dia besok pagi."
"Lo bilang apa ke dia?"
"Sama seperti apa yang gue bilang ke Oscar dan Moreno. Gue bilang lo keserempet di depan
sekolah. Untung dia bukan jenis ibu-ibu cerewet yang banyak tanya."
Aku memejamkan mata, lalu berbaring lagi. Kepalaku terasa berat.
"Lice... tadi sebelum lo pingsan, lo bilang..." Grace nggak meneruskan kata-katanya.
"Iya, Grace," jawabku lirih. "Ini perbuatan dia, si peneror itu..."
"Orang itu benar-benar gila!" maki Grace keras. "Ini udah kelewatan! Dia sudah melakukan
percobaan pembunuhan, dan itu tindak kriminal! Lo harus lapor ke polisi!"
"Nggak, gue nggak mau bikin ortu gue cemas..."
"Nggak mau bikin ortu lo cemas gimana" Ortu lo emang seharusnya cemas kalau tau
anaknya jadi sasaran pembunuh psikopat!"
"Grace, sudahlah... Ini semua kan terjadi karena gue pacaran sama Dylan... Kalau gue nggak
pacaran sama Dylan, ini juga nggak akan terjadi..."
"Jadi... maksud lo, lo mau..."
Aku mengangguk pahit. "Kesabaran gue ada batasnya, Grace. Dan gue juga nggak mau nanti
Dylan jadi cemas mikirin gue. Lebih baik kami putus aja..."
Grace terdiam, tapi dia memelukku erat. Aku menangis di dadanya. Beberapa hari yang lalu
aku begitu yakin aku akan sanggup menghadapi halangan-halangan dalam hubunganku dan
Dylan. Di mataku waktu itu, semua halangan itu hanya kerikil-kerikil kecil. Tapi sekarang kerikilkerikil kecil itu sudah mulai membuat kakiku berdarah...
Aku nggak bisa bertahan lagi.
IT"S OVER "KAMU diteror?"
"Ya. Lewat SMs. Telepon. Surat kaleng... Aku nggak tahan lagi... Aku takut..."
Alice membuka tasnya, dan mengeluarkan banyak sekali amplop. Gue membuka salah
satu amplop itu dan membaca isinya. Jauhi Dylann, atau lo bakal menyesal seumur hidup.
Gue buka amplop yang lain. Lo ngaca dong, lo itu nggak pantas buat Dylan! Lalu amplopamplop lainnya. Semakin banyak yang gue baca, isinya semakin mengerikan. Alice juga
menyerahkan HP-nya ke gue, dan gue benar-benar shock membaca puluhan SMS teror yang
disimpannya di inbox. Semua dari nomor yang sama.
"Ternyata ini ya, yang bikin kamu murung belakangan ini" ini yang kamu sembunyikan
dari aku?" tanya gue pahit.
Alice mengangguk, air matanya menetes. "Lan, aku cuma pengin yang terbaik buat
kamu... Selain semua teror ini, aku juga sadar aku nggak cukup baik buat kamu. Masih
banyak cewek yang jauh lebih baik buat kamu di luar sana. Yang lebih cantik, yang samasama terkenal..."
Lihat, kan" Dia sekarang bahkan sudah kembali manggil aku "Lan" lagi, bukan "Say"
kayak biasanya! Dan omongannya juga mulai melantur! "Tapi aku nggak mau sama mereka!
Aku maunya sama kamu!"
Alice menggeleng. "Aku cuma akan membuat image-mu jeblok kalau nanti fans-fansmu
tau aku pacaran sama kamu. Aku nggak... nggak cukup pantas untuk jadi pacar idola mereka.
Dan, sebelum mereka tau, lebih baik kita putus aja..."
"Damn!" Gue meremas rambut, dan duduk di sebelah Alice. "Please, jangan tinggalin
aku. Aku ngerti banget ini berat buat kamu... Semua teror itu... Nggak bisa pacaran seperti
layaknya orang normal... Aku memang egois, gampang aja ngomong kayak gini, sementara
kamu yang menghadapi semuanya, tapi aku..."
"Udahlah. Jangan bikin semuanya jadi tambah sulit. Kita cuma perlu putus."
"Kamu jangan bilang gitu..."
"Aku nggak bercanda, Lan. Kenyataannya memang kita nggak bisa kayak gini terus,
kan" Kita nggak bisa bohong bahwa duniamu sama duniaku itu berbeda jauh... Dunia kita
itu... seperti dua garis lurus yang sejajar, sampai kapan pun nggak akan ada titik temunya..."
Bagus, sekarang Alice juga sudah mulai pakai perumpamaan. Semua teror itu benerbener sudah mengacaukan pikirannya.
"Kalau gitu... kita harus membengkokkan salah satu garis itu, supaya ada titik temunya,"
kata gue kecut. "Aku... setelah ini aku nggak mau pacaran backstreet lagi sama kamu. Kita
bakal go public, biar aja semua orang tau kita pacaran, dan kamu bisa ganti nomor HP,
supaya orang brengsek itu nggak meneror kamu lagi. Kit amasih bisa mengubah semuanya..."
Alice melotot, dan gue rasanya nyaris punya harapan, tapi harapan itu kempes waktu gue
lihat Alice menunduk lagi.
"Kamu nggak ngerti, Lan... ini nggak segampang itu..."
"Apanya yang nggak gue ngerti" Apa"!" Gue nggak tahan lagi, emosi gue meledak.
Alice kelihatannya shock mendengar teriakan gue. "Maafin aku. Aku... aku nggak bermaksud
ngebentak kamu," kata gue setelah berhasil mengatur napas dan emosi.
"Nggak papa, kamu pantas marah. Aku memang lembek, nggak bisa setegar yang kamu
harapkan..." Ya Tuhan, jangan bilang kalau kami sudah sampai di jalan buntu.
"Aku nggak punya solusi lain. Kita bener-bener harus putus," kata Alice lagi.
Oke. Selesai sudah. Hubungan gue yang baru berumur sebulan lebih dikit dengan cewek
yang bener-bener gue cintai sudah berakhir. It"s over. Gue benci diri gue sendiri! Kenapa dari
dulu gue nggak pernah bikin cewek yang jadian sama gue bahagia" Kenapa gue selalu
melukai mereka" Siapa pun peneror itu, gue berjanji akan mencari dia! Beraninya dia membuat gue
kehilangan dua orang yang paling gue sayangi, memangnya dia kira dia itu siapa"
Gue mencium kening Alice pelan. Ini ciuman pertama kami, sekaligus yang terakhir.
"Maafin aku. Ayo, aku antar kamu pulang."
*** "Tor... Tora... Bangun!"
Tora melompat bangun dan langsung duduk di ranjangnya. Dia merengut begitu melihat
gue. "Apaan sih, Lan" Lo gangguin gue tidur aja!" Tora tidur lagi, dan menarik selimutnya
sampai menutupi kepala. "Gue putus sama alice."
Selimut Tora turun sampai ke dagu. "Kenapa?" tanyanya dengan suara bantal.
"Dia nggak tahan diteror terus."
Selimut Tora tahan lagi sampai ke dada, dan kali ini dia benar-benar bangun. "Diteror"
Dia diteror seperti Karin dulu?"
Gue mengangguk lesu. Tora berdecak. "Apa penerornya sama" Maksud gue... yang meneror Karin dan Alice?"
"Mungkin. Gue nggak tau."
"Terus, apa rencana lo sekarang?"
"Gue kepingin tau siapa peneror itu, Tor. Gue kepingin nonjok dia."
"Sabar. Lo nggak bisa berpikir kalau kepala lo panas gitu. Memangnya lo tau gimana
cara menemukan peneror itu?"
"Gue tau nomor HP-nya. Tadi waktu Alice nunjukin gue SMS-SMs teror di HP-nya, gue
sengaja menghafal nomor pengirimnya."
"Ckck... nggak salah ternyata lo masuk fakultas hukum, memori lo kayak komputer!"
Tora bangun dari ranjangnya. "Tapi peneror itu pasti nggak goblok, Lan. Dia nggak akan
pakai nomornya sendiri untuk meneror orang. Dia pasti pakai nomor baru. Toh, nomor
perdana sekarang harganya murah meriah. Lima belas ribu juga dapat."
"Terus, lo ada ide lain?"
"Hmm... lo ada perkiraan siapa kira-kira penerornya?"
"Nggak. Lagian, gue nggak mau sembarang nuduh orang. Dosa, tau."
"Itu nggak nuduh. Lo kan cuma menyaring aja siapa yang kira-kira segitu gilanya
meneror pacar-pacar lo," kata Tora dengan gaya bossy.
"Menurut lo siapa?"
"Ya meneketehe... harusnya kan lo yang tau. Cewek yang pernah lo tolak cintanya, kali,
atau fans lo yang setengah waras, atau orang yang naksir sama lo setengah mati."
Gue melongo. Jangan-jangan...
Ah, nggak, gue nggak boleh menuduh orang sembarangan.
PERMINTAAN TANTE ANA Satu setengah bulan kemudian...
SATU membaca subject message di milis Dylanders dengan tampang datar. Perasaanku sudah nggak
kacau-balau, biarpun aku nggak bisa bohong aku masih sering teringat Dylan.
Tapi kalau kulihat postingan di milis ini, kayaknya Dylan nggak lagi ingat sama aku...
Dylan udah jadian?""
cuekz_91rl Woah! Smlm gw lht Dylan dtg brg Cindy...
Send IM Aku meng-klik subject milis itu, yang isinya langsung terbuka, lebih cepat dari yang kukira.
>> In dylan_siregar@yahoogroups.com, cuekz_91rl wrote:
Woah! Smlm gw lht Dylan dtg brg Cindy di HUT TOP Channel! Tau Cindy, kan"
Penyanyi baru yang cantiks skale itu lho, yang punya lagu duet bareng band Rebel.
Mrk dishoot pas di red carpet, mesera bgt!
Td pagi jg liputan soal ini ada di infotainment Kabar Selebriti. Cindy terang2an
blg klo mrk emg sdg "dekat". Ga jls deh "dekat" d sini mksdnya apa. Tp tau sndiri kan
seleb tuh kayak apa, bilangnya cuma "temen" atau "kakak-adik" tapi ujung2nya
jadian en merit! Huhu... gw sedih! Tp ya sdh lah, itu kan privasinya Dylan ya. Qta doain aja apa
yg trbaik buat Dylan, dan smoga dia bkl smakin oke di Skillful.
Lihat, kan" Dylan udah melupakan aku...
Dia sekarang jalan bareng Cindy, penyanyi baru yang cantik dan sophisticated itu...
Tanpa sadar air mataku menetes.
*** "Kenapa lo" PMS lagi?" tanya Grace yang baru nongol di kelas.
"Gue sedih..." "Kenapa?" Aku mengambil majalah yang ada di hadapanku, lalu menyodorkannya ke Grace. Itu majalah
C-Girl edisi terbaru, dengan Dylan dan Cindy sebagai covernya. Plus, headline superbesar
bertuliskan Dylan-Cindy: Fresh Couple.
"Lo sedih karena ini?" Grace menuding cover majalah itu, persis di wajah Dylan.
Aku mengangguk. "Ternyata gue ini memang cewek yang nggak berarti ya, Grace" Gampang
untuk dilupakan..." "Hush! Lo itu ngomong apa?"
"Nah, itu buktinya, Dylan jadian sama Cindy minggu lalu, padahal belum dua bulan gue
putus sama dia... Yah... memang gue yang mutusin dia, tapi kan..."
Grace duduk di sampingku, dan menepuk-nepuk bahuku. "Gue tau lo pasti kecewa. Lo
udah berkorban banyak banget buat dia... Tapi lo putus demi keselamatan lo sendiri..."
Aku mengangguk pahit. Grace benar. Aku harus putus dari Dylan kalau nggak mau
membahayakan diriku sendiri. Aku memang lembek karena aku takut... Aku nggak pernah
menyangka risiko menjadi pacar Dylan ternyata seberat itu. Putus dari Dylan mungkin memang
keputusan yang terbaik, karena sejaka ku minta putus dari Dylan, si peneror juga menghentikan
aksinya. HP-ku nggak pernah lagi menerima SMs atau telepon bernada ancaman. Dan pastinya,
nggak pernah ada orang yang berusaha menabrakku lagi kalau aku sedang menyeberang jalan.
Tapi tetap saja, aku kehilangan Dylan...
*** "Aduh, Lice, mati gue... Kalau kayak gini caranya, gue nggak bakal naik kelas..." Grace mondarmandir di depanku dengan gaya bapak-bapak yang menunggui istrinya melahirkan di rumah sakit.
"Makanya lo jangan main terus, lo harus belajar. Yah, gue emang nggak bisa-bisa amat sih,
tapi tadi malam gue sempat belajar, jadi mungkin nggak bakal ancur banget," kataku lesu.
Tadi kelasku habis tes fisika, dan soal-soalnya susaaaaahhnnyyyaaa minta ampun! Parahnya,
tadi Grace bilang dia nggak bisa mengerjakan satu soal pun! Kasihan dia. Aku sendiri memang
nggak yakin bakal dapat nilai bagus, tapi yakin tadi seenggaknya aku masih bisa mengerjakan
satu-dua soal dari lima soal.
"Eh, HP lo bunyi tuh," celetuk Grace.


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mengubek tasku untuk mengeluarkan HP. Ternyata memang benar bunyi, kok aku
nggak dengar, ya" Kayaknya tes fisika punya efek samping membuat orang jadi linglung dan
nggak peka sama keadaan sekitarnya. Payah.
Lho" Nomor siapa ini" Apa peneror itu lagi"
"Halo?" "Halo" Alice?"
Oh, bukan ternyata. Suara ibu-ibu, dan nggak ada nada kebencian yang amat sangat seperti
kalau si peneror yang meneleponku.
"Iya. Maaf, tapi ini siapa ya?"
"Ini Tante Ana, mama Dylan..."
Haaaahhh?"" "Ehhh... iya, Tante, ada apa?"
"Maaf ya, Tante tiba-tiba telepon. Tadi Tante minta nomor telepon kamu ke Vita, soalnya
Tante nggak punya nomor telepon Alice sih..."
Aku mengernyit. Ngapain Tante Ana bela-belain minta nomorku ke Mbak Vita" Apa ada
perlu yang penting banget ya" Aku memang dulu pernah memberikan nomorku ke Mbak Vita
sih, waktu aku masih jadian sama Dylan. Bang Tora juga punya nomorku.
"Nggak papa kok, Tante. Ada yang bisa saya bantu?"
"Alice lagi sibuk nggak" Kalau nggak lagi sibuk, main ke sini dong, Tante kepingin ngobrolngobrol..."
Glek. Omigod... Omigod... aku diminta ke rumah Dylan"!
"Ehh... gimana, ya, Tante... Bukannya saya nggak mau, tapi kan..."
"Tante ngerti, kamu pasti nggak mau ketemu sama Dylan, kan" Kalian kan sudah putus."
Aku memejamkan mata, berusaha menahan rasa sakit yang menusuk mendengar Tante Ana
mengatakan aku dan Dylan sudah putus. Itu memang kenyataan, dan tapi meskipun itu udah
lama terjadi, aku tetap merasa sakit kalau mendengar ada orang yang mengucapkannya.
"Iya, Tante. Saya nggak enak kalau datang ke rumah Tante, nanti Dylan kira..."
"Tenang aja, Dylan lagi nggak ada di rumah kok. Tadi dia lagi pergi sama..."
"Cindy?" potongku sebelum aku sempat mencegah lidahku sendiri.
"Iya, sama anak itu."
Kok kayaknya aku bisa menangkap nada nggak suka dalam suara Tante Ana, ya" Ah, cuma
perasaanku. Atau aku yang mengharap begitu" Sudahlah. Lagi pula, aku dulu pernah janji sama
Tante Ana bahwa aku bakal sering main ke rumahnya, jadi mungkin sekarang Tante Ana
menagih janji itu. "Gimana" Alice bisa" Tapi kalau nggak bisa juga nggak papa kok, Tante ngerti."
"Ohh... bisa kok, Tante. Saya ke sana sekarang."
"Oke. Terima kasih, ya, Alice. Tante tunggu."
Aku menurunkan HP-ku dari telinga dan menatap Grace. Anak itu masih mondar-mandir.
"Siapa?" Dia menatapku.
"Nyokap Dylan."
"Hah" Ngapain nyokap Dylan telepon lo?"
"Gue diminta ke rumahnya, Grace. Katanya nyokap Dylan pengin ngobrol-ngobrol sama
gue. Dulu gue emang pernah janji bakal sering main ke rumah Dylan untuk ketemu Tante Ana,
tapi itu sebelum gue sama Dylan putus..."
"Terus, sekarang lo mau ke sana" Apa jadinya kalau lo ketemu Dylan?"
"Makanya itu, gue juga bingung. Tapi Tante Ana tadi bilang Dylan lagi nggak ada di rumah,
jadi gue nggak akan ketemu dia." Aku menggigit bibirku gelisah.
"Ya udah kalau gitu lo ke sana aja. Gue anterin deh."
Aku melotot. "Kalau gue ketemu sama Dylan, gimana?"
"Halaah... bukannya lo malah ngarep bisa ketemu" Siapa tau kalian bisa CLBK lagi?" Grace
mengedip. Grace memang aneh, sejak aku putus sama Dylan, dia bolak-balik mengoceh dia yakin aku
dan Dylan suatu hari nanti bakal ngalamin CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali. Dia terusterusan menggodaku soal yang satu itu.
"Udah, lo jangan bengong aja di situ. Gue anterin deh, tapi gue drop aja, ya" Nggak enak
kalau gue ikutan ke rumah Dylan juga, ntar canggung sama nyokapnya."
Dan sebelum aku sempat protes, Grace sudah setengah menyeretku ke mobilnya. Kayaknya
dia sudah benar-benar lupa sama tes fisikanya tadi.
*** Tante Ana ternyata menungguku di teras. Begitu mobil Grace berhenti di depan rumah Dylan
(setelah sebelumnya sempat nyasar gang tiga kali dan salah rumah dua kali gara-gara aku nggak
ingat jalan), Tante Ana langsung menghambur ke pintu pagar.
"Selamat siang, Tante."
"Siang, siang, Alice... Sama siapa?" tanya Tante Ana sambil melongok ke mobil Grace.
"Teman saya." "Kok temannya nggak ikut turun juga?"
"Eh... dia mau langsung pulang, Tante. Dia ada les," jawabku asal.
"Oh. Ya udah. Yuk, masuk."
Aku mengangguk dan mengikuti Tante Ana masuk ke rumahnya. Taman rumah ini masih
sama bagusnya seperti waktu aku pertama kali datang, bahkan sekarang lebih bagus lagi.
Kayaknya Tante Ana lagi kecanduan bunga mawar deh, soalnya sekarang di taman ini banyak pot
berukuran sedang yang penuh dengan bunga mawar beraneka warna. Bagus banget!
"Maaf ya, Tante jadi minta kamu datang siang-siang begini."
"Nggak papa, Tante. Harusnya saya yang minta maaf, kan saya pernah janji bakal sering
main ke sini, tapi saya nggak menepati. Saya..."
"Iya. Tante tau. Kamu pasti nggak mau ketemu Dylan, kan?"
"Bukannya nggak mau ketemu, tapi... saya dan Dylan, kan..."
"Tante benar-benar sedih waktu Dylan cerita kalau kalian putus. Apalagi sekarang, setelah
Dylan... jalan sama anak itu..."
Aku mengernyit. Ini jelas bukan cuma perasaanku. Tante Ana kayaknya selalu menghindar
menyebut nama Cindy. "Saya rasa ini sudah jalan terbaik, Tante. Cindy lebih pantas untuk Dylan daripada saya. Dia
cantik, terkenal, sukses... Saya dan Dylan putus kan karena... saya merasa kami terlalu jauh
berbeda... Saya nggak bisa jadi pacar yang baik untuk Dylan. Kalau Dylan dan Cindy kan punya
profesi yang sama, mereka lebih cocok..."
Tante Ana duduk di depanku, dan menatapku lurus-lurus. Sekarang aku tahu dari mana
Dylan punya kebiasaan menatapku lurus-lurus kalau dia mau bicara. Juga dari mana dia mewarisi
mata yang cokelat teduh itu. Dia mirip banget sama Tante Ana sekarang.
"Alice, maaf ya kalau Tante kesannya jadi menakut-nakuti kamu, tapi... nggak tau kenapa,
waktu kamu pertama datang ke sini, Tante senang sekali melihat kamu. Tante langsung merasa
sayang sama kamu, merasa dekat sama kamu..."
Aku bengong. "Sebelum kamu datang, Dylan bilang dia bakal mengajak pacarnya ke sini. Tante waktu itu
heran kenapa Dylan kelihatannya senang sekali. Sudah lama Tante nggak melihat dia seperti itu,
apalagi setelah Dylan putus sama..."
"Karin?" tanyaku.
"Iya, Karin. Alice tau, ya?" Aku mengangguk. "Maaf ya kalau Tante jadi menyebut-nyebut
Karin, tapi Tante ingat betul bagaimana Dylan dulu jadi pemurung dan nggak pernah ceria lagi
sejak mereka putus. Tapi waktu Alice mau datang... Dylan jadi ceria sekali, dan Tante jadi
berpikir kalau yang bisa mengembalikan Dylan yang dulu ini pasti bukan gadis sembarangan..."
Aku menunduk, nggak tau harus bilang apa.
"Dan ternyata dugaan Tante benar. Alice bukan gadis sembarangan. Tante saja langsung
sayang sama Alice waktu pertama ketemu. Tante jadi tau kenapa Dylan bisa kembali ceria setelah
ketemu sama Alice." Aku tersenyum. "Sayang sekali kalian putus... Tante sempat kaget waktu lihat Dylan jadi pendiam lagi. Tante
kira kalian lagi marahan, seperti layaknya anak muda kalau pacaran, tapi Tante sama sekali nggak
menyangka kalian putus... Tante sedih sekali, bukan cuma karena Dylan jadi murung lagi, tapi
juga karena Tante jadi nggak pernah lagi melihat Alice, makanya tadi Tante nekat minta telepon
nomor Alice sama Vita."
"Maafin saya, Tante, tapi saya..."
"Kalau seandainya Dylan mau kembali sama Alice, Alice mau nggak?"
Hah" "Eh... itu nggak mungkin, Tante. Maksud saya, sekarang kan Dylan... udah punya pengganti
saya." Tante Ana menggeleng. "Memang. Tapi Tante nggak bisa membohongi diri Tante sendiri
bahwa Tante sangat kehilangan Alice. Biarpun kita baru sekali ketemu sebelum ini, tapi Tante
yakin sekali Alice yang paling cocok untuk Dylan. Dylan itu anak Tante, Alice, Tante bisa melihat
gadis mana yang akan membuatnya bahagia dan yang mana yang enggak..."
"Tapi gimana dengan Cindy" Dia nggak salah apa-apa, dan saya nggak mau harus jadi
perusak hubungan orang. Dylan jug apasti sudah melupakan saya..."
"Siapa bilang?" tanya Tante Ana. "Siapa bilang Dylan sudah melupakan Alice?"
Kalau aku nggak lagi berada di depan Tante Ana, yang mengharuskan aku untuk jaim
setengah mati, pasti aku sudah melonjak-lonjak kesenangan. Apa maksud Tante Ana tadi... Dylan
belum melupakan aku"
Tenang, Alice, tenang... "Tapi Tante... mana mungkin Dylan bisa pacaran dengan Cindy kalau dia belum melupakan
saya?" Tante Ana tersenyum, seolah tahu satu rahasia yang pasti bakal membuatku mati saking
hebatnya rahasia itu. "Pernah dengar yang namanya pelarian?" tanya Tante Ana pelan.
Pelarian" Orang yang kabur dari penjara" Apa hubungan... Ya Tuhan. Yang dimaksud Tante
Ana tadi... "Maaf kalau saya salah, Tante, tapi apa yang Tante maksud... Cindy itu cuma pelarian
Dylan?" "Ya, Cindy cuma pelarian Dylan. Dylan berusaha melupakan kamu, dan dia kira itu bisa
dilakukannya dengan cara pacaran dengan Cindy, tanpa tau dia salah besar. Tante mengenal
Dylan dari kecil, Alice, dia nggak bisa membohongi Tante."
Aku menggigit lidahku, berusaha nggak bersorak.
"Kembalilah pada Dylan, Alice... Anak itu seperti... orang kehilangan arah setelah kalian
putus." "Tapi, Tante, saya..."
"Tante tau itu berat sekali untuk kamu. Tapi seenggaknya, maukah kamu... mencoba dulu"
Seringlah ke sini, mungkin kalau kalian sering bertemu, kalian akan sadar kalian belum saling
melupakan, dan akhirnya kalian bisa kembali bersama lagi."
Aku baru mau menjawab "ya" ketika pintu rumah Dylan tersentak terbuka.
Di ambang pintu berdiri Dylan yang sedang menggandeng mesra Cindy.
TERNYATA... CEWEK ini benar-benar menyebalkan! Udah nggak mau diajak naik motor gara-gara takut
kulitnya hitam, dia juga memaksa gue naik mobilnya sementara dia yang menyetir! Waktu
gue bilang gue nggak bisa nyetir mobil, dia nggak percaya! Dia baru percaya setelah gue
duduk di belakang setir dan nanya gimana caranya memindahkan persneling ke gigi untuk
atret. Setelah itu dia bilang kami bakal tetap pergi naik mobilnya, tapi dia yang menyetir.
Kalau lo jadi gue, gimana perasaan lo"
Cowok, semobil sama ceweknya, tapi si cewek yang nyetir karena cowoknya nggak bisa,
kurang lucu apa lagi, coba"
Dan seakan itu belum cukup menyebalkan, tadi gue juga harus menemani dia beli
underwear! Sialan, apa dia nggak tau bagi cowok bagian underwear cewek di department
store jauh lebih mengerikan dari rumah hantu"
Cukup sudah, gue nggak tahan lagi. Kenapa sih Cindy nggak bisa jadi menyenangkan
sedikit aja" Gue benar-benar goblok waktu gue kira dia bisa bikin gue lupa sama Alice dulu.
Semua ini gara-gara Skillful manggung di Gebyar Bank Independen sebulan lalu.
Kebetulan Cindy dan Rebel jadi pengisi acara juga. Si Angga, gitaris Rebel itu, temen SMA
gue dulu, dan waktu ngeliat gue, dia spontan mengenalkan Cindy yang ada di sebelahnya.
Cindy cantik banget malam itu, dan gue pikir kenapa enggak" Toh cuma kenalan. Akhirnya
kita tukaran nomor HP, dan kontak-kontakan sebulan ini, sampai akhirnya minggu lalu Cindy
bilang dia pengin jadi lebih dari sekadar teman bagi gue.
Gila, baru sekali ini gue ditembak cewek, dan gue bener-bener speechless.
Tapi di pikiran gue, ini peluang bagus untuk belajar melupakan Alice. Kalau gue jadian
sama Cindy, gue nggak akan teringat Alice terus. Apalagi, gue juga menemukan jalan buntu
dalam mencari orang yang meneror Alice, dan itu kan berarti peluang gue balik sama Alice
nol besar. Goblok banget gue, cewek ini nggak akan bisa menggantikan Alice. Nggak akan pernah
bisa. Apalagi waktu Cindy tadi ngotot mau main ke rumah dan kenalan sama Mama, gue
bener-bener sadar gue milih cewek yang salah. Gue nggak mungkin mengenalkan sembarang
cewek ke Mama. Cuma cewek yang gue yakin punya masa depan bersama gue-lah yang akan
gue kenalkan ke Mama. Tapi gue bisa apa" Dia ngotot mau ke rumah, ya gue terpaksa setuju. Sekarang kami
udah di depan rumah, dan dia langsung menggelendot di tangan gue. Gue cuma bisa gelenggeleng dan berjalan masuk. Semoga Mama lagi nggak ada di rumah, atau ada Tora yang bisa
gue titipin cewek ajaib satu ini.
Ya Tuhan. Tolong bilang kalau gue lagi berhalusinasi sakign pusingnya sama semua tingkah Cindy
hari ini. Yang duduk di ruang tamu rumah gue itu bukan Alice, kan"
But that"s her, lagi ngobrol sama Mama. Dia masih pakai seragam sekolahnya yang
putih-hijau itu. Gue nggak mungkin salah orang, itu Alice.
"Mmm... Hai, Dylan." Alice berdiri dari sofa, kelihatan kaget melihat gue dan Cindy.
"Apa kabar?" "Siapa sih?" bisik Cindy di telinga gue. "Kenapa ada anak SMA di sini?"
Setan lo, Cin. Anak SMA itu cewek yang gue sayang banget!
"Kebetulan gue baru pulang sekolah, jadi... mmm... gue mampir untuk ketemu nyokap
lo." Wajah Alice memerah. Ya ampun, gue baru sadar gue kangen banget sama dia!
"Eh, iya, nggak papa," kata gue kagok. "Sori gue baru pulang."
"Nggak papa, gue ke sini buat ketemu nyokap lo kok. Ini juga gue udah mau pulang,
udah sore." Gue menoleh ke arah Mama, dan Mama memelototi gue. Kelihatannya Mama bakal
ngebunuh gue kalau gue membiarkan Alice pergi.
"Gue anterin, ya?"
Cindy kontan mencubit tangan gue, tapi gue menepis tangannya.
"Gue ambilin helm lo dulu" Helm merah lo?" tanya gue setengah memohon.
Jangan pergi, Alice... "Makasih, tapi gue naik taksi aja." Dia beranjak ke sofa dan mengambil tas sekolahnya.
"Tante, saya pulang dulu..."
"Kok cepat-cepat" Dylan kan baru aja datang, kamu nggak mau..."
"Maafkan saya, Tante, tapi saya rasa yang soal pelarian itu salah..."
Pelarian" Pelarian apa" Tunggu, jangan-jangan Mama...
Alice lewat di depan gue, nyelonong begitu aja seakan-akan gue ini tembok.
"Lice, tunggu..."
"Honey, kamu kenapa sih" Biarin aja dia pergi!"
Honey, honey, lo kira gue madu"!
Gue melongok melihat Alice, tapi dia sudah menghilang di balik pagar. Gue harus
mengejar dia. Harus! "Sori, Cin, tapi kita harus putus. Gue nggak cocok sama lo."
"Hah" Tapi kita kan baru seminggu pacaran, honey..." Cindy kelihatannya mau nangis,
matanya mulai berkaca-kaca.
"Iya, dan dalam seminggu aja udah banyak keenggakcocokan, apalagi kalau kita
pacarannya lebih lama!" Gue berusaha lari untuk mengambil motor gue di carport, tapi
Cindy menarik lengan jaket gue.
"Honey, kamu nggak mungkin ninggalin aku cuma demi mengejar cewek gendut dan
jelek itu, kan?" Gue melotot. "Dia nggak gendut dan jelek, tau! Dia cewek yang gue cintai!"
"Tapi kita... Aku..." Cindy salah tingkah. "Tante, tolong dong... Dylan nggak mungkin
mutusin saya gini aja, kan?" Dia berlari ke arah Mama dan menarik-narik tangan Mama
dengan gaya anak kecil minta dibelikan mainan.
"Aduh, maaf ya, Tante lagi masak nih di dapur, nanti masakan Tante gosong."
Hebat, Mama ngeloyor begitu aja ke dapur tanpa menghiraukan Cindy. Gue yakin yang
tadi itu cuma alasan. Gue kenal betul nyokap gue, dia nggak pernah meninggalkan masakan
di dapur. Hobinya kan masak.
"Dylan, honey..." Cindy balik lagi ke gue, merengek-rengek. "Kita nggak boleh putus,
apa kata orang-orang kalau mereka tau tentang ini" Baru seminggu kita muncul dengan
predikat couple, kalau sekarang kita putus..."
"Makanya jangan ngember ke mana-mana dong! Lo kira gue seneng pas gue bangun
pagi dan tau tampang gue ada di semua infotainment hari itu" Pasti itu ide lo kan, buat
manggil temen-temen wartawan lo di HUT TOP Channel itu" Ngaku aja deh!"
Mata Cindy melebar. Huh! Dia kira gue nggak tau semua wartawan itu ngejogrok di
TOP Channel karena undangan dia"
"Tapi... tapi publisitas kan baik buat hubungan kita...," katanya terbata-bata.
"Baik buat lo, nggak baik di gue!" bentak gue persis di depan muka Cindy. "Udahlah, lo
pulang aja, kita bener-bener nggak bisa jalan lagi, dan gue harus ngejar Alice!"
"Dylan... Dylaaaaaaannnn...!"
Gue nggak menoleh lagi, dan langsung mengambil motor gue yang terparkir di carport
rumah. Untung kuncinya ada di kantong gue!
"Dylan, kalau kamu pergi, kita putus!" seru Cindy waktu gue menstarter motor.
"Bagus, emang itu kok yang gue mau! Daaaahhhh...!"
Gue langsung cabut, meninggalkan Cindy yang masih mencak-mencak di teras rumah
gue. *** Di mana Alice" Di mana dia"
Sudah setengah jam gue keliling kompleks perumahan gue, tapi gue sama sekali nggak
melihat tanda-tanda Alice masih di sini. Gue telepon HP-nya juga nggak diangkat. Apa dia
sudah pergi naik taksi" Ya, dia pasti sudah pergi... Sekali lagi gue kehilangan dia...
Akhirnya gue memutuskan pulang ke rumah, dan syukurlah, Cindy sudah cabut dari


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana. Gue bisa mati berdiri kalau masih harus menghadapi cewek cerewet itu.
"Dylan!" Gue mendongak, dan melihat Mama berdiri di depan pintu masuk.
"Alice-nya nggak ketemu, Ma."
"Aduh..." "Aku udah berusaha cari dia keliling kompleks ini, tapi nggak ketemu. Mungkin dia
udah dapat taksi sebelum aku berhasil nyusul dia."
Mama menghela napas panjang. "Padahal tadi Mama hampir berhasil membujuk dia
supaya mau kembali sama kamu."
Gue melotot. "Mama nggak lagi bercanda, kan?"
"Ya nggak lah! Kamu pikir kenapa Alice tiba-tiba bisa datang ke sini?"
Gue cuma bisa bengong sewaktu Mama menjelaskan beliau-lah yang menelepon Alice
dan memintanya datang ke sini (bahkan sampai bela-belain minta nomor Alice ke Mbak
Vita!), cuma supaya Mama bisa membujuk Alice agar mau kembali sama gue.
"Wow. Mama hebat," kata gue nggak percaya.
"Mama cuma nggak mau kamu pacaran dengan cewek yang salah, Dylan. Cindy itu...
Mama nggak sreg sama dia. Kamu boleh marah sama Mama, tapi Mama tetap nggak akan
setuju kalau kamu terus jalan sama dia."
Gue tersenyum kecut. "Tenang aja, Ma, aku sama dia kan udah putus tadi."
"Ya... ya, Mama tau. Tapi tetap Mama berharap kamu kembali sama Alice. Begitu
melihat Alice dulu, Mama sudah sayang sama dia. Dia orangnya sopan, sederhana, dan baik
sekali." "Hmm... Mama nggak keberatan kalau dia umurnya selisih delapan tahun sama aku?"
"Kenapa harus keberatan" Yang Mama minta dari jodohmu nanti cuma empat hal.
Seiman, hormat dan sayang sama kamu dan keluarga kita, sehat, dan rajin. Itu aja."
Gue melongo dengan suksesnya.
"Dylan, Mama senang sekali karena Tora sudah menemukan Vita. Tapi Mama akan lebih
senang lagi, kalau kamu bisa kembali sama Alice. Kamu masih sayang dia?"
"Iya. Tapi..." "Nah, sebenarnya alasan kalian dulu putus itu apa" Bukan cuma karena Alice menyadari
kalian terlalu "berbeda", kan" Alice pasti sudah sadar tentang yang satu itu sejak awal. Nggak
mungkin tiba-tiba dia sadar dan minta putus."
Gue menimbang-nimbang dalam hati, apa sebaiknya gue cerita ke Mama tentang terorteror yang diterima Alice"
Nggak. Itu nggak perlu. Gue nggak mau membuat Mama stres.
Tapi entah gimana caranya gue bisa memenuhi permintaan Mama. Apa Alice masih mau
menanggung risiko diteror sekali lagi kalau dia balik sama gue"
*** Tiga hari kemudian... "Halo?" "Dylan, ini gue. Grace."
Grace" Ngapain dia telepon gue" "Eh, hai! Ada apa Grace?"
"Gue butuh ketemu sama lo, Lan. Secepetnya. Sekarang kalau bisa."
"Mmm... boleh. Di mana?"
"Coffee Bean PS, gimana?"
"Oke. Gue berangkat sekarang."
*** Waktu gue masuk Coffee Bean, gue melihat Grace duduk di salah satu sudut dengan
pandangan menerawang. Dahinya berkerut, kelihatannya dia sedang serius berpikir.
"Hai, Grace," sapa gue. Grace tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum kecut.
"Eh, lo udah datang. Duduk, duduk..."
Gue duduk di hadapan Grace. Setengah berharap, gue menoleh ke seluruh penjuru
Coffee Bean. Mungkin Alice ada di sini... Mungkin alasan sebenarnya Grace mengajak gue
ketemuan adalah karena dia disuruh Alice... Mungkin karena bicara dengan Mama tiga hari
yang lalu, dia.... "Gue sendirian, Lan," kata Grace pahit.
Shoot, apa ekspresi kangen gue ke Alice bisa segitu terbacanya"
"Terus ada apa nih tiba-tiba ngajak gue ketemuan?"
"Gue mau ngomong soal Alice."
"Alice kenapa?"
"Beberapa hari lalu, gue nganter Alice ke rumah lo."
Oh. Soal itu. "Iya. Nyokap gue yang minta dia datang. Nyokap gue kangen sama dia.
Dan sayangnya, waktu itu..."
"Lo datang sambil menggandeng mesra Cindy?" potong Grace.
Gue tersenyum kecut, dan mau nggak mau mengangguk. "Mungkin lo nggak akan
percaya, tapi gue nggak pernah suka sama Cindy. Dan kami udah putus."
"Nggak pernah suka kok bisa sampai jadian?"
Jleb. Hebat juga nih Grace kata-katanya. Menohok! "Lo boleh beranggapan gue
membela diri, tapi gue dan Cindy jadian karena Cindy yang nembak gue. Dan waktu itu gue
terima karena gue kira dengan jadian sama dia, gue bisa ngelupain Alice. Fool me."
Grace mengedikkan bahu. "Yah, itu hak lo, Lan. Gue nggak bisa protes, kan" Lagi pula,
bukan itu yang mau gue omongin ke lo sekarang."
"Terus apa?" "Waktu Alice minta putus ke lo, dia kasih alasan apa?"
"Dia nggak tahan lagi sama semua teror yang dia terima," jawab gue pahit.
Grace berdecak dan menggeleng-geleng. "Ah. Gue sudah menduga dia nggak cerita soal
orang yang mau menabrak dia itu."
Hah" "Alice" Ditabrak?"
"Ya. Sama peneror itu." Grace meminum espresso-nya dengan santai.
"Grace, tolong, cerita ke gue sebenernya ada apa soal tabrakan itu. Gue sama sekali
nggak tau!" "Hmm... lo tau, peneror itu, yang mengirimi Alice SMS, surat kaleng, dan terus-menerus
ganggu lewat telepon itu?"
"Ya." "Sehari sebelum Alice minta putus, kalau nggak salah waktu itu lo lagi ke luar kota,
peneror itu berusaha menabrak Alice. Membunuh, kalau lo mau tau istilah kasar gue."
Peneror itu" Mau membunuh Alice" Alice gue"! "Lo serius"!"
"Gue nggak akan bercanda untuk hal-hal kayak gini, Lan."
"Tapi..." "Alice bukan tipe orang yang gampang menyerah. Dia sayang banget sama lo, dan gue
sendiri tau dia nggak mau melepas lo kalau cuma diteror pakai surat, telepon, dan SMS. Dia
sudah kebal sama semua itu. Tapi kalau orang sudah pernah hampir mati, dia pasti akan
berpikir ulang." Gue kehilangan kata-kata.
"Kejadiannya waktu pulang sekolah. Gue ke parkiran ambil mobil, dan janjian untuk
ketemu Alice di seberang gerbang. Waktu itu sekolah udah sepi karena jam pulang memang
sudah lama lewat, tapi Alice masih di sekolah karena dia masih latihan band. Gue waktu itu
nunggu dia karena kita mau pergi makan bareng. Tapi waktu gue sampai di gerbang sekolah,
gue lihat Alice jatuh di pinggir jalan. Dia, juga Oscar dan Moreno, anak-anak bandnya yang
juga temen sekelas gue. "Oscar bilang, Alice lagi menyeberang jalan, dan ada mobil yang melaju ke arahnya.
Awalnya mobil itu pelan, tapi semakin mendekati Alice, dia malah semakin tancap gas.
Kalau bukan karena Oscar dan Moreno menarik Alice ke belakang tepat sebelum mobil itu
menabraknya, Alice pasti udah tertabrak."
Tanpa sadar gue menahan napas, dan baru mengembuskannya lagi setelah dada gue
terasa sesak. Alice... hampir tertabrak"
"Nah, menurut lo, apa orang seperti itu bukan sengaja mau membunuh namanya?"
"Tapi... dari mana lo tau kalau itu perbuatan peneror itu?"
"Karena peneror itu menelepon sesudah mobilnya jauh. Dia bilang, Alice harusnya sudah
mati. Tapi dia merasa itu bukan masalah, karena kejadian itu seharusnya bisa jadi peringatan
buat Alice, supaya dia mau menjauh dari lo."
Kali ini gue benar-benar benci sama diri gue sendiri. Alice nyaris celaka karena gue! Gue
yang membuat dia diancam diteror... Cewek mana yang sanggup menahan beban seperti itu"
"Untungnya, Oscar sama Moreno nggak bego. Oscar malah sempat mengingat mobil
yang nyaris menabrak Alice itu, lengkap dengan nomor polisinya. Dan dia sempat bilang itu
ke gue, sebelum gue setengah mati meyakinkan dia itu cuma kecelakaan. Kalau Oscar tau ada
yang berusaha menabrak Alice, dia pasti kepingin tau apa motifnya. Dan itu berarti gue harus
cerita panjang-lebar ke dia soal lo yang pacaran diam-diam sama Alice. Gue nggak mau
melakukan itu." Grace menyodorkan sepotong kertas ke gue. Honda Jazz hitam. B21**KV.
"Gue rasa lo tau apa yang harus lo lakukan, iya kan?"
*** "Apa sih?" desis Tora marah karena gue menyeretnya dari ruang makan ke ruang tamu. "Mau
ngomong aja kok pakai bisik-bisik segala?"
"Hei, lo pernah bilang punya teman polisi yang ditempatkan di bagian Satlantas, kan?"
"Satlan... Ooh, Bram" Kenapa emangnya" Ahh, gue tau! Lo pasti mau belajar nyetir
mobil lagi, terus mau minta tolong Bram buat ngurusin SIM lo, iya kan?"
"Sotoy lo!" Gue melengos. Tora cengengesan. "Gue mau minta tolong dia buat ngelacak
nomor mobil, bisa nggak ya?"
"Weitss... ada apa lagi nih kok pakai ngelacak nomor mobil segala" Lo habis mergokin
orang ditabrak lari, terus mau ngelacak pelakunya, gitu ya?"
"Bukan cuma mau ngelacak, tapi juga mau nonjok tu orang!"
"Lho lho... jangan main kasar dong! Ada apa sih emangnya?"
Gue menceritakan semua yang diceritakan Grace tadi ke Tora. Ekspresi Tora berubah
dari cengengesan nggak penting jadi tegang.
"Lo serius, ya, Lan" Maksud gue, peneror itu segitu gilanya sampai kepingin nabrak
Alice segala?" "Makanya itu! Kita harus tau siapa peneror itu! Gue belum bisa tenang nih kalau belum
nonjok dia! Dia nggak tau ya dia itu udah membahayakan nyawa orang lain" Itu kan udah
perbuatan kriminal, Tor!"
"Iya, iya, gue ngerti... Gue telepon Bram sekarang deh. Mana nomornya?"
"Tapi, kalau misalnya Bram tanya untuk apa, jangan bilang ini soal tabrak lari, ya" Gue
pengin menangani masalah ini sendiri, belum waktunya polisi ikut campur."
Tora mengernyit, tapi dia menerima kertas bertuliskan nomor mobil yang gue sodorkan,
lalu mengambil HP-nya di kamar dan menelepon Bram.
"Halo, Bram! Haha... iya, gue Tora! Ha" Oh, gue baik! Lo gimana" Ah, gue masih sama
Vita. Iya, tetap kok, hehe... Oh ya, gue bisa minta tolong" Tolong bantu gue lacak nomor
mobil. Ha" Ah nggak ada apa-apa. Ada keperluan dikit aja sama yang punya mobil itu.
Hmm... Honda Jazz hitam, B21**KV. Oke... Kapan gue bisa tau" Besok siang" Iya, iya, no
problem kok! Thanks ya Bram! Salam buat Kintan. Bye..."
"Besok siang?" tanya gue.
"Iya. Untung nih punya kenalan Satlantas, jadi bisa dimintain tolong urusan begini. Coba
kalau enggak, kan repot."
"Thanks, Tor." "Sama-sama. That"s what brothers are for," katanya puas.
*** Besok siangnya, Bram menelepon Tora. Selesai bicara di telepon, Tora tersenyum lebar dan
bangga. "Sudah ketemu. Atas nama Handoko Arman. Rumahnya di Cilandak. Gue udah catat
alamat lengkapnya. Lo mau ke sana sendiri atau gue temani?"
"Eh... tunggu, gue nggak punya lho kenalan yang namanya Handoko itu!" seru gue.
"Yah, kan bisa aja mobil itu terdaftar atas nama bokapnya si peneror itu, atas nama
suaminya mungkin, atau siapalah. Yang penting kita ke rumahnya dulu!"
"Ohh... Oke." Gue manggut-manggut. "Lo mau pergi sama gue" Bukannya Mbak Vita
mau ke sini?" "Ah iya! Gue lupa! Hmm... atau dia diajak aja, gimana" Dia kadang-kadang bisa kasih
ide-ide tokcer, terus dia juga logikanya bagus banget kalau dibanding gue."
"Boleh. Logika gue juga lagi mampet. Bagus deh kalau ada orang yang logikanya lancar
ikut sama kita." "Haiii! Pada ngomongin apa nih?" Mendadak, Mbak Vita nongol di pintu. Gue sampai
heran sendiri kok bisa-bisanya Mbak Vita datang on-time begini.
"Hei, hun, panjang umur kamu. Aku sama Dylan mau pergi, kamu ikut nggak" Kita lagi
butuh orang yang logikanya jalan soalnya."
Mbak Vita bingung. "Memangnya kalian mau ke mana" Ikut kuis?"
"Kalau ikut kuis donag sih logika gue masih sampai, hun. Ini lebih gawat. Pokoknya
kamu ikut, ya" Ya" Ya?"
"Yahh... itu sih bukan ngajak namanya, tapi maksa!" Mbak Vita terkikik, dan mau nggak
mau gue ikut tersenyum. "Ya udah, gue ikut, tapi jelasin dulu kita mau ke mana."
"Nanti aku jelasin di mobil," kata Tora.
*** "Jadi lo putus sama Alice karena dia diteror, Lan?" tanya Mbak Vita setelah gue, sambil
disela berkali-kali oleh Tora, menjelaskan alasan putusnya gue dan Alice.
"Iya, dan karena penerornya udah benar-benar gila, sampai niat mau nyelakain Alice
juga. Aku baru tau kemarin soal usaha tabrakan ini, dan aku shock banget, Mbak."
"Gue nggak nyangka, ada orang yang segitu jahatnya," gumam Mbak Vita nggak
percaya. "Apa mungkin dia terganggu ya jiwanya?"
"Aku nggak peduli dia terganggu atau nggak, yang jelas dia udah kelewat batas. Dan dia
harus tanggung jawab atas semua yang udah dia lakukan ke Alice."
Senyap. Mbak Vita ataupun Tora, semuanya diam. Ternyata omongan gue barusan
menusuk banget. "Oh ya," Tora angkat bicara, "kalau udah sampai rumahnya, kita mau ngomong apa nih"
Nggak mungkin dong kita bilang "permisiii... kami mau cari orang psikopat yang berusaha
menabrak mantan pacar adik saya, dan setelah kami lacak ternyata rumahnya di siniiii... apa
orangnya ada?" gitu?"
Mbak Vita tergelak, sementara gue ngakak habis-habisan. Tora gila, bisa-bisanya dia
bikin banyolan konyol begitu!
"Lho, malah ketawa" Gue serius lho. Kita kan nggak bisa masuk rumah orang kalau
tujuannya nggak jelas."
"Iya juga ya...," gue menggumam.
"Hmm... Lan, menurut lo, peneror ini cewek atau cowok?" tanya Mbak Vita.
"Cewek, I bet," potong Tora.
"Menurutku cewek juga sih, Mbak..."
"Oke, kalau gitu kita bisa pakai siasat gue."
"Siasat apaan?" Tora penasaran.
"Lan, gue boleh pinjam dompet lo?" mbak Vita menoleh dan mengulurkan tangannya ke
gue. Gue mengernyit. "Buat apa?" "Udah, lihat aja nanti." Mbak Vita tersenyum penuh rahasia. Gue mengeluarkan dompet
gue dari kantong dan menyerahkannya ke Mbak Vita.
*** Kami sudah sampai. Cukup gampang menemukan alamat rumah yang dibilang Bram.
Rumahnya besar dan mewah, itu kesan yang gue tangkap. Kami turun, dan Tora langsung
menekan bel yang ada di sisi pagar. Mbak Vita masih belum mau juga buka rahasia soal
siasatnya. "Permisi," kata Mbak Vita begitu seorang pembantu keluar dan melongok ke balik pagar.
"Apa betul di sini rumah Pak Handoko?"
"Betul. Ada perlu apa, ya, Mbak?"
"Mmm... Begini, Mbak, kemarin saya ke supermarket di dekat sini, terus parkir di
sebelah mobilnya Pak Handoko. Waktu saya mau masuk mobil, nggak sengaja tabrakan sama
Pak Handoko sampai barang-barangnya berceceran. Terus taunya dompetnya nyasar masuk
ke kantong belanjaan saya. Ini saya mau balikin nih." Mbak Vita mengangkat dompet gue
tinggi-tinggi. Gue melongo menatap Tora, dan ternyata Tora juga sama bengongnya kayak gue.
"Saya lihat di KTP di dalam dompet ini, alamatnya di sini, jadi saya ke sini. Terus...
mmm... Pak Handoko punya mobil Honda Jazz, ya" Kemarin soalnya mobil itu yang parkir di
sebelah saya. Kalau nggak salah plat nomornya..."
"B21**KV?" potong pembantu itu.
Mbak Vita tersenyum puas. "Nah, iya yang itu."
Lagi-lagi, gue dan Tora saling menatap, bingung sendiri melihat bagaimana siasat Mbak
Vita dengan mudahnya bisa menjebak pembantu itu.
"Tapi... Pak Handoko-nya lagi nggak ada, Mbak..."
"Wah, gimana ya..." Mbak Vita pura-pura bingung. "Apa masih lama pulangnya?"
"Mungkin sebentar lagi. Bapak pasit udah dalam perjalanan dari kantor."
"Apa boleh kalau saya tunggu aja" Saya kepengin balikin dompet ini ke Pak Handoko
langsung." Pembantu itu tersenyum, dan tanpa curiga sedikit pun membukakan kami pintu! Hebat
banget Mbak Vita! "Mari masuk. Tunggu di teras saja ya."
Kami mengikuti pembantu itu ke teras yang luas, lalu duduk di kursi-kursi yang ada di
situ. "Oya, Mbak," kata Mbak Vita lagi, "saya mau tanya aja nih, apa Pak Handoko punya
anak perempuan?" "Oh punya, satu orang. Tapi Ndoro Putri juga lagi nggak ada di rumah."
"Hmm... apa biasanya putri Pak Handoko itu yang bawa Honda Jazz-nya?"
Pembantu itu mengangguk. "Betul. Bapak biasanya diantar sopir naik mobil satunya.
Tapi kadang-kadang Bapak nyetir sendiri kalau perginya ndak jauh. Mungkin kemarin yang
ke supermarket itu juga nyetir sendiri, tapi hari ini naik mobil lain sama sopir kok. Hari ini
Ndoro Putri yang bawa mobil Jazz-nya."
"Oh, iya, iya..."
Tora menatap gue dengan pandangan penuh arti, seolah dia mau bilang kita-sudahmenemukan-pelakunya. Gue mengangguk. Pasti si "Ndoro Putri" itu pelakunya. Gue sama
sekali nggak kenal orang yang namanya Handoko Arman, jadi nggak mungkin dia yang


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meneror Alice. Lebih masuk akal pelakunya putrinya.
"Ada apa tho, Mbak, kok sampai nanya soal Ndoro Putri segala?" tanya pembantu itu
dengan tatapan penasaran.
"Ah, nggak ada apa-apa. Saya tanya aja kok." Mbak Vita tersenyum.
Pembantu itu manggut-manggut.
Tiiinnnn... Tiiinnn... Suara klakson mobil.
"Eh... itu Ndoro Putri pulang! Permisi ya, saya mau bukakan pintu dulu."
"Mbak," gue memanggil Mbak Vita, tapi dia memberi isyarat supaya gue diam.
"Tenang, Lan, jangan emosi. Gue tau apa yang lo pikirkan, tapi belum tentu putri Pak
Handoko itu yang berusaha menabrak Alice. Bisa aja peneror itu pinjam mobil ini dari putri
Pak Handoko. Pokoknya lo jangan emosi dulu," Mbak Vita mewanti-wanti.
"Iya, Mbak," jawab gue dengan perasaan kacau. Gue benar-benar nggak sabar pengin tau
seperti apa orang yang tega mencelakakan Alice!
Mobil itu masuk perlahan ke carport rumah. Honda Jazz hitam, B21**KV, persis seperti
gambaran yang diberikan Grace. Pintu pengemudi terbuka, seseorang turun, dan...
"Dylan!" Gue mendongak, dan sepertinya seluruh tubuh gue kaku melihat siapa yang turun dari
mobil itu. NONI"! Jadi dia... dia yang... "Kok lo bisa ada di rumah gue?" tanya Noni dengan mata berbinar. Dalam sekejap dia
sudah berlari mendekat dan memeluk gue.
"Minggir lo!" Gue menepis tangannya dan bangun dari kursi yang gue duduki. Gue
nggak bisa menahan emosi gue seperti permintaan Mbak Vita tadi. Gue yakin Noni-lah
pelakunya. Gue yakin! "Lho" Kenapa" Eh... kok lo belum dikasih minum" Gue bikinin..."
"Non, gue minta lo jujur ya," suara gue bergetar menahan marah, dan Noni nggak
meneruskan kalimatnya tadi karena bahunya gue cengkeram kuat-kuat, "apa lo yang berusaha
menabrak Alice dua bulan lalu?"
Gue bisa melihat wajah Noni berubah jadi pucat luar biasa.
"Dylan, tenang, Lan...," Mbak Vita berusaha melepaskan cengkeraman gue di tangan
Noni. "Aku nggak bisa tenang, Mbak! Nggak bisa! Dia ini yang selama ini meneror Alice! Dia
yang bikin Alice ketakutan sampai minta putus dari aku! Dan mungkin dia juga yang meneror
Karin..." "Iya, tapi kamu tenang sedikit ya" Ini di rumahnya," mohon Mbak Vita, tapi gue sudah
telanjur marah. "Lo egois, Dylan," tiba-tiba Noni bersuara. "Yang lo pikirin cuma Alice, Karin, cewekcewek brengsek itu! Memangnya lo pernah mikirin gimana perasaan gue?"
"Huh! Perasaan apa"! Lo nggak tau ya, Ni, lo itu udah kelewatan! LO nggak berhak
ganggu hidup orang seperti apa yang lo lakuin ke Alice! Dan memangnya, lo kira lo siapa,
sampai-sampai lo mau menabrak Alice, hah"!"
"Itu semua salah lo! Itu semua salah lo!" jerit Noni.
"Kalau lo nggak ngasih harapan ke gue, gue nggak akan seberani itu!"
"Harapan apa?" tanya gue nggak ngerti.
"Lo jangan pura-pura nggak tau! Selama ini lo baik sama gue, lo selalu mau ngobrol
sama gue, lo pakai kalung dari gue, lo bilang lo bakal lebih milih gue dari Alice seandainya
lo tau kalau gue juga ikut Pacar Selebriti..."
"Itu bukan harapan!" bentak gue. "Itu karena gue memang pengin bersikap baik sama
semua orang, termasuk sama lo! Gue nggak nyangka, ternyata pikiran lo sempit!"
"Terus, kenapa waktu di bandara lo bilang kalau lo suka sama gue?"
Gue melotot. Di bandara" Di bandara kapan"
Ingatan gue berputar, dan berhenti pada satu sisi.
"Ehm... iya, gue masih jomblo kok. Mana mungkin gue cari cewek kalau ada cewek
secantik lo yang perhatian sama gue."
"Jadi... Jadi lo suka sama gue?"
Ya Tuhan. Omongan ngaco gue sebelum gue berangkat ke Balikpapan itu! Omongan
yang diakibatkan kombinasi fatal antara otak error dan mata ngantuk karena nggak minum
kopi! Dan Noni salah sangka!
"Gue nggak pernah bilang suka sama lo. Itu asumsi lo sendiri. Lo salah paham!"
"Tapi ini semua salah lo! Lo ngasih harapan ke gue, tapi lo jadian sama cewek lain!" jerit
Noni lagi, sepertinya dia nggak mengerti semua penjelasan gue barusan. "Cewek-cewek itu
pasti menggoda lo, sampai lo lupa sama gue, iya kan" Mereka semua harus pergi jauh-jauh
dari lo! Nggak ada yang boleh deket sama lo selain gue!"
Gue menelan ludah, benar-benar nggak tau harus ngomong apa lagi. Cuma satu yang ada
di pikiran gue: Noni sakit.
"Memangnya apa sih kurangnya gue di mata lo" Gue lebih segalanya dari Alice, juga
Karin! Gue lebih semuanya dari mereka! Kenapa lo nggak pernah milih gue"!" Noni
mencengkeram bagian depan kaus gue dan mengguncang-guncang tubuh gue sambil tersedusedu.
Tora menatap gue bingung, keningnya berkerut. Mbak Vita malah menatap Noni dengan
pandangan kasihan. Si pembantu, yang pasti kebingungan, berdiri beberapa meter dari kami,
cuma bisa termangu. Gue menghela napas dalam-dalam. Emosi gue sudah mulai mereda, dan gue nggak bisa
mungkir bahwa gue mulai nggak tega melihat Noni nangis begini, biarpun tadi gue marah
banget sama dia. "Ni, lo memang cantik. Dan gue akui, secara fisik lo mungkin lebih dari semua cewek
yang lo sebutkan tadi. Tapi lo punya kekurangan yang fatal : lo terlalu memaksakan diri.
Kalau gue nggak cinta sama lo, bukan berarti lo harus membuat gue jadi cinta. Ada hal-hal
yang nggak bisa dipaksakan, tau nggak?" Intonasi suara gue menurun, dan Noni menatap gue
di sela-sela air matanya yang terus menetes. "Semua perbuatan lo itu keterlaluan, Ni. Yang lo
lakukan ke Alice itu bahkan sudah tindak kriminal. Memangnya lo mau terus kayak gini?"
Noni menggeleng. Satu titik air matanya menetes di pergelangan tangan gue.
"Gue akan menganggap semua ini nggak pernah terjadi, dan tetap menghargai lo sebagai
Dylanders yang paling loyal, tapi dengan satu syarat..." Noni mendongak. "Lo harus janji
nggak melakukan teror-teror seperti itu lagi. Karena kalau lo mengulangi itu, gue bakal
sangat membenci lo, paham?"
"Ya," jawab Noni lirih. "Gue janji..."
"Thanks." Gue lalu menoleh menatap Tora dan Mbak Vita. "Ayo pulang."
*** "Lo pernah salah ngomong sama cewek itu ya, Lan?" tanya Mbak Vita setelah mobil yang
kami naiki keluar dari kompleks perumahan Noni.
"Mmm... iya, Mbak. Waktu aku mau berangkat tur ke Balikpapan dulu, dia nungguin aku
di airport, terus dia mengajak ngomong macem-macem, padahal waktu itu aku lagi ngantuk
banget, dan kalau nggak salah... aku bilang aku nggak mungkin nyari cewek kalau punya fans
secantik dia, dan dia jadi..."
"Gokil!" potong Tora. "Gue nggak nyangka ternyata lo raja gombal juga!"
"Hush!" Mbak Vita menempelkan telunjuknya di bibir Tora dengan agak kesal. "Dylan
kan lagi cerita, jangan dipotong dong."
"Iya deh iya, maaf..." Tora cemberut.
"Jadi, dia salah paham dan berasumsi itu berarti lo suka sama dia?" Mbak Vita gelenggeleng. "Kayaknya setelah ini lo harus lebih hati-hati kalau bicara sama fans-fans lo, Lan.
Bisa gawat kalau ada yang salah paham lagi."
"Dan lo juga jangan tebar pesona dan SKSD di mana-mana!" cerocos Tora lagi. "Lihat
tuh si Noni, karena lo baikin dia terus, dia jadi ngerasa lo suka sama dia juga."
"Ya terus gue harus gimana kalau ngadepin fans" Jutek" Ketus?"
"Ya enggak, tapi lo jangan terlalu baik lah... Pokoknya jangan sampai ada yang merasa
dapat harapan kosong lagi kayak Noni gitu. Lo nggak mau kan kalau ada yang nasibnya sama
kayak Alice lagi?" Gue tegas-tegas menggeleng.
"Oh ya, ngomong-ngomong soal Alice nih, alasan dia minta putus kan karena dia nggak
tahan diteror sama Noni, tapi sekarang Noni udah janji nggak bakal mengulangi
perbuatannya. Itu kan berarti... lo nggak punya halangan lagi buat balik sama Alice!" seru
Mbak Vita senang. "Eh, iya! Ide bagus!" dukung Tora.
Gue melongo, tapi sedetik berikutnya sebuah ide muncul di kepala gue.
GRACE"S CONFESSION "GRACE! Yang bener aja! Kenapa lo mendadak cerita sama Dylan soal kecelakaan itu?"
"Percobaan pembunuhan itu, maksud lo?" tanya Grace sambil nyengir nggak jelas.
"Yah, terserah lo deh nyebutnya apa!" Aku sewot. Grace baru aja cerita dua hari yang lalu
dia mengajak Dylan ketemuan, dan dia membeberkan ke Dylan tentang aku yang hampir ditabrak
si peneror psikopat. Gokil banget si Grace!
"Lice, emangnya lo nggak mau ya orang yang neror lo itu tertangkap?" Grace tiba-tiba
pasang tampang serius. Aku terdiam. "Gue nggak tau, Grace... Masalahnya, orang itu kan udah nggak neror gue lagi
sekarang, jadi gue rasa masalah ini nggak usahlah diperpanjang lagi. Kalau masalah ini sampai ke
polisi, gue pasti harus cerita ke bonyok gue juga, dan mereka pasti nanti cemas banget. Gue
nggak mau mereka sampai seperti itu..."
Grace manggut-manggut, tapi aku bisa melihat dia sepertinya menyembunyikan sesuatu.
"Grace, lo nggak nyembunyiin sesuatu dari gue, kan?"
"Mmmm... enggakk... enggak kok, enggak..."
Aku memicingkan mata, dan dengan jelas bisa melihat Grace mendadak salting dan nggak
berani menatap mataku. Ha! Dia pasti menyembunyikan sesuatu! Pasti!
"Lo jangan bohong sama gue deh. Lo bilang apa lagi ke Dylan?"
Grace mendongak dan menatapku dengan ekspresi agak aneh. "Eh, tapi lo jangan marah,
ya" Janji dulu..."
Wah! Ini pasti ada apa-apanya nih! "Iya deh. Ada apa sih?"
"Sebenernya... Oscar sama Moreno sempat melihat nomor mobil yang mau nabrak lo waktu
itu. Mereka bilang ke gue. Dan... mmm... kemarin gue kasih nomornya ke Dylan..."
Hahhhh?""! "Serius lo?" Cuma kata itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Iya. Dan, ehh... lo tau nggak, Dylan kayaknya berapi-api banget pengin menangkap orang
yang meneror lo itu! Lo tau kan, kayak Superman kalau dengar teriakan minta tolong!"
Aku melongo. "Harusnya lo lihat tampang Dylan kemarin! Kelihatan banget dia masih sayang sama lo."
"Ahh... nggak mungkin," sanggahku dengan pipi memanas.
"Aduh, Alice darling, gue tau, lagi, lo masih suka sama Dylan!"
"Ngaco!" gerutuku, tapi aku bisa merasakan pipiku semakin memanas. Pasti merah deh!
"Nah, supaya lo senang, gue kasih tau satu hal lagi deh... Dylan udah putus sama Cindy!"
Hah" Dia putus sama Cindy" Yes! Yes! Yes!
"Tuh kaaann... lo seneng!"
"Kata siapa?" "Senyum lo itu, nggak bisa disembunyiin!"
"Lo tambah ngaco, Grace."
"Yeee... terserah deh kalau nggak mau ngaku. Dan kalau lo mau tau nih, Dylan sama Cindy
jadian karena Cindy yang nembak duluan, dan Dylan terima karena dengan begitu dia kira dia
bisa lupa sama lo!" "Yang bener" Terus?" tanyaku bersemangat. Aku nggak bisa lagi menyembunyikan rasa
penasaranku. Grace benar-benar pintar memancing orang!
"Nah ya... Nah ya...! Tadi katanya nggak suka, kok sekarang bersemangat gitu?"
Aku nggak bisa berkata-kata lagi, cuma bisa tersenyum kecut mendengar ledekan Grace.
Kalau saja anak tengil itu nggak berada di depanku dengan kepala membesar karena berhasil
meledekku, aku pasti udah loncat-loncat kegirangan.
Dylan masih sayang sama aku lhoooooo!!!
*** "Emamg nya, voucher itu masih berlaku?"
"Udah nggak sih, tapi gue kan dapat lagi yang baru!" Grace tersenyum riang sambil
menunjukkan dua lembar voucher dalam genggamannya.
Sore ini kami dalam perjalanan menuju bistro sushi milik teman Kak Julia, yang dulu batal
kami datangi gara-gara aku nyaris ditabrak mobil peneror itu. Dan nggak tau kenapa, Grace
ngotot banget sore ini kami harus ke sana. Hmm... mungkin karena dia nggak pernah bisa
melewatkan apa pun yang berbau gratis!
Setengah jam kemudian kami berhenti di depan sebuah bistro sushi yang rame banget. Mobilmobil berjajar di lahan parkirnya yang cukup luas, dan Grace langsung menyeretku turun dengan
nggak sabaran. "Ada apa sih Grace, kok lo nggak sabaran banget?"
"Gue laper, tau! Lapeeeerrrr..." Grace menunjuk perutnya, lalu menyeretku masuk ke bistro
itu. Begitu masuk ke bistro itu, aku langsung ikut lapar. Bau harum makanan Jepang tercium
hidungku, membuat perutku mulai menyuarakan protes minta diisi. Kami lalu duduk di meja
bagian dalam bistro, agak jauh dari pengunjung-pengunjung lainnya. Grace membolak-balik buku
menu, dan langsung memesan seporsi fusion shrimp roll dan ice cappucino. Berhubung baru pertama
kali ke bistro ini dan nggak tau makanan apa yang enak di sini, aku akhirnya memesan makanan
yang sama. "Eh, Lice, lo tunggu bentar ya, gue mau ke toiliet dulu."
"He-eh." Aku duduk samgil mengamati sekelilingku. Lagu Pura-Pura Cinta-nya ADA Band terdengar
sebagai backsound. Wah, bistro ini oke punya, interiornya bagus dan cozy banget. Hmm... aku mau
foto-foto dikit ah! Rugi kalau nggak punya kenangan pernah datang ke tempat sebagus ini.
Okeee... Satu-dua-tiga-cheese! Satu-dua-tiga-cheese! Satu-dua-ti...
"Hai." Kok Grace bilang "hai" segala sih" Aneh.
Aku menurunkan HP dari hadapan wajahku, dan nyaris pingsan!
Kenapa Dylan bisa ada di sini?"?""
GRACE: ORANG DI BELAKANG LAYAR
"KOK kaget gitu sih?" tanya gue geli. Tampang Alice seperti orang habis melihat setan
lewat. "Ehh... ngapain lo di sini?"
"Mau makan. Kan ini bistro sushi."
"Tapi... tapi kok..."
"Kok aku bisa ada di sini saat kamu juga lagi makan di sini?" potong gue. Alice
mengangguk. "Hmmm... jangan marahin Grace, ya?"
Kening Alice berkerut, tapi gue bisa melihat Alice akhirnya mengerti apa maksud gue.
Ya, kemarin gue memang menelepon Grace, dan minta tolong dia untuk bisa mengajak Alice
ke suatu tempat, di mana gue sudah menunggu, karena gue kepingin banget ngobrol sama
dia. Grace setuju, dan dia menawarkan tempat ini, bistro sushi milik teman kakaknya. So,
here I am, akhirnya bisa ngobrol dengan Alice, sementara Grace sudah gue pesankan segala
macam sushi di VIP room di belakang sana.
"Aku tau kamu pasti nggak mau ketemu sama aku lagi, apalagi setelah kejadian di
rumahku waktu itu, tapi... aku pengin bilang ke kamu bahwa aku udah putus dari Cindy,"
jelas gue tergagap. Kayaknya ada yang menyumbat tenggorokan gue.
"Oya?" Mata Alice melebar, dan dia benar-benar kelihatan cantik dan lucu. Gue nggak
bisa kehilangan dia lagi.
"Lice, aku tau aku salah... Tapi kamu harus percaya aku sama sekali nggak sayang sama
Cindy. Aku jadian sama dia karena kukira dengan gitu aku bisa ngelupain kamu. Itu pun aku
nggak bakal jadian kalau bukan karena Cindy yang nembak..."
"Tapi kalaupun Cindy nggak nembak, ujung-ujungnya lo yang bakal nembak, kan" Dia
kan cantik, seksi, terkenal, lagi. Cuma cowok bego atau homo yang nggak suka sama dia."
"Cuma cowok bego yang mau pacaran sama Cindy karena mengira dengan begitu dia
bakal bisa melupakan cewek yang benar-benar dicintainya," sanggah gue cepat. Alice
terdiam, tapi semburat merah muncul di kedua pipinya.
"Aku masih sayang sama kamu, Lice." Aku pengin kita balik. Dan sekarang kamu nggak
perlu takut diteror, karena aku sudah memaksa orang yang meneror kamu untuk berjanji
untuk nggak akan mengulangi perbuatannya lagi."
"Lo tau siapa yang meneror gue?" tanya Alice nggak percaya.
"Ya. Noni." Ekspresi Alice benar-benar lucu. Dia bengong, mulutnya terbuka lebar, sementara kedua
alisnya terangkat sampai tersembunyi di balik poni yang menjuntai di dahinya.
"Noni... Noni yang Dylanders itu?"?"
"Iya. Noni yang itu. Dia... salah paham karena aku selalu baik sama dia. Dan aku juga
goblok banget karena pernah salah ngomong sampai dia berasumsi aku juga suka sama dia.
Karena itulah, dia jadi merasa berhak menjauhkan aku dari cewek-cewek lain. Dia benarbenar benci sama semua cewek yang dekat sama aku, sampai nekat melakukan teror-teror..."
Alice terdiam, kelihatannya dia berpikir keras.
"Pantas," gumamnya kemudian.
"Pantas apanya?"
"Pantas dia bisa meneror gue. Dia tau nomor HP gue, karena gue pernah SMS dia untuk
minta maaf karena menumpahkan milk tea di bajunya waktu di Cheerful Paradise. Dan
waktu di HUT TV9, dia tau nama gue Alice karena lo yang bilang. Dia juga melihat gue
ngobrol sama lo di backstage. Terus... dia pasti tau alamat dan sekolah gue dari database
milis, karena gue mengisi data-data gue di sana. Noni pasti cukup pintar untuk menyatukan
semua info itu, sampai dia bisa membuat hipotesis bahwa gue adalah Alice, pacar Dylan,
yang dulu meng-SMS-nya untuk minta maaf karena menumpahkan milk tea di bajunya. Dia
tinggal meneror gue, karena data alamat, sekolah, dan nomor HP gue sudah di depan mata,"
jelas Alice panjang-lebar.
Gue manggut-manggut. Wow, untuk ukuran peneror, Noni benar-benar cerdas sampai
bisa merangkai fakta seperti itu. Lalu gue menceritakan ke Alice bagaimana gue bisa
menemukan Noni sebagai dalang di balik semua teror yang Alice terima. Alice mengerjap
berulang-ulang mendengar cerita gue.
"Jadi, Lice, sekarang... mmm... lo mau balik sama gue nggak" Gue sayang banget sama
lo, dan gue janji kali ini kita nggak perlu lagi backstreet, karena nggak ada yang perlu kita
takuti. Noni juga udah janji nggak bakal mengulangi perbuatannya... Gue nggak akan
menyembunyikan lo lagi, Lice. Kita bisa mengulang semuanya dari awal."
Alice diam lagi, dan gue dengan takjub menyadari lagu ADA Band yang diputar di bistro


Dylan I Love You Karya Stephanie Zen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini sudah berganti dari Pura-Pura Cinta menjadi Setingginya Nirwana.
Saat kembali memelukmu Terurai rasa yang semakin mendalam
Kuingin dirimu masih rasakan hal sama
Cintaku setinggi-tingginya nirwana...
Mungkin hatimu pertanyakan
Ada kepastian di lubuk jiwaku
Ku telah bersumpah setia berikrar denganmu,
Tak "kan empaskanmu yang kedua kalinya...
Cinta jangan kautinggalkan aku
Leburkan ke dalam kepedihan
Maafkan aku yang sempat melukaimu...
Cinta kau harus ampuni aku
Atas s"gala tingkahku yang dulu,
Tiada pantaskah ku "tuk kembali memulainya...
Gue dan Alice sama-sama bengong. Ini sama fantastisnya dengan ADA Band ada di
belakang kami dan menyanyikan lagu ini secara live untuk membantu gue memohon Alice
kembali! "Aku nggak tau, Lan," kata Alice pelan. "Kadang-kadang aku masih merasa nggak
pantas jadi pacar kamu. Aku... aku cuma anak SMA biasa, sementara kamu seleb yang dipuja
banyak orang. Dan dunia kita berbeda..."
"Kamu jangan bicara seolah aku ini hantu dong," gue berusaha bercanda. Berhasil, Alice
tersenyum geli. Itu pertanda bagus, di samping dia sudah mulai menggunakan aku-kamu lagi
kalau ngomong sama gue. "Kamu nggak mau kasih aku kesempatan?"
Aku berpikir sebentar. "Kasih aku waktu satu minggu, nanti aku bakal kasih jawabannya
buat kamu. Aku kan harus mikir juga..."
Alice tersenyum, dan gue nggak tahan untuk nggak tersenyum juga, biarpun gue ketarketir menunggu minggu depan.
Di belakang kami, Setingginya Nirwana masih mengalun.
Kau bagai bintang di tengah samudra
Arahkan jiwa yang terlena akan dunia
Ampuni mata ini tak mampu melihat
Ke dalam cintamu sesungguhnya...
Cinta jangan kautinggalkan aku
Leburkan ke dalam kepedihan
Maafkan aku yang sempat melukaimu...
Cinta kau harus ampuni aku
Atas s"gala tingkahku yang dulu,
Tiada pantaskah ku "tuk kembali memulainya...
(Setingginya Nirwana " ADA Band)
GO PUBLIC! Satu bulan kemudian... AKU selalu suka pensi. Selain karena ramai dan banyak booth yang lucu-lucu, juga karena banyak
cowok cakep yang berkeliaran di depan mataku.
Biarpun begitu, aku nggak bisa bebas flirting sama cowok-cowok itu, karena pasti cowok
yang disebelahku ini bakal dengan senang hati menjewer telingaku kalau aku melakukan hal itu.
"Hayoo... nggak boleh ngelirik cowok-cowok!" goda Dylan sambil menjewer telingaku.
"Yeee... daripada aku ngeliatin sesama cewek, mendingan aku ngeliatin cowok dong! Aku
kan masih normal!" "Iya, tapi kamu kan udah punya pacar! Nih, pacarnya di sini!" Dylan menunjuk dirinya
sendiri, dan kami tertawa geli berdua.
Sian gini memang aku dan Dylan nonton bareng pensi anak-anak SMA 103 di Parkir Timur
Senayan. Skillful jadi salah satu pengisi acaranya, tapi mereka sudah selesai tampil tadi, dan
sekarang Dylan menemaniku nonton.
Apa" Oya, kami memang udah balik tiga minggu yang lalu. Aku nggak bisa bohong aku benerbener masih sayang sama Dylan, dan anak tengil itu juga kelihatannya masih sayang banget sama
aku, jadi nggak salah dong kalau kami balikan"
Seperti ap ayang Dylan bilang waktu memintaku kembali sama dia, kali ini kami go public,
alias sama sekali nggak backstreet! Dan tau nggak, rasanya semua terasa lebih ringan dijalani. Aku
dan Dylan nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi kalau mau pergi berdua, dan lebih hebatnya lagi,
nggak ada satu pun teror yang kuterima. Rupanya Noni benar-benar menepati janjinya.
"Hai..." Aku menoleh, dan mendapati wajah empat cewek yang sama sekali nggak kukenal, dan
mereka semua tersenyum grogi menatapku.
"Hai! Cynthia... Ardelia... Ellya... Xiu Mei," Dylan menyapa keempat cewek itu ramah.
Aku menelan ludah mendengar nama-nama itu. Kalau nggak salah, mereka ini kan...
"Say, kenalin, mereka anak-anak milis Dylanders," kata Dylan riang sambil menunjuk
keempat cewek itu. "Ini Cynthia, terus Ardelia, Ellya, yang ini Xiu Mei. Gals, kenalin, ini Alice,
cewek gue..." "Hai," sapaku kagok dan salting. Mampus, kalau gini kan...
Ah ya, aku lupa. Sekarang kan aku dan Dylan nggak backstreet lagi...
"Hai!" aku mengulang sapaanku dengan sapaan yang lebih riang dan menyalami mereka satu
per satu. "Apa kabar" Tadi habis nonton Skillful juga, ya?"
"Iya," sahut cewek ber-tank-top hitam yang seksi, pasti Cynthia.
"Senang banget bisa ketemu di sini," kataku lagi. "Kalian datangnya bareng" Habis ini masih
mau nonton, kan" Kita nontonnya bareng aja, gimana?"
Ellya bengong, sementara Xiu Mei dan Ardelia saling lihat-lihatan.
"Kenapa" Kalian udah mau pulang?" tanyaku heran.
"Eh, bukannya gitu," Ellya angkat bicara. "Kita... nggak enak aja kalau jadi gangguin kalian
nonton berdua..." Aku menatap Dylan dan nyengir lebar. "Nggak, sama sekali nggak ganggu kok. Kan malah
enak nonton rame-rame!"
Mereka berempat kelihatannya bingung banget, tapi akhirnya mengangguk juga, dan aku
langsung tersenyum riang. Mereka juga nyengir.
Mungkin memang seharusnya seperti inilah pacar Dylan dan Dylanders, bisa membaur tanpa
merasakan ada jurang. Dylan memang pacarku, tapi di depan para Dylanders, dia tetap milik
mereka bersama. Aku nggak akan merebutnya dari mereka...
*** Esok paginya hari Minggu, dan karena laig nggak ada kerjaan, aku iseng membuka milis
Dylanders. Hmm... report tentang penampilan Skillful di pensi anak-anak SMA 103 kemarin sudah
ada belum ya di milis"
Bagian Messages terbuka, dan aku langsung melongo dengan suksesnya.
Cwe Dylan namanya Alice, orgnya baik bgt!
Hay galz, kmrn gw sm ank2 ktmu Dylan...
Re: Cwe Dylan namanya Alice, orgnya baik bgt!
Pantas Dylan milih Alice, dia emg...
Re: Cwe Dylan namanya Alice, orgnya baik bgt!
Oya" Ah, gw jg pgn dunk ktemu & knlan sm Alice...
c-ta_dylanders Send IM ellya-susanti Send IM cuekz_91rl Send IM Aku terpana dan membuka reply yang paling akhir.
From : cuekz_91rl@yahoo.com
Subj : Re: Cwe Dylan namanya Alice, orgnya baik bgt!
>> In dylan_siregar@yahoogroups.com, cuekz_91rl wrote:
Oya" Ah, gw jg pgn dunk ktemu & knalan sm Alice! Dr ftnya, gw lht Alice manis
bgt! Wihhh... udh manis, baik pula! Gw sirik sm lo-lo pada galz, udh bs ktmu Alice yg
sgitu baiknya. Moga2 Alice sm Dylan awet yak!
Dan... oh ya, mending Alice ke mana-mana deh drpd si Cindy penyanyi sok
ngetop yg doyan publisitas itu!
>> In dylan_siregar@yahoogroups.com, ellya_susanti wrote:
Pantas Dylan milih Alice, dia emg cwe yg baiiiiikkk bgt, sm skali nggak nganggap
Dylanders ganggu. Memang seharusnya kayak gitu cwenya Dylan, bs deket sm
Dylanders, ya nggak"
Dylan, Alice, awet-awet yaaa... Tp nikahnya jgn dlm wktu dkt ah, gw belum siap
lht janur kuning melengkung niy, hehe...
>> In dylan_siregar@yahoogroups.com, c-ta_dylanders wrote:
Hay galz, kmrn gw sm ank2 ktmu Dylan di pensinya anak2 SMA 103. Trnyt
Dylan dtg brg cwenya, namanya Alice. Yg bikin gue kaget, Alice ternyata orgnya
baiiiiikkkk bgt! Dia nawarin gue, Ellya, Xiu Mei, en Ardelia buat nonton pensi brg mrk!
Dia sm skali nggak nganggap qta ganggu, pdhl kan qta jelas-jelas ganggui dia &
Dylan yg lg asyik-asyik nonton pensi!
Haduuuhhh... emang cocok ya Dylan milih cwe ky Alice! TOP BGT dah!
PS: ft kita berempat sm Dylan & Alice udh gw upload. Silakan dilihat! ^-^
Aku melongo, sama sekali nggak menyangka bakal menemukan puji-puji untukku di milis.
Ini benar-benar luar biasa. My life is amazing!
Dan aku nggak akan pernah mengalami semua ini kalau bukan karena cowok bernama
Dylan James Siregar itu...
Aku mengambil HP-ku dan mengetik SMS untuk Dylan.
To: Dylan Chayank Dylan... I love you! You know, what" I really do.
Hati Budha Tangan Berbisa 11 Pendekar Naga Putih 10 Bunga Abadi Di Gunung Kembaran Perantauan Ke Tanah India 2
^