Pencarian

Api Di Bukit Menoreh 30

07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 30


Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Swandaru sudah tidak dapat bertahan lagi. Dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya, serta perasaan panas yang membuat sakitnya bagaikan hangus Swandaru terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian iapun telah jatuh terduduk.
"Kakang Swandaru," Pandan Wangi dan Sekar Mirah memekik hampir bersamaan. Keduanyapun kemudian telah berlari bersama mendapatkan Swandaru yang terduduk itu.
Ketika mereka berjongkok disebelah Swandaru, mereka melihat wajah Swandaru yang tegang. Dengan gigi yang terkatub rapat. Swandaru berusaha untuk bertahan terhadap perasaan sakit yang mencengkam seluruh tubuhnya.
Namun ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah memandanginya dengan cemas. Swandaru itupun berusaha untuk tersenyum, "Aku tidak apa-apa."
Kedua orang perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Terdengar Pandan Wangi berdesis, "Sokurlan kakang Swandaru. Namun nampaknya sesuatu telah menyakiti kakang pada saat pertempuran itu berlangsung."
"Orang itu memang gila, ia adalah saudara seperguruan bajak laut yang telah melukai kakang Agung Sedayu. Ia memiliki kemampuan untuk udara disekitarnya. Rasa-rasanya aku memang berada di neraka. Untunglah, aku mampu mengatasinya, langsung menghancurkan sumber ilmu itu sehingga akhirnya, maka seperti kau lihat, aku telah mengalahkan saudara seperguruan bajak laut itu."
Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirahpun menyahut, "udara panas itu terasa dari luar arena pertempuran."
"Ternyata bahwa kebesaran nama perguruan Ki Tumenggung Prabadaru dan ketiga bajak laut itu tidak seimbang dengan kenyataan yang aku alami sekarang ini," berkata Swandaru.
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak dapat menyebut dengan terperinci. tetapi ia merasakan tingkat Ilmu orang yang bertempur melawan Swandaru itu berada dibawah tataran lawan Agung Sedayu.
Ki Gede Menoreh yang kemudian mendekat pula. hanya dapat mengerutkan dahinya. Tetapi tidak ingin menyakiti perasaan Swandaru.
Dalam pada itu. Ki Gede yang kemudian mendekati orang bertubuh kecil dan terbaring diam itu dengan hati-hati telah meraba tubuhnya. Namun tubuh itu rasa-rasanya telah menjadi beku. Ternyata luka-lukanya yang parah telah merenggut jiwanya. Luka pada leher orang itu telah menentukan segala-galanya.
Kiai Gringsing yang masih saja berada ditempat yang tersembunyi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih tetap berada ditempatnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak wajar. Orang bertubuh kecil itu sudah dilumpuhkan bahkan menurut pengamatan Kiai Gringsing dari tempatnya, orang itu agaknya telah terbunuh dipeperangan. Namun rasa-rasanya pengaruh sirep itu masih saja mencengkam Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, maka Ki Gedepun kemudian berkata kepada Swandaru. "Marilah ngger. Kita naik kependapa. Mungkin angger memerlukan pertolongan."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Aku tidak apa-apa Ki Gede. Hanya terasa panas yang telah menggigit tubuhku itu masih sedikit berpengaruh."
"Karena itu, marilah. Angger memerlukan istirahat," berkata Ki Gede.
Namun agaknya ki Gedepun sedang mencari seseorang. Dalam keadaan yang demikian, ia tidak melihat Kiai Gringsing.
Tetapi sebelum Ki Gede bertanya. Swandaru telah berkata, "Guru berada dibalik dinding. Agaknya aku memang memerlukan bantuan guru untuk perasaan sakit karenan sentuhan udara dan uap panas itu."
"O," Ki Gede mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar suara Kiai Gringsing lambat saja tanpa melihat orangnya, "Hati-hatilah. Dan biarlah aku disini."
Ki Gede mengerutkan keningnya. Ternyata bukan saja Ki Gede yang mendengar. Tetapi juga Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Swandaru.
Karena itu, maka Swandarupun tidak menunggu pertolongan Kiai Gringsing. Pandan Wangilah yang kemudian menolongnya berdiri dan memapahnya mendekati dinding gandok.
"Duduklah bersandar dinding," berkata Ki Gede, "kita sedang menunggu sesuatu."
Swandarupun kemudian duduk bersandar dinding. Namun katanya kemudian, "Aku hanya memerlukan waktu beristirahat sebentar. Kemudian aku akan dapat berbuat sesuatu lagi menghadapi lawan."
Dalam pada itu. di dalam gandok, Glagah Putih mendengar pula percakapan itu. karena Swandaru berada dekat pada dinding gandok. Bahkan iapun mendengar saat Swandaru meletakkan punggungnya pada dinding gandok itu.
Glagah Putih tidak dapat menahan diri untuk mengetahui apa yang terjadi. Hampir diluar sadarnya ia melekatkan mulutnya pada dinding gandok sambil bertanya, "Apakah kau tidak apa-apa kakang Swandaru ?"
Swandaru dan orang-orang yang ada diluar gandok mendengar pertanyaan itu. Sementara itu Swandarupun menjawab, "Tidak Glagah Putih. Aku tidak apa-apa."
"Sokurlah. Aku tetap disini menunggui kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mungkin ada orang yang dengan curang ingin berbuat jahat dengan memasuki bilik ini," berkata Glagah Putih kemudian.
"Tepat," berkata Swandaru, "kau tetap disitu menjaga mereka yang sedang terluka."
Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sementara Swandarupun berusaha untuk mengusir perasaan sakit yang masih terasa ditubuhnya.
Tetapi usaha itu tidak segera berhasil. Perasaan sakit dan panas itu masih saja terasa menggigit kulit. Seakan-akan kulitnya benar-benar telah tersiram uap air yang sangat panas, sehingga kulitnya itu bagaikan terkelupas.
Namun dalam pada itu. ternyata Kiai Gringsing tidak segera datang kepadanya untuk memberikan obat yang dapat mengurangi rasa sakit itu. Sehingga karena itu, maka untuk sesaat ia harus berusaha mengatasi perasaannya itu tanpa pertolongan obat apapun juga.
Ki Waskita. Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih saja berdebar-debar. Jika tidak ada sesuatu maka Kiai Gringsing tentu sudah berjanlan mendapatkan muridnya yang terluka itu.
Sebenarnyalah saat itu seseorang sedang bergerak mendekati orang-orang yang berada di belakang gandok itu. Beberapa langkah dan mereka orang itu berhenti.
Ki Gede. Pandan Wangi. Sekar Mirah bahkan Swandarupun melihat orang itu pula. Karena itu, maka merekapun segera bersiaga. Tombak pendek ditangan Ki Gedepun telah merunduk. sementara tangan Pandan Wangi telah berada dihulu pedangnya. Dekat disisi Swandaru. Sekar Mirah menggenggam tongkat baja putihnya semakin erat.
"Luar biasa," terdengar orang itu berdesis, "kalian telah berhasil membunuh muridku."
"Aku melawannya seorang diri," tiba-tiba saja Swandaru menyahut. Ia berusaha berdiri tegak meskipun perasaan sakit ditubuhnya masih mencengkamnya. Namun dengan sekuat-kuatnya ia menahannya seakan-akan perasaan sakit itu telah lenyap sama sekali.
"O," orang yang baru dalang itu mengangguk, "kau benar. Aku salah ucap. Aku memang melihat kau bertempur seorang diri."
"Jadi kau adalah gurunya?" bertanya Swandaru kemudian.
"Ya. Aku adalah gurunya. Aku juga guru ketiga bajak laut yang terbunuh itu. dan aku jugalah guru Tumenggung Prabadaru," jawab orang itu.
"Bagus," sahut Swandaru, "aku sudah siap. Jika kau merasa kehilangan kelima orang muridmu dan ingin menuntut balas, maka kini sudah tiba waktunya."
Tantangan Swandaru itu telah mengejutkan Ki Gede. Sekar Mirah dan apalagi Pandan Wangi. Bagaimanapun juga. mereka mengetahui keadaan Swandaru. Apalagi jika ia harus bertempur melawan guru orang yang dibunuhnya itu.
Namun tanggapan orang yang baru datang itu ternyata sangat mengejutkan pula, "anak muda. Jangan memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang tidak kau mengerti. Jangan kau sangka aku tidak melihat apa yang terjadi. Kau memang berhasil membunuh muridku yang terakhir. Tetapi bahwa kau kemudian ingin menempatkan diri melawanku adalah suatu mimpi yang sangat buruk. Seharusnya kau mampu menilai dirimu sendiri. Kau hampir saja kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan diri melawan muridku yang terakhir. Bagaimana mungkin kau menantangku untuk bertempur."
"Kaulah yang tidak mampu menilai tingkat ilmu seseorang," jawab Swandaru, "muridmu terbunuh tanpa dapat berbuat apapun juga. Apakah kau kira. meskipun kau gurunya, memiliki ilmu dan kemampuan yang berlipat dari muridmu itu?"
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, "Aku hormat kepadamu anak muda. Kau memiliki keberanian yang luar biasa. Tetapi aku ingin menasehatimu. Mungkin gurumu tidak pernah melakukannya." orang itu berhenti sejenak, lalu, "sebaiknya kau setiap kali membuat penilaian atas ilmu yang kau miliki. Tangga-tangga kemampuan yang pernah kau injak sampai tingkat kemampuan yang sekarang."
Kemarahan Swandaru tiba-tiba saja meledak. Ia merasa terhina oleh kata-kata orang itu. Seakan-akan melupakan perasaan sakitnya Swandaru melangkah menyibak orang-orang yang berdiri disekitarnya.
"Kau lihat Ki Sanak," geram Swandaru, "aku dapat membunuh muridmu tanpa cidera sama sekali."
Orang itu mengerutkan keningnya, Ki Gede Menoreh menggamit Swandaru agar ia dapat mengekang dirinya sedikit. Tetapi Swandaru sama sekali tidak menghiraukannya.
Orang yang datang kemudian itu berdiri tegak dengan sikap yang ragu. Namun kemudian orang itu bertanya. "Apakah kau ingin melihat, apakah kau akan mampu berbuat sesuatu atasku ?"
"Persetan," geram Swandaru.
"Kau memang berani. Menyenangkan mempunyai murid seperti kau. Tetapi gurumu masih harus memberimu beberapa pengarahan," berkata orang itu, "baiklah. Jika kau memang ingin mencoba. Marilah. Mendekatlah. Aku berjanji untuk tidak bergerak sama sekali. Pergunakan cambukmu yang dahsyat itu. Sekali lagi aku berjanji, aku tidak akan menggerakkan ujung jari kakiku sekalipun."
Kata-kata itu benar-benar satu penghinaan yang membuat darah Swandaru mendidih. Tiba-tiba saja Swandaru telah memutar cambuknya, dan sejenak kemudian cambuk itupun telah meledak.
Sikap Swandaru itu benar-benar mencemaskan orang-orang yang menyaksikannya. Pandan Wangi berusaha untuk menenangkannya. Tetapi Swandaru justru mendorongnya menjauh sambil berkata, "Aku ingin membungkam kesombongannya dengan cambukku sebagaimana telah terjadi atas muridnya."
Pandan Wangi yang terdorong beberapa langkah benar-benar menjadi cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa Meskipun ia tidak menganggap bahwa guru orang yang telah melawan dan terbunuh oleh Swandaru itu melampaui kemampuan setiap orang, tetapi keadaan Swandaru masih belum mengijinkan. Swandaru masih dicengkam oleh perasaan sakit. Hanya karena darahnya yang telah mendidih sajalah maka rasa sakit itu telah dilupakannya.
Dalam pada itu. Ki Gede dan Sekar Mirah sama sekali tidak juga dapat mencegahnya. Jika Pandan Wangi, isterinya tidak didengarnya, maka apalagi orang lain.
Sementara itu. Swandarupun telah melangkah semakin dekat. Orang yang menyebut dirinya guru lawannya yang sudah terbunuh itu benar-benar masih tetap berdiri tegak dan tidak bergerak. Satu sikap yang sangat menyakitkan hati.
Demikianlah, ketika Swandaru sudah siap untuk bertempur melawan orang yang berdiri tegak itu. Kiai Gringsingpun dicengkam oleh keragu-raguan. Ada niatnya untuk mencegah Swandaru. karena mungkin bahwa orang yang datang itu benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi. Sikapnya, kata-katanya dan sirep yang masih terasa mencengkam Padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun, ternyata Kiai Gringsing tidak berbuat sesuatu. Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk sedikit memberi peringatan kepada Swandaru, bahwa ilmunya bukanlah Ilmu terbaik yang pernah dimiliki oleh semua orang. Ia berharap bahwa dengan demikian Swandaru mengerti. bahwa yang dicapainya itu masih belum terlalu tinggi.
Karena itu maka Kiai Gringsingpun kemudian mengurungkan niatnya untuk mencegah Swandaru. Bahkan mungkin dalam keadaan yang demikian Swandarupun tidak akan mendengarkannya. Biarlah mendapat sedikit pengalaman yang mungkin akan berguna baginya.
Namun dengan demikian Kiai Gringsing tidak ingin mengorbankan Swandaru ia sudah bersiap mencegah malapetaka yang dapat terjadi atas Swandaru jika lawannya benar-benar menyerangnya.
Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Kiai Gringsingpun telah siap dengan ilmunya yang nggegirisi. yang akan dapat menjadi tabir yang akan melindungi Swandaru tanpa melakukan kecurangan dengan menyerang lawannya dari tempat yang tersembunyi.
Tetapi untuk selanjutnya. Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar, ia sadar, bahwa dalam keadaan yang memaksa, maka ia harus berbuat sesuatu.
"Sebenarnya aku sudah ingin menjauhi dunia kekerasan seperti ini," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya, "sudah waktunya untuk menyepi, merenungi hidup yang sudah dijalani."
Tetapi Kiai Gringsing tidak akan sampai hati melepaskan muridnya dalam keadaan yang paling sulit seperti itu.
Dalam pada itu. Swandarupun melangkah semakin dekat. Cambuknya berputaran dan meledak-ledak. Namun ia masih belum sampai pada satu pijakan yang dapat menjangkau lawannya dengan ujung cambuknya.
Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar ketika Swandaru melangkah lebih dekat lagi, ia tahu apa yang akan dilakukan oleh orang yang baru datang itu. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun telah bersiap sepenuhnya.
Namun menilik sikapnya, maka orang itu tidak akan melakukan serangan yang dapat menentukan keadaan Swandaru. Agaknya orang itupun hanya ingin sekedar menunjukkan kepada Swandaru. bahwa anak muda yang gemuk itu bukannya lawannya yang seimbang.
Dalam pada itu. ketika Swandaru maju selangkah lagi. tangannya sudah mengayunkan cambuknya. Dari tempatnya jika ia maju selangkah maka ujung cambuknya akan dapat menjangkau lawannya.
"Aku akan melihat, apakah kulitnya kebal dan tidak akan terluka oleh ujung cambukku," geram Swandaru di dalam hatinya.
Namun ketika Swandaru mengangkat kakinya untuk melangkah maju. Tiba-tiba saja ia terkejut diluar sadarnya iapun telah meloncat beberapa langkah surut.
Demikian ia siap untuk melangkah maju. Tiba-tiba saja tanah dihadapannya seakan-akan telah meledak, meskipun tidak terlalu keras. Dan dalam tanah seakan-akan telah menyembur asap dan api yang menjilat.
"Gila," geram Swandaru. Tetapi api yang hampir menjilatnya itu sudah terasa panasnya bagaikan membakar kulitnya.
Sejenak Swandaru termangu-mangu. Ketika ia melihat orang itu masih tetap berdiri ditempatnya, bahkan terdengar suara tertawanya meskipun tertahan, darah Swandaru menjadi semakin panas.
Tiba-tiba saja ia ingin melakukannya lagi. dengan serta merta. sebagaimana dilakukan atas lawannya yang terbunuh itu.
"Aku harus berbuat dengan cepat. Aku harus meloncat dan dengan serta merta melecutnya. Jika cambukku mengenai tubuhnya, apalagi ditempat yang paling gawat maka ia tidak akan mampu lagi melontarkan ilmu iblisnya itu."
Sejenak Swandaru membuat ancang-ancang. Tetapi sebenarnyalah bahwa tubuhnya masih terasa sakit. Namun hatinya yang sakit oleh penghinaan telah mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang justru sangat berbahaya baginya.
Sejenak kemudian maka Swandarupun telah siap. Dengan menghentakkan kekuatannya, maka iapun telah siap meloncat. Tangannyapun telah terangkat untuk mengayunkan cambuknya dilambari dengan seganap kekuatan ilmu yang ada padanya.
Namun demikian Swandaru meloncat, maka sekali lagi setapak dihadapannya telah menyembur asap api dari dalam tanah.
Bagaimanapun juga. asap dan api yang panas itu telah menghentikan langkah Swandaru. Bahkan iapun telah meloncat surut pula karena panas yang menyentuh tubuhnya.
Swandaru menggeram. Kemarahannya telah menghentak-hentak dadanya. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Ternyata bahwa ia tidak dapat menembus panas yang dilontarkan oleh orang itu sebagaimana ia menembus udara yang panas disekitar lawannya yang telah terbunuh. Guru dari lawannya yang telah terbunuh itu benar-benar dapat menghembuskan api. Bukan sekedar udara panas disekarnya.
Namun Swandaru tidak dengan cepat menyerah. Ia masih berusaha beberapa kali. Namun akhirnya Swandaru itupun menjadi letih. Apalagi tubuhnya yang masih terlalu lemah.
Ketika usaha Swandaru menjadi mengendor, maka orang itupun kemudian berkata, "Nah, anak muda. Nampaknya kau sudah menjadi letih. Baiklah. Kita hentikan permainan ini. Aku ingin bermain-main dengan orang-orang yang sebayaku. Mungkin sebaya umurnya. Atau mimgkin sebaya ilmunya."
"Persetan," geram Swandaru. Namun sebenarnyalah bahwa ia sudah benar-benar kehabisan tenaga. Perasaan sakit ditubuhnya justru menjadi semakin terasa.
Hanya karena harga dirinya yang sama sekali tidak mau tersentuh sajalah, maka Swandaru berusaha untuk tetap berdiri.
Dalam pada itu. orang yang telah memberikan satu kenyataan yang sangat pahit bagi Swandaru itupun kemudian berkata, "Anak muda. Aku sudah memenuhi janjiku. Aku sama sekali tidak bergerak. Meskipun hanya ujung jari kakiku. Sekarang, jangan ganggu aku lagi. Aku ingin mengundang orang yang kini memperhatikan permainan kita. Orang yang agaknya sudah ada disini sejak terjadi perkelahian antara anak muda itu dengan muridku."
Orang-orang yang ada disekitar arena itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum tahu pasti, siapakah yang dimaksud oleh orang itu. Mungkin salah seorang dari ke dua orang perempuan yang ada ditempat itu, atau mungkin Ki Gede Menoreh.
Namun ternyata bukanlah mereka yang dikehendaki. Dengan jantung yang berdebaran, maka ketiga orang itu melihat guru orang yang sudah terbunuh itu memutar tubuhnya. Berpaling kegelapan, kearah sebatang dahan pohon yang tumbuh di belakang dinding halaman.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "nampaknya kau sama sekali tidak mengacuhkan peristiwa yang terjadi di tempat ini. Marilah. Mungkin kita dapat berbicara serba sedikit. Menurut dugaanku, maka kau adalah salah seorang dari kawan anak muda yang berani ini. meskipun kau membiarkan saja apa yang telah terjadi sebagaimana ketiga orang yang menungguinya disini."
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berada disebatang dahan dalam kegelapan itupun menarik nafas dalam-dalam ia sudah menduga bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dan iapun sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan diri dari kemungkinan pengamatan orang itu. karena memang tidak ada orang lain yang pantas untuk menemuinya kecuali Kiai Gringsing sendiri.
Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian meloncat turun. Sejenak kemudian maka iapun telah muncul ketika ia meloncati dinding halaman dan memasuki halaman rumah Ki Gede dibelakang gandok sebelah kanan.
"Aku menghargai sikapmu Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "kau tidak bersungguh-sungguh ketika kau berusaha meyakinkan muridku. bahwa kau memang orang yang memiliki ilmu yang luar biasa."
"O. jadi kau adalah guru anak muda bercambuk itu?" bertanya orang itu.
"Ya. Ki Sanak. Akulah yang menuntunnya sekedar mengenal bagaimana caranya menggembala dengan cambuk," jawab Kiai Gringsing.
"Kau agaknya suka merendahkan diri. Tetapi akupun menghargai sikapmu dan sikap ketiga orang yang menunggui pertempuran ini. Kau dan ketiga orang ini sama sekali tidak berbuat sesuatu betapapun muridmu itu mengalami kesulitan. Agaknya mereka terbiasa bersikap jantan sebagaimana muridmu itu sendiri," berkata orang itu pula.
"Mungkin memang begitu Ki Sanak. Namun dengan menyesal sekali, bahwa akhir dari pertempuran antara muridku dan muridmu itu bukanlah maksud kami," berkata Kiai Grngsing kemudian, "tetapi dalam pertempuran yang sengit dan dalam keadaan yang sulit, maka muridku merasa perlu untuk membela dirinya dengan menghentikan serangan-serangan muridmu."
"Ah. jangan begitu Ki Sanak. Aku menganggapmu seorang yang rendah hati. Tetapi jika kau mengulangi kata-katamu itu, maka kau justru akan memberikan kesan seorang yang sombong, seolah-olah kebetulan saja muridku mati tanpa perjuangan yang sewajarnya dan muridmu. hanya karena kesalahan kecil, maka muridkupun terpaksa terbunuh."
"Maaf Ki Sanak," jawab Kiai Gringsing, "sama sekali bukan maksudku untuk mengatakan demikian. Aku hanya ingin mengatakan bahwa bukan kebiasaan kami untuk membunuh. Barangkali kau juga melihat dalam pertempuran itu. muridku telah terdesak. Cara satu-satunya yang dapat ditempuh adalah cara sebagaimana telah dilakukannya itu."
Orang itu mengangguk-angguk. Namun katanya, "Muridmu memang lebih baik dari muridku. Ia memiliki segalanya. Kemampuan, keberanian dan kekuatan. Harga dirinya memang agak terlalu tinggi. Tetapi dengan itu ia mampu mengatasi perasaan sakitnya yang mencengkam."
"Aku tidak apa-apa." Swandaru tiba-tiba saja berteriak.
Orang itu tersenyum, sementara Kiai Gringsing berkata, "Beristirahatlah Swandaru. Kau memerlukan itu."
Wajah Swandaru menjadi semakin tegang ia tidak tahu maksud gurunya. Tetapi kemudian ia menangkap arti kata itu sebagaimana di katakannya. Ia memang memerlukan istirahat. Tetapi Swandaru tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada guru orang yang telah dibunuhnya. Juga kepada Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Ki Gede. ia ingin mengatakan bahwa ia tidak mengalami sesuatu, sementara Agung Sedayu terluka.
Karena itu, maka Swandaru masih tetap berdiri tegak ia sama sekali tidak berdesah. meskipun perasaan sakit dan panas masih tetap menggigit tubuhnya.
Namun adalah diluar dugaan Swandaru ketika orang yang telah berhadapan dengan Kiai Gringsing itu berkata, "Muridmu tidak akan mau beristirahat Ki Sanak. Agaknya ia tidak ingin menununjukkan kelemahannya kepada gurunya."
Kiai Gringsing tidak menjawab, meskipun ia sependapat dengan orang itu. Tetapi dalam pada itu. Swandarulah yang menggeram, "Kau terlalu sombong. Kau menganggap orang lain terlalu kecil."
Tetapi orang itu tersenyum. Jawabnya, "Maaf anak muda. Aku tidak menganggap kau terlalu kecil. Kau adalah orang yang mempunyai kelebihan dari mereka yang sebayamu dalam olah kanuragan. Seandainya kau melihat sesuatu yang tidak dapat kau atasi pada orang lain, misalnya aku, maka kau tidak perlu terlalu berkecil hati. Aku adalah orang yang jauh lebih tua berada dilingkungan olah kanuragan. Mungkin sebaya dengan gurumu. Karena itu, maka sulit bagimu untuk dapat mengimbangi kemampuanku. Bukan karena kekurangan padamu, tetapi adalah satu yang sangat wajar saja."
Swandaru menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab. Ia mengakui kebenaran kata-kata itu. Dan bahkan terasa pada Swandaru bahwa orang itu memang tidak menganggapnya kecil sesuai dengan tingkatnya dalam masa berguru. Dan menurut tanggapan Swandaru dan bahkan orang-orang yang berada dibelakang gandok itu. orang itu berkata dengan jujur.
Dalam pada itu. karena Swandaru tidak menjawab, maka orang itupun berkata kepada Kiai Gringsing, "Ki Sanak. Kau sudah melihat, bahwa muridku tidak dapat mengalahkan muridmu. Tetapi apakah itu ukuran, bahwa gurunya tidak akan dapat mengalahkan Ki sanak?"
"Tidak," jawab Kiai Gringsing, "aku tidak berpendapat demikian. Aku memiliki tataran ilmu yang sama. Karena itu. kekalahan seorang murid dari satu perguruan, bukan ukuran bagi guru mereka."
"Kau benar-benar seorang yang rendah hati," berkata orang itu. Namun orang itu merasa heran. bahwa murid dan orang yang rendah hati itu mempunyai harga diri dan yang agak berlebihan.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kehadiran Ki Sanak sekarang ini tentu bukannya tanpa maksud. Mungkin Ki Sanak hanya sekedar mengikuti murid Ki sanak. Tetapi mungkin ada maksud-maksud yang lain."
"Aku monon kau dapat membayangkan perasaanku," jawab orang itu, "sudah lima orang muridku terbunuh. Tumenggung Prabadaru terbunuh oleh Agung Sedayu yang ternyata adalah murid Ki Sanak. Seorang dari muridku yang menjadi bajak laut itu dibunuh juga oleh Agung Sedayu. Sekarang, satu lagi muridku terbunuh olen muridmu yang lain."
"Kau mendendam?" bertanya Kiai Gringsing.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Hidupku menjadi gersang setelah murid-muridku terbunuh. Aku kira tidak ada gunanya lagi aku hidup lebih lama. Namun demikian, sebelum aku mati aku ingin menguji, apakah aku memang tidak memiliki kemampuan untuk mengajari muridku sebagaimana Ki Sanak mengajari Agung Sedayu. sehingga ia mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. membunuh muridku yang menjadi bajak laut dan bahkan memiliki sisipan ilmu orang lain. Dan yang terakhir, muridmu yang lain telah membunuh muridku yang terakhir. Aku tidak ingin berbicara tentang Pangeran Benawa atau murid Hadiwijaya yang lain. karena aku merasa, bahwa aku memang tidak akan dapat mengimbanginya seandainya ia masih hidup sekarang ini."
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "apakah keuntunganmu jika mengetahui tingkat kemampuanmu dibandingkan dengan kemampuanku" Jika kau kalah, maka kau akan mati sebagaimana kau inginkan. Tetapi jika kau menang dan berhasil membunuh aku. lalu apa yang akan kau perbuat" Membunuh diri?"
"Tidak. Aku tidak akan membunuh diri," berkata orang itu. Lalu, "jika aku menang dan berhasil membunuhmu, maka aku justru berharap bahwa aku akan mempunyai pijakan kepercayaan baru atas diriku sendiri. Mungkin hidupku tidak lagi terasa gersang. Mungkin aku akan mengambil murid-murid baru didalam padepokanku yang terpencil. Atau mungkin aku ingin mengambil muridmu yang luar biasa itu dan menempanya menjadi seorang yang memiliki ilmu yang melampaui kemampuanku."
"Persetan," geram Swandaru.
Orang itu berpaling kepada Swandaru sambil tersenyum. Katanya, "Jika kau mendapat bimbingan yang bersungguh-sungguh, maka kau akan dapat menjadi seorang yang luar biasa."
"Aku tidak memerlukan kau," jawab Swandaru.
Orang itu tidak menyahut lagi. Tetapi ia masih tersenyum.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "akupun mengerti bahwa yang kau lakukan adalah wajar. Kau merasa kehilangan karena murid-muridmu terbunuh. Tetapi apakah kau tidak mempunyai pertimbangan lain yang dapat merubah niatmu?"
"Ki Sanak," berkata orang itu, "jangan bersikap terlalu baik. Seharusnya kau dengan kasar menantangku dan mengharuskan aku di sini. Aku sudah siap untuk mati. Tetapi jika sikapmu terlalu baik, maka aku akan dapat berubah pikiran. Mungkin aku akan mengurungkan niatku untuk berkelahi. Namun dengan demikian, kau akan menyiksa aku seumur hidupku, utau yang urung hari ini itu sekedar menunda waktu, karena akhirnya akupun tidak akan dapat menahan siksaan yang demikian dan pada satu saat akupun akan datang kepada Ki Sanak untuk bertempur."
"Sikapmu memang masuk akal Ki sanak. Baiklah. Jika kau tidak dapat mencari jalan lain. maka akupun seharusnya tidak ingkar. Dua orang muridku telah menyakiti hatimu karena mereka telah membunuh tiga orang muridmu. Tetapi kaupun harus menyadari bahwa muridku melakukan pembunuhan itu dalam keadaan tanpa pilihan. Mereka dipaksa untuk melakukannya justru untuk membela diri."
Orang itupun menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan pandangan yang suram. Katanya kemudian dengan nada yang dalam. "Jangan sebut itu lagi Ki Sanak. Aku tahu bahwa murid-muridkulah yang telah mendesak murid-muridmu untuk membunuh mereka sendiri. Aku mengerti. Dan sudah tentu aku sama sekali tidak mengajari mereka untuk melakukan hal-hal yang ternyata telah mereka lakukan. Aku sama sekali tidak bermimpi bahwa murid-muridku akan menjadi bajak laut. Aku berbangga bahwa seorang dari muridku telah mengabdikan diri dan bahkan menjadi seorang Tumenggung. Tetapi ternyata bahwa jalan yang ditempuhnya juga sesat, tidak jauh berbeda dengan ketiga saudara seperguruannya yang menjadi bajak laut. Bahkan diantara murid-muridku telah timbul permusuhan yang membuat hatiku menjadi sakit. Aku tidak tahu. siapakah yang bersalah. Apakah murid-muridku, atau gurunya yang telah bersalah. Dan yang terakhir, aku mengambil muridku yang baru saja terbunuh itu dari dunia yang hitam pula."
"Aku menemukannya dalam keadaan yang sangat parah. Aku obati orang itu sehingga sembuh meskipun kemudian ia menjadi bongkok. Aku berharap ia akan dapat menjadi orang yang baik. Tetapi ketika ia mendengar keempat saudara seperguruannya terbunuh, maka aku tidak dapat mencegahnya untuk membalas dendam. Tetapi akhirnya sebagaimana telah terjadi, orang bongkok itu telah mati."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun masih bertanya, "Tetapi kenapa kau sendiri sekarang melakukan"''
"Aku sudah kehilangan segala-galanya. Buat apa aku tetap hidup dipadepokan terpencil itu" Nampaknya sudah jelas, bahwa semua muridku akan menjadi orang-orang terbuang menurut penilaian sewajarnya. Seandainya aku bertahan untuk hidup terus dan mengambil murid lagi, maka agaknya ia juga akan menjadi orang-orang yang menempuh jalan salah seperti murid-muridku yang terdahulu," berkata orang itu.
Kiai Gringsing mengerutkan dahinya, dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Dalam keremangan malam ia tidak dapat melihat dengan pasti, kesan apakah yang tersirat pada wajahnya selagi ia berceritera tentang murid-muridnya. Namun nampaknya ia benar-benar menyesali dirinya sendiri. Sebagai seorang guru. maka ia telah kehilangan harapannya untuk melihat hasil dari bimbingannya. Bahkan seandainya murid-muridnya masih hidup, maka iapun selalu diliayangi oleh perasaan kecewa, karena sikap murid-muridnya itu.
"Nah. sudahlan Ki Sanak," berkata orang itu kemudian, "kita sudah berbicara panjang lebar. Semakin panjang kita berbicara maka nafsuku untuk bertempur menjadi semakin susut. Karena itu. kita sudahi pembicaraan kami. Kita mulai dengan satu pertempuran yang akan memaksa kita masing-masing untuk mengurai kemampuan kita."
"Baiklah Ki Sanak. Kita akan mengerahkan segenap kemampuan. Tetapi pada satu saat tertentu, kita akan berhenti," berkata Kiai Gringsing.
Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apa maksudmu, bahwa pada suatu saat kita akan berhenti?"
"Bukankah pada satu saat pertempuran diantara kita akan berhenti." jawab Kiai Gringsing, "pada saat salah seorang diantara kita sudah tidak mampu lagi untuk melawan, maka itu akan berarti pertempuran berhenti."
"Aku akan berhenti katau kita sudah sampai pada batas mati Ki Sanak. Aku akan membunuhmu. Aku tidak akan berhenti sebelum kau mati. Entahlah apa yang akan kau lakukan atasku. Jika kau menang. Apakah kau akan membunuh aku atau tidak, itu adalah persoalanmu."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku melihat sesuatu yang kau paksakan. Kau ingin kelihatan garang. Kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah orang yang memiliki ketegasan bertindak. Tetapi sebenarnya kau adalah seorang yang berhati lembut. Kau tidak berbuat atas dasar nuranimu. Tetapi kau justru ingin menunjukkan bahwa kau dengan sikap seorang guru telah membela kematian murid-muridnya. Dan celakanya sikap itu adalah sikap yang kurang mapan bagi seorang guru yang baik. Yang justru sesuai dengan nuranimu."
"Cukup," bentak orang itu, "apakah aku kurang garang. Dan apakah aku belum menunjukkan sikap seorang yang kasar, yang tidak menghiraukan paugeran baik dan buruk. yang tidak mau mengerti persoalan orang lain dan yang menyimpan segala macam keburukan didalam dirinya."
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing, "jangan paksa dirimu."
"Persetan," geram orang itu, "kau coba untuk melunakkan hatiku dengan cara yang licik itu anak setan."
"Umpatanmu tidak meyakinkan," jawab Kiai Gringsing.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia berpaling kepada Ki Gede Menoreh. Swandaru. Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Katanya, "Kalian menjadi saksi. Aku tantang orang ini untuk berperang tanding."
Kiai Gringsing melihat orang-orang yang berdiri dekat di sebelah gandok itu termangu-mangu. Agaknya merekapun bingung melihat sikap orang itu. Sikap yang sulit untuk dimengerti.
Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing merasa bahwa ia tidak akan dapat mengelak lagi. Memaksa atau tidak memaksa diri orang itu telah menantangnya. Dan ia harus melayaninya.
Demikianlah, muka orang itupun kemudian bergeser agak menjauhi gandok itu. Ketika Kiai Gringsingpun bergeser pula, maka orang itupun berkata, "Biarlan orang-orang disekitar rumah ini tetap terkena pengaruh sirep. Aku tidak mau membuat mereka menjadi gelisah karena perkelahian ini."
"Aku sependapat Ki Sanak," jawab Kiai Gringsmg.
"Nah, kalau kau ingin mempergunakan cambukmu seperti muridmu, aku tidak berkeberatan," berkata orang itu.
"Mungkin nanti. Tetapi sekarang belum," sahut Kiai Gringsing.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bersiap untuk benar-benar bertempur melawan Kiai Gringsing.
Sejenak kemudian, kedua orang itupun sudah saling berhadapan dalam kesiagaan penuh untuk beberapa saat mereka masih belum berbuat sesuatu. Agaknya mereka sedang melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan.
Namun dalam pada itu, maka orang itupun kemudian berkata, "Bersiaplah Kiai. Aku akan mulai.
"Aku sudah bersiap. Tetapi sebelum pertempuran ini terjadi, apakah kau dapat menyebut namamu,'' tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya.
"Baiklan," jawab orang itu, "namaku tidak banyak dikenal orang. Yang mau menyebutnya, namaku adalah Kiai Jayaraga."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Nama itu tidak akan banyak artinya, karena orang itu akan dapat menyebut nama yang manapun juga. Bahkan orang itu akan dapat menyebut dirinya bernama Kiai Gringsing sekalipun.
Namun demikian Kiai Gringsing itupun kemudian berkata, "Baiklan Kiai Jayaraga. Kita akan mulai dengan perang tanding seperti yang kau kehendaki."
Kiai Jayaraga tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja dihadapan Kiai Gringsing telah meledak sebagaimuna terjadi pada saat Swandaru bersiap untuk menyerang orang itu.
Seperti Swandaru Kiai Gringsingpun meloncat surut. Sementara itu. orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itupun telah menyerangnya pula. Beberapa kali. setiap Kiai Gringsing meloncat menghindar, maka tiba-tiba saja disebelahnya. bahkan kadang-kadang terlalu dekat, telah berhembus seolah-olah dari dalam tanah. uap dan api yang panas.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu tidak ingin menjajagi kemampuan lawannya dari awal ia langsung mempergunakan ilmunya yang dahsyat itu untuk menyerang.
Dalam pada itu, karena Kiai Gringsing masih saja berloncatan menghinndar, maka orang itupun berkata, "Kau tidak bersungguh-sungguh Ki Sanak."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau memang aneh. Kau tidak mulai dari permulaan. Kau langsung menusuk ke ujung kemampuan kita. Baiklan. Jika demikian, maka kita akan langsung mempergunakan puncak-puncak kemampuan kita."
"Kita tidak perlu berbasa-basi," jawab orang itu, "aku tahu. bahwa kau memiliki ilmu yang luar biasa. Nah, sekarang saatnya kau mempergunakannya. Jika benar pendengaranku, maka yang telan membunuh orang yang menyebut dirinya Kakang Panji di medan perang Prambanan adalah guru Agung Sedayu. Agaknya kaulah yang telah melakukannya."
Wajah Kiai Gringsing menegang sejenak. Orang itu ternyata mengetahui tentang kematian orang yang menyebut dirinya Kakang Panji.
"Aku tidak ingkar Ki Sanak," jawab Kiai Gringsing.
"Nan. bukankah aku tidak perlu menjajagi ilmumu dari tataran permulaan.' Kecuali jika orang yang membunuh Kakang Panji itu guru Agung Sedayu yang lain."
"Tidak ada gurunya yang lain. Ki Sanak," sahut Kiai Gringsing, tetapi ia tidak terpancang kepada unsur-unsur ilmu yang aku berikan saja. Ia mencari sendiri dan mengembangkannya."
Orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu tidak menjawab. Tetapi serangannya menjadi semakin sering sehingga Kiai Gringsing menjadi semakin cepat berloncatan.
Namun ketika serangan itu menjadi semakin cepat, maka Kiai Gringsing tidak lagi mengnindarinya. Dibiarkannya saja tubuhnya terjilat oleh uap dan api yang bagaikan memancar dari dalam tanah. Namun setiap kali nampak seolah-olah dari tubuh Kiai Gringsing itu berguguran tepung yang berwarna kekuning-kuningan.
"Bukan main," desis orang itu. Namun dalam pada itu. orang itupun melihat guru Agung Sedayu itu mengusap pergelangan tangannya. "Ia mempunyai penangkal yang tidak tertembus oleh ilmuku."
Namun dalam pada itu. orang itupun tidak terhenti oleh kegagalan itu. Dengan tangkasnya ia telah meloncat mendekati lawannya. Dengan telapak tangan terbuka ia menyerang. Tetapi tidak untuk mempergunakan sisi telapak tangannya. Tetapi benar-benar mempergunakan telapak tangannya.
Kiai Gringsing tidak membiarkan tubuhnya disentuh. Agaknya kemampuan yang terpancar dari telapak tangannya itu lebih ganas dari uap dan api yang seolah-olah menyembur dari dalam tanah.
Karena itu, maka Kiai Gringsing terpaksa meloncat menghindar ia sadar, sentuhan telapak tangan itu akan mempunyai arti yang gawat bagi tubuhnya.
Dalam serangan-serangan berikutnya. maka gerak orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu menjadi semakin cepat. Jika tangannya yang menyambar Kiai Gringsing itu tidak mengenai sasaran. tetapi menyentuh batang pepohonan, maka nampak asap yang mengepul. Telapak tangan itu akan membekas pada batang-batang pepohonan, sebagaimana tersentuh bara.
Ki Gede. Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Sementara itu Swandaru berdiri tegak dengan jantung yang berdenyut semakin keras.
Dalam pada itu. yang berada di gandokpun menjadi berdebar-debar pula, Agung Sedayu menjadi gelisah dan Ki Waskitapun menjadi tegang.
"Aku ingin menyaksikan pertempuran itu," berkata Agung Sedayu.
"Jangan," Ki Waskitalah yang mencegahnya, "kau masih terlalu lemah. Agung Sedayu. Jika kau berada di pinggir arena itu, maka dapat terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki atasmu. Menurut pendengaranku, kau adalah sasaran utama dari kehadiran orang-orang itu. Jika kau nampak oleh orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu, maka ia akan dapat berbuat curang dengan menyerangmu dari jarak jauh. sementara kau masih belum cukup kuat untuk melawan atau menghindarkan diri."
Agung Sedayu mengangguk-angguk, ia mengerti maksud Ki Waskita. Karena itu, maka iapun mengurungkan niatnya untuk melihat.
Swandaru menyaksikan pertempuran itu dengan perasaan yang bergejolak. Ada semacam kebanggaan di dalam dirinya tentang gurunya. Namun disamping itu terbersit pula kebanggaannya terhadap dirinya sendiri. Dengan tidak sadar. Swandaru berharap, bahwa pada suatu saat nanti, ia akan memiliki kemampuan seperti gurunya. Yang tidak terbakar oleh panasnya uap dan api yang terpancar dari ilmu orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu.
"Apakah yang dapat dilakukan oleh lawannya. Jika tubuh guru tidak dapat disengat oleh perasaan panas," berkata Swandaru didalam hatinya.
Namun iapun kemudian melihat, bahwa Kiai Gringsing telah berusaha untuk menghindari serangan-serangan telapak tangan lawannya. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar tidak mau disentuh oleh tangan itu.
Dalam pada itu. pertempuran untara kedua orang yang berilmu tinggi itupun menjadi semakin seru. Kiai Gringsing masih saja menghindari sentuhan telapak tangan lawannya. Namun ia bukan sekedar menghindari, tetapi dengan tangkasnya pula Kiai Gringsing telah menyerang lawannya pula.
Telapak tangan Kiai Gringsingpun ternyata terbuka seperti lawannya. Tetapi jari-jarinya benar-benar merapat. Dengan jari-jarinya yang merapat itu Kiai Gringsing menyerang lawannya.
Dalam serangan yang semakin cepat, maka sulitlah kedua belah pihak untuk benar-benar menghindarkan diri dari sentuhan serangan lawannya. Karena keduanya mampu bergerak secepat pusaran angin.
Karena itu, maka tangan kedua orang itu sekali-sekali dapat menyentuh lawannya pula.
Jika telapak tangan orang yang menyentuh dirinya Kiai Jayaraga itu menyentuh tubuh Kiai Gringsing, maka rasa-rasanya kulitnya bagaikan terkelupas. Bahkan terlihat asap yang mengepul sekilas dan bau pakaian Kiai Gringsing yang bagaikan tersentuh api.
"Pakaian Kiai Gringsing termakan oleh panasnya telapak tangan lawanaya," desis Swandaru dan orang-orang yang berdiri di pinggir arena itu. itu tidak terjadi oleh uap dan api yang menyembur dari dalam tanah.
"Kulitnyapun telah terbakar," gumam Ki Gede. Namun mereka menjadi semakin tegang ketika mereka melihat akibat sentuhan tangan Kiai Gringsing. Meskipun tangan Kiai Gringsing tidak membakar seperti tangan lawannya, tetapi tubuh Kiai Jayaraga yang tersentuh tangan Kiai Gringsing telan terkoyak karenanya. Tubuh itu bagaikan tergores oleh tajamnya pusaka setipis daun ilalang.
Terdengar kedua orang itu berdesis. Tetapi mereka masih bertempur semakin dahsyat. Keduanya mampu bergerak seperti putaran baling-baling ditiup badai.
"Luar biasa," desis Ki Gede.
Sementara itu Pandan Wangi dan Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas dalam, sementara Swandaru mulai beranganangan tentang dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka pertempuran itupun semakin lama semakin cepat sehingga seakan-akan telah kehilangan bentuknya. Keduanya hanya bagaikan bayangan di kelamnya malam. Terbang menyambar-nyambar dengan tangan yang mengembang. Bahkan tangan-tangan merekapun seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang mengelilingi seluruh tubuh mereka masing-masing.
Namun akhirnya keduanya menjadi jemu dengan cara yang menguras tenaga itu. Ternyata Kiai Jayaraga itupun berkata, "He. apakah kita akan melanjutkan permainan ini. Luka-luka ditubuhku menjadi berdarah. Sementara luka-luka ditubuhku telah mengelupas kulit dan daging. Tetapi cara begini tidak akan dapat mengakhiri pertempuran ini dengan cepat."
"Jadi bagaimana yang kau inginkan, bukankah kita masing-masing telah dapat saling melukai" Siapa yang lukanya menjadi lebih banyak dan memenuhi tubuhnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk menang dalam pertempuran itu. karena orang itu akan kehabisan tenaga." sahut Kai Gringsing.
"Tetapi aku menjadi jemu. Pertempuran begitu tidak menarik," berkata Kiai Jayaraga, "tetapi terserah kepadamu jika kau memang ingin bertempur seperti ini. Tubuhku sudah cukup kau lukai. Aku tidak mau lagi tergores oleh tanganmu."
"Mau atau tidak mau aku akan melakukannya. Kecuali jika kau menyerah," berkata Kiai Gringsing.
"Jangan seperti anak kecil," berkata Kiai Jayaraga, "betapapun kau merendahkan dirimu tetapi aku kira kau akan berusaha untuk tetap hidup. Kecuali jika terpaksa karena kau tidak mampu lagi bertahan."
"Aku masih mampu mengimbangi kecepatan gerakmu. Aku memang terluka oleh apimu. Tetapi kaupun terluka oleh tusukan tanganku. Ternyata kekebalanku terhadap uap dan apimu yang menyembur dari dalam tanah itu tidak mampu menahan panas di telapak tangan mu," jawab Kiai Gringsing sambil mengelak ketika lawannya menyerangnya dengan telapak tangannya mengarah keningnya.
"Jangan keningku," desis Kiai Gringsing.
"Persetan," geram orang itu, "aku akan bersungguh-sungguh. Terserah kepadamu, apakah kau akan bersungguh-sungguh atau tidak."
"Kau terlalu baik. Kau selalu memperingatkan lawanmu. Jika kau akan melakukan sesuatu yang berbahaya bagi lawanmu," berkata Kiai Gringsing.
Tetapi orang itu menggeram. Katanya, "Jangan merajuk. Bersiaplah. Aku tidak mau bertempur seperti kanak-kanak ingusan. Jika kita mempergunakan cara ini, maka tiga hari tiga malam kita tidak akan selesai."
"Apakah kau tidak tahan bertempur tiga hari tiga malam"'' bertanya Kiai Gringsing.
"Mungkin aku tahan lima hari lima malam tanpa berhenti. Jika kau kehendaki. Tetapi kemampuan ilmu sirep itu akan lebih cepat berakhir. Bahkan tidak akan sampai ujung pagi ini. Kecuali jika kita memang ingin memamerkan kemampuan ini kepada banyak orang."
Kiai Gringsing menarik nafas. Namun tiba-tiba saja menjadi tegang, ia melihat lawannya itu benar-benar tidak lagi menyerang dengan telapak tangannya. Tetapi orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu justru bergeser menjauh.
"Apa yang akan kau lakukan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Aku akan mengambil jarak yang cukup," jawab orang itu, "aku akan menyerangmu dengan caraku. Terserah kepadamu, apakah kau akan melawan atau tidak. Jika kemudian kau mati. itu bukan salahku."
Kiai Gringsing termangu-mangu. Tetapi ia tidak boleh bermain-main dengan lawannya. Agaknya lawannya memang memiliki ilmu yang sangat dahsyat.
Tetapi sesuatu telah bergejolak didalam dada Kiai Gringsing. Ternyata ia masih terpaksa untuk melepaskan ilmunya yang sudah lama sekali tersimpan. Baru kemudian karena ia harus berhadapan dengan orang yang bernama kakang Panji, maka Ilmu yang tersimpan itu terpaksa diungkapkan. Namun kini. ia tidak dapat membiarkan dirinya hancur oleh ilmu lawannya. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali iapun harus mempergunakannya.
"Justru puncak ilmu itu," gumam Kiai Gringsing. Perlahan-lahan dirabanya pergelangan tangannya ia harus memusatkan nalar budinya. Ia harus melawan ilmu lawannya yang belum diketahui tingkat dan tatarannya.
"Mungkin puncak ilmuku inipun tidak akan mampu melawannya," berkata Kiai Gringsing didalam hatinya.
Namun dalam pada itu. ia menjadi gelisah pula tentang muridnya, Swandaru. Jika ia melihat, bagaimana Kiai Gringsing mampu mengungkapkan Ilmunya yang nggegirisi, maka bagaimanapun juga anak itu tentu mengharapkan. bahwa pada satu saat iapun akan dapat melakukannya.
"Tetapi masih harus dipertanyakan untuk apa" " keragu-raguan itu sudah timbul sejak lama dihati Kiai Gringsing terhadap muridnya yang gemuk itu.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mempunyai banyak waktu untuk merenung. Karena sejenak kemudian, orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu sudah berdiri tegak dengan tangan teracu kedepan sementara kedua telapak langannya masih saja terbuka.
"Ki Sanak," berkata Ki Jayaraga, "cepatlah sedikit jangan mati sebelum melawan, karena dengan demikian seakan-akan aku sudah berbuat licik. menyerang lawan sebelum bersiap."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia memang harus menghadapinya. Karena itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berdiri tegak dengan tangannya bersilang didadanya.
Meskipun demikian. Kiai Gringsing itu masih juga sempat bertanya, "Kenapa kau mengambil jarak yang demikian jauhnya Ki Sanak. Apakah dengan demikian, kau ingin membatasi kemampuan ilmumu agar tidak mengnancurkan tubuhku."
"Bukan ilmuku. Tetapi aku sadar. bahwa kaupun akan membentur seranganku. Jika seranganku gagal, maka aku berharap ilmumulah yang tidak akan melumatkan tubuhku. Meskkipun seandainya aku harus mati, biarlah tubuhku masih utuh sebagaimana masa hidupku."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Orang itu memang aneh. Nampaknya ia bukan orang-orang kejam sebagaimana para bajak laut yang diceriterakan oleh orang-orang yang menyaksikan pertempuran mereka di Watu Lawang. Dan nampaknya orang inipun tidak segarang Ki Tumenggung Prabadaru sendiri.
Meskipun demikian. Kiai Gringsing harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin orang ini justru sedang mengatur satu perangkap yang licik.
Sesaat suasana benar-benar menjadi tegang. Kiai Gringsingpun telah berdiri tanpa bergerak. Dipandanginya kedua tangan lawannya yang teracu kedepan dengan telapak tangan yang mengembang.
Beberapa saat kemudian, dalam keremangan malam itu. nampak semacam kabut yang putih kemerahan seolah-olah memancar dari kedua belah tangan orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu. Kabut itu perlahan-lahan mengalir mengarah ketubuh Kiai Gringsing yang berdiri tegak dengan tangan bersilang didada. Ia sadar, bahwa lawannya benar-benar ingin mengadu kemampuan ilmu mereka yang paling dalam.
Untuk beberapa lamanya kabut itu mengalir semakin mendekati tubuh Kiai Gringsing. Ujung dari kabut yang putih kemerah-merah itu bagaikan kepala seekor ular yang siap mematuk tubuh Kiai Gringsing yang berdiri diam.
Orang-orang yang menyaksikan pertempuran yang aneh itu menjadi tegang, Ki Gede berdiri tegak dengan wajah yang berkerut. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah diluar sadar mereka telah saling merapat. Sedangkan Swandaru berdiri tegak dengan tanpa bergerak sama sekali. Bahkan nafasnyapun rasa-rasanya telah berhenti mengalir.
Didalam gandok. Agung Sedayu dan Ki Waskita benar-benar menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi mereka merasakan ketegangan yang sedang mencengkam. Seakan-akan dibelakang gandok itu sedang terjadi dua kekuatan ilmu yang saling mendorong untuk saling menghancurkan.
Dalam pada itu. Glagah Putih yang hampir tidak dapat menahan diri lagi itupun telah berdiri merapat dinding. Tetapi dinding kayu itu ternyata cukup rapat, sehingga tidak ada lubang yang dapat dipergunakannya untuk melihat keluar.
"Rasa-rasanya aku ingin memecahkan dinding ini," berkata Glagah Putih didalam hatinya. Tetapi ia tidak berani melakukannya, karena dengan demikian kakaknya akan dapat menjadi marah kepadanya. karena ia telah merusak sebagian dari rumah Ki Gede. Tetapi keinginannya untuk melihat apa yang terjadi, telah membuatnya bagaikan berdiri diatas api.
Untuk beberapa saat lamanya, orang-orang yang berada didalam gandok itu tidak mendengar sesuatu. Namun kemudian yang mereka dengar adalah suara berdesis. seakan-akan berpuluh-puluh ekor ular telah berdesis bersama-sama.
Dalam pada itu. ujung kabut yang berwarna putih kemerah-merahan itupun menjalar terus perlahan-lahan mengarah ketubuh Kiai Gringsing. Semakin lama semakin dekat. Sementara itu. Kiai Gringsing masih tetap berdiri tegak dengan tangan bersilang didada.
Ketika ujung kabut itu hanya tinggal selangkah saja dari tubuh Kiai Gringsing. Ki Gede Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Swandaru menjadi sangat cemas. Mereka sadar. bahwa kabut itu tentu merupakan sejenis senjata yang sangat berbahaya. Mungkin kabut itu akan membakar sasarannya, tetapi mungkin juga kabut itu adalah uap beracun yang sangat keras, yang membuat tubuh lawannya menjadi beku dan kejang. karena darahnya mengental disaluran-salurannya.
Namun dalam pada itu. ternyata ujung dari kabut itu tiba-tiba saja terhenti. Meskipun tidak nampak oleh mata wadag. namun rasa-rasanya serangan Kiai Jayaraga itu telah membentur sebuah perisai tepat dihadapan Kiai Gringsing.
Benturan itu telah menimbulkan satu kesan yang dahsyat. Seakan-akan dua kekuatan saling mendesak. Ujung serangan yang aneh dari Kiai Jayaraga itu mendesak perisai yang agaknya telah dipasang oleh Kiai Gringsing. namun tidak nampak oleh mata wadag. Tetapi agaknya tidak terlalu mudah untuk menembus perisai yang tidak kasat mata itu.
Untuk beberapa lamanya, kedua macam ilmu itu saling mendesak dan saling mendorong. Sekali-sekali benturan itu bergeser mendekati Kiai Gringsing. Tetapi tidak sampai sejengkal kemudian, maka kekuatan Kiai Gringsing telah mendesaknya kembali. sehingga jaraknya menjadi bergeser menjauh.
Dalam pada itu. Kiai Gringsing yang berdiri tegak dengan menyilangkan tangannya didadanya itu. nampaknya telah mengerahkan segenap kemampuannya, sementara lawannyapun menjadi semakin tegang. Tangan yang terjulur kedepan itu menjadi bergetar. Dan kabut yang berwarna putih kemerahan itupun seakan-akan menjadi semakin lama semakin tebal. Namun kabut itu ternyata masih belum mampu menembus satu jenis perisai yang tidak nampak yang mengurung tubuh Kiai Gringsing.
Ketegangan benar-benar telah mencengkam halaman rumah Ki Gede yang berada dibelakang gandok itu. Semua orang yang menyaksikannya bagaikan menjadi beku. Bukan saja darah seakan-akan telah berhenti mengalir. tetapi merekapun rasa-rasanya tidak sempat lagi menarik nafas.
Demikianlah dua kekuatan Ilmu telah berbenturan dengan dahsyatnya. Saling mendesak, saling mendorong sehingga benturan kedua ilmu itu setiap kali bergeser.
Sebenarnyalah pada saat yang demikian, baik Kai Jayaraga maupun Kiai Gringsing telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu mereka. Keduanya memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Meskipun Kiai Gringsing sebelumnya merasa, bahwa waktunya telah tiba untuk menyepikan diri dan menghindari benturan ilmu kanuragan dalam upayanya untuk menemukan ketenangan dihari tuanya, namun dalam keadaan yang demikian. ia tidak akan dapat ingkar lagi. Ia harus melepaskan puncak kemampuannya jika ia sendiri tidak ingin lumat.
Ternyata bahwa benturan dua jenis ilmu itu telah menggetarkan udara disekitarnya. Meskipun seakan-akan benturan itu tidak menimbulkan angin dan badai serta tidak memancarkan panas seperti ilmu Kiai Jayaraga sebelumnya, namun pengaruhnya terasa bukan saja langsung menggetarkan isi dada orang-orang yang ada disekitar arena. Bahkan mereka yang berada didalam gandok itupun merasakan, udara seakan-akan telah bergetar dengan gelombang getaran yang semakin lama semakin cepat.
Dalam pada itu. baik Kiai Gringsing maupun Kiai Jayaraga telah mengerahkan segenap ilmu mereka. Ilmu yang saling mendesak dan mendorong. Jika ujung kabut yang seakan-akan menjadi semakin pekat itu berhasil menyentuh tubuh sasarannya, maka akan dapat menumbuhkan pengaruh yang sangat buruk pada tubuh dan bahkan berpengaruh kepada jaringan nalarnya.
Namun Kiai Gringsing agaknya telah mampu menahan dorongan kabut yang semakin pekat itu. Pada tangan Kiai Jayaraga menjadi semakin gemetar, maka tubuh Kiai Gringsing yang berdiri tegak dengan tangan bersilang didada itu justru seakan-akan telah mengepulkan asap. Tipis sekali. berwama putih kebiruan.
Dalam ketegangan yang memuncak, mereka yang berdiri dipinggir arena itu melihat daun-daun pepohohonan yang berguguran. Bukan saja daun yang sudah berwarna kekuningan. Tetapi daun-daun yang hijaupun menjadi layu dan runtuh sehelai-sehelai bagaikan hujan yang menjadi semakin deras.
Dalam pada itu, dalam kegelisahan yang sangat, Ki Gede. Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Swandaru melihat, bahwa ujung kabut yang memancar dari tangan Kiai Jayaraga itu bagaikan mendidih. Seolah-olan dengan menghentakkan kekuatan ujung kabut itu ingin menembus pertahanan Kiai Gringsing yang rapat.
Namun ketika asap ditubuh Kiai Gringsing menjadi semakin tebal maka ujung kekuatan ilmu Kiai Jayaraga itu justru bagaikan terdesak. Perlahan-lahan benturan dan kekuatan itu mulai bergeser. Justru menjauhi tubuh Kiai Gringsing. Semakin lama semakin jauh.
Gejolak yang dahsyat telah terjadi pada benturan dua kekuatan raksasa yang sulit dimengerti itu. Kabut yang putih kemerahan itu menjadi semakin pekat. Warna kemerahan itu rasa-rasanya bagaikan semakin membara.
Tetapi tidak ada pancaran panas dari kekuatan Ilmu keduanya.
Ki Gede benar-benar menahan nafas ketika ia merasakan bahwa benturan kekuatan ilmu itu benar-benar telah sampai kepuncak. Kedua orang yang bertempur itu telah menjadi basah oleh keringat. Bahkan tubuh Kiai Jayaraga telah bergetar pula. bukan saja kedua tangannya yang teracu kedepan. sementara asap yang mengepul dari tubuh Kiai Gringsingpun menjadi semakin menebal.
Dalam puncak benturan kekuatan ilmu itu. garis benturan yang bagaikan bayangan gejolak pengerahan nalar budi dalam ungkapan ilmu dari dua orang pinunjul itu menjadi semakin dahsyat pula.
Ki Gede yang melihat benturan antara dua kekuatan ilmu itu menjadi semakin tegang. Seakan-akan ia melihat gejolak yang dahsyat dari dua kekuatan raksasa yang tidak ada bandingnya. Yang satu ingin mendesak dan mendorong yang lain. sementara yang lain bertahan dengan segenap kekuatan yang tidak ada taranya.
Kabut yang terjulur dari kedua telapak tangan Kiai Jayaraga itupun telah menjadi semakin pekat. Ujungnya bergejolak semakin dahsyat. Namun dalam pada itu. kekuatan ilmu Kiai Gringsing ternyata telah mendorong ujung kabut itu perlahan-lahan kearah Kiai Jayaraga sendiri.
Tangan dan tubuh Kiai Jayaraga menjadi semakin bergetar Bahkan kabut yang terjulur itupun telah menjadi bergetar pula. Dengan segenap kemampuan yang ada, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah berusaha untuk mendesak kekuatan Kiai Gringsing kearah orang tua itu. Tetapi Kiai Gringsingpun telah mengerahkan segenap ilmunya pula sehingga mendorong benturan antara dua kekuatan itu justru kearah kiai Jayaraga.
Pada puncak kemampuan masmg-masing. maka batas benturan kedua ilmu itu benar-benar telah bergeser kearah Kiai Jayaraga. Meskipun kekuatan ilmu Kiai Gringsing tidak nampak sebagaimana kekuatan ilmu Kiai Jayaraga. tetapi yang tidak nampak itu jelas terasa adanya.
Namun betapapun juga, benturan ilmu itu sampai juga kepada akhirnya. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan dari ilmu. Mengerahkan tenaga yang ada didalam diri masing-masing.
Pada saat-saat terakhir maka batas benturan ilmu itu menjadi semakin bergeser mendekat kepada Kiai Jayaraga yang berdiri dengan tubuh yang bergetar. Wajahnya menjadi tegang, namun semakin lama menjadi semakin pucat. Tangannya yang gemetar itu tampaknya tidak lagi mampu bertahan oleh desakan kekuatan lawannya.
Pada saat-saat yang menegangkan itu. Tiba-tiba dari bibirnya meleleh darahnya yang merah.
Ki Gede menjadi semakin tegang pula. Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Swandarupun memperhatikan keadaan keduanya. Merekapun sempat melihat dengan ketajaman penglihatan mereka, sesuatu meleleh dari bibir Kiai Jayaraga.
Dengan demikian, maka tubuh itupun semakin lama menjadi semakin bergetar. Bahkan kemudian terjadilah sesuatu yang menentukan. Dalam keadaan yang terakhir itu. Kiai Jayaraga lelah terdorong setapak surut.


07 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tidak ada lagi harapan bagi Kiai Jayaraga. Sejenak kemudian, tekanan Kiai Gringsingpun menjadi semakin menentukan. Batas benturan itupun menjadi semakin dekat. Sejengkal saja dari ujung kedua tangan Kiai Jayaraga.
Namun tiba-tiba saja Ki Gede terkejut. Batas benturan itu perlahan-lahan justru telah bergeger pula. Menjauh dari kedua ujung tangan Kiai Jayaraga yang terjulur kedepan.
"Apa yang telan terjadi?" bertanya Ki Gede didalam hatinya.
Ketegangan dihatinyapun memuncak. Rasa-rasanya dadanya bagaikan meledak.
"Apakah dengan demikian berarti bahwa kekuatan ilmu Kiai Gringsing mulai terdesak?" pertanyaan itu telah mencengkam jantungnya.
Namun dalam pada itu, Ki Gede melihat kabut yang menjalar dari kedua tangan Kiai Jayaraga yang mengembang itu menjadi semakin menipis. Warna yang membara itu bagaikan pudar, sehingga akhirnya kabut itu bagaikan lenyap sama sekali.
Tetapi dalam pada itu, sesuatu telah terjadi pada Kiai Jayaraga. Ia ternyata tidak lagi mampu berdiri tegak. Tubuhnya yang gemetar itu seolah-olah kehilangan keseimbangannya, seliingga akhirnya iapun telah jatuh terduduk pada lututnya.
Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Demikian pula Pandan Wangi. Sekar Mirah dan Swandaru. Dalam ketegangan itu mereka berpaling kearah Kiai Gringsing.
Ternyata Kiai Gringsing masih berdiri tegak dengan tangan bersilang didada. Asap yang mengepul dari tubuhnya, perlahan-lahan menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya lenyap sama sekali.
Namun sementara itu, orang-orang yang berada dipinggir arena itupun masih belum beranjak dan tempatnya. Mereka masih belum mengetahui perkembangan terakhir dari pertempuran ilmu yang mendebarkan itu.
Baru sejenak kemudian. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tangannya yang bersilang didadanya itupun telah diurainya.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing melangkah kedepan. Kakinya seakan-akan menjadi sangat berat. Bahkan langkahnyapun nampak seakan-akan Kiai Gringsing itu mengalami kelelahan yang sangat.
Sebenarnyalah Kiai Gringsing telah mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya. Karena itu. iapun mengalami keletihan yang luar biasa. Namun ia berhasil bertahan dari serangan lawannya, sehingga ia tidak mengalami terluka dibagian dalam tubuhnya, meskipun untuk melangkah beberapa langkah saja. kakinya terasa terlalu berat dibebani oleh tubuhnya yang letih.
Dengan langkah yang letih. Kiai Gringsing berusaha mendekati lawannya yang kemudian teluh terduduk lesu. Kepalanya menunduk dan kedua tangannya berusaha untuk menopang tubuhnya yang lemah.
Dua langkah dihadapan lawannya. Kiai Gringsing berhenti. Dengan suara bergetar ia bertanya, "Bagaimana keadaanmu Ki Sanak?"
Orang itu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian dengan suara yang kurang jelas ia menjawab, "Kau menang Ki Sanak. Aku terluka didalam."
"Apakah kau mempunyai obatnya?" bertanya Kiai Gringsing pula.
"Aku memerlukan air," desisnya.
Kiai Gringsingpun kemudian berpaling kepada Swandaru. Katanya, "Swandaru. Tolong, ambilkan air bagi Kiai Jayaraga."
Swandaru termangu-mangu. Namun ia tidak dapat menolak perintah gurunya. Bersama Pandan Wangi iapun kemudian meninggalkan tempat itu untuk mengambil air.
Meskipun pada tubuh Swandaru sendiri masih terasa sengatan rasa sakit dan pedih, namun ia pergi juga ke sumur. Dengan mangkuk yang diambil oleh Pandan Wangi didapur. maka merekapun kemudian membawa air yang diminta oleh Kiai Jayaraga.
"Terima kasih," desis Kiai Gringsing yang menerima mangkuk itu. Lalu katanya kepada Kiai Jayaraga, "kau memerlukan air?"
Ternyata keadaan Kiai Jayaraga menjadi semakin lemah. Dengan susah payah ia berhasil mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya yang lebar. Kemudian menaburkan isinya kedalam mangkuk yang berisi air itu.
"Tolong," desis Kiai Jayaraga.
Kiai Gringsing mengerti, bahwa ia harus mengaduk air didalam mangkuk itu. Karena itu. maka iapun melakukannya. Setelah campuran itu menjadi rata, maka Kiai Gringsing telah memberikan obat itu kepada Kiai Jayaraga.
Seteguk demi seteguk Kiai Jayaraga telah minum obatnya sendiri. Hampir seluruh isi mangkuk itu dihabiskannya.
"Terima kasih," desisnya," mudah-mudahan aku tidak terlambat. Aku telah terluka oleh kekuatanku sendiri."
Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi iapun berusaha untuk membantu Kiai Jayaraga duduk dengan baik.
"Kiai," berkata Kiai Jayaraga, "ilmumu luar biasa. Aku tahu, bahwa kau tidak ingin membunuhku. Tetapi dorongan kekuatanku sendiri yang terdorong oleh perisaimu yang tidak dapat aku tembus itu. membuat dadaku menjadi bagaikan retak."
"Tenanglah," berkata Kiai Gringsing, "kau dapat menyembuhkannya. Aku juga memerlukan waktu untuk memulihkan keadaanku. Aku menjadi sangat letih."
Kiai Jayaraga tidak menjawab lagi. Iapun kemudian duduk sambil menyilangkan tangannya didadanya. Dengan segenap kemampuan nalar budinya, maka Kiai Jayaraga itu berusaha untuk mengurangi keparahan luka-luka didalam dirinya.
Sementara itu. ternyata Kiai gringsingpun telah berbuat serupa. Iapun telah duduk bersila. beberapa langkah dari Kiai Jayaraga.
"Aku harus mengatur pernafasan dan aliran darahku," gumam Kiai Gringsing, "mungkin susunan urat-uratku yang telah bekerja terlalu keras juga memerlukan penataan sehingga dapat bekerja sewajarnya."
Kiai Gringsing kemudian sebagaimana dilakukan oleh Kiai Jayaraga, telah memusatkan segenap daya kemampuan batinnya untuk melihat kedalam dirinya sendiri.
Demikianlah untuk beberapa saat kedua orang tua itu telah duduk diam sambil menundukkan kepala mereka. Agaknya keduanya memang memerlukan waktu untuk melakukannya, agar mereka tidak mengalami kesulitan didalam diri mereka untuk selanjutnya.
Ki Gede. Sekar Mirah. Swandaru dan Pandan wangi-pun kemudian memperhatikan keduanya dengan ketegangan yang masih mencengkam jantung. Rasa-rasanya merekapun telah hanyut pula kedalam satu keadaan sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.
Swandaru yang tidak dapat mengingkari perasaan sakitnya. telah terpengaruh pula oleh sikap kedua orang tua itu. Karena itu. maka iapun kemudian telah duduk bersandar dinding gandok.
Pandan wangi membiarkan saja Swandaru dalam sikapnya. Dengan demikian keadaannya tentu akan menjadi lebih baik daripada ia berusaha untuk tidak mengakui keadaannya yang sebenarnya.
Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Ki Gede. Sekar Mirah dan Pandan Wangi lelah mendapat lugas untuk mengawasi keadaan, sehingga orang-orang yang sedang berusaha untuk menolong dirinya sendiri itu tidak akan terganggu.
Sementara itu. bintang-bintang dilangitpun beredar semakin ke barat. Bahkan dilangitpun telah mulai membayang warna fajar. Meskipun demikian, masih belum seorangpun dirumah itu telah terbangun. Cengkaman ilmu sirep yang dilontarkan oleh murid Kiai Jayaraga yang menyebut dirinya bernama Lodra. kemudian dikuatkan oleh Kiai Jayaraga itu sendiri. ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa. sehingga pengaruhnya masih terasa sampai saat menjelang dini hari.
Ketika di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok, maka yang pertama-tama menyelesaikan pemusatan nalar budinya adalah Kiai Gringsing. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia lelah mengurai tangannya.
Ki Gede mendekatinya ketika Kiai Gringsing kemudian bangkit berdiri.
"Bagaimana dengan keadaan Kiai?" bertanya Ki Gede.
Kiai Gringsing mengulangi tarikan nafasnya dua tiga kali. Lalu katanya. "Aku sudah merasa segar kembali Ki Gede."
"Swandaru juga berusaha untuk mengurangi rasa sakitnya," berkata Ki Gede.
"Seharusnya ia melakukan sejak beberapa saat yang lalu. Tetapi anak itu kurang menyadari keadaan dirinya," desis Kiai Gringsing hampir berbisik.
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Kiai Gringsing pun berkata, "Mudah-mudahan pengalamannya hari ini memberinya peringatan bahwa kemampuannya masih jauh dari pantas untuk hadir diantara orang-orang seperti Kiai Jayaraga itu."
Ki Gede berpaling sejenak. Swandaru masih duduk bersandar dinding, sementara Pandan Wangi berdiri beberapa langkah disampingnya.
Untuk beberapa saat orang-orang yang berada dibelakang gandok itu masih menunggu. Namun dalam pada itu. Glagah Putih telah duduk diamben sambil menarik nafas dalam-dalam, ia tahu apa yang telah terjadi, sebagaimana Agung Sedayu dan Ki Waskita. Meskipun mereka tidak melihat, tetapi mereka dapat membayangkan, apakah yang kira-kira telah terjadi dan apa yang telah dilakukan olen orang-orang yang berada di belakang gandok itu.
Dalam pada itu. Kiai Gringsingpun kemudian berkala kepada Ki Gede, "Kita masih menunggu Ki Jayaraga. Aku ingin berbicara dengan orang itu."
Perlahan-lahan, maka cahaya yang kemerahanpun telah mulai meraba langit. Semakin lama menjadi semakin jelas. Bintang-bintang seakan-akan menjadi semakin redup.
Kiai Gringsingpun kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan. Tubuhnya memang terasa menjadi semakin segar. Tetapi keletihan masih saja menjalari urat-urat nadinya.
Sementara itu. Kiai Jayaragapun telah menyelesaikan usahanya untuk menolong dirinya sendiri. Terpengaruh oleh obat yang telah diminumnya, serta pemusatan nalar budinya. maka terasa luka-luka didalam tubuhnya menjadi berkurang. Dengan demikian. Kiai Jayaraga masih dapat berharap bahwa ia akan terbebas dari keadaan yang paling gawat bagi jiwanya.
"Kau sudah selesai?" bertanya Kiai Gringsing.
Kiai Jayaraga menggerakkan kedua tangannya. Direntangkannya tangannya itu perlahan-lahan. Ternyata lukanya masih terasa sakit meskipun sudah tidak meremas jantung.
"Marilah," Kiai Gringsing mempersilahkan, "atas nama Ki Gede aku persilahkan Ki Sanak naik ke pendapa."
Ki Jayaraga menarik nafas panjang sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing ketika ia menyelesaikan usahanya untuk memperbaiki kekadaan dirinya. Beberapa kali. Baru kemudian iapun berusaha untuk bangkit perlahan-lahan.
Tetapi ternynta keadaan wadagnya tidak memungkinkannya. Hampir saja Kiai Jayaraga itu terjatuh. Untunglah bahwa Kiai Gringsing betapapun lemahnya, masih mampu menolong Kiai Jayaraga itu.
"Marilah," Kiai Gringsing berusaha membimbingnya.
Keduanyapun kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan halaman dibelakang gandok itu. Dengan melingkari sudut gandok kanan, merekapun menuju kehalaman depan dan selanjutnya dengan hati-hati naik kependapa.
Ki Gedepun kemudian mengikuti keduanya, sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih menunggu beberapa saat. Baru ketika kemudian Swandarupun menarik nafas sambil menggeliat. maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah itupun mengulurkan tangan mereka untuk menolongnya berdiri.
Tetapi Swandaru justru berdesis, "Apakah kalian mengira bahwa aku tidak dapat bangkit berdiri karena hanya sekedar tersentuh api titikan?"
Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan. Namun mereka tidak menyahut sama sekali.
Akhirnya Swandarupun bangkit berdiri tanpa pertolongan siapapun juga. iapun merasa bahwa keadaan tubuhnya menjadi lebih baik. Meskipun ia masih merasakan panas dan pedih pada tubuhnya, tetapi keadaan itu sama sekali tidak meMbahayakannya.
Namun baru kemudian Swandaru menyadari, bahwa ia tidak dapat mengabaikan gangguan didalam tubuhnya itu. Meskipun tidak nampak luka pada kulitnya, tetapi rasa-rasanya api lawannya itupun telah membakar isi dadanya.
Sesaat kemudian, Swandaru diikuti oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirahpun telah pergi kependapa pula. Tetapi agaknya Sekar Mirah telah berhenti di depan gandok kanan.
"Aku akan menengok kakang Agung Sedayu," desis Sekar Mirah.
Swandarupun berhenti pula. Bahkan akhirnya iapun berkata, "Aku akan pergi saja ke gandok. Aku tidak ingin menemui orang gila itu."
Dengan demikian maka ketiga orang itupun langsung memasuki gandok kanan untuk melihat keadaan Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita justru sudah duduk di bibir pembaringannya, sementara Glagah Putih telah membuka pintu lereg gandok kanan itu.
"Marilah, Ki Waskita mempersilahkan.
Ketiganyapun kemudian telah masuk ke gandok itu. Swandaru nampaknya memang tidak ingin pergi ke pendapa. sehingga karena itu, maka iapun telah duduk diamben disudut gandok itu pula.
"Semuanya telah selesai," desis Swandaru, "namun nampaknya guru tidak sampai hati menyelesaikan sampai tuntas. Orang tua yang gila itu tidak dibunuhnya sekali."
Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata, "Agaknya Kiai Gringsing benar-benar telah menundukkannya."
"Ya. Guru dapat saja membunuhnya pada saat benturan kekuatan itu terjadi." jawab Swandaru.
"Tentu tidak bijaksana untuk membunuh seseorang yang sudah tidak berdaya," sahut Ki Waskita.
"Tidak. Tetapi pada saat perang tanding itu terjadi. Benturan ilmu diantara keduanya akan dapat membunuh orang itu, jika guru memang menghendaki. Tetapi agaknya guru tidak bermaksud demikian," Swandaru seolah-olah bergumam saja bagi dirinya sendiri dengan penyesalan dihati.
Ki Waskita tidak menanggapinya. Tetapi ia bertanya yang lain, "Bukankah kau telah membunuh lawanmu."
"Ya. Tubuhmu masih berada di belakang gandok ini," jawab Swandaru, "belum ada orang yang terbangun dari tidurnya untuk mengangkatnya karena kemampuan sirep yang sangat tajam ini."
Namun dalam pada itu. ternyata satu dua orang peronda telah mulai menggeliat dan bangkit dari tidurnya yang sangat nyenyak. Mereka terkejut ketika Ki Gede kemudian memanggil mereka dan memberi tahukan apa yang terjadi.
"Ada sesosok mayat dibelakang gandok. Ambillah dan selenggarakan dengan baik sebagaimana seharusnya siapapun orang itu." berkata Ki Gede.
Demikianlan maka anak-anak muda yang terbangun itupun menjadi sibuk. Mereka segera mengambil sesosok mayat di belakang gandok, untuk diselenggarakan.
Namun dalam pada itu, orang-orang didapur ternyata telah terlambat pula bangun, sehingga airpun terlambat dijerang.
Sementara itu, ketika Kiai Gringsing, Ki Gede dan orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu masih berada di pendapa. Swandaru masih belum kembali ke biliknya, ia masih berada dibilik Agung Sedayu bersama Pandan wangi dan Sekar Mirah. Sementara itu, justru karena Agung Sedayu sudah ada yang menungguinya, maka Glagah Putihpun telah pergi ke pakiwan. Agaknya anak itu masih mencemaskan kemungkinan adanya orang-orang yang licik yang memasuki gandok untuk mencelakai Agung Sedayu dan Ki Waskita.
Di Gandok. Swandaru masih saja menyesali gurunya yang tidak menyelesaikan lawannya sampai tuntas meskipun kadang-kadang terbersit juga pengertiannya tentang sikap gurunya itu.
Namun karena setiap kali Ki Waskita berusaha untuk meyakinkan akan kebenaran sikap Kiai Gringsing itu, maka Swandarupun kemudian mengalihkan pembicaraannya tentang dirinya sendiri dan tentang Agung Sedayu.
"Dengan keadaan ini. maka kemungkinan kakang Agung Sedayu untuk menekuni isi kitab guru agaknya harus ditunda." berkata Swandaru.
"Aku tidak akan terlalu lama mengalami keadaan seperti ini," jawab Agung Sedayu, "dengan obat yang diberikan oleh guru maka dalam waktu yang pendek, aku akan sembuh sehingga aku akan dapat melakukannya sesuai dengan rencana setelah kau menyelesaikan waktu yang diberikan oleh guru."
"Tetapi keadaan ini seharusnya dapat menjadi pengalaman bagi kakang Agung Sedayu," berkata Swandaru kemudian, "ternyata jalan yang ditempuh oleh kakang Agung Sedayu selama ini bukanlah jalan yang paling baik. Kakang berusaha untuk mencapai kedalaman ilmu namun melupakan pengolahan kemampuan jasmaniah. Dengan demikian maka kakang mengalami satu keadaan yang sulit pada saat terakhir. Untunglah bahwa di pertempuran itu hadir Pangeran Benawa, sehingga dengan kemampuannya maka pertempuran itu berakhir dengan keadaan yang lebih baik bagi kakang."
The Name Of Rose 9 Perguruan Sejati Karya Khu Lung Hina Kelana 38
^