Pencarian

Gajah Kencana 4

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana Bagian 4


kebuyutan dan mengadili set iap perkara yang terjadi dalam
desa ini. Tuan bebas menyatakan pendapat tetapi akupun
berhak untuk menjatuhkan hukuman pada rakyat di telatahku"
Anuraga tertawa ringan. Ia t ahu buyut itu sedang dihempas
oleh rasa kewibawaan kedudukannya. Maka berserulah ia pula
"Tak kuganggu gugat kekuasaan tuan sebagai buyut yang
berkuasa penuh. Tak pula kusinggung-singgung kewibawaan
tuan sebagai kepala keDharmadyaksaan kebuyut an ini. Yang
kusanggah hanyalah keputusan tuan dalam perkara Gajah ini.
Ketahuilah, tuan buyut. Negara kita Majapah it ini adalah
negara yang beradab, negara yang besar wilayahnya. Dan
negara yang memiliki undang2 hukum yang mengatur
pemerint ahan dan rakyat secara lengkap. Candi2 yang indah,
pura keraton Majapahit yang megah, kesusasteraan dan
keseniannya yang makin berkembang, menunjukkan betapa
tinggi peradaban Majapahit. Pengaruh kekuasaan yang meluas
sampai keseluruh nuswantara, menunjukkan betapa besar
wilayah Majapahit itu. Dan kitab2 yang manjadi sumber
hukum yang berlaku dalam kerajaan, mengunjukkan pula
betapa lengkap dan sempu.na Majapahit mengatur
peperint ahannya. Akan kusebutkan nama kitab2 yang menjadi
sumber hukum negara kita, yani: Kut aramanawa, Adigama,
Purwadigama, Syiwasyana, Sw aradlambu, Syiwasasana,
Sarasanuscaya dan Rajapatigundala"
Anuraga berhenti sejenak untuk menyempatkan penyelidikan kesan kepada buyut desa. Tampak buyut itu agak
pucat wajahnya. "Dengan susah payah, kedelapan buah kitab hukum itu
disarikan dan d isatukan dalam sebuah kitab yang mengatur
tindak pidana. Dan kitab itu disebut kitab Agama. Sedang
untuk mengatur soal tanah dipakailah kitab Rajapatigundala.
Kesemuanya itu tak lain dan tak bukan adalah unt uk memberi
Pengayoman, Keadilan dan Kesejahteraan pada seluruh
kawula Majapahit. Oleh karenanya, kumohon hendaknya
jangan ki buyut mudah tersinggung pada sanggahanku tadi.
Aku tak bermaksud menghina tuan melainkan hanya
memint akan keadilan bagi Gajah, seorang anak Sudra,
seorang bhaktadasa yang sudah sebatang kara dan dihina
oleh masyarakat desanya. Hati siapakah yang takkan turut
merint ih apabila mengetahui seorang anak seperti Gajah
diharuskan membayar denda sebesar itu" Demi peri
Kemanusiaan dan Keadilan yang direstui dalam undang2
negara kita, maka kunyatakan denda yang dikenakan pada
Gajah itu benar2 tak sesuai"
Rangkaian kata2 brahmana Anuraga yang bernada rendah
hati itu, mengendapkan kemarahan buyut Tayaka dan
mempersurut kemarahannya. Berkatalah ia dengan nada yang
sudah lebih sabar "Gajah berasal dari desa Mada dan menjadi
hamba bhaktadasa dirumahku. Sebagai tuannya, sudah tentu
aku wajib melindungi anak itu. Itu peribadiku. Tetapi
kedudukanku sebagai buyut, menuntut suatu pertanggungan
jawab kepada berlakunya hukum secara jujur dan bijaksana.
Demi pelaksanaan hukum, tiada kuasa kucegah suatu
keputusan yang merugikan Gajah"
"Tepat sekali pendirianmu, ki buyut " seru Anuraga "hukum
dicipt akan untuk mengayomi kepentingan seluruh kawula
Majapah it. Bukan untuk seorang dua orang yang berkuasa.
Tetapi sayang bahw a pendirian tuan itu akan salah sasaran
apabila dalam memutuskan perkara Gajah itu, tuan mengambil
dasar yang kurang kena arahnya. Jelas bahw a bukan Gajah
yang bertindak sefihak untuk menyakiti Wawa, tetapi
perkelahian itu dilakukan dan disetujui oleh Gajah dan Wawa.
Oleh karenanya lebih tepat kalau keputusan itu didasarkan
pada perkara Kroda."
"Maksud ki brahmana hendak mengatakan bahwa
perkelahian itu telah disetujui oleh kedua fihak karena tuan
yang mengaturnya, bukan?" buyut Tayaka mendengus.
"Benar" sahut Anuraga tak menyangkal "oleh karena itu,
sudah jelas bahw a perkara itu perkara perkelahian"
Ucapan buyut Tayaka itu adalah untuk memancing
pengakuan dari Anuraga. Dengan pengakuan itu, tentulah
brahmana itu akan merasa malu karena sebagai seorang
brahmana telah mengadu supaya anak2 berkelahi. Suatu
perbuatan yang tak layak. Sudah dua kali keputusannya
disanggah. Ia malu dan hendak membalas dendam. Tetapi di
luar dugaan, brahmana itu menggunakan pengakuannya
sebagai dasar untuk mempertegas sanggahannya. Betapa
geramlah liati buyut itu!
"Dan tuan tak merasa malu karena mengadu anak2 seperti
mengadu ayam?" masih buyut itu hendak mendesakkan
serangannya. Sejenak Anuraga terkesiap namun cepat ia dapat menjawab
"Dalam hal itu kurasa aku telah membantu usaha ki buyut
untuk memecahkan masalah anak2 nakal yang nyata2 masih
belum teratasi dalam desa ini. Memang banyak anak2 nakal
yang tak tunduk pada perintah orangtuanya sehingga orang2
tua itu tak mampu mengurus lagi dan terpaksa menyerahkan
pada orang luar untuk menyadarkan anak2 mereka. Berbicara
soal perasaan, seharusnya orangtua yang tak mampu
mengatasi anak2nya itulah yang harus merasa malu, bukan
orang luar yang bantu mengurus mereka"
Dengan ucapan itu, secara halus Anuraga telah menampar
muka buyut Tayaka yang dianggap tak mampu mengatasi
masalah anak2 nakal dalam desanya. Untuk yang kesekian
kalinya, buyut itu terpepat mulutnya. Ia tak dapat
menyalurkan kemarahannya kecuali hanya memerah muka.
Karena selalu gagal untuk memojokkan brahmana itu dengan
kata2, akhirnya buyut T ayaka hendak menggunakan kata-kata
kasar untuk mendamprat. Tetapi baru ia merangkai kata-kata
yang hendak dilontarkan tiba2 ia dikejut kan oleh munculnya
tiga lelaki yang melangkah kedalam ruang balai kebuyutan.
Demi melihat lelaki yang berjalan paling depan, serta merta
buyut Tayaka bangun dan tersipu-sipu maju menyambut
seraya memberi hormat "A h, Ki Panji Marga baya, maafkan lah
karena kami t erlambat menyambut"
"Ah, engkau tak bersalah, buyut" jawab orang yang disebut
Panji Margabaya itu "memang aku sedang singgah ke desa in i
dalam perjalanan meninjau Gesang, Bukul, Waringin Wok,
Brajapura, Sarnbo, Jerebeng dan desa2 penyeberangan
sepanjang sungai Brantas"
Setelah mengambil tempat duduk, maka buyut T ayakapun
mengatakan bahwa ia habis pulang dari Canggu untuk
menyerahkan hasil cukai penyeberangan desa Madan. Tetapi
Panji Margabaya tiada di rumah.
Raja telah menetapkan bahwa desa2 yang terletak di
pinggir sungai sepanjang Brant as dan Bengawan Sala yang
digunakan sebagai tempat penyeberangan, dikepalai oleh Ki
Panji Margabaya dan Ki Ajaran Rata yang berkedudukan di
Canggu. Sedang Panji Angraksaji dan Ki Ajaran Rag i
berkedudukan di Terung. Desa penyeberangan atau desa
pelayangan itu disebut N a d i t i r a p r a d e s a. Semua desa
Naditira pradesa, mempunyai kekuasaan Sw atantra. Ialah
berhak mengatur peperint ahan desanya masing2. Desa2 itu
diwajibkan memberi cukai pendapatan penyeberangan kepada
Ki Panji Margabaya. Kebetulan pada w aktu buyut T ayaka membayar cukai hasil
pendapatan desanya ke Canggu, Ki Panji Margabaya sedang
mengadakan peninjauan ke berbagai desa Naditira pradesa di
sepanjang sungai Brant as. Dalam peninjauan itu, iapun
mengunjungi desa MadanTeda pula. Dia d isertai oleh dua
orang pembantunya. "Ah rupanya engkau sedang membuka sidang peradilan, ki
buyut?" tanya Panji Margabaya Tiba2 ia terkejut karena
melihat kehadiran seorang brahmana dalam ruang kebuyut an
situ. Buru2 ia berbangkit dan menghampiri Anuraga seraya
memberi hormat "Maaf tuan brahmana, sungguh tak
kuketahui bahwa tuan hadir di sini"
Sebagai seorang nayaka tinggi, tahulah Panji Margabaya
akan kedudukan seorang brahmana. Maka bergegaslah ia
menghampiri dan mempersilahkan Anuraga duduk serta
menanyakan asal usai brahmana muda itu. Anuraga tetap
pada pengakuannya bahwa ia seorang brahmana yang sedang
menjalankan mesu-brata berkelana. Karena kebetulan lalu di
desa situ dan terlibat dalam perkara anak2 nakal yang
berkelahi, maka iapun mengikuti sidang peradilan yang
dipimpin buyut Tayaka. Panji Margabaya mengangguk lalu berpaling kepada Tayaka
"Buyut Tayaka, apakah yang sedang engkau adili in i perkara
anak2 yang berkelahi ?"
Buyut T ayaka mengiakan lalu menuturkan peristiwa it u dan
keputusan yang telah diambilnya terhadap Gajah. Juga
disinggungnya bagaimana dua kali brahmana Anuraga telah
menyanggah keputusannya itu "Telah kujelaskan kepada t uan
brahmana, bahw a desa Madan-Teda ini adalah sebuah desa
pelayangan atau Naditira pradesa, yang berkedudukan sebagai
swatantra. Kita diberi hak untuk mengurus segala sesuatu
yang menyangkut, peperint ahan dan keamanan desa. Tetapi
rupanya tuan brahmana tetap berkukuh hendak mencampuri
perkara ini" Panji Margabaya mengangguk "Engkau benar, memang
Madan-Teda ini merupakan sebuah Naditira-pradesa yang
berkedudukan sebagai daerah swatantra. Urusan peperint ahan
desa ini tak boleh dicampuri orang lain dan tak boleh dimasuki
pegawai Katriniyani Pangkur, Tawan dan Tirip serta pegawai
yang berpangkat nayaka, percaya, pingai, akurug, awajuh,
wadinadi dan para wulu"
Mendengar itu, berserilah wajah buyut Tayaka, macam
bunga layu tersiram air. Penjelasan dari kepala Naditirapradesa itu, merupakan suatu tamparan kepada brahmana
muda. Pikirnya. "Tetapi..." Panji Margabaya berhenti memandang buyut
Tayaka. Ketika buyut it u menyambut dengan pandang
menunggu, Panji Margabaya melanjutkan kata "keputusanmu
tadi tidak tepat, buyut Tayaka!"
Buyut itu terbeliak. Perasaannya bagaikan gelembung busa
yang menggembung besar lalu pecah tiba2. Ia t ak menyangka
bahw a ia akan dapat celahan dari kepala Naditira pradesa.
Didahului dengan pandang kejut, buyut itu bertanya "Dalam
hal apakah keputusan itu Ki Panji anggap tak tepat?"
Panji Margabaya tertawa ringan "Buyut Tayaka, sebagai
pemegang hukum, setiap buyut dari Naditira pradesa, harus
mengetahui dan mengaji undang2 negara. Dan untuk itu,
set iap buyut telah diberi kelengkapan kitab undang2.
Sudahkah engkau mempelajari isi kitab itu seluruhnya?"
Buyut Tayaka mengiakan. undang2 it u. Namun karena
sebagai desa penyeberangan
ia lengkap mengaji kitab itu.
275 pasal. Ia memang mempelajari kitab
pekerjaan di desa Madan-Teda
it u cukup sibuk, maka belumlah
Kitab undang2 yang terdiri dari
"Dan engkau sudah faham isinya?"
Pertanyaan semudah it u ternyata tak mudah dijawab buyut
Tayaka. Untuk menjawab bahwa sudah faham, sesungguhnya
ia belum faham. Namun mengaku belum, ia merasa malu
terhadap rakyat yang hadir dalam pendapa situ. Akhirnya
dengan nada ragu2 bimbang ia menyahut "Sudah ...."
Ki Panji Margabaya tertawa renyah "Bagus, Tayaka,
memang demikianlah seharusnya seorang buyut. Untuk
meningkatkan kesadaran rakyat agar mematuhi hukum,
wajiblah para penguasa kebuyutan dan daerah mengerti isi
perundang-undangan hukum. Tertib hukum akan melancarkan
roda peperintahan, melahirkan ketenangan, keamanan dan
kesejahteraan" Ketua urusan penyeberangan diseluruh Majapahit yang
berkedudukan di Canggu itu berhenti sejenak. Dilihatnya buyut
Tayaka masih tertegun, menduga-duga. Panji Margabaya
tersenyum, katanya pula "Mengapa kukatakan keputusanmu
dalam perkara ini tidak tepat karena keputusan itu tiada
berlandaskan hukum."
Mata buyut itu makin merentang tegang. Sebelum ia
sempat memint a penjelasan, Panji Margabaya sudah beralih
pandang kearah Anuraga "Ah, tuan cukup bijaksana ..."
"Sudah wajarlah bila seorang tetamu menghormat tuan
rumah" Anuraga tersenyum "tiada yang berlebih-lebihan ..."
Buyut Tayaka makin b ingung. Ia benar2 tak mengerti apa
yang dipercakapkan kedua orang itu. Tiba2 Ki Panji Margabaya
berpaling pula memandangnya dan berbisik "Umumkanlah
bahw a peristiwa itu perkara perkelahian anak2 sehingga tak
dapat dituntut hukuman dan bubarkanlah peradilan in i.
Kemudian kembalikan keping emas itu kepada sang brahmana
...." Tayaka terlongong. Hampir ia tak percaya pada
pendengarannya. Perint ah itu berarti menghapus keputusannya atau secara halus menialahkan tindakannya.
Sedang ia tetap yakin bahw a keputusannya itu benar. Maka
dengan rasa tak puas ia memint a penjelasan kepada orang
atasannya itu. Panji Margabaya tersenyum lalu merapat kedekat telinga
buyut it u dan membisiki beberapa patah kata. Buyut Tayaka
mengangguk lalu membuka kitab dihadapannya dan
memancangkan mata pada halaman muka. Wajah kepala desa
itu menggelombang tegang, pasang surut tak berketentuan "Ki
Panji" akhirnya tak kuasa pula ia menahan letupan
perasaannya "adakah tuan yakin brahmana itu mengetahui hal
itu?" "Brahmana muda itu mempunyai keperibadian pang
menarik. Wajahnya yang berseri-seri, parasnya yang cakap
terutama matanya yang tajam tentu menyimpan rahasia h idup
yang penuh peristiwa" gumam Panji Margabaya "silahkan


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

engkau mengujikan keraguanmu kepadanya"
Buyut Tayaka merenung dan menimang. Dengan cara
apakah ia dapat menguji isi hati brahmana itu tanpa
menimbulkan kehebohan rakyat yang hadir disitu. Betapapun
halnya, ia tetap berusaha untuk menjaga gengsi.
"Ki Brahmana" akhirnya ia memperoleh saluran yang
dikehendaki "bilamana tuan dapat mengatakan, apakah yang
sedang kubaca tadi, persidangan ini kuanggap selesai dan
Gajah bebas!" Anuraga tertegun. Ia heran mengapa tiba2 buyut itu
mengajukan pertanyaan semacam it u. Apakah gerangan yang
dibisikkan oleh Ki Panji Margabaya itu" Pikirannyapun mulai
menelusur. Dikaitkannya ucapan Panji Margabaya kepadanya
tadi dan sikap buyut desa setelah membaca kitab. Setelah
direnungkan dengan rangkaian segala segi kemungkinan,
akhirnya tersenyumlah brahmana muda itu.
"Jika aku menempatkan diri pada kedudukan ki buyut,
tentulah perhatianku akan kutumpahkan pada pasal pertama
...." "Ah, mengapa sejak tadi tuan tak mengingatkan hal itu
kepadaku?" buyut Tayaka menghela napas.
"Ki buyut " sahut Anuraga t enang "yang kit a hadapi adalah
masalah anak2 nakal. Dan itu merupakan gejala umum yang
terdapat disetiap desa dan kota. Apa yang tersurat dalam kitab
hukum hanyalah penghapusan bukan pemecahan masalah itu.
Oleh karenanya aku lebih suka membawa masalah itu dalam
sidang peradilan. Agar masalah itu benar2 menemui cara
pemecahannya yang layak"
Buyut Tayaka mengangguk. Rasa ketidak-puasan terhadap
brahmana yang menentang keputusannya tadi, serentak
berganti dengan rasa kagum dan syukur. Pasal kesatu dari
kitab undang2 itu mengatakan bahwa 'anak yang berumur
dibawah 10 tahun, apabila berbuat yang tidak baik, tidak layak
dikenakan denda oleh penguasa yang berkuasa'.
Tayaka seorang buyut yang t angkas bicara, gesit bertindak.
Ia menyadari bahw a kedudukannya saat itu lemah. Apalagi
orang atasannya, Ki Panji Margabaya, tidak membenarkan
keputusannya. Maka ia segera mengambil langkah
membubarkan persidangan itu.
"Berdasar petunjuk dari Ki Panji Margabaya ketua Naditira
pradesa yang berkedudukan di Canggu. Menimbang bahwa
undang2 membebaskan perkara tindak pidana dari seorang
anak yang belum berumur 10 t ahun. Menimbang pula bahwa
perkara itu termasuk perkelahian yang tak dapat dikenakan
tuntutan maka Gajah bebas dan sidang peradilan inipun
selesai" "Tidak adil!" tiba2 pandai besi Panca berteriak "aku mint a
keadilan bagi anakku!"
Buyut Tayaka mengerut dahi, serunya "Sudah kukatakan
bahw a perkara perkelahian itu tak dapat dituntut. Sekalipun
mati, pembunuhnya juga tak dikenakan hukuman!"
"Anakku berkelahi atas perint ah putera ki buyut . Mengapa
yang menyuruh juga bebas dari t untutan?" bantah Panca.
"Panca, engkau benar2 keras kepala ...." baru buyut Tayaka
menggeram, Anuraga cepat melerai "Ki Panca, memang dalam
undang2, tuntutanmu tiada mendapat tempat. Tetapi hal itu
bukan berarti apa yang engkau kemukakan itu tidak benar.
Memang harus diakui, undang2 yang berlaku pada saat in i,
masih belum sempurna seluruhnya. Undang2 diciptakan untuk
menanggulangi persoalan manusia hidup. T etapi karena hidup
itu bergerak dan berkembang maka persoalan manusiapun
selalu bertambah baru. Dan pemecahannyapun harus
mengikuti perkembangan itu ... ."
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula "Memang dalam
undang2 hanya dalam bab ASTACORAH saja y ang sudah agak
lengkap. Karena yang menyuruh mencuri dan yang melakukan
curi, sama2 d ikenakan hukuman mati. Tetapi dalam hal Kroda
atau perkelahian, hal itu tek terdapat. Sekalipun begitu,
maulah kita melihat kenyataan. Ada pepatah yang
mengatakan 'Anak polah, bapak kepradah', anak yang berbuat
salah, orangtuanyalah yang harus bertanggung jawab. Dalam
peristiwa perkelahian berdarah mi, sumbernya adalah
kenakalan anak2. Kenakalan anak2 timbul karena ketidakmampuan orang2 tua mengurus anak2 mereka. Maka sudah
wajar kalau orang2 tua anak2 it u harus dihukum. Apabila lain
kali anak2 itu masih bertingkah liar, maka orangtua mereka
harus didenda selaksa tali ...." Anuraga berhenti melepaskan
pandang kearah penduduk yang hadir disitu. la mendapat
kesan bahwa mereka menaruh perhatian pada usulnya itu.
"Dan aku sendiri, sebagai penebus kesalahanku mengadu
mereka berkelahi, rela memberi uang sebagai pembeli obat
bagi Wawa" habis berkata Anuraga mengambil sekeping emas
dan diserahkan kepada pandai besi Panca.
Melihat itu buyut Tayaka malu hati "Jangan ki brahmana.
Karena anakku yang menyuruh Wawa berkelahi maka akulah
yang wajib mengganti pembeli obat itu !"
Anuraga tersenyum "Bahw a ki buyut hendak memberi
Apatiba-jampi, itu hak ki buyut sendiri. Tetapi akupun berhak
untuk memberi uang pengganti obat kepadanya juga"
Demikian karena Anuraga berkeras tetap hendak memberi
uang obat kepada ayah Wawa, buyut Tayaka pun tak dapat
melarangnya. Akhirnya tercapailah perdamaian. Pandai besi
menerima uang Apatiba-jampi dari brahmana Anuraga dan
buyut Tayaka. Setelah sidang selesai dan sekalian penduduk pulang, buyut
Tayaka mint a kepada Anuraga supaya tinggal dulu d i
kebuyutan. Ia ingin menjamu brahmana muda itu sebagai
tanda penghormatannya. Bermula Anuraga menolak tetapi
karena buyut itu tampak bersungguh-sungguh, demikianpun Ki
Panji Margabaya ikut meminta, Anuraga menerima juga.
Buyut Tayaka suruh puteranya mint a maaf kepada
brahmana muda itu. Anak itu dengan segan terpaksa
melakukan juga. Namun dalam hati diam2 ia mendendam.
Anuraga menganjurkan agar putera buyut itu menggunakan
masa mudanya untuk mengaji ilmu agar kelak dapat
menggantikan kedudukan ayahnya sebagai buyut.
Kemudian beralih lah pembicaraan mereka kepada diri
Gajah, anak bhaktadasa yang dipelihara buyut Tayaka.
Anuraga bertanya akan asal usul anak itu.
Buyut Tayaka gelengkan kepala "Bagaimana asal usulnya
yang jelas, tak kuketahui. Beberapa t ahun yang lalu, seorang
nenek tua membawanya kemari dan menyerahkan anak itu
menjadi bhaktadasa. Menurut katanya, ia adalah nenek anak
itu. Tetapi t ak pernah ia berkunjung kemari lagi"
"Apakah Gajah tak pernah menceritakan asal usul d irinya ?"
tanya Anuraga pula. Tayaka memberi keterangan "Kala itu Gajah baru berumur
lima tahun. Ia mengatakan sejak kecil ikut neneknya. Karena
neneknya makin tua dan berpenyakitan, ia menyerahkan
Gajah kemari menjadi bhaktadasa. Menurut keterangan nenek
itu, mereka berasal dari desa Mada"
Anuraga menghela napas "Ah, kemungkinan nenek itu tentu
sudah meninggal. Kasihan memang nasib si Gajah . . . ." ia
berhenti sejenak lalu berkata pula "Ki buyut, saat ini aku
masih menjalankan suatu tugas. Selekas t ngas itu selesai, aku
tentu datang kemari untuk menebus kebebasan Gajah. Harap
engkau memeliharanya baik2. Besok akan kuganti seluruh
ongkos pemeliharaannya"
Demikian set elah bermalrm d itempat buyut Tayaka,
keesokan harinya brahmana Anuragapun mint a diri dan
melanjutkan perjalanan pula.
o)o0o-dw-o0o(o II SEJAK mendapat janji dari Anuraga, buyut Tayaka
memperlakukan Gajah agak baik. Entah karena menyadari
kesalahan puteranya dalam peristiwa perkelahian berdarah itu.
Entah karena membayangkan besarnya pengganti pemeliharaan Gajah yang bakal diterimanya dari brahmana itu.
Gajah sendiri tidaklah menuntut suatu apa. Ia tetap
melakukan kewajiban dengan rajin. Tiap pagi dinihari, ia
sudah bangun. Menyapu halaman, mengisi jambangan dan
kendi, lalu berangkat menggembalakan kambing. Mentari
silam, baru ia pulang. Iapun merasakan perobahan sikap keluarga buyut
kepadanya. Nyi buyut tidak memakinya, puteranyapun tidak
seringan t angan dahulu lagi. Pun makanannya juga lebih baik,
mendapat t ambahan nasi dengan sedikit lauk pauk. Sekalipun
tetap tidak semewah hidangan untuk kucing Candramawa,
namun tidak sejelek yang dulu lagi.
Walaupun dalam hati heran namun Gajah tak berani
bertanya. Pernah buyut Tayaka memanggilnya "Gajah,
bagaimana keadaanmu sekarang?"
Gajah menjawab dengan jujur "Ndara buyut puteri dan
ndara Ramb i, memperlakukan aku dengan baik. Ndara buyut
puteri memberi makanan dengan lauk pauk"
Buyut Tayaka tertawa. Gajah tak mengerti apa yang
terkandung dalam hati buyut it u. Tetapi ia berjanji dalam hati
untuk membalas kebaikan keluarga buyut itu dengan bekerja
lebih rajin dan giat. Memikir soal budi kebaikan, teringatlah ia akan brahmana
muda Anuraga. Brahmana itu mengajarkan ilmu bersemadhi
kepadanya dengan pesan supaya ia g iat berlatih agar
tubuhnya tumbuh sehat dan kuat. Dan apa yang dikatakan
brahmana itu memang benar. Setiap malam dan pagi, ia selalu
melakukan ilmu semadhi untuk menjalankan pernafasan.
Beberapa bulan kemudian, ia rasakan tubuhnya lebih segar,
semangat makin bugar, gerakannya bertambah gesit. Dia tak
pernah sakit, tahan dingin dan tak lekas lelah.
Diam2 Nyi buyut heran atas perobahan pada diri Gajah.
Anak itu tampak sehat dan t ambah gesit bekerja. Jambangan
mandi, kendi2 minum selalu penuh. Halaman selalu bersih,
pohon2 bunga makin subur dan segar. Kambing2 yang
digembalakanpun t ampak gemuk dan lincah. Nyi buyut hanya
menduga bahwa perobahan pada diri anak itu tentulah karena
perobahan makannya yang lebih baik.
Gajah mulai merasakan cerahnya sinar ment ari pagi. Mulai
menyenangi kehijauan rumput yang membentang subur di
padang lembah. Entah bagaimana ia lebih senang memandang
rumput hijau dari pada pohon2 bunga. Apabila memandang
padang rumput yang menghijau lembah, hatinya serasa t eduh.
Dan pikirannyapun melayang-layang merenungkan nasib
rumput .... Rumput selalu tumbuh di bawah, di tanah, dipadang di
lembah dan di kuburan2 serta tempat yang diinjak kaki
manusia maupun binatang. Dibabat, disiangi dan dicabut i
karena dianggap mengotori halaman mengganggu padi
dipematang, menghalangi tumbuhnya bunga di t aman. Bahkan
di padang belantara, di lembah yang terjal, tetap diburu dan
dilenyapkan. Sebagai makanan lembu, kerbau, kambing dan
kuda. Namun rumput tetap abadi. Dibabat, timbul. Disiangi,
semi. Dicabut , tumbuh. Dipijak, tegak pula. Dibasmi tetap
subur. Sering Dipa bertanya pada diri sendiri. Berguna atau
tidakkah rumput itu bagi manusia " Kalau tidak berguna,
mengapa dibutuhkan untuk makanan ternak gembala. Kalau
berguna, mengapa manusia membencinya dan lebih
menyayangi bunga. Adakah karena bunga itu berwarna cantik
dan berbau harum maka dipuja orang" Pada hal kecant ikan
dan keharuman bunga itu akan cepat layu dan lenyap! Benar2
Dipa heran, mengapa rumput tetap tumbuh. Untuk siapakah
rumput itu tumbuh didunia ....
Apabila tiba pada pemikiran itu, tumbuhlah rasa kasihan
Dipa kepada rumput. Ia merasa berterima kasih kepada
rumput yang telah memberikan dirinya untuk makanan
kambing gembalanya. Maka timbullah pikirannya. Ia melarang
kambing gembalanya memakan rumput disuatu tempat
sampai habis sama sekali. Apabila rumput sudah menjarang, ia
segera membawa kambing gembalanya pindah kelain tempat.
Demikian pada suatu hari, ia membawa kambing
gembalanya menuju kesebuah hutan dikaki gunung. Memang
agak jauh dari padang rumput di lembah yang biasa ia
datangi. Kala itu menjelang tengah hari, ia meneduh dibawah
pohon yang tumbuh ditepi sungai kecil. Kambing dilepaskan d i
sebidang tanah datar yang bertumbuh rumput.
Terik sinar matahari menjelang musim kemarau berhembus
augin silir. Mata Dipa seperti dikipasi rasanya. Kantuk mulai
merayap-rayap. Pada saat mata hendak mengatup rapat, tiba2
ia terbeliak kejut karena sayup2 mendengar suara seruling
mengalun dikesunyian alam.
Sudah sering Dipa mendengar orang meniup seruling.
Tetapi alunan irama yang dibawakan seruling itu baru pertama
kali ia mendengarnya. Apakah itu yang disebut merdu, ia tak
tahu. Yang dirasakan, hatinya serasa tersentuh oleh buaian
alun seruling itu. Dan ia memperhitungkan, peniup seruling itu
tak berapa jauh jaraknya. Seketika rasa kantuknya hilang dan
berbangkitlah ia mencari arah suara seruling itu.
Apa yang diduga, memang benar. Selekas tiba diujung
hutan, seruling itu makin jelas. Segera ia percepat langkah,
lari mendaki sebuah gunduk batu yang tinggi. Tiba dipuncak
batu karang, tiba2 seruling itu berhenti. Cepat ia menuruni
karang yang menjurus ke tepi sungai dan tampaklah seorang
kakek sedang duduk ditepi sungai. Disebelahnya tegak
seorang anak perempuan kecil. Tangan anak perempuan itu
menggenggam sebatang seruling bambu kuning.
"Kek, ada manusia datang kemari. Seorang bocah laki" kata
anak perempuan itu kepada si kakek.
"Hm, kut ahu. Dia seorang anak gembala" sahut sikakek
dengan suara parau. Walaupun berkata begitu, kakek yang
rambut dan janggutnya putih itu tetap memandang batang
kail yang terbenam kedalam sangai. Sama sekali ia tak
mengacuhkan kedatangan Dipa.
Dipa tertegun. Tetapi ketika sikakek mengatakan keadaan
dirinya seorang anak gembala, ia heran lalu lanjutkan langkah
menghampiri. "Hai, berhenti, engkau anak manusia atau set an?" tiba2
anak perempuan yang berumur lebih muda dari Dipa
membentak seraya lint angkan seruling menghadang Dipa.


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dipa terhenyak berhenti karena teguran anak perempuan
yang aneh it u. Sejenak ia memandang dirinya. Seumur hidup
baru pertama kali itu ia disangka sebagai anak set an. Setelah
merasa t iada hal yang aneh pada dirinya, ia akan menyahut.
"Indu, jangan mengusik orang" t iba2 kakek t ua itu berkata
"pemusatan pikiranmu masih mudah terganggu. Buktinya
engkau hentikan tiupan serulingmu sehingga ikan lele yang
sudah akan melenting kedarat, terkejut dan menyusup
kedalam liang lagi" "Hm, gara-garamu set an cilik!" anak perempuan kecil itu
deliki mata kepada Dipa "hayo, enyahlah!"
"Jangan, Indu!" kembali kakek tua itu mencegah. Ia
menghela napas dan berkata seorang diri "ah, suratan takdir.
Manusia harus menerimanya ...."
Indu, sianak perempuan kecil, kerutkan dahi keheranan,
serunya "Apa maksudmu, kakek?"
"Sudahlah, Indu, hutan ini bukan milik kita. Setiap orang
bebas datang kesini. Jangan suka menyinggung perasaan
orang" kata kakek tua it u "tak apa kaku hari ini kita tak
memperoleh ikan. Sisa dari dua ekor ikan yang kita peroleh
kemarin masih cukup untuk lauk pauk hari ini"
"Kakek, biarlah kutiup seruling lagi agar ikan lele itu muncul
kedarat" Indu masih penasaran.
"Jangan, Indu, jangan! Rupanya sudah ditentukan oleh
Yang Memberi Hidup, bahwa hari in i kita tak mendapat hasil.
Jangan memaksa, besok masih ada hari lagi. Indu, apakah
engkau tak ingin mendengar cerita yang kujanjikan itu?"
"O, benar kek" seru Indu kegirangan "aku memang ingin
sekali mendengar cerita itu"
Kakek yang sudah amat lanjut usianya itu suruh Indu
mengambil tempat duduk dihadapannya. Lalu mulailah ia
bercerita. Sepatahpun Dipa tak disapanya.
Dipa terpukau. Ia tak marah karena tak dihiraukan. Sudah
biasa ia diperlakukan orang begitu. Ia merasa bersalah karena
menyebabkan anak perempuan itu t erkejut sehingga hentikan
tiupan serulingnya. Ia harus mint a maaf. Tetapi baru ia
hendak membuka mulut, kakek tua itu sudah mulai bercerita:
OM AWIGHNAM ASTU NAMAS SIDDHAM ....
Niham katut uranira Ken Angrok. Mulanira duk dinadekan
manusa, hana anakira rangdyaning jiput, lumaku tan rahayu
amegati apusira pinakapamancananing hyang Suksma. Sah
sira saking Jiput, angungsi sira ring mandaleng Bulalak.
Purabira sang abatur ing Bulalak sira mpu Tapawangkeng,
agawe gapuraning asraman ira, pinalampahan wedus bang
salaki dening hyanging lawang. Langira Tapawangkeng: " Nora
olihing apeningan dadi agaweya papapatakaning awak, yan
amalimatia janma, norana ta amut usakena papalakoning caru
wedus bang ika. " Dadi ta sang amegati apus angling, asanggup
makacaruaning lawangira mpu Tapawangkeng, satya ta sira,
asanggup pinakacaru, marganira muliha marirg Wisubhuwana
tumitisa mareng wibhawajanma, mareng madhyapada muwah,
mangkana pamalakunira. Irika ta duk inastwan tumitisa denira
mpu Tapawangkeng tinut i rasaning kapralinanira, amukt i ta
sira pitung mandala Ri huwusnira pralina irika ta sira
pinakacaru denira mpu Tapawangkeng. Telas ira mangkana
mur ta sira maring Wisnubhuwana, tan linok ing rasaning
sangketanira sang pinakacaru amaiaku ta sira titisankena ri
wetaning Kawi.... Kakek tua itu berhenti memandang Indu "Indu mengertikah
engkau apa yang kuceritakan ini ?"
Anak perempuan itu gelengkan kepala "Tidak mengerti
sama sekali!" Kakek tua itu tersenyum "Cerita ini kupetik dari kitap
PARARATON ialah sejarah Ken Angrok atau baginda Rajasa
Bhatara sang Amurwabhumi, raja pertama dari Singosari,
sampai pada raja2 keturunannya. Memang engkau tentu tak
mengerti karena cerita itu menggunakan bahasa Kawi yang
tinggi. Baiklah, Indu, akan kut erangkan dengan bahasa yang
mudah supaya engkau mengerti"
Kakek tua itu diam2 menyelimpatkan mata kearah Dipa. Ia
tersenyum dalam hati melihat anak gembala itu tertarik
perhatiannya. Lalu ia melanjutkan ceritanya pula dengan
bahasa sederhana: TUHAN, PENCIPTA, PELINDUNG dan PENGAKHIR ALAM
SEMOGA TAK ADA HALANGAN SUJUDKU SESEMPURNASEMPURNANYA.
Inilah kissah Ken Angrok. Asal mula ia dijadikan manusia:
Adalah seorang anak janda di Jiput, bertingkah laku tak baik,
suka merusak kesusilaan, menjadi gangguan Hyang yang
bersifat gaib. Pergilah ia dari Jiput, mengungsi ke Bulalak.
"Siapakah Ken Angrok, kakek?" tiba2 anak perempuan itu
menyelut uk. "Ken Angrok dikemudian hari menjadi raja Singosari yang
pertama" sahut kakek tua dengan sabar. Kemudian ia
melanjutkan pula. Yang dipertuan di Bulalak itu bernama mpu Tapawangkeng.
Ia sedang membuat pintu gerbang asramanya. Roh penjaga
pintu, mint a diberi sesaji seekor kambing jant an yang berbulu
merah. Permintaan itu meresahkan hati mpu T apawangkeng,
katanya: "Ah, tak perlu berpusing kepala. Akhirnya ini akan
menyebabkan aku jatuh dalam dosa. Kalau aku sampai
membunuh manusia, takkan ada yang dapat menyelesaikan
permint aan korban kambing merah itu..."
"Kakek, mengapa pintu ada Roh yang menjaga" Aneh benar
permint aannya, mengapa kambing yang berbulu merah" Dan
mengapa pula mpu Tapa itu harus membunuh manusia?"
kembali Indu sianak perempuan kecil menukas pertanyaan
pada cerita kakeknya. Agak mengkal kakek tua tua karena cucunya selalu
memutus ceritanya. Dipandangnya Indu. Tetapi pada lain
kejab hatinya mereda "Ah, dia anak kecil, tentu ingin tahu
segala apa. Dan pertanyaan itu menandakan bahwa pikirannya
hidup dan cerdas" "Menurut kepercayaan agama Syiwa, set iap benda
mempunyai penunggu ialah roh yang tak kelihatan. Yang
dimaksud dengan kambing jant an bulu merah, adalah
manusia. Itulah sebabnya maka mpu Tapawangkeng resah
hatinya. Jika ia melaksanakan permint aan roh itu, berarti ia
membunuh manusia. Membunuh manusia berarti jatuh ke
dalam dosa ...." "Ah, jahat benar roh penjaga pintu itu" gumam Indu "lalu
apakah mpu Tapa menyetujui?"
Kakek itu melanjutkan ceritanya:
"Kemudian orang yang merusak kesusilaan tadi berkata
bahw a ia sanggup menjadi korban pintu yang dibuat mpu
Tapawangkeng. Ia bersedia dijadikan korban agar dapat
manjadi sarananya ia kembali ke surga dewa Wisnu dan
menjelma lagi dalam kelahiran yang lebih mulia, ke alam
tengah lagi. Demikian permint aannya. Permint aan itu direstui
oleh mpu Tapawangkeng agar ia dapat menjelma. Dan
disetujui pula tujuan kematiannya itu. Setelah mati ia dijadikan
korban oleh mpu Tapawangkeng. Setelah itu, ia terbang ke
surga Wisnu dan sesuai dengan inti perjanjian untuk dijadikan
korban, ia mint a untuk dijelmakan di sebelah timur gunung
Kawi..." "Kakek, apakah orang yang sudah mati itu dapat menjelma
lagi?" tanya pula sianak perempuan kecil. Rupanya banyak
sekali hal yang mengherankan hatinya. Dan agaknya ia
memang suka bertanya. "Menurut kepercayaan agama Syiwa-Budha, orang yang
mati itu hanya jasadnya saja yang rusak. Tetapi atma atau
rohnya tetap hidup dan kelak akan turun menjelma ke dunia
lagi menurut kadar dari amal perbuatannya dalam kehidupan
yang lalu" kata kakek tua.
"W ah, kalau begitu, kakek kelak tentu juga dapat menjelma
hidup lagi. Tetapi..." tiba2 Indu termenug-menung.
Kakek tua itu terkesiap melihat kerut wajah cucunya yang
rawan, tegurnya "Indu, mengapa engkau termenung diam "
Apakah yang hendak kaukatakan ?"
Anak perempuan kecil itu menjawab dengan kata2 yang
wajar kekanak-kanakan "apakah kelak kakek berkumpul lagi
dengan aku?" Tersentuh hati kakek yang
sudah lanjut usia itu. Sesaat
terkenanglah ia akan segala
ikatan dunia. Anak perempuannya yang telah meninggal, yakni ibu dari
Indu. Isterinya yang mendahuluinya serta beberapa
saudara yang semuanya telah
mati lebih dulu. Kemudian
teringat akan usianya yang
sudah begitu lanjut, ia tentu
akan berpisah dengan Indu,
cucu satu2nya dalam hidupnya
di mayapada ini. Sesungguhnya ia sudah jemu
akan kehidupan duniawi. Namun mengingat bagaimana nant i nasib Indu yang masih
kecil itu apabila ia mati, bergetarlah urat2 nadinya yang sudah
rapuh. Ia ingin hidup dan harus hidup, demi Indu.
"Sudah tentu Indu, kakek tentu akan menjelma lagi dalam
lingkungan hidupmu" katanya beriba. Sesungguhnya dalam
hati, ia sudah menyadari. Tak mungkin hal itu akan terjadi.
Namun ia t ak mau membuat sedih hati cucunya.
Tiba2 anak perempuan kecil itu berseru "Kakek, hari sudah
larut t inggi. Aku lapar. Mari kita pulang"
Kakek itu mengangguk lalu mengangkat kail dan
berbangkit. Sambil memimpin tangan Indu, ia berjalan
tertatih-tatih tinggalkan tempat it u. Sama sekali kakek itu tak
mempedulikan Dipa yang saat itu masih duduk di atas
segunduk batu. Hanya sebelum lenyap ke dalam gerumbul
pohon, anak perempuan kecil itu tiba2 berpaling memandang
kearah Dipa. Hanya sekejab lalu berberpaling memandang
kemuka lagi dan beberapa saat kemudian kakek serta cucu
itupun lenyap ke dalam gerumbul.
Dipa masih termangu-mangu di atas gunduk karang. Ia
merenungkan cerita kakek tua tadi. Ia amat tertarik sekali.
Sayang cerita itu belum selesai.
Setiap hari setelah lepaskan kambing gembalanya kepadang
rumput, Dipa segera mendaki karang dan turun ke gerumbul
pohon untuk mendengarkan kakek tua yang mengail d i tepi
sungai sambil menceritakan cucu perempuannya, sejarah Ken
Arok dan raja2 keturunannya
"Mereka tentu akan datang lagi besok. Baiklah aku kemari
untuk mendengarkan cerita kakek itu" kata Dipa seorang diri.
Tetapi pada lain saat ia tertegun. Kakek tua dan anak
perempuan kecil itu tak mengacuhkan dirinya.
"Apakah mereka takkan marah apabila ia datang ikut
mendengarkan cerita ?"
"Tetapi tadi merekapun t ahu kalau aku ikut mendengarkan
cerita. Walaupun tidak mempedulikan tetapi merekapun tak
mengusirku " pada lain saat Dipa menjawab keraguannya "ah,
memang aneh sekali kedua kakek dan cucu itu"
Rasa aneh itu makin membangkitkan kegairahan Dipa unt uk
mengetahui diri kedua kakek dan cucu itu serta mendengarkan
cerita mereka. Akhirnya ia memut uskan, besok akan datang
lagi kesitu. Apabila mereka marah dan mengusir, iapun akan
pergi. "Ah, apakah karena diriku benar2 seperti anak setan
sehingga mereka segan menegurnya?" tiba2 pula Dipa t eringat
akan kata2 anak perempuan kepadanya tadi "benarkah rupaku
ini seperti anak set an" Bagaimanakah rupa set an itu
sesungguhnya?" bertanya-tanya Dipa pada dirinya. Memang ia
tahu dan sudah biasa mendengar orang menyebut kata Setan.
Tetapi sebesar itu, belum pernah ia tahu bagaimana ujud yang
sebenarnya dari set an ibu. Ia heran mengapa anak
perempuan itu memaki ia seperti anak set an" Adakah anak
perempuan itu sudah pernah melihat setan "
Makin memikirkan keadaan kedua kakek dan cucu itu makin
besar keinginan Dipa untuk mengetahui diri mereka.
Besok harinya, ia membawa kambingnya ke hutan pula dan
mulailah ia mendaki keatas gunduk karang. T ak berapa lama
terdengarlah suara seruling mengalun. Tentulah seruling yang
ditiup anak perempuan kemarin. Dipa tak mau unjuk diri. Ia
tetap rebah diatas karang dan memandang, ke tepi sungai.
Yang meniup seruling memang benar seorang anak
perempuan kemarin. Sedang si kakek tua duduk pejamkan
mata menghadap sebatang kail yang ujungnya terbenam
dalam sungai. Hampir sejam anak perempuan itu meniup
seruling. Nadanya makin lama makin melengking tinggi,
biramanya makin lama makin menyayat hati. Dipa tak tahu
lagu apakah yang sedang dialun seruling itu. Tetapi diam2 ia
kagum atas ketahanan napas anak perempuan yang dapat
meniup seruling sampai begitu lama.
Tiba2 kakek tua itu mengangkat kailnya dan memekiklah
cucunya dengan gembira "Kakek, seekor ikan bader yang
besar sekali!" Dipapun terkejut kagum. Rasa heran yang menelungkupi
perasaan, secara tak disadari, menggerakkan kakinya
menuruni karang dan menghampiri kedekat tempat kakek dan
anak perempuan itu. "Hai, anak set an itu datang pula!" teriak anak perempuan
kecil. Namun nadanya tak semarah kemarin.
"Indu, jangan menghina orang. Memang sejak tadi kut ahu
dia rebah di atas karang. Tetapi dia tak mau turun, mungkin
takut kalau mengganggumu" kata kakek tua seraya
memasukkan ikan bader ke dalam lukah bambu.
"Kakek, rupanya hari ini kita mujur, mengapa kakek tak
mau mencari seekor lagi?" tanya Indu.
Kakek tua itu menghela napas "Jangan Indu. Hari ini kita
sudah memperoleh rejeki. Jangan temaha, kita harus puas


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menerima pemberian Yang Memberi Hidup"
"Kalau begitu, kakek harus melanjutkan cerita yang kemarin
itu" Kakek tua itu tertawa. Sikapnya amat memanjakan anak
perempuan kecil itu. Setelah duduk berhadapan kakek itu
melanjutkan pula ceritanya tentang Ken Arok. Apabila
matahari menjulang tinggi ditengah angkasa, mereka
berkemas pulang. Tiada selirik pandang dipalingkan kearah
Dipa. Tiada sepatah kata disapakan kepada anak itu.
Hari berganti hari, pekan bersusul pekan dan bulan beralih
bulan, Dipa selalu datang untuk mendengar cerita yang
dibawakan kakek tua itu. Setelah habis kissah Ken Arok, lalu
Anusapati, Tohjaya, Rangga Wuni, Kertanegara lalu raden
Wijaya. Karena setiap hari setelah memperoleh ikan, baru
kakek tua itu bercerita dan apabila matahari lewat di atas
kepala, mereka segera berkemas pulang. Karena hanya sejam,
paling lama dua jam kakek t ua itu bercerita. Dengan demikian
ceritanya memakan waktu hampir tiga candra.
Selama itu banyak sekali Dipa mendengar keadaan yang
baru baginya. Dunia pengetahuannya yang setipis kulit
bawang, kini t iba2 merekah. Bagai kuda t erlepas dari pingitan,
arus pikirannya berkejar-kejaran hendak mencapai puncak.
Puncak yang berkabut bayang2 alam dunia seperti yang
dikisahkan dalam cerita kakek tua itu. Namun tingkat
kecerdasannya masih belum sampai. Ia tak dapat
membayangkan lebih daripada y ang diket ahui dalam desanya.
Dari cerita kakek itu, ia t ahu bahwa Ken Arok itu seorang raja
yang termasyhur, begitu pula Anusapati, Tohjaya, Rangga
Wuni, Kertanegara dan raden Wijaya. Tetapi tak dapat ia
membayangkan betapalah perwujutan dari seorang raja itu.
Betapalah megah pura kerajaan dan istana Singasari serta
Majapah it itu, iapun tak dapat meraih dengan anganangannya. Betapalah hebatnya peperangan, betapalah
kegagahan senopati2 yang menyabung nyawa dimedan laga
itu, tak dapat pula ia menggambarkan dalam lamunannya.
Ingin ia sesungguhnya untuk bertanya, tetapi ia takut kakek
itu tak mempedulikannya. Bukankah ia dianggap anak set an
oleh anak perempuan kecil itu"
Demikian seperti yang telah dilakukan selama berpekanpekan ini, menjelang mentari turun kebalik gunung, ia segera
menggiring kambing sambil melamun cerita yang dituturkan
kakek tua siang tadi. Ketika memasuki gapura pintu desa dan
tiba di daratan tempat dahulu ia berkelahi dengan Wawa,
tiba2 ia terkejut mendengar longlong jeritan seorang anak
yang disusul dengan lengking tangis.
Dipa cepat menghampiri. Tampak beberapa anak sedang
mengerumuni seorang anak kecil yang jongkok dihadapan
sebuah patung. Anak itu berada clihalaman candi kecil. Cepat
Dipa mengetahui bahw a yang menjerit-jerit dan menangis,
adalah anak kecil yang jongkok itu. Ketika menghampiri makin
dekat barulah Dipa tahu bahwa tangan anak it u dimasukkan
ke bawah batu persada patung dewa Ganesya. Tetapi entah
karena apa, tangan anak itu tak dapat ditariknya keluar lagi.
Anak itu kesakitan, bingung dan menangis jerit2 ....
Anak2 yang bermain dihalaman candi itu, anak2 desa
Madan-Teda. Tetapi mereka bukan anak2 nakal dari
gerombolan Wawa. Mereka kenal Dipa si Gajah dan
mendengar juga tentang peristiwa Gajah mengalahkan W awa.
Dan memang sejak peristiwa itu, Gajah tidak menderita hinaan
dari anak2 dalam desanya. Bahkan anak2 yang bukan
termasuk gerombolan Wawa, diam2 menaruh rasa kagum
kepada Gajah. "Gajah, tolonglah Naban itu!" serta melihat Gajah, t imbullah
harapan anak2 itu untuk menolong Naban, anak yang
tangannya tertindih patung.
"Mengapa dia?" Gajah memint a penjelasan.
Salah seorang anak yang paling besar menutur "Ketika kami
sedang bermain kejar-kejaran, tiba2 Naban mendengar suara
cengkerik berbunyi nyaring. Naban memang senang sekali
mencari cengkerik untuk diadu. Ia terus lari menghampiri
patung dewa Gajah. Setelah diselidiki ternyata jengkerik itu
berada di dalam liang dibawah patung. Naban mencari kayu
dan digalinya lubang dibawah patung it u. Setelah cukup besar,
ia masukkan tangannya untuk merogoh cengkerik itu. Tetapi
entah bagaimana tangannya tertindih patung dan tak dapat
dikeluarkan." "Oh, mungkin karena tanah digali, patung itu longsor
mengendap kebawah. Lalu bagaimana cara menolongnya?"
tanya Gajah seraya menghampiri ketempat patung. Lalu
bertanya kepada Naban "apakah tanganmu tertindih?"
Sambil menangis, anak itu mengangguk.
"Sakit?" "Tidak begitu sakit ..."
"Kalau t ak sakit mengapa menangis?"
Anak itu makin menangis keras "Hu, hu, hu . . . tanganku
tak dapat kutarik keluar . . dan . . . dan aduh . . ." t iba2 anak
itu menjerit. "Mengapa?"Gajah ikut terkejut.
"Cengkerik itu ... menggigit ujung jariku, setan, aduh, aduh
. . . tolong!" anak itu menjerit-jerit makin keras dan merontaront a hendak paksakan menarik tangannya keluar. Tetapi
makin d itarik makin sakit sehingga menangislah ia makin
nyaring. "Jangan bergerak" Gajah memberi nasehat.
"Ayo, kita gali tanah dan membuat lubang lebih besar
supaya tangan Naban dapat ditarik keluar" seru anak yang
paling besar tadi. Beberapa kawannya setuju dan terus hendak
mencari kayu. "Jangan!" cegah Gajah "kalau lubang itu digali makin besar,
dikuatirkan patung itu akan makin longsor dan makin
menindih tangan Naban"
Anak2 itu berhenti. Mereka anggap kata2 Gajah itu benar.
Tetapi hal itu makin membuat mereka bingung "Lalu
bagaimana cara kita menolong Naban?" tanya mereka
beramai-ramai. Gajah merenung. Pada lain saat ia menyahut "Cara yang
terbaik ialah mengangkat patung dewa Gajah itu!"
Bagai t awon dionggok dari sarang, berdengung-dengunglah
suara anak2 itu mendengar jawaban Gajah. Mengangkat
patung batu dewa Gajah yang seberat itu" Ah, tak mungkin
.... Akhirnya anak yang paling besar tadi berseru "Gajah,
memang caramu itu tepat sekali. Tetapi mana mungkin kita
lakukan hal itu" Sekalipun beramai-ramai tetap kita tak
mampu mengangkatnya! Kalau tak percaya, cobalah engkau
mengangkatnya!" Selama mengikuti cerita yang dibawakan kakek tua, pikiran
Dipa amat diilhami akan kissah kehidupan Ken Arok. Lepas
dari perbuatan2 maksiat yang dilakukan Ken Arok semasa
masih muda, Dipa mengagumi keberanian dan kesaktiannya.
Misalnya, ketika kakek tua itu menceritakan bagaimana karena
mencuri di desa Pamalant en, Ken Arok dikejar penduduk desa
untuk dibunuhnya. Ken Arok memanjat pohon tal. Pohon itu
dikepung dan ditebang oleh penduduk yang marah. Tetapi Ken
Arok dapat juga meloloskan diri. Ia memetik dua daun tal
untuk dikepit dalam kedua ketiaknya lalu melayanglah ia
bagaikan seekor kelelawar meloloskan diri dari jerat.
Timbul dalam gagasan anak gembala Dipa. Ken Arok tit ah
manusia. Iapun anak manusia. Ken Arok dilahirkan d ikalangan
hina. Bahkan dibuang ibunya ke pckuburan. Iapun anak Sudra.
Jika Ken Arok dapat ' terbang ' dengan dua daun tal, bukanlah
suatu keinginan yang berkemmjaan apabila ia dapat
mengangkat patung dewa Gajah itu.
"Jika karena mencuri dan hendak ditangkap maka Ken Arok
mengeluarkan kesaktian, mengapa aku tak direstui kesaktian
karena hendak menolong seorang anak yang tertimpa
kemalangan ?" pikiran Dipa makin melambung. Semangatnya
makin menyala dan tekadnyapun makin bulat. Ent ah
bagaimana, anak kecil yang menjelang berumur sepuluh tahun
itu, tiba2 mempunyai angan2
seperti orang dewasa. Ia segera maju kedekat patung dewa Gajah itu lalu
memegang kedua sampingnya. Sejak giat melakukan semedhi seperti
yang diajarkan Anuraga, ia
merasa mulai dapat 'menggembalakan' napas dan tenaganya ke, ' lembah '
yang disebut Cakra Manipura
atau bagian perut t ubuhnya.
Demikianpun pada saat itu.
Setelah menggembalakan napas dan tenaganya ke lembah Cakra Man ipura, tiba2 ia memekik sekuat-kuatnya dan serempak mengangkat
patung it u, hek .... meletuslah pekik sorak dari anak2 ketika
menyaksikan patung dewa Gajah itu terangkat keatas kepala
Dipa ! Candi kecil dipetang sunyi, tiba2 bergetar-getar bagai dialun
gempa pekik t eriakan. Patung Syiwa yang dipuja dalam candi
itu seolah olah ikut bergetar menyaksikan peristiwa it u. Angin
berhembus kencang, pohon2 bergoncang-goncang dan
bunga2 meregak membaurkan bau harum. Burung2 sriti
berseliweran terbang tinggi rendah diatas kepala Dipa. Alam
seakan-akan ikut terkejut dan bergembira ....
"Gajah .... hebat ! . . . Sakti . . . ! teriak anak2 itu riuh
rendah memuji. Namun Gajah tak sempat menghiraukan
mereka. Ia bei juang mati matian untuk menyanggah patung
batu yang amat berat itu, agar tak menindihkan. Wajahnya
merah padam. Mata membelalak seakan lepas dari
kelopaknya, geraham bergemerutukan macam orang
kedinginan. "Gajah, letakkan patung it u, aku sudah tak apa-apa!" tiba2
si Naban berteriak. Rupanya karena amat berterima kasih
kepada si Gajah, ia paling cepat mengetahui penderitaan
Gajah. Sedang anak2 yang lain hanya menumpahkan sorak
pujian saja tetapi tak memperhatikan keadaan Gajah.
Hanya seruan si Nabanlah yang mendapat tempat di hati
Gajah Dipa. Segera ia meletakkan patung itu di tempatnya
semula, bluk .... serempak patung tegak di tanah, Gajahpun
terhuyung-huyung kebelakang dan rubuh tak sadarkan diri!
Kembali terdengar jerit pekikan dari anak2 itu. Hanya
bedanya, jika pekikan yang tadi pekik pujian, tetapi yang
sekarang pekik kejut kecemasan. Mereka lari mengerumuni
Gajah "Hai, mulut nya mengumur darah . . . !" teriak Naban. Ia
menubruk tubuh Gajah, dan diguncang-guncangkannya
"Gajah, Gajah, mengapa engkau....?"
Namun Gajah tetap diam memejam mata. Anak2 itu
bingung tak keruan. Ada yang memijat-mijat kaki, ada yang
mengelus-elus dadanya, ada yang mengurut-urut tangan,
bahkan ada yang menyiak kulit kelopak mata si Gajah supaya
sadar. Namun sia2 semua. "Lekas cari a ir!" tiba2 anak yang paling besar tadi berteriak
tanpa ditujukan pada salah seorang kawannya yang tertentu.
Tiba2 Naban lari menuju ke parit di belakang candi. Tetapi
set iba di parit, ia tertegun bingung. Dengan alat apakah ia
hendak membawa air nant i" Unt unglah ia cepat mendapat
akal. Dicarinya pohon maja yang tumbuh di belakang candi,
dipetiknya sebiji buahnya lalu dibelah dan isinya dibuang. Kini
dapatlah ia sebuah alat, separoh belahan tempurung buah
maja. Setelah diisi air, bergegaslah ia kembali ketempat Gajah.
Airpun segera diminumkan ke mulut Gajah. Dan kini anak2
itu menunggu dengan berdebar-debar bagaimana hasilnya.
Sepengunyah sirih lamanya, terdengar Gajah menguak
pelahan dan tubuh mulai meregang-regang lalu matanyapun
terbuka "Gajah, bangunlah. . . engkau terluka, Gajah " Ah,
akulah yang bersalah, Gajah ...." berderai-derai airmata Naban
sianak kecil sambil mencekal tangan Dipa.
Dipa tersayat keharuan. Baru pertama itu dalam sejarah
hidupnya, ia ditangisi orang. Selama ini yang dideritanya
hanyalah gelak cemohan dan hardik makian. Luapan perasaan,
menyentakkan ia bangun dan ditepuknya bahu Naban
"Sudahlah, Naban, jangan menangis. Aku tak kurang suatu
apa!" Sesungguhnya saat itu ia rasakan tubuhnya lemah lunglai.
Urat-bayunya seakan-akan dilolosi. Tenaganya merana, tulang
serasa lepas dari persendiannya. Namun demi menghibur
Naban, ia harus kuatkan diri bangkit berdiri. Ia telah
menggunakan tenaga lebih dari yang dimiliki maka akibatnya
ia pingsan. Dan ketika berdiri, kepalanyapun masih terasa
berbinar-binar. "Hari sudah rembang petang, kalian harus pulang dan
akupun juga" katanya kepada anak2 itu. Dan tanpa menunggu
penyahutan mereka, ia mendahului ayunkan langkah
menggiring kambingnya pulang. Ia masih lemas sehingga
jalannya tertatih-tatih. Tiba di rumah buyut, langsung ia
memasukkan kambing ke kandang lalu masuk ke dalam
biliknya di dekat kandang kambing. Belum pernah ia rasakan
balai-balai bambu tempat tidurnya, senikmat saat it u. Tetapi
rasa nikmat itu cepat berganti dengan rasa nyeri kesakitan
dari tubuhnya yang lunglai. Semalam sunt uk ia bergolek
terkapar-kapar tak henti-hentinya. Telentang, miring,
tengkurap, miring .... Akhirnya ketika kentongan di balai kebuyut an berlalu tiga
kali, ia tertidur juga. Rasanya masih ia ingin memeluk balai2
ketika burung cucak-rawa peliharaan ki buyut berbunyi riuh
nyaring. .Biasanya apabila burung cucakrawa itu berbunyi,
haripun sudah fajar dan Dipa harus bangun. Maka walaupun
masih d icengkam kantuk dan letih, Dipa terpaksa bangun
juga. Ia segera mencari air mengisi jambangan mandi dan
kendi, lalu menyapu halaman dan setelah itu baru
mengeluarkan kambing dan berangkatlah ia ke padang
rumput. Hari itu ia hanya menuju ke lembah rumput dan tak
ke tepi sungai mendengarkan cerita sikakek tua. Ia merasa


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

letih sekali. Tiba di lembah, kambing dilepas dan rebahlah ia di
bawah pohon untuk menyambung tidurnya yang masih kurang
itu ... . Dalam pada itu penduduk desa Madan-Teda gempar
membicarakan peristiwa Gajah mengangkat patung dewa
Ganesya. Anak2 itu sepulang di rumah, segera menceritakan
kejadian itu kepada orangtuanya. Dan orang2 t ua itulah yang
menyebar-luaskan peristiwa itu. Cepat sekali seluruh rakyat
desa mengetahui hal itu. Rambi, putera buyut desa, pun mendengar peristiwa itu.
Sejak peristiwa Wawa, ia telah kehilangan pengikut. Ia
mendapat dampratan pedas dari ayahnya bahkan disuruh
mint a maaf juga kepada brahmana Anuraga. Diam2 anak itu
mendendam dalam hati. Dan sasaran dari dendamnya itu
bukan lain adalah si Gajah. Memang karena takut pada
ayahnya, Rambi tak berani lagi keluyuran ke luar. Tetapi
diam2 ia mencari kesempatan untuk mencelakai Gajah.
Peristiwa Gajah dapat mengangkat patung dewa Gajah,
telah disambut girang sekali o leh Rambi. Tetapi rasa girang itu
bukan karena kagum dan bangga mempunyai seorang
bhaktadasa yang bertenaga kuat. Melainkan gembira karena ia
mandapat kesempatan untuk melaksanakan rencananya
terhadap Gajah. Segera ia mengunjungi pandai besi Panca.
"Paman Panca, apakah engkau tak ingin melakukan
pembalasan atas cidera yang diderita Wawa?"tanyanya kepada
pandai besi itu. "Ah, masakan aku berani melanggar keputusan ki buyut?"
balas Panca. Rambi tertawa kecil "Heh, kutahu hati paman tentu masih
mendendam kepada Gajah, bukan?"
"Ah, tidak ..."
Tiba2 Rambi kerutkan wajah dan berseru dengan tegang
"Jangan kuatir, paman. Akupun tak senang kepada Gajah. Aku
tak puas karena Wawa menderita cidera. Walaupun lukanya
sudah sembuh tetapi masih suka terlongong-longong seperti
kehilangan kesadarannya itu. Bukankah engkau juga
mendengar berita hari ini bahw a Gajah dapat mengangkat
patung dewa Gajah penunggu candi itu?".
Pandai besi Panca mengangguk.
"Nah, inilah suatu kesempatan bagimu untuk melakukan
pembalasan. Maukah engkau?"
Wajah pandai besi tampak memberingas seketika. Tadi
karena takut kepada putera buyut, ia tak mau berkata terus
terang. Bahwa putera buyut itu ternyata juga tak suka kepada
Gajah, bangkitlah gairahnya "Tetapi aku tak tahu bagaimana
cara untuk membalas dendam kepada Gajah itu!"
Rambi tertawa angkuh "Kemarilah engkau, kuberitahu
rencana yang harus engkau lakukan" Dan ketika tanpa ragu2
pandai besi Panca melangkah kedekat, putera buyut itu segera
membisiki kedekat telinganya. Seketika wajah pandai besi itu
berseri cerah dan mengangguk2 "Baik, baik, tentu akan
kulaksanakan rencana itu sebaik-baiknya... ." tiba2 wajah
pandai besi itu terpukau kesangsian "tetapi. . . tetapi
bagaimana kalau patung itu sampai diketemukan penduduk?"
"Ah, engkau menyimpannya serapat mungkin, jangan
sampai ketahuan siapapun juga. Setelah Gajah dibunuh,
usulkan supaya diadakan upacara sesaji mohon supaya patung
itu kembali ke dalam candi pula. Dan pada saat itu engkau
harus mengembalikan patung itu"
Wajah pandai besi Panca kembali berseri cerah. Ia
menyetujui rencana putera buyut. Demikian setelah berteguhteguhan janji, putera buyutpun pulang.
Seperti biasa pada tiap hari, ada saja kawanan anak yang
bermain-main di halaman candi. Anak2 itu senang sekali
mandi di sungai di belakang candi yang airnya jernih,
Demikian mereka bermain-main dulu, setelah letih dan
bersimbah peluh, barulah mereka mandi. Ditengah-tengah
anak2 ramai bermain, tiba2 salah seorang anak berteriak
nyaring "Hai, kawan2, lihatlah, patung dewa Gajah ini hilang
belalainya" Anak2 itu berhenti bermain dan segera menghampiri "O,
rupanya belalainya hancur "teriak salah seorang anak pula.
"Mari kita masuk ke dalam candi. Jangan2 semua patung
dalam candi itu juga menderita kerusakan" salah seorang anak
menyatakan pendapat dan t erus mendahului masuk ke dalam
candi. Beberapa anak itu mengikuti di belakang.
"Celaka ..." anak itu menyurut mundur "apa kataku"
Lihatlah, patung di tengah ruang itu hilang!"
Kawan kawannya mengikuti arah yang ditunjuk anak itu.
Dan ternyata memang benar. Patung batara Syiwa yang
ditaruh di tengah ruang candi dan merupakan pusat
persujudan penduduk desa, lenyap dari tempatnya. Seketika
anak2 itu berteriak-teriak lari keluar. Mereka bubar dan pulang
ke rumah masing2. Menceritakan peristiwa itu kepada
orangtuanya. Cepat sekali peristiwa itu menggemparkan seluruh
penduduk. Berbondong-bondong mereka menuju ke rumah
buyut. Ketika lalu d i depan rumah pandai besi Panca, pandai
besi itupun keluar dan menegur "Hai, mengapa kalian ini ?"
Penduduk itu memberi keterangan apa yang telah terjadi.
Mendengar itu Panca kerutkan dahi "Apakah kalian sudah
melihat sendiri ?" Pertanyaan pandai besi itu menyadarkan para penduduk.
Memang sesungguhnya mereka belum membuktikan
kebenaran peristiwa itu. Panca tahu kebimbangan mereka
"Hayo, kita jenguk ke candi" katanya seraya mempelopori
berjalan lebih dulu. Gemparlah rombongan penduduk itu ketika menyaksikan
keadaan patung Ganesya yang hancur belalainya. Lebih
gempar pula ketika mereka dapatkan patung Batara Syiwa
yang disembah dalam candi if u lenyap.
"Batara Syiwa tentu murka dan menghilang dari candi sin i.
Juga Dewa Ganesya itupun tentu marah sehingga merusak
belalainya sendiri!" kata Panca.
Penduduk makin kebingungan sekali. Mereka amat percaya
akan kekeramatan Syiwa. Hilangnya patung Syiwa itu
menandakan kalau Batara Syiwa murka sekali. Kemurkaan
Batara Syiwa akan menimbulkan malapetaka besar pada desa
Madan Teda. Demikian pula halnya dengan Dewa Ganesya.
"Apakah ini bukan akibat dari gara2 si Gajah berani
sembarangan mengangkat patung Dewa Gajah itu?" tiba2
salah seorang penduduk yang sudah tua berkata.
"Benar! Benar...." hirup pikuk sekalian
membenarkan pernyataan orang tua itu.
penduduk "Bunuh Gajah! . . . Gantung anak itu! . . . ?" teriak
bersambut kemarahan segera meluncur dari mulut kemulut
rombongan penduduk yang berada disitu "Hayo, kita cari
budak itu kerumah buyut!"
Berpuluh-puluh penduduk segera mengarahkan langkahnya
ketempat tinggal buyut desa. Disepanjang jalan yang di lalu i
rombongan selalu bertambah jumlahnya dengan penduduk
yang menggabungkan diri dalam rombongan it u. Hingga
jumlahnya ratusan orang. "Ki buyut, mana ki buyut!" mereka berteriak-teriak di muka
rumah buyut Tayaka. Mendengar suara berisik itu, Rambipun keluar. Setelah
mengetahui apa yang terjadi ia memberi penjelasan "Ayah
sedang menghadiri pertemuan antar kepala Naditira pradesa
yang diselenggarakan di Canggu"
Tetapi rakyat tetap berteriak-teriak dan kandak menyerbu
rumah buyut "Gantung si Gajah! . .. Bunuh, si Gajah! ..."
Rambipun cepat menghadang "Mengapa engkau hendak
membunuh Gajah!" Salah seorang penduduk segera menuturkan tentang
hancurnya belalai patung Ganesya dan hilangnya arca Syiwa
dalam candi "Kita bakal kena kutuk dan desa ini tentu akan
tertimpa bencana!" Rambi pura2 terkejut sekali, serunya "Ah, tak mungkin, t ak
mungkin! Masakan arca itu hilang?"
Rakyat makin ngotot "Kami sudah beramai-ramai
membuktikan sendiri. Karena gara2 Gajah mengangkat patung
dewa Ganesialah maka Hyang Batara Syiwa murka, dan
musna" kemudian mereka berteriak-teriak pula seraya hendak
menyerbu untuk menangkap Gajah.
Rambi memang cerdik. Sayang kecerdikan itu hanya dalam
hal2 yang jahat dan licik. Sekalipun dalam hati ia g irang
karena rencananya berhasil, namun pandai sekali ia menyamar
airmukanya dengan selubung getaran kejut "Jangan bertindak
sendiri, ayah tiada di rumah, begitu pula Gajah!"
"Kemana Gajah menggembalakan kambing?" teriak orang2
itu. "Entah!" seru Rambi dengan nada seola-olah melindungi
Gajah. Rombongan rakyat itu tak mau berbantah. Mereka segera
tinggalkan rumah buyut dan mencari Dipa. Rupanya mereka
tak sabar menunggu sampai Gajah pulang. Sejak candi itu
berdiri berpuluh-puluh tahun lamanya, baru pertama kali itu
terjadi peristiwa yang luar biasa seperti kali itu. Arca Batara
Syiwa sebesar anak kecil yang ditempatkan di ruang
pemujaan, hilang tak berbekas. Begitu patuh kepercayaan
mereka akan kekeramatan Syiwa, sehingga hilangnya arca itu
membangkit kan kegelisahan dan ketakutan yang hebat.
Mereka percaya sepercaya-cayanya, bahwa musnanya arca
Syiwa itu akan menimbulkan malapetaka pada desa Madan
Teda. Hari itu adalah hari yang kedua dari peristiwS Gajah
mengangkat patung Ganesya. Gajah rasakan tenaganya
hampir pulih maka pergilah ia ke tepi sungai untuk
mendengarkan cerita kakek tua. Saat it u mentari sudah naik
sepenggalah tinggi dan mulai merayap ketengah angkasa.
Kakek tua sedang asyik menceritakan peperangan antara raja
Kertanegara dari Singosari lawan Jayakatwang raja Daha. Dipa
mendengarkan dengan penuh perhatian.
Sekonyong-konyong terbanglah seekor burung gagak
berputar-putar mengelilingi tempat kakek dan cucunya itu.
Burung itu tak henti-hentinya berbunyi riuh rendah. Indu
heran dan bertanya "Kakek, mengapa burung gagak itu ?"
Kakeknya tak menyahut melainkan pejamkan mata
bersemedhi. Beberapa saat kemudian, ia membuka mata dan
berkata "Indu, lekas engkau beritahukan kepada anak
gembala itu supaya lekas bersembunyi dalam hut an. Di tempat
ini akan terjadi suatu peristiwa berdarah ...."
"Apa" Anak setan itu?" Indu terkejut heran. Baru pertama
kali sejak berbulan-bulan, kakeknya menaruh perhatian
kepada anak gembala itu. Kakek tua it u tak menyahut
melainkan menggangguk kepala. Indupun terpaksa melakukan
perint ah. Dipa terkejut. Cepat ia beringsut mundur karena
menyangka tentulah anak perempuan itu diperint ah kakeknya
untuk mengusir. "Hai, anak set an, tunggu dulu!" t eriak Indu ketika melihat
Dipa hendak lari "kakekku berpesan, supaya engkau lekas
bersembunyi dalam hut an"
"Mengapa?" Gajah berseru heran.
"Kata kakek, tempat ini akan ditimpa bahaya!?" tanpa
menunggu jawaban Dipa, anak perempuan itu terus lari
kembali ke tempat kakeknya. Kakek dan cucunya itu terus
tinggalkan tepi sungai. Dipa t ermangu-mangu sampai lama. Bingung ia memikirkan
pesan kakek itu. Tetapi akhirnya ia memut uskan. Apa salahnya
ia menuruti pesan kakek itu.
Tepat pada saat ia turun dari karang, tampaklah berpuluhpuluh orang berlari-lari menghampiri dengan sikap gopoh.
Cepat timbullah keheranan Dipa dikala mengetahui bahwa
berpuluh orang itu adalah penduduk desanya. Ia segera maju
menyongsong mereka "Hai, mengapa paman..." belum selesai
ia mengucap, rombongan penduduk desa itu pesatkan langkah
dan berteriak "Hai, itulah dia bunuh saja . . .!"
Dipa makin terkejut sekali. Mengapa ia hendak dibunuh"
Apakah kesalahannya "Tunggu dulu, apakah salahku?"
serunya nekad. "Keparat, karena gara-garamu mengangkat patung dewa
Gajah, Syiwa marah dan arca dalam candi lenyap!" teriak
mereka makin kalap. Dipa hendak memberi penjelasan tetapi
tak diberi kesempatan lagi. Ber-puluh2 penduduk it u sudah
maju menyerbu. Bagai kawanan serigala lapar melihat anak
kambing, mereka berebut menyerang Dipa. Ada yang
menghantam, meninju, menampar, memukul, mencengkeram
dan mencekik. Dipa menggigil ketakutan sekali. Memberi penjelasan,
ditolak. Melawanpun kalah. Untuk mengharap pertolongan,
adalah ibarat mengharap turunnya hujan di tengah musim
kemarau. Bagai seorang anak bhaktadasa seperti dirinya,
kecuali brahmana Anuraga, dalam sepanjang hidup tak pernah
dialaminya ada orang yang mau menolong atau
melindunginya. Bahkan kalau ia sampai mati dipukuli orang2
itu, tentulah tiada hukumnya. Ia tak takut mati tetapi ia
merasa penasaran karena tiada diberi kesempatan memberi
penjelasan. Sejak disenafasi kebangkitan jiwa dan kepercayaan pada
diri sendiri oleh brahmana Anuraga. Pula sejak mendengarkan
cerita kakek t ua yang berisi kissah perjuangan, jiwa dan alam
pikiran anak itu mengalami perobahan besar. Ia ingin h idup
untuk melihat keadaan dunia luar yang begitu mengasyikkan.
Ia tak mau mati konyol dikeroyok penduduk desa. Maka
bergeraklah tubuhnya untuk berusaha menghindari hujan
pukulan itu. Ia nekad hendak menerobos kepungan mereka.
Tiba2 sebuah t angan hendak mencekik lehernya. Haup. . . . .
disambarnya tangan itu dengan mulut lalu digigit sekuatkuatnya. Yang empunya tangan menjerit-jerit kesakitan. Dikala
kawan-kawannya t ertegun, lalu ia mernyelinap lolos, terus lari
masuk ke hutan. "Tangkap budak keparat it u! Jangan sampai lolos" teriak
orang2 itu seraya mengejar.
Dipa b ingung. Ia belum pernah masuk ke hutan itu dan tak
kenal keadaannya. Tetapi lebih baik ia menempuh bahaya dari
pada mati konyol di tangan penduduk yang sudah kalap. Dan
usahanya itu hampir berhasil andai kata tak terjadi suatu
kemalangan. Karena perhatiannya terpecah

01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belah, memperhatikan kejaran penduduk dan mencari jalan d iantara
gerumbul pohon dan semak yang penuh onak, sampai ia tak
dapat meneliti jalanan yang ditempuhnya. Uh .... tiba2 ia
mendengus kaget ketika kakinya terantuk lingkaran akar
pohon yang melint ang di tengah jalan. Tak kuasa lagi ia
menahan keseimbangan tubuh dan terpelantinglah ia
menyusur tanah. "Hajar . . . ! Bunuh . . . !" seperti kawanan pemburu
menghadapi seekor harimau, berpuluh-puluh penduduk itu
segera menghujani tubuh Dipa dengan pukulan bertubi-tubi
dan injak sepak menggebu-gebu.
Prak... sebuah tendangan keras kearah kepala, membuat
anak itu tak dapat bergerak lagi ....
o)oo)dw(oo(o Jilid 4 I DENDAM merupakan salah satu dari kelima derajat atau
watak manusia yang disebut sifat Teluh Braja. Menurut ilmu
kesepuhan, badan wadag manusia diperlambangkan sebagai
Bumi yang mengandung delapan unsur kekuatan atau dayatenaga. Delapan unsur itu di Iambangkan dalam warna2:
manik, emas, perak, timah putih, tembaga, besi, garam dan
belirang. Kedelapan unsur itu bercampur satu sama lain dan
menimbulkan lima jenis derajat manusia atau watak manusia
yang ditamsilkan sebagai: Pulung atau watak WELAS ASIH.
Wahyu atau watak RELA LEGAWA artinya rela karena baik
hati, lahir bathin secara jujur.
.Andaru bersifat PARAMARTA MARDI AKSAMA, artinya suka
memaafkan dan menghargai sesama manusia. Teluh braja
lambang dari HAWA NAFSU yang meluap luap, menimbulkan
watak dengki, dendam, tamak dan jahil. Guntur atau watak
ANGKARA MURKA. Pandai besi Panca sebagai manusia yang berwatak kasar
dan berangasan, tak luput dari cengkeraman hawa nafsu
dalam sifat Teluh braja. Dialah yang melepaskan tendangan
maut kepada Dipa. Karena ia ingin membalas dendam atas
cidera yang diderita anaknya. Ia masih belum puas dan
menyusuli tendangan lagi.
"Tahan!" tiba2 terdengar suara orang berseru mencegahnya. Panca berhenti dan berpaling "Huh, engkau....
mengapa?" tegurnya tajam kepada seorang lelaki, sedikit tua
dari dirinya. "Kurasa sudah cukup. Lihatlah, mukanya berlumur darah
dan tubuhnya tak berkutik lagi" sahut lelaki itu atau pak
Naban, ayah dari si Naban.
"Mungkin dia belum mati!" bantah Panca.
"Tetapi mungkin dia t ak dapat hidup" balas pak Naban.
Panca merentang melindunginya?" mata lebar2 "Ho, engkau hendak "Apa alasanmu menuduh begitu?"
"Sudah jelas" dengus Panca "karena dia pernah menolong
anakmu si Naban!" "Benar, aku tak menyangkal. Seperti halnya engkau hendak
membunuh anak itu karena hendak membalas dendam atas
cidera yang diderita anakmu!"
"Tidak" teriak Panca menyangkal "soal anakku sudah putus.
Bukan hanya aku tetapi seluruh penduduk desa kita ingin
membunuh anak it u karena hilangnya arca Syiwa!"
Pada saat kedua orang itu berbantah, sekalian orang
tertegun mendengarkan. Mereka tahu siapa Panca, siapa pak
Naban. Panca, pandai besi yang beradat kasar dan pemarah.
Pak Naban, kepala perahu2 penyeberangan. Seorang yang
tegas, jujur dan berani. Dia diangkat langsung oleh Ki Panji
Margabaya yang tahu akan sifat-sifatnya. Buyut Tayakapun
menaruh keseganan kepada pak Naban.
Pak Naban tertawa kecil "Pertimbangan akal memang sering
dikaburkan oleh Kepercayaan. Karena arca Syiwa hilang,
pikiran kita segera dihantui ketakutan. Bukan menyelidiki
kemana hilangnya arca itu tetapi kita terus mencari sasaran
untuk menumpahkan kemarahan. Dan anak itulah yang
dijadikan bulan2 penumpah kemarahan!"
"Enak saja engkau bicara!" Panca makin geram "kemanakah
kita harus menyelidiki" Apakah engkau sangka arca itu dicuri
orang" Siapa yang berani mencuri arca keramat itu!"
"Dan engkau percaya bahwa arca itu dapat lenyap sendiri?"
pak Naban cepat menyanggah.
"Kakang Markum, apakah .engkau tak percaya akan
kekeramatan Batara Syiwa?" teriak Panca. Sekalian orang ikut
tegang. Secara tak sadar, alam pikiran mereka ikut terbawa
ucapan Panca. Andaikata bukan Markum atau pak Naban,
tentulah mereka sudah ikut mendamprat habis2an.
Namun tenang2 jua pak Naban menghadapi pertanyaan
yang berbahaya itu "Panca, jangan menyimpang jauh dan
persoalan yang kita cakapkan ini. Pandanganku itu, dari sudut
akal dan kenyataan. Sedang Kepercayaan itu, berdasar pada
perasaan hati. Jika engkau bertanya, apakah aku t ak percaya
pada kekeramatan Hyang Syiwa, sudah tentu kujawab
percaya. Tanyakanlah pada seluruh penduduk desa kita.
Adakah aku pernah tak hadir dalam upacara2 keagamaan
yang dilangsungkan di candi itu" Dan tanyakan pula kepada
mereka, siapakah yang lebih tekun dan patuh melakukan
ibadah, Panca atau Markum?"
Pak Naban berhenti untuk menyelidik kesan. T ampak wajah
Panca merah, Diam2 pak Naban geli dalam hati "Engkau
katakan, siapakah yang berani mencuri arca Syiwa yang
keramat itu" Panca, hendaknya kit a mencamkan pengertian
tentang pemujaan yang kita lakukan dalam candi itu. Arca
yang berwujut seperti Batara Syiwa itu, hanyalah sekedar
lambang dari pengejawantahan Hyang Syiwa. Agar dalam
mempersembahkan doa puji, angan2 kita terisi suatu
gambaran dari dewa yang kita dambakan dalam doa kita itu.
Maka bukanlah Hyang Syiwa dalam bentuknya sebagai arca
batu itu, melainkan m a h a t m a atau roh tertinggi dari
Hyang Syiwa yang dilambangkan dalam bentuk seperti yang
diluk iskan arca itu ... ."
Pak Naban berhenti lagi lalu melanjutkan pula dalam nad a
setengah tertawa "Panca, kalau orang t ak berani mencuri arca
itu karena kekeramatannya, tentulah orang tak berani
membuat arca itu karena kekeramatannya juga!"
"Kang Markum, rupanya engkau mengandalkan kedudukanmu untuk menghina Batara Syiwa !" teriak Panca
yang hampir kehabisan akal.
"Sama sekali tidak, Panca Aku di sini sebagai Markum,
seorang penduduk desa Madan Teda. Bukan Markum kepala
perahu penyeberangan. Engkau salah faham. Sama sekali aku
tak bermaksud menghina keagungan Hyang Syiwa. Aku salah
seorang pemeluk agama Syiwa yang patuh. Justeru karena
pengabdianku kepada agama itu, maka aku tak mengidinkan
nama Batara Syiwa dibawa-bawa sebagai alasan untuk
menganiaya seorang anak kecil!"
"Sudah jelas!" teriak Panca "karena budak itu berani
mengangkat patung dewa Ganesya, maka Batara Syiwa murka
dan arcanya lenyap. Mengapa engkau masih berkeras kepala
membela anak itu?" Tetap tertawa lapang, menyahutlah pak Naban
"Y akinkah engkau bahwa hilangnya arca agung dalam candi
itu karena anak itu mengangkat patung dewa Ganesya"
Sudahkah engkau mengetahui jelas atau mendapat wangsit
bahw a Hyang Batara Syiwa murka?"
Pertanyaan pak Naban itu benar2 membuat Panca bungkam
"Tetapi .... tetapi .... kalau arca Syiwa itu hilang, berarti suatu
alamat tak baik bagi desa kita!" akhirnya pandai besi itu
berusaha untuk membela diri.
"Benar, Panca!" sambut pak Naban serentak "tetapi apabila
arca itu benar2 lenyap atas titah Hyang Syiwa, Tetapi jika
lenyapnya arca itu karena tangan manusia jahil, tak mungkin
menimbulkan akibat apa2 kepada desa kita!"
Tiba-tiba seorang lelaki set engah tua, tampil dengan katakata melerai perbantahan yang memakan waktu hampir sejam
itu "Sudahlah, Panca dan kang Markum, hentikanlah
perbantahan yang hanya menimbulkan selisih faham itu.
Tujuan kita adalah menangkap anak itu sudah terlaksana.
Anak itu sudah menderita amat parah. Dan peringatan kang
Markum itu juga benar. Kita sudah .melampiaskan kemarahan
kepada anak yang kit a duga menjadi gara2 hilangnya arca
keramat di candi. Keadaan anak itu sudah payah sekali,
kemungkinan tipis harapannya hidup. Maka baiklah k ita pulang
dan tinggalkan anak itu dalam hutan ini. Serahkan, nasibnya,
kepada keputusan Hyang Syiwa. Kalau dia mati, jelas dia
memang berdosa. Tetapi kalau dia masih hidup, berarti dia tak
bersalah" "Baik! . . . Baik ! . . " sahut sekalian orang. Mereka segera
tinggalkan hutan, pulang ke desa.
Dalam perjalanan pulang, diam2 Panca merancang rencana.
Jika anak itu tidak mati, ia tentu dicemoh pak Naban, Pun.
gagallah rencananya untuk membalaskan dendam Wawa.
Maka ia memutuskan, Gajah harus mati! Nanti malam, secara
diam2 ia akan datang ke hutan situ lagi untuk menghabisi jiwa
anak itu. Tak berapa lama set elah pulang, haripun sudah petang.
Panca siapkan palu besi. Setelah malam tiba dan desa sudah
sunyi senyap, ia segera menuju ke hutan lagi. Ia memang
seorang pemberani. Dalam hutan yang gelap pekat dan sunyi
senyap, ia berani memasuki seorang diri. Telah dirancang
dalam pikirannya, sekali menghantam kepala si Gajah dengan
palu besi, tentu pecah kepalanya.
Begitu masuk kcdalam menggeletak siang tadi. Dan samar2 ia melihat tempat itu. Ia berdebar hutan, ia tak lupa akan tempat Gajah
Langsung ia menuju ke tempat itu.
sesosok tubuh masih terkapar di
girang. Setiba di muka sosok tubuh
itu, secepat kilat ia ayunkan palu besinya. Suasana hut an
gelap sekali. Ia t ak mau memeriksa lebih lanjut , adakah sosok
tubuh itu si Gajah atau bukan. Pokoknya, ia ingin menghantam
remuk kepala anak itu. "Hai ..." tiba-tiba ia memekik kaget. Palu besinya
menghantam benda keras. Ketika mengamati, ternyata sosok
tubuh it u bukannya si Gajah melainkan sekerat batang pohon
sebesar tubuh anak. "Keparat, dia lenyap!" gumannya marah "ah, tak mungkin.
Jelas dia terluka amat parah, bahkan kukira t entu sudah mati.
Tak mungkin dia dapat melarikan diri...." ia merenung
beberapa saat, lalu "apakah mungkin ditolong orang"
Siapakah orang itu, hai . ... " tiba2 ia melonjak ketika
terbayang wajah pak Naban "ho, hanya dialah yang patut
diduga menolong anak itu. Hm, set an, harus kuselid iki
rumahnya. Apabila benar dia y ang menolong, akan kuberitahu
kepada seluruh penduduk agar menyerbu rumahnya"
Bergegas-gegas pandai besi itu tinggalkan hutan itu,
menuju ke rumah pak Naban. Serempak pada saat itu, dari
balik sebatang pohon, muncullah seorang kakek tua "Hm,
memang kejam benar manusia itu. Andaikata tak cepat
kubawa pulang anak itu, dia pasti dibunuhnya"
Iapun segera tinggalkan hutan, berjalan menuju kehulu
sungai di belakang hutan. Setelah menyusup jalan kecil
diant ara gunduk2 karang, t ibalah ia di sebuah rumah pondok
kayu. Diketuknya pintu pondok itu pelahan-lahan t iga kali.
"Kakekkah itu?" terdengar suara seorang anak perempuan
dan langkah kaki menghampiri ke pintu. Pintu t erbuka dan si
kakekpun melangkah masuk. Ia duduk di sebuah kursi bambu.
Disampingnya, sebuah meja batu dan sebuah pelita cuplak
memancarkan cahaya penerangan.
Ternyata kakek tua itu adalah kakek yang t iap hari mengail
ikan di tepi sungai sambil mendongeng sejarah raja2. Sedang
anak perempuan kecil itu bukan lain adalah cucunya, Indu.
"Bagaimana di hut an tadi?" tanya Indu.
"Ho, dugaanku memang tak meleset. Seorang bertubuh
kuat datang seorang diri kedalam hut an dan mencari anak itu.
Telah kuatur sedikit siasat Kulet akkan sepotong kayu dftempat
bekas anak itu terbaring. Dia terkejut dan mengumpat.
Rupanya ia marah sekaji dan menuduh tentu seorang
kawannya yang menolong anak itu, heh, heh ... " kakek tua
tertawa mengekeh. "Bagus, bagus!" Indu ikut gembira. Tiba2 ia bertanya
"kakek, apakah anak it u bisa sembuh?"
Kakek itu mengangguk "Kulihat anak itu belum takdirnya
mati. Sekalipun lama, ia tentu sembuh"
Kiranya siang tadi ketika pulang dari surgai, Indu masih
mendesak kepada kakeknya tentang bahaya yang akan terjadi
di sekitar hutan situ Kakeknya menjawab "Bahaya itu
merupakan peristiwa berdarah"
"Maksud kakek pembunuhankah?"
"Y a, semacam it ulah " jawab kakeknya "nant i malam
engkau tentu tahu" Demikian setelah petang hari t iba, kakek itu mengajak Indu
menuju ke hutan di sebelah sungai t empat mereka setiap hari
mengail. Dan mereka segera menemukan Dipa menggeletak
pingsan berlumuran darah.
"Kakek, bukankah dia si anak set an ... eh, anak gembala
itu?" Indu berteriak kaget.
Kakeknya mengiakan "Benar, memang dia. Ah, rupanya
memang benar untung tak dapat diraih, celaka tak dapat
dihindari. Sudah kusuruh engkau memberitahu kepadanya
supaya lekas2 bersembunyi. Tetapi rupanya dia tak percaya
sehingga harus menderita begini rupa "


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah memeriksa keadaan Dipa, ternyata denyut nadi
anak itu masih berjalan, berarti dia masih hidup. Kakek itu
segera membawanya pulang. Setelah diberi minum ramuan
jamu, Dipa dibiarkan tidur. Kemudian kakek itu kembali ke
hutan lagi untuk menyiasati pandai besi Panca. Demikianlah
peristiwanya. "Kakek" tiba2 Indu berkata "rupanya kakek sudah tahu
akan peristiwa ini?"
Kakek itu tak langsung menjawab pertanyaan Indu,
melainkan mendeham. "Kalau kakek sudah tahu, mengapa kakek membiarkan
mereka menganiaya anak itu?"
Kakek tua terkesiap. Ia tak menduga bahwa Indu cucu
perempuannya yang masih kecil akan mengajukan pertanyaan
semacam itu. Namun ia sudah biasa memanjakan Indu dan
selalu menjawab apapun yang ditanyakannya. Ia menghela
napas "Indu, bukan kakek tak mau menolong anak itu t etapi
sesungguhnya kakek tak berani melakukan hal itu"
"Mengapa?" "Itu sudah garis kodrat hidupnya. Bahwa dia harus
menerima penderitan begit u, Indu" kata kakek tua
"apabila kakek mencegahnya, berarti kakek melanggar
kodrat alam dan kakek tentu menerima hukuman"
"Siapa yang menghukum kakek?" desak Indu.
"Sudah tentu Yang Mencipta Jagad in i yang akan
menghukum kakek. Kakek, engkau, anak itu dan semua titah
manusia in i, adalah insan titahNYA. Mati dan Hidup manusia,
pun didalain kekuasaanNYA. Oleh karena it u kakek t ak berani
melanggar kodrat alam yang telah digariskanNYA" kakek itu
berusaha untuk menerangkan dengan kata2 yang sederhana.
Tetapi rupanya Indu masih belum jelas, serunya
"Kakek, apakah kodrat alam itu?"
Kakek tua agak bingung untuk menerangkan. Ia kerutkan
dahi merenung. Beberapa saat kemudian ia baru berkata
"Kodrat alam itu adalah ketentuan garis h idup makhluk d i
dunia. Setiap orang, kakek dan engkau mempunyai garis hidup
sendiri2. Kalau tak percaya, cobalah angsurkan telapak
tanganmu kemari" Setelah Indu memberikan telapak
tangannya, kakek itupun menebarkan telapak tangannya juga
"Indu, cobalah lihat. Samakah garis2 telapak tanganmu
dengan telapak t anganku?"
Indu mengamati telapak tangannya lalu telapak tangan
kakeknya "Ah, sudah tentu lain" katanya "karena aku masih
kecil dan kakek sudah tua"
"Tidak, Indu. Memang garis2 t elapak tangan orang t idaklah
sama. Sekalipun sedikit, tentu ada bedanya. Nah, garis h idup
set iap orang, sudah disurat pada telapak tangannya" kakek
tua berhenti untuk menghela napas "kelak apabila sudah
besar, engkau tentu dapat mengetahui hal itu"
Dalam tidurnya malam itu, Indu masih membawa uraian
kakeknya tentang kodrat hidup manusia dan nasib Dipa, dalam
mimpinya. Keesokan harinya, kakek itupun berkemas hendak mengail
ke sungai. Indu berseru heran "Kakek, apakah hari ini kita
juga mengail?" "Y a" kakeknya mengangguk.
"Lalu bagaimana anak itu?"
"Mengapa dia" Dia tak apa2 dan paling cepat nanti sore
baru bangun" "Bagaimana kakek tahu?"
Kakek tua tertawa kecil "Lukanya parah, harus tidur supaya
jangan merasa sakit. Maka dalam ramuan jamu yang
kuberikan semalam, kuberi ramuan supaya dia tidur nyenyak.
Mari kita berangkat " katanya seraya ayunkan langkah.
Indu bersangsi. Ia memikirkan Dipa yang masih tidur.
Bagaimana nant i apabila anak itu bangun dan mendapatkan
pondok itu kosong" Bukankah anak itu akan kelaparan"
Mungkin karena bingung, anak it u akan tinggalkan pondok.
Indu merenung beberapa saat. Akhirnya ia mendapat akal.
Segera ia menyediakan makanan dan kendi di atas meja dekat
balai2 tempat t idur Dipa. Agar apabila bangun, anak itu dapat
makan dan minum. Setelah itu barulah Indu menyusul
kakeknya ke tepi sungai. Ketika menjelang lohor, mereka pulang, ternyata yang
dikatakan kakek tua tadi memang benar. Dipa tetap masih
tidur nyenyak. Kakek tua menghampiri ke balai2 Dipa. Ia
tersenyum "Menilik pernapasannya peredaran darah dalam
tubuhnya mulai, lancar.... " tiba2 kakek itu kerutkan dahi yang
penuh keriput "aneh, mengapa cepat sekali dia menempuh
kesembuhan" Padahal kalau menilik lukanya yang begitu
parah, paling sedikit setengah candra baru sembuh"
Memang tak mengherankan kalau kakek t ua itu diliputi rasa
heran. Karena ia tak mengetahui bahwa anak itu pernah
minum darah ular berjampang. Dan memakan jamur
Bromocahyo yang berumur ratusan tahun. Darah ular dan
jamur itulah yang membuat tubuh Dipa kokoh dan mempunyai
daya tahan yang lebih besar dari orang kebanyakan. Apapula
setelah menjalankan pelajaran semedhi menurut petunjuk
Anuraga, tubuh Dipa seolah-olah kebal dari penyakit.
"Kakek, apa yang engkau katakan" tegur Indu.
"Ah, tak apa2, Indu" kata kakek tua "kukatakan anak in i
dapat sembuh lebih cepat dari w aktu yang kuduga"
Apa yang dikatakan kakek itu memang benar. Menjelang
petang hari, Dipapun mulai sadar. Ketika membuka mata, ia
mendesis kaget. Ia merasa berada dalam hutan tetapi
mengapa tahu2 saat itu tidur di atas balai2 dalam sebuah
pondok. Milik siapakah pondok itu" Mengapa ia berada di situ"
Ia merenungkan apa vagg telah dialaminya. Masih teringat
jelas bahw a ia sedang dikeroyok berpuluh-puluh penduduk
desa. Pun masih ingat juga ia, bagaimana ia hamp ir berhasil
lolos dari kepungan penduduk lalu lari ke dalam hutan dan
tiba2 kakinya terantuk pada akar pohon yang melingkar di
tengah jalan. Pun bagaimana ia jatuh lalu dihujani pukulan
dan sepakan oleh orang2 itu, kemudian ia merasa kepalanya,
terhunjam sebuah tendangan hebat, ia masih ingat. Tetapi
setelah itu, ia pingsan dan tak ingat apa2 lagi.
Merenungkan peristiwa2 itu, serentak ia hendak bangun
dan turun dari balai2. T etapi t iba2 terdengar derap kaki orang
berlari dan serentak melengkinglah suara anak perempuan
"Hai, jangan t urun! Tidur"
Dipa terkejut memandang kemuka, amboi. . kiranya anak
perempuan kecil yang ikut mengail kakeknya di t epi sungai itu!
Sesaat Dipapun terlongong. Kemudian tergopoh ia hendak
turun dari balai2 dengan laku yang amat ketakutan.
"Hai, engkau memang benar2 anak set an! Disuruh tidur
mengapa tetap hendak turun!" Indu marah dan terus
mendorong tubuh Dipa ke balai2.
"Tetapi. . tetapi ini . . ." maksud Dipa hendak mengatakan
bahw a ia takut tidur di balai2 yang bukan miliknya. Tetapi
Indu cepat membentaknya "Tetapi apa! Lekas tidur supaya
kepalamu tak berdarah lagi! Kalau kakek tahu tentu marah
kepadamu!" Jika beberapa saat tadi karena perasaannya tegang, Dipa
lupa segala apa. Kini begitu diingatkan Indu, ia segera merasa
kepalanya berdenyut-denyut lagi. Terpaksa ia berbaring di
balai2 lagi. "Engkau tentu lapar, makanlah nasi lemas dan minumlah air
kendi itu" kata Indu sembari mengisar piring dan kendi
kedekat Dipa. Dipa heran. Dengan bengis anak perempuan itu mendorong
tubuhnya supaya t ipur dan tak boleh bergerak. Sekarang anak
perempuan it u menyuruhnya makan dan minum. Adakah ia
harus makan minum dengan tidur" Bukankah kalau ia
bergerak bangun, anak perempuan itu akan marah"
"Eh, mengapa engkau diam saja?" tiba2 Dipa gelagapan
karena dibentak Indu lagi. Dengan gopoh ia menyahut
"Bukankah aku tak boleh bergerak?"
"Hi-hi-hi ..." Indu tertawa mengikik "engkau orang hidup,
bukan orang mati. Siapa yang melarangmu bergerak?"
Dipa kerutkan dahi makin heran. Bukankah anak
perempuan itu sendiri yang melarangnya bergerak" Mengapa
sekarang ia berkata begitu" Dipa tak menyahut melainkan
memandang Indu. Ia tak berani berkata apa2.
"Hi-hik ... " tiba2 lndu tertawa mengikik pula. Rupanya ia
teringat akan kata2nya yang menyuruh Dipa tidur saja tadi
"yang kumaksudkan tadi, engkau tak boleh bergerak bangun
dan turun dari balai2. Menurut kakek, engkau harus tidur saja
supaya luka pada kepalamu itu tak membongkah lagi. Kalau
bangun sebentar untuk makan dan minum, boleh saja ?"
"Rumah siapakah ini?" Dipa memberanikan diri bertanya.
"Sudah tentu rumahku!"
"Dan engkau serta kakekmu yang menolong aku?"
"Sudahlah, jangan pikirkan lain2 hal. Sekarang kusuruh
engkau makan lalu minum. Habis itu engkau harus tidur lagi!"Dipa tak berani membant ah. Ia benar2 t akut kepada anak
perempuan yang galak dan tegas itu. Dan memang ia merasa
lapar. Maka walaupun nasi itu amat sederhana, namun terasa
enak sekali. Sesungguhnya ia hendak menghabiskannya
semua tetapi ia takut kepada anak perempuan itu.
"Eh, sudah sehari semalam engkau tidur tanpa makan.
Engkau tentu lapar sekali. Habiskanlah!" rupanya Indu tahu
perasaan hati Dipa yang takut.
"Tetapi engkau dan kakek ..."
Indu tertawa "Nasi itu memang untukmu semua. Aku dan
kakek sudah ada yang dimakan. Ayo, habiskanlah !"
Dipa terpaksa menurut. Apalagi sesungguhnya ia memang
masih lapar. Kemudian ia minum air kendi itu. Setelah selesai,
kembali ia hendak turun dari balai2
"Hai, anak set an, mengapa engkau amat bandel sekali, hendak turun dari
balai2!" teriak Indu marah.
"Anu .... aku hendak mencuci piring in i"
"Mencuci piring" Hi-hi-hi ...." Indu tertawa mengikik lagi
"engkau anak lelaki mengapa hendak mencuci piring"
Bukankah itu pekerjaan anak perempuan" Biarkan saja, nant i
aku yang mencucinya!"
"Tidak!" sahut Dipa tersipu-sipu
mencuci piring ...."
"dirumah aku biasa "Aneh,. . .mengapa ayah ibumu sekejam itu?""
Dipa menghela napas "Bukan orangtuaku tetapi keluarga
buyut Madan Teda. Aku bekerja pada mereka sebagai
penggembala kambing ".
"O,..,lalu orangtuamu "."
"Entah" sahut Dipa beriba "sejak kecil aku ikut nenek. Dan
setelah agak besar nenek membawa aku kerumah buyut
Tayaka dan ditinggal disiitu"
"Dan nenekmu ?"
"Tinggal di desa Mada"
"O, jadi engkau seorang eh, bekerja pada buyut desa Madan
Teda?" "Benar, aku ini memang seorang budak. Kata orang, aku ini
anak Sudra yang hina. Maka biarlah kucuci piring yang habis
kupakai itu " ia t erus ulurkan t angan hendak mengambil piring
di atas meja. Tetapi didahului Indu "Tidak! Di sin i engkau
bukan seorang budak tetapi tetamu"
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
"Ah, jangan mengejek. Aku malu kepada diriku. Jika tak
boleh mencuci piring, lebih baik kupergi dari sini " Dipa terus
bangun dan hendak turun dari balai2.
"Jangan! Luka pada kepalamu akan berdarah lagi" teriak
Indu. Namun rupanya Dipa tak menghiraukan. Ia tetap
hendak melangkah turun. Melihat itu marahlah Indu "Hai,
engkau memang anak setan, plak .... " tiba2 ia menampar
muka Dipa. Dipa terpukau. Tiba2 Indu menangis terus lari keluar. Dip a
makin terkejut, pikirnya "Ah, mengapa ia menangis sehabis
menampar mukaku" Kalau kakeknya melihat ia menangis, bisa
salah faham kepadaku. Lebih baik kut inggalkan saja pondok
ini" ia terus melangkah turun. Tetapi baru dua tiga langkah
berjalan, ia tertegun berpikir "Ah, mereka relah menolong
jiwaku. Masakan aku hendak pergi tanpa mengucap terima
kasih. Andaikata kakek itu marah, harus kuterima. Aku sudah
berhutang budi kepadanya ...."
Dipa termenung dan akhirnya ia memutuskan untuk tetap
tinggal di situ. Tepat pada saat ia naik ke balai2, muncullah
kakek tua di ambang pintu "Hai, mengapa engkau tak mau
mendengar kata Indu!" tegurnya.
"Indu" Siapakah Indu?" diam2 Dipa heran. Rasa heran itu
cepat terpantul pada kerut dahinya.
"Indu adalah cucuku perempuan itu" rupanya kakek tua
dapat mengetahui keheranan Dipa "apakah engkau memang
tak menghendaki sembuh?"
Dipa tersentak kaget. Pertanyaan itu mengunjuk betapa
besar perhatian kakek dan cucunya itu terhadap dirinya
"Terima kasih atas pertolongan kakek kepada diriku" ucapnya
dengan penuh haru seraya rangkapkan tangan hendak
menyembah. "Ah, tak perlu" cegah kakek tua "bukan begitu cara untuk
berterima kasih. Aku tak menginginkan engkau menyembah
hormat, mengucap kata2 terima kasih. Jika engkau benar2
hendak mengunjuk terima kasih kepadaku, engkau harus
mentaati perint ah yang kusampaikan pada Indu. Tetapi
rupanya engkau hendak menurut kemauanmu sendiri sehinga
Indu marah dan menamparmu. Sekarang ia masih menangis
karena hatinya mengkal"
Derita yang dikenyam Dipa selama bertahun-tahun menjadi
bhaktadasa dalam keluarga buyut Tayaka, menjadikan Dipa
cepat masak pikirannya lebih cepat dari pertumbuhan
umurnya. Kata2 kakek itu benar2 menyayat hatinya. Ia amat
menyesal karena membuat Indu yang baik hati sampai marah
dan menangis "Kakek, aku yang salah" katanya penuh haru
sesal. "Bagus jika engkau sadar akan kesalahanmu tandanya
engkau akan benar. Tetapi apabila engkau tak merasa
bersalah, engkau tentu tetap dalam kegelapan, salah selamaiamanya. Dan set iap kesalahan itu tak cukup diakui dengan
mulut , pun harus segera dirobah dengan tindak dan perbuatan
yang benar" "Baik, kakek" kata Dipa tersipu.
"Engkau harus tidur lagi dan sejak saat ini engkau harus
menurut perint ah Indu. Jangan pikirkan apa2 anggaplah


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti rumahmu sendiri. Lukamu tentu cepat sembuh" kata
kakek itu seraya mengeluarkan sebuah kantong berisi ramuan
jamu. Setelah menyuruh Dipa minum, kakek itu segera
melangkah keluar. Keesokan hari ketika bangun, Dipa melihat diatas meja
dekat tempat tidurnya, terdapat sepiring nasi dan sebuah
kendi. Ia percaya tentu Indu yang menyediakan. Diam2 ia
menyesal karena tak dapat menjumpai Indu untuk mint a
maaf. Saat itu ia rasakan semangatnya jauh lebih baik dari
kemarin. Hanya kepalanya yang masih terasa berdenyutdenyut.
Demikian set elah empat hari mentaati perint ah kakek tua,
set iap hari minum jamu dan beristirahat di balai2, akhirnya
pada hari kelima Dipa rasakan kepalanya sudah tak sakit lagi.
Ia merasa sudah sehat benar. Keinginannya yang pertama,
yalah menjumpai Indu. Anak perempuan itu sudah lima hari
tak pernah menampakkan diri. Ia segera t urun dari balai2 lalu
melangkah keluar pondok. T ernyata pondok itu dikelilingi oleh
pagar pohon maja dan terletak di sebuah cekung hut an
belantara yang tak pernah dijelajah i manusia.
Pondok kosong penghuni. Kakek dan cucunya tentu mengail
ke sungai. Diam2 Dipa heran, mengapa kakek dan cucunya itu
tinggal di tengah hutan yang sukar dicapai orang.
Membayangkan wajah kakek tua, Dipa merasa bahw a kakek
itu bukan seperti orang desa. Wajahnya terang bersih.
Sikapnya tenang, bicaranya lembut teratur dan pengetahuannya amat luas. Dapat menceritakan sejarah raja2
jeman dahulu. Ah, dia tentu mempunyai riwayat hidup yang
hebat. Pikir Dipa. Kemudian ia teringat akan buyut Tayaka. Buyut itu tentu
marah karena menganggap ia melarikan diri. Ah, ia amat
menyesal karena tak dapat memenuhi tugas yang
dipercayakan kepadanya, menggembala kambing. Teringat
akan kambing2 yang digembalakan itu, hati Dipa makin sedih.
Kemanakah gerangan binatang2 itu pada waktu ia dikeroyok
penduduk" Ia tak sempat mengurus mereka lagi karena ia
sendiri pingsan tak ingat orang.
Sambil melamun ia berjalan menurut sepembawa kakinya.
Tak terasa ia telah keluar melalui pagar pohon maja, melint as
ke hutan. Tiba2 ia tersentak dari lamunan karena mendengar
suara gemercik air mencurah. Serentak bangkit lah seleranya
untuk mengetahui tempat itu. Dan kakinyapun segera
berayun. Ternyata ia tiba di sebuah karang buntu. Dibawah
karang itu terdapat saluran air yang mencurah kebawah.
Menyerupai air terjun kecil.
Gemercik air menghambur terbawa hembusan angin
membaurkan hawa sejuk. Mentari saat itu menjulang
sepenggalah tingginya. Hawa udara pun mulai panas.
Serentak menggeloralah selera Dipa untuk mandi. Sudah lima
enam hari ia tak mandi. Tubuhnya terasa gerah dan panas.
Maka turunlah ia kebawah air-terjun. Butir-butir air bening
yang mencurah berhamburan itu tak ubah laksana untaian
mut iara berhamburan mencurah ke penampi. Hati Dipa makin
terangsang. Segera ia lepas pakaian dan terus terjun
memanjakan diri dalam kesegaran air yang bening dan dingin
.... Tengah ia membenam diri dalam genangan air segar itu,
tiba2 terdengar kumandang suara seorang anak perempuan
berteriak nyaring "Hai, kakang gembala kecil . . . dimana
engkau . . . !" Dipa terkejut. Itulah suara Indu. Tiba2 ia teringat saat itu
sedang telanjang, ah, betapa malu kalau Indu tiba disitu.
Cepat2 ia naik dan menyambar celananya lalu bersembunyi di
balik gunduk batu besar. Dugaan Dipa memang benar. Tak berselang berapa lama,
muncullah Indu ke pancuran situ. Ia keliarkan pandang
matanya kesekeliling penjuru untuk mencari
Dipa, tetapi tak melihatnya. Ia tak menyangka kalau Dipa
bersembunyi di balik batu besar "Kakang gembala kecil,
dimana engkau!... " kembali anak perempuan itui mcrigulang
teriakannya. Ia tak tahu siapa nama Dipa maka ia
memanggilnya dengan sebutan kakang gembala kecil.
Sebenarnya saat itu Dipa akan
keluar dari tempat persembunyiannya. Tetapi pada
saat ia beringsut, tiba2 didengarnya Indu berkata seorang
diri dalam nada set engah menyesal dan set engahnya mengata-ngatai Dipa "Ah, anak
set an itu tentu melarikan diri.
Memang dia seorang anak gembala liar, yang tak tahu budi
orang. Kakek amat sayang kepadanya. Tiap malam, kakek
menjaganya dikala ia tidur dan
memijati badannya. Tiap pagi
kakek mencarikan daun2 obat untuknya. Tetapi dia tak tahu,
hm. . . dasar anak setan!"
Dipa terpukau. Memang ia tak tahu sama sekail akan hal
itu. Makin terharulah hatinya akan kebaikan kakek dan
cucunya itu. Untuk yang kedua kali dalam lembaran hidupnya,
ia telah berjumpa dengan manusia yang memperhatikan
dirinya. Saat itu juga, ia terus hendak keluar dari balik batu
dan hendak minta maaf kepada anak perempuan kecil itu.
"Ah, tetapi aku juga salah " tiba2 terdengar Indu berkata
pula seorang diri "dia tentu menyangka aku marah dan tak
suka dia tinggal dipondokku. Rupanya ia seorang anak yang
tahu diri ... " Mendengar ucapan itu, terpaksa ia tahan diri. Entah
bagaimana, secara tiba2 ia merobah kehendaknya untuk
keluar. Ia ingin tahu lebih lanjut apa gerangan yang hendak
dikatakan anak perempuan kecil itu.
Terdengar Indu menghela napas "Ah, kasihan benar anak
itu. Rupanya ia bernasib lebih malang dari aku. Dia sudah
sebatang kara, akupun juga. Hanya bedanya, aku masih
punya kakek, tetapi dia hanya punya nenek... eh, tetapi
kakekku amat sayang sekali kepadaku. Sejam saja tak
melihatku, kakek t entu sudah bingung. Tetapi neneknya t idak
sayang padanya. Nenek itu menyerahkannya kepada buyut
desa untuk bekerja sebagai penggembala. Ah, mengapa nenek
itu sampai hati berbuat demikian terhadap cucunya ... o,
mungkin nenek itu amat miskin sekali sehingga terpaksa
melakukan hal itu agar cucunya memperoleh makan. Ah,
kasihan ... " Mendengar ucapan Indu, hati Dipa seperti disayat sembilu.
Terkenanglah ia akan kehidupannya dimasa kecil. Penuh derita
lara, duka nestapa. Neneknya sudah tua lagi berpenyakitan.
Tak jarang sehari mereka hanya makan sekali. Karena masih
kecil ia tak dapat membantu neneknya mencari makan.
Teringat hal itu, berderai-derailah airmata Dipa membasah i
kedua celah pipinya . . .
"Kakang gembala kecil, dimana engkau!" t iba2 ia tersentak
kaget karena mendengar Indu berteriak memanggilnya pula.
Lalu tinggalkan tempat itu. Makin lama makin jauh.
Sesaat kemudian tersadarlah Dipa dari lamunan. Ia harus
lekas2 mengejar anak perempuan it u untuk mint a maaf. Cepat
ia menyelinap kegerumbul pohon terus muncul di t engah jalan
yang akan dilalui Indu. "Hai, engkau anak se. . . eh, mengapa engkau menangis?"
teriak Indu, lupa untuk mendamprat.
Dipa tergopoh gopoh mengusap air matanya lalu berkata
"Maafkan aku. Sama sekali aku tak bermaksud melarikan diri.
Karena merasa sudah sembuh, aku keluar berjalan jalan
sampai ke pancuran sini lalu mandi"
"Tetapi mengapa engkau menangis" Engkau tentu masih
sakit" tegur Indu. "Tidak, aku sudah tak merasa sakit lagi. Aku hanya
terkenang akan nenekku"
"Mengapa?" "Engkau lebih beruntung mempunyai seorang kakek yang
amat menyayangimu. Tidak seperti diriku yang punya seorang
nenek miskin dan berpenyakitan sehingga terpaksa menitipkan
aku pada buyut Tayaka"
Indu kerutkan alis "Ih, engkau mendengar kata-kataku
tadi?" Dipa mengiakan. Ia mengakui kalau bersembunyi di balik
batu karena mengenakan celana.
"Setan, engkau memang
mendamprat dan terus lari.
anak setan!" tiba2 Indu Dipa terkejut. Ia tak mengerti mengapa tiba2 anak
perempuan itu marah kepadanya. Cepat ia mengejar dan
berteriak memint a Indu berhenti. Ia hendak memberi
penjelasan dan mint a maaf kalau salah. Tetapi anak
perempuan itu tak menghiraukan. Dipa heran sekali, mengapa
ia tak mampu menyusul anak perempuan itu. Padahal iapun
lari sekencang-kencangnya.
Tak berapa lama tampaklah pondok di tengah hutan,
pondok t empat t inggal kakek dengan Indu. Dan tampak pula
kakek tua itupun sudah tegak diambang pintu. Indu segera
menubruk pinggang kakeknya. Dipa tak berani lanjutkan
mengejar. Ia berhenti. Ia takut akan wajah sikakek yang
berwibawa. Ia duga kakek itu tentu akan marah kepadanya.
Dan iapun memang merasa salah. Ia sedia menerima
hukuman apapun dari kakek yang telah melepas budi
kepadanya. Sambil tundukkan kepala ia berjalan pelahanlahan menuju ke hadapan kakek.
"Engkau sudah sembuh?" diluar dugaan kakek tua itu
menegur dengan nada t ak mengunjuk kemarahan.
"Su . . . . dah kakek" tersendat Dipa menyahut "terima
kasih atas pertolongan kakek kepada diriku. Pasti kuingat
selama hidup ... " Kakek tua itu tertawa pelahan "Aku menolongmu karena
merasa wajib. Bukan karena mengharap balas. Kalau engkau
sudah sembuh, aku sudah merasa senang" kakek itu sejenak
tundukkan kepala memandang Indu yang masih memeluk
pinggangnya "mengapa Indu marah lagi" Apakah engkau t ak
menurut kata ?" Dipa segera menceritakan apa yang terjadi di pancuran lalu
berlutut hendak mencium kaki sikakek sebagai pernyataan
maaf. T etapi kakek itu mencegahnya dan mengajaknya masuk
ke dalam pondok. Ternyata hidangan sudah tersedia di meja.
Mereka makan bersama. "Siapa namamu?" tanya kakek itu sambil makan.
"Dipa, tetapi nama itu tak diakui orang. Seluruh penduduk
desa Madan Teda memanggilku si Gajah"
Kakek itu memandangnya tajam2, katanya "O, mungkin
karena iman supingi-mu serba besar. Mata bundar, alis tebal,
hidung bongkah, mulut lebar dan telinga besar serta jalanmu
seperti gajah" "Hi-hi-hi ..." tiba2 Indu tertawa mengikik.
"Mengapa engkau tertawa!" tegur sikakek.
"Tidak apa2, kecuali geli
disamakan seperti gajah"
mendengar anak manusia "Gajah lebih baik daripada sebutan anak setan yang engkau
berikan itu" sahut kakeknya.
"Kusebut dia begitu karena gerak geriknya suka mencuri
dengar orang bicara. Di hutan mencuri dengar cerita kakek
dan sekarang mencuri dengar aku berkatakata seorang diri"
"Apakah anak set an itu suka mencuri dengar pembicaraan
orang?" diluar kesadaran, t iba2 Dipa bertanya.
"Y a" sahut Indu cekatan "menurut kata kakek, setan itu
bangsa mahluk yang tak kelihatan. Suka berkeliaran kemanamana mengganggu orang, mencuri pembicaraan orang tetapi
tak berani pengunjuk diri terang-terangan. Bukankah begitu,
kakek?" Kakek tua tertawa meloroh. Ia memang gembira sekali
apabila mendengar Indu berbantah "Sudahlah, Indu. Kita ini
bangsa manusia, perlu apa membicarakan set an" Eh, Gajah . .
kukira bukan hanya indera wajahmu maka penduduk desa
menamakan engkau Gajah. Engkaupun tentu memiliki tenaga
yang sangat kuat juga. Tetapi apa sebab engkau dikejar
hendak dibunuh penduduk desamu?"
Dipa segera menuturkan peristiwa ia mengangkat patung
dewa Ganesya karena hendak menolong seorang anak kecil
yang tangannya tertindih patung itu. Ia sendiri tak tahu
mengapa penduduk marah kepadanya.
"Memang luar biasa sekali anak sekecil engkau mampu
mengangkat patung seberat itu. Apakah sejak kecil engkau
sudah memiliki t enaga kuat?" tanya kakek tua.
"Y a, orang2 mengatakan begitu. Tetapi aku sendiri tak
menyadari. Hanya yang kurasakan badanku menjadi sehat dan
kuat adalah karena set iap hari aku melakukan semedhi seperti
yang diajarkan paman brahmana"
"O, engkau mempunyai seorang paman brahmana" seru
kakek itu. Dipa t ersipu-sipu menerangkan "Tidak, hanya brahmana itu
sendiri yang menyuruhku menyebut begitu"


01 Gajah Kencana Manggala Majapahit Karya S. Djatilaksana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Siapakah brahmana itu?"
Karena merasa berhutang budi dan kepercayaannya pun
sudah bulat bahwa kakek itu seorang baik, maka dengan terus
terang Dipapun menceritakan pengalamannya dengan
brahmana Anuraga. "Dimanakah tempat tinggalnya di pura kerajaan?" tanya
kakek itu yang rupanya menaruh perhatian.
"Ditempat Dang Acarya Samaranata" sahut Dipa.
"O" desus kakek tua.
Sesungguhnya Dipa ingin sekali mengetahui nama kakek
yang baik budi itu. Maka diam2 ia berjanji dalam hati agar
kelak dapat membalas budinya. Tetapi ia tak berani membuka
mulut "Biarlah nant i pada lain kesempatan apabila kakek itu
mengajak bercakap cakap lagi, aku tentu akan menanyakan
namanya"kata Dipa dalam hati.
Demikian sejak saat itu, Dipa tinggal di pondok bersama
kakek tua dan cucunya perempuan. Cepat sekali kedua anak
itu bergaul amat akrab, tak ubah seperti kakak beradik. Dipa
selalu menurut dan mengalah, Indupun menganggapnya
sebagai seorang kakak. Keduanya rajin membant u kakeknya
mengurus pekerjaan rumah. Dipa cari air dan kayu bakar,
Indu menanak nasi dan sikakek tiap hari t etap mengail ikan.
Diam2 kakek tua itu terhibur dalam hatinya. Walaupun
hidup di tengah hutan jauh dari keramaian, namun ia
menemukan kebahagiaan dan ketenangan hidup.
"Semoga kedua anak itu tetap bersatu sampai besar" diam2
kakek itu memohon kepada Hyang Widdhi.
Sebagaimana set iap sore, demikianlah pada sore itu Indu
dan Dipa mandi di pancuran. Setelah mandi mereka pulang
bersama. "Kang Dipa, malam in i kita makan enak. Tadi kakek
memperoleh seekor ikan besar. Sayang persediaan garam
dirumah sudah habis, besok aku harus kepasar"
"Jauhkah pasar itu?" tanya Dipa.
"Jauh sekali. Pag i berangkat, sore baru pulang. Pun naik
perahu menyeberang sungai"
Dipa terkejut "Begitu jauh" Apakah engkau pergi seorang
diri?" "Y a, tetapi aku sudah kerap kali kesana. Bermula memang
diant ar kakek. Kakek lalu menitipkan aku kepada tukang
perahu supaya kalau aku pergi sendiri, tukang perahu itu
menjagaku baik2" "Akupun menganggur dirumah . . ." Dipa
mengatakan kalau ia ingin ikut tetapi t ak berani.
hendak "Eh, engkau hendak ikut kepasar?"
"Y a, kalau boleh ..."
"Mengapa tak boleh?" kata Indu, tiba2 mata anak
perempuan itu memandang celana Dipa "eh, kakang,
mengapa celanamu tak pernah ganti?"
Dipa t ersipu-sipu t undukkan kepala memandang celananya.
Memang sejak sebulan tinggal disitu, ia tak pernah ganti
celana. Pakaiannya masih tertinggal di rumah buyut Tayaka.
Maka tiap dua hari ia tentu pergi ke pancuran, mencuci
celananya lalu dijemur. Setelah kering baru dipakainya lag i.
"O, benar, pakaianmu tentu masih tertinggal di rumah
buyut itu. Maukah engkau memakai celana kakek?"
Dipa t ertawa "Mau tetapi apa tidak terlalu besar?"
Indu tertawa geli "Y a, sungguh sayang sekali. Kakek
mempunyai beberapa celana yang bagus sekali tetapi tak
pernah dipakainya" "Indu, siapakah nama kakek itu?"
Indu terbeliak "Entahlah, aku sendiri tak tahu. Kalau
kut anya, ia selalu gelengkan kepala dan mengatakan kelak
aku tentu akan tahu sendiri"
Dipa ikut heran juga. Setiba di rumah, Indu segera mengatakan keinginannya ke
pasar membeli rempah2 kepada kakeknya "Kakek, kakang
Dipa ingin turut" "Jangan, Indu! Perjalanan itu melalui desa Madan Teda.
Berbahaya bagi Dipa apabila menampakkan diri di desa itu"
Indu dan Dipa saling berpandangan. Apa yang dikatakan
kakek itu memang benar "Kakek, celana kakang Dipa hanya
satu, bolehkah kubelikan sebuah lagi?" tiba2 Indu teringat
akan diri Dipa. Kakeknya menyetujui. Demikian keesokan hari, pagi sekali
Indu sudah berangkat ke penyeberangan Madan Teda. Pasar
terletak di sebelah ut ara sungai.
Tiba di penyeberangan, Indu terkejut. Perahu sudah mulai
bertolak dari pangkalan. Ia tergopoh-gopoh lari seraya
berteriak "Paman Jajar, aku ikut . . . !"
"Hai, engkau anak perempuan" rupanya tukang perahu
Pembunuhan Di Sungai Nil 5 Cinta Buta Sang Penulis Muda Karya Bois Tenda Biru Candi Mendut 2
^